Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“TEOLOGI AGAMA BUDDHA”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Teologi Agama-agama”


Dosen Pengampu: Saiful Mujab, MA

Disusun Oleh:

Siti Zulaikhah Munawaroh (2004016001)


Alip Alfiandi RM (2004016035)

PROGRAM STUDI AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG


2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................................2
PENDAHULUAN...................................................................................................................2
A. Latar Belakang...........................................................................................................2
B. Rumusan Masalah......................................................................................................3
C. Tujuan.........................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.....................................................................................................................4
A. Sang Buddha; Pengertian dan Sejarah.....................................................................4
B. Perkembangan Agama Buddha.................................................................................6
C. Sistem Ketuhanan dan Pokok Ajaran Buddhisme...................................................8
BAB III..................................................................................................................................11
PENUTUP.............................................................................................................................11
A. Kesimpulan...............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................12

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sejarah munculnya agama hampir bersamaan dengan awal kehidupan manusia.


Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa ada suatu bentuk agama. Seluruh
agama tidak lain perpaduan kepercayaan keagamaan dan sejumlah upacara. Tentu saja
ini tidak mudah untuk dijelaskan sebab setiap agama mempunyai pandangan masing-
masing terhadap kepercayaan dan keagamaan tersebut.

Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan


adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan
itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta
menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah dan lainnya
dari individu dan masyarakat yang mempercayainya.

Berbeda dengan agama-agama lainnya, sebagaimana yang disebutkan di atas,


agama Buddha mempunyai latar belakang dari ketakutan sang Buddha akan penderitaan
masa tua, kesakitan, dan kematian. Karenanya ajaran Buddha tidak terlalu menekankan
hal-hal yang berupa penyembahan atau ritual-ritual tertentu, melainkan laku hidup
spiritual yang bertujuan untuk mencari pembebasan dari penderitaan.

Pembahasan mengenai Tuhan atau ketuhanan-pun agaknya sulit ditemukan


dalam ajaran Buddhisme. Namun dalam kepercayaannya, Buddha tidak menafikkan
adanya Tuhan atau yang disebut sebagai Realitas Absolut. Tuhan dalam bahasa Pali
disebut sebagai “Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang”, yang artinya
“Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang
Mutlak”.1 Kalimat tersebut tertulis dalam kitab suci agama Buddha yakni Sutta-pitaka
yang berisi ceramah-ceramah sang Buddha.

Dalam kesempatan kali ini penulis tidak bermaksud untuk membahas secara
mendalam mengenai konsep ketuhanan agama Buddha, melainkan hal-hal mendasar
seperti apa yang tertulis berikut ini.
1
Khairiah, Agama Buddha (Yogyakarta: Kalimedia, 2018)., hlm. 49-50.

3
B. Rumusan Masalah

1) Apa itu Buddha? dan


2) Siapa pendiri agama Buddha?
3) Bagaimana sejarah dan perkembangan ajaran Buddha?
4) Apa inti serta tujuan ajaran agama Buddha?
C. Tujuan

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memahami secara garis besar
mengenai konsep teologi agama Budhha. Harapan penulis dengan adanya makalah ini,
khususnya penulis dan umumnya pembaca yang budiman dapat menemukan
pemahaman tentang titik temu agama secara teologis, juga peran pendiri agama tersebut
dalam sudut pandang sosiologis.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sang Buddha; Pengertian dan Sejarah

Secara etimologi, Buddha berasal dari kata ‘buddh’ yang berarti bangun atau
bangkit (awakened), yang kemudian muncul berbagai macam pengertian, seperti;
wisdom, consciousness, awareness, dan beberapa arti lainnya.2 Dari kata tersebut
kemudian muncul istilah Buddha yang berarti “yang sudah mencapai pencerahan”
(Enlightened One, Awakened One).

Istilah tersebut pertamakali digunakan sebagai gelar kehormatan dari masyarakat


kepada Siddhartha Gautama atas pencapaian spiritual berupa pencerahan dan kesadaran
atau penerangan tertinggi. Berbeda dengan gelar ‘kristus’ yang hanya dimiliki oleh
Yesus, menurut ajaran Buddha sendiri, pada dasarnya tingkatan tersebut dapat dicapai
oleh semua orang tanpa terkecuali. Karena secara teoritis, semua orang secara potensial
dapat mencapai titik pencerahan (keBudhaan) tersebut.3 Jadi, Buddha bukan merupakan
nama asli pendiri agama ini, melainkan gelar yang dimilikinya.

Agama Buddha atau Buddhisme merupakan ajaran yang lahir di India yang
disandarkan pada ajaran Siddhartha Gautama. Ia lahir sekitar abad ke-6 SM (Sebelum
Masehi) tepatnya pada tahun 563 SM4 di sebuah kota kecil bernama Lumbini yang
berada di sekitar kaki pegunungan Himalaya (perbatasan India-Nepal). Memiliki nama
kecil Siddhartha, dan Gautama adalah nama keturunan. Ayahnya merupakan seorang
raja dari suku Sakya. Siddharta dikenal juga dengan julukan Sakyamuni (orang bijak
dari suku Sakya). Pada usia 16 tahun, ia menikah dengan seorang putri dari kerajaan
tetangga dan dikaruniai seorang putra.

Di tengah kehidupannya yang penuh kemewahan, suatu hari Siddhartha keluar


dari istana kemudian dirinya menjumpai 4 hal yang kemudian mengubah jalan
hidupnya. Empat hal tersebut adalah:5

2
Matius Ali, Filsafat Timur: Pengantar Hinduisme & Buddhisme (Jakarta: Sanggar Luxor,
2013)., hlm. 101-102.
3
Ibid., hlm. 128
4
Sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun (546–324 SM), lihat; Khairiah, Agama Buddha.
5
Ali, Filsafat Timur: Pengantar Hinduisme & Buddhisme.

5
1) Dilihatnya orang tua yang beruban, gigi yang mulai berkurang (ompong),
wajah keriput, dan tubuh yang tidak lagi tegak.
2) Dilihatnya orang yang sedang sakit dan dalam kondisi sekarat.
3) Dilihatnya upacara kematian, dimana banyak orang berduka-cita.
4) Dirinya melihat seorang petapa dengan tubuh dan kepala penuh debu,
mengembara mencari pencerahan.

Dari pemandangan tersebut mendorong timbulnya gejolak pemikiran Siddhartha


bahwa dunia ini penuh dengan penderitaan. Hal inilah yang menyebabkan batinnya
diliputi pergolakan dan akhirnya memuncak pada usia 29 tahun, di mana ia memutuskan
untuk menjalani kehidupan suci. Dirinya memutuskan untuk mencari jawaban atas
semua hal yang menyebabkan penderitaan manusia, dan bertekad untuk menemukan
‘obat’ dari segala penderitaan yang dapat membebaskan manusia. Siddhartha telah
membuktikan bahwa kebahagiaan duniawi bersifat sementara, di mana setelah
kebahagiaan lenyap, muncullah penderitaan. Dalam usaha pencarian, dia mengembara
di sepanjang lembah sungai gangga dan mencari pencerahan dari para guru waktu itu
dan melaksanakan pengekangan yang ketat, namun semuanya itu tidak memuaskan
pencariannya. Sampai pada akhirnya ia mencoba menemukan sendiri jalan pembebasan
tersebut dan mulai mempraktekkan pertapaan demi melepas penderitaan di masa tua,
kesakitan, dan kematian.6

Dikisahkan ketika ia sedang bermeditasi di bawah pohon bodhi, dirinya di


datangi oleh rombongan pemain kecapi. Saat itu rombongan tersebut berbincang dan
berkata; “Jika tali senar ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jika terus
dikencangkan, senarnya akan putus dan lenyaplah suaranya. Jika tali senar ini
dikendorkan, suaranya akan melemah. Jika terus dikendorkan, lenyaplah suaranya”, saat
itulah dirinya menyadari bahwa asketisme ekstrem bukanlah jalan spiritual yang benar.

Saat dirinya bangkit dari pertapaannya, ia tidak mampu untuk menopang dirinya
sendiri yang membuatnya jatuh pingsan. Siddhartha kemudian ditolong oleh seorang
pemuda gembala yang sedang lewat. Ketika Siddhartha sadar dari pingsannya, ia segera
meminum air yang diberikan oleh pemuda tadi, dan akhirnya secara perlahan

6
I Komang Suastika Arimbawa dan G. Arya Anggriawan, “Perkembangan Ajaran Buddha
Dalam Trilogi Pembebasan,” SANJIWANI: Jurnal Filsafat 11, no. 1 (2020): 24–40., hlm. 26-27.

6
kesehatannya pulih kembali. Siddharta pun akhirnya meninggalkan kehidupan yang
menyiksa diri. Ia telah membuktikan bahwa asketisme ekstrm tidak akan membawa
seseorang kepada kebahagiaan abadi; jalan pembebasan; pencerahan sempurna. Setelah
itu dirinya memutuskan untuk menempuh jalan tengah (the middle way), yakni dengan
cara tidak memanjakan diri dalam kemewahan dan dengan laku meditasi yang tidak
sampai menyiksa diri secara ekstrem.7

Setelah melakukan meditasi jalan tengah selama 49 hari, di bawah pohon bodhi
di Bodhgaya, akhirnya Siddhartha Gautama mencapai pencerahan sempurna. Tepatnya
pada umur 35 tahun dirinya mencapai titik pencerahan dan menjadi Sang Buddha.
Setelah mendapatkan pencerahan, dirinya Kembali ke kampung halamannya dan
mengajarkan tentang Dharma untuk mencapai pencerahan. Selama 45 tahun dirinya
mengajar, dan pada akhirnya ia meninggal pada usia 80 tahun (483 SM).8

B. Perkembangan Agama Buddha

Setelah wafatnya Sang Buddha, ajarannya diturunkan secara lisan oleh para
siswa Buddha yang terkumpul dalam komunitas Sangha, sesuai dengan tradisi lisan
India jauh sebelum masa Sang Buddha. Sebelum 250 SM, Sangha telah menyusun
ajaran-ajaran Sang Buddha secara sistematis ke dalam tiga kitab suci (Tri-pitaka; tiga
keranjang), yang ditulis dalam bahasa pali. Tiga keranjang tersebut terdiri dari:9

- Vinaya Pitaka (keranjang disiplin), yang berisi aturan-aturan dan kebiasaan Sang
Buddha.
- Sutta Pitaka (keranjang ajaran/dharma), yang berisi ceramah-ceramah dan
ungkapan Sang Buddha.
- Abidhamma Pitaka (keranjang dharma yang lebih tinggi), yang berisi
pembahasan tentang filsafat mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia.

Tidak seorangpun dapat membuktikan bahwa Tripitaka hanya memuat ajaran-


ajaran Sang Buddha.10 Tidak seperti kitab suci agama-agama samawi, Tripitaka diyakini

7
Ibid.
8
Ali, Filsafat Timur: Pengantar Hinduisme & Buddhisme., hlm 129.
9
Sasanasena Seng Hansen, Tradisi Utama Buddhisme, ed. Willy Yandi Wijaya (Yogyakarta:
Vidyasena Production, 2008)., hlm. 4.
10
Ibid., hlm. 5.

7
oleh umat Buddha tanpa perlu tahu mengenai siapa penulis kitab yang berisi ajaran
Sang Buddha. Yang jelas, isi ajaran-ajaran dalam Tripitaka diperuntukkan untuk dilihat
dari dekat, dipraktikkan dalam kehidupan seseorang sehingga mereka dapat
membuktikannya sendiri apabila membawa hasil yang sesuai. Para praktisi Buddhis
menganggap hal ini bukanlah masalah, karena yang demikianlah yang disebut dengan
kebenaran, yakni hasil dari apa yang mereka amalkan dari ajaran-ajaran tersebut.

Mulanya Buddhisme awal berkembang menjadi Hinayana (kendaraan kecil)


kemudian menjadi Mahayana (kendaraan besar). Ketika tiga keranjang yang berisi
kitab-kitab tersebut terus menyebar ke luar india, para umat Buddha-pun memiliki
interpretasi yang berbeda-beda mengenai apa yang diajarkan oleh Sang Buddha, hingga
pada akhirnya melahirkan sekitar 30 aliran dalam agama Buddha.11 Namun secara
umum aliran-aliran yang menyebar ke seluruh dunia dibedakan menjadi Dua, yaitu;
aliran Hinayana yang dikenal juga sebagai Theravada, dan aliran Mahayana.

Perbedaan utama dari kedua aliran tersebut adalah, bahwa Theravada


menekankan pembebasan diri sendiri, sedangkan Mahayana menekankan pada
pencapaian keBudhaan bagi semua makhluk. Theravada berkembang pesat di wilayah
Selatan (sekitar Asia Tenggara), sedangkan Mahayana berkembang di wilayah Utara
atau Timur Laut.

Buddhisme Theravada (Hinayana, Southern Buddhism, Early Buddhism)


mengklaim bahwa merekalah yang memegang tradisi tertua. Aliran ini mempertahankan
ajaran-ajaran tradisional. Penganut Hinayana hanya mengakui satu Buddha, yakni
Siddhartha Gautama, dan tidak mengakui Buddha Amitabha, Bodhissatwa
Avalokiteshvara, dan lain-lain. Alasannya adalah karena aliran ini lebih menekankan
pada Buddha Sakyamuni dan ajaran-ajaran awalnya, dan menerapkan kata Boddhisatwa
hanya pada inkarnasi-inkarnasi Sakyamuni.12

Bagi Buddhisme Mahayana (Northern Buddhism), yang di dalamya juga


termasuk aliran Tantra dan Zen Buddhism, Bodhissatwa adalah ia yang bukan hanya

11
I Komang Suastika Arimbawa dan G. Arya Anggriawan, “Perkembangan Ajaran Buddha
Dalam Trilogi Pembebasan.”, hlm. 24.
12
Ali, Filsafat Timur: Pengantar Hinduisme & Buddhisme., hlm. 156-157.

8
ingin mencapai pencerahan individual, tapi juga untuk orang lain dan semua makhluk. 13
Bodhissatwa adalah mereka yang telah mencapai pintu gerbang Nirvana14 namun
menolak untuk masuk karena ingin menyelamatkan orang lain yang masih terjebak
dalam penderitaan.

C. Sistem Ketuhanan dan Pokok Ajaran Buddhisme

Pada dasarnya Buddhisme tidak dapat dikatakan murni sebagai agama, karena
dalam ajarannya sendiri tidak ditujukan untuk menyembah apa yang umumnya disebut
sebagai Tuhan. Buddhisme sendiri berisi tentang rumus-rumus yang harus dilakukan
oleh para siswa Buddha untuk mencapai keBuddhaan. Ritual-ritual yang dilakukan oleh
umat Buddha di kuil atau vihara tidak bertujuan untuk menyembah atau mengabdi
kepada Tuhan, melainkan sebagai penghormatan kepada Sang Buddha ataupun dewa-
dewa.15

Dalam konteks ini, Buddhisme sendiri mungkin hanya dapat dikatakan sebagai
falsafah hidup (philosophy of life) yang mana di dalamnya memuat beberapa ajaran
mengenai budi pekerti, moral, jalan pembebasan, yang tujuannya adalah untuk
mencapai Nirvana.

Di sisi lain, dalam Buddhisme terdapat aliran Theravada yang berkeyakinan


bahwa Budhha bukanlah Tuhan seperti yang banyak di kira oleh orang awam. Ajaran
Buddha memiliki konsep ketuhanan yang berbeda dengan agama-agama samawi, di
mana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir manusia adalah kembali ke
Tuhan. Petunjuk dalam ajaran Buddha mengenai keyakinan tentang adanya Tuhan Yang
Maha Esa terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII:316, yang isinya:

“Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang
Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu,
apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak
Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari
13
Ibid., hlm. 160.
14
Secara bahasa Nirvana memiliki arti ‘kekosongan’, istilah Nirvana digambarkan sebagai
kondisi kesadaran yang diliputi ketenangan absolut dan kedamaian sempurna yang dicapai dengan cara
melenyapkan ego., Ibid., hlm. 144-145.
15
Khairiah, Agama Buddha., hlm. 40.
16
Ibid., hlm. 49.

9
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi
para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.” —
Sutta Pitaka, Udana VIII : 3

Sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta,
Yang Mutlak, dalam bahasa Pali adalah “Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkha-
tang”. Dalam hal ini realitas Tuhan tidak dapat digambarkan dengan cara apapun,
ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu yang tanpa aku (anatta), Dia mutlak adanya
tanpa perlu penjalasan apapun.

Agama Buddha meyakini adanya Tuhan menyebabkan manusia memiliki


kemungkinan untuk selamat dari penderitaan, dan apabila Tuhan tidak ada maka tidak
akan mungkin manusia terbebas dari penderitaan. Sebab Buddha mengajarkan mengenai
tiga ciri utama kehidupan (ti-Lakkhana), yang mana tiga ciri kehidupan itu adalah;17

1) Semua bentuk tidak kekal (Anicca)


2) Semua bentuk adalah Penderitaan (Dukkha)
3) Semua kondisi adalah Tanpa Aku dan Tidak Berinti (Anatta)

Maka, tujuan akhir yang ditempuh oleh para bikkhu dalam perjalanan spiritual
keBuddhaan adalah untuk mencapai Nirvana atau pencerahan. Sebuah keadaan dunia
kebahagiaan sempurna dan kedamaian absolut yang tidak dapat dipahami oleh siapapun
yang belum mencapainya.

Selanjutnya mengenai ajaran-ajaran dalam agama ini untuk mencapai Nirvana


berisi tentang laku atau dharma (Pali: dhamma). Khususnya mengenai apa yang harus
atau tidak boleh dilakukan oleh umat Buddha yang menginginkan kesempurnaan hidup.
Hal ini lebih ditekankan bagi seseorang yang ingin terbebas dari penderitaan dunia
diharuskan untuk menempuh jalan suci yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Tak beberapa lama setelah memperoleh pencerahan, Siddharta kemudian


meyebarkan apa yang telah diperolehnya. Seperti yang tertulis sebelumnya, ajaran
Buddha tertulis dalam tiga keranjang yang di dalamnya bukan berisi teori tentang
17
Ali, Filsafat Timur: Pengantar Hinduisme & Buddhisme., hlm. 144-145.

10
metafisika, melainkan tentang apa yang harus ditempuh melalui pengalaman secara
langsung yang dikatakan sebagai sebuah jalan menuju pencerahan. Dalam kitab-kitab
tersebut diantaranya berisi penjelasan mengenai “empat kebenaran mulia”, keempat
kesunyataan tersebut adalah18:

1) Dukkha (kesunyataan tentang penderitaan). Bahwa semua bentuk kehidupan


adalah sesuatu yang menyedihkan dan dikelilingi penderitaan, sebuah hal
yang tidak kekal dan hampa adanya.
2) Dukkha Samudya (kesunyataan tenyang penyebab penderitaan). Bahwa
semua penderitaan hidup berasal dari keinginan. Kesunyataan kedua ini juga
menyangkut tentang hukum karma, karena kehidupan sangat berkaitan
dengan hukum sebab-akibat.
3) Dukkha Nirodha (kesunyataan tentang hilanynya penderitaan). Tentang
lenyapnya rasa ke-aku-an yang menjadi sumber penderitaan. Ini bertujuan
untuk membebaskan semua makhluk dari rantai reinkarnasi.
4) Dukkha Nirodha Gamini Patipada (kesunyataan untuk melenyapkan
penderitaan). Berisi mengenai delapan resep untuk menuju pembebasan dari
penderitaan (8 jalan mulia), yaitu; Pengertian (pandangan) yang benar,
Pikiran yang benar, Bicara yang benar, Perbuatan yang benar, Penghidupan
(pekerjaan) yang benar, Usaha yang benar, Perhatian yang benar, dan
terakhir Konsentrasi yang benar.

Umat Buddha percaya bahwa jika beberapa hal mendasar tersebut tidak dijalani,
maka siapapun akan terus mengalami reinkarnasi dan hidup dalam penderitaan.

18
Ibid., hlm. 130-132.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Agama Buddha atau Buddhisme merupakan ajaran yang lahir di India yang
disandarkan pada ajaran Siddhartha Gautama. Ia lahir sekitar abad ke-6 SM (Sebelum
Masehi) tepatnya pada tahun 563 SM di sebuah kota kecil bernama Lumbini yang
berada di sekitar kaki pegunungan Himalaya (perbatasan India-Nepal). Memiliki nama
kecil Siddhartha, dan Gautama adalah nama keturunan. Ayahnya merupakan seorang
raja dari suku Sakya. Siddharta dikenal juga dengan julukan Sakyamuni (orang bijak
dari suku Sakya).

Ajaran-ajaran Sang Buddha secara sistematis ke dalam tiga kitab suci (Tri-
pitaka; tiga keranjang), yang ditulis dalam bahasa pali. Tiga keranjang tersebut terdiri
dari:

- Vinaya Pitaka (keranjang disiplin), yang berisi aturan-aturan dan kebiasaan Sang
Buddha.
- Sutta Pitaka (keranjang ajaran/dharma), yang berisi ceramah-ceramah dan
ungkapan Sang Buddha.
- Abidhamma Pitaka (keranjang dharma yang lebih tinggi), yang berisi
pembahasan tentang filsafat mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia.

Agama Buddha meyakini adanya Tuhan menyebabkan manusia memiliki


kemungkinan untuk selamat dari penderitaan, dan apabila Tuhan tidak ada maka tidak
akan mungkin manusia terbebas dari penderitaan. Sebab Buddha mengajarkan mengenai
tiga ciri utama kehidupan (ti-Lakkhana), yang mana tiga ciri kehidupan itu adalah;

1) Semua bentuk tidak kekal (Anicca)


2) Semua bentuk adalah Penderitaan (Dukkha)
3) Semua kondisi adalah Tanpa Aku dan Tidak Berinti (Anatta).

12
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Matius. Filsafat Timur: Pengantar Hinduisme & Buddhisme. Jakarta: Sanggar
Luxor, 2013.
I Komang Suastika Arimbawa, dan G. Arya Anggriawan. “Perkembangan Ajaran
Buddha Dalam Trilogi Pembebasan.” SANJIWANI: Jurnal Filsafat 11, no. 1
(2020): 24–40.
Khairiah. Agama Buddha. Yogyakarta: Kalimedia, 2018.
Sasanasena Seng Hansen. Tradisi Utama Buddhisme. Diedit oleh Willy Yandi Wijaya.
Yogyakarta: Vidyasena Production, 2008.

13

Anda mungkin juga menyukai