Dalam kitab suci Tripitaka diuraikan mengenai empat hari suci agama Buddha, yaitu :
Dari ke empat hari suci agama Buddha tersebut, hanya hari suci Waisak yang telah ditetapkan sebagai hari
libur nasional di negara Indonesia oleh Pemerintah dengan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3
tahun 1983. Hari suci Waisak mulai menjadi hari libur nasional sejak Waisak 2527 yang jatuh pada tanggal 27
Mei 1983.
Setelah lama berjuang dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri, dengan terakhir melaksanakan Vipassana
Bhavana atau Pengetahuan Pandangan Terang di bawah pohon Bodhi seorang diri, akhirnya Beliau berhasil
mencapai Dhamma yang maha luhur itu pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kemudian, beliau berkelana beratus-
ratus ribu kilometer untuk membabarkan Dhamma kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang kasta.
Beliau mengajarkan Dhamma kepada para dewa dan manusia. Beliau mengabdi demi kebahagiaan semua
makhluk dengan tanpa mengenal lelah selama empat puluh ;lima tahun. Selama itu pula, Beliau tidur hanya
satu jam sehari.
Sesungguhnya, Sang Buddha bukan sekadar Pengajar Dhamma, bukan sekadar pengajar agama, tetapi lebih
daripada itu. Sang Buddha tidak hanya mengajarkan jalan menuju kesejahteraan dan kebahagian, tetapi Beliau
juga selalu menunjukkan contoh teladan bagi semuanya. Sesungguhnya, Sang Buddha adalah Teladan Agung,
Panutan Agung, panutan sejati yang tidak mengharapkan penghargaan dari siapa pun. Ada satu ungkapan
yang sangant terkenal yang menggambarkan tentang Beliau, yaitu sebagai berikut :
Hari suci Waisak merupakan hari yang keramat bagi umat Buddha. Hari yang keramat ini pun mengajak umat
Buddha untuk menelaah kehidupan masing-masing, untuk senantiasa berpedoman kepada Buddha Dhamma.
Sang Buddha memang telah lama mangkat ( tahun 543 Sebelum Masehi ). Namun, hingga kini ajaran Sang
Buddha atau Buddha Dhamma tetap abadi. Buddha Dhamma yang dilaksanakan dengan baik akan mencegah
manusia dari kemerosotan nilai-nilai moral dan keterjerumusan dalam jurang kebobrokan. Buddha Dhamma
tetap merupakan pedoman hidup yang ampuh dalam perjuangan menghadapi dan mengatasi segala tantangan
kehidupan.
Tiap-tiap manusia berjuang untuk mencapai puncak tujuan. Dalam perjuangan itulah, manusia menghadapi
tantangan-tantangan, persoalan, dan kesulitan. Tantangan kehidupan ini seringkali menggoncangkan semangat
manusia. Namun, peristiwa Suci Waisak akan menumbuhkan semangat baru pada umat Buddha dalam
perjuangan menghadapi segala tantangan. Oleh sebab itu, janganlah berpaling dari Buddha Dhamma. Sebab,
bila umat Buddha telah berpaling dari Buddha Dhamma, maka semua ketegangan, konflik batin, frustasi,
malapetaka, dan kejahatan akan timbul.
Sesungguhnya, seribu satu macam penderitaan yang dialami oleh manusia itu merupakan akibat dari
perbuatan tidak baik yang telah diperbuatnya. Oleh karena itu, hindarilah kejahatan, kendalikanlah diri terhadap
pemuasan hawa nafsu. Pengendalian diri merupakan awal dari semua penghayatan Dhamma. Pengendalian
diri merupakan awal dari semua perjuangan umat Buddha, termasuk perjuangan untuk meraih kebahagiaan.
Kebahagiaan memang bukan merupakan sesuatu yang mudah diraih, tetapi bukan pula mimpi yang tidak nyata.
Kebahagiaan pasti menjadi nyata, kalau umat Buddha mau berjuang ditengah-tengah kehidupan ini.
Pada saat-saat yang keramat ini, sudah seharusnya umat Buddha berterima kasih kepada Guru Besar Buddha
Gotama. Sebab, dari Beliaulah, umat Buddha mengenal Dhamma yang menjadi bekal kehidupan ini.
Sesungguhnya, apa yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para pengikut-Nya bukanlah kepatuhan yang
berlebihan, melainkan pelasanaan Ajaran Beliau atau Buddha Dhamma itu dengan sungguh-sungguh. Sang
Buddha pernah mengatakan, “Ia yang terbaik dalam melaksanakan Ajaran Tathaghata, ialah yang paling
menghormati Tathaghata.”
Berbahagialah umat Buddha yang sampai saat ini masih dapat menemui Dhamma yang maha luhur itu.
Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha itu dapat diringkas menjadi tiga kalimat sederhana, tetapi
sungguh ampuh dan keramat, yaitu :
Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Sang Buddha membentuk Sangha Bhikkhu
yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi
lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Sang Buddha ).
Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan
pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta
Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Sang Buddha
sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa
Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha
berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal
Dhamma yang patut dihormati.
Khotbah pertama yang disampaikan oleh Sang Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama
Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut,
Sang Buddha mengajarkan mengenai Empat Kesunyataan Mulia ( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi
landasan pokok Buddha Dhamma.
Cattari Ariya Saccani atau Empat Kesunyataan Mulia itu terdiri atas :
Sang Buddha mengajarkan bahwa hidup dalam bentuk apapun adalah dukkha atau penderitaan. Umat Buddha
tidak boleh menutup mata pada kebenaran tentang adanya penderitaan yang mencengkeram kehidupan ini.
Umat Buddha harus menyadari dan mengakui kenyataan bahwa hidup ini adalah penderitaan. Umat Buddha
harus menghadapi penderitaan yang datang padanya dengan tabah.
Selanjutnya, umat Buddha harus berusaha mencabut akar penderitaan itu, agar tidak bertumimbal lahir terus
menerus. Sang Buddha mengajarkan bahwa akar atau sebab penderitaan itu adalah tanha atau nafsu-nafsu
keinginan rendah yang tidak ada habis-habisnya. Tanha terdiri atas tiga jenis, yaitu :
Sang Buddha mengajarkan bahwa ada satu jalan untuk membebaskan makhluk dari penderitaan, yaitu Ariya
Atthangika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan). Jalan yang Agung dan Keramat ini hanyalah satu, tetapi
terdiri atas delapan unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lainnya. Jalan Keramat ini dikenal
juga sebagai “ Jalan Tengah “ ( Majjhima Patipada ), karena “Jalan” ini mengindari dan berada di luar cara
hidup yang ekstrim, yaitu pemuasan nafsu yang berlebih-lebihan dan penyiksaan diri.
Ariya Atthangika Magga dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu : sila, samadhi, dan panna. Umat Buddha harus
mengembangkan latihan sila, samadhi, dan panna dalam kehidupan sehari-hari. Memang tidak mudah untuk
melakukan hal ini. Tetapi juga bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Sila berarti prilaku yang baik atau tingkah laku yang luhur. Sila meliputi tiga bagian dari Ariya Atthangika Magga,
yaitu : Samma Vaca, Samma Kammanta, dan Samma Ajiva.
Samadhi berarti konsentrasi, yaitu pemusatan pikiran pada satu objek yang baik. Samadhi meliputi tiga bagian
dari Ariya Atthangika Magga, yaitu Samma Vayama, Samma Sati, dan Samma Samadhi.
Panna berati kebijaksanaan luhur, yaitu mengetahui antara yang benar dan tidak benar, yang berguna dan tidak
berguna. Panna meliputi dua bagian dari Ariya Atthangika Magga, yaitu Samma Ditthi dan Samma Sankhappa.
Sang Buddha telah mewariskan Cattari Ariya Saccani untuk direalisasikan agar dapat melepaskan diri dari
siklus kelahiran yang berulang-ulang yang penuh dengan penderitaan ini. Ya….umat Buddha harus berjuang
dengan gigih dalam kehidupan sehari-hari, untuk memperkecil sebab-sebab penderitaan, untuk mencapai
kebahagiaan setahap demi setahap. Ingatlah, hanya dengan berjuang sungguh-sungguh dalam Dhamma dan
Vinaya, barulah orang dapat diri masing-masing.
Dalam Ratana Sutta bait kesembilan terdapat sabda Sang Buddha sebagai berikut:
Ini berarti bahwa mereka mencapai tingkat kesucian Sotapanna, yang akan lahir paling banyak tujuh kali lagi.
Kain Kathina ini biasanya dipersembahkan oleh umat Buddha kepada lima orang Bhikkhu atau lebih yang
bervassa bersama-sama di satu vihara. Jika jumlah bhikkhu yang ber-vasa di vihara itu kurang dari lima orang,
maka upacara pemberian Kain Kathina tidak bisa diadakan. Dengan demikian, yang dapat dipersembahkah
oleh umat Buddha pada hari suci Kathina itu adalah Dana Kathina (bukan Kain Kathina).
Dana Kathina dapat berupa jubah atau civara (bukan kain putih) dan barang-barang keperluan bhikkhu /
bhikkhuni sehari-hari, seperti handuk, sabun, odol, sikat gigi, piasu cukur, obat-obatan, makanan serta
perlengkapan vihara. Umat Buddha juga dapat memberikan dana berupa uang yang akan dipergunakan untuk
biaya perjalanan bhikkhu / bhikkhuni dan lain-lain dalam mengembangkan Buddha Dhamma. Berdana kepada
Sangha ibarat menanam benih di ladang yang subur.
Kathina Puja diselenggarakan selama satu bulan, mulai dari sehari sesudah para bhikkhu / bhikkhuni selesai
menjalankan masa vassa. Masa vassa adalah masa musim hujan di daerah kelahiran Sang Buddha. Lamanya
masa vassa adalah tiga bulan, yaitu sehari sesudah bulan purnama penuh dibulan Asadha (Juli) sampai
dengan sehari sebelum hari Kathina (Oktober). Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni harus berdiam di
suatu tempat (vihara) yang telah ditentukan.
Dalam buku “Ordination Procedure“ Somdet Phra Vajirananavarorasa mengatakan bahwa beberapa hari
sebelum memasuki masa vassa, para bhikkhu dianjurkan untuk membersihkan tempat tinggalnya (vihara). Para
bhikkhu yang akan tinggal menetap di satu vihara selama masa vassa harus berkumpul diruang Uposathagara
untuk membuat suatu pernyataan bahwa mereka berada dalam batas pekarangan vihara setiap malam selama
masa vasa. Adapun kalimat yang harus diucapkan adalah “Imasmim avase imam Temasam vassam upema,”
yang berati kita akan tinggal dalam perbatasan vihara ini selama tiga bulan masa musim hujan.
Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni tidak diperkenankan untuk berjalan-jalan keluar jauh dari vihara,
kecuali dengan alasan sangat penting dan mendesak. Seorang Bhikkhu hanya diperkenankan meninggalkan
vihara, tempat ia ber-vassa dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu tujuh malam harus sudah kembali
lagi. Masa vassa seorang bhikkhu dinyatakan sah apabila tidak melanggar batas waktu yang telah ditetapkan
itu.
Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni mempunyai tugas untuk membina diri dengan baik. Melalui
meditasi dan mempelajari Buddha Dhamma untuk diketahui dan dikhotbahkan kepada orang banyak di dalam
kehidupan masyarakat Buddhis. Denagn adanya masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni mempunyai
kesempatan yang lebih banyak untuk mengisi dirinya dengan Buddha Dhamma dan untuk meningkatkan
batinnya ke arah kesucian. Banyaknya masa vassa yang dijalankan oleh para bhikkhu / bhikkhuni ini
menentukan senioritas mereka. Para bhikkhu / bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa sebanyak
sepuluh kali sampai dengan sembilan belas kali akan mendapat gelar “Thera”. Para bhikkhu / bhikkhuni yang
telah menjalankan masa vassa sebanyak dua puluh kali atau lebih akan mendapat gelar “ Mahathera”.
Para bhikkhu / bhikkhuni hidup amat sederhana. Mereka hanya mempunyai empat kebutuhan pokok, yaitu :
Civara atau jubah ; cukup dengan satu model dan satu warna sederhana.
Pindapata atau makanan; cukup dua kali atau sekali sehari.
Senasana atau tempat tinggal; cukup satu ruangan sederhana, baik diikuti, di gubuk, di gedung, di gua-gua,
atau di tempat-tempat lain.
Gilanapaccayabhesajja atau obat-obatan.
Perjuangan seorang bhikkhu adalah perjuangan untuk menaklukkan dirinya sendiri. Dengan perjuangan batin
itulah, seorang bhikkhu sekaligus menjadi contoh moral bagi kehidupan umat awam. Karenanya, seorang
bhiikhu bukan semata-mata pengabdi sosial. Menjadi pengabdi sosial dapat dilaksanakan dengan tidak harus
menjadi bhikkhu. Seorang bhikkhu adalah pejuang batin dan contoh moral bagi masyarakat.
Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu telah mencapai tingkat kesucian yang tertinggi,
yaitu arahat. Mereka telah berhasil membasmi semua kilesa atau kekotoran batinnya sampai keakar-akarnya,
sehingga mereka dikatakan telah khinasava atau bersih dari kekotoran batin. Mereka tidak mungkin lagi berbuat
salah. Mereka telah sempurna.
Mereka memiliki abhinna atau kemampuan batin yang lengkap yang berjumlah enam jenis, yaitu :
Pubbenivasanussatinana, yang berarti kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang dahulu..
Dibbacakkhunana, yang berarti kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan kesanggupan melihat muncul
lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing (mata dewa).
Asavakkhayanana, yang berarti kemampuan untuk memusnahkan asava atau kekotoran batin.
Cetoporiyanana, yang berarti kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain..
Dibbasotanana, yang berarti kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam apaya, alam manusia, alam
dewa, dan alam brahma yang dekat maupun yang jauh.
Iddhividhanana, yang berarti kekuatan magis, yang terdiri dari :
Adhittana-iddhi, yang berarti kemampuan mengubah tubuh sendiri dari satu menjadi banyak dan dari banyak
menjadi satu.
Vikubbana-iddhi, yang berarti kemampuan untuk “menyalin rupa “, umpamanya menyalin rupa menjadi anak
kecil, raksasa membuat diri menjadi tidak tertampak.
Manomaya-iddhi, yang berarti kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, umpamanya menciptakan
harimau, pohon, dewi.
Nanavipphara-iddhi, yang berarti pengetahuan menembus ajaran.
Samadhivipphara-iddhi, yang berati kemampuan konsentrasi, seperti :
• Kemampuan menembus dinding, tanah, dan gunung.
• Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam kedalam air.
• Kemampuan berjalan diatas air.
• Kemampuan melawan air.
• Kemampuan terbang di angkasa.
Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu semuanya ditahbiskan oleh Sang Buddha dengan
cara “Ehi Bhikkhu Upasampada”. Pada saat pentahbiskan itu, Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai
berikut :
Pada kesempatan agung itu, Sang Buddha menerangkan prinsip-prinsip ajaran yang disebut Ovada
Patimokkha. Isi dari Ovada Patimokkha itu sama dengan syair yang tercantum dalam kitab suci Dhammapada
bab XIV ayat 183, 184, dan 185 yaitu sebagai berikut :