SEORANG ANAK
Oleh:
S. Dhammasiri
Buku ini pernah diterbitkan oleh:
Graha Metta Sejahtera pada tahun 2006
i
Buku ini dipersembahkan oleh anak-anak, menantu serta cucu sebagai
kado ulang tahun pernikahan yang ke-50 kepada
Ibu dan Ayah
Yang telah melahirkan,
Yang telah merawat dan membesarkan kami semua
Dengan penuh ketulusan dan kasih sayang
ii
Dafatar Isi
Kata Sambutan iv
Kata Pengantar vi
Pada Mulanya 1
Macam-Macam Anak 14
Anak-Anak Malang 42
Beda Agama? 59
Balas Jasa 72
iii
Kata Sambutan
iv
itu ada alasan, dekapan hangat kasih sayang orangtua pada anak-
anak merupakan wujud kasih sayang alamiah yang sulit digambarkan
sehingga sayang orangtua buat anak-anak membuat cemburu membara
dalam dada. Orangtua selalu dibayang-bayangi rasa takut, cemas,
cemburu, kuatir kehilangan anak-anaknya. Harapan orangtua selalu
tuntutan perintahnya harus ditiru dan dipatuhi oleh anak-anak. Mutlak!
v
Kata Pengantar
Buku ini saya tulis saat saya mampu menghayati kasih sayang
yang telah diberikan oleh kedua orangtua saya. Oleh karena itu, Anda
akan banyak menemukan pengalaman pribadi saya bersama kedua
orangtua saya dalam buku ini. Namun demikain, buku ini bukanlah
sebuah autobigrafi.
vi
kesibukan sebagai Sanghanayaka, beliau masih mau meluangkan
waktu untuk memberikan kata sambutan atas buku ini. Saya tidak lupa
mengucapkan anumodāna kepada Bu Lina Chandra dan Pak Simon
Liu yang selalu bersem-angat untuk menerbitkan buku-buku Dhamma.
Semoga kebajikan yang dilakukan akan membawa kebahagian bagi
semua makhluk.
18 Juli 2006
Colombo, Sri Lanka
S. Dhammasiri
vii
Pada Mulanya
A
nak adalah hasil hubungan antara suami dan istri.
Untuk ukuran masyarakat Indonesia, seseorang akan
dianggap sebagai anak yang syah bila pernikahan ibu
dan ayahnya syah baik ditinjau dari agama maupun
hukum pemerintah. Hal ini tentu agak berbeda dengan yang terjadi di
negara-negara lain yang menganut aliran liberalisme.
1
Pasangan-pasangan yang berambisi untuk memiliki anak namun
gagal untuk mendapatkan anak, dapat berakibat fatal. Kehidupan rumah
tangga yang pada awalnya mereka harapkan berjalan mulus penuh
kebahagiaan dapat berubah menjadi neraka. Hari-hari selanjutnya pun
berubah. Suami dan istri saling menyalahkan dan saling menuduh.
Suami menuduh istri bahwa sang istri tidak memenuhi syarat untuk
mengandung seorang anak. Sang istri pun tidak mau kalah. Ia menuduh
suaminya sebagai suami yang tidak bermutu dan segudang tuduhan
lainnya.
2
kain putih mulai dari depan pintu hingga ke dalam ruangan dengan
bertekad, “Bila Sang Buddha melangkahkan kaki pada kain ini, berarti
saya akan punya anak. Bila tidak, itu berarti saya tidak akan punya
anak.”
3
dewasa juga menjadi santapan yang menyenangkan. Begitu banyak
telur yang mereka makan, tak terhitung anak burung dan juga burung-
burung dewasa yang mereka bunuh. Mereka melakukan semua itu
tanpa perasaan bersalah maupun penyesalan.
4
Suatu hari, ketika seorang paccekabuddha sedang berpindapatta
ia minta istrinya untuk berdana makanan. Merasa ada perubahan,
sang istri berdana makanan dalam jumlah yang cukup banyak
kepada paccekabuddha tersebut. Ia mempersembahkan makanan
pilihan kepada paccekabuddha tersebut. Dalam perjalanan ke vihāra,
saudagar itu kembali bertemu dengan paccekabuddha tersebut.
Saudagar tersebut merasa menyesal mengapa ia minta istrinya untuk
berdana kepada paccekabuddha tersebut. Lebih baik makanan tersebut
diberikan kepada pembantunya yang pada akhirnya akan memberikan
pelayanan yang lebih baik kepadanya.
5
Sebagai umat Buddha yang menempatkan pentingnya arti hukum
sebab musabab yang saling bergantungan (paṭiccasamuppāda), tidak
perlu tergesa-gesa menuduh pasangan hidupnya sebagai kambing
hitam sehingga mereka tidak punya anak dalam kehidupan ini. Bisa
saja, keduanya di masa lampau telah melakukan suatu tindakan yang
merugikan makhluk lain. Bisa juga justru dirinya sendiri yang menjadi
penyebab sehingga mereka tidak punya anak. Dalam kasus yang
dialami Pangeran Bodhi, mereka bersama-sama melakukan perbuatan
jahat di salah satu kehidupannya di masa lalu. Sedangkan saudagar
itu, tidak mempunyai anak karena ulah perbuatan sang suami.
6
kehidupan rumah tangga tapi sangat sulit untuk mendapatkan jodoh.
Kita seharusnya sadar dan mau membuka mata bahwa orang-orang
yang kesulitan untuk mendapatkan jodoh hingga akhir hanyatnya
juga banyak. Lebih-lebih di zaman modern ini tidak terhitung berapa
jumlahnya orang yang kesulitan menjacari jodoh.
Hari itu juga, ketika ayahnya akan pulang dia minta pulang, tidak
bisa ditunda besok atau lusa. Ayahnya mengatakan bahwa ia hanya
punya satu tiket untuk pulang lebih baik ia tunggu sampai sepuluh
hari lagi. Ia tetap ingin pulang, dan ketika ayahnya mengatakan “Saya
tidak punya uang yang cukup untuk pulang,” ia justru mengatakan
“Kalau saya tidak diberi uang akan saya jual tas dan sepatu saya untuk
beli tiket.”
Ketika ibunya diberi tahu via telpon, sang ibu pun menjadi
sedih dan menceritakan masalah itu kepada anak perempuannya.
Mendengar cerita tersebut, apakah komentar anak perempuannya?
“Ma aku tidak akan menikah, takut kalau punya anak seperti adik.”
Begitulah komentar anak perempuannya. Sang ibu yang sedih karena
9
melihat tingkah laku anak laki-lakinya, tambah sedih mendengar
komentar anak perempuannya. Kondisinya benar-benar seperti luka
yang ditaburi garam.
10
tahu, hanya mendengar ceritanya saja.
11
saja dan ada pula yang berharap hanya memiliki anak perempuan.
Tentu setiap orang mempunyai alasan tersendiri sehingga mereka
mempunyai keinginan semacam itu.
12
permaisurinya melahirkan anak perempuan. Melihat kesedihan ini,
Sang Buddha mengatakan:
3 S. I, 86.
13
Macam-Macam Anak
S
uami istri memulai karier mendidik anak dengan berbagai
harapan dan keinginan. Banyak yang sesuai harapan tapi
tidak sedikit yang harapannya meleset. Dengan kata lain,
banyak suami istri hidup bahagia bersama anak-anaknya.
Namun, banyak pasangan yang meneteskan air mata siang dan malam
meratapi apa yang mereka alami.
14
tidak ada bedanya dengan cerita tersebut. Ketika saya ke Tulung
Agung, saya melihat seorang wanita yang sudah renta. Ia menelusuri
jalan yang berada di samping rel kereta api. Pendengarannya sudah
tidak normal. Kita harus berbicara lebih keras agar dia bisa mendengar
suara kita. Umat-umat yang ada di vihāra tersebut tidak merasa asing
dengan wanita tersebut karena mereka sering melihat wanita tersebut
melintas di depan vihāra.
15
misalnya, beberapa orang datang karena mereka ingin bermeditasi
demi membebaskan diri dari kecanduan sabu-sabu.
17
ke sungai dengan harapan agar kardus itu hanyut terbawa arus air.
Mungkin karena kammanya harus berbuah, kardus itu tetap di tempat
dan tidak terbawa arus.
Ada cerita lain lagi yang hampir tidak ada bedanya dengan cerita
di atas. Ada seorang janda yang suka “bermain-main” dengan lelaki
yang bukan suaminya. Hubungan itu akhirnya membuat janda tersebut
menjadi hamil. Setelah melahirkan, sang dukun bayi mengatakan
“Anakmu bagus, gagah, dirawat dengan baik ya!” Ketika dukun bayi
itu telah pergi, bayi itu langsung dicekik. Tidak lama kemudian janda
itu menjadi gila.
Salah satu cerita yang paling dikenal oleh umat Buddha tentang
dibunuhnya orangtua oleh anaknya sendiri adalah cerita tentang
Ajātasattu. Ia membunuh ayahnya sendiri, Raja Bimbisāra.
Dipicu oleh rasa cinta dan kasih sayang, sang permaisuri setiap
hari mengunjungi sang raja. Ia membawa makanan ketika sedang
mengunjungi sang raja. Ketika para pengawal mengetahuinya, mereka
melarang sang permaisuri untuk membawa makanan tersebut. Dengan
berbagai cara, sang permaisuri berusaha membawa makanan untuk
20
menyuplai sang raja. Tapi, para pengawal memeriksanya sebelum ia
memasuki penjara. Tidak ada jalan lain untuk menyuplai makanan
kepada Raja Bimbisāra. Salah satu cara yang ia temukan adalah ia
mandi dan memoles tubuhnya dengan catumadhura. Ketika mereka
mengetahui hal ini, sang permaisuri pun dilarang mengunjungi sang
raja.
22
Tidak ada catatan yang jelas bagaimana kondisi mental raja-raja
selanjutnya setelah Raja Ajātasattu. Yang dapat ditemukan secara
jelas adalah kondisi mental Raja Ajātasattu. Raja Ajātasattu sangat
menyesali perbuatannya. Rasa penyesalan itu telah menghalangi Raja
Ajātasattu untuk mencapai kesucian hingga akhir hidupnya.
23
Gambaran tentang anak-anak durhaka telah kita lihat, bagaimana
sepak terjang mereka sedikit banyak juga telah kita ketahui. Sekarang
marilah kita tengok barang sesaat anak-anak yang bermoral, taat
kepada orangtua dan mengerti bagaimana cara membalas jasa.
Anak yang baik adalah anak yang mengerti mana yang baik dan
mana yang buruk. Ia mengerti mana yang harus dikerjakan dan mana
yang harus dihindari, mana yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan
mana yang tidak, mana yang membawa penderitaan dan mana yang
menimbulkan kebahagiaan. Seorang anak akan dikatakan sebagai anak
yang tidak baik karena ia tidak dapat membedakan hal-hal semacam
ini. Sebagai akibatnya, ia menjadi sumber malapetaka bagi keluarga.
Ia tidak habis-habisnya menyiksa keluarga.
Berbeda dengan anak yang tidak baik, anak yang baik akan
membawa cahaya kedamaian dan ketenangan di dalam rumah. Ia
menjadi sumber kebahagiaan bagi kedua orangtuanya maupun bagi
anggota keluarganya. Baik di tengah-tengah masyarakat maupun di
dalam Tipitaka, kita dapat menjumpai hal ini.
24
Ia menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong,
minum minuman keras yang menjadi sumber lemahnya kesadaran. Ia
hanya makan satu kali setiap hari, ia tidak lagi menggunakan perhiasan
dan masih banyak lagi latihan moral yang ia jalankan.
25
bhikkhu menjawab “Saudari, kuṭhi Sang Buddha bocor.” “Ya ambil
saja bhante, ambil atap itu,” sahut orangtua Ghaṭīkāra.
26
Sāma Jātaka5 memberikan contoh yang sedikit berbeda. Dalam
Jātaka ini, dikisahkan ada seorang pedagang yang kaya raya. Ia juga
hanya mempunyai anak tunggal. Hanya saja, Jātaka tidak menyebutkan
nama pedagang itu maupun anaknya.
27
menjadi bhikkhu ia kemudian mendapatkan upasampada dan
mempelajari ajaran Sang Buddha. ia belajar dengan penuh penuh
ketekunan. Ia belajar Dhamma di bawah bimbingan gurunya
selama lima tahun. Setelah menjadi bhikkhu yang bebas nissaya,
ia meninggalkan gurunya dan pergi ke hutan untuk bermeditasi. Ia
berjuang dengan penuh ketekunan selama 12 tahun. Meski demikian,
ia tidak mendapatkan hasil apa pun.
28
Bhikkhu tersebut akhirnya berkata pada dirinya sendiri, “Dua
belas tahun aku berjuang dengan penuh keseriusan, tapi aku tidak
pernah menapakkan kaki pada sang jalan atau mendapatkan buah
dari kehidupan suci. Saya pasti bukanlah orang yang layak menjadi
bhikkhu. Apa gunanya kehidupan suci semacam ini? Lebih baik saya
lepas jubah, dan menjadi upāsaka. Dengan menjadi upāsaka, saya
bisa membantu dan merawat kedua orangtua saya. Dengan kebajikan
tersebut, saya pun bisa terlahir di alam surga kelak.”
29
saya; tapi Sang Buddha mengatakan bahwa seorang anak yang
menjadi bhikkhu juga dapat membantu orangtuanya. Oleh karena
itu, lebih baik saya membantu orangtua saya sementara saya masih
menjadi bhikkhu dan tanpa harus menjadi upāsaka.” Bhikkhu tersebut
akhirnya meninggalkan vihāra tanpa terlebih dahulu menemui Sang
Buddha.
32
Memang benar di pagi hari Sang Buddha melihat praktik yang
dilakukan oleh Sigalāka. Dengan pakaian dan rambut basah, ia
menyembah ke enam arah yaitu Timur, Selatan, Barat, Utara, Bawah
dan Atas. Sang Buddha memberikan interpretasi lain terhadap arah-
arah ini.
Ada suatu pertanyaan, “Apakah anak yang baik adalah anak yang
selalu menurut dan patuh kepada semua perintah orangtua?” Jawaban
atas pertanyaan ini cukup relatif. Kalau kita lihat kenyataan di tengah-
tengah masyarakat, sudah barang tentu tidak semua orangtua adalah
orangtua yang bijak. Tidak semua orangtua adalah orang yang bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Belum tentu
semua orangtua bisa membedakan mana yang akan membawa
kebahagiaan dan mana yang akan menimbulkan penderitaan.
33
Seorang anak bernama Rini menceritakan penderitaan hidupnya
kepada Sarinah dalam rubrik “Oh, Tuhan…..”8 Rini adalah anak
sulung dari tujuh bersaudara. Ibunya adalah istri kedua. Mereka hidup
di sebuah tempat di Sulawesi.
34
salahkah Abdullah yang kabur dari rumah?
35
pohonnya.
36
Sang raja terbangun karena mendengar suara berisik orang
berdebat. Sang raja kemudian membangunkan kusirnya dan
secepat kilat mereka melarikan diri karena menyadari ada bahaya
yang mengancam. Mereka akhirnya sampai di hutan di mana betet
yang baik tinggal. Melihat ada tamu yang datang, betet langsung
menemuinya dan mengucapkan selamat datang kepadanya dengan
penuh keramahan. Pupphaka langsung menawarkan apa saja yang ada
di hutan tersebut kepada raja. Ia minta kepada raja untuk mengambil
sendiri apa saja yang ia butuhkan karena Pupphaka tidak punya tangan
untuk mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan raja.
Pada suatu saat ada seorang wanita dari desa menjadi pembantu
37
di kota. Ia merawat anak majikannya seperti anaknya sendiri. Ia
merawat anak tersebut dengan penuh kasih sayang. Anak itu merasa
betah tinggal dengan pembantu ini. Setelah dirasa sudah cukup umur,
majikan tersebut tidak membutuhkan pembantu tersebut. Artinya, ia
boleh pulang. Ketika pembantu tersebut pulang, anak tersebut tidak
mau ikut orangtuanya sendiri dan sebaliknya menjadi sakit-sakitan.
Terpaksa pembantu itu diminta untuk merawat anak itu lagi.
39
ibunya apakah Raja Bimbisāra juga menyintainya. Sang permaisuri
menjelaskan bahwa Raja Bimbisāra sangat menyintainya. Langsung
saat itu pula, Pangeran Ajātasattu menuju penjara di mana ia
memenjarakan Raja Bimbisāra. Ia ingin membebaskan Raja Bimbisāra.
Namun, ketika Pangeran Ajātasattu sampai di penjara, Raja Bimbisāra
telah lebih dahulu meninggal. Semenjak saat itu, Pangeran Ajātasattu
menjadi sedih. Ia tidak dapat tidur sepanjang malam karena menyesali
perbuatannya.
41
Anak-Anak Malang
Salah seorang senior saya dan juga teman sekelas saya mengalami
nasib yang hampir tidak ada bedanya. Saya melihat mereka adalah
42
anak-anak yang kekurangan kasih sayang. Sebagai akibatnya, teman
sekelas saya sering tidur di rumah teman yang mau memberikan
perhatian dan kasih sayang. Sementara senior saya tetap tidur di rumah
karena orangtuanya menerapkan peraturan yang lebih ketat. Hanya
saja, ia mempunyai prilaku yang aneh atau lebih layak dikatakan tidak
normal.
Sang ayah tiri merasa bahwa Sopāka telah menjadi batu sandungan,
tapi ia tidak dapat berbuat banyak karena ibunya sangat mencintai
Sopāka. Suatu sore, ia berkata kepada Sopāka, “Anakku sayang yuk
43
kita jalan-jalan ke luar.” Sopāka merasa ada suatu perubahan yang
amat drastik dalam diri ayah tirinya. Ia berpikir bahwa ibunya telah
meminta ayahnya untuk berbaik hati kepadanya. Dengan perasaan
antusias, ia menuruti ayahnya.
44
ia menjadi sāmaṇera di bawah bimbingan Sang Buddha. Ia akhirnya
menjadi orang suci dan mencapai kebahagiaan sejati, Nibbāna.
45
karena mereka tidak pernah memiliki anak. Terlebih lagi ibunya telah
menikah hingga tiga kali dan ayahnya telah menikah lima kali. Selama
pernikahan itu, mereka tidak pernah mendapatkan keturunan. Oleh
sebab itu, kehadiran Fifi ibarat permata yang tak ternilai harganya.
46
Memang banyak alasan mengapa kehidupan rumah tangga
seseorang menjadi berantakan ibarat kapal pecah berkeping-keping.
Ada yang rumah tangganya hancur karena suami istri merasa sudah
tidak seideologi lagi. Ada yang broken-home karena anggapan bahwa
pasangannya sudah tidak sayang lagi dan masih ada setumpuk gunung
alasan mengapa rumah tangga bisa menjadi berantakan.
47
Bosan nonton film action, ia mulai mencoba untuk menyewa film-
film porno. Film-film porno membangkitkan gelora nafsu seksual A
yang kebetulan saat itu sedang tumbuh menjadi remaja.
48
mencurigai suaminya yang telah melakukan semua itu. Setelah sampai
waktunya, sang ibu minta pembantu tersebut pulang dan melahirkan
anaknya. Timbullah kebahagiaan dalam diri A. Tapi taklama kemudian
sang pembantu datang lagi.
Saya yakin masih ada banyak kasus yang dapat dijadikan contoh
tentang anak-anak yang malang karena kurang mendapatkan perhatian
dan kasih sayang dari orangtuanya. Semoga saja Anda sebagai
pembaca buku ini adalah orang-orang yang beruntung karena kuyup
kasih sayang dari orangtua. Semoga Anda selalu berbahagia karena
mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari ibu dan
ayah Anda. Tapi kalau kenyataan harus terjadi sebaliknya, bersabarlah
dan ambillah sisi positifnya.
49
Berdasarkan riset, orang-orang yang kekurangan kasih sayang akan
berusaha mencari kasih sayang dan perhatian dari luar. Mereka akan
merasa bahagia, tenang, tentram dan damai ketika ada orang yang
mau memperhatikan dan memberikan kasih sayang kepada mereka.
Lihatlah beberapa contoh yang telah saya paparkan di atas.
Bila tiga syarat ini tidak terpenuhi, adalah hal yang muskil akan
terjadi kelahiran terkecuali dalam kasus-kasus yang sangat spesial.
12 Yato ca kho, bhikkhave, mātāpitaro ca sannipatitā honti, mātā ca utunī hoti, gandhabbo
ca paccupaṭṭhita hoti –evaṁ tiṇṇaṁ sannipātā gabbhassāvakkhanti hoti: M. I, 266.
50
Oleh karena itu, bagaimana pun kondisi kedua orangtua kita, kita mau
tidak mau harus berterima kasih atas jasa yang telah diberikan, mau
menjadi fasilitator bagi kita untuk terlahir sebagai manusia.
Kalau memang benar bahwa kita bisa menjadi anak dari kedua
orangtua kita karena kita suka kepadanya saat kita masih menjadi
gandhabba, apakah merupakan kesalahan kedua orangtua kita bila
51
mereka tidak dapat memberikan kasih sayang sepenuhnya? Tentu
kesalahan tidak dapat kita limpahkan kepada kedua orangtua kita
sepenuhnya. Karena kita telah memutuskan untuk bertumimbal
lahir di keluarga tersebut, kita juga turut bertanggung atas semua
yang terjadi dan yang akan terjadi. Mengapa kita memilih mereka
menjadi orangtua kita? Mengapa kita tidak memilih orang lain yang
mempunyai kelebihan dalam kasih sayang? Itulah pertanyaan yang
harus kita pertanyakan kepada diri kita kalau memang teori yang
dikemukakan oleh Francis Story adalah benar.
52
Kasih Sayang atau Kemelakatan?
S
etiap anak yang lahir di bumi ini membutuhkan kasih
sayang dan perhatian dari orangtuanya. Tanpa kasih
sayang dan perhatian dari kedua orangtua kehidupan
seorang anak akan terasa ganjil. Ada sesuatu yang kurang
bila kasih sayang dan perhatian dari kedua oarangtua tidak hadir.
Kasih sayang dan perhatian yang diberikan orangtua kepada anak,
di satu sisi akan membuat anak tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang normal. Di sisi lain, bila tanpa dilandasi kebijaksanaan,
kasih sayang akan berubah menjadi kemelekatan dan akan cukup sulit
membedakan antara kemelekatan dan kasih sayang.
53
notabenenya adalah Professor Abhidhamma dan mempunyai
kemampuan menghipnotis seseorang untuk berbagai tujuan termasuk
untuk mengetahui kelahiran kembali, orang-orang yang ada dalam
keluarga kita pada umumnya adalah saudara-saudara kita juga dalam
kehidupan masa lalu. Saudara-saudara kita bisa berkumpul kembali
dalam kehidupan sekarang ini karena adanya kekuatan kemelekatan.
Tepat satu tahun saya berada di Sri Lanka dan beberapa hari
menjelang bencana tsunami yang menggemparkan dunia itu, saya
sedang ulangan akhir tahun. Saat itu, benar-benar celaka. Saya kangen
banget dengan mama. Saya merasa belum mau berpisah dengan
mama, saya ingin mama selalu berada di samping saya dan selalu
menemani saya. Makan tidak enak, tidur sulit, belajar pun sulit untuk
berkonsentrasi. Yang ada dalam pikiran hanya mama, mama dan
mama, kangen, kangen dan kangen………... Perasaan semacam itu
saya rasakan hingga lebih dari dua minggu.
56
tanyakan apakah mama sedang sakit atau terlalu banyak memikirkan
saya karena biasanya kalau saya lagi kangen mama sedang sakit atau
terlalu memikirkan saya. Tepat tanggal 10 Maret 2005 saat saya baru
pulang dari forest meditation center, saya dapatkan jawaban dari
kakak. Kakak mengatakan:
58
Beda Agama?
K
etika akan berangkat ke Sri Lanka, saya menyempatkan
diri untuk mengunjungi toko komputer bersama Jimmy—
putra Upāsika Liem Ie Tjen atau biasa dipanggil Mami
oleh beberapa orang—guna membeli komputer dan
barang-barang yang saya butuhkan selama belajar di Sri Lanka. Sambil
menunggu para teknisi toko tersebut merakit komputer, saya sempat
ngobrol ke sana ke mari—terutama soal agama—dengan customer
service. Dona, itulah namanya. Seingat saya ia berasal dari Sumatra.
59
anut adalah agama yang terbaik. Agama yang dia anaut adalah agama
yang mampu memberikan kebahagiaan dan keselamatan baik dalam
kehidupan sekarang ini maupun dalam kehidupan yang akan datang.
60
Kedua orangtua saya, terutama ayah, mengharapkan semua
anak-anaknya kumpul menjadi satu sebab ia masih memegang
prinsip lama—makan tidak makan yang penting kumpul. Sebagai
anak, saya lebih mengikuti tren generasi zaman modern ini—kumpul
tidak kumpul yang penting bahagia. Saya merelakan berpisah dengan
keluarga saya, saya merelakan kehilangan kasih sayang secara dini
dari kedua orangtua saya demi tercapainya kebahagiaan yang tertinggi
melalui jalur kehidupan spiritual.
62
menghasilkan buah yang lebih sempurna pula.
66
Setelah menyadari manfaat kehidupan selibat, ia akhirnya menjadi
petapa bersama sahabat akrabnya Kolita yang belakangan kita kenal
sebagai Y.M. Moggallāna. Mereka belajar kepada Sañjaya tapi hal itu
tidak membuahkan hasil pada apa yang mereka harapkan. Mereka
mengharapkan perealisasian kebahagiaan tertinggi.
Memang sulit dipercaya bahwa ibu dari tujuh Arahat dan ibu dari
67
seorang Dhammasenapati tetap bertahan menjadi pengikut agama
lain, tapi itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi. Ibu Y.M. Sāriputta
justru merasa tidak senang melihat putra-putrinya menjadi bhikkhu
dan bhikkhunī. Ia mengharapkan mereka menjalani kehidupan rumah
tangga dan meneruskan generasi keluarga.
Bila kita kalkulasi, berarti lebih dari empat puluh tahun menjadi
Arahat dan sebagai Dhammasenapati, Y.M. Sāriputta tidak membuat
ibunya menjadi pengikut Sang Buddha. Apakah beliau berusaha untuk
membuat ibunya menjadi penganut agama Buddha atau tidak selama
itu tidak ada bukti yang jelas. Bukti yang kita miliki hanya ibunya
menangis meraung-raung tatkala mengetahui Y.M. Sāriputta mangkat,
dan mempertanyakan mengapa ia tidak mengajarkan Dhamma yang
telah dianutnya semenjak dulu. Mungkin saja—tapi tidak pasti—
68
karena jiwa toleransi dan rasa hormat sehingga beliau membiarkan
begitu saja ibunya menganut agama lain.
Artinya:
Dalam nasehat ini ada sepuluh hal yang seharusnya tidak kita
terima begitu saja keberadaannya. Lalu apakah yang harus kita lakukan
bila di lingkungan sekitar kita, kita menemukan hal-hal semacam itu?
69
Sang Buddha mengajarkan kita untuk menyelidiki kebenaran hal
tersebut atau di dalam terminologi Buddhis disebut sebagai ehipassiko.
70
Pada abad ketiga Sebelum Masehi, Asoka melalui prasasti
menulis sebuah pesan yang amat berguna bagi sebuah masyarakat
yang anggotanya menganut agama yang berbeda-beda. Pesan tersebut
adalah sebagai berikut:
71
Balas Jasa
T
ak perlu diragukan lagi orangtua kita amat berjasa kepada
kita dan jasa tersebut sulit untuk diukur dengan ukuran
apapun yang ada. Coba bayangkan, ibu mengandung
kita selama sembilan bulan. Saat mengandung, sang ibu
berusaha semaksimal mungkin menjaga kita yang masih berada
dalam kandungan. Di saat-saat tertentu, ibu pergi ke dokter untuk
memeriksakan kesehatan kita yang masih terbaring tak berdaya di
dalam rahim. Sementara sang ayah berusaha membantu ibu dalam
menjaga sang bayi.
Setelah tiba saatnya dengan rasa sakit yang tak terbayangkan, ibu
melahirkan kita. Lebih dari semua itu, ibu pun harus mempertaruhkan
nyawa demi melahirkan kita. Dalam beberapa kasus, banyak ibu yang
tidak sempat melihat anak-anaknya karena mereka meninggal saat
melahirkan.
72
Ada sebuah cerita, entah cerita ini benar atau tidak saya tidak
mengerti secara pasti tapi yang jelas cerita ini akan memberikan
manfaat bagi kita paling tidak untuk membuka mata betapa
pentingnya arti pendidikan dari orangtua. Sepasang suami dan istri
yang miskin melahirkan seorang anak. Karena mereka merasa tidak
mampu menghidupi anak itu, anak tersebut dibuang. Anak malang
tersebut ternyata masih sedikit beruntung karena seekor harimau
mengambilnya dan merawatnya.
73
Selain mereka telah memberikan hal-hal yang sangat fundamental,
ada lima jasa atau juga sering disebut sebagai kewajiban yang telah
dilakukan oleh orangtua kepada anak. Lima hal tersebut adalah:
1. Merawatnya,
2. Melakukan tugas-tugas atas nama mereka,
3. Menjaga tradisi keluarga,
4. Menjaga warisan dengan baik,
5. Melakukan kebajikan atas nama mereka (patidāna).
Dari narasi yang ada dalam Vasalasutta, kita bisa melihat bahwa
orang-orang yang memiliki materi yang cukup tapi tidak merawat
75
orangtuanya martabatnya disetarakan dengan para pembunuh,
pembohong, pencuri, orang yang suka melakukan perbuatan asusila,
dan orang-orang yang bermartabat rendah.
Dewasa ini ada tren yang tidak pernah kita temukan dalam
tradisi kuno. Apakah tren itu? Karena alasan kesibukan, banyak
orangtua yang menitipkan anaknya di tempat penitipan anak atau
menyerahkan pendidikan anak kepada para pembantu. Demikian pula
sebaliknya, sekarang ini banyak anak yang menitipkan orangtuanya
yang sudah tua di tempat penitipan orang tua. Mereka lebih senang
menghabiskan uang di tangan orang lain demi merawat orangtuanya
dari pada menghabiskan uang di tangan sendiri demi tujuan yang sama.
Mungkin ini boleh dikatakan sebagai kamma. Karena banyak orangtua
yang menginginkan jalan praktis dalam merawat anak, demikian pula
banyak anak yang tidak mau kalah dalam mencari jalan pintas untuk
merawat orangtuanya yang sudah tua.
78
tua tapi dititipkan di tempat penitipan orangtua.
79
Sebagai umat Buddha kita biasa melakukan patidāna atau kirim
doa dalam terminologi umum kepada leluhur kita. Dalam banyak kasus,
patidāna telah menjadi tradisi. Apakah pesan moral yang terkandung
dalam patidāna? Pesan moral yang terkandung dalam patidāna adalah
agar kita tidak melupakan leluhur kita dan kita tahu berterima kasih
kepada mereka.
Ketika saya masih kecil, kadang kala saya tidak mau menghabiskan
nasi yang ada di piring meskipun nasi itu tinggal sedikit. Nenek atau
ibu sering mengatakan, “Habiskan nasinya nanti ayamnya mati kalau
tidak kamu habiskan nasinya.” Mendengar nasehat semacam ini anak-
anak di zaman dulu takut dan dengan segera menghabiskan nasinya.
Tapi apakah jawaban anak-anak zaman sekarang? “Mati ya biar saja,
kan bisa makan daging ayam kalau ayamnya mati.” Jawaban semacam
ini adalah jawaban generasi yang tidak lagi memiliki belas kasihan
kepada makhluk lain.
82
Di kala kedua orangtua kita masih hidup, kita melakukan berbagai
tugas dan kewajiban kita kepada mereka karena mereka telah berjasa
kepada kita. Tapi cukupkah tindakan-tindakan tersebut kita gunakan
untuk membalas jasa kedua orangtua kita? Ternyata apa yang kita
lakukan belum cukup.
83
Tindakan yang akan mampu membuat anak membalas jasa
kebajikan orangtuanya adalah membuat orangtuanya yang tidak
memiliki keyakinan (assaddhā), menjadi orang yang kokoh dalam
keyakinan (saddhāsampadā), membuat orangtuanya yang tidak
bermoral (dussīla) menjadi orang yang bermoral (sīlasampadā),
membuat orangtuanya yang kirir (macchara) menjadi dermawan
(cāgasampadā), membuat orangtuanya yang tidak bijaksana
(duppaññā) menjadi orang yang bijaksana (paññāsampadā).
85
Untuk Ibu dan Ayahku
86
Ibu dan ayah…
Terima kasih atas kasih sayang dan pengorbananmu
Smoga Engkau selalu berbahagia
Smoga Engkau selalu berada di jalan yang benar
Smoga Sang Tiratana selalu melindungi dan
membimbingmu
87
Gatha Saat Bersujud Pada Ibu dan Ayah
D
i Sri Lanka ada sebuah tradisi yang cukup baik yang
dilakukan oleh anak kepada kedua orangtuanya. Tradisi
tersebut adalah bernamaskara kepada orangtua. Pada
umumnya, anak-anak Sri Lanka bernamaskara kepada
kedua orangtuanya dua kali, yaitu pada pagi hari sebelum mereka
berangkat ke sekolah dan pada malam hari sebelum mereka tidur.
Artinya:
Vuddhikāro alingitvā
cumbitvāpiyaputtakaṃ,
rājamajjhaṃ supatitthaṃ
pitupadaṃ namāmahaṃ
Artinya:
89