Anda di halaman 1dari 97

BAKTI

SEORANG ANAK

Oleh:
S. Dhammasiri
Buku ini pernah diterbitkan oleh:
Graha Metta Sejahtera pada tahun 2006

i
Buku ini dipersembahkan oleh anak-anak, menantu serta cucu sebagai
kado ulang tahun pernikahan yang ke-50 kepada
Ibu dan Ayah
Yang telah melahirkan,
Yang telah merawat dan membesarkan kami semua
Dengan penuh ketulusan dan kasih sayang

ii
Dafatar Isi

Kata Sambutan iv

Kata Pengantar vi

Pada Mulanya 1

Macam-Macam Anak 14

Anak-Anak Malang 42

Kasih Sayang atau Kemelakatan? 53

Beda Agama? 59

Balas Jasa 72

Untuk Ibu dan Ayahku 86

Gatha Saat Bersujud Pada Ibu dan Ayah 88

iii
Kata Sambutan

Sidang Pembaca Yang Budiwan, Budiwati

Dalam stamina normal kecuali abnormal, orangtua pasti memiliki


kasih sayang kepada anak-anaknya. Apapun yang diberikan kepada
anak-anak selalu dipilih yang terbaik. Sejahat-jahatnya orangtua tidak
ingin anaknya menjadi jahat. Sebodoh-bodohnya orangtua tidak ingin
anaknya menjadi bodoh, terbelakang pada zamannya. Orangtua, setiap
hari berdoa serba semoga teriring segala puji kepada yang maha kuasa
untuk anak-anaknya dengan idaman agar kelak anak-anak selalu serba
unggul pada zamannya. Kalau pun misalnya “karsa kuasa karma”
berkehendak anak menjadi jahat, tetap orangtua berpengharapan
semogalah semoga anaknya menjadi penjahat ulung kaliber dunia:
Penjahat yang tidak pernah tertangkap polisi!

Sungguh, indah kasih sayang orangtua kepada anak-anak. Di Jawa


ada pepatah: “Anak karo telak abot anak (anak dengan tenggorokan
berat anak).” Artinya, “walaupun orangtua sedikit kurang makan asal
anak-anak nyaman.” Dalam dialek Manado, “Urus anak dulu jo, baru
torang isi gergantang” Arti dekatnya, “Setelah anak-anak selesai,
baru orangtua makan.” Penyair Cina kuno berkata: “Jangan dibanting
keras-keras pintu itu, kamu masih lalu lalang di situ.” Artinya: “Jangan
dikutuk anak-anak, itu masih darah dagingmu.”

Dari syair-syair para penyair popular itu, semua menyiratkan


betapa besar kasih sayang orangtua kepada anak-anaknya. Mengingat
anak-anak adalah: buah hati, belahan jantung, perajut cerita penerus
sejarah, bagian dari darah-daging dan pernah hidup senyawa dengan
orangtua, terutama ibu selama sembilan bulan lima belas hari. Untuk

iv
itu ada alasan, dekapan hangat kasih sayang orangtua pada anak-
anak merupakan wujud kasih sayang alamiah yang sulit digambarkan
sehingga sayang orangtua buat anak-anak membuat cemburu membara
dalam dada. Orangtua selalu dibayang-bayangi rasa takut, cemas,
cemburu, kuatir kehilangan anak-anaknya. Harapan orangtua selalu
tuntutan perintahnya harus ditiru dan dipatuhi oleh anak-anak. Mutlak!

Hanya saja, kalau orangtua terlalu sayang dan sangat memanjakan


anak, akibatnya anak menjadi tercekik sangat tersiksa dan tidak bisa
berkembang mandiri secara alamiah jiwanya. Otak beku. Dampak
dari perlakuan orangtua yang terlalu mengekang, mengungkung,
mengurung dan semacamnya kelak dalam jiwa anak tertanam dua sifat
ekstrim: terlalu egois agresif manja, dan atau menjadi kurang hormat
kepada sesama terutama terhadap orangtua, karena anak dibuatnya
merasa hidup tinggal di alam surga, atau sebaliknya anak menjadi
bersifat minder, pasif, apatis, akibat siksa neraka.

Kami menyambut baik gagasan Samanera Dhammasiri menulis


buku BAKTI SEORANG ANAK. Hendaknya menjadi perhatian bagi
orangtua dan anak-anak serta mampu membaca buku yang satu ini,
untuk mendapatkan suasana hati harmoni dalam hidup bersama.

Demikian sambutan kami. Terima kasih.


Pondok Labu, 1 Juni 2006
Bhikkhu Dhammasubho Thera

v
Kata Pengantar

Kehidupan seorang manusia dimulai dari kehidupan sebagai


anak. Tidak ada orang yang lahir di bumi ini yang langsung menjadi
orangtua. Selama menjadi anak, kita mendapatkan berbagai perlakuan
dan kasih sayang dari orangtua kita. Tapi ada juga anak-anak yang tidak
sempat melihat kedua orangtuanya karena berbagai alasan. Ada yang
tidak sempat melihat kedua orangtua-nya karena ayahnya meninggal
saat ia masih berada di kandungan, dan ibunya meninggal saat ia
dilahirkan. Setelah kita dilahirkan, kedua orangtua kita membesar-kan
dan merawat kita dengan penuh ketulusan. Mereka mengorbankan
segalanya demi kebahagian kita.

Saya termasuk sebagai anak yang beruntung karena saya masih


bisa melihat kedua orangtua saya hingga buku ini saya tulis. Saya juga
mampu merasakan betapa luhurnya dan betapa besarnya jasa kedua
orangtua saya. Mereka sendiri yang merawat dan membesarkan saya.
Sebagaimana yang saya ketahui, Mama dan ayah sering melupakan
kebahagiaannya sendiri demi kebaha-gian anak-anaknya. Terinspirasi
oleh keluhuran dan kebesaran jasa kebajikan yang telah mereka
lakukan, saya menulis buku ini.

Buku ini saya tulis saat saya mampu menghayati kasih sayang
yang telah diberikan oleh kedua orangtua saya. Oleh karena itu, Anda
akan banyak menemukan pengalaman pribadi saya bersama kedua
orangtua saya dalam buku ini. Namun demikain, buku ini bukanlah
sebuah autobigrafi.

Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan ucapan terima


kasih yang tulus kepada Bhante Dhammasubho. Di tengah-tengah

vi
kesibukan sebagai Sanghanayaka, beliau masih mau meluangkan
waktu untuk memberikan kata sambutan atas buku ini. Saya tidak lupa
mengucapkan anumodāna kepada Bu Lina Chandra dan Pak Simon
Liu yang selalu bersem-angat untuk menerbitkan buku-buku Dhamma.
Semoga kebajikan yang dilakukan akan membawa kebahagian bagi
semua makhluk.

Semoga buku ini mampu memberikan sumbangsih bagi


peningkatan nilai-nilai moral anak kepada kedua orangtuanya dan
pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat
sehingga tercipta kedamaian di muka bumi ini.

18 Juli 2006
Colombo, Sri Lanka
S. Dhammasiri

vii
Pada Mulanya

A
nak adalah hasil hubungan antara suami dan istri.
Untuk ukuran masyarakat Indonesia, seseorang akan
dianggap sebagai anak yang syah bila pernikahan ibu
dan ayahnya syah baik ditinjau dari agama maupun
hukum pemerintah. Hal ini tentu agak berbeda dengan yang terjadi di
negara-negara lain yang menganut aliran liberalisme.

Di negara-negara yang menganut aliran liberalisme, seorang anak


tetap akan dianggap syah sebagai anak meskipun ibu dan ayahnya
tidak diikat oleh tali perkawinan.

Di tengah-tengah masyarakat tentu kita menemukan banyak


pasangan yang menjadikan anak sebagai tolak ukur kebahagiaan.
Mereka akan merasa bahagia kalau mereka punya anak. Sebaliknya,
mereka akan kesepian bila tidak mempunyai anak. Oleh karena itu,
banyak pasangan yang berusaha sekuat tenaga agar mereka bisa punya
anak.

Bagi pasangan-pasangan yang sulit mendapatkan anak kemudian


mereka sukses untuk mendapatkan anak, tentu mereka akan merasakan
kebahagian yang luar biasa. Mereka akan merawat dan membesarkan
anak tersebut dengan segenap pengorbanan. Apa pun kemauan anak
dituruti, katanya demi menjaga kebahagiaan anak. Memang banyak
yang kemudian sukses, tapi kita hendaknya mau membuka mata untuk
melihat kenyataan bahwa banyak orangtua yang salah didik sehingga
anak menjadi bumerang. Anak-anak yang mereka harapkan sebagai
ladang kebahagiaan justru menjadi duri dalam daging.

1
Pasangan-pasangan yang berambisi untuk memiliki anak namun
gagal untuk mendapatkan anak, dapat berakibat fatal. Kehidupan rumah
tangga yang pada awalnya mereka harapkan berjalan mulus penuh
kebahagiaan dapat berubah menjadi neraka. Hari-hari selanjutnya pun
berubah. Suami dan istri saling menyalahkan dan saling menuduh.
Suami menuduh istri bahwa sang istri tidak memenuhi syarat untuk
mengandung seorang anak. Sang istri pun tidak mau kalah. Ia menuduh
suaminya sebagai suami yang tidak bermutu dan segudang tuduhan
lainnya.

Jika kondisi sudah parah seperti itu—suami istri saling menuduh


dan menyalahkan—kondisi rumah tangga pun dapat berubah menjadai
lebih runyam. Keduanya dapat menempuh black-street untuk
membuktikan bahwa mereka adalah yang lebih unggul, merekalah
yang mampu memproduksi anak. Sang suami akan berselingkuh
dengan wanita lain dan sang istri akan berselingkuh dengan pria lain.
Bila mereka masih tetap tidak sadar bahwa setiap makhluk memiliki
kammanya sendiri, akhirnya kandaslah bahtera rumah tangga.

Tidak memiliki anak bukan hanya permasalahan di zaman


modern ini. Sepanjang zaman—di masa lampau, sekarang dan yang
akan datang—hal itu tetap akan terjadi.

Ada sebuah kisah menarik tentang pasangan yang tidak memiliki


anak di zaman Sang Buddha. Menurut Bohirājakumāra Sutta dari
Majjhima Nikāya dan juga Dhammapada Aṭṭhakatha, Pangeran Bodhi
tidak punya anak selama ia menjalani kehidupan rumah tangga.

Setelah selesai membangun istana, ia mengundang Sang


Buddha bersama para bhikkhu untuk menerima dana makanan. Demi
mewujudkan impian untuk memiliki anak, sang pangeran menggelar

2
kain putih mulai dari depan pintu hingga ke dalam ruangan dengan
bertekad, “Bila Sang Buddha melangkahkan kaki pada kain ini, berarti
saya akan punya anak. Bila tidak, itu berarti saya tidak akan punya
anak.”

Sang Buddha yang mampu memahami dan membaca pikiran


orang lain, mengerti bahwa Pangeran Bodhi mempunyai tekad untuk
memiliki anak dengan menggelar kain putih tersebut. Sang Buddha
yang juga memiliki kemampuan untuk melihat kehidupan masa
lampau seseorang, tidak melangkahkan kaki pada kain putih tersebut.
Meskipun Pangeran Bodhi meminta-Nya hingga tiga kali untuk masuk,
Sang Buddha tetap berdiri di depan pintu tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Bhante Ānanda mengerti mengapa Sang Buddha tidak mau
masuk. Beliau pun meminta Pangeran Bodhi untuk memindahkan
kain putih tersebut.

Setelah selesai makan, Pangeran Bodhi bertanya kepada Sang


Buddha mengapa Beliau tidak mau melangkahkan kaki pada kain putih
tersebut. Sang Buddha balik bertanya kepada pangeran Bodhi tentang
keinginannya. Pangeran Bodhi menjelaskan apa yang sesungguhnya
menjadi kehendaknya: Memiliki anak. Sang Buddha pun menceritakan
kehidupan masa lampau Pangeran Bodhi bersama istrinya.

Menurut Sang Buddha, dalam salah satu kehidupan lampaunya,


Pangeran Bodhi dan istri berlayar bersama dengan serombongan
orang. Dalam pelayaran tersebut, kapal mereka hancur dihantam badai.
Mereka adalah satu-satunya pasangan yang selamat dan terdampar di
sebuah pantai. Mereka kemudian hidup di pantai tersebut.

Di pantai tersebut, mereka dapat bertahan hidup karena setiap


hari mereka makan telur burung. Anak burung serta burung-burung

3
dewasa juga menjadi santapan yang menyenangkan. Begitu banyak
telur yang mereka makan, tak terhitung anak burung dan juga burung-
burung dewasa yang mereka bunuh. Mereka melakukan semua itu
tanpa perasaan bersalah maupun penyesalan.

Sebagai akibat dari perbuatan tersebut dalam kehidupan sekarang


ini, Pangeran Bodhi bersama istri tidak memiliki anak. Seandainya
saja pada saat mereka menghancurkan dan membunuh burung-burung
tersebut mereka memiliki rasa bersalah atau penyesalan, mereka akan
memiliki satu atau dua orang anak.

Kitab komentar juga memberikan contoh lain tentang orang yang


tidak punya anak. Di Sāvatthi ada seorang kaya yang tidak punya anak.
Walaupun ia kaya, hidup bergelimang materi, ia tetap hidup dalam
kesederhanaan. Ia puas dengan mengenakan pakaian yang jelek. Lebih
dari itu, ia adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberikan apapun
yang ia miliki kepada orang lain. Jangankan untuk kebutuhan orang
lain, menggunakan kekayaan tersebut untuk kesejahteraannya sendiri
ia pun tidak mau.

Pada akhirnya orang itu meninggal tanpa ada yang menjadi


pewaris harta kekayaannya. Raja Pasenasi sebagai penguasa negara
mengambil alih kekayaan tesebut. Setelah itu, ia menghadap Sang
Buddha dan mohon penjelasan mengapa orang tersebut harus
mengalami kenyataan yang demikian.

Sang Buddha menceritakan, dalam kehidupan lampau orang


tersebut juga menjadi orang kaya. Dalam kehidupan tersebut, ia
berkepribadian yang tidak ada bedanya dengan kepribadiannya dalam
kehidupan sekarang. Dalam kehidupannya yang lampau, ia juga
saudagar yang pelit, enggan berdana kepada orang lain.

4
Suatu hari, ketika seorang paccekabuddha sedang berpindapatta
ia minta istrinya untuk berdana makanan. Merasa ada perubahan,
sang istri berdana makanan dalam jumlah yang cukup banyak
kepada paccekabuddha tersebut. Ia mempersembahkan makanan
pilihan kepada paccekabuddha tersebut. Dalam perjalanan ke vihāra,
saudagar itu kembali bertemu dengan paccekabuddha tersebut.
Saudagar tersebut merasa menyesal mengapa ia minta istrinya untuk
berdana kepada paccekabuddha tersebut. Lebih baik makanan tersebut
diberikan kepada pembantunya yang pada akhirnya akan memberikan
pelayanan yang lebih baik kepadanya.

Saudagar itu juga mempunyai saudara yang juga orang kaya.


Berharap menjadi pewaris kekayaan saudaranya, ia membunuh
keponakannya sendiri. Setelah saudaranya meninggal, ialah yang
berhak mewarisi kekayaan saudaranya.

Karena telah berdana makanan kepada paccekabuddha, ia menjadi


orang kaya dalam kehidupan sekarang ini. Karena rasa penyesalannya
telah berdana makanan kepada paccekabuddha, ia menjadi enggan
untuk menggunakan kekayaannya demi kesejahteraannya sendiri.
Karena telah membunuh keponakannya, ia telah terlahir di neraka dan
dalam kehidupan sekarang ini tidak punya anak.1

Demikianlah dua alasan mengapa dalam kehidupan sekarang


ini, ada pasangan yang tidak memiliki anak. Baik kasus yang dialami
Pangeran Bodhi maupun yang dialami oleh saudagar kaya itu,
mereka tidak memiliki anak karena mereka harus menuai akibat dari
perbuatannya di masa lampau. Bisa jadi pasangan-pasangan yang tidak
memiliki anak karena perbuatannya di masa lalu sedang berbuah.

1 Dhammapada Aṭṭhakata IV, 76

5
Sebagai umat Buddha yang menempatkan pentingnya arti hukum
sebab musabab yang saling bergantungan (paṭiccasamuppāda), tidak
perlu tergesa-gesa menuduh pasangan hidupnya sebagai kambing
hitam sehingga mereka tidak punya anak dalam kehidupan ini. Bisa
saja, keduanya di masa lampau telah melakukan suatu tindakan yang
merugikan makhluk lain. Bisa juga justru dirinya sendiri yang menjadi
penyebab sehingga mereka tidak punya anak. Dalam kasus yang
dialami Pangeran Bodhi, mereka bersama-sama melakukan perbuatan
jahat di salah satu kehidupannya di masa lalu. Sedangkan saudagar
itu, tidak mempunyai anak karena ulah perbuatan sang suami.

Selain karena akibat dari kamma, kondisi di masa sekarang juga


cukup menentukan mengapa para perumah tangga tidak punya anak.
Sebagaimana disebutkan dalam Saṁyutta Nikāya, lendir (semha) atau
hormon (pitta), udara, cuaca yang tidak menentu juga dapat menjadi
sebab mengapa seseorang hidup dalam ketidaknormalan.2

Berteori memang lebih gampang daripada mempraktikkannya.


Demikian pula, berteori tidak punya anak karena banyak alasan juga
hal yang mudah dilakukan. Akan tetapi, untuk benar-benar mampu
menghadapi kenyataan semacam itu bukanlah urusan yang mudah
seperti halnya membalikkan telapak tangan. Lihat saja orang yang
pandai, cerdas dan mempunyai banyak pengalaman tapi selalu
bertengkar dengan pasangan hidupnya setiap hari gara-gara tidak
punya anak.

Sebenarnya, kalau kita mau jujur, dapat menjalani hidup bersama


dengan pasangan yang diharapkan adalah hal yang patut disyukuri
meskipun tidak punya anak. Cobalah bayangkan betapa sengsaranya
mereka yang bermimpi siang dan malam untuk bisa menjalani
2 Saṁyutta Nikāya IV, 230

6
kehidupan rumah tangga tapi sangat sulit untuk mendapatkan jodoh.
Kita seharusnya sadar dan mau membuka mata bahwa orang-orang
yang kesulitan untuk mendapatkan jodoh hingga akhir hanyatnya
juga banyak. Lebih-lebih di zaman modern ini tidak terhitung berapa
jumlahnya orang yang kesulitan menjacari jodoh.

Bethoven adalah seorang komposer yang terkenal di dunia.


Pengagumnya tidak hanya dari kelas bawah tapi juga berasal dari kaum
ningrat. Putri-putri keraton banyak yang terpaut atas kehebatannya.
Bahkan beberapa di antaranya sempat berpacaran dengan Bethoven.
Tapi bagaimanakah nasib sang komposer? Bethoven ternyata sulit
mendapatkan pasangan hidup dan hidup melajang hingga akhit
hanyatnya.

Adalah lebih baik hidup bersama pasangan yang tidak


memberikan keturunan namun hidup bahagia daripada hidup bersama
dengan pasangan yang dapat memberikan banyak anak tapi selalu
berselingkuh dengan pasangan lain. Adalah lebih membahagiakan
hidup berkeluarga tanpa anak dari pada hidup bersama dengan anak-
anak yang menjadi sumber penderitaan siang dan malam. Menghadapi
kenyataan masa sekarang adalah jauh lebih penting dan berarti daripada
menghayalkan indahnya dunia yang akan datang atau menyesali masa
lalu nan kelabu.

Di samping banyak pasangan yang merasa kurang beruntung


karena tidak punya anak, banyak pula pasangan yang mudah memiliki
anak tapi mereka masih tidak bisa menerima keberadaan anak tersebut
sepenuhnya. Masih saja mereka merasakan ada sesuatu yang kurang
walaupun mereka hidup dikelilingi oleh anak-anak yang berbhakti
dan menyenangkan. Ambillah contoh pasangan yang semua anaknya
perempuan. Pasangan ini mengharapkan untuk memiliki anak laki-
7
laki. Demikian juga, pasangan yang semua anaknya laki-laki berharap
mempunyai anak perempuan.

Entahlah, saya sendiri juga sulit memahami mengapa ada


pasangan yang hanya memiliki anak perempuan dan ada pula
pasangan yang hanya memiliki anak laki-laki. Sebut saja pasangan A,
punya anak 4. Semuanya wanita. Mereka sangat mengharapkan anak
laki-laki. Mereka kemudian memutuskan untuk mempunyai anak lagi
dengan harapan anak yang kelima ini laki-laki. Betapa bahagianya
mereka ketika anak yang kelima itu ternyata benar-benar laki-laki. Tapi
mereka benar-benar sedih luar biasa, karena satu minggu kemudian
anak itu meninggal.

Ada lagi sebuah pasangan yang memiliki seorang anak


perempuan. Mereka mempunyai keinginan untuk memiliki anak laki-
laki. Ketika mengandung untuk yang kedua kalinya, setelah dicek
janin yang ada dalam kandungan adalah laki-laki. Tapi tidak berselang
lama kemudian wanita itu mengalami keguguran karena jatuh dari
tangga. Setelah mengandung untuk yang ketiga kalinya, wanita
tersebut sangat berhati-hati. Ia tidak banyak bergerak bahkan turun ke
lantai bawah pun ia tidak mau. Semua ia lakukan di lantai atas. Setelah
bayi itu dilahirkan, kondisinya sangat lemah karena kekurangan darah
putih. Saya pun tidak tahu bagaimana kondisinya sekarang sebab
sudah setahun ini saya tidak punya kontak dengan keluarga tersebut.

Karena percaya pada tradisi bahwa anak laki-laki lebih


membawa keberuntungan, seorang istri sangat berharap anaknya yang
ketiga adalah laki-laki karena dua anak yang telah ia lahirkan adalah
perempuan. Sang suami menceritakan kepada kami bahwa mereka
melakukan berbagai usaha. Hanya saja, ia tidak menceritakan cara
yang ia tempuh agar anaknya yang ketiga adalah laki-laki.
8
Usaha mereka berhasil. Anak yang dilahirkan ternyata laki-laki.
Sang istri sangat bahagia. Ia membesarkan anak tersebut dengan
penuh kasih sayang. Semua permintaan ia turuti. Tetapi, apa yang
terjadi setelah anak itu besar? Ternyata kondisi berubah. Anak yang
dulu membawa kebahagiaan siang dan malam, kini menjadi sumber
mala petaka. Meskipun telah diberi uang cukup, anak itu masih merasa
kurang, ia sering membobol brankas uang milik orangtuanya sendiri
serta mengambil seluruh isinya.

Pada saat saya ada di Malang, ayahnya dengan penuh antusias


mengantarkannya ke vihāra karena ia ingin melewati masa liburan
dengan bermeditasi. Namun setelah sampai di vihāra, ia menjadi
ketakutan, tidak berani tidur di kuti karena di kutinya ada tokek. Anak
ini percaya pada mitos bahwa tokek tidak akan melepaskan gigitannya
sebelum ada petir menyambar. Kalau sampai digigit tentu harus tunggu
tiga atau empat bulan untuk bisa melepaskan gigitan tokek itu karena
saat itu adalah bulan Juni yang berarti memasuki musim panas.

Hari itu juga, ketika ayahnya akan pulang dia minta pulang, tidak
bisa ditunda besok atau lusa. Ayahnya mengatakan bahwa ia hanya
punya satu tiket untuk pulang lebih baik ia tunggu sampai sepuluh
hari lagi. Ia tetap ingin pulang, dan ketika ayahnya mengatakan “Saya
tidak punya uang yang cukup untuk pulang,” ia justru mengatakan
“Kalau saya tidak diberi uang akan saya jual tas dan sepatu saya untuk
beli tiket.”

Ketika ibunya diberi tahu via telpon, sang ibu pun menjadi
sedih dan menceritakan masalah itu kepada anak perempuannya.
Mendengar cerita tersebut, apakah komentar anak perempuannya?
“Ma aku tidak akan menikah, takut kalau punya anak seperti adik.”
Begitulah komentar anak perempuannya. Sang ibu yang sedih karena
9
melihat tingkah laku anak laki-lakinya, tambah sedih mendengar
komentar anak perempuannya. Kondisinya benar-benar seperti luka
yang ditaburi garam.

Ada lagi sepasang suami istri yang memiliki anak laki-laki.


Mereka sangat mengharapkan anak perempuan. Tapi hingga anak
yang keempat dilahirkan, semuanya laki-laki. Akhirnya mereka
memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi karena mereka percaya
tradisi bahwa kalau mereka mempunyai anak hingga lima dan
semuanya laki-laki, itu berarti Pandawa Lima. Menurut tradisi orang
Jawa, kalau mereka mempunyai anak Pendawa Lima, mereka harus
melakukan ritual demi kebahagiaan anak-anaknya

Itulah beberapa cerita tentang berbagai harapan para perumah


tangga dalam memiliki anak. Tentu masih banyak cerita yang lainnya
tentang harapan para perumah tangga dalam memiliki anak. Semua
itu dapat dianggap sebagai keunikan dan kewajaran dalam kehidupan
rumah tangga. Sepanjang seseorang belum bebas dari keserahan
(lobha), kebencian (dosa), dan kobodohan batin (moha), sepanjang itu
pula ia akan dipenuhi oleh berbagai keinginan.

Sebagai anak, saya juga menangkap adanya suatu keunikkan


dalam keluarga saya. Ibu dan ayah juga tidak ada bedanya dengan
jutaan pasangan yang ada di dunia ini. Mereka juga mempunyai
keinginan dan harapan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang telah
saya uraikan di atas.

Keluarga saya adalah keluarga besar. Karena kedua orangtua


kami enggan ikut program KB, ibu melahirkan sembilan orang anak.
Hanya saja dua di antaranya meninggal ketika mereka masih kecil
sehingga sekarang kami adalah tujuh bersaudara. Saya sendiri tidak

10
tahu, hanya mendengar ceritanya saja.

Ibu adalah orang yang pendiam namun penuh kasih sayang. Ia


hanya bicara bila perlu. Berbeda dengan ayah yang suka bicara. Dari
ayahlah, kami tahu banyak soal kehidupan rumah tangga ibu dan ayah
kami. Menurut ayah, semua anak yang dilahirkan—kecuali adik yang
merupakan anak terakhir—adalah karena keinginan.

Ayah tidak hanya punya keinginan untuk memiliki anak laki-


laki atau perempuan, hari kelahirannya pun ditentukan. Misalnya
saja, ayah punya keinginan, “Saya ingin punya anak laki-laki yang
lahir pada hari Kamis Legi.” Dan ternyata, anak yang keempat adalah
laki-laki. Kemudian lagi, ayah punya keinginan untuk memiliki anak
perempuan yang lahir pada hari Kamis Legi, dalam kenyataan anak
yang selanjutnya adalah perempuan yang lahir sesuai dengan hari yang
diharapkan. Setelah kakak lahir, ayah masih mempunyai keinginan
“Saya ingin punya anak laki-laki yang lahir pada hari Sabtu Pahing.”
Tepat pada hari Sabtu Pahing lahirlah saya. Itulah yang saya ingat,
empat yang lainnya saya tidak ingat secara pasti.

Begitulah keunikkan yang dimiliki oleh ayah. Karena


keinginannya, sekarang anak-anak yang hidup adalah laki-laki,
perempuan, laki-laki, laki-laki, perempuan, laki-laki, perempuan.
Entah kekuatan apa yang dimiliki oleh ayah sehingga semua
harapannya dalam memiliki anak dapat tercapai. Padahal, ayah tidak
minta pada Mbah Dukun, pohon, gunung atau tempat-tempat keramat.
Ia hanya memiliki keinginan dan keinginan itu tercapai. Mungkinkah
ini yang dikatakan sebagai kekuatan adiṭṭhana? Bisa jadi karena setahu
saya setiap ayah punya keinginan, keinginan itu lebih mudah tercapai.

Banyak orang yang berharap hanya mempunyai anak laki-laki

11
saja dan ada pula yang berharap hanya memiliki anak perempuan.
Tentu setiap orang mempunyai alasan tersendiri sehingga mereka
mempunyai keinginan semacam itu.

Banyak juga pasangan yang karena dipengaruhi oleh budaya


dan tradisi merasa bahwa memiliki anak laki-laki lebih membawa
keberuntungan bila dibandingkan dengan memiliki anak perempuan.
Pandangan semacam ini dapat berakibat fatal karena kalau semua
pasangan berharap mempunyai anak laki-laki dunia ini akan dipenuhi
oleh laki-laki dan akhirnya, manusia pun akan punah, lenyap dari
bumi ini karena tidak ada wanita. Kita bisa mengambil contoh kasus
yang terjadi di China.

Setelah pemerintah membatasi jumlah anak yang dapat dimiliki


oleh setiap pasangan hanya satu anak, banyak pasangan yang mengaborsi
kandungannya bila diketahui janin yang ada dalam kandungan tersebut
adalah wanita. Kadang juga mereka memberikannya kepada orang
lain bila anak yang lahir adalah perempuan. Berdasarkan berita yang
pernah saya baca, sekarang ini banyak pria yang kesulitan mencari
jodoh.

Dalam pandangan agama Buddha, mempunyai anak perempuan


atau laki-laki tidaklah ada bedanya. Semuanya dapat membuat
orangtuanya menjadi bahagia bila mereka memiliki moral yang baik.
Demikian juga—seperti nanti kita saksikan—banyak anak yang
menjadi duri dalam daging bagi keluarga, bahkan lebih dari itu dapat
membunuh orangtuanya sendiri.

Harapan untuk memiliki anak laki-laki, bukanlah sekedar tren


di zaman modern ini. Di zaman kuno hal ini pun terjadi. Kita bisa
mengambil Raja Pasenasi sebagai contohnya. Ia menjadi sedih karena

12
permaisurinya melahirkan anak perempuan. Melihat kesedihan ini,
Sang Buddha mengatakan:

“Seorang wanita, o baginda raja


Dapat menjadi lebih baik daripada pria
Ia dapat menjadi orang bijak dan bermoral
Menjadi istri yang setia, patuh pada mertua

Anak yang ia lahirkan


Dapat menjadi pahlawan, o baginda raja
Anak dari wanita mulia tersebut
Dapat menjadi penguasa dunia.”3

Demikianlah komentar Sang Buddha terhadap kelahiran seorang


wanita. Dalam kenyataan sehari-hari, memang banyak wanita yang
mampu mengukir prestasi yang gilang gemilang, mengangkat
derajat dan martabat tidak hanya orangtuanya tapi juga bangsanya.
Orangtua manakah yang tidak bangga kalau saja anak-anaknya seperti
Bhikkhunī Dhammadinā, Visākhā, Ratu Sima, Ratu Smaratungga dan
yang lainnya? Kalau ada orangtua yang merasa sedih atau tidak bangga
melihat anak wanitanya berprestasi seperti itu, sungguh dia adalah
orangtua yang tidak pernah mengerti dan menghargai arti prestasi.

3 S. I, 86.

13
Macam-Macam Anak

S
uami istri memulai karier mendidik anak dengan berbagai
harapan dan keinginan. Banyak yang sesuai harapan tapi
tidak sedikit yang harapannya meleset. Dengan kata lain,
banyak suami istri hidup bahagia bersama anak-anaknya.
Namun, banyak pasangan yang meneteskan air mata siang dan malam
meratapi apa yang mereka alami.

Banyak pasangan merasa bahagia karena mereka memiliki anak-


anak yang baik dan sesuai dengan harapannya. Sementara banyak
pasangan yang menjadi sedih, meratap setiap saat karena anak-
anak yang mereka miliki tidak bermoral, menimbulkan penderitaan
bagi orangtuanya dan lingkungan sekitarnya. Dari sinilah kita bisa
mengetahui bahwa ada dua jenis anak di dunia ini, yaitu anak yang
baik dan anak yang tidak baik.

Baiklah marilah kita mulai pembahasan ini dengan membahas


anak durhaka dan kita lihat bagaimana sepak terjangnya dan setelah
itu kita lanjutkan dengan membahas anak yang berbudi luhur.

Malin Kundang adalah salah satu cerita yang paling terkenal


tentang anak durhaka. Tentu Anda masih ingat bukan? Mudah-
mudahan saja Anda masih ingat dengan jelas cerita itu karena saya
sendiri hanya ingat cerita itu sepenggal. Saya hanya ingat akhir
cerita itu. Di akhir cerita tersebut, setelah Malin Kundang menjadi
kaya, ia tidak mau mengakui ibunya yang miskin. Akhirnya, ibunya
menyumpahinya dan Malin Kundang menjadi batu.

Di zaman modern ini saya masih menemukan cerita yang hampir

14
tidak ada bedanya dengan cerita tersebut. Ketika saya ke Tulung
Agung, saya melihat seorang wanita yang sudah renta. Ia menelusuri
jalan yang berada di samping rel kereta api. Pendengarannya sudah
tidak normal. Kita harus berbicara lebih keras agar dia bisa mendengar
suara kita. Umat-umat yang ada di vihāra tersebut tidak merasa asing
dengan wanita tersebut karena mereka sering melihat wanita tersebut
melintas di depan vihāra.

Ia sering melintas di hadapan vihāra karena ia sering mengunjungi


rumah orang yang ia anggap sebagai anak kandungnya. Rumahnya
tidak jauh dari vihāra tersebut. Anak itu ternyata tidak ada bedanya
dengan Malin Kundang. Ia tidak mau mengakui wanita tersebut
sebagai ibu kandungnya.

Wanita itu benar-benar malang. Tidak ada orang yang


mengurusnya, pakaiannya tampak lusuh dan seingat saya, umat-umat
mengatakan ia tidur di terminal. Kadang karena rasa kasihan, ketika
wanita itu melintas di depan vihāra, umat-umat memberikan makanan
yang ada.

Di zaman modern ini, di mana tuntutan sangat banyak, banyak


anak yang lupa daratan. Artinya, ia hanya mementingkan diri
sendiri dan melupakan kesejahteraan orangtuanya serta lingkungan
sekitarnya. Karena banyak alasan, banyak anak yang kemudian
terjerumus ke dalam lembah hitam, menjadi pengkonsumsi sabu-sabu.
Ada yang menjadi pengkonsumsi sabu-sabu karena putus cinta, ada
yang mengkonsumsi sabu-sabu karena ingin berprestasi, dan banyak
alasan lainnya.

Saya sempat beberapa kali bertemu secara langsung orang-


orang yang sedang kecanduan sabu-sabu. Ketika masih ada di Malang

15
misalnya, beberapa orang datang karena mereka ingin bermeditasi
demi membebaskan diri dari kecanduan sabu-sabu.

Seorang mahasiswa putus kuliah gara-gara ia kecanduan sabu-


sabu. Orangtuanya telah berusaha mengobatkannya ke sana ke mari
demi kesembuhan anaknya. Orangtuanya menghabiskan uang yang
cukup banyak bahkan hingga menjual salah satu rumahnya. Tetapi,
usahanya tidak membuahkan hasil. Dari orang-orang yang kecanduan
sabu-sabu yang pernah saya temui, ini adalah yang terparah. Setiap
hari ia hanya duduk di depan kuti sambil tertawa terbahak-bahak dan
kadang menangis. Saya rasa sulit baginya untuk sembuh karena dia
tidak mempunyai kesungguhan untuk membebaskan diri dari sabu-
sabu.

Ada lagi seorang remaja berusia 21 tahun. Ia sudah kecanduan


sabu-sabu selama 7 tahun. Ini berarti ia mengonsumsi sabu-sabu sejak
berusia 14 tahun. Ia mengonsumsi sabu-sabu karena ingin berprestasi.
Menurut ayahnya, ia adalah seorang pembalap. Oleh karena itu,
untuk membangkitkan rasa berani ia mengonsumsi sabu-sabu.
Hasilnya memang benar bahwa ia berprestasi tapi tidak sampai juara
satu. Orangtuanya juga telah berusaha untuk mengobatkan anaknya
tapi hasilnya tetap nihil. Kemungkinan untuk bebas dari narkoba
cukup besar karena setelah satu minggu dalam meditasi tampak ada
perubahan. Akan tetapi, saya tidak tahu kelanjutannya karena saat itu
saya harus pindah ke vihara yang lain.

Itulah dua kasus anak-anak yang kecanduan sabu-sabu yang


sempat membuat orangtuanya menderita. Kedua orangtua anak-
anak tersebut minta bantuan agar anaknya dapat bebas dari narkoba.
Khusus untuk anak yang kedua ayahnya menangis di hadapan Bhante
Khantidharo. Ia menyesali mengapa hal itu bisa terjadi.
16
Anak-anak semacam itu—ketika mereka masih kecil—
dibesarkan dengan penuh kasih sayang dengan harapan akan
membawa kebahagiaan di masa yang akan datang. Kenyataannya
justru sebaliknya. Mereka justru menjadi beban bagi keluarga, bahkan
menghancurkan keluarga. Betapa tidak? Mereka telah memporak-
porandakan perekonomian keluarga, menghabiskan harta benda
orangtuanya.

Dua cerita yang saya kutip di atas tidaklah sampai menghebohkan


banyak orang. Ada cerita lain yang terjadi di Kalimantan yang sempat
menggemparkan bahkan beritanya terdengar hingga ke pulau Jawa.

Ada seorang guru agama yang cukup terkenal di suatu desa.


Ia mempunyai beberapa anak laki-laki. Ketika salah satu anak laki-
lakinya lulus SMP, anak itu melanjutkan ke SMU. Kebetulan di desa
itu tidak ada SMU sehingga ia harus dikirim ke tempat lain untuk bisa
melanjutkan studi. Ia pun harus tinggal di rumah kos karena antara
desanya dengan sekolahan cukup jauh.

Kebetulan, salah satu bibinya juga sedang duduk di bangku SMU.


Untuk meringankan biaya, mereka tinggal dalam satu kos. Apakah
yang terjadi selanjutnya? Karena mereka tinggal satu rumah dan
tidak ada yang lain, anak itu memaksa bibinya untuk melayani nafsu
seksualnya. Kalau tidak mau, ia akan dibunuh. Setelah melakukan
beberapa kali, bibinya pun menjadi hamil. Aneh juga, tidak ada orang
yang mengetahuinya meskipun bibinya setiap hari selalu masuk
sekolah.

Setelah tiba saatnya, bibinya melahirkan. Begitu mengetahui


bibinya melahirkan, anak itu langsung membunuh anak itu. Ia kemudian
menaruh mayat bayi tersebut dalam kardus dan membuangnya

17
ke sungai dengan harapan agar kardus itu hanyut terbawa arus air.
Mungkin karena kammanya harus berbuah, kardus itu tetap di tempat
dan tidak terbawa arus.

Setelah beberapa hari, orang-orang yang ada di sekitar sungai


mengambil kardus itu karena kardus itu tampak mencurigakan.
Gegerlah semuanya orang karena kardus itu berisi mayat. Selang
beberapa saat, anak itu ditangkap dan dipenjara hingga 4 tahun karena
alasan pengancaman, pemerkosaan dan pembunuhan.

Orangtuanya yang statusnya adalah guru agama dan juga sering


menjadi penceramah, menjadi malu luar biasa. Hampir selama satu
tahun ia tidak mau berceramah dan setiap ditawari untuk bercemarah
ia selalu mengatakan, “Tidaklah, saya masih pusing.”

Begitulah kalau seseorang sedang dibutakan oleh nafsu seksual


dan batinnya ditutupi oleh kebodohan. Ia melupakan segalanya,
kehormatan dan nama baik orangtuanya sendiri. Yang terpenting
baginya adalah terpuaskan nafsu seksualnya. Pada puncaknya, ia tega
membunuh anaknya sendiri.

Ada cerita lain lagi yang hampir tidak ada bedanya dengan cerita
di atas. Ada seorang janda yang suka “bermain-main” dengan lelaki
yang bukan suaminya. Hubungan itu akhirnya membuat janda tersebut
menjadi hamil. Setelah melahirkan, sang dukun bayi mengatakan
“Anakmu bagus, gagah, dirawat dengan baik ya!” Ketika dukun bayi
itu telah pergi, bayi itu langsung dicekik. Tidak lama kemudian janda
itu menjadi gila.

Pepatah memang mengatakan “Tidak ada harimau yang makan


anaknya.” Tetapi, ketika nafsu seksual, kebencian dan kebodohan
sedang menjadi raja, menguasai seluruh kehidupan kita, pepatah itu
18
pun sekedar slogan belaka, tanpa arti. Yang ada dalam pikirannya,
hanyalah “Anak ini adalah hasil hubungan gelap. Kalau dia hidup,
hanya akan membuat saya menjadi malu. Oleh karena itu, dia harus
dienyahkan.”

Lebih dari sekedar menghancurkan keluarga baik dari segi meteri


maupun non-materi, ada anak-anak yang tidak tanggung-tanggung
membunuh orangtuanya sendiri. Kadang kala masalah sangat sepele,
tidak dibelikan sepeda motor, tidak diberi uang, keinginannya untuk
menikah tidak dituruti, ingin mendapatkan kekuasaan dan sebagainya.

Salah satu cerita yang paling dikenal oleh umat Buddha tentang
dibunuhnya orangtua oleh anaknya sendiri adalah cerita tentang
Ajātasattu. Ia membunuh ayahnya sendiri, Raja Bimbisāra.

Pada saat sang permaisuri sedang hamil, beberapa paranormal


mengatakan bahwa kelak anak yang dilahirkan oleh sang permaisuri
akan membunuh Raja Bimbisāra. Oleh karena itu, sang permaisuri
berkeinginan untuk mengaborsi janin yang ada dalam rahimnya.
Mendengar ramalan paranormal tersebut, Raja Bimbisāra tidak
berkomentar apa-apa dan hanya bersikap dingin atas ramalan tersebut.

Ketika bayi itu telah dilahirkan, ia diberi nama Ajātasattu.


Artinya, musuh yang belum lahir. Semenjak kecil, Ajātasattu hidup
kuyup dengan kasih sayang karena ayahnya sangat menyayanginya
walaupun paranormal telah meramalkan kelak ia akan membunuh
sang raja.

Ajātasattu tumbuh dan berkembang menjadi putra bangsawan


nan penuh wawasan. Y.M. Devadatta melihat hal ini dengan jelas. Ia
kemudian mampu membuat Ajātasattu menjadi salah satu pengikut
setianya. Y.M. Devadatta dapat membuat Ajātasattu menjadi pengikut
19
setianya karena Y.M. Devadatta mempertontonkan kemampuan
supranaturalnya di hadapan Ajātasattu.

Setiap hari Ajātasattu berdana makanan kepada Y.M. Devadatta.


Ia membawa makanan tersebut ke tempat di mana Y.M. devadatta
tinggal. Pangeran Ajātasattu juga membangun sebuah vihāra untuk
Y.M. Devadatta dan para bhikkhu yang tergabung dalam kelompoknya.

Setelah mengetahui bahwa Ajātasattu menjadi pengikut yang


setia, Y.M. Devadatta meminta Pangeran Ajātasattu untuk merebut
kekuasaan dari ayahnya. Pangeran Ajātasattu pun menyusun strategi
untuk melakukan hal itu. Raja Bimbisāra mencium gelagat Pangeran
Ajātasattu dan mengirimkan utusan untuk menanyakan apa yang dia
inginkan. Ajātasattu mengatakan ia mengharapkan kekuasaan. Raja
Bimbisāra yang statusnya adalah seorang Sotāpanna, dengan mudah
menyerahkan kekuasannya kepada putranya, Pageran Ajātasattu.

Mengetahui hal itu, Y.M. Devadatta justru masih tidak bisa


menerima kenyataan tersebut. Ia memerintahkan Pangeran Ajātasattu
untuk membunuh ayahnya sebab ia menyadari betul bahwa Raja
Bimbisāra adalah penyokong utama Sang Buddha. Tetapi, berdasarkan
catatan-catatan yang ada, tidak ada senjata yang mampu dipergunakan
untuk membunuh Raja Bimbisāra. Pageran Ajātasattu kemudian
memenjarakan ayahnya di tāpanageha—secara harfiah berarti rumah
panas.

Dipicu oleh rasa cinta dan kasih sayang, sang permaisuri setiap
hari mengunjungi sang raja. Ia membawa makanan ketika sedang
mengunjungi sang raja. Ketika para pengawal mengetahuinya, mereka
melarang sang permaisuri untuk membawa makanan tersebut. Dengan
berbagai cara, sang permaisuri berusaha membawa makanan untuk

20
menyuplai sang raja. Tapi, para pengawal memeriksanya sebelum ia
memasuki penjara. Tidak ada jalan lain untuk menyuplai makanan
kepada Raja Bimbisāra. Salah satu cara yang ia temukan adalah ia
mandi dan memoles tubuhnya dengan catumadhura. Ketika mereka
mengetahui hal ini, sang permaisuri pun dilarang mengunjungi sang
raja.

Walaupun tidak disuplai makanan, Raja Bimbisāra tetap dapat


bertahan hidup karena ia selalu bermeditasi khususnya bermeditasi
jalan setiap saat. Meditasi jalan itulah yang menciptakan suatu
kekuatan dalam tubuh sang raja. Mengetahui bahwa sang raja mampu
bertahan hidup karena selalu mempraktikkan meditasi jalan, Pangeran
Ajātasattu memerintahkan prajuritnya untuk menghancurkan telapak
kaki Raja Bimbisāra dan menaburi luka tersebut dengan garam
dicampur cuka. Tidak lama setelah itu, Raja Bimbisārapun mangkat.
Sang permaisuri yang sangat mencintai raja pun meninggal tidak lama
kemudian karena ia merasa sedih atas kematian sang raja yang begitu
memilukan.

Begitulah cerita singkat tragedi penghiatan anak kandung terhadap


ayahnya sendiri. Demi kekuasaan dan dibutakan oleh keyakinan pada
Y.M. Devadatta, Pangeran Ajātasattu tega membunuh ayahnya sendiri
yang benar-benar mencintai dan menyayanginya sepenuh hati.

Dalam pandangan agama Buddha, membunuh orangtua kandung


adalah salah satu garukamma, yaitu suatu perbuatan yang akan
memberikan hasil sangat cepat dan sangat berat. Sebagai akibat atas
perbuatan tersebut, dalam kehidupannya yang sekarang ini, Pangeran
Ajātasattu tidak dapat mencapai tingkat kesucian apapun meskipun
menurut kitab komentar Ajātasattu adalah salah satu upāsaka
yang memiliki keyakinan terbesar terhadap Sang Tiratana. Setelah
21
meninggal, ia terlahir kembali di neraka avici, neraka yang paling
berat hukumannya. Neraka ini biasa disebut sebagai neraka jahanan
oleh kebanyakan masyarakat.

Apa yang dilakukan oleh Pangeran Ajātasattu ternyata


menimbulkan mata rantai pembunuhan orangtua secara berkepanjangan.
Ajātasattu setelah berkuasa selama beberapa saat dibunuh oleh anaknya
sendiri yaitu Udāyibhadda. Dengan demikian, Audāyibhadda menjadi
raja. Tragedi yang sama juga dialami oleh Udāyibhadda. Ia dibunuh
oleh anaknya sendiri, Anuruddhaka. Anuruddhaka sempat menikmati
tahta kerajaan selama beberapa tahun pula dan akhirnya dibunuh oleh
anaknya sendiri, Muṇḍaka.

Sama seperti generasi-generasi sebelumnya yang mati di tangan


anaknya sendiri, Muṇḍaka juga mati di tangan anaknya sendiri. Ia
dibunuh oleh Nāgadasaka. Nāgadasaka duduk di tahta kerajaan sebagai
penguasa kerajaan Magadha selama kurang lebih 24 tahun. Sampai
di sinilah tragedi penghiatan terhadap orangtua sendiri berhenti.
Nāgadasaka memang tidak dibunuh dan dihianati oleh putranya sendiri.
Namun, ia tetap harus menerima akibat perbuatannya. Rakyat tidak
suka padanya. Oleh karena itu, rakyat menghianatinya. Nāgadasaka
dilengserkan dari tahta kerajaan dan mereka mengangkat Susunāga
sebagai raja.

Tragedi penghianatan terhadap orangtua sendiri terjadi selama


beberapa dekade. Cara sang pangeran dalam merebut tahta kerajaan
dari tangan ayahnya sendiri memicu munculnya cara-cara yang sama.
Setelah sang pangeran naik tahta, putranya pun mengikuti jejak
ayahnya. “Aku harus membunuh ayahku agar aku dapat menjadi raja.”
Itulah tampaknya yang menjadi prinsip selama beberapa generasi.

22
Tidak ada catatan yang jelas bagaimana kondisi mental raja-raja
selanjutnya setelah Raja Ajātasattu. Yang dapat ditemukan secara
jelas adalah kondisi mental Raja Ajātasattu. Raja Ajātasattu sangat
menyesali perbuatannya. Rasa penyesalan itu telah menghalangi Raja
Ajātasattu untuk mencapai kesucian hingga akhir hidupnya.

Suatu ketika saya pernah bertemu dengan orang yang tampak


kurang normal. Pakaiannya lusuh dan tampaknya ia tidak terlalu
mempedulikan dirinya sendiri. Salah satu Bhante mengatakan kepada
saya bahwa dulunya ia adalah orang yang baik. Dia menjadi seperti
itu, tampak linglung, setelah ia membunuh ibunya sendiri. Melihat
orang tersebut, yang ada dalam benak saya hanya “Dia calon penghuni
neraka avici,” kendati kenyataan belum pasti seperti itu.

Kedua orangtua kita adalah manusia yang paling berjasa dalam


kehidupan kita. Bahkan, Sang Buddha mengatakan—seperti nanti juga
kita saksikan dalam bab selanjutnya—sebagai anak kita tidak mungkin
membalas jasa orangtua kita kecuali kita mampu melakukan hal-hal
yang sifatnya sangat spektakuler. Karenanya, kalau kita melakukan
penghianatan terhadapnya dengan cara membunuhnya, kita pun
bisa membayangkan betapa besar kesalahan yang kita lakukan. Kita
membunuh orang yang paling berjasa, kita membunuh orang-orang
yang telah melahirkan kita ke muka bumi ini.

Melihat kenyataan semacam ini, setiap orangtua hendaknya


mendidik anak-anaknya dengan baik, mengarahkan ke jalan yang
benar. Bila tidak, ya bersiaplah untuk merasakan neraka di dunia ini.
Kurangnya pendidikan moral dan spiritual serta kesalahan dalam
mendidik, akan membuat anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi
manusia brutal, bahkan membunuh orangtuanya sendiri.

23
Gambaran tentang anak-anak durhaka telah kita lihat, bagaimana
sepak terjang mereka sedikit banyak juga telah kita ketahui. Sekarang
marilah kita tengok barang sesaat anak-anak yang bermoral, taat
kepada orangtua dan mengerti bagaimana cara membalas jasa.

Anak yang baik adalah anak yang mengerti mana yang baik dan
mana yang buruk. Ia mengerti mana yang harus dikerjakan dan mana
yang harus dihindari, mana yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan
mana yang tidak, mana yang membawa penderitaan dan mana yang
menimbulkan kebahagiaan. Seorang anak akan dikatakan sebagai anak
yang tidak baik karena ia tidak dapat membedakan hal-hal semacam
ini. Sebagai akibatnya, ia menjadi sumber malapetaka bagi keluarga.
Ia tidak habis-habisnya menyiksa keluarga.

Berbeda dengan anak yang tidak baik, anak yang baik akan
membawa cahaya kedamaian dan ketenangan di dalam rumah. Ia
menjadi sumber kebahagiaan bagi kedua orangtuanya maupun bagi
anggota keluarganya. Baik di tengah-tengah masyarakat maupun di
dalam Tipitaka, kita dapat menjumpai hal ini.

Ghaṭīkāra adalah seorang upāsaka yang hidup di zaman Buddha


Kassapa. Ia adalah seorang pembuat gerabah. Setelah mendengarkan
ajaran dari Sang Buddha, ia menjadi pengikut Sang Buddha dan
menjadi salah satu dāyaka yang paling terpercaya. Salah seorang
sahabat baiknya Jotipāla menjadi bhikkhu setelah ia mendengarkan
khotbah dari Sang Buddha. Sementara, Ghaṭīkāra tidak bisa menjadi
bhikkhu karena ia harus merawat kedua orangtuanya yang buta.

Meskipun sebagai upāsaka, Ghaṭīkāra adalah seorang yang telah


mencapai tingkat kesucian anāgami. Dalam kehidupannya sehari-hari,
ia adalah upāsaka yang taat menjalankan latihan moral nan lebih luhur.

24
Ia menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong,
minum minuman keras yang menjadi sumber lemahnya kesadaran. Ia
hanya makan satu kali setiap hari, ia tidak lagi menggunakan perhiasan
dan masih banyak lagi latihan moral yang ia jalankan.

Suatu pagi, Sang Buddha berpindapata ke rumah Ghaṭīkāra.


Tetapi, Sang Buddha hanya menjumpai kedua orangtua Ghāṭikāra. Sang
Buddha kemudian bertanya, “Ke mana Ghaṭīkāra pergi?” “Bhante,
Ghaṭīkāra sedang ke luar. Tapi ambil saja nasi yang ada di panci serta
saos di tempatnya dan makanlah.” Begitu sahut orangtua Ghaṭīkāra.
Sang Buddha melakukan apa yang telah menjadi permintaan orangtua
Ghaṭīkāra. Beliau mengambil sendiri nasi dan saos dari tempatnya.
Setelah selesai, Beliau kembali ke vihāra.

Ketika Ghaṭīkāra pulang, ia menanyakan kepada kedua


orangtuanya siapa yang telah mengambil nasi dan saos. Mereka
menjelaskan apa yang telah terjadi. Ghaṭīkāra bukannya mencak-
mencak dan mengadukan Sang Buddha ke kantor polisi, tapi justru
ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa sebab Sang Buddha benar-
benar mempercayainya. Kebahagiaan itu berlangsung terus menerus
hingga dua minggu. Sementara kedua orangtuanya merasakan
kebahagiaan yang luar biasa selama satu minggu.

Pada saat musim hujan, kuṭhi Sang Buddha bocor. Ia meminta


para bhikkhu untuk mengambil rumput yang ada di rumah Ghaṭīkāra.
Para bhikkhu mengatakan bahwa tidak ada rumput di rumah Ghaṭīkāra
selain yang ada di atap rumahnya. Sang Buddha akhirnya menyuruh
para bhikkhu untuk mengambil rumput yang ada di atap tersebut.

Mendengar suara orang mengambil rumput di atap rumah,


orangtua Ghaṭīkāra bertanya, “Siapa yang mengambil atap itu?” Para

25
bhikkhu menjawab “Saudari, kuṭhi Sang Buddha bocor.” “Ya ambil
saja bhante, ambil atap itu,” sahut orangtua Ghaṭīkāra.

Setelah kembali, Ghaṭīkāra menanyakan yang terjadi. Orangtuanya


menjelaskan bahwa para bhikkhu mengambil atap tersebut karena
kuṭhi Sang Buddha bocor. Kembali Ghaṭīkāra merasakan kebahagiaan
yang luar biasa selama dua minggu tanpa henti. Sedangkan kedua
orangtuanya merasakan kebahagian selama satu minggu. Selama
musim hujan, rumah Ghaṭīkāra beratap langit. Tapi sungguh suatu
keajaiban, tak setetes air pun yang mampu menembus atap tersebut.
Meskipun beratap langit, rumah mereka tetap sama seperti semula.
Mereka yang tinggal di rumah tersebut tidak basah kuyup karena
hujan.4

Upāsaka Ghaṭīkā layak dijadikan suri tauladan. Ia adalah anak


tunggal dari keluarga tersebut. Oleh karena itu, ia harus mengiklaskan
diri untuk tidak menjadi bhikkhu demi kebahagiaan orangtuanya. Jika
ia nekad menjadi bhikkhu, kedua orangtuanya akan hidup terlunta-
lunta. Tidak ada yang merawat, tidak ada yang melayani mereka.

Sebagai anak, Ghaṭīkāra mengerti apa yang harus dilakukan. Ia


tidak neko-neko dengan segala permintaan. Ia menjalankan moralitas
dengan sebaik-baiknya. Ia berbhakti kepada Sang Buddha. Rasa
bhaktinya telah menimbulkan kebahagiaan pada diri orangtuanya.
Mereka turut bergembira karena anaknya menjadi anak yang dipercaya
oleh Sang Buddha. Sebagai contohnya, mereka merasakan kebahagiaan
yang terus menerus selama satu minggu setelah mengetahui bahwa
anaknya bahagia dan senang atas apa yang dilakukan oleh Sang
Buddha.

4 Majjhima Nikāya II, 45ff

26
Sāma Jātaka5 memberikan contoh yang sedikit berbeda. Dalam
Jātaka ini, dikisahkan ada seorang pedagang yang kaya raya. Ia juga
hanya mempunyai anak tunggal. Hanya saja, Jātaka tidak menyebutkan
nama pedagang itu maupun anaknya.

Setelah mendengarkan wejangan dari Sang Buddha, ia ingin


menjadi bhikkhu. Tapi Sang Buddha tidak mau mengupasampada siapa
pun yang tidak mendapatkan izin dari orangtuanya. Ia akhirnya pulang
dan minta izin. Tentu orangtuanya tidak mengizinkan putra semata
wayangnya meninggalkan mereka. Tidak ada yang akan menjadi
pewaris harta kekayaan mereka, tidak ada yang akan meneruskan lini
keluarga adalah yang menjadi alasannya.

Mendengar keputusan oangtuanya, anak itu kemudian


memutuskan untuk tidak makan kecuali ia diizinkan menjadi bhikkhu.
Setelah satu minggu, badannya menjadi lemah. Tidak ada pilihan lain
bagi kedua orangtuanya. Akhirnya kedua orantuanya mengizinkan anak
itu menjadi bhikkhu. Cara yang sama juga ditempuh oleh Raṭṭhapala.
Cara ini juga pernah diterapkan oleh dua bhikkhu dari Jerman. Ketika
mereka mengunjungi keluarganya di Jerman, keluarganya tidak mau
mempersembahkan makanan yang sudah dimasak. Mereka berbeda
agama. Mereka berbeda keyakinan. Singkatnya, fanatisme terhadap
agama adalah alasan utamanya. Mereka hanya menyediakan bahan
makanan. Kedua bhikkhu itu tetap bersikeras pada pandangannya.
Mereka tidak akan makan kecuali ada yang mempersembahkan
makanan. Hari demi hari berlalu, tibalah pada saatnya mereka menjadi
sangat lemah. Keluarganya akhirnya mempersembahkan makanan
yang sudah dimasak kepada mereka.

Kembali pada cerita anak tunggal tersebut, setelah diizinkan


5 Jātaka No. 540 (JA VI, 68)

27
menjadi bhikkhu ia kemudian mendapatkan upasampada dan
mempelajari ajaran Sang Buddha. ia belajar dengan penuh penuh
ketekunan. Ia belajar Dhamma di bawah bimbingan gurunya
selama lima tahun. Setelah menjadi bhikkhu yang bebas nissaya,
ia meninggalkan gurunya dan pergi ke hutan untuk bermeditasi. Ia
berjuang dengan penuh ketekunan selama 12 tahun. Meski demikian,
ia tidak mendapatkan hasil apa pun.

Suatu hari ada bhikkhu dari Sāvatthi yang berkunjung ke tempat


tinggal bhikkhu tersebut. Bhikkhu tersebut kemudian menanyakan
kabar tentang seorang pedagang namun dia tidak menyebutkan
namanya. Bhikkhu tamu tersebut menceritakan, pedagang tersebut
sekarang menjadi miskin. Para perampok datang merampok harta
mereka dan orang-orang yang mempunyai hutang tidak membayar
hutang tersebut karena mereka mengetahui tidak ada yang menjadi
pewaris kekayaan tersebut. Pedagang tersebut akhirnya menjual
rumah mereka dan menjadi pengemis jalanan. Bhikkhu tamu itu
juga menceritakan bahwa anak tunggal pedagang tersebut sekarang
menjadi bhikhhu tapi ia tidak mengerti bahwa bhikkhu yang ada di
hadapannya adalah anak pedagang tersebut.

Cerita yang memilukan itu benar-benar membuat bhikkhu


tersebut menjadi sedih. Ibarat langit yang tak lagi mampu menyangga
awan, ibarat bendungan yang tak kuasa lagi menampung air bah,
ia juga tidak mampu membendung air matanya. Bhikkhu tamu itu
menjadi heran mengapa bhikkhu tesebut menangis. Ia menjelaskan
bahwa pedagang tersebut adalah orangtua kandungnya. “Kedua
orangtua Bhante menjadi miskin karena Bhante, sekarang mengapa
Bhante tidak merawat mereka?” kata bhikkhu tamu itu, berusaha
untuk memberikan nasehat terbaiknya.

28
Bhikkhu tersebut akhirnya berkata pada dirinya sendiri, “Dua
belas tahun aku berjuang dengan penuh keseriusan, tapi aku tidak
pernah menapakkan kaki pada sang jalan atau mendapatkan buah
dari kehidupan suci. Saya pasti bukanlah orang yang layak menjadi
bhikkhu. Apa gunanya kehidupan suci semacam ini? Lebih baik saya
lepas jubah, dan menjadi upāsaka. Dengan menjadi upāsaka, saya
bisa membantu dan merawat kedua orangtua saya. Dengan kebajikan
tersebut, saya pun bisa terlahir di alam surga kelak.”

Pada hari selanjutnya, ia memberikan kuṭhinya kepada bhikkhu


tamu tersebut dan ia berangkat menuju Jetavana yang jaraknya tidak
jauh dari Sāvatthi. Di dalam perjalanan, ia sampai pada persimpangan
jalan, satu menuju Jetavana dan satu menuju Sāvatthi. Ia berdiri di
persimpangan jalan tersebut untuk beberapa saat. Ia bingung untuk
mengambil keputusan. “Lebih baik aku mengunjungi Sang Buddha
terlebih dahulu atau mengunjungi orangtuaku?” Ia kemudian
meneruskan, “Semenjak sekarang saya akan selalu berada di samping
orangtua saya dan saya akan jarang mempunyai kesempatan untuk
bertemu Sang Buddha. Lebih baik saya menemui Sang Buddha
terlebih dahulu dan besok saya akan pulang.”

Bhikkhu tersebut tiba di Jetavana tepat pada saat Sang Buddha


sedang memberikan nasehat kepada para bhikkhu. Saat itu, Sang
Buddha sedang menceritakan tindakan seorang brāhmaṇa yang
mengumpulkan makanan untuk menghidupi orangtuanya. Sang
Buddha memuji tindakan tersebut. Beliau mengatakan bahwa karena
kebajikan tersebut kelak ia akan terlahir di surga.6

Cerita tersebut menyentuh nurani bhikkhu tersebut yang paling


dalam. “Kalau saya menjadi upāsaka, saya dapat membantu orangtua
6 Lihat Juga Saṁyutta Nikāya I, 181

29
saya; tapi Sang Buddha mengatakan bahwa seorang anak yang
menjadi bhikkhu juga dapat membantu orangtuanya. Oleh karena
itu, lebih baik saya membantu orangtua saya sementara saya masih
menjadi bhikkhu dan tanpa harus menjadi upāsaka.” Bhikkhu tersebut
akhirnya meninggalkan vihāra tanpa terlebih dahulu menemui Sang
Buddha.

Pada pagi harinya, ia pergi ke Sāvatthi untuk berpindapata.


Setelah berpindapata, ia menemui kedua orangtuanya. Ia benar-
benar merasa prihatin melihat kedua orangtuanya yang kini hidup
terlunta-lunta. Ketika itu, mereka sedang bersandar di dinding.
Bhikkhu tersebut mendekati mereka dan berdiri tidak jauh dari kedua
orangtuanya. Kedua orangtuanya sudah tidak mengenali bhikkhu
tersebut. “Tidak ada apa-apa yang layak kami berikan kepada bhante.”
Begitu orangtuanya berkomentar.

Bhikkhu tersebut tidak tahan mendengar ucapan orangtuanya.


Kata-katanya benar-benar menyayat nurani. Ia berdiri sambil menangis.
Walaupun begitu, kedua orangtua tetap masih tidak mengenalinya.
Setelah tiga kali mereka mengatakan hal yang sama, tapi bhikkhu
itu tetap tidak pergi, sang ibu kemudian mendekati bhikkhu itu dan
langsung bersujud sambil menangis. Ayahnya juga turut melakukan
hal yang sama. Jeritan tangis kedua orangtuanya benar-benar menyayat
relung hati bhikkhu tersebut. Ia juga turut menangis. Setelah ia dapat
menguasai diri, ia mengatakan “Sudah jangan menangis saya akan
merawatmu.”

Bhikkhu tersebut kemudian memberikan hasil pindapattanya


kepada kedua orangtuanya. Setelah itu, ia berpindapatta lagi untuk
keperluan dirinya sendiri. Semenjak hari itu, ia melakukan hal yang
sama. Demikianlah cara bhikkhu tersebut merawat kedua orangtuanya.
30
Tidak selamanya bhikkhu tersebut mendapatkan makanan yang
cukup karena pada saat tertentu terjadi kemarau panjang sehingga
sulit mendapatkan makanan. Karena kekurangan makanan, bhikkhu
tersebut menjadi kurus. Salah seorang temannya menanyakan
mengapa sekarang ia menjadi kurus. Bhikkhu tersebut menceritakan
apa yang sedang dia alami selama ini. Sahabatnya justru mengatakan,
“Bhante, Sang Buddha tidak mengizinkan kita untuk menggunakan
persembahan dari umat secara sembarangan. Bhante telah memberikan
persembahan itu kepada umat awam.”

Penuturan sahabatnya tersebut, benar-benar membuat bhikkhu


tersebut tenggelam dalam perasaan malu. Tidak puas dengan hal
tersebut, bhikkhu-bhikkhu yang lain melaporkan hal itu kepada Sang
Buddha. Sang Buddha kemudian memanggil bhikkhu tersebut dan
meminta penjelasannya. Bhikkhu itu mengatakan yang sebenarnya
sesuai dengan yang dia alami. Sang Buddha memuji bhikkhu tersebut
karena ia telah melakukan hal yang baik dan kembali bertanya,
“Kepada siapa barang-barang itu Engkau berikan?” Bhikkhu itu
mengatakan, “Kedua orangtua saya Bhante.” “Sādhu, sādhu, sādhu,”
kata Sang Buddha merespon jawaban bhikkhu tersebut.

Di satu sisi, anak tersebut mempunyai cita-cita nan luhur untuk


menjadi bhikkhu sehingga ia harus menemukan suatu cara agar
orangtuanya mengizinkan dirinya menjadi bhikkhu. Akan tetapi, di sisi
lain, kesuksesannya menjadi bhikkhu telah menjadi salah satu kondisi
atas penderitaan yang dialami kedua orangtuanya. Orangtuanya yang
pada mulanya adalah saudagar kaya jatuh miskin bahkan menjadi
pengemis jalanan.

Anak manakah yang tidak merasa iba melihat penderitaan


orangtua kandungnya? Hanya anak-anak yang tidak pernah mengerti
31
pengorbanan orangtuanya yang tidak akan peduli melihat penderitaan
orangtuanya sendiri. Ia akan bersikap acuh tak acuh seolah-olah ia
tidak mengenal kedua orangtuanya.

Anak-anak yang mengerti pengorbanan orangtuanya, akan


merasa iba dan berusaha mengulurkan tangan demi meringankan
beban penderitaan baik fisik maupun mental. Kalau memang kita tidak
mampu meringankan beban penderitaan secara materi, kita juga bisa
meringankan beban mental mereka. Kita bisa memberikan hiburan
paling tidak agar membuat mereka merasa diperhatikan oleh anak-
anaknya.

Berdasarkan pengalaman saya sendiri, kedua orangtua saya


bersama saudara-saudara saya, merasa senang ketika mereka
menerima surat yang mengabarkan bahwa saya sedang dalam keadaan
sehat. Hanya melalui suratlah saya bisa menghibur dan membuat
ayah dan mama bersama saudara-saudara saya menjadi bahagia dan
itulah yang mereka harapkan. “Di mana pun Bhante berada jangan
lupa kirim kabar kepada kami agar kami bisa tahu kabar Bhante,
tapi Bhante jangan mengharapkan balasannya.” Demikian mereka
berpesan ketika kami sedang berkumpul bersama-sama. Meskipun
mereka tidak pernah membalas surat saya kalau tidak saya minta tapi
saya bisa menerima hal itu.

Sigalāka juga dapat dijadikan suri tauladan. Ia adalah anak yang


patuh dan taat kepada orangtuanya. Ia menuruti semua permintaan
orangtuanya. Namun, ia adalah anak yang malas ke vihāra. Oleh
sebab itu, menjelang kematiannya, sang ayah meminta Sigalāka untuk
menyembah enam arah setiap pagi dengan tujuan agar suatu saat Sang
Buddha melihatnya.

32
Memang benar di pagi hari Sang Buddha melihat praktik yang
dilakukan oleh Sigalāka. Dengan pakaian dan rambut basah, ia
menyembah ke enam arah yaitu Timur, Selatan, Barat, Utara, Bawah
dan Atas. Sang Buddha memberikan interpretasi lain terhadap arah-
arah ini.

Sang Buddha menginterpretasikan bahwa timur adalah ibu dan


ayah, selatan adalah guru, barat adalah istri dan anak-anak, utara
adalah sahabat dan teman, bawah adalah pembantu dan pekerja,
atas adalah guru-guru spiritual. Dengan memberikan penghormatan
kepada mereka, berarti kita telah menghormati keenam arah tersebut.
Merekalah yang layak mendapatkan penghormatan dari kita bukan
arah-arah yang sesungguhnya.7

Ada suatu pertanyaan, “Apakah anak yang baik adalah anak yang
selalu menurut dan patuh kepada semua perintah orangtua?” Jawaban
atas pertanyaan ini cukup relatif. Kalau kita lihat kenyataan di tengah-
tengah masyarakat, sudah barang tentu tidak semua orangtua adalah
orangtua yang bijak. Tidak semua orangtua adalah orang yang bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Belum tentu
semua orangtua bisa membedakan mana yang akan membawa
kebahagiaan dan mana yang akan menimbulkan penderitaan.

Pada umumnya, orangtua memang mengharapakan agar anak-


anaknya dapat hidup bahagia. Namun, karena kerasnya keinginan
dan kekolotan dalam berpikir, banyak orangtua yang kemudian
menginterfensi semua urusan anak. Semua harus sesuai dengan
kehendak orangtua. Hasilnya, banyak bakat anak yang tidak
tersalurkan.

7 Dīgha Nikāya III, 188

33
Seorang anak bernama Rini menceritakan penderitaan hidupnya
kepada Sarinah dalam rubrik “Oh, Tuhan…..”8 Rini adalah anak
sulung dari tujuh bersaudara. Ibunya adalah istri kedua. Mereka hidup
di sebuah tempat di Sulawesi.

Rini bersama keluarganya hidup dalam peraturan yang cukup


keras. Ayahnya menetapkan berbagai peraturan dan peraturan itu
harus ditaati. Bila tidak, mereka akan mendapatkan hukuman. Rini
menuturkan bahwa mereka puas mendapatkan hukuman dari ayahnya
karena sistem kepemimpinan ayahnya bersifat diktator dan bertangan
besi. Mereka tidak diberi kebebasan untuk bermain maupun menikmati
segarnya udara di luar rumah.

Rini juga dilarang menyalurkan bakatnya untuk berjualan.


Padahal, ayahnya sangat sedikit memberikan uang. Karena hal tersebut,
mereka hidup dalam penderitaan yang tidak berkesudahan. Sifat sang
ayah yang bertangan besi, mudah main pukul, membuat Abdullah
kabur dari rumah entah ke mana tidak ada yang tahu rimbanya.

Tidak lama berselang ayahnya menceraikan ibunya. Cukup lama


mereka berpisah, tapi sang ayah minta untuk rujuk kembali. Sang ibu
tidak berani mengambil keputusan begitu saja. Ia mengonsultasikan
masalah itu dengan Rini yang kebetulan saat itu ada di Semarang.
Kontan saja, Rini menolak permohonan itu.

Tentu tidak sedikit orangtua macam orangtua Rini, selalu


menginterfensi, diktator dan bertangan besi. Kekerasan ayah Rini telah
membuat Rini dan Abdullah enggan untuk hidup bersama ayahnya.
Dapatkah dalam hal ini kita menyalahkan Rini yang bersikap keras,
tidak mau menerima tawaran ayahnya untuk rujuk kembali? Atau

8 Sarinah edisi 11 Maret 1991

34
salahkah Abdullah yang kabur dari rumah?

Kecenderungan manusia adalah untuk selalu hidup berbahagia


dan sedapat mungkin menghindari penderitaan, apa pun bentuknya.
Sikap Rini dan Abdullah adalah semata-mata karena alasan ingin
mendapatkan kebahagiaan. Secara psikologis, kita dapat memahami
sekaligus memakluminya. Alasannya, sikap ayahnya yang keras dan
serba diktator, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan. Kita
bisa melihat sikap Rini. Ketika ia membaca surat dari ibunya tentang
permohonan rujuk kembali, justru bukan rumah tangga yang penuh
kebahagiaan yang dia bayangkan melainkan, ayahnya yang menjadi
tirani dan sumber penderitaan bagi keluarga adalah yang muncul
dalam benaknya.

Orangtua yang mendidik anaknya dengan jalan kekerasan, akan


menghasilkan anak-anak yang keras pula. Rini dididik dengan keras,
ia pun menjadi wanita yang keras pula. Ibarat kita menanam jagung,
kita pun mau tidak mau harus mau menyaksikan jagung tumbuh di
kebun kita.

Tragedi yang dialami oleh Kris hampir tidak ada bedanya.9


Karena semenjak kecil akan dibunuh oleh ayahnya, ia selalu
mempunyai keinginan untuk membunuh orang yang minimbulkan
masalah kepadanya. Bahkan, ia sempat beberapa kali akan membunuh
ayahnya sendiri.

Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak-anaknya


maupun lingkungan sekitarnya, akan memberikan pengaruh yang
berarti bagi kehidupan anak kelak. Pada umumnya, anak-anak meniru
prilaku orangtuanya. Pepatah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari

9 Sarinah edisi 25 Februari 1991

35
pohonnya.

Di dalam Sattigumba Jātaka10 terdapat sebuah contoh yang cukup


menarik dalam kaitannya dengan pendidikan seorang anak. Ada seekor
burung betet yang sedang mempunyai dua ekor anak. Anak-anak
itu masih kecil dan tinggal di sarangnya. Tak disangka, angin besar
datang dan membawa terbang kedua ekor burung tersebut. Kedua
anak burung itu jatuh di tempat yang berbeda. Satu jatuh di kampung
para perampok. Ia dirawat serta dibesarkan oleh para perampok dan
diberi nama Sattigumba. Sementara yang satu, jatuh di hutan di mana
banyak petapa. Burung yang malang tersebut dirawat dan dibesarkan
oleh para petapa. Betet ini diberi nama Pupphaka.

Burung betet yang jatuh di kampung para perampok tumbuh dan


berkembang sesuai dengan jiwa para perampok. Gaya bicara maupun
gaya berpikirnya pun tidak berbeda dengan para perampok. Singkatnya,
burung itu tumbuh menjadi burung yang serba kasar. Burung betet
yang lainnya, Pupphaka, tumbuh dan berkembang menjadi burung
yang baik. Ia bersikap ramah kepada siapa pun yang datang. Kata-
kata yang keluar dari mulutnya juga kata-kata yang manis dan ramah.

Suatu ketika raja pergi berburu ke hutan. Ia tersesat bersama


kusirnya. Ketika sedang beristirahat di dekat kampung perampok,
betet itu pun melihat sang raja. Ia pun berpikir, “Bagaimana kalau
kita membunuh orang ini karena ia sedang tidur dan kita ambil
perhiasannya.” Betet melaporkan hal itu pada tukang masak. Ketika
tukang masak itu mendekati orang yang dimaksud oleh betet tersebut,
ia tercengang karena yang ia lihat adalah seorang raja. Terjadilah
perdebatan antara betet dan tukang masak.

10 Jātaka no. 503 (JA IV, 430)

36
Sang raja terbangun karena mendengar suara berisik orang
berdebat. Sang raja kemudian membangunkan kusirnya dan
secepat kilat mereka melarikan diri karena menyadari ada bahaya
yang mengancam. Mereka akhirnya sampai di hutan di mana betet
yang baik tinggal. Melihat ada tamu yang datang, betet langsung
menemuinya dan mengucapkan selamat datang kepadanya dengan
penuh keramahan. Pupphaka langsung menawarkan apa saja yang ada
di hutan tersebut kepada raja. Ia minta kepada raja untuk mengambil
sendiri apa saja yang ia butuhkan karena Pupphaka tidak punya tangan
untuk mempersembahkan kebutuhan-kebutuhan raja.

Kita telah menyaksikan dua ekor anak burung yang dilahirkan


dari ibu yang sama. Mereka ditetaskan di atas pohon yang sama pula.
Akan tetapi, bencana telah memisahkan mereka. Mereka tumbuh dan
berkembang di tempat yang berbeda. Kepribadian mereka juga tumbuh
sesuai dengan lingkungan mereka masing-masing. Sattigumba tumbuh
menjadi burung nan kasar, kata-kata yang keluar dari mulutnya juga
kasar. Karena ia dibesarkan dan dididik di lingkungan perampok, dirinya
pun tumbuh sesuai dengan jiwa perampok. Sedangkan Pupphaka yang
dididik di lingkungan petapa, tumbuh dan berkembang sesuai dengan
kepribadian para petapa. Ramah, sopan, penuh rasa toleransi dan suka
menolong, itulah karakternya.

Dewasa ini karena alasan kesibukan dan sebagainya, banyak


orangtua yang menyerahkan pendidikan anak-anaknya pada sang
pembantu atau menitipkannya di tempat penitipan anak. Akibatnya
anak-anak tumbuh sesuai dengan karakter pembantu. Masih untung
kalau pembantunya adalah pembantu yang baik dan bermoral. Kalau
tidak, pupuslah harapan orangtua.

Pada suatu saat ada seorang wanita dari desa menjadi pembantu
37
di kota. Ia merawat anak majikannya seperti anaknya sendiri. Ia
merawat anak tersebut dengan penuh kasih sayang. Anak itu merasa
betah tinggal dengan pembantu ini. Setelah dirasa sudah cukup umur,
majikan tersebut tidak membutuhkan pembantu tersebut. Artinya, ia
boleh pulang. Ketika pembantu tersebut pulang, anak tersebut tidak
mau ikut orangtuanya sendiri dan sebaliknya menjadi sakit-sakitan.
Terpaksa pembantu itu diminta untuk merawat anak itu lagi.

Kalau memang orangtua mengaharapkan anak-anak berkembang


sesuai dengan harapannya, mereka sendirilah yang harus turun
tangan untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya. Mereka
harus berani berkorban demi berkembangan mental anak-anaknya.
Sebagai akibatnya, anak akan bisa merasakan keluhuran kasih sayang
orangtuanya sendiri.

Sebagaimana pengalaman saya sendiri, karena kami adalah


orang desa, kami dibesarkan secara langsung oleh kedua orangtua
kami. Kami bisa merasakan bagaimana kasih sayang kedua orangtua
kami sepenuhnya. Saya sendiri berada dalam pelukan kasih sayang
orangtua saya selama lebih dari 18 tahun. Mereka membesarkan dan
merawat saya dengan penuh ketulusan.

Saya tidak perlu malu mengatakan bahwa ketika saya masih


berada di rumah saya tidak begitu merasakan kasih sayang mereka.
Tapi setelah saya berpisah dengan mereka, berada jauh dari mereka,
dan setelah saya mengerti arti kasih sayang, saya merasa bahwa kedua
orangtua saya adalah orang yang luar bisa, terlebih lagi mama. Sampai
saat ini, saya belum mampu menemukan wanita seluhur mama dalam
hal kasih sayang. Ia adalah wanita yang terbaik bagi kehidupan saya,
ia adalah wanita yang paling berjasa bagi kehidupan saya. Saya sampai
pada kesimpulan itu karena selama 18 tahun mama sendiri yang
38
masak, mencucikan pakaian buat saya, yang tanpa disadari selama itu
pula kemelekatan terpupuk sedikit demi sedikit.

Saya yakin bila anak-anak dididik sendiri oleh orangtuanya


anak-anak akan memahami kasih sayang orangtuanya dan mereka
akan menjadi anak-anak yang berbhakti kepada orangtua. Mereka
akan menjadi anak-anak yang mengerti bagaimana cara membalas
jasa kebajikan dan bukan menjadi anak-anak yang durhaka.

Kita telah menyaksikan Ajātasattu dididik dan dibesarkan dengan


penuh kasih sayang. Tetapi, ia justru menjadi anak yang durhaka—
membunuh orangtuanya sendiri. Dalam hal ini, kita perlu melihat
kenyataan yang sebenarnya. Raja Bimbisāra memang membesarkan
dan merawat sang pangeran dengan penuh kasih sayang, tapi kita
juga perlu melihat teman pergaulannya. Ia berteman dengan Y.M.
Devadatta. Y.M. Devadatta adalah orang yang berambisi untuk
menjadi penguasa. Ia bercita-cita menjadi pengganti Sang Buddha.
Singkatnya, ia menjadi penghianat gurunya sendiri. Konsekuensinya,
Pangeran Ajātasattu juga menjadi penghianat orangtuanya sendiri.

Nasi telah menjadi bubur—begitulah pepatah mengatakan.


Raja Bimbisāra yang telah meninggal tidak mungkin dihidupkan
kembali. Karena ulah sang anak, ia harus meninggal dalam kondisi
yang sangat mengenaskan. Tapi benarkah Pangeran Ajātasattu yang
telah dibesarkan dengan penuh kasih sayang mempunyai niat yang
murni untuk membunuh orang yang telah berjasa padanya? Kalau kita
melihat cerita yang sesungguhnya, sebenarnya Pangeran Ajātasattu
tidaklah sampai sebengis itu. Buktinya, ketika putranya lahir.

Sama seperti orangtua lainnya, Pangeran Ajātasattu sangat


menyayangi putranya yang baru lahir. Ia menanyakan kepada

39
ibunya apakah Raja Bimbisāra juga menyintainya. Sang permaisuri
menjelaskan bahwa Raja Bimbisāra sangat menyintainya. Langsung
saat itu pula, Pangeran Ajātasattu menuju penjara di mana ia
memenjarakan Raja Bimbisāra. Ia ingin membebaskan Raja Bimbisāra.
Namun, ketika Pangeran Ajātasattu sampai di penjara, Raja Bimbisāra
telah lebih dahulu meninggal. Semenjak saat itu, Pangeran Ajātasattu
menjadi sedih. Ia tidak dapat tidur sepanjang malam karena menyesali
perbuatannya.

Untuk menghilangkan rasa penyesalan itu, ia berusaha


mengunjungi seluruh guru-guru spiritual terkenal yang ada saat itu.
Tapi hasilnya tidak memuaskan. Pangeran Ajātasattu menjadi lega
setelah ia mengunjungi Sang Buddha dan menyaksikan para bhikkhu
hidup dalam kedamaian yang amat dalam.

Dalam berbagai kesempatan Sang Buddha menjelaskan bahwa


tidak ada kekuatan yang mampu mengalahkan kekuatan kasih sayang
(metta). Kasih sayang yang diberikan orangtua kepada anaknya
sedikit banyak juga dilandasi dengan metta. Demikian pula dengan
Raja Bimbisāra. Ia bersikap dingin atas nasehat para nujum untuk
menggugurkan embrio yang ada dalam rahim sang permaisuri.
Sebaliknya, dengan penuh ketulusan ia membesarkan sang pangeran.
Sebagai akibatnya, tidak ada niat yang tulus dalam diri Pangeran
Ajātasattu untuk membunuh ayahnya sendiri. Kita bisa melihat bahwa
di dalam nuraninya yang paling dalam ia pun menyayangi Raja
Bimbisāra.

Dalam periode-periode tertentu, kadang anak akan tampak


acuh tak acuh kepada orangtuanya walaupun orangtuanya telah
membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang. Biasanya hal
semacam ini akan terjadi pada saat anak sedang mengalami masa
40
transisi dan berusaha untuk mencari jati dirinya. Ini adalah suatu
sikap yang wajar terjadi. Tapi sikap semacam itu tidak akan bertahan
lama. Setelah sampai pada saatnya, ia akan kembali pada posisinya
yang semula atau tambah lebih dewasa. Ia akan menjadi paham akan
pentingnya arti kasih sayang.

41
Anak-Anak Malang

“Betapa malang nasibku, semenjak kuditinggal ibu…” begitulah


lirik awal lagu “Anak Tiri”. Lagu tersebut menceritakan keluh kesah
dan penderitaan seorang anak tiri. Sayangnya, saya sudah tidak ingat
sepenuhnya lagu itu karena lagu itu saya hafalkan sepuluh tahun yang
silam tepat saat saya masih berada di kelas dua SLTP. Saat itu, kami
sempat membuat drama atas lagu tersebut.

Drama tersebut kami atur sesedih mungkin dan benar-benar


manggambarkan bahwa anak tiri adalah anak yang tersisihkan, anak
yang selalu menelan pil pahit setiap saat. Padahal dalam kenyataannya,
tidak semua orangtua tiri adalah orang yang kejam, orang yang tidak
mengerti kasih sayang. Pernah saya menemui seorang anak tiri
yang hidupnya benar-benar bahagia. Ayah tirinya menyayanginya
sama seperti anak kandungnya sendiri. Ayah tirinya tidak pernah
memukulnya. Bahkan, anak itu enggan hidup bersama dengan ayah
kandungnya. Tapi, mungkin cerita semacam ini adalah cerita nan
langka.

Lagu “Anak Tiri” memang lebih banyak menggambarkan


kehidupan anak-anak tiri yang sesunguhnya. Lagu itu menceritakan
bahwa seorang anak ditinggal ibunya, kini ia mempunyai seorang
ibu tiri. Ibu tirinya hanya mencintai ayahnya saja dan tidak mencintai
dirinya. Ibu tirinya memuji dirinya ketika sang ayah berada di
hadapannya tapi begitu ayah tiada hancurlah hidupnya, hari-hari
penuh dengan siksaan dan deraan.

Salah seorang senior saya dan juga teman sekelas saya mengalami
nasib yang hampir tidak ada bedanya. Saya melihat mereka adalah

42
anak-anak yang kekurangan kasih sayang. Sebagai akibatnya, teman
sekelas saya sering tidur di rumah teman yang mau memberikan
perhatian dan kasih sayang. Sementara senior saya tetap tidur di rumah
karena orangtuanya menerapkan peraturan yang lebih ketat. Hanya
saja, ia mempunyai prilaku yang aneh atau lebih layak dikatakan tidak
normal.

Ketika duduk di bangku SMU, ia mencintai salah seorang


temannya. Ia kemudian mengirimkan surat kepada temannya tersebut
melalui teman dekatnya. Teman dekatnya menghianatinya. Ia
membalas surat tersebut bahwa wanita yang ia cintai mencintainya
juga. Tidak hanya respon yang bersifat afirmatif tapi lengkap dengan
foto wanita tersebut. Betapa senangnya laki-laki tersebut mendapatkan
balasan surat tersebut.

Beberapa saat kemudian keadaan berbalik 180 derajat.


Kebahagiaan berubah menjadi penderitaan yang tiada berkesudahan
mana kala ia mengetahui bahwa wanita yang ia cintai tidak
mencintainya. Anak itu akhirnya menjadi gila. Orantuanya kalang
kabut, mengupayakan kesembuhannya. Karena anak tersebut tidak
sembuh, mereka menjual seluruh tanahnya dan kembali ke Pulau Jawa
dengan harapan anaknya bisa sembuh di Pulau Jawa.

Sopāka adalah seorang anak miskin. Ketika ayahnya meninggal,


ibunya menikah lagi dengan seorang pria. Sayangnya, ayahnya sangat
kejam. Ia mudah main pukul, mencaci dan kata-katanya amat kasar.
Ia benar-benar berbeda dengan ibunya yang sangat menyayanginya.

Sang ayah tiri merasa bahwa Sopāka telah menjadi batu sandungan,
tapi ia tidak dapat berbuat banyak karena ibunya sangat mencintai
Sopāka. Suatu sore, ia berkata kepada Sopāka, “Anakku sayang yuk

43
kita jalan-jalan ke luar.” Sopāka merasa ada suatu perubahan yang
amat drastik dalam diri ayah tirinya. Ia berpikir bahwa ibunya telah
meminta ayahnya untuk berbaik hati kepadanya. Dengan perasaan
antusias, ia menuruti ayahnya.

Ayah tirinya membawa Sopāka ke kuburan. Sesampainya di


kuburan, ayahnya mengikat erat-erat Sopāka pada mayat yang ada
dengan harapan agar dimakan oleh srigala yang datang. Sama seperti
jutaan manusia yang ada di bumi ini yang takut dan merasa jijik
melihat mayat yang berserakan penuh dengan belatung dan bau yang
memuakan, Sopāka juga takut dan merasa jijik terhadap mayat-mayat
tersebut. Ia menjerit-jerit minta tolong. Tapi ayah tirinya yang bengis
tidak mau menggubrisnya.

Malam semakin larut, srigala melolong memecah kesunyian


malam. Sopāka semakin ketakutan. Seluruh badannya kuyup dengan
keringat tapi tak seorang pun yang mendengar jeritannya. Ia menangis
sejadi-jadinya, dan minta tolong. Namun, hanya mayat yang telah tak
bernyawa yang ada di sana. Tidak ada manusia lain.

Sang Buddha yang berada di vihāra dengan kemampuan-


Nya melihat Sopāka nan malang di tengah senyapnya kuburan.
Ia menampakkan diri di hadapan Sopāka dan secara spontan tali
yang mengikat Sopāka pada mayat itu terlepas. Dengan spontan
pula, Sopāka langsung berada di vihāra yang letaknya amat jauh
dari kuburan tersebut. Sang Buddha memandikan sendiri Sopāka,
memberinya pakaian, dan memberikan makanan. Sang Buddha
kemudian menahbiskan Sopāka menjadi sāmaṇera.

Di satu sisi, Sopāka memang menjadi anak yang malang. Ia


menderita karena kekejaman ayah tirinya. Tapi karena kekejaman itu,

44
ia menjadi sāmaṇera di bawah bimbingan Sang Buddha. Ia akhirnya
menjadi orang suci dan mencapai kebahagiaan sejati, Nibbāna.

Ternyata cerita anak tiri hanyalah sepenggal cerita tentang anak-


anak yang kurang mujur. Masih banyak anak-anak yang lain yang
hidupnya terlunta-lunta. Tentu ada banyak alasan mengapa mereka
bisa sampai pada jenjang yang demikian.

Fifi yang berusia hampir 20 tahun menceritakan kehidupannya


yang amat getir dirasakan kepada Sarinah.11 Ia menjadi anak jalanan
semenjak berusia 14 tahun. Tidak hanya itu, ia juga terjebak dalam
hubungan seks bebas dan menjadi pengonsumsi minuman keras
murahan. Ia bisa menjadi anak jalanan berawal dari kematian ibunya.

Setahu Fifi, ia adalah anak tunggal dari pasangan yang tampak


harmonis. Ibunya adalah mantan pramugari dan ayahnya adalah
seorang sopir. Hari-hari Fifi selalu hidup dalam pelukan kasih sayang
ibunya dan banyak teman-teman yang merasa iri atas dirinya. Ketika
ia berusia 10 tahun, ibunya terserang lever dan meninggal tiga tahun
kemudian. Fifi benar-benar merasa kehilangan sebab ibunyalah yang
selama ini lebih dekat dengannya.

Tepat dua hari setelah kematian ibunya, ayahnya mengatakan


bahwa sebenarnya dia hanyalah anak angkat dan bukan anak mereka.
Ayahnya pun menyodorkan surat pengangkatan dirinya. Hari terasa
gelap, masa depan menjadi buram tak menentu, adalah yang dirasakan
oleh Fifi saat itu. Air matanya yang belum kering karena menangisi
kepergian sang ibu, kini mengucur kembali sederas-derasnya melihat
kenyataan bahwa ia hanyalah anak pungut.

Kedua orangtuanya sepakat mengambil Fifi sebagai anak angkat


11 Sarinah Edisi 13 Agustus 1990

45
karena mereka tidak pernah memiliki anak. Terlebih lagi ibunya telah
menikah hingga tiga kali dan ayahnya telah menikah lima kali. Selama
pernikahan itu, mereka tidak pernah mendapatkan keturunan. Oleh
sebab itu, kehadiran Fifi ibarat permata yang tak ternilai harganya.

Di tengah kegalauan dan kesedihan, Fifi mencoba menemui


orangtua kandungnya. Sesampainya di rumah itu, orangtuanya
mengatakan bahwa ia telah diberikan kepada orang lain. Karenanya,
sejak detik itu ia bukan anaknya lagi. Sungguh suatu pengalaman
yang amat sangat getir untuk dirasakan. Fifi yang statusnya masih
bocah, belum mampu melangkah dengan kokoh, dihantam tiga
badai kehidupan sekaligus—kehilangan ibu, mengetahui kenyataan
ia hanyalah anak angkat, dan tidak dianggap sebagai anak lagi oleh
orangtua kandungnya.

Fifi berusaha sharing dengan teman-temannya yang ia anggap


dekat. Satu dua kali mereka memang mau mendengarkan keluh
kesah Fifi. Tapi setelah berulang kali teman-temannya menjadi bosan
mendengar pengaduan Fifi. Fifi akhirnya mengadukan hidupnya
kepada siapa pun. Memang ada orang-orang yang baik mau mendengar
keluh kesahnya. Tapi sayangnya, mereka hanyalah orang-orang
pengangguran, jagoan begadang. Dari situlah Fifi memulai kariernya
dalam dunia yang amat mesum, mabuk-mabukan, melakukan hubungn
seks sebebas-bebasnya.

Dalam petualangannya di dunia liar, Fifi bertemu dengan wanita-


wanita sebayanya. Mereka merasa senasib dan seperjuangan. Mereka
bisa hidup rukun dan penuh solidaritas. Siapakah mereka semua?
Mereka ternyata adalah anak-anak yang kekurangan kasih sayang.
Umumnya, orangtua mereka mengalami broken-home.

46
Memang banyak alasan mengapa kehidupan rumah tangga
seseorang menjadi berantakan ibarat kapal pecah berkeping-keping.
Ada yang rumah tangganya hancur karena suami istri merasa sudah
tidak seideologi lagi. Ada yang broken-home karena anggapan bahwa
pasangannya sudah tidak sayang lagi dan masih ada setumpuk gunung
alasan mengapa rumah tangga bisa menjadi berantakan.

Ketika rumah tangga menjadi berantakan cukup sulit bagi sang


anak untuk mendapatkan kasih sayang secara sempurna dari kedua
orangtuanya. Kekurangan kasih sayang pada akhirnya dapat menjadi
sumber anak-anak menjadi brutal, terjun ke lembah hitam dan
sebagainya.

Sebut saja A, adalah seorang anak laki-laki dari keluarga yang


secara ekonomi berkecukupan. Ayahnya bekerja di perusahaan yang
dapat memberikan penghasilan yang lumayan. Ibunya menjadi kasir
di sebuah super market. Keluarga A adalah keluarga kecil sebab kedua
orangtuanya hanya memiliki dua anak yaitu A dan kakaknya seorang
wanita.

Setelah A tumbuh besar, kedua orangtuanya sering bertengkar.


Sebabnya adalah mereka saling mencurigai bahwa pasangannya
berpacaran dengan orang lain. Suami mencurigai istrinya berpacaran
dengan temannya. Sebagai akibatnya ia pun membalas dengan cara
berpacaran dengan wanita lain. Sang istri juga sama. Ia mencurigai
suaminya berpacaran dengan sekretarisnya. Sebagai balasannya, ia
pun berpacaran dengan pria lain.

Kondisi bahtera kehidupan yang oleng membuat A kekurangan


kasih sayang dan merasa kesepian. Ia berusaha menghibur diri dengan
cara menonton film-film action yang merupakan film favoritnya.

47
Bosan nonton film action, ia mulai mencoba untuk menyewa film-
film porno. Film-film porno membangkitkan gelora nafsu seksual A
yang kebetulan saat itu sedang tumbuh menjadi remaja.

Tak mampu membendung nafsu, A langsung menyergap


pembantunya ketika pembantunya mengantarkan minuman ke
kamarnya. Pembantunya bukannya menolak tapi justru melayani
A karena pembantu tersebut adalah seorang janda yang belum lama
ditinggal suaminya. Semenjak saat itu, mereka sering melakukan
hubungan seksual ketika rumah sedang ditinggal oleh penghuni yang
lain. Hubungan tersebut mengakibatkan sang pembantu menjadi
hamil.

Masalah tidak berhenti di situ saja. Kakak A juga dihamili oleh


kekasihnya. Tapi untunglah, kekasihnya mau bertanggung jawab atas
perbuatannya.

Begitulah satu masalah menghasilkan masalah yang lain.


Ketidakmapanan dan ketidakharmonisan kehidupan rumah tangga
menghasilkan masalah-masalah yang lain. Karena dipicu oleh
rasa curiga dan cemburu, suami istri saling mencari pasangan lain.
Ketidakharmonisan tersebut membuat anak-anak terlantar dan
kekurangan kasih sayang. Mereka akhirnya mencari alternatif lain yang
dapat membuat mereka sejenak terpuaskan dan merasa mendapatkan
kasih sayang. Cara yang salah membuat kedua anak tersebut terjebak
dalam masalah baru.

A benar-benar menjadi anak yang malang sebab kedua


orangtuanya hidup dalam ketidakharmonisan. Ia semakin menjadi
anak malang setelah ia menghamili pembantunya. Tidak ada orang
yang tahu bahwa sang pembantu hamil karena ulah A. Sang ibu justru

48
mencurigai suaminya yang telah melakukan semua itu. Setelah sampai
waktunya, sang ibu minta pembantu tersebut pulang dan melahirkan
anaknya. Timbullah kebahagiaan dalam diri A. Tapi taklama kemudian
sang pembantu datang lagi.

Ketika sang pembantu datang lagi, masalah baru muncul kembali.


Sang pembantu tampak ramah kepada A ketika kedua orangtuanya
berada di rumah. Tapi apakah yang terjadi ketika mereka tidak ada?
Sang pembantu berusaha mengontrol si A dengan berbagai cara
bahkan berusaha menghalanginya berpacaran dengan wanita lain.
Bahkan suatu ketika saat A marah-marah pada pembantunya, sang
pembantu justru dengan santai mengatakan, “Apakah Engkau tidak
ingin melihat anakmu?”

Begitulah suatu masalah menimbulkan masalah baru yang


berkepanjangan. Kehancuran rumah tangga orangtua A telah membuat
A terjerumus ke dalam masalah dan masalah itu menciptakan mata
rantai masalah yang tidak berkesudahan serta tidak mudah untuk
dicarikan solusinya.

Saya yakin masih ada banyak kasus yang dapat dijadikan contoh
tentang anak-anak yang malang karena kurang mendapatkan perhatian
dan kasih sayang dari orangtuanya. Semoga saja Anda sebagai
pembaca buku ini adalah orang-orang yang beruntung karena kuyup
kasih sayang dari orangtua. Semoga Anda selalu berbahagia karena
mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari ibu dan
ayah Anda. Tapi kalau kenyataan harus terjadi sebaliknya, bersabarlah
dan ambillah sisi positifnya.

Apakah yang dapat kita lakukan manakala kita menjadi anak-


anak yang malang, kekurangan kasih sayang dari kedua orangtua kita?

49
Berdasarkan riset, orang-orang yang kekurangan kasih sayang akan
berusaha mencari kasih sayang dan perhatian dari luar. Mereka akan
merasa bahagia, tenang, tentram dan damai ketika ada orang yang
mau memperhatikan dan memberikan kasih sayang kepada mereka.
Lihatlah beberapa contoh yang telah saya paparkan di atas.

Saat seseorang mendapatkan kasih sayang dari luar secara penuh,


sedikit banyak ia akan mencela orangtuanya yang tidak mampu
memberikan kasih sayang secara penuh. Akan tetapi, janganlah Anda
melakukan hal ini. Ketika Anda harus menjalani dan merasakan
pengalaman pahit, sekali lagi pesan saya, bersabar dan ambillah sisi
positifnya. Dari setiap apa yang kita alami pasti ada hikmah atau
pelajaran yang dapat kita ambil.

Bila kedua orangtua tidak memberikan kasih sayang yang


cukup, Anda sudah selayaknya bersyukur dan berterima kasih kepada
mereka karena mereka telah menjadi kondisi dan faktor Anda dapat
dilahirkan sebagai manusia di bumi ini. Kita harus ingat bahwa untuk
bisa melahirkan atau memunculkan seorang manusia di bumi ini
dibutuhkan tiga syarat yaitu:

1. Adanya gandhabba (gandhabbo ca paccupaṭṭhito hoti);

2. Adanya hubungan seksual suami dan istri (mātāpitaro ca


sannipatitā honti),

3. Masa subur di pihak wanita (mātā ca utunī hoti).12

Bila tiga syarat ini tidak terpenuhi, adalah hal yang muskil akan
terjadi kelahiran terkecuali dalam kasus-kasus yang sangat spesial.

12 Yato ca kho, bhikkhave, mātāpitaro ca sannipatitā honti, mātā ca utunī hoti, gandhabbo
ca paccupaṭṭhita hoti –evaṁ tiṇṇaṁ sannipātā gabbhassāvakkhanti hoti: M. I, 266.

50
Oleh karena itu, bagaimana pun kondisi kedua orangtua kita, kita mau
tidak mau harus berterima kasih atas jasa yang telah diberikan, mau
menjadi fasilitator bagi kita untuk terlahir sebagai manusia.

Kitab Dhammapada dengan jelas mengatakan bahwa tidak


mudah terlahir sebagai manusia (kiccho manussapaṭilābho: Dhp. 182).
Ini menandakan bahwa untuk terlahir sebagai manusia diperlukan
suatu perjuangan dan kumpulan kebajikan yang luar biasa. Di bagian
lain, sulitnya terlahir sebagai manusia digambarkan seperti seseorang
yang melempar gelang yang ukurannya hanya pas seukuran kepala
penyu ke kepala penyu yang berada di tengah lautan. Penyu tersebut
hanya muncul seratus tahun sekali dan orang tersebut melemparkan
gelang tersebut juga hanya seratus tahun sekali pula. Kalau kita
sukses memasukkan gelang ke kepala penyu, itu sama artinya kita
sukses terlahir sebagai manusia. Dengan analogi ini, kita bisa melihat
dengan jelas bahwa untuk terlahir sebagai manusia bukanlah hal yang
gampang seperti membalikkan telapak tangan.

Francis Story dalam bukunya berjudul Rebirth as Doctrine and


Experience, menjelaskan bahwa pada umumnya kita dilahirkan oleh
kedua orangtua kita sekarang ini karena kita suka kepadanya dan
merasa cocok dengannya. Berdasarkan risetnya melalui hipnotis dan
penuturan banyak orang yang mampu mengingat kelahirannya di
masa lampau dan terutama saat sebelum dilahirkan dalam kehidupan
sekarang ini, banyak gandhabba yang terus mengikuti orang yang dia
sukai dan setelah ada kesempatan mereka “masuk” dalam rahim orang
yang ia sukai.

Kalau memang benar bahwa kita bisa menjadi anak dari kedua
orangtua kita karena kita suka kepadanya saat kita masih menjadi
gandhabba, apakah merupakan kesalahan kedua orangtua kita bila
51
mereka tidak dapat memberikan kasih sayang sepenuhnya? Tentu
kesalahan tidak dapat kita limpahkan kepada kedua orangtua kita
sepenuhnya. Karena kita telah memutuskan untuk bertumimbal
lahir di keluarga tersebut, kita juga turut bertanggung atas semua
yang terjadi dan yang akan terjadi. Mengapa kita memilih mereka
menjadi orangtua kita? Mengapa kita tidak memilih orang lain yang
mempunyai kelebihan dalam kasih sayang? Itulah pertanyaan yang
harus kita pertanyakan kepada diri kita kalau memang teori yang
dikemukakan oleh Francis Story adalah benar.

52
Kasih Sayang atau Kemelakatan?

S
etiap anak yang lahir di bumi ini membutuhkan kasih
sayang dan perhatian dari orangtuanya. Tanpa kasih
sayang dan perhatian dari kedua orangtua kehidupan
seorang anak akan terasa ganjil. Ada sesuatu yang kurang
bila kasih sayang dan perhatian dari kedua oarangtua tidak hadir.
Kasih sayang dan perhatian yang diberikan orangtua kepada anak,
di satu sisi akan membuat anak tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang normal. Di sisi lain, bila tanpa dilandasi kebijaksanaan,
kasih sayang akan berubah menjadi kemelekatan dan akan cukup sulit
membedakan antara kemelekatan dan kasih sayang.

“Ini kasih sayang atau kemelekatan?” itulah salah satu pertanyaan


yang ada dalam benak saya selama ini. Saya mempertanyakan hal
tersebut karena saya sendiri bersama anggota keluarga yang lain
mempunyai pengalaman yang tidak jauh berbeda. Pengalaman itu
sering terjadi tetapi sulit untuk menentukannya, apakah itu adalah
akibat kekuatan kemelekatan atau kasih sayang.

Seperti telah saya jelaskan di bagian awal buku ini, orangtua


kami mempunyai anak karena keinginan. Selain adik saya yang
merupakan anak bungsu, semua jenis kelamin dan hari kelahiran
adalah hasil keinginan ayah. Lalu siapakah yang menjadi anak-anak
orangtua kami? Apakah kami memang punya hubungan kekeluargaan
semenjak dalam kehidupan-kehidupan yang lampau sehingga begitu
ayah mempunyai keinginan kemudian kami lahir ke muka bumi ini
sesuai dengan keinginan tersebut?

Menurut Professor Galmagoda Sumanaphala—yang

53
notabenenya adalah Professor Abhidhamma dan mempunyai
kemampuan menghipnotis seseorang untuk berbagai tujuan termasuk
untuk mengetahui kelahiran kembali, orang-orang yang ada dalam
keluarga kita pada umumnya adalah saudara-saudara kita juga dalam
kehidupan masa lalu. Saudara-saudara kita bisa berkumpul kembali
dalam kehidupan sekarang ini karena adanya kekuatan kemelekatan.

Dalam keluarga saya, ada suatu kepercayaan dan keyakinan


bahwa saya adalah kelahiran kembali dari paman saya. Paman tersebut
meninggal setelah menikah dengan seorang wanita yang konon
kabarnya tidak berdasarkan restu dari kakek. Tepat sesaat sebelum
meninggal, paman mengatakan semua ciri-cirinya dalam kelahiran
yang akan datang termasuk hari kelahirannya. Apa yang ia sebutkan
benar-benar ada dalam diri saya baik hari kelahiran maupun ciri fisik
yang ia sebutkan.

Semenjak saya dilahirkan—menurut cerita ayah—bibi, janda


paman, tidak pernah menyentuh saya. Saya sendiri belum pernah
bertemu dengan bibi tesebut sehingga saya tidak pernah tahu apa
alasannya mengapa ia tidak berani menyentuh saya. Kalau saya
menangis, kemudian bibi mengetahuinya, bibi hanya bilang dari
kejauhan, “Sudah diam mama ke pasar, sebentar lagi juga pulang.”

Setelah saya menjadi sāmaṇera, saya menyadari bahwa hobi


saya ketika masih menjadi umat awam juga hampir tidak ada bedanya
dengan kebiasaan dan hobi paman. Tapi, apakah saya percaya begitu
saja bahwa saya adalah tumimbal lahir dari paman saya? Jawabannya
adalah tidak. Hingga buku ini saya tulis, Professor Galmagoda
Sumanaphala belum memiliki waktu untuk menghipnotis saya untuk
membuktikan apakah benar cerita dan keyakinan keluarga saya
tersebut atau tidak.
54
Selain itu, kami bisa saling merasakan apa yang dirasakan oleh
yang lain atau lebih tepat kami dapat firasat bila yang lain sedang
mengalami sesuatu. Ayah dan Mama adalah yang cukup sensitif dalam
hal ini.

Bila ayah sedang berada dalam perjalanan atau sedang bepergian


jauh dari rumah kemudian tanpa ada alasan ayah menangis, itu
tandanya kakak saya yang nomor empat sedang sakit. Oleh karena itu,
ketika ayah mengalami hal semacam itu ayah akan segera pulang dan
menunda perjalanan tersebut atau sesegera mungkin menyelesaikan
urusannya. Semenjak kecil, kakak memang agak sulit untuk ditinggal
ayah. Biasanya kalau anak-anak yang lain sedang sakit atau mengalami
kesulitan yang ada dalam pikiran ayah hanyalah anak tersebut.

Selama di Indonesia, saya sempat mengabdi di beberapa tempat.


Ketika mengabdi di Lampung, saya sempat menjadi penghuni rumah
sakit selama enam hari. Biasanya setiap saya pindah ke vihara baru,
saya selalu kirim surat dan memberitahu bahwa saya sedang berada di
vihāra yang baru. Begitu pula ketika saya berada di Lampung. Ketika
saya sedang dirawat di rumah sakit, saya memang tidak memberitahu
mereka. Namun apakah yang ada dalam pikiran ayah? Ayah ternyata
selalu ingat saya. Yang ada dalam pikirannya hanya saya. Ia pun
merasa kuatir kalau saya lepas jubah. “Jangan-jangan sāmaṇera setelah
pindah ke Lampung tidak betah melihat dunia di sana. Ah semoga saja
sāmaṇera selamat.” Begitulah pikir ayah. Ayah menjadi lega setelah
membaca surat yang saya kirimkan ketika saya telah sembuh.

Selama saya menjadi sāmaṇera, sudah dua kali saya menjenguk


keluarga saya di rumah. Setiap kali akan pulang saya tidak pernah
memberitahu mereka. Beberapa hari menjelang kedatangan saya,
ayah, mama, kakak dan adik seakan-akan selalu melihat saya.
55
Bayangan tentang saya selalu muncul dalam pikiran mereka. Tapi
mereka tidak mengerti apa yang akan terjadi. Dalam kebiasaan
keluarga setelah salah satu anggota keluarga datang, kami berkumpul
dan menceritakan pengalaman kami. Oleh karena itu, biasanya yang
ada di rumah menceritakan apa yang mereka alami selama beberapa
hari terakhir.

Sebagai salah satu anggota keluarga, kalau di rumah sedang


terjadi sesuatu yang serius saya pun merasakan sesuatu. Ambil saja
contohnya ketika saya berada di Makassar.

Saat itu, saya baru beberapa hari berada di Makassar. Saya


merasa kangen banget dengan keluarga saya. Yang ada dalam benak
saya hanya pulang dan pulang. Tidak bisa ditunda. Namun saat itu
saya tidak bisa pulang karena saya adalah pendatang baru. Ketika saya
berkunjung untuk kedua kalinya ke rumah, saya menceritakan kepada
keluarga saya, “Bulan Agustus yang lalu saya kangen banget dengan
rumah. Saya mau pulang tapi tidak bisa.” Apa jawab ayah, “Ya, saat
itu saya sedang sakit.”

Tepat satu tahun saya berada di Sri Lanka dan beberapa hari
menjelang bencana tsunami yang menggemparkan dunia itu, saya
sedang ulangan akhir tahun. Saat itu, benar-benar celaka. Saya kangen
banget dengan mama. Saya merasa belum mau berpisah dengan
mama, saya ingin mama selalu berada di samping saya dan selalu
menemani saya. Makan tidak enak, tidur sulit, belajar pun sulit untuk
berkonsentrasi. Yang ada dalam pikiran hanya mama, mama dan
mama, kangen, kangen dan kangen………... Perasaan semacam itu
saya rasakan hingga lebih dari dua minggu.

Setelah selesai ulangan, saya langsung tulis surat ke rumah. Saya

56
tanyakan apakah mama sedang sakit atau terlalu banyak memikirkan
saya karena biasanya kalau saya lagi kangen mama sedang sakit atau
terlalu memikirkan saya. Tepat tanggal 10 Maret 2005 saat saya baru
pulang dari forest meditation center, saya dapatkan jawaban dari
kakak. Kakak mengatakan:

“Memang benar yang bhante katakan dalam surat itu bahwa


mama sedang sakit. Hanya saja bukan sakit yang sebenarnya melainkan
Mama Agung (adik saya maksudnya) yang sedang sakit. Ia mengalami
kecelakaan saat mengendarai sepeda motor.”

Keluarga saya tidak memberitahu saya yang sedang berada di Sri


Lanka karena mereka tidak ingin mambuat saya terlalu memikirkan
rumah. Mereka hanya berharap agar saya dapat menjalankan tugas
dengan baik.

Saudara-saudara saya yang lain juga merasakan sesuatu yang


ganjil bila ayah dan mama sedang mengalami sakit. Kakak saya yang
nomor tiga sangat menyayangi mama. Gayanya yang agak manja
membuat dia sangat dekat dengan mama. Suatu ketika ia bekerja
di tempat yang cukup jauh dari rumah. Ia sempat tinggal di tempat
tersebut hingga beberapa tahun dan hanya pulang pada saat Hari Raya
Idul Fitri.

Ketika ia berada di tempat tersebut, mama jatuh sakit yang


cukup parah. Pada saat mama sedang sakit, kakak pun merasa kangen
dengan rumah. Ia tidak bisa tidur dengan baik, duduk sulit, berbaring
juga tidak bisa. Akhirnya, ia minum obat tidur hingga kelewat dosis.
Sebagai akibatnya, ia tertidur selama dua hari tanpa bergerak.

Demikian hubungan kami antara orangtua dan anak serta


sebaliknya. Saya pun tidak tahu kekuatan apa yang ada di antara kami.
57
Apakah ini kekuatan kasih sayang atau kekuatan kemelekatan. Kalau
memang itu adalah kekuatan kemelekatan, kondisi untuk terlahir
secara berulang-ulang terus ada. Kondisi untuk saling merindukan
tak akan pernah berhenti. Dengan demikian, roda saṁsara akan terus
berputar dan berputar.

58
Beda Agama?

K
etika akan berangkat ke Sri Lanka, saya menyempatkan
diri untuk mengunjungi toko komputer bersama Jimmy—
putra Upāsika Liem Ie Tjen atau biasa dipanggil Mami
oleh beberapa orang—guna membeli komputer dan
barang-barang yang saya butuhkan selama belajar di Sri Lanka. Sambil
menunggu para teknisi toko tersebut merakit komputer, saya sempat
ngobrol ke sana ke mari—terutama soal agama—dengan customer
service. Dona, itulah namanya. Seingat saya ia berasal dari Sumatra.

Dalam perbincangan tersebut Dona bertanya, “Apakah


keluargamu juga beragama Buddha?” Dengan terus terang saya
jelaskan bahwa saya dan keluarga saya memiliki agama yang berbeda.
“Apakah kamu mempunyai keinginan untuk membuat keluargamu
menjadi umat Buddha?” Dengan singkat saya jawab bahwa saya tidak
memiliki keinginan untuk membuat anggota keluarga saya menjadi
umat Buddha. Mendengar jawaban saya, Dona berkomentar “Kalau
begitu, kamu bukanlah anak yang bertanggung jawab.”

Begitulah perbincangan saya dengan Dona soal beda agama


antara orangtua dan anak. Perbincangan itu singkat tapi penuh makna.
Betapa tidak karena banyak orangtua yang berusaha mati-matian agar
anak selalu seagama dengannya dan juga banyak anak yang berusaha
membuat orangtuanya turut menganut agama yang ia percayai.

Sebagai akibat dari adanya keinginan untuk membuat anggota


keluarganya menjadi penganut agama yang dia anut, sering kali terjadi
kesalahpahaman dan permusuhan dalam keluarga. Hal ini dapat
terjadi karena setiap pemeluk agama percaya bahwa agama yang dia

59
anut adalah agama yang terbaik. Agama yang dia anaut adalah agama
yang mampu memberikan kebahagiaan dan keselamatan baik dalam
kehidupan sekarang ini maupun dalam kehidupan yang akan datang.

Dalam keluarga saya, hanya saya yang menganut agama


yang berbeda. Semua yang lain, ibu, ayah, kakak, adik dan semua
keponakan saya menganut satu agama. Karenanya, ketika mengetahui
saya pindah agama—menjadi umat Buddha bahkan menjadi
sāmaṇera, banyak anggota masyarakat yang menyudutkan orangtua
saya. Mereka mengatakan bahwa orangtua saya adalah orangtua yang
tidak bertanggung jawab, membiarkan anaknya menganut agama lain.
Sungguh suatu pandangan yang saya rasa tidak ada bedanya dengan
pandangan yang dianut Dona.

Orangtua kami sebenarnya memberikan kebebasan kepada


anak-anaknya untuk menganut agama apapun. Yang penting—dalam
pandangan orangtua kami—kami menjadi orang yang baik, berguna
bagi masyarakat dan tidak mengganggu orang lain. Keluarga kami lebih
menaruh perhatian pada nilai-nilai moral daripada ritual keagamaan.
Kami punya prinsip, untuk apa siang dan malam melaksanakan ritual
keagamaan tapi kalau moralnya tidak baik. Hal ini dapat terjadi karena
ajaran kebatinan yang telah turun temurun semenjak nenek moyang
kami, lebih kami kuasai daripada agama yang kami anut.

Dengan prinsip yang demikian, kelaurga saya tidak gentar


menghadapi diskriminasi yang datang dari masyarakat. Mereka hidup
dengan tenang bahkan merasa bangga saya bisa menjadi sāmaṇera.
Memang pada awalnya saya perlu suatu perjuangan yang cukup
keras untuk bisa mendapatkan izin menjadi sāmaṇera. Saya perlu
menerapkan suatu taktik agar izin itu keluar.

60
Kedua orangtua saya, terutama ayah, mengharapkan semua
anak-anaknya kumpul menjadi satu sebab ia masih memegang
prinsip lama—makan tidak makan yang penting kumpul. Sebagai
anak, saya lebih mengikuti tren generasi zaman modern ini—kumpul
tidak kumpul yang penting bahagia. Saya merelakan berpisah dengan
keluarga saya, saya merelakan kehilangan kasih sayang secara dini
dari kedua orangtua saya demi tercapainya kebahagiaan yang tertinggi
melalui jalur kehidupan spiritual.

Kalau kita lihat secara seksama kedua prinsip di atas memang


ada sisi negatifnya dan ada sisi positifnya. Prinsip orang-orang kuno
makan tidak makan yang penting kumpul, menekankan pentingnya
arti persaudaraan. Karena prinsip ini, nenek moyang kita bersatu,
mereka mempunyai rasa solidaritas yang cukup tinggi. Mereka hidup
saling menolong satu dengan yang lain. Salah seorang dosen saya
menceritakan, beberapa dekade yang silam anak-anak bebas bermain
dan setelah selesai bermain mereka bebas memetik buah yang ada
di pekarangan tetangganya. Sekarang, rasa kepemilikan dan jiwa
individualisme lebih tinggi sehingga kita tidak bisa menyaksikan anak-
anak bisa bebas bermain seperti dulu. Terlebih lagi dengan hadirnya
berbagai macam tekhnologi mutahir.

Kemajuan tekhnologi, di satu sisi, memberikan kenyamanan


dan kemudahan. Akan tetapi di sisi lain, tekhnologi benar-benar telah
membuat banyak generasi muda sekarang menjadi orang asing di
negeri sendiri. Mereka lebih asyik dengan dunianya sendiri dan tidak
peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Orang-orang Dayak di zaman dulu memandang pentingnya arti


kebersamaan. Oleh karena itu, mereka membangun satu rumah untuk
ditinggali bersama. Biasanya satu rumah yang cukup besar terdiri dari
61
200 pintu dan dihuni oleh 500 orang. Akan tetapi, tradisi semacam
ini sangat sulit kita temukan sekarang. Dengan sistem semacam
ini, rasa persaudaraan tetap dapat dipertahankan dan memudahkan
mereka untuk berkomunikasi, dan saling membantu bila ada yang
mendapatkan kesulitan.

Rumah panjang sangat sulit ditemukan di zaman modern ini.


Orang-orang Dayak zaman sekarang lebih suka tingal di rumah-
rumah terpisah dan gaya hidup semacam ini sangat didukung oleh
pemerintah.

Kebanyakan generasi sekarang, sulit menerapkan prinsip makan


tidak makan yang penting kumpul karena mereka lebih menekankan
pentingnya nilai ekonomi. Karena itu, generasi sekarang lebih senang
menggunakan prinsip, kumpul tidak kumpul yang penting bahagia.

Prinsip ini pada akhirnya telah memicu muncul jiwa


individualisme. Karena ingin bahagia, sering kali kita lupa lingkungan
sekitar kita. Lebih memprihatinkan lagi, karena ingin mendapatkan
kebahagiaan banyak orang lupa daratan, mereka justru merampas
kebahagiaan orang lain. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan
kalau kita sekarang ini sering mendengarkan berita tentang KKN,
pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan sebagainya. Berita-
berita semacam itu seakan-akan tidak pernah putus dari telinga kita.
Berita-berita itu terus mengalir bagai sungai, terus bermunculan bak
jamur di musim hujan.

Keluarga saya yang lebih menekankan pentingnya arti morlitas,


membuat saya lebih gampang mentransfer pengetahuan yang saya
miliki. Dalam setiap kesempatan ketika saya kirim surat, saya nasehati
mereka bagaimana cara berbuat baik yang lebih sempurna agar mampu

62
menghasilkan buah yang lebih sempurna pula.

Sebagai anak, saya juga merasa mempunyai tanggung jawab


untuk meningkatkan kualitas mental spiritual keluarga saya. Untuk
bisa meningkatkan kualitas spiritual mereka atau untuk melakukan
hal-hal yang lebih sulit dalam kehidupan spiritual, saya iming-imingi
dengan hal-hal yang sifatnya sangat duniawi. Sebagai contohnya,
bermeditasi. Saya katakan bahwa orang-orang yang bermeditasi
menceritakan kepada saya mereka memiliki badan yang sehat dan
merasa lebih baik dari sebelumnya.

Ayah yang di masa mudanya suka berpetualang, belajar dari satu


guru ke guru yang lain, bertapa dari satu gunung ke gunung yang lain,
mengunjungi tempat-tempat yang dianggap paling keramat, lebih
cepat dan lebih tertarik dengan kata-kata saya. Begitu saya nasehati
untuk bermeditasi, setiap pagi ayah selalu bermeditasi. Ketika saya
mengunjungi mereka tepat satu bulan sebelum saya berangkat ke Sri
Lanka, ayah mengatakan:

“Semenjak Bhante menyuruh saya untuk bermeditasi, setiap


pagi saya selalu bermeditasi. Sekarang saya merasa lebih baik dari
sebelumnya, dan sekarang saya bisa membaca meskipun tidak pakai
kaca mata (sebelumnya ayah tidak bisa membaca kalau tidak pakai
kaca mata).”

Saudara-saudara saya yang lain sekarang juga lebih religius


daripada sebelumnya. Mereka menjalankan ritual keagamaan lebih
serius. Lebih dari itu, mereka tidak alergi untuk datang ke vihāra.

Kalau memang Anda adalah orang yang bebeda agama dengan


orangtua Anda, janganlah langsung menunjukkan taring bahwa Anda
lebih hebat. Bila Anda arogan, orangtua dan keluarga Anda akan
63
bersikap apriori. Kadang kita harus menemukan sebuah cara agar kita
bisa menjinakkan pikiran orangtua kita. Kalau Anda ingin menangkap
harimau, jangan menggunakan tombak atau anak panah karena
begitu harimau tahu Anda membawa tombak atau anak panah ia akan
langsung pasang kuda-kuda untuk menerkam Anda.

Sang Buddha sendiri tidak langsung mengajarkan ajaran-Nya


kepada orang-orang yang belum matang dalam berpikir. Sang Buddha
menggunakan suatu taktik agar orang yang dihadapi dapat tunduk
dan dengan sendirinya menjadi penganut agama yang diajarkan-Nya.
Coba lihatlah, bagaimana Sang Buddha membuat Y.M. Nanda tetap
bertahan menjadi bhikkhu. Y.M. Nanda adalah pewaris tunggal dan
berstatus pengantin baru yang berdasarkan catatan-catatan yang ada
istrinya adalah wanita yang paling cantik saat itu. Karena itu, istrinya
disebut Janapadakālyaṇi.

Sang Buddha, setelah mendengarkan laporan dari para bhikkhu


bahwa Y.M. Nanda tidak betah menjadi bhikkhu karena rindu dengan
istrinya, membawa Y.M. Nanda ke surga. Dalam perjalanan, Sang
Buddha sengaja menciptakan kera betina yang sudah tua. Kera itu
sedang berada di tempat yang sangat kering. Sang Buddha kemudian
membawa Y.M. Nanda ke surga di mana terdapat bidadari yang sangat
menggiurkan. Mereka semua tampak cantik-cantik.

Sang Buddha kemudian bertanya, “Nanda manakah yang lebih


cantik, bidadari-bidadari ini atau istrimu?” “Bhante bidadari-bidadari
ini tentu lebih cantik, dan Janapadakālyaṇi tak ubahnya seperti kera
tua yang baru saja kita jumpai,” jawab Y.M. Nanda. “Nanda kalau
memang Engkau ingin mendapatkan bidadari-bidadari ini, Engkau
harus berjuang dengan keras. Engkau harus bermeditasi dengan
tekun,” kata Sang Buddha.
64
Karena tekun bermeditasi dan merasa malu karena diolok-olok
oleh bhikkhu lain, Y.M. Nanda menjadi orang suci. Ia mencapai
tingkat kesucian tertinggi, dan bebas dari semua belenggu duniawi.

Kita bisa kembali lagi untuk melihat cerita Sigālaka. Ayah


Sigālaka berpesan agar ia menyembah enam arah setiap pagi setelah
mandi. Sang Buddha tidak langsung mengatakan apa yang dipraktikkan
oleh Sigālaka adalah hal yang salah dan ia harus meninggalkan praktik
semacam itu. Sang Buddha justru memberikan interpretasi lain atas
praktik semacam itu. Setelah mendapatkan interpretasi baru dari Sang
Buddha, bukanlah hal yang salah bila Sigālaka tetap mempraktikkan
pesan ayahnya untuk menyembah enam arah setiap pagi setelah selesai
mandi selain mempraktikkan ajaran Sang Buddha.

Sang Buddha juga menerapkan cara-cara yang berbeda ketika


menghadapi Kisa Gotami, Patacara, anak-anak dan sebagainya.

Sebenarnya masalah beda agama antara orangtua dan anak


bukanlah masalah yang baru. Sepanjang sejarah peradaban manusia
atau semenjak manusia mengenal agama, banyak orangtua yang
berharap agar anak-anak seagama dengannya. Demikian juga, anak-
anak berharap agar orangtuanya menganut agama yang dia anut.
Banyak contoh yang bisa kita ambil.

Di atas kita telah melihat bagaimana orangtua Sigalāka berharap


agar anaknya beragama Buddha atau paling tidak mempraktikkan
ajaran yang diajarkan oleh Sang Buddha. Semasa hidupnya, ia tidak
sukses membuat anaknya beragama Buddha. Tapi pada saat menjelang
kematiannya, ia meninggalkan pesan yang pada akhirnya membuatnya
anaknya menjadi penganut agama baru, agama Buddha.

Kāla adalah anak Anāthapiṇḍika yang menjadi seorang sotāpanna


65
karena disuap. Pada mulanya, ia adalah anak yang enggan untuk
bertemu dengan Sang Buddha. Setiap kali Sang Buddha datang ke
rumahnya, Kāla selalu menghindar. Anāthapiṇḍika yang mengetahui
gelagat anaknya, merasa kuatir anaknya akan terlahir di alam yang
rendah (apāya).

Pada hari uposatha, Anātapiṇḍika meminta Kāla untuk pergi ke


vihāra guna mendengarkan ceramah dan ia akan memberikan uang
seratus keping setelah ia pulang. Cara itu sukses membuat Kāla
mengunjungi vihāra meskipun ia tidak mendengarkan ceramah. Pada
hari selanjutnya, Anātapiṇḍika minta Kāla untuk belajar sebait syair
dari Sang Buddha dan bila sukses, ia akan diberi uang seribu keping.
Dengan senang hati, Kāla pergi ke vihāra dan menemui Sang Buddha.
Ia mengatakan mau belajar sebait syair dari Sang Buddha.

Sang Buddha mengajarkan sebait syair kepadanya. Dengan


dalih kuatir tidak dapat mengingat syair tersebut dengan baik, Sang
Buddha meminta Kāla menghafalkan syair itu secara terus menerus.
Karena cara tersebut, Kāla memahami maknanya dan menjadi seorang
sotāpanna. Pencapaian kesucian membuat Kāla enggan disuap dengan
uang hanya demi belajar Dhamma.

Anātapiṇḍika berharap anaknya belajar Dhamma bukan karena


dipicu oleh keinginan agar agama Buddha banyak pengikutnya,
melainkan karena Anātapiṇḍika memahami secara benar apa yang
akan terjadi bila anaknya enggan belajar Dhamma.

Y.M. Sāriputta adalah seorang Dhammasenapati. Sebelum


menjadi bhikkhu di bawah bimbingan Sang Buddha, ia adalah
seorang brāhmaṇa. Sebagai seorang brāhmaṇa terlebih lagi ayahnya
adalah pemimpin di desanya, ia mendapatkan pendidikan yang cukup.

66
Setelah menyadari manfaat kehidupan selibat, ia akhirnya menjadi
petapa bersama sahabat akrabnya Kolita yang belakangan kita kenal
sebagai Y.M. Moggallāna. Mereka belajar kepada Sañjaya tapi hal itu
tidak membuahkan hasil pada apa yang mereka harapkan. Mereka
mengharapkan perealisasian kebahagiaan tertinggi.

Suatu hari Petapa Upatissa sangat tertarik dengan sikap dan


prilaku Bhante Asaji yang tengah berjalan untuk mengumpulkan dana
makanan. Setelah mendengar sebait syair dari Y.M. Asaji, akhirnya
Petapa Upatissa menjadi seorang Sotapāna. Ia menginformasikan
sahabat karibnya, bahwa ia telah menemukan seorang guru yang
telah membuatnya merealisasi kesucian pertama. Mereka Kemudian
menemuai Sang Buddha bersama teman-teman mereka dan menjadi
murid-murid Sang Buddha.

Y.M. Sāriputta adalah bhikkhu yang cerdas, pandai dan


mempunyai kemampuan intelektual yang cukup tinggi. Beberapa
orang berasumsi mungkin karena beliau sangat cerdas dan mempunyai
kemampuan intelektual yang sangat tinggi, sehingga beliau agak sulit
untuk merealisasi Nibbāna.

Y.M. Sāriputta mempunyai tiga saudara laki-laki yaitu Cunda,


Upasena dan Revata. Selain itu, ia juga mempunyai 3 saudara
perempuan. Namanya adalah Cālā, Upacālā, dan Sisūpacālā. Keenam
saudaranya tersebut menjadi bhikkhu dan bhikkhunī. Pada akhirnya,
semua merealisasi kebahagiaan tertinggi (Nibbāna) di bawah
bimbingan Sang Buddha. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa ibu Y.M.
Sāriputta dan juga ibu tujuh Arahat tetap bertahan menjadi pengikut
agama lain hingga menjelang Y.M. Sāriputta mangkat?

Memang sulit dipercaya bahwa ibu dari tujuh Arahat dan ibu dari

67
seorang Dhammasenapati tetap bertahan menjadi pengikut agama
lain, tapi itulah kenyataan yang sebenarnya terjadi. Ibu Y.M. Sāriputta
justru merasa tidak senang melihat putra-putrinya menjadi bhikkhu
dan bhikkhunī. Ia mengharapkan mereka menjalani kehidupan rumah
tangga dan meneruskan generasi keluarga.

Y.M. Sāriputta mangkat beberapa bulan terlebih dahulu sebelum


Sang Buddha. Sebelum mangkat beliau minta izin kepada Sang
Buddha untuk mangkat di tempat kelahirannya, tepat di kamarnya
ketika ia dilahirkan. Sang Buddha mengizinkannya. Setelah berada
di kamarnya, pada malam hari banyak dewa yang datang untuk
menjenguk Y.M. Sāriputta guna memberikan penghormatannya yang
terakhir. Ibunya melihat apa yang terjadi dan ia menanyakan siapa
yang datang. Y.M. Sāriputta menjelaskan bahwa yang datang adalah
para dewa termasuk dewa brahma yang selalu dihormati oleh ibunya.

Atas pertanyaan ibunya, Y.M. Sāriputta juga menjelaskan status


para dewa bila dibandingkan dengan Sang Buddha. Saat itulah muncul
keyakinan pada Sang Tiratana pada diri ibu Y.M. Sāriputta dan akhirnya
ia menjadi seorang Sotapāna. Ia menjadi seorang penganut ajaran
Sang Buddha sekaligus menjadi seorang Sotapāna tepat beberapa saat
menjelang putranya yang menjadi Dhammasenapati akan mangkat.

Bila kita kalkulasi, berarti lebih dari empat puluh tahun menjadi
Arahat dan sebagai Dhammasenapati, Y.M. Sāriputta tidak membuat
ibunya menjadi pengikut Sang Buddha. Apakah beliau berusaha untuk
membuat ibunya menjadi penganut agama Buddha atau tidak selama
itu tidak ada bukti yang jelas. Bukti yang kita miliki hanya ibunya
menangis meraung-raung tatkala mengetahui Y.M. Sāriputta mangkat,
dan mempertanyakan mengapa ia tidak mengajarkan Dhamma yang
telah dianutnya semenjak dulu. Mungkin saja—tapi tidak pasti—
68
karena jiwa toleransi dan rasa hormat sehingga beliau membiarkan
begitu saja ibunya menganut agama lain.

Kalau kita lihat bukti-bukti yang ada dalam Tipitaka, agama


Buddha tidak mempermasalahkan beda agama antara orangtua dan
anak. Orangtua diberi kebebasan untuk menganut agama tertentu dan
anak juga diberi kebebasan untuk menganut agama lain. Meskipun
beda agama, yang terpenting adalah mereka hidup rukun, bahagia
dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Setelah bisa membedakannya, kita selalu menghindari apa yang tidak
baik dan menjalankan apa yang baik.

Kebebasan menganut suatu agama akan bisa kita lihat dalam


Kālamasutta dalam Kitab Anguttara Nikāya. Dengan jelas sutta ini
mengatakan:

“Etha tumhe, kālāmā, mā anussavena, mā paramparāya, mā


itikirāya, mā piṭakasampadānena, mā takkahetu, mā nayahetu, mā
ākāraparivitakkena, mā diṭṭhinijjhānakkhantiyā, mā bhabbarūpatāya,
mā samaṇo no garū’ti.”

Artinya:

“Oh Kālāma, jangan percaya begitu saja pada wahyu, tradisi,


kabar angin, kitab suci, logika, pandangan yang tampak rasional,
sesuatu yang disepakati, pandangan sekilas, orang yang mengajarkan
adalah orang yang kompeten, atau karena guru yang mengajarkan
ajaran tersebut adalah orang yang kita hormati.”

Dalam nasehat ini ada sepuluh hal yang seharusnya tidak kita
terima begitu saja keberadaannya. Lalu apakah yang harus kita lakukan
bila di lingkungan sekitar kita, kita menemukan hal-hal semacam itu?

69
Sang Buddha mengajarkan kita untuk menyelidiki kebenaran hal
tersebut atau di dalam terminologi Buddhis disebut sebagai ehipassiko.

Setelah menyelidikinya dengan seksama, kita akan mengerti


apakah hal-hal tersebut membawa kebahagiaan atau tidak. Bila ajaran
tersebut membawa penderitaan, tidak bermanfaat bila dipraktikkan,
sudah selayaknya kita tidak menganut dan mengikuti ajaran tersebut.
Namun, jika ajaran tersebut membawa kebahagiaan, bermanfaat sudah
selayaknya kita menganut ajaran tersebut.

Sebagai umat Buddha dan berstatus sebagai sāmaṇera, tentu saya


merasa bahagia dan sangat beruntung bisa bertemu dan mempraktikkan
ajaran Sang Buddha. Saya merasa praktik moralitas saya jauh lebih
baik bila saya bandingkan dengan ketika sebelum saya menjadi umat
Buddha. Sebagai petani yang tinggal di desa terpencil, pembunuhan
adalah hal yang sangat sulit dihindari bahkan tampak mustahil. Tapi
seingat saya, semenjak saya menjadi sāmaṇera saya tidak pernah
membunuh makhluk hidup dengan sengaja.

Saya bahagia dengan apa yang saya praktikkan. Demikian pula


anggota keluarga saya juga bahagia dengan apa yang mereka lakukan.
Di antara kami tidak ada yang memaksakan kehendak untuk menganut
agama yang kami anut. Kami saling menghormati dan kami juga saling
mengerti akan apa yang dilakukan oleh yang lain.

Kerukunan hidup dalam keluarga tetap akan terjaga meskipun


mereka menganut agama yang berbeda sepanjang semua anggota
keluarga menghormati penganut agama lain dalam keluarga tersebut.
Tapi, rumah akan menjadi neraka bila anggota keluarga yang berbeda
agama saling memaksakan kehendak agar yang lain juga turut
menganut agamanya.

70
Pada abad ketiga Sebelum Masehi, Asoka melalui prasasti
menulis sebuah pesan yang amat berguna bagi sebuah masyarakat
yang anggotanya menganut agama yang berbeda-beda. Pesan tersebut
adalah sebagai berikut:

“Seseorang hendaknya tidak hanya menghormati agamanya


sendiri dan merendahkan serta melecehkan agama lain. Tapi seseorang
hendaknya menghormati agama lain karena berbagai alasan. Dengan
melakukan hal ini, ia membantu agamanya sendiri berkembang
dan juga agama lain. Bila ia bertindak sebaliknya, itu sama artinya
ia menggali kuburan bagi agamanya sendiri dan menghancurkan
agama lain. Siapapun yang menghormati agamanya sendiri dan
merendahkan serta melecehkan agama lain, dengan berpikir “Aku
akan mengembangkan agamaku sendiri” sebaliknya ia justru semakin
menghancurkan agamanya sendiri. Oleh karenanya, hidup saling
menghormati dan saling memiliki toleransi adalah hal yang baik.
Marilah kita saling mendengarkan dan menghormati ajaran yang
dianut oleh orang lain.”

71
Balas Jasa

T
ak perlu diragukan lagi orangtua kita amat berjasa kepada
kita dan jasa tersebut sulit untuk diukur dengan ukuran
apapun yang ada. Coba bayangkan, ibu mengandung
kita selama sembilan bulan. Saat mengandung, sang ibu
berusaha semaksimal mungkin menjaga kita yang masih berada
dalam kandungan. Di saat-saat tertentu, ibu pergi ke dokter untuk
memeriksakan kesehatan kita yang masih terbaring tak berdaya di
dalam rahim. Sementara sang ayah berusaha membantu ibu dalam
menjaga sang bayi.

Setelah tiba saatnya dengan rasa sakit yang tak terbayangkan, ibu
melahirkan kita. Lebih dari semua itu, ibu pun harus mempertaruhkan
nyawa demi melahirkan kita. Dalam beberapa kasus, banyak ibu yang
tidak sempat melihat anak-anaknya karena mereka meninggal saat
melahirkan.

Setelah kita dilahirkan, mereka merawat dan membesarkan


kita. Siang dan malam mereka berusaha mengasuh, menjaga dan
memberikan perlindungan kepada kita. Mereka mengajari kita
berbicara, makan, berjalan, bekerja dan sebagainya. Tanpa bimbingan
mereka entah bagaimana kita jadinya.

Saya pernah melihat sekaligus bertemu dengan seorang anak


yang kedua orangtuanya kurang mampu memberikan pendidikan.
Mereka tidak mengerti bagaimana cara mengajari anak berbicara atau
melakukan sesuatu. Sebagai akibatnya, anak itu hanya bisa nangis dan
menunjuk sesuatu bila ia menginginkannya.

72
Ada sebuah cerita, entah cerita ini benar atau tidak saya tidak
mengerti secara pasti tapi yang jelas cerita ini akan memberikan
manfaat bagi kita paling tidak untuk membuka mata betapa
pentingnya arti pendidikan dari orangtua. Sepasang suami dan istri
yang miskin melahirkan seorang anak. Karena mereka merasa tidak
mampu menghidupi anak itu, anak tersebut dibuang. Anak malang
tersebut ternyata masih sedikit beruntung karena seekor harimau
mengambilnya dan merawatnya.

Anak tersebut dirawat, disusui dan dibesarkan oleh seekor


harimau tentu dengan gaya dan tradisi harimau. Setelah beberapa
tahun, suami istri tersebut kembali menjenguk anak tersebut. Anak
tersebut hidupnya hampir tidak ada bedanya dengan harimau. Ia
berjalan merangkak, dan makan makanan yang dimakan oleh harimau.
Gaya makannya juga tidak ada bedanya dengan harimau.

Begitulah cerita yang pernah saya dengar. Cerita tersebut


membuktikan bahwa pendidikan yang diberikan oleh orangtua sangat
penting artinya bagi kelangsungan hidup dan masa depan seorang
anak. Pendidikan yang diberikan oleh orangtua atau pembimbing
adalah yang akan dilakukan oleh anak dalam kehidupannya sehari-
hari.

Sang Buddha dengan sangat jelas menyadari pentingnya arti


pendidikan yang diberikan oleh orangtua. Oleh karena itu, dalam
kitab-kitab agama Buddha, kedua orangtua kita disebut sebagai
pubbācariya. Artinya guru awal atau guru yang pertama kali mengajari
kita tentang hal-hal yang sangat fundamental dalam hidup kita seperti
makan, minum, berjalan, berbicara dan sebagainya. Karenanya, kedua
orangtua kita mempunyai jasa yang amat besar kepada kita.

73
Selain mereka telah memberikan hal-hal yang sangat fundamental,
ada lima jasa atau juga sering disebut sebagai kewajiban yang telah
dilakukan oleh orangtua kepada anak. Lima hal tersebut adalah:

1. Menjaga anak dari kejahatan,


2. Selalu memotivasi untuk melakukan kebajikan,
3. Memberikan pendidikan,
4. Mencarikan pasangan hidup,
5. Memberikan harta warisan yang layak.

Atas jasa dan kebajikan yang telah dilakukan oleh kedua


orangtua kita, kita juga mempunyai tugas dan tanggung-jawab untuk
melakukan kebajikan kepada kedua orangtua kita. Atau dengan kata
lain, kita juga mempunyai kewajiban untuk membalas jasa kebajikan
yang telah dilakukan oleh kedua orangtua kita. Sebagaimana nasehat-
Nya kepada Sigālaka, ada lima hal yang harus kita lakukan kepada
kedua orangtua kita:

1. Merawatnya,
2. Melakukan tugas-tugas atas nama mereka,
3. Menjaga tradisi keluarga,
4. Menjaga warisan dengan baik,
5. Melakukan kebajikan atas nama mereka (patidāna).

Dengan susah payah, kedua orangtua kita telah merawat dan


membesarkan kita. Kadang mereka melakukan hal-hal yang sangat
sulit untuk dilakukan demi kebahagiaan kita. Atas dasar alasan ini, kita
mempunyai kewajiban untuk merawat mereka. Akan tetapi, apakah
semua anak merasa terpanggil untuk merawat kedua orangtuanya?
Ternyata jawabannya tidak. Banyak anak yang melupakan jasa
kebajikan yang telah dilakukan oleh kedua orangtuanya dan
74
membiarkan kedua orangtuanya hidup terlunta-lunta menikmati pahit
getirnya kehidupan.

Tentu banyak alasan mengapa ada anak yang begitu tega


melupakan kedua orangtuanya. Ada yang beralasan karena sibuk
dengan pekerjaan, urusan keluarganya sendiri, merasa tidak punya
waktu dan sebagainya. Ada juga yang merasa kurang enak dengan
pasangan hidupnya sehingga mereka melupakan kedua orangtuanya.
Tapi kita perlu ingat bahwa cara-cara semacam ini sama sekali tidak
dipuji oleh Sang Buddha. Kita bisa lihat buktinya dalam Vasalasutta
dari Sutta-Nipāta.

Dalam Vasalasutta, kita bisa menemukan orang-orang yang layak


diklasifikasikan sebagai manusia sampah. Salah satu syair dalam sutta
ini adalah sebagai berikut:

Yo mātaraṁ vā pitaraṁ vā jiṇṇakaṁ gatayobbanaṁ


Pahū santo na bharati, taṁ jaññā vasalo iti.

Ia yang memiliki materi yang cukup tapi tidak menyokong ibu


dan ayahnya yang sudah tua, layak diklasifikasikan sebagai manusia
sampah.

Seorang anak yang hidupnya berkecukupan dan tidak mau


menyokong kedua orangtuanya dikatakan sebagai manusia sampah
karena ia tidak menghargai pengorbanan orangtuanya. Singkatnya, ia
menutup mata atas keberadaan orangutanya yang telah berjuang siang
dan malam demi kebahagiaannya. Ditinjau dari sisi etik, ia adalah
anak yang tidak mengerti kode etik dalam keluarga.

Dari narasi yang ada dalam Vasalasutta, kita bisa melihat bahwa
orang-orang yang memiliki materi yang cukup tapi tidak merawat

75
orangtuanya martabatnya disetarakan dengan para pembunuh,
pembohong, pencuri, orang yang suka melakukan perbuatan asusila,
dan orang-orang yang bermartabat rendah.

Sang Buddha dalam berbagai nasehat-Nya secara berulang-


ulang memotivasi kita untuk merawat kedua orangtua kita yang
telah merawat dan membesarkan kita. Merekalah yang membuat
kita mampu melihat dunia ini. Merekalah yang memberikan pondasi
sehingga kita bisa hidup menikmati kebahagiaan bersama keluarga,
pasangan hidup, anak-anak dan teman.

Atas pertanyaan seorang dewa, Sang Buddha menjelaskan dan


mengklasifikasikan bahwa ada 38 tindakan yang akan membuahkan
kebahagiaan bila dipraktikkan. Salah satu tindakan yang membuahkan
kebahagiaan tersebut adalah menyokong ibu dan ayah (mātāpitu-
upaṭṭhānaṁ). Dalam sutta ini, Sang Buddha menggunakan kata
upaṭṭhānaṁ. Dalam pengertian yang yang sebenarnya, kata upaṭṭhānaṁ
tidak hanya berarti menyokong. Kata upaṭṭhānaṁ dapat diterjemahkan
ke dalam beberapa arti. Di antaranya adalah “membantu” “menunggui”
“merawat” “menyokong”. Dengan demikian, kita bisa mengetahui
bahwa kata upaṭṭhānaṁ mempunyai aspek yang cukup luas. Tiga puluh
tujuh tindakan yang membuahkan kebahagiaan sisanya dapat Anda
baca dalam Mahāmaṅgalasutta atau di dalam masyarakat Buddhis
Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Maṅgalasutta.

Merupakan suatu kebahagian yang luar biasa bila anak-anak


mampu memberikan penghormatan kepada kedua orangtuanya
dengan cara merawat dan menjaga mereka. Sang Buddha sendiri
sangat memuji mereka yang menghormati kedua orangtuanya. Bahkan
di dalam Kitab Itivuttaka Sang Buddha mengatakan anak-anak yang
menghormati dan menghargai kedua orangtuanya sama artinya mereka
76
hidup bersama Dewa Brahmā, Dewa Awal (pubbadevata), Guru Awal
(pubbācariya), orang-orang yang layak mendapatkan penghormatan
(ahuneyya).

Dalam kepercayaan masyarakat India kuno bahkan hingga


sekarang, Dewa Brahmā adalah dewa yang tertinggi. Bahkan ia
dianggap sebagai pencipta dunia ini. Ia adalah makhluk yang
pertama kali muncul di dunia ini. Oleh karena itu, mereka sangat
menghormatinya dan melakukan puja setiap saat kepada Dewa Brahmā.
Kalau Sang Buddha menempatkan ibu dan ayah setara dengan Dewa
Brahmā, tentu dengan mudah kita dapat membayangkan bahwa kedua
orangtua kita adalah orang-orang yang luhur. Mereka setara dengan
pencipta, mereka setara dengan makhluk awal yang dipercaya telah
menciptakan dunia ini.

Ahuneyya adalah salah satu kualitas yang dimiliki oleh anggota


saṅgha yang telah mencapai tingkat kesucian. Kalau kita membaca
Saṅghanussāti tentu kita menemukan terminologi ini. Anggota saṅgha
layak mendapatkan penghormatan karena mereka telah membebaskan
diri dari beberapa kekotoran batin. Paling tidak, ia telah bebas dari
keragu-raguan kepada Sang Tiratana (vicikiccha) atau dengan kata lain
ia memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Sang Tiratana. Ia
telah bebas dari pandangan salah (micchadiṭṭhi) dan juga bebas dari
kepercayaan membuta bahwa upacara dan ritual dapat membebaskan
seseorang dari saṁsāra.

Kedua orangtua kita memang belum melenyapkan kekotoran


batin. Bahkan sebaliknya kemungkinan besar kekotoran batin masih
melekat erat di dalam batinnya. Tapi mereka layak mendapatkan
penghormatan bukan karena pencapaian spiritual melainkan karena
faktor pengorbanan yang telah melakukan kepada kita. Ini tidak
77
ada bedanya dengan penghormatan yang kita berikan kepada para
pahlawan. Mereka kita hormati karena pengorbanan yang telah mereka
lakukan bukan karena telah melenyapkan kekotoran batin.

Dewasa ini ada tren yang tidak pernah kita temukan dalam
tradisi kuno. Apakah tren itu? Karena alasan kesibukan, banyak
orangtua yang menitipkan anaknya di tempat penitipan anak atau
menyerahkan pendidikan anak kepada para pembantu. Demikian pula
sebaliknya, sekarang ini banyak anak yang menitipkan orangtuanya
yang sudah tua di tempat penitipan orang tua. Mereka lebih senang
menghabiskan uang di tangan orang lain demi merawat orangtuanya
dari pada menghabiskan uang di tangan sendiri demi tujuan yang sama.
Mungkin ini boleh dikatakan sebagai kamma. Karena banyak orangtua
yang menginginkan jalan praktis dalam merawat anak, demikian pula
banyak anak yang tidak mau kalah dalam mencari jalan pintas untuk
merawat orangtuanya yang sudah tua.

Dalam Kitab Aṅguttara Nikāya dijelaskan bahwa ada dua


orang yang sulit kita temukan di dunia ini. Mereka adalah orang
yang ingat jasa kebajikan yang telah dilakukan untuknya dan orang
yang berterimakasih kepada pembuat kebajikan atas kebajikan yang
dilakukan untuknya.13 Oleh karena itu, kalau kita mau ingat dan
berterima kasih atas kebajikan dan pengorbanan yang telah dilakukan
oleh kedua orangtua kita kepada kita, berarti kita termasuk orang-
orang yang sulit ditemukan di dunia ini. Sekarang terserah Anda,
Anda benar-benar ingin menjadi orang yang sulit ditemukan di dunia
ini dengan cara merawat orangtua sendiri atau menjadi orang yang
sulit ditemukan karena tren dengan cara merawat orangtua yang sudah
13 “Dveme, bhikkhave, puggalā dullabhā lokasmiṁ. Katame dve? Yo
ca pubbakārī, yo ca kataññū katavedī. Ime kho, bhikkhave, dve puggalā dullabhā
lokasmin”ti.

78
tua tapi dititipkan di tempat penitipan orangtua.

Di samping merawat dan menjaga kedua orangtua kita yang


sudah tua, kita mempunyai kewajiban untuk melakukan tugas-tugas
mereka yang sudah sulit untuk mereka lakukan. Dengan semakin
berkurangnya usia, energi dan kemampuan orangtua kita semakin
berkurang pula. Banyak hal-hal yang dapat ia lakukan selama ia masih
muda dan kuat, tapi kini banyak hal yang tidak dapat ia lakukan.
Adalah tugas dan tanggung jawab kita untuk mengambil alih apa yang
sudah tidak dapat lagi dilakukan lagi oleh kedua orangtua kita.

Setiap kelompok masyarakat bahkan setiap keluarga mempunyai


tradisi yang berbeda. Kadang kala trasidi itu telah dilakukan sejak
nenek moyang kita di zaman lampau. Banyak orang yang tetap kukuh
mempertahankan tradisi semacam itu tapi tidak sedikit yang enggan
untuk melakukan tradisi nenek moyangnya karena menganggap bahwa
tradisi semacam itu adalah tradisi kuno, tradisi yang sudah usang,
tradisi yang sudah ketinggalan zaman. Tradisi semacam itu tidak ada
harganya dan sebagainya.

Memang benar banyak tradisi yang sifatnya kuno dan tampak


ketinggalan zaman. Namun demikian, kalau kita lihat dan teliti
dengan seksama nenek moyang kita adalah orang-orang yang pandai.
Mereka adalah orang yang cerdik dan mereka adalah orang-orang
yang mempunyai banyak cara, banyak akal. Mengapa demikain?
Jawabannya adalah karena dalam setiap tradisi ada pesan moral yang
sangat bermanfaat bagi generasi-generasi selanjutnya. Hanya saja,
karena kita ini bukan orang-orang yang sepandai mereka sehingga kita
melakukan berbagai tradisi secara membuta. Kita hanya melakukannya
tanpa memahami artinya.

79
Sebagai umat Buddha kita biasa melakukan patidāna atau kirim
doa dalam terminologi umum kepada leluhur kita. Dalam banyak kasus,
patidāna telah menjadi tradisi. Apakah pesan moral yang terkandung
dalam patidāna? Pesan moral yang terkandung dalam patidāna adalah
agar kita tidak melupakan leluhur kita dan kita tahu berterima kasih
kepada mereka.

Ketika saya masih kecil, kadang kala saya tidak mau menghabiskan
nasi yang ada di piring meskipun nasi itu tinggal sedikit. Nenek atau
ibu sering mengatakan, “Habiskan nasinya nanti ayamnya mati kalau
tidak kamu habiskan nasinya.” Mendengar nasehat semacam ini anak-
anak di zaman dulu takut dan dengan segera menghabiskan nasinya.
Tapi apakah jawaban anak-anak zaman sekarang? “Mati ya biar saja,
kan bisa makan daging ayam kalau ayamnya mati.” Jawaban semacam
ini adalah jawaban generasi yang tidak lagi memiliki belas kasihan
kepada makhluk lain.

Sebuah kepercayaan lain yang hampir tidak jauh berbeda adalah


kita tidak boleh menyecerkan atau membuang meskipun sebutir
padi, beras atau nasi. Mereka mengatakan kalau kita menelantarkan
atau membuang padi, beras atau nasi, padi, beras atau nasi tersebut
akan menangis. Pesan moral yang terkandung dalam dua tradisi di
atas adalah agar kita mau menghargai perjuangan. Para petani telah
berjuang dengan keras, mereka bekerja siang dan malam membanting
tulang memeras keringat demi mengumpulkan butir-butir padi untuk
diolah mejadi beras dan akhir menjadi nasi untuk kita kosumsi.

Cobalah bayangkan para petani yang bekerja selama tiga bulan


di sawah. Ia harus mengolah tanah, merawat padi yang telah mereka
tanam, membunuh binatang yang mengganggu tanaman, menuai
padi yang telah siap panen dan melakukan berbagai kegiatan lainnya
80
agar padi bisa siap untuk di masak. Bukankah itu suatu proses yang
amat panjang dan membutuhkan energi yang tidak sedikit? Dengan
demikian, nenek moyang kita menciptakan suatu tradisi semacam
ini tujuan adalah agar kita mau menghargai perjuangan yang telah
dilakukan oleh orang lain.

Ada tradisi yang sudah diabaikan oleh generasi zaman sekarang.


Nenek moyang kita berpesan jangan menebang pohon sembarangan
karena di pohon-pohon tersebut ada penuggunya. Karena kita tidak
percaya pada pesan semacam itu, kita menebang pohon sesuka kita.
Sebagai akibatnya, sekarang ini banyak terjadi banjir, tanah longsor
dan krisis air. Nenek moyang kita berpesan semacam itu karena
mereka tidak ingin anak cucunya hidup dalam kesengsaraan, dihantam
bencana alam bertubi-tubi dan pada musim kemarau kekurangan air.

Sebagai umat Buddha, kita dianjurkan untuk tidak percaya


begitu saja pada tradisi. Kita diminta untuk meneliti kebenaran tradisi
tersebut. Kalau memang benar dan membawa manfaat, tidak ada
salahnya kita mengikuti tradisi tersebut. Saya yakin di lingkungan
sekitar kita bahkan di dalam keluarga kita terdapat banyak tradisi.
Lihatlah dengan jelas tradisi semacam itu dan temukan pesan moral
yang terkandung dalam tradisi semacam itu. Saya yakin akan akan
menemukan sebuah pesan moral yang nilainya sangat tinggi dalam
tradisi yang ada di lingkungan sekitar Anda atau dalam lingkungan
keluarga Anda.

Adalah hal yang baik menjaga tradisi yang telah diwariskan


secara turun temurun sepanjang memahami maknanya. Tapi kalau
kita tidak memahami artinya, kita akan dibelenggu oleh tradisi dan
bukan kebahagiaan yang kita dapatkan melainkan penderitaan yang
tiada berkesudahan.
81
Tugas dan kewajiban yang selanjutnya adalah menjaga warisan
yang telah diberikan dengan baik. Setelah kita dianggap mampu,
orangtua kita akan menyerahkan harta warisan kepada anak-anaknya.
Sering juga karena orangtua tidak sempat membagi warisan, warisan
dibagi dengan anggota keluarga lainnya setelah orangtua meninggal.
Kita mempunyai kewajiban untuk menjaga warisan semacam itu
dengan baik dan bukannya menjadi warisan sebagai ladang untuk
menimbulkan rasa permusuhan di antara saudara.

Segala sesuatu muncul di dunia ini karena ada sebabnya. Setelah


sebabnya tidak mendukung lagi, materi yang muncul akan lenyap.
Demikian pula, kedua orangtua kita hidup juga ditunjang oleh
berbagai faktor. Setelah faktor-faktor semacam itu tidak menunjang
lagi, mereka akan meninggalkan kita dan menuju tempat yang sesuai
dengan tindakan yang telah ia lakukan. Setelah mereka meninggal,
apakah tugas dan kewajiban kita selesai? Tidak.

Dalam pandangan agama Buddha, setelah orangtua kita


meninggal masih ada kewajiban yang harus kita lakukan untuk
mereka. Tugas tersebut adalah melakukan patidāna atau lebih mudah
diterjemahkan sebagai melakukan kebajikan atas nama mereka. Tidak
sulit untuk melakukan patidāna dalam tradisi Buddhis. Anda cukup
melakukan suatu kebajian apapun bentuknya. Setelah melakukannya,
undanglah orangtua atau sanak saudara yang telah meninggal untuk
turut berbahagia (anumodāna) atas kebajikan yang telah Anda lakukan.
“Semoga sanak familiku turut berbahagia atas kebajikan yang telah
kulakukan” (idaṁ me ñātīnaṁ hotu sukhita hontu ñātayo), cukup
dengan mengucapkan kata-kata semacam ini. Bisa juga patidāna
dilakukan dengan cara melakukan acara yang lebih besar seperti
mengundang bhikkhu atau tetangga.

82
Di kala kedua orangtua kita masih hidup, kita melakukan berbagai
tugas dan kewajiban kita kepada mereka karena mereka telah berjasa
kepada kita. Tapi cukupkah tindakan-tindakan tersebut kita gunakan
untuk membalas jasa kedua orangtua kita? Ternyata apa yang kita
lakukan belum cukup.

Di dalam kitab Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha menjelaskan


bahwa kita tidak mungkin mampu membalas jasa kedua orangtua kita.
Meskipun selama seratus tahun kita menempatkan kedua orangtua
kita di pundak, dan selama itu pula kita merawat mereka dengan
penuh ketulusan dan dengan perlengkapan yang super canggih, tetap
kita tidak akan mampu membalas jasa kedua orangtua kita. Bahkan,
walaupun kita menjadikan kedua orangtua kita sebagai orang yang
paling berkuasa di dunia ini dan menjadikan mereka sebagai orang
yang paling kaya di dunia ini, perbuatan tersebut tetap tidak mampu
menyamai jasa orangtua kita. Alasan yang dikemukakan oleh Sang
Buddha mengapa kita tidak mungkin mampu membalas jasa kebajikan
yang telah dilakukan oleh kedua orangtua kita adalah karena mereka
telah merawat, membesarkan dan membimbing kita untuk bisa melihat
dunia ini.

Dalam pandangan Sang Buddha, tindakan-tindakan yang


disebutkan di atas dapat digolongkan sebagai tindakan yang rendah
karenanya tindakan semacam itu tidak mungkin membuat anak
mampu membalas jasa kebajikan yang telah dilakukan oleh orangtua
kepadanya. Dengan jelas, Sang Buddha melihat ada tindakan yang
lebih tinggi yang akan mampu membuat anak membalas jasa kebajikan
yang telah dilakukan oleh orangtua kepadanya. Bahkan tindakan
tersebut akan melebihi kebajikan yang telah dilakukan orangtuanya
kepadanya.

83
Tindakan yang akan mampu membuat anak membalas jasa
kebajikan orangtuanya adalah membuat orangtuanya yang tidak
memiliki keyakinan (assaddhā), menjadi orang yang kokoh dalam
keyakinan (saddhāsampadā), membuat orangtuanya yang tidak
bermoral (dussīla) menjadi orang yang bermoral (sīlasampadā),
membuat orangtuanya yang kirir (macchara) menjadi dermawan
(cāgasampadā), membuat orangtuanya yang tidak bijaksana
(duppaññā) menjadi orang yang bijaksana (paññāsampadā).

Dalam pengertian yang sempit, keyakinan dalam hal ini adalah


keyakinan kepada Sang Tiratana—Buddha, Dhamma, Saṅgha.
Kalau kita mampu membuat orangtua kita memiliki keyakinan yang
kokoh pada Sang Tiratana, kita telah melakukan suatu tindakan yang
spektakuler. Y.M. Sāriputta melakukan hal ini pada saat detik-detik
terakhir menjelang parinibbāna. Dalam pengertian yang lebih luas
keyakinan (saddhā) dapat diinterpretasikan sebagai keyakinan bahwa
setiap kebajikan akan membuahkan kebahagiaan dan setiap kejahatan
akan membuahkan penderitaan.

Tidak semua orangtua adalah orang yang bermoral, dan tidak


semua orangtua adalah orang yang dermawan. Karenanya, apabila
kita mampu membuat mereka menjadi orang yang bermoral serta
dermawan, apa telah kita lakukan melebihi apa yang telah dilakukan
oleh orangtua kita kepada kita.

Yang terakhir adalah mentranformasi kondisi mental orangtua


kita. Paññā atau kebijaksanaan adalah pada tataran yang rendah
kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Dalam tataran yang lebih tinggi, seseorang dapat dikatakan
memiliki paññā bila ia mampu melihat empat kesunyataan (catari
ariya saccani), yaitu dukkha, sebab dukkha, lenyapnya dukkha dan
84
jalan menuju lenyapnya dukkha. Membuat orangtua kita memiliki
kebijaksanaan dalam tataran yang rendah sekalipun adalah suatu
tindakan yang mulia. Terlebih lagi kalau kita mampu membuat mereka
memiliki paññā dalam pengertian yang tertinggi.

Yang menjadi alasan mengapa membuat orangtua kita yang


tidak memiliki keyakinan menjadi kokoh dalam keyakinan, yang
tidak bermoral menjadi bermoral, yang kikir menjadi dermawan, dan
yang tidak memiliki paññā menjadi memiliki paññā adalah karena
berdana Dhamma adalah bentuk dāna yang paling tinggi (sabbdānaṁ
dhammadānaṁ jināti).

Kita boleh mengajarkan Dhamma kepada siapa pun termasuk


kedua orangtua kita karena Dhamma adalah ajaran universal yang dapat
diaplikasikan pada semua lini kehidupan. Dhamma bukanlah milik
umat Buddha tapi milik semua orang yang memandang pentingnya
nilai-nilai moral dan kebijaksanaan. Yang melaksanakannya juga tidak
harus menjadi umat Buddha, yang beragama lain atau tidak beragama
sekalipun boleh melaksanakannya.

Semoga kita menjadi anak yang berbhakti kepada kedua orangtua,


menjadi anak yang mampu memahami keluhuran kasih sayang dan
pengorbanan yang telah dilakukan oleh orangtua kita kepada kita
semua. Semoga Sang Tiratana selalu melindungi.

85
Untuk Ibu dan Ayahku

Ibu dan ayah…


Sungguh kutaktahu dari mana Engkau berasal
Aku pun taktahu ke mana Engkau akan pergi

Tapi sungguh kutahu…..


Siang dan malam Engkau bekerja keras
Membanting tulang memeras keringat

Lembah kau jelajahi, gunung kau daki


Kerikil nan tajam kau tapaki

Kau sebrangi lautan,


Kau hadapi ombak dan badai nan mengerikan

Kau pertaruhkan nyawamu


Kau lupakan kebahagiaanmu
Demi kebahagiaan anak-anakmu

Ibu dan ayah……


Kutahu tak ada setitik pun kesalahan yang kau lakukan
Semua tindakanmu tampak jernih bak embum di pagi hari

Tapi siang dan malam kumendurhakaimu


Siang dan malam kau menderita karena ulahku

Ibu dan ayah…


Kini di kakimu kubersujud
Smoga kau mau memaafkanku

86
Ibu dan ayah…
Terima kasih atas kasih sayang dan pengorbananmu
Smoga Engkau selalu berbahagia
Smoga Engkau selalu berada di jalan yang benar
Smoga Sang Tiratana selalu melindungi dan
membimbingmu

Ibu dan ayah…


Tak ada yang dapat kuberikan padamu
Selain doa,
Smoga Engkau segera merealisasi Nibbāna
Sehingga bebas dari saṁsāra

87
Gatha Saat Bersujud Pada Ibu dan Ayah

D
i Sri Lanka ada sebuah tradisi yang cukup baik yang
dilakukan oleh anak kepada kedua orangtuanya. Tradisi
tersebut adalah bernamaskara kepada orangtua. Pada
umumnya, anak-anak Sri Lanka bernamaskara kepada
kedua orangtuanya dua kali, yaitu pada pagi hari sebelum mereka
berangkat ke sekolah dan pada malam hari sebelum mereka tidur.

Merupakan suatu kebahagiaan bagi anak-anak Sri Lanka karena


orangtua mereka akan berangkat kerja setelah anak-anaknya berangkat
ke sekolah dan mereka tidur setelah anak-anak tidur. Ini menandakan
bahwa mereka mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup
dari kedua orangtua mereka. Lebih dari semua itu sebagaimana saya
saksikan sendiri, ketika anak-anak berangkat ke sekolah, mereka
diantarkan oleh orangtuanya. Demikian juga ketika mereka pulang,
mereka dijemput oleh orangtuanya entah ibu atau ayahnya. Tidak
hanya anak-anak yang masih kecil yang mendapat perlakukan
semacam itu, tapi mereka yang sudah duduk di bangku SMU juga
mendapatkan perlakukan yang sama.

Pada saat bernamaskara, mereka juga membaca gatha. Di Maitri


Sunday Dhamma School, gatha ini juga selalu dibaca saat puja bhakti
sebelum dimulai pelajaran. Berikut adalah gatha yang dibacakan
oleh anak-anak di Sri Lanka ketika meraka bersujud kepada kedua
orangtua mereka:

Dasamāse ure katvā


posesi vuddhikāranaṃ,
ayudighaṃ vassasataṃ
88
mātupādaṃ namāmahaṃ

Artinya:

Sujudku di kaki ibu yang telah mengandungku selama sepuluh


bulan serta merawat dan membesarkanku dengan penuh ketulusan
dan kasih sayang. Semoga ibu selalu sehat dan panjang umur hingga
seratus tahun.

Vuddhikāro alingitvā
cumbitvāpiyaputtakaṃ,
rājamajjhaṃ supatitthaṃ
pitupadaṃ namāmahaṃ

Artinya:

Sujudku di kaki ayah yang telah membesarkanku dengan penuh


kasih sayang. Semoga ayah selalu sehat dan panjang umur.

Saya cukup sulit menerjemahkan gatha untuk ayah. Oleh karena


itu, gatha ini saya terjemahkan secara bebas dan saya pilih terjemahan
yang paling simpel dan mudah. Pada umumnya, kata-kata yang dipilih
adalah kata-kata yang memuji keluhuran ayah. Namun cukup sulit
mencarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Bila syair tersebut
diterjemahkan kata demi kata, kalimatnya akan tampak terasa kurang
indah.

89

Anda mungkin juga menyukai