Anda di halaman 1dari 12

MASYARAKAT

KEVIN NICHOLAS (180405084)


Definisi Masyarakat
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama.
suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan
akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi
4 Sikap Harmonis
Dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai umat buddhis yang menjalankan
hidup berumah tangga, Sang Buddha pernah menjelaskan dengan rinci 4
(empat) nilai yang akan menunjang kebahagiaan orang awam selamanya,
yaitu :
1. Saddha memiliki keyakinan dan kepercayaan diri dalam nilai-nilai moral, spiritual, dan intelektual
2. Sila sebaiknya tidak merusak dan menganiaya kehidupan, mencuri, berperilaku seksual menyimpang,
berdusta, dan minum yang memabukkan

3. Caga sebaiknya mempraktikkan kemurahan hati, kedermawaan, tidak melekat, dan bernafsu akan kekayaan
4. Panna sebaiknya mengembangkan kebijaksanaan yang menuntun pada penghancuran penderitaan, menuju
perwujudan Nibbana
Konsep Dharmawijaya
Berasal dari kata Dharma dan Wijaya
Dharma berarti pedoman pemerintah
Wijaya yang berarti kemenangan atau kejayaan sebagai arah kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam Konsep Dhammawijaya dijelaskan bahwa untuk meningkatkan hubungan
masyarakat yang demokratis dibutuhkan konsep masyarakat madani.
Masyarakat madani atau Civil society diartikan sebagai masyarakat sipil yang
menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu
dan teknologi yang berperadaban.
Isi konsep DharmaWijaya
1. Persamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri
(Dhammapada 380)
2. Kebebasan berpikir (Anguttara-nikaya I, 188-192)
3. Ia mematahkan otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas
kebenaran (Majhimanikaya II, 171)
4. Ajarannya adalah adalah ajaran yang terbuka dan menghargai keterbukaan
(Digha-nikaya II, 100)
5. Pengambilan keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat (Vinaya
Pitaka I, 115) 6. Memberi kesempatan bagi perbedaan pendapat dan kritik (Digha-
nikaya I, 3)
Konsep Karaniya Metta
Karaniya Metta Sutta merupakan Sutta yang menggambarkan cinta kasih dan belas
kasihan kepada semua makhluk. Sutta ini pertama sekali di ucapkan langsung oleh
Sang Buddha kepada lima ratus orang murid-Nya yang diganggu oleh makhluk yang
menyeramkan sewaktu mereka diperintahkan oleh Sang Buddha untuk melatih diri di
hutan. Untuk membantu para siswa-Nya, Sang Buddha kemudian mengucapkan syair
yang kemudian kita kenal dengan Karaniya Metta Sutta.
Susunan Masyarakat Buddhis
Dari sudut pandang kelembagaan masyarakat buddhis terdiri dari 2
kelompok (parissa). Hal ini dijelaskan dalam Anguttara Nikaya III, 178
sebagai berikut:
1. Kelompok masyarakat yang meninggalkan hidup keduniawian
(bhikkhu/bhikkhuni Parissa)
2. Kelompok masyarakat awam yang hidup berumah tangga atau
duniawi (Upasaka-Upasika Parissa)
Kemasyarakatan umat Buddha bukanlah sistem kasta tetapi di dasarkan
pada kedudukan sosial masing-masing
Kemoralan masyarakat awam dan
viharawan
◦ Melaksanakan Dhamma atau Ajaran Sang Buddha diharapkan menjadikan umat
Buddha semakin bermoral (baik perilakunya)seiring dengan lamanya ia menjadi umat
Buddha.
◦ Seseorang minimal berusaha keras menghindari lima perbuatan buruk atau lebih
dikenal dengan Pancasila Buddhis yang terdiri dari menghindari pembunuhan dan
penganiayaan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan serta minum
minuman yang dapat memabukkan serta menghilangkan kesadaran. Dengan
melaksanakan kelima latihan kemoralan ini, seseorang akan dapat terbebas dari
bentuk kesalahan dalam hidup bersama di masyarakat.
Hubungan masyarakat awam dan
viharawan
Para upasaka dan upasika yang sekaligus Pembabaran Dhamma serta dorongan moral
juga perumahtangga selalu bekerja giat di diharapkan mampu membangkitkan
semua bidang ekonomi dan menyisihkan semangat para perumah tangga untuk selalu
sebagian dari penghasilan yang diperoleh untuk melaksanakan Ajaran Sang Buddha
untuk mendukung kehidupan para viharawan. dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka biasa datang ke vihara untuk Dengan demikian, segala bantuan yang telah
mempersembahkan dana makanan, tempat diberikan kepada para bhikkhu atau
tinggal, jubah maupun obat-obatan. Dengan viharawan ini dapat diwujudkan dalam
dukungan seperti itu, para viharawan selain bentuk pelayanan sosial yang mampu
mampu melanjutkan kehidupan mereka mengkondisikan timbulnya kebahagiaan
dalam pengendalian diri, mereka juga masyarakat secara lahir dan batin.
mampu membagikan Dhamma serta
memberikan pelayanan sosial secara terus
menerus kepada masyarakat.

Upaya bersama agar dapat saling memberikan manfaat dan kebahagiaan inilah yang
menjadikan hubungan para viharawan dengan para perumahtangga semakin akrab
serta saling membutuhkan.
Masalah otoritas tertinggi dalam
agama Buddha
Sangha atau persaudaraan para bhikkhu/ni yang jumlahnya minimal 5 orang, bukanlah
pemegang otoritas tertinggi dalam agama Buddha. Dalam kerangka ajaran Sang
Buddha, sejauh berhubungan dengan pembebasan dari derita, tidak dikenal adanya
“Lembaga Pemegang Otoritas Tertinggi”. Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha
menyabdakan : “Yah, putera-putera Kalama, sudah sewajarnya kamu rag-ragu dan
bingung disebabkan oleh sesuatu hal yang memang meragukan dan membingungkan
sekali. Nah, dengarlah baik-baik apa yang kukatakan. Jangan percaya begitu saja
kepada berita yang disampaikan kepadamu atau karena sesuatu sudah merupakan
tradisi atau sesuatu yang didesas-desuskan.
Masalah otoritas tertinggi dalam
agama Buddha
Janganlah percaya begitu saja kepada sesuatu yang katanya sudah diramalkan dalam
buku-buku suci; juga kepada sesuatu yang katanya sesuai dengan logika atau
kesimpulan belaka; juga kepada sesuatu yagn katanya telah direnungkan dengan
seksama; juga karena sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau
karena kamu ingin menghormati seorang pertapa yang menjadi gurumu.
Masalah otoritas tertinggi dalam
agama Buddha
Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa
‘hal ini tidak berguna, ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini jika
terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan’, maka sudah
selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut di atas. Tetapi, kalau setelah kamu selidiki
sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan
oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan menimbulkan keberuntungan dan
kebahagiaan’, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-
hal tersebut di atas”.

Anda mungkin juga menyukai