Anda di halaman 1dari 120

PENDI DIKAN AGAMA BUDDHA

DISUSUN OLEH :
NAMA : EVITA DEWI
NIM : 170403104
FAKULTAS : TEKNIK
JURUSAN : INDUSTRI

DOSEN PEMBIMBING : MENG LI AMRAN


2017/2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PROFIL PENYUSUN

NAMA : EVITA DEWI


NIM : 170403104
FAKULTAS : TEKNIK
JURUSAN : S1- INDUSTRI

MATERI
KULIAH
AGAMA
BUDDHA
1. KETUHANAN YANG MAHA ESA DALAM AJARAN AGAMA BUDDHA
1. Saddha (keimanan)
1.1 keyakinan terhadap tuhan yang maha esa
1.2 keyakinan terhadap tri ratna/tiratana
1.3 keyakinan terhadap adanya bodhisattva,arahat dan dewa
1.4 keyakinan terhadap hokum kesunyataan
1.5 keyakinan terhadap kitab suci
1.6. Keyakinan terhadap Nirvana/Nibbana
2.Puja (bakti, ketaqwaan)
2.1.Amisa Puja dan Patipti Puja
2.2.Sarana Puja
2.2.1.Paritta,Sutra,Dharani dan Mantra
2.2.2.Vihara ( Uposathagara, Dhammasala, Kuti, Perpustakaan dan Pohon Bodhi)
2.2.3.Cetya atau altar
2.2.4.Stupa
2.3.Hari Raya Agama Buddha
2.3.1.Magha Puja
2.3.2.Waisak
2.3.3.Asadha
2.3.4.Kathina
NB:Tambahkan Hari Raya Buddhis Mahayana
3.Buddha, Bodhisattva dan Arahat
4.Dhammaniyama
4.1.Utu Niyama
4.1.1.Alam Semesta
4.1.2.Kejadian Bumi dan Manusia
4.1.3.Kehancuran Bumi
4.2.Bija Niyama
4.3.Kamma Niyama
4.4.Citta Niyama
4.5.Dhamma Niyama
5.Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Ajaran Buddha
5.1.Lokattara dan Ariya
5.2.Kitab Udana VIII. 3
6.Samadhi, sebagai landasan memahami & mengerti Ketuhanan YME
6.1.Bhavana
6.1.1. Vipassana Bhavana
6.1.2. Samattha Bhavana
6.2.Nivarana, Jhana, Abinna
6.3.Visuddhi dan Samyojana
6.4.Ariya Puggala
6.4.1.Sotapanna
6.4.2.Sakadagami
6.4.3.Anagami
6.4.4.Arahat
7. Konsep Keselamatan
7.1.Ortodoks
(keselamatan sepenuhnya tergantung dari pengampunan)
7.2.Heterodoks
(Keselamatan dpt terjadi sebab adanya pengampunan & usaha manusia)
7.3.Independen
(Keselamatan sepenuhnya tergantung dari usaha manusia)

TUGAS
SUMBER

2. MANUSIA
2.1.Pendahuluan
2.1.1 Definisi Manusia
2.1.2.Untuk terlahir sebagai manusia adalah Sangat sulit (Dhammapada dan Karaka Chapa
atau Sutta Penyubuta)
2.1.3.Manusia tdk hanya di bumi ini saja (sisten tatasurya dari Anguttara Nikaya Ananda
Vagga bagian Abhibhu). Sadharma Pundarika Sutra, Pancavimsati Sahassrika
Mahaprajnaparamita Satra.
2.1.4.Jumlah manusia yang ada di bumi ini sangat sedikit apabila dibandingkan dengan
jumlah makhluk dalam alam semesta (Nakharika Sutta atau sutta Ujung Kuku)
2.1.5.Manusia yang sekarang merupakan resultante dari jumlah kehidupannya di berbagai
bumi dan banyak kehidupan di bumi ini.
2.1.6.Pria dan wanita muncul di bumi ini secara bersama, oleh sebab itu pria dan wanita
mitra.
2.Ajaran Buddha tentang Manusia
2.1.Manusia sebagai makhluk (pugala)
2.2. 31 Bhumi (alam Kehidupan)
2.2.1.Kamma Bhumi 11
2.2.2.Rupa Bhumi 16
2.2.3.Arupa Bhumi 4
2.3.Jenis-jenis makhluk (puggala): 31 alam kehidupan terbagi menjadi 12 macam
3. Hakikat dan Martabat Manusia
4.Tanggung jawab manusia

TUGAS
SUMBER
3. SILA & MORAL
1. Sila (dalam agama Buddha)
2. Definisi Moral
3. Dasar dasar pelaksanaan Sila
3.1. Sati dan Sampajanna
3.2. Hiri dan Ottapa
4. Pembagian Sila
4.1. Sila menurut jenisnya
4.1.1.Pakati Sila
4.1.2.Pannati Sila
4.2. Sila menurut cara pelaksanaannya
4.2.1.Sikkhapada sila
4.2.2.Carita Sila
4.2.3.Varita Sila
5. Empat Sila untuk kemurnian anggota Sangha (Catuparisuddhi Sila)
6.Sila menurut jumlah latihannya
6.1.Cula Sila
6.2.Majjhima Sila
6.3.Maha Sila
7. Sila menurut jenis orang yang melaksanakan
7.1.Sila Upasaka-Upasika
7.2.Sila bagi Samanera-samaneri
7.3.Sila Para bhikkhu-bhikkhuni
7.4.Bodhisatva Sila
8.Panca Sila dan Panca Dhamma

TUGAS
SUMBER

4.IPTEK dan SENI


1.Filsafat Ilmu Pengetahuan
2.Filsafat Nilai
2.1.Etika
2.2.Estetika
3.Filsafat Metafisika
4.Iman,Ilmu dan amal sebagai kesatuan
5.Kewajiban menuntut Ilmu dan Mengamalkan Ilmu
6.Tanggung Jawab Terhadap Alam dan Lingkungan
7.Mangala Sutta
8.Sekhiya Sila
9.Keselarasan antara perkembangan IPTEK dan Moral
TUGAS
SUMBER

5.KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA


1.Definisi dan Hakikat Agama
2.Pelaksanaan Sila demi terwujudnya kerukunan kehidupan beragama
3.Brahmavihara
4.Prasasti Asoka
5.Saraniyadhamma Sutta
6.Toleransi

TUGAS
DISKUSI
SUMBER

6.Masyarakat
1.Definisi masyarakat
2. 4 sikap harmonis
3.Konsep Dharmawijaya
4.Konsep Karaniya Metta
5.Susunan Masyarakat Buddhis:
i.Masyarakat awam dan viharawan
ii.Kemoralan masyarakat awam dan masyarakat viharawan
iii.Hubungan umat awam dan umat viharawan
iv.Masalah otoritas tertinggi dalam agama Buddha

DISKUSI
TUGAS
SUMBER

7.BUDAYA
1.Definisi Budaya
2.Budaya sebagai hasil berfikir positif
i.Mekanisme pikiran (mind) menurut ajaran yoga
ii.Sifat dualistis pikiran: advaya (advaita)
iii.Yoga adalah padamnya pikiran
3.Pertemuan kebudayaan india-Jawa
i.Pengayaan kosakata bahasa jawa
ii.pengetahuan agama/ajaran Hindu dan Buddha
iii.Pengetahuan sistem pemerintahan
iv.Pengetahuan tentang kontruksi bangunan suci
4.Kebudayaan materi dan sastra Buddhis
i.Candi-candi Buddhis
ii.Sastra sastra Buddhis
5.Bentuk - bentuk pikiran yang baik (cetasika ) atau brahmavihara
TUGAS
SUMBER

8.POLITIK
1.Pengertian politik dan ilmu politik
2.Sutta sutta terkait dengan penguasa dan politik
i.Cakkavattisihanada Sutta
ii.Kutadanta Sutta
iii.Maha Parinibhana Sutta
iv.Sigalovada sutta
v.Dasa Raja Dhamma

TUGAS
SUMBER

9.HUKUM

1.Definisi Hukum
2.Pembagian/jenis-jenis Hukum
3.Hukum dalam ajaran Buddha
i.Cattari Arya Saccani
ii.Kamma dan Punarbhava
iii.Tilakkhana
iv.Paticcasamuppada

1. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Ajaran Buddha


1. Saddha (keimanan)
Kata saddhā memiliki makna dan pengertian yang tidak sederhana, dan tidak memiliki
padanan kata yang tepat dan sesuai dalam kosakata bahasa lain untuk menggantikannya.
Untuk itu saddhā tidak bisa hanya sekedar diartikan sebagai “keyakinan”. Saddhā
bukanlah keyakinan membuta yaitu kepercayaan terhadap sesuatu sebagai kebenaran
tanpa verifikasi dan yang tidak memicu tindak lanjut berupa usaha membuktikan sesuatu
itu.
Terdapat dua jenis saddhā, yaitu :
1) Mulika saddha (saddha yang memiliki pokok alasan/berdasar )
Mūlikā saddhā adalah keyakinan yang muncul dari penilaian yang hati-hati dari hasil
verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan (ehipassiko) yang memiliki alasan atau
dasar (hakikat) terhadap sebuah pernyataan, ajaran.
2) Amulika saddha (saddha yang tidak memiliki pokok alasan/berdasar)
amūlikā saddhā adalah keyakinan yang muncul tanpa didahului dengan penilaian
yang hati-hati dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan yang juga
tanpa memiliki alasan atau dasar (hakikat) terhadap sebuah pernyataan,ajaran.
Agama Buddha mempunyai keyakinan (Saddha) akan adanya :
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Tiratana atau Tri Ratna (Tiga Permata/Mustika)
3. Tipitaka/Tripitaka (Kitab Suci)
4. Bodhisatta/Bodhisatva (Calon Buddha)
5. Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
6. Cattari Ariya Saccani (Empat Kesunyataan Mulia)
7. Kamma dan Punabhava (Perbuatan dan Kelahiran Kembali)
8. Paticcasamuppada (Hukum Sebab Akibat yang Saling bergantungan)
9. Nibbana/Nirvana(Kebahagiaan Tertinggi).

1.1 Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa


Keyakinan Kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya percaya kepada Tuhan yang
tunggal yang menciptakan alam semesta dan isinya. Dengan keyakinan terhadap Tuhan
maka manusia akan dapat memperkecil bahkan menghilangkan rasa egoisme yang
sering menyesatkan hidupnya. Intinya dengan kepercayaan dan keyakinan kepada
Tuhan akan menyadarkan kita bahwa segala yang ada baik alam semesta maupun isinya
adalah bersumber dari Tuhan.

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah “Atthi Ajatang Abhutang
Akatang Asamkhatang” yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak
Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang
Mahaesa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan
yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang
Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata)
dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara
bermeditasi.

1.2 Keyakinan terhadap Tri Ratna/Tiratana


Triratna yang bermakna tiga permata adalah tiga buah pengakuan dari setiap penganut
agama Buddha, seperti halnya dengan credo di dalam agama Kristen atau syahadat di
dalam agama Islam.Keyakinan terhadap Tri Ratna/ Tiratana adalah keyakinan terhadap
Buddha, Dhamma dan Sangha. Umat memiliki keyakinan kepada Buddha, karena jasa
sang Buddha kita dapat mengenal dan belajar Dhamma.
Umat Buddha mempunyai keyakinan terhadap Dhamma, dengan melaksanakan
Dhamma dalam kehidupannya dan merealisasikannya ia mencapai tingkat-tingkat
kesucian, mereka yang mencapai tingkat Arahat dapat mengatasi usia tua, sakit dan
mati, serta mematahkan roda samsara. Umat Buddha yakin kepada Sangha, karena
Sanghalah maka Dhamma dapat lestari di dunia ini sampai sekarang. Tanpa adanya
Sangha, kita tidak dapat mengenal Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha
Gotama.
1.3 Keyakinan terhadap Adanya Bodhisattva, Arahat dan Dewa
Bodhisattva adalah calon Buddha atau seorang yang bercita-cita menjadi Buddha.
Arahat adalah siswa Buddha, karena ketekukan dan keyakinannya melaksanakan ajaran
Buddha dalam kehidupan sehari-hari, berlatih dalam sila, samadhi dan panna sehingga
dapat melenyapkan semua kekotoran batin. Deva adalah makhluk yang hidup di alam
dewa (surga) berkat kekuatan karma baik yang dilakukan pada kehidupan lampau.

1.4 Keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan

Umat Buddha yakin bahwa di alam-alam kehidupan berlaku Hukum-


HukumKesunyataan, Hukum yang tidak bergantung kepada tempat, waktu dan keadaan
atau sasaran, yaitu :
1. Cattari Ariya Saccani (Empat Kesunyataan Mulia), yang memuat
tentang Empat Kesunyataan Mulia tentang Dukkha atau Penderitaan,
sebab-sebab Dukkha (Dukka Samudaya) yakni Tanha, lenyapnya Dukkha
(Dukkha Niroda) yakni Nibbana, dan jalan untuk meleyapkan Dukkha
(Dukkha Niroda Gaminipatipada) yakni dengan jalan Utama Berunsur Delapan
yang terdiri dari :
a. Pandangan Benar - Samma Ditthi
b. Pikiran Benar - Samma Sankappa
c. Ucapan Benar - Samma Vaca
d. Perbuatan Benar - Samma Kammanta
e. Mata Pencaharian Benar - Samma Ajiva
f. Daya Upaya Benar - Samma Vayama
g. Perhatian Benar - Samma Sati
h. Konsentrasi Benar - Samma Samadhi
2. Kamma dan Punabhava (Hukum Perbuatan dan kelahiran kembali)
3. Tilakkhana (Hukum Tiga Corak Umum)
4. Paticcasamuppada (Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan)
1.5 Keyakinan terhadap Kitab Suci
Kitab suci agama Buddha yang paling tua yang diketahui hingga sekarang tertulis
dalam bahasa Pâli dan Sansekerta terbagi dalam tiga kelompok besar yang dikenal
sebagai pitaka atau keranjang, yaitu :
1) Vinaya Pitaka
Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para
bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian :
1. Sutta Vibhanga
2. Khandhaka
3. Parivara.
2) Sutta Pitaka
sutta Pitaka terdiri atas lima 'kumpulan' (nikâya) atau buku, yaitu :
Ø Dîgha Nikâya
Ø Majjhima Nikâya,
Ø Anguttara Nikâya
Ø Samyutta Nikâya
Ø Khuddaka Nikâya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas
kumpulan lima belas kitab
3) Abhidhamma Pitaka
Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :
1. Dhammasangani
2. Vibhanga
3. Dhatukatha
4. Puggalapaññatti
5. Kathavatthu
6. Yamaka
7. Patthana.
1.6. Keyakinan terhadap Nirvana/Nibbana
Nibbana dalam bahasa keduniawian akan mengalami kegagalan, karena Nibbana
tidak bersifat duniawi, malah berlawanan. Mengatakan bahwa Nibbana sama dengan
ini dan sama dengan itu ibarat menggambarkan kucing sama dengan harimau.
Nibbana bukanlah kemusnahan.Nibbana bukan suatu keberadaan. Nibbana berada di
luar keberadaan dan ketidak beradaan, di mana kedua aspek itu bersyarat, mutlak, dan
tidak dapat digambarkan sebagai keberadaan maupun ketidak beradaan. Nibbana
berada di luar jhana , karena di sana api keserakahan, kebencian dan kegelapan batin
beserta semua gangguan yang menyertai, hambatan dan penderitaan berakhir.
Demikianlah, Nibbana sendiri abadi, bahagia, dan patut didambakan Laksana seorang
yang menderita penyakit kulit yang menimbulkan rasa gatal, dan Nibbana seperti
kebahagiaan saat penyakitnya telah disembuhkan. Kebahagiaan sementara didapatkan
ketika ia menggaruk, tetapi kuku yang segera menginfeksi menjadi sebab yang
memperpanjang penyakit penyakit tersebut. Seperti itulah kerinduan akan nafsu
membawa kepuasan sementara yang akan memperpanjang lingkaran kelahiran
kembali.
2. Puja (bakti, ketaqwaan)
Kata Pūjā dapat ditemukan dalam “Mangala Sutta”: “Pūjā ca pūjanīyānam
etammangalamuttamam” yang artinya : menghormat kepada yang layak dihormati
merupakan berkah utama. yang patut dihormati adalah, Buddha, orang tua, guru, orang
suci dan orang yang memiliki moral baik. Puja adalah upacara pemujaan atau
penghormatan kepada sesuatu atau benda yang dianggap suci maupun keramat. dalam
Agama Buddha, kata Puja berbeda arti, makna, cakupan, serta penulisannya. Dalam
agama Buddha ditulis Pūjā yang artinya menghormat. Penghormatan yang diperkenankan
oleh Buddha adalah penghormatan yang wajar serta didasari oleh pengertian yang benar,
dan ditujukan kepada “sesuatu” yang memang layak untuk dihormati. Puja sebagai
penghormatan memungkinkan untuk dilakukan dengan berbagai cara dapat berupa
persembahan dengan materi seperti dengan persembahan makanan, buah, dupa, bunga,
dll, maupun perilaku seperti sopan santun, ramah tamah, rendah hati; secara fisik, seperti
bersikap anjali, namaskara, maupun mental seperti praktik cinta kasih, kasih sayang serta
memiliki pandangan benar.
2.1. Amisa Puja dan Patipti Puja
Ada 2 macam puja (penghormatan) dalam agama Buddha, yaitu :
I. Amisa Puja dilaksanakan bermula dari kebiasaan bhikkhu Ananda, yang setiap hari
mengatur tempat tidur, membersihkan tempat tinggal, membakar dupa, menata
bunga, dan lain-lain, mengatur penggiliran umat untuk menemui umat untuk
menemui atau menyampaikan dana makanan kepada Buddha.
II. Patipati Puja artinya menghormat dengan melaksanakan ajaran (Dhamma),
mempraktekkan sila, samadhi, dan panna.Kebaktian merupakan salah satu praktik
Patipati puja. Patipati puja merupakan cara menghormat yang paling tinggi kepada
Buddha, dengan melaksanakan ajaran Buddha berarti telah menghormati Buddha.
seperti kisah Bhikkhu Atadata yang berusaha keras mencapai arahat sebelum
Buddha Parinibbana.

II.2. Sarana Puja


Sikap batin dalam melaksanakan Puja: puja dapat dilaksanakan secara perorangan
atau kelompok, maka yang melaksanakan puja perlu mempersiapkan batinnya
untuk dipusatkan kepada objek tertinggi yaitu Triratna (Buddha, Dhamma, dan
Sangha)
Buddha dihormati sebagai objek tertinggi karena kata Buddha yang dimaksud
adalah mencakup pengertian pencapaian penerangan sempurna. Buddha adalah
penemu jalan kesucian, guru, dan penunjuk jalan ke kesucian.

Dhamma dihormati sebagai objek tertinggi sebagai kebenaran mutlak yang telah
ditemukan oleh Buddha. Dhamma adalah jalan kesucian itu sendiri.
Sangha dihormati sebagai objek tertinggi karena Sangha merupakan pasamuan para
makhluk suci (Ariya Puggala), mereka telah mencapai tujuan atau telah memasuki
jalan untuk mencapai tujuan. Ariya Sangha adalah pengikut sejati dari ajaran itu.
Sikap fisik dalam melaksanakan Puja :
1) Anjali
Yaitu merangkapkan kedua belah tangan di depan dada, membentuk kuncup bunga
teratai, baik dalam posisi berdiri, berjalan, maupun duduk bersimpuh/bersila.
2) Namaskara
Yaitu bersujud tiga kali dengan lima titik (lutut, ujung jari-jari kaki, dahi, siku,
telapak tangan) menyentuh lantai, dengan disertai sikap anjali dan membaca parita.
Namaskara-Gatha.
3) Padakhina (pradaksina)
Dengan tangan beranjali beranjali mengelilingi objek pemujaan dengan searah
jarum jam (dari kiri ke kanan) sebanyak tiga kali. dan pikiran terpusat pada
TRIRATNA.

II.2.1. Paritta, Sutra, Dharani dan Mantra


Kata 'paritta' secara literal berarti 'perlindungan'. Paritta berisi syair2 dalam
bahasa Pali yang biasanya memiliki tujuan untuk mendapatkan perlindungan
dari bahaya2 atau ketidak-beruntungan.Beberapa paritta telah disusun oleh Sang
Buddha sendiri seperti Khandhaparitta (syair-syair perlindungan supaya tidak
diganggu ular) dan Dhajaggaparitta (syair-syair perlindungan supaya bebas dari
ketakutan). Juga ada paritta yang disusun oleh makhluk halus dan diterima oleh
Sang Buddha, yakni Āṭānatiyaparitta (syair-syair perlindungan supaya tidak
diganggu oleh makhluk halus). Kebanyakan paritta disusun oleh para bhikkhu
belakangan.

Sutra berasal dari bahasa Sansekerta/sankrit yang berarti 'khotbah' dan mengacu
pada khotbah2 yang ada dalam Mahayana. Dalam Theravada, dikenal sebagai
sutta.

Mantra juga berasal bahasa sanskrit, seperti kata teman2, merupakan kata2 yang
mengandung magis. Mantra sangat terkenal dalam agama Hindu / Brahmana,
namun belakangan juga diadopsi oleh beberapa sekte agama Buddha seperti
Tantrayana. Karena orang2 Indonesia juga dipengaruhi oleh agama BUddha-
Siva (gabungan antara agama Buddha dan HIndu), mantra juga masih dikenal di
Indonesia.. Dalam tradisi Theravada, mantra dikenal sebagai 'manta' dan dalam
kitab Komentar Jātaka, Bodhisatta konon juga mempelajari beberapa mantra.

II.2.2. Vihara ( Uposathagara, Dhammasala, Kuti, Perpustakaan dan Pohon Bodhi)


Tempat pelaksanaan Puja yang merupakan kompleks bangunan yang
mempunyaisana lengkap, yang meliputi :
 Uposathagara (Gedung Uposatha) uposathagara memiliki kegunaan
sebagai tempat untuk melaksanakan upacara pentahbisan
Bhikkhu/Bhikkhuni,Samanera/Samaneri; tempat mempersembahkan
jubah Kathina; tempat membacakan patimokkha; tempat membahas
pelanggaran yang dilakukan Bhikkhu/bhikkhuni.
 Dhammasala adalah tempat untuk mendengarkan dhamma dan juga
tempat untuk melaksanakan puja bakti.
 Kuti adalah tempat untuk bhikkhu/bhikkhuni berdiam tinggal
 Perpustakaan adalah tempat untuk menyimpan satu set Tripitaka
 Pohon Bodhi sebaai lambing pencerahan karena sang Buddha pertama
kali mencapai penerangan sempurna

II.2.3. Cetya atau altar


Cetiya berasal dari bahasa Sanskerta 'caitya' yang berarti "pengingat" atau
"peringatan," berupa objek atau tempat yang digunakan oleh penganut agama
Buddha Theravada untuk mengingat Buddha Gautama.
Cetiya berarti benda pujaan, tempat memuja, bangunan sakral (devalaya), stupa,
pohon sakral (cetiyadduma).cetiya termasuk simbolisme Buddha dengan
penekanan historis, alih-alih metafisik, dengan sang Buddha.Cetiya hanya
memiliki bhaktisala atau dharmasala.
Yang dimaksud benda pujaan adalah suatu benda yang dikramatkan, dihormat
untuk tujuan-tujuan spiritual tertentu.
Tempat memuja adalah suatu tempat (atau bangunan) yang dikramatkan baik
yang di dalamnya disemayamkan benda pujaan ataupun tidak, dan digunakan
sebagai pusat pemujaan dalam nama yang berbeda-beda, misalnya kepunden,
rumah datuk, kelenteng, dan sebagainya.

Bangunan sakral yang dimaksud disini adalah suatu bangunan yang digunakan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan spiritual.
Stupa adalah bangunan dalam bentuk khusus yang digunakan sebagai tempat
menyimpan benda-benda yang dihormati atau disucikan.
Pohon sakral adalah tumbuhan yang dianggap keramat, sebagai tempat
kediaman banaspati atau mahluk halus lain, atau yang berkaitan erat dengan
kepercayaan tertentu.

II.2.4. Stupa
Stupa digunakan sebagai makam, tempat menyimpan abu kalangan bangsawan
atau tokoh tertentu. Di kalangan Buddha, stupa menjadi tempat menyimpan abu
sang buddha sendiri.Bangunan stupa terdiri atas tiga bagian yaitu :
 Andah melambangkan dunia bawah, tempat manusia yang masih
dikuasai hawa nafsu.
 Yanthra merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran saat
bermeditasi. Pada Candi Mendut terdapat patung Rusa (lambang
peristiwa khotbah pertama Sang Budha).
 Cakra melambangkan nirwana, tempat para dewa.

II.3. Hari Raya Agama Buddha


2.3.1.Magha Puja ( pada Februari )
Hari suci Magha Puja memperingati empat peristiwa penting, yaitu :
a. Seribu dua ratus limapuluh orang bhikkhu datang berkumpul tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu.
b. Mereka semuanya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
c. Mereka semuanya memiliki enam abhinna.
d. Mereka semua ditasbihkan oleh Sang Buddha dengan ucapan “Ehi Bhikkhu”

Peristiwa penting ini dinamakan Caturangga-sannipata, yang berarti pertemuan besar


para arahat yang diberkahi dengan empat faktor, yaitu seperti tersebut di atas.
Peristiwa penting ini terjadi hanya satu kali dalam kehidupan Sang Buddha Gotama,
yaitu pada saat purnama penuh di bulan Magha (Februari), tahun 587 Sebelum
Masehi ( sembilan bulan setelah Sang Buddha mencapai Bodhi). Pada waktu itu,
seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu datang secara serempak pada waktu yang
bersamaan, tanpa adanya undangan dan perjanjian sebelumnya ke tempat kediaman
Sang Buddha di vihara Veluvana (Veluvanarama, yang berarti hutan pohon bambu) di
kota Rajagaha. Mereka datang dengan tujuan untuk memberi hormat kepada Sang
Buddha sekembalinya mereka dari tugas menyebarkan Dhamma dan melaporkan
hasil penyebaran Dhamma yang telah mereka lakukan tersebut.

Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu telah mencapai tingkat
kesucian yang tertinggi, yaitu arahat. Mereka telah berhasil membasmi semua kilesa
atau kekotoran batinnya sampai keakar-akarnya, sehingga mereka dikatakan telah
khinasava atau bersih dari kekotoran batin.
2.3.2. waisak
Hari suci Waisak atau Vaisakha Puja memperingati tiga peristiwa suci yang terjadi
pada pribadi Guru Besar Buddha Gotama, yaitu:
 Pangeran Siddharta lahir di Taman Lumbini tahun 623 Sebelum Masehi.
 Petapa Gotama mencapai bodhi atau Penerangan Sempurna di Bodhi Gaya
pada usia 35 tahun.
 Buddha Gotama mencapai Parinibbana (mangkat) di Kusinara pada usia 80
tahun.
Peristiwa Suci Waisak mengajak umat Buddha untuk merenungkan dan menghayati
kembali perjuangan hidup Buddha Gotama. Seorang Putera Mahkota Siddharta
Gotama yang dibesarkan dengan segala kemewahan di dalam istananya, ternyata rela
meninggalkan semuanya itu demi cinta kasihnya kepada semua makhluk. Beliau
pergi meninggalkan istana bukan karena terpaksa atau dipaksa, juga bukan karena
kepentingan pribadi. Beliau pergi meninggalkan istana dan segala kesenangan
duniawi karena dorongan untuk mencari sesuatu yang hakiki. Beliau berjuang dengan
gigih dan pantang menyerah dalam upaya mencari jalan yang dapat membebaskan
makhluk dari segala bentuk penderitaan.
2.3.3. Asadha
Peristiwa suci Asadha merupakan peristiwa yang mempunyai arti yang amat penting,
bahkan mempunyai nilai keramat bagi kemanusiaan. Sebab, dengan terjadinya
peristiwa Asadha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha masih dapat mengenal
Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup dan kehidupan ini; Buddha Dhamma
yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya.

Hari suci Asadha memperingati tiga peristiwa penting, yaitu :


 Khotbah pertama Sang Buddha kepada lima orang pertapa di Taman Rusa
Isipatana.
 Terbentuknya sangha Bhikkhu yang pertama.
 Lengkapnya Tiratana/Triratna ( Buddha, Dhamma, dan Sangha)

2.3.4. Kathina
Hari Suci Kathina atau Khathina Puja merupakan hari bakti umat Buddha kepada
Sangha. Sangha merupakan persaudaraan para bhikkhu / bhikkhuni. Sangha
merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta ini.
Sangha merupakan pewaris dan pengamal Buddha Dhamma yang patut dihormati.
Dengan adanya Sangha, yang anggotanya menjalankan peraturan-peraturan
kebhikkhuan (vinaya) dengan baik. Buddha Dhamma akan berkembang terus di dunia
ini. Sangha merupakan pemeliharaan kitab Suci Tipitaka / Tripitaka.
Umat Buddha berterima kasih kepada Sangha dengan menyelenggarakan perayaan
Kathina Puja. Umat Buddha berterima kasih kepada para bhikkhu / bhikkhuni yang
telah menjalankan masa vassa di daerah mereka, dengan mempersembahkan Kain
Kathina (Kathinadussam) yang berwana putih sebagai bahan pembuatan jubah
Kathina.

Kathina Puja diselenggarakan selama satu bulan, mulai dari sehari sesudah para
bhikkhu / bhikkhuni selesai menjalankan masa vassa. Masa vassa adalah masa musim
hujan di daerah kelahiran Sang Buddha. Lamanya masa vassa adalah tiga bulan, yaitu
sehari sesudah bulan purnama penuh dibulan Asadha (Juli) sampai dengan sehari
sebelum hari Kathina (Oktober). Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni harus
berdiam di suatu tempat (vihara) yang telah ditentukan.

Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni tidak diperkenankan untuk berjalan-
jalan keluar jauh dari vihara, kecuali dengan alasan sangat penting dan mendesak.
Seorang Bhikkhu hanya diperkenankan meninggalkan vihara, tempat ia ber-vassa
dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu tujuh malam harus sudah kembali lagi.
Masa vassa seorang bhikkhu dinyatakan sah apabila tidak melanggar batas waktu
yang telah ditetapkan itu.

Para bhikkhu / bhikkhuni hidup amat sederhana. Mereka hanya mempunyai empat
kebutuhan pokok, yaitu :

i. Civara atau jubah ; cukup dengan satu model dan satu warna sederhana.
ii. Pindapata atau makanan; cukup dua kali atau sekali sehari.
iii. Senasana atau tempat tinggal; cukup satu ruangan sederhana, baik diikuti, di
gubuk, di gedung, di gua-gua, atau di tempat-tempat lain.
iv. Gilanapaccayabhesajja atau obat-obatan.

2.3.5 Hari Raya Agama Buddha Mahayana


Antara lain adalah:
1) Upacara hari lahirnya Pangeran Siddharta yang jatuh pada tanggal 8 bulan 4
penanggalan lunar, biasanya pada hari tersebut diadakan Puja Bhakti pencurahan air
bunga pada rupang bayi Pangeran Sidharta ( I Fo)
2) Hari hari besar Buddha dan Bodhisattva lainnya diantaranya hari besar
bhaisajaguru Buddha (Akhir bulan 9 penanggalan lunar).
3) Amitabha Buddha (tanggal 17 bulan 11 penanggalan lunar)
4) Maitreya Bodhisattva (tanggal 1 bulan 1 penanggalan lunar) bertepatan dengan
tahun baru imlek (Sin Cia)
5) Avalokitesvara Bodhisattva (tanggal 19 bulan 2, 6 dan 9 penanggalan lunar.
6) Mahastmaprapta Bodhisattva (tanggal 3 bulan 7 penanggalan lunar)
7) Ksitigarbha Bodhisattva (akhir bulan 7 penanggalan lunar)
8) Serta Buddha dan Bodhisattva lainnya. Perayaan hari-hari besar tersebut selalu
ditandai dengan pembacaan sutra, mantra, pelafalan nama Buddha, persembahan
puja, pemasangan pelita maupun Ksamayati/pertobatan.
9) Hari Ulambana, yang dalam tradisi Theravada disebut hari Kathina, yaitu hari
persembahan empat kebutuhan pokok kepada anggota Sangha. Dan pada sore/petang
harinya diadakan acara Ta Meng San oleh anggota Sangha, jasa kebajikan dari
upacara ini dipersembahkan untuk umat yang mempersembahkan empat kebutuhan
pokok tersebut, beserta leluhur dan sanak keluarga yang masih hidup maupun yang
telah meninggal.
3.Buddha, Bodhisattva dan Arahat

1. Buddha ialah orang yang mencapai Kesadaran Sempurna (kesucian tertinggi)


dengan usahanya sendiri, lalu mengajarkan Dharma ajarannya kepada semua
umat manusia. ada 3 macam budha yaitu:
 Sammasambudha ialah budha yang mencapai penerangan
sempurna atas usahanya sendiri dan dapat mengajarkan dan
membimbing kepada muridnya untuk mencapai kebudhaan.
 Savaka budha yaitu murid sammasambudha yang telah
mencapai penerangan sempurnadan dapat mengajarkan dan
membimbing orang lain untuk menjadi budha.
 Pacceka budha yaitu seseorang yang mencapai kebudhaan
denan usaha sendiri, namun tidak bisamembimbing orang lain
untuk menjadi budha.

Dalam kitab Buddhavamsa Atthakatha disebutkan tentang empat hal yang


tidak akan terjadi pada seorang Buddha, yaitu :
1) Empat kebutuhan pokok yang telah direncanakan untuk didanakan
kepada Sang Buddha tidak akan gagal disampaikan,
2) Tak seorangpun dapat membunuh Sang Buddha
3) Tiga puluh dua tanda manusia agung ( Mahapurisalakkhana) tidak
mungkin dilukai,
4) Tak ada sesuatu yang dapat menghalangi sinar (aura) tubuh Sang Buddha.

2. Bodhisatva ialah orang yang bertekad untuk mencapai tingkat Buddha.


Ada 3 macam bodhisatva yaitu:

 Pannadhika bodisatva yaitu bodhisatva yang kuatdalam hal


kebijaksanaan,
 Sadhadhika bodhisatva yaitu bodhisatva yang kuat dalam hal
keyakinan,
 Viriyadhika bodhisatva yaitu bodhisatva yang kuat dalam hal
semangat.
3. Arahat (Arahanto): adalah orang yang telah menghancurkan segala āsava.
Mereka disebut 'Arahat' karena musuh - musuh (arīnaṃ) berupa kekotoran
batin dan jeruji (arānaṃ) roda samsara telah dihancurkan (hatattā) oleh
mereka; karena mereka tetap waspada terhadapnya (ārakattā); karena mereka
pantas (arahattā) memperoleh kebutuhan pokok dan sebagainya; dan karena
mereka tidak melakukan perbuatan jahat apapun, sekalipun secara sembunyi
- sembunyi (arahābhāvā).

4. Dhammaniyama
Menurut ajaran Agama Buddha, alam semesta dengan segala isinya diatur
oleh sebuah hukum universal yang berlaku di semua alam kehidupan (31
alam, termasuk alam manusia), segala isi bumi, tata surya-tata surya, maupun
maupun semua galaksi di jagad raya ini. Hukum universal ini adalah
Dhammaniyama
4.1.Utu Niyama( Hukum Musim )
Hukum tertib "physical inorganic" misalnya : gejala timbulnya angin dan
hujan yang mencakup pula tertib silih bergantinya musim-musim dan
perubahan iklim yang disebabkan oleh angin, hujan, sifat-sifat panas ,sifat
benda seperti gas, cair dan padat, kecepatan cahaya , terbentuk dan
hancurnya tata surya dan sebagainya. Semua aspek fisika dari alam diatur
oleh hukum ini.
4.1.1.Alam Semesta
Alam semesta memiliki luas yang tidak terkira dan apa yang ada di dalamnya pun
tidak terhitung jumlahnya. Namun semua yang terkandung di dalam alam semesta
memiliki dasar penyusun yang sama. Dalam Buddhisme, ada tiga komponen yang
menyusun hakekat alam semesta, yaitu Citta, Cetasika, dan Rupa.
Rupa secara mudah dapat dikatakan sebagai materi atau jasmani (sebutan untuk
makhluk). Sedangkan Citta dan Cetasika sebenarnya merupakan bagian dari Nama
atau secara mudah dapat disebut batin. Nama secara rinci terdiri dari unsur
perasaan (Vedana), pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, ketiganya termasuk dalam
kelompok Cetasika, dan kesadaran, yaitu Citta.
Berikut ini definisi dari komponen penyusun hakikat alam semesta menurut
Abhidhammatthasangaha :
a) Rupa berarti 'yangberubah'. Rupa (bentuk) adalah keadaan yang dapat
bercerai atau berubah padam dengan kedinginan dan kepanasan. Contoh
sifat Rupa yang selalu berubah yaitu kulit Anda yang berubah menjadi
kemerah-merahan dan meradang pada kondisi suhu yang sangat panas.
Secara keseluruhan, ada 28 jenis Rupa.

b) Citta dapat dijelaskan sebagai keadaan yang mengetahui obyek, atau


keadaan yang menerima, mengingat, berpikir, dan mengetahui obyek.
Secara singkat, Citta dapat diartikan sebagai kesadaran/pikiran. Setiap saat
kita sadar akan berbagai obyek. Di sini 'kesadaran' bukan berarti
pemahaman secara pengetahuan ataupun melalui kebijaksanaan, melainkan
kemampuan untuk menangkap obyek melalui organ indera. Ketika melihat
suatu obyek tampak, timbullah kesadaran penglihatan. Ketika mendengar
suatu suara, timbullah kesadaran suara, dsb.

c) Cetasika (faktor-faktor mental) adalah keadaan yang bersekutu (muncul


bersama) dengan Citta (kesadaran). Citta hanya berfungsi mengenali obyek,
maka citta itu sendiri tidak dapat dikatakan baik atau buruk. Karena Citta
muncul bersama dengan berbagai faktor mental yang berbeda yang disebut
Cetasika, Citta dinyatakan baik atau buruk bergantung pada faktor mental
yang muncul menyertai Citta, apakah itu faktor mental yang baik atau faktor
mental yang buruk. Dengan kata lain, Cetasika menentukan kesadaran
menjadi baik atau buruk.

4 sifat Cetasika:
1) muncul bersama dengan Citta (ekuppada)
2) padam bersama dengan Citta (ekaniroda)
3) objeknya sama dengan Citta (akalambana)
4) landasannya sama dengan Citta (ekavatthuka)

4.1.2.Kejadian Bumi dan Manusia


Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha,
khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya
seorang atau dua orang, tentang manusia pertama di bumi kita ini hanya diuraikan oleh
Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Bharmajala Sutta. Berikut di
bawah ini adalah uraian dari Aggana Sutta.
Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali,
ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir
kembali di Abhassara (alam cahaya), di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano
maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa,
hidup di dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Pada waktu itu (bumi kita ini) semua terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari
atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang atau konstelasi-konstelasi yang
nampak, siang maupun malam belum ada, ... laki-laki maupun wanita belum ada.
Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja.
Vasetha, cepat atau lambat, setelah waktu yang lama sekali bagi makhluk-makhluk
tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk
buih (busa) dipermukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya
tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau, dan rasa. Sama seperti dadi dudu atau mentega
murni, dmeikianlah warna tanah itu, sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis
tanah itu. Kemudian, Vasetha, di antara makhluk-makhluk yang memiliki sifat serakah
(lolajatiko) berkata: "O, apakah ini?" dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya.
Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu dan nafsu keinginan masuk ke dalam
dirinya. Makhluk-makhluk lain mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu
dengan jari-jari ... makhluk-makhluk itu mulai makan sari tanah itu, memecahkan
gumpalan-gumpalan sari tanah itu dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal
ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya mereka, maka
matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak ... siang dan
malam ... terjadi. Demikian, Vasetha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.

Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup


dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas
yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terbentuklah berbagai
macam bentuk tubuh. Sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan
sebagian lagi buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang
indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ... maka sari
tanah itupun lenyap ketika sari tanah lenyap muncullah tumbuhan dari tanah
(bhumipappatiko). Cara tumbuhan seperti cendawan.
Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari
tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali (seperti
di atas). Sementara mereka yang bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi
sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itupun lenyap.
Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul warnanya seperti dadi susu atau
mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni
Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu
maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan tubuh mereka menjadi nampak
lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini,
maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang
memiliki bentuk tubuh yang buruk ... Sementara mereka bangga akan keindahan bentuk
tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak; maka tumbuhan menjalar itupun
lenyap.
Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap muncullah tumbuhan padi (sali)
yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan seka, harum dan bulir-bulir yang bersih.
Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, dan
keesokan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka
mengumpulkan dan membawankya untu kmakan siang, maka pada sore hari padi
tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka,
mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini
berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan takaran yang mereka
nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan tubuh
mereka namoak lebih jelas. Bagi wanita nampak jenis kewanitaanya (itthilinga) dan bagi
laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga), kemudian wanita sangat
memperhatikan keadaan laki-klaki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan
wanita. Karena mereka sangat memperhatikan keadaan diri sati sama lain, maka
timbulah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu
indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.
Teciptanya bumi dan alam semesta seperti yang telah diuraikan di atas mungkin agak
membingungkan,maka penulis akan berusaha menerangkannya lebih lanjut.
Penjelasan Sang Buddha mengenai terciptanya bumi dan kehidupan adalah dapat dilihat
pada Aganna Sutta yang merupakan kitab ke-27 dari Digha Nikaya, yakni yang
merangkum khotbah-khotbah panjang dari Sang Buddha.
Kemudian tibalah waktunya, [O], Vasettha, ketika, cepat atau lambat, pada
suatu masa yang lama, dunia ini berlalu. Dan ketika ini terjadi, makhluk
hidup sebagian besar terlahir di Alam Cahaya (Abhassara), dan di sanalah
mereka tinggal, terbuat dari pikiran, diberi makan oleh kegiuran, bercahaya
sendiri, melayang di udara,
bersambung dalam kejayaan, dan demikianlah mereka bertahan selama waktu yang
lama, periode yang lama dari waktu. Kemudian datanglah saatnya, [O],
Vasettha, cepat atau lambat dunia ini mulai berevolusi kembali. Ketika ini
terjadi, makhluk-makhluk turun dari Alam Abhasara, biasanya melanjutkan
hidupnya sebagai manusia."

Kemudian tibalah waktunya, [O], Vasettha, ketika, cepat atau lambat, pada
suatu masa yang lama, dunia ini berlalu" merujuk pada musnahnya alam semesta
yang lama, dan semuanya terkondesasi menjadi energi, inilah yang dimaksud
dengan Alam Abhassara atau Alam Cahaya, karena cahaya sendiri adalah
manifestasi dari energi. Karena itu jelas sekali Sang Buddha menjelaskan
bahwa pada saat itu mereka tidak memiliki wujud, dan hanya terdiri dari
pikiran. Yang mana pikiran ini menunjukkan kesinambungan energi dari makhluk
hidup, yang sangat sesuai dengan hukum kekekalan energi. Ilmu pengetahuanpun
mengakui bahwa bumi tidak langsung tercipta sekali jadi, yang sangat
mengagumkan adalah Sang Buddha sudah
mengetahui hal ini. Berbeda dengan pandangan-pandangan yang umum diakui 2500
tahun yang lalu, yang mengatakan bahwa dunia ini diciptakan secara langsung
oleh makhluk adikodrati. Proses perkembangan bumi ini jelas sekali
disebutkan Sang Buddha pada kalimat: , [O], Vasettha, cepat atau lambat
dunia ini mulai berevolusi kembali. Pada saat perkembangan terbentuknya
dunia ini, maka makhluk-makhluk pun mulai meneruskan kelahirannya, yang
nampak pada kalimat dari Sutta: "melanjutkan hidupnya sebagai manusia", yang
dimaksud melanjutkan hidupnya sebagai manusia adalah meneruskan kelahirannya
kembali hingga menjadi makhluk yang memiliki wujud fisik lagi. Mengenai
turunnya makhluk dari luar angkasa itu, para ilmuwan tidak menentangnya,
mengingat adanya teori panspermia, yakni kehidupan dibawa dari angkasa luar.
Hal itu telah dibuktikan dengan ditemukannya meteorit dari planet Mars, yang
berisikan spora-spora kehidupan.

Mari kita baca lebih lanjut teks Sutta tersebut:


"Pada waktu itu semuanya merupakan satu dunia yang terdiri dari air, gelap
gulita,. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada
bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan, siang maupun
malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun-tahun
maupun musim-musim belum ada, laki-laki maupun wanita belum ada.
Mahluk-mahluk hanya dikenal sebagai mahluk-mahluk saja. Vasettha, cepat atau
lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut,
tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti
bentuk-bentuk buih di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah
munculnya tanah itu, sama seperti madu lebah murni, demikianlah manisnya
tanah itu."
Sungguh mengagumkan sekali Sang Buddha telah mengatakan bahwa kehidupan
berawal dari air, dengan kalimat: "one world of water", menurut ilmu
pengetahuan air sangatlah penting bagi kehidupan dan kehidupan bermula dari
air. Baru pada tahun 1657, Anthonie van Leeuwenhoek, penemu mikroskop,
menemukan bahwa ada makhluk sangat kecil yang hidup pada air hujan. Juga hal
ini tidaklah bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa bumi
ini dulunya cair. Pada saat bumi baru terbentuk tentu saja masih terjadi
kabut yang terjadi dari pendinginan bumi, oleh karena itu matahari dan
bintang belum nampak, hal ini juga secara luar biasa dinyatakan dalam Sutta
ini. Jelas sekali Sutta ini mengatakan ". No moon nor sun appeared, no
stars were seen, nor constellations". Ini berarti bahwa sebenarnya matahari
dan bintang-bintang sudah ada, namun belum nampak, jadi tidak bertentangan
dengan ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa matahari lebih tua dari bumi,
banyak agama-agama yang timbul saat itu mengatakan bahwa bumi lebih tua dari
matahari, namun inilah yang benar menurut ilmu pengetahuan:
Kutipan dari Buku "Geographica, the complete illustrated world reference."
terbitan Periplus ha10, sebagai berikut: " A little less than 5 billions
years ago, the sun was formed in a cloud of interstellar gas. The infant sun
was surrounded by a cooling disk of gas and dust, the solar nebula, where
knots of material were forming, cooling, breaking, and merging. The larger
objects, called planetisimals, grew by accreting smaller particles, until a
few protoplanets dominated. The protoplanets from the warm inner parts of
disc became small rocky planets. Further out, in a cooler region, where ices
of water, ammonia, and methane could condense, the giant planets formed.
These planets grew in mass more rapidly, forming deep atmospheres would
rocky cores. The giants planets copied the sun's creation disk in miniature
to create the moons."

Di sini jelas bahwa matahari berusia 5 bilyun tahun, dan ada lebih dahulu
sebelum planet2. Lebih jauh pada halaman 20 disebutkan bumi terbentuk
sekitar 4500-5000 juta tahun yang lalu. Ilmu pengetahuan juga sepakat bahwa
kehidupan pada awalnya adalah tidak berjenis kelamin atau aseksual, hal ini
sejalan dengan apa yang disabdakan Sang Buddha, bahwa: "Mahluk-mahluk hanya
dikenal sebagai mahluk-mahluk saja", yakni belum ada pembedaan atas jantan
atau betina, laki-laki atau wanita.
Bagian selanjutnya adalah menggambarkan munculnya tumbuhan bersel satu:
"mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air.
Sama seperti bentuk-bentuk buih di permukaan nasi susu masak yang mendingin"
Ganggang bersel satu seperti diatoms, desmids dan lain-lain berkembang biak
dengan membelah diri, dari satu menjadi dua, dua menjadi empat hingga
mencapai ribuan.yang membentuk suatu lapisan berwarna coklat keemasan pada
permukaan air, beberapa yang lainnya membentuk lapisan berbunga-bunga atau
berbuih-buih di atas permukaan air, dan memberikan rasa tertentu pada air.
Jadi jelas secara mengagumkan Sutta ajaran Sang Buddha itu memberikan suatu
penggambaran yang akurat mengenai munculnya kehidupan pertama berupa
tumbuhan bersel satu.
Selanjutnya kita baca lagi bagian Sutta berikutnya:
"Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki pembawaan sifat
serakah (lolajatiko) berkata, "Oh, apakah ini?" dan mencicipi sari tanah itu
dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan
nafsu keinginan masuk ke dalam dirinya. Dan mahluk-mahluk lainnya mengikuti
contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jarinya. Dengan
mencicipinya, maka mereka diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk
ke dalam diri mereka. Maka mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah,
memecahkan gumpalan sari-sari tanah itu dengan tangan mereka. Dan dengan
melakukan hal ini, cahaya tubuh mahluk-mahluk itu menjadi lenyap. Dengan
lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahri, bulan, bintang-bintang dan
konstelasi-konstelasi nampak. Demikian pula dengan siang dan malam, bulan
dan pertengahan bulan, musim-musim dan tahun-tahun pun terjadi. Demikianlah
Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya,
hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.
Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi
padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk. Sebagian mahluk memiliki
bentuk yang indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang jelek.
Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah
memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang jelek, dengan
berfikir: "Kita lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada
kita". Sementara mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong
dan congkak, maka sari tanah itupun lenyap.
Dengan lenyapnya sari tanah itu, mereka berkumpul bersama-sama dan
meratapinya "sayang, lezatnya! sayang lezatnya!". Demikian sekarang ini,
apabila orang menikmati rasa enak, ia akan berkata "Oh, lezatnya! Oh,
lezatnya!" yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan itu hanyalah mengikuti
ucapan masa lampau, tanpa mereka mengetahui makna dari kata-kata tersebut."

Di sini jelas sekali hewan bersel satu menjadi makanan dari makhluk-makhluk
purba lainnya, dan karena makanan itu maka mulai mengalami perubahan alias
berevolusi, tubuh fisik mulai berkembang. Pada bagian ini Sang Buddha
memasukkan ajaran moral yakni melawan keserakahan serta rasa sombong, jadi
ajaran Buddha bukanlah semata-mata ajaran ilmiah belaka, melainkan juga
ajaran moral. Mengingat menurut Agama Buddha, tubuh fisik ini juga
ditentukan oleh pikiran. Saat itu bumi beserta atmosfernya mulai cukup
stabil dan dingin sehingga sangat membantu bagi perkembangan makhluk hidup
berikutnya, maka saat itu matahari dan benda-benda langit lainnya mulai
tampak.
Sutta berikutnya kita baca lagi:
"Kemudian, Vasettha, ketika sari tanah lenyap bagi mahluk-mahluk itu,
muncullah tumbuh-tumbuhan dari tanah (bhumi-pappatiko). Cara tumbuhnya
adalah seperti tumbuhnya cendawan. Tumbuhan ini memiliki warna, rasa, dan
bau, sama seperti dadih susu atau mentega murni, demikianlah warna tumbuhan
itu, sama seperti madu lebah murni, demikianlah manisnya tumbuhan itu.
Kemudian mahluk-mahluk itu mulai makan tumbuh-tumbuhan yang muncul dari
tanah itu. Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang
muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang
lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh
mereka menjadi lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih
jelas. Sebagian mehluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk
memiliki bentuk tubuh yang jelek. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang
memiliki bentuk tubuh yang indah memeandang randah mereka yang memiliki
bentuk tubuh yang jelek, dengan berfikir, "Kita lebih indah daripada mereka,
mereka lebih buruk daripada kita." Sementara
mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong dan congkak, maka
tumbuhan yang muncul dari tanah itupun
lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (baladata) muncul, dan cara tumbuhnya
adalah seperti bambu. Tumbuhan ini memiliki warna, bau, dan rasa, sama
seperti dadih susu atau mentega murni, demikianlah warnanya tumbuhan itu,
sama seperti madu lebah murni, demikanlah manisnya tumbuhan itu."
Sesuai dengan ilmu pengetahuan, tumbuhan mulai berkembang di darat dan makin
kompleks, seperti misalnya jamur, yang dalam
Bahasa Pali disebut: Ahicchanttako, bagian juga menggambarkan evolusi
terpisah antara dua kingdom dalam ilmu biologi, yakni kingdom plantaria
(tumbuhan) dan animalia (hewan). Pada ayat di atas kita juga dapat
mengetahui bahwa jumlah makhluk
hidup makin beraneka ragam: ", maka tubuh mereka menjadi lebih padat, dan
perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas". Ada makhluk yang
bentuknya indah dan ada yang buruk. Juga para makhluk hidup makin tergantung
dengan makanan mereka. Hal ini juga sejalan dengan ilmu pengetahuan, yakni
Burung Finch Darwin, yang mana bentuk paruhnya ditentukan oleh jenis
makanannya. Lalu tumbuhan juga berkembang makin kompleks dengan munculnya
tumbuhan menjalar, ini menggambarkan keadaan jaman Prekambrium dan Kambrium.

Teks Sutta berikutnya:


Kemudian, Vaettha, mahluk-mahluk itu mulai makan tumbuhan menjalar tersebut.
Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar
tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali.
Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi
lebih padat, dan perbedaan bentuk
tubuh mereka nampak lebih jelas. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang
indah dan sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang jelek. Dan karena
keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah, memandang
rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang jelek, dengan berfikir, "Kita
lebih indah daripada mereka, mereka lebih buruk daripada kita". Sementara
mereka bangga akan keindahannya, sehingga menjadi sombong dan congkak, maka
tumbuhan menjalar itupun lenyap. Dengan lenyapnya tumbuhan menjalar itu,
mereka berkumpul bersama-sama dan meratapinya "kasihan kita, milik kita
hilang!".
Demikian pula sekarang ini, bilamana orang-orang ditanya apa yang
menyusahkannya, mereka menjawab, "Kasihanilah kita!
Apa yang kita miliki telah hilang" yang sesungguhnya apa yang mereka ucapkan
itu hanyalah mengikuti ucapan pada masa
lampau, tanpa mengetahui makna daripada kata-kata itu. Kemudian, Vasettha,
ketika tumbuhan menjalar lenyap
bagi mahluk- mahluk itu, muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak dalam
alam terbuka (akattha pako), tanpa dedak dan sekam, harum, dengan
bulir-bulir yang bersih. Bilamana pada sore hari mereka mengumpulkan dan
membawanya untuk makan malam, maka keesokan paginya padi itu telah tumbuh
dan masak kembali. Bilamana pada pagi hari mereka mengumpulkan
dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah
tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul. Vasettha,
selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi dari alam terbuka, mendapatkan
makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung
demikian dalam masa yang lama
sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka
tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak
lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi
laki-laki nampak jelas
kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang
keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan tentang keadaaan
wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama
lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indria yang membakar tubuh mereka.
Dan sebagai akibat adanya nafsu indria
tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin (methuna).
Dari ayat di atas kita mengetahui adalah bahwa fase selanjutnya munculnya
tumbuhan-tumbuhan berbiji yang dikatakan sebagai: tumbuhan padi-padian pada
Sutta di atas, juga makhluk mulai dibedakan atas jantan dan betina. Pada
periode evolusi ini, makhluk hidup mulai mengembangkan DNAnya, serta dengan
bantuan lingkungannya, yakni air, panas dan lain sebagainya untuk membentuk
sel-sel baru. Juga ada ajaran moral mengenai kecongkakan dan hawa nafsu.Demikianlah
makhluk-makhluk tersebut akhirnya berkembang menjadi manusia.

4.1.3.Kehancuran Bumi
Kehancuran bumi ini berlangsung karena dipengaruhi oleh ulah manusia, juga oleh
hukum universal (Dhammaniyama) itu sendiri, walaupun keterlibatan hukum ini adalah
wajar saja. Bumi kita hancur karena terjadi ketidakberaturannya sistem rotasi orbit tata
surya kita, sehingga terjadi persilangan sinar matahari dari tujuh tata surya lain.
Akibatnya sinar matahari dari tujuh tata surya lain menerpa bumi kita pula. Yang
mengakibatkan bumi kita kepanasan, terbakar dan lenyap.Apakah yang menyebabkan
terjadinya perubahan garis-garis orbit dari sistem tata surya ? Perhatikanlah uraian yang
dinyatakan Sang Buddha sebagi berikut :
Bilamana raja-raja berlaku tidak benar, demikian pula para brahmana, rakyat penduduk
kota maupun desa menjadi tidak benar, maka matahari dan bulan bintang-bintang dan
konstelasi-konstelasi berubah garis orbitnya. Siang malam, bulan musim dan tahun
berubah pula. Angin bertiup salah waktunya (musim) hujan pun turunnya kurang.
Sehingga panen matang pada musim yang salah, maka akibatnya manusia berusia
pendek, buruk-rupa, lemah dan sakit-sakitan. Sebaliknya, raja-raja berlaku benar pada
musimnya, maka manusia berusia panjang, cukup, kuat, dan sehat.
(Pattakammavagga, Anguttara Nikaya)
Hubungan moral sosial sangat erat sekali dengan hukum alam, sehingga pengaruhnya
dirasakan oleh manusia sendiri. Peranan pemerintah (raja dan menteri) juga mempunyai
dampak yang besar sekali dalam tata surya kita. Singkatnya tingkah laku manusia
sendirilah yang mempercepat dan memperlambat terjadinya evolusi perubahan itu,
dengan mengakibatkan sistem edar tata surya. Dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha
menyatakan tentang hancurnya bumi kita ini sebagai berikut :
“Para Bhikkhu, bentuk apapun tidak kekal, goyah dan tak tetap. Akan tiba suatu masa
setelah bertahun-tahun ... atau ratusan tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan,
maka semua bibit tanaman ... pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan
mati ... selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu diakhir masa yang lama,
matahari kedua muncul ... maka semua sungai kecil dan danau kecil surut kering dan
tiada ... selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu diakhir masa yang lama,
matahari ketiga muncul ... maka semua sungai besar seperti Gangga Yamuna ... surut,
kering dan tiada ... selanjutnya matahari keempat muncul... maka semua danau besar
menjadi surut dan kering... selanjutnya matahari kelima muncul ...’maka air maha
samudera surut sampai sedalam mata kaki. Selanjutnya matahari keenam muncul ...
maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung mengeluarkan,
memuntahkan dan menyemburkan asap ... para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu
masa, suatu waktu diakhir masa yang lama, matahari ketujuh mncul, maka bumi dengan
gunung Sineru ... terbakar; menyala berkobar-kobar dan menjadi seperti bola api yang
berpijar ... disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi ... hangus total ada hara
maupun abu yang tersisa bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa
sisa.”

4.2. Bija Niyama(hukum biologis)


Adalah hukum tertib yang mengatur tumbuh-tumbuhan dari benih/biji-bijian dan
pertumbuhan tanam-tanaman, misalnya padi berasal dari tumbuhnya benih padi,
manisnya gula berasal dari batang tebu atau madu, adanya keistimewaan daripada
berbagai jenis buah-buahan , hukum genetika /penurunan sifat dan sebagainya . Semua
aspek Biologis makhluk hidup diatur oleh hukum ini.

Bija berarti "benih" di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya dalam berbagai
bentuk. Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah bentuk lain dari hukum
energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan pertumbuhan dunia tumbuhan
merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan kehidupan tumbuhan dan
disebut Bija-niyama.
Hukum pembenihan menentukan kecambah, tunas, batang, cabang, ranting, daun,
bunga, dan buah di mana dapat tumbuh. Dengan demikian, biji jambu tidak akan
berhenti menghasilkan keturunan spesies jambu yang sama. Hal ini juga berlaku untuk
semua jenis tumbuhan lainnya dan tidak ada sosok pencipta yang mengaturnya.
4.3.Kamma Niyama ( Hukum Perbuatan )
adalah hukum tertib yang mengatur sebab akibat dari perbuatan , misalnya :
perbuatan baik / membahagiakan dan perbuatan buruk terhadap pihak lain,
menghasilkan pula akibat baik dan buruk yang sesuai .Perbuatan (kamma) merupakan
perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan seseorang yang disertai kehendak
(cetana).
4.4.Citta Niyama ( Hukum Psikologis )
Adalah hukum tertib mengenai proses jalannya alam pikiran atau hukum alam
batiniah, misalnya : proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat
kesadaran, kekuatan pikiran / batin (Abhinna), serta fenomena ekstrasensorik seperti
Telepati, kewaskitaan (Clairvoyance), kemampuan untuk mengingat hal-hal yang telah
lampau, kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi dalam jangka pendek
atau jauh, kemampuan membaca pikiran orang lain, dan semua gejala batiniah yang kini
masih belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern termasuk dalam hukum
terakhir ini.
Citta berarti "yang berpikir" (perbuatan berpikir), yang mengandung pengertian: yang
menyadari suatu objek. Juga berarti: menyelidiki atau memeriksa suatu objek. Lebih
jauh lagi, citta dikatakan berbeda-beda bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas
objek.

Menurut pandangan saya ke lima hukum ini saling berhubungan, karena satu kejadian
memiliki berbagai hukum yang saling ketergantungan satu sama lain.
Contohnya :
-Seseorang ketika Terlahir cantik, jelek, utuh atau cacat mungkin disebabkan oleh
Turunan ( hukum Biologis / Bija niyama ), juga kemungkinan Adanya buah Kamma
buruk yang telah matang dan memenuhi persyaratan untuk terlahir cantik, jelek, utuh
atau cacat (Kamma Niyama / Hukum Kamma).
-Adanya sepasang laki-laki dan perempuan yang memiliki buah kamma buruk sebagai
calon kedua orang tuanya dan memenuhi syarat pendukung untuk terlahirnya si bayi
tersebut (Bija Niyama /Hukum reproduksi/hukum Biologis /Hukum genetika).
- Cerdas atau bodoh mungkin disebabkan oleh keadaan sosial dan pengaruh orang tua
( hukum fisika dan hukum psikologik ),
- Mati muda atau berumur panjang mungkin karena gabungan antara masalah gizi
( hukum Biologis), lingkungan yang sehat ( hukum Fisika) dan mungkin pula sikap dan
pandangan hidup (hukum psikologik).
4.5.Dhamma Niyama( Fenomena Alam)
Adalah hukum tertib yang mengatur sebab-sebab terjadinya keselarasan /persamaan
dari satu gejala yang khas, misalnya terjadinya keajaiban alam seperti bumi bergetar
pada waktu seseorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon
Buddha, atau pada saat Ia akan terlahir untuk menjadi Buddha. Hukum gaya berat
(gravitasi) , daya listrik, gerakan gelombang dan sebagainya, termasuk dalam hukum ini.
Dhamma adalah sesuatu yang menghasilkan sifat dasarnya sendiri (dhareti), yaitu
kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat universalnya adalah
berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma yang dikategorikan dalam
hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan sebab tersebut, dan yang
dikategorikan dalam hubungan akibat "menghasilkan" fungsi akibat atau hasil.
Pengertian ini meliputi semua Dhamma yang dibahas dalam Suttanta dan Abhidhamma
Pitaka. Ini juga meliputi hal-hal yang disebutkan dalam Vinaya Pitaka dengan nama
"tubuh aturan" (silakkhandha).
5.Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Ajaran Buddha
Tuhan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha merupakan tujuan akhir hidup umat manusia,
kebebasan mutlak, berakhirnya penderitaan untuk selama-lamanya. Penjelasan Tuhan Yang
Maha Esa dalam Kitab Suci Tipitaka adalah Ajâtam (Tidak Dilahirkan), abhûtam (Tidak
Dijelmakan), Akatam (Tidak Diciptakan), dan Asankhatam (Yang Mutlak). Sedangkan istilah
yang lebih umum dipergunakan untuk menyebutkan Tuhan Yang Maha Esa adalah Asankhata
atau Yang Maha Esa.

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha ditandai dengan munculnya
pemahaman/pandangan terang tentang segala sesuatu yang ada kelangsungannya tanpa aku,
tanpa inti atau tanpa substansi.

Tuhan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha bercorak transenden bagi alam pikir duniawi
manusia yang belum mencapai peningkatan batin, tetapi akan terwujud dalam pengertian Tiga
Permata (Tiratana), Permata Buddha (Buddharatana), Permata Dhamma (Dhammaratana), dan
Permata Sangha (Sangharatana) sebagai suatu pemahaman yang diperlukan bagi objek
penghormatan, dan landasan keyakinan umat Buddha dalam kehidupan sehari-hari.
6.1. Bhavana
Bhavana adalah pengembangan yaitu suatu pengembangan batin yang mengarah pada
ketenangan batin atau untuk membebaskan diri dari penderitaan (dukkha) yang berakar dari
tanha sifat kelobhaan, kebencian dan kebodohan. Bhavana juga sering disebut dengan samadhi
yang mana juga merupakan pengembangan batin dengan cara memusatkan perhatian atau pada
umumnya diketahui oleh khalayak Buddhis adalah konsentrasi pada suatu obyek dan hanya satu
obyek saja dari konsentrasi itu akan timbul pemusatan pikiran yang kuat yang disebut Jhana, ini
dapat memunculkan kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai abhinna. Ketenangan ini juga dapat
juga mengantarkan seorang meditator mencapai tingkat kesucian diri dan bisa mencapai suatu
yang tertinggi yaitu Arahat.
6.1.2. Samattha Bhavana
Samatha bhavana adalah pengembangan batin dengan obyek diluar diri meditator/didalam diri
meditator yang berjumlah 40 obyek. Samatha bhavana ini dilakukan untuk
menekan/mengendapkan 5 rintangan batin (nivarana) dan 10 gangguan (10 Palibhoda).
Sedangkan vipassana bhavana adalah pengembangan batin dengan obyek yang ada pada kita
(Nama dan Rupa) dan 4 satipathana. Vipassana bhavana ini dilakukan untuk
melenyapkan/memusnahkan dan mencabut akar-akar sebab penderitaan dengan memahami
Anicca, Dukkha, Anatta dan melihat segala sesuatu dengan apa adanya/ sesuai dengan
kenyataan.
6.2.Nivarana, Jhana, Abhinna
Nivarana adalah rintangan batin atau yang merupakan suatu penghalang/penghambat kemajuan
batin didalam melaksanakan meditasi. Ada 5 macam rintangan atau Nivarana, antara lain:
1. Kammachanda yaitu nafsu keinginan yang timbul saat meditasi, hal ini muncul karena
meditator pernah/ingin melihat keindahan-keindahan, yang merangsang pikiran meditator.
2. Byapada yaitu kemauan jahat, ingin menyakiti, iri, tidak suka dll. Hal ini timbul karena
meditator pernah melihat, bertemu dengan obyek yang membuat tidak senang.
3. Tinamidha yaitu kemalasan dan kelelahan/kelambanan, lelah, ngantuk, capek, sakit kakinya
dan lain-lain.
4. Udhaccakukucca yaitu kecemasan kekhawatiran. Cemas dan khawatir tentang apa yang
dilakukannya menyimpang, dapat menyebabkan stress atau yang lainnyaaa.
5. Viccikicca yaitu keragu-raguan, misal ragu-ragu tentang Buddha, Dhamma dan Sangha,
termasuk ragu akan adanya yang namanya kesucian, Jhana, dan Abhinna. Orangini hendaknya
membaca/banyak mendengar atau membaca Kitab-Kitab suci Ajaran Buddha yang mengacu
pada Tipitaka.
Jhana merupakan tingkat konsentrasi, tingkat pemusatan pikiran bagi orang/meditator yang
melaksanakan Samattha Bhavana dengan 40 macam obyek meditasi. Untuk masuk kedalam
Jhana-Jhana meditator harus mengalami dan mengatasi faktor-faktor yang muncul dalam
meditasi tersebut, yang disebut sebagai faktor-faktor Jhana, antara lain:
1. Vitaka merupakan penopang pikiran dalam menimbulkan pemusatan atau mempertahankan
obyek untuk menuju peningkatan jhana yang lebih tinggi.
2. Vicara Vicara adalah gema dan vitaka yang mana disini terjadi pemusatan/konsentrasi
terhadap obyek yang sangat kuat bila dianalogikan sebagai lonceng vitaka merupakan saat
dipukulnya lonceng kemudian vicara merupakan bunyi/gema dari pukulan tersebut.
3. Piti adalah kegiuran dan kenikmatan.
4. Sukha adalah perasaan gembira dalam batin.
5. Ekagatta adalah kondisi pikiran/keadaan batin yang terpusat.

Menurut Sutta Pitaka ada 8 jenis jhanna yaitu;


1. Pathama Jhana yaitu tingkat pertama, kondisi batinnya yang ada/masih ada; vicara, piti, sukha
dan Ekagatta.
2. Dutiya Jhana yaitu jhana tingkat kedua, kondisi batinnya; piti, sukha dan ekagatta.
3. Tatiya Jhana yaitu jhana tingkat ketiga, kondisi batinnya; sukha dan ekagatta.
4. Catuttha Jhana yaitu jhana tingkat keempat, kondisi batinnya; upekkha dan ekagatta.
5. Akasanancayatana yaitu kondisi batin yang berada pada ruangan tanpa batas.
6. Vinnanancayatana yaitu kesadaran tanpa batas.
7. Akincanayatana yaitu kekosongan.
8. Nevasannanasannayatana yaitu bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.

Adapun jhana menurut Abhidhamma ada 9 jenis tingkatan jhanna yaitu;


1. Pathama Jhana kondisi batinnya meliputi; vitaka, vicara, piti, sukha dan ekagatta.
2. Dutiya Jhana kondisi batinnya meliputi; vicara, piti, sukha dan ekagatta.
3. Tatiya Jhana kondisi batinnya meliputi; piti, sukha dan ekgatta.
4. Catuttha Jhana kondisi batinnya meliputi; sukha dan ekagatta.
5. Pancama Jhana kondisi batinnya meliputi; upekkha dan ekagatta.
6. Akasanancayatana; ruangan tanpa batas.
7. Vinnanancayatana kesadaran tanpa batas.
8. Akincanayatana ; kekosongan.
9. Nevasannanasannayatana Jhana; bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
Abhinna adalah kemampuan batin yang lebih tinggi, yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang
berhasil dalam meditasi, bila kehidupan yang lampau maupun saat ini ia sukses dalam meditasi,
maka sisa kemampuan itu masih dapat terlihat dalam kehidupan yang sekarang.
MACAM-MACAM ABHINNA
Penggunaan Abhinna ini harus sesuai dengan Sila, karena kemampuan ini bisa merosot dan
lenyap jika kita melanggar sila.
Ada enam macam Abhinna, yaitu :
1). Kemampuan batin fisik ( Iddhividhi/iddhividha)
Yaitu : seseorang mengarahkan pikirannya pada bentuk iddhi, ia bisa menjadi banyak orang, dari
banyak orang kembali menjadi satu lagi, ia berjalan menembus dinding, benteng atau gunung, ia
dapat menyelam dan muncul melalui tanah, ia dapat menghilang, berjalan diatas air, dengan
duduk bersila ia dapat melayang- layang diangkasa, dengan tangan ia menyentuh matahari, ia
juga dapat dengan tubuhnya mengunjungi alam-alam dewa.
2). Telinga dewa (Dibbasota)
3). Membaca Pikiran (cetopariyanana/paracittavijanana )
4).Mengingat kembali kehidupan-kehidupan yang lampau
( Pubbenivasanusatti/pubbenivasanussatinana )
5). Mata dewa ( Dibbacakkhu )
Yaitu : kemampuan untuk melihat apa yang bakal terjadi dimasa yang akan datang ,
memungkinkan seseorang untuk melihat benda-benda atau makhluk-makhluk surgawi dan
duniawi, jauh atau dekat, yang tak kasat mata. Kemampuan untuk mengetahui tentang kematian
dan kelahiran makhluk.
6). Pelenyapan kekotoran batin ( Asavakkhayanana )

6.3.Visuddhi dan Samyojana


Visuddhi (kesucian/permunian) terdiri dari:
1). Sila Visuddhi (kesucian pelaksanaan sila)
2). Citta Visuddhi (kesucian batin)
3). Ditthi Visuddhi (kesucian pandangan terang)
4). Kankhavitarana Visuddhi (kesucian mengatasi keragu-raguan)
5). Maggamaggananadassana Visuddhi (kesucian oleh pengetahuan dan penglihatan tentang
jalan dan bukan jalan)
6). Patipadananadassana visudhi (kesucian pengetahuan dan penglihatan tentang praktik)
7). Nanadassana Visuddhi (kesucian pengetahuan dan penglihatan).

10 Belenggu(Samyojana) kehidupan
1. Sakkayaditthi : Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal.
2. Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.
3. Silabbataparamasa : Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan
manusia dari penderitaan.
4. Kamaraga : Nafsu Indriya.
5. Vyapada : Benci, keinginan tidak baik.
6. Ruparaga : Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk. (rupa-raga).
7. Aruparaga : Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa bentuk.
8. Mana : Ketinggian hati yang halus, Perasaan untuk membandingkan diri sendiri dengan orang
lain .
9. Uddhacca : Bathin yang belum seimbang benar.
10. Avijja : Kegelapan bathin, Suatu kondisi batin yang halus sekali karena yang bersangkutan
belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).
6.4.Ariya Puggala
Ariya-Puggala berarti Orang Suci.
Ariya-Puggala terdapat 4 tingkatan yaitu :
a. Sotapanna: Orang Suci tingkat pertama (Sotãpatti-Phala ) yang akan lahir paling banyak
tujuh kali lagi.
b. Sakadagami: Orang Suci tingkat kedua (Sakadagami-Phala ) yang akan lahir sekali lagi.
c. Anagami: Orang Suci tingkat ketiga (Anagami-Phala ) yang tidak lahir lagi, yaitu tidak lahir
lagi di Kamasugati-Bhumi 7.
d. Arahat: Orang Suci tingkat keempat (Arahatta-Phala ) yang telah terbebas dari kelahiran dan
kematian.
6.4.1. Sotapanna
Sotapanna terdiri dari 3 macam, yaitu :
I. Sattakkhattu-parama-Sotapanna : Sotapanna paling banyak tujuh kali lagi dilahirkan di
Alam Sugati-Bhumi.
Penjelasannya :
Kalau Sotapanna tersebut tidak mempunyai Jhana, paling banyak tujuh kali lagi lahir di
Alam Kamasugati-Bhumi 7.Kalau Sotapanna tersebut mempunyai Jhana, paling banyak
tujuh kali lagi lahir di Alam Brahma-Bhumi.
Ada bukti dalam bahasa Pali sebagai berikut :
“YE ARIYASACCANI VIBHAVAYANTI
GAMBHIRRAPANNENA SUDESITANI
KINCAPI TE HONTI BHUSAPPAMATTA
NA TE BHAVAM ATTHAMAMADIYANTI”
Artinya :
Barang siapa menembus sepenuhnya ’ Ariya-Sacca 4 yang telah diajarkan oleh YMS
Sang Buddha, walaupun masih ada kealpaan, ia tidak dilahirkan pada kehidupan yang
kedelapan, yaitu hanya akan dilahirkan tujuh kali lagi.

II. Kolankola-Sotapanna : Sotapanna yang akan dilahirkan dua sampai dengan enam kali
lagi, setelah itu akan menjadi Arahat dan Parinibbana.
Ada bukti yang terdapat dalam Mahatika hal. 654 sebagai berikut :
YAVA CHATTHABHAVA SAMSARANTOPI KOLAM KOLOVA HOTI
Artinya :
Akan harus dilahirkan dari dua sampai dengan enam kali lagi, setelah itu akan menjadi
Arahat dan Parinibbana.

III. Ekabiji-Sotapanna : Sotapanna yang akan dilahirkan hanya sekali lagi, setelah itu akan
menjadi Arahat dan Parinibbana.
6.4.2. Sakadagami
terdiri dari 5 macam, yaitu :
a. Idha patva idha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala di Alam Manusia dan
mencapai Arahatta-Phala ( Arahat ) di Alam Manusia, juga dalam kehidupan yang sama.
b. Tattha patva tattha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala di Alam Dewa dan
mencapai Arahatta-Phala ( Arahat ) di Alam Dewa, juga dalam kehidupan yang sama.
c. Idha patva tattha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala di Alam Manusia, setelah itu
meninggal dunia dan dilahirkan di Alam Dewa dan mencapai Arahatta-Phala ( Arahat )
di Alam Dewa.
d. Tattha patva idha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala di Alam Dewa, setelah itu
meninggal dari Alam Dewa dan dilahirkan di Alam Manusia dan mencapai Arahatta-
Phala ( Arahat ) di Alam Manusia.
e. Idha patva tattha nibbattitva idha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala di Alam
Manusia, setelah itu meninggal dunia dan dilahirkan di Alam Dewa. Setelah itu
meninggal dari Alam Dewa dan dilahirkan kembali di Alam Manusia dan mencapai
Arahatta-Phala ( Arahat ) di Alam Manusia.akadagami.

6.4.3. Anagami
Seorang Anagami (yang tidak terlahir kembali) telah mematahkan sepenuhnya lima belenggu. Ia
tidak lagi dilahirkan di alam nafsu (manusia). Namun pencapaiannya belum memadai untuk
menadakan seorang Arahat, dan bila ia belum sanggup untuk menjadi seorang Arahat pada
kelahiran berikutnya, maka ia akan terlahir kembali di surga pertama dari alam Suddhavasa, atau
alam surga terhalus dan termurni diantara surga-surga di alam berwujud. Hanya seorang
Anagami-lah yang dilahirkan di sana. Di surga ini ia akan mengembangkan penembusannya
hingga mencapai tingkat kesucian Arahat dan mencapai Parinibbana.. Anagami terdiri dari lima
macam yaitu :
a. Antara parinibbayi
Anagami yang mencapai arahat dan mencapai Nibbana dalam usia yang belum mencapai
usia tua.
b. Upahaccaparinibbayi
Anagami yang mencapai Arahat dan Parinibbanna dalam usia hampir mencapai batas
usia.
c. Asangkharaparinibbayi
Anagami yang mencapai Arahat dan Parinibbana dengan tidak usah berusaha keras
d. Sasangkharaparinibbayi
Anagami yang mencapai Arahat dan Parinibbana dengan usaha keras.
e. Uddhangsoto akanitthgami
Anagami yang mencapai Arahat dan Parinibbana di alam akanittha bhumi.

6.4.4. Arahat
Arahat terdiri dari 4 macam, yaitu :
a. Sukkhavipassako : Arahat yang tidak mempunyai Jhana/Abhinna, hanya melaksanakan
Vipassana-Bhavana saja.
b. Tevijjo : Arahat yang mempunyai Vijja ( Pengetahuan ) 3 yaitu :
1. Pubbenivasanussatinana ( Kemampuan untuk mengingat penitisan dahulu ).
2. Dibbacakkhunana ( Kemampuan untuk melihat Alam-Alam halus dan
kesanggupan melihat muncul-lenyapnya makluk yang menitis sesuai denga karma
masing-masing ).
3. Asavakkhayanana ( Kemampuan untuk memusnahkan asava/kekotoran bathin. )
c. Chalabhinno : Arahat yang mempunyai Abhinna/Tenaga Bathin 6 yaitu :
1. Pubbenivasanussatinana ( Kemampuan untuk mengingat penitisan dahulu ).
2. Dibbacakkhunana atau Cutuppatanana ( Mata Bathin ialah kemampuan untuk
melihat Alam-Alam halus dan kesanggupan melihat muncul-lenyapnya makluk yang
menitis sesuai dengan karma masing-masing.
3. Asavakkhayanana ( Kemampuan untuk memusnahkan asava / kekotoran bathin ).
4. Cetopariyanana atau Paracittavijanana ( Kemampuan untuk membaca pikiran
makluk-makluk lain )
5. Dibbasotanana ( Telinga Bathin, ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara
dari Alam Manusia, Alam Dewa, Alam Brahma, yang dekat maupun yang jauh )
6. Iddhividhanana ( Kekuatan Megis ) yang terdiri dari :
a. Adhittnana-iddhi, yaitu dengan kekuatan kehendak / will power mengubah tubuh
sendiri dari satu menjadi banyak, dan dari banyak menjadi satu.
b. Vikubbana-iddhi, yaitu kemampuan untuk menyalin rupa, umpamanya menyalin
rupa menjadi anak kecil, raksasa, membuat diri menjadi tidak tertampak.
c. Manomaya-iddhi, yaitu kemampuan mencipta dengan mengunakan pikiran,
umpamanya menciptakan istana, taman, singa.
d. Nanavipphara-iddhi, yaitu pengetahuan menembus ajaran
e. Samadhivipphara-iddhi, yaitu konsentrasi, lebih jauh :
– Kemampuan menembus dinding, gunung-gunung.
– Kemampuan menyelam kedalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air.
– Kemampuan berjalan di atas air.
– Kemampuan melawan api.
– Kemampuan terbang di angkasa.
D. Patisambhidappatto : Arahat yang mempunyai Patisambhida ( Pengertian Sempurna ) 4
yaitu:
1.Atthapatisambhida, yaitu pengertian mengenai arti-maksudnya dan mampu memberi
penerangan secara terperinci.
2.Dhammapatisambhida, yaitu pengertian mengenai inti-sarinya dan mampu mengeluarkan
pertanyaan.
3.Niruttipatisambhida, yaitu pengertian mengenai bahasa dan mampu memakai kata-kata
yang mudah dimengerti.
4.Patibhananapatisambhida, yaitu pengertian mengenai kebijaksanaan dan mampu menjawab
seketika bila ada pertanyaan secara mendadak.
7. Konsep Keselamatan
Didalam Buddha Dhamma, kita tidak diajarkan untuk “berdoa” kepada sosok Juru selamat
ataupun sosok Yang Maha Kuasa yang memiliki sifat-sifat serta kepribadian seperti halnya
manusia. (Menghukum, memberikan pahala, mengasihi, membenci, murka, iri hati, tidak
mau diduakan dsb).
Sang Buddha pernah bersabda :
“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri.
Tak seseorang pun yang dapat mensucikan orang lain.”
(Dhammapada 165 )
Dari Sabda Beliau tersebut diatas, dapat dimengerti bahwa tak peduli apapun agama dan
kepercayaan seseorang , Umat Kristiani, Muslim, Hindu, Yahudi, Tao, Kong Hu Cu, Buddhis
maupun Atheis, semuanya mempunyai hak dan kebebasan yang sama untuk dapat menikmati
hidup yang bahagia dan kelak masuk ke ‘Alam Surga’ 2, asalkan ia banyak berbuat kebajikan
melalui pikiran, ucapan dan jasmani serta senantiasa menghindari kejahatan. Dan semua itu
tidak bergantung kepada sosok makhluk Adikuasa manapun juga, semua semata-mata kembali
kepada usaha kita sendiri.
Konsep agama Buddha tentang Keselamatan dan Kebebasan memang berbeda dengan agama-
agama lainnya, Jalan Keselamatan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha bukanlah monopoli
untuk suatu suku-bangsa, ras, agama dan golongan tertentu saja, tapi untuk semua makhluk,
seperti tercantum dalam Avatamsaka-sutra bab 10 :
“ Bagaikan awan hujan yang besar
Menjatuhkan hujan ke seluruh penjuru bumi ;
Curahan hujan tidak membeda-bedakan siapapun
Demikianlah kebenaran semua Buddha. “

Jalan keselamatan dan kebebasan dari kehidupan yang fana ini tidak bisa didapat dengan cara
memohon-mohon kepada makhluk adi kuasa ataupun kekuatan eksternal lainnya, seseorang
menjadi suci atau tidak suci tergantung pada dirinya sendiri. Kita sendirilah yang
bertanggung jawab terhadap semua perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan ini,
janganlah berusaha untuk menyalahkan pihak lain jika hidup ini dipenuhi dengan
penderitaan, karena sejak awal dalam pengajaranNya Sang Buddha juga telah menunjukkan
kepada kita bahwa kehidupan ini adalah Dukkha.
Oleh karenanya , Beliau mengajarkan Dhamma kepada kita, Beliau juga telah menunjukkan
“Jalan Keselamatan dan kebebasan” itu dengan berbagai cara, Beliau menganjurkan dan
senantiasa mendorong setiap orang untuk menjadikan Nibbana sebagai tujuan hidupnya serta
agar berupaya dengan tekun dan bersungguh-sungguh untuk mencapainya. Beliau tidak
pernah memberikan motivasi dengan janji-janji dan Impian-impian indah tentang kehidupan
‘Surga abadi’ dengan hanya berbekal ‘percaya kepadanya dan “meng-iman-i” apapun yang
dikatakannya’ , Beliau telah mengajarkan kepada kita bahwa hanya diri kita sendiri-lah yang
harus berusaha dan mengerjakan “Jalan Kebebasan” itu, Sang Buddha hanyalah
menunjukkan Jalannya, seperti Sabda Beliau pada Dhammapada XX : 4 (276) :
Engkau sendirilah yang harus berusaha,
para Tathagata hanya menunjukkan 'Jalan'.
Sang Buddha juga tidak pernah meminta ataupun memerintahkan ‘Pujalah saya , percayalah
hanya kepadaku saja’ dan kita akan mendapatkan jaminan berkah keselamatan duniawi dan
pahala surgawi. Demikian pula kita tidak diajarkan untuk hanya percaya begitu saja terhadap
sesuatu yang dikatakan sebagai Wahyu dari kitab suci yang mengatakan bahwa jika kita
beriman sepenuhnya kepadaNya, maka semua dosa-dosa kita akan terhapuskan dan
jaminannya adalah masuk ke Surga abadi.1 Tentang hal ini, kita dapat merujuk Sabda
Beliau pada Jnanasarasamuccaya : 31 :
"Sebagaimana orang bijaksana menguji emas
dengan membakar,memotong dan menggosoknya
(pada sepotong batu penguji),
demikian pula kalian menerima kata-kata-Ku setelah memeriksanya
dan bukan hanya karena rasa hormat terhadap-Ku."
Keselamatan dan Kebebasan merupakan tujuan dari semua agama dan secara umum
diketahui bahwa untuk memperoleh Keselamatan dan Kebebasan ini memiliki syarat-syarat
tertentu, a.l:
1. Harus menjadi pengikut agamanya.
2. Harus percaya terhadap kitab Suci agamanya, karena Kitab suci tersebut berasal dari
Wahyu yang diturunkan oleh Tuhan sendiri kepada orang-orang suci pilihanNya (Nabi).
3. Harus Patuh terhadap perintah dan laranganNya seperti yang tertulis didalam Kitab
Suci.
4. Harus sepenuhnya berserah diri terhadap rencana dan kehendak ‘Tuhan’ sebagai Sang
Pencipta alam semesta dan seisinya, serta Maha Penentu atas kehidupan dan kematian para
ciptaanNya.
5. Selama hidupnya harus banyak melakukan kebaikan-kebaikan.
Jika semua syarat tersebut terpenuhi, maka dijanjikanlah pahala kehidupan bahagia abadi di
Surga, namun jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ganjarannya adalah
dimasukkan kedalam siksa abadi di Neraka.
Dalam Buddha Dhamma, keselamatan dan kebebasan ini dapat dicapai dalam kehidupan saat
ini juga dan tidak perlu menunggu setelah kematian jasmaninya, sebagaimana disabdakan
oleh Sang Buddha dalam Parinibbana Sutta :
" Mengenai Bhikkhu Salba , O, Ananda, dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran batinnya
selama hidupnya itu, maka ia telah memperoleh kebebasan batiniah dari noda, telah
mendapatkan kebebasan melalui kebijaksanaan, dan hal itu telah dipahami dan disadarinya
sendiri.....”
Demikian pula didalam Satipatthana Sutta (Majjhima Nikaya I;10), Beliau telah
menunjukkan Jalan Keselamatan dan Kebebasan ini untuk dapat dicapai oleh setiap orang
pada kehidupan sekarang ini juga , cuplikan Sutta tsb. adalah sbb:
“ Para bhikkhu, ini adalah satu-satunya jalan untuk mensucikan makhluk-makhluk, untuk
mengatasi penderitaan duka nestapa, untuk menghancurkan kesusahan dan kesedihan, untuk
mencapai jalan kebenaran, untuk mencapai Nibbana (nirvana), jalan itu adalah Empat
Perkembangan Perhatian .....”
“..... Para bhikkhu, bilamana seseorang melaksanakan dengan sungguh-sungguh Empat
Perkembangan Perhatian seperti ini selama tujuh tahun, maka salah sebuah dari dua hasil
yang dapat dicapainya Pengetahuan (Kesuciannya) pada kehidupan sekarang ini, atau jika
masih ada bentuk ikatan tertentu ia mencapai tingkat kesucian Anagami. “
Jalan Kebebasan hanya dapat dicapai dengan cara mengalaminya sendiri dengan
mempraktikkan Sila, Samadhi dan Panna. Didalam “Mahasatipathana-Sutta”, dinyatakan :
“Jalan ini, wahai para Bhikkhu, adalah jalan tunggal demi kesucian makhluk-makhluk, demi
melampaui kesedihan dan ratap-tangis, demi kepadaman penderitaan dan kepiluan hati,
demi mencapai hal yang benar, demi membuat pencerahan Nibbâna; Jalan itu adalah Empat
Perkembangan Perhatian (satipatthâna). “
Didalam Buddha Dhamma disebutkan bahwa Surga bukanlah tujuan utama dan tertinggi bagi
umat Buddhis maupun bagi semua makhluk. Terbebas dari daur-ulang “Tumimbal lahir“
inilah yang merupakan “Keselamatan-Absolut” dan “Kebebasan-Mutlak”, karena saat itulah
semua makhluk akan terbebas sepenuhnya dari lingkaran kelahiran dan kematian (samsara).
Keselamatan dan Kebebasan mutlak ini hanya dapat diraih dengan merealisasi “Nibbana”
yaitu ; Keadaan tanpa nafsu keinginan, yang merupakan pemadaman total dari semua
kekotoran batin .
Demikianlah, sehingga Keselamatan dan Kebebasan dalam Buddha Dhamma bukanlah hal
sederhana sebagai pencapaian kehidupan di alam surga semata. Keselamatan dalam Buddha
Dhamma merupakan terbebasnya suatu makhluk dari putaran arus kelahiran dan kematian
( samsara ), yang penuh dukkha, kepiluan, dan ratap-tangis. Keselamatan sedemikian ini
hanya akan dicapai saat suatu makhluk, dalam hal ini seseorang manusia, merealisasi
Nibbana, mencapai Pencerahan, mencapai ke-Buddha-an.
7.1.Ortodoks
(keselamatan sepenuhnya tergantung dari pengampunan)
Contohnya adalah agama Kristen.

7.2.Heterodoks
(Keselamatan dapat terjadi sebab adanya pengampunan & usaha manusia)
Contohnya adalah agama Islam.

7.3.Independen
(Keselamatan sepenuhnya tergantung dari usaha manusia)
Contohnya adalah agama Buddha

Tugas

2. Manusia
2.1.Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang memiliki akal budi. Melalui pemahaman dan pengalaman, mereka
dapat meningkatkan pengetahuan dan kebijaksanaan mereka. Mereka memiliki rasa ingin tahu
yang tidak terpuaskan akan kebenaran. Namun, kebenaran yang mereka percayai tidak kekal dan
bersifat subjektif. Manusia telah hidup dibumi sejak jutaan tahun yang lalu, yang dapat
dibuktikkan melalui sisa-sisa peninggalan, salah satunya adalah fosil. Dari fosil-fosil tersebut,
diketahui bahwa manusia telah mengalami revolusi hingga menjadi seperti sekarang.
2.1.1 Definisi Manusia
Manusia, menurut ajaran Buddha, adalah kumpulan dari energi fisik dan mental yang selalu
dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu
rupakhanda (jasmani), vedanakhanda (pencerahan), sannakhandha (pencerapan),
shankharakhandha (bentuk-bentuk pikiran), dan vinnanakhandha (kesadaran) . Kelima kelompok
tersebut saling berkaitan dan bergantung satu sama lain dalam proses berangkai, kesadaran ada
karena adanya pikiran, pikiran timbul disebabkan adanya penyerapan, penyerapan tercipta karena
adanya perasaan, dan perasaan timbul karena adanya wujud atau Rupa. Kelima khanda tersebut
juga sering diringkas menjadi dua yaitu: nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari perasaan,
pikiran, penyerapan dan perasaan yang dapat digolongkan sebagai unsur rohaniah, sedang Rupa
adalah badan jasmani yang terdiri dari empat unsur materi yaitu unsur tanah, air, api, dan udara
atau hawa.
2.1.2 Untuk terlahir sebagai manusia adalah Sangat sulit (Dhammapada dan Karaka
Chapa atau Sutta Penyubuta)
Sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia, sungguh sulit untuk dapat bertahan hidup,
sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Dhamma, sungguh jarang terjadi kelahiran para
Buddha. (Dhammapada 182)
“Sangatlah sulit bagi makhluk penghuni alam rendah untuk terlahir kembali menjadi manusia
atau dewa. Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu bahkan lebih sulit bila dibandingkan dengan
kemungkinan seekor penyu buta yang muncul ke permukaan samudera setiap seratus tahun
sekali untuk dapat muncul tepat di lubang sebuah pelampung kayu yang terombang-ambing di
tengah samudera.” (Chiggala Sutta, SN 56.47 atau Balapandita Sutta, MN 129).
2.1.3 Manusia tdk hanya di bumi ini saja (sistem tatasurya dari Anguttara Nikaya Ananda
Vagga bagian Abhibhu). Sadharma Pundarika Sutra, Pancavimsati Sahassrika
Mahaprajnaparamita Sutra.
Sang Buddha yang tercerahkan sempurna menjelaskan bahwa tumimbal lahir dapat terjadi di
alam yang lain, di berbagai alam, dalam berbagai bentuk serta kondisi. Terdapat 31 alam
kehidupan yang dapat menjadi tempat kelahiran makhluk berdasarkan pada perbuatan, karma
baik atau buruk dari makhluk yang bersangkutan.
Jadi tinggal kembali kepada diri masing-masing, ada begitu banyak alam tersedia bagi para
makhluk, tentu saja kita bebas memilihnya semua tergantung dari bagaimana perbuatan masing-
masing.
2.1.4. Jumlah manusia yang ada di bumi ini sangat sedikit apabila dibandingkan dengan
jumlah makhluk dalam alam semesta (Nakharika Sutta atau sutta Ujung Kuku)
Dalam khotbah-Nya yang berjudul Nakhasikha Sutta, Sang Buddha menjelaskan betapa sulitnya
untuk dapat terlahir sebagai manusia dengan perumpamaan debu yang ada di ujung kuku Sang
Buddha. Sang Buddha mengambil secuil debu dari tanah dan menempelkannya di kukuNya dan
bertanya kepada para bhikkhu lebih banyak mana jumlah debu yang ada di kukuNya jika
dibandingkan dengan jumlah debu yang ada di tanah, para bhikkhu menjawab bahwa jumlah
debu yang ada di ujung kuku Sang Buddha itu terlalu sedikit dan dapat diabaikan bila
dibandingkan dengan jumlah debu yang ada di tanah yang jumlahnya jauh lebih banyak,
kemudian Sang Buddha melanjutkan bahwa bagi mereka yang terlahir sebagai manusia, setelah
kematiannya untuk dapat terlahir kembali sebagai manusia adalah sangat sedikit sekali seperti
jumlah debu yang ada di ujung kukuNya, sedangkan mereka yang akan terlahir kembali di alam-
alam rendah/apaya yaitu alam neraka, alam binatang, alam setan/ peta, dan alam raksasa setelah
kematiannya sebagai manusia adalah sebanyak debu yang ada di tanah. Jadi betapa sulitnya
untuk dapat terlahir sebagai manusia telah ditunjukkan dengan jelas dalam khotbah Sang Buddha
tersebut.

Untuk mendapatkan kehidupan anda seperti sekarang ini adalah sesulit seperti yang dijelaskan di
atas. Alam manusia adalah alam kehidupan bahagia di samping alam dewa/surga. Di samping
alam-alam kehidupan bahagia, ada juga alam-alam kehidupan menyedihkan di mana para
makhluk yang terlahir di alam-alam ini jauh dari kesenangan atau kebahagiaan, penuh dengan
penderitaan, kesukaran, ketidaknyamanan dan hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya. Alam-
alam kehidupan menyedihkan ini terdiri dari: alam neraka, alam binatang, alam setan/peta, dan
alam raksasa. Semua makhluk hidup termasuk kita pernah terlahir di alam-alam rendah/apaya
jauh lebih banyak jumlahnya daripada kelahiran kita di alam-alam bahagia. Hal ini berarti bahwa
kita telah menghabiskan lebih banyak waktu sambil menderita di alam rendah.mlah makhluk
dalam alam semesta (Nakharika Sutta atau sutta Ujung Kuku).

2.1.5.Manusia yang sekarang merupakan resultante dari jumlah kehidupannya di berbagai


bumi dan banyak kehidupan di bumi ini.
Perilaku moral bagi umat Buddha berbeda berdasarkan apakah itu berlaku untuk kaum awam
atau kepada sangha atau ulama. Seorang Buddhis awam harus mengembangkan perilaku yang
baik dengan pelatihan dalam apa yang dikenal sebagai “Lima Sila”. Ini tidak seperti, katakanlah,
sepuluh perintah , yang, jika rusak, memerlukan hukuman oleh Tuhan. Kelima sila adalah
pelatihan aturan, yang jika satu orang untuk memecahkan salah satu dari mereka, orang harus
menyadari sungsang dan meneliti bagaimana suatu sunsang dapat dihindari di masa depan.
Resultan suatu tindakan(sering disebut karma) tergantung pada niat lebih dari tindakan itu
sendiri. Buddhisme menempatkan penekanan besar pada ‘pikiran’ dan itu adalah penderitaan
mental seperti penyesalan,dll. Kecemasan rasa bersalah yang harus dihindari untuk menanam
pikiran yang tenang dan damai.
2.1.6.Pria dan wanita muncul di bumi ini secara bersama, oleh sebab itu pria dan wanita
mitra.
Buddha berpandang bahwa laki laki dan perempuan sama saja. Tidak ada sistem kasta, orang
yang mulia ialah orang yang mampu menjalakan Dhamma terlepas dia laki lakiatau perempuan.
Menurut Agama Buddha, manusia terdiri dari laki laki dan perempuan yang mucul bersama di
atas bumi ini, dan dia dapat terlahir sesuai karmanya sendiri.
2.Ajaran Buddha tentang Manusia
Manusia dalam ajaran Buddha merupakan makhluk dimana jenis kelaminnya ditentukan pada
saat pembuahan karena karma dari perbuatannya dalam hidup terdahulu. Ditinjau dari hukum
karma, ada akibatnya bila orang melakukan pelanggaran seksual. Ajaran Budhha sangat
menuntut disiplin dalam perbuatan seksual. Dan kedua unsur tersebut diatas adalah dasar dari
manusia, oleh karena itu, Sebagaimana dijelaskan dalam buku filsafat whitehead tentang jati diri
manusia bahwa emosi, kenikmatan, harapan, kekuatan, penyesalan dan macam-macam
pengalaman mental adalah unsur-unsur pembentuk jiwa manusia. Badan juga berfungsi sebagi
“bidang ekspresi manusia”. Jiwa manusia adalah kesatuan yang kompleks dari kegiatan-kegiatan
mental, dari yang paling rendah hingga yang bersifat intelektual.
2.1.Manusia sebagai makhluk (pugala)
Puggala berarti makhluk. Pada umumnya, Puggala atau makhluk itu terdiri atas nama (batin) dan
rupa (jasmani). Setiap Puggala atau makhluk itu pasti dilahirkan oleh Janaka Kamma dan
kehidupannya diatur oleh Kamma Niyama atau hukum karma.
Ketika seseorang akan meninggal dunia, kesadaran-ajal (cuti-citta) mendekati kepadaman
dan didorong oleh kekuatan-kekuatan kamma. Kemudian, kesadaran-ajal (cuticitta) padam dan
langsung menimbulkan kesadaran penerusan (patisandhi-vinnana) untuk timbul pada salah satu
dari 31 Alam Kehidupan (Bhumi 31) sesuai dengan karmanya. Hal ini secara umum disebut pula
suatu permulaan dari bentuk kehidupan baru.
Dalam abhidhammatthasangaha dijelaskan bahwa Puthujjana (makhluk) terbagi menjadi empat
makhluk yaitu:
1. Duggati-Puthujjana
Duggati-Puthujjana yaitu makhluk tanpa sebab yang menyedihkan. Makhluk-makhluk ini
berdiam di alam yang menderita. Pikiran mereka diliputi oleh dosa, moha, dan lobha. Para
makhluk di alam ini tidak pernah merasakan kesenangan, mereka selalu berada dalam kondisi
yang tidak menyenangkan. Karma yang mereka lakukan adalah upekkha santirana akusala
vipaka citta.
2. Sugati-Ahetuka-Puthujjana
Sugati-Ahetuka-Puthujjana yaitu makhluk tanpa sebab yang menyenangkan. terlahir sebagai
manusia tetapi mereka memiliki kecacatan, misalnya: buta, ataupun tuli. Mereka juga dapat
terlahir di alam dewa ( di atas manusia ) tetapi tidak memiliki pendengaran ataupun penglihatan (
alam dewa hanya ada tiga indera, yaitu pikiran, penglihatan dan pendengaran.
3. Dvihetuka-Puthujjana
Dvihetuka-Puthujjana yaitu makhluk yang menyenangi dua sebab. makhluk alam manusia atau
dewa yang masih memiliki alobha (murah hati) dan adosa (cinta kasih) tetapi tidak memiliki
kebijaksanaan. makhluk ini tidak mencapai magga (jalan kesuciaan) dan mereka juga tidak bisa
mencapai jhana tetapi kalau mereka tekun mengembangkan kesadaran di dalam kehidupan.
4. Tihetuka-Puthujjana
Tihetuka-Puthujjana yaitu makhluk yang menyekutui tiga sebab. makhluk alam manusia
atau dewa yang memiliki alobha, adosa dan amoha (Tihetu). Contoh : berdana dengan
kebijaksanaan dan mengerti. Apabila mereka tekun melaksanakan meditasi, dan sering
melakukan perbuatan baik, jika meninggal akan terlahir dengan kesadaran yang dipicu oleh suatu
kebaikan tingkat Tihetu maka menjadi makhluk Tihetu yang berpotensi memiliki kebijaksanaan.
3. Hakikat dan Martabat Manusia
Arti: Manusia memiliki kualitas batin yang berbeda-beda (yang diakibatkan oleh karma lampau
dan sekarang) sehingga berbeda pula tanggapan mereka dalam menghadapi setiap situasi yang
timbul dalam kehidupan mereka.
Melalui pengalaman dan pengetahuan, manusia dapat mengembangkan batin mereka.
Pengembangan batin tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Telah diketahui bahwa yang
menyebabkan tumimbal lahir adalah kebodohan batin atau ketidaktahuan (moha). Pengalaman
dan pengembangan setiap manusia juga berbeda-beda, baik dari segi kecepatan, kesempurnaan
penyerapan, dan lain sebagainya, sehingga manusia memiliki kualitas batin yang berbeda-beda.
Manusia melakukan banyak perbuatan buruk maupun baik dalam pengalaman mereka tersebut
yang menyebabkan timbulnya karma, yang disamping itu juga membentuk batin dan kualitas diri
mereka. Kualitas batin dari pengembangan spiritual tersebut adalah sesuatu yang dibawa mati,
tidak seperti keluarga, teman, harta atau kekayaan yang akan meninggalkan kita suatu hari nanti.
Manusia juga akan mengalami punabhava sebelum mencapai nibbana bersama kualitas batin
(spiritual) mereka. Kualitas batin tersebut akan berpengaruh terhadap tanggapan mereka dalam
menghadapu setiap situasi yang timbul dalam kehidupan mereka. Sebagai contoh, seseorang
yang telah mencapai jhana akan menjadi lebih tenang dalam menghadapi masalah mereka dari
pada mereka yang tidak mencapai jhana. Contoh lainnya adalah seorang Buddha yang memiliki
kualitas batin yang sempurna akan menghadapi masalah secara tepat dan bijaksana, seperti
bagaimana cara mengajarkan setiap makhluk yang mempunyai pola pikiran dan batin yang
berbeda-beda.
4.Tanggung jawab manusia
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah
berkewajiban menanggung,memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan
jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku
atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tangung jawab juga berarti
berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Macam-macam tanggung jawab
a) Tanggung jawab terhadap diri sendiri
Tanggung jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk memenuhi
kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi.
Dengan demikian bisa memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya
sendiri Menurut sifat dasamya manusia adalah mahluk bermoral, tetapi manusia juga
seorang pribadi. Karena merupakan seorang pribadi maka manusia mempunyai
pendapat sendiri, perasaan sendiri angan-angan sendiri. Sebagai perwujudan dari
pendapat, perasaan dan angan-angan itu manusia berbuat dan bertindak. Dalam hal ini
manusia tidak luput dari kesalahan, kekeliruan,baik yang disengaja maupun tidak.

b) Tanggung jawab terhadap keluarga


Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari suami-istri. ayah-ibu dan
anak-anak. dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga
wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab ini menyangkut nama
baik keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan.
pendidikan, dan kehidupan.

c) Tanggung jawab terhadap Masyarakat


Pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain. sesuai dengan
kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain maka ia
hams berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian
manusia di sini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai mempunyai
tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan
hidupnya dalam masyarakat tersebut Wajarlah apabila segala tingkah laku dan
perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

d) Tanggung jawab kepada Bangsa / Negara


Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga negara suatu
negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-
norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat
semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab
kepada negara.

e) Tanggung jawab terhadap Tuhan


Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan untuk
mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggung jawab Iangsnng ternadap Tuhan.
Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukuman-hukuman Tuhan yang
dituangkan dalam berbagai kitab sud melalui berbagai macam agama Pelanggaran dari
hukuman-hukuman tersebut akan segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika dengan
peringatan yang keraspun manusia masih juga tidak menghiraukan maka Tuhan akan
melakukan kutukan. Sebab dengan mengabaikan perintah-perintah Tuhan berarti mereka
meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan manusia ternadap Tuhan
sebagai penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya, manusia perlu
pengorbanan.

3. Sila dan Moral


1. Sila (dalam agama Buddha)
Pelaksanaan Sila dalam Buddhisme adalah merupakan suatu kebajikan moral, etika atau tata-
tertib dalam menjalani kehidupan dimana akan mampu menuntun seseorang itu bertingkah laku
secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain termasuk seluruh alam semesta beserta isinya.
Kebajikan moral dapat dianggap sebagai suatu dasar yang membentuk semua hal-hal yang positif
dalam kehidupan kita saat ini.
“Kebajikan moral adalah sebagai dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang baik
dan indah. Oleh karena itu , hendaklah orang menyempurnakan kebajikan moral (Sila).”
(Theragatha, 612)
Pemahaman berbagai kitab suci agama apabila juga diwujudkan dengan perbuatan atau perilaku
yang baik dalam kehidupan sehari-hari (Sila) baik secara badan (kaya), ucapan (vak) dan pikiran
(citta) , maka akan tercipta suatu dasar kebajikan moral yang sempurna berupa tingkah laku yang
terpuji dan bijaksana.
Sang Buddha bersabda, ”Pada orang yang memiliki kebajikan moral yang sempurna, memiliki
kebijaksanaan dan pikiran yang terarah, senantiasa melihat ke dalam (diri/batin) dan selalu penuh
perhatian murni; demikianlah ia menyeberangi banjir besar.” (Sutta Nipata, 174)
Buddhagosa dalam Kitab Visuddhimagga menafsirkan sila sebagai berikut :
• Sila menunjukkan sikap batin(cetana).
• Sila menunjukkan penghindaran (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika).
• Sila menunjukkan pengendalian diri (samvara).
• Sila menunjukkan tiada pelanggaran pada peraturan yang telah ditetapkan (avitikhama).

CIRI, FUNGSI, WUJUD DAN SEBAB TERDEKAT DARI SILA


1. Ciri Sila (Lakkhana) adalah ketertiban dan ketenangan
2. Fungsi (rasa) adalah untuk menhancurkan yang salah (dussiliya) dan menjaga
agar orang tetap tidak bersalah (ancajja)
3. Wujud sila (paccupatthana) adalah kesucian (soceyya)
4. Sebab terdekat adalah Hiri dan Ottapa
Sila dalam Patisambhida dikatakan sebagai kehendak (cetana) yaitu kehendak yang hadir dalam
batin seseorang untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup dan sebagainya, atau seseorang
yang menjalankan kewajiban (melatih pengendalian diri, yaitu tujuh kehendak yang (menyertai
tujuh pertama) dari sepuluh jalan perbuatan/kamma seseorang yang menjauhkan diri dari
pembunuhan makhluk hidup, dan sebagainya (Vism.1).
Sila sebagai corak batin (cetasika) adalah keadaan yang berpaling dari dalam diri seseorang yang
menghindari pembunuhan makhluk hidup dan sebagainya, meliputi tiga macam keadaan yang
meliputi tiada ketamakan, tiada itikad jahat, dan memiliki pandangan benar. Sila sebagai
pengendalian (samvara) harus dipahami sebagai pengendalian dengan lima cara yaitu:
(1) Pengendalian terhadap peraturan kebhikkhuan (patimokkha-samvara)
(2) Pengendalian dengan perhatian murni (sati-samvara)
(3) Perhatian dengan Pengetahuan (ñana-samvara)
(4) Pengendalian dengan Kesabaran (khanti-samvara)
(5) Pengendalian dengan semangat (viriya-samvara).

Sila sebagai tidak melanggar (avitikkama-samvara) adalah tidak melakukan pelanggaran dengan
jasmani dan ucapan, tidak melanggar, peraturan latihan yang telah berlaku (Vism.l).
Pahala melaksanakan sila, antara lain :
1. Bebas dari penyesalan
2. Menimbulkan kegembiraan
3. Menghilangkan kegiuran (piti)
4. Mendapatkan ketenangan (Passadi)
5. Mudah memusatankan pikiran (Ekaggata)
6. Memiliki pengetahuan tentang kebenaran
7. Memunculkan kesadaran yang kuat tentang kebenaran
8. Memiliki pengetahuan yang luas
9. Pikiran tenang dan terkendali
10. Tidak terpengaruh oleh kleadaan apapun
11. Tidak mudah marah
12. Teliti dalam mengerjakan segala sesuatu, dll

PEMBAGIAN SILA
1. Sila menurut jenisnya terdiri dari 2 macam, yaitu :
a. Pakati Sila artinya sila alamiah(sila yang tidak dibuat oleh manusia). Contohnya hukum tertib
kosmis (utu, bija, kamma, dhamma, citta niyama)
b. Pannati Sila adalah sila yang dibuat oleh manusia berdasarkan kesepakatan atas dasa tujuan
tertentu. Contoh : peraturan kebhikkhuan, adat istiadat, peraturan Negara, dan lain-lain

2. Sila menurut pelaksanaannya terdiri dari 3 macam, yaitu :


a. Sikkhapada sila yaitu melakukan latihan pengendalian diri
b. Carita sila yaitu sila dalam aspek positif (mengembangkan 10 perbuatan baik)
c. Varita sila yaitu sila dalam aspek negatif (10 karma buruk)

3. Sila menurut jumlah latihannya terdiri dari 3 macam, yaitu :


a. Cula Sila adalah cara pengendalian diri dari segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik.
Disebut Cula Sila karena jumlah sila tersebut paling sedikit yaitu lima sila yang dilaksanakan
oleh umat biasa atau upasaka dan upasika.
b. Majjhima Sila adalah sila yang sedang dalam jumlah peraturun. Sila ini terdiri dari sepuluh
latihan (Dasasila) dilaksanakan oleh samanera.
c. Maha Sila adalah sila yang banyak/berat dalam jumlah peraturan. Sila ini disebut
Patimokkhasila dilaksanakan oleh para bhikkhu berjumlah 227 latihan dan bhikkhuni berjumlah
311 latihan.

4. Sila menurut jenis orang yang melaksanakan terdiri dari 3 macam, yaitu :
a. Sila upasaka-upasika adalah pancasila Buddhis. Bila kelima sila ini dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh maka akan memiliki 5 macam kekayaan, al:
• Keyakinan terhadap Triratna dan diri sendiri
• Kemurnian sila dan pelaksanaannya
• Keyakinan terhadap hukum karma
• Mencari kebaikan di dalam dhamma
• Berbuat baik sesuai dengan dhamma

b. Sila bagi Samanera-samaneri adalah majjhima sila (sila menengah). Untuk aliran Theravada
melaksanakan 10 sila dan 75 sekhiya. Untuk aliran Mahayana melaksanakan 10 sila dan 100
siksakaranya.

c. Sila para bhikkhu dan bhikkhuni disebut patimokkhasila atau panita sila (sila yang tinggi). Sila
bagi bhikkhu Theravada berjumlah 227 sila, bhikkhuni 311 sila. Khusus sila bagi para bhikkhuni
Theravada telah dihapuskan sejak tahun 1257 m karena dalam aliran Theravada tidak ada lagi
sangha bhikkhuni. Sila bagi bhikkhu Mahayana berjumlah 250 sila dan bhikkhuni 348 sila.

2. Defenisi Moral
Moral adalah perbuatan, tingkah laku atau ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia.
apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat
tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu
dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya
dan Agama. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang
terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral (Bahasa Latin Moralitas) merupakan istilah
manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif.
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki
nilai positif di mata manusia lainnya.
Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah
hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa
melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena
banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit.
Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika
ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan
bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat
setempat.

3. Dasar dasar pelaksanaan Sila


Pelaksanaan Sila
A. Dengan Pengendalian Diri (Samvara)
1. Patimokkha Samvara : mentaati peraturan atau disiplin yang telah ditentukan.
2. Sati Samvara : mengendalikan diri dengan Perhatian yang Benar.
3. Nana Samvara : mengendalikan diri dengan Pengetahuan.
4. Khanti Samvara : mengendalikan diri dengan Kesabaran.
5. Viriya Samvara : mengendalikan diri dengan kekuatan semangat atau kemauan.

Cara untuk mengendalikan diri dari segala perbuatan, ucapan, dan pikiran yang tidak baik, dapat
juga digolongkan dalam tiga cara, yaitu sbb :
1. Sikkhapada : melaksanakan latihan-latihan pengendalian diri seperti melaksanakan Panca Sila,
Atthanga Sila, Dasa Sila, dll.
2. Carita Sila : dengan jalan melaksanakan hal-hal yang baik, seperti berdana, merawat orang tua,
menolong makhluk lain, dan sebagainya yang berhubungan dengan kebajikan.
3. Varitta Sila : dengan jalan menghindari hal-hal yang tidak baik, seperti tidak bergaul dengan
orang jahat, tidak melakukan hal-hal yang dilarang, dsb.

B. Dengan Pantangan (Viratti)


Mereka yang dapat menjauhkan diri dari kejahatan-kejahatan, dapat dikatakan telah mematuhi
Sila. Perbuatan menahan diri yang demikian itu, disebut Viratti, dan terdiri dari tiga tingkatan,
yaitu :
1. Sampatti Viratti (Pantangan Seketika)
Pantangan seketika adalah pantangan dari seseorang tanpa rencana terlebih dahulu untuk
menahan diri dari melakukan perbuatan jahat. Walaupun ada kesempatan untuk melakukannya,
dia cukup kuat untuk menahan diri dari godaan. Jadi dia tidak membunuh, mencuri, berzinah,
berbohong, atau meminum minuman keras, karena menurut hematnya perbuatan itu tidak pantas
dilakukan.
2. Samadana Viratti (Pantangan karena Janji)
Pantangan ini dijalankan karena suatu janji (kaul). Misalnya umat Buddha yang telah berjanji
melaksanakan Panca Sila, juga para bhikkhu dan bhikkhuni dalam menjalankan Sila-sila mereka.
Fungsi pantangan disini adalah untuk memenuhi janji tersebut.
3. Samuccheda Viratti (Pantangan Mutlak)
Pantangan Mutlak adalah pantangan melalui penghancuran semua sebab yang akan membawa
pada pelanggaran. Ini menunjukkan sifat dari seorang Arahat, yang mutlak tidak akan melanggar
sila-sila ini pada saat ia telah mencapai Penerangan Sempurna.
3.1. Sati dan Sampajanna
Sati artinya perhatian, kewaspadaan, dan ingatan. Lawan dari sati adalah lupa. Akibat dari
lemahnya sati(perhatian) adalah kehancuran.
Misalnya : Anda mempunyai janji penting untuk interview pekerjaan, namun Anda
melupakannya.
Sampajanna artinya menyadari. maksudnya disini adalah menyadari dengan baik apapun yang
berlaku pada keseluruhan indera.
Misalnya dikala melihat, bathinnya sadar betul akan apa yang sedang dilihat, sehingga tidak
sampai menimbulkan kemerosotan bathin.

Di Buddhis di kenal enam indera kesadaran


1. Cakkhu vinnana : kesadaran mata
2. Sota Vinnana : kesadaran telinga
3. Ghana vinnana : kesadaran hidung
4. Jivha vinnana : kesadaran lidah
5. Kaya vinnana : kesadaran badan jasmani
6. Mano vinnana : kesadaran pikiran
Didalam kitab suci Patikavagga diuraikan empat ciri khas dari sampajanna, yang terdiri dari:
1) Sadar akan manfaat dari perbuatan yang sedang dilakukan.
2) Sadar bahwa perbuatan yang sedang dilakukan, sesuai atau tidak dengan diri sendiri.
3) Sadar bahwa perbuatan yang sedang dilakukan, akan menimbulkan sukkha (kebahagiaan) atau
dukkha (penderitaan).
4) Sadar bahwa perbuatan yang sedang dilakukan, merupakan kebodohan atau kepandaian.

3.2. Hiri dan Ottapa


Hiri adalah perasaan malu untuk berbuat jahat atau kesalahan, ottapa ada perasaan takut akan
akibat dari perbuatan jahat. Hiri dan Ottapa disebut Lokapaladhamma atau pelindung dunia.

Hiri dan Ottappa Palsu


Meskipun hiri dan ottappa adalah faktor mental positif (kusala cetasika), ada juga hiri dan
ottappa yang palsu. Malu dan takut melakukan kejahatan, pantang melakukan perbuatan salah
(duccarita) adalah karena hiri dan ottapa sejati. Malu dan takut untuk menjalankan sila,
mengunjungi pagoda dan vihara, mendengarkan uraian Dhamma, berbicara di depan umum,
bekerja kasar (tidak malu hidup tanpa pekerjaan dan mati kelaparan), atau malu dan takut
seorang pemuda untuk bertemu dengan seorang gadis, adalah contoh-contoh hiri dan ottappa
palsu. Dalam kenyataannya mereka hanya berpura-pura dan memelihara kesombongan yang tak
berguna. Menurut abhidhamma semua contoh tersebut tergolong dalam tanha.

Empat Hal dimana Rasa Malu Harus Disingkirkan


Dalam berbagai buku disebutkan ada empat hal dimana rasa malu harus disingkirkan :
1. Dalam melakukan perdagangan
2. Dalam belajar dibawah bimbingan guru.
3. Dalam hal makan
4. Dalam hal cinta
Keempat hal tersebut hanya untuk menegaskan bahwa seseorang harus mantap dalam melakukan
sesuatu yang bermanfaat.
Contoh lain dari hiri dan ottappa adalah takut dengan pengadilan dan hukuman. Sungkan pergi
ke toilet semasa perjalanan, takut dengan anjing, takut dengan hantu, takut dengan tempat yang
belum dikenal, takut pada lawan jenis, takut pada saudara dan orang tua, takut berbicara di
hadapan para sesepuh, dan sebagainya, adalah bukan hiri dan ottappa yang sebenarnya. Itu
semua adalah semata-mata karena kurangnya kepercayaan diri dan merupakan keadaan buruk
(akusala) yang terdorong oleh domanassa (Penderitaan batin).

4. Pembagian Sila
4.1. Sila menurut jenisnya
4.1.1.Pakati Sila
Pakati Sila artinya sila alamiah (sila yang tidak dibuat oleh manusia). Contohnya hukum tertib
kosmis (utu, bija, kamma, dhamma, citta niyama)

4.1.2.Pannati Sila
Pannati Sila adalah sila yang dibuat oleh manusia berdasarkan kesepakatan atas dasa tujuan
tertentu. Contoh : peraturan kebhikkhuan, adat istiadat, peraturan Negara, dan lain-lain

4.2. Sila menurut cara pelaksanaannya


4.2.1.Sikkhapada sila
Sikkhapada sila yaitu melakukan latihan pengendalian diri.

4.2.2.Carita Sila
Carita sila yaitu sila dalam aspek positif (mengembangkan 10 perbuatan baik).
1. Gemar beramal dan bermurah hati, akibatnya adalah diperolehnya kekayaan dalam kehidupan
ini atau kehidupan yang akan datang.
2. Hidup bersusila, akibatnya adalah penitisan dalam keluarga luhur yang keadaannya bahagia.
3. Sering melakukan meditasi, akibatnya adalah penitisan di alam bahagia.
4. Berendah hati dan hormat, akibatnya adalah penitisan dalam keluarga luhur
5. Berbakti, akibatnya akan diperoleh penghargaan dari masyarakat
6. Cenderung untuk membagi kebahagiaan kepada orang lain.
7. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain, akibatnya adalah menyebabkan terlahir dalam
lingkungan yang menggembirakan.
8. Sering mendengarkan Dharma, akibatnya adalah berbuah dengan bertambahnya kebahagian.
9. Gemar menyebarkan Dharma, akibatnya adalah berbuah dengan bertambahnya kebijaksanaan
10.Meluruskan pandangan orang lain yang keliru, akibatnya berbuah dengan diperkuatnya
keyakinan.

4.2.3.Varita Sila
Varita sila yaitu sila dalam aspek negatif (10 karma buruk)
1. Pembunuhan, akibatnya pendek umur, berpenyakitan, senantiasa dalam kesedihan karena
terpisah dari keadaan atau orang yang dicintai, dalam hidupnya senantiasa berada dalam
ketakutan.
2. Pencurian, akibatnya kemiskinan, dinista dan dihina, dirangsang oleh keinginan yang
senantiasa tidak tercapai, penghidupannya senantiasa tergantung kepada orang lain.
3. Perbuatan asusila, akibatnya mempunyai banyak musuh, beristri atau suami yang tidak
disenangi, terlahir sebagai pria atau wanita yang tidak normal perasaan seks-nya.
4. Berdusta, akibatnya menjadi sasaran penghinaan, tidak dipercaya khalayak ramai.
5. Bergunjing, akibatnya kehilangan teman-teman tanpa sebab yang berarti.
6. Kata-kata atau ucapan kasar dan kotor, akibatnya sering didakwa yang bukan-bukan oleh
orang lain.
7. Omong kosong, akibatnya bertubuh cacat, berbicara tidak tegas, tidak dipercaya oleh khalayak
ramai.
8. Keserakahan, akibatnya tidak tercapai keinginan yang sangat diharap-harapkan.
9. Dendam, kemauan jahat/niat untuk mencelakakan makhluk lain, akibatnya rupa buruk,
macam-macam penyakit, watak tercela.
10. Pandangan salah, akibatnya tidak melihat keadaan yang sewajarnya, kurang bijaksana,
kurang cerdas, penyakit yang lama sembuhnya, pendapat yang tercela.

5. Empat Sila untuk kemurnian anggota Sangha (Catuparisuddhi Sila)


1. Indriya Samvara Sila (kemoralan dengan mengendalikan indera)
2. Patimokkha Samvara Sila (kemoralan dengan pengendalian melalui peraturan moralitas awam
atau bhikkhu, Patimokka Sila)
3. Ajiva Parisuddhi Sila (kemoralan dalam pengendalian mendapatkan/ menggunakan kebutuhan
penghidupan, seperti makanan, obat, pakaian, tempat tinggal)
4. Paccayasannissita Sila (kemoralan dg pegendalian untuk tidak mempergunakan 4 kebutuhan
pokok(jubah,makanan, tempat tinggal, obat2an) karena keserakahan).

6.Sila menurut jumlah latihannya


6.1.Cula Sila
Cula Sila adalah cara pengendalian diri dari segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik.
Disebut Cula Sila karena jumlah sila tersebut paling sedikit yaitu lima sila yang dilaksanakan
oleh umat biasa atau upasaka dan upasika.
1. Pannatipata veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari membunuh makhluk hidup
2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan
3. Kamesumicchacara Veramani Sikhapadam Samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari berbuat asusila (hubungan kelamin)
4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari berkata bohong
5. Surameraya majjhapamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami
Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala minuman yang dapat menyebabkan
lemahnya kewaspadaan.

6.2.Majjhima Sila
Majjhima Sila adalah sila yang sedang dalam jumlah peraturun. Sila ini terdiri dari
sepuluh latihan (Dasasila) dilaksanakan oleh samanera.
1. Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami
2. Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
3. Kamesumicchacara Veramani Sikhapadam Samadiyami(umat Buddha biasa)
Abrahmacariya Veramani Sikhapadam Samadiyami (untuk Bhikkhu)
4. Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami
5. Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
6. Vikalabhojana Veramani Sikhapadam Samadiyami
Aku bertekad untuk melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari.
7. Naccagitavadita Visukadassana Malagandhavilepana Dharanamandana Vibhusanatthana
Veramani Sikkhapadam Samadiyami
Aku bertekad untuk melatih diri menghindari untuk tidak menari, menyanyi, bermain musik serta
pergi melihat tontonan-tontonan.
8. Malagandhavilepana Dharanamandana vibhusanatthana Veramani Sikhapadam Samadiyami
Aku bertekad untuk melatih diri menghindari pemakaian bunga-bungaan, wangi-wangian,& alat
kosmetik untuk tujuan menghias & mempercantik tubuh.
9. Uccasayana Mahasayana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
Aku bertekad untuk melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang
tinggi dan mewah.
10.Jataruparajata Patiggahana Veramani Sikhapadam Samadiyami
Aku bertekad untuk melatih diri menghindari menerima emas dan perak (uang).

6.3.Maha Sila
Maha Sila adalah sila yang banyak/berat dalam jumlah peraturan. Sila ini disebut
Patimokkhasila dilaksanakan oleh para bhikkhu berjumlah 227 latihan dan bhikkhuni berjumlah
311 latihan.

7. Sila menurut jenis orang yang melaksanakan


Sila menurut jenis orang yang melaksanakan terdiri dari 3 macam, yaitu :
a. Sila upasaka-upasika adalah pancasila Buddhis. Bila kelima sila ini dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh maka akan memiliki 5 macam kekayaan, al:
• Keyakinan terhadap Triratna dan diri sendiri
• Kemurnian sila dan pelaksanaannya
• Keyakinan terhadap hukum karma
• Mencari kebaikan di dalam dhamma
• Berbuat baik sesuai dengan dhamma
b. Sila bagi Samanera-samaneri adalah majjhima sila (sila menengah). Untuk aliran Theravada
melaksanakan 10 sila dan 75 sekhiya. Untuk aliran Mahayana melaksanakan 10 sila dan 100
siksakaranya.
c. Sila para bhikkhu dan bhikkhuni disebut patimokkhasila atau panita sila (sila yang tinggi). Sila
bagi bhikkhu Theravada berjumlah 227 sila, bhikkhuni 311 sila. Khusus sila bagi para bhikkhuni
Theravada telah dihapuskan sejak tahun 1257 m karena dalam aliran Theravada tidak ada lagi
sangha bhikkhuni. Sila bagi bhikkhu Mahayana berjumlah 250 sila dan bhikkhuni 348 sila.

7.1.Sila Upasaka-Upasika
Gahattha Sila
Sila bagi para umat awam, yaitu Panca Sila atau Atthanga Sila (pada waktu-waktu tertentu).
Atthanga Sila
Delapan Sila atau Atthanga Sila merupakan praktik latihan disiplin diri. Ada sebagaian Upasaka-
Upasika seumur hidupnya mempraktikkan 8 sila, ada juga yang hanya mempraktikkan 8 sila
pada hari tertentu di tanggal 1, 8 15, 22/23 atau 2X sebulan pada waktu bulan gelap dan bulan
terang di hari Uposattha.
Uposattha berarti “masuk untuk diam” yang berarti kepatuhan kepada sila. Delapan Peraturan
yang terdapat dalam Atthanga Sila, antara lain:
1. Pannatipata veramani sikkhapadam samadiyami
2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami
4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami
5. Surameraya majjhapamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami
6. Vikala bhojana veramani sikkhapadam samadiyami
7. Naccagitavadita visukadassana, malagandhavilepanna dharanamandana vibhusanatthana
veramani sikkhapadam samadiyami
8. Ucca sayana mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami

7.2.Sila bagi Samanera-samaneri


Sila bagi para samanera dan samaneri, yaitu Dasa Sila.

7.3.Sila Para bhikkhu-bhikkhuni


Bhikkhu Sila
Semua tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu. Bhikkhu Sila ada 227,
yaitu Patimokkha Sila.
Para bhikkhu menjalankan/mempraktikkan Patimokkha setiap harinya, yaitu: Parajika 4,
Sanghadisesa 13, Aniyata 2, Nissagiya Pacittiya 30, Suddhika Paccittiya 92, Patidesaniya 4,
Sekhiyavatta 75, Adhikarana Samatha 7.
Bhikkhuni Sila
Semua tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhuni. Bikkhuni Sila ada
311, yaitu Patimokkha Sila untuk Bhikkhuni.

7.4.Bodhisatva Sila
Peraturan Bodhisattva berasal dari Tapasilavrata yang diuraikan di dalam Mahasimbhanada
Sutra, dan salah satu pasalnya menuntut memakan sayuranis.
Bodhisattva Sila adalah suatu perpaduan (gabungan) antara Pratimoksa dengan peraturan
kebhikshuan untuk tata kelakuan umum dari bhikshu yang mengabdikan dirinya pada
Buddhisme Utara demi memperkembangkan mereka sendiri ke dalam suatu Bodhisattva-Sangha.
Peraturan ini tidak hanya diperuntukkan bagi anggota Bodhisattva Sangha, tetapi juga untuk
perumah tangga yang disebut Grastha-Bodhisattva.
Peraturan Bodhisattva diambil dari Teks Tionghoa Brahmajala Sutra yang diterjemahkan loleh
Kumarajiva yang berisi 58 Pasal dan diklasifikasikan dalam 2 bagian, yaitu:
1. Garukapatti 10
2. Lahukapatti 48

Garukapatti 10
(Kesalahan berat)
1. Membunuh
2. Mencuri
3. Mengumbar diri dalam hubungan kelamin
4. Penyombongan diri palsu
5. Berniaga dalam minuman keras
6. Membuat tuduhan palsu
7. Membanggakan diri sendiri
8. Mengotori moral
9. Kosong dari rasa hati nurani.
10, Menjelek-jelekkan Tri Ratna

8. Sila Menurut besar – kecil tujuan atau maknanya


1. Hina Sila
Suatu tata tertib yang dilaksanakan dengan kemauan, pikiran, semangat, dan amatan yang
rendah; yaitu dilaksanakan dengan mengharapkan pengikut atau kedudukan.
2. Majjhima Sila
Dilaksanakan dengan mendambakan jasa kebajikan.
3. Panita Sila
Dilaksanakan dengan pengertian bahwa ini adalah suatu hal yang benar-benar patut
dilaksanakan.
Dalam artian lain lagi, Sila yang dilaksanakan dengan mengharapkan harta kekayaan disebut
Hina Sila; yang dilaksanakan untuk meraih ‘pembebasan’ bagi diri sendiri disebut Majjhima
Sila; dan yang dilaksanakan demi ‘pembebasan’ makhluk-makhluk lain disebut Panita Sila.

9. Panca Sila dan Panca Dhamma


Pancasila adalah lima latihan kemoralan yang wajib dilaksanakan oleh kita (umat Buddha)
semua dalam kehidupan sehari-hari.
Syarat terjadinya pelanggaran lima sila:
a. Syarat terjadinya pembunuhan adalah : adanya makhluk hidup, tahu bahwa makhluk itu hidup,
ada niat/kehendak untuk membunuh, ada usaha untuk membunuh, makhluk tersebut mati/lenyap.
b. Syarat terjadinya terjadinya pencurian adalah : adanya barang, tahu bahwa barang itu, milik
orang lain, ada niat/ kehendak untuk mengambil, ada usaha, barang tersebut berpindah tempat.
c. Syarat terjadinya perbuatan asusila adalah : ada obyek, ada niat untuk melakukan, ada usaha
melakukan, berhasil melakukan.
d. Syarat terjadinya berkata kasar/berbohong/ memfitnah/omong kosong adalah : ada hal yang
tida benar, ada niat untuk menyampaikan, ada usaha, ada orang lain yang percaya.
e. Syarat terjadinya karena minuman keras, adalah: adanya barang yang memabukan,
mempunyai niat untuk meminum, melakukan usaha untuk minum, terjadi mabuk

Akibat Pelanggaran Pancasila


a. Akibat buruk dari membunuh yaitu: umur pendek, sering sakit-sakitan, selalu bersedih karena
berpisah dengan yang dicintai, selalu ketakutan
b. Akibat buruk dari mencuri yaitu: kemiskinan, penderitaan, kekecewaan, hidup tergantung
pada pihak lain
c. Akibat berbuat asusila yaitu: mempunyai banyak musuh, mendapat suami atu istri yang tidak
diinginkan, lahir dengan keadaan biologis yang tidak sempurna
d. Akibat ucapan tidak benar:
• Berbohong yaitu: menjadi sasaran fitnah dan cacimakian, tidak dipercaya,mulut berbau
• Akibat memfitnah: pecahnya persahabatan tanpa sebab
• Akibat berkata kasar: dibenci pihak lain walaupun tidak mutlak salah, memiliki suara parau
• Akibat bergunjing adaah: cacat aat tubuh, sering bicara tidak masuk akal sehingga orang lain
tidak percaya
e. Akibat Minum-minuman yang memabukkan Akibat dibicarakan banyak orang, kecerdasan
menurun, tergantung pada orang lain pelanggaran sila ke 5 akan mengakibat melanggar 4 sila
lainnya.
Pancadhamma
Pancasila bersifat pasif, sebaliknya Pancadharma bersifat aktif. Sifat aktif inilah yang membuat
Pancadharma sering disebut sebagai Kalyanadharma yang memuliakan seseorang yang
mempraktekkannya dengan kesungguhan.
Isi Pancadhamma
a. Metta-Karuna
Yaitu perasaan cinta kasih dan welas asih yang terwujud melalui suatu keinginan untuk
membantu makhluk lain mencapai kebahagiaan seperti yang dialami oleh dirinya sendiri.
b. Samma ajiva
Yaitu kesabaran dalam cara berpenghidupan benar. Perlu ditekankan disini bahwa
kesabaran ini merupakan suatu bantuan besar bagi pelaksanaan sila kedua. Dapatlah
dikatakan bahwa hampir tidak mungkin seseorang dapat melatih sila kedua tanpa melatih
dan mengembangkan samma ajiva.
c. Santutthi
Yaitu perasaan puas terhadap apa yang telah menjadi miliknya. Dalam pelaksanaannya
dengan sila ketiga, perasaan puas ini dapat dibedakan menjadi dua:
1. Sadarasantutthi, yaitu perasaan puas memiliki satu istri. Dengan kata lain tidak
meninggalkan istrinya pada waktu sehat maupun sakit, pada waktu muda maupun tua,
dan tidak berusaha untuk pergi atau mencari wanita lain.
2. Pativatti, yaitu rasa setia kepada suami. Rasa setia tidak terbatas pada waktu. Sekalipun
suaminya telah meninggal dunia, ia lebih memilih menjanda seumur hidupnya meskipun
sebenarnya oleh tradisi dan hukum negara diperkenankan untuk menikah lagi.
d. Sacca
Yaitu kejujuran yang diwujudkan sebagai keadilan, kemurnian, kesetiaan, dan perasaan
terima kasih.
e. Satisampajanna
Yaitu kesadaran dan pengertian benar. Dalam hubungannya dengan pelaksanaan sila,
satisampajanna ini sering diartikan sebagai kewaspadaan. Kewaspadaan tersebut dibagi
menjadi:
1. Kewaspadaan dalam hal makanan.
2. Kewaspadaan dalam hal pekerjaan.
3. Kewaspadaan dalam hal bertingkah laku.
4. Kewaspadaan terhadap hakikat hidup dan kehidupan.

Pelaksanaan Pancadharma
Sifat-sifat mulia seorang Ariya berkaitan dengan sila dan praktek-praktek mulia Pancadharma
(Kalyana Dharma). Orang yang melatih sila belum tentu sudah memiliki sifat-sifat mulia itu
sebelumnya. Praktek-praktek mulia dari Kalyana Dharma ini akan membuat mulia siapa saja
yang melaksanakannya.

4. IPTEK DAN SENI


1. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Untuk memahami pengertian tentang filsafat ilmu pengetahuan, akan dibahas terlebih
dahulu pengertian filsafat dalam arti terminologinya. Pengertian filsafat sesuai dengan
terminologinya yaitu:
 Filsafat adalah upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik
serta lengkap tentang seluruh realitas.
 Filsafat adalah upaya melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
 Filsafat adalah untuk menentukan batas batas dan jangkauan pengetahuan:
sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya.
 Filsafat adalah penyelidikan kritis atas pengandaian pengandaian dan pernyataan
pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
 Filsafat adalah berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan
dan untuk mengatakan apa yang Anda lihat.
Jadi, pengertian filsafat secara terminologinya di atas sangat beragam baik dalam ungkapan
maupun titik tekanannya. Bahkan Mohammad Hatta seorang ahli filafat Indenesia, dan
Langeveld mengatakan bahwa definisi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki
titik tekan sendiri dalam definisinya. Hal ini bisa dimengerti, karena intisari berfilsafat itu
terdapat dalam pembahasan bukan pada definisi. Namun definisi filsafat untuk dijadikan patokan
awal diperlukan, karena untuk memberi arah dan cakupan objek yang dibahas, terutama terkait
dengan filsafat ilmu.
Filsafat ilmu pengetahuan tujuannya, yakni:
a. Mendalami unsure-unsur pokok ilmu pengetahuan, sehingga secara menyeluruh dapat
dipahami sumber-sumber, hakikat, dan tujuan ilmu pengetahuan.
b. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang,
sehingga didapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
c. Menjadi pedoman bagi para pendidik dan anak didik dalam mendalami studi di perguruan
tinggi, khususnya untuk membedakan persoalan ilmiah dan non ilmiah.
d. Mendorng para calon ilmuwan untuk konsentrasi dalam mendalami ilmu pengetahuan dan
mengembangkannya.
e. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu pengetahuan dan agama
tidak ada pertentangan (Amsal Bakhtiar, 2004: 20).
2.Filsafat Nilai
Istilah aksiologis berasal dari kata axios (Yunani), yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu
atau teori. Jadi aksiologis adalah “teori tentang nilai”. Nilai yang di maksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang di nilai. Teori
tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya.
Pada umumnya orang mengatakan bahwa nilai sesuatu melekat pada benda dan bukan di luar
benda. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa nilai itu ada di luar benda.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul
dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
keasadarn manusia menjadi tolak ukur sgalanya, atau eksistensinya, maknanya an validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat psikis ataupun fisis.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif
muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini
beranggapan pada tolok ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar
secara realitas benar-benar ada.

2.1.Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani, yakni ethos yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Secara terminology, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau
perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah
sikap manusia, yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata-kata dan
sebagainya.
Etika mempunyai sifat yang sangat mendasar yaitu sifat kritis. Etika mempersoalkan norma-
norma yang dianggap berlaku; menyelidiki dasar norma-norma itu; mempersoalkan hak dari
setiap lembaga, seperti orang tua, sekolah, Negara dan agama untuk member perintah atau
larangan yang harus ditaati. Hak dan wewenang untuk menuntut ketaatan dari lembaga tersebut
harus dan perlu dibuktikan. Dengan demikian, etika menuntut orang agar bersikap rasional
terhadap semua norma sehingga atika akhirnya membantu manusia menjadi lebih otonom.
Etika dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara apa yang
sah dan apa yang tidak sah; membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan
demikian, etika memberi kemugkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut
menentukan arah perkembangan masyarakat.
Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan
secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan
tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan secara
tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenai penilaian moral atau tidak bermoral.
Etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif, yaitu :
a. Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti adat
kebiasaan, anggapan baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh
karena itu etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan. Etika
deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya: penggambaran tentang adat mengayau kepala pada
suku primitive.
b. Etika normative mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat memprsoalkan norma yang
diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu
benar atau tidak. Etika normative berarti system-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan
petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk. Etika
normative ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Etika umum, yang menekankan pada tema-tema umum seperti: Apa yang dimaksud norma
etis? Mengapa norma moral mngikat kita? Bagaimana hubungan antara tanggungjawab dengan
kebebasan?
2. Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum ke dalam perilaku manusia
yang khusus. Etika khusus juga dinamakan etika terapan.
Beberapa Aliran Dalam Etika
Pada hakikatnya etika erat kaitannya dngan perbuatan manusia. Apabila dikaji secara mendalam
tujuan perbuatan manusia adalah kebahagiaan. Pembahasan etika memang sangat erat kaitannya
dengan perbuatan manusia baik secara aktif maupun pasif.Karena etika tadi, maka muncullah
beberapa paham/aliran yang kajiannya menitik beratkan kepada perbuatan manusia untuk
mencapai kebahagiaan. Paham-paham tersebut yaitu :

a. Naturalisme
Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan manusia didapatkan dengan menurut panggilan natur
(fitrah) dari kejadian manusia itu sendiri. Aliran ini cara pmikirannya tentang etika adalah di
dalam dunia ini segala sesuatu menuju satu tujuan saja. Dengan memenuhi panggilan naturnya
masing-masing mereka menuju kebahagiaanya yang sempurna. Benda-benda dan tumbuh-
tumbuhan menuju pada tujuan itu secara otomatis yakni tanpa pertimbangan atau perasaan.
Kalau hewan –hewan menuju tujuan itu dengan instinck (naluri) maka manusia menuju tujuan
itu dengan akalnya.
Paham ini menilai baik dan tidak baiknya perbuatan seseorang ditilik dari adanya kesesuaian
dengan naluri manusia, baik naluri lahir maupun bathin sebagai titik tolak kebahagiaan.
b. Hedonisme
Adalah doktrin etis yang memandang kesenangan sebagai kebaikan yang paling utama dan
kewajiban seseorang ialah mencari kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Menurut hedonism
yang dipandang sebagai perbuatan baik adalah perbuatan-perbuatan yang mendatangkan
kelezatan atau rasa nikmat. Aliran hedonis terbagi menjadi dua cabang, pertama, hedonisme
egoistik yaitu menilai sesuatu yang baik adalah perbuatan yang bertujuan untuk mendatangkan
kelezatan atau kesenangan terbesar terhadap diri sendiri secara individual. Kedua, hedonism
universalistic menilai sesuatu yang baik adalah hal-hal yang bertujuan untuk mewujudkan
kelezatan atau ksenangan umum terbesar.
c. Utilitarisme
Paham ini berpedoman bahwa kebaikan dari suatu perbuatan dapat dilihat pada sumbangannya
untuk kebahagiaan hidup manusia. Utilitarisme menilai baik buruknya suatu perbuatan
berdasarkan besar kecilnya manfaat bagi khidupan manusia. Etika aliran ini ialah mencapai
kesenangan hidup sebanyak mungkin baik dilihat dari segi quality atau quantity. Menurut John
Stuart Mill aliran Utilitarisme ini dapat mendorong orang mencapai hal-hal yang nilainya tinggi.
Sebab yang menjadi ukuran dalam perbuatanitu ialah happiness orang lain yang jumlahnya
sebanyak mungkin itu.
d. Idealisme
Yaitu doktrin etis yang memandang bahwa cita-cita adalah sasaran yang harus dikejar dalam
tindakan. Menurut DR. H. Hamzah Ya’qub tokoh utama aliran ini ialah Immanuel kant. Pkok-
pokok pandangannya adalah sebagai berikut :
1. Wujud yang paling dalam dari kenyataan (hakikat) ialah kerohanian. Seseorang berbuat
baik pada prinsipnya bukan karena di anjurkan orang lain melainkan atas dasar kemauan sendiri
atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik dilakukan juga,
karena adanya rasa kewajiban yang berseni dalam nurani manusia.
2. Faktor yang paling penting mempengaruhi manusia ialah “kemauan” yang melahirkan
tindakan yang konkret. Dan menjadi pokok di sini adalah “kemauan baik”
3. Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakan yaitu
“rasa kewajiban”.
e. Vitalisme
Menurut aliran ini yang dinlai baik orang kuat yang mampu melaksanakan keinginannya agar
dirinya ditaati oleh orang lain. Jadi nilai baik dan buruk diukur dari segi ada atau tidak adanya
daya hidup maksimum untuk mengendalikan perbuatannya. Friedrich Neitzch menyerukan agar
manusia barat menjadi manusia baru yang hebat yang besar memiliki daya hidup (vitalitas) baru
yang dapat menguasai dunia ini.
f. Humanisme
Menurut aliran ini, yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kemanusiaannya.
Dalam tindakan konkret tentulah manusia konkret pula yang ikut menjadi ukuran, sehingga
pikiran, rasa, situasi seluruhnya akan ikut menentukan baik –buruknya tindakan konkrt itu.
Penetuan baik-buruk tindakan yang konkret adalah kata hati orang yang bertindak.
g. Perfectionisme
Dalam Aliran ini Plato dan Aristoteles menetapkan kebaikan dalam kaitan dengan
pengembangan berbagai kemampuan manusia. Kebahagiaan hanya bernilai jika kemampuan-
kemampuan kita berfungsi dengan baik. Sumbr kebahagiaan tertinggi terdapat pada fungsi
sebenarnya dari kemampuan intelektual.
h. Theologis
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’Qub, pengertian Etika Theologis ialah : Aliran ini berpendapat
bahwa yang mnjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, di dasarkan atas ajaran Tuhan,
segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala yang dilarang oleh
Tuhan itulah perbuatan buruk, yang sudah di jelaskan dalam kitab suci.
2.2.Estetika
Estetika dari kata Yunani aesthesis atau pengamatan adalah cabang filsafat yang berbicara
tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Dalam estetika yang
dicari adalah hakikat dari kindahan, bentuk –bentuk pengalaman keindahan (Seperti keindahan
jasmani dan rohani, keindahan alam dan seni), diselidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap
yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan, dan sebagainya.
Soal baik dan buruk telah bicarakan dalam etika, kini akan membicarakan soal nilai indah
dan tidak indah. Nilai baik dan buruk sering di terapkan orang kepada perbuatan atau tindakan
manusia, sedangkan nilai indah dan tidak indah lebih cenderung untuk diterapkan pada soal seni.
Estetika berusaha untuk menemukan nilai indah sacara umum. Sehingga tidak mustahil kalau
akhirnya timbul bebrapa teori yang membicarajan hal itu.
Dalam estetika dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika
deskriptif menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif
mencari dasar pengalaman itu. Misalnya ditanyakan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang
objektif (terletak dalam lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusian sendiri).
Perbedaan lain dari estetika adalah estetis filsafati dengan estetis ilmiah. Melihat bahwa
definisi estetika merupakan suatu persoalan filsafat yang sejak dulu sampai sekarang cukup
diperbincangkan para filsuf dan diberikan jawaban yang berbeda-beda. Perbedaan itu terlihat dari
berlainannya sasaran yang dikemukakan. The Liang Gie merumuskan sasaran-sasaran itu adalah
keindahan, keindahan dalam alam dan seni, keindahan khusus pada seni, keindahan ditambah
seni, seni (segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni), citarasa, ukuran nilai
baku, keindahan dan kejelekan, nilai nonmoral (nilai estetis), benda estetis, pengalaman estetis.
Estetis filsafati adalah estetis yang menelaah sasarannya secara filsafati dan sering
disebut estetis tradisional. Estetis filsafati ada yang menyebut estetis analitis, karena tugasnya
hanyalah mengurai. Hal ini dibedakan estetis yang empiris atau estetis yang dipelajari secara
ilmiah. Jadi, estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode ilmiah,
yang tidak lagi merupakan cabang filsafat pada abad XX, estetis ilmiah sering disebut juga
estetis modern untuk membedakannya dengan estetis tradisional yang bersifat filsafati.
3.Filsafat Metafisika
Metafisika adalah salah satu cabang Filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai
penyebab segala sesuatu sehingga hal tetrtentu menjadi ada.
Sebenarnya disiplin filsafat metafisika telah di mulai semenjak zaman Yunani kuo. Mulai dari
filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai
istilah metafisika. Aristoteles menyebut sesuatu yang mengkaji hal-hal yang sifatnya diluar fisika
sebagai filsafat pertama (prote philosophia) untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu
disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika.
Metafisika berasal dari bahasa yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang setelah
fisika” Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya
abstraksi sangat tinggi (ibarat seorang mahasiswa untuk mempelajarinya menghabiskan beribu-
ribu ton beras), ber-metafisika membutuhkan enersi intelektual yang sangat besar sehingga
membuat tidak semua orang berminat menekuninya.
Hubungannya dengan teori komunikasi, metafisika berkaitan dengan hal-hal sbb :
1) Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam alam
semesta;
2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan aturan;
3) Problem pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme pada perilaku manusia.
Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip pendapat Jujun S
Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu
kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.
Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
 Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-
murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena
perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.
 Ada sebagai yang iLLahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang
lain, yakni TUHAN (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indera).Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan
batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature,
methods and limits of human knowledge).
METAFISIKA adalah sebuah kekuatan yang terletak pada kekuatan mental, akal pikiran, hati,
jiwa serta semua fisik tubuh manusia, yang mana jika manusia bisa membangkitkan kinerja
semua unsur tubuh mereka, maka mereka memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.Dalam istilah
spiritual lebih dikenal sebagai ilmu ghaib (yang kekuatannya bisa dari unsur luar yakni jin atau
qorin/sedulur papat) dan istilah bagi mereka yang berkecimpung di dunia pencak silat dan olah
pernafasan, metafisik disebut sebagai tenaga dalam, yakni sebuah inti energi yang terletak pada
kekuatan nafas dan pikiran (visualisasi). Jadi pada dasarnya Metafisik, Tenaga Dalam serta Ilmu
Ghaib merupakan satu rangkaian, yang intinya mengaktifkan kekuatan/energi yang berasal dari
kekuatan Non-Sains. Dan di Majapahitsakti yang diaktifkan adalah unsur cakra dengan
membuka 7 cakra utama serta pengendalian khadam, baik dari qorin maupun dari luar yakni
Rijalul Ghaib.
4.Iman,Ilmu dan Amal sebagai kesatuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra dan
firasat. Kata ilmu berasal dari bahasa Arab "alima-ya'lamu. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah
diklasifikasi sehingga menghasilkan kebenaran objektif yang sudah diuji kebenarannya dan dapat
diuji ulang secara ilmiah. Secara sederhana pengetahuan dan ilmu dapat dijelaskan sebagai
berikut: Pengetahuan diartikan hanyalah sekadar “tahu”, yaitu hasil tahu dari usaha manusia
untuk menjawab pertanyaan “apa”, misalnya apa batu, apa gunung, apa air, dan sebagainya.
Sedangkan ilmu bukan hanya sekadar dapat menjawab “apa” tetapi akan dapat menjawab
“mengapa” dan “bagaimana” , misalnya mengapa batu banyak macamnya, mengapa gunung
dapat meletus, mengapa es mengapung dalam air. Sedangkan teknologi adalah hasil produk
pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan
kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpang-
ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungan.
Iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan
(perbuatan). Iman dalam agama Buddha disebut juga Saddha.
Ilmu artinya ialah memahami sesuatu dengan hakikatnya, dan itu berarti keyakinan dan
pengetahuan. Jadi ilmu merupakan aspek teoritis dari pengetahuan. Dengan pengetahuan inilah
manusia melakukan perbuatan amalnya. Jika manusia mempunyai ilmu tapi miskin amalnya
maka ilmu tersebut menjadi sia-sia.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab
sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah
sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih
dahulu.
Amal perbuatan baik atau buruk, ataupun dapat dikatakan sebagai suatu yang dilakukan dengan
tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap masyarakat atau sesama manusia.
Hubungan Antara Iman, Ilmu, dan Amal
Melalui ilmu seseorang dapat membuktikkan bahwa ilmu yang ia pelajari itu benar adanya
sehingga ia dapat meyakini akan kebenaran ilmu tersebut (iman) . Melalui iman tersebut ia dapat
mempraktikkan manfaatnya sehari-hari kepada masyarakat luas (amal).
5.Kewajiban menuntut Ilmu dan Mengamalkan Ilmu
Memiliki pengetahuan luas dan keterampuilan adalah berkah utama (Mańgala Sutta)
Dalam Natha Sutta, Dasakanipata, Anguttara Nikaya; Buddha menyatakan bahwa dengan
memiliki pengetahuan luas, seseorang berarti telah membuat pelindung bagi dirinya sehingga
dapat terhindar dari kehidupan yang penuh penderitaan.
Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi, dagingnya bertambah tetapi
kebijaksanaannya tidak berkembang. (Dhammapada 152). Seseorang semakin beranjak tua
sepantasnya bertambah dalam kebijaksanaannya. Tetapi sebagaimana usia kronologis tidak
selalu persis sama dengan usia biologis atau waktu fisiologis dengan waktu psikplogis, demikian
pula halnya dengan ketuaan atau usia lanjut bukan jaminan terdapatnya kebijaksanaan atau
kesucian.
6.Tanggung Jawab Terhadap Alam dan Lingkungan
Dalam Karaniyametta Sutta disebutkan, “…hendaklah ia berpikir semoga semua makhluk
berbahagia. Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan yang kuat tanpa kecuali, yang panjang
atau yang besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang
jauh ataupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk
berbahagia“. Hal ini mengandung arti bahwa agama Budha menolak terjadinya pencemaran dan
perusakan alam dan segenap potensinya8. Beberapa contoh ajaran Buddha yang berkaitan
dengan lingkungan yaitu1:
Maka, dengan hati tanpa batas, seseorang seharusnya menghargai semua makhluk hidup,
memancarkan kebaikan ke seluruh dunia, menyebarkannya hingga ke atas langit, dan ke bagian
Bumi yang terdalam, ke luar dan tak terbatas ~ Sutra Kasih, "Kebaikan Hati".
Jika kita dapat melihat keajaiban dari sekuntum bunga dengan jelas, seluruh hidup kita akan
berubah ~ Buddha Siddhartha, Kitab Tipitaka, 80 S.M.
Rajah Koravya memiliki sebuah pohon raja banyan yang dinamakan Tabah, dan kerindangan
yang diberikan oleh cabang-cabang yang melebar sangatlah menyejukkan dan menyenangkan.
Daunnya rimbun sampai dua belas gerombol... Tidak ada yang menjaga buahnya, dan tidak ada
yang menyakiti yang lain demi buahnya. Kini datanglah seorang manusia yang memakan buah
untuk mengisi perutnya, mematahkan sebuah cabang, dan pergi. Roh yang mendiami pohon itu
berpikir, “Betapa menakjubkannya, betapa mengherankannya, di mana seorang manusia dapat
menjadi sedemikian jahatnya hingga mematahkan satu cabang pohon ini, setelah
mengenyangkan perutnya. Menganggap pohon ini tidak berbuah lagi.” Lalu sang pohon itu
tidak berbuah lagi.
~Anguttara Nikaya iii.368
Seperti lebah yang mengumpulkan madu dengan tidak merusak atau mengusik warna dan aroma
sang bunga; begitu jugalah cara orang yang bijak bergerak melewati dunia.
~ Sang Buddha, Dhammapada: Bunga-Bunga, ayat 49
Hutan adalah makhluk hidup yang khas dengan kebaikan dan kebajikan tak terbatas yang tak
meminta makanan untuk menghidupinya dan dengan murah hati menawarkan apa yang
dihasilkan oleh hidupnya; ia memberikan perlindungan pada semua makhluk.
~ Sutra Buddhis
Sebagai awal untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan dijelaskan
interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan manusia dengan alam. Setelah
itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan, sehingga akan menjadi jelas interaksi manusia-
hewan-alam.
Sejak awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal peradaban
maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak
lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal api, manusia telah berburu—
sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan
untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.
Interaksi manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan
alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang
manusia hidup menetap. Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang
kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.
Hewan dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber makanan
dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan untuk
berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran atau bangkai
hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.

Terlihat dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan
untuk hidup. Sampai pada akhirnya—saat ini— interaksi tersebut malah merusak hewan dan
alam. Banyak spesies hewan yang telah punah, pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan
lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk
hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam,
hewan pun tidak terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana
hanya demi kepuasan materi. Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap
hewan. Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak oleh
manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak segera bertindak
walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan akan menyebabkan
kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan
bermotor atau industri, membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga
akibatnya terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan
manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup
akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia. Dari uraian di
atas jelas bahwa manusia, hewan dan alam(lingkungan) saling mempengaruhi. Ketika salah satu
bagian dari suatu sistem rusak, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh sistem tersebut, seperti
rusaknya lingkungan akan mengakibatkan kehancuran manusia pada akhirnya.
7.Mangala Sutta
Memiliki pengetahuan luas dan keterampilan adalah berkah utama (Mańgala Sutta). Dalam
Natha Sutta, Dasakanipata, Anguttara Nikaya; Buddha menyatakan bahwa dengan memiliki
pengetahuan luas, seseorang berarti telah membuat pelindung bagi dirinya sehingga dapat
terhindar dari kehidupan yang penuh penderitaan.
8.Sekhiya Sila
Latihan yang harus dilaksanakan oleh para Bhikkhu untuk melatih diri disebut Sekhiya.
SEKHIYA 75
I. Tentang sikap tingkah laku yang tepat (Saruppa)
II. Tentang peraturan makan (Bhojanapatisamyuti)
III. Tentang cara mengajarkan Dhamma (Dhammadesanapatisamyutta)
IV. Tentang aneka macam peraturan (Pakinnaka)
9.Keselarasan antara perkembangan IPTEK dan Moral
Manusia sebagai makhluk yang berakal budi tidak henti-hentinya mengembangkan
pengetahuannya. Abad ini ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat.
Kemajuan itu terutama dipacu oleh kemajuan teknologi computer dan informasi sehingga zaman
ini sering disebut era revolusi baru yaitu revolusi informasi. Produk dari kemajuan sains dan
teknologi kian canggih dan bermutu. Hampir dalam semua bidang kehidupan kita dapat
menikmati produk teknologi modern mulai dari peralatan rumah tangga sampai dengan peralatan
industri yang besar. Dengan semua kemajuan itu hidup manusia dipermudah, diperlancar, dan
lebih sejahtera. Tetapi di sisi yang lain, kita melihat bahwa berbagai kemajuan tersebut juga
membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia seperti lingkungan hidup yang tidak nyaman,
ketidakadilan dan bahkan penghancuran kelompok manusia. Kesadaran manusia tentang hal ini,
bahwa ilmu pengetahuan akan membawa manusia ke segala arah, ke arah yang baik juga ke arah
yang buruk. Di sinilah letaknya peranan moral dan agama yang akan mengarahkan ilmu
pengetahuan dan teknologi ke arah yang benar. Iptek dan moral bukanlah dua hal yang
bertentangan, tetapi saling mengisi satu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan perlu untuk
mencerahkan akal manusia mencari dan menggali berbagai kemungkinan yang di anugerahkan
oleh sang Pencipta kepada umat manusia di atas bumi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kompleks membawa dampak bagi
masyarakat itu sendiri. Berikut ini merupakan dampak perkembangan IPTEK bagi manusia
ditinjau dari berbagai bidang.
1. Bidang Informasi Dan Komunikasi
Dalam bidang informasi dan komunikasi telah terjadi kemajuan yang sangat pesat. Dari
kemajuan dapat kita rasakan dampak positifnya antara lain:
a. Kita akan lebih cepai mendapatkan informasi-informasi yang akurat dan terbaru di bumi
bagian manapun melalui internet.
b. Kita dapat berkomimikasi dengan teman, maupun keluarga yang sangat jauh hanya dengan
melalui handphone.
Disamping keuntungan-keuntungan yang kita peroleh, kemajuan-kemajuan teknologi tersebut
dimanfaatkan juga untuk hal-hal yang negatif, antara lain:
a. Penggunaan informasi tertentu dan situs tertentu yang terdapat di internet yang bisa disalah
gunakan fihak tertentu untuk tujuan tertentu
b. Kerahasiaan alat tes semakin terancam Melalui internet kita dapat memperoleh lnformasi
tentang tes psikologi, dan be.hlcan dapat memperoleh lxya,non tes psikologi secara langsung dari
internet.
2. Bidang Ekonomi dan Industri
Dari kemajuan teknologi dapat kita rasakan manfaat positifnya antara lain:
a. Perlumbuhan ekonomi yang semakin tinggi
b. Persaingan dalam dunia kerja sehingga menuntut pekerja untuk selalu menambah skill dan
pengetahuan yang dimiliki.
c. Produktifitas dunia industri semakin meningkat
sedangkan dampak negatifnya, antara lain :
a. Terjadinya pengangguran bagi tenaga kerja yang tidak mempunyai kualifikasi yang sesuai
dengan yang dibutuhkan
b. Sifat konsumtif sebagai akibat kompetisi yang ketat pada era globalisasi akan juga
melahirkan generasi yang secara. moral mengalami kemerosotan: konsumtif, boros dan memiliki
jalan pintas yang bermental "instant".
3. Bidang Sosial dan Budaya
a. Perbedaan kepribadian pria dan wanita (semakin besar porsi wanita yang memegang posisi
sebagai pemimpin, baik dalam dunia pemerintahan maupun daiam dunia bisnis).
b. Meningkatnya rasa percaya diri
c. Tekanan kopetisi yang tajam diberbagai aspek kehidupan melahirkan generasi yang disiplin,
tekun dan pekerja keras.
Sedangkan dampak negatifnya, antara lain :
a. Kemerosotan moral di kalangan warga masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan
pelajar.
b. Kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat
c. Pola interaksi antar manusia yang berubah. Kehadiran komputer pada kebanyakan rumah
tangga golongan menengah ke atas telah merubah pola interaksi keluarga
4. Bidang Pendidikan
a. Munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber ilmu dan pusat
pendidikan.
b. Munculnya metode-metode pembelajaran yang baik, yang memudahkan siswa dan guru
dalam proses pembelajaran.
Dampak negatifnya, antara lain :
a. Kerahasiaan alat tes semakin tehincam Program tes inteligensi seperti tes Raven,
Differential Aptitudes Test dapat diakses melalui compact disk.. Implikasi dari permasalahan ini
adalah, tes psikologi yang ada akan mudah sekaii bacor, dan pengembangan tes psikologi harus
berpacu dengan kecepatan pembocoran melalui intemet tersebut.

A. Mengatasi Dampak Negative Perkembangan IPTEK


Moral adalah pemahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya(ought to), benar (right),
dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang
kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat
moral, moral merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiabn itu, dengan argument bahwa
kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan
umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia
bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Era informasi dan globalisasi sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah memberikan dampak pada hampir
semua aspek kehidupan masyarakat. Perubahan masyarakat akibat berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut membawa dampak yang besar pada budaya, nilai, moral dan
agama. Beberapa solusi untuk mengatasi damoak negative dari perkebangan iptek, antara lain :
1. Masyarakat harus diberikan pemahaman tentang cara menggunakan teknologi informasi
dengan baik dan tidak melanggar etika. Sehingga teknologi informasi dapat dimanfaatkan
dengan semestinya.
2. Pemerintah harus membuat suatu peraturan yang tegas terhadap setiap pelanggaran
penggunaa teknologi informasi yang merugikan orang lain dan negara.
3. Masyarakat juga harus di beri penyuluhan untuk menggunakan teknologi yang di kuasai
untuk menjalin hubungan yang lebih intents dengan teman atau orang-orang yang sebelumnya
telah di kenal didunia nyata. Jangan terobsesi untuk mencari teman-teman baru di Facebook,
twitter , atau social media yang lain karena kecenderungan yang terjadi, mereka yang hanya anda
kenal didunia maya tidak akan memberikan nilai persahabatan yang mutualisme atau saling
mensupport antara satu dan yang lain didunia nyata.
4. Adanya keseimbangan antara ilmu atau pengetahuan dalam agama dan ilmu atau
pengetahuan umum.

5. Kerukunan Antar Umat Beragama

1.Definisi dan Hakikat Agama


Hakekat Ketuhanan (sifat-sifat Tuhan) dalam agama Buddha adalah Tidak berkondisi dan
terbebas dari :
 Lobha ( Keserakahan )
 Dosa ( Kebencian )
 Moha ( Kegelapan batin )
Karena tidak berkondisi dan bebas dari Lobha, Dosa dan Moha, maka sifat Tuhan adalah Maha
Esa, karena hanya satu-satunya dan Maha Suci. Karena itu, Tuhan bisa dikatakan bersifat
Impersonal (bukan pribadi), yaitu memahami Yang Mutlak/Tuhan sebagai Anthropomorphisme
(tidak dalam ukuran bentuk manusia ).
Jika masih berpandangan bahwa Tuhan bersifat Personal, maka berarti masih berkondisi, yang
berarti masih ada Dukkha (Penderitaan). Dengan demikian, bisa timbul pandangan bahwa Tuhan
dapat disalahkan, sehingga kita tidak dapat mendudukkan Tuhan dalam proporsi yang
sebenarnya dan mengaburkan kembali pandangan yang semula bahwa Tuhan adalah yang
Tertinggi, Maha Suci, Maha Esa, Maha Tahu, dan sebagainya.
ilihat dari Agama dan kepercayaan yang ada, Tuhan, Dei, Deos, God, Thien, pada intinya
memiliki pengertian Penguasa, Pengatur alam semesta yang berkepribadian, yang dipercaya
memiliki Super Power. Kepercayaan akan adanya Tuhan dimulai dengan konsep Politheis
(banyak Tuhan) dengan tugas-tugas tertentu seperti kepercayaan Mesir dan Yunani kuno.
Belakangan manusia mulai berpikir bahwa Tuhan yang jumlahnya banyak tersebut sudah tidak
efektif lagi, karena mengurangi kredibilitas sesuatu yang Super Power. Selain itu timbul
pemikiran perlunya Tuhan tertinggi untuk mengatur Tuhan-Tuhan yang lain, yang merupakan
cermin dari hirarki kerajaan. Akhirnya terbentuklah konsep Monotheis (Tuhan yang satu).
Etimologi (Asal Kata) Tuhan dalam bahasa Melayu juga memiliki sejarahnya sendiri. Kata
Tuhan berasal dari kata Tuan sama artinya dengan kata Lord dalam bahasa Inggris, sama artinya
dengan kata Gusti, yaitu seseorang sebagai tempat mengabdikan diri.Hal ini dapat kita buktikan
dengan mengamati dalam bahasa Jawa, seperti Gusti Raja, Gusti Putri yang kemudian muncul
istilah Gusti Allah. Selain itu, juga dari satu sumber disebutkan, bahwa sebelum perkataan Tuhan
diperkenalkan kepada rakyat Indonesia, rakyat Indonesia telah ber-Tuhan, akan tetapi tidak
disebut dengan perkataan Tuhan. Di Jawa dikenal perkataan Pangeran. Tuhan atau Pangeran
dalam bahasa Jawa sering digambarkan sebagai :
Gesang tanpo roh, kuwaos tanpo piranti, tan wiwitan daton wekasan, tan keno kinoyo ngapo, ora
jaman ora makam, ora arah ora enggon, adoh tanpo wangenan, cedak tanpo gepokan
(senggolan), ora njobo ora njero, lembut tan keno jinumput, gede tan keno kiniro-kiro.
Yang artinya :
Hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tak dapat diapa-siapakan, tak kenal
jaman maupun perhentian, tak berarah tak bertempat, jauh tak terbatas, dekat tak tersentuh, tak
diluar tak didalam, halus tak terpungut, besar tak terhingga.
Kedatangan bangsa Barat dengan membawa agama Nasrani dan usaha menerjemahkan Injil,
khususnya kata Lord ( Yesus ) kedalam bahasa Melayu, memberikan perubahan kata Tuan
menjadi Tuhan. Hal ini terjadi karena kata Tuan memiliki konotasi yang sifatnya duniawi, dan
dengan diubahnya kata tersebut menjadi kata Tuhan akan memberikan konotasi yang sifatnya
Spiritual.
Bagaimana dengan Buddhisme ? Pada dasarnya dalam Buddhisme tidak terdapat ajaran
mengenai Tuhan dalam pemahaman pengertian sebagai Penguasa, Pengatur alam semesta yang
berkepribadian yang dipercaya memiliki Super Power. Tidak ada satupun pengertian dari Tuhan
diatas yang dapat kita jumpai dalam teks-teks awal Buddhisme, kecuali beberapa sifat tertentu.

Kata Ketuhanan merupakan kata yang memiliki awalan ke dan akhiran an, ketika suatu kata
dasar diberi imbuhan awalan ke dan akhiran an, maka kata tersebut memiliki perubahan arti.
Dalam hal ini kata Tuhan yang merupakan kata benda, ketika ditambah dengan awalan ke dan
akhiran an, akan berubah menjadi kata sifat. Dengan kata lain, kata Ketuhanan berarti sifat-sifat
atau hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.
Kesalahan umum mengenai pengertian dari kata Ketuhanan Yang Maha Esa , sering diartikan
sebagai Satu sosok Tuhan yang tunggal ( tiada duanya ), jelas pengertian itu adalah salah. Jika
yang dimaksud adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah
Eka, bukan kata Esa. Karena kata Esa berasal dari bahasa Sansekerta/Pali, kata esa bukan berarti
satu atau tunggal dalam jumlah. Kata Esa berasal dari kata Etad yang lebih mengacu pada
pengertian keberadaan Yang Mutlak. Sedangkan kata Satu dalam pengertian jumlah dalam
bahasa Sansekerta maupun bahasa Pali ada kata EkDengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa arti dari Ketuhanan yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan yang hanya Satu, tetapi Sifat-
sifat luhur/mulia Tuhan yang mutlak harus ada, sekali lagi bukan Tuhannya.
Apakah hanya karena di kitab-kitab suci agama Buddha tidak pernah ditemukan kata-kata
Tuhan, sehingga agama Buddha dianggap tidak ber-Tuhan ? (Atheis). Pada dasarnya konsep
Ketuhanan dalam Kitab Suci agama Buddha tidak diterjemahkan dalam kata Tuhan karena untuk
menghindari pemahaman yang bias. Nibbana sebagai konsep Ketuhanan dalam agama Buddha
selalu ditulis dalam bahasa aslinya untuk menghindari salah persepsi.
Sesungguhnya dan ini adalah fakta, bahwa didalam Kitab Suci Nasrani dalam bahasa aslinya
Ibrani, menyebut Tuhan sebagai Yahwe, sedangkan Al Quran menyebut Tuhan dengan Allah,
Weda/Hindu menyebut Tuhan dengan Sang Trimurti. Jadi, atas dasar apa kata Yahwe, Allah,
Sang Trimurti lalu diterjemahkan menjadi kata Tuhan, apakah sosok Tuhannya sama ? Berbeda
dengan kata Water, Sui, Banyu yang bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata Air
karena mengacu pada benda yang sifat dan bentuknya sama.
Lalu apakah Tuhan dari agama-agama tersebut mengacu pada Tuhan yang sama ? Tentu
jawabnya TIDAK !, karena pada prinsipnya setiap agama memiliki konsep yang berbeda dan
cukup signifikan. Kalau toh ada seseorang yang mengatakan bahwa Tuhan dari agama-agama
yang berlainan itu adalah sama saja/Tuhan yang sama, lalu mengapa Tuhan yang sama itu
memberikan aturan-aturan, perintah-perintah, wahyu, Firman yang sangat berbeda diantara
agama-agama tersebut, yang justeru tak jarang pula perbedaan itu menimbulkan perdebatan-
perdebatan, perpecahan bahkan peperangan diantara UmmatNya? Oleh karena itu, wajar dan sah
saja bila konsep Tuhan didalam agama Buddha berbeda dengan konsep Tuhan di agama-agama
lain.
Agama Buddha berlawanan dengan kebanyakan agama yaitu memberi pelajaran Jalan Tengah
dan membuat AjaranNya Homocentris (berpusat pada manusia) yang berlawanan dengan
kepercayaan-kepercayaan Theocentris (berpusat pada Tuhan). Dengan demikian Agama Buddha
adalah Introvert (melihat ke dalam) dan berhubungan dengan pembebasan individu. Dhamma
harus direalisasikan oleh diri sendiri (Sandittiko).
2.Pelaksanaan Sila demi terwujudnya kerukunan kehidupan beragama
Agama Buddha dalam sejarah perkembangannya telah menunjukkan bahwa agama Buddha pada
masa kejayaan Sriwijaya, Majapahit maupun pada masa kerajaan Mataram Kuno telah mampu
mempersatukan dan membina kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga terwujud
persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal ini menujukkan bahwa di mana telah terbina kerukanan hidup antar umat beragama, maka di
sana akan terwujud persatuan dan kesatuan dan selanjutnya apabila persatuan dan kesatuan telah
terwujud maka di situ akan dapat dibangun sebuah kerajaan yang jaya.
Memahami arti pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama dan persatuan dan kesatuan,
maka dipandang perlu untuk diuraikan fakta sejarah perkembangan agama Buddha dalam
memberikan konstribusi bagi terwujudnya sebuah kerukunan.
1. Upali Sutta
Diceritakan bahwa semasa hidup Sang Buddha, Nigantha Nataputha seorang guru besar dari
sekte agama Jaina mengutus Upali seorang siswanya yang cerdik, pandai dan berpengaruh di
masyarakat untuk berdialog, memperbincangkan tentang ajaran Buddha yaitu Hukum Karma.
Setelah berdialog cukup panjang Upali memperoleh kesadaran bahwa ajaran Buddha tentang
kamma adalah yang benar. Upali kemudian memohon kepada Sang Buddha untuk diterima
sebagai muridnya. Sang Buddha menyuruh Upali untuk memikirkannya karena Upali adalah
murid dari Guru Besar dan ternama, ia juga orang berkedudukan dan terpandang di masyarakat.
Akhirnya Sang Buddha menerima Upali sebagai muridnya dengan mengucapkan: “Kami terima
anda sebagai umatku, sebagai muridku, dengan harapan anda tetap menghargai bekas agamamu
dan menghormati bekas gurumu itu, serta membantunya”.
Dari cerita tersebut maka tampaklah bahwa masa kehidupan Sang Buddha telah menunjukkan
demikian besarnya toleransi Sang Buddha terhadap keyakinan atau agama lain.
2. Maha Raja Asoka (Prasati Asoka)
Raja Asoka dalam menjalankan pemerintahannya benar-benar menjaga toleransi dan kerukunan
hidup beragama, semua agama yang berkembang saat itu diperlakukan adil. Untuk mewujudkan
kerukunan hidup beragama tersebut, Raja Asoka telah mencanangkan Kerukunan Hidup
Beragama yang terkenal dengan “Prasasti Batu Kalinga No. XXII Raja Asoka”.
PRASASTI RAJA ASOKA
“Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa suatu
dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu.
Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang di samping
menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah merugikan agama
kita sendiri, di samping merugikan agama orang lain.
Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang lain,
semata-mata karena didorong oleh rasa bakti pada agamanya sendiri dengan berpikir; bagaimana
aku dapat memuliakan agamaku sendiri. Dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan
agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan dengan pengertian bahwa
semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengar ajaran orang lain”. (Proyek
Bimbingan P4, 1983/1984,: 28, SM Rasyid, 1988).
3. Era Kerajaan di Indonesia
Pada jaman Keprabuan Majapahit telah berhasil menghantarkan bangsa di nusantara kita ini
memasuki jaman keemasan karena adanya kerukunan hidup beragama, yakni kerukunan hidup
antar umat beragama Hindu dan umat beragama Buddha, yang berhasil mewujudkan persatuan
dan kesatuan negara tersebut.
Pada masa tersebut seorang pujangga besar telah menyusun karya sastra “Sutasoma”, yang di
dalam mukadimahnya tersurat sebuah kalimat yang memiliki makna terdalam guna membina
kerukunan persatuan dan persatuan antar umat beragama, yaitu: “Siwa Buddha Bhinneka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Kalimat sakti tersebut sekarang telah dijadikan motto
atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika di lambang negara garuda pancasila.
Kerukunan Hidup Umat Beragama Buddha di Masa Pembangunan
Pada beberapa tahun yang lalu, sebagai hasil dari dialog intern umat beragama, Dialog antar
umat beragama dan dialog antar umat beragama dengan pemerintah, akhirnya lahirlah Tri
Kerukunan Hidup Beragama, yaitu:
1) Kerukunan Intern Umat Beragama
2) Kerukunan Antar Umat Beragama
3) Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah

Upaya yang dapat ditempuh umat Buddha dalam rangka menuju terciptanya dan melestarikan Tri
Kerukunan tersebut adalah dengan meningkatkan Moral, Etika, dan Akhlak bangsa yang disebut
SILA. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia. Moral dalam manifestasinya dapat berupa aturan, prinsip-prinsip, benar dan
baik, terpuji dan mulia.
Selain menjaga diri dengan Sila, umat Buddha dapat mengembangkan kesempurnaan-
kesempurnaan (Paramita). Menurut Sang Buddha berkembangnya perpecahan dan hancurnya
persatuan dan kesatuan (kerukunan) mengakibatkan pertentangan, pertengkaran. Sang Buddha
bersabda dalam Dhammapada ayat 6, sebagai berikut:
“Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian mereka akan hancur dan musnah, tetapi mereka yang
melihat dan menyadari hal ini damai dan tenang”.
Sumber dari perpecahan menurut Sang Buddha dijelaskan dalam Dhammapada ayat 5, yaitu:
“Di dunia ini kebencian belum pernah berakhir jika dibalas dengan membenci, tetapi kebencian
akan berakhir kalau dibalas dengan cinta kasih. Ini adalah hukum kekal abadi”.
Dari kutipan di atas, dengan jelas diungkapkan bagaimana akibat dari pikiran yang jahat bagi
seseorang, bagi suatu golongan tertentu, bagi suatu bangsa bahkan bagi umat manusia. Maka
diperlukan kedewasaan berpikir. Berkata dan bertindak (sila). Dasarnya adalah ajaran Buddha
dalam Anguttara Nikaya II, yaitu: Hiri (perasaan malu untuk berbuat tidak baik dan Ottapa (rasa
takut akan akibat perbuatan jahat). Dua dasar tersebut adalah Lokapala Dhamma atau Dhamma
pelindung dunia.
Sehubungan dengan hal itu, pada masa pembangunan umat Buddha Indonesia hendaknya selalu
menjadikan ajaran-ajaran Sang Buddha sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan
beragama.
3.Brahmavihara
Empat keadaan batin yang luhur telah diajarkan oleh Sang Buddha:
1. Cinta atau Cinta kasih (metta)
2. Welas Asih (karuna)
3. Turut berbahagia (mudita)
4. Keseimbangan batin (upekkha)

Dalam bahasa Pali, bahasa yang digunakan dalam naskah-naskah Buddhis, empat keadaan batin
ini dikenal juga dengan nama Brahma-vihara. Istilah ini dapat juga diungkapkan sebagai keadaan
batin yang sempurna, luhur atau mulia; atau seperti keadaan batin para Brahma atau dewa.

Empat keadaan batin ini dikatakan sempurna atau luhur karena merupakan cara bertindak dan
bersikap yang benar dan ideal terhadap semua makhluk hidup (sattesu samma patipatti).
Keempatnya menyediakan jawaban terhadap semua situasi yang muncul dalam kontak sosial.
Empat keadaan batin luhur ini merupakan pereda tekanan yang hebat, pencipta kedamaian dalam
konflik sosial, serta penyembuh terhadap luka-luka yang diderita dalam perjuangan hidup. Empat
keadaan batin luhur ini dapat menghancurkan rintangan-rintangan sosial, membangun komunitas
yang harmonis, membangunkan kemurahan hati yang telah lama tertidur dan terlupakan,
menghidupkan kembali kebahagiaan dan harapan yang telah lama ditinggalkan, serta mendorong
persaudaraan dan kemanusiaan untuk melawan kekuatan egoisme.
Brahma-vihara bertentangan dengan keadaan batin yang penuh keben- cian, dan oleh sebab
itulah ia dikatakan bersifat Brahma, pemimpin tertinggi (yang tidak abadi) dari alam-alam surga
tingkat atas dalam gambaran Buddhis tradisional mengenai alam semesta. Akan tetapi, berbeda
dengan banyak gambaran mengenai dewa-dewi, baik di Timur maupun Barat, yang oleh para
pemujanya sendiri dikatakan dapat menunjukkan kemarahan, kemurkaan, iri hati; Brahma dalam
Buddhisme
dinyatakan telah terbebas dari kebencian. Oleh sebab itu, seseorang yang dengan giat
mengembangkan empat keadaan batin luhur ini, melalui tindakan dan meditasi, dapat dikatakan
telah menjadi setara dengan Brahma (brahma-samo). Jika empat keadaan batin luhur menjadi
pengaruh yang dominan dalam batin orang tersebut, maka ia akan terlahir kembali dalam dunia
yang sesuai, yaitu alam-alam Brahma. Oleh sebab itu, empat keadaan batin ini disebut seperti
dewa atau Brahma.
Empat keadaan batin ini disebut kediaman (vihara) sebab keempatnya semestinya menjadi
tempat tinggal yang tetap bagi batin, seperti yang kita rasakan ”di rumah”; empat keadaan batin
ini janganlah hanya menjadi tempat yang jarang ataupun hanya sebentar dikunjungi, yang segera
dilupakan. Den – gan kata lain, batin kita harus melebur sepenuhnya dalam keadaan luhur ini.
Empat keadaan luhur ini seharusnya menjadi sahabat kita yang tak terpisahkan, dan kita harus
sadar terhadapnya dalam semua aktivitas sehari-hari. Sebagaimana ungkapan dari Metta Sutta,
Syair Cinta Kasih:
Ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring,
Selagi tiada lelap
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini –
Yang dikatakan: Berdiam dalam Brahma
Ke-empat keadaan ini –cinta kasih, welas asih, turut berbahagia, dan ke- seimbangan batin–
dikenal juga sebagai keadaan tanpa batas (appamañña), karena, dalam kesempurnaan dan sifat
sejatinya, keempatnya tidak dapat disempitkan oleh batasan-batasan dalam hal jangkauannya
terhadap semua makhluk. Keempat keadaan batin ini haruslah tidak eksklusif dan tidak hanya
mencakup sebagian dari makhluk; tidak dibatasi oleh keberpihakan maupun prasangka-
prasangka. Batin yang telah mencapai Brahma-vihara yang tak ter- batas ini tidak akan
menyimpan kebencian terhadap bangsa, suku, agama maupun kelas/golongan manapun.
Akan tetapi, jika sikap mental luhur ini tidak berakar kuat, tentu tidak akan mudah bagi kita
untuk berupaya mewujudkan ketanpa-sekatan maupun menghindarkan diri dari keberpihakan.
Dalam banyak kasus, untuk mencapainya kita harus menggunakan empat kualitas ini tidak hanya
sebagai prinsip berperilaku dan objek refleksi saja, namun juga sebagai subjek dari meditasi.
Meditasi ini disebut Brahma-vihara-bhavana, pengembangan meditatif dari keadaan batin yang
luhur. Tujuan praktisnya adalah untuk mencapai, dengan bantuan dari keadaan-keadaan luhur ini,
tahap-tahap konsentrasi mental yang tinggi yang disebut jhana, “pencerapan meditatif”. Meditasi
terhadap cinta, welas asih, dan turut berbahagia masing-masing dapat menghasilkan pencapaian
dari tiga pencerapan yang pertama. Sedangkan meditasi terhadap ke- seimbangan batin akan
menuntun pada pencapaian jhana keempat yang mana ketenangan batin merupakan faktor yang
paling signifikan.
Secara umum, latihan meditasi yang tekun akan menghasilkan dua efek tertinggi: pertama, empat
kualitas ini akan tenggelam masuk ke dalam hati sehingga keempat kualitas tersebut menjadi
sikap yang spontan dan tidak mudah luntur; kedua, meditasi tersebut akan memunculkan dan
mem-pertahankan perluasan yang tanpa batas dari empat kualitas ini dan menyebarkan
jangkauan penerimaannya terhadap semua mahkluk. Sebenarnya, instruksi rinci yang diberikan
dalam naskah-naskah Buddhis mengenai latihan empat meditasi ini dengan jelas dimaksudkan
untuk membuka secara bertahap ketanpabatasan dari keadaan luhur tersebut. Empat keadaan
batin yang luhur ini se- cara sistematis menghancurkan semua rintangan yang membatasi
perwujudan suatu tempat atau individu tertentu.
Dalam latihan meditasi tersebut, pemilihan orang yang akan dipancarkan cinta, welas asih atau
turut berbahagia, dimulai dari yang mudah ke yang makin sulit. Sebagai contoh, ketika
bermeditasi cinta kasih, seseorang mulai dengan kehendak untuk hal-hal baik bagi dirinya
sendiri, kemudian meng- gunakannya sebagai titik acuan untuk perluasan bertahap: “Sama
seperti saya yang ingin bahagia dan bebas dari derita, demikian juga makhluk lain, semoga
semua makhluk bahagia dan bebas dari penderitaan!” Kemudian ia memper- luas pikiran cinta
kasihnya kepada orang atau siapapun yang ia hormati dan cintai, misalnya seorang guru;
kemudian kepada orang-orang yang ia sangat sayangi, kepada orang-orang yang netral, dan
terakhir kepada musuh-musuhnya ataupun orang-orang yang tidak disukai. Karena meditasi ini
berkaitan dengan kesejahteraan makhluk hidup, seseorang seharusnya tidak memilih objek orang
yang telah meninggal maupun orang yang dapat menimbulkan perasaan/ketertarikan seksual.

Setelah mampu mengatasi tugas yang tersulit yaitu mengarahkan pikiran cinta kasih kepada
orang-orang yang tidak disukai, ia sekarang seharusnya te- lah “menghancurkan rintangan”
(sima-sambheda). Tanpa membeda-bedakan keempat tipe orang yang telah disebutkan di atas, ia
memancarkan cinta kasihnya kepada semua secara sama dan merata. Dalam tahap latihan ini, ia
akan mencapai tingkat konsentrasi yang lebih tinggi: dengan munculnya gambaran refleksi
mental (patibhaganimitta), “konsentrasi mendekati” (upacara samadhi) akan telah tercapai, dan
kemajuan lebih jauh akan menuntun menuju “konsentrasi pencapaian” (appana) dari jhana
pertama, kemudian ke jhana- jhana berikutnya yang lebih tinggi.
Dalam hal perluasan ruang, latihan meditasi ini dimulai dari lingkungan diri sendiri dulu seperti
keluarga, kemudian diperluas ke rumah-rumah tetangga, ke seluruh jalan, kota, negara, negara
lain, dan seluruh dunia. Dalam “perluasan arah”, pikiran cinta kasih seseorang diarahkan dulu ke
arah timur, kemudian ke barat, utara, selatan, tengah, atas (zenith) dan bawah (nadir).
Prinsip yang sama digunakan juga dalam pengembangan meditatif ter- hadap welas asih, turut
berbahagia, dan keseimbangan batin, dengan variasi yang tepat dalam pemilihan orang-orang
yang dituju. Perincian latihan ini lebih lanjut dapat ditemukan dalam naskah-naskah. (lihat
Visuddhimagga, Bab IX)
Tujuan akhir dari pencapaian Brahma-vihara-jhana ini adalah untuk meng- hasilkan suatu
keadaan batin yang dapat menjadi landasan kokoh untuk penembusan pemahaman atau
pencapaian pencerahan mengenai sifat sejati dari semua fenomena, yaitu ketidak-kekalan, dapat
mengalami penderitaan, dan tanpa inti. Batin yang telah mencapai pencerapan meditatif yang
dipengaruhi oleh empat keadaan luhur ini akan menjadi murni, damai, teguh, terpusat dan bebas
dari egoisme yang kasar. Dengan demikian, batin akan siap untuk pembebasan akhir yang hanya
dapat dilengkapi melalui pencerahan.

Pembahasan sebelumnya menunjukkan ada dua cara mengembangkan keadaan batin yang luhur:
pertama, melalui tingkah laku dan pengarahan pikiran yang tepat; dan kedua, melalui metode
meditasi yang menuju pada pencerapan-pencerapan. Kedua cara ini akan membantu satu sama
lain. Latihan meditasi secara bertahap akan membantu menimbulkan cinta, welas asih,
kebahagiaan dan keseimbangan batin menjadi spontan. Latihan ini juga akan membuat batin
lebih teguh dan tenang dalam menghadapi berbagai masalah hidup yang menyakitkan yang
menantang kita untuk mem-pertahankan empat kualitas luhur ini dalam pikiran, ucapan maupun
perbuatan.

Di sisi lain, jika tingkah laku seseorang semakin banyak diarahkan oleh empat keadaan luhur ini,
batin akan memendam semakin sedikit sakit hati, tekanan dan ketersinggungan; gema-gema yang
seringkali secara halus menyusup masuk pada saat meditasi, membentuk yang disebut “belenggu
kegelisahan”. Kehidupan dan pikiran kita sehari-hari memiliki pengaruh yang kuat terhadap
batin saat meditasi; hanya apabila celah diantara keduanya disempitkan secara terus menerus
barulah ada kesempatan untuk kemajuan meditasi yang mantap dan pencapaian tujuan tertinggi
dari latihan kita.
Pengembangan meditatif dari keadaan batin yang luhur ini dapat dibantu dengan refleksi yang
berulang-ulang terhadap kualitas-kualitas keadaan luhur tersebut, manfaat yang ditawarkan oleh
keadaan luhur dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sifat-sifat yang bertentangan dengan
keadaan luhur tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Buddha, “Apa yang seseorang pikirkan dan
refleksikan selama jangka waktu yang panjang, ke sanalah batinnya akan condong dan
mengarah.”
Kutipan mengenai Empat Keadaan Luhur dari Wejangan Sang Buddha
I. Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang
terisi cinta kasih, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah,
dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di seluruh dunia
secara merata, hatinya yang terisi cinta kasih, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur,
bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan.
II. Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati yang
terisi welas asih, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke atas, bawah,
dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di seluruh dunia
secara merata, hatinya yang terisi welas asih, yang melimpah, tumbuh berkembang, tak terukur,
bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan.
III. Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati
yang terisi turut berbahagia, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke
atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di
seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi turut berbahagia, yang melimpah, tumbuh
berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan. Kutipan mengenai
Empat Keadaan Luhur dari Wejangan Sang Buddha
IV. Dengan ini, para bhikkhu, seorang siswa berdiam memancarkan ke satu arah dengan hati
yang terisi keseimbangan batin, demikian pula ke arah yang kedua, ketiga, dan keempat; juga ke
atas, bawah, dan sekeliling; ia berdiam memancarkan dan menyebarluaskan di mana-mana di
seluruh dunia secara merata, hatinya yang terisi dengan keseimbangan batin, yang melimpah,
tumbuh berkembang, tak terukur, bebas dari permusuhan dan bebas dari kesedihan. – Digha
Nikaya 13.
4.Prasasti Asoka
Prasasti Asoka adalah prasasti buddhisme yang sangat terkenal karena mencerminkan sikap
Agama Buddha yang mengajarkan kerukunan serta toleransi antar-umat beragama. Prasasti
Asoka ditulis oleh Raja Asoka, seorang raja penganut buddhisme yang memimpin sebuah negara
di daerah Asia Selatan pada sekitar 400-an SM.
Isi prasasti yang sangat terkenal tersebut adalah:
“Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa suatu
dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu.
Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang di samping
menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah merugikan agama
kita sendiri, di samping merugikan agama orang lain.
Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang lain,
semata-mata karena didorong oleh rasa bakti pada agamanya sendiri dengan berpikir; bagaimana
aku dapat memuliakan agamaku sendiri. Dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan
agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan dengan pengertian bahwa
semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengar ajaran orang lain.”
Dari isi prasasti tersebut bisa kita renungi bahwa sebenarnya, dengan menghargai agama lain,
sesungguhnya kita sedang memuliakan agama kita sendiri; sebaliknya, menjelek-jelekan agama
lain dengan tujuan memuliakan agama kita sesungguhnya adalah bumerang. Dengan kata lain,
tindakan tersebut hanya akan membuat nama agama kita sendiri menjadi jelek. Hmmm…
mungkin karena itu agama-agama lain begitu senang berperang atas nama agama, menumpahkan
darah-darah manusia hanya demi pengakuan bahwa agama merekalah yang nomor satu. Berbeda
dengan buddhisme, jika ditilik sepanjang sejarah, tidak pernah ada darah yang ditumpahkan demi
kemuliaan Agama Buddha.
5.Saraniyadhamma Sutta
1. Nidana
Dibabarkan sang Buddha di Jetavana Arama milik Anathapindika di kota Savatthi kepada para
bhikkhu.Bervasa paling lama sehingga banyak terbentuk bhikkhu untuk itu memerlukan
persatuan dan kesatuan.

2. Saraniyadhamma adalah khotbah sang Buddha tentang 6 (enam) dhamma yang dapat
menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.
3. Hal-hal (lima hal) yang menunjang kerukunan, persatuan, dan kesatuan, yang merupakan
tujuan dari 6 (enam) dhamma, yaitu:
a) saling mengingat (saraniya)
b) saling mencintai (piyakarana)
c) saling menghormati (garukarana)
d) saling menolong (sanghaya)
e) saling menghindari percekcokan (avivadaya)

4. Enam dhamma tersebut terdiri dari :


a) cinta kasih dalam perbuatan
b) cinta kasih dalam ucapan
c) cinta kasih dalam pikiran
d) dana makanan yang telah diperoleh dengan benar, diterima sebagai milik bersama.
e) melaksanakan sila dengan baik
f) mempunyai pandangan yang sama
Demikianlah yang telah Ku dengar.
Pada waktu Sang Bhagavā berada di ārāma di Jetavana yang didirikan Anāthapiṇḍika di kota
Sāvatthī. Pada kesempatan itu Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu: “O, para Bhikkhu.”
Para bhikkhu datang menghadap. Sang Bhagavā bersabda:“O, para Bhikkhu, terdapat enam
Dhamma yang bertujuan agar kita saling mengingat, saling mencintai, saling menghormati,
saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan menunjang kerukunan, persatuan
dan kesatuan:

“O, para Bhikkhu, Bhikkhu di dalam Buddha Sāsana (Ajaran Buddha) ini memancarkan cinta
kasih dalam perbuatannya terhadap mereka yang menjalankan kesucian, baik di depan mau pun
di belakang mereka. Hal ini akan menunjang tujuan agar saling mengingat, saling mencintai,
saling menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan menunjang
kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, yaitu, Bhikkhu di dalam Buddha Sāsana ini memancarkan
cinta kasih dalam ucapan terhadap mereka yang menjalankan kesucian, baik di depan mau pun di
belakang mereka. Hal ini akan menunjang tujuan agar saling mengingat, saling mencintai, saling
menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan menunjang
kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, yaitu, Bhikkhu di dalam Buddha Sāsana ini memancarkan
cinta kasih dalam pikiran terhadap mereka yang menjalankan kesucian, baik di depan mau pun di
belakang mereka. Hal ini akan menunjang tujuan agar saling mengingat, saling mencintai, saling
menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan menunjang
kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, satu hal yang telah diperoleh dengan benar, dāna makanan
yang diperoleh dengan menerimanya di rumah perumah tangga atau di vihāra. Dāna makanan itu
diterima sebagai milik bersama, kemudian dibagikan pada sesama yang menjalankan sīla dan
kesucian. Hal ini akan menunjang tujuan agar saling mengingat, saling mencintai, saling
menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan menunjang
kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, yaitu, mereka yang sama dalam melaksanakan sīla dengan
sesama yang menjalankan kesucian, baik di depan maupun di belakang mereka, sebagai
pelaksana sīla yang tidak terputus- putus, tidak berlubang, tidak belang, tak ternoda di manapun,
yang mengatasi, yang dipuji para bijaksana, yang tak disertai dengan tanhā dan pandangan salah,
yang dilaksanakan demi pengembangan samādhi. Hal ini akan menunjang tujuan agar saling
mengingat, saling mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling menghindari
percekcokan yang akan menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, masih ada lagi, yaitu, mereka yang mempunyai kesamaan dalam pandangan
benar (sammāditthi) dengan sesama yang menjalankan kesucian, baik di depan maupun di
belakang mereka, yang luhur, yang menjadi pembimbing pelaksana ke pelenyapan dukkha secara
benar. Hal ini akan menunjang tujuan agar saling mengingat, saling mencintai, saling
menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan menunjang
kerukunan, persatuan dan kesatuan.

“O, para Bhikkhu, enam Dhamma ini akan menunjang tujuan agar saling mengingat, saling
mencintai, saling menghormati, saling menolong, saling menghindari percekcokan yang akan
menunjang kerukunan, persatuan dan kesatuan.”
Sesudah Sang Bhagavā selesai berkhotbah, para bhikkhu gembira dan bersenang hati.
6.Toleransi
Toleransi adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau
antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi menghindarkan
terjadinya diskriminasi sekalipun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam
suatu kelompok masyarakat.
Dalam Agama Budha tidak dikenal ajaran tentang paksaan apalagi untuk masuk agama dengan
paksa, agama ini mengajarkan sikap bagi orang yang membutuhkan Nirwana pasti akan datang
mencari dengan berpegang pada nilai dasar dalam Budha dan Dharma, karena itulah umat Budha
menjunjung tinggi sikap saling menghargai antar sesama umat beragama, saling bertoleransi dan
berdialog untuk mencapai satu tujuan sesungguhnya dari kehidupan ini.
Berdasarkan uraian dari Girirakkhito dan Corneles Wowor yang didasarkan dari ajaran yang
terkandung dalam kitab sucinya menunjukkan bahwa umat Budha secara tekstual maupun
pengakuan umatnya betul-betul terdapat ajaran toleransi antar umat beragama, bahkan lebih jauh
agama ini juga mengakui adanya kebenaran yang bersifat universal yang bisa terdapat dalam
ajaran agama lain. Hal ini sebagai pertanda memang toleransi dan kerukunan beragama bukan
hanya slogan saja tetapi memang merupakan suatu ajaran yang mendasar

6. Masyarakat
1.Definisi masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk
sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar interaksi adalah antara
individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari
kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan
hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang
interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah
masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan
kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan
kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian.
Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis,
masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat
peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai
kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan
kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
2. 4 sikap harmonis
Keharmonisan pada umumnya diharapkan semua orang, tak seorang pun yang tidak
menginginkannya. Untuk memunculkan sikap yang harmonis terkadang tidak mudah apalagi jika
bertemu dengan orang yang tidak disukai atau orang yang memiliki perbedaan dengan dirinya.

Yang membuat orang tidak bisa harmonis atau berkonflik dengan yang lain karena adanya nafsu
keinginan indera dan nafsu pada pandangan. Hal ini pernah ditanyakan oleh Brahmana
Aramadanda kepada Y.M. Mahakaccana seperti yang terurai dalam Aṅguttara Nikāya kelompok
dua (dukanipata).

Nafsu keinginan pada indera penyebab yang pertama, mengingat setiap orang memiliki panca
indera yang tampak dari luar. Jika panca indera bertemu dengan apa yang tidak disukai, maka
akan timbul konflik. Mata melihat hal yang tidak disukai, timbullah konflik. Telinga mendengar
suara yang tidak disukai, timbul konflik. Lidah merasakan rasa tidak enak, timbul konflik.
Hidung mencium aroma tidak enak, timbul konflik. Jika panca indera kita belum bisa terkendali,
maka akan banyak masalah yang membuat tidak harmonis. Tetapi jika panca indera ini mulai
bisa menerima perbedaan atau sesuatu dengan apa adanya, maka tidak akan ada konflik,
sehingga hidup harmonis bisa diperoleh, karena setiap keinginan manusia terkadang tidak sesuai
dengan kenyataan. Inilah penyebab pertama yang membuat kita tidak harmonis.

Penyebab yang kedua adalah adanya nafsu pada pandangan. Pandangan atau cara pikir ini
terletak di dalam pikiran kita. Ketika pandangan kita tidak sama dengan orang lain biasanya
membuat kita berkonflik sehingga tidak harmonis. Beda pendapat dengan orang lain, kita
menjadi tidak suka dengan orang itu. Malah yang lebih parah lagi, jika kita mengharapkan orang
lain sama dengan diri kita. Ini justru tidak mungkin. Ada salah satu pernyataan ”kita tidak bisa
mengubah dunia, yang bisa kita lakukan yang pertama adalah mengubah diri sendiri”. Tetapi jika
kita siap menerima cara pikir atau pandangan orang lain, maka tidak akan ada konflik, yang ada
keharmonisan satu sama lainnya.
Ada empat hal yang membawa menuju pada suasana persahabatan atau keharmonisan, empat hal
ini bisa kita kembangkan dalam diri kita. Ini dalam bahasa Pāli disebut Saṅghavatthu.
1. Dāna (membagi apa saja yang kita miliki)
Yang pertama agar suasana harmonis bisa kita dapatkan adalah dengan membagi apa saja yang
kita miliki tidak harus materi, tetapi dapat berupa perhatian, nasehat, dan masih banyak lagi.
Kalau kita sering membagi apa yang kita miliki, selain menambah jasa kebajikan juga
memunculkan keharmonisan, karena dengan memberi kepada orang lain tentu orang lain akan
senang terhadap diri kita. Memberi maaf kepada orang lain termasuk juga dana yang bisa kita
lakukan, tetapi jarang sekali orang mau memberi maaf kepada orang lain. Padahal pemberian
maaf tidak usah keluar banyak tenaga maupun materi. Perlu diingat bahwa memberi adalah
kekuatan yang tidak menghancurkan yang lain dan juga tidak merugikan orang.
2. Piyavācā (berbicara yang menyenangkan)
Dalam pergaulan berbicara sangat berpengaruh. Jika kita ingin menciptakan suasana yang
harmonis, seyogyanya perlu berhati-hati dalam berbicara. Jangan terlalu menjilat atau terlalu
kasar. Hindarkan kata-kata yang menyakitkan, hindarkan kata-kata yang mengandung
keserakahan seperti membicarakan harta kekayaan milik sendiri pada orang lain. Hindarkan juga
kata-kata yang mengandung unsur keakuan. Tetapi jika kita berbicara yang menyenangkan dan
apa adanya serta tidak menyinggung orang lain, tentu suasana keharmonisan atau persahabatan
dapat diperoleh.
3. Atthacariyā (melakukan hal-hal yang berguna pada orang lain)
Dalam menjalin hubungan yang harmonis hendaknya kita melakukan hal-hal yang berguna pada
orang lain. Seperti membantu orang lain yang dalam kesulitan, membantu mengarahkan orang
lain menuju kebaikan. Karena dengan ringan tangan banyak orang yang simpati terhadap kita.
Sehingga menjadi harmonis antara orang satu dengan yang lainnya.
4. Samānattatā (Ketenangan batin dan tanpa kesombongan)
Dengan memiliki ketenangan batin tentu banyak orang yang senang dengan diri kita. Orang akan
yakin terhadap sikap kita. Apalagi jika tidak sombong terhadap siapa pun, hal ini akan membuat
kita selalu terkenang. Dengan demikian suasana keharmonisan mudah kita dapatkan.
Inilah empat hal yang membawa menuju suasana penuh dengan keharmonisan, baik dalam
keluarga, pergaulan, maupun dalam sosial kemasyarakatan.
3.Konsep Dharmawijaya
Kerajaan Kalinga ditaklukkan oleh Raja Asoka sendiri setelah pertempuran berdarah pada tahun
262 SM. Setelah menyaksikan penghancuran kehidupan serta penderitaan yang tak tertahankan
dalam perang Kalinga pada tahun ke-8 pemerintahannya, Raja Asoka mendapat pengaruh yang
baik dari Saṅgha dan menjadi orang yang sama sekali berbeda. Beliau menggantungkan
pedangnya yang tidak pernah dicabutnya kembali dan memberitakan perhatian yang penuh pada
kehidupan yang berdasarkan moral dan spiritual yang disebut Dharma Wijaya.
4.Konsep Karaniya Metta
Karaniya Metta Sutta merupakan Sutta yang menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan
kepada semua makhluk. Sutta ini pertama sekali di ucapkan langsung oleh Sang Buddha kepada
lima ratus orang murid-Nya yang diganggu oleh makhluk yang menyeramkan sewaktu mereka
diperintahkan oleh Sang Buddha untuk melatih diri di hutan. Untuk membantu para siswa-Nya,
Sang Buddha kemudian mengucapkan syair yang kemudian kita kenal dengan Karaniya Metta
Sutta. Setelah Beliau mengucapkan syair ini, Beliau berkata
“Bhikkhu, bacakanlah Karaniya Metta Sutta ini, ketika kamu hendak masuk ke dalam hutan, dan
ketika hendak memasuki tempat meditasi”. Dengan bekal Karaniya Metta Sutta ini, siswa Sang
Buddha kemudian kembali ke hutan yang menjadi tempat melatih diri mereka. Sejak itu, mereka
tidak lagi dilihati / diganggu makhluk yang menyeramkan. Syair Karaniya Metta Sutta :
” Inilah yang harus dilaksanakan oleh mereka yang tekun dalam kebaikan. Dan telah mencapai
ketenangan bathin. Ia harus pandai, jujur, sangat jujur. Rendah hati, lemah lembut, tiada
sombong. Merasa puas, mudah dirawat Tiada sibuk, sederhana hidupnya Tenang indrianya,
selalu waspada Tahu malu, tidak melekat pada keluarga.Tak berbuat kesalahan walaupun kecil
yang dapat dicela oleh para Bijaksana. Hendaklah ia selalu berpikir: “Semoga semua makhluk
sejahtera dan damai, semoga semua makhluk berbahagia”
Makhluk apapun juga Baik yang lemah atau yang kuat tanpa kecuali Yang panjang atau yang
besar yang sedang, pendek, kurus atau gemuk
Yang terlihat atau tidak terlihat Yang jauh maupun yang dekat Yang telah terlahir atau yang akan
dilahirkan Semoga semuanya berbahagia
Jangan menipu orang lain Atau menghina siapa saja, Janganlah karena marah dan benci
Mengharapkan orang lain mendapat celaka
Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan nyawanya Untuk melindungi anaknya yang tunggal
Demikianlah terhadap semua makhluk Dipancarkannya pikiran kasih sayang tanpa batas
Hendaknya pikiran kasih sayang Dipancarkannya ke seluruh penjuru alam, ke atas, ke bawah,
dan ke sekeliling Tanpa rintangan, tanpa benci, atau permusuhan
Sewaktu berdiri, berjalan, atau duduk Atau berbaring sesaat sebelum tidur Ia tekun
mengembangkan kesadaran ini Yang dinamakan “Kediaman Brahma”
Tidak berpegang pada pandangan yang salah Tekun dalam sila dan memiliki kebijaksanaan,
Hingga bathinnya bersih dari segala nafsu indria Maka ia tak akan lahir lagi dalam rahim
manapun juga”.
5.Susunan Masyarakat Buddhis
Dalam susunan masyarakat Buddhis terdiri atas kelompok (parisa) yaitu; kelompok masyarakat
kevihāraan/Pabbajita (bhikkhu-bhikkhuni) dan kelompok masyarakat awam/Gharavasa
(perumah-tangga). Perbedaan ini didasarkan pada kedudukan sosial mereka masing-masing dan
bukan berarti semacam kasta. Agama Buddha tidak menghendaki adanya kasta dalam
masyarakat.
i.Masyarakat awam dan viharawan
Upāsaka dan upāsika adalah umat Buddha laki-laki dan perempuan yang menjalankan kehidupan
keduniawian.
Syarat menjadi Upasaka-Upasika;
1. Visudhi secara formal
Seseorang yang ingin menjadi Upasaka-Upasika haruslah datang ke vihara mempelajari ajaran
Buddha. Setelah mengerti Dhamma lalu mendaftarkan diri untuk di visudhi oleh
bhikkhu/pandita. Pada hari yang disepakati calon Upasaka-Upasika datang ke vihara untuk
menerima Tisarana (Tiga Perlindungan). Bhikkhu/Pandita memberikan tekad 5 sila untuk di
jalankan agar mendapatkan kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan sejati. Setelah itu
Bhikkhu/Pandita memberikan pemberkahan serta nama buddhis. Sejak saat itu Upasaka dan
Upasika baru mulai mempraktikkan 5-8 sila setiap harinya.
2. Visudhi secara alamiah
Sesungguhnya apabila seseorang laki-laki maupun wanita mengerti dengan benar tentang
Tiratana dan mereka mempraktikkan 5-8 sila. Ia sebenarnya telah menjadi Upasaka-Upasika.
Pandita memiliki 2 pengertian:
1. Pandita dalam bahasa Pali adalah ‘Orang Bijaksana yang biasanya disebut Pandit
2. Pandita dalam pengertian, orang yang dilantik dalam organisasi Buddhis sebagai pemimpin
agama Buddha dalam hal umat perumah tangga. Pandita dalam agama Buddha disebut Upasaka
& Upasika. Sebutan untuk Pandita laki-laki ialah Romo yang artinya Bapak. Sebutan untuk
Pandita wanita ialah Ramani yang artinya Ibu.
Pandita dalam organisasi Buddhis terdiri dari 2 jenis yaitu: Pandita yang bertugas memimpin
upacara dalam agama Buddha disebut Pandita Lokapalasraya dan Pandita yang memberikan
wejangan Dhamma disebut Pandita Dhammaduta.
Pandita dalam organisasi Buddhis terdiri dari 3 tingkatan yaitu:
a. Pandita Muda (PMd) yaitu Navaka Pandita
b. Pandita Menengah (PMy) yaitu Pandita Madya
c. Pandita Tinggi (Pdt) yaitu Maha Pandita
Samanera dan Samaneri ialah anak pertapa. Akar katanya Samana dan Nera. Samana berarti
pertapa dan nera ialah putra. Samanera artinya Anak pertapa. Samanera (laki-laki) dan Samaneri
(wanita). Samanera di zaman Buddha Gotama ialah Pangeran Rahula yang merupakan anak dari
Pangeran Siddharta putri Yasodhara.
Syarat-syarat menjadi Samanera dan Samaneri
1. Mencukur rambut, alis, kumis, dan jenggot
2. Memiliki jubah, mangkuk dan wali/sponsor
3. Duduk bertumpu lutut dan beranjali mengucapkan Tisarana
4. Tidak memiliki hutang atau dalam penyelesaian masalah
5. Memiliki izin dari orang tua atau wali
6. Tidak cacat mental/tubuh
Bhikkhu dan bhikkhuni adalah umat Buddha yang melatih diri menjalankan kehidupan suci yang
ditunjukkan Buddha untuk mengakhiri penderitaan. Mereka sering disebut sebagai umat Buddha
pabbajitā (yang meninggalkan kehidupan berumah tangga).
Syarat-syarat menjadi bhikkhu/penahbisan bhikkhu
1. Melalui upacara pentahbisan atau penerimaan seseorang menjadi bhikkhu yang disebut
Upsampada. Ada 3 macam upasampada yaitu:
i. Ehi Bhikkhu Upasampada
Upasampada ini dilakukan oleh Sang Buddha langsung dengan cara memanggil calon bhikkhu
dengan sebutan ‘Ehi Bhikkhu’ yang artinya “Kemarilah Bhikkhu”. Dalam Vinaya Pitaka I.12
lengkapnya berbunyi: “Ehi Bhikkhu, svakkhato dhammo cara brahmacariyam samma ukkhassa
antakiriyaya’ti artinya: Marilah bhikkhu, Dhamma telah diajarkan dengan sempurna jalanilah
cara hidup suci untuk mengakhiri seluruh dukkha.
ii. Tisaranagamana Upasampada
Cara ini dipakai oleh murid-murid Sang Buddha sebagai penahbis (upajjhaya) untuk
menahbiskan calon bhikkhu. Calon bhikkhu mengulang ucapan kata-kata tersebut: “Kepada
Buddha, Dhamma, dan Sangha sebagai pelindungku, aku pergi berlindung (Vinaya Pitaka I.21).
Upasampada ini sekarang dilakukan untuk menahbiskan seseorang menjadi samanera.
iii. Ñatticattutthakamma Upasampada
Sang Buddha telah berhenti melakukan pentahbisan dan para bhikkhu pribadipun telah berhenti
melakukan pentahbisan. Lalu Sang Buddha memberikan izin atau wewenang kepada Sangha
untuk mentahbiskan seseorang menjadi seorang bhikkhu dengan ketentuan:
*Calon bhikkhu berumur lebih dari 20 tahun, tidak cacat fisik dan mental, tidak dalam proses
pengadilan atau hutang piutang.
*Sangha yang mentahbis minimal 4 orang bhikkhu Thera (Cattuvagga) atau pun dapat lebih dari
4 orang, antara lain: 10 bhikkhu Thera (Dasa Vagga), 5 Thera (Panca Vagga), dan 20 orang
Thera (Visati Vagga).
*Ditahbis di dalam garis Sima (batas-batas yang telah ditentukan).
*Seorang guru (Acariya) mengusulkan calon bhikkhu agar ditahbiskan kemudian menyusul 3X
pertanyaan yang menerangkan dan mempertahankan usul pertama, diajukan kepada Sangha
untuk disetujui.
*Setelah disetujui oleh para bhikkhu peserta, penahbisan baru dapat dilaksanakan.
Empat syarat yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan upasampada yang dilakukan oleh Sangha:
1. Kesempurnaan Materi (Vatthu Sampatti)
2. Kesempurnaan Pesamuan (Parissa Sampatti)
3. Kesempurnaan Batas (Sima Sampatti)
4. Kesempurnaan Pernyataan (Kammavaca Sampatti)

Tingkatan dalam kebhikkhuan


1. Navaka Bhikkhu (1-6 tahun umur kebhikkhuan)
2. Majjhima Bhikkhu (6-9 tahun umur kebhikkhuan)
3. Thera (10 tahun lebih umur kebhikkhuan)
Di zaman Buddha, untuk sebutan Thera merupakan sebutan untuk siswa-siswa Buddha, yang
telah meraih kesucian tertinggi yaitu Arahat. Karena kata Da Thera berarti “Sesepuh.”
ii.Kemoralan masyarakat awam dan masyarakat viharawan
Sila bagi para umat awam, yaitu Panca Sila atau Atthanga Sila (pada waktu-waktu tertentu).
Panca Sila terdiri dari 5 Sila dan Atthanga Sila terdiri dari 8 Sila yang dilakukan setiap hari atau
pada saat-saat dan hari-hari tertentu.
Sila bagi para samanera dan samaneri, yaitu Dasa Sila yang terdiri dari 10 Sila.
Semua tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu. Bhikkhu Sila ada 227,
yaitu Patimokkha Sila. Para bhikkhu menjalankan/mempraktikkan Patimokkha setiap harinya,
yaitu: Parajika 4, Sanghadisesa 13, Aniyata 2, Nissagiya Pacittiya 30, Suddhika Paccittiya 92,
Patidesaniya 4, Sekhiyavatta 75, Adhikarana Samatha 7.
Semua tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhuni. Bikkhuni Sila ada
311, yaitu Patimokkha Sila untuk Bhikkhuni.
iii.Hubungan umat awam dan umat viharawan
Hubungan antara Bhikkhu dengan umat awam merupakan hubungan yang bersifat moral religius
semata-mata dan bersifat timbal balik sebagaimana dijelaskan Sang Buddha Gautama dalam
Sigalovada Sutta :
"Umat awam hendaknya menghormati Bhikkhu dengan : membantu dan memberlakukan mereka
dengan perbuatan , kata-kata dan pikiran baik, membiarkan pintu terbuka bagi mereka dan
memberikan makanan serta keperluan yang sesuai dengan mereka.
Sebaliknya para Bhikkhu yang mendapat penghormatan demikian mempunyai kewajiban
terhadap umat awam , yaitu : melindungi dan mencegah seseorang dari perbuatan jahat, memberi
petunjuk untuk melakukan perbuatan baik, mencintai mereka dengan hati yang tulus,
menerangkan ajaran yang belum didengar atau diketahui, menjelaskan apa yang belum
dimengerti, dan menunjukkan Jalan untuk menuju pembebasan".
Dengan demikian, para Bhikkhu yang benar-benar menjalankan Dhamma Vinaya adalah sahabat
yang baik (Kalyana Mitta), yang sepatutnya mendapat pelayanan dan penghormatan yang layak
dari umat awam.
Keberadaan dan perkembangan Buddha Sasana tergantung pada hubungan antar dua kelompok
ini. Tetapi, Sangha memegang tanggung jawab langsung atas Sasana atau sistem Buddhis. Umat
awam menopang Sangha agar Buddha Sasana tetap berjalan. Pendekatan Buddha Sasana
memiliki tiga unsur:
1.pariyatti (pelajaran tentang doktrin Buddhis)
2.patipatti (praktik Dhamma dalam kehidupan sehari-hari)
3.pativedha (penembusan, yang menunjukkan perwujudan dan Empat Kebenaran Mulia seperti
yang diterangkan oleh Sang Buddha. Anggota Sangha sepanjang hidupnya harus mengerahkan
diri dalam praktik untuk menerapkan, mengajarkan, mengkotbahkan, dan menyebarkan ajaran
Sang Buddha).
Ini menjelaskan bahwa Sangha harus mengkhususkan diri terutama dalam belajar, mengajar,
berkotbah dan menjabarkan Buddha Dharma.
Umat awam tidak pernah lalai memenuhi tugas-tugas mereka terhadap para bhikkhu, seperti
nasehat Sang Buddha dalam Sigalovada sutta:
"Seorang anggota keluarga (umat awam) harus melakukan kewajibannya terhadap para pertapa
dan brahmana sebagai arah atas (zenith) dalam lima cara:
 dengan tindakan penuh welas asih;
 dengan kata-kata penuh welas asih;
 dengan pikiran penuh welas asih;
 dengan membuka pintu rumah bagi mereka;
 dengan memberikan kebutuhan/bantuan kepada mereka.
Karena diperlakukan sebagai arah atas, para pertapa dan brahmana menunjukkan cinta kasih
mereka kepada para anggota keluarga umat dalam 6 cara:
 mencegah mereka dari berbuat kejahatan;
 menasehati mereka untuk berbuat kebajikan;
 mencintai mereka dengan pikiran yang baik;
 mengajarkan apa yang belum mereka ketahui;
 membetulkan dan meningkatkan apa yang telah mereka pelajari;
 menunjukkan pada mereka jalan ke surga.
Dengan cara ini zenith terlindungi dan dijadikan aman serta mantap baginya".
iv.Masalah otoritas tertinggi dalam agama Buddha
Dalam kerangka ajaran Sang Buddha Gautama, sejauh berhubungan dengan pembebasan dari
derita, tidak dikenal adanya "lembaga pemegang otoritas tertinggi".
Hal ini dapat dibuktikan dalam sabda Sang Buddha Gautama yang terdapat dalam Kalama Sutta
dan Maha Parinibbana Sutta.
Hubungan yang wajar dan sepatutnya antara umat awam dengan para Bhikkhu telah digariskan
dengan jelas oleh Sang Buddha Gautama dalam Sigalovada Sutta:
"Jangan engkau menerima segala sesuatu hanya karena itu berdasarkan atas laporan, tradisi,
kabar angin, tertulis di dalam kitab-kitab suci ... atau hanya karena hormat terhadap guru
(pandita). Akan tetapi, bilamana engkau ketahui sendiri... "hal-hal ini tidak baik, tercela, tidak
dibenarkan oleh para bijaksana, tidak sesuai untuk dilaksanakan, menimbulkan kerugian dan
penderitaan, maka engkau harus meninggalkannya ... bilamana engkau ketahui sendiri ... "hal-hal
ini baik, tidak tercela, dipuji oleh para bijaksana, sesuai untuk dilaksanakan, membawa pada
kesejahteraan dan kebahagiaan, maka terimalah hal-hal itu dan laksanakanlah dalam hidupmu".
~Anguttara Nikaya I, 189.
Dalam Maha Parinibbana Sutta (Digha Nikaya 16) antara lain dikatakan "apa yang telah
Kutunjukkan dan Kuajarkan (Dhamma Vinaya) inilah yang akan menjadi gurumu setelah Aku
tiada".

7. Budaya
1.Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang
dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya
seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Tiongkok. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali
anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia
makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah
yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang
dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
2.Budaya sebagai hasil berfikir positif
i.Mekanisme pikiran (mind) menurut ajaran yoga
Buddha mendefinisikan realitas dalam hal pikiran dan sering merujuk kepada kebenaran hakiki
sebagai Satu Pikiran atau sifat asli dari pikiran. Dalam pikiran Yoga (manas) dianggap sebagai
instrumen kesadaran yang Diri. Ini berbicara tentang Pribadi Satu dan banyak pikiran yang
kendaraan. Karena pikiran bukan merupakan prinsip ultimate tetapi aspek penciptaan.
Jika kita memeriksa pikiran dan Self istilah dalam dua tradisi tampak bahwa apa yang Yoga
mengkritik sebagai lampiran untuk pikiran dan ego jauh seperti kritik Buddha lampiran dengan
diri, sementara apa Vedanta panggilan Diri Agung mirip dengan Buddha gagasan sifat asli atau
Satu Pikiran Mind. Diri adalah, realitas belum lahir uncreate mirip dengan apa yang Buddhisme
mengacu sebagai aspek transenden of Mind. Pikiran yang tercerahkan yang berdiam di dalam
jantung Buddha (Bodhicitta) menyerupai Diri Agung (Paramatman) yang juga berdiam di dalam
hati. Namun kesamaan ini samping, formulasi dan metodologi dari dua sistem dalam hal ini
dapat sangat berbeda India. Klasik Buddha teks tidak membuat korelasi tersebut baik, tetapi
bersikeras bahwa Diri Vedanta berbeda dari Pikiran Salah satu Buddha.
ii.Sifat dualistis pikiran: advaya (advaita)
Buddha mendefinisikan realitas dalam hal pikiran dan sering merujuk kepada kebenaran hakiki
sebagai Satu Pikiran atau sifat asli dari pikiran. Dalam pikiran Yoga (manas) dianggap sebagai
instrumen kesadaran yang Diri. Ini berbicara tentang Pribadi Satu dan banyak pikiran yang
kendaraan. Karena pikiran bukan merupakan prinsip ultimate tetapi aspek penciptaan.
Jika kita memeriksa pikiran dan Self istilah dalam dua tradisi tampak bahwa apa yang Yoga
mengkritik sebagai lampiran untuk pikiran dan ego jauh seperti kritik Buddha lampiran dengan
diri, sementara apa Vedanta panggilan Diri Agung mirip dengan Buddha gagasan sifat asli atau
Satu Pikiran Mind. Diri adalah, realitas belum lahir uncreate mirip dengan apa yang Buddhisme
mengacu sebagai aspek transenden of Mind. Pikiran yang tercerahkan yang berdiam di dalam
jantung Buddha (Bodhicitta) menyerupai Diri Agung (Paramatman) yang juga berdiam di dalam
hati. Namun kesamaan ini samping, formulasi dan metodologi dari dua sistem dalam hal ini
dapat sangat berbeda India. Klasik Buddha teks tidak membuat korelasi tersebut baik, tetapi
bersikeras bahwa Diri Vedanta berbeda dari Pikiran Salah satu Buddha.

Vedanta mendefinisikan mutlak sebagai prinsip metafisik Menjadi-Kesadaran-Bliss, atau


Brahman di mana ada damai yang sempurna dan pembebasan. Buddha tidak mengakui Absolute,
yang non-dual dan melampaui semua kelahiran dan kematian. Namun Buddhisme umumnya
tidak mengizinkan hal itu definisi apa pun dan menganggapnya sebagai kekosongan. Kadang-
kadang disebut Dharmakaya atau tubuh dharma, meskipun teks-teks Sansekerta Buddhis tidak
pernah menyebutnya Brahman.
Buddhisme umumnya menolak Self (Atma atau Purusha) dari Yoga-Vedanta dan menekankan
Self-non (anatman). Ia mengatakan bahwa tidak ada diri pada apa pun dan oleh karena itu bahwa
diri sendiri hanyalah fiksi pikiran. Apa pun yang kita tunjukkan sebagai Diri, negara Buddhis,
hanya beberapa kesan, pikiran atau perasaan, tetapi tidak ada entitas homogen seperti seperti Diri
dapat ditemukan di mana saja. Buddhisme telah cenderung benjolan Diri dari Vedanta sebagai
bentuk lain dari ego atau kesalahpahaman bahwa ada suatu Diri.
The-Vedanta menekankan tradisi Yoga Self-realisasi atau perwujudan sifat sejati kita. Ini
menyatakan bahwa diri sendiri tidak ada dalam apa pun eksternal. Jika kita tidak dapat
menemukan diri dalam sesuatu itu tak heran, karena jika kita tidak menemukan diri dalam
sesuatu itu tidak akan menjadi diri tapi itu hal tertentu. Kita tidak bisa menunjukkan apa-apa
sebagai Diri karena Diri adalah orang yang poin segala sesuatu keluar. Diri yang melampaui
pikiran-tubuh yang kompleks, tapi ini tidak berarti bahwa itu tidak ada. Tanpa Diri kita tidak
akan ada. Kami bahkan tidak akan dapat mengajukan pertanyaan.
Yoga-Vedanta membedakan antara Diri (Atman), yang adalah sifat sejati kita sebagai kesadaran,
dan ego (umumnya disebut Ahamkara), yang merupakan identifikasi palsu alam sejati kita
dengan pikiran-tubuh yang kompleks. The Atman dari Vedanta tidak ego tetapi kesadaran
tercerahkan yang melampaui waktu dan ruang.
Namun sejumlah tradisi Buddhis, khususnya tradisi di luar India, seperti Chan dan tradisi Zen
dari Cina, telah menggunakan istilah seperti Self-pikiran, asli alam satu, sifat asli kesadaran atau
asli wajah satu, yang mirip dengan Diri dari Vedanta.
Advaya, non-dualitas kebenaran yang lazim dan pokok dalam Madhyamaka Buddhisme. Dalam
Buddhis Madhyamaka, advaya berarti bahwa tidak ada yang mutlak, yang melampaui realitas di
luar realitas kita sehari-hari, dan ketika sesuatu itu ada, mereka pada akhirnya "kosong" dari
keberadaan apapun pada mereka sendiri. Dalam Yogacara, advaya mengacu pada gagasan
kesadaran nondualisme dan apa yang disadari
Advaita, yang menyatakan bahwa semua alam semesta adalah satu realitas penting, dan bahwa
semua segi dan aspek alam semesta yang pada akhirnya ekspresi atau penampilan yang satu
realitas. Ini merupakan pendekatan ontologis untuk nondualisme, dan menegaskan bukanlah
perbedaan antara Atman (jiwa) dan Brahman (Mutlak). Gagasan ini paling dikenal dari Advaita
Vedanta, tetapi juga ditemukan dalam tradisi Hindu lainnya seperti Kashmir Shaivism, guru
populer seperti Ramana Maharshi dan Nisargadatta Maharaj;
"Kesadaran yang non dualisme", non-dualitas subjek dan objek; ini dapat ditemukan dalam
spiritualitas modern.
“Ketika murid-muridnya bertanya lebih lanjut, Sutasoma menjawab jenis yoga yang dilakukan
oleh aliran Siva dan yang terdiri atas enam tahap. Namun praktek itu ada bahaya bahwa
seseorang mungkin terjerat dalam kedelapan sifat kesaktian yang diperoleh lewat yoga itu, sama
seperti seseorang terbelenggu oleh panca indra dalam tahap sebelumnya. Jika bahaya itu dapat
dihindari, maka ini merupakan salah satu jalan yang menuju ketujuan yang tertinggi ialah
kekosongan (sùnyarùpa). Jalan yang lebih pendek lagi aman ialah advàyayoga (yoga yang tidak
dualistis) seperti yang dilakukan oleh para pengikut Buddhisme Mahàyana. Yang menjadi tujuan
mereka ialah Buddha tertinggi (paramàrtha Buddha) dan berakar pada advàya (keadaan yang tak
dualistis) dan Prajnaparamita (pengetahuan yang tak berganda). Orang harus tahu kedua jalan itu.
Baik seorang pertapa yang mengikuti Buddha maupun seorang pertapa yang menyembah Siva
dapat dipersalahkan, bila ia tidak maklum akan cara pihak lain memahami Yang mutlak, yakni
sebagai Sivatwa (ke-Siva-an, hakekat Siva) dan Buddhatwa (ke-buddha-an, hakekat Buddha)
masing-masing.
iii.Yoga adalah padamnya pikiran
Dalam hal kesadaran, digambarkan bahwa samadhi menekankan non-dualistik, di mana
kesadaran subjek menjadi satu dengan objek yang dialami atau yang ada di luarnya, dan di saat
ini juga pikiran menjadi diam, terfokus pada satu hal atau terkonsentrasi sementara orang tetap
sadar. Sedangkan dalam ajaran Buddha . Hal ini dapat juga merujuk keadaan patuh di mana
pikiran menjadi sangat tenang dan sama sekali tidak menyatu dengan objek perhatian, dengan
demikian dapat diperoleh wawasan dan aliran perubahan mengenai pengalaman.
Ajaran Buddha mengatakan jika seseorang mengalami peningkatan dalam melakukan samadhi
jiwa dan pikirannya akan bersih dari segala noda, lebih tenang, damai, dan bercahaya. Selain itu,
jika sang meditator memiliki daya konsentrasi yang kuat maka batinnya telah siap untuk melihat
kebenaran sejati dari seisi dunia.
Hanya saja, di dalam ajaran Budha kebahagiaan dunia bukanlah tujuan utama dalam melakukan
Samadhi, tetapi tetap saja hal itu merupakan alat untuk memperoleh pencerahan. Seiring
berkembangnya ilmu mengenai samadhi, aliran Budha mulai membuka berbagai macam
meditasi samadhi yang berbeda-beda demi mencapai derajat ketenangan batin dibandingkan
memperoleh pengetahuan sejati. Meski demikian perkembangan ajaran samadhi yang dibawakan
oleh tiap-tiap aliran tidak melenceng dari Empat Pondasi Kedamaian ajaran Budha yang disebut
dengan Jhana.
3.Pertemuan kebudayaan india-Jawa
Pada mulanya hubungan antara Indonesia dengan India dalam bentuk hubungan dagang.
Hubungan ini kemudian berkembang menjadi hubungan agama dan budaya. Proses masuknya
pengaruh budaya India ke Indonesia tidaklah berasal dari satu tempat atau daerah di Indonesia.
Kita tidak mengetahui secara pasti agama mana yang mula-mula datang ke Indonesia. Tetapi
pada masa sekitar permulaan tarikh masehi di Indonesia telah dikenal agama Hindu dan Budha.
Pada mulanya agama Hindu yang berkembang dan mempunyai banyak pengikut di Indonesia.
Sebenarnya agama Budha juga sudah masuk namun belum berkembang. Hal ini terbukti dari
agama yang dipeluk oleh raja Mulawarman dari Kutai dan raja Purnawarman dari Tarumanegara,
yakni agama Hindu.
Seorang pengembara Cina bernama Fa-shien menyebutkan bahwa agama Budha di Ye-po-ti
(Pulau Jawa) tidak banyak. Pada tahun 414 Masehi, Fa-shien datang ke Pulau Jawa karena
perahu yang ditumpanginya dari India mengalami kerusakan. Ia kemudian tinggal menetap untuk
beberapa waktu di Indonesia. Dia mempelajari kehidupan bangsa Indonesia ketika itu dan
mencatatnya. Disebutkannya bahwa kehidupan pemeluk agama Hindu dan Budha telah dapat
hidup berdampingan secara damai. Setelah hidup berdampingan selama berabad-abad terjadilah
sinkretisme (perpaduan) antara kedua agama tersebut. Hasil sinkretisme ini kemudian
menumbuhkan suatu aliran baru yang disebut Siwa-Budha. Agama ini berkembang pesat pada
abad ke-13 Masehi. Penganut aliran agama ini, antara lain raja Kertanegara dan Adityawarman.
Meskipun unsur budaya India mempengaruhi budaya Indonesia, tetapi budaya Indonesia tidak
kehilangan kepribadiannya. Dalam perkembangannya, pengaruh itu mewujudkan budaya
Indonesia baru yang coraknya masih terlihat sampai sekarang.
Orang India menyebarkan kebudayaannya melalui hasil karya sastra, yang berbahasa Sansekerta
dan Tamil yang berkembang di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Pada abad 1-5 M di Indonesia muncul pusat-pusat perdagangan terutama pada daerah yang dekat
dengan jalur perdagangan tersebut. Awalnya hanya sebagai tempat persinggahan tetapi akhirnya
orang Indonesia ikut dalam kegiatan perdagangan sehingga Indonesia menjadi pusat pertemuan
antar para pedagang, termasuk pedagang India.
Hal ini menyebabkan masuknya pengaruh budaya India pada berbagai sektor kehidupan
masyarakat Indonesia. Terlihat dengan masyarakat Indonesia yang akhirnya memeluk agama
Hindu-Budha serta berdirinya kerajaan-kerajaan di Indonesia yang mendapat pengaruh India
seperti Kutai, Tarumanegara, dsb.
Transfer kebudayaan India merupakan tahapan terakhir dari masa budaya pra sejarah setelah
tahun 500 SM. Penyebarannya melalui proses perdagangan, yaitu jalur maritim melalui kawasan
Malaka. Jalur perdagangan antar bangsa tersebut kemudian lebih dikenal dengan jalur Sutera.
Bukti arkeologisnya ditemukan manik-manik berbahan kaca dan serpihan-serpihan kaca yang
bertuliskan huruf Brahmi.
Kebudayan Indonesia pada zaman kuno mempunyai fungsi strategis dalam jalur perdagangan
antara dua pusat perdagangan kuno, yaitu India dan Cina. Hubungan perdagangan Indonesia-
India jauh lebih awal jika dibandingkan dengan hubungan Indonesia-Cina. Dimana hubungan
perdagangan Indonesia India telah terjalin sejak awal abad 1 M. Hubungan dagang tersebut
kemudian berkembang menjadi proses penyebaran kebudayaan. Penyebaran budaya India
tersebut menyebabkan:
a. Tersebarnya agama Hindu-Budha di kalangan masyarakat Indonesia
b. Dikenalnya sistem pemerintahan kerajaan
c. Dikenalnya bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa yang menandai masuknya zaman sejarah
bagi masyarakat kepulauan Indonesia
d. Budaya India tersebut meninggalkan pengaruhnya pada kehidupan masyarakat prasejarah
Indonesia terutama pada seni ukir, pahat, dan tulisan. Kebudayaan India yang memegang
peranan penting dalam perkembangan masyarakat prasejarah menjadi masyarakat sejarah.
i.Pengayaan kosakata bahasa jawa
Pengaruh India yang paling besar adalah pengaruh dari bahasa Sansekerta. Pada masa ketika
Jawa mulai mendapat pengaruh yang besar, bahasa Sansekerta sudah tidak digunakan sebagai
bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa ini adalah bahasa sastra, dan hanya
digunakan lapisan atas masyarakat, istana, dan dalam acara keagamaan. Sedangkan dalam
kehidupan sehari-hari terdapat beberapa bahasa daerah yang digunakan di tempatnya masing-
masing.
Mengingat begitu banyaknya pengaruh, terutama dalam hal kosakata bahasa Sansekerta terhadap
bahasa Jawa Kuno, maka akan terlihat suatu kejanggalan. Yakni dari mana pun pengaruh dari
India datang ke Jawa, pada masa itu tidak seharusnya bahasa Sansekerta digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak seharusnya masyarakat Jawa pada saat itu mengetahui cara
pengucapan kosakata bahasa Sansekerta yang banyak mereka tiru. Walaupun kita juga tidak
mengetahui bagaimana cara pengucapan bahasa Jawa Kuno oleh masyarakat pada saat itu. Kita
hanya mengetahui perihal bahasa Jawa Kuno dari bukti tertulis. Sehingga kita hanya mengetahui
bahasa Jawa Kuno sebagai bahasa sastra. Namun kemungkinan bahwa terdapat bahasa lain atau
bentuk lain bahasa Jawa Kuno yang digunakan untuk percakapan sehari-hari kurang dapat
diterima.
Ada hal lain yang menarik perhatian dalam penyerapan bahasa Sansekerta pada bahasa Jawa
Kuno. Kategori kata yang dipinjam dari bahasa Sansekerta hampir semuanya termasuk dalam
kategori kata benda dan kata sifat. Kata-kata itu kemudian diperlakukan tidak sesuai dengan
aturan bahasa asalnya, namun sesuai dengan tata bahasa Jawa Kuna. Misalnya adalah kosakata
bahasa Sansekerta yang dibubuhi afiksasi Jawa Kuna.
Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pengaruh asing masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno
sedemikian rupa sehingga tidak merubah sifat asalnya. Di sisi lain, penyerapan bahasa
Sansekerta tidak pernah disertai dengan perubahan fonetisnya. Tidak ada bunyi-bunyi asing yang
ejaannya disesuaikan dengan ejaan Jawa Kuno. Karena kita hanya mengetahui mengenai bahasa
Jawa Kuno melalui sumber tertulis, maka kita juga hanya dapat mengetahui perihal ejaan ini dari
cara penulisannya. Ejaan yang tidak terdapat pada bahasa Jawa Kuno seperti bunyi-bunyi
beraspirasi (kh, th, ph, dan sebagainya), vokal panjang dan pendek (a-ā, i-ī), perbedaan bunyi ai
dan e, serta perbedaan desis (ś, ş, dan s) tetap ditulis apa adanya. Kemungkinan ini disebabkan
karena keinginan untuk menyamakan dengan aslinya.
Sebenarnya tidak diketahui alasan penggunaan pengaruh bahasa Sansekerta pada bahasa Jawa
Kuno. Tidak ditemukan keperluan untuk mengadakan perubahan pada bahasa Jawa Kuno.
Namun bahasa Sansekerta merupakan bagian yang penting dari kebudayaan baru yang ingin
mereka miliki. Sastra Sansekerta dianggap sebagai mode, untuk dicontoh dan ditiru sambil
dipungut kosakatanya. Dapat menggunakannya berarti meninggikan gengsi. Alasan lain yang
mungkin adalah kebutuhan para sastrawan pada saat itu untuk memperkaya kosakata, untuk
kepentingan pemenuhan aturan-aturan ketat pada puisi Jawa tentang rima dan laras.
Dalam penyerapan suatu bahasa pada bahasa lain, sangat mungkin terjadi adanya beberapa
perubahan, misalnya perubahan semantis, sehingga tidak sesuai dengan arti pada bahasa asalnya.
Perubahan ini dapat terjadi karena penyesuaian akan keadaan lingkungan pada masing-masing
bahasa yang berbeda. Proses perubahan ini terjadi secara dan bertahap, dan akan semakin mudah
bila kontak dengan bahasa asal semakin kecil. Perubahan semantis kata-kata asli Sansekerta
lebih sering terjadi seiring dengan makin berkurangnya pengaruh India terhadap bahasa dan
kebudayaan Jawa. Dari sini kita dapat memperkirakan umur suatu naskah berdasarkan
bahasanya, semakin jarang kata-kata Sansekerta, semakin muda teks tersebut. Namun patut pula
diperhitungkan kemungkinan bahwa perubahan semantis itu terjadi di tempat asalnya.
Pengaruh bahasa Sansekerta pada saat itu tidak hanya tertanam di Jawa. Di daerah Nusantara
yang lain pun juga terjadi. Contohnya di Campa, jenis-jenis sastra klasik Sansekerta dipelajari
dengan mendalam, sehingga sastra pribumi diabaikan. Sebenarnya sumber-sumber teks sastra di
Jawa pada masa itu tidak begitu banyak yang ditemukan, namun bila dibandingkan dengan
sumber dari Campa pada masa yang sama, dapat diketahui perbedaannya. Teks Jawa ditulis
dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dan tidak ditemukan sama sekali teks yang
menggunakan bahasa Sansekerta. Sedangkan teks dari Campa malah menggunakan bahasa
Sansekerta seluruhnya, dari pada menggunakan bahasa pribumi dengan pengaruh Sansekerta.
Jadi, bila yang terjadi di Campa adalah lupakannya sastra pribumi, maka yang di Jawa, adanya
pengaruh dari India malah memperkaya dan memperkuat adanya sastra pribumi.
Meskipun begitu, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa di Campa tidak terdapat kebudayaan
pribumi selain pengaruh dari India. Tidak ditemukannya bukti-bukti keberadaannya
kemungkinan terjadi karena kondisi tertentu yang menyebabkan bukti-bukti tersebut tidak
bertahan. Mungkin karena bahannya yang memang tidak dapat bertahan hingga berabad-abad,
atau mungkin juga karena kondisi historis di daerah tersebut yang sering mengalami peperangan
hingga sulit mempertahankan benda-benda budayanya.
Yang dapat diketahui hingga saat ini adalah, walaupun sulit menemukan bukti tentang
keberadaannya, kita telah mengetahui bahwa sastra Jawa Kuno tetap bertahan, dan adanya
pengaruh dari India bukannya melemahkan, malah memperkaya sastra Jawa Kuno.
ii.Pengetahuan agama / ajaran Hindu dan Buddha
Ketika memasuki zaman sejarah, masyarakat indonesia menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme. Masyarakat mulai menerima kepercayaan baru, yaitu agama Hindu-Budha sejak
berinteraksi dengan orang-orang India. Meskipun demikian, kepercayaan asli tidak hilang akibat
tergeser oleh agama Hindhu dan Buddha. Budaya baru tersebut membawa perubahan pada
kehidupan keagamaan, misalnya dalam hal tata cara krama, upacara-upacara pemujaan dan
bentuk tempat peribadatan.
iii.Pengetahuan sistem pemerintahan
Sebelum kedatangan bangsa India, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pemerintahan tetapi
masih secara sederhana yaitu semacam pemerintahan di suatu desa atau daerah tertentu dimana
rakyat mengangkat seorang pemimpin atau kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin
biasanya adalah orang yang senior, arif, berwibawa, dapat membimbing serta memiliki kelebihan
tertentu , termasuk dalam bidang ekonomi maupun dalam hal kekuatan gaib atau kesaktian.
Masuknya pengaruh India menyebabkan muncul sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan,
yang diperintah oleh seorang raja secara turun-temurun. Peran raja di Indonesia berbeda dengan
di India dimana raja memerintah dengan kekuasaan mutlak untuk menentukan segalanya. Di
Indonesia, raja memerintah atas nama desa-desa dan daerah-daerah. Raja bertindak ke luar
sebagai wakil rakyat yang mendapat wewenang penuh. Sedangkan ke dalam, raja sebagai
lambang nenek moyang yang didewakan.
iv.Pengetahuan tentang kontruksi bangunan suci
Akulturasi dalam seni bangunan tampak pada bentuk bangunan candi.
Di India, candi merupakan kuil untuk memuja para dewa dengan bentuk stupa.
Di Indonesia, candi selain sebagai tempat pemujaan, juga berfungsi sebagai makam raja atau
untuk tempat menyimpan abu jenazah sang raja yang telah meninggal. Candi sebagai tanda
penghormatan masyarakat kerajaan tersebut terhadap sang raja.
Contohnya:
1. Candi Kidal (di Malang), merupakan tempat Anusapati di perabukan.
2. Candi Jago (di Malang), merupakan tempat Wisnuwardhana di perabukan.
3. Candi Singosari (di Malang) merupakan tempat Kertanegara diperabukan.
Di atas makam sang raja biasanya didirikan patung raja yang mirip (merupakan perwujudan)
dengan dewa yang dipujanya. Hal ini sebagai perpaduaan antara fungsi candi di India dan tradisi
pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia. Sehingga, bentuk bangunan candi di
Indonesia pada umumnya adalah punden berundak, yaitu bangunan tempat pemujaan roh nenek
moyang.
Contoh ini dapat dilihat pada bangunan candi Borobudur.
 Seni rupa, dan seni ukir.
Akulturasi dalam bidang seni rupa, dan seni ukir terlihat pada relief atau seni ukir yang
dipahatkan pada bagian dinding candi.
Sebagai contoh: relief yang dipahatkan pada Candi Borobudur bukan hanya menggambarkan
riwayat sang budha tetapi juga terdapat relief yang menggambarkan lingkungan alam Indonesia.
Terdapat pula relief yang menggambarkan bentuk perahu bercadik yang menggambarkan
kegiatan nenek moyang bangsa Indonesia pada masa itu.
 Seni Hias
Unsur-unsur India tampak pada hiasan-hiasan yang ada di Indonesia meskipun dapat dikatakan
secara keseluruhan hiasan tersebut merupakan hiasan khas Indonesia.
Contoh hiasan : gelang, cincin, manik-manik.
4.Kebudayaan materi dan sastra Buddhis
I. Candi-candi Buddhis
(1). Candi Borobudur
Candi Borobudur adalah candi peningalan agama Budha yang sudah tersohor sebagai
salah satu dari 7 keajaiban dunia. Candi ini terletak di Magelang, Jawa Tengah tepatnya
berada 100 km arah Barat Daya kota Semarang atau 40 km arah Barat Laut kota
Yogyakarta. Candi yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
wangsa Sailendra dari kerajaan Mataram ini berbentuk punden berundak dengan 9
tingkatan, dimana 6 tingkat bagian bawah berbentuk bujur sangkar, sedang 3 tingkat di
atasnya berbentuk bundar.

(2). Candi Mendut


Candi peninggalan agama Budha selanjutnya adalah Candi Mendut. Candi ini terletak di
Kecamatan Mungkid, Magelang-Jawa Tengah. Candi Mendut diperkirakan dibuat pada
824 Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Indra di dinasti Syailendra. Arkeolog
Belanda, J.G. de Carparislah yang menemukan jejak keberadaan candi ini pertama kali
pada tahun 1908.
(3) Candi Ngawen
Candi Ngawen merupakan sebuah candi Budha yang terletak di desa Ngawen, Muntilan,
Magelang. Berdasarkan perkiraan, candi Ngawen dibangun pada masa kekuasaan wangsa
Syailendra atas Kerajaan Mataram Kuno. J.G. de Carparislah, seorang arkeolog Belanda
meyakini jika candi Ngawen ini adalah candi yang disebutkan dalam prasasti Karang
Tengah sebagai candi suci bernama veluvana.

(4). Candi Lumbung


Candi Lumbung terletak di kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, tepatnya berada
di sebelah candi Bubrah. Berdasarkan perkiraan, candi ini dibuat pada abad ke-9 Masehi
di masa Kerajaan Mataram Kuno. Candi Lumbung adalah kumpulan dari suatu kompleks
candi utama bertema candi Buddha yang cukup banyak dikunjungi para wisatawan
mancanegara.
(5). Candi Banyunibo
Candi Banyunibo adalah candi peninggalan agama Budha yang berdiri kokoh tidak jauh
dari kompleks Candi Ratu Boko. Candi yang diperkirakan dibangun pada abad ke 9
Masehi ini memiliki sebuah stupa di bagian atasnya yang merupakan ciri khas dari candi
bercorak Buddha.

(6). Candi Muara Takus


Candi Muara Takus merupakan satu-satunya candi peninggalan agama Budha yang
berada di luar Jawa. Candi ini terletak di desa Muara Takus, Riau-Indonesia, tepatnya
berada 134 km arah Barat kota Pekanbaru. Di dalam kompleks candi ini, terdapat pula
bangunan Candi Bungsu, Candi Tua, dan Mahligai Stupa. Bahan utama pembuatan
bangunan candi ini ternyata berbeda dengan candi-candi yang ada di Pulau Jawa. Ia
terbuat dari bahan batu sungai, batu pasir, dan batu bata.

(7). Candi Brahu


Candi Brahu adalah candi peninggalan agama Budha yang pada masa lampau digunakan
sebagai tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Kerajaan Brawijaya. Dalam
prasasti Alasantan, candi yang didirikan pada abad 10
Masehi ini disebut sebagai bangunan suci umat
Budha. Kendati demikian tak seperti candi-candi
peninggalan agama Budha lainnya, candi ini tidak
dilengkapi satu stupa-pun dalam bangunannya.

II. Sastra sastra Buddhis


Karya sastra (kitab)
Tipitaka adalah Kitab Suci Agama Buddha. Kitab Suci ini dikenal dengan nama Kanon Pali
karena tertulis dalam bahasa Pali. Kitab ini adalah Kitab Suci Agama Buddha yang paling tua,
yang diketahui hingga sekarang.

Selain yang berbahasa Pali, Buddha juga memiliki Kitab yang menggunakan Bahasa
Sansekerta yaitu Tripitaka. Tetapi diantara kedua versi tersebut, hanya Kitab Suci Tipitaka (Pali)
yang masih terpelihara secara lengkap. Kitab ini berisi kumpulan ceramah, keterangan,
perumpamaan dan percakapan Buddha dengan para murid dan pengikutnya.

Kitab Tipitaka ini terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu : Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan
Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebutlah maka Kitab Suci Agama
Buddha dinamakan Tipitaka.

1. Kitab Vinaya Pitaka

Kitab ini berisi aturan-aturan untuk para Bhikku dan Bhikkhuni yang dibagi lagi dalam tiga
Kitab, yaitu Sutra Vibanga, Khandaka, dan Paravira.

 Sutra Vibanga, berisi delapan jenis pelanggaran, yang diantaranya ada pelanggaran yang
berakibat seorang Bhikku dan Bhikkhuni dapat dikeluarkan dari sangha.
 Khandaka, berisi aturan-aturan mengenai upacara panahbisan Bhikkhu atau Bhikkhuni,
tata tertib penerimaan Bhikkhu dan pelanggaran-pelanggarannya.
 Parivara, berisi ringkasan peraturan vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk
dipakai dalam pengajaran.

2. Sutta Pittaka

Kitab ini terdiri dari lima buku, yaitu :

 Digha Nikaya, buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan
terbagi menjadi tiga vagga : Silakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga.
 Majjhima Nikaya, buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah.
Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa): dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan
pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta.
 Anguttara Nikaya, buku ketiga dari Sutta Pitaka yang terbagi atas sebelas nipata dan
meliputi 9.557 sutta.
 Samyutta Nikaya, buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta.
 Khuddaka Nikaya, buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas lima belas kitab, yaitu :
Khuddakapatha, Dhammapada, Udana, Itivuttaka, Sutta Nipata, Vimanavatthu,
Petavatthu, Theragatha, Therigatha, Jataka, Niddesa, Patisambhidamagga, Apadana,
Buddhavamsa, dan Cariyapitaka.

3. Abhidamma Pitaka

Kitab ini  berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencangkup
berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah
buku, yaitu :

 Dhammasangi, membahas etika yang dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.


 Vibhanga, membahas apa yang ada dibuku Dhammasangani dengan metode yang
berbeda.
 Dhatukatha, membahas unsur-unsur batin.
 Puggalapannatti, membahas jenis-jenis watak manusia
 Kathavatthu, membahas kumpulan percakapan-percakapan dan sanggahan terhadap
pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang
berhubungan dengan theologi dan metafisika.
 Yamaka, membahas Mula, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta,
Dhamma dan Indriya.
 Patthana, membahas sebab-sebab yang berkenaan dengan 24 Paccaya (hubungan-
hubungan antara batin dan jasmani).

Perbedaan ketiga kitab tersebut terletak pada gaya bahasanya. Kalau Kitab Abhidhamma Pitaka
gaya bahasanya bersifat sangat teknis dan analitis, sedangkan Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya
Pitaka gaya bahasanya bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.

Bab 8 Politik
1.Pengertian politik dan ilmu politik
Kata Politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya
adalah polis, berarti kesatuan masyarakatyang berdiri sendiri, yaitu negara. Politik (etimologis)
adalah segala sesuatu yag berkaitan dengan urusan yang menyangkut kepentingan dari
sekelompok masyarakat (negara).
Dalam bahasa Indonesia,  Secara umum politik mempunyai dua arti, yaitu politik dalam
arti kepentingan umum (politics) dan politik dalam arti kebijakan (policy). Politik dalam arti
politics adalah rangkaian asas/prinsip, keadaan, jalan, cara atau alat yag akan digunakan untuk
mencapai tujuan. Sedangkan politik dalam arti policy adalah penggunaan pertimbangan tertentu
yang dapat menjamin terlaksananya usaha untuk mewujudkan keinginan atau cita-cita yang
dikehendaki.  Policy merupakan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-
baiknya.Politics dan policy mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik.

Secara Umum Pengertian Ilmu Politik adalah cabang ilmu sosial yang membahas mengenai teori
dan praktik politik serta gambaran dan analisis mengenai sistem politik dan perilaku politik. Ilmu
politik mempelajari mengenai alokasi dan transfer kekuasaan dalam pembuatan keputusan, peran
dan sistem pemerintahan yang termasuk dalam pemerintah dan organisasi internasional, perilaku
politik dan kebijakan publik. Ilmu politik mengukur keberhasilan pemerintahan dan kebijakan
khusus dengan melakukan pemeriksaan dari berbagai faktor seperti stabilitas keadilan,
kesejahteraan material dan perdamaian. 

Dari beberapa ilmuwan yang berupaya mengembangkan ilmu politik secara positif dengan
analisis politik. Sedangkan yang lainnya mengembangkan secara normatif dengan membuat
saran kebijakan khusus. Pembelajaran politik diperumit dari terlebatnya ilmuwan politik dalam
proses politik, karena pengajaran mereka biasanya memberikan kerangka pikir yang digunakan
komentator lain, misalnya jurnalis, kelompok minat tertentu, politikus, dan peserta pemilihan
umum untuk menganalisis permasalahan dan melakukan pilihan. Ilmuwan politik berperan
sebagai penasihat politikus tertentu, atau sebagai politikus. Ilmuwan politik sering terlihat
bekerja di pemerintahan, di partai politik, atau memberikan pelayanan publik. Mereka bekerja di
lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pergerakan politik. Dalam berbagai kapasitas, orang
yang dididik dan dilatih dalam ilmu politik dapat memberikan nilai tambah yang
menyumbangkan keahliannya pada perusahaan.

2.Sutta terkait dengan penguasa dan politik


I.Cakkavattisihanada sutta
Tempat : Matula, kerajaan Magadha
Kotbah ini diberikan kepada para bhikkhu. Sang Buddha memberikan ajaran kepada para
bhikkhu:”jadikanlah dirimu sebagai pelita, berlindunglah pada dirimu sendiri dan jangan
berlindung pada yang lain, hiduplah dalam Dhamma sebagai pelita, Dhamma sebagai pelindung
dan tidak berlindung pada yang lain.

Seorang bhikkhu yang mengamati tubuh sebagai tubuh dengan rajin penuh pengertian dan
perhatian, melenyapkan keserakahan dan ketidaksenangan dalam dunia, …vedana. Citta dan
dhamma
Jalanlah dilingkungan sendiri yang pernah dijalani oleh para pendahulu. Bila berjalan dijalan
ditempat itu mara tak akan mendapat tempat dan dapat mengembangkan kebaikan sehingga jasa-
jasa bertambah. Sang Buddha menceritakan  seorang maharaja dunia  yang bernama Dalhanemi
yang jujur, adil dan memerintah berdasarkan kebenaran. Raja Dalhanemi memiliki tujuh macam
permata (cakra, gajah, kuda, permata, wanita kepala rumah tangga dan penasehat).
KEWAJIBAN MAHARAJA SUCI

1. Hiduplah dalam kebenaran


2. Hormati dan berbaktilah pada kebenaran
3. Pujalah kebenaran
4. Sucikanlah dirimu dengan kebenaran
5. Jadikanlah dirimu sebagai panji dan tanda kebenaran
6. Berbuatlah yang bermanfaat dan pantas  di masa mendatang
7. Menganjurkan seseorang berbuat baik
8. Perhatikan dan lindungi keluargamu, samana, tentara, para bangsawan, perumahtangga
dan binatang-binatang

TAHAP-TAHAP KEKRISISAN SUATU KERAJAAN

1. Tidak memberi dana kepada orang miskin maka kemelaratan bertambah


2. Timbulnya pencurian dengan senjata akibatnya kekerasan, penyiksaan dan pembunuhan
(batas usia 80.000 thn tetapi anaknya 40.000 thn)
3. Munculnya berdusta menjadi biasa dalam kehidupan (batas usia 40.000 thn tetapi
anaknya 20.000 thn)
4. Memfitnah berkembang (batas usia 20.000 thn tetapi anaknya 10.000 thn)
5. Berzina berkembang (batas usia 10.000 thn tetapi anaknya 5.000 thn)
6. Kata-kata kasar dan membual berkembang ((batas usia 5.000 thn tetapi anaknya 2.500
thn)
7. Pandangan sesat muncul dan berkembang (batas usia 1.000 thn tetapi anaknya 500 thn)
8. Tiga hal berkembang : berzina dengan saudara sendiri, keserakahan dan pemuasan nafsu)
(batas usia 500 thn tetapi anaknya 250 thn)
9. Kurang berbakti pada Orang Tua dan samana (batas usia 250 thn tetapi anaknya 100 thn)
Akan tiba suatu masa usia kehidupan 10 tahun dan umur 5 tahun sudah menikah, Pada
masa itu makanan seperti  dadi susu, gula dan garam mulai lenyap. Manusia makan biji-
bijian Pada masa itu pikiran yang membatasi untuk kawin dengan ibu, bibi, ayah, kakak
tidak ada lagi. Dunia ini diisi oleh cara bersetubuh dengan siapa saja bagaikan kambing,
domba, burung, babi, anjing dan sigala. Pada masa itu juga muncul saling membunuh
diantara manusia.
10. Sementara ada orang-orang tertentu yang berpikir sebaiknya kita jangan membunuh dan
tidak membiarkan orang lain membunuh kita serta bersembunyi di gunung-gunung.
11. Orang-orang berusaha menghindari pembunuhan maka batas usia kehidupan hanya 10
tahun, akan tetapi batas usia kehidupan anak-anak mencapai 20 tahun
12. Berusaha untuk tidak berjina, tidak berdusta, tidak mefitnah maka batas usia kehidupan
20 tahun tetapi batas usia kehidupan anak-anak mencapai 40 tahun.
13. Akan tiba suatu masa batas usia kehidupan 80.000 tahun . Pada masa itu ada tiga macam
penyakit yang sering muncul yaitu keinginan, lupa makan dan ketuaan.
14. Pada masa kehidupan orang-orang ini kota baranasi akan berubah nama menjadi
Ketumati (sebagai  ibukota)  dengan penduduk yang makmur dan penduduk yang padat.
15. Pada waktu itu di Ketumati muncul seorang raja Cakkavati bernama Sankha, yg jujur
dalam memerintah.
16. Pada masa kehidupan orang-orang ini di dunia akan muncul seorang Bhagava arahat
Sammasambuddha bernama Metteya.
17. Raja Sankha akan membangun kembali tempat suci yang penah dibangun Raja Maha
Panada
18. Raja Sankha meninggalkan duniawi menjadi bhikkhu dan menjadi Buddha Metteya
Nasehat Buddha Metteya “Hidup dalam Dhamma dan berjalan di mana para
pendahulumu berjalan maka usia, kecantikan, kebahagiaan dan kekayaan serta kekuatan
bertambah.

II.Kutadanta Sutta
Sang Buddha menceritakan kembali kisah raja Mahajivita pada jaman dahulu ingin
mengadakan upacara korban demi   kesejahteraan dan kejayaan  ketika kerajaan dalam
kekacauan.
Kemudian brahmana memberikan beberapa nasehat.
a.         Ada beberapa cara untuk mengatasi kekacauan dalam suatu negara.
1.    Membagikan benih dan makanan ternak kepada mereka yang bermatapencaharian sebagai petani
dan peternak.
2.    Memberikan modal kepada mereka yang berdagang.
3.    Memberikan upah yang sesuai bagi orang yang melayani pemerintahan.
Setelah anjuran itu dilaksanakan negara menjadi aman dan damai, rakyat sejahtera dan
bahagia. Raja kembali ingin melaksanakan Pengorbanan besar sebelum pengorbanan penasehat
raja mengajarkan tiga syarat kepada raja.
·      Merasa menyesal akan upacara pengorbanan ini: “aku akan kehilangan banyak kekayaan”
·      Selama upacara: “aku sedang kehilangan banyak kekayaan”
·      Setelah upacara: “aku telah kehilangan banyak kekayan”.
Jika demikian , maka raja tidak boleh merasa menyesal.

b.    Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan tentang pengorbanan tertinggi.


·         Dimanapun pemberian rutin dari suatu keluarga yang diberikan kepada para pertapa yang
berbudi.
·         Jika siapa saja yang menyediakan tempat tinggal bagi sangha yang datang dari empat penjuru.
·         Jika siapa saja dengan hati tulus berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.
·         Jika siapa saja dengan hati tulus melaksanakan lima sila.
·         Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikan moralitas, mencapai empat
jhana, dan mencapai pandangan terang yang menghasilkan lenyapnya asava.
C.    Akhir khotbah
Brahmana kutadanta merasa senang dan berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha
sampai akhir hidupnya.
D.    Pesan Moral

Pengorbanan hewan adalah hal yang tidak sejalan dengan ajaran Buddha. maka hindarilah
pengorbanan binatang, dan laksanakanlah pengorbanan tertinggi yang telah disampaikan oleh
Sang Buddha agar kita mendapatkan manfaat dan hidup berbahagia.

III. Mahaparinibbana Sutta


  1. Ketika Sang Buddha berdiam di atas puncak Gijjhakuta, Rajagaha, raja Magadha
Ajatasattu, putra ratu Viheda berkeinginan untuk berperang melawan suku Vajji. Raja
Ajatasattu berpikir : "Suku Vajji yang berdaulat dan jaya akan aku musnahkan, celakakan
dan basmi seluruhnya."

    2. Kemudian raja Ajatasattu menitahkan patihnya Brahmana Vassakara sambil


bersabda : "Brahmana, pergilah menghadap Sang Buddha. Sampaikanlah salam hormat
dan sujudku kepada Beliau. Sampaikan pula harapanku, semoga Beliau selalu dalam
keadaan sehat walafiat, selamat sejahtera dan selalu bahagia. Selanjutnya sampaikan pula
kepada Beliau, bahwa aku raja Ajatasattu dari Magadha, hendak berperang melawan suku
Vajji. Suku Vajji yang berdulat dan jaya itu, akan aku musnahkan, celakakan dan basmi
seluruhnya. 
Setelah mendengar rencanaku ini, apapun jawaban Sang Buddha, simpanlah itu dalam
ingatanmu dengan sebaik-baiknya, dan kemudian beritahukanlah kepadaku. Aku yakin
Sang Tathagata akan menyampaikan pendapatnya dengan jujur, karena Sang Buddha
tidak pernah berbicara yang tidak jujur."
2. Setelah mendengar sabda dan pesan raja Ajatasattu Patih Vassakara menyatakan
persetujuannya sambil berdatang sembah : "Baik, Tuanku, segala titah kami junjung
tinggi di atas kepala kami." Kemudian Brahmana Vassakara menitahkan untuk
menyiapkan keretanya yang indah dan kereta-kereta lainnya bagi para pengiringnya.
Setelah semuanya siap, berangkatlah Patih Brahmana Vassakara dengan diiringi oleh
para pengiringnya menuju Gijjhakuta, untuk menghadap kepada Sang Buddha. Sesampai
di suatu tempat di atas bukit itu, perjalanan tidak dapat di tempuh dengan naik kereta,
mereka terpaksa meneruskan perjalanan dengan berjalan. 

Setelah Patih Brahmana Vassakara sampai di hadapan Sang Buddha, beliau lalu bersujud
kepada Sang Buddha, setelah itu Patih Brahmana Vassakara duduk di salah satu sisi Sang
Buddha. Kemudian dengan suara yang lemah lembut, Patih Brahmana Vassakara
berkata : "Sang Gotama yang mulia, saya datang menghadap Yang Mulia ialah untuk
menyampaikan pesan raja Ajatasattu dari Magadha. Baginda raja Ajatasattu
menghaturkan hormat dan sujud ke hadapan Bhante, dan memujikan semoga Bhante
selalu selamat, dalam keadaan sehat walafiat dan selamat sejahtera serta selalu
berbahagia. Baginda juga memerintahkan kepada saya, untuk menyampaikan pesan
baginda raja Ajattasattu yang ingin mengadakan peperangan dengan suku Vajji yang
berdaulat dan jaya itu. Baginda hendak memusnahkan, mencelakakan dan akan
membasmi mereka seluruhnya."
IV. Sigalovada Sutta
Sigalovada Sutta adalah Sutta ke-31 yang dijelaskan dalam Digha Nikaya. Sigalovada
Sutta dikenal pula dengan nama Sīgāla Sutta, Sīgālaka Sutta, Siṅgālovāda Sutta,
dan Sigālovāda Suttanta.
Sigalovada Sutta merupakan khotbah Buddha Gautama yang berkaitan
dennga etika di masyarakat, yang bersumber dari adat istiadat, kebudayaan, dan ajaran kebenaran
menurut ajaran agama.
Sigalovada Sutta berisikan wejangan Buddha Gautama kepada Sigala, putera
keluarga Buddhis yang tinggal di Rajagaha. Orang tua Sigala adalah penganut agama
Buddha yang taat dan berbakti kepada Buddha, tetapi mereka tidak berhasil mengajak putranya
mengikuti jejak mereka. Ketika ayah Sigala akan meninggal dunia, ia berpesan kepada Sigala
untuk melaksanakan permintaannya untuk menghormati 6 penjuru pada waktu subuh.
Dalam Sigalovada Sutta, Buddha Gautama menguraikan petunjuk mengenai 6 penjuru yang
perlu disembah, yaitu :

Arah Untuk menghormati

Timur Orang tua


Selatan Guru
Barat Istri dan anak
Utara Sahabat dan teman
Bawah Pelayan dan buruh
Atas Para pertapa dan Brahmana

V. Dasa Raja Dhamma

Dalam kitab Jataka, Sang buddha memberikan sepuluh persyaratan seorang pemimpin yang baik
(Dasa Raja Dharma) yaitu,

1. Dana (bermurah hati) ; seorang pemimpin tidak boleh terlalu terikat dengan kekayaannya,
dia memberikan pertolongan baik berupa materi maupun non materi bahkan bersedia
mengorbankan hartanya demi kepentingan anggotanya. 
2. Sila (bermoral); pemimpin harus memiliki sikap yang baik dengan pikiran, ucapan,
perbuatan dan hidup berperilaku sesuai dengan aturan moralitas. 
3. Paricagga (berkorban) ; seorang pemimpin harus rela mengorbankan kesenangan atau
kepentingan pribadi demi kepentingan orang banyak. 
4. Ajjava (tulus hati dan bersih) ; memliki kejujuran, ketulusan sikap maupun pikiran dan
kebersihan tujuan serta cita-cita dalam kepemimpinannya. 
5. Maddava (ramah tamah dan sopan santun) ; memiliki sikap ramah tamah, simpatik dan
menjaga sopan santun melalui pikiran, ucapan dan perbuatan. 
6. Tapa (sederhana) ; membiasakan diri dalam hidup kesederhanaan dan tidak berlebih-
lebihan dalam kebutuhan hidup. 
7. Akkodha (tidak berniat jahat, bermusuhan dan membenci) ; memiliki sifat pemaaf dan
bersahabat, menjauhi niat jahat, permusuhan dan kebencian. 
8. Avihimsa (tanpa kekerasan) ; tidak menyakiti hati orang lain, memelihara sikap
kekeluargaan, senang pada perdamaian, menjauhi segala sikap kekerasan dan penghancuran
hidup. 
9. Khanti (sabar dan rendah hati) ; memiliki kesabaran pada saat mengalami halangan dan
kesulitan. Memiliki kerendahan hati pada saat menghadapi hinaan dan celaan, sehingga
menimbulkan pengertian dan kebijaksanaan pada saat menentukan keputusan. 
10. Avirodhana (tidak menimbulkan atau mencari pertentangan) ; tidak menentang dan
menghalangi kehendak mereka yang dipimpinnya untuk memperoleh kemajuan sesuai dengan
tujuan dan cita-cita kepemimpinannya. Ia harus hidup bersatu dengan anggota sesuai dengan
tuntutan hati nurani. 

Kesepuluh syarat di atas, sebagian besar berisikan pengendalian diri sendiri. Sang Buddha
mengajarkan cara menguasai diri sendiri sebagai dasar agar dapat menjadi pemimpin yang baik,
bukan cara menguasai atau memaksa orang lain yang dipimpin. Seni kepemimpinan Buddhis
adalah seni memimpin diri sendiri baru kemudian orang lain. Karena keteladanan adalah cara
yang paling ampuh dalam memimpin sekelompok orang atau organisasi. 

Bab 9. Hukum
1. Defenisi Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia
agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting  dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat
berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa
hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
2. Jenis-Jenis Hukum
Hukum secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat.
Hukum pidana merupakan hukum publik, artinya bahwa Hukum pidana mengatur hubungan
antara para individu dengan masyarakat serta hanya diterapkan bilamana masyarakat itu benar-
benar memerlukan.

Van Hamel antara lain menyatakan bahwa Hukum Pidana telah berkembang menjadi Hukum
Publik, dimana pelaksanaannya sepenuhnya berada di dalam tangan negara, dengan sedikit
pengecualian. Pengeualiannya adalah terhadap delik-delik aduan (klacht-delicht). Yang
memerlukan adanya suatu pengaduan (klacht) terlebih dahulu dari pihak yang dirugikan agar
negara dapat menerapkannya.
Maka Hukum Pidana pada saat sekarang melihat kepentingan khusus para individu bukanlah
masalah utama, dengan perkataan laintitik berat Hukum Pidana ialah kepentingan
umum/masyarakat. Hubungan antara si tersalah dengan korban bukanlah hubungan antara yang
dirugikan dengan yang merugikan sebagaimana dalam Hukum Perdata, namun hubungan itu
ialah antara orang yang bersalah dengan Pemerintah yang bertugas menjamin kepentingan umum
atau kepentingan masyarakat sebagaimana ciri dari Hukum Publik.

Contoh Hukum Privat (Hukum Sipil)

 Hukum sipil dalam arti luas (Hukum perdata dan hukum dagang)
 Hukum sipil dalam arti sempit (Hukum perdata saja)
 Dalam bahasa asing diartikan :
a)    Hukum sipil : Privatatrecht atau Civilrecht

b)    Hukum perdata : Burgerlijkerecht

c)    Hukum dagang : Handelsrecht

Contoh hukum Hukum Publik

 Hukum Tata Negara


 Yaitu mengatur bentuk dan susunan suatu negara serta hubungan kekuasaan anatara lat-
alat perlengkapan negara satu sama lain dan hubungan pemerintah pusat dengan daerah
(pemda)
 Hukum Administrasi Negara (Hukum Tata Usaha Negara),
 mengatur cara menjalankan tugas (hak dan kewajiban) dari kekuasaan alat perlengkapan
negara;
 Hukum Pidana,
 mengatur perbuatan yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa saja yang
melanggar dan mengatur bagaimana cara mengajukan perkara ke muka pengadilan (pidana
dilmaksud disini termasuk hukum acaranya juga). Paul Schlten dan Logemann menganggap
hukum pidana bukan hukum publik.
 Hukum Internasional (Perdata dan Publik)
a)    Hukum perdata Internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga  
negara suatu bangsa dengan warga negara dari negara lain dalam hubungan internasional.

b)      Hukum Publik Internasional, mengatur hubungan anatara negara yang satu dengan negara
yang lain dalam hubungan Internasional.

3. Hukum dalam ajaran Buddha

I. EMPAT KEBENARAN MULIA atau Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani)
 adalah kebenaran absolut atau mutlak yang berlaku bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan
suku, ras, budaya, maupun agama. Karena mengakui atau tidak mengakui, suka atau tidak suka,
setiap manusia mengalami dan diliputi oleh hukum kebenaran ini.

Empat Kebenaran Mulia merupakan "temuan" BUKAN ciptaan Pangeran Siddhartha yang
bermeditasi di bawah Pohon Bodhi hingga memperoleh Penerangan Sempurna dan
menjadi Buddha. Sebagaimana temuan bola lampu oleh Thomas ALfa Edisson Jadi, maka
demikian pula dengan Empat Kebenaran Mulia yang ditemukan dan diajarkan oleh Sang Buddha
Gotama kepada umat manusia di bumi ini. Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di
dunia ini, kebenaran itu akan tetap ada dan berlaku secara universal.

Empat Kebenaran itu adalah:

1. Duka atau Penderitaan (DUKKHA)

2. Sebab Penderitaan (DUKKHA SAMUDAYA)

3. Berakhirnya Penderitaan (DUKKHA NIRODHA)

4. Cara Menghentikan Penderitaan (DUKKHA NIRODHA GAMINIPATIPADA)

Bagian Pertama dan Kedua merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, seperti halnya sebuah
penyakit dengan sebab penyakitnya. Demikianlah hubungan antara Penderitaan dan Sebab
Penderitaan.

Bagian Ketiga dan Keempat juga merupakan dua hal yang saling berhubungan, sebagaimana
sakit flu dapat disembuhkan dengan berobat ke dokter atau minum obat flu yang dijual di toko-
toko obat. Demikian pula Berakhirnya Penderitaan pasti ada Cara Menghentikan Penderitaan
itu.Salah satu pilar ajaran Buddha yang mendasari cara berpikir Buddha adalah seperti yang
tersirat di dalam Empat Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Di berbagai bagian Sutta Pitaka
(Sutta Pitaka adalah bagian dari Tipitaka, Kitab Suci Agama Buddha) dapat kita temukan cara
berpikir analisis seperti yang terdapat pada konsep Empat Kebenaran Mulia. Cara berpikir
tersebut adalah: 

1. Memahami Suatu Masalah dan menganalisa masalah tersebut


2. Menyadari dan menemukan ada penyebab masalah tersebut
3. Mengetahui bahwa masalah dapat teratasi dan mencari cara
penyelesaiannya
4. Menemukan cara mengatasi masalah tersebut dan Menjalankan caranya

Hal tersebut menunjukkan kecerdasan Sang Buddha dan cara berpikir yang logis. Empat
Kebenaran Mulia disadari oleh Buddha Gautama ketika beliau mencapai pencerahan :

“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak ternoda, bebas
dari ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan tak terganggu, aku
mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda (tiga akar kejahatan yaitu:
keserakahan/lobha, kebencian/dosa dan ketidaktahuan atau kebodohan-batin/moha). Secara
langsung aku mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’, ‘Inilah asal mula
penderitaan’, ‘Inilah berhentinya penderitaan’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan’;
Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah noda-noda’, ‘Inilah asal mula
noda-noda’, ‘Inilah berhentinya noda-noda’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda’”
(Dapat ditemukan di dalam Majjhima Nikaya (MN) 4.31 atau MN 36.42)

Empat Kebenaran Mulia ini adalah ajaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Sang Buddha
dalam khotbah pertamanya di Benares (MN 141.2). Selain itu Empat Kebenaran Mulia juga
adalah ajaran khusus para Buddha (MN 56.18), yang berarti setiap Buddha selalu mengajarkan 4
Kebenaran Mulia ini walaupun dengan bahasa yang berbeda atau sistematisasi pembagian ajaran
yang berbeda.

Empat Kebenaran Mulia tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kebenaran Mulia tentang adanya ‘penderitaan’ (Dukkha)


2. Kebenaran Mulia tentang penyebab penderitaan (Dukkha Samudaya)
3. Kebenaran Mulia tentang lenyapnya penderitaan (Dukkha Nirodha)
4. Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya
penderitaan (Dukkha Nirodha Gaminipatipada).
2.Kamma dan Punarbhava
Kata “kamma” berasal dari bahasa pali, dan kata “karma” berasal dari bahasa sanskerta. Karma
adalah perbuatan manusia ketika hidup di dunia; hukum sebab akibat (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005: 509). Karma juga diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh jasmani,
perkataan, dan pikiran yang baik maupun yang jahat (Abhidhammathasangaha, 2005: 277).
Dalam Anggutara Nikaya, Sang Buddha juga mengatakan bahwa “para bhikkhu, kehendak untuk
berbuat itulah yang kunamakan karma. Setelah timbul kehendak dalam batinnya, seseorang
melakukan perbuatan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
karma merupakan perbuatan dari suatu mahluk melalui pikiran, ucapan, dan badan jasmani yang
disertai dengan niat (cetana). Segala bentuk perbuatan dapat disebut dengan karma bila disertai
dengan niat (cetana). Semua mahluk dapat melakukan karma kecuali telah mencapai tingkat
kesucian tertinggi (arahat). Seorang arahat tidak melakukan karma karena ia telah
menghentikan proses karma. Perbuatan yang ia lakukan disebut kiriya yang tidak akan
menimbulkan akibat apapun. Karma akan menimbulkan akibat atau hasil disebut vipakaatau
akibat karma. Adanya suatu perbuatan atau karma yang menimbulkan akibat atau vipaka disebut
hukum karma atau hukum sebab akibat. 
Dalam Anggutara Nikaya, III, 415 dijelaskan bahwa perbuatan (karma) seseorang ditentukan
oleh salah satu dari tiga faktor yaitu rangsangan luar, motif yang disadari dan motif yang tidak
disadari. Labih lanjut dijelaskan bahwa kontak (phassa) merupakan penyebab dari perilaku
(karma). Rasangan dari luar adalah gerakan refleks atau perilaku yang mengikuti rangsangan
indria. Motif yang disadari
adalah dosa (kebencian), lobha(keserakahan), moha (kebodohan), alobha(ketidak
serakahan), adosa (tidak membenci), dan amoha (ketidak bodohan). Sedangkan motif yang tidak
disadari adalah keinginan untuk hidup langgeng (jivitukama) dan keinginan untuk menghindar
dari kematian (amaritukama). Ketiga faktor tersebut merupakan sebab terjadinya suatu karma
yang akan menimbulkan akibat. Sedangkan dalam paticcasamuppada, ketidak-tahuan (avijja)
merupakan sebab utama yang menimbulkan karma. 
Dalam agama Buddha tidak ada pembuat kamma karena ajaran Buddha
mengajarkan anatta (tanpa inti). Dalam Visudhi-Magga, bhikkhu Budhagosa mengatakan bahwa
“ Tak ada pelaku yang menjalankan perbuatan (kamma), ataupun seseorang yang merasakan
buahnya, hanyalah suku cadang penunjang yang bergulir terus, inilah sesuangguhnya yang
betul”.

Punarbhava adalah kelahiran kembali atau tumumbal lahir. Dalam agama Buddha


dikenal juga dengan penerusan dari nama (patisandhi vinnana). Ketika seseorang akan
meninggal dunia, kesadaran ajal (cuti citta) mendekati kepadaman dan didorong oleh kekuatan-
kekuatan kamma. Kemudian kesadaran ajal padam dan langsung menimbulkan kesadaran
penerusan (patisandhi vinnana ) untuk timbul pada salah satu dari 31 alam kehidupan sesuai
dengan karmanya. 
Keinginan tak terpuaskan akan keberadaan dan kenikmatan inderawi adalah sebab
tumimbal lahir (Dhammananda, 2004: 141). Dengan memadamkan nafsu keinginan maka kita
dapat menghentikan tumimbal lahir. Nafsu keinginan ini merupakan salah satu sebab yang
menimbulkan karma dan menimbulkan proses kelahiran kembali.
Ajaran agama Buddha tentang tumimbal lahir harus kita bedakan dari ajaran tentang
perpindahan dan reinkarnasi dari agama lain. Tumimbal lahir atau punarbhava yang disebut juga
penerusan (patisandhi) bukan perpindahan roh karena dalam agama Buddha tidak mengenal roh
yang kekal dan berpindah. Dalam agama Buddha dikenal dengan penerusan dari nama
(patisandhi vinnana). Secara umum ada 4 cara tumimbal lahirnya mahluk-mahluk,
yaitu Jalabuja-yoni(lahir melalui kandungan seperti manusia, sapi, dan kerbau), andaja-
yoni (lahir melalui telur seperti ayam, bebek, dan burung), sansedaja-yoni (lahir melalui
kelembaban seperti nyamuk dan ikan), dan opapatika-yoni(lahir secara spontan seperti mahluk-
mahluk alam dewa dan peta). 
Ada dua pendapat tentang tumimbal lahir, yang pertama menurut Abhidhamma bahwa
tumimbal lahir terjadi segera setelah kematian suatu mahluk tanpa keadaan antara apapun.
Sedangkan yang kedua ada yang berpendapat bahwa suatu mahluk setelah mati maka kesadaran
atau energi mental mahluk tersebut tetap ada dalam suatu tempat, didukung oleh energi mental
akan nafsu dan kemelekatannya sendiri, menunggu hingga cepat atau lambat tumimbal lahir
terjadi. 
Seorang Buddha atau arahat tidak akan terlahir kembali karena telah menghentikan
karma. Dalam Dhammacakkapavatana sutta sang Buddha mengatakan bahwa “inilah kelahiran-
ku yang terakhir, tiada lagi tumimbal lahir bagi-ku”. Hal tersebut membuktikan bahwa seorang
Buddha tidak akan terlahir kembali. 
Kelahiran kembali bukanlah suatu karangan belaka, sekarang ini para ahli sedang
mengumpulkan bukti-bukti adanya suatu tumimbal lahir. Dalam film “Past Lives: Stories of
Reincarnation”, disana memuat cerita orang-orang yang dapat mengingat kehidupan lampaunya.
3.Tilakkhana
Tiga Corak Umum atau Tiga Corak Universal (bahasa Pali: Tilakkhana; bahasa Sanskerta: Tri-
lakkhana) yang sering digunakan oleh mazhab Theravada, dikenal dengan sebutan Tiga
Kesunyataan Mulia oleh mazhab Mahayana merupakan konsep Agama Buddha mengenai ciri
umum kenyataan eksistensi seperti yang diserap oleh persepsi. Menurut tradisi Agama
Buddha semua hal-ihwal atau fenomena yang hadir dalam keberadaan selain
dari Nirwana dikusasai oleh tiga ciri umum, yaitu: ketidakkekalan, penderitaan, dan ke-tiada-
akuan (atau tanpa inti).

4. Paticca Samuppada
Kata "Paticcasamuppada" mempunyai arti : Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan atau
timbul karena kondisi-kondisi yang saling bergantungan.
Paticcasamuppada ini adalah untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya,
dimana tidak ada sesuatu itu timbul tanpa sebab. Bila kita mempelajari Hukum
Paticcasamuppada ini dengan sungguh-sungguh, kita akan terbebas dan pandangan salah dan
dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya.
Paticcasamuppada ini adalah merupakan obyek dasar dari Vipassana Bhavana termasuk salah
satu obyek dari keenam obyek dasar Vipassana Bhavana, yaitu : 
1. Khadha 5/Pancakkhandha 
2. Dhatu 18 
3. Ayatana 12 
4. Indriya 22 
5. Paticcasamuppada 
6. Ariya Sacca/Cattari Ariya Saccani 

Paticcasamuppada ada 12 faktor sebagai berikut : 


1. Avijja paccaya sankhara : Dengan adanya Avijja (kebodohan bathin) maka muncullah
Sankhara (bentuk-bentuk karma). 
2. Sankhara paccaya vinnanam : Dengan adanya Sankhara (bentuk-bentuk karma) maka
muncullah Vinnana (kesadaran). 
3. Vinnana paccaya nama-rupam : Dengan adanya Vinnana (kesadaran) maka muncullah Nama-
Rupa (bathin jasmani). 
4. Nama-Rupa paccaya salayatanam : Dengan adanya Nama-Rupa (bathin-jasmani) maka
muncullah Salayatana (enam landasan indera). 
5. Salayatana paccaya phasso : Dengan adanya Salayatana (enam landasan indera) maka
muncullah Phassa (kesan-kesan/kontak). 
6. Phassa paccaya vedana : Dengan adanya Phassa (kesan-kesan kontak) maka muncullah
Vedana (perasaan). 
7. Vedana paccaya tanha : Dengan adanya Vedana (perasaan) maka muncullah Tanha (keinginan
rendah). 
8. Tanha paccaya upadanam : Dengan adanya Tanha (keinginan rendah), maka muncullah
Upadana (kemelekatan) 
9. Upadanna paccaya bhavo : Dengan adanya Upadana (kemelekatan) maka muncullah Bhava
(penjadian). 
10. Bhava paccaya jati : Dengan adanya Bhava (penjadian) maka muncullah Jati (kelahiran). 
11. Jati paccaya jara-maranam : Dengan adanya Jati (kelahiran) maka muncullah Jara (ketuaan)
dan Marana (kematian).

Anda mungkin juga menyukai