Anda di halaman 1dari 10

Pura Luhur Batukaru

Informasi umum
Jenis Pura
Gaya
Candi Hindu
arsitektur
Lokasi Kabupaten Tabanan, Bali
Alamat Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel
Negara Indonesia
Koordinat 8,3720377°LS 115,1003949°BT
Mulai
Abab ke-11 Masehi
dibangun
Direnovasi 1959

Pura Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa. Karena fungsinya
untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan mempergunakan air secara
benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai Ratu Hyang Tumuwuh --
sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan. Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede, Kecamatan
Penebel, Kabupaten Tabanan. Lokasi pura ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung
Batukaru.

Sejarah
Di dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi, sezaman
dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering
Jagat. Penggagas pembentukan dari Sad Kahyangan adalah Mpu Kuturan.[1]

Setelah keberadaan Pura Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan dengan jelas
bagaimana keadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan dari kitab Babad Buleleng.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada tahun tersebut di atas dirusak oleh Raja
Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman dan tidak ada lagi musuh
yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas wilayahnya ke daerah Tabanan. Raja Ki Gusti Ngurah
Panji Sakti dalam perjalanan menuju ke Tabanan bertemu dengan daerah Batukaru yang merupakan wilayah
daerah Kerajaan Tabanan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti bersama prajuritnya kemudian merusak Pura Luhur
Batukaru tersebut. Ketika Ki Panji Sakti dan prajuritnya merusak Pura Batukaru tiba-tiba datang ribuan tawon
yang ganas menyerang dan menyengat mereka. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh
tawon yang ganas itu, kemudian Ki Panji Sakti dan prajurit nya mundur dan membatalkan niatnya untuk
menyerang kerajaan Tabanan. Berkat ulah Ki Panji Sakti dan prajuritnya tersebut maka bangunan pelinggih
Pura Batukaru rusak total dan tinggal puing-puing saja.

Baru kemudian pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti sekarang
ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dan bantuan dari pemerintah daerah dan sampai
sekarang keadaan dan kondisi Pura Batukaru sudah semakin baik. Di Pura Luhur Batukaru ini selain terdapat
bangunan utama, di sebelah timur nya juga terdapat sumber mata air yang terdiri atas dua bagian yaitu bagian
yang berlokasi di dalam pura (jeroan) yang dipergunakan khusus untuk memohon air suci (tirtha) untuk
keperluan upacara dan bagian yang kedua adalah untuk kepentingan mandi dan cuci muka sebagai pembersihan
diri sebelum melakukan persembahyangan.

Di pura ini Dr. R. Goris, seorang ahli ilmu arkeologi, pernah mengadakan penelitian pada tahun 1928. Goris
banyak menjumpai patung-patung yang jenisnya serupa dengan patung yang terdapat di Pura Goa Gajah yaitu
patung yang mengeluarkan pancuran air dari pusarnya. Bedanya patung yang terdapat di Goa Gajah itu dalam
posisi berdiri, sedangkan yang di Pura Batukaru dalam posisi duduk bersila. Menurut Goris, patung yang
terdapat di Batukaru sejaman dengan patung yang terdapat di Pura Goa Gajah.Bangunan suci (Pelinggih) utama
di Pura Batukaru adalah berbentuk Candi bukanMeru seperti kebanyakan pura yang ada di Bali. Ini sangat jelas
dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Timur dan India.

Upacara Piodalan
Pujawali atau Upacara piodalan di pura ini jatuh setiap 210 hari sekali yaitu pada hari Kamis, Wuku
Dungulan (kalender Bali), satu hari setelah hari raya Galungan.

Sanghyang Tumuwuh di Pura Batukaru


Avir Vai nama devata,
rtena-aste parivrta,
tasya rupena-ime vrksah,
harita haritasrajah.
(Atharvaveda X. 8.31).

Maksudnya:
Warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan karena mengandung klorofil di dalamnya. Zat klorofil itu
menyelamatkan hidup. Hal itu ditetapkan oleh Rta yang ada dalam tumbuh-tumbuhan. Karena zat itu
tumbuh-tumbuhan menjadi amat berguna sebagai bahan makanan dan obat-obatan.

PURA Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan sebagai Dewa Mahadewa. Karena
fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan
mempergunakan air secara benar, maka di Pura Luhur Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai
Ratu Hyang Tumuwuh -- sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan.

Tuhan sebagai sumber yang mempertemukan air dengan tanah sehingga muncullah kekuatan untuk
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu akan tumbuh subur dengan daunnya yang hijau
mengandung klorofil sebagai zat yang menyelamatkan hidup. Pemujaan Tuhan di Pura Luhur Batukaru
hendaknya dijadikan media untuk membangun daya spiritual membangun semangat hidup untuk secara
sungguh-sungguh menjaga kesuburan tanah dan sumber-sumber air.

Dengan tanah yang terjaga kesuburannya dan sumber-sumber air terlindungi, maka tumbuh-tumbuhan akan
subur. Tumbuh-tumbuhan yang subur akan berlanjut terus apabila udara tidak tercemar oleh emisi CO2.
Udara yang tercemar akan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak pucuk tumbuhan-tumbuhan. Jadi
pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memiliki makna yang dalam bagi kehidupan umat manusia
di bumi ini. Adanya konferensi tentang merubahan cuaca yang diikuti oleh 187 negara di Nusa Dua patut
dijadikan momentum untuk mengingatkan diri kita tentang nilai yang terkandung di balik Pemujaan Sang
Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru.
Pura Luhur Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Lokasi pura
ini terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng selatan Gunung Batukaru. Kemungkinan besar nama pura ini
diambil dari nama Gunung Batukaru ini. Bagi mereka yang ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru
sangat diharapkan terlebih dahulu sembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu ini memang letaknya
agak jauh dari Pura Luhur Batukaru.

Tujuan persembahyangan di Pura Jero Taksu itu adalah sebagai permakluman agar sembahyang di Pura
Luhur Batukaru mendapatkan keberhasilan. Pura Taksu ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan
Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah menuju pancuran yang letaknya di bagian tenggara dari pura utama
namun tetap berada dalam areal Pura Luhur Batukaru.

Air pancuran ini adalah untuk menyucikan diri dengan jalan berkumur, cuci muka dan cuci kaki di pancuran
tersebut terus dilanjutkan sembahyang di Pelinggih Pura Pancuran tersebut sebagai tanda penyucian sakala
dan niskala atau lahir batin sebagai syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan kesucian jasmani
dan rohani.

Pura Luhur Batukaru ini juga termasuk Pura Sad Kahyangan yang disebut dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura
Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi. Sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur,
Pura Guwa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat. Sebagai penggagas berdirinya Sad
Kahyangan adalah Mpu Kuturan.

Banyak pandangan para ahli bahwa Mpu Kuturan mendirikan Sad Kahyangan Jagat untuk memotivasi umat
menjaga keseimbangan eksistensi Sad Kerti yaitu Atma Kerti, Samudra Kerti, Wana Kerti, Danu Kerti, Jagat
Kerti dan Jana Kerti.

Pura Luhur Batukaru kemungkinan sebelumnya sudah dijadikan tempat pemujaan dan tempat bertapa
sebagai media Atma Kerti oleh tokoh-tokoh spiritual di daerah Tabanan dan Bali pada umumnya. Pandangan
tersebut didasarkan pada adanya penemuan sumber-sumber air dan dengan berbagai jenis arca Pancuran.
Dari adanya sumber-sumber mata air ini dapat disimpulkan bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk
bertapa bagi para Wanaprastin untuk menguatkan hidupnya menjaga Sad Kerti tersebut.

Setelah pendirian Pura Luhur Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan dengan jelas
bagaimana keberadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan dari kitab Babad
Buleleng. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada tahun tersebut di atas dirusak
oleh Raja Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman tidak ada lagi musuh
yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas kerajaan lalu mengadakan perluasan ke Tabanan.
Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam perjalanan bertemu dengan daerah Batukaru yang merupakan daerah
Kerajaan Tabanan. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti bersama prajuritnya lalu merusak Pura Luhur Batukaru. Pura
tersebut diobrak-abriknya.

Di luar perhitungan Ki Panji Sakti tiba-tiba datang tawon banyak sekali galak menyengat entah dari mana
asalnya. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang galak dan berbisa itu. Ki
Panji Sakti lari terbirit-birit dan mundur teratur dan membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan
Tabanan. Karena pura tersebut dirusak oleh Ki Panji Sakti maka bangunan pelinggih rusak total. Tinggal
onggokan berupa puing-puing saja.
Baru pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti sekarang ini.
Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dari pemerintah daerah berupa bantuan. Sampai
sekarang Pura Luhur Batukaru sudah semakin baik keadaannya.

· I Ketut Gobyah

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/12/12/bd2.htm

Melindungi ”Tri Chanda” di Pura Luhur Batukaru

Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh di Pura Luhur Batukaru sebagai suatu pemujaan untuk
memotivasi umat manusia agar secara nyata melakukan langkah melindungi Tri Chanda sebagaimana
dinyatakan dalam Mantra Atharvaveda XVIII.17. Yang dimaksud Tri Chanda itu adalah air, tumbuh-
tumbuhan dan udara. Kalau keberadaan tiga benda yang menutupi bumi ini tidak terganggu oleh ulah
manusia yang mau hidup berlebihan maka Tri Chanda itulah yang berfungsi untuk menjadi sumber yang
menumbuhkan kehidupan ini. Apa fungsi Tri Chanda di Pura Luhur Batukaru itu?

Tri Chanda itulah yang menyebabkan keberadaan Pura Luhur Batukaru sangat alami sesuai dengan tattwa
yang melatarbelakangi keberadaan Pura Luhur Batukaru tersebut. Demikian juga Pura Presanak atau Jajar
Kemiri dari Pura Luhur Batukaru ini melambangkan nilai-nilai spiritual yang memotivasi umat agar
senantiasa menjaga kelestarian eksistensi Tri Chanda tersebut. Penampilan fisik Pura Luhur Batukaru
tersebut amat artistik mengikuti rona alam di lingkungan pura.

Di Pura Luhur Batukaru ini di samping ada bangunan utama, di sebelah timurnya terdapat sumber mata air
terdiri atas dua kompleks. Ada kompleks yang berlokasi di jeroan (dalam) pura pokok yang dipergunakan
khusus untuk memohon Tirtha (air suci) untuk kepentingan upacara. Kompleks yang kedua adalah untuk
kepentingan mandi dan cuci muka sebagai pembersihan diri dalam rangka persiapan untuk bersembahyang.

Upacara piodalan di pura ini jatuh setiap 210 hari sekali yaitu pada setiap Kamis Wuku Dungulan sehari
setelah hari raya Galungan. Suatu yang unik di Pura Luhur Batukaru adalah mengenai upacara piodalan dan
upacara besar lainnya tidak pernah dipimpin oleh pandita. Upacara cukup dipimpin oleh pemangku yang
disebut Jero Kubayan. Di pura ini Dr. R. Goris, seorang ahli ilmu arkeologi, pernah mengadakan penelitian
pada tahun 1928.

Di pura ini, Goris banyak menjumpai patung-patung yang tipenya serupa dengan patung yang terdapat di
Goa Gajah yaitu patung yang keluar pancuran air dari pusarnya. Bedanya patung di Goa Gajah berdiri,
sedangkan yang di Pura Batukaru duduk bersila. Menurut Goris, patung yang terdapat di Batukaru sezaman
dengan patung di Goa Gajah.

Pura Luhur Batukaru denahnya dibagi menjadi tiga mandala. Bangunan yang paling utama di denah yang
paling utama atau Utama Mandala berupa candi yang bentuknya sangat mirip dengan bentuk candi di Jawa
Timur. Bentuknya ramping atapnya terdiri atas perpaduan tingkatan (punden berundak-undak). Candi utama
ini diapit oleh Candi Perwara, serta di ujung kiri dan kanannya diapit oleh Padmasana. Jadi pada leretan
bangunan utama terdapat lima bangunan atau pelinggih. Di candi utama inilah dipuja Dewa Mahadewa.
Masyarakat menyebutnya Ratu Hyang Tumuwuh.

Mengapa Dewa Mahadewa diberi gelar Ratu Hyang Tumuwuh. Karena untuk menjaga keterpaduan air,
udara dan tumbuh-tumbuhan di bumi ini. Agar semua alam tersebut terpadu adanya, sebagai langkah awal
umat mohon tuntunan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh. Karena Tuhanlah sebagai mahapencipta semua
unsur alam tersebut. Sebutan Tuhan sebagai Sang Hyang Tumuwuh memang sebutan yang amat lokal Bali.
Tetapi dibaliknya terdapat nilai-nilai universal tentang etika perlakuan sumber-sumber alam ciptaan Tuhan
tersebut. Kalau udara kotor, sumber-sumber air tak terlindungi maka tumbuh-tumbuhan pun akan merana.
Kalau tumbuh-tumbuhan merana hidup manusia pun akan menderita kekurangan bahan makanan dan obat-
obatan.

Pelinggih utama di Pura Luhur Batukaru berbentuk Candi bukan Meru. Ini jelas pengaruh arsitektur Jawa
Timur dan India. Candi tersebut merupakan tempat pemujaan Dewa Mahadewa. Candi diapit oleh Candi
Perwara. Di sudut timur laut dan barat laut terdapat Pelinggih Padma Ratu Bagus Panji dan Ratu Puseh
Kubayan.

Di pojok barat daya ada dua bangunan Gedong paling selatan berjejer. Dua Gedong itu sebagai Pedharman
Raja Badung dan Raja Tabanan. Kedua Raja ini adalah satu klan. Di areal Utama Mandala terdapat tidak
kurang dari 24 bangunan penting dan pelengkap. Di areal kedua yang disebut Madya Mandala ada sebuah
Pelinggih Gedong stana Ratu Pasek sebagai tempat memohon suksesnya upacara yadnya.

Di pojok barat laut ada Gedong Simpen untuk tempat menyimpan Pratima. Di selatan Gedong Simpen
tersebut terdapat bangunan Balai Agung dengan dua belas tiang. Balai Agung ini tempat berkumpulnya
semua simbol sakral terutama saat Melasti. Pura Batukaru ini di samping sebagai Pura Sad Kahyangan juga
berkedudukan sebagai Pura Catur Loka Pala sebagaimana disebutkan dalam Lontar Purana Bali. Di timur
Pura Lempuhyang Luhur, di selatan Pura Andakasa, di Barat Pura Luhur Batukaru dan utara Pura Pucak
Mangu.

Pura Luhur Batukaru juga sebagai Pura Padma Bhuwana yaitu sembilan pura yang mengelilingi Pulau Bali.
Pura Padma Bhuwana sebagai lambang pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana di sembilan penjuru alam
semesta. Tidak ada bagian alam semesta ini tanpa kehadiran Tuhan. Keberadaan Tuhan seperti itulah yang
diekspresikan di sembilan pura di Pulau Bali.

Kalau penerapan konsep ketuhanan agama Hindu di Bali ini benar-benar dihayati, maka umat Hindu tidak
akan berhenti pada sembahyang dengan upacara yadnya saja dalam mengamalkan ajaran. Itu baru langkah
mengarah pada aspek niskala untuk membangun daya spiritual umat. Yang niskala itu seharusnya di-sekala-
kan dalam perilaku hidup sehari-hari untuk secara aktif menjaga eksistensi Tri Chanda tersebut sesuai dengan
sifat alaminya.

Dalam Chanakya Niti XIV, 18 dinyatakan bahwa untuk mendapatkan hidup sejahtera lindungilah lima hal
yaitu: Dharma (kesucian agama) Dhana (aset publik), Dhanyam (bahan makanan), Guru Wacana (kata-kata
bijak guru suci), dan Ausada (sistem kesehatan). Kelima unsur tersebut akan terjaga dengan diawali untuk
melindungi Tri Chanda bumi ini. Di Bali banyak sekali warisan para resi guru suci berupa kata-kata bijak
sebagai pegangan untuk menjaga Tri Chanda dan lima hal untuk membangun hidup sejahtra. * wiana

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/12/12/bd1.htm
Pura Batukaru: Tempat Suci di Lereng Gunung
Batukaru Bali
Objek wisata Pura Batukaru Bali, tempat suci di lereng Gunung
Batukaru Tabanan Bali, Indonesia sebagai salah satu dari sembilan
pura utama di pulau dewata
Pura Batukaru (Pura Luhur Batukaru) adalah sebuah tempat suci Hindu yang terletak tepat di lereng gunung
Batukaru Bali, selain sebagai tempat untuk bersembahyang yang sangat di sucikan oleh masyarakat Hindu Bali.
Pura Batukaru juga terkenal sebagai tempat wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Bagi anda yang sedang liburan di Bali, mungkin bisa mencoba merasakan suasana
tenang, damai serta segarnya udara pegunungan dengan mengunjungi obyek wisata Pura Batukaru ini.

Pura Batukaru terletak di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Kurang lebih
46 Kilometer dari kota Denpasar, lokasi Pura Luhur Batukaru terletak di bagian barat Pulau Bali di lereng
selatan Gunung Batukaru.

Kemungkinan besar nama Pura Batukaru diambil dari nama Gunung Batukaru itu sendiri. Pura Luhur Batukaru
adalah selain sebagai tempat suci agama Hindu juga sebagai salah satu objek wisata yang sangat digemari oleh
wisatawan yang ingin menikmati kesegaran dan kedamaian yang terdapat di kawasan Pura Batukaru ini,
biasanya wisatawan akan mengunjungi pura Batukaru setelah/sebelum mereka mengunjungi tempat wisata
sawah terasering Jatiluwih karena letak kedua objek wisata ini tidak terlalu jauh.

Di kawasan Pura Batukaru ini kita tidak akan menjumpai toko-toko suvenir, warung ataupun artshop seperti
tempat wisata lainnya sehingga di kawasan Pura Batukaru ini memang sebuah tempat yang jauh dari kebisingan
dan kesuciannya selalu dijaga oleh masyarakat Bali. Wisatawan yang ingin mengunjungi Pura Luhur Batukaru
ini harus menggunakan pakaian yang sopan agar kesucian pura tetap terjaga.

Pura Batukaru kemungkinan sebelumnya sudah dijadikan tempat pemujaan dan tempat bertapa oleh tokoh-
tokoh spiritual di daerah Tabanan dan Bali pada umumnya. Pandangan tersebut didasarkan pada adanya
penemuan sumber-sumber air dengan berbagai jenis arca Pancuran. Dari adanya sumber-sumber mata air
tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah ini pernah dijadikan tempat untuk bertapa bagi para pertapa
(Wanaprastin) untuk mencari kedamaian hidupnya.

Pura Batukaru (Watukaru)

Sejarah Pura Luhur Batukaru

Informasi tentang sejarah Pura Luhur Batukaru ini sangat minim dan belum diketahui pasti siapa pendiri dan
kapan berdiri nya, tetapi Pura Batukaru ini termasuk di dalam salah satu dari enam pura utama (Sad
Kahyangan) di pulau Bali seperti yang disebutkan di dalam Lontar Kusuma Dewa.

Pura Luhur Batukaru sudah ada pada abad ke-11 Masehi, sezaman dengan Pura Besakih, Pura Lempuyang
Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, dan Pura Pusering Jagat. Penggagas pembentukan dari Sad
Kahyangan adalah Mpu Kuturan.
Setelah keberadaan Pura Batukaru pada abad ke-11 tersebut kita tidak mendapat keterangan dengan jelas
bagaimana keadaan pura tersebut. Baru pada tahun 1605 Masehi ada keterangan dari kitab Babad Buleleng.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Pura Luhur Batukaru pada tahun tersebut di atas dirusak oleh Raja
Buleleng yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Dalam kitab babad tersebut diceritakan bahwa Kerajaan Buleleng sudah sangat aman dan tidak ada lagi musuh
yang berani menyerangnya. Sang Raja ingin memperluas wilayahnya ke daerah Tabanan. Raja Ki Gusti Ngurah
Panji Sakti dalam perjalanan menuju ke Tabanan bertemu dengan daerah Batukaru yang merupakan wilayah
daerah Kerajaan Tabanan.

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti bersama prajuritnya kemudian merusak Pura Luhur Batukaru tersebut, ketika Ki
Panji Sakti dan prajuritnya merusak Pura Batukaru tiba-tiba datang ribuan tawon yang ganas menyerang dan
menyengat mereka. Ki Panji Sakti beserta prajuritnya diserang habis-habisan oleh tawon yang ganas itu,
kemudian Ki Panji Sakti dan prajurit nya mundur dan membatalkan niatnya untuk menyerang kerajaan
Tabanan. Berkat ulah Ki Panji Sakti dan prajuritnya tersebut maka bangunan pelinggih Pura Batukaru rusak
total dan tinggal puing-puing saja.

Baru kemudian pada tahun 1959 Pura Luhur Batukaru mendapat perbaikan sehingga bentuknya seperti sekarang
ini. Pada tahun 1977 secara bertahap barulah ada perhatian dan bantuan dari pemerintah daerah dan sampai
sekarang keadaan dan kondisi Pura Batukaru sudah semakin baik.

Di Pura Luhur Batukaru ini selain terdapat bangunan utama, di sebelah timur nya juga terdapat sumber mata air
yang terdiri atas dua bagian yaitu bagian yang berlokasi di dalam pura (jeroan) yang dipergunakan khusus
untuk memohon air suci (tirtha) untuk keperluan upacara dan bagian yang kedua adalah untuk kepentingan
mandi dan cuci muka sebagai pembersihan diri sebelum melakukan persembahyangan.

Di pura ini Dr. R. Goris, seorang ahli ilmu arkeologi, pernah mengadakan penelitian pada tahun 1928. Goris
banyak menjumpai patung-patung yang jenisnya serupa dengan patung yang terdapat di Pura Goa Gajah yaitu
patung yang mengeluarkan pancuran air dari pusarnya. Bedanya patung yang terdapat di Goa Gajah itu dalam
posisi berdiri, sedangkan yang di Pura Batukaru dalam posisi duduk bersila.

Menurut Goris, patung yang terdapat di Batukaru sejaman dengan patung yang terdapat di Pura Goa
Gajah.Bangunan suci (Pelinggih) utama di Pura Batukaru adalah berbentuk Candi bukan Meru seperti
kebanyakan pura yang ada di Bali. Ini sangat jelas dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Timur dan India.

Upacara Piodalan Pura Batukaru

Pujawali atau Upacara piodalan di pura ini jatuh setiap 210 hari sekali yaitu pada hari Kamis, Wuku Dungulan
(kalender Bali), satu hari setelah hari raya Galungan. Suatu hal yang unik di Pura Luhur Batukaru adalah pada
saat proses upacara dilakukan dan upacara besar lainnya tidak pernah dipimpin oleh Pendeta/Pedanda. Upacara
hanya dipimpin oleh Pemangku yang disebut Jero Kubayan.

Bagi mereka yang ingin sembahyang ke Pura Luhur Batukaru sangat direkomendasikan terlebih dahulu untuk
bersembahyang di Pura Jero Taksu. Pura Jero Taksu terletak agak jauh dari Pura Batukaru.Tujuan
persembahyangan di Pura Jero Taksu adalah untuk memohon agar proses sembahyang yang akan dilakukan
nanti di Pura Luhur Batukaru akan mendapatkan keberhasilan dan tanpa rintangan.

Pura Taksu ini merupakan bagian dari Pura Luhur Batukaru. Setelah itu barulah kemudian menuju ke pancuran
dari mata air yang letaknya di bagian tenggara dari pura utama namun tetap berada dalam areal Pura Batukaru.
Pancuran dari mata air ini adalah bertujuan untuk menyucikan diri kita dengan berkumur, cuci muka dan cuci
kaki, kemudian dilanjutkan dengan bersembahyang di Pelinggih yang ada di mata air tersebut sebagai tanda
penyucian lahir batin (Skala dan Niskala) sebagai syarat utama agar pemujaan dapat dilakukan dengan jasmani
dan rohani yang bersih dan suci.

Pura Luhur Batukaru adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan dalam manifestasi-NYA sebagai Dewa
Mahadewa. Karena fungsinya untuk memuja Tuhan sebagai Dewa yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
dengan mempergunakan air secara benar, maka di Pura Batukaru ini disebut sebagai pemujaan Tuhan sebagai
Ratu Hyang Tumuwuh (sebutan Tuhan sebagai yang menumbuhkan).

Pura Batukaru juga adalah sebagai Pura Padma Bhuwana yaitu sembilan pura yang terdapat di sembilan
penjuru Pulau Bali. Pura Padma Bhuwana sebagai lambang pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana di
sembilan penjuru alam semesta. Tidak ada bagian alam semesta ini tanpa kehadiran Tuhan. Keberadaan Tuhan
seperti itulah yang diekspresikan di sembilan pura di Pulau Bali.

Pura Luhur Jatiluwih


Di pedalaman hutan Batukaru, pada ketinggian sekitar seribu meter, disembunyikan oleh rimbunnya pepohonan
dan dinginnya udara pegunungan, berdiri sebuah pura yang sederhana, Pura Luhur Jati Luwih. Namun pura ini
memiliki makna yang sangat istimewa bagi sebagian besar warga Tabanan. Bahkan, pura ini layak dinyatakan
sebagai sarinya buana, karena terkait dengan kesuburan jagat serta tempat memohon kesejahteraan. Sejarah
pendirian pura ini, sesuai dengan cerita rakyat yang diyakini kebenarannya sangat unik, apa itu?

Pura Luhur Jati Luwih berlokasi di wilayah Desa Adat Sarinbuana, Desa Wanagiri, Selemadeg, Tabanan.
Berada di tengah-tengah hutan lindung pada sisi sebelah tenggara punggung Gunung Batukaru dengan
ketinggian sekitar seribu meter di atas permukaan laut, beriklim pegunungan yang dingin, dengan kelembaban
udara yang cukup tinggi.

Pura ini diperkirakan telah berdiri pada abad ke-9 sampai 12 Masehi. Untuk mencapainya, para pamedek dapat
melalui jalan raya jalur Denpasar-Gilimanuk, belok ke kanan jurusan Bajera Pupuan Sawah-Wanagiri hingga
mencapai Desa Adat Sarinbuana. Dari Desa Sarinbuana kita harus memasuki hutan lindung lebih dari 3 km
dengan kemiringan sekitar 45 derajat untuk mencapai pura ini.

Sangat sedikit sumber maupun catatan pengkajian yang mengungkap pendirian Pura Jati Luwih. Sumber yang
dapat dikumpulkan melalui penuturan dari pemuka masyarakat, pemangku pura dan pelinggih-pelinggih yang
ada, serta tata upacara yang berlaku di pura tersebut. Berdasarkan penuturan Jero Mangku Gede (I Wayan
Menteg) yang diyakini kebenarannya secara turun-temurun oleh masyarakat sekitar, pada zaman dahulu,
masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Batukaru, khususnya masyarakat di sekitar wilayah pura,
mengalami kemarau panjang sehingga lahan pertanian kering tidak menghasilkan. Masyarakat pun mengalami
kelaparan oleh peristiwa itu.

Dengan harapan untuk bertahan hidup, sebagian masyarakat masuk ke hutan untuk berburu maupun
mendapatkan beberapa bahan makanan. Beberapa di antaranya kawehan (mengalami kehilangan pandangan
normal dan mengalami penglihatan gaib) dan melihat sawah yang padinya menguning dan sebuah rumah indah.
Oleh sang kakek yang menjadi pemilik rumah dan padi itu, warga tersebut diajak singgah ke rumah.

Di sana warga yang berburu itu diberi beberapa helai bulir bibit padi gaga (tegalan) dan berpesan agar padi
tersebut ditanam dan dikembangkan di desanya. Setelah menerima bibit padi, tiba-tiba kakek tersebut
menghilang seketika dan rumah yang bagus tersebut kini berubah menjadi bebaturan dalam kesadaran yang
pulih dari pemburu tersebut.

Bibit padi tersebut ternyata berkembang dengan baik dan di tempat bebaturan itu didirikan pelinggih untuk
mengupacarai setelah padi menguning atau menjelang panen. Pelinggih tersebut diberi nama Pucak Sari. Pura
Pucak Sari adalah pura yang pertama didirikan untuk penunasan amerta. Tempat itu diberi tanda dengan pelawa
yang ditancapkan. Sementara desa di mana bibit padi itu ditanam dikenal oleh masyarakat sebagai Desa
Sarinbuana yang memiliki arti tempat sari-sarinya buana atau inti sari bumi yang memberi sumber kehidupan
dan kemakmuran.

Dikatakan Jero Mangku Gede, sebelum zaman kerajaan di Tabanan, Pura Luhur Jati Luwih dikenal dengan Pura
Luhur Sarinbuana, sama dengan nama desa adat sebagai pengempon pura tersebut. Mulai pada zaman kerajaan,
nama Pura Sarinbuana diubah menjadi Pura Luhur Jati Luwih untuk tidak mengaburkan nama Pura Sarinbuana
dengan nama Desa Adat Sarinbuana.

Pura Luhur Jati Luwih berarti pura yang berada di atas, di dataran tinggi, yang benar-benar utama, mulia atau
baik (luwih). Menurut keyakinan masyarakat setempat, Pura Luhur Jati Luwih juga bermakna tempat suci yang
benar-benar selalu memberikan kebaikan dan kesejatian dari hal yang dimohon pada tempat ini.

Dalam perjalanan sejarah, ternyata Pura Luhur Jati Luwih mengalami beberapa kali renovasi sehingga banyak
bukti kepurbakalaan hilang. Seingat pemangku pura, pemugaran yang diketahuinya pertama dilakukan tahun
1971, disusul dengan pemugaran kedua tahun 1978 dan pemugaran ketiga tahun 1993. Berdasarkan cerita,
bentuk asli pelinggih sebelum dipugar adalah berbentuk bebaturan yang berundak dengan batu menhir tertancap
pada sisi-sisi samping ruang altar pemujaan.

Dari pengkajian yang dilakukan termasuk oleh Bappeda Tabanan disimpulkan, bangunan asli pelinggih Pura
Luhur Jati Luwih merupakan bangunan zaman batu besar (megalitikum) dengan tradisi kebudayaan Hindu
klasik. Di antara delapan buah pelinggih yang berjajar menghadap ke selatan hanya satu buah yang masih
berbentuk bebaturan hingga kini yaitu pelinggih paling timur untuk pemujaan Ida Batari Pemutering Danu
(Ulun Danu).

Sementara bangunan pelinggih lainnya telah diganti dengan bangunan pelinggih gegedongan yaitu gedong
kereb dua buah sebagai pelinggih pokok untuk penghayatan ke Pucak Kedaton dan Pelinggih Agung Ida Batara
Luhur Jati Luwih. Sedangkan lima buah pelinggih lainnya berbentuk gedong sekapat makereb duk masing-
masing beruangan satu.

Ada satu pelinggih penghayatan ke Majapahit berupa Padma Capak Alit, menggambarkan pura tersebut
mengalami proses perkembangan dari satu periode ke periode lainnya, dari zaman kuno hingga adanya
pengaruh Jawa, yang diperkirakan zaman Mpu Kuturan sebagai tokoh suci sekaligus arsitek penataan pura di
Bali.

Uniknya seluruh pelinggih yang ada berupa bangunan pendek-pendek, berbeda dengan pura lainnya di Bali
yang menjulang tinggi. Dari peninggalan sejarah dan konsep pemujaan di pura itu, diperkirakan Pura Jati Luwih
dibangun zaman Apaniyaga yaitu peralihan zaman Bali Aga ke zaman pengaruh Jawa sekitar abad ke-9 sampai
12 Masehi. Peninggalan sejarah berupa prasasti yang terdapat di Desa Sarinbuana bertahun Caka 1103, zaman
pemerintahan Raja Jaya Pangus.

Bukti penunjuk lain, juga terdapat peninggalan sejarah yang tersimpan di Pura Siwa Desa Adat Sarinbuana
berupa batu berbentuk kepala babi dan beberapa buah gong serta peralatan upacara berupa bajra atau genta.
Dari bukti tersebut, menunjukkan Pura Luhur Jati Luwih merupakan pura yang cukup tua dengan karakteristik
pemujaan pada puncak gunung sebagai purusa dan ulun danu sebagai pradana. Masyarakat pendukung telah
mengenal sistem pertanian dan menetap dalam lingkungan desa pakraman.

Sejak dulu, pura ini dibina atau diayomi langsung oleh Puri Agung Tabanan dan pangenceng dari pura ini
adalah Jero Subamia Tabanan yang pada zaman kerajaan sebagai patihnya Raja Tabanan. (upi)

Tempat Memohon Jejaton

PURA Jati Luwih memiliki fungsi ganda, di samping memohon keselamatan dan kerahayuan jagat, juga sebagai
tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran di bidang pertanian. Juga sebagai tempat ngerastiti
dalam memohon keselamatan tanaman pangan dari gangguan hama dan memohon turun hujan. Penyungsung
Pura Luhur Jati Luwih di samping Desa Adat Sarinbuana, juga krama subak dengan luas wilayah yang cukup
besar, terdiri atas lima subak pekandelan dan 35 pekaseh subak. Karakter khusus lainnya dari pura ini adalah
sebagai tempat untuk memohon sartana (jejaton) beras apabila ada upacara besar. Jejaton ini di wilayah
Tabanan disebut nguwub.
Pura ini masih berhubungan dengan Pura Pucak Kedaton Batukaru dan Pura Pucak Sari yang ada di Desa Adat
Sarinbuana. Di samping itu juga Pura Siwa yang berlokasi di Desa Sarinbuana merupakan tempat penyawangan
dan penyimpanan benda pusaka yang masih ada hubungannya dengan pura ini. Di utama mandala pura ini
terdapat delapan buah pelinggih serta empat bangunan suci sebagai penyangga.
Pelinggih paling timur merupakan pelinggih kuno berupa bebaturan untuk pemujaan Hyang Pemuterin Danu.
Pelinggih Gedong Alit Saka Pat Rong Tunggal sebagai penghayatan ke Gunung Agung, selanjutnya pelinggih
sama penghayatan ke Pucak Sari.
Pelinggih utama berupa pemujaan kepada Ida Batara Luhur Jati Luwih berupa pelinggih Gedong Saka Pat Rong
Tunggal, terdapat juga pelinggih penghayatan Ida Batara Lingsir Putus di Pucak Kedaton Batukaru, Ida Batara
Ayu Padangluwah, Ida Batara Turun Gunung, pelinggih Padma Capah pemujaan Ida Batara Mas Pahit. Juga
masih ada beberapa pelinggih lainnya.
Hal yang menarik yang terdapat di jaba tengah berupa bekas bangunan lumbung padi bersaka empat tempat
penyimpanan padi dari subak-subak penungsung dahulunya. Sekitar 400 meter dari pura ini terdapat pelinggih
Taman Beji yang terletak di timur laut Pura Luhur Jati Luwih dengan pelinggih berupa bebaturan dengan air
pancuran yang keluar dari bilahan batu padas.
Untuk saat ini, direncanakan akan dilakukan rehab terhadap pura yang masih tampak sederhana dengan pagar
pembatas hidup, tanpa tembok penyengker ini. Penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana selaku
penganceng mengaku harus memelihara titik-titik kesucian pura dan melakukan rehab tanpa harus
menghilangkan peninggalan-peninggalan kuno yang ada. (bebek)

* dari berbagai sumber *

Anda mungkin juga menyukai