Sang Buddha, yang nama benarnya Siddhatta (Skt. Siddhartha) dan nama
keluarganya Gotama (Skt. Gautama) bertempat tinggal di India Utara di
Kapilavatthu pada abad keenam S.M. Ayahnya, Raja Suddhodana,
adalah raja kerajaan wangsa Sakya (sekarang Nepal). Ibunya bernama
Maya Devi. Menurut kebiasaan pada waktu itu, Beliau dinikahkan pada
usia yang sangat muda, yaitu usia 16 tahun, kepada seorang putri yang
cantik sekali yang bernama Yasodhara.
Pangeran muda ini hidup dalam sebuah istana yang mewah sekali.
Tetapi pada suatu ketika Pangeran melihat kenyataan bahwa hidup ini
sebenarnya penuh dengan penderitaan dan oleh karena itu Ia mengambil
keputusan untuk mencari suatu cara yang dapat membebaskan manusia
dari penderitan.
Pada usia 29 tahun, setelah anaknya yang pertama Rahula baru saja
dilahirkan, Sang Pangeran meninggalkan istananya yang mewah dan
menjalankan kehidupan sebagai seorang pertapa.
2|Page
cara lain lagi untuk menjadi seorang pertapa yang sejati. Tetapi
semuanya ini tidak dapat memuaskan hati Sang Pertapa Gotama. Oleh
karena itu, Ia melepaskan diri dari semua tata cara agama yang ada pada
waktu itu dan ia melakukan usaha-usaha dengan caranya sendiri.
3|Page
BAB II
PANDANGAN AGAMA BUDDHA TENTANG PIKIRAN
Di antara pendiri-pendiri agama, Sang Buddha (kalau kita diperbolehkan
untuk menamakan Beliau sebagai seorang pendiri agama dalam artian
umum) adalah satu-satunya Guru Dunia yang tidak pernah menyatakan
bahwa Beliau bukanlah seorang manusia biasa. Sebagai seorang biasa
Sang Buddha pun tidak pernah mendapat wahyu dari “Satu Kekuasaan
Luar” yang mana pun juga. Beliau mengatakan bahwa semua
penyelaman Kesunyataan, pengalaman dan penerangan yang Beliau
peroleh, semata-mata berkat usaha, jerih payah dan kecerdasan seorang
manusia biasa.
Seorang biasa sajalah yang dapat menjadi Buddha, karena di dalam diri
seorang manusia terdapat kekuatan yang dapat membawa ia menjadi
Buddha asal saja ia mau berusaha.
Kita dapat menamakan seorang Buddha sebagai seorang “Manusia
Sempurna” atau seorang “Super-human”. Menurut agama Buddha,
kedudukan seorang manusialah yang tertinggi. Seorang manusia menjadi
Tuan dari dirinya sendiri dan tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi yang
dapat menentukan nasibnya.
“Orang itu pelindung dari dirinya sendiri, sebab kepada siapa lagi ia
harus mencari perlindungan?” sabda Sang Buddha.
4|Page
Beliau mengajar para siswa-Nya untuk mencari perlindungan pada diri
sendiri dan jangan sekali-kali mencari perlindungan pada diri orang lain.
Beliau mengajar, menganjurkan dan mendorong setiap orang untuk
berusaha atas kekuatan sendiri karena dalam diri sendiri sesungguhnya
terdapat kekuatan yang dapat membebaskannya dari semua belenggu
dengan usaha dan kecerdasan sendiri.
Kalau Sang Buddha pernah disebut sebagai “Juru Selamat, maka hal ini
harus dilihat dari sudut bahwa Sang Buddha yang menemukan dan
mengajar kita Jalan Kebebasan atau Nibbina, meskipun kita sendirilah
yang harus menempuh jalan itu.
5|Page
Kebebasan berpikir dalam agama Buddha adalah unik, lain dari yang
lain, dan tidak dikenal dalam agama-agama lain. Kebebasan ini perlu,
sebab hanya dengan adanya kebebasan ini orang dapat mencapai hasil
yang tertinggi. Orang harus menyelami Kesunyataan karena usaha dan
daya-upayanya sendiri dan penyelaman di atas tak mungkin
diperolehnya karena belas-kasihan dari guru-guru luar atau dari
“Kekuasaan Tinggi” lain sebagai hadiah dari tingkah lakunya yang baik
dan dengar kata.
Pada suatu hari Sang Buddha singgah di sebuah kota kecil bernama
Kesaputta di kerajaan Kosala. Penduduk kota ini biasanya disebut
sebagai kaum Kalama. Ketika mendengar bahwa Sang Buddha singgah
di kota mereka, berduyun-duyunlah mereka mengunjungi Sang Buddha
dan bertanya kepada Beliau: “Bhante, beberapa orang pertapa dan
brahmana yang mengunjungi kota kami memberikan ajarannya kepada
kami dengan mengatakan bahwa yang mereka ajarkan itu yang paling
benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain.
Sesudah itu, datang pula pertapa dan brahmana lain. Mereka pun
memberikan ajaran-ajaran mereka dan mengatakan bahwa hanya ajaran
mereka sajalah yang paling benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran
yang lain. Sementara itu, kalau diperhatikan dengan baik, ajaran-ajaran
mereka sering bertentangan satu dengan yang lain.
6|Page
Oleh karena itu, kami jadi ragu-ragu dan bingung dan tidak tahu siapa di
antara para pertapa dan brahmana itu yang bicara benar dan siapa yang
berdusta”.
7|Page
Tetapi, kalau, setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal
ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana,
hal ini kalau terus dilakukan, akan membawa keberuntungan dan
kebahagiaan’, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai
dengan hal-hal tersebut di atas.
8|Page
pengertian yang baik dan dapat melihat sesuatu dengan baik dan terang.
Namun, untuk memperoleh kemajuan selanjutnya memang mutlak perlu
untuk menyingkirkan keragu-raguan sampai ke akarnya, sebab hanya
dengan disingkirkannya keragu-raguan orang dapat melihat sesuatu
persoalan dengan terang dan jelas.
9|Page
siswa-siswa-Nya, apakah masih ada sesuatu yang diragu-ragukan
mengenai ajaran yang telah Beliau berikan agar mereka kelak jangan
merasa menyesal bahwa mereka tidak dapat mengatasi keragu-raguan.
Tetapi semua siswa-Nya diam saja. Kemudian Beliau mengucapkan
kata-kata yang mengharukan sekali. “Mungkin karena rasa hormat yang
besar terhadap Gurumu, maka tidak ada yang ingin mengajukan
pertanyaan. Baiklah kalian berunding dulu dan kemudian baru
mengajukan pertanyaan.”
Bukan hanya kebebasan berpikir, tetapi juga toleransi yang diajar oleh
Sang Buddha sangat mengagumkan.
Pada suatu waktu di Nalanda, seorang terkemuka dan kaya raya yang
bernama Upali, siswa Nigantha Nataputta (Jaina Mahavira) yang
termashur, dikirim oleh gurunya untuk menemui Sang Buddha dengan
maksud untuk berdebat tentang beberapa bagian tertentu dari hukum
Kamma yang berbeda dengan pandangan Mahavira tersebut.
10 | P a g e
Tetapi, Sang Buddha memperingatkan Upali untuk menimbang lagi
secara tenang dan jangan terburu nafsu karena Upali adalah seorang
yang terkemuka di kota itu. Setelah Upali menimbang-nimbang dan
kemudian tetap memohon untuk dapat diterima sebagai upasaka, maka
diterimalah permohonan itu disertai syarat agar Upali tetap memberikan
penghormatan dan dana kepada gurunya yang lama (Upali-Sutta,
Majjhima Nikaya 56).
Pada abad ke-3 S.M. seorang Kaisar Buddhis yang termashur dari India
bernama Asoka juga telah mengikuti contoh yang mulia dari Sang
Buddha tentang toleransi, sehingga beliau menghormat dan memberi
bantuan kepada agama-agama lain di negaranya yang besar. Bahkan,
sebuah dekrit yang dipahat di batu cadas gunung hingga kini masih
dapat dibaca dan berbunyi: “…janganlah kita menghormat agama kita
sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya, agama orang lain
pun hendaknya dihormat atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat
begini kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang di
samping menguntungkan pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya,
maka kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan
agama lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri
dan mencela agama lain (semata-mata karena dorongan rasa bakti
kepada agamanya sendiri dengan berpikir ‘bagaimana aku dapat
memuliakan agamaku sendiri’), maka dengan berbuat demikian ia malah
11 | P a g e
amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang
dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya
mendengarkan dan bersedia juga mendengarkan ajaran agama yang
dianut orang lain ……”
Saya ingin menambahkan di sini bahwa jiwa toleransi dan kerja sama
yang baik ini seyogyanya dipupuk terus, bukan saja dalam bidang agama
tetapi juga dalam bidang-bidang lain.
Jiwa toleransi ini sejak dulu kala sudah menjadi cita-cita yang digemari
sekali dalam peradaban Buddhis. Inilah juga sebabnya bahwa sejak
2.500 tahun yang lalu tak pernah ada setetes darahpun yang mengalir
guna kepentingan pengembangan agama Buddha. Dengan damai dan
penuh toleransi agama Buddha berkembang ke Benua Asia dan ke
seluruh penjuru dunia, sehingga pada saat ini agama Buddha dianut oleh
lebih dari 500 juta orang. Kekerasan dalam bentuk apa pun dan dengan
dalil apa pun juga tidak dibenarkan oleh ajaran Sang Buddha.
12 | P a g e
sendiri yang dipakai untuk ajaran Sang Buddha tidaklah begitu penting.
“What is in a name” atau “apakah sebenamya sebuah nama itu”.
Bunga mawar akan sama saja harumnya walau nama apa pun juga kita
pakai untuk menyebutnya Dengan alasan yang sama pula, Kesunyataan
atau “Kebenaran Sejati” tidak memerlukan merek tertentu dan bukan
milik dari umat Buddha, Kristen, Hindu atau Muslim. Tidak dimonopoli
oleh siapa pun juga. Merek-merek yang diberikan oleh golongan tertentu
hanya merupakan penghalang belaka untuk pengertian yang bebas dari
Kesunyataan dan dapat menimbulkan satu prasangka yang berbahaya
dalam pikiran seseorang.
Ini merupakan fakta bukan saja dalam hal-hal yang menyangkut bidang-
bidang spiritual dan intelektual, namun juga dalam kehidupan kita
sehari-hari sewaktu kita berhubungan dengan sesama manusia. Misalnya,
kalau kita bertemu dengan orang asing, kita bukan melihatnya sebagai
seorang manusia, tetapi kita segera memberinya merek-merek tertentu,
misalnya Inggris, Jerman, India atau Thai dan kita berkecenderungan
untuk menilai dan memperlakukan orang tersebut dengan sifat-sifat yang
kita anggap dimiliki oleh orang dengan merek itu. Mungkin saja sifat
yang sebenarnya dari orang itu lain sama sekali dengan apa yang ada
dalam pikiran kita.
13 | P a g e
Kita begitu suka dengan merek yang berbeda-beda, sehingga kita juga
memberi merek kepada sifat-sifat dan emosi-emosi yang kita anggap
dimiliki oleh golongan tertentu. Misalnya kita berbicara tentang cinta-
kasih Buddhis, cinta-kasih Kristen dan golongan yang satu akan
memandang rendah cinta-kasih dari golongan yang lain. Mereka lupa
bahwa cinta-kasih itu sebenarnya universal dan bukan menjadi milik
golongan Buddhis, Kristen, Islam atau Hindu.
Bagi orang yang mau mencari Kebenaran Sejati tidaklah penting dari
mana datangnya suatu ide. Sumber dan perkembangan suatu ide
merupakan bidang para akademikus. Untuk mengerti Kebenaran Sejati
tidaklah perlu untuk mengetahui bahwa ajaran itu bersumber dari
seorang Buddha atau dari orang lain. Yang lebih penting ialah, bahwa
kita harus dapat melihat dan juga memahami Kebenaran Sejati itu.
Di bawah ini akan disajikan sebuah kisah yang berhubungan dengan hal
yang tersebut di atas (Majjhima Nikaya 140, Dhatuvibhanga-Sutta).
14 | P a g e
Pada suatu malam Sang Buddha bermalam di suatu pondok seorang
pembuat guci tanah liat. Dalam pondok itu ada seorang pertapa muda
bernama Pukkusati yang telah lebih dulu datang ke tempat itu. Mereka
tidak saling mengenal. Sang Buddha mengamat-amati pertapa itu dan
berpikir: “Pertapa muda ini memiliki pembawaan yang menyenangkan
sekali. Alangkah baiknya kalau Aku bicara satu dua patah kata dengan
orang ini”. Sang Buddha kemudian bertanya: “Saudara-Ku, untuk
apakah kau meninggalkan rumahmu dan siapakah nama gurumu atau
ajaran siapakah yang kau anut?”
15 | P a g e
“Dengan sebenarnya aku belum pernah melihat Orang Bijaksana itu dan
aku juga tidak dapat mengenalnya kalau sekiranya aku bertemu
dengannya.”
“Baiklah, sahabat,” jawab pertapa muda itu. Sesudah itu Sang Buddha
menerangkan ajaran-Nya tentang Kesunyataan.
16 | P a g e
mangkuk untuk mengumpulkan makanan. Karena pertapa muda ini tidak
memiliki benda-benda tersebut di atas, Sang Buddha tidak dapat
mentahbiskannya pada saat itu. Pukkusati kemudian keluar dari pondok
untuk mencari mangkuk dan jubah, tetapi malang bagiya, dalam
perjalanan ia diseruduk seekor sapi dan kemudian meninggal dunia.
Dari kisah ini dapat kita menarik kesimpulan bahwa ketika Pukkusati
mendengarkan Sang Buddha menguraikan ajaranNya, ia tidak tahu siapa
sebenarnya yang bicara kepadanya atau ajaran siapa yang telah
dibabarkan kepadanya. Ia hanya melihat Kesunyataan. Kalau obat itu
baik tentunya dapat menyembuhkan orang sakit dan tidaklah perlu kita
harus mengetahui siapa yang membuatnya atau dari mana obat itu
datang.
17 | P a g e
Tetapi, “saddha” bukanlah berarti “percaya” seperti yang lazim
dipahami orang; ia berarti suatu “keyakinan” yang timbul dari sesuatu
yang “nyata”.
Dari sini dapat kita lihat bahwa pengertian “percaya” tidak terdapat
dalam uraian yang tersebut di atas.
Persoalan “percaya” akan timbul apabila kita tidak dapat melihat sesuatu
dengan jelas dan terang. Pada saat kita melihat suatu persoalan dengan
jelas dan terang, maka “percaya” itu tak akan ada lagi.
18 | P a g e
Kalau saya mengatakan kepada Anda, bahwa saya menyembunyikan
sebuah mestika dalam genggaman tangan saya, persoalan “percaya”
lantas timbul karena Anda tidak melihat itu dengan mata kepala sendiri.
Tetapi kalau saya buka genggaman tangan saya dan Anda dapat melihat
mestika tersebut, maka dengan sendirinya persoalan “percaya” itu tak
akan ada lagi. Selama kita belum dapat melihat sesuatu dengan jelas,
maka selama itu pula masih dapat timbul “percaya” atau “tidak percaya”.
Jadi, pada saat kita melihat sesuatu dengan jelas dan terang, maka pada
saat itu pula persoalan “percaya” tidak akan ada lagi.
Dalam hubungan ini kita teringat kepada satu pepatah Buddhis kuno
yang berbunyi sebagai berikut. “Mengalami sendiri seperti orang melihat
sebuah mestika di telapak tangan.”
19 | P a g e
dilakukan oleh orang yang “tahu” dan “dapat melihat” dan bukan oleh
orang yang “tidak tahu” dan “tidak dapat melihat”.
Hal ini lebih dihargai lagi karena pada waktu itu kepercayaan Hindu
yang kolot memaksa orang untuk percaya dan menerima tradisi dan
20 | P a g e
kepercayaan mereka sebagai satu-satunya Kebenaran yang tak boleh
dipersoalkan.
Sang Buddha balik bertanya. “Di antara kaum brahmana, apakah ada
seorang yang secara pribadi telah tahu dan lihat bahwa : ‘Ini saja yang
benar dan yang lain palsu’?”
“Kalau begitu, adakah seorang Guru atau Guru dari para Guru kaum
brahmana sebelumnya sampai turunan ketujuh, atau mungkin salah
21 | P a g e
seorang dari penulis asli kitab-kitab suci itu sendiri yang telah tahu dan
lihat: ‘Ini saja yang benar dan yang lain palsu’?”
“Tidak ada.”
“Kalau begitu dapat diumpamakan seperti satu barisan orang buta yang
saling berpegangan tangan. Yang berada di muka tidak melihat, yang
berada di tengah tidak melihat dan yang berada di belakang pun tidak
melihat. Oleh karena itu, dapat Aku katakan bahwa keadaan kaum
brahmana sama saja seperti barisan orang buta itu.”
22 | P a g e
berhubung dengan kepercayaannya itu tidak seharusnya ia berkata
bahwa apa yang ia percayai itu adalah satu-satunya Kebenaran dan yang
lain palsu.”
23 | P a g e
sini pantainya berbahaya, tetapi di pantai yang lain aman dan tidak ada
bahaya apa pun. Tidak ada kapal yang pergi ke pantai seberang sana
yang aman dan sentosa dan juga tidak ada jembatan untuk dipakai
menyeberang. Ia berkata kepada dirinya sendiri: “Lautan ini lebar
dengan pantai di sebelah sini yang penuh dengan mara bahaya, tetapi
pantai di seberang sana aman dan sentosa. Tidak ada kapal yang belayar
ke pantai sana dan juga tidak ada jembatan yang dapat dipakai untuk
menyeberang, Alangkah baiknya kalau aku mengumpulkan rumput,
kayu, tangkai-tangkai dan daun-daun untuk membuat sebuah rakit dan
dengan pertolongan rakit itu aku akan menyeberang ke pantai sana
dengan menggunakan tangan dan kakiku.”
“Tidak Bhante.”
24 | P a g e
“Bagaimanakah seharusnya ia berbuat setelah dengan selamat tiba di
seberang sana?” Mungkin ia berpikir: “Rakit ini telah banyak jasanya.
Dengan pertolongannya, aku telah tiba di seberang sini dengan
menggunakan tangan dan kakiku. Alangkah baiknya kalau aku menarik
rakit ke pantai, atau mengikatnya dan membiarkan ia terapung-apung
dan aku dapat melanjutkan perjalananku.”
Dengan berbuat begini orang itu telah melakukan perbuatan yang benar.
25 | P a g e
seorang Guru yang praktis dan hanya mengajarkan hal-hal yang dapat
memberi ketenangan dan kebahagiaan kepada umat-Nya.
“Tentu saja daun yang ada di hutan ini lebih banyak daripada daun yang
ada di dalam genggaman tangan Bhante.”
“Begitulah juga, O bhikkhu, dari apa yang Aku tahu hanya sebagian
kecil saja yang telah Aku ajarkan kepadamu dan bagian yang terbesar
lagi tidak Aku ajarkan. Mengapa Aku berbuat demikian? Oleh karena
hal-hal itu tidak berguna … tidak akan membawamu ke Nibbana. Oleh
karena itulah Aku tidak ajarkan hal-hal yang demikian itu kepadamu.”
(Samyutta Nikaya XXII 94)
26 | P a g e
Malunkyaputta, misalnya, yang telah mengajukan, sepuluh pertanyaan
klasik yang terkenal perihal soal-soal metafisika dan ia menuntut Sang
Buddha untuk menjawabnya.
Pada suatu hari Malunkyaputta bangun dari meditasi siang hari dan pergi
menemui Sang Buddha, memberi hormat, mengambil tempat duduk di
samping-Nya dan berkata.
27 | P a g e
8. Apakah Sang Tathagata tidak ada sesudah mangkat ?
Kalau Sang Sugata tidak tahu bahwa alam semesta ini kekal abadi atau
tidak dst… maka orang yang tidak tahu harus berani berterus terang dan
menjawab: ‘Aku tidak tahu. Aku tidak melihat.’ ”
“Tidak, Bhante.”
“Tidak, Bhante.”
Dan kamu pun tidak berkata, Bhante, hamba ingin menjadi siswa Sang
Sugata dan Beliau akan menjelaskan soal-soal ini kepada hamba,
29 | P a g e
Malunkyaputta, kalau seandainya ada orang berkata: ‘Aku tidak akan
menjadi siswa Sang Sugata sampai Beliau mau menerangkan soal-soal
ini kepadaku’, orang itu sampai mati pun tidak akan mendapat jawaban
dari Sang Tathagata.
Aku tidak mau panah itu dicabut sebelum aku tahu jenis gendewa yang
dipakai untuk memanahku; jenis tali gendewanya; jenis panahnya;
macam bulu apa yang dipakai untuk panah itu dan dari benda apa ujung
panah itu dibuat.’
30 | P a g e
Sesudah itu Sang Buddha menerangkan kepada Malunkyaputta bahwa
menuntut penghidupan suci tidaklah tergantung kepada hal-hal tersebut
di atas. Pandangan apa pun juga yang orang miliki mengenai soal-soal di
atas, ketahuilah, bahwa tetap akan ada kelahiran, usia tua, kelapukan,
kematian, kesedihan, keluh-kesah, kesakitan, kekecewaan, kemalangan;
sedangkan pemusnaannya dapat kita lakukan dalam kehidupan ini juga.
31 | P a g e
BAB III
EMPAT KESUNYATAAN MULIA
Kesunyataan Mulia Pertama: Dukkha
Yang menjadi pokok ajaran Sang Buddha terletak pada Empat
Kesunyataan Mulia ini yang Beliau babarkan dalam khotbah-Nya yang
pertama kepada lima orang pertapa bekas teman seperjuangan-Nya di
Isipatana (sekarang Sarnath) dekat Benares. Dalam khotbah ini yang
dapat kita ketahui dari teks aslinya, Empat Kesunyataan Mulia ini
dikhotbahkan tidak secara panjang lebar.
1. D u k k h a, dukkha
2. D u k k h a S a m u d a y a, sumber dukkha
32 | P a g e
3. D u k k h a N i r o d h a, terhentinya dukkha
33 | P a g e
umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk
akal.
34 | P a g e
Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini.
Beliau adalah dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat
menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini (Bhisaka atau Bhaisajya-
Guru).
Dari itu, sulit sekali untuk menemukan satu kata yang dapat mencakup
seluruh arti istilah “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama. Karena
itu, dianggap lebih bijaksana untuk tidak menterjemahkannya daripada
memberikan terjemahan yang salah dan tidak sempurna seperti “derita”
dan “sakit”.
35 | P a g e
Sang Buddha belum pernah tidak mengakui adanya kebahagiaan dalam
kehidupan. Sebaliknya Beliau mengakui tentang berbagai bentuk
kebahagiaan, materiil maupun spiritual, bagi orang biasa dan juga bagi
para bhikkhu. Dalam kitab Angutara-Nikaya, salah satu kitab yang berisi
koleksi asli dalam bahasa Pali dari khotbah-khotbah Sang Buddha, dapat
ditemukan satu daftar dari kebahagiaan (sukhani), misalnya kebahagiaan
kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan seorang pertapa, kebahagiaan
getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan dari orang yang
menyingkir dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu
dan kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan, kebahagiaan
badaniah dan kebahagiaan mental, dan lain-lain. Namun, semua
kebahagiaan yang disebut di atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan,
harus diketahui bahwa keadaan “jhana” (yang dapat dicapai dengan
melaksanakan samadhi), sehingga orang dapat membebaskan dirinya
dari penderitaan dalam arti umum dan berada dalam kebahagiaan yang
murni atau keadaan “jhana” yang terbebas dari perasaan “sukha” dan
“dukkha” sehingga merupakan keseimbangan dan kesadaran belaka juga
termasuk dalam pengertian “dukkha”.
36 | P a g e
karenanya harus digolongkan dalam “dukkha” (anicca dukkha
viparinama-dhamma).
Sang Buddha adalah Orang yang realis dan objektif. Dalam hubungan
dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-hawa nafsu, Beliau
minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal :
2. akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas
(adinava)
Kalau Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan
bagus orangnya, Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira
kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh
kesenangan dan kepuasan bertemu, dengan orang tersebut. Inilah yang
dinamakan kegembiraan (assada). Hal ini dapat kita alami sendiri. Tetapi
37 | P a g e
kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu;
dan segala sesuatu yang membuatnya tertarik juga tidak kekal.
Kalau Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan
orang itu sehingga, tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan
gembira, Anda akan menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat
melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan “tidak
baik”, “berbahaya” dan “tidak memuaskan” (adinava). Hal inipun dapat
kita alami sendiri dalam penghidupan kita sehari-hari.
Kemudian kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu
dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan “tidak
terikat” dan “terbebas” (nissaana).
Ketiga hal yang tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang ada
hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-
contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang Anda mendapat
gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau
optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang
berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat
menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang
membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu.
38 | P a g e
Dengan demikian barulah kita dapat memahami hidup ini secara
menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya, barulah dapat dicapai
pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah
bersabda sbb.:
“O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat
mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah
kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan
dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat
memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari
hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain
dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan
dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.
39 | P a g e
1. dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang
disebut di atas. Tidak seorangpun yang dapat menyangkalnya. Kedua
segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita
sehari-hari.
40 | P a g e
Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang
berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia
Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa
yang kita anggap sebagai “makhluk”, sebagai “orang” atau sebagai “aku”
itu.
Menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang
atau “aku” hanya merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik
dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang
terdiri atas Lima Kelompok Kegemaran (pancakkhanda).
Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok
Kegemaran bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok
Kegemaran itu sendiri adalah dukkha. Kita akan dapat mengerti lebih
baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima
Kelompok Kegemaran tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa
yang kita namakan “makhluk”. Sekarang marilah kita menelaah Lima
Khandha tersebut.
41 | P a g e
LIMA KHANDA
42 | P a g e
dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam
kelompok ini.
43 | P a g e
mereka dengan perantaraan indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan
jasmani. Namun, mereka dapat kita ketahui melalui indria keenam yaitu
indria pikiran.
44 | P a g e
Khandha keempat ialah “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran”
(sankharakkhandha). Dalam kelompok ini termasuk semua kegiatan
“kehendak” kita, yang baik maupun yang buruk. Yang dikenal oleh
masyarakat umum sebagai “kamma” termasuk dalam kelompok ini. Kita
harus selalu ingat akan definisi tentang kamma yang diberikan oleh Sang
Buddha sendiri: “O bhikkhu, kehendak (cetana) itulah yang Aku
namakan kamma. Sesudah berkehendak orang kemudian berbuat dengan
badan jasmani, ucapan atau pikiran”. Kehendak (cetana) adalah satu
bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah untuk mengarahkan
pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau perbuatan netral.
Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri
atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan
obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental.
Perasaan dan pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak.
Mereka tak akan menimbulkan buah-kamma. Hanya kegiatan kehendak
yang dapat menimbulkan buah-kamma, misalnya:
Manasikara – perhatian
Saddha – keyakinan
45 | P a g e
Samadhi – samadhi
Pañña – kebijaksanaan
Mana – kesombongan
46 | P a g e
Kesadaran pikiran (mano-viññana) mempunyai pikiran sebagai dasar
dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek.
Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran
selalu dihubungkan dengan indria-indria kita.
Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun
terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria
kita dan obyek sasarannya.
Anda harus mengerti dengan sebaik-baiknya, bahwa Kesadaran tidak
dapat mengenal suatu obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu
kesadaran akan adanya satu obyek. Kalau mata kita mendapat kontak
dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita bangkit dan kita sadar
tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya sebagai warna
biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa.
Tingkat Pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru.
Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah
terlihat. Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya
dengan kesadaran indria-indria lainnya.
Di sini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut Buddha Dhamma
tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai
“aku”, “jiwa” atau “ego” sebagai lawan dari badan jasmani, dan
kesadaran (viññana) janganlah sekali-kali dianggap sebagai “jiwa” yang
kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan
lagi secara khusus karena satu kesalah pahaman sejak zaman purba
47 | P a g e
hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran
sebagai semacam “jiwa” dan “ego” yang bersifat kekal abadi.
“Orang bodoh”, jawab Sang Guru, “dari siapakah pernah engkau dengar
Aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali
Aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak
ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari
kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda
yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama
kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya,
maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; dst.dst.
48 | P a g e
Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya,
api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari
jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama
menurut kondisi yang membuat ia timbul (Majjhima Nikaya, Maha
Tanhasankhaya Sutta).
Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang
tidak kekal adalah dukkha (Yad aniccang tang dukkhang). Inilah makna
sebenarnya dari kata-kata Sang Buddha: “Secara singkat, Lima
Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Mereka tidak pernah sama
pada dua saat yang berlainan. Di sini A tidak sama dengan A. Mereka
merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat
timbul dan lenyap kembali.
50 | P a g e
“O brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang
mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang
dijumpai di perjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia
berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya.
Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat
diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung.” Sang Buddha pernah
berkata kepada Ratthapala: “Dunia ini berada dalam proses bergerak
terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal.”
Satu materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi
yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan
akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada
sesuatu di belakangnya yang dapat disebut sebagai satu Atta (Pali) atau
Atman (Skrt) yang kekal abadi, satu pribadi atau yang disebut sebagai
“aku”.
Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan,
bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut
sebagai “aku”. Tetapi kalau Lima Kelompok Kegemaran ini, yang
keadaannya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi
sebagi satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide
tentang adanya sang “aku” itu.
51 | P a g e
Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah
satu dari 52 buah bentuk pikiran dari Kelompok Kegemaran keempat
yang baru saja kita perbincangkan, yaitu bentuk pikiran tentang adanya
ide dari sang “aku” (sakkaya-ditthi; dari sat = makhluk dan kaya =
tubuh).
52 | P a g e
dijumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali
dengan paham kaum Cartesian yang berbunyi “cogito ergo sum” yang
berarti “aku berpikir, dan karena itu aku ada.”
53 | P a g e
Sangat penting sekali untuk mengerti Kesunyataan Mulia Pertama ini
dengan baik, sebab Sang Buddha juga pernah bersabda: “Ia yang telah
melihat dukkha akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, dapat
melihat pula terhentinya dukkha dan dapat melihat pula jalan yang
menuju ke terhentinya dukkha.”
Sang Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang
yang pernah mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah
orang yang selalu tersenyum (mihitapubbangama).
54 | P a g e
Meskipun hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis
seharusnya jangan bersikap murung, atau bersikap marah atau tak sabar
terhadapnya. Salah satu sifat buruk, menurut paham Buddhis, adalah
patigha. Patigha dapat diartikan sebagai “keinginan tidak baik” (ill-will)
terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan dan terhadap benda-
benda yang ada hubungannya dengan penderitaan. Fungsinya ialah
menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah
laku yang buruk. Oleh karena itu salah sekali bertindak tidak sabar
terhadap penderitaan.
Kita mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha
dan Therigatha. Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh
kebahagiaan dari siswa-siswa Sang Buddha, baik pria maupun wanita,
55 | P a g e
yang telah berhasil memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam
kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha.
Raja itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena
para bhikkhu itu benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran
Sang Tathagata (Buddha).
56 | P a g e
BAB IV
KESUNYATAAN MULIA KEDUA
DUKKHA SAMUDAYA : SUMBER DUKKHA
Kesunyataan Mulia Kedua membahas sumber atau permulaan dukkha
(Dukkha samudaya ariyasacca). Definisi populer dan terkenal yang
dapat dijumpai dalam teks-teks asli berbunyi sbb. : “Dukkha bersumber
kepada tanha (Kehausan, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) yang
menghasilkan kelangsungan kembali dan tumimbal-lahir (ponobhavika),
yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang memperoleh
kenikmatan baru di sana-sini (tatratatrabhinandini), yaitu :
57 | P a g e
karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab yang pertama;
segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling berkaitan.
Sampaipun kehausan (tanha) ini yang dianggap sebagai sebab atau
sumber dari dukkha, pada hakekatnya, untuk dapat timbul (samudaya),
tergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedana), dan perasaan
ini tergantung pada kontak (phassa) dst….. dan terciptalah satu lingkaran
Hukum Pokok Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
Dengan demikian kita lihat, kehausan atau tanha itu bukanlah satu-
satunya sebab timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal
merupakan sebab yang nyata, yang terdekat dan yang terpenting.
Dalam beberapa kitab teks Pali yang asli dapat ditemukan definisi dari
samudaya sebagai sumber dukkha yang di dalamnya, termasuk juga
noda-noda dan kekotoran batin (kilesi, sasava-dhamma) di samping
tanha sebagai sebab utama. Dalam pembahasan kita yang serba terbatas
dalam halaman buku ini, maka cukup kiranya kalau kita senantiasa ingat
bahwa tanha sebenarnya berpokok pangkal kepada anggapan keliru
tentang adanya “aku” yang timbul dari avijja (ketidak tahuan).
Di sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada
hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan
akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-
opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan
(dhamma-tanha).
58 | P a g e
Menurut analisa dalam agama Buddha, semua kesulitan dan perselisihan
di dunia ini, dari perselisihan kecil dalam keluarga sampai dengan
peperangan besar antara negara dengan negara, timbul dari tanha ini
yang mementingkan diri sendiri saja (Majjhima Nikaya 13, Maha
Dukkhanda Sutta).
Dari sudut pandangan ini, semua persoalan ekonomi, politik dan sosial
bersumber pada tanha yang egoistis ini. Para negarawan terkenal yang
mencoba menyelesaikan persoalan internasional dan berbicara perihal
perang dan damai, ekonomi dan politik hanya membicarakan kulit
persoalan dan tidak pernah menyentuh akarnya yang lebih dalam.
Sang Buddha pernah bersabda kepada Ratthapala: “Dunia ini
membutuhkan, menginginkan dengan sangat dan kemudian terikat
kepada tanha.” (Majjhima Nikaya 82, Ratthapalasutta).
Di sini kita akan membahas sudut filosofi yang lebih dalam dari
Kesunyataan Mulia Kedua dalam hubungannya dengan sudut filosofi
dari Kesunyataan Mulia Pertama.
59 | P a g e
Tetapi terlebih dulu kita harus mendapat sedikit pengetahuan mengenai
hukum kamma dan tumimbal-lahir.
Kita mengenal empat macam “makanan” (ahara) yang menjadi sebab
atau kondisi yang harus dipenuhi agar makhluk-makhluk dapat lahir dan
berlangsung, yaitu :
3. kesadaran ( viññanahara )
61 | P a g e
dalam segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab terdapat sebab
yang membuatnya musna kembali.
Kalau di dalam satu makhluk, satu benda atau satu sistem terdapat
kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya), di dalamnya pun
terdapat kekuatan atau bibit yang dapat menghentikannya atau
menghancurkannya.
Kehendak secara relatif dapat bersifat baik atau buruk, sebagaimana juga
keinginan dapat saja baik atau buruk. Begitu pula kamma secara relatif
62 | P a g e
dapat saja baik atau buruk. Karma baik (kusala-kamma) menghasilkan
akibat yang baik dan karma buruk (akusala-kamma) menghasilkan
akibat yang buruk.
63 | P a g e
Hal di atas tak begitu sulit untuk dimengerti. Tetapi agak lebih sulit
untuk dimengerti bahwa menurut hukum kamma satu perbuatan
kehendak dapat terus memperlihatkan diri sampai pada kehidupan
sesudah orang meninggal dunia.
Menurut agama Buddha, kekuatan ini tidak turut berhenti dengan tidak
berfungsinya lagi secara total badan jasmani kita; ia terus
memanifestasikan diri dalam bentuk lain yang menghasilkan kelahiran
kembali yang lazim disebut sebagai tumimbal-lahir.
64 | P a g e
Sekarang pertanyaan lain akan timbul: Kalau tidak ada sesuatu yang
tetap, tidak ada inti yang kekal abadi seperti Atma atau Atta, apakah
gerangan yang berlangsung kembali atau dilahirkan kembali sesudah
orang itu mati?
Oleh karena itu, sekarang pun dalam kehidupan ini, engkau setiap saat
dilahirkan, menjadi lapuk dan mati namun engkau masih tetap
berlangsung. Kalau kita dapat menerima bahwa dalam penghidupan ini
kita dapat berlangsung tanpa ada suatu substansi seperti Atta atau Jiwa
(yang kekal dan tidak berubah) mustahil kita tidak dapat menerima
65 | P a g e
bahwa kekuatan-kekuatan itu juga dapat berlangsung tanpa Atta atau
Jiwa setelah badan jasmani kita tidak berfungsi lagi.
Di dalam diri seorang anak, semua kekuatan fisik, mental dan intelektual
masih lembut dan lemah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk kelak
membentuk seorang manusia dewasa. Di dalam kekuatan fisik dan
mental yang merupakan bagian dari apa yang disebut “manusia” itu
terdapat potensi untuk mengambil bentuk baru untuk kemudian
berangsur-angsur tumbuh menjadi seorang dewasa.
Oleh karena tidak terdapat satu subtansi (inti) yang kekal dan tidak
berubah, maka tidak dapat ditemukan sesuatu yang datang dan pergi dari
satu saat ke saat yang lain. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa
tidak terdapat sesuatu yang kekal dan abadi yang dari satu kehidupan
pindah ke kehidupan yang lain. Ia hanya merupakan satu rangkaian yang
berlangsung terus menerus, tetapi tiap saat berubah-ubah. Sesungguhnya,
rangkaian itu tak lain dan tak bukan merupakan gerakan belaka. Seperti
juga api yang menyala sepanjang malam; api yang menyala pada
66 | P a g e
permulaan malam dan api yang menyala pada akhir malam tidak sama
namun juga tidak berbeda.
Begitu juga halnya dengan orang yang mati di sini dan bertumimbal
lahir di tempat lain; ia bukan orang yang sama dan juga bukan orang
yang lain. Orang tersebut merupakan kelangsungan dari satu rangkaian
yang sama. Perbedaan antara mati dan lahir-kembali hanya merupakan
pikiran pada satu saat (thought moment). “Thought moment” yang
terakhir dalam kehidupan ini menciptakan kondisi untuk “thought
moment” yang pertama dalam kehidupan yang berikutnya, yang pada
hakekatnya merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama.
67 | P a g e
Kebijaksanaan yang dapat melihat Kebenaran Sejati, Kesunyataan,
Nibbana.
BAB V
KESUNYATAAN MULIA KETIGA
DUKKHA NIRODHA: TERHENTINYA DUKKHA
Kesunyataan Mulia Ketiga membahas tentang pembebasan diri dari
penderitaan, dari terus berlangsungnya dukkha. Oleh karena itu, ia
dinamakan Kesunyataan Mulia Tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha
Nirodha Ariyasacca); yang berarti Nibbana (Pali) atau mungkin lebih
populer dengan istilah Nirvana (Sansekerta).
69 | P a g e
dapat mengungkapkan hakekat sesungguhnya dari benda atau bentuk
pikiran, meskipun dari yang paling sederhana. Untuk memahami dengan
baik Kesunyataan, kata-kata bahkan dapat dianggap menyesatkan dan
mengacaukan. Dalam Lankavatara-Sutra dapat kita baca bahwa orang
bodohlah yang membenamkan diri dalam kata-kata seperti seekor gajah
di dalam lumpur.
71 | P a g e
tidak tercipta, maka tidak ada kemungkinan untuk terbebas dari yang
dilahirkan, yang bertumbuh dan yang tercipta. Tetapi, karena ada yang
tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak tercipta, maka ada
kemungkinan untuk terbebas dari yang dilahirkan, yang bertumbuh dan
yang tercipta. Di sini benda padat, benda cair, panas dan gerak
(mahabhuta) tidak mempunyai tempat: pengertian tentang panjang dan
lebar, tentang kecil dan besar, tentang baik dan buruk, tentang nama dan
rupa, semuanya telah dihancurkan; dan tidak dapat ditemukan lagi dunia
ini atau dunia yang lain, yang datang, berjalan atau berdiri, kematian
atau kelahiran dan semua obyek-obyek indria.” (Udana VIII: 1-3)
72 | P a g e
Satu kata yang negatif bukan secara mutlak harus menggambarkan satu
keadaan yang negatif pula. Misalnya kata Pali atau Sansekerta untuk
sehat adalah arogya, yang berarti tidak sakit. Tetapi arogya (sehat) tidak
menggambarkan satu keadaan yang negatif. Kata abadi (Pali, Amata;
Skrt. Amrta), sinonim untuk Nibbana, juga sebuah kata negatif, namun
tidak menggambarkan satu keadaan yang negatif.
Satu sinonim lain yang terkenal untuk Nibbana adalah mutti (kebebasan).
Tak seorang pun akan berkata bahwa kebebasan adalah negatif. Namun,
kebebasan pun mempunyai segi negatif; kebebasan selalu berarti
memerdekakan diri dari satu penindasan, dari sesuatu yang jahat, dari
sesuatu yang negatif. Tetapi kebebasan jelas tidak negatif. Dengan
demikian Nibbana, Mutti atau Vimutti, Kebebasan Mutlak adalah
kebebasan dari semua bentuk kejahatan, kebebasan dari keinginan yang
tidak habis-habisnya, dari kebencian dan kebodohan, kebebasan dari
sesuatu yang bersifat dualistis dan relatif, dan kebebasan dari waktu dan
tempat.
73 | P a g e
Sang Guru dipandang sebagai orang yang cerdik dan berkermauan keras.
Intisari sutta tersebut adalah sbb.:
Seorang manusia terdiri dari enam unsur: padat, cair, panas, gerak, ruang
dan kesadaran. Setelah kita menganalisa enam unsur tersebut, maka kita
harus menarik kesimpulan bahwa tidak satu pun dari unsur-unsur di atas
dapat dikatakan sebagai “kepunyaanku”, atau “aku”, atau “diriku”. Ia
memahami, bagaimana kesadaran itu timbul dan kemudian lenyap
kembali, bagaimana perasaan yang menyenangkan, perasaan yang tidak
menyenangkan dan perasaan netral itu timbul dan lenyap kembali.
Dengan adanya pengetahuan ini lalu batinnya tidak terpengaruh lagi.
Lalu, ia akan mencapai batin yang penuh keseimbangan (upekha), yang
dapat diarahkan untuk mencapai satu keadaan spiritual yang tinggi, dan
ia tahu bahwa keseimbangan batin yang murni ini dapat berlangsung
untuk waktu yang lama. Setelah itu ia berpikir: “Kalau aku
mengkonsentrasikan pikiranku yang telah mencapai keseimbangan
murni ke “alam yang tak terbatas” dan mengembangkan batin yang
sesuai dengan keadaan itu, maka itu pun merupakan ciptaan pikiran
(sankhatang). Kalau aku kemudian mengkonsentrasikan pikiranku yang
mencapai keseimbangan murni ke “alam dari kesadaran yang tak
terbatas” … ke “alam dari kekosongan” … atau ke “alam dari bukan-
pencerapan dan juga bukan bukan-pencerapan” dan mengembangkan
74 | P a g e
batin yang sesuai dengan keadaan itu, maka itu pun merupakan ciptaan
pikiran”.
Sesudah itu, ia tak lagi mencipta dengan pikiran, juga tak menginginkan
kelangsungan dan kelahiran kembali (bhava) atau pemusnaan diri
(vibhava). Karena ia tidak lagi mencipta sesuatu atau ingin
kelangsungan dan kelahiran-kembali atau pemusnaan diri, ia tidak
melekat pada apa pun juga di dunia ini; karena tidak melekat ia tidak
lagi gelisah; karena tidak gelisah ia memperoleh ketenangan batin yang
sempurna (terpadam seluruhnya – paccattang yeva parinibhiyati).
75 | P a g e
“Dengan demikian, O bhikkhu, orang yang diberkahi tersebut akan
diberkahi pula dengan Kebijaksanaan Tertinggi, sebab pengetahuan
tentang padamnya semua dukkha merupakan Kebijaksanaan Tertinggi
yang mulia. Keyakinannya terhadap Kesunyataan tak dapat digoyahkan
lagi. O bhikkhu, segala sesuatu yang tidak nyata adalah palsu
(mosadhamma) dan segala suatu yang nyata (amosadhamma), Nibbana
adalah Kesunyataan (sacca). Dengan demikian, O bhikkhu, orang yang
diberkahi tersebut akan diberkahi pula dengan Kesunyataan ini. Karena
Kesunyataan Mulia (paramang ariyasaccang) itulah yang nyata,
Nibbana.”
76 | P a g e
Realisasi dari Kesunyataan ialah melihat benda-benda menurut keadaan
yang sebenarnya (yathabhutang – to see things as they are) tanpa
khayalan (ilusi) atau avijja (kebodohan) sehingga tanha dapat terkikis
habis dan dukkha dapat dilenyapkan, yang berarti Nibbana.
Dalam hubungan ini, menarik sekali dan juga berguna untuk kita ingat
kembali pandangan agama Buddha aliran Mahayana bahwa Nirvana
tidaklah berbeda dari Samsara. Samsara dan Nirvana adalah sama dan
tergantung pada cara kita memandangnya, secara subyektif atau obyektif.
Pandangan aliran Mahayana ini mungkin dikembangkan dari pemikiran-
pemikiran yang terdapat dalam kitab Theravada asli dalam bahasa Pali.
77 | P a g e
menuju ke Nibbana, namun Nibbana bukanlah hasil dari jalan itu.
Misalnya Anda dapat mencapai puncak gunung dengan melalui sebuah
jalan, namun jelas kiranya bahwa puncak gunung itu bukanlah hasil dari
jalan tersebut. Demikian pula kalau anda melihat api. Api itu juga jelas
bukan hasil dari bekerjanya indria mata Anda.
Juga istilah populer tetapi kurang tepat seperti “Sang Buddha memasuki
Nibbana atau Parinibbana setelah Beliau mangkat” banyak menimbulkan
pemikiran yang salah tentang Nibbana. Pada waktu Anda mendengar
“Sang Buddha memasuki Nibbana atau Parinibbana” Anda tentu
menganggap bahwa Nibbana merupakan sorga atau alam, di mana masih
78 | P a g e
terdapat kehidupan dan Anda akan membayang-bayangkannya dalam
rangka tata-bahasa yang Anda kenal di dunia ini.
Sekarang sebuah pertanyaan lain dapat timbul: Apa yang terjadi setelah
seorang Buddha atau seorang Arahat mangkat, Parinibbana? Ini
termasuk dalam kelompok pertanyaan yang tidak dapat dijawab
(avyakata). Ketika Sang Buddha berbicara mengenai hal ini, Beliau
mengatakan dengan jelas bahwa tidak terdapat kata-kata dalam tata-
bahasa kita yang dapat menerangkan apa yang sebenarnya terjadi setelah
seorang Arahat mangkat.
79 | P a g e
dapat dipakai terhadap seorang Arahat karena perkataan seperti benda,
perasaan, pencerapan, kegiatan pikiran, kesadaran, yang berhubungan
dengan istilah “dilahirkan” atau “tidak-dilahirkan” telah
dihancurluluhkan sampai ke akar-akarnya dan tidak akan timbul lagi
setelah Beliau mangkat (Majjhima Nikaya 62, Aggi-Vacchagotta-Sutta).
Untuk memperoleh pengertian yang jelas dan tepat dan untuk menjaga
agar kita jangan bingung, maka apa yang diumpamakan sebagai api yang
padam bukanlah Nibbana tetapi makhluk yang terdiri dari Lima Khanda
yang telah merealisasi Nibbana.
Hal ini perlu ditekankan kembali secara khusus karena ternyata masih
banyak sarjana terkenal yang masih saja menyalah artikan dan menyalah
tafsirkan perumpamaan tersebut di atas. Nibbana tidak pernah
diumpamakan sebagai api atau lampu yang telah padam.
Ada lagi pertanyaan yang seringkali diajukan: Kalau tidak ada Diri, Jiwa
atau Atma, siapa sebenarnya yang menyelami (merealisasi) Nibbana?
80 | P a g e
Sebelum melanjutkan uraian tentang Nibbana, marilah kita coba dulu
menjawab pertanyaan ini: Siapa gerangan yang berpikir kalau tidak ada
Diri atau Atma?
Kita telah melihat dari uraian di halaman depan, bahwa pikiran itu
sendirilah yang berpikir dan tidak ada “diri” yang berdiri di belakang
pikiran tersebut.
Dalam perbincangan kita tentang sebab dari dukkha, kita telah melihat
bahwa di dalam makhluk, benda atau sistem apa pun juga yang
mengandung kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya)
terdapat juga kekuatan atau bibit yang dapat menghentikan dan
menghancurkannya. Di dalam dukkha, samsara (roda tumimbal lahir),
terkandung kekuatan untuk menimbulkan dan karena itu juga terdapat
kekuatan untuk menghentikannya.
81 | P a g e
Kita dapat menarik kesimpulan bahwa bibit atau kekuatan yang
menimbulkan dan yang kemudian dapat menghentikannya, kedua-
duanya ada di dalam Lima Kelompok Kegemaran.
Inilah arti sebenarnya dari pernyataan Sang Buddha yang terkenal: “Di
dalam badan jasmani itu sendiri yang tidak seberapa jengkal besarnya,
Aku melihat dunia ini, timbulnya dunia ini, terhentinya dunia ini dan
jalan yang menuju ke terhentinya dunia ini.” (Anguttara Nikaya II:48).
Hal di atas berarti bahwa Empat Kesunyataan Mulia itu seutuhnya dapat
ditemukan di dalam Lima Kelompok Kegemaran, yaitu di dalam diri kita
sendiri. Di sini kata dunia / alam (loka) dipakai sebagai kiasan dari
dukkha.
Ini pula berarti tidak terdapat kekuatan di luar badan jasmani kita yang
dapat mengakibatkan timbulnya dan terhentinya dukkha.
82 | P a g e
lagi terdapat avijja (ketidaktahuan, kebodohan) dan tidak ada lagi
“kehausan” untuk tetap berlangsung. Seperti juga orang yang sakit
mental dan kemudian dapat disembuhkan karena sebab dari penyakitnya
dapat ditemukan dan dilihat oleh si penderita.
83 | P a g e
lainnya; ia menjadi orang yang mempunyai hati bersih dan lemah lembut,
penuh dengan cinta-kasih yang universal, belas kasihan, ramah-tamah,
penuh pengertian dan toleransi.
Bantuan yang diberikan kepada orang lain dilakukan dengan hati yang
tulus dan bersih karena ia tidak lagi berpikir dalam rangka “Sang Aku”.
Ia tidak ingin memiliki apa-apa, ia tidak menimbun apa-apa sekalipun
yang ada hubungannya dengan hal-hal spiritual karena ia sudah terbebas
dari ilusi tentang adanya “Sang Aku” dan terbebas pula dari kehausan
untuk bertumimbal-lahir kembali.
Nibbana berada di luar istilah yang dualistis dan relatif; oleh karena itu,
ia di luar konsepsi kita tentang baik dan buruk, benar atau salah, hidup
dan tidak-hidup. Bahkan, perkataan sukha (kebahagiaan) yang dipakai
untuk menggambarkan Nibbana mempunyai arti yang lain. Sariputta
pernah berkata “O sahabat, Nibbana itulah sukha (kebahagiaan)!
Nibbana itulah sukha!”
84 | P a g e
Nibbana berada di luar logika dan akal manusia (atakkavacara). Seorang
anak di taman kanak-kanak tidak akan bertengkar tentang teori
relativitas. Sebaliknya, kalau ia tekun dan rajin belajar, pada suatu hari
ia akan memahaminya dengan sendirinya.
85 | P a g e
BAB VI
KESUNYATAAN MULIA KEEMPAT
M A G G A: JALAN YANG MENUJU KE TERHENTINYA
DUKKHA
Kesunyataan Mulia Keempat ialah Jalan yang menuju ke Terhentinya
Dukkha (Dukkha nirodha gaminipatipada-Ariyasacca). Ia juga dikenal
dengan nama “Jalan Tengah” (Majjhima-Patipada), karena ia
menghindari dua hal yang ekstrim, yaitu:
Jalan Tengah ini juga sering disebut sebagai Delapan Jalan Utama
(Ariya Atthangika Magga) karena ia terdiri dari delapan bagian:
86 | P a g e
1. Samma Ditthi – Pengertian Benar
87 | P a g e
pada keadaan dan kesanggupan dari tiap-tiap orang. Bagian-bagian itu
sebenarnya satu sama lain saling bergantungan dan saling mengisi.
SILA
88 | P a g e
Ajaran Sang Buddha sebenarnya “untuk kepentingan orang banyak” dan
“untuk kebahagiaan orang banyak” yang tercetus keluar dalam perasaan
cinta kasih dan belas kasihan yang murni terhadap dunia ini serta seluruh
isinya (Bahujanahitaya bahujanakhaya lokanukampaya).
b. pañña (kebijaksanaan)
Sila yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasihan meliputi tiga
bagian dari Delapan Jalan Utama, yaitu:
No. 3 Ucapan Benar
No. 4 Perbuatan Benar
No. 5 Penghidupan Benar
Ucapan Benar
90 | P a g e
4. ucapan itu tepat pada waktunya
(Majjhima Nikaya 58)
d. kata-kata yang kosong dan tidak ada artinya, desas-desus dan berbicara
tentang keburukan orang lain.
Perbuatan Benar
91 | P a g e
Ini bertujuan untuk mengembangkan perbuatan-perbuatan yang bersusila,
terhormat dan menjauhkan diri dari keributan-keributan. Hal ini berarti
bahwa ia tak akan membunuh, mencuri, melakukan perbuatan yang
tercela, melakukan perzinahan dan ia senantiasa bersedia untuk
menolong orang lain agar dapat juga menjalani kehidupan yang tenang,
bersih, terhormat dan dengan cara yang benar.
Pengbidupan Benar
1. penipuan
2. ketidaksetiaan
3. penujuman
4. kecurangan
92 | P a g e
1. berdagang alat senjata
5. berdagang racun
Tiga bagian dari Delapan Jalan Utama ini dapat digolongkan dalam
perbuatan yang bersusila. Hendaknya disadari bahwa Sila ini bertujuan
untuk memperoleh satu penghidupan yang bahagia dan harmonis untuk
orang itu sendiri dan juga untuk masyarakat ramai di sekelilingnya. Sila
ini dianggap sebagai dasar yang mutlak harus dikembangkan untuk
memperoleh hasil batiniah yang tinggi dan perkembangan batiniah
tidaklah mungkin tanpa Sila sebagai dasar.
93 | P a g e
SAMADHI
Sekarang kita akan membahas disiplin mental yang terdiri dari tiga
bagian lain dari Delapan Jalan Utama, yaitu:
Perhatian Benar
94 | P a g e
Perhatian Benar ini terdiri dari latihan-latihan Vipassana-Bhavana
(meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu :
Salah satu cara latihan terkenal yang berhubungan dengan badan jasmani
ialah mengkonsentrasikan pikiran terhadap pernapasan (Anapanasati),
yang bertujuan untuk mendapatkan kemajuan spiritual. Masih terdapat
banyak lagi cara yang dipakai dalam melakukan latihan konsentrasi yang
berhubungan dengan badan jasmani kita.
95 | P a g e
terkonsentrasi, dst.. Dengan ini ia akan selalu waspada terhadap semua
gerak gerik pikirannya dan juga bagaimana ia timbul dan lenyap kembali.
Keempat cara meditasi atau latihan mental ini dibahas panjang lebar
dalam Satipatthana-Sutta (Majjhima Nikaya 10) dan Maha-Satipatthana-
Sutta (Digha Nikaya 22).
Konsentrasi Benar
Bagian ketiga dan yang terakhir dari Samadhi ini ialah Konsentrasi
Benar yang dapat membawa orang kepada empat tingkatan Dhyana
(Jhana) atau yang umum dikenal sebagai trance atau recueillement
96 | P a g e
Pada Dhyana/Jhana tingkat kedua, semua aktivitas intelek telah
dikekang, keseimbangan batin dan pikiran yang menunggal
dikembangkan, sedangkan perasaan gembira dan bahagia masih ada.
PANNA
Pikiran Benar
97 | P a g e
Ini berarti pikiran yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak
terpengaruh lagi oleh “Sang Aku”, pikiran cinta kasih dan tanpa-
kekerasan kepada semua makhluk. Sangat menarik hati dan penting
untuk ditekankan di sini bahwa pikiran yang tidak mementingkan diri
sendiri, cinta kasih dan tanpa-kekerasan digolongkan sebagai bagian dari
kebijaksanaan. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa Kebijaksanaan
sejati harus disertai sifat-sifat luhur ini dan sumua pikiran yang
mementingkan diri sendiri, pikiran jahat, kebencian dan segala sesuatu
yang mengandung sifat kekerasan, merupakan bukti-bukti tentang masih
kurangnya Kebijaksanaan di dalam semua segi kehidupan, baik sebagai
perorangan, dalam lapangan sosial maupun dalam lapangan politik.
Pengertian Benar
Oleh karena itu, Pengertian Benar secara singkat dapat diartikan sebagai
pengertian tentang Empat Kesunyataan Mulia ini. Pengertian ini
merupakan kebijaksanaan tertinggi yang dapat menembus arti dan
melihat secara terang Kesunyataan Mutlak, Nibbana.
98 | P a g e
Menurut paham Buddhis, terdapat dua jenis pengertian. Apa yang umum
anggap sebagai pengertian ialah pengetahuan, timbunan dari ingatan,
pemahaman secara intelek akan sebuah pokok persoalan sesuai dengan
data tertentu. Hal ini disebut sebagai Anubodha. Pengertian ini tidak
begitu mendalam.
Dari uraian singkat di atas dapat kita lihat bahwa Jalan itu merupakan
“way of life” yang harus dilaksanakan dan dikembangkan oleh setiap
individu. Ia merupakan pengekangan-diri (self-discipline) dari badan
jasmani, dari ucapan dan dari pikiran, mengembangkan dan melatih diri,
dan membersihkan diri. Ia tidak ada sangkut pautnya dengan
kepercayaan, sembahyang, memuja atau upacara keagamaan. Ia
merupakan Jalan yang menuju ke Kesunyataan Mutlak, kebebasan
sempurna, kebahagiaan dan kedamaian hati melalui kesempurnaan
moral, spiritual dan intelektual.
99 | P a g e
Hal ini hanya sedikit sangkut pautnya dengan Jalan Yang Mulia ini.
Tetapi ada juga kegunaannya, yaitu memberi kepuasan kepada emosi-
emosi keagamaan tertentu dan kebutuhan spiritual dari mereka yang
masih belum maju, untuk kemudian dengan perlahan-lahan dibimbing ke
Jalan yang benar.
100 | P a g e
3. Kesunyataan Mulia Ketiga ialah tentang Terhentinya Dukkha, Nibbana,
Kesunyataan Mutlak, Kesunyataan Terakhir. Di sini tugas kita ialah
untuk merealisasinya, menyelaminya (Sacchikatabba).
BAB VII
ANATTA
(DOKTRIN TANPA-AKU)
Yang dianggap oleh umum sebagai Aku, Ego, Roh atau Atma ialah
adanya satu inti-yang kekal, tetap dan absolut yang merupakan substansi
yang tak berubah-ubah di belakang “dunia yang terlihat ini” yang
senantiasa dalam keadaan bergerak dan berubah. Menurut ajaran
beberapa agama, setiap orang mempunyai Roh demikian yang
diciptakan oleh Tuhan dan yang sesudah mati tetap hidup abadi, dalam
sorga atau dalam neraka, dan tujuannya yang terakhir ditentukan oleh
Sang Pencipta itu sendiri.
Secara “psychologic” dua rupa pandangan berakar kuat dalam diri tiap
manusia:
102 | P a g e
2. pandangan tentang kelangsungan diri (self-preservation)
Sang Buddha menginsafi benar-benar hal ini dan berkata bahwa Ajaran
Beliau melawan arus (patisotagami) dan bertentangan dengan keinginan
yang mementingkan diri sendiri dari seorang manusia.
103 | P a g e
sulit untuk dimengerti … yang hanya dapat diselami oleh para bijaksana
…
Orang yang masih dipengaruhi oleh hawa nafsu dan diselubungi
kegelapan batin tidak mungkin dapat melihat Kesunyataan ini yang
bertentangan sekali dengan pendapat orang banyak. Kesunyataan itu
luhur sekali, dalam, halus dan sulit untuk dimengerti.”
Begitu pula keadaan dalam dunia ini, tempat hidup orang dengan
beraneka ragam tingkatan dan pengetahuan. Beberapa di antara mereka
dapat mengerti akan Kesunyataan itu. Oleh sebab itu, Sang Buddha lalu
mengambil keputusan untuk menyiarkan ajaran-Nya kepada dunia.
Doktrin Anatta adalah akibat yang wajar atau kesimpulan yang dapat
ditarik dari analisa Lima Kelompok Kegemaran dan doktrin tentang
hukum Paticca-samuppada (Hukum Sebab Musabab Yang Saling
Bergantungan).
104 | P a g e
Ketika membahas Kesunyataan Mulia Pertama (Dukkha) kita telah
melihat bahwa yang dinamakan manusia itu terdiri dari Lima Kelompok
Kegemaran dan kalau kita menganalisa dan meneliti lebih jauh maka
tidak terdapat sesuatu di belakang mereka yang dapat disebut sebagai
Aku, Atma atau Diri atau suatu subtansi yang kekal abadi. Inilah
pendekatan melalui cara analisa.
Hasil yang sama pula dapat dicapai melalui doktrin Hukum Sebab
Musabab Yang Saling Bergantungan yang merupakan pendekatan
dengan cara sintese. Dengan cara inipun dapat kita mengambil
kesimpulan bahwa tidak terdapat sesuatu di dunia ini yang mutlak
(absolut). Semuanya saling menjadikan, relatif dan saling bergantungan.
Inilah paham Buddhis tentang teori relativitas.
105 | P a g e
III. Imasming Asati Idang Na Hoti
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
106 | P a g e
5. Salayatana Paccaya Phasso
Dengan adanya enam indria, maka terjadilah kesan-kesan.
Harus dimengerti dengan jelas bahwa tiap-tiap Nidana di atas itu “terjadi
oleh” (paticcasamupanna) dan juga berbarengan dengan itu “menjadikan”
(paticcasamuppada). Oleh karena itu, mereka semua relatif, saling
bergantungan dan saling mengikat dan tidak ada yang tunggal atau
berdiri sendiri. Namun, seperti kita lihat di halaman bagian depan,
agama Buddha tidak dapat menerima satu sebab yang pertama. Hukum
Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan harus dilihat sebagai satu
lingkaran dan bukan sebagai satu rantai.
Di sini sekali lagi kita lihat bahwa ide “kemauan bebas” pada dasarnya
dihubungkan dengan ide Atta/Atma, Roh, keadilan, pahala dan hukuman.
Bukan saja apa yang dinamakan “kemauan bebas” itu tidak bebas, tetapi
ide itu sendiri pun tidak bebas dari ketergantungan. Menurut Hukum
Paticca Samuppada dan juga menurut analisa tentang manusia sebagai
Lima Kelompok Kegemaran, ide tentang satu inti yang kekal abadi di
dalam manusia atau di luarnya, yang disebut Atma, Aku, Roh, Diri atau
Ego dianggap hanya sebagai kepercayaan yang tidak masuk akal dan
sebenarnya hanya merupakan proyeksi mental belaka. Inilah ajaran
agama Buddha tentang Anatta, Tanpa Aku atau Tanpa Roh.
109 | P a g e
2. Kebenaran Mutlak (Paramattha Sacca; Skt. Paramartha Satya).
Maka agak ganjil kalau pada waktu akhir-akhir ini oleh beberapa penulis
telah dilakukan usaha yang tidak berhasil untuk, dengan segala daya
upaya, mencoba menyelundupkan ide tentang “diri yang tetap” dalam
ajaran Sang Buddha, yang bertentangan sekali dengan ajaran-Nya yang
asli. Penulis-penulis ini menghormat dan memandang tinggi agama
Buddha, tetapi mereka tidak dapat membayangkan bahwa Sang Buddha,
yang mereka anggap sebagai akhli pikir yang paling tajam dan cerdas,
110 | P a g e
dapat menolak adanya Atma yang kekal, sedangkan mereka sendiri
justru sangat memerlukan hal ini. Secara tidak sadar, mereka mencari
bantuan Sang Buddha untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri
tentang adanya satu kehidupan yang kekal dan abadi.
Agama yang percaya kepada Atma atau Roh tidak pernah merahasiakan
ide tersebut dan dengan berbagai cara mereka usahakan agar istilah ini
dapat diterima oleh masyarakat umum. Kalau sekiranya Sang Buddha
menerima ide ini, yang sangat penting dalam agama lain, Beliau tentu
secara terbuka akan mengakui hal tersebut seperti juga Beliau berbicara
tentang persoalan lain. Rasanya tidak masuk akal bahwa Beliau
menyembunyikan hal ini untuk dua puluh lima abad untuk kemudian
ditemukan oleh orang lain.
Pada satu waktu orang menjadi gelisah jika berpikir bahwa kalau mereka
menganut ajaran Sang Buddha, maka “Aku” yang mereka khayalkan
berada dalam dirinya akan hilang, berhubung dengan doktrin Anatta
111 | P a g e
yang diajar oleh Sang Buddha. Sang Buddha pun sepenuhnya
menginsafi hal ini. Pernah seorang bhikkhu bertanya: “Bhante,
pernahkah terjadi bahwa orang akan merasa tersiksa apabila ia tidak lagi
menemukan sesuatu yang kekal di dalam dirinya?”
1. Menurut ajaran Sang Buddha, makhluk itu hanya terdiri dari Lima
Kelompok Kegemaran. Juga tidak pernah Beliau bersabda bahwa di
dalam makhluk ada sesuatu yang lain di samping Lima Kelompok
Kegemaran.
Kalau kita meneliti tiga syair di atas, maka pada syair kesatu dan kedua
dipakai istilah sankhara (paduan unsur-unsur yang saling bergantungan).
Tetapi, pada syair ketiga dipakai istilah dhamma. Mengapa syair ketiga
tidak memakai juga istilah sankhara seperti pada kedua syair yang lebih
dulu dan mengapa justru dipakai istilah dhamma?
114 | P a g e
Istilah dhamma mempunyai arti yang sangat luas. Tidak terdapat istilah
dalam tata-kata Buddhis yang mempunyai arti lebih luas dari pada
dhamma. Ia mencakup bukan saja benda/keadaan yang saling
bergantungan, tetapi juga yang tidak saling bergantungan, misalnya
Yang Mutlak, Nibbana. Tidak ada sesuatu di dalam alam semesta ini
atau di luarnya, yang baik atau yang buruk, yang saling bergantungan
atau tidak saling bergantungan, relatif atau absolut, yang tidak tercakup
di dalam istilah ini. Oleh karena itu, sekarang jelaslah kiranya, sesuai
dengan syair “Semua dhamma adalah Tanpa Aku/Roh”, bahwa tidak
terdapat Roh atau Atma di dalam Lima Kelompok Kegemaran atau di
mana saja di luar atau terpisah daripadanya.
Menurut aliran Theravada, itu berarti bahwa tidak terdapat satu Roh baik
di dalam satu makhluk (puggala) maupun di dalam dhamma. Aliran
Mahayana juga mempunyai pandangan yang serupa, tanpa ada
perbedaan sedikit pun terhadap persoalan ini dan memberi titik-berat
kepada dharma-nairatmya dan pudgala nairatmya.
Kalau sekiranya memang terdapat satu teori Attavada yang diterima baik
oleh Sang Buddha, Beliau tentu sudah menerangkannya di sini karena
Beliau telah minta kepada para bhikkhu untuk menerima teori Attavada
kalau sekiranya itu dapat menghentikan dukkha. Tetapi, dalam
pandangan Sang Buddha tidak terdapat teori semacam itu yang dapat
menghentikan dukkha; tiap teori Attavada yang bagaimanapun juga
coraknya dan bagaimana halus atau sempurnapun, adalah palsu dan
merupakan khayalan belaka yang menciptakan berbagai macam
persoalan dan akan membawa serta kekecewaan, ratap-tangis,
penderitaan, kesedihan, kemalangan dan kesulitan-kesulitan.
116 | P a g e
menentu tentang ‘alam semesta ini Atta (Roh) dan aku akan menjadi
satu dengannya kalau aku meninggal dunia, kekal abadi, tidak berubah
selama-lamanya’ dengan sendirinya merupakan hal yang tidak masuk
akal sama sekali.”
Di sini secara tegas Sang Buddha berkata bahwa satu Atma/Atta, Roh
atau Diri dalam kenyataannya dan di mana pun juga tidak dapat
ditemukan dan adalah bodoh untuk percaya hal yang semacam itu.
Orang yang mencari satu “Diri” dalam ajaran Sang Buddha sering
mengutip beberapa contoh yang mereka salah-terjemahkan dan
kemudian salah-tafsirkan. Satu contoh yang terkenal adalah Atta Hi
Attano Natho dari Dhammapada (XII, 4, atau syair 160) yang
diterjemahkan sebagai “Roh itu adalah Majikan dari roh” dan ditafsirkan
sebagai, “Roh BESAR adalah majikan dari roh KECIL.”
Pertama-tama terjemahan di atas tidak tepat. Atta di sini bukan berarti
Diri atau Roh. Istilah Atta dalam bahasa Pali sering digunakan sebagai
“kata ganti” atau “kata ganti orang tidak tentu” (indefinite pronoun),
kecuali dalam beberapa hal yang secara khusus dihubungkan dengan
satu teori Roh. Tetapi dalam penggunaannya secara umum, seperti
halnya Bab XII dari Dhammapada dan di banyak tempat lain lagi, istilah
itu dipakai sebagai kata ganti” atau “kata ganti orang tidak tentu” yang
berarti diriku, dirimu, dirinya, orang, mereka, dll. Selanjutnya istilah
natho bukan berarti “majikan”, tetapi “mencari perlindungan”,
117 | P a g e
“bantuan”, “pertolongan” dan “perlindungan”. Oleh karena itu Atta Hi
Attano Natho sebenarnya berarti “Perlindungan ada dalam dirimu
sendiri” atau “Pertolongan ada dalam dirimu sendiri”. Ini tidak ada
hubungannya dengan suatu Roh atau Diri metafisik. Pepatah ini secara
sederhana berarti, bahwa orang harus bergantung kepada dirinya sendiri
dan bukan kepada orang lain.
Contoh lain dari percobaan untuk menyusupkan ide tentang adanya
“Roh” dalam ajaran Sang Buddha ialah pepatah yang sangat
terkenal : Attadipa Viharatha, Attasarana Anaññasarana, yang
diambil dari Mahaparinibbana Sutta (Digha Nikaya 16). Pepatah ini
menurut hurufnya berarti : “Jadilah pulau untuk dirimu sendiri, jadikan
dirimu sebagai tempat perlindungan dan jangan cari perlindungan pada
diri orang lain”.
Mereka yang ingin melihat satu “Diri” dalam agama Buddha
menafsirkan kata-kata ATTADIPA dan ATTASARANA sebagai
“mengambil diri sendiri sebagai lampu (pelita)” dan “mengambil diri
sendiri sebagai perlindungan”. Kita tidak mungkin dapat mengerti
sepenuhnya maksud dan tujuan dari nasehat Sang Buddha kepada
Ananda, kalau tidak mengambil sebagai dasar pertimbangan, latar
belakang dari kata-kata yang diucapkan dan segala sesuatu yang
bersangkutan dengannya.
118 | P a g e
Pada saat itu Sang Buddha sedang diam di suatu desa bernama Beluva
tepat tiga bulan sebelum Beliau mangkat, Parinibbana. Beliau waktu itu
berumur delapan puluh tahun dan menderita sakit keras sehingga hampir
saja mangkat (maranantika). Tetapi Beliau berpikir bahwa tidak
selayaknya meninggalkan siswa-siswa yang dekat dengan-Nya dan
dicintai tanpa pesan apa-apa. Oleh karena itu, dengan tabah dan penuh
keyakinan Beliau menanggung semua rasa sakit, dan kesehatannya
berangsur-angsur pulih kembali. Pada suatu hari Sang Buddha duduk di
luar rumah di bawah sebuah pohon yang rindang.
Kemudian Sang Buddha dengan penuh cinta kasih dan belas kasihan
memberi jawaban dengan suara lemah lembut kepada Ananda yang
sangat dikasihi itu: “Ananda, apalagi yang diharapkan oleh Sangha
dariku. Aku telah mengajarkan Dhamma tanpa membuat perbedaan
119 | P a g e
antara ajaran esoteris (rahasia) dan ajaran eksoteris (umum); mengenai
Dhamma, Ananda, tak ada sesuatu pun yang disembunyikan oleh Sang
Tathagata sebagaimana yang dilakukan oleh seorang guru yang kikir.
Tentu, Ananda, kalau ada orang yang berpikir bahwa ia adalah
pemimpin Sangha dan Sangha itu harus bergantung kepadanya, maka
orang itu akan membuat peraturan-peraturan. Tetapi, Sang Tathagata
tidak mempunyai pikiran seperti itu. Untuk apa Ia meninggalkan
peraturan untuk Sangha? Aku sudah tua, Ananda, delapan puluh tahun
usia-Ku, sekarang. Sebagaimana, juga kereta yang sudah usang maka
untuk dapat dipakai harus terus menerus diperbaiki. Begitu pula dengan
badan Sang Tathagata yang hanya dapat bertahan berkat terus menerus
diperbaiki. Karena itu, Ananda, ingatlah baik-baik: ‘Jadilah pulau bagi
dirimu; jadilah pelindung bagi dirimu, janganlah menyandarkan nasibmu
kepada makhluk lain; peganglah teguh Dhamma sebagai pelindungmu’.”
Apa yang Sang Buddha hendak beritahukan kepada Ananda sudah jelas.
Ananda sedang sedih dan tertekan batinnya. Ia berpikir bahwa ia akan
menjadi kesepian, tanpa perlindungan, tanpa pemimpin sesudah Sang
Guru Agung mangkat.
Di bawah ini ada contoh lain yang sering dikemukakan oleh mereka
yang mencoba menemukan Atma dalam ajaran Sang Buddha. Pada suatu
hari Sang Buddha duduk di bawah sebuah pohon di suatu hutan dalam
perjalanan menuju Uruvela dari Benares. Pada hari itu tiga puluh orang
pangeran muda bersama istri mereka juga pergi bertamasya ke hutan
yang sama. Seorang pangeran yang belum menikah membawa serta
seorang pelacur. Selagi mereka berpesta, wanita itu mengambil beberapa
barang berharga dan terus lari.
Dalam usaha mencari wanita itu di hutan, mereka lihat Sang Buddha
sedang duduk di bawah sebuah pohon dan bertanya, apakah Sang
Buddha barangkali melihat seorang wanita yang berjalan seorang diri.
Sang Buddha menanyakan duduk persoalannya. Sesudah mereka
terangkan, Sang Buddha lalu bertanya: “Anak-anakku, cobalah pikir, apa
121 | P a g e
yang lebih baik, mencari seorang wanita atau mencari dirimu sendiri?”
(Mahavagga 1:14)
Ini lagi-lagi merupakan satu pertanyaan yang sederhana dan wajar dan
tidak dapat dibenarkan untuk menghubungkannya dengan ide tentang
adanya Atma atau Roh. Mereka menjawab bahwa lebih baik untuk
mencari diri mereka sendiri.
“Kalau begitu, Gotama Yang Mulia, apakah Atma itu tidak ada?”
122 | P a g e
Vacchagotta lalu bangun dan pergi. Sesudah pertapa itu pergi, Ananda
bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Beliau tidak menjawab
pertanyaan Vacchagotta. Sang Buddha menerangkan sbb.:
Lalu Ananda, ketika ditanya oleh Vacchagotta: “Apakah Attma itu tidak
ada?”, dan kalau Aku menjawab: “Atma itu tidak ada”, maka itu
memihak kepada para pertapa dan Brahmana yang menganut
kepercayaan tentang pemusnaan diri (Ucchedavada).
123 | P a g e
Nikaya XLIV: 10). Oleh karena Vacchagotta akan berpikir: “Dulu aku
benar mempunyai Atma, tetapi sekarang aku tidak mempunyai Atma
lagi.” Maka sekarang jelaslah kiranya, mengapa Sang Buddha tidak
ingin menjawab. Tetapi akan lebih jelas lagi kalau kita mengambil
sebagai bahan pemikiran seluruh latar belakang dari kejadian ini dan
juga cara yang dipakai oleh Sang Buddha untuk menghadapi orang-
orang yang datang bertanya. Hal-hal ini tidak diketahui oleh mereka
yang memperbincangkan persoalan ini.
Sang Buddha adalah seorang Guru Agung yang praktis, penuh welas
asih dan bijaksana. Beliau bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan
untuk memperlihatkan pengetahuan-Nya atau kecerdasan-Nya,
melainkan yang lebih penting lagi, untuk menolong si penanya ke arah
Jalan yang menuju Pembebasan. Beliau selalu bicara dengan mereka
dengan mempertimbangkan alam pikiran mereka, watak mereka dan
kesanggupan mereka untuk memahami persoalan tertentu.
124 | P a g e
1. beberapa di antaranya dapat langsung dijawab
126 | P a g e
Dalam Syamyutta-Nikaya terdapat satu diskusi antara seorang bhikkhu
bernama Khemaka dengan serombongan bhikkhu lain yang membahas
persoalan ini secara mendalam.
Diskusi ini berguna sekali dan memberi gambaran yang begitu jelas
sehingga pada akhir diskusi mereka semua, termasuk Khemaka, menjadi
Arahat, terbebas dari kekotoran batin dan akhirnya juga terlepas sama
sekali dari perasaan tentang adanya “Sang Aku” itu.
128 | P a g e
sebagai paduan dari unsur-unsur fisik dan mental, yang bekerja sama
dan saling bergantungan dalam satu arus dari perubahan-perubahan dari
saat ke saat di dalam hukum sebab dan akibat; tidak ada sesuatu yang
kekal, berlangsung terus, tidak berubah dan abadi di dalam seluruh
kehidupan.
Secara wajar dapat timbul pertanyaan. Kalau tidak ada Atma atau “Diri”,
lalu siapakah yang menerima hasil Karma? Tidak ada orang lain yang
dapat menjawab pertanyaan ini lebih baik dari Sang Buddha sendiri.
Waktu pertanyaan itu diajukan oleh seorang bhikkhu, Sang Buddha
menjawab: “Aku mengajar, O bhikkhu, untuk melihat keadaan yang
saling bergantungan di mana-mana dan dalam semua benda.”
Ajaran Sang Buddha tentang Anatta, Tanpa Roh, Tanpa Aku, hendaknya
jangan dianggap sebagai negatif atau sebagai pemusnaan diri. Seperti
juga Nibbana ia adalah Kebenaran Sejati, Kesunyataan dan Kesunyataan
tak mungkin negatif. Justru kepercayaan kepada satu “Diri” yang khayal
dan tidak ada itulah yang negatif. Ajaran tentang Anatta menyingkirkan
kegelapan dari suatu kepercayaan yang palsu dan menghasilkan
kebijaksanaan. Ia bukan negatif, seperti juga Ayasma Asanga secara
singkat berkata: “Anatta merupakan satu fakta” (Nairatmyastita).
129 | P a g e
BAB VIII
BHAVANA
(LATIHAN DAN PENGEMBANGAN MENTAL)
Sang Buddha bersabda. “O bhikkhu, terdapat dua macam penyakit.
Apakah kedua macam penyakit itu? Penyakit badaniah (fisik) dan
penyakit mental. Memang ada orang yang berbahagia dapat terbebas
dari penyakit fisik untuk satu tahun lamanya, dua tahun … atau mungkin
untuk seratus tahun lebih. Tetapi, O bhikkhu, anehnya sedikit saja orang
yang dapat menikmati kebebasan dari penyakit mental hanya untuk satu
saat lamanya, kecuali mereka yang telah bersih dari kekotoran batin,
yaitu para Arahat. Ajaran Sang Buddha, khususnya cara bermeditasi,
mempunyai tujuan untuk menghasilkan satu keadaan mental yang sehat
dan sempurna, berkesinambungan dan tenang. Tetapi, sayang, tidak
pernah ada satu bagian dari ajaran Sang Buddha yang begitu sering
disalahtafsifkan seperti meditasi, baik oleh umat Buddha sendiri maupun
oleh bukan umat Buddha. Pada saat kata meditasi disebut, orang lantas
menciptakan gambaran pikiran tentang penyingkiran diri dari kesibukan
penghidupan sehari-hari; dengan duduk dalam sikap tertentu, seperti
sebuah patung di dalam goa atau kamar kecil di dalam vihara, di satu
tempat yang jauh dari keramaian dunia, tenggelam dalam satu
perenungan atau dalam salah satu keadaan gaib atau tidak ingat orang
sama sekali (trance).
130 | P a g e
Meditasi Buddhis yang benar bukanlah berarti penyingkiran diri,
semacam itu. Ajaran Sang Buddha mengenai persoalan ini sedikit sekali
dimengerti dan begitu banyak disalahtafsirkan, sehingga akhir-akhir ini
meditasi itu dipersempit dan direndahkan artinya menjadi satu macam
upacara keagamaan belaka atau upacara biasa saja.
Kata meditasi hanya mencakup sebagian kecil saja dari arti bhavana
yang berarti melatih atau mengembangkan, yaitu melatih mental dan
mengembangkan mental.
131 | P a g e
ketegangan, keragu-raguan dan melatih konsentrasi, kesadaran,
kecerdasan, kemauan, kekuatan, kemampuan untuk menganalisa,
keyakinan, kegembiraan, ketenangan, sehingga akhirnya menuju
tercapainya kebijaksanaan tertinggi dan dapat melihat benda-benda
dalam keadaan yang sebenarnya/sewajarnya dan menyelami
Kesunyataan Mutlak, Nibbana.
132 | P a g e
pandangan terang tentang Kesunyataan Mutlak, Nibbana. Beliau
menganggap keadaan mistik ini sebagai “keadaan bahagia dalam
kehidupan ini” (dittha dhamma sukha vihara) atau “kehidupan yang
penuh kedamaian” (santa vihara) dan tidak lebih dari itu.
Oleh karena itu, Beliau menemukan cara meditasi lain yang dikenal
sebagai Vipassana, pandangan terang terhadap keadaan yang
sesungguhnya dari benda-benda yang menuju ke arah pembebasan
sempurna dari pikiran dan penyelaman Kesunyataan Mutlak, Nibbana.
Inilah cara meditasi Buddhis yang khas, latihan dan pengembangan
mental Buddhis. Ini merupakan cara menganalisa, berdasarkan perhatian
murni, kesadaran, kewaspadaan, pengamat-amatan.
Salah satu khotbah penting tentang meditasi yang pernah diberikan oleh
Sang Buddha sendiri dinamakan (Maha) Satipatthana Sutta,
Membangkitkan Perhatian Murni (Digha Nikaya no. 22 atau Majjhima
Nikaya No. 10). Khotbah ini dalam tradisi begitu dihormati, sehingga
bukan saja di vihara-vihara sutta ini sering dibacakan, tetapi juga di
133 | P a g e
rumah-rumah keluarga buddhis sutta ini sering dibacakan; seluruh
keluarga berkumpul dan mendengarkan dengan penuh rasa bakti.
Sutta ini juga sering dibacakan oleh para bhikkhu di samping tempat
tidur orang yang hampir meninggal dunia untuk membersihkan
pikirannya.
Cara meditasi yang diberikan dalam khotbah ini, bukanlah terpisah dari
penghidupan dan bukan pula untuk menghindarkan penghidupan; tetapi
sebaliknya cara ini ada hubungannya dengan penghidupan, perbuatan
kita sehari-hari, kesedihan dan kegembiraan kita, ucapan dan pikiran kita,
keadaan moral dan kecerdasan kita.
134 | P a g e
Tetapi hendaknya selalu diingat bahwa apa pun juga cara meditasi yang
tersebut di atas, yang terpenting ialah perhatian murni dan sadar (sati)
dan pengamat-amatan (anupassana).
Kaya-Nupassana
Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang meditasi
dengan obyek badan jasmani ialah yang disebut Anapanasati (perhatian
murni atau selalu sadar tentang masuk dan keluarnya napas). Tetapi
untuk melakukan meditasi ini, menurut kitab Majjhima Nikaya 118,
orang harus duduk dalam satu sikap tertentu. Untuk cara meditasi yang
lain yang disebut dalam sutta, orang boleh duduk, berdiri, berjalan atau
berbaring, menurut kehendak hati orang itu sendiri.
Tetapi untuk melatih perhatian murni tentang masuk dan keluarnya
napas, menurut apa yang ditulis dalam kitab-kitab, orang harus duduk
dengan kaki bersila, badan tegak dan perhatian murni serta selalu
waspada. Tetapi, duduk bersila tidaklah dapat dilakukan oleh semua
orang, terutama oleh orang Barat.
Oleh karena itu, mereka yang merasa sukar untuk duduk bersila
diperbolehkan duduk di atas kursi dengan badan tegak dan perhatian
murni serta selalu waspada dan sadar. Untuk latihan ini memang perlu
sekali untuk duduk tegak, tetapi janganlah kaku dan tegang, dan tangan
ditaruh secara enak di pangkuan. Dengan duduk begini orang boleh
135 | P a g e
menutup matanya atau menatap ujung hidungnya menurut kehendaknya
sendiri.
Siang dan malam Anda menarik napas, tetapi Anda tidak pernah
memperhatikan ini dan Anda tidak pernah mengkonsentrasikan pikiran
Anda terhadap persoalan ini, biarpun untuk sesaat lamanya. Maka
sekarang, cobalah Anda lakukan hal tersebut. Bernapaslah seperti biasa,
tanpa tekanan atau paksaan. Sekarang Anda harus mengkonsentrasikan
pikiran Anda terhadap napas yang masuk dan keluar; pikiran Anda harus
waspada dan amat-amatilah napas Anda yang masuk dan keluar itu;
batin Anda harus selalu sadar dan waspada terhadap napas yang masuk
dan keluar. Kalau Anda bernapas pada satu waktu Anda menarik napas
panjang dan pada satu waktu tidak. Ini tidak apa-apa. Bernapaslah secara
biasa dan wajar. Yang Anda harus perhatikan ialah kalau Anda menarik
napas panjang Anda harus sadar bahwa Anda menarik napas panjang,
dst. Dengan perkataan lain, batin Anda harus sepenuhnya
dikonsentrasikan pada pernapasan Anda, sehingga Anda sadar setiap
pergerakannya dan juga terhadap setiap perubahannya.
137 | P a g e
menuju ke arah tercapainya keadaan gaib yang sangat tinggi (dhyana).
Di samping itu, kemampuan berkonsentrasi dengan baik diperlukan
sekali untuk memperoleh pengertian yang mendalam, penembusan,
pandangan terang terhadap keadaan benda-benda yang sesungguhnya,
termasuk penyelaman Nibbana.
Cara meditasi lain yang penting, praktis dan berguna ialah sadar dan
waspada terhadap segala sesuatu yang Anda lakukan, secara fisik atau
dengan ucapan, sewaktu Anda sedang melakukan pekerjaan Anda
sehari-hari, untuk diri sendiri, untuk orang lain atau dalam rangka
jabatan anda; sewaktu Anda berjalan, berdiri, duduk, berbaring atau
tidur, selagi Anda meluruskan dan membengkokkan kaki anda; selagi
Anda melihat-lihat sekeliling Anda; selagi Anda memakai baju, selagi
Anda bicara atau sedang diam; selagi Anda makan atau minum, atau
138 | P a g e
sedang melakukan kebutuhan-kebutuhan yang wajar sebagai manusia;
dalam semua perbuatan ini dan yang lain lagi Anda harus selalu sadar
dan waspada tentang semua perbuatan yang Anda sedang lakukan pada
saat itu. Dengan perkataan lain, Anda harus hidup pada saat sekarang,
pada saat Anda melakukan perbuatan Anda.
Ini bukan berarti bahwa Anda tidak boleh berpikir tentang apa yang
sudah lewat atau apa yang akan datang. Sebaliknya, Anda berpikir
tentang itu dalam hubungannya dengan saat sekarang, perbuatan
sekarang, bilamana dan di mana itu dapat dipakai.
Pada umumnya kita tidak hidup dalam perbuatan kita pada saat sekarang.
Kita biasanya hidup di masa yang lampau atau di masa yang akan datang.
Biarpun kita sedang melakukan sesuatu, pada saat ini, di tempat ini,
dalam pikiran kita mungkin sedang hidup di tempat lain, dalam
persoalan dan kesulitan yang masih merupakan khayalan; dan
kebanyakan dalam kenang-kenangan dari masa lampau atau dalam
keinginan-keinginan dan lamunan-lamunan dari masa yang akan datang.
Mereka tidak hidup di dalam perbuatan pada saat sekarang dan oleh
karenanya mereka tidak dapat menikmatinya. Dengan demikian, mereka
tidak merasa bahagia dan terputus dari saat sekarang ini, dengan
pekerjaan yang mereka sedang lakukan dan dengan sendirinya tidak
dapat sepenuhnya mengabdikan diri kepada pekerjaannya itu.
139 | P a g e
Anda sering melihat orang di rumah-makan yang membaca surat kabar
sambil makan nasi, satu kejadian yang biasa terlihat. Orang ini memberi
kesan bahwa ia adalah orang yang paling sibuk, sehingga tidak
mempunyai waktu untuk makan nasi.
Anda akan bertanya-tanya dalam hati, apakah orang ini sedang makan
satu sedang membaca surat kabar. Mungkin ada orang berkata bahwa ia
melakukan kedua-duanya. Sebenarnya tidak, dan ia juga tidak dapat
menikmati kedua-duanya. Orang ini batinnya tertekan dan bingung dan
ia tidak dapat menikmati apa yang dilakukannya pada saat itu. Ia
sebenarnya tidak hidup di saat itu tetapi secara tidak sadar mencoba
untuk menyingkir dari kehidupan yang nyata. Harap jangan
disalahartikan bahwa selama makan orang tidak boleh bicara dengan
kawannya.
140 | P a g e
hidup pada saat sekarang adalah orang yang benar-benar hidup dan ia
adalah orang yang paling bahagia.
Perhatian murni atau selalu sadar bukan berarti bahwa Anda berpikir dan
sadar “aku sedang melakukan ini” atau “aku sedang melakukan itu”.
Tidak. Justru sebaliknya. Pada saat Anda berpikir “aku sedang
melakukan ini”, Anda lalu sadar akan diri sendiri dan Anda tidak lagi
hidup dalam perbuatan yang sedang dilakukan, tetapi Anda hidup dalam
ide tentang adanya “Sang Aku” dan akibatnya, pekerjaan Anda akan
menjadi rusak. Pada saat seorang pembicara sadar akan dirinya dan
berpikir “Aku sedang berceramah” maka ceramahnya akan terganggu
dan jalan pikirannya terputus.
141 | P a g e
Tetapi, kalau dalam berceramah ia melupakan dirinya sendiri, maka ia
ada dalam keadaan yanig sangat ideal, dan ia akan berbicara lancar dan
dapat menerangkan sesuatu dengan terang sekali.
142 | P a g e
Vedana-Nupassana
Cara meditasi lain ialah yang berkenaan dengan semua perasaan kita,
yang bahagia, yang tidak bahagia dan yang netral. Marilah kita ambil
sebuah contoh. Anda memiliki suatu perasaan yang tidak bahagia, yang
penuh dengan kesedihan. Pada saat itu batin Anda menjadi gelap, seperti
tertutup gurem dan tertekan.
Mungkin Anda sendiri tidak dapat melihat dengan jelas, mengapa Anda
memiliki perasaan yang tidak bahagia itu. Yang penting, Anda harus
belajar untuk tidak merasa bahagia terhadap perasaan yang tidak bahagia
itu, tidak menjadi kesal terhadap kekesalan Anda. Tetapi, cobalah lihat
dengan jelas, mengapa ada perasaan yang tidak bahagia, yang kesal,
yang sedih itu. Cobalah periksa bagaimana ia timbul, sedang
berlangsung dan kemudian lenyap kembali. Cobalah periksa, seolah-olah
Anda berada di luar diri Anda, tanpa reaksi subyektif apapun juga, sama
halnya seperti seorang ahli memeriksa sebuah benda.
143 | P a g e
dan menjadi tidak terikat dan bebas. Hal yang di atas berlaku juga bagi
semua perasaan lain.
Citta-Nupassana
Anda hendaknya jangan menjadi seorang hakim untuk diri Anda sendiri,
melainkan seorang sarjana, seorang ahli. Kalau Anda mengamat-amati
batin Anda dan melihat dengan jelas keadaannya yang sebenarnya, Anda
tidak dipengaruhi lagi oleh emosi, sentimen dll.. Dengan demikian,
Anda akan tidak terikat dan bebas dan Anda akan dapat melihat hal-hal
dan keadaannya yang sebenarnya.
144 | P a g e
Marilah kita mengambil satu contoh. Misalnya Anda benar-benar sedang
marah, penuh angkara murka, keinginan jahat dan kebencian. Tetapi,
aneh dan merupakan satu paradoks bahwa orang yang sedang marah
tidak sepenuhnya tahu atau sadar bahwa ia sedang marah.
Pada saat ia tahu dan sadar akan keadaan batinnya, pada saat ia melihat
amarahnya, ia akan merasa malu dan dengan sendirinya amarahnya itu
akan menjadi reda.
Di sini harus diingat sekali lagi bahwa Anda hendaknya jangan berpikir
“Aku sedang marah” atau tentang “amarahku” Anda seharusnya hanya
memperhatikan dan sadar tentang suatu keadaan batin yang sedang
marah. Anda hanya sedang mengamat-amati dan memeriksa satu
keadaan amarah secara obyetif. Ini berlaku pula untuk semua sentimen,
emosi dan keadaan batin lainnya.
Dhamma-Nupassana
Lalu sekarang kita tiba pada cara meditasi atas pokok-pokok masalah
kesusilaan, spiritual dan intelektual. Semua pelajaran, bacaan, diskusi,
pembahasan dan pertimbangan atas pokok masalah, bacaan, termasuk
145 | P a g e
dalam meditasi ini. Membaca buku dan kemudian berpikir secara
mendalam tentang pokok yang dipermasalahkan adalah satu cara
meditasi juga. Kita telah melihat di bagian depan bahwa diskusi antara
Khemaka dan satu rombongan bhikkhu adalah satu cara meditasi yang
menuju ke arah penyelaman Nibbana.
5. Vicikiccha – keragu-raguan
146 | P a g e
Selanjutnya, Anda juga dapat bermeditasi atas Tujuh Faktor Penerangan
Agung (Satta Bojjhanga) yang terdiri atas :
4. Piti (kegiruan)
Anda harus memiliki sifat yang bertentangan sekali dengan batin yang
pessimistis, murung dan sedih.
6. Samadhi (kosentrasi)
Seperti diuraikan di bagian depan
147 | P a g e
7. Upekkha (Keseimbangan batin)
Ini kemampuan untuk menghadapi hidup yang penuh dengan
goncangan-goncangan, dengan batin yang sabar, tenang dan seimbang.
Selain dari yang telah dibahas di atas, masih ada banyak lagi subyek-
subyek meditasi (menurut kitab-kitab ada empat puluh), yang di
antaranya secara khusus akan disebutkan di sini Empat Kediaman
Brahma (Brahma Vihara), yaitu :
1. Metta
Memancarkan cinta kasih yang tidak terbatas dan universal, dan
148 | P a g e
kemauan baik terhadap semua makhluk, tanpa membuat perbedaan apa
pun juga, seperti “seorang ibu mencintai anaknya yang tunggal”.
2. Karuna
Belas kasihan terhadap semua makhluk yang sedang menderita,
mendapat kesukaran dan kemalangan.
3. Mudita
Kegembiraan yang simpatik terhadap sukses, kejayaan dan kebahagiaan
orang lain.
4. Upekkha
Keseimbangan batin dalam menghadapi semua goncangan-goncangan
hidup.
BAB IX
KAMMA
(Perbuatan)
Kamma adalah kata bahasa Pali yang berarti “perbuatan” (Skt. Karma)
yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun buruk, lahir atau batin, dengan pikiran,
kata-kata atau tindakan. Makna yang lebih luas dari Kamma ialah semua
149 | P a g e
kehendak atau itikad dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak
atau itikad itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermoral).
Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda (Anguttara Nikaya, III:
415) : O bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Cetana) itulah yang Aku
namakan kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan
badan jasmani, perkataan atau pikiran.”
Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia lekas putus asa,
juga bukan ajaran tentang adanya nasib yang sudah ditakdirkan.
Memang segala sesuatu yang telah lampau mempengaruhi keadaan
sekarang atau pada saat ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya
karena Kamma meliputi apa yang telah lampau dan keadaan pada saat
ini, dan yang telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada
saat sekarang mempengaruhi pula hal-hal yang akan datang.
150 | P a g e
begitu seterusnya sehingga Kamma sering juga disebut sebagai “hukum
sebab dan akibat”.
Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati sekali dengan perbuatan kita,
supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik. Kita hendaknya selalu
berbuat baik, yang bermaksud menolong makhluk-makhluk lain,
membuat makhluk-makhluk lain bahagia, sehingga perbuatan ini akan
membawa satu Kamma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi
kekuatan kepada kita untuk melakukan Kamma yang lebih baik pula.
Satu contoh lain yang klasik adalah sebagai berikut. Lemparlah batu ke
dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar suara
151 | P a g e
percikan air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang.
Perhatikanlah, bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar
menjadi begitu lebar dan halus, sehingga tidak dapat dilihat lagi oleh
mata kita. Ini bukan berarti bahwa gerak itu telah selesai, sebab
bilamana gerak gelombang yang halus itu mencapai tepi kolam, ia akan
dipantulkan kembali sampai mencapai pula tempat bekas batu tadi jatuh.
Begitulah semua akibat perbuatan kita akan kembali kepada kita, seperti
halnya dengan gelombang di kolam, yang kembali ke tempat batu itu
jatuh. Selama kita berbuat dengan maksud buruk, maka gelombang
akibat yang buruk pula yang akan senantiasa mengganggu kita.
Sebaliknya, bilamana kita berbuat baik, maka gelombang akibat yang
baik pula yang akan menunggu kita. Sebagaimana orang yang menanam
biji mangga, pasti akan menghasilkan sebuah pohon mangga kelak,
begitu pula orang yang menanam bibit padi, pasti akan menghasilkan
padi pada waktu yang akan datang.
Di dunia ini kita lihat berbagai macam tingkatan dan keadaan manusia.
Ada orang yang meninggal pada waktu masih kanak-kanak, yang lain
153 | P a g e
mencapai umur delapan puluh atau seratus tahun. Ada orang yang selalu
sakit-sakitan dan yang lain lagi kuat dan sehat. Ada orang yang berwajah
bagus dan cantik, dan yang lain berwajah buruk. Ada orang dilahirkan
dalam keadaan serba mewah dan yang lain lagi dalam keadaan yang
sangat kekurangan. Ada orang dilahirkan sebagai jutawan, yang lain lagi
sebagai pengemis. Ada pula orang dilahirkan dengan mempunyai bakat
dalam satu ilmu tertentu, yang lain lagi sebagai orang yang bodoh, dsb.
154 | P a g e
Menurut agama Buddha, kepincangan-kepincangan, keganjilan-
keganjilan yang terdapat di dunia ini sebagian memang mempunyai
sebab, keadaan perantara yang menimbulkan berbagai macam keadaan
itu; tetapi, sebagian besar ditimbulkan oleh rangkaian sebab yang tidak
hanya terjadi pada saat itu saja bahkan juga pada waktu-waktu yang
telah lampau. Memang, sebenarnya manusia itu bertanggung jawab atas
kebahagiaannya maupun kecelakaannya sendiri. Ia membuat sorga atau
nerakanya sendiri. Ia adalah majikan di hari kemudian, pewaris
kelakuannya yang telah lalu maupun kelakuannya pada saat ini.
155 | P a g e
1. Utu Nikaya
Hukum tertib “physical inorganic” misalnya: gejala timbulnya angin dan
hujan yang mencakup pula tertib silih bergantinya musim-musim dan
perubahan iklim yang disebabkan oleh angin, hujan, sifat-sifat panas,
dsb.
2. Bija Niyama
Hukum tertib tumbuh-tumbuhan daripada benih dan pertumbuhan
tanam-tanaman, misalnya: padi berasal dari tumbuhnya benih padi; gula
berasal dari batang tebu atau madu; keistimewaan daripada berbagai
jenis buah-buahan, dsb.
3. Kamma Niyama
Hukum tertib sebab dan akibat, misalnya: perbuatan yang bermaksud
bermanfaat (membahagiakan, baik) dan yang bermaksud merugikan
(buruk) terhadap pihak lain, menghasilkan pula akibat baik maupun
buruk. Sebagaimana sifat air yang selalu mengalir untuk mencapai
persamaan tingginya, begitu pula kamma bersifat untuk selalu
mendapatkan keseimbangannya, selalu menghasilkan buah-buah yang
sewaktu-waktu menyenangkan dan sewaktu-waktu tidak, bukan sebagai
hukuman atau hadiah terhadap si pembuat perbuatan, tetapi memang
sudah menjadi sifat wataknya atau rangkaian satu kejadian. Rangkaian
dari kejadian sebab dan akibat ini sama seperti tertib jalannya (yang
saling bergantungan) dari bulan dengan bintang-bintang.
156 | P a g e
4. Dhamma Niyama
Hukum tertib terjadinya persamaan dari satu gejala yang khas, misalnya:
terjadinya keajaiban alam pada waktu seorang Bodhisattva hendak
mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon Buddha, pada saat Ia akan
terlahir untuk menjadi Buddha.
Hukum gaya berat (gravitasi) dan hukum alam sejenis lainnya, sebab-
sebab dari pada keselarasan dan sebagainya, termasuk hukum ini.
5. Citta Niyama
Hukum tertib jalannya alam pikiran atau hukum alam batiniah, misalnya:
proses kesadaran, timbul dan tenggelamnya (lenyapnya) kesadaran,
sifat-sifat kesadaran, kekuatan pikiran (batin) dan sebagainya.
Telepati, kemampuan untuk mengingat hal-hal yang telah lampau,
kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi dalam jangka
pendek atau jauh, kemampuan membaca pikiran orang lain, dan semua
gejala batiniah yang kini masih belum terpecahkan oleh ilmu
pengetahuan modern termasuk hukum terakhir ini (Abhidhamma Vatara,
hal. 54)
157 | P a g e
Hukum Kamma
Sekarang marilah kita tinjau hukum Kamma yang dapat dibagi dalam
empat golongan besar, yaitu :
158 | P a g e
Kamma yang dapat menimbulkan satu akibat, beberapa syarat yang
membantu pertumbuhan tersebut juga diperlukan, misalnya: keadaan,
tempat yang cocok untuk pertumbuhan, dsb. Jika syarat maupun keadaan
untuk pertumbuhan Kamma (seperti halnya dalam jenis d) tidak dapat
dipenuhi, maka Kamma itu tidak dapat berbuah dan terjadilah apa yang
disebut “Ahosi Kamma”.
a. Janaka Kamma
adalah hukum yang menyebabkan timbulnya syarat untuk terlahirnya
kembali suatu makhluk.
b. Upatthambaka Kamma
adalah hukum, kekuatan yang mendorong terpeliharanya satu akibat
daripada sebab (kamma) yang telah timbul.
c. Upapilaka Kamma
adalah satu hukum, kekuatan yang menekan, pula mengolah,
menyelaraskan satu akibat daripada satu sebab.
d. Upaghataka Kamma
adalah kamma yang meniadakan kekuatan dan akibat dari satu sebab
159 | P a g e
(kamma) yang telah terjadi dan sebaliknya menyuburkan
berkembangnya kamma baru.
a. Garuka Kamma
ialah kamma yang digolongkan dalam jenis yang bermutu dan “berat”.
Akibatnya dapat timbul dalam waktu satu kehidupan atau kehidupan
berikutnya. Tingkatan-tingkatan dalam Samadhi yang disebut Dhyana
termasuk jenis ini dan akibatnya pun sangat bermutu dan lebih cepat
timbulnya daripada tingkatan batin lainnya.
Sebaliknya, termasuk pula dalam jenis ini, lima perbuatan durhaka yang
akibatnya sangat berat, yaitu:
1. membunuh ibu
2. membunuh ayah
d. Kattata Kamma
Sebagai syarat yang merupakan penentuan kelahiran bagi seseorang,
bilamana Acinna Kamma tidak terdapat padanya, maka Kattata Kamma
inilah yang menentukan, yaitu Kamma yang tidak begitu berat dirasakan
akibatnya dari perbuatan-perbuatan yang lampau.
161 | P a g e
IV. Menurut tempat dan keadaan di mana Kamma akan berbuah (berakibat)
Golongan ini pun dibagi dalam empat jenis:
1. Lobha,
yaitu terlalu terikat keinginannya pada sesuatu, sehingga menimbulkan
keserakahan.
2. Dosa
yaitu ketidaksukaan atau penolakan yang sangat terhadap sesuatu,
sehingga menimbulkan kebencian.
3. Moha
kebodohan, kegelapan, pandangan sesat dari seseorang terhadap hidup
dan kehidupan.
1. pembunuhan
162 | P a g e
2. pencurian
3. perzinahan
1. berdusta
1. keserakahan
2. kemauan jahat
163 | P a g e
. adanya satu makhluk
c. langkah-langkah perbuatan
f. penuh penyakit
3. Pencurian
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:
164 | P a g e
b. niat untuk mencuri
c. langkah-langkah perbuatan
4. Perzinaan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:
a. berusaha
165 | P a g e
d. beristri dan bersuami yang tidak disenangi
e. terlahir sebagai wanita atau pria dengan perasaan seks yang tidak normal
5. Berdusta
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:
. kedustaan
b. usaha
166 | P a g e
a. pikiran yang penuh amarah
b. usaha
c. tindakan
9. Keserakahan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:
168 | P a g e
b. rupa buruk
c. macam-macam penyakit
d. kurang kebijaksanaan
e. kurang kecerdasan
169 | P a g e
L. Kamma baik yang berakibat hanya sampai di kehidupan di alam dunia
ini yang penuh dengan keinginan.
Terdapat sepuluh jenis kamma baik, yaitu :
2. Bhavana – bermeditasi
4. Veyyavacca – berbakti
170 | P a g e
10. Beramal dan bermurah hati berakibat dengan diperolehnya
kekayaan dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan yang akan datang
171 | P a g e
19. Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan diperkuatnya
keyakinan
1. Dhyana kedua
yang bercorak :
a. vicara, b. piti, c. sukha, d. ekaggata
172 | P a g e
2. Dhyana ketiga
Yang bercorak :
a. piti, b. sukha, c. ekaggata
3. Dhyana keempat
yang bercorak
a. sukha, b. ekaggata
4. Dhyana kelima:
yang bercorak
a. keseimbangan batin
N. Kamma baik yang berakibat kehidupan di alam halus, di mana tidak lagi
terdapat bentuk-bentuk
Kamma baik ini terdiri dari empat tingkat yang semata-mata bersifat
mental dan hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan meditasi tinggi
yaitu :
173 | P a g e
2. Akincannayatana, batin yang berada dalam keadaan kosong
Kebebasan Kehendak
Akan tetapi, karena segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk juga
manusia, terjadi karena adanya syarat-syarat atau sebab-sebab tertentu
dan tiada sesuatu pun dapat terjadi tanpa hal-hal di atas, maka kehendak
175 | P a g e
manusia pun pada umumnya tidak sama sekali bebas dari buah-buah
Kamma yang kuat yang sering seolah-olah menentukan kehendak
manusia.
176 | P a g e
sifat-sifat yang serupa dengan perbuatan itu. Jikalau orang berpikir baik,
berkata-kata baik, berbuat baik, maka besar kecenderungan manusia itu
akan menambah perbuatannya yang baik itu dan membuat ia menjadi
orang baik.
177 | P a g e
menguasai lahir dan batinnya, tidak menguasai keinginan-keinginannya,
akan sedikit sekali memiliki sifat kebaikan dan kebijaksanaan dan lemah
dalam tekadnya. Orang demikian akan menderita disebabkan oleh hal-
hal yang kecil (sepele).
178 | P a g e
“Andaikata, O bhikkhu, orang melemparkan segumpal garam ke dalam
sungai Gangga; bagaimana pendapatmu, akan terasa asinkah air Sungai
Gangga itu sehingga tak terminum?”
“O tidak, Yang Maha Suci! Oleh karena air Sungai Gangga demikian
luas dan banyaknya, maka air sungai itu tak akan terasa asin karena
hanya segumpal garam.”
179 | P a g e
demikian inilah, O bhikkhu, yang tidak akan merasa tersiksa karena
kehilangan satu rupiah, sepuluh rupiah, seratus rupiah, seribu rupiah.
Kalau kita hidup dalam penerangan hukum Kamma ini, maka kita dapat
memetik pelajaran yang indah dan bermanfaat, a.l.:
1. Kesabaran
Mengerti bahwa hukum ini adalah pelindung kita, bila kita hidup selaras
dengan hukum tersebut, bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menimpa,
merugikan atau mencelakakan kita, bila kita hidup selaras dengan
hukum itu; bahwa ia akan memberi berkah dan kebahagiaan pada waktu
yang tepat, maka kita dapat belajar sabar, tidak lekas marah dan kita
tahu bahwa tidak ada gunanya untuk berlaku kurang sabar, terburu nafsu
atau gelisah.
Di dalam penderitaan kita mengetahui bahwa kita sedang menebus
“hutang”. Di dalam kebahagiaan kita berterima kasih atas
180 | P a g e
kenikmatannya dan kita belajar, bila kita bijaksana, untuk senantiasa
menambah perbuatan-perbuatan baik. Kesabaran membawa ketenangan,
kebahagiaan, dan keamanan.
2. Keyakinan
Hukum Kamma adalah adil, bagus dan benar, tidak meragukan bagi
orang yang bijaksana dan mengerti. Ragu-ragu dan kegelisahan adalah
tanda bahwa terdapat kurang pengertian dan keyakinan akan kebenaran
hukum ini. Kita akan aman terlindung di bawah sayap-sayapnya dan
tidak ada sesuatu di alam semesta ini yang perlu kita takuti, kecuali
perbuatan kita sendiri yang tidak baik. Hukum Kamma membuat orang
berdiri di atas kakinya sendiri dan meneguhkan keyakinannya akan
kemampuan diri sendiri.
Keyakinan ini berakibat menguatkan, memperdalam ketenangan dan
kebahagiaan kita, membuat kita tentram dan berani ke mana pun juga
kita pergi, karena kita tahu bahwa hukum Kamma adalah pelindung kita.
181 | P a g e
pertolongan dari luar, yang pada hakekatnya memang bukan pertolongan.
Kesucian maupun kekotoran sebenarnya terletak pada kemampuan kita
sendiri. Sang Buddha pernah bersabda: “Tiada seorang pun dapat
membersihkan diri orang lain.”
4. Pengendalian diri
Pengertian bahwa perbuatan jahat akan kembali menimpa kita sebagai
malapetaka menyebabkan kita akan sangat berhati-hati sekali dalam
perbuatan, ucapan dan pikiran kita, supaya kita tidak berbuat sesuatu
yang merugikan pihak lain. Keyakinan tentang hukum Kamma akan
membuat kita mampu mengendalikan diri kita sendiri, terutama dalam
niat untuk tidak berbuat jahat, demi kepentingan diri kita sendiri maupun
makhluk lain.
5. Kemampuan
Kalau kehidupan kita sehari-hari sudah diselaraskan dengan hukum
Kamma, maka kita akan memperoleh kemampuan untuk tidak hanya
dapat menentukan nasib kita sendiri di kemudian hari, tetapi juga untuk
menolong makhluk-makhluk lain dengan lebih bermanfaat.
182 | P a g e
BAB X
AJARAN SANG BUDDHA DAN DUNIA DEWASA INI
Ada orang yang beranggapan bahwa agama Buddha demikian tinggi dan
sempurna, sehingga tidak mungkin dilaksanakan secara benar oleh orang
awam yang masih sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari. Oleh karena
itu mereka yang benar-benar ingin menjadi pengikut agama Buddha
yang baik harus menyingkir ke dalam vihara atau ke tempat lain yang
sepi.
183 | P a g e
Tidaklah mungkin kita menginginkan agar sebagian besar penduduk
dunia menjadi bhikkhu atau mengasingkan diri ke dalam goa atau ke
hutan-hutan. Biar bagaimanapun bagus dan cemerlangnya ajaran Sang
Buddha, kalau Ajaran tersebut tidak dapat dilaksanakan dalam
penghidupan sehari-hari dalam masyarakat ramai, maka tidaklah
berguna ajaran tersebut untuk dipelajari dan dianut. Tetapi, kalau Anda
benar-benar mengerti akan sari agama Buddha dengan baik, Anda pasti
akan dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai
orang biasa.
185 | P a g e
hidup dalam lingkungan keluarga yang dapat melaksanakan ajaran-Nya
dengan hasil yang baik dan mencapai keadaan batin yang luhur.
Sangha ini mempunyai sifat khusus karena Sangha bukan saja memberi
kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan kemajuan dalam bidang
spiritual, tetapi juga kesempatan untuk mengabdikan diri memberi
penerangan dan menolong orang lain. Seorang umat biasa yang masih
berkeluarga tidaklah dapat diharapkan bahwa ia seumur hidup akan
membaktikan dirinya untuk kepentingan orang lain. Sedangkan seorang
bhikkhu yang tidak mempunyai tanggung jawab rumah tangga atau
ikatan-ikatan duniawi lain berada dalam kemungkinan yang baik untuk
dapat mengabdikan seluruh hidupnya “untuk kepentingan dan
kebahagiaan orang banyak”. Itulah sebabnya mengapa dalam sejarah,
vihara itu bukan saja merupakan pusat kegiatan keagamaan, tetapi juga
pusat dari ajaran dan kebudayaan Buddhis.
187 | P a g e
dan Zenith (atas) sebagai bakti dan penghormatan kepada pesan ayahnya
yang diberikan pada saat hendak meninggal dunia. Sang Buddha
memberitahukan orang muda itu bahwa dalam ajaran-Nya tentang
Ariyassa vinaya (tata tertib para Ariya), enam penjuru itu mempunyai
arti sbb.:
Selatan „ : guru
“Orang harus memuja enam penjuru itu”, berkata Sang Buddha sambil
memberikan tekanan khusus pada kata memuja (Namasseyya). Kalau
orang memuja, tentu memuja sesuatu yang keramat, sesuatu yang ada
harganya untuk dihormat dan dipuja. Enam kelompok orang-orang yang
disebut di atas, dalam agama Buddha diperlakukan sebagai keramat,
berharga untuk dihormat dan dipuja.
188 | P a g e
Tetapi, bagaimana orang harus memuja mereka? Sang Budddha
bersabda bahwa orang hanya dapat memuja mereka dengan jalan
melakukan kewajiban kita terhadap mereka. Kewajiban ini diterangkan
dalam pembicaraan Beliau dengan Sigala.
Dari itu dalam keluarga Buddhis pada waktu sekarang ini anak-anak tiap
hari memuja orang tua mereka, baik pagi hari maupun malam hari.
Menurut “tata tertib para Ariya” mereka harus melakukan kewajiban-
kewajiban tertentu terhadap orang tua mereka.
Mereka harus memelihara orang tua mereka yang sudah lanjut usia,
harus melakukan segala sesuatu untuk keperluan orang tua mereka;
harus mempertahankan kehormatan keluarga dan meneruskan tradisi-
tradisi keluarga; harus melindungi harta benda yang telah dihimpun
orang tua mereka dan harus melakukan persembahyangan sebagaimana
layaknya pada waktu orang tua mereka meninggal dunia.
189 | P a g e
Sebaliknya, orang tua mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak
mereka: mereka harus dapat menghindarkan anak-anak mereka dari
perbuatan-perbuatan yang tidak baik; harus menganjurkan mereka untuk
melakukan perbuatan-perbuatan baik dan berguna, harus memberi anak-
anak mereka pendidikan yang baik; harus menikahkan mereka dengan
anak-anak dari keluarga yang baik dan selanjutnya harus menyerahkan
harta benda mereka pada saat yang tepat.
Cinta kasih antara suami istri dianggap sebagai sesuatu yang suci dan
keramat. Hal ini dinamakan Sadara-Brahmacariya (penghidupan
keluarga yang keramat).
190 | P a g e
Di sini pun tekanan diberikan kepada istilah “Brahma” dan
penghormatan tertinggi diberikan kepada hubungan tersebut di atas.
Suami istri harus setia, saling mencintai, saling berbakti dan mempunyai
kewajiban tertentu terhadap satu sama lain. Suami harus selalu
menghormati istrinya dan menjaga jangan sampai kekurangan apa-apa.
Ia harus mencintainya dan setia kepadanya, harus memberikan
kedudukan dan kesenangan kepada istrinya dan harus memberikan
pakaian dan perhiasan.
191 | P a g e
bekerja untuk kejayaan bersama; harus bekerja satu sama lain dengan
syarat yang sama. Harus menjauhi perselisihan; harus tolong menolong
dalam keadaan darurat dan tidak melakukan sesuatu yang dapat
menimbulkan kesulitan bagi yang lain.
Sebaliknya, pelayan, buruh atau pegawai harus bekerja rajin dan tidak
bermalas-malasan, jujur dan dengar kata serta tidak mendustai
majikannya; ia harus tekun dalam pekerjaannya.
Umat dari satu agama harus mengurus semua keperluan para brahmana
dan pertapa dengan cinta kasih dan penuh rasa hormat. Para brahmana
dan pertapa harus dengan penuh cinta kasih memberikan pengetahuan
dan ajaran kepada umatnya dan membimbing mereka melalui jalan yang
benar dan menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang tidak baik.
192 | P a g e
Dari uraian di atas dapat kita lihat dengan jelas bahwa penghidupan
seorang upasaka/upasika dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya
termasuk dalam “tata tertib para Ariya” dan berada dalam rangka “way
of life” seorang umat Buddha. Dalam Samyutta Nikaya, salah satu kitab
agama Buddha yang tertua, diceritakan bahwa Sakka, raja para dewa,
bukan saja memuja para bhikkhu yang telah melaksanakan penghidupan
bersih dan suci, tetapi juga para upasaka/upasika yang telah melakukan
pekerjaan yang terpuji, yang menuntut penghidupan bersih dan yang
memelihara keluarganya dengan semestinya.
Sebenarnya, kalau orang mengerti ajaran Sang Buddha dan kalau orang
itu merasa yakin bahwa ajaran-Nya merupakan Jalan yang benar, dan ia
ingin menjalankan dalam penghidupannya sendiri, maka ia dengan
sendirinya sudah menjadi umat Buddha.
193 | P a g e
Panca Sila yang merupakan syarat minimum untuk diterima sebagai
upasaka/ upasika, merupakan janji kepada diri sendiri:
194 | P a g e
(sanggar/shrine), stupa atau pagoda, bahkan di bawah pohon Bodhi umat
Buddha melakukan upacara-upacara keagamaan dengan
mempersembahkan bunga, lilin dan dupa. Pemujaan tradisional ini,
meskipun tidak begitu penting mempunyai kegunaan juga yaitu untuk
memberi kepuasan kepada emosi-emosi keagamaan tertentu dan
kebutuhan dari mereka yang belum begitu maju dalam penghayatan
ajaran Sang Buddha. Sebagaimana kita tahu, Sang Buddha selalu
memperingatkan para siswa Beliau bahwa ajaran-Nya bukan hanya
harus dimengerti secara intelektual saja, namun yang lebih penting
bahwa ajaran tersebut harus dipraktekkan dalam penghidupan sehari-hari.
Dengan perkataan lain, ajaran Sang Buddha harus dijadikan “way of life”
dari setiap umat Buddha.
Ada orang yang salah mengerti bahwa ajaran Sang Buddha hanya
menaruh perhatian kepada cita-cita yang luhur, moral tinggi dan pikiran
yang mengandung filsafat tinggi, dengan mengabaikan sama sekali
kesejahteraan sosial ekonomis dari umat manusia. Padahal Sang Buddha
menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan umat manusia. Beliau
berpendapat bahwa kebahagiaan tidak mungkin diperoleh tanpa
menjalankan penghidupan yang bersih berdasarkan prinsip-prinsip moral
dan spiritual; namun, Beliau tahu bahwa menuntut penghidupan yang
demikian itu sukar sekali dalam keadaan materiil dan sosial yang tidak
baik.
195 | P a g e
Agama Buddha tidak memandang kesejahteraan materiil sebagai tujuan
terakhir; kesejahteraan materiil hanya merupakan alat untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi dan luhur, yaitu memperoleh kebahagiaan
Nibbana. Oleh karena itu agama Buddha mengakui perlunya suatu
kesejahteraan materiil yang minimum untuk mencapai sukses yang
diharapkan. Hal ini pun berlaku bagi para bhikkhu yang ingin
melakukan meditasi di tempat-tempat yang jauh dan sunyi.
Sang Buddha sama sekali tidak bermaksud menarik orang keluar dari
penghidupan yang mempunyai latar belakang keadaan-keadaan sosial
dan ekanomi. Beliau melihatnya sebagai satu keseluruhan dari semua
seginya yang bersifat sosial, ekonomis dan politis. Ajaran-Nya mengenai
hal-hal yang sosial, ekonomis dan politis tidak banyak diketahui di
Indonesia. Tetapi, banyak sekali sutta yang tersebar dalam buku Tipitaka
yang menulis mengenai hal ini.
196 | P a g e
Sutta dari Digha Nikaya (No. 5) hukuman berat saja kurang tepat dan
akhirnya tidak akan menolong.
197 | P a g e
mempunyai keluarga, istri dan anak. Hamba harap Bhante berkenan
memberikan kami satu ajaran yang berguna untuk mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di alam baka.”
Sang Buddha bersabda bahwa ada empat hal yang berguna untuk
mendapatkan kebahagiaan di dunia ini :
1. Utthana-sampada
Ia harus ahli, efisien, tekun dan giat dalam setiap pekerjaan dan mengerti
pekerjaan yang dilakukannya dengan baik.
2. Arakkha-sampada
Ia harus pandai melindungi penghasilannya yang diperoleh dengan
pekerjaan yang halal dan dengan mengucurkan banyak keringat.
3. Kalyana-mitta
Ia harus mencari pergaulan yang baik, yang setia kepadanya, terpelajar,
baik-budi, tidak kikir dan cerdas, yang akan dapat membantunya melalui
jalan yang benar, jauh dari kejahatan.
4. Samajivikata
Ia harus dapat hidup di dalam batas-batas kemampuannya.
Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan empat hal yang baik dan
berguna untuk mendapatkan kebahagiaan di alam baka:
198 | P a g e
1. Saddha
Ia harus mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap
nilai-nilai moral, spiritual dan intelektual.
2. Sila
Ia harus menjauhkan diri dari pembunuhan, dari pencurian dan penipuan,
dari perzinahan, dari ucapan-ucapan yang tidak baik dan dari minuman
keras.
3. Caga
Ia harus suka menolong orang lain, baik hati dan tidak kikir.
4. Pañña
Ia harus melatih diri dan mengembangkan kebijaksanaan yang akan
membawanya ke arah pemusnaan dukkha, yaitu Nibbana.
Pada suatu waktu Sang Buddha juga membahas hingga yang sekecil-
kecilnya, tentang bagaimana orang harus menyimpan dan mengeluarkan
uang. Misalnya pernah Beliau memberitahukan kepada Sigala bahwa ia
harus mengeluarkan seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-
hari, setengah bagian dimasukkan ke dalam perusahaannya dan
seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang tidak terduga.
1. Atthi-sukha
Ia bahagia karena terjamin keadaan ekonominya atau harta benda yang
cukup yang didapat dari usaha/pekerjaan yang halal.
2. Bhoga-sukha
Ia dapat menggunakan kekayaannya dengan tidak usah terlalu kikir
untuk keperluan diri sendiri, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan untuk
keperluan sosial
3. Anana-sukha
Ia terbebas dari hutang
4. Anavajja-sukha
Ia dapat hidup secara bersih dah tidak tenoda, tanpa melakukan sesuatu
yang tidak benar, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
200 | P a g e
Dari beberapa contoh yang diberikan di atas orang dapat melihat bahwa
Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi perlu untuk
mendapatkan kebahagiaan, tetapi Beliau tidak menganggap kematian ini
sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebendaan
dengan mengabaikan dasar-dasar spiritual dan moral.
201 | P a g e
dari pihak sana selalu tidak benar. Agama Buddha dengan tegas menolak
penafsiran ini.
Pada zaman Sang Buddha seperti juga jaman sekarang ini, banyak
penguasa yang memerintah negaranya secara tidak adil. Rakyat ditekan
dan dihisap, disakiti dan diburu-buru, pajak dipertinggi, korupsi
merajalela dan hukuman-hukuman di luar batas prikemanusiaan
dilaksanakan. Sang Buddha ingin berbuat sesuatu terhadap keadaan yang
tidak berperikemanusiaan itu.
202 | P a g e
tidak bahagia, korup, rusak akhlaknya, kalau saja, menteri dan pejabat
pemerintah lainnya korup dan tidak jujur.
204 | P a g e
ejekan dengan hati yang sabar, penuh pengertian dan dapat memaafkan
perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya.
Kalau suatu negara mempunyai raja yang berwatak seperti yang disebut
di atas, maka tak usah diragukan lagi bahwa rakyatnya akan menjadi
bahagia. Hal di atas bukan merupakan khayalan belaka, sebab pada
zaman yang lampau memang terdapat seorang raja agung di India, Sri
Baginda Raja Asoka, yang telah mempraktekkan dasa-raja-dhamma
tersebut.
205 | P a g e
Mereka berjalan sedemikian jauh, sehingga satu langkah lagi ke depan
bukan saja mereka dapat saling memusnahkan, melainkan seluruh dunia
akan menghadapi kehancuran total dari kehidupan. Manusia yang
sekarang berada dalam ketakutan oleh keadaan yang mereka sendiri
ciptakan dengan sekuat tenaga berusaha untuk mencari jalan keluar dan
pemecahan dari persoalan ini.
Tetapi, tidak terdapat jalan keluar atau pemecahan, kecuali atas dasar
yang Sang Buddha telah ajarkan tentang “non-violence” (tanpa-
kekerasan) dan perdamaian, cinta kasih dan belas kasihan, toleransi dan
pengertian, kebenaran dan kebijaksanaan, penghormatan dan sayang
terhadap segala sesuatu yang hidup; bebas dari perasaan mementingkan
diri sendiri, kebencian dan kekerasan.
206 | P a g e
Tidak mungkin akan ada perdamaian dan kebahagiaan, selama negara-
negara besar masih saja haus akan kemenangan dan ingin menguasai
negara lain, Sang Buddha pernah bersabda : “Yang menang akan
mendapat kebencian dan yang kalah akan jatuh dalam kemelaratan. Ia
yang menolak kemenangan dan kekalahan adalah bahagia dan penuh
perdamaian. Satu-satunya kemenangan yang dapat membawa
perdamaian adalah kemenangan atas nafsu-nafsu sendiri. Orang dapat
saja menaklukkan berjuta-juta orang dalam peperangan, namun orang
yang telah dapat menaklukkan nafsu-nafsunya sendiri adalah yang
paling mulia”.
Anda mungkin mengatakan bahwa hal-hal di atas ini bagus sekali, mulia
dan sempurna, tetapi sayangnya tidak dapat dipraktekkan. Sekarang saya
ingin bertanya, apakah baik untuk mendendam kepada orang lain?
Untuk saling membunuh? Untuk hidup dalam ketakutan dan perasaan
curiga-mencurigai dengan tidak ada habisnya seperti binatang liar di
hutan?
207 | P a g e
Tetapi, terdapat contoh, sedikitnya dalam hal perorangan, di mana
kebencian dapat dihilangkan dengan cinta kasih dan pengertian dan
kejahatan dimenangkan dengan kebaikan.
Anda mungkin akan berkata bahwa hal-hal ini dapat dijalankan dalam
hal perorangan tetapi tidak mungkin dalam hal nasional dan
internasional.
208 | P a g e
hubungan nasional dan internasional. Dalam hal perorangan, untuk dapat
menaklukkan kebencian dengan cinta kasih memerlukan keberanian
yang luar biasa, ketabahan, kepercayaan dan keyakinan yang kuat.
Apalagi mengenai hal-hal internasional. Kalau dengan perkataan “tidak
dapat dipraktekkan” Anda maksudkan “tidak mudah”, maka dalam hal
ini Anda benar. Tentu saja hal ini tidak mudah. Tetapi apakah hal ini
tidak dapat dicoba? Anda mungkin menjawab, bahwa berbahaya sekali
untuk mencobanya. Tetapi, rasanya hal ini tidak lebih berbahaya
daripada kemungkinan akan meletusnya satu perang nuklir.
209 | P a g e
cacat dan ditawan. Tetapi, sesudah ia memeluk agama Buddha,
berubahlah ia seluruhnya dan seakan-akan menjadi orang baru.
211 | P a g e
malah amat merugikan agamanya sendiri.
Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian
bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia juga
mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain …”.
APPENDIKS
CANDI-CANDI TERKENAL DI JAWA TENGAH
I. Mendut
Dahulu bernama Veluvana (hutan bambu) dan menghadap ke Barat-Laut
(ke arah Buddha Gaya). Didirikan oleh Raja Indra Gananatha pada tahun
809, prasasti dikeluarkan tahun 810.
213 | P a g e
Di sebelah kanannya adalah patung Bodhisatva Avalokitesvara dengan
mudra Vara (di daerah Tengger disebut Buddha Kesvara). Di sebelah
kirinya adalah patung Bodhisatya Vajrapani dengan mudra Simhakarna.
Di sebelah luar candi terdapat patung dewi Tara (çakti dari Sang Buddha)
yang dipahat di dinding Utara; Bodhisatva Avalokitesvara di dinding
Timur; dan Bodhisatva Manjusri di dinding Selatan.
II. Pawon
Didirikan oleh Raja Samarottungga (putera Raja Indra) pada tahun 826;
prasastinya dikeluarkan pada tahun 824. Candi Pawon merupakan pintu
gerbang candi Borobudur, tempat umat membersihkan badan dan
pikirannya dari kekotoran-kekotoran (batin) sebelum menginjak tempat
yang dianggap suci itu.
214 | P a g e
III. Borobudur
A. Keterangan Umum
a. alas bawah
215 | P a g e
Kesemuanya ini melambangkan “Dasa Bhumi” atau 10 (sepuluh)
Kesempurnaan (Paramita) yang harus dimiliki oleh seorang Bodhisatva
untuk dapat menjadi Buddha.
Pada lorong yang lain terdapat cerita tentang para Bodhisatva lain dari
kitab “Gandavyuha”; sedang di kaki candi yang tertutup terdapat
lukisan-lukisan yang berhubungan dengan hukum Karma dari kitab
“Karma Vibhanga”.
216 | P a g e
2. menghadap ke Selatan: Ratnasambhava dengan mudra “Vara” atau
“Varada” (memberi anugerah).
217 | P a g e
Ketiga candi di atas setelah selesai, dikeramatkan oleh Puteri dari Raja
Samarottungga, yaitu Rajaputri Pramodawardhani pada tahun 843
(prasasti tahun 840). Dari akhir abad ke-15 selama lebih dari 300 tahun
lamanya Borobudur ditelantarkan.
Pada tahun 1815 atas perintah Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas
Stanford Raffles, opsir zeni Ir. H.C. Cornelius memimpin pembersihan
wajah candi yang masih disebut-sebut dalam “Babad Tanah Jawa”
seabad sebelumnya. Lebih dari 200 orang penduduk dipaksa kerja rodi
selama 45 hari menebang pohon, membabat dan membakar belukar serta
mengelupas tanah yang sudah menyelimuti candi yang kakinya sudah
terbenam 10 meter ke dalam tanah.
Lalu Borobudur pun terjaga dari tidurnya yang pulas kira-kira 3 abad
lamanya. Sayang Raffles tidak dapat meneruskan usahanya karena sudah
harus pergi dari Indonesia.
218 | P a g e
dilanjutkan dengan penggambaran relief-reliefnya di atas kertas oleh F.C.
Wilson dan Schonberg Mulder, dari tahun 1849 s/d tahun 1953.
Pada tahun 1885 kaki candi yang ditelan bumi itu “ditemukan” oleh J.W.
Ijzerman. Ternyata di belakang kaki candi yang nampak masih ada lagi
kaki candi lain yang dihiasi pahatan relief. Kaki yang tersembunyi ini
diabadikan oleh Cephas selama setahun (1890-1891), yang untuk itu
12.500 meter kubik batu dipindahkan dan kemudian dikembalikan lagi
ke tempatnya semula. Penemuan ini penting artinya, yang disebut
“Kamadhatu” (lingkaran hawa nafsu) yang sebelumnya tersembunyi dari
pandangan mata. Seratus enam puluh panel dalam lingkaran “Hawa
Nafsu” itu menggambarkan ajaran Karma (Hukum sebab dan akibat
setiap perbuatan baik dan buruk), sebagaimana tertera dalam kitab
“Karma-vibhanga”.
219 | P a g e
kelihatan lebih cantik. Batu-batu yang berserakan di sekeliling candi
disingkirkan ke kaki bukit, sedangkan stupa-stupanya dibenarkan
letaknya.
220 | P a g e
reliefnya dipindahkan saja ke Museum Leiden, mengingat kondisi candi
yang semakin rusak. Untunglah gagasan itu ditentang oleh kalangan ahli
sendiri, sehingga tidak jadi dilaksanakan.
Ada tiga hal yang dibebankan kepada Ir. van Erp dalam usaha
menyelamatkan Borobudur:
222 | P a g e
Korosi disebabkan oleh pengaruh iklim yang merusak batu-batu candi
yang jelek kwalitasnya. Lapisan oker kuning yang dulunya dimaksudkan
meratakan warna relief untuk keperluan pemotretan, ternyata berhasil
melindungi batu-batu yang keras. Tetapi terhadap batu-batu yang lunak
akibatnya jadi lain, yaitu pengelupasan. Cendawan dan lumut terang
menambah korosi pula. Namun, sebab pokok korosi yang paling sadis
adalah derasnya air yang merembes ke luar bangunan candi melalui
celah-celah dan pori-pori batu-batuan candi itu sendiri.
Kerusakan lain ialah, karena tekanan bobot batu-batuan candi itu sendiri.
Pada tahun 1965 atas prakarsa Menteri P & K, Ny. Artati M. Sudirdjo
S.H., maka untuk mencegah kerusakan yang lebih fatal, telah dilakukan
pembongkaran atas dinding-dinding Utara dan Barat yang miring oleh
Dr. R. Soekmono.
223 | P a g e
Pada tahun 1968 Pemerintah RI membentuk Panitia Nasional
Penyelamat Borobudur dan beberapa ahli luar negeri dihubungi, a.l.:
224 | P a g e
C. Keterangan relief-relief tentang riwayat Buddha Gautama menurut
naskah “Lalita Vistara”.
225 | P a g e
6. Sebelum Sang Bodhisatva turun ke dunia, terlebih dulu Beliau
menyerahkan Mahkotanya (Tyara) kepada penggantinya, yaitu
Bodhisatva Maitreya.
13. Ratu Maya Dewi, sewaktu tidur di istana, bermimpi seekor gajah
putih memasuki perutnya dan kemudian Ratu menjadi hamil.
14. Sang Ratu tidak usah kuatir karena Dewa Cakra melindunginya.
15. Sang Ratu pergi ke taman Asoka untuk menemui Raja Suddhodana.
226 | P a g e
16. Raja Suddhodana tiba di taman Asoka dengan menunggang gajah.
21. Para dewa telah membuat Ratu Maya Dewi serempak terlihat di
tiga alam.
227 | P a g e
23. Raja Suddhodana memberikan hadiah-hadiah kepada orang-orang
miskin.
25. Satu hal yang aneh terjadi sewaktu Raja sedang bermeditasi :
seekor anak gajah masuk ke istana dan memberi hormat kepada Raja.
27. Ratu dengan kereta menuju ke taman Lumbini. Setelah tiba, kereta
berhenti dan Ratu dengan gembira berjalan-jalan di taman.
29. Setelah Ratu meninggal dunia, Sang Pangeran diasuh oleh bibinya
yang bernama Pajapati. Sang Pangeran diberi nama Siddharta.
228 | P a g e
2. Dewa-dewa dari alam Suddhavasa mengunjungi Pangeran Siddharta.
12. Sang Pangeran minta para gadis dari Kapilavastu untuk datang ke
istana. Pilihannya ternyata jatuh kepada Yasodhara. Untuk menghibur
gadis-gadis lain yang kecewa, Sang Pangeran membagi-bagikan hadiah.
229 | P a g e
13. Menurut kebiasaan pada zaman itu, sebelum upacara perkawinan
dilaksanakan, terlebih dulu calon pengantin pria harus membuktikan
kemampuannya secara fisik maupun mental. Oleh karena itu Sang
Pangeran diharuskan mengambil bagian dalam satu sayembara.
14. Devadatta, saudara sepupu dari Sang Pangeran, juga turut dalam
sayembara tersebut. Ia harus berkelahi dengan seekor gajah yang besar.
Gajah tersebut dibunuhnya dengan sekali pukul dan sekali tendang.
15. Pada relief hanya terlihat roda kereta dan seorang prajurit.
Pangeran Siddharta dengan duduk di kereta menyeret bangkai gajah itu
dengan kaki kiri ke luar kota sejauh delapan yojana (1 yojana = 8 mil).
231 | P a g e
2. Raja Suddhodana tidak memperkenankan Sang Pangeran pergi bertapa
dan memerintahkan kepada wanita-wanita cantik untuk terus menghibur
Sang Pangeran.
232 | P a g e
12. Pangeran Siddharta berkunjung ke tempat seorang pertapa lain
yang bernama Alara Kalama.
233 | P a g e
20. Pangeran Siddharta mengajar para dewa.
30. Pangeran Siddharta minta diberi rumput yang empuk untuk duduk.
234 | P a g e
1. Pangeran Siddharta dalam perjalanan ke Buddha Gaya.
235 | P a g e
10. Buddha Gautama mendapat tempat duduk di taman Rusa.
12. Para pertapa dari Bodhi-manda minta diberi berkah oleh Buddha
Gautama.
237 | P a g e
30. Buddha Gautama memberi khotbah di taman Rusa, dekat Benares.
238 | P a g e