Anda di halaman 1dari 238

DHAMMA-SARI

Disusun oleh : Maha Pandita Sumedha Widyadharma


Penerbit : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda,
Cetakan Kesembilan, 1994
BAB I
SANG BUDDHA

Sang Buddha, yang nama benarnya Siddhatta (Skt. Siddhartha) dan nama
keluarganya Gotama (Skt. Gautama) bertempat tinggal di India Utara di
Kapilavatthu pada abad keenam S.M. Ayahnya, Raja Suddhodana,
adalah raja kerajaan wangsa Sakya (sekarang Nepal). Ibunya bernama
Maya Devi. Menurut kebiasaan pada waktu itu, Beliau dinikahkan pada
usia yang sangat muda, yaitu usia 16 tahun, kepada seorang putri yang
cantik sekali yang bernama Yasodhara.
Pangeran muda ini hidup dalam sebuah istana yang mewah sekali.
Tetapi pada suatu ketika Pangeran melihat kenyataan bahwa hidup ini
sebenarnya penuh dengan penderitaan dan oleh karena itu Ia mengambil
keputusan untuk mencari suatu cara yang dapat membebaskan manusia
dari penderitan.

Pada usia 29 tahun, setelah anaknya yang pertama Rahula baru saja
dilahirkan, Sang Pangeran meninggalkan istananya yang mewah dan
menjalankan kehidupan sebagai seorang pertapa.

Selama enam tahun Sang Pertapa Gotama berkeliling di hutan-hutan


dekat Sungai Gangga menemui dan berguru kepada Guru-guru Yogi
yang termashur dan menjalani pula cara mereka bersamadhi serta cara-

2|Page
cara lain lagi untuk menjadi seorang pertapa yang sejati. Tetapi
semuanya ini tidak dapat memuaskan hati Sang Pertapa Gotama. Oleh
karena itu, Ia melepaskan diri dari semua tata cara agama yang ada pada
waktu itu dan ia melakukan usaha-usaha dengan caranya sendiri.

Pada suatu malam, ketika duduk di bawah pohon Assattha (yang


kemudian hari dikenal sebagai pohon Bodhi) di tepi Sungai Nerañjara di
Buddha Gaya (dekat Gaya di Bihar sekarang), Sang Pertapa Gotama
pada usia 35 tahun memperoleh Kesadaran Agung dan mencapai tingkat
Buddha, yaitu orang yang mendapatkan Penerangan Sejati.

Sesudah itu Sang Buddha Gotama memberikan khotbah-Nya yang


pertama kepada lima orang pertapa yang dahulu pernah menjadi siswa-
Nya di sebuah taman rusa di Isipatana (Sarnath sekarang) dekat kota
Bernares. Semenjak itu untuk 45 tahun lamanya Beliau memberikan
khotbah kepada khalayak ramai dari berbagai macam tingkatan dan asal
usul dengan tidak pernah melakukan perbedaan.

Pada usia 80 tahun Sang Buddha Gotama mangkat di kota Kusinara


(sekarang Utar Pradesh). Kini, agama Buddha dianut di negara-negara
Srilangka, Burma, Thailand, Kampuchea, Laos, Vietnam, Tibet,
Tiongkok, Jepang, Mongolia, Korea, Taiwan, beberapa bagian dari India,
Pakistan, Nepal dan juga di Uni Soviet. Pengikut agama Buddha di
seluruh dunia kini ditaksir lebih dari 500 juta orang.

3|Page
BAB II
PANDANGAN AGAMA BUDDHA TENTANG PIKIRAN
Di antara pendiri-pendiri agama, Sang Buddha (kalau kita diperbolehkan
untuk menamakan Beliau sebagai seorang pendiri agama dalam artian
umum) adalah satu-satunya Guru Dunia yang tidak pernah menyatakan
bahwa Beliau bukanlah seorang manusia biasa. Sebagai seorang biasa
Sang Buddha pun tidak pernah mendapat wahyu dari “Satu Kekuasaan
Luar” yang mana pun juga. Beliau mengatakan bahwa semua
penyelaman Kesunyataan, pengalaman dan penerangan yang Beliau
peroleh, semata-mata berkat usaha, jerih payah dan kecerdasan seorang
manusia biasa.

Seorang biasa sajalah yang dapat menjadi Buddha, karena di dalam diri
seorang manusia terdapat kekuatan yang dapat membawa ia menjadi
Buddha asal saja ia mau berusaha.
Kita dapat menamakan seorang Buddha sebagai seorang “Manusia
Sempurna” atau seorang “Super-human”. Menurut agama Buddha,
kedudukan seorang manusialah yang tertinggi. Seorang manusia menjadi
Tuan dari dirinya sendiri dan tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi yang
dapat menentukan nasibnya.

“Orang itu pelindung dari dirinya sendiri, sebab kepada siapa lagi ia
harus mencari perlindungan?” sabda Sang Buddha.

4|Page
Beliau mengajar para siswa-Nya untuk mencari perlindungan pada diri
sendiri dan jangan sekali-kali mencari perlindungan pada diri orang lain.
Beliau mengajar, menganjurkan dan mendorong setiap orang untuk
berusaha atas kekuatan sendiri karena dalam diri sendiri sesungguhnya
terdapat kekuatan yang dapat membebaskannya dari semua belenggu
dengan usaha dan kecerdasan sendiri.

Sang Buddha pernah bersabda: “Kamu sendiri harus melakukan


pekerjaan itu, sebab Sang Tathagata (Sang Buddha) hanya sebagai
Penunjuk Jalan (Majjhima Nikaya 107)”

Kalau Sang Buddha pernah disebut sebagai “Juru Selamat, maka hal ini
harus dilihat dari sudut bahwa Sang Buddha yang menemukan dan
mengajar kita Jalan Kebebasan atau Nibbina, meskipun kita sendirilah
yang harus menempuh jalan itu.

Atas dasar prinsip tanggung-jawab sendiri inilah, maka Sang Buddha


memberi kebebasan berbuat kepada para siswa-Nya. Dalam
Mahaparinibbana-sutta Sang Buddha bersabda bahwa Beliau tidak
pernah berpikir mau menguasai Sangha atau agar Sangha tergantung
kepada-Nya. Beliau juga bersabda bahwa ajaran-Nya tidak mengenal
satu “esoteric doctrine”. Tidak ada sesuatu yang disembunyikan atau ada
sesuatu yang tidak akan diajarkan.

5|Page
Kebebasan berpikir dalam agama Buddha adalah unik, lain dari yang
lain, dan tidak dikenal dalam agama-agama lain. Kebebasan ini perlu,
sebab hanya dengan adanya kebebasan ini orang dapat mencapai hasil
yang tertinggi. Orang harus menyelami Kesunyataan karena usaha dan
daya-upayanya sendiri dan penyelaman di atas tak mungkin
diperolehnya karena belas-kasihan dari guru-guru luar atau dari
“Kekuasaan Tinggi” lain sebagai hadiah dari tingkah lakunya yang baik
dan dengar kata.

Pada suatu hari Sang Buddha singgah di sebuah kota kecil bernama
Kesaputta di kerajaan Kosala. Penduduk kota ini biasanya disebut
sebagai kaum Kalama. Ketika mendengar bahwa Sang Buddha singgah
di kota mereka, berduyun-duyunlah mereka mengunjungi Sang Buddha
dan bertanya kepada Beliau: “Bhante, beberapa orang pertapa dan
brahmana yang mengunjungi kota kami memberikan ajarannya kepada
kami dengan mengatakan bahwa yang mereka ajarkan itu yang paling
benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran yang lain.

Sesudah itu, datang pula pertapa dan brahmana lain. Mereka pun
memberikan ajaran-ajaran mereka dan mengatakan bahwa hanya ajaran
mereka sajalah yang paling benar dibandingkan dengan ajaran-ajaran
yang lain. Sementara itu, kalau diperhatikan dengan baik, ajaran-ajaran
mereka sering bertentangan satu dengan yang lain.

6|Page
Oleh karena itu, kami jadi ragu-ragu dan bingung dan tidak tahu siapa di
antara para pertapa dan brahmana itu yang bicara benar dan siapa yang
berdusta”.

Kemudian Sang Buddha memberikan jawaban yang unik dalam sejarah


keagamaan. “Yah, putera-putera Kalama, sudah sewajarnyalah kamu
ragu-ragu dan bingung disebabkan oleh sesuatu hal yang memang
meragukan dan membingungkan sekali. Nah, dengarlah baik-baik apa
yang akan Kukatakan.

Janganlah percaya begitu saja kepada berita yang disampaikan


kepadamu, atau karena sesuatu sudah merupakan tradisi atau sesuatu
yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja kepada sesuatu
yang katanya sudah diramalkan dalam buku-buku suci; juga kepada
sesuatu yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga
kepada sesuatu yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga
karena sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau
karena kamu ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.
Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah kamu selidiki sendiri kamu
mengetahui bahwa ‘hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak
dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan
mengakibatkan kerugian dan penderitaan’, maka sudah selayaknya kamu
menolak hal-hal tersebut di atas.

7|Page
Tetapi, kalau, setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa ‘hal
ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana,
hal ini kalau terus dilakukan, akan membawa keberuntungan dan
kebahagiaan’, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai
dengan hal-hal tersebut di atas.

Selanjutnya, Sang Buddha mengatakan bahwa siswa-siswa-Nya harus


meneliti dengan baik ajaran Sang Tathagata, sehingga mereka benar-
benar yakin bahwa ajaran Sang Buddha itu benar adanya.

Keragu-raguan (vicikiccha) merupakan salah satu dari lima penghalang


untuk mendapatkan pengertian yang terang tentang Kesunyataan dan
menjadi rintangan bagi kemajuan batiniah seseorang. Tetapi keragu-
raguan bukanlah merupakan dosa, karena pada hakekatnya Agama
Buddha tidak mengenal dosa seperti yang dimaksud dalam agama-
agama lain.

Menurut agama Buddha, akar semua kejahatan ialah avijja


(ketidaktahuan, kebodohan) dan micchaditthi (pandangan yang keliru).

Memang tak dapat disangkal bahwa apabila masih ada keragu-raguan


dan kebimbangan, tidaklah mungkin orang mendapatkan kemajuan.
tetapi tak dapat disangkal pula bahwa keragu-raguan itu justru
diperlukan agar orang mau menyelidiki sesuatu supaya mendapatkan

8|Page
pengertian yang baik dan dapat melihat sesuatu dengan baik dan terang.
Namun, untuk memperoleh kemajuan selanjutnya memang mutlak perlu
untuk menyingkirkan keragu-raguan sampai ke akarnya, sebab hanya
dengan disingkirkannya keragu-raguan orang dapat melihat sesuatu
persoalan dengan terang dan jelas.

Sebenarnya yang menjadi persoalan bukanlah apakah orang ragu-ragu


atau percaya. Sebab dengan mengatakan “aku percaya” bukanlah berarti,
bahwa kita sudah mengerti atau sudah dapat melihat sesuatu persoalan
dengan terang dan jelas.

Misalnya seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan satu persoalan


ilmu pasti. Mungkin pada satu saat ia tiba pada satu titik yang membuat
ia ragu-ragu dan bingung. Kalau ia hendak melanjutkan pekerjaannya
memecahkan persoalan tersebut, ia harus terlebih dahulu mengatasi
keragu-raguannya. Dengan hanya mengucapkan “aku percaya” atau
“aku tidak ragu-ragu” tidaklah mungkin ia dapat memecahkan persoalan
yang sedang ia hadapi.

Merupakan kesalahan besar untuk memaksa seseorang agar ia mau


percaya akan sesuatu.

Sang Buddha sendiri selalu berusaha untuk melenyapkan keragu-raguan.


Beberapa saat sebelum Beliau mangkat, Beliau masih bertanya kepada

9|Page
siswa-siswa-Nya, apakah masih ada sesuatu yang diragu-ragukan
mengenai ajaran yang telah Beliau berikan agar mereka kelak jangan
merasa menyesal bahwa mereka tidak dapat mengatasi keragu-raguan.
Tetapi semua siswa-Nya diam saja. Kemudian Beliau mengucapkan
kata-kata yang mengharukan sekali. “Mungkin karena rasa hormat yang
besar terhadap Gurumu, maka tidak ada yang ingin mengajukan
pertanyaan. Baiklah kalian berunding dulu dan kemudian baru
mengajukan pertanyaan.”

Bukan hanya kebebasan berpikir, tetapi juga toleransi yang diajar oleh
Sang Buddha sangat mengagumkan.

Pada suatu waktu di Nalanda, seorang terkemuka dan kaya raya yang
bernama Upali, siswa Nigantha Nataputta (Jaina Mahavira) yang
termashur, dikirim oleh gurunya untuk menemui Sang Buddha dengan
maksud untuk berdebat tentang beberapa bagian tertentu dari hukum
Kamma yang berbeda dengan pandangan Mahavira tersebut.

Tetapi, di luar dugaan, pada akhir perdebatan Upali memperoleh


keyakinan bahwa pandangan Sang Buddhalah yang benar dan
pandangan Gurunya sendiri yang salah. Oleh karena itu, ia mohon
kepada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai seorang upasaka.

10 | P a g e
Tetapi, Sang Buddha memperingatkan Upali untuk menimbang lagi
secara tenang dan jangan terburu nafsu karena Upali adalah seorang
yang terkemuka di kota itu. Setelah Upali menimbang-nimbang dan
kemudian tetap memohon untuk dapat diterima sebagai upasaka, maka
diterimalah permohonan itu disertai syarat agar Upali tetap memberikan
penghormatan dan dana kepada gurunya yang lama (Upali-Sutta,
Majjhima Nikaya 56).

Pada abad ke-3 S.M. seorang Kaisar Buddhis yang termashur dari India
bernama Asoka juga telah mengikuti contoh yang mulia dari Sang
Buddha tentang toleransi, sehingga beliau menghormat dan memberi
bantuan kepada agama-agama lain di negaranya yang besar. Bahkan,
sebuah dekrit yang dipahat di batu cadas gunung hingga kini masih
dapat dibaca dan berbunyi: “…janganlah kita menghormat agama kita
sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya, agama orang lain
pun hendaknya dihormat atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat
begini kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang di
samping menguntungkan pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya,
maka kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan
agama lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri
dan mencela agama lain (semata-mata karena dorongan rasa bakti
kepada agamanya sendiri dengan berpikir ‘bagaimana aku dapat
memuliakan agamaku sendiri’), maka dengan berbuat demikian ia malah

11 | P a g e
amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang
dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya
mendengarkan dan bersedia juga mendengarkan ajaran agama yang
dianut orang lain ……”

Saya ingin menambahkan di sini bahwa jiwa toleransi dan kerja sama
yang baik ini seyogyanya dipupuk terus, bukan saja dalam bidang agama
tetapi juga dalam bidang-bidang lain.

Jiwa toleransi ini sejak dulu kala sudah menjadi cita-cita yang digemari
sekali dalam peradaban Buddhis. Inilah juga sebabnya bahwa sejak
2.500 tahun yang lalu tak pernah ada setetes darahpun yang mengalir
guna kepentingan pengembangan agama Buddha. Dengan damai dan
penuh toleransi agama Buddha berkembang ke Benua Asia dan ke
seluruh penjuru dunia, sehingga pada saat ini agama Buddha dianut oleh
lebih dari 500 juta orang. Kekerasan dalam bentuk apa pun dan dengan
dalil apa pun juga tidak dibenarkan oleh ajaran Sang Buddha.

Sering orang bertanya, apakah Buddha Dhamma merupakan satu agama


atau filsafat. Sebenarnya, tidaklah begitu penting nama yang kita berikan
kepadanya. Buddha Dhamma tak akan berubah karena merek apa pun
juga yang kita pakai untuknya. Pada hakekatnya merek itu tidak
membawa pengaruh apa-apa. Bahkan merek Buddha Dhamma itu

12 | P a g e
sendiri yang dipakai untuk ajaran Sang Buddha tidaklah begitu penting.
“What is in a name” atau “apakah sebenamya sebuah nama itu”.

Bunga mawar akan sama saja harumnya walau nama apa pun juga kita
pakai untuk menyebutnya Dengan alasan yang sama pula, Kesunyataan
atau “Kebenaran Sejati” tidak memerlukan merek tertentu dan bukan
milik dari umat Buddha, Kristen, Hindu atau Muslim. Tidak dimonopoli
oleh siapa pun juga. Merek-merek yang diberikan oleh golongan tertentu
hanya merupakan penghalang belaka untuk pengertian yang bebas dari
Kesunyataan dan dapat menimbulkan satu prasangka yang berbahaya
dalam pikiran seseorang.

Ini merupakan fakta bukan saja dalam hal-hal yang menyangkut bidang-
bidang spiritual dan intelektual, namun juga dalam kehidupan kita
sehari-hari sewaktu kita berhubungan dengan sesama manusia. Misalnya,
kalau kita bertemu dengan orang asing, kita bukan melihatnya sebagai
seorang manusia, tetapi kita segera memberinya merek-merek tertentu,
misalnya Inggris, Jerman, India atau Thai dan kita berkecenderungan
untuk menilai dan memperlakukan orang tersebut dengan sifat-sifat yang
kita anggap dimiliki oleh orang dengan merek itu. Mungkin saja sifat
yang sebenarnya dari orang itu lain sama sekali dengan apa yang ada
dalam pikiran kita.

13 | P a g e
Kita begitu suka dengan merek yang berbeda-beda, sehingga kita juga
memberi merek kepada sifat-sifat dan emosi-emosi yang kita anggap
dimiliki oleh golongan tertentu. Misalnya kita berbicara tentang cinta-
kasih Buddhis, cinta-kasih Kristen dan golongan yang satu akan
memandang rendah cinta-kasih dari golongan yang lain. Mereka lupa
bahwa cinta-kasih itu sebenarnya universal dan bukan menjadi milik
golongan Buddhis, Kristen, Islam atau Hindu.

Apakah cinta-kasih seorang ibu terhadap anaknya cinta-kasih Budhis,


cinta-kasih Kristen atau cinta-kasih Islam? Bukan, ini semata-mata
merupakan cinta-kasih seorang ibu, tanpa embel-embel apa pun juga.
Sifat-sifat manusia dan emosi seperti cinta, belas-kasihan, toleransi,
sabar, setiakawan, dendam, sombong dll. tak memerlukan merek tertentu
dan juga bukan menjadi milik golongan mana pun juga.

Bagi orang yang mau mencari Kebenaran Sejati tidaklah penting dari
mana datangnya suatu ide. Sumber dan perkembangan suatu ide
merupakan bidang para akademikus. Untuk mengerti Kebenaran Sejati
tidaklah perlu untuk mengetahui bahwa ajaran itu bersumber dari
seorang Buddha atau dari orang lain. Yang lebih penting ialah, bahwa
kita harus dapat melihat dan juga memahami Kebenaran Sejati itu.

Di bawah ini akan disajikan sebuah kisah yang berhubungan dengan hal
yang tersebut di atas (Majjhima Nikaya 140, Dhatuvibhanga-Sutta).

14 | P a g e
Pada suatu malam Sang Buddha bermalam di suatu pondok seorang
pembuat guci tanah liat. Dalam pondok itu ada seorang pertapa muda
bernama Pukkusati yang telah lebih dulu datang ke tempat itu. Mereka
tidak saling mengenal. Sang Buddha mengamat-amati pertapa itu dan
berpikir: “Pertapa muda ini memiliki pembawaan yang menyenangkan
sekali. Alangkah baiknya kalau Aku bicara satu dua patah kata dengan
orang ini”. Sang Buddha kemudian bertanya: “Saudara-Ku, untuk
apakah kau meninggalkan rumahmu dan siapakah nama gurumu atau
ajaran siapakah yang kau anut?”

Pertapa muda itu menjawab: “Orang telah memberitahukan kepadaku


tentang seorang pertapa bernama Gotama dari suku Sakya yang menurut
mereka telah mencapai Kebijaksana Sempurna. Beliau itulah yang
membuat aku menjadi seorang pertapa dan Beliau pula yang menjadi
Guruku dan aku menjunjung tinggi ajaran-Nya”. “Tahukah Anda di
mana Orang Bijaksana itu sekarang berada?”

“Aku dengar, bahwa Beliau sekarang berada di suatu tempat yang


disebut Savatthi”

“Pernahkah Anda melihat Orang Bijaksana itu dan dapatkah Anda


mengenalnya kalau sekiranya Anda bertemu dengannya?”

15 | P a g e
“Dengan sebenarnya aku belum pernah melihat Orang Bijaksana itu dan
aku juga tidak dapat mengenalnya kalau sekiranya aku bertemu
dengannya.”

Sang Buddha sekarang mengetahui bahwa pertapa muda itu sebenarnya


menjadi seorang pertapa karena menganut ajaran-Nya sendiri.

Kemudian, tanpa memperkenalkan diri, Sang Buddha lalu berkata “O,


saudaraku, Aku akan memberimu satu pelajaran. Dengar dan
perhatikanlah baik-baik apa yang akan Kukatakan.”

“Baiklah, sahabat,” jawab pertapa muda itu. Sesudah itu Sang Buddha
menerangkan ajaran-Nya tentang Kesunyataan.

Akhirnya, insaflah Pukkusati bahwa orang yang sedang berbicara


kepadanya adalah Sang Buddha sendiri. Lantas ia berdiri dan memberi
hormat dengan berlutut di hadapan Sang Buddha sambil mohon
diampuni atas kekurangajarannya karena telah memanggil Sang Buddha
dengan kata-kata “sahabat”. Setelah itu ia juga mohon agar diterima
sebagai murid.

Sang Buddha bertanya, apakah ia memiliki sebuah mangkuk dan jubah,


sebab sebagaimana kita ketahui, untuk dapat ditahbiskan menjadi
bhikkhu, seseorang harus mempunyai tiga stel jubah dan sebuah

16 | P a g e
mangkuk untuk mengumpulkan makanan. Karena pertapa muda ini tidak
memiliki benda-benda tersebut di atas, Sang Buddha tidak dapat
mentahbiskannya pada saat itu. Pukkusati kemudian keluar dari pondok
untuk mencari mangkuk dan jubah, tetapi malang bagiya, dalam
perjalanan ia diseruduk seekor sapi dan kemudian meninggal dunia.

Ketika berita yang menyedihkan itu disampaikan kepada Sang Buddha,


Beliau berkata bahwa Pukkusati adalah seorang yang bijaksana yang
telah mencapai tingkat Anagami. Seorang yang mencapai tingkat
Anagami tak akan lahir lagi di dunia ini dan akan mencapai tingkat
Arahat di sorga Suddhavasa.

Dari kisah ini dapat kita menarik kesimpulan bahwa ketika Pukkusati
mendengarkan Sang Buddha menguraikan ajaranNya, ia tidak tahu siapa
sebenarnya yang bicara kepadanya atau ajaran siapa yang telah
dibabarkan kepadanya. Ia hanya melihat Kesunyataan. Kalau obat itu
baik tentunya dapat menyembuhkan orang sakit dan tidaklah perlu kita
harus mengetahui siapa yang membuatnya atau dari mana obat itu
datang.

Hampir semua agama didasarkan atas “percaya” yang sewaktu-waktu


menjurus ke “percaya” yang membuta. Tetapi agama Buddha justru
menekankan pada “melihat”, “mengetahui” dan “memahami” yang oleh
sementara orang diterjemahkan menjadi “percaya”.

17 | P a g e
Tetapi, “saddha” bukanlah berarti “percaya” seperti yang lazim
dipahami orang; ia berarti suatu “keyakinan” yang timbul dari sesuatu
yang “nyata”.

Dalam agama Buddha memang harus diakui bahwa menurut pengertian


umum, istilah “saddha” juga mencakup pengertian “percaya” di
dalamnya yang dimaksudkan sebagai “bakti” terhadap Sang Buddha,
Dhamma dan Sangha.

Menurut Asanga seorang pujangga Buddhis yang terkemuka pada abad


ke-4 Masehi, “saddha” mengandung tiga unsur, yaitu

1. keyakinan yang kuat akan sesuatu hal

2. kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik

3. harapan untuk memperoleh sesuatu di kemudian hari.

Dari sini dapat kita lihat bahwa pengertian “percaya” tidak terdapat
dalam uraian yang tersebut di atas.

Persoalan “percaya” akan timbul apabila kita tidak dapat melihat sesuatu
dengan jelas dan terang. Pada saat kita melihat suatu persoalan dengan
jelas dan terang, maka “percaya” itu tak akan ada lagi.

18 | P a g e
Kalau saya mengatakan kepada Anda, bahwa saya menyembunyikan
sebuah mestika dalam genggaman tangan saya, persoalan “percaya”
lantas timbul karena Anda tidak melihat itu dengan mata kepala sendiri.
Tetapi kalau saya buka genggaman tangan saya dan Anda dapat melihat
mestika tersebut, maka dengan sendirinya persoalan “percaya” itu tak
akan ada lagi. Selama kita belum dapat melihat sesuatu dengan jelas,
maka selama itu pula masih dapat timbul “percaya” atau “tidak percaya”.
Jadi, pada saat kita melihat sesuatu dengan jelas dan terang, maka pada
saat itu pula persoalan “percaya” tidak akan ada lagi.

Dalam hubungan ini kita teringat kepada satu pepatah Buddhis kuno
yang berbunyi sebagai berikut. “Mengalami sendiri seperti orang melihat
sebuah mestika di telapak tangan.”

Seorang siswa Sang Buddha bernama Musila pernah berkata kepada


seorang bhikkhu lain “Saudara Savittha, tanpa bakti atau percaya, tanpa
suka atau melekat, tanpa hanya dapat mendengar dari orang lain atau
tradisi, tanpa mempertimbangkan sebab-sebab yang nyata, tanpa
kegembiraan dalam menerka-nerka pendapat, aku tahu dan melihat
bahwa Nibbana itu akhir daripada keharusan untuk bertumimbal lahir”.

Juga Sang Buddha pernah bersabda : “O bhikkhu, telah Aku katakan


bahwa pemusnaan kekotoran batin dan noda-noda hanya dapat

19 | P a g e
dilakukan oleh orang yang “tahu” dan “dapat melihat” dan bukan oleh
orang yang “tidak tahu” dan “tidak dapat melihat”.

Persoalannya selalu adalah “tahu” dan “‘melihat” dan bukan “percaya”.


Ajaran Sang Buddha juga dikenal sebagai ehi-passiko, ialah
mengundang untuk “datang dan melihat” dan bukan untuk “datang dan
percaya”. Istilah yang umum dipergunakan untuk orang yang telah
menyelami Kesunyataan ialah: “Mata Dhamma (Dhamma-cakkhu) tanpa
debu dan noda telah bangkit. Tidak dapat disangsikan lagi ia telah
melihat Kesunyataan, telah memperoleh Kesunyataan, telah mengenal
Kesunyataan, telah menembus Kesunyataan, telah mengatasi keragu-
raguan.”

Berkenaan dengan Kesadaran Agung yang telah dicapai-Nya sendiri


Sang Buddha berkata. “Mata telah lahir, pengertian telah lahir,
kebijaksanaan telah lahir, pengetahuan telah lahir, cahaya telah lahir.”
(Anguttara Nikaya I:8)

Yang selalu kita temukan ialah “melihat” disebabkan oleh pengertian


dan kebijaksanaan (nana-dassana) dan bukan disebabkan oleh “percaya”.

Hal ini lebih dihargai lagi karena pada waktu itu kepercayaan Hindu
yang kolot memaksa orang untuk percaya dan menerima tradisi dan

20 | P a g e
kepercayaan mereka sebagai satu-satunya Kebenaran yang tak boleh
dipersoalkan.

Pada suatu hari sekelompok orang Brahmana yang terpelajar dan


terkemuka mengunjungi Sang Buddha dan melakukan tukar pikiran
yang mendalam dengan Sang Tathagata.

Seorang brahmana muda berusia 16 tahun yang bernama Kapathika


(yang oleh kelompok tersebut dianggap sebagai orang pintar dan luar
biasa) telah mengajukan pertanyaan sbb.. “Gotama Yang Mulia, kaum
brahmana memiliki kitab-kitab suci yang sudah tua sekali dan
diceritakan serta dipelajari turun-temurun hingga kini. Menurut kitab-
kitab tersebut kaum brahmana telah sampai kepada satu kesimpulan
terakhir: ‘Ini saja yang benar dan yang lain palsu.’ Kami ingin bertanya,
bagaimana pendapat Gotama Yang Mulia mengenai hal ini?”

Sang Buddha balik bertanya. “Di antara kaum brahmana, apakah ada
seorang yang secara pribadi telah tahu dan lihat bahwa : ‘Ini saja yang
benar dan yang lain palsu’?”

Anak muda itu lantas menjawab. “Tidak ada.”

“Kalau begitu, adakah seorang Guru atau Guru dari para Guru kaum
brahmana sebelumnya sampai turunan ketujuh, atau mungkin salah

21 | P a g e
seorang dari penulis asli kitab-kitab suci itu sendiri yang telah tahu dan
lihat: ‘Ini saja yang benar dan yang lain palsu’?”

“Tidak ada.”

“Kalau begitu dapat diumpamakan seperti satu barisan orang buta yang
saling berpegangan tangan. Yang berada di muka tidak melihat, yang
berada di tengah tidak melihat dan yang berada di belakang pun tidak
melihat. Oleh karena itu, dapat Aku katakan bahwa keadaan kaum
brahmana sama saja seperti barisan orang buta itu.”

Sesudah itu, Sang Buddha memberikan nasihat yang penting sekali


kepada para brahmana tersebut. “Bagi seorang bijaksana yang harus
melindungi Kebenaran tidaklah layak untuk sampai kepada kesimpulan.
‘Ini saja yang benar dan yang lain palsu’.”

Ketika diminta oleh brahmana muda itu untuk memberikan keterangan


lebih lanjut tentang hal melindungi Kebenaran, Sang Buddha menjawab:
“Seseorang mempunyai kepercayaan. Kalau ia berkata, ini adalah
kepercayaanku; sampai di sini ia melindungi Kebenaran. Tetapi dengan
ini ia tidak dapat maju lebih jauh untuk sampai pada kesimpulan terakhir:
‘Ini saja yang benar dan yang lain palsu.’ Dengan perkataan lain, orang
boleh saja percaya akan apa yang ia suka dan ia boleh berkata: ‘Aku
percaya ini’. Sampai di sini ia menghormati Kebenaran. Tetapi

22 | P a g e
berhubung dengan kepercayaannya itu tidak seharusnya ia berkata
bahwa apa yang ia percayai itu adalah satu-satunya Kebenaran dan yang
lain palsu.”

Sang Buddha melanjutkan. “Melekat kepada satu pandangan saja dan


memandang rendah pandangan orang lain adalah tidak baik dan orang
bijaksana menamakan ini satu belenggu.”

Pada suatu hari Sang Buddha menerangkan kepada siswa siswa-Nya


ajaran tentang hukum Kamma (Skrt. Karma) dan para siswa tersebut
menerangkan bahwa mereka telah melihat dan mengerti akan ajaran itu
dengan baik.

Sang Buddha lalu berkata. “O bhikkhu, biarpun pandanganmu ini jelas


dan terang, tetapi kalau engkau melekat kepadanya, kalau engkau
mengganduli, kalau engkau memiliki, kalau engkau terikat kepadanya,
maka engkau tidak mengerti, bahwa ajaran itu dapat diumpamakan
sebagai sebuah rakit yang engkau pakai untuk menyeberang dan bukan
untuk terus menerus engkau pegangi rakit itu.”

Pada kesempatan lain Sang Buddha memberikan perumpamaan yang


termashur, dengan mengibaratkan Ajaran-Nya sebagai sebuah rakit
untuk menyeberang ke pantai yang aman. “O bhikkhu, ada orang yang
melakukan perjalanan. Pada suatu ketika ia tiba di pantai laut. Di sebelah

23 | P a g e
sini pantainya berbahaya, tetapi di pantai yang lain aman dan tidak ada
bahaya apa pun. Tidak ada kapal yang pergi ke pantai seberang sana
yang aman dan sentosa dan juga tidak ada jembatan untuk dipakai
menyeberang. Ia berkata kepada dirinya sendiri: “Lautan ini lebar
dengan pantai di sebelah sini yang penuh dengan mara bahaya, tetapi
pantai di seberang sana aman dan sentosa. Tidak ada kapal yang belayar
ke pantai sana dan juga tidak ada jembatan yang dapat dipakai untuk
menyeberang, Alangkah baiknya kalau aku mengumpulkan rumput,
kayu, tangkai-tangkai dan daun-daun untuk membuat sebuah rakit dan
dengan pertolongan rakit itu aku akan menyeberang ke pantai sana
dengan menggunakan tangan dan kakiku.”

Orang ini, O bhikkhu, lantas mengumpulkan rumput, kayu, tangkai-


tangkai dan daun-daun untuk membuat sebuah rakit dan dengan
pertolongan rakit itu ia tiba dengan selamat di pantai sebelah sana
dengan menggunakan tangan dan kakinya. Tiba di seberang sana ia
berpikir, rakit ini banyak menolong aku. Dengan pertolongannya aku
dapat menyeberang dengan selamat dengan menggunakan tangan dan
kakiku. Alangkah baiknya kalau aku menjinjing rakit itu di atas
kepalaku atau menggendong rakit itu dipundakku ke mana saja aku pergi.
Bagaimana pendapatmu, O bhikkhu, apakah dengan berbuat demikian ia
telah melakukan perbuatan yang benar?”

“Tidak Bhante.”
24 | P a g e
“Bagaimanakah seharusnya ia berbuat setelah dengan selamat tiba di
seberang sana?” Mungkin ia berpikir: “Rakit ini telah banyak jasanya.
Dengan pertolongannya, aku telah tiba di seberang sini dengan
menggunakan tangan dan kakiku. Alangkah baiknya kalau aku menarik
rakit ke pantai, atau mengikatnya dan membiarkan ia terapung-apung
dan aku dapat melanjutkan perjalananku.”

Dengan berbuat begini orang itu telah melakukan perbuatan yang benar.

O bhikkhu, Aku pun mengajarkan sebuah doktrin yang sama seperti


rakit tersebut dan dapat dipakai menyeberang ke pantai sana tetapi
bukan untuk terus diganduli.

O bhikkhu, kalau kamu mengerti dengan baik ajaran-Ku yang dapat


diumpamakan sebagai sebuah rakit maka kamu seyogyanya tidak lagi
melekat kepada benda-benda (hal-hal) yang baik, terlebih lagi kepada
benda-benda (hal-hal) yang tidak baik (adhamma). (Alagaddupama-
Sutta, Majjhima Nikaya 22). Dari perumpamaan di atas jelaslah
sekarang bahwa ajaran Sang Buddha dimaksudkan untuk mengantar
orang ke tempat yang aman, tenang, bahagia dan penuh keseimbangan
atau yang lazim disebut sebagai Nibbana. Semua ajaran Sang Buddha
menuju ke arah itu. Beliau tidak mengatakan sesuatu hanya karena ingin
memberi kepuasan kepada “perasaan ingin tahu” kita. Beliau adalah

25 | P a g e
seorang Guru yang praktis dan hanya mengajarkan hal-hal yang dapat
memberi ketenangan dan kebahagiaan kepada umat-Nya.

Pada suatu hari Sang Buddha berada di hutan Simsapa di Kosambi


(dekat Allahabad). Beliau kemudian mengambil segenggam daun di
tangan-Nya dan bertanya kepada para bhikkhu:
“Coba katakan, O bhikkhu. Mana yang lebih banyak, daun yang ada di
genggaman-Ku ataukah daun yang ada di hutan ini?”

“Tentu saja daun yang ada di hutan ini lebih banyak daripada daun yang
ada di dalam genggaman tangan Bhante.”

“Begitulah juga, O bhikkhu, dari apa yang Aku tahu hanya sebagian
kecil saja yang telah Aku ajarkan kepadamu dan bagian yang terbesar
lagi tidak Aku ajarkan. Mengapa Aku berbuat demikian? Oleh karena
hal-hal itu tidak berguna … tidak akan membawamu ke Nibbana. Oleh
karena itulah Aku tidak ajarkan hal-hal yang demikian itu kepadamu.”
(Samyutta Nikaya XXII 94)

Sang Buddha tidak pernah menaruh perhatian kepada diskusi-diskusi


yang tidak berguna perihal soal-soal metafisika yang tidak dapat
dibuktikan dan yang hanya menciptakan persoalan yang tidak konkrit.
Beliau menamakan hal-hal yang demikian itu “rimba pendapat”. Para
siswa-Nya ada yang tidak setuju dengan pendirian-Nya.

26 | P a g e
Malunkyaputta, misalnya, yang telah mengajukan, sepuluh pertanyaan
klasik yang terkenal perihal soal-soal metafisika dan ia menuntut Sang
Buddha untuk menjawabnya.

Pada suatu hari Malunkyaputta bangun dari meditasi siang hari dan pergi
menemui Sang Buddha, memberi hormat, mengambil tempat duduk di
samping-Nya dan berkata.

“Bhante, sewaktu hamba sedang bermeditasi, timbul dalam pikiran


hamba: ‘Inilah beberapa persoalan yang oleh Sang Sugata
dikesampingkan dan tidak hendak diterangkan.

1. Apakah alam semesta ini kekal abadi ?

2. Apakah alam semesta ini tidak kekal abadi ?

3. Apakah alam semesta ini berbatas ?

4. Apakah alam semesta ini tidak terbatas ?

5. Apakah jiwa itu sama dengan badan ?

6. Apakah jiwa itu lain dengan badan ?

7. Apakah Sang Tathagata ada sesudah mangkat ?

27 | P a g e
8. Apakah Sang Tathagata tidak ada sesudah mangkat ?

9. Apakah Sang Tathagata berbareng ada dan tidak-ada sesudah mangkat?

10. Apakah Sang Tathagata berbareng tidak-ada dan bukan tidak-ada


sesudah mangkat?’

Sang Sugata belum menerangkan hal-hal yang tersebut di atas kepada


hamba. Ini tidak memberi kebahagiaan kepada hamba dan hamba tak
dapat menghargainya. Hamba akan berkunjung kepada Sang Sugata dan
menanyakan hal ini kepada Beliau. Kalau Sang Sugata mau
menerangkan, hamba akan tetap menjadi siswa-Nya tetapi kalau Beliau
tidak mau menerangkan, hamba akan keluar dari Sangha dan akan
menuntut penghidupan lain. Kalau Sang Sugata tahu bahwa alam
semesta ini kekal abadi, hamba harap dapat diterangkan. Kalau Sang
Sugata tahu bahwa alam semesta ini tidak kekal abadi, hamba harap
dapat diterangkan juga.

Kalau Sang Sugata tidak tahu bahwa alam semesta ini kekal abadi atau
tidak dst… maka orang yang tidak tahu harus berani berterus terang dan
menjawab: ‘Aku tidak tahu. Aku tidak melihat.’ ”

Jawaban yang diberikan oleh Sang Buddha kepada Malunkyaputta


berguna juga untuk jutaan orang di dunia ini yang sampai saat ini masih
saja menyia-nyiakan waktunya yang berharga dengan soal-soal
28 | P a g e
metafisika/mistik dan dengan demikian secara tidak sadar mengganggu
ketenangan pikirannya.

“Pernahkah aku berkata, mari Malunkyaputta menjadi siswa-Ku dan


Aku, akan menerangkan soal-soal itu kepadamu?”

“Tidak, Bhante.”

“Kalau begitu, Malunkyaputta, pernahkah kau berkata, Bhagava, aku


ingin menjadi siswa Sang Sugata dan Sang Sugata akan menerangkan
soal-soal ini kepadamu?”

“Tidak, Bhante.”

“Hingga kini pun, Malunkyaputta, Aku tidak akan berkata kepadamu,


mari menjadi siswa-Ku dan Aku akan menerangkan soal-soal itu
kepadamu.

Dan kamu pun tidak berkata, Bhante, hamba ingin menjadi siswa Sang
Sugata dan Beliau akan menjelaskan soal-soal ini kepada hamba,

Dalam hubungan ini, cobalah katakan, siapakah sebenarnya yang


menolak untuk menerangkan kepada siapa?

29 | P a g e
Malunkyaputta, kalau seandainya ada orang berkata: ‘Aku tidak akan
menjadi siswa Sang Sugata sampai Beliau mau menerangkan soal-soal
ini kepadaku’, orang itu sampai mati pun tidak akan mendapat jawaban
dari Sang Tathagata.

Andaikata, Malunkyaputta, ada orang yang terkena panah berbisa dan


sahabat serta keluarganya membawa orang itu ke seorang dokter.
Andaikata orang itu berkata: ‘Aku tidak mau panah itu dicabut, sebelum
aku tahu siapa yang memanahku; apakah ia seorang Ksatriya, seorang
Brahmana, seorang Waisya atau seorang Sudra; siapa nama dan nama
keluarganya orang itu; apakah ia tinggi, pendek atau sedang bentuk
badannya; apakah mukanya hitam, coklat atau putih; asalnya dari desa,
kampung atau dari kota mana.

Aku tidak mau panah itu dicabut sebelum aku tahu jenis gendewa yang
dipakai untuk memanahku; jenis tali gendewanya; jenis panahnya;
macam bulu apa yang dipakai untuk panah itu dan dari benda apa ujung
panah itu dibuat.’

Malunkyaputta, orang itu akan terburu mati sebelum ia memperoleh satu


jawaban pun. Begitu pula Malunkyaputta, kalau ada orang berkata: ‘Aku
tidak ingin menjadi siswa Sang Sugata sebelum Beliau mau menjawab
pertanyaan seperti, apakah alam semesta ini kekal abadi atau tidak, …
orang ini akan mati tanpa mendapat jawaban dari Sang Tathagata.”

30 | P a g e
Sesudah itu Sang Buddha menerangkan kepada Malunkyaputta bahwa
menuntut penghidupan suci tidaklah tergantung kepada hal-hal tersebut
di atas. Pandangan apa pun juga yang orang miliki mengenai soal-soal di
atas, ketahuilah, bahwa tetap akan ada kelahiran, usia tua, kelapukan,
kematian, kesedihan, keluh-kesah, kesakitan, kekecewaan, kemalangan;
sedangkan pemusnaannya dapat kita lakukan dalam kehidupan ini juga.

“Dari itu, Malunkyaputta, ingatlah baik-baik tentang apa yang Aku


terangkan dan jangan hiraukan apa yang Aku tidak terangkan. Apakah
hal-hal yang Aku tidak terangkan? Aku tidak menerangkan tentang
apakah alam semesta ini kekal abadi atau tidak,….

Mengapa Aku tidak menerangkan hal-hal tersebut? Karena itu tidak


berguna, tidak merupakan syarat mutlak untuk menuntut penghidupan
suci dan tidak dapat digunakan untuk mencapai Nibbana. Oleh karena
itu, Aku tidak menerangkannya. Dan apakah hal-hal yang Aku telah
terangkan, Malunkyaputta? Aku telah menerangkan tentang Dukkha,
tentang timbulnya Dukkha, tentang Akhir Dukkha dan tentang Jalan
Untuk Mengakhiri Dukkha. Mengapa Aku telah menerangkan hal-hal
tersebut, Malunkyaputta?

Karena itu berguna untuk mencapai Nibbana. Karena itulah Aku


terangkan hal-hal tersebut.” (Cula Malunkya-Sutta, Majjhima Nikaya 63)

31 | P a g e
BAB III
EMPAT KESUNYATAAN MULIA
Kesunyataan Mulia Pertama: Dukkha
Yang menjadi pokok ajaran Sang Buddha terletak pada Empat
Kesunyataan Mulia ini yang Beliau babarkan dalam khotbah-Nya yang
pertama kepada lima orang pertapa bekas teman seperjuangan-Nya di
Isipatana (sekarang Sarnath) dekat Benares. Dalam khotbah ini yang
dapat kita ketahui dari teks aslinya, Empat Kesunyataan Mulia ini
dikhotbahkan tidak secara panjang lebar.

Tetapi di bagian-bagian lain yang tidak terhitung jumlahnya, ajaran ini


dibabarkan dan diterangkan berulang-ulang dengan lebih terperinci dan
dengan berbagai macam cara.
Kalau kita mempelajari Empat Kesunyataan Mulia dari keterangan dan
perincian tersebut di atas, kita akan mendapat gambaran yang baik dan
tepat tentang ajaran yang penting ini sesuai dengan teksnya yang asli.

Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari:

1. D u k k h a, dukkha

2. D u k k h a S a m u d a y a, sumber dukkha

32 | P a g e
3. D u k k h a N i r o d h a, terhentinya dukkha

4. M a g g a, jalan yang menuju ke terhentinya dukkha.

KESUNYATAAN MULIA PERTAMA: D U K K H A

Kesunyataan Mulia Pertama (Dukkha Ariyasacca) pada umumnya oleh


hampir semua sarjana diterjemahkan sebagai “Kesunyataan Mulia
Pertama tentang penderitaan” dan ini menurut anggapan mereka harus
diartikan bahwa menurut paham Buddhis, penghidupan ini tidak lain
daripada penderitaan dan kesakitan.

Terjemahan dan arti yang diberikan itu kedua-duanya ternyata tidak


memuaskan dan dapat menimbulkan kesalahpahaman. Dengan adanya
terjemahan yang singkat dan bebas ini, banyak orang mendapat
gambaran salah bahwa agama Buddha adalah pesimistis.

Di sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis


dan juga bukan optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama
Buddha adalah agama yang realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk
melihat hidup dan kehidupan di dunia ini dengan cara realistis. Agama
Buddha melihat benda-benda dan segala sesuatunya dengan obyektif
(jathabhutang) dan tidak menggambarkan secara keliru dan bodoh
bahwa “penghidupan ini sorga” dan juga tidak ingin menakut-nakutkan

33 | P a g e
umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk
akal.

Agama Buddha memberitahukan kepada Anda secara wajar dan tanpa


tedeng aling-aling tentang siapa sebenarnya Anda dan apakah yang ada
di sekeliling Anda dan juga menunjukkan jalan untuk mencapai
kebebasan sempurna, ketenangan, keseimbangan dan kebahagiaan.

Seorang dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang-


pasien terlalu parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan.
Dokter yang lain lagi secara tidak bertanggung jawab menyatakan
bahwa orang sakit itu sama sekali tidak sakit apa-apa dan karena itu
tidak memerlukan obat; sehingga orang sakit itu mendapat hiburan yang
tidak pada tempatnya.

Kita dapat menamakan dokter yang pertama sebagai pesimistis dan


dokter yang kedua optimistis, namun kedua-duanya sebenarnya sama-
sama berbahaya.

Tetapi dokter yang ketiga dengan terang dapat melihat gejala-gejala


orang sakit itu, mengetahui juga sebab dari penyakitnya, melihat dengan
jelas bahwa orang sakit itu dapat disembuhkan dan dengan bertanggung
jawab memberi pengobatan sehingga jiwa orang sakit itu dapat ditolong.

34 | P a g e
Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini.
Beliau adalah dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat
menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini (Bhisaka atau Bhaisajya-
Guru).

Tidak dapat disangkal bahwa kata Pali “dukkha” dalam percakapan


sehari-hari berarti “derita”, “sakit”, “sedih” atau “masygul” sebagai
lawan dari kata “sukha” yang berarti “bahagia”, “senang” atau
“gembira”‘. Tetapi kata “dukkha” yang dipakai, dalam Kesunyataan
Mulia Pertama, yang merupakan pandangan Sang Buddha tentang
kehidupan dalam bentuk apa pun juga, mempunyai arti filosofis yang
lebih dalam dan mencakup bidang yang sangat luas.

Kata “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama selain berarti “derita”


biasa juga, mempunyai arti yang lebih dalam lagi, seperti “tidak
sempurna”, “tidak kekal”, “kosong”, “tanpa inti”, dll.

Dari itu, sulit sekali untuk menemukan satu kata yang dapat mencakup
seluruh arti istilah “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama. Karena
itu, dianggap lebih bijaksana untuk tidak menterjemahkannya daripada
memberikan terjemahan yang salah dan tidak sempurna seperti “derita”
dan “sakit”.

35 | P a g e
Sang Buddha belum pernah tidak mengakui adanya kebahagiaan dalam
kehidupan. Sebaliknya Beliau mengakui tentang berbagai bentuk
kebahagiaan, materiil maupun spiritual, bagi orang biasa dan juga bagi
para bhikkhu. Dalam kitab Angutara-Nikaya, salah satu kitab yang berisi
koleksi asli dalam bahasa Pali dari khotbah-khotbah Sang Buddha, dapat
ditemukan satu daftar dari kebahagiaan (sukhani), misalnya kebahagiaan
kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan seorang pertapa, kebahagiaan
getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan dari orang yang
menyingkir dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu
dan kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan, kebahagiaan
badaniah dan kebahagiaan mental, dan lain-lain. Namun, semua
kebahagiaan yang disebut di atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan,
harus diketahui bahwa keadaan “jhana” (yang dapat dicapai dengan
melaksanakan samadhi), sehingga orang dapat membebaskan dirinya
dari penderitaan dalam arti umum dan berada dalam kebahagiaan yang
murni atau keadaan “jhana” yang terbebas dari perasaan “sukha” dan
“dukkha” sehingga merupakan keseimbangan dan kesadaran belaka juga
termasuk dalam pengertian “dukkha”.

Dalam salah satu sutta dari Majjhima-Nikaya, setelah memuji tinggi


kebahagiaan batin yang diperoleh dari “jhana”, Sang Buddha kemudian
bersabda bahwa kebahagiaan itu akan berubah dan tidak kekal dan

36 | P a g e
karenanya harus digolongkan dalam “dukkha” (anicca dukkha
viparinama-dhamma).

Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui dengan jelas, bahwa “dukkha”


bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam arti umum, tetapi
segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah “dukkha” (Yad aniccang
tang dukkhang).

Sang Buddha adalah Orang yang realis dan objektif. Dalam hubungan
dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-hawa nafsu, Beliau
minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal :

1. perasaan tertarik atau kegembiraan (assada)

2. akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas
(adinava)

3. perasaan tidak terikat atau terbebas (nissarana).

Kalau Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan
bagus orangnya, Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira
kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh
kesenangan dan kepuasan bertemu, dengan orang tersebut. Inilah yang
dinamakan kegembiraan (assada). Hal ini dapat kita alami sendiri. Tetapi

37 | P a g e
kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu;
dan segala sesuatu yang membuatnya tertarik juga tidak kekal.

Kalau Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan
orang itu sehingga, tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan
gembira, Anda akan menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat
melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan “tidak
baik”, “berbahaya” dan “tidak memuaskan” (adinava). Hal inipun dapat
kita alami sendiri dalam penghidupan kita sehari-hari.

Kemudian kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu
dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan “tidak
terikat” dan “terbebas” (nissaana).

Ketiga hal yang tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang ada
hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-
contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang Anda mendapat
gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau
optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang
berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat
menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang
membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu.

38 | P a g e
Dengan demikian barulah kita dapat memahami hidup ini secara
menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya, barulah dapat dicapai
pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah
bersabda sbb.:
“O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat
mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah
kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan
dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat
memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari
hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain
dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan
dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.

Tetapi, O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat


mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah
kegembiraan, ketidakpuasan oleh karenanya adalah ketidakpuasan,
kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat
mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan
mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya; dan
orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami
secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.”

Konsep dukkha dapat ditinjau dari tiga segi:

39 | P a g e
1. dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)

2. dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinama-dukkha)

3. dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi (sankhara-dukkha).

Semua jenis penderitaan dalam penghidupan seperti: dilahirkan, berusia


tua, mati; bekerjasama dengan orang yang tidak disukai atau harus
berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan; dipisahkan dari orang
yang dicintai atau keadaan yang disenangi; tidak memperoleh sesuatu
yang didambakan; kesedihan, keluh-kesah, kegagalan dan semua bentuk
derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap sebagai derita dan
sakit dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai derita biasa” (dukkha-
dukkha).

Suatu perasaan bahagia, suatu keadaan bahagia dalam kehidupan adalah


tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah dan perubahan ini
akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaan. Semua ini
dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai akibat dari perubahan-
perubahan” (viparinama-dukkha).

Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang
disebut di atas. Tidak seorangpun yang dapat menyangkalnya. Kedua
segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita
sehari-hari.
40 | P a g e
Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang
berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia
Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa
yang kita anggap sebagai “makhluk”, sebagai “orang” atau sebagai “aku”
itu.

Menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang
atau “aku” hanya merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik
dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang
terdiri atas Lima Kelompok Kegemaran (pancakkhanda).

Sang Buddha pernah bersabda sbb.: “Dengan singkat dapat dikatakan


bahwa Lima Kelompok Kegemaran ini adalah dukkha”.
Pada kesempatan lain Beliau dengan tegas menyatakan bahwa dukkha
ialah Lima Kelompok Kegemaran. “O bhikkhu, apakah dukkha itu?
Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.”

Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok
Kegemaran bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok
Kegemaran itu sendiri adalah dukkha. Kita akan dapat mengerti lebih
baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima
Kelompok Kegemaran tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa
yang kita namakan “makhluk”. Sekarang marilah kita menelaah Lima
Khandha tersebut.

41 | P a g e
LIMA KHANDA

Khandha pertama ialah “kegemaran kepada bentuk” (rupakkhandha).


Dalam kelompok ini termasuk empat Mahabhuta, yaitu empat unsur
yang terdiri dari benda padat, cair, panas dan gerak.
Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat
kita hubungkan dengan empat Mahabhuta itu seperti lima indria kita
(mata, hidung, telinga, lidah dan badan) dengan obyek-sasarannya
seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan
benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan
konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran (dhammayatana).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara
keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek
sasarannya, tercakup dalam Rupakkhanda ini.
Khandha kedua ialah “kegemaran kepada perasaan” (vedanakkhanda).
Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan (perasaan bahagia,
perasaan tidak bahagia dan perasaan netral) yang timbul karena adanya
kontak dari indria kita dengan dunia luar.
Ada enam jenis perasaan: perasaan yang timbul dari kontak melalui
mata dengan bentuk-bentuk yang terlihat; telinga dengan suara, hidung
dengan bebauan; lidah dengan benda-benda yang melalui mulut; badan
dengan sentuhan-sentuhan; dan pikiran dengan obyek pikiran, gagasan

42 | P a g e
dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam
kelompok ini.

Ada baiknya untuk membahas secara singkat apa sebetulnya yang


dimaksud dengan istilah “pikiran” (manas) dalam filsafat Buddhis. Kita
harus mengerti dengan baik bahwa yang dimaksud dengan manas
bukanlah “jiwa” sebagai lawan dari “badan jasmani”. Manas sebenarnya
juga sebuah indria sebagaimana halnya dengan mata atau telinga. Manas
atau pikiran dapat dikontrol dan dikembangkan seperti indria yang lain
dan Sang Buddha sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan
mengembangkan keenam indria ini. Perbedaan antara indria mata dan
indria pikiran ialah bahwa mata berhubungan dengan warna dan benda
yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan dengan alam pikiran,
gagasan serta obyek mental. Kita mengetahui berbagai hal di dunia ini
melalui berbagai indria yang kita miliki. Misalnya, kita tidak dapat
mendengar warna, tetapi kita melihat warna; sebaliknya, kita tidak dapat
melihat suara, tetapi kita mendengar suara.
Dengan lima indria fisik kita hanya dapat mengetahui bentuk-bentuk
yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang
dapat disentuh.
Tetapi, kesemuanya ini baru merupakan sebagian dari isi dunia ini.
Sebab, bagaimana dengan gagasan-gagasan dan pikiran? Mereka pun
merupakan bagian dari dunia ini. Tetapi kita tidak dapat mengetahui

43 | P a g e
mereka dengan perantaraan indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan
jasmani. Namun, mereka dapat kita ketahui melalui indria keenam yaitu
indria pikiran.

Tetapi, harus pula disadari bahwa pikiran dan gagasan-gagasan tidaklah


berdiri sendiri terlepas dari pengalaman-pengalaman lima indria fisik
lainnya. Pada hakekatnya mereka tergantung kepada dan timbul oleh
pengalaman fisik.

Seorang yang dilahirkan buta tidak mempunyai ide (gambaran) tentang


warna, kecuali melalui perbandingan dari suara atau hal-hal lain yang ia
pernah alami dengan indrianya yang lain. Dengan demikian, jelas bahwa
hal-hal lain yang merupakan bagian dari dunia ini, dihasilkan dan
disebabkan oleh pengalaman-pengalaman fisik yang telah dicerap oleh
pikiran kita. Oleh karena itu, pikiran (manas) dapat dianggap sama
seperti indria-indria lain, misalnya mata atau telinga.

Khanda ketiga ialah “kegemaran kepada pencerapan” (saññakkhandha).


Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan ini pun terdiri dari
enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek
sasaran masing-masing. Seperti juga perasaan, pencerapan tercipta oleh
karena enam indria kita mengadakan kontak dengan dunia luar.
Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek
fisik maupun obyek mental.

44 | P a g e
Khandha keempat ialah “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran”
(sankharakkhandha). Dalam kelompok ini termasuk semua kegiatan
“kehendak” kita, yang baik maupun yang buruk. Yang dikenal oleh
masyarakat umum sebagai “kamma” termasuk dalam kelompok ini. Kita
harus selalu ingat akan definisi tentang kamma yang diberikan oleh Sang
Buddha sendiri: “O bhikkhu, kehendak (cetana) itulah yang Aku
namakan kamma. Sesudah berkehendak orang kemudian berbuat dengan
badan jasmani, ucapan atau pikiran”. Kehendak (cetana) adalah satu
bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah untuk mengarahkan
pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau perbuatan netral.
Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri
atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan
obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental.
Perasaan dan pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak.
Mereka tak akan menimbulkan buah-kamma. Hanya kegiatan kehendak
yang dapat menimbulkan buah-kamma, misalnya:

Manasikara – perhatian

Chanda – keinginan untuk berbuat

Adhimokkha – ketetapan hati

Saddha – keyakinan

45 | P a g e
Samadhi – samadhi

Pañña – kebijaksanaan

Viriya – semangat, tenaga, gaya untuk berbuat sesuatu

Raga – hawa nafsu

Patigha – kebencian, dendam

Avijja – ketidaktahuan, kebodohan

Mana – kesombongan

ide tentang adanya “aku” yang kekal dan


Sakkayaditthi – terpisah

Semuanya terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam


“kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran”

Khandha kelima ialah “kegemaran akan kesadaran” (viññana-


kkhanda ).
Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu
dari keenam indria kita dengan obyek-sasaran dari indria yang
bersangkutan.
Misalnya, kesadaran mata (cakkhu-viññana) mempunyai mata sebagai
dasar dan sebagai obyek-sasaran, benda-benda yang dapat dilihat.

46 | P a g e
Kesadaran pikiran (mano-viññana) mempunyai pikiran sebagai dasar
dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek.
Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran
selalu dihubungkan dengan indria-indria kita.
Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun
terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria
kita dan obyek sasarannya.
Anda harus mengerti dengan sebaik-baiknya, bahwa Kesadaran tidak
dapat mengenal suatu obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu
kesadaran akan adanya satu obyek. Kalau mata kita mendapat kontak
dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita bangkit dan kita sadar
tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya sebagai warna
biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa.
Tingkat Pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru.
Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah
terlihat. Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya
dengan kesadaran indria-indria lainnya.
Di sini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut Buddha Dhamma
tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai
“aku”, “jiwa” atau “ego” sebagai lawan dari badan jasmani, dan
kesadaran (viññana) janganlah sekali-kali dianggap sebagai “jiwa” yang
kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan
lagi secara khusus karena satu kesalah pahaman sejak zaman purba

47 | P a g e
hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran
sebagai semacam “jiwa” dan “ego” yang bersifat kekal abadi.

Salah seorang siswa Sang Buddha bernama Sati bersikeras mengatakan


bahwa Sang Guru pernah berkata: “Kesadaran yang samalah yang keluar
dan masuk dan berkeliling.” Ketika mendengar ini Sang Buddha lalu
bertanya kepada Sati apa yang dimaksudkan dengan “kesadaran” itu?
Jawaban Sati adalah klasik: “Sesuatu yang melakukan, yang merasakan
dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk yang
dilakukannya, di dunia ini dan alam sana.”

“Orang bodoh”, jawab Sang Guru, “dari siapakah pernah engkau dengar
Aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali
Aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak
ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari
kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda
yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama
kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya,
maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; dst.dst.

Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil


perumpamaan.

48 | P a g e
Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya,
api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari
jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama
menurut kondisi yang membuat ia timbul (Majjhima Nikaya, Maha
Tanhasankhaya Sutta).

Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini


sebagai berikut: “… api yang menyala dari kayu hanya menyala selama
masih ada persediaan kayu dan padam kenbali kalau persediaan kayu itu
habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak
melompat ke jerami, dll. … dan menjadi api jerami dst…. Begitu juga
dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda
yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya
sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini
tidak melompat ke telinga, dll. … dan menjadi kesadaran telinga dst. …

Sang Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan


benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat
timbul tanpa adanya mereka itu. Beliau berkata: “Kesadaran dapat
berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara (rupapayang),
benda sebagai obyek (ruparammanang), benda sebagai pembantu
(rupapatitthang) dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah
dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai
perasaan sebagai perantara … atau pencerapan sebagai perantara … atau
49 | P a g e
bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai
obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari
kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang.

Andaikata ada orang yang berkata: aku akan memperlihatkan kepadamu


datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau
berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan
bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu
yang tidak ada.”

Secara singkat inilah yang dimaksud dengan Lima Kelompok


Kegemaran (Pañcakkhanda). Lalu yang dinamakan makhluk, orang atau
“aku” hanyalah merupakan sebuah nama atau sebuah sebutan belaka
yang kita berikan kepada Lima Kelompok Kegemaran tersebut.

Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang
tidak kekal adalah dukkha (Yad aniccang tang dukkhang). Inilah makna
sebenarnya dari kata-kata Sang Buddha: “Secara singkat, Lima
Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Mereka tidak pernah sama
pada dua saat yang berlainan. Di sini A tidak sama dengan A. Mereka
merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat
timbul dan lenyap kembali.

50 | P a g e
“O brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang
mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang
dijumpai di perjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia
berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya.
Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat
diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung.” Sang Buddha pernah
berkata kepada Ratthapala: “Dunia ini berada dalam proses bergerak
terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal.”

Satu materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi
yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan
akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada
sesuatu di belakangnya yang dapat disebut sebagai satu Atta (Pali) atau
Atman (Skrt) yang kekal abadi, satu pribadi atau yang disebut sebagai
“aku”.

Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan,
bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut
sebagai “aku”. Tetapi kalau Lima Kelompok Kegemaran ini, yang
keadaannya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi
sebagi satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide
tentang adanya sang “aku” itu.

51 | P a g e
Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah
satu dari 52 buah bentuk pikiran dari Kelompok Kegemaran keempat
yang baru saja kita perbincangkan, yaitu bentuk pikiran tentang adanya
ide dari sang “aku” (sakkaya-ditthi; dari sat = makhluk dan kaya =
tubuh).

Lima Kelompok Kegemaran ini secara keseluruhan, yang secara populer


disebut sebagai “makhluk”, juga merupakan dukkha (sankharadukkha).
Sebenarnya tak ada “makhluk” atau “aku” lain yang berdiri di belakang
Lima Kelompok Kegemaran itu yang mengalami penderitaan.

Dalam hubungan ini Buddhagosa pernah berkata:


“Hanya penderitaan yang ada, namun
“tak dapat dijumpai si penderita;
“Perbuatan yang ada, tetapi
“tak ada si pembuat.” (Vism. (PTS), hal. 513)

Tak adalah penggerak yang tak bergerak di belakang pergerakan itu.


Yang ada hanya pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk
mengatakan bahwa penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu
sendiri merupakan pergerakan. Penghidupan dan pergerakan bukanlah
dua hal yang berbeda. Dengan perkataan lain, tak terdapat si pemikir di
belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang juga merupakan si pemikir.
Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir tak akan dapat

52 | P a g e
dijumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali
dengan paham kaum Cartesian yang berbunyi “cogito ergo sum” yang
berarti “aku berpikir, dan karena itu aku ada.”

Sekarang mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada


permulaannya? Menurut Buddha Dhamma, awal dari proses
penghidupan satu makhluk tak dapat terpikir.

Sang Buddha pernah bersabda: “O bhikkhu, roda tumimbal-lahir


(samsara) tak mempunyai akhir yang dapat dilihat. Sedangkan awal dari
penghidupan makhluk-makhluk yang sekarang kelihatan berkeliaran ke
sana dan ke mari, diselubungi oleh ketidaktahuan (avijja), diikat erat-erat
oleh belenggu keinginan yang tak habis-habisnya (tanha), tidak dapat
diketahui dengan jelas.” (S II, hal. 178/9; III hal. 149, 151).

Selanjutnya mengenai ketidaktahuan (avijja), yang merupakan sebab


utama dari tumimbal-lahir yang tak habis-habisnya, Sang Buddha
bersabda: “Awal dari avijja tidak dapat diketahui dengan jelas. Ini harus
diartikan bahwa kita tidak dapat menentukan dengan tepat bahwa di luar
titik tertentu tidak lagi terdapat avijja.”

Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa tidak


terdapat lagi kehidupan di luar titik tertentu.
Inilah secara singkat makna dari Kesunyataan Mulia tentang Dukkha.

53 | P a g e
Sangat penting sekali untuk mengerti Kesunyataan Mulia Pertama ini
dengan baik, sebab Sang Buddha juga pernah bersabda: “Ia yang telah
melihat dukkha akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, dapat
melihat pula terhentinya dukkha dan dapat melihat pula jalan yang
menuju ke terhentinya dukkha.”

Harap jangan disalahartikan, bahwa kehidupan seorang Buddhis itu


murung dan penuh kesedihan. Sebaliknya, seorang Buddhis sejati adalah
orang yang paling bahagia. Ia tak mempunyai rasa takut atau ketegangan.
Ia selalu sabar dan gembira dan ia tak terpengaruh atau merasa kesal
oleh adanya suatu perubahan atau bencana karena ia melihat benda-
benda menurut kodratnya yang sebenarnya atau sewajarnya.

Sang Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang
yang pernah mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah
orang yang selalu tersenyum (mihitapubbangama).

Dalam lukisan atau pahatan Sang Buddha selalu digambarkan dalam


keadaan bahagia, tersenyum, puas dan penuh welas asih. Tak sedikit pun
penderitaan atau kemasygulan yang dapat terlihat. Kebudayaan dan
arsitektur Buddhis dengan vihara-viharanya belum pernah memberi
kesan tentang kemurungan atau kesedihan, tetapi selalu memberikan
suasana yang tenang, khidmat, mulia dan agung.

54 | P a g e
Meskipun hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis
seharusnya jangan bersikap murung, atau bersikap marah atau tak sabar
terhadapnya. Salah satu sifat buruk, menurut paham Buddhis, adalah
patigha. Patigha dapat diartikan sebagai “keinginan tidak baik” (ill-will)
terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan dan terhadap benda-
benda yang ada hubungannya dengan penderitaan. Fungsinya ialah
menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah
laku yang buruk. Oleh karena itu salah sekali bertindak tidak sabar
terhadap penderitaan.

Dengan bertindak tidak sabar dan marah-marah kita tidak dapat


menyingkirkan penderitaan. Bahkan, ia akan menambah lebih banyak
kesulitan lagi, memperbesar, dan merangsang keadaan yang memang
sudah tidak menyenangkan itu.

Yang perlu kita lakukan bukanlah marah-marah atau tidak sabar,


melainkan berusaha untuk mengerti akan seluk beluk penderitaan itu,
bagaimana ia timbul dan bagaimana menyingkirkannya. Selanjutnya,
kita harus bekerja untuk mencapai tujuan itu dengan penuh kesabaran,
kebijaksanaan, keyakinan dan kemauan keras.

Kita mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha
dan Therigatha. Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh
kebahagiaan dari siswa-siswa Sang Buddha, baik pria maupun wanita,

55 | P a g e
yang telah berhasil memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam
kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha.

Baginda Raja Kosala pada suatu hari memberitahukan Sang Buddha


bahwa berlainan dengan pengikut agama-agama lain yang air mukanya
kelihatan liar, beringas, pucat, kurus kering dan tidak bercahaya, maka
siswa-siswa Sang Buddha kelihatannya gembira dan bercahaya, penuh
dengan kebahagiaan hidup, menikmati hidup suci, indria-indrianya
terkekang, bebas dari ketegangan, sabar, tenang dan periang.

Raja itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena
para bhikkhu itu benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran
Sang Tathagata (Buddha).

Buddha Dhamma menentang pikiran yang murung, sedih dan penuh


dengan perasaan bersalah, yang dianggap sebagai penghalang untuk
menembus Kesunyataan dan memperoleh Penerangan Agung.

Sebaliknya, kegiuran (piti) termasuk salah satu dari tujuh Bojjhanga


yang dengan mutlak harus dikembangkan untuk mencapai Penerangan
Agung (Nibbana).

56 | P a g e
BAB IV
KESUNYATAAN MULIA KEDUA
DUKKHA SAMUDAYA : SUMBER DUKKHA
Kesunyataan Mulia Kedua membahas sumber atau permulaan dukkha
(Dukkha samudaya ariyasacca). Definisi populer dan terkenal yang
dapat dijumpai dalam teks-teks asli berbunyi sbb. : “Dukkha bersumber
kepada tanha (Kehausan, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) yang
menghasilkan kelangsungan kembali dan tumimbal-lahir (ponobhavika),
yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang memperoleh
kenikmatan baru di sana-sini (tatratatrabhinandini), yaitu :

1. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan


hawa nafsu ( kama-tanha )

2. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kelangsungan


dan kelahiran ( bhava-tanha )

3. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan tidak


kelangsungan atau “pemusnahan diri” ( vibhava-tanha ).

Kehausan ini, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang


memperlihatkan diri dalam berbagai cara, merupakan sumber dari
beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-makhluk.
Tetapi, hendaknya hal ini jangan dianggap sebagai sebab yang pertama

57 | P a g e
karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab yang pertama;
segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling berkaitan.
Sampaipun kehausan (tanha) ini yang dianggap sebagai sebab atau
sumber dari dukkha, pada hakekatnya, untuk dapat timbul (samudaya),
tergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedana), dan perasaan
ini tergantung pada kontak (phassa) dst….. dan terciptalah satu lingkaran
Hukum Pokok Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
Dengan demikian kita lihat, kehausan atau tanha itu bukanlah satu-
satunya sebab timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal
merupakan sebab yang nyata, yang terdekat dan yang terpenting.

Dalam beberapa kitab teks Pali yang asli dapat ditemukan definisi dari
samudaya sebagai sumber dukkha yang di dalamnya, termasuk juga
noda-noda dan kekotoran batin (kilesi, sasava-dhamma) di samping
tanha sebagai sebab utama. Dalam pembahasan kita yang serba terbatas
dalam halaman buku ini, maka cukup kiranya kalau kita senantiasa ingat
bahwa tanha sebenarnya berpokok pangkal kepada anggapan keliru
tentang adanya “aku” yang timbul dari avijja (ketidak tahuan).

Di sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada
hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan
akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-
opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan
(dhamma-tanha).
58 | P a g e
Menurut analisa dalam agama Buddha, semua kesulitan dan perselisihan
di dunia ini, dari perselisihan kecil dalam keluarga sampai dengan
peperangan besar antara negara dengan negara, timbul dari tanha ini
yang mementingkan diri sendiri saja (Majjhima Nikaya 13, Maha
Dukkhanda Sutta).

Dari sudut pandangan ini, semua persoalan ekonomi, politik dan sosial
bersumber pada tanha yang egoistis ini. Para negarawan terkenal yang
mencoba menyelesaikan persoalan internasional dan berbicara perihal
perang dan damai, ekonomi dan politik hanya membicarakan kulit
persoalan dan tidak pernah menyentuh akarnya yang lebih dalam.
Sang Buddha pernah bersabda kepada Ratthapala: “Dunia ini
membutuhkan, menginginkan dengan sangat dan kemudian terikat
kepada tanha.” (Majjhima Nikaya 82, Ratthapalasutta).

Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan


dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah
untuk dimengerti. Tetapi, bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat
mengakibatkan kelangsungan-kembali dan kelahiran-kembali
(Ponobhavika) mungkin tidaklah mudah untuk dipahami.

Di sini kita akan membahas sudut filosofi yang lebih dalam dari
Kesunyataan Mulia Kedua dalam hubungannya dengan sudut filosofi
dari Kesunyataan Mulia Pertama.

59 | P a g e
Tetapi terlebih dulu kita harus mendapat sedikit pengetahuan mengenai
hukum kamma dan tumimbal-lahir.
Kita mengenal empat macam “makanan” (ahara) yang menjadi sebab
atau kondisi yang harus dipenuhi agar makhluk-makhluk dapat lahir dan
berlangsung, yaitu :

1. makanan biasa ( kabalinkarahara )

2. kontak dari enam indria kita dengan dunia luar ( phassahara )

3. kesadaran ( viññanahara )

4. kehendak atau kemauan batin ( manosañcetanahara )


manosañcetana terdiri dari :
mano = batin
sañña = pencerapan
cetana = kemauan, kehendak.

Ahara keempat merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk


bertumimbal-lahir, untuk berlangsung dan untuk menjadi lebih
sempurna. Ia menciptakan akar bagi kelahiran dan kelangsungan yang
bergerak maju dengan perbuatan baik dan buruk (kusalakusala kamma).
Hal ini sama seperti kehendak (cetana). Di bagian depan kita telah
melihat bahwa kehendak (cetana) itulah kamma, sebagaimana
didefinisikan oleh Sang Buddha sendiri.
60 | P a g e
Mengenai cetana ini, Sang Buddha sendiri pernah bersabda: “Siapa yang
mengerti makanan dari cetana ia juga akan mengerti tiga bentuk tanha
(kehausan).” Oleh karena. itu, tanha (kehausan), kehendak, kehendak
mental dan kamma semuanya mempunyai arti yang sama, yaitu
keinginan atau kemauan untuk “ada”, untuk hidup, untuk hidup kembali,
untuk lebih sempurna lagi, untuk berkembang lebih baik, untuk
menghimpun lebih banyak lagi.

Inilah sebab timbulnya dukkha dan ini dapat ditemukan dalam


Kelompok Kegemaran dari Bentuk-bentuk Pikiran, yaitu salah satu dari
Lima Kelompok Kegemaran yang merupakan unsur dari seorang
manusia.
Ini merupakan ajaran Sang Buddha yang penting sekali. Kita harus
mengerti dengan baik dan harus senantiasa ingat bahwa sebab, bibit dari
timbulnya dukkha adalah di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada
di luarnya, dan kita harus mempunyai pengertian yang sama dan selalu
ingat bahwa sebab, bibit untuk menghentikan dukkha, untuk
menyingkirkan dukkha secara total, juga terletak di dalam dukkha itu
sendiri dan bukan berada di luarnya.
Inilah apa yang dimaksudkan dengan sebuah pepatah Pali terkenal yang
berbunyi sbb. : Yangkiñci Samudayadhammang Sabbang Tang
Nirodhadhammang. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah : Di

61 | P a g e
dalam segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab terdapat sebab
yang membuatnya musna kembali.

Kalau di dalam satu makhluk, satu benda atau satu sistem terdapat
kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya), di dalamnya pun
terdapat kekuatan atau bibit yang dapat menghentikannya atau
menghancurkannya.

Di dalam dukkha (Lima Kelompok Kegemaran) yang mengandung


kekuatan untuk menimbulkan, juga terdapat kekuatan untuk
menghentikannya. Hal ini akan kita temukan dalam pembahasan
mengenai Kesunyataan Mulia Ketiga (Nirodha).

Perkataan Kamma (Pali) atau Karma (Sansekerta) menurut hurufnya


berarti “action” atau perbuatan. Tetapi, dalam agama Buddha kamma
mempunyai arti khusus, yaitu hanya diartikan sebagai “perbuatan
kehendak” dan bukan dalam arti perbuatan pada umumnya. Kamma juga
jangan disalah artikan sebagai akibat dari suatu perbuatan. Dalam
terminologi Buddhis, kamma belum pernah diartikan sebagai satu akibat;
akibatnya dikenal sebagai “buah” atau “hasil” karma (kamma-phala atau
kamma-vipaka).

Kehendak secara relatif dapat bersifat baik atau buruk, sebagaimana juga
keinginan dapat saja baik atau buruk. Begitu pula kamma secara relatif

62 | P a g e
dapat saja baik atau buruk. Karma baik (kusala-kamma) menghasilkan
akibat yang baik dan karma buruk (akusala-kamma) menghasilkan
akibat yang buruk.

Tanha (nafsu keinginan), kehendak, kamma yang baik atau buruk,


semuanya dapat menimbulkan tenaga atau kekuatan untuk belangsung
ke arah yang baik atau yang buruk. Baik dan buruk ini pun sebenarnya
relatif karena ia bergerak di dalam lingkaran dari Samsara (Lingkaran
tumimbal-lahir).

Seorang Arahat meskipun berbuat sesuatu tidak akan menimbun karma


karena ia telah terbebas dari konsepsi palsu tentang adanya “aku”,
terbebas dari tanha (nafsu keinginan) untuk berlangsung dan lahir-
kembali, terbebas dari segala macam noda dan kekotoran batin (kilesa,
sasava dhamma). Beliau tak akan bertumimbal lahir lagi di dunia ini.

Semua perbuatan kehendak menimbulkan akibat atau hasil. Perbuatan


baik akan membawa akibat baik dan perbuatan buruk akan membawa
akibat buruk. Hal ini sebetulnya bukan merupakan pahala atau hukuman
yang dijatuhkan oleh orang lain atau suatu kekuatan yang mengadili
tiap-tiap perbuatan seseorang melainkan hal ini terjadi berkat
pembawaannya sendiri, hukumnya sendiri.

63 | P a g e
Hal di atas tak begitu sulit untuk dimengerti. Tetapi agak lebih sulit
untuk dimengerti bahwa menurut hukum kamma satu perbuatan
kehendak dapat terus memperlihatkan diri sampai pada kehidupan
sesudah orang meninggal dunia.

Marilah kita bahas persoalan di atas dengan terlebih dulu menerangkan


apa yang dinamakan “kematian” menurut paham agama Buddha. Kita
semua tahu bahwa yang dinamakan manusia itu sebenarnya terdiri dari
dua kelompok kekuatan, yaitu kelompok fisik dan mental. Yang kita
namakan kematian pada hakekatnya berarti, bahwa badan jasmani (fisik)
kita pada saat itu berhenti berfungsi secara total. Apakah pada saat yang
bersamaan kelompok kekuatan mental kita juga berhenti berfungsi?
Buddha Dhamma secara tegas mengatakan: “Tidak”.

Kemauan, kehendak, keinginan, kehausan untuk hidup, untuk


berlangsung terus, untuk menjadi lebih sempurna lagi, merupakan
kekuatan raksasa yang menggerakkan semua kehidupan, seluruh
keadaan hidup, bahkan seluruh dunia ini. Ia merupakan kekuatan yang
terbesar, energi yang terhebat di dunia ini.

Menurut agama Buddha, kekuatan ini tidak turut berhenti dengan tidak
berfungsinya lagi secara total badan jasmani kita; ia terus
memanifestasikan diri dalam bentuk lain yang menghasilkan kelahiran
kembali yang lazim disebut sebagai tumimbal-lahir.

64 | P a g e
Sekarang pertanyaan lain akan timbul: Kalau tidak ada sesuatu yang
tetap, tidak ada inti yang kekal abadi seperti Atma atau Atta, apakah
gerangan yang berlangsung kembali atau dilahirkan kembali sesudah
orang itu mati?

Sebelum kita membahas kehidupan sesudah mati, marilah kita tinjau


dulu apa sebenarnya kehidupan sekarang ini dan bagaimana ia
berlangsung.

Yang dinamakan kehidupan, sebagaimana sudah berulangkali dikatakan,


adalah perpaduan dan kerja-sama antara Lima Kelompok Kegemaran,
yaitu kerja-sama secara terpadu antara kekuatan-kekuatan fisik dan
mental. Mereka senantiasa berubah-ubah dan tidak sama meskipun
untuk sesaat. Setiap saat mereka dilahirkan dan setiap saat pula mereka
mati. Sang Buddha pernah bersabda: “Sebagaimana Kelompok
Kegemaran itu timbul, menjadi lapuk dan mati, O bhikkhu, engkau pun,
setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati”.

Oleh karena itu, sekarang pun dalam kehidupan ini, engkau setiap saat
dilahirkan, menjadi lapuk dan mati namun engkau masih tetap
berlangsung. Kalau kita dapat menerima bahwa dalam penghidupan ini
kita dapat berlangsung tanpa ada suatu substansi seperti Atta atau Jiwa
(yang kekal dan tidak berubah) mustahil kita tidak dapat menerima

65 | P a g e
bahwa kekuatan-kekuatan itu juga dapat berlangsung tanpa Atta atau
Jiwa setelah badan jasmani kita tidak berfungsi lagi.

Kalau badan jasmani ini tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya,


kekuatan-kekuatan tersebut tidak turut mati, melainkan tetap
berlangsung dengan mengambil bentuk lain yang lazim kita sebut
sebagai “kehidupan lain”.

Di dalam diri seorang anak, semua kekuatan fisik, mental dan intelektual
masih lembut dan lemah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk kelak
membentuk seorang manusia dewasa. Di dalam kekuatan fisik dan
mental yang merupakan bagian dari apa yang disebut “manusia” itu
terdapat potensi untuk mengambil bentuk baru untuk kemudian
berangsur-angsur tumbuh menjadi seorang dewasa.

Oleh karena tidak terdapat satu subtansi (inti) yang kekal dan tidak
berubah, maka tidak dapat ditemukan sesuatu yang datang dan pergi dari
satu saat ke saat yang lain. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa
tidak terdapat sesuatu yang kekal dan abadi yang dari satu kehidupan
pindah ke kehidupan yang lain. Ia hanya merupakan satu rangkaian yang
berlangsung terus menerus, tetapi tiap saat berubah-ubah. Sesungguhnya,
rangkaian itu tak lain dan tak bukan merupakan gerakan belaka. Seperti
juga api yang menyala sepanjang malam; api yang menyala pada

66 | P a g e
permulaan malam dan api yang menyala pada akhir malam tidak sama
namun juga tidak berbeda.

Seorang anak tumbuh menjadi seorang kakek berumur 60 tahun. Terang


bahwa kakek tersebut tidak sama dengan seorang anak pada 60 tahun
yang lalu, namun ia sebenarnya juga bukan orang lain.

Begitu juga halnya dengan orang yang mati di sini dan bertumimbal
lahir di tempat lain; ia bukan orang yang sama dan juga bukan orang
yang lain. Orang tersebut merupakan kelangsungan dari satu rangkaian
yang sama. Perbedaan antara mati dan lahir-kembali hanya merupakan
pikiran pada satu saat (thought moment). “Thought moment” yang
terakhir dalam kehidupan ini menciptakan kondisi untuk “thought
moment” yang pertama dalam kehidupan yang berikutnya, yang pada
hakekatnya merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama.

Dalam kehidupan sekarang juga, satu “thought moment” menciptakan


kondisi untuk timbulnya satu “thought moment” yang berikutnya. Oleh
karena itu, menurut pandangan seorang Buddhis, persoalan hidup dan
mati bukanlah merupakan satu persoalan yang diliputi rahasia besar dan
seorang Buddhis tidak begitu merisaukan persoalan ini. Selama masih
ada kehausan untuk menjadi dan berlangsung, selama itu pula roda
samsara akan berjalan terus. Ia hanya dapat berhenti, apabila tenaga
pendorongnya yang berupa tanha dapat dikikis habis dengan

67 | P a g e
Kebijaksanaan yang dapat melihat Kebenaran Sejati, Kesunyataan,
Nibbana.

BAB V
KESUNYATAAN MULIA KETIGA
DUKKHA NIRODHA: TERHENTINYA DUKKHA
Kesunyataan Mulia Ketiga membahas tentang pembebasan diri dari
penderitaan, dari terus berlangsungnya dukkha. Oleh karena itu, ia
dinamakan Kesunyataan Mulia Tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha
Nirodha Ariyasacca); yang berarti Nibbana (Pali) atau mungkin lebih
populer dengan istilah Nirvana (Sansekerta).

Untuk menyingkirkan dukkha secara total, kita harus menyingkirkan


akar dukkha, yang sebagaimana kita lihat di halaman-halaman bagian
depan dinamakan tanha. Oleh karena itu, Nibbana juga dikenal dengan
istilah Tanhakkhaya (Padamnya nafsu keinginan).
Mungkin anda akan bertanya: Apakah sebenarnya Nibbana itu? Buku-
buku tebal ditulis untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang
sederhana dan biasa ini, namun kenyataannya mungkin lebih
mengacaukah persoalan ini daripada menerangkannya.

Jawaban yang saya anggap dapat dipertanggungjawabkan ialah bahwa


itu tidak mungkin dapat dijawab secara menyeluruh dan memuaskan
68 | P a g e
dengan kata-kata karena kata-kata terlalu “miskin” untuk
mengungkapkan arti yang sebenarnya dari Kebenaran Sejati,
Kesunyataan atau Nibbana itu.

Bahasa diciptakan dan dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan


dengan kata-kata, sesuatu tentang benda-benda dan ide-ide yang pernah
dialami sendiri melalui keenam indria mereka. Pengalaman “halus luar
biasa” seperti mengalami Kebenaran Sejati tidaklah dapat digolongkan
sebagai pengalaman biasa.

Dari itu, tidak terdapat kata-kata untuk mengutarakan pengalaman


seperti itu, seperti juga seekor ikan tidak memiliki kata-kata untuk
mengutarakan ujud tanah dataran. Seekor kura-kura memberitahukan
kawannya, seekor ikan, bahwa ia kembali ke telaga sesudah berjalan-
jalan di tanah datar. “Tentu saja”, si ikan menjawab, “engkau
maksudkan berenang.” Si kura-kura mencoba menerangkan bahwa ia
tidak dapat berenang di tanah dataran yang padat melainkan harus
berjalan di atas tanah tersebut. Tetapi ikan itu kukuh dengan
pendapatnya bahwa hal itu tidak mungkin, sebab menurut hematnya
dunia ini terdiri dari air seperti telaga yang didiaminya dan makhluk-
makhluk harus dapat menyelam dan berenang di dalamnya.

Kata-kata merupakan lambang yang mewakili benda-benda dan bentuk-


bentuk pikiran yang kita kenal, dan lambang-lambang ini tidak mungkin

69 | P a g e
dapat mengungkapkan hakekat sesungguhnya dari benda atau bentuk
pikiran, meskipun dari yang paling sederhana. Untuk memahami dengan
baik Kesunyataan, kata-kata bahkan dapat dianggap menyesatkan dan
mengacaukan. Dalam Lankavatara-Sutra dapat kita baca bahwa orang
bodohlah yang membenamkan diri dalam kata-kata seperti seekor gajah
di dalam lumpur.

Biarpun begitu, kita tetap memerlukan bahasa dan kata-kata. Tetapi,


kalau kita mau mengungkapkan dan menerangkan Nibbana dengan kata-
kata, kita berkecenderungan untuk memakai istilah-istilah yang justru
mempunyai arti sebaliknya. Dari itu Nibbana seringkali diutarakan
dalam istilah negatif, yang mungkin dianggap sebagai kurang berbahaya,
misalnya seperti Tanhakkhaya (Padamnya nafsu keinginan), Asankhata
(Tidak berkondisi), Viraga (Hapusnya keinginan), Nirodha (Terhentinya
atau akhir dukkha), Nibbana (Padamnya keinginan).

Sekarang, marilah kita tinjau beberapa definisi tentang Nibbana yang


terdapat dalam kitab Tipitaka Pali.
“Nibbana ialah terhentinya tanha secara total, melepaskan diri, menolak,
terbebas dan terlepas dari tanha.”
“Pudarnya benda-benda yang tercipta, terbebas dari semua noda dan
kekotoran batin, padamnya nafsu keinginan, tidak terpengaruh, terhenti,
itulah Nibbana.”
“O bhikkhu, apakah “Yang Tidak Tercipta” (asankhata) itu? Itu adalah,
70 | P a g e
padamnya hawa nafsu (ragakkhayo), padamnya kebencian (dosakkhayo)
dan padamnya kebodohan (mohakkhayo). Itulah, O bhikkhu yang
disebut “Yang Tidak Tercipta”.
“O Radha, padamnya tanha adalah Nibbana.”
“O bhikkhu, di antara benda apa pun juga, yang tercipta maupun yang
tidak tercipta, maka Viraga (sikap yang tidak terpengaruh) adalah yang
paling tinggi. Itu berarti bebas dari kesombongan, menghancurkan
kehausan, membasmi ikatan-ikatan, memutuskan kelangsungan,
padamnya tanha, tidak terpengaruh, terhenti, itulah Nibbana.”

Jawaban dari Ayasma Sariputta, siswa utama Sang Buddha, atas


pertanyaan dari Parivrajaka tentang “Apakah Nibbana?” adalah sama
dengan definisi dari Asankhata yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri
yaitu: “Padamnya hawa nafsu, padamnya kebencian, padamnya
kebodohan”.

“Penglepasan dan pelenyapan nafsu keinginan dan kemelekatan kepada


Lima Kelompok Kegemaran inilah akhir dari dukkha.”

“Penghentian kelangsungan dan tumimbal-lahir (Bhavanirodha) adalah


Nibbana.”

“O bhikkhu, ada yang tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak


tercipta. Kalau tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan

71 | P a g e
tidak tercipta, maka tidak ada kemungkinan untuk terbebas dari yang
dilahirkan, yang bertumbuh dan yang tercipta. Tetapi, karena ada yang
tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak tercipta, maka ada
kemungkinan untuk terbebas dari yang dilahirkan, yang bertumbuh dan
yang tercipta. Di sini benda padat, benda cair, panas dan gerak
(mahabhuta) tidak mempunyai tempat: pengertian tentang panjang dan
lebar, tentang kecil dan besar, tentang baik dan buruk, tentang nama dan
rupa, semuanya telah dihancurkan; dan tidak dapat ditemukan lagi dunia
ini atau dunia yang lain, yang datang, berjalan atau berdiri, kematian
atau kelahiran dan semua obyek-obyek indria.” (Udana VIII: 1-3)

Karena Nibbana selalu digambarkan dengan istilah-istilah negatif, maka


banyak orang yang salah paham bahwa Nibbana itu negatif dan
mencerminkan penghancuran diri. Nibbana dengan tegas dinyatakan
bukan penghancuran diri, sebab memang tidak ada “diri” yang harus
dihancurkan. Yang harus dihancurkan sebenarnya pandangan yang
menyesatkan tentang adanya “diri” itu sendiri.

Juga tidak dapat dibenarkan mengatakan Nibbana sebagai positif.


Pemikiran negatif dan positif adalah relatif dan menggambarkan satu
keadaan yang dualistis. Kedua istilah ini tentu saja tidak dapat dipakai
untuk menerangkan Nibbana, Kesunyataan Mutlak, yang berada di luar
hal-hal yang dualistis dan relatif.

72 | P a g e
Satu kata yang negatif bukan secara mutlak harus menggambarkan satu
keadaan yang negatif pula. Misalnya kata Pali atau Sansekerta untuk
sehat adalah arogya, yang berarti tidak sakit. Tetapi arogya (sehat) tidak
menggambarkan satu keadaan yang negatif. Kata abadi (Pali, Amata;
Skrt. Amrta), sinonim untuk Nibbana, juga sebuah kata negatif, namun
tidak menggambarkan satu keadaan yang negatif.

Satu sinonim lain yang terkenal untuk Nibbana adalah mutti (kebebasan).
Tak seorang pun akan berkata bahwa kebebasan adalah negatif. Namun,
kebebasan pun mempunyai segi negatif; kebebasan selalu berarti
memerdekakan diri dari satu penindasan, dari sesuatu yang jahat, dari
sesuatu yang negatif. Tetapi kebebasan jelas tidak negatif. Dengan
demikian Nibbana, Mutti atau Vimutti, Kebebasan Mutlak adalah
kebebasan dari semua bentuk kejahatan, kebebasan dari keinginan yang
tidak habis-habisnya, dari kebencian dan kebodohan, kebebasan dari
sesuatu yang bersifat dualistis dan relatif, dan kebebasan dari waktu dan
tempat.

Marilah sekarang kita meninjau penjelasan tentang Nibbana sebagai


Kesunyataan Mutlak dalam Dhatuvibhanga-Sutta (No. 140 dari
Majjhima-Nikaya). Sutta yang sangat penting ini dikhotbahkan oleh
Sang Buddha kepada Pukkusati (yang kita sudah kenal) pada suatu
malam yang sunyi di pondok seorang pembuat guci tanah liat, yang oleh

73 | P a g e
Sang Guru dipandang sebagai orang yang cerdik dan berkermauan keras.
Intisari sutta tersebut adalah sbb.:

Seorang manusia terdiri dari enam unsur: padat, cair, panas, gerak, ruang
dan kesadaran. Setelah kita menganalisa enam unsur tersebut, maka kita
harus menarik kesimpulan bahwa tidak satu pun dari unsur-unsur di atas
dapat dikatakan sebagai “kepunyaanku”, atau “aku”, atau “diriku”. Ia
memahami, bagaimana kesadaran itu timbul dan kemudian lenyap
kembali, bagaimana perasaan yang menyenangkan, perasaan yang tidak
menyenangkan dan perasaan netral itu timbul dan lenyap kembali.
Dengan adanya pengetahuan ini lalu batinnya tidak terpengaruh lagi.
Lalu, ia akan mencapai batin yang penuh keseimbangan (upekha), yang
dapat diarahkan untuk mencapai satu keadaan spiritual yang tinggi, dan
ia tahu bahwa keseimbangan batin yang murni ini dapat berlangsung
untuk waktu yang lama. Setelah itu ia berpikir: “Kalau aku
mengkonsentrasikan pikiranku yang telah mencapai keseimbangan
murni ke “alam yang tak terbatas” dan mengembangkan batin yang
sesuai dengan keadaan itu, maka itu pun merupakan ciptaan pikiran
(sankhatang). Kalau aku kemudian mengkonsentrasikan pikiranku yang
mencapai keseimbangan murni ke “alam dari kesadaran yang tak
terbatas” … ke “alam dari kekosongan” … atau ke “alam dari bukan-
pencerapan dan juga bukan bukan-pencerapan” dan mengembangkan

74 | P a g e
batin yang sesuai dengan keadaan itu, maka itu pun merupakan ciptaan
pikiran”.

Sesudah itu, ia tak lagi mencipta dengan pikiran, juga tak menginginkan
kelangsungan dan kelahiran kembali (bhava) atau pemusnaan diri
(vibhava). Karena ia tidak lagi mencipta sesuatu atau ingin
kelangsungan dan kelahiran-kembali atau pemusnaan diri, ia tidak
melekat pada apa pun juga di dunia ini; karena tidak melekat ia tidak
lagi gelisah; karena tidak gelisah ia memperoleh ketenangan batin yang
sempurna (terpadam seluruhnya – paccattang yeva parinibhiyati).

Sekarang ia tahu: “Ia sudah terbebas dari tumimbal-lahir, kehidupan suci


telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak
ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan.”

Kalau ia sekarang mengalami satu perasaan yang menyenangkan,


perasaan yang tidak menyenangkan atau perasaan yang netral, ia tahu
bahwa itu adalah tidak kekal, dan ia tidak akan terpikat oleh perasaan itu
dan perasaan itu diterimanya dengan murni tanpa disertai nafsu apa pun
(visamyutto). Ia tahu bahwa semua perasaan itu baru akan berhenti
bergejolak dengan hancurnya badan jasmani, seperti juga api dari sebuah
lampu padam oleh karena minyak dan sumbunya habis terbakar.

75 | P a g e
“Dengan demikian, O bhikkhu, orang yang diberkahi tersebut akan
diberkahi pula dengan Kebijaksanaan Tertinggi, sebab pengetahuan
tentang padamnya semua dukkha merupakan Kebijaksanaan Tertinggi
yang mulia. Keyakinannya terhadap Kesunyataan tak dapat digoyahkan
lagi. O bhikkhu, segala sesuatu yang tidak nyata adalah palsu
(mosadhamma) dan segala suatu yang nyata (amosadhamma), Nibbana
adalah Kesunyataan (sacca). Dengan demikian, O bhikkhu, orang yang
diberkahi tersebut akan diberkahi pula dengan Kesunyataan ini. Karena
Kesunyataan Mulia (paramang ariyasaccang) itulah yang nyata,
Nibbana.”

Pada kesempatan lain Sang Buddha menggunakan perkataan


Kesunyataan sebagai pengganti dari perkataan Nibbana: “Aku akan
mengajarmu Kesunyataan dan Jalan Yang Menuju Ke Kesunyataan”. Di
sini Kesunyataan dengan jelas diartikan Nibbana.

Sekarang, apakah arti Kesunyataan? Menurut paham agama Buddha,


merupakan Kebenaran Mutlak (Kesunyataan) bahwa di dunia ini tidak
ada sesuatu pun yang mutlak (absolute); segala sesuatu adalah relatif,
berkondisi dan tidak kekal, dan tidak terdapat unsur yang tidak berubah,
kekal dan mutlak seperti “aku”, “jiwa” atau Atman, baik di dalam
maupun di luar dirinya. Inilah Kesunyataan Mulia.

76 | P a g e
Realisasi dari Kesunyataan ialah melihat benda-benda menurut keadaan
yang sebenarnya (yathabhutang – to see things as they are) tanpa
khayalan (ilusi) atau avijja (kebodohan) sehingga tanha dapat terkikis
habis dan dukkha dapat dilenyapkan, yang berarti Nibbana.

Dalam hubungan ini, menarik sekali dan juga berguna untuk kita ingat
kembali pandangan agama Buddha aliran Mahayana bahwa Nirvana
tidaklah berbeda dari Samsara. Samsara dan Nirvana adalah sama dan
tergantung pada cara kita memandangnya, secara subyektif atau obyektif.
Pandangan aliran Mahayana ini mungkin dikembangkan dari pemikiran-
pemikiran yang terdapat dalam kitab Theravada asli dalam bahasa Pali.

Kuranglah tepat untuk mengatakan bahwa Nibbana adalah hasil dari


padamnya nafsu keinginan karena Nibbana bukan merupakan hasil dari
sesuatu. Kalau sekiranya ia merupakan hasil, maka itu adalah akibat
yang ditimbulkan oleh satu sebab. Dalam hal ini, ia akan menjadi
sankhata, yaitu dihasilkan dan diciptakan, padahal Nibbana bukanlah
sebab maupun akibat. Ia berada di luar / di atas sebab dan akibat.
Kesunyataan bukanlah merupakan hasil dari satu keadaan mistik,
spiritual atau keadaan mental seperti dhayana atau samadhi.
Kesunyataan adalah sama dengan Nibbana (Trurt is, Nibbana is).

Yang dapat Anda lakukan ialah untuk melihatnya dan untuk


merealisasinya (to see and to realize it). Memang terdapat jalan yang

77 | P a g e
menuju ke Nibbana, namun Nibbana bukanlah hasil dari jalan itu.
Misalnya Anda dapat mencapai puncak gunung dengan melalui sebuah
jalan, namun jelas kiranya bahwa puncak gunung itu bukanlah hasil dari
jalan tersebut. Demikian pula kalau anda melihat api. Api itu juga jelas
bukan hasil dari bekerjanya indria mata Anda.

Orang sering berkata : “Ada apakah setelah Nibbana?” Pertanyaan ini


sebenarnya tidak boleh timbul karena Nibbana merupakan Kesunyataan
Terakhir. Karena ia merupakan yang terakhir maka setelah itu tak
mungkin akan ada apa-apa lagi.

Seorang bhikkhu bernama Radha telah mengajukan pertanyaan ini


kepada Sang Budha dalam bentuk lain : “Untuk tujuan apakah Nibbana
itu?” Dalam pertanyaan ini terdapat satu konsepsi tentang adanya
sesuatu setelah Nibbana. Oleh karena itu, Sang Buddha menjawab : “O
Radha, pertanyaanmu tidak relevan. Orang menuntut kehidupan suci
dengan Nibbana sebagai tujuan, sebagai tujuan yang terakhir.”
(Samyutta Nikaya III : 187).

Juga istilah populer tetapi kurang tepat seperti “Sang Buddha memasuki
Nibbana atau Parinibbana setelah Beliau mangkat” banyak menimbulkan
pemikiran yang salah tentang Nibbana. Pada waktu Anda mendengar
“Sang Buddha memasuki Nibbana atau Parinibbana” Anda tentu
menganggap bahwa Nibbana merupakan sorga atau alam, di mana masih

78 | P a g e
terdapat kehidupan dan Anda akan membayang-bayangkannya dalam
rangka tata-bahasa yang Anda kenal di dunia ini.

Sebutulnya pepatah “Memasuki Nibbana” yang populer itu tidak dapat


ditemukan dalam teks yang asli. Dalam kitab Tipitaka memang tidak
terdapat ungkapan seperti “memasuki Nibbana setelah meninggal dunia”.
Di sini hanya terdapat istilah Parinibbuto yang dipakai untuk
mengisyaratkan mangkatnya seorang Buddha atau Arahat yang telah
merealisasi Nibbana, tetapi ini bukan berarti “memasuki Nibbana”.
Parinibhuto hanya berarti “meninggal dunia secara sempurna”,
“seluruhnya tertiup habis” atau “padam seluruhnya”; seorang Buddha
atau seorang Arahat tidak akan bertumimbal-lahir lagi setelah
mengangkat.

Sekarang sebuah pertanyaan lain dapat timbul: Apa yang terjadi setelah
seorang Buddha atau seorang Arahat mangkat, Parinibbana? Ini
termasuk dalam kelompok pertanyaan yang tidak dapat dijawab
(avyakata). Ketika Sang Buddha berbicara mengenai hal ini, Beliau
mengatakan dengan jelas bahwa tidak terdapat kata-kata dalam tata-
bahasa kita yang dapat menerangkan apa yang sebenarnya terjadi setelah
seorang Arahat mangkat.

Menjawab pertanyaan seorang Parivrajaka bernama Vacchagotta, Sang


Buddha berkata bahwa istilah “dilahirkan” atau “tidak-dilahirkan” tidak

79 | P a g e
dapat dipakai terhadap seorang Arahat karena perkataan seperti benda,
perasaan, pencerapan, kegiatan pikiran, kesadaran, yang berhubungan
dengan istilah “dilahirkan” atau “tidak-dilahirkan” telah
dihancurluluhkan sampai ke akar-akarnya dan tidak akan timbul lagi
setelah Beliau mangkat (Majjhima Nikaya 62, Aggi-Vacchagotta-Sutta).

Seorang Arahat setelah mangkat seringkali diumpamakan sebagai api


yang padam kalau bahan kayunya / bakarnya telah habis terbakar atau
sebagai api dari sebuah lampu yang padam karena sumbu dan
minyaknya habis terbakar.

Untuk memperoleh pengertian yang jelas dan tepat dan untuk menjaga
agar kita jangan bingung, maka apa yang diumpamakan sebagai api yang
padam bukanlah Nibbana tetapi makhluk yang terdiri dari Lima Khanda
yang telah merealisasi Nibbana.

Hal ini perlu ditekankan kembali secara khusus karena ternyata masih
banyak sarjana terkenal yang masih saja menyalah artikan dan menyalah
tafsirkan perumpamaan tersebut di atas. Nibbana tidak pernah
diumpamakan sebagai api atau lampu yang telah padam.

Ada lagi pertanyaan yang seringkali diajukan: Kalau tidak ada Diri, Jiwa
atau Atma, siapa sebenarnya yang menyelami (merealisasi) Nibbana?

80 | P a g e
Sebelum melanjutkan uraian tentang Nibbana, marilah kita coba dulu
menjawab pertanyaan ini: Siapa gerangan yang berpikir kalau tidak ada
Diri atau Atma?

Kita telah melihat dari uraian di halaman depan, bahwa pikiran itu
sendirilah yang berpikir dan tidak ada “diri” yang berdiri di belakang
pikiran tersebut.

Dalam hal yang sama, maka Panna atau “kebijaksanaan” pengalamanlah


yang menyelami (merealisasi). Tidak ada diri yang lain yang berdiri di
belakang penyelaman (realization) itu.

Dalam perbincangan kita tentang sebab dari dukkha, kita telah melihat
bahwa di dalam makhluk, benda atau sistem apa pun juga yang
mengandung kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya)
terdapat juga kekuatan atau bibit yang dapat menghentikan dan
menghancurkannya. Di dalam dukkha, samsara (roda tumimbal lahir),
terkandung kekuatan untuk menimbulkan dan karena itu juga terdapat
kekuatan untuk menghentikannya.

Dukkha disebabkan oleh tanha dan ia terhenti oleh pañña


(kebijaksanaan). Tanha dan pañña kedua-duanya terdapat di dalam Lima
Kelompok Kegemaran (Lima Khandha) seperti yang kita lihat pada
bagian sebelumnya.

81 | P a g e
Kita dapat menarik kesimpulan bahwa bibit atau kekuatan yang
menimbulkan dan yang kemudian dapat menghentikannya, kedua-
duanya ada di dalam Lima Kelompok Kegemaran.

Inilah arti sebenarnya dari pernyataan Sang Buddha yang terkenal: “Di
dalam badan jasmani itu sendiri yang tidak seberapa jengkal besarnya,
Aku melihat dunia ini, timbulnya dunia ini, terhentinya dunia ini dan
jalan yang menuju ke terhentinya dunia ini.” (Anguttara Nikaya II:48).

Hal di atas berarti bahwa Empat Kesunyataan Mulia itu seutuhnya dapat
ditemukan di dalam Lima Kelompok Kegemaran, yaitu di dalam diri kita
sendiri. Di sini kata dunia / alam (loka) dipakai sebagai kiasan dari
dukkha.

Ini pula berarti tidak terdapat kekuatan di luar badan jasmani kita yang
dapat mengakibatkan timbulnya dan terhentinya dukkha.

Kalau kebijaksanaan dikembangkan dan dilatih sesuai dengan Empat


Kesunyataan Mulia, maka ia akan dapat melihat rahasia dari kehidupan,
yaitu keadaan benda-benda dalam wujudnya yang sebenarnya (the
reality of things as they are). Kalau rahasianya telah ditemukan, apabila
Kesunyataan telah dapat dilihat, semua kekuatan yang dengan suburnya
dapat menciptakan kelanjutan dari samsara akan menjadi tenang dan tak
mampu lagi menciptakan benih-benih kamma lebih lanjut sebab tidak

82 | P a g e
lagi terdapat avijja (ketidaktahuan, kebodohan) dan tidak ada lagi
“kehausan” untuk tetap berlangsung. Seperti juga orang yang sakit
mental dan kemudian dapat disembuhkan karena sebab dari penyakitnya
dapat ditemukan dan dilihat oleh si penderita.

Hampir di semua agama “Summum Bonum” hanya dapat dicapai setelah


orang meninggal dunia; tetapi Nibbana dapat direalisasi dalam
kehidupan ini juga dan orang tidak usah menunggu sampai ia meninggal
dunia.

Orang yang berhasil merealisasi (menyelami) Kesunyataan, Nibbana,


adalah orang yang paling bahagia dalam dunia ini. Ia telah terbebas dari
semua keruwetan dan gangguan pikiran, ketakutan, kekesalan dan
kekecewaan yang menyiksa orang lain. Kesehatan mentalnya sempurna.
Ia tidak menghiraukan apa yang akan datang. Ia hidup sepenuhnya pada
saat sekarang.

Dari itu ia menghargai dan menikmati benda-benda dalam arti semurni-


murninya tanpa konsepsi tentang “Sang Aku” Ia penuh kegembiraan,
menikmati penghidupan suci, indria-indrianya terkekang, bebas dari
kegelisahan, tenang dan penuh kedamaian.

Karena ia terbebas dari keinginan yang mementingkan diri sendiri, dari


kebencian, kebodohan, kesombongan, tinggi hati dan kekotoran batin

83 | P a g e
lainnya; ia menjadi orang yang mempunyai hati bersih dan lemah lembut,
penuh dengan cinta-kasih yang universal, belas kasihan, ramah-tamah,
penuh pengertian dan toleransi.

Bantuan yang diberikan kepada orang lain dilakukan dengan hati yang
tulus dan bersih karena ia tidak lagi berpikir dalam rangka “Sang Aku”.
Ia tidak ingin memiliki apa-apa, ia tidak menimbun apa-apa sekalipun
yang ada hubungannya dengan hal-hal spiritual karena ia sudah terbebas
dari ilusi tentang adanya “Sang Aku” dan terbebas pula dari kehausan
untuk bertumimbal-lahir kembali.

Nibbana berada di luar istilah yang dualistis dan relatif; oleh karena itu,
ia di luar konsepsi kita tentang baik dan buruk, benar atau salah, hidup
dan tidak-hidup. Bahkan, perkataan sukha (kebahagiaan) yang dipakai
untuk menggambarkan Nibbana mempunyai arti yang lain. Sariputta
pernah berkata “O sahabat, Nibbana itulah sukha (kebahagiaan)!
Nibbana itulah sukha!”

Kemudian Udayi bertanya: “Tetapi, sahabat Sariputta, kebahagiaan yang


bagaimanakah yang anda maksudkan, kalau sudah tidak ada perasaan?”
Sariputta memberi jawaban yang mengandung filsafat tinggi dan sulit
dimengerti oleh orang awam: “Justru tanpa perasaan itulah kebahagiaan.”
(Anguttara Nikaya IX: 34)

84 | P a g e
Nibbana berada di luar logika dan akal manusia (atakkavacara). Seorang
anak di taman kanak-kanak tidak akan bertengkar tentang teori
relativitas. Sebaliknya, kalau ia tekun dan rajin belajar, pada suatu hari
ia akan memahaminya dengan sendirinya.

Nibbana harus diselami (direalisasi) oleh para arif bijaksana di dalam


diri masing-masing (paccattang veditabbo viññuhiti). Kalau kita
melaksanakan “Jalan” dengan sabar, rajin dan ulet, melatih dan
membersihkan diri dengan tekun dan memperoleh tingkatan spiritual
yang diperlukan, kita pun pada suatu hari dapat merealisasi Nibbana,
tanpa membuat otak kita pusing dengan kata-kata yang muluk dan penuh
teka-teki.

85 | P a g e
BAB VI
KESUNYATAAN MULIA KEEMPAT
M A G G A: JALAN YANG MENUJU KE TERHENTINYA
DUKKHA
Kesunyataan Mulia Keempat ialah Jalan yang menuju ke Terhentinya
Dukkha (Dukkha nirodha gaminipatipada-Ariyasacca). Ia juga dikenal
dengan nama “Jalan Tengah” (Majjhima-Patipada), karena ia
menghindari dua hal yang ekstrim, yaitu:

1. mencari kebahagiaan dengan menuruti nafsu-nafsu indria, yang


dianggap rendah, biasa, tidak berfaedah dan cara-cara dari orang biasa.

2. mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri dalam berbagai cara, yang


menyakiti sekali, tidak berharga, dan tidak berfaedah
Sang Bodhisatva sendiri telah mencoba kedua hal ekstrim tersebut dan
akhirnya menyadari bahwa itu tidak berguna; maka melalui
pengalamannya sendiri Beliau menemukan Jalan Tengah yang dapat
menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa Beliau ke
Pandangan Terang, Penerangan Agung, Nibbana.

Jalan Tengah ini juga sering disebut sebagai Delapan Jalan Utama
(Ariya Atthangika Magga) karena ia terdiri dari delapan bagian:

86 | P a g e
1. Samma Ditthi – Pengertian Benar

2. Samma Sankappa – Pikiran Benar

3. Samma Vaca – Ucapan Benar

4. Samma Kammanta – Perbuatan Benar

5. Samma Ajiva – Penghidupan Benar

6. Samma Vayama – Daya Upaya Benar

7. Samma Sati – Perhatian Benar

8. Samma Samadhi – Konsentrasi Benar

Pada hakekatnya seluruh ajaran Sang Buddha yang Beliau sendiri


siarkan selama empat puluh lima tahun sedikit banyak ada hubungannya
dengan Jalan ini. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara dan
dengan memakai bahasa yang mudah dimengerti, kepada beraneka
ragam orang dengan tingkatan pengetahuan dan kesanggupan yang
berbeda-beda. Pelajaran yang terdapat dalam ribuan sutta dari kitab-
kitab suci Buddhis membahas Delapan Jalan Utama ini.

Tetapi, harap jangan disalahtafsirkan, bahwa Jalan ini harus


dilaksanakan menurut nomor urut daftar tersebut di atas. Sedikit banyak
mereka harus dikembangkan bersama-sama, yang tentu saja tergantung

87 | P a g e
pada keadaan dan kesanggupan dari tiap-tiap orang. Bagian-bagian itu
sebenarnya satu sama lain saling bergantungan dan saling mengisi.

Delapan Jalan Utama ini bertujuan untuk mengembangkan dan


menyempurnakan tiga persoalan pokok dalam latihan dan disiplin
seorang Buddhis, yaitu :

1. Sila – tata hidup yang bersusila

2. Samadhi – disiplin mental

3. Pañña – kebijaksanaan luhur.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih baik serta pengertian yang


lebih mendalam tentang Delapan Jalan Utama tersebut, maka
pembahasannya akan dilakukan sesuai dengan tiga kelompok di atas.

SILA

Sila mempunyai dasar permikiran cinta kasih universal dan belas


kasihan terhadap semua makhluk hidup, yang juga menjadi dasar ajaran
Sang Buddha. Karena itu harus disesalkan bahwa cita-cita serta
pemikiran yang luhur ini sering dilupakan oleh banyak ilmuwan (penulis)
yang hanya menulis tentang agama Buddha yang berhubungan dengan
filsafat dan metafisika yang tinggi dan kering.

88 | P a g e
Ajaran Sang Buddha sebenarnya “untuk kepentingan orang banyak” dan
“untuk kebahagiaan orang banyak” yang tercetus keluar dalam perasaan
cinta kasih dan belas kasihan yang murni terhadap dunia ini serta seluruh
isinya (Bahujanahitaya bahujanakhaya lokanukampaya).

Menurut agama Buddha, untuk memperoleh kesempurnaan hidup, dua


sifat luhur harus dikembangkan secara bersamaan, yaitu :

a. metta-karuna (cinta kasih-belas kasihan)

b. pañña (kebijaksanaan)

Metta-karuna mencakup cinta kasih, suka beramal, ramah tamah,


toleransi dan sifat-sifat luhur lainnya yang ada hubungannya dengan
perasaan (emosi) atau sifat-sifat yang timbul dari hati, sedangkan pañña
ada hubungan dengan intelek (kecerdasan) atau sifat-sifiat yang timbul
dari pikiran.

Kalau orang hanya mengembangkan segi perasaannya saja dengan


mengabaikan segi inteleknya (kecerdasannya), maka orang ini kelak
akan menjadi seorang edan yang baik hati. Sebaliknya, kalau orang
hanya mengembangkan segi inteleknya dengan mengabaikan segi
perasaannya, maka orang itu akan menjadi seorang intelek yang “berhati
batu” dan tidak mempunyai perasaan kasihan sedikit pun terhadap orang
lain. Oleh karena itu, untuk memperoleh kesempurnaan hidup orang
89 | P a g e
harus mengembangkan sifat-sifat yang tersebut di atas secara
berbarengan.

Inilah tujuan dari “way of life” seorang Buddhis: yaitu, kebijaksanaan


dan cinta kasih belas kasihan berpadu secara harmonis dalam satu
kesatuan yang utuh.

Sila yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasihan meliputi tiga
bagian dari Delapan Jalan Utama, yaitu:
No. 3 Ucapan Benar
No. 4 Perbuatan Benar
No. 5 Penghidupan Benar

Ucapan Benar

Dapat digolongkan sebagai Ucapan Benar, jika empat syarat di bawah


ini dipenuhi :

1. ucapan itu benar

2. ucapan itu belarasan

3. ucapan itu berfaedah

90 | P a g e
4. ucapan itu tepat pada waktunya
(Majjhima Nikaya 58)

Ini berarti membebaskan diri dari:

a. kata-kata yang tidak benar (berdusta)

b. kata-kata yang dapat menimbulkan kebencian, perpecahan dan


perselisihan di antara perorangan atau golongan

c. kata-kata cabul dan kasar yang menyakiti hati orang lain

d. kata-kata yang kosong dan tidak ada artinya, desas-desus dan berbicara
tentang keburukan orang lain.

Kalau orang dapat membebaskan diri dari kata-kata dan pembicaraan


yang salah dan tidak baik, orang tentu akan bicara tentang hal-hal yang
benar, memakai kata-kata yang manis dan bersahabat, enak didengar dan
lemah lembut, yang mempunyai arti dan berguna. Dengan demikian ia
tidak akan bicara seenaknya saja dan hanya bicara pada saat yang tepat.
Jadi, kalau ia tidak dapat mengutarakan sesuatu yang berguna, dengan
sendirinya ia akan membisu dalam seribu bahasa.

Perbuatan Benar

91 | P a g e
Ini bertujuan untuk mengembangkan perbuatan-perbuatan yang bersusila,
terhormat dan menjauhkan diri dari keributan-keributan. Hal ini berarti
bahwa ia tak akan membunuh, mencuri, melakukan perbuatan yang
tercela, melakukan perzinahan dan ia senantiasa bersedia untuk
menolong orang lain agar dapat juga menjalani kehidupan yang tenang,
bersih, terhormat dan dengan cara yang benar.

Pengbidupan Benar

Ini berarti bahwa orang seharusnya mempunyai penghidupan yang tidak


mencelakakan atau merugikan orang lain.
Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu:

1. penipuan

2. ketidaksetiaan

3. penujuman

4. kecurangan

5. memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat)

Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam


perdagangan, yaitu :

92 | P a g e
1. berdagang alat senjata

2. berdagang mahluk hidup

3. berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan


mahluk-mahluk hidup)

4. berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat


menimbulkan ketagihan

5. berdagang racun

Sebaiknya, ia memilih satu usaha atau pekerjaan yang terhormat, tidak


merugikan orang lain dan tidak mencelakakan atau menyakiti
orang/makhluk lain. Dari sini dapat kita lihat bahwa agama Buddha
menentang tiap bentuk peperangan dengan tidak membenarkan
perdagangan alat-alat perang dan senjata tajam.

Tiga bagian dari Delapan Jalan Utama ini dapat digolongkan dalam
perbuatan yang bersusila. Hendaknya disadari bahwa Sila ini bertujuan
untuk memperoleh satu penghidupan yang bahagia dan harmonis untuk
orang itu sendiri dan juga untuk masyarakat ramai di sekelilingnya. Sila
ini dianggap sebagai dasar yang mutlak harus dikembangkan untuk
memperoleh hasil batiniah yang tinggi dan perkembangan batiniah
tidaklah mungkin tanpa Sila sebagai dasar.

93 | P a g e
SAMADHI

Sekarang kita akan membahas disiplin mental yang terdiri dari tiga
bagian lain dari Delapan Jalan Utama, yaitu:

No. 6 – Daya Upaya Benar


No. 7 – Perhatian Benar
No. 8 – Konsentrasi Benar

Daya Upaya Benar

Ini berarti pengerahan kekuatan kemauan untuk:

1. dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak


baik di dalam batin

2. dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat


dan tidak baik, yang sudah ada di dalam batin

3. dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik


dan sehat di dalam batin

4. berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat


unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam batin.

Perhatian Benar
94 | P a g e
Perhatian Benar ini terdiri dari latihan-latihan Vipassana-Bhavana
(meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu :

1. Kaya-nupassana – Perenungan terhadap tubuh

2. Vedana-nupassana – Perenungan terhadap perasaan

3. Citta-nupassana – Perenungan terhadap keadaan batin

4. Dhamma-nupassana – Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran

Salah satu cara latihan terkenal yang berhubungan dengan badan jasmani
ialah mengkonsentrasikan pikiran terhadap pernapasan (Anapanasati),
yang bertujuan untuk mendapatkan kemajuan spiritual. Masih terdapat
banyak lagi cara yang dipakai dalam melakukan latihan konsentrasi yang
berhubungan dengan badan jasmani kita.

Mengenai perasaan, seseorang harus mengamat-amatinya dengan cermat


dan benar-benar sadar terhadap semua bentuk perasaan, yang
menyenangkan, yang tidak-menyenangkan dan yang netral, dan sadar
pula bagaimana ia muncul dan kemudian lenyap kembali.

Mengenai keadaan batin, hendaknya ia selalu waspada, apakah


pikirannya penuh dengan hawa nafsu atau tidak, penuh dengan
kebencian atau tidak, gelisah atau tidak, sedang melamun atau

95 | P a g e
terkonsentrasi, dst.. Dengan ini ia akan selalu waspada terhadap semua
gerak gerik pikirannya dan juga bagaimana ia timbul dan lenyap kembali.

Mengenai ide-ide, pikiran, konsepsi-konsepsi dan benda-benda, ia


hendaknya dapat mengetahui dengan terang keadaannya yang
sebenarnya, bagaimana ia timbul dan lenyap, bagaimana ia berkembang,
bagaimana ia dapat ditekan, bagaimana ia dapat dihancurkan, dst…

Keempat cara meditasi atau latihan mental ini dibahas panjang lebar
dalam Satipatthana-Sutta (Majjhima Nikaya 10) dan Maha-Satipatthana-
Sutta (Digha Nikaya 22).

Konsentrasi Benar

Bagian ketiga dan yang terakhir dari Samadhi ini ialah Konsentrasi
Benar yang dapat membawa orang kepada empat tingkatan Dhyana
(Jhana) atau yang umum dikenal sebagai trance atau recueillement

Pada Dhyana/Jhana tingkat ke satu, keinginan hawa nafsu dan pikiran-


pikiran tertentu yang tidak sehat seperti keinginan indria-indria,
keinginan jahat (ill-will), keruwetan pikiran, kesal, gelisah dan keragu-
raguan yang skeptis telah lenyap, dan perasaan gembira dan bahagia
dicapai, bersama-sama dengan aktivitas-aktivitas mental tertentu.

96 | P a g e
Pada Dhyana/Jhana tingkat kedua, semua aktivitas intelek telah
dikekang, keseimbangan batin dan pikiran yang menunggal
dikembangkan, sedangkan perasaan gembira dan bahagia masih ada.

Pada Dhyana/Jhana tingkat ketiga, perasaan gembira yang merupakan


perasaan yang aktif juga lenyap, tetapi kebahagiaan masih ada di
samping batin yang penuh keseimbangan.

Pada Dhyana/Jhana tingkat ke empat, semua perasaan yang bahagia


maupun yang tidak bahagia, kegembiraan dan kesedihan telah lenyap;
hanya keseimbangan dan kesadaran murni yang masih tertinggal.

Demikianlah pikiran itu dilatih, dikekang dan dikembangkan dengan


Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.

PANNA

Dua bagian yang masih tersisa, yakni:


No. 1 Pengertian Benar
No. 2 Pikiran Benar
merupakan bagian-bagian dari Pañña (Kebijaksanaan Luhur).

Pikiran Benar

97 | P a g e
Ini berarti pikiran yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak
terpengaruh lagi oleh “Sang Aku”, pikiran cinta kasih dan tanpa-
kekerasan kepada semua makhluk. Sangat menarik hati dan penting
untuk ditekankan di sini bahwa pikiran yang tidak mementingkan diri
sendiri, cinta kasih dan tanpa-kekerasan digolongkan sebagai bagian dari
kebijaksanaan. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa Kebijaksanaan
sejati harus disertai sifat-sifat luhur ini dan sumua pikiran yang
mementingkan diri sendiri, pikiran jahat, kebencian dan segala sesuatu
yang mengandung sifat kekerasan, merupakan bukti-bukti tentang masih
kurangnya Kebijaksanaan di dalam semua segi kehidupan, baik sebagai
perorangan, dalam lapangan sosial maupun dalam lapangan politik.

Pengertian Benar

Ini berarti bahwa kita harus mengerti benda-benda menurut keadaan


yang sebenarnya dan Empat Kesunyataan Mulia inilah yang
menerangkan benda-benda menurut keadaan yang sebenarnya.

Oleh karena itu, Pengertian Benar secara singkat dapat diartikan sebagai
pengertian tentang Empat Kesunyataan Mulia ini. Pengertian ini
merupakan kebijaksanaan tertinggi yang dapat menembus arti dan
melihat secara terang Kesunyataan Mutlak, Nibbana.

98 | P a g e
Menurut paham Buddhis, terdapat dua jenis pengertian. Apa yang umum
anggap sebagai pengertian ialah pengetahuan, timbunan dari ingatan,
pemahaman secara intelek akan sebuah pokok persoalan sesuai dengan
data tertentu. Hal ini disebut sebagai Anubodha. Pengertian ini tidak
begitu mendalam.

Pengertian yang lebih mendalam disebut Pativedha (menembus), melihat


benda-benda dalam keadaan yang sebenarnya, tanpa nama dan merek.
Tetapi penembusan ini hanya dimungkinkan, apabila pikiran benar-
benar bersih dari noda-noda dan dikembangkan dengan sempurna
melalui meditasi.

Dari uraian singkat di atas dapat kita lihat bahwa Jalan itu merupakan
“way of life” yang harus dilaksanakan dan dikembangkan oleh setiap
individu. Ia merupakan pengekangan-diri (self-discipline) dari badan
jasmani, dari ucapan dan dari pikiran, mengembangkan dan melatih diri,
dan membersihkan diri. Ia tidak ada sangkut pautnya dengan
kepercayaan, sembahyang, memuja atau upacara keagamaan. Ia
merupakan Jalan yang menuju ke Kesunyataan Mutlak, kebebasan
sempurna, kebahagiaan dan kedamaian hati melalui kesempurnaan
moral, spiritual dan intelektual.

Di negara-negara Buddhis masih banyak dilakukan upacara-upacara


keagamaan yang sewaktu-waktu sederhana dan sewaktu-waktu megah.

99 | P a g e
Hal ini hanya sedikit sangkut pautnya dengan Jalan Yang Mulia ini.
Tetapi ada juga kegunaannya, yaitu memberi kepuasan kepada emosi-
emosi keagamaan tertentu dan kebutuhan spiritual dari mereka yang
masih belum maju, untuk kemudian dengan perlahan-lahan dibimbing ke
Jalan yang benar.

Berhubung dengan Empat Kesunyataan Mulia ini kita harus melakukan


empat tugas:

1. Kesunyataan Mulia Pertama ialah Dukkha, yang membahas mengenai


penghidupan seseorang, penderitaannya, kesedihan dan kegembiraannya,
ketidaksempurnaan dan ketidakpuasannya, ketidakkekalannya dan
kenyataan bahwa tidak terdapatnya satu inti yang kekal abadi.
Berhubung dengan keadaan ini tugas kita ialah mengerti dan
menerimanya sebagai fakta yang jelas dan menyeluruh (Pariññeyya).

2. Kesunyataan Mulia kedua ialah tentang Sumber Dukkha, yang berupa


keinginan, kehausan disertai dengan semua nafsu-nafsu yang lain, noda-
noda serta kekotoran-kekotoran batin. Mengerti saja fakta ini tidaklah
cukup. Di sini tugas kita ialah menyingkirkan, menghancurkan dan
mencabut sampai ke akar-akarnya (Pahatabba).

100 | P a g e
3. Kesunyataan Mulia Ketiga ialah tentang Terhentinya Dukkha, Nibbana,
Kesunyataan Mutlak, Kesunyataan Terakhir. Di sini tugas kita ialah
untuk merealisasinya, menyelaminya (Sacchikatabba).

4. Kesunyataan Mulia keempat ialah tentang Jalan yang menuju ke


terhentinya dukkha, Nibbana. Pengertian belaka dari Jalan ini, biarpun
bagaimana sempurna, tidak akan berguna. Tugas kita di sini ialah
melaksanakannya dengan baik dan konsekwen (Bhavetabba).

BAB VII
ANATTA
(DOKTRIN TANPA-AKU)
Yang dianggap oleh umum sebagai Aku, Ego, Roh atau Atma ialah
adanya satu inti-yang kekal, tetap dan absolut yang merupakan substansi
yang tak berubah-ubah di belakang “dunia yang terlihat ini” yang
senantiasa dalam keadaan bergerak dan berubah. Menurut ajaran
beberapa agama, setiap orang mempunyai Roh demikian yang
diciptakan oleh Tuhan dan yang sesudah mati tetap hidup abadi, dalam
sorga atau dalam neraka, dan tujuannya yang terakhir ditentukan oleh
Sang Pencipta itu sendiri.

Menurut pendapat lain, ia berjalan melalui banyak kehidupan sampai


menjadi bersih betul dah akhirnya bergabung kembali dengan Tuhan
101 | P a g e
atau Brahma, Roh Yang Universal atau Atma, tempat asal ia diciptakan.
Roh di dalam orang inilah yang menjadi pemikir dari pikiran, yang
merasa melalui perasaan, yang menerima pahala atau hukuman untuk
semua perbuatan-perbuatannya, yang baik maupun yang buruk.
Konsepsi ini dinamakan ide tentang adanya Aku atau Roh yang kekal
abadi.
Dalam sejarah umat manusia, agama Buddha merupakan satu-satunya
agama yang menyangkal adanya Roh, Aku atau Atma yang kekal abadi.
Menurut agama Buddha, ide tentang adanya satu Roh yang kekal abadi
adalah khayalan belaka dan kepercayaan salah yang tidak mempunyai
dasar kebenaran. Ia menciptakan pikiran yang sangat merugikan, yaitu
tentang adanya Aku dan “Milikku”, keinginan yang mementingkan diri
sendiri, kebencian, pikiran-pikiran yang tidak baik, kesombongan,
keangkuhan serta noda dan kekotoran batin lainnya. Ia merupakan
sumber dari semua perselisihan dalam dunia, dari bentrokan-bentrokan
pribadi sampai kepada peperangan antar negara. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa semua kejahatan dapat dicari sumbernya pada
pandangan yang salah ini.

Secara “psychologic” dua rupa pandangan berakar kuat dalam diri tiap
manusia:

1. pandangan tentang perlindungan diri (self-protection)

102 | P a g e
2. pandangan tentang kelangsungan diri (self-preservation)

Untuk melindungi dirinya, manusia lalu menciptakan kekuatan luar;


kepadanya ia bergantung untuk mencari perlindungan, keselamatan dan
keamanan, seperti seorang anak kecil bergantung dan mencari
perlindungan kepada orang tuanya.

Untuk kelangsungan diri, manusia menggambarkan dalam pikirannya


satu ide tentang adanya Roh atau Atma yang dapat hidup kekal abadi.
Manusia memerlukan dua hal tersebut di atas untuk menghibur dirinya
dan seterusnya ia melekat erat-erat dan fanatik kepadanya.

Agama Buddha tidak menyokong kedua pandangan tersebut dan


bertujuan untuk menolong manusia mencapai Kesadaran Agung dengan
menyingkirkan dan menghancurkan sampai keakar-akarnya pandangan
salah tersebut.

Sang Buddha menginsafi benar-benar hal ini dan berkata bahwa Ajaran
Beliau melawan arus (patisotagami) dan bertentangan dengan keinginan
yang mementingkan diri sendiri dari seorang manusia.

Hanya empat minggu setelah Beliau memperoleh Kesadaran Agung,


ketika duduk di bawah pohon yang rindang, Beliau berpikir sbb.: “Aku
telah menyelami Kesunyataan yang dalam sekali, sulit untuk dilihat,

103 | P a g e
sulit untuk dimengerti … yang hanya dapat diselami oleh para bijaksana

Orang yang masih dipengaruhi oleh hawa nafsu dan diselubungi
kegelapan batin tidak mungkin dapat melihat Kesunyataan ini yang
bertentangan sekali dengan pendapat orang banyak. Kesunyataan itu
luhur sekali, dalam, halus dan sulit untuk dimengerti.”

Dengan adanya pikiran ini, Sang Buddha ragu-ragu sesaat bahwa


mungkin percuma saja untuk menyiarkan Kesunyataan, yang baru saja
diselami ini, kepada khalayak ramai. Sesudah itu, Beliau
membandingkan dunia ini dengan sebuah kolam bunga teratai. Dalam
kolam seperti itu ada bunga yang masih berada di permukaan air, ada
bunga yang sudah mencapai permukaan air dan ada pula yang sudah
berada di atas air dan sama sekali tidak tersentuh air.

Begitu pula keadaan dalam dunia ini, tempat hidup orang dengan
beraneka ragam tingkatan dan pengetahuan. Beberapa di antara mereka
dapat mengerti akan Kesunyataan itu. Oleh sebab itu, Sang Buddha lalu
mengambil keputusan untuk menyiarkan ajaran-Nya kepada dunia.

Doktrin Anatta adalah akibat yang wajar atau kesimpulan yang dapat
ditarik dari analisa Lima Kelompok Kegemaran dan doktrin tentang
hukum Paticca-samuppada (Hukum Sebab Musabab Yang Saling
Bergantungan).

104 | P a g e
Ketika membahas Kesunyataan Mulia Pertama (Dukkha) kita telah
melihat bahwa yang dinamakan manusia itu terdiri dari Lima Kelompok
Kegemaran dan kalau kita menganalisa dan meneliti lebih jauh maka
tidak terdapat sesuatu di belakang mereka yang dapat disebut sebagai
Aku, Atma atau Diri atau suatu subtansi yang kekal abadi. Inilah
pendekatan melalui cara analisa.

Hasil yang sama pula dapat dicapai melalui doktrin Hukum Sebab
Musabab Yang Saling Bergantungan yang merupakan pendekatan
dengan cara sintese. Dengan cara inipun dapat kita mengambil
kesimpulan bahwa tidak terdapat sesuatu di dunia ini yang mutlak
(absolut). Semuanya saling menjadikan, relatif dan saling bergantungan.
Inilah paham Buddhis tentang teori relativitas.

Sebelum kita membahas persoalan Anatta ini secara mendalam, berguna


juga kiranya unutuk mendapat ide yang singkat tentang Hukum Sebab
Musabab Yang Saling Bergantungan itu. Prinsip hukum ini dapat
diberikan dalam empat formula pendek yang berbunyi :

I. Imasming Sati Idang Hoti


Dengan adanya ini, maka terjadilah itu

II. Imassuppada Idang Uppajjati


Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.

105 | P a g e
III. Imasming Asati Idang Na Hoti
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu

IV. Imassa Nirodha Idang Nirujjati


Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.

Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan, relatifitas dan saling


bergantungan ini, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup dan
juga berhentinya hidup dapat diterangkan dalam formula dari duabelas
Nidana (sebab-musabab).

1. Avijja Paccaya Sankhara


Dengan adanya kebodohan (ketidak-tahuan), maka terjadilan bentuk-
bentuk karma.

2. Sankhara Paccaya Viññanang


Dengan adanya bentuk-bentuk karma, maka terjadilah kesadaran.

3. Viññana Paccaya Namarupang


Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah batin dan badan jasmani.

4. Namarupang Paccaya Salayatanang


Dengan adanya batin dan badan jasmani, maka terjadilah enam indria.

106 | P a g e
5. Salayatana Paccaya Phasso
Dengan adanya enam indria, maka terjadilah kesan-kesan.

6. Phassa Paccaya Vedana


Dengan adanya kesan-kesan, maka terjadilah perasaaan.

7. Vedana Paccaya Tanha


Dengan adanya perasaan, maka terjadilah tanha (keinginan).

8. Tanha Paccaya Upadanang


Dengan adanya tanha, maka terjadilah kemelekatan

9. Upadana Paccaya Bhavo


Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses tumimbal-lahir.

10. Bhava Paccaya Jati


Dengan adanya proses tumimbal-lahir, maka terjadilah kelahiran
kembali.

11. Jati Paccaya Jaramaranang


Dengan adanya kelahiran-kembali, maka terjadilah kelapukan, kematian,
keluh-kesah, sakit dll.

12. Jara Marana


Kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll. adalah akibat dari
kelahiran-kembali.
107 | P a g e
Demikianlah kehidupan itu timbul, berlangsung dan bersambung terus.
Kalau kita mengambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, kita
akan sampai kepada penghentian dari proses itu. Dengan terhentinya
kebodohan secara menyeluruh, maka terhenti pula bentuk-bentuk karma;
dengan terhentinya bentuk-bentuk karma, maka terhentilah pula
kesadaran; … dengan terhentinya kelahiran-kembali, maka terhenti pula
kelapukan, kematian, keluh-kesah, sakit dll.

Harus dimengerti dengan jelas bahwa tiap-tiap Nidana di atas itu “terjadi
oleh” (paticcasamupanna) dan juga berbarengan dengan itu “menjadikan”
(paticcasamuppada). Oleh karena itu, mereka semua relatif, saling
bergantungan dan saling mengikat dan tidak ada yang tunggal atau
berdiri sendiri. Namun, seperti kita lihat di halaman bagian depan,
agama Buddha tidak dapat menerima satu sebab yang pertama. Hukum
Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan harus dilihat sebagai satu
lingkaran dan bukan sebagai satu rantai.

Pertanyaan tentang “kemauan bebas” mendapat tempat yang penting


sekali dalam cara berpikir dan filsafat Barat. Tetapi, menurut Hukum
Paticca Samuppada, persoalan ini tidak mungkin timbul dalam filsafat
Buddhis. Kalau seluruh hidup ini relatif, saling bergantungan dan saling
mengisi, bagaimana mungkin “kemauan” itu sendiri bebas. Kemauan,
seperti juga bentuk-bentuk pikiran lain saling bergantungan. Apa yang
dinamakan “kebebasan” itu sendiri saling bergantungan dan relatif.
108 | P a g e
Tidaklah terdapat sesuatu apa pun juga yang betul-betul bebas, fisik atau
mental karena semuanya saling bergantungan dan relatif.

“Kemauan bebas” berarti satu kemauan yang bebas dari ketergantungan,


bebas dari sebab dan akibat. Bagaimana mungkin satu kemauan atau apa
pun juga dapat timbul tanpa ketergantungan, bebas dari sebab akibat,
kalau seluruh hidup ini saling bergantungan dan relatif dan tidak lepas
dari hukum sebab musabab?

Di sini sekali lagi kita lihat bahwa ide “kemauan bebas” pada dasarnya
dihubungkan dengan ide Atta/Atma, Roh, keadilan, pahala dan hukuman.
Bukan saja apa yang dinamakan “kemauan bebas” itu tidak bebas, tetapi
ide itu sendiri pun tidak bebas dari ketergantungan. Menurut Hukum
Paticca Samuppada dan juga menurut analisa tentang manusia sebagai
Lima Kelompok Kegemaran, ide tentang satu inti yang kekal abadi di
dalam manusia atau di luarnya, yang disebut Atma, Aku, Roh, Diri atau
Ego dianggap hanya sebagai kepercayaan yang tidak masuk akal dan
sebenarnya hanya merupakan proyeksi mental belaka. Inilah ajaran
agama Buddha tentang Anatta, Tanpa Aku atau Tanpa Roh.

Untuk menghindari tafsiran yang membingungkan, maka di sini hendak


ditekankan bahwa terdapat dua macam Kebenaran, yaitu :

1. Kebenaran Konvensional (Sammuti Sacca; Skt. Samrvti Satya)

109 | P a g e
2. Kebenaran Mutlak (Paramattha Sacca; Skt. Paramartha Satya).

Kalau kita memakai istilah dalam pembicaraan sehari-hari seperti Aku,


Kamu, Makhluk atau Orang dll., kita tidak berdusta bahwa tidak ada
pribadi atau makhluk seperti itu, tetapi kita bicara benar menurut
kebiasaan umum di dunia ini. Tetapi, menurut Kebenaran Mutlak
tidaklah ada “Aku” atau “Makhluk” dalam realitasnya.

Dalam Mahayana Sutralankara terdapat penjelasan sbb.: “Satu orang


(Pudgala) dikatakan sebagai “ada” hanya sebagai sebutan belaka
(Prajñapti – konvensional), tetapi bukan dalam keadaan yang sebenarnya
(Dravya).” Mengesampingkan satu Atma yang tidak dapat mati adalah
satu kebiasaan yang khas dari semua aliran Utara dan Selatan, dan
karena itu tidak terdapat alasan untuk menarik kesimpulan bahwa tradisi
agama Buddha yang seluruhnya mencapai persesuaian paham terhadap
hal ini, menyimpang dari ajaran Sang Buddha yang asli.

Maka agak ganjil kalau pada waktu akhir-akhir ini oleh beberapa penulis
telah dilakukan usaha yang tidak berhasil untuk, dengan segala daya
upaya, mencoba menyelundupkan ide tentang “diri yang tetap” dalam
ajaran Sang Buddha, yang bertentangan sekali dengan ajaran-Nya yang
asli. Penulis-penulis ini menghormat dan memandang tinggi agama
Buddha, tetapi mereka tidak dapat membayangkan bahwa Sang Buddha,
yang mereka anggap sebagai akhli pikir yang paling tajam dan cerdas,

110 | P a g e
dapat menolak adanya Atma yang kekal, sedangkan mereka sendiri
justru sangat memerlukan hal ini. Secara tidak sadar, mereka mencari
bantuan Sang Buddha untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri
tentang adanya satu kehidupan yang kekal dan abadi.

Lebih terpuji apabila mereka terang-terangan mengatakan bahwa mereka


sendiri percaya kepada satu Atma yang kekal abadi; atau mereka boleh
juga secara terus terang mengatakan bahwa dalam hal ini Sang Buddha
salah sama sekali. Tetapi, merupakan usaha yang tercela, apabila mereka
secara licik ingin memperkenalkan dalam agama Buddha satu ide yang
Sang Buddha dengan tegas menolaknya.

Agama yang percaya kepada Atma atau Roh tidak pernah merahasiakan
ide tersebut dan dengan berbagai cara mereka usahakan agar istilah ini
dapat diterima oleh masyarakat umum. Kalau sekiranya Sang Buddha
menerima ide ini, yang sangat penting dalam agama lain, Beliau tentu
secara terbuka akan mengakui hal tersebut seperti juga Beliau berbicara
tentang persoalan lain. Rasanya tidak masuk akal bahwa Beliau
menyembunyikan hal ini untuk dua puluh lima abad untuk kemudian
ditemukan oleh orang lain.

Pada satu waktu orang menjadi gelisah jika berpikir bahwa kalau mereka
menganut ajaran Sang Buddha, maka “Aku” yang mereka khayalkan
berada dalam dirinya akan hilang, berhubung dengan doktrin Anatta

111 | P a g e
yang diajar oleh Sang Buddha. Sang Buddha pun sepenuhnya
menginsafi hal ini. Pernah seorang bhikkhu bertanya: “Bhante,
pernahkah terjadi bahwa orang akan merasa tersiksa apabila ia tidak lagi
menemukan sesuatu yang kekal di dalam dirinya?”

Sang Buddha menjawab: “Ya, bhikkhu, memang ada. Seseorang


mempunyai pandangan seperti berikut: alam semesta ini Atma dan aku
akan menjadi satu dengannya kalau aku meninggal dunia, kekal, abadi,
tidak berubah dan aku akan hidup seperti itu untuk selama-lamanya. Ia
kemudian mendengar Sang Tathagata atau seorang siswa-Nya
mengkhotbahkan ajaran yang bertujuan untuk menghancurkan secara
total semua pandangan yang diragu-ragukan itu dan bertujuan untuk
memadamkan tanha, bertujuan untuk tidak melekat, terbebas dan
Nibbana. Setelah mendengarkan khotbah, orang itu berpikir: aku akan
dimusnahkan, aku akan dihancurkan, aku akan tidak ada lagi. Dengan
demikian, ia menjadi sedih hatinya, kesal, meratap, menangis, memukuli
dadanya dan menjadi kalap. Begitulah bhikkhu, memang pernah terjadi,
bahwa orang akan merasa tersiksa kalau sesuatu yang kekal dalam
dirinya tidak lagi ditemukan. (Majjhima Nikaya 22: Alagaddupama
Sutta).

Pada kesempatan lain Sang Buddha bersabda: “O bhikkhu, ide bahwa


Aku tidak ada, Aku tidak memiliki, pada suatu waktu menggelisahkan
orang biasa yang masih belum mendapat penerangan cukup. Pikiran
112 | P a g e
mereka yang masih ingin memiliki “Sang Aku” dalam agama Buddha
adalah sbb.: Memang benar Sang Buddha menganalisa manusia menjadi
rupa, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran, dan
berkata bahwa tidak satu pun yang dapat dianggap sebagai “Sang Aku”.
Tetapi, Beliau tidak bersabda bahwa memang sama sekali tidak terdapat
“Aku” di dalam seorang manusia atau di tempat mana pun juga, kecuali
Lima Kelompok Kegemaran”.

Jalan pikiran ini tidak dapat dipertahankan karena dua alasan :

1. Menurut ajaran Sang Buddha, makhluk itu hanya terdiri dari Lima
Kelompok Kegemaran. Juga tidak pernah Beliau bersabda bahwa di
dalam makhluk ada sesuatu yang lain di samping Lima Kelompok
Kegemaran.

2. Sang Buddha di berbagai tempat dengan tegas dan memakai kata-kata


yang tidak dapat diragukan lagi menyangkal Atma, Roh, Aku, Diri atau
Ego di dalam seorang manusia atau di luarnya, atau di mana saja di alam
semesta ini.

Marilah kita ambil beberapa contoh. Di kitab Dhammapada dapat


ditemukan tiga syair yang mempunyai arti penting dan mendasar dalam
ajaran Sang Buddha (syair no. 277, 278 dan 279).

Syair-syair tersebut berbunyi sbb.:


113 | P a g e
1. Sabbe Sankhara Aniccca
Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal.

2. Sabbe Sankhara Dukkha


Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah dukkha.

3. Sabbe Dhamma Anatta


Semua dhamma adalah Tanpa Aku/Roh.

Kalau kita meneliti tiga syair di atas, maka pada syair kesatu dan kedua
dipakai istilah sankhara (paduan unsur-unsur yang saling bergantungan).
Tetapi, pada syair ketiga dipakai istilah dhamma. Mengapa syair ketiga
tidak memakai juga istilah sankhara seperti pada kedua syair yang lebih
dulu dan mengapa justru dipakai istilah dhamma?

Di sinilah letak kunci persoalannya. Istilah sankhara hanya mencakup


Lima Kelompok Kegemaran, yaitu benda-benda dan keadaan-keadaan
yang saling bergantungan, saling menjadikan dan relatif, baik fisik
maupun mental. Kalau misalnya syair ketiga berbunyi “semua sankhara
adalah Tanpa Aku/Roh”, mungkin orang akan berpikir bahwa ada satu
Roh di luar benda-benda, di luar Lima Kelompok Kegemaran. Untuk
menghindari salah-tafsir inilah digunakan istilah dhamma pada syair
ketiga.

114 | P a g e
Istilah dhamma mempunyai arti yang sangat luas. Tidak terdapat istilah
dalam tata-kata Buddhis yang mempunyai arti lebih luas dari pada
dhamma. Ia mencakup bukan saja benda/keadaan yang saling
bergantungan, tetapi juga yang tidak saling bergantungan, misalnya
Yang Mutlak, Nibbana. Tidak ada sesuatu di dalam alam semesta ini
atau di luarnya, yang baik atau yang buruk, yang saling bergantungan
atau tidak saling bergantungan, relatif atau absolut, yang tidak tercakup
di dalam istilah ini. Oleh karena itu, sekarang jelaslah kiranya, sesuai
dengan syair “Semua dhamma adalah Tanpa Aku/Roh”, bahwa tidak
terdapat Roh atau Atma di dalam Lima Kelompok Kegemaran atau di
mana saja di luar atau terpisah daripadanya.

Menurut aliran Theravada, itu berarti bahwa tidak terdapat satu Roh baik
di dalam satu makhluk (puggala) maupun di dalam dhamma. Aliran
Mahayana juga mempunyai pandangan yang serupa, tanpa ada
perbedaan sedikit pun terhadap persoalan ini dan memberi titik-berat
kepada dharma-nairatmya dan pudgala nairatmya.

Dalam Alagaddupama-Sutta, Majjhima-Nikaya 22, sewaktu berkhotbah


di depan para muridnya, Sang Buddha bersabda sbb.: “O bhikkhu,
terimalah satu ‘teori tentang Roh yang kekal abadi’ (Attavada), apabila
dengan menerimanya tidak akan timbul kekecewaan, ratap-tangis,
penderitaan, kesedihan dan kemalangan. Tetapi, O bhikkhu, apakah
kamu melihat ada satu ‘teori tentang Roh yang kekal abadi’ yang
115 | P a g e
demikian itu, di mana dengan menerimanya tidak lagi akan timbul
kekecewaan, ratap-tangis, penderitaan, kesedihan dan kemalangan?”

“Tentu saja tidak, Bhante.”

“Bagus, O bhikkhu. Aku sendiripun tidak melihat adanya satu ‘teori


tentang Roh yang kekal abadi’, yang apabila diterima, tidak akan
menimbulkan kekecewaan, ratap-tangis, penderitaan, kesedihan dan
kemalangan.”

Kalau sekiranya memang terdapat satu teori Attavada yang diterima baik
oleh Sang Buddha, Beliau tentu sudah menerangkannya di sini karena
Beliau telah minta kepada para bhikkhu untuk menerima teori Attavada
kalau sekiranya itu dapat menghentikan dukkha. Tetapi, dalam
pandangan Sang Buddha tidak terdapat teori semacam itu yang dapat
menghentikan dukkha; tiap teori Attavada yang bagaimanapun juga
coraknya dan bagaimana halus atau sempurnapun, adalah palsu dan
merupakan khayalan belaka yang menciptakan berbagai macam
persoalan dan akan membawa serta kekecewaan, ratap-tangis,
penderitaan, kesedihan, kemalangan dan kesulitan-kesulitan.

Sesudah itu, Sang Buddha melanjutkan khotbahnya. “O bhikkhu kalau


memang tidak ada Roh/Atta atau unsur lain yang dapat dianggap sebagai
Roh (Attaniya) yang dapat ditemukan, maka pandangan yang tidak

116 | P a g e
menentu tentang ‘alam semesta ini Atta (Roh) dan aku akan menjadi
satu dengannya kalau aku meninggal dunia, kekal abadi, tidak berubah
selama-lamanya’ dengan sendirinya merupakan hal yang tidak masuk
akal sama sekali.”

Di sini secara tegas Sang Buddha berkata bahwa satu Atma/Atta, Roh
atau Diri dalam kenyataannya dan di mana pun juga tidak dapat
ditemukan dan adalah bodoh untuk percaya hal yang semacam itu.

Orang yang mencari satu “Diri” dalam ajaran Sang Buddha sering
mengutip beberapa contoh yang mereka salah-terjemahkan dan
kemudian salah-tafsirkan. Satu contoh yang terkenal adalah Atta Hi
Attano Natho dari Dhammapada (XII, 4, atau syair 160) yang
diterjemahkan sebagai “Roh itu adalah Majikan dari roh” dan ditafsirkan
sebagai, “Roh BESAR adalah majikan dari roh KECIL.”
Pertama-tama terjemahan di atas tidak tepat. Atta di sini bukan berarti
Diri atau Roh. Istilah Atta dalam bahasa Pali sering digunakan sebagai
“kata ganti” atau “kata ganti orang tidak tentu” (indefinite pronoun),
kecuali dalam beberapa hal yang secara khusus dihubungkan dengan
satu teori Roh. Tetapi dalam penggunaannya secara umum, seperti
halnya Bab XII dari Dhammapada dan di banyak tempat lain lagi, istilah
itu dipakai sebagai kata ganti” atau “kata ganti orang tidak tentu” yang
berarti diriku, dirimu, dirinya, orang, mereka, dll. Selanjutnya istilah
natho bukan berarti “majikan”, tetapi “mencari perlindungan”,
117 | P a g e
“bantuan”, “pertolongan” dan “perlindungan”. Oleh karena itu Atta Hi
Attano Natho sebenarnya berarti “Perlindungan ada dalam dirimu
sendiri” atau “Pertolongan ada dalam dirimu sendiri”. Ini tidak ada
hubungannya dengan suatu Roh atau Diri metafisik. Pepatah ini secara
sederhana berarti, bahwa orang harus bergantung kepada dirinya sendiri
dan bukan kepada orang lain.
Contoh lain dari percobaan untuk menyusupkan ide tentang adanya
“Roh” dalam ajaran Sang Buddha ialah pepatah yang sangat
terkenal : Attadipa Viharatha, Attasarana Anaññasarana, yang
diambil dari Mahaparinibbana Sutta (Digha Nikaya 16). Pepatah ini
menurut hurufnya berarti : “Jadilah pulau untuk dirimu sendiri, jadikan
dirimu sebagai tempat perlindungan dan jangan cari perlindungan pada
diri orang lain”.
Mereka yang ingin melihat satu “Diri” dalam agama Buddha
menafsirkan kata-kata ATTADIPA dan ATTASARANA sebagai
“mengambil diri sendiri sebagai lampu (pelita)” dan “mengambil diri
sendiri sebagai perlindungan”. Kita tidak mungkin dapat mengerti
sepenuhnya maksud dan tujuan dari nasehat Sang Buddha kepada
Ananda, kalau tidak mengambil sebagai dasar pertimbangan, latar
belakang dari kata-kata yang diucapkan dan segala sesuatu yang
bersangkutan dengannya.

118 | P a g e
Pada saat itu Sang Buddha sedang diam di suatu desa bernama Beluva
tepat tiga bulan sebelum Beliau mangkat, Parinibbana. Beliau waktu itu
berumur delapan puluh tahun dan menderita sakit keras sehingga hampir
saja mangkat (maranantika). Tetapi Beliau berpikir bahwa tidak
selayaknya meninggalkan siswa-siswa yang dekat dengan-Nya dan
dicintai tanpa pesan apa-apa. Oleh karena itu, dengan tabah dan penuh
keyakinan Beliau menanggung semua rasa sakit, dan kesehatannya
berangsur-angsur pulih kembali. Pada suatu hari Sang Buddha duduk di
luar rumah di bawah sebuah pohon yang rindang.

Ananda, pembantu Sang Buddha yang paling berbakti, mendekati Sang


Guru dan berkata: “Sungguh beruntung, O Bhante, bahwa hamba
sekarang melihat Sang Bhagava sudah sembuh. Dengan sesungguhnya,
Bhante, badanku sendiri menjadi lemah dan tak bertenaga, semuanya di
sekelilingku menjadi suram dan panca-indraku tidak berfungsi lagi.
Namun, Bhante, hamba agak terhibur sedikit, karena hamba pikir, tak
mungkin Sang Bhagava meninggalkan kami, sebelum Beliau
memberikan pesan-pesan terakhir kepada para bhikkhu yang tergabung
dalam Sangha.”

Kemudian Sang Buddha dengan penuh cinta kasih dan belas kasihan
memberi jawaban dengan suara lemah lembut kepada Ananda yang
sangat dikasihi itu: “Ananda, apalagi yang diharapkan oleh Sangha
dariku. Aku telah mengajarkan Dhamma tanpa membuat perbedaan
119 | P a g e
antara ajaran esoteris (rahasia) dan ajaran eksoteris (umum); mengenai
Dhamma, Ananda, tak ada sesuatu pun yang disembunyikan oleh Sang
Tathagata sebagaimana yang dilakukan oleh seorang guru yang kikir.
Tentu, Ananda, kalau ada orang yang berpikir bahwa ia adalah
pemimpin Sangha dan Sangha itu harus bergantung kepadanya, maka
orang itu akan membuat peraturan-peraturan. Tetapi, Sang Tathagata
tidak mempunyai pikiran seperti itu. Untuk apa Ia meninggalkan
peraturan untuk Sangha? Aku sudah tua, Ananda, delapan puluh tahun
usia-Ku, sekarang. Sebagaimana, juga kereta yang sudah usang maka
untuk dapat dipakai harus terus menerus diperbaiki. Begitu pula dengan
badan Sang Tathagata yang hanya dapat bertahan berkat terus menerus
diperbaiki. Karena itu, Ananda, ingatlah baik-baik: ‘Jadilah pulau bagi
dirimu; jadilah pelindung bagi dirimu, janganlah menyandarkan nasibmu
kepada makhluk lain; peganglah teguh Dhamma sebagai pelindungmu’.”

Apa yang Sang Buddha hendak beritahukan kepada Ananda sudah jelas.
Ananda sedang sedih dan tertekan batinnya. Ia berpikir bahwa ia akan
menjadi kesepian, tanpa perlindungan, tanpa pemimpin sesudah Sang
Guru Agung mangkat.

Karena itu, Sang Buddha ingin menghiburnya, memberinya ketabahan


hati dan keyakinan dengan berkata bahwa ia harus bergantung kepada
dirinya sendiri dan kepada Dhamma yang telah diajarkan, dan jangan
bergantung kepada orang lain atau kepada apa pun juga. Di sini
120 | P a g e
persoalan tentang satu Atma atau Roh metafisik sama sekali tidak
diperbincangkan.

Selanjutnya, Sang Buddha menerangkan kepada Ananda, bagaimana


caranya orang dapat menjadi pulau atau perlindungan untuk dirinya;
bagaimana caranya orang dapat membuat Dhamma sebagai pulau atau
perlindungan melalui latihan-latihan meditasi yang saksama dengan
obyek badan jasmani, perasaan, pikiran dan bentuk-bentuk pikiran
(Satipatthana). Di sini Atma atau Roh sama sekali tidak diperbincangkan.

Di bawah ini ada contoh lain yang sering dikemukakan oleh mereka
yang mencoba menemukan Atma dalam ajaran Sang Buddha. Pada suatu
hari Sang Buddha duduk di bawah sebuah pohon di suatu hutan dalam
perjalanan menuju Uruvela dari Benares. Pada hari itu tiga puluh orang
pangeran muda bersama istri mereka juga pergi bertamasya ke hutan
yang sama. Seorang pangeran yang belum menikah membawa serta
seorang pelacur. Selagi mereka berpesta, wanita itu mengambil beberapa
barang berharga dan terus lari.

Dalam usaha mencari wanita itu di hutan, mereka lihat Sang Buddha
sedang duduk di bawah sebuah pohon dan bertanya, apakah Sang
Buddha barangkali melihat seorang wanita yang berjalan seorang diri.
Sang Buddha menanyakan duduk persoalannya. Sesudah mereka
terangkan, Sang Buddha lalu bertanya: “Anak-anakku, cobalah pikir, apa

121 | P a g e
yang lebih baik, mencari seorang wanita atau mencari dirimu sendiri?”
(Mahavagga 1:14)

Ini lagi-lagi merupakan satu pertanyaan yang sederhana dan wajar dan
tidak dapat dibenarkan untuk menghubungkannya dengan ide tentang
adanya Atma atau Roh. Mereka menjawab bahwa lebih baik untuk
mencari diri mereka sendiri.

Sang Buddha lalu mengundang mereka untuk duduk di dekat-Nya dan


menerangkan Dhamma kepada mereka. Dalam teks aslinya tidak
terdapat satu patah kata pun yang menyinggung tentang Atma atau Roh.

Banyak sudah terdapat tulisan-tulisan tentang Sang Buddha yang tidak


menjawab pertanyaan dari seorang pertapa bernama Vacchagotta yang
bertanya, apakah Atma itu ada atau tidak. Ceritanya ada sbb.:

Vacchagotta mengunjungi Sang Buddha dan bertanya: “Gotama Yang


Mulia apakah Atma itu ada?”

Sang Buddha tidak menjawab.

“Kalau begitu, Gotama Yang Mulia, apakah Atma itu tidak ada?”

Lagi-lagi Sang Buddha tidak menjawab.

122 | P a g e
Vacchagotta lalu bangun dan pergi. Sesudah pertapa itu pergi, Ananda
bertanya kepada Sang Buddha, mengapa Beliau tidak menjawab
pertanyaan Vacchagotta. Sang Buddha menerangkan sbb.:

“Ananda, ketika ditanya oleh pertapa Vacchagotta tetang: “Apakah


Atma itu ada?”, kalau Aku menjawah: “Atma itu ada”, maka itu
memihak kepada para pertapa dan Brahmana yang menganut ajaran
tentang adanya satu Roh abadi (Sassatavada).

Lalu Ananda, ketika ditanya oleh Vacchagotta: “Apakah Attma itu tidak
ada?”, dan kalau Aku menjawab: “Atma itu tidak ada”, maka itu
memihak kepada para pertapa dan Brahmana yang menganut
kepercayaan tentang pemusnaan diri (Ucchedavada).

Lagipula Ananda, ketika ditanya oleh Vacchagotta: “Apakah Atma itu


ada?”, dan jika Aku menjawab: “Atma itu ada”, apakah ini sesuai
dengan ajaran-Ku tentang: “Semua dhamma adalah Tanpa Roh?”

“Tentu saja tidak, Bhante.”

Selanjutnya, Ananda, ketika ditanya oleh Vacchagotta: “Apakah Atma


itu tidak ada?”, dan kalau Aku menjawab: “Atma itu tidak ada”, maka
ini akan menimbulkan kebingungan yang lebih besar lagi pada
Vacchagotta yang pikirannya memang sudah bingung. (Samyutta

123 | P a g e
Nikaya XLIV: 10). Oleh karena Vacchagotta akan berpikir: “Dulu aku
benar mempunyai Atma, tetapi sekarang aku tidak mempunyai Atma
lagi.” Maka sekarang jelaslah kiranya, mengapa Sang Buddha tidak
ingin menjawab. Tetapi akan lebih jelas lagi kalau kita mengambil
sebagai bahan pemikiran seluruh latar belakang dari kejadian ini dan
juga cara yang dipakai oleh Sang Buddha untuk menghadapi orang-
orang yang datang bertanya. Hal-hal ini tidak diketahui oleh mereka
yang memperbincangkan persoalan ini.

Sang Buddha bukanlah sebuah mesin komputer yang memberi jawaban


kepada pertanyaan apapun yang diajukan kepada Beliau tanpa
pertimbangan.

Sang Buddha adalah seorang Guru Agung yang praktis, penuh welas
asih dan bijaksana. Beliau bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan
untuk memperlihatkan pengetahuan-Nya atau kecerdasan-Nya,
melainkan yang lebih penting lagi, untuk menolong si penanya ke arah
Jalan yang menuju Pembebasan. Beliau selalu bicara dengan mereka
dengan mempertimbangkan alam pikiran mereka, watak mereka dan
kesanggupan mereka untuk memahami persoalan tertentu.

Menurut Sang Buddha, terdapat empat cara untuk menghadapi


pertanyaan-pertanyaan ”

124 | P a g e
1. beberapa di antaranya dapat langsung dijawab

2. yang lain harus dijawab dengan memberikan uraian

3. yang lain lagi harus dijawab dengan mengajukan pertanyaan balasan

4. dan ada pertanyaan yang sama sekali tidak dapat dijawab.

Terdapat berbagai cara untuk tidak menjawab satu pertanyaan. Satu di


antaranya ialah dengan mengatakan bahwa beberapa pertanyaan tertentu
tidak dapat dijawab, sebagaimana halnya dengan pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan kepada Sang Buddha seperti: apakah alam semesta ini
abadi atau tidak, dan lain-lain. Dengan cara yang sama, Sang Buddha
menjawab pertanyaan dari Malunkyaputta dan beberapa orang lain.
Namun Beliau tidak dapat memberikan jawaban yang sama terhadap
pertanyaan. “Apakah Atma ada atau tidak”, karena Beliau sudah sering
memperbincangkan hal ini. Beliau tidak dapat berkata bahwa: “Atma itu
ada”, sebab ini bertentangan dengan Ajaran Beliau sendiri tentang
doktrin Anatta. Dan Sang Buddha juga tidak hendak mengatakan, bahwa:
“Atma itu tidak ada”, oleh karena dengan tidak perlu akan membuat
bingung dan kaget Vacchagotta, yang memang sedang bingung
menghadapi persoalan ini, yang sebelumnya telah diakui sendiri oleh
Vacchagotta. Ia belum “matang” untuk mengerti akan doktrin Anatta.
Dari itu, menghadapi pertanyaan ini dengan membungkam adalah yang
paling bijaksana dalam persoalan ini.
125 | P a g e
Kita juga jangan lupa bahwa Sang Buddha sejak lama kenal dengan
Vacchagotta dan pertemuan ini bukan pertemuan yang pertama kali.
Guru yang bijaksana dan penuh welas asih ini sebenarnya menaruh
perhatian besar kepada orang yang sedang bingung dan sibuk mencari-
cari ini. Dalam kitab bahasa Pali nama Vacchagotta sering kita jumpai,
yang seringkali mengunjungi Sang Buddha atau siswa-siswa-Nya. Setiap
kali pertanyaan yang serupa inilah yang diajukan, karena Vacchagotta
merasa batinnya tertekan, yah, bahkan merasa dihantui oleh persoalan
ini. Dengan Sang Buddha tidak menjawab, ini membawa akibat yang
lebih besar dari jawaban atau diskusi apa pun tentang persoalan ini.

Banyak orang menganggap “Aku” sama dengan “batin” atau


“kesadaran”. Tetapi Sang Buddha berkata bahwa lebih baik menganggap
badan jasmani sebagai “Aku” daripada batin, pikiran atau kesadaran,
sebab badan jasmani lebih padat (dapat dilihat dan disentuh), sedangkan
batin, pikiran dan kesadaran (citta, mano, viññana) terus menerus
berubah dan dalam tempo lebih cepat dari badan jasmani. (Samyutta
Nikaya XII: 62)

Perasaan yang samar-samar tentang “Aku” sebenarnya yang


menciptakan gambaran tentang adanya “Diri” yang tidak sesuai dengan
kenyataan; melihat kenyataan ini dengan gamblang dan jelas berarti
menyelami Nibbana, dan hal ini memang tidak mudah.

126 | P a g e
Dalam Syamyutta-Nikaya terdapat satu diskusi antara seorang bhikkhu
bernama Khemaka dengan serombongan bhikkhu lain yang membahas
persoalan ini secara mendalam.

Para Bhikkhu itu bertanya kepada Khemaka, apakah ia melihat satu


“Diri” atau sesuatu yang berhubungan dengan “Diri” di dalam Lima
Kelompok Kegemaran. Khemaka menjawab: “Tidak”. Kemudian
bhikkhu-bhikkhu itu berkata, kalau begitu ia telah menjadi Arahat, bebas
dari kekotoran batin. Khemaka mengakui, bahwa biarpun ia tidak
menemukan satu “Diri” atau sesuatu yang ada hubungannya dengan
“Diri” (Attaniya) di dalam Lima Kelompok Kegemaran, ia bukan
seorang Arahat yang terbebas dari semua kekotoran batin. O kawan-
kawan, mengenai Lima Kelompok Kegemaran itu aku masih merasakan
adanya “Diri” itu, meskipun aku tidak dapat melihat dengan jelas bahwa
“Inilah Diriku”.

Selanjutnya Khemaka menerangkan bahwa apa yang ia namakan “Sang


Aku” bukanlah materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau
kesadaran, atau sesuatu tanpa mereka itu. Tetapi ia merasakan “Sang
Aku” itu ada hubungannya dengan Lima Kelompok Kegemaran,
meskipun ia tidak melihat dengan jelas “Inilah Aku”. Hal ini sama
dengan bau harumnya sekuntum bunga. Itu bukan bau harum dari daun
bunga, bukan dari warnanya, bukan dari putiknya, tetapi bau harum dari
bunga secara keseluruhan.
127 | P a g e
Khemaka selanjutnya menerangkan bahwa sekalipun orang telah
mencapai tingkat permulaan dari penyelaman Nibbana, ia masih
mempunyai perasaan tentang “Sang Aku”. Tetapi, nanti, kalau ia sudah
mendapat kemajuan lebih lanjut, perasaan “Sang Aku” itu akan lenyap
seluruhnya; seperti juga bau sabun dari pakaian yang baru dicuci akan
lenyap sesudah pakaian itu untuk beberapa waktu disimpan di dalam
lemari.

Diskusi ini berguna sekali dan memberi gambaran yang begitu jelas
sehingga pada akhir diskusi mereka semua, termasuk Khemaka, menjadi
Arahat, terbebas dari kekotoran batin dan akhirnya juga terlepas sama
sekali dari perasaan tentang adanya “Sang Aku” itu.

Menurut Sang Buddha, berpegangan kepada anggapan bahwa “Aku


tidak mempunyai Atma” (yang dinamakan teori pemusnaan diri) atau
memegang anggapan tentang “Aku mempunyai Atma” (yang dinamakan
teori kelangsungan abadi), kedua-duanya salah karena kedua-duanya
merupakan belenggu yang timbul dari ide yang menyesatkan tentang
adanya “Sang Aku” itu.

Pendirian yang benar mengenai Anatta ialah jangan memegang


anggapan atau pandangan apa pun juga, melainkan melihat benda-benda
secara obyektif dan menurut keadaan yang sebenarnya, tanpa proyeksi-
proyeksi mental melihat apa yang dinamakan “Aku” atau “makhluk”

128 | P a g e
sebagai paduan dari unsur-unsur fisik dan mental, yang bekerja sama
dan saling bergantungan dalam satu arus dari perubahan-perubahan dari
saat ke saat di dalam hukum sebab dan akibat; tidak ada sesuatu yang
kekal, berlangsung terus, tidak berubah dan abadi di dalam seluruh
kehidupan.

Secara wajar dapat timbul pertanyaan. Kalau tidak ada Atma atau “Diri”,
lalu siapakah yang menerima hasil Karma? Tidak ada orang lain yang
dapat menjawab pertanyaan ini lebih baik dari Sang Buddha sendiri.
Waktu pertanyaan itu diajukan oleh seorang bhikkhu, Sang Buddha
menjawab: “Aku mengajar, O bhikkhu, untuk melihat keadaan yang
saling bergantungan di mana-mana dan dalam semua benda.”

Ajaran Sang Buddha tentang Anatta, Tanpa Roh, Tanpa Aku, hendaknya
jangan dianggap sebagai negatif atau sebagai pemusnaan diri. Seperti
juga Nibbana ia adalah Kebenaran Sejati, Kesunyataan dan Kesunyataan
tak mungkin negatif. Justru kepercayaan kepada satu “Diri” yang khayal
dan tidak ada itulah yang negatif. Ajaran tentang Anatta menyingkirkan
kegelapan dari suatu kepercayaan yang palsu dan menghasilkan
kebijaksanaan. Ia bukan negatif, seperti juga Ayasma Asanga secara
singkat berkata: “Anatta merupakan satu fakta” (Nairatmyastita).

129 | P a g e
BAB VIII
BHAVANA
(LATIHAN DAN PENGEMBANGAN MENTAL)
Sang Buddha bersabda. “O bhikkhu, terdapat dua macam penyakit.
Apakah kedua macam penyakit itu? Penyakit badaniah (fisik) dan
penyakit mental. Memang ada orang yang berbahagia dapat terbebas
dari penyakit fisik untuk satu tahun lamanya, dua tahun … atau mungkin
untuk seratus tahun lebih. Tetapi, O bhikkhu, anehnya sedikit saja orang
yang dapat menikmati kebebasan dari penyakit mental hanya untuk satu
saat lamanya, kecuali mereka yang telah bersih dari kekotoran batin,
yaitu para Arahat. Ajaran Sang Buddha, khususnya cara bermeditasi,
mempunyai tujuan untuk menghasilkan satu keadaan mental yang sehat
dan sempurna, berkesinambungan dan tenang. Tetapi, sayang, tidak
pernah ada satu bagian dari ajaran Sang Buddha yang begitu sering
disalahtafsifkan seperti meditasi, baik oleh umat Buddha sendiri maupun
oleh bukan umat Buddha. Pada saat kata meditasi disebut, orang lantas
menciptakan gambaran pikiran tentang penyingkiran diri dari kesibukan
penghidupan sehari-hari; dengan duduk dalam sikap tertentu, seperti
sebuah patung di dalam goa atau kamar kecil di dalam vihara, di satu
tempat yang jauh dari keramaian dunia, tenggelam dalam satu
perenungan atau dalam salah satu keadaan gaib atau tidak ingat orang
sama sekali (trance).

130 | P a g e
Meditasi Buddhis yang benar bukanlah berarti penyingkiran diri,
semacam itu. Ajaran Sang Buddha mengenai persoalan ini sedikit sekali
dimengerti dan begitu banyak disalahtafsirkan, sehingga akhir-akhir ini
meditasi itu dipersempit dan direndahkan artinya menjadi satu macam
upacara keagamaan belaka atau upacara biasa saja.

Banyak orang menaruh perhatian terhadap meditasi dan yoga agar


memperoleh kekuatan batin atau kekuatan gaib lainnya seperti “mata
ketiga” yang tidak dimiliki orang lain. Beberapa tahun yang lalu,
seorang bhikkhuni di India telah mencoba mengembangkan kekuatan
untuk dapat melihat melalui telinganya, padahal ia masih memiliki
kemampuan untuk melihat dengan sempurna melalui matanya. Hal
semacam ini tidak lain dari satu kebobrokan spiritual dan pada
hakekatnya merupakan satu keinginan sangat atau kehausan akan
kekuatan gaib.

Kata meditasi hanya mencakup sebagian kecil saja dari arti bhavana
yang berarti melatih atau mengembangkan, yaitu melatih mental dan
mengembangkan mental.

Bhavana memang sebenarnya berarti melatih dan mengembangkan


mental dalam arti yang luas. Ia bertujuan untuk membersihkan pikiran
dari kekotoran batin dan rintangan-rintangan, seperti keinginan hawa
nafsu, kebencian, keinginan jahat, kemalasan, kejengkelan dan

131 | P a g e
ketegangan, keragu-raguan dan melatih konsentrasi, kesadaran,
kecerdasan, kemauan, kekuatan, kemampuan untuk menganalisa,
keyakinan, kegembiraan, ketenangan, sehingga akhirnya menuju
tercapainya kebijaksanaan tertinggi dan dapat melihat benda-benda
dalam keadaan yang sebenarnya/sewajarnya dan menyelami
Kesunyataan Mutlak, Nibbana.

Terdapat dua cara meditasi. Yang pertama ialah untuk mengembangkan


konsentrasi mental (samatha atau samadhi), pikiran yang manunggal
(Cittekaggata, Skt. cittraikagrata) melalui berbagai macam cara seperti
terdapat dalam kitab-kitab yang menuju ke alam-alam gaib yang
tertinggi seperti “alam dari kekosongan” atau “alam dari bukan
pencerapan dan bukan bukan-pencerapan”. Semua alam gaib ini menurut
Sang Buddha adalah ciptaan pikiran, hasil pikiran dan berkondisi
(sankhata). Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Pri Kebenaran,
Kesunyataan dan Nibbana. Cara meditasi seperti ini sebelum zaman
Sang Buddha sudah dikenal. Meskipun pada hakekatnya meditasi ini
bukan meditasi Buddhis asli, cara ini termasuk juga di antara cara yang
dipraktekkan oleh umat Buddha. Sang Buddha sendiri sebelum
memperoleh Kesadaran Agung, mempelajari praktek-praktek para yogi
di bawah asuhan beberapa guru dan telah berhasil mencapai alam-alam
gaib yang tertinggi. Tetapi, Beliau tidak puas karena pencapaian ini
tidak memberikan pembebasan yang sempurna dan tidak memberikan

132 | P a g e
pandangan terang tentang Kesunyataan Mutlak, Nibbana. Beliau
menganggap keadaan mistik ini sebagai “keadaan bahagia dalam
kehidupan ini” (dittha dhamma sukha vihara) atau “kehidupan yang
penuh kedamaian” (santa vihara) dan tidak lebih dari itu.

Oleh karena itu, Beliau menemukan cara meditasi lain yang dikenal
sebagai Vipassana, pandangan terang terhadap keadaan yang
sesungguhnya dari benda-benda yang menuju ke arah pembebasan
sempurna dari pikiran dan penyelaman Kesunyataan Mutlak, Nibbana.
Inilah cara meditasi Buddhis yang khas, latihan dan pengembangan
mental Buddhis. Ini merupakan cara menganalisa, berdasarkan perhatian
murni, kesadaran, kewaspadaan, pengamat-amatan.

Memang tidaklah mungkin untuk menguraikan persoalan besar ini


dalam beberapa halaman saja. Tetapi bagaimanapun juga di sini akan di
coba secara singkat dalam garis besarnya memberikan satu gambaran
tentang meditasi Buddhis yang sejati, latihan dan pengembangan mental
atau pendidikan mental dalam cara yang praktis.

Salah satu khotbah penting tentang meditasi yang pernah diberikan oleh
Sang Buddha sendiri dinamakan (Maha) Satipatthana Sutta,
Membangkitkan Perhatian Murni (Digha Nikaya no. 22 atau Majjhima
Nikaya No. 10). Khotbah ini dalam tradisi begitu dihormati, sehingga
bukan saja di vihara-vihara sutta ini sering dibacakan, tetapi juga di

133 | P a g e
rumah-rumah keluarga buddhis sutta ini sering dibacakan; seluruh
keluarga berkumpul dan mendengarkan dengan penuh rasa bakti.

Sutta ini juga sering dibacakan oleh para bhikkhu di samping tempat
tidur orang yang hampir meninggal dunia untuk membersihkan
pikirannya.

Cara meditasi yang diberikan dalam khotbah ini, bukanlah terpisah dari
penghidupan dan bukan pula untuk menghindarkan penghidupan; tetapi
sebaliknya cara ini ada hubungannya dengan penghidupan, perbuatan
kita sehari-hari, kesedihan dan kegembiraan kita, ucapan dan pikiran kita,
keadaan moral dan kecerdasan kita.

Khotbah ini dibagi dalam empat bagian besar:

1. perenungan terhadap tubuh (kaya)

2. perenungan terhadap perasaan (vedana)

3. perenungan terhadap keadaan batin, (Citta)

4. perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran (Dhamma).

134 | P a g e
Tetapi hendaknya selalu diingat bahwa apa pun juga cara meditasi yang
tersebut di atas, yang terpenting ialah perhatian murni dan sadar (sati)
dan pengamat-amatan (anupassana).

Kaya-Nupassana

Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang meditasi
dengan obyek badan jasmani ialah yang disebut Anapanasati (perhatian
murni atau selalu sadar tentang masuk dan keluarnya napas). Tetapi
untuk melakukan meditasi ini, menurut kitab Majjhima Nikaya 118,
orang harus duduk dalam satu sikap tertentu. Untuk cara meditasi yang
lain yang disebut dalam sutta, orang boleh duduk, berdiri, berjalan atau
berbaring, menurut kehendak hati orang itu sendiri.
Tetapi untuk melatih perhatian murni tentang masuk dan keluarnya
napas, menurut apa yang ditulis dalam kitab-kitab, orang harus duduk
dengan kaki bersila, badan tegak dan perhatian murni serta selalu
waspada. Tetapi, duduk bersila tidaklah dapat dilakukan oleh semua
orang, terutama oleh orang Barat.

Oleh karena itu, mereka yang merasa sukar untuk duduk bersila
diperbolehkan duduk di atas kursi dengan badan tegak dan perhatian
murni serta selalu waspada dan sadar. Untuk latihan ini memang perlu
sekali untuk duduk tegak, tetapi janganlah kaku dan tegang, dan tangan
ditaruh secara enak di pangkuan. Dengan duduk begini orang boleh

135 | P a g e
menutup matanya atau menatap ujung hidungnya menurut kehendaknya
sendiri.

Siang dan malam Anda menarik napas, tetapi Anda tidak pernah
memperhatikan ini dan Anda tidak pernah mengkonsentrasikan pikiran
Anda terhadap persoalan ini, biarpun untuk sesaat lamanya. Maka
sekarang, cobalah Anda lakukan hal tersebut. Bernapaslah seperti biasa,
tanpa tekanan atau paksaan. Sekarang Anda harus mengkonsentrasikan
pikiran Anda terhadap napas yang masuk dan keluar; pikiran Anda harus
waspada dan amat-amatilah napas Anda yang masuk dan keluar itu;
batin Anda harus selalu sadar dan waspada terhadap napas yang masuk
dan keluar. Kalau Anda bernapas pada satu waktu Anda menarik napas
panjang dan pada satu waktu tidak. Ini tidak apa-apa. Bernapaslah secara
biasa dan wajar. Yang Anda harus perhatikan ialah kalau Anda menarik
napas panjang Anda harus sadar bahwa Anda menarik napas panjang,
dst. Dengan perkataan lain, batin Anda harus sepenuhnya
dikonsentrasikan pada pernapasan Anda, sehingga Anda sadar setiap
pergerakannya dan juga terhadap setiap perubahannya.

Lupakanlah hal-hal lain, tempat dan keadaan sekeliling Anda; jangan


mengangkat mata dan jangan melihat apa-apa. Cobalah lakukan ini
untuk 5 atau 10 menit lamanya. Pada permulaan Anda akan menjumpai
kesukaran dalam mengkonsentrasikan pikiran Anda pada jalan
pernapasan anda; dan Anda akan tercengang, mengetahui bahwa pikiran
136 | P a g e
Anda itu lincah sekali dan tidak dapat diam. Anda akan berpikir tentang
macam-macam hal atau Anda mendengar suara di luar. Pikiran Anda
diganggu dan dibelokkan. Anda akan putus asa dan kecewa. Tetapi jika
Anda melanjutkan latihan ini dengan tekun dua kali sehari, pada pagi
dan malam hari selama 5 atau 10 menit, lambat laun Anda pasti akan
dapat mengkonsentrasikan pikiran anda terhadap pernapasan Anda.
Sesudah lewat beberapa waktu, Anda akan mengalami untuk beberapa
detik lamanya bahwa pikiran Anda benar-benar terkonsentrasikan penuh
pada pernapasan Anda, sehingga Anda tidak lagi mendengar suara-suara
di dekat Anda dan Anda seakan-akan melupakan segala-galanya.

Detik-detik yang pendek ini memberikan Anda pengalaman yang hebat


dan tidak dapat dilupakan, penuh dengan kegembiraan, kebahagiaan dan
ketenangan, sehingga Anda ingin berusaha untuk melanjutkan
pengalaman itu. Tetapi biasanya Anda tidak akan berhasil berbuat
demikian. Namun kalau Anda tekun melanjutkan latihan Anda, nanti
Anda akan dapat mengulangi pengalaman Anda itu sekali lagi dan sekali
lagi, dan kali ini untuk waktu yang agak lebih lama. Itulah saat-saat di
mana anda benar-benar tenggelam dalam perhatian murni pada
pernapasan Anda. Selama Anda ingat diri Anda, Anda tidak mungkin
dapat berkonsentrasi pada sesuatu. Latihan tentang perhatian murni
terhadap pernapasan ini merupakan latihan yang paling sederhana dan
mudah, dan dimaksudkan untuk membangkitkan konsentrasi yang

137 | P a g e
menuju ke arah tercapainya keadaan gaib yang sangat tinggi (dhyana).
Di samping itu, kemampuan berkonsentrasi dengan baik diperlukan
sekali untuk memperoleh pengertian yang mendalam, penembusan,
pandangan terang terhadap keadaan benda-benda yang sesungguhnya,
termasuk penyelaman Nibbana.

Penting untuk diketahui bahwa latihan terhadap pernapasan ini dapat


segera memberikan hasil kepada Anda. Meditasi baik sekali untuk
kesehatan Anda, untuk dapat beristirahat, untuk dapat tidur dengan
nyenyak dan untuk dapat mengerjakan pekerjaan Anda dengan lebih
efisien. Selain itu, meditasi membuat Anda tenang dan sabar. Pada saat
Anda merasa gugup atau gelisah, cobalah lakukan latihan ini untuk
beberapa menit lamanya dan Anda akan dapat melihat sendiri bahwa
Anda segera akan menjadi lebih tenang dan sabar. Anda akan merasakan
seperti orang yang baru bangun dari tidur yang nyenyak.

Cara meditasi lain yang penting, praktis dan berguna ialah sadar dan
waspada terhadap segala sesuatu yang Anda lakukan, secara fisik atau
dengan ucapan, sewaktu Anda sedang melakukan pekerjaan Anda
sehari-hari, untuk diri sendiri, untuk orang lain atau dalam rangka
jabatan anda; sewaktu Anda berjalan, berdiri, duduk, berbaring atau
tidur, selagi Anda meluruskan dan membengkokkan kaki anda; selagi
Anda melihat-lihat sekeliling Anda; selagi Anda memakai baju, selagi
Anda bicara atau sedang diam; selagi Anda makan atau minum, atau
138 | P a g e
sedang melakukan kebutuhan-kebutuhan yang wajar sebagai manusia;
dalam semua perbuatan ini dan yang lain lagi Anda harus selalu sadar
dan waspada tentang semua perbuatan yang Anda sedang lakukan pada
saat itu. Dengan perkataan lain, Anda harus hidup pada saat sekarang,
pada saat Anda melakukan perbuatan Anda.

Ini bukan berarti bahwa Anda tidak boleh berpikir tentang apa yang
sudah lewat atau apa yang akan datang. Sebaliknya, Anda berpikir
tentang itu dalam hubungannya dengan saat sekarang, perbuatan
sekarang, bilamana dan di mana itu dapat dipakai.

Pada umumnya kita tidak hidup dalam perbuatan kita pada saat sekarang.
Kita biasanya hidup di masa yang lampau atau di masa yang akan datang.
Biarpun kita sedang melakukan sesuatu, pada saat ini, di tempat ini,
dalam pikiran kita mungkin sedang hidup di tempat lain, dalam
persoalan dan kesulitan yang masih merupakan khayalan; dan
kebanyakan dalam kenang-kenangan dari masa lampau atau dalam
keinginan-keinginan dan lamunan-lamunan dari masa yang akan datang.
Mereka tidak hidup di dalam perbuatan pada saat sekarang dan oleh
karenanya mereka tidak dapat menikmatinya. Dengan demikian, mereka
tidak merasa bahagia dan terputus dari saat sekarang ini, dengan
pekerjaan yang mereka sedang lakukan dan dengan sendirinya tidak
dapat sepenuhnya mengabdikan diri kepada pekerjaannya itu.

139 | P a g e
Anda sering melihat orang di rumah-makan yang membaca surat kabar
sambil makan nasi, satu kejadian yang biasa terlihat. Orang ini memberi
kesan bahwa ia adalah orang yang paling sibuk, sehingga tidak
mempunyai waktu untuk makan nasi.

Anda akan bertanya-tanya dalam hati, apakah orang ini sedang makan
satu sedang membaca surat kabar. Mungkin ada orang berkata bahwa ia
melakukan kedua-duanya. Sebenarnya tidak, dan ia juga tidak dapat
menikmati kedua-duanya. Orang ini batinnya tertekan dan bingung dan
ia tidak dapat menikmati apa yang dilakukannya pada saat itu. Ia
sebenarnya tidak hidup di saat itu tetapi secara tidak sadar mencoba
untuk menyingkir dari kehidupan yang nyata. Harap jangan
disalahartikan bahwa selama makan orang tidak boleh bicara dengan
kawannya.

Anda tidaklah mungkin untuk menyingkir dari kehidupan sekarang ini.


Selama Anda masih hidup, baik Anda berada di kota atau di dalam goa,
Anda harus berani hidup dan berani menghadapi hidup dengan seribu
satu persoalannya.

Penghidupan yang sejati adalah penghidupan di saat sekarang ini. Bukan


kenang-kenangan di masa yang lampau yang sudah mati dan bukan juga
impian yang muluk-muluk dari masa yang akan datang. Orang yang

140 | P a g e
hidup pada saat sekarang adalah orang yang benar-benar hidup dan ia
adalah orang yang paling bahagia.

Sewaktu ditanya, mengapa siswa-siswa-Nya yang hidup begitu


sederhana dan sunyi dengan makan hanya satu kali sehari, selalu
kelihatan berseri-seri, Sang Buddha menjawab: “Mereka tidak pernah
merisaukan apa yang telah lewat dan juga tidak pernah memperdulikan
apa yang akan datang. Mereka hidup pada saat sekarang dan oleh karena
itu mereka selalu berseri-seri. Dengan selalu memikirkan apa yang akan
datang dan merisaukan apa yang telah lewat, orang bodoh telah menjadi
kurus kering seperti rumput hijau yang dipotong dan dijemur di sinar
matahari”.

Perhatian murni atau selalu sadar bukan berarti bahwa Anda berpikir dan
sadar “aku sedang melakukan ini” atau “aku sedang melakukan itu”.
Tidak. Justru sebaliknya. Pada saat Anda berpikir “aku sedang
melakukan ini”, Anda lalu sadar akan diri sendiri dan Anda tidak lagi
hidup dalam perbuatan yang sedang dilakukan, tetapi Anda hidup dalam
ide tentang adanya “Sang Aku” dan akibatnya, pekerjaan Anda akan
menjadi rusak. Pada saat seorang pembicara sadar akan dirinya dan
berpikir “Aku sedang berceramah” maka ceramahnya akan terganggu
dan jalan pikirannya terputus.

141 | P a g e
Tetapi, kalau dalam berceramah ia melupakan dirinya sendiri, maka ia
ada dalam keadaan yanig sangat ideal, dan ia akan berbicara lancar dan
dapat menerangkan sesuatu dengan terang sekali.

Semua pekerjaan besar di bidang kebudayaan, filsafat, intelek dan


spiritual adalah hasil dari saat-saat tatkala penciptanya seluruhnya
tenggelam dalam pekerjaan mereka, dan mereka lupa akan diri mereka
dan bebas dari kesadaran akan dirinya sendiri. Perhatian murni atau
kesadaran yang berkenaan dengan perbuatan kita, seperti yang diajar
oleh Sang Buddha, ialah untuk hidup pada saat sekarang, untuk hidup
dalam perbuatan sekarang. Ini merupakan pula cara dari golongan
agama buddha Zen, yang ajarannya sebagian besar didasarkan atas
doktrin ini.

Untuk melaksanakan meditasi ini Anda tidak diharuskan melakukan


perbuatan tertentu untuk membangkitkan perhatian murni, tetapi Anda
hanya harus penuh perhatian dan sadar akan segala sesuatu yang Anda
lakukan. Anda tidak usah membuang-buang satu detik pun dari waktu
Anda yang berharga untuk melakukan meditasi ini. Anda dapat terus
menerus melatih perhatian murni dan kesadaran siang dan malam
terhadap semua perbuatan Anda dalam penghidupan sehari-hari. Kedua
cara meditasi yang diperbincangkan di atas berkenaan dengan badan
jasmani.

142 | P a g e
Vedana-Nupassana

Cara meditasi lain ialah yang berkenaan dengan semua perasaan kita,
yang bahagia, yang tidak bahagia dan yang netral. Marilah kita ambil
sebuah contoh. Anda memiliki suatu perasaan yang tidak bahagia, yang
penuh dengan kesedihan. Pada saat itu batin Anda menjadi gelap, seperti
tertutup gurem dan tertekan.

Mungkin Anda sendiri tidak dapat melihat dengan jelas, mengapa Anda
memiliki perasaan yang tidak bahagia itu. Yang penting, Anda harus
belajar untuk tidak merasa bahagia terhadap perasaan yang tidak bahagia
itu, tidak menjadi kesal terhadap kekesalan Anda. Tetapi, cobalah lihat
dengan jelas, mengapa ada perasaan yang tidak bahagia, yang kesal,
yang sedih itu. Cobalah periksa bagaimana ia timbul, sedang
berlangsung dan kemudian lenyap kembali. Cobalah periksa, seolah-olah
Anda berada di luar diri Anda, tanpa reaksi subyektif apapun juga, sama
halnya seperti seorang ahli memeriksa sebuah benda.

Di sini Anda seharusnya jangan melihat perasaan Anda secara subyektif,


tetapi Anda harus melihat perasaan Anda sebagai perasaan secara
obyektif. Di sini juga Anda harus melupakan sama sekali ide palsu
tentang adanya “Sang Aku”. Kalau Anda dapat melihat keadaannya
yang sebenarnya, bagaimana ia timbul, berlangsung dan kemudian
lenyap kembali, batin Anda tidak akan dipengaruhi lagi oleh perasaan itu

143 | P a g e
dan menjadi tidak terikat dan bebas. Hal yang di atas berlaku juga bagi
semua perasaan lain.

Citta-Nupassana

Sekarang, marilah kita membahas cara meditasi yang ada hubungan


dengan aktivitas pikiran kita, dengan keadaan batin kita. Anda harus
sepenuhnya sadar dan tahu bahwa batin Anda sedang dihinggapi hawa
nafsu atau terbebas dari padanya; bahwa batin Anda penuh dengan cinta
kasih, belas kasihan; bahwa batin anda sedang gelap atau mempunyai
pengertian yang jelas, dst.. Kita harus mengakui bahwa seringkali kita
takut atau malu untuk melihat batin kita sendiri; karena itu kita condong
untuk menghindarinya. Anda harus berani dan tabah dan cobalah lihat
batin Anda sendiri seperti orang yang melihat mukanya di kaca. Di sini
persoalannya bukan untuk mencela atau mengadili, atau membanding-
bandingkan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Ia hanya
merupakan pengamat-amatan, penelitian dan pemeriksaan belaka.

Anda hendaknya jangan menjadi seorang hakim untuk diri Anda sendiri,
melainkan seorang sarjana, seorang ahli. Kalau Anda mengamat-amati
batin Anda dan melihat dengan jelas keadaannya yang sebenarnya, Anda
tidak dipengaruhi lagi oleh emosi, sentimen dll.. Dengan demikian,
Anda akan tidak terikat dan bebas dan Anda akan dapat melihat hal-hal
dan keadaannya yang sebenarnya.

144 | P a g e
Marilah kita mengambil satu contoh. Misalnya Anda benar-benar sedang
marah, penuh angkara murka, keinginan jahat dan kebencian. Tetapi,
aneh dan merupakan satu paradoks bahwa orang yang sedang marah
tidak sepenuhnya tahu atau sadar bahwa ia sedang marah.

Pada saat ia tahu dan sadar akan keadaan batinnya, pada saat ia melihat
amarahnya, ia akan merasa malu dan dengan sendirinya amarahnya itu
akan menjadi reda.

Anda harus memeriksa keadaan yang sebenarnya, bagaimana ia timbul


dan bgaimana ia lenyap kembali.

Di sini harus diingat sekali lagi bahwa Anda hendaknya jangan berpikir
“Aku sedang marah” atau tentang “amarahku” Anda seharusnya hanya
memperhatikan dan sadar tentang suatu keadaan batin yang sedang
marah. Anda hanya sedang mengamat-amati dan memeriksa satu
keadaan amarah secara obyetif. Ini berlaku pula untuk semua sentimen,
emosi dan keadaan batin lainnya.

Dhamma-Nupassana

Lalu sekarang kita tiba pada cara meditasi atas pokok-pokok masalah
kesusilaan, spiritual dan intelektual. Semua pelajaran, bacaan, diskusi,
pembahasan dan pertimbangan atas pokok masalah, bacaan, termasuk

145 | P a g e
dalam meditasi ini. Membaca buku dan kemudian berpikir secara
mendalam tentang pokok yang dipermasalahkan adalah satu cara
meditasi juga. Kita telah melihat di bagian depan bahwa diskusi antara
Khemaka dan satu rombongan bhikkhu adalah satu cara meditasi yang
menuju ke arah penyelaman Nibbana.

Dari itu, menurut cara meditasi ini, Anda dapat mempelajari,


memikirkan, dan membahas Lima Rintangan (nivarana), yaitu :

1. Kamacchanda – nafsu keinginan

2. Vyapada – keinginan jahat, kebencian dan amarah

3. Thina-Middha – lamban, malas dan lesu

4. Uddhacca-Kukkucca – gelisah dan cemas

5. Vicikiccha – keragu-raguan

Kelima hal di atas dianggap sebagai rintangan untuk memperoleh


pengertian yang terang dan kemajuan apa saja. Kalau Anda terbelenggu
oleh Lima Rintangan tersebut dan Anda tidak tahu bagaimana caranya
melepaskan diri darinya, maka Anda akan tidak dapat mengerti, mana
yang benar dan mana yang salah, atau mana yang baik dan mana yang
buruk.

146 | P a g e
Selanjutnya, Anda juga dapat bermeditasi atas Tujuh Faktor Penerangan
Agung (Satta Bojjhanga) yang terdiri atas :

1. Sati (perhatian murni)


Anda harus selalu sadar dan waspada dalam semua perbuatan dan
aktifitas fisik dan mental.

2. Dhamma-Vicaya (penelitian dan penyelidikan berbagai ajaran Sang


Buddha)
Di sini termasuk semua studi mengenai agama, kesusilaan dan filsafat,
bacaan, pendidikan, diskusi, pembahasan dan keikutsertaan dalam
ceramah-ceramah tentang Dhamma.

3. Viriya (semangat, kemauan keras)


Anda harus bekerja dengan keyakinan yang membaja.

4. Piti (kegiruan)
Anda harus memiliki sifat yang bertentangan sekali dengan batin yang
pessimistis, murung dan sedih.

5. Passadhi (tenang dan relaks)


Fisik dan mentalnya harus tenang dan relaks (tidak tegang)

6. Samadhi (kosentrasi)
Seperti diuraikan di bagian depan

147 | P a g e
7. Upekkha (Keseimbangan batin)
Ini kemampuan untuk menghadapi hidup yang penuh dengan
goncangan-goncangan, dengan batin yang sabar, tenang dan seimbang.

Untuk mengembangkan sifat-sifat di atas, satu keinginan, kemauan atau


kecendungan yang kuat merupakan hal yang penting sekali. Banyak lagi
keadaan materiil dan spiritual yang dapat digunakan untuk
mengembangkan sifat-sifat tertentu dapat kita jumpai dalam kitab-kitab.

Anda pun dapat bermeditasi mengenai hal-hal seperti Lima Kelompok


Kegemaran dan bertanya kepada diri sendiri : “Apakah sebetulnya
makhluk itu” atau “Apakah itu yang lazim disebut sebagai Aku” atau
juga mengenai Empat Kesunyataan Mulia seperti diuraikan di bagian
depan. Mempelajari dan menyelidiki pokok persoalan tersebut di atas
merupakan latihan tentang cara keempat dari meditasi Buddhis yang
dapat membawa kita ke arah penyelaman Kesunyataan Mutlak.

Selain dari yang telah dibahas di atas, masih ada banyak lagi subyek-
subyek meditasi (menurut kitab-kitab ada empat puluh), yang di
antaranya secara khusus akan disebutkan di sini Empat Kediaman
Brahma (Brahma Vihara), yaitu :

1. Metta
Memancarkan cinta kasih yang tidak terbatas dan universal, dan

148 | P a g e
kemauan baik terhadap semua makhluk, tanpa membuat perbedaan apa
pun juga, seperti “seorang ibu mencintai anaknya yang tunggal”.

2. Karuna
Belas kasihan terhadap semua makhluk yang sedang menderita,
mendapat kesukaran dan kemalangan.

3. Mudita
Kegembiraan yang simpatik terhadap sukses, kejayaan dan kebahagiaan
orang lain.

4. Upekkha
Keseimbangan batin dalam menghadapi semua goncangan-goncangan
hidup.

BAB IX
KAMMA
(Perbuatan)
Kamma adalah kata bahasa Pali yang berarti “perbuatan” (Skt. Karma)
yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun buruk, lahir atau batin, dengan pikiran,
kata-kata atau tindakan. Makna yang lebih luas dari Kamma ialah semua

149 | P a g e
kehendak atau itikad dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak
atau itikad itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermoral).

Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda (Anguttara Nikaya, III:
415) : O bhikkhu, kehendak untuk berbuat (Cetana) itulah yang Aku
namakan kamma. Sesudah berkehendak orang lantas berbuat dengan
badan jasmani, perkataan atau pikiran.”
Kamma bukanlah satu ajaran yang membuat manusia lekas putus asa,
juga bukan ajaran tentang adanya nasib yang sudah ditakdirkan.
Memang segala sesuatu yang telah lampau mempengaruhi keadaan
sekarang atau pada saat ini, akan tetapi tidak menentukan seluruhnya
karena Kamma meliputi apa yang telah lampau dan keadaan pada saat
ini, dan yang telah lampau bersama-sama dengan apa yang terjadi pada
saat sekarang mempengaruhi pula hal-hal yang akan datang.

Apa yang telah lampau sebenarnya merupakan dasar tempat hidup


sekarang berlangsung dari satu saat ke saat lain, dan apa yang akan
datang masih akan dijalankan. Oleh karena itu, saat sekarang, saat yang
nyata dan berada dalam tangan kita sendiri ini harus dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya.

Semua perbuatan pada umumnya menimbulkan akibat dan akibat ini


merupakan pula sebab lain yang menghasilkan akibat yang lain, dan

150 | P a g e
begitu seterusnya sehingga Kamma sering juga disebut sebagai “hukum
sebab dan akibat”.

Misalnya melempar sebuah batu merupakan satu perbuatan. Batu


mengenai jendela kaca dan kaca menjadi pecah. Pecahnya kaca itu
adalah akibat dari pelemparan batu. Tetapi, peristiwa ini tidak selesai
sampai di sini saja. Kaca yang pecah merupakan pula satu sebab dari
kesukaran-kesukaran lain. Misalnya, sejumlah uang si pelempar batu
tadi harus berpindah tangan untuk mengganti kaca yang pecah itu. Orang
itu mungkin terpaksa menggunakan uang yang sebenarnya dicadangkan
untuk keperluan lain, sehingga hal itu menimbulkan satu kekecewaan.
Kekecewaan ini mungkin akan menjadi sebab dari satu perbuatan yang
tidak begitu baik dari orang tersebut, dan begitu seterusnya. Dengan
demikian, akibat dari Kamma itu tidak akan lekas-lekas berakhir.

Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati sekali dengan perbuatan kita,
supaya akibatnya senantiasa akan bersifat baik. Kita hendaknya selalu
berbuat baik, yang bermaksud menolong makhluk-makhluk lain,
membuat makhluk-makhluk lain bahagia, sehingga perbuatan ini akan
membawa satu Kamma-vipaka (akibat) yang baik dan memberi
kekuatan kepada kita untuk melakukan Kamma yang lebih baik pula.

Satu contoh lain yang klasik adalah sebagai berikut. Lemparlah batu ke
dalam sebuah kolam yang tenang. Pertama-tama akan terdengar suara

151 | P a g e
percikan air dan kemudian akan terlihat lingkaran-lingkaran gelombang.
Perhatikanlah, bagaimana lingkaran ini makin lama makin melebar
menjadi begitu lebar dan halus, sehingga tidak dapat dilihat lagi oleh
mata kita. Ini bukan berarti bahwa gerak itu telah selesai, sebab
bilamana gerak gelombang yang halus itu mencapai tepi kolam, ia akan
dipantulkan kembali sampai mencapai pula tempat bekas batu tadi jatuh.
Begitulah semua akibat perbuatan kita akan kembali kepada kita, seperti
halnya dengan gelombang di kolam, yang kembali ke tempat batu itu
jatuh. Selama kita berbuat dengan maksud buruk, maka gelombang
akibat yang buruk pula yang akan senantiasa mengganggu kita.
Sebaliknya, bilamana kita berbuat baik, maka gelombang akibat yang
baik pula yang akan menunggu kita. Sebagaimana orang yang menanam
biji mangga, pasti akan menghasilkan sebuah pohon mangga kelak,
begitu pula orang yang menanam bibit padi, pasti akan menghasilkan
padi pada waktu yang akan datang.

Sang Buddha pernah bersabda (Samyutta Nikaya I, hal. 227) sbb.:

“Sesuai dengan benih yang telah ditabur,


Begitulah buah yang akan dipetiknya;
Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan;
Pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula,
Taburlah biji-biji benih, dan
Engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya”.
152 | P a g e
Segala sesuatu yang datang pada kita, yang menimpa diri kita,
sesungguhnya benar adanya. Bilamana kita mengalami sesuatu yang
membahagiakan, yakinlah bahwa kamma yang telah kita perbuat adalah
benar. Sebaliknya bila sesuatu menimpa diri kita yang membuat kita
tidak senang, kamma-vipaka itu menunjukkan bahwa kita telah berbuat
suatu kesalahan. Janganlah sekali-kali dilupakan bahwa kamma-vipaka
itu senantiasa benar. Ia tidak mencintai maupun membenci, pun tidak
marah dan juga tidak memihak. Ia adalah semata-mata hukum sebab
akibat. Kamma tidak mengenal kita.

Dapatkah api misalnya mengerti atau mengenal kita, bilamana kita


terbakar olehnya?

Tidak. Membakar dan menyebabkan panas adalah sifat api. Digunakan


dengan baik, api memberi penerangan, membuat masak makanan atau
keperluan lain yang bermanfaat bagi kita, akan tetapi bila digunakan
secara keliru ia dapat membakar milik kita, bahkan diri kita sendiri.

Sifat api ialah membakar dan tergantung pada kitalah untuk


mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Sebenarnya, sangatlah
bodoh, bilamana kita memarahi api jika ia sampai merugikan kita.

Di dunia ini kita lihat berbagai macam tingkatan dan keadaan manusia.
Ada orang yang meninggal pada waktu masih kanak-kanak, yang lain

153 | P a g e
mencapai umur delapan puluh atau seratus tahun. Ada orang yang selalu
sakit-sakitan dan yang lain lagi kuat dan sehat. Ada orang yang berwajah
bagus dan cantik, dan yang lain berwajah buruk. Ada orang dilahirkan
dalam keadaan serba mewah dan yang lain lagi dalam keadaan yang
sangat kekurangan. Ada orang dilahirkan sebagai jutawan, yang lain lagi
sebagai pengemis. Ada pula orang dilahirkan dengan mempunyai bakat
dalam satu ilmu tertentu, yang lain lagi sebagai orang yang bodoh, dsb.

Apakah yang menyebabkan timbulnya berbagai macam keadaan itu?


Seorang Buddhis tidak dapat menerima bahwa keadaan yang beraneka
macam tersebut adalah hasil dari sesuatu yang kebetulan saja. Ilmu
pengetahuan sendiri tidak dapat menerima satu teori bahwa segala
sesuatu itu hanya kebetulan atau untung-untungan belaka. Para ahli ilmu
pengetahuan senantiasa bekerja berdasarkan hukum sebab dan akibat.
Begitu pula seorang Buddhis tidak dapat percaya bahwa perbedaan-
perbedaan tersebut disebabkan oleh perbuatan satu “kekuatan luar”.
Kalau sekiranya ada orang yang percaya hal demikian itu, terserahlah
kepada yang bersangkutan sendiri dan dalam hal ini tidak perlu kita
mencela atau menyalahkan orang itu. Dalam sutta-sutta Sang Buddha
sering menerangkan beraneka macam keadaan manusia di dunia ini dan
betapa tidak masuk akal kalau hal tersebut disebabkan oleh suatu
“kekuatan luar”, di luar manusia itu sendiri.

154 | P a g e
Menurut agama Buddha, kepincangan-kepincangan, keganjilan-
keganjilan yang terdapat di dunia ini sebagian memang mempunyai
sebab, keadaan perantara yang menimbulkan berbagai macam keadaan
itu; tetapi, sebagian besar ditimbulkan oleh rangkaian sebab yang tidak
hanya terjadi pada saat itu saja bahkan juga pada waktu-waktu yang
telah lampau. Memang, sebenarnya manusia itu bertanggung jawab atas
kebahagiaannya maupun kecelakaannya sendiri. Ia membuat sorga atau
nerakanya sendiri. Ia adalah majikan di hari kemudian, pewaris
kelakuannya yang telah lalu maupun kelakuannya pada saat ini.

Hukum Tertib Kosmis

Sekalipun Dhamma mengajarkan bahwa Kamma adalah sebab utama


dari adanya berbagai macam keadaan di dunia ini, ini bukanlah satu
fatalisme (menyerah kepada keadaan dan berputus asa), maupun satu
nasib tertentu yang sudah digariskan untuk seseorang atau makhluk.
Hukum Kamma hanya merupakan satu dari dua puluh empat sebab,
sebagaimana dapat ditemukan dalam falsafah Buddhis (Compendium of
Philosophy, hal. 191), atau salah satu dari lima Niyama (Hukum) yang
bekerja di alam semesta ini, dan yang masing-masing merupakan
hukum-hukum tersendiri.

Hukum-hukum dimaksud di atas ada sbb.:

155 | P a g e
1. Utu Nikaya
Hukum tertib “physical inorganic” misalnya: gejala timbulnya angin dan
hujan yang mencakup pula tertib silih bergantinya musim-musim dan
perubahan iklim yang disebabkan oleh angin, hujan, sifat-sifat panas,
dsb.

2. Bija Niyama
Hukum tertib tumbuh-tumbuhan daripada benih dan pertumbuhan
tanam-tanaman, misalnya: padi berasal dari tumbuhnya benih padi; gula
berasal dari batang tebu atau madu; keistimewaan daripada berbagai
jenis buah-buahan, dsb.

3. Kamma Niyama
Hukum tertib sebab dan akibat, misalnya: perbuatan yang bermaksud
bermanfaat (membahagiakan, baik) dan yang bermaksud merugikan
(buruk) terhadap pihak lain, menghasilkan pula akibat baik maupun
buruk. Sebagaimana sifat air yang selalu mengalir untuk mencapai
persamaan tingginya, begitu pula kamma bersifat untuk selalu
mendapatkan keseimbangannya, selalu menghasilkan buah-buah yang
sewaktu-waktu menyenangkan dan sewaktu-waktu tidak, bukan sebagai
hukuman atau hadiah terhadap si pembuat perbuatan, tetapi memang
sudah menjadi sifat wataknya atau rangkaian satu kejadian. Rangkaian
dari kejadian sebab dan akibat ini sama seperti tertib jalannya (yang
saling bergantungan) dari bulan dengan bintang-bintang.

156 | P a g e
4. Dhamma Niyama
Hukum tertib terjadinya persamaan dari satu gejala yang khas, misalnya:
terjadinya keajaiban alam pada waktu seorang Bodhisattva hendak
mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon Buddha, pada saat Ia akan
terlahir untuk menjadi Buddha.
Hukum gaya berat (gravitasi) dan hukum alam sejenis lainnya, sebab-
sebab dari pada keselarasan dan sebagainya, termasuk hukum ini.

5. Citta Niyama
Hukum tertib jalannya alam pikiran atau hukum alam batiniah, misalnya:
proses kesadaran, timbul dan tenggelamnya (lenyapnya) kesadaran,
sifat-sifat kesadaran, kekuatan pikiran (batin) dan sebagainya.
Telepati, kemampuan untuk mengingat hal-hal yang telah lampau,
kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi dalam jangka
pendek atau jauh, kemampuan membaca pikiran orang lain, dan semua
gejala batiniah yang kini masih belum terpecahkan oleh ilmu
pengetahuan modern termasuk hukum terakhir ini (Abhidhamma Vatara,
hal. 54)

Demikianlah kelima hukum tersebut meliputi semua gejala lahir maupun


batin di seluruh alam semesta ini. Mereka merupakan hukum yang
masing-masing memiliki sifat sendiri dan tidak di atur oleh siapa pun
juga.

157 | P a g e
Hukum Kamma

Sekarang marilah kita tinjau hukum Kamma yang dapat dibagi dalam
empat golongan besar, yaitu :

I. Menurut Jangka Waktu


Golongan Kamma ini dapat dibagi lagi dalam empat jenis:

a. yang “masak” dalam jangka waktu satu kehidupan (ditthadhamma-


vedaniya-kamma).

b. yang “masak” dalam jangka waktu kehidupan berikutnya (upajja-


vedaniya-kamma).

c. yang “masak” dalam beberapa kehidupan berturut-turut (aparapariya-


vedaniya-kamma).

d. yang tidak menimbulkan akibat sama sekali (ineffective kamma atau


Ahosi Kamma).

Ketiga jenis a, b, dan c ialah Kamma yang mengandung kemampuan


untuk berbuah, berakibat, seperti halnya satu benih yang mengandung
kemampuan untuk menimbulkan tunas. Akan tetapi, supaya tunas itu
dapat tumbuh, maka beberapa syarat diperlukan yang dapat membantu
pertumbuhan tersebut, misalnya: tanah, air, dsb. Begitu pula untuk

158 | P a g e
Kamma yang dapat menimbulkan satu akibat, beberapa syarat yang
membantu pertumbuhan tersebut juga diperlukan, misalnya: keadaan,
tempat yang cocok untuk pertumbuhan, dsb. Jika syarat maupun keadaan
untuk pertumbuhan Kamma (seperti halnya dalam jenis d) tidak dapat
dipenuhi, maka Kamma itu tidak dapat berbuah dan terjadilah apa yang
disebut “Ahosi Kamma”.

II. Menurut Sifat Bekerjanya


Golongan ini pun dapat dibagi dalam empat jenis :

a. Janaka Kamma
adalah hukum yang menyebabkan timbulnya syarat untuk terlahirnya
kembali suatu makhluk.

b. Upatthambaka Kamma
adalah hukum, kekuatan yang mendorong terpeliharanya satu akibat
daripada sebab (kamma) yang telah timbul.

c. Upapilaka Kamma
adalah satu hukum, kekuatan yang menekan, pula mengolah,
menyelaraskan satu akibat daripada satu sebab.

d. Upaghataka Kamma
adalah kamma yang meniadakan kekuatan dan akibat dari satu sebab

159 | P a g e
(kamma) yang telah terjadi dan sebaliknya menyuburkan
berkembangnya kamma baru.

III. Menurut Sifat Dari Akibatnya


Golongan ini kembali dapat dibagi dalam empat jenis:

a. Garuka Kamma
ialah kamma yang digolongkan dalam jenis yang bermutu dan “berat”.
Akibatnya dapat timbul dalam waktu satu kehidupan atau kehidupan
berikutnya. Tingkatan-tingkatan dalam Samadhi yang disebut Dhyana
termasuk jenis ini dan akibatnya pun sangat bermutu dan lebih cepat
timbulnya daripada tingkatan batin lainnya.
Sebaliknya, termasuk pula dalam jenis ini, lima perbuatan durhaka yang
akibatnya sangat berat, yaitu:

1. membunuh ibu

2. membunuh ayah

3. membunuh seorang Arahat

4. melukai seorang Buddha

5. menyebabkan perpecah dalam Sangha


anantarika kamma = kamma yang menyebabkan penitisan di alam
neraka.
160 | P a g e
b. Asañña Kamma
ialah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sebelum saat ajalnya
(kematiannya) dengan lahir dan batin. Dengan batin misalnya:
memikirkan, merasakan, mengingat-ingat semua perbuatan baik atau
buruk yang telah lampau, atau memikirkan kebaikan atau kejahatan
terhadap makhluk lain. Kamma inilah yang akan menentukan keadaan
kelahiran seseorang yang akan datang, jika tidak ada Kamma yang lebih
berat lagi yang merupakan syarat-syarat yang menentukan.

c. Acinna Kamma atau Bahula Kamma


Bila seseorang sebelum saat ajalnya tidak berbuat sesuatu, dan dengan
demikian tidak terdapat Asañña Kamma, maka yang menentukan
keadaan kelahiran yang berikutnya ialah Kamma kebiasaan atau Acinna
Kamma, ialah perbuatan-perbuatan yang merupakah kebiasaan bagi
seseorang karena seringnya dilakukan sehingga seolah-olah merupakan
watak baru.

d. Kattata Kamma
Sebagai syarat yang merupakan penentuan kelahiran bagi seseorang,
bilamana Acinna Kamma tidak terdapat padanya, maka Kattata Kamma
inilah yang menentukan, yaitu Kamma yang tidak begitu berat dirasakan
akibatnya dari perbuatan-perbuatan yang lampau.

161 | P a g e
IV. Menurut tempat dan keadaan di mana Kamma akan berbuah (berakibat)
Golongan ini pun dibagi dalam empat jenis:

A. Kamma Jahat (tidak bermoral)


yang berbuah di alam yang berisi penuh dengan penderitaan dan yang
sangat menyedihkan.
Perbuatan-perbuatan jahat ini berakar pada :

1. Lobha,
yaitu terlalu terikat keinginannya pada sesuatu, sehingga menimbulkan
keserakahan.

2. Dosa
yaitu ketidaksukaan atau penolakan yang sangat terhadap sesuatu,
sehingga menimbulkan kebencian.

3. Moha
kebodohan, kegelapan, pandangan sesat dari seseorang terhadap hidup
dan kehidupan.

Kamma jahat ini terdiri atas sepuluh jenis :

d. dilakukan dengan badan jasmani :

1. pembunuhan

162 | P a g e
2. pencurian

3. perzinahan

e. dilakukan dengan kata-kata :

1. berdusta

2. berbicara kasar dan menghina

3. berbicara tentang keburukan orang lain

4. berbicara mengenai hal-hal yang tidak perlu (omong kosong)

f. dilakukan dengan pikiran :

1. keserakahan

2. kemauan jahat

3. kekeliruan pandangan hidup.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk terlaksananya kamma


jahat tersebut di atas adalah sbb.:
2. Pembunuhan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

163 | P a g e
. adanya satu makhluk

a. kesadaran akan adanya makhluk

b. niat untuk membunuh

c. langkah-langkah perbuatan

d. kematian sebagai akibatnya.

Akibat buruk dari pembunuhan adalah sbb.:


e. pendek umur

f. penuh penyakit

g. senantiasa dalam kesedihan karena terpisah dari keadaan atau orang


yang dicintai

h. senantiasa hidup dalam ketakutan.

3. Pencurian
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

. milik orang lain

a. kesadaran, pengertian akan keadaan ini

164 | P a g e
b. niat untuk mencuri

c. langkah-langkah perbuatan

d. peralihan benda yang dicuri sebagai akibatnya.

Akibat buruk dari pencurian adalah sbb.:


e. miskin

f. dinista dap dihina

g. dirangsang oleh keinginan-keinginan yang senantiasa tak tercapai

h. hidup senantiasa dengan ketergantungan kepada orang lain.

4. Perzinaan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

. berniat untuk mengalami sensasi obyek/sasaran yang terlarang dan


bukan haknya.

a. berusaha

b. memiliki sasaran yang dimaksud

Akibat buruk dari perzinahan adalah sbb.:


c. mempunyai banyak musuh

165 | P a g e
d. beristri dan bersuami yang tidak disenangi

e. terlahir sebagai wanita atau pria dengan perasaan seks yang tidak normal

5. Berdusta
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

. kedustaan

a. niat untuk berdusta

b. usaha

c. penyampaiannya kepada orang lain

Akibat buruknya adalah sbb.:


d. menjadi sasaran dan penderitaan akibat pembicaraannya yang tidak baik

e. menjadi sasaran penghinaan

f. tidak dipercaya oleh khalayak ramai

6. Berbicara kasar dan menghina


Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

. sasaran atau orang untuk dihina/disakiti

166 | P a g e
a. pikiran yang penuh amarah

b. penggunaan kata-kata yang menyakiti

Akibat buruknya adalah sbb.:


c. sering didakwa yang bukan-bukan oleh orang lain, sekalipun belum
tentu bersalah

d. menerima suara-suara yang tidak enak didengar

7. Berbicara tentang keburukan orang lain


Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb:

. pembedaan terhadap orang

a. niat untuk memisahkan mereka

b. usaha

c. tindakan

Akibat buruknya adalah :


kehilangan sahabat-sahabat tanpa sebab yang berarti.
8. Berbicara mengenai hal-hal yang tidak perlu (omong kosong)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

. adanya niat untuk omong kosong


167 | P a g e
a. pelaksanaan niat tersebut

Akibat buruknya adalah sbb.:


b. menderita penyakit karena kerja yang tidak baik dari bagian-bagian
badan jasmani

c. tidak dipercaya oleh orang lain dalam pembicaraan.

9. Keserakahan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

. milik orang lain

a. keinginan kuat untuk memiliki dengan seolah-olah berkata dalam hati :


aku ingin sekali memiliki barang itu.

Akibat buruknya adalah : tidak tercapainya keinginan yang sangat


diharapkan
10. Kemauan jahat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

. sasaran berupa makhluk lain

a. niat untuk menyakiti atau merugikan

Akibatnya adalah sbb.:

168 | P a g e
b. rupa buruk

c. macam-macam penyakit

d. watak yang tercela

11. Kekeliruan pandangan hidup


Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sbb.:

0. pamandangan yang terputar balik tentang satu benda atau keadaan,


dengan akibat

1. salah pengertian tentang keadaan yang sebenarnya

Akibat buruknya adalah sbb.:


b. terlalu berkecenderungan

c. terikat kepada benda atau keadaan

d. kurang kebijaksanaan

e. kurang kecerdasan

f. mengidap penyakit menahun

g. memiliki pendapat-pendapat yang tercela

169 | P a g e
L. Kamma baik yang berakibat hanya sampai di kehidupan di alam dunia
ini yang penuh dengan keinginan.
Terdapat sepuluh jenis kamma baik, yaitu :

0. Dana – beramal dan bermurah hati

1. Sila – hidup bersusila

2. Bhavana – bermeditasi

3. Apacayana – berendah hati dan hormat

4. Veyyavacca – berbakti

5. Pattidana – berkecenderungan untuk membagi kebahagiaannya kepada


orang lain

6. Pattanumodana – bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain

7. Dhammasavana – mempelajari dan sering mendengarkan Dhamma

8. Dhammadesana – menyebar dan menerangkan Dhamma

9. Ditthijukamma – berpandangan hidup yang benar

Adapun akibat-akibatnya adalah sbb.:

170 | P a g e
10. Beramal dan bermurah hati berakibat dengan diperolehnya
kekayaan dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan yang akan datang

11. Hidup bersusila mengakibatkan terlahir dalam keluarga luhur yang


keadaannya bahagia

12. Bermeditasi berakibat penitisan dalam alam-alam sorga.

13. Berendah hati dan hormat menyebabkan kelahiran dalam keluarga


luhur.

14. Berbakti mengakibatkan seseorang memperoleh penghargaan dari


masyarakat .

15. Berkecenderungan untuk membagi kebahagiaannya kepada orang


lain menyebabkan pemberi itu terlahir dalam keadaan tidak
berkekurangan, bahkan berlebih-lebihan dalam berbagai hal.

16. Bersimpati terhadap kebahagiaan orang lain menyebabkan terlahir


dalam lingkungan yang menggembirakan.

17. Mempelajari dan sering mendengarkan Dhamma berbuah dengan


bertambahnya kebijaksanaan.

18. Menyebar dan menerangkan Dhamma berbuah dengan


bertambahnya kebijaksanaan.

171 | P a g e
19. Meluruskan pandangan orang lain berbuah dengan diperkuatnya
keyakinan

M. Kamma baik yang berakibat kehidupan di alam halus, di mana


masih terdapat bentuk-bentuk.
Kamma baik ini terdiri atas lima tingkat yang semata-mata bersifat
mental dan hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan meditasi, yaitu:

0. Dhyana (Jhana) pertama


Keadaan batin ini terdiri dari lima tahap, yaitu :

a. vitakka – usaha dalam tingkat permulaan untuk memegang obyek

b. vicara – pikiran yang berhasil memegang obyek dengan kuat

c. piti – kegiuran atau kenikmatan karena telah terbebas dari tekanan


perasaan

d. sukha – kebahagiaan yang tidak terhingga

e. ekaggata – pemusatan pikiran yang kuat

1. Dhyana kedua
yang bercorak :
a. vicara, b. piti, c. sukha, d. ekaggata

172 | P a g e
2. Dhyana ketiga
Yang bercorak :
a. piti, b. sukha, c. ekaggata

3. Dhyana keempat
yang bercorak
a. sukha, b. ekaggata

4. Dhyana kelima:
yang bercorak

. ekaggata, ditambah dengan

a. keseimbangan batin

N. Kamma baik yang berakibat kehidupan di alam halus, di mana tidak lagi
terdapat bentuk-bentuk
Kamma baik ini terdiri dari empat tingkat yang semata-mata bersifat
mental dan hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan meditasi tinggi
yaitu :

0. Akasanancayatana, batin berada dalam ruang yang tak terbatas

1. Viññancayatana, batin yang berada dalam alam kesadaran yang tak


terbatas

173 | P a g e
2. Akincannayatana, batin yang berada dalam keadaan kosong

3. Neva-sañña-nasaññayatana, batin yang berada dalam keadaan bukan-


pencerapan pun bukan bukan-pencerapan.

Dengan ini selesailah pembahasan kita mengenai empat bagian besar


dari Kamma.

Kebebasan Kehendak

Jika kita memperhatikan benar-benar hukum Kamma yang diuraikan di


atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Kamma itu bukanlah satu
penentuan nasib yang tidak dapat diubah sama sekali.

Begitu pula manusia tidaklah senantiasa mesti memetik buah


perbuatannya setimpal dengan apa yang diperbuatnya semula, dan tidak
semua kamma harus pasti berubah dalam ukuran yang sama dan tidak
berubah, seimbang dengan perbuatannya yang pertama, sekalipun
memang ada beberapa jenis perbuatan yang demikian itu.

Jikalau misalnya seseorang melepaskan peluru dari sebuah bedil, peluru


demikian memang tidak dapat ditarik kembali lagi atau amatlah sukar
untuk membelokkan arah perjalanannya. Akan tetapi, bilamana misalnya
bukan peluru besi yang dipakai, tetapi sebuah bola gading (dalam
permainan bola sodok) yang kita gerakkan di atas kain laken hijau
174 | P a g e
dengan sebuah “queu” (tangkai sodok) maka kita dapat menyusulkan
dengan bola lainnya ke arah bola yang pertama, sehingga bola lainnya
itu dapat mengubah arah gerakan bola pertama itu. Bahkan, gerakan bola
lain dari arah yang berlawanan kadang-kadang dapat menghentikan
gerakan bola pertama itu. Demikianlah pula bekerjanya hukum Kamma
dalam penghidupan seorang manusia pada umumnya. Sekarang kita
dapat lihat dengan jelas bahwa perbuatan seorang pada saat tertentu
dapat pula mempengaruhi, meringankan akibat daripada perbuatannya
yang telah lalu. Sebab, andaikata tidak demikian halnya, maka
mustahillah orang dapat terlepas sama sekali dari akibat Kamma untuk
selama-lamanya. Oleh karena itu, manusia masih memiliki kebebasan
kehendak, sekalipun sedikit banyak hal ini sangat dipengaruhi oleh berat
atau ringannya buah-buah Kamma yang harus diterima.

Memang, tiap saat manusia itu pada hakekatnya senantiasa diberi


kesempatan untuk mengatur dan memperbaiki hidupnya. Bahkan, orang
yang telah rusak moralnya pun, kalau ia dengan tekad yang teguh dan
kuat berusaha untuk memperbaiki dirinya sendiri, mungkin ia dapat
mengubah dirinya menjadi seorang suci. Tiap detik, tiap saat, manusia
mempunyai kesempatan untuk menjadi jahat atau menjadi baik.

Akan tetapi, karena segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk juga
manusia, terjadi karena adanya syarat-syarat atau sebab-sebab tertentu
dan tiada sesuatu pun dapat terjadi tanpa hal-hal di atas, maka kehendak
175 | P a g e
manusia pun pada umumnya tidak sama sekali bebas dari buah-buah
Kamma yang kuat yang sering seolah-olah menentukan kehendak
manusia.

Sesuai dengan falsafah Buddhis, segala sesuatu timbul, bergerak dan


lenyap sesuai dengan hukum-hukum yang bersangkutan dan karena
syarat-syarat dan sebab-sebab tertentu

Kalau tidak demikian halnya, alangkah kacaunya keadaan alam ini,


apalagi kalau segala, sesuatu itu bergerak atau terjadi berdasarkan
untung-untungan saja. Nasib atau keadaan berdasarkan untung-untungan
memanglah tidak mungkin, atau perhitungan-perhitungan, dan dalil-dalil
yang digunakan dalam ilmu pengetahuan sama sekali tidak akan berguna
lagi.

Sifat sesungguhnya dari Kamma adalah batiniah. Bilamana satu bentuk


pikiran timbul dalam batin manusia dan bentuk pikiran itu sering
diulang-ulang dalam pikiran, akan terdapat satu kecenderungan untuk
mengulangi lagi timbulnya bentuk pikiran itu; begitu pula bilamana satu
perbuatan sering diulang, akan terdapat satu kecenderungan yang kuat
untuk lagi-lagi melakukan perbuatan yang demikian itu.

Dengan demikian, tiap perbuatan, fisik maupun batin, mengakibatkan


hasil-hasil yang serupa dengan jenis perbuatan semula dan membentuk

176 | P a g e
sifat-sifat yang serupa dengan perbuatan itu. Jikalau orang berpikir baik,
berkata-kata baik, berbuat baik, maka besar kecenderungan manusia itu
akan menambah perbuatannya yang baik itu dan membuat ia menjadi
orang baik.

Sebaliknya, jika orang senantiasa berpikir jahat, berkata jahat dan


berbuat jahat, lahir maupun batin, ia akan memperkuat kecenderungan
jahat yang ada dalam dirinya dan membuat ia menjadi orang jahat.
Sekali saja orang yang demikian itu jatuh dalam lembah kejahatan, maka
dia akan menurun mencari jenis persamaan sifat dan mencari kawan
orang-orang jahat; mengalami segala akibat daripada ketegangan,
penderitaan golongan masyarakat itu.

Sebaliknya, sekali orang memupuk sifat-sifat baik dalam dirinya, sifat-


sifat itu akan bertambah kuat, senantiasa mencari jenis persaman sifat
dan berkumpul dengan orang-orang yang baik, mengalami segala
kebahagiaan, ketentraman dalam golongan masyarakat demikian itu.
Bahkan pada orang yang telah teguh dan sudah kuat sifat-sifat
kebaikannya, perbuatan yang misalnya berupa kekeliruan (kamma
kurang baik) tidak akan berakibat begitu mencelakakan seperti halnya
jika kesalahan tadi dilakukan oleh orang yang jahat dan lemah batinnya.

Sang Buddha pada suatu waktu pernah bersabda (Anguttara Nikaya I,


hal. 249) sbb.: “Begitulah, O bhikkhu, seorang yang tidak dapat

177 | P a g e
menguasai lahir dan batinnya, tidak menguasai keinginan-keinginannya,
akan sedikit sekali memiliki sifat kebaikan dan kebijaksanaan dan lemah
dalam tekadnya. Orang demikian akan menderita disebabkan oleh hal-
hal yang kecil (sepele).

Perbuatan sepele (kecil) yang tidak baik sudah cukup untuk


menyebabkan orang demikian jatuh dalam penderitaan yang hebat.
Begitulah, O bhikkhu, seorang yang dapat menguasai jasmani dan
batinnya, teguh mengendalikan keinginan-keinginannya, akan memiliki
kebaikan-kebaikan dan kebijaksanaan yang tidak terbatas.

Orang demikian tidak akan mudah terpengaruh oleh akibat-akibat


perbuatan sepele yang kurang baik. Kesalahan kecil, bahkan kekeliruan
besar pun yang dilakukan oleh orang ini, akan berakibat dalam satu
kehidupan dan akan sedikit sekali mengganggu kebahagiaannya.

Demikianlah, O bhikkhu, Aku memberi perumpamaan dengan orang


yang memasukkan segumpal garam ke dalam cawan yang berisi air.
Bagaimanakah pendapatmu, O bhikkhu. Akan terasa asinkah air yang
sedikit yang ada dalam cawan tadi, sehingga tak dapat diminum?”

“Memang demikianlah halnya, Bhante! Oleh karena air dalam cawan


hanya sedikit maka akan menjadi asin dan tak terminum!”

178 | P a g e
“Andaikata, O bhikkhu, orang melemparkan segumpal garam ke dalam
sungai Gangga; bagaimana pendapatmu, akan terasa asinkah air Sungai
Gangga itu sehingga tak terminum?”

“O tidak, Yang Maha Suci! Oleh karena air Sungai Gangga demikian
luas dan banyaknya, maka air sungai itu tak akan terasa asin karena
hanya segumpal garam.”

“Demikianlah pula, O bhikkhu! Perbuatan kecil yang keliru akan


mengakibatkan penderitaan hebat pada orang tertentu, sedangkan
perbuatan, kekeliruan kecil yang sama akan berakibat sedikit sekali pada
orang lain, akan dapat tertebus dalam satu kehidupan dan akan sedikit
sekali mengganggu kebahagiaannya. Kita tahu, O bhikkhu, bahwa ada
orang yang merasa tersiksa karena kehilangan satu rupiah, sepuluh
rupiah, seratus rupiah, seribu rupiah. Siapakah orang yang merasa
tersiksa itu? Bilamana orang dalam keadaan miskin (lahir dan batin),
kebutuhan-kebutuhannya tak terpenuhi, senantiasa dirundung oleh
keinginan-keinginannya, maka orang ini akan merasa tersiksa karena
kehilangan satu rupiah, sepuluh rupiah, seratus rupiah, seribu rupiah.”

“Siapakah, O bhikkhu, yang tidak merasa tersiksa karena kehilangan


satu rupiah, sepuluh rupiah, seratus rupiah, seribu rupiah? Bilamana
orang dalam keadaan kaya-raya (lahir maupun batin), cukup dan tak
diperbudak oleh kebutuhan-kebutuhannya, berkuasa, maka orang

179 | P a g e
demikian inilah, O bhikkhu, yang tidak akan merasa tersiksa karena
kehilangan satu rupiah, sepuluh rupiah, seratus rupiah, seribu rupiah.

Demikianlah, O bhikkhu, satu contoh bahwa perbuatan, kekeliruan kecil


yang dilakukan oleh satu orang dapat mengakibatkan penderitaan hebat
kepadanya; sedangkan perbuatan, kekeliruan kecil yang sama hanya
berakibat sedikit sekali, dapat ditebus dalam satu kehidupan dan sedikit
sekali mengganggu kebahagiaan orang yang lain.”

Pelajaran yang diperoleh dari hukum Kamma

Kalau kita hidup dalam penerangan hukum Kamma ini, maka kita dapat
memetik pelajaran yang indah dan bermanfaat, a.l.:

1. Kesabaran
Mengerti bahwa hukum ini adalah pelindung kita, bila kita hidup selaras
dengan hukum tersebut, bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menimpa,
merugikan atau mencelakakan kita, bila kita hidup selaras dengan
hukum itu; bahwa ia akan memberi berkah dan kebahagiaan pada waktu
yang tepat, maka kita dapat belajar sabar, tidak lekas marah dan kita
tahu bahwa tidak ada gunanya untuk berlaku kurang sabar, terburu nafsu
atau gelisah.
Di dalam penderitaan kita mengetahui bahwa kita sedang menebus
“hutang”. Di dalam kebahagiaan kita berterima kasih atas

180 | P a g e
kenikmatannya dan kita belajar, bila kita bijaksana, untuk senantiasa
menambah perbuatan-perbuatan baik. Kesabaran membawa ketenangan,
kebahagiaan, dan keamanan.

2. Keyakinan
Hukum Kamma adalah adil, bagus dan benar, tidak meragukan bagi
orang yang bijaksana dan mengerti. Ragu-ragu dan kegelisahan adalah
tanda bahwa terdapat kurang pengertian dan keyakinan akan kebenaran
hukum ini. Kita akan aman terlindung di bawah sayap-sayapnya dan
tidak ada sesuatu di alam semesta ini yang perlu kita takuti, kecuali
perbuatan kita sendiri yang tidak baik. Hukum Kamma membuat orang
berdiri di atas kakinya sendiri dan meneguhkan keyakinannya akan
kemampuan diri sendiri.
Keyakinan ini berakibat menguatkan, memperdalam ketenangan dan
kebahagiaan kita, membuat kita tentram dan berani ke mana pun juga
kita pergi, karena kita tahu bahwa hukum Kamma adalah pelindung kita.

3. Kepercayaan pada diri sendiri


Jikalau dalam waktu yang lampau kita telah membuat diri kita yang
sekarang ini, maka apa yang kita perbuat sekarang ini menentukan
keadaan kita pada waktu yang akan datang.
Pengertian tentang hal ini dan bahwa kebahagiaan dalam waktu yang
akan datang adalah tidak terbatas mempertebal kepercayaan pada diri
kita sendiri dan kita tidak lagi akan menggantungkan nasib kita pada

181 | P a g e
pertolongan dari luar, yang pada hakekatnya memang bukan pertolongan.
Kesucian maupun kekotoran sebenarnya terletak pada kemampuan kita
sendiri. Sang Buddha pernah bersabda: “Tiada seorang pun dapat
membersihkan diri orang lain.”

4. Pengendalian diri
Pengertian bahwa perbuatan jahat akan kembali menimpa kita sebagai
malapetaka menyebabkan kita akan sangat berhati-hati sekali dalam
perbuatan, ucapan dan pikiran kita, supaya kita tidak berbuat sesuatu
yang merugikan pihak lain. Keyakinan tentang hukum Kamma akan
membuat kita mampu mengendalikan diri kita sendiri, terutama dalam
niat untuk tidak berbuat jahat, demi kepentingan diri kita sendiri maupun
makhluk lain.

5. Kemampuan
Kalau kehidupan kita sehari-hari sudah diselaraskan dengan hukum
Kamma, maka kita akan memperoleh kemampuan untuk tidak hanya
dapat menentukan nasib kita sendiri di kemudian hari, tetapi juga untuk
menolong makhluk-makhluk lain dengan lebih bermanfaat.

Pelaksanaan kamma baik sekali berkembang akan menghilangkan


rintangan-rintangan dan kejahatan-kejahatan untuk kemudian
menghancurkan belenggu-belenggu yang menghalang-halangi kita untuk
dapat menyelami Kesunyataan Mutlak, Nibbana.

182 | P a g e
BAB X
AJARAN SANG BUDDHA DAN DUNIA DEWASA INI
Ada orang yang beranggapan bahwa agama Buddha demikian tinggi dan
sempurna, sehingga tidak mungkin dilaksanakan secara benar oleh orang
awam yang masih sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari. Oleh karena
itu mereka yang benar-benar ingin menjadi pengikut agama Buddha
yang baik harus menyingkir ke dalam vihara atau ke tempat lain yang
sepi.

Hal tersebut merupakan tafsiran salah yang menyedihkan yang timbul


karena orang kurang mengerti, akan ajaran Sang Buddha; mereka
dengan tergesa-gesa menarik kesimpulan yang salah mengenai apa yang
mereka dengar dan baca sepintas lalu saja tentang agama Buddha, yang
ditulis oleh orang yang mungkin sendirinya belum mengerti seluruh
persoalannya. Oleh karena itu, mereka hanya dapat memberi gambaran
dari satu segi saja dan segi yang lain, tidak disinggung, sehingga dengan
demikian gambaran yang hendak diberikan menjadi kabur.
Ajaran Sang Buddha sebenarnya tidak dimaksudkan bagi para bhikkhu
di vihara-vihara saja, melainkan diperuntukkan bagi semua orang, pria
dan wanita biasa yang sudah berkeluarga di rumah masing-masing.
Ajaran Sang Buddha yang dinamakan Delapan Jalan Utama merupakan
“way of life” seorang Buddhis dan berguna bagi semua orang tanpa ada
yang terkecuali.

183 | P a g e
Tidaklah mungkin kita menginginkan agar sebagian besar penduduk
dunia menjadi bhikkhu atau mengasingkan diri ke dalam goa atau ke
hutan-hutan. Biar bagaimanapun bagus dan cemerlangnya ajaran Sang
Buddha, kalau Ajaran tersebut tidak dapat dilaksanakan dalam
penghidupan sehari-hari dalam masyarakat ramai, maka tidaklah
berguna ajaran tersebut untuk dipelajari dan dianut. Tetapi, kalau Anda
benar-benar mengerti akan sari agama Buddha dengan baik, Anda pasti
akan dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai
orang biasa.

Mungkin saja ada penganut agama Buddha yang menganggap lebih


mudah untuk mempelajari dan mempraktekkan ajaran Sang Buddha bila
tinggal di tempat yang sunyi dan jauh dari dunia yang ramai. Mungkin
ada orang lain lagi yang berpendapat bahwa pengasingan diri dari dunia
yang ramai adalah perbuatan yang tidak berfaedah, bahkan menekan
seluruh pribadinya baik badaniah maupun batiniah, dan hal tersebut
tidak mungkin berguna bagi perkembangan kehidupan intelektual dan
spiritual yang tinggi.

Penglepasan sejati bukanlah berarti menyingkirkan diri secara fisik dari


dunia ramai. Ayasma Sariputta, siswa utama Sang Buddha pernah
berkata: “Ada orang yang menyingkir dari penghidupan ramai dan pergi
ke hutan untuk menjalankan penghidupan suci, tetapi pikirannya masih
penuh noda dan kekotoran batin; dan ada orang lain yang tinggal di desa
184 | P a g e
atau kota dan menjalankan disiplin hidup yang suci, sehingga pikirannya
terbebas dari noda dan kekotoran batin. Dari dua orang tersebut di atas,
sudah teranglah bahwa orang yang menjalankan disiplin hidup yang suci
di desa atau kota yang lebih unggul dibandingkan dengan orang yang
menyingkir dari penghidupan ramai dan tinggal di hutan.”

Pendapat umum bahwa untuk dapat menjalankan ajaran Sang Buddha


dengan baik orang harus menyingkir dari dunia ini merupakan tafsiran
salah yang menyedihkan. Pendapat yang salah tersebut merupakan
pembelaan yang tidak disadari dari orang yang tidak berhasil
mempratekkan ajaran Sang Buddha dalam penghidupannya sehari-hari
di desa atau kota tempat ia tinggal.

Dalam kitab-kitab Buddhis terdapat banyak sekali contoh bahwa pria


dan wanita yang hidup berkeluarga dengan sukses dapat melaksanakan
ajaran Sang Buddha dan memperoleh kedamaian Nibbana.

Pertapa Vacchagotta pada suatu hari secara langsung bertanya kepada


Sang Buddha, apakah di antara para upasaka/upasika yang masih hidup
berkeluarga ada yang telah berhasil melaksanakan ajaran Sang Buddha
dan mencapai keadaan batin yang luhur? Sang Buddha secara blak-
blakan menerangkan, bahwa bukan satu atau dua, bukan seratus atau dua
ratus atau lima ratus, tetapi lebih banyak lagi upasaka/upasika yang

185 | P a g e
hidup dalam lingkungan keluarga yang dapat melaksanakan ajaran-Nya
dengan hasil yang baik dan mencapai keadaan batin yang luhur.

Mungkin bagi orang-orang tertentu lebih menyenangkan apabila ia dapat


menyingkirkan diri ke tempat yang sunyi, jauh dari keributan dan
keramaian kota; tetapi lebih terpuji dan perkasa adalah mereka yang
melaksanakan ajaran Sang Buddha justru di tengah-tengah masyarakat
ramai, sehingga mereka memperoleh kesempatan untuk membantu
meringankan penderitaan orang lain, menolong mereka sesuai dengan
tenaga dan kemampuannya serta selalu siap untuk mengabdikan dirinya
guna kebahagiaan dan kesejahteraan orang banyak.

Tidak dapat disangkal bahwa dalam hal-hal tertentu berguna sekali


untuk mengasingkan diri pada saat-saat tertentu untuk memperbaiki
pikiran dan watak sebagai permulaan dari latihan moral, spiritual dan
intelektual. Namun, setelah mendapat kemajuan orang harus kembali ke
penghidupan di antara masyarakat ramai untuk memberi pertolongan
kepada mereka yang membutuhkan. Tetapi, kalau orang seumur
hidupnya mengasingkan diri dan hanya berpikir untuk kebahagiaan dan
keselamatan dirinya saja tanpa menghiraukan orang lain, maka pastilah
hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang berdasarkan
cinta kasih universal, berbelas kasihan kepada makhluk-makhluk yang
sedang menderita dan pengabdian diri untuk selalu berusaha
meringankan penderitaan orang lain.
186 | P a g e
Mungkin ada yang bertanya, kalau orang dapat menganut agama Buddha
sebagai seorang upasaka/upasika (umat biasa) dalam penghidupan
berkeluarga, untuk apa Sang Buddha mendirikan Sangha (Pasamuan
para bhikkhu).

Sangha ini mempunyai sifat khusus karena Sangha bukan saja memberi
kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan kemajuan dalam bidang
spiritual, tetapi juga kesempatan untuk mengabdikan diri memberi
penerangan dan menolong orang lain. Seorang umat biasa yang masih
berkeluarga tidaklah dapat diharapkan bahwa ia seumur hidup akan
membaktikan dirinya untuk kepentingan orang lain. Sedangkan seorang
bhikkhu yang tidak mempunyai tanggung jawab rumah tangga atau
ikatan-ikatan duniawi lain berada dalam kemungkinan yang baik untuk
dapat mengabdikan seluruh hidupnya “untuk kepentingan dan
kebahagiaan orang banyak”. Itulah sebabnya mengapa dalam sejarah,
vihara itu bukan saja merupakan pusat kegiatan keagamaan, tetapi juga
pusat dari ajaran dan kebudayaan Buddhis.

Dalam Sigalovada-sutta (Digha Nikaya 31) diceritakan bagaimana Sang


Buddha sendiri menaruh penghargaan besar terhadap penghidupan para
upasaka/upasika, keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Seorang anak muda bernama Sigala mempunyai kebiasaan untuk


memuja enam arah, yaitu. Timur, Selatan, Barat, Utara, Nadir (bawah)

187 | P a g e
dan Zenith (atas) sebagai bakti dan penghormatan kepada pesan ayahnya
yang diberikan pada saat hendak meninggal dunia. Sang Buddha
memberitahukan orang muda itu bahwa dalam ajaran-Nya tentang
Ariyassa vinaya (tata tertib para Ariya), enam penjuru itu mempunyai
arti sbb.:

Timur berarti : orang tua

Selatan „ : guru

Barat „ : istri dan anak-anak

sahabat, sanak keluarga dan para


Utara „ : tetangga

Nadir „ : pelayan, buruh, dan pegawai

Zenith „ : para brahmana dan pertapa lainnya

“Orang harus memuja enam penjuru itu”, berkata Sang Buddha sambil
memberikan tekanan khusus pada kata memuja (Namasseyya). Kalau
orang memuja, tentu memuja sesuatu yang keramat, sesuatu yang ada
harganya untuk dihormat dan dipuja. Enam kelompok orang-orang yang
disebut di atas, dalam agama Buddha diperlakukan sebagai keramat,
berharga untuk dihormat dan dipuja.

188 | P a g e
Tetapi, bagaimana orang harus memuja mereka? Sang Budddha
bersabda bahwa orang hanya dapat memuja mereka dengan jalan
melakukan kewajiban kita terhadap mereka. Kewajiban ini diterangkan
dalam pembicaraan Beliau dengan Sigala.

1. Orang tua adalah keramat untuk anak-anaknya

Sang Buddha bersabda: “Orang tua disebut Brahma (Brahmati


Matapitaro).” Istilah Brahma mempunyai arti yang luhur dan keramat
dalam alam pikiran orang India dan istilah ini menurut Sang Buddha
mencakup juga “orang tua”.

Dari itu dalam keluarga Buddhis pada waktu sekarang ini anak-anak tiap
hari memuja orang tua mereka, baik pagi hari maupun malam hari.
Menurut “tata tertib para Ariya” mereka harus melakukan kewajiban-
kewajiban tertentu terhadap orang tua mereka.

Mereka harus memelihara orang tua mereka yang sudah lanjut usia,
harus melakukan segala sesuatu untuk keperluan orang tua mereka;
harus mempertahankan kehormatan keluarga dan meneruskan tradisi-
tradisi keluarga; harus melindungi harta benda yang telah dihimpun
orang tua mereka dan harus melakukan persembahyangan sebagaimana
layaknya pada waktu orang tua mereka meninggal dunia.

189 | P a g e
Sebaliknya, orang tua mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak
mereka: mereka harus dapat menghindarkan anak-anak mereka dari
perbuatan-perbuatan yang tidak baik; harus menganjurkan mereka untuk
melakukan perbuatan-perbuatan baik dan berguna, harus memberi anak-
anak mereka pendidikan yang baik; harus menikahkan mereka dengan
anak-anak dari keluarga yang baik dan selanjutnya harus menyerahkan
harta benda mereka pada saat yang tepat.

2. Hubungan antara guru dengan murid

Murid harus menghormat dan mendengar kata-kata gurunya; harus


mengurus keperluannya kalau ada; harus belajar dengan tekun dan
sungguh-sungguh.

Sebaliknya, guru harus melatih dan mendidik muridnya secara seksama;


harus memberikan muridnya satu pegangan hidup dan berusaha untuk
mencarikan pekerjaan yang layak kalau pendidikan mereka sudah selesai.

3. Hubungan antara suami-istri

Cinta kasih antara suami istri dianggap sebagai sesuatu yang suci dan
keramat. Hal ini dinamakan Sadara-Brahmacariya (penghidupan
keluarga yang keramat).

190 | P a g e
Di sini pun tekanan diberikan kepada istilah “Brahma” dan
penghormatan tertinggi diberikan kepada hubungan tersebut di atas.
Suami istri harus setia, saling mencintai, saling berbakti dan mempunyai
kewajiban tertentu terhadap satu sama lain. Suami harus selalu
menghormati istrinya dan menjaga jangan sampai kekurangan apa-apa.
Ia harus mencintainya dan setia kepadanya, harus memberikan
kedudukan dan kesenangan kepada istrinya dan harus memberikan
pakaian dan perhiasan.

Fakta-fakta di atas yang memperlihatkan bahwa Sang Buddha tidak lupa


untuk menyebut hal-hal yang kecil seperti hadiah dari seorang suami
kepada istrinya merupakan bukti betapa halus dan simpatik perasaan
prikemanusiaan Sang Buddha terhadap perasaan orang biasa.

Sebaliknya istri harus mengawasi dan mengurus rumah tangga; harus


menjamu sahabat-sahabat, tamu-tamu, keluarga dan pegawai suami;
harus mencintai dan setia kepada suaminya; harus melindungi
pencaharian suami, serta harus pintar dan rajin dalam semua
pekerjaannya.

4. Hubungan antara sahabat, keluarga dan para tetangga

Mereka harus saling memberikan tempat menedu dan saling tolong


menolong. Mereka harus berbicara sopan dan menyenangkan; harus

191 | P a g e
bekerja untuk kejayaan bersama; harus bekerja satu sama lain dengan
syarat yang sama. Harus menjauhi perselisihan; harus tolong menolong
dalam keadaan darurat dan tidak melakukan sesuatu yang dapat
menimbulkan kesulitan bagi yang lain.

5. Hubungan antara majikan dan pegawai

Majikan mempunyai beberapa kewajiban terhadap pelayannya,


buruhnya atau pegawainya. Ia harus memberikan pekerjaan yang dapat
dan mampu dikerjakan oleh pegawainya, harus membayar gaji yang
sesuai, menjamin perawatan kesehatan; sewaktu-waktu harus
memberikan uang tambahan atau hadiah.

Sebaliknya, pelayan, buruh atau pegawai harus bekerja rajin dan tidak
bermalas-malasan, jujur dan dengar kata serta tidak mendustai
majikannya; ia harus tekun dalam pekerjaannya.

6. Hubungan antara para brahmana/pertapa dan umatnya

Umat dari satu agama harus mengurus semua keperluan para brahmana
dan pertapa dengan cinta kasih dan penuh rasa hormat. Para brahmana
dan pertapa harus dengan penuh cinta kasih memberikan pengetahuan
dan ajaran kepada umatnya dan membimbing mereka melalui jalan yang
benar dan menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang tidak baik.

192 | P a g e
Dari uraian di atas dapat kita lihat dengan jelas bahwa penghidupan
seorang upasaka/upasika dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya
termasuk dalam “tata tertib para Ariya” dan berada dalam rangka “way
of life” seorang umat Buddha. Dalam Samyutta Nikaya, salah satu kitab
agama Buddha yang tertua, diceritakan bahwa Sakka, raja para dewa,
bukan saja memuja para bhikkhu yang telah melaksanakan penghidupan
bersih dan suci, tetapi juga para upasaka/upasika yang telah melakukan
pekerjaan yang terpuji, yang menuntut penghidupan bersih dan yang
memelihara keluarganya dengan semestinya.

Kalau orang ingin menjadi umat Buddha, tidaklah diperlukan satu


upacara pentahbisan (untuk menjadi bhikkhu, anggota dari Sangha,
orang harus menjalankan satu proses latihan disiplin dan pendidikan).

Sebenarnya, kalau orang mengerti ajaran Sang Buddha dan kalau orang
itu merasa yakin bahwa ajaran-Nya merupakan Jalan yang benar, dan ia
ingin menjalankan dalam penghidupannya sendiri, maka ia dengan
sendirinya sudah menjadi umat Buddha.

Tetapi, menurut tradisi kuno, orang dianggap menjadi umat Buddha,


kalau ia mencari perlindungan dalam Sang Tri Ratna (Tiga Mestika:
Buddha, Dhamma, Sangha) dan menjadi upasaka/upasika jika berjanji
untuk menjalankan Panca-Sila dalam penghidupannya sehari-hari di
hadapan seorang anggota Sangha.

193 | P a g e
Panca Sila yang merupakan syarat minimum untuk diterima sebagai
upasaka/ upasika, merupakan janji kepada diri sendiri:

1. untuk tidak membunuh

2. untuk tidak mencuri

3. untuk tidak berzinah

4. untuk tidak berdusta

5. untuk tidak memakai atau minum barang-barang yang dapat


memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan.

Janji kepada diri sendiri di hadapan seorang anggota Sangha harus


diucapkan dalam bahasa Pali. Dalam upacara persembahyangan Buddhis,
paritta ini biasanya diucapkan bersama-sama mengikuti pimpinan
seorang anggota Sangha. Umat Buddha tidak diharuskan untuk
melakukan ritus-ritus atau upacara yang biasa dilakukan. Buddha
Dhamma adalah suatu “way of life.” dan yang penting ialah
menjalankan dalam penghidupan sehari-hari Delapan Jalan Utama
secara benar.

Di dalam vihara dilakukan upacara keagamaan yang kadang-kadang


bersifat sederhana dan kadang-kadang bersifat mewah. Juga di cetiya

194 | P a g e
(sanggar/shrine), stupa atau pagoda, bahkan di bawah pohon Bodhi umat
Buddha melakukan upacara-upacara keagamaan dengan
mempersembahkan bunga, lilin dan dupa. Pemujaan tradisional ini,
meskipun tidak begitu penting mempunyai kegunaan juga yaitu untuk
memberi kepuasan kepada emosi-emosi keagamaan tertentu dan
kebutuhan dari mereka yang belum begitu maju dalam penghayatan
ajaran Sang Buddha. Sebagaimana kita tahu, Sang Buddha selalu
memperingatkan para siswa Beliau bahwa ajaran-Nya bukan hanya
harus dimengerti secara intelektual saja, namun yang lebih penting
bahwa ajaran tersebut harus dipraktekkan dalam penghidupan sehari-hari.
Dengan perkataan lain, ajaran Sang Buddha harus dijadikan “way of life”
dari setiap umat Buddha.

Ada orang yang salah mengerti bahwa ajaran Sang Buddha hanya
menaruh perhatian kepada cita-cita yang luhur, moral tinggi dan pikiran
yang mengandung filsafat tinggi, dengan mengabaikan sama sekali
kesejahteraan sosial ekonomis dari umat manusia. Padahal Sang Buddha
menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan umat manusia. Beliau
berpendapat bahwa kebahagiaan tidak mungkin diperoleh tanpa
menjalankan penghidupan yang bersih berdasarkan prinsip-prinsip moral
dan spiritual; namun, Beliau tahu bahwa menuntut penghidupan yang
demikian itu sukar sekali dalam keadaan materiil dan sosial yang tidak
baik.

195 | P a g e
Agama Buddha tidak memandang kesejahteraan materiil sebagai tujuan
terakhir; kesejahteraan materiil hanya merupakan alat untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi dan luhur, yaitu memperoleh kebahagiaan
Nibbana. Oleh karena itu agama Buddha mengakui perlunya suatu
kesejahteraan materiil yang minimum untuk mencapai sukses yang
diharapkan. Hal ini pun berlaku bagi para bhikkhu yang ingin
melakukan meditasi di tempat-tempat yang jauh dan sunyi.

Sang Buddha sama sekali tidak bermaksud menarik orang keluar dari
penghidupan yang mempunyai latar belakang keadaan-keadaan sosial
dan ekanomi. Beliau melihatnya sebagai satu keseluruhan dari semua
seginya yang bersifat sosial, ekonomis dan politis. Ajaran-Nya mengenai
hal-hal yang sosial, ekonomis dan politis tidak banyak diketahui di
Indonesia. Tetapi, banyak sekali sutta yang tersebar dalam buku Tipitaka
yang menulis mengenai hal ini.

Cakkavattisihanada-sutta dari Digha Nikaya (No. 26) secara terang-


terangan menyatakan bahwa kemiskinan yang sangat (daliddiya) adalah
sebab utama dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral dan
kejahatan seperti pencurian, penipuan, pemerasan, kebencian,
kekejaman, dll. Raja-raja di zaman dulu dan juga Pemerintah zaman
sekarang mencoba menindas kejahatan itu dengan menggunakan
hukuman berat, namun sebagaimana juga dijelaskan dalam Kutadanta-

196 | P a g e
Sutta dari Digha Nikaya (No. 5) hukuman berat saja kurang tepat dan
akhirnya tidak akan menolong.

Untuk melenyapkan kejahatan agama Buddha menganjurkan agar


keadaan perekonomian rakyat diperbaiki, misalnya kepada pak tani
disuplai bibit dan alat-alat pertanian, perdagang-pedagang dan mereka
yang ada hubungannya dengan perdagangan diberikan modal kerja,
kaum buruh harus mendapatkan gaji yang layak dan cukup. Kalau rakyat
mendapat kesempatan bekerja dan mendapat penghasilan yang cukup,
mereka akan merasa puas dan tidak lagi dirundung oleh kegelisahan
hidup. Akibatnya ialah negara menjadi aman dan terbebas dari
kejahatan-kejahatan.

Oleh karena itu, Sang Buddha sering menekan pentingnya perbaikan


perekonomian mereka. Harap Anda jangan salah mengerti bahwa Sang
Buddha menyetujui pengumpulan kekayaan dengan keserakahan atau
terikat erat-erat dengan kekayaan tersebut yang bertentangan sekali
dengan dasar ajaran-Nya. Ini juga bukan berarti bahwa Beliau
menyetujui setiap cara untuk mencari uang. Misalnya, beberapa usaha
seperti membuat dan juga memperdagangkan senjata untuk perang
dengan dinyatakan sebagai mata pencaharian yang tidak baik.

Seorang bernama Dighajanu suatu waktu mengunjungi Sang Buddha


dan berkata: “Bhante Yang Mulia, hamba adalah upasaka biasa yang

197 | P a g e
mempunyai keluarga, istri dan anak. Hamba harap Bhante berkenan
memberikan kami satu ajaran yang berguna untuk mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di alam baka.”

Sang Buddha bersabda bahwa ada empat hal yang berguna untuk
mendapatkan kebahagiaan di dunia ini :

1. Utthana-sampada
Ia harus ahli, efisien, tekun dan giat dalam setiap pekerjaan dan mengerti
pekerjaan yang dilakukannya dengan baik.

2. Arakkha-sampada
Ia harus pandai melindungi penghasilannya yang diperoleh dengan
pekerjaan yang halal dan dengan mengucurkan banyak keringat.

3. Kalyana-mitta
Ia harus mencari pergaulan yang baik, yang setia kepadanya, terpelajar,
baik-budi, tidak kikir dan cerdas, yang akan dapat membantunya melalui
jalan yang benar, jauh dari kejahatan.

4. Samajivikata
Ia harus dapat hidup di dalam batas-batas kemampuannya.

Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan empat hal yang baik dan
berguna untuk mendapatkan kebahagiaan di alam baka:

198 | P a g e
1. Saddha
Ia harus mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap
nilai-nilai moral, spiritual dan intelektual.

2. Sila
Ia harus menjauhkan diri dari pembunuhan, dari pencurian dan penipuan,
dari perzinahan, dari ucapan-ucapan yang tidak baik dan dari minuman
keras.

3. Caga
Ia harus suka menolong orang lain, baik hati dan tidak kikir.

4. Pañña
Ia harus melatih diri dan mengembangkan kebijaksanaan yang akan
membawanya ke arah pemusnaan dukkha, yaitu Nibbana.

Pada suatu waktu Sang Buddha juga membahas hingga yang sekecil-
kecilnya, tentang bagaimana orang harus menyimpan dan mengeluarkan
uang. Misalnya pernah Beliau memberitahukan kepada Sigala bahwa ia
harus mengeluarkan seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-
hari, setengah bagian dimasukkan ke dalam perusahaannya dan
seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang tidak terduga.

Pada suatu hari Sang Buddha bersabda kepada Anathapindika, seorang


bankir kaya-raya dan siswa yang sangat bakti dan yang telah mendirikan
199 | P a g e
vihara Jetavana yang megah di Savatthi, bahwa seorang upasaka biasa
yang menempuh kehidupan berkeluarga, mempunyai empat macam
kebahagiaan:

1. Atthi-sukha
Ia bahagia karena terjamin keadaan ekonominya atau harta benda yang
cukup yang didapat dari usaha/pekerjaan yang halal.

2. Bhoga-sukha
Ia dapat menggunakan kekayaannya dengan tidak usah terlalu kikir
untuk keperluan diri sendiri, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan untuk
keperluan sosial

3. Anana-sukha
Ia terbebas dari hutang

4. Anavajja-sukha
Ia dapat hidup secara bersih dah tidak tenoda, tanpa melakukan sesuatu
yang tidak benar, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

Harap diperhatikan bahwa tiga di antaranya bersifat ekonomis dan


akhirnya Sang Buddha memperingati bankir tersebut bahwa kebahagiaan
ekonomi dan materiil tidaklah merupakan 1/16 bagian dari kebahagiaan
spiritual yang didapat dengan hidup secara bersih dan tidak ternoda.

200 | P a g e
Dari beberapa contoh yang diberikan di atas orang dapat melihat bahwa
Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi perlu untuk
mendapatkan kebahagiaan, tetapi Beliau tidak menganggap kematian ini
sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebendaan
dengan mengabaikan dasar-dasar spiritual dan moral.

Biarpun menganjurkan kemajuan materiil, agama Buddha selalu


menekankan pentingnya perkembangan watak, moral dan spiritual untuk
menghasilkan satu masyarakat yang bahagia, aman dan sejahtera.

Sang Buddha juga mempunyai pengertian yang mendalam tentang


politik, perang dan damai. Sudah terlalu terkenal bahwa Sang Buddha
selalu membela dan mengkhotbahkan cara-cara tanpa-kekerasan dan
perdamaian sebagai ajaran universal dan tidak dapat dibenarkan dengan
dalil apa pun juga penggunaaan kekerasan dan penghancuran
penghidupan. Menurut agama Buddha, tidaklah ada apa yang dinamakan
peperangan yang adil, yang sebenarnya hanya merupakan istilah palsu
dan disebarluaskan untuk membenarkan dilancarkannya kebencian,
kekejaman, kekerasan dan penyembelihan.
Siapakah yang menentukan apakah suatu peperangan itu adil atau tidak
adil? Yang kuat dan yang menang ialah yang benar dan yang adil dan
yang lemah dan yang kalah adalah yang tidak benar dan tidak adil.
Peperangan dilihat dari pihak sini selalu benar dan peperangan dilihat

201 | P a g e
dari pihak sana selalu tidak benar. Agama Buddha dengan tegas menolak
penafsiran ini.

Sang Buddha bukan saja mengajar tentang tanpa-kekerasan dan


perdamaian, tetapi pada suatu ketika Beliau sendiri pergi ke medan
perang dan menjadi orang penengah untuk menghindari peperangan
seperti halnya dengan perselisihan antara kaum Sakya dan kaum Koliya,
yang sudah bersiap-siap dan saling berhadapan untuk melakukan
peperangan perihal air sungai Rohini.

Pada kesempatan lain, nasehat Sang Buddha telah dapat membatalkan


niat dari Raja Ajatassatu untuk menyerbu wilayah kerajaan Vajji.

Pada zaman Sang Buddha seperti juga jaman sekarang ini, banyak
penguasa yang memerintah negaranya secara tidak adil. Rakyat ditekan
dan dihisap, disakiti dan diburu-buru, pajak dipertinggi, korupsi
merajalela dan hukuman-hukuman di luar batas prikemanusiaan
dilaksanakan. Sang Buddha ingin berbuat sesuatu terhadap keadaan yang
tidak berperikemanusiaan itu.

Dalam Dhammapadatthakatha ditulis bahwa Beliau mencurahkan


perhatiannya kepada persoalan pemerintahan yang baik. Pandangannya
harus dilihat dari keadaan sosial, ekonomi dan politik pada zaman itu.
Beliau dapat membuktikan, bagaimana rakyat dari suatu negara akan

202 | P a g e
tidak bahagia, korup, rusak akhlaknya, kalau saja, menteri dan pejabat
pemerintah lainnya korup dan tidak jujur.

Rakyat dari suatu negara baru mendapatkan kebahagiaan, apabila raja


dan pejabat pemerintah lainnya jujur. Cara untuk mendapatkan satu
pemerintah yang jujur dan bersih diterangkan dalam ajarannya tentang
“Sepuluh kewajiban seorang raja” (dasa-raja-dhamma) seperti dapat kita
baca dalam kitab Jataka. Tentu saja istilah raja sekarang harus diganti
dengan istilah pimpinan pemerintah secara umum.

Sepuluh kewajiban dari seorang raja adalah sbb.:

1. Dana (suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah).


Seorang raja tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi
pada waktu diperlukan ia harus berani/bersedia mengorbankannya demi
kepentingan rakyat.

2. Sila (moralitas yang tinggi)


Ia seharusnya jangan membinasakan makhluk hidup, menipu, mencuri,
korupsi, melakukan perbuatan asusila, berbicara tidak benar dan minum
minuman keras.

3. Pariccaga (mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat)


Ia harus bersedia mengorbankan semua kesenangan pribadi, nama dan
keagungan, sampaipun nyawa demi kepentingan rakyat.
203 | P a g e
4. Ajjava (jujur dan bersih)
Ia harus jujur, bebas dari rasa takut dan tidak boleh mempunyai
kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih tujuannya dan
jangan sekali-sekali menipu rakyat.

5. Maddava (ramah tamah dan sopan santun)


Ia harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah
terhadap siapapun.

6. Tapa (sederhana dalam penghidupan)


Ia harus membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri
dari penghidupan yang berlebih-lebihan.

7. Akkodha (bebas dari kebencian, keinginan jahat dan sikap bermusuhan)


Ia seharusnya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapa pun juga.

8. Avihimsa (tanpa kekerasan)


Ini bukan saja berarti bahwa ia tidak boleh menyakiti orang lain, tetapi ia
harus pula memelihara perdamaian dengan mengelakkan peperangan
dan semua hal yang mengandung unsur kekerasan dan penghancuran
hidup.

9. Khanti (sabar, rendah hati, dapat memaafkan kesalahan orang lain)


Ia harus dapat menghadapi halangan, kesulitan-kesulitan dan ejekan-

204 | P a g e
ejekan dengan hati yang sabar, penuh pengertian dan dapat memaafkan
perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya.

10. Avirodha (tidak menentang, tidak menghalang-halangi)


Ini berarti bahwa ia tidak boleh menentang kemauan rakyat, tidak boleh
menghalang-halangi usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Dengan perkataan lain, ia harus hidup bersatu dengan rakyat sesuai
dengan tuntutan hati nurani rakyat.

Kalau suatu negara mempunyai raja yang berwatak seperti yang disebut
di atas, maka tak usah diragukan lagi bahwa rakyatnya akan menjadi
bahagia. Hal di atas bukan merupakan khayalan belaka, sebab pada
zaman yang lampau memang terdapat seorang raja agung di India, Sri
Baginda Raja Asoka, yang telah mempraktekkan dasa-raja-dhamma
tersebut.

Dunia dewasa ini senantiasa hidup dalam ketakutan, perasaan curiga


mencurigai dan ketegangan. Ilmu pengetahuan menciptakan senjata-
senjata ampuh yang mempunyai kemampuan menghancurkan yang
maha dahsyat. Dengan menonjol-nonjolkan senjata maut tersebut,
negara besar saling menakut-nakuti dan menantang satu sama lain dan
dengan tidak malu-malu menggembar-gemborkan bahwa yang satu
dapat menimbulkan lebih banyak penghancuran dan malapetaka dari
yang lain.

205 | P a g e
Mereka berjalan sedemikian jauh, sehingga satu langkah lagi ke depan
bukan saja mereka dapat saling memusnahkan, melainkan seluruh dunia
akan menghadapi kehancuran total dari kehidupan. Manusia yang
sekarang berada dalam ketakutan oleh keadaan yang mereka sendiri
ciptakan dengan sekuat tenaga berusaha untuk mencari jalan keluar dan
pemecahan dari persoalan ini.

Tetapi, tidak terdapat jalan keluar atau pemecahan, kecuali atas dasar
yang Sang Buddha telah ajarkan tentang “non-violence” (tanpa-
kekerasan) dan perdamaian, cinta kasih dan belas kasihan, toleransi dan
pengertian, kebenaran dan kebijaksanaan, penghormatan dan sayang
terhadap segala sesuatu yang hidup; bebas dari perasaan mementingkan
diri sendiri, kebencian dan kekerasan.

Sang Buddha pernah bersabda : “Tidak pernah kebencian dapat


dihilangkan dengan membalas membenci; tetapi kebencian akan hilang
dengan cinta-kasih. Ini merupakan Kebenaran Abadi”. (Dhammapada 5
atau Majjhima Nikaya 128)

Orang dapat menaklukkan kemarahan dengan cinta kasih, kejahatan


dengan kebaikan, mementingkan diri sendiri dengan suka menolong
orang, dan kepalsuan dengan kebenaran.

206 | P a g e
Tidak mungkin akan ada perdamaian dan kebahagiaan, selama negara-
negara besar masih saja haus akan kemenangan dan ingin menguasai
negara lain, Sang Buddha pernah bersabda : “Yang menang akan
mendapat kebencian dan yang kalah akan jatuh dalam kemelaratan. Ia
yang menolak kemenangan dan kekalahan adalah bahagia dan penuh
perdamaian. Satu-satunya kemenangan yang dapat membawa
perdamaian adalah kemenangan atas nafsu-nafsu sendiri. Orang dapat
saja menaklukkan berjuta-juta orang dalam peperangan, namun orang
yang telah dapat menaklukkan nafsu-nafsunya sendiri adalah yang
paling mulia”.

Anda mungkin mengatakan bahwa hal-hal di atas ini bagus sekali, mulia
dan sempurna, tetapi sayangnya tidak dapat dipraktekkan. Sekarang saya
ingin bertanya, apakah baik untuk mendendam kepada orang lain?
Untuk saling membunuh? Untuk hidup dalam ketakutan dan perasaan
curiga-mencurigai dengan tidak ada habisnya seperti binatang liar di
hutan?

Apakah ini lebih menyenangkan?

Apakah kebencian dapat dihilangkan dengan membalas membenci pula?

Apakah pernah ada kejahatan ditaklukkan dengan kejahatan pula?

207 | P a g e
Tetapi, terdapat contoh, sedikitnya dalam hal perorangan, di mana
kebencian dapat dihilangkan dengan cinta kasih dan pengertian dan
kejahatan dimenangkan dengan kebaikan.

Anda mungkin akan berkata bahwa hal-hal ini dapat dijalankan dalam
hal perorangan tetapi tidak mungkin dalam hal nasional dan
internasional.

Anda seperti juga dihipnotis, dihadapkan kepada teka-teki psikologis;


mata anda seolah-olah ditutup dan terpengaruh oleh istilah-istilah
“nasional”, “internasional” dan “negara” yang digunakan hanya untuk
maksud-maksud politik dan propaganda.

Marilah sekarang kita kaji istilah-istilah tersebut.

Apakah sebenarnya “negara” itu?

Negara sebenarnya adalah sekelompok besar individu (orang). Satu


negara tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi individulah yang dapat
berbuat. Apa yang dipikir dan diperbuat oleh individu itu merupakan
juga pikiran dan perbuatan negara itu. Oleh karena itu, sesuatu yang
dapat berlaku bagi satu individu, berlaku juga bagi satu negara. Jika
kebencian dapat dihilangkan dengan cinta kasih dan pengertian oleh
seseorang, maka sudah pasti hal ini pun dapat dilaksanakan dalam

208 | P a g e
hubungan nasional dan internasional. Dalam hal perorangan, untuk dapat
menaklukkan kebencian dengan cinta kasih memerlukan keberanian
yang luar biasa, ketabahan, kepercayaan dan keyakinan yang kuat.
Apalagi mengenai hal-hal internasional. Kalau dengan perkataan “tidak
dapat dipraktekkan” Anda maksudkan “tidak mudah”, maka dalam hal
ini Anda benar. Tentu saja hal ini tidak mudah. Tetapi apakah hal ini
tidak dapat dicoba? Anda mungkin menjawab, bahwa berbahaya sekali
untuk mencobanya. Tetapi, rasanya hal ini tidak lebih berbahaya
daripada kemungkinan akan meletusnya satu perang nuklir.

Tetapi, baiknya di zaman ini kita terhibur sedikit bahwa setidak-tidaknya


terdapat seorang pemimpin besar, yang termashur dalam sejarah, yang
mempunyai keberanian, keyakinan dan pandangan jauh untuk
mempraktekkan ajaran “non-violence”, damai dan cinta kasih di dalam
pemerintahan kerajaannya yang besar dan agung mengenai hal-hal yang
menyangkut keadaan dalam dan luar negeri. Raja itu tidak lain daripada
Raja Asoka, Kaisar Buddhis yang terbesar dari India (tiga abad S.M.),
yang juga mendapat nama kehormatan “Kekasih para dewa”.

Pada mulanya ia mengikuti jejak ayahnya (Bidusara) dan kakeknya


(Chandragupta) dan ingin menyempurnakan penaklukan dari seluruh
daratan India. Ia menyerbu dan menaklukkan negara Kalinga dan
menggabungkan dengan negerinya. Ratusan ribu orang yang mati, luka,

209 | P a g e
cacat dan ditawan. Tetapi, sesudah ia memeluk agama Buddha,
berubahlah ia seluruhnya dan seakan-akan menjadi orang baru.

Dekritnya yang terkenal dipahat pada batu cadas dan dikenal


sebagai Rock Edict XIII, mengenai penaklukan negara Kalinga. Kaisar
Asoka secara terbuka menyatakan penyesalannya dan sedih hati kalau
teringat akan penyembelihan itu. Ia menerangkan kepada umum bahwa
ia tidak akan menggunakan pedangnya lagi untuk menaklukkan negara-
negara lain dan ia berharap agar semua makhluk yang hidup dapat
melakukan “non-violence”, hidup bersih dan ramah tamah. Ini tentu saja
dapat dianggap sebagai kemenangan yang terbesar dari “Yang dikasihi
oleh para dewa”, yaitu penaklukkan dengan cinta kasih.
Bukan saja ia menolak peperangan untuk dirinya sendiri, tetapi juga
menyatakan keinginannya agar juga “anak-anaknya dan cucu-cucunya”
tidak lagi berpikir tentang penaklukan negara-negara lain sebagai
sesuatu yang ada harganya untuk dilakukan. Mereka harus berpikir
tentang penaklukan dengan cinta kasih yang berguna untuk di dunia ini
dan juga untuk di alam sana.

Ini merupakan satu-satunya contoh dalam sejarah kemanusiaan dari


seorang Kaisar pada puncak kejayaannya, yang masih memiliki
kemampuan untuk menaklukkan daerah-daerah baru, tetapi menolak
peperangan dan sebaliknya menginginkan perdamaian dengan
mempraktekkan “non-violence”. Hal ini dapat dijadikan contoh bagus
210 | P a g e
bagi pemimpin-pemimpin dunia pada zaman sekarang. Ia, pemimpin
satu kerajaan agung dan besar, yang secara terbuka menolak peperangan
dan kekerasan, tetapi sebaliknya menjalankan ajaran tentang perdamaian
dan tanpa kekerasan. Juga tidak terdapat bukti dari sejarah bahwa
negara-negara tetangganya telah mengambil manfaat dari cinta-kasih
Raja Asoka dan menyerbu dengan kekuatan tentara mereka atau telah
terjadi pemberontakan atau kerusuhan dalam negeri semasa ia masih
hidup. Sebaliknya, negeri-negeri berada dalam keadaan aman dan damai
dan negara tetangganya ternyata telah menerima kepemimpinannya.

Juga, Raja Asoka terkenal sebagai raja yang telah mempraktekkan


toleransi beragama di negerinya. Dalam bagian lain dari pahatan di atas
batu cadas dapat dibaca tulisan sbb.:
” … janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela
agama orang lain tanpa sesuatu dasar yang kuat …
Sebaliknya, agama orang lain pun hendaknya dihormat atas dasar-dasar
tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita
sendiri untuk berkembang, di samping menguntungkan pula agama lain.
Dengan berbuat sebaliknya, maka kita akan merugikan agama kita
sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang
siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama orang lain
semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya sendiri
dengan berpikir: ‘Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri’,

211 | P a g e
malah amat merugikan agamanya sendiri.
Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian
bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia juga
mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain …”.

Membicarakan perdamaian dunia melalui imbangan kekuatan atau


dengan ancaman bom nuklir adalah sinting. Kekuatan senjata hanya
dapat menciptakan ketakutan dan bukan perdamaian. Tidaklah mungkin
terdapat perdamaian yang kekal abadi atas dasar ketakutan. Ketakutan
hanya dapat menimbulkan kebencian, keinginan jahat dan permusuhan
yang mungkin dapat ditekan untuk beberapa waktu lamanya, tetapi pada
suatu saat ia pasti akan meledak. Perdamaian yang kekal abadi hanya
dapat dicapai dalam alam metta, cinta kasih, bebas dari ketakutan, curiga
mencurigai dan ancaman bahaya.

Agama Buddha bertujuan menciptakan suatu masyarakat dunia yang


dengan tegas menolak adu kekuatan yang gila-gilaan, yang dapat
memusnahkan segala sesuatu di dunia ini; dunia di mana ketenangan dan
perdamaian dapat menggantikan kemenangan dan kekalahan; di mana
orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri lebih dihargai dari orang
yang menaklukkan berjuta-juta orang melalui peperangan secara militer
dan ekonomis; di mana kebencian dikalahkan oleh keramahtamahan dan
kejahatan oleh kebaikan; di mana permusuhan, iri hati, keinginan jahat
dan keserakahan tidak lagi mengotori batin manusia; di mana cinta kasih
212 | P a g e
dan belas kasihan merupakan satu-satunya pendorong untuk berbuat; di
mana semua makhluk yang hidup di dunia ini diperlakukan dengan adil,
penuh pengertian dan cinta kasih; di mana orang hidup dalam
perdamaian dan persesuaian di dunia yang keadaan materiil serba cukup;
dan semua usaha seharusnya ditujukan kepada satu tujuan yang tertinggi
dan mulia, yaitu penyelaman dari Kesunyataan Mutlak, Nibbana.

APPENDIKS
CANDI-CANDI TERKENAL DI JAWA TENGAH

I. Mendut
Dahulu bernama Veluvana (hutan bambu) dan menghadap ke Barat-Laut
(ke arah Buddha Gaya). Didirikan oleh Raja Indra Gananatha pada tahun
809, prasasti dikeluarkan tahun 810.

Kalau menaiki tangga sampai di serambi muka, maka terlihat dinding-


dinding sebelah belakang serambi yang dihias dengan relief-relief pohon
Kalpavreksa (pohon untuk memohon sesuatu) disertai dewi Hariti
(simbol kesuburan) di Utara dan dewi Kuwera (simbol kemakmuran) di
sebelah Selatan.
Di Mendut terdapat tiga patung besar. Di tengah-tengah adalah patung
Buddha Gotama dengan mudra Dharmacakra (memutar Roda Dharma).

213 | P a g e
Di sebelah kanannya adalah patung Bodhisatva Avalokitesvara dengan
mudra Vara (di daerah Tengger disebut Buddha Kesvara). Di sebelah
kirinya adalah patung Bodhisatya Vajrapani dengan mudra Simhakarna.

Ketiga patung tersebut dalam agama Buddha Mahayana, dikenal sebagai


Sang Ratnatraya atau Sang Tri Ratna.

Di sebelah luar candi terdapat patung dewi Tara (çakti dari Sang Buddha)
yang dipahat di dinding Utara; Bodhisatva Avalokitesvara di dinding
Timur; dan Bodhisatva Manjusri di dinding Selatan.

Di candi Mendut diadakan upacara kebaktian dan khotbah-khotbah


sebelum bermeditasi di Borobudur.

II. Pawon
Didirikan oleh Raja Samarottungga (putera Raja Indra) pada tahun 826;
prasastinya dikeluarkan pada tahun 824. Candi Pawon merupakan pintu
gerbang candi Borobudur, tempat umat membersihkan badan dan
pikirannya dari kekotoran-kekotoran (batin) sebelum menginjak tempat
yang dianggap suci itu.

Desa sekitar candi Pawon bernama Vajranalan. Vajra berarti senjata


ampuh dewa Indra dan Nala berarti api kerajaan, sehingga besar sekali
kemungkinan bahwa dahulu kala ada patung dewa Indra di Candi Pawon.

214 | P a g e
III. Borobudur
A. Keterangan Umum

Nama aslinya “Dasabhumi Sambhara Budara” yang berarti “Bukit


Sepuluh Tingkatan Kerohanian”, yang disingkat menjadi Sambhara
Budara, lalu Bharabudara dan dengan logat Jawa menjadi Borobudur.

Borobudur menghadap ke arah Timur dan didirikan di atas bukit pada


tahun 826, prasastinya dikeluarkan pada tahun 824.

Pembuatannya dipercayakan kepada seorang arsitek dari India bernama


Gunadharma. Dahulu kala Borobudur seluruhnya dicat putih dan berada
di tengah-tengah sebuah danau.

Borobudur berukuran 123 X 123 m.; tinggi aslinya 42 m. (ujungnya


telah patah ± 8 m.) dan terdiri atas empat bagian:

a. alas bawah

b. 5 (lima) lapis lingkaran persegi yang berlekuk sehingga berbentuk segi


20.

c. 3 (tiga) lapis lingkaran bundar

d. 1 (satu) stupa besar di tengah-tengah.

215 | P a g e
Kesemuanya ini melambangkan “Dasa Bhumi” atau 10 (sepuluh)
Kesempurnaan (Paramita) yang harus dimiliki oleh seorang Bodhisatva
untuk dapat menjadi Buddha.

Lapisan-lapisan yang berbentuk segi 20 diberi serambi, sehingga


merupakan lorong-lorong. Dinding serambi-serambi ini, baik di bagian
luar maupun di bagian dalam diberi relief-relief (gambar-gambar
pahatan) yang mengkisahkan cerita-cerita tertentu. Pada dinding dalam
dari lorong pertama terdapat relief-relief tentang riwayat Buddha
Gautama berdasarkan naskah “Lalita Vistara”.

Pada dinding luarnya terdapat cerita tentang kelahiran Pangeran


Siddharta sebagai Bodhisatva menurut kitab “Jatakumala”.

Pada lorong yang lain terdapat cerita tentang para Bodhisatva lain dari
kitab “Gandavyuha”; sedang di kaki candi yang tertutup terdapat
lukisan-lukisan yang berhubungan dengan hukum Karma dari kitab
“Karma Vibhanga”.

Dari lapisan pertama sampai keempat terdapat patung-patung Dhyani


Buddha (masing-masing 92 buah), yaitu:

1. menghadap ke Timur: Aksobya dengan mudra “Bhumisparsa”


(menunjuk bumi sebagai saksi).

216 | P a g e
2. menghadap ke Selatan: Ratnasambhava dengan mudra “Vara” atau
“Varada” (memberi anugerah).

3. menghadap ke Barat: Amitabha dengan mudra “Dhyana” (meditasi).

4. menghadap ke Utara: Amogasidhi dengan mudra “Abhaya” (jangan


takut).

Pada baris kelima menghadap keempat jurusan terdapat 64 buah patung


dari Dhyani Buddha Vairocana dengan mudra “Vitarka” (meyakinkan).

Pada lingkaran bundar yang terdiri dari 3 lapisan terdapat 72 buah


patung Vajrasatva dengan Dharmacakra-mudra dalam stupa-stupa yang
dindingnya berlubang. Lubang-lubang stupa pada lapisan kesatu dan
kedua (masing-masing 32 buah 24 buah) berbentuk “belah ketupat”
sebagai lambang “masih belum dalam keseimbangan sempurna”; pada
lapisan ketiga lubangnya berbentuk persegi sebagai lambang “mantap
dalam keseimbangan”.

Jumlah patung yang terdapat di Borobudur ialah 368 + 64 + 72 = 504


buah.

Dinding stupa besar ditengah-tengah tidak tembus dan di dalamnya


terdapat rongga yang sekarang kosong, yang mungkin sekali dahulu
tempat menyimpan relik Sang Buddha.

217 | P a g e
Ketiga candi di atas setelah selesai, dikeramatkan oleh Puteri dari Raja
Samarottungga, yaitu Rajaputri Pramodawardhani pada tahun 843
(prasasti tahun 840). Dari akhir abad ke-15 selama lebih dari 300 tahun
lamanya Borobudur ditelantarkan.

B. Usaha-usaha menyelamatkan candi Borobudur

Pada tahun 1815 atas perintah Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas
Stanford Raffles, opsir zeni Ir. H.C. Cornelius memimpin pembersihan
wajah candi yang masih disebut-sebut dalam “Babad Tanah Jawa”
seabad sebelumnya. Lebih dari 200 orang penduduk dipaksa kerja rodi
selama 45 hari menebang pohon, membabat dan membakar belukar serta
mengelupas tanah yang sudah menyelimuti candi yang kakinya sudah
terbenam 10 meter ke dalam tanah.

Lalu Borobudur pun terjaga dari tidurnya yang pulas kira-kira 3 abad
lamanya. Sayang Raffles tidak dapat meneruskan usahanya karena sudah
harus pergi dari Indonesia.

Pada tahun 1835 pekerjaan untuk menyelamatkan candi Borobudur baru


dapat dilanjutkan kembali. Seorang seniman Jerman, A. Shaefer, pada
tahun tersebut untuk pertama kalinya mengabadikan Borobudur di atas
celluloid. Ada 5.000 foto yang telah dibuatnya, yang kemudian

218 | P a g e
dilanjutkan dengan penggambaran relief-reliefnya di atas kertas oleh F.C.
Wilson dan Schonberg Mulder, dari tahun 1849 s/d tahun 1953.

Pada tahun 1873 monografi pertama tentang Borubudur diterbitkan oleh


Museum Purbakala Leiden, Negeri Belanda. Pada tahun itu pula seorang
ahli potret kenamaan, I. van Kinsbergen diberi tugas untuk
memperbaharui potret-potret Borobudur. Karena sangat telitinya kerja I.
van Kinsbergen (dia sendiri ikut membersihkan sudut-sudut candi), 200
relief yang selama ini terpendam dalam tanah ikut tersingkap.

Pada tahun 1885 kaki candi yang ditelan bumi itu “ditemukan” oleh J.W.
Ijzerman. Ternyata di belakang kaki candi yang nampak masih ada lagi
kaki candi lain yang dihiasi pahatan relief. Kaki yang tersembunyi ini
diabadikan oleh Cephas selama setahun (1890-1891), yang untuk itu
12.500 meter kubik batu dipindahkan dan kemudian dikembalikan lagi
ke tempatnya semula. Penemuan ini penting artinya, yang disebut
“Kamadhatu” (lingkaran hawa nafsu) yang sebelumnya tersembunyi dari
pandangan mata. Seratus enam puluh panel dalam lingkaran “Hawa
Nafsu” itu menggambarkan ajaran Karma (Hukum sebab dan akibat
setiap perbuatan baik dan buruk), sebagaimana tertera dalam kitab
“Karma-vibhanga”.

Pada tahun 1834 Residen Kedu melakukan pemugaran secara tambal-


sulam dan memerintahkan pembersihan lebih lanjut agar wajah candi

219 | P a g e
kelihatan lebih cantik. Batu-batu yang berserakan di sekeliling candi
disingkirkan ke kaki bukit, sedangkan stupa-stupanya dibenarkan
letaknya.

Pada tahun 1844 stupa induknya diperbaiki, namun ia pun melakukan


perbuatan yang merusak, yaitu :

1. di atas candi Borobudur diberi bangunan bambu sebagai tempat para


pembesar Belanda dan nyonya mereka minum teh dengan santai sambil
menikmati panorama senja tatkala sang surya berpamitan dengan seisi
bumi.

2. tatkala seorang Raja Siam (Thailand) datang pada pertengahan abad ke


19, Residen Kedu menghadiahkan kepada Beliau delapan gerobak batu-
batu candi Borobudur dan lima puluh relief, di samping lima patung
Sang Buddha sendiri, dua patung singa penjaga candi, satu pancuran
berwujud “Makara” (kepala gajah bertanduk kambing, bertelinga kerbau
dengan singa mini di dalam moncongnya), sejumlah kepala “kala”
(raksasa dan ‘dewa waktu’ dalam mitologi Jawa) dari pangkal tangga
dan gapura, serta sebuah patung raksasa dari bukit sebelah Barat-Laut
candi Borobudur.

Hampir saja pengrusakan elemen-elemen Borobudur itu makin menjadi-


jadi, ketika para ahli di negeri Belanda mengusulkan agar relief-

220 | P a g e
reliefnya dipindahkan saja ke Museum Leiden, mengingat kondisi candi
yang semakin rusak. Untunglah gagasan itu ditentang oleh kalangan ahli
sendiri, sehingga tidak jadi dilaksanakan.

Pada tahun 1900 setelah dokumentasi dan penelitian dianggap memadai,


oleh Pemerintah Belanda dibentuk panitia khusus untuk pemugaran
Borobudur yang diketuai oleh Dr. J.L.A. Brandes.

Seperti halnya operasi pertama pada zaman Raffles, kembali seorang


opzir zeni, Letnan Ir. Th. van Erp memainkan peranan utama sebagai
penyelamat candi Borobudur.

Ada tiga hal yang dibebankan kepada Ir. van Erp dalam usaha
menyelamatkan Borobudur:

1. menanggulangi bahaya runtuh dengan cara memperkokoh sudut-sudut


bangunannya, menegakkan kembali dinding-dinding yang miring pada
teras (tingkat) pertama, serta memperbaiki gapura, relung dan stupa,
termasuk stupa induk.

2. mengekalkan keadaan yang sudah diperbaiki itu dengan pengawasan


yang ketat dan pemeliharaan yang cermat. Untuk itu saluran airnya perlu
disempurnakan dengan jalan memperbaiki lantai lorong dan pancuran air.

3. memperlihatkan bangunan candi sejelas-jelasnya, bersih dan utuh.


221 | P a g e
Seluruh pekerjaan pemugaran yang dimulai pada tahun 1907 baru selesai
empat tahun kemudian dengan menelan biaya 100.000 gulden.

Ir. van Erp pun telah membuat satu “warning-system” (petunjuk


pengaman), yakni lapisan beton pengaman di antara 2 buah batu pada
bagian dinding yang paling miring di sebelah Barat, tangga Utara tingkat
pertama. Bilamana sambungan itu patah, maka Borobudur berada dalam
keadaan bahaya.

Pada bulan Januari 1926 dapat diketahui adanya kerusakan yang


disengaja oleh turis asing yang ingin menyimpan tanda mata dari
Borobudur. Peristiwa ini menjadi pendorong bagi penelitian yang lebih
intensif terhadap batu-batu dan terutama relief-relief candi. Nyatanya
banyak relief yang menampakkan tanda-tanda retak. Tangan jahil?
Bukan! Setelah diamati dan dibanding-bandingkan kiri kanan, ternyata
bukan karena tangan jahil, melainkan karena suhu yang sangat cepat
berganti; dari panas yang menyengat kemudian disusul hujan terus-
menerus. Ternyata dari 120 panel relief “Lalita Vistara” yang
menceritakan riwayat Sang Buddha sejak direncanakan lahir di sorga
Tusita sampai khotbahnya yang kesohor di Benares, ada 40 yang rusak.

Pada tahun 1929 dibentuk panitia baru untuk melakukan pengamatan


dan pengamanan. Dari hasil penyelidikan panitia, diketahuilah penyebab
kerusakan, yakni: korosi kimiawi, kerja mekanis dan kekuatan tekanan.

222 | P a g e
Korosi disebabkan oleh pengaruh iklim yang merusak batu-batu candi
yang jelek kwalitasnya. Lapisan oker kuning yang dulunya dimaksudkan
meratakan warna relief untuk keperluan pemotretan, ternyata berhasil
melindungi batu-batu yang keras. Tetapi terhadap batu-batu yang lunak
akibatnya jadi lain, yaitu pengelupasan. Cendawan dan lumut terang
menambah korosi pula. Namun, sebab pokok korosi yang paling sadis
adalah derasnya air yang merembes ke luar bangunan candi melalui
celah-celah dan pori-pori batu-batuan candi itu sendiri.

Adapun kerusakan mekanis terutama disebabkan oleh tangan dan kaki


manusia atau penyebab lainnya di luar candi.

Kerusakan lain ialah, karena tekanan bobot batu-batuan candi itu sendiri.

Pada tahun 1965 atas prakarsa Menteri P & K, Ny. Artati M. Sudirdjo
S.H., maka untuk mencegah kerusakan yang lebih fatal, telah dilakukan
pembongkaran atas dinding-dinding Utara dan Barat yang miring oleh
Dr. R. Soekmono.

Pada tahun 1967 Dr. R. Soekmono ketika mengikuti Kongres Orientalis


International di Ann Arbor (AS) minta perhatian kongres atas nasib
Borobudur. Unesco tertarik pada nasib Borobudur dan berjanji untuk
memberi bantuan.

223 | P a g e
Pada tahun 1968 Pemerintah RI membentuk Panitia Nasional
Penyelamat Borobudur dan beberapa ahli luar negeri dihubungi, a.l.:

1. Prof. C. Voute, ahli geologi kenamaan.

2. Dr. G. Hyvert, ahli pengawetan patung dan relief

3. Prof. Bernard Philipe Groslier, arkeolog Prancis kenamaan yang


namanya tidak dapat dipisahkan dari penyelamatan candi Angkor di
Kamboja.

Pada bulan Juni 1971 Panitia Pemugaran Borobudur dibentuk dengan


diketuai oleh Prof. Ir. R. Roosseno didampingi oleh Dr. R. Soekmono.
Pada tahun ini pula Dirjen Unesco, Rene Maheu datang ke Indonesia
untuk menandatangani bantuan Unesco sebesar US $ 6 juta dari biaya
pemugaran yang diperkirakan US $ 7,75 juta, (menurut perkiraan tahun
1975 biaya tersebut telah membubung sampai US $ 16 juta).

Pada tanggal 11 Agustus 1973 Borobudur mulai dipugar dengan


mengikut-sertakan ahli-ahli dari Unesco, Lembaga Purbakala, Fak.
Sastra UI, Dept. Geologi ITB dan Fak. Teknik & Pertanian UGM.

Menurut perkiraan, pemugaran Borobudur akan memakan waktu 8 tahun.

224 | P a g e
C. Keterangan relief-relief tentang riwayat Buddha Gautama menurut
naskah “Lalita Vistara”.

Dapat dilihat di lorong pertama (bagian Rupadhatu) pada dinding


sebelah dalam

Dari pintu Timur sampai ke pintu Selatan

1. Sang Bodhisatva di sorga Tusita sedang menerima penghormatan dari


para dewa dengan berbagai alat musik.

2. Sang Bodhisatva memberitahukan para dewa tentang keinginannya turun


ke dunia menjadi Buddha dan untuk memberi bimbingan kepada mereka
yang telah tersesat dan menolong mereka ke Jalan Yang Benar.

3. Seorang Brahmana mengajar para muridnya tentang kebijaksanaan


duniawi dan memberitahukan kepada mereka bahwa dua belas tahun
kemudian akan turun ke dunia se-Orang Buddha yang akan
membebaskan umat manusia dari Samsara (lingkaran tumimbal-lahir).

4. Para Pratyeka Buddha, setelah mendengar tentang akan turunnya


Bodhisatva ke dunia terbang ke sorga untuk menyambut dan
mengiringinya.

5. Sang Bodhisatva mengajar para dewa tentang Dhamma.

225 | P a g e
6. Sebelum Sang Bodhisatva turun ke dunia, terlebih dulu Beliau
menyerahkan Mahkotanya (Tyara) kepada penggantinya, yaitu
Bodhisatva Maitreya.

7. Bodhisatva Maitreya mengajar Dharma kepada para dewa.

8. Raja Suddhodana bersukia cita dengan permaisurinya, Ratu Maya Dewi,


di istana Kapilavastu.

9. Para bidadari mengunjungi Ratu Maya Dewi di istana.

10. Para dewa mempersiapkan diri untuk mengiringi Sang Bodhisatva


turun ke dunia.

11. Dihormati untuk terakhir kali di sorga Tusita sebelum Sang


Bodhisatva turun ke dunia.

12. Di pavilyun Sri Garbha, Sang Bodhisatva duduk bermeditasi dan


selanjutnya turun ke dunia diusung oleh para dewa.

13. Ratu Maya Dewi, sewaktu tidur di istana, bermimpi seekor gajah
putih memasuki perutnya dan kemudian Ratu menjadi hamil.

14. Sang Ratu tidak usah kuatir karena Dewa Cakra melindunginya.

15. Sang Ratu pergi ke taman Asoka untuk menemui Raja Suddhodana.

226 | P a g e
16. Raja Suddhodana tiba di taman Asoka dengan menunggang gajah.

17. Raja Suddhodana berjumpa dengan Sang Ratu di serambi. Sang


Ratu menceritakan mimpinya dan bertanya tentang arti mimpi tersebut.

18. Karena Raja Suddhodana tidak dapat menerangkan arti mimpi


Sang Ratu, maka beliau minta pendapat dari seorang brahmana yang
bernama Asita. Asita menerangkan bahwa Ratu akan hamil dan akan
melahirkan seorang bayi laki-laki. Putera ini mempunyai bakat menjadi
seorang pemimpin dunia.

19. Raja Suddhodana gembira sekali mendengar ramalan tersebut dan


memberikan hadiah yang berlimpah-limpah kepada Asita dan para
brahmana lainnya.

20. Para dewa yang mendengar berita yang menggembirakan ini


membangun tiga buah istana untuk Ratu Maya Dewi.

21. Para dewa telah membuat Ratu Maya Dewi serempak terlihat di
tiga alam.

22. Sebelum bayi dilahirkan, Ratu telah melakukan hal-hal mujizat :


beliau dapat menyembuhkan orang-orang sakit dan orang-orang yang
cacat badannya.

227 | P a g e
23. Raja Suddhodana memberikan hadiah-hadiah kepada orang-orang
miskin.

24. Raja Suddhodana memberikan khotbah di hadapan para wanita.

25. Satu hal yang aneh terjadi sewaktu Raja sedang bermeditasi :
seekor anak gajah masuk ke istana dan memberi hormat kepada Raja.

26. Persiapan untuk mengunjungi taman Lumbini.

27. Ratu dengan kereta menuju ke taman Lumbini. Setelah tiba, kereta
berhenti dan Ratu dengan gembira berjalan-jalan di taman.

28. Di taman Lumbini dengan berdiri berpegangan pada cabang pohon


Sal, Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki.
Segera setelah dilahirkan, Sang Bayi dapat berjalan tujuh langkah dan di
atas tiap tapak kaki muncul bunga teratai.

29. Setelah Ratu meninggal dunia, Sang Pangeran diasuh oleh bibinya
yang bernama Pajapati. Sang Pangeran diberi nama Siddharta.

30. Pangeran Siddharta di pangkuan ibu tirinya.

Dari pintu Selatan sampai ke pintu Barat.

1. Seorang Brahmana bernama Asita mengunjungi Pangeran Siddharta.

228 | P a g e
2. Dewa-dewa dari alam Suddhavasa mengunjungi Pangeran Siddharta.

3. Para penduduk yang kaya-kaya mempersembahkan hadiah-hadiah


kepada Pangeran Siddharta.

4. Pangeran Siddharta pergi ke vihara untuk mendapatkan pendidikan.

5. Setibanya di vihara, gurunya pingsan melihat wajah Sang Pangeran yang


demikian cemerlang.

6. Sang Pangeran berhias dengan memakai berbagai macam permata.

7. Para penduduk memberi hormat kepada Sang Pangeran.

8. Pangeran Siddharta dan gurunya di ruang belajar.

9. Pangeran Siddharta mengunjungi desa-desa untuk melihat sendiri


penghidupan rakyatnya di desa.

10. Pangeran Siddharta bermeditasi di bawah pohon jambu.

11. Para sesepuh di istana Kapilavastu mendesak Pangeran Siddharta


untuk menikah.

12. Sang Pangeran minta para gadis dari Kapilavastu untuk datang ke
istana. Pilihannya ternyata jatuh kepada Yasodhara. Untuk menghibur
gadis-gadis lain yang kecewa, Sang Pangeran membagi-bagikan hadiah.
229 | P a g e
13. Menurut kebiasaan pada zaman itu, sebelum upacara perkawinan
dilaksanakan, terlebih dulu calon pengantin pria harus membuktikan
kemampuannya secara fisik maupun mental. Oleh karena itu Sang
Pangeran diharuskan mengambil bagian dalam satu sayembara.

14. Devadatta, saudara sepupu dari Sang Pangeran, juga turut dalam
sayembara tersebut. Ia harus berkelahi dengan seekor gajah yang besar.
Gajah tersebut dibunuhnya dengan sekali pukul dan sekali tendang.

15. Pada relief hanya terlihat roda kereta dan seorang prajurit.
Pangeran Siddharta dengan duduk di kereta menyeret bangkai gajah itu
dengan kaki kiri ke luar kota sejauh delapan yojana (1 yojana = 8 mil).

16. Pangeran Siddharta dicoba kemurniannya dengan digoda wanita-


wanita cantik.

17. Tidak diketahui (mungkin relief sayembara menunggang kuda).

18. Tidak diketahui (mungkin relief sayembara menggunakan pedang).

19. Sayembara memanah batang pohon Tala. Hanya Pangeran


Siddharta yang lulus dalam pertandingan ini; anak panahnya menembus
batang pohon Tala dan menghilang di tanah.

20. Pernikahan dari Pangeran Siddharta dengan Putri Yasodhara


diberkahi.
230 | P a g e
21. Puteri Yasodhara memasuki istana setelah menikah.

22. Di istana, mempelai disambut dengan musik.

23. Pangeran Siddharta mendapat petunjuk dari para dewa untuk


meninggalkan istana.

24. Untuk mencegah agar Pangeran Siddharta jangan meninggalkan


istana, Raja Suddhodana memerintahkan untuk mendirikan istana-istana
untuk Sang Pangeran dengan dilayani oleh wanita-wanita cantik.

25. Pangeran Siddharta sedang dimanjakan oleh wanita-wanita.

26. Pangeran Siddharta melihat seorang tua renta.

27. Pangeran Siddharta melihat orang sakit keras.

28. Pangeran Siddharta melihat orang mati.

29. Pangeran Siddharta melihat seorang pertapa.

30. Pangeran Siddharta mendapat impian buruk.

Dari pintu Barat sampai ke pintu Utara

1. Pangeran Siddharta mohon diri dari ayahnya, Raja Suddhodana.

231 | P a g e
2. Raja Suddhodana tidak memperkenankan Sang Pangeran pergi bertapa
dan memerintahkan kepada wanita-wanita cantik untuk terus menghibur
Sang Pangeran.

3. Tengah malam wanita-wanita yang menghibur Pangeran Siddharta telah


tertidur. Lalu Pangeran Siddharta yang merasa jemu sekali,
membulatkan tekad untuk meninggalkan istana.

4. Pangeran Siddharta memanggil kusirnya yang bernama Channa dan


memerintahkan untuk menyiapkan kudanya, Kanthaka.

5. Pangeran Siddharta melakukan perjalanan jauh untuk mulai bertapa.

6. Sampai di tempat tujuannya, Pangeran Siddharta mengucapkan selamat


berpisah kepada para dewa yang mengiringinya.

7. Pangeran Siddharta memotong rambutnya.

8. Pangeran Siddharta menukar pakaiannya dengan jubah seorang pertapa.

9. Para dewa memberi hormat kepada Pangeran Siddharta.

10. Pangeran Siddharta tiba di pertapaan Padmapani.

11. Pangeran Siddharta berkunjung ke tempat seorang pertapa


bernama Uddaka Ramaputra.

232 | P a g e
12. Pangeran Siddharta berkunjung ke tempat seorang pertapa lain
yang bernama Alara Kalama.

13. Pangeran Siddharta berkunjung ke tempat Raja Bimbisara di


Rajagaha.

14. Raja Bimbisara berkunjung ke tempat Pangeran Siddharta.

15. Pangeran Siddharta berkunjung ke Gunung Gaya dan bertemu


dengan para pertapa dari tempat tersebut.

16. Para pertapa tersebut di atas berkunjung kepada Pangeran


Siddharta.

17. Pangeran Siddharta berbincang-bincang dengan para pertapa


tentang persoalan “Pañña” (Kebijaksanaan). Karena berselisih pendapat,
para pertapa meninggalkan Pangeran Siddharta.

18. lbunda Pangeran Siddharta, yaitu Ratu Maya Dewi almarhumah,


turun ke dunia dari sorga untuk membujuk anaknya mengakhiri
penyiksaan diri dan makan minum seperti biasa lagi agar dapat
memulihkan kembali kekuatan tubuhnya.

19. Para dewa mendesak Pangeran Siddharta untuk kembali makan


dan minum.

233 | P a g e
20. Pangeran Siddharta mengajar para dewa.

21. Seorang wanita bernama Sujata mempersembahkan bubur kepada


Pangeran Siddharta.

22. Pangeran Siddharta mempersiapkan diri untuk mandi.

23. Pangeran Siddharta menukar pakaian.

24. Para wanita dari Uruvela mempersembahkan makanan kepada


Pangeran Siddharta.

25. Pangeran Siddharta pergi ke tepi sungai Nairanjara dengan


membawa jubahnya yang sudah bekas pakai.

26. Pangeran Siddharta membuang jubahnya ke sungai.

27. Jubah tersebut diterima oleh Raja Naga Mucilinda.

28. Pangeran Siddharta menerima makanan dari Mucilinda.

29. Pangeran Siddharta memberi berkah kepada Mucilinda.

30. Pangeran Siddharta minta diberi rumput yang empuk untuk duduk.

Dari pintu Utara sampai pintu Timur

234 | P a g e
1. Pangeran Siddharta dalam perjalanan ke Buddha Gaya.

2. Pohon Bodhi diberi penghiasan.

3. Pangeran Siddharta bermeditasi di bawah pohon Bodhi.

4. Mara, iblis yang jahat, datang mengganggu Pangeran Siddharta dan


mengancam untuk membunuhnya.

5. Mara mengirim anak-anaknya berupa wanita-wanita yang cantik sekali


untuk menggoda Pangeran Siddharta.

6. Mara mencoba membujuk Pangeran Siddharta dengan membisikkan


godaan di telinganya.

7. Godaan-godaan oleh Mara dengan memakai kekuatan gaib dan wanita-


wanita cantik. Sang Pangeran duduk dengan sikap Bhumisparsa-Mudra.
(simbol dari tekad yang bulat).

8. Para dewa membasuh Pangeran Siddharta dengan air suci.

9. Pangeran Siddharta berhasil mencapai Penerangan Agung; Mara tidak


berhasil menggagalkan usaha Pangeran Siddharta. Sekarang Pangeran
Siddharta menjadi Buddha (Beliau memakai sikap Abaya-Mudra =
Jangan Takut).

235 | P a g e
10. Buddha Gautama mendapat tempat duduk di taman Rusa.

11. Raja Naga Mucilinda menjumpai Buddha Gautama.

12. Para pertapa dari Bodhi-manda minta diberi berkah oleh Buddha
Gautama.

13. Buddha Gautama mengajar cara melakukan Samadhi (Beliau


memakai Dhyana-Mudra = Sedang Bermeditasi).

14. Para raja mempersembahkan makanan kepada Buddha Gautama


dan mereka diberi pelajaran tentang “Bermurah hati”. (Beliau memakai
Vara-Mudra = Memberi Anugerah).

15. Buddha Gautama sedang memberi pelajaran Dhamma.

16. Buddha Gautama berkunjung ke kota Savatthi untuk mengajar


Dhamma.

17. Buddha Gautama berkunjung ke Uruvela untuk mengajar Dhamma.

18. Buddha Gautama berkunjung ke bekas guru-Nya Uddaka


Ramaputra.

19. Buddha Gautama berkunjung ke Raja Bimbisara di Rajagaha.

20. Buddha Gautama berkunjung ke para pertapa.


236 | P a g e
21. Buddha Gautama bertemu dengan para dewa.

22. Buddha Gautama mengunjungi sebuah kota dan dijamu makan.

23. Buddha Gautama berkunjung ke bekas guru-Nya Alara Kalama.

24. Buddha Gautama berkunjung ke kota Maghada dan disambut


dengan upacara yang meriah.

25. Dalam perjalanan ke Benares, Buddha Gautama menyeberangi


sungai Gangga dengan terbang di atas air.
(Tukang perahu penyeberang tidak mau menyeberangkan Buddha
Gautama tanpa pembayaran lebih dulu. Sebelum tukang perahu
mengetahui apa yang terjadi, Buddha Gautama sudah ada di seberang
sungai).

26. Buddha Gautama sedang dijamu.

27. Di sebuah bukit bernama Gaya, Buddha Gautama berjumpa


kembali dengan para pertapa yang dulu telah meninggalkannya.
Sekarang mereka menjadi murid Buddha Gautama.

28. Buddha Gautama diberi hormat oleh para pertapa lain.

29. Buddha Gautama diperciki air suci oleh para dewa.

237 | P a g e
30. Buddha Gautama memberi khotbah di taman Rusa, dekat Benares.

238 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai