Anda di halaman 1dari 234

PENDAHULUAN

1. PERKENALAN
Hari ini kita memulai kelas baru tentang Abhidhamma. Sejak saya datang ke negara ini, saya telah
mengajar Abhidhamma. Saya telah mengajar tiga atau empat kursus dan kemudian saya berhenti
mengajar. Oleh karena itu saya pikir sekarang adalah saatnya untuk kembali mengajar. Maka kita
memiliki kelas ini saat ini.

Dua Kelompok Buddhisme


Materi hari ini hanyalah sebuah pendahuluan. Saya menyebutnya, “Perkenalan”, yaitu, mengenali
Abhidhamma—apa itu Abhidhamma, apa yang terdapat dalam Abhidhamma, dan sebagainya. Sebelum
kita memahami apa Abhidhamma itu, kita harus memahami dua kelompok utama Buddhisme di dunia
pada masa sekarang ini. Yang pertama adalah apa yang disebut dengan Buddhisme Theravāda atau
Buddhisme selatan. Dan yang ke dua adalah Buddhisme Mahāyāna atau Buddhisme utara. Hanya ada
satu Buddhisme pada awalnya. Tetapi belakangan terdapat perbedaan pendapat di antara para
sesepuh. Perbedaan aliran Buddhisme muncul seiring dengan waktu. Sekarang ini terdapat dua
kelompok utama Buddhisme.
Buddhisme Theravāda dipercaya sebagai yang terdekat dengan ajaran asli Sang Buddha. Sebagai
seorang Buddhist Theravāda, saya percaya bahwa ajaran-ajaran asli Sang Buddha tercatat dalam buku-
buku Buddhisme Theravāda. Buddhisme Theravāda tersebar di bagian selatan Asia, atau negara-
negara selatan. Oleh karena itu, maka kadang-kadang disebut Buddhisme selatan. Hal ini tidak 100%
akurat, tetapi orang-orang menyebutnya Buddhisme selatan. Buddhisme Theravāda menyebar ke Sri
Lanka, Burma, Thailand, Kamboja, dan juga Vietnam.
Buddhisme Mahāyāna adalah bentuk Buddhisme belakangan. Buddhisme Mahāyāna berbeda dengan
Buddhisme Theravāda dalam banyak hal. Buddhisme jenis ini menyebar ke negara-negara utara.
Ketika saya mengatakan utara, yang saya maksudkan adalah dari India tengah, menyebar ke negara-
negara utara seperti Nepal, Tibet, Mongolia, China, Vietnam, Korea, dan Jepang. Karena negara-negara
ini adalah negara-negara utara, maka kadang-kadang disebut Buddhisme utara.
Kadang-kadang Buddhisme Theravāda disebut Buddhisme Pāli, dan Buddhisme Mahāyāna disebut
Buddhisme Sanskrit, karena Buddhisme Theravāda mengadopsi bahasa Pāli dan Buddhisme Mahāyāna
mengadopsi bahasa Sanskrit.
Baik dalam Theravāda maupun Mahāyāna, terdapat Abhidhamma. Abhidhamma yang akan kelian
pelajari dari saya adalah Abhdihamma Theravāda. Saya berasal dari aliran Theravāda. Saya adalah
seorang bhikkhu Theravāda. Saya mengetahui Abhidhamma Theravāda, namun saya tidak cukup
memahami Abhidhamma dari aliran lain. Oleh karena itu, Abhidhamma yang akan kalian pelajari dari
saya adalah apa yang diajarkan dalam Buddhisme Theravāda.

BAGAIMANA AJARAN BUDDHA DICATAT DAN DITURUNKAN


Konsili Buddhis Pertama
Pertama-tama kita harus mengetahui bagaimana ajaran Buddha dicatat dan diturunkan hingga hari
ini. Buddha tidak menuliskan apapun. Beliau hanya mengajarkan melalui kata-kata dari mulutNya.
Para siswa langsungNya menghafalkan ajaran-ajaranNya. Tiga bulan setelah Sang Buddha wafat, para
siswa Sang Buddha yang masih hidup yang dipimpin oleh Yang Mulia Mahā Kassapa mengadakan
sebuah konsili Buddhis. Pada Konsili tersebut semua ajaran Sang Buddha dikumpulkan dan disajikan
kepada Konsili. Konsili tersebut terdiri dari 500 oang Arahant, para bhikkhu yang adalah para siswa
langsung dari Sang Buddha. Semua ajaran Sang Buddha disajikan dan diperiksa secara seksama. Hanya
setelah mereka puas bahwa ajaran tertentu itu adalah ajaran otentik Sang Buddha maka ajaran
tersebut diterima. Sebagai tanda penerimaan, para sesepuh mengulangi ajaran itu (misalnya, sebuah
sutta) bersama-sama. Itulah sebabnya maka Konsili-konsili disebut dalam Pāḷi sebagai Saṅgāyana atau
Saṅgīti. ‘Saṅgāyana’ atau ‘Saṅgīti’ berarti mengulangi bersama-sama. Dengan cara ini, Sutta-sutta dan
ajaran-ajaran lainnya diterima. Sebagai sebuah tanda penerimaan, para Arahant mengulangi ajaran-
ajaran tersebut bersama-sama. Demikianlah pada Konsili Buddhis Pertama, ajaran-ajaran Sang
Buddha, yang masih segar dalam ingatan para siswa Beliau, dikumpulkan, diperiksa dan kemudian
diterima sebagai otentik. Konsili ini diadakan di Rājagaha, India.

Konsili Buddhis Ke Dua


Konsili Buddhis ke dua diadakan 100 tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Sebelum Konsili tersebut
dilangsungkan terdapat beberapa sesepuh yang memiliki opini berbeda sehubungan dengan beberapa
aturan Vinaya atau disiplin. Mereka tidak sepakat dengan para bhikkhu lainnya. Oleh karena itu maka
Saṃgha terpecah pada waktu itu, kelompok lain itu disebut Māhāsaṅghika. Saṁgha asli yang ingin
melestarikan ajaran asli Sang Buddha mengadakan Konsili ke dua. Konsili ini dilansungkan di Vesālī,
India. Konsili ini menegaskan kembali ajaran-ajaran yang dikumpulkan dan diterima pada Konsili
Buddhis Pertama. Sesungguhnya tidak ada ajaran baru yang ditambahkan dan tidak ada yang
dihilangkan dari ajaran-ajaran yang tercatat pada Konsili Buddhis Pertama.

Konsili Buddhis Ke Tiga


Sejak saat itu, bermunculan aliran-aliran Buddhis berbeda. Kurang lebih 200 tahun setelah wafatnya
Sang Buddha, terdapat sebanyak 18 atau lebih aliran-aliran Buddhisme. Pada masa itu terdapat
perselisihan bukan hanya sehubungan dengan aturan-aturan disiplin, tetapi juga sehubungan dengan
ajaran.
Pada Konsili Buddhis ke tiga yang dilangsungkan 234 tahun setelah wafatnya Sang Buddha menurut
penanggalan kita, semua opini berbeda ini diperiksa. Menurut tradisi Theravāda, opini-opini berbeda
tersebut terbukti keliru. Maka Konsili ke tiga dilangsungkan pada saat itu. Pada Konsili tersebut
ditambahkan satu buku. Buku tersebut, seperti yang kita miliki sekarang, adalah Kathāvatthu. Konsili
tersebut dilangsungkan pada masa pemerintahan Raja Asoka.
Anda mungkin telah mendengar tentang Raja Asoka, ia adalah seorang raja yang termasyhur. Ia
kadang-kadang disebut sebagai Kaisar Asoka karena ia menguasai hampir seluruh wilayah India. Ia
adalah seorang raja teladan. Ia menyerah dalam perang ketika ia dapat menaklukkan. Ia dapat dengan
mudah menguasai semenanjung selatan India menjadi wilayah kerajaannya jika ia menginginkan.
Namun ia menghentikan perang dan mengikuti jalan Dhamma. Adalah pada masa pemerintahannya
ini Konsili Buddhis Ke Tiga dilangsungkan. Pada Konsili itu, sekali lagi ajaran-ajaran diturunkan dari
Konsili Buddhis Pertama dan Konsili Buddhis Ke Dua ditegaskan kembali, dan hanya sedikit
penambahan dilakukan.

Konsili Buddhis Ke Empat


Kemudian sejak saat itu hingga 450 tahun setelah wafatnya Sang Buddha, ajaran-ajaran diturunkan
dari guru kepada siswa, dari generasi ke generasi, secara lisan. Itu adalah tradisi lisan hingga masa itu.
Pada masa itu adalah di Sri Lanka Konsili Buddhis Ke Empat diadakan. Pada masa itu terjadi sebuah
pemberontakan besar. Begitu besar sehingga orang-orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal
mereka dan pergi ke tempat lain untuk mencari perlindungan. Para bhikkhu mengalami kesulitan
untuk bertahan hidup selama masa pemberontakan itu. Beberapa bhikkhu pergi ke India Selatan.
Banyak bhikkhu yang memilih bertahan si Sri Lanka. Walaupun sulit bagi mereka untuk bertahan
hidup, namun mereka melestarikan ajaran-ajaran Buddha dalam ingatan mereka. Setelah
pemberontakan usai, para bhikkhu yang pergi ke India kembali ke Sri Lanka. Para bhikkhu yang
bertahan di Sri Lanka berkata bahwa karena melewati masa-masa sulit maka ingatan mereka mungkin
telah memudar dan mereka mungkin membuat kesalahan-kesalahan dalam hal Ajaran. Maka mereka
membandingkan ajaran-ajaran—ajaran-ajaran dari para bhikkhu yang bertahan di Sri Lanka dengan
ajaran-ajaran dari para bikkhu yang pergi ke India dan kembali ke Sri Lanka. Ketika membandingkan
ajaran-ajaran itu, dikatakan bahwa tidak ada perbedaan atau perselisihan. Setelah itu para bhikkhu
memutuskan bahwa di masa depan akan sangat sulit bagi para bhikkhu untuk menghafalkan semua
ajaran Sang Buddha. Maka mereka memutuskan untuk menuliskan ajaran-ajaran tersebut di dedaunan
palem. Kurang-lebih 450 tahun sejak wafatnya Sang Buddha, di Aḷuvihāra1 Tipiṭaka dituliskan di
dedaunan palem untuk pertama kalinya dalam sejarah Buddhis. Walaupun tidak secara resmi disebut
sebagai Konsili Buddhis Ke Empat, namun generasi-generasi berikutnya menganggapnya sebagai
Konsili Buddhis Ke Empat. Kita juga menganggapnya sebagai Konsili Buddhis Ke Empat.

Konsili Buddhis Ke Lima


Kemudian Konsili Buddhis Ke Lima diadakan di Mandalay, Burma. Ini adalah kota asal saya. Saat itu
adalah masa pemerintahan Raja Mindon. Ia adalah seorang raja yang religius. Ia ingin melakukan
sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh raja-raja sebelumnya. Ia ingin membuat ajaran-ajaran Sang
Buddha bertahan hingga akhir dunia. Oleh karena itu ia memutuskan untuk menuliskan Tipiṭaka pada
keping-keping batu pualam. Terdapat 729 keping batu pualam untuk menuliskan seluruh Tipiṭaka.
Keping-keling batu pualam itu disebut oleh seorang penulis Burma sebagai “Buku terbesar di dunia”.
Halaman-halamannya setebal lima inci, dan tingginya lima atau lima setengah kaki dan lebarnya tiga
atau tiga setengah kaki. Tipiṭaka dituliskan di atas 729 keping batu pualam ini. Tiap-tiap kepingnya di
simpan dalam sebuah rumah bata. Rumah-rumah bata itu berlokasi di sebuah pagoda di dekat
Mandalay. Untungnya tidak satupun di antara rumah-rumah itu yang terkena bom. Selama perang
dunia ke dua terjadi pertempuran di dekat tempat itu. Kita masih dapat melihat keping-keping batu
ini tidak berubah di Mandalay. Jika anda mengunjungi Burma dan pergi ke Mandalay, ada harus pergi
melihat keping-keping batu pualam ini. Konsili tersebut dilangsungkan bertepatan dengan 2400 tahun
setelah wafatnya Sang Buddha. Dan terdapat 2400 bhikkhu yang berpartisipasi dalam Konssili itu.
Konsili itu diselenggarakan pada tahun 1871 AD.

1
Di dekat Kandy, Sri Lanka
Konsili Buddhis Ke Enam
Setelah raja itu, terdapat seorang raja lainnya. Ia ditangkap oleh Inggris dan Burma menjadi jajahan
Inggris. Setelah perang dunia ke dua, Burma memperoleh kemerdekaan pada tahun 1948. Setelah
kemerdekaan baik Saṃgha maupun para pemimpin politik negara itu memutuskan untuk
menyelenggarakan Konsili Buddhis lainnya. Mereka mengatakan bahwa Konsili Buddhis Ke Enam akan
menjadi yang paling komprehensif karena melibatkan semua negara Buddhis Theravāda. Perwakilan-
perwakilan dari negara-negara Mahāyāna juga diundang menghadiri Konsili ini. Saya terlibat dalam
penyelenggaraan Konsili Buddhis Ke Enam itu, tetapi saya masih terlalu muda untuk disebutkan dalam
catatan.
Konsili Buddhis Ke Enam diselenggarakan di Rangoon, Burma. Untuk meniru Konsili Buddhis Pertama
yang diadakan di dalam sebuah gua besar, pemerintah Burma membangun sebuah gua buatan yang
dapat menampung 2500 bhikkhu. Di tempat itu di Rangoon pada tahun 1954 Konsili Buddhis Ke Enam
di selenggarakan. Satu hasil dari Konsili Buddhis tersebut adalah sebuah edisi Tipiṭaka serta Komentar
dan Sub-komentarnya yang telah disunting dan dicetak dengan baik. Sekarang edisi ini diyakini
sebagai edisi terbaik Teks Pāḷi, Komentar dan Subkomentar. Saya akan menggunakan buku-buku
tersebut di sepanjang kelas ini. Saya akan merujuk pada buku - buku tersebut.
Ajaran-ajaran Sang Buddha diturunkan dari generasi ke generasi. Konsili-Konsili belakangan
sesungguhnya adalah penegasan kembali atas apa yang telah diterima dan dicatat dalam Konsili
Pertama. Dengan cara ini, ajaran-ajaran Sang Buddha telah sampai kepada kita, generasi sekarang ini.
Sekarang ini ajaran Buddha telah menjangkau hingga Amerika.

PEMBAGIAN AJARAN BUDDHA :


Ke dalam Nikāya-Nikāya
Ketika ajaran-ajaran Sang Buddha dicatat pada Konsili Buddhis Pertama, para sesepuh Konsili tersebut
membagi ajaran-ajaran Buddha ke dalam beberapa kategori berbeda. Terdapat beberapa pembagian
atau kategori. Saya ingin memberitahukan kepada kalian tentang dua pembagian saja. Satu pembagian
ke dalam Nikāya-nikāya, lima Nikāya atau koleksi. Seluruh ajaran Sang Buddha dibagi ke dalam lima
kelompok, atau lima koleksi. Koleksi pertama adalah khotbah-khotbah panjang, yang ke dua adalah
khotbah-khotbah dengan panjang menengah, yang ke tiga adalah khotbah-khotbah berkelompok atau
khotbah-khotbah campuran, yang ke empat adalah khotbah-khotbah bertingkat, dan terakhir yang ke
lima adalah khotbah-khotbah minor. Seluruh ajaran Buddha dibagi ke dalam lima Nikāya ini—Koleksi
Khotbah-khotbah Panjang, Koleksi Khotbah-khotbah Menengah, Koleksi Khotbah-khotbah
Berkelompok, Koleksi Khotbah-khotbah bertingkat,2 Koleksi Khotbah-khotbah Pendek atau Koleksi
Khotbah-khotbah minor. Dalam Pāḷi koleksi-koleksi ini disebut:
- Dīgha Nikāya (Khotbah-khotbah Panjang),
- Majjhima Nikāya (Khotbah-khotbah menengah),
- Saṃyutta Nikāya (Khotbah-khotbah berkelompok),
- Aṅguttara Nikāya (Khotbah-khotbah bertingkat), dan

2
Khotbah-khotbah bertingkat adalah khotbah-khotbah dengan penomoran pada pokok materinya yang secara
bertahap meningkat. Terdapat Sutta-sutta yang terdiri dari hanya satu pokok materi dan seterusnya hingga
sebelas pokok materi.
- Khuddaka Nikāya (Khotbah-khotbah kecil).

Ke dalam Piṭaka
Kemudian, ajaran-ajaran Sang Buddha dibagi ke dalam kelompok-kelompok yang disebut Tipiṭaka.
Kata ‘Piṭaka’ berarti penampung, wadah, atau keranjang; atau ‘Piṭaka’ berarti ‘hal-hal yang harus
dipelajari’. Kata ‘Piṭaka’ biasanya diterjemahkan sebagai ‘keranjang’. Terdapat tiga Piṭaka atau
Keranjang, yaitu:
- Vinaya Piṭaka,
- Sutta atau Suttanta Piṭaka, dan
- Abhidhamma Piṭaka.
Nikāya dan Piṭaka adalah jenis pengelompokan berbeda. Banyak orang salah memahami hal ini.
Mereka menganggap bahwa kelompok Nikāya adalah bagian dari Piṭaka. Akan tetapi bukan demikian.
Sesungguhnya tiap-tiap buku dalam Kanon Pāli adalah bagian dari Piṭaka tertentu dan Nikāya
tertentu. Misalnya buku pertama di antara teks-teks ini, yaitu Mahāvibhaṅga. Buku ini terdapat dalam
kelompok Khuddaka Nikāya. Dan sehubungan dengan Piṭaka, buku ini terdapat dalam Vinaya Piṭaka.
Nettippakkaraṇa, Peṭakopadesa dan Milindapañha—Ketiga ini tidak disebutkan dalam Vinaya dan
Komentar Dīgha Nikāya sebagai bagian dari Kanon. Itulah sebabnya maka beberapa orang tidak
memasukkannya ke dalam Kanon Pāḷi. ketika dibacakan pada Konsili Buddhis ke Lima dan ke Enam,
buku - buku itu dimasukkan. Sehubungan dengan Kathāvatthu: buku ini, seperti yang kita miliki
sekarang ini, ditambahkan pada Konsili Buddhis ke Tiga. Kalian dapat membaca the Expositor
(Aṭṭhasālinī) untuk penjelasan terperinci.
Terdapat syair Pāḷi dalam Komentar Vinaya (Pārājikakaṇḍa-aṭṭhakathā, 22) dan Komentar
Abhidhamma (Aṭṭhasālini-aṭṭhakathā, 26), yang berbunyi:
“Thapetvā caturo p’ete, Nikāye Dīgha-ādike,
Ta-d-aññaṃ Buddhavacanaṃ, Nikāyo Khuddako mato.”

Maknanya adalah sebagai berikut: “Kata-kata Sang Buddha selain dari keempat Nikāya ini seperti
Dīgha (yang berarti Dīgha, Majjhima, Saṃyutta, dan Aṅguttara) harus dipahami sebagai Khuddaka
Nikāya.” Mengherankan bahwa keseluruhan Vinaya Piṭaka dan keseluruhan Abhidhamma Piṭaka
adalah termasuk dalam Khuddaka Nikāya. Khuddaka Nikāya berarti ajaran pendek atau khotbah-
khotbah minor. Abhidhamma tidaklah minor. Dan Vinaya juga tidak minor. Tetapi keduanya termasuk
di dalam Khuddaka Nikāya. Pembagian ke dalam Nikāya-nikā dan pembagian ke dalam Piṭaka-Piṭaka
adalah dua pembagian berbeda. Nikāya bukanlah bagian dari Piṭaka. Abhidhamma yang akan kita
pelajari, sehubungan dengan Nikāya, adalah bagian dari Khuddaka Nikāya, dan sehubungan dengan
Piṭaka, adalah bagian dari Abhidhamma Piṭaka.

Kata ‘Abhidhamma’

Sekarang kita sampai pada kata ‘Abhidhamma’ itu sendiri. Kata ini terdiri dari dua bagian—‘Abhi’ dan
‘Dhamma’. ‘Abhi’ di sini berarti mengungguli atau terkemuka. ‘Dhamma’ berarti ajaran. ‘Abhidhamma’
berarti ajaran yang unggul atau ajaran yang terkemuka. Mengungguli bukan berarti bahwa ajaran
dalam Abhidhamma Piṭaka adalah lebih baik atau lebih luhur atau lebih mulia daripada yang diajarkan
dalam Sutta Pitaka. Satu-satunya perbedaan antara apa yang diajarkan dalam Sutta Piṭaka dan
Abhidhamma Piṭaka adalah metode perlakuan, metode presentasi. Hal-hal yang sama diajarkan dalam
Sutta dan Abhidhamma. Kita menemukan Dhamma yang sama, topik yang sama, baik dalam Sutta
Piṭaka maupun dalam Abhidhamma Piṭaka. Tetapi dalam Abhidhamma Piṭaka hal-hal ini dianalisis
secara terperinci. Yang melampaui ajaran-ajaran dalam Sutta Piṭaka adalah sehubungan dengan
metode perlakuannya.

Ambil contoh, misalnya, kelima agregat. Saya harap kalian cukup memahami kelima agregat (agregat
materi, agregat perasaan, agregat persepsi, agregat bentukan-bentukan kehendak, agregat
kesadaran). Sang Buddha mengajarkan doktrin kelima agregat. Kita terdiri dari kelima agregat ini.
Sebagian besar makhluk terdiri dari kelima agregat ini. Kelima agregat ini dibahas dalam Saṃyutta
Nikāya hanya sepanjang satu halaman. Tetapi kelima agregat yang sama dibahas dalam buku ke dua
Abhidhamma sepanjang 68 halaman! 68 halaman dibandingkan dengan satu halan. Kita melihat betapa
berbedanya metode perlakuan dalam Suttanta Piṭaka dan Abhidhamma Piṭaka. Dalam Suttanta Piṭaka
Sang Buddha hanya sedikit menjelaskan tentang kelima agregat, bukan analisis yang lengkap, bukan
perlakuan yang lengkap, seperti dalam Abhidhamma Piṭaka. Dalam Abhidhamma Piṭaka, khususnya
Vibhaṅga, hal-hal ini dijelaskan menurut metode penjelasan Suttanta, menurut metode penjelasan
Abhidhamma dan melalui tanya-jawab. Sebenarnya, segala yang harus diketahui tentang kelima
agregat terdapat dalam Abhidhamma, bukan dalam Suttanta Piṭaka. Itulah sebabnya maka disebut
Abhidhamma. Perbedaannya hanya terletak pada metode perlakuan, bukan pada isi, bukan pada
Dhamma yang diajarkan di dalamnya. Kita menemukan kelima agregat yang sama baik dalam Sutta
maupun dalam Abhidhamma. Kita menemukan Empat Kebenaran Mulia baik dalam Sutta maupun
adlam Abhidhamma, dan sebagainya.

Apakah Yang Diajarkan Dalam Abhidhamma?

Apakah yang diajarkan dalam Abhidhamma? Adalah sulit untuk menerjemahkan kata ini ke dalam
Bahasa Indonesia. Ini adalah ajaran mutlak berlawanan dengan ajaran konensional dalam Sutta Piṭaka.
Dalam Sutta Piṭaka Sang Buddha menggunakan bahasa konvensional—seperti ‘aku’, ‘engkau’,
‘seseorang’, ‘seorang perempuan’ tanpa adanya bahasa konvensional ini kita tidak dapat berbicara
sama sekali. Kita tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain sama sekali karena kita hidup di dalam
dunia konvensional ini. Maka dari itu, dalam Sutta Piṭaka Sang Buddha mengajar dalam bahasa
konvensional. Tetapi di dalam Abhidhamma Piṭaka sebagian besar kata-kata yang digunakan bukanlah
bahasa konvensional melainkan bahasa realitas mutlak. Keduanya berbeda. Nyaris tidak ada orang-
orang, tidak ada laki-laki, tidak ada perempuan di dalam Abhidhamma Piṭaka. Kita akan menemukan
lima agregat, landasan-landasan, elemen-elemen, Empat Kebenaran Mulia dan sebagainya. Walaupun
topiknya mungkin sama, namun gaya penyajiannya berbeda.
Misalnya sebagai contoh air. Sebenarnya saya tidak memiliki pengetahuan kimia. Saya hanya
mengetahui bahwa air adalah H2O. maka saya selalu mengambil contoh ini. Ketika saya mengatakan,
“saya minum air”, saya menggunakan istilah konvensional. Benar bahwa apa yang sedang saya minum
adalah air. Saya tidak berbohong. Tetapi jika anda pergi ke laboratorium dan menganalisis unsur-
unsur, anda tidak akan menyebut cairan tersebut sebagai ‘air’, melainkan sebagai H 2O. istilah-istilah
yang kita gunakan dalam Abhidhamma adalah seperti penggunaan istilah ‘H 2O’ dalam kimia. Anda
bukanlah seorang laki-laki. Anda bukanlah seorang perempuan. Anda adalah lima agregat. Kelima
agregat sedang duduk saat ini. Serombongan lima agregat sedang berbicara. Rombongan lima agregat
lainnya sedang mendengarkan. Begitulah Abhidhamma. Dalam Abhidhamma istilah-istilah yang
digunakan adalah realitas mutlak dan bukan konvensi.
Realitas-realitas ini diajarkan dalam berbagai cara berbeda. Realitas-realitas tersebut, yang diterima
sebagai relitas, berjumlah empat. Kita akan membahasnya nanti.
Dalam Abhidhamma, batin dan jasmani dianalisis secara terperinci. Seseorang tersusun dari batin dan
jasmani. Selanjutnya batin tersusun dari Citta yang diterjemahkan sebagai kesadaran, dan Cetasika
yang diterjemahkan sebagai faktor-faktor batin. Apa yang disebut batin adalah kelompok dua hal—
Citta dan Cetasika.
Terdapat 89 atau 121 jenis Citta. Citta dibagi menjadi 89 atau 121 jenis kesadaran. Faktor-faktor batin
terbagi menjadi 52. Batin secara terperinci dianalisis dan dijelaskan dalam Abhidhamma. Jasmani juga
dibahas secara terperinci. Terdapat 28 atribut jasmani diajarkan dalam Abhidhamma. Jumlah, daftar,
penyebab-penyebabnya, dan bagaimana munculnya dikelompokkan dalam kelompok-kelompok,
bagaimana munculnya, bagaimana lenyapnya dalam diri kehidupan seseorang—semua hal-hal ini
diajarkan dalam Abhidhamma. Dalam Abhidhamma diajarkan apa yang merupakan realitas mutlak,
yaitu kesadaran, faktor-faktor batin, jasmani, dan Nibbāna.

Apakah Abhidhamma?
Apakah Abhidhamma? Apakah filosofi? Apakah psikologi? Apakah etika? Tidak ada yang tahu.
Sayādaw U Thittila adalah seorang bhikkhu kebangsaan Burma yang telah melewatkan waktu
bertahun-tahun di Barat. Ia masih menetap di Burma. Ia mungkin telah berusia 97 tahun saaat ini.3 Ia
berkata, “Abhidhamma adalah sebuah filosofi sejauh pembahasan tentang penyebab-penyebab dan
prinsip-prinsip yang paling umum yang mengatur segala sesuatu.” Maka Abhidhamma dapat disebut
sebuah filosofi. Kita dapat menemukan di dalamnya penyebab-penyebab dan prinsip-prinsip yang
mengatur segala sesuatu. “Abhidhamma adalah suatu sistem etika karena memungkinkan seseorang
untuk merealisasikan tujuan tertinggi, Nibbāna.” Sebenarnya tidak ada ajaran etika di dalam
Abhidhamma. Tidak ada ajaan seperti ‘Engkau tidak boleh melakukan ini atau itu, engkau harus
menghindari ini’. Tidak ada ajaran-ajaran demikian di dalam Abhidhamma. Tetapi ketika menjelaskan
tentang kesadaran, pembahasan dimulai dengan apa yang tidak bermanfaat. Meningkat pada
kesadaran alam-indriawi. Kemudian meningkat lagi pada kondisi kesadaran yang lebih tinggi yang
disebut kesadaan alam materi-halus. Kemudian meningkat lagi pada jenis kesadaran alam tanpa-
materi. Dan akhirnya memuncak pada kesadaran Adi-duniawi. Meningkat dari satu tingkatan spiritual
ke tingkatan berikutnya. Maka dapat disebut etika.
“Karena Abhidhamma membahas tentang bagaimana batin bekerja dengan proses pikiran dan faktor-
faktor batin maka dapat disebut sebuah sistem psikologi.” Sunngguh sebuah sistem psikologi karena
membahas tentang batin, jasmani, kesadaran, faktor-faktor batin dan ciri-ciri jasmani. “Oleh karena
itu Abhidhamma secara umum diterjemahkan sebagai fisolofi psiko-etika Buddhisme.” Saya ingin
menyebutnya hanya sebagai Abhidhamma. Saya rasa itu lebih baik.
Ketika kita mengatakannya sebagai psikologi Buddhis, maka itu adalah psikologi, tetapi Abhidhamma
adalah lebih dari itu. Kita dapat menyebutnya ‘filosofi’; sekali lagi Abhidhamma adalah lebih dari itu.
Kita dapat menyebutnya ‘etika’; itu adalah ‘etika’, tetapi lebih dari itu. Oleh karena itu, kita tidak akan
pernah benar dalam menerjemahkannya sebagai psikologi, filosofi atau etika. Maka adalah lebih baik
menyebutnya hanya sebagai Abhidhamma seperti yang yang dilakukan oleh orang-orang Burma
seperti kami.

3
Yang Mulia sayādaw U Thittila wafat pada tahun 1997
Saya selalu berkata bahwa kami orang-orang Burma adalah orang-orang yang cerdas. Kami tidak
menerjemahkan istilah-istilah ini ke dalam bahasa Burma. Kami hanya ‘memBurmakan’nya. Jadi
marilah kita menyebutnya hanya sebagau Abhidhamma.
Dalam Abhidhamma kita akan menemukan suatu filosofi, banyak psikologi serta etika.

Pentingnya Abhidhamma
Sekarang mari kita membahas tentang pentingnya Abhidhamma. Apakah pengetahuan Abhidhamma
itu penting? Jika anda bertanya kepada saya, maka saya akan menjawab “Ya”. Menurut saya,
Abhidhamma bukan hanya perlu tapi juga penting demi pemahaman benar dan menyeluruh atas
ajaan-ajaran Buddha. Mohon tidak berkecil hati karena saya mengatakan ini. Anda tidak akan
memahami Sutta-sutta dengan benar dan menyeluruh jika anda tidak memahami ajaran-ajaran
Abhidhamma. Banyak ajaran dalam Sutta harus dipahami melalui latar belakang Abhidhamma. Ini
seperti penuntun atau tuntunan untuk memahami ajaran dalam Sutta-sutta.
Dalam Dhammapada (ini adalah Sutta) Sang Buddha berkata, “Jangan melakukan perbuatan jahat atau
jangan melakukan apa yang buruk; lakukan apa yang baik.” Jika kita harus menghindari kejahatan,
kita perlu mengetahui apa itu kejahatan, apa yang tidak bermanfaat. Kadang-kadang kita menganggap
sesuatu itu bermanfaat, padahal sesungguhnya tidak bermanfaat, atau Kadang-kadang kita
menganggap sesuatu itu tidak bermanfaat, padahal sesungguhnya bermanfaat. Kita perlu memahami
apa yang jahat dan apa yang baik. Itu dapat kita pahami melalui bantuan Abhidhamma. Abhidhamma
mengajarkan kita bahwa apapun yang berhubungan dengan keserakahan, kebencian, dan delusi
adalah jahat, tidak bermanfaat. Apapun yang berhubungan dengan lawan dari ketiga kondisi tidak
bermanfaat ini, yaitu, ketidak-serakahan, ketidak-bencian (yang berarti cinta kasih) dan non-delusi
atau pengetahuan atau pemahaman adalah bermanfaat. Jika anda tidak mengetahui Abhidhamma,
anda mungkin tersesat dalam apa yang jahat dan apa yang tidak.
Dalam beberapa Sutta Sang Buddha berkata, “Seorang bhikkhu mengembangkan sang jalan.”
Kesadaran sang jalan adalah jenis kesadaran yang muncul pada momen pencerahan. Menurut
Abhidhamma, kesadaran sang jalan muncul hanya satu kali. Kesadaran ini tidak pernah berulang.
Dalam Sutta itu Sang Buddha berkata, “Bhikkhu mengembangkan sang jalan.” Tetapi menurut ajaan
Abhidhamma, Kesadaran sang jalan muncul hanya satu kali. Makna yang harus dipahami adalah
bahwa bhikkhu itu berlatih meditasi lebih lanjut untuk mencapai tingkat-tingkat pencerahan yang
lebih tinggi, untuk mencapai jalan-jalan yang lebih tinggi. Jika kita tidak memahami hal tersebut, maka
kita akan memahaminya secara keliru. Terdapat banyak kasus seperti ini dalam Sutta-sutta. Tanpa
pengetahuan Abhidhamma anda akan selalu salah memahami atau anda tidak akan memahaminya
sepenuhnya. Maka, menurut saya Abhidhamma adalah penting untuk pemahaman benar dan
menyeluruh atas ajaran-ajaran yang disampaikan dalam Sutta-sutta.

Apakah Pengetahuan Abhidhamma Penting Untuk Meditasi?


Lalu ada pertanyaan lain. Ketika kita ingin berlatih meditasi, apakah kita memerlukan pengetahuan
Abhidhamma? Ada beberapa jawaban berbeda – ya dan tidak.
Ada sebuah buku yang berjudul Visuddhimagga. Ditulis oleh Yang Mulia Buddhaghosa pada Abad ke
lima. Buku ini adalah buku panduan bagi para bhikkhu yang bermeditasi. Buku ini menjelaskan praktik
meditasi dari dasar pemurnian moral hingga pencapaian pencerahan. Ketika menjelaskan meditasi
Vipassanā,4 penulis mengajarkan di dalam buku ini tentang inti Abhidhamma—tentang agregat-
agregat, landasan-landasan, elemen-elemen, indria-indria, Pāṭicca-samuppāda (Kemuculan
Bergantungan). Ia mengatakan bahwa ini adalah dasar bagi pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud
adalah pengetahuan Vipassanā. Membacanya sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa kita harus
mempelajari Abhidhamma sebelum dapat berlatih meditasi Vipassanā. Tetapi jika kita membaca
kisah-kisah di mana seseorang mendatangi Sang Buddha dan Sang Buddha membabarkan khotbah
kepadanya dan ia mencpai pencerahan atau ia menjadi seorang ariya, ia tidak mengetahui
Abhidhamma. Namun ia dapat tercerahkan. Oleh karena itu, menurut saya pengetahuan Abhidhamma
tidaklah mutlak diperlukan untuk merealisasikan kebenaran. Bahkan jika kita tidak mengetahui
Abhidhamma, kita masih dapat berlatih Vipassanā dan kita dapat memperoleh hasilnya. Akan tetapi,
pengetahuan Abhidhamma adalah sangat membantu. Ini seperti membaca peta sebelum kita pergi ke
suatu tempat. Ketika kita mencapai tempat itu, kita tidak perlu diberitahu karena kita telah
mengetahui apa itu. Pengetahuan Abhidhamma sungguh sangat membantu. Adalah baik, seperti yang
sedang kalian lakukan saat ini, mempelajari sedikit Abhidhamma sebelum kalian berlatih meditasi.
Namun ada beberapa guru yang menganggap bahwa Abhidhamma adalah penting. Kalian harus
mengetahui Abhidhamma sebelum berlatih Vipassanā. Pengetahuan Abhidhamma adalah baik untuk
dimiliki.

Apakah Abhidhamma Diperlukan Untuk Memahami Ajaran?


Terdapat beberapa orang, khususnya kaum terpelajar, yang menganggap bahwa Abhidhamma tidak
diperlukan untuk memahami Sutta-sutta. Seseorang menulis sebagai berikut, “Kelompok ke tiga dari
Kanon Pāḷi, Abhidhamma Piṭaka, tidak perlu dipelajari secara terperinci karena berbeda dengan
literatur Sutta yang telah dibahas, hanya lebih kering, lebih mencakup dan lebih akademis. Keaslian
dan kedalamannya berkurang. Dan pengetahuan kita atas filosofi Buddhis akan berkurang sedikit jika
Abhidhamma Piṭaka sama sekali diabaikan.” Maksudnya adalah bahwa walaupun kita tidak
mengetahui Abhdihamma, pengetahuan kita atas filosofi Buddhis tidak akan berkurang; kita tidak
memerlukan Abhidhamma untuk memahami filosofi Buddhis. Penulisnya adalah Ananda K.
Kumaraswami. Ini tercantum dalam bukunya, Buddha and the Gospel of Buddhism. Ia berkata,
“Keaslian dan kedalamannya berkurang.” Mungkin keasliannya berkurang karena hal yang sama
diajarkan dalam Abhidhamma seperti juga dalam Sutta Piṭaka dan Vinaya Piṭaka. Tidak ada topik baru
yang diajarkan dalam Abhidhamma. Tetapi kedalamannya — saya akan menyerahkan kepada kalian
untuk memutuskannya bagi kalian sendiri. Saya tidak akan mengatakan apa-apa. Apakah kalian
berpendapat bahwa itu dangkal, atau dalam, atau apapun, kalian akan memahaminya kelak setelah
kalian mengikuti kursus ini.
Ada seorang lainnya yang menulis seperti itu. Mungkin Kumaraswami mendapatkan gagasannya dari
buku itu. Buku itu berjudul The History of Indian Literature oleh seorang penulis berkebangsaan
Jerman, Moriz Winternitz. Ia menuliskan kurang-lebih sebagai berikut: “Terdapat begitu banyak
sinonim; tidak ada yang asli.” Mereka mungkin mengambil sebuah buku Abhidhamma dan hanya
melihat penomoran, sinonim dan hal lainnya, dan menjadi kecewa dengan Abhidhamma. Sebelum
kalian mengambil sebuah buku Abhidhamma dan membaca serta memahaminya, kalian harus
memiliki sedikit pengetahuan dasar Abhidhamma. Tanpa pengetahuan dasar, kalian tidak dapat
secara langsung memahami buku-buku Abhidhamma Piṭaka. Jika kalian tidak mengetahui tabel
perkalian, kalian tidak akan dapat menyelesaikan persoalan matematika. Kalian tidak dapat secara
langsung menyelesaikan persoalan aritmetika dan melakukan penjumlahan tanpa tabel perkalian. Itu,

4
Terdapat dua jenis meditasi—samatha (ketenangan) dan vipassanā (pandangan terang)
tentu saja, hingga beberapa waktu yang lalu. Zaman sekarang orang-orang menggunakan kalkulator.
Kita tidak perlu mempelajari tabel perkalian. Tanpa pengetahuan dasar adalah tidak mungkin untuk
mempelajari pengetahuan apapun. Oleh karena itu kalian memerlukan suatu jenis pengetahuan dasar
Abhidhamma sebelum masuk ke dalam Abhidhamma it u sendiri. Tanpa pengetahuan itu, buku apapun
yang kalian baca akan menjadi buku berbahasa Yunani bagi kalian.
Sayādaw U Thittila berkata, “Abhidhamma sangat dijunjung tinggi oleh para murid yang mendalami
filosofi Buddhis, tetapi bagi murid-murid lainnya tampak tidak menarik dan tidak bermakna.” Jika
kalian mengambil sebuah buku Abhidhamma, bahkan jika kalian memahami Pāḷi, kalian akan
menganggapnya tidak menarik dan membosankan. Ini karena “Abhidhamma sangat halus dalam
analisisnya, dan sangat teknis dalam pembahasannya hingga sangat sulit dpahami tanpa bimbingan
dari seorang guru yang kompeten.” Kalian mungkin membaca sebuah buku Abhidhamma dan
memahaminya hingga batas tertentu. Tetapi saya pikir kalian memerlukan seorang guru untuk
membimbing kalian dalam mempelajari Abhidhamma. Mungkin inilah sebabnya mengapa
Abhidhamma Piṭaka tidak sepopuler kedua Piṭaka lainnya di kalangan umat Buddhis barat—mungkin
bukan hanya umat Buddhis barat melainkan juga kaum terpelajar modern. Ananda Kumaraswami
bukanlah seorang barat. Ia orang Timur. Abhidhamma tidak populer bahkan dikalangan kaum
terpelajar timur karena “sangat halus dalam analisisnya dan sangat teknis dalam pembahasannya.” 5
Kalian akan melihat hal ini ketika anda mengambil sebuah buku Abhidhamma dan membacanya. Saya
tidak mengatakan bahwa pernyataan itu benar. Kalian akan membuktikannya sendiri kelak setelah
kalian mengikuti kursus ini.

Bagaimanakah Sang Buddha Mengajarkan Abhidhamma


Sekarang kita mendatangi ketujuh buku Abhidhamma dan Komentarnya. Abhidhamma adalah sebuah
literatur yang luas. Sang Buddha mengajarkan Abhidhamma kepada para dewa dan bukan kepada
manusia. Di musim hujan ke tujuh setelah Penerangan Sempurna, Sang Buddha pergi ke alam surga
Tāvatiṃsa dan membabarkan Abhidhamma kepada para dewa di sana. Sang ibu yang meninggal dunia
tujuh hari setelah melahirkan Beliau telah terlahir kembali sebagai deva, sebagai dewata dari alam
surga lain yang disebut alam surga Tusita. Ia turun ke alam surga Tāvatiṃsa dan mendengarkan
Abhidhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Dikatakan bahwa Sang Buddha mengajarkan secara non-stop selama tiga bulan penuh. Ketika saya
mengatakan ‘non-stop’, saya benar-benar bermaksud mengatakan non-stop. Sang Buddha adalah
manusia. Oleh karena itu Beliau perlu makan dan sebagainya. Ketika waktunya tiba untuk menerima
dana makanan, Beliau menciptakan sosok Buddha untuk mengajarkan Abhidhamma dari tempat
tertentu ke tempat lainnya selama Beliau tidak ada. Kemudian Beliau turun ke alam manusia untuk
mengumpulkan dana makanan. Pada saaat itu Buddha ciptaan mengabil alih. Ketika Beliau turun ke
alam manusia, Yang Mulia Sāriputta menemui Beliau di sana. Ketika Sang Buddha bertemu Sāripputta,
Beliau menyampaikan bagian tertentu dari Abhidhamma yang telah Beliau ajarkan selama interval
satu hari. Itu berarti antara pertemuan mereka pada hari sebelumnya dan hari ini. Apa yang
disampaikan Sang Buddha kepada Sāriputta hanya seperti sebuah daftar isi. Ketika Sāriputta
mendengarnya, ia mampu memahaminya, hingga ke rincian-rincian yang terkecil dari apa yang
diajarkan oleh Sang Buddha. ia memiliki pengetahuan analitis. Ia memahami semua yang diajarkan

5
Pernyataan dari Yang Mulia U Thittila ini terdapat dalam buku Essential Themes of Buddhist Lectures yang
dibabarkan oleh Ashin Thittila, hal.140.
oleh Sang Buddha selama interval waktu itu. Ketika Sāriputta kembali ke tempatnya ia mengajarkan
Abhidhamma yang ia pelajari dari Sang Buddha, kepada 500 bhikkhu yang menjadi murid-muridnya.
Kemudian setelah melewatkan siang hari itu di alam manusia Sang Buddha kembali ke alam surga
Tāvatiṃsa pada sore hari dan melanjutkan ajaranNya.
Apakah para dewata mengatahui bahwa Sang Buddha pergi dan bahwa sosok Buddha ciptaan yang
sedang membabarkan pada saat itu? Beberapa di antara mereka tahu dan yang lainnya tidak tahu.
Mereka yang memiliki kesaktian tinggi mengetahui dan mereka yang memiliki kesaktian rendah tidak
mengetahui. Karena tidak ada perbedaan antara Sang Buddha dan Buddha ciptaan dalam hal cahaya
mereka, suara mereka, ucapan mereka—segalanya persis sama, itu adalah tiruan yang persis sama—
para dewata berkekuatan rendah tidak mengetahui.
Dikatakan bahwa Sang Buddha berbicara sangat cepat. Seberapa cepatkah? Selama waktu yang
diperlukan bagi seorang biasa untuk mengucapkan satu kata, Sang Buddha dapat mengucapkan 128
kata. Bahkan sebuah khotbah yang dibabarkan setelah selesai makan di sebuah rumah dapat menjadi
setebal satu Nikāya. Sekarang bayangkan Sang Buddha berbicara seperti itu selama tiga bulan tanpa
henti, terus-menerus membabarkan. Oleh karena itu buku-buku Abhidhamma adalah sangat tebal.
Kita memiliki tiga versi Abhidhamma—yang diajarkan kepada para dewa yang sangat panjang,
kemudian ke dua yang diajarkan kepada Yang Mulia Sāriputta yang seperti Daftar isi, dan ke tiga yang
diajarkan oleh Yang Mulia Sāriputta kepada murid-muridnya; yang tidak terlalu panjang juga tidak
terlalu pendek. Yang Mulia Sāriputta membuatnya dapat diterima oleh para bhikkhu. Ia tidak
mengajarkan semua yang ia ketahui. Ia mengajarkan hanya secukupnya bagi mereka. Oleh karena itu
terdapat tiga versi Abhidhamma. Untungnya, versi terakhir yang tidak terlalu panjang juga tidak
terlalu pendek, tercatat pada Konsili Buddhis pertama. Versi inilah yang kita miliki sebagai
Abhidhamma sekarang.
Saya ingin menunjukkan buku-buku Abhidhamma kepada kalian. Terdapat dua belas jilid. Saya
menjumlahkan halaman-halamannya. Jumlah halaman itu seluruhnya adalah 4981. Terdapat tujuh
buku Abhidhamma, tetapi dalam edisi kami terdapat dua belas jilid. 4981 halaman itu mengandung
banyak penghilangan. Terdapat pengulangan atau bagian-bagian yang tidak sulit bagi pembaca untuk
melengkapinya, bagian itu dihilangkan. Jika semuanya dicetak, maka dapat menjadi sepuluh kali lebih
banyak daripada apa yang kita miliki saat ini. Abhidhamma sangat luas dan sangat panjang.

Tujuh Buku Abhidhamma


Terdapat tujuh buku Abhidhamma. Yang pertama adalah Dhammasaṅgaṇī, Klasifikasi Dhamma. Yang
berarti Klasifikasi Citta (kesadaran), Cetasika (faktor-faktor batin), dan Rūpa (materi). Buku ke dua
disebut Vibhaṅga, yaitu, Analisis Dhamma. Topik-topik yang diajarkan dalam Dhammasaṅgaṇī
dianalisis lebih jauh lagi. Buku ke tiga adalah Dhātukathā, Diskusi Dhamma. Ini adalah diskusi Dhamma
yang diajarkan dalam Dhammasaṅgaṇī. Buku ke empat adalah Puggalapaññatti, Pembedaan Jenis-jenis
makhluk. Buku ini tidak seperti Abhidhamma. Ini seperti khotbah-khotbah Sutta. Jenis-jenis individu
berbeda atau jenis-jenis makhluk berbeda dikelompokkan atau disebutkan. Ini adalah satu buku yang
tidak seperti Abhidhamma. Berikutnya adalah Kathāvatthu, pokok-pokok kontroversi. Ini juga tidak
seperti Abhidhamma. Ini adalah buku perdebatan. Opini-opini berbeda yang terdapat pada masa itu
diperiksa atas dasar perdebatan. Buku ini sangat berbeda dari buku-buku lainnya. Buku ini berisi
dialog antara para bhikkhu Theravāda dan para bhikkhu lainnya. Buku ke enam di sebut Yamaka, buku
Berpasangan. Itu berarti, terdapat pertanyaan dan jawaban secara berpasangan. Ada pertanyaan-
pertanyaan berpasangan. Ada jawaban-jawaban berpasangan. Misalnya, “Ada kondisi-kondisi
bermanfaat. Apakah semua kondisi bermanfaat tersebut adalah akar bermanfaat? Ada akar-akar
bermanfaat. Apakah semua akar bermanfaat itu adalah kondisi bermanfaat?” Seperti itu. Dan juga
sehubungan dengan agregat-agregat, landasan-landasan dan sebagainya ada pertanyaan dan jawaban
seperti itu yang berpasangan. Buku ke tujuh disebut Paṭṭhāna. Ini adalah buku hubungan Sebab-akibat.
Terdapat 24 cara hubungan sebab-akibat. Paṭṭhāna adalah buku paling tebal di antara tujuh buku
Abhidhamma. Dan bagi kita ini adalah buku Abhidhamma yang paling mendalam.
Dalam buku ini dikatakan bahwa Sang Buddha merenungkan Abhidhamma pada minggu ke empat
setelah Penerangan Sempurna. Beliau tidak membabarkan kepada orang lain. Ketika Beliau
merenungkan keenam buku pertama, tidak terjadi apa-apa. Beliau hanya merenungkannya saja.
Tetapi ketika Beliau merenungkan buku ke tujuh, cahaya enam warna memancar dari tubuhNya; sinar
itu keluar dari tubuh Beliau. (Kita tidak memiliki bendera Buddhis di sini. Bendera Buddhis
melambangkan keenam warna ini – biru, kuning, merah, putih, jingga dan gabungan kelima warna
ini.) Mengapakah demikian? Keenam buku lainnya tidak cukup mendalam untuk kebijaksanaan super
Sang Buddha. ketika Beliau sedang merenungkan keenam buku ini, ini bagaikan seekor ikan paus yang
dimasukkan ke dalam sebuah tangki kecil. Ia hampir tidak dapat bergerak di dalam tangki. Tetapi
ketika sampai pada buku ke tujuh, pokok-pokok pembahasannya adalah tidak terukur dan
kebijaksanaanNya tidak terukur. Kebijaksanaan Beliau menjangkau sejauh pokok pembahasan
merentang, dan pokok pembahasan menjangkau sejauh kebijaksanaanNya merentang. Ketika Beliau
mencapai buku ke tujuh, Beliau bagaikan seekor ikan paus yang diletakkan di samudra. Ia dapat
bergerak dengan leluasa dan dengan demikian ia menjadi gembira. Ketika pikiran bergembira, itu
mempengaruhi bagian fisik dari tubuhnya. Karena itu cahaya memancar dari tubuhNya. Paṭṭhana
adalah yang paling mendalam di antara ketujuh buku dan juga yang paling tebal.
Ini adalah ketujuh buku Abhidhamma. Tetapi kita tidak akan mempelajari ketujuh buku ini. Apa yang
akan kita pelajari adalah hanyalah pendekatan menuju buku-buku ini. Oleh karena itu maka kalian
harus menempuh perjalanan jauh.

Komentar, Sub-komentar dan Sub-sub-komentar


Selanjutnya kita memiliki Buku Komentar. Buku-buku Abhidhamma ini karena tidak dapat dipahami
dengan baik. Maka kita memerlukan seseorang untuk menjelaskannya dan untuk bertanya tentang
hal-hal yang diajarkan dalam buku-buku ini. Oleh karena itu, kita memerlukan buku-buku Komentar.
Terdapat komentar-komentar oleh Yang Mulia Buddhaghosa. Yang Mulia Buddhaghosa adalah
seorang Komentator yang sangat terkenal dan terhormat yang hidup pada abad ke lima A.D. Apa yang
ia tuliskan bukanlah hasil karyanya sendiri. Ia lebih seperti seorang penyunting. Ia menyusun ajaran-
ajaran yang dibacakan dan diajarkan sebelumnya, dan ia menyusunnya ke dalam satu buku yang
berkelanjutan. Apa yang ia tulis atau apa yang terdapat dalam Buku Komentar dapat ditelusuri kembali
bahkan hingga ke masa Sang Buddha, karena penjelasan-penjelasan ini diturunkan dari guru kepada
murid. Beberapa penjelasan yang diberikan dalam Komentarnya mungkin merupakan penjelasan yang
diberikan oleh Sang Buddha sendiri. Oleh karena itu, kita sangat menghargai buku-buku Komentar
yang ia susun. Yang Mulia Buddhaghosa menuliskan buku-buku Komentar sebagai berikut:
- Aṭṭhasālinī,
- Sammogavinodānī, dan
- Pañcappakaraṇa-aṭṭhakathā.
Ketiga ini adalah buku Komentar atas ketujuh buku Abhidhamma.
Kadang-kadang kita mengalami kesulitan bahkan untuk memahami buku-buku Komentar ini. Kita
memerlukan buku-buku lainnya untuk menjelaskan komentar-komentar tersebut. Maka kita memiliki
apa yang disebut sebagai Sub-komentar, atau Mūlaṭīkā. Buku Sub-komentar ditulis oleh Ānanda Thera.
Kita tidak mengetahui usia pastinya dari para penulis ini. Maka segala angka usia adalah kira-kira,
katakanlah abad ke-5 A.D. dan kira-kira Abad ke-11 A.D. Sub-sub Komentar yang disebut Anuṭikā,
ditulis oleh Dhammapāla Thera. Kita tidak mengetahui kapan tepatnya ia hidup, tetapi pasti setelah
Yang Mulia Buddhaghosa. Kemudian terdapat naskah-naskah tentang Abhidhamma oleh bhikkhu
lainnya yang bernama Buddhadatta Thera. Ia hidup sezaman dengan Yang Mulia Buddhaghosa Thera.
Ia menulis ringkasan Abhidhamma. Kemudian terdapat naskah-naskah yang ditulis oleh banyak
bhikku lainnya. Di antaranya yang terbaik dan paling terkenal adalah Abhidhammatthasaṅgaha. Kita
akan menggunakan Abhidhammatthasaṅgaha untuk kursus ini.

Abhidhammatthasaṅgaha
Abhidhammatthasaṅgaha ditulis pada abad 11 A.D. oleh Anuruddha Thera. Ia berasal dari India
Selatan. Ini pasti. Ia menulis tiga buku. Dalam buku lainnya ia menulis bahwa ia dilahirkan di
Kañcipura, India Selatan. Oleh karena itu ia memang berasal dari India Selatan. Ketika ia menulis buku
ini, diyakini bahwa ia sedang menetap di Sri Lanka. Dan dalam buku kecil itu6 seluruh dasar
Abhidhamma dibahas. Jika anda telah menguasai buku kecil ini, ini adalah kunci menuju seluruh
Abhidhamma Piṭaka. Anda dapat membuka buku Abhidhamma apapun, membacanya dan
memahaminya. Buku ini begitu tepat dan komprehensif. Maksud saya dengan buku ini adalah cukup
bagi kita untuk memahami buku-buku Abhidhamma. Buku ini adalah buku yang sangat terkenal untuk
memahami dasar-dasar Abhidhamma. Saat ini buku ini telah menjadi tuntunan yang tidak dapat
diabaikan untuk mempelajari Abhidhamma. Siapa pun yang ingin memahami Abhidhamma harus
terlebih dulu mempelajari buku ini. Terdapat buku-buku lainnya juga, tetapi tidak sebaik buku yang
satu ini.
Buku ini masih merupakan sebuah buku bagi pemula di Burma dan Negara Theravāda lainnya.
Sehubungan dengan Burma, diyakini bahwa Abhidhamma menjadi topik yang sangat terkenal di
antara para bhikkhu Burma. Abhidhamma menjadi topik yang sangat terkenal sejak diperkenalkannya
Buddhisme di Burma Atas pada tahun 1057 A.D. pada sekitar tahun 1044 A.D. terdapat seorang raja
bernama Anawrahta (Anuruddha). Beberapa di antara kalian mungkin pernah ke Bagan. Pada masa itu
terdapat bentuk menyimpang dari Buddhisme Tantra dipraktikkan di sana. Suatu hari sang raja
bertemu dengan seorang bhikkhu yang berasal dari Burma Selatan dan beralih keyakinan pada
Buddhisme Theravāda. Belakangan ia berhasil mendapatkan satu set Tipiṭaka dari Kerajaan Thaton di
Burma Bawah. Sejak saat itu para bhikkhu di Bagan dan wilayah Burma lainnya mulai mempelajari
Tipiṭaka Theravāda dengan penuh semangat. Pembelajaran Abhidhamma menjadi sebuah topik yang
sangat terkenal. Sampai saat ini masih sangat terkenal di Burma. Banyak naskah ditulis baik dalam
Bahasa Pāḷi maupun Bahasa Burma. Pada tahun 1968 Buddha-Sāsana Council mencetak terjemahan
Burma atas buku pertama Abhidhamma. Pada pendahuluannya, tercantum daftar buku-buku yang
tersedia atau daftar buku-buku yang ditulis oleh penulis Burma. Terdapat sebanyak 333 – beberapa
dalam Bahasa Burma, beberapa dalam Bahasa Pāḷi – yang ditulis oleh para penulis Burma. Ini
menunjukkan betapa terkenalnya Abhidhamma khususnya bagi para bhikkhu.

6
Ini buku yang sangat tipis, kurang dari 100 halaman, mungkin sekitar 80 halaman
Kelas malam
Kemudian terdapat apa yang disebut sebagai kelas malam. Ini hanya terdapat di Burma. Beberapa buku
Abhidhamma harus dipelajari pada malam hari. Yang artinya kita mempelajarinya pada siang hari.
Pada malam harinya kita mendatangi guru dan mengulangi apa yang kita pelajari selama siang hari.
Sang guru menjelaskan kalimat-kalimat sulit. Atau jika kita melakukan kesalahan, ia akan
memperbaikinya. Kita harus mempelajarinya dari sang guru dalam keadaan tanpa cahaya. Tidak ada
cukup cahaya untuk membaca. Kita tidak membawa buku. Kita mempelajari topiknya pada siang hari.
Kemudian kita mendatangi sang guru dan mengulanginya. Kemudian kita mengajukan pertanyaan dan
seterusnya. Beberapa bagian dari buku pertama Abhidhamma, buku ke tiga, buku ke enam dan buku
ke tujuh adalah materi kelas malam. Saya pikir itulah sebabnya mengapa para bhikkhu Burma lebih
menguasai topik-topik Abhidhamma daripada para bhikkhu dan negara lainnya. Kami memiliki tradisi
kelas malam ini. Dan ini masih berlangsung.
Abhidhamma adalah pelajaran wajib bagi setiap bhikkhu, samaṇera dan samaṇerī di Burma. Jika anda
ditahbiskan dan akan menjadi bhikkhu atau samaṇera, maka anda akan diberikan buku ini. Anda akan
diminta untuk menghafalkannya sebelum anda mengetahui tentang apa itu. Ini adalah pelajaran wajib.
Setiap bhikkhu atau samaṇera atau samaṇerī Burma mengetahui Abhidhamma. Juga banyak orang-
orang awam yang mempelajari Abhidhamma. Mereka bahkan menulis buku tentang Abhidhamma.
Mereka mengajar sanak saudara mereka. Sehingga ada juga umat awam mengajar umat awam, bukan
hanya bhikkhu yang mengajar umat awam. Juga terdapat ujian Abhidhamma dan sebagainya.

Terjemahan Bahasa Inggris dari Abhidhammatthasaṅgaha


Saya mengatakan bahwa kita akan menggunakan Abhidhammatthasaṅgaha (di sini disebut sebagai
“Manual”) atau terjemahannya untuk kursus ini. Terdapat tiga terjemahan Bahasa Inggris dari
ABhidhammatthasaṅgaha. Yang pertama berjudul Compendium of Philosophy oleh U Shwe Zan Aung.
Terbit pertama kali pada tahun 1910. Pendahuluannya sangat bagus. Berbagai topik Abhidhamma
dibahas dan dijelaskan dalam pendahuluan ini yang terdiri dari 76 halaman.
Buku ke dua berjudul Abhidhamma Philosophy, Jilid I oleh Bhikkhu J. Kashyap. Terbit pertama kali
pada tahun 1942. Ini adalah terjemahan lainnya dari Abhidhammatthasaṅgaha.
Ke tiga adalah A Manual of Abhidhamma yang ditulis oleh Nārada Thera. Terbit pertama kali pada
tahun 1956. Saya menggunakan buku ini untuk kelas Abhidhamma hingga saat ini.
Baru-baru ini muncul satu buku lainnya lagi. Buku ini berjudul Comprehensive Manual of
Abhidhamma (di sini disebut sebagai “CMA”). Kita akan menggunakan buku ini sebagai buku teks
untuk kelas ini. Ini sebenarnya adalah edisi revisi dari buku Yang Mulia Nārada. Pada mulanya para
penyunting berpikir bahwa mereka mungkin harus menyunting hanya beberapa bagian. Sewaktu
mereka sedang mengerjakan, mereka menemukan bahwa mereka terpaksa melakukan banyak
penyuntingan. Sebenarnya ini hampir menjadi sebuah terjemahan baru dari
Abhidhammatthasaṅgaha. Saya memiliki kemelekatan pribadi pada buku ini. Diagram yang saya
gunakan di sini bersumber dari buku ini dan telah diakui dalam pendahuluan. Seorang bhikkhu lainya
yang membantu dalam penyuntingan buku ini adalah sahabat saya, Dr. U Revata Dhamma. Ia menetap
di Inggris. Saya pikir hingga saat ini buku ini adalah buku terbaik untuk mempelajari Abhidhamma.
Beberapa Rujukan
Jika anda ingin membaca atau jika anda ingin mendapatkan gambaran tentang Konsili-konsili Buddhis
dan sejarah Buddhisme atau Saṅgha Buddhis, bukunya adalah Inception of Discipline and Vinaya
Nidāna. Sebenarnya ini adalah terjemahan dari “Bagian Pendahuluan” dari Komentar Vinaya Piṭaka.
Yang Mulia Buddhaghosa, pada bagian awal dari Komentar atas Vinaya, menuliskan sejarah
Buddhisme hingga masa Buddhisme berkembang di Sri Lanka. Oleh karena itu, Konsili Pertama, Ke
dua, dan Ke tiga disebutkan di sana dan juga tentang bagaimana Raja Asoka mengutus putra dan
putrinya ke Sri Lanka untuk menyebarkan Buddhisme di sana. Anda mendapatkan tulisan nyaris asli
tentang sejarah Buddhisme menurut penggambaran Theravāda. Jika anda ingin mengetahui tentang
Nikāya-nikāya dan Piṭaka-piṭaka dan juga tentang Konsili-konsili ini, buku ini adalah yang seharusnya
anda baca. Buku ini berjudul Inception of Discipline and Vinaya Nidāna. Vinaya Nidāna ditulis dalam
Bahasa Pāḷi. Terjemahannya diberikan terlebih dulu dan kemudian teks Pāḷi. jika anda ingin
memperoleh pandangan Buddhis Theravāda tentang sejarah Buddhisme, ini adalah buku yang harus
anda baca. Saya rasa cukup demikian untuk hari ini.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Bersabarlah
Saya akan memberitahukan sesuatu kepada kalian. Bagi sebagian besar dari kalian, Abhidhamma
adalah topik yang baru. Harap bersabar dengan pelajaran anda. Jika kalian tidak memahami sesuatu
di sana-sini, jangan mudah patah semangat. Kalian harus bersabar. Saya selalu mengatakan bahwa ini
seperti teka-teki menyusun gambar. Sebelum anda menempatkan kepingan terakhir, gambar itu selalu
belum lengkap. Kadang-kadang anda mungkin ingin mengetahui sesuatu. Tahan dulu. Anda akan
memahaminya kelak. Bersabarlah.

Juga jangan takut dengan Pāḷi


Juga jangan takut terhadap kata-kata Pāḷi. Kita tidak dapat menghindari menggunakan kata-kata Pāḷi.
kita selalu menggunakan kata-kata Pāḷi karena kadang-kadang bahasa terjemahan tidak mencukupi.
Agar kalian tidak keliru memahami, saya akan menggunakan dua bahasa, Pāḷi dan Inggris. Oleh karena
itu jangan takut terhadap kata-kata Pāḷi. Setelah kalian menghafalkan beberapa kata, kalian akan
menyadari bahwa itu tidak begitu sulit. Tidak dapat dihindari bahwa kalian harus memahami beberapa
kata Pāḷi. Jika kalian mempelajari sesuatu yang baru, maka kalian harus mempelajari beberapa kata
teknis. Jika kalian mempelajari Zen, maka kalian harus mempelajari kata-kata Jepang. Dengan cara
yang sama kalian harus mempelajari beberapa kata Pāḷi. oleh karena itu jangan takut terhadap kata-
kata Pāḷi. Dalam CMA ini, diberikan teks Pāḷi dari Abhidhammatthasaṅgaha. Kalian dapat mencoba
untuk membaca teks Pāḷi-nya.

2. DUA JENIS KEBENARAN


Apakah Kebenaran?
Kita akan mempelajari dua jenis kebenaran yang diakui dalam Buddhisme atau dalam ajaran-ajaran
Sang Buddha. Ketika orang-orang mengatakan tentang kebenaran, mereka mengatakan hanya ada
satu kebenaran. Orang-orang berbeda menginterpretasikannya dalam cara-cara berbeda. Tetapi
karena orang-orang berbeda menginterpretasikannya dalam cara-cara berbeda, maka tidak mungkin
ada satu kebenaran, melainkan ada banyak kebenaran. Jika anda bertanya kepada orang Kristen
tentang apa kebenaran itu, maka anda akan memperoleh satu jawaban. Jika anda bertanya kepada
orang Hindu, maka anda akan memperoleh jawaban berbeda. Oleh karena itu kebenaran mungkin
berbeda-beda tergantung siapa yang anda tanya.
Menurut Buddhisme, kebenaran berarti sesuatu yang benar, yang nyata baik dalam makna
konvensional maupun dalam makna mutlak. Beberapa hal adalah benar hanya secara konvensi, hanya
menurut penggunaan atau cara pengungkapan yang diterima oleh kelompok atau orang-orang
tertentu atau yang diterima oleh sebagian besar orang. Beberapa hal adalah benar menurut makna
mutlak. Apakah benar menurut konvensi ataupun menurut makna mutlak, ini disebut kebenaran atau
disebut realitas dalam Buddhisme.
Karena sesuatu yang benar, yang nyata, disebut sebagai kebenaran, maka kebenaran tidak harus hanya
yang baik saja. Kebenaran tidak harus hanya yang luhur saja. Kebenaran dapat berupa apapun yang
benar seperti yang digambarkan. Adalah didukung oleh fakta bahwa ketagihan adalah kondisi batin
tidak bermanfaat yang diajarkan oleh Sang Buddha sebagai Kebenaran Mulia ke Dua. Kebenaran Mulia
ke Dua adalah ketagihan. Ketagihan adalah suatu kondisi batin tidak bermanfaat yang menghasilkan
akibat buruk, yang tidak mulia. Namun ini tetap disebut sebagai kebenaran dalam Buddhisme. Oleh
karena itu maka kebenaran tidak selalu baik atau mulia. Kebenaran mungkin baik dan mungkin buruk.
Kebenaran mungkin mulia dan mungkin hina, tetapi harus benar. Ketika saya mengatakan api
membakar, membakar adalah kebenaran dari api. Itu adalah kebenaran. Maka dalam Buddhisme
ketagihan adalah kebenaran. Perhatian – kalian semua berlatih meditasi perhatian. Dalam Buddhisme
kebenaran tidak hanya yang baik saja. Melainkan mungkin baik dan mungkin buruk, mulia atau hina.
Apapun yang benar dalam makna konvensional atau dalam makna tertinggi adalah kebenaran.

Dua Jenis Kebenaran Yang Diakui dalam Buddhisme


Dalam Buddhisme diakui dua jenis kebenaran. Yang pertama adalah kebenaran konvensional. Yang ke
dua adalah kebenaran mutlak. Kita dapat menyebut kebenaran sebagai realitas. Kedua kata ini dapat
saling dipertukarkan. Ada realitas konvensional – sesuatu yang benar dalam makna konvensional, dan
sesuatu yang benar menurut makna tertinggi. Selalu ada dua jenis kebenaran ini di dunia.

Kebenaran Konvensional
Apakah kebenaran konvensional? Kebenaran konvensional adalah apa yang selaras dengan konvensi
atau penggunaan duniawi. Pada awalnya, pada masa awal kehidupan manusia di bumi ini. Sebutan itu
diterima oleh semua orang. Sesuatu dikenali dengan sebutan itu. Misalnya, suatu jenis binatang
tertentu disebut sebagai, ‘seekor kucing’. Sebutan itu diterima oleh semua orang. Jika anda ingin
merujuk pada binatang itu, maka anda mengucapkan kata ‘kucing’. Itu adalah konvensional.
Kebenaran konvensional adalah sesuatu yang diterima orang-orang pada umumnya. Sebutan ini
diterima melalui ‘kesepakatan bersama’. Saya tidak berani menggunakan ungkapan ‘kesepakatan
bersama’ sebelumnya. Kemarin saya mengambil buku ini dan di sana terdapat ungkapan ini. Maka saya
gembira. Dikatakan di sana: “Orang-orang melalui kesepakatan bersama menyetujui bahwa suatu
kelompok huruf tertentu atau bunyi-bunyian tertentu adalah mewakili objek atau gagasan tertentu.”
Kita dapat memiliki kesepakatan bersama. Ini adalah kesepakatan oleh semua orang: mari kita
menyebut ini sebagai seorang laki-laki. Mari kita menyebut ini seorang perempuan. Mari kita
menyebut ini seekor kucing, seekor anjing, dan sebagainya. Itu adalah kebenaran konvensional.
Misalkan ada seekor kucing di sini. Kemudian saya berkata, “Ada kucing.” Saya mengatakan kebenaran
saya tidak berbohong karena binatang yang diterima sebagai kucing ada di sini. Itu adalah satu jenis
kebenaran yang adalah kebenaran konvensional atau realitas konvensional. Atau kita dapat
mengambil contoh dari sebuah mobil. Bagaimanakah anda datang ke sini? Anda datang dengan
mengendarai mobil. Ketika anda berkata bahwa anda datang dengan mengendarai mobil, anda tidak
berbohong kepada saya. Anda mengatakan kebenaran, kebenaran konvensional. Memang benar
bahwa anda datang dengan mengendarai mobil. Kebenaran konvensional ‘mobil’ atau benda yang
diwakili oleh sebutan ‘mobil’ adalah sebuah realitas, realitas konvensional. Demikian pula untuk
sebuah rumah, seorang laki-laki, seorang perempuan. Anda dapat memberikan contoh sebanyak yang
anda inginkan. Segala sesuatu di dunia ini yang diberi nama adalah kebenaran konvensional.
Kebenaran konvensional ini disebut Sammuti-sacca dalam Pāḷi. Saya ingin agar anda terbiasa dengan
kata-kata ini, Sammuti-sacca. ‘Sammuti’ berarti konsep umum atau kesepakatan umum. ‘Sacca’ berarti
kebenaran. Anda mungkin pernah mendengar frasa ‘Cattāri Ariyasaccāni.’ Kata ‘Sacca’ adalah
kebenaran. Kebenaran jenis ini disebut Sammuti-sacca atau realitas konvensional.
Sammuti-sacca juga disebut Paññatti. Paññatti diterjemahkan sebagai konsep. Yang Mulia Ñāṇamoli
dalam terjemahan Visuddhimagga, Jalan Pemurnian, memberikan informasi tentang konsep. Ia
menyimpulkan bahwa,
“Semua ini menunjukkan bahwa kata ‘paññatti’ membawa makna sebutan atau konsep atau keduanya
sekaligus, dan bahwa tidak ada kata dalam Bahasa Inggris yang cukup sesuai.” ( Visuddhimagga, VIII,
n.11, p.781)
Tidak ada kata dalam Bahasa Inggris yang persis bersesuaian dengan kata ‘Paññatti’. Maka mari kita
menerima kata ‘konsep’ sebagai terjemahan dari kata ini.

Nāma-paññatti
Paññatti adalah lawan dari Paramattha yang akan dibahas selanjutnya. Kebenaran konvensional juga
disebut Paññatti. Ada dua jenis Paññatti. Saya pikir hanya sejauh ini yang perlu anda pahami. Jika anda
tidak sabar, jika anda ingin mengetahui lebih jauh tentang Paññatti, anda dapat membaca bagian akhir
dari bab delapan buku ini (Abhidhammatthasaṅgaha) (baca juga CMA, VIII, §§29-32, p.325-328). Bagian
itu membahas tentang Paññatti atau konvensi. Di sini kita hanya perlu memahami dua jenis Paññatti,
dua jenis konsep. Yang pertama disebut Nāma-paññatti. Nāma di sini berarti nama. Kata ‘Nāma’ berarti
nama atau batin, fenomena batin. Tetapi di sini kata ini bermakna nama. Oleh karena itu, Nāma-
paññatti berarti konsep-nama. Konsep-nama berarti nama-nama yang diberikan pada objek-objek.
Nama-nama ini membuat segala sesuatu dikenali. Oleh karena itu dalam Pāḷi disebut ‘Nāma-paññatti’.
Kata ‘Paññatti’ memiliki dua makna. Satu bermakna aktif dan yang lainnya bermakna pasif. ‘Paññatti’
bermakna sesuatu yang membuat hal lainnya dikenali. Ketika kita mengatakan ‘mobil’, nama ‘mobil’
membuat mobil sesungguhnya dapat dikenali. Dengan kata ‘mobil’ kita mengetahui benda
sesungguhnya, sebuah kendaraan dengan empat roda dan sebagainya. ‘Paññatti’ di sini bermakna
sesuatu yang membuat hal-hal lainnya dikenali, sebuah nama yang membuat segala sesuatu dikenali.
Nāma-paññatti adalah nama-nama yang diberikan pada objek-objek. Terdapat beribu-ribu Nāma-
paññatti. Di sini di dalam ruangan ini anda dapat menemukan berapa banyak Paññatti? Anda mungkin
menemukan sepuluh, dua puluh, tiga puluh. Nama apapun yang diberikan pada suatu benda atau sosok
disebut sebagai Nāma-paññatti. Seorang laki-laki, seorang perempuan, sebuah rumah, sebuah kamera,
sebuah perekam suara, semua ini dsebut Nāma-paññatti.
Attha-paññatti
Yang ke dua disebut Attha-paññatti. ‘Attha’ di sini berarti sesuatu. Attha-paññatti adalah konsep-
sesuatu. Artinya objek yang disampaikan oleh nama atau konsep itu adalah Attha-paññatti. Artinya
objek-objek direpresentasikan oleh nama-nama tersebut. Disebut Paññatti karena dikenali. Di sini kita
memperoleh makna pasif dari kata ‘Paññatti’. Kadang-kadang adalah baik sekali memiliki dua makna
untuk satu kata. Tetapi kadang-kadang juga membingungkan karena dapat bermakna keduanya
sekaligus. Oleh karena itu kita harus memahami makna yang mana yang digunakan dalam suatu
konteks. Dalam kata ‘Attha-paññatti, kata ‘Paññatti’ bermakna sesuatu yang dikenali, sesuatu yang
dikenali oleh Nāma-paññatti, oleh namanya. Sekali lagi, mari kita mengambil contoh mobil. Kita
memiliki nama ‘mobil’. Dan kita memiliki sesuatu yang kita sebut ‘mobil’. Sesuatu itu adalah Attha-
paññattu, konsep-sesuatu. Nama ‘mobil’ adalah Nāma-paññatti. Dalam kebanyakan kasus selalu
terdapat kedua Paññatti ini bersama-sama – Nāma-paññatti dan Attha-paññatti. Sebuah rumah –
nama ‘rumah’ adalah Nāma-paññatti. Rumah yang sebenarnya, bangunan rumah itu, adalah Attha-
paññatti. Seorang laki-laki – nama ‘laki-laki’ adalah Nāma-paññatti. Sosok orang tersebut adalah
Attha-paññatti. Dalam kebanyakan kasus kita dapat memperoleh Nāma-paññatti dan Attha-paññatti
untuk hal-hal ini.
Ketika kita mengatakan objek-objek, kita yang kita maksudkan adalah baik objek batin maupun objek
fisik. Kondisi-kondisi batin adalah objek. Kondisi-kondisi materi adalah objek.
Bagaimana dengan nama yang diberikan pada kondisi batin yang disebut kontak? Itu adalah Phassa.
Kontak batin, kontak pikiran dengan objek, sehubungan dengan faktor batin tersebut, dapatkah kita
memperoleh dua Paññatti di sana, Nāma-paññatti dan Attha-paññatti? Kita masih belum sampai pada
Paramattha, kebenaran mutlak. Kontak atau Phassa adalah satu di antara realitas-realitas mutlak. Oleh
karena itu dalam hal Phassa kita dapat memiliki Nāma-paññatti karena Phassa adalah nama. Akan
tetapi, kontak itu sendiri tidak disebut Attha-paññatti. Itu adalah Paramattha. Kebenaran mutlak.
Sehubungan dengan nama-nama yang diberikan pada hal-hal itu yang merupakan bagian kebenaran
mutlak kita memiliki Nāma-paññatti dan Paramattha, kebenaran mutlak – bukan Nāma-paññatti dan
Attha-paññatti. Sehubungan dengan hal-hal lainnya, hal-hal yang bukan merupakan bagian dari
realitas mutlak, terdapat dua konsep atau Paññatti, Nāma-paññatti dan Attha-paññatti. Anda dapat
melihat banyak Nāma-paññatti dan Attha-paññatti di sekeliling anda.
Konsep-konsep ini, penggunaan-penggunaan konvensional ini tidak dapat kita hindari. Kita tidak
dapat menghindari penggunaan kata-kata konvensional, bahasa konvensional ketika kita
berkomunikasi dengan orang lain. Itu karena kita hidup dalam dunia konvensional. Kita harus
menggunakan kata-kata konvensi untuk menyampaikan maknanya kepada orang lain. Jika tidak
demikian maka akan terjadi kebingungan. Seorang laki-laki tersusun dari kelima agregat. Seorang
perempuan juga adalah sekelompok lima agregat. Jika seseorang mengatakan bahwa sekumpulan
agregat datang ke vihara, anda tidak akan mengetahui apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena
itu kita tidak dapat menghindari kata-kata konvensional sewaktu kita berbicara, ketika kita
berkomunikasi satu sama lain. Tetapi kita harus memahami apa realitas mutlak yang sedang kita
bicarakan ketika kita menggunakan kata-kata konvensional tersebut.

Paññatti tidak bergantung pada waktu


Ini disebut konsep. Konsep dikatakan sebagai tidak selaras dengan waktu, di luar waktu, tidak
bergantung pada waktu. Ada orang-orang yang ingin memperdebatkan hal ini. Paññatti atau konvensi
atau konsep tidak ada dengan sendirinya. Apakah Paññatti? Anda tidak dapat memegangnya dengan
tangan anda. Misalnya, sebuah nama – sebuah nama adalah sebuah nama. Kita tidak dapat mengatakan
sebuah nama muncul, berdiam selama beberapa saat dan lenyap. Sebuah nama adalah sebuah nama
karena ada dalam pikiran kita. Nama adalah produk konstruksi pikiran. Kita memikirkannya sebagai
sesuatu dan kemudian kita menggunakan sebutan itu. Karena dikatakan hanya ada dalam pikiran kita,
maka sebenarnya nama tidak memiliki realitas, tidak eksis. Itulah sebabnya mengapa tidak dapat
dikatakan bahwa konsep adalah masa lalu, atau konsep adalah masa sekarang, atau konsep adalah
masa depan. Hal ini berada di luar kerangka waktu ini. Itulah sebabnya mengapa Paññatti dikatakan
sebagai tidak bergantung waktu. Hanya fenomena-fenomena yang memiliki memiliki tahapan muncul,
berdiam statis, dan lenyap, hanya hal-hal itu yang memiliki tahap-tahapan ini yang dikatakan sebagai
eksis. Hal-hal itu yang tidak memiliki ketiga tahap ini – muncul, menua, dan mati – jika sesuatu tidak
memiliki ketiga tahapan keberadaan ini, maka kita tidak mengatakannya eksis. Konvensi atau nama
yang diberikan kepada hal-hal ini dan hal-hal itu sendiri dikatakan sebagai tidak eksis dalam realitas.
Sebagai seorang laki-laki anda ada. Seorang laki-laki adalah sebuah konvensi atau konsep. Nama
adalah konsep dan orang adalah juga konsep. Orang tidak benar-benar ada. Apa yang benar-benar ada
adalah kelima agregat. Tetapi kita menyebut kumpulan lima kelompok ini sebagai seorang laki-laki,
seorang perempuan, sesosok makhluk dan sebagainya. seorang laki-laki, seorang perempuan, seekor
binatang atau apapun juga adalah hanya proyeksi pikiran atau konstruksi pikiran. Kita
menganggapnya sebagai ada walaupun sebenarnya hal-hal tersebut tidak ada dalam makna mutlak.
Hal-hal itu ada dalam makna konvensional. Karena konsep tidak muncul, tidak menua dan tidak
lenyap, maka dikatakan sebagai di luar waktu. Hal-hal itu tidak bergantung pada waktu. Maka Paññatti
dikatakan sebagai tidak bergantung pada waktu, seperti Nibbāna. Nibbāna tidak memiliki awal, tidak
muncul. Maka Nibbāna tidak lenyap, tanpa akhir. Itulah sebabnya mengapa Nibbāna juga disebut tidak
bergantung pada waktu. Dengan cara yang sama, Paññatti disebut tidak bergantung pada waktu.
Kita dapat mengatakan jika kita menyebut sesuatu dengan suatu nama bahwa itu muncul pada saat
itu. Ambil contoh sebuah mobil. Itu adalah contoh kesukaan saya. Seseorang menciptakan sebuah
mobil dan kemudian ia menyebutnya sebuah mobil. Anda dapat memperdebatkan bahwa konvensi
atau Paññatti ‘mobil’ muncul pada saat itu. Sebenarnya karena Paññatti itu hanya ada dalam pikiran
anda dan bukan suatu hal yang mutlak, maka kita tidak dapat mengatakannya muncul pada saat itu
bahwa hal tersebut eksis.
Kita dapat memahami nama lebih jauh lagi. Anda memberi nama pada seorang anak dan anda
memanggilnya dengan nama itu. Tetapi kita tidak dapat mengatakan kapan nama itu muncul pertama
kali. Dan kemudian ketika orang-orang menggunakan nama itu, nama itu tampaknya ada. Ketika
orang-orang melupakan nama itu, maka nama itu tampaknya lenyap. Belakangan ketika seseorang
datang dan mengatakan bahwa ada seseorang dengan nama itu mungkin seratus tahun yang lalu. Maka
kita mengingat nama itu kembali. Oleh karena itu maka nama yang adalah sebuah konsep adalah di
luar waktu. Bukan di masa sekarang, bukan di masa lalu, dan bukan di masa depan. Maka nama adalah
tidak bergantung pada waktu.

Kebenaran Mutlak
Yang ke dua adalah kebenaran mutlak. Kita lebih menekankan pada kebenaran mutlak karena
Abhidhamma membahas kebenaran mutlak. Apakah kebenaran mutlak? Kebenaran mutlak adalah apa
yang sesuai selaras dengan realitas. Dalam buku ini (baca CMA, I, tuntunan §2, p.25), dikatakan bahwa
jika dapat direduksi maka itu bukan kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak adalah apa yang tidak dapat
direduksi. Ini adalah hal terakhir yang tidak dapat direduksi lagi. Itu adalah kebenaran mutlak.
Seseorang atau misalnya seorang laki-laki, nama ‘laki-laki’ adalah konsep-nama. Seseorang adalah
konsep-sesuatu. Apa yang nyata dalam seseorang tersebut adalah kelima agregat. Kelima agregat ini
memiliki awal. Juga kelima kelompok itu menjadi tua. Dan akhirnya meninggal dunia. Hal-hal tersebut
memiliki keberadaan, keberadaan dalam hal-hal itu sendiri. Maka hal-hal itu disebut realitas mutlak.
Jika kita mereduksi apa yang kita sebut seseorang itu hingga elemen-elemen yang tidak dapat
direduksi lagi, maka kita mendapatkan agregat atau kita dapat mengatakan bahwa kita mendapatkan
batin dan jasmani. Kelima agregat atau anggota-anggota dari kelima agregat ini disebut kebenaran
mutlak karena nyata. Hal-hal tersebut memiliki eksistensi yang nyata. Hal-hal tersebut memiliki
eksistensi dalam hal-hal itu sendiri.
Kesadaran berarti Citta. Citta adalah kebenaran mutlak. Memang demikian. Kesadaran memiliki tiga
tahap keberadaan – muncul, menua, dan lenyap. Setelah berlangsung selama ketiga tahap ini, satu
kesadaran lenyap dan kemudian kesadaran lainnya muncul. Karena kesadaran telah muncul, menua
dan lenyap. Maka kita mengatakan bahwa kesadaran ini ada dalam makna mutlak. Kebenaran mutlak
adalah apa yang selaras dengan realitas.
Ini disebut Paramattha-sacca dalam Pāḷi. Paramattha didefinisikan sebagai hal yang mutlak atau
benar. Kita dapat mengatakan realitas mutlak atau benar. Mengapakah? Karena nyata sebagaimana
adanya. Bukan berbeda dari apa yang dinyatakan. Tidak berbelok. Tidak berbalik dari apa yang
dikatakan. Bukan lawan dari apa yang dikatakan. Tidak salah. Itu adalah apa yang kita sebut hal yang
mutlak atau kebenaran mutlak. Ketika kita mengatakan ada kesadaran, memang benar ada kesadaran.
Kesadaran benar-benar eksis. Maka kesadaran dikatakan sebagai kebenaran mutlak.
Kebenaran mutlak bukan seperti hal-hal dalam pertunjukan sulap atau seperti dalam cermin. Dalam
pertunjukan sulap mereka akan menghasilkan sesuatu dari tidak ada apa-apa. Kita menganggap bahwa
mereka menghasilkan sesuatu. Tetapi sebenarnya itu adalah tipuan. Kadang-kadang hal-hal itu
tampak begitu nyata sehingga kita ingin mempercayai bahwa mereka menghasilkan benda-benda
nyata. Hal-hal yang diperlihatkan pada pertunjukan sulap tidaklah nyata. Itu hanyalah ilusi. Dengan
cara yang sama, apa yang kita sebut seorang laki-laki, seorang perempuan, atau sebuah mobil, atau
sebuah rumah adalah ilusi. Ini bukanlah hal yang nyata. Tetapi apa yang nyata adalah komponen-
komponen yang terkandung di dalam hal-hal ini.
Saya rasa anda pernah melihat fatamorgana. Ini seperti air. Dari kejauhan orang-orang yang
melihatnya berpikir bahwa ada air di sana. Anda mengikuti air itu, tetapi anda tidak akan pernah
sampai ke tempat itu. Air itu bergerak bersama anda. Dalam Pāḷi ini disebut ‘ketagihan rusa’. Rusa
melihat fatamorgana di kejauhan. Ketika mereka haus, mereka akan mengikuti fatamorgana itu
hingga mereka jatuh dan mati. Fatamorgana bukanlah hal yang nyata. Jika anda melihatnya, itu
tampak seperti nyata. Tampak seperti ada air di sana. Ketika anda mendekat, air itu bergerak menjauh
dan menjauh dari anda. Itu adalah sebuah ilusi.
Paramattha, hal mutlak, tidak seperti itu. Ini nyata dan benar-benar ada. Itulah sebabnya maka disebut
hal yang mutlak.
Makna lain dari Paramattha adalah bahwa ini dapat terlihat oleh diri sendiri. Ini dapat direalisasikan
oleh diri sendiri. Kita dapat mengatakannya sebagai terlihat oleh diri sendiri. Ini harus dialami oleh
diri sendiri. Realitas mutlak dapat terlihat oleh diri kita sendiri, oleh kita. Hal-hal itu dapat dialami
oleh kita.
Realitas mutlak bukanlah hal-hal yang diketahui melalui kabar angin yang mungkin benar atau tidak
benar. Ketika kita mendengar sesuatu tentang seseorang dari orang lain, itu mungkin benar atau tidak
benar karena itu adalah kabar angin. Kita tidak dapat memastikan bahwa itu adalah sungguh-sungguh
benar. Itu mungkin salah. Kita tidak melihatnya sendiri. Begitu kita melihatnya sendiri, maka kita
mengetahui sebagaimana adanya. Maka kita mengatahui bahwa itu benar. Hal-hal yang kita ketahui
dari kabar angin, hal-hal yang kita ketahui dari laporan orang lain mungkin benar atau tidak benar.
Hal-hal demikian tidak disebut Paramattha. Agar dapat disebut Paramattha maka hal-hal itu harus
dialami oleh diri kita sendiri.
Ambil contoh kesadaran. Khususnya ketika anda berlatih meditasi, anda tahu ada kesadaran. Anda
tahu bahwa pikiran anda pergi ke sana-sini. Anda dapat mengalaminya atau anda dapat melihatnya
sendiri. Bukan dengan membaca buku atau mendengarkan khotbah, atau melalui spekulasi, melainkan
melalui pengalaman maka anda dapat melihat itu. Beberapa hal, yang dialami oleh diri kita sendiri,
disebut sebagai kebenaran mutlak.
Misalnya, perasaan – ini juga nyata. Anda duduk untuk bermeditasi dan setelah beberapa lama anda
mengalami kesakitan di sana. Kadang-kadang sakit itu menjadi sangat hebat sehingga anda terpaksa
menghentikannya. Ini sangat nyata. Anda dapat mengalaminya. Anda tahu bahwa ada perasaan. Anda
tahu ada perasaan menyakitkan. Atau jika anda bahagia, anda tahu ada perasaan menyenangkan. Anda
mengetahuinya sendiri karena anda telah mengalaminya sendiri. Anda tidak perlu bertanya kepada
orang lain untuk memastikan hal ini. Apa yang anda alami secara langsung untuk diri anda sendiri
disebut realitas mutlak. Realitas mutlak dapat dipastikan melalui pengalaman pribadi.
Definisi ini menunjukkan bahwa sebelum kita melihatnya untuk diri kita sendiri, itu bukanlah realitas
mutlak bagi kita. Misalnya Nibbāna. Nibbāna adalah relitas mutlak tertinggi. Sebelum kita melihat
Nibbāna oleh diri kita sendiri, sebelum kita merealisasikan Nibbāna untuk diri kita sendiri, itu masih
belum realitas mutlak bagi kita. Saya dapat mengatakan, “Semoga aku mencapai Nibbāna” atau
“Semoga anda mencapai Nibbāna” atau “aku melakukan perbuatan berjasa ini agar aku dapat
mencapai Nibbāna.” Kita selalu mengatakan hal ini. Ketika kita mengatakan, “Nibbāna”, Nibbāna yang
kita pikirkan bukanlah Nibbāna sesungguhnya. Itu hanyalah konsep-nama, Nibbāna. Tetapi ketika kita
melihatnya oleh diri kita sendiri, ketika kita mengalami pencerahan oleh diri kita sendiri, saat itu kita
akan mengetahui Nibbāna melalui pengalaman langsung. Hanya pada saat itu Nibbāna menjadi realitas
mutlak bagi kita. Sebelum kita mencapai tingkat itu, walaupun Nibbāna adalah realitas mutlak, itu
masih belum realitas mutlak bagi kita.
Agar sesuatu menjadi realitas mutlak maka itu harus nyata seperti yang nyatakan. Itu tidak boleh lain
dari apa yang dinyatakan. Jika dikatakan ada kesadaran, maka ada kesadaran. Juga itu harus dialami
oleh diri sendiri. Ini harus dilihat oleh diri sendiri melalui pengalaman langsung.
Ada perumpamaan atau contoh untuk menjelaskan realitas mutlak dan realitas konvensional. Yang
paling jelas adalah sebuah rumah. Apa yang kita sebut sebuah rumah bukanlah realitas mutlak. Yang
menjadi realitas mutlak adalah bagian-bagiannya. Tanpa bagian-bagian ini maka tidak akan ada
rumah. Jika anda melepaskan bagian-bagian ini satu demi satu, maka anda tidak akan memiliki sebuah
rumah.
Hal serupa berlaku untuk seorang laki-laki. Jika anda memotong orang itu sekeping demi sekeping,
maka anda akan kehilangan orang itu. Hanya ada tumpukan bagian-bagian tubuh. Ini hanyalah
perumpamaan. Apa yang nyata pada seseorang hanyalah bagian-bagian dan bukan keseluruhan.
Tanpa bagian-bagian ini tidak ada keseluruhan.
Contoh lainnya adalah lingkaran api. Ini sangat jelas. Apakah lingkaran api ada? Jika saya mengambil
sebuah obor dan menggerakkannya melingkar, anda mengatakan bahwa anda melihat lingkaran api.
Tetapi anda mengetahui bahwa tidak ada lingkaran api. Ada api pada tempat-tempat berbeda di
sekeliling lingkaran. Pikiran anda melihat semua titik ini dan membangun sebuah lingkaran penuh.
Sebenarnya tidak ada lingkaran api. Semua orang mengetahui hal itu. Lingkaran api adalah Paññatti.
Ini tidak benar-benar ada. Apa yang ada adalah cahaya api di tempat-tempat berbeda pada satu waktu,
satu pada setiap momen. Kita sangat mahir membangun pemikiran ini, gambaran-gambaran ini
menjadi keseluruhan sehingga kita berpikir bahwa kita melihat lingkaran api. Tetapi sesungguhnya
kita tidak melihat lingkaran api.
Itu karena pikiran kita bekerja sangat, sangat cepat. Kita tidak menyadarinya ketika kita berbicara
seperti biasa. Ketika kita mempertimbangkan seorang anak yang belajar membaca, kita dapat melihat
bagaimana pikiran bekerja dengan sangat cepat. Ketika seorang anak belajar membaca, ia harus
mengeja, Ia tidak dapat membacanya secara langsung. Ia harus mengeja kata ‘dua’, misalnya.
Kemudian ia mengetahui kata ‘dua’, tetapi sekarang anda mengetahuinya secara langsung. Anda tidak
perlu memikirkannya. Anda merasa bahwa anda tidak perlu membangunnya. Ini seperti bakat alami
bagi anda. Anda hanya membaca kata itu, kata ‘dua’ atau kata yang lebih panjang seperti ‘pemahaman’
atau ‘meditasi’ atau kata apapun. Untuk membaca kata yang panjang seperti ‘pemahaman’, anda harus
membaca semua hurufnya. Kemudian pikiran anda membangun atau menyusun semua huruf ini
menjadi keseluruhan. Bagi seorang anak hal ini mungkin memerlukan waktu dua detik, tetapi bagi
anda ini bahkan tidak sampai satu detik. Pemikiran ini selalu bersama kita, tetapi terhadap hal-hal
yang sering kita kenali kita tidak menyadari pemikiran itu. Terhadap hal-hal yang tidak sering kita
kenali, pemikiran menjadi nyata.
Mari kita lihat barisan semut. Adakah barisan semut? Anda menyingkirkan semut-semut itu dan anda
kehilangan barisan itu. Tidak ada barisan semut. Tetapi orang-orang mengatakan, “aku melihat
barisan semut.” Pikiran kita membangunnya menjadi sebuah barisan, tetapi sebenarnya tidak ada
barisan semut. Barisan adalah sebuah konsep. Hanya semut-semut yang nyata.
Sehelai tali terbuat dari serat atau benang. Jika anda mengeluarkan benang-benang itu sehelai demi
sehelai, maka anda tidak akan memiliki tali sama sekali. Apa yang benar-benar ada hanyalah benang-
benang halus, serat-serat halus. Jika anda mengumpulkannya kembali, maka anda mengatakan bahwa
ada tali. Apa yang anda sebut tali sebenarnya adalah ilusi. Apa yang ada adalah benang-benang atau
serat-serat halus.
Anda melihat sungai dan anda berpikir bahwa airnya selalu ada di sana. Anda mengetahui bahwa setiap
detik ada air baru yang mengalir. Ada banyak perumpamaan untuk memperlihatkan kebenaran
mutlak dan kebenaran konvensional. Ini hanyalah beberapa perumpamaan. Misalnya, sebuah mobil,
kita mengatakan bahwa sebuah mobil adalah sebuah konvensi dan bagian-bagiannya adalah
kebenaran mutlak. Tentu saja bahkan bagian-bagian itu pun masih belum kebenaran mutlak. Jika anda
memecahnya menjadi partikel-partikel terkecil, maka partikel itu adalah kebenaran mutlak. Partikel
materi terkecil adalah kebenaran mutlak.
Ada dua jenis kebenaran – kebenaran konvensional dan kebenaran mutlak. Abhidhamma terutama
membahas tentang kebenaran mutlak. Saya mengatakan ‘terutama’ karena ada tujuh buku
Abhidhamma dan satu buku membahas konsep. Sebutan Jenis-jenis Individu (Puggalapaññatti) – Buku
itu tidak membahas kebenaran mutlak. Buku itu tentang jenis-jenis manusia. Maka marilah kita
katakan bahwa Abhidhamma terutama membahas tentang kebenaran mutlak.
EMPAT JENIS KEBENARAN MUTLAK
Citta
Terdapat empat jenis kebenaran mutlak yang diterima dalam Abhidhamma. Pertama adalah Citta.
Citta diterjemahkan sebagai kesadaran. Apakah Citta? Citta adalah kesadaran jernih atas objek. Di sini
kesadaran bermakna hanya kesadaran murni, bukan kesadaran yang kita gunakan dalam meditasi.
Dalam meditasi kita menggunakan kata ‘kesadaran’. Kesadaran dalam meditasi sebenarnya adalah
perhatian. Dalam mendefinisikan kata ‘Citta’, kesadaran bermakna hanya kesadaran saja. Yaitu
mengetahui bahwa ada sesuatu di sana. Seperti itu. Kesadaran murni atas objek adalah apa yang
disebut ‘Citta’ dalam Abhidhamma. Kata ‘kesadaran’ adalah kata yang tidak cukup tepat untuk kata
Pāḷi ‘Citta’. Tidak ada kata yang lebih baik untuk kata ini, maka kita terpaksa menerimanya sebagai
terjemahan untuk kata ‘Citta’. Kapanpun kita menggunakan kata ‘kesadaran’, harap memahaminya
dalam makna Abhidhamma dan bukan dalam makna yang dipahami oleh orang-orang biasa.
Kesadaran adalah hanya kesadaran murni atas objek. Ini seperti air yang jernih.
Citta tidak pernah ada tanpa sebuah objek. Menurut Abhidhamma, kita tidak dapat menghalangi
pikiran kita dari objek-objek bahkan walaupun kita tertidur lelap. Kita masih memiliki arus kesadaran
yang sedang berlangsung. Dan selama masih ada kesadaran, maka ada objek dari kesadaran tersebut.
Objek tersebut samar. Oleh karena itu kita tidak menyadari objek tersebut. Sebenarnya ada sebuah
objek. Objek itu berfungsi sebagai sesuatu yang mengikat kesadaran. Bahkan ketika kita tertidur lelap,
bahkan ketika kita pingsan atau bahkan ketika kita di bawah pengaruh obat bius, ada kesadaran yang
sedang berlangsung. Kesadaran tidak pernah ada tanpa suatu objek. Selalu ada bersama kita. Apakah
kita terlelap atau terjaga, atau apapun yang sedang kita lakukan, selalu ada kesadaran. Dalam hidup
kita tidak ada satu momen pun di mana kita tanpa kesadaran. Secara konvensi kita mengatakan ia
tidak sadar. Itu berarti bahwa ia kehilangan kesadaran. Dalam makna umum itu benar. Menurut
Abhidhamma, ia masih memiliki kesadaran. Masih ada kesadaran atas objek. Dalam kasus itu adalah
kesadaran atas objek yang samar. Citta tidak pernah ada tanpa objek. Dan Citta selalu ada bersama
kita.
Kita umat Buddhis menerima kelahiran kembali. Citta selalu berlangsung lagi dan lagi, bukan berarti
bahwa Citta adalah kekal. Arus Citta ini, keberlanjutan Citta ini berlangsung lagi dan lagi. Citta selalu
bersama kita.
Terdapat sinonim untuk kata ‘Citta’. Saya rasa anda harus memahami kata-kata ini. Yang pertama
adalah Viññāṇa. dalam formula Kemunculan Bergantungan kata ‘Viññāṇa’ digunakan. Saṅkhāra-
paccayā Viññāṇaṃ. ‘Viññāṇa’ berarti Citta. Kadang-kadang digunakan kata ‘Mana’. Kadang-kadang
juga digunakan kata ‘Ceta’. Anda akan menemukan kata ‘Cetasika’. Realitas mutlak berikutnya adalah
Cetasika. Di sana kata yang digunakan adalah Ceta. ‘Ceta’ berarti pikiran. Kadang-kadang pikiran atau
Citta disebut anasa. Kadang-kadang bahkan disebut Hadaya. ‘Hadaya’ berarti jantung. Baik dalam
Bahasa Inggris maupun dalam Bahasa Pāḷi dan mungkin dalam bahasa-bahasa lainnya juga, jantung
dan pikiran adalah terhubung. Kata ‘heart’ adalah sinonim untuk Citta atau kesadaran atau pikiran.
Kita mengatakan “He has a good heart” atau semacam itu. Itu bukan merujuk pada jantung secara
fisik. Itu berarti ia memiliki sikap pikiran yang baik. Kata-kata ini bersinonim dengan kata ‘Citta’.
Kadang-kadang khususnya ketika sesuatu dituliskan dalam bentuk syair. Sering kali anda memerlukan
hanya dua suku kata. Di saat lainnya anda memerlukan tiga suku kata. Ketika anda memerlukan tiga
suku kata, maka anda akan menggunakan Viññāṇa. ketika anda memerlukan dua suku kata, maka anda
menggunakan Citta atau Mana. Ini adalah sinonim untuk Citta.
Terdapat 89 atau 121 jenis Citta atau kesadaran yang dikenali dalam Abhidhamma atau diajarkan
dalam Abhidhamma. Dalam Bab pertama ini kita akan mempelajari jenis-jenis kesadaran secara
terperinci.

Cetasika
Realitas mutlak ke dua adalah Cetasika. Anda menemukan kata ‘Ceta’ di sini. Yang diterjemahkan
sebagai faktor-faktor batin, yang menyertai pikiran atau mungkin dengan nama-nama lainnya juga.
Artinya adalah hal-hal yang terhubung pada Citta atau hal-hal itu yang terhubung dengan Citta. Yaitu
hal-hal yang muncul bersama dimana Citta bergantung padanya. Itulah sebabnya maka disebut
Cetasika. Ceta adalah bersinonim dengan Citta. Hal-hal itu yang muncul dengan bergantung pada Citta
disebut Cetasika. Cetasika adalah hal-hal yang muncul bersama atau pada saat yang sama dengan Citta.
Hanya ketika Citta muncul maka Cetasika dapat muncul. Jika tidak ada kemunculan Citta, maka
Cetasika tidak dapat muncul. Citta dan Cetasika muncul pada momen yang sama, pada saat yang sama,
tetapi jika tidak ada Citta, maka tidak akan ada Cetasika.
Citta adalah kesadaran murni atas objek, itu seperti hubungan antara diri anda dengan objek. Tanpa
hubungan itu bagaimanakah seseorang dapat mengalami objek? Bagaimana mungkin ada perasaan
atas objek tersebut? Bagaimana mungkin ada pemahaman atas objek tersebut? Bagaimana mungkin
dapat mengingat objek tersebut? Bagaimana mungkin ada kemelekatan atas objek tersebut? Agar
kondisi-kondisi batin ini dapat muncul maka diperlukan Citta. Citta adalah sesuatu seperti hubungan
antara anda dengan objek. Cetasika adalah hal-hal itu yang kemunculannya bergantung pada Citta.
Cetasika muncul bersama dengan Citta.
Ada empat karakteristik Cetasika. Sebenarnya anda akan mempelajari empat karakteristik ini dalam
Bab ke dua. Agar anda sekedar tahu apa Cetasika itu maka saya memasukkannya di sini.
1. Cetasika pasti muncul bersama dengan Citta pada momen yang sama, pada saat yang sama.
2. Cetasika pasti lenyap bersama dengan Citta. Oleh karena itu Cetasika muncul dan lenyap
bersama dengan Citta.
3. Cetasika memiliki objek yang sama dengan Citta. Jika Citta mengambil objek terlihat sebagai
objek, maka Cetasika juga mengambil objek terlihat sebagai objek. Tidak mungkin Citta
mengambil satu objek dan Cetasika mengambil objek lainnya. Itu mustahil. Keduanya pasti
memiliki objek yang sama. Keduanya pasti mengambil objek yang sama seperti yang diambil
oleh Citta.
4. Keduanya pasti memiliki landasan yang sama. Landasan yang sama berarti – misalnya,
kesadaran melihat bergantung pada mata. Jika anda tidak memiliki mata, maka anda tidak
melihat. Maka tidak ada kesadaran melihat. Kesadaran melihat dikatakan bergantung pada
mata. Kesadaran mendengar bergantung pada telinga. Kesadaran mencium bergantung pada
hidung. Kesadaran mengecap bergantung pada lidah. Kesadaran menyentuh bergantung pada
badan. Kesadaran mengetahui bergantung pada pikiran. Keduanya pasti memiliki landasan
yang sama. Jika Citta bergantung pada mata, maka Cetasika juga bergantung pada mata. Ini
adalah empat karakteristik. Jika fenomena apapun termasuk dalam empat karakteristik ini,
maka fenomena itu disebut Cetasika.
Terdapat beberapa properti materi yang muncul bersama Citta and lenyap bersama dengan Citta.
Tetapi tidak mengambil objek. Tidak memiliki landasan yang sama. Maka tidak disebut Cetasika. Anda
akan memahaminya nanti.
Ini adalah empat karakteristik Cetasika. Untuk mengetahui apakah sesuatu adalah Cetasika, kita dapat
memeriksanya dengan empat karakteristik ini. Jika memiliki empat karakteristik ini, maka kita dapat
mengatakan bahwa itu adalah Cetasika. Hal-hal itu harus muncul bersamaan dengan Citta. Hal-hal itu
harus lenyap bersamaan dengan Citta. Hal-hal itu harus memiliki objek yang sama dengan Citta. Hal-
hal itu harus memiliki landasan yang sama atau bergantung pada landasan yang sama dengan Citta.
Ada berapa banyakkah Cetasika? Ada 52 Cetasika. 52 Cetasika dikenali dalam Abhidhamma. Kita akan
mempelajari Cetasika pada Bab dua buku ini (baca juga cMA, II, §1, p.76).

Rūpa
Realitas ke tiga disebut Rūpa. Kata Pāḷi adalah Rūpa. Terjemahannya adalah materi. Apakah Rūpa?
Rūpa adalah apa yang berubah ketika tersentuh dengan kondisi-kondisi yang berlawanan seperti
dingin, panas, dan sebagainya, khususnya Rūpa dalam tubuh. Ketika anda pergi di bawah terik
matahari yang panas, terdapat satu kelanjutan properti materi. Kemudian anda berteduh dan ada
kelanjutan properti materi lainnya. Jika anda mandi, ada jenis lainnya lagi dan seterusnya. Semua yang
berubah karena dingin, panas, lapar, haus, gigitan serangga disebut Rūpa atau materi. Berubah di sini
berarti perubahan yang jelas atau terlihat. Batin berubah lebih cepat daripada materi, tetapi batin
tidak disebut Rūpa. Perubahan pikiran tidak begitu nyata, tidak begitu jelas, seperti perubahan Rūpa.
Hanya perubahan yang jelas, yang mudah terlihat, yang dengan mudah dirasakan yang dimaksudkan
dengan perubahan di sini. Semua yang berubah karena kondisi-kondisi yang berlawanan ini disebut
Rūpa, materi.
Rūpa ada pada makhluk-makhluk hidup serta benda-benda luar. Ada Rūpa dalam tubuh kita. Ada Rūpa
di dalam rumah, di pohon dan sebagainya. Ada Rūpa internal dan eksternal. Rūpa ada pada makhluk-
makhluk hidup dan benda-benda luar. Citta dan Cetasika hanya muncul pada makhluk-makhluk hidup.
Rūpa tidak memiliki kemampuan untuk mengenali. Rūpa tidak mengetahui. Anda dapat memukul
meja dan meja tidak akan berkata, “Oh, sakit.” Atau semacam itu. Rūpa tidak memiliki kemampuan
untuk mengenali, Rūpa tidak mengetahui. Rūpa tidak mengambil objek karena rūpa adalah objek itu
sendiri.
Terdapat 28 jenis materi atau properti materi yang dikenal dalam Abhidhamma. Dalam Abhidhamma
28 properti materi diajarkan. Walaupun mungkin ada jenis-jenis materi berbeda di dalam tubuh kita,
jika kita memecahnya hingga tingkat realitas mutlak, maka kita mendapatkan 28 jenis materi.
Kita akan mempelajari materi pada Bab enam (baca juga CMA, VI, §1, p.234). sifat materi dapat
diumpamakan sebagai unsur-unsur dalam kimia. Adakah yang mengetahui tabel periodik dalam
kimia? Di sini ada 28 properti materi. 28 itu digabungkan dalam cara-cara berbeda seperti pada unsur
kimia. Ini dapat diumpamakan sebagai unsur kimia, tetapi tidak persis sama seperti unsur kimia.

Nibbāna
Realitas mutlak ke empat adalah Nibbāna. Ini adalah tujuan tertinggi umat Buddhis. Apakah ‘Summum
Bonum’? apakah yang terbaik, tertinggi?
Murid: Terbesar.
Sayādaw: ‘Bonum’ berasal dari Bonafide?
Nibbāna didefinisikan sebagai padamnya keinginan, kebencian, dan delusi. Sebenarnya ini adalah
padamnya segala kekotoran batin. Ini seperti kesehatan atau kedamaian. Banyak orang tidak
menyukai kata-kata negatif untuk menggambarkan Nibbāna. Tetapi saya pikir kita tidak dapat
menghindari penggunaan kata-kata negatif. Kita tidak bermaksud mengatakan bahwa Nibbāna adalah
suatu kondisi negatif hanya karena kita menggunakan kata-kata negatif untuk menggambarkannya.
Ambil contoh kesehatan. Apakah kesehatan? Tidak ada penyakit. Kebebasan dari penyakit atau tidak
memiliki penyakit disebut kesehatan. Oleh karena itu kesehatan adalah kondisi positif, tetapi
dijelaskan sebagai ketiadaan penyakit. Kedamaian juga seperti itu. Nibbāna adalah padamnya
keinginan, kebencian dan delusi. Sebenarnya itu berarti bahwa Nibbāna adalah padamnya segala
kekotoran batin.
Juga dijelaskan sebagai kebebasan dari penderitaan. Kita dapat mengatakan bahwa ini adalah
padamnya segala penderitaan.
Nibbāna tidak terkondisi. Harap dicatat. Kira-kira dua tahun lalu seseorang memberikan kepada saya
sebuah artikel tentang Paṭicca-samuppāda. Dalam artikel tersebut penulis berkata, “Nibbāna adalah
terkondisi”. Saya terkejut. Ia berkata, “Nibbāna adalah tidak terbentuk, tetapi terkondisi”. Itu tidak
benar. Ia tidak memahami kata Pāḷi ‘Sankhata’ dengan benar. Nibbāna dijelaskan sebagai Asankhata.
‘A’ berarti tidak, maka berarti tidak Sankhata. Sankhata diterjemahkan sebagai terbentuk oleh banyak
penulis. Ia menganggapnya sebagai terjemahan yang benar. Maka ia menerima bahwa Nibbāna adalah
tidak terbentuk. Nibbāna bukanlah bentukan apapun, tetapi ia mengatakan Nibbāna adalah bukan tak
terkondisi. Ketika Sang Buddha menjelaskan Nibbāna, ia menggunakan kata ‘tidak tercipta’. Tidak
tercipta dan tidak terkondisi adalah sama. Bersama dengan kata ‘Asankhata’ kata lainnya yang
digunakan adalah ‘Akata’. ‘Akata’ berarti tidak tercipta. Nibbāṅa pasti adalah tidak terkondisi. Tidak
ada kondisi bagi Nibbāna. Kita tidak dapat mengatakan bahwa Nibbāna ada karena jika kita
mengatakan Nibbāna ada maka kita mengatakan bahwa Nibbāna memiliki awal dan pasti memiliki
akhir. Dikatakan bahwa Nibbāna tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Nibbāna adalah tidak
terkondisi dan Nibbāna tidak tersusun dari bagian komponen apapun.
Nibbāna tidak dapat dijelaskan secara memuaskan dalam bahasa sehari-hari. Tahukah anda
perumpamaan tentang ikan dan kura-kura? Seekor kura-kura bepergian ke darat. Ia berjalan di atas
tanah. Kemudian ia kembali ke air dan berbicara dengan ikan. Ikan bertanya apa yang telah ia lakukan?
Kura-kura menjawab, “aku berjalan di atas tanah dan melihat pepohonan” atau semacam itu. Ikan
tidak dapat memahami apa itu karena ia tidak pernah pergi ke darat. Kita tidak pernah melihat
Nibbāna dan oleh karena itu kita tidak dapat benar-benar memahaminya. Dan juga Nibbāna tidak
dapat dijelaskan secara memuaskan dalam bahasa sehari-hari. Nibbāna sama sekali di luar dunia ini.
Kita selalu berpikir sehubungan dengan dunia ini, sehubungan dengan eksistensi. Banyak orang
menganggap bahwa Nibbāna adalah suatu tempat atau suatu alam yang dapat dikunjungi atau dicapai.
Jika kita mengatakan Nibbāna adalah padamnya segala penderitaan dan itu berarti padamnya kelima
agregat, maka anda mungkin tidak ingin pergi ke Nibbāna. Anda mungkin tidak ingin merealisasikan
Nibbāna karena kita semua berpikir sehubungan dengan eksistensi. Jika kita pergi ke luar dari
eksistensi dan tidak menjadi apapun lagi, apakah anda dapat menerimanya? Oleh karena itu maka
Nibbāna tidak dapat dijelaskan dalam bahasa sehari-hari. Nibbāna dijelaskan pada bagian terakhir dari
bab enam buku ini (baca juga CMA, VI, §30, p.258). Jika tidak sabar, anda dapat membaca bagian itu.

Empat Kebenaran Mulia termasuk dalam Kebenaran Mutlak


Empat Kebenaran Mutlak – kita telah membicarakan tentang kebenaran-kebenaran, tetapi hingga saat
ini kita belum membicarakan tentang Empat Kebenaran Mulia. Anda mungkin ingin tahu bagaimana
Empat Kebenaran Mulia berhubungan dengan kebenaran mutlak. Kebenaran Mulia Penderitaan
berarti Citta, Cetasika dan Rūpa. Citta Adi-duniawi adalah di luar Empat Kebenaran Mulia, menurut
Abhidhamma. Citta Adi-duniawi bukan merupakan bagian dari Empat Kebenaran Mulia. Kebenaran
Mulia Asal-mula Penderitaan, apakah itu? Yaitu ketagihan. Ketagihan adalah salah satu dari 52 faktor
batin atau Cetasika. Kebenaran Mulia ke Dua adalah Cetasika yang adalah ketagihan atau kemelekatan.
Kebenaran Mulia ke Tiga adalah lenyapnya penderitaan yang adalah Nibbāna. Kebenaran Mulia ke Tiga
adalah kebenaran mutlak ke empat. Kebenaran Mulia ke Empat, Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan
atau yang juga disebut Jalan Mulia Berunsur Delapan – termasuk dalam apakah? Jalan Mulia Berunsur
Delapan adalah kombinasi dari delapan Cetasika, delapan faktor batin. Kebenaran Mulia ke Empat
termasuk dalam kebenaran mutlak ke dua. Kebenaran Mulia ke Empat termasuk dalam keempat
kebenaran mutlak. Ini bukan hubungan satu ke satu. Kebenaran Mulia Pertama termasuk dalam
kebenaran mutlak pertama, kebenaran mutlak ke dua dan kebenaran mutlak ke tiga karena terdiri
dari Citta, Cetasika dan Rūpa. Kebenaran Mulia ke Dua termasuk dalam kebenaran mutlak ke dua.
Kebenaran Mulia ke Tiga termasuk dalam kebenaran mutlak ke empat dan Kebenaran Mulia ke Empat
termasuk dalam kebenaran mutlak ke dua, Cetasika. Oleh karena itu maka Empat Kebenaran Mulia
adalah termasuk dalam kebenaran mutlak.
Ketika Sang Buddha mengajar, Beliau mengajarkan dalam cara-cara berbeda karena TujuanNya adalah
agar para pendengarNya dapat memahami dan merealisasikan kebenaran. Oleh karena itu, Beliau
mengajarkan dengan berbagai metode berbeda kepada orang-orang berbeda. Itulah sebabnya
mengapa kita memiliki begitu banyak ajaran, tetapi sebenarnya ajaran-ajaran itu bertemu di satu titik
dan semuanya sama. Sang Buddha mungkin menggunakan kata ‘agregat’ kepada satu kelompok.
Kepada kelompok lainnya Beliau mungkin menggunakan kata ‘elemen-elemen’ atau ‘landasan-
landasan indria’. Sebenarnya semua kata itu adalah hal yang sama. Beliau mengajarkan Empat
Kebenaran Mulia dalam Khotbah Pertama Beliau – Kebenaran Mulia Penderitaan, Asal-mula
Penderitaan, Lenyapnya Penderitaan, Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan – tetapi dalam
Abhidhamma Beliau mengajarkan empat kebenaran mutlak. Sebenarnya ini adalah hal yang sama.

Jika anda ingin bertanya, kita masih punya waktu.


Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Murid: Sulit untuk memahami bahwa Nibbāna adalah Anatta.
Sayādaw: ‘Anatta’ berati bukan Atta. ‘Atta’ berarti jiwa atau entitas kekal. Ini diterjemahkan
sebagai diri atau jiwa atau apapun. Nibbāna bukanlah jiwa. Itulah sebabnya mengapa
Nibbāna disebut Anatta. Nibbāna tidak memiliki penyebab. Nibbāna tidak bergantung
pada kondisi apapun. Itulah sebabnya mengapa disebut tak terkondisi. Tidak tercipta
melalui sebab apapun. Karena bukan Atta maka disebut Anatta.
Murid: [Tidak terdengar].
Sayādaw: Kita tidak dapat mengatakan Nibbāna di sini atau Nibbāna di sana. Tidak ada tempat
bagi Nibbāna. Ini seperti kesehatan. Kita dapat menikmati kesehatan, tetapi kita
kesulitan untuk mendefinisikannya. Kesehatan adalah ketiadaan penyakit. Nibbāna
adalah ketiadaan kekotoran batin. Suatu ketika seorang bhikkhu bertanya kepada
Sāriputta: “Apakah Nibbāna memiliki perasaan?” Sāriputta berkata, “Tidak.” Kalau
begitu sebenarnya kita tidak menikmati Nibbāna. Kita dapat mengatakan bahwa kita
mengalaminya, tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa kita menikmatinya. Kita
tidak menikmati juga tidak menderita. Nibbāna hanyalah keadaan damai.
Murid: Beberapa orang mengatakan bahwa Nibbāna adalah suatu keadaan nihilisme karena
kita tidak merasakan apapun sama sekali. Apakah perbedaannya? Apakah ini adalah
hal yang sama?”
Sayādaw: Saya tidak tahu apa itu Nihilisme.
Murid: Nihilisme adalah suatu istilah filosofis yang mereduksi segala sesuatu menjadi keadaan
tidak ada, tidak ada perasaan, menjadi hampa.
Sayādaw: Dikatakan bahwa ketika Sang Buddha atau seorang Arahant meninggal dunia, maka
tidak ada lagi kelahiran kembali baginya. Itu berarti tidak ada lagi keberadaan baginya,
tidak ada lagi kehidupan baginya. Beliau hanya lenyap. Saya tidak tahu apakah engkau
menyebut hal itu sebagai nihilisme atau tidak. Apakah seseorang menyebutnya
nihilisme atau bukan, Nibbāna adalah Nibbāna. Anda boleh menyukai atau tidak
menyukainya. Itu adalah urusan anda. Nibbāna adalah Nibbāna. Itu sebabnya saya
memberitahu anda bahwa anda mungkin tidak menyukainya jika anda benar-benar
mengetahui apa itu Nibbāna.
Murid: Apakah ada Citta di dalam Nibbāna?
Sayādaw: Tidak. Nibbāna adalah satu realitas mutlak. Jika ada Citta di dalam Nibbāna, maka
Nibbāna adalah tidak kekal. Oleh karena itu maka tidak ada Citta, Cetasika atau Rūpa
di dalam Nibbāna. Nibbāna adalah satu realitas terpisah.
Murid: Misalkan anda memiliki tiga ember air, satu bertemperatur sejuk, satu bertemperatur
sedang, dan satu bertemperatur hangat. Kemudian anda memasukkan satu tangan ke
dalam air sejuk dan satu tangan lainnya ke dalam air hangat. Selanjutnya anda
memasukkan kedua tangan ke dalam air bertemperatur sedang. Satu tangan akan
masih merasa sejuk dan tangan lainnya akan merasa hangat. Itu mungkin adalah ilusi.
Dalam kasus demikian adalah sulit untuk mengetahui apa yang nyata dan apa yang
tidak nyata.
Sayādaw: Ketika anda merasa panas atau dingin, apa yang merupakan realitas mutlak adalah
perasaan itu di sana, bukan tangan anda. Perasaan adalah perasaan. Perasaan memiliki
karakteristik mengalami objek. Objek itu mungkin panas atau dingin, tetapi anda
merasakannya. Perasaan tidak berubah. Perasaan adalah perasaan. Karakteristik
perasaan tidak dapat berubah. Itu adalah satu cara untuk menjelaskan kebenaran
mutlak. Kebenaran-kebenaran mutlak adalah tidak kekal. Setiap momen kebenaran-
kebenaran itu muncul dan lenyap, muncul dan lenyap. Walaupun senantiasa muncul
dan lenyap, namun sifat intrinsiknya tidak berubah. Misalnya, kesadaran adalah
penyadaran terhadap objek. Kesadaran itu selalu adalah penyadaran terhadap objek.
Kesadaran tidak berubah dari itu menjadi hal lainnya. Itu adalah apa yang kita sebut
kebenaran mutlak.
Murid: Anda mengatakan bahwa Cetasika pasti memiliki objek yang sama dengan Citta. Saya
hanya ingin memastikan bahwa objek pikiran juga termasuk.
Sayādaw: Objek pikiran – Ya segala jenis objek.
Murid: Cetasika memerlukan Citta untuk dapat muncul. Sebaliknya – Dapatkah Citta muncul
tanpa Cetasika?
Sayādaw: Tidak. Citta dan Cetasika muncul bersama. Keduanya selalu muncul bersama pada
momen yang sama. Hanya ketika ada Citta maka keduanya dapat muncul bersama.
Hanya ketika aad sejenis hubungan dengan objek maka ada mengalami objek, perasaan
atas objek, kemelekatan pada objek dan sebagainya. Itulah sebabnya maka hal-hal itu
bergantung pada Citta, tetapi hal-hal itu muncul pada saat yang sama. Seperti ini
(Sayādaw menepuk tangan). Bunyinya bergantung pada pertemuan kedua tangan.
Pertemuan kedua tangan dan bunyinya muncul pada saat yang sama. Bunyinya
bergantung pada pertemuan kedua tangan. Kita mengatakan bahwa ada bunyi karena
pertamuan kedua telapak tangan. Bunyinya tidak muncul belakangan melainkan pada
momen pertemuannya. Demikian pula ketika kesadaran muncul, maka Cetasika juga
muncul bersama dengan Citta.
Murid: Apakah Citta selalu memerlukan Cetasika?
Sayādaw: Kita tidak mengatakan bahwa Citta memerlukan Cetasika untuk muncul, tetapi
keduanya selalu muncul bersama. Karena munculnya Cetasika bergantung pada Citta,
maka kita mengatakan bahwa Cetasika bergantung pada Citta. Walaupun Cetasika
bergantung pada Citta, namun Cetasika muncul bersama dengan Citta, seperti halnya
bunyi. Ada penjelasan bahwa Cetasika tidak dapat muncul tanpa Citta. Hal yang sama
berlaku untuk Citta. Citta muncul bersama Cetasia. Citta tidak muncul sendirian.
Ketika Citta muncul, maka Cetasika juga muncul. Ini seperti ketika anda melakukan
suatu hal bersama-sama. Yang satu adalah pemimpin. Yang lainnya adalah pengikut.
Anda berjalan bersama, tetapi anda bergantung pada pemimpin.
Murid: Anda tidak dapat menjadi pemimpin tanpa ada yang mengikuti.
Murid: Dikatakan bahwa Paññatti adalah tidak bergantung pada waktu. Apakah juga
terkondisi?
Sayādaw: Paññatti adalah tidak terkondisi. Anda mengetahui bahwa sebenarnya Paññatti adalah
bukan apa-apa. Hanya ciptaan pikiran. Itulah sebabnya maka kita tidak dapat
mengatakan ini muncul atau itu lenyap. Anda mengetahui Sang Buddha adalah
seorang Bodhisatta selama jutaan kehidupan. Ketika pertama kali Beliau mengambil
tekad Bodhisatta atau ketika Beliau menerima deklarasi bahwa Beliau akan menjadi
seorang Buddha, namanya adalah Sumedha. Nama itu diingat oleh orang-orang selama
beberapa waktu. Kemudian nama itu lenyap. Mungkin dilupakan selama banyak siklus
dunia. Kemudian Beliau menjadi Sang Buddha. Beliau menjadi Buddha Gotama dan
menceritakan kisahnya tentang menjadi Bodhisatta. Kemudian nama Sumedha
muncul kembali. Konsep-nama dikatakan sebagai tidak bergantung pada waktu di
dalam Abhidhamma.
[Akhir dari Pendahuluan]

BAB I
Citta

Mendefinisikan Citta
Citta, seperti yang anda ketahui, adalah salah satu dari empat realitas mutlak. Saya telah memberitahu
anda bahwa Citta adalah kesadaran atas objek. Dalam Abhidhamma segala istilah didefinisikan dengan
memuaskan. Citta didefinisikan sebagai kesadaran atas objek. Ketika mendefinisikan kata-kata dalam
Abhidhamma, para komentator zaman dulu menggunakan tiga cara pendefinisian. Ini dijelaskan
dalam CMA halaman 27. Mereka mendefinisikan istilah-istilah Abhidhamma sebagai pelaku, sebagai
alat dan sebagai sekedar aktivitas. Mari kita ambil contoh Citta. Ketika mereka mendefinisikan Citta,
mereka mendefinisikan dalam tiga cara. Cara pertama mendefinisikan Citta dalam Komentar kuno
adalah: Citta adalah apa yang mengetahui objek. Itu berarti bahwa Citta adalah sesuatu yang
melakukan suatu hal lain. Citta adalah sesuatu yang mengetahui objek. Ini adalah defnisi ‘melalui
pelaku’. Yang berarti bahwa Citta adalah yang melakukan. Cara ke dua adalah ‘melalui alat’. Itu berarti
bahwa Citta adalah sesuatu yang dengannya maka hal lain yang menyertainya mengetahui objek. Citta
adalah alat. Citta mutlak diperlukan agar kondisi-kondisi penyerta ini mengetahui objek atau
menyadari objek. Itu adalah melalui alat. Cara ke tiga adalah ‘melalui sekedar aktivitas’, hanya sekedar
kejadian. Ini berarti Citta adalah mengetahui objek. Mereka menggunakan kata benda abstrak sewaktu
mendefinisikan dengan cara ini. Setiap istilah dalam Abhidhamma didefinisikan atau dijelaskan dalam
tiga cara ini – sebagai pelaku, sebagai alat atau sebagai sekedar aktivitas, sekedar kejadian. Di antara
ketiga ini yang terakhir, yang didefinisikan sebagai sekedar aktivitas, adalah dfinisi yang paling
memuaskan.
Mengapakah mereka menggunakan kedua lainnya? Umat Buddhis selalu mencemaskan penolakan
jiwa. Ada orang-orang, yang menganggap bahwa Citta adalah sesuatu yang mengetahui objek. Ada
sesuatu seperti jiwa yang kekal, jiwa yang mengetahui objek. Untuk membantah itu, untuk
menyangkalnya, mereka memberikan definisi jenis pertama. Ini bukan Atman, ini bukan jiwa yang
mengetahui objek. Ini adalah Citta yang mengetahui objek. Penolakan atas Atman adalah sangat
penting bagi umat Buddhis. Kadang-kadang orang berpikir bahwa ketika kita mengetahui sesuatu, kita
mengetahuinya dengan bantuan Atman. Atman membantu kita mengetahui berbagai hal, mengetahui
objek-objek. Untuk membantah kepercayaan itu, mereka memberikan definisi jenis ke dua. Bukan,
bukan Atman yang membuat penyerta lainnya mengetahui objek. Adalah Citta yang membuat
penyerta lainnya mengetahui objek. Jika mereka ingin mendefinisikan dengan memuaskan tanpa
merujuk pada opini-opini lainnya ini, maka mereka cukup mengatakan bahwa Citta adalah
mengetahui objek. Selalu ada ketiga jenis definisi ini. Masing-masingnya dapat menjelaskan. Citta
adalah apa yang mengetahui objek; citta adalah apa yang dengan bantuannya maka penyerta-penyerta
lainnya mengetahui objek; atau Citta adalah sekedar hanya mengetahui objek.

Mengetahui
Apakah mengetahui di sini? Mengetahui di sini adalah hanya kesadaran – tidak mengetahui sesuatu
sebagai benar, sesuatu sebagai baik, sesuatu sebagai buruk, bukan jenis mengetahui seperti itu. Di sini
mengetahui bermakna hanya kesadaran, kesadaran murni, bahkan bukan perhatian murni yang kita
gunakan dalam instruksi meditasi. Hanya kesadaran murni atas objek. Itu adalah apa yang disebut
Citta.
Karena didefinisikan sebagai kesadaran atas objek, maka Citta tidak pernah muncul tanpa objek.
Kapanpun ada Citta, maka pasti ada objeknya. Kadang-kadang dapat berupa objek yang jelas. Kadang-
kadang dapat berupa objek yang samar. Selalu ada objek bagi Citta untuk muncul. Citta bergantung
pada objek untuk dapat muncul.

Klasifikasi Citta
Citta dianalisa dalam Abhidhamma dalam berbagai cara. Dalam Dhammasaṅgaṇī, Citta diklasifikasikan
menurut sifatnya. (Kita menyebutnya genus.) ini berarti pengklaisifikasian menurut apakah itu adalah
kesadaran bermanfaat, kesadaran tidak bermanfaat dan yang bukan bermanfaat juga bukan tidak
bermanfaat. Itu adalah urutan yang dijelaskan dalam buku pertama Abhidhamma.
Di sini dalam buku ini pengaturannya berbeda. Di sini pengaturannya adalah dengan merujuk pada
alam-alam kehidupan. Untuk memahami pembagian ini, anda pertama-tama harus memahami alam-
alam kehidupan. Ini dibahas dalam Bab lima buku ini (baca juga CMA, V, Tabel 5.1, p.186). Secara
singkat, terdapat 31 alam kehidupan. Sebelas termasuk dalam alam indriawi. Enam belas termasuk
dalam alam berbentuk. Bentuk di sini berarti materi-halus. Empat termasuk tanpa-bentuk atau alam
tanpa materi. Seluruhnya menjadi 31. Manusia dan makhluk surgawi yang lebih rendah termasuk
dalam sebelas alam-indriawi.
Kesadaran yang terdapat di alam-alam ini disebut kesadaran alam-indriawi. Dalam Pāḷi disebut
Kāmāvacara. Ini bukan berarti bahwa jenis kesadaran ini tidak muncul di alam lainnya. Kesadaran ini
juga muncul di alam lain, tetapi lokasi kemunculannya adalah di alam-indriawi. Ini disebut Citta yang
berhubungan dengan alam-indriawi.
Terdapat jenis-jenis kesadaran lainnya, yang disebut Jhāna, yang muncul terutama di lima belas alam
berbentuk. Di atas saya mengatakan enam belas. Sekarang saya mengatakan lima belas. Di antara enam
belas alam berbentuk, satu alam adalah alam makhluk-makhluk tanpa batin. Dikatakan bahwa tidak
ada batin di alam tersebut. Sekarang kita sedang mempelajari kesadaran yang menjadi bagian dari
batin. Oleh karena itu, alam itu harus dikeluarkan. Jenis-jenis kesadaran yang muncul terutama di
dalam lima belas alam itu dikelompokkkan sebagai kesadaran alam berbentuk. Kita akan
menggunakan kata-kata Pāḷi nanti.
Ada jenis-jenis kesadaran yang lebih tinggi lainnya yang terutama termasuk dalam atau yang terdapat
di empat alam tanpa bentuk. Kita memperoleh tiga kelompok – yang pertama termasuk dalam alam-
indriawi, yang ke dua termasuk dalam alam berbentuk atau alam bermateri halus, dan yang ke tiga
termasuk dalam alam tanpa bentuk atau alam tanpa materi.
Terdapat alam lainnya yang disebut Adi-duniawi. Yang ini melampaui alam-alam ini atau ketiga jenis
alam ini.
Dalam Manual, Citta dikelompokkan menurut alam-alam kehidupan. Kita menyebut pengklasifikasian
ini sebagai alam kesadaran. Anda akan menemukan kata ‘alam kesadaran’ dalam CMA (baca CMA, I,
tuntunan §3, p.29)
Berapa banyakkah jenis-jenis kesadaran ini seluruhnya? Aad 89 atau 121. Anda dapat melihat sekilas
seluruh 89 atau 121 jenis kesadaran pada CMA halaman 28. Pertama-tama anda melihat 81 Citta
duniawi. Kemudian jika anda membaca hingga ke bawah halaman itu, anda melihat 8 atau 40 Citta Adi-
duniawi. Ini adalah pembagian pertama. Citta sebenarnya adalah satu dengan merujuk pada
karakteristiknya mengetahui objek. Ini disertai dengan faktor-faktor batin berbeda. Sehingga Citta
menjadi banyak. Pertama-tama Citta dibagi menjadi duniawi dan Adi-duniawi.
Kemudian Citta dibagi lagi menjadi Citta alam-indriawi – berapa banyak? 54. Dan kemudian ada Citta
alam berbentuk atau Citta alam bermateri halus yang berjumlah lima belas. Dan kemudian ada Citta
alam tanpa materi yang berjumlah dua belas.
Citta alam-indriawi dibagi lagi menjadi Citta tidak bermanfaat berjumlah dua belas, Citta tanpa akar
berjumlah delapan belas, dan Citta alam-indriawi indah berjumlah dua puluh empat. Seluruhnya kita
mendapatkan 81 Citta duniawi.
Kemudian Citta adi-duniawi dibagi menjadi dua. Pertama ada Citta adi-duniawi bermanfaat berjumlah
empat atau dua puluh. Berikutnya ada Citta hasil adi-duniawi berjumlah empat atau dua puluh.
Sehingga seluruhnya ada 89 atau 121 jenis kesadaran.

Akusala Citta
Lobhamūla Citta
Hari ini kita akan mempelajari kelompok pertama, Citta tidak bermanfaat. Berapa banyakkah Citta
tidak bermanfaat itu? Ada dua belas Citta tidak bermanfaat. Mengapakah disebut tidak bermanfaat?
Kadang-kadang disebut tidak bermoral atau tidak terampil. Saya lebih suka menggunakan tidak
bermanfaat. Jenis-jenis kesadaran itu yang disertai dengan keserakahan (Lobha), kebencian (Dosa) dan
delusi (Moha) disebut tidak bermanfaat. Sedangkan yang disertai dengan lawan dari ketiga ini, yaitu
ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan tanpa-delusi disebut kesadaran bermanfaat. Kesadaran ini
juga disebut sebagai kesadaran indah. Kesadaran-kesadaran itu yang disertai dengan keserakahan
(Lobha), kebencian (Dosa) dan delusi (Moha) disebut tidak bermanfaat.
Lobha, Dosa dan Moha adalah tiga akar tidak bermanfaat, tiga akar kejahatan. Selalu Lobha disebutkan
terlebih du lu dan kenudian Dosa dan selanjutnya Moha. Selalu dalam urutan Lobha, Dosa, Moha.
Dalam Komentar atas Manual ini dikatakan bahwa kesadaran yang disertai dengan Lobha disebutkan
terlebih dulu karena dalam suatu kehidupan kesadaran Javana pertama yang muncul adalah disertai
dengan Lobha. Dalam kehidupan manapun kita terlahir pertama-tama ada kemelekatan pada
kehidupan itu. Itu begitu kuat sehingga kita selalu melekat pada kehidupan kita. Itulah sebabnya
mengapa kesadaran yang disertai dengan Lobha disebutkan terlebih dulu. Kesadaran yang disertai
dengan kebencian, kemarahan atau apapun anda menyebutnya disebutkan berikutnya. Dua terakhir
selalu disertai dengan delusi.
Moha atau delusi ada pada seluruh dua belas jenis kesadaran, seluruh dua belas jenis kesadaran
Akusala. Karena ada pada seluruhnya, delapan pertama tidak disebut berakar pada Lobha-Moha –
hanya Lobha yang diambil – maka disebut kesadaran yang berakar pada Lobha. Ketika kita mengatakan
kesadaran yang berakar pada Lobha, maka kita harus memahami bahwa juga ada Moha. Hal yang sama
juga benar untuk kesadaran yang berakar pada Dosa.
Citta pertama – baca juga Pāḷi (baca CMA, I, §4, p.32). Lobhamūla Citta – ‘Mūla’ berarti akar. Maka itu
bermakna berakar pada Lobha, Citta yang memiliki akar Lobha, Citta yang disertai dengan Lobha.
‘Lobha’ berarti kemelekatan, keserakahan, ketagihan. Semua ini adalah Lobha.
Citta pertama adalah Somanassa-sahagata Diṭṭhigata-sampayutta Asaṅkhārika. ‘Somanassa’ bermakna
perasaan menyenangkan. Somana berasal dari ‘Su’ dan ‘Mana’. ‘Su’ berarti baik dan ‘Mana’ berarti
pikiran. ‘Somanassa’ berarti keadaan memiliki pikiran yang baik. Ketika anda bahagia, pikiran anda
ada dalam keadaan baik. ‘Somanassa’ berarti menyenangkan dan di sini adalah perasaan
menyenangkan. Sahagata – ‘Saha’ berarti bersama dan ‘Gata’ berarti menjadi atau munculnya. Maka
‘Sahagata’ berarti kemunculan bersama atau kebersamaan dengan Somanassa. Itu berarti
kebersamaan dengan perasaan menyenangkan ini. Kebersamaannya begitu lengkap sehingga sulit
membedakannya. Ini seperti air yang berasal dari dua sungai yang bercampur menjadi satu. Anda tidak
dapat mengatakan air mana yang berasal dari sungai yang mana. Percampurannya adalah seperti itu.
Diṭṭhigata-sampayutta – ‘Diṭṭhi’ berarti pandangan atau opini. Ketika Diṭṭhi digunakan tanpa kata sifat
di depannya, maka itu biasanya bermakna pandangan salah. Jika kita ingin mengatakan pandangan
benar, kita mengatakan Sammā-diṭṭhi. Sammā-diṭṭhi adalah salah satu dari delapan faktor Sang Jalan.
‘Gata’ tidak memiliki arti khusus di sini. ‘Diṭṭhigata’ bermakna pandangan salah. ‘Sampayutta’
bermakna berhubungan dengan, yaitu berhubungan dengan pandangan salah.
‘Asaṅkhārika’ dalam Bahasa Indonesia bermakna tanpa dorongan. Saya beritahu anda kata ‘Saṅkhāra’
memiliki banyak arti. Adalah sangat penting bahwa anda memahami dengan benar apa yang
dimaksudkan dalam suatu konteks. Ketika anda mengatakan, Saṅkhārakkhandha, kelompok
Saṅkhāra, yang anda maksudkan adalah lima puluh Cetasika. Anda akan mengetahuinya nanti. Ketika
kita mengatakan, segala Saṅkhāra adalah tidak kekal, yang kita maksudkan adalah segala fenomena
terkondisi, segala batin dan jasmani yang terkondisi – bukan hanya lima puluh Cetasika. Dengan
bergantung pada ketidaktahuan maka muncul Saṅkhāra. Di sini ‘Saṅkhāra’ bermakna bentukan-
bentukan Kamma. Oleh karena itu ‘Saṅkhāra’ bermakna lima puluh Cetasia atau kelima kumpulan
unsur kehidupan atau sekedar kehendak (salah satu Cetasika). Tetapi di sini dalam konteks ini
‘Saṅkhāra’ bermakna usaha atau rangsangan atau bujukan atau dorongan oleh diri sendiri atau orang
lain ‘A’ berarti tidak. Maka ‘Asaṅkhārika’ berarti tidak memiliki Saṅkhāra, tidak memiliki dorongan,
tanpa dorongan, spontan.
Sehubungan dengan tidak disengaja (Asaṅkhārika), disengaja (Sasaṅkhārika):
“Kata penting saṅkhāra digunakan di sini dalam makna spesifik pada Abhidhamma yang bermakna
desakan, anjuran, bujukan (payoga), atau penerapan cara (upāya). Desakan ini mungkin berasal dari
orang lain …” (CMA, I, tuntunan §4, p.36)
Kadang-kadang suatu kesadaran muncul karena orang lain mendorong anda, orang lain menganjurkan
anda.
“… atau mungkin berasal dari dalam diri sendiri; …” (CMA, I, tuntunan §4, p.36)
Kadang-kadang anda malas melakukan sesuatu dan kemudian anda mendorong diri anda sendiri.
“… cara yang dilakukan mungkin secara jasmani, ucapan, atau hanya pikiran.” (CMA, I, tuntunan §4,
p.36)
Misalnya, anda melihat seseorang melakukan sesuatu dan anda juga ingin melakukannya. Kadang-
kadang orang-orang lain menunjukkan anda melalui contoh. Kadang-kadang orang lain mungkin
menggunakan kata-kata untuk memicu anda. Kadang-kadang itu murni dari dalam pikiran anda. Anda
mendorong diri sendiri.
“Kesadaran itu yang muncul secara spontan, tanpa dorongan atau bujukan melalui cara-cara tepat,
disebut tanpa dorongan (Asaṅkhārika). Kesadaran itu yang muncul dengan dorongan atau bujukan
melalui cara-cara tepat disebut dengan dorongan (sasaṅkhārika).” (CMA, I, tuntunan §4, p.36)
Sebenarnya ini bermakna dengan dorongan.
Oleh karena itu jenis kesadaran ini disertai dengan perasaan menyenangkan. Ini bergabung dengan
pandangan salah. Dan ini tanpa dorongan. Pandangan salah berarti meyakini tidak ada kamma, tidak
ada akibat kamma, tidak ada hukum kamma, tidak ada kehidupan ini atau kehidupan lain – semacam
itu. Ini disebut pandangan salah.
Perasaan, pandangan salah dan dorongan – ketiga ini adalah apa yang membuat satu kesadaran
menjadi delapan jenis kesadaran. Kita akan memiliki perasaan lain, Upekkhā, ketika kita sampai pada
Citta ke lima. Citta pertama disertai dengan perasaan menyenangkan, bergabung dengan pandangan
salah dan tanpa dorongan. Dalam bahasa sehari-hari saya mengatakan, “dengan gembira, dengan
pandangan salah” maka anda tidak perlu menggunakan banyak kata. Dengan gembira, dengan
pandangan salah dan tanpa dorongan adalah jenis kesadaran pertama. Kapankah jenis kesadaran itu
muncul? Anda dapat membacanya pada CMA, halaman 39.
“Dengan gembira, menganut pandangan bahwa tidak ada kejahatan dalam mencuri, seorang anak
secara spontan mencuri sebutir apel dari toko buah.” (CMA, I, tuntunan §7, p.39)
Yang ke dua disertai dengan perasaan menyenangkan dan bergabung dengan pandangan salah, tetapi
sekarang dengan dorongan. Contoh yang diberikan adalah:
“Dengan gembira, menganut pandangan yang sama ia mencuri sebutir apel karena dorongan seorang
teman.” (CMA, I, tuntunan §7, p.39)
Temannya menyuruhnya mencuri, atau kadang-kadang ia mendorong dirinya sendiri “Engkau akan
memperoleh sebutir apel dan memakannya. Mengapa tidak mengambilnya?” ia mungkin mengatakan
sesuatu seperti itu untuk mendorong dirinya sendiri. Kemudian ia mencuri apel. Dalam kasus
demikian kesadarannya disertai dengan kesenangan, dengan kegembiraan, dengan pandangan salah,
dan dengan dorongan.
Jenis kesadaran ke tiga muncul dengan kegembiraan, tetapi tidak menganut pandangan salah, ia
mencuri tanpa dorongan. Ia mengetahui bahwa mencuri itu salah, tetapi ia tetap mencurinya. Jika ia
mengetahui bahwa melakukan hal itu adalah salah, tetapi ia tetap melakukannya, maka kesadarannya
tidak disertai dengan pandangan salah. Yang ke empat juga sama tetapi dengan dorongan – maka
dengan gembira, tanpa pandangan salah, dan dengan dorongan.
Kita memperoleh empat jenis kesadaran:
- Dengan gembira, dengan pandangan salah, tanpa dorongan;
- Dengan gembira, dengan pandangan salah, dengan dorongan;
- Dengan gembira, tanpa pandangan salah, tanpa dorongan;
- Dengan gembira, tanpa pandangan salah, dengan dorongan.
Jika anda memahami empat ini, maka anda memahami empat lainnya. Gantikan perasaan
menyenangkan menjadi perasaan tidak peduli. Kadang-kadang anak itu mungkin mencuri tidak
dengan gembira. Ia sekedar mencurinya. Bagaimanakah menjelaskannya di sini?
“Empat ini paralel dengan (empat pertama) dengan pengecualian bahwa pencurian dilakukan dengan
perasaan netral.” (CMA, I, tuntunan §7, p.39)
Di sini ia tidak berbahagia. Ia tidak bersedih. Ia memiliki perasaan netral dan ia mencurinya. Dalam
kasus demikian salah satu di antara empat jenis kesadaran muncul dalam pikirannya. Seluruhnya ada
delapan jenis, delapan jenis kesadaran yang disertai dengan keserakahan (Lobha), disertai dengan
kemelekatan. Yang membuat Citta berbeda adalah perasaan, pandangan, dengan dorongan atau tanpa
dorongan. Seluruhnya kita memiliki delapan jenis kesadaran.
Empat disertai dengan perasaan menyenangkan atau perasaan Somanassa. Empat disertai dengan
Upekkhā, perasaan netral atau perasaan tidak peduli.
Kata ‘Upekkhā’ diterjemahkan sebagai keseimbangan atau tidak peduli. Saya rasa keseimbangan
adalah terlalu berlebihan untuk Upekkhā di sini. Saya lebih suka menggunakan perasaan tidak peduli
atau mungkin perasaan netral. Kapanpun anda menjumpai kata ‘Upekkhā’, anda harus memahami apa
yang dimaksudkan. Kata Upekkhā digunakan baik untuk perasaan netral maupun untuk keadaan luhur
keseimbangan. Di sini kata ini berarti sekedar perasaan netral. Ini adalah perasaan yang bukan
menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan, sekedar perasaan netral. Ketika anda mengambil
sebuah objek, anda tidak bahagia dan anda tidak bersedih. Anda memiliki pikiran netral; anda sekedar
mengambilnya. Itu adalah Upekkhā di sini.

Dosamūla Citta
Kemudian kita sampai pada Dosamūla Citta dua, kesadaran yang berakar pada kebencian. Kata ‘Dosa’
berarti kemarahan, kebencian, ketidaksukaan. Semua ini tercakup dalam kata ‘Dosa’. Akar ke dua, kita
sebut kebencian. Jenis kesadaran yang disertai dengan Dosa dalam Pāḷi disebut ‘Dosamūla Citta’
(kesadaran yang berakar pada kebencian). ‘Berakar pada’ berarti disertai oleh akar, bukan keluar dari
akar-akar ini, bukan akibat dari akar-akar ini. Dalam CMA halaman 28 ia menggunakan kata berakar
pada keserakahan, berakar pada kebencian, berakar pada delusi. (baca CMA, I, tabel 1.1, p.28)
- Yang pertama adalah Domanassa-sahagata Paṭigha-sampayutta Asaṅkhārika.
- Yang ke dua adalah Domanassa-sahagata Paṭigha-sampayutta Sasaṅkhārika.
Apakah Domanassa? Ketidaksenangan. Domanassa berasal dari ‘Du’ dan ‘Mana’. ‘Du’ berarti buruk.
‘Mana’ berarti pikiran. Maka kita mendapatkan keadaan pikiran yang buruk. Itu adalah Domanassa.
Ini adalah suatu perasaan, perasaan yang buruk, perasaan tidak menyenangkan. ‘Sahagata’ bermakna
sama – bersama dengan perasaan Domanassa. Dan Paṭigha-sampayutta – ‘Paṭigha’ berarti Dosa.
Terjemahan harfiah dari Paṭigha adalah memukul, memukul sesuatu. Ketika anda marah, itu seperti
memukul seseorang atau memukul pikiran anda dengan kemarahan. Ini disebut Paṭigha-sampayutta
Asaṅkhārika.
Ada perbedaan antara Domanassa di satu pihak dan Dosa dan Paṭigha di pihak lain. Dosa dan Paṭigha
adalah sama. Paṭigha adalah sebutan lain untuk Dosa. Domanassa berbeda. Domanassa adalah
perasaan. Dosa dan Paṭigha bukanlah perasaan. Ini adalah faktor batin berbeda. Dengan merujuk pada
kelima agregat Domanassa termasuk dalam kelompok perasaan. Dosa termasuk dalam kelompok
bentukan, Saṅkhārakkhandha. Ini adalah perbedaannya. Walaupun muncul bersamaan dan sulit
membedakannya dalam pengalaman, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Domanassa
adalah perasaan atau Vedanā. Dosa atau Paṭigha bukanlah perasaan; ini adalah faktor batin lainnya.
Tetapi kapanpun ada Domanassa maka di sana ada Paṭigha. Kapanpun ada Paṭigha, di sana ada
Domanassa. Oleh karena itu, di sini kita tidak memiliki Paṭigha-vipayutta. Kita hanya memiliki
Paṭigha-sampayutta dan tidak ada Paṭigha-vippayutta. ‘Vippayutta’ berarti tidak bergabung dengan.
Kedua ini (Paṭigha dan Domanassa) adalah selalu bergabung bersama. Tidak mungkin ada Domanssa
tanpa Paṭigha. Itulah sebabnya mengapa tidak ada Paṭigha-vippayutta di sini. Kapanpun sejenis
kesadaran disertai dengan Domanassa, pasti bergabung dengan Dosa. Keduanya selalu bersama.
Kadang-kadang anda menjadi marah secara spontan, tanpa dorongan. Kadang-kadang anda menjadi
marah dengan dorongan. Maka ada dua jenis kesadaran.
“Dengan kebencian seseorang membunuh orang lain dalam suatu kemarahan spontan.” (CMA, I,
tuntunan §7, p.39)
Ini adalah Dosamūla Citta pertama.
“Dengan kebencian seseorang membunuh orang lain setelah merencanakan.” (CMA, I, tuntunan §7,
p.39)
Setelah mendorong dirinya sendiri atau didorong atau dibujuk oleh orang lain, ia membunuh
seseorang. Dalam kasus demikian Dosa itu adalah Sasaṅkhārika.
Ketika anda sedih, anda bersedih dengan salah satu dari kedua Citta ini; ketika anda merasa tertekan,
salah satu dari dua Citta ini muncul; ketika anda marah, salah satu dari dua Citta ini muncul. Juga
ketika anda takut, ketika anda ketakutan, salah satu dari dua Citta ini muncul.
Dalam Abhidhamma ketakutan termasuk dalam Dosa. Ketakutan dijelaskan sebagai Dosa pasif.
Kemarahan adalah Dosa aktif atau kita dapat menyebutnya Dosa Agresif. Kemarahan adalah agresif.
Ketakutan adalah pasif. Keduanya disebut Dosa. Ketika anda takut terhadap sesuatu, ketika anda takut
pada seseorang atau sesuatu, maka ketakutan anda adalah salah satu dari dua Citta ini.

Mohamūla Citta
Sekarang kita sampai pada Mohamūla Citta. Moha diterjemahkan sebagai delusi. Moha memperdaya
pikiran. Membuat pikiran menjadi kabur atau semacam itu. Moha memiliki karakteristik menghalangi
atau menyembunyikan sifat sejati segala sesuatu. Karena Moha ini maka kita tidak melihat segala
sesuatu sebagaimana adanya. Kita tidak melihat segala sesuatu sebagai tidak kekal, sebagai
penderitaan, dan sebagainya.
Kedua Citta ini disertai hanya dengan akar Moha. Delapan pertama disertai dengan Lobha dan Moha.
Kedua Dosamūla Citta disertai dengan Dosa dan Moha. Dua terakhir disertai dengan hanya Moha saja.
Walaupun Moha ada bersama dengan Citta lainnya, namun fungsinya tidak menonjol seperti kedua
Citta ini. Pada yang lainnya Lobha dan Dosa lebih aktif daripada Moha. Moha tidak sangat menonjol
pada sepuluh Citta pertama. Pada dua Citta terakhir Moha menjadi tertinggi karena tidak ada Lobha
dan tidak ada Dosa.
Mohamūla Citta pertama adalah Upekkhā-sahagata Vicikicchā-sampayutta. Anda mengetahui
Upekkhā. Yaitu perasaan tidak peduli. ‘Vicikicchā’ berarti keragu-raguan. Vicikicchā didefinisikan
dalam dua cara: ‘Kekesalan karena pemikiran yang membingungkan’ dan yang lainnya adalah ‘karena
hampa dari obat yang mengandung pengetahuan.’ Yang pertama adalah kekesalan karena pemikiran
yang membingungkan. Yang berarti anda tidak dapat memutuskan yang mana. Anda goyah. Ketika
anda mencoba untuk mencari yang mana, anda menjadi kesal dan anda menjadi bingung. Kadang-
kadang ini disebut kebingungan. Maka disebut kekesalan karena pemikiran yang membingungkan.
Anda tidak dapat memutuskan antara satu dan lainnya. Di sana mungkin ada pandangan salah atau
pandangan benar. Di sini anda tidak dapat memutuskan antara keduanya. Ini seperti jalan bercabang
dua.
Penjelasan ke dua adalah bahwa tidak ada obat untuk ini; ini hampa dari obat yang mengandung
pengetahuan. Ketika ada keragu-raguan, maka tidak mungkin ada pemahaman benar. Tidak mungkin
ada pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan sebagai hampa dari obat yang mengandung
pengetahuan. Jika pengetahuan benar-benar muncul, maka itu akan lenyap. Selama ada keragu-
raguan, maka pengetahuan tidak dapat muncul. Maka dikatakan sebagai hampa dari obat yang
mengandung pengetahuan.
Ini adalah permainan kata. Makna pertama didasarkan atas pemisahan ‘Vici’ dan ‘Kicchā’. ‘Vici’ berarti
menyelidiki. ‘Kicchā’ berarti kebingungan. Makna ke dua didasarkan atas pemisahan ‘Vi dan ‘Cikicchā’.
‘Cikicchā’ bermakna penyembuhan, obat. ‘Vi’ berarti tidak ada. Tidak ada obat, tidak ada
penyembuhan. Intinya ini adalah keragu-raguan – keragu-raguan terhadap Sang Buddha, keragu-
raguan terhadap Dhamma, keragu-raguan terhadap Saṃgha, keragu-raguan terhadap latihan, keragu-
raguan terhadap Empat Kebenaran Mulia atau terhadap Kemunculan Bergantungan. Ini disebut
keragu-raguan.
Dengan keragu-raguan dan ketidakpedulian maka kesadaran Mohamūla pertama muncul. Dengan
keragu-raguan maka hanya akan ada perasaan tidak peduli, perasaan netral. Tidak akan ada perasaan
menyenangkan juga tidak akan ada perasaan tidak menyenangkan; hanya ada perasaan netral. Hanya
ada Upekkhā-sahagata di sini dan tidak ada Somanassa dan tidak ada Domanassa.
Citta yang disertai dengan Moha saja adalah tidak sekuat Citta yang disertai dengan Lobha atau Dosa.
Citta yang disertai dengan Moha adalah jenis kesadaran yang tumpul. Karena kesadaran berjenis
tumpul, maka tidak menikmati rasa objek sepenuhnya seperti halnya Citta lainnya. Citta jenis ini selalu
disertai dengan perasaan Upekkhā, perasaan netral dan bukan perasaan menyenangkan atau tidak
menyenangkan.
Contoh diberikan dalam CMA halaman 40.
“Seseorang, karena delusi, meragukan pencerahan Sang Buddha atau keampuhan Dhamma sebagai
jalan menuju kebebasan.” (CMA, I, tuntunan §7, p.40)
Ketika anda berkata seperti ini, ada Vicikicchā ini di dalam pikiran anda. Kadang-kadang ketika
bermeditasi, anda mungkin memiliki keragu-raguan ini. Anda mungkin berpikir, “Apakah benar hanya
dengan mencatat gerakan perut atau mencatat napas maka saya akan menemukan sifat sejati segala
sesuatu? Apakah bermanfaat melakukan hal ini?” Ketika ada keragu-raguan, maka anda tidak dapat
melanjutkan meditasi. Ini adalah salah satu rintangan batin yang menghalangi konsentrasi.
Berikutnya adalah Upekkhā-sahagata, tetapi ini bergabung dengan Uddhacca (kegelisahan). Uddhacca
sebenarnya adalah suatu faktor batin. Vicikicchā juga adalah suatu faktor batin. Ada banyak faktor
batin di sini. Anda akan mempelajari faktor-faktor batin pada bab dua. ‘Uddhacca’ berarti gemetar di
atas objek. Itu adalah arti harfiahnya. ‘Ud’ berarti di atas. ‘Dhacca’ berarti berguncang atau gemetar.
Gemetar di atas objek berarti anda tidak dapat memegang objek dengan jelas. Pikiran anda tidak pada
objek itu juga tidak pada objek lain. Anda tidak dapat berfokus pada objek dengan kuat. Anda goyah.
Semacam itu. Jika anda fokus pada objek lain, itu adalah hal lain. Maka ini adalah ketidakmampuan
untuk sepenuhnya menyadari objek. Kadang-kadang ketika anda berlatih meditasi, anda tidak dapat
melihat objek dengan jelas. Anda mungkin mencatat masuk dan keluar, masuk dan keluar, atau naik
dan turun, tetapi anda tidak melihatnya dengan jelas. Pada saat itu di sana mungkin ada Uddhaccā.
Berusahalah untuk lebih mengerahkan perhatian agar anda dapat melihat dengan jelas. Itu adalah
Uddhacca-sampayutta.
Uddhacca sebenarnya ada bersama dengan seluruh dua belas jenis kesadaran. Bukan hanya dengan
kesadaran terakhir ini, melainkan juga bersama dengan sebelas jenis kesadaran lainnya juga. Hanya
Citta terakhir ini yang dijelaskan sebagai Uddhacca-sampayutta, karena disertai dengan Uddhacca. Itu
karena dalam Citta lainnya ada lebih banyak kondisi batin aktif sehingga tidak menonjol. Tidak begitu
nyata. Di sini tidak ada Lobha dan tidak ada Dosa. Dalam Citta ini Uddhacca menjadi yang terutama.
Oleh karena itu, Citta terakhir ini dijelaskan sebagai Uddhacca-sampayutta. Ini kuat di sini; ini
menonjol di sini. Itulah sebabnya mengapa Citta terakhir ini dijelaskan sebagai Uddhacca-sampayutta.
Dua Citta terakhir disebut Mohamūla Citta, kesadaran yang berakar pada delusi atau kesadaran yang
disertai dengan delusi. Ada tiga akar tidak bermanfaat. Ketiga akar ini menyertai dua belas jenis
kesadaran ini dalam cara-cara berbeda. Delapan pertama disertai dengan berapa banyak akar? Dengan
dua akar. Apakah dua ini? Kedua akar adalah Lobha dan Moha. Kemudian kelompok ke dua dari dua
Citta juga disertai dengan dua akar. Apakah dua ini? Yaitu Dosa dan Moha. Dua terakhir disertai
dengan hanya satu akar yaitu Moha. Delapan disertai dengan Lobha dan Moha. Dua disertai dengan
Dosa dan Moha. Dua lainnya lagi disertai hanya dengan Moha. Dengan demikian seluruhnya kita
mendapatkan dua belas jenis kesadaran tidak bermanfaat.

Definisi kata ‘Akusala’


Mengapakah disebut tidak bermanfaat atau Akusala? Disebut Akusala karena tercela dan membawa
akibat yang menyakitkan. Hal-hal itu menyebabkan akibat menyakitkan. Karakteristik dari hal tidak
bermanfaat atau bermanfaat bergantung pada apakah tercela atau tanpa cela, apakah menyebabkan
akibat menyakitkan atau akibat membahagiakan.
Pada CMA halaman 31,
“Sehubungan dengan sifatnya, kesadaran dibagi menjadi empat kelompok: tidak bermanfaat,
bermanfaat, hasil, dan fungsional. Kesadaran tidak bermanfaat (akusalacitta) adalah kesadaran yang
disertai dengan satu atau lainnya dari ketiga akar tidak bermanfaat – keserakahan, kebencian, and
delusi. Kesadaran demikian disebut tidak bermanfaat karena tidak sehat secara batin, tercela secara
moral, …” .” (CMA, I, tuntunan §3, p.31)
Ini penting. Tercela secara moral adalah apa yang dicela oleh Orang-orang Mulia.
“… dan menghasilkan akibat-akibat menyakitkan.” .” (CMA, I, tuntunan §3, p.31)
Hal-hal itu membawa akibat menyakitkan. Kesadaran bermanfaat adalah lawan dari ini. Kesadaran
tidak bermanfaat disebut tidak bermanfaat karena tercela secara moral dan karena menghasilkan
akibat-akibat menyakitkan. Itulah sebabnya mengapa jenis-jenis kesadaran ini disebut tidak
bermanfaat atau kesadaran Akusala.
Ada terjemahan lain seperti tidak terampil atau tidak bermoral. Saya tidak menganggap bahwa
terjemahan-terjemahan itu menyampaikan makna yang sama lengkapnya dengan ‘tidak bermanfaat’.
Misalnya, anda menikmati makanan di rumah. Jika anda makan dengan kemelekatan, maka makan itu
adalah tidak bermanfaat, tetapi kita tidak dapat mengatakannya tidak bermoral. Jika anda memakan
makanan anda sendiri. Anda menikmatinya. Maka tidak ada yang tercela dalam hal itu. Tetap saja itu
tidak bermanfaat. Pikiran anda sebenarnya disertai dengan kemelekatan. Kadang-kadang anda
mungkin marah karena anda tidak menyukai sesuatu di dalam makanan itu. Itu adalah Dosa. Kata
‘tidak bermoral’ untuk terjemahan dari kata Pāḷi ‘Akusala’ adalah tidak sebaik ‘tidak bermanfaat’. Oleh
karena itu, kita akan menggunakan kata tidak bermanfaat.
Terdapat dua belas jenis kesadaran tidak bermanfaat. Delapan disertai dengan Lobha. Dua disertai
dengan Dosa. Dan dua disertai dengan hanya Moha saja.

Akusala
Ketika kita berbicara tentang tidak bermanfaat (Akusala), orang-orang sangat takut pada kondisi batin
tidak bermanfaat. Tetapi kadang-kadang setidaknya dalam satu atau dua kasus, walaupun kondisi
batin tidak bermanfaat, namun tidak begitu buruk. Dikatakan, “Tidak semua ketagihan adalah buruk.”
Ini dari Aṅguttara Nikāya.
“Dikatakan bahwa tubuh ini muncul dari ketagihan; dan bahwa dengan berdasarkan atas ketagihan,
maka ketagihan harus ditinggalkan.” (Aṅguttara Nikāya, I, 100, terjemahan oleh Nyanaponika Thera)
Itu bermakna ketagihan pada pencapaian. Anda menginginkan suatu hasil dari latihan anda. Itu adalah
sejenis ketagihan, sejenis kemelekatan. Itulah sebabnya mengapa saya berkata kepada anda pada
retret-retret agar tidak berharap. Harapan adalah sejenis keserakahan, sejenis kemelekatan. Karena
anda memiliki ketagihan itu, kemelekatan pada hasil itu, maka anda berlatih. Sebagai hasil dari
latihan, anda berhasil meninggalkan ketagihan itu. Berdasarkan atas ketagihan itu anda berlatih
meditasi dan anda meninggalkan ketagihan itu. Ketagihan demikian dijelaskan sebagai ‘diperbolehkan
atau boleh dikejar’. Kata Pāḷi untuk ini adalah Sevitabbā. Yang berarti boleh dikejar. Itu berarti hal ini
diperbolehkan. Adalah baik memiliki ketagihan atau kemelekatan demikian. Jika anda tidak memiliki
ketagihan sama sekali atas pencapaian, atas hasilnya, maka anda tidak berlatih sama sekali. Jika anda
tidak berlatih, maka anda tidak mendapatkan hasilnya. Anda tidak akan terbebas dari kekotoran batin.
Oleh karena itu kadang-kadang suatu jenis ketagihan dikatakan oleh Sang Buddha adalah
diperbolehkan. Ini baik.
Komentar menjelaskan, “Berdasarkan atas ketagihan sekarang (yaitu keinginan untuk menjadi
seorang Arahant), ia meninggalkan ketagihan sebelumnya yang menjadi akar-penyebab bagi
(keterlibatan seseorang dalam) lingkaran kelahiran kembali.” Itu bermakna bahwa dengan
berdasarkan ketagihan sekarang untuk menjadi seorang Arahant, ia meninggalkan ketagihan yang
menjadi akar kehidupan ini, yang merupakan akar penjelmaan.
“Sekarang mungkin muncul pertanyaan apakah ketagihan sekarang (untuk mencapai Kearahantaan)
adalah bermanfaat (Kusala) atau tidak bermanfaat (Akusala)?” Ketika anda mendatangi Abhidhamma,
anda harus mengikuti apa yang menjadi fakta. Anda tidak dapat menggunakan diplomasi. Jika itu
adalah Akusala, maka kita harus mengatakannya sebagai Akusala. Maka Komentator di sini
mengatakan bahwa itu adalah tidak bermanfaat. Ketagihan atau keinginan untuk menjadi seorang
Arahant adalah tidak bermanfaat karena itu adalah kemelekatan. Maka itu masuk dalam kategori tidak
bermanfaat.
“Haruskah aku mengejarnya atau tidak? Itu harus dikejar.” Itu berarti bahwa adalah baik memiliki
ketagihan demikian. Walupun itu tidak bermanfaat, itu baik.
Kemudian anda mungkin takut, dengan berpikir, “Akankah aku memperoleh akibat menyakitkan dari
ketagihan ini? Apakah ini akan menarik seseorang ke dalam kelahiran kembali atau tidak?” itu tidak
menarik seseorang ke dalam kelahiran kembali. Itu tidak membawa anda menuju kelahiran kembali
di alam binatang atau di alam manusia. Ini berarti bahwa itu tidak akan pernah membawa anda menuju
kelahiran kembali apapun sama sekali. Itulah sebabnya maka boleh dikejar. Adalah baik memiliki
ketagihan atau keinginan demikian – keinginan untuk berlatih meditasi, keinginan untuk melakukan
kebaikan, keinginan untuk menjadi seorang Arahant.
“Ketagihan yang diperbolehkan (Sevitabbā) demikian ditinggalkan ketika objeknya tercapai.” Ketika
anda menjadi seorang Arahant, anda meninggalkan ketagihan ini, keinginan ini. Oleh karena itu maka
keinginan demikian adalah tidak buruk. Tidak semua ketagihan adalah buruk.
Berikutnya adalah “Manakah yang lebih buruk?”, Raja Milinda bertanya kepada Yang Mulia Nāgasena,
“Yang manakah yang lebih buruk: ia yang melakukan perbuatan jahat dengan mengetahuinya, atau ia
yang melakukan perbuatan jahat tanpa mengetahuinya?”
Jawabannya cukup mengejutkan. Jawabannya adalah: “Baginda, yang lebih buruk adalah ia yang
melakukan perbuatan jahat tanpa mengetahuinya.”
Dapatkah anda menerimanya?
Kemudian Raja Milinda berkata, “Baiklah, Yang Mulia Nāgasena, apakah kita menghukum lebih berat
kepada putra mahkota kami atau perdana menteri yang melakukan perbuatan jahat tanpa
mengetahuinya?”
Dalam hukum sekuler anda tidak menjatuhkan hukuman berat kepada mereka yang melanggar hukum
tanpa mengetahuinya.
Argumen dari Yang Mulia Nāgasena adalah: “Bagaimana menurutmu sehubungan dengan hal ini? Jika
seseorang tanpa mengetahuinya memegang sebuah bola besi panas membara, yang menyala,
membakar, berkobar, dan seorang lainnya memegangnya dengan mengetahuinya, yang manakah yang
akan terbakar lebih parah?”
Jika anda tidak mengetahui bahwa anda akan terbakar, maka anda akan memegangnya kuat-kuat;
maka anda akan semakin terbakar. Jika anda mengetahui bahwa anda akan terbakar dan anda harus
atau ingin memegangnya, maka anda akan sangat berhati-hati agar tidak terbakar sangat parah.
Dalam kasus demikian seorang yang melakukan perbuatan jahat tanpa mengetahuinya memperoleh
keburukan yang lebih besar daripada seorang yang melakukannya dengan mengetahuinya.
Raja Milinda menjawab, “Ia yang memegangnya tanpa mengetahuinya, Yang Mulia, akan terbakar
lebih parah.”
Yang Mulia Nāgasena berkata, “Demikian pula, Baginda, ia yang melakukan perbuatan jahat tanpa
mengetahuinya adalah lebih buruk.”
Raja berkata, “Anda cerdas.”7
Tetapi kadang-kadang anda melanggar hukum, aturan atau sīla tanpa mengetahuinya. Anda mungkin
tidak mengetahui sīla dan melanggarnya. Dalam kasus demikian itu mungkin tidak terlalu buruk. Di
sini melanggar dengan mengetahui, ketika anda melanggar aturan dengan mengetahuinya,
menunjukkan bahwa anda tidak menghormati seseorang atau tidak menghormati hukum atau orang
yang menetapkan aturan-aturan tersebut. Misalkan saya melanggar aturan kebhikkhuan. Aturan
kebhikkhuan ditetapkan oleh Sang Buddha. jika saya melanggar aturan kebhikkhuan, maka saya

7
Percakapan ini tercatat dalam Milindapañha.
bukan hanya melanggar aturan, tetapi saya juga tidak menghormati Sang Buddha. Dalam kasus
demikian melanggar aturan dengan mengetahui adalah lebih buruk, lebih Akusala daripada melanggar
aturan tanpa mengetahui.
Tetapi jawaban yang diberikan oleh Yang Mulia Nāgasena di sini adalah bahwa anda mengetahui
bahwa itu adalah Akusala (tidak bermanfaat). Anda tidak dapat menghindarinya, anda tidak dapat
mencegahnya, ketika anda melakukannya agar tidak memperoleh keburukan yang lebih besar, maka
anda akan melakukan dengan hati-hati. Dan dengan demikian anda hanya memperoleh lebih sedikit
keburukan. Melanggar aturan dengan mengetahui atau tanpa mengetahui saya rasa berbeda. Jika
seorang bhikkhu melanggar suatu aturan Vinaya dengan mengetahui, saya rasa keburukannya adalah
lebih besar karena ia bukan hanya melanggar aturan itu sendiri, tetapi ia juga tidak menghormati Sang
Buddha.

Penyebab menjadi Somanassa-sahagata, dan seterusnya


Mari kita memeriksa penyebab menjadi Somanassa-sahagata dan seterusnya. Saya akan membahasnya
dengan agak cepat. Anda tidak akan menemukan hal-hal ini dalam Manual. Apakah yang membuat
suatu kesadaran disertai dengan Somanassa-diṭṭhigata dan seterusnya? Apakah yang membuat anda
memiliki perasaan Somanassa, atau perasaan Domanassa, atau Diṭṭhi? Komentar memberikan alasan-
alasan ini. Saya pikir beberapa di antaranya mungkin berguna bagi para psikolog atau psikiater.
Apakah yag memicu perasaan Somanassa? Suatu objek yang menyenangkan memicu perasaan
menyenangkan. Ketika anda melihat suatu objek yang disukai, objek yang menyenangkan, maka anda
merasa bahagia. Suatu objek yang disukai adalah kondisi bagi munculnya perasaan yang
menyenangkan.
Kemudian dengan memiliki penghubungan-kembali Somanassa – itu berarti kadang-kadang kita
bertemu seseorang yang hampir selalu bahagia atau yang memiliki kebiasaan bahagia. Itu berarti ia
terlahir kambali dengan perasaan Somanassa itu. Kesadaran penghubungannya atau kesadaran
kelahiran kembali pasti disertai dengan perasaan Somanassa. Mereka yang memiliki penghubungan
Somanassa (yaitu mereka yang terlahir kembali dengan perasaan Somanassa) cenderung memiliki
perasaan Somanassa nyaris seumur hidupnya.
Nomor tiga adalah yang bersifat dangkal. Jika anda adalah seorang yang gembira, maka anda bersifat
dangkal menurut ini. Itu karena mereka yang bersifat dalam tidak sangat mencintai. Suatu ketika saya
mengunjungi suatu tempat di California Utara. Saya sedang berbicara dengan seseorang di sana. Saya
tersenyum dan tertawa. Kemudian orang yang datang bersama saya bertanya kepadanya, “Pernahkah
anda bertemu dengan seorang bhikkhu Buddhis?” ia berkata, “Tidak.” Kemudian teman saya berkata,
“Sekarang anda sedang berbicara dengan seorang bhikkhu Buddhis.” Kemudian orang itu berkata,
“Apakah ia seorang bhikkhu Buddhis? Saya pikir para bhikkhu Buddhis tidak tertawa.” Saya mungkin
bersifat dangkal.
Mengapakah seseorang memiliki pandangan salah, cenderung memiliki pandangan salah? Seorang
yang terlahir kembali lagi dan lagi dengan pandangan salah cenderung menjadi wadah bagi, tempat
bagi pandangan salah. Maka ia cenderung menganut pandangan salah.
Yang lainnya adalah pergaulan dengan orang-orang yang memiliki pandangan salah. Itu sangat benar.
Anda bergaul dengan seseorang dan anda menjadi seperti orang itu.
Asaṅkhārika adalah ketika kesadaran adalah tanpa dorongan. Beberapa orang memiliki
penghubungan Asaṅkhārika. Ketika anda terlahir kembali, kesadaran-penghubungan-kelahiran-
kembali anda pasti tanpa dorongan. Kesadaran-penghubungan-kelahiran-kembali adalah kesadaran
hasil. Jika kesadaran-penghubungan-kelahiran-kembali anda adalah tanpa dorongan, maka anda
cenderung memiliki kesadaran tanpa dorongan seumur hidup.
Kemudian kesehatan yang baik – ketika anda berada dalam kondisi kesehatan yang baik, anda tidak
perlu dipicu atau didorong oleh orang lain untuk melakukan sesuatu karena anda sehat dan anda
hanya melakukannya.
Tanpa mempedulikan panas dan dingin – anda tidak peduli apakah panas atau dingin. Seorang
demikian melakukan hal-hal secara spontan. Jika anda sensitif pada suhu dingin dan cuaca sedang
dingin, maka anda harus didesak atau didorong oleh diri sendiri atau orang lain untuk melakukan
sesuatu. Jika anda tidak peduli dengan panas atau dingin, maka anda melakukan hal-hal secara
spontan, dengan kesadaran tanpa dorongan.
Mempercayai dan mengantisipasi buah ketekunan – jika anda percaya bahwa jika anda melakukan
sesuatu maka anda akan memperoleh sesuatu, maka anda akan melakukannya tanpa dipicu oleh orang
lain.
Keterampilan dalam pekerjaan seseorang – jika anda terbiasa dengan pekerjaan anda, ketika anda
terbiasa melakukan sesuatu, maka anda akan melakukannya secara spontan. Tidak memerlukan
dorongan.
Iklim dan makanan yang sesuai – ini benar. Ketika iklim baik, pikiran kita menjadi cerah dan bahagia.
Kita cenderung untuk melakukan sesuatu secara spontan. Dan jika kita memiliki makanan yang baik,
kita menjadi memiliki perasaan yang baik sehingga kita melakukan hal-hal tanpa memerlukan
dorongan. Makanan yang baik dan iklim yang sesuai – mungkin ada alasan lainnya juga, tetapi ini
adalah apa yang dijelaskan dalam buku-buku kuno.
Bagaimana dengan Sasaṅkhārika? Ini adalah lawan dari di atas.
Dan kemudian Upekkhā-sahagata, perasaan netral – yang pertama adalah objek yang netral. Objek-
objek yang bukan disukai juga bukan tidak disukai adalah objek-objek yang netral. Ketika anda
memiliki objek-objek yang netral maka anda memiliki perasaan netral.
ang ke dua adalah penghubungan-kembali Upekkhā. Kesadaran penghubungan-kelahiran-kembali
anda pasti disertai dengan Upekkhā.
Yang ke tiga adalah bahwa anda bersifat dalam. Anda selalu berpikir secara mendalam dan oleh karena
itu maka anda jarang memperoleh kesenangan. Anda memiliki perasaan Upekkhā ini.

Penyebab menjadi Domanassa-sahagata dan Paṭigha-sampayutta


Domanassa-sahagata dan Paṭigha-sampayutta – alasan-alasan ini adalah untuk keduanya. Objek yang
tidak disukai – jika objeknya tidak disukai, maka anda cenderung menjadi marah. Jika anda tidak
menyukai sesuatu, anda menjadi marah. Objek yang tidak disukai adalah satu alasan bagi Citta dapat
disertai oleh perasaan tidak menyenangkan.
Dan kemudian dengan memiliki salah satu dari sembilan dasar bagi kebencian, sembilan dasar bagi
dendam, sembilan dasar bagi Dosa adalah penyebab bagi munculnya Dosamūla Citta ini. Ada sembilan
alasan bagi munculnya Dosa. Yaitu: “Ia telah melakukan apa yang membahayakan aku.” Dengan
berpikir demikian, anda menjadi marah kepada orang itu, “Ia sedang melakukan apa yang
membahayakan aku,” atau “Ia akan melakukan apa yang membahayakan aku,” Jika anda berpikir
demikian, maka anda akan menjadi marah kepada orang itu. Dan kemudian, “Ia telah melakukan apa
yang membahayakan orang yang kusayangi.” Dan juga “Ia sedang melakukan apa yang
membahayakan orang yang kusayangi,” dan “Ia akan melakukan apa yang membahayakan orang yang
kusayangi.” Bagian terakhir adalah sehubungan dengan orang yang tidak anda sukai. Kadang-kadang
kita tidak ingin apa yang baik dialami oleh orang-orang yang kita benci. Maka di sini “Ia telah
memberikan manfaat kepada orang yang tidak kusukai atau kubenci.” Atau “Ia sedang memberikan
atau akan memberikan manfaat kepada orang yang tidak kusukai atau kubenci.” Dengan berpikir
demikian kita memperoleh Dosa atau Domanassa. Ini disebut sembilan dasar kebencian atau sembilan
dasar dendam. Ini disebutkan dalam Dīgha Nikāya dan juga dalam Abhidhamma.
Ada satu lagi, tetapi saya tidak menemukannya di dalam Komentar. Yaitu yang disebut kemarahan
tanpa dasar, kemarahan tanpa alasan, tanpa alasan yang tepat. Ketika terlalu panas, anda menjadi
marah. Ketika terlalu dingin, anda menjadi marah. Semacam itu. Anda mungkin membentur sesuatu
dan kemudian anda marah kepada benda itu. Kemudian anda menyepaknya. Ini disebut kemarahan
tanpa dasar. Anda seharusnya tidak marah karena hal-hal ini, tetapi tetap saja orang menjadi marah.
Perasaan menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan, pandangan salah dan sebagainya muncul
karena alasan-alasan ini ketika kita mengetahui alasan-alasan bagi munculnya hal-hal ini, maka kita
dapat melakukan sesuatu untuk mengubah diri kita.

Bagaimana Mempelajari
Hafalkan dua belas jenis kesadaran tidak bermanfaat ini dalam bahasa terjemahan karena Pāḷi
mungkin terlalu sulit bagi anda pada tahap ini. Jangan tinggalkan Pāḷi sama sekali karena kita akan
menggunakan kata-kata Pāḷi lagi dan lagi. Begitu anda mengetahui kata-kata Pāḷi maka anda akan
menyukainya. Kelak anda akan ingin menggunakan kata-kata Pāḷi hanya karena ketika anda
menggunakan kata-kata Pāḷi maka tidak mungkin salah memahani atau salah menafsirkan sesuatu.
Ketika kita menggunakan terjemahan, kadang-kadang terjemahan itu tidak akurat dan dapat
mengarah pada kesalahpahaman. Bahkan ketika saya menggunakan bahasa terjemahan, saya akan
merujuk kembali ke kata Pāḷi. kata-kata Pāḷi akan didefinisikan dan kemudian kita dapat selalu
menggunakan kata-kata Pāḷi.
Delapan Citta pertama disertai dengan apakah? Disertai dengan Lobha. Kedua ini (yaitu nomor 9 dan
10) disertai dengan apakah? Disertai dengan Dosa. Dua terakhir (11 dan 12) disertai dengan apakah?
Disertai dengan Moha.
Di antara delapan Lobhamūla Citta, empat (yaitu 1-4) disertai dengan kegembiraan atau kesenangan.
Empat lainnya (yaitu 5-8) memiliki perasaan tidak peduli. Di antara ini, dua pertama (yaitu 1 dan 2)
bergabung dengan pandangan salah. Dua yang ke dua (yaitu 3 dan 4) tidak bergabung dengan
pandangan salah. Di antara empat yang disertai dengan perasaan tidak peduli, dua pertama (yaitu 5
dan 6) bergabung dengan pandangan salah. Dua ke dua (yaitu 7 dan 8) tidak bergabung dengan
pandangan salah.
Dalam CMA digunakan kata ‘berhenti bergabung’ (baca CMA, I, tuntunan §4, p.34). Saya tidak yakin
dengan kata ini. Apakah maksud dari kata ‘berhenti bergabung? Adakah perbedaannya antara tidak
bergabung dan berhenti bergabung? Awalnya hal-hal itu bersama dan kemudian anda
memisahkannya. Itu bukanlah makna yang diperlukan di sini. Saya lebih suka menggunakan tidak
bergabung. Oleh karena itu kedua Citta ini tidak bergabung dengan Diṭṭhi, pandangan salah.
Dua berikutnya (yaitu 9 dan 10) disertai dengan perasaan apakah? Disertai dengan kemarahan,
ketidaksenangan. Dan kedua ini (yaitu 11 dan 12) disertai dengan ketidakpedulian.
Citta pertama adalah dengan gembira, dengan pandangan salah dan tanpa dorongan. Citta ke dua
adalah dengan sen gembira ang, dengan pandangan salah dan dengan dorongan. Citta ke tiga adalah
dengan gembira, tanpa pandangan salah dan tanpa dorongan. Citta ke empat adalah dengan gembira,
tanpa pandangan salah dan dengan dorongan. Citta ke lima adalan dengan tidak peduli, dengan
pandangan salah dan tanpa dorongan. Citta ke enam adalah dengan tidak peduli, dengan pandangan
salah dan dengan dorongan. Citta ke tujuh adalah dengan tidak peduli, tanpa pandangan salah dan
tanpa dorongan. Citta ke delapan adalah dengan tidak peduli, tanpa pandangan salah dan dengan
dorongan.
Citta ke sembilan adalah Dosa, ketidaksenangan, dengan kebencian, tanpa dorongan. Citta ke sepuluh
adalah dengan ketidaksenangan, dengan kebencian dan dengan dorongan.
Kemudian kedua ini (11 dan 12) – yang pertama adalah dengan tidak peduli dan tanpa keragu-raguan.
Tidak ada perbedaan antara dengan dorongan dan tanpa dorongan. Hal-hal ini di luar dengan
dorongan dan tanpa dorongan. Yang terakhir adalah dengan tidak peduli dan dengan gelisah.
Anda berlatih dengan cara ini di rumah. Anda dapat menutup penjelasan ini pada buku ini. Cobalah
untuk menjelaskan masing-masing Citta. Misanya, Citta pertama adalah dengan keserakahan, dengan
senang, dengan pandangan salah, dan tanpa dorongan. Kemudian jika anda lupa, anda dapat membuka
penutup dan melihat jawabannya. Dengan cara ini anda dapat menghafalkan dua belas ini sebelum
minggu depan.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Ahetuka Citta
Definisi kata ‘Ahetuka’
Hari ini kita akan mempelajari Ahetuka Citta. Ada delapan belas Ahetuka Citta. Pertama kita akan
mempelajari kata ‘Ahetuka’. Anda mengetahui kata ‘Hetu’. ‘Hetu’ berarti akar. Terdapat enam akar –
tiga yang tidak bermanfaat dan tiga akar yang baik. Saya tidak mengatakan “akar bermanfaat”. Saya
mengatakan “akar yang baik” karena akar-akar itu bermafaat, akar-akar itu adalah hasil dan akar-
akar itu adalah fungsional. Akar-akar itu merupakan bagian dari Cetasika-cetasika indah. Tiga ini
adalah akar yang baik. Dalam Buku dikatakan “akar-akar yang cerah” (baca CMA, I, tuntunan §8, p.40).
Citta-Citta ini muncul tanpa keenam akar ini. Citta-Citta ini tidak disertai dengan keenam akar ini.
Itulah sebabnya maka disebut kesadaran tanpa akar. Tanpa akar berarti tidak ada akar pendamping.
Karena Citta-Citta ini adalah hasil dari kamma lampau, Citta-Citta ini adalah hasil dari akar masa
lampau. Tetapi ketika muncul, tidak ada akar yang menyertainya. Oleh karena itu, disebut Ahetuka.
Kadang-kadang Hetu diterjemahkan sebagai penyebab. Tetapi di sini jika kita mengatakan “tanpa-
kesadaran-penyebab”, maka ini adalah salah. Yang benar adalah tanpa kesadaran akar atau kesadaran
tanpa akar. Tanpa akar bermakna tanpa akar yang menyertai jenis-jenis kesadaran ini.
Klasifikasi Ahetuka Citta
Ahetuka Citta terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah Ahetuka Akusala-vipāka. Ada
berapa banyakkah? Ada tujuh. Kelompok ke dua adalah Ahetuka Kusala-Vipāka. Ada barapa
banyakkah? Ada delapan. Kelompok ketika adalah Ahetuka Kiriya Citta. Ada berapa banyakkah? Ada
tiga. Seluruhnya tujuh tambah delapan tambah tiga menjadi delapan belas.
Kelompok pertama adalah Ahetuka Akusala-vipāka Citta. Kata ‘Vipāka’ berarti sesuatu yang telah
masak, sesuatu yang telah menjadi matang. Ini berarti hasil. Kata ini terbatas hanya untuk Citta dan
Cetasika saja. Ada properti materi yang disebabkan oleh Kamma, yang merupakan hasil dari Kamma.
Tetapi properti materi tidak disebut Vipāka. Hanya Citta dan Cetasika hasil yang disebut Vipāka. Anda
harus memahami makna dari kata ini.
Dijelaskan bahwa Vipāka di sini harus identik dengan penyebabnya, karena Citta-Citta ini adalah hasil
dari Kamma. Apakah Kamma? Kamma termasuk dalam batin atau faktor-faktor batin. Kamma adalah
salah satu dari faktor-faktor batin. Maka ini pasti adalah batin dan harus mengambil objek sehingga
hasilnya identik dengan penyebabnya. Suatu hasil identik adalah Citta dan Cetasika, dan bukan
properti materi.
Anda ingin menanam padi – maka anda menanam padi. Pertama-tama anda menanam padi dari sebutir
benih. Tanaman itu bertunas. Hingga muncul buah pada tanaman, anda tidak mengatakannya telah
masak. Ketika muncul butiran-butiran padi pada tanaman, maka anda mengatakannya telah masak.
Ketika anda mendapatkan butiran-butiran padi pada tanaman itu, maka anda mengatakan bahwa
tanaman itu telah masak. Dedaunan pada tanaman juga adalah hasil dari benih. Padi (bukan dedaunan,
bukan tangkai, bukan akar) disebut padi. Hanya yang terakhir masak yang disebut padi. Demikian pula,
walaupun properti materi disebabkan oleh atau merupakan hasil dari Kamma masa lampau, namun
tidak disebut Vipāka karena tidak identik dengan penyebabnya yang termasuk dalam faktor-faktor
batin dan yang mengambil suatu objek. Ketika kita mengatakan, “Vipāka”, harap dimengerti bahwa
yang kita maksudkan adalah hanya Citta dan Cetasika, bukan properti materi.
Seluruhnya terdapat tujuh Akusala-Vipāka. Sekarang Akusala-vipāka berarti Vipāka dari Akusala,
hasil dari Akusala. Akusala di sini berarti kesadaran Akusala, tetapi sebenarnya penyebab
sesungguhnya adalah Kamma atau kehendak yang menyertai kesadaran Akusala. Untuk
menyederhanakan, kita akan mengatakan bahwa hal-hal ini adalah hasil dari Akusala Citta. Tepatnya,
kita mengatakan bahwa hal-hal ini adalah hasil dari kehendak Akusala, dari Akusala Kamma. Oleh
karena itu Akusala memenuhi syarat Vipāka dan bukan Citta.

Proses Pikiran secara Singkat


Dikatakan ada tujuh hasil Akusala. Sebelum kita mempelajari ketujuh Citta ini, kita harus memahami
apa yang terjadi ketika kita melihat sesuatu. Jika kita memahami melihat, maka kita dapat memahami
mendengar, mencium, dan seterusnya. Melihat, walaupun tampaknya sangat sederhana, namun
sebenarnya adalah pengalaman yang sangat kompleks. Banyak momen kesadaran kecil yang terlibat
dalam apa yang kita sebut melihat. Kita melihat sesuatu. Kita pikir kita melihatnya seketika tanpa
memerlukan banyak waktu. Tetapi jika kita dapat membesarkan gambaran itu sejuta kali atau semilyar
kali, maka kita akan melihat bahwa ada banyak momen pikiran sebelum kita dapat melihat sesuatu.
Dalam Komentar diberikan perumpamaan mangga. Itu adalah perumpamaan yang sangat bagus untuk
memahami proses pikiran. Di sini perumpaan itu adalah tentang proses pikiran dalam melihat.
Dikatakan bahwa ada orang yang kepalanya ditutup. Ia tidur di bawah sebatang pohon mangga yang
berbuah. Kemudian sebutir mangga masak jatuh – terlepas dari tangkainya, jatuh ke tanah mengenai
telinganya. Yang bermakna jatuh di dekat telinganya. Kemudian ia terjaga karena suara itu. Ia bangun.
Kemudian ia membuka matanya dan melihat mangga itu. Kemudian ia merentangkan tangannya dan
mengambil mangga itu dengan tangannya. Setelah memegang mangga itu, ia meremasnya. Kemudian
ia mencium buah itu dan mengetahui bahwa mangga itu telah masak. Selanjutnya ia memakannya,
menikmatinya. Setelah memakannya, ia menelan partikel-partikel kecil bersama ludahnya. Kemudian
ia kembali tidur. Jika anda mengingat perumpamaan ini, maka anda mengetahui proses pikiran dalam
melihat atau kita dapat menyebutnya psikologi melihat.
Ada momen-momen pikiran yang selalu berlangsung dalam kehidupan kita. Ada serangkaian momen
pikiran yang kita sebut Bhavaṅga. Ini diterjemahkan sebagai rangkaian-kehidupan. Itu adalah sesuatu
seperti kesadaran tidak-sadar. Saya tidak ingin menggunakan kata ‘bawah-sadar’. Ini dapat tercampur
dengan bawah sadar dari psikologi modern. Oleh karena itu momen pemikiran tidak sadar adalah lebih
baik. Momen pemikiran tidak sadar ini berlangsung sepanjang kehidupan kita ketika tidak ada objek
jelas yang muncul pada kita.
Ketika suatu objek terlihat masuk ke dalam jangkauan mata, maka kita mengatakan bahwa objek
terlihat itu menyentuh mata, mengenai mata. Itu bermakna muncul dalam pandangan. Ketika objek
terlihat muncul dalam pandangan, Bhavaṅga terputus. Bhavaṅga terguncang. Kemudian berhenti.
Setelah berhentinya Bhavaṅga, di sana muncul kesadaran yang disebut Pañcadvārāvajjana. Kesadaran
itu akan kita temukan di antara tiga Ahetuka Kiriya Citta. ‘Pañcadvārāvajjana’ berarti Pengalihan-
lima-pintu-indria. Itu berarti ketika suatu objek terjadi pada lima indria (kita menyebutnya lima pintu-
indria) Bhavaṅga berhenti dan kesadaran ini muncul dengan mengambil objek tersebut sebagai objek.
Dan juga kesadaran ini mengalihkan arus kesadaran pada objek tersebut. Itulah sebabnya maka
disebut Pañcadvāravajjana. ‘Pañca’ berarti lima. ‘Dvāra’ berarti pintu-indria. ‘Avajjana’ berarti
mengalihkan. Kesadaran ini mengalihkan pikiran ke arah objek. Kesadaran ini mengalihkan pikiran
ke arah momen-momen sadar. Itu adalah satu momen pemikiran yang sangat singkat.
Setelah itu, ada kesadaran melihat yang sebenarnya. Melihat berarti hanya melihat – bukan
memahaminya, bukan mengenalinya sebagai baik atau buruk, bahkan tidak mengetahui bahwa itu
sebenarnya adalah mangga. Kesadaran itu dalam Pāḷi disebut Cakkhu-viññāṇa, kesadaran-mata. Saya
akan menjelaskan maknanya nanti. Itu adalah seperti orang itu yang membuka matanya dan melihat
mangga. Sekarang ia melihat mangga itu.
Setelah itu, momen pemikiran lainnya muncul yang disebut Sampaṭicchana, menerima objek. Itu
seperti orang itu yang merentangkan tangannya dan memegang buah. Berikutnya adalah momen
Santīraṇa, kesadaran penyelidikan. Dalam perumpamaan itu, ia meremas buah itu untuk mengetahui
apakah buah itu masak atau tidak. Itu disebut kesadaran penyelidikan. Pikiran menyelidiki objek yang
telah diterima oleh Sampaṭicchana. Setelah itu ia menciumnya. Itu bermakna ia mencium dan
memutuskan bahwa itu adalah mangga dan mangga itu masak. Dengan cara yang sama, ada momen
yang disebut Voṭṭhabbana. ‘Voṭṭhabbana’ bermakna memutuskan. Pada momen ini, pikiran
memutuskan bahwa ini adalah objeknya.
Setelah memutuskan berikutnya adalah Javana. Makna harfiah dari Javana adalah memiliki dorongan,
tetapi makna yang harus kita pahami di sini adalah sepenuhnya menikmati objek. Hanya pada momen
Javana ini kita sepenuhnya mengalami objek. Sebenarnya biasanya ada tujuh momen Javana. Yang
lainnya masing-masing hanya ada satu. Kita mengalami Cakkhu-viññāṇa satu kali. Kita mengalami
Sampaṭicchana satu kali, Santīraṇa satu kali, Voṭṭhabbana satu kali. Untuk Javana, ada tujuh momen.
Biasanya muncul tujuh momen Javana.
Setelah itu, terdapat apa yang disebut Tadārammaṇa. ‘Tadārammaṇa’ bermakna, kita sebut saja, sisa-
rasa. Ini mengambil objek yang sama seperti Javana. Ada dua momen Tadārammaṇa.
Dan kemudian Bhavaṅga muncul kembali. Ini adalah gambaran kasar atas apa itu melihat. Setelah
proses pikiran ini anda baru saja melihat suatu objek terlihat. Anda belum memutuskan bahwa ini
adalah mangga. Anda memerlukan beberapa jenis proses pikiran lagi. Anda akan mempelajari proses
pikiran pada Bab empat CMA ini (baca CMA, IV, §1, p.149). Jangan khawatir jika anda tidak memahami
dengan jelas di sini. Ini adalah perumpamaan mangga yang mengilustrasikan proses pikiran dalam
melihat. Jika anda memahami proses pikiran dalam melihat, maka proses pikiran dalam mendengar
dan yang lainnya akan mudah dipahami. Ini adalah bagaimana suatu proses pikiran muncul dan
lenyap.

Akusala-vipāka Citta
Kesadaran-mata, dan seterusnya
Sekarang kita akan mempelajari masing-masing jenis kesadaran. Pertama adalah Upekkhā-sahagata
dan kemudian Cakkhu-viññāṇa. ini disertai dengan perasaan tidak peduli atau perasaan netral. Ini
disebut Cakkhu-viññāṇa. ‘Cakkhu’ berarti mata dan ‘Viññāṇa’ berarti kesadaran. Saya telah
mengatakan kepada anda bahwa Viññāṇa adalah bersinonim dengan Citta. Oleh karena itu Citta,
Viññāṇa, Mano – semua ini adalah bersinonim. ‘Cakkhu-viññāṇā’ berarti kesadaran-mata. Kesadaran-
mata berarti kesadaran yang kemunculannya bergantung pada mata. Jika anda tidak memiliki mata,
maka anda tidak akan memiliki kesadaran melihat. Kesadaran melihat berarti kesadaran yang muncul
dengan bergantung pada mata. Kesadaran-mata berarti kesadaran yang kemunculannya bergantung
pada mata. Mata sebenarnya bermakna sensitivitas pada mata, bukan bola-mata. Terdapat tempat di
mana gambaran masuk, dalam istilah modern disebut retina. Gambaran masuk ke sana. Kemudian
syaraf mengirimkan pesan ke otak dan seterusnya. Kesadaran-mata itu disertai dengan perasaan
Upekkhā, perasaan tidak peduli atau perasaan netral.
Yang berikutnya adalah Upekkhā-sahagata Sota-Viññāṇa. ‘Sota’ artinya telinga. Maka ini adalah
kesadaran-telinga. Maknanya adalah kesadaran yang muncul dengan bergantung pada telinga. Jika
anda tuli, jika anda tidak memiliki sensitivitas pada telinga, maka kesadaran mendengar tidak akan
muncul. Sota-viññāṇa atau kesadaran-telinga berarti kesadaran yang muncul dengan bergantung
pada telinga. Ini disertai dengan perasaan tidak peduli.
Berikutnya adalah Ghāna-viññāṇa. ‘Ghāna’ artinya hidung. Maka ini adalah kesadaran-hidung.
Kesadaran-hidung adalah kesadaran yang muncul dengan bergantung pada hidung. Hidung berarti
sensitivitas pada hidung di mana kita mengalami bau-bauan. Kesadaran yang bergantung pada bagian
hidung tersebut disebut kesadaran-hidung atau Ghāna-viññāṇa dalam Pāḷi.
Berikutnya adalah Jivhā-viññāṇa. Anda dapat menebak makna dari Jivhā. Ini adalah lidah. Kesadaran-
lidah – itu berarti kesadaran yang muncul dengan bergantung pada lidah. Jivhā-viññāṇa juga disertai
dengan Upekkhā.
Kemudian yang ke lima adalah Dukkha-sahagata. Yang ke lima disertai dengan kesakitan, Dukkha. Ini
disebut Kāya-viññāṇa. ‘Kaya’ artinya badan. Maka ini adalah kesadaran yang bergantung pada badan,
seluruh badan. Kesadaran ini disertai dengan kesakitan, Dukkha.
Ketujuh jenis kesadaran ini adalah hasil dari Akusala. Jenis hasil apakah yang ditimbulkan oleh
Akusala? Akusala menimbulkan hasil menyakitkan. Karena hal-hal ini adalah hasil dari Akusala, maka
objek yang kita lihat, kita dengar, dan seterusnya adalah objek-objek yang tidak disukai. Jika anda
melihat sesuatu yang buruk, jika anda melihat sesuatu yang tidak anda sukai, maka ada jenis kesadaran
ini. Jika anda mendengar suara yang tidak anda sukai, yang terlalu keras bagi telinga anda, anda
memiliki jenis kesadaran ini. Dukkha-sahagata Kāya-viññāṇa, perasaan badan – tubuh anda terkena
pukulan dan merasa sakit di sana. Ketika ada kesakitan pada tubuh fisik, maka anda mengalami
kesakitan itu dengan jenis kesadaran ini. Jenis kesadaran ini disertai dengan perasaan menyakitkan,
bukan dengan Upekkha, perasaan tidak peduli.
Berikutnya adalah Upekkhā-sahagata Sampaṭicchana. ‘Sampaṭicchana’ artinya menerima. Ini juga
disertai dengan perasaan tidak peduli, Upekkhā. Sampaṭicchana adalah kesadaran penerimaan. Di sini
kesadaran penerimaan bermakna kesadaran yang menerima objek yang disajikan oleh kesadaran
pintu-indria sebelumnya (mata, telinga, dan seterusnya).
Yang terakhir adalah Upekkhā-sahagata Santīraṇa. ‘Santīraṇa’ artinya menyelidiki. Maka ini disebut
kesadaran penyelidikian. Ini adalah kesadaran yang menyelidiki objek yang telah diterima oleh
kesadaran penerima. Ini juga disertai dengan perasaan tidak peduli.
Objek dari seluruh tujuh jenis kesadaran ini adalah selalu yang tidak disukai. Jika objeknya disukai,
maka itu adalah hasil dari Kusala. Ada tujuh jenis Akusala-vipāka Citta. Akusala-vipāka Citta berarti
kesadaran hasil yang tidak bermanfaat. Dalam terjemahan, yang tidak bermanfaat harus dihubungkan
hanya dengan hasil, bukan dengan kesadaran, bukan kesadaran tidak bermanfaat. Ini adalah
kesadaran hasil yang merupakan hasil dari kesadaran tidak bermanfaat sebelumnya.
Terdapat kondisi-kondisi untuk munculnya kelima jenis kesadaran ini. Adalah baik untuk memahami
kondisi-kondisi ini. Untuk melihat munculnya kesadaran melihat, diperlukan empat kondisi. Harus
ada organ penglihatan. Itu berarti kita harus memiliki mata. Harus ada objek terlihat. Harus ada
sesuatu untuk dilihat. Jika tidak ada apapun yang dapat dilihat, maka kesadaran melihat tidak akan
muncul. Harus ada cahaya. Jika dalam kegelapan, maka kita tidak dapat melihat. Kita memerlukan
cahaya untuk dapat melihat. Kemudian yang terakhir adalah perhatian. Kadang-kadang kita tidak
memperhatikan dan kita tidak melihat. Perhatian adalah penting. Perhatian benar-benar mengalihkan
pikiran kepada objek. Jika pikiran tidak teralihkan kepada objek, maka kita tidak mengalami objek
tersebut. Diperlukan empat kondisi ini agar kesadaran melihat dapat muncul. Apakah empat ini? Yaitu
mata, benda yang dilihat, cahaya dan perhatian.
Untuk munculnya kesadaran mendengar, apakah yang kita perlukan? Kita memerluan organ
pendengaran atau telinga. Kemudian harus ada suara. Jika tidak ada suara, maka kita tidak mendengar.
Kemudian harus ada ruang. Jika anda menutup telinga, maka anda tidak akan mendengar suara. Maka
anda memerlukan ruang, dan kemudian harus ada perhatian.
Untuk munculnya kesadaran mencium harus ada organ penciuman. Itu berarti anda harus memiliki
hidung. Harus ada bau-bauan. Jika bau-bauan itu tidak dibawa oleh udara atau angin kepada anda,
maka anda tidak akan mengalami bau-bauan tersebut. Maka anda memerlukan udara atau angin. Dan
kemudian anda memerlukan perhatian. Ini adalah empat kondisi bagi munculnya kesadaran
penciuman.
Kemudian organ pengecapan – maksud saya adalah ketidak anda memakan sesuatu, ada kesadaran-
lidah. Pasti ada lidah. Pasti ada rasa kecapan dalam makanan. Kita menyebutnya rasa kecapan. Harus
ada air. Air bermakna kelembaban atau cairan. Jika anda memasukkan makanan kering ke dalam
mulut anda, maka anda tidak akan merasakannya jika lidah anda kering dan anda memasukkan
sepotong makanan kering ke dalam mulut anda, maka anda tidak akan memperoleh rasa kecapannya.
Untuk dapat merasakan maka anda memerlukan cairan atau ludah. Jika tidak maka anda tidak akan
merasakan apapun. Di sini disebut air, air di dalam mulut. Dan juga anda memerlukan perhatian.
Apakah yang terakhir? Yang terakhir adalah organ sentuhan. Yaitu badan. Ini adalah seluruh tubuh
kecuali rambut dan kuku di mana kita tidak dapat merasakan apapun. Oleh karena itu hal ini berdiam
di seluruh tubuh. Harus ada sesuatu untuk disentuh, suatu objek sentuhan. Kemudian harus ada tanah.
Tanah bermakna kepadatan dari objek tersebut. Ketika kita mengatakan elemen tanah, elemen air,
elemen api, elemen angin, yang dimaksudkan bukanlah tanah fisik dan seterusnya, melainkan sifat
dari hal-hal ini. Sifat dari tanah adalah keras atau lunak atau padat. Harus ada sifat tanah ini untuk
dapat mengalami sentuhan. Juga harus ada perhatian. Anda menyentuh sesuatu dan anda benar-benar
mengalami keras atau lunaknya.
Ini adalah kondisi-kondisi yang diperlukan agar kelima ini muncul. Hal-hal ini juga akan diterapkan
pada lima dalam Ahetuka Kusala-vipāka Citta.

Ahetuka Kusala-vipāka Citta


Kesadaran-mata, dan seterusnya
Kelompok ke dua adalah Ahetuka Kusala-vipāka Citta. Di sini kita secara khusus membahas Kusala-
vipāka dengan Ahetuka, saya rasa anda memahaminya. Ada Kusala-vipāka Citta yang dengan Hetu.
Kita akan mempelajarinya nanti. Di antara kesadaran alam-indriawi, kesadaran alam-berbentuk dan
kesadaran alam tanpa-bentuk terdapat Kusala-vipāka. Ini adalah hasil dari Kusala. Untuk
membedakan jenis-jenis kesadaran ini dari kelompok itu maka kata ‘Ahetuka’ ditambahkan di depan
kata ‘Kusala-vipāka’. Tetapi sehubungan dengan Akusala-vipāka, kita tidak perlu mengatakan Ahetuka
karena Akusala-vipāka Citta adalah selalu Ahetuka. Tidak ada Akusala-vipāka yang dengan Hetu, yang
disertai dengan Hetu. Maka kita tidak perlu mengatakan Ahetuka karena itu selalu adalah Ahetuka.
Jika kita tidak mengatakan Ahetuka dengan Kusala, maka itu termasuk Kusala-vipāka Citta yang
dengan akar. Itulah sebabnya maka kata ‘Ahetuka’ harus disebutkan di sini.
Ahetuka Kusala-vipāka berarti Vipāka tanpa Hetu. Ada delapan jenis kesadaran di sini. Empat pertama
katakanlah sama. Apakah perbedaannya? Perbedaannya adalah pada objeknya. Di sini objeknya adalah
yang disukai, objek yang baik. Anda melihat sesuatu yang indah. Anda mendengar suara yang merdu
bagi anda. Anda mencium bau harum, aroma parfum atau semacam itu. Di sini karena hal-hal itu
adalah hasil dari Kusala, maka itu pasti baik, pasti disukai. Kesadaran-mata, kesadaran-telinga,
kesadaran-hidung, dan kesadaran-lidah adalah sama.
Sekarang kita sampai ke nomor lima, kesadaran-badan. Kesadaran-badan di sini disertai dengan
Sukha. Sukha berarti – adalah sulit untuk menemukan terjemahan yang baik untuk kata ‘Sukha’. Kita
akan menggunakan kebahagiaan atau di sini kesenangan. Ketika badan menyentuh sesuatu yang
lembut, jenis sensasi ini muncul. Ini disebut Sukha. Jika anda membentur batu, muncul rasa sakit. Itu
adalah Dukkha. Jika badan atau tangan anda menyentuh sesuatu yang lembut, menyenangkan
disentuh, maka anda memiliki Sukha ini. Kesadaran itu yang disertai dengan Sukha, kesenangan. Ini
adalah Kāya-viññāṇa, kesadaran-badan.
Sampai saat ini berapa banyakkah jenis perasaan yang telah kita temui? Somanassa, Upekkhā,
Domanassa, dan hari ini kita menemui dua lagi, Dukkha dan Sukha. Berapa banyakkah perasaan itu?
Ada lima perasaan. Kita dapat mengatakan ada tiga perasaan atau ada lima perasaan. Tiga dan lima ini
akan dibahas pada bab tiga Manual ini (CMA, III, §2, p.115). Ada lima jenis perasaan. Somanassa,
Domanassa dan Upekkhā adalah perasaan batin. Dukkha dan Sukha juga adalah batin, tetapi
terhubung dengan badan.
Anda merasa bahagia oleh diri anda sendiri. Itu adalah Somanassa. Anda mengalami sentuhan yang
menyenangkan dan anda bahagia. Itu adalah Sukha. Anda menyesal. Itu adalah Domanassa. Anda
membentur sesuatu dan merasa sakit. Itu adalah Dukkha. Dukkha dan Sukha berhubungan dengan
tubuh fisik. Ketika anda merasa bahagia dengan perasaan nyaman dalam tubuh, di sana ada Sukha.
Maka kita memiliki Sukha-sahagata Kāya-viññāṇa.
Yang ke enam adalah sama. Ini adalah Upekkhā-sahagata Sampaṭicchaṇa, kesadaran penerimaan.
Kemudian nomor tujuh adalah Somanassa-sahagata Santīraṇa. kesadaran Santīraṇa di sini ada dua
jenis. Yang pertama disertai dengan Somanassa. Yang ke dua disertai dengan Upekkhā. Ada dua
Santīraṇa di sini. Oleh karena itu, ada delapan Ahetuka Kusala-vipāka, bukan tujuh.
Anda mungkin ingin mengajukan banyak pertanyaan. Saya akan menjelaskan mengapa kesadaran-
mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung dan kesadaran-lidah disertai dengan perasaan tidak
peduli, terlepas dari kualitas objeknya. Apakah objek itu disukai atau tidak disukai, di sana selalu ada
Upekkhā. Mengapakah? Harap dipahami bahwa sensitivitas-mata hingga sensitivitas-lidah – properti
materi ini disebut properti materi yang bergantung. Bergantung pada empat elemen utama. Ketika
muncul, hal-hal itu muncul bersama dengan elemen tanah, elemen air, elemen api dan elemen udara.
Empat elemen utama ini disebut Mahābhūta. Hal-hal ini adalah seperti bentukan-bentukan keras.
Sensitivitas-mata hingga sensitivitas-lidah adalah properti materi yang bergantung yang disebut
lembut bagaikan bola kapas. Mungkin hal-hal itu lembut. Sensitivitas-mata dan seterusnya disebut
lembut karena kemunculannya bergantung pada empat elemen utama. Hal yang sama berlaku untuk
objek terlihat, suara, bau-bauan dan rasa kecapan. Empat objek ini adalah properti materi yang
bergantung. Hal-hal itu juga bergantung pada empat elemen utama. Ini seperti bola kapas. Empat
sensitivitas ini dan objek-objeknya adalah properti materi seperti bola kapas, lembut.
Empat elemen utama adalah keras seperti sentuhan atau sensitivitas-badan. Bagaimana dengan
sentuhan atau sensitivitas-badan? Apa yang kita sebut sentuhan sebenarnya adalah kombinasi dari
tiga elemen utama. Tiga dari empat elemen utama adalah sentuhan. Yaitu elemen tanah, elemen api
dan elemen udara – tidak termasuk elemen air. Ketika kita mengatakan sentuhan, itu bukan lain
adalah kombinasi dari ketiga (elemen) ini, apakah keras atau lembut? Apakah sentuhan itu keras atau
lembut? Itu keras.
Ketika kita melihat sesuatu, ini seperti membenturkan sebuah bola kapas dengan bola kapas lainnya –
tidak ada efeknya. Tidak ada benturan yang kuat. Maka di sana selalu ada perasaan tidak peduli. Ini
adalah sensitivitas-mata. Ini adalah objek terlihat. Maka objek terlihat muncul dan mengenai
sensitivitas-mata. Tidak ada benturan keras. Itulah sebabnya mengapa di sana hanya ada perasaan
tidak peduli. Tidak ada Somanassa, tidak ada Domanassa atau apapun.
Ketika ada sentuhan atau sensitivtas-badan, maka ada benturan. Maka itu kuat. Jika itu disukai, maka
ada Sukha. Jika tidak disukai, maka ada Dukkha. Itulah sebabnya mengapa kesadaran-badan disertai
dengan apakah Sukha atau Dukkha bergantung pada kualitas objeknya. Melihat dan yang lainnya
adalah seperti meletakkan bola kapas di atas alas pukulan dan memukulnya dengan bola kapas
lainnya. Sentuhan adalah bagaikan meletakkan bola kapas di atas alas pukulan dan memukulnya
dengan benda keras. Itulah sebabnya mengapa kesadaran mata, telinga, hidung dan lidah semuanya
disertai dengan Upekkha. Kesadaran-badan disertai dengan apakah kesakitan atau kesenangan
bergantung pada kualitas objeknya.
Persoalan lainnya di sini adalah mengapa ada dua Santīraṇa dalam delapan Ahetuka Kusala-vipāka.
Hanya ada satu Santīraṇa di antara hasil akusala. Di antara hasil-hasil Ahetuka Kusala ada dua
Santīraṇa – satu yang disertai dengan Somanassa, perasaan menyenangkan dan yang lainnya disertai
dengan Upekkhā, perasaan netral. Mengapakah? Ketika kita mengatakan objek yang disukai, kita
menggunakan istilah umum. Ada dua jenis objek yang disukai – objek disukai secara biasa dan objek
yang sangat disukai. Beberapa objek adalah sangat disukai oleh kita. Beberapa hanya disukai secara
biasa. Ada dua jenis objek yang disukai secara biasa dan sangat disukai atau objek yang disukai secara
khusus. Ketika objek itu sangat disukai, maka Santīraṇa disertai dengan Somanassa. Tetapi ketika
objek itu tidak sangat disukai melainkan hanya disukai secara biasa, maka Santīraṇa disertai dengan
Upekkhā, perasaan tidak peduli. Karena ada dua jenis objek yang disukai ini, bersesuaian dengan kedua
jenis objek yang disukai, maka ada dua jenis kesadaran penyelidikan di antara delapan jenis kesadaran
hasil tanpa akar.
Persoalannya masih belum berakhir:
Adakah objek-objek yang sangat tidak disukai dan tidak disukai secara biasa? Sehingga ada dua
Santīraṇa di antara Akusala-vipāka? Adakah satu Santīraṇa yang disertai dengan Domanassa dan satu
dengan Upekkhā?
Di antara Ahetuka Kusala-vipāka Citta, kita mengatakan karena ada dua jenis objek yang disukai, maka
ada dua jenis Santīraṇa – satu yang disertai dengan Somanassa dan satu yang diertai dengan Upekkhā.
Demikian pula tidakkah ada yang tidak disukai secara biasa dan yang sangat tidak disukai?
Saya rasa demikian. Kadang-kadang anda sangat membenci suatu objek. Jadi mengapa tidak ada, saya
tidak tahu. Kembali pada Akusala Citta. Ada dua Domanassa Citta. Saya mengatakan sesuatu di sana.
Apakah anda ingat apa itu?
Perasaan Domanassa dan Dosa selalu muncul bersama. Keduanya tidak muncul secara terpisah. Jika
ada objek yang sangat tidak disukai dan yang tidak disukai secara biasa, maka Domanassa dan Dosa
akan muncul untuk keduanya. Jika ada objek yang sangat tidak disukai, maka pasti ada perasaan
Domanassa. Jika Domanassa muncul, maka Dosa juga akan muncul. Dosa adalah faktor batin. Keduanya
berbeda. Ketika ada Domanassa, maka akan selalu ada Dosa. Dosa adalah sifat dari Akusala. Dosa tidak
pernah Kusala. Dosa tidak pernah Vipāka. Kita mungkin memperbolehkan Domanassa muncul di sini.
Jika kita memperbolehkan Domanassa muncul, maka kita pasti memperbolehkan Dosa juga. Dosa tidak
akan muncul di sini karena Dosa adalah Akusala dan bukan Vipāka. Keduanya berbeda dalam sifatnya,
dalam genusnya. Karena Dosa tidak dapat muncul, maka tidak akan ada Domanassa. Hanya ada satu
Santīraṇa, Upekkhā Santīraṇa di antara tujuh Akusala-vipāka Citta.

Ahetuka Kiriya Citta


Kelompok berikutnya, yang terakhir adalah Ahetuka Kiriya Citta. Anda mengetahui Ahetuka. Kiriya
diterjemahkan sebagai fungsional. Itu berarti hanya melakukan fungsi muncul dan lenyap atau
mengambil objek – hanya itu. Ini tidak memiliki kekuatan Kamma. Ini juga bukan hasil dari Kamma.
Itulah sebabnya maka disebut Kiriya. Terjemahan lainnya dari kata ‘Kiriya’ adalah tidak bekerja. Hal-
hal itu muncul dan lenyap tanpa meninggalkan kekuatan Kamma. Hal-hal itu bukan Kamma dan bukan
hasil dari Kamma apapun. Hal-hal itu adalah netral. Itu disebut Kiriya. Kita akan menemui banyak jenis
kesadaran Kiriya dalam perjalanan pembahasan ini.
Berapa banyakkah Ahetuka Kiriya Citta? Ada tiga. Upekkhā-sahagata Pañcadvārāvajjana, jadi
kesadaran pengalihan-lima-pintu-indria adalah yang pertama. Anda telah melihat Pañcadvārāvajjana
dalam perumpamaan mangga. Ini adalah kesadaran yang muncul setelah arus Bhavaṅga berhenti. Ini
muncul ketika objek membentur kelima pintu-indria. Mata, telinga, hidung, lidah, badan – kita
menyebutnya pintu-pintu indria. Hal-hal ini adalah pintu dari mana kesadaran muncul. Jenis
kesadaran ini mengalihkan arus kesadaran kepada kelima jenis objek. Itulah sebabnya mengapa
disebut Pañcadvārāvajjana. Ini mengubah kesadaran dari arus Bhavaṅga menjadi kesadaran aktif. Kita
juga dapat mengatakan Bhavaṅga sebagai kesadaran tidak aktif. Kesadaran jenis lainnya kita sebut
aktif. Maka dari momen ini dan seterusnya, arus kesadaran menjadi aktif. Ini mengubah arus
kesadaran menjadi aktif. Itulah sebabnya mengapa disebut Pañcadvārāvajjana. Kata ‘Āvajjana’
memiliki dua makna yang dijelaskan dalam Komentar. Satu adalah merefleksikan dan yang lainnya
adalah mengalihkan kepada, mengalihkan kepada objek.
Karena ini adalah Pañcadvārāvajjana, maka ini hanya akan muncul sehubungan dengan kelima indria,
kelima objek indria. Jika anda memikirkan sesuatu dalam pikiran anda, suatu jenis kesadaran lainnya
akan melakukan fungsi tersebut. Itu adalah yang ke dua, Manodvārāvajjana.
Manodvārāvajjana adalah pintu-pikiran, bukan mata, telinga, hidung, lidah atau badan, melainkan
pikiran anda. Pikiran Bhavaṅga disebut Mano-dvāra di sini. Ketika anda memikirkan sesuatu dalam
pikiran anda, ketika anda mengingat sesuatu, ketika anda bahagia atau menyedal, ada proses pikiran
Mano-dvāra. Pada awal proses pikiran pintu-pikiran kesadaran ini muncul. Kesadaran ini mengalihkan
pikiran kepada objek-pikiran. Ini disebut Āvajjana. Karena muncul di pintu-pikiran, maka ini disebut
Manodvārāvajjana.
Kesadaran ini memiliki fungsi lain. Yaitu memutuskan, Voṭṭhabbana. Dalam perumpamaan setelah
kata ‘Santīraṇa’ terdapat kata ‘Voṭṭhabbana’. Kesadaran ini, Manodvārāvajjana, melakukan dua fungsi.
Ketika muncul pada salah satu dari proses pikiran lima-pintu-indria, kesadaran ini melakukan fungsi
memutuskan. Ketika muncul melalui pintu-pikiran,8 maka kesadaran ini melakukan fungsi
mengalihkan pikiran kepada objek. Jadi kesadaran ini memiliki dua fungsi. Ini disebut
Manodvārāvajjana. Kedua ini disertai dengan Upekkhā, perasaan tidak peduli. Terlepas dari kualitas
objeknya, ini adalah Upekkhā.
Yang ke tiga adalah Somanassa-sahagata Hasituppāda. Anda mengetahui Somanassa adalah perasaan
menyenangkan. Hasituppāda adalah kata majemuk – ‘Hasita’ dan ‘Uppāda’. ‘Hasita’ berarti tersenyum,
senyuman. ‘Uppāda’ di sini berarti menghasilkan, menjadikan. ‘Hasituppāda’ berarti kesadaran yang
menghasilkan suatu senyuman, kesadaran yang menyebabkan tersenyum. Kesadaran ini disebut
Hasituppāda.
Karena seseorang tersnyum dengan perasaan yang baik, maka ini selalu disertai dengan Somanassa,
perasaan menyenangkan. Dikatakan dalam buku-buku bahwa jenis kesadaran ini adalah khusus pada
para Arahant saja. Kita tersenyum dengan jenis kesadaran lain, bukan dengan jenis ini. Jika anda
menjadi seorang Buddha atau Pacceka Buddha atau seorang Arahant, maka anda akan tersenyuam
dengan jenis kesadaran ini. Maka kesadaran ini adalah hanya untuk para Arahant saja. Dengan kata
‘Arahant’ yang dimaksudkan adalah para Buddha juga. Para Buddha disebut Arahant. Hasituppāda

8
Ini berarti bukan melihat, bukan mendengar dan seterusnya, hanya berpikir dalam pikiran.
adalah untuk para Buddha, Pacceka Buddha dan para Arahant saja. Ini adalah kesadaran yang
menghasilkan senyuman.
Sehubungan dengan Hasituppāda anda akan menemukannya dalam Manual of Abhidhamma oleh Yang
Mulia Nārada pada halaman 31 dan juga dalam Compendium of Philosophy enam jenis tertawa. Saya
rasa Compendium of Philosophy adalah buku pertama dalam Bahasa Inggris yang menyebutkan enam
ini. Di sini penulis mengatakan, “Ada enam kelompok tertawa yang dikenali dalam karya-karya
Buddhis.” Sekarang saya ingin membuat sebuah kualifikasi di sini.
Sebenarnya enam jenis tertawa ini bukan berasal dari karya-karya Buddhis. Awalnya berasal dari
karya-karya Sanskrit. Enam ini disebutkan dalam karya Sanskrit retoris – bagaimana menulis prosa
yang indah dan sebagainya. Ketika para bhikkhu Buddhis menulis naskah tentang retorika, mereka
hanya menyalin dari teks Sanskrit itu. Kita menemukan enam ini disebutkan dalam buku-buku kita,
tetapi awalnya hal ini berasal dari sumber-sumber Sanskrit. Saya ingin anda mengingat hal ini. Enam
jenis tertawa ini tidak disebutkan dalam Komentar. Dalam Komentar oleh Yang Mulia Buddhaghosa
atau Komentar-komentar belakangan hal ini tidak disebutkan. Ini berasal dari naskah-naskah tentang
retorika.
Adalah menarik untuk memahami enam ini. Yang pertama adalah senyuman yang muncul dalam
ekspresi dan raut wajah. Itu berarti hanya senyuman kecil dan lemah. Bibir anda membentuk
senyuman, tetapi tidak memperlihatkan gigi. Ini adalah jenis senyuman yang sangat lembut. Ini adalah
senyuman jenis pertama. Jenis senyuman ke dua adalah senyuman yang dibentuk dari sedikit gerakan
bibir. Cukup dengan memperlihatkan ujung gigi. Jika anda memperlihatkan ujung gigi ketika
tersenyum, maka anda memiliki jenis senyuman atau tertawa ke dua. Yang ke tiga adalah tertawa
dengan suara kecil. Anda mengeluarkan suara kecil. Yang ke empat adalah tertawa yang disertai
dengan gerakan kepala, bahu dan lengan. Tertawa ini lebih banyak gerakan. Yang ke lima adalah
tertawa yang disertai dengan mengeluarkan air mata. Kadang-kadang anda tertawa begitu keras
sehingga mengeluarkan air mata. Jenis ke enam adalah tertawa meledak yang disertai dengan gerakan
seluruh tubuh maju dan mundur dari kepala hingga kaki. Anda mungkin terjatuh sambil tertawa. Ada
enam jenis tertawa ini disebutkan dalam buku-buku itu. Penulis buku ini, Compendium of Philosophy,
adalah seorang umat awam Burma. Namanya adalah Shwe Zan Aung. Jadi ia mungkin tidak mengetahui
bahwa keenam jenis tertawa ini awalnya berasal dari karya-karya retorika. Maka ia berkata, “Dalam
karya-karya Buddhis”. Tetapi hal-hal ini bukan berarti berasal dari karya-karya Buddhis.
Sesungguhnya hal ini berasal dari sumber-sumber Sanskrit.
Di antara enam ini dua kelompok pertama dilakukan oleh orang-orang beradab. Jika anda ingin
dianggap sebagai seorang beradab, jangan tertawa terlalu lebar. Dua berikutnya dilakukan oleh orang-
orang kebanyakan dan dua terakhir oleh makhluk-makhluk dari kelompok rendah. Ini adalah enam
jenis tertawa yang disebutkan dalam buku-buku. Saya pikir cukup menarik untuk mengetahui enam
ini.
Ketika Komentar menggambarkan Sang Buddha tersenyum, mereka mengatakan bahwa Sang Buddha
tersenyum dengan memperlihatkan ujung gigi Beliau. Maka Sang Buddha tersenyum dengan jenis
senyuman pertama. Kadang-kadang Sang Buddha tersenyum. Ānanda sedang mengikuti di belakang
Sang Buddha. Ketika Sang Buddha tersenyum, Ānanda tahu dan ia akan bertanya, “Mengapa Bhante
tersenyum?” atau “Apakah alasan dari senyuman, Bhante?” bagaimanakah Ānanda yang sedang
berada di belakang Sang Buddha mengetahui bahwa Beliau sedang tersenyum? Dikatakan bahwa
ketika Sang Buddha tersenyum Beliau memperlihatkan ujung gigiNya. Kadang-kadang Sang Buddha
memancarkan cahaya enam warna. Dari gigi dan mata, terpancar cahaya putih. Ketika Sang Buddha
tersenyum, cahaya itu memancar dan demikianlah Ānanda mengetahui dari cahaya ini bahwa Sang
Buddha tersenyum. Kemudian ia akan bertanya: Bhante, apakah sebab dari senyumanMu atau
semacam itu.

Seluruh Delapan belas Ahetuka Citta


Sekarang kita telah mempelajari seluruh delapan belas Ahetuka Citta. Tujuh pertama disebut Akusala-
vipāka. Itu adalah hasil dari Akusala. Kelompok ke dua, ada delapan, disebut ahetuka Kusala-vipāka
Citta. Tiga terakhir disebut Ahetuka Kiriya Citta. Kiriya Citta diterjemahkan sebagai kesadaran
fungsional.

Ulasan
Ada delapan jenis kesadaran tanpa akar. Dapatkah anda mengidentifikasinya? Pertama kita akan
mengulas secara berurutan. Akusala-vipāka tujuh – di sini adalah Ahetuka Vipāka tujuh. Dan
kemudian ada Ahetuka Kusala-vipāka delapan. Ada tiga Ahetuka Kiriya Citta.
Mari melihat kelompok pertama, tujuh Akusala-vipāka Citta. Kemudian kesadaran-mata adalah yang
manakah? Ini adalah yang pertama dari tujuh. Ini disertai dengan perasaan apakah? Ini disertai
dengan Upekkhā. Dan kemudian kesadaran-telinga disertai dengan perasaan apakah? Ini disertai
dengan Upekkhā. Kesadaran-hidung tergabung dengan perasaan apakah? Kesadaran-hidung disertai
dengan Upekkhā. Kesadaran-lidah tergabung dengan perasaan apakah? Kesadaran-lidah juga disertai
dengan Upekkhā. Kesadaran-badan disertai dengan perasaan apakah? Kesadaran-badan disertai
dengan Dukkha, kesakitan. Dan kemudian kesadaran penerimaan disertai dengan perasaan apakah?
Ini disertai dengan Upekkhā. Kesadaran penyelidikan disertai dengan perasaan apakah? Upekkhā
menyertai kesadaran penyelidikan.
Mari kita lanjutkan dengan kelompok ke dua. Ahetuka Kusala-vipāka Citta. Kesadaran-mata tergabung
dengan perasaan apakah? Ini tergabung dengan Upekkhā. Kesadaran-telinga tergabung dengan
perasaan apakah? Upekkhā tergabung dengan kesadaran-telinga. Perasaan apakah yang menyertai
kesadaran-hidung? Upekkhā menyertai kesadaran-hidung. Kesadaran-lidah disertai dengan perasaan
apakah? Upekkhā menyertai kesadaran-lidah. Kesadaran-badan tergabung dengan perasaan apakah?
Tergabung dengan Sukha. Kesadaran penerimaan tergabung dengan perasaan apakah? Tergabung
dengan Upekkhā. Kesadaran penyelidikan pertama diertai dengan perasaan apakah? Ini disertai
dengan Somanassa, kesenangan. Kesadaran penyelidikan ke dua disertai dengan perasaan apakah? Ini
disertai dengan Upekkhā.
Sekarang mari kita melihat kelompok ke tiga, Ahetuka Kiriya Citta. Apakah yang pertama? Apakah
nama dari Citta tersebut? Nama Citta tersebut adalah pengalihan-lima-pintu-indria atau
Pañcadvārāvajjana dalam Pāḷi. Perasaan apakah yang menyertainya? Ini disertai dengan Upekkha.
Citta ke dua adalah pengalih-pintu-pikiran, Manodvārāvajjana dalam Pāḷi. Perasaan apakah yang
tergabung dengan Manodvārāvajjana? Upekkhā tergabung dengan Citta itu. Kemudian yang terakhir
disertai dengan Somanassa. Apakah nama Citta ini? Hasituppāda dalam Pāḷi atau kesadaran yang
menghasilkan senyuman.
Ada dua Citta yang mungkin muncul untuk kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung,
kesadaran-lidah, dan kesadaran-badan. Hal-hal ini akan dirujuk sebagai lima hasil tanpa akar yang
tidak bermanfaat dan lima hasil tanpa akar yang bermanfaat. Pada CMA halaman 41.
“Lima jenis pertama kesadaran hasil dalam kedua kelompok, hasil tidak bermanfaat dan hasil
bermanfaat, adalah apa yang berdasarkan atas materi sensitif (pasāda) dari mata, telinga, hidung, dan
badan. Sepuluh Citta ini secara kolektif disebut ‘dua kelompok lima kesadaran indria’ (dvi-
pañcaviññāṇa).” (CMA, I, tuntunan §8, p.41)
Kita akan sering merujuk pada hal-hal ini. Manakah yang lebih anda sukai? Bahasa terjemahan atau
Pāḷi? jika anda lebih menyukai bahasa terjemahan, maka anda akan memiliki lima kata. Jika anda lebih
menyukai Pāḷi, hanya ada satu kata, satu kata majemuk. ‘Dvi’ berarti dua. ‘Pañca’ berarti lima. Maka
ini berarti lima kesadaran kembar – ‘Dvipañcaviññāṇa’. Ketika kita mengatakan, “Dvipañcaviññāṇa”,
kita harus memahami bahwa adalah sepuluh jenis kesadaran ini yang dimaksudkan. Pada Bab dua kita
akan merujuknya dengan cara ini. Harap diingat nama ini.
Sekarang kita memiliki delapan jenis kesadaran tanpa akar. Berapa banyakkah yang disertai dengan
Somanassa? Dua disertai dengan Somanassa. Apakah dua ini, apakah nama dari dua Citta ini?
Kesadaran penyelidikan dan kesadaran yang menghasilkan senyuman. Berapa banyakkah yang
disertai kesakitan? Hanya satu jenis kesadaran yang disertai dengan kesakitan. Apakah itu? Yaitu
kesadaran-badan dari Akusala-vipāka. Berapa banyakkah yang disertai dengan kesenangan (Sukha)?
Hanya satu, kesadaran badan dari Kusala-vipāka disertai dengan kesenangan. Berapa banyakkah yang
disertai dengan Upekkhā? Empat belas disertai dengan Upekkhā – dua kesadaran-mata, dua
kesadaran-telinga, dua kesadaran-hidung, dua kesadaran-lidah, dua kesadaran penerimaan, dua
kesadaran penyelidikan, satu pengalihan-lima-pintu-indria, dan satu pengalihan-pintu-pikiran.
Sehingga seluruhnya kita memiliki delapan belas jenis kesadaran tanpa akar.
Mari kita berlatih lagi. Berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? Dua Citta tanpa akar
disertai degan Somanassa. Berapa banyakkah yang disertai dengan Sukha? Hanya satu Citta yang
disertai dengan Sukha. Berapa banyakkah yang disertai dengan Dukkha? Hanya satu Citta yang disertai
dengan Dukkha. Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Empat belas Ahetuka Citta disertai
dengan Upekkhā.
Dua belas Akusala Citta ditambah delapan belas citta berjumlah tiga puluh. Tiga puluh ini dirujuk
sebagai Asobhana dalam Bahasa Burma, tetapi tidak ada dalam Komentar, tidak ada dalam buku-buku.
Dalam Bahasa Burma sebagai makna kita memberi nama ‘Asobhana’ untuk tiga puluh jenis kesadaran
ini. Ini memudahkan untuk pengingatan. Hal-hal ini bukanlah Sobhana Citta. Selebihnya adalah
Sobhana Citta. Selebihnya adalah Citta yang indah. Tiga puluh ini disebut kesadaran tidak-indah. Kelak
jika kita harus merujuk pada tiga puluh ini sebagai satu kelompok, kita akan mengatakan tiga puluh
jenis kesadaran tidak indah. Hal-hal ini seluruhnya tidak indah. Semua yang berikutnya dimulai dari
kesadaran alam-indriawi adalah Sobhana Citta. Tiga puluh ini adalah Asobhana dan yang lainnya
adalah Sobhana. Kita sampai pada akhir Asobhana Citta, tiga puluh jenis kesadaran yang tidak indah.
Adalah aneh bahwa kesadaran yang menghasilkan senyuman termasuk dalam Citta yang tidak indah.
Ini hanyalah nama, hanya sebutan. Maka seluruhnya kita memperoleh tiga puluh. Apakah anda
menginginkan latihan lebih lanjut? Berapa banyakkah Citta yang disertai dengan Somanassa? Ada
enam yang disertai dengan Somanassa. Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Dua puluh
disertai dengan Upekkhā. Berapa banyakkah yang disertai dengan Sukhā? Hanya satu yang disertai
dengan Sukha. Berapa banyakkah yang disertai dengan Dukkhā? Hanya satu yang disertai dengan
Dukkha. Berapa banyakkah yang tergabung dengan Domanassa? Dua tergabung dengan Domanassa.
Anda harus berlatih seperti demikian. Jika anda memiliki waktu luang, adalah baik untuk membentuk
kelompok dua atau tiga orang saling mengajukan pertanyaan.
Ada tabel dalam CMA halaman 43, yang merepresentasikan kesadaran sehubungan dengan jenis,
perasaan, Citta (baca CMA, I, tabel 1.3, p.43). Ini dapat membantu anda mengenali Citta.
Apakah anda ingin mengajukan pertanyaan?
1. Murid: Ketika Bhante mulai mengajar pada malam ini, Bhante mengatakan tentang kesadaran
pintu-indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan. Anda berbicara tentang Upekkhā
dan Dukkha. Anda mengatakan bahwa semua pintu-indria ini adalah Upekkhā kecuali
pintu-badan. Saya ingin tahu tentang kilat terang cahaya atau suara yang sangat keras
yang tampaknya menyakitkan di mata dan telinga. Setidaknya dalam hal perasaan
tampaknya ada penolakan di sini. Apakah itu adalah kondisi batin berikutnya?
Sayādaw: Benar. Itu adalah kondisi batin berikutnya. Persis pada momen mendengar, itu disertai
dengan perasaan tidak peduli. Reaksi anda atas pendengaran itu – anda bereaksi
ketakutan atau momen reaksi anda datang dan pergi sangat cepat, kita berpikir bahwa
pada momen kita mendengar suara itu, kita menjadi takut atau kita marah. Tetapi itu
muncul belakangan atau berikutnya.

2. Murid: Bhante menyebutkan bahwa ada tujuh momen di mana ada sepenuhnya menikmati
objek yang diikuti dengan dua momen yang melihat kesadaran, jika anda
menikmatinya, maka anda pasti sadar atasnya.
Sayādaw: Menikmati di sini berarti mengalami. Ketika anda marah, akan ada tujuh momen ini.
Ketika anda sedih, ada tujuh momen. Ketika anda bahagia, ada tujuh momen. Ketika
anda melakukan Kusala, ada tujuh momen. Ketika anda melakukan Akusala, ada tujuh
momen. Menikmati di sini maksudnya adalah sepenuhnya mengalami objek.

3. Murid: Ketika Bhante menyebutkan Vedanā – Somanassa, Domanassa dan Upekkhā – anda
mengatakan bahwa hal-hal itu adalah batin, bukan?
Sayādaw: Benar.

4. Murid: Kalau begitu Dukkha dan Sukha adalah jasmani atau batin?
Sayādaw: Mari kita katakan itu adalah batin melalui tubuh.
Murid: Bagaimanakah Somanassa berbeda dari aspek batin Sukha?
Sayādaw: Somanassa tidak memerlukan tubuh jasmani. Anda memilikinya hanya dalam pikiran.
Sukha dan Dukkha memerlukan kontak tubuh.
Murid: Ini dimulai melalui tubuh.
Sayādaw: Sekarang mari kita mengatakan bahwa perasaan atau Vedanā dalam Abhidhamma
adalah batin. Ini tidak pernah fisik. Ketika kita menggunakan kata ‘perasaan’, ketika
kita berbicara, yang dimaksudkan adalah sesuatu di sini di dalam tubuh.
Murid: Sensasi?
Sayādaw: Ya, sensasi. Jadi sensasi atau sakit adalah suatu hal fisik. Mungkin terjadi kesalahan
pada properti fisik dan anda mengalami sakit. Ketika anda mengalami sakit itu, ada
kesadaran-badan. Kesadaran-badan itu disertai dengan kesakitan atau perasaan tidak
menyenangkan. Sukha dan Dukkha sebenarnya adalah batin. Hal-hal itu berdasarkan
atas atau bergantung pada sensasi fisik. Jadi hal-hal itu adalah berbeda dari perasaan
batin murni.
5. Murid: Dapatkah Sukha menghasilkan Somanassa?
Sayādaw: Oh Ya, Somanassa dapat mengikuti Sukha.
Murid: Jadi tidak masalah jika kita memiliki Kusala atau Akusala-vipāka Citta sehubungan
dengan empat pertama jika kita berhenti tepat di sana dan tidak ada yang mengikuti
itu? Jika anda menjumpai objek yang disukai atau objek yang tidak disukai dengan
Upekkhā, maka hal itu tidak ada bedanya?
Sayādaw: Benar.
6. Murid: Perbedaannya menyusul.
Sayādaw: Tidak. Perbedaannya adalah karena itu adalah hasil dari Kusala dan Akusala
perbedaannya adalah kualitas dari objek yang diambil. Keduanya disertai dengan
perasaan tidak peduli. Satu adalah hasil dari Kusala. Jika anda mengalami objek yang
disukai. Yang lainnya adalah hasil dari Akusala. Anda mengalami objek yang tidak
disukai.
7. Murid: Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa ketika kita memiliki pengalaman itu
sebagian besarnya adalah Upekkhā. Jika tidak ada yang terjadi setelah itu, akibatnya
adalah –
Sayādaw: Tidak. Hal-hal itu sendiri adalah hasil. Jadi hal-hal itu tidak memberikan hasil apapun.
Hal-hal itu adalah sesuatu seperti apa yang anda lemparkan dan kemudian berdiam di
sana hal-hal itu tidak memiliki kekuatan Kamma karena itu adalah hasil dari kekuatan
Kamma. Dikatakan di dalam buku-buku bahwa Vipāka Citta adalah lemah. Tidak cukup
kuat atau agresif seperti Kusala atau Akusala.
8. Murid: Sehubungan dengan kuliah sebelumnya ketika kita memiliki Somanassa-sahagata
Diṭṭhigata-sampayutta – saya bertanya-tanya apakah kita dapat membaliknya atau
membuat kombinasi berbeda? Seperti dapatkah kita memiliki Diṭṭhi-sahagata
Somanassa-sampayutta?
Sayādaw: Dalam makna dan esensinya Sahagata dan Sampayutta adalah bermakna sama
walaupun kata-katanya berbeda. Dalam konteks lain Sahagata dan Sampayutta adalah
berbeda. Tetapi di sini keduanya adalah bersinonim. Misalnya, Sahagata digunakan
sehubungan dengan batin dan jasmani. Batin dan jasmani muncul pada saat yang sama.
Hal-hal itu bukanlah Sampayutta. Sahagata dan Sampayutta berbeda di dalam
Paṭṭhāna.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Kāmāvacara Sobhana Citta
Definisi kata ‘Kāmāvacara’
Hari ini kita mempelajari Kāmāvacara Sobhana Citta. Ada 24 Citta demikian. Pertama mari kita lihat
kata ‘Kāmāvacara’. Kāmāvacara berarti apa yang selalu bergerak, atau selalu mengembara. Atau selalu
muncul di sebelas alam-indriawi atau dalam alam-indriawi. Ada sebelas alam yang disebut alam
Kāmāvacara – empat alam sengsara, alam manusia dan enam alam surgawi. Ini disebut Kāma. Jenis-
jenis kesadaran yang sebagian besar muncul di alam itu, pada makhluk-makhluk di alam itu, disebut
Kāmāvacara. Secara singkat kita menyebutnya kesadaran alam-indriawi, kesadaran yang muncul di
dalam alam-indriawi. Alam-indriawi berarti sebelas alam-indriawi.

Sobhana
Sekarang kita memiliki kata ‘Sobhana’. ‘Sobhana’ berarti indah. Di sini indah berarti disertai dengan
tiga akar yang baik. Ada enam akar, tiga akar yang baik dan tiga akar yang buruk. Ini disebut Sobhana
karena disertai dengan akar-akar yang baik. Yaitu bukan-keserakahan, bukan-kebencian dan bukan-
delusi. Dengan kata lain bukan-keserakahan berarti kedermawanan, bukan-kebencian berarti cinta-
kasih, dan bukan-delusi berarti kebijaksanaan. Citta-Citta itu yang disertai dengan salah satu dari
ketiga akar ini disebut Sobhana.
Sobhana lebih luas daripada Kusala karena hasil dan jenis kesadaran fungsional juga disebut Sobhana
Citta. Citta-Citta ini juga disertai dengan dua atau tiga akar yang baik. Citta-Citta ini disebut Sobhana
karena disertai dengan akar-akar Sobhana (indah). Ini disebut Kāmāvacara karena sebagian besar
muncul di sebelas alam-indriawi. Bukan berarti bahwa Citta-Citta ini tidak muncul di alam-berbentuk
atau alam Brahma atau di alam tanpa bentuk. Beberapa di antaranya muncul di alam Brahma atau di
alam tanpa bentuk. Beberapa di antaranya muncul di alam Brahma, tetapi tempat atau wilayah yang
kemunculannya lebih sering adalah di sebelas alam-indriawi. Maka disebut Kāmāvacara Citta. Jika kita
menggabungkan kedua ini, maka kita memperoleh Kāmāvacara Sobhana Citta.
Hingga saat ini kita telah menemui Asobhana Citta, Citta yang tidak indah. Itu artinya Citta-Citta itu
tidak diertai dengan ketiga akar yang indah.
Di antara 24 Kāmāvacara Sobhana Citta ada delapan Kāmāvacara Kusala Citta. Kāmāvacara Sobhana
Citta dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok adalah Kusala Citta. Kelompok ke dua adalah
Vipāka Citta. Kelompok ke tiga adalah Kiriya Citta.

Arti kata ‘Kusala’


Sekarang mari kita melihat kata ‘Kusala’. Dalam Komentar Abhidhamma empat makna diberikan
untuk kata ‘Kusala’. Dikatakan bahwa tiga di antaranya adalah sesuai di sini. ‘Kusala’ berarti sehat atau
ketiadaan penyakit. Kadang-kadang Kusala digunakan dalam makna ini. Ketika seseorang ingin
menyapa seseorang, kata ini dapat digunakan. Ketika kita menyapa seseorang, kita tidak mengatakan,
“Selamat pagi” atau “selamat sore”, melainkan “apakah anda sehat.” Ketika kami orang-orang Burma
bertemu, kami juga tidak mengatakan “selamat pagi” atau “selamat malam” melainkan “apakah anda
sehat.” Dalam Pāḷi anda dapat mengatakan “apakah anda Kusala.” Jadi Kusala berarti sehat atau
apakah anda sehat. Ini adalah satu arti.
Arti ke dua adalah tanpa cela atau tanpa cacat. Jadi Kusala berarti tidak tercela oleh orang-orang mulia,
tanpa cacat.
Arti ke tiga adalah terampil. Kita mengatakan seseorang adalah Kusala dalam melakukan suatu hal.
Ketika seseorang dikatakan sebagai terampil dalam, misalnya, bermain gitar, kita mengatakan bahwa
ia Kusala dalam bermain gitar. Kusala berarti terampil.
Arti ke empat adalah dapat menghasilkan akibat-akibat membahagiakan, dapat menghasilkan akibat-
akibat yang disukai. Ini adalah empat arti dari kata ‘Kusala’. Dalam Bahasa Pāḷi seluruh empat arti dari
kata ‘Kusala’ ini digunakan. Kita harus memahami arti kata menurut konteksnya.
Komentar mengatakan bahwa di antara arti-arti ini, yang pertama sehat, ke dua tanpa cela, dan ke
empat dapat menghasilkan akibat-akibat membahagiakan – ini sesuai di sini. Banyak orang sekarang
ini menerjemahkan Kusala sebagai terampil. Kadang-kadang saya juga menggunakan terampil. Tetapi
menerjemahkan Kusala sebagai terampil adalah tidak seseuai dengan Komentar. Saya pikir kita harus
menghindari menerjemahkan Kusala sebagai terampil mulai dari sekarang.
Bhikkhu Bodhi terampil. Ia menulis tentang Kusala dan Akusala pada CMA halaman 31.
“Kesadaran demikian disebut tidak bermanfaat karena secara batin tidak sehat, secara moral tercela,
dan dapat menghasilkan akibat-akibat yang menyakitkan.” (CMA, I, Tuntunan §3, p.31)
Itu untuk Akusala.
“Kesadaran bermanfaat (kusalacitta) adalah kesadaran yang disertai dengan akar-akar bermanfaat –
bukan-keserakahan atau kedermawanan, bukan-kebencian atau cinta-kasih, dan bukan-delusi atau
kebijaksanaan. Kesadaran demikian adalah sehat secara batin, tanpa cela secara moral, dan dapat
menghasilkan akibat-akibat yang menyenangkan.” (CMA, I, Tuntunan §3, p.31)
Ia hanya memberikan tiga arti yang sesuai dengan Komentar. Kita juga harus menghindari
menggunakan kata ‘terampil’ untuk kata ‘Kusala’.
Kata ‘terampil’ menurut Komentar adalah tidak pada tempatnya di sini. Kata ‘terampil’ juga dapat
memiliki konotasi buruk. Anda dapat dengan terampil membunuh seseorang dan lolos. Terampil dapat
bemakna licik dan cerdik. Ini bukan kata yang tepat untuk Kusala Citta atau Kusala Kamma. Sehat
secara moral, tanpa cela dan dapat menghasilkan akibat-akibat yang baik, menyenangkan, atau
disukai – ini disebut Kusala.
Ketika menjelaskan kata-kata ini Komentar memiliki kebiasaan melakukan akrobatik etimologi.
Mereka dapat memotong kata dengan cara ini atau itu. Kemudian mereka memberitahukan makna
dari potongan-potongan itu. Walaupun mungkin tidak berguna, saya pikir saya harus memberitahu
anda bagaimana mereka menjelaskan kata ‘Kusala’.

Penjelasan lebih lanjut atas kata ‘Kusala’


Kusala adalah kata majemuk yang terdiri dari ‘Ku’ dan ‘Sala’ atau ‘Kusa’ and ‘La’. Ketika kita
memecahnya menjadi ‘Ku’ dan ‘Sala’, ‘Ku’ berarti Akusala, jahat karena tercela. ‘Sala’ berarti
mengguncang atau menghancurkan. Jadi ‘Kusala’ berarti sesuatu yang mengguncang atau yang
menghancurkan hal-hal buruk, yang menghancurkan kondisi-kondisi batin tercela. Itu disebut Kusala.
Itu adalah satu makna dari kata ‘Kusala’. Dalam makna ini kata ini dipecah menjadi ‘Ku’ dan ‘Sala’. ‘Ku’
berarti tercela atau hina. Itu berarti Akusala. ‘Sala’ berarti mengguncang. Mengguncang berarti
menghancurkan. Jadi kondisi-kondisi batin itu yang mengguncang atau menghancurkan kondisi-
kondisi batin tercela disebut Kusala.
Arti ke dua adalah berdasarkan kata yang dipecah sebagai ‘Kusa’ dan ‘La’. Di sini ‘Kusa’ dikatakan
berarti Akusala. ‘La’ berarti memotong. Jadi kondisi-kondisi itu yang memotong ‘Kusa’, yang adalah
Akusala, disebut Kusala. Dalam makna ini ‘Kusa’ berarti Akusala (jahat). Karena tersembunyi di dalam
batin makhluk-makhluk dalam cara tercela maka disebut ‘Kusa’. Yang memotong, yang membelah
‘Kusa’ ini disebut Kusala.
Arti ke tiga juga berdasarkan atas pemecahan sebagai ‘Kusa’ dan ‘La’. Dalam kasus ini ‘Kusa’ bermakna
kebijaksanaan karena kebijaksanaan dapat mengakhiri kondisi-kondisi batin tercela, Akusala. Jadi
kebijaksanaan di sini disebut ‘Kusa’. ‘La’ bermakna mengambil, menyebabkan munculnya. ‘Kusala’
bermakna kondisi-kondisi batin itu yang diambil oleh (itu berarti yang dihasilkan oleh), hal-hal itu
yang muncul bersama dengan ‘Kusa’, kebijaksanaan. Sekali lagi pemecahan kata di sini adalah ‘Kusa’
dan ‘La’.
Ada arti lainnya lagi yang berdasarkan atas pemecahan ‘Kusa’ dan ‘La’. Di sini ‘Kusa’ berarti sejenis
rumput, seperti tumput-gergaji. Rumput ini tajam pada kedua sisinya. Jika anda tidak berhati-hati
memegang rumput-gergaji ini, tangan anda dapat terpotong. Di sini kondisi Kusala ini memotong
bagaikan rumput-gergaji. Rumput-gergaji dapat memotong tangan anda pada dua tempat. Setiap
sisinya dapat memotong anda. Demikian pula, kondisi Kusala dapat memotong kondisi-kondisi tidak
bermanfaat di dua tempat – yang telah muncul dan yang belum muncul.
Jika anda mengetahui usaha tertinggi di antara Bodhipakkhiya, di antara faktor-faktor pencerahan,
ada dua jenis usaha tertinggi sehubungan dengan Akusala dan dua jenis usaha tertinggi sehubungan
dengan Kusala. Usaha untuk meninggalkan Akusala yang telah muncul dan usaha untuk menghindari
Akusala yang belum muncul – dalam kedua cara ini Kusala memotong Akusala. Kondisi-kondisi
bermanfaat disebut Kusala karena memotong bagaikan rumput-gergaji. Kondisi-kondisi itu memotong
Akusala di dua tempat bagaikan rumput-gergaji memotong tangan di dua tempat. Makna ini adalah
berdasarkan etimologi, pertama-tama memecah kata dalam satu cara, dan kemudian memecah kata
dalam cara lainnya.
Kita harus mengingat di sini bahwa Kusala adalah apa yang sehat, yang tanpa cela dan yang
menghasilkan akibat-akibat yang baik dan menyenangkan. Itu disebut Kusala Citta. Anda dapat
memahami Akusala jika anda membuat makna berlawanan. Pada CMA, halaman 31 anda dapat
membaca definisi-definisi itu.

Delapan Kāmāvacara Kusala Citta


Sekarang kita membahas delapan jenis kesadaran. Delapan jenis kesadaran ini tidak sulit dihafalkan,
tidak sulit diingat, jika anda mengingat delapan Lobhamūla Citta. Anda hanya perlu melakukan
substitusi. Ada Somanassa-sahagata (dengan senang), dengan pandangan salah, tanpa dorongan atau
dengan dorongan. Maka di sini gantikan pandangan salah menjadi pengetahuan. Citta pertama adalah
dengan senang, dengan pengetahuan, tanpa dorongan. Citta pertama disertai dengan perasaan
menyenangkan, Somanassa Vedanā. Ini disertai dengan Ñāṇa. ‘Ñāṇa’ berarti pengetahuan,
pemahaman, atau kebijaksanaan. ‘Ñāṇa’ di sini bermakna memahami sifat sejati segala sesuatu,
memahami segala sesuatu sebagaimana adanya dan juga memahami bahwa ada Kamma, bahwa ada
akibat Kamma, bahwa ada akibat dari menghormati orangtua, ada akibat dari tidak menghormati
orangtua dan sebagainya. Itu juga disebut Ñāṇa atau pemahaman. Ini berarti pemahaman benar.
Pemahaman benar adalah pemahaman bahwa ada Kamma dan ada akibat Kamma. Asaṅkhārika –
kadang-kadang anda mungkin melakukan sesuatu tanpa dorongan dan beberapa hal mungkin anda
lakukan dengan dorongan. Jadi ada dua jenis kesadaran dengan pengetahuan. Satu adalah tanpa
dorongan dan yang lainnya dengan dorongan.
Kāmāvacara Kusala Citta ke tiga dan ke empat juga disertai dengan perasaan menyenangkan. Di sini
tidak ada Ñāṇa, tidak ada pemahaman, tidak ada pengetahuan. Kadang-kadang kita melakukan
kebaikan tanpa memikirkannya, mungkin dengan tidak berhati-hati. Dalam kasus itu, mungkin tidak
ada Ñāṇa. kadang-kadang kita memberikan sesuatu dan kita tidak memikirkannya. Kita hanya
memberi saja. Maka Ñāṇa mungkin tidak ada dalam tindakan tersebut. Dalam kasus demikian ada
Ñāṇa-vippayutta, kesadaran bermanfaat tanpa pengetahuan. Juga di sini kesadaran demikian mungkin
adalah Asaṅkhārika atau Sasaṅkhārika, tanpa dorongan atau dengan dorongan. Seluruhnya ada empat
jenis kesadaran yang disertai dengan Somanassa, perasaan menyenangkan.
Jika anda memahami empat pertama, maka anda memahami empat lainnya. Cukup substitusikan
perasaan menyenangkan menjadi perasaan tidak peduli. Cukup gantikan Somanassa menjadi
Upekkhā. Dengan disertai dengan perasaan tidak peduli, dengan pengetahuan, tanpa dorongan maka
Citta ke lima muncul. Dengan disertai perasaan tidak peduli dengan pengetahuan, dengan dorongan,
maka Citta ke enam muncul. Dengan disertai perasaan tidak peduli, tanpa pengetahuan, tanpa
dorongan, maka Citta ke tujuh muncul. Dengan disertai perasaan tidak peduli, tanpa pengetahuan dan
dengan dorongan, maka Citta ke delapan muncul. Seluruhnya ada delapan Kāmāvacara Kusala Citta.
Kapankah Citta-Citta ini muncul? Pada CMA halaman 48,
“Seseorang dengan gembira melakukan perbuatan dermawan, memahami bahwa itu adalah perbuatan
bermanfaat (atau memahami bahwa ada Kamma dan ada akibat Kamma), secara spontan tanpa
dorongan.” (CMA, I, Tuntunan §13, p.48)
Ini adalah Citta pertama.
“Seseorang melakukan perbuatan baik yang sama, dengan pemahaman, setelah mempertimbangkan
atau dorongan dari orang lain.” (CMA, I, Tuntunan §13, p.48)
Ini adalah Citta ke dua.
“Seseorang dengan gembira melakukan perbuatan dermawan, tanpa dorongan, tetapi tanpa
memahami bahwa ini adalah perbuatan bermanfaat,” (CMA, I, Tuntunan §13, p.48)
Ini adalah Citta ke tiga.
“Seseorang dengan gembira melakukan perbuatan dermawan, tanpa pemahaman, setelah
mempertimbangkan atau dorongan dari orang lain.” (CMA, I, Tuntunan §13, p.48)
Ini adalah jenis kesadaran ke empat.
Kemudian nomor 5-8.
“Jenis-jenis kesadaan ini harus dipahami dengan cara yang sama seperti empat sebelumnya, tetapi
dengan menggantikan perasaan gembira menjadi perasaan netral.” (CMA, I, Tuntunan §13, p.48)
Ketika jenis-jenis kesadaran ini muncul dalam batin kita, tidak ada kondisi-kondisi batin tidak
bermanfaat dalam batin kita. Oleh karena itu, hal-hal ini dikatakan menghalangi kondisi-kondisi batin
tidak bermanfaat atau kekotoran-kekotoran. Dan hal-hal ini menghasilkan akibat-akibat baik.
“Hal-hal ini muncul pada kaum duniawi (puthujjana) dan pelajar (sekkha) …” (CMA, I, Tuntunan §13,
p.48)
Kusala Citta ini muncul pada kaum duniawi (Puthujjana) – ini adalah orang-orang yang tidak
tercerahkan. Dan juga muncul pada pelajar (Sekha). Siapakah mereka yang masih berlatih? Para Siswa
Mulia pada tiga tingkat yang lebih rendah Pemasuk-Arus, Yang-Kembali-Sekali, Yang-Tidak-Kembali
adalah mereka yang masih berlatih. Ada empat tingkat pencerahan -- Pemasuk-Arus, Yang-Kembali-
Sekali, Yang-Tidak-Kembali dan Arahant. Pelajar berarti mereka yang telah mencapai salah satu dari
tiga tingkat yang lebih rendah. Mereka disebut pelajar. Ini aneh. Mereka adalah orang-orang yang
tercerahkan, tetapi mereka disebut pelajar. Mereka disebut Sekha karena mereka masih belajar.
Mereka masih harus melakukan sesuatu untuk meninggalkan kekotoran batin seluruhnya. Maka
mereka disebut Pelajar. Delapan jenis kesadaran ini muncul pada orang-orang yang belum tercerahkan
dan pada tiga jenis orang tercerahkan. Kesadaran-kesadaran ini tidak muncul pada para Arahant.
Jenis-jenis kesadaran yang sama ini muncul pada para Arahant, tetapi tidak disebut Kusala. Kita akan
membahasnya nanti.
Ketika kita melakukan suatu jenis perbuatan berjasa, apakah melalui jasmani, ucapan atau pikiran, di
sana muncul salah satu dari delapan jenis kesadaran. Anda sedang mempelajari Abhidhamma dan saya
sedang mengajar Abhidhamma. Jenis kesadaran apakah itu? Apakah anda bahagia atau tidak? Maka
jika anda bahagia, itu adalah jenis yang pertama dengan pengetahuan. Apakah anda harus mendorong
diri anda sendiri untuk hadir di sini? Ini mungkin didorong atau tidak didorong. Salah satu dari jenis-
jenis kesadaran ini muncul pada momen belajar dan mengajar.
“Citta-Citta ini tidak muncul pada para Arahant, yang perbuatannya adalah tanpa potensi Kamma.”
(CMA, I, Tuntunan §13, p.48)
Karena Kusala, hal-hal ini tidak muncul pada para Arahant, para Pacceka Buddha, dan para Buddha.

Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta


Sekarang kelompok ke dua adalah Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta. Ini bukanlah Kāmāvacara
Vipāka Citta biasa melainkan Sahetuka. Mengapakah? Karena di antara delapan belas jenis kesadaran
tanpa akar terdapat Vipāka Citta. Hal-hal ini adalah Kāmāvacara dan Vipāka, tetapi tanpa akar. Untuk
membedakan dengan Ahetuka Citta kita harus menggunakan kata ‘Sahetuka’. Jika kita tidak
menggunakan kata ‘Sahetuka’, maka Kāmāvacara Vipāka akan bermakna delapan Citta ini atau
delapan Citta di antara delapan belas jenis kesadaran tanpa akar. Jika kita ingin secara spesifik
merujuk pada delapan ini, maka kita harus menggunakan kata ‘Sahetuka’. Maka kita mengatakan
Sahetuka Kāmāvacara Vipāka.
Anda mengetahui kata-kata ‘Kāmāvacara’ dan ‘Vipāka’. Vipāka berarti hasil, kesadaran-hasil. Ada
delapan jenis kesadaran Sahetuka Kāmāvacara Vipāka. Ini adalah hasil dari delapan Kāmāvacara
Kusala Citta.
Kesadaran-kesadaran ini hanya muncul di alam-indriawi saja. Kāmāvacara Kusala Citta mungkin
muncul dalam batin para Brahma. Kesadaran-kesadaran ini mungkin muncul di alam-berbentuk dan
alam tanpa bentuk. Tetapi delapan ini tidak pernah muncul di alam-alam lainnya. Dengan alam lainnya
yang saya maksudkan adalah alam berbentuk dan alam tanpa bentuk. Kesadaran-kesadaran ini hanya
muncul di dalam Kāmāvacara, alam-indriawi karena hal-hal ini adalah hasil dari delapan Kusala Citta.
Sahetuka Kāmāvacara Vipāka ini hanya muncul di alam-indriawi, tetapi Kāmāvacara Kusala Citta
dapat muncul baik di alam-indriawi maupun di alam-alam lainnya. Inilah perbedaannya.
Murid: Apakah karena ada Kamma di dalam alam-indriawi dan tidak ada di alam-alam
lainnya?
Sayādaw: Tidak. Kesadaran-kesadaran ini adalah kesadaran hasil. Kesadaran-kesadaran ini tidak
memiliki kekuatan Kamma. Kesadaran-kesadaran ini Tidak dapat memberikan hasil.
Kesadaran-kesadaran ini adalah hasil dari delapan Kāmāvacara Kusala Citta.
Kesadaran-kesadaran ini hanya muncul di alam Kāmāvacara saja, di alam-indriawi saja
dan tidak muncul di alam Rūpāvacara dan Arūpāvacara.

Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta


Kelompok berikutnya adalah Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta. Di sini juga kita harus menggunakan
kata ‘Sahetuka’ karena ada Ahetuka Kiriya Citta. Berapa banyakkah Ahetuka Kiriya Citta? Ada tiga;
yaitu pengalih-lima-pintu-indria, pengalihan-pintu-pikiran dan kesadaran yang menghasilkan
senyuman. Jika kita ingin menyebutkan hanya Citta-Citta ini saja, maka kita mengatakan “Sahetuka
Kāmāvacara Kiriya Citta”. Jika kita tidak mengatakan “Sahetuka”, maka itu daat berarti tiga (Ahetuka
Citta) juga. Ini adalah dengan akar. ‘Akar’ berarti tiga akar Sobhana, tiga akar yang indah.
Citta-Citta ini sama dengan Kāmāvacara Kusala delapan Citta. Di manakah Citta ini muncul? Citta ini
muncul hanya pada para Buddha, Pacceka Buddha dan Arahant saja. Sebenarnya delapan Kiriya Citta
ini identik dengan delapan Kusala Citta. Seorang Arahant melakukan perbuatan berjasa; misalnya, ia
mempraktikkan kedermawanan atau berlatih Sīla. Dengan perbuatan ini mungkin kesadaran dengan
perasaan menyenangkan dan dengan Ñāṇa akan muncul. Citta Sang Arahant tidak memiliki kekuatan
Kamma untuk memberikan hasil. Maka Citta ini disebut Kiriya, fungsional. Kiriya ini berfungsi sebagai
Citta dan kemudian lenyap. Kiriya ini tidak meninggalkan potensi untuk memberikan hasil. Itu adalah
perbedaan antara kesadaran Kusala dan kesadaran Kiriya. Mengapakah Kiriya ini tidak memiliki
potensi atau mengapakah Kiriya tidak memiliki kemampuan untuk memberikan hasil? Itu adalah
karena para Buddha dan para Arahant telah menghancurkan Moha (ketidaktahuan) dan Taṇhā
(ketagihan). Para Buddha dan para Arahant tidak memiliki ketidaktahuan yang menutupi mata
kebijaksanaan mereka. Mereka tidak memiliki kemelekatan. Maka tidak ada kemelekatan yang
memberikan hasil dan seterusnya. Tindakan mereka menjadi hanya sekedar tindakan. Tindakan
mereka menjadi hanya kesadaran yang muncul dan lenyap. Citta mereka hanya sekedar melakukan
fungsi sederhana tanpa kekuatan apapun untuk memberikan hasil. Itulah sebabnya mengapa Citta
mereka disebut Kiriya Citta. ‘Kiriya’ secara harfiah diterjemahkan sebagai sekedar melakukan.
Melakukan berarti muncul dan kemudian lenyap.
“Kesadaran itu sekedar muncul, melakukan suatu fungsi, dan kemudian lenyap tanpa sisa.” (CMA, I,
Tuntunan §15, p.50)
Sekarang kita membahas tentang Citta yang muncul ketika seseorang tersenyum. Dengan bergantung
pada apakah ia tercerahkan atau tidak seseorang mungkin terenyum dengan jenis-jenis kesadaran
berbeda.
Dikatakan bahwa para Arahant tertawa atau tersenyum dengan lima jenis kesadaran. Para Arahant
tersenyum dengan empat Citta dari kesadaan Kiriya alam-indriawi yang indah dan satu dari kesadaran
fungsional tanpa akar, Hasituppāda. Orang-orang biasa tertawa atau tersenyum dengan berapa banyak
jenis kesadaran? Mereka tertawa dengan delapan jenis Citta (empat Somanassa Lobhamūla Citta dan
empat Somanassa Kusala Kāmāvacara Sobhana Citta). Orang-orang biasa tertawa atau tersenyum
dengan delapan Citta dan para Arahant dan para Buddha dengan lima Citta.
Bagaimana dengan para Sotāpanna? Para Sotāpanna adalah mereka yang telah melenyapkan
pandangan salah seluruhnya. Maka tidak akan ada Citta yang menyertai pandangan salah bagi mereka.
Dengan berapa banyak Citta mereka tertawa? Mereka tertawa melalui enam jenis Citta – dua dari
Akusala tanpa pandangan salah dan empat Kāmāvacara Kusala Sobhana Citta. Ini hanyalah sekedar
latihan.

Dua puluh empat Kāmāvacara Sobhana Citta


Sekarang kita memperoleh seluruhnya 24 Kāmāvacara Sobhana Citta. Delapan Kāmāvacara Sobhana
Citta pertama adalah Kāmāvacara Kusala Citta, delapan kesadaran bermanfaat alam-indriawi. Empat
pertama disertai dengan perasaan menyenangkan. Empat lainnya disertai dengan Upekkhā, perasaan
tidak peduli.
Mengapakah ada delapan Kāmāvacara Kusala Citta, delapan Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta dan
delapan Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta? Mengapakah ada delapan dan bukan satu, karena
kesadaran sebagai penyadaran atas objek hanya ada satu? Kesadaran ini di sini menjadi delapan
dengan bergantung pada perasaan apa yang muncul bersama dengannya. Apakah disertai dengan
pengetahuan atau tidak, dan apakah muncul dengan dorongan atau tidak. Ketiga hal ini, kita
menyebutnya sebagai faktor-faktor pembeda. Dalam buku ini digunakan dikotomi, ini adalah kata
yang berat. Sehubungan dengan perasaan ada dua (Somanassa dan Upekkhā). Kusala Citta menjadi
dua. Dan dua ini dapat bersama dengan pengetahuan atau tanpa pengetahuan, maka menjadi empat.
Empat ini mungkin dengan dorongan atau tanpa dorongan, maka menjadi delapan. Maka dua kali dua
kali dua, kita memperoleh delapan jenis kesadaran. Hanya satu kesadaran menjadi delapan jenis
kesadaran. Hanya satu kesadaran menjadi delapan jenis kesadaran dengan bergantung pada faktor-
faktor pembeda ini.
Dalam Akusala Citta kita memiliki hal-hal yang sama. Di sana kita memiliki perasaan, pandangan salah
bukannya pengetahuan, dengan dorongan dan tanpa dorongan.
Maka ada tiga faktor pembeda. Karena ketiga ini maka ada delapan Kāmāvacara Kusala Citta, delapan
Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta dan delapan Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta.
Pada CMA halaman 51 terdapat sesuatu untuk membiasakan anda dengan jenis-jenis kesadaran ini.
“Semua jenis kesadaran yang dialami di dalam alam-indriawi berjumlah 54.” (CMA, I, Tuntunan §17,
p.51)
Jenis-jenis kesadaran yang dialami sebagian besar di alam-indriawi ada 54. Dapatkah anda
menguraikan 54 itu? Ada 12 Akusala Citta, 18 Ahetuka Citta, dan 24 Kāmāvacara Sobhana Citta.
Seluruhnya ada 54. 54 Citta ini muncul sebagian besar pada makhluk-makhluk di sebelas alam-
indriawi.
Kāmāvacara Kusala ini, Vipāka dan Kiriya Citta disebut sebagai Mahākusala, Mahāvipāka dan
Mahākiriya. Tidak ada yang tahu dengan pasti mengapa disebut ‘Mahā’. Satu penulis memberikan satu
penjelasan dan penulis lainnya memberikan penjelasan lain. Tetapi setidaknya kita harus memahami
bahwa itu disebut Mahākusala, Mahāvipāka dan Mahākiriya. Jadi harap diingat ini. Beberapa orang
mengatakan bahwa karena ada 24 dan oleh karena itu lebih banyak maka disebut Mahā atau banyak
atau besar.
“Menurut jenis: …” (CMA, I, Tuntunan §17, p.51)
Ini berarti menurut sifatnya, atau menurut genus – itu bermakna bermanfaat, tidak bermanfaat dan
hasil. Berapa banyakkah di antara 54 Citta yang bermanfaat atau Kusala? Delapan yang bermanfaat.
Berapa banyakkah yang tidak bermanfaat? Dua belas yang tidak bermanfaat. Berapa banyakkah yang
merupakan hasil? Tujuh tambah delapan tambah delapan, menjadi 23 hasil. Ada tujuh hasil tidak
bermanfaat. Ada delapan hasil bermanfaat tanpa akar dan ada delapan hasil bermanfaat dengan akar.
Di sini hal-hal ini disebut besar atau Mahā. Berapa banyakkah Kiriya atau Citta fungsional? Ada tiga
dari Ahetuka Citta dan delapan dari Kāmāvacara Sobhana. Maka ada sebelas Citta fungsional.
Seluruhnya kita memperoleh 54.
Mari kita ulang. Berapa banyakkah Kusala? Ada delapan Kusala Citta. Berapa banyakkah Akusala? Ada
dua belas Akusala Citta. Berapa banyakkah hasil? Ada 23 hasil. Berapa banyakkah Kiriya? Ada sebelas
Kiriya Citta. Maka seluruhnya kita memperoleh 54 jenis kesadaran Kāmāvacara. Ini perhitungan
menurut jenis, menurut genus.
Sekarang,
“Menurut perasaan: …” (CMA, I, Tuntunan §17, p.52)
Berapa banyakkah yang disertai dengan perasaan Somanassa, berapa banyakkah dengan Upekkhā,
berapa banyakkah dengan Domanassa, berapa banyakkah dengan Dukkha, berapa banyakkah dengan
Sukha? Berapa banyakkah Citta yang disertai dengan Somanassa Vedanā, perasaan menyenangkan?
18 Citta disertai dengan perasaan menyenangkan, perasaan Somanassa. Berapa banyakkah yang
disertai dengan perasaan netral atau tidak peduli? 32 jenis kesadaran disertai dengan perasaan netral,
perasaan tidak peduli. Di sini dikatakan ada dua dengan ketidaksenangan. Apakah dua ini? Dua
Dosamūla Citta mewakili Citta-Citta yang disertai dengan perasaan tidak menyenangkan. Kemudian
ada satu Citta yang disertai dengan kesenangan. Itu berarti Sukha. Citta itu adalah Sukha-sahagata
Kāya-viññāṇa. dan ada satu Citta yang disertai dengan kesakitan. Citta itu adalah Dukkha-sahagata
Kāya-viññāṇa. Menurut perasaan, kita membagi 54 kesadaran alam-indriawi dengan cara ini. Berapa
banyakkah yang dengan Somanassa? 18 tergabung dengan Somanassa. Berapa banyakkah dengan
perasaan tidak peduli? Ada 32 yang tergabung dengan perasaan netral. Berapa banyakkah yang
tergabung dengan ketidaksenangan? Ada dua, dua Dosamūla Citta. Berapa banyakkah yang tergabung
dengan kenikmatan badan. Berapa banyakkah yang disertai dengan kesakitan? Hanya satu Citta yang
disertai dengan kesakitan tubuh.
Selanjutnya mari kita melihat jenis-jenis kesadaran,
“Menurut kebergabungan dengan pengetahuan dan pandangan: …” (CMA, I, Tuntunan §17, p.52)
Apa yang bergabung, apakah yang tidak bergabung, apakah yang bukan bergabung juga bukan tidak
bergabung? Bergabung artinya bergabung dengan pandangan salah dan juga bergabung dengan
pengetahuan. Berapa banyakkah yang dikatakan di sini? Dikatakan bahwa ada 16. Dengan pandangan
salah dan dengan pengetahuan anda harus memilih. Dengan pandangan salah ada empat dan dengan
pengetahuan ada dua belas. Berapa banyakkah yang tidak bergabung? Ada 16 yang tidak bergabung
dengan pandangan salah dan pengetahuan. Yang bukan bergabung juga bukan tidak bergabung ada
22.
“menurut dorongan: …” (CMA, I, Tuntunan §17, p.52)
Manakah yang dengan dorongan dan manakah yang tanpa dorongan? 17 dengan dorongan. 17 tanpa
dorongan. 20 bukan keduanya; ini adalah yang tanpa akar dan terdelusi. Itu dikatakan sebagai bukan
dengan dorongan juga bukan tanpa dorongan. Dengan cara ini, kita mencoba membiasakan diri
dengan 54 jenis kesadaran.
Ketika kami pertama kali mempelajari hal-hal ini, kami harus melakukannya pada malam hari tanpa
lampu. Kami harus menghafalkannya. Kami tidak dapat melihat apapun. Pertama-tama kami
menghafalkan Pāḷi. kemudian dengan melafalkan kalimat-kalimat Pāḷi, kami berusaha untuk
menemukan mana yang dengan dorongan dan mana yang tanpa dorongan dan seterusnya.
“Cara monastik tradisional dalam mengajar Abhidhamma memaksa para murid untuk bukan hanya
merefleksikan daftar ini melainkan untuk mengenalinya dengan baik secara luar kepala.” (CMA, I,
Tuntunan §17, p.52)
Anda bukan bhikkhu. Tidak apa-apa.
“Ini adalah sangat penting ketika seseorang mempelajari faktor-faktor batin dalam jenis-jenis Citta
ini, seperti yang dijelaskan pada bab berikutnya dan dalam Abhidhamma Piṭaka.” (CMA, I, Tuntunan
§17, p.52)

Penyebab-penyebab menjadi Ñāṇa-sampayutta


Ada penyebab-penyebab untuk menjadi Ñāṇa-sampayutta. Ada penyebab-penyebab bagi pengetahuan
untuk muncul. Bagi beberapa orang kesadaran dengan pengetahuan muncul lebih sering daripada
orang lain. Mengapakah beberapa orang lebih sering memiliki kesadaran yang tergabung dengan
pengetahuan? Alasan pertama adalah Kamma yang dilakukan di masa lalu, yang dapat menghasilkan
perolehan kebijaksanaan (Ñāṇa). itu berarti kadang-kadang ketika anda melakukan suatu perbuatan
berjasa anda mengucapkan harapan, “Semoga aku menjadi seorang bijaksana; semoga aku memiliki
kebijaksanaan di masa depan.” Jika anda melakukan suatu perbuatan berjasa dengan aspirasi jenis ini,
maka dalam kehidupan mendatang kesadaran Kusala anda sebagian besar akan disertai dengan
pengetahuan. Dan juga jika anda membantu menyebarkan ajaran atau jika anda memberikan dana
untuk menyebarkan Dhamma, atau jika anda mengajar, itu juga adalah Kamma yang dapat
menghasilkan perolehan kebijaksanaan di masa depan. Karena Kamma demikian di masa lalu anda
dapat lebih sering memiliki Citta yang disertai dengan pengetahuan.
Penyebab berikutnya adalah kelahiran kembali di alam Rūpāvacara, kelahiran kembali sebagai
Brahma. Alam itu bebas dari kebencian. Dikatakan bahwa para Brahma tidak memiliki kemarahan,
tidak ada kebencian. Kemarahan adalah satu kondisi batin yang melemahkan pemahaman atau
pengetahuan. Jika anda ingin menjadi seorang bijaksana, jika anda ingin memiliki pengetahuan, anda
harus mengendalikan kemarahan anda. Jangan menjadi marah terlalu sering. Jika anda sering marah,
itu membuat pengetahuan anda menjadi lemah. Oleh karena itu anda tidak akan memperoleh banyak
pengetahuan. Di Brahmaloka tidak ada kebencian, tidak ada kemarahan. Juga kondisi-kondisi ini
adalah jauh lebih baik di alam-alam mereka daripada di alam manusia. Dan karena itu para Brahma
ini cenderung memperoleh kesadaran yang disertai dengan pengetahuan lebih sering daripada
makhluk lainnya.
Penyebab ke tiga adalah kematangan indria-indria batin. Terdapat apa yang disebut indria-indria
batin – keyakinan, usaha benar, perhatian, konsentrasi dan kebijaksanaan – ketika indria-indria ini
menjadi matang, anda cenderung memperoleh kesadaran yang disertai dengan pengetahuan.
Kapankah hal-hal itu menjadi matang? Perhatikan sepuluh dekade kehidupan seorang manusia .
kehidupan manusia dibagi menjadi sepuluh dekade, dengan anggapan seseorang dapat hidup hingga
100 tahun. Seseorang mungkin tidak hidup selama itu, tetapi ini adalah umur kehidupan yang
mungkin bagi orang-orang pada zaman Sang Buddha dan saya pikir masih demikian pada masa
sekarang. Umur kehidupan seorang manusia terbagi menjadi sepuluh segmen, sepuluh dekade. Yang
pertama disebut dekade lembut. Itu artinya anda lemah karena itu adalah sejak baru lahir hingga
berusia sepuluh tahun. Anda hanya seorang kanak-kanak, maka anda lemah. Yang ke dua adalah
dekade main-main. Itu artinya kegembiraan atau kebahagiaan. Anda bersenang-senang selama tahun-
tahun ini, remaja berusia 11-20 tahun. Nomor tiga adalah dekade kecantikan. Kecantikan anda mekar
selama masa ini. Jadi dari 20-30 adalah waktu terbaik bagi orang-orang untuk menjadi cantik. Dekade
ke empat adalah kekuatan. Dari 30-40 orang-orang mendapatkan kekuatan lebih. Anda menjadi
bertambah kuat. Sekarang dari 40-50 adalah dekade kebijaksanaan. Dikatakan bahwa ini adalah
waktunya ketika indria kebijaksanaan anda matang. Apapun yang anda pikirkan, anda memperoleh
jawaban yang baik dan anda memiliki jenis pengetahuan penembusan ini. Ini adalah dekade
kebijaksanaan dari 40-50. Bagaimana dengan anda? Sudahkah anda sampai pada rentang usia itu atau
belum? Jika belum maka itu baik karena anda masih mempunyai harapan – aku akan menjadi lebih
matang dan lebih bijaksana ketika aku berusia 40-50. Nomor enam adalah kemunduran. Oh, itu tidak
bagus. Dari 50-60 ada kemunduran dalam kekuatan jasmani serta kekuatan batin. Anda cenderung
melupakan banyak hal. Dan anda menjadi lemah. Dekade ke tujuh adalah membungkuk. Anda
membungkuk seperti ini. Anda menjadi seorang tua sekarang. Nomor delapan bukan hanya
membungkuk, tetapi anda tertekuk. Anda mungkin pernah melihat beberapa orang yang benar-benar
tertekuk. Nomor sembilan adalah Momūha, dekade pikun. Selama dekade ini, anda tidak banyak
mengingat. Anda tidak tahu apa yang sedang anda lakukan, seperti anak-anak.. nomor sepuluh anda
berbaring di tempat tidur siap untuk mati. Ini adalah sepuluh dekade manusia. Penyebab nomor tiga
– matangnya indria batin – merujuk pada dekade ke lima, dekade kebijaksanaan. Dari 40-50 adalah
waktu terbaik bukan hanya untuk belajar, tetapi juga untuk mengajar, menulis buku dan sebagainya.
Penyebab ke empat adalah jauh dari kekotoran batin berkat meditasi. Jika anda ingin menjadi
berpengetahuan, jika anda ingin menjadi cerdas, maka kekotoran batin harus jauh dari batin anda.
Jauhkan kekotoran batin melalui meditasi. Anda dapat menghancurkannya dengan bermeditasi. Jika
anda tidak dapat menghancurkannya sepenuhnya dengan bermeditasi, anda masih dapat
menjauhkannya dari batin anda. Ini penting. Jika anda ingin memperoleh lebih banyak Citta yang
disertai dengan pengetahuan, maka anda harus berlatih meditasi. Maka kekotoran batin tidak akan
mendatangi anda selama waktu tertentu jika anda berlatih meditasi baik Vipassanā maupun
ketenangan.
Yang terakhir adalah kelahiran kembali dengan tiga akar bermanfaat. Kita telah mempelajari delapan
Vipāka Citta. Delapan Vipāka Citta ini berfungsi sebagai kesadaran kelahiran kembali bagi manusia
dan mereka yang terlahir di alam surga. Delapan Vipāka Citta ini berfungsi sebagai penghubungan-
kembali atau kesadaran kelahiran kembali. Kelahiran kembali dengan tiga akar bermanfaat berarti
kesadaran kelahiran kembali anda adalah Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta pertama, ke dua, ke lima,
atau ke enam; anda terlahir kembali dengan tiga akar bermanfaat. Jika anda terlahir kembali dengan
salah satu dari empat Vipāka Citta ini, maka anda cenderung memperoleh lebih banyak kesadaran
yang disertai dengan pengetahuan, disertai dengan kebijaksanaan. Tetapi itu adalah hasil dari Kamma.
Tidak ada yang dapat anda lakukan sehubungan dengan hal ini. Ini adalah penyebab-penyebab bagi
kesadaran agar disertai dengan pengetahuan atau tidak disertai dengan pengetahuan.
Rūpāvacara Citta
Berikutnya adalah Rūpāvacara. Kita dapat menyebut Rūpāvacara Citta sebagai kesadaran yang lebih
tinggi. Citta ini tidak dialami oleh mereka yang tidak berlatih meditasi. Citta ini tidak dialami oleh
orang-orang biasa. Saya tidak mengatakan Puthujjana, tetapi orang-orang biasa. Rūpāvacara Citta ini
sebagian besar muncul di alam Rūpāvacara, alam-berbentuk. Ada lima belas alam-berbentuk di mana
jenis-jenis kesadaran ini sering muncul. Seperti biasa kita harus memahami bahwa jenis-jenis
kesadaran ini tidak hanya muncul di alam-alam ini saja karena kesadaran ini juga muncul di alam
manusia dan alam surga. Tetapi wilayah utama bagi kemunculannya adalah lima belas alam
Rūpāvacara.

Jhāna
Citta-Citta ini disebut Jhāna Citta. Jhāna adalah kata yang sulit untuk diterjemahkan. Beberapa orang
menerjemahkannya sebagai kegembiraan meluap. Beberapa orang lainnya menerjemahkannya
sebagai meditasi. Dan beberapa lainnya lagi menerjemahkannya sebagai penyerapan. Tidak ada
satupun yang benar-benar bermakna ‘Jhāna’. Adalah lebih baik menggunakan kata ‘Jhāna’ ketika
merujuk pada jenis ksadaran ini daripada menggunakan terjemahan karena kita tidak dapat dengan
tepat menerjemahkan kata ini. Jika kita menggunakan terjemahan, ini dapat menimbulkan
kesalahpahaman. Adalah lebih baik menggunakan kata ‘Jhāna’.
Kata ‘Jhāna’ adalah dari Bahasa Pāḷi. dalam Bahasa Sanskrit adalah Dhyana. Anda mungkin telah
menjumpai kata ini dalam bacaan anda. Dalam Sanskrit disebut Dhyana dan dalam Pāḷi kita memiliki
Jhāna.
Ada kesadaran Jhāna pertama, ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima. Kata ‘Jhāna’ diturunkan dari akar
kata Pāḷi ‘Jhe’ yang bermakna merenungkan atau membakar. Sebagian besar kata dalam Pāḷi dan
Sanskrit diturunkan dari apa yang kita sebut akar. Anda juga memiliki akar kata dalam Bahasa Inggris
-- akar Latin, akar Yunani. Dalam Pāḷi dan Sanskrit banyak kata yang diturunkan dari akar. Kata Pāḷi
‘Jhāna’ dikatakan sebagai diturunkan dari akar ‘Jhe’. Jhe berrmakna merenungkan atau membakar.
Merenungkan berarti melihat lebih dekat. Jadi akar ‘Jhe’ memiliki dua makna dalam Pāḷi. kedua makna
ini berlaku untuk jenis kesadaran ini.
“Demikianlah jhāna disebut seperti itu karena jhāna merenungkan objek lebih dekat …” (CMA, I,
Tuntunan §§18-20, p.56)
Ketika anda memperoleh Jhāna, pikiran anda terpusat pada objek. Anda mengamati objek lebih dekat.
“… dan karena Jhāna membakar kondisi-kondisi yang berlawanan dengan konsentrasi.” (CMA, I,
Tuntunan §§18-20, p.56)
Ada kondisi-kondisi yang berlawanan ini yang disebut rintangan batin. Jhāna ini dikatakan membakar
rintangan-rintangan batin ini. Itu berarti bahwa Jhāna tidak membiarkan rintangan-rintangan batin
ini muncul.
Jadi ketika anda berada dalam Jhāna, rintangan-rintangan batin ini tidak dapat muncul. Oleh karena
itu, Jhāna dikatakan membakar rintangan-rintangan batin yang melawan konsentrasi.
Nīvaraṇa
Lima rintangan batin ini disebut Nīvaraṇa dalam Pāḷi. anda perlu mempelajari kelima rintangan batin
ini karena kita akan merujuknya lagi dan lagi nanti. Apakah kelima rintangan batin ini? Yang pertama
adalah keinginan indriawi. Ini berarti keinginan atas objek-objek indria. Anda ingin melihat sesuatu.
Anda ingin mendengar sesuatu. Anda melekat pada sesuatu yang telah anda dengar. Anda melekat
pada sesuatu yang telah anda lihat. Itu adalah keinginan indriawi.
Yang ke dua adalah kebencian. Kebencian, kemarahan, tertekan, kekhawatiran, kecemasan. Semua ini
termasuk dalam kebencian.
Yang ke dua sebenarnya ada dua, kelambanan dan ketumpulan. Kelambanan adalah satu hal.
Ketumpulan adalah hal lainnya. Kedua ini dianggap sebagai satu rintangan batin di sini. Ini adalah
faktor-faktor batin. Kita akan menjumpainya lagi pada bab dua.
Berikutnya adalah kombinasi dari dua, kegelisahan dan kekhawatiran. Saya mengutipnya dari CMA –
kata ‘kekhawatiran’ digunakan di sana (CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.56). Saya lebih menyukai kata
‘penyesalan’ daripada ‘kekhawatiran’. Walaupun kedua ini adalah dua kondisi batin, keduanya
dikatakan sebagai satu rintangan batin di sini. Ada rintangan batin kegelisahan dan penyesalan.
Yang terakhir adalah keragu-raguan. Ini adalah keragu-raguan terhadap Sang Buddha, Dhamma,
Saṃgha dan sebagainya. Ini disebut lima rintangan batin karena merintangi konsentrasi, merintangi
Jhāna. Rintangan-rintangan ini adalah halangan bagi konsentrasi dan Jhāna. Oleh karena itu disebut
rintangan. Kesadaran Jhāna atau faktor-faktor Jhāna menghalangi rintangan-rintangan batin ini. Kita
akan membahasnya lebih lanjut nanti.
Apa yang terjadi ketika suatu kesadaran Jhāna muncul atau apa yang harus kita lakukan untuk
memiliki kesadaran Jhāna? Untuk memperoleh kesadaran Jhāna kita harus berlatih apa yang disebut
meditasi Samatha, meditasi ketenangan. Ada empat puluh subjek meditasi ketenangan. Beberapa
subjek tidak dapat membantu kita memperoleh Jhāna. Banyak lainnya dapat membantu kita
memperoleh Jhāna. Yang paling terkenal adalah Kasiṇa. Kasiṇa adalah piringan tanah, piringan air,
api, udara dan juga warna – biru, kuning, merah dan putih.
Untuk mengembangkan Jhāna anda berlatih meditasi Kasiṇa. kita sebut saja meditasi Kasiṇa. anda
dapat berlatih meditasi lainnya juga. Ketika anda berlatih meditasi Kasiṇa, anda membuat sebuah
piringan untuk diri anda sendiri, sebuah piringan dengan diameter kira-kira sembilan atau sepuluh
inci. Jika anda ingin membuat Kasiṇa tanah, anda mengambil sedikit tanah dan meletakkannya di
dalam sebuah kerangka di atas kain. Kemudian anda menatap piringan tersebut berulang-ulang
selama berjam-jam. Anda meletakkan piringan itu di depan anda – jangan terlalu dekat dan jangan
terlalu jauh, melainkan di posisi yang tepat. Jika terlalu tinggi, leher anda akan sakit dan demikian
pula jika terlalu rendah. Piringan ini darus ditempatkan dengan tepat. Kemudian anda harus
berkonsentrasi sepenuhnya pada piringan itu. Anda tidak memperhatikan hal lainnya. Anda berusaha
menempatkan pikiran anda sepenuhnya pada Kasiṇa.
Kata ‘Kasiṇa’ bearti total atau sepenuhnya. Itu berarti pikiran anda harus pada keseluruhan Kasiṇa.
kemudian anda harus mengingatnya yang sebenarnya. Anda melihat piringan itu. Katakanlah itu
adalah Kasiṇa tanah. Anda melihat Kasiṇa tanah. Kemudian anda mengucapkan, “tanah, tanah, tanah”
ribuan kali. Kemudian anda berusaha mengingatnya. Anda menutup mata dan lihat apakah anda dapat
melihatnya dengan mata tertutup. Jika anda dapat, maka tutuplah mata anda dan lihat pada gambaran
tersebut. Jika gambaran tersebut lenyap, anda membuka mata anda lagi untuk mengingatnya. Dengan
cara ini anda membuka mata dan menutup mata, membuka mata dan menutup mata, dan akhirnya
anda mengingat gambaran itu.
Ketika anda dapat melihat gambaran itu dengan mata tertutup, anda dikatakan telah menangkap
gambaran itu. Dalam buku ini disebut gambaran pembelajaran (baca CMA, IX, §5, p.331). Saya tidak
menyukai kata ‘gambaran pembelajaran’. Kata Pāḷi adalah ‘Uggaha’ di sini berarti mengambil, atau
memegang, atau menangkap. Itu berarti anda telah menangkap gambaran ini. Anda memperoleh
gambaran ini dalam pikiran anda. Ketika anda memperoleh gambaran ini, maka anda dapat melihat
gambaran ini dengan mata tertutup.
Gambaran itu sebenarnya adalah sebuah konsep. Itu bukan lagi realitas karena ketika anda melihat
Kasina, itu adalah realitas, tetapi ketika anda memiliki gambaran dalam pikiran anda, itu telah menjadi
sebuah konsep. Setelah memperoleh konsep itu, setelah mendapatkan gambaran itu, anda dapat
membuang objek Kasiṇa itu.
Kemudian anda dapat berlatih di manapun pada saat itu karena objeknya ada di dalam pikiran anda.
Anda berusaha untuk berlatih lagi dengan berkonsentrasi pada gambaran itu berulang-ulang.
Rintangan akan menjadi semakin berkurang. Rintangan-rintangan itu akan terhalang. Rintangan-
rintangan itu akan ditekan. Ini seperti tanah yang mengendap di dalam air, rintangan-rintangan ini
akan mengendap dan pikiran anda akan menjadi semakin jernih. Sewaktu pikiran anda menjadi
semakin jernih, gambaran itu juga menjadi semakin jernih.
Gambaran pertama yang anda peroleh yang disebut gambaran tangkapan tampak oleh anda
sebagaimana adanya. Jika ada cacat pada piringan, anda akan melihat cacat itu dalam pikiran anda.
Ketika anda membuat piringan itu, anda mungkin meninggalkan beberapa jejak jari atau apapun atau
piringan itu mungkin tidak sangat halus. Pada tahap pertama gambaran tangkapan anda akan melihat
gambaran itu bersama dengan cacat itu. Tetapi ketika pikiran anda menjadi semakin jernih maka
piringan itu juga akan menjadi semakin jernih. Cacat-cacat itu akan lenyap. Gambaran itu akan tampak
dalam pikiran anda seperti cermin yang dipoles. Gambaran itu disebut gambaran pengimbang atau
gambaran identik. Setelah anda memperoleh gambaran pengimbang, anda berlatih meditasi pada
gambaran itu – hanya dengan melihatnya di dalam pikiran anda dan mengucapkan, “tanah, tanah,
tanah”. Sekarang pikiran anda telah menjadi semakin jernih dan rintangan-rintangan batin telah
mengendap.
Pada suatu ketika kesadaran Jhāna akan muncul dalam pikiran anda. Ketika kesadaran Jhāna muncul,
pikiran anda ada pada gambaran pengimbang itu. Anda telah menangkap gambaran pengimbang
tersebut. Jenis kesadaran itu disebut kesadaran Jhāna. Ini bukan kesadaran Kāmāvacara. Ini adalah
kesadaran Rūpāvacara. Itulah sebabnya maka kita dapat menyebutnya kesadaran yang lebih tinggi.

Lima Rūpāvacara Kusala Citta: Lima Jhāna Citta


Jenis kesadaran itu atau kesadaran Jhāna terdiri dari lima jenis. Kita memiliki lima jenis kesadaran
Jhāna. Ini dijelaskan dalam Manual ini menurut faktor-faktor Jhāna.
Jhāna pertama disertai dengan Vitakka (awal pikiran), Vicāra (kelangsungan pikiran), Pīti
(kegembiraan), Sukha (kebahagiaan), dan Ekagattā (keterpusatan). Ini adalah lima faktor Jhāna. Jhāna
ke dua disertai dengan empat faktor Jhāna. Jhāna ke tiga disertai dengan tiga faktor Jhāna. Jhāna ke
empat disertai dengan dua faktor Jhāna. Dan Jhāna ke lima disertai dengan dua faktor Jhāna. Dikatakan
ada lima Jhāna, yang berikutnya adalah lebih tinggi atau lebih baik dari yang sebelumnya. Yang
terendah adalah Jhāna pertama hingga yang tertinggi, Jhāna ke lima.
Dalam Teks, Jhāna tidak dijelaskan menurut faktor-faktor ini. Jhāna dijelaskan dalam cara lain. Saya
akan memberikan Teks itu lain kali.
Di sini dalam Abhidhamma dan dalam Manual ini Jhāna dijelaskan sehubungan dengan faktor-faktor
yang muncul bersamanya. Jhāna disertai dengan beberapa atau seluruh faktor Jhāna.
Kita harus memahami tiga hal dengan jelas ketika kita membahas Jhāna dan juga ketika kita membahas
tentang Magga nanti – Jhāna, faktor-faktor Jhāna dan kesadaran Jhāna, tiga ini. Kita harus mengetahui
apa yang dimaksudkan dengan Jhāna, faktor-faktor Jhāna dan kesadaran Jhāna. Kita harus dengan
jelas memahami istilah-istilah ini. ‘Jhāna’ berarti kombinasi faktor-faktor ini – lima faktor, atau empat,
atau tiga, atau dua atau dua. Kelompok faktor-faktor ini (5,4,3,2,2) disebut Jhāna. Jhāna adalah kata
benda majemuk seperti kelompok atau kumpulan. Kelompok lima faktor, dan seterusnya disebut
Jhāna. Salah satu faktor ini disebut satu faktor Jhāna. Jenis kesadaran yang disertai dengan faktor-
faktor ini disebut kesadaran Jhāna. Kita harus memahami ketiga istilah ini dengan jelas:
- Jhāna
- Faktor Jhāna, dan
- Kesadaran Jhāna
Sekali lagi, apakah Jhāna? Jhāna adalah sekelompok faktor, sekelompok faktor Jhāna. Apakah faktor
Jhāna? Yaitu masing-masing faktor itu. Apakah kesadaran Jhāna? Yaitu kesadaran yang disertai
dengan beberapa atau seluruh lima faktor Jhāna.
Anda adalah anggota suatu perkumpulan. Ketika anda berkumpul bersama, anda adalah suatu
perkumpulan. Masing-masing dari anda adalah anggota. Maka masing-masing dari anda adalah seperti
faktor Jhāna. Perkumpulan gabungan anda adalah Jhāna. Ini seperti itu. Jadi ada Jhāna, faktor Jhāna
dan kesadaran Jhāna.
Kadang-kadang kita tidak dengan tepat menggunakan kata ‘Jhāna’. Maka kadang-kadang kita hanya
menyebutnya kesadaran Jhāna, padahal sebenarnya secara teknis Jhāna bermakna gabungan faktor-
faktor atau kondisi-kondisi batin. Dan kesadaran Jhāna bermakna kesadaran yang disertai dengan
Jhāna.
Jhāna pertama disertai dengan Vitakka, Vicāra, Pīti, Sukha, dan Ekagattā. ‘Sahita’ 9 yang berarti
bersama dengan. Jhāna pertama disertai dengan kelima faktor ini. Kita akan mempelajari faktor-faktor
ini pada bab dua karena ini adalah faktor-faktor batin. Ini adalah Cetasika. Kita akan membahasnya
nanti.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Rūpāvacara Citta
Hari ini kita akan mempelajari Rūpāvacara Citta, kesadaran alam-berbentuk. Saya telah menjelaskan
kepada anda bagaimana Jhāna dicapai and apa yang harus dilatih, dan juga apa perbedaan antara
masing-masing Jhāna, faktor Jhāna dan kesadaran Jhāna. Di antara sepuluh Kasiṇa, saya pikir Kasiṇa
warna adalah yang lebih mudah dibuat. Jadi jika anda ingin mencoba meditasi Kasiṇa, anda dapat
mencoba salah satu dari Kasiṇa warna. Ini adalah Kasiṇa putih. Anda dapat membuat seperti ini,

9
Ini berasal dari penjelasan dalam Pāḷi atas Rūpāvacara Jhāṅa dalam Abhidhammatthasaṅgaha (CMA, I, p.52-54)
sebuah piringan berdiameter kira-kira sembilan atau sepuluh inci, jika anda ingin melatih meditasi
Kasiṇa. Jangan meletakkan warna biru, merah atau kuning di sekelilingnya karena akan menjadi
empat warna – biru, merah, kuning dan putih. Ini adalah Kasiṇa putih. Ini seharusnya tampak seperti
ini. Jangan lebih kecil dari ini. Jika lebih kecil, maka akan sulit untuk mempertahankan pikiran anda
di sana.

Lima Faktor Jhāna


Dengan berlatih meditasi Kasiṇa atau meditasi lainnya yang mengarah menuju pencapaian Jhāna,
seorang Yogi atau meditator mencapai kesadaran Jhāna. Berbagai jenis kesadaran Jhāna disertai
dengan faktor-faktor Jhāna. Di antaranya lima disebut faktor-faktor Jhāna. Jhāna pertama disertai
dengan lima faktor Jhāna. Yaitu Vitakka, Vicāra, Pīti, Sukha dan Ekagattā. Saya ingin anda
mengetahuinya dalam Pāḷi. itu adalah faktor-faktor batin, oleh karena itu kita akan mempelajarinya
lagi pada bab dua.
Apakah Vitakka? Ini diterjemahkan sebagai awal pikiran. Ini berarti awal pengarahan pikiran pada
objek. Dalam khotbah-khotbah, kata ‘Vitakka’ digunakan dalam makna pemikiran. Dalam
Abhidhamma, ini bukan hanya pemikiran, melainkan faktor batin yang menunggangi pikiran pada
objek. Faktor batin itu disebut Vitakka dalam Abhidhamma sebagai istilah teknis. Dalam Sutta-sutta
anda dapat menemukan Vitakka digunakan untuk pemikiran, seperti dalam Vitakkasaṇṭhāna Sutta,
bagaimana menghalau pikiran-pikiran kacau. Vitakka adalah faktor batin yang membawa pikiran,
yang membawa kesadaran, yang membawa Citta, menuju objek. Tanpa Vitakka adalah sulit bagi Citta
untuk mengambil objek. Banyak Citta memerlukan Vitakka untuk membawanya menuju objek. Tetapi
ada beberapa yang tidak memerlukan Vitakka. Itu akan dibahas nanti.
‘Vicāra’ berarti menyelidiki atau merenungkan atau semacam itu. Di sini Vicāra tidak bermakna
demikian. Ini juga suatu istilah teknis dalam Abhidhamma. Vicāra adalah satu faktor batin yang di sini
diterjemahkan sebagai kelangsungan pikiran. Pertama Vitakka membawa kesadaran menuju objek.
Kemudian Vicāra mempertahankannya di sana. Jadi Vitakka dan Vicāra adalah dua faktor batin
berbeda yang bertugas membawa pikiran menuju objek dan mempertahankannya di sana. Tampaknya
Vitakka muncul terlebih dulu dan kemudian Vicāra mengikuti. Tetapi pada kemunculan yang
sebenarnya keduanya muncul pada saat yang sama. Di sini dengan kesadaran Jhāna ini keduanya
muncul pada saat yang sama.
Perbedaan antara Vitakka dan Vicāra dijelaskan pada CMA halaman 57.
“Komentar memberikan berbagai perumpamaan untuk menekankan perbedaan antara kedua faktor
Jhāna ini. Vitakka adalah bagaikan burung yang merentangkan sayapnya untuk terbang, vicāra adalah
bagaikan burung yang meluncur di udara dengan sayap terentang.” (CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.57)
Vitakka adalah bagaikan burung yang berusaha untuk terbang ke angkasa. Vicāra adalah burung yang
terbang menembus udara dengan sayap terentang. Jika kita menggunakan perumpamaan modern,
saya pikir kita dapat mengambil contoh pesawat terbang. Lepas landas adalah Vitakka. Pesawat
mencapai ketinggian jelajah adalah Vicāra.
“Vitakka adalah bagaikan lebah yang meluncur menuju sekuntum bunga, vicāra adalah bagaikan lebah
yang mendengung di atas bunga.” .” (CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.57)
Ini adalah hal yang sama. Di sini lebah yang mendengung di atas bunga adalah seperti Vicāra.
“Vitakka adalah bagaikan tangan yang memegang piringan logam bernoda, vicāra adalah bagaikan
tangan yang menggosok piringan itu.” (CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.57)
Jika ada sesuatu yang kotor dan anda ingin membersihkannya, maka anda memegangnya dengan satu
tangan dan dengan tangan lainnya memegang sikat pembersih anda menggosoknya atau
membersihkannya. Vitakka adalah bagaikan tangan yang memegang piringan. Vicāra adalah bagaikan
tangan yang menggosok piringan. Berapa banyakkah perumpamaan yang anda miliki sekarang? Tiga
– burung, lebah, dan tangan yang memegang dan tangan yang menggosok piringan.
Satu perumpamaan lainnya yang diberikan dalam Komentar adalah ketika seorang pengrajin tembikar
membuat kendi, ia memutar roda dan membuat kendi. Ketika roda berputar, ia akan memegang tanah
dengan satu tangan dan dengan tangan lainnya ia akan membentuknya menjadi sebuah kendi. Vitakka
adalah bagaikan memegang dengan satu tangan dan Vicāra adalah bagaikan membentuknya dengan
tangan lainnya. Juga ketika anda ingin membuat lingkaran di atas tanah, anda menancapkan paku di
tengah-tengah permukaan tanah dan mengikatnya dengan tali. Di ujung tali itu, anda mengikatkan
paku lainnya di bagian luar. Ada banyak perumpamaan yang diberikan dalam Komentar untuk
memahami perbedaan antara Vitakka dan Vicāra.
Faktor Jhāna ke tiga aalah Pīti. Kita terpaksa menggunakan kata Pāḷi, karena terjemahannya tidak
pernah memuaskan. Dalam buku ini, CMA, diterjemahkan sebagai gairah. Yang lainnya
menerjemahkannya sebagai kegembiraan, sukacita, kebahagiaan, kemenarikan menyenangkan. Ada
banyak terjemahan untuk satu kata ‘Pīti’ ini. Adalah selalu lebih baik mempertahankan kata Pāḷi
bahkan jika anda mengetahui terjemahannya. Misalnya, jika kita menggunakan kata ‘kegembiraan’
untuk ‘Pīti’, maka kita harus menuliskan kata Pāḷi ‘Pīti’ di dalam tanda kurung. Agar orang-orang tidak
salah memahaminya. Pīti diturunkan dari kata kerja ‘Pi’ yang bermakna menyegarkan kembali. Ketika
anda memiliki Pīti, maka anda disegarkan kembali. Ini adalah kemenarikan menyenangkan di dalam
objek. Dalam CMA dikatakan,
“Kata ini sering diterjemahkan sebagai sukacita, suatu terjemahan yang sesuai dalam perannya
sebagai satu faktor Jhāna tetapi mungkin tidak cukup luas untuk mencakup segala nuansanya.” (CMA,
I, Tuntunan §§18-20, p.57)
Adalah lebih baik mempertahankan kata ini dalam Pāḷi.

Lima Jenis Pīti


Ada lima jenis Pīti yang dijelaskan dalam Komentar. Ini juga dijelaskan dalam CMA. Saya ingin anda
membacanya (baca CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.57). para Komentator membedakan lima tingkat Pīti
yang muncul ketika mengembangkan konsentrasi:
- Pīti kecil (Khuddaka Pīti) yang muncul ketika mengembangkan konsentrasi,
- Pīti sesaat (Khaṇika Pīti),
- Pīti memancar (Okkantika Pīti)
- Pīti mengangkat (Ubbega Pīti)
- Pīti merembes (Pharaṇa Pīti)
Ini adalah lima jenis Pīti
Pīti kecil mampu menegakkan buku badan. Kadang-kadang ketika anda mengalami Pīti, anda akan
merasa merinding. Bulu badan berdiri. Itu adalah Pīti kecil, Pīti tingkat terendah.
Berikutnya adalah Pīti sesaat. Ini seperti berkas kilat. Sekali-sekali anda akan merasa bahwa Pīti ada
dalam tubuh dan pikiran anda.
Berikutnya adalah Pīti memancar. Pīti ini berhamburan di sekujur tubuh berulang-ulang bagaikan
ombak di pantai. Pīti sesaat mungkin muncul sekali-sekali. Pīti memancar ini muncul lebih sering
bagaikan ombak di pantai.
Yang ke empat adalah Pīti mengangkat yang dapat menyebabkan tubuh terangkat. Dalam Komentar
diberikan dua kisah. Satu adalah kisah tentang seorang bhikkhu yang dengan kekuatan Pīti mampu
melayang di angkasa untuk mencapai sebuah pagoda. Pada saat itu ada festival pagoda. Ia ingin pergi
ke festival pagoda. Tetapi orangtuanya berkata bahwa tidaklah baik baginya untuk pergi karena ia
sedang hamil. Mereka meninggalkannya di rumah. Ia dapat melihat berlangsungnya festival itu dari
kejauhan. Ia juga dapat mendengar pembacaan oleh para bhikkhu di pagoda. Ia begitu gembira melihat
dan mendengar hal-hal ini sehingga ia memperoleh Pīti jenis mengangkat. Ia melayang di angkasa.
Dan demikianlah ia mencapai pagoda sebelum orangtuanya, dan mendengarkan khotbah para
bhikkhu. Ketika orangtuanya melihatnya, mereka bertanya bagaimana ia datang. Kemudian ia
menjawab bahwa ia datang melalui angkasa. “Tidak, engkau tidak bisa. Hanya para Arahant yang dapat
terbang melalui angkasa.” Mereka berkata. Kemudian ia menjawab, “Aku tidak tahu. Aku sedang
memikirkan festival pagoda yang sedang berlangsung, dan tiba-tiba aku terbang melalui angkasa dan
naik ke atas panggung pagoda.” Pīti mengangkat dapat menyebabkan tubuh bergerak atau terangkat
ke udara. Walaupun tidak mudah untuk mengalami Pīti mengangkat yang dapat mengangkat tubuh
anda, anda mungkin pernah mengalami Pīti yang dapat mengangkat tubuh anda di sebelah sini atau
sebelah sana. Kadang-kadang ketika anda berlatih meditasi dan mengalmi Pīti, tubuh anda mungkin
bergerak sedikit.
Berikutnya adalah Pīti merembes. Pīti ini merembesi seluruh tubuh bagaikan air membanjiri sebuah
gua. Di negara kami, kami menggunakan perumpamaan kapas yang dicelupkan ke dalam minyak.
Kapas pembalut dapat menyerap minyak atau air dengan sangat baik. Kami meletakkan kapas ke
dalam minyak atau air dan cairan itu terserap oleh kapas. Jenis Pīti ini dirasakan di sekujur tubuh. Jadi
ini adalah Pīti merembes atau seperti banjir memenuhi gua. Seluruh lima jenis Pīti ini dialami oleh
para meditator pada suatu ketika selama latihan mereka. Dalam Jhāna-jhāna, Pīti ke lima dialami.
Seseorang yang berada dalam keadaan Jhāna mengalami Pīti merembes ini.
Berikutnya adalah Sukha. Sukha diterjemahkan sebagai kebahagiaan. ‘Sukha’ di sini bermakna
Somanassa, bukan Sukha dalam Ahetuka Citta. Di sini Sukha bermakna Somanassa. ‘Somanassa’ berarti
Vedanā. Jadi ini adalah perasaan. Sukha ini muncul karena keterlepasan dari kenikmatan indriawi.
Untuk memperoleh Jhāna, anda harus menghindari kenikmatan indriawi. Sukha ini muncul karena
keterlepasan dari kenikmatan indriawi. Oleh karena itu, ini dijelaskan sebagai Nirāmisa-sukha. Ini
bermakna kebahagiaan spiritual atau non-duniawi.
Kita harus memahami perbedaan antara Pīti dan Sukha. Keduanya sangat mirip. Keduanya muncul
pada saat yang sama. Jadi perbedaannya sukit dipahami. Komentar memberikan perumpamaan untuk
membantu kita.
“Walaupun Pīti dan Sukha berhubungan sangat erat, keduanya berbeda dalam hal bahwa Pīti adalah
faktor niat yang menjadi bagian dari kelompok bentukan-bentukan pikiran (saṅkhārakkhandha), …”
(CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.57)
Pīti bukanlah perasaan. Walaupun kita pikir Pīti adalah perasaan, namun sebenarnya bukanlah
perasaan. Ini termasuk Saṅkhāra (kelompok bentukan pikiran).
“… sedangkan Sukha adalah perasaan yang termasuk dalam kelompok perasaan (Vedanākkhandha).”
(CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.57).
Harap diperhatikan perbedaan ini. Pīti termasuk kelompok Saṅkhāra dan Sukha termasuk kelompok
Vedanā. Ini adalah satu perbedaan.
“Pīti diumpamakan sebagai kegembiraan yang dialami oleh seorang pengembara lelah ketika ia sampai
pada sebuah oasis, sukha bagaikan kenikmatannya setelah mandi dan minum.” CMA, I, Tuntunan §§18-
20, p.57).
Itulah sebabnya mengapa Pīti disebut sebagai kemenarikan menyenangkan. Kemenarikan
menyenangkan muncul ketika ia melihat atau mendengar sesuatu.
Di sini seseorang melakukan perjalanan di jalan raya atau di sebuah hutan, dan ia lelah dan mungkin
haus. Ia mungkin bertemu seorang lain yang memberitahunya bahwa ada sebuah oasis atau hutan
yang memiliki kolam. Pertama ia mendengar dari orang itu, dan kemudian setelah itu ia mungkin
mendengar burung-burung atau orang lain lagi yang telah ke sana ketika ia mendekati orang itu.
Sepanjang waktu ini, ia mengalami Pīti. Kemudian ia sampai di tempat itu. Ia mandi di kolam. Ia
mungkin memakan sesuatu di sana. Ia mungkin beristirahat di bawah keteduhan sebatang pohon. Pada
saat itu, ia mengalami Sukha. Jadi Pīti dan Sukha adalah berbeda. Pīti adalah sebelum menikmati.
Sukha sedang menikmati. Sebelum menikmati, anda hanya melihat atau mendengar tentang sesuatu
– ini adalah Pīti. Ketika anda benar-benar menikmatinya, ada Sukha karena anda menikmatinya. Itulah
perbedaan antara Pīti dan Sukha walaupun sering kali keduanya muncul pada momen yang sama, pada
saat yang sama, dengan jenis kesadaran yang sama.
Yang terakhir disebut Ekagattā. ‘Eka’ berarti satu. ‘Agga’ berarti bagian. ‘Ekagga’ berarti hanya
memiliki satu bagian, hanya memiliki satu porsi. Itu berarti memiliki hanya satu objek. Jadi ‘Ekaggatā’
berarti keadaan memiliki satu objek. Ini juga adalah satu faktor batin. Di tempat-tempat lain, ini juga
disebut Samādhi. Ketika kita mengatakan Samādhi, yang dimaksudkan adalah Ekagattā.
Kelima faktor ini sangat terkembang ketika mencapai keadaan Jhāna. Kelima faktor ini dan faktor-
faktor batin lainnya muncul juga bersama dengan Kāmāvacara Citta. Dengan Akusala Citta pertama,
misalnya, Vitakka dan Vicāra muncul, tetapi tidak terkembang. Tidak kuat. Tetapi di sini hal-hal itu
kuat. Hal-hal itu terkembang dengan baik, maka hal-hal itu dapat mempertahankan pikiran pada objek
Kasiṇa, pada objek meditasi.
Kelima ini perlu berfungsi dengan benar, berfungsi dengan seimbang, satu faktor tidak melebihi yang
lainnya. Ketika kelima ini berfungsi dengan benar, secara harmonis, maka pikiran menjadi kokoh pada
objek. Kemudian Jhāna muncul. Jika Vitakka tidak membawa pikiran kepada objek, maka Vicāra tidak
dapat mempertahankan pikiran pada objek. Maka tidak akan ada Pīti, Sukha dan Ekagattā. Kelima ini
saling mendukung satu sama lain. Ini adalah lima faktor Jhāna yang menyertai kesadaran Jhāna
pertama. Jadi Jhāna berarti kombinasi dari kelima faktor ini. Faktor-faktor Jhāna berarti tiap-tiap
faktor – Vitakka, Vicāra, dan seterusnya. Kesadaran Jhāna berarti kesadaran yang disertai dengan
kelima faktor ini. Demikianlah kita telah memiliki kesadaran Jhāna pertama.

Dua Jenis Jhāna


Sekarang kita sampai pada Jhāna. Saya telah menjelaskan kepada anda sesuatu tentang Jhāna minggu
lalu. Ada beberapa hal lagi yang harus dipahami tentang Jhāna. Adalah sangat penting bahwa anda
memahami hal ini, Jhāna ada dua jenis:
(1) Jhāna adalah yang memeriksa objek dari dekat. Makna dari kata ‘Jhāna’ adalah mengamati dari
dekat, memeriksa dari dekat, bermeditasi dari dekat. Di sini kita menggunakan makna
‘memeriksa dari dekat’. Itu adalah makna dari kata ‘Jhāna’. “Yang memeriksa objek dari dekat”
– ini adalah satu jenis Jhāna. Dalam Pāḷi ini disebut Ārammaṇupanijjhāna.

(2) Dan Jhāna adalah yang memeriksa karakteristik-karakteristik (Lakkhaṇupanijjhāna) dari


dekat. Kata Pāḷi ‘Lakkhaṇa’ diterjemahkan sebagai tanda atau karakteristik. Jadi ini adalah apa
yang memeriksa tanda atau karakteristik dari dekat. Dalam Pāḷi ini adalah
Lakkhaṇupanijjhāna.

Ada dua jenis Jhāna. Ada Jhāna Ārammaṇa dan Jhāna Lakkhaṇa. apakah Ārammaṇa di sini?
‘Ārammana’ di sini berarti objek meditasi. Ini adalah objek meditasi Samatha seperti piringan Kasiṇa,
bagian-bagian tubuh dan sebagainya.
Delapan pencapaian (empat Jhāna Rūpāvacara dan empat Jhāna Arūpāvacara) disebut
Ārammaṇupanijjhāna, (ini berarti yang pertama) karena pencapaian itu mengamati dari dekat atau
memeriksa dari dekat pada objek batin dari Kasiṇa tanah, misalnya, bukan Kasiṇa itu sendiri
melainkan objek batin dari Kasiṇa dalam pikiran. Kesadaran Jhāna mengambil objek batin. Ini disebut
Ārammaṇupanijjhāna karena memeriksa Ārammaṇa ini dari dekat. Itu berarti Āramana ini secara kuat
mengambil objek tersebut.
Vipassanā, Magga dan Phala disebut Lakkhaṇupanijjhāna. Ini penting. Ketika kita menemukan kata
‘Jhāna’, kita hanya berpikir bahwa itu merujuk pada Rūpāvacara dan Arūpāvacara. Kadang-kadang
Vipassanā dapat disebut Jhāna. Magga berarti jalan. Ini dapat disebut Jhāna. Dan Phala, Buah juga
dapat disebut Jhāna. Akan membingungkan jika kita tidak mengetahui Jhāna apa yang dimaksudkan
dalam suatu konteks tertentu.
Vipassanā disebut Lakkhaṇupanijjhāna. Sekarang di sini Lakkhaṇa, karakteristik diperiksa dari dekat.
Disebut Vipassanā karena memeriksa dari dekat pada karakteristik ketidakkekalan dan seterusnya. Itu
berarti ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa diri. Ketiga ini disebut karakteristik. Ini adalah
karakteristik umum dari segala fenomena terkondisi. Ketika anda berlatih meditasi Vipassanā, anda
akan melihat karakteristik-karakteristik ini dalam objek apapun yang anda ambil pada saat itu.
Vipassanā dapat disebut Jhāna karena memeriksa ketiga karakteristik ini dari dekat. Magga disebut
demikian – kita masih belum sampai kepada Magga. Ini termasuk kesadaran Adi-duniawi. Disebut
Magga karena pekerjaan yang dilakukan oleh Vipassanā menjadi berhasil, menjadi selesai melalui
Magga. Ketika Magga tercapai, maka Vipassanā selesai. Magga sebenarnya adalah hasil dari latihan
Vipassanā. Tetapi Magga bukanlah Vipāka. Pekerjaan Vipassanā berakhir atau mencapai puncaknya
ketika Magga tercapai. Jadi Magga juga disebut Lakkhaṇupanijjhāna. Akan tetapi Magga tidak
mengambil Lakkhaṇa sebagai objek, melainkan Magga mengambil Nibbāna sebagai objek. Tetapi
Magga tetap disebut Lakkhaṇupanijjhāna, perenungan pada Lakkhaṇa, hanya karena tugas Vipassanā
yang memeriksa dari dekat pada ketga karakteristik berakhir, selesai. Maka Magga juga disebut
Lakkhaṇupanijjhāna.
Phala, Vipāka dari Magga, hasil dari Magga, disebut demikian karena memeriksa kebenaran lenyapnya
yang merupakan karakteristik dari kebenaran. Nibbāna disebut Kebenaraan Lenyapnya di sini.
Kebenaran Lenyapnya, Nibbāna diambil oleh Phala sebagai objek. Nibbāna memiliki karakteristik
kebenaran. Jadi Phala juga disebut Lakkhaṇupanijjhāna. Di sini ‘Lakkhaṇa’ berarti karakteritik
Nibbāna, kebenaran. Tetapi ketika Lakkhaṇa merujuk pada Vipassanā, ini berarti ketiga karakteristik
– ketidakkekalan, penderitaan dan tanpa diri. Sehubungan dengan Phala karena disebut
Lakkhaṇupanijjhāna, maka ‘Lakkhaṇa’ berarti karakteristik Nibbāna, bukan ketidakkekalan dan
seterusnya. Ada perbedaan ini. Menurut penjelasan ini, Jhāna dapat berarti empat Rūpāvacara Jhāna,
empat Arūpāvacara Jhāna dan Vipassanā, Magga dan Phala. Jhāna tidak hanya berarti Rūpāvacara
Jhāna dan Arūpāvacara saja.
Ada syair #276 dalam Dhammapada:

“Engkau sendiri yang harus berusaha;


Para Tathāgata hanyalah penunjuk jalan.
Mereka yang memasuki sang jalan dan memeriksanya dari dekat melalui Jhāna
Akan terbebas dari belenggu Māra.”10

Di sini kata ‘Jhāna’ digunakan. Sebenarnya kata Pāḷi yang digunakan adalah ‘Jhāyino’. Ini berarti
mereka yang mengalami Jhāna. Mereka yang berlatih Jhāna, yang mengalami Jhāna, akan terbebas
dari belenggu Māra. Itu berarti mereka akan menjadi tercerahkan, mereka akan menjadi Arahant. Jika
kita mengartikan Jhāna hanya sebagai Rūpāvacara Jhāna atau Arūpāvacara Jhāna, maka ini tidak tepat
di sini karena anda harus berlatih meditasi Vipassanā agar dapat menjadi tercerahkan. Itulah
sebabnya maka Komentar mengatakan bahwa ada dua jenis Jhāna. “Para Tathāgata hanyalah penunjuk
jalan. Karena itu mereka yang menapaki sang jalan sesuai dengan apa yang para Tathāgata tunjukkan
dan memeriksa dari dekat melalui kedua jenis Jhāna” – ketika Komentar mengatakan dua jenis Jhāna,
kita harus memahami bahwa mereka merujuk pada Ārammaṇupanijjhāna dan Lakkhaṇupanijjhāna.
Dalam syair ini, kita harus memahami bahwa orang ini berlatih keduanya, meditasi Samatha dan
Vipassanā. Jika anda tidak memahami hal ini, maka anda akan menjadi bingung di sini. Anda mungkin
berpikir mengapa mereka mengatakan Jhāna sebagai bermakna Vipassanā atau semacam itu. Jadi ada
dua jenis Jhāna. Tetapi di sini dalam Manual ini dan dalam Abhidhamma, Jhāna hanya bermakna
Rūpāvacara dan Arūpāvacara.
Ini adalah Paṭhamajjhāna, kesadaran Jhāna pertama. Disebut pertama karena yang pertama dicapai
dan juga pertama disebut ketika Sang Buddha mengajar. Pencapaian Jhāna adalah sesuatu seperti anda
pergi sekolah dan anda menempuh ujian atau naik kelas yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.
Pertama anda ingin menyelesaikan SMA. Menamatkan SMA adalah baik bagi anda pada saat itu.
Setelah anda menamatkan SMA, anda tidak berpikir bahwa itu bagus. Anda ingin masuk ke universitas.
Kemudian anda masuk ke universitas dan memperoleh gelar sarjana. Setelah memperoleh gelar
sarjana, anad berpikir bahwa itu belum cukup bagus. Anda menginginkan gelar yang lebih tinggi, gelar
Master. Setelah memperoleh gelar Master, anda ingin melanjutkan ke tingkat Doktor. Demikian pula,
seorang yang telah mencapai Jhāna pertama mungkin tidak puas hanya dengan Jhāna pertama. Ia
ingin mencapai Jhāna yang lebih tinggi.
Apakah yang harus ia lakukan untuk mencapai Jhāna yang lebih tinggi? Pertama ia harus
membiasakan dirinya dengan Jhāna pertama. Itu berarti ia harus mampu memasukinya kapanpun
yang ia inginkan. Ia harus mampu berdiam di dalam Jhāna itu selama yang ia inginkan – satu menit
atau mungkin satu hari. Ia harus memiliki penguasaan demikian atas Jhāna ini. Ia harus berlatih Jhāna
pertama berulang-ulang hingga ia menguasainya. Setelah memperoleh penguasaan atasnya, ia masuk

10
10 Tumhehi kiccamātapaṃ, akkhātāro Tathāgatā; Paṭipannā pamokkhanti, jhāyino mārabandhanā.
ke dalam Jhāna dan memeriksa faktor-faktor Jhāna. Ketika ia memeriksa faktor-faktor Jhāna, ia mulai
mencari cacat dalam Vitakka.
Dalam Visuddhimagga, dijelaskan empat Jhāna. Jadi Vitakka and Vicāra dijelaskan bersama.
Abhidhammatthasaṅgaha menjelaskan Jhāna dengan metode lima, jadi Vitakka dan Vicāra dijelaskan
secara terpisah. Vitakka adalah kasar. Vitakka tampak baginya sebagai kasar. Vicāra dan faktor-faktor
Jhāna lainnya tampak baginya sebagai dhamai. Ketika ia melihat Vitakka adalah kasar, ia merasa
bahwa Jhāna pertama terlalu dekat dengan rintangan-rintangan. Ia kehilangan kemelekatan pada
Vitakka. Ia ingin meninggalkan Vitakka. Dengan keinginan untuk meninggalkan Vitakka itu ia berlatih
lagi pada objek meditasi dengan mengucapkan, “tanah, tanah, tanah”. Ketika ia mencapai Jhāna ke
dua sesuai keinginannya dan sebagai akibat dari kekuatan kehendaknya, Vitakkā ditinggalkan.
Vitakka tidak lagi muncul pada Jhāna ke dua. Hanya ada empat faktor Jhāna. Jhāna-Jhāna yang lebih
tinggi dicapai dengan menghilangkan faktor Jhāṅa yang lebih kasar. Kita menyebutnya ‘kasar’ atau
‘halus’, tetapi sesungguhnya faktor-faktor Jhāna ini adalah terkembang sangat tinggi. Faktor ini
tampak kasar bagi orang yang memiliki Jhāna karena itu terlalu dekat dengan rintangan-rintangan
batin. Juga karena Vitakka membawa pikiran kepada objek, maka cenderung dapat bergejolak. Selama
ada Vitakka, maka ada bahaya jatuh kepada rintangan-rintangan batin dan kehilangan Jhāna. Maka
meditator harus mencari cacat pada Vitakka dan kehilangan ketertarikan pada vitakka. Kemudian ia
berpikir Vicāra dan yang lainnya adalah lebih baik. Ia berusaha mempertahankan faktor-faktor itu.
Ketika Jhāna muncul sebagai hasil dari meditasinya, Vitakka tidak muncul; hanya empat faktor yang
muncul – Vicāra, Pīti, Sukha, dan Ekagattā.
Setelah memperoleh Jhāna ke dua, ia mencari cacat pada Vicāra juga. Vicāra adalah teman baik dari
Vitakka. Kedua ini adalah faktor-faktor yang mengganggu. Selama kedua ini ada, maka selalu ada
bahaya. Maka sekarang ia ingin meninggalkan Vicāra. Ia berlatih meditasi berulang-ulang dan sebagai
hasil dari meditasinya, ketika kesadaran Jhāna berikutnya muncul, di sana tidak ada Vicāra. Hanya ada
Pīti, Sukha dan ekagattā. Ini adalah Jhāna ke tiga.
Pīti dalam Jhāna adalah sangat halus. Tetapi tetap saja ia mencari cacat di dalamnya. Pīti juga memiliki
kecenderungan bergejolak. Ketika anda gembira, ketika anda memiliki Pīti, anda berguncang atau
semacam itu. Ini membuat pikiran menjadi goyah. Meditator menemukan cacat pada Pīti. Sukha
adalah lebih baik. Sukha lebih damai. Ia berlatih meditasi lagi. Ketika kesadaran Jhāna berikutnya
muncul, tidak ada Pīti. Sekarang hanya ada Sukha dan Ekagattā. Ini adalah Sukha dan Ekagattā yang
sangat halus.
Tetapi Sukha masih dekat dengan Pīti. Pīti dekat dengan Vicāra. Vicāra dekat dengan Vitakka. Vitakka
dekat dengan rintangan-rintangan batin. Ekagatta adalah sangat stabil dan sangat damai. Ia
kehilangan ketertarikan pada Sukha juga. Ia berlatih meditasi. Ketika kesadaran Jhāna berikutnya
muncul, kesadaran itu disertai dengan Upekkhā, bukan Sukha, bukan Somanassa. Ia mencari cacat
pada Somanassa. Sekarang ini kita mengejar Somanassa. Kita ingin bahagia. Apapun yang kita lakukan,
kemanapun kita pergi, dalam situasi apapun kita berada, kita ingin bahagia. Kita sangat memikirkan
kebahagiaan karena kita belum mengalami bentuk kebahagiaan yang sangat tinggi. Orang ini yang
telah mencapai Jhāna ke empat bahkan mencari cacat di dalam kebahagiaan. Kebahagiaan juga masih
ada sedikit bergejolak. Sang meditator berpikir, “Jika ada kebahagiaan, maka pikiran dapat goyah. Aku
akan melenyapkannya dan memperoleh Upekkhā.” Ketika Jhāna ke lima muncul, itu disertai dengan
Upekkhā. Berapa banyakkah faktor yang menyertai? Ada dua faktor Jhāna. Berapa banyakkah faktor
yang menyertai Jhāna pertama? Jhāna pertama disertai dengan lima faktor. Berapa banyakkah faktor
dalam Jhāna ke dua? Jhāna ke dua memiliki empat faktor. Berapa banyakkah faktor dalam Jhāna ke
tiga? Jhāna ke tiga memiliki tiga faktor. Berapa banyakkah faktor dalam Jhāna ke empat? Jhāna ke
empat memiliki dua faktor, Sukha dan Ekagattā. Berapa banyakkah faktor dalam Jhāna ke lima? Jhāna
ke lima memiliki dua faktor, Upekkhā dan Ekagattā. Faktor-faktor dilenyapkan satu demi satu. Untuk
Jhāna ke empat dan ke lima ada dua faktor, tetapi berbeda. Pada Jhāna ke empat, ada Sukha dan
Ekagattā. Pada Jhāna ke lima, ada Upekkhā dan Ekagattā.
Ini adalah jenis-jenis kesadaran yang dialami oleh para Puthujjana dan Sekkha.11 Jika seseorang
mencapai salah satu dari kelima Jhāna ini dan ia meninggal dunia dengan masih memiliki Jhāna (yang
berarti ia mampu memasuki Jhāna itu dengan mudah), maka ia akan terlahir kembali di alam Brahma.
Dalam 31 alam kehidupan sebelas pertama adalah alam-indriawi. Kemudian ada 16 yang disebut
Brahma-berbentuk. Di atasnya ada empat yang disebut Brahma tanpa bentuk atau tanpa materi. Jika
seseorang mencapai Jhāna pertama di sini dan ia meninggal dunia dengan masih memiliki Jhāna, maka
ia akan terlahir kembali di alam Rūpāvacara sebagai Brahma-berbentuk. Pada kelahiran kembali
sebagai Brahma, kesadaran-kelahiran-kembali yang pertama muncul di sana adalah hasil dari Jhāna
pertama. Jhāna pertama memberikan hasil Jhāna pertama. Jhāna ke dua memberikan hasil Jhāna ke
dua dan seterusnya.

Rūpāvacara Vipāka Citta


Rūpāvacara Vipāka Citta memberikan hasil yang identik, tidak seperti Kāmāvacara Kusala Sobhana
Citta. Kāmāvacara Kusala Sobhana Citta mungkin memberikan hasil yang identik atau tidak identik.
Anda akan mempelajari ini lebih lanjut pada Bab lima. Lima Rūpāvacara Kusala Citta ini dan juga empat
Arūpāvacara Kusala Citta memberikan hasil yang identik. Jika seseorang memperoleh Jhāna pertama
ini dan meninggal dunia dengan masih memiliki Jhāna itu, maka kesadaran kelahiran kembali sebagai
Brahmā adalah kesadaran hasil Jhāna pertama. Hal yang sama berlaku jika seseorang memperoleh
Jhāna ke dua dan seterusnya. Seperti halnya terdapat lima jenis kesadaran bermanfaat alam-
berbentuk, demikian pula ada lima jenis kesadaran hasil alam-berbentuk. Masing-masing kesadaran
hasil alam-berbentuk memiliki jumlah faktor batin yang sama seperti pengimbangnya dalam
kesadaran bermanfaat alam-berbentuk. Jhāna pertama Rūpāvacara Kusala memiliki faktor-faktor
batin Vitakka, Vicāra, Pīti, Sukha dan Ekagattā. Demikian pula Jhāna pertama Rūpāvacra Vipāka
memiliki faktor-faktor batin Vitakka, Vicāra, Pīti, Sukha dan Ekagattā. Kelima jenis kesadaran hasil ini
muncul hanya di alam Brahma. Hal-hal itu tidak muncul di dalam alam-indriawi. Oleh karena itu,
kelima jenis kesadaran hasil ini tidak akan muncul di alam manusia. Kesadaran ini hanya muncul
dalam batin para Brahma.

Rūpāvacara Kiriya Citta


Lima berikutnya adalah Rūpāvacara Kiriya Citta. Apakah Kiriya? Sekedar terjadi, sekedar melakukan.
Rūpāvacara Kiriya Citta dapat muncul hanya pada para Arahant. Ketika seseorang, setelah menjadi
seorang Arahant, berlatih meditasi Kasiṇa, ia dapat mencapai Jhāna pertama. Jhāna itu akan menjadi
Rūpāvacara Kiriya pertama. Hal yang sama terjadi untuk yang ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima.
Kiriya Citta adalah hanya untuk para Arahant. Itu berarti bahwa Citta-Citta ini dapat muncul hanya
pada para Buddha, para Pacceka Buddha dan para Arahant. Seluruhnya kita memiliki 15 Rūpāvacara
Citta, 15 Citta alam-berbentuk – lima Citta bermanfaat, lima Citta hasil and lima Citta fungsional. Lima
Citta bermanfaat dapat muncul di alam-indriawi dan di alam-berbentuk. Lima hasil hanya dapat

11
Mereka yang tercerahkan tetapi masih belum Arahant.
muncul di alam-berbentuk. Kelompok ke tiga, Kiriya Citta, dapat muncul di alam-indriawi dan juga di
alam-berbentuk. Kelompok lima Citta ke tiga dialami hanya oleh para Arahant.
Dalam Teks dan juga dalam Dhammasaṅgaṇī, ketika Sang Buddha menjelaskan Jhāna-jhāna, Beliau
menggunakan penjelasan-penjelasan berbeda. Saya ingin anda terbiasa dengan hal itu juga. Di dalam
Manual yang sedang kita pelajari, Jhāna-Jhāna dijelaskan melalui faktor-faktornya. Ketika Sang
Buddha menjelaskan Jhāna-Jhāna di dalam Teks – di dalam khotbah-khotbah serta Abhidhamma –
Beliau menjelaskan dalam cara lain. Tidak semua faktor disebutkan dalam penjelasan.

Jhāna-Jhāna di dalam Teks


Di dalam Teks sehubungan dengan Jhāna pertama dikatakan: “Dengan cukup terasing dari kenikmatan
indriawi, cukup terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu mencapai dan
berdiam di dalam Jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran (satu faktor Jhāna), disertai
dengan kelangsungan pikiran (faktor Jhāna lainnya), yang muncul dari keterasingan, dengan sukacita
(Pīti) dan kebahagiaan (Sukha) atau dengan sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari
keterasingan.” Jadi di sini berapa banyakkah faktor Jhāna yang anda temukan? Ada Vitakka, Vicāra,
Pīti dan Sukha. Tidak ada Ekagattā disebutkan di sini. Tetapi kita harus memahami bahwa tanpa
Ekagattā maka tidak mungkin ada Jhāna.
Jāna ke dua: “Dengan ketidakmunculan awal pikiran dan kelangsungan pikiran” – di sini meditator
telah melenyapkan dua faktor Jhāna pada saat yang sama. “Dengan ketidakmunculan awal pikiran dan
kelangsungan pikiran, ia mencapai dan berdiam di dalam Jhāna ke dua, yang internal, jernih,
menumbuhkan keterpusatan pikiran, tanpa awal pikiran dan tanpa kelangsungan pikiran, yang
muncul dari kesadaran dan dengan sukacita dan kebahagiaan.” Di sini Pīti dan Sukha disebutkan.
Vitakka dan Vicāra disebutkan sebagai telah dilenyapkan.
Mari kita lihat Jhāna ke tiga. “Dengan kejijikan pada sukacita (serta lenyapnya awal pikiran dan
kelangsungan pikiran) ia berdiam dalam keseimbangan (upekkhā) penuh perhatian dan memahami
dengan jernih, dan ia mengalami kebahagiaan (Sukha) dengan tubuh dan pikirannya, ia mencapai dan
berdiam di dalam Jhāna ke tiga, yang karenanya para mulia berkata, ‘Ia dalam keseimbangan, penuh
perhtaian, dan berdiam dalam kebahagiaan’.” Berapa banyakkah faktor Jhāna yang anda temukan di
sini?
Beberapa orang mengatakan satu. Beberapa lainnya mengatakan dua. Beberapa lainnya lagi
mengatakan tiga. Apakah anda menemukan Sukha? Ya. Tidak, anda tidak menemukan sukacita.
Sukacita disebutkan, namun dilenyapkan. Hanya ada keseimbangan dan kebahagiaan. Hanya itu.
Keseimbangan di sini bukan berarti perasaan tidak peduli. Ini adalah faktor batin lainnya. Ini akan
disebutkan pada bab dua. Kata ‘Upekkhā’ digunakan untuk perasaan tidak peduli serta faktor batin
itu. Faktor batin itu diterjemahkan sebagai keseimbangan karena tidak jatuh ke salah satu sisi. Diam
di tengah. Dalam Pāḷi disebut Tatramajjhattatā. Di sini keseimbangan bukan berarti perasaan Upekkhā.
Ini adalah jenis lain dari Upekkhā. Kita hanya menemukan satu faktor di sini.
Jhāna ke empat: “Dengan ditinggalkannya kenikmatan dan kesakitan dan dengan pelenyapan
sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia mencapai dan berdiam di dalam Jhāna ke empat, yang
tidak disertai dengan kesakitan juga tidak dengan kesenangan, dan dengan kemurnian perhatian yang
disebabkan oleh keseimbangan.” Di sini juga keseimbangan adalah Tatramajjhattatā. Di sini tidak ada
faktor Jhāna disebutkan. Ini adalah bagaimana Sang Buddha menjelaskan Jhāna baik di dalam khotbah-
khotbah maupun di dalam Abhidhamma.
Di dalam khotbah-khotbah, hampir selalu empat Jhāna di sebutkan, bukan lima. Di dalam Abhidhamma
empat Jhāna serta lima Jhāna disebutkan karena Abhidhamma membahas apa yang ada dan harus
dituntaskan. Dalam Abhidhamma, ada empat metode (itu berarti empat Jhāna disebutkan). Dan lima
Jhāna disebutkan. Di dalam khotbah-khotbah, hanya empat Jhāna yang disebutkan. Anda dapat
membaca tentang Jhāna-Jhāna dari banyak khotbah dan anda hanya akan menemukan empat Jhāna.
Misalnya, khotbah ke dua dalam Dīgha Nikāya, hanya empat yang disebutkan di sini.
Harap membuka CMA halaman 58, paragraf terakhir.
“Walaupun Sutta-Sutta tidak menyebutkan lima analisis Jhāna dalam istilah-istilah eksplisit, namun
memberikan dasar implisit bagi analisa ini dalam pembedaan antara tiga jenis konsentrasi: …” (CMA,
I, Tuntunan §§18-20, p.58)
Dalam beberapa Sutta Sang Buddha menyebutkan tiga jenis konsentrasi. Itu berarti tiga jenis Jhāna.
“ … (itu adalah) konsentrasi yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran; konsentrasi
tanpa awal pikiran tetapi dengan kelangsungan pikiran; dan konsentrasi tanpa awal pikiran juga tanpa
kelangsungan pikiran.” (CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.58)
Tiga jenis Samādhi, tiga jenis konsentrasi di sebutkan dalam Sutta-Sutta.
“Yang pertama jelas adalah Jhāna pertama dalam kedua sistem, …” (CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.59)
Tidak ada masalah di sini di mana konsentrasi disertai dengan Vitakka dan Vicara.
Yang ke tiga bermakna tanpa awal pikiran dan tanpa kelangsungan pikiran. Jhāna apakah yang tanpa
awal pikiran dan tanpa kelangsungan pikiran? Yaitu Jhāna ke tiga, ke empat, dan ke lima. Dalam
metode empat, yaitu ke dua, ke tiga dan ke empat. Kita akan membahasnya nanti.
“Akan tetapi, yang ke dua, tidak dapat diklarifikasi di dalam Sutta …” (CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.59)
Di dalam Sutta-Sutta, hanya empat Jhāna yang disebutkan. Di dalam Sutta-Sutta, tidak ada yang sesuai
dengan penjelasan di sini, yaitu, “konsentrasi tanpa awal pikiran tetapi dengan kelangsungan
pikiran.” Jadi walaupun lima Jhāna tidak disebutkan secara eksplisit dalam Sutta-Sutta, namun dalam
beberapa Sutta Sang Buddha secara implisit menyebutkan lima Jhāna. Jika kita tidak menganggap
Jhāna sebagai ada lima, maka jenis konsentrasi ke dua akan menjadi tidak bermakna. Itu karena, di
dalam metode empat, yang pertama adalah dengan Vitakka, Vicāra dan ke dua, ke tiga, dan ke empat
adalah tanpa Vitakka dan tanpa Vicāra. Jadi ada Jhāna yang dengan Vitakka dan Vicāra dan ada Jhāna
tanpa Vitakka dan tanpa Vicāra. Tetapi tidak ada Jhāna tanpa Vitakka tetapi dengan Vicāra. Itu jika
kita menganggap hanya ada empat Jhāna saja. Jadi walaupun Sang Buddha tidak menyebutkan lima
Jhāna satu demi satu di dalam Sutta-Sutta, menurut pembagian konsentrasi menjadi tiga jenis. Pasti
ada yang disebut sebagai Jhāna ke dua dalam metode lima.

Metode Empat dan Metode Lima


Silakan kembali ke halaman di mana metode empat dan lima Jhāna dijelaskan (baca CMA, I, Tuntunan
§§18-20, p.58). terdapat dua metode – metode lima dan metode empat. Metode lima terdiri dari lima
Jhāna. Metode empat terdiri dari empat Jhāna. Kita sedang mempelajari Manual, jadi kita terbiasa
dengan metode lima yang digunakan dalam Manual. Dalam metode tersebut, Jhāna pertama memiliki
lima faktor – Vitakka, Vicāra, Pīti, Sukha dan Ekagattā. Jhāna ke dua memiliki Vicāra, Pīti, Sukha dan
Ekagattā. Jhāna ke tiga memiliki Pīti, Sukha dan Ekagattā. Jhāna ke empat memiliki Sukha dan
Ekagattā. Jhāna ke lima memiliki Upekkhā dan Ekagattā.
Dalam metode empat, Jhāna ke dua dari metode lima dihilangkan karena dalam metode empat Vitakka
dan Vicāra dilenyapkan sekaligus, bukan satu demi satu. Ketika Vitakka dan Vicāra dilenyapkan satu
demi satu, maka itu menjadi lima Jhāna. Ada individu-individu yang memiliki Samādhi, konsentrasi,
dan kebijaksanaan begitu kuat sehingga mereka mampu melenyapkan dua faktor sekaligus. Bagi
mereka hanya ada empat Jhāna. Jhāna ke dua mereka adalah tanpa Vitakka dan tanpa Vicāra. Jhāna
ke dua mereka bersesuaian dengan Jhāna ke tiga dalam metode lima. Kemudian Jhāna ke tiga mereka
bersesuaian dengan Jhāna ke empat dalam metode lima. Ada dua metode ini – metode empat dan
metode lima. Jika anda memahami metode lima, anda dapat dengan mudah memahami metode empat.
Dalam Sutta-Sutta selalu dijumpai metode empat. Metode lima didukung oleh Sutta-Sutta di mana
konsentrasi dibagi menjadi tiga. Sang Buddha berkata, “Ada konsentrasi yang tanpa Vitakka tetapi
dengan Vicāra.” Menurut metode empat, hal ini tidak dapat ditemukan. Terdapat ruang kosong dalam
presentasi metode empat karena di dalam Sutta-Sutta dikatakan bahwa ada konsentrasi yang dengan
Vicāra tetapi tanpa Vitakka. Itu adalah Jhāna ke dua dalam metode lima. Kita dapat mengatakan bahwa
Sang Buddha mengajarkan metode empat dan metode lima bahkan di dalam khotbah-khotbah atau
bahkan di dalam Sutta-Sutta.
Rūpāvacara Citta yang lebih tinggi dikatakan sebagai yang dicapai dengan melenyapkan faktor-faktor
Jhāna. Kita akan membahas perbedaan antara Rūpāvacara Citta dan Arūpāvacara Citta nanti.
Arūpāvacara Citta tidak seperti itu. Untuk mencapai Jhāna-Jhāna yang lebih tinggi dalam Rūpāvacara
Citta, seseorang harus melenyapkan apa yang disebut sebagai faktor yang lebih kasar satu demi satu
pada satu waktu dalam kasus Vitakka dan Vicāra.
Objeknya tetap sama untuk Rūpāvacara Jhāna. Jika seseorang mencapai Jhāna pertama dengan Kasiṇa
tanah, maka Jhāna ke duanya juga akan menggunakan Kasiṇa tanah. Maka jika ia mencapai lima Jhāna,
objeknya akan selalu sama untuk semua Jhāna. Perbedaan antara Jhāna-Jhāṅa adalah pada faktor-
faktornya. Dalam Rūpāvacara Jhāna perbedaan di antaranya adalah jumlah faktor Jhāṅa. dalam Jhāna
tanpa bentuk objeknya berbeda.
Ketika seseorang berada dalam kondisi Jhāna. Ia sangat damai dan ia mengalami kebahagiaan sejati.
Dalam satu Sutta dalam Majjhima Nikāya, Sang Buddha menjelaskan: “Pada saat itu ia tidak berusaha
demi penderitaannya sendiri, atau demi penderitaan orang lain, atau demi penderitaan keduanya.”
Ketika seseorang berada dalam Jhāna, ia tidak melakukan apapun yang membahayakan dirinya, atau
yang membahayakan orang lain, atau yang membahayakan dirinya dan orang lain. Pada saat itu ia
hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan.” Perasaan yang ada hanyalah Sukha atau
Somanassa. “Pertahanan dalam hal perasaan memiliki kebebasan dari penderitaan sebagai aspek
tertingginya.” Itu berarti kebebasan dari penderitaan adalah jenis perasaan tertinggi. Itu adalah
Sukha. Seperti yang anda ketahui, Upekkhā adalah lebih tinggi daripada Sukha.
Silakan baca CMA. Di sana disebutkan tentang apakah Jhāna Citta adalah dengan dorongan atau tanpa
dorongan dan seterusnya (baca CMA, I, Tuntunan §21, p.59). Saya tidak ingin memperdebatkan hal ini
karena tidak ada seorangpun yang tahu dengan pasti. Satu penulis mengatakan satu hal. Penulis
lainnya mengatakan hal lainnya. Kita tidak tahu harus memilih yang mana. Adalah lebih baik
mengabaikannya. Ini tidak akan berpengaruh pada pemahaman anda tentang Jhāna. Saya ingin
mengabaikannya. Jika anda ingin tahu apakah dengan dorongan atau tanpa dorongan, anda dapat
membacanya dalam CMA.
Apakah anda ingin bertanya?
1. Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Ketika Sang Buddha menjelaskan seorang bhikkhu yang maju di sepanjang jalan
spiritual, Beliau selalu menyebutkan Jhāna-Jhāna. Itulah sebabnya mengapa orang-
orang menganggapnya bermakna bahwa kita harus terlebih dulu berlatih Jhāna
sebelum berlatih Vipassanā. Itu tidak benar. Jhāna adalah untuk konsentrasi kuat dan
untuk beberapa kekuatan batin. Jika seseorang memiliki Jhāna, maka ia dapat beralih
ke Vipassanā dengan mudah karena ia telah berlatih konsentrasi. Ia memperoleh
konsentrasi yang baik. Ketika ia beralih ke Vipassanā, ia dapat mengambil objek
dengan mudah tanpa gangguan karena ia telah memiliki pengalaman
mempertahankan pikirannya pada objek. Ketika kita berlatih Vipassanā terlebih dulu
seperti yang kita lakukan di sini, kita harus mengembangkan jenis konsentrasi ini
karena pikiran kita sangat sering pergi ke sana-sini. Jika kita dapat mencapai Jhāna
terlebih dulu, maka itu akan memudahkan untuk beralih ke Vipassanā. Mencapai
Jhāna memerlukan waktu yang lama. Itulah sebabnya maka orang-orang tidak tertarik
untuk mencapai Jhāna sebelum berlatih Vipassanā. Sang Jalan dan Buah dapat dicapai
tanpa Jhāna-Jhāna. Ada orang-orang yang disebut praktisi Vipassanā kering. Itu
berarti mereka yang hanya mempraktikkan Vipassanā saja. Yang lainnya disebut
praktisi Samatha. Itu berarti mereka berlatih Samatha dan Vipassanā. Ada satu
khotbah dalam Aṅguttara Nikāya di mana dijelaskan bahwa anda dapat berlatih
Samatha terlebih dulu dan kemudian Vipassanā, atau bahwa anda dapat berlatih
Vipassanā dan bahwa di dalam Vipassanā di sana ada sejenis Samatha.
2. Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Kasiṇa diambil sebagai objek umumnya demi memperoleh kekuatan batin. Ada
perbedaan pada hasil yang diperoleh dari jenis-jenis Kasiṇa berbeda. Misalnya, setelah
memperoleh Abhiññā (kekuatan supernormal), jika anda ingin terbang di angkasa,
anda harus membuat diri anda ringan. Anda harus mencapai Jhāna dengan Kasiṇa
udara atau Kasiṇa api sebagai objek. Jika anda ingin memancarkan asap, maka anda
harus memasuki Kasiṇa api dan sebagainya. Dalam kasus demikian, ada perbedaan
pada hasil dari meditasi Kasiṇa dan lainnya.
3. Murid: Apakah yang Bhante maksudkan ketika mengatakan, “Jika seseorang meninggal dunia
dengan masih memiliki Jhāna?”
Sayādaw: ‘Masih memiliki Jhāna’ artinya ia mampu memasuki Jhāna. Kadang-kadang seseorang
mencapai Jhāna pada satu waktu dalam kehidupannya. Kemudian ia mungkin
meninggalkannya. Ia mungkin tidak melakukannya lagi. Sehingga ia tidak mampu
memasuki Jhāna itu pada saat itu. Orang itu disebut seorang yang telah kehilangan
Jhāna.
4. Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Saya pikir kita harus menyebutnya praktik Buddhis karena Sang Buddha menyebutkan
Jhāna berulang-ulang. Banyak orang menganggap bahwa Jhāna-Jhāna adalah Hindu
karena mereka memiliki Sutta dalam praktik-praktik Hindu (yang menyebutkan
Jhāna-Jhāna). Ada orang-orang yang bahkan mengatakan bahwa Sang Buddha tidak
mengajarkan Jhāna-Jhāna. Ini ditambahkan belakangan oleh para bhikkhu atau di
bawah pengaruh praktik Veda. Saya tidak dapat menyetujuinya. Anda telah membaca
penjelasan dari Jhāna pertama, ke dua, dan seterusnya. Saya tidak berpikir bahwa ada
penjelasan yang demikian rinci tentang Jhāna-Jhāna dalam Sutta-Sutta Veda. Ada
disebutkan tentang Jhāna di sana, tetapi tidak sistematis atau terperinci seperti dalam
penjelasan Buddhis tentang Jhāna-Jhāna. Saya meragukan apakah perkembangan
dalam literatur Buddhis atau Sutta-Sutta ada dalam buku-buku Hindu. Ketika Sang
Bodhisatta mendatangi Āḷāra dan Uddaka, Beliau mendapatkan ajaran tentang
Arūpāvacara Jhāna ke tiga dan ke empat. Banyak orang menggambarkan guru-guru itu
sebagai guru-guru Veda. Tetapi sekarang di sini dalam buku-buku kita tidak
disebutkan bahwa mereka adalah guru-guru Veda. Mereka hanyalah guru. Kita tidak
benar-benar tahu apakah mereka adalah guru agama Veda atau praktik lainnya,
keyakinan lainnya, kita tidak tahu pasti. Tidaklah aman untuk mengatakan bahwa
mereka adalah guru-guru Veda. Mungkin benar dan mungkin salah.
5. Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: perbedaan antara Samatha dan Vipassanā dalam hal objek adalah bahwa sebagian
besar jenis meditasi Samatha mengambil konsep sebagai objek. Vipassanā mengambil
realitas sebagai objek. Objeknya berbeda. Jika seseorang mencapai Jhāna pertama di
sini dengan mengambil Kasiṇa sebagai objek, ia tidak dapat mengambil Kasiṇa itu
sebagai objek dalam meditasi Vipassanā. Ia dapat mengambil faktor-faktor Jhāna atau
kesadaran Jhāna itu sendiri sebagai objek Vipassanā. Inilah perbedaannya. Mungkin
ada perbedaan dalam hal teknik atau semacam itu.
6. Murid: Saya teringat ada legenda tentang Sang Buddha sewaktu masih kanak-kanak melihat
ayahnya membajak sawah dan mencapai Jhāna. Dapatkah Bhante mengomentarinya?
Sayādaw: Dikatakan dalam buku-buku kita bahwa ketika anak itu ditinggalkan sendiri, ia duduk.
Beliau berlatih meditasi pernapasan, meditasi Ānāpanasati. Beliau mencapai Jhāna
pertama. Kemudian ia meninggalkannya dan tidak mengingatnya hingga ia berlatih
keras di dalam hutan. Setelah melewatkan lebih dari enam tahun menyiksa diri, Beliau
tidak memperoleh kemajuan. Kemudian Beliau meninjau kembali latihannya dan
mengetahui bahwa latihannya salah. Pada saat itu, Beliau teringat kejadian itu. Ketika
aku masih kanak-kanak dan ketika ayahku sedang menghadiri upacara membajak
sawah, aku melakukan latihan itu dan merasa sangat damai pada saat itu. Itu pasti jalan
yang benar. Maka ia memutuskan untuk berlatih meditasi kembali. Tetapi ia begitu
kurus, begitu lemah sehingga Beliau harus makan lagi terlebih dulu. Adalah pada saat
itu para siswa pertama Beliau meninggalkannya karena muak.
7. Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Dalam meditasi Samatha, ketika waktu-waktu menakutkan muncul pada sang
meditator, ia mungkin tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Ia mungkin
kehilangan kemampuan pikiran atau bahkan menjadi gila atau semacam itu. Dalam
Vipassanā, kita diajarkan tentang bagaimana menghadapi objek-objek ini. Itu berarti
kita hanya memperhatikan objek-objek ini. Kita mampu memperlakukannya dengan
penuh perhatian. Jadi hal-hal itu tidak berpengaruh buruk pada pikiran kita. Dalam
Samatha, tidak ada ajaran demikian. Anda hanya mempertahankan objek dan penuh
perhatian atas objek, hanya itu. Ketika waktu-waktu menakutkan itu muncul padanya,
ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Mari kita berbagi jasa. Sang Buddha berkata bahwa pemberian tertinggi adalah pemberian Dhamma.
Yaitu memberi dan menerima Dhamma adalah pemberian besar. Mari kita berbagi jasa. Ikuti saya.

“Semoga semua makhluk berbagi jasa ini,


Yang kami peroleh demikian
Demi perolehan segala jenis kebahagiaan.”

“Semoga makhluk-makhluk di angkasa dan di bumi,


Para dewata dan yang lainnya yang perkasa,
Berbagi jasa kami ini.
Semoga mereka melindungi ajaran hingga waktu yang lama!”

Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Lebih lanjut tentang Faktor-Faktor Jhāna


Kita masih memiliki beberapa hal untuk dipelajari tentang faktor-faktor Jhāna. Ada lima faktor Jhāna.
Yaitu Vitakka, Vicāra, Pīti, Sukha dan Ekagattā. Pertanyaannya adalah mengapa hanya ada lima
Cetasika ini yang disebut faktor-faktor Jhāna. Ketika satu kesadaran Jhāna muncul, misalnya Jhāna
pertama, 35 Cetasika ini muncul bersama dengan kesadaran itu. Mengapakah hanya lima itu yang
disebut faktor-faktor Jhāna dan bukan yang lainnya? Ada kontak, perhatian dan sebagainya dan hal-
hal itu tidak disebut faktor-faktor Jhāna. Jawabannya adalah karena hal-hal itu sendiri memiliki
kemampuan untuk merenungkan atau memerika objek dari dekat dan juga karena hal-hal itu adalah
lawan langsung dari kelima rintangan batin. Karena alasan ini maka hanya lima ini yang disebut
faktor-faktor Jhāna.
Vitakka membawa pikiran menuju objek, menempatkan pikiran pada objek. Vicāra mempertahankan
pikiran tertambat di sana. Pīti menyegarkan pikiran. Sukha memperkuatnya. Dengan didukung oleh
empat Cetasika ini – membawa pikiran menuju objek, mempertahankannya di sana, menyegarkan dan
memperkuatnya – Ekagattā, keterpusatan pikiran menempatkan pikiran pada objek dengan seimbang
dan tanpa gangguan. Ekaggatā dapat melakukan fungsi ini dengan baik hanya jika didukung oleh
keempat lainnya – Vitakka, Vicāra, Pīti dan Sukha. Ketika Ekaggatā menempatkan pikiran pada objek,
objek itu ditempatkan dengan seimbang. Itu berarti Ekaggatā membuat indria-indria batin bekerja
secara harmonis, yang satu tidak melebihi yang lain. Juga ketika menempatkan pikiran pada objek,
Ekaggatā tidak membiarkan pikiran terganggu oleh objek-objek lain. Sebenarnya adalah Ekaggatā
yang paling panting di antara kelima faktor ini. Ekaggatā tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik
jika tidak didukung oleh keempat lainnya. Kelima ini memiliki kemampuan untuk mengamati objek
dari dekat atau untuk memeriksa objek dari dekat. Itulah sebabnya mengapa hanya hal-hal itu saja
yang disebut sebagai faktor-faktor Jhāna dan bukan Cetasika lainnya yang muncul bersama dengan
kesadaran Jhāna. Ini adalah jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pertanyaan lainnya berlanjut dari alasan ke dua yang diberikan. Kelima faktor Jhāna ini adalah lawan
langsung dai kelima rintangan batin. Faktor yang manakah yang menjadi lawan langsung dari
rintangam batin yang mana? Vitakka adalah lawan dari kelambanan (Thina) dan ketumpulan
(Middha). Vicāra adalah lawan dari keragu-raguan (Vicikicchā). Pīti adalah lawan dari kebencian
(Byāpāda). Sukha dan Upekkhā adalah lawan dari kegelisahan (Uddhacca) dan penyesalan (Kukkucca).
Dan Ekaggatā adalah lawan dari keinginan indria (Kāmachanda). Semua faktor-faktor ini menghalangi
lawannya.
Vitakka adalah lawan dari Thina dan Middha (Kelambanan dan ketumpulan). Vitakka membawa anda
menuju objek. Ketika ada Vitakka, maka ada sejenis aktivitas batin. Vitakka memiliki sesuatu seperti
sifat guncangan. Ketika ada Vitakka, maka Thina dan Middha tidak dapat menguasai pikiran. Itulah
sebabnya mengapa kadang-kadang kita mengatakan, “Saya tidak bisa tidur karena saya memiliki
banyak Vitakka.” Selama ada Vitakka, maka Thina dan Middha terhalangi. Thina dan Middha adalah
lawan langsung dari Vitakka.
Vicāra adalah lawan langsung dari Vicikicchā (keragu-raguan). Vicāra memeriksa objek dan
mempertahankan pikiran tertambat di sana. Maka ini seperti Paññā. Karena ini seperti Paññā, maka
ini adalah lawan dari keragu-raguan.
Pīti adalah lawan dari Byāpāda. Ini sudah jelas. Ketika ada Pīti, maka anda tidak memiliki kebencian.
Sukha adalah lawan dari Uddhacca (kegelisahan) dan Kukkucca (penyesalan). Kegelisahan di sini
berarti kegelisahan pikiran. Ketika pikiran gelisah, mungkin tubuh juga gelisah. Kegelisahan dan
penyesalan adalah lawan langsung dari Sukha. Ketika anda bahagia – bahagia di sini berarti damai –
ketika anda damai, maka tidak ada kegelisahan dan tidak ada penyesalan. Kedua ini adalah sesuatu
yang membuat pikiran bergejolak. Sukha adalah damai, maka ini adalah lawan dari Uddhacca dan
Kukkucca.
Ekaggatā (keterpusatan pikiran) adalah lawan langsung dari Kāmacchanda (keinginan indria). Ketika
kita memiliki keinginan indriawi, pikiran kita akan dibawa ke berbagai objek berbeda. Kita melekat
pada hal-hal ini. Pikiran kita mengembara. Ekagattā tidak membiarkan pikiran bepergian ke sana-sini.
Ekaggatā mempertahankan pikiran tetap stabil dan pada satu objek. Jadi ini adalah lawan dari
keinginan indria. Saya pikir informasi ini adalah baik untuk kita. Jika kita ingin mengembangkan
Ekagattā (Ekaggatā adalah Samādhi), maka kita harus memiliki sedikit keinginan indria. Selama kita
masih memiliki keinginan indria, maka kita tidak dapat berharap untuk memperoleh Samādhi atau
konsentrasi karena pikiran kita akan selalu melekat atau tertarik pada berbagai objek berbeda. Jika
pikiran selalu bepergian menuju berbagai objek berbeda, maka pikiran tidak dapat diam. Pikiran tidak
dapat tenang. Oleh karena itu kita tidak dapat memperoleh Samādhi. Kita harus mengingatnya dan
berusaha untuk memiliki keinginan indria sesedikit mungkin, agar kita dapat mengembangkan
konsentrasi.
Upekkhā memiliki sifat damai. Sebenarnya Upekkhā adalah lebih damai daripada Sukha. Upekkhā
dikatakan mirip dengan Sukha. Jadi ini adalah lawan langsung dari Uddhacca (kegelisahan) dan
Kukkucca (penyesalan).
Karena kelima ini (Upekkhā dan Sukha dianggap sebagai satu) adalah lawan dari kelima rintangan
batin, maka lima ini disebut unsur-unsur atau anggota-anggota Jhāna atau faktor-faktor Jhāna. Ada
dua alasan mengapa disebut faktor-faktor Jhāna. Satu adalah bahwa kelima ini memiliki kemampuan
untuk memeriksa dan merenungkan objek dari dekat. Dan juga kelima ini adalah lawan langsung dari
kelima rintangan batin. Selama masih ada rintangan-rintangan batin dalam pikiran kita, maka kita
tidak dapat berharap untuk memperoleh konsentrasi, apalagi Jhāna. Rintangan-rintangan batin
dihalangi oleh faktor-faktor Jhāna ini.
Arūpāvacara Citta
Sekarang kita sampai pada bagian berikutnya, “Arūpāvacara Citta”. Kita baru saja menyelesaikan
Rūpāvacara Citta. Hari ini kita akan melihat Arūpāvacara Citta. Ada dua belas Arūpāvacara Citta, yang
dibagi menjadi Kusala (bermanfaat), Vipāka (hasil) dan Kiriya (fungsional). Tiap-tiap bagian memiliki
empat Citta. Jadi seluruhnya ada dua belas Arūpāvacara Citta, dua belas jenis kesadaran alam tanpa
bentuk.

Arti Kata ‘Arūpāvacara’


Apakah arti dari kata Arūpāvacara? Arti dari Arūpāvacara adalah apa yang sebagian besar bekeliaran
atau mengembara di empat alam tanpa bentuk, yang merupakan alam tanpa bentuk. Sekarang anda
tahu ada dua puluh alam Brahma, dua puluh alam makhluk surgawi yang lebih tinggi. Enam belas
dikatakan sebagai alam berbentuk dan empat termasuk dalam alam tanpa bentuk. Empat alam tanpa
bentuk adalah mereka yang hanya memiliki batin. Tidak ada bentuk atau tubuh materi di sana. Mereka
adalah makhluk-makhluk tanpa bentuk atau tanpa materi atau hanya batin. Ketika suatu makhluk
terlahir kembali di sana, hanya batin, hanya Citta dan Cetasika yang muncul di sana, tidak ada materi
apapun – tidak ada badan, tidak ada mata, tidak ada telinga, dan sebagainya yang muncul di sana.

Untuk Mencapai Arūpāvacara Jhāna


Arūpāvacara Kusala Citta
Untuk dapat terlahir kembali di alam-alam tanpa bentuk itu seseorang harus memperoleh salah satu
dari empat Arūpāvacara Jhāna ini. Bagaimanakah seseorang memperoleh Arūpāvacara Jhāṅa? Untuk
memperoleh Arūpāvacara Jhāna, seseorang harus telah memiliki lima Rūpāvacara Jhāna. Ia harus
mampu memasukinya. Ia harus masuk ke dalamnya. Ia harus sangat terbiasa dengan lima Rūpāvacara
Jhāṅa ini. Dengan berdasarkan atas lima Rūpāvacara Jhāna ini khususnya yang ke lima, Yogi itu akan
melanjutkan menuju Arūpāvacara Jhāna.
Jhāna-Jhāna ini adalah duniawi. Oleh karena itu, Jhāna-Jhāna ini dapat dicapai bahkan ketika tidak ada
para Buddha. Jhāna-Jhāna ini dapat dicapai oleh orang-orang yang bukan Buddhis. Banyak orang
Hindu, banyak orang yang bukan Buddhis menurut buku-buku kita yang memperoleh Jhāna-Jhāna ini.
Ada orang-orang yang menemukan cacat pada tubuh fisik ini. Mereka berpikir bahwa kita menderita
karena kita memiliki tubuh fisik ini. Karena kita memiliki tubuh fisik ini maka kita memiliki banyak
penyakit dan sebagainya. Juga dengan bergantung pada tubuh fisik ini maka kita bertengkar satu sama
lain karena kita saling menyakiti satu sama lain dan sebagainya. Mereka berpikir bahwa kita memiliki
banyak penderitaan karena kita memiliki tubuh fisik ini. Jika tanpa tubuh fisik ini maka kita akan
menjadi sangat bahagia. Maka mereka mencari cacat dalam tubuh fisik dan benda-benda materi.
Mereka berusaha untuk melenyapkan atau meninggalkan benda-benda fisik ini atau tubuh fisik ini.
Untuk meninggalkan tubuh fisik atau benda-benda fisik, pertama-tama apa yang mereka lakukan
adalah mengambil benda-benda fisik sebagai objek meditasi. Kemudian mereka berlatih meditasi.
Pertama-tama seseorng harus memiliki penguasaan dalam menggunakan lima Rūpāvacara Jhāna. Sang
meditator memasuki Rūpāvacara Jhāna ke lima dan kemudian ia keluar dari Jhāna tersebut. Kemudian
apa yang ia lakukan adalah berkonsentrasi pada ruang kosong yang ditinggalkan melalui pelenyapan
Kasiṇa gambaran pengimbang. Ketika anda berlatih meditasi Kasiṇa, pertama-tama anda menatap
piringan. Anda berusaha mengingatnya. Kemudian anda mendapatkan gambaran itu dalam pikiran
anda. Gambaran pertama disebut gambaran tangkapan. Kemudian anda berdiam pada gambaran itu
berulang-ulang dan gambaran itu menjadi halus. Ketika telah menjadi halus, gambaran itu menjadi
bersih dari noda-noda dan seterusnya. Ini disebut gambaran pengimbang. Gambaran-gambaran ini
sebenarnya bukan realitas mutlak. Gambaran-gambaran itu adalah konsep karena hanya ada dalam
ingatan anda, dalam pikiran anda. Seorang yang tidak menyukai materi atau benda-benda materi juga
tidak menyukai sesuatu yang menyerupai materi atau benda-benda materi. Piringan Kasiṇa
sebenarnya adalah materi, suatu benda yang nyata. Gambaran pengimbang bukanlah benda materi,
tetapi sebuah konsep, objek konseptual. Tetapi itu masih mirip dengan objek materi. Maka orang itu
mengambil konsep tersebut.
Perumpamaan yang diberikan dalam Visuddhimagga dan juga dalam Aṭṭhasālinī adalah tentang
seseorang yang takut pada hantu. Orang itu juga akan takut pada sesuatu yang menyerupai hantu. Ia
mungkin melihat tunggul pohon pada malam hari dan berpikir bahwa itu adalah hantu. Maka ia akan
menjadi takut. Kadang-kadang seseorang takut pada ular. Ketika ia melihat seutas tali atau retakan di
atas tanah, ia mungkin berpikir bahwa itu adalah ular. Kemudian ia menjadi takut. Demikian pula,
seseorang yang memiliki ketidaksukaan atau muak dengan materi. Ia tidak menyukai tubuh fisik. Jika
ia tidak menyukai tubuh fisik, maka ia juga tidak menyukai sesuatu yang menyerupai tubuh fisik atau
suatu benda fisik. Gambaran pengimbang ini yang merupakan sebuah konsep adalah masih
menyerupai benda materi. Maka ia berusaha menyingkirkan konsep ini dari pikirannya. Untuk
menyingkirkan, pertama-tama ia harus mendapatkan gambaran ini dalam pikirannya. Ia harus
berkonsentrasi pada gambaran pikiran ini, gambaran pengimbang ini. Kemudian ia berhenti
mengarahkan perhatian pada gambaran itu. Sebagai gantinya ia mengarahkan perhatian pada ruang
kosong yang ditempati oleh gambaran itu atau yang tertutup oleh gambaran itu. Ketika ia berhenti
mengarahkan perhatian pada gambaran itu, maka gambaran itu lenyap. Di tempat itu yang ada hanya
ruang kosong. Ruang kosong itu disebut ruang yang diperoleh dengan menyingkirkan gambaran
Kasiṇa. ketika seseorang menyingkirkan gambaran Kasiṇa, ia tidak menyingkirkan seperti seseorang
menyingkirkan alas duduk atau seperti seseorang menyingkirkan kue dari loyang. Ia hanya tidak
mengarahkan perhatian pada objek tersebut, pada gambaran tersebut. Ketika ia tidak mengarahkan
perhatian pada objek itu maka objek itu lenyap dari pikirannya. Di tempat itu tersisa sebuah ruang
kosong. Ruang kosong itu menjadi objek meditasinya. Ia berdiam di dalamnya atau merenungkan
ruang tersebut dengan mengucapkan, “ruang tanpa batas, ruang tanpa batas, ruang tanpa batas.”
Ia dapat memperluas ruang itu dalam pikirannya, secara pikiran memperluasnya seluas yang ia sukai.
Ia dapat memperluas ruang ini hingga berukuran seluruh dunia. Ia dapat memperluasnya hingga
seluas lapangan sepak bola atau seluas ukuran alas duduk. Setelah itu ia berdiam di dalamnya dengan
mengucapkan “ruang tanpa batas, ruang tanpa batas, ruang tanpa batas.” Ruang itu disebut tanpa
batas. Ruang itu ada ketika gambaran Kasiṇa disingkirkan. Jadi tampaknya pasti ada batasannya.
Tetapi ia harus merenungkannya sebagai “ruang tanpa batas, ruang tanpa batas, ruang tanpa batas.”
Di sini tanpa batas bermakna ruang itu tidak memiliki batasan apapun. Karena ini adalah konsep,
karena ini bukanlah realitas mutlak, maka tidak memiliki awal. Tidak memiliki akhir. Itulah sebabnya
mengapa disebut tanpa batas. Ini adalah tanpa batas dalam makna bahwa ruang ini tidak muncul dan
tidak lenyap. Konsep tidak memiliki kemunculan dan kelenyapan. Konsep muncul dalam pikiran kita
maka kita tidak dapat mengatakannya muncul pada waktu ini dan lenyap pada waktu lainnya. Karena
ruang itu diperoleh dengan menyingkirkan Kasiṇa adalah objek konseptual, maka objek ini tidak
memiliki awal atau akhir. Ia merenungkan objek itu berulang-ulang. Ketika ia mengarahkan perhatian
pada objek itu, ketika ia merenungkan objek itu, rintangan-rintangannya menjadi tertekan dan
melemah. Pikirannya menjadi kokoh lagi. Ia mengambil objek itu berulang-ulang. Akhirnya kesadaran
Arūpāvacara pertama muncul.
Ketika kesadaran Arūpāvacara pertama muncul, ia dikatakan telah mencapai Arūpāvacara Jhāna
pertama. Arūpāvacara Jhāna pertama itu mengambil gambaran konseptual, ruang itu sebagai
objeknya. Itulah sebabnya maka dalam Pāḷi disebut Ākāsānañcāyatana. Anda harus menghafalkan
nama-nama ini. Terjemahannya lebih panjang daripada nama dalam Pāḷi. ‘Ākāsa’ berarti angkasa atau
ruang. ‘Ānañca’ di sini berarti tanpa akhir, tidak memiliki akhir. ‘Āyatana’ kita akan membahas ini
nanti. Maka ini disebut Ākāsānañcāyatana. Maknanya adalah Jhāna yang memiliki ruang tanpa batas
sebagai objeknya.
Dalam terjemahan Path of Purification dan dalam buku ini (baca CMA, I, Tuntunan §22, p.60)
digunakan kata ‘landasan’. Saya pikir ini tidak begitu tepat. Digunakan “Kesadaran bermanfaat yang
berhubungan dengan landasan ruang tanpa batas”. Anda harus memahami kata ‘Āyatana’ di sini. Kata
yang digunakan adalah Ākāsānañcāyatana. Kata ‘Āyatana’ diterjemahkan sebagai ‘landasan’, tetapi di
sini ‘landasan’ sebenarnya bermakna objek. Ini hanyalah objek. Kesadaran ini memiliki ruang tanpa
batas sebagai objek. Saya pikir kita seharusnya menggunakan kata objek daripada landasan. Landasan
dapat bermakna lain.
Ini adalah kesadaran Arūpāvacara pertama. Dalam kesadaran Arūpāvacara ini berapa banyakkah
faktor Jhāna yang muncul? Hanya dua faktor Jhāna yang muncul, Upekkhā dan Ekaggatā. Arūpāvacara
Jhāna memiliki dua faktor Jhāna yang sama seperti Rūpāvacara Jhāna ke lima. Keduanya memiliki
jumlah faktor Jhāna yang sama.
Setelah mencapai Ākāsānañcāyatana Jhāna, ia ingin masuk ke Jhāna ke dua, Viññāṇañcāyatana. Ia
berpikir bahwa Ākāsānañcāyatana adalah dekat dengan benda-benda materi. Ini tidak begitu halus,
ini tidak begitu tinggi seperti Jhāna ke dua, Viññāṇañcāyatana. Dengan berpikir demikian, ia
kehilangan ketertarikan pada Ākāsānañcāyatana. Ia menjadi bosan dengan kesadaran itu. Ia
menginginkan kesadaran yang lebih tinggi. Untuk mencapai Arūpāvacara Jhāna ke dua ia harus
mengambil kesadaran Arūpāvacara pertama sebagai objek meditasinya. Setelah memasuki
Arūpāvacara Jhāna pertama, ia keluar dari Jhāna itu. Kemudian ia mengambil kesadaran Jhāna itu
sebagai objek meditasinya, dengan mengucapkan “kesadaran tanpa batas, kesadaran tanpa batas.” Di
sini tanpa batas bermakna bahwa kesadaran ini mengambil objek yang tanpa batas. Oleh karena itu
disebut kesadaran tanpa batas. Juga ketika ia merenungkan kesadaran itu, ia harus mengambilnya
secara keseluruhan, bukan hanya sebagian. Tidak boleh ada batasan pada objek tersebut. Itulah
sebabnya maka ia merenungkan kesadaran itu sebagai “kesadaran tanpa batas, kesadaran tanpa
batas.” Ini adalah kesadaran yang mengambil ruang tanpa batas sebagai objek dan juga harus
direnungkan secara tanpa batas. Maka ia merenungkan sebagai “kesadaran, kesadaran” atau
“kesadaran tanpa batas, kesadaran tanpa batas.” Kemudian rintangan-rintangan batin melemah.
Pikirannya menjadi terkonsentrasi. Kemudian kesadaran Arūpāvacara ke dua muncul padanya.
Kesadaran Arūpāvacara ke dua itu disebut Viññāṇañcāyatana. ‘Viññāṇa’ berarti kesadaran. ‘Ānañca’
berarti tanpa batas. ‘Viññāṇa’ di sini berarti kesadaran Arūpāvacara pertama, bukan kesadaran secara
umum melainkan kesadaran tertentu yang adalah kesadaran Arūpāvacara pertama. Ia mengambil
kesadaran Arūpāvacara pertama sebagai objek. Ketika kesadaran Arūpāvacara ke dua muncul,
kesadaran Arūpāvacara Jhāna ke dua itu mengambil kesadaran Arūpāvacara pertama sebagai objek.
Itulah sebabnya mengapa Arūpāvacara Jhāna ke dua disebut viññāṇañcāyatana. ‘Viññāṇa’ di sini
berarti kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama. ‘Āyatana’ di sini berarti sebuah objek, sebuah landasan
tetapi dalam makna objek.
Kemudian ia berpikir bahwa Viññāṇañcāyatana adalah dekat dengan Ākāsānañcāyatana, yang dekat
dengan objek-objek materi. Akiñcaññāyatana adalah lebih baik. Maka ia berusaha untuk mendapatkan
Akiñcaññāyatana, kesadaran Arūpāvacara Jhāna ke tiga. Kali ini ia mengambil ketiadaan atau
kekosongan dari kesadaran Arūpāvacara pertama sebagai objek. Ketika ia mendapatkan kesadaran
Arūpāvacara ke dua, kesadaran Arūpāvacara pertama telah lenyap. Ia mengambil kelenyapan itu,
kekosongan itu, ketiadaan kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama itu sebagai objek meditasinya.
Ketika ia berlatih meditasi, ia mengucapkan, “Tidak ada apapun, tidak ada apapun.” Dalam Pāli, ini
berbunyi “Natthi kiñci, natthi kiñci.” Ia berlatih dengan cara itu. Kekosongan adalah sebuah konsep.
Apa yang ia renungkan, bukanlah kesadaran Arūpāvacara pertama, melainkan pada ketiadaan
kesadaran Arūpāvacara pertama yang sudah tidak ada lagi di sana. Kehampaan itu, kekosongan itu ia
ambil sebagai objek meditasi.
Misalnya, katakanlah ada sebuah kendi. Kendi ini tertutup oleh sesuatu. Jika penutupnya dibuka, ia
melihat tidak ada apa-apa di sana. Ini seperti itu. Ada banyak orang berkumpul di sini. Seseorang
mungkin datang dan melihat bahwa ada orang-orang di sini. Kemudian ia mungkin pergi ke tempat
lain. Setelah kelas ini usai, ia akan kembali. Kemudian ia melihat tidak ada seorangpun di sini. Ia hanya
melihat ruangan kosong. Ini seperti itu. Orang ini melihat ketiadaan kesadaran Arūpāvacara Jhāna
pertama. Itu adalah kesadaran kekosongan. Konsep kekosongan itu ia ambil sebagai objek. Ia berlatih
meditasi dengan merenungkan sebagai “tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa.”
Kemudian kekotoran batin melemah. Pikiran menjadi terkonsentrasi kembali. Kemudian sebagai hasil
dari praktik meditasinya, kesadaran Arūpāvacara ke tiga muncul. Kesadaran Arūpāvacara ke tiga itu
disebut Ākiñcaññāyatana. ‘Kiñca’ berarti sesuatu. ‘A’ di sini berarti bukan. Jadi bukan sesuatu, yaitu
ketiadaan. Āyatana di sini adalah objek. Arūpāvacara Jhāna ke tiga mengambil apakah sebagai objek?
Jhāna ini mengambil kekosongan dari kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama. Ini adalah
Ākiñcaññāyatana.
Kemudian ia ingin mencapai tingkat Jhāna yang lebih tinggi. Ketika ia berlatih meditasi untuk
mencapai Arūpāvacara Jhāna ke empat, ia mengambil kesadaran Arūpāvacara Jhāna ke tiga sebagai
objek. Ia masuk ke dalam Arūpāvacara Jhāna ke tiga dan kemudian keluar dari Arūpāvacara Jhāna itu.
Ia mengambil kesadaran dari Arūpāvacara Jhāna ke tiga itu sebagai objek meditasinya. Ia
merenungkan kesadaran itu dengan mengucapkan, “Ini damai, ini baik.” Ini damai, ini baik karena
bahkan dapat mengambil kekosongan sebagai objek. Adalah sangat sulit untuk mengambil kekosongan
sebagai objek. Kesadaran Arūpāvacara ke tiga begitu tinggi dan halus hingga bahkan dapat mengambil
kekosongan sebagai objek. Ini sangat damai, ini sangat baik. Ini sangat tinggi. Ia merenungkan dengan
cara ini pada kesadaran Arūpāvacara Jhāna ke tiga. Sekali lagi pikirannya menjadi terkonsentrasi.
Rintangan-rintangan melemah. Kemudian kesadaran Arūpāvacara ke empat muncul padanya.
Ia mencapai Arūpāvacara Jhāna ke empat. Arūpāvacara Jhāna ke empat disebut
Nevasaññānāsaññāyatana. Ini adalah nama yang panjang. Semua Arūpāvacara Citta memiliki nama
yang panjang dan terjemahannya bahkan lebih panjang lagi. Arūpāvacara Jhāna ke empat disebut
Nevasaññānāsaññāyatana. ‘Neva’ berarti bukan. ‘Saññā’ berarti persepsi. Saññā adalah salah satu
Cetasika. ‘Nāsaññā’ bukan berarti Āsaññā. Silakan baca terjemahannya. “Jhāna dengan
pendampingnya yang bukan dengan persepsi, juga bukan non-persepsi (ketiadaan persepsi) dan yang
adalah sebuah landasan.” Di sini ‘Āyatana’ bukan berarti objek. Harap dicatat dengan seksama. Pada
tiga nama sebelumnya ‘Āyatana’ berarti objek. Pada nama ke empat ini Āyatana bukan berarti ‘suatu
objek’. ‘Āyatana’ berarti sebuah landasan. Ada dua belas landasan yang diajarkan dalam Abhidhamma.
Anda akan mempelajarinya pada bab tujuh. Jhāna ini bukan dengan Saññā juga bukan dengan Āsaññā.
Ini adalah sebuah landasan. Itulah sebabnya mengapa disebut Nevasaññānāsaññāyatana. Kesadaran
adalah salah satu landasan. Faktor-faktor batin adalah salah satu landasan. Ada landasan-mata,
landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan dan kemudian landasan-objek-
terlihat, landasan-suara, landasan-bau-bauan, landasan-rasa-kecapan dan landasan-sentuhan. Dua
lainnya adalah landasan-pikiran atau landasan-kesadaran dan materi halus lainnya. Di sini Āyatana
berarti landasan itu. Ini adalah landasan. Landasan ini tidak memiliki persepsi dan non-persepsi.
Di sini persepsi bukan berarti hanya persepsi saja. Persepsi mewakili segala hal batin, segala Cetasila.
Kita dapat menyebutnya ‘Nevavedanānāvedanā’ atau ‘Nevaphassanāphassa’ dan sebagainya. Kita
dapat menyebut demikian jika kita menginginkan. Di sini digunakan Saññā. Saññā bukan mewakili
suatu Cetasika tertentu saja. Di sini Saññā mewakili segala kondisi batin, segala faktor batin, segala
Cetasika. Ini sebenarnya bermakna aktivitas batin.
Ketika seseorang mencapai Jhāna ini, aktivitas batin dalam Jhāna ini telah menjadi sangat halus
sehingga sulit utuk mengatakannya aktivitas batin. Begitu halus. Nyaris tidak ada apa-apa. Walaupun
begitu halus dan nyaris tidak ada apa-apa, namun masih ada fungsi Saññā, fungsi aktivitas batin. Maka
ini adalah bukan Saññā juga bukan non-Saññā. Itulah sebabnya mengapa disebut Nevasaññānāsaññā.
Ada sesuatu yang sangat halus bagaikan suatu jejak aktivitas batin di sana. Begitu halus hingga nyaris
tidak ada apa-apa. Ketika anda bertanya kepadanya “Apakah ada Saññā?”, ia mungkin berkata “Ada”
atau “Tidak.” Itulah sebabnya maka disebut Nevasaññānāsaññā.
Ada perumpamaan untuk menjelaskan hal ini. Ingatkah anda perumpamaan itu?
Nevasaññānāsaññāyatana – tidak ada Saññā; tidak ada non-Saññā. Seorang bhikkhu dan seorang
Samaṇera melakukan suatu perjalanan. Si Samaṇera berjalan di depan sang bhikkhu. Beberapa jauh di
depan si samaṇera melihat air di atas jalan. Lalu ia melaporkan kepada sang bhikkhu, “Ada air.” Ketika
sang bhikkhu mendengar ada air, ia berkata, “ambilkan jubah mandiku. Aku ingin mandi.” Kemudian
si Samaṇera berkata, “Bhante, tidak ada air.” Pertama ia berkata ada air karena ada cukup air untuk
membasahi sandal. Kemudian ia berkata tidak ada air karena tidak ada cukup air untuk mandi.
Demikian pula, ada Saññā dan tidak ada Saññā. Tetapi ada bentuk Saññā yang sangat halus di sini.
Maka ini disebut Nevasaññānāsaññāyatana. Ini tidak dapat disebut Saññā dan tidak dapat disebut
Āsaññā. Maka ini disebut Nevasaññānāsaññā.
Ada perumpamaan lain ada sedikit sisa minyak di dalam mangkuk seorang bhikkhu. Maka bhikkhu itu
berkata, “Ada minyak di dalam mangkuk.” Kemudian bhikkhu lain berkata, “Berikan aku minyak itu.
Aku ingin menggunakannya untuk mengobati hidungku.” Kemudian bhikkhu lainnya berkata, “Tidak
ada minyak di dalam mangkuk.” Tidak ada cukup minyak untuk digunakan sebagai obat untuk hidung,
tetapi ada sedikit minyak di dalam mangkuk. Jadi ia berkata, “Ada minyak dan tidak ada minyak.”
Demikian pula, ada Saññā dan tidak ada Saññā.
Dijelaskan dalam Komentar di sini bahwa Saññā adalah begitu halus sehingga tidak dapat melakukan
fungsinya secara lengkap. Ada dua jenis fungsi Saññā. Satu adalah sekedar mempersepsikan objek,
yaitu membuat tanda pada objek. Fungsi lainnya adalah berfungsi sebagai suatu objek meditasi
Vipassanā sehingga Yogi dapat memperoleh kebosanan terhadap objek. Ini lebih penting. Itu adalah
apa yang kita sebut sebagai fungsi lengkap Saññā. Ketika anda berlatih meditasi Vipassanā, dan jika
anda memiliki semua Jhāna-Jhāna ini, maka anda dapat mengambil Jhāna-Jhāna itu sebagai objek
meditasi Vipassanā. Anda dapat merenungkannya dan berusaha untuk melihatnya sebagai tidak kekal
dan seterusnya. Saññā dan kondisi batin apapun di sini adalah begitu halus sehingga tidak dapat
berfungsi sebagai objek meditasi Vipassanā. Itu berarti anda tidak dapat berlatih meditasi Vipassanā
untuk Jhāna ini. Jika anda mengambil Saññā sebagai objek di dalam Jhāna-Jhāna lainnya dalam
meditasi Vipassanā, maka anda akan benar-benar melihatnya sebagai tidak kekal dan seterusnya.
Anda akan memperoleh kebosanan terhadapnya. Tetapi di sini ini sulit. Adalah nyaris tidak mungkin
untuk mengambil Saññā sebagai objek di sini. Bahkan Yang Mulia Sāriputta tidak dapat mengambil
Saññā ini sebagai objek meditasi. Tetapi jika anda memiliki pengalaman merenungkan faktor-faktor
batin ini ketika anda berlatih Vipassanā, seperti Yang Mulia Sāriputta maka anda mungkin mampu
mengambil faktor-faktor batin ini sebagai objek, bukan satu demi satu, melainkan anda mengambilnya
secara keseluruhan. Itu berarti anda bermeditasi pada keseluruhan Jhāna dan pendamping-
pendampingnya. Anda dapat mengambil secara keseluruhan dan merenungkannya sebagai tidak kekal
dan seterusnya. Bahkan Yang Mulia Sāriputta tidak dapat mengambil pendamping-pendamping itu
satu demi satu dan melihatnya dalam meditasi Vipassanā secara terpisah satu demi satu sebagai tidak
kekal dan seterusnya. Saññā begitu halus dalam Jhāna ini sehingga tidak dapat berfungsi sebagai objek
bagi meditasi Vipassanā. Maka dikatakan tidak memiliki fungsi lengkap Saññā. Ini nyaris tidak ada. Ini
nyaris absen. Tetapi masih ada Saññā yang sangat halus tersisa. Jika tidak ada Saññā maka tidak akan
ada aktivitas batin sama sekali. Jadi masih ada Saññā yang sangat halus tersisa. Saññā itu disebut sisa
hal terkondisi. Itu berarti Saññā diperhalus berulang-ulang. Saññā menjadi begitu halus di dalam
Jhāna ini sehingga diragukan masih ada di sana, tetapi memang masih ada. Jhāna ini disebut
Nevasaññānāsaññāyatana.
Āyatana di sini berarti landasan, bukan objek. Ini adalah landasan bagi Nevasaññānāsaññā. Atau dapat
diterjemahkan sebagai Jhāna dengan pendamping-pendampingnya yang memiliki landasan persepsi
yang bukan persepsi juga bukan non-persepsi. Ini adalah cara menjelaskannya dengan bergantung
pada penjelasan tata bahasa atas kata itu. Apapun itu – itu hanya berarti landasan; ini adalah Jhāna
yang tidak dapat dikatakan memiliki Saññā atau non-Saññā. Ada aktivitas batin tetapi sangat halus
sehingga nyaris tidak ada. Itu adalah apa yang dimaksudkan dengan Nevasaññānāsaññāyatana.
Ketika seseorang bermeditasi untuk mencapai Arūpāvacara Jhāna ke empat, ia mengambil
Ārūpāvacara Jhāna ke tiga sebagai objek. Kemudian bagaimanakah ia bermeditasi, dengan
mengucapkan apakah? “Ini damai; ini damai. Ini baik; ini baik.” Jika ia merenungkannya sebagai ini
damai, ini baik, bagaimana mungkin ia dapat melampauinya? Jika anda mengucapkan, “ini damai, ini
baik”, maka anda menyukainya. Anda melekat padanya. Anda tidak ingin melepaskannya. Ini baik.
Bagaimanakah ia dapat melampaui objek itu? Perumpamaan yang diberikan adalah tentang seorang
raja yang pergi dengan menunggang gajah dan ia mungkin melihat beberapa pekerja. Misalnya, ia
mungkin melihat seorang pengrajin gading melalukan pekerjaan gading. Orang ini mungkin membuat
benda-benda indah dan halus dari gading. Ketika sang raja melihat mereka, ia memuji mereka. Ia
berkata, “Betapa berbakatnya dan betapa terampilnya kalian sehingga kalian dapat membuat benda
seni yang indah itu.” Walaupun ia memuji para pengrajin gading itu, namun ia tidak sendiri tidak ingin
menjadi pengrajin gading. Ia memuji mereka tetapi ia sendiri tidak ingin meninggalkan takhtanya dan
menjadi pengrajin gading. Demikian pula, walaupun orang ini berlatih Arūpāvacara Jhāna ke tiga
dengan merenungkan sebagai “Ini baik, ini baik, ini damai, ini damai”, namun ia sendiri tidak
menginginkannya. Ia sekedar merenungkan fakta bahwa itu damai dan baik, ia tidak
menginginkannya. Itulah sebabnya mengapa ia mampu melampaui objek tersebut.
Arūpāvacara Jhāna ke dua mengambil kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama sebagai objek.
Arūpāvacara Jhāna ke empat mengambil kesadaran Arūpāvacara Jhāna ke tiga sebagai objek. Saya
mengatakan bahwa walaupun mereka mengambilnya sebagai objek, namun mereka tidak
menginginkannya. Jika mereka menginginkannya, maka mereka tidak akan melampauinya sebagai
objek. Mereka tidak akan mencapai Arūpāvacara Jhāna ke dua atau Arūpāvacara Jhāna ke empat.
Bagaimanakah anda menjelaskannya?
Ada banyak perumpamaan yang diberikan dalam Komentar. Anda sedang melayani seorang raja. Raja
itu mungkin kejam dan melakukan sesuatu yang tidak anda sukai. Jadi walaupun anda tidak menyukai
sang raja, namun anda harus melayaninya karena anda tidak memiliki penghidupan lain. Karena anda
tidak memiliki penghidupan lain, maka anda terpaksa mengalah pada sang raja dan tetap
melayaninya. Demikian pula, walaupun sang yogi tidak menyukainya dan tidak menginginkan
Arūpāvacara Jhāna pertama dan Arūpāvacara Jhāna ke tiga, namun ia harus mengambilnya sebagai
objek karena tidak ada objek lain yang dapat diambil. Itulah sebabnya mengapa ia mampu melampaui
objek-objek ini dan mencapai tingkat-tingkat Jhāna yang lebih tinggi.
Ini adalah empat jenis kesadaran Arūpāvacara Jhāna. Arūpāvacara Jhāna pertama disebut
Ākāsānañcāyatana. Yang ke dua disebut Viññāṇañcāyatana. Yang ke tiga disebut Ākiñcaññāyatana.
Yang ke empat disebut Nevasaññānāsaññāyatana. Saya tidak tahu bagaimana mengatakannya dalam
Bahasa Inggris. Sekedar mengingatkan saya hanya menyebutnya ruang tanpa batas, kesadaran tanpa
batas, ketiadaan kesadaran, and bukan persepsi juga bukan non-persepsi.
Anda lihat bahwa untuk mencapai Arūpāvacara Jhāna anda harus mengatasi atau anda harus
melampaui objeknya. Arūpāvacara Jhāna berbeda dari Rūpāvacara Jhāna. Arūpāvacara Jhāna harus
melampaui objeknya. Itu berarti mereka harus melakukan sesuatu seperti melenyapkan objeknya agar
dapat memperoleh Jhāna yang lebih tinggi. Tidak seperti Rūpāvacara Jhāna. Apakah anda melihat
perbedaan antara Rūpāvacara Jhāna dan Arūpāvacara Jhāna? Dalam Rūpāvacara Jhāna untuk
mencapai Jhāna yang lebih tinggi apakah yang harus anda lakukan? Anda tidak melenyapkan objeknya
anda melenyapkan faktor Jhāna. Jadi anda melenyapkan satu demi satu faktor untuk mencapai Jhāna
yang lebih tinggi. Tetapi di dalam Arūpāvacara Jhāna hanya ada dua faktor. Anda tidak dapat
melenyapkannya. Di sini anda mencapai Arūpāvacara Jhāna dengan melampaui atau dengan
melenyapkan objeknya. Itu adalah perbedaannya. Rūpāvacara Jhāna adalah Jhāna dengan
melenyapkan faktor. Arūpāvacara Jhāna adalah Jhāna dengan melampaui objek. Itu adalah
perbedaannya. Nanti kita akan menemukan objek-objek yang diambil dan objek-objek yang dilampaui.

Arūpāvacara Vipāka Citta


Sekarang kita kembali kepada Vipāka. Vipāka Citta adalah identik dengan Citta bermanfaat. Jadi
keduanya memiliki nama yang sama. Ākāsānañcāyatana dan seterusnya. Jika anda ingin mencapai
Arūpāvacara Jhāna pertama (Ākāsānañcāyatana), dan anda meninggal dengan masih memiliki
kesadaran Jhāna itu, maka anda akan terlahir kembali di alam Brahma Ākāsānañcāyatana. Di sana anda
akan tidak memiliki tubuh fisik; hanya Citta dan Cetasika yang berfungsi di sana. Citta pertama yang
akan muncul di sana adalah Arūpāvacara Vipāka Citta pertama. Jika anda mencapai Arūpāvacara Jhāna
ke dua di sini, maka ketika anda terlahir kembali di alam Arūpāvacara ke dua, kesadaran pertama anda
di sana adalah kesadaran Viññāṇañcāyatana Vipāka. Hal yang sama berlaku untuk Arūpāvacara Jhāna
ke tiga dan ke empat. Empat Arūpāvacara Vipāka Citta, empat kesadaran hasil alam tanpa bentuk
hanya muncul di alam Arūpāvacara. Citta-Citta itu tidak muncul pada manusia, pada Deva atau bahkan
pada Brahma Rūpāvacara, melainkan hanya muncul di alam Arūpāvacara.

Arūpāvacara Kiriya Citta


Kemudian Arūpāvacara Kiriya (fungsional) Citta. Ini hanya dimiliki hanya oleh para Arahant. Setelah
menjadi seorang Arahant, anda berlatih meditasi pada Arūpāvacara Jhāna, kemudian Jhāna-Jhāna
anda akan menjadi Kiriya. Anda akan memiliki Jhāna-Jhāna yang identik sama – Ākāsānañcāyatana,
Viññāṇañcāyatana, Ākiñcaññāyatana dan Nevasaññānāsaññāyatana.
Dua belas Arūpāvacara Citta
Seluruhnya ada dua belas Arūpāvacara Citta – empat Kusala, empat Vipāka, dan empat Kiriya. Perasaan
apakah yang menyertainya? Hanya Upekkhā karena hanya ada dua faktor Jhāna yang menyertai dua
belas Citta ini. Yaitu Upekkhā dan Ekagattā. Itulah sebabnya dikatakan termasuk dalam Jhāna ke lima.
Kadang-kadang kita akan mengatakan ada 15 Citta Jhāna ke lima. Itu berarti tiga Rūpāvacara Citta
Jhāna ke lima dan dua belas Arūpāvacara Jhāna Citta. Nanti anda akan mengetahui bahwa ada delapan
di antara Lokuttara Citta. Jadi semua Arūpāvacara Citta adalah disertai dengan Upekkhā. Itu berarti
semuanya disertai dengan perasaan netral. Itu semuanya juga adalah Ñāṇa-sampayutta. Anda tidak
dapat mencapai Jhāna tanpa pengetahuan atau pemahaman. Semuanya disertai dengan pengetahuan
atau pemahaman.
Ada dua set objek untuk dipahami sehubungan dengan Arūpāvacara Citta ini. Ada dua jenis objek di
sini – objek yang diambil dan objek yang dilampaui (itu berarti objek yang ditinggalkan)12 (baca CMA,
I, Tabel 1.6, p.64).
Jhāna pertama mengambil ruang tanpa batas yang tersisa setelah dilenyakannya gambaran Kasiṇa.
jadi Jhāna pertama mengambil ruang tanpa batas sebagai objek. Jhāna ke dua mengambil kesadaran
Arūpāvacara Jhāna pertama sebagai objek. Arūpāvacara Jhāna ke tiga mengambil ketiadaan
Arūpāvacara Jhāna pertama sebagai objek. Arūpāvacara Jhāna ke empat mengambil kesadaran
Arūpāvacara Jhāna ke tiga sebagai objek. Ini adalah objek-objek yang diambil.
Ada empat objek yang harus dilampaui oleh empat Arūpāvacara Jhāna. Arūpāvacara Jhāna pertama
harus melampaui gambaran pengimbang. Selama seseorang melekat pada gambaran pengimbang,
maka ia tidak dapat mencapai Arūpāvacara Jhāna pertama. Arūpāvacara Jhāna pertama harus
melampaui gambaran pengimbang itu, yang merupakan gambaran batin dari objek Kasiṇa.
Arūpāvacara Jhāna ke dua harus melampau ruang tanpa batas. Arūpāvacara Jhāna ke tiga harus
melampaui kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama. Arūpāvacara Jhāna ke empat harus melampaui
ketiadaan kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama. Pertama-tama meditator mengambil hal-hal ini
sebagai objek dan kemudian mereka melampauinya. Mereka harus mengambil hal-hal ini sebagai
objek meditasi mereka. Ketika meditasi mereka berhasil dan mereka mencapai Jhāna, maka objek-
objek ini tidak ada lagi di sana. Objek-objek ini dilampaui. Jadi ada dua set objek sehubungan dengan
empat Arūpāvacara Jhāna. Ada objek-objek yang diambil dan objek-objek yang dilampaui.
Hari ini kita sampai pada akhir kesadaran duniawi, Lokiya Citta. Berapa banyakkah kesadaran
duniawi? Ada 54 kesadaran alam-indriawi, 15 kesadaran Rūpāvacara dan 12 kesadaran Arūpāvacara.
Berapa banyakkah Lokiya Citta? Ada 81 Lokiya Citta.
15 Rūpāvacara Citta dan 12 Arūpāvacara Citta secara kolektif disebut Mahaggata. Kelak jika kita ingin
merujuk pada 27 ini secara keseluruhan, kita akan mengatakan 27 Mahaggata Citta. Mahaggata berarti
menjadi besar, tinggi, luhur. Jadi ada 27 Mahaggata Citta.
Kemudian 54 Citta alam-indriawi dan 27 Mahaggata Citta menjadi 81 kesadaran duniawi atau Lokiya
Citta.

12
Ini disebut Objek langsung dan Objek dilampaui dalam CMA
Beberapa Latihan
Mari melakukan beberapa latihan. Ada berapa banyakkah Lokiya Citta? Ada 81 Lokiya Citta.
Bagaimanakah pembagiannya? Lokiya Citta terbagi menjadi kesadaran alam-indriawi dan kesadaran
Mahaggata. Berapa banyakkah kesadaran alam-indriawi? 54 Citta termasuk dalam kesadaran alam-
indriawi. Berapa banyakkah Mahaggata Citta? Ada 27 Mahaggata Citta. 54 Kāmāvacara atau kesadaran
alam-indriawi bagaimanakah pembagiannya? Ada 12 Akusala Citta, 18 Ahetuka atau Citta tanpa akar,
24 jenis kesadaran indah alam-indriawi. Bagaimanakah pembagian dari 15 Rūpāvacara Citta? Ada
Jhāna pertama, Jhāna ke dua, Jhāna ke tiga dan seterusnya. Ada tiga Citta Rūpāvacara Jhāna pertama.
Ada tiga Citta Jhāna ke dua. Ada tiga Citta Jhāna ke tiga, tiga Citta Jhāna ke empat dan tiga Citta
Rūpāvacara Jhāna ke lima. Dan kesadaran Arūpāvacara Jhāna ada tiga kesadaran Arūpāvacara Jhāna
pertama atau Ākāsānañcāyatana. Ada tiga Arūpāvacara Jhāna ke dua; ada tiga Arūpāvacara Jhāna ke
tiga; ada tiga Arūpāvacara Jhāna ke empat. Sehubungan dnegan 15 Rūpāvacara Citta berapa banyakkah
yang disertai dengan Somanassa? Ada 12 – tiga untuk Jhāna pertama, tiga untuk Jhāna ke dua, tiga
untuk Jhāna ke tiga dan tiga untuk Jhāna ke empat. Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā?
Tiga, tiga Citta Jhāna ke lima disertai dengan Upekkhā. Di antara 12 Arūpāvacara Citta berapa
banyakkah yang disertai dengan Somanassa? Tidak ada yang disertai dengan Somanassa. Berapa
banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Seluruh 12 disertai dengan Upekkhā. Di antara 27
Mahaggata Citta berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? 12 disertai dengan Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? 15 disertai dengan Upekkhā – tiga untuk
Rūpāvacara Citta Jhāna ke lima dan 12 untuk Arūpāvacara Citta.
Ini disebut Citta duniawi. Itu berarti ini termasuk dalam tiga alam – Kāmāvacara, Rūpāvacara dan
Arūpāvacara. Nanti kita akan melampaui Loka menuju Lokuttara Citta. Itu akan dibahas nanti, hari ini
kita tuntaskan 81 jenis kesadaran duniawi. Biasakan diri anda dengan nama-nama ini. Berusahalah
untuk mengingat nama-nama ini. Nama-nama adalah penting. Jika anda tidak mengingat nama, adalah
sulit untuk mengidentifikasi.
Pada CMA halaman 64 terdapat sebuah tabel (baca CMA, I, Table 1.6, p.64). pada tabel tersebut anda
akan melihat: Citta, Objek Langsung, Objek yang Dilampaui. Nomor satu adalah landasan ruang tanpa
batas, Ākāsānañcāyatana (pada buku, CMA, menggunakan landasan). Objek langsung berarti objek
yang diambil. Ini adalah konsep ruang. Kemudian objek yang dilampaui adalah konsep Kasiṇa,
gambaran Kasiṇa, gambaran pengimbang.
Nomor dua adalah landasan kesadaran tanpa batas, Citta Jhāna ke dua. Objek langsungnya adalah
kesadaran ruang tanpa batas, kesadaran Arūpāvacara pertama. Objek yang dilampaui adalah konsep
ruang atau ruang tanpa batas. Keduanya adalah sama.
Dan kemudian nomor tiga ada landasan kekosongan. Itu berarti kesadaran Arūpāvacara Jhāna ke tiga.
Objek langsung yang diambil adalah konsep ketiadaan atau kekosongan. Objek yang dilampaui adalah
kesadaran ruang tanpa batas. Itu berarti kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama.
Nomor empat adalah landasan bukan persepsi juga bukan non-persepsi. Pada Arūpāvacara Jhāna ke
empat objek langsung yang diambil adalah kesadaran kekosongan. Itu berarti kesadaran Arūpāvacara
ke tiga. Objek yang dilampaui adalah konsep ketiadaan. Itu berarti ketiadaan kesadaran Arūpāvacara
pertama. Ketiadaan bukanlah realitas mutlak. Ketiadaan atau kekosongan itu adalah konsep. Ketika
kita mengatakan ketiadaan, maka kita harus memahami bahwa itu adalah sebuah konsep. Dalam Pāḷi
kita mengatakan, “Natthi Bhāva Paññatti.” Di sini diberikan sebagai konsep ketiadaan. Itu berarti
konsep ketiadaan dari kesadaran Jhāna pertama.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Bagaimana dengan para Arahant atau Siswa Sang Buddha yang mencapai Arūpāvacara
Jhāna jika mereka tidak memiliki pandangan salah demikian tentang Rūpā dan
seterusnya? Khususnya mereka yang telah mencapai pencerahan tidak lagi memiliki
pandangan salah sehubungan dengan Rūpa atau jika kita meninggalkan Rūpa maka
kita akan benar-benar bahagia. Jadi Arūpāvacara Jhāna ini adalah perlu atau penting
untuk pencapaian apa yang kita sebut Abhiññā, pengetahuan supernormal seperti
mengingat kehidupan lampau, melihat makhluk-makhluk atau memperoleh mata
dewa, dan melakukan keajaiban-keajaiban dan sebagainya. Hal-hal itu disebut
Abhiññā. Abhiññā itu hanya dapat diperoleh jika seseorang mencapai seluruh delapan
atau sembilan Jhāna. Paa siswa Sang Buddha itu termasuk para Arahant berusaha
mencapai Jhāna-Jhāna ini karena mereka menginginkannya sebagai landasan untuk
pencapaian Abhiññā. Juga saya pikir ini adalah untuk pencapaian lenyapnya bagi para
Anāgāmī dan Arahant. Anda akan memahaminya nanti. Pencapaian lenyapnya berarti
tanpa aktivitas batin sama sekali selama beberapa waktu. Selama waktu itu anda akan
seperti patung. Aktivitas batin anda berhenti selama yang anda inginkan hingga tujuh
hari. Untuk memasuki pencapaian itu juga yang anda perlukan adalah seluruh
sembilan Jhāna. Dikatakan bahwa pencapaian lenyapnya itu adalah seperti Nibbāna.
Sebenarnya anda keluar dari keberadaan untuk sementara. Tubuh anda bekerja tanpa
bergantung pada pikiran atau aktivitas batin anda. Mereka mengalami kebahagiaan
atau kedamaian luar biasa ketika kesadaran berhenti untuk sementara. Para Anāgāmī
dan Arahant ingin menikmati kebahagiaan itu sewaktu memasuki pencapaian
lenyapnya. Bagi mereka untuk dapat memasuki pencapaian lenyapnya maka mereka
memerlukan delapan atau sembilan Jhāna yang termasuk empat Arūpāvacara Jhāna.
Bagi para siswa Sang Buddha mereka berusaha untuk mencapai Jhāna-Jhāna ini agar
Jhāna-Jhāna ini dapat menjadi landasan untuk pencapaian-pencapaian yang lebih
tinggi. Bukan dengan gagasan keliru bahwa jika mereka tidak memiliki tubuh fisik
maka mereka akan menjadi sungguh-sungguh bahagia. Itu adalah pertanyaan yang
sangat baik.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Para arahant dapat memasuki ke dalam apa yang disebut pencapaian Phala,
pencapaian Buah. Ini mirip dengan pencapaian lenyapnya. Ketika berada dalam
pencapaian Phala, masih ada kesadaran. Selama masih ada kesadaran maka ada
muncul dan lenyapnya, datang dan pergi. Ketika ada datang dan pergi, muncul dan
lenyap, itu adalah gambaran Dukkha. Dukkha berarti tertindas oleh muncul dan
lenyapnya. Itu adalah sejenis penderitaan walaupun kita semua akan sangat menyukai
jenis penderitaan demikian. Masih ada penderitaan pada para Arahant. Untuk
mendapatkan lebih banyak kedamaian mereka memasuki Phala atau pencapaian
lenyapnya. Di sana selama beberapa waktu mereka tidak merasakan apapun. Itu adalah
apa yang mereka sebut kebahagiaan atau kedamaian – Sukha.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Ini adalah meditasi Samatha. Praktik Rūpāvacara Jhāna dan Arūpāvacara Jhāna juga
akan dijelaskan pada bab sembilan. Kita akan membahas Jhāna-Jhāna ini lagi di sana.
Saya akan menunda beberapa penjelasan hingga kita sampai di sana, tetapi saya tidak
dapat menahan informasi ini dari anda. Jadi saya akan memberitahu beberapa hal
sekarang. Saya mungkin mengulanginya ketika kita sampai pada bab sembilan. Jika
anda bisa dan jika anda memiliki buku ini, The Path of Purification, untuk Arūpāvacara
silakan baca bab sepuluh.

Lokuttara Citta
Makna kata ‘Lokuttara’
Kita sampai pada Lokuttara Citta, kesadaran Adi-duniawi. Kita telah menyelesaikan 81 jenis kesadaran
duniawi. Hari ini kita sampai pada Lokuttara, jenis-jenis kesadaran Adi-duniawi. Kata Pāḷi ‘Lokuttara’
terdiri dari dua bagian – ‘Loka’ dan ‘Uttara’. ‘Loka’ berarti dunia. Dunia di sini bermakna kelima
agregat, dan ‘Uttara’ berarti melampaui, jadi ‘Lokuttara’ berarti melampaui dunia lima agregat. Itu
bermakna melampaui kelima agregat. Sebenarnya itu bermakna keluar dari Saṃsāra ini, keluar dari
lingkaran kelahiran kembali.

Delapan Lokuttara Citta


Ada delapan Lokuttara Citta. Delapan ini terbagi menjadi empat Kusala dan empat Vipāka, jadi empat
Citta bermanfaat dan empat Citta hasil. Vipāka Citta disebut Phala Citta. Jenis-jenis kesadaran ini
muncul ketika seorang Yogi mencapai pencerahan. Jenis-jenis kesadaran ini sebenarnya adalah
kesadaran pencapaian.

Empat Lokuttara Kusala Citta


Seseorang berlatih meditasi Vipassanā dan mengalami kemajuan dari satu tingkat Vipassanā ke
tingkat selanjutnya. Ketika Vipassanā menjadi matang, kemudian pencerahan muncul. Ketika
pencerahan terjadi, suatu jenis kesadaran muncul dalam batinnya, sejenis kesadaran yang belum
pernah ia alami sebelumnya dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan lampaunya. Kesadaran itu
muncul dan mengambil Nibbāna sebagai objeknya. Kesadaran itu memiliki fungsi menghancurkan
kekotoran batin. Apa yang kita sebut pencerahan adalah hanya itu – munculnya kesadaran itu. Dan
kesadaran itu menghancurkan kekotoran batin. Kesadaran itu disebut kesadaran Magga, Sang Jalan.
Segera mengikuti kesadaran Jalan adalah dua atau tiga momen hasil, kesadaran Phala. Itu adalah
menurut apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi di sini dalam daftar Magga Citta dikelompokkan secara
terpisah dan Phala Citta dikelompokkan secara terpisah. Tetapi dalam kemunculan yang sebenarnya
Phala Citta selalu mengikuti Magga Citta. Jadi Magga Citta muncul hanya satu kali dan lenyap. Segera
setelah Magga Citta ada dua atau tiga momen Phala Citta. Dalam kesadaran Phala Adi-duniawi, Vipāka
Citta, Citta hasil, muncul segera setelah Citta bermanfaat. Ini tidak seperti pada Kāmāvacara,
Rūpāvacara dan Arūpāvacara. Di sana anda mungkin harus menunggu bertahun-tahun bagi kesadaran
hasil untuk muncul karena munculnya dalam kehidupan berikutnya. Tetapi di sini kesadaran Phala,
kesadaran Vipāka atau hasil muncul segera mengikuti Magga Citta. Itulah sebabnya mengapa
kesadaran Magga disebut Akālika. Salah satu atribut Dhamma adalah Akāḷika. ‘Akālika’ berarti tanpa
waktu. Tanpa waktu berati segera memberikan hasil.
Ketika seseorang mencapai tingkat pertama, tingkat itu disebut Sotāpatti. Kesadaran Magga yang
muncul pada orang itu disebut Sotāpatti-magga Citta. Segera mengikuti ini adalah dua atau tiga
momen Sotāpatti-phala Citta. Kemudian lenyap. Setelah itu orang itu dapat memunculkan Phala Citta
kembali, tetapi tidak Magga Citta. Magga Citta hanya muncul satu kali pada batin seseorang. Magga
Citta tidak dapat diulang. Tetapi Phala Citta dapat muncul berulang-ulang, kadang-kadang mungkin
berhari-hari tanpa terputus. Ketika seseorang mencapai tingkat pertama pencerahan, ia disebut
seorang Sotāpanna.
Kita harus memahami dua individu, dua orang – orang yang pada momen Magga Citta dan orang pada
saat munculnya phala hingga munculnya Magga Citta yang lebih tinggi berikutnya. Orang pertama
disebut seorang Sotāpatti-magga. Orang ke dua disebut seorang Sotāpatti-phala. Seorang Sotāpatti-
phala dan Sotāpanna adalah sama. Orang Magga adalah orang yang sebenarnya yang sedang mencapai
pencerahan, walaupun momen Magga dan Phala adalah sangat singkat, hampir tidak teramati, namun
demikian kita membedakan kedua ini sebagai orang berbeda. Nanti kita akan memiliki delapan orang
mulia atau delapan individu tercerahkan. Hanya ada empat tingkat pencerahan tetapi ada delapan
individu tercerahkan. Yang pertama adalah pada momen Magga. Yang ke dua adalah dari momen
Phala hingga tingkat lebih tinggi berikutnya.
Setelah menjadi seorang Sotāpanna, sang meditator berlatih meditasi lagi untuk mencapai tingkat ke
dua. Maka ia berlatih meditasi Vipassanā dan Citta dari Magga ke dua akan muncul. Segera mengikuti
Magga Citta akan ada dua atau tiga momen Phala Citta; urutan peristiwa yang sama muncul pada orang
yang menjadi Sakadāgāmi seperti pada seorang yang menjadi Sotāpanna. Tingkat ke dua disebut
Sakadāgāmi. Saya akan mejelaskan kata-kata ini nanti. Citta Sakadāgāmī disebut Sakadāgāmī-magga
Citta dan Sakadāgāmī-phala Citta. Pada momen Sakadāgāmī-magga individu itu disebut seorang
Magga. Dari Citta Phala pertama hingga tingkat ke tiga dicapai individu itu disebut seorang
Sakadāgāmī-phala.
Kemudian orang itu berlatih meditasi dalam satu kali duduk atau pada kesempatan berikutnya.
Tingkat ke tiga disebut Anāgāmī, yang-tidak-kembali. Kesadaran itu disebut Anāgāmī-magga Citta.
Segera mengikuti Anāgāmī-magga Citta adalah dua atau tiga momen Anāgāmī-phala Citta. Pada
momen Magga Citta ia disebut seorang Anāgāmi-magga. Dari momen pertama Phala hingga ia
mencapai tingkat berikutnya ia disebut seorang individu Anāgāmi-phala.
Kemudian Ia berlatih lagi dan mencapai tingkat ke empat yang adalah Kearahantaan. Sekali lagi Citta
Arahatta-magga muncul dan segera mengikutinya adalah dua atau tiga momen Citta Arahatta-phala.
Dari momen Citta Arahatta-phala ia disebut sebagai seorang Arahant. Pada momen Magga Citta ia
disebut seorang individu Arahatta-magga.
Ada empat tingkat pencerahan. Ada dua set Magga dan Phala. Pada momen Magga kita mengakui
bahwa ada satu orang dan dari momen Phala dan seterusnya kita mengakui bahwa individu itu adalah
seorang lain. Hanya ada satu orang tetapi kita menyebutnya dua orang. Misalnya, ada seorang yang
memecahkan rekor dan seorang lainnya yang telah memecahkan rekor. Ketika seorang pelari sedang
memutuskan pita dalam sebuah perlombaan, ia sedang dalam proses memecahkan rekor. Setelah itu,
mungkin bahkan tidak ada satu detik kemudian, ia disebut seorang yang telah memecahkan rekor.
Ada dua orang. Seorang yang memecahkan rekor dan seorang lainnya yang telah memecahkan rekor.
Demikian pula, ada seorang yang berada pada momen Magga dan seorang lainnya yang berada pada
momen Phala. Jadi ada delapan orang mulia, dua pada masing-masing tingkat pencerahan. Seluruhnya
ada delapan Lokuttara Citta.

Magga, Magga Citta dan Maggaṅga


Sekarang mari kita melihat makna dari kata-kata ini. Kita harus memahami makna Magga, Magga Citta
dan kata lainnya Maggaṅga. Saya tidak akan menjelaskan banyak tentang kata ‘Maggaṅga’ di sini
karena kata ini tidak terdapat pada bagian ini dalam Manual. Kata-kata ini secara berturut-turut
berarti Sang Jalan, Kesadaran Jalan dan Faktor-faktor Sang Jalan. Magga berarti kelompok delapan
faktor sekaligus. Anda tahu delapan faktor –pemahaman benar, pikiran benar, dan seterusnya.
Delapan faktor secara keseluruhan sebagai satu kelompok disebut Magga. Masing-masingnya disebut
Faktor Magga. Dalam Pāḷi disebut Maggaṅga. Seperti dalam Jhāna kita memiliki Jhānaṅga. ‘Maggaṅga’
berarti bagian, atau unsur. ‘Magga Citta’ berarti Citta yang disertai dengan delapan faktor ini. Jadi ada
Magga, Maggaṅga dan Magga Citta – Sang Jalan, faktor Sang Jalan dan kesadaran Sang Jalan.

Sotāpatti-magga
Berikutnya adalah Sotāpatti-magga. ‘Sota’ berarti arus. Di sini digunakan secara metafora. Jadi arus
berarti Jalan Ariya. Itu berarti adalah delapan faktor atau apa yang kita sebut Jalan Mulia Berunsur
Delapan. Delapan faktor ini di sini disebut Sota, arus. Begitu anda masuk ke dalam arus itu maka anda
pasti mencapai Nibbāna. Anda tidak akan berbalik. Anda sudah pasti. Anda pasti mencapai Nibbāna.
‘Āpatti’ berarti mencapai untuk pertama kalinya. ‘Ā’ berarti pertama. ‘Patti’ berarti mencapai atau
sampai. Jadi ‘Āpatti’ berarti mencapai untuk pertama kali. Mencapai arus Jalan Mulia untuk pertama
kali disebut Sotāpatti karena ini adalah pertama kalinya sang Yogi masuk ke dalam arus itu, ke dalam
aliran sehingga ia akan maju menuju Nibbāna. Setelah beberapa kehidupan ia akan mencapai Nibbāna.
Itu adalah Sotāpatti. Citta Sotāpatti-magga berarti kesadaran yang diperoleh melalui tercapainya arus
Jalan Mulia untuk pertama kalinya. Itu adalah Citta Sotāpatti-magga. Citta itu muncul pada tingkat
pencerahan pertama.

Sakadāgāmi
Tingkat ke dua disebut Sakadāgāmī, seorang yang kembali lagi satu kali ke alam manusia ini. ‘Saka’
berarti satu kali. ‘Āgāmī’ berarti yang datang. Jadi kita memperoleh ‘yang datang satu kali’, yang-
kembali-sekali. Kembali ke manakah? Dalam Teks dan bahkan di dalam Visuddhimagga dikatakan ke
dunia ini. ‘Dunia ini’ diinterpretasikan sebagai bermakna alam manusia ini. Ada perbedaan pendapat
di antara para guru. Tetapi mayoritas menganggapnya bermakna dunia manusia. Sakadāgāmī adalah
seorang yang kembali di alam manusia ini satu kali dan kemudian mencapai Nibbāna. Harap dicatat
bahwa kembali berarti kembali ke dunia ini, dunia manusia ini, bukan sekedar kembali kepada siklus
kelahiran dan kematian. Ini berbeda. Ini berarti ia akan menjadi seorang Sakadāgāmi, misalnya,
sebagai manusia. Setelah kehidupan manusia itu, ia mungkin terlahir kembali sebagai makhluk
surgawi, sebagai deva. Kemudian ia kan meninggal dunia sebagai Deva dan akan terlahir kembali
sebagai manusia. Ia akan mencapai Nibbāna dalam kehidupan itu. Itulah sebabnya mengapa ia disebut
seorang Yang-kembali-sekali. Ia kembali ke sini satu kali. Untuk kembali ke sini ia harus terlahir
kembali di alam lain dan kemudian kembali lagi ke sini dan mencapai Nibbāna di sini.

Anāgāmī
Tingkat ke tiga disebut Anāgāmī. ‘An’ berasal dari Pāḷi ‘na’ yang artinya tidak. ‘Āgāmī’ berarti ia yang
datang kembali. Anāgāmī berarti ia yang tidak datang kembali. ‘Yang tidak datang kembali’ berarti ia
yang tidak datang kembali ke dunia ini. Dunia di sini diinterpretasikan bukan sebagai dunia manusia
melainkan sebagai dunia indriawi. Itu berarti dunia manusia dan juga dunia para Deva. Makhluk ini
tidak kembali ke alam-indriawi, tetapi ia mungkin kembali kepada siklus kelahiran kembali dan
kematian. Jika anda mengatakan bahwa ia tidak kembali kepada siklus kelahiran kembali dan
kematian, maka ia adalah seorang Arahant. Adalah keliru untuk mengatakan bahwa seorang Anāgāmī
tidak kembali kepada siklus kelahiran kembali dan kematian. Ia masih akan memiliki beberapa
kelahiran kembali sebagai Brahma. Ia tidak akan terlahir kembali sebagai manusia atau Deva, tetapi ia
akan terlahir kembali sebagai Brahma. Dunia yang ia tidak akan kembali adalah dunia indriawi. Jika
anda menjadi seorang Anāgāmī dalam kehidupan ini, maka anda akan terlahir kembali di dunia para
Brahma, bukan di dunia manusia, bukan di dunia para deva. Anda akan terlahir kembali sebagai
Brahma. Kemudian anda akan mencapai Nibbāna di alam pertama. Atau jika tidak di sana, maka anda
akan mencapai Nibbāna di alam ke dua, ke tiga, atau ke empat. Dan di alam ke lima anda pasti akan
mencapai Nibbāna. Seorang Anāgāmī adalah seorang yang tidak kembali melalui kelahiran kembali ke
dunia indriawi, ke dunia manusia, atau ke dunia para Deva atau makhluk surgawi yang lebih rendah.
Citta Anāgāmī-magga berarti kesadaran Sang Jalan dari seorang yang tidak kembali ke dunia indriawi
ini.

Arahatta
Arahatta brasal dari kata ‘Arahanta’. Arahatta adalah kata benda abstrak, Arahanta adalah kata benda
konkret. Arahatta bermakna keadaan menjadi seorang Arahant. Arahant dijelaskan dalam banyak
makna. Para Komentator sangat terampil dalam bermain kata-kata. Mereka melihat akar-akarnya,
awalan-awalan dan mendapatkan banyak makna untuk satu kata. Sulit untuk mengetahui yang mana
yang merupakan makna asli dari kata tersebut. Arahant – ada banyak makna untuk ini. Satu makna
adalah bahwa seorang Arahant adalah seorang yang layak menerima pemberian. Itu berarti jika kita
memberi kepada seorang demikian, maka kita akan menerima hasil berlimpah karena ia begitu murni.
Ia bagaikan lahan dengan tanah yang subur. Makna lain dari Arahant adalah ia seorang yang telah
membunuh kekotoran batin. Sebenarnya ini berarti seorang yang telah membunuh musuhnya. Dalam
kasus ini kata itu berasal dari ‘Ari’ dan ‘Han’. ‘Ari’ berarti musuh dan ‘Han’ berarti membunuh. Jadi
seorang yang membunuh musuhnya disebut Arahant. Di sini membunuh bermakna menghancurkan.
Musuh bermakna kekotoran batin. Sehingga akhirnya menjadi seorang yang telah menghancurkan,
yang telah melenyapkan, yang telah membasmi segala kekotoran batin. Citta Magga seorang Arahant
disebut Arahatta-magga Citta.
Kata ‘Phala’ berarti buah, hasil. Ada jenis-jenis berbeda dari Sotāpanna, Sakadāgāmī dan Anāgāmī. Jika
anda tertarik anda dapat membaca Visuddhimagga. Saya tidak akan membebani anda dengan rincian
jenis-jenis berbeda dari Sotāpanna, Sakadāgāmī dan seterusnya. Sejak awal saya pikir adalah lebih baik
untuk memahami apa yang sederhana terlebih dulu. Lalu kemudian anda dapat melanjutkan dengan
hal-hal yang rumit.
Sehubungan dengan keempat tingkat ini kita harus memahami faktor-faktor apa, kekotoran-
kekotoran batin apa yang dibasmi. Kita juga harus memahami apa hasil dari pencerahan dan
perubahan apakah yang ada setelah pencerahan.
Mari kita memeriksa pelenyapan belenggu-belenggu melalui Magga-Magga berbeda (baca CMA, IX,
Penbasmian kekotoran-kekotoran melalui Sang Jalan, p.360).
Ketika menjelaskan orang-orang mulia, Sang Buddha menggunakan sepuluh belenggu (baca CMA, VII,
§§10-11, p.268-269). Sebenarnya belenggu-belenggu dan kekotoran batin adalah saling tumpang tindih
(baca juga CMA, VII, Tabel 7.1, p.270). Apa yang ada di dalam belenggu-belenggu juga ada di dalam
kekotoran batin. Ada sepuluh belenggu. Lima pertama disebut belenggu-belenggu yang lebih rendah.
Itu karena belengu-belenggu itu menarik anda turun ke kondisi alam yang lebih rendah. Lima lainnya
disebut belenggu-belenggu yang lebih tinggi.
Pada tingkat pertama (yaitu Magga pertama) apakah yang dibasmi atau apakah yang dilenyapnya?
Belenggu pertama adalah Kāmarāga, keinginan indria. Intensitas keinginan indria yang dilenyapkan
adalah “kuat”. Kuat berarti cukup kuat atau cukup buruk untuk menuntun menuju alam sengsara. Itu
berarti pada Magga pertama, Kāmarāga atau keinginan indria dibasmi tetapi tidak seluruhnya, hanya
suatu tingkat Kāmarāga yang dibasmi. Kita menggunakan kata ‘kuat’ di sini. Kuat berarti cukup kuat
untuk menarik anda ke empat alam sengsara.
Berikutnya adalah Paṭigha. Ini berarti kebencian, kemarahan atau Dosa. Paṭigha yang cukup kuat
untuk menuntun menuju empat alam sensara dilenyapkan.
Yang ke tiga adalah Sakkāya-diṭṭhi, ilusi-diri. Ini adalah kepercayaan salah bahwa ada diri atau
kepercayaan dalam diri. Seorang Sotāpanna membasmi segala kepercayaan itu. Segala berarti
membasmi secara total, bukan hanya satu tingkat atau apapun, tetapi semua Sakkāya-diṭṭhi, semua
ilusi-diri dibasmi oleh Magga pertama. Sehingga tidak akan muncul kembali.
Berikutnya adalah Sīlabbata-parāmāsa, keterikatan pada kebiasaan dan praktik. Terjemahan biasa
adalah keterikatan pada upacara dan ritual. Di sini keterikatan pada upacara dan ritual berarti
mempercayai bahwa upacara dan ritual adalah jalan menuju kebebasan dari penderitaan. Jika anda
mempercayai seperti itu, maka anda memiliki Sīlabbata-parāmāsa. Keterikatan pada kebiasaan dan
praktik berarti menganggap praktik-praktik ini sebagai jalan benar menuju kebebasan. Sebenarnya
ini adalah pandangan salah, Diṭṭhi. Ini juga dibasmi sepenuhnya oleh Magga pertama.
Yang lainnya adalah Vicikicchā, keragu-raguan pada Sang Buddha, Dhamma, Saṃgha dan sebagainya.
Magga pertama membasmi semua keragu-raguan.
Jadi Magga pertama membasmi ilusi-diri, keterikatan pada kebiasaan dan praktik, dan keragu-raguan
selama-lamanya. Hal-hal ini tidak akan pernah muncul dalam batin seorang Sotāpanna. Seorang
Sotāpanna tidak akan pernah memiliki ilusi-diri, tidak pernah memiliki kepercayaan keliru
sehubungan dengan kebiasaan dan praktik, dan ia tidak akan pernah memiliki keragu-raguan. Ia
masih memiliki keinginan indria dan kebencian. Namun keinginan indria dan kebencian itu tidak
cukup kuat untuk mengarahkannya menuju empat alam sengsara. Seorang Sotāpanna tidak terlahir
di empat alam sengsara. Seorang Sotāpana tidak akan pernah terlahir kembali di empat alam sesara.
Itu karena ia tidak memiliki kekotoran batin yang cukup kuat untuk mengarahkannya menuju empat
alam sengsara. Dikatakan di dalam Sutta-Sutta bahwa semua orang mulia dimulai dari Sotāpanna
menjaga kelima Sīla selalu utuh. Seorang Sotāpanna tidak akan melanggar salah satu dari kelima Sīla.
Kemurnian moralnya sempurna pada momen pencerahannya. Seorang Sotāpanna tidak akan pernah
membunuh makhluk hidup, tidak akan pernah mencuri, tidak pernah berbohong, tidak pernah
meminum minuman keras. Dikatakan bahwa seorang Sotāpanna, jika ia tidak mencapai tingkat yang
lebih tinggi hingga kelahiran ke tujuh, maka ia akan menjadi seorang Arahant dalam kehidupan itu.
Sebagai seorang Sotāpanna ia akan terlahir kembali paling banyak tujuh kali lagi. Dalam kehidupan ke
tujuh ia pasti akan menjadi seorang Arahant. Ia akan mencapai seluruh tingkatan yang lebih tinggi.
Seorang Sotāpanna dikatakan hanya memiliki tujuh kelahiran kembali lagi. Dalam Sutta Permata Sang
Buddha berkata, “Mereka tidak akan mengambil kelahiran ke delapan.” Paling banyak mereka akan
mengambil tujuh kelahiran kembali, itu jika mereka tidak mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam
kehidupan-kehidupan berikutnya. Misalnya, seseorang mungkin menjadi seorang Sotāpanna di sini.
Kemudian, katakanlah, ia terlahir kembali sebagai Deva.. sewaktu ia menjadi Deva, ia berlatih meditasi
lagi dan ia mencapai tingkat ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Jika demikian maka ia bukan lagi seorang
Sotāpanna. Ia menjadi seorang Sakadāgāmī, Anāgāmī atau Arahant. Ketika kita mengatakan ia
memiliki maksimum tujuh kali kelahiran kembali lagi, ini berarti jika ia tidak mencapai tingkat lebih
tinggi hingga kelahiran terakhirnya.
Magga ke dua melenyapkan keinginan indria dan kebencian yang kasar. Kasar di sini bermakna tidak
begitu kuat seperti “kuat”. Kekotoran batin yang tersisa tidak kuat tetapi masih kasar. Di sini kita
harus memahami bahwa ada tiga tingkat keinginan indria dan kebencian. Ada yang cukup kuat untuk
mengarahkan menuju empat alam sengsara, ada yang tidak begitu kuat tetapi masih buruk, dan
kemudian ada yang halus. Magga ke dua tidak membasmi kekotoran batin lainnya sepenuhnya.
Melainkan membuat keinginan-indria dan kebencian menjadi kurang kuat. Magga ini membuat
belenggu-belenggu ini melemah. Kedua belenggu ini sudah lemah sejak pencerahan tingkat pertama.
Setelah tingkat pencerahan ke dua, belenggu-belenggu ini menjadi semakin lemah. Mungkin hanya
ada sedikit keinginan indria dan kebencian yang tersisa. Magga ke dua tidak membasi kekotoran batin
lainnya, melainkan hanya melemahkan atau mengecilkan keinginan indria dan kebencian. Seorang
Sakadāgāmī masih memiliki keinginan indria dan kebencian. Seorang Sakadāgāmī masih dapat
menjadi marah, tetapi kemarahannya akan sangat lembut.
Ketika seseorang mencapai tingkat ke tiga, Magga itu membasmi keinginan indria dan kebencian, yang
halus, yang tersisa. Setelah itu tidak ada lagi keinginan indria dan kebencian. Kita dapat mengatakan
bahwa Magga ke tiga atau Anāgāmī-magga membasmi keinginan indria dan kebencian untuk selama-
lamanya. Jadi keinginan indria dan kebencian tidak akan pernah muncul kembali pada seorang
Anāgāmī. Keinginan indria berarti keinginan pada objek-objek indriawi. Jika seorang umat awam
menjadi seorang Anāgāmī, dapatkah ia melanjutkan kehidupan sebagai seorang yang menikah? Ia
tidak lagi dapat menjalani kehidupan sebagai seorang yang menikah walaupun ia dapat menjalani
kehidupan rumah tangga. Ia tidak mampu menjalani kehidupan menikah. Ada seorang pengrajin
tembikar bernama Katthikara pada masa kehidupan Buddha Kassapa. Ia adalah seorang umat awam.
Ia juga adalah seorang Anāgāmi. Ia menjalani kehidupan tidak menikah. Maka setelah menjadi
Anāgāmi seseorang tidak dapat menjalani kehidupan menikah. Ia dapat tetap menjadi seorang umat
awam. Dikatakan bahwa secara alami seorang Anāgāmī selalu menjaga delapan Sīla. Ia tidak harus
mengambil delapan Sīla, tetapi ia akan menjaga delapan Sīla itu. Yang paling nyata dari Sīla ini adalah
tidak makan setelah tengah hari. Seorang Anāgāmī tidak akan makan pada sore hari.
Kemudian Magga ke empat adalah Arahatta-magga. Ketika seseorang menjadi Arahant, apakah yang
ia lenyapkan? Sisanya. Keserakahan pada alam bermateri halus – itu berarti kemelekatan pada alam
Brahma, alam Brahma bermateri halus. Arūparāga berarti keserakahan pada tanpa materi. Itu beraerti
kemelekatan pada alam Arūpāvacara. Pada tingkat ke empat Māna dilenyapkan. Māna adalah
keangkuhan. Dengan munculnya Citta Arahatta-magga, Uddhacca dibasmi. Uddhacca adalah
kegelisahan. Faktor tidak bermanfaat Avijjā dibasmi. Avijjā adalah ketidaktahuan. Lima dibasmi
melalui Magga ke empat. Ketika seseorang menjadi Arahant, kelima ini lenyap seluruhnya. Yang
lainnya dibasmi melalui tiga Magga sebelumnya, dan kelima ini melalui Magga ke empat. Ketika
seseorang mencapai Magga ke empat, ia tidak memiliki belenggu sama sekali atau tidak memiliki
kekotoran batin sama sekali. Seorang Arahant sepenuhnya terbebas dari kekotoran batin. Betapapun
besarnya suatu provokasi, ia tidak akan menjadi marah. Seorang yang telah mencapai tingkat
pencerahan ke empat sepenuhnya terbebas dari kekotoran batin.
Sehubungan dengan kekotoran batin, ada sepuluh. Anda akan menemukannya pada bab tujuh.
Sehubungan dengan kekotoran batin (Dalam Pāḷi kita menyebutnya Kilesa). Magga pertama
sepenuhnya membasmi pandangan salah (Diṭṭhi) dan keragu-raguan (Vicikicchā). Magga ke dua tidak
membasmi lagi. Sakadāgāmī hanya melemahkan Kilesa lainnya. Magga ke tiga membasmi kemarahan
(Dosa). Magga ke empat membasmi ketujuh kekotoran batin lainnya. Seorang Anāgāmī telah
membasmi kebencian atau Dosa sepenuhnya. Seorang Anāgāmī tidak mampu menjadi marah. Ia tidak
akan takut pada apapun karena ketakutan dipahami sebagai manifestasi dari Dosa. Ini adalah Dosa
pasif. Ketika seseorang mencapai tingkat pencerahan ke tiga, ia tidak takut pada apapun. Ia tidak takut
mati. Ia seperti Arahant dalam hal itu.
Ada dua belas Akusala Citta. Berapa banyakkah Akusala Citta yang dibasmi melalui Magga pertama?
Pertama anda harus memahami kekotoran batin apakah yang dibasmi. Pandangan salah dan keragu-
raguan dibasmi. Citta apakah yang disertai dengan pandangan salah? Berapa banyakkah Citta yang
disertai dengan pandangan salah? Empat disertai dengan pandangan salah dan satu disertai dengan
keragu-raguan. Jadi seorang Sotāpanna membasmi lima jenis kesadaran. Empat yang disertai dengan
Diṭṭhi dan satu yang disertai dengan keragu-raguan tidak akan muncul padanya lagi. Lima Akusala
Citta tidak akan muncul pada seorang Sotāpanna. Yang-kembali-sekali tidak membasmi apa-apa. Apa
yang ia lakukan pada tahap itu adalah melemahkan kekotoran lainnya, tetapi tidak membasmi apapun.
Ketika seseorang mencapai tingkat ke tiga, ia melenyapkan keinginan indria dan kebencian sekaligus.
Citta apakah yang ia basmi? Dua yang disertai dengan Dosa. Ia masih memiliki Lobha. Ia belum
menghancurkan Lobha. Tetapi ia tidak memiliki Dosa, jadi ia membasmi dua Dosamūla Citta.
Kemudian Arahant membasmi seluruh Akusala Citta yang tersisa. Berapa banyakkah? Sotāpanna
membasmi lima. Anāgāmī membasmi dua. Maka seorang Arahant membasmi lima lainnya. Apakah
lima yang tersisa ini? Yang tidak disertai dengan Diṭṭhi dari Lobhamūla Citta. Berapa banyakkah? Ada
empat Akusala Citta yang tidak disertai dengan pandangan salah dan kemudian ada satu dari
Mohamūla Citta yang disertai dengan Uddhacca (kegelisahan). Jadi empat jenis kesadaran yang
disertai dengan Lobha tetapi tidak disertai dengan pandangan salah dan Mohamūla Citta yang disertai
dengan kegelisahan dibasmi oleh Arahant. Di antara dua belas Akusala Citta, lima dilenyapkan pada
tingkat pencapaian pertama. Dua dilenyapkan melalui tingkat ke tiga. Lima yang tersisa dibasmi
melalui tingkat ke empat.

Tidak ada Kiriya dalam Lokuttara Citta


Kita menemukan hanya delapan Lokuttara Citta, Kusala dan Vipāka, tetapi tidak ada Kiriya. Dalam
Rūpāvacara ada lima Kusala, lima Vipāka dan lima Kiriya. Dalam Arūpāvacara juga ada empat Kusala,
empat Vipāka dan empat Kiriya. Mengapakah tidak ada Kiriya dalam kesadaran Lokuttara atau Adi-
duniawi?
Jawaban pertama adalah karena Magga Citta hanya muncul satu kali. Jika Magga Citta muncul lebih
dari satu kali, maka itu akan menjadi suatu fungsi kesadaran Kiriya. Jika Arahatta-magga, pencapaian
ke empat dapat muncul kembali pada seorang Arahant, maka itu akan menjadi Kiriya Citta. Tetapi
Magga Citta hanya muncul satu kali dalam batin seseorang. Tidak pernah berulang. Mengapakah?
Karena Magga Citta muncul hanya satu kali, maka tidak ada Kiriya Citta dalam Lokuttara. Magga Citta
hanya muncul satu kali karena dapat menyelesaikan fungsinya dengan muncul satu kali. Fungsinya
adalah untuk membasmi kekotoran batin. Citta ini dapat membasmi kekotoran batin hanya dengan
satu kali pukul. Citta ini tidak perlu muncul lagi untuk membasmi kekotoran batin. Jadi Citta ini dapat
melakukan fungsinya hanya dengan muncul satu kali. Magga Citta tidak muncul lagi. Itulah sebabnya
mengapa tidak ada Kiriya dalam Lokuttara Citta.
Untuk hidup bahagia dalam kehidupan ini – itu berarti untuk menikmati kebahagiaan kebebasan ada
Phala Citta. Itu berarti jika Magga Citta dapat muncul berulang-ulang (Magga Citta mengambil Nibbāna
sebagai objek), maka itu akan sangat nikmat. Adalah sangat nikmat ketika Magga Citta muncul karena
mengambil Nibbāna sebagai objek. Nibbāna adalah ketiadaan segala penderitaan. Jadi meditator
mengalami Sukha sejati, kebahagiaan sejati ketika Magga Citta muncul. Setelah muncul dan lenyapnya
Magga Citta itu, jika ia ingin menikmati kebahagiaan itu lagi, ia masuk ke dalam Phala Citta. Pekerjaan
itu, tanggung jawab menikmati kebahagiaan kebebasan itu diambil oleh Phala Citta. Magga Citta tidak
perlu muncul kembali untuk tujuan itu. Tujuan itu dilaksanakan oleh Phala Citta. Itulah sebabnya
mengapa Magga Citta hanya dapat muncul satu kali. Karena Magga Citta hanya muncul satu kali maka
tidak ada Kiriya dalam Lokuttara Citta.
Setelah menjadi Arahant, makhluk-makhluk yang ingin menikmati kebahagiaan. Mereka menikmati
kebahagiaan dengan memiliki serangkaian kesadaran yang mengambil Nibbāna sebagai objek. Ketika
pikiran ada pada Nibbāna, maka orang itu merasa sangat damai. Untuk tujuan itu ada Phala Citta.
Setelah menjadi seorang tercerahkan, seorang Sotāpanna, maka orang itu dapat memasuki pencapaian
Sotāpanna-phala kapanpun ia inginkan. Selama waktu yang ia tentukan – misalnya, satu hari, dua hari,
tiga hari – hanya Phala Citta yang muncul tanpa terputus. Batas waktu untuk manusia adalah tujuh
hari. Tugas itu dilaksanakan oleh Phala Citta. Jadi Magga Citta tidak perlu muncul kembali. Itulah
sebabnya mengapa tidak ada Kiriya Citta dalam Lokuttara. Hanya ada delapan Lokuttara Citta. Magga
Citta dapat melakukan fungsinya membasmi kekotoran batin hanya dengan muncul satu kali. Jika
Magga Citta dapat melakukan fungsi ini hanya dengan muncul satu kali, maka tidak ada gunanya untuk
muncul kembali. Itulah sebabnya maka Magga Citta hanya muncul satu kali. Untuk hidup dengan
bahagia dalam kehidupan ini – itu berarti untuk menikmati kebahagiaan kebebasan – ada Phala-
samāpatti. Jadi Magga Citta hanya muncul satu kali . itulah sebabnya maka tidak ada Kiriya Citta dalam
kesadaran Adi-duniawi.

Mengulang Citta
Kita sampai pada akhir 89 Citta – 81 Citta duniawi dan delapan Citta Adi-duniawi. Jadi seluruhnya
terdapat 89 jenis kesadaran.
Mari kembali ke awal. Berapa banyakkah Akusala? Dua belas Citta adalah Akusala. Berapa banyakkah
Kusala? Ada Kāmāvacara Kusala delapan, Rūpāvacara Kusala lima, Arūpāvacara Kusala empat dan
Magga empat. Seluruhnya ada 21. Maka ada dua belas Akusala Citta dan 21 Kusala Citta. Berapa
banyakkah Citta hasil (Vipāka)? CMA mengatakan 36. Ada 15 dari Ahetuka, delapan dari Kāmāvacara
Sobhana, lima dari Rūpāvacara dan empat dari Arūpāvacara, dan empat dari Lokuttara. Phala dan
Vipāka adalah sama. Jadi seluruhnya ada 36. Berapa banyakkah Kiriya Citta? Ada tiga dari Ahetuka,
delapan dari Kāmāvacara Sobhana, lima dari Rūpāvacara dan empat dari Arūpāvacara. Maka kita
memberoleh dua puluh. Sekali lagi kita memiliki dua belas Akusala, 21 Kusala, 36 Vipāka dan dua puluh
Kiriya. Berapa banyakkah Kāmāvacara Citta, berapa banyakkah jenis kesadaran yang berhubungan
dengan alam-indriawi? Ada 54 Kāmāvacara Citta. Berapa banyakkah Citta yang adalah Arūpāvacara?
Kita memiliki 12 Arūpāvacara Citta. Berapa banyakkah Citta yang Lokuttara? Ada delapan Lokuttara
Citta. Maka kita memiliki seluruhnya 89 jenis kesadaran. Kita juga dapat menguraikannya menurut
perasaan– berapa banyakkah yang disertai dengan perasaan Somanassa, berapa banyakkah yang
dengan perasaan Upekkhā, dengan Dukkha, dengan Domanassa.
Untuk lebih rinci. Akusala dua belas – yang berhubungan dengan Lobha ada delapan. Yang
berhubungan dengan Dosa ada dua. Yang berhubungan dengan Moha hanya ada dua.
Mari mengulang Ahetuka. Kelompok pertama adalah tujuh hasil Akusala. Kelompok ke dua adalah
delapan hasil Kusala. Kelompok ke tiga adalah tiga Citta fungsional. Seluruhnya ada 18 Citta. Ini
disebut Ahetuka, tanpa akar.
Kelompok berikutnya adalah Kāmāvacara Sobhana, alam-indriawi yang indah. Ada delapan Kusala,
delapan Vipāka dan delapan Kiriya.
Kelompok berikutnya adalah Rūpāvacara. Ada lima Kusala, lima Vipāka dan lima Kiriya.
Kelompok berikutnya adalah Arūpāvacara. Ada empat Kusala, empat Vipāka dan empat Kiriya.
Berapa banyakkah Citta Jhāna pertama di antara 27 Mahaggata Citta? Ingatkah anda pada kata
‘Mahaggata’? 15 Rūpāvacara dan 12 Arūpāvacara menjadi 27 Mahaggata Citta. Ada tiga Citta Jhāna
pertama. Ada tiga Citta Jhāna ke dua. Ada tiga Citta Jhāna ke tiga. Kita memiliki tiga Citta Jhāna ke
empat. Dan kita memiliki 15 Citta Jhāna ke lima – tiga dari Rūpāvacara dan dua belas dari Arūpāvacara.
Jika kita menjumlahkannya, kita memperoleh 81 jenis kesadaran. Ini disebut Lokiya, berhubungan
dengan Loka, dunia ini, dunia lima agregat.
Ketika kita melampaui dunia, maka kita masuk ke dalam Lokuttara Citta. Berapa banyakkah Lokuttara
Citta? Delapan Lokuttara Citta. Empat Kusala dan empat Vipāka. Lokuttara Kusala Citta disebut Magga
Citta. Lokuttara Vipāka Citta disebut Phala Citta. Apakah empat Magga Citta? Empat Magga Citta (satu
Citta untuk tiap-tiap tingkat pencapaian) dialami oleh Pemasuk-arus (Sotāpanna), Yang-kembali-
sekali (Sakadāgāmī), Yang-tidak-kembali (Anāgāmī) dan Arahant. Phala Citta segera mengikuti Magga
Citta. Phala Citta dapat muncul berulang-ulang pada orang itu.

Empat Puluh Lokuttara Citta


Kita sampai pada akhir dari delapan jenis kesadaran Lokuttara. Delapan Lokuttara Citta dapat
dianggap empat puluh. Bergantung pada jenis Magga Citta yang muncul pada orang itu. Memahami
hal ini agak sedikit rumit. Pertama kita harus memahami bahwa Jhāna Citta dan juga Magga Citta
ketika muncul akan disertai dengan Cetasika. Di antara Cetasika-Cetasika ada delapan faktor Sang
Jalan dan lima faktor Jhāna. Ketika Magga Citta muncul, ada 36 Cetasika yang muncul bersamanya. Di
antaranya adalah Vitakka, Vicāra, Pīti, Vedanā (apakah Somanassa atau Upekkhā) dan Ekaggatā. Hal-
hal ini ada bersama Magga Citta. Ini adalah hal pertama yang harus kita pahami.
Ada jenis orang-orang yang berbeda dalam memperoleh Magga dan Phala Citta. Ada yang berlatih
Vipassanā saja. Orang-orang itu disebut praktisi Vipassanā kering. Kita adalah para praktisi Vipassanā
kering. Kita tidak berlatih Jhāna. Kita hanya berlatihVipassanā. Bagi seorang yang berlatih Vipassanā
saja, yang tidak memiliki Jhāna, ketika ia mencapai, katakanlah, Magga pertama, maka akan ada 36
Cetasika yang bergabung dengan Magga itu. Di antara Cetasika-Cetasika itu adalah Vitakka, Vicāra,
Pīti, Sukha dan Ekaggatā. Magga Citta yang ia miliki akan menyerupai Jhāna pertama Rūpāvacara.
Rūpāvacara Citta pertama disertai dengan berapa banyak faktor Jhāna? Citta Rūpāvacara pertama
disertai dengan lima faktor Jhāna. Magga Citta ini juga disertai dengan lima faktor Jhāna. Jadi menurut
faktor-faktor Jhāna, Magga Citta ini menyerupai Citta Rūpāvacara Jhāna pertama. Magga Citta itu
disebut Magga Citta Jhāna pertama.
Kadang-kadang seseorang mungkin telah mencapai Jhāna-Jhāna, tetapi ketika ia berlatih meditasi
Vipassanā, ia tidak menggunakan Jhāna-Jhāna itu. Ia hanya berlatih meditasi pada apa yang disebut
bentukan yang beraneka-ragam. Itu berarti batin dan jasmani. Ketika ia memperoleh Magga, maka
Magga itu akan disertai dengan seluruh lima faktor. Maka Magga itu sekali lagi akan menyerupai Jhāna
pertama. Dalam kasus demikian tidak ada perbedaan pendapat karena seorang individu Vipassanā
kering ketika ia memperoleh Magga, maka Magga itu akan menyerupai Jhāna pertama yang memiliki
seluruh lima faktor. Dan seorang yang memiliki Jhāna tetapi tidak menggunakan Jhāna sebagai
landasan bagi Vipassanā dan hanya merenungkan bentukan yang beraneka-ragam dan memperoleh
Magga, maka Magga itu menyerupai Jhāna pertama. Juga seorang yang memiliki Jhāna dan kemudian
keluar dari Jhāna itu dan merenungkan bentukan yang beraneka-ragam, ketika ia memperoleh Magga,
maka Magga itu akan menyerupai Jhāna pertama. Magga itu akan memiliki lima faktor.
Bagaimana dengan seorang yang merenungkan bukan pada bentukan yang beraneka-ragam tetapi
pada Jhāna-Jhāna itu sendiri? Jhāna-Jhāna dapat menjadi objek meditasi Vipassanā. Jika anda memiliki
Jhāna maka anda dapat masuk ke dalam Jhāna itu terlebih dulu. Kemudian dari Jhāna itu anda dapat
mengambil Jhāna sebagai objek Vipassanā. Dalam kasus itu tidaklah mudah untuk menentukan Magga
jenis apa yang akan dimiliki orang tersebut. Sehubungan dengan hal ini ada tiga pendapat. Kita dapat
menyebutnya tiga aliran. Ada tiga guru yang memiliki pendapat berbeda sehubungan dengan hal ini.
Guru pertama berkata bahwa apa yang penting, apa yang menentukan tingkat Jhāna dari Magga Citta
adalah Jhāna dasar. Jhāna dasar berarti Jhāna yang dijadikan landasan bagi meditasi Vipassanā. Itu
berarti ia masuk ke dalam Jhāna terlebih dulu. Kemudian ia keluar dari Jhāna itu. Ia dapat mengambil
Jhāna itu atau Jhāna lainnya sebagai objek Vipassanā. Ia juga dapat mengambil bentukan yang
beraneka-ragam sebagai objek Vipassanā. Tetapi menurut guru pertama ini, apa yang penting adalah
Jhāna yang dijadikan landasan bagi meditasi Vipassanā. Magga itu akan menyerupai Jhāna dasar. Jika
Jhāna dasarnya adalah Jhāna pertama, maka Magga itu akan menyerupai Jhāna pertama. Jika Jhāna
dasarnya adalah Jhāna ke lima, maka Magga itu akan menyerupai Jhāna ke lima. Ketika Magga Citta
muncul, di sana tidak ada Vitakka, Vicāra, Pīti atau Sukha, hanya ada Upekkhā dan Ekaggatā. Ini adalah
pendapat satu guru. Menurut guru ini, apa yang penting, apa yang menentukan tingkat Magga Citta
adalah Jhāna yang dijadikan landasan bagi Vipassanā. Itu berarti adalah Jhāna yang dimasuki terlebih
dulu.
Ada guru lain yang mengatakan bahwa adalah tidak penting Jhāna mana yang dijadikan landasan bagi
Vipassanā, melainkan Jhāna yang dijadikan objek Vipassanā yang penting. Seseorang boleh masuk ke
Jhāna pertama. Kemudian ia keluar dari Jhāna itu. Dan ia boleh berlatih Vipassanā pada Jhāna ke dua
atau ke tiga atau ke empat atau ke lima. Jhāna mana yang akan menyerupai Magga? Katakanlah ia
memasuki Jhāna pertama. Kemudian ia keluar dari Jhāna itu. Selanjutnya ia berlatih Vipassanā pada
Jhāna ke dua. Menurut guru ke dua ini, Magga yang muncul akan menyerupai Jhāna ke dua. Menurut
guru pertama, Magga yang muncul akan menyerupai Jhāna pertama. Sekarang anda melihat
perbedaan pendapat ini. Guru pertama mengatakan jhāna landasan adalah penting sebagai faktor
penentu. Guru ke dua mengatakan bahwa Jhāna yang direnungkan adalah lebih penting. Itu adalah
faktor penentu. Yang manakah yang lebih anda sukai?
Sekarang ada guru ke tiga. Ia berkata bahwa apa yang penting jika Jhāna landasan dan Jhāna yang
direnungkan adalah berbeda – apa yang penting atau apa yang menentukan Magga orang itu adalah
kehendak orang itu. Orang itu masuk ke dalam Jhāna pertama. Kemudian ia keluar dari Jhāna itu dan
merenungkan Jhāna ke dua. Tetapi ia menghendaki Jhāna pertama, maka Magga yang muncul akan
menyerupai Jhāna pertama. Jika ia menghendaki Jhāna ke dua, merenungkan Jhāna, maka Magga yang
muncul akan menyerupai Jhāna ke dua. Magga yang muncul akan menyerupai Jhāna dasar atau Jhāna
yang direnungkan sesuai kehendaknya.
Kemudian jika ia tidak memiliki kehendak tertentu apakah yang akan terjadi? Magga yang muncul
akan menyerupai Jhāna yang lebih tinggi. Jika ia menjadikan Jhāna sebagai landasan dan Jhāna ke dua
sebagai objek perenungan dan ia tidak memiliki kehendak tertentu, maka Magga yang muncul akan
menyerupai Jhāna ke dua karena Jhāna ke dua lebih tinggi daripada Jhāna pertama.
Sekarang anda mengerti. Mari kita memeriksa bagaimana Magga Citta menyerupai Jhāna. Saya pikir
saya sudah menjelaskan kepada anda bahwa Magga Citta dan Phala Citta juga disebut Jhāna. Itu karena
keduanya memeriksa karakteristik dari dekat dan bagi Phala Citta karena memeriksa karakteristik
sejati Nibbāna dari dekat. Maka Lokuttara Citta juga dapat disebut Jhāna karena memeriksa
karakteristik dari dekat. Puncak dari pemeriksaan karakteristik tercapai pada Magga.
Penjelasan lainnya adalah bahwa Citta itu menyerupai Jhāna. Itulah sebabnya maka disebut Jhāna. Kita
harus memahami Magga Citta dan Jhāna Citta. Magga Citta bukanlah Jhāna Citta. Sebenarnya Jhāna
Citta bukanlah Magga. Di sini Magga Citta disebut Magga Citta Jhāna pertama. Kita menggunakan
keduanya – Magga-citta Jhāna ke dua, Magga Citta Jhāna ke tiga, dan seterusnya. Kita menggabungkan
Jhāna dan Magga di sini. Ketika kita menggabungkan kedua ini dan mengatakan Magga Citta Jhāna
pertama, yang kita maksudkan adalah Magga Citta yang menyerupai, yang adalah seperti Rūpāvacara
Jhāna pertama. Ini bukanlah Jhāna. Jika ini adalah Jhāna, maka ini harus mengambil konsep sebagai
objek, seperti gambaran Kasiṇa. jika ini adalah Magga Citta, maka harus mengambil Nibbāna sebagai
objek. Jadi keduanya adalah berbeda. Jika ini adalah Jhāna, maka harus mengambiul konsep dan yang
lainnya sebagai objek. Jika ini adalah Magga Citta, maka harus mengambil Nibbāna sebagai objek. Jika
kita mengatakan Magga-citta Jhāna pertama, yang kita maksudkan adalah Magga Citta yang
menyerupai Jhāna pertama dalam hal faktor-faktor Jhāna.
Kita memiliki empat komponen yang harus dipertimbangkan di sini: Jhāna landasan, Jhāna yang
direnungkan, kehendak seseorang, dan munculnya Magga. Misalkan seseorang menjadikan Jhāna
pertama sebagai Jhāna landasan. Itu berarti pertama-tama ia masuk ke dalam Jhāna pertama.
Kemudian keluar dari Jhāna itu, ia merenungkan pada (itu berarti ia berlatih Vipassanā pada)
bentukan yang beraneka-ragam. Bentukan yang beraneka-ragam berarti batin dan jasmani. Ini dapat
berupa naik dan turunnya perut, napas masuk-dan-keluar, kesakitan dan suara. Ini disebut bentukan
yang beraneka-ragam. Ia tidak memiliki kehendak. Munculnya Magga akan menyerupai Jhāna
pertama. Seluruh lima faktor Jhāna akan ada bersama dengan Magga Citta itu karena orang itu tidak
memiliki kemuakan terhadap salah satu faktor Jhāna itu.
Yang ke dua adalah tanpa Jhāna landasan. Ia merenungakn Jhāna pertama dan ia tidak memiliki
kehendak tertentu. Maka munculnya Magga akan menyerupai Jhāna pertama.
Berikutnya, Jhāna landasan adalah Jhāna pertama. Jhāna yang direnungkan adalah Jhāna ke dua. Jika
seseorang menghendaki Jhāna pertama (itu berarti kehendak orang itu adalah bahwa munculnya
Magga adalah menyerupai Jhāna pertama), maka menuruti kehendaknya, Magga yang muncul akan
menyerupai Jhāna pertama.
Berikutnya adalah Jhāna landasan. Jhāna yang direnungkan adalah Jhāna ke dua. Kali ini ia
menginginkan yang lebih tinggi. Maka menurut kehendaknya, Magga yang akan muncul adalah Magga
dari Jhāna ke dua.
Kemudian ia menjadikan Jhāna pertama sebagai Jhāna landasan dan Jhāna ke dua sebagai Jhāna yang
direnungkan. Ia tidak memiliki kehendak tertentu. Akan menyerupai apakah Magga yang muncul?
Jhāna ke dua karena Jhāna ke dua adalah lebih tinggi daripada Jhāna pertama.
Berikutnya ia menjadikan Jhāna ke dua sebagai Jhāna landasan. Jhāna pertama adalah Jhāna yang
direnungkan. Tidak ada kehendak tertentu. Magga yang dihasilkan menyerupai Jhāna ke dua.
Kemudian tidak ada Jhāna – Sang Yogi tidak memiliki pencapaian Jhāna. Orang itu adalah praktisi
Vipassanā kering. Ia berlatih Vipassan pada bentukan yang beraneka-ragam. Ia tidak dapat memiliki
kehendak tertentu. Ia tidak memiliki Jhāna maka Maggga yang muncul akan menyerupai Magga Jhāna
pertama.
Kemudian ada seorang Yogi yang memiliki pencapaian Jhāna, tetapi ia tidak menggunakan Jhāna
sebagai landasan bagi Vipassanā atau sebagai objek perenungan Vipassanā. Melainkan ia
merenungkan bentukan yang beraneka-ragam. Ia tidak memiliki kehendak tertentu. Maka Magga
yang muncul akan menyerupai Jhāna pertama.
Bagaimana dengan Arūpāvacara Jhāna? Harap dipahami bahwa Arūpāvacara Jhāna adalah Jhāna ke
lima. Jika Jhāna landasannya adalah Arūpāvacara Jhāna dan Jhāna yang direnungkan adalah
Arūpāvacara Jhāna dan ia tidak memiliki kehendak tertentu, maka Magga yang muncul akan
menyerupai Jhāna ke lima. Berikutnya ia menjadikan Arūpāvacara Jhāna sebagai Jhāna landasan. Ia
merenungkan salah satu Rūpāvacara Jhāna atau bentukan yang beraneka-ragam. Ia tidak memiliki
kehendak tertentu. Maka yang berlaku adalah yang lebih tinggi.
Kemudian yang terakhir – landasannya adalah salah satu Rūpāvacara Jhāna atau bentukan yang
beraneka-ragam. Perenungannya adalah Arūpāvacara Jhāna. Ia tidak memiliki kehendak tertentu.
Maka Magga yang muncul akan menyerupai Jhāna ke lima.
Pembahasan ini tidak komprehensif. Kita dapat memiliki banyak hal di sini. Harap dipahami bahwa
harus ada Jhāna landasan, Jhāna yang direnungkan dan kehendak seseorang. Jika tidak ada kehendak
seseorang, maka yang berlaku adalah Jhāna yang lebih tinggi. Jika ada kehendak, maka Magga yang
muncul akan menyerupai Jhāna pertama, Jhāna ke dua, dan seterusnya.
Karena Magga dapat menyerupai Jhāna pertama, Jhāna ke dua, Jhāna ke tiga, Jhāna ke empat dan Jhāna
ke lima, maka dikatakan ada lima Sotāpatti-magga Citta. Demikian pula ada lima Sakadāgāmī-magga
Citta, lima Anāgāmī-magga Citta dan lima Arahatta-magga Citta. Kita memperoleh dua puluh
Lokuttara Kusala Citta.
Hal yang sama berlaku untuk Phala Citta. Ada lima Sotāpatti-phala Citta, lima Sakadāgāmī-phala Citta,
lima Anāgāmī-phala Citta dan lima Arahatta-phala Citta. Kita memperoleh dua puluh Phala Citta. Jika
kita menjumlahkan kedua ini maka kita memperoleh empat puluh Lokuttara Citta. Delapan Lokuttara
Citta menjadi empat puluh Lokuttara Citta karena masing-masing dari delapan Lokuttara Citta dapat
menyerupai masing-masing dari Rūpāvacara Jhāna dalam hal faktor-faktor Jhāna. Jika kita
menambahkan empat puluh ini pada 81 maka kita memperoleh 121 jenis kesadaran. Itulah sebabnya
mengapa kita selalu mengatakan 89 atau 121 jenis kesadaran. Bagi para pemula ini cukup
membingungkan. Mengapa tidak mengatakan 89 atau 121, dan bukan keduanya. Kita harus
mengatakannya dengan cara demikian. Dalam satu cara kita mengatakan 89; dalam cara lainnya kita
harus mengatakan ada 121 jenis kesadaran. Jika anda tertarik untuk mempelajari lebih jauh tentang
Jhāna landasan dan Jhāna yang direnungkan, maka anda dapat menbaca Visuddhimagga atau
Aṭṭhasālinī. Aṭṭhasālinī adalah Komentar untuk buku pertama Abhidhamma. Ini diterjemahkan dalam
Bahasa Inggris sebagai Expositor.
Jika anda ingin membaca visuddhimagga, Aṭṭhasālinī atau Dhammasaṅgaṇī untuk jenis-jenis
kesadaran individu ini, anda dapat melihat referensi pada akhir buku CMA halaman 376, Apendiks 1,
Sumber Tekstual untuk 89 atau 121 jenis kesadaran. Jika anda ingin membaca tentang Akusala Citta
pertama, yang berakar pada keserakahan, anda dapat membaca Dhammasaṅgaṇī paragraf #365 atau
Visuddhimagga bab 14 paragraf (90 dan #91. Dan anda dapat membaca Expositor atau Aṭṭhasālinī
halaman 336. Jika anda ingin membaca Teksnya secara langsung, anda dapat membaca buku-buku ini.
Tabel ini sangat membantu untuk mencari Citta-Citta ini di dalam Teks.
Urutan yang diberikan dalam Manual ini dan urutan yang diberikan dalam buku-buku Abhidhamma
adalah berbeda. Urutan dalam buku-buku Abhidhamma dimulai dari Kusala, kemudian Akusala Citta,
Vipāka citta dan Kiriya Citta. Sehingga anda memperoleh Kāmāvacara Kusala, Rūpāvacara Kusala,
Arūpāvacara Kusala terlebih dulu. Berikutnya adalah Akusala. Kemudian ada Kāmāvacara Vipāka,
Rūpāvacara Vipāka dan Arūpāvacara Vipāka. Kemudian ada Kāmāvacara Kiriya dan seterusnya.
Urutan yang diberikan dalam Manual ini dan buku-buku Abhidhamma adalah berbeda. Tabel ini
sangat membantu (baca CMA, Apendiks I-II, p.276-380). Anda dapat mencarinya dengan sangat mudah
sekarang. Ini berlaku jika anda memiliki buku-buku ini – Visuddhimagga, Dhammasaṅgaṇī dan
Aṭṭhasālinī. Visuddhimagga diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Yang Mulia Ñāṇamoli dengan
judul the Path of Purification. Anda dapat menggunakan referensi-referensi ini. Terdapat nomor-
nomor paragraf yang merujuk pada teks asli Pāḷi dan terjemahan Bahasa Inggris. Aṭṭhasālinī adalah
menurut nomor halaman. Anda dapat membaca Expositor dalam Bahasa Inggris untuk jenis-jenis
kesadaran ini.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Kata Pāḷi yang digunakan adalah Suññata. Suññata dalam Theravāda saya pikir
berbeda dengan Suññata dalam Mahāyāna. Dalam Theravāda ‘Suññata’ bermakna
kosong dari yang kekal, kosong dari hal memuaskan dan kosong dari jiwa. Suññata
dalam Pāḷi sebenarnya bermakna kosong dari Anicca, Dukkha dan Anatta. Ini bukan
bermakna kosong, hampa, kekosongan. Kita akan mempelajari hal ini dalam bab
sembilan. Ketika orang berlatih Vipassanā, beberapa orang melihat sifat
ketidakkekalan dengan lebih jelas. Beberapa orang melihat sifat penderitaan dengan
lebih jelas. Beberapa orang melihat sifat tanpa jiwa dengan lebih jelas. Dengan
bergantung pada karakteristik apa yang terakhir mereka renungkan, Magga itu
disebut Suññata-magga. Anda dapat menerjemahkannya sebagai kosong, hampa, atau
apapun. Kemudian Appaṇihita dan Animitta dan seterusnya – ini adalah nama-nama
yang diberikan pada Magga dengan bergantung pada kualitas Vipassanā atau
bergantung pada aspek Vipassanā. Ketika anda berlatih Vipassanā pada satu waktu,
anda hanya dapat memperhatikan satu karakteristik karena pikiran hanya dapat
mengambil satu objek pada satu waktu. Jika anda lebih berpengalaman dengan Anicca
daripada kedua karakteristik lainnya, maka Magga anda akan disebut Animitta. Ini
adalah nama-nama Magga yang ditentukan menurut kualitas Vipassanā. Suññata
bukan berarti hal yang sama seperti dalam pengertian Mahāyāna. Ini berarti hampa
dari yang kekal, hampa dari hal memuaskan dan hampa dari jiwa.

Pengulangan Bab 1
Ada 121 jenis kesadaran, yang dibagi menjadi 81 jenis kesadaran duniawi (Lokiya Citta) dan 8 atau 40
jenis kesadaran Adi-duniawi (Lokuttara Citta). Di antara jenis-jenis kesadaran duniawi apakah jenis-
jenis kesadaran alam-indriawi (Kāmāvacara Citta)? Yaitu 12 jenis kesadaran tidak bermanfaat (Akusala
Citta), 18 jenis kesadaran tanpa akar (Ahetuka Citta), dan 24 jenis kesadaran alam-indriawi yang indah
(Kāmāvacara Sobhana Citta).
Di antara dua belas Akusala Citta berapa banyakkah yang disertai Lobha? Delapan, delapan pertama
disertai dengan Lobha. Berapa banyakkah yang disertai Dosa? Dua Citta disertai dengan Dosa. Berapa
banyakkah yang disertai dengan hanya Moha saja? Hanya dua, dua terakhir disertai dengan hanya
Moha saja. Moha menyertai seluruh dua belas jenis kesadaran tidak bermanfaat. Maka kita seharusnya
mengatakan Lobha dan Moha, Dosa dan Moha, dan hanya Moha saja. Ketika kita mengatakan Lobha,
Moha juga termasuk. Ketika kita mengatakan Dosa, Lobha juga termasuk. Ada dua belas jenis
kesadaran tidak bermanfaat.
Kelompok berikutnya adalah kesadaran tanpa akar. Berapa banyakkah? Ada delapan belas Citta yang
tanpa akar. Bagaimanakah pembagiannya? Dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama Ahetuka
Citta adalah hasil dari jenis kesadaran tidak bermanfaat (Akusala Citta). Kelompok ke dua Ahetuka
Citta adalah hasil dari jenis kesadaran bermanfaat (Kusala Citta). Kelompok ke tiga Ahetuka Citta
adalah Kiriya atau fungsional. Di antara hasil-hasil Akusala, Ahetuka Citta pertama adalah kesadaran-
mata. Yang ke dua adalah kesadaran-telinga. Yang ke tiga adalah kesadaran-hidung; yang ke empat
adalah kesadaran-lidah dan yang ke lima adalah kesadaran-badan. Dalam Akusala-vipāka, kesadaran-
badan adalah tidak menyenangkan. Yang berikutnya adalah kesadaran penerimaan dan yang terakhir
adalah kesadaran penyelidikan.
Kelompok berikutnya dari Ahetuka Citta adalah hasil Kusala. Yang pertama adalah kesadaran-mata,
yang ke dua adalah kesadaran-telinga, yang ke tiga adalah kesadaran-hidung, yang ke empat adalah
kesadaran-lidah, dan yang ke lima adalah kesadaran-badan. Di sini kesadaran-badan adalah tidak
menyenangkan. Yang berikutnya adalah kesadaran penerimaan. Dua terakhir adalah kesadaran
penyelidikan. Ada dua kesadaran penyelidikan di antara delapan hasil Kamma bermanfaat.
Dalam kelompok terakhir Ahetuka Citta ada tiga jenis kesadaran. Yang pertama adalah pengalihan-
lima-pintu-indria. Yang ke dua adalah pengalihan-pintu-pikiran. Yang ke tiga adalah kesadaran yang
menghasilkan senyuman.
Sekarang kita sampai pada kelompok berikutnya. Citta-Citta dalam kelompok ini disebut kesadaran
alam-indriawi yang indah. Ada delapan kesadaran alam-indriawi bermanfaat (Kusala) yang indah.
Empat disertai dengan perasaan menyenangkan. Empat lainnya disertai dengan perasaan tidak peduli.
Kelompok berikutnya adalah kesadaran hasil alam-indriawi yang indah. Juga ada delapan – empat
disertai dengan perasaan menyenangkan dan empat disertai dengan perasaan tidak peduli. Kelompok
ke tiga adalah kesadaran fungsional atau Kiriya. Sekali lagi ini juga ada delapan, empat disertai dengan
perasaan menyenangkan dan empat disertai dengan perasaan tidak peduli. Seluruhnya ada 24. Dua
belas tambah delapan belas tambah 24 kita memperoleh 54. 54 ini disebut Kāmāvacara Citta, kesadaran
alam-indriawi.
Kelompok berikutnya adalah Rūpāvacara, alam bermateri halus atau kita dapat mengatakan kesadaran
alam-berbentuk. Lima Citta pertama adalah bermanfaat. Lima Citta ke dua adalah hasil. Lima ke tiga
adalah Kiriya atau fungsional. Dengan mempertimbangkan cara alternatif, ada tiga Citta Jhāna
pertama – satu Kusala, satu Vipāka, satu Kiriya. Juga ada tiga Citta Jhāna ke dua – satu Kusala, satu
Vipāka, satu Kiriya. Demikian pula, ada tiga Citta Jhāna ke tiga – satu Kusala, satu Vipāka, satu Kiriya.
Demikian pula, ada tiga Citta Jhāna ke empat – satu Kusala, satu Vipāka, satu Kiriya. Dan kita memiliki
tiga Rūpāvacara Citta Jhāna ke lima – satu Kusala, satu Vipāka, satu Kiriya.
Apakah kelompok Citta berikutnya? Yaitu kesadaran alam tanpa bentuk. Kelompok pertama
Arūpāvacara Citta adalah Kusala. Kelompok ke dua adalah Vipāka. Kelompok ke tiga adalah Kiriya.
Pada Jhāna berapakah itu? Pada Jhāna ke lima. Seluruh dua belas ini termasuk dalam Jhāna ke lima,
yang disertai dengan dua faktor Jhāna, Upekkhā dan Ekaggatā.
Kesadaran alam berbentuk dan alam tanpa bentuk lima belas tambah dua belas menjadi 27 secara
kolektif disebut Mahaggata Citta. Ada 27 Mahaggata Citta. Berapa banyakkah Citta Jhāna pertama?
Tiga Citta Jhāna pertama. Berapa banyakkah Citta Jhāna ke dua? Tiga Citta Jhāna ke dua. Kemudian
berapa banyakkah Citta Jhāna ke tiga? Tiga Citta Jhāna ke tiga. Berapa banyakkah Citta Jhāna ke
empat? Ada tiga Citta Jhāna ke empat. Dan berapa banyakkah Citta Jhāna ke lima? Ada 15 Citta Jhāna
ke lima. Bagus. Seluruhnya kita memperoleh 81 jenis kesadaran duniawi.
Sekarang mari kita melakukan hal yang sulit. Kelompok pertama Citta yang kita bahas adalah Akusala.
Berapa banyakkah Citta yang dimiliki orang-orang yang tidak tercerahkan? Orang-orang tidak
tercerahkan mengalami seluruh dua belas. Berapa banyakkah yang dimiliki oleh seorang Sotāpanna?
Seorang Sotāpanna masih dapat mengalami tujuh Citta tidak bermanfaat. Kesadaran yang disertai
dengan keragu-raguan dan empat yang disertai dengan pandangan salah telah dilenyapkan oleh
Sotāpanna. Hanya tujuh Citta tidak bermanfaat yang masih dimiliki Sotāpanna. Berapa banykkah yang
dimiliki Sakadāgāmī? Mereka masih dapat mengalami tujuh jenis kesadaran tidak bermanfaat yang
sama seperti yang dialami oleh Sotāpanna. Berapa banyakkah jenis kesadaran tidak bermanfaat yang
masih dimiliki oleh Anāgāmī? Mereka masih mengalami lima jenis Akusala Citta. Dua yang manakah
yang lenyap? Dua Dosamūla Citta dilenyapkan. Anāgāmī membasmi Dosa seluruhnya. Dosa tidak
dimiliki oleh Anāgāmī. Berapa banyakkah yang dimiliki Arahant? Tidak ada Akusala Citta yang dimiliki
oleh Arahant; Arahant tidak mengalami jenis Akusala atau kesadaran tidak bermanfaat apapun. Bagus.
Mungkinkah Akusala Ahetuka Vipāka Citta muncul dalam batin para Arahant? Mungkin saja. Dapatkah
Kusala Ahetuka Vipāka Citta muncul juga pada para Arahant? Mungkin saja, karena para Arahant
dapat, misalnya, melihat objek-objek yang indah maupun yang buruk. Mereka dapat mendengar suara
yang merdu maupun yang buruk. Ketiga Kiriya ahetuka Citta juga dapat dimiliki oleh para Arahant.
Yang terakhir, kesadaran yang menghasilkan senyuman adalah hanya dimiliki oleh para Arahant dan
para Buddha saja.
Kāmāvacara Sobhana Kusala Citta dimiliki oleh orang-orang biasa, Sotāpanna, Sakadāgāmī dan
Anāgāmī. Katakanlah, Citta-Citta itu dimiliki oleh non-Arahant. Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta
dimiliki oleh non-Arahant dan Arahant. Kāmāvacara Sobhana Kiriya Citta hanya dimiliki oleh para
Arahant saja.
Rūpāvacara Kusala Citta dimiliki oleh non-Arahant. Rūpāvacara Vipāka Citta dimiliki oleh non-
Arahant dan Arahant. Rūpāvacara Kiriya Citta hanya dimiliki oleh para Arahant saja.
Arūpāvacara Kusala Citta dimiliki oleh non-Arahant. Arūpāvacara Vipāka Citta dimiliki oleh non-
Arahant dan Arahant. Arūpāvacara Kiriya Citta hanya dimiliki oleh para Arahant saja.
Sekarang kita sampai pada kesadaran Adi-duniawi. Ada delapan atau empat puluh jenis kesadaran Adi-
duniawi. Ketika kita mengatakan ada delapan, kita menghitung Sotāpatti-magga sebagai hanya satu.
Ini adalah Magga atau Jalan dari seorang Pemasuk-arus. Ketika menghitung dengan cara ini, ada satu
Citta untuk tiap-tiap tingkat pencapaian Adi-duniawi – satu untuk Sotāpatti-magga, satu untuk
Sotāpatti-phala, satu untuk Sakadāgāmī-magga, satu untuk Sakadāgāmī-phala, satu untuk Anāgāmī-
magga, satu untuk Anāgāmī-phala, satu untuk Arahatta-magga, satu untuk Arahatta-phala. Ketika kita
mengatakan, ada 89 jenis kesadaran, kita menghitungnya sebagai masing-masing satu Citta. Ketika
kita mengatakan, ada 121, kita menghitungnya sebagai lima untuk tiap-tiap tingkat pencapaian – lima
untuk Sotāpatti-magga, lima untuk Sotāpatti-phala, lima untuk Sakadāgāmī-magga, lima untuk
Sakadāgāmi-phala, dan seterusnya. Berapa banyakkah Magga Citta? Di antara empat puluh Lokuttara
Citta ada dua puluh Magga Citta. Dua puluh dari empat puluh Lokuttara Citta adalah kesadaran Sang
Jalan. Dua puluh lainnya adalah kesadaran Buah. Seluruhnya kita memperoleh empat puluh jenis
kesadaran Adi-duniawi. Kemudian jika kita menjumlahkan empat puluh tambah 81, kita memperoleh
total 121 jenis kesadaran.
Katakanlah, ada 89 jenis kesadaran. Di antara 89 jenis kesadaran berapa banyakkah yang Akusala? Ada
dua belas Akusala Citta. Berapa banyakkah yang Kusala? Ada 21 Kusala Citta. Yaitu delapan
Kāmāvacara Sobhana Kusala Citta, lima Rūpāvacara Kusala Citta, empat Arūpāvacara Kusala Citta, dan
empat Magga Citta. Berapa banyakkah Vipāka? Vipāka Citta adalah lima belas Ahetuka Vipāka Citta,
delapan Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta, lima Rūpāvacara Vipāka Citta, empat Arūpāvacara Vipāka
citta, dan empat Phala Citta. Berapa banyakkah Kiriya? Kiriya Citta adalah tiga Ahetuka Kiriya Citta,
delapan Kāmāvacara Sobhana Kiriya Citta, lima Rūpāvacara Kiriya Citta, dan empat Arūpāvacara Kiriya
Citta. Tidak ada Kiriya dalam Lokuttara. Mengapakah tidak ada Kiriya dalam kesadaran Adi-duniawi?
Ingatkah anda? Tidak ada Kiriya dalam Lokuttara karena kesadaran Sang Jalan hanya muncul satu kali.
Jika kita menghitung 121 jenis kesadaran, berapa banyakkah Kusala Citta? Seluruhnya ada 37. Berapa
banyakkah Vipāka Citta? Seluruhnya ada 52 Vipāka Citta.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? Ada 62 Citta yang disertai dengan Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Ada 55 Citta yang disertai dengan Upekkhā. Berapa
banyakkah yang disertai dengan Domanassa? Dua Dosamūla Citta mewakili Citta-Citta yang disertai
dengan Domanassa. Berapa banyakkah yang disertai dengan Dukkha? Ahetuka Citta yang muncul
dengan perasaan tubuh yang tidak menyenangkan disertai dengan perasaan Dukkha. Yang manakah
yang disertai dengan Sukha? Ahetuka Citta yang muncul dengan perasaan tubuh menyenangkan
disertai dengan perasaan Sukha (baca CMA, III, Tabel 3.1, p.118). Bagus sekali. Seluruhnya kita
memperoleh 121 jenis kesadaran.
Pertanyaan Ulangan
1. Apakah dua relitas?
A. Sammuti-sacca = kebenaran konvensional,
B. Paranmattha-sacca = kebenaran mutlak.

2. Apakah empat Paramattha yang diperiksa dalam Abhidhamma?


A. Citta = kesadaran,
B. Cetasika = Faktor-faktor batin,
C. Rūpa = materi,
D. Nibbāna.

3. Apakah tiga alam kehidupan?


A. Kāmāvacara Bhumi = alam-indriawi,
B. Rūpāvacara Bhūmi = alam berbentuk,
C. Arūpavacara Bhūmi = alam tanpa bentuk.

4. Apakah Kata Pāḷi untuk duniawi dan Adi-duniawi dan berapa banyakkah kondisi-kondisi kesadaran
yang direpresentasikan oleh masing-masingnya?
A. Lokiya = duniawi (81),
B. Lokuttara = Adi-duniawi (4 atau 40).

5. Apakah empat kelompok kesadaran sehubungan dengan sifatnya dan berapa banyakkah Citta yang
terdapat dalam masing-masing kelompok?
A. Kusala = bermanfaat (37 atau 21),
B. Akusala = tidak bermanfaat (12),
C. Vipāka = hasil (52 atau 36)
D. Kiriya = fungsional (20)
6. Apakah tiga akar dari Citta tidak bermanfaat (Akusala)
A. Lobha = keserakahan,
B. Dosa = kebencian,
C. Moha = delusi.

7. Sebutkan lima perasaan (Vedanā) dan berapa banyakkah Citta dengan Vedanā tertentu?
A. Sukha = perasaan fisik menyenangkan (1),
B. Dukkha = perasaan fisik tidak menyenangkan (1),
C. Somanassa = perasaan batin menyenangkan (62),
D. Domanassa = perasaan batin tidak menyenangkan (2),
E. Upekkha = perasaan netral (55).

8. Definisikan Sasaṅkhārika dan Asaṅkhārika


A. Sasaṅkhārika adalah dengan dorongan.
B. Asaṅkhārika adalah tanpa dorongan atau spontan.

9. Apakah makna Vicikicchā?


A. Kata ini secara umum diterjemahkan sebagai bermakna keragu-raguan. Dalam Abhidhamma kata
ini bermakna keragu-raguan sehubungan dengan kebenaran spiritual fundamental seperti hukum
Kamma, Kemunculan Bergantungan, kemampuan praktik meditasi untuk melenyapkan kekotoran
batin, dan sebagainya.

10. Apakah Citta?


A. Citta adalah kesadaran murni atas objek atau kesadaran batin. Dalam Abhidhamma Citta dianggap
hadir bahkan ketika seseorang dalam keadaan ‘tidak sadar’ atau tidur lelap.

11. Ketika suatu Akusala Citta memiliki Diṭṭhi, apakah yang disertai keadaan kesadaran itu?
A. Pandangan salah disertai dengan Citta itu.

12. Dengan Citta apakah Moha disertai?


A. Moha disertai dengan seluruh 12 Akusala Citta. Dengan Mohamūla ini adalah satu-satunya akar.
13. Definisikan kata ‘Ahetuka’ dan berapa banyakkah Citta dalam kelompok Ahetuka?
A. Kata Ahetuka berarti tanpa akar, yaitu enam akar: Alobha, Adosa, Amoha, Lobha, Dosa dan Moha.
Ada 18 Citta dalam kelompok Ahetuka. Citta-Citta ini adalah tanpa akar, tetapi bukan berarti tanpa
penyebab.

14. Apakah perbedaan antara kelompok pertama dan ke dua dalam kelompok Ahetuka Citta?
A. Kelompok pertama adalah hasil Akusala Kamma yang dilakukan di masa lampau.
B. Kelompok ke dua adalah hasil Kusala Kamma yang dilakukan di masa lampau.

15. Berikan beberapa contoh Dosa pasif.


A. Beberapa contoh Dosa pasif adalah ketakutan dan dukacita.

16. Definisikan kata Pañcadvāravajjana.


A. Pañcadvāravajjana adalah momen kesadaran yang mana pikiran beralih kepada salah satu dari lima
indria dalam proses pikiran.

17. Apakah Hasituppāda?


A. Ini adalah kesadaran yang menghasilkan senyuman yang khas pada para Arahant dan para Buddha
saja.

18. Berapa banyakkah Citta yang termasuk dalam kelompok Kāmāvacara Sobhana dan Citta jenis
apakah yang ada dalam masing-masing dari tiga pembagian kelompok ini?
A. Ada 24 Citta dalam kelompok ini. Kelompok pertama terdiri dari Kusala Citta; kelompok ke dua
terdiri dari Vipāka Citta; kelompok ke tiga terdiri dari Kiriya Citta.

19. Beberapa dari Kāmāvacara Sobhana Citta memiliki dua akar dan beberapa memiliki tiga akar.
Apakah dua akar yang dimiliki semua Citta ini? Apakah akar tambahan yang dimiliki hanya oleh
beberapa Citta?
A. Alobha (Kedermawanan) dan Adosa (cinta-kasih) dimiliki semuanya.
B. Paññā atau Amoha (kebijaksanaan) dimiliki oleh beberapa.

20. Apakah perbedaan antara Kāmāvacara Sobhana Kusala Citta dan Kāmāvacara Sobhana Kiriya Citta?
A. Kāmāvacara Sobhana Kusala Citta adalah perbuatan duniawi bermanfaat yang dilakukan oleh kaum
duniawi dan para Ariya yang lebih rendah. Kāmāvacara Sobhana Kiriya Citta adalah perbuatan duniawi
yang dilakukan oleh para Arahant dari para Buddha.

21. Apakah lima faktor dalam Jhāna?


A. Vitakka = awal pikiran.
B. Vicāra = kelangsungan pikiran.
C. Pīti = gairah atau kegembiraan.
D. Sukha = kebahagiaan.
E. Ekaggatā = keterpusatan pikiran.

22. Apakah rintangan yang dihalangi secara sementara oleh faktor-faktor Jhāna?
A. Vitakka – Thina (kelambanan) & Middha (ketumpulan),
B. Vicāra – Vicikicchā (keragu-raguan),
C. Pīti – Vyāpāda (kebencian),
D. Sukha – Uddhaca (kegelisahan) & Kukkucca (penyesalan),
E. Ekaggatā – Kāmacchanda (keinginan indria)
F. Upekkhā - Uddhaca (kegelisahan) & Kukkucca (penyesalan).

23. Apakah dua jenis meditasi?


A. Dua jenis meditasi adalah Samatha dan Vipassanā.

24. Berapa banyakkah objek tradisional dari meditasi Samatha? Apakah pembagian utama dari objek-
objek meditasi Samatha?
A. ada 40 objek tradisional dari meditasi Samatha.
I. ada 10 Kasiṇa.
II. ada 10 objek Asubha (mayat dalam berbagai tahap pembusukan).
III. ada 10 pengingatan (Buddha, Dhamma, Saṃgha, dan sebagainya).
IV. ada empat tanpa batas (Brahmavihāra)
V. Kejijikan pada makanan adalah satu objek meditasi.
VI. Empat elemen adalah satu objek meditasi lainnya.
VII. empat objek tanpa bentuk adalah satu kelompok objek meditasi lainnya.

25. Apakah empat Brahmavihāra?


A. Mettā = cinta-kasih,
B. Karuṇa = belas kasihan,
C. Muditā = kegembiraan apresiatif,
D. Upekkhā = keseimbangan.

26. Apakah tiga gambaran makhluk atau keterkondisian segala sesuatu?


A. Anicca = ketidakkekalan,
B. Dukkha = penderitaan,
C. Anatta = tanpa jiwa.

27. Sebutkan empat Arūpāvacara Jhāna


A. Ākāsānañcāyatana = Jhāna dengan ruang tanpa batas sebagai objek.
B. Viññāṇañcāyatana = Jhāna dengan kesadaran tanpa batas sebagai objek.
C. Ākiñcaññāyatana = Jhāna dengan berdiam dalam kekosongan yaitu ketiadaan Arūpa Jhāna pertama
sebagai objek.
D. Nevasaññānāsaññāyatana = Landasan dengan bukan persepsi juga bukan non-persepsi sebagai
objek.

[Akhir dari Bab Satu]


BAB II
Cetasika
Cetasika
Sekarang kita sampai pada Bab dua tentang Cetasika. Sekarang anda harus ingat bahwa ada empat
kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak pertama adalah Citta. Kebenaran mutlak ke dua adalah Cetasika.
Kebenaran mutlak ke tiga adalah Rūpa. Kebenaran mutlak ke empat adalah Nibbāna.
Kita baru saja selesai dengan bagian tentang kebenaran mutlak pertama yaitu Citta. Sekarang kita
membahas kebenaran mutlak ke dua yaitu Cetasika. Saya telah menjelaskan kepada anda tentang
definisi Cetasika. Cetasika apakah artinya? Artinya adalah apa yang muncul bersama Citta atau yang
muncul dengan bergantung pada Citta. Kondisi-kondisi batin itu yang muncul dengan bergantung
pada Citta disebut Cetasika. ‘Ceta’ berarti pikiran dan ‘Ika’ berarti bergantung pada. ‘Cetasika’ berarti
hal-hal yang kemunculannya bergantung pada Citta. Hanya ketika ada Citta maka ada Cetasika.
Cetasika hanya dapat muncul ketika ada Citta, kesadaran.
Citta dan Cetasika muncul bersama-sama. Citta dikatakan sebagai pelopor atau pemimpin dari
Cetasika. ‘Citta’ berarti kesadaran atas objek. Jika tidak ada kesadaran atas objek, maka tidak mungkin
ada kontak dengan objek. Tidak mungkin mengalami objek. Tidak mungkin ada persepsi atas objek.
Itulah sebabnya mengapa Citta dikatakan sebagai pelopor, dikatakan sebagai pemimpin, dari kondisi-
kondisi batin ini. Citta adalah pemimpin walaupun keduanya muncul secara bersamaan, bahkan
walaupun keduanya muncul pada saat yang sama.
Cetasika adalah apa yang memberi warna pada Citta. Sebenarnya Citta adalah satu – kesadaran atas
objek. Cetasika-Cetasika berbeda muncul bersama Citta. Jika Citta muncul bersama Cetasika indah,
maka Citta itu disebut Citta yang indah ketika Citta muncul bersama Cetasika tidak bermanfaat, maka
disebut Citta tidak bermanfaat, kesadaran tidak bermanfaat. Sebenarnya adalah Cetasika yang
membedakan satu kesadaran dari kesadaran lainnya.

Karakteristik Cetasika
Ada karakteristik-karakteristik Cetasika ini yang dijelaskan dalam Manual. Saya ingin anda membaca
CMS, Bab dua, halaman 77.
- Satu karakteristik Cetasika adalah bahwa kemunculannya bersama dengan kesadaran.
- Karakteristik lainnya adalah bahwa berhenti atau lenyapnya bersama dengan kesadaran.
- Karakteristik lainnya lagi adalah bahwa Cetasika memiliki objek yang sama seperti kesadaran.
- Karakteristik lainnya lagi adalah bahwa Cetasika memiliki landasan yang sama seperti
kesadaran.
Ini disebut empat karakteristik Cetasika. Agar sesuatu dapat disebut Cetasika, maka harus memiliki
empat karakteristik ini.
Karakteristik pertama adalah bahwa Cetasika muncul bersama dengan kesadaran. Cetasika harus
muncul bersamaan dengan Citta. Citta dan Cetasika ada selama hanya tiga sub-momen – muncul,
berlangsung dan lenyap. Keduanya muncul bersama. Hal-hal itu yang muncul bersama dengan Citta
disebut Cetasika. Cetasika harus muncul bersama dengan Citta.
Tetapi itu belum cukup karena properti materi juga muncul pada saat yang sama dengan Citta.
Properti materi yang sama, misalnya, yang disebabkan oleh Citta, dan juga yang disebabkan oleh
Kamma, muncul pada saat yang sama bersama dengan Citta. Karakteristik pertama belum cukup untuk
mencegah yang lainnya juga disebut Cetasika.
Karakteristik ke dua diperlukan di sini, yaitu, lenyapnya bersama dengan Cetasika. Itu berarti Cetasila
lenyap pada saat yang sama dengan kesadaran. Properti materi dikatakan bertahan selama durasi 17
momen pikiran. Properti materi ini mungkin muncul bersama dengan Citta, tetapi tidak lenyap
bersama dengan Citta, melainkan bertahan hingga momen pikiran ke-17. Jadi ketika karakteristik ke
dua dimasukkan ke sini, kita tahu bahwa properti materi itu bukan Cetasika. Untuk mengeluarkan
properti materi itu maka karakteristik ke dua ini diberikan. Cetasika harus muncul bersama dengan
Citta dan lenyap bersama Citta.
Itu juga masih belum cukup. Anda akan memahaminya setelah mempelajari bab enam. Abhidhamma
adalah seperti teka-teki menyusun gambar. Sebelum anda memasang keping terakhir, gambar itu
selalu tidak sempurna. Jika anda tidak memahami penjelasan ini, jangan khawatir. Setelah bab enam
anda akan paham. Tak seorangpun yang perlu menjelaskannya kepada anda pada saat itu. Ada dua
properti materi yang disebut isyarat tubuh dan isyarat vokal. Isyarat tubuh artinya melalui gerak-
gerik tubuh kita memberitahukan keinginan kita pada orang lain. Ketika saya menggunakan gerak-
gerik ini di Amerika, anda tahu bahwa saya sedang memanggil anda. Di Burma berbeda. Ini adalah
isyarat tubuh. Sekarang saya sedang berbicara dan anda mendengarkan saya. Pembicaraan saya
disebut isyarat vokal. Dikatakan bahwa isyarat tubuh dan isyarat vokal muncul dan lenyap bersama
Citta. Keduanya tidak bertahan selama 17 momen pikiran seperti properti materi lainnya. Keduanya
bertahan selama satu momen pikiran.
Hanya dengan dua karakteristik pertama masih tidak cukup. Maka kita memerlukan yang ke tiga –
memiliki objek yang sama seperti kesadaran. Itu berarti Cetasika mengambil objek yang sama seperti
kesadaran. Isyarat tubuh dan isyarat vokal termasuk properti materi, termasuk kualitas materi.
Karena itu adalah properti materi, maka itu juga adalah objek, tetapi tidak mengambil objek. Hal-hal
itu sadar atas objek. Hal-hal itu tidak mengenali. Ketika kita mengatakan, memiliki objek yang sama
seperti kesadaran, kita mencegahnya agar tidak disebut Cetasika. Agar kedua ini, isyarat tubuh dan
isyarat vokal tidak disebut sebagai Cetasika maka kita memerlukan karakteristik ke tiga.
Bagaimana dengan yang ke empat? Tidak ada yang lebih diperlukan untuk mencegah hal-hal lain
disebut Cetasika. Citta dan Cetasika ketika muncul dalam kelima agregat selalu memiliki landasan yang
sama. Landasan di sini berarti mata, telinga, hidung, lidah, badan dan jantung. Ini disebut landasan-
landasan kesadaran. Kesadaran bergantung pada salah satu dari landasan-landasan ini untuk muncul.
Misalnya, kesadaran melihat muncul dengan bergantung pada mata. Jika kita tidak memiliki mata,
maka kita tidak melihat dan dengan demikian tidak ada kesadaran melihat. Jika kita tidak memiliki
telinga, maka kita tidak mendengar. Oleh karena itu tidak ada kesadaran mendengar dan seterusnya.
Ketika kesadaran muncul pada alam lima agregat, seperti di alam manusia, kesadaran ini selalu
memiliki landasan. Citta dan Cetasika selalu pasti memiliki landasan yang sama. Jika Citta bergantung
pada mata, maka Cetasika juga pasti bergantung pada mata. Jadi keduanya memiliki lendasan yang
sama seperti kesadaran. Empat ini disebut karakterisik-karakteristik atau tanda-tanda Cetasika. Agar
suatu kondisi dapat disebut Cetasika maka harus memenuhi keempat kondisi ini. Yang pertama adalah
muncul bersama dengan Citta. Yang ke dua adalah lenyap bersama dengan Citta. Yang ke tiga adalah
memiliki objek yang sama seperti Citta. Yang ke empat adalah memiliki landasan yang sama seperti
Citta. Kondisi-kondisi demikian disebut Cetasika.
Ada 52 Cetasika. 52 Cetasika ini dijelaskan dalam Manual ini secara sistematis. Urutan yang diberikan
dalam Manual ini dan urutan dalam buku-buku Abhidhamma dan Visuddhimagga adalah berbeda.
Tetapi saya pikir urutan di sini adalah lebih baik karena mengelompokkan Cetasika menurut berapa
banyak Citta yang muncul bersama Cetasika tersebut dan seterusnya. Cetasika-Cetasika ini disebutkan
dalam buku pertama Abhidhamma dan kemudian ada Komentar atas buku tersebut. Cetasika-Cetasika
ini juga disebutkan dalam Visuddhimagga. Jika anda ingin membaca lebih lanjut, anda dapat membaca
Visuddhimagga atau Komentar atas buku pertama Abhidhamma yang berjudul the Expositor dalam
Bahasa Inggris. Saya rasa informasi yang mencukupi telah diberikan dalam CMA ini. Saya pikir anda
cukup membaca CMA ini, tetapi jika anda ingin membaca lebih banyak, anda dapat membaca buku-
buku itu.

Cetasika dalam Kelompok


Ada 52 Cetasika yang dibagi menjadi kelompok-kelompok. Kelompok pertama disebut dalam Pāḷi.
kelompok pertama dalam Pāḷi disebut ‘Aññasamāna’. Ada 13 Cetasika dalam kelompok ini. Cetasika-
Cetasika dalam kelompok Aññasamāna dalam CMA disebut “variable etis” pada halaman 78. Cetasika
ini dapat muncul bersama dengan Kusala citta, Akusala Citta, Vipāka Citta atau Kirita Citta.
Kelompok berikutnya adalah Akusala. Jika anda terbiasa dengan Akusala. Ada 15 Citta tidak
bermanfaat.
Kelompok berikutnya adalah Sobhana Cetasika, faktor-faktor batin indah. Ada 25 Sobhana Cetasika.
Pembagian pertama adalah Aññasamāna atau variabel etis 13. Berikutnya Akusala 14. Dan terakhir ada
25 Sobhana Cetasika.

Aññasamāna
Mengapakah disebut Aññasamāna? Variabel etis bukanlah terjemahan dari kata ‘Aññasamāna’. ‘Añña’
berarti yang lain. ‘Samāna’ berarti sama. Jadi ‘Aññasamāna’ berarti sama dengan yang lain. Apakah
maksudnya, sama dengan yang lain? Variabel etis adalah sama untuk Kusala dan Akusala serta untuk
Vipāka dan Kiriya juga. Ketika muncul bersama Kusala, variabel etis juga muncul pada Akusala dan
yang lainnya, tidak pada momen yang sama, tetapi dapat bersama Akusala juga. Ketika bersama
Akusala, variabel etis juga dapat bersama Kusala pada waktu lainnya. Itu disebut sama dengan yang
lain. Artinya sama untuk keduanya. Bhikkhu Bodhi menggunakan kata ‘variabel etis’. Apapun yang
dapat bersama keduanya dapat disebut Aññasamāna. Jika anda dapat bersama dengan orang ini dan
kemudian dengan orang lain, maka anda dapat disebut Aññasamāna. Anda dapat bersama kedua orang
itu. Seluruhnya ada 13 Aññasamāna atau variabel etis. Ketika bersama Kusala, variabel etis memiliki
kualitas Kusala. Variabel etis dapat berubah-ubah. Apa yang menentukan kualitas Cetasika-Cetasika
ini adalah sifat Akusala dan Kusala dari faktor-faktor batin lainnya.

Sabbacitta-sādhāraṇa
Aññasamāna 13 Cetasika dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dalam Pāḷi disebut
‘Sabbacitta-sādhāraṇa’. ‘Sabba’ berarti semua. ‘Citta’ berarti kesadaran. ‘Sādhāraṇa’ berarti sama. Jadi
‘Sabbacitta-sādhāraṇa’ berarti Cetasika-Cetasika yang sama untuk semua Citta, tetapi makna harfiah
adalah hanya sama untuk semua kesadaran. ‘Sādhāraṇa’ berarti sama. Jadi ‘Sabbacitta-sādhāraṇa’
berarti semua-kesadaran-sama – sama untuk semua kesadaran. Ini diterjemahkan sebagai universal.
Karena universal, karena sama untuk semua Citta, maka akan muncul bersama setiap Citta. Citta
apapun yang muncul, variabel etis akan muncul bersama Citta itu. Variabel etis adalah properti batin
penting untuk pengenalan. Properti batin penting untuk mengenali objek. Seluruhnya ada tujuh.
Ketujuh ini disebut universal. Ketujuh ini muncul bersama setiap jenis kesadaran.

Phassa
Cetasika universal (Sabbacitta-sādhāraṇa) dalam Pāli adalah Phassa, Vedanā, Saññā, Cetanā, Ekaggatā,
Jīvitindriya dan Manasikāra. Apakah Phassa? Phassa artinya kontak. Kontak di sini bukan bermakna
kontak fisik. Ini adalah kontak batin. Ketika suatu objek masuk ke dalam jangkauan indria – mata,
telinga atau apapun – ada kesadaran atas objek. Kemudian ada pengalaman nyata atas objek tersebut.
Itu adalah apa yang kita sebut Phassa, kontak. Ini adalah sentuhan objek pada pikiran. Phassa berarti
menyentuh. Walaupun digunakan kata ‘sentuhan’, sentuhan ini bukanlah fisik melainkan batin.
Walaupun kita tidak menyentuh secara fisik, kita selalu tersentuh oleh sesuatu. Kita melihat sesuatu
di sana, dan kita bahagia, atau kita takut, atau kita sedih. Phassa adalah seperti itu. Phassa atau kontak
ini jelas ketika kita melihat seseorang memakan buah yang asam. Mulut anda menjadi berludah. Ini
disebabkan oleh Phassa. Anda mungkin pernah melihat sirkus. Ketika mereka berjalan di atas tali,
jantung anda berdebar-debar. Ini disebabkan oleh Phassa. Kadang-kadang ketika anda takut, anda
menjadi terpaku. Anda tidak dapat melakukan apapun. Anda seperti lumpuh. Itu disebabkan oleh
Phassa.
Di waktu masih muda, saya menetap di Bukit Sagaing. Ini adalah tempat religius. Hanya para bhikkhu
dan bhikkhunī yang menetap di sana. Ini adalah sebuah bukit. Jadi ada pepohonan kecil, semak belukar
dan hutan. pada malam hari kawanan macan akan turun untuk meminum air di sungai. Ketika anjing-
anjing mencium kedatangan macan, mereka tidak bergerak sama sekali. Anjing adalah mangsa yang
mudah ditangkap oleh kawanan macan. Itu adalah Phassa. Mereka terpaku. Walaupun tidak ada
kontak fisik, namun ada kontak batin.
Jika anda adalah seorang yang takut hantu, anda mungkin melihat sesuatu dalam gelap dan anda
berpikir bahwa itu adalah hantu. Kemudian anda akan gemetar. Semua ini adalah manifestasi dari
Phassa atau kontak. Kapanpun suatu objek masuk ke dalam jangkauan indria, di sana selalu ada Phassa
atau kontak.

Empat Aspek
Ketika kita mempelajari kondisi-kondisi batin ini, Komentar memberikan empat aspek untuk tiap-tiap
Cetasika. Di antara empat aspek ini, tiga dapat terlihat selama meditasi. Jika anda memiliki konsentrasi
yang baik dan anda melihatnya, maka anda akan melihat aspek-aspek ini. Adalah baik sekali dapat
memahami keempat ini, walaupun anda mungkin tidak mengingatnya semua. Pada CMA halaman 29
ini disebut ‘empat alat untuk mendefinisikan yang dengannya ini dapat dibatasi.” Yaitu 1.
Karakteristik, 2. Fungsi, 3. Manifestasi, 4. Penyebab terdekat. Adalah baik sekali dapat memahami
empat aspek ini dari tiap-tiap properti batin. Komentar selalu memberikan empat alat pendefinisian
ini atau empat aspek dari tiap-tiap kondisi batin.
Yang pertama disebut karakteristik atau tanda. Dengan tanda ini kita mengetahui bahwa ini adalah
Phassa. Dengan tanda ini kita mengetahui bahwa ini adalah Vedanā dan sebagainya. Tanda itu dalam
Pāḷi disebut Lakkhaṇa. ini adalah kualitas menonjol dari fenomena. Ini adalah karakteristik individual
atau inti individual.
Kemudian ada yang dalam Pāḷi disebut Rasa. Rasa secara langsung diterjemahkan sebagai rasa, rasa
dari kondisi batin. Rasa dikatakan sebagai ada dua jenis. Satu adalah Kicca, fungsi. Yang lainnya adalah
pencapaian atau tujuan, suatu jenis hasil. Jadi ada dua jenis Rasa – fungsi (Kicca) dan pencapaian
(Sampatti).
Nomor tiga adalah manifestasi. Di sini juga ada dua. ‘Paccupaṭṭhāna’ berarti manifestasi pada batin
seorang Yogi. Ketika seorang meditator merenungkan Phassa atau melihat Phassa, ia akan melihat
bagaimana Phassa muncul dalam batinnya, bagaimana Phassa bermanifestasi pada batinnya.
Manifestasi ini dalam Pāḷi disebut Paccupaṭṭhāna. Hasilnya juga disebut Paccupaṭṭhāna. Ada dua jenis
Paccupaṭṭhāna – modus manifestasi dan hasilnya.
Nomor empat adalah penyebab terdekat (Padaṭṭhāna), apakah penyebab terdekat dari Phasa dan
sebagainya. empat ini diberikan untuk hampir semua Cetasika dalam Expositor serta dalam
Visuddhimagga. Dalam CMA ini juga diberikan. Baik sekali jika anda membaca sumber-sumber ini.
Silakan baca tentang Phassa pada CMA halaman 78.
“Dalam hal empat alat pendefinisian yang digunakan dalam Komentar Pāḷi, kontak memiliki
karakteristik menyentuh.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.78)
Itu bukan senthan fisik.
“Fungsinya adalah sentuhan, karena ini menyebabkan kesadaran dan objek bersentuhan (menyatu
atau bersentuhan). Manifestasinya adalah pertemuan dari kesadaran, organ indria, dan objek”. (CMA,
II, Tuntunan §2, p.78)
Kontak bermanifestasi dalam batin seorang Yogi sebagai berkumpulnya dari ketiga ini.
Misalnya, pada kesadaran melihat. Ada mata. Ada objek terlihat. Ketika objek terlihat masuk ke dalam
jangkauan mata, maka ada kesadaran melihat. Ketika ketiga ini muncul, maka Phassa juga muncul.
Phassa adalah sesuatu seperti pertemuan, berkumpulnya ketiga ini.
“Penyebab terdekatnya adalah alam objektif yang masuk ke dalam fokus.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.78)
Itu berarti suatu objek yang masuk ke dalam fokus organ indria, sesuatu yang masuk ke dalam
jangkauan mata atau yang datang ke depan mata kita. Jika suatu objek terlihat tidak masuk ke dalam
jangkauan mata, maka kita tidak melihat. Patung di belakang saya saat ini tidak masuk ke dalam
jangkauan mata saya. Maka saya tidak melihatnya dan saya tidak memiliki kesadaran melihat. Jadi
Phassa memiliki sentuhan atau kontak sebagai karakteristiknya. Fungsinya adalah menyentuh.
Manifestasinya adalah pertemuan ketiganya. Penyebab terdekatnya adalah objek. Karena jika tidak
ada objek, maka tidak akan ada kontak dengan objek.

Vedanā
Yang ke dua adalah Vedanā. Anda sudah mengetahui Vedanā. Vedanā adalah perasaan. Perasaan
adalah satu faktor batin di sini. Ini bukan fisik. Ada kesakitan sebagai hal fisik. Pengalaman atas sakit
itu adalah apa yang kita sebut perasaan. Perasaan sebenarnya bukan dalam tubuh fisik melainkan
dalam pikiran. Faktor batin itu yang mengalami objek yang menyenangkan, atau tidak menyenangkan,
atau netral disebut Vedanā atau perasaan.
Dikatakan bahwa faktor-faktor batin lainnya juga mengalami objek, tetapi adalah Vedanā yang
mengalami objek itu hingga sepenuhnya. Itulah sebabnya mengapa hanya perasaan saja yang disebut
Vedanā dan bukan faktor batin lainnya. Faktor batin lainnya juga memiliki sejenis perasaan atas objek.
Perasaan atas objek itu minimal, sedangkan Vedanā mengalami rasa objek itu sepenuhnya. Dan karena
itu juga maka disebut perasaan atau Vedanā.
Vedanā diumpamakan dengan seorang raja yang sepenuhnya menikmati makanan yang diberikan
kepadanya oleh seorang koki. Faktor-faktor batin lainnya diumpamakan dengan koki tersebut. Koki
harus memasak makanan untuk sang raja. Kemudian ia harus membawa makanan itu kepada sang raja
dan mencicipi sedikit makanan itu untuk memastikan tidak ada racun atau apapun di dalam makanan
itu. Ia harus memakan hanya sedikit makanan. Maka kenikmatannya atas makanan itu adalah
minimal. Adalah sang raja yang duduk dan menikmati makanan itu sebanyak yang ia inginkan.
Demikian pula, adalah perasaan, adalah Vedanā yang mengalami objek sepenuhnya. (Saya tidak ingin
menggunakan kata ‘menikmati’ karena itu hanya untuk hal menyenangkan saja. Di sini adalah untuk
hal yang tidak menyenangkan juga.)
“Perasaan dikatakan memiliki karakteristik dirasakan.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Saya pikir itu tidak cukup tepat. Ia terkecoh oleh kata ‘Vedayita’ dalam Pāḷi. Vedayita dapat berbentuk
aktif ataupun pasif. Vedayita di sini harus dimaknai sebagai berbentuk aktif, tetapi ia menganggapnya
pasif. Karakteristiknya bukanlah dirasakan, melainkan merasakan. Merasakan atau mengalami objek
adalah karakteristik Vedanā.
“Fungsinya adalah mengalami, atau fungsinya adalah menikmati aspek menyenangkan dari objek”.
(CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Itu jika perasaannya adalah yang menyenangkan. Tetapi jika perasaan itu adalah tidak menyenangkan,
maka fungsinya adalah mengalami sepenuhnya aspek tidak menyenangkan dari objek tersebut.
“Manifestasinya adalah memuaskan faktor-faktor batin yang berhubungan.” (CMA, II, Tuntunan §2,
p.80)
Kemunculannya bersama dengan faktor-faktor batin lainnya. Vedanā memberikan sesuatu seperti
suatu rasa kepada faktor-faktor batin lainnya.
“Penyebab terdekatnya adalah ketenangan”. (CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Itu untuk Sukha. Itu hanya untuk Vedanā yang baik saja. Untuk perasaan Dukkha akan berbeda.
Ketenangan di sini berarti Samādhi. Ini dimaksudkan untuk Sukha Vedanā. Untuk Dukkha Vedanā
akan menjadi hal lain.13 Anda dapat membaca tentang karakteristik-karakteristik berbeda untuk
kelima perasaan dalam Visuddhimagga.

Saññā
Berikutnya adalah Saññā. Saññā diterjemahkan sebagai persepsi.
“Karakteristik persepsi adalah mempersepsikan kualitas objek Fungsinya adalah untuk membuat
gambaran sebagai kondisi untuk mempersepsikan kembali bahwa ‘ini adalah sama’ …” (CMA, II,
Tuntunan §2, p.80)

13
Sayādaw U Sīlānanda dalam kuliah lain menyebutkan bahwa penyebab terdekat dari Domanassa adalah
penderitaan batin dan penyebab terdekat dari Dukkha adalah penderitaan fisik.
Persepsi sebenarnya adalah membuat tanda. Ketika anda mengalami suatu objek, batin anda membuat
suatu tanda pada objek tersebut. Jadi ketika anda mengalaminya lagi, anda mengetahui bahwa anda
telah mengalaminya. Ini diumpamakan dengan tukang kayu yang membuat tanda pada kayu, sehingga
ia mengetahui di mana harus memasangkan potongan kayu. Jadi membuat tanda adalah untuk
mengenalinya lagi ketika anda mengalaminya lagi kelak. Saññā adalah bagaikan membuat tanda,
membuat catatan. Ini dapat berupa Saññā yang benar atau Saññā yang salah. Kita kadang-kadang
memiliki Saññā yang salah. Ketika Saññā salah, maka kita memperoleh gagasan salah. Kita
memperoleh pandangan salah. Adalah sangat penting bagi kita untuk memiliki Saññā yang benar.
Kita memiliki Saññā yang salah tentang diri kita. Kita berpikir bahwa ada sesuatu seperti orang atau
bahwa ada sesuatu seperti jiwa. Saññā itu membuat kita percaya bahwa ada orang, bahwa ada jiwa
begitu Saññā telah membuat tanda bahwa sesuatu adalah ini atau bahwa sesuatu adalah itu, maka ia
akan menginterpretasikan objek menurut tanda itu. Kelak ketika Saññā melihatnya, Saññā akan
menginterpretasikannya dengan cara itu. Begitu anda memiliki Saññā yang salah, maka anda akan
menginterpretasikan dengan berdasarkan Saññā yang salah itu.
“… atau fungsinya adalah mengenali apa yang dipersepsikan sebelumnya. Saññā bermanifestasi
sebagai pengenal objek menurut ciri-ciri yang telah ditangkap.” …” (CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Jika hal yang ditangkap adalah benar, maka itu adalah Saññā yang benar. Jika hal yang ditangkap tidak
benar, maka kita memiliki Saññā yang salah.
“Penyebab terdekatnya adalah objek sebagaimana tampaknya.” …” (CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Jadi objek sebagaimana tampaknya pada kita, sebagaimana tampaknya pada Saññā adalah penyebab
terdekatnya.
Binatang menganggap bahwa orang-orangan jerami adalah manusia. Mereka melihat orang-orangan
jerami dan lari karena berpikir bahwa itu adalah manusia. Itu adalah Saññā salah mereka, ketakutan
salah mereka.
“Prosedurnya adalah seperti pengenalan tukang kayu atas jenis kayu tertentu menurut tanda yang
telah ia buat pada masing-masingnya.” …” (CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Saññā adalah seperti itu, membuat tanda-tanda. Mengenalinya kelak adalah juga merupakan fungsi
dari Saññā.

Cetanā
Berikutnya adalah Cetanā. Anda juga telah mengetahui Cetanā. Cetanā adalah Kamma. Anda telah
sangat mengetahui Kamma. Cetanā diterjemahkan sebagai kehendak. Sulit untuk menjelaskannya
dalam Bahasa Inggris.
“ … (Cetanā) adalah berkaitan dengan aktualisasi tujuan, yaitu, aspek niat atau kehendak dari kognisi.”
(CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Cetanā mengatur faktor-faktor batin yang berkaitan untuk bertindak atas objek. Cetanā memicu
kondisi-kondisi batin yang muncul bersamaan agar bertindak atas objek. Ini adalah sesuatu yang
membantu atau mendorong faktor-faktor batin lainnya agar melakukan sesuatu atas objek.
Cetanā ini diumpamakan sebagai seorang ketua murid. Seorang ketua murid belajar sendiri dan juga
membantu murid lainnya belajar. Ia sendiri belajar dan juga mendorong murid lainnya untuk belajar.
Cetanā adalah seperti ini. Cetanā membuat yang lainnya bertindak atas objek. Cetanā juga bertindak
atas objek.
“Kehendak adalah faktor batin yang paling penting dalam menghasilkan kamma, …” (CMA, II,
Tuntunan §2, p.80)
Sebenarnya kehendak adalah Kamma. Sang Buddha pernah berkata,
“Cetanā ahaṃ, bhikkhave, Kammaṃ vadāmi” (AN/Chakkanipātapāḷi/6.Mahāvaggo/
9.Nibbedhikasuttaṃ).
“Para bhikkhu Aku mengatakan Cetanā adalah Kamma.” Apa yang Kusebut Kamma adalah hanya
Cetanā. Jadi Cetanā sebenarnya adalah Kamma.
“… (Kamma ini) menentukan kualitas etis dari perbuatan.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Itu berarti jika ini adalah Kamma baik, maka berarti perbuatan juga baik. Jika itu adalah Kamma buruk,
maka berarti perbuatan juga buruk. Dengan bergantung pada kualitas Cetanā, kita menentukan
apakah suatu kesadaran adalah Kusala atau Akusala.
Cetanā disebut dengan nama lain juga. Ini disebut Kamma. Disebut Saṅkhāra dalam Kemunculan
Bergantungan. Kadang-kadang disebut Kamma dan kadang-kadang disebut Saṅkhāra. Keduanya
bermakna sama, Cetanā.

Ekaggatā
Berikutnya adalah Ekaggatā. Sudahkah anda bertemu dengan Ekaggatā sebelumnya? Jawabannya pasti
adalah ya. Ini adalah salah satu dari lima faktor Jhāna. Nama lain untuk Ekaggatā adalah Samādhi,
konsentrasi. Konsentrasi dan Ekaggatā adalah sama.
“Ini adalah keterpusatan pikiran pada objeknya.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
‘Eka’ berarti satu. ‘Agga’ berarti objek. Jadi artinya adalah memiliki satu objek. Itu berarti pada satu
objek.
Ekaggatā ini menonjol dalam Jhāna-Jhāna. Ini dapat dikembangkan menjadi satu faktor Jhāna. Itu
berarti Ekaggatā yang sangat kuat. Ini adalah Cetasikā universal, yang muncul pada setiap jenis
kesadaran. Kadang-kadang kita tidak terkonsentrasi. Mungkin kita sedang melakukan Akusala. Maka
tidak ada konsentrasi. Tetapi sebenarnya di sana ada Ekaggatā, keterpusatan pikiran, yang hadir pada
setiap jenis kesadaran. Agar Citta berpasangan dengan objek diperlukan Ekaggatā. Mungkin Ekaggatā
yang sangat lemah, namun pasti ada Ekaggatā di sana. Ekaggatā menyertai setiap jenis kesadaran. Ada
sejenis keterpusatan pikiran dalam setiap jenis kesadaran.
“Keterpusatan pikiran memiliki tidak-mengembara atau tanpa-gangguan sebagai karakteristiknya.”
(CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Ini berarti tidak terganggu pada objek lainnya.
“Fungsinya adalah untuk menggabungkan atau menyatukan kondisi-kondisi yang berkaitan.” (CMA,
II, Tuntunan §2, p.80)
Ini diumpamakan sebagai air yang menggabungkan butir-butiran tepung. Ketika anda membuat
adonan, anda memiliki tepung dan ketika anda menuangkan air ke dalam tepung dan kemudian
mengadonnya, tepung itu menjadi adonan. Ketika menjadi adonan, maka semua partikel tepung
menyatu. Fungsinya adalah untuk menggabungkan atau menyatukan kondisi-kondisi yang berkaitan.
Ekaggatā menyatukan kondisi-kondisi batin yang muncul bersama menjadi satu. Inilah fungsinya.
“Ekaggatā termanifestasi sebagai kedamaian, …” (CMA, II, Tuntunan §2, p.80)
Ini berarti ketenangan. Menjadi diam, seperti itu. Ini diumpamakan dengan api di tempat di mana
tidak ada angin. Seperti di dalam ruangan ini. Seperti nyala lilin. Apinya diam; tidak bergerak jika tidak
ada angin. Keterpusatan pikiran diumpamakan sebagai api di mana tidak ada angin.
Adalah penting untuk memahami hal ini. Ketika kita membicarakan tentang Samādhi, kita
mengatakan bahwa Samādhi adalah kemampuan pikiran untuk berada pada objek, untuk menetap
pada objek selama waktu tertentu. Tetapi sebenarnya pikiran lenyap setelah tiga sub-momen. Dan
keterpusatan pikiran juga lenyap setelah tiga sub-momen. Walaupun kita mengatakan ada
konsentrasi, namun pikiran dan konsentrasi tidak bertahan lebih dari tiga sub-momen ini. Tetapi apa
yang dimaksudkan di sini adalah bahwa konsentrasi adalah seperti api itu. Ketika anda melihat api,
anda berpikir bahwa api itu selalu sama. Tetapi sebenarnya pada setiap momen api itu tidak sama.
Demikian pula, ketika kita mengatakan pikiran berada pada objek dalam waktu yang lama, itu berarti
jenis kesadaran yang sama muncul berulang-ulang. Jika objeknya adalah objek materi, maka objek itu
juga berubah pada setiap momen pikiran ke-17. Ketika kita mengatakan, kita memiliki Samādhi atau
pikiran kita berada pada objek untuk waktu yang lama, itu bukan berarti bahwa Citta bertahan untuk
waktu yang lama. Adalah sifat dari Citta untuk muncul dan lenyap dalam hanya tiga sub-momen. Akan
tetapi, Citta berikutnya muncul dan berdiam pada objek yang sama atau jenis objek yang sama.
Demikian pula momen keterpusatan lainnya muncul berdiam pada objek yang sama. Dengan cara ini,
kita harus memahami konsentrasi. Jadi ini adalah seperti api di mana tidak ada angin.

Jīvitindriya
Berikutnya adalah Jīvitindriya, indria kehidupan batin. ‘Jīvita’ berarti kehidupan. ‘Indriya’ berarti
indria atau kekuatan. Maka ini disebut indria kehidupan. Ada dua indria kehidupan. Satu adalah
jasmani dan yang lainnya adalah batin. Di sini yang dimaksudkan adalah indria kehidupan batin. Indria
kehidupan fisik akan kita bahas pada bab enam. Jadi yang ini adalah batin.
“Jīvitindriya memiliki karakteristik memelihara kondisi-kondisi batin yang berkaitan, …”) (CMA, II,
Tuntunan §2, p.81)
Kondisi-kondisi batin yang berkaitan muncul dan kemudian berlangsung untuk beberapa waktu dan
kemudian lenyap. Ketika kondisi-kondisi ini ada di tiga tahap kehidupan, indria kehidupan
mempertahankan kondisi-kondisi ini tetap hidup. Indria kehidupan tidak membiarkan kondisi-
kondisi ini lenyap hingga mencapai tahap ke tiga atau terakhir. Jīvitindriya hanya memelihara
kondisi-kondisi batin. Tidak menyebabkan kemunculannya.
“… (Jīvitindriya memiliki) fungsi membuatnya terjadi, …”) (CMA, II, Tuntunan §2, p.81)
Bukan berarti indria kehidupan batin atau Jīvitindriya menghasilkan kondisi-kondisi batin yang
berkaitan. Membuatnya terjadi bermakna membuatnya berlangsung hingga akhir hidupnya.
Kehidupan itu adalah tiga sub-momen yang sangat singkat.
“… manifestasi sebagai menegakkan kehadirannya, dan penyebab terdekatnya adalah kondisi-kondisi
batin yang harus dipelihara.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.81)
Indria kehidupan batin diumpamakan sebagai air di tangkai teratai, air di tangkai teratai
mempertahankan teratai tetap hidup. Juga diumpamakan sebagai seorang tukang perahu. Ada
pertanyaan. Jika indria kehidupan memelihara kondisi-kondisi batin yang berkaitan, apakah yang
memeliharanya? Jawabannya adalah Indria kehidupan memelihara dirinya sendiri bersama dengan
kondisi-kondisi batin berkaitan lainnya. Maka ini diumpamakan sebagai seorang tukang perahu.
Seorang tukang perahu mendayung perahu dan membawa orang-orang menuju pantai seberang.
Ketika membawa orang-orang ke pantai seberang, ia juga membawa dirinya sendiri. Demikian pula,
Jīvitindriya memelihara dirinya sendiri sambil memelihara kondisi-kondisi batin berkaitan lainnya.
Ada dua perumpamaan. Satu adalah air di tangkai teratai. Yang lainnya adalah tukang perahu.

Manasikāra
Yang terakhir disebut Manasikāra. ‘Manasi’ berarti pikiran. ‘Kāra’ berarti membuat.
“Kata Pāḷi ini secara harfiah berarti ‘membuat dalam pikiran’.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.81)
Ini adalah perhatian.
“Perhatian adalah faktor batin yang bertanggung jawab untuk pengalihan pikiran kepada objek, …”
(CMA, II, Tuntunan §2, p.81)
Ini berarti Manasikāra mengalihkan pikiran kepada objek. Manasikāra mempertahankan pikiran
terarah pada objek. Itu adalah fungsinya. Itu adalah apa yang kita sebut perhatian.
“Karakteristiknya adalah memimpin (sārana) kondisi-kondisi batin yang berkaitan ke arah objek.”
(CMA, II, Tuntunan §2, p.81)
Menyalurkan atau mengalihkan kondisi-kondisi batin ke arah objek adalah fungsinya.
“Perhatian adalah bagaikan kemudi kapal, yang mengarahkan menuju tujuannya, …” (CMA, II,
Tuntunan §2, p.81)
Ketika tidak ada perhatian, maka pikiran anda tidak memiliki tujuan. Pikiran bepergian ke sana-sini,
bagaikan perahu tanpa kemudi. Ketika ada kemudi, maka anda dapat mengarahkan perahu ke
manapun anda ingin pergi. Dengan cara yang sama, ketika ada perhatian, kondisi batin perhatian
mempertahankan pikiran pergi ke arah objeknya.
Ini adalah perbedaan antara Manasikāra dan Vitakka.
“Manasikāra harus dibedakan dari Vitakka: Sementara Manasikāra mengalihkan pendamping-
pendampingnya ke arah objek, Vitakka menempatkannya kepada objek.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.81)
Ini sangat halus. Sungguh menakjubkan Sang Buddha dapat membedakan kondisi-kondisi batin ini.
Pertama, adalah sulit untuk mengetahui bahwa ada Vitakka dan ada Manasikāra. Lebih sulit lagi untuk
mengetahui bagaimana keduanya berfungsi karena keduanya muncul pada saat yang sama. Jadi
Vitakka dan Manasikāra muncul pada saat yang sama, tetapi keduanya memiliki fungsi yang berbeda.
Ada perbedaan halus antara keduanya. Yang satu mengarahkan pikiran pada objek. Yang lainnya
menempatkan pikiran pada objek. Kedua ini sebenarnya berbeda. Manasikāra mengalihkan
pendamping-pendampingnya ke arah objek. Vitakka menempatkannya pada objek.
“Manasikāra adalah faktor kognitif yang sangat penting yang hadir dalam semua kondisi kesadaran;
…” (CMA, II, Tuntunan §2, p.81)
Jika tidak ada Manasikāra, pikiran kita tidak akan ada pada objek. Manasikāra mengalihkan pikiran
kita kepada objek ini dan objek itu.
“… Vitakka adalah faktor khusus yang tidak sangat penting bagi kognisi.” (CMA, II, Tuntunan §2, p.81)
Itu berarti beberapa jenis kesadaran dapat muncul tanpa Vitakka. Nanti kita akan mempelajari hal ini.
Berapa banyakkah jenis kesadaran yang muncul bersama Vitakka? Hanya 55 jenis kesadaran yang
muncul bersama Vitakka di antara 121 jenis kesadaran. Ada jenis-jenis kesadaran yang dapat
mengambil objek tanpa bantuan Vitakka. Tanpa bantuan Manasikāra tidak ada Citta yang dapat
mengambil objek. Manasikāra adalah faktor kognitif yang sangat penting yang hadir dalam semua
kondisi kesadaran. Vitakka adalah faktor khusus yang tidak sangat penting. Itulah sebabnya mengapa
ada banyak jenis kesadaran yang tidak memerlukan Vitakka untuk mengambilnya sebagai objek.
Ini adalah tujuh faktor batin atau Cetasika yang universal, yang sama pada seluruh 121 jenis kesadaran.
Tujuh ini akan muncul bersama tiap-tiap jenis kesadaran. Nanti kita akan mempelajari berapa banyak
Cetasika yang muncul bersama Citta tertentu. Tujuh ini selalu ada bersama semua Citta.
Hari ini kita telah mempelajari tujuh universal (Sabbacitta-sādhāraṇa). Saya ingin anda membiasakan
diri dengan kata-kata Pāḷi – Phassa, Vedanā, Saññā, Cetanā, Ekaggatā, Jīvitindriya, dan Manasikāra.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Murid: Ketika Bhante mengatakan bahwa Sang Buddha mengatakan, “Cetanā adalah Kamma”,
apakah Cetāna adalah Kamma atau Kamma adalah Cetanā?
Sayādaw: Kamma adalah Cetanā yang menyertai Kusala dan Akusala Citta. Cetanā, seperti yang
telah anda ketahui sekarang, menyertai setiap jenis kesadaran. Misalnya, Cetanā yang
menyertai jenis kesadaran hasil bukanlah Kamma. Hanya Cetanā yang menyertai
Kusala dan Akusala yang disebut Kamma. Dalam hal ini ada perbedaan.
Dalam Paṭṭhāna ada dua jenis Kamma. Satu adalah Kamma yang muncul bersamaan
(Sahajāta Kamma) dan yang lainnya adalah Kamma yang tidak sinkron (Nānākkhaṇika
Kamma). Ini berarti Kamma yang berbeda waktu. Kamma yang muncul bersamaan
berarti ada Cetanā bersama setiap jenis kesadaran. Ketika Cetanā bersama, misalnya,
Akusala Citta, maka Kamma itu mungkin adalah Kamma yang berbeda waktu atau
mungkin Kamma yang muncul bersamaan. Tetapi jika menyertai Vipāka Citta, maka
itu tidak mungkin Kamma yang berbeda waktu. Anda tidak paham? Ada dua jenis
kondisi Kamma dalam Paṭṭhana. Satu adalah Kamma yang muncul bersamaan. Yang
lainnya adalah Kamma yang berbeda waktu. ‘Berbeda waktu’ berarti bahwa anda
melakukan Kamma di sini dan hasilnya muncul dalam kehidupan berikutnya. Ini
adalah Kamma yang berbeda waktu. Ada ‘Kamma bersama’ dan ‘Kamma berbeda
waktu.’ Ketika Cetanā menyertai Akusala Citta, ini dapat berupa ‘Kamma bersama’
ataupun ‘Kamma berbeda waktu’. Benar ada Kamma di sana. Ketika Cetanā menyertai
kesadaran melihat, ini hanya ‘Kamma bersama’, bukan ‘Kamma berbeda waktu’ karena
kesadaran melihat adalah kesadaran hasil. Dalam kasus demikian walaupun kita
menyebutnya Kamma menurut Paṭṭhāna, namun ini bukanlah Kamma yang
memberikan hasil. Ini hanya Kamma.
Murid: Apakah Citta menyadari objek atau apakah hanya menjadi sadar ketika faktor-faktor
lainnya hadir?
Sayādaw: Sebenarnya Citta adalah kesadaran atas objek. Ketika ada kesadaran, maka Cetasika
lainnya turut bekerja. Ketika tidak ada kesadaran atas objek, maka tidak akan ada
pengalaman atas objek. Tidak mungkin ada kontak dengan objek. Walaupun Cetasika-
Cetasika muncul pada saat yang sama, namun faktor-faktor batin ini dikatakan sebagai
bawahan dari Citta.
Pakiṇṇaka & Akusala Cetasika
Terakhir kita menyelesaikan tujuh Cetasika universal. Cetasika terbagi dalam kelompok-kelompok
berbeda. Kelompok pertama disebut Aññasamāna, sama dengan yang lain. Ada 13 Aññasamāna
Cetasika, yang dibagi lagi menjadi dua sub-kelompok. Yang pertama disebut Sabbacitta-sādhāraṇa,
sama untuk semua Citta. Ada tujuh. Kelompok ke dua disebut Pakiṇṇaka.

Pakiṇṇaka
Hari ini kita akan memulai pelajaran kita dengan kelompok Pakiṇṇaka. Pakiṇṇaka adalah apa yang
menyertai Kusala dan Akusala Citta serta Citta-Citta lainnya juga. Akan tetapi, tidak menyertai semua
Kusala dan Akusala Citta atau semua Citta secara umum. Itulah sebabnya maka disebut Pakiṇṇaka.
Dalam buku Yang Mulia Narada, Pakiṇṇaka diterjemahkan sebagai khusus. Di sini dalam CMA
diterjemahkan sebagai sekali-sekali (baca CMA, II, §3, p.81). Itu berarti Pakiṇṇaka muncul sekali-sekali
bersama Kusala, Akusala, dan sebagainya. Enam Cetasika ini muncul bersama beberapa Citta, tetapi
tidak akan muncul bersama semua Citta. Ada enam. Yang pertama adalah Vitakka. Yang ke dua adalah
Vicāra. Yang ke tiga adalah Adhimokkha. Yang ke empat adalah Vīriya. Yang ke lima adalah Pīti. Dan
yang ke enam adalah Chanda. Kita telah membahas Vitakka, Vicāra dan Pīti sebagai faktor-faktor
Jhāna.

Vitakka
Yang pertama, Vitakka, adalah Cetasika yang membawa pikiran menuju objek. Vitakka adalah Cetasika
yang mengarahkan pikiran menuju objek.
“Vitakka adalah penempatan pikiran pada objek.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Vitakka meletakkan pikiran pada objek.
“Karakteristiknya adalah mengarahkan pikiran pada objeknya. Fungsinya adalah memukul dan
menggiling objeknya. (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Itu berarti bertindak atas objeknya.
“Vitakka termanifestasi sebagai menggiring pikiran menuju objeknya. Walaupun tidak ada penyebab
terdekat yang disebutkan dalam Komentar, namun objeknya dapat dipahami sebagai penyebab
terdekatnya.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Penyebab terdekatnya tidak disebutkan dalam Komentar. Mungkin objeknya adalah penyebab
terdekat bagi Vitakka.
Vitakka muncul bersama lima puluh lima jenis kesadaran. Tidak semua jenis kesadaran yang disertai
Vitakka disebut kesadaran Jhāna. Hanya Vitakka yang menyertai beberapa jenis kesadaran yang
disebut Jhāna. Vitakka dapat dikembangkan atau dilatih sehingga menjadi kuat, sebuah faktor yang
kuat. Maka itu disebut Jhāna. Dalam CMA anda akan melihat,
“maka ini disebut appanā, …” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Ini adalah istilah teknis penting yang harus anda ingat. Appanā adalah sebutan untuk Jhāna dan juga
Magga. Dalam bab empat digunakan kata ‘Appanā’ ini. Kadang-kadang Appanā hanya bermakna
Rūpāvacara Jhāna dan Arūpāvacara Jhāna. Kadang-kadang ini juga bermakna Lokuttara Citta. Kadang-
kadang Vitakka disebut Appanā. Ini adalah penyerapan pikiran dalam objek atau penempatan pikiran
dekat dengan objek.
“Vitakka juga disebut Saṅkappa, kehendak, dan dengan demikian dibedakan sebagai Micchāsaṅkappa
atau kehendak salah (atau pikiran salah) dan sammāsaṅkappa atau kehendak benar (pikiran benar).”
(CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Pikiran salah berarti pikiran-pikiran tentang kenikmatan indriawi, pikiran-pikiran tentang melukai
makhluk lain, pikiran-pikiran tentang Dosa – kebencian. Sammā-saṅkappa adalah lawan dari ketiga
ini – pikiran-pikiran tentang keluar dari kenikmatan indriawi, pikiran-pikiran tentang tidak melukai
makhluk lain, pikiran-pikiran tentang ketidakbencian. Vitakka memiliki banyak nama tergantung
pada fungsi apa yang dilakukan.

Vicāra
Yang ke dua adalah Vicāra. Anda telah mengetahui Vicāra.
“Vicāra, juga adalah sebuah faktor Jhāna, memiliki karakteristik melanjutkan tekanan pada objek, …”
(CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Vitakka menempatkan pikiran pada objek. Vicāra mempertahankan pikiran pada objek, bertindak
pada objek dalam makna memeriksanya. Ini adalah sesuatu seperti memeriksa objek. Itulah sebabnya
mengapa kadang-kadang ini dekat dengan Paññā.
“Fungsinya adalah melanjutkan penempatan fenomena batin berkaitan pada objek. Vicāra
termanifestasi sebagai mengikat fenomena-fenomena itu di dalam objek.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Jadi Vicāra mempertahankan pikiran pada objek.
“Objeknya dapat dipahami sebagai penyebab terdekatnya.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Di sini juga Komentator tidak memberikan penyebab terdekat dari Vicāra. Kadang-kadang mereka
menulis banyak tentang Vitakka dan Vicāra sehingga mereka mungkin lupa memberitahukan
penyebab terdekatnya. Ini tidak disebutkan.
“Perbedaan antara Vitakka dan Vicāra telah dibahas di atas (baca CMA, I, Tuntunan §§18-20, p.56).”
(CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Anda telah mengetahui perbedaan antara Vitakka dan Vicāra. Apakah contohnya? Lebah yang
menukik ke arah bunga adalah seperti Vitakka. Lebah yang melayang-layang di atas bunga adalah
seperti Vicāra. Sebuah pesawat terbang yang lepas landas adalah seperti vitakka. Pesawat terbang
yang mencapai kecepatan jelajah adalah seperti Vicāra.

Adhimokkha
Yang ke tiga adalah Adhimokkha. Ini diterjemahkan sebagai keputusan.
“Kata Adhimokkha secara harfiah bermakna melepaskan pikiran kepada objek. Karena itu
diterjemahkan sebagai keputusan atau ketetapan.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Adhimokkha berdiam pada objek dan membuat keputusan bahwa itu adalah objeknya. Semacam itu.
“Ini diumpamakan dengan sebuah tiang batu karena ketetapannya yang tidak tergoyahkan
sehubungan dengan objek.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Ini diumpamakan dengan sebuah tiang batu yang kokoh, yang kuat, yang tidak bergerak. Tidak dapat
digoyang. Adhimokkha adalah seperti itu, dengan kokoh berdiam pada objek. Nanti kita akan sampai
pada Saddhā, keyakinan. Kadang-kadang Saddhā dijelaskan sebagai Adhimokkha. Dalam kasus
demikian Adhimokkha bukanlah Adhimokkha ini, melainkan adalah Saddhā. Di sini, ini adalah faktor
batin tersendiri yang disebut Adhimokkha atau keputusan.

Vīriya
Yang ke empat adalah Vīriya. Anda telah terbiasa dengan kata ‘Vīriya’ dan hal yang menjadi Vīriya itu
sendiri. Tanpa Vīriya anda tidak dapat berlatih meditasi.
“Karakteristiknya adalah menyokong, mengerahkan, dan mengatur.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Ini adalah kegigihan batin dan di sini ini bukanlah kegigihan fisik. Ketika saya mengatakan, “Saya
berusaha,” maka saya melakukan usaha fisik atau saya melakukan usaha batin. Vīriya di sini berarti
usaha batin.
“Fungsinya adalah untuk menyokong kondisi-kondisi yang berkaitan.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Dengan bantuan Vīrita maka kondisi-kondisi yang berkaitan dapat berada pada objek. Kondisi-kondisi
ini diperkuat oleh Vīriya atau kegigihan batin ini.
“Manifestasinya adalah tanpa keruntuhan.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Ini bermakna ketika sesuatu disokong, maka itu tidak runtuh. Ketika sebuah rumah menjadi tua dan
goyah, anda memasangkan beberapa kayu untuk menyokongnya, untuk memperkuatnya. Vīriya
adalah seperti itu.
“Penyebab terdekatnya adalah rasa keterdesakan (saṃvega) atau sebuah landasan untuk
membangkitkan kegigihan, yaitu, apapun yang menggerakkan seseorang untuk bekerja penuh
semangat.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Kadang-kadang kita memiliki apa yang disebut landasan untuk membangkitkan kegigihan.
Katakanlah, saya harus melakukan sesuatu besok. Maka hari ini saya akan berlatih meditasi. Ketika
saya sedang melakukan sesuatu besok, saya tidak akan bisa berlatih. Maka saya akan berlatih hari ini.
Ini seperti itu. Kemudian setelah melakukan tugas itu, saya mengatakan, sewaktu saya sedang
melakukan tugas itu, saya tidak dapat berlatih meditasi. Sekarang tugas itu telah selesai, sekarang
adalah waktunya bagi saya untuk berlatih meditasi. Semacam itu. Anda mendorong diri sendiri dengan
mengambil situasi sebagai dorongan. Ini disebut landasan untuk membangkitkan kegigihan. Ketika
ada landasan untuk membangkitkan kegigihan, anda membangkitkan kegigihan. Landasan untuk
kegigihan dikatakan sebagai penyebab terdekat bagi Vīriya.
“Seperti halnya kayu-kayu baru ditambahkan pada sebuah rumah tua akan mencegahnya dari
keruntuhan, atau seperti halnya pasukan bantuan yang kuat akan memungkinkan bala tentara raja
mengalahkan musuh, demikian pula kegigihan menegakkan dan menyokong semua kondisi-kondisi
berkaitan dan tidak membiarkannya menyurut.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Selama ada kegigihan, anda tidak akan menyerah, anda tidak akan berhenti. Begitu kegigihan
melemah atau begitu kegigihan tidak ada, maka anda akan jatuh dari meditasi. Kegigihan adalah
sangat penting. Ini adalah salah satu indria batin. Berapa banyakkah indria batin sehubungan dengan
praktik meditasi? Ada lima faktor batin yang sangat penting dalam praktik meditasi. Vīriya adalah
salah satunya. Dapatkan anda menyebutkan empat lainnya? Keyakinan, perhatian, konsentrasi dan
kebijaksanaan adalah empat faktor batin lainnya yang sangat penting dalam praktik meditasi. Bagus!
Kegigihan adalah salah satu indria batin yang harus kita bangkitkan dan kembangkan khususnya
ketika kita berlatih meditasi. Kegigihan ini dikatakan membakar kekotoran batin. Itulah sebabnya
mengapa kadang-kadang ini disebut Ātāpa. Dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta Sang Buddha
menggunakan kata ini berulang-ulang – Ātāpī Sampajāno Satimā dan seterusnya. Itu berarti bhikkhu
yang memiliki usaha atau melakukan usaha. Ini disebut Ātāpa. ‘Ātāpa berarti panas. Ini memanaskan.
Memanaskan berarti membakar kekotoran batin. Ketika ada Vīriya, maka kekotoran batin terbakar.
Ini adalah faktor yang sangat penting dalam praktik meditasi.

Pīti
Berikutnya adalah Pīti. Ini diterjemahkan sebagai kegembiran, kebahagiaan, gairah, kemenarikan
menyenangkan, sukacita. Ini adalah salah satu faktor Jhāṅa. Pīti bukanlah perasaan.
“Pīti memiliki karakteristik membuat suka.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Karakteristiknya adalah membuat kondisi-kondisi batin yang berkaitan menjadi disukai. Ketika ada
Pīti, maka pikiran menjadi bahagia, pikiran gembira.
“Fungsinya adalah untuk menyegarkan pikiran dan tubuh, …” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Ketika ada Pīti, maka ada merasa segar.
“… atau fungsinya adalah untuk merembesi (menggetarkan dengan sukacita).” (CMA, II, Tuntunan §3,
p.82)
Ketika anda benar-benar mengalami Pīti, seluruh tubuh anda merasakan seperti direndam dalam
minyak atau air.
“Batin dan jasmani (nāmarūpa) adalah penyebab terdekatnya.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Karena jika tidak ada batin dan jasmani, maka Pīti tidak dapat muncul. Nāma dan Rūpa dikatakan
sebagai penyebab terdekatnya.

Chanda
Yang terakhir adalah keinginan, Chanda. Sebelumnya ini diterjemahkan sebagai niat. Saya tidak tahu
mana yang lebih baik – keinginan atau niat. Ini adalah sekedar keinginan atau niat-untuk-melakukan.
Ini bukanlah keinginan sebagai kemelekatan, sebagai ketagihan, sebagai nafsu. Chanda di sini adalah
keinginan untuk berbuat, keinginan untuk melakukan suatu perbuatan.
“Keinginan jenis ini harus dibedakan dari keinginan dalam makna tercela, yaitu, dari Lobha,
keserakahan, dan Rāga, nafsu.” (CMA, II, Tuntunan §3, p.82)
Jika kita ingin lebih spesifik, kita menggunakan Kāmacchanda. Kāmacchanda adalah salah satu dari
lima rintangan batin. Rintangan batin pertama adalah Kāmacchanda. ‘Kāmacchanda’ berarti Lobha. Di
sini Chanda adalah netral atau variabel. Jika bersama Akusala, maka menjadi Akusala. Jika bersama
Kusala, maka menjadi Kusala. Ini hanyalah sekedar niat-untuk-melakukan.
“Karakteristik Chanda adalah keinginan untuk berbuat, fungsinya adalah mencari objek,
manifestasinya adalah memerlukan objek, dan objek yang sama itu adalah penyebab terdekatnya.”
(CMA, II, Tuntunan §3, p.83)
Karena tanpa suatu objek maka kesadaran dan faktor-faktor batin tidak dapat muncul.
“Ini harus dianggap sebagai merentangkan tangan pikiran menggapai objek.” (CMA, II, Tuntunan §3,
p.83)
Ini diumpamakan dengan seseorang yang merentangkan tangannya untuk mengambil anak panah.
Seorang pemanah ketika ia ingin menembak akan mengambil sebatang anak panah dari tabung anak
panah. Ia tidak melekat pada anak panah. Ia tidak ingin mempertahankan anak panah. Ia
menginginkan anak panah agar ia dapat menembak. Chanda adalah seperti itu. Hanya sekedar niat-
untuk-melakukan. Ini bukan kemelekatan, ini bukan nafsu.
Kadang-kadang kita menggunakan kata ‘Dhammacchanda.’ Itu berarti keinginan untuk
mempraktikkan Dhamma.
Ini disebut Pakiṇṇaka, sekali-sekali. Pakiṇṇaka akan muncul bersama hanya dengan beberapa jenis
kesadaran, tidak semuanya. Nanti kita akan mengetahui berapa banyak jenis kesadaran yang muncul
bersama dengan Vitakka, Vicāra, dan seterusnya.
Tujuh universal dan enam sekali-sekali seluruhnya menjadi 13 faktor batin. Faktor-faktor batin ini
disebut Aññasamāna, variabel etis. Ini berarti faktor-faktor ini hadir bersama Kusala dan Akusala.

Akusala
Kelompok berikutnya adalah Akusala. Anda telah mengetahui Akusala, faktor-faktor batin tidak
bermanfaat. Sebenarnya ini adalah faktor-faktor yang membuat suatu jenis kesadaran menjadi tidak
bermanfaat. Kesadaran adalah bagaikan tanpa warna. Ini seperti air jernih. Anda memasukkan
pewarna ke dalam air dan air itu menjadi merah, atau hijau, atau biru, atau kuning. Demikian pula,
Citta atau kesadaran tidak berwarna. Ini hanyalah kesadaran atas objek. Ketika muncul bersama
dengan beberapa dari Akusala Cetasika ini, maka ini disebut Akusala Citta. Sebenarnya faktor-faktor
batin adalah apa yang membuat suatu jenis kesadaran berbeda dari jenis kesadaran lainnya. Ketika
anda sampai pada pelajaran kombinasi Citta dan Cetasika, hal ini akan menjadi lebih jelas.

Kelompok-Kelompok
14 Akusala Cetasika dibagi menjadi kelompok-kelompok berikut ini:
- Sabbākusala-sadhāraṇa (empat faktor batin universal tidak bermanfaat),
- Kelompok tiga keserakahan,
- Kelompok empat kebencian, dan
- Kelompok dua kelambanan, dan
- Kemudian keragu-raguan saja.
Empat pertama disebut universal tidak bermanfaat. Ini berarti Cetasika-Cetasika ini muncul dengan
seluruh dua belas jenis kesadaran tidak bermanfaat. Kapan saja kesadaran tidak bermanfaat muncul,
empat ini selalu bersama kesadaran itu. Empat ini adalah: 1. Moha, 2. Ahirika, 3. Anottappa, 4.
Uddhaca.

Moha
Moha adalah delusi.
“Moha adalah sinonim untuk avijjā, ketidaktahuan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Anda telah bertemu dengan kata ‘Avijjā’ dalam Paṭicca-samuppāda, Kemunculan Bergantungan. Moha
dan Avijjā adalah sinonim; keduanya memiliki makna yang sama. Ini juga diterjemahkan sebagai
ketidaktahuan.
“Karakteristiknya adalah kebutaan batin atau tidak mengetahui.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Ini adalah kebutaan. Ini berarti tidak mengetahui atau tidak memahami sifat sejati segala sesuatu. Ini
dapat memahami secara keliru, tidak akan memahami dengan benar.
“Fungsinya adalah tanpa-persepsi, …” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Jika ada Moha, maka kita tidak dapat menembus ke dalam sifat sejati segala sesuatu; kita tidak melihat
sifat sejati segala sesuatu. Jadi ketika kita berlatih meditasi, kita berusaha agar tidak membiarkan
Moha memasuki pikiran kita. Ketika Moha ada dalam pikiran kita, kita tidak dapat melihat sifat sejati
segala sesuatu.
“… atau persembunyian dari sifat sejati objek.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)

Ini bagaikan penutup mata. Ketika mata anda ditutup, anda tidak melihat segala sesuatu. Demikian
pula, ketika Moha menutup mata kita, kita tidak melihat sifat sejati segala sesuatu. Kita tidak melihat
segala sesuatu sebagai tidak kekal, bahwa segala sesuatu adalah tidak memuaskan, bahwa segala
sesuatu adalah tanpa inti.
“Ini termanifestasi sebagai ketiadaan pemahaman benar atau sebagai kegelapan batin.” (CMA, II,
Tuntunan §4, p.83)
Ini adalah kegelapan. Jika tidak ada cahaya dalam ruangan ini, maka kita tidak dapat melihat segala
sesuatu. Itu adalah Moha yang menyembunyikan sifat sjati segala sesuatu. Lawan dari Moha adalah
Amoha, faktor batin terakhir. Amoha diumpamakan sebagai cahaya. Ketika anda menyalakan lampu,
maka anda melihat segala sesuatu di sini.
“Penyebab terdekat (dari Moha) adalah perhatian tdiak bijaksana (ayoniso manasikāra).” (CMA, II,
Tuntunan §4, p.83)
Ayoniso-manasikāra adalah lawan dari kebijaksanaan atau Paññā.
“Ini harus dilihat sebagai akar dari segala apa yang tidak bermanfaat.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Sebagaimana anda ketahui, Moha menyertai seluruh dua belas jenis kesadaran Akusala. Ini adalah akar
dari segala yang tidak bermanfaat. Moha, Avijjā, kadang-kadang Aññāṇa (‘Aññāṇa’ berarti tidak
mengetahui) adalah bersinonim.
Ahirika & Anottappa
Yang ke dua adalah Ahirika dan yang ke tiga adalah Anottappa. Ahirika adalah tanpa rasa malu.
Anottappa adalah tanpa rasa takut. Sebenarnya itu adalah tanpa rasa malu atas perbuatan salah dan
tanpa rasa takut atas perbuatan salah.
“Karakteristik tanpa rasa malu adalah ketiadaan kejijikan pada perilaku salah melalui jasmani dan
ucapan; …” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Ahirika diumpamakan sebagai seekor babi desa yang tidak jijik memakan kotorannya sendiri. Ketika
tidak ada rasa malu atau Ahirika dalam batin kita, maka kita menjadi tidak malu atas perilaku salah
melalui jasmani atau ucapan. Kita menjadi tidak malu melanggar Sīla. Kita menjadi tidak malu
melakukan apa yang tidak bermoral.
“… karakteristik tanpa rasa takut atas perbuatan salah adalah ketiadaan ketakutan atas perilaku salah
demikian.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Tapa rasa takut berarti tidak takut pada konsekuensinya. Saya tidak takut pada konsekuensinya jika
saya melakukan sesuatu yang salah. Itu karena ada faktor batin ketidaktakutan dalam batin saya.
Tanpa ketakutan ini diumpamakan bagaikan ngengat yang tidak takut pada api. Itulah sebabnya
mengapa ngengat akan langsung mendatangi api dan terbakar. Tanpa rasa takut pada perbuatan salah
diumpamakan sebagai ngengat. Tanpa rasa malu pada perbuatan salah diumpamakan sebagai babi
desa.
“Keduanya memiliki fungsi melakukan perbuatan jahat. Keduanya bermanifestasi sebagai tidak
menyurut dari kejahatan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Ketika ada Ahirika dan Anottappa dalam batin kita, kita menjadi tidak malu melakukan perbuatan
tidak bermoral dan kita menjadi tidak takut melakukannya. Kita tidak peduli pada konsekuensinya.
“Penyebab terdekatnya adalah tidak menghargai diri sendiri (ini untuk tanpa rasa malu) dan tidak
menghargai orang lain,” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Jika kita menghargai diri sendiri, maka kita tidak akan melakukan apa yang tidak bermoral. Jika kita
tidak takut dikritik orang lain, maka kita tidak akan takut melakukan perbuatan salah. Maka tidak
menghargai diri sendiri adalah penyebab terdekat bagi tanpa rasa malu. Tidak menghargai orang lain
adalah penyebab terdekat bagi Anottappa. Ada pengimbang bagi kedua ini dalam faktor-faktor batin
indah. Kita akan membahasnya nanti.

Uddhacca
Kegelisahan (atau gejolak) memiliki karakteristik ketidaktenangan, …” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Ini tidak tenang.
“… bagaikan air yang yang teraduk oleh angin.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Ketika ada angin, maka air tidak diam, melainkan beriak.
“Fungsinya adalah membuat pikiran menjadi tidak diam, bagaikan angin mengibarkan bendera.”
(CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Anda melihat bendera tertiup angin dan bagaimana bendera itu berkibar.
“Kegelisahan bermanifestasi sebagai kekacauan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Ini diumpamakan sebagai abu yang terangkat ketika batu dilemparkan ke dalamnya. Ketika anda
melemparkan batu ke dalam tumpukan abu, maka abu akan beterbangan. Makna harfiah dari kata
‘Uddhacca’ adalah bergolak di atas, bergolak di atas objek. Itu berarti pikiran anda tidak dapat
mengambil objek dengan benar. Pikiran anda tidak berdiam pada objek. Pikiran anda agak tersingkir
dari objek. Kadang-kadang anda tidak melihat objek dengan jelas karena Uddhacca. Juga Uddhacca
kadang-kadang dijelaskan sebagai gangguan. Di Burma kadang-kadang kami mengatakan gangguan
untuk Uddhacca; ini adalah pikiran yang tidak kokoh pada objek.
“Penyebab terdekatnya adalah perhatian tidak bijaksana pada ketidaktenangan batin.” (CMA, II,
Tuntunan §4, p.83)
Itu berarti Uddhacca tidak memahami sifat sejati dari ketidaktenangan batin. Sehingga Uddhacca
tidak peduli apakah ada ketenangan batin atau ketidaktenangan batin.
Empat ini dikelompokkan sebagai satu kelompok karena empat ini hadir bersama semua jenis
kesadaran batin tidak bermanfaat. Kapanpun suatu kesadaran tidak bermanfaat muncul, keempat ini
juga muncul. Ada elemen ketidaktahuan atau delusi, ada elemen tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut,
dan juga ada kegelisahan ketika ada kesadaran tidak bermanfaat. Empat ini disebut universal tidak
bermanfaat.
Kemudian kita memiliki kelompok tiga. Yaitu Lobha, Diṭṭhi dan Māna. Lobha diterjemahkan sebagai
keserakahan; Diṭṭhi diterjemahkan sebagai pandangan salah; dan Māna diterjemahkan sebagai
keangkuhan.

Lobha
Anda mengetahui Lobha baik dalam kata maupun Cetasika. Ini bukan hal baru bagi anda.
“Keserakahan, akar tidak bermanfaat pertama, mencakup seluruh tingkat keegoisan dalam hal
keinginan, kerinduan dan keterikatan dan kemelekatan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83)
Dan juga mencakup ketagihan. semua ini adalah gradasi Lobha. Anda menginginkan sesuatu secara
egois, maka ada Lobha. Anda merindukan sesuatu, ada Lobha. Anda terikat pada sesuatu, ada Lobha.
Ada melekati sesuatu, ada Lobha. Ketika anda ketagihan atas sesuatu, ada Lobha. Semua ini termasuk
dalam Lobha.
“Karakteristiknya adalah menggenggam objek.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.83-84)
Menggenggam objek adalah karakteristiknya. Ketika anda melekati sesuatu, maka pikiran anda
memegang objek itu. Maka karakteristiknya dikatakan sebagai menggenggam objek.
“Fungsinya adalah menempel, sepeti daging yang menempel pada panci panas.” (CMA, II, Tuntunan
§4, p.84)
Anda meletakkan sebuah panci di atas api dan menjadi panas dan kering. Anda meletakkan sepotong
daging ke dalam panci. Daging itu akan menempel pada panci. Ketika ada Lobha, maka pikiran anda
menempel pada hal itu. Jika anda sangat menginginkan sesuatu, maka anda akan melihat bahwa
pikiran anda melekat pada objek itu atau orang itu. Karakteristik Lobha adalah menggenggam objek.
Ini diumpamakan dengan perangkap monyet. Untuk menangkap monyet anda meletakkan suatu zat
lengket yang seperti lem dari pohon. Perangkap itu memiliki permukaan yang mengkilap. Seekor
monyet yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu akan datang dan menyentuhnya dengan satu
tangan. Kemudian ia tidak dapat menarik tangannya lagi. Untuk melepaskan tangannya itu ia
memegangnya dengan tangan lainnya, dan tangan itu pun menempel di sana. Kemudian satu kaki dan
kaki lainnya juga menempel. Kemudian muka atau moncongnya juga menempel. Jadi seluruh lima
bagian tubuhnya menempel pada perangkap atau lem. Kemudian ia ditangkap oleh orang itu dan
dibunuh dan dimakan.
Perumpamaan ini diberikan dalam salah satu khotbah dalam Saṃyutta Nikāya. Di sana Sang Buddha
berkata, “Pada bagian-bagian itu seorang pemburu memasang perangkap untuk menangkap monyet-
monyet. Para monyet yang bebas dari kebodohan dan keserakahan ketika melihat perangkap itu pergi
menjauh dari perangkap itu. Tetapi seekor monyet yang dungu mendatangi perangkap dan
memegangnya dengan satu tangan. Maka tangannye menempel erat pada perangkap itu. Kemudian
dengan berpiki, ‘Aku akan melepaskan tanganku’, ia memegangnya dengan tangan lainnya, tetapi
tangan itupun menempel erat. Untuk melepaskan kedua tangannya ia memegangnya dengan satu kaki
dan kaki itu pun menempel erat. Untuk melepaskan kedua tangan dan satu kakinya ia memegangnya
dengan kaki lainnya, tetapi kaki itupun menempel erat. Untuk melepaskan kedua tangan dan kedua
kakinya ia memegangnya dengan moncongnya, tetapi moncongnya pun menempel. Monyet itu yang
menempel dalam lima cara atau lima tempat berbaring dan meraung, demikianlah ia jatuh dalam
kemalangan. Sang pemburu mempersiapkannya untuk dimakan. Kemudian di atas kayu api ia dengan
senang melakukan pekerjaannya.” (Saṃyutta Nikāya, Satipaṭṭhānasaṃyutta, (7), p.1633) Lobha
diumpamakan dengan zat lengket itu. Dalam Pāḷi ini disebut lem monyet atau semacam itu. Mereka
menangkap momyet dengan zat lengket dari pepohonan.

Diṭṭhi
Berikutnya adalah Diṭṭhi, pandangan salah. Arti harfiah dari Diṭṭhi adalah hanya pandangan atau
melihat. Jika kita ingin lebih spesifik, kita menggunakan kata ‘Micchā’ atau ‘Sammā’: ‘Micchā-diṭṭhi’
berarti pandangan salah. ‘Sammā-diṭṭhi’ berarti pandangan benar. Jika digunakan hanya satu kata
‘Diṭṭhi’, ini biasanya bermakna pandangan salah. Itulah sebabnya mengapa kita memiliki Somanassa-
sahagata Diṭṭhigata-sampayutta. Kita tidak menggunakan Micchā di sana. Tetapi sebenarnya Diṭṭhi di
sana adalah Micchā-diṭṭhi. ‘Diṭṭhi’ di sini bermakna pandangan salah, melihat secara salah.
“Karakteristiknya adalah interpretasi tidak bijaksana (keliru) atas hal-hal.” (CMA, II, Tuntunan §4,
p.84)
Diṭṭhi menganggap hal-hal sebagai kekal, sebagai memuaskan, sebagai Atman. Juga ini adalah
kepercayaan bahwa tidak ada hasil dari Kamma baik atau buruk. Atau ini adalah kepercayaan bahwa
tidak ada Kamma dan tidak ada akibat Kamma. Ini adalah kepercayaan bahwa tidak ada dunia ini dan
tidak ada dunia lain. Ini disebut pandangan salah.
“Fungsinya adalah untuk menganggap.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Itu berarti menganggap secara keliru.
“Diṭṭhi termanifestasi sebagai interpretasi atau kepercayaan keliru. Penyebab terdekatnya adalah
keengganan untuk bertemu para mulia (ariya), dan sebagainya.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Jika anda bergaul dengan Para Mulia, jika anda bergaul dengan orang-orang berpengetahuan, orang-
orang baik, maka anda akan mendengar pandangan benar dari mereka. Anda tidak akan memperoleh
pandangan salah. Jika anda tidak bergaul dengan orang-orang Mulia, orang-orang baik, maka anda
cenderung memperoleh Diṭṭhi atau pandangan salah ini. Maka keengganan untuk bertemu Para Mulia
dan bergaul dengan mereka dikatakan sebagai penyebab terdekat bagi Micchā-diṭṭhi, memperoleh
pandangan salah.

Māna
Berikutnya adalah Māna, keangkuhan.
“Keangkuhan memiliki karakteristik kesombongan. Fungsinya adalah memuji diri sendiri. Māna
termanifestasi sebagai kebanggaan berlebihan. Penyebab terdekatnya adalah keserakahan yang
terpisah dari pandangan. Ini dapat dianggap sebagai kegilaan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Keangkuhan adalah sejenis kegilaan batin. Kadang-kadang ini diumpamakan dengan bendera yang
berkibar tertiup angin. Kita memasang bendera tinggi di angkasa. Kita memasangnya di atas
segalanya. Keangkuhan juga ingin di atas semua orang. Ini disebut Māna. Kadang-kadang ini dapat
berupa penilaian terlalu tinggi terhadap diri sendiri.
Kelompok berikutnya terdiri dari empat faktor batin, kelompok empat Dosa. Ini adalah kelompok
empat yang dipimpin oleh Dosa. Yaitu Dosa, Issā, Macchariya dan Kukkucca. Saya ingin anda
membiasakan diri dengan nama-nama Pāḷi ini juga, bukan hanya terjemahannya. Anda harus
mengetahui baik Pāḷi maupun terjemahannya.

Dosa
Yang pertama dari empat ini adalah Dosa. Dosa diterjemahkan di sini sebagai kebencian. Dosa berarti
kebencian, kemarahan, niat buruk.
“Dosa, akar tidak bermanfaat ke dua, terdiri dari segala jenis dan tingkat keengganan, niat buruk,
kemarahan, iritasi, kekesalan, dan permusuhan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)

Juga tekanan dan dukacita adalah Dosa. Semua ini dipahami dalam kelompok Dosa.
“Karakteristiknya adalah keganasan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Ketika ada Dosa, maka anda sangat ganas, anda sangat kasar, anda sangat kejam. Ini diumpamakan
dengan seekor ular yang dipukul oleh seseorang. Ketika anda memukul seekor ular, terutama ular
kobra, ia akan menyerang anda. Ia akan mengangkat kepalanya. Dosa adalah seperti itu. Ketika anda
marah, maka anda seperti kobra yang berdiri.
“Fungsinya adalah menyebarkan, atau membakar penyokongnya sendiri, …” (CMA, II, Tuntunan §4,
p.84)
Jika anda memasukkan racun ke dalam air, misalnya, racun akan menyebar ke segala arah. Demikian
pula, ketika ada kemarahan dalam diri anda, ketika ada kebencian dalam diri anda, itu akan menyebar
ke seluruh pikiran anda. Maka fungsinya adalah untuk menyebarkan. “Atau untuk membakar
penyokongnya sendiri” – Dosa membakar batin dan jasmani di mana ia muncul. Kemarahan dapat
membakar tubuh fisik serta kondisi batin anda. Kemarahan dapat menyebabkan seseorang mengalami
serangan stroke atau tekanan darah tinggi. Kemarahan dapat menyebabkan banyak penyakit fisik.
Juga ketika ada kemarahan dalam pikiran kita, maka pikiran kita menjadi terkontaminasi dan ada
Akusala. Kemarahan sesuai aturan akan mengarah menuju kelahiran kembali di neraka.
“Karakteristiknya adalah keganasan. Fungsinya adalah untuk menyebarkan, atau membakar
penyokongnya sendiri, yaitu batin dan jasmani di mana ia muncul. Dosa termanifestasi sebagai
menganiaya, …” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Menganiaya berarti merundung. Ketika anda marah, sebenarnya anda dirundung oleh kemarahan itu.
Sebelum anda melakukan apapun pada orang lain itu, anda sendiri dirundung penderitaan.
“… dan penyebab terdekatnya adalah landasan kekesalan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Sudahkah saya menjelaskan tentang landasan kekesalan? Saya pikir sudah. Orang ini telah melakukan
sesuatu yang memnbahayakan aku. Oleh karena itu, aku marah kepadanya. Orang ini sedang
melakukan sesuatu yang membahayakan aku. Orang ini akan melakukan sesuatu yang membahayakan
aku.Dan kemudian apakah selanjutnya? Orang ini telah melakukan sesuatu yang membahayakan
orang yang kusayangi. Orang ini sedang melakukan sesuatu yang membahayakan orang yang
kusayangi. Orang ini akan melakukan sesuatu yang membahayakan orang yang kusayangi. Kemudian
orang ini telah melakukan sesuatu yang baik kepada orang yang kubenci. Orang ini sedang melakukan
sesuatu yang baik kepada orang yang kubenci. Orang ini akan melakukan sesuatu yang baik kepada
orang yang kubenci. Ini adalah sembilan landasan kekesalan, sembilan landasan kemarahan. Dengan
berpikir seperti salah satu dari sembilan cara ini, kita menjadi marah. Itu adalah apa yang di sini
disebut landasan-landasan kekesalam, alasan-alasan kekesalan. Kadang-kadang itu benar. Kadang-
kadang kita tidak menyukainya ketika seseorang yang kita benci memperoleh sesuatu yang baik.

Issā
Berikutnya adalah Issā, iri hati.
“Iri hati memiliki karakteristik menjadi cemburu atas keberhasilan orang lain.” (CMA, II, Tuntunan
§4, p.84)
Keberhasilan berarti apapun – kekayaannya, penampilannya, kecantikannya, apapun itu.
“Fungsinya adalah menjadi tidak puas dengan keberhasilan orang lain.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Anda tidak menyukai keberhasilan orang lain.
“Issā termanifestasi sebagai keengganan terhadap hal itu. Penyebab terdekatnya adalah keberhasilan
orang lain.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Keberhasilan berarti segalanya. Iri hati mengambil keberhasilan orang lain sebagai objek.

Macchariya
Berikutnya adalah Macchariya atau kekikiran
“Karakteristik kekikiran (atau kepelitan) adalah menyembunyikan keberhasilan sendiri ketika telah
atau dapat diperoleh.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Itu berarti sehubungan apa yang telah anda miliki, anda menyembunyikannya. Anda ingin
menyembunyikan keberhasilan anda atau apapun. Kadang-kadang ketika anda berpikir bahwa anda
akan memperoleh sesuatu, anda tidak ingin hal itu diketahui orang lain. Misalnya, saya akan
memperoleh benda ini. Sebelum saya memperoleh benda ini, sebelum itu menjadi milik saya (tetapi
saya tahu bahwa itu pasti akan menjadi milik saya), saya tidak suka anda menggunakannya. Itu juga
adalah Macchariya. Macchariya mengambil objek yang telah menjadi miliki sendiri atau yang akan
dimiliki.
“Fungsinya adalah tidak tahan berbagi dengan orang lain.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Tidak mampu menahan berbagi kepemilikan dengan orang lain. Macchariya secara umum dipahami
sebagai kepelitan. Saya tidak tahu apa makna kepelitan. Anda tidak ingin kehilangan apapun.
Macchariya selalu muncul bersama dengan Dosamūla Citta. Macchariya bukanlah Lobha. Jadi ini bukan
benar-benar kepelitan. Ini adalah tidak tahan berbagi benda-benda milik anda dengan orang lain.
Orang lain datang dan menggunakan benda milik anda. Anda menjadi marah. Anda tidak
menyukainya. Itu adalah Macchariya.
Murid: Mungkinkah itu adalah kepicikan?
Sayādaw: Kepicikan, ya. Kita akan menemukan kata ‘kepicikan’ sebentar lagi.
“Ini bermanifestasi sebagai menyurut (dari berbagi) …” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Anda tidak ingin berbagi dengan orang lain.
“… dan sebagai kepicikan’ atau perasaan jengkel. Penyebab terdekatnya adalah keberhasilan diri
sendiri.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Ini mengambil keberhasilan diri sendiri, harta diri sendiri sebagai objek. Aku tidak ingin hartaku,
benda-benda milikku dibagi dengan orang lain. Aku ingin menggunakannya untuk diriku sendiri.
Ingatkah anda tentang orang kaya yang memasak kue di rumahnya? Ia dipanggil Macchariya Kosiya.
Ia sangat pelit. Ia tidak dapat berbagi bahkan kepada istrinya sendiri. Ia berkata, “Engkau memasak
hanya untukku.”

Lima jenis Macchariya


Ada lima jenis Macchariya. Ada kekikiran sehubungan dengan (i) tempat tinggal. Itu berarti ketika aku
menetap di sini, aku tidak ingin engkau datang dan menetap bersamaku. Itu adalah satu jenis
Madcchariya. Aku tidak ingin berbagi kamarku, rumahku denganmu. Ke dua adalah kekikiran
sehubungan dengan (ii) keluarga. Ini umumnya bagi para bhikkhu, bhikkhunī, dan para guru. Sekarang
engkau adalah muridku. Aku ingin engkau hanya menjadi muridku saja. Aku tidak ingin engkau
menjadi murid dari guru-guru lain. Aku tidak ingin berbagi engkau dengan guru-guru lain. Aku ingin
engkau menjadi penyokongku. Aku tidak ingin engkau menyokong para bhikkhu lain. Ini disebut
kekikiran sehubungan dengan keluarga. Kemudian ada kekikiran sehubungan dengan (iii) perolehan.
Misalkan saya adalah seorang bhikkhu terkenal dan saya memperoleh banyak benda yang
dipersembahkan oleh para pengikut saya. Dan saya ingin agar orang-orang memberi hanya kepada
saya saja. Saya tidak ingin orang-orang memberi kepada para bhikkhu lain. Ini adalah sejenis kekikiran
sehubungan dengan perolehan, sehubungan dengan benda-benda yang diperoleh seseorang.
Kemudian ada kekikiran sehubungan dengan (iv) penampilan diri sendiri. Misalkan saya cantik. Saya
ingin hanya saya sendiri yang cantik. Saya tidak ingin orang lain menjadi cantik. Saya terkenal, saya
ingin hanya saya sendiri yang terkenal. Saya tidak ingin orang lain menjadi terkenal. Ini adalah
kekikiran sehubungan dengan penampilan seseorang atau kemasyhuran seseorang. Yang terakhir
adalah kekikiran sehubungan dengan (v) Dhamma. Dhamma di sini berarti pembelajaran. Saya ingin
hanya saya sendiri yang memahami. Saya tidak ingin berbagi pemahaman saya dengan orang lain.
Saya akan menyimpan pemahaman saya untuk saya sendiri. Ini adalah kekikiran sehubungan dengan
Dhamma.
Ada elemen kebencian atau niat buruk dalam Macchariya atau kekikiran. Itulah sebabnya mengapa
hanya menyertai dua Citta dengan Dosa dan tidak Citta lainnya yang disertai dengan Lobha dan Moha.
Walaupun ini dapat disebut kekikiran, namun ini bukanlah kemelekatan pada benda-benda atau
orang-orang. Ketidakmampuan berbagi hal-hal itu dengan orang lain. Itu adalah apa yang
dimaksudkan dengan Macchariya.

Kukkucca
Berikutnya adalah Kukkucca
“Kukkucca adalah kekhawatiran atau penyesalan setelah melakukan perbuatan salah.” (CMA, II,
Tuntunan §4, p.84)
Ada dua jenis perbuatan masa lalu – perbuatan buruk dan perbuatan baik. Sehubungan dengan
perbuatan buruk yang dilaukkan di masa lalu anda memiliki penyesalan. Anda berpikir, “Saya telah
melakukan perbuatan salah itu.” Juga ada penyesalan sehubungan dengan perbuatan baik yang tidak
anda lakukan di masa lalu. Anda berpikir, “Oh, saya seharusnya melakukan itu.” Di sini kekhawatiran
atau penyesalan memiliki dua jenis objek – perbuatan baik, Kamma baik yang tidak dilakukan di masa
lalu dan Kamma buruk yang telah dilakukan di masa lalu. Sehubungan dengan keduanya ada sejenis
penyesalan yang disebut Kukkucca.
“Karakteristiknya adalah penyesalan yang mengikutinya.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Itu berarti penyesalan datang setelah melakukan atau tidak melakukan.
“Fungsinya adalah bersedih atas apa yang (telah dilakukan) dan apa yang tidak dilakukan.” (CMA, II,
Tuntunan §4, p.84)
Anda berkata, “Oh, saya telah melakukan Akusala ini.” Dan kemudian anda bersedih atas hal itu. “Saya
tidak melakukan Kusala ini”, anda berpikir dan kemudian bersedih atas hal itu,
“Kukkucca termanifestasi sebagai penyesalan. Penyebab terdekatnya adalah apa yang telah dan apa
yang tidak dilakukan (yaitu kesalahan karena melakukan dan tidak melakukan).” (CMA, II, Tuntunan
§4, p.84)
Kita cenderung mendapatkan Kukkucca atau penyesalan atas hal-hal yang telah dilakukan dan hal-hal
yang tidak dilakukan.
Kata ‘Kukkucca’ memiliki konotasi lain. Anda mungkin tidak menemui konotasi ini karena ini
berhubungan dengan Vinaya. Dalam literatur Vinaya Kukkucca dapat bermakna sesuatu yang positif.
Adalah kualitas yang baik bagi para bhikkhu untuk memiliki Kukkucca. Ini disebut Vinaya Kukkucca.
Itu berarti anda berusaha mencari atau anda berusaha untuk memahami apakah sesuatu
diperbolehkan bagi para bhikkhu atau apakah hal itu tidak diperbolehkan bagi para bhikkhu – apakah
ia dapat melakukan hal ini atau apakah ia tidak dapat melakukan hal ini. Jika tidak diperbolehkan,
maka anda tidak melakukannya. Itu adalah apa yang kadang-kadang disebut Kukkuca, Vinaya
Kukkucca. Itu bukan Akusala. Ini dapat menjadi Kusala. Konotasi ini hanya anda temukan dalam
Vinaya ketika menjelaskan tentang bhikkhu yang baik. Di sini dalam Abhidhamma, Kukkucca adalah
tidak bermanfaat. Ini adalah penyesalan.
Saya lebih menyukai kata ‘penyesalan’ daripada kata ‘kekhawatiran’ karena kekhawatiran tidak selalu
adalah Kukkucca. Jika anda mengkhawatirkan perbuatan masa lalu, itu mungkin adalah Kukkucca.
Tetapi kadang-kadang anda mengkhawatirkan masa depan. Kekhawatiran pada masa depan bukanlah
Kukkucca. Saya pikir penyesalan adalah lebih baik daripada kata ‘kekhawatiran’. Empat hal ini
dikelompokkan menjadi satu.

Thina
Berikutnya ada dua, si kembar, Thina dan Middha, kelambanan dan ketumpulan. Keduanya selalu
muncul bersama. Kita menyebutnya kantuk. Ketika anda mengantuk atau ketika pikiran anda tidak
awas, maka pasti kelambanan dan ketumpulan telah merasuki pikiran anda.
“Kelambanan adalah kelembaman pikiran.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Pikiran berarti kesadaran.
“Karakteristiknya adalah kurangnya kekuatan pendorong. Fungsinya adalah menghalau kegigihan.
Manifestasinya adalah sebagai tenggelamnya kesadaran. Penyebab terdekatnya adalah perhatian tidak
bijaksana pada kebosanan, kantuk, dan sebagainya.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Ini adalah kelambanan Citta.

Middha
Berikutnya, Midha,
“Ketumpulan adalah kondisi tidak sehat dari faktor-faktor batin.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Itu berarti kelambanan faktor-faktor batin, Cetasika. Thina berhubungan dengan Citta. Yang lainnya,
Middha. Berhubungan dengan Cetasika. Karena Citta dan Cetasika selalu muncul bersamaan, maka
Thina dan Middha juga selalu muncul bersamaan. Keduanya tidak pernah berpisah. Akan tetapi, Thina
dan Middha adalah dua faktor batin yang berbeda. Ketika ada Thina dan Middha, anda menjadi tidak
ingin melakukan apa-apa. Pikiran anda tidak awas.
“Karakteristiknya dikatakan sebagai tidak dapat diarahkan. Fungsinya adalah untuk menahan.
Manifestasinya adalah sebagai terkulai, atau sebagai mengangguk dan mengantuk. Penyebab
terdekatnya adalah sama seperti kelambanan.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
“Kelambanan dan ketumpulan selalu muncul bersama, dan adalah lawan dari kegigihan.” (CMA, II,
Tuntunan §4, p.84)
Ketika anda memiliki kegigihan, maka kelambanan dan ketumpulan tidak dapat merasuki pikiran
anad. Jika anda memiliki kegigihan, maka anda tidak merasa mengantuk.
“Kelambanan diidentifikasikan sebagai penyakit kesadaran (cittagelaññā), Ketumpulan sebagai
penyakit faktor-faktor batin (Kāyagelañña). Sebagai pasangan keduanya merupakan salah satu dari
lima rintangan batin, yang diatasi melalui awal pikiran (vitakka).” (CMA, II, Tuntunan §4, p.84)
Middha bukanlah Rūpa
Ada satu kontroversi tentang Middha. Ada beberapa guru yang menganggap bahwa Middha adalah
Rūpa. Ada sebuah buku yang berjudul Vimuttimagga. Buku ini dianggap lebih tua daripada
Visuddhimagga. Dalam Vimuttimagga, Midha disebutkan di antara properti-properti materi. Middha
disebutkan sebagai kualitas materi, bukan kualitas batin. Vimuttimagga dikatakan sebagai karya satu
sekte di Sri Lanka. “Beberapa orang mengatakan bahwa Middha ini adalah Rūpa. Itu tidak benar karena
seperti keinginan indria, dan lain-lain, ini termasuk dalam apa yang harus dilenyapkan.” Dalam
Abhidhamma ada Dhamma-Dhamma yang harus dilenyapkan melalui pencerahan pertama. Di
antaranya disebutkan Middha. Karena Middha disebutkan di antara apa yang harus dilenyapkan, maka
Middha bukanlah Rūpa karena Rūpa dikatakan tidak dapat dilenyapkan. Karena Middha termasuk di
dalam apa yang harus lenyapkan, maka Middha tidak mungkin adalah Rūpa. Middha adalah Nāma,
Middha adalah satu faktor batin.
“Memang disebutkan oleh Sang Buddha di antara rintangan-rintangan yang harus dilenyapkan.” Ini
memberikan dukungan untuk pernyataannya. “Tetapi Rūpa tidak disebutkan di antara hal-hal yang
harus dilenyapkan melalui jalan pertama, dan seterusnya.” Rūpa disebutkan sebagai tidak untuk
dihancurkan, tidak untuk dilenyapkan. Anda akan menemukan hal ini pada bab enam Manual ini.
Maka Middha tidak mungkin adalah Rūpa karena disebutkan di antara hal-hal yang dapat dilenyapkan.
Kemudian kelompok lainnya mengatakan bahwa pandangan ini adalah benar, karena kata-kata, “Para
bhikkhu, Rūpa bukanlah milikmu; tinggalkanlah.” Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, Rūpa
bukanlah milikmu; tinggalkanlah.” Kelompok lain itu mengutip pernyataan itu, pernyataan Sang
Buddha itu. Dan kemudian kelompok itu berdebat dengan mereka yang menganggap Middha adalah
Nāma. Karena Sang Budha berkata, “Rūpa bukanlah milikmu; tinggalkanlah.” Tampaknya itu adalah
petunjuk bahwa Rūpa dapat dilenyapkan. Ini adalah sebuah dialog. Kelompok lainnya juga
mendasarkan argumennya atas kata-kata Sang Buddha. Sang Buddha berkata, “Rūpa bukanlah
milikmu; tinggalkanlah.”
Kemudian, katakanlah, ada kelompok lain dan kelompok kita. Kelompok kita selalu benar. Penjelasan
yang diberikan oleh kelompok kita adalah apa yang dimaksudkan oleh Sang Buddha di sana adalah
jangan meninggalkan Rūpa, melainkan tinggalkanlah kemelekatan pada Rūpa. Kemelekatan pada
Rūpa adalah apa yang dimaksudkan oleh Sang Buddha ketika Beliau berkata, “Tinggalkanlah.”
Pelenyapan kemelekatan dengan Rūpa sebagai objeknya adalah apa yang dimaksudkan di sana. Apa
yang dimaksudkan oleh Sang Buddha bukanlah untuk meninggalkan Rūpa melainkan untuk
meninggalkan kemelekatan dengan Rūpa sebagai objek. Itulah sebabnya mengapa dikatakan di sana.
Sang Buddha melanjutkan dengan mengatakan, buanglah kemelekatan pada Rūpa itu dan seterusnya
dalam khotbah yang sama. Adalah sangat penting bahwa ketika kita membaca sesuatu kita membaca
secara keseluruhan dan tidak hanya sebagian saja dan kemudian membuat kesimpulan. Dalam Sutta
itu Sang Buddha tidak hanya mengatakan, “Rūpa bukanlah milikmu; tinggalkanlah.” Tetapi Beliau
melanjutkan dengan mengatakan, buanglah kemelekatan pada Rūpa itu dan seterusnya. Apa yang
dimaksudkan di sana bukanlah untuk meninggalkan Rūpa, melainkan meninggalkan kemelekatan
yang mengambil Rūpa sebagai objek.
Kemudian kelompok lainnya mungkin berkata, “Di antara Middha jasmani dan batin” – mereka
menganggapnya ada dua jenis Middha. Satu adalah Rūpa-middha dan yang lainnya adalah Nāma-
middha, satu jasmani dan satu batin. Di antara kedua Middha ini yang dimaksudkan atau dibabarkan
dalam kalimat itu adalah Middha batin. Apa yang ingin mereka katakan adalah bahwa masih ada
Middha lain yang adalah Rūpa.
Kemudian kelompok kita menjawab, “Tidak, karena tidak dikatakan secara spesifik bahwa yang
dimaksudkan di sana adalah Middha batin.” Sang Buddha tidak menggunakan kata ‘Middha batin’.
Sang Buddha hanya menggunakan kata Middha. Karena hanya Middha yang disebutkan tanpa rincian,
maka kita tidak dapat mengatakan bahwa ada dua Middha dan yang dimaksudkan di sana adalah
Middha batin.
Kemudian kelompok kita melanjutkan, “Adalah mungkin untuk menyimpulkan bahwa Middha yang
kalian (kelompok lain) anggap sebagai Rūpa, seperti Middha batin, adalah suatu rintangan karena ini
adalah Middha.” Karena disebut Middha dan Middha termasuk di antara rintangan-rintangan batin
(Rintangan batin adalah apa yang harus dilenyapkan), maka ini adalah sebuah rintangan.
“Tetapi harus diputuskan bahwa Middha bukanlah Rūpa karena disebutkan sebagai rekan.” Ini adalah
alasan lain yang diberikan oleh kelompok kita. Middha dikatakan sebagai rekan. Middha bekerja sama
dengan kesadaran. Middha bekerja sama dengan faktor-faktor batin lainnya. Rekanan ini
(Sampayutta) disebutkan untuk kumpulan-kumpulan batin saja. Hanya kumpulan-kumpulan batin,
hanya kondisi-kondisi batin, hanya kesadaran dan faktor-faktor batin yang dikatakan sebagai
rekanan. Batin tidak dikatakan sebagai rekanan dengan jasmani dan jasmani tidak dikatakan sebagai
rekanan dengan batin. Anda akan memahami ini ketika anda mempelajari Paṭṭhāna. Jadi Middha
bukanlah Rūpa karena disebutkan sebagai rekan. Middha disebutkan sebagai Cetasika.
“Terlebih lagi, Middha tidak mungkin adalah Rūpa karena Teks menyebutkan kemunculannya di alam
Arūpāvacara.” Dalam Paṭṭhāna dinyatakan bahwa Middha muncul di dalam batin para Brahma tanpa
bentuk. Karena Middha disebutkan di antara kondisi-kondisi yang muncul pada makhluk-makhluk
tanpa bentuk, maka itu pasti adalah Nāma dan bukan Rūpa karena tidak ada Rūpa di alam tanpa
bentuk.
Kemudian kelompok lain bertanya tentang para Arahant yang pergi tidur. Bukankah itu adalah Thina
dan Middha? Jawabannya adalah: “Tidur para Arahant, yang bebas dari kekotoran batin, adalah
disebabkan oleh kelelahan tubuh fisik.” Ketika para Arahant pergi tidur, itu bukanlah karena Thina
dan Middha. Para Arahant telah melenyapkan Thina dan Middha sepenuhnya. Ketika tubuh mereka
lelah, ketika tubuh mereka letih, maka lemahnya tubuh itu menyebabkan batin mereka tergelincir ke
dalam Bhavaṅga, rangkaian-kehidupan, suatu proses seperti-tidur. Ini adalah serangkaian kesadaran
seperti-tidur. Karena kelelahan dan lemahnya tubuh fisik, maka batin para Arahant itu tergelincir ke
dalam rangkaian-kehidupan. Itu adalah apa yang kita sebut tidur para Arahant. Ketika para Arahant
pergi tidur, mereka tidak pergi tidur seperti kita. Ketika kita pergi tidur, kita tidur dengan Thina dan
Middha. Thina dan Middha mendatangi kita dan kita menyerah. Thina dan Middha menyergap kita
dan kita tertidur. Ketika para Arahant pergi tidur, mereka tidak tidur karena disergap oleh Thina dan
Middha. Tubuh fisik memerlukan istirahat. Tidur para Arahant tidak disebabkan oleh atau disertai
dengan Thina dan Middha. Jadi anda tidak dapat mengatakan bahwa Middha adalah Rūpa. Ini adalah
pendapat mayoritas guru-guru zaman dulu. Menurut Abhidhamma Theravāda, Abhidhamma yang
sedang kita pelajari, Middha bukanlah Rūpa. Middha bukanlah fisik. Middha adalah faktor batin.
Middha termasuk dalam faktor-faktor batin yang menyertai jenis-jenis kesadaran tidak bermanfaat.14

Vicikicchā
Yang terakhir adalah keragu-raguan, Vicikicchā. Sudahkah anda bertemu Vicikicchā sebelumnya? Di
manakah? Di antara Akusala Citta. Yang manakah itu? Nomor sebelas atau nomor dua belas? Nomor

14
Dialog ini dikutip dari Aṭṭhasālinī, edisi Burma, pp.410-413 dan adalah terjemahan Sayādaw.
sebelas. Kesadaran yang disertai dengan keragu-raguan adalah nomor sebelas atau yang pertama dari
dua Mohamūla Citta.
“Keragu-raguan di sini menyiratkan keragu-raguan spiritual, dari perspektif seorang Buddhis yaitu
ketidakmampuan untuk menempatkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, Saṃgha, dan latihan.”
(CMA, II, Tuntunan §4, p.85)
Ini adalah keragu-raguan terhadap Buddha, terhadap Dhamma, terhadap Saṃgha, terhadap latihan.
Latihan berarti latihan Sīla, Samādhi dan Paññā. Juga keragu-raguan terhadap agregat-agregat,
landasan-landasan, elemen-elemen, baik di masa lalu maupun di masa depan. Juga keragu-raguan
terhadap ajaran Kemunculan Bergantungan.
“Karakteristiknya adalah meragukan. Fungsinya adalah untuk menggoyahkan.” ).” (CMA, II, Tuntunan
§4, p.85)
Ketika ada keragu-raguan, maka anda goyah, anda tidak dapat memilih, anda menjadi tidak yakin.
Manifestasinya adalah sebagai kebimbangan dan sebagai mengambil berbagai sisi.” (CMA, II, Tuntunan
§4, p.85)
Jadi anda tidak dapat memutuskan mana yang benar. Ini seperti ketika anda berada di persimpangan
jalan, anda tidak tahu jalan mana yang harus diambil.
“Penyebab terdekatnya adalah perhatian tidak bijaksana.” (CMA, II, Tuntunan §4, p.85)
Di sini keragu-raguan berarti keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, Saṃgha dan seterusnya.
Kadang-kadang di persimpangan jalan anda tidak yakin apakah harus berbelok ke kiri atau ke kanan.
Keragu-raguan itu bukanlah keragu-raguan Akusala. Itu hanyalah kurangnya pemahaman. Bahkan
para Arahant dapat memiliki keragu-raguan demikian. Kadang-kadang bahkan mereka tidak
mengetahui apakah suatu perbuatan tertentu adalah diperbolehkan atau tidak jika mereka tidak
mahir dalam Vinaya. Tidak semua keragu-raguan adalah Vicikicchā. Dalam perspektif Buddha ini
adalah keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, dan Saṃgha. Jika anda memiliki keragu-raguan
terhadap Buddha – apakah memang ada Buddha, apakah Buddha benar-benar memiliki kemahatahuan
atau apakah Sang Buddha benar-benar tercerahkan – jenis pemikiran ini disebut keragu-raguan.
Keragu-raguan ini dijelaskan dalam Visuddhimagga dan Aṭṭhasālinī sebagai membahayakan bagi
praktik. Terjemahan Bahasa Inggris dari Visuddhimagga dan Aṭṭhasālinī agak kurang tepat. Kalimat
Pāḷi yang digunakan di sana adalah “Paṭipattiantarāyakarāti”. Itu berarti membahayakan bagi
Paṭipatti. Tahukah anda Paṭipatti? Anda telah mendengar kata ini berulang kali. ‘Paṭipatti’ berarti
praktik, praktik meditasi, praktik tugas, praktik menjalankan Sīla. Itu disebut Paṭipatti. Kata Paṭipatti’
dalam Pāḷi memiliki dua makna. Kata ini juga bermakna memahami. Seseorang menerjemahkannya
sebagai membahayakan bagi pencapaian. Tetapi sebenarnya Paṭipatti bukan bermakna pencapaian.
‘Paṭipatti’ berarti praktik Vipassanā atau praktik meditasi. Orang lainnya menerjemahkannya sebagai
menghalangi teori. Saya pikir ini semakin jauh dari makna sebenarnya. Itu adalah Yang Mulia
Ñāṇamoli. Apa yang sebenarnya dimaksudkan adalah bahwa keragu-raguan dapat membahayakan
praktik anda. Jika anda memiliki keragu-raguan dalam mempraktikkan meditasi anda, maka anda
tidak dapat melanjutkan praktik meditasi. Keragu-raguan adalah rintangan batin yang sangat
merusak. Ini adalah salah satu rintangan batin (Nīvaraṇa). ketika keragu-raguan muncul dalam batin
anda, adalah sangat sulit bagi anda untuk melanjutkan praktik meditasi. Ini dikatakan sebagai
membahayakan bagi praktik – bukan membahayakan bagi pencapaian, bukan menghalangi teori.
Kapan saja ada keragu-raguan dalam batin anda selama meditasi, sewaktu dalam meditasi, anda tidak
perlu melakukan hal lain kecuali mencatatnya – “ragu, ragu, ragu” hingga keragu-raguan itu lenyap.
Di luar meditasi anda dapat mendiskusikannya dengan orang-orang berpengetahuan. Anda dapat
membaca buku-buku. Keragu-raguan ini disebut Vicikicchā.
Saya pikir saya telah menjelaskan makna Vicikicchā sebelumnya. Apakah maknanya? Ada dua makna.
Satu bermakna tanpa obat, tanpa obat pemahaman. Ketika ada keragu-raguan, maka tidak ada
kebijaksanaan, tidak ada pengetahuan. ‘Vi’ berarti tidak. ‘Cikicchā’ berarti obat atau penyembuhan.
Ada makna lain. Kita memecah kata ini menjadi ‘Vici’ dan ‘Kicchā’. ‘Vici’ berarti menyelidiki. ‘Kicchā’
berarti menjadi lelah. Ketika anda memiliki Vicikicchā, maka anda berpikir tentang sesuatu dan tidak
dapat sampai pada solusi, dan oleh karena itu anda menjadi lelah dan kecewa. Vicikicchā adalah
keragu-raguan. Ini adalah salah satu rintangan batin.
Kita telah sampai pada akhir dari 14 Akusala Cetasika. Saya ingin anda mengingat 14 ini dalam Pāḷi:
Moha, Ahirika, Anottappa, Uddhacca, Lobha, Diṭṭhi, Māna, Dosa, Issā, Macchariya, Kukkucca, Thina,
Middha dan Vicikicchā. Bagus sekali.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Sobhana Cetasika
Minggu lalu kita telah menyelesaikan 14 faktor batin tidak bermanfaat. Hari ini kita akan mempelahari
faktor batin indah atau Sobhana Cetasika. Sebenarnya nama ‘Sobhana’ adalah nama dari faktor-faktor
batin. Awalnya ini adalah nama dari faktor-faktor batin. Ketika kesadaran disertai dengan faktor-
faktor batin indah atau Sobhana ini, maka kesadaran itu disebut kesadaran indah. Awalnya nama itu
diberikan untuk Cetasika, faktor-faktor batin.

Kelompok-Kelompok
Seluruhnya ada 25 faktor batin indah, yang dibagi menjadi empat kelompok. 19 yang pertama disebut
faktor batin indah universal. Itu berarti faktor-faktor batin ini akan muncul bersama setiap kesadaran
batin indah, yang sama untuk semua jenis kesadaran indah. Apakah anda ingat jenis-jenis kesadaran
indah? Yang manakah kesadaran indah? Semua jenis kesadaran kecuali Akusala dan Ahetuka adalah
Sobhana. Itu berarti kesadaran alam-indriawi yang indah, kesadaran Rūpāvacara, kesadaran
Arūpāvacara dan kesadaran Lokuttara (Adi-duniawi). 19 Cetasika ini akan menyertai masing-masing
dari 59 jenis kesadaran. Kemudian ada kelompok lain yang disebut penghindaran. Kemudian ada dua
sebagai satu kelompok, yang tanpa batas. Kemudian yang terakhir hanya satu yaitu indria
kebijaksanaan.

Saddhā
Yang pertama adalah Saddhā. Ini diterjemahkan sebagai keyakinan atau kepercayaan. Kadang-kadang
kita lebih sering menggunakan kepercayaan daripada keyakinan. Keyakinan dapat menyiratkan
keyakinan membuta, keyakinan yang tidak disertai dengan pemahaman. Tetapi di sini yang
dimaksudkan adalah kepercayaan yang sebagian besar disertai dengan pemahaman.
“Yang pertama dari Cetasika-Cetasika indah adalah keyakinan, yang memiliki karakteristik
menempatkan keyakinan atau mempercayai.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.85)
Ada empat aspek pada tiap-tiap faktor batin. Yang pertama adalah karakteristik. Yang ke dua adalah
fungsi. Yang ke tiga adalah manifestasi. Ke empat adalah penyebab terdekat. Ketika kita mempelajari
faktor-faktor batin, bukan hanya faktor-faktor batin tetapi juga topik-topik Abhidhamma, kita
berusaha untuk memahaminya dengan merujuk pada empat aspek ini. Jika anda tidak dapat
menghafalkannya semuanya, berusahalah untuk menghafalkan yang pertama, karakteristik, karena
ini penting. Anda harus mengetahi karakteristik dari tiap-tiap kondisi batin. Jadi Saddhā memiliki
karakteristik menempatkan keyakinan atau mempercayai sesuatu – memiliki keyakinan pada Sang
Buddha. Dhamma, Saṃgya, dan sebagainya.
“Fungsinya adalah untuk menjernihkan, bagaikan permata penjernih-air yang membuat air keruh
menjadi jernih; …” .” (CMA, II, Tuntunan §5, p.85-86)
Dijelaskan dalam Aṭṭhasālinī dan juga dalam Vibhaṅga bahwa seorang raja universal memiliki sebuah
permata berharga. Permata itu memiliki kemampuan untuk menjernihkan air. Misalkan ia pergi
berperang. Kemudian ia lelah dan ingin meminum air. Ia memberitahu para pengikutnya bahwa ia
ingin meminum air, tetapi airnya mungkin berlumpur karena mereka berperang di sungai. Ketika ia
membawa permata itu, maka ia mencelupkan permata itu ke dalam air. Lumpur akan mengendap dan
air akan menjadi jernih. Ketika Saddhā muncul dalam pikiran kita, maka pikiran kita menjadi jernih.
Fungsinya adalah untuk menjernihkan, untuk membersihkan pikiran bagaikan permata penjernih-air.
“… atau fungsinya adalah untuk memulai perjalanan, seperti seseorang yang memulai perjalanan
menyeberangi banjir.” .” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
‘Memulai perjalanan’ sebenarnya berarti pergi menuju, melompat ke dalam, masuk ke dalam. Di sini
Komentar menjelaskan dengan perumpamaan. Orang-orang berusaha menyeberangi sungai. Sungai
itu penuh dengan buaya dan binatang-binatang lainnya. Jadi sungai itu tidak aman. Orang-orang ini
tidak cukup berani sehingga mereka hanya berdiri di tepi melihat ke sana-sini. Kemudian seorang
pemberani datang dan bertanya apa yang sedang mereka lakukan. Mereka berkata bahwa mereka
ingin menyeberang, tetapi mereka takut pada buaya dan binatang lainnya. Ia mencabut pedangnya
dan berkata, “Ikuti aku.” Ia melompat ke dalam sungai dan berjalan di paling depan untuk menakut-
nakuti buaya dan binatang lainnya. Sehingga ia selamat membawa orang-orang itu dari tepi sini ke
tepi seberang. Dengan bantuan orang itu, dengan mengikuti orang itu, orang-orang itu mampu
menyeberangi sungai, menyeberangi banjir. Demikian pula, ketika ada Saddhā, maka anda mampu
melakukan perbuatan-perbuatan baik. Ketika anda memiliki kepercayaan, ketika anda memiliki
keyakinan pada Sang Buddha, Dhamma, Saṃgha, latihan dan pada diri anda sendiri, maka anda dapat
melakukan banyak hal. Saddhā adalah bagaikan seorang pemberani yang membawa orang-orang
menyeberangi sungai yang penuh dengan buaya dan binatang-binatang lain.
“Manifestasinya adalah sebagai tanpa-kabut, …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Ketika pikiran jernih, maka itu tidak berkabut.
“… yaitu pelenyapan noda-noda pikiran, atau sebagai ketetapan hati.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Anda telah bertemu dengan Adhimokkha. Ada faktor batin yang disebut Adhimokkha. Ini terdapat
dalam enam sekali-sekali (Vitakka, Vicāra, Adhimokkha, Vīriya, Pīti, Chanda). Adhimokkha adalah
ketetapan. Adhimokkha di sana adalah sekali-sekali dan adalah variabel. Ini dapat menyertai baik jenis
kesadaran yang bermanfaat maupun yang tidak bermanfaat. Dalam keyakinan atau dalam Saddhā
terdapat elemen ketetapan. Pertama kita harus memahami bahwa ada dua jenis Adhimokkha. Ada
Adhimokkha biasa yang ada pada baik Kusala maupun Akusala. Dan ada Adhimokkha keyakinan ini.
Ketika anda memiliki keyakinan, maka anda memiliki jenis ketetapan ini. “Ini dia! Ini adalah hal yang
harus diyakini!” dengan anda berpikir demikian. Anda memiliki ketetapan ini dan mengikutinya. Ada
elemen ketetapan, elemen mengambil keputusan, memutuskan dalam keyakinan atau dalam Saddhā.
Saddhā bukan sekedar bermakna memiliki keyakinan. Dan ketika anda memahami bahwa sesuatu
adalah objek nyata dari keyakinan anda, maka anda akan memutuskan bahwa itu baik. Kemudian anda
memiliki keyakinan di dalamnya atau kepercayaan di dalamnya. Ada elemen ketetapan di dalam
Saddhā.
“Penyebab terdekatnya adalah sesuatu untuk menempatkan keyakinan, …” (CMA, II, Tuntunan §5,
p.86)
Itu berarti Buddha, Dhamma, Saṃgha dan yang lainnya.
“… atau mendengarkan Dhamma sejati, dan sebagainya, yang merupakan faktor-faktor memasuki-
arus.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Ada beberapa hal yang mengarah pada pencapaian Sotāpatti-magga dan Sotāpatti-phala. Bergaul
dengan Orang-orang Mulia, mendengarkan Dhamma, refleksi bijaksana, dan mengembangkan faktor-
faktor Vipassanā, ini disebut unsur-unsur atau faktor-faktor Memasuki-arus. Jika anda ingin mencapai
Sotāpanna, maka anda mengikuti empat hal ini. Bergaul dengan Orang-orang Mulia, mendengarkan
Dhamma Sejati, refleksi bijaksana, dan mengembangkan faktor-faktor Vipassanā adalah penyebab
terdekat dari Saddhā.
Saddhā diumpamakan dengan banyak hal di dalam Sutta-Sutta. Saddhā diumpamakan dengan tangan.
Jika anda memiliki tangan, maka anda dapat mengambil hal-hal baik yang anda inginkan. Bahkan jika
ada benda berharga di hadapan anda, tanpa tangan anda tidak dapat mengambilnya. Demikian pula,
jika anda tidak memiliki Saddhā, jika anda tidak memiliki keyakinan, anda tidak dapat mengambil
Kusala. Anda tidak dapat mengambil kualitas-kualitas baik, kondisi-kondisi batin yang baik. Jadi
Saddhā diumpamakan dengan tangan.
Saddhā juga dijelaskan sebagai harta. Ada harta yang disebut Harta Mulia, Saddhā adalah salah satu di
antaranya. Harta Saddhā dapat mengarah menuju pencapaian pencerahan. Jadi ini adalah harta
terbaik. Jenis harta lainnya tidak dapat membantu kita mencapai tingkatan Arahant atau pencerahan.
Saddhā dapat membantu kita mencapai tingkatan itu. Tanpa Saddhā, tanpa keyakinan, kita bahkan
tidak akan mendengarkan Dhamma. Kita tidak akan berlatih. Jadi Saddhā diumpamakan dengan harta,
dengan kekayaan.
Saddhā diumpamakan dengan benih. Jika anda ingin memiliki pohon buah, maka anda harus menanam
benih. Jika anda tidak memiliki benih, maka anda tidak dapat memiliki buah dan bunga. Demikian
pula. Jika anda tidak memiliki Saddhā, maka anda tidak dapat memiliki Kusala. Jadi Saddhā
diumpamakan dengan benih.
Saddhā adalah satu di antara lima indria batin. Apakah kalian ingat lima indria batin? Apakah itu?
Yaitu keyakinan, kegigihan, perhatian, konsentrasi dan kebijaksanaan. Keyakinan atau Saddhā adalah
salah satu indria batin. Kelima indria batin ini harus dijaga keseimbangannya. Anda memahami itu.
Jika salah satunya berlebih, maka meditasi anda akan menjadi keliru. Saddhā harus diseimbangkan
khususnya bersama Paññā, pemahaman. Terlalu banyak Saddhā dan anda akan mempercayai apapun.
Terlalu banyak Paññā dan anda akan menjadi licik. Saddhā adalah salah satu dari lima indria batin
yang penting dalam meditasi.

Sati
Yang berikutnya adalah Sati, perhatian. Anda semua tahu perhatian. Anda telah berlatih perhatian
selama beberapa tahun sekarang. Kata Pāḷi untuk perhatian adalah Sati.
“Kata Sati diturunkan dari makna akar ‘mengingat’, …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Di sini sebagai faktor batin ini sebenarnya bukan mengingat.
“… tetapi sebagai faktor batin ini menunjukkan kehadiran pikiran, perhatian pada saat ini, bukan
indria ingatan …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Sati di sini bukan berarti mengingat, melainkan bermakna memperhatikan objek pada momen saat
ini. Ketika anda berlatih Satipaṭṭhāna, meditasi perhatian, anda menyadari objek pada momen saat
ini. Di beberapa tempat Sati tidak bermakna mengingat. Kekuatan supernormal mengingat kehidupan-
kehidupan lampau – Sang Buddha mencapai pengetahuan ini pada jaga pertama malam sebelum Beliau
menjadi Buddha. Pengetahuan ini disebut Pubbenivāsanussati. Sati di sini bermakna mengingat. Sang
Buddha mampu mengingat kehidupan-kehidupan lampauNya. Dalam konteks tertentu Sati dapat
bermakna mengingat. Di sini sebagai Cetasika, Sati bukan berarti mengingat melainkan perhatian,
pada objek.
“Karakteristiknya adalah tidak goyah, …” …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Itu berarti tidak mengapung di permukaan. Komentar menjelaskan bahwa beberapa kayu kering atau,
katakanlah sebuah balon mengapung di atas permukaan air. Tidak masuk ke dalam air. Sati tidak
seperti itu. Sati pasti pergi menuju objek. Cara lain mengatakan ketidakgoyahan adalah
ketidakdangkalan. Jika itu adalah Sati, maka itu tidak dangkal. Itu harus tepat bersama objek; pasti
pergi menuju objek.
“Fungsinya adalah ketiadaan kebingungan atau ketidaklengahan.” …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Itu sebenarnya bermakna tidak kehilangan objek. Ketika anda memperhatikan sesuatu, pikiran anda
bersama objek itu. Pikiran anda tidak kehilangan objek itu. Anda tidak kehilangan objek itu karena
ada Sati di sana. Fungsinya adalah ketidakbingungan atau tidak kehilangan objek.
“Manifestasinya adalah sebagai penjagaan, …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Sati bermanifestasi sebagai penjaga. Ketika anda menempatkan seorang penjaga di gerbang, seorang
penjaga dapat menjaga agar binatang-binatang yang tidak diinginkan, orang-orang yang tidak
diinginkan tidak masuk. Demikian pula, ketika anda menempatkan Sati sebagai penjaga di pintu-
pikiran, Sati dapat menjaga agar kondisi-kondisi batin tidak bermanfaat tidak memasuki pikiran anda.
Ketika para Yogi berkonsentrasi pada Sati itu sendiri, itu tampak bagi mereka sebagai penjaga. Sati
ada di enam pintu-indria. Selama Sati ada pada enam pintu-indria, tidak ada kondisi tidak bermanfaat
yang dapat memasuki pikiran.
Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha berkata, “Ini adalah jalan satu-satunya untuk pemurnian batin
makhluk-makhluk.” Banyak orang tidak menyukai pernyataan ini. Mereka akan mengatakan pasti ada
jalan lain, bukan hanya jalan ini saja. Saya pernah bertemu seorang wanita yang berkata, “Saya tidak
menyukai pernyataan bahwa ini adalah satu-satunya jalan.” Saya tidak berkata apa-apa kepadanya.
Adalah kebenaran bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk menjaga agar kekotoran batin tidak
memasuki pikiran anda. Tidak ada jalan lain. Jika anda mempertahankan perhatian bersama anda,
maka anda dapat menjauhkan kekotoran-kekotoran batin. Begitu anda kehilangan perhatian, maka
kekotoran batin akan masuk. Jadi perhatian adalah jalan satu-satunya. Anda harus menerima itu. Sang
Buddha dengan tegas mengatakan hal itu. Ini adalah satu-satunya jalan, tidak ada jalan lain. Perhatian
dapat dipraktikkan dalam berbagai cara. Ada perhatian pada pernapasan, perhatian pada postur
tubuh, perhatian pada aktivitas-aktivitas kecil, perhatian pada empat elemen dalam tubuh, perhatian
pada bagian-bagian tubuh. Ada banyak jenis praktik perhatian. Tetapi apapun yang anda praktikkan,
itu harus ada perhatian, sehingga anda dapat menjaga agar kekotoran batin menjauh dari pikiran
anda. Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha berkata, “Ini adalah satu-satunya jalan untuk pemurnian
batin makhluk-makhluk.” Ini seperti penjaga. Selama ada perhatian sebagai penjaga pada enam pintu-
indria, tidak ada kesempatan bagi kekotoran batin untuk memasuki pikiran anda.
“… atau sebagai kondisi yang berhadapan dengan suatu bidang objektif.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Itu berarti mendatangi objek atau semacam itu. Jadi ada Sati. Pikiran tidak hanya mengarah pada objek
tetapi benar-benar menyentuh objek. Pikiran dialihkan ke arah objek. Berhadapan berarti
mengalihkan pikiran berhadap-hadapan dengan objek.
“Penyebab terdekatnya adalah persepsi kuat …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Jika anda memiliki Saññā yang kuat, maka anda dapat mengingat banyak hal. Anda dapat
menghafalkan sebuah buku atau mungkin banyak buku. Sebenarnya itu karena anda memiliki Saññā
yang kuat. Saññā yang kuat mambantu anda mengingat berbagai hal.
“… atau empat landasan perhatian.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Empat Landasan Perhataian juga adalah penyebab terdekat. Anda berlatih Empat Landasan Perhatian,
dan anda mengembangkan perhatian. Perhatian yang sebelumnya adalah penyebab terdekat atau
kondisi bagi latihan perhatian. Satu momen perhatian memiliki momen perhatian yang lain, dan
momen perhatian yang lainnya lagi. Itulah sebabnya maka dikatakan bahwa Empat Landasan
Perhatian adalah penyebab terdekat.

Hiri & Ottappa


Dua berikutnya adalah Hiri dan Ottappa. Hiri adalah rasa malu terhadap perbuatan salah. Ottappa
adalah rasa takut terhadap perbuatan salah. Kita telah bertemu lawan dari kedua ini di antara faktor-
faktor batin yang tidak bermanfaat. Yaitu Ahirika dan Anottappa. Kita menghilangkan partikel negatif
dan kita mendapatkan Hiri dan Ottappa. Hiri adalah rasa malu, rasa malu terhadap perbuatan salah
atau kejijikan terhadap perbuatan salah. Ottappa adalah rasa takut terhadap perbuatan salah.
“Rasa malu memiliki karakteristik kejijikan pada perilaku salah melalui jasmani dan ucapan, rasa takut
terhadap perbuatan salah memiliki karakteristik ketakutan sehubungan dengan perilaku salah
demikian. Keduanya memiliki fungsi agar tidak melakukan kejahatan, dan termanifestasi sebagai
mundur dari kejahatan.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Ketika anda memiliki Hiri dan Ottappa, maka anda tidak melakukan kejahatan. Anda tidak melakukan
Akusala. Anda mundur dari Akusala. Anda menjauh dari Akusala.
“Penyebab terdekat dari keduanya secara berturut-turut adalah menghargai diri sendiri dan
menghargai orang lain.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Penyebab terdekat bagi Hiri (rasa malu) adalah menghargai diri sendiri. Penyebab terdekat bagi
Ottappa (rasa takut) adalah menghargai orang lain. Jika saya ingin melakukan suatu kejahatan, maka
saya akan mengatakan kepada diri sendiri, “Seorang seperti saya seharusnya tidak melakukan hal ini.
Saya berasal dari keluarga baik-baik. Saya adalah murid dari seorang guru besar. Saya telah menjadi
bhikkhu selama banyak tahun. Seorang seperti saya seharusnya tidak melakukan kejahatan. Dengan
mempertimbangkan apa yang baik bagi diri saya sendiri, saya akan menghindari kejahatan.” Ini adalah
Hiri.
Ketika Ottappa muncul seseorang berpikir: “Jika saya melakukan sesuatu yang salah, orang-orang
akan menyalahkan saya. Saya akan kehilangan muka karena itu.” Maka saya takut dikritik oleh anda.
Saya menghindari melakukan kejahatan karena saya takut kritikan. Itu adalah menghargai orang lain,
bukan menghargai diri sendiri. Jadi menghargai orang lain adalah penyebab terdekat bagi Ottappa.
“Kedua ini disebut oleh Sang Buddha sebagai penjaga dunia karena melindungi dari kejatuhan ke
dalam ketidak-bermoralan meluas.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Jika tidak ada Hiri dan Ottappa di dunia, maka seperti dikatakan di dalam buku ini ketidak-bermoralan
meluas. Maka kedua kualitas ini, kedua faktor batin ini menjaga masyarakat dalam keadaan baik.
Begitu masyarakat meninggalkan kedua kualitas ini dan tidak menghargai kedua kualitas ini, maka
masyarakat itu menjadi kasar, tidak bermoral. Maka Sang Buddha menjelaskan kedua ini sebagai
Lokapālā. ‘Loka’ berarti dunia dan ‘Pāla’ berarti perlindungan atau penjaga. Jadi ‘Lokapālā’ berarti
penjaga dunia.
Kadang-kadang anda merasa malu untuk melakukan sesuatu yang baik. Itu bukanlah Hiri. Hiri adalah
malu melakukan perbuatan jahat. Malu melakukan perbuatan baik bukanlah Hiri.

Alobha
Berikutnya adalah Alobha, ketidakserakahan. Ini adalah lawan dari Lobha. Lobha adalah kemelekatan.
Alobha adalah ketidakkemelekatan.
“Ketidakserakahan memiliki karateristik kurangnya minat pikiran terhadap objeknya, …” (CMA, II,
Tuntunan §5, p.86)
Walaupun objeknya disajikan pada pikiran, namun pikiran tidak berminat pada objek tersebut. Pikiran
tidak berkeinginan untuk memiliki objek itu, untuk melekati objek itu. Itu adalah Alobha.
“… atau ketidakterikatan pada objek bagaikan setetes air di atas daun teratai.” (CMA, II, Tuntunan §5,
p.86)
Ini contoh yang sangat baik. Anda menjatuhkan setetes air ke atas daun teratai dan tetesan itu akan
segera jatuh. Ketika ada Alobha (ketidakserakahan), maka pikiran anda tidak akan melekat pada
siapapun atau apapun sama sekali. Ini seperti setetes air di atas daun teratai.
“Fungsinya adalah untuk tidak memegang, …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Alobha adalah tidak memegang sesuatu, tidak melekati sesuatu.
“… dan manifestasinya adalah keterlepasan. Ini harus dipahami bahwa ketidakserakahan bukanlah
sekedar ketiadaan keserakahan, …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Ini sangat penting. Jika ini adalah ketiadaan keserakahan, maka ini pasti adalah Paññatti. Ini pasti
adalah konsep. Ini bukan realitas. Seperti ketiadaan kesadaran Arūpāvacara pertama. Alobha bukan
berarti ketiadaan Lobha melainkan sesuatu yang merupakan lawan dari Lobha. Ini sebenarnya adalah
kualitas positif seperti kedermawan atau pelepasan. Ini bukan sekedar ketiadaan keserakahan,
melainkan kondisi batin positif, sebuah kualitas positif.

Adosa
Berikutnya adalah Adosa. Di sini sekali lagi ini bukanlah ketiadaan Dosa, bukan ketiaadan kebencian.
Ini adalah lawan dari Dosa.
“Ketidakbencian memiliki karakteristik ketiadaan keganasan, atau tidak melawan.” (CMA, II,
Tuntunan §5, p.86)
Ketika ada Dosa, maka ada perlawanan terhadap objek dalam pikiran. Jadi di sini ketika ada Adosa,
maka tidak ada perlawanan.
“Fungsinya adalah untuk melenyapkan kejengkelan, atau untuk melenyapkan demam, …” (CMA, II,
Tuntunan §5, p.86)
‘Demam’ bermakna demam pikiran. Ketika ada Dosa dalam pikiran, maka dikatakan mengalami
demam. Adosa melenyapkan demam itu.
“… dan manifestasinya adalah sikap menyenangkan. Ketidakbencian terdiri dari kualitas-kualitas
positif seperti cinta-kasih, kelembutan, persahabatan, keramahan, dan sebagainya.” (CMA, II,
Tuntunan §5, p.86)
Apapun yang berlawanan dengan Dosa, dengan kemarahan, dengan kebencian adalah Adosa.
“Ketika ketidakbencian muncul sebagai kualitas luhur cinta kasih …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Ketika anda mempraktikkan cinta-kasih, cinta-kasih sebenarnya adalah Adosa. Tetapi tidak semua
Adosa adalah cinta-kasih. Jadi cinta-kasih adalah lebih sempit daripada Adosa. Hanya ketika anda
berlatih dengan mengucapkan, “Semoga semua makhluk berbahagia” maka di sana ada cinta-kasih.
Sekarang anda sedang mempelajari atau anda mungkin berpikir tentang Sang Buddha. Pada momen-
momen ini tidak ada cinta-kasih, tetapi ada Adosa. Hanya ketika anda dengan sengaja
mengembangkan keinginan atas kesejahteraan semua makhluk ini dengan mengucapkan, “Semoga
semua makhluk baik, bahagia dan damai” maka ini disebut cinta-kasih. Cinta-kasih adalah inti dari
Adosa, tetapi tidak semua Adosa adalah cinta-kasih.
Anda harus secara khusus mengembangkannya agar dapat disebut cinta-kasih.
“… (Ketika ini menjadi cinta-kasih) maka ini memiliki karakteristik memajukan kesejahteraan
makhluk-makhluk hidup.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Itu berarti keinginan terhadap kesejahteraan semua makhluk.
“Fungsinya adalah untuk lebih menyukai kesejahteraan semua makhluk. Manifestasinya adalah
pelenyapan kebencian.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Ketika anda mempraktikkan cinta-kasih, anda meninggalkan kemarahan.
“Penyebab terdekatnya adalah melihat makhluk-makhluk sebagai harus disayang. Cinta-kasih
demikian harus dibedakan dari kasih-sayang egois, yang adalah ‘musuh dekatnya’.” (CMA, II,
Tuntunan §5, p.86)
Ketika anda berlatih cinta-kasih, anda harus berhati-hati pada dua musuh – musuh dekat dan musuh
jauh. Musuh jauh tidak sulit dilihat dan tidak sulit diatasi. Musuh jauh adalah kebencian. Ini adalah
lawannya; ini adalah musuh langsung. Musuh dekat adalah kasih sayang, cinta. Adalah sangat sulit
untuk membedakan cinta-kasih dari cinta. Seorang ibu mencintai anaknya. Cinta pada anaknya itu –
apakah ini Rāga atau Mettā? Saya pikir dua-duanya. Kadang-kadang itu adalah Rāga. Kadang-kadang
itu adalan cinta-kasih murni. Seseorang pernah berkata kepada saya, “Saya memiliki seorang cucu
perempuan dan saya sedang mencurahkan cinta-kasih kepadanya.” Tetapi apa yang saya pikir adalah
apa yang sedang anda curahkan bukanlah cinta-kasih murni. Di sana ada keterikatan. Jadi
kemelekatan datang kepada kita dalam samaran cinta-kasih. Itulah sebabnya mengapa disebut musuh
dekat. Ini lebih sulit dilihat daripada musuh jauh, Dosa. Kita dapat dengan mudah melihat bahwa Dosa
adalah musuh dari Mettā. Kasih sayang egois atau keterikatan ini tidak mudah dilihat. Ini disebut
musuh dekat. Ketika kita berlatih meditasi cinta-kasih, kita harus berhati-hati agar kita tidak terjebak
oleh musuh dekat ini.
Ketika sedang berlatih meditasi cinta-kasih, ketika anda sedang mencurahkan pikiran cinta-kasih
kepada orang-orang tertentu, diajarkan dalam Visuddhimagga agar anda tidak mencurahkan pikiran
kepada lawan jenis karena kasih sayang atau nafsu dapat muncul dari pengembangan cinta-kasih
kepada lawan jenis. Sewaktu berlatih meditasi cinta-kasih, kita harus berhati-hati agar tidak
membiarkan musuh dekat, kasih sayang atau nafsu untuk memasuki pikiran kita.

Tatramajjhattatā
Berikutnya adalah Tatramajjhattatā.
“Kata Pāḷi untuk Cetasika ini secara harfiah bermakna ‘di sana di pertengahan’.” .” (CMA, II, Tuntunan
§5, p.86)
‘Di sana’ berarti di antara Cetasika-Cetasika. Ini tidak memihak. Ini netral. Ketika anda berada di
tengah, maka anda tidak jatuh ke dalam salah satu kelompok. Anda tidak memihak. Anda netral.
“Ini adalah sinonum untuk keseimbangan (upekkhā), bukan seperti perasaan netral, melainkan seperti
sikap batin seimbang, keterlepasan, dan tidak memihak.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Ketika anda bertemu dengan kata ‘Upekkhā’, hati-hati. Ini dapat berarti perasaan Upekkhā, perasaan
netral, perasaan bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan. Juga dapat berarti faktor
batin yang adalah pikiran yang netral, dan yang bukan perasaan. Vedanā adalah perasaan. Upekkhā
adalah salah satu dari lima jenis perasaan. Upekkhā yang ini bukanlah Vedanā, bukan perasaan. Ini
adalah kondisi batin yang disebut pikiran yang netral. Banyak orang telah disesatkan oleh kata
‘Upekkhā’. Hati-hati ketika anda membaca buku dan menemukan kata ‘Upekkhā’. Berusahalah untuk
mengetahui apa yang dimaksudkan dalam konteks tersebut.
“Karakteristiknya adalah menyampaikan kesadaran dan faktor-faktor batin secara seimbang.” .”
(CMA, II, Tuntunan §5, p.86)
Kesadaran dan faktor-faktor batin muncul bersamaan. Keduanya muncul pada saat yang sama.
Keduanya melakukan fungsinya masing-masing. Agar dapat melakukan fungsinya masing-masing
dengan benar, keduanya memerlukan faktor batin ini. Seorang kusir adalah pengemudi dari sebuah
kereta yang ditarik oleh tiga atau empat kuda. Ketika kuda-kuda berlari secara seimbang, sang
pengemudi tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan laju kereta. Faktor batin ini
mempertahankan kesadaran dan faktor-faktor batin lainnya berjalan dengan lancar. Ketika berada di
bawah pengaturannya kesadaran dan faktor-faktor batin berfungsi dengan baik, ini adalah waktu
netralitas.
“Fungsinya adalah untuk mencegah kekurangan dan kelebihan, …” .” (CMA, II, Tuntunan §5, p.86-87)
Dalam melakukan fungsinya masing-masing Citta dan Cetasika mungkin melakukan fungsinya secara
berlebih. Kadang-kadang mungkin tidak melakukan fungsinya dengan baik. Ketika Citta dan Cetasika
tidak melakukan fungsinya dengan baik atau ketika melakukannya secara berlebihan, maka
keseimbngan faktor-faktor batin akan menjadi terganggu. Kondisi batin ini mencegah atau mengatur
fungsi dan kondisi batin berkaitan lainnya.
“… atau (fungsinya adalah) untuk mencegah keberpihakan.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.87)
Tatramajjhattatā mencegah kejatuhan pada pihak sini atau pihak sana.
“Manifestasinya adalah sebagai netralitas. Ini harus dilihat sebagai keadaan melihat dengan
keseimbangan dalam Citta dan Cetasika, bagaikan seorang kusir yang melihat dengan keseimbangan
pada kuda-kuda berdarah murni yang berlari seimbang di sepanjang jalan.” (CMA, II, Tuntunan §5,
p.87)
Saya selalu mengumpamakan ini dengan pengendali kecepatan pada mobil anda. Ketika anda
mengaktifkan pengendali kecepatan pada mobil anda, maka anda tidak perlu berusaha agar mobil
anda tetap melaju. Ini adalah sejenis Tatramajjhattatā di sana.
“Netralitas pikiran menjadi kualitas luhur keseimbangan terhadap makhluk-makhluk hidup.” (CMA,
II, Tuntunan §5, p.87)
Ada empat Brahmavihāra, empat keadaan luhur, empat alam Brahma. Di antara keadaan-keadaan
luhur ini terdapat Upekkhā. Yang pertama adalah Mettā, cinta-kasih. Yang ke dua adalah Karunā,
belas-kasihan. Yang ke tiga adalah Muditā, kegembiraan apresiatif. Dan yang ke empat adalah
keseimbangan. Keseimbangan ini dalam Pāḷi disebut Upekkhā. Upekkhā itu adalah Tatramajjhattatā,
dan bukan perasaan Upekkhā.
“Dengan demikian hal ini memperlakukan makhluk-makhluk secara bebas dari pembedaan, tanpa
preferensi dan prasangka, melihat semuanya secara setara. Keseimbangan ini jangan dirancukan
dengan ‘musuh dekat’nya, yaitu ketidak-pedulian duniawi karena ketidaktahuan.” (CMA, II, Tuntunan
§5, p.87)
Itu berarti tidak memperhatikan. Dalam kasus demikian itu berarti tidak mengetahui. Itu adalah
ketidaktahuan. Upekkhā di sini bukan berpaling dari objek. Ini adalah bersama objek, tetapi tidak
jatuh ke dalam keberpihakan. Maka musuh dekatnya adalah ketidak-pedulian duniawi karena
ketidaktahuan. Ini adalah semacam ketidakpedulian sembrono.
Ketika seorang anak berperilaku buruk dan tidak mendengarkan nasihat atau teguran orangtuanya,
kadang-kadang orangtuanya akan berkata “Aku tidak memikirkan engkau, aku tidak akan
mencemaskan engkau, aku tidak peduli padamu.” Jenis perasaan demikian bukanlah Upekkhā. Itu
adalah anda berpaling dari objek. Upekkhā mengambil objek, tetapi mengambilnya tanpa memihak.
Berikutnya apakah yang kita miliki?
“Dua belas Cetasika indah universal berikutnya jatuh dalam enam pasang, …” (CMA, II, Tuntunan §5,
p.87)
Sekarang giliran pasangan-pasangan,
“… masing-masingnya terdiri dari satu kata yang menjangkau ‘tubuh batin’ (kāya) dan yang lainnya
menjangkau kesadaran (citta). Dalam konteks ini tubuh batin adalah kumpulan Cetasika-cetasika
berkaitan, yang disebut ‘tubuh’ dalam makna suatu kumpulan.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.87)

Kāya-passaddhi & Citta-passaddhi


Pasangan pertama adalah Kāya-passaddhi dan Citta-passaddhi. ‘Passaddhi’ berarti ketenangan,
tenang. Kāya di sini bukan bermakna biasa sebagai tubuh, tubuh fisik kita. ‘Kāya’ di sini berarti
kumpulan, gabungan. Dengan kata lain ‘Kāya’ di sini berarti Nāma-kāya. ‘Nāma-kāya’ berarti Cetasika-
Cetasika. Kāya di sini memang bermakna Cetasika-Cetasika. Jadi ‘Kāya-Passaddhi’ berarti ketenangan
Cetasika-Cetasika atau anda dapat mengatakan ketenangan Nāma-kāya. ‘Citta-passaddhi’ berarti
ketenangan kesadaran. Yang pertama adalah ketenangan Cetasika-Cetasika dan yang ke dua adalah
ketenangan Citta.
“Kedua ketenangan ini memiliki karakteristik menenangkan gangguan-gangguan (daratha) dalam
tubuh batin dan kesadaran, berturut-tururt. Fungsinya adalah untuk menggilas gangguan demikian.
Manifestasinya adalah sebagai kedamaian dan kesejukan.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.87)
Ketika ada Kāya-passaddhi dan Citta-passaddhi, anda akan sangat damai.
“Penyebab terdekatnya adalah tubuh batin dan kesadaran. Ini harus dianggap sebagai lawan dari
kekotoran kegelisahan dan kekhawatiran, …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.87)
Ketika ada kegelisahan dan kekhawatiran, maka anda tidak memiliki ketenangan Cetasika dan
ketenangan Citta.

Kāya-lahutā & Citta-lahutā


Pasangan ke dua adalah Kāya-lahutā dan Citta-lahutā. ‘Lahutā’ berarti ringan. Jadi Lahutā berarti
keringanan – ringannya Cetasika dan ringannya kesadaran. Ketika ada ringan, maka tidak ada berat.
“Dua keringanan memiliki karakteristik meredakan beratnya tubuh batin dan kesadaran, berturut-
turut. Fungsinya adalah untuk menggilas ke-berat-an. Manifestasinya adalah sebagai tanpa-
kelambanan. Penyebab terdekatnya adalah tubuh batin dan kesadaran. Ini harus dianggap sebagai
lawan dari kekotoran seperti kelambanan dan ketumpulan, …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.87)
Ketika kelambanan dan ketumpulan muncul, maka anda menjadi berat. Pertama kelopak mata anda
menjadi berat dan kemudian berat itu akan menguasai anda. Anda menjadi suatu benda yang sangat
berat. Letika anda awas, tubuh dan pikiran anda menjadi ringan.

Kāya-mudutā & Citta-mudutā


Pasangan ke tiga adalah Kāya-mudutā dan Citta-mudutā. Makna harfiah dari Mudutā adalah
kelunakan. Kelunakan di sini bermakna kelenturan. Ini berarti tidak kaku. Mudah dibentuk.
“Dua kelunakan memiliki karakteristik meredakan kekakuan …” (CMA, II, Tuntunan §5, p.87)
Ketika tidak kaku maka berarti dapat dibentuk.
“Ini harus dianggap sebagai lawan dari kekotoran seperti pandangan salah dan keangkuhan, …” (CMA,
II, Tuntunan §5, p.87)
Ketika ada pandangan salah, maka anda menjadi sangat keras kepala. Anda tidak ingin melepaskan
pandangan anda dengan mudah. Dan ketika anda angkuh, ketika anda memiliki kebanggaan, anda
menjadi kaku, anda menjadi keras. Ketika anda memiliki Māna atau keangkuhan, maka anda tidak
ingin membungkuk. Dan demikianlah hal-hal ini adalah kondisi batin yang kaku. Pasangan ini adalah
lawan dan kondisi-kondisi batin ini, yang disebut Kāya-mudutā dan Citta-mudutā.

Kāya-kammaññatā & Citta-kammaññatā


Pasangan berikutnya adalah Kāya-kammaññatā dan Citta-kammaññatā, kemudahan penggunaan.
“Dua kemudahan penggunaan memiliki karakteristik meredakan kesulitan penggunaan …” CMA, II,
Tuntunan §5, p.87)
Itu tidak menjelaskan banyak. Kadang-kadang penjelasannya memang seperti itu. Kemudahan
penggunaan bermakna anda dapat melakukan apapun yang anda inginkan padanya.
Perumpamaan yang diberikan di sini adalah emas. Ketika emas dimurnikan maka emas itu menjadi
mudah digunakan, menjadi lentur. Anda dapat membentuk emas menjadi apapun tanpa ada
perlawanan. Jika emas itu keras, emas itu tidak akan mudah dibentuk menjadi berbagai jenis
perhiasan. Maka pertama-tama si pandai emas harus memurnikan emas itu dengan membakarnya.
Ketika emas telah menjadi murni, anda dapat membuatnya menjadi berbagai perhiasan yang anda
inginkan. Keadaan demikian disebut mudah digunakan, Kammaññatā. Mudah dibentuk. Mudah untuk
dibuat menjadi apapun.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Kadang-kadang adalah sulit untuk menemukan kata yang tepat untuk kata Pāḷi. saya
lebih suka menggunakan kelembutan daripada mudah dibentuk untuk Mudutā. Saya
pikir itu lebih baik.
“Fungsinya adalah untuk menggilas kesulitan penggunaan. Manifestasinya adalah sebagai
keberhasilan tubuh batin dan kesadaran dalam menjadikan sesuatu sebagai objek. Penyebab
terdekatnya adalah tubuh batin dan kesadaran. Ini harus dianggap sebagai lawan dari rintangan-
rintangan lainnya, yang menciptakan kesulitan penggunaan dari tubuh batin dan kesadaran.” CMA, II,
Tuntunan §5, p.87)

Kāya-pāguññatā & Citta-pāguññatā


Pasangan berikutnya adalah Kāya-pāguññatā dan Citta-pāguññatā, Kemahiran ganda. Kata ini
menimbulkan sedikit masalah. Pāguññatā berasal dari Paguṇā. Paguṇā memiliki tiga makna. Satu
adalah lurus. Ini bukan makna yang diperlukan di sini karena kelurusan akan muncul nanti. Makna ke
dua adalah kemahiran. Kemahiran berarti menjadi terbiasa dengan. Jika saya terbiasa dengan suatu
buku, maka saya dapat mengatakan bahwa saya Paguṇā dengan buku itu. Yang berarti saya
mengetahui buku ini dengan cukup baik, secara menyeluruh. Dan kemudian ada makna lainnya –
sebagai dalam keadaan baik, dalam kondisi baik. Saya pikir makna ini cocok di sini. Karena ketika anda
membaca karakteristiknya, ini adalah sehatnya tubuh batin dan sehatnya kesadaran. Saya pikir kita
dapat mengartikannya seperti ini. Sekarang orang-orang mengatakan kesehatan batin. Kāya-
pāguññatā selalu diterjemahkan sebagai kemahiran. Saya pikir ini adalah kesehatan Cetasika dan
kesehatan Citta.
“Fungsinya adalah menggilas ketidaksehatan tubuh batin dan kesadaran.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.88)
“Ini harus dianggap sebagai lawan dari kurangnya keyakinan, dan sebagainya.” (CMA, II, Tuntunan §5,
p.88)
Ketika anda tidak memiliki keyakinan, ketika anda tidak memiliki perhatian dan seterusnya, maka
batin anda memiliki sejenis penyakit. Batin anda tidak sehat. Maka ini adalah lawan dari kurangnya
keyakinan dan seterusnya.

Kāyujukatā & Cittujukatā


Pasangan terakhir adalah Kāyujukatā dan Cittujukatā, ‘Uju’ berarti lurus. Jadi ‘Ujukatā’ berarti
kelurusan, kejujuran. Kelurusan tubuh batin dan kelurusan kesadaran.
“kelurusan ganda ini memiliki karakteristik kelurusan tubuh batin dan kesadaran, berturut-turut.
Fungsinya adalah untuk menggilas bengkoknya tubuh batin dan kesadaran, dan manifestasinya adalah
ketidakbengkokan.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.88)
Ketika ada kondisi-kondisi tidak bermanfaat dalam batin, maka batin dikatakan sebagai bengkok.
Batin dikatakan tidak lurus. Maka ini bermanifestasi sebagai ketidakbengkokan.
“Penyebab terdekatnya adalah tubuh batin dan kesadaran. Ini harus dianggap sebagai lawan dai
kemunafikan dan kecurangan, dan sebagainya, yang menciptakan kebengkokan dalam tubuh batin
dan kesadaran.” (CMA, II, Tuntunan §5, p.88)
Ini adalah lawan dari kondisi-kondisi demikian.
Kondisi-kondisi batin ini diuraikan secara berpasangan di sini. Penjelasan yang diberikan dalam
Komentar sehubungan dengan mengapa hal-hal ini diuraikan secara berpasangan dan mengapa yang
lainnya seperti Saddhā dan Sati diuraikan secara terpisah adalah bahwa kedua ini menggilas kualitas-
kualitas yang berlawanan ketika keduanya berpasangan. Itulah sebabnya mengapa keduanya
diperlakukan sebagai pasangan di sini.
Penjelasan lainnya adalah bahwa kejujuran kesadaran hanyalah kondisi kesadaran. Tetapi kejujuran
Kāya juga dapat menyiratkan kejujuran tubuh fisik. Ketika ada kejujuran kondisi batin, maka juga ada
kejujuran tubuh fisik. Jika ada ketenangan batin maka tubuh fisik anda juga menjadi tenang. Untuk
menunjukkan hal-hal ini, maka keduanya dijelaskan secara berpasangan.
Ini adalah 19 faktor batin yang muncul bersama dengan setiap jenis kesadaran Sobhana. Sekarang kita
lanjut pada kelompok berikutnya

Virati: Sammā-vācā, Sammā-kammanta & Sammā-ājiva


Ini disebut Virati, penghindaran. Yatu Sammā-vācā (ucapan benar), Sammā-kammanta (perbuatan
benar) dan Sammā-ājīva (penghidupan benar). Anda sudah terbiasa dengan ketiga faktor batin ini
karena terdapat di dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dalam unsur-unsur dari Jalan Mulia Berunsur
Delapan anda menemukan ketiga faktor ini Sammā-vācā (ucapan benar), Sammā-kammanta
(perbuatan benar) dan Sammā-ājīva (penghidupan benar). Ketiga ini secara kolektif disebut Virati,
penghindaran. Penghindaran dari apakah? Penghindaran dari perilaku salah. Ada penghindaran dari
perilaku salah melalui perbuatan jasmani, penghindaran dari perilaku salah melalui ucapan atau
perbuatan verbal, penghindaran dari penghidupan salah. Ketiga ini hanya muncul ketika seseorang
benar-benar menghindari dari, misalnya membunuh atau mencuri. Ketika anda sedang belajar seperti
sekarang ini atau ketika anda sedang bersujud kepada Sang Buddha, tidak ada Virati dalam batin anda.
Penghindaran ini hanya muncul dalam batin anda ketika anda dengan sengaja menjauhi atau
menghindari perbuatan salah.

Tiga Jenis Virati


Ada tiga jenis Virati disebutkan dalam Komentar
- Yang pertama disebut penghindaran alami. Saya pikir kita seharusnya menyebutnya
penghindaran pada kesempatan
- Yang ke dua adalah penghindaran dengan mengambil Sīla
- Yang ke tiga adalah penghindaran dengan lenyapnya kekotoran-kekotoran batin.
Jadi ada tiga jenis Virati, tiga jenis penghindaran
Yang pertama disebut Sampatta-virati. ‘Sampatta’ berarti sampai. Beberapa kesempatan mendatangi
anda atau sampai dan anda menghindari melakukan perbuatan salah. Maka di sana ada Virati ini. Di
sini penghindaran dilakukan bukan karena seseorang mengambil Sīla. Hanya kebetulan ada di sana
dan orang itu menghindari melakukannya.
“Penghindaran alami adalah penghindaran dari perbuatan jahat ketika kesempatan muncul untuk
melakukannya, karena mempertimbangkan status sosial, umur, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
sebuah contoh adalah menghindari pencurian karena mengkhawatirkan reputasinya akan tercela jika
ia tertangkap.” .” (CMA, II, Tuntunan §6, p.88)
Jika ada suatu kesempatan bagi seseorang untuk mengambil sesuatu dengan mudah, ia akan berkata
kepada dirinya sendiri, “Seorang seperti saya tidak akan melakukan hal demikian.” Maka ia
menghindari dari perbuatan salah itu, ia menghindari mengambil apapun. Pada saat itu ada
penghindaran perbuatan benar, Sammā-kammanta. Ketika ada kesempatan untuk berbohong, maka
anda menghindari berbohong, ini adalah Sammā-vācā atau ucapan benar. Ketika anda menghindari
dari perilaku jasmani yang salah dan perilaku ucapan yang salah yang adalah penghidupan anda, maka
itu adalah Sammā-ājīva. Jadi ada Sammā-vācā dan Sammā-kammanta di satu pihak dan Sammā-ājīva
di pihak lain. Semua itu adalah penghindaran dari perbuatan salah. Perbedaannya adalah bahwa jika
perbuatan salah itu adalah penghidupan seseorang, maka penghindaran itu disebut Sammā-ājīva. Jika
bukan demikian, maka disebut Sammā-vācā atau Sammā-kammanta. Jika seorang nelayan
menghindari membunuh ikan, maka itu adalah Sammā-ājīva (penghidupan benar) karena membunuh
ikan adalah penghidupannya. Jika ada seorang lainnya dengan profesi berbeda. Ketika ia menghindari
memancing, maka itu adalah Sammā-kammanta, bukan Sammā-ājīva. Itu bukan Sammā-ājīva, jika
memncing bukanlah penghidupannya. Menghindari ketika kesempatan muncul disebut Sampatta-
virati.
Dalam Komentar, Aṭṭhasālinī, diberikan sebuah kisah. Ada seorang ibu dan anak-anaknya. Sang ibu
menderita penyakit. Tabib memberitahunya bahwa ia memerlukan daging mentah kelinci untuk
menyembuhkan penyakit itu. Ketika sang tabib mengatakan ini, putra tertua menyuruh adiknya untuk
pergi ke hutan menangkap seekor kelinci. Maka sang adik pergi ke hutan. di sana ada seekor kelinci.
Ketika si kelinci mendengar orang itu datang, ia melarikan diri. Ketika berlari, ia terjerat tanaman
rambat. Karena terjerat, ia mengeluarkan suara. Sang adik mendengarnya dan menangkap kelinci itu.
Kemudian ia berpikir, “Aku tidak dapat membunuh kelinci ini. Aku tidak dapat mengambil nyawa
kelinci ini bahkan untuk menyembuhkan penyakit ibuku.” Maka ia melepaskannya. Dan ia pulang ke
rumah. Sang kakak bertanya kepadanya , “Apakah engkau mendapatkan kelinci?” sang adik
menjawab, “Aku menangkap seekor kelinci, tetapi aku tidak ingin membunuhnya bahkan untuk
menyembuhkan penyakit ibuku. Maka aku melepaskannya.” Sang kakak memarahinya. Kemudian ia
mendatangi ibunya dan mengucapkan pernyataan keyakinan. Ia berkata, “Sejak aku menjadi
berpengetahuan, sejak aku mengetahuigi apa yang benar dan apa yang salah, aku belum pernah
membunuh makhluk hidup. Berkat pernyataan kebenaran ini, dengan mengucapkan kebenaran ini
semoga penyakit ibuku sembuh.” Kemudian dikatakan bahwa sang ibu sembuh. Jenis penghindaran
itu disebut Sampatta-virati, penghindaran ketika kesempatan muncul. Ia tidak mengambil Sīla
sebelum pergi. Ada kesempatan untuk membunuh dan ia tidak melakukannya. Ia menghindari dari
membunuh kelinci. Jenis Virati atau penghindaran ini disebut Sampatta-virati, penghindaran pada
kesmpatan
Yang ke dua adalah penghindaran dengan mengambil Sīla, Samādāna-virati. ‘Samādāna berarti
mengambil. Jadi ini adalah peghindaran karena mengambil Sīla.
“Penghindaran dengan mengambil Sīla adalah penghindaran dari perbuatan jahat karena seseorang
berusaha untuk mematuhi Sīla, misalnya, lima Sīla menghindari membunuh, mencuri, perilaku salah
dalam hubungan seksual, berbohong, dan bermabukan. .” (CMA, II, Tuntunan §6, p.88)
Ada sebuah kisah. Kali ini ada seorang petani. Suatu hari ia pergi bekerja di sawah. Sapinya hilang. Jadi
ia pergi ke hutan untuk mencari sapinya. Kemudian seekor ular besar, mungkin seekor ular sanca
menangkapnya. Ketika ular sanca itu membelitnya, ia memegang sebilah pedang di tangannya.
Tunggu dulu. Sebelum pergi bekerja, ia telah mendatangi seorang bhikkhu terkemuka dan mengambil
Sīla dari bhikkhu itu. Jadi setelah mengambil Sīla, ia pergi ke sawah untuk bekerja. Awalnya ketika ia
tertangkap oleh ular itu, ia berpikir untuk memotong kepala ular itu. Kemudian ia berpikir lebih
lanjut: “Aku telah menerima Sīla dari bhikkhu suci itu, jadi aku tidak boleh melanggar Sīla.” Kemudian
ia berpikir lagi, “Aku akan memotong kepala ular ini.” Sekali lagi ia berpikir, “Tidaklah benar jika aku
melanggar Sīla karena aku telah menerimanya dari seorang bhikkhu.” Tiga kali ia berpikir demikian.
Kemudian ia berpikir, “Biarlah ular ini membunuhku, aku tidak akan membunuhnya.” Pada saat itu
ular itu melepaskannya dan pergi. Ia mempertahankan Sīla tidak membunuh karena ia telah menerima
Sīla tidak membunuh dari sang bhikkhu. Jenis penghindaran itu disebut Samādāna-virati,
penghindaran karena ia telah menerima Sīla.
Yang terakhir disebut Samuccheda-virati. Ini adalah penghindaran yang terlaksana ketika kekotoran-
kekotoran batin telah lenyap. Kapankah kekotoran-kekotoran batin lenyap? Kekotoran-kekotoran
batin lenyap pada momen pencerahan. Pada momen pencerahan kekotoran-kekotoran batin lenyap.
Ketika kekotoran-kekotoran batin lenyap, kecenderungan pada perbuatan jahat juga lenyap. Karena
bahkan kecenderugan pada perbuatan jahat lenyap, maka penghindaran dari segala perbuatan jahat
terlaksana. Walaupun tidak ada kesempatan bahkan walaupun ia tidak mengambil Sīla, ia telah
melenyapkan segala kekotoran batin. Ia telah melenyapkan bahkan kecenderungan pada perbuatan
jahat. Karena itu dikatakan bahwa pada momen pencerahan seluruh tiga Virati ini muncul bersamaan.
Penghindaran terlaksana pada momen itu bahkan walaupun tidak ada kesempatan untuk membunuh,
mencuri, dan sebagainya. ia sedang duduk bermeditasi, mencapai pencerahan, jadi tidak ada
kesempatan baginya untuk melanggar Sīla apapun. Tetapi karena segala kekotoran batin telah
dilenyapkan bersama dengan kecenderungan untuk melakukan kejahatan, maka penghindaran itu
dikatakan sebenarnya telah terlaksana. Penghindaran demikian disebut Samuccheda-virati.
‘Samuddheda’ berarti memotong seluruhnya. Jadi ini adalah penghindaran dengan memotong
seluruhnya kekotoran batin. Jadi ada tiga jenis penghindaran – penghindaran pada kesempatan,
penghindaran karena mengambil Sīla, penghindaran karena lenyapnya kekotoran-kekotoran batin.
Ada tiga penghindaran. Yang pertama adalah ucapan benar.
“Ucapan benar adalah penghindaran dengan sengaja dari ucapan salah: …” .” (CMA, II, Tuntunan §6,
p.88)
Ini penting, sekedar mengatakan apa yang benar bukanlah penghindaran. Anda mengatakan apa yang
benar. Ini bukan penghindaran. Penghindaran baru terjadi ketika anda memiliki kesempatan untuk
mengatakan apa yang tidak benar dan anda menghindarinya. Itu adalah waktunya untuk ucapan
benar. Jadi ucapan benar tidak akan selalu muncul. Ini hanya muncul ketika ada penghindaran. Ini
adalah penghindaran dari berbohong, penghindaran dari fitnah, penghindaran dari ucapan kasar dan
penghindaran dari ucapan omong-kosong. Ini adalah empat perbuatan salah melalui ucapan. Ada
empat perbuatan salah melalui ucapan – berbohong, memfitnah, mengucapkan kata-kata kasar dan
mengucapkan omong-kosong.
Berikutnya adalah perbuatan benar, Sammā-kammanta.
“Perbuatan benar adalah penghindaran dengan sengaja dari perbuatan salah melalui jasmani: dari
membunuh, mencuri, hubungan seksual yang salah.” .” (CMA, II, Tuntunan §6, p.89)
Ketika anda menghindari membunuh, mencuri, dan sebagainya, di sana ada perbuatan benar. Tetapi
ketika anda bersujud kepada Sang Buddha, ini bukanlah perbuatan benar sebagai penghindaran atau
ini bukanlah penghindaran. Disebut perbuatan benar karena anda melakukan apa yang benar. Ini tidak
disebut Sammā-kammanta atau penghindaran.
Yang terakhir adalah Sammā-ājīva. Yaitu penghindaran dengan sengaja dari empat perbuatan salah
melalui ucapan dan tiga perbuatan salah melalui jasmani ketika berhubungan dengan penghidupan.
Menghindari salah satu dari ketujuh ini ketika berhubungan dengan pekerjaan seseorang adalah
penghidupan benar. Berdagang racun, berdagang minuman memabukkan, berdagang senjata,
berdagang manusia untuk perbudakan dan berdagang binatang untuk disembelih sebagai makanan
adalah perdagangan salah. Kelima perdagangan ini seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pengikut
Buddha.
Hanya ketika ada penghindaran dari perbuatan salah maka ada salah satu dari penghindaran-
penghindaran ini – ucapan benar, perbuatan benar atau penghidupan benar. Nanti kita akan
membahasnya lagi. Jadi penghindaran-penghindaran ini tidak selalu muncul bersama Sobhana Citta.
Penghindaran-penghindaran ini hanya akan muncul sekali-sekali. Penghindaran ini tidak muncul tiga
pada satu waktu bersama Kāmāvacara Citta. Hanya dengan Citta adi-duniawi ketiga ini akan muncul
secara bersamaan.

Appamaññā
Kelompok berikutnya disebut Appamaññā. ‘Appamaññā’ berarti tidak ada batas, tanpa batas, yang
tanpa batas. Mengapakah disebut tanpa batas? Disebut ‘tanpa batas’ karena mengambil makhluk-
makhluk tanpa batas sebagai objeknya. Ketika anda mempraktikkan Karuṇā dan Muditā atau bahkan
ketika anda mempraktikkan Mettā dan Upekkhā, anda harus mempraktikkan terhadap semua
makhluk. Tidak boleh ada batas pada makhluk-makhluk yang kepadanya anda mempraktikkan satu
dai empat kualitas ini. Itulah sebabnya mengapa disebut Appamaññā. ‘Appamaññā’ berarti tanpa
batas.
Juga ketika anda sedang mempraktikkan cinta-kasih kepada hanya satu orang, itu tetap disebut
Appamaññā karena ketika anda mencurahkan cinta-kasih kepada seseorang anad tidak membatasi
pada hanya tubuh bagian atas atau bagian bawah saja. Anda mencurahkannya kepada seluruh
makhluknya sebagai objek tanpa batasan apapun. Itulah sebabnya mengapa empat ini disebut
Appamaññā.

Karuṇā
Appamaññā yang pertama di sini adalah belas kasihan. Karuṇā adalah belas kasihan.
“Karuṇā, atau belas kasihan, memiliki karakteristik memajukan pelenyapan penderitaan makhluk-
makhluk lain.” (CMA, II, Tuntunan §7, p.90)
Ini berarti bahwa keinginan untuk lenyapnya penderitaan dari makhluk-makhluk lain adalah Karuṇā.
Apakah penderitaan benar-benar dilenyapkan atau tidak adalah hal lain. Ketika anda mempraktikkan
Karuṇā anda mengucapkan: “Semoga ia bebas dari penderitaan.” Apakah orang itu benar-benar
terbebas dari penderitaan adalah lain lagi, tetapi kita mempraktikkan dengan cara itu. Ketika kita
mempraktikkan belas kasihan, adalah penting bahwa kita tidak terjatuh menjadi mangsa bagi
musuhnya. Praktik ini berhasil jika menyebabkan kekejaman mereda, dan gagal jika menghasilkan
dukacita. Kekejaman adalah lawan dari Karuṇā. Dalam mempraktikkan Karuṇā kadang-kadang anda
mungkin terjatuh ke dalam dukacita. Anda bersedih terhadap mereka yang menderita. Kadang-kadang
anda marah kepada mereka yang melukai mereka yang menderita dan anda melangkahi batasan belas
kasihan dan jatuh ke dalam Akusala – jatuh ke dalam dukacita atau jatuh ke dalam kemarahan. Belas
kasihan dalam Buddhisme adalah murni bermanfaat. Begitu anda mengalami kesedihan atau
kemarahan, itu bukan lagi Karuṇā. Anda tidak lagi memiliki Karuṇā dalam pikiran anda. Anda tidak
lagi mempraktikkan Karuṇā. Adalah sangat penting ketika anda sedang mempraktikkan Karuṇā bahwa
anda berhenti tepat di sana dan tidak pergi menuju kesedihan dengan mereka yang menderita atau
menjadi marah kepada mereka yang menjatuhkan kesakitan kepada mereka. Ada dua musuh di sini.
Musuh langsung adalah kekejaman. Musuh dekat adalah kesedihan.

Muditā
Yang ke dua adalah Muditā, kegembiraan apresiatif. Itu berarti anda bahagia ketika anda melihat
orang-orang lain yang makmur atau orang-orang lain yang berbahagia. Pada waktu demikian, anda
memiliki Muditā, kegembiraan.
“Muditā, atau kegembiraan apresiatif, memiliki karakteristik kegembiraan atas keberhasilan orang
lain.” (CMA, II, Tuntunan §7, p.90)
Ketika orang-orang lain berhasil, ketika orang-orang lain kaya, ketika orang-orang lain bahagia, anda
juga bahagia.”
“Fungsinya adalah untuk tidak iri pada keberhasilan orang lain. Manifestasinya adalah sebagai
lenyapnya ketidaksenangan. Penyebab terdekatnya adalah melihat keberhasilan orang lain. Muditā
berhasil jika menyebabkan ketidaksenangan mereda, dan gagal jika menghasilkan kegirangan.” (CMA,
II, Tuntunan §7, p.90)
Musuh langsungnya adalah ketidaksenangan. Ini berarti seperti kecemburuan. Ketika seseorang
berhasil, anda tidak menyukainya. Ini disebut ketidaksenangan di sini, musuh langsung dari Muditā.
Musuh dekatnya adalah kegirangan. Ini berarti menjadi bahagia, bukan kebahagiaan yang bermanfaat.
Di sini menjadi girang dengan kemelekatan dan sebagainya. ini adalah musuh dekat dari Muditā.
Seseorang menjadi sangat berhasil, dan anda menjadi sangat bahagia, tetapi bukan sekedar
kebahagiaan bermanfaat, melainkan kegirangan masuk. Ini adalah musuh dekat dari Muditā.
Karuṇā dan Muditā terdapat di antara empat kondisi Luhur atau empat Brahmavihāra. Seluruhnya
kita memiliki empat – Mettā, Karuṇā, Muditā, dan Upekkhā. Mettā direpresentasikan oleh Adosa.
Upekkhā direpresentasikan oleh netralitas pikiran. Itulah sebabnya mengapa di dalam Manual ini
hanya dua yang disebutkan sebagai tanpa batas (baca CMA, II, Tuntunan §7, p.89). tetapi sebenarnya
ada empat yang disebut yang tanpa batas. Tetapi seperti yang saya katakan sebelumnya, Adosa dan
netralitas pikiran – kedua ini dapat berupa Mettā dan Upekkhā atau tidak. Jadi walaupun pada intinya
Mettā adalah Adosa dan Upekkhā adalah Tatramajjhattatā, tidak semua Adosa dan Tatramajjhattatā
adalah Mettā dan Upekkhā. Hanya ketika muncul dalam modus memajukan kesejahteraan makhluk
lain maka ini disebut Mettā, hanya ketika muncul dalam modus netralitas kondisi-kondisi batin maka
ini disebut Upekkhā. Ada empat Brahmavihāra, tetapi di sini hanya Karuṇā dan Muditā yang
disebutkan sebagai Appamaññā.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Metode Paññindriya & Sampayoga


Minggu lalu kita telah menuntaskan Karuṇā (belas kasihan) dan Muditā (kegembiraan apresiatif).
Keduanya disebut tidak terbatas atau tidak terukur. Disebut demikian karena objek-objeknya selalu
tidak terbatas, makhluk-makhluk tak terbatas. Sebenarnya ada empat keadaan yang disebut tanpa
batas atau tidak terukur. Empat ini adalah Mettā, Karuṇā, Muditā dan Upekkhā. Mettā dan Upekkhā
tidak dimasukkan dalam tanpa batas di sini karena telah direpresentasikan dengan efektif melalui
ketidakbencian dan netralitas pikiran. Walaupun Mettā adalah Adosa (ketidakbencian) dan Upekkhā
adalah netralitas pikiran, tidak semua Adosa dan tidak semua netralitas pikiran adalah Mettā atau
Upekkhā yang termasuk dalam keadaan tanpa batas. Karena ketika anda sedang bersujud kepada Sang
Buddha, ketika anda sedang belajar, ada Adosa dalam pikiran anda tetapi bukan Mettā. Agar ini
menjadi Mettā maka anda harus berlatih secara khusus, seperti merenungkan, “Semoga semua
makhluk menjadi baik, bahagia dan damai.” Mettā dan Upekkhā sebagai keadaan tanpa batas memiliki
cakupan lebih sempit daripada keadaan batin Adosa dan Tatramajjhattatā.

Amoha atau Paññindriya


Sekarang kita sampai pada faktor batin terakhir yaitu Amoha atau Paññindriya. Dalam Abhidhamma,
seperti dikatakan dalam CMA, Paññā kadang-kadang disebut Paññā, kadang-kadang disebut Ñāṇa dan
kadang-kadang disebut Amoha (baca CMA, II, Tuntunan §8, p.90). Ada sinonim lainnya juga. Kata-kata
ini digunakan sebagai sinonim dalam Abhidhamma. Apakah kata yang digunakan adalah Paññā, Ñāṇa
atau Amoha, yang dimaksudkan adalah hal yang sama, faktor batin yang sama.
Faktor batin ini di sini disebut Paññindriya. ‘Indriya’ berarti kemampuan. Ini berarti faktor batin ini
mengerahkan keunggulan atas faktor-faktor batin lainnya dalam memahami segala sesuatu, dalam
memahami sifat sejati segala sesuatu. Oleh karena itu maka ini disebut kemampuan kebijaksanaan
atau kemampuan pengetahuan.
“Kebijaksanaan memiliki karakteristik menembus segala sesuatu menurut sifat hakikinya.” (CMA, II,
Tuntunan §8, p.90)
Melihatnya dalam sifat sejatinya, melihat sifat sejati dari segala sesuatu adalah kebijaksanaan. Kadang-
kadang karakteristiknya dijelaskan sebagai penembusan pasti. Ketika seorang penembak tepat
menembak, ia selalu mengenai sasarannya. Demikian pula, Paññā selalu mengenai sasarannya. Paññā
atau Ñāṇa atau Amoha adalah apa yang menembus atau memahami sifat sejati segala sesuatu.
“Fungsinya adalah untuk menerima bidang sasaran bagaikan pelita.” (CMA, II, Tuntunan §8, p.90)
Paññā diumpamakan dengan pelita. Mohā diumpamakan dengan kegelapan. Ketika tidak ada cahaya
di dalam ruangan ini, kita tidak dapat melihat apa-apa. Kita tidak dapat saling melihat satu sama lain.
Jika ada cahaya, jika ruangan ini terang, maka kita dapat melihat segala sesuatu dengan jelas. Demikian
pula, ketika ada Moha dalam batin kita, kita tidak melihat segala sesuatu dengan jelas, kita tidak
melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Tetapi ketika Paññā datang, ia bagaikan menerangi objek,
kita melihat segala sesuatu dengan jelas. Jadi Paññā memiliki fungsi menerangi objek, bagaikan lampu
sorot.
“Manifestasinya adalah sebagai ketidakbingungan.” (CMA, II, Tuntunan §8, p.90)
Ketika anda memahami sesuatu dengan jelas, ketika anda memahami sifat sejati segala sesuatu, maka
anda yakin dengan hal itu. Anda tidak terdelusi. Paññā di sini diumpamakan dengan seorang pemandu.
Seorang pemandu dapat membawa anda menembus hutan belantara tanpa melakukan kesalahan.
“Penyebab terdekatnya adalah perhatian seksama (yoniso manasikāra).” (CMA, II, Tuntunan §8, p.90)
Menurut Abhidhamma, tidak semua pengetahuan disebut Paññā. Paññā adalah apa yang memahami
sifat sejati segala sesuatu. Kadang-kadang ada beberapa jenis pengetahuan senjata untuk membunuh
orang atau semacam itu. Itu bukan disebut Paññā menurut Abhidhamma. Itu adalah suatu jenis
Vitakka kuat. Kadang-kadang bahkan Akusala.
Paññā ditunjukkan dengan baik sehubungan dengan meditasi Vipassanā. Anda berlatih meditasi
Vipassanā. Anda mencatat objek-objek yang anda amati. Ketika pikiran anda menjadi terkonsentrasi,
anda mulai melihat objek-objek dengan jelas, dan kemudian karakteristik dan hal-hal lainnya akan
menunjukkan sifat sejatinya. Paññā ditunjukkan dengan baik sehubungan dengan meditasi Vipassanā.

Saññā, Viññāṇa dan Paññā


Ada tiga keadaan yang sama-sama memiliki pemahaman. Ada Saññā (persepsi). Ada Viññāṇa atau
Citta. Dan ada Ñāṇa atau Paññā. Pada masing-masing kata anda menemukan ‘-ña’, Sañ-ña, Viñ-ña-ṇa,
Pañ-ña. Ketiganya mengetahui objek, tetapi modus mengetahuinya berbeda. Saññā mengetahui objek
– di sini mengetahui objek berarti sekedar persepsi atas objek, sekedar mencatat objek – ini biru, ini
kuning, ini merah dan sebagainya. Viññāṇa menjelaskan sebagai sesuatu yang mengetahui objek
adalah biru atau kuning atau apapun dan juga mengetahui karakteristik-karaktristik, karakteristik
Anicca, Dukkha dan Anatta. Tetapi Viññāṇa tidak dapat mencapai lenyapnya kekotoran batin. Viññāṇa
tidak dapat mencapai penembusan Empat Kebenaran Mulia. Paññā dapat melakukan itu. Ini adalah
perbedaan antara Saññā, Viññāṇa dan Paññā. Saññā menandai. Viññāṇa menandai dan mengetahui
objek. Tetapi Viññāṇa saja tidak membantu munculnya penembusan. Ini dilakukan oleh Paññā.
Ketiga ini diumpamakan dengan seorang anak kecil, seorang warga desa atau seorang biasa, dan
seorang penukar uang atau seorang pencuri. Ketika orang-orang ini melihat sekeping uang logam,
pemahaman mereka berbeda. Ketika seorang anak melihat uang logam, ia mungkin hanya mengetahui
bahwa uang itu berbentuk bundar, bergambar, besar atau kecil atau semacam itu. Anak itu tidak
mengetahui bahwa uang logam itu dapat digunakan untuk membeli sesuatu. Seorang warga deesa
mengetahui bahwa itu adalah sekeping uang logam, bergambar, dan berbentuk bundar atau persegi,
dan sebagainya, dan juga mengetahui nilainya dalam penggunaan manusia. Uang itu dapat
dipertukarkan dengan benda lain. Tetapi ia tidak mengetahui apakah itu uang logam asli atau palsu
atau apakah nilainya hanya setengah. Ia tidak mengetahui ini. Pengetahuan ini dimiliki oleh si penukar
uang atau si pencuri. Seorang penukar-uang terbiasa dengan uang. Jadi ia mengetahui seluruh tiga ciri
ini. uang logam itu berbentuk bundar dan bergambar, dapat digunakan untuk pertukaran, dan juga ia
mengetahui apakah uang logam itu palsu atau asli, dan ia juga mengetahui uang logam itu dibuat tahun
berapa, atau di mana, atau dibuat oleh siapa. Jadi pengetahuannya adalah menyeluruh sehubungan
dengan uang logam. Pengetahuan warga desa itu tidak begitu menyeluruh. Ia mengetahui itu adalah
sekeping uang logam. Ia tahu bahwa uang logam itu dapat dipertukarkan. Pemahaman seorang anak
sangat terbatas. Ia hanya mengetahi bahwa uang logam itu berbentuk bundar. Ia mungkin bermain
dengan uang itu. Ini adalah perbedaan antara Saññā, Viññāṇa dan Paññā.
Perbedaan yang diberikan dalam buku-buku sebenarnya sehubungan dengan meditasi Vipassanā.
Ketika anda berlatih meditasi Vipassanā, pertama-tama anda melihat karakteristik-karakteristik, anda
menembus karakteristik-karakteristik dengan Paññā. Viññāṇa juga mengambilnya sebagai objek.
Viññāṇa mengambil karakteristik-karakteristik, sifat ketidaktahuan, penderitaan dan tanpa-jiwa
sebagai objek. Viññāṇa saja tidak dapat mencapai penembusan Empat Kebenaran Mulia.
Ada perbedaan lain antara ketiga ini. Saññā mengetahui objek apakah benar atau salah. Apakah benar
atau salah, Saññā akan membuat catatan. Saññā membuat catatan ular sedangkan objek sebenarnya
adalah tali. Saññā membuat catatan seorang manusia sedagnkan objek sebenarnya adalah orang-
orangan jerami. Saññā hanya mengetahui objek dengan membuat catatan – ini kuning, ini putih dan
sebagainya. Paññā menembus sifat segala sesuatu dan memahaminya secara menyeluruh. Viññāṇa
hanyalah kesadaran atas objek. Walaupun ketiga faktor batin ini muncul secara bersamaan, yaitu,
ketiganya muncul pada saat yang sama dan mengambil objek yang sama, hubungannya dengan objek,
pemahamannya atas objek adalah berbeda. Yang satu membuat catatan atas objek. Yang satu lagi
menyadari objek. Yang terakhir menembus ke dalam sifat sejati objek. Ini adalah perbedaan antara
kondisi-kondisi batin persepsi, kesadaran dan kebijaksanaan atau pemahaman.
Dengan ini kita sampai pada akhir dari 52 keadaan batin. Mari kita kembali ke awal. Bagaimanakah 52
keadaan batin ini dibagi? Pertama ada 13 Aññasamāna, yang sama dengan yang lain. Kemudian ada 14
Akusala yang tidak bermanfaat. Ada 25 yang indah. Sekali lagi 13 pertama dibagi menjadi dua. Tujuh
pertama adalah universal. Enam lainnya adalah sekali-sekali atau khusus atau Pakiṇṇaka. 25 Sobhana
Cetasika dibagi menjadi 19 yang sama untuk semua kesadaran yang indah. Kemudian ada tiga yang
disebut penghindaran. Ada dua yang tanpa batas. Dan yang terakhir adalah Paññā. Sehingga
seluruhnya ada 52 keadaan batin. Setidaknya beberapa dari 52 keadaan batin ini adalah emosi-emosi.
Apa yang kita sebut emosi hanyalah beberapa di antaranya seperti Lobha (keserakahan), Dosa
(kemarahan), Vicikicchā (keragu-raguan) atau Kukkucca (penyesalan). Semua ini termasuk dalam 52
Cetasika. Apa yang kita sebut emosi pada masa sekarang ini adalah 52 keadaan batin ini.
Kita harus memahami masing-masingnya sehubungan dengan karakteristik, fungsi, manifestasi dan
penyebab terdekatnya. Memahami penyebab terdekatnya saya pikir adalah penting karena jika kita
ingin meninggalkan atau jika kita ingin mengurangi beberapa keadaan batin yang buruk, maka kita
harus memulai dari penyebab terdekat. Penyebab terdekat dari Lobha adalah apakah? Penyebab Lobha
adalah menganggap sesuatu sebagai indah. Jadi jika anda memiliki terlalu banyak Lobha apakah yang
terjadi? Anda menganggap sesuatu sebagai indah. Jadi jika anda memiliki terlalu banyak Lobha dan
anda ingin meninggalkan Lobha, anda harus menyerang penyebab terdekat itu. Anda harus berusaha
untuk melihatnya sebagai tidak indah, sebagai tidak menarik, melainkan sebagai menjijikkan. Jika
anda tertarik pada seseorang, jika anda terlalu mencintai orang itu, maka anda harus melihat tubuh
orang itu sebagai menjijikkan, dan bahwa ia adalah tidak kekal dan seterusnya. Jadi dengan memahami
empat aspek dari tiap-tiap keadaan batin ini dapat membantu kita berusaha untuk mengembangkan
atau berusaha untuk mengurangi atau berusaha untuk meninggalkan keadaan batin tertentu.
Keadaan-keadaan batin ini semuanya disebutkan dalam Abhidhamma atau Dhammasaṅganī.
Semuanya disusun dalam penataan yang teratur dalam Manual ini. Cetasika-cetasika dibagi menjadi
13 yang sama dengan yang lain, 14 yang tidak bermanfaat, dan 25 yang indah.

Kombinasi
Setelah kita mengetahui 52 Cetasika, kita harus mengetahui bagaimana 52 Cetasika ini bergabung
dengan 121 jenis kesadaran. Hari ini anda akan melakukan pekerjaan, bukan hanya mendengar. Ada
dua jenis kombinasi. Saya menyebutnya – kombinasi Cetasika-Citta dan kombinasi Citta-Cetasika.
Anda mengambil satu Cetasika dan kemudian anda mengatakan Cetasika ini bergabung atau
terhubung dengan berapa banyak Citta. Ini disebut metode Cetasika-Citta. Dalam Pāḷi ini disebut
metode Sampayoga. Jika anda mengambil satu jenis kesadaran dan mengatakan jenis kesadaran ini
muncul bersama dengan sembilan belas Cetasika atau dua puluh satu Cetasika, maka metode ini
disebut kombinasi Citta-Cetasika. Kita mengambil Citta dan berusaha menemukan berapa banyak
Cetasika yang muncul bersamanya. Dalam Manual ini disebut metode Saṅgaha. Yang pertama adalah
metode Sampayoga dan yang kedua adalah metode Saṅgaha.

Metode Sampayoga
Mari kita melihat tabel pada CMA halaman 112 dan 113 (baca CMA, II, Tabel 2.4, pp.112-113).
Disayangkan terdapat beberapa kesalahan.15 Pertama kita lihat pada metode Sampayoga. Untuk
memahami metode Sampayoga, anda membaca kolom ke bawah. Ini disebut metode Cetasika-Citta.
Jika anda memiliki tabel ini, ini sangat mudah. Secara sekilas anda mengetahui berapa banyak Citta
yang muncul bersama Cetasika tertentu dan berapa banyak Cetasika yang muncul bersama Citta
tertentu. Kita akan membahasnya satu demi satu.
Pada kelompok pertama terdapat Citta Lobhamūla delapan. Kemudian ada Dosamūla dua dan
Mohamūla dua. Kelompok berikutnya adalah Dvipañcaviññāṇa. Tahukah anda yang mana adalah
Dvipañcaviññāṇa? Dvipañcaviññāṇa adalah dua kesadaran-mata, dua kesadaran-telinga, dua
kesadaran-hidung, dua kesadaran-lidah dan dua kesadaran-badan. Kemudian ada dua Sampaṭicchana,

15
Untuk tabel ini kesalahannya adalah sebagai berikut: pada edisi pertama, pandangan salah secara keliru
dianggap berasal dari Citta #7 dan #8. Sebenarnya keangkuhan harus ditampilkan sebagai muncul bersama Citta #7
dan #8 dan ini tidak ditampilkan. Juga keangkuhan secara keliru diampilkan sebagai muncul bersama Citta #6.
Nomor 79 harus digeser satu kolom ke kanan. Pada edisi ke dua, nomor 55, 66 & 51 pada kolomnya masing-masing
harus digeser ke baris terakhir. Nomor 79 harus digeser satu kolom ke kanan. Terlepas dari persoalan ini tabel ini
adalah yang paling mudah diikuti.
satu termasuk Akusala-vipāka dan satu termasuk Kusala-vipāka. Terdapat tiga Santīraṇa, Citta
penyelidikan. Ada dua Santīraṇa Citta yang disertai dengan Upekkhā dan satu yang disertai dengan
Somanassa. Kemudian ada Pañcadvārāvajjana, pengalihan-lima-pintu-indria. Hanya ada satu.
Kemudian ada Manodvārāvajjana, juga hanya satu. Yang terakhir adalah Hasituppāda, kesadaran yang
menghasilkan senyuman. Berikutnya adalah Kāmāvacara Kusala satu dan dua, tiga dan empat, lima
dan enam, tujuh dan delapan. Kemudian ada Sahetuka Kāmāvacara Vipāka, hasil alam-indriawi satu
dan dua, tiga dan empat, lima dan enam, tujuh dan delapan. Dan ada kesadaran fungsional Sahetuka
Kāmāvacara Kiriya satu dan dua, tiga dan empat, lima dan enam, tujuh dan delapan. Kemudian ada
Rūpāvacara, 15 Jhāna. Ada Jhāna pertama tiga. Apakah tiga ini? Satu adalah Kusala, satu adalah Vipāka
dan satu adalah Kiriya. Untuk Jhāna ke dua ada tiga. Jhāna ke tiga ada tiga. Jhāna ke empat ada tiga
and Jhāna ke lima juga ada tiga. Ada 15 Rūpāvacara Citta. Kemudian ada dua belas Arūpāvacara Citta.
Semua itu termasuk Jhāna ke lima. Kemudian ada Lokuttara Citta. Yang pertama adalah Sotāpatti-
magga yang diikuti dengan Jhāna pertama, ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima. Anda harus
menggabungkan Sotāpatti-magga dengan semua Jhāna ini. Demikian pula ada Sakadāgāmī Jhāna
pertama, ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima. Juga ada Anāgāmī Jhāna pertama, ke dua, ke tiga, ke
empat dan ke lima. Dan ada Arahatta-magga bersama seluruh lima Jhāna ini. Phala atau Buah juga
sama. Untuk Sotāpatti-phala ada Jhāna pertama, Jhāna ke dua, Jhāna ke tiga, Jhāna ke empat dan Jhāna
ke lima. Kemudian ada Sakadāgāmī-phala, Anāgāmī-phala dan Arahatta-phala Jhāna pertama, ke dua,
ke tiga, ke empat dan ke lima.
Sekarang Cetasika. Sabbacitta-sādhāraṇa, tujuh universal, tahukah anda apakah tujuh universal itu?
Faktor batin tujuh universal adalah kontak, perasaan, persepsi, kehendak, keterpusatan pikiran, indria
kehidupan dan perhatian. Tujuh ini dalam Pāḷi disebut Sabbacitta-sādhāraṇa, universal. Sehubungan
dengan universa-universal ini kita tidak mengalami kesulitan. Tujuh ini muncul bersama setiap jenis
kesadaran, jadi 89 atau 121 jenis kesadaran. Kapanpun suatu kesadaran muncul maka tujuh ini akan
selalu bersamanya. Tidak ada masalah di sini.
Berikutnya adalah Vitakka. Bersama berapa banyakkah Citta yang muncul bersama dengan Vitakka?
Vitakka muncul bersama dengan 55 Citta. Karena Vitakka adalah salah satu faktor Jhāna, maka kita
harus mempertimbangkan empat puluh Lokuttara Citta, bukan hanya delapan Lokuttara Citta. Kita
lihat di antara 121 jenis kesadaran.
Vitakka bergabung dengan seluruh dua belas Akusala Citta. Vitakka tidak muncul bersamaan dengan
sepuluh Dvipañcaviññāṇa Citta. Oleh karena itu Vitakka tidak muncul bersama dengan kesadaran
melihat, kesadaran mendengar dan seterusnya. Vitakka muncul bersama dengan yang lainnya.
Vitakka muncul bersama dengan seluruh 24 Kāmāvacara Sobhana Citta. Kemudian anda turun ke
Rūpāvacara Jhāna pertama. Vitakka muncul bersama dengan Rūpāvacara Jhāna pertama.
Mengapakah? Karena ada lima faktor Jhāna yang muncul bersama dengan Rūpāvacara Jhāna pertama.
Tetapi Vitakka tidak muncul bersama Jhāna ke dua. Vitakka juga tidak muncul bersama dengan
Rūpāvacara Jhāna ke tiga, ke empat, ke lima dan seluruh Arūpāvacara Jhāna. Kemudian Vitakka
muncul bersama dengan Lokuttara Jhāna pertama. Jadi seluruhnya Vitakka muncul bersama dengan
delapan Lokuttara Citta. Vitakka tidak muncul bersama dengan Jhāna ke dua, ke tiga, ke empat dan ke
lima dalam Lokuttara Citta. Vitakka muncul bersama dengan seluruh Kāmāvacara Citta kecuali
Dvipañcaviññāṇa, dua lima-kesadaran-indria. Vitakka tidak muncul bersama dengan Citta Jhāna ke
dua, ke tiga, ke empat dan ke lima baik Mahaggata maupun Lokuttara. Jika anda menghitung Citta-
Citta ini, anda memperoleh 55 Citta.
Vicāra muncul bersama dengan seluruh dua belas Akusala Citta. Vicāra tidak muncul bersama dengan
Dvipañcaviññāṇa sepuluh. Vicāra muncul bersama dengan Rūpāvacara Jhāna pertama dan ke dua,
tetapi tidak muncul bersama dengan Rūpāvacara Jhāna ke tiga, ke empat dan ke lima. Dan juga tidak
muncul bersama dengan Arūpāvacara Jhāna. Vicāra muncul bersama dengan Lokuttara Citta Jhāna
pertama dan ke dua dan tidak muncul bersama dengan Jhāna-Jhāna lainnya. Jadi seluruhnya ada 55
ditambah 11 Citta, maka Vicāra muncul bersama dengan 66 jenis kesadaran. Vicāra muncul bersama
dengan 55 Citta ditambah sebelas Citta Jhāna ke dua.
Ada pertanyaan di sini. Kita mengetahui bahwa Vitakka tidak muncul bersama dengan
Dvipañcaviññāṇa dan Jhāna ke dua dan seterusnya. Kita mengetahui bahwa Vitakka adalah faktor
batin yang membawa pikiran menuju objek, yang menempatkan pikiran pada objek. Bagaimana
mungkin Dvipañcaviññāṇa ada tanpa Vitakka? Bagaimana Dvipañcaviññāṇa dapat mengambil objek
tanpa bantuan Vitakka? Jika tidak ada Vitakka yang membawa kesadaran menuju objek, bagaimana
kesadaran dapat mendatangi objek? Karena sepuluh benturan ini begitu keras sehingga sepuluh ini
tidak memerlukan Vitakka untuk membawanya menuju objek. Objek terlihat dan sensitivitas-mata
mengalami kontak. Benturannya begitu keras sehingga tidak memerlukan Vitakka untuk membawa
menuju objek. Tanpa Vitakka Dvipañcaviññāṇa mampu mengambil objek.
Sehubungan dengan Jhāna ke dua dan seterusnya, adalah karena kejijikan terhadap Vitakka maka
mereka memperoleh Jhāna ke dua. Vitakka dilenyapkan pada Jhāna ke dua melalui kekuatan
pengembangan batin, melalui kekuatan Bhāvana. Itulah sebabnya maka Jhāna ke dua dan seterusnya
adalah tanpa Vitakka. Juga ada Jhāna-Jhāna yang lebih tinggi yang dapat mengambil objek tanpa
Vitakka. Para meditator telah mengembangkan batin hingga tingkat tertentu, hingga intensitas
pengalaman sedemikian sehingga mereka dapat mengambil objek tanpa Vitakka. Hal yang sama juga
berlaku untuk Vicāra. Tidak ada Vicāra pada Jhāna ke tiga karena kekuatan pengembangan batin. Jika
anda ingat bagaimana seseorang berusaha untuk mencapai Jhāna-Jhāna yang lebih tinggi – anda
mengetahui seseorang yang memiliki Jhāna pertama berusaha untuk mencari cacat dari Vitakka. Ia
berusaha melenyapkan Vitakka. Sebagai hasil dari latihannya, ketika Jhāna muncul kali berikutnya,
Jhāna itu adalah tanpa Vitakka. Berkat kekuatan latihan, berkat kekuatan otak. Berkat kekuatan
pengembangan batin maka Vitakka ini dilenyapkan. Tanpa bantuan Vitakka dan Vicāra jenis-jenis
kesadaran ini dapat mengambil objek.
Berikutnya adalah Adhimokkha. Adhimokkha tidak muncul bersama dengan keragu-raguan.
Adhimokkha tidak muncul bersama dengan Mohamūla Citta yang disertai dengan keragu-raguan.
Apakah Adhimokkha? Ini adalah keputusan. Adhimokkha adalah keputusan atau ketetapan. Jika anda
memiliki keragu-raguan, maka anda tidak dapat membuat ketetapan. Jadi keduanya saling tidak cocok.
Itulah sebabnya maka Adhimokkha tidak muncul bersama dengan Mohamūla Citta pertama yang
disertai dengan keragu-raguan.
Adhimokkha juga tidak muncul bersama dengan Dvipañcaviññāṇa. dikatakan bahwa sepuluh Citta ini
sebenarnya adalah lemah dalam hal pengalamannya dengan objek. Jadi karena lemah, maka
Adhimokkha tidak muncul bersama sepuluh ini juga. Kemudian jika anda turun pada kolom itu, anda
melihat bahwa Adhimokkha muncul bersama dengan seluruh Citta lainnya. Jadi Adhimokkha tidak
muncul bersama dengan satu Mohamūla Citta dan sepuluh Dvipañcaviññāṇa. jadi sebelas Citta tidak
muncul bersama dengan Adhimokkha. 89 kurang 11 adalah 78. Jika kita mengaplikasikannya pada 121
jenis kesadaran, maka kita memperoleh 110.
Kemudian ada Vīriya, usaha atau kegigihan. Vīriya tidak muncul bersama dengan Dvipañcaviññāṇa,
Pañcadvārāvajjana, 2 Sampaṭicchana dan 3 Santīraṇa. Sub-komentar atas Manual ini tidak
memberikan alasan. Seorang guru berkata bahwa hal-hal itu adalah lemah dan oleh karena itu maka
tidak cocok dengan Vīriya atau kegigihan yang kuat. Vīriya tidak muncul bersama dengan 16 Citta.
Jadi Vīriya muncul hanya bersama dengan 73 jenis kesadaran atau 105 jenis kesadaran.
Selanjutnya Pīti. Pīti berarti gairah. Pīti memiliki sifat gembira. Jadi Pīti tidak muncul bersama dengan
apa yang disertai dengan Upekkhā dan juga yang disertai dengan Domanassa. Pīti tidak muncul
bersama dengan empat Lobhamūla Citta, dua Dosamūla Citta, dua Mohamūla Citta. Pīti muncul hanya
bersama dengan empat dari Akusala.
Kemudian Dvipañcaviññāṇa disertai dengan perasaan apakah? Dvipañcaviññāṇa disertai dengan
Upekkhā, (kecuali untuk Kāya-viññāṇa dua). Sampaṭicchana disertai dengan Upekkhā. Dua Santīraṇa
disertai dengan Upekkhā. Satu disertai dengan Somanassa. Pīti muncul bersama dengan Santīraṇa
yang disertai dengan Somanassa. Pīti tidak akan muncul dalam Pañcadvārāvajjana dan
Manodvārāvajjana karena disertai dengan Upekkhā, netral. Kemudian ada Hasituppāda, kesadaran
yang menghasilkan senyuman. Karena menghasilkan senyuman, maka ada perasaan menyenangkan
dan Pīti muncul bersamanya.
Dalam Kāmāvacara Sobhana Kusala empat pertama disertai dengan Somanassa. Jadi Pīti muncul
bersama dengan empat ini. Empat terakhir disertai dengan Upekkhā, jadi Pīti tidak muncul
bersamanya. Hal yang sama berlaku untuk Kāmāvacara Sobhana Vipāka dan Kāmāvacara Sobhana
Kiriya.
Kemudian kita sampai pada Rūpāvacara. Bersama dengan Jhāna pertama terdapat Pīti. Bersama
dengan Jhāna ke dua dan ke tiga terdapat Pīti. Bersama dengan Jhāna ke empat dan ke lima tidak ada
Pīti. Harap diingat bahwa Jhāna ke empat disertai dengan Somanassa. Pīti tidak muncul bersama
dengan Somanassa karena kekuatan pengembangan batin. Untuk mencapai Jhāna ke empat Pīti
dilenyapkan. Itulah sebabnya mengapa Pīti tidak menyertai Citta Jhāna ke empat walaupun Citta itu
adalah Somanassa. Jadi Pīti hanya muncul bersama dengan Jhāna pertama, ke dua dan ke tiga. Pīti
tidak muncul bersama dengan dua belas Arūpavacara Citta. Pīti muncul bersama dengan Magga dan
Phala Citta Jhāna pertama, ke dua, ke tiga. Pīti tidak muncul bersama dengan Magga dan Phala Citta
Jhāna ke empat dan ke lima. Pīti muncul bersama dengan 51 jenis kesadaran. Ingatkah anda berapa
banyakkah jenis kesadaran yang disertai dengan perasaan Somanassa? 62. Anda mengeluarkan sebelas
Citta Jhāna ke empat dan anda memperoleh 51. Jika anda mengetahui cara ini, maka anda dapat
dengan mudah memperolehnya. Ada 62 jenis kesadaran yang disertai dengan Somanassa. Di antaranya
sebelas Citta Jhāna ke empat adalah tidak disertai dengan Pīti. 62 kurang sebelas dan anda memperoleh
51 jenis kesadaran.
Yang terakhir adalah Chanda, niat, keinginan-untuk-melakukan atau kehendak untuk melakukan.
Mohamūla Citta dan semua Ahetuka Citta adalah tumpul, sehingga Chanda tidak cocok dengan semua
Citta ini. Chanda cocok dengan yang lainnya. Chanda tidak muncul bersama dengan dua puluh jenis
kesadaran. 89 kurang dua puluh maka anda memperoleh 69 dan dengan 121 anda memperoleh 101
jenis kesadaran yang bersama dengannya Chanda muncul. Ini adalah metode Cetasika-Citta untuk tiga
belas Aññasamāna Cetasika.
Kemudian kita sampai pada empat belas Cetasika tidak bermanfaat. Ini lebih mudah karena anda
melihat di antara dua belas Akusala Citta saja. Ruang lingkupnya lebih sempit. Dikataka bahwa Moha,
Ahirika, Anottapa dan Uddhacca menyertai semua Akusala Citta. Setiap kali satu kesadaran Akusala
muncul, Cetasika-Cetasika ini juga muncul. Ketika Akusala Citta muncul, ada suatu jenis
ketidakpahaman. Misalnya, bersama Lobha mungkin tidak ada pemahaman bahwa Lobha menuntun
menuju empat alam sengsara dan sebagainya. juga ada gradasi ketidakjijikan pada Akusala dan
ketidaktakutan pada Akusala. Dan juga ada suatu jenis kegelisahan. Empat ini menyertai setiap jenis
Citta tidak bermanfaat.
Pada CMA dikatakan,
“… karena setiap citta tidak bermanfaat melibatkan kebutaan batin pada bahaya kejahatan (yaitu
delusi), ketiadaan rasa malu dan rasa takut, dan suatu arus gejolak yang tersembunyi (yaitu,
kegelisahan).” (CMA, II, Tuntunan §13, p.95)
Itulah sebabnya mengapa disebut Akusala universal.
Kemudian ada Lobha, kemelekatan. Ini muncul hanya bersama dengan delapan Lobhamūla Citta. Ini
sangat mudah.
Kemudian Diṭṭhi, pandangan salah, menyertai hanya empat, yaitu apa yang disertai dengan pandangan
salah.
Māna menyertai hanya empat Lobhamūla Citta. Ini menyertai apa yang tidak disertai dengan
pandangan salah. Pada CMA halaman 95,
“Kedua faktor ini (Māna & Diṭṭhi) hanya terdapat pada Citta-Citta yang berakar dalam keserakahan,
karena melibatkan suatu tingkat cengkeraman pada kelima agregat.” (CMA, II, Tuntunan §13, p.95-96)
Keduanya berdasarkan atas Lobha. Hanya ketika ada Lobha, maka ada pemahaman salah atas objek
dan juga kesombongan sehubungan dengan objek itu.
“Akan tetapi, keduanya memperlihatkan kualitas-kualitas yang berlawanan, …” (CMA, II, Tuntunan
§13, p.96)
Walaupun keduanya berdasarkan atas Lobha, namun memiliki kualitas yang berbeda.
“… dan dengan demikian keduanya tidak dapat hadir bersama dalam Citta yang sama.” (CMA, II,
Tuntunan §13, p.96)
Keduanya tidak dapat muncul bersama dengan satu Citta yang sama. Jika Diṭṭhi muncul dalam Citta,
maka Māna tidak akan muncul dalam Citta itu. Jika Māna muncul dalam Citta, maka Diṭṭhi tidak akan
muncul di sana. Modus penangkapan objeknya berbeda.
“Pandangan salah muncul dalam modus penangkapan salah, yaitu menginterpretasikan segala ssuatu
dalam cara yang berlawanan dengan kenyataan; …” (CMA, II, Tuntunan §13, p.96)
Diṭṭhi menganggap hal-hal yang tidak kekal sebagai kekal, yang tidak memuaskan sebagai
memuaskan, hal-hal yang tanpa inti sebagai memiliki inti dan sebagainya. pemahamannya atas objek,
reaksinya pada objek adalah keliru. Diṭṭhi menganggapnya secara salah.
“… keangkuhan muncul dalam modus evaluasi-diri, yaitu menganggap diri sendiri sebagai superior,
…” (CMA, II, Tuntunan §13, p.96)
Ketika Māna (keangkuhan) muncul, seseorang mungkin berpikir, “aku lebih baik daripada mereka”,
atau kadang-kadang, “aku setara dengan mereka”, atau kadang-kadang “aku tidak sebaik mereka”.
Bagaimanapun manifestasinya, di sana ada kebanggaan atau keangkuhan. Hubungannya dengan objek
adalah dalam modus berbeda dari pandangan salah. Oleh karena itu, pandangan salah dan keangkuhan
tidak dapat muncul dengan objek yang sama. Keduanya diumpamakan dengan dua ekor singa yang
memiliki kekuatan yang sama yang tidak dapat menetap di dalam satu gua.
“Sementara pandangan salah adalah pasti hadir dalam empat Citta yang berakar dalam keserakahan
yang disertai dengan pandangan salah, keangkuhan bukan penyerta yang pasti ada dari empat Citta
yang berakar pada keserakahan yang tidak tergabung dengan pandangan salah.” (CMA, II, Tuntunan
§13, p.96)
Citta-Citta ini dapat muncul tanpa keangkuhan. Kita akan membahasnya nanti. Di sini kita harus
mengetahui bahwa Diṭṭhi dan Māna tidak dapat muncul secara bersamaan. Walaupun keduanya
mungkin muncul dari Lobha, namun modus reaksinya terhadap objek adalah berbeda. Maka keduanya
tidak dapat muncul pada saat yang sama.
Dosa, Issā, Macchariya dan Kukkucca, empat ini muncul bersama dengan dua Dosamūla Citta saja.
Empat ini terdapat dalam dua Citta ini. Di antaranya Dosa adalah selalu ditemukan dalam kedua Citta
ini. Tetapi Issā, Macchariya dan Kukkucca tidak selalu muncul bersama dengan kedua Citta ini; ketiga
ini hanya muncul kadang-kadang saja. Kita akan membahasnya nanti juga. Kita harus menghitung
semua yang menyertai Dosamūla Citta. Jadi kita mengatakan empat faktor batin tidak bermanfaat
dapat menyertai dua Citta yang disertai oleh Domanassa.
Issā adalah kecemburuan atau iri hati. Issā mengambil objek apakah? Apakah objek dari Issā? Objek
dari Issa adalah keberhasilan orang lain. Macchariya memiliki objek apakah? Keberhasilan diri sendiri
adalah objeknya. Kukkucca mengambil objek apakah? Suatu hal baik yang tidak dilakukan dan suatu
hal buruk yang dilakukan adalah objek dari Kukkucca. Jadi objek-objeknya berbeda. Jika objeknya
berbeda, maka hal-hal itu tidak dapat muncul pada saat yang sama. Ketika ada Issā, maka tidak
mungkin ada Macchariya dan seterusnya. Ini juga akan kita bahas nanti.
Kemudian kita sampai pada si kembar, kelambanan dan ketumpulan. Keduanya adalah keadaan batin
yang tumpul, jadi tidak dapat muncul bersama dengan apa yang tanpa dorongan. Keduanya hanya
muncul bersama dengan Citta yang dengan dorongan. Ketika ada Thina dan Middha, maka kita harus
mendorong, kita harus memotivasi diri sendiri. Ketika Citta cukup kuat, maka kita tidak memerlukan
dorongan. Thina dan Middha hanya muncul bersama dengan apa yang dengan dorongan, yaitu,
Akusala Citta #2, 4, 6, 8 & 10.
Yang terakhir adalah keragu-raguan, Vicikicchā. Ini hanya muncul bersama dengan satu Citta,
Mohamūla Citta pertama. Di antara 52 Cetasika, Vicikicchā muncul dengan jumlah Citta paling sedikit,
hanya satu Citta.
Kelompok berikutnya – 19 pertama cukup mudah. Karena semuanya sama untuk seluruh Sobhana
(indah) Citta, Semua ini muncul bersama dnegan Citta-Citta yang indah. Semuanya muncul bersama
dengan semua Kāmāvacara Sobhana Kusala, Vipāka dan Kiriya, dan juga semua Rūpāvacara,
Arūpāvacara dan Lokuttara. Semuanya muncul bersama dengan 59 jenis kesadaran atau 91 jenis
kesadaran. Ini adalah 89 dikurangi tiga puluh atau 121 dikurangi tiga puluh.
Berikutnya adalah Virati tiga, tiga penghindaran. Penghindaran adalah ucapan benar, perbuatan
benar, penghidupan benar. Karena disebut penghindaran, maka kemunculannya hanya ketika ada
peghindaran. Ketika anda sedang bersujud kepada Sang Buddha, penghindaran ini tidak muncul.
Ketiga ini muncul bersama dengan delapan Kāmāvacara Kusala Citta dan delapan atau empat puluh
Lokuttara Citta. Tiga ini muncul muncul bersama dengan Kāmāvacara Kusala dan Lokuttara Citta. Ada
perbedaan dalam modus kemunculannya. Dikatakan dalam Manual bahwa ketika ketiga ini muncul
bersama dengan Lokuttara Citta, ketiganya muncul secara keseluruhan atau dalam segala modus, dan
munculnya secara bersama, dan selalu muncul (baca CMA, II, §15, p.97). Ketika suatu kesadaran Adi-
duniawi muncul, maka ketiga ini muncul. Ketiga ini muncul pada saat yang sama. Dan ketika muncul,
ketiganya muncul dalam modus menghancurkan segala kecenderungan terhadap perbuatan jahat. Ini
agak sulit dipahami di sini. Jika penghindaran muncul bersama dengan Citta duniawi, Kāmāvacara
Citta, maka ketiganya muncul sekali-sekali, hanya ketika ada sesuatu yang harus dihindari. Ketika
muncul, kemunculannya hanya satu pada satu waktu. Ketika ada ucapan benar, maka tidak ada
perbuatan benar atau penghidupan benar. Ketika ada perbuatan benar, maka tidak ada ucapan benar
atau penghidupan benar. Jika ada penghidupan benar, maka kedua lainnya tidak muncul. Tetapi dalam
Lokuttara Citta berbeda. Ini adalah kekuatan Lokuttara Citta. Ketika Lokuttara Citta muncul, Citta ini
melenyapkan segala kekotoran batin. Ketika Citta ini melenyapkan segala kekotoran batin, Citta ini
juga melenyapkan segala kecenderungan terhadap pelanggaran kondisi-kondisi bermanfaat. Ketika
kesadaran Adi-duniawi muncul dan melenyapkan segala kekotoran batin, ini sebenarnya menghindari
dari segala kejahatan bukan hanya perbuatan salah melalui jasmani, perbuatan salah melalui ucapan,
penghidupan salah. Itulah sebabnya mengapa ketika Virati muncul bersama dengan Lokuttara Citta,
Virati ini muncul dalam semua modus melenyapkan kecenderungan terhadap kejahatan. Dan
kemunculannya adalah bersama dan selalu muncul. Ketika suatu kesadaran Adi-duniawi muncul,
maka ketiga ini muncul. Ketiganya muncul pada saat yang sama. Dan ketika muncul, ketiganya muncul
dalam modus menghancurkan segala kecenderungan terhadap perbuatan jahat. Tetapi ketika muncul
bersama dengan Kāmāvacara Kusala citta, kemunculannya hanya satu pada satu waktu dan hanya
sekali-sekali. Ini adalah perbedaannya.
Ketiga Cetasika Virati muncul dalam delapan Kāmāvacara Kusala Citta, kadang-kadang hanya itu dan
secara terpisah. Hanya ketika menghindari dari ucapan jahat, atau perbuatan jahat atau penghidupan
salah, dan tidak pada waktu lainnya, maka itu adalah Virati. Jadi ketiga ini tidak muncul sepanjang
waktu. Ketika muncul dalam Citta duniawi, ketiganya muncul satu demi satu, secara terpisah.
“Dalam Citta Jalan dan Buah Adi-duniwi, penghindaran selalu bersama sebagai ucapan benar,
perbuatan benar dan penghidupan benar dari Jalan Mulia Berunsur Delapan.” (CMA, II, Tuntunan §15,
p.97)
Ketika Virati muncul sebagai Citta Adi-duniawi, kemunculannya selalu bersama. Ketika sebuah
Lokuttara Citta muncul, Virati akan muncul. Ketika muncul, ketiganya muncul sekaligus, tidak seperti
dalam Kāmāvacara Citta di mana Virati muncul satu demi satu. Ini adalah perbedaannya. Ketika
muncul bersama dengan Lokuttara Citta, Virati tidak harus menghindari kebohongan pada satu waktu
atau memfitnah pada satu waktu. Virati melenyapkan kecenderungan pada segala perbuatan jahat dan
penghidupan salah ini. Bersama Lokuttara Citta Virati selalu muncul dan selalu bersama. Tetapi
dengan Kāmāvacara Kusala Citta Virati hanya kadang-kadang dan ketika muncul, kemunculannya
satu demi satu.
Kelompok berikutnya adalah Appamaññā, yang tidak terbatas. Di sini ada dua yang tidak terbatas –
Karuṇā dan Muditā. Keduanya muncul dengan berapa banyak Citta? Keduanya muncul dengan
Kāmāvacara Kusala delapan, Sahetuka Kāmāvacara Kiriya delapan, Rūpāvacara Jhāna pertama tiga,
Jhāna ke dua tiga, Jhāna ke tiga tiga, dan Jhāna ke empat tiga. Jadi seluruhnya ada 28 jenis kesadaran
– delapan tambah delapan tambah dua belas. Karuṇā muncul bersama dengan 28 jenis kesadaran dan
Muditā juga muncul bersama dengan 28 jenis kesadaran. Di sini keduanya muncul bersama dengan
Kusala dan keduanya muncul bersama dengan Kiriya. Dan keduanya juga muncul bersama dengan
Jhāna pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat. Keduanya tidak muncul bersama dengan Jhāna ke lima
karena ketika seseorang mencapai Jhāna ke lima, Jhāna ini disertai dengan Upekkhā dan bukan
Somanassa. Ketika anda berlatih Karuṇā atau Muditā di sana ada Somanassa.
Ada perbedaan pendapat di antara guru-guru sehubungan dengan dua ini. Berikut ini adalah pendapat
umum para guru bahwa Karuṇā dan Muditā muncul bersama dengan 28 jenis kesadaran. Lihat
Kāmāvacara Kusala delapan. Empat disertai dengan Somanassa. Empat disertai dengan Upekkhā.
Mereka berpikir bahwa jika anda berlatih Karuṇā dan Muditā maka keduanya harus selalu disertai
dengan Somanassa. Keduanya tidak dapat disertai dengan Upekkhā. Menurut mereka, anda harus
mengeluarkan empat.
Tetapi penulis Manual ini, Yang Mulia Acariya Anuruddha, tidak menyukai pendapat itu. Maka ia
berkata di dalam Manual,
“Akan tetapi, beberapa (guru) mengatakan bahwa belas kasihan (Karuṇā) dan kegembiraaan apresiatif
(Muditā) tidak hadir dalam jenis-jenis kesadaran yang disertai dengan keseimbangan (Upekkhā).”
(CMA, II, Tuntunan §15, p.97)
Ia berkata seperti itu. Kita harus memahami dari gaya penulisannya bahwa ia tidak menyetujui
pendapat dari beberapa guru itu. Ketika penulis menggunakan ‘beberapa’ dalam Pāḷi ‘Keci’, itu berarti
‘saya tidak menyukai itu’. Itu tidak dapat diterima. Itu tidak baik. Itulah sebabnya mengapa sangat
sulit untuk benar-benar paham ketika kita membaca Komentar. Mereka tidak secara tegas
mengatakan, “Saya tidak menyukainya.” Mereka berpikir, “saya di atas itu”, tetapi mereka
memberikan beberapa petunjuk di sana-sini. Ketika mereka menggunakan kata ‘Keci’ (beberapa),
maka kita tahu bahwa penulis tidak menyukainya. Di sini juga penulis Manual ini menggunakan kata
‘Keci’ (beberapa) – beberapa guru mengatakan ini dan itu. Itu berarti ia tidak menyukainya.
Mengapakah ia tidak menyukainya? Ketika anda berlatih, misalnya, Muditā, pada awalnya pasti
disertai dengan Somanassa. Hanya ketika ada Somanassa maka Muditā dapat muncul. Anda bahagia
dengan keberhasilan orang lain. Anda bahagia dengan harta orang lain, kemakmuran orang lain. Di
sana pasti ada Somanassa. Tetapi setelah anda berpengalaman dalam latihan Karuṇā dan Muditā
kadang-kadang ketika anda hendak melatihnya, anda mungkin mengembangkannya dengan Upekkhā.
Ini dapat dikembangkan demikian.
Mereka memberikan dua contoh. Contoh pertama adalah bahwa anda dapat membacakan sebuah
kalimat yang sangat terpelajar tanpa benar-benar memperhatikannya. Misalnya, anda dapat
menyanyikan lagu dan memikirkan hal lain. Anda dapat membacakan suatu doa atau hal lainnya dan
kemudian mengucapkannya. Itu sering terjadi pada kita. Ketika anda berlatih meditasi Vipassanā –
Vipassanā adalah Paññā. Secara logika Vipassanā harus selalu disertai dengan Ñāṇa, kebijaksanaan.
Kita dapat berlatih Vipassanā dengan kesadaran yang disertai dengan Ñāṇa saja? Salah. Kita berlatih
Vipassanā dengan Ñāṇa-sampayutta Citta. Tetapi ketika kita sudah sangat terbiasa memahami
karakteristik fenomena-fenomena, kadang-kadang kita dapat berlatih dengan Ñāṇa-vipayutta Citta
melalui kekuatan kebiasaan. Demikian pula, ketika anda telah menjadi sangat terbiasa dengan praktik
Karuṇa dan Muditā, kadang-kadang anda dapat mengembangkannya bersama dengan Citta yang
disertai dengan Upekkhā. Itu terjadi sebelum anda mencapai tingkatan Jhāna. Ketika anda mencapai
tingkatan Jhāna, ketika Jhāna muncul, itu pasti disertai dengan Somanassa; tidak ada Upekkhā pada
saat itu. Di sini dikatakan,
“Tentu saja di dalam proses pikiran Jhāna keduanya hanya muncul bersama dengan Somanassa-
sahagata Citta sehingga tidak mungkin ada kondisi Āsevana (pengulangan) pada alasan yang berbeda
itu.”
Untuk memahami hal ini anda harus memahami Paṭṭhāna dan juga beberapa proses pikiran.
Saya pikir anda sudah mengetahui proses pikiran. Saya sudah membicarakannya beberapa kali.
Biasanya ada tujuh momen Javana pada proses pikiran lima-pintu-indria. Ketika seseorang mencapai
Jhāna, ada proses pikiran Jhāna. Dalam proses pikiran Jhāna itu ada empat Kāmāvacara Javana dan
kemudian satu Rūpāvacara Kusala atau mungkin ada jutaan Rūpāvacara Kusala. Momen-momen Jhāna
ini menikmati kondisi pengulangan (Āsevana) ini. Itu berarti bahwa yang sekarang ini diperkuat oleh
yang sebelumnya. Ini adalah seperti yang sebelumnya menanamkan beberapa kualitasnya pada yang
setelahnya. Itu hanya dapat dilakukan pada orang-orang dari genus yang sama, perasaan yang sama.
Jika empat Kāmāvacara Javana disertai dengan Upekkhā, maka Jhāna tidak mungin disertai dengan
Somanassa. Tidak mungkin ada kondisi pengulangan di antaranya. Dikatakan di dalam Paṭṭhāna
bahwa keduanya memiliki kondisi pengulangan ini. Maka itulah sebabnya mengapa di dalam proses
pikiran Jhāna keduanya selalu disertai dengan Somanassa. Sebelum proses pikiran Jhāna itu ketika
anda sedang mengembangkan batin anda untuk mencapai tingkat itu, anda dapat mengembangkan
Karuṇā dan Muditā yang kadang-kadang disertai dengan Upekkhā. Jadi karena Karuṇā dan Muditā
dapat disertai dengan perasaan Upekkhā, maka pendapat beberapa guru itu dikatakan sebagai tidak
dapat diterima. Itulah sebabnya maka dikatakan, “Beberapa mengatakan”. Dengan mengatakan
“beberapa mengatakan”, ia menunjukkan bahwa ia tidak menerima pendapat mereka. Menurut ini,
maka dikatakan bahwa Karuṇā dan Muditā muncul bersama dengan 28 Citta.
Bagaimana dengan Mettā? Jika ini adalah Mettā, maka ini menyertai 28 Citta ini. Jika ini adalah Adosa,
maka ini menyertai seluruh 59 kesadaran bermanfaat. Ada perbedaan antara Adosa yang
dikembangkan sebagai Mettā dan sekedar Adosa saja. Ketika dikembangkan sebagai Mettā, maka ini
menyertai 28 Citta. Ketika ini hanyalah Adosa biasa maka ini menyertai 59 jenis kesadaran.
Tatramajjhattatā juga adalah seperti itu. Jika ini adalah Upekkhā, maka ini tidak akan menyertai Jhāna
pertama, ke dua, ke tiga, dan ke empat, tetapi akan menyertai Jhāna ke lima. Jika ini adalah netralitas
kesadaran biasa, maka ini akan menyertai seluruh 59. Tatramajjhattatā yang biasa meyertai seluruh
59 Citta. Tatramajjhattatā yang dikembangkan sebagai Upekkhā Brahmavihāra atau Upekkhā Alam
Luhur menyertai delapan Kāmāvacara Kusala dan Kiriya dan Rūpāvacara Jhāna ke lima. Kita harus
memahami perbedaan-perbedaan ini – Adosa yang dikembangkan sebagai Mettā menyertai 28; Adosa
biasa menyertai 59; Tatramajjhattatā biasa menyertai 59; Tatramajjhattatā ketika dikembangkan
sebagai Upekkhā Brahmavihāra, maka ini menyertai Kāmāvacara Kusala dan Kiriya dan kemudian
Jhāna ke lima.
Yang terakhir adalah Paññā. Paññā tidak akan menyertai Citta-Citta itu yang tidak bergabung dengan
pengetahuan atau pemahaman. Paññā akan menyertai Kāmāvacara Kusala 1, 2, 5 & 6. Paññā juga
menyertai Sahetuka Kāmāvacara Vipāka 1, 2, 5 & 6. Dan Paññā juga menyertai Sahetuka kāmāvacara
Kiriya 1, 2, 5 & 6. Sehubungan dengan Rūpāvacara, Arūpāvacara dan Lokuttara, Paññā menyertai
seluruhnya karena hal-hal itu tidak dapat muncul tanpa Paññā atau Ñāṇa. Paññā muncul bersama
dengan seluruh 47 jenis kesadaran – empat dari Kāmāvacara, empat dari Sahetuka Kāmāvacara Vipāka,
empat dari Sahetuka Kāmāvacara Kiriya, semua Mahaggatā dan Lokuttara Citta. Jadi kita mendapatkan
47. Jika kita menganggapnya sebagai 121, maka ini menyertai 79 jenis kesadaran. Paññā menyertai 47
atau 79 jenis kesadaran.
Kita memiliki apa yang disebut sebagai tambahan tetap dan tambahan tidak tetap. Apakah tambahan
tidak tetap? Pada CMA halaman 99 bagian metode Sampayoga, bagian bawah halaman itu, Aniyatayogi
Cetasika sebelas. ‘Niyata’ berarti tetap. Jadi ‘Aniyata’ berarti tidak tetap, tidak selalu. Issā, Macchariya
dan Kukkucca muncul secara terpisah dan sekali-sekali. Itu berarti hanya satu yang dapat muncul pada
satu waktu. Ketika Issā muncul, maka Macchariya tidak dapat muncul. Kukkucca tidak dapat muncul.
Jika Macchariya muncul, Issā dan Kukkucca tidak dapat muncul dan seterusnya. Seperti yang saya
katakan sebelumnya, Issā memiliki satu jenis objek dan Macchariya memiliki jenis objek lainnya.
Karena objeknya berbeda, keduanya tidak dapat muncul pada waktu yang sama. Ketika muncul,
keduanya hanya muncul satu pada satu saat. Juga ketika muncul, kemunculannya hanya sekali-sekali.
Itu berarti, misalnya, ketika anda iri atas keberhasilan orang lain maka Issā dapat muncul. Kadang-
kadang anda hanya marah. Jika anda hanya marah, Cetasika-Cetasika itu tidak muncul bersama Citta
itu. Jadi Issā hanya muncul ketika anda iri atas keberhasilan orang lain, atau ketika anda tidak dapat
menerima bahwa harta anda sama dengan milik orang lain, atau ketika anda menyesali hal-hal yang
telah dilakukan dan hal-hal yang tidak dilakukan di masa lalu. Ketiganya muncul satu demi satu dan
hanya sekali-sekali.
Berikutnya adalah Virati tiga, tiga penghindaran. Ketika muncul bersama dengan Citta duniawi,
ketiganya muncul secara terpisah. Itu berarti hanya satu pada satu waktu. Dan ketiganya hanya
muncul ketika anda menghindari ucapan salah, perbuatan salah atau penghidupan salah.
Appamaññā juga muncul secara terpisah dan sekali-sekali. Ketika ada Karuṇā, maka tidak mungkin
ada Muditā. Ketika ada Muditā, maka tidak mungkin ada Karuṇā. Karuṇā mengambil makhluk-
makhluk dalam penderitaan. Muditā mengambil makhluk-makhluk dalam bahagia. Objeknya berbeda,
maka keduanya tidak dapat muncul pada saat yang sama.
Kemudian ada Māna, keangkuhan. Walaupun dikatakan bahwa Māna muncul bersama dengan empat
Lobhamūla Citta, namun Māna tidak akan muncul bersama dengan Citta itu pada setiap kali Citta itu
muncul. Kita tidak dapat mengatakan ‘terpisah’ karena hanya ada satu. Māna muncul sekali-sekali,
hanya ketika kita memiliki perasaan bahwa aku lebih baik daripada orang-orang lain atau semacam
itu. Māna hanya muncul sekali-sekali.
Kemudian ada Thina dan Middha. Keduanya selalu muncul bersama, tetapi keduanya muncul sekali-
sekali. Kadang-kadang tidak muncul. Keduanya muncul bersama dengan Citta dengan dorongan, tetapi
ini sekali-sekali.
Seluruhnya ada sebelas. Sebelas ini disebut tambahan tidak tetap, Aniyatayogi Cetasika. 41 Cetasika
lainnya disebut Niyatayogi Cetasika. Ini berarti 41 Cetasika lainnya muncul ketika kesadaran yang
menyertainya muncul. Misalnya, Lobha akan muncul ketika salah satu dari delapan Lobhamūla Citta
muncul. Tidak demikian untuk Issā, Macchariya dan seterusnya. Ini adalah Aniyatayogi, tambahan
tidak tetap, dan yang lainnya adalah Niyatayogi.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Murid: Virati adalah pasti untuk Adi-duniawi dan tidak pasti untuk duniawi?
Sayādaw: Ya, benar. Untuk Adi-duniawi, Virati adalah pasti dan selalu dan muncul sekaligus.

Metode Saṅgaha dan Metode Campuran


Keduanya
Metode Saṅgaha
Hari ini kita mempelajari kombinasi Citta dan Cetasika, metode Saṅgaha. Metode Saṅgaha adalah
kombinasi Citta-Cetasika. Pertama-tama anda menentukan Citta dan kemudian anda mencari berapa
banyak Cetasika yang terhubung dengan Citta itu. Jika anda terbiasa dengan metode Sampayoga,
kombinasi Cetasika-Citta, maka metode Saṅgha tidak sulit. Jika anda memiliki tabel ini, maka ini akan
jauh lebih mudah. Untuk metode Saṅgha anda membaca tabel secara horizontal (baca CMA, II, Tabel
2.4, p.112-113).
Pada Manual (yaitu, pada Abhidhammatthasaṅgaha) metode Saṅgaha dijelaskan dimulai dari Citta Adi-
duniawi. Kemudian kembali ke Mahaggata Citta, Kāmāvacara Citta, Akusala Citta dan Ahetuka Citta
(baca juga CMA, II, Tabel 2.3, p.101). Adalah lebih mudah mengikuti tabel pada halaman 112-113,
katena tabel ini mengikuti urutan penyajian dalam kelas ini.
Mari kita cari berapa banyak Cetasika yang terhubung dengan Citta tertentu. Pertama-tama anda
membiasakan diri dengan Citta-Citta. Saya pikir anda sudah mengetahui Lobhamūla Citta. Kemudian
Cetasika, Sabbacitta-sādhāraṇa (universal-universal), dan kemudian Vitakka, Vicāra dan seterusnya
yang anda sudah terbiasa.
Mari kita mencari berapa banyak Cetasika yang bersama dengan Lobhamūla Citta pertama. Lobhamūla
Citta pertama disertai dengan perasaan apakah? Disertai dengan perasaan Somanassa. Bergabung
dengan pandangan apakah? Bergabung dengan pandangan salah. Citta pertama apakah dengan
dorongan atau tanpa dorongan? Tanpa dorongan. Mari kita melihat Cetasika-Cetasika. Tujuh universal
akan hadir bersama setiap Citta. Kita tidak perlu memusingkannya. Dan kemudian Vitakka, Vicāra,
Adhimokkha, Vīriya, Pīti dan Chanda hadir. Seluruh 13 Aññasamāna Cetasika bergabung dengan
Lobhamūla Citta pertama. Di antara 14 Akusala Cetasika, empat pertama – Moha, Ahirika, Anottappa
dan Uddhacca – apakah ini? Ini adalah Akusala universal. Jadi kemunculannya adalah bersama dengan
setiap jenis Akusala Citta. Maka kita mengambil empat ini. Dan selanjutnya apakah? Berikutnya adalah
Lobha. Karena Citta pertama adalah Lobhamūla Citta, maka ini pasti disertai oleh Lobha. Kemudian
bagaimana dengan Diṭṭhi? Karena disertai dengan pandangan salah, maka kita mendapatkan Diṭṭhi.
Dan kemudian apakah ada Māna? Tidak. Mengapakah? Māna dan Diṭṭhi tidak dapat muncul bersamaan
pada saat yang sama. Mengapakah? Berikan perumpamaan. Māna dan Diṭṭhi tidak dapat ada bersama-
sama. Mengapakah? Itu karena mereka bagaikan dua ekor singa berkekuatan setara yang tidak dapat
menetap di gua yang sama. Kita tidak memperoleh Māna. Bagaimana dengan Dosa, Issā, Macchariya
dan Kukkucca? Empat ini muncul bersama dengan hanya dua Dosamūla Citta saja. Berikutnya ada
Thina dan Middha. Keduanya tidak menyertai apa yang tanpa dorongan. Dan di manakah Vicikicchā,
keragu-raguan muncul? Vicikicchā hanya menyertai satu jenis kesadaran di antara 89 atau 121
kesadaran. Kita tidak perlu mellihat pada 25 Cetasika indah. Kita hanya perlu melihat 13 pertama dan
14 ke dua, sehingga seluruhnya ada 27. Di antara 27 kita harus mencari mana yang menyertai dan
mana yang tidak menyertai Lobhamūla Citta pertama. Bersama dengan Lobhamūla Citta pertama ada
berapa Cetasika? Ada 19 Cetasika. Jika kita memperoleh 19, maka yang lainnya akan menjadi mudah.
Anda dapat menambahkan satu atau mengurangi sesuatu, hanya itu.
Citta ke dua disertai dengan perasaan apakah? Disertai dengan perasaan Somanassa. Ini bergabung
dengan pandangan salah. Apakah dengan dorongan atau tanpa dorongan? Dengan dorongan. Jika
dengan dorongan, ini mungkin disertai dengan Thina dan Middha. Jadi ada 19 ditambah dua (Thina
dan Middha). Kita memperoleh 21. Lobhamūla Citta ke dua disertai dengan 21 Cetasika – 13
Aññasamāna, Moha, Ahirika, Anottappa, Uddhacca, Lobha, Diṭṭhi dan kemudian Thina dan Middha. Ini
mudah.
Apakah Citta ke tiga? Perasaan apakah yang dimiliki? Ini adalah perasaan Somanassa. Apakah ini
dengan atau tanpa pandangan salah? Ini adalah tanpa pandangan salah. Jadi anda tidak akan
mendapatkan Diṭṭhi di sini. Jika anda tidak mendapatkan Diṭṭhi, apakah yang akan menyertai? Māna
akan menyertai. Jadi kita tetap mendapatkan 19 – 13 Aññasamāna, Moha, Ahirika, Anottappa,
Uddhacca, Lobha, tidak ada Diṭṭhi, tetapi ada Māna. Jadi seluruhnya ada 19.
Kemudian yang ke empat apakah dengan dorongan atau tanpa dorongan? Ini adalah dengan dorongan.
Jadi dengan yang ke empat kita menambahkan Thina dan Middha. Jadi kita kembali mendapatkan 21.
Sejauh ini kita memiliki 19, 21, 19, 21.
Sekarang kita sampai pada Citta ke lima. Citta ke lima disertai dengan perasaan apakah? Disertai
dengan perasaan Upekkhā. Karena disertai dengan perasaan Upekkhā, dapatkah kita memperoleh
Pīti? Tidak. Jadi kita mengeluarkan Pīti. Jadi dari antara 13 Aññasamāna kita hanya akan memperoleh
dua belas. Yang lainnya sama. Jadi Moha, Ahirika, Anottappa, Uddhacca, Lobha, Diṭṭhi akan muncul.
Jadi kita mendapatkan 18. Ini berarti 19 dikurangi Pīti (satu).
Citta ke enam apakah dengan dorongan atau tanpa dorongan? Dengan dorongan. Jadi anda harus
menambah dua, Thina dan Middha. Maka anda akan memperoleh dua puluh.
Kemudian yang ke tujuh adalah bersama dengan perasaan Upekkhā. Ini adalah tanpa Diṭṭhi. Apakah
ini dengan dorongan atau tanpa dorongan? Tanpa dorongan. Maka dari antara 13 kita memperoleh
dua belas karena tidak ada Pīti. Ada Moha, Ahirika, Anottappa, Uddhacca, Lobha, tanpa Diṭṭhi tetapi
ada Māna. Maka ada 18.
Kemudian nomor delapan atau terakhir dari Lobhamūla Citta disertai dengan perasaan Upekkhā dan
tidak disertai dengan Diṭṭhi. Ini dengan dorongan. Ini adalah dua belas ditambah empat ditambah satu
dan kemudian Māna dan Thina dan Middha. Maka kita memperoleh dua puluh. Ini menjadi sangat
mudah sekarang. Jika kalian ingin mnghafalkan 19, 21, 19, 21, 18, 20, 18, 20, itu baik sekali.
Dua berikutnya adalah Dosamūla. Jadi keduanya memiliki Dosa sebagai Mūla. Karena memiliki Dosa
sebagai Mūla, maka keduanya tidak memiliki Lobha. Keduanya tidak akan memiliki Diṭṭhi juga tidak
memiliki Māna. Keduanya akan memiliki Dosa, Issā, Macchariya dan Kukkucca. Apakah akan memiliki
Pīti? Tidak. Maka dari tiga belas kita memperoleh dua belas. Kemudian ada Moha, Ahirika, Anottappa,
Uddhacca karena empat ini menyertai setiap jenis kesadaran Akusala. Kemudian tidak ada Lobha,
tidak ada Diṭṭhi, tidak ada Māna. Tetapi kita memiliki Dosa, Issa, Macchariya and Kukkucca.
Seluruhnya ada dua belas ditambah delapan, sehingga menjadi dua puluh karena Citta ini adalah tanpa
dorongan.
Yang berikutnya adalah dengan dorongan. Maka kita menambahkan dua dan memperoleh 22. Ini akan
menjadi sangat lancar hari ini.
Mohamūla Citta pertama disertai dengan Upekkhā. Dan apakah yang lainnya yang muncul atau tidak
muncul? Keragu-raguan (Vicikicchā) muncul. Keragu-raguan dan ketetapan adalah berlawanan.
Keduanya tidak dapat muncul bersama-sama. Jadi kita harus mengeluarkan Adhimokkha (keputusan
atau ketetapan). Keragu-raguan adalah kebimbangan. Keduanya saling tidak cocok satu sama lain.
Maka kita mengeluarkan Adhimokkha, dan juga Pīti dan Chanda (keinginan-untuk-berbuat). Chanda
adalah sesuatu seperti aktif. Mohamūla Citta adalah Citta-Citta terdelusi dan karena itu tidak kuat.
Maka dikatakan bahwa Chanda tidak menyertai dua Mohamūla Citta dan semua Ahetuka Citta. Untuk
Mohamūla Citta pertama kita hanya memperoleh sepuluh dari tiga belas Aññasamāna. Kita
mengeluarkan Adhimokkha, Pīti dan Chanda. Kemudian di sana muncul empat Akusala universal.
Lobha, Diṭṭhi, Māna, Dosa, Issā, Macchariya, Kukkucca, Thina dan Middha tidak muncul. Tetapi ada
Vicikicchā. Jadi seluruhnya kita memiliki – sepuluh ditambah empat ditambah satu – 15. Mohamūla
Citta pertama disertai dengan 15 Cetasika.
Yang berikutnya, yang terakhir dari Akusala Citta, disertai dengan perasaan apakah? Disertai dengan
perasaan Upekkhā. Apakah disertai dengan keragu-raguan? Tidak. Ini disertai dengan kegelisahan
(Uddhacca). Di sini ada Adhimokkha, tetapi tidak ada Pīti dan tidak ada Chanda. Dari tiga belas kita
memperoleh sebelas, ditambah Akusala universal empat, kita hanya memperoleh 15. Kedua Mohamūla
Citta masing-masing memiliki 15 Cetasika. Akan tetapi tidak sama. Dengan Mohamūla Citta pertama
tidak ada Adhimokkha tetapi ada Vicikicchā. Dengan Mohamūla ke dua ada Adhimokkha tetapi tidak
ada Vicikicchā. Jadi keduanya, Mohamūla Citta pertama dan ke dua disertai dengan 15 Cetasika.
Sehubungan dengan Akusala Citta kita harus melihat hanya pada dua kelompok: Aññasamāna dan
Akusala. Kita hanya harus melihat pada 27 Cetasika. Kita tidak perlu mencemaskan 25 lainnya.
Sekarang kita sampai pada kesadaran tanpa akar. Berapa banyakkah Citta tanpa akar? Ada 18 Citta.
Bagaimanakah pembagiannya? Saya sedang menyegarkan ingatan anda. Ada tiga kelompok. Kelompok
pertama adalah Akusala-vipāka. Kelompok ke dua adalah Ahetuka Kusala-vipāka, hasil dari Kusala.
Kelompok ke tiga adalah Ahetuka Kiriya. Dua kelompok pertama adalah Vipāka dan yang terakhir
adalah Kiriya.
Apakah Dvipañcaviññā Citta? Yaitu sepuluh Citta yang terhubung dengan indria-indria – melihat,
mendengar, mencium, mengecap dan menyentuh. Masing-masing ada dua, maka seluruhnya ada
sepuluh. ‘Dvi’ berarti dua. ‘Pañca’ berarti lima. Maka ini adalah dua lima-kesadaran.
Kesadaran melihat apakah hasil dari Kusala ataupun Akusala disertai dengan berapa banyak Cetasika?
Hanya tujuh, universal-universal menyertai kedua jenis kesadaran melihat. Kesadaran melihat tidak
disertai dengan Cetasika lainnya.
Hal yang sama berlaku untuk kesadaran mendengar, kesadaran mencium, kesadaran mengecap dan
kesadaran menyentuh. Bersama dengan seluruh sepuluh Citta ini hanya ada tujuh Cetasika untuk
masing-masingnya. Jadi kesadaran-mata memiliki tujuh Cetasika. Kesadaran-mendengar memiliki
tujuh Cetasika, dan seterusnya.
Berikutnya adalah Sampaṭicchana. Ada dua, satu dari Akusala-vipāka dan satu dari Ahetuka Kusala-
vipāka. Perasaan apakah yang dimiliki? Keduanya memiliki perasaan Upekkhā. Sampaṭicchana dua
disertai dengan sepuluh Cetasika – tujuh ditambah Vitakka, Vicāra dan Adhimokkha. Pīti, Vīriya dan
Chanda tidak muncul bersama keduanya. Vīriya adalah kuat dan aktif. Ahetuka Citta tidak cukup kuat.
Keduanya adalah tanpa akar. Keduanya bagaikan sebatang pohon tanpa akar, sehingga tidak kuat.
Karena disertai dengan perasaan Upekkhā, maka tidak akan ada Pīti. Karena lemah, maka Chanda tidak
menyertainya. Bersama dengan dua Sampaṭicchana Citta hanya ada sepuluh Cetasika – tujuh
universal, Vitakka, Vicāra dan Adhimokkha.
Berikutnya adalah Santīraṇa Citta. Ada tiga Santīraṇa Citta. Satu disertai dengan Somanassa dan dua
disertai dengan Upekkhā. Sekarang dua yang disertai dengan Upekkha disertai dengan berapa banyak
Cetasika? Sepuluh yang sama, tujuh universal, Vitakka, Vicāra dan Adhimokkha menyertai Santīraṇa
Citta. Tetapi dengan Somanassa Santīraṇa ada berapa banyak Cetasika? Karena ada Somanassa, maka
akan ada Pīti. Maka kita menambahkan Pīti dan kita memperoleh sebelas Cetasika.
Berikutnya adalah Pañcadvārāvajjana, pengalihan-lima-pintu-indria. Ini disertai dengan perasaan
apakah? Ini disertai dengan Upekkhā. Pañcadvārāvajjana hanya mmiliki sepuluh Cetasika – tujuh
universal, Vitakka, Vicāra dan Adhimokkha.
Berikutnya adalah Manodvārāvajjana, pengalihan-pintu-pikiran. Bersama dengan pengalihan-pintu-
pikiran ada sebelas Cetasika. Vīriya menyertai Manodvārāvajjana. Manodvārāvajjana memiliki dua
fungsi. Kita masih belum membahas fungsinya. Ini akan dijelaskan pada bab tiga. Manodvārāvajjana
memiliki dua fungsi. Ketika muncul pada lima pintu-indria, Manodvārāvajjana berfungsi sebagai
Voṭṭhabbana, kesadaran keputusan. Anda mungkin belum mengetahuinya karena ini melibatkan
proses pikiran, tetapi saya pikir anda setidaknya cukup mengetahui proses pikiran. Manodvārāvajjana
memiliki dua fungsi. Ketika muncul pada lima pintu-indria, ini disebut keputusan. Ketika muncul
melalui pintu-pikiran, ini disebut Manodvārāvajjana dan berfungsi mengalihkan ke arah objek.
Manodvārāvajjana memiliki fungsi mengalihkan. Manodvārāvajjana disertai dengan Vīriya. Apa yang
muncul dalam Mano-dvāra adalah lebih kuat daripada apa yang muncul dalam Pañcadvāra.
Yang terakhir adalah Hasituppāda, kesadaran yang menghasilkan senyuman. Anda ingin tersenyum,
maka di sana akan ada Pīti. Maka ada tujuh universal, Vitakka, Vicāra, Adhimokkha, Vīriya dan Pīti.
Hanya Chanda yang tidak ada di sana. Seluruhnya ada dua belas Cetasika yang muncul bersama dengan
hasituppāda, kesadaran yang menghasilkan senyuman. Kesadaran yang menghasilkan senyuman ini
muncul hanya dalam batin para Buddha, para Pacceka Buddha, dan para Arahant saja.
Ahetuka Citta memiliki jumlah Cetasika yang paling sedikit yang muncul bersamanya dibandingkan
dengan Akusala Citta atau Kāmāvacara Sobhana Citta dan sebagainya. sehubungan dengan Ahetuka
Citta kita hanya perlu melihat pada, kelompok Cetasika Aññasamāna. Kita tidak perlu mencemaskan
tetang Akusala Cetasika dan Sobhana Cetasika. Kita hanya melihat pada tiga belas Cetasika dan melihat
yang mana yang menyertai Ahetuka Citta yang mana. Semuanya tidak sulit hari ini.
Berikutnya kita sampai pada Kāmāvacara Sobhana Citta. Ada berapa banyakkah? Ada 24 – Kusala
delapan, Vipāka delapan dan Kiriya delapan. Di sini yang pertama dan ke dua digabung, dan kemudian
yang ke tiga dan ke empat, ke lima dan ke enam, ke tujuh dan ke delapan (baca CMA, II, Tabel 2.4,
p.112-113).
Sekarang Kāmāvacara Kusala pertama dan ke dua. Kāmāvacara Kusala pertama disertai dengan
perasaan apakah? Ini disertai dengan perasaan Somanassa. Dan ini bergabung dengan pengetahuan,
Paññā karena ini adalah Somanassa-sahagata Ñāṇa-sampayutta. Apakah ini dengan dorongan atau
tanpa dorongan? Ini adalah tanpa dorongan.
Citta ke dua juga disertai dengan Somanassa. Apakah ini bersama dengan Ñāṇa atau tanpa Ñāṇa? ini
adalah bersama dengan Ñāṇa. Kedua Citta ini, berapa banyakkah Cetasika yang muncul bersama
dengannya? 38 Cetasika muncul bersama dengan kedua itu. Apakah 38 itu? Tiga belas Aññasamāna
(sama dengan yang lain) dan seluruh 25 Sobhana Cetasika muncul bersama dengan Kāmāvacara Kusala
Citta pertama dan ke dua. Keduanya disertai dengan Ñāṇa, jadi Paññindriya juga bersama dengannya.
Kita mengatakan bahwa Kāmāvacara Kusala Citta pertama dan ke dua disertai dengan 38 Cetasika.
Tetapi dapatkah seluruh 38 Cetasika muncul pada saat yang sama? Tidak. Mengapakah? Bagaimana
dengan Virati? Bagaimana dengan Appamaññā? Ini adalah tambahan tidak tetap. Ini berarti
kemunculannya hanya ketika ada kesempatan baginya untuk muncul.
Ketika ada kesempatan untuk menghindari perbuatan salah, maka Virati akan muncul. Jadi ketiga
Virati dapat atau tidak dapat muncul bersama dengan kedua Citta ini. Di sini kita menghitung semua
yang dapat muncul bersama dengan Citta-Citta ini. Pada satu waktu, Citta-Citta ini tidak dapat disertai
dengan seluruh 38 Cetasika. Ketiga Virati mungkin tidak muncul bersama dengan Cetasika-Cetasika
ini sama sekali. Ketika anda sedang bersujud kepada Sang Buddha, Virati mungkin tidak muncul dalam
batin anda. Hanya ketika anda menghindari membunuh, hanya ketika anda menghindari berbohong,
hanya ketika anda menghindari penghidupan salah maka Virati muncul. Dan ketika muncul,
kemunculannya hanya satu pada satu waktu. Ketika ada ucapan benar, maka tidak ada perbuatan
benar dan tidak ada penghidupan benar. Bahkan ketika muncul, Virati hanya dapat muncul satu pada
satu waktu dalam Kāmāvacara Citta.
Dua Appamaññā berikutnya, Karuṇā dan Muditā, dapat atau tidak dapat muncul bersama dengan dua
Citta. Karuṇā dan Muditā hanya muncul ketika anda mempraktikkan Karuṇā atau hanya ketika anda
mempraktikkan Muditā. Ketika anda sedang belajar seperti ini, ketika anda sedang bersujud kepada
Sang Buddha, tidak ada Karuṇā atau Muditā. Keduanya dapat atau tidak dapat muncul bersama dengan
Kāmāvacara Kusala Citta. Bahkan ketika Karuṇā dan Muditā muncul, dapatkah keduanya muncul
bersama? Tidak. Ketika Karuṇā muncul, Muditā tidak dapat muncul. Ketika Muditā muncul, maka
Karuṇā tidak dapat muncul. Mengapakah? Itu karena keduanya memiliki objek yang berbeda. Karuṇā
mengambil makhluk-makhluk menderita, makhluk-makhluk dalam kesusahan sebagai objek. Muditā
mengambil makhluk-makhluk berhasil, makhluk-makhluk dalam kebahagiaan sebagai objek.
Objeknya berbeda. Jika objek berbeda, maka keduanya tidak dapat muncul secara bersamaan pada
waktu yang sama. Jadi walaupun keduanya mungkin muncul, kemunculannya hanya satu pada waktu
waktu. Jadi dapatkah anda memberitahukan berapa banyak Cetasika yang selalu muncul bersama
dengan Kāmāvacara Kusala Citta satu dan dua? 38 dikurangi lima, hanya 33 Cetasika akan muncul, jadi
33 Cetasika selalu muncul bersama dengan Kāmāvacara Kusala Citta satu dan dua.
Murid: Bagaimana dengan dengan dorongan dan tanpa dorongan?
Sayādaw: Tidak ada yang berubah sehubungan dengan Cetasika-Cetasika karena tidak ada Thina
Middha yang harus dipertimbangkan.
Apakah dengan dorongan atau tanpa dorongan jumlah Cetasika tetap sama. Hanya 33 Cetasika yang
selalu muncul bersama dengan kedua Citta ini.
Pada satu waktu berapa banyakkah paling banyak Cetasika yang dapat muncul? 34 Cetasika dapat
muncul. Ini berarti salah satu dari lima dapat muncul, ketika ada ucapan benar, maka hanya ada
ucapan benar, tidak ada perbuatan benar, tidak ada penghidupan benar, tidak ada Karuṇā (belas
kasihan), dan tidak ada Muditā (kegembiraan apresiatif). Di antara lima ini hanya satu yang dapat
muncul pada satu waktu. Paling banyak hanya ada 34 Cetasika dengan dua Citta ini. Selalu ada 33
Cetasika bersamanya. Jika anda menambahkan semua Cetasika yang dapat muncul, maka anda
memperoleh 38. Anda harus memahami hal ini.
Selanjutnya mudah. Kāmāvacara Kusala Citta ke tiga dan ke empat tidak disertai dengan Paññā. Itu
adalah Ñāṇa-vipayutta. Jika Ñāṇa-vippayutta, maka kita harus mengurangi atau mengeluarkan
Paññindriya, yang terakhir. Maka hanya ada 37 Cetasika yang muncul bersama kedua itu. Di sini juga
tiga Virati dan dua Appamaññā muncul hanya kadang-kadang dan ketika muncul, kemunculannya
hanya satu pada satu waktu.
Kemudian Kāmāvacara Kusala Citta ke lima dan ke enam memiliki perasaan apakah? Keduanya
memiliki perasaan Upekkhā. Karena disertai dengan perasaan Upekkhā, maka tidak ada Pīti. 38
dikurangi Pīti, maka kita memperoleh 37. Nomor tiga dan empat muncul dengan 37 Cetasika, dan
nomor lima dan enam juga muncul dengan 37 Cetasika. Walaupun jumlahnya sama 37, namun berbeda
dalam hal masing-masing Cetasika. Apakah perbedaannya? Perbedaannya adalah Pīti tanpa Ñāṇa dan
Ñāṇa tanpa Pīti.
Kemudian yang ke tujuh dan ke delapan disertai dengan Upekkhā. Jadi tidak ada Pīti. Apakah disertai
dengan Ñāṇa? Tidak. Maka kita mengeluarkan keduanya. Jadi tanpa Pīti dan tanpa Ñāṇa anda hanya
memperoleh 36 Cetasika. Kāmāvacara Kusala tujuh dan delapan disertai dengan 36 Cetasika. Ini adalah
38 dikurangi Pīti dan Ñāṇa atau Paññindriya.
Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta sekali lagi dibagi menjadi satu dan dua, tiga dan empat, lima dan
enam, tujuh dan delapan (baca CMA, II, Tabel 2.4, p.112-113). Satu dan dua disertai dengan Ñāṇa. tiga
dan empat adalah tanpa Ñāṇa. lima dan enam disertai dengan Ñāṇa, tetapi tanpa Pīti. Tujuh dan
delapan adalah tanpa Ñāṇa dan Pīti. Untuk Sahetuka Kāmāvacara Citta pertama dan ke dua ada tiga
belas Aññasamāna Cetasika, 19 Sobhana Sādhāraṇa, tetapi tanpa Virati, tanpa Appamaññā.
Mengapakah? Dikatakan bahwa jika Virati adalah duniawi, maka bersifat Kusala. Kapankah
munculnya? Hanya ketika anda menghindari perbuatan salah, hanya ketika anda menghindari
membunuh, ketika anda menghindari berbohong, ketika anda menghindari penghidupan salah maka
Virati muncul. Ketika anda menghindari membunuh, maka anda memperoleh Kusala, bukan Vipāka.
Virati, ketika muncul bersama dengan Citta duniawi, memiliki sifat Kusala. Itulah sebabnya mengapa
Virati tidak muncul bersama dengan Vipāka Citta.
Bagaimana dengan Appamaññā, Karuṇa dan Muditā? Apakah tiga ini muncul? Tidak. Mengapakah?
Dikatakan bahwa Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta hanya mengambil objek-objek Kāmāvacara.
Ketika kita sampai pada bab tiga, bagian tentang objek-objek, kita akan memahami ini. Sahetuka
Kāmāvacara Vipāka Citta hanya mengambil objek-objek yang disebut Kāmāvacara. Itu berarti 54
Kāmāvacara Citta, 52 Cetasika dan 28 Rūpa. Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta hanya mengambil hal-
hal itu sebagai objek Kāmāvacara Vipāka Citta dapat mengambil lebih banyak objek. Sahetuka
Kāmāvacara Vipāka hanya dapat mengambil apa yang disebut sebagai objek-objek Kāmāvacara.
Karena hanya mengambil objek-objek Kāmāvacara, maka Karuṇā dan Muditā tidak dapat muncul
bersamanya. Objek apakah yang diambil oleh Karuṇā? Apakah yang belas kasihan ambil sebagai objek?
Di sini ‘makhluk-makhluk’ berarti konsep makhluk-makhluk, Paññatti. Bukan realitas mutlak. Karuṇā
dan Muditā mengambil Paññatti atau konsep sebagai objek. Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta
mengambil objek-objek Kāmāvacara yang adalah realitas mutlak sebagai objek. Objeknya berbeda. Kita
membagi objek-objek menjadi objek Kāmāvacara, objek Rūpāvacara, objek Arūpāvacara. Sahetuka
Kāmāvacara Vipāka Citta hanya mengambil objek-objek Kāmāvacara. Objek-objek Kāmāvacara berarti
54 Citta, 52 Cetasika dan 28 Rūpa. Karuṇā dan Muditā mengambil konsep makhluk-makhluk. Ketika
anda mengambil makhluk-makhluk sebagai objek, makhluk-makhluk itu bukanlah realitas mutlak.
Apa yang nyata dalam makhluk itu adalah Nāma dan Rūpa atau kelima agregat. Ketika kita mengambil
makhluk sebagai objek, atau seorang laki-laki, atau seorang perempuan sebagai objek, kita mengambil
konsep sebagai objek dan bukan realitas. Jadi Karuṇā dan Muditā mengambil konsep sebagai objek,
tetapi Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta mengambil objek-objek Kāmāvacara. Jadi objeknya berbeda.
Itulah sebabnya mengapa Karuṇā dan Muditā tidak dapat muncul bersama dengan Sahetuka
Kāmāvacara Vipāka Citta. Jadi baik Virati maupun Appamaññā Cetasika tidak dapat muncul bersama
dengan Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta. Kita memiliki berapa banyakkah Cetasika yang menyertai
Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta pertama dan ke dua? Hanya ada 33 – tiga belas Aññasamāna
Cetasika, 19 Sobhana Sādhāraṇa Cetasika dan yang terakhir, Paññā atau Paññindriya.
Nomor tiga dan nomor empat, anda tahu apa yang harus dikurangi. Tidak ada Paññā. Jadi ada 32
Cetasika.
Nomor lima dan nomor enam adalah tanpa Pīti, tetapi dengan Paññā. Maka ada 32 Cetasika.
Kemudian nomor tujuh dan nomor delapan adalah tanpa Pīti dan juga tanpa Paññā. Jadi ada 31
Cetasika yang menyertainya. Jadi ada 33, 33, 32, 32, 32, 32, 31, 31.
Berikutnya adalah Sahetuka Kāmāvacara Kiriya. Sekali lagi diuraikan sebagai satu dan dua, tiga dan
empat, lima dan enam, tujuh dan delapan (baca CMA, II, Tabel 2.4, p.112-113). Bersama dengan
Sahetuka Kāmāvacara Kiriya hanya Virati yang tidak muncul. Karuṇā dan Muditā dapat muncul
bersama dengan Sahetuka Kāmāvacara Kiriya. Para Arahant dapat mempraktikkan Karuṇā dan
Mudita, bukan hanya dapat mempraktikkan melainkan mereka memang mempraktikkan karuṇā dan
Muditā. Jadi Karuṇā dan Muditā muncul bersama dengan Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta. Objek-
objek Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta tidak terbatas hanya pada objek-objek Kāmāvacara seperti
halnya Sahetuka Kāmāvacara Vipāka Citta.
Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta pertama dan ke dua disertai dengan berapa banyak Cetasika?
Disertai dengan 35 Cetasika. Hanya tiga Virati yang tidak ada. Untuk alasan yang sama Virati tidak
muncul bersama dengan Sahetuka Kāmāvacara Kiriya. Virati bersifat Kusala. Adakah kejadian seorang
Arahant menghindari membunuh? Tidak. Mereka telah sepenuhnya memotong kecenderungan
terhadap perbuatan salah. Jadi mereka tidak perlu menghindari melakukan seperti halnya orang-
orang lain. Virati tidak muncul bersama dengan Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta. Virati tidak
memiliki sifat Kiriya. Virati memiliki sifat Kusala. Virati tidak muncul bersama dengan Sahetuka
Kāmāvacara Kiriya Citta. 35 Cetasika bersama dengan Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta. Ada 13
Aññasamāna ditambah 19 Sobhana Cetasika universal, dan dua Appamaññā dan Paññindriya. Sahetuka
Kāmāvacara Kiriya Citta pertama dan ke dua disertai dengan 35 Cetasika – 38 dikurangi tiga.
Yang ke tiga dan ke empat disertai dengan 34 Cetasika. Kita mengurangi Paññā.
Citta ke lima dan ke enam dikurangi Pīti tetapi dengan Paññā. Maka sekali lagi berjumlah 34.
Citta ke tujuh dan ke delapan adalah tanpa Pīti dan tanpa Paññā. Maka kita memperoleh 33.
Berikutnya adalah Rūpāvacara Citta. Di sini kita membahas menurut Jhāna dan bukan menurut Kusala,
Vipāka dan Kiriya. Jika kita ingin membahas menurut Kusala, Vipāka dan Kiriya, kita dapat
melakukannya. Menurut cara pembagian Citta-Citta ini, kelompok pertama adalah Kusala, kelompok
ke dua adalah Vipāka, dan kelompok ke tiga adalah Kiriya. Masing-masing kelompok ini memiliki lima
komponen. Kelompok Rūpāvacara Kusala terdiri dari satu Citta Rūpāvacara Jhāna pertama, satu Citta
Rūpāvacara Jhāna ke dua, satu Citta Rūpāvacara Jhāna ke tiga, satu Citta Rūpāvacara Jhāna ke empat,
dan satu Citta Rūpāvacara Jhāna ke lima. Kelompok Rūpāvacara Vipāka juga memiliki lima komponen,
satu Citta untuk tiap-tiap tingkat Jhāna. Rūpāvacara Kiriya Citta juga terdiri dari satu Citta untuk tiap-
tiap tingkat Jhāna. Jika kita membagi Citta menurut pembagian pencapaian Jhāna, maka ada tiga Citta
Rūpāvacara Jhāna pertama – satu Kusala, satu Vipāka, dan satu Kiriiya. Demikian pula ada tiga Citta
Rūpāvacara Jhāna ke dua, tiga Citta Rūpāvacara Jhāna ke tiga, tiga Citta Rūpāvacara Jhāna ke empat,
dan tiga Citta Rūpāvacara Jhāna ke lima.
Citta Rūpāvacara Jhāna pertama disertai dengan berapa banyak Cetasika? 35. 35 yang manakah? Yaitu
13 Aññasamāna Cetasika, 19 Sobhana-sādhāraṇa Cetasika, tetapi tanpa Virati. Sekali lagi mengapakah?
Itu karena objeknya berbeda. Apakah objek Jhāna pertama? Anda belum sampai pada bagian tentang
objek-objek. Jadi anda belum mengetahuinya. Jhāna-Jhāna mengambil konsep sebagai objek. Misalnya,
seseorang berlatih meditasi dengan objek Kasiṇa. ia mengingat Kasiṇa dan ketika ia telah
menghafalkannya, ia melihatnya dengan jelas dalam pikirannya. Itu menjadi konsep. Konsep itu
menjadi objek bagi Jhāna pertama. Ada objek-objek lainnya juga. Semua itu adalah Paññatti. Virati
mengambil apakah? Harus ada sesuatu yang dapat dilanggar, misalnya, membunuh, berbohong atau
memiliki penghidupan salah. Jadi objek yang diambil adalah berbeda dari Jhāna. Jhāna mengambil
konsep sebagai objek. Virati mengambil sesuatu yang dilanggar sebagai objek. Karena objeknya
berbeda, maka keduanya tidak dapat muncul bersama. Jadi tidak ada Virati bersama dengan Jhāna
Citta. Hanya dengan konsentrasi, anda memperoleh Jhāna. Anda tidak perlu dengan sengaja
menghindari pembunuhan, berbohong dan berpenghidupan salah. Anda tidak memerlukan Virati
untuk mencapai Jhāna. Jadi Virati tidak muncul bersama dengan Jhāna.
Karuṇā dan Muditā muncul bersama dengan Jhāna Citta. Anda dapat mencapai Jhāna pertama dengan
mempraktikkan Karuṇa, dengan mempraktikkan Muditā. Anda dapat mencapai Jhāna ke dua, ke tiga
dan ke empat dengan mempraktikkan Karuṇa dan Muditā. Kedua Appamaññā muncul bersama dengan
Jhāna Citta. Ada 13 Aññasamāna ditambah 19 Sobhana-sadhāraṇa ditambah dua (Karuṇa dan Muditā)
ditambah satu (Paññā). Paññā selalu menyertai semua Citta ini – Jhāna Citta dan Lokuttara Citta. Jadi
ada 35 Cetasika yang muncul bersama dengan Rūpāvacara Jhāna pertama. Bersama dengan
Rūpāvacara Jhāna ke dua berapa banyakkah Cetasika yang muncul? 34 Cetasika muncul, berkurang
satu. Satu yang manakah? Vitakka tidak muncul karena orang itu tidak menginginkan Vitakka. Jadi ia
berlatih meditasi dan melenyapkan Vitakka. Sebagai hasilnya Jhāna tercapai tanpa Vitakka. Jhāna ke
dua memiliki 34 Cetasika.
Kemudian Jhāna ke tiga melenyapkan Vitakka dan Vicāra. Jhāna ke tiga memiliki 33 Cetasika.
Jhāna ke empat melenyapkan Vitakka, Vicāra dan Pīti. Ada yang aneh di sini. Jhāna ke empat disertai
dengan Somanasa, tetapi tidak ada Pīti di sini. Itu karena orang yang mencapai Jhāna ke tiga ingin
mencapai Jhāna ke empat. Untuk mencapai Jhāna ke empat ia harus mencari cacat pada Pīti. Ia
menganggap Pīti itu goyah. Ia menganggap bahwa Pīti tidak sedamai Sukha dan Upekkhā. Maka ia
berusaha melenyapkan Pīti. Sebagai hasil dari meditasinya, Jhāna ke empat tercapai tanpa Pīti, tetapi
disertai dengan Somanassa. Walaupun Jhāna ke empat disertai dengan Somanassa, tetapi tidak ada Pīti
bersamanya. Di sini Pīti dilenyapkan melalui kekuatan meditasi, melalui kekuatan latihan, bukan
dengan sendirinya. Itulah sebabnya mengapa Pīti tidak dapat muncul bersama dengan Jhāna ke empat.
Berapa banyakkah Cetasika yang muncul? 32 Cetasika muncul.
Kemudian tiga Citta Jhāna ke lima muncul bersama dengan berapa banya Cetasika? 30 Cetasika muncul
bersama dengan Jhāna ke lima. Karuṇā dan Muditā hilang di sini. Jhāna ke lima disertai dengan
Upekkhā. Karuṇā dan Muditā disertai dengan Somanassa, jadi tidak dapat muncul bersama dengan
Jhāna ke lima. Maka anda mengurangi dua dari 32 dan anda memperoleh 30 Cetasika.
Ada empat keadaan luhur atau Brahmavihāra. Ketika anda berlatih Metta, Jhāna-Jhāna apakah yang
dapat anda capai? Anda dapat mencapai Jhāna pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat. Ketika anda
berlatih Karuṇa, berapa banyak Jhāna? Sama; anda dapat mencapai Jhāna pertama, ke dua, ke tiga dan
ke empat. Dengan Muditā Jhāna apakah yang dapat dicapai? Jhāna pertama, ke dua, ke tiga dan ke
empat dapat dicapai. Dengan Upekkhā Jhāna apakah yang dicapai? Jhāna ke lima dicapai. Jhāna ke lima
disertai dengan Upekkhā. Jadi tidak ada Pīti dan juga tidak ada Karuṇa dan tidak ada Mudita. Jadi ini
hanya disertai dengan 30 Cetasika.
Jhāna ke lima disertai dengan Upekkhā. Upekkhā itu adalah perasaan Upekkhā. Upekkhā pada
Brahmavihāra adalah Tatramajjhattatā. Jhāna ke lima disertai dengan perasaan Upekkhā dan juga ada
Tatramajjhattatā. Tatramajjhattatā itu juga dikembangkan sedemikian sehingga menjadi
Brahmavihāra.
Arūpāvacara Citta, seluruh dua belasnya dimasukkan di sini. Jika anda ingin menguraikannya satu
demi satu, anda bisa. Berapa banyakkah Arūpāvacara Citta? Ada dua belas Arūpāvacara Citta – empat
Kusala, empat Vipāka dan empat Kiriya. Dapatkah anda menyebutkannya satu demi satu? Ruang tanpa
batas adalah Arūpāvacara Citta pertama. Kesadaran tanpa batas adalah kesadaran Arūpāvacara ke dua.
Kekosongan adalah kesadaran Arūpāvacara ke tiga. Bukan-persepsi-juga-bukan-non-persepsi adalah
kesadaran Arūpāvacara ke empat. Seluruh dua belas Arūpāvacara Citta dianggap sebagai Jhāna ke lima.
Mengapakah? Anda akan mendengar sangat banyak ‘mengapa’ hari ini. Jadi mengapakah?
Arūpāvacara Citta termasuk dalam Jhāna ke lima karena hanya memiliki dua faktor Jhāna. Kita akan
melihatnya sekarang. Apakah dua faktor Jhāna itu? Kedua faktor Jhāna itu adalah Upekkhā dan
Ekaggatā. Kita akan menemukan Upekkhā dan Ekaggatā dalam Cetasika-Cetasika. Seluruh
Arūpāvacara Citta disertai dengan perasaan Upekkhā. Juga disertai dengan faktor Jhāna Ekaggatā. Di
manakah anda menemukan Upekkhā dan Ekaggata di antara kelompok-kelompok Cetasika? Ekaggatā
ada di antara Sabbacitta-sādhāraṇa Cetasika, tujuh pertama. Di manakah Upekkhā, perasaan Upekkhā?
Ini juga di antara Sabbacitta-sādhāraṇa Cetasika. Anda menemukan keduanya di antara tujuh Cetasika
pertama. Dua faktor Jhāna ini ada di antara Sabbacitta-sādhāraṇa, tujuh Cetasika universal. Keduanya
mirip seperti Rūpāvacara Jhāna ke lima, maka disertai dengan tiga puluh Cetasika. Tiga puluh itu
adalah Aññasamāna dikuragi Vitakka, Vicāra dan Pīti, dan kemudian 19 faktor batin universal yang
indah, tanpa Virati, tanpa Appamaññā, tetapi disertai Paññā. Maka kita memperoleh tiga puluh
Cetasika.
Kelompok berikutnya adalah Sotāpatti-magga, Sakadāgāmī-magga, Anāgāmī-magga, Arahatta-magga
dan kemudian dalam kurung Jhāna pertama, ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima. Saya sudah
menjelaskan bagaimana membaca bagian ini. Jadi ada Sotapatti-magga Jhāna pertama, Sotapatti-
magga Jhāna ke dua, Sotapatti-magga Jhāna ke tiga, Sotapatti-magga Jhāna ke empat dan Sotapatti-
magga Jhāna ke lima. Kemudian ada Sakadāgāmī Jhāna pertama hingga Jhāna ke lima. Ada Anāgāmī
Jhāna pertama hingga Jhāna ke lima. Dan terakhir ada Arahatta-magga Jhāna pertama hingga Jhāna
ke lima. Hanya ada satu Citta Sotāpatti-magga Jhāna pertama. Berapa banyakkah Cetasika bersama
dengan Citta ini? 36 Cetasika bersama dengan citta ini. Seluruh 13 Aññasamāna, 19 Sobhana-
sādhāraṇa, tiga Virati akan menyertai Citta itu. Ingatkah anda ketika Virati muncul bersama dengan
Lokuttara bagaimanakah munculnya? Virati muncul bersama dan selalu muncul. Ketika suatu
Lokuttara Citta muncul, Virati juga muncul. Jadi Virati muncul bersama dan selalu muncul. Ini sangat
aneh. Ketika muncul bersama dengan Kāmāvacara Citta, Virati muncul satu demi satu. Tetapi ketika
muncul bersama Lokuttara Citta, Virati muncul seluruhnya karena pencapaian pencerahan atau
Magga melenyapkan segala kecenderungan terhadap perbuatan salah selamanya. Jadi tidak ada
kesempatan untuk melenyapkannya satu demi satu. Itulah sebabnya mengapa ketiga ini muncul
bersama menyertai Lokuttara Citta. Ketika Magga Citta muncul, seseorang tidak menghindari
perbuatan salah apapun. Tetapi pada momen itu segala kecenderungan terhadap kejahatan-kejahatan
ini dihancurkan, ketiganya muncul bersamaan. Bersama dengan Lokuttara Citta akan selalu ada tiga
Virati. Sotāpatti-magga Jhāna pertama memiliki 36 Cetasika. Yaitu tiga belas Aññasamāna, sembilan
belas Sobhana-sādhāraṇa, tiga Virati, tanpa Appamaññā dan satu Paññā, menjadikannya 36.
Rūpāvacara Jhāna pertama memiliki 35 Cetasika. Magga-citta Jhāna pertama memiliki 36 Cetasika.
Perbedaannya adalah Virati dan Appamaññā. Bersama dengan Jhāna ada Appamaññā, tetapi tidak ada
Virati. Bersama dengan Lokuttara ada Virati tetapi tidak ada Appamaññā. Virati ada tiga dan
Appamaññā ada dua, sehingga ada perbedaan satu. Sotāpatti-magga Jhāna pertama memiliki 36
Cetasika.
Sotāpatti-magga Jhana ke dua mudah. Anda mengeluarkan Vitakka. Jhāna ke tiga anda mengeluarkan
Vitakkā dan Vicāra. Jhāna ke empat anda mengeluarkan Vitakka, Vicāra dan Pīti. Jhāna ke lima sama.
Anda mengeluarkan Vitakka, Vicāra dan Pīti. Karena Virati muncul bersama dengan semua Lokuttara
Citta, maka tidak ada perbedaan antara Citta Jhāna ke empat dan ke lima. Ada 33 Cetasika untuk Jhāna
ke empat dan Jhāna ke lima. Sehingga kita memperoleh 36, 35, 34, 33 dan 33.
Hal yang sama berlaku untuk Sakadāgāmī-magga. Ada lima Jhāna untuk Sakadāgāmī-magga juga.
Cetasika-Cetasika juga sama – 36, 35, 34, 33 dan 33. Hal yang sama berlaku untuk Anāgāmī-magga
pertama, ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima. Juga sama untuk Arahatta-magga pertama, ke dua, ke
tiga, ke empat dan ke lima.
Kemudian kita sampai pada Phala Citta, kesadaran Buah. Di sini kita juga memiliki Sotāpatti-phala
Jhāna pertama, Jhāna ke dua, Jhāna ke tiga, Jhāna ke empat dan Jhāna ke lima. Dan kemudian ada
Sakadāgāmī Jhāna pertama, Jhāna ke dua, Jhāna ke tiga, Jhāna ke empat dan Jhāna ke lima. Kemudian
kita memiliki Anāgāmī Jhāna pertama, ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima. Dan terakhir ada Arahatta
Jhāna pertama, ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima.
Bersama dengan Sotāpatti-phala Jhāna pertama, berapa banyakkah Cetasika yang ada? Ada 36 Cetasika
– 13 Aññasamāna, 19 Sobhana-sādhāraṇa, tiga virati dan satu Paññā. Untuk Citta Jhāna ke dua kita
harus mengeluarkan Vitakka. Untuk Citta Jhāna ke tiga kita harus mengeluarkan Vitakka dan Vicāra.
Untuk Citta Jhāna ke empat kita mengeluarkan Vitakka, Vicāra dan Pīti. Dan untuk Jhāna ke lima
adalah sama. Sehingga di sini jumlahnya sama – 36, 35, 34, 33 dan 33.
Kita telah sampai pada akhir metode Saṅgaha. Mungkin sulit untuk menghafalkannya, tetapi jika anda
memiliki tabel maka ini menjadi mudah (baca CMA, II, Tabel 2.4, p.112-113). Jika anda ingin
menghafalkannya, anda dapat melakukannya. Silakan baca juga Manual (baca CMA, II, §§18-30, p.100-
110)

Campuran Kedua Metode


Ada satu metode lagi. Metode ini tidak disebutkan dalam Manual. Jadi tidak diajarkan di dalamnya. Ini
adalah campuran metode Sampayoga dan Saṅgaha. Di sini dikatakan bahwa ini seperti menyentuh
jemari dengan jemari. Ini sangat sulit karena ini adalah campurna dari metode Sampayoga dan
Saṅgaha. Dengan kata lain, kita mencari berapa banyak Cetasika yang muncul bersama dengan
Cetasika tertentu, bukan Cetasika bersama dengan citta, bukan Citta bersama dengan Cetasika. Untuk
mencarinya kita harus menggabungkan kedua metode. Kita harus terlebih dulu mencari berapa
banyak Citta yang muncul bersama dengan Cetasika itu dan berapa banyak Cetasika yang muncul
bersama dengan Citta itu. Jadi ada dua tahap. Jika anda tidak sangat terbiasa dengan kedua metode
pertama, ini akan menjadi sangat sulit.
Tetapi mari kita mencobanya. Berapa banyakkah Cetasika yang muncul bersama Phassa. Phassa adalah
suatu Cetasika dan kita ingin mengetahui berapa banyak Cetasika yang dapat muncul bersama dengan
Phassa. Untuk mengetahui hal ini kita harus mengetahui berapa banyak Citta yang disertai Phassa.
Anda tahu bahwa Phassa menyertai seluruh 89 Citta. Berapa banyakkah Cetasika yang muncul bersama
dengan 89 Citta? Seluruh 52 dapat muncul bersama dengan 89 Citta. Jadi kita memperoleh 52 Cetasika.
Tetapi Phassa tidak dapat muncul bersama dengan Phassa. Jadi anda mengeluarkan Phassa. Cetasika
yang tersisa adalah 51. Jadi kita mengatakan bahwa Cetasika Phassa dapat muncul bersama dengan 51
Cetasika. Ini adalah campuran kedua metode. Tidak sesulit yang dibayangkan sebelumnya. 89 Citta
muncul bersama dengan 52 Cetasika. Ini adalah metode Sampayoga. 89 Citta muncul bersama dengan
52 Cetasika. Ini adalah metode Saṅgaha. Phassa muncul bersama dengan 51 Cetasika, yaitu, 52
dikurang Cetasika itu sendiri.
Jika anda mengetahui Phassa, maka anda juga mengetahui Vedanā. Berapa banyakkah Cetasika yang
muncul bersama dengan Vedanā? 51 Cetasika muncul bersama dengan Vedanā – 52 dikurang Vedanā.
Untuk seluruh tujuh universal jawabannya sama.
Mari kita lanjutkan. Vitakka muncul bersama dengan berapa banyak Citta? Vitakka muncul bersama
dengan 55 Citta. Berapa banyakkah Cetasika yang muncul bersama dengan 55 Citta itu? Anda dapat
membayangkan bahwa di antara 55 Citta itu ada Akusala Citta, ada Kusala Citta, ada Jhāna Citta dan
ada Lokuttara Citta. Jadi hanya dengan menebak anda dapat mengatakan bahwa seluruhnya ada 52
Cetasika. Dan itu benar. Kemudian anda mengeluarkan Vitakka karena Vitakka tidak dapat muncul
bersama dengan Vitakka. Jadi Vitakka muncul bersama dengan 51 Cetasika. Hal yang sama berlaku
untuk Vicāra. Vicāra muncul bersama dengan 51 Cetasika.
Sekarang kita sampai pada Adhimokkha. Adhimokkha muncul bersama dengan 50 Cetasika, bukan 51.
Adhimokkha dan Vicikicchā adalah saling tidak cocok. Jadi Adhimokkha muncul hanya bersama
dengan 50 Cetasika. Anda juga dapat mencari menurut metode Sampayoga dan metode Saṅgaha.
Adhimokkha tidak muncul bersama dengan Mohamūla Citta pertama, Vicikicchā-sampayutta Citta.
Kemudian Vīriya mirip dengan Phassa. Vīriya muncul bersama dengan 51 Cetasika. Vīriya tidak
muncul bersama dengan Dvipañcaviññāṇa, Sampaṭicchana, Santīraṇa dan Pañcadvārāvajjana. Vīriya
muncul bersama dengan Akusala Citta, Kusala Citta, Jhāna Citta dan Citta-Citta lainnya. Seluruh 52
Cetasika muncul bersama dengan Citta-Citta itu. Jadi Vīriya muncul bersama dengan 51 Cetasika.
Selanjutnya mari mempertimbangkan Pīti. Dapatkah Pīti muncul bersama dengan Domanassa? Tidak.
Dosa, Issā, Macchariya dan Kukkucca muncul hanya bersama dengan Dosamūla Citta saja, tidak
mungkin muncul bersama dengan Pīti. Dan kemudian Vicikicchā muncul hanya bersama dengan
Mohamūla Citta pertama saja dan Citta itu disertai dengan Upekkhā. Jadi 52 dikurangi enam, kita
memperoleh 46.
Sekarang yang terakhir, Chanda tidak muncul bersama dengan Vicikicchā-sampayutta, Mohamūla
Citta pertama. Juga tidak muncul bersama dengan Ahetuka Citta. Tetapi Chanda muncul bersama
dengan Akusala dan Kusala Citta. Jadi Chanda muncul bersama dengan hampir seluruh Cetasika
kecuali Vicikicchā. Jadi Chanda muncul bersama dengan 50 Cetasika. Itu berarti 52 dikurangi
Vicikicchā dan Chanda itu sendiri.
Inilah cara anda mencari berapa banyak Cetasika dapat muncul bersama dengan Cetasika tertentu. Ini
disebut campuran kedua metode. Metode ini diperkenalkan oleh seorang guru Burma yang sangat
terpelajar yang dikenal dengan nama Mahāvisuddhārama Sayādaw. Ia menulis sebuah buku
Abhidhammatthasaṅgaha dan memperkenalkan metode ini. Ini sangat bagus bagi mereka yang ingin
membiasakan diri secara menyeluruh dengan kombinasi Citta dan Cetasika. Kedua metode pertama
adalah bagus. Jika anda dapat menjadi terbiasa dengan campuran kedua metode, maka anda menjadi
terbiasa dengan kombinasi Citta dan Cetasika secara menyeluruh.
Kita telah sampai pada akhir dari bab dua hari ini. Cetasika-Cetasika ini sangat menarik. dalam CMA
dijelaskan karakteristik, fungsi, cara manifestasi dan penyebab terdekat dari tiap-tiap Cetasika.
Semuanya sangat menarik. di antaranya penyebab terdekat adalah yang paling menarik. Apa yang
pada masa kini disebut emosi semuanya ada di antara 52 Cetasika ini – Lobha, Dosa, dan sebagainya.
anda harus menghadapi emosi-emosi ini. Anda mencari apa yang menyebabkannya dan kemudian
menyingkirkan penyebab-penyebab itu. Pengetahuan atas penyebab-penyebab terdekat dari beberapa
Cetasika dapat membantu anda dalam kehidupan anda sehari-hari dan akan memberikan hasil yang
baik untuk anda. Maka hal-hal ini sangat menarik. bahkan jika anda tidak dapat mempelajari seluruh
empat hal itu, anda harus mengetahui setidaknya dua di antaranya – karakteristik dan penyebab
terdekat. Jika anda tidak dapat mempelajari penyebab terdekat, maka anda harus mengetahui
karakteristik. Anda harus memahami karakteristik dari tiap-tiap Cetasika. Phassa memiliki
karakteristik mengenai objek. Vedanā memiliki karakteristik mengalami atau menikmati objek, dan
seterusnya. Paling sedikit berusahalah untuk mengingat karakteristik dai semua Cetasika-Cetasika ini,
jika anda mampu melakukan lebih, pelajari penyebab-penyebab terdekat. Jika anda masih mampu
melakukan lebih, pelajari seluruh empat ini.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Hari ini anda melihat kedua bhikkhu ini. Mereka berasal dari Vihara Taungpulu. Ada dua pria berbaju
putih di belakang ruangan. Mereka berasal dari Mexico dan mereka datang untuk mempelajari
Abhidhamma dari saya. Dan saya mengajarkan Abhidhamma kepada mereka, kursus kilat. Awalnya
saya berencana untuk mengajar mereka di vihara, tetapi sekarang kami tidak dapat mengadakan kelas
atau pertemuan di vihara. Maka saya memberikan pilihan kepada mereka di mana mereka dapat
mengikuti kelas, apakah di Tathāgata Meditation Center atau di Taungpulu. Mereka memilih
Taungpulu. Maka saya ke sana dan datang ke sini hari ini. Sekarang mereka ada sepuluh. Bayangkan
orang-orang dari Mexico tertarik (mereka sudah menjadi Buddhis) mempelajari Abhidhamma dan
Vipassanā. Sebenarnya bukan hanya terarik, mereka telah berlatih Vipassanā bertahun-tahun dari
guru-guru Thailand. Sekarang mereka ingin lebih mempelajari Abhidhamma. Maka saya mengajarkan
Abhidhamma kepada mereka sekarang. Jadi saya akan pergi ke Tuangpulu dan minggu depan saya
akan kembali. Apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Abhidhamma sedang menyebar. Awalnya
menyebar di antara anda. Sebagian besar dari kalian adalah orang-orang Vietnam. Sekarang
Abhidhamma menyebar di selatan Amerika. Saya sangat bergairah dengan hal ini. Saya sangat
beruntung didampingi oleh bhikkhu ini, Yang Mulia U Nandisena. Ia berasal dari Argentina. Jadi ia
mengucapkan bahasa yang sama seperti mereka, Bahasa Spanyol. Jadi saya mengajar melaluinya
karena ada beberpa orang yang tidak memahami Bahasa Inggris. Jadi saya mengajarkan Abhidhamma
kepada mereka dengan penerjemah. Mungkin mereka akan melampaui anda karena saya mengajar
mereka dua kali sehari, tanpa libur. Hari ini saya mengajarkan dua belas Akusala Citta dan saya
menyuruh mereka mengucapkan tiap-tiap Citta itu seperti anak-anak. Saya harap anda dapat
mengucapkan Citta-Citta itu sekarang.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
[Akhir dari Bab Dua]
BAB III
Vedanā, Hetu & Kicca
Hari ini kita mempelajari bab tiga dari Manual. Bab pertama membahas kesadaran – 89 atau 121 jenis
kesadaran. Bab 2 membahas 52 Cetasika dan kemudian kombinasi Citta dan Cetasika dalam dua cara.
Bab tiga membahas Citta dan Cetasika dalam cara-cara lain.

Enam Bagian
Bab ini dibagi menjadi enam bagian.
- Bagian pertama adalah suatu “Analisis Vedanā”, Analisis Citta menurut perasaan.
- Bagian ke dua adalah “Analisis menurut Hetu”, akar.
- Bagian ke tiga adalah “Analisis menurut Kicca”, fungsi.
- Bagian ke empat adalah “Analisis menurut Dvāra”, pintu-pintu.
- Bagian ke lima adalah “Analisis menurut Ārammaṇa”, objek-objek.
- Bagian ke enam adalah “analisis menurut Vatthu”, landasan-landasan.

Menurut Perasaan
Yang pertama adalah “Analisis menurut Perasaan”. Anda sudah bertemu dengan perasaan pada bab
pertama dan juga pada bab dua. Ada perbedaan pembagian perasaan. Kadang-kadang perasaan
dikatakan sebagai lima, kadang-kadang tiga, kadang-kadang dua dan kadang-kadang hanya satu.
Menurut kualitas efektifnya (itu berarti menurut sifat atau karakteristiknya), perasaan dikatakan
sebagai tiga jenis. Kadang-kadang perasaan diuraikan sebagai tiga, yaitu Sukha, Dukkha dan Upekkhā.
Sang Buddha juga mengajarkan perasaan-perasaan di antara indria-indria. Pada bab tujuh anda akan
menemukan 22 indria (baca CMA, VII, §18, p.273). Di antara 22 indria ada perasaan. Di sana Sang
Buddha mengajarkan lima jenis perasaan atau lima indria perasaan. Dalam ajaran tentang indria itu
terdapat lima perasaan. Yaitu Sukha, Dukkha, Somanassa, Domanassa dan Upekkhā. Anda sudah
terbiasa dengan lima atau tiga perasaan ini. Ketika Sang Buddha berkata ada tiga perasaan, yang
dimaksudkan adalah bahwa Sukha dan Somanassa adalah Sukha, dan Dukkha dan Domanassa adalah
Dukkha. Sebenarnya lima perasaan dan tiga perasaan adalah sama. Ketika tiga perasaan diajarkan,
Sang Buddha menggunakan kata ‘Sukha’. Di sana Sukha bukan hanya bermakna Sukha di antara lima
jenis Vedanā. Sukha di sana bermakna Sukha juga Somanassa. Juga Dukkha bukan hanya bermakna
Dukkha melainkan bermakna Dukkha juga bermakna Domanassa. Upekkhā adalah Upekkhā.
Kadang-kadang Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu hanya ada dua perasaan.” Yaitu Sukha dan
Dukkha. Dalam kasus demikian Sukha mencakup Sukha dan Upekkhā di antara tiga Vedanā. Dan
Dukkha mencakup hanya Dukkha.
Kadang-kadang Sang Buddha berkata apapun yang merasakan, semua itu adalah Dukkha. Itu berarti
hanya ada satu perasaan dan itu adalah Dukkha. Sang Buddha berkata, “Apa yang Aku katakan adalah
sehubungan dengan ketidakkekalan segala sesuatu yang terkondisi.” Karena segalanya adalah
terkondisi, maka segalanya adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal, apakah itu adalah Sukha atau
Dukkha? Itu adalah Dukkha. Apapun yang tidak kekal adalah Dukkha. Jadi hanya ada satu Vedanā,
yaitu Dukkha. Kita menemukan Vedanā disebutkan dalam cara yang berbeda-beda. Dalam beberapa
Sutta Vedanā dikatakan sebagai lebih dari lima. Tetapi biarlah kita menerima Vedanā sebagai satu
perasaan, dua perasaan, tiga perasaan dan lima perasaan.
Karena perasaan ada lima menurut ajaran indria-indria, maka kita harus memahami karakteristik dari
tiap-tiap perasaan. Perasaan memiliki karakteristik menikmati – bukan benar-benar menikmati –
mengalami rasa dari objek. Ini adalah karakteristik umum dari perasaan. Perasaan Sukha memiliki
karakteristik mengalami sentuhan yang disukai. Kita sedang membahas lima Vedanā; Dukkha
memiliki karakteristik sentuhan yang tidak disukai. Perasaan Somanassa memiliki karakteristik
mengalami objek yang disukai. Domanassa Vedanā memiliki karakteristik mengalami objek yang tidak
disukai. Upekkhā Vedanā memiliki karakteristik mengalami objek yang netral.
Mari kita mencari jenis kesadaran yang mana disertai dengan perasaan apa. Jika anda memahami bab
satu, tidak akan ada kesulitan. Citta apakah yang disertai dengan perasaan Sukha? Berapa banyakkah?
Hanya satu Citta yang disertai dengan Sukha, Sukha-sahagata Kāya-viññāṇa. Yang manakah yang
disertai dengan perasaan Dukkha? Hanya satu, Dukkha-sahagata Kāya-viññāṇa. Jenis kesadaran
apakah yang disertai dengan Somanassa? Berapa banyakkah? Ada 62. Kemudian berapa banyakkah
yang disertai dengan perasaan Domanassa? Hanya dua yang disertai dengan perasaan Domanassa, dua
Dosamūla Citta. Berapa banyakkah jenis kesadaran di mana perasaan Upekkhā muncul? Seluruhnya
ada 55 Citta yang muncul bersama dengan perasaan Upekkhā. Mari melihatnya secara lebih rinci.
Bersama dengan perasaan Somanassa ada 62 – empat dari Akusala Citta, dua dari Ahetuka Citta, dua
belas dari kesadaran alam-indriawi yang indah (Kāmāvacara Sobhana Citta), dua belas lagi dari
Rūpāvacara Citta dan 32 dari Lokuttara (Adi-duniawi) Citta. Seluruhnya kita memperoleh 62 jenis
kesadaran. Untuk Upekkhā kita memperoleh enam dari Akusala, empat belas dari Ahetuka, dua belas
dari kesadaran alam-indriawi yang indah (Kāmāvacara Sobhana), tiga dari Rūpāvacara, dua belas dari
Arūpāvacara dan kemudian delapan dari Lokuttara Citta. Sehingga seluruhnya ada 55. Satu Citta
disertai dengan perasaan Dukkha. Satu Citta disertai dengan perasaan Dukkha. Satu Citta disertai
dengan perasaan Sukha. 62 Citta disertai dengan perasaan Somanassa. Dua Citta disertai dengan
perasaan Domanassa. Dan 55 Citta disertai dengan perasaan Upekkhā. Ini adalah menurut lima
perasaan.
Sekarang menurut tiga perasaan, berapa banyakkah yang disertai dengan perasaan Sukha? 62
ditambah satu, jadi kita memperoleh 63. Berapa banyakkah yang disertai dengan perasaan Upekkhā?
Sama, 55 disertai dengan Upekkhā. Berapa banyakkah yang disertai dengan perasaan Dukkha? Dua
Domanassa-sahagata Citta dan satu perasaan jasmani Dukkha disertai dengan Dukkha. Sekali lagi
berapa banyakkah yang disertai dengan perasaan Sukha? Di sini 63 disertai dengan perasaan Sukha.
Berapa banyakkah yang disertai dengan perasaan Dukkha? Tiga disertai dengan Dukkha. Berapa
banyakkah yang disertai dengan perasaan Upekkhā? Sama, 55 disertai dengan Upekkhā.
Anda dapat mempelajari tabel tantang perasaan dalam CMA (baca CMA, II, Tabel 3.1, p.118). Mengapa
kesadaran melihat dan seterusnya disertai dengan Upekkhā dan kesadaran-badan disertai dengan
apakah Sukha atau Dukkha telah saya jelaskan. Anda ingat itu. Jika anda tidak ingat, anda boleh
membaca dalam CMA (baca CMA, II, Tuntunan §4, p.117-119). Jika sentuhannya adalah antara materi
lunak, maka ada Upekkhā. Jika sentuhannya adalah antara lunak dengan keras, maka ada perasaan
Sukha atau peraaan Dukkha. Diberikan analogi sebagai berikut. Ketika anda meletakkan sebuah bola
kapas di atas alas pukulan dan anda memukulnya dengan sebuah bola kapas lainnya, maka tidak ada
benturan keras. Benturannya lunak atau lemah. Ada perasaan Upekkhā. Tetapi ketika anda memukul
bola itu dengan palu, maka palu itu menembus bola kapas mengenai alas pemukul, maka ada benturan
keras. Jika ini disukai, maka ada perasaan Sukha. Jika tidak disukai, maka ada perasaan Dukkha. Jika
anda memahami bab satu dan dua, maka analisis perasaan ini sangat mudah.

Menurut Akar
Bagian berikutnya adalah “Analisis menurut Hetu”, “Analisis menurut Akar”. Berapa banyakkah akar?
Ada enam akar. Dalam Pāḷi yaitu: Lobha, Dosa, Moha dan Alobha, Adosa, Amoha. Anda dapat
menemukan seluruh enam ini di antara 52 Cetasika. Di manakah anda menemukan Lobha? Ini terdapat
di antara Cetasika-Cetasika tidak bermanfaat. Di manakah Dosa? Ini terdapat di antara Cetasika-
Cetasika tidak bermanfaat. Di manakah Moha? Ini juga terdapat di antara Cetasika-Cetasika tidak
bermanfaat. Di manakah Alobha? Ini terdapat di antara 19 universal yang indah. Adosa juga terdapat
di antara 19 universal yang indah. Dan Amoha secara terpisah disebutkan dalam daftar sebagai
Paññindriya. Lobha, Dosa dan Moha adalah Akusala. Alobha, Adosa dan Amoha adalah lawan dari
Lobha, Dosa dan Moha. Apakah hal-hal itu adalah Kusala, Akusala atau lainnya? Apakah hal-hal itu
adalah hanya Kusala karena muncul bersama dengan Sobhana Citta? Di antara Sobhana Citta terdapat
Vipāka Citta dan ada Kiriya Citta. Lobha, Dosa dan Moha adalah akar Akusala. Alobha, Adosa dan
Amoha adalah akar Kusala dan juga akar Vipāka dan akar Kiriya. Vipāka dan Kiriya secara kolektif
disebut Abyākata. Ini adalah istilah Abhidhamma. Abyākata secara harfiah berarti tidak dinyatakan –
tidak dinyatakan sebagai Kusala atau Akusala. Jika bukan Kusala juga bukan Akusala, maka ini pasti
adalah Vipāka atau Kiriya. Vipāka dan Kiriya disebut Abyākata. Rūpa (materi) juga disebut Abyākata.
Tiga akar pertama adalah Akusala. Tiga akar ke dua adalah Kusala dan Abyākata. Itu berarti Kusala,
Vipāka dan Kiriya. Tiga pertama adalah akar yang buruk. Tiga ke dua adalah akar yang baik atau indah.
Kata ‘Hetu’ dalam Pāḷi biasanya berarti kondisi, atau alasan, atau sebab. Dalam Abhidhamma kata Hetu
memiliki makna khusus. Hetu berarti hanya enam Cetasika ini yang diumpamakan sebagai akar. Jika
ada akar, maka pohon menjadi kokoh, pohon menjadi stabil, pohon menjadi kuat. Jika tidak ada akar,
maka pohon akan mudah tumbang. Maka jika sebatang pohon tidak memiliki akar dikatakan sebagai
lemah, tidak stabil. Jika jenis kesadaran disertai dengan akar, maka dikatakan sebagai kokoh.
Dikatakan sebagai kuat. Itulah sebabnya mengapa Ahetuka Citta dikatakan sebagai lemah karena tidak
memiliki akar.
Sekarang kita akan mencari berapa banyak Citta yang disertai dengan berapa banyak akar? Ada sebuah
tabel pada CMA. Saya belum membuat tabel saya sendiri. Silakan melihat pada tabel (baca CMA, III,
Tabel 3.2, p.121). Tabel ini sangat membantu. Anda dapat dengan mudah memahami hanya dengan
melihatnya. Saya akan bertanya tentang Akusala Citta. Berapa banyakkah Hetu yang menyertai
delapan Lobhamūla Citta? Dua akar, Lobha dan Moha menyertai Lobhamūla Citta. Berapa banyakkah
yang menyertai Dosamūla Citta? Dua, Dosa dan Moha menyertai Dosamūla Citta. Dan berapa
banyakkah akar yang menyertai dua Mohamūla Citta? Hanya satu akar yang menyertai Mohamūla
Citta. Apakah satu akar itu? Moha. Delapan Lobhamūla Citta disertai dengan Dosa dan Moha. Dua
Akusala Citta terakhir disertai hanya dengan Moha.
18 Citta berikutnya tidak perlu dipertimbangkan, karena tanpa akar. Itu adalah Ahetuka. Di antara 24
Kāmāvacara Sobhana Citta – delapan pertama, Kusala Citta, dua pertama disertai dengan berapa
banyak Hetu? Adakah Alobha? Ya, ada Alobha. Adakah Adosa? Ya, ada Adosa. Adakah Amoha? Ya, ada
Amoha. Amoha adalah Paññā, pengetahuan. Citta pertama dan ke dua disertai dengan pengetahuan,
Ñāṇa-sampayutta. Dua pertama disertai dengan tiga akar. Nomor tiga dan empat disertai dengan
hanya dua akar saja. Tidak ada Amoha. Nomor lima dan enam disertai dengan tiga akar – Alobha, Adosa
dan Amoha. Nomor tujuh dan delapan disertai dengan dua akar – Alobha dan Adosa. Delapan Sahetuka
Kāmāvacara Vipāka Citta juga sama. Nomor satu dan dua disertai dengan tiga akar. Nomor tiga dan
empat disertai dengan dua akar. Lima dan enam disertai dengan berapa akar? Tiga akar. Tujuh dan
delapan disertai dengan berapa akar? Dua akar. Hal yang sama berlaku untuk Sahetuka Kāmāvacara
Kiriya. Satu dan dua memiliki tiga akar. Tiga dan empat memiliki dua akar. Lima dan enam memiliki
tiga akar. Tujuh dan delapan memiliki dua akar. Bagus.
Sisanya – Rūpāvacara, Arūpāvacara dan Lokuttara – disertai dengan berapa akar? Tiga akar. Tidak ada
Citta berakar dua di antara Rūpāvacara, Arūpāvacara dan Lokuttara Citta. Semuanya adalah Citta
berakar tiga.
Anda dapat melihat pada tabel pada CMA halaman 121. Akar-akar adalah keserakahan, kebencian,
delusi, tanpa-keserakahan, tanpa-kebencian, tanpa-delusi. Ada enam akar. Citta-Citta disebutkan
sebagai berakar-keserakahan. Itu berarti Lobhamūla Citta. Berakar-kebencian adalah Dosamūla Citta.
Berakar-delusi adalah Mohamūla Citta. Tanpa akar adalah Ahetuka Citta. alam-indriawi yang indah
dengan pengetahuan adalah satu, dua, lima, enam. Alam-indriawi tanpa pengetahuan adalah tiga,
empat, tujuh, delapan. Seluruhnya ada dua belas, masing-masing empat. Luhur berarti Mahaggata,
Rūpāvacara dan Arūpāvacara secara bersama. Ini berjumlah 27 Citta. Adi-duniawi (Lokuttara)
dikatakan ada delapan di sini, jadi delapan kesadaran Adi-duniawi. Di paling bawah tabel dalam buku,
anda melihat nomor-nomor dua, dua dan seterusnya. Dua berarti apakah? Disertai dengan dua akar.
Tiga berarti disertai dengan tiga akar.
Berapa banyakkah Citta yang disertai dengan satu akar? Dua, dua Mohamūla Citta disertai dengan satu
akar. Berapa banyakkah yang disertai dengan dua akar? Delapan Lobhamūla Citta, dua Dosamūla Citta,
dua belas Kāmāvacara Sobhana Citta (tanpa pengetahuan) disertai dengan dua akar. Seluruhnya ada
22. Jadi 22 ini disertai dengan dua akar. Apakah dua akar ini? Anda harus membedakannya. Yang
dengan Lobhamūla Citta adalah Lobha dan Moha. Yang dengan Dosamūla adalah Dosa dan Moha. Yang
dengan Kāmāvacara Sobhana adalah Alobha dan Adosa. Berapa banyakkah yang disertai dengan tiga
akar? Ada 12 ditambah 27 ditambah 8 menjadi 47. 47 disertai dengan tiga akar. Berapa banyakkah yang
disertai tanpa akar? 18 Ahetuka Citta adalah tanpa akar. Harus dipahami bahwa ada 18 tanpa akar, dua
dengan satu akar, 22 dengan dua akar dan 47 dengan tiga akar. Jika anda memahami kombinasi Citta-
Cetasika, ini sangat mudah. Hari ini kita mempelajari bagian yang sangat mudah. Bagian pertama dan
ke dua tidak sulit jika anda memahami bab pertama dan ke dua, jika anda terbiasa dengan kombinasi
Citta-Cetasika. Bagian pertama membicarakan tentang perasaan. Bagian ke dua membicarakan
tentang apa yang kita sebut akar, Hetu.

Menurut Fungsi
Kita lanjutkan ke bagian selanjutnya. Bagian selanjutnya membahas tentang fungsi. Masing-masing
citta dari 89 atau 121 Citta memiliki fungsinya masing-masing. Citta ini muncul dan melakukan
fungsinya dan lenyap.
Fungsi-fungsi ini dikatakan berapa banyak? Berapa banyakkah fungsi yang ada? Ada 14 fungsi. Seluruh
89 Citta berfungsi paling sedikit dalam 14 cara ini. Fungsi pertama adalah fungsi kelahiran kembali,
atau fungsi penghubungan-kembali, atau fungsi penghubungan-kelahiran-kembali. Dalam Pāḷi adalah
Paṭisandhi. ‘Paṭisandhi’ berarti, menggabungkan, menghubungkan.
Untuk memahami hal ini, anda harus memahami Citta pertama dalam kehidupan. Misalnya pada
manusia. Seorang manusia memulai kehidupannya pada saat konsepsi. Konsepsi itu disebut kelahiran
kembali di sini. Pada momen konsepsi, pada momen kelahiran kembali sebagai manusia di sana
muncul sejenis kesadaran, kesadaran Vipāka. Bersama dengan kesadaran itu muncul Cetasika. Dengan
Citta dan Cetasika itu muncul beberapa properti materi yang disebabkan oleh Kamma. Apa yang kita
sebut sebagai kelahiran kembali adalah sekelompok tiga ini – kesadaran-kelahiran-kembali, Cetasika-
Cetasika dan beberapa Rūpa.16
Kesadaran kelahiran kembali adalah selalu Vipāka Citta. Ini dapat berupa Sahetuka Kāmāvacara
Vipāka; ini dapat berupa Rūpāvacara Vipāka; ini dapat berupa Arūpāvacara Vipāka atau dapat berupa
Vipāka Ahetuka – tidak semua Ahetuka, tetapi dua Upekkhā Santīraṇa, dua kesadaran penyelidikan.
Dalam suatu kehidupan pertama-tama kesadaran Vipāka itu muncul. Kemudian kesadaran ini
mengulangi dirinya sendiri lagi dan lagi seumur hidup. Kesadaran Vipāka ini adalah hasil dari Kamma.
Kamma adalah sangat kuat dan berkuasa. Kamma dapat memberikan hasilnya seumur hidup, bukan
hanya satu kali. Pada momen kelahiran kembali, kesadaran ini disebut kesadaran kelahiran kembali.
Setelah itu dalam kehidupan ini kesadaran ini disebut dengan nama lain. Dan ketika seseorang
meninggal dunia, kesadaran-kematiannya adalah kesadaran yang sama ini. Dalam satu kehidupan
kesadaran kelahiran kembali, kesadaran sepanjang kehidupan dan kesadaran kematian adalah jenis
kesadaran yang sama. Ketika muncul pertama kali dalam suatu kehidupan, fungsinya adalah untuk
menghubungkan kedua kehidupan. Itulah sebabnya mengapa disebut penghubungan, penghubungan
kembali, Paṭisandhi, menggabungkan. Walaupun disebut ‘’penghubung’, Paṭisandhi adalah bagian dari
kehidupan selanjutnya. ketika kita mengatakan sesuatu adalah penghubung, maka kita berpikir bahwa
sesuatu itu bukan bagian dari yang sebelumnya atau bagian selanjutnya, melainkan di tengah-tengah.
Di sini walaupun kita menyebutnya penghubung, namun itu adalah bagian dari kehidupan berikutnya.
Kesadaran itu ketika muncul lagi dan lagi dalam kehidupan ini, disebut dengan nama lain. Pada saat
itu fungsinya dalah untuk memelihara kehidupan. Jika tidak muncul sama sekali, maka hidup kita akan
berakhir persis setelah penghubungan kembali. Karena kesadaran ini muncul berulang-ulang, maka
kehidupan kita berlanjut terus hingga akhir dari kehidupan itu. Sebenarnya kehidupan itu diikuti
dengan kehidupan lainnya. Maka dalam satu kehidupan kesadaran ini muncul lagi dan lagi, berulang-
ulang. Ketika muncul dalam sepanjang kehidupan, kesadaran ini disebut unsur kehidupan atau alasan
kehidupan. Dalam Pāḷi disebut Bhavaṅga. Ketika kesadaran Vipāka itu muncul berulang-ulang
sepanjang hidup, kesadaran ini melakukan fungsi Bhavaṅga, memelihara kehidupan. Ini adalah
kesadaran yang sama dengan kesadaran Paṭisandhi, tetapi dengan fungsi yang berbeda. Kesadaran
Bhavaṅga ini berlanjut terus dalam kehidupan kita ketika tidak ada kesadaran aktif yang muncul.
Kesadaran aktif artinya ketika kita melihat sesuatu maka ada kesadaran melihat dan keseluruhan
proses pikiran. Ketika kita mendengar sesuatu, maka ada kesadaran mendengar dan keseluruhan
proses pikiran. Ketika proses pikiran demikian muncul, Bhavaṅga berhenti. Menggantikan Bhavaṅga
ini, muncullah jenis-jenis kesadaran ini. Setelah 17 momen pikiran (dalam proses pikiran lima-pintu-
indria) atau sepuluh momen pikiran (dalam proses pikiran pintu-pikiran) kesadaran-kesadaran ini
selesai. Setelah selesai, Bhavaṅga berlanjut kembali. Momen-momen Bhavaṅga berlangsung sepanjang
kehidupan kita di antara momen-momen pikiran aktif, proses pikiran aktif ini. Saya menyebut
Bhavaṅga sebagai zona penyangga diantara momen-momen pikiran aktif. Bhavaṅga berlangsung
seperti itu. Munculnya Bhavaṅga Citta paling jelas ketika kita sedang tertidur lelap, tidur tanpa mimpi.
Ketika kita terlelap, maka hanya ada momen Bhavaṅga yang berlangsung – tidak ada momen pikiran
aktif.
Jadi Citta pertama dalam hidup kita memiliki fungsi penghubungan-kembali, Paṭisandhi. Ketika
muncul pertama kali dalam hidup kita, Paṭisandhi melakukan fungsi pernghubungan-kembali. Ketika

16
Ini disebut Rūpa yang muncul dari Kamma
muncul berulang-ulang kemudian seumur hidup, Citta itu memiliki fungsi Bhavaṅga, memelihara
kehidupan. Ketika kita mati, Citta itu muncul dan memiliki fungsi mati. Sekarang kita memperoleh
tiga fungsi Citta – penghubungan-kembali (Paṭisandhi), rangkaian-kehidupan (Bhavaṅga) dan
kematian (Cuti).
Untuk memahami fungsi-fungsi lainnya anda perlu memahami proses pikiran. Saya pikir anda suadh
memahami proses pikiran. Saya telah menjelaskan tentang proses pikiran ketika kita mempelajari
Ahetuka Citta – melihat, menerima, menyelidiki dan seterusnya. Ketika suatu objek tersaji pada indria-
indria, ketersajian itu disebut mengenai. Katakanlah, ketika sebuah objek terlihat masuk ke dalam
jangkauan mata kita, objek terlihat itu mengenai mata serta Bhavaṅga. Ketika objek itu masuk ke
dalam jangkauan mata, Bhavaṅga terganggu. Bhavaṅga bergetar atau berguncang selama satu momen.
Kemudian setelah muncul untuk momen ke dua Bhavaṅga berhenti. Ini segera diikuti oleh jenis
kesadaran lainnya. Kesadaran itu mengalihkan pikiran kepada objek. Pengalihan itu adalah satu ungsi.
Fungsi itu dilakukan oleh Citta apakah? Sebenarnya dilakukan oleh dua Citta – Pañcadvārāvajjana
(pengalihan-lima-pintu-indria) dan Manodvārāvajjana (pengalihan-pintu-pikiran). Ada fungsi
pengalihan ini. Mulai saat itu pikiran teralihkan pada objek. Ini disebut pengalihan juga karena dengan
momen itu momen pikiran aktif dimulai. Momen Bhavaṅga adalah momen tidak aktif. Setelah
Bhavaṅga berhenti, ada momen pengalihan pikiran ini. Dengan ini terdapat perubahan pikiran. Ini
juga adalah sebabnya mengapa disebut pengalihan, beralih menjadi aktif. Fungsi pengalihan ini
dilakukan oleh dua jenis Citta. Kita akan menemukannya nanti. Dalam Pāli fungsi itu disebut Āvajjana.
Anda menemukan kata itu dalam Pañcadvārāvajjana dan Manodvārāvajjana. Ini adalah satu fungsi,
yaitu fungsi Āvajjana.
Setelah pikiran beralih kepada objek, ada melihat atau mendengar, atau mencium, mengecap, atau
menyentuh. Jenis-jenis kesadaran ini memiliki fungsinya masing-masing. Jadi kesadaran melihat
memiliki fungsi melihat. Kesadaran mendengar memiliki fungsi mendengar. Kesadaran mencium
memiliki fungsi mencium. Kesadaran mengecap memiliki fungsi mengecap. Kesadaran menyentuh
memiliki fungsi menyentuh. Kita memperoleh lima fungsi lagi – melihat, mendengar, mencium,
mengecap dan menyentuh.
Setelah melihat dalam proses pikiran apakah yang muncul? Jika anda memiliki tabel proses pikiran,
anda dapat melihatnya. Ingatkah anda pada perumpamaan mangga? Setelah melihat mangga, orang
itu mengambilnya – menerima. Setelah menerima ada penyelidikan. Dan kemudian ada memutuskan.
Setelah melihat, ada menerima. Ini adalah satu fungsi; menerima objek adalah satu fungsi. Dan
kemudian menyelidiki objek adalah fungsi lainnya. Memutuskan objek adalah fungsi lainnya lagi.
Apakah selanjutnya setelah memutuskan? Javana mengikuti memutuskan.
Di sini Bhikkhu Bodhi berkata,
“Javana adalah istilah teknis Abhidhamma yang sebaiknya tidak diterjemahkan.” (CMA, III, Tuntunan
§8, p.124)
Jadi jangan berusaha untuk menerjemahkan Javana. Anda tidak akan memperoleh terjemahan yang
memuaskan. Ini diterjemahkan sebagai dorongan. Tetapi kita tidak tahu apa dorongan itu. Jadi
sebaiknya tidak diterjemahkan. Arti harfiah dari kata ‘Javana’ adalah berlari cepat dengan dorongan
atau semacam itu. Setelah tahap memutuskan ada tahap Javana ini. Pada tahap ini kesadaran
sepenuhnya mengalami objek. Maka saya menyebutnya pengalaman penuh atas objek. Saya tidak ingin
mengatakan menikmati objek karena jika objek itu tidak disukai maka anda tidak menikmatinya.
Pengalaman penuh atas objek hanya terjadi pada tahap Javana. Sebelum tahap Javana ada fungsi
mengalihkan, menerima, menyelidiki dan memutuskan. Fungsi-fungsi ini dilakukan oleh Ahetuka
Citta. Citta ini lemah. Bukan Citta yang kuat. Pengalamannya atas objek tidak sekuat pada tahap
Javana.
Hanya pada tahap Javana terdapat Kusala atau Akusala. Anda melihat suatu objek. Selama tahap
mengalihkan, melihat, menerima, menyelidiki dan memutuskan, semua itu adalah Vipāka Citta
kecuali untuk Pañcadvārāvajjana dan Voṭṭhabbana yang adalah Kiriya Citta. Hanya pada momen
Javana17 objek itu dialami sepenuhnya. Itulah sebabnya mengapa Kusala atau Akusala muncul selama
momen-momen Javana. Jika anda memiliki sikap yang benar terhadap segala sesuatu, maka momen
Javana akan menjadi bermanfaat atau Kusala. Jika anda memiliki sikap yang tidak benar terhadap
segala sesuatu, maka Javana akan menjadi Akusala. Javana adalah satu fungsi. Sepenuhnya mengalami
objek adalah satu fungsi. Fungsi itu dilakukan oleh sejumlah Citta. Kita akan mencarinya nanti.
Setelah pengalaman penuh atas objek, diikuti oleh dua momen yang disebut pencatatan. Dua momen
pencatatan, Tadārammaṇa, mungkin mengikuti Javana. Kata Pāḷi Tadārammaṇa secara harfiah
bermakna memiliki objek itu. ‘Tad’ berarti itu. ‘Ārammaṇa’ berarti objek. ‘Tad’ dan ‘Ārammaṇa’
bergabung dan itu berarti sesuatu yang memiliki objek itu. ‘Objek itu’ berarti objek yang diambil oleh
Javana. Dua momen Tadārammaṇa mengambil objek yang sama seperti yang diambil oleh Javana.
Tadārammaṇa, fungsi mencatat, diumpamakan dengan air yang mengikuti perahu. Anda mendayung
perahu dan air mengikuti perahu dari belakang. Seperti itu. Ini juga disebut sisa-rasa. Ingatkah anda
pada perumpamaan mangga? Orang itu menelan mangga dan ludah dan seterusnya. Itu adalah
Tadārammaṇa, satu fungsi.
Berapa banyakkah fungsi yang anda miliki? Ada penghubungan-kembali, rangkaian-kehidupan
(Bhavaṅga), kematian, dan kemudian mengalihkan, melihat, mendengar, mencium, mengecap,
menyentuh, menerima, menyelidiki, memutuskan, Javana, mencatat (Tadārammaṇa). jadi kita
memiliki 14 fungsi. 14 fungsi ini dilakukan oleh 89 atau 121 jenis kesadaran.
Ada perbedaan antara fungsi dan apa yang disebut tahap. ‘tahap’ sebenarnya adalah tempat untuk
fungsi, tempat di mana fungsi-fungsi itu muncul. Walaupun ada 14 fungsi, namun tempat di mana
fungsi-fungsi ini muncul dikatakan hanya ada sepuluh. Tempat adalah tempat dari waktu bagi fungsi-
fungsi ini muncul. Setelah mengalihkan ada melihat. Ketika ada melihat, maka tidak akan ada
mendengar dan seterusnya. Melihat segera diikuti dengan menerima. Antara mengalihkan dan
menerima terdapat fungsi melihat, mendengar, mencium, mengecap dan menyentuh. Jadi untuk
kelima ini hanya ada satu tempat, satu tahap. Jika kita membagi fungsi-fungsi ini menurut tempat
munculnya, maka kita hanya memperoleh sepuluh. Kata Pāḷi yang digunakan adalah Ṭhāna yang
berarti tempat. Dalam CMA ini diterjemahkan sebagai tahap (CMA, III, Tuntunan §8, p.124). terdapat
sepuluh tahap atau tempat, tetapi ada 14 fungsi.
Sekarang kita akan mencari fungsi apa yang dilakukan oleh jenis kesadaran yang mana. Terdapat tabel
pada CMA halaman 127 (baca CMA, III, Tabel 3.3, p.127). Ini sebenarnya adalah tabel saya, tetapi ia
menggunakan Bahasa Inggris. Saya ingin anda mempelajari istilah-istilah ini dalam Pāḷi serta
terjemahannya. 14 fungsi diuraikan dari atas ke bawah. Ada kelahiran kembali, Bhavaṅga dan
kematian, kemudian mengalihkan, melihat, mendengar, mencium, mengecap, menyentuh, menerima,
menyelidiki, memutuskan, Javana, dan pencatatan. Ini adalah 14 fungsi. Kemudian ada Citta-Citta –
Citta-Citta tidak bermanfaat, kesadaran-mata dan seterusnya.

17
Hampir selalu terdapat tujuh momen
Fungsi kelahiran kembali, Bhavaṅga dan kematian dilakukan oleh penyelidikan dengan perasaan
netral18, Kāmāvacara Sobhana Vipāka (hasil alam-indriawi) – Kāmāvacara Sahetuka Vipāka – ada
berapa banyakkah? Ada delapan. Dan kemudian hasil yang Luhur (Mahaggata Vipāka) sembilan
melakukan fungsi-fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga serta Cuti. Jadi 8 ditambah 9 ditambah 2, ada 19 Citta
yang melakukan fungsi kelahiran kembali, Bhavaṅga dan kematian. Jika kesadaran-kelahiran-kembali
anda adalah Kāmāvacara Sobhana Vipāka pertama, maka Bhavaṅga anda akan selalu Kāmāvacara
Sobhana Vipāka pertama. 19 Citta ini memiliki ketiga fungsi ini. Ketika salah satu Citta ini muncul
sebagai fungsi kelahiran kembali, maka itu juga akan berfungsi sebagai fungsi Bhavaṅga dan fungsi
kematian. Ada 19 Citta yang memiliki fungsi kelahiran kembali, Bhavaṅga dan kematian. Saya ingin
anda melihat tabel. Yang manakah jenis kesadaran yang memiliki kelahiran kembali, Bhavaṅga dan
kematian? Dua ini (Upekkhā Santīraṇa), delapan ini (Kāmāvacara Sobhana Vipāka), lima ini
(Rūpāvacara Vipāka) dan empat ini (Arūpāvacara Vipāka) memiliki fungsi kelahiran kembali,
Bhavaṅga dan kematian. Anda perlu mengetahui urutan Citta-Citta ini dalam proses pikiran dan juga
mengetahui Citta mana yang muncul pada setiap momen dalam proses pikiran. Anda harus melihat ini
untuk dapat melihatnya dengan jelas. Jadi sekali lagi ada dua Santīraṇa yang disertai dengan Upekkhā,
delapan Kāmāvacara Sobhana Vipāka, lima Rūpāvacara Vipāka dan empat Arūpāvacara Vipāka. Empat
ditambah lima ditambah delapan ditambah dua menjadi 19. Seluruhnya ada 19 yang memiliki fungsi
Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti.
Tahap atau tempat selanjutnya dalam proses pikiran adalah mengalihkan. Pengalihan-lima-pintu-
indria atau pengalihan-pintu-pikiran muncul di sini. Dalam Pāḷi disebut Pañcadvārāvajjana dan
Manodvārāvajjana. Kedua Citta ini termasuk kelompok ke tiga dari Ahetuka Citta, tiga Kiriya Ahetuka
Citta. Pañcadvārāvajjana dan Manodvārāvajjana memiliki fungsi Avajjana, mengalihkan.
Citta manakah yang memiliki fungsi melihat? Dua Citta, di antara Ahetuka Citta dua jenis kesadaran-
mata memiliki fungsi melihat. Citta manakah yang memiliki fungsi mendengar? Dua jenis kesadaran
mendengar memiliki fungsi mendengar. Mencium? Dua jenis kesadaran mencium memiliki fungsi
mencium. Mengecap? Dua jenis kesadaran mengecap memiliki fungsi mengecap. Menyentuh? Dua
jenis kesadaran menyentuh memiliki fungsi menyentuh.
Setelah salah satu dari Dvipañcaviññāṇa muncul, kemudian diikuti dengan satu momen
Sampaṭicchana atau kesadaran penyelidikan. Ada dua Citta yang dapat menerima objek, satu yang
merupakan hasil dari Kamma bermanfaat dan satu yang merupakan hasil dari Kamma tidak
bermanfaat.
Apakah selanjutnya? berikutnya adalah kesadaran penyelidikan. Berapa banyakkah? Ada tiga Citta
yang memiliki fungsi penyelidikan. Ada tiga Santīraṇa Citta, satu yang tergabung dengan perasaan
menyenangkan dan dua yang tergabung dengan perasaan netral.
Kesadaran memutuskan mengikuti kesadaran penyelidikan dalam proses pikiran. Fungsi memutuskan
dilakukan oleh pengalihan-pintu-pikiran.
Berikutnya adalah Javana. Ada 55. Fungsi Javana dilakukan oleh Kusala, Akusala, Magga, Phala dan
Kiriya (Kiriya kecuali dua Āvajjana). Javana apakah itu? Kusala, Akusala, Magga, Phala, Kiriya kecuali
dua Ahetuka Upekkhā Kiriya (Manodvārāvajjana dan Pañcadvārāvajjana). Itu berarti dua belas Akusala
Citta, satu Hasituppāda Citta (kesadaran senyuman), delapan Kāmāvacara Kusala, delapan Sahetuka
Kāmāvacara Kiriya, lima Rūpāvacara Kusala, lima Rūpāvacara Kiriya, empat Arūpāvacara Kusala,

18
Ini berarti Santīraṇa yang disertai dengan Upekkhā.
empat Arūpāvacara Kiriya, empat Magga Citta (ini adalah Kusala) dan empat Phala Citta. (Jadi
seluruhnya delapan Lokuttara Citta. Ikuti saya. Jangan menjumlahkannya. Anda menjumlahkannya?
Berapa banyak? Ada 55. Anda dapat mengatakan 55. Anda harus mengetahui yang mana 55 itu. Anda
harus mengetahui bahwa Javana itu adalah Kusala, Akusala, Magga, Phala dan Kiriya tanpa
Manodvārāvajjana dan Pañcadvāravajjana. Jika anda ingat itu, maka anda dapat menghitung Javana.
Jadi ada dua belas Akusala Citta, satu Citta senyuman (Hasituppāda), delapan Kāmāvacara Kusala citta,
delapan Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta, lima Rūpāvacara Kusala Citta, lima Rūpāvacara Kiriya Citta,
empat Arūpāvacara Kusala Citta, empat Arūpāvacara Kiriya Citta, empat Magga Citta dan empat Phala
Citta. Jadi seluruhnya ada 55. 55 Citta ini memiliki fungsi Javana.
Sekarang kita sampai pada fungsi pencatatan (baca CMA, III, Tabel 3.3, p.127). yang berfungsi sebagai
pencatatan adalah Santīraṇa Upekkhā, Santīraṇa Somanassa dan kemudian delapan Kāmāvacara
Sobhana Vipāka. Ada Santīraṇa Upekkhā dua, Santīrana Somanassa satu dan kemudian delapan
Kāmāvacara Sobhana Vipāka. Seluruhnya ada sebelas. Sebelas Citta memiliki fungsi pencatatan,
Tadārammaṇa.
Sekarang kita ingin mengetahui hal ini dari sudut lain. Kita ingin mengetahui Citta apa yang memiliki
satu fungsi, Citta apa yang memiliki dua fungsi dan seterusnya. Anda dapat melihat jumlah fungsi dari
tiap-tiap Citta dalam Manual (baca CMA, III, Tabel 3.3, p.127). Di sana anda melihat satu, dua, lima, dua
dan seterusnya. Jika kita ingin mecari berapa banyak Citta yang memiliki satu fungsi, maka kita harus
menambahkan jumlah di baris paling bawah di bawah angka satu – dua belas ditambah dua ditambah
dua dan seterusnya. Berapa banyak? Ada banyak. 68 memiliki satu fungsi. Kita dapat memperolehnya
dari Manual.
“Dikatakan bahwa yang melakukan satu fungsi ada 68; …” (CMA, III, §11, p.129)
Itu ada di halaman 129, jadi tidak perlu mencari lebih jauh. Yang memiliki dua fungsi hanya ada dua.
Kemudian lihat dalam buku. Kemudian ada sembilan yang memiliki tiga fungsi. Ada delapan yang
memiliki empat fungsi. Ada dua yang memiliki lima fungsi. Itu saja. Bagus. Jadi Citta satu fungsi ada
68. Citta dua fungsi ada dua. Citta Tiga fungsi ada sembilan. Citta empat fungsi ada delapan. Citta lima
fungsi ada dua.
Mari membahas Citta lima fungsi. Apakah Citta lima fungsi? Yaitu dua Upekkhā Santīraṇa Citta.
Apakah lima fungsi itu? Lima fungsi itu adalah Paṭisandhi, Bhavaṅga, Cuti, penyelidikan dan
pencatatan. Santīraṇa yang disertai dengan Upekkhā memiliki lima fungsi ini. Kelima fungsi ini
dilakukan bukan pada satu momen. Fungsi berbeda dilakukan pada momen berbeda. Pada momen
penghubungan-kembali Citta ini melakukan fungsi penghubungan-kembali dan seterusnya. Di dalam
proses pikiran Citta ini melakukan fungsi penyelidikan serta pencatatan.
Sekarang Citta empat fungsi adalah delapan Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta. Apakah empat fungsi
ini? Yaitu Paṭisandhi, Bhavaṅga, Cuti dan pencatatan.
Citta tiga fungsi adalah sembilan hasil yang Luhur. Itu berarti lima Rūpāvacara Vipāka Citta dan empat
Arūpāvacara Vipāka Citta. Citta-Citta ini memiliki tiga fungsi -- Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti.
Citta yang memiliki dua fungsi adalah Santīraṇa yang disertai dengan Somanassa. Citta ini memiliki
fungsi penyelidikan dan pencatatan. Kemudian ada satu lagi Citta yang memiliki dua fungsi –
pengalihan-pintu-pikiran. Apakah fungsinya? Fungsinya adalah mengalihkan dan memutuskan.
Ketika Manodvārāvajjana muncul melalui lima indria, Citta ini memiliki fungsi memutuskan. Ketika
muncul melalui pintu-pikiran, Citta ini memiliki fungsi mengalihkan.
Baiklah, berikutnya adalah Citta satu fungsi. Fungsi apakah yang dimiliki Akusala Citta? Citta ini
memiliki fungsi Javana. Kesadaran-mata memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi melihat. Kesadaran-
telinga memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi mendengar. Kesadaran-hidung memiliki fungsi
apakah? Memiliki fungsi mencium. Kesadaran-lidah memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi
mengecap. Kesadaran-badan memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi menyentuh. Kesadaran-
menerima memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi menerima. Pengalihan-lima-pintu-indria memiliki
fungsi apakah? Memiliki fungsi mengalihkan. Dan kemudian Hasituppāda (kesadaran yang
menghasilkan senyuman) memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi Javana. Dan kemudian alam-
indriawi yang bermanfaat (Kāmāvacara Kusala) memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi Javana. Dan
kemudian Sahetuka Kāmāvacara Kiriya Citta memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi Javana. Dan
kemudian apakah ini? Citta-Citta bermanfaat yang luhur (Rūpavacara dan Arūpāvacara Kusala)
memikiki fungsi apakah? Memiliki fungsi Javana. Citta-citta fungsional yang Luhur (Rūpāvacara dan
Arūpāvacara Kiriya) memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi Javana. Delapan Lokuttara Citta
memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi Javana. Sekarang kita memiliki jenis-jenis fungsi berbeda
yang dilakukan oleh jenis kesadaran berbeda. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Ini
seperti orang-orang yag bekerja di kantor. Orang-orang berbeda memiliki fungsi berbeda-beda. Satu
orang mengetik. Satu orang mengerjakan pembukuan dan seterusnya. Demikian pula, 89 atau 121 jenis
kesadaran ini memiliki fungsi-fungsi berbeda yang harus dilakukan. Kesadaran-kesadaran itu
melakukan fungsinya sendiri-sendiri.
Yang memiliki fungsi kelahiran kembali, Bhavaṅga dan Cuti ada berapa banyakkah? Ada 19. Apakah
19 itu? Yaitu Santīraṇa Upekkha, Kāmāvacara Sobhana Vipāka, Rūpāvacara Vipāka dan Arūpāvacara
Vipāka. 19 ini melakukan fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti.
Dan kemudian pengalihan dilakukan oleh berapa banyak Citta? Dua melakukan fungsi pengalihan,
pengalihan-lima-pintu-indria dan pengalihan-pintu-pikiran.
Melihat dilakukan oleh dua. Mendengar, mencium, mengecap, menyentuh masing-masing dilakukan
hanya oleh dua. Fungsi menerima juga dilakukan oleh dua. Fungsi penyelidikan dilakukan oleh tiga.
Fungsi memutuskan dilakukan oleh satu, Manodvārāvajjana. Fungsi Javana dilakukan oleh 55 Citta.
Fungsi pencatatan dilakukan oleh sebelas.
Saya ingin anda mampu mengucapkan fungsi-fungsi ini. Sekali lagi Akusala Citta memiliki fungsi
Javana. Kemudian Cakkhu-viññāṇa Citta memiliki fungsi melihat. Sota-viññāṇa Citta memiliki fungsi
mendengar. Ghana-viññāṇa Citta memiliki fungsi mencium. Jivhā-viññāṇa Citta memiliki fungsi
mengecap. Kāya-viññāṇa Citta memiliki fungsi menyentuh. Sampaṭicchana Citta memiliki fungsi
menerima. Somanassa Santīraṇa memiliki dua fungsi – menyelidiki dan mencatat. Dua Upekkhā
Santīraṇa memiliki lima fungsi. Apakah lima fungsi ini? Yaitu Paṭisandhi, Bhavaṅga, Cuti, Santīraṇa
dan Tadārammaṇa. Pañcadvārāvajjana memiliki fungsi mengalihkan. Manodvārāvajjana memiliki
fungsi mengalihkan (Āvajjana) dan memutuskan (Voṭṭhabbana). Hasituppāda memiliki fungsi Javana.
Bagus sekali. Delapan Kāmāvacara Sobhana Kusala Citta berfungsi sebagai Javana. Sahetuka
Kāmāvacara Vipāka memiliki empat fungsi -- Paṭisandhi, Bhavaṅga, Cuti dan mencatat. Kemudian
Kāmāvacara Sobhana Kiriya Citta memiliki fungsi Javana. Rūpāvacara Kusala Citta memiliki satu
fungsi, Javana. Rūpāvacara Vipāka Citta memiliki tiga fungsi. Apakah itu?
Murid: Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti
Sayādaw: Bagus sekali. Dan kemudian Rūpāvacara Kiriya Citta memiliki fungsi Javana. Sekarang
Arūpāvacara Kusala Citta memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi Javana. Dan
kemudian Arūpāvacara Vipāka Citta memiliki tiga fungsi. Karena Citta ini adalah
Vipāka, maka memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Arūpāvacara Kiriya Citta
memiliki fungsi Javana. Seluruh Lokuttara citta memiliki fungsi Javana.
Kita sampai pada akhir bagian ke tiga, “Analisis menurut Fungsi”. Kita hanya melihat tiga bagian ini
hari ini. Topik berikutnya adalah pintu-pintu, dan kemudian objek-objek dan landasan-landasan.
Bagian objek-objek agak rumit.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Dvāra, Pintu-Pintu
Menurut Pintu-Pintu
Ketika kesadaran muncul, kemunculannya bergantung pada kondisi-kondisi berbeda. Agar kesadaran-
mata atau kesadaran melihat dapat muncul terdapat empat kondisi. Harus ada mata. Harus ada objek
terlihat. Harus ada cahaya. Harus ada perhatian. Jadi kesadaran bergantung pada kondisi-kondisi
berbeda untuk dapat muncul. Salah satu kondisi untuk munculnya kesadaran disebut pintu-pintu atau
Dvāra. Jadi mata, telinga, dan seterusnya disebut Dvāra dalam Abhidhamma. Di sini digunakan dalam
makna pintu biasa. Sebuah pintu adalah tempat di mana orang-orang masuk dan keluar. Jika kita ingin
keluar dari rumah, kita menggunakan pintu. Kita melewati pintu. Jika kita ingin memasuki rumah.
Kita melewati pintu. Mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran disebut pintu-pintu atau Dvāra
dalam Abhidhamma karena kesadaran muncul melaluinya. Secara kiasan, kesadaran masuk melalui
mata, telinga dan seterusnya. Objek mengenai pikiran melalui pintu-intu ini. Itulah sebabnya mengapa
disebut pintu.
Ada enam pintu yang diajarkan dalam Abhidhamma. Anda telah mengetahui lima pintu. Pintu pertama
adalah pintu-mata. Yang ke dua adalah pintu-telinga. Ke tiga adalah pintu-hidung. Ke empat adalah
pintu-lidah. Ke lima adalah pintu-badan. Pintu-mata berarti bagian sensitif di dalam mata. Ini disebut
sensitivitas-mata. Bukan keseluruhan bola mata. Ini adalah bagian sensitif dari mata di mana objek-
objek terlihat tertangkap. Ini mungkin adalah retina. Ada banyak partikel materi berdiam di sana. Ini
disebut sensitivitas.
Pintu-telinga bukan berarti keseluruhan telinga, melainkan bagian dalam telinga. Ada sesuatu yang
menyerupai cincin di mana getaran suara tertangkap dan menyebabkan kita mendengar.
Pintu-hidung juga bukan keseluruhan hidung, melainkan bagian sensitif dari hidung yang melaluinya
kita mengalami bau-bauan. Pintu-lidah juga berarti bagian sensitif dari lidah yang melaluinya kta
mengalami rasa kecapan, yaitu, pengecap.
Pintu-badan berbeda. Pintu-mata hanya di mata. Pintu-telinga hanya di telinga. Pintu-hidung hanya
di hidung. Pintu-lidah hanya di lidah. Tetapi pintu-badan adalah seluruh tubuh kecuali ujung rambut,
ujung kuku dan kulit mati. Selain itu sensitivitas-badan berdiam di seluruh tubuh. Itulah sebabnya
mengapa bagian manapun dari badan kita tersentuh, kita merasakan sensasi sentuhan.
Kemudian ada pintu-pikiran. Pintu-pikiran berbeda. Apakah pintu-pikiran? Manual menyatakan
bahwa Bhavaṅga adalah pintu-pikiran. Tidak seperti lima pintu pertama, pintu-pikiran bukanlah
materi melainkan batin. Pintu-mata adalah materi, pintu-telinga, pintu-hidung, pintu-lidah, pintu-
badan semuanya adalah materi. Pintu-pikiran bukanlah materi. Pikiran adalah Nāma. Apakah Nāma?
Di sini ini adalah kesadaran Bhavaṅga. Berapa banyakkah jenis Citta yang memiliki fungsi Bhavaṅga?
19 memiliki fungsi Bhavaṅga – dua Santīraṇa yang disertai dengan Upekkhā, delapan Kāmāvacara
Sobhana Vipāka, lima Rūpāvacara Vipāka dan empat Arūpāvacara Vipāka. Citta-Citta ini memiliki
fungsi penghubungan-kembali, rangkaian-kehidupan dan kematian. Di antara itu pintu-pikiran adalah
Bhavaṅga. Jadi ada 19 Citta.
Ketika objek masa lalu atau objek masa depan tertangkap dalam pikiran, objek itu masuk melalui
pintu-pikiran ini. Ketika kita memikirkan sesuatu di masa lalu, objek itu masuk ke dalam pikiran kita
melalui pintu-pikiran. Objek ini tidak masuk melalui mata, tidak melalui telinga karena objek itu tidak
ada saat ini. Jadi kita tidak dapat melihatnya dengan mata kita atau mendengarnya dengan telinga
kita. Tetapi kita melihat dan kita mendengar dengan pikiran kita. Ketika kita mengalami hal-hal
demikian, objek-objek itu ditangkap oleh pintu-pikiran ini. Dalam Manual asli hanya dikatakan bahwa
Bhavaṅga adalah pintu-pikiran.
Satu Komentar atas Manual menjelaskan bahwa ini berarti pada momen setelah Bhavaṅga yang
bergetar. Ini berarti Bhavaṅga yang tertangkap. Bhavaṅga yang tertangkap adalah apa yang kita harus
pahami sebagai Bhavaṅga di sini. Pintu-pikiran berarti momen Bhavaṅga yang tertangkap itu. Jika
anda ingat proses pikiran, ini membantu. Katakanlah, ada sebuah objek terlihat. Ketika objek terlihat
itu memasuki pikiran, pertama-tama ada Bhavaṅga masa lalu, kemudian Bhavaṅga yang bergetar dan
kemudian Bhavaṅga yang tertangkap. Bhavaṅga yang tertangkap berarti momen ketika Bhavaṅga
berhenti. Komentar itu menjelaskan bahwa Bhavaṅga yang tertangkap adalah momen yang setelahnya
kualitas Citta berubah. Hingga momen itu kualitas Citta adalah tidak aktif. Dan kemudian dengan
munculnya pengalihan-lima-pintu-indria atau pengalihan-pintu-pikiran maka kualitas Citta berubah
menjadi aktif. Komentator menjelaskan bahwa karena ini adalah pintu yang melaluinya objek-objek
masuk atau melaluinya berbagai jenis kesadaran berbeda muncul, maka kita harus menganggapnya di
sini sebagai bermakna bahwa itu adalah Bhavaṅga yang tertangkap.
Tetapi ada guru-guru yang mengajarkan lain. Ledi Sayādaw dan guru-guru lainnya tidak
menganggapnya demikian. Menurut guru-guru itu, karena Manual hanya mengatakan Bhavaṅga dan
bukan Bhavaṅga yang tertangkap, maka Bhavaṅga apapun tanpa membeda-bedakan harus dianggap
sebagai Mano-dvāra. Dalam Komentar atas buku ke dua Abhidhamma dan juga dalam Visuddhimagga
ada sebuah pernyataan dari Yang Mulia Buddhaghosa bahwa pintu dari kelompok kesadaran ke enam
adalah bagian dari landasan-pikiran (Manāyatana) yaitu rangkaian-kehidupan (Bhavaṅga) (baca
Visuddhimagga, §10, p.489).
Jadi di buku ke dua Abdhidhamma dan dalam Visuddhimagga Yang Mulia Buddhaghosa hanya
mengatakan Bhavaṅga. Ia tidak mengatakannya Bhavaṅga yang tertangkap atau Bhavaṅga yang
bergetar.
Tetapi di dalam Tīkā, Komentar atas Visuddhimagga, penulis menjelaskan bahwa karena tidak
mungkin ada Āvajjana, tidak ada pengalihan tanpa Bhavaṅga bergetar, maka kita harus
menganggapnya bahwa apa yang dimaksudkan di sini adalah Bhavaṅga yang bergetar dan tertangkap.
Menurut guru itu, kita dapat menganggapnya bahwa Bhavaṅga yang tertangkap adalah Mano-dvāra.
Jadi kita dapat menganggap apapun yang kita sukai di sini -- Bhavaṅga tanpa membeda-bedakan
adalah Mano-dvāra atau Bhavaṅga yang tertangkap adalah Mano-dvāra.
Dalam Buddhisme atau dalam Abhidhamma terdapat enam pintu yang melaluinya kesadaran muncul.
‘Melaluinya’ sebenarnya bermakna dengan bergantung padanya maka kesadaran mumcul. Seperti
yang anda ketahui, kesadaran tidak tersimpan di dalam mata, tidak tersimpan di dalam objek terlihat,
tidak tersimpan di manapun. Ketika kondisi-kondisi ini bertemu, maka kesadaran muncul. Ini seperti
ketika anda meletakkan sebuah kaca pembesar di bawah cahaya matahari. Ketika sinar matahari
terkumpul dan ada bahan bakar, maka api akan muncul. Api tidak tersimpan di dalam bahan bakar,
tidak di dalam kaca pembesar dan tidak di dalam cahaya matahari. Demikian pula, kesadaran muncul
ketika kondisi-kondisi ini bertemu.
Untuk kesadaran melihat terdapat empat kondisi. Untuk kesadaran mendengar juga ada empat
kondisi. Jadi kesadaran muncul dengan bergantung pada keenam pintu ini.
Ada enam indria di dalam Abhidhamma, bukan hanya lima indria. Indria ke enam dalam Abhidhamma
berbeda dari apa yang secara umum dipahami sebagai indria ke enam. Dalam bahasa umum indria ke
enam bermakna sesuatu seperti intuisi. Tetapi di sini dalam Abhidhamma indria ke enam bermakna
pintu-pikiran, yang adalah Bhavaṅga, rangkaian-kehidupan.
Sekarang kita mengetahui enam pintu. Sekarang kita akan mencari tahu berapa banyak Citta yang
muncul melalui pintu tertentu. Jika anda ingat proses pikiran, ini akan menjadi lebih mudah (baca
CMA,,IV, Tabel 4.1, p.155). Proses pikiran berlangsung seperti ini: Bhavaṅga masa lalu, Bhavaṅga yang
bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap, pengalihan-lima-pintu-indria (Pañcadvārāvajjana), kesadaran
melihat, menerima, menyelidiki, memutuskan, dan kemudian tujuh momen Javana dan dua momen
Tadārammaṇa. kemudian ada Bhavaṅga lagi. Ini adalah proses pikiran kesadaran melihat. Proses
pikiran kesadaran melihat yang muncul melalui pintu-mata.
Berapa banyakkah Citta yang muncul melalui pintu-mata? Mari lihat tabel pada buku halaman 133
(baca CMA, III, Tabel 3.4, p.133). Karena anda memiliki tabel, maka saya tidak perlu menjelaskan. Anda
sudah tahu. Berapa banyakkah Citta yang muncul pada atau melalui pintu-mata? Pertama-tama
dikatakan bahwa pengalihan-lima-pintu-indria muncul. Anda harus mampu menemukan kesadaran
itu pada tabel. Jadi ada pengalihan-lima-pintu-indria dan kemudian kesadaran-mata. Berapa
banyakkah kesadaran-mata yang muncul? Ada dua. Kesadaran apakah selanjutnya? selanjutnya
adalah dua jenis kesadaan penerimaan. Kemudian ada dua kesadaran penyelidikan yang disertai
dengan keseimbangan (Upekkhā). Dan kemudian ada satu kesadaran penyelidikan yang disertai
dengan Somanassa. Dan kemudian ada satu kesadaran keputusan. Kemudian ada Javana-Javana,
Kāmāvacara Sobhana Citta, jadi Kāmāvacara Javana 29 – dua belas Akusala, satu Hasituppāda, delapan
Kāmāvacara Kusala and delapan Kāmāvacara Sobhana Kiriya. 29 disebut Kāmāvacara Sobhana. Dan
kemudian apakah selanjutnya? kemudian ada hasil, Kāmāvacara Sobhana Vipāka delapan. Citta-Citta
ini muncul melalui pintu-mata. Seluruhnya anda memperoleh 46 Citta.
Haruskah saya memberitahu anda metode cepat untuk memahami ini atau membiarkan anda
memahaminya sendiri? Jawabannya adalah 54 Kāmāvacara Citta dikurang delapan. Melalui pintu-
telinga sekali lagi ada 46. Anda menggantikan kesadaran-mata menjadi kesadaran-telinga. Anda
memperoleh dua yang ke dua menggantikan dua pertama. 46 Citta mucul melalui pintu-telinga.
Demikian pula 46 Citta muncul melalui pintu-hidung, pintu-lidah dan pintu-badan.
Ketika kita mengatakan 46 Citta muncul melalui pintu-telinga, kita tidak bermaksud mengatakan
bahwa semua itu muncul pada satu waktu. Beberapa mungkin tidak muncul pada satu waktu. Kita akan
membahasnya nanti.
Mari kita mengambil contoh kesadaran-mata. Dua jenis kesadaran-mata tidak dapat muncul pada saat
yang sama. Jika anda melihat sebuah objek yang disukai, maka di sana akan ada Kusala-vipāka. Jika
anda melihat sebuah objek yang tidak disukai, maka di sama akan ada Akusala-vipāka. Jika kita
mengambil semua Citta yang muncul melalui pintu-mata, maka kita memperoleh 46. Tetapi tidak
semua dari 46 Citta ini muncul pada satu waktu.
Jiks anda mengetahui hal ini, maka anda mengetahui bahwa dalam proses pikiran berapa banyakkah
Citta yang diwakili oleh tiap-tiap momen? Berapa banyakkah Citta yang diwakili oleh
Pañcadvārāvajjana? Hanya satu. Berapa banyakkah Citta yang berfungsi sebagai Cakkhu-viññāṇa atau
kesadaran-mata? Ada dua karena objeknya mungkin disukai atau tidak disukai. Berapa banyakkah
yang muncul sebagai kesadaran penerima? Ada dua yang mungkin muncul. Kesadaran penyelidikan
diwakili oleh berapa banyak Citta? Tiga citta melakukan fungsi penyelidikan. Berapa banyakkah citta
yang berfungsi sebagai Javana? 29 Citta berfungsi sebagai Javana. Berapa banyakkah Citta yang
berfungsi sebagai Tadārammaṇa atau pencatatan? Sebelas Citta melakukan fungsi pencatatan – tiga
penyelidikan dan delapan Kāmāvacara Sobhana Vipāka. Jadi melalui pintu-mata ada 46 Citta. Melalui
pintu-hidung ada 46 Citta. Sebagai pengganti kesadaran-telinga anda menempatkan kesadaran-
hidung. Melalui pintu-lidah da 46. Dan melalui pintu-badan ada 46. Sampai di sini masih mudah.
Sekarang kita sampai pada pintu-pikiran. Ketika Citta-Citta muncul melalui pintu-pikiran, Citta itu
tidak muncul melalui lima pintu-indria. Itu adalah apa yang terjadi ketika anda mengingat sesuatu,
ketika anda memikirkan sesuatu di masa lalu atau di masa depan dan sebagainya. Berapa banyakkah
Citta yang muncul melalui pintu-pikiran? 67 Citta muncul melalui pintu-pikiran. Apakah yang
pertama? Penyelidikan dengan keseimbangan dua, dan kemudian penyelidikan yang disertai dengan
Somanassa (kegembiraan), dan kemudian kesadaran memutuskan, 29 Kāmāvacara Javana (dua belas
Akusala, Hasituppāda, delapan Kāmāvacara Sobhana Kusala dan delapan Kāmāvacara Sobhana Kiriya)
muncul dalam proses pikiran alam-indriawi, dan kemudian Javana Luhur dan Adi-duniawi 26 muncul
melalui pintu-pikiran dalam proses pikiran Luhur dan Adi-duniawi. Javana Luhur dan Adi-duniawi
adalah lima Rūpāvacara Kusala, lima Arūpāvacara Kiriya, empat Arupāvacara Kusala, empat
Arūpāvacara Kiriya dan delapan Lokuttara Citta. Jadi seluruhnya ada 26.
Mohon dicatat bahwa nanti kita akan menyebut 26 Citta ini sebagai ‘Appanā’. Jika kita ingin
merujuknya secara keseluruhan, maka kita akan mengatakan Appanā Javana, 26 Appanā Javana.
Dan kemudian kelompok terakhir adalah Kāmāvacara Sobhana Vipāka delapan, hasil alam-indriawi.
Jadi seluruhnya kita memperoleh 67.
Mari melihat pada tabel pada bagian yang muncul melalui pintu-pikiran (baca CMA, III, Tabel 3.4,
p.133). kita telah menemukan Citta-Citta itu. Yaitu penyelidikan yang disertai dengan keseimbangan
penyelidikan yang disertai dengan kegembiraan, kesadaran memutuskan, Kāmāvacara Javana dan
kemudian Appanā Javana (Javana Luhur dan Adi-duniawi), dan kemudian Kāmāvacara Sobhana Vipāka
delapan. Jadi seluruhnya ada 67 jenis kesadaran. 67 jenis kesadaran ini muncul melalui pintu-pikiran.
Kemudian ada jenis kesadaran bebas-pintu. Ini berarti kesadaran itu tidak muncul melalui pintu
manapun. Kesadaran itu tidak muncul melalui pintu-mata, pintu-telinga, dan sebagainya. kesadaran
itu muncul tanpa pintu. Mengapakah? Kesadaran dapat muncul tanpa pintu. Ada 19 Citta yang
memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti kita mengatakan pintu-pikiran adalah Bhavaṅga.
Bhavaṅga itu sendiri adalah pintu. Jadi sebuah pintu tidak akan muncul melalui sebuah pintu.
Ada tiga alasan yang diberikan dalam Komentar. Alasan pertama adalah bahwa Citta-Citta ini tidak
muncul melalui lima pintu karena Citta-Citta ini muncul melalui pintu-pikiran. Karena Citta-Citta itu
sendiri adalah pintu maka tidak memerlukan pintu lain. Citta-citta itu tidak memerlukan objek
tertentu, melainkan mengambil objek yang dibawa dari kehidupan lampau. Untuk hal ini anda harus
memahami Kamma, Kamma-nimitta dan Gati-nimitta. Karena Citta-Citta itu mengambil objek yang
dibawa melalui Javana selama proses pikiran kematian dalam kehidupan sebelumnya, maka Citta-Citta
itu tidak mengambil objek apapun dalam kehidupan sekarang. Karena tidak mengambil objek apapun
dalam kehidupan sekarang, maka tidak memerlukan Dvāra. Tidak memerlukan pintu. Jadi Citta-Citta
ini yang memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti dikatakan bebas dari pintu-pintu. Citta-Citta
itu sendiri adalah pintu, maka tidak muncul melalui pintu-pintu. Ada 19 Citta yang bebas-pintu.
Apakah 19 Citta itu? Dua kesadaran-penyelidikan yang disertai dengan Upekkhā, dan kemudian
Kāmāvacara Sobhana Vipāka delapan, Rūpāvacara Vipāka lima, Arūpāvacara Vipāka empat atau
Vipāka Luhur sembilan, Mahaggata Vipāka sembilan, semua ini adalah Citta-Citta bebas–pintu.
Satu bagian membantu bagian lainnya. Itulah sebabnya menagapa saya meminta anda untuk
membiasakan diri dengan bab sebelumnya atau bagian sebelumnya sehingga anda dapat dengan
mudah memahami apa yang diajarkan berikutnya.
Mari kita kembali kepada kesadaran pintu-mata yang muncul melalui pintu-mata. Tidak seluruh 46
Citta akan muncul pada satu momen. Itu anda sudah tahu. Sehubungan dengan beberapa Citta di
antaranya, katakanlah kesadaran-mata. Jika objeknya tidak disukai, maka Akusala-vipāka akan
muncul, jika objeknya disukai, maka Kusala-vipāka akan muncul. Jadi dengan bergantung pada
kualitas objeknya maka jenis-jenis kesadaran ini muncul satu pada satu waktu. Sekali lagi jika objeknya
tidak disukai, maka kesadaran penerimaan akan menjadi Akusala-vipāka. Jika disukai, maka akan
menjadi Kusala-vipāka.
Kita juga memiliki penyelidikan. Ada sedikit perbedaan pada penyelidikan. Jika objeknya adalah
sangat disukai, maka kesadaran penyelidikan akan disertai dengan Somanassa. Jika disukai secara
biasa, maka akan disertai dengan Upekkhā. Saya pikir saya telah menjelaskannya pada bab satu.
Selanjutnya Javana. Ketika kita sampai pada momen Javana, kita mungkin memiliki apakah Javana
Kusala, Kiriya atau Akusala. Apakah objeknya disukai atau tidak disukai, kita dapat memiliki Javana
Kusala atau Akusala. Kita memiliki Kusala, Kiriya atau Akusala Citta dengan bergantung pada apakah?
Dengan bergantung pada sikap kita terhadap segala sesuatu. Dalam Pāḷi disebut Yoniso-manasikāra.
Jika kita memiliki perhatian benar (yang berarti jika kita memiliki sikap yang benar terhadap segala
sesuatu), maka kita akan memiliki Kusala walaupun objeknya mungkin tidak disukai. Bahkan
walaupun kita melihat sesuatu yang buruk, walupun kita melihat apa yang tidak ingin kita lihat,
momen Javana dapat berupa Kusala jika kita memiliki Yoniso-manasikāra. Dengan adanya Yoniso-
manasikāra atau ketiadaan Yoniso-manasikāra maka akan ada apakah Javana Kusala atau Javana
Akusala.
Ketika jenis-jenis kesadaran ini muncul di alam Kāmāvacara, maka Tadārammaṇa juga muncul. Di
alam Rūpāvacara dan alam Arūpāvacara, Tadārammaṇa tidak muncul. Dalam kasus ini kesadaran
melihat hanya muncul di alam Rūpāvacara karena tidak ada jasmani di alam Arūpāvacara, tetapi tidak
akan ada Tadārammaṇa dalam proses pikiran makhluk-makhluk itu.
Dengan bergantung pada kualitas individu – jika Citta-Citta ini muncul dalam batin kaum Putthujjana
dan tiga individu mulia yang lebih rendah (Sekkha) Javana apakah yang akan muncul, Javana Akusala,
Kusala atau Kiriya? Javana Kusala atau Javana Akusala akan muncul. Tetapi pada para Arahant ketika
kesadaran-kesadaran ini muncul, akan ada hanya Javana Kiriya. Dengan bergantung pada jenis objek
apa, dengan bergantung di mana, di alam apa, maka jenis-jenis kesadaran ini muncul, dan pada
individu-individu apa kesadaran-kesadaran ini muncul, dan dengan bergantung pada ke-ada-an atau
ketiadaan Yoniso-manasikāra, maka kesadaran menjadi berbeda.
Selanjutnya pintu-pikiran. Ada 67 jenis kesadaran yang muncul melalui pintu-pikiran. Harap
mengingat fungsi-fungsinya. Yang pertama adalah kesadaran-penyelidikan yang disertai dengan
Upekkhā. Kesadaran itu muncul melalui pintu-pikiran ketika memiliki fungsi apakah? Pertama-tama
anda harus mengetahui berapa banyak fungsi yang dimiliki kesadaran itu. Kesadaran itu memiliki lima
fungsi. Yaitu penghubungan-kembali (Paṭisandhi), Bhavaṅga, Cuti, penyelidikan (Santīraṇa) dan
pencatatan (Tadārammaṇa). tetapi ketika muncul melalui pintu-pikiran, berapa banyakkah fungsi
yang dimiliki? Apakah memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti? Tidak. Ketika kita mengatakan
bahwa kesadaran penyelidikan disertai dengan Upekkhā muncul melalui pintu-pikiran, yang
dimaksudkan adalah ketika kesadaran itu memiliki fungsi pencatatan. Ketika berfungsi sebagai
Santīraṇa, maka kesadaran itu muncul melalui lima pintu-indria.
Sekarang Kāmāvacara Sobhana Vipāka. Berapa banyakkah fungsi yang dimiliki Kāmāvacara Vipāka
Citta? Empat fungsi -- Paṭisandhi (penghubungan-kembali), Bhavaṅga, Cuti dan pencatatan
(Tadārammaṇa). di sini juga ketika delapan Kāmāvacara Citta ini memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga
dan Cuti, Citta-Citta ini tidak muncul dalam pintu-pikiran. Hanya ketika fungsinya adalah pencatatan,
maka Citta-Citta ini muncul melalui pintu-pikiran.
Ada 67 jenis kesadaran yang muncul melalui pintu-pikiran, tetapi kita harus memahami sehubungan
dengan fungsi-fungsinya. Ketika kita mengatakan kesadaran-penyelidikan yang disertai dengan
kesimbangan muncul melalui pintu-pikiran, yang dimaksudkan adalah ketika kesadaran itu memiliki
fungsi pencatatan. Ketika kesadaran itu berfungsi sebagai Santīraṇa, maka Citta itu muncul melalui
pintu-pintu indria. Ini serupa dengan Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta.
Mari kita melihat pada bebas-pintu. Kesadaran penyelidikan yang disertai keseimbangan kadang-
kadang adalah bebas-pintu. Ketika bebas-pintu, kesadaran ini memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga
dan Cuti. Walaupun Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta memiliki empat fungsi, ketika bebas-pintu
Citta-Citta itu akan memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Kesadaran penyelidikan yang
disertai dengan keseimbangan dan Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta harus dipahami sehubungan
dengan fungsi-fungsinya. Yang terakhir adalah sembilan Citta hasil yang Luhur. Citta-Citta ini hanya
memiliki tiga fungsi, jadi Citta-Citta adalah selalu bebas-pintu. Citta penyeledikian yang disertai
dengan Upekkhā dan Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta kadang-kadang adalah bebas-pintu. Kadang-
kadang Citta-Citta ini muncul melalui pintu-pikiran dan kadang-kadang sama sekali tanpa melalui
pintu.
Sekarang kita akan mencari Citta yang manakah yang muncul hanya melalui satu pintu, Citta manakah
yang melalui lima pintu, Citta manakah yang melalui enam pintu dan Citta manakah yang muncul
tanpa melalui pintu. Manual mengatakan,
“36 jenis kesadaran muncul melalui satu pintu, …” (CMA, III, §15, p.134)
Untuk kesadaran satu-pintu pasti ada 36. Dapatkah anda menemukannya? Seluruhnya ada 36. 36 jenis
kesadaran ini muncul pada hanya satu pintu. Kesadaran-mata muncul pada pintu-mata saja.
Kesadaran-telinga muncul pada pintu-telinga saja dan seterusnya. Kesadaran-badan muncul pada
pintu-badan saja. Dan 26 Javana Luhur dan Adi-duniawi muncul melalui pintu-pikiran saja. Itu adalah
Citta-Citta yang muncul melalui satu pintu saja. Satu pintu dari satu Citta berbeda dari Citta lainnya.
Tetapi Citta itu melalui hanya satu pintu – pintu-mata, pintu-telinga, dan seterusnya. Berapa
banyakkah Citta yang muncul melalui satu pintu? 36 Citta muncul melalui satu pintu. Berapa
banyakkah yang muncul pada dua pintu? Tidak ada yang muncul melalui dua pintu. Berapa banyakkah
yang muncul pada tiga pintu? Tidak ada yang muncul pada tiga pintu. Pada empat pintu? Tidak ada
yang muncul pada empat pintu. Berapa banyakkah Citta yang muncul melalui lima pintu? Hanya tiga
yang muncul melalui lima pintu. Apakah tiga ini? Yaitu pengalihan-lima-pintu-indria dan dua
kesadaran penerimaan. Ketiga ini muncul melalui lima pintu-indria.
Jika kita telah mempelajari proses pikiran pintu-pikiran, hal ini akan menjadi lebih jelas. Dalam proses
pikiran pintu-pikiran tidak ada Pañcadvārāvajjana dan tidak ada Sampaṭicchana (baca CMA, IV, Tabel
4.3, p.166). Tiga jenis kesadaran muncul melalui lima indria. ‘Lima indria’ berarti pintu-mata, -telinga,
-hidung, -lidah dan -badan. Tiga ini adalah Pañcadvārāvajjana dan dua Sampaṭicchana.
Ketiga ini secara kolektif disebut Mano-dhātu. Ini harap diingat. Nanti kita akan menggunakan istilah
ini untuk ketiga jenis kesadaran ini. Kapanpun kita mengatakan Mano-dhātu, harap dipahami bahwa
yang dimaksudkan adalah ketiga jenis kesadaran ini – Pañcadvārāvajjana dan dua Sampaṭicchana
Citta.
Kemudian ada Citta-Citta yang muncul melalui enam pintu. Di sini kita akan membedakan Citta yang
selalu muncul melalui enam pintu dan yang kadang-kadang muncul melalui enam pintu. Manual
mengatakan,
“36 Jenis kesadaran muncul melalui satu pintu, tiga melalui lima pintu, 31 muncul melalui enam pintu,
…” (CMA, III, §15, p.134)
Itu berarti 31 Citta muncul selalu melalui enam pintu. Penyelidikan yang disertai dengan kegembiraan,
keputusan dan 29 Kāmāvacara Javana muncul selalu melalui enam pintu. 31 Citta ini muncul selalu
melalui enam pintu.
Kemudian berapa banyakkah Citta yang muncul kadang-kadang melalui enam pintu? Itu berarti
muncul kadang-kadang melalui enam pintu dan kadang-kadang bebas-pintu. Kāmāvacara Sobhana
Vipāka Citta dan Upekkhā Santīraṇa Citta muncul kadang-kadang melalui enam pintu.
Kita akan mengulangi sekali lagi. Berapa banyakkah Citta yang muncul melalui hanya satu pintu saja?
36 Citta muncul melalui hanya satu pintu saja. Berapa banyakkah Citta lima-pintu? Ada tiga Citta yang
muncul melalui lima pintu. Berapa banyakkah Citta yang muncul selalu melalui enam pintu? 31 Citta
muncul selalu melalui enam pintu. Berapa banyakkah Citta yang muncul kadang-kadang melalui enam
pintu? Sepuluh Citta muncul kadang-kadang melalui enam pintu. Berapa banyakkah Citta yang selalu
bebas-pintu? Sembilan Citta selalu bebas-pintu. Berapa banyakkah Citta yang kadang-kadang bebas-
pintu? Sepuluh Citta kadang-kadang bebas-pintu.
Mari melihat pada kesadaran keputusan. Berapa banyakkah pintu bagi munculnya kesadaran
keputusan? Kesadaran keputusan muncul melalui seluruh enam pintu. Apakah Citta keputusan? Yaitu
pengalihan-pintu-pikiran. Berapa banyakkah fungsi yang dimiliki? Dua fungsi – mengalihkan dan
memutuskan. Ketika memiliki fungsi pengalihan, Citta ini muncul melalui pintu-pikiran. Inilah
perbedaannya. Walaupun kita mengatakan bahwa Citta ini muncul melalui seluruh enam pintu,
namun memiliki fungsi berbeda. Ketika muncul melalui lima pintu (pintu-mata, pintu-telinga, pintu-
hidung, pintu-lidah, pintu-badan), Citta ini memiliki fungsi memutuskan. Ketika muncul melalui
pintu-pikiran, Citta ini memiliki fungsi mengalihkan, Citta ini mengambil tempat Pañcadvārāvajjana.
Dalam proses pikiran pintu-pikiran kita tidak memiliki Pañcadvārāvajjana. Sebagai gantinya kita
memiliki Manodvārāvajjana, pengalihan pintu-pikiran.
Baiklah, ada 36 Citta satu-pintu. Dapatkah anda menemukannya? Kesadaran-mata, kesadaran-telinga,
kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan dan kemudian Appanā Javana (Javana Luhur
dan Adi-duniawi) adalah Citta-Citta yang muncul melalui satu pintu. Seluruhnya ada 36 Citta satu-
pintu. Itu berarti Dvipañcaviññāṇa dan 26 Appanā Javana.
Hanya ada tiga Citta lima-pintu. Yaitu Pañcadvārāvajjana dan dua Sampaṭicchana.
Ada 31 Citta yang selalu enam-dvāra. Penyelidikan yang disertai dengan kegembiraan,
Manodvārāvajjana, 29 Kāmāvacara Javana yang muncul selalu melalui enam pintu.
Ada 10 Citta yang muncul kadang-kadang melalui enam pintu – penyelidikan yang disertai dengan
Upekkhā dan Kāmāvacara Sobhana Vipāka delapan.
Ada sembilan yang muncul selalu tanpa pintu. Yaitu Rūpāvacara Vipāka lima dan Arūpāvacara Vipāka
empat.
Ada sepuluh yang muncul kadang-kadang tanpa pintu. Yaitu penyelidikan yang disertai dengan
Upekkhā dan Kāmāvacara Sobhana Vipāka delapan.
Jadi kita memperoleh seluruh Citta dengan masing-masing Dvāra. Ini adalah Citta-citta yang dianalisis
menurut Dvāra (menurut pintu).

Menurut Objek
Mari melanjutkan pada bagian Objek. Analisis menurut pintu tidak begitu sulit. Tidak begitu rumit.
Jika anda ingat, itu mudah. Apa yang penting adalah bahwa anda mengingat apa yang telah anda
pelajari. Sekarang kita merujuk kembali pada fungsi. Untuk memahami analisis menurut pintu kita
harus mengetahui fungsi. Jika kita mengetahuinya, bagian ini menjadi mudah.
Bagian berikutnya adalah tentang objek-objek. Objek-objek adalah rumit. Objek-objek disebut
Ārammana atau Ālambana. Ada dua kata yang bermakna sama, yang berarti objek. Anda dapat melihat
kata ‘Ārammaṇa’ dalam Manual. Ārammaṇa berarti sesuatu yang disukai Citta dan Cetasika. Ketika ada
objek, maka Citta selalu muncul. Citta tidak dapat muncul tanpa objek. Karena Citta tidak dapat hidup
tanpa objek, maka dikatakan menyukai objek.
Kata lainnya adalah Ālambana. Ini berarti memegang. Citta tidak dapat muncul tanpa objek karena
definisi Citta adalah kesadaran atas objek. Karena ini adalah kesadaran atas objek maka tidak dapat
muncul tanpa objek. Karena Citta perlu memegang objek untuk dapat muncul, maka objek disebut
dalam Pāḷi sebagai ‘Ālambana’. Ini diumpamakan sebagai tongkat yang digunakan orang tua, jika anda
tidak dapat berjalan dengan baik, maka anda menggunakan tongkat untuk menopang diri anda. Atau
ini diumpamakan sebagai tali yang direntangkan antara dua tempat. Jika anda buta atau kesulitan
dalam berjalan, maka anda berpegangan pada tali dan berjalan. Maka objek-objek adalah apa yang
dipegang oleh Citta dan Cetasika. Karena itu maka disebut Āḷambana. Kedua kata ini digunakan dalam
buku-buku Abhidhamma.
Menurut Abhidhamma, ada enam jenis objek. Lima pertama anda sudah tahu. Apakah lima pertama?
Yaitu objek terlihat atau bentuk terlihat, suara, bau-bauan, rasa kecapan dan sentuhan. Bentuk
terlihat adalah satu properti materi. Ada 28 properti materi dijelaskan dalam bab enam. Bentuk
terlihat adalah satu properti materi. Suara adalah properti materi lainnya. Bau-bauan adalah properti
materi lainnya lagi. Rasa kecapan adalah properti materi lainnya lagi. Sentuhan agak berbeda. Objek
sentuhan diidentifikasikan dengan tiga atau empat elemen utama. Empat elemen utama adalah elemen
tanah, elemen air, elemen api, elemen udara. Di antara empat ini elemen air tidak dapat disentuh.
Elemen ini tidak tersentuh. Anda tidak dapat menyentuh elemen air. Apa yang kita maksudkan sebagai
objek sentuhan, apa yang kita maksudkan sebagai sesuatu yang dapat disentuh adalah hanya
kombinasi dari ketiga elemen lainnya – elemen tanah, elemen api dan elemen udara. Kapanpun kita
mengatakan objek sentuhan, kapanpun kita mengatakan sentuhan, yang kita maksudkan adalah
ketiga hal tersebut. Tiga ini disebut elemen utama atau elemen dasar. Properti materi lainnya disebut
Upādā-rūpa, properti yang bergantung. Mereka menggunakan kata ‘diturunkan’. Dan saya tidak
meyukai kata ‘diturunkan’. Kita harus menyebutnya properi yang bergantung. Maka objek terlihat,
suara, bau-bauan dan rasa kecapan adalah termasuk yang bergantung. Objek-objek ini termasuk di
antara 24 yang bergantung. Tetapi sentuhan atau objek sentuhan adalah termasuk tiga elemen utama.
Jadi menurut Abhidhamma, elemen air tidak dapat disentuh.
“… menurut Abhidhmma, (elemen-air) tidak dapat dialami sebagai data sentuhan tetapi hanya dapat
dikenali melalui pintu-pikiran.” (CMA, III Tuntunan §16, p.136)
Karakteristik elemen-air adalah mengalir atau kohesi. Aliran aatau kohesi itu tidak dapat kita sentuh.
Ketika kita meletakkan tangan ke dalam air, kita merasakan sentuhan air. Itu bukan elemen-air,
melainkan ketiga elemen lainnya. Kita merasakan air itu panas atau dingin. Apa yang kita rasakan
adalah elemen api. Tetapi elemen kohesi tidak dapat kita sentuh. Itu hanya dapat dipahami melalui
pikiran. Jadi sekarang ada objek terlihat, suara, bau-bauan, rasa kecapan dan sentuhan. Kelima ini
hanyalah properti materi.
Yang terakhir disebut ‘Objek Dhamma’. Dalam buku ini, CMA, diterjemahkan sebagai ‘objek pikiran’.
Ini tidak sangat akurat, tetapi saya pikir kita dapat mempertahankan penggunaannya jika kita
mendefinisikan ‘objek pikiran’ di sini sebagai bermakna selain dari lima objek-indria. Jadi kita dapat
menggunakan objek pikiran. Tetapi saya lebih suka membiarkannya tidak diterjemahkan dan hanya
menyebutnya objek Dhamma.
Objek Dhamma bukan hanya satu. Ada berapa banyakkah objek Dhamma? Ada enam jenis objek
Dhamma. Yang pertama disebut materi sensitif. Pintu-mata adalah materi sensitif. Pintu-mata berarti
sensitivitas-mata. Jadi ada sensitivitas-mata, sensitivitas-telinga, sensitivitas-hidung, sensitivitas-
lidah, sensitivitas-badan. Ini disebut objek-objek Dhamma. Sensitivitas-mata dan seterusnya tidak
dapat dilihat dengan mata. Kita dapat mengalaminya hanya melalui pikiran.
Kemudian jenis ke dua dari objek Dhamma adalah materi halus. Di antara 28 properti materi dua belas
dikatakan sebagai kasar dan enam belas dikatakan sebagai halus. Salah satunya adalah elemen-air.
Elemen-air dikatakan sebagai materi halus. Maskulinitas dan feminitas, landasan-jantung, nutrisi
adalah hal-hal lainnya yang dikatakan sebagai materi halus. Ada enam belas properti materi halus dan
dua belas properti materi kasar. Di sini yang dimaksudkan adalah properti materi halus.
Dan kemudian Citta, segala jenis Citta, adalah objek Dhamma. Sekarang berbagai jenis materi, apakah
sensitif atau halus atau kasar selalu adalah objek. Hal-hal ini tidak dapat mengambil objek karena hal-
hal itu sendiri adalah objek dan tidak memiliki kemampuan kognisi. Tetapi Citta berbeda. Citta dapat
mengambil objek dan juga dapat dianggap sebagai objek. Di sini Citta termasuk dalam objek-objek
Dhamma. Karena anda semua adalah meditator, saya tidak perlu menjelaskan secara terperinci. Anda
berlatih meditasi dan anda berusaha untuk penuh perhatian pada pikiran anda yang bepergian kesana
kemari. Demikianlah satu Citta menjadi objek bagi Citta lainnya. Sekarang anda mencatat. Itu adalah
satu Citta, Citta mencatat. Dan kemudian Citta yang dicatat, itu adalah Citta lainnya, Citta yang dicatat.
Jadi Citta dapat menjadi subjek dan objek tetapi tidak pada waktu yang sama. Satu Citta tertentu tidak
dapat menjadi subjek dan objek pada waktu yang sama. Jadi Citta termasuk dalam objek-objek
Dhamma karena tidak termasuk dalam lima objek indria lainnya (pemandangan, suara, bau-bauan,
rasa kecapan, sentuhan).
Cetasika juga dapat menjadi objek bagi Citta. Ketika Cetasika menyertai Citta yang mencatat, maka
Cetasika termasuk sebagai subjek. Ketika Cetasika termasuk sebagai Citta yang mencatat, maka
Cetasika itu juga adalah objek. Ketika anda berlatih meditasi, anda menyadari kemelekatan anda atau
kemarahan anda, atau anda penuh perhatian pada beberapa emosi atau perasaan. Kemudian Cetasika
menjadi objek bagi Citta anda. Cetasika hanya dapat dialami melalui pintu-pikiran.
Berikutnya adalah Nibbāna. Nibbāna hanya dapat terlihat melalui pintu-pikiran. Ini juga adalah objek
Dhamma.
Berikutnya adalah konsep. Ini berarti realitas konvensional, kebenaran konvensional, seperti laki-laki,
perempuan, rumah, mobil dan sebagainya. ini disebut konsep. Konsep-konsep ini juga dialami atau
diketahui melalui pintu-pikiran, bukan melalui pintu-mata. Ini aneh. Saya melihat ini dan saya tidak
melihat ini. Saya tidak melihat mikrofon atau saya melihat mikrofon – yang manakah yang benar?
Keduanya benar. Dalam makna konvensional adalah benar bahwa saya melihat mikrofon. Dalam
makna mutlak tidak ada mikrofon hanya ada partikel-partikel materi. Mikrofon adalah konsep.
Konsep hanya dapat dipahami melalui pintu-pikiran, bukan melalui pintu-mata.
Untuk melihat sesuatu anda memerlukan jenis proses pikiran berbeda. Anda memerlukan lima jenis
proses pikiran. Dua pertama mengambil realitas mutlak sebagai objek. Tiga lainnya mengambil konsep
sebagai objek. Hanya setelah kelima ini atau hanya pada momen proses pikiran ke lima maka anda
mengetahui – saya melihat mikrofon; saya melihat mobil; saya melihat seorang laki-laki. Konsep laki-
laki, perempuan, mobil atau mikrofon diketahui melalui pintu-pikiran, bukan melalui pintu-mata,
pintu-telinga, dan sebagainya.
Enam ini disebut objek-objek Dhamma. Anda boleh menyebutnya objek-objek pikiran, selama anda
memahami terdiri dari apa objek pikiran itu. Sekali lagi berapa banyakkah objek-objek pikiran? Ada
enam jenis ‘objek pikiran’ atau objek Dhamma. Yaitu materi sensitif, materi halus, Citta, Cetasika,
Nibbāna dan konsep.
Kita akan berhenti di sini. Ada enam objek. Harap pahami enam objek ini. Objek pertama adalah objek
terlihat. Anda sudah mengetahuinya. Objek ke dua adalah suara. Ini jelas. Dan kemudian ada bau-
bauan, rasa kecapan, sentuham. Ini mudah dipahami. Kemudian objek-objek Dhamma adalah materi
sensitif, materi halus, Citta, Cetasika, Nibbāna dan konsep. Minggu depan kita akan mempelajari Citta
apa mengambil objek apa.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Murid: Kita memiliki 19 Citta yang melakukan fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Kita
memiliki delapan Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta, empat yang bergabung dengan
pengetahuan dan empat tidak bergabung dengan pengetahuan. Apakah Komentar
menjelaskan lebih jauh apa yang terjadi ketika kita memiliki Paṭisandhi yang
bergabung dengan pengetahuan atau Paṭisandhi yang tidak bergabung dengan
pengetahuan? Juga kita memiliki dua penyelidikan dengan Upekkhā, satu dengan
Kusala dan satu dengan Akusala, dapatkah kita mengetahui ketika seseorang memiliki
Paṭisandhi dengan Kusala atau seorang dengan Akusala? Apakah Komentar
memberikan penjelasan lebih lanjut?
Sayādaw: Dapatkah anda menunggu? Jika anda tidak dapat menunggu, anda harus membaca bab
lima. Di sana dijelaskan. Jika seseorang terlahir di empat alam sengsara, maka
Paṭisandhi-nya adalah Akusala-vipāka Upekkhā Santīraṇa. jika seseorang terlahir
sebagai manusia tetapi terlahir buta atau tuli atau lainnya, maka Paṭisandhi-nya dapat
berupa Kusala-vipāka Upekkhā Upekkhā Santīraṇa. itu dijelaskan di sana.
Murid: Ketika kita mengingat sesuatu dan kita melihatnya dalam pikiran, kita tidak
melihatnya melalui pintu-mata? Tetapi jika kita melihatnya – saya tidak mengerti.
Sayādaw: Itu benar. Itu karena anda tidak melihatnya dengan mata anda. Bahkan jika anda
menutup mata, anda masih dapat melihat gambaran itu dalam pikiran anda. Itu berarti
anda tidak melihatnya dengan mata anda.
Murid: jadi yang manakah di antara enam objek yang kita lihat?
Sayādaw: ini dapat berupa objek apa saja. Jadi anda melihat sesuatu, anda dapat mengingatnya
atau sesuatu yang anda dengar. Jadi seseorang telah mengatakan sesuatu dan sekarang
anda mendengarnya bukan melalui telinga, melainkan dalam pikiran anda.
Sebenarnya melalui pintu-pikiran tidak ada objek yang tidak dapat dialami, kecuali
objek yang terlihat saat ini dan seterusnya. Objek-objek ini dapat dialami melalui lima
indria dan juga pintu-pikiran.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Kelima objek ini termasuk dalam tiga waktu – masa lalu, masa sekarang dan masa
depan. Objek masa sekarang adalah objek dari proses pikiran pintu-mata, proses
pikiran pintu-telinga dan seterusnya. Objek terlihat masa lalu dan masa depan,
misalnya, adalah objek dari pintu-pikiran. Melalui pintu-pikiran anda melihat atau
mendengar objek. Ketika objek itu dibawa melalui pintu-pikiran, biasanya objek itu
adalah masa lalu atau masa depan. Tetapi jika anda memiliki Abhiññā, maka anda
dapat melihat sesuatu yang jauh dengan pikiran anda atau anda dapat mendengar
sesuatu yang jauh dengan pikiran anda. Dalam kasus demikian apa yang anda lihat dan
apa yang anda dengar juga adalah masa sekarang. Kadang-kadang objeknya adalah
masa lalu atau masa depan, dan kadang-kadang objeknya adalah masa sekarang.
Murid: Bhante, Saya tidak yakin dengan Citta-Citta sehubungan dengan apakah Kusala atau
Akusala. Saya akan memberikan sebuah contoh. Mungkin ada lagu yang kita dengar.
Pada satu kesempatan kita menikmatinya dan kita ingin mendengarnya. Pada
kesempatan lain kita tidak ingin mendenagrnya, jadi ini menciptakan sensasi tidak
menyenangkan karena kita tidak ingin mendengarnya. Ini adalah musik yang sama.
Dikatakan bahwa ini adalah objek yang disukai dan tidak disukai, tetapi kita dapat
memiliki reaksi berbeda terhadap objek yang sama.
Sayādaw: Kualitas objek pertama kali ditentukan oleh orang-orang pada umumnya. Tetapi
beberapa orang mungkin memganggap suatu objek yang disukai sebagai tidak disukai
atau suatu objek yang tidak disukai sebagai disukai. Itu bergantung pada reaksi kita.
Pada satu kesempatan saya menyukainya. Pada kesempatan lainnya saya bosan dan
tidak menyukainya. Jadi pada satu kesempatan itu disukai dan saya bereaksi dengan
Lobha. Pada kesempatan lainnya saya tidak menyukainya, maka saya bereaksi dengan
ketidaksenangan. Jadi pada waktu berbeda Citta yang berbeda dapat muncul. Juga saya
mungkin memiliki Yoniso-manasikāra. Kualitas objek dapat beragam antara individu
dan juga antara binatang dan manusia. Beberapa objek adalah disukai oleh binatang
teetapi tidak disukai oleh manusia. Objek yang disukai atau tidak disukai terutama
bergantung pada individunya. Dalam Komentar dikatakan bahwa kualitas objek
ditentukan oleh orang-orang pada umumnya.
Murid: Apakah yang menentukan reaksi saya? Apakah kondisi batin saya sebelumnya yang
menentukan Kusala Citta akan muncul dan bukan Akusala Citta?
Sayādaw: Adalah Yoniso-manasikāra yang menentukan apakah Javana yang muncul adalah
Kusala atau Akusala. Ini adalah objek yang disukai. Ini adalah objek yang disukai
seperti yang ditentukan oleh kebanyakan orang. Tetapi saya mungkin tidak
menyukainya. Saya memiliki proses pikiran melihat. Momen melihat, menerima dan
menyelidiki dan seterusnya akan bergantung pada kualitas objek, kualitas sejati dari
objek. Itu berarti kualitas rata-rata dari objek. Javana saya akan bergantung bukan
pada kualitas sejati objek, melainkan pada reaksi saya terhadap objek. Pada musim
dingin, panas adalah disukai. Di musim panas, panas adalah tidak disukai – bukan di
San Francisco, tetapi di negara kami. Jadi ini bergantung pada waktu juga.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

Ārammaṇa
Hari ini kita sampai pada “Analisis menurut objek-objek”. Ada enam jenis objek. Anda semua
mengetahui enam jenis objek ini. Yang pertama adalah objek terlihat. Yang ke dua adalah objek
terdengar. Yang ke tiga adalah objek beraroma. Yang ke empat adalah objek kecapan. Yang ke lima
adalah objek sentuhan. Dengan kata lain yaitu pemandangan, suara, bau-bauan, rasa kecapan dan
sentuhan. Dan sentuhan adalah kombinasi dari tiga elemen utama – elemen tanah, elemen-api dan
elemen-angin.
Kemudian yang terakhir adalah objek Dhamma. Ada enam jenis objek Dhamma. Apakah yang pertama?
Lima sensitivitas – sensitivitas-mata, sensitivitas-telinga, dan seterusnya – adalah satu jenis objek
dhamma. Berikutnya ada 16 jenis materi halus. Yang ke tiga adalah Citta dan ke empat adalah Cetasika.
Ke lima adalah Nibbāna. Ke enam adalah konsep atau Paññatti. Keenam jenis objek ini secara kolektif
disebut objek-objek Dhamma.
Mari kita melihat pada “Klasifikasi menurut Pintu-pintu” pada CMA halaman 136. Berapa banyakkah
Citta yang muncul pada pintu-mata? 46 Citta dapat muncul melalui pintu-mata. Segala jenis kesadaran
yang muncul melalui pintu-mata mengambil objek terlihat sebagai objeknya. Objek terlihat tidak
hanya diambil oleh kesadaran-mata tetapi juga oleh jenis kesadaran lainnya dalam proses pikiran itu.
Harap visualisasikan proses pikiran (baca CMA, IV, Tabel 4.1, p.155). Ada pengalihan-lima-pintu-indria,
kesadaran melihat, kesadaran penerimaan, kesadaran penyelidikan, keputusan, Javana dan
Tadārammaṇa. semua Citta ini mengambil objek terlihat sebagai objeknya. Kita melihat dengan
kesadaran-mata, tetapi kita mengambil objek terlihat dengan jenis kesadaran lainnya juga. Objek dari
proses pikiran kesadaran-mata adalah objek terlihat atau pemandangan. Objek terlihat ada saat ini.
Maka kesadaran-mata mengambil objek terlihat yang ada saat ini sebagai objeknya.
Dalam proses pikiran pintu-mata, objek terlihat selalu ada di sana selama ada momen-momen
kesadaran. Ini berarti objek terlihat ini ada atau telah muncul dan ada ketika proses pikiran muncul.
Segala jenis kesadaran yang muncul melalui pintu-mata mengambil objek terlihat yang ada saat ini
sebagai objek. Segala jenis kesadaran yang muncul melalui pintu-telinga mengambil objek berbunyi
atau suara yang ada saat ini sebagai objek. Segala jenis kesadaran yang muncul melalui pintu-hidung
mengambil bau-bauan atau objek beraroma yang ada saat ini sebagai objek. Segala jenis kesadaran
yang muncul melalui pintu-lidah mengambil objek rasa kecapan yang ada saat ini sebagai objek. Segala
jenis kesadaran yang muncul melalui pintu-badan mengambil objek sentuhan yang ada saat ini sebagai
objek.
Objek-objek dari Citta-citta ini yang muncul melalui lima pintu-indria adalah selalu yang ada saat ini.
Jika objek-objek itu adalah masa lalu atau masa depan, maka objek-objek itu diambil melalui proses
pikiran pintu-pikiran, bukan oleh proses pikiran lima-pintu-indria ini.
Ada jenis-jenis kesadaran yang muncul melalui pintu-pikiran. Berapa banyakkah? Ada 67 Citta yang
dapat muncul melalui pintu-pikiran. Jenis-jenis kesadaran ini mengambil seluruh enam jenis objek.
Ini berarti bahwa kesadaran-kesadaran itu mengambil pemandangan, suara, bau-bauan, rasa kecapan,
sentuhan dan juga objek-objek Dhamma. Jadi jenis-jenis kesadaran ini mengambil enam jenis objek.
Objek-objek ini dapat berupa masa sekarang, masa lalu atau masa depan dan juga bebas-waktu, tidak
bergantung waktu. Proses pikiran pintu-pikiran atau jenis-jenis kesadaran yang muncul melalui
proses pikiran pintu-pikiran sebenarnya dapat mengambil semua objek. Kesadaran-kesadaran ini
dapat mengambil enam jenis objek. Enam jenis objek ini dapat termasuk ketiga waktu dan juga dapat
termasuk tanpa waktu sama sekali.
Ada berapa banyakkah jenis kesadaran bebas-pintu? Ada 19 – dua penyelidikan (Upekkhā Santīraṇa),
delapan Sobhana Vipāka (hasil) alam-indriawi, lima hasil alam-berbentuk dan empat hasil alam-tanpa-
bentuk. 19 Citta ini memiliki berapa fungsi? Sebagai Citta bebas-pintu, Citta-Citta ini memiliki tiga
fungsi – penghubungan-kembali, Bhavaṅga, dan kematian atau Cuti.
Jenis-jenis kesadaran ini, ketika muncul tanpa bergantung waktu, mengambil enam jenis objek ini.
Objek-objek itu dapat berupa masa sekarang atau masa lalu. Dikatakan tidak ada masa depan. Juga
dapat berupa konsep. Jenis-jenis objek ini ketika disajikan pada 19 jenis kesadaran ini adalah Kamma,
atau Kamma-nimitta atau Gati-nimitta. ‘Kamma’ berarti Kamma, yaitu, Kamma yang adalah masa lalu.
‘Kamma-nimitta’ berarti sesuatu yang bergabung dengan Kamma itu atau suatu alat yang digunakan
untuk melakukan Kamma itu. ‘Gati-nimitta’ berarti gambaran takdir. Itu berarti simbol-simbol atau
gambaran-gambaran kehidupan di mana seseorang akan terlahir kembali. Ketiga ini secara teknis
disebut Kamma, Kamma-nimitta dan Gati-nimitta. Anda dapat menemukan istilah-istilah ini pada CMA
halaman 138. Kamma, Kamma-nimitta dan Gati-nimitta sebenarnya adalah enam jenis objek. Tetapi di
sini sehubungan dengan 19 jenis kesadaran, objek-objek ini disebut Kamma, Kamma-nimitta dan Gati-
nimitta. ‘Kamma-nimitta’ berarti gambaran Kamma. ‘Gati-nimitta’ berarti gambaran takdir. Ini berarti
gambaran atau simbol dari alam di mana seorang yang menjelang kematian akan terlahir kembali. Kita
akan mempelajari hal ini lagi pada akhir bab lima, pada bagian terakhir dari bab lima.
‘Kamma’ berarti Kusala atau Akusala Kamma yang dilakukan di masa lalu. ‘Kamma-nimitta’ atau
‘gambaran Kamma’ berarti suatu objek atau gambaran yang berhubungan dengan perbuatan baik atau
buruk atau suatu alat yang digunakan untuk melakukan Kamma itu yang segera menentukan
kelahiran kembali. Misalnya, seorang yang religius mungkin melihat gambaran seorang bhikkhu atau
vihara. Seorang dokter mungkin melihat gambaran pasien. Seorang penyembelih mungkin mendengar
rintihan ternak yang disembelih atau melihat gambaran pisau sembelih. Ini disebut Kamma-nimitta.
‘Gati-nimitta’ berarti gambaran alam ke mana seorang yang segera meninggal dunia akan terlahir
kembali. Jika seseorang akan terlahir kembali di alam surga, maka ia mungkin melihat istana surgawi
atau bidadari surgawi. Jika seseorang akan terlahir kembali sebagai binatang, ia mungkin melihat
hutan. jika seseorang akan terlahir kembali di neraka, ia mungkin melihat api-neraka atau anjing yang
berlari mengejarnya dan sebagainya. ini disebut gambaran takdir. Salah satu dari ketiga ini akan
tampil pada batin dari seseorang yang segera akan meninggal dunia – apakah Kamma, atau gambaran
Kamma, atau gambaran takdir.
Sehubungan dengan jenis kesadaran bebas-pintu dikatakan dalam Manual bahwa objeknya ada enam.
Jadi ada enam jenis objek. Menurut situasinya, objek ditangkap melalui salah satu dari enam pintu
pada kehidupan persis yang sebelumnya apakah sebagai objek sekarang atau masa lalu, atau sebagai
konsep.
Mari kita meninjau proses pikiran menjelang kematian. Proses pikiran menjelang kematian
berlangsung sebagai berikut: ada Bhavaṅga masa lampau, Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang
tertangkap, dan kemudian pengalihan-lima-pintu-indria, kesadaran melihat, penerimaan,
penyelidikan, keputusan dan kemudian lima momen Javana. Hanya ada lima Javana karena pada saat
menjelang kematian orang itu sangat lemah dan karena itu Javana hanya muncul lima kali. Setelah
Javana-Javana muncul, mungkin ada atau tidak ada momen-momen pencatatan. Segera telah Jāvana-
Javana muncul, pencatatan mungkin muncul atau tidak muncul. Kemudian Bhavaṅga kematian (Cuti)
muncul. Bhavaṅga Citta yang mengakhiri kehidupan seseorang di sini disebut Cuti Citta.
Segera setelah kesadaran-kematian itu, muncul kesadaran-kelahiran-kembali. Jadi tidak ada jeda
antara kematian dalam satu kehidupan dan kelahiran kembali dalam kehidupan berikutnya. Akan
tetapi tempat yang jauh mungkin terjadi, tidak ada jeda waktu antara kesadaran-kematian dan
kesadaran-kelahiran-kembali. Seseorang mungkin meninggal dunia di sini dan terlahir kembali di
Asia. Dalam kasus demikian kesadaran-kematian tetap diikuti segera oleh kelahiran-kembali atau
kesadaran-penghubungan-kembali.
Kesadaran-kematian sebenarnya sama dengan kesadaran Bhavaṅga dan kesadaran-kelahiran-
kembali. Dalam suatu kehidupan kesadaran-kelahiran-kembali, kesadaran Bhavaṅga dan kesadaran-
kematian adalah sama, jenis kesadaran yang sama. Segera setelah kesadaran-kematian adalah
kesadaran-kelahiran-kembali. Apakah objek dari kesadaran-kelahiran-kembali? Dikatakan bahwa
kesadaran-kelahiran-kembali mengambil objek yang diambil oleh Javana-Javana dalam proses pikiran
menjelang kematian. Javana-javana itu dapat berupa Javana lima-pintu-indria atau Javana pintu-
pikiran. Tetapi apapun itu, kesadaran-kelahiran-kembali mengambil objek yang diambil oleh Javana-
Javana dalam proses pikiran kematian.
Di dalam Manual dikatakan,
“… dan menurut situasinya (objet itu) biasanya telah ditangkap pada (salah satu dari) enam pintu
dalam kehidupan yang persis sebelumnya, …” (CMA, III, §17, p.137)
Itu berarti persis seperti itu, bahwa objek yang diambil oleh kesadaran-kelahiran-kembali sebagai
objek yang diambil oleh Javana-Javana dalam proses pikiran dari orang yang segera meninggal dunia.
Objek-objek itu dapat berupa masa sekarang, atau masa lalu, atau konsep.
Ada kata Pāḷi ‘Yebhuyyena’ (CMA, III, §17, p.136) yang terjemahannya berarti menurut situasi. Apa
yang dimaksudkan adalah bahwa ada makhluk-makhluk yang dikatakan tidak memiliki batin. Mereka
adalah makhluk-makhluk tanpa batin. Makhluk-makhluk tanpa batin adalah mereka yang mencapai
Jhāna ke lima dalam kehidupan sebagai manusia atau sebagai Deva. Mereka mengembangkan jenis
Jhāna ke lima tertentu. Sebagai hasilnya, mereka terlahir kemali sebagai makhluk tanpa batin.
Walaupun tanpa batin, suatu hari mereka akan meninggal dunia. Jadi setelah kematian mereka,
kesadaran-kelahiran-kembali pasti muncul. Dalam kasus demikian kesadaran-kelahiran-kembali
setelah kehidupan dari makhluk tanpa batin itu tidak dapat mengambil objek yang telah diambil oleh
Javana dalam kehidupan sebelumnya karena tidak ada Javana atau aktivitas batin apapun dalam
kehidupan dari makhluk-makhluk tanpa batin itu. Itulah sebabnya mengapa dikatakan ‘menurut
situasi’. Dalam kasus demikian kesadaran-kelahiran-kembali mengambil objek yang disajikan oleh
kamma masa lalu yang kuat. Jika anda tidak memahami ini dengan jelas, jangan kecewa. Kita akan
mempelajarinya lagi pada bagian terakhir dari bab lima. Di sini cukup diperhatikan bahwa objek dari
jenis kesadaran bebas-pintu adalah enam jenis objek. Itu berarti pemandangan, suara, dan seterusnya.
Objek-objek itu dapat berupa masa lalu atau masa sekarang dan adalah yang diambil oleh Javana-
Javana dari proses pikiran kehidupan sebelumnya. Objek-objek itu disebut Kamma, Kamma-nimitta
(gambaran Kamma) atau Gati-nimitta (gambaran takdir). Salah satunya akan menjadi objek dari
kesadaran-kelahiran-kembali. Objek itu juga dapat berupa konsep.
Sekarang lihat pada tabel (baca CMA, III, Tabel 3.5, p.141). Kita akan menemukan kesadaran mana yang
mengambil objek apa. Ada dua kesadaran-mata. Satu dalah hasil dari Kamma bermanfaat dan satu lagi
adalah hasil dari Kamma tidak bermanfaat. Kedua jenis kesadaran ini mengambil bentuk atau objek
terlihat yang ada saat ini. Dua kesadaran-telinga mengambil suara yang ada saat ini sebagai objek. Dua
kesadaran-hidung mengambil bau-bauan yang ada saat ini sebagai objek. Dua kesadaran-lidah
mengambil rasa kecapan yang ada saat ini sebagai objek. Dua kesadaran-badan mengambil objek
sentuhan yang ada saat ini sebagai objek. Ini mudah.
Apakah berikutnya? Yang berikutnya adalah elemen-pikiran. Kata Pāḷi untuk elemen-pikiran adalah
Mano-dhātu. Mano-dhātu adalah sebutan untuk dua Sampaṭicchana dan satu Pañcadvārāvajjana.
Ketiga jenis kesadaran ini secara kolektif disebut Mano-dhātu, elemen-pikiran. Nanti jika kita ingin
merujuk pada jenis-jenis kesadaran ini secara kolektif, kita akan menggunakan kata ‘Mano-dhātu’ atau
‘elemen-pikiran’. Ketika kita mengatakan elemen-pikiran, harap dipahami bahwa ini adalah satu
pengalihan-lima-pintu-indria dan dua kesadaran penerimaan. Ini disebut sebagai Mano-dhātu.
Mano-dhātu Citta mengambil lima objek yang ada saat ini sebagai objek. Ketika kita mengatakan
bahwa Citta-Citta itu mengambil lima objek yang ada saat ini, yang dimaksudkan adalah satu objek
pada satu waktu, bukan seluruh lima objek sekaligus. Harap diingat proses pikiran melalui pintu-mata.
Dalam proses pikiran melihat terdapat pengalihan-lima-pintu-indria dan penerimaan. Demikian pula
dalam proses pikiran mendengar dan proses pikiran menyentuh muncul Pañcadvārāvajjana dan
Sampaṭicchana. Keduanya tidak hanya mengambil objek terlihat yang ada saat ini, tidak hanya suara
yang ada saat ini, melainkan mengambil seluruh lima objek indria. Ini berarti keduanya dapat
mengambil seluruh lima jenis objek, tetapi tidak sekaligus. Waktu bagi objek-objeknya adalah saat ini.
Keduanya mengambil objek yang ada saat ini sebagai objek.
Kelompok berikutnya adalah Citta (baca CMA, III, Tabel 3.5, p.121) di sana ada penyelidikan tiga,
penghasil-senyuman satu dan hasil alam-indriawi yang indah delapan. Tiga penyelidikan adalah tiga
Santīraṇa. berapa banyakkah Citta seluruhnya? Ada dua belas. Dua belas mengambil apakah sebagai
objek? Dua belas ini mengambil seluruh 54 Citta Kāmāvacara (alam-indriawi), 52 Cetasika dan 28 Rūpa
sebagai objek.
Di antara ketiga kesadaran penyelidikan ada dua yang disertai dengan Upekkhā. Berapa banyakkah
fungsi yang dimiliki? Dua ini memiliki lima fungsi – penghubungan-kembali, Bhavaṅga, kematian,
Santīraṇa dan Tadārammaṇa. ketika melakukan fungsi pencatatan, keduanya mengambil beberapa
objek. Kesadaran senyuman juga mengambil beberapa objek. Objeknya selalu adalah Kāmāvacara.
Keduanya mengambil 54 Kāmāvacara Citta, 52 Cetasika dan 28 Rūpā sebagai objek.
Mari melanjutkan pada kelompok berikutnya. Ada dua belas kesadaran tidak bermanfaat dan
kemudian delapan kesadaran alam-indriawi yang tidak bergabung dengan pengetahuan. Itu adalah
empat Kāmāvacara Sobhana Kusala Ñāṇa-vippayutta Citta dan empat Kāmāvacara Sobhana Kiriya
Ñāṇa-vippayutta Citta. Jadi ada dua puluh. Dua puluh ini mengambil 81 Lokiya Citta, 52 Cetasika, 28
Rūpa dan Paññatti (konsep) sebagai objek. Citta Akusala (tidak bermanfaat) tidak dapat mengambil
hal-hal Lokuttara sebagai objek. Citta-Citta ini hanya mengambil objek-objek Lokiya, yaitu yang
berhubungan dengan duniawi saja.
Pada CMA halaman 141,
“Sembilan keadaan Adi-duniawi – empat jalan, buahnya dan Nibbāna – karena sangat murni dan
mendalam, tidak dapat ditangkap oleh Citta tidak bermanfaat manapun juga tidak oleh Citta
bermanfaat dan fungsional yang hampa dari pengetahuan.” (CMA, III, Tuntunan §18, p.141)
Itu berarti Citta-Citta tidak bermanfaat tidak dapat mengambil Nibbāna dan Citta-Citta ini sebagai
objek karena sangat murni dan mendalam. Juga objek-objek ini tidak dapat diambil oleh Citta-Citta
yang tidak disertai dengan pengetahuan. Untuk mengambil Lokuttara Citta atau Nibbāna sebagai objek
maka Citta itu harus disertai dengan Paññā atau pengetahuan. Citta-Citta yang tidak disertai dengan
pengetahuan apakah Kusala ataupun Kiriya tidak dapat mengambil hal-hal Adi-duniawi sebagai objek.
Jadi Citta-Citta itu mengambil objek-objek duniawi. Objek-objek ini adalaah 81 Citta duniawi, 52
Cetasika, 28 Rūpa dan konsep.
Kaum Puthujjana dan Sekkha tidak dapat mengetahui kesadaran Jalan dan Buah seorang Arahant
karena belum mencapainya sendiri. Ini akan dibahas nanti.
Kelompok berikutnya adalah kesadaran alam-indriawi yang indah yang bergabung dengan
pengetahuan (Ñāṇa-sampayutta) empat dan satu Kusala Abhiññā. ‘Ābhiññā’ berarti Jhāna ke lima.
Abhiññā dianggap sebagai hanya satu di sini. Seluruhnya ada lima Citta dalam kelompok ini – empat
Kāmāvacara Kusala Sobhana Citta yang disertai dengan Ñāṇa dan Kusala Abhiññā. Citta-Citta ini dapat
mengambil 87 Citta sebagai objek. Ini berarti semua Citta kecuali Arahatta-magga dan Arahatta-phala.
Jadi Citta-Citta ini dapat mengambil 87 Citta, 52 Cetasika, 28 Rūpa, Nibbāna dan Paññatti. Hampir
semua objek dapat diambil. Yang tidak dapat diambil hanya Arahatta-magga Citta dan Arahatta-phala
Citta.
Jika anda melihat pada Citta-Citta dalam kelompok ini, ini hanyalah Kusala Citta. Citta-Citta ini tidak
muncul pada para Arahant. Citta-Citta ini muncul pada para Puthujjana, Sotāpanna, Sakadāgāmī dan
Anāgāmī. Kesadaran yang muncul pada Puthujjana, Sotāpanna, Sakadāgāmī dan Anāgāmī tidak dapat
mengambil batin seorang Arahant sebagai objek. Itulah sebabnya mengapa Arahatta-magga dan
Arahatta-phala Citta dikeluarkan. Seorang Puthujjana tidak dapat mengambil batin seorang Arahant
sebagai objek. Dan juga seorang Sotāpanna, seorang Sakadāgāmī dan seorang Anāgāmī tidak dapat
mengambil batin seorang Arahant sebagai objek. Mengapakah? Karena mereka belum mencapai Citta
ini. Jika mereka telah mencapai Citta ini, maka mereka mampu mengambil Citta ini sebagai objek.
Karena mereka belum mencapainya, maka mereka tidak dapat mengambilnya sebagai objek.
Itu berarti seorang Puthujjana tidak dapat mengambil Sotāpatti-magga atau Sotāpatti-phala sebagai
objek karena ia belum mencapai Citta-Citta itu. Bagaimana dengan Sotāpanna? Dapatkah ia mengambil
Sakadāgāmī-magga dan Phala sebagai objek? Tidak, ia tidak dapat memgambil kondisi yang lebih
tinggi itu sebagai objek. Orang-orang mulia yang lebih rendah tidak dapat mengambil kesadaran dari
orang-orang mulia yang lebih tinggi. Orang-orang mulia yang lebih tinggi dapat mengambil kesadaran
dari orang-orang mulia yang lebih rendah.
Di sini juga ‘mengambil sebagai objek’ berarti mengambil Magga, Phala, Nibbāna, dan sebagainya
segera setelah proses pikiran pencerahan. Segera setelah pencerahan di sana muncul proses pikiran
yang disebut proses pikiran refleksi pada mereka yang telah mencapai pencerahan. Setelah proses
pikiran pencerahan, proses-proses pikiran refleksi muncul pada orang-orang mulia itu. Proses-proses
pikiran refleksi itu adalah refleksi pada Magga (Sang Jalan), refleksi pada Phala (Buah), refleksi pada
Nibbāna, refleksi pada kekotoran batin yang telah dilenyapkan dan refleksi pada kekotoran batin yang
masih tersisa. Ada lima jenis proses pikiran refleksi yang muncul setelah proses pikiran pencerahan.
Kāmāvacara Sobhana Citta yang disertai Ñāṇa, disertai dengan Paññā, muncul dalam proses-proses
pikiran itu. Jadi dalam proses-proses pikiran itu Kāmāvacara Sobhana Kusala Citta yang disertai
dengan Ñāṇa dapat mengambil Magga diri sendiri sebagai objek, Phala diri sendiri sebagai objek,
Nibbāna sebagai objek dan kemudian kekotoran batin sebagai objek. Kāmāvacara Sobhana Citta yang
disertai dengan Ñāṇa dapat mengambil seluruh 87 Citta, 52 Cetasika, 28 Rūpa, Nibbāna dan Paññatti
sebagai objek.
Kusala Abhiññā – Abhiññā berarti pengetahuan langsung atau pengetahuan supernormal. Abhiññā
adalah sebutan untuk Jhāna ke lima. Jika seseorang ingin memperoleh Abhiññā, maka ia harus
mencapai seluruh sembilan Jhāna. Kemudian ia berlatih lagi dan mencapai jenis pengetahuan
supernormal. Di antara jenis-jenis pengetahuan supernormal terdapat satu yang dengannya seseorang
dapat mengetahui kesadaran orang lain.
Kadang-kadang kita mengatakan kita membaca pikiran orang lain. Kita sebenarnya tidak mengetahui
pikiran mereka. Kita hanya menarik kesimpulan dari apa yang tampaknya sedang dipikirkan. Jika anda
melihat wajah seseorang merah dan sebagainya, anda dapat menyimpulkan bahwa ia marah. Jenis
mengetahui ini adalah dengan menyimpulkan dan bukan dengan melihat langsung.
Tetapi mereka yang memiliki Abhiññā dapat mengambil pikiran atau kesadaran orang lain. Ini adalah
perbedaannya. Abhiñā adalah melihat langsung. Apa yang kita lakuakan ketika kita mengatakan, saya
membaca pikirannya, berarti menarik kesimpulan. Jika seseorang mencapai Abhiññā, maka ia dapat
mengambil kesadaran orang lain sebagai objek.
Contohnya sebagai berikut. Seorang Sakadāgāmī jika ia mencapai Abhiññā juga akan mampu
megambil Magga Citta dari para Sakadāgāmī lain dan para Sotāpanna. Tetapi kita kaum Puthujjana
tidak dapat melakukan hal ini. Kaum Puthujjana tidak dapat mengambil Magga Citta dari Orang Mulia.
Ketika seseorang telah menjadi seorang Sotāpanna dan ia telah mencapai Abhiññā, maka dengan
Abhiññā itu ia akan dapat mengambil kesadaran Sotāpatti-magga orang lain. Ini adalah perbedaannya.
Nibbāna dapat diambil oleh Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kusala empat dan Kusala Abhiññā.
Apakah Kāmāvacara Sobhana Kusala yang disertai dengan Ñāṇa Citta muncul dalam pikran kita? Ya,
Citta-Citta ini kadang-kadang muncul dan kadang-kadang tidak muncul. Kalau begitu dapatkah kita
mengambil Nibbāna sebagai objek? Karena kita masih belum merealisasikan Nibbāna, maka kita tidak
dapat mengambil Nibbāna sebagai objek. Ketika Kāmāvacara Sobhana Kusala Citta yang disertai
dengan Ñāṇa muncul pada kaum duniawi, mereka tidak dapat mengambil Nibbāna sebagai objek.
Hanya mereka yang telah mencapai pencerahan yang dapat mengambil Nibbāna sebagai objek.
Kadang-kadang kita mungkin berharap – “Semoga saya mencapai Nibbāna”. Saya ingin mencapai
Nibbāna maka saya melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. Saya bermeditasi agar batin saya
condong pada pencapaian Nibbāna. Nibbāna itu bukanlah Nibbāna sebenarnya. Nibbāna itu
sebenarnya hanyalah konsep. Orang-orang mengatakan mereka ingin mencapainya. Mereka ingin
pergi ke sana. Nibbāna yang dimaksudkan oleh kaum duniawi atau para Puthujjana bukanlah Nibbāna
sebenarnya.
Paññatti mudah. Paññatti adalah konsep. Paññatti dapat diambil oleh jenis-jenis kesadaran ini.
Kelompok berikutnya memiliki kesadaran alam-indriawi yang indah yang bergabung dengan
pengetahuan dan kesadaran fungsional, yaitu, Kāmāvacara Kiriya yang disertai dengan Ñāṇa. berapa
banyakkah jenisnya? Ada empat. Juga ada Abhiññā Kiriya. Itu berarti Rūpāvacara Kiriya Citta ke lima
yang khusus. Kemudian juga ada Voṭṭhabbana, pengalihan-pintu-pikiran. Seluruhnya ada enam.
Semua ini mengambil semua objek sebagai objek, yaitu, 89 Citta, 52 Cetasika, 28 Rūpā, Nibbāna dan
Paññatti.
Di sini juga tidak semua Kāmāvacara Sobhana Kiriya Citta yang disertai dengan pengetahuan dapat
mengambil semua objek. Hanya kesadaran Ñāṇa-sampayutta kiriya yang muncul pada para Buddha
yang dapat mengambil semua objek. Hanya para Buddha yang mengetahui segalanya. Bagi yang
lainnya Citta-Citta ini tidak dapat mengambil semua objek sebagai objek.
Kiriya Abhiññā adalah Abhiññā yang muncul pada para Buddha dan para Arahant. Kiriya Abhiññā
dapat mengambil semua jenis kesadaran, semua Citta, semua Cetasika, semua Rūpa, Nibbāna dan
Paññatti. Di sini Arahatta-magga dan Arahatta-phala termasuk dalam objek. Misalnya, seseorang
menjadi Arahant. Segera setelah proses pikiran pencerahan di sana muncul proses pikiran refleksi.
Ketika proses pikiran refleksi muncul, ia telah menjadi seorang Arahant. Dalam kasus demikian di sana
muncul Kiriya Citta, bukan Kusala Citta. Kiriya Citta itu yang muncul dalam proses pikiran refleksi
akan mengambil Arahatta-magga dan Arahatta-phala sebagai objek. Di sini objek-objek itu tidak
terkecuali. Objek-objek itu diambil sebagai objek. Jadi ada 89 Citta dan seterusnya yang diambil oleh
enam jenis kesadaran ini.
Voṭṭhabbana juga adalah bagian dari kelompok ini. Ini aneh. Voṭṭhabbana tidak disertai dengan Ñāṇa.
Voṭṭhabbana adalah termasuk kelompok Ahetuka (tanpa akar). Tetapi dikatakan di sini bahwa
Voṭṭhabbana dapat mengambil semua objek. Ini berarti Voṭṭhabbana dapat mengambil Nibbāna
sebagai objek. Ini aneh. Benarkah demikian? Ya atau tidak? Karena ini ada dalam buku (baca CMA, III,
§§18-19, p.140-143), maka jawabannya adalah Ya. Harap jangan dibingungkan oleh nama
‘Voṭṭhabbana’. Voṭṭhabbana adalah Manodvārāvajjana. Manodvārāvajjana muncul dalam pikitu
pikiran ketika melakukan fungsi pengalihan. Ketika berfungsi sebagai keputusan, Manodvārāvajjana
muncul di lima pintu-indria. Ketika muncul melalui pintu-pikiran atau ketika muncul dalam proses
pikiran pintu-pikiran, Manodvāravajjana adalah pengalihan. Ini dapat mendahului kesadaran
kebijaksanaan kemahatahuan Sang Buddha. Misalnya, Sang Buddha ingin mengetahui sesuatu. Sang
Buddha dapat mengetahui segalanya. Ketika para Buddha mengetahui sesuatu, ada proses pikiran
pintu-pikiran ini. Dalam proses pikiran pintu-pikiran Citta yang pertama aktif adalah pengalihan-
pintu-pikiran. Karena setiap jenis kesadaran dalam satu proses pikiran harus mengambil objek yang
sama, maka Manodvārāvajjana dapat mengambil objek yang sama seperti kebijaksanaan
kemahatahuan.
Walaupun pengalihan-pintu-pikiran disebutkan di sini, namun kita harus paham bahwa tidak semua
Citta pengalihan-pintu-pikiran dapat mengambil semua objek. Hanya yang mendahului proses pikiran
kebijaksanaan kemahatahuan yang dapat mengambil semua objek.
Yang lainnya mudah. Arūpāvacara Citta ke dua dan ke empat – apakah Arūpāvacara Citta ke dua dan
ke empat? Kita ambil dua dari Kusala, dua dari Vipāka dan dua dari Kiriya. Nama Pāḷi untuk Citta ke
dua adalah apakah? Viññāṇañcāyatana adalah nama untuk Arūpāvacara Citta ke dua. Kita sebut saja
kesadaran tanpa batas. Apakah nama untuk yang ke empat? Nevasaññānāsaññāyatana (bukan persepsi
juga bukan non-persepsi) adalah nama untuk Arūpāvacara Citta ke empat. Citta-Citta ini memgambil
objek-objek Mahaggata sebagai objek. Objek-objek Luhur atau Mahaggata di sini berarti Arūpāvacara
Citta pertama dan Arūpāvacara Citta ke tiga.
Jika anda ingat bab pertama, dikatakan bahwa ada empat Arūpāvacara Kusala Citta. Yang pertama
mengambil ruang tanpa batas sebagai objek. Yang ke dua mengambil kesadaran Arūpāvacara pertama
sebagai objek. Yang ke tiga mengambil ketiadaan kesadaran Arūpāvacara pertama sebagai objek. Yang
ke empat mengambil kesadaran Arūpāvacara ke tiga sebagai objek. Ini harap diingat. Sekali lagi
apakah objek bagi Arūpāvacara Jhāna pertama? Objeknya adalah ruang tanpa batas. Apakah objek bagi
Arūpāvacara Jhāna ke dua? Objek bagi kesadaran Arūpāvacara ke dua adalah kesadaran Arūpāvacara
pertama. Objek bagi kesadaran Arūpāvacara ke tiga adalah ketiadaan kesadaran Arūpāvacara pertama.
Dan objek bagi kesadaran Arūpāvacara ke empat adalah kesadaran Arūpāvacara ke tiga. Jadi objek bagi
yang ke dua dan ke empat adalah kesadaran Arūpāvacara pertama dan ke tiga.
Semua kesadaran Rūpāvacara dan Arūpāvacara disebut Mahaggata, Luhur. Tetapi di sini Mahaggata
dalam konteks ini bukan bermakna semua Mahaggata Citta. Ada berapa banyakkah Mahaggata Citta?
Ada 27 Mahaggata Citta – 15 Rūpāvacara dan 12 Arūpāvacara Citta. Di sini Mahaggata atau Luhur hanya
bermakna yang pertama dan ke tiga, tiga kesadaran Arupāvacara pertama dan tiga kesadaran
Arūpāvacara ke tiga. Hanya enam yang dimaksudkan di sini.
Bab-bab dalam buku ini adalah saling berhubungan. Bab pertama membantu anda di sini. Anda harus
memahami beberapa Citta dan objek yang disebutkan di sini sehubungan dengan proses pikiran dan
juga sehubungan dengan kesadaran-kelahiran-kembali dan seterusnya. Semua bab adalah
berhubungan.
Berikutnya adalah kesadaran alam-berbentuk (Rūpāvacara) 15 dan kesadaran Arūpāvacara pertama
dan ke tiga 6. Ada 21. 21 Citta ini mengambil Paññatti (konsep) sebagai objek. Rūpāvacara Citta
mengambil konsep sebagai objek. Arūpāvacara Citta pertama dan ke tiga mengambil konsep sebagai
objek.
Apakah konsep itu? Buka CMA halaman 142. Objek-objek ini adalah konsep: Kasiṇa sepuluh (ini berarti
gambaran Kasiṇa yang adalah konsep), kejijikan (ini berarti kejijikan pada tubuh seperti yang terlihat
dalam sepuluh tahap pembusukan pada mayat), dan bagian-bagian tubuh (ini berarti rambut kepala,
bulu badan, kuku, gigi, kulit dan seterusnya. Ada 32 bagian tubuh), napas, dan semua makhluk
(makhluk-makhluk yang menjadi objek Metta (cinta-kasih), Karuṇā (belas kasihan), Muditā
(kegembiraan apresiatif) dan Upekkhā (keseimbangan), dan kemudian ruang tanpa batas (ini juga
konsep), dan kekosongan dari kesadaran Arūpāvacara (ini juga adalah konsep). Di sana dikatakan
seluruhnya ada 28 jenis konsep – konsep Kasiṇa sepuluh, konsep kejijikan sepuluh, konsep tubuh satu,
konsep napas satu, empat konsep untuk kelompok makhluk-makhluk – masing-masing satu kelompok
makhluk untuk Mettā, Karuṇā, Muditā dan Upekkhā, dan kemudian ruang tanpa batas dan kekosongan
dari kesadaran Arūpāvacara pertama.
Tiga Citta Jhāna pertama mengambil 25 konsep sebagai objek. Yaitu Kasiṇa sepuluh, kejijikan sepuluh,
tubuh satu, napas satu, makhluk-makhluk Metta, Karuṇā dan Muditā. Ada 25 objek.
Objek bagi Jhana ke dua hanya 14 konsep. Yaitu 10 konsep Kasiṇa, napas dan tiga jenis makhluk.
Konsep kejijikan dan konsep tubuh dikatakan begitu kasar sehingga kesadaran memerlukan Vitakka
untuk mempertahankan objek. Ketika arus terlalu kencang, anda memerlukan galah untuk
mempertahankan kestabilan perahu. Demikian pula, objek-objek ini adalah objek yang kasar. Kejijikan
pada tubuh adalah di mana seseorang melihat mayat yang bernanah atau di mana darah menetes
keluar. Objek itu begitu kasar sehingga anda memerlukan Vitakka untuk mempertahankan pikiran
anda pada objek-objek ini. Jadi Citta-Citta yang tanpa Vitakka tidak dapat mengambilnya sebagai
objek. Jhāna ke dua tidak dapat mengambil konsep kejijikan dan konsep tubuh sebagai objek. 25
dikurang 11 menjadi 14 konsep.
Citta Jhāna ke tiga dapat mengambil 14 konsep ini. Juga Citta Jhāna ke empat dapat mengambil 14
konsep ini.
Citta Jhāna ke lima hanya dapat mengambil 12 jenis konsep. Yaitu sepukuh konsep Kasiṇa, napas dan
makhluk-makhluk yang dilingkupi dengan konsep keseimbangan.
Arūpāvacara Jhāna pertama hanya mengambil ruang tanpa batas sebagai objek. Arūpāvacara Jhāna ke
tiga hanya mengambil ketiadaan kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama sebagai objek. Masing-masing
dari kedua ini hanya mengambil satu jenis konsep.
Ketika dikatakan bahwa ada, misalnya, 25 konsep. Kita harus memahaminya secara terperinci.
Seluruhnya ada 28 jenis konsep dan konsep-konsep berbeda diambil oleh Jhāna-Jhāna berbeda. Secara
keseluruhan yang hanya mengambil Paññatti sebagai objek ada 21 – 15 Rūpāvacara Citta dan
Arūpāvacara Citta pertama dan ke tiga.
Sekarang kita sampai pada yang terakhir. Lokuttara Citta delapan atau empat puluh. Lokuttara Citta
mengambil Nibbāna sebagai objek. Kesadaran Adi-duniawi mengambil Nibbāna sebagai objek.
Kita harus membiasakan diri dengan jenis-jenis kesadaran tertentu mengambil jenis-jenis objek
tertentu. Kita harus mengulanginya lagi dan lagi. Ini tidak mudah.
Pertama-tama mari kita membagi objek-objek menjadi empat jenis. Ada banyak jenis lainnya, tetapi
itu akan menjadi terlalu rumit. Ada objek Kāmāvacara, Objek Rūpāvacara, objek Arūpāvacara dan
objek Lokuttara, dan kita dapat menambahkan satu lagi, konsep. Katakanlah, ada lima objek – objek
Kāmāvacara, Objek Rūpāvacara, objek Arūpāvacara dan objek Lokuttara, dan konsep. Objek
Rūpāvacara dan Arūpāvacara disebut Mahaggata. Jadi ada objek Kāmāvacara, objek Mahaggata, objek
Lokuttara dan konsep.
Jika anda melihat Tabel 3.5 pada CMA halaman 141, Cakkhu-viññāṇa mengambil objek apakah?
Cakkhu-viññāṇa mengambil Kāmāvacara sebagai objek. Kesadaran-telinga, kesadaran-hidung,
kesadaran-lidah dan kesadaran-badan mengambil objek Kāmāvacara sebagai objek.
Apakah objek-objek Kāmāvacara? Yaitu 54 Kāmāvacara Citta, 52 Cetasika dan 28 Rūpa. Ini disebut
objek-objek Kāmāvacara.
Apakah objek-objek Mahaggata (Luhur)? Dalam konteks ini yaitu kesadaran Arūpāvacara Jhāna
pertama dan kesadaran Arūpāvacara Jhāna ke tiga. Ini disebut Mahaggata di sini.
Objek Lokuttara berarti Nibbāna. Sebenarnya Lokuttara Citta juga termasuk dalam objek-objek
Lokuttara. Dan dengan demikian ada 28 jenis konsep.
Mari kita mengulang Dvipañcaviññāṇa lagi. Kesadaran-mata mengambil objek apakah sebagai objek?
Kesadaran-mata mengambil objek-objek Kāmāvacara sebagai objek karena objeknya (data visual)
adalah salah satu dari 28 Rūpa. Demikian pula kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah
dan kesadaran-badan mengambil objek-objek Kāmāvacara sebagai objek.
Elemen-pikiran (Mano-dhāṭu) mengambil objek-objek Kāmāvacara sebagai objek.
Ada dua belas jenis kesadaran (tiga Santīraṇa, Hasituppāda, dan delapan Kāmāvacara Sobhana Vipāka)
yang juga mengambil objek-objek Kāmāvacara sebagai objek.
Ada kelompok dua puluh jenis kesadaran (dua belas Akusala Citta, empat Kāmāvacara Sobhana Ñāna-
vippayutta Kusala Citta, dan empat Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-vippayutta Kiriya Citta) yang
mengambil Kāmāvacara, Mahaggata dan konsep sebagai objek.
Kemudian kelompok lima (empat Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kusala Citta dan satu
Rūpāvacara Kusala Abhiññā Citta), kelompok berikutnya mengambil Kāmāvacara, Mahaggata, Nibbāna
dan Paññatti sebagai objek.
Dan enam jenis kesadaran (empat Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kiriya Citta, satu
Rūpāvacara Kiriya Abhiññā dan Manodvārāvajja) mengambil semuanya. Semuanya berarti semua
Citta, semua Cetasika, semua Rūpa, Nibbāna dan konsep.
Enam berikutnya (tiga Arūpāvacara Citta Jhāna ke dua dan tiga Arūpāvacara Jhāna ke empat) hanya
mengambil Mahaggata sebagai objek.
Dua puluh satu jenis kesadaran (lima belas Citta Rūpāvacara Jhāna, tiga Citta Arūpāvacara Jhāna
pertama dan tiga Citta Arūpāvacara Jhāna ke tiga) mengambil konsep.
Lokuttara delapan mengambil Nibbāna sebagai objek.
Sudahkah anda memahami ini sekarang? Apakah yang mengambil hanya objek-objek Kāmāvacara
sebagai objek? Itu harus mengambil hanya objek-objek Kāmāvacara. Berapa banyakkah? Seluruhnya
ada 25 (sepuluh Dvipañcaviññāṇa, tiga Mano-dhātu, tiga Santīraṇa, satu Hasituppāda dan delapan
Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta). 25 ini mengambil hanya objek-objek Kāmāvacara sebgai objek –
tidak ada objek Mahaggata, tidak ada Lokuttara, tidak ada konsep (baca CMA, Tabel 3.5, p.141).
Apakah yang mengambil hanya Mahaggata sebagai objek? Ada 6. Yaitu kesadaran Arūpāvacara ke dua
dan ke empat.
Apakah yang mengambil hanya konsep sebagai objek? Ada 21, 15 Citta Rūpāvacara, 3 Citta Arūpāvacara
pertama dan 3 Citta Arūpāvacara ke tiga.
Apakah yang mengambil hanya Nibbāna sebagai objek? Yaitu 8 atau 40 Lokuttara Citta.
Kemudian apakah yang mengambil Kāmāvacara serta objek-objek lainnya? Di antara Lokiya citta
adakah objek Kāmāvacara? Ada. Di antara Lokiya Citta ada 54 Kāmāvacara Citta. Dalam kelompok 20
terdapat Citta duniawi 81 sebagai objek dan seterusnya. Objek-objek Kāmāvacara termasuk di sana.
Dalam 87 Citta terdapat objek-objek Kāmāvacara termasuk di sana. Dalam Mahaggata tidak ada objek
Kāmāvacara. Dalam Paññatti tidak ada objek Kāmāvacara. Dalam Nibbāna tidak ada objek Kāmāvacara.
Yang mengambil Kāmāvacara sebagai objek ada 20 (12 Akusala Citta, 4 Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-
vippayutta Kusala Citta, 4 Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-vippayutta Kiriya Citta) ditambah 5 (4
Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kusala Citta dan 1 Rūpāvacara Kusala Abhiññā Citta),
ditambah 6 (4 Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kiriya Citta, 1 Rūpāvacara Kiriya Abhiññā Citta
dan 1 Manodvārāvajjana Citta). 81 jenis kesadaran ini mengambil Kāmāvacara dan yang lainnya
sebagai objek. 25 yang lainnya mengambil hanya Kāmāvacara sebagai objek.
Apakah yang mengambil hanya Mahaggata sebagai objek? Ada 6 Citta (3 Citta Arūpāvacara ke dua dan
3 Citta Arūpāvacara ke empat) yang mengambil hanya Mahaggata sebagai objek. Apakah yang
mengambil Mahaggata serta objek lainnya? Untuk kelompok 20 terdapat Citta-Citta duniawi. Jadi ada
Mahaggata di sana. Di antara 87 Citta terdapat Mahaggata Citta. Di antara 89 Citta terdapat Mahaggata
Citta. Jadi yang mengambil Mahaggata serta objek-objek lainnya ada 20 (12 Akusala Citta, 4
Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-vippayutta Kusala Citta, 4 Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-vippayutta Kiriya
Citta), ditambah 5 (4 Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kusala Citta dan 1 Rūpāvacara Kusala
Abhiññā Citta), ditambah 6 (4 Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kiriya Citta, 1 Rūpāvacara Kiriya
Abhiññā Citta dan 1 Manodvārāvajjana Citta).
Yang mengambil Nibbāna serta objek-objek lainnya, apakah itu? Ada 5 (4 Sobhana Kusala Citta dengan
Paññā dan Kusala Abhiññā) dan 6 (4 Sobhana Kiriya Citta dengan Paññā, Kiriya Abhiññā dan
Voṭṭhabbana), jadi 11.
Apakah yang mengambil hanya Paññatti sebagai objek? 21 Citta mengambil hanya Paññatti sebagai
objek. Apakah yang mengambil Paññatti serta objek-objek lainnya? Ada 20 (12 Akusala Citta, 4
Kāmāvacara Kusala Ñāṇa-vippayutta Citta, 4 Kāmāvacara Sobhana Kiriya Ñāṇa-vippayutta Citta),
ditambah 5 (4 Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kusala Citta dan 1 Rūpāvacara Kusala Abhiññā
Citta), ditambah 6 (4 Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kiriya Citta, 1 Rūpāvacara Kiriya Abhiññā
Citta dan 1 Manodvārāvajjana Citta).
Ini sedikit membingungkan. Ada banyak lagi. Saya tidak akan membuat anda bertambah bingung. Saya
pikir anda harus membiasakan diri dengan Tabel 3.5 dan 3.6 pada CMA halaman 141 dan 142. Anda
harus mampu menemukan hal-hal ini dengan melihat pada tabel-tabel.
Citta tidak pernah tanpa objek. Sifat dari Citta, karakteristik dari Citta adalah menyadari objek. Citta
harus memiliki objek. Pada bagian ini kita memahami jenis objek apa yang diambil oleh jenis
kesadaran yang mana. Ini sangat jelas didefinisikan di sini.
Misalnya, kesadaran-mata mengambil hanya objek terlihat yang ada saat ini. Kesadaran-telinga
mengambil hanya objek berbunyi yang ada saat ini dan seterusnya. Untuk yang muncul melalui proses
pikiran lima-pintu-indria tidak ada kesulitan karena mengambil hanya lima objek yang ada saat ini
sebagai objek.
Untuk yang muncul melalui pintu-pikiran ada banyak objek. Ini sangat luas dan rumit. Kita sudah
melihat di sini bahwa objek-objek dari jenis-jenis kesadaran yang muncul melalui pintu-pikiran adalah
segalanya. Ini dapat termasuk dalam enam jenis objek. Ini dapat termasuk dalam tiga periode waktu.
Juga dapat termasuk tanpa waktu sama sekali.
Nibbāna dan Paññatti disebut tidak bergantung waktu. Nibbāna adalah bukan masa sekarang, bukan
masa lalu, bukan masa depan. Konsep adalah bukan masa sekarang, bukan masa lalu, bukan masa
depan. Nibbāna dan Paññatti dikatakan sebagai tanpa waktu. Ini berarti bebas dari waktu. Kita tidak
dapat menentukan waktunya.
Mengapakah demikian? Nibbāna adalah di luar waktu karena sifat hakikinya yang tanpa kemunculan,
tanpa kelangsungan dan tanpa kelenyapan. Nibbāna tidak muncul. Itulah sebabnya maka tidak ada
kelenyapan bagi Nibbāna. Kita tidak dapat mengatakan kapan Nibbāna muncul. Jika kita mengatakan
Nibbāna muncul atau Nibbāna ada, maka kita menyiratkan bahwa Nibbāna adalah tidak kekal karena
jika ada kemunculan maka pasti ada kelenyapan. Itu adalah hukum alam. Nibbāna adalah Kālavimutta,
tidak bergantung waktu karena tidak ada kemunculan, tidak ada kelangsungan atau perubahan, tidak
ada kelenyapan.
Konsep adalah tanpa waktu karena hampa dari sifat hakiki. Kita menyebut seseorang sebagai laki-laki.
Apa yang kita sebut ‘laki-laki’ adalah konsep. Ini bukan realitas mutlak. Konsep itu tidak memiliki sifat
hakiki karena jika kita menganalisa sesosok makhluk, jika kita menganalisa seorang laki-laki, kita akan
berakhir pada lima agregat. Jika kita mereduksinya hingga partikel terkecil, di sana hanya ada properti
materi, Citta dan Cetasika. Apa yang kita sebut ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ hanyalah sebutan demi
kemudahan komunikasi. Konsep tidak memiliki sifat hakiki.
Kita tidak dapat mengatakan bahwa sebuah konsep muncul pada waktu ini dan kemudian lenyap pada
waktu lainnya. Karena kita tidak dapat mengatakan seperti itu sehubungan dengan konsep, maka
konsep dianggap sebagai tanpa waktu. Konsep dapat dilupakan orang. Ini bukan berarti lenyap sama
sekali. Pada waktu lainnya konsep ini mungkin muncul kembali. Nama ‘Sumedha’ adalah nama petapa
yang bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan. Ia bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan pada
empat periode yang tidak terhitung lamanya dan 100,000 kappa yang lalu. Katakanlah, milyaran tahun
yang lalu. Kemudian, pada masa antara cita-cita untuk mencapai Kebuddhaan dan kelahiran
Siddhattha Gotama, nama ‘Sumedha’ terlupakan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui tentangnya.
Kemudian Sang Buddha Gotama muncul. Sang Buddha Gotama mengajarkan kita bahwa ada seorang
petapa bernama Sumedha yang hidup berkappa-kappa yang lalu. Dan demikianlah Sang Buddha
Gotama menghidupkan kembali Paññatti itu. Sebenarnya Paññatti tidak ada, jadi kita tidak dapat
mengatakan bahwa Paññatti telah lenyap sama sekali. Paññatti tidak memiliki sifat hakiki, tidak ada
karakteristik. Oleh karena itu, konsep disebut tanpa waktu.
Nibbāna dan konsep adalah tanpa waktu. Citta, Cetasika dan Rūpa adalah dengan waktu. Maka ketiga
ini dapat berupa masa lalu, atau masa sekarang, atau masa depan. Bagaimana dengan Mahaggata? Citta
Arūpāvacara ke dua dan ke empat mengambil Mahaggata sebagai objek. Mahaggata di sini berarti Citta
Arūpāvacara pertama dan ke tiga. Mari ambil contoh. Citta Arūpāvacara ke dua mengambil Citta
Arūpāvacara pertama sebagai bjek. Apakah Citta Arūpāvacara pertama yang diambil? Apakah masa
sekarang, masa lalu atau masa depan? Ini adalah masa lalu. Hanya setelah anda mencapai Arūpāvacara
Jhāna pertama maka anda dapat mencapai Arūpāvacara Jhāna ke dua. Seteah mencapai Arūpāvacara
Jhāna pertama, anda berusaha untuk mencapai Arūpāvacara Jhāna ke dua. Ketika anda berlatih
meditasi, anda mengambil Arūpāvacara Jhāna pertama sebagai objek. Pada saat itu Arūpāvacara Jhāna
pertama telah berlalu. Jadi objek dari Arūpāvacara Jhāna ke dua dan ke empat adalah masa lalu, bukan
masa sekarang, bukan masa depan.
Citta, Cetasika dan Rūpa adalah termasuk masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Citta dan Cetasika
dapat mengambil objek masa sekarang sebagai objek, objek masa lalu sebagai objek atau objek masa
depan sebagai objek. Juga sehubungan dengan Nibbāna, kita tidak dapat mengatakan apakah ini adalah
masa sekarang, masa lalu atau masa depan. Ini di luar kerangka waktu.
Silakan baca Manual. Jika anda tidak memahami Manual dengan jelas, anda harus menunggu sampai
anda membaca bab lima.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Murid: Objek dari kesadaran bebas-pintu adalah sama untuk Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti.
Kemudian Paṭisandhi berikutnya tidak mengambil objek yang sama seperti yang
sebelumnya.
Sayādaw: Tidak. Paṭisandhi Citta dalam kehidupan baru tidak mengambil objek yang sama. Anda
harus memahami proses pikiran menjelang kematian.
Murid: Dikatakan pada CMA halaman 138, “Objek dari kesadaran bebas-pintu dalam suatu
kehidupan pada umumnya adalah identik dengan objek dari proses kognisi terakhir
dalam kehidupan yang persis sebelumnya.
Sayādaw: Ya.
Murid: Itu sepertinya objek yang sama.
Sayādaw: Tidak, tidak. Anda merancukan Cuti dengan Javana. Sebelum Cuti adalah Javana-
Javana. Anda harus melihat proses pikiran itu. Katakanlah, ada pengalihan-lima-pintu-
indria, melihat, menerima, menyelidiki, memutuskan, lima Javana dan mungkin ada
atau tidak ada Tadārammaṇa, dan kemudian ada Cuti. Cuti itu mengambil objek yang
diambil oleh kesadaran-kelahiran-kembali dalam kehidupan itu. Kelahiran kembali
berikutnya mengambil objek yang diambil oleh Javana-Javana, bukan objek dari Cuti.
Jadi keduanya berbeda. Bukankah begitu?
Murid: Saya menerima penjelasan, Bhante.
Sayādaw: Silakan lihat pada CMA halaman 225 (CMA, V, Tabel 5.6, p.225). anda melihat
kehidupan sebelumnya berakhir dengan kematian. Segera setelahnya ada kelahiran
kembali. Dari sana sebuah kehidupan baru dimulai. Jadi kehidupan lama adalah nomor
satu dan kehidupan baru adalah nomor dua. Objek kelahiran kembali adalah objek dari
Javana persis yang sebelumnya. Objek kematian adalah sama – apakah anda melihat
objek lama di atas kematian dan kemudian objek lama di sisi kiri? Jadi objek kematian
adalah sama seperti Paṭisandhi di sana. Tetapi objek Paṭisandhi dalam kehidupan baru
tidak sama. Paṭisandhi mengambil objek yang diambil oleh Javana persis sebelum
kesadaran-kematian. Jadi ada perbedaan dalam hal objek untuk kematian dalam satu
kehidupan dan kelahiran kembali dalam kehidupan lainnya. Dalam satu kehidupan,
objek penghubungan-kembali, Bhavaṅga dan Cuti adalah sama. Jika tidak demikian,
maka satu objek akan berlanjut terus-menerus. Ini pertanyaan yang bagus. Kita akan
mengunjungi proses ini lagi pada akhir bab lima.
Murid: Elemen-pikiran atau Mano-dhāṭu adalah dua penerimaan dan satu pengalihan-pintu-
pikiran.
Sayādaw: Bukan. Elemen-pikiran adalah dua penerimaan dan pengalihan-lima-pintu-indria.
Murid: Citta-citta tidak melalui pintu-pikiran. Mengapa kita menyebutnya elemen-pikiran?
Mengapakah dinamai demikian? Citta-Citta itu tidak muncul melalui pintu-pikiran.
Sayādaw: Tidak, tidak. Anda merancukan pintu-pikiran dengan pikiran. Di sini kita mengatakan
elemen-pikiran, bukan elemen pintu-pikiran. Ini hanyalah sebuah nama untuk jenis-
jenis kesadaran ini. Jika anda melihat pada kedua kata ini secara terpisah, kata Pāḷi
‘Mano’ berarti kesadaran dan ‘Dhātu’ berarti elemen. Jadi sebenarnya Mano-dhātu
dapat berarti segala jenis kesadaran, tetapi dalam Abhidhamma penggunaan nama
‘Mano-dhātu’ dibatasi hanya untuk ketiga jenis kesadaran ini.

Ārammaṇa (lanjutan) & Vatthu


Mari kita mengulangi objek-objek lagi. Anda dapat melihat pada tabel (baca CMA, III, Tabel 3.5, p.141).
Di dalam buku hanya terjemahan yang digunakan, tetapi saya ingin anda mempelajari istilah-istilah
Pāḷi juga.
Objek dalam Pāḷi disebut Ārammaṇa. Citta dan Cetasika yang mengambil obejk disebut Ārammaṇika.
Jadi Ārammaṇika adalah subjek dan Ārammaṇa adalah objek.
Yang pertama kita lihat adalah Cakkhu-viññāṇa. apakah Cakkhu-viññāṇa? Cakkhu-viññāṇa adalah
kesadaran-mata. Ada dua jenis kesadaran. Keduanya mengambil objek atau pemandangan yang ada
saat ini sebagai objek.
Kmudian Sota-viññāṇa atau kesadaran-telinga. Kedua jenis kesadaran-telinga mengambil objek
berbunyi atau suara yang ada saat ini sebagai objek.
Ada dua jenis Ghāna-viññāṇa (kesadaran-hidung). Keduanya mengambil bau-bauan yang ada saat ini
sebagai objek.
Ada dua jenis Jivhā-viññāṇa (kesadaran-lidah). Keduanya mengambil rasa kecapan yang ada saat ini
sebagai objek.
Ada dua jenis kesadaran-badan (Dukkha Kāya-viññāṇa & Sukha Kāya-viññāṇa). kedua jenis kesadaran-
badan ini mengambil objek sentuhan yang ada saat ini sebagai objek.
Kemudian kita sampai pada Mano-dhātu. Saya harap anda mash ingat apa Mano-dhātu. Mano-dhātu
adalah pengalihan-lima-pintu-indria dan dua kesadaran penerimaan. Ketiga ini secara kolektif disebut
Mano-dhātu. Ketiganya mengambil lima objek yang ada saat ini. ‘Mengambil lima objek yang ada saat
ini’ berarti kadang-kadang mengambil objek terlihat yang ada saat ini, kadang-kadang mengambil
objek berbunyi yang ada saat ini dan seterusnya. Jika anda ingat proses pikiran, hanya Cakkhu-viññāṇa
yang disebutkan (baca CMA, V, Tabel 4.1, p.155). Pada tempat Cakkhu-viññāṇa anda menukarnya
dengan Sota-viññāṇa, atau Ghāna-viññāṇa, atau Jivhā-viññāṇa, atau Kāya-viññāṇa. Tetapi ketiga
Mano-dhāṭu ini (pengalihan-lima-pintu-indria dan dua penerimaan) ada pada setiap proses pikiran
dari kelima ini. Pañcadvārāvajjana dan Sampaṭicchana mengambil lima objek yang ada saat ini. Tetapi
Cakkhu-viññāṇa mengambil hanya objek terlihat yang ada saat ini dan seterusnya.
Berikutnya ada Santīraṇa tiga, Hasituppāda dan Kāmāvacara Sobhana Vipāka delapan. Ada tiga
Santīraṇa Citta – satu yang disertai dengan Somanassa (kesenangan) dan dua yang disertai dengan
Upekkhā (perasaan tidak peduli). Dan kemudian ada Hasituppāda (kesadaran yang menghasilkan
senyuman). Dan Kāmāvacara Sobhana Vipāka dapat kita lihat pada Tabel (baca CMA, III, Tabel 3.5,
p.141). Dua belas ini mengambil 54 Kāmāvacara Citta, 52 Cetasika dan 28 Rūpa sebagai objek.
Dalam kelompok berikutnya terdapat dua belas Akusala Citta, empat Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-
vippayutta Kusala Citta dan empat Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-vippayutta Kiriya Citta. Ñāṇa-
vippayutta adalah tanpa pengetahuan. Yaitu delapan ditambah dua belas Akusala, menjadi dua puluh.
Dua puluh Citta ini mengambul 81 Citta Lokiya (duniawi), 52 Cetasika, 28 Rūpa ditambah Paññatti
(konsep) sebagai objek. Jadi dua puluh ini mengambil objek-objek duniawi sebagai objek. Objek-objek
duniawi berarti Citta dan Cetasika, Rūpa dan Paññatti duniawi. Dua belas Akusala Citta, 4 Kāmāvacara
Sobhana Kusala Ñāṇa-vippayutta Citta dan 4 Kāmāvacara Sobhana Kiriya Ñāṇa-vippayutta Citta tidak
dapat mengambil Citta Adi-duniawi dan Cetasika-Cetasika yang menyertainya, dan Nibbāna sebagai
objek. Hal ini karena Citta-Citta tersebut adalah tanpa Ñāṇa (kebijaksanaan). Dalam komentar
dikatakan bahwa Citta-Citta ini tidak dapat mengambil objek-objek demikian karena bodoh. Kata
‘bodoh’ digunakan untuk menggambarkan Citta-Citta itu. Karena tidak disertai dengan kebijaksanaan
atau pengetahuan maka tidak dapat mengambil objek-objek Lokuttara sebagai objek. Jadi Citta-Citta
itu mengambil hanya objek-objek Lokiya (duniawi) sebagai objek.
Kelompok berikutnya terdiri dari empat Kāmāvacara Sobhana Ñāna-sampayutta Kusala dan satu
Kusala Abhiññā. Abhiññā adalah Jhāna ke lima, Jhāna ke lima yang dikembangkan secara khusus.
Ketika kita mengatakan Abhiññā, yang dimaksudkan adalah Jhāna ke lima. Lima Citta ini mengambil
87 Citta. Itu adalah semua Citta dikurangi Arahatta-magga dan Arahatta-phala. Dua ini dikeluarkan
karena Arahatta-magga dan Arahatta-phala adalah hanya milik para Arahant saja. Kāmāvacara
Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kusala Citta dan Kusala Abhiññā adalah hanya milik non-Arahant saja.
Citta-Citta ini tidak dapat mengambil Arahatta-magga dan Arahatta-phala sebagai objek karena belum
mencapai Arahatta-magga dan Arahatta-phala. Citta-Citta itu mengambil semua objek kecuali
Arahatta-magga dan Arahatta-phala – 87 Citta, 52 Cetasika, 28 Rūpa, Nibbāna dan Paññatti.
Kelompok berikutnya terdiri dari empat Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta, satu Kiriya Abhiññā
dan satu Voṭṭhabbana. Citta yang manakah Voṭṭhabbana? Manodvārāvajjana adalah Voṭṭhabbana.
Enam ini mengambil semua objek sebagai objek – 89 Citta, 52 Cetasika, 28 Rūpa, Nibbāna dan Paññatti.
Walaupun kita mengatakan bahwa Citta-Citta ini mengambil semua objek, tetapi ini benar hanya jika
muncul dalam batin seorang Buddha. Kalau tidak, maka Citta-Citta ini tidak dapat mengambil semua
objek. Voṭṭhabbana bukanlah Voṭṭhabbana biasa. Ini adalah Voṭṭhabbana yang terhubung dengan
kemahatahuan Sang Buddha. Ini berarti Voṭṭhabbana yang muncul dalam proses pikiran
kemahatahuan dalam batin seorang Buddha. Voṭṭhabbana biasa tidak dapat mengambil semua objek.
Kemudian Citta Arūpāvacara ke dua dan ke empat, tiga ke dua dan tiga ke empat, mengambil objek-
objek Mahaggata atau Luhur. Objek-objek Mahaggata di sini berarti Citta Arūpāvacara pertama dan ke
tiga. Apakah objek-objek Mahaggata? Objek-objek Mahaggata berarti 27 Mahaggata Citta, yaitu, lima
belas Rūpāvacara Citta dan dua belas Arūpāvacara Citta, dan Cetasika-Cetasika yang menyertainya.
Berapa banyakkah Cetasika yang ada di sana? Ada 35 Cetasika. Ima belas Rūpāvacara Citta, dua belas
Arūpāvacara Citta dan 35 Cetasika disebut objek-objek Mahaggata. Di sini karena kita sedang
membahas Citta-Citta Arūpāvacara ke dua dan ke empat, maka Mahaggata di sini berarti hanya Citta-
Citta Arūpāvacara pertama dan ke tiga.
Kelompok berikutnya adalah Rūpāvacara Citta (ada lima belas) dan kemudian Citta Arūpāvacara
pertama dan ke tiga. Seluruhnya ada 21. Citta-Citta ini mengambil Paññatti atau konsep sebagai objek.
Anda dapat melihat pada Tabel (baca CMA, III, Tabel 3.5, p.141). saya pikir kita telah membahas tabel
ini minggu lalu. Jadi Citta-Citta ini mengambil Paññatti sebagai objek. Rūpāvacara Citta – Jhāna
pertama, ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima – mengambil Paññatti Kasiṇa, Paññatti kejijikan pada tubuh
dan sebagainya. Citta Arūpāvacara pertama mengambil objek apakah? Citta ini mengambil ruang
tanpa batas sebagai objek. Dan Citta Arūpāvacara ke tiga mengambil kekosongan sebagai objek. Karena
objek-objek tersebut bukan realitas mutlak, maka disebut Paññatti. 21 Citta ini mengambil Paññatti
sebagai objek; Paññatti berbeda diambil oleh jenis kesadaran Jhāna berbeda.
Ada delapan atau empat puluh Lokuttara Citta. Citta-citta ini mengambil Nibbāna sebagai objek.
Mari melanjutkan pada Santīraṇa, Hasituppāda dan Kāmāvacara Sobhana Vipāka. Citta-Citta ini
mengambil hanya objek-objek Kāmāvacara. Santīraṇa Citta muncul dalam proses pikiran melihat,
mendengar dan seterusnya. Jadi Citta-Citta ini mengambil hanya objek-objek Kāmāvacara sebagai
objek. Dan Hasituppāda berarti penghasil-senyuman. Ketika seorang Arahant melihat sesuatu atau
mendengar sesuatu, objek tersebut mungkin menghasilkan kesadaran senyuman pada Sang Arahant.
Jadi Hasituppāda dikatakan mengambil objek-objek Kāmāvacara sebagai objek. Kemudian Kāmāvacara
Sobhana Vipāka Citta, ketika berfungsi sebagai Tadārammaṇa, Citta ini mengambil objek-objek
Kāmāvacara sebagai objek.
Kemudian Akusala Citta dapat mengambil Jhāna Citta sebagai objek karena Lokiya Citta termasuk
dalam Jhāna Citta. Ini aneh bahwa Akusala dapat mengambil Jhāna sebagai objek. Kadang-kadang
seseorang mungkin memiliki pandangan salah tentang Jhāna – menganggap Jhāna sebagai kekal dan
sebagainya. juga ia mungkin melekat pada Jhāna itu. Mereka yang telah mencapai Jhāna mungkin
melekati Jhāna. Jadi Akusala Citta dapat mengambil Jhāna Citta sebagai objek. Kadang-kadang
seseorang kehilangan Jhana dan ia menyesalinya. Dalam kasus demikian Dosamūla Citta mengambil
Jhāna Citta – sebagai objek. Walaupun itu adalah Akusala Citta, namun dapat mengambil Kāmāvacara
dan Jhāna Citta sebagai objek.
Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-vippayutta, Kusala empat dan Kiriya empat, dapat mengambil seluruh
Lokiya Citta – Kāmāvacara Citta dan Mahaggata Citta. Juga dapat mengambil 28 Rūpa and Paññatti
sebagai objek, semuanya.
Kadang-kadang seseorang mungkin melakukan perbuatan buruk, tetapi ia mungkin melakukannya
tanpa perhatian. Dalam kasus demikian kesadarannya tidak disertai dengan Ñāṇa. Dalam kasus
demikian Kāmāvacara Sobhana Kusala atau Kāmāvacara Sobhana Kiriya mungkin tanpa pengetahuan
dan dapat mengambil semua Lokiya Citta dan objek-objek lainnya sebagai objek. Menurut Komentar,
bahkan seorang Arahant dapat melakukan perbuatan berjasa tanpa banyak keseriusan. Jika seseorang
telah sangat terbiasa dengan Jhāna-Jhāna dan merenungkan Jhāna-Jhāna, maka kesadarannya
mungkin tidak disertai dengan pengetahuan. Bahkan walaupun tanpa pengetahuan, Citta-Citta itu
dapat mengambil Jhāna sebagai objek.
Abhiññā adalah Jhāna ke lima tetapi ini adalah Jhāna ke lima yang dikembangkan secara khusus. Jhāna
ke lima biasa tidak disebut Abhiññā. Untuk memperoleh Abhiññā, seseorang pertama-tama harus
mencapai seluruh sembilan Jhāna. Kemudian orang itu kembali ke Jhāna ke lima dan
mengembangkannya dalam cara berbeda sehingga Jhāna ke lima itu menjadi Abhiññā. Abhiññā
diterjemahkan sebagai pegetahuan langsung atau pengetahuan supernormal. Ketika seseorang
memperoleh Abhiññā, ia dapat mengingat kehidupan lampaunya atau ia dapat membaca pikiran orang
lain dan seterusnya.
Di sini kita memiliki Kāmāvacara Sobhana Ñāṇa-sampayutta Kusala empat. Karena Kusala, maka
muncul pada siapakah? Citta-Citta ini muncul pada kaum puthujjana dan para Ariya yang lebih rendah
(Sekkha), orang-orang tercerahkan non-Arahant. Jadi Ñāṇa-sampayutta ini dapat mengambil
Sotāpatti-magga, Sotāpatti-phala, Sakadāgāmī-magga, Sakadāgāmī-phala, Anāgāmī-magga, Anāgāmī-
phala sebagai objek. Bagaimana ini mungkin? Ñāṇa-sampayutta kusala dari seorang duniawi tidak
dapat mengambil Sotāpatti-magga, Sotāpatti-phala dan seterusnya sebagai objek karena ia belum
mencapai tingkat pencapaian itu. Tetapi setelah menjadi seorang Sotāpanna, segera setelah proses
pikiran Magga itu, ia memeriksa lima hal. Ingatkah anda? Apakah yang diperiksa oleh seorang yang
tercerahkan? Orang itu memeriksa Magga, Phala, Nibbāna, kekotoran yang telah dilenyapkan dan
kekotoran yang masih tersisa. Ketika ia memeriksa Magga dan Phala yang ia capai, kesadaran
pemeriksaannya adalah salah satu dari Ñāṇa-sampayutta Citta. Jadi, katakanlah, Ñāṇa-sampayutta
Kusala Sobhana Citta dari seorang Sotāpanna dapat mengambil Magga dan Phala yang ia capai sebagai
objek dalam pemeriksaan. Anggaplah ia memperoleh Abhiññā. Dengan Abhiññā ia dapat mengambil
Sotāpatti-magga dan Sotāpatti-phala orang lain sebagai objek karena tingkatannya sama. Tetapi
seorang Sotāpanna tidak dapat mengambil Sakadāgāmī-magga dan Sakadāgāmī-phala atau Anāgāmī-
magga dan Anāgāmī-phala dan seterusnya sebagai objek karena ia belum mencapai tingkat pencapaian
itu. Demikian pula, seorang Sakadāgāmi, seorang yang telah mencapai tingkat ke dua, memeriksa
Sakadāgāṁī-magga dan Sakadāgāmī-phala yang telah ia capai. Ketika memeriksa ia dapat mengambil
Sakadāgāmī-magga dan Sakadāgāmī-phala yang telah ia capai sebagai objek dan melalui Abhiññā ia
juga dapat mengambil Sotāpatti-magga, Sotāpatti-phala, Sakadāgāmī-magga dan Sakadāgāmi-phala
orang lain.
Persis sebelum Abhiññā sebenarnya terdapat apa yang disebut proses pikiran persiapan. Selama
proses pikiran persiapan itu terdapat Ñāṇa-sampayutta Citta ini. Anda tahu Abhiññā bukanlah
Kāmāvacara Citta. Abhiññā adalah Rūpāvacara Citta. Sebelum proses pikiran Abhiññā itu terdapat
proses pikiran persiapan. Selama proses pikiran itu pikirannya condong pada suatu objek. Katakanlah,
ia ingin melihat Citta orang lain. Maka persis sebelum proses pikiran Abhiññā, Citta diarahkan pada
melihat Citta orang lain. Citta itu diambil sebagai objek. Jadi Ñāṇa-sampayutta Kusala Citta dari
seorang Sakadāgāmī dapat mengambil Magga Citta dan Phala Citta yang telah ia capai ketika
memeriksa. Ia dapat mengambil Sotāpatti-magga, Sotāpatti-phala, Sakadāgāmi-magga dan
Sakadāgāmī-phala orang lain pada tahap proses pikiran persiapan dan ia juga dapat mengambil Citta-
Citta itu melalui Abhiññā Jhāna ke dua, dalam proses pikiran pengetahuan langsung. Ini mungkin
sedikit membingungkan.
Saya akan mengulangi. Segera setelah seseorang telah menjadi tercerahkan, ia memeriksa Magga,
phala, Nibbāna, kekotoran yang telah dihancurkan dan kekotoran yang masih tersisa. Ketika ia
memeriksa, di sana ada proses pikiran pemeriksaan. Dalam proses pikiran pemeriksaan itu salah satu
dari empat Kāmāvacara Ñāṇa-sampayutta akan muncul. Citta itu mengambil Magga Citta dan Phala
Citta yang telah ia capai sebagai objek. Kemudian, misalkan ia memperoleh Abhiññā. Dengan Abhiññā
itu ia mencoba untuk melihat Magga Citta dan Phala Citta orang lain. Ketika ia mencoba untuk melihat
itu, di sana ada dua proses pikiran. Pertama-tama ada proses pikiran persiapan dan kemudian ada
proses pikiran pengetahuan langsung. Selama proses pikiran persiapan itu salah satu dari empat
Kāmāvacara Ñāṇa-sampayutta Kusala Citta muncul. Itulah sebabnya mengapa Kāmāvacara Ñāṇa-
sampayutta Kusala Citta dapat mengambil Magga Citta dan Phala Citta orang lain sebagai objek. Ketika
ia memasuki Abhiññā, ada Kusala Citta Rūpāvacara ke lima. Dengan Kusala Citta Rūpāvacara ke lima
itu ia juga dapat mengambil Magga Citta dan Phala Citta orang lain sebagai objek. Jadi Kāmāvacara
Citta yang disertai dengan Ñāna empat dan Kusala Abhinna dapat mengambil semua Citta kecuali
Arahatta-magga dan Arahatta-phala. Karena mereka bukan Arahant, mereka masih belum mencapai
Arahatta-magga dan Arahatta-phala dan tidak dapat mengambil Citta-Citta itu sebagai objek.
Ketika seseorang menjadi seorang Arahant, segera setelah pencerahan di sana juga ada proses pikiran
pemeriksaan. Dalam kasus demikian berapa banyakkah hal yang diperiksa? Magga, Phala, Nibbāna dan
kekotoran yang telah dihancurkan diperiksa, tetapi tidak memeriksa kekotoran yang masih tersisa
karena tidak ada lagi yang tersisa. Empat proses pikiran ini muncul. Selama empat proses pikiran ini
kesadarannya adalah salah satu dari Kiriya Ñāṇa-sampayutta Citta. Sekali lagi itu adalah Citta satu,
dua, lima dan enam. Jenis-jenis kesadaran itu dapat mengambul Arahatta-magga dan Arahatta-phala
yang telah ia capai sebagai objek. Kemudian jika ia memiliki Abhiññā, dalam proses pikiran persiapan
ia dapat mengambil Magga Citta dan Phala Citta orang lain sebagai objek bersama dengan Kāmāvacara
Kiriya. Dalam proses pikiran Abhiññā seseorang dapat mengambil Magga Citta dan Phala Citta itu
dengan kesadaran Jhāna ke lima. Jadi Kāmāvacara dapat mengambil semua Citta sebagai objek. Bahkan
Arahatta-magga dan Arahatta-phala diambil.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, Voṭṭhabbana atau Manodvārāvajjana dapat mengambil semua
objek. Itu terjadi hanya jika berfungsi sebagai kesadaran persiapan menuju proses pikiran
kemahatahuan. Hanya jika itu muncul dalam batin Sang Buddha maka itu dapat mengambil semua
objek – Citta, Cetasika, Rūpa, Nibbāna dan Paññatti.
Apakah objek-objek dari Akusala Citta? Lokiya Citta, Cetasika, Rūpa dan Paññatti adalah objek-objek
dari Akusala Citta. Apakah objek dari kedua jenis kesadaran melihat? Kesadaran melihat mengambil
objek terlihat yang ada saat ini sebagai objek. Apakah objek yang diambil oleh kesadaran-mendengar?
Kesadaran-mendengar mengambil objek berbunyi yang ada saat ini. Kedua jenis kesadaran-hidung
mengambil objek apakah? Objek beraroma atau bau-bauan yang ada saat ini. Dan kedua jenis
kesadaran-lidah mengambil objek apakah? Rasa kecapan yang ada saat ini. Kedua jenis kesadaran-
badan mengambil objek apakah? Sentuhan yang ada saat ini.
Kedua jenis kesadaran penerimaan mengambil objek apakah? Lima objek yang ada saat ini karena
termasuk di antara ketiga Mano-dhātu. Kemudian tiga Santīraṇa, tiga kesadaran penyelidikan
mengambil objek apakah? Apakah objek bagi ketiga ini? 54 Kāmāvacara Citta, 52 Cetasika, 29 Rūpa
adalah objek-objek bagi Santīraṇa.
Sekarang Kāmāvacara kusala. Dua yang pertama, Kāmāvacara Kusala yang disertai dengan
pengetahuan (Ñāṇa-sampayutta), apakah objek dari kedua ini? Keduanya mengambil semua objek
kecuali Arahatta-magga dan Arahatta-phala. Kemudian dua berikutnya, Kāmāvacara Kusala yang tidak
disertai dengan pengetahuan mengambil 81 Lokiya Citta (objek-objek duniawi), 52 Cetasika, 28 Rūpa
dan Paññatti. Dua berikutnya adalah Kāmāvacara kusala yang disertai dengan pengetahuan dan
disertai dengan perasaan tidak peduli. Objek apakah yang diambil? 87 Citta, 52 Cetasika, 28 Rūpa,
Nibbāna dan Paññatti. Kemudian dua Kāmāvacara Sobhana Kusala Citta terakhir yang tidak disertai
dengan Ñāṇa. ini mengambil Lokiya Citta, Cetasika, Rūpa dan Paññatti. Ini berarti mengambil
semuanya kecuali objek-objek Lokuttara.
Sekarang lihat pada Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta. Objek-objek apakah yang diambil? Citta-Citta
ini mengambil 54 Kāṁāvacara Citta, 52 Cetasika dan 28 Rūpa. Bagus.
Sekarang Kāmāvacara Sobhana Kiriya. Dua yang pertama disertai dengan Ñāṇa. Citta-Citta ini
mengambil semua objek. Kemudian nomor tiga dan empat tidak disertai dengan Ñāṇa. Citta-Citta ini
mengambil 81 Lokiya Citta, 52 cetasika, 28 Rūpa dan Paññatti. Kemudian nomor lima dan enam
mengambil semua objek. Tujuh dan delapan mengambil Lokiya Citta, Cetasika, Rūpa dan Paññatti.
Yang lainnya mudah. Lima belas Rūpāvacara Citta mengambil Paññatti. Dan kemudian tiga Citta
Arūpāvacara Jhāna pertama mengambil Paññatti. Paññatti apakah yang diambil? Ruang tanpa batas.
Kemudian tiga Arūpāvacara Jhāna ke dua mengambil objek apakah? Objek Mahaggata. Apakah objek
Mahaggata di sini yang diambil? Kesadaran Arūpāvacara Jhāna pertama. Tiga Citta Arūpāvacara Jhāna
ke tiga juga mengambil Paññatti. Paññatti apakah yang diambil? Kekosongan. Kemudian Arūpāvacara
ke empat mengambil objek Mahaggata. Apakah objek Mahaggata di sini? Kesadaran Arūpāvacara Jhāna
ke tiga. Kemudian Lokuttara Citta lainnya mengambil Nibbāna sebagai objek.
Jika anda tidak ingat, anda buka buku (CMA, III, Tabel 3.5, p.141) dan cari kesadaran apa mengambil
objek apa. Jika anda berusaha menerapkan pengetahuan objek-objek ini pada 121 jenis kesadaran,
maka anda akan lebih mengenal objek-objek dan kesadaran-kesadaran yang mengambil objek-objek
itu. Citta berbeda mengambil objek berbeda. Tidak semua Citta mengambil hanya satu objek.
Seluruhnya ada berapa banyak objek? Ada enam jenis objek. Apakah enam ini? Objek-objek
pemandangan, suara, bau-bauan, rasa kecapan, sentuhan dan Dhamma adalah enam jenis objek ini.
Apakah objek-objek Dhamma? Objek-objek Dhamma adalah materi sensitif, materi halus, Citta,
Cetasika, Nibbāna dan Paññatti. Bagus sekali.
Sekarang Manual mengatakan pada akhir bagian ini,
“25 Jenis kesadaran terhubung dengan objek-objek yang lebih rendah; …” (CMA, III, §19, p.143)
‘Objek-objek yang lebih rendah’ berarti objek-objek Kāmāvacara. 25 jenis kesadaran mengambil hanya
objek-objek Kāmāvacara. Apakah 25 itu? 25 berarti dua kesadaran-mata, dua kesadaran-telinga, dua
kesadaran-hidung, dua kesadaran-lidah, dua kesadaran-badan dan kemudian Mano-dhātu, tiga
Santīraṇa, Hasituppāda dan Kāmāvacara Sobhana Vipāka delapan. Jadi seluruhnya ada 25. 25 Citta ini
mengambil hanya objek-objek Kāmāvacara saja. Citta-Citta ini tidak mengambil objek lainnya; hanya
mengambil objek Kāmāvacara.
Sekarang delapan Kāmāvacara Kusala apakah mengambil objek-objek Kāmāvacara? Ya. Kāmāvacara
Citta termasuk dalam 87 Citta atau lokiya Citta. Citta-Citta ini mengambil objek-objek Kāmāvacara
serta objek-objek lainnya. Tetapi 25 sebelumnya mengambil hanya objek-objek Kāmāvacara saja. Hal
yang sama berlaku untuk Kāmāvacara Kiriya Citta dan seterusnya.
“… enam dengan yang luhur; …” (CMA, III, §19, p.143)
Yang mengambil hanya objek-objek Mahaggata saja, ada berapa banyakkah? Ada enam. Apakah enam
itu? Yaitu tiga Arūpāvacara Jhāna ke dua dan tiga Arūpāvacara Jhāna ke empat. Enam ini mengambil
hanya yang Luhur sebagai objek, tidak mengambil objek lainnya.
“… dua puluh satu dengan konsep; …” (CMA, III, §19, p.143)
21 mengambil hanya konsep saja sebagai objek. Apakah 21 ini? Lima belas Rūpāvacara Citta, tiga Citta
Arūpāvacara pertama dan tiga Citta Arūpāvacara ke tiga – 21 Citta ini mengambil konsep sebagai objek.
Rūpāvacara Jhāna pertama mengambil berapa banyak konsep? Pada Tabel terlihat bahwa ini
mengambil 25 jenis konsep sebagai objek (baca cMA, III, Tabel 3.6, p.142). Citta Jhāna ke dua mengambil
empat belas jenis konsep sebagai objek dan seterusnya.
“… delapan dengan Nibbāna.” (CMA, III, §19, p.143)
Ini berarti delapan mengambil hanya Nibbāna saja sebagai objek. Yaitu delapan Lokuttara Citta atau
empat puluh Lokuttara Citta.
Jadi sekarang anda melihat jenis-jenis kesadaran berbeda memiliki objek-objek yang berbeda. Suatu
kesadaran adalah tidak pernah tanpa objek. Jika tidak ada objek, maka tidak akan ada kesadaran,
karena kesadaran adalah penyadaran atas objek. Jika tidak ada objek, maka tidak akan ada
penyadaran. Maka tidak ada kesadaran. Jadi kesadaran selalu memiliki suatu jenis objek.
Objek-objek ini dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok berbeda. Objek-objek ini dapat dibagi
menjadi enam jenis objek atau menjadi Kāmāvacara, Lokuttara, Paññatti atau kita dapat membaginya
dengan lebih terperinci. Saya tidak ingin melakukannya saat ini karena dapat membingungkan anda.
Ada yang mengambil hanya objek-objek yang ada saat ini saja. Ada yang mengambil objek-objek masa
lalu, masa sekarang dan masa depan, ada yang mengambil hanya realitas mutlak saja, ada yang
mengambil hanya Paññatti saja dan sebagainya. jika anda tidak cukup terbiasa, anda dapat menjadi
bingung. Sekarang kita dapat mencari jenis kesadaran apa mengambil objek apa.

Vatthu-saṅgaha
Menurut Landasan-landasan
Kita menuju ke bagian berikutnya. Bagian berikutnya adalah menurut landasan-landasan, Vatthu.
Apakah enam landasan? Yaitu mata, telinga, hidung, lidah, badan dan landasan-jantung. Jika anda
membandingkan enam ini dengan enam pintu, anda akan melihat bahwa lima landasan dan lima pintu
adalah sama. Sensitivitas-mata adalah sebuah pintu dan juga sebuah landasan. Sensitivitas-telinga
adalah sebuah pintu dan juga sebuah landasan dan seterusnya.
Pintu ke enam dan landasan ke enam berbeda. Pintu ke enam bukan materi, ini bukan Rūpa. Apakah
pintu ke enam (Mano-dvāra)? Apakah pintu-pikiran? Pintu-pikiran adalah Bhavaṅga Citta. Pintu-
pikiran bukanlah Rūpa. Tetapi landasan ke enam adalah landasan-jantung dan itu adalah Rūpa. Di sni
semua landasan adalah materi. Dalam hal pintu, lima pintu adalah materi, tetapi pintu ke enam
bukanlah materi. Ini adalah pikiran.
Ketika sejenis kesadaran muncul pada makhluk-makhluk yang memiliki lima kumpulan unsur
kehidupan, maka kesadaran selalu memerlukan suatu landasan materi atau penyokong fisik untuk
kemunculannya. Ambil contoh kesadaran melihat. Hanya jika ada mata atau sensitivitas-mata maka
kesadaran melihat dapat muncul. Kesadaran melihat bergantung pada sensitivitas-mata untuk
kemunculannya. Oleh karena itu sensitivitas-mata dikatakan sebagai landasan bagi kesadaran-mata.
Kesadaran-mata muncul melalui pintu-mata. Maka sensitivitas-mata berfungsi sebagai pintu dan juga
sebagai penyokong, yaitu penyokong fisik bagi kesadaran-mata. Hal yang sama berlaku untuk
kesadaran-telinga dan seterusnya.
Apakah perbedaannya ketika kita mengatakan suatu kesadaran muncul melalui pintu-mata atau
ketika kita mengatakan suatu kesadaran bergantung pada landasan mata? Jika anda membayangkan
proses pikiran melihat, semua jenis kesadaran yang termasuk dalam proses pikiran itu muncul melalui
pintu-mata (baca CMA, IV, Tabel 4.1, p.155). Kesadaran-kesadaran ini menggunakan pintu-mata untuk
muncul. Tetapi tidak semuanya bergantung pada sensitivitas-mata. Hanya satu di antaranya yang
bergantung pada sensitivitas-mata. Yang lainnya bergantung pada landasan-jantung. Inilah
perbedaannya. Semua jenis kesadaran dalam proses pintu-mata muncul melalui pintu-mata.
Kesadaran-kesadaran ini melewati pintu mata. Tetapi hanya satu di antaranya yang bergantung pada
mata untuk kemunculannya. Yang lainnya bergantung pada landasan-jantung. Inilah perbedaannya.
Karena landasan-landasan ini adalah Rūpa, maka hanya dapat ditemukan di alam-alam di mana
terdapat kumpulan unsur Rūpa. Enam landasan ini terdapat pada binatang-binatang, manusia, para
Deva, dan beberapa Brahma juga. Seluruh enam landasan ini dapat ditemukan dalam Kāmāvacara
Loka, kehidupan alam-indriawi. Ini berarti empat alam sengsara, satu alam manusia dan enam alam
Deva.
Tetapi di alam Brahma atau Rūpāvacara Loka tiga di antaranya tidak ada. Yaitu landasan-hidung,
landasan-lidah dan landasan-badan. Mereka yang mempraktikkan Jhāna harus menjauhi objek-objek
indria. Mereka yang mempraktikkan Jhāna sebenarnya harus mempertahankan kebosanan terhadap
objek-objek indria. Ketika mereka bosa terhadap objek-objek indria atau tidak tertarik pada objek-
objek indria, maka mereka juga tidak tertarik pada organ-organ yang mengambil objek-objek indria
tersebut sebagai objek. Jadi biasanya kita dapat mengatakan bahwa mereka tidak tertarik pada objek
indria apapun. Kasus ini tidak seperti itu. Mereka tidak tertarik pada kesadaran-hidung, kesadaran-
lidah, kesadaran-badan karena hal-hal itu dapat melanjutkan atau menghasilkan pertumbuhan Lobha,
Dosa dan Moha, kekotoran batin. Mereka tertarik pada melihat dan mendengar karena dengan mata
mereka dapat melihat Sang Budha dan dengan telinga mereka dapat mendengar Dhamma. Untuk
melihat Sang Buddha dan mendengar Dhamma mereka membiarkan kedua ini tetap ada. Ketika
mereka terlahir kembali sebagai Brahma, ketiga sensitivitas ini, hidung, lidah dan badan tidak
dihasilkan. Mereka terlahir kembali tanpa ketiga jenis sensitivitas ini. Ini bukan berarti bahwa para
Brahma tidak memiliki hidung, lidah dan badan. Mereka memiliki hidung, lidah dan badan, tetapi
tidak memiliki sensitivitas. Jadi mereka tidak mengalami bau-bauan. Mereka tidak mengalami rasa
kecapan. Mereka tidak mengalami sentuhan. Mereka memiliki tubuh yang kurang lebih seperti
manusia. Jadi mereka memiliki hidung. Mereka memiliki lidah atau jika tidak demikian maka mereka
tidak bisa berbicara. Mereka memiliki tubuh. Karena mereka tidak memiliki sensitivitas pada organ-
organ ini, maka mereka tidak memiliki indria penciuman, kecapan dan sentuhan. Ketiga ini tidak ada
pada para Brahma. Ini adalah Brahma Rūpāvacara.
Bagaimana dengan Arūpāvacara Brahma? Mereka tidak memiliki landasan-landasan. Ini karena
mereka membenci segala jenis Rūpa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Rūpa. Jadi ketika
terlahir kembali, mereka terlahir kembali hanya sebagai Citta dan Cetasika saja. Jadi tidak ada Rūpa
yang muncul pada momen kelahiran kembali mereka dan seumur hidup mereka. Tidak ada satupun
dari enam landasan ini yang dapat ditemukan pada Arūpāvacara Brahma. Dalam Kāmāvacara Loka
seluruh enam ini dapat ditemukan. Dalam Rūpāvacara Brahma dapat ditemukan landasan-mata,
landasan-telinga dan landasan-jantung. Hanya tiga ini yang dapat ditemukan di sana. Tetapi di antara
para Arūpāvacara Brahma tidak ada apapun sama sekali yang dapat ditemukan.
Sekali lagi di antara makhluk-makhluk Kāmāvacara kadang-kadang tidak semua enam landasan ini
lengkap. Mereka yang terlahir buta, mereka yang terlahir tuli mungkin kurang dalam hal landasan-
mata atau landasan-telinga dan seterusnya. Mereka dapat berbeda. Umumnya seorang yang terlahir
di alam Kāmāvacara akan memiliki seluruh enam landasan.
Enam landasan ini berfungsi sebagai penyokong fisik bagi munculnya kesadaran. Jenis kesadaran
berbeda bergantung pada landasan yang berbeda. Sekarang landasan ke enam disebut landasan-
jantung. Selalu ada kesulitan sehubungan dengan landasan-jantung. Kita akan memiliki topik yang
harus didiskusikan ketika kita sampai pada bab enam. Bahkan dalam Abhidhamma sendiri, dalam buku
Abhidhamma ke tujuh yang dianggap sebagai otoritas tertinggi, Sang Buddha tidak menyebutkan kata
‘jantung’. Beliau berkata,
“Materi itu yang dengan bergantung padanya maka elemen-pikiran dan elemen-kesadaran-pikiran
muncul.”
Beliau menggunakan frasa seperti itu dalam Paṭṭhāna. Ini berarti dengan bergantung pada materi
tertentu, properti tertentu, maka elemen-pikiran dan elemen-kesadaran-pikiran muncul. Sang
Buddha tidak mengatakan dengan bergantung pada landasan-jantung. Beliau berkata dengan
bergantung pada jenis materi tertentu. Frasa “jenis materi tertentu” diinterpretasikan oleh para
Komentator sebagai bermakna jantung. Pada masa Sang Buddha saya pikir teori jantung sebagai
landasan bagi kesadaran telah diterima, mungkin tanpa dipertanyakan. Jadi para Komentator
menganggap kata “sejenis properti materi tertentu”, sebagai bermakna landasan-jantung.
Juga saya pikir pasti ada alasan lain bagi mereka untuk menganggap jantung sebagai landasan bagi
kesadaran. Ketika anda marah, jantung anda berdegup. Ketika anda sedih, anda merasakan sesuatu
yang berat di sana. Itu mungkin disebabkan oleh pikiran yang mempengaruhi landasannya. Jantung
diinterpretasikan sebagai bermakna jenis properti materi tertentu.
Dalam penggunaan umum juga kata ‘jantung’ digunakan untuk pikiran. Bahkan dalam dalam Bahasa
Inggris kita mengatakan ‘Kind-hearted’ (“baik hati”, penj.)19 atau semacam itu. Terdapat suatu
hubungan antara jantung dan kesadaran pada masa itu. Tetapi sekarang terdapat guru-guru yang
mengatakan karena Sang Buddha tidak secara khusus mengatakan bahwa kesadaran bergantung pada
jantung, maka kita boleh menganggap otak sebagai landasan fisik bagi kesadaran. Ini adalah suatu
pertanyaan terbuka. Kita tidak dapat sampai pada kesimpulan pasti.
Marilah kita menerima bahwa ada enam landasan bagi kesadaran – landasan-mata, landasan-telinga,
landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan dan landasan-jantung. Sekarang kita akan mencari
jenis kesadaran apa yang bergantung pada landasan apa. Ini tidak begitu sulit. Anda dapat melihat
pada Tabel (baca CMA, III, Tabel 3.8, p.147). Jenis-jenis kesadaran yang manakah yang bergantung pada
landasan-jantung? Anda sudah mengetahuinya. Kedua jenis kesadaran-mata bergantung pada
landasan-mata. Kedua jenis kesadaran-telinga bergantung pada landasan-telinga. Kedua jenis
kesadaran-hidung bergantung pada landasan-hidung. Kedua jenis kesadaran-lidah bergantung pada
landasan-lidah. Kedua jenis kesadaran-badan bergantung pada landasan-badan. Sampai di sini masih
mudah.
Kemudian kita sampai pada landasan-jantung. Beberapa Citta muncul dengan selalu bergantung pada
landasan-jantung. Citta-Citta lainnya muncul dengan kadang-kadang bergantung pada landasan-
jantung (baca CMA, III, Tabel 3.8, p.147). Ada Citta yang muncul selalu dengan landasan-jantung.
Apakah yang kita temukan? Kita menemukan dua Dosamūla Citta. Kedua Dosamūla Citta selalu muncul
dengan bergantung pada landasan-jantung. Mengapakah? Jika anda melihat pada semua jenis
kesadaran ini (seluruhnya ada 33), tidak ada satupun yang muncul di alam Arūpāvacara. Yang tidak
muncul di alam Arūpāvacara selalu bergantung pada landasan-jantung. Kemudian kita harus
menemukan mengapa jenis-jenis kesadaran ini tidak muncul di alam Arūpāvacara. Kedua Dosamūla
Citta tidak muncul di alam Arūpāvacara. Dosa adalah rintangan batin yang pasti. Untuk mencapai
Jhāna, bahkan Rūpāvacara Jhāna, seseorang harus mengatasi kelima rintangan batin yang termasuk
Dosa. Itulah sebabnya mengapa bahkan di alam Rūpāvacara, kedua jenis kesadaran ini tidak muncul.
Bukan karena para Brahma ini telah melenyapkan kedua Citta ini, melainkan karena mereka terlahir
sebagai Brahma dan dengan kekuatan Jhāna mereka maka kedua Citta ini tidak muncul selama mereka
di sana sebagai Brahma. Jika mereka meninggal dunia dari alam itu dan menjadi Deva atau manusia,
maka mereka mungkin memperoleh Dosamūla Citta lagi. Selama mereka adalah Brahma, kedua Citta
ini tidak akan muncul pada mereka. Bahkan dalam batin para Rūpāvacara Brahma kedua Citta ini tidak

19
Kata Bahasa Inggris ‘Kind-hearted’ diterjemahkan menjadi “baik hati” dengan ‘heart’ diterjemahkan sebagai
‘hati’ dalam ungkapan umum Bahasa Indonesia, namun kata ‘Heart’ secara harfiah berarti “jantung” (Penj.)
muncul apalagi dalam batin para Arūpāvacara Brahma. Karena kedua Dosamūla Citta ini tidak muncul
dalam batin Arūpāvacara Brahma, kedua Citta itu selalu bergantung pada landasan-jantung.
Apakah yang berikutnya? Yang berikutnya adalah elemen-pikiran tiga – Pañcadvārāvajjana dan dua
Sampaṭicchana. Ketiga ini muncul melalui pintu apakah? Ketiga ini muncul melalui pintu-mata, pintu-
telinga, pintu-hidung, pintu-lidah, pintu-badan. Ketiga ini muncul melalui lima pintu. Lima pintu ini
adalah lima Rūpa. Tidak ada rūpa di alam Arūpāvacara. Jadi ketiga ini tidak muncul di sana.
Bagaimana dengan penyelidikan? Penyelidikan memiliki fungsi berbeda. Ketika Citta-Citta ini sedang
melakukan fungsi penyelidikan, Citta-Citta ini muncul melalui lima pintu. Ketika sedang melakukan
fungsi Tadārammaṇa, maka Citta-Citta ini memerlukan objek Kāmāvacara, Kāmāvacara Javana dan
alam Kāmāvacara. Jadi Arūpāvacara bukanlah Kāmāvacara. Ketika kedua Upekkhā Santīraṇa memiliki
fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti, Citta-Citta ini muncul hanya di alam Kāmāvacara. Jadi Citta-
citta ini tidak muncul di alam Arūpāvacara. Oleh karena itu, Citta-Citta ini selalu bergantung pada
landasan-jantung.
Kemudian kesadarnan senyuman sangat mudah dipahami. Jika anda tidak memiliki Rūpa, maka anda
tidak dapat tersenyum. Jadi para Brahma Arūpāvacara atau tanpa materi tidak dapat tersenyum.
Kemudian Kāmāvacara Vipāka delapan Citta memiliki fungsi Tadārammaṇa, Paṭisandhi, Bhavaṅga dan
Cuti, Citta-Citta ini muncul hanya di alam Kāmāvacara saja. Dan juga jika melakukan fungsi
Tadārammaṇa, maka Citta-Citta ini hanya muncul di alam Kāmāvacara. Anda akan mengetahui lebih
banyak tentang hal ini pada bab berikutnya. Agar Tadārammaṇa dapat muncul maka harus ada tiga
kondisi. Harus ada Kāmāvacara Javana, objek Kāmāvacara dan harus berada di alam Kāmāvacara.
Lima belas Rūpāvacara Citta mengambil gambaran Kasiṇa dan yang lainnya sebagai objek. Citta-Citta
ini mengambil konsep sebagai objek, tetapi konsep-konsep ini terhubung dengan Rūpa. Para Brahma
Arūpāvacara membenci Rūpa. Karena mereka membenci Rūpa, maka mereka membenci segala sesuatu
yang berhubungan dengan Rūpa. Maka mereka juga tidak menginginkan Rūpāvacara Citta.
Rūpāvacara Citta tidak dapat muncul di alam Arūpāvacara. Setelah anda terlahir kembali sebagai
Arūpāvacara Brahma, anda tidak dapat masuk ke dalam Jhāna pertama, Jhāna ke dua dan seterusnya.
Maka Citta-Citta ini selalu bergantung pada landasan-jantung.
Yang terakhir adalah Jalan Memasuki-arus, Sotāpatti-magga Citta. Sotāpatti-magga Citta tidak dapat
muncul di alam Arūpāvacara. Mengapakah? Agar seseorang dapat menjadi seorang Sotāpanna, ia
selalu memerlukan instruksi dari orang lain – dari sorang Buddha, dari Arahant lain, atau dari seorang
guru. Jika ia tidak mendapatkan instruksi, maka ia tidak akan mengetahui bagaimana berlatih
meditasi. Maka ia tidak akan menjadi seorang Sotāpanna. Agar seseorang dapat menjadi seorang
Sotāpanna ia selalu memerlukan seorang guru; ia selalu perlu mendengarkan instruksi dari seorang
guru, dari seorang Buddha atau Arahant. Para Brahma Arūpāvacara tidak memiliki telinga. Jadi
mereka tidak dapat mendengar. Karena mereka tidak dapat mendengar instruksi, jika mereka terlahir
sebagai Putthujjana di sana, maka mereka tidak akan menjadi tercerahkan di alam itu.
Bagaimana dengan para Buddha dan Pacceka Buddha? Apakah mereka perlu mendengarkan sesuatu
dari orang lain? Tidak. Benar bahwa para Buddha dan para Pacceka Buddha tidak perlu mendengar
apapun dari orang lain, tetapi para Buddha dan para Pacceka Buddha hanya muncul di alam manusia.
Hanya manusia yang dapat menjadi Buddha dan Pacceka Buddha. Para Deva tidak akan menjadi
Buddha atau Pacceka Buddha. Para Brahma tidak akan menjadi Buddha atau Pacceka Buddha. Maka
Sotāpatti-magga Citta tidak dapat muncul di alam Arūpāvacara.
Itulah sebabnya mengapa empat alam Arūpāvacara dikatakan sebagai Akkhaṇa dalam Pāḷi. itu berarti
tempat yang tidak sesuai. Yang berarti jika anda terlahir sebagai Brahma Arūpāvacara sebagai seorang
Puthujjana, maka anda tidak akan menjadi seorang Ariya di sana. Ini tidak dianggap sebagai tempat
yang baik untuk terlahir kembali.
33 Citta ini tidak muncul pada para Brahma Arūpāvacara. Citta-Citta ini dikatakan selalu bergantung
pada landasan-jantung. Kapanpun Citta-Citta ini muncul, harus ada landasan-jantung sebagai
penyokongnya.
Citta lainnya yang memiliki landasan-jantung sebagai penyokongnya kadang-kadang muncul di alam
Arūpavacara serta di alam Rūpāvacara dan Kāmāvacara. Citta-Citta ini dikatakan kadang-kadang
bergantung pada landasan-jantung. Ini berarti ketika Citta-Citta ini muncul di alam Kāmāvacara dan
Rūpāvacara, Citta ini akan bergantung pada landasan-jantung. Ketika muncul di alam Arūpāvacara,
Citta-Citta ini tidak bergantung pada landasan-jantung. Seluruhnya ada 42 jenis kesadaran yang
kadang-kadang bergantung pada landasan-jantung. Yaitu Lobhamūla Citta, Mohamūla Citta,
Manodvārāvajjana, Kāmāvacara Sobhana Kusala, Kāmāvacara Sobhana Kiriya, Arūpāvacara Kusala,
Arūpāvacara Kiriya dan Citta-Citta Adi-dunaiwi selain Sotāpatti-magga. 42 Citta ini bergantung pada
landasan-jantung ketika muncul di alam Kāmāvacara dan Rūpāvacara dan tidak bergantung pada
landasan-jantung ketika muncul di alam Arūpāvacara.
Kemudian yang terakhir tanpa landasan. Arūpāvacara Vipāka hanya muncul di alam Arūpāvacara.
Citta-Citta ini tidak memiliki landasan sama sekali. Arūpāvacara Kusala dan Arūpāvacara Kiriya
kadang-kadang bergantung pada landasan-jantung ketika muncul pada manusia, Deva atau Brahma
Rūpāvacara. Ketika muncul pada Brahma Arūpāvacara, Citta-Citta ini tidak bergantung pada landasan-
jantung. Hanya empat Arūpāvacara Vipāka Citta yang tanpa landasan karena tidak ada Rūpa sama
sekali.
Sekarang anda tahu landasan-landasan. Pada bab pertama ketika kita mempelajari Ahetuka Citta, saya
telah memberikan penjelasan sehubungan dengan mengapa dua jenis kesadaran melihat disertai
dengan Upekkhā. Apakah anda masih ingat? Citta-Citta Telinga, hidung, lidah juga disertai dengan
Upekkhā. Dua jenis kesadaran-badan dapat disertai dengan Sukha atau Dukkha. Saya pikir saya telah
menjelaskannya. Apakah saya telah menjelaskan mengapa Pañcadvārāvajjana disertai dengan
Upekkhā, dan mengapa dua Santīraṇa disertai dengan Upekkhā dan satu dengan Somanassa? Saya
tidak ingat. Saya pikir saya belum menjelaskannya pada waktu itu karena untuk memahami penjelasan
itu anda harus sudah memahami landasan-landasan.
Jika anda ingat proses pikiran, maka anda akan ingat bahwa pertama-tama ada tiga momen Bhavaṅga.
Segera setelah momen Bhavaṅga, terdapat pengalihan-lima-pintu-indria (Pañcadvārāvajjana) dan
kemudian kesadaran melihat, penerimaan, penyelidikan, keputusan dan Javana Citta. Apakah
landasan dari Bhavaṅga Citta? Bhavaṅga Citta memiliki landasan-jantung. Juga apakah landasan bagi
Pañcadvārāvajjana? Pañcadvārāvajja memiliki landasan-jantung. Apakah landasan bagi kesadaran
melihat? Kesadaran melihat memiliki landasan-mata. Apakah landasan bagi penerimaan, penyelidikan
dan seterusnya? Citta-Citta ini memiliki landasan-jantung. Citta Pengalihan-lima-pintu-indria
(Pañcadvārāvajjana) dan kesadaran-mata tidak bergantung pada landasan yang sama. Keduanya
bergantung pada landasan yang berbeda. Ketika satu Citta harus menyokong Citta lainnya, Citta ini
menjadi kuat hanya jika menyokong Citta lain dengan landasan yang sama. Jika menyokong Citta
dengan landasan berbeda, maka dikatakan sebagai lemah. Jadi genggaman Pañcadvārāvajjana pada
objek adalah lemah. Karena lemah, maka tidak akan ada Somanassa atau Domanassa, hanya Upekkhā.
Segera setelah Bhavaṅga, Pañcadvārāvajja muncul pertama dan harus mengambil objek yang baru.
Ada tiga alasan mengapa Pañcadvārāvajjana disertai dengan Upekkhā. Pañcadvārāvajjana harus
muncul pertama. Ketika anda pertama datang ke suatu tempat, anda masih belum kokoh. Kemudian
anda harus mengambil objek yang baru. Sekali lagi ketika anda sampai ke suatu tempat yang baru,
anda masih belum kokoh. Kemudian anda harus menyokong Citta yang memiliki landasan berbeda. Ini
seperti menyokong seseorang yang berkewarganegaraan berbeda atau semacam itu. Karena tiga
alasan ini maka Pañcadvārāvajjana tidak dapat disertai dengan Somanassa. Pañcadvārāvajja disertai
dengan Upekkhā.
Kemudian setelah Pañcadvārāvajjana ada Cakkhu-viññāṇa. Cakkhu-viññāṇa disertai dengan Upekkhā.
Ini telah saya jelaskan. Kesadaran penerimaan (Sampaṭicchana) memiliki landasan-jantung. Kesadaran
melihat memiliki landasan-mata. Landasannya berbeda. Jadi seseorang yang memperoleh sokongan
dari orang lain yang bukan berasal dari ras yang sama adalah tidak begitu kuat. Maka Sampaṭicchana
disertai dengan Upekkhā. Sampaṭicchana tidak dapat disertai dengan Somanassa atau Domanassa.
Sampaṭicchana tidak memperoleh sokongan yang kuat karena kesadaran yang mendahuluinya
bergantung pada landasan berbeda.
Bagaimana dengan Santīraṇa? jika objeknya adalah objek yang sangat disukai, maka Santīraṇa disertai
dengan Somanassa. Jika objeknya hanya disukai secara biasa, maka ini disertai dengan Upekkhā.
Santīraṇa juga bergantung pada landasan-jantung. Sampaṭicchana juga bergantung pada landasan-
jantung. Jadi ini agak kuat. Santīraṇa memperoleh sokongan dari Sampaṭicchana yang memiliki
landasan yang sama, maka agak kuat. Jika ini adalah hasil dari Akusala, maka disertai dengan Upekkhā.
Jika ini adalah hasil dari Kusala, maka disertai dengan Somanassa atau Upekkhā.
Berikutnya ada Voṭṭhabbana. Voṭṭhabbana adalah Manodvārāvajjana. Jika ini adalah
Manodvārāvajjana, maka ini harus mengambil objek terlebih dulu. Pada proses pikiran pintu-pikiran
bukan pada Pañcadvārāvajjana terdapat Manodvārāvajjana. Ini harus muncul terlebih dulu dan
mengambil objek terlebih dulu. Setelah Manodvārāvajjana adalah Javana. Walaupun keduanya
bergantung pada landasan yang sama, namun kategorinya berbeda. Manodvārāvajjana termasuk
Ahetuka. Javana termasuk dalam Kusala, Akusala dan Kiriya. Citta ini memiliki sejenis kepedulian
untuk menyokong kesadaran berikutnya yang bukan dari genus yang sama. Bukan dari ras yang sama.
Jadi ini tidak begitu kuat. Ini juga disertai dengan Upekkhā. Manodvārāvajjana dan Pañcadvārāvajjana
keduanya disertai dengan Upekkhā. Untuk memahami penjelasan ini anda perlu memahami landasan-
landasan.
Pada Manual halaman 148,
“Harus diketahui bahwa di alam-indriawi tujuh elemen adalah bergantung pada enam landasan, …”
(CMA , III, §22, p.148)
Citta dibagi menjadi elemen-elemen – elemem-kesadaran-mata, elemen-kesadaran-telinga, elemen-
kesadaran-hidung, elemen-kesadaran-lidah, elemen-kesadaran-badan, elemen-pikiran, dan elemen-
kesadaran-pikiran. Adalah aneh ada elemen-pikiran dan elemen-kesadaran-pikiran, tetapi memang
disebut seperti ini. Jadi ada tujuh jenis elemen. Dalam Pāḷi ini disebut Viññāṇa-dhātu. Istilah-istilah
ini digunakan, jadi adalah baik untuk membiasakan diri dengan istilah-istilah ini. Kedua jenis melihat
disebut elemen-kesadaran-mata. Ini serupa untuk telinga, hidung, lidah dan badan. Kita mengetahui
bahwa dalam elemen-pikiran ada tiga. Selebihnya, seluruhnya 76, disebut elemen-kesadaran-pikiran.
Dalam Pāḷi disebut Cakkhu-viññāṇa-dhātu, Sota-viññāṇa-dhātu, Ghāna-viññāṇa-dhātu, Jivhā-
viññāṇa-dhātu, Kāya-viññāṇa-dhātu, Mano-dhātu, dan Mano-viññāṇa-dhātu. Ketujuh elemen ini
bergantung pada enam landasan. Ini hanyalah pernyataan umum. Ini berarti semua jenis kesadaran
bergantung pada enam landasan.
“… di alam bermateri-halus empat bergantung pada tiga landasan, …” (CMA, III, §22, p.148)
Empat elemen bergantung pada tiga landasan. Apakah tiga landasan? Brahma memiliki landasan-
mata, landasan-telinga dan landasan-jantung. Apakah empat elemen? Empat elemen adalah elemen-
kesadaran-mata, elemen-kesadaran-telinga, elemen-pikiran dan elemen-kesadaran-pikiran. Di alam
bermateri-halus empat elemen bergantung pada tiga landasan.
“… di alam tanpa materi satu elemen tidak bergantung pada apapun.” (CMA, III, §22, p.148)
Apakah satu elemen itu? Yang terakhir, elemen-kesadaran-pikiran adalah satu elemen itu. Ini tidak
bergantung pada apapun. Jadi tidak ada landasan.
“43 (jenis kesadaran) muncul dengan bergantung pada satu landasan.” (CMA, III, §22, p.148)
Satu landasan dapat berupa landasan-mata, landasan-telinga dan seterusnya. Yang manakah 43? 43
adalah kesadaran-mata, kesadaran-telinga, dan kemudian 33 jenis kesadaran yang bergantung pada
landasan-jantung.
“42 muncul dengan atau tanpa landasan.” (CMA, III, §22, p.148)
Ini berarti 42 yang muncul kadang-kadang dengan landasan-jantung (baca CMA, III, Tabel 3.8, p.147).
“Hasil tanpa materi muncul tanpa landasan apapun.” (CMA, III, §22, p.148)
Arūpāvacara Vipāka adalah tanpa landasan.
Kita sampai pada akhir dari bab tiga. Bab ke tiga ini membahas tentang perasaan (Vedanā), akar (Hetu),
fungsi (Kicca), pintu (Dvāra), objek (Ārammana) dan landasan (Vatthu).
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
[Akhir dari Bab Tiga]

Anda mungkin juga menyukai