Anda di halaman 1dari 7

40.

Moggallānasaṃyutta
Kelompok Khotbah tentang Moggallāna

1 Jhāna Pertama

Pada suatu ketika Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta,
Taman Anāthapiṇḍika. [263] Di sana Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada para
bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu!”1

“Teman!” para bhikkhu itu menjawab. Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata sebagai berikut:

“Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah perenungan
muncul dalam pikiranku: ‘Dikatakan, “jhāna pertama, jhāna pertama.” Apakah jhāna pertama
itu?’

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, dengan terasing dari kenikmatan indria,
terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam
jhāna pertama, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan, dengan sukacita dan
kebahagiaan yang timbul dari keterasingan. Ini disebut jhāna pertama.’

“Kemudian, teman-teman, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-
kondisi tidak bermanfaat, aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … Sewaktu aku
berdiam di sana, persepsi dan perhatian yang disertai dengan sensualitas menyerangku.2

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku dengan mengerahkan kekuatan


spiritualNya dan berkata: ‘Moggallāna, Moggallāna, jangan lengah, brahmana, sehubungan
dengan jhāna pertama. Kokohkan pikiranmu dalam jhāna pertama, pusatkan pikiranmu
dalam jhāna pertama, konsentrasikan pikiranmu dalam jhāna pertama.’ Kemudian, teman-
teman, pada kesempatan lainnya, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari
kondisi-kondisi tidak bermanfaat, aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai
dengan pemikiran dan pemeriksaan, dengan sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari
keterasingan.

“Jika, teman-teman, seorang yang berkata benar dapat mengatakan mengenai seseorang: ‘Ia
adalah seorang siswa yang mencapai kemuliaan pengetahuan langsung3 dengan bantuan Sang
Guru,’ adalah aku yang dikatakan oleh seorang yang berkata benar itu.”
2 Jhāna ke Dua

… “Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah
perenungan muncul dalam diriku: ‘Dikatakan, “jhāna ke dua, jhāna ke dua.” Apakah jhāna ke
dua itu?’4

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, [264] dengan meredanya pemikiran dan
pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki
keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, yang tanpa pemikiran dan pemeriksaan, dan
memiliki sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi. Ini disebut jhāna ke dua.’

“Kemudian, teman-teman, dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, aku masuk dan
berdiam dalam jhāna ke dua … Sewaktu aku berdiam di sana, persepsi dan perhatian yang
disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan menyerangku.

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku … (sama seperti sutta (1) dengan
menggantikan jhāna pertama menjadi jhāna ke dua) … adalah aku yang dikatakan oleh
seorang yang berkata benar itu.”

3 Jhāna Ke Tiga

… “Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah
perenungan muncul dalam diriku: ‘Dikatakan, “jhāna ke tiga, jhāna ke tiga.” Apakah jhāna ke
tiga itu?’

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, dengan meluruhnya sukacita, seorang
bhikkhu berdiam dengan seimbang dan, dengan penuh perhatian dan memahami dengan
jernih, ia mengalami kebahagiaan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga
yang dikatakan oleh para mulia: “Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam
dengan bahagia.” Ini disebut jhāna ke tiga.’

“Kemudian, teman-teman, dengan meluruhnya sukacita … aku masuk dan berdiam dalam
jhāna ke tiga … Sewaktu aku berdiam di sana, persepsi dan perhatian yang disertai oleh
sukacita menyerangku. [265]

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku (sama seperti sutta (1) dengan
menggantikan jhāna pertama menjadi jhāna ke tiga) … adalah aku yang dikatakan oleh
seorang yang berkata benar itu.”

4 Jhāna Ke Empat

… “Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah
perenungan muncul dalam diriku: ‘Dikatakan, “jhāna ke empat, jhāna ke empat.” Apakah
jhāna ke empat itu?’
“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, dengan meninggalkan kenikmatan dan
kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan ketidak-senangan, seorang
bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat yang tidak-menyakitkan juga tidak-
menyenangkan dan termasuk pemurnian perhatian oleh keseimbangan. Ini disebut jhāna ke
empat.’

“Kemudian, teman-teman, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan … aku masuk dan
berdiam dalam jhāna ke empat … Sewaktu aku berdiam di sana, persepsi dan perhatian yang
disertai oleh kebahagiaan menyerangku.

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku (sama seperti sutta (1) dengan
menggantikan jhāna pertama menjadi jhāna ke empat) … adalah aku yang dikatakan oleh
seorang yang berkata benar itu.”

5 Landasan Ruang Tanpa Batas

… “Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah
perenungan muncul dalam diriku: ‘Dikatakan, “landasan ruang tanpa batas, landasan ruang
tanpa batas.” Apakah landasan ruang tanpa batas itu?’

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, dengan sepenuhnya melampaui persepsi
bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi sentuhan indria, dengan tanpa perhatian pada
persepsi yang beraneka-ragam, menyadari bahwa “ruang adalah tanpa batas,” seorang
bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ini disebut landasan ruang
tanpa batas.’

“Kemudian, teman-teman, dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk … aku


masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Sewaktu aku berdiam di sana, persepsi
dan perhatian yang disertai oleh bentuk-bentuk menyerangku.

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku (sama seperti sutta (1) dengan
menggantikan jhāna pertama menjadi landasan ruang tanpa batas) … adalah aku yang
dikatakan oleh seorang yang berkata benar itu.”

6 Landasan Kesadaran Tanpa Batas

… “Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah
perenungan muncul dalam diriku: ‘Dikatakan, “landasan kesadaran tanpa batas, landasan
kesadaran tanpa batas.” Apakah landasan kesadaran tanpa batas itu?’ [267]

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, dengan sepenuhnya melampaui landasan
ruang tanpa batas, menyadari bahwa “kesadaran adalah tanpa batas,” seorang bhikkhu masuk
dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ini disebut landasan kesadaran tanpa
batas.’
“Kemudian, teman-teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas,
menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ aku masuk dan berdiam dalam landasan
kesadaran tanpa batas. Sewaktu aku berdiam di sana persepsi dan perhatian yang disertai oleh
landasan ruang tanpa batas menyerangku.

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku (sama seperti sutta (1) dengan
menggantikan jhāna pertama menjadi landasan kesadaran tanpa batas) … adalah aku yang
dikatakan oleh seorang yang berkata benar itu.”

7 Landasan Kekosongan

… “Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah
perenungan muncul dalam diriku: ‘Dikatakan, “landasan kekosongan, landasan kekosongan.”
Apakah landasan kekosongan itu?’

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, dengan sepenuhnya melampaui landasan
kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa “tidak ada apa-apa,” seorang bhikkhu masuk dan
berdiam dalam landasan kekosongan. Ini disebut landasan kekosongan.’

“Kemudian, teman-teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas,


menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ aku masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.
Sewaktu aku berdiam di sana, persepsi dan perhatian yang disertai oleh landasan kesadaran
tanpa batas menyerangku.

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku (sama seperti sutta (1) dengan
menggantikan jhāna pertama menjadi landasan kekosongan) … adalah aku yang dikatakan
oleh seorang yang berkata benar itu.”

8 Landasan Bukan Persepsi juga Bukan Bukan-Persepsi

… “Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah
perenungan muncul dalam diriku: ‘Dikatakan, “landasan bukan persepsi juga bukan bukan-
persepsi, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.” Apakah landasan bukan
persepsi juga bukan bukan-persepsi itu?’

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, dengan sepenuhnya melampaui landasan
kekosongan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan
bukan-persepsi. Ini disebut landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’

“Kemudian, teman-teman, dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, aku masuk


dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Sewaktu aku
berdiam di sana, persepsi dan perhatian yang disertai oleh landasan kekosongan
menyerangku.
“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku (sama seperti sutta (1) dengan
menggantikan jhāna pertama menjadi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi)
… adalah aku yang dikatakan oleh seorang yang berkata benar itu.”

9 Tanpa Gambaran

… “Di sini, teman-teman, sewaktu aku sedang sendirian dalam keterasingan, sebuah
perenungan muncul dalam diriku: ‘Dikatakan, “konsentrasi pikiran tanpa gambaran,
konsentrasi pikiran tanpa gambaran.” Apakah konsentrasi pikiran tanpa gambaran itu?’5

“Kemudian, teman-teman, aku berpikir: ‘Di sini, [269] dengan tanpa-perhatian pada segala
gambaran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran.
Ini disebut konsentrasi pikiran tanpa gambaran.’

“Kemudian, teman-teman, dengan tanpa-perhatian pada segala gambaran, aku masuk dan
berdiam dalam konsentrasi pikiran tanpa gambaran. Sewaktu aku berdiam di sana,
kesadaranku mengikuti bersama dengan gambaran-gambaran.6

“Kemudian, teman-teman, Sang Bhagavā mendatangiku (sama seperti sutta (1) dengan
menggantikan jhāna pertama menjadi konsentrasi pikiran tanpa gambaran) … adalah aku
yang dikatakan oleh seorang yang berkata benar itu.”

10 Sakka
I
Pada suatu ketika Yang Mulia Mahāmoggallāna sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta,
Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, bagaikan seorang kuat merentangkan lengannya yang
tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahāmoggallāna lenyap dari
Hutan Jeta dan muncul kembali di antara para deva Tāvatiṃsa. Kemudian Sakka, raja para
deva, mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna bersama dengan lima ratus devatā. [270]
Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna dan berdiri di
satu sisi. Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:

“Adalah baik, raja para deva, berlindung pada Buddha … Dhamma … Saṅgha. Karena dengan
berlindung pada Buddha … Dhamma … Saṅgha, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya
jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.”

II

Kemudian Sakka, raja para deva, mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna bersama dengan
lima ratus devatā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna
dan berdiri di satu sisi. Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:

“Adalah baik, raja para deva, memiliki keyakinan tak tergoyahkan kepada Sang Buddha
sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, sempurna
dalam pengetahuan sejati dan perilaku, sempurna menempuh sang jalan, Pengenal dunia,
Pemimpin yang tiada taranya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, Guru para deva dan
manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Karena dengan memiliki keyakinan tak tergoyahkan
kepada Sang Buddha, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian,
terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.

“Adalah baik, raja para deva, memiliki keyakinan tak tergoyahkan kepada Dhamma sebagai
berikut: [272] ‘Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat
langsung, segera, mengundang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami
sendiri oleh para bijaksana.’ Karena dengan memiliki keyakinan tak tergoyahkan kepada
Dhamma, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir
kembali di alam yang baik, di alam surga.

“Adalah baik, raja para deva, memiliki keyakinan tak tergoyahkan kepada Saṅgha sebagai
berikut: ‘Saṅgha siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan
yang lurus, mempraktikkan jalan sejati, mempraktikkan jalan yang semestinya; yaitu, empat
pasang makhluk, delapan jenis individu – Saṅgha siswa Sang Bhagavā ini layak menerima
pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima
penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia.’ Karena dengan memiliki keyakinan
tak tergoyahkan kepada Saṅgha, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani,
setelah kematian, terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.

“Adalah baik, raja para dewa, memiliki moralitas yang disukai oleh para mulia, yang tidak
rusak, tidak robek, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak
dicengkeram, menuntun pada konsentrasi. Karena dengan memiliki moralitas yang disukai
oleh para mulia, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian,
terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga.”

III

Kemudian Sakka, raja para deva, mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna bersama dengan
lima ratus devatā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna
dan berdiri di satu sisi. Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:

“Adalah baik, raja para deva, berlindung pada Sang Buddha … Dhamma … Saṅgha. Karena
dengan berlindung pada Sang Buddha, beberapa makhluk di sini, [275] dengan hancurnya
jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga. Mereka
melampaui para deva lain dalam sepuluh hal: dalam hal umur kehidupan surgawi, dalam hal
keelokan surgawi, dalam hal kebahagiaan surgawi, dalam hal kemasyhuran surgawi, dalam
hal kekuasaan surgawi, dan dalam hal bentuk-bentuk surgawi, suara-suara surgawi, bau-
bauan surgawi, rasa kecapan surgawi, dan objek-objek sentuhan surgawi.

IV

Kemudian Sakka, raja para deva, mendatangi Yang Mulia Mahāmoggallāna bersama dengan
lima ratus devatā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Yang Mulia Mahāmoggallāna
dan berdiri di satu sisi. [277] Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepadanya:
“Adalah baik, raja para deva, memiliki keyakinan tak tergoyahkan kepada Sang Buddha …
Dhamma … Saṅgha … Karena dengan memiliki keyakinan tak tergoyahkan kepada Sang
Buddha … Dhamma … Saṅgha, beberapa makhluk di sini, dengan hancurnya jasmani, setelah
kematian, terlahir kembali di alam yang baik, di alam surga. Mereka melampaui para deva
lain dalam sepuluh hal: dalam hal umur kehidupan surgawi, dalam hal keelokan surgawi,
dalam hal kebahagiaan surgawi, dalam hal kemasyhuran surgawi, dalam hal kekuasaan
surgawi, dan dalam hal bentuk-bentuk surgawi, suara-suara surgawi, bau-bauan surgawi, rasa
kecapan surgawi, dan objek-objek sentuhan surgawi.

11 Candana

Candana, deva muda …


Suyāma, deva muda …
Santusita, deva muda …
Sunimmita, deva muda …
Vasavatti, deva muda …

(Dijelaskan secara lengkap, persis seperti pada §10.)

1
Sembilan sutta pertama dari saṃyutta ini menceritakan tentang pengalaman Moggallāna selama seminggu
berusaha mencapai Kearahattaan segera setelah penahbisannya menjadi seorang bhikkhu. Untuk kisah lain
mengenai pengembangannya, baca AN IV 85-88, dan untuk narasi yang berhubungan, baca Hecker,
“Mahāmoggallāna: Master of Psychic Powers,” dalam Nyanaponika dan Hecker, Great Disciples of the Buddha,
pp. 78-83.
2
Kāmasahagatā saññā manasikārā samudācaranti. Spk mengemas: disertai oleh lima rintangan.
3
Mahābhiññataṃ patto. Moggallāna unggul dalam kekuatan batin (iddhividha); baca 51:14, 51:31.
4
Cp. 21:1, di mana pengalaman yang sama dibahas sehubungan dengan “keheningan mulia” ( ariya tuṇhībhāva),
istilah teknis untuk jhāna ke dua.
5
Animitta cetosamādhi. Spk: ini merujuk pada konsentrasi pandangan terang (vipassanāsamādhi), yang muncul
ketika seseorang telah meninggalkan gambaran kekekalan, dan seterusnya.
“Konsentrasi pikiran tanpa gambaran” tidak didefinisikan lebih lanjut dalam Nikāya, tetapi
penempatannya setelah pencapaian tanpa bentuk ke delapan menyiratkan ini adalah samādhi yang secara
kualitatif berbeda dengan yang dicapai dalam meditasi samatha. Di bawah, muncul dalam penjelasan “kebebasan
pikiran tanpa gambaran” (animittā cetovimutti, pada 41:7; IV 297,3-6). Pada 43:4, konsentrasi tanpa gambaran
(animitta samādhi) disebut jalan menuju yang tak terkondisi. Untuk tinjauan luas atas meditasi tanpa gambaran,
baca Harvey, “Signless Meditation in Pāli Buddhism.” Baca juga nn. 312, 368 di bawah.
6
Nimittānusāri viññāṇaṃ hoti. Spk: Ini muncul ketika pengetahuan pandangan terangnya mengalir tajam dan
kuat ketika ia berdiam dalam konsentrasi pandangan terang. Bagaikan, ketika seseorang menebang pohon
dengan kapak tajam, jika ia terus-menerus memeriksa bilah kapaknya ia tidak akan dapat menyelesaikan
pekerjaan menebang pohon itu, demikian pula bhikkhu itu mengembangkan kesukaan ( nikanti) pada pandangan
terang dan dengan demikian tidak menyelesaikan tugasnya.

Anda mungkin juga menyukai