Anda di halaman 1dari 218

BAB IV

PROSES KOGNITIF: POSES PIKIRAN (I)


Kita telah mempelajari tiga bab, bab tentang kesadaran, faktor-faktor batin dan topik-topik lainnya –
perasaan, akar, fungsi, pintu, objek dan landasan. Saya harap anda memahami dengan ketiga bab ini.
Sekarang kita sampai pada bab empat. Bab empat membahas tentang proses pikiran. Dalam bab ini
Manual menjelaskan proses-proses pikiran yang berbeda-beda. Dan juga dalam bab berikutnya akan
dibahas tentang apa yang disebut sebagai kesadaran bebas-proses – kematian, kelahiran-kembali, dan
Bhavaṅga.
Ketika kesadaran muncul, kemunculannya adalah satu pada satu waktu. Kesadaran muncul bersama
dengan faktor-faktor batin. Tetapi ketika kita mempelajari kesadaran, maka kita harus mempelajari
kesadaran sebagai satu rangkaian – bukan hanya satu kesadaran yang terpisah dari faktor-faktor
batin. Tetapi pada kenyataannya hanya ada satu kesadaran pada satu waktu. Ingat bahwa anda tidak
akan pernah menemui jenis kesadaran berbeda yang muncul secara bersamaan, misalnya, seluruh 17
momen kesadaran dalam satu proses pikiran muncul secara bersamaan. Hanya ada satu Citta pada tiap
momen, satu momen kesadaran pada satu waktu, tetapi kita harus mempelajarinya sebagai
serangkaian, secara keseluruhan. Pada kenyataannya tidak ada 17 momen pikiran yang muncul pada
waktu yang sama, hanya satu momen kesadaran yang muncul pada satu waktu.
Ketika kita mempelajari munculnya kesadaran atau proses pikiran, kita harus menerapkan
pengetahuan kita atas bab-bab sebelumnya. Kita akan menyebutkan jenis kesadaran yang mana yang
diwakili oleh tiap-tiap momen, dan kemudian perasaan apa yang menyertainya, berapa banyak akar
yang dimiliki, fungsi apa yang dilakukan, munculnya melalui pintu apa, objek apa yang diambil, dan
landasan apa yang menjadi tempat bergantungnya. Kita akan menjelaskan semua ini. Itulah sebabnya
mengapa penting sekali anda memahami ketiga bab sebelumnya.

VĪTHI
Proses pikiran disebut Vīthi dalam Pāḷi. Bab ke empat ini berjudul “Vīthi-saṅgahavibhāga”. ‘Vīthi’
berarti jalan, barisan, rangkaian. Di sini bearti serangkaian, segaris Citta, sebarisan momen kesadaran.
Ketika kita mempelajari proses pikiran, kita harus memberi nama pada proses-proses pikiran ini. Kita
dapat memberi nama dalam dua cara. Satu cara adalah berdasarkan pintu kemunculannya, jadi proses
pikiran pintu-mata, proses pikiran pintu-telinga, dan seterusnya. Juga kita dapat menamainya
berdasarkan kesadaran yang penting dalam proses pikiran itu. Misalnya, kita mengatakan proses
pikiran kesadaran-mata, proses pikiran kesadaran-telinga, proses pikiran kesadaran-hidung, dan
seterusnya. Dengan berdasarkan pada pintu atau kesadaran kita dapat memberi nama pada proses-
proses pikiran ini.
Karena ada enam pintu, maka ada enam jenis proses pikiran – proses pikiran pintu-mata, proses
pikiran pintu-telinga, dan seterusnya. Ada enam jenis kesadaran (Viññāṇa). dalam kasus demikian ada
proses pikiran kesadaran-mata, proses pikiran kesadaran-telinga, dan seterusnya, dan proses pikiran
kesadaran-pikiran. Kesadaran-pikiran atau Mano-viññāṇa berarti semua Citta selain daripada sepuluh
(Dvipañcaviññāṇa), yaitu selain daripada kesadaran-mata, -telinga, -hidung, -lidah dan -badan.
Ketika kita mempelajari proses pikiran, kita akan memahami urutan kesadaran secara alami atau
urutan kesadaran yang pasti. Ini berarti satu kesadaran muncul dan diikuti oleh jenis kesadaran
lainnya, dan diikuti lagi oleh jenis kesadaran lainnya, dan kemudian oleh jenis kesadaran lainnya lagi
dan seterusnya. Kesadaran-kesadaran ini muncul dan lenyap sesuai urutan itu. Tidak ada pelaku atau
tidak ada seorangpun yang mengurutkan Citta-Citta itu; kesadaran-kesadaran itu hanya muncul
melakukan fungsinya masing-masing.
Dalam CMA dijelaskan kondisi-kondisi tertentu untuk tiap-tiap jenis proses pikiran. Ada kondisi-
kondisi untuk munculnya kesadaran-mata, kesadaran-telinga, dan seterusnya (baca CMA, IV,
Tuntutan §4, p.151-152).
Untuk munculnya proses pintu-pikiran atau untuk munculnya kesadaran-mata ada empat kondisi.
Saya rasa anda sudah mengetahui empat kondisi ini. Empat kondisi diperlukan untuk munculnya
kesadaran-mata atau untuk munculnya proses pintu-mata, yaitu, sensitivitas-mata, objek terlihat dan
kemudian cahaya dan kemudian perhatian. Kita memerlukan empat kondisi ini untuk munculnya
kesadaran-mata. Kita harus memiliki mata atau sebenarnya adalah bagian sensitif dalam mata atau
sensitivitas-mata. harus ada sesuatu yang dilihat, objek terlihat; jika tidak ada yang dilihat, maka tidak
akan ada kesadaran melihat. Kemudian kita memerlukan cahaya. Jika ruangan ini gelap, maka kita
tidak akan melihat apapun. Terakhir harus ada perhatian. Ini disebut Manasikāra di sini. Sebenarnya
perhatian di sini adalah Āvajjana – Pañcadvārāvajjana.
Demikian pula untuk pintu-telinga atau kesadaran-telinga ada empat kondisi. Gantikan sensitivitas-
mata di sini menjadi sensitivitas-telinga. Kemudian ada suara, ruang dan perhatian. Jadi jika tidak ada
suara, maka kita tidak dapat mendengar. Jika tidak ada ruang, ketika telinga kita ditutup, maka kita
tidak dapat mendengar. Dan jika tidak ada perhatian, maka kita tidak mendengar.
Untuk proses pintu-hidung ada sensitivitas-hidung, bau-bauan, elemen-udara dan perhatian. Jika kita
berada di atas udara, di atas angin, maka kita tidak dapat mencium. Hanya ketika berada pada arah
angin, maka kita dapat mencium karena ada elemen-udara.
Untuk munculnya proses pintu-lidah atau kesadaran-lidah kita memerlukan sensitivitas-lidah, rasa
kecapan, dan kemudian elemen-air dan perhatian.
Untuk kesadaran-badan kita memerlukan sensitivitas-badan, objek sentuhan1 dan kemudian elemen-
tanah dan perhatian.
Untuk proses pikiran pintu-pikiran hanya ada tiga yang disebutkan di sini. Sebenarnya ada empat. Ia
mungkin tidak menemukannya dalam Aṭṭhasālinī. Juga ada empat kondisi untuk proses pikiran pintu-
pikiran – landasan jantung, objek pikiran, Bhavaṅga dan perhatian. Perhatian tidak ada di sini. Jenis-
jenis kesadaran itu yang muncul melalui pintu-pikiran harus memiliki jantung sebagai landasan di
alam Kāmāvacara dan alam Rūpāvacara. Harus ada objek-objek Dhamma. Ada enam jenis objek
Dhamma. Kemudian harus ada Bhavaṅga atau pikiran karena proses pikiran pintu-pikiran muncul dari
Bhavaṅga. Harus ada perhatian, di sini adalah Manodvārāvajjana. Jadi kita memerlukan kondisi-
kondisi ini untuk melihat, mendengar, dan seterusnya – untuk munculnya proses-proses pikiran ini.

1
Objek sentuhan berarti kombinasi tiga elemen utama – elemen-tanah, elemen-api, dan elemen-udara.
ENAM JENIS OBJEK
Objek-objek dibagi menjadi berapa jenis? Ada enam jenis objek. Yang saya maksudkan bukan objek
terlihat, objek berbunyi, dan seterusnya. Di sini presentasi objek ada enam jenis. Dan apakah itu?
Yaitu:
- Objek-objek sangat besar (Atimahanta),
- Objek-objek besar (Mahanta),
- Objek-objek kiecil (Paritta),
- Objek-objek sangat kecil (Atiparitta).
ini adalah untuk proses pikiran lima-pintu-indria.
Untuk proses pikiran pintu-pikiran ada:
- Objek-objek jelas (Vibhūta), dan
- Objek-objek samar atau tidak jelas (Ativibhūta).
Seluruhnya ada enam jenis objek atau enam jenis presentasi objek (baca CMA, IV, §5, p.153)
Di sini ‘besar’ bukan berarti berukuran besar atau kasar. Ini bermakna kekuatan benturannya pada
kesadaran adalah besar atau kita dapat menyebutnya objek yang kuat. Ukurannya mungkin kecil,
tetapi memiliki kekuatan yang mampu membentur pikiran dan bertahan selama 17 momen pikiran.
Objek demikian disebut objek yang sangat besar.
Objek yang kekuatannya tidak begitu besar seperti objek-objek yang sangat besar disebut objek besar.
Objek-objek yang sangat besar memerlukan hanya satu Bhavaṅga lampau. Setelah satu Bhavaṅga
lampau maka objek itu dapat menggetarkan Bhavaṅga. Objek-objek besar memerlukan dua atau tiga
Bhavaṅga lampau. Objek-objek kecil dan sangat kecil memerlukan lebih banyak Bhavaṅga lampau (4-
15) sebelum muncul getaran. Intensitasnya bervariasi. Oleh karena itu, proses pikiran juga berbeda-
beda untuk jenis-jenis objek ini.
“Bukanlah ukuran objek, melainkan jumlah Citta yang berproses (vīthicitta) yang muncul sejak
momen objek memasuki jangkauan pintu indria hingga momen presentasi objek pada kesadaran
berhenti.” (CMA, IV, §5, p.153)
Itu berarti ketika kita mempelajari proses pikiran pertama, kita akan melihat bahwa ada 17 momen
pikiran. Objek terlihat mengenai pikiran dan kemudian hanya ada satu Bhavaṅga lampau. Kemudian
objek terlihat berhenti bersama momen pikiran ke-17. Objek demikian disebut objek yang sangat
besar.
Sekarang kita harus memahami dua hal di sini – Vīthi Citta dan Vīthimutta Citta, Citta yang berproses
dan Citta bebas-proses. Bhavaṅga disebut Citta bebas-proses. Jenis kesadaran lainnya dalam sebuah
proses disebut Citta yang berproses, Vīthi Citta. Dalam bab ini kita akan mempelajari Vīthi Citta. Tetapi
ketika kita mempelajari Citta yang berproses, kita tidak dapat mempelajari hanya Citta yang berproses
saja. Kita harus mengetahui Bhavaṅga sebelum dan sesudah tiap-tiap proses pikiran. Bhavaṅga adalah
seperti area penampung di antara proses-proses pikiran berbeda. Tidak ada proses pikiran yang segera
diikuti dengan proses pikiran lainnya. Paling sedikit pasti ada beberapa momen Bhavaṅga di antara
proses-proses pikiran itu.
UMUR RŪPA DAN NĀMA
Pertama-tama, sebelum kita mempelajari proses pikiran secara benar, kita harus memahami umur
kehidupan Rūpa dan Nāma, umur kehidupan jasmani dan umur kehidupan batin atau umur kehidupan
Citta. Umur kehidupan Rūpa dikatakan sebagai 17 kali lebih lama daripada umur kehidupan Citta.
Umur kehidupan Citta di sini disebut satu momen, satu momen kesadaran atau momen pikiran.
Momen pikiran itu dikatakan sebagai sangat, sangat singkat. Dalam satu momen anda menjentikkan
jari atau dalam satu momen anda mengedipkan mata. Dalam momen-momen itu dikatakan milyaran
momen pikiran dapat muncul. Jadi anda memahami betapa singkatnya satu momen pikiran itu.
Seakan-akan itu masih belum cukup, tiap-tiap momen pikiran terdiri dari tiga sub-momen. Ketiga sub-
momen ini disebut:
- Yang pertama disebut munculnya (Uppāda),
- Yang ke dua disebut keberlangsungan (Ṭhiti), dan
- Yang ke tiga disebut kematian (Bhaṅga).
Ada tiga sub-momen ini: munculnya, keberlangsungan dan lenyapnya atau meleburnya atau kematian.
Apa yang kita sebut kehidupan hanyalah ketiga sub-momen ini, munculnya, keberlangsungan, dan
lenyapnya.
Materi bertahan 17 kali lebih lama daripada Citta. Jadi untuk materi ada berapa banyak sub-momen?
Ada 51 sub-momen. Umur kehidupan materi adalah 51 sub-momen. Materi juga memiliki munculnya,
keberlangsungan dan lenyapnya. Munculnya materi adalah sama dengan munculnya kesadaran.
Lenyapnya materi juga sama dengan lenyapnya kesadaran. Tetapi keberlangsungan materi adalah
jauh lebih lama daripada keberlangsungan Citta. Berapa banyakkah sub-momen untuk
keberlangsungan materi? Ada 49 sub-momen. Jadi untuk materi munculnya adalah sama dengan
momen munculnya Citta dan lenyapnya materi adalah sama dengan lenyapnya Citta. Tetapi
keberlangsungan materi adalah 49 sub-momen karena materi bertahan selama 17 momen pikiran.
Momen pertama adalah munculnya dan momen terakhir adalah lenyapnya. Di antaranya ada 49 sub-
momen. 49 sub-momen ini dikatakan sebagai tahap keberlangsungan materi. Jadi ada tiga sub-momen
untuk setiap momen kesadaran.
Ada guru-guru yang berpikir bahwa hanya ada dua sub-momen, bukan tiga. Mereka menganggap
hanya ada munculnya dan lenyapnya. Banyak guru yang tidak sepakat dengan guru-guru itu. Pendapat
umum adalah bahwa ada tiga sub-momen untuk tiap-tiap momen kesadaran.

PROSES PIKIRAN PINTU-MATA


Sekarang mari kita mempelajari proses pikiran. Tabel ini adalah untuk proses pikiran Pintu-mata
(baca CMA, IV, Tabel 4.1, p.155). ini berarti ketika anda melihat sesuatu maka proses pikiran ini akan
muncul dalam pikiran anda. Ada objek terlihat sekarang, objek terlihat yang ada saat ini. Ini bertahan
selama 17 momen pikiran.
Terdapat apa yang kita sebut kesadaran Bhavaṅga. Anda tahu apa kesadaran Bhavaṅga itu, bukan?
Kesadaran Bhavaṅga adalah salah satu dari 19 Vipāka Citta, semuanya adalah kesadaran hasil. Ini sama
dengan kesadaran penghubungan-kembali (Paṭisandhi Citta). Jenis kesadaran yang sama yang muncul
setelah kesadaran penghubungan-kembali disebut Bhavaṅga. Kesadaran Bhavaṅga muncul di
sepanjang kehidupan kita ketika tidak ada objek menonjol atau tidak ada objek khusus. Ada Bhavaṅga
yang mengalir dengan kecepatan tinggi.
Ketika suatu objek terlihat masuk dalam jangkauan mata, jadi ketika suatu objek terlihat terjadi pada
mata kita, objek terlihat ini dikatakan mengenai mata kita serta mengenai Bhavaṅga. Pintu apakah
Bhavaṅga itu? Ini adalah pintu-pikiran. Ketika suatu objek terlihat membentur mata, pada saat yang
sama, juga membentur Bhavaṅga. Jadi objek itu membentur Bhavaṅga. Ketika Bhavaṅga dibentur oleh
objek tersebut, maka benturan itu berlangsung pada satu momen. Satu momen itu disebut momen
lampau. Ini berarti satu momen berlalu sebelum Bhavaṅga bergetar. Ini sebenarnya adalah benturan
pertama objek pada organ indria dalam hal ini adalah mata dan juga pada Bhavaṅga. Satu Bhavaṅga
berlalu.
Setelah satu momen tersebut ada dua momen Bhavaṅga. Dua momen Bhavaṅga ini disebut Bhavaṅga
yang bergetar. Dua momen Bhavaṅga ini berguncang. Di antara kedua ini, yang pertama disebut
Bhavaṅga yang bergetar atau Calana Bhavaṅga. Yang ke dua disebut Upaccheda Bhavaṅga atau
Bhavaṅga yang tertangkap atau Bhavaṅga yang terpotong. Sebenarnya keduanya adalah Bhavaṅga
yang bergetar, tetapi karena bersama yang ke dua aliran Bhavaṅga berhenti, maka yang ke dua disebut
Bhavaṅga yang tertangkap (Upaccheda Bhavaṅga). Ketika objek membentur Bhavaṅga dan mata,
Bhavaṅga tidak dapat berhenti mendadak. Bhavaṅga harus berjalan satu atau dua momen, satu atau
dua kali sebelum berhenti. Dengan objek ini—katakanlah, ini adalah objek yang sangat besar—kita
memerlukan satu Bhavaṅga lampau dan dua Bhavaṅga yang bergetar. Maka Bhavaṅga ke tiga dalam
rangkaian ini disebut Upaccheda Bhavaṅga atau Bhavaṅga yang tertangkap. Aliran Bhavaṅga akan
berhenti dengan meleburnya Upaccheda Bhavaṅga.
Segera setelah meleburnya Upaccheda Bhavaṅga, pengalihan-lima-pintu-indria akan muncul. Anda
sudah mengetahui Pañcadvārāvajjana. Ini disebut Pañcadvārāvajjana karena muncul pada seluruh
lima pintu. Dalam hal ini adalah pintu-mata, tetapi ini juga muncul pada pintu-telinga, dan sebagainya.
‘Pañca’ berarti lima. ‘Dvāra’ berarti pintu. Jadi Pañcadvārāvajjana berarti pengalihan-lima-pintu-
indria. ‘Āvajjana’ adalah pengalihan. Ada dua arti dari kata ‘Āvajjana’. Arti pertama adalah
mengarahkan perhatian pada objek yang muncul pada pikiran. Ini juga mengalihkan pikiran pada
objek dan mulai dari momen ini dan seterusnya muncul pula sekelompok kesadaran baru, yaitu
kesadaran aktif. Tiga momen pertama adalah Bhavaṅga, maka itu adalah jenis kesadaran yang tidak
aktif. Pada munculnya Pañcadvārāvajjana kualitas kesadaran berubah. Ini adalah titik peralihan dari
tidak aktif menjadi aktif. Juga ini adalah titik di mana pikiran beralih kepada objek yang muncul. Ini
adalah titik di mana pikiran mencatat objek atau pikiran mengarahkan perhatian pada objek. Itulah
sebabnya mengapa disebut Āvajjana. Di sana yaitu melalui pintu-mata. Untuk yang lainnya ini
mungkin pintu-telinga, pintu-hidung, dan sebagainya. oleh karena itu kesadaran ini disebut
Pañcadvārāvajjana.
Kita akan memiliki yang lainnya lagi, yang ke dua disebut Manodvārāvajjana ketika kita sampai pada
proses pikiran pintu-pikiran. Tetapi dalam proses pikiran lima-pintu-indria pikiran beralih pada objek
dengan munculnya Pañcadvārāvajjana.
Setelah Pañcadvārāvajjana, setelah jenis kesadaran ini yang mengarahkan perhatian kepada objek,
momen berikutnya dalam contoh ini adalah kesadaran melihat, dalam Pāḷi disebut Cakkhu-viññāṇa.
Cakkhu-viññāṇa muncul. Cakkhu-viññāṇa melihat objek terlihat.
Setelah melihat objek, ada Sampaṭicchana, momen penerimaan, kesadaran penerimaan.
Setelah Sampaṭicchana, kesadaran penerimaan, ada Santīraṇa, kesadaran penyelidikan.
Setelah menyelidiki ada Voṭṭhabbana, memutuskan objek. Ada suatu persoalan dengan Santīraṇa dan
Voṭṭhabbana setidaknya bagi saya. Bagaimanakah menyelidiki dan memutuskan itu dilakukan? Saya
tidak yakin. Dalam buku-buku Pāḷi saya tidak menemukan penjelasan yang jelas. Beberapa buku
berbahasa Burma mengatakan bahwa ini memutuskan apa objek itu, misalnya, bahwa itu adalah objek
terlihat. Dalam buku lainnya dikatakan bahwa ini memutuskan apakah objek itu menyenangkan atau
tidak menyenangkan atau apakah harus disukai atau tidak disukai.
Setelah memutuskan berapa banyakkah momen yang mengikuti? Ada tujuh momen Javana. Dikatakan
bahwa dalam kondisi normal Javana selalu muncul tujuh kali, selama tujuh momen pikiran. Ada kasus-
kasus khusus di mana Javana muncul enam kali, lima kali, empat kali, tiga kali, dua kali atau hanya
satu kali. Biasanya Javana muncul selama tujuh momen. Kata ‘Javana’ ini sangat sulit diterjemahkan.
Saya pikir terjemahan kata ini, ‘dorongan’, tidak banyak membantu. Ketika kita mengatakan
‘dorongan’, orang-orang tidak mengerti. Saya juga tidak mengerti. ‘Javana’ berarti cepat atau berlari
cepat. Javana memiliki kekuatan, maka saya menerjemahkannya sebagai pengalaman penuh atas
objek. Hanya selama tujuh momen pikiran ini objek itu dialami sepenuhnya. Karena objek dialami
sepenuhnya, apakah sebagai Kusala atau Akusala atau Kiriya.
Ada satu frasa pada CMA yang harus kita bahas,
“Setelah ini, salah satu dari 29 Javana-Javana alam-indriawi yang telah memperoleh kondisi yang tepat
memulai perjalanannya, …” (CMA, IV, §6, p.154)
Sekarang “yang telah memperoleh kondisi yang tepat” tidak dijelaskan dalam CMA ini, buku dari
Bhikkhu Bodhi. Ini penting. “Yang telah memperoleh kondisi yang tepat” – ini berarti dengan kondisi-
kondisi ini maka Javana-Javana akan menjadi Kusala atau Akusala atau Kiriya. Kunci untuk Javana
menjadi Kusala atau Akusala adalah Yoniso-manasikāra atau lawannya Ayoniso-manasikāra. Yoniso-
manasikāra diterjemahkan sebagai perhatian bijaksana, sikap yang benar terhadap segala sesuatu atau
perhatian benar. Ayoniso-manasikāra berarti perhatian tidak bijaksana, sikap yang salah terhadap
segala sesuatu. Jika anda memiliki sikap yang benar terhadap segala sesuatu, jika anda memiliki
perhatian benar, maka Javana anda akan menjadi Kusala. Jika anda memiliki sikap yang salah terhadap
segala sesuatu, maka Javana anda akan menjadi Akusala. Kualitas Javana apakah akan menjadi Kusala
atau Akusala ditentukan oleh perhatian anda, yaitu perhatian bijaksana atau perhatian tidak
bijaksana. Jika ada perhatian bijaksana, maka Javana akan menjadi Kusala. Jika ada perhatian tidak
bijaksana, maka Javana akan menjadi Akusala. Perhatian bijaksana di sini dapat berupa
Pañcadvārāvajjana atau juga dapat berupa Voṭṭhabbana, memutuskan. Jadi jika Voṭṭhabbana hanya
menentukan ‘ini adalah objek’, maka kualitas Javana dipengaruhi oleh Pañcadvārāvajjana. Tetapi jika
Voṭṭhabbana menentukan sebagai ‘ini harus disukai, ini harus tidak disukai’, maka kita dapat
mengatakan bahwa Voṭṭhabbana juga menentukan kualitas Javana.
Tujuh momen pikiran berlangsung, dan kemudian setelah tujuh momen ini ada dua momen
pencatatan. Tadārammaṇa adalah kata Pāḷi. ‘Tad’ berarti itu. ‘Ārammaṇa’ berarti objek. Jadi
Tadārammaṇa berarti memiliki objek itu. Ini berarti memiliki objek itu yang diambil oleh Javana-
Javana. Jadi kedua Tadārammaṇa Citta mengambil objek yang sama dengan yang diambil oleh tujuh
momen Javana. Kedua ini diumpamakan dengan air yang mengikuti perahu. Ketika anda mendayung
perahu, ada air yang mengikuti perahu. Demikian pula, kedua momen ini adalah pengikut Javana. Ini
juga diumpamakan dengan sisa-rasa.
Setelah kedua momen Tadārammaṇa lenyap, pikiran kembali kepada Bhavaṅga lagi. Jadi dalam proses
pikiran ini Citta pertama adalah Bhavaṅga dan Citta terakhir adalah Tadārammaṇa yang diikuti
dengan Bhavaṅga. Ini berarti sebelum momen Bhavaṅga pertama dalam proses pikiran di sana dapat
muncul banyak momen Bhavaṅga. Setelah Citta terakhir di sana ada Bhavaṅga. Setelah momen
Tadārammaṇa terakhir dalam proses pikiran di sana juga dapat muncul banyak momen Bhavaṅga. Jadi
dapat muncul banyak momen Bhavaṅga sebelum dan sesudah proses pikiran.
Suatu proses pikiran yang mengambil salah satu objek indriawi (pemandangan, suara, bau-bauan, rasa
kecapan, sentuhan) bertahan selama 17 momen pikiran. Jika ini adalah objek terlihat, misalnya, maka
objek terlihat itu muncul pada momen yang sama dengan Bhavaṅga lampau. Objek terlihat itu lenyap
bersama sub-momen terakhir dari Citta pencatatan ke dua dalam proses pikiran. Objek terlihat itu
lenyap dan proses pikiran selesai. (baca CMA, IV, Tabel 4.1, p.155) Kemudian jenis proses pikiran
lainnya mengikuti.
Sekarang jika anda ingat bab tiga bagian tentang objek-objek, Bhavaṅga mengambil Kamma, gambaran
Kamma atau gambaran takdir sebagai objek. Tiga momen pertama -- Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga yang
bergetar dan Bhavaṅga yang tertangkap – ketiga ini tidak mengambil objek yang terlihat yang ada saat
ini. Ketika ini mengambil Kamma atau Kamma-nimitta atau Gati-nimitta. Walaupun ada objek terlihat,
tetapi Bhavaṅga tidak mengambil objek terlihat sebagai objek karena momen Bhavaṅga selalu
mengambil Kamma, atau gambaran Kamma, atau gambaran takdir sebagai objek. Ketiga ini tidak
mengambil objek terlihat yang ada saat ini.
Dimulai dari Pañcadvārāvajjana, Cakkhu-viññāṇa, Sampaṭicchana, Santīraṇa, Voṭṭhabbana, Javana
dan Tadārammaṇa – semua jenis Citta ini mengambil objek terlihat yang ada saat ini sebagai objek.
Bhavaṅga yang mengikuti sekali lagi mengambil Kamma, gambaran Kamma, atau gambaran takdir
sebagai objek.
Apakah anda ingat perumpamaan mangga? Seseorang tertidur di bawah pohon mangga. Sebutir
mangga jatuh mengenai hidungnya. Ia berpaling pada mangga itu. Ia melihatnya, Ia memungutnya. Ia
menyelidikinya, ia menciumnya dan memutuskan bahwa itu baik. Kemudian ia memakannya.
Akhirnya ia menelan sisa-sisa mangga itu. Kemudian ia kembali tertidur. Ini adalah contoh yang bagus
untuk proses pikiran. Saya tidak akan mengulanginya karena saya telah menjelaskan kepada anda
pada bab pertama.
Sekarang kita akan menerapkan pengetahuan kita dari bab satu dan bab tiga pada proses pikiran.
Ini adalah proses pikiran pintu-mata atau proses pikiran kesadaran-mata atau proses pikiran melihat.

OBJEK YANG DIAMBIL


Proses pikiran melihat ini mengambil objek terlihat yang ada saat ini sebagai objek. Ini berlangsung
selama 17 momen pikiran. Objek terlihat yang ada saat ini adalah jenis objek yang sangat besar.

CITTA-CITTA TERWAKILI
Tiga Citta pertama dalam proses pikiran (baca CMA, IV, Table 4.1, p.155) diwakili oleh jenis kesadaran
apakah? Citta-Citta ini diwakili oleh Bhavaṅga Citta. Ingatkah anda berapa banyakkah Citta yang
memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti? 19 Citta memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan
Cuti. Tetapi dapatkah kita memiliki seluruh 19 di sini? Dapatkah para Brahma tanpa materi melihat?
Mereka tidak memiliki mata. Oleh karena itu, kita harus mengeluarkan empat Arūpāvacara Vipāka.
Jadi, tiga Citta pertama dalam proses pikiran diwakili oleh jenis kesadaran lain. Apakah itu? Yaitu dua
Santīraṇa yang tergabung dengan Upekkhā, delapan Kāmāvacara Sahetuka Vipāka dan lima
Rūpāvacara Vipāka. Jadi kita harus menerapkan pengetahuan kita atas bab sebelumnya pada proses
pikiran ini.
Citta ke empat dalam proses pikiran ini adalah Pañcadvārāvajjana. Citta ke lima dalam proses pikiran
ini adalah Cakkhu-viññāṇa. jika objek terlihat itu disukai, maka ini adalah hasil Kusala sesuai dengan
kesadaran-mata yang mengambil objek tersebut. Jika objek tersebut tidak disukai, maka ini adalah
hasil Akusala. Jika objek itu adalah sesuatu yang tidak ingin anda lihat, maka kesadaran melihat itu
adalah Akusala-Vipāka. Jika objek tersebut adalah sesuatu yang ingin anda lihat, maka kesadaran
melihat itu adalah Kusala-vipāka.
Sampaṭicchana adalah Citta ke enam dalam proses pikiran. Jika disukai, maka itu akan menjadi Kusala-
vipāka. jika tidak disukai, maka akan menjadi Akusala-vipāka.
Santīraṇa juga sama. Di sini terdapat pembedaan antara yang sangat disukai dan yang disukai secara
biasa. Jika objeknya sangat disukai, maka itu pasti adalah Kusala-vipāka yang disertai dengan
Somanassa. Jika hanya disukai secara biasa, maka itu pasti Kusala-vipāka yang disertai dengan
perasaan tidak peduli. Jika tidak disukai, maka hasil Akusala akan muncul.
Citta ke delapan dalam proses pikiran adalah Voṭṭhabbana. Apakah Voṭṭhabbana? Kesadaran manakah
yang disebut Voṭṭhabbana, memutuskan? Manodvārāvajjana melakukan fungsi memutuskan.
Manodvārāvajjana memiliki dua fungsi, Voṭṭhabbana dan Āvajjana. Ketika muncul dalam proses
pikiran lima-pintu-indria, maka fungsinya adalah Voṭṭhabbana, fungsi memutuskan. Ketika muncul
dalam proses pikiran pintu-pikiran, maka dungsinya adalah Āvajjana, fungsi pengalihan.
Javana-Javana – saya tidak perlu memberitahu anda berapa banyak Javana yang ada karena Manual
mengatakan berapa banyak? Ada 29 Javana alam-indriawi. Silakan sebutkan 29 Javana alam-indriawi
tersebut. Ada dua belas Akusala, delapan Kāmāvacara Kusala, delapan Kāmāvacara Sahetuka Kiriya
dan satu Hasituppāda. Salah satu dari 29 jenis kesadaran itu akan diwakili oleh ketujuh momen Javana.
Kualitas Javana akan ditentukan oleh apakah anda memiliki perhatian bijaksana atau perhatian tidak
bijaksana, atau jika anda adalah seorang Arahant, maka Javana anda adalah Kiriya. Ada tiga kondisi:
- Perhatian tidak bijaksana – Akusala Javana,
- Perhatian bijaksana – Kusala Javana, dan
- Jika anda adalah seorang Arahant – Kiriya Javana.
Kemudian ada dua Tadārammaṇa. berapa banyakkah Citta yang memiliki fungsi Tadārammaṇa?
sebelas Citta memiliki fungsi Tadārammaṇa. silakan sebutkan sebelas ini. Yaitu tiga Santīraṇa Citta
dan delapan Kāmāvacara Sahetuka Vipāka. Salah satu dari sebelas Citta ini akan diwakili oleh momen-
momen Tadārammaṇa.

FUNGSI CITTA
Sekarang mari melihat pada fungsi. Fungsi tidak sulit. Tiga momen pertama dalam proses pikiran lima-
pintu-indria memiliki fungsi apakah? Anda harus mengingat berapa banyak fungsi. Ada 14 fungsi.
Ketiga Citta ini memiliki fungsi apakah? Citta-Citta ini memiliki fungsi Bhavaṅga. Kemudian
Pañcadvārāvajjana memiliki fungsi apakah? Āvajjana adalah fungsinya. Cakkhu-viññāṇa memiliki
fungsi apakah? Cakkhu-viññāṇa memiliki fungsi melihat. Sampaṭicchana memiliki fungsi apakah?
Memiliki fungsi menerima atau penerimaan. Santīraṇa memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi
penyelidikan. Voṭṭhabbana memiliki fungsi apakah? Fungsinya adalah memutuskan. Tujuh Citta
berikutnya memiliki fungsi apakah? Memiliki fungsi Javana. Dua terakhir memiliki fungsi apakah? Dua
Citta terakhir berfungsi sebagai Tadārammaṇa.

PINTU-PINTU
Melalui pintu apakah proses pikiran ini muncul? Melalui pintu-mata. Itulah sebabnya mengapa disebut
proses pikiran pintu-mata. Semua jenis kesadaran ini dimulai dari Pañcadvārāvajjana muncul melalui
pintu-mata.

LANDASAN-LANDASAN
Landasan-landasan – apakah landasan bagi Bhavaṅga? Landasan-jantung adalah landasan bagi
Bhavaṅga Citta di alam Kāmāvacara dan alam Rūpāvacara. Pañcadvārāvajjana memiliki landasan
apakah? Landasan-jantung. Cakkhu-viññāṇa memiliki landasan apakah? Landasan-mata.
Sampaṭicchana memiliki landasan apakah? Landasan-jantung. Santīraṇa memiliki landasan apakah?
Landasan-jantung. Voṭṭhabbana memiliki landasan apakah? Landasan-jantung. Javana-Javana
memiliki landsan apakah? Landasan-jantung. Tadārammaṇa memiliki landasan apakah? Landasan-
jantung. Kita dapat menyebutkan secara lebih terperinci, tetapi saya tidak akan melakukannya
sekarang karena akan membingungkan. Sensitivitas-mata yang manakah dan landasan-jantung yang
manakah yang menjadi tempat bergantung – ada perbedaan pendapat sehubungan dengan hal-hal ini.
Saya tidak akan mengatakan apapun tentang ini di sini. Setelah bab enam kita akan kembali ke sini.
Landasan-landasan yang telah kita ketahui. Ada landasan-jantung dan kemudian landasan-mata dan
seterusnya adalah bergantung pada landasan-jantung. Maka kita harus menerapkan pengetahuan dari
bab pertama dan bab ke tiga pada proses-proses pikiran ini. Itu belum semuanya. Kita masih harus
mencari dalam jenis individu apakah dan di alam-alam apakah munculnya. Kita akan mempelajarinya
nanti.
Sekarang anda tahu proses pintu-mata yang mengambil objek terlihat yang ada saat ini sebagai objek.
Di sini objek terlihat yang ada saat ini adalah sebuah objek yang sangat besar. Objek ini bertahan
selama 17 momen pikiran bersesuaian dengan 17 pikiran yang dimulai dari Bhavaṅga lampau dan
seterusnya.

VĪTHI CITTA DAN VĪTHIMUTTA CITTA


Kita harus membedakan antara Vīthi Citta dan Vīthimutta Citta. Berapa banyakkah Vīthi Citta dan
Vīthimutta Citta? Vīthimutta berarti bebas dari Vīthi, bebas dari proses pikiran, tidak termasuk dalam
proses pikiran yang benar. Tiga momen pertama dalam proses pikiran adalah Vīthimutta (bebas-
proses) karena tidak muncul melalui pintu apapun. Selebihnya disebut Vīthi Citta, Citta proses. Dan
kemudian Bhavaṅga mengikuti momen pikiran ke-17 dalam proses pikiran dan berapa banyaknya pun
Bhavaṅga yang bebas-proses atau Citta bebas-vīthi. Berapa banyakkah Vīthi Citta dalam proses pikiran
ini? Ada 14 Vīthi Citta – ini berarti 14 kemunculan Vīthi Citta. Berapa banyakkah jenis Vīthi Citta?
Pañcadvārāvajjana ada satu jenis; kesadaran melihat ada satu jenis; Sampaṭicchana ada satu jenis;
Santīraṇa ada satu jenis; Voṭṭhabbana ada satu jenis; Javana ada satu jenis dan Tadārammaṇa ada satu
jenis. Ada tujuh jenis Vīthi Citta. Tetapi jika kita menghitung munculnya masing-masing Vīthi Citta
maka kita memperoleh 14. Ada 14 Vīthi Citta dan tujuh jenis Citta.
PROSES-PROSES LAIN
Jika objeknya adalah objek terdengar yang ada saat ini, maka kita cukup menggantikan Cakkhu-
viññāṇa menjadi Sota-viññāṇa. yang lainnya tetap sama. Dalam hal ini kita akan memiliki Bhavaṅga
lampau, Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap, pengalihan-lima-pintu-indria, dan
kemudian Sota-viññāṇa (kesadaran-telinga), dan selebihnya adalah sama.
Ketika anda mencium sesuatu, Citta-Citta yang sama akan muncul bersama dengan kesadaran-hidung.
Ketika anda mengecap sesuatu, proses pikiran yang sama akan muncul bersama dengan kesadaran-
lidah. Ketika anda menyentuh sesuatu, proses pikiran yang sama akan muncul bersama dengan
kesadaran-badan. Kita memperoleh lima jenis proses pikiran di sini.
Jika kita mengambil semua jenis kesadaran yang muncul dalam proses-proses ini, proses pikiran lima-
pintu-indria, berapa banyakkah jenis kesadaran yang kita peroleh? Kita akan memperoleh 54 jenis
kesadaran Kāmāvacara. Saya rasa tercantum dalam CMA halaman 162.
“Ada tujuh modus dan 14 keadaan kesadaran berbeda dalam proses kognitif. Secara terperinci ada 54
dalam lima pintu.” (CMA, IV, §11, p.162)
54 itu adalah 54 jenis kesadaran Kāmāvacara.
Proses pikiran ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada orang atau individu di balik munculnya
momen-momen pikiran ini. Masing-masing momen pikiran melakukan fungsinya sendiri-sendiri.
Ketika satu momen pikiran muncul dan melakukan fungsinya dan lenyap, kemudian momen pikiran
berikutnya muncul. Kemudian momen pikiran itu melakukan fungsinya dan lenyap dan momen
pikiran lainnya muncul atau mengikuti. Terdapat urutan dalam proses pikiran ini. Misalnya,
Sampaṭicchana atau penerimaan selalu mengikuti kesadaran-mata. Ini adalah urutan kesadaran yang
tetap. Dalam proses kesadaran ini kita tidak menemukan pelaku apapun atau siapapun yang
memberikan perintah: “Engkau menjadi Sampaṭicchana, engkau menjadi Cakkhu-viññāṇa, engkau
menjadi Santīraṇa” dan seterusnya.
Jadi Citta-Citta muncul dan lenyap sesukanya. Satu momen pikiran muncul dan lenyap dan kemudian
momen pikiran lainnya mengikuti. Ketika satu momen pikiran lenyap, itu menjadi kondisi bagi
munculnya momen pikiran berikutnya. Jika momen pikiran itu tidak lenyap, maka momen pikiran
berikutnya tidak dapat muncul. Ada banyak lagi yang harus dipahami sehubungan dengan proses
pikiran ini, yaitu, jika kita mengetahui Paṭṭhāna. Kita dapat menerapkan kondisi-kondisi Paṭṭhāna di
sini, setelah bab delapan kita mungkin ingin menguji pengetahuan kita atas Paṭṭhāna sehubungan
dengan proses-proses pikiran, tetapi tidak sekarang.
Jadi apa yang tampaknya suatu pengalaman sederhana seperti melihat sesuatu sebenarnya adalah
suatu pengalaman yang sangat rumit. Dalam ‘pengalaman sederhana’ itu terdapat 17 momen pikiran,
satu objek, landasan-landasannya, fungsi-fungsinya. Kita mengeluarkan Cetasika-Cetasika. Anda dapat
memasukkannya jika anda menginginkan. Anda akan menentukan berapa banyak Cetasika yang ada
bersama dengan Bahvaṅga atau berapa banyak Cetasika bersama dengan Pañcadvārāvajjana, atau
berapa banyak yang bersama kesadaran melihat dan seterusnya. Jadi jika kita memahami
Abhidhamma, maka kita memahami secara terperinci tentang pengalaman kita. Suatu pengalaman
yang tampaknya sangat sederhana menjadi suatu pengalaman yang sangat rumit. Sebenarnya hanya
pikiran Sang Buddha yang dapat menemukan segala keruwetan antara momen-momen pikiran
berbeda dan juga bagaimana momen-momen pikiran itu berhubungan dengan objek dan hubungannya
dengan landasan-landasan, serta keterkaitannya satu sama lain – yang sebelumnya dengan yang
sesudahnya dan seterusnya. Jika anda memahami Abhidhamma, maka anda mengetahui banyak
tentang pengalaman-pengalaman anda.
Hari ini kita mempelajari lima jenis proses pikiran. Kelima jenis proses pikiran itu mengambuil objek
yang sangat besar sebagai objek.
Proses pikiran ini memiliki 17 momen pikiran dan objek terlihat yang ada saat ini. Objek terlihat yang
ada saat ini adalah objek yang sangat besar. Ini berarti objek ini membentur mata dan pikiran, dan
hanya ada satu momen Bhavaṅga lampau. Setelah satu Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga bergetar.

OBJEK MAHANTA
Tetapi ada objek-objek yang tidak sekuat objek yang sangat besar. Objek-objek ini disebut objek-objek
besar. Objek-objek ini memerlukan tidak hanya satu Bhavaṅga lampau, melainkan dua atau tiga
Bhavaṅga lampau. Ketika objek-objek ini membentur mata dan pikiran, diperlukan dua atau tiga
Bhavaṅga lampau sebelum Bhavaṅga bergetar. Maka untuk objek besar akan ada dua jenis proses
pikiran. Tahukah anda bagaimana melakukan proses pikiran dengan objek besar? Dengan objek besar
anda memerlukan dua Bhavaṅga lampau atau tiga Bhavaṅga lampau. Maka ada dua jenis proses
pikiran yang mengambil objek besar. Dalam kasus pertama akan ada Bhavaṅga lampau dan seterusnya.
Apakah ada Tadārammaṇa dalam proses pikiran itu? Dikatakan bahwa Tadārammaṇa muncul dua kali
atau tidak muncul sama sekali. Jika muncul, maka kemunculannya terjadi dua kali. Jika hanya ada satu
momen yang tersisa maka Tadārammaṇa tidak dapat muncul. Jika kita menempatkan satu Atīta atau
Bhavaṅga lampau lagi di sana (di awal proses pikiran), maka kita memperoleh satu momen lagi untuk
Tadārammaṇa, tetapi Tadārammaṇa tidak dapat muncul. Sebagai ganti Tadārammaṇa di sana akan
ada satu Bhavaṅga lagi. Bhavaṅga itu ada di dalam proses pikiran karena Bhavaṅga itu adalah momen
pikiran ke-17. Dalam kasus demikian proses untuk objek besar dimulai dari Bhavaṅga lampau,
Bhavaṅga lampau lainnya, kemudian Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap dan
seterusnya hingga Javana. Setelah Javana, Bhavaṅga lainnya menyusul. Bhavaṅga pertama termasuk
di dalam proses pikiran, dan yang lainnya di luar proses pikiran.
Bagaimana dengan jenis proses pikiran ke dua. Di sana kita akan memiliki tiga Bhavaṅga lampau --
Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga lampau, kemudian Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga
yang tertangkap dan seterusnya. Kali ini Javana ke tujuh bersamaan dengan 17 momen. Akhir dari
proses itu adalah Javana ke tujuh. Setelah tujuh Javana maka Bhavaṅga biasa menyusul. Jadi kita
memperoleh dua jenis proses pikiran yang mengambil objek besar.
Seluruhnya sekarang kita memiliki tiga jenis proses pikiran. Yang pertama ada pada tabel (baca CMA,
IV, Tabel 4.1, p.155) dan dua ada dalam pikiran anda. Dapatkah anda menyebutkan dua yang lainnya?
Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap,
pengalihan-lima-pintu-indria, melihat, penerimaan, penyelidikan, keputusan, tujuh Javana dan satu
Bhavaṅga adalah Citta-Citta dalam satu proses pikiran. Berikutnya adalah Bhavaṅga lampau,
Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap,
pengalihan, melihat, penerimaan, penyelidikan, keputusan, tujuh Javana.
Pada CMA (baca CMA, IV, Tabel 4.1, p.155) sub-momen ditandai dengan tanda bintang (*). Tetapi di
tempat-tempat lain ditandai dengan nol. Di Burma kami menggunakan nol untuk menandai sub-
momen pikiran dari kesadaran. Tahukah anda mengapa? Nol adalah kosong. Jadi kami ingin anda ingat
bahwa hal-hal itu adalah kosong dari kekekalan, kosong dari kepuasan, kosong dari Atta. Untuk
menunjukkan ‘kekosongan’ Citta kami menggunakan nol untuk tiap-tiap sub-momen, bukan tanda
bintang atau tanda lainnya. Ketika anda melihat tanda nol ini, maka anda tahu bahwa itu adalah bukan
apa-apa. Itu berarti tidak kekal, tidak memuaskan – itu bukanlah entitas kekal – itu bukan Atman.
Ini adalah tiga proses pikiran pertama. Minggu depan kita akan melanjutkan dengan jenis-jenis proses
pikiran lainnya yang mengambil objek kecil dan objek sangat kecil. Begitu anda memahami yang
pertama, maka yang lainnya tidak akan sulit dipahami.
Apakah anda ingin bertanya?
Murid: Ini menunjukkan suatu proses pikiran yang bertahan satu per semilyar detik. Apakah
dapat berpindah pada proses pikiran lainnya tanpa Bhavaṅga di antaranya?
Sayādaw: Setelah proses pikiran ini akan selalu ada momen-momen Bhavaṅga. Berapa banyak
kita tidak tahu. Proses pikiran ini akan diikuti oleh proses pikiran pintu-pikiran, jenis
proses pikiran pintu-pikiran yang berbeda. Kita masih belum melihat sesuatu. Dengan
proses pikiran ini apa yang kita lihat hanyalah objek terlihat. Katakanlah, misalnya,
kita melihat sekuntum bunga mawar. Dengan proses pikiran ini kita masih belum
melihat mawar; kata baru melihat objek terlihat, suatu objek umum. Kita belum sampai
pada keputusan bahwa itu adalah mawar atau itu adalah sebuah objek terlihat hingga
nanti. Untuk mengetahui, untuk dapat mengatakan, “ini adalah merah”, “ini adalah
kuning”, atau “ini adalah bunga mawar”, kita memerlukan beberapa jenis proses
pikiran lagi. Ini disebut proses pikiran lanjutan. Ini dijelaskan pada CMA (baca CMA,
IV, Tuntunan §12, p.163-164). Kita memerlukan beberapa proses pikiran lagi sebelum
kita dapat mengatakan, “ini adalah mawar” atau “ini adalah buku”. Ini hanyalah
kontak awal dengan objek. Belum cukup bagi kita untuk dapat mengatakan, “saya
melihat mawar”. Anda harus menunggu karena kita sedang membahas proses pikiran
lima-pintu-pikiran. Nanti kita akan melanjutkan dengan proses pikiran pintu-pikiran.
Proses pikiran pintu-pikiran dibahas secara singkat dalam Manual. Di Burma guru-guru berbeda
memiliki pendapat berbeda, jadi terdapat banyak jenis proses pikiran. Dalam buku Ledi Sayādaw
terdapat banyak proses pikiran. Kita akan mempelajari beberapa di antaranya.
Anda dapat melihat pada CMA (baca CMA, IV, Tabel 4.1, p.155), “14 tindakan kesadaran proses” berarti
Vīthi Citta, 14 kemunculan Vīthi Citta, #4 hingga #17, yaitu Citta ke empat (Pañcadvārāvajjana) hingga
Citta ke tujuh belas (Tadārammaṇa) dalam proses pikiran.
Jenis-jenis Citta proses hanya ada tujuh.
Murid: Pada CMA halaman 161 (baca CMA, IV, Tabel 4.2, p.161) dalam proses yang mengambil
objek besar dan berakhir pada Bhavaṅga, objek apakah yang diambil oleh Bhavaṅga?
Sayādaw: Objek dari Bhavaṅga adalah selalu Kamma, Kamma-nimitta (gambaran Kamma), atau
Gati-nimitta (gambaran takdir).
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Objek apapun yang kita alami dalam kehidupan ini apakah disukai atau tidak disukai
adalah dipengaruhi oleh Kamma lampau. Hasil dari Kamma lampau adalah kesadaran
– kesadaran Kusala-vipāka atau Akusala-vipāka. Kesadaran itu adalah hasil sebenarnya
atau Vipāka dari Kamma lampau. Benda-benda materi yang kita temui bukanlah hasil
langsung dari Kamma. Kamma mungkin berpengaruh atasnya. Kita akan membahas ini
nanti. Dan juga pada bab lima kita akan membahas Kamma dan hasil Kamma.

PROSES KOGNITIF: PROSES PIKIRAN (II)


Minggu lalu kita mempelajari proses pikiran lima-pintu-indria. Kita telah mempelajari tiga proses
pertama dari pintu-mata. Yang pertama adalah Atimahanta. Ini adalah objek yang sangat besar. Besar
berarti begitu kuat sehingga dapat menyebabkan Bhavaṅga bergetar hanya setelah satu Bhavaṅga
lampau muncul. Ada objek-objek yang tidak sekuat itu. Jadi untuk objek-objek itu diperlukan dua atau
tiga kemunculan Bhavaṅga lampau sebelum dapat menyebabkan Bhavaṅga bergetar. Dua ini disebut
Mahanta (besar). Ada dua proses pikiran Mahanta. Pada yang pertama terdapat Bhavaṅga setelah 7
Javana. Yang ke dua dari Mahanta adalah tanpa Bhavaṅga setelah Javana dalam proses pikiran.
Objek dari proses pikiran adalah objek terlihat saat ini. Umur kehidupan objek terlihat saat ini adalah
17 momen pikiran. Satu proses pikiran terdiri dari 17 momen pikiran. Jika anda melihat pada proses
pikiran Mahanta pertama, terdapat satu momen tersisa setelah Javana. Tadārammaṇa (pencatatan)
tidak dapat muncul di sana karena dikatakan dalam buku bahwa Tadārammaṇa selalu muncul dua kali
atau tidak sama sekali. Jadi jika kita hanya memiliki satu momen yang tersisa, maka Tadārammaṇa
tidak akan muncul di sana. Karena Tadārammaṇa tidak dapat muncul, maka ada Bhavaṅga. Maka
Bhavaṅga ini termasuk dalam proses pikiran.
Untuk proses pikiran ke dua, tidak ada momen pikiran tersisa setelah Javana. Maka tidak ada masalah.
Dengan satu proses pikiran itu, muncul pertanyaan bahwa jika Tadārammaṇa harus muncul dua kali,
mengapa tidak membiarkan Tadārammaṇa muncul dua kali dalam proses pikiran Mahanta pertama?
Dalam kasus demikian satu Tadārammaṇa akan berada di dalam proses pikiran dan yang lainnya di
luar proses pikiran. Itu tidak mungkin karena dalam satu proses pikiran, dengan pengecualian proses
pikiran Magga dan beberapa lainnya, objeknya harus sama. Jadi jika kita memperbolehkan
Tadārammaṇa muncul di sana, maka Tadārammaṇa pertama akan mengambil objek saat ini dan
Tadārammaṇa ke dua akan mengambil objek masa lalu sebagai objek. Jadi ada perbedaan dalam hal
objek. Itulah sebabnya mengapa Tadārammaṇa atau pencatatan tidak dapat muncul di sana walaupun
ada satu momen tersisa.
Hari ini kita melanjutkan dengan yang lain, proses pikiran yang kecil dan sangat kecil. Objek dari enam
proses pikiran ini lebih lemah daripada objek Mahanta. Begitu lemah sehingga memerlukan empat
Bhavaṅga lampau sebelum menyebabkan Bhavaṅga yang bergetar. Ketika ada empat Bhavaṅga
lampau, maka kita ke sana hingga kita memperoleh 17. Sekarang ada berapa banyakkah Bhavaṅga
pada akhirnya? Ada empat Bhavaṅga – dan sebelum empat Bhavaṅga terdapat tiga Voṭṭhabbana. Pada
Manual dikatakan Voṭṭhabbana dapat muncul dua atau tiga kali (baca CMA, IV, §8, p.160). Maka di sini
kita menganggap Voṭṭhabbana muncul tiga kali. Setelah Voṭṭhabbana terdapat empat momen tersisa
untuk menjadikan 17 momen pikiran. Empat momen ini diisi dengan momen-momen Bhavaṅga.
Terdapat empat momen Bhavaṅga sebelum objek dari proses pikiran itu lenyap. Tetapi masih ada
ruang kosong, jadi kita dapat memiliki proses pikiran objek kecil #2, #3, #4, #5 dan #6.
- Paritta #2 memiliki berapa banyak Bhavaṅga lampau? Ada lima Bhavaṅga lampau. Karena ada
lima Bhavaṅga lampau, maka hanya ada 3 Bhavaṅga tersisa pada akhirnya.
- Dan kemudian pada Paritta #3 ada enam Bhavaṅga lampau yang menyisakan 2 Bhavaṅga pada
akhirnya.
- Kemudian Paritta #4 memiliki 7 Bhavaṅga lampau dan hanya satu Bhavaṅga pada akhirnya.
- Paritta #5 memiliki 8 Bhavaṅga lampau sehingga tidak ada Bhavaṅga pada akhirnya – hanya 3
momen Voṭṭhabbana.
- Paritta #6 memiliki 9 Bhavaṅga lampau dan hanya 2 Voṭṭhabbana. Bersama dengan
Voṭṭhabbana ke dua objeknya lenyap.
Maka kita memiliki 6 jenis proses pikiran Paritta. Objek dari proses pikiran Paritta ini sebenarnya
lemah, tidak begitu kuat. Hanya Voṭṭhabbana yang dapat muncul di sini, tidak ada Javana.
Ada objek yang lebih lemah daripada objek dalam proses pikiran Paritta. Proses pikiran ini disebut
Atiparitta – ‘Ati’ berarti sangat dan ‘Paritta’ berarti kecil. Kadang-kadang kita berpikir bahwa kita
mendengar sesuatu atau kita melihat sesuatu, kemudian kita kehilangannya. Ini seperti itu, sangat-
sangat lemah. Sebenarnya tidak ada momen pikiran Vīthi dalam proses-proses pikiran tersebut.
- Maka proses pikiran Atiparitta #1 memiliki 10 Bhavaṅga lampau dan hanya ada dua getaran
dan kemudian Bhavaṅga kembali.
Karena tidak ada Bhavaṅga yang berhenti, maka kita tidak menyebut yang ke dua sebagai Upaccheda
Bhavaṅga (Bhavaṅga yang tertangkap) karena Bhavaṅga tidak berhenti di sana, melainkan berlanjut.
Jadi kita hanya memiliki dua momen Bhavaṅga Calana dan kemudian 5 momen Bhavaṅga biasa. Dalam
proses pikiran ini terdapat hanya sedikit getaran Bhavaṅga dan kemudian kembali kepada Bhavaṅga
lagi. Kadang-kadang kita mungkin sedang tertidur atau sedang mengantuk dan kembali tidur.
Bhavaṅga adalah seperti itu. Jadi objek dari proses-proses pikiran ini adalah sangat lemah.
- Proses pikiran Atiparitta #2 memiliki 11 Bhavaṅga lampau, 2 Bhavaṅga yang bergetar dan 4
momen Bhavaṅga pada akhirnya. Tidak ada Voṭṭhabbana di sini; hanya ada Bhavaṅga yang
bergetar.
- Proses pikiran Atiparitta #3 memikiki 12 Bhavaṅga lampau, 2 Bhavaṅga Calana dan 3 Bhavaṅga
pada akhirnya.
- Proses pikiran Atiparitta #4 memiliki 13 Bhavaṅga lampau, 2 Bhavaṅga yang bergetar dan
hanya 2 Bhavaṅga pada akhirnya.
- Proses pikiran Atiparitta #5 memiliki 14 Bhavaṅga lamapu, 2 Bhavaṅga yang bergetar dan
hanya 1 Bhavaṅga pada akhirnya.
- Dan kemudian proses pikiran Atiparitta #6 memiliki 15 Bhavaṅga dan dua Bhavaṅga yang
bergetar pada akhirnya.
Sebenarnya tidak ada Vīthi Citta dalam proses-proses pikiran ini. Vīthi Citta berarti
Pañcadvārāvajjana, Cakkhu-viññāṇa dan seterusnya. Hanya ada getaran Bhavaṅga.
Sekarang 15 proses pikiran ini disebut kesadaran-mata atau melihat. Untuk mendengar, mencium, dan
seterusnya, masing-masing kita dapat memiliki 15. Jadi seluruhnya dalam proses pikiran lima-pintu-
indria ada 75. Proses-proses pikiran ini disebut Pañcadvāravīthi.
Yang pertama disebut jalur Tadārammaṇa, yaitu proses pikiran yang berakhir dengan Tadārammaṇa.
dua proses pikiran Mahanta disebut jalur Javana karena berakhir dengan Javana. Enam berikutnya,
Paritta, berakhir dengan apakah? Ini disebut jalur Voṭṭhabbana karena berakhir dengan Voṭṭhabbana.
Kemudian Atiparitta 6, disebut apakah? Ini disebut jalur nol – ini disebut Moghavāra; diterjemahkan
sebagai jalur sia-sia atau kita dapat menyebutnya jalur nol karena tidak ada Vīthi Citta sama sekali
dalam 6 proses pikiran ini.
Semua jenis kesadaran yang muncul dalam proses-proses pikiran ini terdapat di antara 54 Kāmāvacara
Citta. Jadi tidak ada Rūpāvacara Citta, Arūpāvacara Citta atau Lokuttara Citta dalam proses-proses
pikiran ini. Itulah sebabnya mengapa disebut proses pikiran Kāmāvacara. Proses pikiran Kāmāvacara
dibagi menjadi dua – satu adalah lima-pintu-indria dan yang lainnya adalah pintu-pikiran.
Sekarang saya pikir kita dapat memikirkan suatu perumpamaan untuk Atīta Bhavaṅga. Misalkan
seseorang sedang tertidur dan anda mengetuk pintu. Ketika anda mengetuk dengan kuat, ia akan
terbangun atau tidurnya terganggu setelah hanya satu ketukan. Kemudian jika anda mengetuk dengan
tidak terlalu kuat, anda perlu mengetuk dua kali. Kemudian jika anda mengetuk dengan lebih tidak
kuat lagi, maka anda perlu mengetuk tiga kali. Empat kali dan seterusnya hingga 15 kali. Jadi jika
objeknya kuat (apakah besar atau kecil tidak masalah), jika benturan objeknya kuat, maka hanya perlu
satu Bhavaṅga lampau. Jika kurang kuat, maka perlu dua, tiga atau empat Bhavaṅga lampau dan
seterusnya.
Objek Atiparitta adalah sangat, sangat lemah. Hampir tidak ada objek sama sekali. Hanya cukup untuk
membuat Bhavaṅga bergetar dan kemudian kembali kepada Bhavaṅga lagi. Ini disebut Moghavāra
(jalur nol).
Dalam proses-proses pikiran Citta ini, khususnya yang pertama, ada berapa banyakkah Vīthi Citta?
Ada tujuh Vīthi Citta:
(1) Pañcadvārāvajjana,
(2) Cakkhu-viñāṇa,
(3) Sampaṭicchana,
(4) Santīraṇa,
(5) Voṭṭhabbana,
(6) Javana, dan
(7) Tadārammaṇa.
Berapa banyakkah munculnya Citta (Ini berarti masing-masing Citta)? Ada 14. Jadi seluruhnya untuk
proses pikiran lima-pintu-indria kita memperoleh 54 Kāmāvacara Citta. Saya harap anda ingat
bagaimana menerapkan pengetahuan kita atas Vatthu (landasan), Dvāra (pintu), dan Ārammaṇa
(objek) pada hal ini.
Sekarang kita melanjutkan pada proses pikiran pintu-pikiran. Proses pikiran pintu-pikiran pada
Manual (baca CMA, IV, §12, p.163) sangat sederhana, tetapi guru-guru menjelaskan lebih banyak. Satu
guru mengatakan satu hal dan guru lainnya mungkin mengatakan hal lainnya. Kita memiliki
pendapat-pendapat berbeda dan jenis-jenis proses pikiran berbeda. Pertama mari kita melihat
Manual.
Ketika proses pikiran pintu-pikiran muncul, proses ini tidak memerlukan pintu-indria. Suatu objek
dapat membentur pikiran setelah Bhavaṅga. Sebagian besar objek dari proses pintu-pikiran adalah
objek masa lalu, objek masa depan atau objek tanpa waktu seperti konsep dan Nibbāna. Objek saat ini
juga adalah objek dari proses pikiran pintu-pikiran.
Karena objek-objeknya hanya muncul melalui pintu-pikiran dan bukan melalui salah satu dari lima
pintu-indria, maka disebut Suddhamano-dvāra-vīthi, proses pikiran pintu-pikiran murni. Anda
mungkin mengingat bahwa sehubungan dengan proses pikiran lima-pintu-indria sebenarnya
objeknya membentur pada dua pintu pada pintu-mata dan pintu-pikiran atau pintu-telinga dan pintu-
pikiran dan seterusnya. Tetapi dalam proses pikiran pintu-pikiran objek ini hanya muncul melalui
pintu-pikiran atau Bhavaṅga.
Terdapat cara-cara berbeda bagi objek-objek untuk masuk atau membentur pintu-pikiran. Ini
dijelaskan pada CMA halaman 164. Bagaimana objek-objek itu muncul pada pintu-pikiran – paragraf
#2
“Suatu proses pintu-pikiran mandiri muncul ketika salah satu dari enam objek masuk ke dalam
jangkauan kognisi secara mandiri, bukan sebagai konsekuensi dari proses pintu-indria sebelumnya.”
(CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Sekarang kita melihat pada proses-pikiran pikiran pada CMA. Kita juga akan mempelajari proses
pikiran pintu-pikiran yang dalam Pāḷi disebut ‘Tadanuvattikā’. Ini berarti ‘mengikuti proses pikiran’,
yaitu apa yang mengikuti proses pikiran lima-pintu-indria. Di sini kita sedang mempelajari hanya
proses pikiran pintu-pikiran mandiri.
“Muncul pertanyaan bagaimana suatu objek dapat masuk ke dalam jangkauan pintu-pikiran tanpa
bergantung pada kontak sensor terdekat.” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Tidak ada kontak sensor melainkan melalui pikiran, objek-objek dapat muncul atau objek-objek dapat
tampil pada pikiran tanpa bantuan kelima indria.
“Ledī Sayādaw mengutip berbagai sumber (Sutta):” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Sebenarnya ini berasal dari Aṭṭhasālinī dan Mūlaṭīkāṭīkā dari Aṭṭhasālinī.
Jadi dikatakan bahwa “melalui apa yang secara langsung dicerap sebelumnya, …” (CMA, IV, Tuntunan
§12, p.164)
Ini berarti anda telah mengalami sesuatu sebelumnya. Belakangan anda mengingat pengalaman itu
dalam pikiran anda, objek itu muncul dalam pikiran anda. Katakanlah, anda melihat sesuatu kemarin.
Sekarang anda dapat mengingatnya dan melihatnya dalam pikiran anda. Objek masa lalu itu tampil
dalam pikiran anda. Itu karena kekuatan pikiran anda. Ada dua penampilan berbeda. Objek lima indria
membentur pintu-pikiran dan pintu-indria. Pada lima-pintu-indria adalah kekuatan objek itu yang
membuat Bhavaṅga bergetar dan momen pikiran lainnya muncul. Tetapi di sini adalah kekuatan
pikiran anda yang membawa objek pada pikiran anda. Ini bukan melalui kekuatan objek melainkan
melalui kekuatan pikiran anda maka objek-objek ini yang sebagian besar adalah masa lalu atau masa
depan muncul dalam pikiran anda.
“Melalui apa yang secara langsung dicerap sebelumnya, …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Ini berarti melalui apa yang telah anda alami sebelumnya melalui lima indria.
“… atau dengan menyimpulkan dari apa yang secara langsung dicerap; …” (CMA, IV, Tuntunan §12,
p.164)
Ini berarti apa yang telah anda lihat atau apa yang telah anda dengar dan seterusnya. Dengan cara itu
juga objek dapat muncul dalam pikiran anda atau masuk ke dalam jangkauan kognisi.
“… melalui apa yang diketahui secara lisan, …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Ini berarti anda mempelajari sesuatu melalui kabar angin. Anda tidak mengalaminya sendiri, tetapi
anda mendengar seseorang mengatakan sesuatu tentangnya. Kemudian anda memikirkannya dan
memiliki objek itu dalam pikiran anda.
“… atau dengan menyimpulkan dari apa yang diketahui secara lisan; …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Ini adalah melalui kesimpulan.
“… karena kepercayaan, …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Kadang-kadang anda mempercayai sesuatu dan anda memikirkannya dan kemudian objek itu masuk
ke dalam pikiran anda. Kadang-kadang karena pendapat anda, anda memiliki suatu pendapat, maka
itu muncul dalam pikiran anda. Kadang-kadang ada penalaran. Anda tidak hanya memikirkannya.
Anda mempertimbangkannya dalam pikiran anda dan memiliki alasan ini dan itu dan anda sampai
pada kesimpulan. Dengan cara itu, objek dapat masuk ke dalam pikiran anda.
“… atau penerimaan reflektif atas suatu pandangan; …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Ini berarti anda menerima suatu pandangan setelah merefleksikannya. Ketika anda telah
menerimanya, pandangan itu muncul dalam pikiran anda.
“… melalui kekuatan kamma, …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Kadang-kadang, misalnya, objek Kamma akan muncul dalam pikiran anda menjelang anda meninggal
dunia. Ini adalah melalui kekuatan Kamma maka objek itu muncul dalam pikiran anda.
“… (dan melalui) kekuatan batin, …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Jika anda memiliki kekuatan batin atau Abhiññā dan yang lainnya, maka anda dapat mengambil objek-
objek ini dalam pikiran anda.
“… gangguan pada cairan tubuh, …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Kadang-kadang karena tubuh anda tidak sehat maka objek ini akan muncul. Cairan tubuh berarti
sesuatu seperti dahak, angin dan empedu. Ini disebut tiga Dosa tubuh. Dosa bukan berarti kemarahan
di sini; ‘Dosa’ di sini berarti tiga hal buruk dalam tubuh. Hal-hal ini harus seimbang. Jika tidak
seimbang, maka anda dapat menjadi sakit. Jika anda memiliki terlalu banyak dahak, mungkin anda
menderita penyakit tertentu. Jika anda memiliki terlalu banyak angin, mungkin anda menderita
penyakit lainnya. Dan jika anda memiliki terlalu banyak atau terlalu sedikit empedu, anda memiliki
penyakit lainnya lagi. Ini disebut cairan tubuh. Kadang-kadang cairan tubuh ini tidak seimbang. Ketika
tidak seimbang, maka beberapa objek dapat masuk ke dalam pikiran anda. Kadang-kadang anda
bermimpi buruk karena cuaca terlalu dingin atau terlalu panas bagi anda atau anda mengalami
konstipasi atau semacam itu.
Kemudian “… pengaruh para dewata, …” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Kadang-kadang para dewata dapat membuat anda bermimpi atau memiliki penglihatan atau semacam
itu. Semua ini muncul melalui pintu-pikiran.
Kemudian “… (ada) pemahaman, realisasi, dan sebagainya” (CMA, IV, Tuntunan §12, p.164)
Pemahaman berarti secara langsung melihat. Misalnya, kita telah mempelajari dan mengetahui ada
Empat Kebenaran Mulia dan ada Nibbāna. Sebelum kita merealisasikan Nibbāna melalui Magga citta,
kita tidak mengetahui Nibbāna secara langsung. Sekarang kita berpikir tentang Nibbāna. Nibbāna
adalah objek. Nibbāna muncul pada kita melalui pintu-pikiran atau pada momen Gotrabhū, Gotrabhū
dapat mengambil Nibbāna sebagai objek, tetapi itu juga hanyalah arahan bukan realisasi. Realisasi
tercapai pada momen Magga atau Jalan. Semua objek ini dipahami melalui pintu-pikiran atau objek-
objek ini masuk ke dalam jangkauan kognisi melalui pintu-pikiran.
Melalui pintu-pikiran banyak jenis objek dapat ditampilkan – objek masa lalu, masa sekarang, masa
depan, dan juga kesadaran bebas-waktu, dan Nibbāna. Dalam proses pikiran pintu-pikiran objek-objek
dibagi hanya menjadi dua:
- Vibhūta, dan
- Avibhūta.
‘Vibhūta’ berarti jelas dan ‘Avibhūta’ berarti tidak jelas. Hanya ada dua jenis objek untuk proses
pikiran pintu-pikiran – jelas dan tidak jelas atau samar. Karena muncul melalui pintu-pikiran, maka
kita tidak memerlukan Pañcadvārāvajjana; ada 7 Javana dan kemudian dua momen pencatatan dan
Bhavaṅga kembali. Kita tidak perlu memusingkan Bhavaṅga lampau atau 17 momen pikiran karena
sebagian besar objek dari proses-pikiran pikiran ini adalah masa lalu, masa depan atau bebas-waktu.
Itulah sebabnya mengapa tidak ada Atīta Bhavaṅga atau Bhavaṅga lampau di sini. Menurut Manual ini
(baca CMA, IV, §12, p.163), proses pikiran pintu-pikiran dimulai dengan Bhavaṅga yang bergetar,
Bhavaṅga yang tertangkap, Manodvārāvajjana, 7 Javana dan kemudian dua Tadārammaṇa. Untuk
objek samar kita juga tidak memerlukan Atīta Bhavaṅga. Kita memiliki Bhavaṅga yang bergetar,
Bhavaṅga yang tertangkap, Manodvārāvajjana, 7 Javana dan itu saja. Kemudian ada Bhavaṅga lagi.
Nanti kita akan melihat bahwa pencatatan hanya dapat muncul dengan objek yang jelas. Sehubungan
dengan objek samar tidak ada Tadārammaṇa yang muncul. Dalam proses pikiran untuk objek samar
tidak ada Tadārammaṇa, hanya 7 Javana muncul dan kemudian Bhavaṅga lagi. Ini adalah suatu proses
pikiran pintu-pikiran yang sangat sederhana – satu untuk objek jelas dan satu untuk objek samar.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, guru-guru memiliki pendapat berbeda tentang hal ini. Mereka
memperdebatkan tentang bagaimana jika objeknya adalah saat ini. Jika objeknya saat ini, maka kita
dapat memiliki 17 momen pikiran untuk ini. Karena objeknya adalah saat ini dan bertahan selama 17
momen pikiran, maka seharusnya ada Atīta Bhavaṅga. Menurut guru-guru ini, ada lima proses pikiran
Vibhūta dan dua proses pikiran Avibhūta. Jika ini terlalu rumit, lupakan saja. Selama anda memahami
dua yang dijelaskan dalam CMA dan tabel (baca CMA, IV, Tabel 4.3, p.166), itu sudah cukup. Jadi,
menurut guru-guru ini, terdapat jenis-jenis objek berbeda, khususnya objek-objek yang berdurasi 17
momen pikiran. Untuk objek yang berdurasi 17 momen pikiran kita memerlukan Atīta Bhavaṅga. Jadi
di sini ada Atīta Bhavaṅga pertama, kemudian Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap,
Manodvārāvajjana, 7 Javana dan kemudian 2 Tadārammaṇa dan 4 Bhavaṅga pada akhirnya. Untuk
yang ke dua kita menambahkan satu lagi Atīta Bhavaṅga, untuk yang ke lima kita menambahkan Atīta
Bhavaṅga hingga kita memperoleh Tadārammaṇa ke dua sebagai #17.
Kemudian Avibhūta, objek samar – di sini jika objek samar itu adalah objek rūpa dengan 17 momen
pikiran, maka kita memiliki 6 Atīta Bhavaṅga dan kemudian Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang
tertangkap, Manodvārāvajjana, 7 Javana dan Bhavaṅga pada akhirnya. Yang ke dua memiliki satu lagi
Atīta Bhavaṅga; yang lainnya adalah sama dan diakhiri dengan Javana ke tujuh.
Jadi objek-objek yang umur kehidupannya adalah 17 momen pikiran adalah properti materi selain
daripada isyarat dan empat karakteristik. Sekarang dikatakan bahwa dua isyarat muncul dan musnah
bersama dengan Citta. Jadi tidak bertahan selama 17 momen pikiran. Jika anda tidak tahu apa empat
karakteristik ini, maka anda tidak akan memahami ini. Untuk memahami ini anda harus mengetahui
28 properti materi. Di antara 28 properti materi terdapat dua yang disebut isyarat, isyarat tubuh dan
isyarat verbal. Sekarang ini adalah isyarat tubuh, benar, saya melakukan seperti ini (menggerakkan
tangan). Saya memanggil anda untuk datang ke sini. Anda memahami apa yang saya inginkan. Jadi ini
adalah isyarat tubuh, bukan gerakan itu sendiri, melainkan suatu modus gerakan pada tangan saya.
Ini adalah isyarat tubuh.
Isyarat verbal berarti berbicara. Anda memahami apa yang saya katakan. Ini adalah melalui isyarat
verbal. Dikatakan bahwa dua isyarat ini bertahan selama hanya satu momen dan bukan 18 momen
pikiran, maka kedua isyarat ini dikeluarkan dari objek-objek untuk proses-proses pikiran ini di sini.
Empat karakteristik adalah seperti Anicca, Dukkha dan Anatta. Yaitu kemunculan, keberlangsungan
dan kelenyapan – jadi tidak bertahan selama 17 momen. Karakteristik-karakteristik ini bertahan
selama satu momen atau beberapa bertahan selama 49 sub-momen. Maka karakteristik-karakteristik
ini dikeluarkan di sini.
Kemudian jika objeknya adalah campuran masa sekarang, masa lalu, masa depan dan objek tanpa
waktu, maka ada dua proses pikiran – Vibhūta dan Avibhūta. Untuk Vibhūta objeknya dapat berupa
masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Yaitu 54 Kāmāvacara Citta, 52 Cetasika, dua isyarat dan
empat karakteristik. Jika objeknya adalah masa lalu, masa sekarang dan masa depan, maka itu adalah
Rūpa yang lain. Dan untuk Avibhūta, samar, objeknya dapat berupa masa lalu, masa sekarang dan masa
depan dan itu adalah semua Citta, semua Cetasika, dua isyarat, dan empat karakteristik. Dan jika
objeknya adalah masa lalu dan masa depan, maka itu adalah Rūpa yang lain (22 Rūpa), Paññatti bebas-
waktu. Ini adalah proses-proses pikiran yang ditambahkan oleh guru-guru di Burma. Terdapat banyak
proses pikiran lainnya juga. Jadi jika anda dapat memikirkan satu proses pikiran, maka anda mungkin
berpikir kita seharusnya menambahkan ini atau kita seharusnya menambahkan itu. Dalam Manual
dan dalam buku Leḍī Sayādaw terdapat lebih banyak proses pikiran lagi.
Sekarang kita akan melanjutkan dengan proses pikiran berikutnya, proses-proses pikiran yang
mengikuti proses pikiran lima-pintu-indria. Ini tidak disebutkan dalam Manual. Di Burma guru-guru
kami berpendapat bahwa proses pikiran lima-pintu-indria saja adalah tidak mencukupi bagi kita
untuk mengatakan, “saya melihat bunga mawar”, “saya melihat buku”, “saya melihat seorang laki-
laki”. Agar kita dapat mengatakan, “saya melihat bunga mawar; saya melihat seorang laki-laki”, kita
memerlukan lebih banyak jenis proses pikiran.
Ketika kita mengatakan, “Saya melihat mawar”, pertama-tama mawar itu masuk ke dalam jangkauan
mata; itu adalah proses pikiran pertama, Atimahanta, yang pertama bagi proses pintu-mata. Proses
pikiran ini muncul dan lenyap. Tetapi pada akhir proses pikiran kita masih belum melihat mawar; kita
hanya baru melihat objek terlihat. Pada saat itu kita tidak tahu bahwa itu adalah mawar . setelah itu,
satu jenis proses pikiran pintu-pikiran muncul mengambil objek lampau sebagai objek. Umur
kehidupan dari objek dari proses pikiran ini adalah 17 momen pikiran. Setelah 17 momen pikiran objek
ini lenyap. Sebenarnya mawar itu lenyap walaupun anda terus melihat pada mawar itu. Sebenarnya
mawar yang anda lihat dengan proses pikiran pertama telah lenyap. Setelah lenyap, ada proses pikiran
lain melalui pintu-pikiran. Proses itu, proses pintu-pikiran, memgambil objek lampau sebagai objek .
ini seperti membawanya kembali kepada pikiran. Demikianlah jenis proses pikiran itu muncul. Banyak
proses pikiran jenis demikian yang muncul. Proses itu disebut ‘mengambil masa lalu’; ini adalah proses
mengambil masa lalu sebagai objek.
Kemudian muncul proses pikiran lainnya, proses ini mengambil keseluruhn, mengambil semuanya.
Ketika anda melihat seorang laki-laki – katakanlah, pertama-tama anda melihat kepalanya;
sebenarnya anda tidak seketika melihat kepalanya. Anda melihat objek terlihat atau partikel materi.
Jadi ada proses pikiran melihat dan kemudian suatu proses yang mengambil masa lalu sebagai objek.
Kedua proses ini muncul berkali-kali hingga anda melihat seluruh partikel materi pada keseluruhan
orang itu.
Dengan proses pikiran ke tiga anda mengambil seluruhnya, seluruh objek terlihat sebagai objek. Jadi
proses pikiran pertama mengambil satu atau sebagian kecil dari objek terlihat sebagai objek. Proses
ke dua mengambil masa lalu sebagai objek. Sekarang jenis proses pikiran ke tiga mengambil seluruh
objek terlihat pada orang itu. Walaupun keseluruhan, ini disebut ‘Samūha’ dalam Pāḷi atau kelompok.
Ini masih merupakan realitas mutlak. Ini masih belum masuk ke dalam alam konsep. Proses pikrian
mengambil masa lalu sebagai objek dan proses pikiran mengambil keseluruhan sebagai objek
keduanya adalah realitas mutlak, Paramattha.
Sekarang mengikuti proses pikiran lainnya yang mengambil laki-laki sebagai objek, substansi itu,
orang itu – laki-laki sebagai objek. Ketika objek itu muncul maka anda telah masuk ke alam Paññatti.
Sekarang itu menjadi konsep. Dengan jenis proses pikiran itu seseorang berpikir, “saya melihat
seorang laki-laki”. Tetapi kata ‘laki-laki’ masih belum muncul dalam pikiran. Ia melihat sekelompok
properti materi dalam bentuk seorang laki-laki.
Proses pikiran lainnya menyusul. Dengan proses pikiran itu sebutan ‘laki-laki’ muncul dalam pikiran.
Ini disebut memberi nama. Jadi ada empat proses pikiran mengikuti proses pikiran melihat. Kita
memerlukan seluruhnya lima jenis proses pikiran untuk dapat mengatakan, “saya melihat mawar;
saya melihat laki-laki.” Proses-proses pikiran ini dapat muncul berulang-ulang, jutaan kali. Apakah
empat yang mengikuti proses pikiran pintu-indria? Nomor satu adalah mengambil masa lalu, nomor
dua adalah mengambil keseluruhan, nomor tiga adalah mengambil bendanya, substansinya,
mengambil orang jika itu adalah seorang laki-laki dan nomor empat adalah memberi nama. Hanya
setelah empat proses pikiran ini kita dapat mengatakan, “saya melihat mawar, saya melihat laki-laki.”
Jadi kita melihat benda-benda setiap momen dan kita berpikir bahwa itu adalah suatu pengalaman
sederhana, bahwa kita melihat atau mendengar sesuatu, tetapi jika kita menerapkan pengetahuan
Abhidhamma kita pada sekedar melihat, kita mengetahui bahwa ini sangat rumit. Kita dapat
menjelaskan banyak hal di sini: bagaimana munculnya, melalui pintu-indria apa munculnya, jenis
kesadaran apa yang melakukan fungsi apa dan objek apa yang diambil dan sebagainya. Ini sangat
rumit. Sehubungan dengan melihat, mencium, mengecap dan menyentuh, kita memerlukan empat
proses pikiran lanjutan ini, seluruhnya lima, dalam urutan ini: melihat data visual yang ada saat ini,
mengenali masa lalu, mengambil keseluruhan, melihat objek, memberi nama pada objek. Dalam proses
pikiran melihat, namanya hanya akan muncul jika anda mengetahui namanya. Jika anda tidak
mengetahui namanya maka proses itu tidak akan muncul. Kadang-kadang kita melihat sesuatu dan
kita tidak mengetahui namanya. Di masa sekarang ini kita pergi ke sebuah toko dan melihat ribuan
benda di sana. Anda tidak tahu nama dari semua barang-barang itu. Jadi jika anda tidak mengetahui
nama suatu benda, walaupun anda melihatnya, proses pikiran memberi nama tidak akan muncul.
Bagaimana dengan ketika anda mendengar? Anda mendengar suara saya. Anda mendengar kata-kata
dan suara-suara. Kita memerlukan empat proses pikiran ini, tetapi urutannya agak berbeda. Anda
mendengar suara saya – katakanlah, satu suku kata. Anda mendengar kata ‘man’, satu kata. Maka
pertama-tama anda mengambil suara yang ada saat ini sebagai objek. Kemudian suara itu lenyap
dengan sangat cepat, maka anda mengingat suara itu melalui proses pikiran objek masa lalu. Adakah
proses ke tiga yang mengambil keseluruhan? Hanya ada satu suara, maka tidak akan ada proses
mengambil keseluruhan. Berikutnya adalah proses pikiran memberi nama. Konsep-nama muncul
terlebih dulu; hanya setelah itu baru anda menamai bendanya. Inilah perbedaan antara proses pikiran
lain dengan proses pikiran mendengar. Dalam proses pikiran mendengar, anda memiliki objek masa
lalu, keseluruhan, nama dan benda, tetapi jika hanya ada satu suku kata maka tidak ada proses
mengambil keseluruhan. Jika ada dua suku kata, maka kita akan memiliki proses pikiran mengambil
keseluruhan. Jika ada tiga suku kata, maka diperlukan satu lagi proses pikiran. Jika ada empat suku
kata, misalnya pada kata ‘dedication’, maka ada satu lagi. Proses pikiran Sota-viññāṇa mengambil
sauara saat ini sebagai objek. Proses pikiran Mano-dvāra mengambil suara masa lalu sebagai objek.
Katakanlah, ada dua suku-kata. Berikutnya anda mengambil keseluruhan, kedua suku kata itu
sekaligus. Kemudian pada proses ke empat muncul konsep-nama. Ketika saya mengucapkan kata
‘man’, nama atau kata benda ‘man’ muncul dalam pikiran anda. Hanya setelah itu anda mengetahui
orang, seseorang itu. Di sini proses pikiran mengambil konsep-nama muncul terakhir.
Di sini juga jika anda tidak mengetahui makna dari suara itu, maka proses terakhir tidak akan muncul.
Ada banyak kata dalam Bahasa Inggris yang anda tidak tahu, bukan? Jika kita mendengar kata-kata
itu, kita tidak mengetahui artinya. Dalam kasus demikian, tidak ada proses pikiran mengambil Attha-
paññatti sebagai objek. Proses yang tidak kita pahami itu. Agar dapat memahami apa yang dikatakan
orang lain kita memerlukan dua kondisi. Pertama kita harus mendengarnya atau objek itu harus
mengenai telinga kita. Kemudian kita harus mengetahui arti dari suara itu sebelumnya. Hanya dengan
demikian maka kita dapat memahami apa yang dikatakan orang lain.
Kadang-kadang kita tidak memahami. Kadang-kadang kita berbicara terlalu cepat. Pengetahuan kita
tidak begitu sempurna, maka kita tidak mendengar hal-hal ini dan kita tidak memahami. Agar dapat
memahami maka kita harus mendengar kata itu dengan jelas dan kita harus sudah mengetahui arti
kata tersebut sebelumnya. Hanya dengan demikian maka kita dapat memahami.
Jika kita terbiasa dengan suatu bahasa, seperti bahasa kita sendiri, walaupun kita tidak mendengar
suaranya dengan jelas, kita dapat mengisi suara-suara ini karena kita begitu terbiasa dengan bahasa
kita. Ketika kita berbicara di kalangan kita sendiri – orang-orang Vietnam – anda tidak mengucapkan
kata-katanya dengan jelas. Kadang-kadang kabur, tapi anda mengerti. Jika anda berbicara seperti ini
kepada orang yang tidak pernah berbicara bahasa ini sejak lahir, maka mereka tidak akan mengerti.
Mereka akan berkata, “mohon berbicara lebih lambat dan lebih jelas.” Kita meminta orang-orang
Amerika untuk mengulanginya lagi atau kita mengatakan, “Saya tidak mendengar apa yang anda
katakan.” Untuk dapat memahami, kita memerlukan dua kondisi. Pertama kita harus mendengarnya,
mendengarnya dengan jelas. Dan kemudian kita harus sudah mengetahui artinya sebelumnya. Hanya
dengan demikian kita dapat memahami. Untuk bahasa yang kita sudah terbiasa kita dapat memgisi
suara-suara yang tidak jelas karena kita mengetahui bahasa itu dengan sangat baik.
Sedikitnya ada empat proses pikiran ini, empat proses pikiran pintu-pikiran. Hanya setelah kelima
proses pikiran ini kita benar-benar mengalami objek, kita benar-benar melihat atau kita benar-benar
mendengar dan memahami. Setelah proses pikiran lima-pintu-indria semua proses pikiran berikutnya
melewati pintu-pikiran. Proses pikiran pintu-pikiran berikutnya itu tidak disebutkan dalam Manual.
Yang saya maksudkan adalah Manual asli, Abhidhammatthasaṅgaha. Di sini, dalam buku Bikkhu
Bodhi, CMA, proses-proses ini ada disebutkan. Apa yang telah saya jelaskan kepada anda adalah
pendapat umum para guru, tetapi apa yang ia sampaikan dalam buku CMA ini sebagian besar adalah
pendapat Ledī Sayādaw (baca CMA, IV, Tuntunan §12, p.163-166).
Ledī Sayādaw adalah sangat terpelajar dan sangat cerdas, jadi ia menempatkan beberapa proses
pikiran pintu-pikiran lagi seperti memutuskan dan beberapa lainnya – mengenali warna,
Vaṇṇasallakkhaṇā; menangkap entitas, Vatthugāhikā, dan sebagainya, (baca CMA, IV, Tuntunan §12,
p.164). Ini menarik, tetapi jika terlalu menyulitksn bagi anda, anda boleh mengabaikannya.
Kita sampai pada akhir dari proses pikiran Kāmāvacara Mano-dvārā. Dalam proses pikiran Kāmāvacara
Mano-dvāra terdapat hanya tiga Vīthi Citta dan sepuluh kemunculan Citta. Pada CMA halaman 166,
§13 “Rangkuman”:
“Tiga modus dan sepuluh kondisi berbeda …” (CMA, IV, §13, p.166)
Ini berarti tiga Vīthi Citta dan sepuluh kemunculan Citta. Apakah tiga Vīthi Citta ini? Yaitu
Manodvārāvajjana, Javana dan Tadārammaṇa. dan apakah sepuluh Citta secara sendiri-sendiri? Yaitu
Manodvārāvajjana, tujuh Javana dan dua Tadārammaṇa. jadi jika ditanya berapa banyak Vīthi Citta,
kita menjawab tiga. Berapa banyak Citta secara sendiri-sendiri? Kita menjawab sepuluh.

PROSES PIKIRAN APPANĀ

PROSES PIKIRAN JHĀNA


Sekarang kita sampai pada proses pikiran Appanā. Terdapat jenis-jenis Appanā berbeda. Pertama mari
kita melihat pada arti dari kata ‘Appanā’. Kata ‘Appanā’ awalnya adalah bersinonim dengan kata
‘Vitakka’. Apakah fungsi dari Vitakka? Fungsi Vitakka adalah untuk menempatkan Citta pada objek.
Appanā memiliki makna yang sama; ini berarti mengarahkan Citta pada objek. Appanā adalah sinonim
untuk Vitakka. Dalam proses pikiran Appanā, ini bukanlah Vitakka biasa, melainkan Vitakka yang
sangat terkembang, sehingga memiliki kekuatan untuk mempertahankan pikiran dengan kokoh pada
objek.
Jhāna pertama juga disebut Appanā karena terdapat Vitakka yang adalah Appanā. Kadang-kadang jika
sesuatu ada bersama dengan sesuatu lainnya, anda menyebutnya dengan yang satu itu saja. Kata
‘Appanā’ awalnya adalah sinonim untuk kata ‘Vitakka’. Secara meluas Appanā berarti Jhāna pertama
karena Jhāna pertama disertai dengan Vitakka yang adalah Appanā. Secara lebih luas lagi semua Jhāna,
Magga dan Phala dapat disebut Appanā karena menyerupai Jhāna pertama dalam hal mampu
menghalangi rintangan-rintangan batin. Jadi di sini Appanā berarti Jhāna, Magga dan Phala. Ketika
kita mengatakan proses pikiran Appanā, ini dapat berarti proses pikiran Jhāna, atau ini dapat berarti
proses pikiran Magga, atau ini bahkan dapat berarti proses pikiran Phala-samāpatti, atau proses
pikiran Nirodha-samāpatti.
Dalam proses pikiran Appanā tidak ada perbedaan antara Vibhūta dan Avibhūta. Ini berarti tidak ada
pembagian objek-objek antara jelas dan samar kaerena Appanā berarti Jhāna dan Magga. Jika anda
tidak memiliki jenis Kasiṇa dengan jelas dalam pikiran anda, maka anda tidak dapat mencapai Jhāna.
Ini berarti bahwa objeknya selalu jelas. Tidak ada pembagian antara jelas dan tidak jelas. Ini harus
selalu objek yang jelas, Vibhūta.
Juga di dalam proses pikiran Appanā tidak ada kemunculan Tadārammaṇa. nanti kita akan melihat
bahwa Tadārammaṇa hanya dapat muncul sehubungan dengan objek Kāmāvacara, hanya pada
makhluk-makhluk Kāmāvacara, dan di alam Kāmāvacara. Jika objeknya bukan objek Kāmāvacara,
maka Tadārammaṇa tidak dapat muncul, betapa pun jelasnya objek itu. Jadi tidak akan ada
Tadārammaṇa dalam proses pikiran Appanā.
Karena proses pikiran Appanā adalah proses pikiran pintu-pikiran, maka kita tidak perlu
memusingkan tentang 17 momen pikiran. Kita tidak akan memiliki Pañcadvārāvajjana. Sebagai ganti
Pañcadvārāvajjana kita akan memiliki Manodvārāvajjana. Maka satu proses pikiran berlangsung satu
getaran, satu Bhavaṅga yang tertangkap dan kemudian Manodvārāvajjama (pengalihan-pintu-
pikiran). Setelah itu ada empat momen Kāmāvacara Javana. Kāmāvacara Javana berarti Kusala dan
Kiriya. Ada empat momen Kāmāvacara Javana yang disertai dengan pengetahuan. Jika tidak disertai
dengan pegetahuan, maka anda tidak akan dapat mencapai Jhāna dan Magga. Momen-momen itu
harus Ñāṇa-sampayutta, disertai dengan pengetahuan. Empat dari Kāmāvacara Kusala dan empat dari
Kāmāvacara Kiriya. Ada delapan. Katakanlah, ini untuk seorang non-Arahant. Jika ini adalah untuk
seorang non-Arahant, maka salah satu dari empat Kāmāvacara Kusala yang disertai dengan
pengetahuan akan muncul. Salah satu dari empat ini akan muncul empat kali dalam proses-proses
pikiran ini.
Javana pertama dalam proses pikiran Appanā disebut Parikamma, persiapan. Yang ke dua disebut
Upacāra, berdekatan atau akses. Yang ke tiga disebut Anuloma, keselarasan. Yang ke empat disebut
Gotrabhū. Keempat ini sebenarnya adalah Kāmāvacara Javana, salah satu dari delapan Kāmāvacara
Kusala atau Kiriya Citta yang disertai dengan Paññā. Bagi mereka yang adalah non-Arahant, salah satu
dari empat Kāmāvacara Kusala ini akan muncul dan bagi para Arahant salah satu dari empat
Kāmāvacara Kiriya akan muncul. Jadi Kāmāvacara Javana berlangung sebanyak empat kali. Setelah itu
terdapat Jhāna. Kemudian Bhavaṅga menyusul. Berapa banyakkah Citta dalam Jhāna itu bagi seorang
non-Arahant? Ini dapat berupa salah satu dari sembilan Citta. Jika orang itu adalah seorang Arahant,
berapa banyakkah Citta dalam Jhāna itu? Ini dapat berupa salah satu dari sembilan Citta. Ini adalah
bagaimana proses pikiran muncul pada pencapaian Jhāna pertama. Pada pencapaian Jhāna pertama
hanya satu momen Jhāna yang akan muncul dan kemudian mereda ke dalam Bhavaṅga.
Ini berlangsung seperti ini. Seseorang berlatih meditasi Samatha. Katakanlah, ia berlatih meditasi
Kasiṇa. Ia mendapatkan gambaran Kasiṇa di dalam kepalanya. Pertama ini disebut gambaran
tangkapan. Ia merenungkan gambaran itu berulang-ulang. Gambaran itu menjadi halus, cerah dan
jernih. Pada saat itu gambaran itu disebut gambaran pengimbang, gambaran pengimbang dari Kasiṇa.
ia merenungkan gambaran pengimbang itu sebagai tanah, tanah, misalnya. Ketika ia sedang
melakukan itu, berdiam pada gambaran pengimbang itu, terdapat proses pikiran yang berlangsung
dalam pikiran, proses pikiran pintu-pikiran mengambil Kasiṇa itu sebagai objek. Kemudian tiba
waktunya ketika ia mencapai Jhāna. Ketika ia mencapai Jhāna, ada satu proses pikiran (baca juga CMA,
IV, Tabel 4.4, p.169). Proses pikiran itu muncul ketika ia mencapai Jhāna untuk pertama kalinya.
Misalkan seseorang belum pernah mencapai Jhāna apapun, seorang pemula. Ia berlatih meditasi dan
mencapai Jhāna pertama. Pada pencapaian Jhāna pertama kali proses pikirannya berlangsung sebagai
berikut: Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap, Manodvārāvajjana, Parikamma,
Upacāra, Anuloma, Gotrabhū. Anda harus menghafalkan nama-nama ini. Anda dapat melihat
terjemahannya dari buku CMA (baca CMA, IV, Tuntunan §14, p.168). Setelah Gotrabhū muncul, Jhāna
Citta muncul hanya satu kali. Kemudian mereda ke dalam Bhavaṅga. Ini adalah untuk pencapaian
Jhāna pertama kali. Di antara empat Javana, yang pertama disebut apakah? Ini disebut Parikamma,
pendahuluan atau persiapan.
Empat momen pikiran ini disebut dalam berbagai nama. Dalam Komentar tiga pertama disebut dengan
salah satu dari tiga nama. Misalnya, yang pertama disebut Parikamma, Upacāra atau Anuloma. Ini
membingungkan. Di sini dalam Manual hanya diberikan satu nama untuk masing-masingnya, jadi saya
pikir ini lebih baik untuk kita. Nanti anda akan paham.
Yang pertama dari empat ini adalah Parikamma, persiapan. Ini mempersiapkan rangkaian batin untuk
pencapaian yang akan segera menyusul. Berikutnya adalah Upacāra. ‘Upacāra’ berarti berdekatan. Di
sini diterjemahkan sebagai akses. Yang ke tiga disebut Anuloma. ‘Anuloma’ berarti keselarasan. Ini
menyelaraskan Citta-Citta sebelum dan sesudahnya. Ini bersesuaian baik dengan Citta sebelumnya
maupun sesudahnya. ‘Citta sebelumnya’ di sini berarti Citta ini selaras tidak hanya dengan Citta dalam
proses pikiran ini melainkan juga dengan Citta sebelumnya dalam proses pikiran yang telah muncul
sebelumnya. Ketika anda berlatih Jhāna, anda memiliki banyak proses pikiran yang mengambil
gambaran Kasiṇa sebagai objek. Citta sebelumnya berarti bukan hanya Citta-Citta dalam proses pikiran
ini tetapi juga dalam proses-proses pikiran sebelumnya juga. Ini disebut keselarasan.
Yang ke empat disebut Gotrabhū. ‘Gotra’ berarti silsilah. ‘Bhū’ memiliki dua arti. Satu arti adalah untuk
mengatasi. Arti lainnya adalah untuk mencapai. Ini dimaksudkan untuk dua hal. Ada dua arti. Ketika
seseorang mencapai Jhāna, kesadaran Jhāna itu adalah termasuk Mahaggata, kita dapat mengatakan
silsilah Mahaggata. Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū adalah termasuk Kāmāvacara. Jadi
kita mencapai Gotrabhū, ini mengatasi silsilah Kāmāvacara. Ini mencapai ke dalam silsilah Mahaggata.
Maka satu Citta ini dikatakan memiliki dua makna – mengatasi silsilah Kāmāvacara dan mencapai
silsilah Mahaggata. Oleh karena itu maka disebut Gotrabhū.
Dalam proses pikiran Magga kita juga akan menemukan empat ini. Di sana Gotrabhū harus dijelaskan
sebagai mengatasi silsilah Puthujjana dan mencapai silsilah Mulia (Ariya). Jika ini adalah proses
pikiran Magga, maka sebelum Gotrabhū maka orang itu adalah seorang Puthujjana. Kemudian dimulai
dari momen Magga orang itu adalah seorang Ariya, seorang Mulia. Jadi ini adalah seperti suatu transisi
di sini. Dalam kasus ini disebut Gotrabhū karena mengatasi silsilah Puthujjana dan mencapai silsilah
Ariya, Mulia. Dan dalam proses pikiran Jhāna, Gotrabhū mengatasi silsilah Kāmāvacara dan mencapai
silsilah Mahaggata.
Terdapat dua jenis orang di sini, seorang dengan kemampuan biasa, dan seorang dengan kemampuan
tinggi – ini berarti seorang yang tidak begitu cerdas dan seorang yang sangat cerdas. Ia disebut
berkemampuan biasa bahkan walaupun ia mencapai Jhāna, jadi ia sebenarnya cerdas, tetapi
dibandingkan dengan yang lain ia tidak begitu cerdas. Untuk orang jenis pertama diperlukan empat
jenis Kāmāvacara Javana – Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū. Tetapi untuk orang yang
memiliki kemampuan tinggi, yang sangat cerdas, ia hanya memerlukan tiga Kāmāvacara Javana. Yang
pertama tidak ada. Ada Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū. Hanya ada tiga momen. Sehubungan dengan
Jhāna tidak ada penyesuaian, cukup hilangkan Parikamma. Dengan Magga kita akan melihat apa yang
akan kita lakukan. Ada dua orang, satu dengan kemampuan biasa dan satu berkemampuan tinggi. Bagi
mereka yang berkemampuan biasa ada empat momen Kāmāvacara Javana. Untuk mereka yang
berkemampuan tinggi ada tiga momen Kāmāvacara Javana. Yang pertama, Parikamma, dihilangkan
sehingga hanya ada Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū. Jika ini adalah proses pikiran Jhāna, maka ada
satu momen Jhāna dan kemudian mereda ke dalam Bhavaṅga.
Pada Manual, CMA pertengahan halaman 167, pada kalimat terjemahan:
“… salah satu Javana di antara 26 jenis Javana luhur atau adi-duniawi memasuki proses penyerapan
…” (CMA, IV, §14, p.167)
Jika anda memperhitungkan Javana sebagai hanya Appanā Javana, maka ada 26.
“… Sesuai dengan cara pikiran disampaikan.” (CMA, IV, §14, p.167)
Apakah artinya itu? Jika anda mengarahkan pikiran anda pada pencapaian Jhāna, maka akan ada
momen pikiran Jhāna. Jika anda mengarahkan pikiran anda pada pencapaian Nibbāna dan berlatih
meditasi Vipassanā, maka Appanā Javana akan menjadi Magga dan Phala. Jadi “Sesuai dengan cara
pikiran disampaikan” bermakna sesuai dengan bagaimana anda mengarahkan pikiran anda. Kadang-
kadang anda ingin mencapai Jhāna, maka anda mengarahkan pikiran untuk mencapai Jhāna dan
berlatih meditasi Samatha. Kadang-kadang anda ingin mencapai Nibbāna; untuk mencapai itu maka
anda berlatih meditasi Vipassanā dan mengarahkan pikiran anda pada pencapaian Nibbāna. Dalam
kasus demikian dan jika anda berhasil, maka Appanā Javana akan menjadi Magga dan Phala. 26 Luhur
atau 26 Mahaggata dan Lokuttara Javana muncul sesuai dengan bagaimana anda mengarahkan pikiran
anda.
“Setelah itu, pada akhir penyerapan, mereda ke dalam rangkaian-kehidupan.” (CMA, IV, §14, p.167)
Sekarang kita pelajari “pada akhir penyerapan.” Penjelasan yang diberikan pada CMA halaman 169
tidak cukup lengkap. “Pada akhir penyerapan” – frasa ini penting di sini. Jika dikatakan, “Setelah itu,
mereda ke dalam Bhavaṅga”, jika dikatakan demikian, maka mungkin terjadi kesalahpahaman karena
dalam proses pikiran apapun, Bhavaṅga selalu megikuti setelah momen pertama Appanā. Jika
dianggap demikian, maka tidak ada momen Phala yang dapat mengikuti Magga, dan tidak ada momen
Jhāna dan Phala dapat saling mengikuti satu sama lain dalam proses pikiran pencapaian yang
dipertahankan. Itulah sebabnya mengapa frasa ini ditambahkan di sana. “Pada akhir penyerapan”
berarti di akhir penyerapan Javana. Misalnya, dalam proses pikiran Magga terdapat satu momen
Magga dan dua atau tiga momen Phala. Hanya setelah semua Appanā Javana maka Bhavaṅga akan
muncul. Agar kita dapat mengetahui hal itu, penulis menambahkan frasa “pada akhir penyerapan.”
Ini hanya setelah penyerapan Javana maka Bhavaṅga akan ada, bukan hanya setelah satu Appanā
Javana. Jika ada dua Appanā Javana, maka setelah dua Appanā Javana maka Bhavaṅga akan muncul.
Jika ada 1000 Appanā Javana, maka hanya setelah 1000 Appanā Javana maka momen Bhavaṅga akan
muncul.
“… dengan tidak munculnya citta-citta pencatatan.” (CMA, IV, Tuntunan §14, p.169)
Kita tidak perlu mengatakan ini di sini karena sudah disebutkan sebelumnya. Tidak ada kemunculan
kesadaran-pencatatan di dalam proses pikiran Appanā. Maka di sini “mereda ke dalam rangkaian
kehidupan pada akhir penyerapan” berarti ada Bhavaṅga pada akhir semua Appanā Javana.
Ketidakmunculan pencatatan telah disebutkan di atas.
Dalam proses pikiran yang disebut Samāpajjana, proses pencapaian yang dipertahankan kemudian,
akan ada beribu-ribu momen Jhāna. Seseorang telah mencapai Jhāna. Belakangan ia ingin memasuki
Jhāna itu lagi. Ia berlatih meditasi lagi untuk mencapai Jhāna itu. Kemudian sesuai kehendaknya – ia
mungkin berkeinginan: “Semoga aku masuk ke dalam Jhāna” atau “Semoga Jhāna Citta muncul lagi
selama satu jam, dua jam atau selama satu hari atau dua hari” – jadi dengan kehendak demikian dalam
pikirannya, ia berlatih meditasi dan proses itu muncul. Dalam proses pikiran ini terdapat jutaan
momen Jhāna. Ini disebut pencapaian yang dipertahankan kemudian; sebenarnya ini adalah cara
untuk menikmati Jhāna. Pertama-tama anda memperoleh Jhāna. Kemudian anda ingin menikmatinya.
Anda ingin menikmati Jhāna karena ketika pikiran anda berada di dalam Jhāna, pikiran anda sangat
diam dan tenang. Vitakka, Vicāra, Pīti, Sukha dan Ekaggata sangat kuat, anda merasa sangat bahagia
pada saat itu, sangat damai. Anda ingin menikmati kedamiaan Jhāna. Jadi anda ingin memasuki Jhāna
itu lagi. Dalam kasus demikian karena anda menginginkan adanya banyak momen Jhāna, maka momen
Jhāna akan menjadi beribu-ribu. Di sini dalam proses pikiran pencapaian terdapat Bhavaṅga yang
bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap, dan kemudian Manodvārāvajjana, Parikamma, Upacāra,
Anuloma, Gotrabhū (di sini sebenarnya adalah Vodāna), dan kemudian banyak momen Jhāna, jutaan
momen Jhāna.
Pada waktu yang telah ditentukan sang meditator keluar dari Jhāna. Itu berarti momen Bhavaṅga
muncul. Ia dapat berada di dalam jenis proses pikiran Jhāna ini selama yang ia inginkan. Jika ia
berkehendak atau bertekad, “Semoga aku berada di dalam proses pikiran Jhāna selama satu jam”,
maka ia akan berada di dalam Jhāna selama satu jam. Di akhir satu jam itu Bhavaṅga akan secara
otomatis muncul. Itu adalah apa yang kita sebut keluar dari Jhāna. Jika ia bertekad, “Semoga aku
berada di dalam Jhāna selama tiga hari”, maka ia akan berada di dalam Jhāna selama tiga hari. Di akhir
tiga hari itu Bhavaṅga secara otomatis akan muncul.
Di sini orang-orang dengan kemampuan rata-rata dan berkemampuan tinggi hanya ada perbedaan
satu momen pikiran. Yang lainnya adalah sama. Parikamma tidak akan muncul pada mereka yang
berkemampuan tinggi.
Sehubungan dengan proses pikiran Jhāna terdapat dua jenis – pencapaian pertama dan pencapaian
yang dipertahankan kemudian. Yang pertama disebut Adhikammika. ‘Adhi’ berarti pertama. ‘Kamma’
berarti bekerja. Jadi ini berarti seorang yang melakukan pekerjaan pertama, seorang pemula.
Pencapaian yang dipertahankan disebut proses pikiran Samāpajjana. Anda mengetahui kata
Samāpatti. Samāpatti dan Samāpajjana berasal dari akar kata yang sama. Sebenarnya kedua kata ini
bermakna sama. Kita menyebut ini Jhāna-samāpatti Vīthi.
Momen Jhāna dapat direpresentasikan oleh lima Rūpāvacara Kusala dan empat Arūpāvacara Kusala
untuk non-Arahant. Untuk Arahant, momen-momen Jhāna akan direpresentasikan oleh lima
Rūpāvacara Kiriya dan empat Arūpāvacara Kiriya.
Apakah objek dari proses pikiran ini? Anda kembali kepada Ārammaṇa, objek-objek dalam bab tiga.
Sekarang mari kita buka halaman 142 (baca CMA, IV, Tabel 3.6, p.142). Objek dari, katakanlah, proses
pikiran Appanā pertama atau proses pikiran Jhāna pertama adalah Paññatti. Berapa banyakkah jenis
konsep di sana? Lihat pada tabel. 25 konsep dapat menjadi objek bagi tiga Citta Jhāna pertama. Objek
dari proses pikiran Jhāna pertama ini adalah salah satu dari 25 konsep. Yaitu sepuluh konsep Kasiṇa,
konsep kejijikan pada tubuh dan kemudian satu konsep tubuh (ini berarti rambut kepala, bulu badan,
kuku, gigi, kulit dan seterusnya), dan kemudian konsep napas masuk-dan-keluar, dan kemudian
makhluk-makhluk sebagai objek cinta-kasih (Mettā), makhluk-makhluk sebagai objek Karuṇā, dan
makhluk-makhluk sebagai objek Muditā. Seluruhnya ada 25. Salah satu dari 25 konsep ini adalah objek
bagi proses pikiran Jhāna ini. Objek dari proses pikiran yang dipertahankan adalah sama, salah satu
dari 25 objek Paññatti ini. Jika anda ingin memahami objek-objek ini secara terperinci, silakan kembali
kepada table 3.6 ini (baca CMA, IV, Tabel 3.6, p.142).

PROSES PIKIRAN (III) TADĀRAMMAṆA-NIYAMA


INKLUSIF
Minggu lalu kita telah mempelajari proses pikiran pintu-pikiran. Sekarang bab ini membahas jenis-
jenis proses pikiran berbeda. Ada proses pikiran lima-pintu-indria. Proses pikiran lima-pintu-indria
dibagi menjadi sangat besar, besar, kecil dan sangat kecil. Proses pikiran pintu-pikiran pertama dibagi
menjadi Kāmāvacara dan Appanā. ‘Appanā’ berarti Mahaggata dan Lokuttara. Kāmāvacara dibagi
menjadi Vibhūta dan Avibhūta, objek jelas dan objek samar. Proses pikiran Appanā juga dibagi menjadi
Jhāna dan Magga. Kemudian ada Nirodha. Jhāna dibagi menjadi dua – pencapaian pertama dan
pencapaian yang dipertahankan kemudian. Proses pikiran Magga di sini adalah pencapaian pertama
dan kemudian pencapaian Phala.

PROSES PIKIRAN JALAN


Hari ini kita akan mempelajari proses pikiran Jalan. Sebenarnya proses pikiran Jalan akan dijelaskan
pada bab sembilan. Dalam bab ini proses pikiran Jalan hanya akan disinggung tetapi tidak dijelaskan
secara terpisah. Saya pikir kita harus mempelajari proses pikiran Jalan di sini juga. Kemudian ketika
kita sampai pada bab sembilan, kita akan mempelajarinya lagi.
Proses pikiran Jalan muncul ketika seseorang mencapai pencerahan. Misalkan seseorang berlatih
meditasi Vipassanā. Ia maju dari satu pengetahuan Vipassanā menuju yang berikutnya. Ketika ia
berlatih meditasi Vipassanā, ada jutaan proses pikiran. Proses-proses pikiran ini mengambil bentukan
yang beraneka-ragam sebagai objek. ‘Bentukan yang beraneka ragam’ sebenarnya bermakna
fenomena-fenomena terkondisi atau hanya batin dan jasmani. Ketika anda berlatih meditasi
Vipassana, anda mengambil batin dan jasmani sebagai objek. Anda berusaha melihat sifat
ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa jiwa dari batin dan jasmani, muncul dan lenyapnya dan
seterusnya. Objek-objek dari meditasi Vipassanā ini disebut bentukan yang beraneka-ragam, jenis-
jenis bentukan yang berbeda, jenis-jenis Saṅkhāra yang berbeda. Jadi ketika seseorang berlatih
meditasi Vipassanā, proses pikiran pintu-pikirannya mengambil bentukan yang beraneka-ragam ini –
batin dan jasmani sebagai objek.
Misalkan Vipassanā-nya menjadi matang. Ia akan mencapai pencerahan. Pada momen pencapaian
pencerahan muncullah proses pikiran Jalan. Proses pikiran Jalan berlangsung sebagai berikut:
Pertama-tama Bhavaṅga lampau (Atīta Bhavaṅga), kemudian Bhavaṅga yang bergetar (Calana
Bhavaṅga), dan kemudian Bhavaṅga yang tertangkap (Upaccheda Bhavaṅga). Setelah Bhavaṅga itu
tertangkap, Viṭhi Citta, kesadaran proses muncul. Ada empat momen Kāmāvacara Javana, sama seperti
proses pikiran Jhāna. Dalam proses pikiran Jhāna ada Kāmāvacara Javana apakah? Ada Parikamma,
Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū. Sebelumnya ada pengalihan-pintu-pikiran. Sebagai ganti
pengalihan-lima-pintu-indria di sini kita memiliki pengalihan-pintu-pikiran, Manodvārāvajjana.
Setelah Manoddvārāvajjana mengalihkan pikiran kepada objek, pertama ada Parikamma, kemudian
Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū. Empat momen ini merepresentasikan Kāmāvacara Kusala yang
bergabung dengan pengetahuan, Ñāṇa-sampayutta. Yang pertama disebut persiapan; yang ke dua
adalah Upacāra, berdekatan atau akses; yang ke tiga disebut Anuloma, yaitu, menyeleraskan momen-
momen sesudah dan sebelumnya; dan yang ke empat disebut Gotrabhū.
Saya telah menjelaskan tentang Gotrabhū minggu lalu. Apakah arti Gotrabhū? Gotrabhū bermakna
perubahan silsilah. ‘Gotra’ berarti silsilah. ‘Bhu’ berarti mengatasi atau memasuki. Gotrabhū di sini
berarti mengatasi silsilah Puthujjana karena sejak momen Magga ia menjadi seorang Mulia, Ariya.
Pada momen Gotrabhū, silsilah Puthujjana diatasi dan mendorong masuk ke dalam silsilah Ariya. Jadi
Gotrabhū mengatasi silsilah Puthujjana dan memasuki silsilah Ariya. Oleh karena itu maka disebut
Gotrabhū.
Walaupun ada empat Kāmāvacara Javana – Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū – tetapi
objeknya berbeda-beda. Sekarang anda lihat bahwa Parikamma, Upacāra dan Anuloma mengambil
bentukan yang beraneka-ragam sebagai objek. Pada bab tiga, bagian objek-objek, yang mengambil
Nibbāna sebagai objek adalah Kāmāvacara Kusala Ñāṇa-sampayutta. Ini dapat mengambil Nibbāna
sebagai objek, sebenarnya hanya ketika berfungsi sebagai Gotrabhū. Ini dapat mengambil Nibbāna
sebagai objek hanya pada satu kali itu saja, yaitu, pada momen pertama melihat langsung pada
Nibbāna. Sebelum itu Nibbāna bukanlah Nibbāna sejati, melainkan hanya sebutan Nibbāna atau sejenis
konsep. Gotrabhū benar-benar mengambil Nibbāna sebagai objek. Ini adalah pengecualian. Dalam satu
proses pikiran ini objeknya berbeda. Objek dari Manodvārāvajjana, Upacāra dan Anuloma adalah
apakah? Objeknya adalah bentukan yang beraneka-ragam atau fenomena-fenomena terkondisi, batin
dan jasmani. Objek dari Gotrabhū adalah Nibbāna.
Setelah Gotrabhū selanjutnya adalah Magga (kesadaran Jalan) yang diikuti dengan dua momen
kesadaran Phala. Kemudian proses pikiran itu menyurut ke dalam Bhavaṅga. Ketika kita
membicarakan tentang pencerahan, kita harus memahami sehubungan dengan proses pikiran ini. Jadi
Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū adalah Citta-Citta alam-indriawi yang bermanfaat –
Kāmāvacara Kusala Citta. Magga adalah Citta apakah? Magga adalah Lokuttara Citta, Citta Adi-duniawi.
Pada momen Magga apakah yang terjadi? Ada hancurnya kekotoran, hancurnya Kilesa. Ketika kita
mengatakan bahwa kekotoran dihancurkan atau dihapuskan, yang dimaksudkan adalah bahwa
kekotoran itu dihancurkan melalui momen kesadaran Jalan ini.2 Apakah objek dari kesadaran Jalan?
Nibbāna adalah objek bagi kesadaran Jalan. Apakah fungsi dari kesadaran Jalan? Fungsinya adalah
menghancurkan kekotoran. Apa yang kita maksudkan dengan pencerahan adalah hanya ini, momen
Magga ini. Magga muncul dengan mengambil Nibbāna sebagai objek dan melakukan fungsi
menghancurkan kekotoran. Magga adalah kuat, begitu kuat sehingga hanya dengan satu kali muncul
dapat menghapuskan kekotoran batin seluruhnya sehingga tidak muncul kembali.
Anda semua tahu pada momen Sotāpatti-magga berapa banyakkah kilesa yang dihancurkan? Ingatkah
anda? Pandangan salah dan keragu-raguan dihancurkan. Jika anda tidak ingat, tidak apa-apa. Ketika
anda sampai pada bab sembilan, anda akan mengerti. Pada momen Sotāpatti-magga dua kekotoran
dihapuskan. Ketika dihapuskan, kekotoran itu terhapus selamanya. Kekotoran itu tidak akan muncul
lagi pada orang itu. Magga memiliki kekuatan itu. Itulah sebabnya mengapa pelenyapan melalui Magga
disebut pelenyapan sepenuhnya. Ada tiga jenis pelenyapan – sesaat, sementara dan sepenuhnya.
Ketika anda sedang belajar Abhidhamma atau bersujud kepada Sang Buddha, anda tidak memiliki
kekotoran. Itu adalah pelenyapan sesaat. Jika anda mencapai Jhāna atau jika anda berlatih Vipassanā
dan anda dapat mengesampingkan kekotoran selama beberapa waktu, ini disebut pelenyapan
sementara. Ketika anda mencapai keadaan Magga, anda dapat menghancurkannya selamanya. Dalam
Pāḷi ini disebut Samuccheda – ini berarti memotong. Jika anda memotong sesuatu, maka itu tidak dapat
disambung kembali. Pada Magga kekotoran yang bersesuaian dihancurkan selamanya. Sehingga tidak
akan pernah muncul kembali pada orang itu.
Momen Magga itu dalam proses pikiran diikuti dengan dua momen Phala. Momen Phala adalah hasil
dari momen Magga. Tidak ada yang menghalangi antara Magga dan Phala. Magga adalah sebab dan
Phala adalah hasil. Hasilnya seketika mengikuti sebabnya.
Sekarang mari kita mengingat atribut Dhamma. Apakah satu atribut Dhamma? Akālika adalah satu
atribut Dhamma. Akālika diterjemahkan sebagai tanpa waktu, tetapi itu tidak mudah dipahami.

2
Pada munculnya Magga Citta tidak ada Kilesa yang hadir. Secara teknis, Magga Citta menghancurkan Anussaya,
potensi laten atau kecenderungan untuk memiliki kesadaran tidak bermanfaat atau keadaan batin yang tidak
bermanfaat.
Akālika berarti tidak menunggu waktu untuk memberikan hasil. Itu berarti memberikan hasil segera.
Segera setelah Magga lenyap maka Buah, Phala muncul. Ketika kita mengatakan Dhamma adalah
Akālika, Dhamma adalah tanpa waktu, Dhamma yang kita maksudkan adalah – Magga, bukan Phala,
bukan Nibbāna.
Jadi momen Magga diikuti oleh dua momen Phala. Apakah fungsi dari momen-momen Phala ini?
Penenangan lebih lanjut atas kekotoran-kekotoran adalah fungsi dari Phala. Magga memadamkan api.
Phala menyiramkan lebih banyak air pada api, yang telah dipadamkan oleh Magga, sehingga tidak
dapat membakar kembali. Itu adalah apa yang dilakukan oleh momen Phala. Dalam Pāḷi disebut
Paṭippassaddhi – menenangkan lagi, menenteramkan lagi. Ini berarti mempertahankan kekotoran
tetap terhapuskan sehingga tidak muncul kembali.
Ada dua momen Phala dan kemudian proses pikiran menyurut ke dalam Bhavaṅga. Ini adalah proses
pikiran Jalan. Selalu ada momen-momen Phala dalam proses pikiran Jalan, tetapi kita tidak
menyebutnya proses pikiran Jalan karena momen-momen Phala selalu terhubung dengan momen
Magga. Setelah itu momen-momen Bhavaṅga muncul dan kemudian proses pikrian refleksi menyusul.
Ini adalah proses pikiran pintu-pikiran.
Setelah mencapai Magga pertama, katakanlah, orang itu ingin memasukinya lagi. Seperti yang anda
ketahui, kesadaran Magga tidak muncul lebih dari satu kali. Apa yang dimasuki oleh seorang yang
tercerahkan adalah momen-momen Phala. Untuk memasuki momen-momen Phala dan menikmati
kebahagiaan kebebasan ia berlatih meditasi Vipassanā lagi. Kemudian proses pikiran pencapaian Phala
yang dipertahankan muncul padanya.
Lihat pada CMA, IV, Tabel 4.4, halaman 169. Yang pertama adalah untuk Sotāpatti-magga. Terdapat
dua jenis proses pikiran Sotāpatti-magga – untuk mereka yang memiliki kemampuan rata-rata dan
untuk mereka yang berkemampuan tinggi. Untuk mereka yang memiliki kemampuan rata-rata
terdapat empat momen Kāmāvacara – Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū – Magga dan
kemudian dua momen Phala. Tetapi untuk mereka yang berkemampuan tinggi hanya ada tiga momen
Kāmāvacara Javana – Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū – kemudian Magga dan tiga momen Phala.
Tahukah anda mengapa ada tiga momen Phala di sini? Anda tidak tahu. Kita memerlukan tujuh momen
di sini, jadi Upacāra, Anuloma, Gotrabhū, Magga, Phala, Phala, dan Phala. Oleh karena itu, kita
memiliki tiga momen Phala untuk mereka yang berkemampuan tinggi.
Sekarang untuk Magga-Magga yang lebih tinggi – Sakadāgāṁī-magga, Anāgāmī-magga and Arahatta-
magga – proses pikirannya adalah sama tetapi dengan perbedaan pada nama untuk Gotrabhū. Di sini
disebut Vodāna. ‘Vodāna’ berarti pembersihan. Setelah seseorang mencapai Sotāpatti-magga ia telah
menjadi seorang Ariya, maka Gotrabhū tidak dapat muncul di sana karena tidak ada silsilah yang perlu
diatasi dan dimasuki. Oleh karena itu, momen itu disebut Vodāna, bukan Gotrabhū. Ini juga adalah
sebuah Kāmāvacara Javana. Ada Manodvārāvajjana, Parikamma, Upacāra, Anuloma, Vodāna dan
kemudian Magga dan dua momen Phala. Ini adalah untuk mereka yang memiliki kemapuan rata-rata.
Untuk mereka yang berkemampuan tinggi, hilangkan Parikamma dan tambahkan satu Phala lagi. Yang
lainnya adalah sama, jadi kita menghilangkan Parikamma, menambahkan satu lagi Phala dan
mengganti Gotrabhū menjadi Vodāna.
Pencapaian Phala yang dipertahankan – dalam pencapaian Phala yang dipertahankan apakah yang
anda temukan? Ada empat momen Anuloma. Empat momen ini disebut Anuloma di sini. Ini
membingungkan. Empat momen yang sama Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Vodāna di sini disebut
Anuloma. Jadi ada empat momen Anuloma. Di sini tidak ada Magga. Sebagai gantinya ada Phala. Ada
Phala dengan serangkaian titik mengikutinya. Ini berarti ada banyak momen Phala, jutaan momen
Phala. Ini adalah untuk orang yang memiliki kemampuan rata-rata. Untuk seorang yang
berkemampuan tinggi kita menghilangkan Parikamma. Yang lainnya adalah sama. Ini adalah proses
pikiran Phala-samāpatti.
Sehubungan dengan proses pikiran Jalan kita harus memahami proses pikiran Jalan dan kemudian
bahwa ini segera diikuti dengan refleksi, proses pikiran Kāmāvacara. Kita akan mempelajarinya pada
bab sembilan. Juga mungkin terdapat proses pikiran yang dipertahankan. Proses pikiran ini adalah
proses pikiran pencapaian pertama. Dalam proses pikiran pencapaian yang dipertahankan tidak ada
Magga yang muncul, tetapi sebagai gantinya momen-momen Phala muncul berjuta-juta kali. Dan
sekali lagi Kāmāvacara Javana sebelum Magga melakukan fungsi apakah? Melakukan fungsi
Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū. Tiga yang pertama mengambil bentukan yang
beraneka-ragam sebagai objek dan Gotrabhū mengambil Nibbāna sebagai objek. Kemudian Magga
menyusul dan dua momen Phala berikutnya mengikuti.
Sekarang ada pertanyaan. Saya tidak tahu apakah harus membahasnya di sini atau menunggu sampai
bab sembilan. Dapatkah kita menyebut Gotrabhū sebagai Vipassana atau tidak? Gotrabhū tidak
mengambil bentukan beraneka ragam sebagai objek, melainkan mengambil Nibbāna sebagai objek.
Jika Vipassanā, maka harus mengambil bentukan beraneka-ragam sebagai objek. Jadi sebenarnya
Gotrabhū adalah di luar Vipassanā, tetapi anda boleh menyebutnya Vipassanā jika anda
menginginkan. Sesungguhnya, ini bukanlah Vipassanā. Ini adalah puncak atau bagian tertinggi dari
Vipassanā.

KORELASI DALAM PENYERAPAN


Sekarang kita mempelajari “Korelasi dalam penyerapan”, bab empat (baca CMA, IV, §15, p.169). Anda
harus mengingat Citta-Citta. Jika anda telah membaca buku CMA, maka anda telah mengetahuinya.
Saya akan membacakannya terjemahannya.
“Di sana, segera setelah suatu Javana yang disertai kegembiraan, …” (CMA, IV, §15, p.169)
Ini berarti Somanassa Javana. Di sini Somanassa Javana berarti Somanassa Kāmāvacara Javana.
Jadi “Di sana, segera setelah suatu Javana yang disertai kegembiraan, penyerapan …”
Ini berarti Jhāna, Magga dan Phala.
“… penyerapan yang disertai dengan kegembiraan menanti.” (CMA, IV, §15, p.169)
Ini berarti Somanasssa Kāmāvacara Javana diikuti dengan Somanassa Appanā.
“Segera setelah suatu Javana yang disertai dengan keseimbangan, …” (CMA, IV, §15, p.169)
Ini berarti Upekkhā.
“… penyerapan (terjadi) yang disertai dengan keseimbangan.” (CMA, IV, §15, p.169)
Upekkhā Javana diikuti dengan Upekkhā Appanā. Apakah di dalam proses pikiran Jhāna atau proses
pikiran Magga, keempat Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū dapat berupa Somanassa atau
Upekkhā. Jika Somanassa, maka Magga, Phala dan Jhāna berikutnya pasti Somanassa. Jika Upekkha,
maka Magga, Phala dan Jhāna berikutnya pasti Upekkhā. Jadi Somanassa Javana diikuti dengan
Somanassa Appanā dan Upekkhā Javana diikuti dengan Upekkhā Appanā.
“Di sana juga, segera setelah suatu Javana bermanfaat, …” (CMA, IV, §15, p.169)
Ini berarti Kusala Javana.
“… penyerapan terjadi melalui Javana bermanfaat dan tiga buah yang lebih rendah.” (CMA, IV, §15,
p.169)
Ini berarti setelah Kusala Javana, Appanā Javana adalah Kusala dan tiga buah yang lebih rendah.
Setelah Kusala Javana berkutnya adalah Kusala Javana dan tiga Phala yang lebih rendah.
“Segera setelah suatu Javana fungsional, …” (CMA, IV, §15, p.169)
Ini berarti Kiriya Javana.
“… penyerapan terjadi melalui javana fungsional dan buah Kearahantaan.” (CMA, IV, §15, p.169)
Ini berarti Kiriya Javana dan Arahatta-phala Javana mengikuti. Sudah jelas? Belum.
Mari membahas Kāmāvacara Kusala – ada berapa banyak? Ada tiga. Di antaranya berapa banyakkah
yang disertai dengan Somanassa? Empat disertai dengan Somanassa. Di antaranya berapa banyakkah
yang disertai dengan pengetahuan? Dua pertama disertai dengan pengetahuan. Berapa banyakkah
Appanā Javana3? Seluruhnya ada 26. Yang mengambil Lokuttara ada delapan. Setelah dua Kāmāvacara
Javana pertama yang disertai dengan pengetahuan di sana dapat menyusul Kusala yang disertai
dengan Somanassa. Ini berarti empat Rūpāvacara Kusala, dan Magga Citta yang disertai dengan
Somanassa, dan kemudian tiga Phala yang disertai dengan Somanassa. Jadi ada berapa banyakkah?
Ada 32. Sekali lagi setelah Kāmāvacara Kusala yang disertai dengan pengetahuan, 32 Appanā Javana
mungkin muncul. Ini adalah empat dari Rūpāvacara Kusala, 16 dari Magga dan dua belas dari Phala.
Seluruhnya anda memperoleh 32.
Kemudian bagaimana dengan Upekkhā, Kāmāvacara Kusala yang disertai dengan Upekkhā dan
pengetahuan? Ada dua Kāmāvacara Kusala Citta yang disertai dengan Upekkhā dan pengetahuan.
Berapa banyakkah Appanā Javana yang mungkin mengikuti? Itu pasti Upekkhā. Satu dari Rūpāvacara,
empat dari Arūpāvacara, dan ada empat Magga dan tiga Phala yang lebih rendah. Seluruhnya ada dua
belas. Dua belas Appanā Javana dapat mengikuti dua Kāmāvacara Javana yang disertai dengan
Upekkhā dan pengetahuan. Ketika kita membicarakan tentang Kāmāvacara Javana, harap ingat proses
pikiran Jhāna dan proses pikiran Magga. Jadi dalam proses pikiran Jhāna terdapat Parikamma,
Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū, benar? Ini disertai dengan Somanassa dan juga dengan Upekkhā. Di
dalam Magga juga ini dapat disertai dengan Somanassa dan Upekkhā. Jika disertai dengan Somanassa,
maka Rūpāvacara Citta (Jhāna pertama, Jhāna ke dua, Jhāna ke tiga, dan Jhāna ke empat) dan kemudian
Magga Citta (juga Jhāna pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat) dapat mengikuti. Jika disertai dengan
Upekkhā, maka Rūpāvacara Jhāna Kusala ke lima, dan kemudian empat Arūpāvacara Jhāna Kusala,
empat Magga yang disertai dengan Upekkhā dan tiga Phala yang lebih rendah yang disertai dengan
Upekkhā dapat mengikuti – jadi dua belas. Setelah Somanassa Kāmāvacara Kusala Ñāṇa-sampayutta
di sana menyusul 32 Appanā Javana. Setelah Upekkhā Kāmāvacara Kusala Ñāṇa-sampayutta di sana
menyusul dua belas Appanā Javana.
Ini anda dapat menemukan pernyataan berikut ini di sini. Setelah Somanassa Javana menyusul
Somanassa Appanā. Setelah Upekkhā Javana menyusul Upekkhā Appanā. Setelah Kusala mnyusul

3
Appanā Javana berarti Javana-Javana Rūpāvacara, Arūpāvacara dan Lokuttara; ini disebut Appanā Javana.
apakah? Kusala Javana dan tiga Phala yang lebih rendah. Setelah Sahetuka Kiriya Javana apakah yang
menyusul? Kiriya Javana dan Arahatta-phala menyusul.
Berikutnya kita akan mengunjungi Kiriya Javana. Berapa banyakkah Kāmāvacara Sahetuka Kiriya
Javana yang ada? Ada delapan Kāmāvacara Sahetuka Kiriya Javana. Berapa banyakkah yang disertai
dengan Somanassa? Empat disertai dengan Somanassa. Berapa banyakkah di antara ini yang disertai
dengan pengetahuan? Dua disertai dengan pengetahuan. Setelah dua ini berapa banyakkah yang dapat
mengikuti? Empat Rūpāvacara Kiriya, dan kemudian empat Arahatta-phala dapat mengikuti kedua ini.
Setelah Kāmāvacara Kiriya, Magga dan Phala-Phala lainnya tidak dapat mengikuti. Jadi setelah
Kāmāvacara Kiriya yang disertai dengan Somanassa dan pengetahuan di sana menyusul hanya delapan
Appanā Javana – empat dari Rūpāvacara dan empat dari Arahatta-phala.
Sekarang mari mengunjungi Upekkhā. Berapa banyakkah yang dapat mengikuti kedua Upekkhā
kāmāvacara Kiriya Citta yang disertai dengan pengetahuan? Satu dari Rūpāvacara, empat dari
Arūpāvacara dan yang terakhir dari Arahatta-phala – jadi enam.
Buka CMA halaman 170.
“Mengikuti kesadaran bermanfaat yang disertai degan kegembiraan, 32 (kelompok javana
penyerapan) muncul.” (CMA, IV, §16, p.170)
Kita benar.
“setelah (kesadaran bermanfaat) yang disertai dengan keseimbangan, dua belas (kelompok javana
penyerapan muncul).” (CMA, IV, §16, p.170)
Ditemukan, ini benar.
“Setelah fungsional yang disertai dengan kegembiraan, delapan kelompok muncul, dan setelah
(fungsional) yang disertai dengan keseimbangan, enam kelompok muncul.” (CMA, IV, §16, p.170)
Ketika kami mempelajari ABhidhammatthasaṅgaha, kami masih sangat muda. Ketika kami
mendatangi tempat ini, jika seorang murid dapat mencari sendiri 32, 12, 8 dan 6, maka ia mendapat
hadiah – mungkin satu set jubah atau beberapa buku. Jika ia dapat melakukannya tanpa bantuan
seorang guru, maka ia akan mendapat hadiah.
Pada paragraf terakhir bagian ini pada CMA halaman 171:
“Dalam kasus kaum duniawi dan para pelajar yang telah mencapai ketiga jalan dan buah yang lebih
rendah, setelah salah satu dari empat javana alam-indriawi yang bermanfaat yang disertai dengan
pengetahuan di sana muncul satu dari 44 javana penyerapan yang dijelaskan di atas (32+12=44). (CMA,
IV, §16, p.171)
Ini berarti 32 dan dua belas.
“Setelah empat javana alam-indriawi fungsional yang disertai dengan pengetahuan, di sana muncul
pada Sang Arahant salah satu dari 14 javana penyerapan di atas (8+6=14).” (CMA, IV, Tuntunan §16,
p.171)
Anda telah menambahkan delapan dan enam. Ini adalah proses pikiran Appanā.
Harap diingat bahwa Appanā adalah nama dari apakah? Awalnya ini adalah nama dari vitakka.
Kemudian diaplikasikan pada Jhāna pertama. Kemudian diaplikasikan pada semua Jhāna, Magga dan
Phala. Ketika kita mengatakan Appanā Javana, maka yang dimaksudkan adalah Mahaggata dan
Lokuttara Javana. Jika kita menghitung Lokuttara sebagai delapan, maka terdapat 26 Appanā Javana.
Sekarang kita telah menyelesaikan proses pikiran Appanā. Kita akan mempelajari proses pikiran
pintu-pikiran lainnya nanti. Nanti maksudnya adalah pada akhir bab lima – ini tidak harus pintu-
pikiran; ini dapat berupa lima-pintu-indria dan pintu-pikiran, proses pikiran kematian. Kemudian kita
akan mempelajari yang lainnya pada bab sembilan.

TADĀRAMMAṆA-NIYAMA
Berikutnya adalah prosedur pencatatan, Tadārammaṇa-niyama. ‘Tadārammaṇa-niyama’ berarti
menentukan Tadārammaṇa, jadi Tadārammaṇa yang mana yang mengikuti Javana yang mana dan
Tadārammaṇa yang mana yang muncul sehubungan dengan jenis objek yang mana.
Ada tiga jenis objek yang disebutkan di sini. Kualitas objek ditentukan melalui makhluk rata-rata. Kita
akan membahasnya nanti. Objek-objek dibagi menjadi tiga:
- Yang pertama adalah Aniṭṭha – objek-objek yang tidak disukai.
- Yang ke dua adalah Iṭṭha atau Iṭṭhamajjhatta. Ini berarti disukai secara biasa.
- Yang terakhir adalah Ati-iṭṭha, sangat disukai, disukai secara khusus, luar biasa disukai.
Tiga jenis objek disebutkan di sini. Walaupun ada dua variasi dari yang disukai, namun hanya satu
untuk yang tidak disukai. Setiap objek yang tidak disukai adalah tidak disukai. Tetapi objek apapun
yang disukai terbagi menjadi dua – sekedar disukai dan sangat disukai. Bagi kaum Buddhis Sang
Buddha adalah objek yang sangat disukai. Bagi seorang pemuda, seorang wanita dapat menjadi objek
yang sangat disukai. Ada ketiga jenis objek ini.
Ketiga jenis objek ini ditentukan oleh rata-rata makhluk. Ini berarti sangat sulit untuk memutuskan
apa yang disukai dan tidak disukai jika kita mempertimbangkan setiap individu. Sesuatu yang anda
sukai belum tentu disukai orang lain. Sesuatu yang menyenangkan bagi anda mungkin tidak
menyenangkan bagi orang lain. Jadi bagaimanakah kita memutuskan, bagaimanakah kita menentukan
apa yang disukai dan apa yang tidak disukai? Dalam Komentar dikatakan bahwa ini ditentukan
sehubungan dengan rata-rata orang. Jika anda adalah seorang raja atau seorang yang sangat kaya,
maka hal-hal biasa tidak akan menyenangkan bagi anda. Jika anda adalah seorang miskin, maka
bahkan suatu hal kecil mungkin menyenangkan bagi anda. Jadi kita tidak menuruti berdasarkan orang
yang sangat kaya atau orang yang sangat miskin, melainkan mereka yang memiliki kekayaan rata-
rata, orang-orang pada umumnya. Jika disukai oleh rata-rata orang, maka itu dianggap disukai. Jika
tidak disukai oleh rata-rata orang, maka itu dianggap tidak disukai. Jadi ada tiga jenis objek.
Bahkan jika kita memutuskan menurut rata-rata makhluk, ada hal lain yang perlu dipertimbangkan.
Satu guru berkata bahwa kita harus menentukan kualitas objek menurut Vipāka. Itu hanya
mengatakan yang sebaliknya. Jika kesadaran adalah Akusala-vipāka, maka itu pasti tidak disukai. Jika
kesadaran adalah Kusala-vipāka, maka itu disukai. Ia mengatakan demikian.
Juga dikatakan bahwa menurut pintu-pintu kita dapat menentukan kualitas objek. Contohnya adalah
kotoran tinja. Kotoran tinja adalah tidak menyenangkan di mata. Anda tidak ingin melihat kotoran
tinja. Ini juga tidak menyenangkan di hidung. Tetapi sentuhannya menyenangkan, lembut. Menurut
sentuhan ini adalah menyenangkan, tetapi menurut penglihatan atau penciuman ini adalah tidak
menyenangkan. Kadang-kadang anda harus memutuskan meurut Dvāra. Sekarang sekuntum bunga –
kadang-kadang ada bunga yang beraroma busuk. Maka walaupun menyenangkan pada Cakkhu-dvāra,
pintu-mata, tetapi ini tidak menyenangkan pada pintu-hidung.
Juga pada musim panas, kesejukan adalah menyenangkan. Ketika kita merasa panas, kita menyalakan
kipas angin atau pendingin ruangan. Kita menginginkan dingin atau kesejukan. Tetapi di musim
dingin, kita menginginkan panas. Jadi dingin adalah menyenangkan di musim panas dan tidak
menyenangkan di musim dingin. Hal ini bergantung seperti itu. Menurut musim dan waktu, kualitas
objek dapat berubah. Semua ini harus ditentukan melalui pengalaman dari rata-rata makhluk, bukan
yang sangat kaya, bukan yang sangat miskin. Ada tiga jenis objek – yang tidak disukai, yang disukai
secara biasa dan yang sangat disukai.
Sekarang jika objeknya tidak disukai, maka Sampaṭicchana, Santīraṇa dan Tadārammaṇa adalah hasil
dari Akusala. Harap mengingat proses pikiran dalam pikiran. Jika objeknya adalah objek yang tidak
disukai, maka Sampaṭicchana, Santīraṇa dan Tadārammaṇa pasti dari Akusala-vipāka. Tadārammaṇa
adalah hanya Santīraṇa. jika objeknya disukai secara biasa, maka Sampaṭicchana, Santīraṇa dan
Tadārammaṇa adalah hasil dari Kusala. Dalam suatu proses pikiran kita dapat mengatakan, jika
objeknya tidak disukai, maka Sampaṭicchana dan seterusnya adalah Akusala-vipāka. Jika objeknya
adalah disukai secara biasa, maka itu adalah Kusala-vipāka dan disertai dengan Upekkhā. Tetapi jika
objeknya adalah Ati-iṭṭha, sangat disukai, maka Sampaṭicchana adalah Kusala-vipāka4 yang sama yang
disertai dengan Upekkhā, tetapi Santīraṇa dan Tadārammaṇa disertai dengan Somanassa. Di sini
Tadārammaṇa juga berarti Kāmāvacara Sahetuka Vipāka. Harap diingat ini. Jika objeknya tidak
disukai, maka Sampaṭicchana dan yang lainnya adalah hasil dari Akusala.5 Jika objeknya disukai secara
biasa, maka ini adalah hasil dari Kusala dan disertai dengan Upekkhā. Jika objeknya sangat disukai,
maka Sampaṭicchana adalah Kusala-vipāka yang disertai dengan Upekkhā. Tetapi Santīraṇa dan
Tadārammaṇa disertai dengan Somanassa. Ini adalah menentukan objek dan Citta yang mengambilnya
sebagai objek.
Sekarang Pañcadvārāvajjana, Sampaṭicchana, Santīraṇa dan Tadārammaṇa semua ini disebut Vipāka
Citta, bukan? Pañcadvārāvajjana tidak, tetapi Sampaṭicchana, Santīraṇa dan Tadārammaṇa adalah
Vipāka.
Sekarang dikatakan bahwa Vipāka adalah selalu tetap. Ini berarti Vipāka tidak dapat berubah. Jika
objeknya tidak menyenangkan, maka itu pasti Akusala-vipāka. Jika objeknya disukai, maka itu pasti
Kusala-vipāka. Tidak ada variasi di sini. Jadi Vipāka adalah tetap. Ini seperti ketika anda melihat diri
anda di dalam cermin. Pantulannya sama seperti wajah anda. Vipāka karena merupakan hasil dari
Kamma, maka tidak berubah. Ketika objeknya tidak menyenangkan, maka itu pasti selalu adalah hasil
dari Akusala. Jika objeknya disukai, mka itu pasti selalu adalah hasil dari Kusala. Vipāka adalah tetap.
Dalam satu proses pikiran tertentu anda tidak dapat mengubah Vedanā dari hal-hal ini. Jika tidak
menyenangkan, maka anda harus mengambilnya dari Akusala-vipāka. Dan jika menyenangkan, maka
anda mengambilnya dari Kusala-vipāka.
Tetapi Javana dapat berubah, tidak ada aturan tetap bagi Javana. Bahkan walaupun objeknya tidak
disukai, Javana dapat berupa Kusala atau Akusala. Javana dapat berupa Somanassa atau Upekkhā.
Sekarang misalkan sebuah objek yang sangat disukai. Walaupun ini adalah objek yang sangat disukai
– katakanlah, Sang Buddha adalah objek yang sangat disukai. Bagi mereka yang tidak berkeyakinan

4
Dalam khotbah disebutkan Pañcadvāra tetapi ini adalah Kiriya, maka editor menghilangkannya yang memang
seharusnya.
5
Editor menghilangkan Pañcadvārāvajjana dalam paragraf ini yang memang seharusnya.
pada Sang Buddha, bagi mereka yang bukan Buddhis, mereka mungkin tidak memiliki Somanassa
Javana. Mereka mungkin memiliki Upekkhā Javana karena mereka yang bukan Arahant mungkin
memiliki apa yang disebut distorsi pandangan. Dalam Pāḷi ini disebut Vipallāsa; ini adalah distorsi
persepsi, Saññā Vipallāsa, yaitu, persepsi keliru atas segala sesuatu; bahkan ketika objeknya adalah
sangat disukai, Javana dapat disetai dengan Upekkhā, bukan dengan Somanassa. Dan bagi mereka yang
memusuhi Sang Buddha, dengan mengambil Sang Buddha sebagai objek, maka mereka dapat memiliki
Domanassa Javana, Domanassa Citta. Jadi kualitas Javana tidak tetap berdasarkan kualitas objek. Ini
bergantung pada pemahaman masing-masing, Yoniso-manasikāra masing-masing dan seterusnya.
Sekarang misalkan terdapat sebuah objek yang tidak disukai. Mereka yang bersifat dalam dapat
melihat pada objek yang tidak disukai itu, melihat objek menjijikkan itu dan memiliki Upekkhā Javana.
Mereka mungkin tidak memiliki Domanassa Javana, Akusala Javana. Sekarang ketika anda berlatih
meditasi, misalkan anda berlatih meditasi Asubha. Ketika anda berlatih meditasi Asubha, anda mlihat
pada sesosok mayat, sebuah objek yang sangat tidak disukai. Anda dapat memiliki Kusala Javana,
bahkan Upekkhā Javana.
Kotoran tinja adalah objek yang tidak disukai, tetapi bagi anjing-anjing itu adalah objek yang disukai.
Jadi mereka mungkin memiliki Somanassa Javana ketika melihat hal-hal demikian.
Bagi mereka yang belum melenyapkan distorsi persepsi,6 Javana dapat berupa apa saja. Javana tidak
ditentukan menurut kualitas objeknya. Tetapi Vipāka adalah tetap sesuai objeknya. Jika objeknya
tidak disukai, maka Vipāka pasti Akusala. Jika objeknya disukai, maka Vipāka pasti Kusala. Tetapi
Javana dapat berubah. Javana dapat berupa Kusala atau Akusala atau mungkin Somanassa atau
Upekkhā. Maka ada ungkapan: “Vipāka adalah tetap, tetapi Javana berubah.”
Sekarang pada Manual buka CMA halaman 171, paragraf paling bawah.
“Sehubungan dengan hal ini juga, pada akhir Javana fungsional yang disertai dengan kegembiraan, di
sana muncul momen pikiran pencatatan yang juga disertai dengan kegembiraan.” (CMA, IV, §17, p.171)
Ini berarti Somanassa Kiriya Javana diikuti dengan Somanassa Tadārammaṇa.
“Pada akhir Javana fungsional yang disertai dengan keseimbangan, momen-pikiran pencatatan juga
disertai dengan keseimbangan.” (CMA, IV, §17, p.171)
Jadi Upekkhā Kiriya Javana diikuti dengan Upekkhā Tadārammaṇa. ini berarti Somanassa diikuti
dengan Somanassa dan Upekkhā diikuti dengan Upekkhā.
Di sini Manual tidak mengatakan Tadārammaṇa apa yang mengikuti Kāmāvacara Kusala dan yang
lainnya. Kalimat ini hanya menunjukkan untuk Kiriya Javana. Kāmāvacara Kiriya Javana disertai
dengan Upekkhā – berapa banyakkah? Ada empat. Ini dapat diikuti dengan Kāmāvacara Sahetuka
Vipāka Upekkhā empat dan Santīraṇa Upekkhā dua. Jadi seluruhnya ini dapat diikuti oleh enam. Ini
sama dengan baris terakhir yang dikutip dari Manual. Kāmāvacara Kiriya Somanassa empat dan
Hasituppāda diikuti dengan Kāmāvacara Sahetuka Vipāka Somanassa empat dan Santīraṇa Somanassa
satu. Kelima ini diikuti dengan lima Tadārammaṇa. Lobhamūla delapan dan Mohamūla dua diikuti oleh
seluruh sebelas Tadārammaṇa – tiga Santīraṇa dan delapan Kāmāvacara Sahetuka Vipāka. Kāmāvacara
Kusala delapan, seluruh delapan diikuti oleh sebelas Tadārammaṇa.

6
Ini berarti mereka yang memiliki persepsi keliru atas segala sesuatu.
Sekarang bagaimana dengan Domanassa, Dosamūla Citta dua? Ini diikuti dengan Tadārammaṇa dan
Bhavaṅga diikuti dengan Upekkhā. Ini tidak dapat diikuti oleh Somanassa karena Somanassa dan
Domanassa sangat berbeda sifatnya. Domanassa tidak dapat diikuti oleh Somanassa. Ini diikuti oleh
Upekkhā Tadārammaṇa dan Upekkhā Bhavaṅga. Domanassa Javana dapat diikuti oleh Upekkhā
Tadārammaṇa dan Bhavaṅga juga pasti adalah Upekkhā. Harap ini diingat karena ketika kita sampai
pada proses pikiran dengan Bhavaṅga tamu, kita harus memahaminya. Domanassa Javana hanya dapat
diikuti oleh Upekkhā – Upekkhā Tadārammaṇa dan Upekkhā Bhavaṅga. Anda memiliki Domanassa
Javana dan jika ada Tadārammaṇa, maka ini adalah Upekkhā. Jika tidak ada Tadārammaṇa, maka
Bhavaṅga juga adalah Upekkhā.

BHAVAṄGA TAMU
Ada satu masalah di sini, sebuah dilema. Misalkan anda terlahir dengan Somanassa Paṭisandhi. Jika
anda terlahir dengan Somanassa Paṭisandhi, maka Bhavaṅga anda pasti Somanassa. Seumur hidup
anda Bhavaṅga anda pasti Somanassa. Tidak mungkin Upekkhā karena Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti
pasti identik. Misalkan anda terlahir dengan Somanassa Paṭisandhi, maka Bhavaṅga anda selalu
Somanassa. Anda adalah musuh Sang Buddha. anda melihat Buddha dan anda marah kepada Beliau.
Oleh karena itu, Domanassa Javana muncul. Jika tidak ada Tadārammaṇa, Bhavaṅga pasti mengikuti.
Bhavaṅga jenis apakah yang pasti mengikuti? Setelah Domanassa, maka Somanassa Bhavaṅga tidak
dapat mengikuti. Tetapi anda memiliki Somanassa Bhavaṅga. Terdapat dilema di sini. Saya ulangi lagi.
Setelah Domanassa Javana jika Tadārammaṇa harus mengikuti, jenis Tadārammaṇa apakah itu?
Setelah Domanassa Javana, Upekkhā Tadārammaṇa akan mengikuti. Tetapi objeknya sangat disukai.
Jika objeknya sangat disukai, maka Tadārammaṇa pasti Somanassa. Jika objeknya adalah Ati-iṭṭha,
maka ada Somanassa untuk Santīraṇa dan Tadārammaṇa. Jika objeknya sangat disukai, maka
Tadārammaṇa pasti disertai dengan Somanassa. Di sini objeknya adalah sangat disukai. Jenis Bhavaṅga
apakah yang ada di sana? Apakah Somanassa atau Upekkhā? Setelah Domanassa Javana tidak ada
Somanassa Bhavaṅga yang dapat mengikuti. Tetapi anda memiliki Somanassa Bhavaṅga seumur hidup
anda. Dalam kesulitan ini ada Bhavaṅga tamu. Ia datang dan membantu kita di sini. Bhavaṅga tamu
ini sebenarnya adalah Upekkhā Santīraṇa. jadi Santīraṇa Upekkhā mengambil posisi Somanassa
Bhavaṅga. Ini disebut Āgantuka Bhavaṅga, Bhavaṅga tamu. Dalam buku Bhikkhu Bodhi ini disebut
Bhavaṅga yang tidak diharapkan (baca CMA, IV, §18, p.174). Bhavaṅga itu disebut Bhavaṅga tamu. Ini
adalah Upekkhā. Karena Upekkhā, maka bersesuaian dengan Domanassa. Setelah itu Bhavaṅga biasa
dapat mengikuti. Untuk orang itu proses pikirannya berlangsung sebagai berikut: Bhavaṅga Atīta
(lampau), Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga yang tertangkap, pengalihan-lima-pintu-indria, melihat,
menerima, menyelidiki, memutuskan dan kemudian Domanassa Javana. Domanassa Javana diikuti
oleh satu Upekkhā Santīraṇa yang berfungsi sebagai Bhavaṅga Āgantuka (tamu), dan kemudian
Somanassa Bhavaṅga mengikuti. Di sini dalam proses pikiran ini:
- Bhavaṅga di awal pasti disertai dengan Somanassa karena anda memiliki Paṭisandhi yang
disertai dengan Somanassa. Bhavaṅga ini pasti disertai dengan Somanassa.
- Pañcadvārāvajjana tidak dapat disertai dengan Somanassa. Ini selalu Upekkhā.
- Kesadaran melihat adalah selalu Upekkhā.
- Sampaṭicchana adala selalu Upekkhā.
- Di sini objeknya adalah sangat disukai, jadi Santīraṇa pasti disertai dengan Somanassa.
- Kemudian Voṭṭhabbana adalah Manodvārāvajjana, jadi ini disertai dengan Upekkhā.
- Kemudian momen-momen Javana di sini adalah Domanassa.
- Kemudian Bhavaṅga tamu disertai dengan Upekkhā.
- Dan Somanassa Bhavaṅga muncul kembali.
Kesulitan ini diatasi oleh Upekkhā Santīraṇa yang bertindak sebagai Bhavaṅga tamu.
Diiperiksa dalam Sub-komentar fungsi apakah yang dilakukan oleh Bhavaṅga tamu ini? Bhavaṅga
tamu adalah Santīraṇa yang disertai dengan Upekkhā. Umumnya ini dapat melakukan berapa banyak
fungsi ? lima fungsi -- Paṭisandhi, Bhavaṅga, Cuti, Santīraṇa dan Tadārammaṇa. Dapatkah ini berupa
Paṭisandhi? Tidak. Dapatkah ini berupa Cuti? Tidak, anda masih belum akan mati. Dapatkah ini berupa
Santīraṇa? jika melakukan fungsi Santīraṇa, maka ini harus menyelidiki. Ini tidak menyelidiki. Apakah
ini Tadārammaṇa? Tidak. Tadārammaṇa mengikuti Javana. Tadārammaṇa harus mengambil objek
Javana. Jika ini adalah Tadārammaṇa maka harus ada dua. Hanya satu yang tersisa dan itu adalah
Bhavaṅga. Ini berfungsi sebagai Bhavaṅga. Itulah sebabnya mengapa disebut Āgantuka Bhavaṅga. Ini
adalah untuk Atimahanta objek.
Untuk Mahanta, objek besar, karena ini adalah Mahanta maka objeknya dapat berupa apa saja – sangat
disukai, disukai secara biasa, atau tidak disukai. Dalam proses pikiran ini kita memiliki dua Bhavaṅga
lampau dan yang lainnya adalah sama. Javana-Javana sekali lagi diikuti oleh Bhavaṅga tamu. Satu-
satunya perbedaan adalah bahwa Santīraṇa dapat berupa Somanassa atau Upekkhā bergantung pada
objeknya apakah disukai atau tidak disukai.
Sekarang seseorang mungkin telah mencapai Jhāna-Jhāna. Kemudian entah bagaimana ia kehilangan
Jhāna-Jhāna ini. Jadi ia menyesal atau sedih karena hal ini. Ketika ia merasa sedih karena hal ini, ia
mengambil Jhāna-Jhāna itu sebagai objek. Jhāna-Jhāna itu adalah objek Mahaggata. Ini adalah proses
pikiran Mano-dvāra. Ini tidak mungkin proses pikiran lima-pintu-indria. Untuk orang itu yang
memiliki Somanassa Paṭisandhi proses pikirannya berlangsung: Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga
yang tertangkap, Manodvārāvajjana, dan kemudian Domanassa Javana, Āgantuka Bhavaṅga (Bhavaṅga
tamu) dan Somanassa Bhavaṅga kembali.
Jika seseorang mengambil salah satu konsep sebagai objek dan kemudian memperoleh Domanassa
Javana, jenis proses yang sama akan muncul. Di sini tidak ada pertanyaan tentang Tadārammaṇa
karena Tadārammaṇa hanya muncul jika objeknya adalah Kāmāvacara, orang itu adalah makhluk
Kāmāvacara dan setelah Kāmāvacara Javana. Ini disebutkan pada akhir bagian ini. Ini adalah proses
pikiran dengan Bhavaṅga tamu. Jika tidak demikian saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika
Bhavaṅga tamu ini tidak muncul.
Pada CMA, §19 hingga §20 halaman 175:
“Demikian pula, mereka berpendapat bahwa pencatatan terjadi (hanya) pada akhir dari javana-javana
alam-indriawi, …” (CMA, IV, §19, p.175)
Jadi Tadārammaṇa muncul pada akhir Kāmāvacara Javana.
“… (hanya) pada makhluk-makhluk alam-indriawi, …” (CMA, IV, §19, p.175)
Ini muncul hanya pada mahluk-makhluk Kāmāvacara
“… hanya ketika fenomena alam-indriawi menjadi objek.” (CMA, IV, §19, p.175)
Ini berarti objek Kāmāvacara. Jika objeknya adalah Mahaggata atau Paññatti maka tidak ada
pertanyaan tentang Tadārammaṇa di sana. Sehubungan dengan objek Mahanta tidak ada pertanyaan
tentang Tadārammaṇa karena objek-objek Mahanta tidak bertahan hingga Tadārammaṇa ke dua. Jadi
sehubungan dengan objek Atimahanta ada kemungkinan Tadārammaṇa. Tetapi di sini dalam proses
pikiran ini Tadārammaṇa tidak dapat muncul. Jika Tadārammaṇa tidak dapat muncul, maka Bhavaṅga
harus muncul – ada kesulitan dengan Bhavaṅga itu karena jika selaras dengan objek maka itu harus
Somanassa tetapi Somanassa tidak dapat seketika mengikuti Domanassa. Oleh karena itu, maka
muncul Bhavaṅga tamu.
Sekarang mari melihat pada kepastian Tadārammaṇa. Somanassa Tadārammaṇa mengikuti
Somanassa Javana, dan Upekkhā Tadārammaṇa mengikuti Upekkhā dan Domanassa Javana. Tidak ada
kepastian sehubungan dengan apakah disertai dengan pengetahuan atau tidak (Ñāṇa-sampayutta
Javana dan Ñāṇa-vippayutta Javana). Kadang-kadang seseorang memiliki keakraban dengan Akusala
Javana. Bagi orang itu sebagian besar hanya Akusala Javana yang muncul. Baginya bahkan setelah
Kusala Javana, Ahetuka Tadārammaṇa dapat muncul karena ketika ia memiliki Akusala Javana,
kemudian Tadārammaṇa adalah Ahetuka. Demikian pula bagi seorang yang akrab dengan kemunculan
Kusala Javana – baginya yang akrab dengan kemunculan Kusala, Kusala Javana akan muncul secara
berlimpah. Kemudian bahkan setelah Kusala Javana, akan ada Tadārammaṇa yang disertai dengan
Ñāṇa. dalam kasus ini tidak ada kepastian. Sehubungan dengan Somanassa, Domanassa dan Upekkhā
ada kepastian. Somanassa Javana pasti diikuti dengan Somanassa Tadārammaṇa. Upekkhā dan
Domanassa Javana pasti diikuti dengan Upekkhā. Tetapi sehubungan dengan pengetahuan tidak pasti.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Bingung? Hari ini anda harus memahami kepastian Tadārammaṇa – Tadārammaṇa yang mana
mengikuti Javana yang mana – ini adalah aturan umum. Setelah anda memahami aturan umum, ada
pengecualian dengan Bhavaṅga tamu. Pertama-tama anda memahami bahwa Domanassa tidak dapat
diikuti dengan Somanassa. Kemudian ada persoalan di sini jika Paṭisandhi anda disertai dengan
Somanassa, kemudian setelah Domanassa Javana tidak ada Bhavaṅga biasa yang dapat mengikuti.
Terdapat Bhavaṅga tamu atau yang tidak diharapkan. Apakah anda ingin bertanya?
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Itu harus ditentukan melalui objeknya. Karena objeknya sangat disukai, maka itu pasti
Somanassa. Bhavaṅga tamu disertai dengan Upekkhā. Karena itu sangat disukai, maka
itu adalah Kusala-vipāka.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: [Ketika kita mengatakan Sakadāgāmī-magga tidak menghancurkan Kilesa apapun, ini
berarti tidak menghancurkan seluruh kilesa, seluruh aspek kilesa. Tetapi terdapat
lapisan atau gradasi dalam Kilesa. Ada Kilesa yang dapat menyebabkan anda terlahir
kembali di empat alam sengsara dan Kilesa yang tidak menuntun anda menuju empat
alam sengsara. Ketika kita mengatakan bahwa Sotāpatti-magga menghancurkan
pandangan salah dan keragu-raguan, yang kita maksudkan adalah ini menghancurkan
pandangan salah dan keragu-raguan seluruhnya. Ini menghapuskan Lobha, Dosa dan
Moha, yaitu Lobha, Dosa dan Moha yang dapat menuntun menuju empat alam
sengsara. Pada tingkat ke dua ia melenyapkan beberapa tingkat Lobha, Dosa dan Moha.
Walaupun tidak ada Kilesa lagi yang dihancurkan seluruhnya, namun ada yang
dilemahkan. Tingkatan tertentu dari Kilesa-Kilesa ini dihancurkan melalui Magga ke
dua. Sekarang Magga pertama menghancurkan dua Kilesa seluruhnya dan lainnya
yang dapat menuntun menuju empat alam sengsara. Magga ke dua menghapuskan
beberapa lapisan dari kekotoran batin lainnya atau menurut buku-buku yaitu
kekotoran nafsu-indriawi dan niat buruk. Jadi lapisan Kilesa itu dihancurkan
selamanya, tetapi lapisan halusnya masih ada. Itu akan dihapuskan melalui Magga ke
tiga dan ke empat.

JAVANA-NIYAMA
Hari ini kita sampai pada bagian yang disebut ‘Prosedur Javana” atau “Javana-niyama”. Sebelum kita
mempelajari bagian ini, saya akan kembali mengulang bab tiga. Bab tiga membahas tentang Citta. Citta
diklasifikasikan menurut perasaan, menurut akar, menurut Kicca atau fungsi, menurut pintu, menurut
objek dan menurut landasan. Bab tiga menjelaskan Citta apa yang disertai dengan perasaan apa dan
Citta apa yang memiliki akar apa. Untuk memahami bab tiga anda perlu memahami bab pertama dan
bab dua juga. Jadi harap diingat 89 atau 121 jenis kesadaran dan kemudian beberapa faktor batin. Di
antaranya kita menerapkan fungsi, pintu, objek, and landasan pada proses pikiran atau pada jenis-
jenis kesadaran yang terdapat dalam suatu proses pikiran. Dalam tiap-tiap proses pikiran kita harus
menggunakan pengetahuan kita dari bab satu, dua dan tiga untuk menentukan Citta apa yang
direpresentasikan di sana, perasaan apa yang menyertai Citta itu, fungsi apa yang dilakukan, muncul
melalui pintu apa, objek apa yang diambil dan bergantung pada landasan apa.
Dalam suatu proses pikiran, katakanlah dalam Atimahanta pertama, suatu objek yang sangat besar,
terdapat 17 momen pikiran. Dengan tiap-tiap momen pikiran kita harus dapat mengatakan momen
pikiran ini merepresentasikan yang mana dari 89 atau 121 Citta dan disertai dengan Somanassa atau
Domanassa atau Upekkhā; Citta ini memiliki satu akar atau dua akar jika anda ingin menerapkan ini
juga, tetapi ini tidak diperlukan di sini. Tetapi kita harus memahami fungsi apa yang dilakukan oleh
jenis-jenis Citta yang berbeda ini. Di antaranya terdapat fungsi seperti fungsi melihat, fungsi
mendengar, dan seterusnya. Kemudian ada 19 jenis Citta yang melakukan penghubungan-kembali,
rangkaian-kehidupan dan kematian – fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Kemudian ada yang
memiliki fungsi Javana. Apakah Javana secara singkat? Kusala, Akusala, Magga, Phala dan Kiriya –
Kiriya kecuali dua Āvajjana, dua Citta yang adalah pengalihan-lima-pintu-indria dan pengalihan-
pintu-pikiran. Dan ada fungsi Tadārammaṇa. fungsi Tadārammaṇa dilakukan oleh berapa banyak
Citta? Ini dilakukan oleh 11 Citta – tiga kesadaran penyelidikan dan delapan Kāmāvacara Vipāka atau
kesadaran Mahāvipāka. Jika ini adalah proses pikiran melihat, maka keseluruhan proses pikiarn
muncul melalui pintu-mata. Jika ini adalah proses pikiran mendengar, maka muncul melalui pintu-
telinga. Jika ini adalah proses pikiran pintu-pikiran, maka muncul melalui pintu-pikiran. Anda juga
harus memahami masing-masing Citta itu bergantung pada landasan apa. Misalnya, Bhavaṅga Citta di
alam Kāmāvacara dan Rūpāvacara, bergantung pada landasan apakah? bergantung pada landasan-
jantung. Dan Pañcadvārāvajjana bergantung pada landasan apakah? bergantung pada landasan-
jantung. Kesadaran melihat bergantung pada apakah? bergantung pada landasan-mata. Berikutnya
apakah? penerimaan dan seterusnya bergantung pada apakah? bergantung pada landasan-jantung.
Jika anda belum memahami dengan bab tiga, silakan kembali dan pelajari lagi.
Hari ini kita sampai pada prosedur Javana. Ini adalah kepastian Javana-Javana atau Javana-niyama.
Silakan lihat pada Manual pada CMA halaman 176.
“Di antara Javana-Javana, dalam sebuah proses javana yang terbatas, javana alam-indriawi hanya
berlangsung sebanyak tujuh atau enam kali.” (CMA, IV, §21, p.176)
Ini berarti dalam proses pikiran Kāmāvacara, Kāmāvacara Javana berlangsung sebanyak tujuh kali
atau enam kali. Kita sedang mengetahui Javana-Javana yang berlangsung sebanyak tujuh kali, tetapi
tidak yang enam kali. Dikatakan bahwa jika objeknya sangat lemah bahkan dalam kondisi normal,
mungkin hanya terjadi enam Javana dan bukan tujuh. Pada CMA halaman 154 pada bagian bawah:
“Setelah ini, salah satu dari 29 Javana alam-indriawi telah memperoleh kondisi yang tepat untuk
berlangsung, umumnya sebanyak tujuh momen-pikiran.” (CMA, IV, §6, p.154)
Di sana dikatakan, “umumnya”. ‘Umumnya’ berarti kadang-kadang tujuh, kadang-kadang enam
Javana akan muncul. Tidak dijelaskan di sana … mengapa ‘umumnya’ di sebutkan di sana. Di sana
‘umumnya’ berarti kadang-adang tujuh Javana dan kadang-kadang dalam kasus-kasus yang jarang
enam Javana dapat berlangsung. Dalam proses pikiran Kāmāvacara, Kāmāvacara Javana dapat
berlangsung tujuh kali pada umumnya atau enam kali. Harap diingat karena pada akhir bagian ini kita
akan mencoba mencari berapa banyak Javana yang hanya berlangsung satu kali, berapa banyak Javana
yang berlangsung dua kali dan seterusnya. Jadi Kāmāvacara Javana berlangsung sebanyak tujuh atau
enam kali.
Tetapi dalam kasus seorang yang lemah, seperti pada saat menjelang kematian, dan sebagainya,
Javana-Javana hanya berlangsug lima kali. Dalam proses pikiran kematian hanya ada lima Javana
karena Citta harus bergantung pada landasan-landasan berbeda. Pada saat kematian seluruh tubuh
fisik sangat lemah. Karena landasannya lemah, maka Citta juga menjadi lemah. Javana tidak memiliki
kekuatan untuk berlangsung sebanyak enam atau tujuh kali. Pada saat itu Javana hanya berlangsung
lima kali. Saat itu adalah saatnya kematian, dan sebagainya. Saatnya kematian berarti persis sebelum
mati. ‘dan sebagainya’ dikatakan untuk merujuk situasi ketika anda pingsan atau kadang-kadang
seseorang menjadi mabuk atau mengantuk. Ini termasuk dalam istilah ‘dan sebagainya’. Bukan hanya
pada saat kematian, tetapi juga pada saat-saat lainnya ketika pikiran menjadi lemah, Javana-Javana
dapat berlangsung hanya lima kali. Jadi Javana berlangsung lima kali pada saat kematian, pingsan, dan
sebagainya. Berapa banyakkah Javana yang kita miliki sejauh ini? Tiga jenis Javana – yang berlangsung
tujuh kali, yang berlangsung enam kali dan yang berlangsung lima kali.
Sekarang kita akan sampai pada Javana yang berlangsung empat atau lima kali.
“Kepada Yang Sempurna (atau kepada Sang Buddha), pada waktu keajaiban ganda dan sejenisnya,
ketika prosedurnya cepat, hanya empat atau lima kejadian kesadaran peninjauan terjadi, mereka juga
mengatakan.” (CMA, IV, §21, p.176)
“Mereka juga mengatakan” bermakan para Komentator atau para guru, guru-guru sebelum penulis
Manual ini. Sekarang Keajaiban ganda – Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ganda beberapa kali
sepanjang hidup Beliau. Pertama kali adalah segera setelah pencerahan Beliau, tujuh hari setelah
pencerahan Beliau. Sang Buddha duduk di bawah pohon selama tujuh hari tanpa bergerak. Beberapa
dewa berpikir bahwa Beliau masih belum menjadi Buddha karena Beliau duduk diam. Mereka berpikir
bahwa Beliau masih harus melakukan sesuatu. Mereka ragu-ragu. Sang Buddha mengetahui keragu-
raguan mereka dan memperlihatkan keajaiban ganda kepada mereka. Sang Buddha juga
memperlihatkan keajaiban ganda ketika Beliau kembali ke kota asalNya di tengah-tengah sanak-
saudaraNya. Beliau juga memperlihatkan keajaiban ganda persis sebelum pergi ke alam surga
Tāvatiṃsa untuk membabarkan Abhidhamma.
Apakah keajaiban ganda? Ini adalah Yamakapāṭihāriya. ‘Pāṭihāriya’ berarti keajaiban dan ‘Yamaka’
berarti kembar. Keajaiban ganda berarti membuat api dan air keluar dari tubuhNya; memperlihatkan
api dan air keluar dari tubuhNya disebut keajaiban ganda. Keajaiban ganda itu dilakukan dengan
memasuki Jhāna-Jhāna karena keajaiban ganda hanya dapat dilakukan melalui Abhiññā. ‘Abhiññā’
diterjemahkan sebagai pengetahuan langsung. Abhiññā sebenarnya adalah Jhāna ke lima, yang
dikembangkan secara khusus, bukan Jhāna ke lima biasa. Setelah sang yogi mencapai Jhāna ke lima,
ini dikembangkan secara khusus sehingga menjadi Abhiññā. Ketika Jhāna ke lima menjadi
terkembang, maka keajaiban Abhiññā dapat dilakukan. Ini adalah pengembangan kekuatan psikis
seperti mengingat kehidupan lampau, melihat makhluk-makhluk mati dalam satu kehidupan dan
terlahir dalam kehidupan lainnya, atau melihat masa depan, atau melakukan keajaiban seperti terbang
di angkasa dan sebagainya.
Sekarang terdapat suatu urutan proses pikrian yang muncul ketika keajaiban-keajaiban ini dilakukan
atau ketika Abhiññā diperoleh. Seseorang yang ingin melakuakn keajaiban harus memiliki seluruh
sembilan Jhāna. Ia harus telah mencapai seluruh sembilan Jhāna. Pertama-tama ia harus memasuki
Jhāna ke lima. Kemudian ia keluar dari Jhāna ke lima dan ia memerika atau merefleksikan pada isi dari
Jhāna ke lima itu. Berapa banyakkah faktor Jhāna di dalam Jhāna ke lima? Ada dua faktor Jhāna.
Apakah itu? Upekkhā dan Ekaggatā. Ia merenungkan atau memeriksa faktor-faktor Jhāna ini. Setelah
itu terdapat suatu proses pikiran lainnya yang dengannya ia bertekad dalam pikirannya. Misalnya,
pada Sang Buddha di sini – Sang Buddha memasuki Jhāna ke lima sebagai Jhāna landasan dan keluar
dari Jhāna itu dan merefleksikan isi dari Jhāna itu. Selanjutnya Sang Buddha bertekad dengan satu
proses pikiran – “Semoga api keluar dari bagian atas tubuhKu” atau “Semoga api keluar dari bagian
bawah tubuhKu” dan seterusnya. Beliau bertekad demikian dengan satu proses pikiran. Kemudian
Beliau sekali lagi memasuki Jhāna ke lima sebagai landasan Abhiññā. Kemudian Beliau keluar lagi dari
Jhāna ke lima dan merefleksikan isi dari Jhāna itu. Hanya setelah itu muncul proses pikiran Abhiññā.
Segera setelah proses pikiran itu api keluar dari bagian atas tubuh Beliau dan air dari bagian bawah
tubuh Beliau.
Orang-orang berpikir bahwa api dan air keluar dari tubuh Beliau secara bersamaan. Untuk melakukan
keajaiban ini Sang Buddha harus melewati proses-proses pikiran ini dengan sangat cepat. Kalau tidak
demikian api pada satu waktu dan air pada waktu lainnya tidak akan terlalu ajaib. Sang Buddha
memperlihatkan keajaiban ini untuk mengesankan orang-orang. Sang Buddha dapat memperlihatkan
api dari bagian atas tubuh, air dari bagian bawah tubuh; api dari sisi kanan, air dari sisi kiri; api dari
mata kanan, air dari mata kiri; api dari satu pori-pori pada kulitnya, air dari pori-pori lainnya dan
seterusnya. Dalam kasus-kasus demikian proses-proses pikiran ini harus berlangsung dengan sangat
sangat cepat khususnya pada proses-proses pikiran refleksi dan peninjauan.
Umumnya dalam proses pikiran peninjauan terdapat berapa banyak Javana? Umumnya ada tujuh
Javana. Di sini dalam kasus ini Javana-Javana tidak dapat berlangsung tujuh momen pikiran. Itu terlalu
lama. Dalam Manual ini dikatakan proses pikiran peninjauan berlangsung selama empat atau lima
momen. Komentator atas Manual ini mengatakan empat atau lima dapat dipahami sebagai empat bagi
mereka yang memiliki kecerdasan tinggi dan lima bagi mereka yang memiliki kecerdasan tidak terlalu
tinggi. Jadi ada empat Javana untuk Sang Buddha dan lima Javana untuk para siswa. Jadi dalam kasus
ini ketika Sang Buddha melakukan keajaiban ganda, maka Javana-Javana peninjauan tidak dapat
berlangsung selama tujuh momen, melainkan hanya berlangsung selama empat momen.
Untuk mencapai proses pikiran Abhiññā berapa banyakkah proses pikiran yang dilalui oleh Sang
Buddha atau siapapun yang ingin melakukan keajaiban? Pertama ada Jhāna dasar. Kemudian ada
proses pikiran peninjauan. Kemudian ada proses pikiran tekad. Dan kemudian ada Jhāna ke lima lagi.
Kemudian ada proses pikiran peninjauan lainnya lagi. Sang meditator harus melalui lima proses
pikiran sebelum ia mencapai proses pikiran Abhiññā. Hanya setelah enam proses pikiran ini maka api
akan keluar dari tubuh bagian atas Sang Buddha. kemudian Beliau bertekad agar air keluar dari bagian
bawah tubuhNya. Sekali lagi Beliau harus melalui kelompok enam proses pikiran ini. Dalam kasus-
kasus ini Kāmāvacara Javana tidak dapat berlangsung tujuh momen seperti biasa. Javana-Javana itu
berlangsung hanya empat momen bagi Sang Buddha dan berlangsung lima momen bagi para siswa.
Sekarang di antara proses-proses pikiran itu proses Jhāna dasar adalah proses pikiran Jhāna. Proses
pikiran peninjauan adalah proses pikiran Kāmāvacara. Proses pikiran tekad adalah juga proses pikiran
Kāmāvacara. Abhiññā sebenarnya adalah proses pikiran Jhāna ke lima. Dalam rangkain ini
Kāmāvacara dan Rūpāvacara bergantian. Bagi para Buddha hanya ada empat momen pikiran Kiriya
dan dikatakan bagi para siswa ada lima. Sekarang para siswa seperti Sāriputta kadang-kadang terdapat
situasi di mana mereka harus memasuki Jhāna dengan cepat dan melakukan refleksi dengan cepat.
Bagi mereka juga proses peninjauan tidak dapat dilakukan dengan santai sebanyak tujuh momen; ini
menjadi lima momen bagi mereka. Jadi sekarang kita memiliki proses yang berlangsung sebanyak
empat kali dan proses yang berlangsung lima kali.
Ketika seseorang memasuki pencapaian Jhāna, Magga atau Phala, Kāmāvacara Javana dapat muncul
tiga atau empat kali sebeum Appanā Javana muncul. Bagi mereka yang memiliki kecerdasan tinggi tiga
Javana (Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū atau Vodāna) akan muncul. Bagi mereka yang memiliki
kecerdasan rata-rata empat Javana (Parikamma, Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū atau Vodāna) akan
muncul. Jadi Javana-Javana dapat muncul tiga atau empat kali.
Javana-Javana Luhur bagi para pemula selama proses penyerapan kognitif pertama dan Javana
pengetahuan langsung selalu hanya berlangsung satu kali. Sekarang kita sampai pada Javana-Javana
yang hanya berlangsung satu kali. Pada pencapaian pertama atas Jhāna hanya ada satu momen Jhāna.
Pada pencapaian pertama atas Jhāna apakah Rūpāvacara atau Arūpāvacara, kesadaran Jhāna hanya
muncul satu kali dan kemudian Bhavaṅga mengikuti. Mengapakah hanya ada satu momen Jhāna?
Alasannya dijelaskan pada CMA halaman 177.
“… javana luhur muncul hanya satu kali karena lemah dan tidak ada pengulangan.” (CMA, IV,
Tuntunan §22, p.177)
Sebenarnya ini berarti Jhāna ini muncul satu kali untuk pertama kalinya. Ini seperti seorang anak yang
baru lahir. Ketika seorang anak baru dilahirkan, ia sangat lemah; ia tidak kuat. Jhāna pertama itu
hanya muncul satu kali dan lemah. Begitu lemah sehingga tidak dapat menjadi kondisi bagi munculnya
Jhāṅa Citta lainnya. Jika dapat menjadi kondisi bagi munculnya Jhāṅa Citta lainnya, maka akan ada
kondisi pengulangan. Ini adalah satu dari 24 hubungan sebab-akibat yang diajarkan dalam Paṭṭhāna.
Ketika suatu kesadaran berulang, misalnya, tujuh kali dalam Javana-Javana pada proses pikiran pintu-
pikiran, maka kita mengatakan ada kondisi pengulangan (Āsevana). Ini berarti satu momen pikiran
menguatkan momen pikiran lainnya. Tetapi di sini kesadaran Jhāna muncul untuk pertama kalinya
dan lemah sehingga tidak dapat menjadi kondisi bagi munculnya kesadaran Jhāna lainnya. Oleh karena
itu maka hanya ada satu momen Jhāna Javana dalam proses pikiran pencapaian pertama.
Kata ‘pemula’ digunakan di sini. Ini berarti pencapaian pertama. Sekarang seseorang mencapai Jhāna
pertama. Pertama kali ia mencapai Jhāna itu ia adalah pemula dalam Jhāna pertama. Kemudian jika ia
telah terbiasa dengan Jhāna pertama, ia dapat masuk ke dalam Jhāna pertama sebanyak yang ia
inginkan. Ia bukan lagi seorang pemula. Ia adalah seorang yang mahir pada saat itu. Kemudian ia
berlatih meditasi lagi dan ia mencapai Jhāna ke dua. Pertama kali ia mencapai Jhāna ke dua ia sekali
lagi adalah pemula Jhāna ke dua. Kemudian ia berlatih Jhāna lagi sehingga ia mampu masuk dan keluar
Jhāna ke dua sesukanya. Maka ia menjadi mahir dalam Jhāna ke dua. Ia berlatih lagi dan mencapai
Jhāna ke tiga dan seterusnya. Pemula di sini bukan berarti pemula dalam Jhāna secara umum,
melainkan seorang pemula dalam tiap-tiap tingkat Jhāna. Ini berarti pada pencapaian pertama dari
tiap-tiap Jhāna. Proses pikiran Jhāna berlangsung sama, tetapi hanya ada satu Rūpāvacara Javana atau
Arūpāvacara Javana. Kemudian selama proses pikiran Jhāna yang dipertahankan Jhāna dapat muncul
berjuta-juta kali. Kita akan sampai pada topik ini nanti di akhir bagian ini.
Dan kemudian Javana pengetahuan langsung selalu muncul satu kali – Abhiññā Javana muncul hanya
satu kali. Abhiññā Javana pasti berkekuatan besar karena dengan Abhiññā itu seseorang melakukan
keajaiban. Dan Abhiññā Javana hanya muncul satu kali. Hanya dengan muncul satu kali adalah cukup
untuk menyelesaikan tugasnya. Maka Javana ini tidak perlu muncul dua kali atau tiga kali atau jutaan
kali. Hanya dengan muncul satu kali cukup untuk membantu seseorang melakukan keajaiban. Karena
cukup untuk menyelesaikan tugas hanya dengan muncul satu kali, maka Javana ini muncul satu kali.
Jadi ada dua jenis Javana yang muncul hanya satu kali – Rūpāvacara dan Arūpāvacara Jhāna pada
pencapaian pertama dan Abhiññā Javana selalu pada kapanpun apakah pencapaian pertama ataupun
pencapaian berikutnya.
Sekarang munculnya empat jalan hanya bertahan selama satu momen pikiran. Magga juga hanya
muncul satu kali. Dapatkan Magga yang sama muncul untuk ke dua atau ke tiga kalinya? Tidak. Jadi
Sotāpatti-magga muncul satu kali. Berikutnya ketika Magga muncul, itu adalah Sakadāgāmī-magga
dan seterusnya. Magga Citta atau Magga Javana muncul hanya satu kali. Karena Magga hanya muncul
satu kali maka tidak ada Kiriya dalam Lokuttara Citta. Jika Magga dapat muncul berulang-ulang, maka
akan ada Kiriya dalam Lokuttara Citta. Karena Magga hanya muncul satu kali, maka tidak akan ada
Kiriya dalam Lokuttara.
“Setelah itu, dua atau tiga kali kesadaran buah muncul menurut situasinya.” (CMA, IV, §22, p.177)
Segera setelah Magga terdapat momen Buah, Phala. Berapa banyakkah momen Phala? Ada dua atau
tiga momen Phala. Momen Magga diikuti dengan dua momen Phala atau tiga momen Phala. “Menurut
situasinya” – ini berarti jika orang itu memiliki kecerdasan tinggi, tiga momen Phala akan muncul.
Jika orang itu memiliki kecerdasan yang tidak begitu tinggi, maka dua momen Phala akan muncul.
Megapakah? Karena keberadaan atau ketiadaan Parikamma. Dalam satu proses pikiran terdapat paling
banyak tujuh momen Javana. Jika ada empat Kāmāvacara Javana – Parikamma (persiapan), Upacāra
(berdekatan), Anuloma (keselarasan), Gotrabhū (perubahan silsilah) – jadi ketika empat momen
diambil oleh Kāmāvacara Javana dan satu momen diambil oleh Magga, maka ini sudah lima. Jadi hanya
tersisa dua Javana lagi. Itulah sebabnya mengapa ada dua momen Phala. Tetapi jika hanya ada tiga
momen Kāmāvacara, tidak ada yang pertama, Parikamma, jadi hanya Upacāra, Anuloma dan Gotrabhū
(tiga momen Kāmāvacara Javana) dan kemudian satu momen Magga, maka ada empat momen. Agar
menjadi tujuh maka kita perlu menambahkan tiga momen lagi. Itulah sebabnya mengapa seorang yang
memiliki kecerdasan tinggi atau memiliki kecerdasan yang tidak terlalu tinggi menyebabkan
perbedaan dalam jumlah momen Phala yang akan muncul. Kemudian ada penyurutan ke dalam
rangkaian-kehidupan. Setelah itu ada Bhavaṅga. Maka sekarang dalam paragraf ini kita memperoleh
Javana-Javana yang hanya muncul satu kali, yang muncul dua kali, yang muncul tiga kali, dan yang
muncul empat kali.
Berikutnya adalah Nirodha-samāpatti, pencapaian lenyapnya, lenyapnya berarti lenyapnya Citta,
Cetasika dan Rūpa yang muncul dari Citta.
Pada saat pencapaian lenyapnya, javana tanpa materi ke empat (Arūpāvacara Javana ke empat)
berlangsung dua kali dan kemudian menyentuh lenyapnya.” (CMA, IV, §22, p.177)
Bhikkhu Bodhi terlalu harfiah di sini. Kata ini dalam Pāḷi adalah ‘Phusati’. Ia menerjemahkan secara
harfiah sebagai menyentuh. Tetapi di Burma kami menerjemahkannya sebagai mencapai. Jadi ia
mencapai lenyapnya, ia mengalami lenyapnya.
Penjelasan untuk Nirodha-samāpatti sangat singkat di sini (baca CMA, IV, §22, p.177). jika anda dapat
menunggu, saya ingin meminta anda untuk menunggu hingga bab sembilan. Di akhir bab sembilan
terdapat penjelasan lebih terperinci tentang Nirodha-samāpatti. Dapatkah adan menunggu atau
tidak? Jika anda tidak dapat menunggu, silakan buka CMA halaman 363, “Pencapaian Lenyapnya”
(CMA, IX, §43, p.363)
“Dalam kasus ini, seseorang berturut-turut memasuki pencapaian luhur yang dimulai dari Jhāna, dan
kemudian setelah keluar dari sana, ia merenungkan dengan pandangan terang …” (CMA, IX, §43, p.363)
Ini berarti ia berlatih Vipassanā.
“… keadaan-keadaan terkondisi dalam tiap-tiap pencapaian itu.” (CMA, IX, §43, p.363)
Sekarang untuk mencapai pencapaian lenyapnya seseorang harus memiliki seluruh sembilan Jhāna. Ia
harus seorang Anāgāmī atau Arahant, bukan seorang kaum duniawi biasa, bukan seorang Sotāpanna,
bukan seorang Sakadādāmī, dan bukan Anāgāmi atau Arahant yang tidak memiliki Jhāna. Ia harus
seorang Arahant atau Anāgāmī yang memiliki Jhāna, bukan hanya satu atau dua Jhāna melainkan
seluruh sembilan Jhāna.
Kemudian jika orang tercerahkan ini ingin memasuki pencapaian lenyapnya, ia harus masuk secara
berturut-turut … ini berarti dimulai dari Jhāna pertama. Jadi ia memasuki Jhāna pertama dan
kemudian keluar dari Jhāna pertama itu. Kemudian ia mempraktikkan Vipassanā pada isi dari Jhāna
itu. Di sini dikatakan “keadaan-keadaan terkondisi.” “Keadaan-keadaan terkondisi” berarti Jhāna-
Jhāna yang terdiri dari Faktor-faktor Jhāna, jadi faktor-faktor Jhāna ini semuanya adalah fenomena
terkondisi, Saṅkhāra, maka ia harus mempraktikkan Vipassanā pada faktor-faktor ini.
Kemudian sang meditator harus memasuki Jhāna ke dua dan keluar dari Jhāna ke dua itu. Sekali lagi
ia harus mempraktikkan Vipassanā pada isi dari Jhāna itu. Kemudian ia memasuki Jhāna ke tiga, keluar
dari Jhāna ke tiga, mempraktikkan Vipassanā pada Jhāna ke tiga itu dan seterusnya hingga ia mencapai
Arūpāvacara Jhāna ke tiga.
“Setelah maju demikian hingga ke tingkat landasan kekosongan, …” (CMA, IX, §43, p.363)
Ini berarti sang meditator harus melewati Jhāna-Jhāna ini hingga ia mencapai Arūpāvacara Jhāna ke
tiga.
“… ia kemudian melakukan tugas-tugas persiapan seperti bertekad, dan sebagainya, …” (CMA, IX, §43,
p.363)
Ini berarti setelah keluar dari Arūpāvacara Jhāna ke tiga ia tidak mempraktikkan Vipassanā.
Melainkan ia melakukan apa yang disebut sebagai tugas-tugas persiapan. Ada empat tugas persiapan.
Anda akan memahaminya ketika anda membaca bab sembilan. Jadi ia harus melakukan tugas-tugas
persiapan ini.
Setelah melakukan tugas-tugas persiapan ini,
“… (ia) masuk (ke dalam) landasan bukan persepsi juga bukan non-persepsi.” (CMA, IX, §43, p.363)
Ini berarti ia memasuki Arūpāvacara Jhāna ke empat.
“Setelah dua kali Javana dalam penyerapan, …” (CMA, IX, §43, p.363-364)
Ini berarti ada dua momen Arūpāvacara Jhāna ke empat
“… rangkaian kesadaran dihentikan.” (CMA, IX, §43, p.364)
Jadi kesadaran lenyap. Ketika kesadaran lenyap, tidak ada faktor-faktor batin dan tidak ada properti
materi yang dimunculkan oleh pikiran. Itu adalah apa yang disebut sebagai pencapaian lenyapnya.
Ketika seseorang berada dalam pencapaian lenyapnya, ia hampa dari segala aktivitas batin. Pada
momen itu sang meditator adalah tanpa Citta, tanpa Cetasika, dan tanpa Rūpa yang muncul dari Citta.
Seorang yang berada dalam Nirodha-samāpatti adalah bagaikan patung. Perbedaan antara patung dan
dirinya adalah bahwa ia masih hidup, walaupun ia berhenti bernapas, walaupun ia tidak memiliki
aktivitas batin, tetapi tubuhnya masih hidup; tubuhnya masih memiliki Jīvitinriya dan juga masih ada
panas tubuh.
Ini adalah bagaimana seseorang memasuki pencapaian lenyapnya. Untuk mencapai pencapaian
lenyapnya sang meditator harus melalui seluruh Jhāna-Jhāna hingga Arūpāvacara Jhāna ke empat.
Setelah dua momen Arūpāvacara Jhāna ke empat akan ada penghentian aktivitas-aktivitas batin.
Dikatakan bahwa jika ia tidak mempraktikkan Vipassanā pada isi Jhāna, jika ia hanya melakukan
meditasi Samatha, maka ia tidak akan mampu melewati Arūpāvacara Jhāna ke empat. Ia akan selalu
kembali kepada Arūpāvacara Jhāna ke tiga. Tidak akan ada lenyapnya Citta. Jika ia mempraktikkan
meditasi Vipassanā saja, bukan Jhāna, bukan Samatha, maka ia akan berakhir pada Phala-samāpatti,
proses pikiran pencapaian Phala bukannya Nirodha-samāpatti. Itulah sebabnya mengapa ia harus
mempraktikkan keduanya Samatha dan Vipassanā.
Jadi pertama-tama ia memasuki Jhāna pertama. Ini adalah Samatha. Kemudian ia keluar dari Jhāna itu
dan ia mempraktikkan Vipassanā pada isi Jhāna itu, melihat faktor-faktor batin sebagai tidak kekal,
sebagai penderitaan dan sebagai tanpa jiwa. Jadi Vipassanā and Samatha berpasangan.
Dalam pencapaian lenyapnya ini pikiran terakhir dalam proses adalah dua momen Arūpāvacara Jhāna
ke empat. Arūpāvacaar Jhāna ke empat muncul dua kali pada saat pencapaian lenyapnya.
“Pada saat pencapaian lenyapnya, javana tanpa materi ke empat berlangsung dua kali dan kemudian
menyentuh lenyapnya. Ketika keluar (dari lenyapnya), apakah kesadaran buah yang-tidak-kembali
atau buah kesadaran Kearahattan muncul satu kali.” (CMA, IV, §22, p.377)
Jadi ketika ia keluar dari pencapaian lenyapnya ini, pikiran pertama yang muncul adalah Anāgāmī-
phala atau Arahatta-phala bergantung pada orangnya. Jika ia adalah seorang Anāgāmī, maka Anāgāmī-
phala akan muncul. Jika ia adalah seorang Arahant, maka Arahatta-phala akan muncul. Berapa kalikah
Phala akan muncul? Phala akan muncul hanya satu kali. Kemudian Bhavaṅga akan muncul. Terjadi
penyurutan ke dalam rangkaian-kehidupan. Dalam Nirodha-samāpatti kita memperoleh Javana yang
muncul sebanyak dua momen dan kemudian kita memperoleh satu Javana yang muncul hanya satu
momen, yaitu, Javana yang keluar dari Nirodha-samāpatti.
Kemudian terdapat apa yang disebut Phala-samāpatti dan Jhāna-samāpatti. Dalam pencapaian Jhāna
dan Phala yang dipertahankan –
“Dalam proses kognitif pencapaian, seperti dalam arus rangkaian-kehidupan, tidak ada prosedur pasti
sehubungan dengan proses-proses.” (CMA, IV, §22, p.177)
Ini berarti tidak dapat dikatakan bahwa kesadaran Jhāna pasti muncul berapa kali, atau kesadaran
Phala pasti muncul seratus kali atau seribu kali. Tidak ada batasan, tidak dapat dikatakan.
“Harus dipahami bahwa bahkan banyak javana (luhur dan adi-duniawi) terjadi (berturut-turut secara
cepat).” (CMA, IV, §22, p.177)
Jadi paragraf ini adalah untuk proses pikiran Samāpatti, Samāpatti Vīthi. Ada dua jenis Samāpatti Vīthi
– satu adalah Jhāna-samāpatti dan yang lainnya adalah Phala-samāpatti, pencapaian Jhāna yang
dipertahankan dan pencapaian Phala yang dipertahankan.
Jika seseorang mencapai Jhāna pertama untuk pertama kali, maka ada hanya satu momen Jhāna dan
kemudian menyurut ke dalam Bhavaṅga. Kemudian sang meditator berlatih lagi untuk memasuki
Jhāna itu. Ia harus berlatih sehingga ia menjadi sepenuhnya terbiasa dengan Jhāna itu. Ini berarti ia
harus mampu masuk ke dalam Jhāna itu kapanpun yang ia inginkan; ia harus mampu memasukinya
dengan cepat; ia harus mampu keluar dari Jhāna itu pada waktu yang ia inginkan. Untuk mencapai
kemahiran itu ia harus berulang-ulang memasuki Jhāna itu. Belangan ketika ia ingin memasuki Jhāna
itu, ia berlatih meditasi lagi dan kali ini pikiran Jhāna muncul dalam jumlah yang tak terhitung. Ia
dapat berada di dalam Jhāna itu selama yang ia inginkan. Ini berarti dalam batasan tubuh manusia.
Dikatakan tubuh manusia dapat bertahan selama tujuh hari tanpa makan. Jadi ia dapat berada di dalam
Samāpatti itu selama tujuh hari atau enam hari, empat hari atau satu jam atau dua jam – sesukanya.
Selama ia berada di dalam Jhāna-samāpatti, hanya momen pikiran Jhāna yang muncul susul-menyusul.
Karena bisa muncul milayaran momen pikiran dalam sejentikan jari, anda dapat membayangkan
berapa banyak momen pikiran yang muncul selama satu proses pikiran Samāpatti.
Juga ada Phala-samāpatti. Seseorang tidak dapat memasuki Magga. Ketika seseorang ingin menikmati
kebahagiaan kebebasan, ia ingin memunculkan kembali momen pikiran Phala. Ia ingin memunculkan
momen pikiran Phala karena ketika Phala Citta muncul dalam pikirannya ia merasa damai. Phala Citta
mengambil Nibbāna sebagai objek. Nibbāna adalah damai. Ketika Citta mengambul Nibbāna sebagai
objek, maka citta juga damai. Mereka menikmati ini seperti mereka menikmati rekreasi. Ketika anda
lelah dalam aktivitas-aktivitas kerjaan harian, maka anda ingin berekreasi. Orang-orang ini, orang-
orang tercerahkan, selalu lelah dengan fenomena-fenomena terkondisi, kelima agregat. Bagi mereka
kelima agregat ini tampak seperti sesuatu yang menjijikkan, sesuatu yang membosankan. Dan sebagai
jalan keluar dari penderitaan kelima agregat, mereka memasuki Phala-samāpatti. Ketika mereka ingin
memasuki Phala-samāpatti, mereka berlatih Vipassanā lagi. Kemudian di sana muncul Phala dan
bukan Magga, selama banyak momen. Di sini juga seseorang dapat berada di dalam Phala-samāpatti
selama yang ia inginkan, jika ia adalah seorang manusia, ini dapat berlangsung paling lama tujuh hari.
Dalam proses pikiran Samāpatti – ini berarti proses pikiran Jhāna yang dipertahankan dan proses
pikiran Phala yang dipertahankan kemudian – tidak ada pasti yang tetap atas Citta Jhāna dan Phala
yang muncul. Mungkin terdapat milyaran momen Jhāna dan momen Phala yang muncul. Paragraf ini
menunjukkan bahwa ada beberapa Citta yang muncul berulang-ulang kali. (baca CMA, IV, §22, p.177-
178)
Sekarang mari mencari Javana-Javana yang muncul hanya satu kali, kemudian dua kali, tiga kali,
empat kali, lima kali, enam kali, tujuh kali dan banyak kali.
Javana-Javana yang hanya muncul satu kali – apakah itu? Yaitu Jhāna Rūpāvacara dan Arūpāvacara
pada pencapaian pertama. Abhiññā juga muncul hanya satu kali . Magga muncul hanya satu kali. Dan
kemudian apa lagikah yang muncul hanya satu kali? Ada satu lagi. Lihat pada pencapaian lenyapnya.
Pada saat keluar dari pencapaian lenyapnya Anāgamī atau Arahatta-phala muncul hanya satu kali.
Semua Javana-Javana ni muncul hanya satu kali.
Apakah yang muncul dua kali? Lihat pada pencapaian lenyapnya. Arūpāvacara Jhāna ke dua muncul
dua kali dalam proses pencapaian lenyapnya. Apakah hanya itu? Dapat muncul dua atau tiga momen
Phala, jadi Phala Javana setelah Magga. Untuk jenis orang yang bagaimanakah yang muncul dua kali?
Untuk orang yang memikliki kecerdasan tidak begitu tinggi muncul dua kali. Untuk mereka yang
memiliki kecerdasan tinggi muncul tiga kali.
Kapankah Javana-Javana muncul tiga kali? Phala akan muncul tiga kali setelah momen Magga untuk
mereka yang memiliki kecerdasan tinggi. Ada tiga momen Kāmāvacara Kusala Javana yang
mendahului momen Magga bagi mereka yang memiliki kecerdasan tinggi. Juga tiga momen
Kāmāvacara Kusala mendahului Phala-samāpatti dan Jhāna-samāpatti bagi mereka yang
berkecerdasan tinggi. Tiga momen Kāmāvacara Kiriya mendahului pencapaian Appanā bagi para
Arahant yang berkecerdasan tinggi.
Kapankah Javana-Javana muncul empat kali? Selama keajaiban ganda Javana peninjauan (yaitu
Kāmāvacara Javana) akan muncul empat kali. Ada empat momen Kāmāvacara Kusala yang mendahului
Magga bagi mereka yang memiliki kecerdasan rata-rata. Empat momen Kāmāvacara Javana
mendahului munculnya Phala-samāpatti dan Jhāna-samāpatti bagi mereka yang memiliki kecerdasan
rata-rata. Empat momen Kāmāvacara Kiriya mendahului pencapaian Appanā bagi para Arahant yang
memiliki kecerdasan rata-rata.
Kapankah Javana-Javana muncul lima kali? Javana-Javana peninjauan pada kejadian-kejadian serupa
muncul lima kali. Keajaiban ganda adalah hanya untuk Para Buddha. terdapat situasi-situasi di mana
para Arahant juga harus merefleksikan dengan cepat. Jadi para siswa memiliki Javana-Javana
peninjauan yang berlangsung selama lima momen. Dan juga Kāmāvacara Javana pada saat kematian,
pingsan, dan sebagainya muncul lima kali.
Kapankah Javana-Javana muncul enam kali? Javana-Javana muncul enam atau tujuh kali secara normal
sebagai Kāmāvacara Javana biasa.
Kapankah Javana-Javana muncul banyak kali? Javana-Javana muncul banyak kali sebagai Rūpāvacara,
Arūpāvacara dan Phala Javana pada pencapaian yang dipertahankan atau Samāpatti Vīthi.
Javana-Javana dapat muncul hanya satu kali, dua kali, tiga kali dan seterusnya. Apakah muncul hanya
satu kali atau dua kali Javana-Javana selalu sepenuhnya menikmati rasa objek. Bahkan walaupun
hanya muncul satu kali, Javana-Javana dapat melakukan tugasnya dengan baik. Ini adalah prosedur
Javana.
Sekarang rangkuman –
“Harus diketahui bahwa javana-javana terbatas muncul tujuh kali, …” (CMA, IV, §23, p.178)
‘Javana-Javana terbatas’ berarti Kāmāvacara Javana.
“… sang jalan dan pengetahuan langsung hanya satu kali, yang lainnya (luhur dan adi-duniawi) banyak
kali.” (CMA, IV, §23, p.178)
Ini adalah rangkuam yang sebenarnya. Ini terlalu singkat dan tidak lengkap. Kita harus memahami
satu kali, dua kali, tiga kali dan seterusnya. Saya pikir ini tidak terlalu sulit. Karena kita sedang
membahas Javana, kita hanya perlu mengingat fungsi Javana.
Apakah anda ingin melatih ingatan? Pikirkan 121 jenis kesadaran dan cari Javana-Javana. Berapa
banyakkah Javana jika kita mengambil Lokuttara sebagai delapan? Ada 55. Apakah 55 itu? Yaitu 12
Akusala Citta, Hasituppāda yang adalah Kiriya. Ada tiga Ahetuka Kiriya Citta tetapi dua pertama tidak
berfungsi sebagai Javana. Kemudian ada Kāmāvacara Kusala delapan, Kāmāvacara Sahetuka Kiriya
delapan, Rūpāvacara Kusala lima, Rūpāvacara Kiriya lima, Arūpāvacara Kusala empat, Arūpāvacara
Kiriya empat, Lokuttara delapan. Jadi seluruhnya ada 55 Javana.
Mari kita mengulang Akusala Javana; berapa kalikah munculnya? Dapatkah muncul satu kali? Tidak.
Dua kali – tidak. Tiga kali – tidak. Empat kali – tidak. Akusala Javana dapat muncul lima kali, yaitu, jika
terjadi dalam proses pikiran kematian. Jadi jawabannya adalah Ya. Akusala Javana dapat muncul enam
kali. Akusala Javana juga dapat muncul tujuh kali.
Bagaimana dengan Hasituppāda? Hasituppāda hanya dapat muncul tujuh kali.
Bagaimana dengan Kāmāvacara Kusala? Dapatkah Kāmāvacara Kusala muncul satu kali? Tidak. Dua
kali? Tidak. Tiga kali? Ya. Empat kali? Ya. Lima kali? Ya. Enam kali? Ya. Tujuh kali? Ya.
Bagaimana dengan Kāmāvacara Mahākiriya? Kāmāvacara Mahākiriya dapat muncul tiga kali, empat
kali, lima kali, atau enam atau tujuh kali pada umumnya.
Rūpāvacara Javana, dapatkah muncul satu kali? Ya. Dapatkah muncul dua kali? Tidak. Dapatkah
muncul tujuh kali? Tidak. Dapatkah muncul banyak kali? Ya.
Rūpāvacara Kiriya adalah sama. Rūpāvacara Kiriya dapat muncul satu kali atau banyak kali.
Arūpāvacara pertama muncul satu kali pada pencapaian pertama. Dapatkah dua kali? Tidak. Dapatkah
muncul tiga kali? Tidak. Dapatkah muncul empat kali? Tidak. Dapatkah muncul lima kali? Tidak.
Dapatkah muncul enam atau tujuh kali? Tidak. Dapatkah muncul banyak kali? Ya.
Arūpāvacara Jhāna ke dua dapat muncul satu kali atau banyak kali.
Arūpāvacara Jhāna ke tiga dapat muncul satu kali atau banyak kali.
Arūpāvacara Jhāna ke empat, dapatkah muncul satu kali? Ya. Dapatkah muncul dua kali? Ya. Dalam
proses pikiran lenyapnya ini dapat muncul dua kali. Dapatkah muncul tiga kali? Tidak. Dapatkah
muncul empat kali? Tidak. Dapatkah muncul lima kali? Tidak. Dapatkah muncul enam kali? Tidak.
Dapatkah muncul tujuh kali? Tidak. Dapatkah Arūpāvacara Jhāna ke empat muncul banyak kali? Ya.
Arūpāvacara Kiriya Jhāna adalah sama.
Sekarang mari kita memeriksa Lokuttara Citta. Kita akan melihatnya sebagai hanya delapan. Magga
Citta pertama muncul hanya satu kali. Magga Citta ke dua muncul hanya satu kali. Magga Citta ke tiga
muncul hanya satu kali. Magga Citta ke empat muncul hanya satu kali. Phala Citta pertama muncul
dua kali, tiga kali atau banyak kali saja. Phala Citta ke dua muncul dua kali, tiga kali atau banyak kali.
Phala Citta ke tiga muncul satu kali keluar dari Nirodha-samāpatti, dua kali, tiga kali atau banyak kali.
Phala Citta ke empat muncul satu kali keluar dari Nirodha-samāpatti, dua kali, tiga kali atau banyak
kali dalam Phala-samāpatti.
Sekarang anda memahami Javana-Javana dan berapa banyak kemunculannya, dan anda juga dapat
mengatakan dalam proses pikiran jenis apa munculnya, dan pada kesempatan apa munculnya, dan
berapa kali. Sekarang saya pikir kita telah memahami hampir semuanya tentang Javana. Ini bermakna
bahwa kita memahami Javana-Javana dalam proses-proses pikiran berbeda dan berapa kali munculnya
dan kapan munculnya.

PUGGALA-BHEDA
Bagian berikutnya adalah “Analisis menurut Individu-individu” – “Puggala-bheda”. Kata Pāḷi ini
berarti pembagian menurut individu-individu. Ada dua belas jenis individu. Pertama-tama saya pikir
kita harus memahami dua belas ini. Kemudian kita akaa mencari Citta apa yang dimiliki individu yang
mana.
Pertama terdapat pembagian individu menjadi Ahetuka, Dvihetuka dan Tihetuka. Individu Ahetuka
adalah mereka yang memiliki Paṭisandhi Citta yang termasuk Ahetuka Citta. Berapa banyakkah Citta
yang melakukan fungsi Paṭisandhi? 19 Citta melakukan fungsi Paṭisandhi. Di antaranya berapa
banyakkah yang Ahetuka? Dua Santīraṇa yang disertai dengan Upekkhā adalah Ahetuka. Jika satu
makhluk terlahir kembali di neraka atau terlahir kembali sebagai binatang, maka ia pasti memiliki
Paṭisandhi yang adalah Akusala-Vipāka. Ia dikatakan sebagai individu Ahetuka. Dan juga seseorang
mungkin terlahir kembali sebagai manusia, tetapi ia mungkin terlahir buta, tuli, atau cacat lainnya.
Dalam kasus itu ia pasti memiliki Paṭisandhi Citta yang adalah Ahetuka Kusala-vipāka. Karena ia
terlahir kembali sebagai manusia, maka ia termasuk yang memiliki takdir bahagia, kehidupan bahagia,
dalam Pāḷi disebut Sugati. Orang lainnya, yang terlahir kembali di neraka atau sebagai binatang atau
sebagai hantu, disebut Duggati. Pertama terdapat kedua jenis individu ini yang terlahir dengan
Ahetuka Paṭisandhi Citta.
Kemudian ada orang-orang yang terlahir dengan Kāmāvacara Vipāka Citta berakar-dua. Mereka
disebut Dvihetuka. Dan ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali dengan Kāmāvacara Vipāka Citta,
atau Rūpāvacara Vipāka Citta, atau Arūpāvacara Vipāka Citta tiga akar. Mereka disebut individu-
individu berakar-tiga. Pada dasarnya terdapat orang-orang tanpa-akar, orang-orang berakar-dua dan
orang-orang berakar-tiga.
Orang yang tanpa-akar ada dua jenis – satu yang terlahir di alam Duggati, empat alam sengsara dan
satu yang terlahir sebagai manusia tetapi terlahir buta dan seterusnya. Yang pertama disebut individu
Duggati Ahetuka. Yang ke dua disebut individu Sugati Ahetuka. Jadi kita memperoleh dua jenis
indisvidu Ahetuka – Duggati Ahetuka dan Sugati Ahetuka. Kemudian bagaimana dengan individu
Dvihetuka -- Apakah juga ada Duggati dan Sugati? Tidak. Jika ia adalah Dvihetuka maka ia termasuk
Sugati saja. Tidak ada Dvihetuka Paṭisandhi di empat alam sengsara. Oleh karena itu, Dvihetuka hanya
termasuk Sugati, takdir yang berbahagia atau kehidupan bahagia.
Bagaimana dengan Tihetuka atau makhluk berakar-tiga? Mereka termasuk hanya dalam Sugati.
Individu-individu berakar-tiga dapat dibagi lagi menjadi berapa jenis? Mari kita lihat. Ada individu
berakar-tiga sebagai Puthujjana, individu berakar-tiga sebagai individu Magga, dan individu berakar-
tiga sebagai individu Phala. Karena ada empat Magga dan empat Phala, maka kita memeroleh delapan.
Kita menambahkan Puthujjana, maka kita memperoleh sembilan individu. Terdapat sembilan individu
Tihetuka, satu individu Dvihetuka dan dua individu Ahetuka. Seluruhnya ada dua belas Puggala, dua
belas individu, dua belas orang. Sekali lagi dua belas individu adalah Duggati Ahetuka, Sugati Ahetuka,
Dvihetuka – kita tidak perlu mengatakan Sugati di sini karena jika ia adalah Dvihetuka maka ia adalah
Sugati. Dan kemudian ada Tihetuka Puthujjana, kemudian ada individu Sotāpatti-magga, individu
Sotāpatti-phala dan seterusnya. Ketika kita merujuk mereka, kita tidak perlu menggunakan kata
‘Tihetuka’. Ini dipahami karena siapappun yang mencapai Magga dan Phala pasti adalah individu
Tihetuka. Sehubungan dengan delapan Individu Mulia kita tidak perlu mengatakan Tihetuka, tetapi
mereka adalah individu Tihetuka. Jadi ada sembilan individu Tihetuka, satu Puthujjana dan delapan
individu Mulia. Ada sembilan individu Tihetuka, satu Dvihetuka dan dua individu Ahetuka. Jadi
seluruhnya ada dua belas Puggala atau individu.
“Di sini, pada mereka yang dengan (kesadaan kelahiran-kembali) berakar-dua dan tanpa akar, …”
(CMA, IV, §24, p.179)
Ini berarti mereka yang Dvihetuka dan Ahetuka.
“… javana-javana fungsional dan javana-javana penyerapan tidak muncul.” (CMA, IV, §24, p.179)
Javana-Javana Fungsional berarti Kiriya Javana. Javana-Javana penyerapan berarti Appanā Javana.
Apakah anda ingat Appanā Javana? Yaitu Rūpāvacara Jhāna, Arūpāvacara Jhāna dan Lokuttara Citta;
ini disebut Appanā Javana. Ada berapa banyakkah? Ada 26 Appanā Javana. Jadi pada mereka yang
adalah Dvihetuka dan Ahetuka – ini berarti dua jenis Ahetuka dan Dvihetuka – tidak ada Javana-Javana
fungsional dan tidak ada Magga dan Phala.
“Demikian pula, di alam yang bahagia, …” (CMA, IV, §24, p.179)
Alam bahagia berarti Sugati.
“Demikian pula, di alam bahagia, hasil yang disertai dengan pegetahuan juga tidak muncul.” (CMA, IV,
§24, p.179)
“Hasil yang disertai dengan pengetahuan” – empat dari hasil Kāmāvacara, lima dari hasil Rūpāvacara
dan empat dari hasil Arūpāvacara dan empat Phala Citta. Sebagai tambahan dari yang telah disebutkan
sebelumnya, hal-hal ini juga tidak muncul “di alam bahagia” – ini berarti Sugati Ahetuka.
“Tetapi di alam sengsara hasil besar yang tidak disertai pengetahuan tidak ditemukan.” (CMA, IV, §24,
p.179)
Ini berarti pada seorang individu Duggati Ahetuka tidak ada hasil besar yang tidak disertai
pengetahuan yang dapat muncul. Sebenarnya pada seorang yang adalah Duggati Ahetuka tidak ada
Kāmāvacara Sahetuka Vipāka dan juga tidak ada Rūpāvacara, Arūpāvacara dan Lokuttara. Sekali lagi
pada mereka yang berakar-dua dan Ahetuka Paṭisandhi, Citta apakah yang tidak dapat mereka alami?
Mereka tidak dapat mengalami Kiriya Javana dan Appanā Javana. “Di alam bahagia” – ini berarti Sugati
Ñāṇa-sampayutta Vipāka, empat dari Kāmāvacara Vipāka dan kemudian Rūpāvacara, Arūpāvacara
Vipāka dan Lokuttara, hal-hal ini tidak muncul. Dan pada seorang Duggati Ahetuka bahkan empat
Ñāṇa-vippayutta Vipāka tidak muncul.
Saya rasa saya akan berhenti di sini. Silakan lanjutkan membaca dan coba temukan sendiri.

DUA BELAS INDIVIDU (5)


Hari ini kita akan mulai mempelajari individu-individu. Ada dua belas jenis individu. Pertama-tama
kita akan membiasakan diri dengan dua belas jenis individu atau dua belas jenis Puggala. Puggala
adalah kata Pāḷi yang berarti individu. Ada dua belas jenis individu dan yang pertama adalah Duggati
Ahetuka. ‘Duggati’ berarti takdir yang tidak bahagia; ini berarti empat alam sengsara. ‘Ahetuka’ di sini
berarti mereka yang padanya Paṭisandhi Citta, yang padanya Citta penghubungan-kembali adalah
Ahetuka. Berapa banyakkah Ahetuka Citta yang berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti? Dua
Upekkhā Santīraṇa memiliki fungsi ini. Satu adalah hasil dari Akusala dan yang lainnya adalah hasil
dari Kusala. Jadi individu-individu Duggati Ahetuka memiliki Santīraṇa yang merupakan hasil dari
Akusala sebagai Paṭisandhi Citta. Makhluk-makhluk ini adalah mereka yang terlahir di neraka, alam
binatang, di alam hantu kelaparan, dan di alam hantu Asura. Mereka adalah kaum Puthujjana.
‘Puthujjana’ berarti makhluk-makhluk biasa atau tidak tercerahkan. Biasanya kita tidak menggunakan
kata ‘Puthujjana’ ketika menggambarkan individu Duggati Ahetuka. Individu Duggati Ahetuka adalah
pasti Puthujjana. Ketika kita membicarakan tentang jenis individu apa yang mengalami Citta jenis apa,
kita tidak mengatakan, “Puthujjana Duggati Ahetūka”. Melainkan kita mengatakan, “Duggati
Ahetuka” dan “Puthujjana”.
Individu berikutnya adalah Sugati Ahetuka. ‘Sugati’ berarti takdir bahagia. Jadi ‘Sugati’ berarti alam
manusia, alam Deva dan alam Brahma. Mereka disebut Sugati, takdir bahagia. Paṭisandhi Citta atau
kesadaran penghubungan-kembali dari individu Sugati Ahetuka juga adalah berasal dari Ahetuka
Citta. Adalah Ahetuka Citta atau Upekkhā Santīraṇa yang merupakan hasil dari Kusala. Di sini juga kita
mengatakan, “Sugati Ahetuka” karena jika seseorang adalah Ahetuka, maka ia pasti adalah Puthujjana.
Kemudian yang ke tiga adalah Dvihetuka. ‘Dvi’ berarti dua. Jadi ‘Dvihetuka’ berarti ia yang padanya
Paṭisandhī disertai dengan dua akar. Akar-akar itu adalah Alobha dan Adosa. Ada enam akar, tiga akar
Akusala dan tiga akar Kusala. ‘Dvi’ di sini berarti dua dari akar yang baik, maka Alobha dan Adosa.
Mereka yang padanya Paṭisandhi disertai dengan Alobha dan Adosa disebut sebagai ibdividu-individu
Dvihetuka. Jika ia adalah seorang Dvihetuka, maka ia pasti Sugati dan juga ia pasti Puthujjana. Jadi
ketika kita mengatakan, “orang Dvihetuka”, yang kita maksudkan adalah bahwa ia termasuk Sugati
dan ia adalah seorang Puthujjana.
Yang berikutnya adalah Tihetuka Puthujjana. Di sini kita perlu mengatakan “Tihetuka Puthujjana”,
tidak hanya Tihetuka karena ada Tihetuka Puthujjana dan ada Tihetuka Mulia, Ariya. Maka kita perlu
mengatakan, “Tihetuka Puthujjana”. Jika ia adalah seorang Tihetuka Puthujjana, maka ia telah berada
di dalam Sugati. Maka tidak perlu mengatakan, “Sugati Tihetuka Puthujjana”. ‘Tihetuka’ berarti
mereka yang padanya Paṭisandhi disertai dengan tiga akar. Ketiga akar itu adalah Alobha, Adosa dan
Amoha.
Kemudian individu berikutnya adalah Sotāpanna. Ketika kita mengatakan, “Sotāpanna”, kita tidak
mengatakan, “Sugati Tihetuka” karena hanya individu Tihetuka yang dapat menjadi Sotāpanna.
‘Sotāpanna’ berarti seseorang sejak momen Sotāpatti-phala segera setelah momen Sotāpatti-magga.
Pada momen Sotāpatti-magga ia disebut Maggaṭṭha. Ia disebut seorang Maggaṭṭha. Tetapi sejak
momen Phala hingga ia mencapai Magga berikutnya, ia disebut seorang Phalaṭṭha. Ia juga disebut
Sotāpanna. Pada tingkat pencerahan berikutnya individu Phalaṭṭha itu disebut Sakadāgāmī, Anāgāmī
dan Arahant. ‘Sotāpanna’ berarti seseorang sejak momen Phala yang mengikuti Sotāpatti-magga
hingga ia mencapai tingkat yang lebih tinggi berikutnya.
Individu berikutnya adalah Sakadāgāmī. Anda sudah tahu siapa Sakadāgāmī itu. Kita tidak
mengatakan “Sugati Tihetuka” karena mereka pasti adalah Sugati Tihetuka.
Dan individu berikutnya adalah Anāgāmī. Ini juga sama. Ia adalah seorang Anāgāmī sejak Anāgāmī-
phala pertama hingga ia mencapai tingkat yang lebih tinggi berikutnya.
Kemudian yang terakhir adalah Arahant. Arahant selalu termasuk dalam Sugati dan ia selalu memiliki
tiga akar menyertai Paṭisandhi Citta. Arahant adalah seseorang sejak momen pertama Arahatta-phala
hingga kematiannya.
Sekarang kita akan mencoba untuk mencari berapa banyakkah Citta yang akan muncul pada individu-
individu ini. Sekarang Duggati Ahetuka, mereka yang terlahir di neraka dan seterusnya, mereka tidak
dapat memiliki Kiriya Javana. Pertama-tama, katakanlah, mereka tidak dapat memiliki Appanā Javana.
Tahukah anda Appanā Javana? Yaitu Rūpāvacara Kusala dan Kiriya, Arūpāvacara Kusala dan Kiriya dan
Lokuttara. Kita akan menghitung Lokuttara Citta sebagai delapan. Ini disebut Appanā Javana. Individu-
individu ini tidak dapat memiliki Appanā Javana karena mereka terlahir sebagai Ahetuka; mereka
terlahir dengan Paṭisandhi Citta yang tidak disertai dengan salah satu Hetu. Jadi mereka yang terlahir
sebagai Duggati Ahetuka dan sebenarnya juga mereka yang terlahir sebagai Sugati Ahetuka tidak dapat
memiliki Appanā Javana dalam kehidupan itu. Itu berarti mereka tidak dapat mencapai Jhāna; mereka
tidak dapat mencapai pencerahan dalam kehidupan itu karena kesadaran hasil yang berfungsi sebagai
kesadaran penghubungan-kembali bagi mereka sesungguhnya adalah rintangan untuk mencapai
Appanā Javana, rintangan untuk mencapai Jhāna dan pencerahan. Karena mereka tidak memiliki
Appanā Javana, maka mereka tidak dapat memiliki Kiriya Javana. Kiriya Javana hanya dialami oleh
para Arahant. Karena mereka tidak dapat memiliki Appanā Javana, maka mereka tidak dapat menjadi
Sotāpanna, Sakadāgāmī, Anāgāmī dan Arahant. Maka mereka tidak dapat memiliki Kiriya Javana.
Mereka juga tidak dapat memiliki Ñāṇa-sampayutta Vipāka. Sekarang Ñāṇa-sampayutta Vipāka
termasuk empat dari Kāmāvacara Vipāka, lima dari Rūpāvacara Vipāka, empat dari Arūpāvacara
Vipāka dan juga Phala, tetapi Phala telah diambil oleh Kiriya Javana dan Appanā Javana – jadi individu-
individu Duggati Ahetuka tidak dapat memiliki Ñāṇa-sampayutta Vipāka. Mereka juga tidak dapat
memiliki Ñāṇa-vippayutta Mahāvipāka. Anda mengetahui Mahāvipāka. Yang manakah Mahāvipāka?
Yaitu delapan Sahetuka Kāmāvacara Vipāka. Kusala-Kusala itu disebut Mahākusala; Vipāka-Vipāka itu
disebut Mahāvipāka dan Kiriya-Kiriya itu disebut Mahākiriya. Jadi mereka juga tidak dapat memiliki
Ñāṇa-vippayutta Vipāka. Ini berarti mereka tidak dapat memiliki salah satu Mahāvipāka. Dalam
Duggati Ahetuka, berapa banyakkah Citta yang dapat muncul pada mereka? Berapa banyakkah Citta
yang dapat mereka alami? Kiriya Javana apakah yang tidak akan muncul pada individu-individu
Duggati Ahetuka? Citta-Citta berikut ini tidak akan muncul pada mereka: Hasituppāda, Kāmāvacara
Mahākiriya delapan, Rūpāvacara Kiriya lima, Arūpāvacara Kiriya empat. Bagi para individu Duggati,
Appanā Javana – Rūpāvacara Kusala lima, Arūpāvacara Kusala empat dan Magga dan Phala delapan –
tidak muncul. Ñāṇasampayutta Vipāka empat dan kemudian Ñāṇavippayutta Vipāka empat juga tidak
muncul. Berapa banyakkah Citta yang tersisa? 37 Citta tersisa – dua belas Akusala, 17 Ahetuka dan
delapan Kāmāvacara Kusala. Jadi mereka hanya mengalami 37 jenis kesadaran atau hanya 37 jenis
kesadaran yang dapat muncul dalam batin mereka. Ini adalah untuk individu Duggati Ahetuka, mereka
yang terlahir kembali di neraka, alam binatang dan hantu Asura.
Selanjutnya Sugati Ahetuka juga tidak dapat memiliki Kiriya Javana karena mereka bukanlah para
Arahant. Mereka tidak dapat memperoleh Appanā Javana karena Paṭisandhi Citta yang sedemikian
sehingga mereka tidak dapat memperoleh Appanā Javana dalam kehidupan itu. Mereka tidak dapat
memiliki Ñāṇa-sampayutta Vipāka juga karena mereka terlahir sebagai Ahetuka. Citta apakah yang
tidak dialami oleh Sugati Ahetuka? Individu Sugati Ahetuka tidak mengalami Hasituppāda, Kiriya
Javana – Kāmāvacara Mahākiriya delapan, Rūpāvacara Kiriya lima, Arūpāvacara Kiriya empat, Appanā
Javana – Rūpāvacara Kusala lima, Arūpāvacara Kusala empat dan semua Lokuttara. Individu Sugati
Ahetuka juga tidak mengalami Ñāṇa-sampayutta Vipāka, jadi empat dari Sahetuka Kāmāvacara
Vipāka. Jadi berapa banyakkah yang tersisa? 37 ditambah 4 (empat Ñāṇa-vippayutta Sahetuka Vipāka
Citta) menjadi 41. Hanya 41 jenis kesadaran yang muncul dalam batin individu Sugati Ahetuka.
Individu Sugati Ahetuka adalah manusia yang terlahir buta, tuli dan sebagainya. Beberapa jenis Peta
atau hantu juga adalah Sugati Ahetuka. Kita akan mempelajari lebih lanjut tentang mereka pada bab
lima. Jadi bagi para individu Sugati Ahetuka hanya ada 41 jenis kesadaran.
Berikutnya adalah Dvihetuka, mereka yang terlahir dengan dua akar sebagai manusia atau sebagai
Deva. Mereka adalah Sugati. Mereka tidak dapat memiliki Kiriya Javana. Mereka tidak dapat memiliki
Appanā Javana. Mereka tidak dapat memiliki Ñāṇa-sampayutta Vipāka. Mereka juga memiliki berapa
banyak jenis kesadaran? Mereka memiliki 41 jenis kesadaran. Jadi individu Sugati Ahetuka dan
Dvihetuka memilki jumlah jenis kesadaran yang sama, 41.
Berikutnya Tihetuka Puthujjana. Tihetuka Puthujjana tidak dapat memiliki Mahākiriya Javana –
Kāmāvacara Mahākiriya delapan, Rūpāvacara Kiriya lima, Arūpāvacara Kiriya empat dan kemudian
semua Lokuttara Citta dan Hasituppāda. Jadi berapa banyakkah Citta yang dapat mereka miliki?
Mereka dapat memiliki Akusala dua belas, Ahetuka 17, Kāmāvacara Kusala delapan, Kāmāvacara
Sahetuka Vipāka delapan, Rūpāvacara Kusala lima, Arūpāvacara Kusala empat, Rūpāvacara Vipāka
lima, Arūpāvacara Vipāka empat. Berapa banyakkah seluruhnya? Ada 63. Seluruhnya ada 63. Kita akan
membahasnya nanti. Di dalam Manual ini mungkin berbeda. Anda memperoleh 63 karena di sini
‘Tihetuka Puthujjana’ berarti Tihetuka Puthujjana di alam Kāmāvacara, Rūpāvacara dan Arūpāvacara.
Jika yang dimaksudkan adalah hanya mereka yang terlahir di alam Kāmāvacara, maka hanya ada 54.
Di sini kita mengambil semua Tihetuka Puthujjana. 54 adalah hanya individu Kāmāvacara Tihetuka.
Tidak ada Kiriya Javana. Ini sudah dikeluarkan. Kita harus mengeluarkan Vipāka. Demikian pula jika
mereka terlahir di alam Rūpāvacara atau Arūpāvacara, kita mengeluarkan Kāmāvacara Sahetuka
Vipāka. Jadi jika kita mengatakan, “Tihetuka Puthujjana”, yang dimaksudkan adalah semuanya. Untuk
Kāmāvacara Tihetuka kita mengeluarkan lima Rūpāvacara Vipāka dan empat Arūpāvacara Vipāka dan
kita memperoleh 54. Jika kita mengambil seluruh Tihetuka Puthujjana, maka kita memperoleh 63.
Kemudian Sotāpanna – di sini juga kita akan mengambil Sotāpanna secara keseluruhan, yaitu segala
jenis Sotāpanna – Kāmāvacara, Rūpāvacara dan Arūpāvacara. Untuk Sotāpanna Diṭṭhigata-
sampayutta, Javana-Javana dilenyapkan. Sotāpanna telah melenyapkan Diṭṭhi dan Vicikicchā. Jadi
empat jenis kesadaran yang disertai dengan pandangan salah dan Vicikicchā – lima dari Akusala Citta
tidak mereka miliki. Karena mereka bukan Arahant, maka mereka tidak memiliki Kiriya Javana – yaitu
Hasituppāda, Kāmāvacara Mahākiriya, Rūpāvacara Kiriya dan Arūpāvacara Kiriya. Dan kemudian
karena mereka adalah individu-individu Phala, maka mereka tidak memiliki Magga Citta – Sotāpanna
tidak memiliki Sakadāgāmī-phala, Anāgāmī-phala dan Arahatta-phala karena mereka belum
mencapainya. Maka kita memperoleh tujuh dari Akusala, 17 dari Ahetuka, kemudian Kāmāvacara
Kusala delapan, Kāmāvacara Sahetuka Vipāka delapan, Rūpāvacara Kusala lima, Rūpāvacara Vipāka
lima, Arūpāvacara Kusala empat, Arūpāvacara Vipāka empat dan kemudian Sotāpatti-phala – anggap
ini sebagai satu. Jadi seluruhnya ada 59. Harap diingat kita menghitung Lokuttara sebagai delapan. Ini
adalah untuk Sotāpatti-phalaṭṭha.
Jika anda mengetahui kesadaran untuk Sotāpatti-phalaṭṭha, maka anda mengetahui kesadaran untuk
Sakadāgāmī-phalaṭṭha karena individu Sakadāgāmī-magga tidak menghapuskan Akusala atau Kilesa
lainnya. Maka mereka memiliki jumah dan jenis kesadaran yang sama seperti yang dimiliki oleh
Sotāpatti-phalaṭṭha. Jadi bagi mereka ada 59 Citta – tujuh dari Akusala, 17 dari Ahetuka, Kāmāvacara
Kusala dan Sahetuka Vipāka, Rūpāvacara Kusala dan Vipāka, Arūpāvacara Kusala dan Vipāka, dan di
sini untuk mereka ada Sakadāgāmī-phala. Mereka tidak memiliki Magga. Tidak ada Sotāpatti-phala,
tidak ada Anāgāmī-phala dan tidak ada Arahatta-phala. Ketika seseorang mencapai tingkat yang lebih
tinggi, maka tingkat kesadaran yang lebih rendah secara otomatis lenyap pada mereka; oleh karena
itu, Sakadāgāmī tidak memiliki Sotāpatti-phala. Karena mereka belum mencapai tingkat yang lebih
tinggi, maka mereka juga tidak memiliki Anāgāmī-phala dan arahatta-Phala. Mereka hanya dapat
memiliki Sakadāgāmī-phala.
Kemudian Anāgāmī-phala – apakah yang dihapsukan oleh seorang Anāgāmī? Anāgāmī menghapuskan
Dosa; dua Dosamūla Citta dihapuskan sepenuhnya. Juga apa yang disebut sebagai Kāmarāga, keinginan
pada objek-objek indriawi dilenyapkan. Walaupun mereka telah menghapuskan keinginan pada objek-
objek indriawi, namun mereka masih memiliki keinginan pada alam Rūpāvacara dan alam
Arūpāvacara. Jadi mereka masih memiliki Lobha; mereka belum menghapuskan Lobha sepenuhnya,
tetapi mereka telah menghapuskan Dosa sepenuhnya. Jadi kita mengurangi dua lagi dari Akusala. Jadi
empat Diṭṭhigata-vippayutta Citta dan yang terakhir yang disertai dengan Uddhacca tersisa, hanya
lima yang tersisa. Mereka masih memiliki 17 dari Ahetuka, Kāmāvacara Kusala dan Sahetuka Vipāka,
Rūpāvacara Kusala dan Vipāka dan Arūpāvacara Kusala dan Vipāka dan kemudian Anāgāmī-phala.
Tidak ada Sotāpatti-phala, tidak ada Sakadāgāmī-phala karena mereka telah melampaui pencapaian
itu dan tidak ada Arahatta-phala karena mereka masih belum mencapainya. Jadi berapa banyakkah
Citta yang mungkin mereka alami? 59 dikurang 2 sama dengan 57. 57 Citta dapat dialami oleh individu
Anāgāmi-phala.
Yang terakhir adalah Arahant. Para Arahant tidak memiliki Kusala Javana dan mereka tidak memiliki
Akusala Javana. Berapa banyakkah dari Ahetuka? Mereka dapat mengalai seluruh 18 Ahetuka Citta.
Dan kemudian Kāmāvacara Kusala delapan tidak muncul, jadi kita memiliki Kāmāvacara Sahetuka
Vipāka delapan dan Kāmāvacara Mahākiriya delapan. Kemudian Rūpāvacara Kusala lima tidak
muncul. Jadi kita memiliki Rūpāvacara Vipāka lima dan Rūpāvacara Kiriya lima. Demikian pula kita
mmiliki Arūpāvacara Vipāka empat dan Arūpāvacara Kiriya empat dan kemudian yang terakhir adalah
Arahatta-phala. Tidak ada Sotāpatti-phala, tidak ada Sakadāgāmī-phala dan tidak ada Anāgāmī-phala
dan tidak ada Magga. Jadi berapa banyakkah Citta yang ada? Ada 53 karena mereka dapat memiliki
Hasituppāda, tetapi mereka tidak memiliki Akusala apapun. Jadi kita memperoleh 18 Ahetuka Citta,
delapan Kāmāvacara Mahāvipāka, delapan Kāmāvacara Mahākiriya, lima Rūpāvacara Vipāka, lima
Rūpāvacara Kiriya, empat Arūpāvacara Vipāka, empat Arūpāvacara Kiriya dan kemudian yang
terakhir Arahatta-phala satu. Jadi kita memperoleh 53 jenis kesadaran yang dialami oleh para Arahant.
Sekarang kita harus memahami bahwa tidak semua jenis kesadaran ini dialami oleh seorang Arahant
tertentu atau seseorang tertentu. Jika sang Arahant tidak memiliki Jhāna, maka ia tidak akan
mengalami Rūpāvacara kiriya dan Arūpāvacara Kiriya. Para Arahant mungkin memiliki atau tidak
memiliki Jhāna. Ini sangat sederhana. Jika anda ingin melanjutkan, ada yang lebih rumit lagi.
Semua individu Maggaṭṭha hanya memiliki satu Citta. Ini sangat mudah. Individu Maggaṭṭha berarti
seorang pada momen Magga Citta. Hanya ada satu Citta untuk orang itu. Untuk Sotāpatti-maggaṭṭha
hanya ada satu Citta yaitu Sotāpatti-magga Citta. Individu Sakadāgāmī-maggaṭṭha memiliki
Sakadāgāmī-magga Citta. Untuk Individu Anāgāmī-magga ada Anāgāmī-magga Citta. Untuk individu
Arahatta-magga ada Arahatta-magga Citta. Kita hanya memiliki satu Citta untuk masing-masing orang
Mulia.
Sekarang sekali lagi, yang pertama, Duggati Ahetuka, berapa banyakkah Citta yang dapat muncul
untuk individu ini? 37 Citta dapat muncul untuk Duggati Ahetuka. Individu Sugati Ahetuka memiliki
berapa banyak Citta? 41 Citta dapat muncul pada Sugati Ahetuka. Berapa banyakkah Citta yang dapat
muncul pada individu Dvihetuka? 41 Citta dapat muncul pada individu Dvihetuka. Berapa banyakkah
Citta yang dapat muncul pada Tihetuka Puthujjana? 63 Citta dapat muncul pada Tihetuka Puthujjana.
Berapa banyakkah Citta yang dapat muncul pada seorang Sotāpanna? 59 Citta dapat muncul pada
seorang Sotāpanna. Berapa banyakkah yang dapat muncul pada seorang Sakadāgāmī? 59 Citta dapat
muncul pada seorang Sakadāgāmī. Berapa banyakkah yang dapat muncul pada seorang Anāgāmi? 57
dapat muncul pada seorang Anāgāmī. Berapa banyakkah yang muncul pada seorang Arahant? 53 Citta
dapat muncul pada seorang Arahant.
Buka CMA halaman 179 – “Tuntunan §24”:
“Makhluk-makhluk itu yang padanya fungsi-fungsi kelahiran-kembali, Bhavaṅga dan kematian
dilakukan oleh salah satu dari dua jenis kesadaran penyelidikan yang disertai dengan keseimbangan
memiliki kesadaran kelahiran-kembali yang tanpa akar (ahetuka). Mereka yang padanya fungsi-fungsi
ini dilakukan oleh salah satu hasil besar yang tidak disertai dengan pengetahuan (Ñāṇavippayutta)
memiliki kesadaran kelahiran-kembali berakar ganda (Dvihetuka), akar non-delusi atau kebijaksanaan
tidak ada.” (CMA, IV, Tuntunan §24, p.179)
Ini berarti hanya Alobha dan Adosa yang ada; tidak ada Amoha.
‘Pada makhluk-makhluk demikian javana-javana fungsional (Kiriya Javana) yang adalah eksklusif bagi
para Arahant, tidak dapat muncul, juga makhluk-makhluk itu tidak dapat mencapai penyerapan
apakah melalui jhāna-jhāna atau sang jalan.” .” (CMA, IV, Tuntunan §24, p.179)
Orang-orang ini tidak dapat mencapai Jhāna atau pencerahan.
“Terlebih lagi, Citta yang dapat melakukan peran pencatatan (Tadārammaṇa) bagi makhluk-makhluk
ini hanyalah ketiga jenis kesadaran penyelidikan tanpa akar.”7 (CMA, IV, Tuntunan §24, p.179)
Sekarang saya ingin anda mempertimbangkan apakah benar atau tidak. “Satu-satunya Citta yang
dapat melakukan peran pencatatan bagi makhluk-makhluk ini adalah ketiga jenis kesadaran
penyelidikan tanpa akar.” Ini berarti tiga Santīraṇa. Apakah ini benar? Pertama-tama kita harus
memahami apa yang dimaksudkan dengan “bagi makhluk-makhluk ini”. Apakah ini adalah Ahetuka
dan Dvihetuka atau hanya Ahetuka? Paagraf ini membahas individu-individu Ahetuka dan Dvihetuka.
Jadi jika kita mengatakan, “bagi makhluk-makhluk ini”, kita harus menganggapnya sebagai Ahetuka
dan Dvihetuka. Jika demikian, maka ini tidak benar. Individu Dvihetuka dapat memiliki empat
Sahetuka kāmāvacara Vipāka yang tidak disertai pengetahuan.
Pada paragraf berikutnya, tiga baris terakhir –
“Di alam sengsara, di mana kesadaran kelahiran kembali adalah selalu tanpa-akar, bahkan hasil besar
berakar-dua tidak melakukan peran pencatatan; …” (CMA, IV, Tuntunan §24, p.179)
Ini benar.
“… hanya hasil tanpa akar yang dapat muncul dalam peran ini.” (CMA, IV, Tuntunan §24, p.179)
Terdapat kontradiksi di sini. Saya pikir yang pertama yang diawali dengan “Terlebih lagi, Citta yang
dapat …” adalah tidak tepat.
Jadi bagi individu Duggati Ahetuka hanya Santīraṇa yang dapat melakukan fungsi Tadārammaṇa. bagi
individu Sugati Ahetuka, Sahetuka Kāmāvacara Vipāka yang tidak disertai dengan pengetahuan dapat

7
CMA, edisi ke-2, 1999: “Terlebih lagi, bagi makhluk-makhluk di alam sengsara, Citta-Citta yang dapat melakukan
peran pencatatan hanyalah ketiga jenis kesadaran penyelidikan tanpa akar.”
melakukan fungsi Tadārammaṇa serta Santīraṇa. bagi individu-individu Dvihetuka hal ini sama
seperti pada individu-individu Sugati Ahetuka.
Kemudian Javana-Javana Adi-duniawi –
“Tetapi javana-javana adi-duniawi hanya dialami oleh para mulia menurut kapasitas mereka masing-
masing.” (CMA, IV, Tuntunan §25, p.180)
“Masing-masing” berarti Sotāpatti-phala dialami hanya oleh Sotāpanna; Sakadāgāmī-phala hanya
dialami oleh Sakadāgāmī dan seterusnya. Jadi Sotāpanna tidak dapat mengalami Sakadāgāmī-phala,
Anāgāmī-phala dan Arahatta-phala.
Sekarang pada bagian ini terdapat dua istilah yang harus anda pahami – Sekha dan Asekha. Pada
bagian §25, CMA halaman 180 –
“Di antara mereka yang (dengan kesadaran kelahiran-kembali) berakar-tiga, pada para Arahant, tidak
ada javana-javana yang bermanfaat atau tidak bermanfaat yang muncul. Pada para pelajar dan kaum
duniawi, …” (CMA, IV, Tuntunan §25, p.180)
Sekarang pelajar – kata Pāḷi untuk pelajar adalah Sekkha. Anda membaca kata ini pada CMA halaman
179 “Tathā sekkhaputhujjanānaṃ”. Sekkha ditulis S E K K H A. kadang-kadang ditulis hanya dengan
satu K. jadi Sekha atau Sekkha. ‘Sekkha’ berarti mereka yang masih berlatih, mereka yang latihannya
masih belum selesai. Orang-orang demikian disebut Sekha atau Sekkha. ‘Latihan’ berarti latihan
sebagai Magga dan Phala. Jadi Puthujjana tidak berhubungan dengan ini. Sekkha adalah mereka yang
telah mencapai pencerahan tetapi masih belum menjadi Arahant. Jika kita menghitung para mulia
atau individu-individu yang tercerahkan sebagai berjumlah delapan, maka tujuh adalah Sekkha –
Sotāpatti-maggaṭṭha, Sotāpatti-phalaṭṭha dan seterusnya hingga Arahatta-maggaṭṭha. Ketujuh
individu ini disebut Sekha atau Sekkha karena latihan mereka masih belum selesai. Mereka masih
berlatih. Jika mereka disebut Pelajar, kita sebut apakah para Puthujjana? Ini adalah istilah teknis.
Seorang Arahant disebut Asekha. Pada CMA halaman 180, pada syair Pāḷi terdapat kata “Asekkhānaṃ”
(baca CMA, IV, Tuntunan §25, p.180). ‘Asekha’ di sini berarti Bukan-sekha. Juga kadang-kadang satu K
dapat dihilangkan, jadi Asekha atau Asekkha. Mereka disebut melampaui latihan, mereka yang telah
menyelesaikan latihan. Ini berarti latihan mereka telah selesai, mereka adalah individu-individu yang
tidak memiliki latihan yang harus dilakukan lagi. Ini berarti mereka telah mencapai tingkat
pencerahan tertinggi – para Arahant. Jadi para Arahant disebut Asekha atau Asekkha.
Harap diingat kedua ini karena ketika anda membaca terjemahan khotbah-khotbah anda akan
menemukan kedua istilah ini. Anda harus memahami apa yang dimaksudkan dengan Pelajar dan apa
yang dimaksud dengan Bukan-pelajar. Jika anda tidak mengetahui Abhidhamma, maka anda tidak
akan mengetahui istilah-istilah ini dan anda tidak akan memahaminya dengan jelas, maka kadang-
kadang anda mungkin memiliki pemahaman keliru atas khotbah tersebut. ‘Sekha’ berarti mereka yang
masih berlatih dan mereka adalah tujuh individu mulia yang lebih rendah. ‘Asekha’ berarti mereka
yang tidak lagi berlatih – yang berarti mereka yang telah menyelesaikan latihan dan mereka adalah
Arahatta-phalaṭṭha atau para Arahant.
Kemudian pada CMA bagian §26 –
“Menurut situasinya, dikatakan mereka yang melampaui latihan mengalami 44 kelompok kesadaran,
…” (CMA, IV, Tuntunan §26, p.180)
Sekarang dalam perhitungan kita berapa banyakkah itu? 53. Jadi dalam syair ini 44 berarti mereka
yang berada dalam bidang Kāmāvacara. Untuk semua Arahant secara umum kita masih memiliki 53.
‘44’ berarti 53 dikurang sembilan. Apakah sembilan ini? Yaitu Rūpāvacara Vipāka lima dan
Arūpāvacara Vipāka empat.
Dan Pelajar dapat mengalami 56 Citta. Di atas yang telah anda jumlahkan. Anda harus mengeluarkan
sembilan dan menambahkan satu, satu, satu, sehingga seluruhnya anda memiliki 56 untuk Pelajar.
Pelajar diperhitungkan secara keseluruhan – Sotāpanna, Sakadāmī dan Anāgāmī.
Dan yang lainnya mengalami 54 Citta. ‘Yang lainnya’ berarti apakah? ini berarti Puthujjana. Jadi
mereka memiliki 54. Rinciannya diberikan dalam penjelasan dalam “Tuntunan §26”. Pada CMA
halaman 181 persis di atas judul “Analisis menurut alam-alam” terdapat paragraf yang dimulai dengan
“angka-angka ini adalah untuk mereka yang di dalam alam-indriawi”. Ini adalah hanya untuk alam-
indriawi saja. Jika kita memperhitungkan seluruh alam, maka kita harus menambahkan Rūpāvacara
Vipāka dan Arūpāvacara Vipāka. Dan kemudian terdapat Tabel pada CMA halaman 182 (baca CMA, IV,
Tabel 4.5, p.182).
Sekarang ini hanyalah pemahaman umum atas apa yang kita temukan dalam Manual, tetapi kita harus
memahami Puthujjana, Sotāpanna dan seterusnya yang terlahir di alam Kāmāvacara, yang terlahir di
alam Rūpāvacara dan yang terlahir di alam Arūpāvacara. Tihetuka Puthujjana dapat berupa
Kāmāvacara Tihetuka Puthujjana, Rūpāvacara Tihetuka Puthujjana, Arūpāvacara Tihetuka Puthujjana.
Juga ada Kāmāvacara Sotāpanna, Rūpāvacara Sotāpanna dan Arūpāvacara Sotāpanna. Hal yang sama
berlaku untuk Sakadāgāmī, Anāgāmī dan Arahant.
Itu masih belum cukup, kita harus menjawab lebih banyak lagi. Ini berarti seorang Puthujjana
mungkin memperoleh Jhāna atau ia mungkin tidak memperoleh Jhāṅa. ada Puthujjana dengan Jhāna
and ada yang tanpa Jhāna, Sotāpanna dengan Jhāna dan tanpa Jhāna, Sakadāgāmī, Anāgāmī dan
Arahant dengan Jhāna dan tanpa Jhāna. Jadi kita memiliki Kāmāvacara Tihetuka dengan Jhāna.
Pertama-tama kita harus menyebutkan Kāmāvacara Tihetuka Puthujjana dengan Jhāna, dan kemudian
Kāmāvacara Tihetuka Puthujjana dengan Jhāna, Rūpāvacara Tihetuka Puthujjana hanya dengan Jhāna
saja, individu Arūpāvacara Tihetuka hanya dengan Jhāna saja. Kemudian ada Kāmāvacara Sotāpanna
dengan atau tanpa Jhāṅa, Rūpāvacara Sotāpanna hanya dengan Jhāna saja. Dan kemudian ada
Kāmāvacara Sakadāgāmī, Anāgāmī dan Arahant dengan atau tanpa Jhāna. Ada banyak cara untuk
mempelajari individu-individu berbeda ini secara terperinci. Yang telah kita pelajari ini adalah untuk
individu-individu secara umum, untuk Tihetuka Puthujjana dari semua alam, untuk Sotāpanna dari
semua alam dan seterusnya.
Misalkan kita mencoba untuk mencari Tihetuka Kāmāvacara Puthujjana dengan Jhāna dan tanpa
Jhāna. Jika ia adalah tanpa Jhāna, maka kita harus mengeluarkan kesadaran Jhāna. Jadi ada berapa
banyakkah? Ada 63. Jadi anda mengeluarkan kesadaran Jhāna dan karena mereka dari Kāmāvacara,
maka kita juga mengeluarkan Rūpāvacara Vipāka dan Arūpāvacara Vipāka Citta. Maka jumlahnya
berkurang.
Tabel pada CMA halaman 182 tidak membedakan antara mereka yang dengan Jhāna dan mereka yang
tanpa Jhāna (baca CMA, IV, Tabel 4.5, p.182). jadi kita dapat mengasumsikan bahwa itu adalah untuk
mereka yang dengan Jhāna atau secara umum. Jadi jika anda melihat pada Tabel (baca CMA, IV, Tabel
4.5, p.182) – pertama-tama untuk kesadaran kelahiran-kembali tanpa akar alam sengsara, ini berarti
Duggati Ahetuka, dan kemudian alam-indriawi – kita memperoleh 12 tidak bermanfaat, 17 tanpa akar,
8 bermanfaat. Seluruhnya ada 37 Citta.
Kemudian ada kesadaran kelahiran-kembali tanpa akar berbahagia, Sugati Ahetuka. Pada individu ini
dapat muncul 41 Citta. Dan untuk kesadaran kelahiran-kembali berakar-dua, Dvihetuka, kita
memperoleh jumlah Citta yang sama, yang serupa dengan yang di atas, 41.
Untuk kaum duniawi berakar-tiga dapat muncul 54 Citta, yaitu bagi mereka yang memiliki Jhāna.
Untuk mereka yang tanpa Jhāna, kita harus megurangi sembilan sehingga ada 45 Citta yang dapat
muncul.
Kemudian untuk Pemasuk-arus, Sotāpanna, 50 Citta dapat muncul. Jika ia tidak mencapai Jhāna, maka
kita mengurangi sembilan, maka 41 Citta dapat muncul. Dan Sakadāgāmī juga sama. Untuk Anāgāmī
dengan Jhāna 48 Citta dapat muncul. pada Anāgāmī tanpa Jhāna 39 Citta dapat muncul, yaitu 48
dikurang sembilan. 44 Citta dapat muncul pada Arahant. Jika mereka tidak mencapai Jhāna, kita
mengurangi sembilan dari 44, jadi 35 Citta dapat muncul pada mereka. Anda harus memahami ini. Jadi
Tihetuka, kaum duniawi berakar-tiga, Tihetuka dengan Jhāna dan tanpa Jhāna harus dipahami. Hal
yang sama berlaku untuk Sotāpanna, Sakadāgāmī, Anāgāmi dan Arahant – harus dipahami sebagai
dengan Jhāna dan tanpa Jhāna. Jumlah yang diberikan pada Tabel (baca CMA, IV, Tabel 4.5, p.182)
adalah untuk mereka yang dengan Jhāna. Jadi jika anda ingin mengetahui untuk mereka yang tanpa
Jhāna, anda mengurangi sembilan Citta – Rūpāvacara Kusala dan Arūpāvacara Kusala, dan untuk
Arahant anda mengurangi Rūpāvacara Kiriya dan Arūpāvacara Kiriya. Jadi kita memperoleh 45, 41, 41,
39 dan 35.
Sehubungan dengan alam bermateri halus dan alam tanpa materi hanya ada satu, yaitu mereka yang
dengan Jhāna. Tidak ada yang tanpa Jhāna di sana.
Jika anda memiliki waktu, saya pikir anda harus membiasakan diri dengan individu-individu berbeda
ini, misalnya, Kāmāvacara Tihetuka tanpa Jhāna, Kāmāvacara Tihetuka dengan Jhāna, Kāmāvacara
Sotāpanna dengan Jhāna dan tanpa Jhāna dan seterusnya.
Berikutnya kita sampai pada bagian terakhir. Ini disebut “Bhūmibheda”, “Analisis menurut Alam”
(baca CMA, IV, §27, p.181). Adalah aneh bahwa kita belum mempelajari 31 alam kehidupan, tetapi
penulis menjelaskan tentang jenis-jenis kesadaran yang muncul di alam yang mana.
“Di alam-indriawi seluruh proses kognitif yang telah disebutkan di atas muncul menurut situasinya.”
(CMA, IV, §27, p.181).
Ini berarti untuk alam Kāmāvacara seluruh Vīthi Citta muncul. jadi untuk alam Kāmāvacara ada berapa
banyak Citta? Di sini kita harus memahami Manual mengatakan ‘Vīthi Citta’. Ini berarti tidak ada
Vīthimutta Citta. Jadi jika kita mencari berapa banyak Vīthi Citta yang dapat muncul di alam
Kāmāvacara maka kita mengatakan 80. Jika kita mengatakan berapa banyak Citta secara umum yang
dapat muncul di alam Kāmāvacara, termasuk Vīthimutta Citta. Kita masih tetap memperoleh jawaban
yang sama, 80 Citta. Vīthimutta Citta berarti Citta-Citta yang berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga
dan Cuti. Di alam Kāmāvacara, Vīthimutta Citta melakukan fungsi-fungsi lain seperti Tadārammaṇa.
oleh karena itu, Citta-Citta itu telah termasuk. Apakah anda mengerti? Ada 80 jenis kesadaran secara
umum yang dapat muncul di Kāmāvacara dan juga ada 80 jenis kesadaran yang dapat muncul sebagai
Vīthi Citta di dalam Kāmāvacara.
Dalam Rūpāvacara dan Arūpāvacara akan ada perbedaan antara jumlah Citta secara umum yang dapat
muncul dan jumlah Vīthi Citta yang dapat muncul. Ini karena Citta-Citta di alam-alam itu yang
melakukan fungsi-fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti melakukan hanya fungsi-fungsi itu dan selalu
bebas-proses. Citta-Citta itu selalu berfungsi sebagai Vīthimutta Citta. Di alam Rūpāvacara kelima
Rūpāvacara Vipāka Citta melakukan fungsi-fungsi ini dan di alam Arūpāvacara ke empat Arūpāvacara
Vipāka Citta melakukan fungsi-fungsi ini.
Citta-Citta yang berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti tidak muncul melalui pintu
manapun. Citta-Citta itu adalah bebas-pintu. Maka disebut ‘Vīthimutta’, bebas dari Vīthi, di luar Vīthi.
Ketika kita mengatakan Vīthi Citta, ini berarti satu hal. Ketika kita mengatakan Vīthimutta Citta, ini
berarti hal lainnya, hal yang berbeda. Hanya Vīthi Citta yang disebutkan dalam bagian ini dari Manual.
(baca CMA, IV, §27-§29, p.181-183). Menurut Manual ini, di alam-indriawi (alam Kāmāvacara) “semua
proses kognitif yang telah dijelaskan di atas muncul menurut situasinya.” Nanti ia akan mengatakan
80 (Citta yang dapat muncul). pada CMA bagian §29,
“Di alam-indriawi, menurut situasinya, terdapat 80 jenis kesadaran proses, …” .” (CMA, IV, §29, p.183).
‘Kesadaran proses’ berarti Vīthi Citta. Ada 80 jenis kesadaran proses yang dapat muncul di alam
Kāmāvacara.
“Di alam bermateri halus …” (CMA, IV, §27, p.181).
Ini berarti Rūpāvacara.
“… (semuanya muncul) dengan pengecualian javana-javana yang berhubungan dengan penolakan dan
momen-momen pencatatan.” (CMA, IV, §27, p.181).
Sekarang Dosa adalah lawan langsung dari Jhāna. Ketika ada Dosa, maka Jhāna tidak dapat muncul.
para Brahma adalah mereka yang memperoleh Jhāna dan kemudian terlahir kembali sebagai Brahma.
Jadi pada mereka walaupun mereka belum sepenuhnya menghapuskan Dosa, seperti yang terjadi
ketika Magga muncul, tetapi melalui alam-alam di mana mereka berada kedua Citta ini ditekan. Kedua
Citta ini tidak muncul pada Brahma. Jika anda kembali kepada bab tiga, anda akan menemukan hal ini
pada bagian Vatthu, pada bagian tentang landasan-landasan. Jadi di alam bermateri halus atau
Rūpāvacara, Javana-Javana yang berhubungan dengan penolakan tidak muncul, yaitu kedua Dosamūla
Citta, dan momen-momen pencatatan tidak muncul.
Tadārammaṇa muncul hanya dalam apakah? Tadārammaṇa muncul setelah Kāmāvacara Javana, pada
makhluk-makhluk Kāmāvacara dan kapankah? Kemunculannya hanya ketika mengambil objek-objek
Kāmāvacara. Ada tiga kondisi. Ingatkah anda? Kembali kepada Manual, “Tadārammaṇa-niyama” (baca
CMA, IV, §20, p.175).
“Pencatatan terjadi, mereka katakan, sehubungan dengan objek-objek yang jelas dan asngat besar
ketika ada kepastian sehubungan dengan javana-javana alam-indriawi, makhluk-makhluk, dan objek-
objek.” (baca CMA, IV, §20, p.175).
Pencatatan, Tadārammaṇa muncul hanya setelah Kāmāvacara Citta. Dan kemudian Tadārammaṇa
muncul hanya pada “makhluk-makhluk alam-indriawi” – hanya pada makhluk-makhluk Kāmāvacara,
dan munculnya hanya dengan mengambil “objek alam-indriawi” saja, yaitu, mengambil objek-objek
Kāmāvacara. Jadi hanya ketika ketiga kondisi ini terpenuhi maka Tadārammaṇa Citta dapat muncul.
tetapi di sini kita sedang membahas tentang alam Rūpāvacara, jadi Tadārammaṇa tidak dapat muncul.
jadi untuk alam Kāmāvacara terdapat 80 Vīthi Citta; tetapi berapa banyakkah Citta seluruhnya? Tetap
ada 80 Citta karena Citta-Citta itu yang melakukan fungsi-fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti
(proses-proses bebas-pintu) telah dihitung karena Citta-Citta itu juga melakukan fungsi-fungsi lain
seperti Tadārammaṇa.
“Di alam tanpa materi (semuanya muncul) dengan pengecualian (lebih lanjut) atas Jalan pertama, …”
(CMA, IV, §27, p.182).
Sekarang jika anda ingat bagian terakhir bab tiga, Sotāpatti-magga tidak dapat muncul di alam
Arūpāvacara, karena Sotāpatti-magga hanya dapat dicapai melalui suara dari orang lain, hanya dengan
mendengarkan ajaran dari orang lain. Arūpāvacara Brahma tidak memiliki telinga untuk mendengar
ajaran. Jadi tidak akan ada Sotāpatti-magga Citta di alam Arūpāvacara.
Dan kemudian,
“… kesadaran alam bermateri halus, …” (CMA, IV, §27, p.182).
Kesadaran Rūpāvacara tidak akan anda peroleh di alam Arūpāvacara. Ini adalah Citta-Citta yang lebih
rendah, maka lenyap.
Dan,
“… kesadaran tersenyum, …” (CMA, IV, §27, p.182).
Kesadaran ini tidak dapat muncul karena mereka tidak memiliki tubuh. Oleh karena itu, mereka tidak
tersenyum.
“… dan kelompok-kelompok kesadaran tanpa materi yang lebih rendah.” (CMA, IV, §27, p.182).
Ini berarti ketika anda mencapai alam Arūpāvacara ke dua, anda tidak memiliki Citta dari Arūpāvacara
pertama; dan ketika anda mencapai alam ke tiga, anda tidak mengalami yang pertama dan ke dua. Di
alam ke empat anda tidak mengalami Citta dari Arūpāvacara pertama, ke dua dan ke tiga karena Citta-
Citta itu lebih rendah dan lenyap. Ketika anda mencapai posisi yang lebih tinggi, maka posisi
sebelumnya bukan untuk anda. Di alam tanpa materi tidak ada jalan pertama, Sotāpatti-magga, tidak
ada Rūpāvacara Citta, tidak ada Hasituppāda dan untuk tiap-tiap alam Arūpāvacara tidak ada citta dari
alam Arūpāvacara yang lebih rendah.
“Di semua alam, pada mereka yang tidak memiliki organ indria tertentu, proses-proses kognitif …”
(CMA, IV, §28, p.183).
Ini berarti kesadaran yang berkaitan dengan proses-proses kognitif.
“… yang terhubung dengan pintu-pintu yang bersesuaian tidak muncul.” (CMA, IV, §28, p.183)
Ini berarti jika seseorang tidak memiliki mata, maka tidak akan ada kesadaran yang berkaitan, maka
tidak ada kesadaran melihat dan seterusnya. Di alam Rūpāvacara landasan apakah yang tidak ada?
Landasan hidung, lidah dan badan tidak ada. Bagi alam Rūpāvacara kesadaran-hidung, kesadaran-
lidah, dan kesadaran-badan tidak muncul. juga di alam Kāmāvacara jika seseorang terlahir buta, maka
ia tidak dapat memiliki kesadaran melihat dan seterusnya.
“Pada makhluk-makhluk tanpa persepsi …” (CMA, IV, §28, p.183)
Ini berarti makhluk-makhluk tanpa batin.
“… tidak ada proses kognitif sama sekali.” (CMA, IV, §28, p.183)
Bagi makhluk-makhluk tanpa batin sama sekali tidak ada batin, tidak ada Citta, tidak ada Cetasika.
Rangkumannya adalah bahwa untuk alam-indriawi terdapat 80, dan untuk alam Rūpāvacara terdapat
64, dan untuk alam Arūpāvacara terdapat 42 (CMA, IV, §29, p.183).
Sekarang dapatkah anda menemukan 64 untuk Rūpāvacara? Menemukan 80 dalam Kāmāvacara
sekarang adalah mudah. Apakah 64? Berapa banyakkah yang berasal dari Akusala? Sepuluh berasal
dari Akusala. Berapa banyakkah yang berasal dari Ahetuka? Anda mengeluarkan enam, sehingga ada
dua belas dari Ahetuka. Berapa banyakkah dari Kāmāvacara Sobhana? Kāmāvacara Kusala delapan dan
Kāmāvacara Kiriya delapan adalah berasal dari Kāmāvacara Sobhana. Dan kemudian dari Mahaggata
dan Lokuttara ada Rūpāvacara Kusala dan Kiriya dan Arūpāvacara Kusala dan Kiriya dan delapan
Lokuttara Citta. Kita memperoleh 64 Citta yang dapat muncul sebagai Vīthi Citta. Tetapi jika kita
mengatakan berapa banyak Citta secara umum yang dapat muncul, maka kita harus menambahkan
Rūpāvacara Vipāka lima, lima Vīthimutta Citta. Maka 64 ditambah lima menjadi 69.
Untuk alam Arūpāvacara ada 42. Apakah 42 itu? Ada sepuluh dari Akusala, dan kemudian satu dari
Ahetuka. Yang manakah? Manodvārāvajjana adalah satu-satunya yang dari Ahetuka. Kemudian ada
Kāmāvacara Mahākusala delapan, Kāmāvacara Mahākiriya delapan dan tidak ada Rūpāvacara. Ada
Arūpāvacara Kusala empat dan Arūpāvacara kiriya empat dan Lokuttara tujuh tanpa Sotāpatti-magga.
Jadi ada 42. 42 ini adalah sama seperti 42 yang disebutkan dalam bab tiga, bagian terakhir. Jika kita
hanya mengatakan Citta, maka kita harus menambahkan empat Arūpāvacara Vipāka. Dalam kasus
demikian 46 Citta dapat muncul.
Ini seperti jebakan. Kadang-kadang kita bertanya berapa banyak Citta yang dapat muncul dan jika
anda tidak berhati-hati anda akan mengatakan 42 atau 64 dan anda salah. Jika kita mengatakan berapa
banyak Vīthi Citta yang muncul dalam alam Rūpāvacara atau Arūpāvacara, maka anda menyebutkan
hanya Vīthi Citta, tanpa Vīthimutta Citta. Jika kita mengatakan berapa banyak Citta yang ada, maka
kita harus memasukkan Vīthimutta Citta. Berapa banyakkah Vīthimutta Citta yang ada? Sebenarnya
ada sembilan, Rūpāvacara Vipāka lima dan Arūpāvacara Vipāka empat. Kāmāvacara Mahāvipāka
delapan ketika berfungsi sebagai Bhavaṅga, Paṭisandhi dan Cuti juga adalah bebas-Vīthi. Tetapi Citta-
Citta itu memiliki fungsi lain. Apakah fungsi itu? Yaitu fungsi Tadārammaṇa. ketika berfungsi sebagai
Tadārammaṇa, Citta ini tidak bebas-Vīthi. Oleh karena itu, anda tidak mengeluarkan delapan
Kāmāvacara Mahāvipāka. Delapan Kāmāvacara Mahāvipāka kadang-kadang dapat menjadi bebas-
Vīthi dan kadang-kadang di dalam Vīthi. Tetapi lima Rūpāvacara Vipāka dan empat Arūpāvacara
Vipāka adalah selalu bebas-Vīthi. Citta-Citta ini hanya memiliki tiga fungsi -- Paṭisandhi, Bhavaṅga
dan Cuti. Delapan Sahetuka Kāmāvacara Vipāka memiliki empat fungsi – Paṭisandhi, Bhavaṅga, Cuti
dan Tadārammaṇa. sekali lagi ketika berfungsi sebagai Tadārammaṇa, Citta-Citta ini tidak bebas-Vīthi,
melainkan di dalam Vīthi, tetapi ketika berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti, Citta-Citta
ini adalah bebas-Vīthi. Karena umumnya ada di dalam Vīthi, maka kita juga tidak mengeluarkannya
ketika kita mengatakan Vīthimutta.
Hal yang sama berlaku untuk dua Ahetuka Upekkhā Santīraṇa Citta. Dua ini berfungsi baik dalam
proses Vīthimutta maupun dalam proses Vīthi. Dalam proses Vīthi, Citta ini berfungsi sebagai
Santīraṇa atau sebagai Tadārammaṇa. Dalam proses Vīthimutta Citta ini berfungsi sebagai Paṭisandhi,
Bhavaṅga atau Cuti.
Sekali lagi untuk alam Kāmāvacara berapa banyakkah Citta yang kita miliki? Ada 80. Berapa banyakkah
Vīthi Citta yang ada? Ada 80. Untuk alam Rūpāvacara berapa banyakkah Citta yang ada? Ada 64
ditambah lima, menjadi 69 Citta. Berapa banyakkah Vīthi Citta yang ada? Ada 64 Vīthi Citta. Untuk
alam Arūpāvacara berapa banyakkah Citta yang ada? Ada 46 – 42 ditambah empat. Berapa banyakkah
Vīthi Citta yang ada? Ada 42.
Sekarang kesimpulan –
“Demikianlah proses kognitif yang terhubung dengan enam pintu menurut situasinya berlanjut tanpa
terputus seumur hidup, …” (CMA, IV, §30, p.184).
Proses-proses pikiran (Vīthi) ini berlanjut terus-menerus seumur hidup, yaitu selama kehidupan
seseorang. Sebenarnya proses-proses ini terus-menerus muncul dan lenyap pada kehidupan
berikutnya juga.
“… dicegat oleh rangkaian-kehidupan.” (CMA, IV, §30, p.184).
Vīthi tidak mengikuti Vīthi lainnya. Pasti selalu ada momen Bhavaṅga di antara satu proses pikiran
dan proses pikiran lainnya, antara satu Vīthi dan Vīthi lainnya. Jadi, misalnya, proses pikiran
mendengar tidak dapat segera mengikuti proses pikiran melihat. Pertama-tama ada proses pikiran
melihat. Kemudian pasti diselingi dengan momen-momen Bhavaṅga, kadang-kadang jutaan momen
atau mungkin sejumlah tertentu. Jadi proses-proses pikiran ini berlanjut terus-menerus selama hidup
kita hanya terputus oleh momen-momen rangkaian-kehidupan, hanya terputus oleh momen-momen
Bhavaṅga. Jadi momen-momen Bhavaṅga ini adalah seperti zona penampung antar proses pikiran.
Itulah sebabnya mengapa ketika kami membuat tabel proses pikiran di negara kami, kami
menempatkan tanda nol di awal dan di akhir momen Bhavaṅga untuk menunjukkan momen-momen
Bhavaṅga sebelum dan sesudah tiap-tiap proses pikiran.
Ini adalah akhir dari bab empat. Kita dapat mengakhirinya di sini atau jika anda ingin melanjutkan ke
dalam rincian tentang individu-individu berbeda, kita dapat melanjutkan. Pada tahap ini pengetahuan
kita sudah cukup jika anda memahami makhluk-makhluk secara umum – Tihetuka Puthujjana secara
umum, Sotāpanna secara umum dan seterusnya. Setelah anda terbiasa dengan itu, kemudian anda
dapat melanjutkan pada penjelasan dan berusaha untuk mencari berapa banyak Citta yang ada pada
Tihetuka Puthujjana dengan Jhāna atau tanpa Jhāna dan seterusnya. Anda juga dapat melihat pada
Tabel pada CMA halaman 182 dan mencari hal ini (baca CMA, IV, Tabel 4.5, p.182). Tabel ini sangat
berguna dan sangat baik sebagai referensi.
Seberapa pahamkah anda dengan Citta-Citta yang berbeda? Silakan pikirkan jenis-jenis kesadaran
yang berbeda. Yaitu 12 Akusala Citta, 18 Ahetuka Citta, 24 Kāmāvacara Sobhana Citta, 15 Rūpāvacara
Citta, 12 Arūpāvacara Citta dan 40 Lokuttara Citta.
Yang manakah kesadaran jenis Kāmāvacara? Ada berapa banyakkah? Ada 54. Yaitu dua belas Akusala,
18 Ahetuka dan 24 Kāmāvacara Sobhana.
Yang manakah Mahaggata? Ada 27 – lima belas Rūpāvacara dan dua belas Arūpāvacara.
Bagaimanakah anda menyebut 54 Kāmāvacara dan 27 Mahaggata? Itu disebut Lokiya Citta atau
kesadaran duniawi, jadi kesadaran duniawi 81.
Berapa banyakkah Lokuttara Citta secara singkat? Ada delapan. Dan berapa banyakkah secara
terperinci? Ada 40.

MAHAGGATA DAN LOKUTTARA CITTA


Dalam Mahaggata dan Lokuttara berapa banyakkah Citta Jhāna pertama? Ada 11.
Berapa banyakkah Citta Jhāna ke dua? Ada 11.
Berapa banyakkah Citta Jhāna ke tiga? Ada 11.
Berapa banyakkah Citta Jhāna ke empat? Ada 11.
Berapa banyakkah Citta Jhāna ke lima? Ada 23, tiga Rūpāvacara Citta, seluruh dua belas Arūpāvacara
Citta, dan Citta Jhāna ke lima dari Magga dan Phala, seluruhnya ada delapan.

AKUSALA CITTA
Apakah yang perlu kita ketahui? Ada dua belas Akusala Citta – berapa banyakkah yang disertai dengan
Somanassa? Empat disertai dengan Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Enam disertai dengan Upekkhā.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Domassa? Dua disertai dengan Domanassa.

AHETUKA CITTA
Sekarang Ahetuka Citta – berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? Dua disertai dengan
Somanassa, Hasituppāda dan satu Santīraṇa.
Berapa banyakkah yang disertai degan Upekkhā? 14 disertai dengan Upekkhā.
Berapa banyakkah yang disertai degan Dukkha? Satu disertai dengan Upekkhā.
Berapa banyakkah yang disertai degan Sukha? Satu disertai dengan Sukha.

KĀMĀVACARA SOBHANA CITTA


Kemudian Kāmāvacara Sobhana 24 – berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? Dua belas
disertai dengan Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Dua belas disertai dengan Upekkhā.

RŪPĀVACARA CITTA
Rūpāvacara 15 – berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? Dua belas disertai dengan
Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Tiga disertai dengan Upekkhā.

ARŪPĀVACARA CITTA
Arūpāvacara dua belas – berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? Tidak ada yang disertai
dengan Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Dua belas disertai dengan Upekkhā.
MAGGA CITTA
Dua puluh Magga Citta – berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? 16 disertai dengan
Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Empat disertai dengan Upekkhā.

PHALA CITTA
Dua puluh Phala Citta – berapa banyakkah yang disertai dengan Somanassa? 16 disertai dengan
Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? Empat disertai dengan Upekkhā.

121 JENIS KESADARAN


Dalam 121 jenis kesadaran berapa banyakkah Citta yang disertai dengan Somanassa? 62 Citta disertai
dengan Somanassa.
Berapa banyakkah yang disertai dengan Upekkhā? 55 disertai dengan Upekkhā.
Domanassa muncul dengan berapa banyak Citta? Hanya dengan dua Citta.
Dukkha muncul dengan berapa banyak Citta? Hanya dengan satu Citta.
Sukha muncul dengan berapa banyak Citta? Hanya dengan satu Citta.

HETU
Mari mencari Hetu. Di antara dua belas Akusala Citta berapa banyakkah yang disertai dengan dua
Hetu? Sepuluh dsertai dengan dua Hetu.
Berapa banyakkah yang disertai dengan satu Hetu? Dua disertai dengan satu Hetu. ‘Dua Hetu’ di sini
berarti Lobha dan Moha atau Dosa dan Moha. Satu Hetu berarti Moha.
Kita akan melewatkan Ahetuka karena tanpa akar.
Kemudian 24 Kāmāvacara Sobhana Citta – berapa banyakkah yang disertai dengan dua Hetu? Dua belas
disertai dengan dua Hetu.
Berapa banyakkah yang disertai dengan tiga Hetu? Dua belas disertai dengan tiga Hetu. ‘Dua Hetu’ di
sini berarti Alobha dan Adosa. ‘Tiga Hetu’ berarti Alobha, Adosa dan Amoha.
Mahaggata dan Lokuttara Citta selalu memiliki tiga Hetu. Citta-Citta ini disertai dengan Alobha, Adosa
dan Amoha.

FUNGSI-FUNGSI
Apakah anda ingin melanjutkan dengan fungsi-fungsi? Akusala Citta memiliki fungsi apakah? Akusala
Citta memiliki fungsi Javana.
Kemudian kesadaran melihat? Ini memiliki satu fungsi, melihat.
Kesadaran mendengar memiliki satu fungsi, mendengar.
Kesadaran mencium memiliki fungsi mencium.
Kesadaran mengecap memiliki fungsi mengecap.
Kesadaran-badan memiliki satu fungsi, fungsi menyentuh.
Kemudian dua kesadaran penerimaan memiliki satu fungsi. Fungsi apakah? fungsi menerima.
Somanassa Santīraṇa memiliki berapa fungsi? Dua fungsi. Apakah itu? Fungsi Santīraṇa dan
Tadārammaṇa.
Dan kemudian dua Upekkhā Santīraṇa memiliki berapa fungsi? Lima fungsi -- Paṭisandhi, Bhavaṅga,
Cuti, Santīraṇa dan Tadārammaṇa.
Pañcadvārāvajjana memiliki satu fungsi. Fungsi apakah itu? Fungi Āvajjana, mengalihkan.
Manodvārāvajjana memiliki berapa fungsi? Dua fungsi. Fungsi apakah itu? Fungi mengalihkan dan
memutuskan.
Hasituppāda memiliki satu fungsi, Javana.
Dan kemudian Kāmāvacara Kusala memiliki satu fungsi, Javana.
Bagaimana dengan Sahetuka Kāmāvacara Vipāka? Ini memiliki empat fungsi -- Paṭisandhi, Bhavaṅga,
Cuti dan Tadārammaṇa.
Kemudian Kāmāvacara Mahākiriya memiliki berapa fungsi? Hanya satu fungsi, Javana.
Rūpāvacara Kusala Citta memiliki berapa fungsi? Hanya satu fungsi, Javana.
Rūpāvacara Vipāka memiliki berapa fungsi? Tiga fungsi -- Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti.
Rūpāvacara Kiriya Citta memiliki berapa fungsi? Satu fungsi, Javana.
Dan Arūpāvacara Kusala Citta memiliki berapa fungsi? Satu fungsi, Javana.
Arūpāvacara Vipāka Citta memiliki berapa fungsi? Tiga fungsi -- Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti.
Arūpāvacara Kiriya Citta memiliki berapa fungsi? Satu fungsi, Javana.
Semua Magga Citta memiliki berapa fungsi? Satu fungsi, Javana.
Phala Citta memiliki berapa fungsi? Satu fungsi, Javana.
Kita akhiri sampai di sini.
[Akhir dari Bab Empat]
BAB V
ALAM-ALAM KEHIDUPAN
Hari ini kita sampai pada bab lima. Bab lima ini berjudul “Vīthimuttasaṅgaha”. Ini khususnya
membahas tentang apa yang disebut bebas-proses atau kesadaran yang di luar Vīthi. Tetapi
sesungguhnya membahas yang lain juga.
Bab ini dibagi menjadi empat bagian:
- Bagian pertama membahas empat alam kehidupan;
- Bagian ke dua tentang empat modus Paṭisandhi, kesadaran penghubungan-kembali;
- Yang ke tiga membahs empat janis Kamma;
- Yang ke empat adalah empat kedatangan kematian atau empat jenis kematian, yaitu
Paṭisandhi dalam kehidupan berikutnya.
Bagian pertama membahas alam-alam kehidupan. Terdapat empat atau secara terperinci ada 31 alam
kehidupan. Dikatakan ada 31 alam kehidupan. Ini sesungguhnya berhubungan dengan jenis-jenis
kesadaran. Anda telah mengetahui bahwa beberapa jenis kesadaran dapat muncul di alam
Kāmāvacara, beberapa di Rūpāvacara dan beberapa di Arūpāvacara. Jadi 31 alam kehidupan menurut
Abhidhamma adalah benar-benar ada atau memiliki pengalaman objektif. Alam-alam ini bagaikan
rumah. Makhluk-makhluk terlahir kembali di alam-alam itu dan ketika mereka terlahir di alam-alam
itu, mereka terlahir dengan jenis kesadaran hasil tertentu yang disebut Paṭisandhi Citta. Tidak semua
Paṭisandhi Citta dapat muncul dalam tiap alam kehidupan. Dalam beberapa alam mungkin muncul
hanya satu jenis kesadaran hasil, tetapi di alam lainnya mungkin lebih dari satu.
Pertama-tama, 31 alam kehidupan dapat dibagi menajdi empat Apāya, Kāma-sugati, Rūpāvacara dan
Arūpāvacara.

EMPAT APĀYA
Empat pertama disebut Apāya. Kita biasanya menerjemahkan Apāya sebagai kondisi sengsara karena
tidak ada kebahagiaan di alam-alam itu. Maka alam-alam itu disebut Apāya. Terdapat perbedaan
makna yang diberikan pada kata Apāya, tetapi saya pikir kita akan mengikuti sesuai dengan apa yang
diberikan dalam Manual. ‘Apāya’ bermakna hanpa dari kebahagiaan. Di alam-alam ini terdapat sangat
sedikit kebahagiaan, sangat sedikit kenyamanan. Sebagian besar adalah penderitaan, maka mereka
disebut Apāya. Kata ini berasal dari ‘Apa’ dan ‘Aya’. ‘Apa’ berarti tidak ada atau hampa dari. ‘Aya’ di
sini berarti kebahagiaan. Ini adalah kondisi-kondisi atau alam-alam di mana penderitaan menonjol.
Seluruhnya terdapat empat Apāya. Yang pertama adalah Niraya. Niraya diterjemahkan sebagai neraka.
Niraya dan Apāya adalah sama. ‘Ni’ dan ‘Aya’ – ‘Ni’ di sini juga adalah bentuk negatif, jadi tidak ada
kebahagiaan. Ini adalah alam kehidupan paling rendah.
Mereka yang melakukan perbuatan buruk akan terlahir kembali di Niraya. Ini diterjemahkan sebagai
neraka. Bagi kaum Buddhis, neraka adalah tidak abadi. Neraka adalah bagaikan penjara. Anda
melakukan kejahatan dan kemudian anda menebus kejahatan itu selama beberapa waktu di dalam
penjara. Kemudian anda keluar dari penjara setelah masa hukuman berakhir. Demikian pula,
seseorang yang melakukan Akusala terlahir kembali di neraka atau kondisi Apāya lainnya. Ia akan
menjalani suatu periode waktu atau beberapa tahun. Setelah itu ia dapat bebas atau ia dapat terlahir
kembali sebagai manusia atau bahkan sebagai Deva. Makhluk-makhluk memiliki gudang Kamma
Kusala dan Akusala. Nanti ketika kita mempelajari Kamma, anda akan memahami bahwa ada Kamma
yang memberikan hasil dalam kehidupan ini, Kamma yang memberikan hasil dalam kehidupan
berikutnya, Kamma yang memberikan hasil dalam kehidupan-kehidupan dimulai dari kehidupan
berikut ke dua dan seterusnya. Salah satu Kamma yang terkumpul ini dapat membantu mereka yang
terlahir di alam Apāya. Mereka akan terlahir kembali sebagai manusia atau bahkan sebagai Deva.
Neraka dalam Buddhisme adalah tidak abadi. Ini juga adalah sementara, tetapi ‘sementara’ ini dapat
berarti jutaan tahun.
Niraya dikatakan berlokasi di bumi. Bumi ini dikatakan sebagai 24,000 Yojana. 12,000 Yojana pertama
dikatakan sebagai besi. Di atas itu adalah bumi; jadi ada bumi besi dan bumi ‘tanah’. Niraya dikatakan
terletak di atas landasan besi dari bumi. Niraya terletak di bumi. Ada orang-orang yang ditelan bumi,
seperti Devadatta. Dikatakan bahwa Devadatta ditelan bumi dan pergi ke neraka, Niraya terendah. Jadi
Niraya memiliki lokasinya sendiri.
Sekarang tiga lainnya adalah Tiracchāna-yoni, Pettivisaya dan Asurakāya. Anda dapat membaca
terjemahan Bahasa Inggris dari Tabel ini pada buku (baca CMA, V, Tabel 5.1, p.187). ‘Tiracchāna-yoni’
berarti kerajaan binatang. ‘Pettivisaya’ berarti Peta. Kata ‘Peta’ diterjemahkan sebagai hantu
kelaparan. ‘Asurakaya’ berarti kumpulan Asura. Asura juga adalah sejenis Peta. Di sini mereka
dibedakan dari Peta. Peta selalu menderita kelaparan dan kehausan. Dikatakan bahwa kereka tidak
dapat cukup mendapatkan. Mereka selalu lapar dan selalu haus. Bahkan walaupun seseorang memberi
mereka makanan dan minuman, sebagai akibat dari Kamma mereka di masa lalu, makanan itu tidak
bertahan sebagai makanan bagi mereka. Makanan itu berubah menjadi api atau semacam itu. Mereka
disebut Peta.
Sekarang Asurakāya – ada dua jenis Asura. Ada Asura dewa dan Asura siluman. Di sini yang
dimaksudkan adalah Asura siluman. Mereka seperti Peta, tetapi perbedaannya adalah bahwa kadang-
kadang mereka menikmati sejenis kebahagiaan, tetapi pada waktu lainnya mereka menderita; mereka
memiliki jenis penderitaan berbeda. Jadi makhluk-makhluk itu yang terlahir di Asurakāya mungkin
tidak seburuk mereka yang terlahir sebagai Peta dan mereka yang terlahir di Niraya. Kadang-kadang
mereka menikmati hal-hal yang baik dan kadang-kadang mereka menderita.
Ada sejenis Asura lainnya. Mereka di sebut Asura Deva. Mereka adalah musuh para Deva. Dalam
beberapa khotbah anda dapat menemukan peperangan antara Deva dan Asura. Saya rasa anda tahu
Dhajagga Sutta. Dalam Dhajagga Sutta, Sutta Panji, disebutkan bahwa para Deva dan para Asura saling
berperang satu sama lain. Raja para dewa berkata kepada para pengikutnya, “jika kalian takut maka
lihatlah pada panjiku. Lihat panjiku, jika anda takut maka ketakutan akan lenyap.” Dikatakan
peperangan antara para Deva dan para Asura tidak ada pemenangnya. Kadang-kadang para deva
menang. Kadang-kadang para Asura menang. Tidak ada pembunuhan. Mereka hanya melarikan diri.
Ini cerita yang panjang. Saya tidak akan menceritakannya kepada anda di sini.
Ketiga ini termasuk dalam empat alam Apāya. Tiracchāna-yoni – anda sudah mengetahui alam
binatang. Binatang tidak memiliki lokasi atau tempat khusus. Mereka hidup bersama kita manusia.
Hantu kelaparan juga hidup di bidang yang sama, tingkat yang sama seperti manusia. Asurakāya juga
hidup di bidang yang sama seperti manusia. Ketiga ini tidak memiliki lokasi khusus bagi mereka.
Mereka hidup bersama manusia. Mereka hidup di hutan-hutan atau di desa-desa atau pemukiman.
Keempat ini disebut alam Apāya. Keempat ini selalu dilanda penderitaan.
ALAM MANUSIA
Bersama dengan para Peta, Asura dan binatang ini terdapat Manussa. ‘Manussa’ berarti manusia.
Manusia disebut Manussa karena mereka memiliki pikiran yang kuat dan cerdas. Kata ‘Manussa’
secara harfiah berarti mereka yang memiliki pikiran cerdas dan terkembang. Mereka memiliki pikiran
yang cerdas. Jadi manusia, jika mereka baik, maka dapat mencapai tingkat Kebuddhaan, dan jika
mereka buruk, mereka dapat melakukan tindak kejahatan apapun, dan karena itu mereka turun ke
neraka Avīci terendah. Manusia adalah mereka yang dapat melakukan tindakan yang paling baik dan
juga paling buruk. Dikatakan bahwa hanya manusia yang dapat menjadi seorang Buddha, bukan Deva,
juga bukan Brahma. Manusia hidup di bumi.

ENAM ALAM DEVA


Di atas manusia terdapat enam alam Deva. Yang pertama disebut Cātummahārājikā. Kata ini berasal
dari ‘Catu’ yang berarti empat dan ‘Mahārāja’ yang berarti raja besar. Empat raja besar adalah raja-
raja surgawi di empat arah.
Sekarang menurut Komentar, dunia ini terdiri dari pulau-pulau besar atau empat benua besar. Di
tengah-tengah empat benua besar ini terdapat apa yang disebut Gunung Meru. Empat raja besar ini
menjaga masing-masing arah. Di arah timur ada satu dari empat raja besar ini. Di arah selatan ada raja
lainnya, di arah barat ada raja lainnya lagi, di arah utara ada raja lainnya lagi. Di arah timur
penguasanya adalah Dhataraṭṭha. Virūḷhaka menguasai selatan. Raja surgawi barat adalah
Virūpakkha. Utara diperintah oleh Vessavaṇa. dikatakan bahwa mereka berturut-turut adalah raja
Gandhabba, Kumbhaṇḍa, Nāga dan Yakkha. Gandhabba dikatakan sebagai musisi surgawi atau
semacam itu. Kumbhaṇḍa adalah jenis makhluk halus lainnya. Nāga adalah ular atau naga. Yakkha
juga adalah siluman atau makhluk halus. Tempat di mana keempat raja besar dan para pengikutnya
ini disebut Cātummahārājikā. Mereka hidup di kaki Gunung Meru hingga pertengahan Gunung Meru.
Di atas mereka adalah Tāvatiṃsa. Anda sudah mengetahui Tāvatiṃsa karena ini adalah tempat di mana
Sang Buddha pergi dan membabarkan Abhidhamma kepada para Deva. Tāvatiṃsa dijelaskan berasal
dari kata ‘Ti-tiṃsa’. Ini berarti 33. 33 orang yang ketika mereka menjadi manusia melakukan
pelayanan kepada masyarakat. Mereka membangun atau memperbaiki jalan. Mereka membangun
rumah-rumah peristirahatan. Mereka membantu orang-orang. Sebagai akibatnya, mereka terlahir
kembali di alam surga. Tempat di mana mereka terlahir kembali disebut Tāvatiṃsa. Kata ‘Ti-tiṃsa’
berubah menjadi kata ‘Tāvatiṃsa’. Tetapi Komentar mengatakan bahwa ini hanyalah nama, karena
ada Tāvatiṃsa di semua siklus dunia bukan hanya siklus dunia yang ini. Tāvatiṃsa hanyalah nama
tempat itu. Tāvatiṃsa adalah tempat di mana Sakka, raja para dewa menetap. Tāvatiṃsa terletak di
puncak Gunung Meru. Jadi istana surgawi di Tāvatiṃsa berlokasi di atas gunung itu dan juga di
angkasa. Mereka dapat disebut sebagai terikat pada bumi dan juga terikat pada angkasa. Para dewa
Cātummahārajikā adalah terikat pada bumi. Manussa (manusia) juga terikat pada bumi.
Di atas Tāvatiṃsa terdapat Yāmā. Yāmā dikatakan berarti kebahagiaan besar. Raja dewa di sana
disebut Suyāma.
Di atas Yāmā adalah Tusitā. Tusitā juga telah anda ketahui. Ibu Sang Buddha ada di sana. Tujuh hari
setelah Sang Buddha lahir, sang ibu meninggal dunia. Ia terlahir kembali sebagai dewata laki-laki di
Tusitā. Tusitā dikatakan sbagai yang terbaik di antara enam alam surga karena para Bodhisatta selalu
terlahir kembali di alam surga Tusitā sebelum turun ke alam manusia. Surga Tusitā adalah bagaikan
kediaman Dhamma bagi para Deva. Banyak orang beraspirasi atau berkeinginan untuk terlahir
kembali di alam surga Tusitā, agar mereka dapat mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh para
Bodhisatta di sana. Apakah anda ingat kisah dari seorang laki-laki bernama Dhammika ketika ia
menjelang meninggal dunia? Para dewata mendatanginya dan memohon kepadanya agar pergi ke
alam mereka masing-masing. Kemudian ia bertanya yang manakah yang baik. Orang-orang yang
bersamanya berkata, “Tusitā adalah baik.” Maka ia berkata, “Semoga kalung bunga ini terikat pada
kereta dari surga Tusitā.” Dan demikianlah kalung bunga menggantung dari kereta dari surga Tusitā.
Tusitā adalah tempat tujuan yang baik.
Berikutnya adalah Nimmānaratī. ‘Nimmāna’ berarti penciptaan. ‘Rati’ berarti kesenangan. Jadi
Nimmānaratī berarti kesenangan dalam penciptaannya sendiri. Ini berarti makhluk-makhluk itu,
ketika mereka ingin menikmati, menciptakan kenikmatan untuk mereka sendiri. Mereka menikmati
ciptaan-ciptaan itu. Jika anda ingin menikmati sesuatu, anda tidak perlu mendatangi orang lain. Anda
cukup menciptakan kenikmatan itu. Makhluk-makhluk demikian disebut Nimmānarati. Mereka
memiliki kekuatan untuk menciptakan objek-objek kenikmatan indriawi hanya melalui pikiran.
Kemudian yang ke enam, yang tertinggi di antara alam-alam Deva, adalah Paranimmitavasavattī.
‘Para’ berarti yang lainnya. ‘Nimmita’ berarti diciptakan. ‘Para-nimmita’ berarti diciptakan makhkluk
lain. ‘Vasavattī’ berarti membuat orang lain mengikuti kehendaknya. Ini berarti mereka menguasai
apa yang diciptakan oleh orang lain.
Sekarang di sini dalam CMA, dikatakan:
“para dewa di alam Paranimmitavasavattī tidak menciptakan objek-objek oleh diri mereka sendiri, …”
(CMA, V, Tuntunan §5, p.191)
Sebenarnya ini berarti bahwa mereka sendiri tidak menciptakan hal-hal untuk dinikmati, mereka
menyuruh makhluk lain, pengikut mereka, atau bawahan mereka, untuk menciptakan benda-benda
itu untuk mereka. Saya rasa ini bukan berarti bahwa mereka tidak dapat menciptakannya sendiri
untuk mereka, melainkan mereka tidak ingin menyusahkan diri sendiri untuk menciptakan atau
mereka tidak berusaha untuk menciptakannya sendiri. Mereka menyuruh makhluk lain untuk
menciptakannya untuk mereka.
Para Deva di alam Deva ke lima dan ke enam adalah berbeda. Di alam Deva ke lima, para Deva
menciptakan benda-benda untuk diri mereka sendiri. Di alam Deva ke enam, para Deva lebih malas.
Mereka tidak menciptakan untuk diri mereka sendiri. Mereka menyuruh para Deva lainnya, para Deva
yang lebih rendah untuk menciptakan untuk mereka. Dikatakan bahwa para dewata yang lebih rendah
ini selalu mengetahui apa yang mereka pikiran, apa yang ada dalam pikiran para Deva itu, dan
menciptakan sesuai apa yang mereka ingin nikmati. Jika anda adalah seorang koki dan anda telah
melayani seseorang dalam waktu yang cukup lama, maka anda mengetahi bahwa orang ini menyukai
jenis makanan ini atau itu. Bahkan walaupun orang itu tidak mengatakannya, anda memasak makanan
yang disukai orang itu. Dengan cara yang sama, para Deva bawahan ini telah bersama para Deva
penguasa itu dalam waktu yang cukup lama, sehingga mereka mengetahui apa yang mereka sukai.
Mereka menciptakan benda-benda indriawi untuk para Deva yang lebih tinggi itu. Para Deva
Paranimmitavasavattī menikmati kenikmatan indriawi yang diciptakan oleh para Deva yang lebih
rendah itu. Enam alam surga ini disebut Deva Loka atau enam alam Deva.
Asura, Peta dan binatang hidup di bidang yang sama seperti manusia. Neraka Niraya dikatakan sebagai
di dalam bumi. Para Deva Cātummahārājika dan manusia adalah ‘terikat dengan bumi’ dalam makna
bahwa mereka terhubung dengan Gunung Meru, landasan materi dari semesta Buddhis. Para Deva
Tāvatiṃsa dikatakan hidup di puncak Gunung Meru. Maka mereka terikat pada bumi juga pada
angkasa. Makhluk surgawi yang lebih tinggi, dari alam Yāmā ke atas, hanya ada di angkasa.
Kāma-sugati dimulai dengan apakah? dimulai dengan Manussa, manusia. Manusia dan enam alam
Deva secara keseluruhan disebut Kāma-sugati; mereka disebut takdir yang bahagia. ‘Sugati’ berarti
takdir yang bahagia. ‘Gati’ berarti sesuatu untuk dikunjungi, suatu tempat atau alam untuk didatangi.
Itu disebut Gati. Terdapat tujuh alam Kāma-sugati. Manussa disebut Sugati, alam bahagia, karena
terdapat banyak kebahagiaan khususnya jika dibandingkan dengan empat Apāya. Manussa adalah jauh
lebih baik. Dan dibandingkan dengan Manussa, Cātummahārājikā adalah jauh lebih baik, dan
seterusnya.
Empat alam Apāya ditambah Kāma-sugati tujuh, seluruh sebelas ini disebut alam Kāmavacara. Di
antara sebelas alam Kāmāvacara ini empat adalah alam sengsara dan tujuh adalah alam bahagia, Kāma-
sugati.
Dimulai dari Yāmā, Tusitā, Nimmānaratī, Paranimmitavasavattī, alam-alam ini terletak di angkasa
atau di udara. Jadi istana-istana ini dapat mengapung di sana-sini.

ALAM BRAHMA

16 ALAM RŪPĀVACARA
Di atas lagi terdapat alam-alam Brahma. Yang pertama terdapat alam-alam Rūpāvacara Brahma. Alam-
alam Rūpāvacara dimulai dari nomor dua belas (Brahmapārisajja) hingga nomor dua puluh tujuh
(Akaniṭṭha). Tiga yang pertama adalah:
- Brahmapārisajja,
- Brahmapurohita, dan
- Mahābrahmā.
Ketiga alam ini semuanya terletak pada bidang yang sama. Brahmapārisajja – ‘Pārisajja’ berarti
pengikut, jadi ini berarti pengikut Brahma. Pārisajja berasal dari kata ‘Parisā’ yang berarti hadirin.
Brahmapurohita – ‘Purohita’ berarti menteri, jadi menteri Brahma. Dan ‘Mahābrahmā’ berarti Brahma
agung. Ketiga ini berlokasi di bidang yang sama. Mereka berada di angkasa.
Kemudian di atas mereka ada tiga lainnya:
- Parittābhā,
- Appamāṇābha, dan
- Ābhassara.
Parittābhā – ‘Abhā’ berarti sinar, berkilau; ‘Paritta’ berarti sedikit, jadi berkilau sedikit. ‘Appamāna’
berarti tanpa batas, tidak terukur, tak terbatas, jadi kemilau tanpa batas. ‘Ābhassara’ berarti bersinar,
jadi kilauan bersinar. Brahma-Brahma ini adalah selalu adalah makhluk yang selalu cemerlang. Ketiga
ini juga berada pada satu bidang.
Pada bidang berikutnya ada tiga alam:
- Parittasubha,
- Appamāṇasubbha, dan
- Subhakiṇha.
Parittasubha adalah aura kecil; di sini juga bersinar. Appamāṇasubha adalah aura tanpa batas.
Subhakiṇha adalah aura kokoh. ‘Subha’ berarti baik dan ‘Kiṇha’ berarti tidak diragukan. Jadi
Subhakiṇha diterjemahkan sebagai aura kokoh. Di sini juga terdapat tiga alam. Sekarang kita memiliki
sembilan alam Brahma.
Di atas lagi terdapat dua alam:
- Satu adalah Vehapphala, dan
- Yang lainnya adalah Asañña-satta.
Vehapphala diterjemahkan sebagai berbuah besar. ‘Veha’ berarti besar dan ‘Phala’ beerarti hasil atau
buah. Alam Brahma ke sebelas adalah Asañña-satta, alam makhluk tanpa batin. Di sini ‘Saññā’ berarti
batin, bukan hanya persepsi. Mereka yang tanpa batin disebut Asañña-satta. Alam mereka juga disebut
Asañña-satta.
Di atas mereka terdapat lima alam yang disebut Suddhāvāsa. ‘Suddha’ berarti murni. ‘Āvāsa’ berarti
rumah atau alam. ‘Suddhāvāsa’ berarti alam dari makhluk-makhluk murni. Ini adalah alam dari
makhluk-makhluk murni. Hanya Anāgāmī yang terlahir di kelima Alam Murni ini. Nama-namanya
adalah sebagai berikut:
- Yang pertama adalah Aviha – alam yang indah. ‘Vihā’ berarti meninggalkan, jadi Aviha berarti
tidak untuk ditinggalkan, begitu tahan lama.
- Yang ke dua adalah Atappā, tenang. ‘Atappā’ berarti tidak dapat terpuaskan.
- ‘Sudassā’ berarti penampilan indah.
- ‘Sudassī’ berarti pemandangan jernih.
- ‘Akaniṭṭha’ berarti alam murni yang tertinggi. ‘Akaniṭṭha’ berarti tidak muda, tidak sedikit.
Jadi ini berarti besar atau tertinggi,
Ini adalah lima alam di mana hanya para Anāgāmī yang terlahir kembali di sana.
Sekarang kita amemiliki 16 alam Rūpāvacara:
- Tiga pertama disebut alam Jhāna pertama
- Tiga ke dua disebut alam Jhāna ke dua
- Tiga ke tiga disebut alam Jhāna ke tiga
- Vehapphāla, Asaññā-satta dan lima Suddhāvāsa disebut alam Jhāna ke empat.
16 alam Rūpāvacara terbagi menjadi empat alam Jhāna. Di sini kita mengikuti metode empat, bukan
metode lima dalam menguraikan Jhāna-Jhāna.
Selanjutnya pada bagian berikutnya kita akan mempelajari siapa yang terlahir di alam-alam itu dan
dengan Paṭisandhi Citta apa.

4 ALAM ARŪPĀVACARA
Sekarang kita sampai pada empat terakhir yaitu alam Arūpāvacara – makhluk-makhluk tanpa materi,
makhluk-makhluk yang tersusun dari hanya batin:
- Yang pertama adalah alam Ākāsānañcāyatana.
- Yang ke dua adalah alam Viññāṇañcāyatana.
- Yang ke tiga adalah alam Ākiñcaññāyatana.
- Yang ke empat adalah alam Nevasaññānāsaññāyatana
Tidak ada materi, tidak ada tubuh fisik, hanya batin, hanya Citta dan Cetasika yang muncul dan lenyap
di dalam empat alam itu. Walaupun mereka hanya terdiri dari Citta dan Cetasika, namun mereka
memerlukan suatu jenis lokasi. Itulah sebabnya mengapa mereka berlokasi tinggi di atas alam
Suddhāvāsa.
Demikianlah kita memperoleh 31 Bhūmi atau 31 alam kehidupan.
Berapa banyakkah alam Apāya? Ada empat alam Apāya.
Berapa banyakkah Kāma-sugati? Tujuh alam terdapat dalam Kāma-sugati.
Āpaya empat dan Sugati tujuh, seluruhnya sebelas membentuk alam Kāmāvacara. Ketika kita
mengatakan alam Kāmāvacara, yang dimaksudkan adalah empat Apāya, satu alam manusia dan enam
alam Deva. Yang lainnya adalah alam-alam Brahma. Alam-alam Brahma terbagi menjadi dua, Rūpa
Brahma dan Arūpa Brahma. Rūpa Brahma terbagi lagi menjadi empat – alam Jhāna pertama, Jhāna ke
dua, Jhāna ke tiga dan Jhāna ke empat. Di dalam alam Jhāna ke empat terdapat Vehapphala, Asañña-
satta dan Suddhāvāsa. Vehapphala dan Asañña-satta berada pada bidang yang sama. Suddhāvāsa
berada di paling atas dan dimulai dari Aviha, tiap-tiap Alam Murni terletak satu di atas yang lainnya.
Setelah Suddhāvāsa kemudian empat Arūpāvacara. Sehingga seluruhnya kita memperoleh 31 alam
kehidupan.
Alam-alam ini selalu terhubung dengan suatu jenis Citta atau kesadaran. Kita telah mempelajari
berapa banyak Citta yang dapat muncul di alam-alam ini. Kita telah mempelajari individu-individu.
Ada dua belas individu.

INDIVIDU DAN ALAM


Sekarang kita akan mempelajari berapa banyak individu yang dapat terlahir kembali di alam-alam ini.
Telah menjadi kebiasaan di Burma untuk mengetahui berapa banyak individu yang dapat dilahirkan
dalam berapa banyak alam. Jika kita menambahkan seluruhnya maka kita memperoleh 214 individu.
Kita masih harus mencari 214 ini.
Dalam kosmologis Buddhis kita menemukan individu-individu berikut ini:
- Duggati Ahetuka,
- Sugati Ahetuka,
- Dvihetuka,
- Tihetuka Puthujjana,
- Sotāpatti-maggaṭṭha,
- Sotāpatti-phalaṭṭha,
- Sakadāgāmī-maggaṭṭha,
- Sakadāgāmī-phalaṭṭha,
- Anāgāmī-maggaṭṭha,
- Anāgāmī-phalaṭṭha,
- Arahatta-maggaṭṭha, dan
- Arahatta-phalaṭṭha.
Ada dua belas individu
Sekarang di manakah individu-individu ini dapat terlahir kembali? Di Niraya hanya satu jenis individu
yang dapat terlahir kembali di sana dan itu adalah Duggati Ahetuka. Pada bagian berikutnya kita akan
mempelajari dengan Citta apakah mereka mengambil Paṭisandhi di Niraya.
Kemudian yang berikutnya, dalam Tiracchāna-yoni hanya Duggati Ahetuka yang dapat muncul. dalam
Petti-visaya dan Asurakāya hanya Duggati Ahetuka yang dapat muncul. hanya satu individu yang
dapat muncul dalam tiap-tiap alam sengsara. Jadi di alam Apāya secara keseluruhan kita memperoleh
empat individu.
Kemudian alam manusia – di alam manusia berapa banyakkah individu yang dapat muncul di sana?
Sebelas individu dapat muncul di sana. Satu-satunya pengecualian adalah Duggati Ahetuka. Karena
mereka adalah Duggati, maka mereka tidak termasuk di alam manusia. Jadi di alam manusia terdapat
sebelas individu kecuali yang pertama, Duggati Ahetuka.
Di alam Cātummahārājika, alam Deva pertama, terdapat sebeleas individu yang dimulai dari Sugati
Ahetuka dan seterusnya.
Kemudian di alam Tāvatiṃsa terdapat sepuluh individu. Tidak mungkin ada Ahetuka di alam-alam
Deva yang lebih tinggi ini. Terdapat Dvihetuka, Tihetuka dan delapan individu Mulia.
Juga terdapat sepuluh individu di alam Yāma, Tusitā, Nimmānaratī dan Paranimmitavasavattī. Di lima
alam Deva yang lebih tinggi, dalam tiap-tiap alamnya hanya sepuluh individu yang mungkin ada di
sana. Tidak ada Duggati Ahetuka dan Sugati Ahetuka. Di alam Cātummahārājikā dan alam manusia
Sugati Ahetuka dapat dilahirkan. Kita akan mencarinya nanti di bagian ke dua.
Sekarang tiga Jhāna pertama – Brahmapārisajja, Brahmapurohita dan Mahābrahmā – di alam-alam ini
berapa banyakkah individu yang dapat muncul di sana? Tidak ada individu Dvihetuka dan Ahetuka.
Hanya individu Tihetuka yang lahir di sana. Jadi terdapat sembilan individu dan sembilan dikali tiga
menjadi 27.
Di dalam tiga Jhāna ke dua – terdapat sembilan individu. Di tiga alam Jhāna ke tiga – juga ada sembilan
individu. Kemudian di alam Vehapphala terdapat sembilan individu, yang sama. Alam Jhāna pertama,
ke dua, ke tiga dan Vehapphala memiliki jumlah individu yang sama.
Tetapi Asañña-satta memiliki hanya satu dan itu adalah Sugati Ahetuka. Kita sedang mencari individu
Ahetuka di antara para Brahma karena ini adalah hanya Rūpa. Tidak ada Hetu. Bukan hanya Hetu yang
tidak ada tetapi semua Citta dan Cetasika, maka mereka termasuk dalam Sugati Ahetuka karena
mereka adalah Sugati dan tidak ada Hetu. Oleh karena itu, mereka disebut Sugati Ahetuka. Satu jenis
Brahma disebut individu Ahetuka.
Kemudian Suddhāvāsa lima hanya tiga individu yang terdapat di sana. Yaitu Anāgāmī-phalaṭṭha,
Arahatta-maggaṭṭha, dan Arahatta-phalaṭṭha. Tidak ada Anāgāmī-maggaṭṭha karena seseorang
terlebih dulu harus menjadi seorang Anāgāmī untuk dapat terlahir kembali di sana. Maka seseorang
harus telah menjadi seorang Anāgāmī dan akan menjadi Arahant ketika ia terlahir di Suddhāvāsa. Kita
harus paham bahwa para Arahant tidak dapat terlahir kembali di sana. Walaupun kita mengatakan
ada tiga individu di Suddhāvāsa, yang dimaksudkan adalah bahwa mereka dapat berada di sana. Jadi
seorang Anāgāni yang meninggal dunia dari alam Kāmāvacara akan terlahir kembali di alam
Suddhāvāsa dan adalah seorang Anāgāmī-phalaṭṭha di sana. Kemudian setelah bermeditasi lebih lanjut
ia menjadi seorang Arahant. Pada momen Arahant Magga ia adalah seorang individu Arahatta-
maggaṭṭha. Dan dari momen pertama Arahatta Phala ia adalah seorang individu Arahatta-phalaṭṭha.
Ia adalah seorang Arahant. Jadi ketika kita mengatakan, ada tiga individu di Suddhāvāsa, kita tidak
bermaksud mengatakan bahwa mereka dapat terlahir kembali karena seorang Arahant tidak terlahir
kembali di manapun.
Ada empat alam Arūpāvacara. Tidak ada Duggati Ahetuka, tidak ada Sugati Ahetuka, tidak ada
Dvihetuka, hanya Tihetuka yang terlahir di sini. Tetapi ada satu yang tidak ada – Sotāpatti-magga.
Tidak akan ada individu Sotāpatti-maggaṭṭha di alam Arūpāvacara. Saya pikir anda ingat hal ini. Ia
tidak memiliki telinga. Ia harus mendengar suatu ajaran dari seorang Buddha atau dari seorang guru
sehingga ia dapat berlatih meditasi dan menjadi tercerahkan. Setelah menjadi seorang Sotāpanna ia
dapat terlahir di sana dan mencapai tingkat-tingkat pencerahan yang lebih tinggi. Tidak ada Sotāpatti-
magga; jadi ada tujuh Individu Mulia dan satu Tihetuka Puthujjana – seluruhnya terdapat delapan
individu. Delapan dikali empat menjadi 32. Jika anda menjumlahkan semua angka, maka anda
memperoleh 214 individu. Di Burma kami harus mampu menyebutkan 214 individu ini. Sebenarnya
anda mengalikan jumlah individu yang dapat berada di suatu alam dengan jumlah alamnya. Kemudian
anda menjumlahkan seluruhnya dan memperoleh 214 individu. Tidak seluruh dua belas individu ini
dapat berada di satu dari alam-alam ini. Yang paling banyak adalah sebelas di alam manusia dan alam
Cātummahārājikā. Di alam-alam itu dapat muncul sebelas individu tetapi di alam lainnya ada sepuluh,
atau sembilan, atau satu, beberapa ada tiga, beberapa delapan.

UMUR KEHIDUPAN
Sekarang kita membahas umur kehidupan. Nanti kita akan kembali pada Citta penghubungan-
kelahiran-kembali. Kita akan mempelajari umur kehidupan dari tiap-tiap alam. Di Niraya tidak ada
batasan umur, tidak ada umur kehidupan yang pasti. Jika seseorang terlahir kembali di Niraya, ia akan
menderita sesuai dengan Kammanya. Jika Kammanya buruk, maka ia akan menderita di sana untuk
waktu yang sangat lama. Jika tidak terlalu buruk, maka ia akan menderita di sana tidak terlalu lama.
Tidak ada umur kehidupan pasti bagi Niraya dan juga untuk alam binatang, untuk Peta, untuk Asura
dan juga untuk manusia.
Dikatakan bahwa manusia dapat hidup ribuan tahun atau mereka dapat hidup selama hanya sepuluh
tahun. Umur kehidupan terendah manusia adalah sepuluh tahun dan tertinggi adalah tak terhingga.
Ini berarti bahwa manusia dapat hidup selama ribuan tahun. Umur kehidupan manusia sekarang
diyakini sebagai lebih kurang seratus tahun. Untuk empat alam sengsara dan manusia tidak ada
batasan tahun. Anda tidak dapat mengatakan umur kehidupan manusia adalah selama ini atau itu
umur kehidupan manusia adalah bervariasi menurut waktu.
Tetapi dari Cātummahārājikā ke atas ada umur kehidupan yang pasti. Dikatakan bahwa umur
kehidupan para Deva Cātummahārājikā adalah berapa tahun? Sembilan juta tahun. Ini berarti
sembilan juga tahun manusia. Umur kehidupan ini juga dapat dihitung dalam tahun surgawi. Pertama-
tama lihat pada tahun-tahun manusia. Untuk Cātummahārājikā terdapat sembilan juta tahun manusia,
jadi di sana umur kehidupannya adalah sembilan juta tahun. Untuk Tāvatiṃsa anda mengalikan
dengan empat, maka anda memperoleh 36 juta tahun manusia. Untuk Yāmā ada 144 juta tahun
manusia. Untuk Tusitā ada 576 tahun. Untuk para dewa Nimmānaratī ada 2 milyar 304 juta tahun
manusia. Dan untuk Paranimmitavasavattī ada sembilan milyar 216 juta tahun. Ini adalah dalam
tahun-tahun manusia.
Bagaimana dengan tahun-tahun surgawi? Anda dapat melihat angka-angka itu pada CMA halaman 197
(baca Tabel 5.2). untuk Cātummahārājikā 500 tahun surgawi, untuk Tāvatiṃsa seribu tahun surgawi,
untuk Yāmā dua ribu tahun surgawi, untuk Tusitā empat ribu tahun surgawi, untuk Nimmānaratī
delapan ribu tahun surgawi dan untuk Paranimmitavasavattī enam belas ribu tahun surgawi. Jadi
terdapat perbedaan. Sehubungan dengan tahun manusia, Cātummahārājikā hidup selama sembilan
juta tahun. Walaupun menurut perhitungan manusia itu adalah sembilan juta tahun, namun menurut
perhitungan mereka itu hanya 500 tahun. Untuk Tāvatiṃsa adalah 36 juta tahun menurut perhitungan
manusia tetapi menurut perhitungan makhluk-makhluk itu hanya seribu tahun.
Jadi sekarang anda melihat tahun-tahun manusia semuanya dikali dengan empat dan tahun-tahun
surgawi dikali dengan dua. Mengapakah? Ini agak sedikit rumit. Umur kehidupan para Deva
Cātummahārājikā adalah lima ratus tahun. Umur kehidupan Tāvatiṃsa adalah seribu tahun. Seribu
tahun adalah menurut perhitungan Tāvatiṃsa, bukan menurut perhitungan Cātummahārājikā.
Menurut Cātummahārājikā ini mungkin dua ribu tahun. Dua ribu tahun Cātummahārājikā setara
degan seribu tahun Tāvatiṃsa. Itulah sebabnya mengapa angka-angka tahun itu dikali dua dan bukan
dikali empat.
Durasi satu hari atau satu tahun juga berbeda. Dikatakan bahwa satu hari di Cātummahārājikā adalah
lima puluh tahun manusia. Dianggap bahwa ada 30 hari dalam sebulan dan 360 hari dalam setahun.
Jika anda mengalikan angka-angka itu maka anda akan mendapatkan sembilan juta tahun.
Jika kita mengalikan untuk alam-alam Deva yang lebih tinggi, jika kita menggunakan perhitungan
tahun manusia, maka kita mengalikan dengan empat. Jika kita menggunakan perhitungan tahun
surgawi, maka kita mengalikan dengan dua. Ini berarti satu hari si alam surga Tāvatiṃsa adalah dua
kali lebih lama daripada satu hari di alam Cātummahārājikā dan seterusnya. Jadi tiga puluh hari di
Cātummahārājikā adalah 1500 tahun. 360 hari atau satu tahun Cātummahārājikā adalah delapan belas
ribu tahun manusia. Dan lima ratus tahun Cātummahārājikā adalah sembilan juta tahun manusia. Ini
adalah ukuran waktu di enam alam surga.
Kemudian umur kehidupan Brahmapārisajja adalah 1/3 Kappa. Kappa adalah kata Pāḷi yang berarti
dunia. ‘Dunia’ bermakna durasi. Yaitu 1/3 Kappa atau 1/3 siklus dunia. Umur kehidupan
Brahmapurohita adalah 1/2 Kappa. Untuk Mahābrahmā adalah satu kappa, satu siklus dunia.
Kemudian untuk Paritābbhā adalah dua Kappa, untuk Appamāṇābhā adalah empat Kappa, dan untuk
Ābhassara adalah delapan Kappa. Jadi alam yang lebih tinggi adalah dua kali lebih lama daripada alam
yang lebih rendah.
Untuk Parittasubha adalah enam belas Kappa, untuk Appamāṇasubha adalah 32 Kappa dan untuk
Subhakiṇha adalah 64 Kappa. Tetapi untuk Vehapphala dan juga untuk Asañña-satta adalah 500 Kappa.
Kemudian untuk Aviha, alam Suddhāvāsa pertama adalah seribu Kappa, Atappā – 2000 Kappa, Sudassa
– 4000 Kappa, Sudassī – 8000 Kappa, Akaniṭṭha – 16.000 Kappa, 16.000 siklus dunia.
Dan untuk Ākāsānañcāyatana adalah 20.000 Kappa, untuk Viññāṇañcāyatana adalah 40.000 Kappa,
untuk Ākiñcaññāyatana adalah 60.000 Kappa dan untuk Nevasaññānāsaññāyatana adalah 84.000
Kappa. Begitu anda terlahir kembali di sana, anda tidak akan keluar dari Saṃsāra untuk waktu yang
sangat lama. Tulah sebabnya mengapa saya katakan bahwa jika anda menjadi seorang Sakadāgāmī dan
anda terlahir kembali sebagai Deva, maka anda akan kembali sebagai manusia dan anda keluar dari
Saṃsāra. Jika anda terlahir kembali di alam surga Suddhāvāsa, anda akan berada di sana selama seribu
siklus dunia. Dan jika anda tidak menjadi Arahant di sana, anda akan naik ke alam Atappā, Sudassā,
sudassī dan Akaniṭṭha, jadi anda akan berada di dalam Saṃsāra ini untuk waktu yang jauh lebih lama
daripada seorang Sakadāgāmī.
Walaupun kata ‘Kappa’ digunakan sehubungan dengan periode waktu, ini tidak selalu bermakna
jumlah waktu yang sama. Sebenarnya ada tiga jenis Kappa – Mahā Kappa, Asaṅkhyeyya Kappa dan
Antara Kappa. Untuk memahami ini kita harus memahami bagaimana dunia ini hancur bagaimana
dunia mengalami kehancuran. Sekarang dunia mengalami kehancuran melalui tiga penyebab:
- Api,
- Air, dan
- Angin.
Ketika dunia dihancurkan oleh api, api menghancurkan segalanya hingga dan termasuk tiga alam
pertama dari Jhāna pertama.
Ketika dunia dihancurkan oleh air, tiga alam tambahan dihancurkan.
Ketika dunia dihancurkan oleh angin, tiga alam lainnya lagi dihancurkan.
Kapankan dunia ini mengalami kehancuran? Ada empat periode dalam kelangsungan hidup satu
dunia:
1. Periode kehancuran,
2. Periode musnah,
3. Periode perkembangan, dan
4. Periode statis.
Terdapat empat periode dalam satu siklus dunia. Katakanlah, dunia sampai pada kehancuran. Untuk
waktu yang lama dunia ini mengalami kehancuran. Dunia tidak hancur dalam hanya satu hari atau
satu bulan. Kemudian setelah itu dunia berada dalam kondisi hancur selama periode berikutnya.
Kemudian setelah itu sebuah dunia baru mulai terbentuk. Periode pembentukan itu juga satu periode
yang berlangsung banyak tahun. Periode terakhir adalah di mana makhluk-makhluk muncul. jadi ada
empat periode ini dalam satu siklus dunia.
Dikatakan bahwa ketika dunia dihancurkan oleh api alam Brahma juga hancur hingga tiga alam
Brahma pertama. Ini berarti tiga alam Brahma pertama ini tidak bertahan selama satu Kappa penuh.
Ada empat segmen dalam satu Kappa penuh. Setelah akhir dari satu segmen dunia ini hancur. Jadi tiga
alam Brahma pertama tidak bertahan selama satu Kappa penuh, selama semua segmen. Kappa untuk
Bahmapārisajja dan seterusnya tidak sama seperti Mahā Kappa. Kappa-Kappa itu lebih pendek atau
lebih singkat. Kappa pendek itu disebut Asaṅkhyeyya Kappa, Kappa yang tak terhitung, siklus dunia
yang tak terhitung.
Dimulai dari Parittābhā kita menghitung umur kehidupan makhluk-makhluk itu menurut Mahā
Kappa. Kita harus memahami bahwa sebenarnya ada tiga jenis Kappa. Sekarang anda mengetahui dua
– Mahā Kappa dan Asaṅkhyeyya Kappa. Ada sejenis Kappa lainnya yang harus anda pahami yaitu
Antara Kappa. ‘Antara Kappa’ berarti Kappa sela. Kappa sela berarti – katakanlah, manusia hidup
selama sepuluh tahun. Dari sepuluh tahun umur kehidupan akan meningkat hingga mencapai
Asaṅkhyeyya – tahun yang tak terhitung. Kemudian dari sana kembali lagi ke sepuluh tahun. Periode
dari sepuuh tahun menjadi jumlah tahun yang tak terhingga dan kemudian mundur kembali ke umur
kehidupan sepuluh tahun, ini disebut Antara Kappa. Ini adalah waktu yang sangat lama. Manusia
sekarang hidup selama kurang lebih seratus tahun. Mereka dapat hidup selama delapan puluh tahun.
Lima puluh tahun, atau sepuluh tahun. Kemudian umur kehidupan akan meningkat. Satu periode
meningkat dan menurun disebut Antara Kappa. 64 Antara Kappa ini menjadikan satu Asaṅkhyeyya
Kappa, satu Kappa yang tak terhitung. Dan empat Kappa yang tak terhitung ini menjadi satu Mahā
Kappa. Ada tiga jenis Kappa – Antara Kappa, Asaṅkhyeyya Kappa dan Mahā Kappa.
Saya mengikuti pendapat umum para guru. Ada beberapa guru yang mengatakan satu Asaṅkhyeyya
Kappa terdiri dari dua puluh Antara Kappa, bukan 64. Saya pikir 64 adalah pendapat umum para guru.
64 Antara Kappa menjadi satu Asaṅkhyeyya Kappa. Empat Asaṅkhyeyya Kappa menjadi satu Mahā
Kappa.
Sekarang dunia hancur dan terbentuk kembali selama periode satu Asaṅkhyeyya Kappa. Jadi tiga alam
Brahma pertama tidak bertahan, tidak bertahan selama Mahā Kappa penuh. Itulah sebabnya maka
Kappa untuk tiga alam pertama tidak dapat disebut Mahā Kappa. Ini dianggap sebagai bermakna
Asaṅkhyeyya Kappa. Umur kehidupan Brahmapārisajja adalah 1/3 Asaṅkhyeyya Kappa, 1/3 Kappa
yang tak terhitung. Umur kehidupan Brahmapurohita adalah 1/2 Kappa yang tak terhitung. Parittābhā
dapat bertahan selama satu Mahā Kappa penuh. Mulai dari alam Brahma ke empat dan seterusnya,
umur kehidupan makhluk-makhluk dihitung dalam Mahā Kappa. Ini adalah interpretasi yang
diberikan dalam Sub-komentar. Bahkan Komentar tidak menjelaskan hal ini. Umur kehidupan di alam-
alam ini juga dapat ditemukan dalam Vibhaṅga, buku ke dua Abhidhamma, bab terakhir dari buku ke
dua Abhidhamma. Hanya ada 1/3 Kappa, 1/2 Kappa, satu Kappa, dua Kappa, dan seterusnya. Tetapi
karena kita memahami bahwa ketika dunia ini hancur oleh api, ini termasuk tiga alam Brahma ini, kita
tahu bahwa mereka tidak dapat bertahan selama satu Mahā Kappa penuh. Jadi para guru berkompromi
untuk hal ini atau semacam itu. Untuk tiga alam Brahma pertama ‘Kappa’ bermakna Asaṅkhyeyya
Kappa. Untuk alam Parittābhā Brahma hingga Nevasaññānāsaññāyatana, ‘Kappa’ berarti Mahā Kappa.
Ketika dunia hancur, kehancurannya dapat terjadi karena tiga penyebab – api, air dan udara. Terdapat
urutan hancurnya dunia melalui tiga penyebab ini:
- Dihancurkan oleh api sebanyak tujuh kali
- Ke delapan dihancurkan oleh air.
- Kemudian dihancurkan tujuh kali lagi oleh api.
- Kemudian yang ke enam belas dunia ini dihancurkan oleh air.
- Tujuh kali lagi dihancurkan oleh api.
- Kemudian yang ke-24 dihancurkan oleh air.
- Kemudian dunia ini tujuh kali lagi dihancurkan oleh api.
- Kemudian yang ke-32 dunia ini hancur oleh air.
- Kemudian tujuh kali lagi dihancurkan oleh api, dan
- Ke-40 hancur oleh air.
- Tujuh kali lagi hancur oleh api, dan
- Ke-48 dunia ini hancur oleh air.
- Tujuh kali lagi hancur oleh api, dan
- Ke-56 oleh air –
- Tujuh kali lagi oleh api, dan
- Sampai pada ke-64 dihancurkan oleh udara atau angin.
jadi terdapat 64 Kappa. Dihancurkan Tujuh kali oleh api dan setiap ke delapan oleh air hingga ke-64
kali. Kemudian dunia ini hancur oleh udara atau angin. Ini adalah bagaimana dunia ini dihancurkan.
Ada banyak hal lainnya yang harus diketahui.
YOJANA
Ada jarak-jarak. Walaupun tidak disebutkan atau dijelaskan dalam Teks atau bahkan beberapa
Komentar, Sub-komentar dan beberapa lainya menyebutkan jarak antar alam. Ini sekedar informasi
untuk anda. Anda boleh menerima atau menolaknya. Jarak ini dihitung dalam Yojana. Kita selalu
memiliki ketidakpastian sehubungan dengan Yojana. Berapa jauhkah satu Yojana? Menurut satu buku,
satu Yojana adalah sekitar dua belas atau tiga belas mil. Sekarang orang-orang menganggap satu
Yohana adalah delapan mil. Ada kota-kota di India. Ada sebuah kota bernama Rājagaha. Dalam
Komentar dikatakan Rājagaha dan Nalanda berjarak satu Yojana jauhnya. Sekarang mereka
mengatakan jaraknya sekitar delapan mil; satu Yojana dianggap sebagai sekitar delapan mil.
Jarak ini dalam satuan Yojana. Seperti yang saya katakan sebelumnya, bumi ini terdiri dari dua lapisan,
‘tanah Paṭhavī’ (Paṭhavī berarti tanah) dan ‘besi Paṭhavī’. Bagian bawah adalah besi Paṭhavī dan bagian
atas adalah tanah Paṭhavī. Pada besi Paṭhavī terletak delapan neraka besar. Bukan satu neraka,
melainkan delapan neraka besar. Ada banyak neraka lainnya yang lebih kecil di sekelilingnya. Anda
dapat menemukan bahwa ada 168 neraka atau bahkan lebih. Neraka-neraka ini disebut Sañjīva,
Kāḷasutta, Sanghāta, Roruva, Mahā Roruva, Tāpana, Mahā Tāpana dan Avīci. Anda sudah mengenal
Avīci. Jika kita ingin mengatakan sesuatu yang sangat buruk tentang seseorang, kita mengatakan
bahwa ia akan pergi ke Avīci. Dan demikianlah neraka-neraka itu terpisah 15.000 Yojana jauhnya. Kita
mulai dari Avīci dan naik ke atas.
Kemudian ada alam manusia. Jarak antara alam manusia dan Cātumahārājikā adalah 42.000 Yojana.
Kemudian dari alam manusia ke Tāvatiṃsa adalah 84.000, ke Yāmā adalah 126.000 dan seterusnya.
Tidak ada cara untuk membuktikan atau membantah jarak-jarak ini. Semua ini disebutkan khususnya
di dalam buku-buku Burma. Ini berdasarkan atas Komentar dan juga beberapa karya kecil dalam Pāḷi.
Saya ingin memberikan satu persoalan kepada anda. Kita telah mempelajari bahwa makhluk-makhuk
Cātumahārājikā memiliki umur kehidupan lima ratus tahun surgawi. Untuk Tāvatiṃsa umur
kehidupannya adalah seribu tahun surgawi. Seribu tahun surgawi adalah menurut perhitungan
Tāvatiṃsa. Berapakah itu menurut perhitungan Cātummahārājikā? Saya ingin kalian mencarinya.
Anda tahu apa yang harus dilakukan. Lima ratus tahun surgawi adalah untuk Cātummahārājikā dan
seribu tahun surgawi adalah untuk Tāvatiṃsa. Jika kita menghitung seribu tahun surgawi untuk
Tāvatiṃsa menurut umur kehidupan Cātumahārājikā, berapa tahun Cātummahārājikā akan setara
dengan seribu tahun Tāvatiṃsa? Seribu tahun surgawi untuk Tāvatiṃsa berarti dua ribu tahun
surgawi untuk Cātummahārājikā. Dua ribu tahun surgawi untuk Yāmā adalah empat ribu tahun untuk
Tāvatiṃsa dan delapan ribu tahun untuk Cātummahārājikā dan seterusnya. Ini belum pernah
dilakukan sebelumnya. Saya baru memperoleh gagasan ini hari ini. Saya ingin mengujinya dengan
anda juga. Harap siapkan tabel dan kita akan menguji tabel anda dengan tabel saya karena matematika
bukanlah bidang saya. Anda tahu apa yang harus dilakukan. Umur kehidupan Cātummahārājikā adalah
sembilan juta tahun menurut perhitungan manusia. Saya ingin mengetahui umur kehidupan
Tāvatiṃsa menurut perhitungan Cātummahārājikā, perhitungan Yāmā, perhitungan Tusitā,
perhitungan Nimmānaratī dan perhitungan Paranimmitavasavattī.

EMPAT JENIS PAṬISANDHI


Minggu lalu kita mempelajari 31 alam kehidupan dan juga umur kehidupan dalam masing-masing
alam ini. Sekarang umur kehidupan pada alam-alam ini dijelaskan pada bagian yang kita pelajari hari
ini, tetapi dalam tabel (baca CMA, V, Tabel 5.2, p.197), tahun-tahun diberikan seperti yang saya ajarkan
tentang umur kehidupan minggu lalu.
Hari ini kita sampai pada bagian ke dua dari bab lima, yaitu, “Empat jenis Paṭisandhi”. Sekarang anda
semua tahu bahwa Paṭisandhi berarti kelahiran kembali atau penghubungan-kembali. Paṭisandhi
sebenarnya adalah momen pertama kehidupan kita. Sebelum kita mempelajari jenis-jenis Paṭisandhi
yang berbeda, kita harus menyegarkan kembali ingatan kita atas 19 Citta yang berfungsi sebagai
Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Ingatkah anda pada 19 Citta? Ada:
- Dua dari Ahetuka Upekkhā Santīraṇa – satu dari hasil Akusala dan satu dari hasil Kusala – dan
- Kemudian delapan Kāmāvacara Sahetuka Vipāka,
- Lima Rūpāvacara Vipāka, dan
- Empat Arūpāvacara Vipāka.
19 Citta ini berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti.
Silakan buka CMA halaman 194. Penghubungan-kelahiran-kembali ada empat. Yang pertama adalah
kelahiran kembali di alam sengsara. Ini disebut Apāya Paṭisandhi, Paṭisandhi di alam Apāya. Yang ke
dua adalah kelahiran kembali di alam indriawi yang bahagia. Apakah alam indriawi yang bahagia? Ada
tujuh – manusia dan enam alam surgawi. Ini disebut alam indriawi yang bahagia, dalam Pāḷi adalah
Kāma-sugati. Ada sebelas alam Kāmāvacara; empat adalah Apāya atau alam sengsara dan tujuh adalah
alam bahagia. Yang ke tiga adalah kelahiran kembali di alam bermateri halus, yaitu, Rūpāvacara
Paṭisandhi. Kemudian ada kelahiran kembali di alam tanpa materi, Arūpāvacara Paṭisandhi.
Di alam sengsara, ketika satu makhluk terlahir di neraka, atau sebagai binatang, atau sebagai Peta,
atau sebagai Asura, atau ketika seseorang terlahir di salah satu alam sengsara ini, Paṭisandhi-nya
adalah Akusala-Vipāka Upekkhā-sahagata Santīraṇa. ini berarti kesadaran Santīraṇa, kesadaran
penyelidikan disertai dengan Upekkhā, perasaan netral dan itu termasuk Akusala-vipāka. Dengan Citta
itu orang itu mengambil Paṭisandhi di empat alam sengsara. Paṭisandhi Citta yang sama itu berfungsi
sebagai Bhavaṅga seumur hidupnya. Ini berarti Citta ini muncul berulang-ulang, jutaan kali seumur
hidupnya. Di akhir kehidupannya Citta ini berfungsi sebagai kesadaran-kematian. Pada akhir kelas ini
kita akan mengetahui Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti itu dalam satu kehidupan adalah satu jenis
kesadaran yang sama. Citta-Citta ini juga memiliki objek yang sama. Satu Paṭisandhi yang muncul di
alam sengsara.
Kemudian ada Paṭisandhi di Kāma-sugati. Dalam Kāma-sugati ketika seseorang terlahir sebagai
manusia atau sebagai Deva rendah, maka Paṭisandhi Citta-nya adalah Santīraṇa yang disertai dengan
Upekkhā, dan ini adalah hasil dari Kusala. Upekkhā Santīraṇa Citta ini tidak untuk semua manusia. Ini
adalah untuk mereka yang terlahir buta, atau terlahir tuli, dan sebagainya. Makhluk-makhluk ini
adalah para manusia cacat dan beberapa jenis Deva lain.
Sekarang pada CMA halaman 195 anda akan menemukan penjelasan,
“Seperti mereka yang buta, dan sebagainya: ‘dan sebagainya’ (ādi) dimaksudkan untuk mencakup
mereka yang terlahir tuli, bisu, keterbelakangan mental, gila, dan juga mereka yang terlahir sebagai
kasim, hermafrodit, dan yang tidak dapat dipastikan jenis kelaminnya.” (CMA, V, Tuntunan §§10-11,
p.195)
Dikatakan bahwa makhluk-makhluk ini, manusia-manusia ini, terlahir denagn Upekkhā Santīraṇa
sebagai Paṭisandhi yang merupakan hasil dari Kusala. Ketika kita mengatakan, terlahir buta, kita harus
memahami bahwa seseorang yang terlahir buta adalah seorang yang terlahir dengan Paṭisandhi Citta
yang tidak dapat membantu munculnya sensitivitas-mata ketika tiba waktunya untuk muncul. pada
manusia sensitivitas-mata tidak muncul hingga sekitar sebelas minggu. Jika Paṭisandhi Citta tidak
memiliki kekuatan untuk memunculkan sensitivitas-mata ketika waktunya tiba, maka ia disebut
seorang yang terlahir buta. Jadi seorang yang terlahir buta bukan berarti ketika ia keluar dari rahim
ibunya, tetapi pada saat masih menjadi janin ketika sensitivitas-mata tidak muncul. Orang-orang ini
terlahir sebagai akibat dari Kusala Kamma, tetapi Kusala Kamma mereka begitu lemah, begitu kurang
sehingga tidak mampu membentuk sensitivitas-mata. Jadi kadang-kadang seseorang mengambil
Paṭisandhi dengan jenis kesadaran lainnya, tetapi karena suatu kecelakaan atau penyakit ia mungkin
menjadi buta dalam rahim ibunya dan mungkin terlahir buta. Orang-orang demikian tidak termasuk
di sini. Orang-orang yang termasuk di sini adalah mereka, yang Kamma-nya begitu lemah sehingga
tidak mampu menghasilkan sensitivitas-mata ketika waktunya tiba.
Tetapi bagi mereka yang terlahir spontan mungkin berbeda. Ketika satu makhluk terlahir spontan, ia
mungkin tidak memiliki sensitivitas-mata, atau sensitivitas-telinga, dan sebagainya, pada momen
Paṭisandhi. Tetapi pada umumnya manusia tidaklah terlahir spontan kecuali pada awal satu siklus
dunia. Jadi mereka memiliki jasa yang begitu lemah sehingga tidak mampu menghasilkan mata ketika
waktunya tiba, telinga ketika waktunya tiba. Mereka disebut terlahir buta, terlahir tuli dan sebagainya.
Ada mereka yang terlahir dengan pikiran begitu bodoh sehingga mereka tidak mampu membedakan
timur dan barat dan tidak mampu membedakan pagi dan sore. Mereka juga dikatakan termasuk dalam
pernyataan ini.
Kemudian beberapa dewata yang terlahir di bumi – di sini terdapat persoalan tekstual. Dalam
Abhidhammatthasangaha edisi Burma dan juga edisi P.T.S, ini berbeda. Saya pikir CMA ini mengikuti
edisi Sinhala. Menurut edisi Sinhala, menurut Teks yang terdapat pada buku Yang Mulia Nārada, kita
memiliki satu makna. Menurut edisi Burma dan edisi P.T.S., kita memiliki makna lainnya. Menurut
edisi ini (CMA), menurut penjelasan ini, ada dua jenis makhluk, dua jenis makhluk surgawi yang lebih
rendah; satu adalah para dewata bumi dan yang lainnya adalah para Asura yang jatuh. Mereka
dikatakan sebagai jenis makhluk berbeda. Kita akan mengikuti yang pertama. Jadi para dewata bumi
adalah mereka yang tidak berdiam di alam-alam surga yang lebih tinggi, melainkan yang berdiam di
dekat manusia di pepohonan, di gunung-gunung, di sungai-sungai. Mereka disebut Bhummadeva. Kata
‘Bhumma’ berasal dari kata ‘Bhūmi’ yang berati bumi. Mereka disebut Bhummadeva karena mereka
hidup di dekat manusia.
“Sedangkan para dewata yang lebih berkuasa dalam kelompok ini mungkin memiliki jenis kesadaran
kelahiran-kembali berakar-dua atau berakar-tiga, mereka sering disertai dengan pengikut-pengikut
yang termasuk para dewata dengan jasa yang cacat yang memelihara hidup mereka dengan susah-
payah.” (CMA, V, Tuntunan §§10-11, p.195)
Jadi para dewata bumi ini dapat memiliki para dewata rendah sebagai pelayan mereka, sebagai
pengikut mereka. Mereka yang memiliki jasa yang cacat dalam kehidupan lampau mereka. Jadi
walaupun mereka terlahir sebagai makhluk surgawi, namun mereka tidak begitu bahagia atau tidak
begitu baik seperti mereka yang terlahir di alam surga yang lebih tinggi. Mereka yang memiliki jasa
yang cacat dan yang memelihara kehidupan mereka dengan susah-payah di sini disebut para dewata
bumi. Para dewata itu terlahir kembali dengan Kusala-vipāka Upekkhā-sahagata Santīraṇa sebagai
kesadaran penghubungan-kembali.
Kemudian ada beberapa Asura yang disebut Asura yang jatuh, jatuh dari kebahagiaan, jatuh dari
kenyamanan. Makhluk-makhluk ini dikatakan berdiam di desa-desa atau di dekat pedesaan yang
hidup dari sisa-sisa makanan yang dibuang oleh para penduduk. Mereka seperti hantu, tetapi tidak
termasuk Apāya. Sebenarnya mereka termasuk Cātummahārājikā, alam surga terendah. Mereka juga
menakuti atau menindas manusia jika mereka tidak memperoleh makanan. Ketika mereka tidak
memperoleh makanan, maka mereka akan menakuti anda atau merasuki anda dan meminta makanan.
Mereka disebut Asura yang jatuh. Menurut bacaan ini, para dewata bumi dan Asura yang jatuh adalah
jenis makhluk yang berbeda.
Teks dalam edisi Burma dan edisi P.T.S. agak berbeda. Menurut edisi-edisi itu, para dewata bumi dan
Asura yang jatuh adalah jenis dewata yang sama. ‘Dewata bumi’ sebenarnya bermakna Bhummassita
dalam Pāḷi (anda lihat kata Pāḷi di buku). ‘Bhumma’ berarti bumi dan ‘Sita’ berarti bergantung pada.
Di sini ‘Bhummassita’ bermakna para dewata itu yang terlahir kembali di sekitar bumi – dewata pohon,
dewata sungai, dewata gunung dan sebagainya. Mereka yang hidup dengan bergantung pada para
dewata bumi itu disebut Bhummassita. Jadi di sini Bhummassita bermakna mereka yang hidup dengan
bergantung pada para dewa yang menetap di sekitar bumi. Ini berarti para dewata yang lebih rendah
itu yang menetap dengan bergantung pada para dewata pohon dan sebagainya. Mereka sebenarnya
adalah para Asura yang jatuh karena terjatuh dari kebahagiaan. Dalam bacaan ini Bhummassita dan
Vinipātikāsura hanyalah sejenis makhluk surgawi. Walaupun mereka adalah makhluk surgawi, namun
mereka tidak sebahagia atau senyaman beberapa manusia. Para dewata ini terlahir dengan Kusala-
vipāka Upekkhā-sahagata Santīraṇa sebagai Citta penghubungan-kembali.
Sekarang kita sampai pada Mahāvipāka, delapan Kāmāvacara Vipāka. Citta-Citta ini berfungsi sebagai
Paṭisandhi Citta bagi mereka yang terlahir di Kāma-sugati, yang terlahir sebagai manusia tanpa cacat
dan yang terlahir sebagai para dewata di Cātummahārājikā dan sebagainya. Bagi mereka Paṭisandhi
Citta adalah salah satu dari delapan Kāmāvacara Māhāvipāka. Seorang manusia tanpa cacat dapat
terlahir dengan Kāmāvacara Mahāvipāka Citta pertama sebagai kesadaran penghubungan-kembali
atau ke dua atau ke tiga atau ke empat dan seterusnya tergantung pada jenis Kamma apa yang
memberikan hasil. Jadi manusia terlahir dengan salah satu dari Kāmāvacara Mahāvipāka Citta ini. Juga
makhluk-makhluk di enam alam surga yang dimulai dari Cātummahārājika dan seterusnya, mereka
terlahir dengan salah satu dari delapan jenis kesadaran Kāmāvacara Mahāvipaka. Jenis-jenis
kesadaran Vipāka ini juga berfungsi sebagai Bhavaṅga dan Cuti bagi makhluk-makhluk itu. Ketika Citta
berfungsi sebagai Paṭisandhi, Citta itu juga berfungsi sebagai Bhavaṅga dan Cuti. Seluruhnya ada
sembilan Kāma-sugati Paṭisandhi, satu untuk mereka yang terlahir dengan cacat dan untuk beberapa
makhluk surgawi yang lebih rendah, dan delapan untuk manusia dan para Deva yang lengkap. Jadi ada
sembilan Kāma-sugati Paṭisandhi. Sembilan ditambah satu, Apāya Paṭisandhi, seluruhnya kita
memperoleh sepuluh Kāmāvacara Paṭisandhi karena kita mengambil delapan individu Kāmāvacara
Mahāvipāka. Sebenarnya ada sepuluh jenis kesadaran yang berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga
dan Cuti di alam Kāmāvacara, empat alam Apāya dan tujuh alam Kāmā-sugati.
Kemudian dalam CMA umur kehidupan makhluk-makhluk ini disebutkan (baca CMA, V, Tabel 5.2,
p.197). Kita telah mempelajari umur kehidupan. Umur kehidupan para Deva sebenarnya diambil dari
buku ke dua Abhidhamma, Vibhaṅga. Dalam Vibhaṅga disebutkan bahwa satu hari di
Cātummahārājikā setara dengan lima puluh tahun manusia. Kemudian tiga puluh hari
Cātummahārājikā setara dengan 1500 tahun manusia. 360 hari Cātummahārājikā setara dengan 18.000
tahun manusia. Lima ratus tahun Cātummahārājika setara dengan sembilan juta tahun manusia.
Minggu lalu kita menghitung umur kehidupan para Deva menurut tahun manusia dan tahun surgawi.
Baru-baru ini saya berpikir adalah baik untuk menghitung umur di alam Cātummahārājikā
menggunakan ukuran waktu alam lain. Angka-angka ini tidak diberikan dalam buku manapun umur
kehidupan Cātummahārājikā menurut perhitungan Cātummahārājikā adalah lima ratus tahun. Tetapi
menurut perhitungan Tāvatiṃsa adalah 250 tahun. Menurut standar Yāmā adalah 125 tahun. Menurut
standar Tusitā adalah 62,5 tahun. Menurut standar Nimmānaratī adalah 31,25 tahun dan menurut
Paranimmitavasavattī hanya 15,625 tahun. Saya ingin anda memeriksanya, apakah benar atau tidak.
Jika terlalu sulit, anda boleh mengabaikannya.
Sekarang kita sampai pada “Penghubungan-kelahiran-kembali di Alam Bermateri Halus” (baca CMA,
V, §13, p.197). Penghubungan-kelahiran-kembali di alam bermateri halus adalah mudah. Untuk alam
bermateri-halus kita hanya memiliki lima jenis Citta penghubungan-kembali, lima jenis kesadaran
hasil – Jhāna pertama, Jhāna ke dua, Jhāna ke tiga, Jhāna ke empat dan Jhāna ke lima. Berapakah
jumlah alam di alam Rūpāvacara? Ada alam Jhāna pertama, Jhāna ke dua, Jhāna ke tiga, dan Jhāna ke
empat. Itu saja. Alam-alam ini diurutkan menurut metode empat. Kita harus menyesuaikan dengan
metode empat.
Vipāka Citta Jhāna pertama berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti bagi mereka yang terlahir
kembali di alam Jhāna pertama. Kemudian bagi mereka yang terlahir kembali di alam Jhāna ke dua,
Paṭisandhi Citta-nya adalah Vipāka Jhāna ke dua atau Vipāka Jhāna ke tiga. Bagi mereka yang terlahir
kembali di alam Jhāna ke tiga, Paṭisandhi-nya adalah Vipāka Jhāna ke empat. Bagi mereka yang
terlahir di alam Jhāna ke empat, yaitu Vehapphala dan Suddhāvāsa, Paṭisandhi citta-nya adalah Vipāka
Jhāna ke lima. Jenis-jenis kesadaran Vipāka Jhāna ini bertindak sebagai Paṭisandhi Bhavaṅga dan Cuti
bagi mereka yang terlahir kembali di alam-alam Brahma ini.
Terdapat enam belas alam Brahma. Untuk makhluk-makhluk tanpa batin tidak ada Paṭisandhi Citta.
Jika tidak ada batin, maka tidak akan ada Citta, tidak ada kesadaran, tidak ada faktor-faktor batin. Bagi
mereka Rūpa, properti materi berfungsi sebagai Paṭisandhi. Mereka disebut makhluk yang memiliki
Rūpa sebagai Paṭisandhi; yang lainnya disebut makhluk yang memiliki batin sebagai Paṭisandhi. Untuk
makhluk-makhluk Asañña-satta Rūpa itu terus-menerus ada selama lima ratus siklus dunia. Ketika
mereka meninggal dunia, properti-properti materi ini lenyap. Karena tidak ada Paṭisandhi Citta pada
mereka, maka tidak ada Bhavaṅga Citta atau Cuti Citta bagi mereka. Jadi bagi mereka seluruh
kehidupannya hanyalah Rūpa, properti materi. Apa properti materi itu akan kita pelajari pada bab
enam. Maka seluruhnya terdapat enam Rūpāvacara Paṭisandhi. Ini berarti lima Rūpāvacara Vipāka
menjadikan lima Rūpāvacara Paṭisandhi dan Paṭisandhi dari makhluk-makhluk tanpa batin
menjadikan satu Paṭisandhi. Jadi seluruhnya terdapat enam modus Paṭisandhi dalam bidang
Rūpāvacara.
Setelah itu umur kehidupan dijelaskan dalam Manual (baca CMA, V, §14, p.198). kita telah membahas
umur kehidupan minggu lalu.
Sehubungan dengan umur kehidupan Brahma kadang-kadang kita perlu memahami sedikit tentang
siklus dunia – bagaimana dunia terbentuk dan bagaimana kehancurannya. Saya tidak dapat
menjelaskannya kepada anda. Itu adalah cerita yang panjang. Dijelaskan dalam Komentar bahwa satu
siklus dunia terdiri dari empat Asaṅkhyeyya Kappa, empat Kappa yang tak terhitung. Satu
Asaṅkhyeyya Kappa adalah setara dengan 64 Antara Kappa. Saya telah menjelaskannya minggu lalu.
Dalam CMA dikatakan dua puluh (baca CMA, V, Tuntunan §14, p.198).
Empat Asaṅkhyeyya Kappa adalah periode dalam satu Mahā Kappa. Satu siklus dunia dibagi menjadi
empat periode. Jika kita membicarakan tentang Asaṅkhyeyya Kappa maka kita memulai dari
kehancuran – periode ketika kehancuran terjadi, ketika kehancuran dunia terjadi. Membutuhkan
waktu yang lama bagi dunia untuk hancur. Dunia hancur oleh api atau kadang-kadang oleh air dan
kadang-kadang oleh udara. Memerlukan waktu bertahun-tahun bagi dunia untuk sepenuhnya hancur.
Satu periode itu dalam Pāḷi disebut ‘Saṃvaṭṭa Kappa’ – periode kehancuran.
Kemudian disusul periode berikutnya di mana dunia tetap dalam keadaan hancur. Tidak ada apa-apa
yang terjadi. Pertama-tama ada periode kehancuran dunia. Kemudian ada periode di mana dunia tetap
dalam keadaan hancur.
Periode ke tiga menyusul ketika dunia baru tercipta atau mulai terbentuk. Ini juga memerlukan waktu
yang lama, waktu untuk gunung-gunung dan sungai-sungai muncul dan juga bagi alam-alam untuk
terbentuk. Ini sesungguhnya sangat lama sekali.
Kemudian tiba periode ke empat ketika dunia ini ada telah terbentuk. Ini adalah periode di mana
makhluk-makhluk dapat muncul di dunia ini. Selama periode kehancuran semua makhkluk meninggal
dunia dan terlahir kembali di alam Brahma yang tidak terkena kehancuran. Selama masa itu tidak ada
makhluk. Ketika dunia hancur, tidak ada makhluk-makhluk. Ketika dunia sedang membentuk, tidak
ada makhluk-makhluk. Jadi hanya selama seperempat Mahā Kappa waktunya bagi makhluk-makhluk
untuk muncul atau ada.
Dikatakan bahwa dunia dihancurkan oleh api sebanyak tujuh kali. Kemudian dunia dihancurkan oleh
air. Kemudian dihancurkan oleh api sebanyak tujuh kali lagi dan ke-16 kali dihancurkan oleh air dan
seterusnya. Ketika mencapai 64 kali, dunia dihancurkan oleh udara.
Sekarang adan mungkin ingin mengetahui bagaimana kehancuran itu terjadi dan seterusnya. Saya
akan merujuk anda pada Visuddhimagga. Pada Bab 13 Visuddhimagga anda dapat menemukan
penjelasan tentang dunia yang hancur dan terbentuk. Ini menarik bagaimana manusia pertama
muncul di dunia dan kemudian bagaimana dunia terbentuk. Silakan baca Vsuddhimagga bab 13
sehubungan dengan mengingat kehidupan lampau. Bab 13 membahas tentang apa yang disebut
Abhiññā.
Kita beralih kepada “Penghubungan-kelahiran-kembali di alam tanpa materi, Arūpāvacara
Paṭisandhi” (baca CMA, V, §15, p.199). Arūpāvacara Paṭisandhi adalah mudah. Anda mengetahui empat
Arūpāvacara Vipāka Citta:
1. Ākāsānañcāyatana Vipāka Citta,
2. Viññāṇañcāyatana Vipāka Citta,
3. Ākiñcaññāyatana Vipāka, dan
4. Nevasaññānāsaññāyatana Vipāka Citta.
Bagi mereka yang terlahir di alam Ākāsānañcāyatana yang adalah alam Arūpāvacara,
Ākāsānañcāyatana Vipāka berfungsi sebagai Paṭisandhi Citta dan kemudian Bhavaṅga dan juga Cuti.
Bagi mereka yang terlahir kembali di alam Arūpāvacara ke dua, maka Arūpāvacara Vipāka Citta ke dua
berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Bagi mereka yang terlahir kembali di alam
Arūpāvacara ke tiga, maka Arūpāvacara Vipāka Citta ke tiga berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga
dan Cuti. Ini berarti seseorang yang mencapai Arūpāvacara Jhāna sebagai manusia atau Deva, maka
ketika ia terlahir kembali, ia akan terlahir kembali di salah satu dari empat alam Arūpāvacara. Ketika
ia terlahir di sana, Arūpāvacara Vipāka muncul berkat Jhāna yang ia capai dalam kehidupan
sebelumnya. Hal yang sama berlaku ketika seseorang mencapai Jhāna pertama, ke dua, ke tiga, ke
empat atau ke lima sebagai manusia, sebagai Deva atau sebagai Brahma – ia akan terlahir di alam
Brahma sesuai dengan Jhāna, sesuai Jhāna tertinggi yang ia capai. Jika seseorang mencapai
Arūpāvacara Jhāna pertama di sini, misalnya, kemudian setelah kematiannya ia akan terlahir kembali
di alam Arūpāvacara pertama. Kemudian umur kehidupannya tidak ada seorangpun yang mengetahui
– 20.000 siklus dunia, 40.000 siklus dunia, 60.000 siklus dunia dan 84.000.
Dalam suatu kehidupan Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti adalah sama. Ketiganya memiliki objek yang
sama dan identik. Paṭisandhi Citta mengambil Kamma atau Kamma-nimitta (gambaran Kamma), atau
Gati-nimitta (gambaran takdir) sebagai objek. Jika objek dari Paṭisandhi Citta adalah Kamma maka
seumur hidupnya objek dari Bhavaṅga Citta adalah Kamma dan objek dari Cuti Citta adalah Kamma.
Hal yang sama berlaku jika Paṭisandhi mengambil Kamma-nimitta atau Gati-nimitta sebagai objek.
Demikian pula Bhavaṅga dan Cuti Citta akan mengambil Kamma-nimitta atau Gati-nimitta.
Seluruhnya ada berapa jenis kelahiran kembali? Jenis kelahiran kembali ada sepuluh untuk
Kāmāvacara, enam untuk Rūpāvacara dan empat untuk Arūpāvacara. Seluruhnya ada dua puluh. Anda
sudah mengetahui Citta apa yang bertindak sebagai Paṭisandhi di alam yang mana.
Kita kembali ke awal.
Bagi mereka yang terlahir di empat alam sengsara apakah yang menjadi kesadaran penghubungan-
kembali? Akusala-vipāka Upekkhā-sahagata Santīraṇa adalah kesadaran penghubungan-kembali
untuk empat alam sengsara,
Bagi mereka yang terlahir sebagai manusia cacat dan juga beberapa dewata rendah apakah yang
menjadi kesadaran penghubungan-kembali? Kusala-vipāka Upekkhā-sahagata Santīraṇa adalah
kesadaran penghubungan-kembali untuk manusia cacat dan para dewata rendah.
Bagi manusia lengkap dan bagi enam alam surgawi apakah yang menjadi Paṭisandhi Citta? Berapa
banyakkah Paṭisandhi Citta itu? Ada delapan Paṭisandhi Citta, delapan Kāmāvacara Sahetuka Vipāka
Citta. Kita semua adalah manusia, jadi Paṭisandhi Citta kita dapat berupa salah satu dari itu. Paṭisandhi
Citta juga adalah salah satu dari itu.
Kemudian bagi mereka yang terlahir di alam Rūpāvacara apakah yang menjadi Paṭisandhi Citta? Ada
lima Rūpāvacara Vipāka Citta dan juga satu materi untuk makhluk-makhluk tanpa batin.
Kemudian bagi mereka yang terlahir di alam Arūpāvacara apakah yang menjadi Paṭisandhi Citta? Ada
empat Arūpāvacara Vipāka.
Pada bagian berikutnya kita akan mempelajari Kusala apa yang memberikan hasil Vipāka apa. Bagian
berikutnya sangat menarik karena ini tentang Kamma. Ketika membicarakan tentang Kamma kita
dapat menghubungkannya dengan diri sendiri hingga batas tertentu. Selebihnya adalah teoritis.

EMPAT KAMMA
Bagian selanjutnya disebut “Kamma-catukka”, atau “Empat Jenis Kamma”. Seluruhnya ada enam belas
jenis Kamma. Ada empat pembagian terdiri dari empat, empat kelompok empat. Ada enam belas jenis
Kamma dibahas dalam bagian ini. Kelompok pertama terdiri dari:
1. Kamma produktif (Janaka),
2. Kamma pendukung (Upatthambhaka),
3. Kamma penghalang (Upapīḷaka),
4. Kamma penghancur (Upaghātaka).
Ada empat jenis Kamma di sini. Apakah Kamma? Jika anda menyimak saya, maka anda tahu apa
Kamma itu. Kamma adalah kehendak, Cetanā. Secara teknis, Kamma berarti Cetanā, kehendak yang
menyertai tindakan, yang menyertai tindakan melalui jasmani, melalui ucapan dan melalui pikiran.
Secara umum kita akan mengatakan Kamma berarti tindakan atau perbuatan. Secara teknis atau pasti,
kita mengatakan Kamma adalah kehendak pikiran yang menyertai tindakan atau perbuatan itu. Semua
perbuatan berkehendak kecuali perbuatan Sang Buddha dan para Arahant adalah Kamma. Segala
tindakan berkehendak atau Cetanā menjadi Kamma kecuali perbuatan para Buddha dan para Arahant.
Para Buddha dan para Arahant tidak memperoleh Kamma.
“Para Buddha dan para Arahant tidak mengumpulkan Kamma, karena mereka telah menghapuskan
ketidaktahuan dan ketagihan, akar Kamma.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.200)
Selama ada ketagihan dan ketidaktahuan, maka kita akan selalu melakukan sesuatu yang akan
memberikan hasilnya di masa depan. Karena para Buddha dan para Arahant tidak memiliki
ketidaktahuan dan ketagihan, maka tindakan Mereka hanyalah sekedar tindakan; perbuatan mereka,
Cetanā atau kehendak mereka tidak menjadi Kamma yang memberikan hasil.
“Namun demikian, bahkan para Buddha dan para Arahant masih mengalami masaknya kamma lampau
mereka selama personalitas psikofisik mereka masih ada, yaitu, hingga mereka meninggal dunia.”
(CMA, V, Tuntunan §18, p.200)
Jadi para Buddha dan para Arahant tidak memperoleh Kamma baru. Mereka dapat melakukan
perbuatan baik, tetapi perbuatan baik mereka bukanlah Kusala. Mereka tidak memperoleh Kamma
baru setelah menjadi Buddha atau Arahant. Tetapi mereka masih menerima hasil dari Kamma lampau
mereka. Bahkan para Buddha dan para Arahant kadang-kadang akan menderita akibat Akusala
Kamma mereka.
Sang Buddha, misalnya, sering mengalami sakit punggung atau sakit kepala. Beliau juga mengalami
kesakitan ketika sekeping batu mengenai kakiNya. Para Arahant juga mengalami sakit. Jadi bahkan
walaupun mereka telah menjadi Buddha atau Arahant, walaupun mereka telah menghapuskan segala
kekotoran batin sehingga mereka tidak menimbun Kamma baru, namun mereka tetap menderita,
mereka tetap menikmati hasil dari Kamma lampau mereka.
“Hukum kamma (kammaniyāma) bekerja sendiri, memastikan bahwa perbuatan-perbuatan
berkehendak menghasilkan akibat sesuai dengan kualitas etisnya bagaikan benih yang menghasilkan
buah sesuai dengan spesiesnya.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.200)
Hukum Kamma tidak diciptakan oleh Sang Buddha. ini ditemukan oleh Sang Buddha. Sebenarnya ini
adalah hukum alam. Sang Buddha menemukan hukum Kamma, melihat mekanisme Kamma ketika
Beliau mencapai pengetahuan supernormal pada jaga malam ke dua yang dengannya Beliau dapat
melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dari satu kehidupan dan terlahir kembali dalam
kehidupan lain. Beliau dapat melihat, misalnya, makhluk ini terlahir kembali di neraka karena ia
melakukan suatu Akusala dalam kehidupan sebelumnya. Makhluk ini terlahir kembali di alam bahagia
karena ia melakukan suatu Kusala dalam kehidupan sebelumnya. Jadi hukum Kamma yang diajarkan
oleh Sang Buddha adalah hukum yang ditemukan oleh Sang Buddha, dilihat oleh Beliau. Ini bukan
berdasarkan logika atau sekedar pemikiran, melainkan berdasarkan pengetahuan intuitif,
berdasarkan penglihatan yang sesungguhnya.
Produk langsung dari Kamma adalah kesadaran akibat atau faktor-faktor batin. Sekarang kata ‘Vipāka’
– anda sudah sering menemui kata ‘Vipāka’. Kita menemuinya pada bab pertama. Vipāka adalah nama
untuk akibat-akibat itu yang memiliki sifat yang identik dengan Kamma. ‘Vipāka’ berarti akibat yang
pasti identik dengan Kamma atau penyebabnya.
Akibat Kamma bukan hanya Citta dan Cetasika. Ada akibat Kamma di antara properti-properti materi.
Ketika kita sampai pada bab enam, kita akan mempelajari properti materi apa yang disebabkan oleh
Kamma dan sebagainya. Nama ‘Vipāka’ hanya diberikan kepada yang memiliki sifat identik dengan
penyebabnya. Ini berarti hanya Citta dan Cetasika yang disebut Vipāka. Properti materi bukanlah
Vipāka, walaupun beberapa properti materi adalah akibat dari Kamma. Dalam Manual, ini disebut
Kammasamuṭṭhāna Rūpa atau Kammajarūpa.
Misalnya, pada momen kelahiran kembali sebagai manusia di sana muncul satu dari delapan
Kāmāvacara Sahetuka Vipāka Citta dan bersama Citta itu, muncul Cetasika. Citta dan Cetasika-Cetasika
itu disebut Vipāka dari Kusala Kamma lampau. Bersama dengan Citta dan Cetasika-Cetasika itu muncul
tiga puluh partikel materi untuk manusia. Ini adalah akibat dari Kamma lampau, tetapi tidak disebut
Vipāka. Ini disebut Kammasamuṭṭhāna Rūpa. Ketika kita mengatakan Kamma menghasilkan akibat,
kita harus memahami bahwa Kamma menghasilkan akibat yang bukan hanya Citta dan Cetasika tetapi
juga Rūpa.

KAMMA PRODUKTIF
Empat ini, Kamma produktif dan seterusnya, dikelompokkan menurut fungsinya, menurut apa yang
dilakukan. Yang pertama disebut Kamma produktif. ‘Kamma produktif’ berarti kamma yang
menghasilkan akibat pada momen Paṭisandhi dan selama hidup. Suatu Kamma yang menghasilkan
akibat pada momen Paṭisandhi dan juga selama perjalanan kehidupan disebut Kamma produktif atau
Janaka Kamma. Janaka Kamma ini dapat berupa Kusala Kamm atau Akusala Kamma. Dan seperti yang
saya katakan, ketika menghasilkan akibat, Kamma ini menghasilkan kesadaran dan faktor-faktor batin
serta materi yang-lahir-dari-Kamma.
“Selama perjalanan kehidupan, Kamma menghasilkan citta-citta akibat dan kelangsungan materi
yang-lahir-dari-kamma, …” (CMA, V, Tuntunan §18, p.201)
Ketika kita mempelajari Akibat Kamma, kita harus mempelajari akibat-akibat ini pada penghubungan-
kembali dan akibat-akibat selama kehidupan. Kedua jenis ini berbeda. Pada saat Paṭisandhi, pada saat
kelahiran kembali, Kamma menghasilkan Paṭisandhi, Citta, Cetasika dan Kammaja-rūpa. Selama
kehidupan Kamma menghasilkan kesadaran Vipāka dan materi yang-lahir-dari-Kamma.
“Hanya kamma yang telah mencapai status perbuatan penuh …” (CMA, V, Tuntunan §18, p.201)
Ini berarti hanya Kamma yang lengkap yang dapat memiliki fungsi menghasilkan kesadaran
penghubungan-kelahiran-kembali.
“… tetapi semua kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat tanpa kecuali dapat menghasilkan akibat
selama perjalanan kehidupan.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.201)
Kamma produktif adalah Kamma yang menghasilkan akibat dari Kamma itu sendiri. Kamma itu tidak
mendapat bantuan dari yang lain. Kamma ini menghasilkan akibat secara mandiri.

KAMMA PENDUKUNG
Berikutnya adalah Kamma pendukung (Upatthambhaka). Dikatakan bahwa,
“(Kamma pendukung) tidak memperoleh kesempatan untuk secara mandiri menghasilkan akibat, …”
(CMA, V, Tuntunan §18, p.201)
Akibatnya tidak dihasilkan oleh Kamma itu sendiri.
“… tetapi (Kamma pendukung) mendukung (Kamma produktif) apakah dengan memungkinkan
Kamma itu menghasilkan akibat yang menyenangkan atau menyakitkan selama waktu tertentu tanpa
halangan atau dengan memperkuat rangkaian agregat- agregat yang dihasilkan oleh Kamma lainnya.”
(CMA, V, Tuntunan §18, p.201)
Kamma ini hanya mendukung akibat dari suatu Kamma produktif.
Contohnya diberikan di sini sebagai,
“Ketika melalui fungsi produktif dari Kamma bermanfaat maka seseorang terlahir kembali sebagai
manusia, …” (CMA, V, Tuntunan §18, p.201)
Jadi seseorang terlahir kembali sebagai manusia sebagai akibat dari Kamma produktif.
“… kamma pendukung dapat berkontribusi memperpanjang umur kehidupan seseorang dan
memastikan orang itu selalu sehat dan terpenuhi segala kebutuhan hidupnya.” (CMA, V, Tuntunan
§18, p.201)
Akibat-akibat ini kita peroleh karena didukung oleh Kamma ini, Kamma pendukung ini. Kamma
pendukung tidak dapat secara mandiri memberikan akibat. Kamma ini membantu akibat dari Kamma
lainnya.
“Ketika suatu kamma tidak bermanfaat telah melaksanakan fungsi produktifnya dengan
menyebabkan penyakit yang menyakitkan, kamma tidak bermanfaat lainnya dapat mendukungnya
dengan mencegah obat-obatan bekerja secara efektif, dengan demikian memperpanjang
penyakitnya.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.201)
Kamma pendukung hanya memperpanjang akibat dari Kamma lain.
“Ketika suatu makhluk telah terlahir kembali sebagai binatang melalui kekuatan produktif dari
kamma tidak bermanfaat, …” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Jadi sebagai akibat dari Akusala Kamma sesosok makhluk terlahir kembali sebagai binatang.
“… Kamma pendukung dapat memfasilitasi masaknya Kamma tidak bermanfaat yang menghasilkan
akibat menyakitkan, dan juga dapat mengarah pada perpanjangan umur kehidupan sehingga
keberlangsungan akibat-akibat tidak bermanfaat itu menjadi lebih lama.” (CMA, V, Tuntunan §18,
p.202)
Kamma pendukung hanyalah Kamma yang mendukung, yang memperpanjang, akibat dari Kamma
produktif lainnya.

KAMMA PENGHALANG
Yang ke tiga adalah Kamma penghalang, Upapīḷaka Kamma.
“Kamma penghalang adalah Kamma yang tidak dapat secara mandiri menghasilkan akibat akan tetapi
menghalangi dan menggagalkan Kamma lainnya, melawan efektivitas atau memperpendek durasi dari
akibatnya yang menyenangkan atau menyakitkan.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Kamma ini juga tidak menghasilkan akibatnya sendiri melainkan sesungguhnya mengganggu akibat
dari Kamma lainnya.
“Bahkan walaupun suatu kamma produktif mungkin adalah kuat pada saat dikumpulkan, namun suatu
kamma penghalang yang secara langsung berlawanan dapat melawannya sehingga menjadi terhalangi
ketika menghasilkan akibatnya. Misalnya, suatu kamma bermanfaat cenderung menghasilkan
kelahiran kembali di alam kehidupan yang tinggi dapat dihambat oleh kamma penghalang sehingga
menghasilkan kelahiran kembali di alam yang lebih rendah.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Suatu Kusala Kamma cukup kuat untuk menghasilkan akibat di alam kehidupan yang tinggi, tetapi
suatu Kamma penghalang mungkin mempengaruhinya sehingga terjadi kelahiran kembali di alam
yang lebih rendah.
“Suatu kamma yang cenderung menghasilkan kelahiran kembali di dalam keluarga tinggi dapat
menghasilkan kelahiran kembali dalam keluarga rendah; …” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Ini karena terhalangi oleh Kamma ini.
“… Kamma yang condong pada umur panjang dapat berubah menjadi condong pada umur pendek; …”
(CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Ini karena halangan dari Kamma ini.
“… Kamma yang condong menghasilkan kecantikan dapat menghasilkan penampilan buruk, dan
sebagainya.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Jadi Kamma ini mempengaruhi atau menghalangi akibat-akibat Kamma lainnya.
“Dalam cara yang berlawanan, suatu kamma tidak bermanfaat yang condong menghasilkan kelahiran
kembali di neraka besar dapat dilawan oleh kamma bermanfaat penghalang dan menghasilkan
kelahiran kembali di neraka kecil atau di alam peta.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Seseorang yang telah melakukan banyak Akusala atau satu Akusala yang kuat. Umumnya akan
mengarahkannya pada kelahiran kembali di neraka besar. Ia mungkin memperoleh banyak Kusala
setelah melakukan Akusala itu. Kusala Kamma itu menghalangi atau mempengaruhi Akusala Kamma,
sehingga akibat dari Akusala Kamma itu tidak seburuk yang seharusnya terjadi.
Anda tahu Ajātasattu. Ajātasattu membunuh ayah kandungnya sendiri. Seharusnya ia terlahir kembali
di neraka Avīci. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Sāmaññaphala Sutta (dī. ni. 150), ia
menjadi siswa Sang Buddha. ia sangat menghormati dan penuh pengabdian pada Sang Buddha.
mungkin ia memperoleh banyak Kusala. Ketika ia meninggal dunia, ia tidak terlahir kembali di neraka
Avīci, melainkan di satu neraka kecil di dekat Avīci. Satu Kamma dapat menghalangi Kamma lainnya.
Kamma baik dapat menghalangi Kamma buruk. Kamma Buruk dapat menghalangi Kamma baik.
“Selama perjalanan kehidupan banyak kasus ditemukan tentang bekerjanya Kamma penghalang.
Misalnya, di alam manusia kamma demikian akan menghalangi rangkaian agregat-agregat yang
dihasilkan oleh kamma, membantu masaknya kamma yang berakibat dalam penderitaan dan
menyebabkan kegagalan sehubungan dengan harta dan kekayaan atau kelaurga dan teman-teman,
dan sebagainya. Di alam-alam rendah kamma penghalang dapat melawan kamma yang menghasilkan
kelahiran kembali, dan mengakibatkan diperolehnya kenyamanan dan kebahagiaan sekali-sekali.”
(CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Misalnya, walaupun seseorang mungkin terlahir kembali sebagai seekor binatang, suatu Kamma
Kusala penghalang dapat membantunya memperoleh kebahagiaan dan kenyamanan dalam kehidupan
itu.

KAMMA PENGHANCUR
Sekarang yang terakhir adalah Kamma penghancur (Upaghātaka). Ini dapat berupa yang bermanfaat
atau tidak bermanfaat.
“Kamma ini menghilangkan kamma yang lebih lemah, mencegahnya menjadi masak, dan
menghasilkan buahnya sendiri.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Ini disebut Kamma penghancur. Menurut penjelasan ini Kamma ini mencegah akibat dari Kamma
lainnya dan menghasilkan akibatnya sendiri.
“Misalnya, seseorang yang terlahir sebagai manusia, melalui kamma produktifnya, ditakdirkan untuk
berumur panjang, tetapi suatu kamma penghancur mungkin muncul dan menghasilkan kematian
prematur.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Sebuah contoh dari ini adalah Devadatta yang ditelan bumi dan pergi ke neraka Avīci. Pertama-tama
ia mencapai kekuatan-kekuatan supernormal. Kekuatan-kekuatan itu lenyap ketika ia mulai
merencanakan untuk melawan Sang Buddha. Ketika ia meninggal dunia, ia ditelan bumi dan terlahir
kembali di neraka Avīci. Perbuatan jahatnya menyebabkan darah membeku dalam tubuh Sang Budha
dan memecah-belah Saṃgha, Kamma penghancur itu begitu kuat sehingga memotong akibat dari
Kusala Kamma dan seketika membawanya ke neraka.
“Pada saat kematian, pertama gambaran takdir yang buruk mungkin muncul berkat kekuatan kamma
buruk, …” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Berkat kekuatan Akusala Kamma gambaran alam tujuan yang buruk mungkin muncul pada seseorang
menjelang kematian. Ini berarti ia akan mengalami kelahiran kembali yang buruk.
“… kemudian sebuah kamma baik mungkin muncul, …” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Kamma baik mungkin muncul dengan sendirinya atau muncul karena pengaruh mereka yang berada
di dekat orang yang sekarat itu.
“(Kamma itu) menghalau kamma buruk, dan setelah memunculkan gambaran alam tujuan yang baik,
Kamma ini menghasilkan kelahiran kembali di alam surga.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Ini juga adalah Kamma penghancur.
Anda tahu kisah seorang pemburu yang menjadi seorang bhikkhu pada usia lanjut. Ketika ia menjelang
meninggal dunia, ia memiliki gambaran buruk takdirnya. Putranya yang adalah seorang Arahant
membawanya ke Pagoda dan membawakan bunga untuknya. Kemudian ia menyuruh bhikkhu tua itu
untuk mempersembahkan bunga kepada Sang Buddha. Kemudian gambaran takdir yang baik muncul
padanya. Persembahan bunga yang ia lakukan itu, Kamma itu, adalah Kamma penghancur. Kamma itu
mencegah masaknya Kamma buruk dan sebaliknya menghasilkan akibat baik. Masaknya Kamma
buruk dihambat dan sebaliknya Kamma penghancur menghasilkan akibat baik. Setelah kematiannya
bhikkhu itu terlahir kembali di alam surga.
“Sebaliknya, suatu kamma buruk dapat tiba-tiba muncul, memotong potensi produktif dari suatu
kamma baik, dan menghasilkan kelahiran kembali di alam sengsara.” (CMA, V, Tuntunan §18, p.202)
Ini adalah kasus sebaliknya. Seseorang mungkin memiliki gambaran takdir yang baik sebelumnya,
tetapi belakangan suatu kamma buruk muncul dan kemudian memberinya gambaran takdir yang
buruk, maka ini akan membawanya menuju alam sengsara.
Kamma penghancur dapat berupa Kusala atau Akusala. Kamma ini memotong akibat dari Kamma
lainnya dan menghasilkan akibatnya sendiri.
Kadang-kadang Kamma penghancur tidak menghasilkan akibat. Kadang-kadang hanya memotong
akibat dari Kamma lainnya. Anda semua tahu kisah Cakkhupāla. Cakkhupāla menjadi buta. Kamma
penghancur membuatnya buta. Kamma penghancur itu tidak menyebabkannya terlahir kembali di
neraka. Sebenarnya Cakkhupāla adalah seorang arahant maka tidak dapat menghasilkan akibat.
Kadang-kadang Kamma ini menghilangkan Kamma yang lebih lemah dan menghasilkan akibatnya
sendiri. Kadang-kadang hanya menghilangkan Kamma yang lebih lemah, tidak menghasilkan akibat.
Kamma ini bekerja dalam kedua cara ini.
“Vibhāvinī-Ṭīkā membedakan antara kamma produktif dan kamma penghancur atas dasar bahwa
kamma produktif menghasilkan akibatnya tanpa memotong akibat Kamma lain sementara kamma
penghancur menghasilkan akibat setelah terlebih dulu memotong akibat kamma lainnya.” (CMA, V,
Tuntunan §18, p.202)
Ini adalah perbedaan yang dijelaskan oleh Ṭīkā, Komentar atas Manual.
“Tetapi guru-guru lainnya yang dikutup oleh Vibhāvinī berpendapat bahwa kamma penghancur tidak
menghasilkan akibatnya sendiri sama sekali; kamma ini sepenuhnya memotong akibat dari kamma
lainnya, dengan memberikan peluang kepada kamma ke tiga untuk masak.” (CMA, V, Tuntunan §18,
p.203)
Jadi apa yang terjadi di sini? Kita mengharapkan ajaran Abhidhamma sebagai pasti, tetapi di sini guru-
guru memiliki pendapat berbeda dan kita tidak dapat memastikan siapa yang benar. Penjelasannya di
sini adalah bahwa di antara keempat kelompok Kamma ini tiga yang pertama dijelaskan di sini
menurut metode Suttanta, bukan melalui metode Abhidhamma. Hanya yang terakhir, ‘menurut
tempat masaknya’, yang sesuai dengan Abhidhamma. Itulah sebabnya terdapat perbedaan pendapat.
Empat ini adalah kelompok pertama dalam empat kelompok empat Kamma yang dibahas dalam bagian
ini (baca CMA, V, Tabel 5.3, p.201). Setelah memberikan nama-nama Kamma, bagian ini akan
mengajarkan kepada kita akibat apa yang dihasilkan oleh Kamma apa.
Kita akan melanjutkan yang lainnya minggu depan. Apakah anda ingin bertanya? Saya tahu anda pasti
memiliki banyak pertanyaan.
Murid: [Tidak terdengar].
Sayādaw: Saya pikir dapat berupa Kamma penghalang atau penghancur karena seseorang telah
melakukan Akusala. Kemudian ia melakukan banyak Kusala. Mungkin ada yang dapat
menghilangkan Akusala Kamma. Ini dapat berupa Kamma penghancur atau Kamma
penghalang.
Murid: [Tidak terdengar].
Sayādaw: Hingga batas tertentu, Ya. Jika kita memiliki banyak Kamma penghalang, katakanlah,
banyak Kusala Kamma, maka ini dapat menghalangi Akusala Kamma, akibat dari
Akusala Kamma akan terhalang. Jadi Kusala atau Akusala Kamma dapat menghalangi
Kusala atau Akusala Kamma. Itulah sebabnya mengapa kita didorong untuk melakukan
banyak Kusala. Setidaknya kita dapat menghalangi akibat dari Akusala Kamma.
Murid: [Tidak terdengar].
Sayādaw: Mereka termasuk dalam Kappa yang sama. Anda tahu bahwa akan ada lima Buddha
dalam Kappa ini. Buddha sebelumnya, Kassapa, termasuk dalam Kappa ini. Seorang
Anāgāmī turun (dari Suddhāvāsa) dan memohon kepada Sang Buddha untuk mengajar.
Ia adalah Anāgāmī. Anāgāmī ada bukan hanya yang berasal dari masa Buddha persis
yang sebelumnya melainkan ada Anāgāmī dari masa Buddha-Buddha lainnya juga.
Murid: [Tidak terdengar].
Sayādaw: Satu Mahā Kappa – saya rasa saya telah menjelaskan kepada anda bahwa ada empat
periode dalam satu Mahā Kappa. Sang Buddha mengatakan bahwa ini tidak dapat
dinyatakan dalam satu tahun, sepuluh tahun atau dalam abad. Jadi ini adalah sangat,
sangat lama. Contoh yang Beliau berikan adalah misalkan terdapat sebuah batu yang
tingginya satu liga, lebarnya satu liga dan tingginya satu liga. Seseorang datang setiap
seratus atau dua ratus tahun sekali dan mengusapnya dengan kain lembut. Batu itu
akan terkikis tetapi satu Kappa masih belum berakhir. Jadi ini sangat lama.
Murid: Berapa panjangkah satu liga?
Sayādaw:: kira-kira delapan mil.

KAMMA – BAGIAN SATU


Terakhir kita telah menyelesaikan empat jenis pertama Kamma:
1. Kamma produktif,
2. Kamma pendukung,
3. Kamma penghalang, dan
4. Kamma penghancur.
kali ini kita akan melanjutkan dengan kelompok berikutnya – menurut urutan masaknya, menurut
urutan memberi akibat. Ini berarti ketika ada empat ini, maka nomor satu akan memberikan akibat
terlebih dulu. Jika hanya ada tiga dan nomor satu tidak ada, maka nomor dua akan memberikan akibat
dan seterusnya. Empat ini adalah
1. Yang pertama disebut Kamma berat (Garuka)
2. Yang ke dua disebut Kamma menjelang kematian (Āsanna).
3. Yang ke tiga adalah Kamma kebiasaan (Āciṇṇa).
4. Dan yang ke empat adalah Kamma cadangan (Kaṭattā).
KAMMA BERAT
Kamma berat adalah Kamma yang kuat, yang sangat buruk atau jahat atau yang sangat baik atau mulia.
Dalam penjelasan Kamma berat dikatakan dalam CMA bahwa,
“… Kamma ini tidak dapat digantikan dengan Kamma lainnya sebagai penentu kelahiran kembali.”
(CMA, V, Tuntunan §19, p.203)
Kamma ini menghasilkan akibat sebagai kelahiran kembali. Kamma berat begitu kuat sehingga tidak
dapat digantikan oleh Kamma lainnya sebagai penentu kelahiran kembali. Ini berarti jika ada Kamma
berat, maka ini pasti menghasilkan akibat dalam kehidupan berikutnya.
Sekarang dalam satu Komentar, Komentar atas Abhidhammatthasaṅgaha, dikatakan bahwa Kamma
ini tidak dapat digantikan atau dicegah oleh Kamma lainnya. Tetapi ada beberapa guru di Burma yang
berpendapat bahwa ini tidak benar. Mereka berpikir bahwa satu Kamma berat dapat menggantikan
Kamma berat lainnya. Dalam hal ini satu Kamma berat dapat digantikan oleh Kamma berat lainnya –
bukan oleh Kamma menjelang kematian atau Kamma kebiasaan atau Kamma cadangan. Kamma ini
dapat digantikan oleh Kamma berat lainnya.
Kamma berat bermakna sehubungan dengan Akusala lima kejahatan seperti membunuh ayah,
membunuh ibu, membunuh seorang Arahant, menyebabkan darah membeku dalam tubuh Sang
Budha, dan memecah-belah, menyebabkan perpecahan di dalam Saṃgha. Jika seseorang telah
melakukan seluruh lima ini (Sebenarnya tidak mungkin untuk melakukan seluruh lima ini), tetapi jika
seseorang telah melakukan seluruh lima ini, maka yang terakhir memiliki prioritas. Jika yang terakhir
adalah prioritas maka yang lainnya tidak akan menghasilkan akibat. Ini juga sama untuk Kamma
bermanfaat. Kamma berat adalah Jhāna-Jhāna. Jadi jika anda mencapai Jhāna-Jhāna, Jhāna yang lebih
tinggi memiliki prioritas atas Jhāna yang lebih rendah dalam menghasilkan akibat. Sehubungan
dengan Kamma berat, satu Kamma berat dapat menggantikan Kamma berat lainnya dalam
menentukan kelahiran kembali. Tetapi tidak dapat digantikan oleh Kamma lainnya seperti Kamma
menjelang kematian dan seterusnya.
“Pada sisi tidak bermanfaat, adalah lima kejahatan berat bersama dengan pandangan salah kuat yang
menyangkal landasan moralitas.” (CMA, V, Tuntunan §19, p.204)
Ini berarti pandangan salah yang menganggap bahwa tidak ada Kamma, tidak ada akibat Kamma dan
sebagainya.
“Jika seseorang mengembangkan jhāna-jhāna dan kemudian melakukan kejahatan berat, maka
kamma baiknya akan tersingkirkan oleh perbuatan jahat, …” (CMA, V, Tuntunan §19, p.204)
Anda semua tahu tentang Devadatta. Devadatta adalah sepupu Sang Buddha. Ia mencapai bukan hanya
Jhāna-Jhāna, tetapi juga kekuatan supernormal. Jhāna dan kekuatannya lenyap. Walaupun ia pernah
memiliki kekuatan supernormal, karena ia melakukan dua kejahatan berat, maka pencapaian Jhāna
dan kekuatan batinnya tidak dapat menolongnya dari kelahiran kembali di neraka. Kekuatan
supernormal tidak dapat membuatnya terlahir kembali di alam Brahma.
“Tetapi jika seseorang terlebih dulu melakukan kejahatan berat, maka ia tidak akan dapat mencapai
pencapaian luhur atau adi-duniawi, …” (CMA, V, Tuntunan §19, p.204)
Jika seseorang telah melakukan salah satu kejahatan ini, maka ia tidak akan dapat mencapai Jhāna
dalam kehidupan itu; ia tidak akan mencapai pencerahan dalam kehidupan itu.
Anda juga mengenal Raja Ajātasattu. Ia membunuh ayah kandungnya sendiri. Kurang-lebih delapan
tahun sebelum wafatnya Sang Buddha ia mendatangi Sang Buddha dan memohon agar Sang Buddha
mengajarkan kepadanya manfaat-manfaat menjadi seorang petapa. Sang Buddha membabarkan
kepadanya Samaññaphala Sutta. Walaupun ia memiliki segala kondisi untuk mencapai tingkat
Memasuki-Arus atau menjadi Sotāpanna, tetapi karena ia telah membunuh ayahnya, maka ia tidak
dapat mencapai Sotāpanna. Ketika ia pergi, Sang Buddha berkata: “Jika raja ini tidak membunuh ayah
kandungnya, ia pasti akan menjadi Sotāpanna di tempat duduknya.” Jika seseorang telah melakukan
kejahatan-kejahatan ini, ia tidak dapat berharap untuk mencapai Jhāna dalam kehidupan itu juga tidak
dapat berharap untuk mencapai pencerahan dalam kehidupan itu. Kamma itu begitu kuat sehingga
tidak ada Kamma lainnya yang dapat mempengaruhinya.
- Pada sisi bermanfaat terdapat pencapaian-pencapaian Adi-duniawi, Jhāna-Jhāna dan Abhiññā-
Abhiññā.
- Pada sisi tidak bermanfaat terdapat lima kejahatan berat.
Di antara lima ini terdapat menyebabkan darah membeku dalam tubuh Sang Budha. Sekarang di sini
dalam CMA ungkapan yang digunakan adalah “melukai Sang Buddha” (CMA, V, Tuntunan §19, p.204).
ini dapat menyesatkan. Dijelaskan dalam Komentar bahwa tubuh fisik Sang Buddha adalah kebal
terhadap tusukan atau luka atau apapun. Ini berarti tidak ada seorangpun yang dapat melukai Sang
Buddha. tidak ada seorangpun yang dapat memotong kulit Sang Buddha tanpa sekehendak Beliau.
Komentar menjelaskan bahwa dengan usaha orang lain tubuh Sang Buddha tidak dapat dipotong juga
tidak dapat berdarah. Tetapi darah Sang Buddha dapat terkumpul di suatu tempat di dalam tubuhnya.
Inilah yang dimaksudkan dengan melukai Sang Buddha di sini.
Devadatta mencoba untuk membunuh Sang Buddha. Sang Buddha sedang berjalan di bukit Gijjhakūta.
Devadatta mendorong sebuah batu besar. Batu itu menghantam batu lainnya. Serpihan batu itu
menghantam kaki Sang Buddha. di Burma kami mengatakan serpihan itu menghantam ibu jari, tetapi
Komentar tidak menggunakaan kata ibu jari, hanya menyebutkan sisi kaki. Ini dapat bearti ibu jari
atau bagian lainnya. Ketika ini terjadi, kulitnya tidak terluka, namun darah membeku di kaki dan Sang
Buddha mengalami kesakitan. Ketika Sang Buddha kesakitan, tabib Jīvaka membedah bagian itu untuk
mengeluarkan darahnya. Itu disebut sebagai Kamma berjasa. Saya katakan tadi bahwa Sang Buddha
tidak dapat dipotong. Tetapi di sini Jīvaka memotong luka itu dan mengeluarkan darahnya. Komentar
mengatakan “dengan memotong kulit menggunakan pisau atas kehendak Sang Buddha,” ini berarti
dengan seizin Beliau. Jika Sang Buddha mengizinkan, maka tubuhNya dapat dipotong. Ini adalah untuk
mengeluarkan darah beku itu. Tindakan Devadatta adalah pelanggaran atau kejahatan yang sangat
berat. Tindakan tabib Jīvaka adalah Kamma berjasa.
Yang terakhir adalah memecah-belah Saṃgha, menyebabkan perpecahan di dalam Saṃgha. Ini hanya
dapat dilakukan oleh seorang bhikkhu. Jadi anda umat-umat awam tidak perlu khawatir dapat
menyebabkan perpecahan di dalam Saṃgha karena ini bukan sekedar memecah para bhikkhu atau
membuat sekelompok bhikkhu melawan kelompok lainnya. Walaupun itu mungkin adalah
pelanggaran berat, tetapi bukan pelanggaran ini. Pelanggaran ini hanya dapat dilakukan oleh bhikkhu
karena perpecahan Saṃgha terjadi hanya ketika dua kelompok Saṃgha di dalam satu Sima8 melakukan
tindakan-tindakan Saṃgha. Ketika para bhikkhu melakukan tindakan-tindakan Saṃgha, semua
bhikkhu harus berkumpul di satu tempat. Tidak boleh ada dua kelompok yang terpisah satu sama lain
yang melakukan Saṃgha Kamma. Di sini bhikkhu ini ingin memecah Saṃgha. Dan dalam kasus ini
terdapat dua kelompok yang saling terpisah satu sama lain melakukan Saṃgha Kamma. Mereka

8
Sima adalah tempat dimana para bhikkhu melakukan suatu tindakan Saṃgha
melakukan tindakan-tindakan Saṃgha pada waktu yang sama. Mereka melakukan Uposatha pada
waktu yang sama. Tindakan itu adalah apa yang disebut sebagai perpecahan Saṃgha, menyebabkan
perpecahan dalam Saṃgha. Hanya seorang bhikkhu yang dapat melakukan itu dan bukan umat awam.
Ini juga dikatakan sebagai yang paling berat di antara lima pelanggaran ini. Devadatta melakukan dua
di antaranya – menyebabkan darah membeku di kaki Sang Buddha dan menyebabkan perpecahan
dalam Saṃgha.

KAMMA MENJELANG KEMATIAN


Kamma berikutnya adalah Kamma menjelang kematian, dalam Pālī adalah Asanna Kamma. ‘Āsanna’
berarti mendekati atau menjelang. Di sini ‘mendekati’ berarti mendekati kematian, menjelang
kematian. Kamma ini adalah Kamma yang diingat atau dilakukan sesaat sebelum kematian. Seseorang
mungkin telah melakukan suatu Kamma baik di masa lalu, mungkin bertahun-tahun lalu. Jika ia
mengingat Kamma itu persis sebelum kematian, maka Kamma itu menjadi Kamma yang menghasilkan
akibat. Kadang-kadang Kamma itu mungkin dilakukan persis sebelum kematian. Kamma demikian
disebut Kamma menjelang kematian. Ini dilakukan persis sebelum proses Javana terakhir – ini berarti
persis sebelum proses pikiran kematian. Sebelum proses itu terdapat proses pikiran yang berlangsung
terus-menerus. Selama momen-momen itu suatu Kamma mungkin diingat dan Kamma itu dapat
menghasilkan akibat dalam kehidupan berikutnya. Suatu Kamma mungkin juga dilakukan dan
menghasilkan akibat dalam kehidupan berikutnya.
Sebelumnya saya telah menceritakan tentang seorang pemburu, yang ketika ia telah berusia lanjut,
anaknya menjadikannya seorang bhikkhu. Ketika ia menjelang meninggal dunia, gambaran neraka
muncul padanya. Jadi ia dibawa ke teras altar (Cetiya). Bunga-bunga dibawakan untuknya. Dan ia
disuruh untuk mempersembahkan bunga-bunga kepada Sang Buddha, kepada altar. Kamma
menjelang kematian itu mengubah gambaran takdirnya. Ia melihat gambaran kelahiran kembali yang
baik.
Kamma menjelang kematian adalah sangat penting karena dapat menentukan kelahiran kembali
berikutnya apakah baik atau buruk. Jadi bahkan walaupun seseorang mungkin adalah baik seumur
hidupnya, jika ia mengingat sesuatu yang buruk persis sebelum kematiannya, maka Kamma buruk itu
akan mendapatkan kesempatan untuk menghasilkan akibat. Demikian pula, jika seseorang selalu jahat
sepanjang waktu, tetapi jika ia mengingat suatu Kamma baik di masa lalu atau melakukan suatu
Kamma baik sebelum kematiannya, maka Kamma itu menjadi Āsanna Kamma, Kamma menjelang
kematian, dan itu akan mendapatkan kesempatan untuk menghasilkan akibat.
“Karena alasan ini di negara-negara Buddhis adalah suatu kebiasan untuk mengingatkan seorang yang
sekarat pada perbuatan-perbuatan baiknya dan mendorongnya untuk memunculkan pikiran-pikiran
baik selama momen-momen terakhir hidupnya.” (CMA, V, Tuntunan §19, p.204)
Seseorang memerlukan teman-teman baik untuk menciptakan kondisi atau situasi yang
menguntungkan sehingga ia dapat memperoleh pikiran baik dan mengingat perbuatan-perbuatan
baiknya, sehingga ia dapat meninggal dunia dengan pikiran-pikiran ini.
Terdapat banyak kisah. Satu adalah tentang seorang raja di Sri Lanka. Menjelang meninggal dunia, ia
menunggu kedatangan jenderalnya. Jenderalnya telah menjadi seorang bhikkhu, tetapi ia belum
datang. Maka ia berkata, “Jenderal ini bersamaku ketika aku memenangkan peperangan. Sekarang ia
tahu bahwa aku akan kalah dalam berperang melawan kematian, jadi mengapa ia tidak datang.” Sang
jenderal mendatangi raja dan berbicara tentang hal-hal berjasa yang telah dilakukan sang raja di masa
lalu. Sang raja teringat semua perbuatan berjasa yang ia lakukan dan menjadi berpikiran baik.
Kemudian sebelum meninggal dunia ia berkata, “Jenderal ini adalah teman yang baik dalam
peperangan serta dalam berperang melawan kematian.” Dan demikianlah ia meninggal dunia dengan
tenang, ini adalah Kamma menjelang kematian.
Harap tidak salah memahami ini. Ini bukan berarti bahwa anda boleh menjadi jahat seumur hidup dan
kemudian anda melakukan hanya satu hal baik sebelum meninggal dunia. Ini bukan berarti bawha
segala perbuatan buruk anad tidak akan memiliki kesempatan untuk menghasilkan akibat. Perbuatan-
perbuatan itu tidak akan berkesempatan untuk menghasilkan akibat dalam kehidupan yang persis
berikutnya, tetapi dalam kehidupan-kehidupan selanjutnya perbuatan-perbuatan itu akan
berkesempatan untuk menghasilkan akibat apakah baik atau buruk. Kadang-kadang seseorang
mungkin berperilaku baik seumur hidupnya, tetapi karena sesuatu hal ia memiliki pikiran buruk
persis sebelum kematiannya dan kemudian ia mungkin terlahir kembali di suatu alam sengsara. Tetapi
ia tidak akan berada di sana untuk waktu yang lama. Ia akan segera keluar dari sana. Akan tetapi,
kehidupan berikutnya yang buruk adalah karena Kamma menjelang kematian.

KAMMA KEBIASAAN
Yang berikutnya dalam urutan Masaknya adalah Kamma kebiasaan, Āciṇṇa Kamma. Kamma kebiasaan
adalah apa yang kita lakukan sebagai kebiasaan, yang kita lakukan setiap hari – seperti bermeditasi,
belajar, mengajar, menghormat Sang Buddha, berdana kepada para bhikkhu dan sebagainya. Ketika
seseorang karena kebiasaan melakukan suatu Kamma apakah baik atau buruk, maka itu menjadi kuat.
Jika tidak ada Kamma berat atau Kamma menjelang kematian, maka jenis Kamma ini mengambil fungsi
menghasilkan kelahiran kembali. Jika tidak ada Kamma berat atau Kamma menjelang kemaian, maka
Kamma kebiasaan ini menghasilkan akibat atau akan menghasilkan kelahiran kembali dalam
kehidupan berikutnya. Kamma kebiasaan ini juga sangat penting karena kadang-kadang Kamma
kebiasaan itu sendiri dapat menjadi Kamma menjelang kematian. Jika seseorang telah melakukan
Kusala Kamma secara terus-menerus, maka Kamma kebiasaan ini akan muncul pada si orang sekarat
itu. Kamma kebiasaan ini sebenarnya sama pentingnya seperti Kamma menjelang kematian.
Dalam Visuddhimagga dan dalam Komentar-Komentar lainnya oleh Yang Mulia Buddhaghosa urutan
yang diberikan adalah Kamma berat, Kamma kebiasaan dan Kamma menjelang kematian. Dalam
Manual ini urutannya berbeda. Di sini adalah Kamma berat, Kamma menjelang kematian dan Kamma
kebiasaan. Jadi ada perbedaan dalam hal urutan antara kedua sumber ini. Komentar atas
Abhidhammatthasaṅgaha menjelaskan bahwa Kamma kebiasaan atau Āciṇṇa Kamma adalah Kamma
yang sangat kuat karena dilakukan berulang-ulang atau karena itu adalah Kamma kebiasaan.
Katakanlah, ada ternak sapi. Ketika ternak sapi dimasukkan ke kandang di malam hari, seekor sapi
jantan tua adalah yang terakhir masuk. Agar ia berada dekat dengan pintu. Tetapi ketika di pagi hari
ternak dikeluarkan, ia akan menjadi yang pertama keluar dari tempat itu, hanya karena ia berada
paling dekat dengan pintu. Demikian pula, Kamma menjelang kematian adalah tidak sekuat Kamma
kebiasaan, tetapi karena dilakukan persis sebelum kematian, maka Kamma ini berkesempatan untuk
menghasilkan akibat. Itulah sebabnya mengapa Kamma menjelang kematian mendapat prioritas lebih
tinggi daripada Kamma kebiasaan dalam Abhidhammatthasaṅgaha.
KAMMA CADANGAN
Yang terakhir adalah Kamma cadangan. Kata dalam Pāḷi adalah Kaṭattā. ‘Kaṭattā’ bermakna karena
dilakukan maka disebut Kamma. Kamma yang tidak termasuk dalam tiga yang telah disebutkan
sebelumnya disebut Kamma cadangan. Kamma cadangan bukanlah Kamma berat, bukan menjelang
kematian, bukan kebiasaan, melainkan sejenis Kamma yang cukup kuat untuk menghasilkan kelahiran
kembali.
“Jenis kamma ini bekerja ketika tidak ada dari ketiga jenis lainnya yang melakukan fungsinya.” CMA,
V, Tuntunan §19, p.204)
Ketika ketiga Kamma lainnya tidak muncul, Kamma ini akan menghasilkan akibat. Kamma ini dapat
berupa Kamma yang dilakukan dalam kehidupan ini atau Kamma yang dilakukan dalam kehidupan
lampau. Jadi ini dapat berupa Kamma yang dilakukan bukan hanya dalam kehidupan ini, tetapi juga
yang dilakukan dalam kehidupan lampau. Kadang-kadang kita melakukan perbuatan berjasa tidak
dengan serius. Kadang-kadang kita melakukannya secara ringan. Kamma demikian dapat disebut
Kamma cadangan. Ini tidak berat, tidak menjelang kematian, bukan kebiasaan, tetapi hanya dilakukan
dengan tidak serius. Kamma jenis ini berkesempatan untuk menghasilkan akibat ketika ketiga Kamma
lainnya tidak ada.
Kelompok ini disusun menurut masaknya Kamma atau menurut Kamma yang menghasilkan akibat –
Kamma berat, Kamma menjelang kematian, Kamma kebiasaan dan Kamma cadangan.
Kelompok berikutnya adalah sehubungan dengan waktu terjadinya akibat. Sekali lagi ada empat jenis
Kamma. Anda sudah terbiasa dengan keempat jenis ini. Yaitu:
1. Kamma yang efektif segera (Diṭṭhadhammavedanīya),
2. Kamma yang efektif pada kehidupan berikutnya (Upapajjavedanīya),
3. Kamma yang efektivitasnya tidak dapat ditentukan (Aparāpariyavedanīya), dan
4. Kamma mati (Ahosi).

KAMMA YANG EFEKTIF SEGERA


Kata Pāḷi untuk yang pertama ini adalah Diṭṭhadhammavedanīya Kamma. Ini berarti Kamma yang
akibatnya dialami dalam kehidupan ini ‘Diṭṭhadhamma’ berarti dalam kehidupan ini; ‘Vedanīya’
berarti untuk dialami. Jadi Kamma yang akibatnya dialami dalam kehidupan ini disebut
Diṭṭhadhammavedanīya Kamma. Ini diterjemahkan sebagai Kamma yang efektif segera. ‘Efektif segera’
berarti efektif dalam kehidupan ini, pada momen berikutnya, besok atau lusa. Ini dapat segera setelah
beberapa menit, besok, lusa, tetapi pasti berakibat dalam kehidupan ini. ‘Kamma yang efektif segera’
ini berarti Kamma yang menghasilkan akibat dalam kehidupan yang sama dimana Kamma itu
dilakukan. Jika tidak menghasilkan akibat dalam kehidupan ini karena tidak ada kondisi yang
diperlukan, maka Kamma ini menjadi mati.
“Menurut Abhidhamma, di antara tujuh Javana dalam satu proses Javana, momen Javana pertama,
sebagai yang paling lemah di antara semuanya, menghasilkan Kamma yang efektif segera.” (CMA, V,
Tuntunan §20, p.205)
Anda telah mempelajari proses pikiran. Umumnya dalam satu proses pikiran terdapat berapa banyak
momen Javana? Ada tujuh momen pikiran Javana. Momen Javana pertama atau Kamma pada momen
Javana pertama adalah Kamma yang efektif segera. Kamma yang efektif segera ini dikatakan sebagai
yang paling lemah di antara semuanya.
Terdapat kisah tentang Kamma yang efektif segera khususnya dalam Dhammapada. Seseorang
mempersembahkan makanan kepada Mahā Kassapa, misalnya. Kemudian ia segera menjadi seorang
kaya. Bukankah itu akibat yang besar? Dalam buku-buku dikatakan bahwa akibat ini tidak besar.
Akibat ini adalah akibat tanpa akar. Sebagai akibat dari Kamma ini ketika anda melihat kekayaan,
ketika anda memiliki kekayaan, maka anda akan memiliki Kusala-vipāka. Ketika anda menikmatinya,
anda akan memiliki Kusala-vipāka. Juga kekayaan adalah akibat dari Kamma ini, tetapi bukan akibat
langsung. Kamma yang efektif segera menghasilkan akibat yang hanya Ahetuka. Rūpa juga disebut
Ahetuka. Jadi ini tidak begitu besar. Bandingkan dengan akibat lain di alam Deva. Menjadi kaya sebagai
manusia atau menjadi Deva yang manakah yang anda pilih? Anda tentu memilih menjadi Deva. Jadi
kelahiran kembali sebagai Deva adalah akibat yang lebih besar daripada menjadi kaya sebagai
manusia. Walaupun di mata kita akibat dari Kamma yang efektif segera adalah besar, tetapi jika
dibandingkan dengan akibat dari Kamma yang efektif dalam kehidupan berikutnya, ini tidak begitu
besar. Ini disebut yang paling lemah di antara semuanya. Ini hanya menghasilkan akibat dalam
kehidupan ini.
Mengapakah disebut yang paling lemah? Paling lemah karena tidak memiliki kondisi Āsevana.
‘Āsevana’ berarti pengulangan. Satu Javana diulang tujuh kali. Yang pertama tidak menerima kondisi
Āsevana dari momen pikiran sebelumnya. Persis sebelum Javana adalah Voṭṭhabbana. Voṭthabbana
dan Javana adalah berbeda. Voṭṭhabbana termasuk Kiriya. Javana termasuk Kusala atau termasuk
Akusala. Jadi Javana pertama tidak memperoleh kondisi Āsevana dari Voṭṭhabbana. Itulah sebabnya
mengapa disebut yang paling lemah. Sedangkan yang ke dua, ke tiga, ke empat dan seterusnya, Javana-
Javana ini memperoleh momentum karena didukung oleh yang lain dan yang lain. Kamma atau Cetanā
dari Javana pertama dikatakan sebagai yang paling lemah di antara semuanya.
Kadang-kadang kita ingin mendapatkan akibat dalam kehidupan ini, bukan? Jika kita ingin
mendapatkan akibat dalam kehidupan ini, maka Kusala kita harus dilakukan secara sangat sistematis
dan juga harus memenuhi kondisi-kondisi yang diperlukan. Dalam Dhammapada kita akan
menemukan kondisi-kondisi ini – misalnya seseorang harus memiliki Cetanā yang baik, kehendak
yang sangat kuat, persembahan yang diberikan harus diperoleh dengan cara-cara yang jujur dan
benar, orang yang menerimanya harus baru saja keluar dari Nirodha-samāpatti atau Phala-samāpatti
dan sebagainya. Bahkan jika semua kondisi ini terpenuhi, akibat yang dihasilkan adalah hanyalah
Ahetuka.

KAMMA YANG EFEKTIF PADA KEHIDUPAN BERIKUTNYA


Yang berikutnya adalah Kamma yang efektif pada kehidupan berikutnya. Ini berarti Kamma yang
akibatnya dialami pada kehidupan berikutnya.
“Jika Kamma ini harus masak, maka Kamma ini pasti menghasilkan akibatnya dalam kehidupan yang
persis setelah kehidupan di mana Kamma itu dilakukan; …” (CMA, V, Tuntunan §20, p.205)
Jika Kamma itu dilakukan dalam kehidupan ini, maka akan menghasilkan akibat pada kehidupan
berikutnya.
“… jika tidak maka Kamma itu menjadi mati.” (CMA, V, Tuntunan §20, p.205)
Jika tidak menghasilkan akibat pada kehidupan berikutnya, maka Kamma itu mati. Kamma itu tidak
akan menghasilkan akibat sama sekali.
“Jenis Kamma ini dihasilkan oleh momen Javana terakhir (yaitu momen Javana ke tujuh) dalam satu
proses Javana, yang merupakan yang paling lemah ke dua dalam rangkaian.” (CMA, V, Tuntunan §20,
p.205)
Anggapan bahwa Javana ke tujuh adalah yang paling lemah ke dua adalah pendapat Leḍī Sayādaw.
Tetapi ada guru-guru yang tidak sependapat dengannya. Ada guru-guru yang mengatakan Javana-
Javana memperoleh momentum dari pertama hingga ke tujuh, jadi Javana ke tujuh adalah yang paling
kuat. Tetapi Leḍī Sayādaw berpendapat bahwa yang pertama tidak kuat, yang ke dua agak lebih kuat,
yang ke tiga lebih kuat lagi, yang ke empat adalah yang paling kuat, kemudian yang ke lima melemah
menurun ke enam dan ke tujuh. Leḍī Sayādaw berpendapat bahwa Javana ke tujuh adalah yang paling
lemah ke dua. Ia berpendapat bahwa lima Javana di tengah adalah yang terkuat.
Kamma ini menghasilkan akibatnya dalam kehidupan berikutnya. Jika itu adalah Kamma baik, maka
akan menghasilkan kelahiran kembali sebagai manusia atau Deva; jika itu adalah Akusala Kamma,
maka akan menghasilkan akibat di alam sengsara.

KAMMA YANG EFEKTIVITASNYA TIDAK DAPAT DITENTUKAN


Yang ke tiga adalah Kamma yang efektivitasnya tidak dapat ditentukan, Aparāpariyavedanīya. Ini
berarti Kamma yang akibatnya dialami dalam kehidupan lainnya.
“Kamma (ini) adalah Kamma yang dapat masak pada kapan saja mulai dari kehidupan berikut yang ke
dua dan seterusnya, kapan saja Kamma ini memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibat.”
(CMA, V, Tuntunan §20, p.205)
Adalah penting untuk diketahui bahwa di sini adalah dari kehidupan berikut yang ke dua dan
seterusnya. Dalam buku-buku lain anda akan menemukan hanya dalam kehidupan lain atau kelahiran
kembali yang lainnya. Tetapi sebenarnya makna yang benar untuk dipahami di sini adalah dimulai
dari kehidupan berikut yang ke dua hingga seterusnya. Katakanlah ‘kehidupan sekarang’ adalah
kehidupan pertama dan ‘kehidupan berikut’ adalah kehidupan ke dua. Kemudian setelah kehidupan
berikut itu adalah ‘kehidupan ke tiga’. Maka di Burma kami mengatakan Kamma yang efektivitasnya
tidak dapat ditentukan adalah Kamma yang menghasilkan akibat dari kehidupan ke tiga hingga akhir
Saṃsāra. Dalam Komentar disebut Vibhāvinī, ABhidhammatthavibhāvinīṭīkā, yang adalah Komentar
atas Abhidhammatthasaṅgaha, kata yang digunakan adalah mulai dari kehidupan ini dan seterusnya.
Ini tidak demikian. Dalam Ṭīkā atas Aṅguttara Nikāya dan juga Ṭīkā atas Visuddhimagga dikatakan
bahwa dimulai dari kehidupan setelah kehidupan sekarang. Ini berarti kehidupan sekarang,
kehidupan berikut dan kehidupan lain. Jadi ini adalah hal yang sama. Oleh karena itu, ini adalah
Kehidupan berikut yang ke dua atau seperti yang kami katakan di Burma dimulai dari kehidupan ke
tiga hingga akhir Saṃsāra.
“… kapan saja Kamma ini memperoleh kesempatan untuk menghasilkan akibat.” (CMA, V, Tuntunan
§20, p.205)
Jadi selama waktu dari kehidupan ke tiga ini hingga akhir Saṃsāra, Kamma ini akan menghasilkan
akibat. Di sini juga kita harus memahami bahwa Kamma ini tidak menghasilkan akibat berulang-ulang
sepanjang periode ini. Kamma ini akan menghasilkan akibat hanya satu kali. Jika telah menghasilkan
akibat, maka selesai, tidak ada akibat lagi. Jadi ketika kita mengatakan, Kamma ini akan menghasilkan
akibat dimulai dari kehidupan berikut yang ke dua dan seterusnya, ini berarti ketika Kamma ini
memperoleh kesempatan, maka akan menghasilkan akibat dalam periode waktu ini. Kemudian setelah
berakibat, maka selesai. Kamma ini tidak akan menghasilkan akibat lagi.
“Kamma ini, yang dihasilkan oleh lima momen Javana pertengahan dari proses kognitif, tidak akan
pernah mati selama lingkaran kelahiran kembali berlanjut.” (CMA, V, Tuntunan §20, p.205)
Jadi Kamma ini dihasilkan oleh lima momen Javana pertengahan. Ini berarti momen Javana ke dua, ke
tiga, ke empat, ke lima dan ke enam.
“Tak seorangpun, tidak bahkan seorang Buddha atau seorang Arahant, yang terbebas dari mengalami
akibat Kamma yang efektivitasnya tidak dapat ditentukan.” .” (CMA, V, Tuntunan §20, p.205)
Para Buddha dan para Arahant telah menghapuskan dua akar kehidupan – ketagihan dan
ketidaktahuan. Karena ketagihan dan ketidaktahuan telah dihancurkan, maka mereka tidak
memperoleh Kamma baru. Tetapi mereka tidak terbebas dari mengalami akibat dari Kamma baik atau
buruk masa lalu. Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha dan para Arahant kadang-kadang mengalami
sakit dan sebagainya. Mereka mengalami akibat dari Kamma baik atau buruk masa lalu. Kamma yang
efektivitasnya tidak dapat ditentukan selalu ada bersama makhluk-makhluk. Makhluk-makhluk
memiliki Kamma ini tersimpan bagi mereka. Kita makhluk-makhluk kadang-kadang melakukan
Kamma baik dan kadang-kadang melakukan Kamma buruk. Simpanan Kamma baik atau buruk ini
adalah apa yang menghasilkan akibat ketika memiliki kesempatan, kapanpun kondisi-kondisi yang
diperlukan muncul. itulah sebabnya mengapa satu makhluk, yang terlahir di empat alam sengsara,
dapat naik ke alam manusia. Sebagai binatang atau makhluk-neraka adalah sangat sulit untuk
memperoleh Kusala. Walaupun mereka memperoleh sangat sedikit Kusala di sana, namun mereka
tetap bisa terlahir kembali sebagai manusia atau bahkan sebagai Deva karena simpanan Kamma ini,
Kamma yang efektivitasnya tidak dapat ditentukan ini. Simpanan Kamma ini adalah harapan kita.
Kamma pertama akan menjadi mati jika tidak dapat menghasilkan akibat dalam kehidupan sekarang.
Kamma ke dua akan menjadi mati jika tidak dapat menghasilkan akibat dalam kehidupan berikut atau
kehidupan ke dua. Tetapi Kamma yang efektivitasnya akan menjadi mati hanya ketika telah
menghasilkan akibat atau orang itu telah menjadi seorang Arahant dan keluar dari Saṃsāra ini.
Anda tahu Aṅgulimāla. Aṅgulimāla telah membunuh ribuan orang. Jadi ia memiliki simpanan besar
Akusala Kamma. Tetapi ia beruntung dapat bertemu Sang Buddha. ia menjadi siswa Sang Buddha dan
kemudian ia menjadi seorang Arahant. Ketika ia meninggal dunia sebagai seorang Arahant, ia keluar
dari Saṃsāra ini. Maka Akusala Kamma, pembunuhan banyak manusia, tidak dapat menghasilkan
akibat padanya. Kamma itu semuanya menjadi Kamma mati ketika ia meninggal dunia sebagai seorang
Arahant.

KAMMA MATI
Yang terakhir disebut Kamma mati. Kata Pāḷi untuk ini adalah ‘Ahosi’. ‘Ahosi’ berarti itu terjadi, itu
muncul. itu hanya muncul, tetapi tidak menghasilkan akibat.
“Istilah ini tidak merujuk pada kelompok Kamma khusus, melainkan berlaku pada Kamma yang
seharusnya masak pada kehidupan sekarang atau pada kehidupan berikutnya tetapi tidak menemui
kondisi-kondisi yang mendukung masaknya.” (CMA, V, Tuntunan §20, p.205)
Jadi ini bukan kelompok Kamma khusus. Ketika ketiga lainnya tidak menghasilkan akibat pada
waktunya masing-masing, maka Kamma itu disebut Kamma mati.
“Dalam kasus para Arahant, semua kamma yang terakumulasi sejak masa lampau yang seharusnya
masak dalam kehidupan mendatang menjadi mati dengan kematian terakhir mereka.” (CMA, V,
Tuntunan §20, p.205)
Di Burma, kadang-kadang ketika sesuatu dibuang, kami mengatakannya itu telah menjadi Ahosi
Kamma. Ada Kamma, tetapi tidak ada akibatnya.
Kelompok empat ini disusun menurut waktu terjadinya, waktu menghasilkan akibat:
1. Kamma pertama menghasilkan akibat dalam kehidupan sekarang.
2. Kamma ke dua menghasilkan akibat pada kehidupan berikut.
3. Kamma ke tiga menghasilkan akibat mulai dari kehidupan ke tiga hingga akhir Saṃsāra.
4. Kamma ke empat tidak menghasilkan akibat. Yang ke empat ini adalah ketiga di atas yang
menjadi tidak bekerja atau menjadi mati.
Tiga kelompok pertama dijelaskan menurut metode Suttanta. Sebenarnya ini bukan Abhidhamma.
Yang terakhir adalah menurut Abhidhamma. Menurut fungsi, menurut masaknya, menurut waktu
masaknya, ini diajarkan menurut metode Suttanta. Itulah sebabnya mengapa terdapat perbedaan
pendapat di antara guru-guru. Sekarang kita telah mencakup dua belas jenis Kamma. Jenis-jenis
Kamma itu mungkin saling bertumpang-tindih satu sama lain, misalnya karena Kamma berat dan
Kamma penghancur mungkin sama.
Sekarang kita sampai pada kelompok terakhir, yaitu, menurut tempat masaknya. Di alam apakah
Kamma itu menghasilkan akibat? Menurut alam di mana Kamma itu menghasilkan akibat, Kamma
dibagi menjadi empat. Yaitu:
1. Kamma tidak bermanfaat,
2. Kamma bermanfaat yang berhubungan dengan alam-indriawi (Kāmāvacara Kusala Kamma),
3. Kamma bermanfaat yang berhubungan dengan alam bermateri-halus (Rūpāvacara Kusala
Kamma),
4. Kamma bermanfaat yang berhubungan dengan alam tanpa-materi (Arūpāvacara Kusala
Kamma).
Yang pertama adalah Akusala. Yang ke dua adalah Kāmāvacara Kusala. Yang ke tiga adalah Rūpāvacara
Kusala. Yang ke empat adalah Arūpāvacara Kusala. Kamma-Kamma ini disusun menurut tempat di
mana akibat Kamma itu terjadi.

KAMMA TIDAK BERMANFAAT


Anda semua tahu bahwa Akusala Kamma menghasilkan akibat di mana? Akusala Kamma sebagian
besar menghasilkan akibat di empat alam sengsara sebagai Paṭisandhi. Sebagai akibat selama
kehidupan, Kamma ini dapat menghasilkan akibat di alam manusia dan alam Deva. Menurut tempat
masaknya terdapat empat jenis Kamma.
Ada tiga jenis Kamma tidak bermanfaat – Kamma badan yang tidak bermanfaat, Kamma ucapan yang
tidak bermanfaat dan Kamma pikiran yang tidak bermanfaat (Akusala Kāya Kamma, Akusala Vacī
Kamma dan Akusala Mano Kamma). Kamma-Kamma ini dibagi menurut pintu-pintu perbuatan. Kita
akan membahas apa pintu-pintu itu. Di sini pintu-pintu bukanlah mata, telinga dan seterusnya. Di sini
pintu bermakna lain. Pertama-tama mari kita memahami bahwa ada tiga jenis Akusala Kamma:
- Kāya Kamma atau perbuatan badan,
- Vacī Kamma atau perbuatan ucapan,
- Mano Kamma atau perbuatan pikiran.
Jadi Kamma yang dilakukan melalui badan jasmani, Kamma yang dilakukan melalui ucapan, dan
Kamma yang dilakukan melalui pikiran saja. Ada tiga jenis Kamma ini.
“Bagaimanakah? Membunuh, mencuri, dan hubungan seksual yang salah adalah perbuatan badan
jasmani yang umumnya terjadi melalui pintu badan, yang dikenal sebagai isyarat tubuh.” (CMA, V,
Tuntunan §22, p.206)
Sebelum bab enam anda mungkin tidak cukup memahami isyarat tubuh. Di antara 28 properti materi
terdapat dua yang disebut isyarat – isyarat tubuh dan isyarat ucapan. ‘Isyarat tubuh’ berarti, secara
sederhana, katakanlah, gerakan badan, perbuatan badan. ‘Isyarat ucapan’ berarti ucapan atau
berbicara.
Ketiga Kamma ini – membunuh, mencuri dan hubungan seksual yang salah – dilakukan melalui pintu
badan. Di sini Dvāra atau pintu bukan berarti pintu-mata, pintu-telinga, pintu-hidung dan seterusnya.
Pintu ini hanyalah bermakna isyarat tubuh. Membunuh dilakukan melalui tubuh, mencuri dilakukan
melalui tubuh. Dan hubungan seksual yang salah dilakukan oleh tubuh.
Sehubungan dengan Kamma-Kamma ini terdapat dua tingkat Kamma yang harus kita pahami, yang
satu hanyalah Kamma dan yang lainnya adalah yang menjadi Kamma penuh, Kamma lengkap atau
Kamma penghasil kelahiran-kembali. Anda tahu apa Kamma itu. Kamma bermakna kehendak, Cetanā.
Karena apapun yang kita lakukan, kita melakukannya dengan Cetanā, kita mengatakan Kamma
bermakna perbuatan atau tindakan. Sebenarnya Kamma bermakna Cetanā.
“Kehendak demikian adalah kamma tidak bermanfaat terlepas dari apakah tindakannya terselesaikan
atau tidak, tetapi jika tindakan terselesaikan dan tujuan tercapai (misalnya kematian korban yang
dimaksudkan, perampasan harta orang lain, dan sebagainya) maka itu menjadi suatu tindakan yang
lengkap.” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Ketika tindakan selesai, misalnya, membunuh – anda membunuh satu makhluk. Makhluk itu terbunuh
dan mati. Ketika makhluk itu mati, Kamma itu menjadi suatu tindakan yang lengkap, Kamma yang
lengkap. Tetapi anda mungkin ingin membunuhnya. Anda mungkin berusaha untuk membunuhnya,
tetapi anda tidak membunuhnya. Maka itu adalah Kamma, tetapi bukan Kamma yang lengkap.
Demikianlah perbedaannya. Sekali lagi anda berusaha untuk mencuri sesuatu, tetapi anda tidak dapat
mencurinya. Ketika anda telah mencurinya dan anda memperoleh harta milik orang lain, maka itu
menjadi suatu Kamma yang lengkap. Demikianlah perbedaan antara Kamma dan Kamma yang
lengkap, anda berusaha mencuri dan tidak mendapatkannya, maka itu bukanlah pencurian yang
lengkap.
“Karakteristik dari suatu tindakan yang lengkap menjadi Kamma dengan potensi untuk mengambil
peran menghasilkan kelahiran-kemabli.” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Jika menjadi sebuah Kamma yang lengkap, maka ini dapat menghasilkan akibat kelahiran kembali.
Sebaliknya akan menghasilkan akibat dalam dan selama kehidupan, bukan sebagai penghubungan-
kembali.
Ketika kita berbicara tentang akibat, kita harus memahami dua jenis akibat – akibat pada
penghubungan-kembali dan akibat selama kehidupan. Akibat pada penghubungan-kembali dihasilkan
oleh Kamma yang telah menjadi suatu tindakan yang lengkap.
“Sehubungan dengan tindakan, pintu-pintu (dvāra) adalah media yang melaluinya kamma dilakukan.
Pintu badan adalah isyarat tubuh (kāyaviññatti), suatu jenis fenomena materi yang dihasilkan pikiran
yang dengannya seseorang mengungkapkan suatu kehendak yang muncul dalam pikirannya melalui
perantara tubuhnya (baca VI, §4).” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Untuk menyederhanakannya, ini berarti gerakan tubuh.
“Ungkapan ‘umumnya muncul’ (bāhullavuttito) digunakan karena tindakan demikian seperti
membunuh dan mencuri dapat dilakukan melalui ucapan, …” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Ungkapan “umumnya muncul” atau “umumnya muncul melalui pintu badan” digunakan karena
tindakan-tindakan demikian seperti membunuh atau mencuri juga dapat dilakukan melalui ucapan,
melalui perintah atau melalui tulisan.
“… namun bahkan dalam kasus-kasus demikian tindakan-tindakan ini masih dianggap kamma
jasmani.” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Membunuh dapat dilakukan melalui ucapan. Anda dapat memberikan perintah kepada orang lain
untuk membunuh atau anda dapat menulis surat kepada orang lain yang memerintahnya untuk
membunuh. Anda dapat mengguanakan ucapan untuk menyebabkan seseorang membunuh atau
mencuri, tetapi ini tetap disebut Kamma jasmani. Sebagian besar Kamma-Kamma ini dilakukan
melalui tindakan jasmani.
Kemudian berikutnya adalah ucapan salah – ini berarti berbohong, memfitnah, ucapan kasar dan
bergosip. Ini adalah tindakan ucapan yang umumnya muncul melalui pintu ucapan. Di sini pintu
ucapan berarti ucapan yang disebut sebagai isyarat vokal. Melalui ucapan kita orang-orang
mengetahui niat kita. Itulah sebabnya maka disebut isyarat vokal. Di sini juga berbohong, memfitnah,
ucapan kasar dan bergosip biasanya dilakukan melalui ucapan, tetapi anda dapat menulis sesuatu dan
berbohong kepada orang lain. Jadi ini juga dapat dilakukan melalui tindakan jasmani juga.
“Walaupun tindakan-tindakan seperti ucapan salah, dan sebagainya, juga dapat dilakukan melalui
jasmani, yaitu, dengan menulis atau isyarat tangan, tetapi karena cara penyampaiannya terutama
adalah melalui pintu ucapan, maka ini tetap dianggap Kamma ucapan.” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Anda ingin mengusir burung-burung. Maka anda berpura-pura melempar batu ke arah mereka. Itu
adalah Musāvāda. Anda tidak melempar batu. Anda berpura-pura melempar batu, agar mereka
terbang menjauh. Ini adalah Musāvāda. Ucapan salah dan lainnya juga dapat dilakukan melalui
tindakan jasmani. Cara penyampaiannya terutama adalah melalui ucapan, maka ini disebut Kamma
ucapan, Vacī Kamma.
Kelompok ke tiga – ketamakan, niat buruk dan pandangan salah – adalah tindakan-tindakan batin
yang umumnya muncul hanya dalam pikiran tanpa isyarat tubuh atau vokal. Apakah ketamakan?
“(Ini) adalah faktor batin keserakahan (atau Lobha), yang muncul sebagai niat untuk memperoleh
harta orang lain.” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Ketika kita melihat seseorang mengendarai mobil Mercedes, kita ingin mobil itu adalah milik kita. Ini
seperti itu. Ini disebut Abhijjhā, ketamakan.
“Walaupun keserakahan muncul atas harta orang lain, namun ini tidak menjadi tindakan yang lengkap
jika tidak memunculkan kehendak untuk memiliki harta tersebut.” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Anda memiliki keinginan kuat untuk memiliki harta itu. Maka itu menjadi ketamakan. Tetapi jika
keinginan itu tidak begitu kuat, maka itu tidak menjadi Kamma yang lengkap. Itu hanyalah Lobha
biasa. Ini disebut Visama Lobha, Lobha yang tidak adil.
Berikutnya adalah Vyāpāda, niat buruk.
“(Ini) adalah faktor batin kebencian (Dosa), yang menjadi suatu tindakan lengkap jika muncul dengan
kehendak agar makhluk lain mengalami bahaya dan menderita.” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Berpikir, “Semoga ia mati” atau “Semoga ia mengalami bahaya” adalah Vyāpāda. Ini seperti itu. Ketika
anda berpikir seperti ini, ini adalah lawan dari Mettā (cinta-kasih). Dengan cara ini, niat buruk menjadi
tindakan lengkap.
“Pandangan salah (micchādiṭṭhi) menjadi tindakan lengkap jika mengambil bentuk salah satu
pandangan nihilistis secara moral yang menyangkal validitas etis dan akibat-akibat dari perbuatan.”
(CMA, V, Tuntunan §22, p.207)
Ada tiga jenis Micchā-diṭṭhi yang disebutkan di sini.
“Tiga pandangan demikian sering disebut dalam Sutta Piṭaka:
(i) Nihilisme (Natthika-diṭṭhi), yang menyangkal keberadaan personalitas dalam bentuk
apapun setelah kematian, dengan demikian meniadakan aspek moral dari perbuatan-
perbuatan;” (CMA, V, Tuntunan §22, p.207-208)

Makhluk-makhluk dengan pandangan salah ini meyakini bahwa tidak ada akibat di masa
depan. Ketika kita menyangkal akibat-akibat masa depan, maka kita juga menyangkal
adanya Kamma. Sesungguhnya mereka menyangkal Kamma dan akibatnya. Dikatakan
bahwa Natthika-diṭṭhi menyangkal akibat-akibat.

(ii) Pandangan Tidak efektifnya perbuatan (akiriya-diṭṭhi), yang menganut bahwa perbuatan-
perbuatan adalah tidak efektif dalam menghasilkan akibat dan dengan demikian
meniadakan pentingnya moral; dan” (CMA, V, Tuntunan §22, p.208)

Akiriya-diṭṭhi adalah pandangan salah yang menyangkal penyebab-penyebab, yang


menyangkal Kamma. Tidak ada Kamma demikian yang menghasilkan akibat.

(iii) Pandangan non-kausalitas (ahetuka-diṭṭhi), yang menyatakan bahwa tidak ada penyebab
atau kondisi bagi kekotoran dan pemurnian makhluk-makhluk, bahwa makhluk-makhluk
menjadi kotor dan murni secara kebetulan, takdir atau kebutuhan.” (CMA, V, Tuntunan
§22, p.208)
Pandangan ini dikatakan menyangkal sebab dan akibat.
Ketika seseorang menganut salah satu pandangan ini dan mencapai Javana ke tujuh, maka itu menjadi
Micchā-diṭṭhi yang sesungguhnya. Ketiga ini – Abhijjhā, Vyāpāda dan Micchā-diṭṭhi, hanya muncul di
dalam pikiran, tanpa isyarat tubuh atau vokal. Ini adalah Mano Kamma.
Jadi ada Kāya Kamma, Vacī Kamma dan Mano Kamma.
Berapa banyakkah Kāya Kamma? Ada tiga – membunuh, mencuri dan hubungan seksual yang salah.
Berapa banyakkah Vacī Kamma? Ada empat – berbohong, memfitnah, ucapan kasar dan bergosip.
Dan berapa banyakkah Mano Kamma? Ada tiga – ketamakan, niat buruk dan pandangan salah.
Sehubungan dengan yang pertama Pāṇātipāta, membunuh, ketika seseorang atau satu makhluk benar-
benar terbunuh, maka itu menjadi suatu tindakan yang lengkap. Mencuri, ketika seseorang mencuri
dan mengambil harta orang lain, maka itu menjadi suatu tindakan yang lengkap. Dan Kāmesu
Micchācara, ketika seseorang benar-benar melakukan hubungan seksual terlarang, maka itu menjadi
suatu tindakan yang lengkap.
Musāvāda, berbohong – dapatkah anda benar-benar bebas dari berbohong? Ini sangat sulit khususnya
dalam masyarakat modern ini untuk 100% jujur. Ada yang disebut bohong putih. Kita sering
mengatakan “Semoga harimu indah” atau semacam itu. Kita mungkin tidak benar-benar bermaksud
begitu. Atau kita mungkin berkata “Senang bertemu anda”, bukan? Tetapi ini menjadi suatu tindakan
lengkap hanya jika menyebabkan kerusakan atau kerugian pada orang lain. Jadi bohong putih
mungkin tidak menjadi tindakan lengkap, Kamma lengkap. Walaupun ini adalah berbohong, tetapi
tidak akan menghasilkan akibat penghubungan-kembali. Tetapi jika ini menyebabkan kerusakan pada
orang lain atau menyebabkan kerugian pada orang lain, maka ini menjadi suatu tindakan lengkap.
Kemudian memfitnah – saya tidak tahu apa makna memfitnah. Di sini ‘memfitnah’ atau dalam Pāḷi
‘Pisuṇa Vāca’ bermakna memecah dua orang. Saya mengatakan sesuatu yang buruk tentang dia kepada
anda. Kemudian saya mengatakan sesuatu yang buruk tentang anda kepada dia, sehingga kalian
berdua menjadi terpecah. Itu adalah apa yang dimaksudkan dengan Pisuṇa Vācā. ‘Pisuṇa’ bermakna
memecah. Pisuṇa Vācā memecah pertemanan antara dua orang. Ini adalah apa yang disebut Pisuṇa
Vācā. Memfitnah mungkin bukan Pisuṇa Vācā. Anda mungkin mengatakan sesuatu yang buruk
tentang seseorang di belakangnya, tetapi ini bukan memfitnah. Pisuṇa Vācā dilakukan dengan niat
menghancurkan pertemanan antara dua orang atau dua kelompok. Mereka benar-benar terpecah jika
ini menjadi suatu tindakan yang lengkap. Jika mereka tidak terpecah, maka ini adalah Pisuṇa Vācā,
tetapi bukan suatu tindakan yang lengkap.
Pharusa Vācā adalah ucapan kasar, ucapan menghina. Hanya jika niatnya buruk maka itu menjadi
Pharusa Vācā. Kadang-kadang para ibu mungkin mengutuk anak-anak mereka. Mereka berkata,
“Semoga sesuatu yang buruk menimpamu” atau semacam itu karena mereka marah. Tetapi di dalam
hati mereka, mereka tidak menginginkan keburukan apapun menimpa anak-anak mereka. Mereka
tidak bermaksud begitu. Mereka hanya mengatakannya saja. Itu bukan Pharusa Vācā. Itu bukan
ucapan kasar karena niatnya murni, niatnya baik. Sebaliknya, bahkan walaupun anda tersenyum, jika
anda memiliki niat buruk, walaupun kata-katanya halus, namun itu adalah ucapan kasar. Misalnya,
raja menjatuhkan hukuman mati kepada seorang kriminal, kadang-kadang ia sambil tertawa berkata,
“Tidurkan dia” atau semacam itu. Itu adalah Pharusa Vācā.
Kemudian Samphappalāpa – dalam tulisan tentang Samphappalāpa, ucapan gosip, kita umat Buddhis
mungkin tidak adil. Ada kisah-kisah Rāmayāna dan Mahābharata. Bagi umat Hindu kisah-kisah ini
adalah epos, kisah nyata, tetapi para penulis Buddhis mengatakan bahwa kisah-kisah itu tidak benar.
Mereka mengatakan bahwa kisah-kisah itu adalah gosip atau semacam itu. Jadi ketika Komentar
mengomentari tentang Samphappalāpa, mereka mengatakan pembicaraan seperti dalam Rāmayāna
atau Mahābharata. Jika umat Hindu mengetahui hal ini, mereka akan sangat marah pada kita. ‘Ucapan
gosip’ ini bermakna ucapan omong-kosong. Di sini juga dikatakan hanya ketika orang lain benar-benar
meyakininya maka ini menjadi Samphappalāpa yang sebenarnya. Kadang-kadang anda mungkin
mengatakan sesuatu kepada seseorang, tetapi ia tidak meyakininya. Maka ini bukan Samphappalāpa.
Kemudian ada Mano Kamma, Abhijjhā. Ketika anda memiliki keinginan kuat untuk memiliki harta
orang lain, untuk mengambil alih harta orang lain, keinginan kuat itu adalah Abhijjhā.
Jika anda memiliki keinginan kuat agar orang lain mati atau mengalami bahaya, maka itu adalah
Vyāpāda. Dan Micchādiṭṭhi adalah pandangan salah.
Sepuluh ini disebut sepuluh yang tidak bermanfaat atau Akusala Kamma. Ini dapat berupa hanya
Kamma atau berupa Kamma yang lengkap.
Saya pikir kita akan berhenti di sini.
Murid: [Tidak terdengar].
Sayādaw: Menurut umat Hindu, umat Buddhis adalah Natthika-diṭṭhi karena Buddhis tidak
meyakini atau tidak percaya pada keberadaan Atta. Bagi mereka ‘Natthi’ bermakna
tidak ada Atta. Oleh karena itu maka umat Hindu menyebut kita Natthika-diṭṭhi.
Menurut Buddhis, ‘Natthika-diṭṭhi’ bermakna mereka yang tidak meyakini akibat
Kamma, bahwa tidak ada akibat dari Kamma.
Murid: Apakah perbedaan antara berbohong dan bergosip?
Sayādaw: berbohong diucapkan dengan niat menipu dan juga menyebabkan kerusakan atau
kerugian pada orang lain. Bergosip hanyalah ucapan omong-kosong, ucapan yang
tidak benar, ucapan yang tidak memiliki tujuan, ucapan yang tidak mengarah pada
keinginan yang sedikit. Ucapan yang tidak mengarah pada praktik Dhamma. Ucapan
demikian adalah Samphappalāpa atau bergosip. Di dalam Teks dan juga Komentar,
dikatakan terdapat pembicaraan seperti pembicaraan binatang. Yaitu pembicaraan
tentang raja-raja, pembicaraan tentang para perampok atau pencuri, pembicaraan
tentang politik atau semacam itu. Semua itu dikelompokkan sebagai pembicaraan
binatang. Komentar-komentar sangat memahami hal ini. Walaupun anda mungkin
membiarakan tentang raja, tetapi jika anda menutup pembicaraan anda dengan suatu
observasi seperti “Semua ini telah berlalu dan adalah tidak kekal”, maka ini tidak
termasuk pembicaraan binatang. Anda boleh membicarakan tentang politik, tetapi
pada akhirnya anda mengatakan semua ini adalah tidak kekal.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Ketika anda melakukan Kamma, terdapat tujuh momen Javana. Momen Javana
pertama menghasilkan akibat; ini menghasilkan akibat di sini dalam kehidupan
sekarang. Momen Javana terakhir menghasilkan akibat dalam kehidupan berikutnya.
Kemudian momen-momen Javana pertengahan akan menghasilkan akibat yang kita
tidak tahu kapan. Misalnya, seseorang terlahir kembali di neraka dan kemudian keluar
dari neraka dan terlahir kembali sebagai manusia. Kelahiran kembalinya sebagai
manusia adalah akibat dari Kamma yang efektivitasnya tidak dapat ditentukan, bukan
Kamma yang ia lakukan di neraka, tetapi Kamma yang ia lakukan sebelum pergi ke
neraka. Hal yang sama dapat terjadi di alam Deva. Seseorang yang terlahir kembali
sebagai Deva dapat pergi ke neraka sebagai akibat dari Kamma yang efektivitasnya
tidak dapat ditentukan.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Ketika kita mengatakan kelahiran kembali sehubungan dengan manusia, yang kita
maksudkan adalah konsepsi. Pada momen konsepsi, di sana terjadi kombinasi Citta
(kesadaran), faktor-faktor bain dan properti materi. Ketika kita mengatakan kelahiran
kembali, yang kita maksudkan adalah ketiga hal itu. Hal-hal ini adalah akibat dari
Kamma masa lalu.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Kamma begitu kuat sehingga ketika menghasilkan Citta penghubungan-kembali, Citta
itu muncul berulang-ulang seumur hidup. Juga properti materi yang dihasilkan oleh
Kamma akan muncul pada setiap momen dalam kehidupan ini. Tetapi ketika kesadaran
penghubungan-kembali itu berulang, kita tidak lagi menyebutnya kesadaran
penghubungan-kembali melainkan Bhavaṅga. Tetapi sebenarnya seperti yang anda
ketahui, kedua ini adalah identik. Kita akan membahas tentang kematian dan
kelahiran kembali ketika kita sampai pada bagian terakhir bab ini.

KAMMA – BAGIAN DUA


Minggu lalu kita menyelesaikan sepuluh Kamma tidak bermanfaat. Pertama ada tiga Kamma tidak
bermanfaat – perbuatan jasmani, perbuatan ucapan dan perbuatan pikiran. Kemudian ada sepuluh
Kamma tidak bermanfaat – membunuh, mencuri dan seterusnya – tiga perbuatan jasmani, empat
perbuatan ucapan dan tiga perbuatan pikiran.
Hari ini kita sampai pada “Menurut akar dan Kesadaran” (CMA, V, §23, p.208)
“Di antaranya (sepuluh Kamma tidak bermanfaat ini), membunuh, ucapan kasar, niat buruk muncul
dari akar kebencian; …” (CMA, V, §23, p.208)
Ini berarti ketika seseorang membunuh, atau berkata kasar, atau marah, Akusala itu disertai dengan
akar kebencian, disertai dengan Dosa.
“… perilaku seksual yang salah, ketamakan, dan pandangan salah berakar dari keserakahan; …” (CMA,
V, §23, p.208)
Melalui Lobha orang melakukan perbuatan seksual yang salah, memiliki ketamakan dan pandangan
salah. Kapanpun kita memiliki pandangan salah, saat itu kita memiliki sejenis kemelekatan.
Pandangan salah selalu disertai dengan Lobha atau keserakahan.
“… empat lainnya muncul dari dua akar.” (CMA, V, §23, p.208)
Yang lainnya muncul dari Lobha atau dari Dosa.
Yang pertama membunuh – membunuh dapat disebabkan oleh Dosa.
“(Kadang-kadang) keserakahan dapat mendasari motivasi untuk membunuh dan kebencian dapat
mendasari motivasi untuk perbuatan seksual yang salah, …” (CMA, V, §23, p.208)
Kadang-kadang orang-orang mencuri sebagai pembalasan dendam atau orang-orang melakukan
hubungan seksual yang salah sebagai pembalasan dendam.
Tetapi “Abhidhamma berpendapat bahwa kehendak yang mendorong tindakan memotong indria
kehidupan makhluk lain adalah selalu berakar pada kebencian, …” (CMA, V, §23, p.208)
Jadi membunuh didefinisikan sebagai memotong indria kehidupan. Tindakan memotong indria
kehidupan selalu disertai dengan Dosa atau penolakan atas keberlangsungan kehidupan makhluk itu.
“… Sedangkan kehendak yang mendorong tindakan pelanggaran seksual selalu berakar pada
keserakahan, yaitu keinginan untuk menikmati kenikmatan seksual dengan pasangan yang terlarang.
Kehendak yang mendorong empat tindakan lainnya – mencuri, berbohong, memfitnah, bergosip –
dapat disertai dengan keserakahan atau kebencian. Semua tindakan tidak bermanfaat (Akusala) pasti
disertai dengan akar delusi (Moha).” (CMA, V, §23, p.208)
Selalu ada Moha, apakah Moha dan Lobha, atau Moha dan Dosa, atau hanya Moha.
Manual mengatakan,
“Menurut kelompok-kelompok kesadaran kamma tidak bermanfaat ini seluruhnya ada dua belas.”
(CMA, V, §23, p.208)
Kita memahami Kamma sebagai Cetanā, kehendak. Penulis mengatakan bahwa menurut kelompok-
kelompok kesadaran Akusala Kamma ini seluruhnya ada dua belas. Ini berarti dua belas jenis
kesadaran Akusala muncul. di sini Citta itu sendiri sebagai keseluruhan campuran dan bukan sebagai
faktor tunggal kehendak atau Cetanā yang dianggap sebagai Kamma. Kadang-kadang Akusala Citta
disebut Kamma. Ini hanyalah penggunaan. Ketika kita mengatakan Akusala Citta adalah Kamma, yang
dimaksudkan adalah Akusala Citta bersama dengan pendamping-pendampingnya termasuk Cetanā.
Tetapi secara pasti seperti yang anda ketahui adalah Hanya Cetanā yang disebut Kamma. Kadang-
kadang Cetanā serta faktor-faktor batin lainnya dan di sini bahkan Citta dikatakan sebagai Kamma.
Akusala Kamma menurut kelompok-kelompok kesadaran ada dua belas. Ini berarti ada dua belas
Akusala Citta.

KAMMA BERMANFAAT ALAM-INDRIAWI


Selanjutnya kita sampai pada Kamma bermanfaat alam-indriawi, Kāmāvacara Kusala. Hanya ada satu
Akusala. Kita tidak mengatakan Kāmāvacara Akusala karena Akusala selalu adalah Kāmāvacara. Tidak
ada Rūpāvacara atau Arūpāvacara Akusala. Sehubungan dengan Kusala terdapat Kāmāvacara Kusala,
Rūpāvacara Kusala, Arūpāvacara Kusala dan Lokuttara Kusala.
Kāmāvacara Kusala ada tiga – yaitu, ada perbuatan jasmani, perbuatan ucapan dan perbuatan pikiran.
Penulis Manual ini tidak menyebutkan apa ketiga ini – apa perbuatan jasmani, apa perbuatan ucapan,
apa perbuatan pikiran. Guru-guru memahami ini sebagai bermakna lawan dari sepuluh Akusala
Kamma yang telah kita bahas. Sementara Akusala Kamma adalah membunuh, mencuri, hubungan
seksual yang salah dan seterusnya, di sini Kusala Kamma dianggap sebagai penghindaran dari
membunuh, mencuri, hubungan seksual yang salah dan seterusnya. Tiga pertama – penghindaran dari
membunuh, mencuri dan hubungan seksual yang salah – bagian dari Virati. Ada tiga penghindaran:
- Ucapan benar (Sammā-Vācā),
- Perbuatan benar (Sammā-Kammanta),
- Penghidupan benar (Sammā-ājīva).
Penghindaran dari membunuh, mencuri dan hubungan seksual yang salah adalah perbuatan benar
(Sammā-kammanta). Penghindaran dari berbohong, memfitnah dan seterusnya adalah ucapan benar
(Sammā-vācā). Kemudian tiga terakhir adalah lawan dari ketamakan, niat buruk dan pandangan salah.
Lawannya adalah ketidak-tamakan, tanpa niat buruk dan pandangan benar. Tiga perbuatan pikiran
terakhir adalah Alobha, Adosa dan Amoha. Tanpa niat-buruk adalah Adosa dan tanpa-delusi adalah
Amoha. Dengan demikian, ada sepuluh Kamma bermanfaat alam-indriawi.
Kamma bermanfaat alam-indriawi dikatakan terdiri dari tiga jenis:
- Dāna, memberi,
- Sīla, moralitas, dan
- Bhāvanā, pengembangan batin.
ada delapan menurut kelompok-kelompok kesadaran. Menurut kesadaran ada delapan. Ini berarti
delapan Kāmāvacara Kusala Citta. Ketiga ini – Dāna, Sīla dan Bhāvanā – diperluas menjadi sepuluh
jenis Kusala Kamma. Memberi, moralitas, penghormatan, meditasi dan seterusnya, sepuluh ini disebut
sepuluh landasan Kamma bermanfaat, sepuluh dasar perbuatan berjasa.
Yang pertama adalah memberi. Anda semua tahu Dāna – memberi atau mempersembahkan. Di sini
Cetanā yang dengannya seseorang mempraktikkan memberi, Cetanā yang dengannya seseorang
mempraktikkan moralitas dan seterusnya disebut Dāna, Sīla, dan seterusnya. Dāna bukan hanya
Cetanā pada momen memberi. Ini adalah Cetanā sebelum dan setelah tindakan memberi. Sebelum
anda mempraktikkan Dāna anda harus memiliki sesuatu, anda berusaha untuk melakukan sesuatu,
agar anda dapat memberikannya kepada orang lain. Pencarian benda yang akan diberikan juga disebut
Dāna. Setelah memberi, ketika anda teringat, kapanpun anda mengingat Dāna itu, anda merasa
gembira. Ingatan itu juga disebut Dāna. Dāna bukan sekedar kehendak pada momen memberi
melainkan momen-momen sebelum dan sesudah momen memberi itu. Hal yang sama berlaku untuk
Sīla dan seterusnya.
Memberi dijelaskan dalam Komentar sebagai memberi dengan hormat, memberi dengan
kesungguhan. Jika anda membuang sesuatu, itu bukan Dāna. Ketika anda melakukan tindakan Dāna,
anda melakukan dengan serius, anda melakukannya dengan hormat, dengan pemujaan seperti ketika
anda mempersembahkan sesuatu kepada Sang Buddha dan sebagainya.
Yang ke dua adalah moralitas, Sīla. Untuk umat awam ada lima sīla, delapan sīla dan sepuluh Sīla.
Untuk para bhikkhu ada 227 aturan dan sebagainya. Mengambil aturan-aturan dan melaksanakannya
disebut Sīla. Bagaimana jika seseorang tidak mengambil Sīla tetapi muncul kesempatan untuk
membunuh dan ia tidak membunuh. Apakah itu adalah Sīla atau bukan pada momen menghindari? Itu
adalah Sīla karena itu adalah perbuatan benar. Ketika anda menghindari berbohong, itu adalah ucapan
benar. Walaupun seseorang tidak mengambil Sīla, tetapi jika ia menghindari membunuh dan
seterusnya ketika kesempatan muncul, maka itu juga disebut Sīla.
Yang ke tiga adalah Bhavanā, meditasi, pengembangan batin, latihan empat puluh jenis meditasi,
latihan Vipassanā hingga momen Gotrabhū. Di sini Bhavanā tidak mencakup pencerahan. Pencerahan
adalah pencerahan. Bhāvana adalah pengembangan batin yang mengarah menuju pencerahan atau
mengarah menuju pencapaian Jhāna-Jhāna dan Abbhiññā.
Berikutnya adalah penghormatan, menghormat orang lain, menghormat kepada orang tua,
menghormat para bhikkhu. Menghormat artinya, misalnya, ketika seorang bhikkhu datang anda
bangkit dari duduk, anda menyapanya, anda mengambil benda apapun yang sedang ia bawa, anda
memberikan tempat duduk. Hal-hal demikian disebut penghormatan kepada yang lebih tua, kepada
orangtua anda, kepada guru-guru anda.
Yang ke lima adalah pelayanan. Pelayanan adalah melakukan sesuatu untuk mereka yang layak kita
hormati. Pelayanan juga dijelaskan sebagai merawat orang sakit. Para bhikkhu merawat para bhikkhu
lain yang sakit; ini juga adalah pelayanan. Ada banyak jenis pelayanan dalam kehidupan awam –
pelayanan publik, pelayanan demi kesejahteraan komunitas religius, pelayanan demi kesejahteraan
vihara, pelayanan demi kesejahteraan para Yogi; semua ini disebut pelayanan. Jadi ketika anda
melakukan sesuatu pada sebuah retret dan anda menawarkan diri untuk menyiapkan makanan,
mencuci piring, membersihkan rumah, maka ini adalah pelayanan.
Nomor enam adalah pelimpahan jasa. Anda semua mengetahui ini. Ini sebenarnya bukan pelimpahan
jasa melainkan berbagi jasa. Kata Pāḷi untuk ini adalah Pattidāna. Ini berarti memberikan apa yang
diperoleh. Pertama-tama anda melakukan sejenis Kusala, katakanlah, memberi. Melalui praktik
memberi ini anda memperoleh jasa. Dalam Pāḷi ini disebut Patti. Kemudian anda ingin berbagi jasa.
Anda ingin jasa ini juga dimiliki orang lain. Maka anda berbagi jasa dengan mereka, dengan orang-
orang lain. Perbuatan demikian adalah apa yang disebut sebagai pelimpahan jasa. Terjemahan ini,
pelimpahan jasa, tidak begitu baik. ‘Pelimpahan’ berarti berpindah tempat. Di sini, seperti yang anda
semua ketahui, jasa tidak berpindah dari satu orang ke orang lain. Tetapi ini seperti menyalakan
sebatang liling dari lilin orang lain yang telah menyala. Pelimpahan jasa berarti memberi kesempatan
kepada orang lain untuk turut memperoleh jasa, dengan membuat mereka bergembira atas jasa anda.
Jadi ketika dan mempraktikkan pelimpahan jasa, anda mengatakan, “Semoga anda berbagi jasa saya”
atau “semoga semua makhluk berbagi jasa ini” dan sebagainya.
Kemudian ada bergembira di dalam jasa orang lain. Yaitu ucapan, “Sādhu, Sādhu, Sādhu.” Sekarang
adalah kebiasaan dalam negara-negara Buddhis untuk mengatakan, “Sādhu, Sādhu, Sādhu”, ketika
jasa dibagikan. Ketika seseorang bergembira atas jasa orang lain, ia memperoleh jasa. Ia memperoleh
Kusala. Sekarang ada persoalan di sini. Dapatkah kita mengatakan, “Sādhu” bahkan jika orang lain itu
tidak berbagi jasa dengan kita? Misalnya, kita melihat seseorang melakukan kedermawanan. Dapatkah
kita bergembira atas jasanya dan kita memperoleh jasa juga? Ya. Tetapi jika jasa itu secara khususs
untuk mereka yang telah meninggal dunia, untuk mereka yang telah mati, maka orang yang
melakukan jasa perlu membagikan. Kalau tidak maka orang yang telah mati itu tidak dapat manfaat
segera dari jasa itu. Ketika kita berbagi jasa dengan mereka yang telah meninggal dunia dan
bergembira atsa jasa kita, maka mereka juga memperoleh jasa dan mereka memperoleh akibatnya
dengan segera. Ketika kita sebagai manusia bergembira atas jasa orang lain, kita tidak memperoleh
akibatnya dengan segera. Kita hanya memperoleh Kusala. Jika jasa itu dilakukan secara khusus untuk
mereka yang telah meninggal dunia, maka kita perlu berbagi jasa dengan mereka. Dan mereka juga
perlu bergembira atas jasa kita. Ada tiga kondisi yang harus dipenuhi agar jasa demikian dapat efektif
segera. Orang yang melakukan jasa harus berbagi jasa dengan orang lain. Orang yang meninggal dunia
harus bergembira atas jasa tersebut. Harus ada orang yang layak menerima persembahan, seperti
seorang Buddha, seorang Arahant atau seorang bhikkhu. Ketika ketiga kondisi ini terpenuhi, maka
mereka yang telah meninggal dunia akan memperoleh akibatnya dengan segera. Bergembira dalam
jasa adalah bergembira ketika jasa dibagikan dan bahkan bergembira ketika jasa tidak dibagikan.
Ketika kita melihat seseorang melakukan kebaikan, dan kita pikir itu adalah Kusala, kita dapat turut
bergembira atas jasa mereka. Kita dapat mengucapkan kepada diri sendiri, “Sādhu, Sādhu, Sādhu.”
Kita akan memperoleh jasa kita sendiri.
Berikutnya adalah mendengarkan Dhamma, mendengarkan khotbah Dhamma. Di sini mendengarkan
Dhamma atau mendengarkan khotbah Dhmma harus dilakukan dengan hati yang murni – bukan untuk
menyombongkan diri atau untuk memperoleh reputasi baik – dengan ketulusan dan kesungguhan kita
harus mendengarkan Dhamma. Mempelajari dengan hati yang tulus adalah termasuk mendengarkan
Dhamma.
Mengajar Dhamma – seorang yang mengajar Dhamma harus tanpa berharap, tanpa mengharapkan
keuntungan pribadi dalam bentuk apapun, dengan niat mengajarkan Dhamma kepada orang lain agar
mereka dapat memperoleh manfaat dari Dhamma itu. Di sini mengajar pengetahuan lainnya juga
termasuk mengajar Dhamma.
Yang terakhir adalah meluruskan pandangan seseorang. Ini berarti memiliki pandangan benar.
Pandangan benar bermakna – ada Kamma, ada akibat Kamma. Ini disebut meluruskan pandangan
seseorang.
Seluruhnya ada sepuluh Kamma bermanfaat alam-indriawi. Pertama ada tiga: Dāna, Sīla, dan Bhāvanā.
Sekarang kita memiliki sepuluh – Dāna, Sīla, Bhāvanā dan seterusnya.
Penghormatan dan pelayanan dapat dimasukkan ke dalam moralitas karena penghormatan dan
pelayanan adalah sejenis praktik. Maka dapat dimasukkan ke dalam Sīla.
Pelimpahan jasa dan bergembira atas jasa orang lain dapat dimasukkan ke dalam memberi.
Pelimpahan jasa adalah memberi. Bergembira atas jasa orang ain bukanlah memberi. Memberi
meninggalkan ketamakan, Issā dan Macchariya. Pelimpahan jasa dan bergembira atas jasa orang lain
keduanya meninggalkan Issā dan Macchariya. Maka kedua ini dapat dimasukkan ke dalam memberi.
Mendengarkan Damma, mengajarkan Dhamma dan meluruskan pandangan seseorang, ketiga ini dapat
dimasukkan ke dalam Bhāvanā, meditasi. Ketika anda mendengarkan Dhamma, anda melakukan
Bhāvanā. Ketika anda mengajar Dhamma, membabarkan Dhamma, anda melakukan Bhāvanā.
Sepuluh dapat menjadi tiga dan tiga dapat diperluas menjadi sepuluh Kamma bermanfaat.
Meluruskan pandangan seseorang dikatakan sebagai ada pada semua lainnya karena jika anda tidak
memiliki pandangan yang benar atau lurus, maka anda tidak akan melakukan memberi, anda tidak
akan mempraktikkan Sīla dan seterusnya. Meluruskan pandangan seseorang adalah bagaikan kemudi
sebuah kapal. Ini sangat penting. Ini dapat termasuk dalam memberi, moralitas atau meditasi.
Kita sedang membahas tentang Kāmāvacara Kamma. Terdapat dua belas Akusala Kamma. Ini berarti
menurut kesadaran. Dan ada delapan Kāmāvacara Kusala menurut kesadaran. Seluruhnya ada dua
puluh jenis Kusala dan Akusala. Dua puluh jenis ini, bermanfaat dan tidak bermanfaat, disebut sebagai
Kamma yang berhubungan dengan alam-indriawi. Ada dua puluh jenis Kāmāvacara Kamma – dua belas
Akusala Kamma dan delapan Kusala Kamma.
KAMMA BERMANFAAT ALAM BERMATERI-HALUS
Berikutnya kita sampai pada Rūpāvacara Kusala Kamma. Rūpavacara dan Arūpāvacara mudah. Dalam
Rūpāvacara Kusala Kamma hanya ada satu. Yaitu Mano Kamma. Rūpāvacara Kusala adalah lima Jhāna.
Jhāna-Jhāna ini bukan perbuatan jasmani, juga bukan perbuatan ucapan, melainkan adalah perbuatan
pikiran. Jhāna-Jhāna adalah selalu Mano Kamma. Hanya Mano Kamma. Jhāna-Jhāna dicapai melalui
meditasi. Anda harus bermeditasi untuk memperoleh Rūpāvacara Kusala. Ini adalah sesuatu yang
selalu mencapai penyerapan. Hanya ketika ada penyerapan maka ada Rūpāvacara Kusala. Rūpāvacara
Kusala dibagi menjadi lima menurut faktor-faktor Jhāna. Jhāna pertama memiliki lima faktor Jhāna
(Vitakka, Vicāra, Pīti, Sukha dan Ekaggatā). Jhāna ke dua memiliki empat faktor Jhāna (Vicāra, Pīti,
Sukha dan Ekaggatā). Jhāna ke tiga memiliki tiga faktor Jhāna (Pīti, Sukha dan Ekaggatā). Jhāna ke
empat memiliki dua faktor Jhāna (Sukha dan Ekaggatā). Jhāna ke lima memiliki dua faktor Jhāna
(Upekkhā dan Ekaggata). Menurut perbedaan faktor-faktor Jhāna, terdapat lima jenis Rūpāvacara
Kusala Kamma.

KAMMA BERMANFAAT ALAM TANPA MATERI


Arūpāvacara Kusala – ada empat. Ini juga adalah Mano Kamma, hanya batin. Ini bukan perbuatan
jasmani. Ini bukan perbuatan ucapan. Seperti Rūpāvacara Kusala ini harus dicapai melalui Bhāvanā,
meditasi. Itu adalah apa yang mencapai penyerapan. Ada empat menurut perbedaan objek-obheknya.
Tahukah anda apa objek-objek dari empat Arūpāvacara Citta? Yang pertama adalah ruang tanpa batas.
Yang ke dua memiliki Citta Arūpāvacara pertama sebagai objek. Yang ke tiga mengambil ketiadaan
Citta dari Arūpāvacara pertama sebagai objek. Yang ke empat mengambil Citta Arūpāvacara ke tiga
sebagai objek. Di sini perbedaannya adalah menurut objek, bukan menurut faktor-faktor Jhāna. Semua
ini memiliki jumlah faktor Jhāna yang sama. Apakah faktor-faktor Jhāna itu? Yaitu Upekkhā dan
Ekaggatā. Kita sampai pada akhir uraian Kamma, Kāmāvacara Kamma, Rūpāvacara Kamma dan
Arūpāvacara Kamma – dua puluh Kāmāvacara Kamma, lima Rūpāvacara Kamma dan empat
Arūpāvacara Kamma.

AKIBAT-AKIBAT KAMMA
Sekarang kita akan mempelajari akibat-akibat Kamma, Kamma apa memberikan akibat apa. Sekarang
lihat pada Tabel (baca CMA, V, Tabel 5.4, p.212). Pertama-tama akibat-akibat Kamma ada dua jenis.
Ada akibat pada saat penghubungan-kembali atau pada saat kelahiran kembali. Yang lainnya adalah
akibat selama kehidupan. Selalu ada kedua jenis akibat ini – akibat-akibat pada saat kelahiran kembali
(Paṭisandhi) dan akibat-akibat selama kehidupan (Pavatti). ‘Selama kehidupan’ berarti setelah
kelahiran kembali hingga kematian.
Pada tabel anda akan melihat kehendak-kehendak alam-indriawi. Itu adalah Kamma. Kemudian ada
akibat-akibat pada saat kelahiran kembali dan selama kehidupan. Kemudian ada alam-alam
kehidupan. Ini adalah alam-alam di mana Kamma-Kamma menghasilkan akibat. Berikutnya ada jenis-
jenis kesadaran yang adalah akibat-akibat dari masing-masing Kamma.
Sebelas Kamma tidak bermanfaat – ada dua belas Kamma tidak bermanfaat, di antaranya kegelisahan
dihilangkan. Sebelas jenis Kamma tidak bermanfaat menghasilkan akibat di empat alam sengsara pada
saat kelahiran kembali. Ketika Kamma ini menghasilkan akibat di empat alam sengsara, akibat-
akibatnya adalah dalam bentuk Kesadaran Akibat Penghubungan-kembali Tidak-bermanfaat –
penyelidikan bersama dengan keseimbangan, yaitu, Akusala-vipāka Santīraṇa yang disertai dengan
Upekkhā. Akusala-vipāka Santīraṇa yang disertai dengan Upekkhā itu adalah akibat dari sebelas Citta
tidak bermanfaat atau sebelas Kamma tidak bermanfaat yang menyebabkan kelahiran kembali di
empat alam sengsara. Kamma yang disertai dengan kegelisahan atau Uddhacca tidak dapat
menghasilkan akibat sebagai kelahiran kembali karena terlalu lemah. Ini tidak disertai dengan
Cetasika yang kuat. Karena tidak disertai dengan Cetasika yang kuat, maka tidak memiliki kekuatan
untuk menghasilkan akibat pada saat kelahiran kembali. Penjelasan lainnya bahwa ini tidak
menghasilkan akibat pada saat kelahiran kembali adalah karena ini belum dilenyapkan melalui
Sotāpatti-magga. Sotāpatti-magga melenyapkan pandangan salah dan keragu-raguan. Seorang
Sotāpanna tidak terlahir di empat alam sengsara. Tetapi Seorang Sotāpanna belum melenyapkan
kegelisahan atau Uddhacca. Ia masih memiliki Uddhacca dan ia tidak terlahir kembali di empat alam
sengsara. Jadi kegelisahan tidak dapat menghasilkan akibat di empat alam sengsara pada saat
kelahiran kembali. Tetapi selama kehidupan akan menghasilkan akibat-akibat.
Dua belas Kamma tidak bermanfaat menghasilkan akibat selama kehidupan di alam Kāmāvacara
sebelas dan alam Rūpāvacara lima belas. Di alam Kāmāvacara, Vipāka adalah dalam bentuk Citta. Citta-
Citta apakah itu? Citta-Citta itu adalah tujuh akibat dari perbuatan tidak bermanfaat. Di alam
Rūpāvacara tiga akan hilang karena para Brahma tidak memiliki snsitivitas-hidung, sensitivitas-lidah
dan sensitivitas-badan. Hanya empat lainnya yang akan muncul – sensitivitas-mata, sensitivitas-
telinga, Sampaṭicchana dan Santīraṇa.
Ketika seseorang, katakanlah seorang manusia, melihat sesuatu yang tidak disukai, maka ia akan
memiliki Cakkhu-viññāṇa Akusala-vipāka. Akusala Cakkhu-viññāṇa itu, penglihatan itu adalah akibat
dari Akusala Kamma lampaunya. Bahkan para Brahma dapat memiliki kesadaran melihat yang
merupakan akibat dari Akusala. Ketika mereka turun ke alam manusia, mereka mungkin melihat hal-
hal buruk atau bahkan jika mereka tidak turun ke alam manusia, mereka mungkin melihat hal-hal
buruk. Jika mereka melihat dari alam Brahma ke alam manusia, mereka akan melihat objek-objek yang
tidak disukai. Jadi Akusala bahkan dapat menghasilkan akibat kepada para Brahma.
Jadi sebelas Akusala Kamma dapat menghasilkan akibat di empat alam sengsara pada saat kelahiran
kembali dengan hanya satu jenis kesadaran. Tahukah anda mengapa hanya ada satu jenis kesadaran?
Karena ini adalah satu jenis kesadaran yang memiliki fungsi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Tetapi
selama kehidupan kesadaran ini tidak berfungsi sebagai Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Maka selama
kehidupan seluruh dua belas Akusala Citta, seluruh dua belas Kamma tidak bermanfaat menghasilkan
seluruh tujuh jenis kesadaran di alam Kāmāvacara dan empat jenis kesadaran sebagai akibat di alam
Rūpāvacara.
Sekarang kelompok berikutnya adalah empat kesadaran bermanfaat yang tinggi berakar-tiga. Jika
anda melihat pada delapan Kāmāvacara Kusala, dua yang pertama disertai dengan berapa banyak
akar? Dua pertama disertai dengan tiga akar. Nomor tiga dan empat disertai dengan berapa banyak
akar? Disertai dengan dua akar. Nomor lima dan enam disertai dengan berapa banyak akar? Disertai
dengan tiga akar. Berapa banyakkah akar yang menyertai nomor tujuh dan delapan? Disertai dengan
dua akar. Ada empat kesadaran berakar-tiga – satu, dua, lima dan enam. Masing-masing dari kesadaran
atau Kamma berakar-tiga ini dikelompokkan menjadi tinggi dan rendah.
Ada dua tingkatan Kusala berakar-tiga – Kusala berakar-tiga yang tinggi dan Kusala berakar-tiga yang
rendah. Hal yang sama berlaku untuk Kusala berakar-dua – ada Kusala berakar-dua yang tinggi dan
ada Kusala berakar-dua yang rendah. Apakah tinggi dan rendah? Pertama mari lihat pada tiga akar
dan dua akar. Ketika anda melakukan suatu perbuatan berjasa, jika anda melakukannya tanpa
pengetahuan, tanpa pemahaman, tanpa memahami Kamma dan akibatnya, maka ini dikatakan sebagai
dilakukan dengan dua akar. Kadang-kadang kita dapat melakukan Kusala berakar-dua. Jika kita
melakukan Kusala kita dengan tidak hati-hati, maka Kusala kita mungkin tidak disertai dengan tiga
akar. Kadang-kadang kita mempraktikkan Dāna. Kita hanya memberi. Kita tidak terlalu
memikirkannya. Jika kita tidak terlalu memikirkan Kusala kita, itu mungkin berakar-dua. Jika suatu
Kāmāvacara Kusala Kamma disertai dengan pemahaman atas hukum sebab dan akibat, pemahaman
atas Kamma dan akibat-akibatnya, maka ini disebut berakar-tiga. Jika tidak disertai dengan
pengetahuan atau pemahaman demikian, maka ini disebut berakar-dua.
Sekarang mari melihat pada tinggi dan rendah. Ketika Kusala Kamma didahului dan diikuti dengan
pikiran-pikiran Kusala, maka ini disebut tinggi. Jika ini diingat berulang-ulang oleh orang itu, maka
ini disebut tinggi. Kadang-kadang orang-orang melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, tetapi
sebelum perbuatan itu mereka mungkin memiliki Akusala. Setelah melakukan perbuatan itu, mereka
mungkin menyesal, “Oh, jika aku tidak memberikannya, aku dapat menggunakannya untuk diriku
sendiri atau keluargaku.” Dengan berpikir demikian, mungkin ada penyesalan. Jika ada penyesalan,
maka Kamma itu adalah rendah. Kusala Kamma yang tinggi didahului dan diikuti dengan Kusala. Ada
ungkapan bahwa tiga jenis kehendak atau Cetanā terlibat di dalam Dāna dan perbuatan berjasa
lainnya. Jadi ketika anda hendak melakukan suatu Dāna, anda harus memiliki Kusala Citta sebelum
tindakan memberi itu. Dan kemudian setelah memberi juga, anda harus bergembira dan tidak
menyesal. Jika anda menyesal setelah memberi, maka anda akan memperoleh akibat dari memberi itu
dalam kehidupan berikut, tetapi anda tidak akan ingin menggunakan akibat-akibat itu. Anda akan
menjadi seorang yang sangat kikir. Walaupun anda mungkin menjadi seorang jutawan, anda tidak
ingin menggunakan benda-benda mahal yang bagus. Maka adalah penting ketika kita mempraktikkan
Kusala, kita harus memastikan bahwa itu disertai dengan tiga akar dan itu adalah yang berjenis tinggi.
Hanya Kamma tinggi yang menghasilkan akibat yang tinggi. Jika rendah, maka akan menghasilkan
akibat yang rendah. Jika anda menginginkan akibat terbaik, maka anda menginginkan Kusala yang
disertai dengan tiga akar dan yang tinggi.
Tiga Kāmāvacara Kamma bermanfaat yang tinggi dapat menghasilkan akibat di alam-indriawi bahagia
di tujuh Sugati – enam Deva Loka dan satu alam manusia. Kamma bermanfaat tinggi berakar-tiga (ada
empat) dapat menghasilkan akibat di tujuh alam Kāma-sugati sebagai kelahiran kembali. Akibat-
akibatnya adalah dalam bentuk Citta-Citta. Citta-Citta apakah? Yaitu yang disertai dengan Ñāṇa.
Hanya ada empat.
Selama kehidupan Kamma-Kamma ini menghasilkan akibat di seluruh alam Kāmāvacara dalam bentuk
delapan Kusala-vipāka dari Ahetuka dan delapan Kāmāvacara Sahetuka Vipāka. Seluruhnya ada enam
belas. Di alam Rūpāvacara terdapat kurang tiga dari Ahetuka. Dari Ahetuka Kusala-vipāka, sensitivitas-
hidung, -lidah dan -badan harus dikeluarkan untuk makhluk-makhluk Rūpāvacara. Vipāka adalah lima
Vipāka yang terdapat di alam Rūpāvacara.
Berikutnya – rendah berakar-tiga dan tinggi berakar-dua – Kamma-Kamma ini menghasilkan akibat
yang sama. Bahkan walaupun berakar-tiga, karena rendah maka tidak dapat menghasilkan akibat
berakar-tiga. Ini penting. Jika kita menginginkan akibat-akibat berakr-tiga, maka kita harus membuat
Kusala kita menjadi tinggi berakar-tiga. Jika itu adalah rendah berakar-tiga – yang berarti tidak
didahului dan tidak diikuti dengan Kusala berakar-tiga – maka ini tidak akan menghasilkan akibat-
akibat berakar tiga. Ini hanya akan menghasilkan akibat-akibat berakar-dua.
Pada momen kelahiran kembali di alam Kāma-sugati, yaitu, tujuh alam Kāma-sugati, Kamma demikian
akan menghasilkan akibat sebagai empat Kāmāvacara Sahetuka Vipāka Citta tanpa Ñāṇa. Tetapi
selama kehidupan, Kamma ini memunculkan dua belas Citta – empat Kāmāvacara Sahetuka Vipāka
Citta yang tidak disertai dengan pengetahuan dan delapan Ahetuka Kusala-vipāka. Di alam Rūpāvacara
akibat-akibatnya akan berasal hanya dari lima Ahetuka saja.
Dan tinggi berakar-dua – tinggi berakar-dua berarti ketika seseorang melakukan Kamma ini, hanya
dua akar yang ada. Mungkin ia melakukannya dengan tidak hati-hati. Tetapi Kusala berakar-dua ini
didahului dan diikuti dengan Kusala atau ia mengingatnya berulang-ulang dengan Kusala. Maka ini
adalah Kamma tinggi berakar-dua. Kamma tinggi berakar-dua menghasilkan akibat berakar-dua,
bukan akibat berakar-tiga.
Kemudian rendah berakar-dua yang terakhir. Ada empat. Rendah berarti tidak didahului dan tidak
diikuti dengan Kusala. Ini adalah bentuk Kusala yang paling rendah. Karena ini adalah rendah berakar-
dua, maka ini tidak dapat menghasilkan akibat-akibat berakar dua. Ini hanya dapat menghasilkan
akibat-akibat tanpa akar. Pada saat kelahiran kembali sebagai manusia dan beberapa jenis dewa
(Cātummahārājikā) akibatnya adalah Kusala-vipāka Upekkhā Santīraṇa. tetapi selama masa
kehidupan di alam Kāmāvacara akibat-akibatnya adalah dalam bentuk Ahetuka Kusala-vipāka. Di alam
Rūpāvacara terdapat lima Ahetuka Kusala-vipāka. Kesadaran-hidung, -lidah dan –badan dihilangkan.
Ini adalah Kamma dan akibat dari Kāmāvacara Kamma. Dalam Kāmāvacara terdapat Akusala dan
Kusala Kamma. Kita membagi Akusala menjadi dua. Tingkat pertama adalah tanpa kegelisahan.
Tingkat berikutya adalah seluruh dua belas Akusala Citta. Yang pertama adalah untuk akibat kelahiran
kembali. Yang ke dua adalah untuk akibat-akibat selama masa kehidupan. Kemudian kita membagi
Kāmāvacara Kusala menjadi tinggi berakar-tiga, rendah berakar-tiga, tinggi berakar-dua, dan rendah
berakar-dua. Hanya Kusala tiggi berakar-tiga yang dapat menghasilkan akibat berakar-tiga. Rendah
berakar-tiga dan tinggi berakar-dua menghasilkan akibat berakar-dua. Rendah berakar-dua bahkan
tidak dapat menghasilkan akibat berakar-dua, melainkan menghasilkan akibat tanpa-akar. Saya pikir
sejauh ini cukup jelas.
Nanti kita akan membaca pendapat-pendapat dari beberapa guru (baca CMA, V, Tabel 5.5, p.216). Kita
belum sampai di sana. Kita akan membaca tabel (baca CMA, V, Tabel 5.4, p.213). Ini tidak sulit.

RŪPĀVACARA DAN ARŪPĀVACARA KUSALA KAMMA


Sekarang kita sampai pada Rūpāvacara dan Arūpāvacara. Jhāna pertama di sini juga memiliki tingkat
rendah, tingkat menengah dan tingkat tinggi. Jhāna-Jhāna ini dapat dikembangkan dalam tiga cara.
Rendah atau terbatas bermakna seseorang baru saja memperoleh Jhāna dan ia tidak menggunakannya
lagi. Jenis Jhāna ini disebut pengembangan terbatas. Pengembangan menengah bermakna ia
memasuki Jhāna lebih sering, tetapi ia tidak sepenuhnya mahir dalam masuk atau keluar Jhāna. Ini
berarti ia tidak sepenuhnya terbiasa dengan Jhāna itu walaupun ia telah mencapai Jhāna. Tinggi
bermakna ia sangat mahir dalam menggunakan Jhāna itu. Ia dapat masuk ke dalam Jhāna kapanpun
ia menginginkan. Ia dapat keluar dari Jhāna kapanpun ia menginginkan. Ia dapat berdiam dalam Jhāna
selama yang ia inginkan. Juga jika ia memiliki banyak Jhāna, ia dapat masuk ke Jhāna manapun yang
ia inginkan, tidak harus dalam urutan seperti yang terdapat dalam buku-buku, melainkan dalam
urutan apapun.
Jadi Jhāna pertama yang dikembangkan dalam cara terbatas dapat menghasilkan akibat di alam
Brahma pertama, pengikut Brahma. Akibatnya adalah dalam bentuk hasil Jhāna pertama. Jika
dikembangkan dalam cara menengah, akibatnya adalah Citta yang sama, tetapi alamnya berbeda. Citta
yang sama itu muncul di alam ke dua, menteri Brahma. Jika pengembangannya tinggi, Citta yang sama
akan muncul di alam Mahābrahmā. Jhāna pertama yang dikembangkan dalam tiga cara menghasilkan
akibat di tiga alam Brahma,tiga alam Brahma Jhāna pertama. Walaupun alamnya berbeda, kesadaran
yang dihasilkan sama, yaitu hasil Jhāna pertama.
Jhāna ke dua juga dapat dikembangkan dalam cara terbatas, menengah dan tinggi dan menghasilkan
akibat di alam cahaya kecil, alam cahaya tanpa batas dan alam cahaya gemilang dalam bentuk Vipāka
Jhāna ke dua. Jhāna ke tiga dari metode lima juga muncul di alam-alam ini juga.
Jhāna ke empat juga dikembangkan secara terbatas, menengah dan tinggi. Ini menghasilkan akibat
sebagai aura kecil, aura tanpa batas dan aura gemilang.
Terdapat hal membingungkan di sini. Kita terbiasa dengan metode lima dalam membagi Jhāna-jhāna,
tetapi alam-alam Jhāna dibagi menurut metode empat. Baik jhāna ke dua dan Jhāna ke tiga dari metode
lima menghasilkan akibat di alam Jhāna ke dua.
Jhāna ke lima – tidak ada variasi dalam Jhāna ke lima. Ini normal. Jhāna ke lima menghasilkan akibat
di alam berbuah besar, Vehapphala. Kesadaran hasilnya adalah kesadaran jhāna ke lima.
Ada makhluk-makhuk yang mengembangakn Jhāna ke lima dengan kebosanan pada persepsi – ini
berarti orang-orang ini tersesat. Dalam Komentar-komentar mereka disebut Diṭṭhiya. Yang berarti
mereka memiliki pandangan salah, semacam itu. Mereka berpikir bahwa karena kita memiliki batin
maka kita menderita dan jika kita tidak memiliki batin, maka kita tidak menderita. Setelah mencapai
Jhāna ke lima, mereka mengembangkannya dengan kebosanan pada batin. Saññā tidak hanya
bermakna persepsi di sini. Persepsi di sini mewakili semua faktor batin. Maka ketika mereka berlatih
meditasi, mereka mengucapkan, “Batin adalah menjijikkan, batin adalah menjijikkan” dan seterusnya.
Sebagai akibat dari konsentrasi mereka, Jhāna mereka, ketika mereka meninggal dunia, mereka
terlahir kembali di alam makhluk-makhluk tanpa persepsi, makhluk-makhluk tanpa batin. Tidak ada
kesadaran hasil di sini. Pada momen kelahiran kembali hanya ada properti materi, kelompok-sembilan
kehidupan. Dikatakan dalam Komentar bahwa mereka terlahir kembali di sana bagaikan patung dalam
posisi yang sama seperti ketika mereka meninggal dunia di sini. Jika mereka meninggal dunia di sini
dalam postur berbaring, maka mereka akan terlahir kembali di sana dalam postur berbaring. Jika
mereka meninggal dunia dalam postur duduk, maka mereka akan terlahir kembali di sana dalam
postur duduk selama 500 kappa.
Dan kemudian ada Jhāna ke lima Yang-tidak-kembali, Anāgāmī. Para Anāgāmī terlahir kembali hanya
di Alam Murni. Kesadaran hasil mereka adalah kesadaran hasil Jhāna ke lima.
Kemudian ada landasan ruang tanpa batas. Yaitu Arūpāvacara Jhāna pertama. Ini menghasilkan akibat
di alam ruang tanpa batas. Kesadaran hasilnya adalah kesadaran Arūpāvacara pertama.
Kemudian yang ke dua adalah kesadaran tanpa batas. Yang ke tiga adalah kekosongan. Yang ke empat
adalah bukan persepsi juga bukan non-persepsi. Masing-masingnya menghasilkan akibat di alam
Arūpāvacara masing-masing. Jenis kesadarannya adalah jenis kesadaran empat Arūpāvacara Vipāka.
Secara singkat Rūpāvacara Jhāna Kusala menghasilkan akibat di alam-alam Rūpāvacara. Arūpāvacara
Jhāna menghasilkan akibat di alam-alam Arūpāvacara. Ada lima Jhāna dan empat alam-alam Jhāna.
Jhāna ke dua dan ke tiga menghasilkan akibat di alam Jhāna ke dua.
Sekarang kita sampai pada pandangan beberapa guru sehubungan dengan Kāmāvacara Kusala. Kita
mengetahui bahwa Kāmāvacara Kusala menghasilkan akibat. Berapa banyakkah jenis kesadaran yang
merupakan akibat dari Kāmāvacara Kusala? Ada enam belas – delapan dari Ahetuka dan delapan dari
Kāmāvacara Sahetuka Vipāka. Ada beberapa guru yang mengatakan bahwa yang tanpa dorongan tidak
menghsailkan akibat dengan dorongan. Dan perbuatan-perbuatan dengan dorongan tidak
menghasilkan akibat-akibat yang tanpa dorongan. Alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa
bayangan dalam cermin pasti sama dengan orangnya. Orang dan bayangan pasti sama. Dengan cara
yang sama, hal ini juga berlaku untuk Kamma dan akibatnya; keduanya pasti sama. Ini berarti
perbuatan dengan dorongan hanya akan menghasilkan akibat dengan dorongan dan yang tanpa
dorongan akan menghasilkan akibat tanpa dorongan. Ini adalah pendapat mereka. Pendapat ini dianut
oleh Yang Mulia Mahā dhammarakkhita Thera, seorang guru Abhidhamma di Vihara Moravāpi di Sri
Lanka (baca CMA, V, Tuntunan §30, p.215). Dalam Aṭṭhasālinī nama penganut pandangan ini disebut
sebagai Mahadatta dan bukan Maha Dhammarakkhita. Beberapa guru mengatakan bahwa Vibhāvinī-
Ṭīkā keliru dalam menuliskan nama sebagai ṃahā Dhammarakkhita karena nama yang disebutkan
dalam Aṭṭhasālinī adalah Yang Mulia Mahadtta. Jika kita ingin menyelaraskan kedua ini, kita dapat
mengatakan bahwa Dhammarakkhita adalah nama lain dari Mahadatta.
Pandangan ini tidak diterima oleh banyak guru karena kesadaran penghubungan kembali apakah
dengan dorongan atau tanpa dorongan adalah tidak bergantung pada Kamma dengan dorongan atau
tanpa dorongan. Melainkan bergantung pada bagaimana Kamma, Kamma-nimitta atau Gati-nimitta
tampil pada pikiran seorang yang menjelang meninggal dunia. Jika ketiga ini tertampil secara spontan
tanpa intervensi dari orang lain, maka kesadaran penghubungan kembali adalah tanpa dorongan. Jika
ketiga ini tertampil pada seorang yang menjelang meninggal dunia dengan bantuan sanak saudara dan
lain-lain, maka kesadaran penghubungan kembali adalah dengan dorongan. Kesadaran yang dengan
dorongan atau tanpa dorongan tidak bergantung pada Kamma apakah dengan dorongan atau tanpa
dorongan. Pandangan ini disebut sebagai ‘Kece’ (beberapa). Saya telah menjelaskan pada anda tentang
hal ini. Ketika penulis mengatakan, “beberapa”, itu berarti mereka tidak menyukainya atau mereka
menganggap bahwa itu tidak sesuai dengan standar. Menurut guru-guru ini, akibat-akibatnya
mungkin berbeda. Menurut beberapa guru, tanpa dorongan dapat menghasilkan akibat tanpa
dorongan dan yang dengan dorongan dapat menghasilkan hanya akibat dengan dorongan. Terdapat
tabel (baca CMA, V, Tabel 5.5, p.216). ada tinggi pertama dan rendah pertama, tinggi ke dua dan rendah
ke dua, tinggi ke tiga dan rendah ke tiga dan seterusnya. Tinggi pertama dan rendah pertama adalah
tanpa dorongan. Dua yang ke dua adalah dengan dorongan dan dua berikutnya adalah tanpa dorongan.
Dua berikutnya adalah dengan dorongan dan seterusnya.
Yang pertama, kesadaran tinggi berakar-tiga, menghasilkan akibat 1-8 dari Kāmāvacara Sobhana
Vipāka menurut pandangan umum. Tetapi menurut beberapa orang, karena ini adalah tanpa
dorongan, maka hanya dapat menghasilkan akibat tanpa dorongan. Oleh karena itu, menurut mereka,
ini memunculkan 1, 3, 5, 7 dari hasil Kāmāvacara Sobhana.
Kemudian rendah berakar-tiga yang pertama, Kāmāvacara Sobhana Citta hanya dapat menghasilkan
akibat berakar-dua, yaitu 3, 4, 7 & 8. Ini adalah tanpa dorongan. Tetapi menurut beberapa orang, ini
hanya menghasilkan 3 & 7 sebagai akibat.
Kemudian tinggi yang ke dua Kusala Citta berakar-tiga yang ke dua, karena ini adalah tinggi dan
berakar-tiga, maka menghasilkan seluruh delapan Kāmāvacara Sobhana Vipāka. Di sini 1-8 berarti
kelahiran kembali serta selama masa kehidupan. Keduanya bercampur. Tetapi menurut beberapa
orang, karena ini adalah dengan dorongan, maka hanya akibatnya adalah hanya yang dengan
dorongan, maka diperoleh 2, 4, 6 & 8 sebagai akibatnya.
Kemudian rendah yang ke dua, Kusala Citta berakar-tiga yang didahului atau diikuti dengan Citta yang
tanpa kebijaksanaan hanya dapat menghasilkan akibat berakar-dua. Ini adalah 3, 4, 7 & 8. Menurut
beberapa orang, karena ini adalah dengan dorongan, maka hanya 4 dan 8 yang dapat muncul.
Kemudian Citta ke tiga – Citta yang tinggi ke tiga hanya memiliki dua akar. Menurut pandangan umum,
ini akan memiliki akibat berakar-dua 3, 4, 7 & 8. Menurut beberapa orang, ini adalah tanpa dorongan,
maka akibatnya adalah 3 & 7.
Kemudian Kāmāvacara Sobhana Citta yang rendah ke tiga memiliki dua akar, tetapi ini tidak didahului
dan tidak diikuti dengan Citta berakar-dua. Oleh karena itu, Citta itu menghasilkan akibat kelahiran
kembali yang tanpa akar. Tidak ada Kāmāvacara Sahtuka Vipāka, hanya Vipāka tanpa akar yang
muncul.
Kemudian Citta ke empat – apakah Citta ke empat? Ini memiliki dua akar. Jadi menghasilkan akibat
berakar-dua – 3, 4, 7 & 8. Menurut beberapa orang, karena ini adalah dengan dorongan, maka hanya
menghasilkan 4 & 8 sebagai akibat.
Rendah yang ke empat hanya menghasilkan akibat tanpa akar. Jadi tidak ada Kāmāvacara Sobhana
Vipāka Citta.
Kemudian tinggi yang ke lima, ini memiliki tiga akar – maka akibatnya adalah 1-8 atau menurut
beberapa orang hanya yang tanpa dorongan – 1, 3, 5 & 7.
Dan rendah yang ke lima, Kāmāvacara Sobhana Citta berakar-dua hanya menghasilkan akibat sebagai
Sobhana Vipāka Citta 3, 4, 7 & 8. Menurut beberapa orang, karena ini adalah tanpa dorongan, maka
menghasilkan Sobhana Vipāka Citta 3 & 7 sebagai akibat.
Tinggi ke enam, Kāmāvacara Kusala Citta berakar-tiga menghasilkan akibat sebagai Sobhana Vipāka
Citta 1-8. Menurut beberapa guru, karena ini adalah Sasaṅkhārika, dengan dorongan, maka Sobhana
Vipāka Citta 2, 4, 6 & 8 akan menjadi akibat-akibatnya.
Dan Citta rendah ke enam menghasilkan akibat berakar-dua sebagai Sobhana Vipāka Citta 3, 4, 7 & 8.
Karena ini adalah dengan dorongan, beberapa orang mengatakan akibatnya adalah 4 & 8.
Tinggi yang ke tujuh, akibat-akibat dari Citta berakar-dua adalah 3, 4, 7, 8. Ini adalah tanpa dorongan,
maka menurut beberapa guru akibat-akibatnya adalah 3 & 7.
Rendah yang ke tujuh memiliki akibat-akibat tanpa akar. Tidak ada akibat Kāmāvacara Sobhana.
Tinggi yang ke delapan menghasilkan akibat berakar-dua, yaitu Sobhana Vipāka Citta 3, 4, 7, 8. Karena
ini adalah dengan dorongan, maka menurut beberapa orang, akibat-akibatnya adalah sobhana Vipāka
Citta 4 & 8.
Rendah yang ke delapan karena rendah maka menghasilkan hanya akibat tanpa akar saja. Tidak ada
Kāmāvacara Sobhana Vipāka Citta.
Hasil tanpa akar adalah untuk semuanya. Jadi ini agak sedikit rumit.
Yang penting untuk diingat adalah bahwa menurut ‘beberapa’ orang hanya akibat-akibat tanpa
dorongan yang muncul dari Kusala tanpa dorongan dan hanya akibat-akibat dengan dorongan yang
muncul dari Kusala dengan dorongan.
Sekarang ada satu hal penting untuk dicatat sehubungan dengan para Anāgāmī. Silakan buka CMA
halaman 218. Para yang-tidak-kembali terlahir kembali di Alam Murni. Anda semua tahu bahwa jika
seseorang menjadi Anāgāmī, maka ia tidak akan kembali ke alam Kāmāvacara ini. Ia akan terlahir
kembali di salah satu dari lima Alam Murni. Dikatakan bahwa kelahiran kembali para Anāgāmī di
kelima alam ini ditentukan oleh indria spiritual yang menonjol. Ada lima indria spiritual – Saddhā,
Vīriya, Sati, Samādhi dan Paññā. Jika Saddhā seseorang menonjol, maka ia akan terlahir kembali di
Alam Murni pertama. Jika Vīriya yang menonjol, maka ia akan terlahir di Alam Murni ke dua dan
seterusnya. Yang-tidak-kembali yang padanya keyakinan adalah indria yang menonjol akan terlahir
kembali di alam Aviha; mereka yang padanya kegigihan adalah indria yang menonjol akan terlahir
kembali di alam Atappā dan seterusnya.
“Walaupun hanya para yang-tidak-kembali yang terlahir kembali di Alam Murni, …” (CMA, V,
Tuntunan §31, p.218)
Hanya Anāgāmī yang terlahir di Alam-alam Murni.
“Tidak ada hukum pasti yang mengatakan bahwa semua Yang-tidak-kembali terlahir kembali di sana.”
(CMA, V, Tuntunan §31, p.218)
Hanya Yang-tidak-kembali yang terlahir kembali di Alam-alam Murni. Yang-tidak-kembali mungkin
terlahir kembali di alam Brahma lainnya juga, tidak hanya di Alam Murni. Jika seorang Yang-tidak-
kembali hanya mencapai Jhāna pertama, maka ia akan terlahir kembali di alam Jhāna pertama. Hanya
jika ia mencapai Jhāna ke lima maka ia akan terlahir kembali di salah satu dari lima Alam Murni. Ketika
kita mengatakan bahwa Yang-tidak-kembali dapat terlahir kembali di Alam Murni, yang dimaksudkan
adalah bahwa Yang-tidak-kembali dapat terlahir kembali di Alam Murni, tetapi mereka juga dapat
terlahir kembali di alam Brahma lainnya. Yang-tidak-kembali tidak dapat terlahir kembali di alam
Kāmāvacara karena mereka telah meninggalkan kemelekatan atau keinginan terhadap alam
Kāmāvacara.
“Mungkin Alam Murni hanya terbuka untuk para yang-tidak-kembali yang memiliki Jhāna ke lima,
sedangkan yang-tidak-kembali dengan pencapaian Jhāna yang lebih rendah akan terlahir kembali di
alam lain di alam bermateri halus.” (CMA, V, Tuntunan §31, p.218)
Mereka akan terlahir kembali di alam-alam Jhāna pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat.
“Semua yang-tidak-kembali pasti terlahir kembali di alam bermateri-halus karena mereka telah
melenyapkan keinginan indriawi (kāmarāga), belenggu yang menuntun menuju kelahiran kembali di
alam indriawi.” (CMA, V, Tuntunan §31, p.219)
Ada tiga jenis alam tertinggi. Alam-alam ini disebut Vehapphala (berbuah besar), Akaniṭṭha dan
Nevasaññānāsaññāyatana (bukan persepsi juga bukan non-persepsi). Para Mulia yang terlahir kembali
di ketiga alam ini tidak akan terlahir kembali di alam lainnya. Mereka akan menjadi Arahant di sana
dan menyelesaikan Saṃsāra di sana.
Para Mulia yang terlahir kembali di alam-alam Brahma tidak akan terlahir kembali alam-alam Brahma
yang lebih rendah. Mereka akan pergi lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, mereka tidak akan turun. Kita
sampai pada akhir dari “Empat jenis Kamma” atau “Kamma-catukka”.
Kāmāvacara Kusala menghasilkan akibat yang identik dan tidak identik. Akibat identik dari
Kāmāvacara Kusala adalah delapan Kāmāvacara Sobhana Vipāka. Kāmāvacara Kusala memiliki akibat
yang identik dan tidak identik. Tetapi Rūpāvacara dan Arūpāvacara Kusala hanya menghasilkan akibat
identik. Tidak ada akibat non-identik untuk Rūpāvacara dan Arūpāvacara Kusala.
Syair penutup:
“Demikianlah jasa luhur, yang ditentukan menurut alam-alam, menghasilkan akibat serupa …” (CMA,
V, §33, p.219)
Ini berarti akibat identik.
“… (baik) pada saat penghubungan-kelahiran-kembali maupun selama masa kehidupan.” (CMA, V, §33,
p.219)
Apakah pada saat kelahiran kembali atau selama masa kehidupan, Kamma-Kamma ini menghasilkan
hanya akibat yang serupa. Tetapi Kāmāvacara Kamma dapat menghasilkan baik akibat identik maupun
akibat tidak identik.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

PROSES KEMATIAN & KELAHIRAN KEMBALI –


BAGIAN SATU
Hari ini kita melanjutkan apa yang terputus pada tahun lalu. Saya pikir kita telah menyelesaikan
bagian Kamma pada tahun lalu. Jadi hari ini kita akan mempelajari bagian yang disebut “Proses
Kematian dan Kelahiran kembali.”

EMPAT PENYEBAB KEMATIAN


Pertama-tama penulis menyebutkan empat penyebab kematain.
Empat penyebab ini adalah:
1. Habisnya umur kehidupan;
2. Habisnya kekuatan Kamma produktif;
3. Habisnya umur kehidupan dan habisnya kekuatan Kamma produktif secara bersamaan;
4. Intervensi dari Kamma penghancur.
Ini adalah empat penyebab kematian. Empat penyebab kematian ini dijelaskan dengan perumpamaan
lampu minyak. Bayangkan atau visualisasikan sebuah lampu minyak yang menyala. Lampu itu akan
menyala selama ada sumbu, ada minyak, tidak ada angin yang bertiup, atau tidak dengan sengaja
dipadamkan oleh seseorang. Ketika sumbu terbakar habis, maka api akan padam. Jika minyaknya
habis, api akan padam. Ketika keduanya habis, api akan padam. Bahkan walaupun ada minyak, ada
sumbu, tetapi jika ada tiupan angin atau seseorang dengan sengaja memadamkannya, maka api akan
padam. Demikian pula, habisnya umur kehidupan bagaikan habisnya sumbu. Habisnya kekuatan
Kamma bagaikan habisnya minyak. Habisnya umur kehidupan dan habisnya kekuatan Kamma
bagaikan habisnya sumbu dan minyak. Yang terakhir – api yang padam karena tiupan angin atau
seseorang memadamkannya – adalah bagaikan Kamma penghancur. Jadi ada empat jenis kematian ini.

KEMATIAN DIDEFINISIKAN
Kematian dalam Buddhisme didefinisikan sebagai terputusnya indria kehidupan yang termasuk dalam
batas kehidupan seseorang atau penjelmaan seseorang. Jīvitindriya atau indria kehidupan adalah
penting. Ketika indria kehidupan ini terputus, maka seseorang dikatakan sebagai mati. Ketika
seseorang mati, baik indria bain maupun indria jasmani menjadi lenyap. Dengan berhentinya indria
batin dan jasmani maka seseorang dikatakan sebagai mati. Kematian hanyalah terputusnya atau
terpotongnya indria kehidupan itu.

KEMATIAN KARENA HABISNYA UMUR KEHIDUPAN


Kematian jenis pertama adalah karena habisnya umur kehidupan. Seperti yang anda ketahui, ada
beberapa alam dengan umur kehidupan yang pasti – Cātummahārājikā, Tāvatiṃsa dan sebagainya.
Tetapi bagi manusia tidak ada umur kehidupan yang pasti. Umur kehidupan manusia dianggap sebagai
kurang-lebih 100 tahun. Jika seseorang meninggal dunia ketika ia berusia 100 tahun, walaupun
kekuatan Kamma-nya masih belum habis, ia dikatakan sebagai mati karena habisnya umur kehidupan.
Kamma lampaunya mungkin berpotensi untuk memberinya kehidupan yang lebih lama. Tetapi karena
ia lahir pada masa ketika manusia hanya hidup selama 100 tahun, dan ia meninggal dunia pada usia
100 tahun, maka ia dikatakan sebagai mati karena habisnya umur kehidupan. Untuk makhluk-
makhluk surgawi umur kehidupan mereka adalah lebih lama daripada manusia. Ketika mereka
meninggal dunia pada akhir umur kehidupan mereka, misalnya, makhluk-makhluk Cātummahārājikā,
kematian mereka adalah pada akhir 500 tahun surgawi. Kematian pada akhir 500 tahun surgawi berarti
kematian karena habisnya umur kehidupan bagi mereka.
Kemudian di dalam CMA, dikatakan,
“Jika kamma produktif masih belum habis ketika kematian terjadi karena mencapai umur maksimum,
maka kekuatan Kamma dapat menghasilkan kelahiran kembali lainnya di alam yang sama atau di alam
yang lebih tinggi seperti dalam kasus para deva.” (CMA, V, Tuntunan §34, p.220)
Saya tidak tahu sumber darimana ia mengambil ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa ini adalah
benar atau salah. Mungkin ia mengutipnya dari Komentar Leḍī Sayādaw. Saya tidak memiliki buku itu,
jadi saya tidak dapat mengatakannya benar atau salah. Tetapi menurut pemahaman saya, satu Kamma
hanya dapat menghasilkan satu Paṭisandhi. Satu Kamma hanya dapat menghasilkan satu Paṭisandhi.
Jadi walaupun Kamma belum habis, saya pikir Kamma tidak dapat menghasilkan akibat Paṭisandhi
lainnya.

KEMATIAN KARENA HABISNYA KEKUATAN KAMMA


Yang ke dua adalah habisnya kekuatan Kamma produktif. Ini adalah kematian sebelum akhir dari
umur kehidupan yang normal. Misalnya, manusia saat ini hidup selama kurang-lebih 100 tahun. Jika
seseorang mati sebelum berusia 100 tahun, ia dikatakan sebagai mati karena habisnya kekuatan
Kamma produktif. Kamma-nya di masa lampau tidak mampu membantunya untuk hidup hingga usia
100 tahun. Oleh karena itu maka ia meninggal dunia sebelum berusia 100 tahun. Dalam kasus itu ia
dikatakan sebagai mati karena habisnya kekuatan Kamma produktif. Ketika seseorang meninggal
dunia karena habisnya kekuatan Kamma produktif, umur kehidupannya mungkin belum habis. Dan
juga ada kondisi mendukung lainnya untuk memperpanjang hidupnya. Walaupun ada kondisi-kondisi
ini dan walaupun umur kehidupannya belum habis, namun kekuatan Kamma-nya sudah habis. Ia
meninggal dunia sebelum mencapai akhir umur kehidupannya. Kematian ini adalah karena habisnya
Kekuatan Kamma.
KEMATIAN KARENA KEDUANYA
Ketika baik kekuatan Kamma produktif maupun umur kehidupan berakhir secara bersamaan, maka
ada kematian karena habisnya keduanya. Misalnya, seorang manusia yang meninggal dunia pada usia
100 tahun, maka ia dikatakan mati karena habisnya umur kehidupan dan kekuatan Kamma.

KEMATIAN KARENA KAMMA PENGHANCUR


Jenis kematian ke empat adalah karena Kamma penghancur. Suatu Kamma penghancur dapat berupa
Kamma lampau yang dilakukan dalam kehidupan sebelumnya atau sesuatu yang dilakukan dalam
kehidupan sekarang. Kamma penghancur mengintervensi ketika seseorang terbunuh karena
usahanya sendiri atau karena usaha orang lain atau jika ia mati karena suatu penyakit. Juga dalam
kasus beberapa orang yang melakukan kejahatan berat terhadap mereka yang sangat bermoral, maka
kekuatan Kamma mereka tidak mampu memelihara kehidupan mereka, tidak dapat mempertahankan
kehidupan mereka hingga umur kehidupan berakhir atau hingga mereka mencapai akhir yang normal.
Jenis kematian demikian disebut kematian karena intervensi Kamma penghancur. Kematian karena
intervensi Kamma penghancur dapat disebabkan oleh Kamma lampau. Saya rasa anda masih ingat
tentang Kamma penghancur ketika kita mempelajari empat jenis Kamma. Ketika seseorang mati
karena Kamma penghancur, Kamma penghancur itu dapat berupa Kamma dari kehidupan lampau atau
dari kehidupan sekarang ini.
Anda tahu ada kisah tentang seorang raja yang memotong tangan dan kaki seorang Petapa yang adalah
seorang Bodhisatta. Sang Bodhisatta pada kehidupan itu bernama Khantivādi karena ia
mempraktikkan kesabaran. Raja tidak menyukainya. Raja ingin mengujinya – apakah ia benar-benar
memiliki kesabaran. Ia memerintahkan agar tangan sang petapa dipotong dan kemudian kakinya
dipotong. Walaupun tangan dan kakinya di potong, sang petapa tidak menjadi marah. Tetapi kejahatan
ini begitu berat sehingga sang raja ditelan bumi. Pelanggaran sang raja yang memotong tangan dan
kaki sang petapa begitu berat sehingga mempengaruhi atau menghancurkan kekuatan Kamma
lampaunya. Jadi kekuatan itu tidak dapat memelihara kehidupannya lebih lama lagi. Demikianlah ia
ditelan bumi dan mati. Ia terlahir kembali di neraka Avīci. Jenis kematian demikian disebut kematian
karnena Kamma penghancur – ada banyak jenis kematian karena Kamma penghancur – kematian
dalam kecelakaan, bunuh diri, serta kematian karena bencana alam.
Jadi ada empat jenis kematian ini yang diajarkan dalam Buddhisme. Di antaranya tiga yang pertama
disebut Kālamaraṇa, kematian yang pada waktunya. Ini berarti seseorang mati ketika tiba waktunya
baginya untuk mati. Tetapi yang terakhir disebut Akālamaraṇa, kematian yang tidak pada waktunya.
Masih ada umur kehidupan dan masih ada kekuatan Kamma produktif, tetapi terpotong oleh Kamma
penghancur. Maka ini disebut Akālamaraṇa, kematian yang tidak pada waktunya. Kehidupannya
bagaikan api lampu minyak yang padam karena tiupan angin. Ini adalah empat jenis kematian.
Sekarang penulis menjelaskan gambaran-gambaran apa yang muncul dalam pikiran seseorang pada
saat kematian.
“Dalam kasus mereka yang menjelang meninggal dunia, pada saat kematian salah satu dari berikut ini
akan muncul, menurut situasinya, melalui salah satu dari enam pintu (indria) melalui kekuatan
Kamma:” (CMA, V, §35, p.221)
Ketika seseorang menjelang meninggal dunia, salah satu dari tiga jenis objek ini muncul dalam
pikirannya melalui salah satu dari enam pintu-indria – melalui mata, melalui telinga dan seterusnya.
Penampilan objek itu sendiri disebabkan oleh kekuatan Kamma. Objek itu muncul dalam pikiran
seseorang yang sekarat melalui kekuatan Kamma yang ia lakukan di masa lampau. Kamma itu dapat
berupa Kusala Kamma atau Akusala Kamma.

TIGA JENIS OBJEK PADA SAAT KEMATIAN


Tiga jenis objek yang muncul pada saat kematian adalah:
1. Kamma;
2. Gambaran Kamma, Kamma-nimitta;
3. Gambaran Takdir, Gati-nimitta.
Salah satu dari ketiga ini akan muncul dalam pikiran seorang yang sekarat. Kamma adalah Kamma
yang dapat menghasilkan kelahiran kembali.

KAMMA
Kamma di sini adalah Kamma produktif yang menghasilkan akibat Paṭisandhi dalam kehidupan
berikutnya

GAMBARAN KAMMA
“Suatu gambaran kamma, yaitu, sebuah bentuk, dan sebagainya, yang telah tertangkap sebelumnya
pada saat melakukan kamma …” (CMA, V, §35, p.221)
Ini berarti objek utama pada saat melakukan Kamma itu dan juga –
“.. atau sesuatu yang bersifat membantu atau instrumental dalam melakukan kamma itu;” (CMA, V,
§35, p.221)
Ada dua jenis gambaran Kamma:
- Yang utama dan
- Yang sekunder atau instrumental.
Katakanlah, gambaran Kamma adalah mendanakan sebuah vihara. Vihara adalah objek utama dan
perabotan yang digunakan dalam vihara, memberi dana makanan, memberi jubah dan sebagainya, ini
disebut instrumental dalam melakukan Kamma itu. Ada dua gambaran Kamma. Jika ini adalah
membangun sebuah Pagoda, pagoda itu adalah objek utama. Bunga dan lain-lain adalah objek
sekunder. Ini serupa untuk tindakan Akusala seperti membunuh binatang. Binatang itu adalah objek
utama dan senjata yang digunakan untuk membunuh disebut objek instrumental atau sekunder.
Dalam setiap gambaran Kamma ada dua macam ini – objek utama dan objek sekunder.
Dalam teks, “… yang telah tertangkap sebelumnya pada saat melakukan Kamma …”, merujuk pada
objek utama. “… atau sesuatu yang bersifat membantu atau instrumental dalam melakukan kamma
itu;” merujuk pada objek sekunder.
GAMBARAN TAKDIR
“Suatu gambaran takdir, yaitu, (suatu simbol negara) yang akan diperoleh dan dialami dalam
kehidupan yang persis berikutnya.” (CMA, V, §35, p.221)
Suatu gambaran takdir dapat muncul pada kesadaran orang yang sekarat itu. Kehidupan yang persis
berikutnya disebut takdir di sini. Gambaran takdir berarti gambaran dari kehidupan yang persis
berikutnya.
Sekali lagi ada dua macam gambaran takdir:
- Yang akan diperoleh, dan
- Yang akan dialami.
Ini berarti jika seseorang yang akan terlahir kembali sebagai manusia, gambaran takdir yang diperoleh
adalah dinding rahim ibunya. Gambaran yang akan dialami adalah pengalaman hidupnya sebagai
manusia. Jika ia akan terlahir kembali di alam surga, maka alam surga adalah keadaan yang akan
diperoleh dan istana surgawi, bidadari surgawi, pepohonan dan lain-lainnya adalah apa yang akan
dialami. Jika seseorang akan terlahir kembali di neraka, maka neraka adalah keadaan yang akan
diperoleh dan api neraka dan mereka yang melakukan penyiksaan pada penghuni neraka disebut
gambaran yang akan dialami dalam kehidupan itu.
Di sini gambaran takdir juga ada dua jenis:
- Yang utama, dan
- Yang sekunder.
Gambaran utama adalah kehidupan atau alam di mana orang itu akan terlahir kembali. Yang sekunder
adalah hal-hal yang akan dialami dalam kehidupan itu.
Salah satu dari ketiga jenis objek ini akan tampil dalam pikiran seorang yang sekarat.
“Harus ditekankan bahwa objek ini tampil pada proses javana dari seorang yang sekarat, bukan pada
kesadaran kematian itu sendiri. Kesadaran kematian (cuticitta), citta terakhir dalam satu periode
kehidupan, menangkap objek yang sama yang tertangkap oleh kesadaran kelahiran kembali dan
Bhavaṅga dari kehidupan yang akan berakhir.” (CMA, V, Tuntunan §35, p.221)
Ini penting karena jika kita tidak memahami hal ini, kita dapat mengatakan bahwa objek Paṭisandhi,
Bhavaṅga dan Cuti adalah sama untuk semua kehidupan. Kamma, gambaran Kamma atau gambaran
takdir dalam satu kehidupan akan menjadi objek bagi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti dalam kehidupan
lainnya juga – ini tidak benar. Seperti yang anda ketahui, dalam satu kehidupan objek bagi Paṭisandhi,
Bhavaṅga dan Cuti tetap sama. Jika kita melihat pada tabel (baca CMA, V, Tabel 5.6, p.225), ini akan
menjadi lebih jelas. Objek9 ini muncul pada proses Javana, bukan pada kesadaran-kematian. Dengan
kata lain objek-objek ini diambil sebagai objek oleh proses Javana bukan oleh Cuti Citta.
Pada pikiran seorang yang sekarat salah satu dari objek-objek ini akan muncul. Ketika muncul pada
pikiran seorang yang sekarat, objek-objek ini muncul melalui salah satu dari enam pintu-indria. Objek-

9
Objek yang muncul pada Javana pada kali ini adalah Kamma baru atau yang berbeda, atau gambaran Kamma
yang baru atau berbeda, atau gambaran takdir yang baru atau berbeda.
objek ini muncul pada seorang yang sekarat melalui kekuatan Kamma yang dilakukan di masa lalu. ‘Di
masa lalu’ berarti sebelumnya dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan lampau lainnya.
Paragraf berikutnya – “Setelah itu, dengan memperhatikan objek yang muncul itu, arus kesadaran --
… -- mengalir terus-menerus, sebagian besar condong ke arah keadaan tersebut.” (CMA, V, §36, p.221)
“Setelah itu, dengan memperhatikan objek yang muncul itu, …” (CMA, V, §36, p.221)
Persis sebelum Cuti, Javana-Javana dalam proses pikiran kematian mengambil objek itu sebagai objek,
yaitu, Kamma, gambaran Kamma, atau gambaran takdir sebagai objek.
“… arus kesadaran -- … --- terus-menerus mengalir, …” (CMA, V, §36, p.221)
Ini berlangsung terus-menerus.
“… sebagian besar condong ke arah keadaan tersebut.” (CMA, V, §36, p.221)
Ini berarti sebagian besar condong ke arah keadaan di mana ia akan terlahir kembali. Dikatakan
“sebagian besar” karena ketika orang-orang mati seketika, mereka mungkin tidak memiliki waktu
untuk condong ke arah itu. Maka kata ‘sebagian besar’ disisipkan di sini.
Jika anda membunuh seekor nyamuk dengan menepuknya, nyamuk itu mungkin tidak memiliki waktu
untuk condong ke arah kehidupan di mana ia akan terlahir kembali. Tidak akan ada keberlangsungan
murni dari kesadaran atau terdapat keberlangsungan rusak dari kesadaran pada saat itu karena ia
mati seketika. Bagi makhluk-makhluk itu kecondongan ke arah keadaan di mana ia akan terlahir
kembali dan batin yang murni atau rusak tidak dapat terjadi. Maka kata ‘sebagian besar’ disisipkan di
sini.
“(Arus kesadaran itu) yang selaras dengan Kamma harus dimatangkan, apakah murni atau rusak.”
(CMA, V, §36, p.221)
Jadi arus kesadarannya akan menjadi murni jika Kusala Kamma akan menghasilkan akibat. Arus
kesadarannya akan menjadi rusak jika Akusala Kamma akan menghasilkan akibat. Menurut Kamma
ini yang akan menghasilkan akibat, arus kesadarannya akan menjadi murni atau rusak.
“… dan selaras dengan keadaan di mana seseorang akan terlahir kembali …” .” (CMA, V, §36, p.221)
Ketika seseorang akan terlahir kembali di alam manusia, pikirannya akan condong ke arah alam
tersebut. Jika ia akan terlahir kembali di alam surga, pikirannya akan condong ke arah alam surga. Ini
seperti pikiran anda condong ke arah tempat yang akan anda kunjungi. Anda bersiap-siap, berkemas-
kemas untuk pergi ke suatu tempat. pikiran anda condong ke arah tempat itu. Demikian pula, karena
ini adalah makhluk yang menjelang meninggal dunia, pikirannya condong ke arah takdir masa
depannya.
“… dengan memperhatikan objek yang muncul itu, …” .” (CMA, V, §36, p.221)
Ini adalah pernyataan umum. Bagi kebanyakan orang pikiran mereka akan mengambil objek yang
muncul itu, yaitu, pikiran mereka akan mengambil objek apakah Kamma, gambaran Kamma atau
gambaran takdir. Tetapi kadang-kadang kita dapat melakukan sesuatu untuk mengubah objek yang
muncul itu. Saya telah berulang-ulang menyampaikan kisah tentang seseorang yang dulunya adalah
seorang pemburu. Pada usia tuanya ia menjadi seorang bhikkhu; putranya yang adalah seorang
Arahant menahbiskannya. Ketika orang itu sedang sekarat, ia melihat anjing-anjing mengejarnya atau
mengepungnya. Pada saat itu ia menjadi ketakutan. Ia berkata, “Usir mereka; usir mereka”, atau
semacam itu. Ketika putranya mendengar ini, ia mengetahui gambaran Niraya, gambaran neraka telah
muncul pada ayahnya. Maka ia menyuruh samaṇera pelayannya membawakan bunga dan
meletakkannya di teras pagoda. Kemudian ia membawa ayahnya ke pagoda, ia berkata kepada ayahnya
bahwa bunga-bunga itu adalah untuk ia persembahkan kepada Sang Buddha. ia menyuruhnya untuk
mempersembahkan bunga-bunga itu kepada Sang Buddha dan membersihkan pikirannya, untuk
menenangkan pikirannya. Maka ketika bhikkhu tua itu mempersembahkan bunga itu kepada Sang
Buddha, gambaran-gambaran itu berubah. Ia tidak lagi melihat anjing-anjing mengejarnya, sebaliknya
ia melihat para bidadari surgawi. Ketika ia melihat para bidadari surgawi, ia berkata kepada putranya,
“Pergilah, pergilah.” Putranya bertanya, “Mengapa?” ia berkata, “Ibumu datang.” Dengan pikiran itu
ia meninggal dunia dan terlahir kembali sebagai makhluk surgawi. Pertama objek yang muncul adalah
gambaran takdir untuk neraka. Putranya adalah seorang Arahant, maka ia tahu apa yang harus
dilakukan. Ia berusaha dan berhasil mengubah gambaran takdir itu dari gambaran neraka menjadi
gambaran surgawi. Jadi “memperhatikan objek yang muncul itu” adalah pernyataan umum. Ada
kasus-kasus di mana seseorang mungkin memperhatikan gambaran yang diberikan oleh sanak
saudara atau siapapun yang ada didekatnya pada saat kematian.
“Atau kamma penghasil kelahiran kembali itu muncul pada pintu indria sebagai pembaruan.” .” (CMA,
V, §36, p.221)
Sekarang ada dua jenis kemunculan objek-objek ini:
- Jenis kemunculan pertama objek ini berhubungan dengan suatu jenis Kamma yang dilakuakn
di masa lalu.
- Jenis kemunculan ke dua adalah bahwa “Kamma penghasil kelahiran kembali muncul pada
pintu indria sebagai pembaruan”.
Kamma itu muncul padanya seolah-olah ia sedang melakukannya pada saat itu. Kamma itu menjadi
baru lagi dan ia merasa seolah-olah ia sedang melakukan Kamma itu pada saat itu. Kamma itu mungkin
telah dilakukan bertahun-tahun lalu atau bahkan beberapa kehidupan yang lalu. Kamma itu yang akan
menghasilkan akibat Paṭisandhi menjadi begitu kuat sehingga dalam pikirannya ia merasa bahwa ia
sedang melakukan Kamma itu lagi.
“… kamma yang muncul itu bukan tampak seperti gambaran ingatan atas sesuatu yang telah
dilakukan sebelumnya, tetapi tampak pada pintu pikiran seolah-olah sedang dilakukan pada momen
itu.” (CMA, V, §36, p.222)
Ia merasa seolah-olah sedang melakukan Kamma itu lagi pada momen itu juga. Dalam kasus demikian
itu adalah Kamma yang ia alami lagi pada saat itu. Oleh karena itu, munculnya objek ada dua jenis.
Yang pertama adalah bahwa ia mengingat Kamma-nya atau gambaran Kamma atau gambaran takdir
yang muncul padanya. Yang ke dua adalah ia merasa seolah-olah ia sedang melakukan Kamma itu pada
momen itu.
Mari kita pertimbangkan kematian dan proses penghubungan-kelahiran-kembali. Hingga kalimat ini
orang itu masih belum mati. Orang itu belum mencapai proses pikiran terakhir.
“Pada seorang yang berada di ambang kematian, apakah pada akhir proses kognitif (ini berarti Vīthi
Citta) atau pada saat meleburnya rangkaian-kehidupan, kesadaran kematian, akhir kehidupan
sekarang, muncul dan berhenti melalui kematian.” (CMA, V, §37, p.222)
Ini adalah bagaimana kematian terjadi.
“Pada seorang yang berada di ambang kematian, …” .” (CMA, V, §37, p.222)
Ini adalah seseorang yang menjelang kematian.
“… apakah pada akhir proses kognitif …” (CMA, V, §37, p.222)
Ini berarti apakah pada akhir Javana atau Tadārammaṇa, kesadaran-kematian akan muncul.
“… atau pada saat meleburnya rangkaian-kehidupan, …” (CMA, V, §37, p.222)
Ini berarti setelah Bhavaṅga, kesadaran-kematian akan muncul. Anda dapat mencari bahwa ada
sedikitnya empat jenis proses pikiran kematian. Sebenarnya ada banyak.
Dari pernyataan ini anda dapat memperoleh empat proses pikiran kematian:
- Yang pertama adalah pada akhir Javana;
- Yang ke dua adalah kematian pada akhir Tadārammaṇa;
- Yang ke tiga adalah pada akhir Javana dan Bhavaṅga;
- Yang ke empat adalah kematian pada akhir Tadārammaṇa dan Bhavaṅga.
Dapat terjadi empat jenis proses pikiran kematian ini. Ada banyak lagi. Jadi kematian dapat muncul
setelah atau pada akhir Javana atau setelah Tadārammaṇa atau setelah Bhavaṅga. Kesadaran-
kematian adalah kesadaran terakhir dalam kehidupan sekarang. Ini adalah akhir dari kehidupan
sekarang; ini muncul dan berhenti melalui kematian. Menurut ajaran ini, ‘kematian’ berarti muncul
dan lenyapnya kesadaran terakhir dalam satu kehidupan.
“Segera setelah itu (kesadaran kematian) berhenti, suatu kesadaran penghubungan-kelahiran-
kembali muncul dan kokoh dalam kehidupan berikutnya, …” (CMA, V, §37, p.222)
Melalui kata-kata ini “Segera setelah kematian” penulis ingin mencegah opini-opini bahwa ada
kehidupan antara di antara dua kehidupan. Ini disebut Antarābhava dalam Pāḷi. Dalam Buddhisme
Theravāda keberadaan Antarābhava tidak diterima. Di sini karena penulis adalah penganut Buddhisme
Theravāda, maka ia ingin mencegah hal itu dianggap sebagai benar. Maka segera setelah kesadaran-
kematian, kesadaran-kelahiran-kembali muncul. Tidak ada jeda waktu antara kematian dalam satu
kehidupan dan kelahiran-kembali dalam kehidupan berikutnya.
Mungkin ada pengalaman praktis dari seseorang yang berada dalam suatu keadaan seperti kehidupan
antara. Menurut Buddhisme Theravāda, itu adalah satu kehidupan. Itu bukan suatu periode antara
satu kehidupan dengan kehidupan lainnya. Yang disebut sebagai periode antara itu adalah satu
kehidupan. Seseorang mati dan kemudian ia mungkin terlahir kembali sebagai hantu. Ia mati lagi
sebagai hantu dan mungkin terlahir kembali sebagai manusai. Buddhisme Theravāda menganggap
kehidupan sebagai hantu itu sebagai satu kehidupan, satu Bhava. Ini bukan satu periode antara satu
kehidupan dan kehidupan berikutnya. Tetapi menurut aliran-aliran Buddhisme lainnya, periode itu
dikatakan sebagai periode antara. Mereka tidak menyebutnya satu kehidupan walaupun
menggunakan kata ‘Bhava’. Antarābhava – ‘Antarā’ berarti antara, jadi kehidupan antara. Melalui kata
“segera setelah kematian” penulis membuang opini-opini bahwa ada periode antara di antara satu
kehidupan dan kehidupan berikutnya. Menurut ajaran Abhidhamma Theravāda, kematian segera
diikuti oleh kesadaran kelahiran-kembali. Segera setelah kesadaran kelahiran-kembali muncul, ia
berada dalam kehidupan baru. Jadi kesadaran penghubungan-kelahiran-kembali muncul dan kokoh
dalam kehidupan berikutnya. Segera setelah kesadaran kelahiran-kembali muncul, ia telah berada
dalam kehidupan baru. Ini bukan berarti bahwa kesadaran-kelahiran-kembali muncul sebelum
kehidupan baru dan kemudian ketika kehidupan baru muncul maka kesadaran-kelahiran-kembali
telah mencapai tahap statis atau tahap lenyapnya. Jadi kesadaran-kelahiran-kembali muncul segera
setelah berhentinya kesadaran-kematian.
“(Kesadaran kelahiran kembali itu) menangkap objek yang diperoleh demikian, …” (CMA, V, §37,
p.222)
Ini berarti kesadaran-kelahiran-kembali mengambil objek yang diambil oleh momen pikiran Javana
sebelum kematian.
“… apakah didukung oleh landasan-jantung …” (CMA, V, §37, p.222)
Ini berarti jika ia terlahir kembali di Kāmāvacara atau Rūpāvacara, maka kesadarannya akan memiliki
landasan-jantung. Jika ia terlahir kembali di alam Arūpāvacara, maka kesadaran-kelahiran-kembali-
nya adalah tanpa landasan. Tidak memiliki landasan. Jadi kesadaran-kelahiran-kembali didukung oleh
landasan-jantung atau tanpa landasan.
“… ini dihasilkan melalui bentukan kehendak yang diselubungi degan ketidaktahuan laten dan berakar
pada ketagihan laten (menurut situasinya).” (CMA, V, §37, p.222)
Saya harap anda memiliki gambaran tabel dalam pikiran anda atau anda dapat melihat pada tabel
(baca CMA, V, Tabel 5.6, p.225). Ada kesadaran-kematian dan ada kesadaran-kelahiran-kembali.
Kesadaran-kelahiran-kembali itu dihasilkan oleh bentukan kehendak. Bentukan kehendak berarti
Kamma. Jadi ini dihasilkan oleh Kamma.
“(Ini) diselubungi oleh ketidaktahuan laten dan berakar dalam ketagihan laten.” (CMA, V, §37, p.222)
Dalam batin makhluk-makhluk, ketidaktahuan (Avijjā atau Moha) dan ketagihan (Taṇhā) adalah selalu
laten. Kita tidak memiliki Taṇhā pada momen ini, tetapi ini laten dalam batin kita. Jadi ketika ada
sesuatu yang disukai, kita mungkin memiliki Taṇhā untuk benda tersebut. Jadi selalu ada
ketidaktahuan dan ketagihan laten dalam batin kita.
Jika Kamma itu adalah Kusala Kamma, bagaimana anda menjelaskan ketidaktahuan dan ketagihan –
“… diselubungi oleh ketidaktahuan laten dan berakar dalam ketagihan laten.”? Sebenarnya jika itu
adalah Kusala Kamma, walaupun tidak disertai dengan ketidaktahuan dan ketagihan, karena
ketidaktahuan dan ketagihan adalah laten, maka dikatakan sebagai “diselubungi oleh ketidaktahuan
laten dan berakar dalam ketagihan laten.” Di sini sehubungan dengan Kusala Kamma hubungannya
adalah bukan penyertaan, bukan Sampayutta, melainkan pendukung keputusan, Upanissaya. Melalui
sejenis kondisi yang disebut pendukung keputusan atau Upanissaya, maka Kusala Kamma didukung
oleh ketidaktahuan dan ketagihan. Ini berarti kemunculannya tidak pada waktu yang sama, tetapi
karena ada ketidaktahuan dan ketagihan, maka ada Kusala Kamma.
Kita melakukan Kusala karena kita memiliki ketidaktahuan dan kita memiliki ketagihan. Jika kita tidak
memiliki ketidaktahuan dan ketagihan, maka kita tidak memperoleh Kusala seperti para Arahant. Para
Arahant telah melenyapkan segala kekotoran batin termasuk ketidaktahuan dan ketagihan. Jadi
apapun yang mereka lakukan hanya menjadi sekedar melakukan, sekedar Kiriya. Maka mereka tidak
memperoleh Kusala. Tetapi kita memiliki ketagihan dan ketidaktahuan laten dalam batin kita – jadi
dengan tidak benar-benar memahami sifat sejati segala sesuatu dan dengan menginginkan sesuatu,
maka kita melakukan Kusala. Ketika kita melakukan Kusala, Kusala itu didukung oleh ketidaktahuan
dan ketagihan melalui pendukung keputusan. Ini tidak muncul bersamaan, tetapi karena ada
ketidaktahuan dan ketagihan maka ada Kusala. Jika ini adalah Akusala Kamma, maka kita dapat
memperoleh kedua jenis pendukung – pendukung keputusan dan pendukung sebagai penyertaan,
kondisi penyertaan. Ketika anda melakukan suatu Akusala, maka ada ketidaktahuan dan mungkin ada
ketagihan. Ini berarti Lobha-sahagata. Jika itu adalah Dosa-sahagata, maka ketidaktahuan adalah
penyertaan (Sampayutta) juga pendukung keputusan (Upanissaya). Ketagihan di sana hanya sebagai
pendukung keputusan (Upanissaya) dan bukan penyertaan (Sampayutta) karena Lobha tidak muncul
bersama dengan Dosamūla Citta. Jadi kita harus memaknainya menurut situasinya. Ini berarti jika itu
adalah Kusala Kamma, maka ketagihan dan ketidaktahuan mendukungnya melalui pendukung
keputusan (Upanissaya) dan melalui penyertaan (Sampayutta). Kamma yang “diselubungi oleh
ketidaktahuan laten dan berakar dalam ketagihan laten” menghasilkan Paṭisandhi Citta. Paṭisandhi
Citta adalah produk Kamma masa lalu.
“Kesadaran penghubungan-kelahiran-kembali itu, disebut demikian karena menghubungkan dua
kehidupan berturut-turut, yang digabungkan dengan faktor-faktor batinnya, …” (CMA, V, §37, p.222)
Tidak ada yang baru di sini. Kesadaran selalu disertai dengan Cetasika. Kesadaran ini disebut
‘kesadaran penghubungan-kembali’ karena menghubungkan dua kehidupan berturut-turut menjadi
satu, kehidupan lama dan kehidupan baru. ini disebut penghubungan, Paṭisandhi. Ini disertai dengan
faktor-faktor batin.
“… dan bertindak ebagai pelopor bagi kondisi-kondisi yang muncul bersamaan sebagai lokusnya (atau
landasannya).” (CMA, V, §37, p.222)
Ini juga bukan hal baru. batin atau kesadaran adalah pelopor bagi kondisi-kondisi batin lainnya.
Pelopor bukan berarti bahwa batin selalu berada di depan dan Cetasika-Cetasika mengikutinya. Tetapi
ini disebut pelopor karena tampak seperti pelopor, karena ini adalah pemimpinnya. Cetasika-Cetasika
hanya dapat muncul ketika Citta muncul. kesadaran adalah bagaikan sebuah landasan, sebuah tempat
bagi munculnya Cetasika.
Sekarang dalam catatan,
“Proses kognitif terakhir dimulai ketika Bhavaṅga terputus, bergetar selama satu momen, dan
kemudian tertangkap.” (CMA, V, Tuntunan §37, p.222)
Ia menggambarkan prosesnya.
“Setelah itu menyusul apakah suatu proses pintu-indria yang mengambil suatu objek indria yang
muncul pada salah satu dari lima pintu indria atau hanya proses pintu-pikiran yang mengambil objek
apakah suatu objek indria atau objek pikiran yang muncul pada pintu pikiran. Di dalam proses terakhir
ini tahap javana, karena alasan lemahnya, berlangsung hanya lima momen pikiran tidak tujuh seperti
biasanya.” (CMA, V, Tuntunan §37, p.222)
Kita akan membahas ini juga nanti.
“Proses ini adalah tanpa potensi kamma produktif awal, tetapi bertindak sebagai saluran bagi kamma
masa lalu yang telah mengambil fungsi penghasil-kelahiran-kembali.” (CMA, V, Tuntunan §37, p.222)
Ini penting. Anda mengetahui proses pikiran kematian. Ada Javana-Javana dalam proses pikiran
kematian. Pertanyaannya adalah yang manakah yang menghasilkan Paṭisandhi Citta – Cetanā dalam
proses pikiran kematian atau Kamma masa lalu? Apakah Kamma masa lalu atau Kamma pada momen
lima Javana dalam proses pikiran kematian? Di sini dikatakan, “Proses ini adalah tanpa potensi kamma
produktif awal, …” jadi sebenarnya kita tidak menyebut Cetanā yang disertai dengan lima Citta dalam
proses pikiran kematian. Ini bukan merupakan Kamma produktif karena terlalu lemah untuk
menghasilkan Paṭisandhi. Proses-proses ini “adalah tanpa potensi kamma produktif awal, tetapi
bertindak sebagai saluran bagi kamma masa lalu yang telah mengambil fungsi penghasil-kelahiran-
kembali.” Jadi ini adalah Kamma pendukung.
Anda mengetahui ada Kamma produktif, Kamma pendukung dan Kamma penghalang. Kamma masa
lalu adalah Kamma produktif. Kamma pada momen Javana-Javana dalam proses pikiran kematian
adalah Kamma pendukung. Jadi proses-proses ini bertindak sebagai saluran bagi Kamma masa lalu
untuk menghasilkan akibat sebagai Paṭisandhi.
“Menyusul javana tahap dua, citta pencatatan (tadārammaṇa) mungkin mengikuti atau tidak. Dalam
beberapa kasus Bhavaṅga mungkin mengikuti citta-citta proses terakhir. Kemudian saat citta paling
akhir, kesadaran kematian muncul melakukan fungsi meninggal dunia dari kehidupan sekarang.
Dengan berhentinya kesadaran kematian, indria kehidupan menjadi terpotong.” (CMA, V, Tuntunan
§37, p.223)
Dengan berhentinya kesadaran-kematian, indria kehidupan juga terpotong.
“Kemudian tubuh menjadi satu kumpulan fenomena materi mati yang muncul dari temperatur (Utu),
dan berlangsung demikian hingga mayat menjadi debu.” (CMA, V, Tuntunan §37, p.223)
Ini adalah bagaimana kematian terjadi.
“Segera setelah (kesadaran-kematian) itu berhenti: mengikuti meleburnya momen kesadaran
kematian, di sana muncul dalam kehidupan baru kesadaran penghubungan-kelahiran-kembali yang
menangkap objek yang telah diperoleh dalam proses javana terakhir dari kehidupan sebelumnya .”
(CMA, V, Tuntunan §37, p.223)
‘Menangkap’ bermakna mengambil, mengambil objek yang sama seperti yang diambil oleh Javana-
Javana.
“Citta ini didukung oleh landasan-jantung di alam yang mengandung materi, tetapi adalah tanpa
landasan di alam tanpa materi. Ini dihasilkan oleh bentukan kehendak, yaitu kamma dari proses
javana sebelumnya (ini berarti Kamma masa lampau), yang pada gilirannya didasarkan dalam akar
ganda lingkaran kehidupan, ketidaktahuan laten dan ketagihan laten.” (CMA, V, Tuntunan §37, p.223)
Jadi Kamma itu teselubung dalam ketidaktahuan laten dan Kamma itu berakar dalam ketagihan. Kita
harus memahami itu sebagai bermakna bahwa ketidaktahuan dan ketagihan berfungsi sebagai
pendukung keputusan dan juga sebagai pendukung penyertaan.
“Kesadaran kelahiran kembali digabungkan dengan faktor-faktor batinnya, yaitu cetasika-cetasika,
yang berfungsi sebagai pelopor bukan dalam makna mendahului, tetapi dalam makna bertindak
sebagai lokus (atau landasan).” (CMA, V, Tuntunan §37, p.223)
Ada dua jenis bentukan kehendak di sini. Kita akan menyebutnya:
- Kamma yang dilakukan di masa lalu, dan
- Yang lainnya adalah Kamma yang dilakukan pada momen-momen ketika lima Javana muncul
dalam proses pikiran kematian.
Kamma pada momen lima Javana seperti yang telah kita pelajari tidak menghasilkan akibat atau tidak
menghasilkan kesadaran Paṭisandhi. Tetapi dikatakan melemparnya pada objek. Ini berarti Kamma ini
membuat Paṭisandhi Citta mengambil objek dari lima Javana dalam proses pikiran sebelumnya.
Kamma ini membantu Paṭisandhi Citta; membuat Paṭisandhi Citta mengambil objek yang diambil oleh
Javana sebagai objek. Kamma ini tidak produktif, tetapi mendukung.
Mari kita lanjutkan pada proses pikiran – paragraf berikutnya.
“Dalam proses kognitif menjelang-kematian, hanya lima javana yang muncul dengan lemah yang
dapat terjadi.” (CMA, V, Tuntunan §38, p.223)
Hanya ada lima Javana dalam proses pikiran kematian. Sekarang di sini seseorang telah sangat
mendekati kematian, nyaris mati. Pada saat itu tubuhnya atau properti materinya lemah. Landasan-
jantungnya lemah. Pikirannya lemah. Maka Javana-Javana tidak muncul tujuh kali seperti biasa,
melainkan hanya muncul lima kali.
“Oleh karena itu, ketika kematian terjadi sewaktu objek-objek saat ini sedang muncul …” (CMA, V,
Tuntunan §38, p.223)
Ini berarti sewaktu objek-objek saat ini masih ada.
“… dan telah memasuki jalur indria, maka penghubungan-kelahiran-kembali dan rangkaian-
kehidupan (kehidupan baru) juga mengambil objek saat ini. Dalam kasus penghubungan-kelahiran-
kembali alam-indriawi (Kāmāvacara Paṭisandhi), jika objeknya adalah gambaran kamma atau
gambaran takdir tercerap di salah satu dari enam pintu, maka objek itu mungkin saat ini atau mungkin
masa lalu.” (CMA, V, §38, p.223)
Jadi gambaran Kamma mungkin saat ini atau mungkin masa lalu. Gambaran takdir mungkin saat ini
atau mungkin masa lalu.
“Tetapi Kamma (sebagai objek) adalah hanya masa lalu, …” (CMA, V, §38, p.223)
Ini karena Kamma adalah Kamma masa lalu. Ini benar-benar masa lalu.
“… dan tercerap hanya pada pintu-pikiran.” (CMA, V, §38, p.223)
Sekarang gambaran Kamma dan gambaran takdir dapat berupa enam jenis objek sehingga dapat
muncul melalui enam pintu. Kamma adalah hanya masa lalu dan muncul hanya melalui pintu-pikiran.
“Semua objek ini (dari kelahiran kembali alam-indriawi) adalah hanya fenomena terbatas.” .” (CMA,
V, §38, p.223)
Ini berarti hanya Kāmāvacara saja. Apakah ini adalah Kamma, atau gambaran Kamma, atau gambaran
takdir, ini adalah hanya objek Kāmāvacara saja. Saya harap anda ingat objek-objek yang terbagi
sebagai objek-objek Kāmāvacara, objek-objek Mahaggata dan objek-objek Lokuttara. Jadi Kāmāvacara
Citta dan Cetasika-Cetasika dan Rūpa disebut sebagai objek Kāmāvacara. Nibbāna disebut objek
Lokuttara. Objek dari Kāmāvacara Paṭisandhi adalah objek Kāmāvacara.
Lihat tabel (baca CMA, V, Tabel 5.6, p.225). Proses pikiran ini hanyalah satu dari banyak proses pikiran
kematian dan penghubungan-kelahiran-kembali. Jangan dianggap sebagai satu-satunya proses
pikiran kematian. Ini adalah untuk seseorang yang meninggal dunia di alam Kāmāvacara dan yang
terlahir kembali di alam Kāmāvacara. Ini dapat merupa Kamma atau Gati-nimitta, tetapi di sini
dianggap sebagai Kamma-ninitta.
Ketika kematian terjadi, ada proses pikiran kematian. Ini dimulai dengan Bhavaṅga pertama karena
di sini objeknya adalah objek saat ini. Jadi ada Bhavaṅga lampau, Bhavaṅga yang bergetar, Bhavaṅga
yang tertangkap. Setelah itu ada Pañcadvārāvajjana, yang mengalihkan pikiran kepada objek.
Berikutnya Cakkhuviññāṇa melihat objek. Dan kemudian Sampaṭicchana, Santīraṇa dan Voṭṭhabbana
(keputusan) muncul. Kemudian ada lima Javana. Setelah Javana ke lima, ada Cuti, kesadaran-kematian.
Itu adalah akhir dari satu kehidupan. Segera setelah kematian, muncul penghubungan-kembali atau
kesadaran Paṭisandhi. Setelah kesadaran Paṭisandhi terdapat enam belas momen Bhavaṅga. Dan
setelah Bhavaṅga ada proses pikiran lain yang dimulai dengan Manodvārāvajjana, dan kemudian tujuh
momen Javana dan kemudian Bhavaṅga kembali. Ini adalah proses pikiran kematian dan kelahiran
kembali atau bagaimana kematian dan kelahiran kembali terjadi.
Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti dari satu kehidupan adalah identik. Jika objek Paṭisandhi adalah
Kamma, maka objek dari Bhavaṅga sepanjang kehidupan adalah Kamma; objek dari Cuti juga adalah
Kamma. Jika objeknya adalah Kamma-nimitta, maka semuanya juga Kamma-nimitta. Jika objeknya
Gati-nimitta, maka semuanya juga Gati-nimitta.
Mari kita anggap proses pikiran kematian dimulai dengan Pañcadvārāvajjana, Vīthi citta mengambil
bentuk terlihat yang ada saat ini sebagai objek. Maka Javana-Javana juga mengambil objek terlihat
yang ada saat ini sebagai objek. Lima Javana mengambil objek terlihat yang ada saat ini sebagai objek.
Ketika kesadaran Paṭisandhi muncul dalam kehidupan baru, Paṭisandhi ini mengambil objek terlihat
yang ada saat ini yang diambil oleh Javana-Javana dalam proses pikiran kematian dari kehidupan yang
persis sebelumnya. Anda tahu sebuah objek terlihat yang ada saat ini pasti bertahan selama 17 momen
pikiran. Kita mulai dengan Atīta Bhavaṅga. Kita bergerak dari Aṭita Bhavaṅga 17 momen pikiran dan
seterusnya. Momen pikiran ke-17 jatuh dalam Bhavaṅga ke dua dari kehidupan baru. Ini berarti objek
terlihat yang ada saat ini bertahan hingga Bhavaṅga ke dua. Orang itu telah pergi menuju kehidupan
berikutnya, tetapi objeknya masih tertinggal, objeknya masih ada. Paṭisandhi dari kehidupan ke dua
mengambil objek terlihat yang ada saaat ini yang diambil oleh Javana-Javana. Setelah Bhavaṅga ke dua
objek terlihat yang ada saat ini lenyap. Bhavaṅga lainnya mengambil objek yang telah lenyap atau
objek terlihat masa lalu. Objek dari proses pikiran kematian, Paṭisandhi dan dua Bhavaṅga dalam
kehidupan baru adalah sama – objek terlihat yang ada saat ini. Objek dari Bhavaṅga ke tiga dan
Bhavaṅga lainnya dalam kehidupan itu adalah objek terlihat masa lalu. Karena objek terlihat adalah
objek dari Paṭisandhi dalam kehidupan ke dua, maka Bhavaṅga dan Cuti dalam kehidupan itu juga
akan mengambil objek terlihat itu sebagai objek. Perbedaannya hanyalah masa sekarang dan masa
lalu, tetapi itu adalah objek terlihat.
Apakah Paṭisandhi, apakah yang membentuk Paṭisandhi? Paṭisandhi berarti kesadaran Patisandhi,
faktor-faktor batin dan tiga puluh partikel materi untuk manusia. Anda akan mempelajarinya pada
bab enam. Pada momen Paṭisandhi tiga puluh patikel materi bersama dengan Paṭisandhi Citta dan
Cetasika-Cetasika muncul. ketika kita mengatakan seseorang mengambil Paṭisandhi atau Paṭisandhi
muncul, yang kita maksudkan adalah ini -- Paṭisandhi Citta, bersama dengan Cetasika-Cetasika dan
tiga puluh partikel materi yang dihasilkan oleh Kamma.
Ada empat penyebab materi – anda akan mempelajarinya pada bab enam – Kamma, kesadaran, cuaca
atau iklim atau temperatur, dan makanan. Ini adalah empat penyebab Rūpa atau materi.
Pada momen Paṭisandhi properti-properti materi yang muncul adalah akibat dari Kamma. Apa yang
kita sebut kelahiran kembali bagi manusia adalah terdiri dari Citta, Cetasika dan Rūpa yang-lahir-dari-
Kamma.
Proses pikiran pertama dalam kehidupan baru dimulai dengan Manodvārāvajjana, tujuh Javana dan
Bhavaṅga lagi, yang mengambil kehidupan baru sebagai objek. Objek dari proses pikiran pertama
dalam kehidupan baru mengambil kehidupan baru, apa yang kita sebut Paṭisandhi, sebagai objek.
Kemudian Bhavaṅga mengambil Kamma, Kamma-nimitta atau Gati-nimitta seperti biasa.
Jadi Kamma, Kamma-nimitta dan Gati-nimitta dalam satu kehidupan adalah berbeda dari kehidupan
lainnya. Walaupun nama objeknya disebut Kamma, Kamma-nimitta atau Gati-nimitta, tetapi berbeda
dalam objeknya, dalam intinya. Misalnya, objek dalam kehidupan nomor satu, katakanlah, adalah
Akusala Kamma, tetapi objek dari Paṭisandhi dalam kehidupan nomor dua dapat berupa Kusala
Kamma. Walaupun keduanya adalah Kamma, namun berbeda. Objek dari Paṭisandhi dalam kehidupan
nomor satu mungkin adalah gambaran Kamma, tetapi objek dari Paṭisandhi dalam kehidupan nomor
dua dapat berupa gambaran Kamma berbeda atau gambaran takdir berbeda atau Kamma berbeda.
Kamma, Kamma-nmitta atau Gati-nimitta dari satu kehidupan adalah berbeda dari Kamma, Kamma-
nmitta atau Gati-nimitta dari kehidupan lainnya. Selalu ada perbedaan dalam Kamma, Kamma-nmitta
atau Gati-nimitta dalam setiap kehidupan.
Apa yang penting untuk diingat dalam proses pikiran ini adalah bahwa Paṭisandhi bukanlah akibat
dari Cuti. Ini harus dipahami. Banyak orang jatuh ke dalam kekeliruan ini. Mereka mengatakan bahwa
Paṭisandhi dihasilkan oleh Cuti. Sebenarnya Paṭisandhi dihasilkan oleh Kamma. Kamma yang
manakah? Ini adalah Kamma lampau, bahkan bukan Kamma pada momen-momen Javana. Ini
dihasilkan oleh Kamma lampau. Kamma lampau berarti masa lalu yang jauh atau hanya masa lalu yang
dekat. Ini berarti bahwa Kamma ini adalah apa yang diperoleh sebelum proses pikiran kematian.
Sebelum proses pikiran kematian ini terdapat proses-proses pikiran lainnya yang berlangsung terus-
menerus bagaikan arus kesadaran. Pada waktu-waktu itu terdapat Kamma. Kamma itu juga ada di
masa lalu. Paṭisandhi dihasilkan oleh Kamma; bukan dihasilkan oleh Cuti.
Tetapi kita dapat mengatakan bahwa Paṭisandhi Citta, kesadaran Paṭisandhi, dikondisikan oleh Cuti.
Kondisi ini adalah kedekatan. Ini disebut kondisi yang dekat – dengan kata lain memberi tempat pada.
Jika kesadaran-kematian tidak lenyap, maka Paṭisandhi tidak dapat muncul. Kesadaran-kematian
adalah kondisi bagi munculnya kesadaran Paṭisandhi. Dalam makna ini Cuti adalah kondisi bagi
kesadaran Paṭisandhi. Ini tidak disebabkan oleh melainkan hanya memberi tempat padanya sebagai
sebuah kondisi.
Agar anda dapat duduk di tempat ini maka saya harus mengosongkan tempat ini. Jadi saya adalah
kondisi bagi anda untuk berada di sini. Ini seperti itu. Ini harus diingat baik-baik karena banyak orang
melakukan kesalahan ini dengan mengatakan Paṭisandhi disebabkan oleh Cuti Citta. Cuti Citta adalah
Vipāka Citta. Sebagai Vipāka Citta, Cuti tidak dapat memberikan akibat. Ini adalah akibat dari Kamma
lain dan karena itu tidak memiliki kekuatan untuk menghasilkan akibat. Tetapi ini dapat disebut
sebuah kondisi menurut Paṭṭhāna karena muncul dan lenyap sebelum Paṭisandhi Citta muncul. jadi
tidak akan ada Kamma, Kamma-nimitta atau Gati-nimitta yang identik untuk semua penjelmaan,
untuk semua kehidupan. Kamma, Kamma-nimitta atau Gati-nimitta dari satu kehidupan adalah
berbeda dari Kamma, Kamma-nimitta atau Gati-nimitta dari kehidupan lainnya.
Buka CMA halaman 224.
“Dalam kasus penghubungan-kelahiran-kembali alam-indriawi, dan sebagainya: jika objek dari
kesadaran kelahiran kembali adalah kamma, maka ini pasti masa lalu dan harus berupa objek pikiran
yang ditangkap pada pintu pikiran.” (CMA, V, §38, p.224)
Ini muncul melalui pintu-pikiran.
“Jika objeknya adalah gambaran kamma, maka ini dapat ditangkap pada salah satu dari enam pintu
dan dapat berupa masa lalu atau masa sekarang.” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Sampai di sini tidak ada masalah.
“Dalam kasus gambaran takdir sebagai objek (Gati-nimitta), guru-guru berbeda mengemukakan
interpretasi yang berlawanan. Beberapa komentator, termasuk penulis Vibhāvinī-Ṭīkā, berpendapat
bahwa gambaran takdir pasti adalah bentuk terlihat (objek terlihat) yang ada saat ini yang tertangkap
pada pintu pikiran.” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Jadi menurut Ṭīkā itu, gambaran takdir adalah objek terlihat yang ada saat ini. Ini dibawa melalui
pintu-pikiran, bukan melalui pintu-mata. Anda tidak melihat gambaran itu dengan mata anda. Anda
melihat gambaran itu dengan pikiran anda.
“Mereka menafsirkan pernyataan Ācariya Anuruddha dalam Teks (Manual), sebagai bermakna: ‘Ketika
objeknya adalah gambaran kamma, maka ini dapat dicerap pada salah satu dari enam pintu dan dapat
berupa masa sekarang atau masa lalu; jika ini adalah gambaran takdir maka ini dicerap pada pintu ke
enam, yaitu pintu pikiran, dan adalah masa sekarang.’” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Dalam teks Pāḷi kata yang digunakan adalah ‘Chadvāragahitaṃ’. Kata ini secara harfiah bermakna
ditangkap atau dibawa oleh enam pintu. Tetapi ini juga dapat ditafsirkan sebagai bermakna pintu ke
enam. Maka Vibhāvinī-Ṭīkā menafsirkannya sebagai bermakna pintu ke enam. Menurut Vibhāvinī-
Ṭīkā, Gati-nimitta selalu adalah objek terlihat yang ada saat ini yang muncul melalui pintu-pikiran.
“Para komentator lain, termasuk Leḍī Sayādaw, menolak interpretasi in sebagai dipaksakan dan
terlalu sempit. Mereka berpendapat bahwa kata-kata Ācariya Anuruddha harus dianggap bermakna
lebih luas bahwa gambaran takdir dapat berupa masa lalu atau masa sekarang dan dapat muncul pada
salah satu dari enam pintu.” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Jadi menurut guru-guru ini, Gati-nimitta adalah sama seperti Kamma-nimitta. Ini dapat berupa enam
jenis objek. Ini dapat muncul melalui enam pintu-indria.
“Ledi Sayādaw menegaskan bahwa ketika Teks Abhidhamma biasanya mengatakan gambaran takdir
sebagai objek terlihat yang ada saat ini yang muncul pada pintu pikiran, ini dikatakan melalui
manifestasi biasanya, tetapi bukan berarti bahwa ini tidak bermanifestasi dalam cara-cara lain,
misalnya, sebagai suara rintihan mereka di neraka atau sebagai musik atau aroma surgawi, dan
sebagainya.” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Gati-nimitta tidak hanya objek terlihat saja, tetapi ini juga dapat berupa suara atau bau-bauan dan
sebagainya.
Ada kisah Upāsaka Dhammika dalam Dhammapada. Ketika ia menjelang meninggal dunia, gambaran
takdir muncul padanya. Gambaran takdir itu adalah kereta-kereta yang ditarik dari enam Deva Loka.
Mereka masing-masing memintanya untuk menaiki kereta mereka dengan berkata, “Silakan naik ke
kereta kami agar kami dapat membawamu ke alam kami.” Ia melihat gambaran-gambaran itu. Ia juga
mendengar karena para Deva itu memintanya untuk naik ke atas kereta mereka. Di sana Gati-nimitta
bukan hanya objek terlihat, tetapi juga objek suara. Ia juga mencium aroma bunga-bunga surgawi.
Saya tidak tahu itu. Jadi para Komentator lain termasuk Leḍī Sayādaw menganggap bahwa Gati-nimitta
dapat muncul melalui salah satu dari enam pintu.
Dalam Abhidhamma atau dalam ajaran-ajaran Sang Buddha tidak ada perpindahan apapun dari satu
kehidupan ke kehidupan lainnya. Sekarang Paṭisandhi Citta muncul dan kemunculannya sebagai
akibat dari Kamma di masa lalu. Ini bukanlah sesuatu yang dibawa menuju kehidupan berikutnya. Ini
adalah apa yang diajarkan Abhidhamma. Ada perumpamaan untuk menjelaskan hal ini –
perumpamaan gema, perumpamaan lampu, perumpamaan stempel. Ini berarti Paṭisandhi Citta
muncul bukan tanpa sebab. Paṭisandhi Citta bukanlah penyebab; ini adalah akibat dari sebab. Ketika
anda berteriak ke dalam sebuah gua, maka gemanya akan memantul kembali. Gema itu bukanlah suara
anda, tetapi tanpa suara anda tidak akan ada gema. Demikian pula, Paṭisandhi bukanlah kehidupan
lampau, tetapi muncul karena sesuatu di masa lalu.
Ini seperti sebuah lampu minyak. Anda menyalakan lampu anda dari lampu minyak lainnya. Api anda
tidak sama dengan api lainnya. Akan tetapi api itu tidak akan ada tanpa api dari lampu lainnya.
Juga ada perumpamaan stempel. Jika anda menstempel pada kertas, teraan stempel itu ada di sana.
Teraan itu muncul pada kertas. Tanpa stempel maka tidak akan ada teraan. Dengan cara yang sama,
apa yang muncul dalam kehidupan baru sama sekali terputus dari sesuatu dalam kehidupan lampau.
Tidak ada apapun dari kehidupan lampau yang dibawa kepada kehidupan berikutnya. Ini adalah
bagaimana kita menjelaskan hal ini. Apapun yang muncul pada momen Paṭisandhi menurut ajaran ini
adalah akibat dari Kamma di masa lalu – bukan sesuatu yang dibawa menuju kehidupan baru. Tetapi
ada sejenis keberlanjutan yang berlangsung. Jadi dalam bahasa konvensional kita mengatakan
seseorang terlahir kembali. Misalnya, kita mengatakan Sang Bodhisatta terlahir kembali sebagai raja.
Sang Bodhisatta dapat terlahir kembali sebagai manusia, sebagai Deva atau sebagai binatang. Tidak
ada apapun dari kehidupan lampau yang dibawa ke kehidupan berikutnya. Sesuatu dalam kehidupan
lampau menyebabkan sesuatu muncul dalam kehidupan baru. Karena ini adalah akibat dari sebab,
maka ini memiliki kualitas-kualitas dari penyebabnya – bukan berarti kualitas-kualitas itu dibawa atau
dipindahkan ke kehidupan berikutnya. Kualitas-kualitas itu sendiri adalah akibat.
Ini seperti jika anda menanam pohon mangga, maka anda memperoleh buah mangga. Demikian pula,
akibat dalam kehidupan berikutnya adalah serupa dengan penyebabnya dalam kehidupan lampau. Ini
adalah bagaimana kita harus memahami kehidupan ini dan kehidupan berikutnya.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!
Anda boleh bertanya.
Murid: [Tidak terdengar]
Sayādaw: Seperti yang saya katakan sebelumnya, kualitas-kualitas dari penyebab dihasilkan
dalam akibat. Bukan berarti kualitas-kualitas itu berpindah. Sesuatu yang dihasilkan
dari benih mangga dan sesuatu yang dihasilkan dari benih plum adalah berbeda.
Sesuatu yang dihasilkan dari benih mangga adalah buah mangga. Sesuatu yang
dihasilkan dari benih plum adalah buah plum dan sebagainya. Kita mengatakan bahwa
kita mengumpulan Pāramī.10 Pāramī itu tidak berpindah ke kehidupan lainnya. Pāramī
sebenarnya adalah Kamma. Sebagai akibat dari Kamma itu, maka muncul akibat di
masa depan. Akibat itu memiliki akibat dari Kamma masa lalu. Jadi ini seperti potensi

10
Sepuluh Pāramī (kesempurnaan) adalah Dāna (kedermawanan), Sīla (moralitas), Nekkhamma (pelepasan
keduniawian), Paññā (kebijaksanaan), Viriya (usaha), Khanti (kesabaran), Sacca (kejujuran), Adiṭṭhana (tekad),
Mettā (cinta kasih), Upekkhā (keseimbangan).
yang dibawa, tetapi sebenarnya tidak dibawa. Satu sebab menghasilkan satu akibat.
Sebab lainnya menghasilkan akibat lainnya dan seterusnya.
Murid: Dalam kuliah malam ini Bhante merujuk pada ketagihan laten dan ketidaktahuan
laten. Saya dapat memahami bagaimana ketagihan dapat menjadi laten, tetapi mohon
jelaskan bagaimana ketidaktahuan dapat menjadi laten.
Sayādaw: Ketidaktahuan bermakna bukan hanya ketiadaan pengetahuan. Ini juga bermakna
memahami secara keliru. Ini memiliki karakteristik menutupi sifat sejati. Karena
penutupan sifat sejati ini ada pada kita, maka kita tidak dapat melihat sifat sejati segala
sesuatu. Maka dikatakan sebagai selalu ada bersama kita. Ini seperti suatu fenomena
yang mendasari.

PROSES KEMATIAN & KELAHIRAN KEMBALI –


BAGIAN DUA
Kita akan kembali ke CMA, §38 halaman 223. Ini tentang proses penghubungan-kembali-kematian.
Dalam proses penghubungan-kembali-kematian, Javana-Javana hanya muncul lima kali karena
Javana-Javana itu lemah pada momen ini.
“Ketika kematian terjadi sewaktu objek-objek yang ada saat ini muncul dan telah memasuki jalur
indria, maka penghubungan-kelahiran-kembali dan rangkaian-kehidupan (dari kehidupan baru) juga
mengambil objek yang ada saat ini.” (CMA, V, §38, p.223)
Objek yang diambil oleh proses terakhir, proses pikiran kematian dapat berupa masa sekarang atau
masa lalu: Tabel ini (baca CMA, V, Tabel 5.6, p.225) menunjukkan objek masa sekarang. Tabel ini
hanyalah satu di antara banyak proses pikiran penghubungan-kembali-kematian yang mungkin
terjadi. Karena ini adalah objek terlihat yang ada saat ini, maka ini bertahan selama 17 momen pikiran.
Tetapi jika kita hitung dari kemunculannya, hanya ada 14 momen. Hanya ada 14 momen pikiran dalam
kehidupan nomor satu. Kita dapat menyebutnya kehidupan sekarang. Kemudian setelah kematian
atau Cuti dalam kehidupan itu, di sana muncul penghubungan-kembali. Dalam proses pikiran ini
Pañcadvārāvajjana dan Javana-Javana mengambil objek ini, objek yang ada saat ini sebagai objek.
Tetapi Cuti mengambil objek yang diambil oleh Paṭisandhi dan Bhavaṅga dalam kehidupan ini. Ini
berarti Cuti mengambil objek yang sama seperti yang diambil oleh Paṭisandhi dan Bhavaṅga dalam
kehidupan ini – Kamma, Kamma-nimitta dan Gati-nimitta. Tetapi Paṭisandhi dalam kehiduan
berikutnya segera mengambil objek yang ada saat ini karena masih ada – objek yang ada saat ini
sebagai objek. Bukan hanya Paṭisandhi tetapi dua momen Bhavaṅga juga mengambil objek yang ada
saat ini sebagai objek karena objek terlihat yang ada saat ini bertahan hingga Bhavaṅga ke dua. Ketika
kematian terjadi, objek yang ada saat ini, yang telah memasuki jalur indria, masih ada. Jadi dalam
kasus ini objek terlihat yang ada saat ini diambil oleh Paṭisandhi dan dua Bhavaṅga yang mengikuti
sebagai objek terlihat yang ada saat ini.
Setelah Bhavaṅga ke dua objek yang ada saat ini lenyap. Bhavaṅga ke tiga mengambil objek ini, tetapi
bukan sebagai objek yang ada saat ini. Ini adalah objek masa lalu, objek terlihat masa lalu. Dimulai dari
Bhavaṅga 3 hingga Bhavaṅga 16 objek yang diambil adalah objek terlihat yang pada saat ini adalah
masa lalu.
Oleh karena itu, objek penghubungan-kembali11 alam-indriawi adalah gambaran takdir atau gambaran
Kamma yang mungkin masa sekarang atau masa lalu dan yang diambil melalui salah satu dari enam
pintu.
Setelah Bhavaṅga ke-16, ada proses pikiran yang dimulai dengan Manodvārāvajjana dan kemudian
Javana-Javana. Javana-Javana ini disebut Bhavanikanti – ini berarti kemelekatan pada kehidupan.
Javana-Javana ini adalaah Lobhamūla Citta. Ada tujuh momen Javana dan kemudian Bhavaṅga
kembali. Dalam kehidupan berikutnya ini Paṭisandhi mengambil objek terlihat yang ada saat ini
sebagai objek. Bhavaṅga-Bhavaṅga, setelah oebjek terlihat yang ada saat ini lenyap, mengambil objek
terlihat masa lalu sebagai objek. Dan Cuti juga mengambil objek terlihat masa lalu sebagai objek. Kita
dapat mengatakan bahwa objek bagi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti adalah sama. Satu-satunya
perbedaan adalah bahwa untuk tiga momen objeknya adalah masa sekarang dan untuk yang lainnya
adalah masa lalu.
Sementara Kamma-nimitta dan Gati-nimitta dapat muncul melalui salah satu dari enam pintu dan
dapat berupa masa sekarang ataupun masa lalu, Kamma adalah selalu masa lalu dan hanya muncul
melalui pintu-pikiran. Inilah perbedaannya. Kamma adalah masa lalu dan muncul melalui pintu-
pikiran. Kamma-nimitta dan Gati-nimitta berupa enam jenis objek yang diambil melalui enam pintu-
indria, dan dapat berupa masa sekarang ataupun masa lalu.
Jadi Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti dari kehidupan nomor satu mengambill Kamma, Kamma-nimitta
atau Gati-nimitta yang sama sebagai objek. Paṭisandhi dalam kehidupan berikutnya, dalam contoh ini,
mengambil objek terlihat yang ada saat ini sebagai objek. Dua Bhavaṅga juga mengambil objek terlihat
yang ada saat ini. Dimulai dengan Bhavaṅga ke tiga dan seluruh Bhavanga setelahnya dalam kehidupan
nomor dua, dan termasuk Cuti juga, semua Citta ini mengambil objek terlihat masa lalu sebagai objek.
Oleh karena itu, objek dari Cuti dalam satu kehidupan tidak sama dengan objek dari Paṭisandhi dalam
kehidupan berikutnya.
Kemudian Manodvārāvajjana dan tujuh Javana mengambil Paṭisandhi sebagai objek. Paṭisandhi di sini
bermakna bukan hanya Paṭisandhi Citta tetapi juga Cetasika-Cetasika yang menyertainya dan Rūpa
yang-lahir-dari-Kamma. Pada bab enam anda akan mempelajari properti materi. Ada beberapa
properti materi yang muncul dari, atau yang dihasilkan oleh Kamma dan yang muncul dari Citta, dan
yang lainnya yang muncul dari temperatur dan yang muncul dari Āhāra atau makanan. Pada momen
konsepsi sebagai manusia, katakanlah, di sana muncul Paṭisandhi Citta yang adalah sebuah Vipāka
Citta (Kāmāvacara Sahetuka Vipāka atau Upekkhā Santīraṇa), dan kemudian Cetasika-Cetasika muncul
bersama dengan Paṭisandhi itu, dan kemudian tiga puluh partikel materi. Ada tiga puluh jenis properti
materi yang muncul. jadi di sini melalui kata Paṭisandhi yang dimaksudkan adalah Paṭisandhi Citta,
Cetasika-Cetasika yang menyertainya, dan Rūpa yang-lahir-dari-Kamma. Ada tiga puluh jenis properti
materi untuk manusia dan makhluk lain yang lahir dari rahim seorang ibu. Jadi dalam kehidupan baru
proses Javana pertama mengambil Paṭisandhi sebagai objek. Javana-Javana ini adalah selalu
Lobhamūla Citta.
Pada halaman berikutnya. Sehubungan dengan gambaran takdir ada perbedaan pendapat di antara
para guru. Dikatakan dalam CMA:

11
Ini berarti objek dari Kāmāvacara Paṭisandhi
“Dalam kasus gambaran takdir sebagai objek, guru-guru berbeda mengemukakan interpretasi yang
berlawanan. Beberapa Komentator, termasuk penulis Vibhāvinī-Ṭīkā12, berpendapat bahwa gambaran
takdir pasti adalah bentuk terlihat yang ada saat ini yang tertangkap pada pintu pikiran.” (CMA, V,
Tuntunan §38, p.224)
Vibhāvinī-Ṭīkā menganggap gambaran takdir sebagai satu-satunya Rūpa, satu-satunya objek terlihat.
Ini muncul atau diambil, hanya melalui pintu-pikiran.
“Mereka menafsirkan pernyataan Ācariya Anuruddha dalam teks sebagai bermakna: ‘Jika objeknya
adalah gambaran kamma maka itu dapat dicerap melalui salah satu dari enam pintu dan dapat berupa
masa sekarang atau masa lalu; jika itu adalah gambaran takdir maka itu dicerap pada pintu ke enam,
yaitu pintu pikiran, dan adalah masa sekarang.’” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Tulisan itu dapat bermakna apa saja, tidak harus seperti yang ditafsirkan oleh Vibhāvinī-Ṭīkā. Jadi kita
boleh menafsirkan lain. Guru-guru lainnya tidak menerima penafsiran itu.
“Komentator-komentator lain, termasuk Leḍī Sayādaw, menolak penafsiran ini karena dianggap
dipaksakan dan terlalu sempit. Mereka berpendapat bahwa kata-kata Ācariya Anuruddha harus
dianggap bermakna lebih luas bahwa gambaran takdir dapat berupa masa lalu atau masa sekarang dan
dapat muncul pada salah satu dari enam pintu.” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Ini adalah pandangan dari Leḍī Sayādaw dan para Komentator lainnya juga.
“Ledi Sayādaw menegaskan bahwa ketika Teks Abhidhamma biasanya mengatakan gambaran takdir
sebagai objek terlihat yang ada saat ini yang muncul pada pintu pikiran, ini dikatakan melalui
manifestasi biasanya ....” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Apa yang dimaksudkan oleh Sayādaw adalah bahwa pernyataan itu harus dianggap sebagai pernyataan
umum.
“… tetapi bukan berarti bahwa itu tidak bermanifestasi dalam cara lainnya, …” (CMA, V, Tuntunan §38,
p.224)
Itu berarti bukan hanya Rūpa (objek terlihat).
“… misalnya, sebagai rintihan dari mereka yang ada di neraka …” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Itu berarti suara.
“… atau sebagai musik atau aroma surgawi, dan sebagainya.” (CMA, V, Tuntunan §38, p.224)
Itu juga dapat menjadi gambaran takdir menurut Leḍī Sayādaw.
Dalam kisah ayah Sona yang telah saya sampaikan pada kesempatan yang lalu, pertama ia melihat
bunga-bunga. Itu adalah Kamma-nimitta. Kemudian ia melihat para bidadari surgawi. Dan ia mungkin
merasakan keharuman bunga-bunga surgawi. Dan juga dalam kisah Upāsaka Dhammika gambaran
takdir muncul padanya dalam bentuk makhluk-makhluk surgawi yang mendatanginya dengan
mengendarai kereta surgawi. Dan kemudian mereka memintanya untuk naik ke atas kereta mereka
masing-masing. Jadi menurut Leḍī Sayādaw, gambaran takdir dapat berupa apa saja dan diambil
melalui salah satu dari enam pintu-indria.

12
Ini adalah Ṭīkā biasa untuk Abhidhammatthasaṅgaha.
Ini adalah kematian Kāmāvacara dan Paṭisandhi Kāmāvacara. Berikutnya adalah Paṭisandhi
Rūpāvacara atau kesadaran-kelahiran-kembali Rūpāvacara.
“Dalam hal penghubungan-kelahiran-kembali di alam bermateri-halus, objeknya adalah konsep dan
selalu berupa gambaran kamma.” (CMA, V, §39, p.224)
Ketika seseorang berlatih meditasi untuk mencapai Jhāna, Ia mengambil objek Kasiṇa, mayat, atau
makhluk-makhluk dan sebagainya sebagai objek meditasi. Ketika ia mengambil salah satu objek ini
sebagai objek, ini kemudian akan menjadi apa yang disebut gambaran pengimbang. Gambaran
pengimbang artinya tiruan persis dari apa yang sedang direnungkan oleh meditator. Dalam hal Kasiṇa
tanah, misalnya, pertama-tama itu adalah Kasiṇa tanah yang sebenarnya. Ia merenungkannya sebagai
“tanah, tanah, tanah” berulang-ulang. Kemudian setelah beberapa waktu ia mampu mengingat
gambaran itu. Jadi ia dapat melihat gambaran itu dalam pikirannya tanpa melihat pada piringan.
Kemudian ia berdiam pada gambaran itu lagi berulang-ulang hingga gambaran itu menjadi bebas dari
cacat, bersinar bagaikan piringan bulan dan sebagainya. Pada saat itu gambaran itu menjadi Paññatti.
Awalnya itu adalah sebuah Kasiṇa tanah; ketika ia mengucapkan, “tanah, tanah” itu adalah
Paramattha (realitas mutlak). Kemudian itu menjadi gambaran. Maka itu adalah Paññatti. Dengan
berdiam pada Paññatti, mengambil Paññatti itu sebagai objek, Jhāna muncul. Jhāna itu mengambil
Paññatti itu, konsep itu sebagai objek. Pada saat kematian, Paññatti itu diambil sebagai objek dari
proses penghubungan-kembali-kematian. Dalam hal penghubungan-kelahiran-kembali di alam
bermateri halus, objeknya adalah konsep. Sebagai akibat dari Jhāna yang dicapai dalam kehidupan
sekarang, objek dari Jhāna itu muncul padanya pada saat kematian. Segera setelah kematian, sebagai
akibat dari Jhāna itu, ia terlahir kembali di alam Rūpāvacara. Kesadaran penghubungan-kembali-nya
adalah Rūpāvacara Vipāka. Karena Rūpāvacara Kusala dan Rūpāvacara Vipāka mengambil objek yang
sama, maka objek dari Rūpāvacara Vipāka yang adalah Paṭisandhi adalah juga konsep. Jadi dalam hal
penghubungan-kelahiran-kembali di alam bermateri-halus (Rūpāvacara), objeknya adalah konsep. Ini
selalu adalah gambaran Kamma. Objek itu disebut gambaran Kamma, bukan gambaran takdir dan
bukan Kamma itu sendiri.
“Demikian pula, dalam kasus penghubungan-kelahiran-kembali di alam tanpa materi, objeknya – yang
dapat berupa kondisi luhur atau konsep, menurut situasinya – adalah selalu gambaran kamma.” (CMA,
V, §39, p.224)
Objek dari Paṭisandhi Arūpāvacara juga adalah gambaran Kamma. Tetapi di sini gambaran Kamma
dapat berupa realitas mutlak ataupun konsep. Anda tahu bahwa objek dari Arūpāvacara Kusala
pertama adalah konsep ruang tanpa batas. Objek dari Arūpāvacara Kusala ke tiga adalah kekosongan
dari Arūpāvacara Kusala pertama. Ketika Arūpāvacara Vipāka muncul sebagai akibat dari Arūpāvacara
Kusala, Citta ini mengambil objek yang sama. Objek dari Paṭisandhi Arūpāvacara pertama adalah
konsep ruang tanpa batas. Objek dari Paṭisandhi Arūpāvacara ke tiga adalah konsep kekosongan dari
Citta Arūpāvacara pertama. Dalam kasus Paṭisandhi Arūpāvacara pertama dan ke tiga objeknya adalah
konsep.
Tetapi objek dari Arūpāvacara Kusala ke dua adalah Citta Arūpāvacara pertama. Objek dari
Arūpāvacara Kusala ke empat adalah Kusala Citta Arūpāvacara ke tiga. Dalam kasus ini objek dari
Arūpāvacara adalah Mahaggata karena Rūpāvacara dan Arūpāvacara Citta disebut Mahaggata Citta.
Jadi dalam kasus Paṭisandhi Arūpāvacara ke dua dan ke empat objeknya adalah Paramattha, objeknya
adalah realitas mutlak yang disebut Mahaggata. Objek dari Paṭisandhi Arūpāvacara secara umum
adalah kondisi Luhur (Mahaggata) apakah ini adalah realitas mutlak atau konsep, sesuai sutuasinya.
Ini selalu adalah gambaran Kamma atau Kamma-nimitta. Objek dari Paṭisandhi Rūpāvacara dan
Arūpāvacara adalah selalu Kamma-nimitta, gambaran Kamma. Objek dari Paṭisandhi Arūpāvacara
adalah suatu konsep atau suatu Paramattha (suatu realitas mutlak) atau di sini suatu objek Mahaggata.
Sekarang makhluk-makhluk tanpa batin – “Dalam kasus makhluk-makhluk tanpa persepsi (dalam
kasus makhluk-makhluk tanpa batin), hanya kelompok sembilan vital yang kokoh melalui
penghubungan-kelahiran-kembali.” (CMA, V, §39, p.226)
Itu berarti hanya kelompok Rūpa itu yang menjadi Paṭisandhi. Bagi mereka, Paṭisandhi tidak memiliki
Citta. Bagi makhluk-makhluk tanpa batin Paṭisandhi berarti hanya sembilan properti materi. Mereka
disebut ‘terlahir kembali secara materi’ atau ‘makhluk-makhluk yang memiliki materi sebagai
Paṭisandhi’. Tidak ada Citta atau Cetasika yang muncul bagi makhluk-makhluk itu. Mereka terlahir
kembali bagaikan patung. Perbedaan antara patung dan makhluk-makhluk ini adalah bahwa mereka
memiliki Jīvita-rūpa (indria kehidupan materi) ini sedangkan patung biasa tidak memiliki indria
kehidupan.
“Mereka yang ada di alam tanpa materi disebut terlahir kembali secara batin.” (CMA, V, §39, p.226)
Yaitu mereka yang ada di alam Arūpāvacara yang memiliki Arūpa sebagai Paṭisandhi atau yang
memiliki non-materi sebagai Paṭisandhi.
“Yang lainnya disebut terlahir kembali secara materi dan batin.” (CMA, V, §39, p.226)
Yang lainnya, seperti manusia dan para Deva, disebut terlahir kembali secara materi dan batin. Mereka
memiliki Rūpa serta Arūpa pada saat Paṭisandhi. Ada makhluk-makhluk yang memiliki Paṭisandhī
yang hanya terdiri dari Nāma. Ada makhluk-makhluk yang memiliki Paṭisandhi yang hanya terdiri
dari Rūpa. Ada makhluk-makhluk yang memiliki Paṭisandhi yang terdiri dari Nāma dan Rūpa.
Kita sampai pada kelahiran kembali apa mengikuti Cuti apa – di mana makhluk-makhluk dapat terlahir
kembali setelah kematian dari alam atau kehidupan tertentu. Informasi yang diberikan dalam Manual
ini sendiri (yang saya maksudkan adalah naskah Pāḷi asli) adalah informasi umum, tidak terperinci.
Kita memiliki tabel terperinci (baca CMA, V, Tabel 5.7, p.230). Pertama-tama kita harus memahami
pernyataan umum ini. Terjemahan dari syair pertama tidak cukup baik, tetapi saya pikir tidak apa-
apa.
“Ketika seseorang meninggal dunia dari satu alam tanpa materi, ia mungkin terlahir kembali di alam
tanpa materi yang tinggi tetapi tidak di alam tanpa materi yang lebih rendah, …” (CMA, V, §40, p.226)
Maka yang ingin saya tanyakan adalah: Bagaimana dengan alam yang sama? Tidak dikatakan tentang
alam yang sama. Tetapi dalam tuntunan (baca CMA, V, §40, p.227), dalam penjelasan pada halaman
berikutnya itu benar. Dan juga di sini satu kata disalahpahami. Kata Pāḷi ‘Param’ bukan berarti ‘
tinggi’. Ini berarti setelah – jadi setelah Cuti Arūpāvacara, seperti itu. Setelah Cuti Arūpāvacara ada
Paṭisandhi Arūpāvacara, kecuali untuk Paṭisandhi Arūpāvacara yang lebih rendah. Ini berarti mereka
yang terlahir di alam Arūpāvacara tidak terlahir kembali di alam Brahma yang lebih rendah. Yaitu
mereka yang meninggal dunia dari alam-alam Arūpāvacara. Mengapakah? Karena ketika mereka
mencapai Arūpāvacara Jhāna, maka Jhāna-Jhāna yang lebih rendah lenyap. Karena Jhāna-Jhāna yang
lebih rendah lenyap, maka mereka tidak memperoleh Jhāna-Jhāna yang lebih rendah begitu mereka
mencapai alam Arūpāvacara. Mereka tidak dapat mempraktikkan Jhāna-Jhāna yang lebih rendah di
sana. Karena mereka tidak dapat mempraktikkan Jhāna-Jhāna yang lebih rendah, maka mereka tidak
terlahir kembali di alam-alam Brahma yang lebih rendah. Jika mereka terlahir kembali, mereka akan
terlahir di alam yang sama atau alam yang lebih tinggi.
Dan juga bukan hanya itu, mereka dapat terlahir kembali di alam Kāmāvacara dengan Tihetuka
Paṭisandhi. Setelah kematian di Arūpāvacara Patīsandhi apakah yang dapat mengikuti? Kita akan
sampai di sana nanti ketika kita membaca tabel (baca CMA, V, Tabel 5.7, p.230). jadi ada empat
Arūpāvacara Paṭisandhi dan kemudian empat Kāmāvacara Paṭisandhi yang disertai dengan tiga akar.
Mengapakah mereka tidak terlahir kembali di Rūpāvacara? Ini agak sulit dipahami. Ini berarti bahwa
mereka kehilangan Jhāna-Jhāna di sana. Sebagai akibat dari Jhāna yang telah mereka peroleh sebagai
manusia atau sebagai Deva, mereka terlahir kembali di alam Arūpāvacara. Di alam Arūpāvacara
mereka kehilangan Jhāna-Jhāna mereka. Karena mereka kehilangan Jhāna-Jhāna mereka, maka
mereka tidak dapat terlahir kembali di alam-alam Brahma. Mereka tidak dapat terlahir kembali di
alam Brahma manapun karena mereka telah kehilangan Jhāna. Maka mereka kembali ke alam
Kāmāvacara. Ketika mereka kembali ke alam Kāmāvacara, kelahiran kembali mereka adalah satu dari
kelahiran kembali Kāmāvacara berakar-tiga, salah satu dari Tihetuka Citta. Mengapakah mereka tidak
terlahir kembali sebagai Dvihetuka, seorang yang memiliki dua akar? Dalam penjelasan dikatakan jika
mereka jatuh dari pencapaian Jhāna mereka – ini berarti mereka kehilangan Jhāna di sana – maka
mereka terlahir kembali di alam indriawi melalui kekuatan konsentrasi akses. Konsentrasi akses ini
bukan berarti di alam Arūpāvacara karena jika ada konsentrasi akses di sana, maka berarti ada Jhāna.
Tetapi mereka kehilangan Jhāna di sana. Mereka jatuh dari Jhāna di sana. Konsentrasi akses yang
disebutkan di sini adalah konsentrasi akses dari kehidupan sebelumnya. Jadi ketika mencapai Jhāna,
sebagai manusia, katakanlah, dalam proses Jhāna mereka memiliki Parikamma, Upacāra, Anuloma dan
Gotrabhū. Ini disebut konsentrasi akses. Sebelum itu apa yang mereka capai juga disebut konsentrasi
akses. Sebagai akibat dari momen-momen konsentrasi akses itu atau sebagai akibat dari Kamma, maka
mereka terlahir kembali di alam Kāmāvacara dengan tiga akar sebagai Paṭisandhi, bukan dua akar. Ini
karena konsentrasi akses yang telah mereka capai dalam kehidupan sebelumnya adalah kuat.
Konsentrasi akses adalah sangat kuat. Sebelum mereka terlahir kembali sebagai makhluk
Arūpāvacara, mereka berlatih meditasi dan mencapai konsentrasi akses. Setelah mereka meninggal
dunia sebagai makhluk Arūpāvacara, melalui kekuatan konsentrasi akses yang dicapai dalam
kehidupan sebelum kelahiran kembali mereka di alam Arūpāvacara, maka mereka terlahir kembali
dengan tiga akar, bukan dua akar, bukan tanpa akar. Seseorang dari alam Arūpāvacara juga dapat
terlahir kembali di alam indriawi dengan kesadaran-kelahiran-kembali berakar-tiga.
“Ketika seseorang meninggal dunia dari alam bermateri halus (dari alam Rūpāvacara), ia tidak terlahir
kembali tanpa akar.” (CMA, V, §40, p.226)
Brahma tidak dapat terlahir kembali sebagai manusai atau sebagai Deva dengan dua akar. Juga Brahma
tidak dapat terlahir kembali dengan tanpa akar. Jadi Brahma tidak dapat secara langsung terlahir
kembali sebagai binatang.
Ada sebuah kisah dalam Dhammapada di mana ketika Sang Buddha melihat seekor babi Beliau
tersenyum. Ānanda bertanya mengapa Beliau tersenyum. Sang Buddha berkata, “Itu dulunya adalah
Brahma.” Itu bukan berarti bahwa dari alam Brahma ia terlahir kembali sebagai seekor babi. Itu berarti
bahwa mungkin ia terlahir kembali sebagai manusia dan kemudian terlahir kembali lagi sebagai babi.
Jadi Brahma tidak mungkin terlahir kembali secara langsung dari alam Arūpāvacara atau Rūpāvacara
ke alam manusia sebagai makhluk berakar-dua atau tanpa akar. Dan Brahma tidak mungkin secara
langsung terlahir kembali di empat alam sengsara.
“Ketika seseorang meninggal dunia di alam bermateri halus, ia tidak terlahir kembali dengan tanpa
akar. Setelah meninggal dunia dari satu kehidupan berakar-tiga di alam indriawi, …” (CMA, V, §40,
p.226)
Ini adalah Kāmāvacara.
Jadi, ini berarti setelah Kāmāvacara Cuti dengan tiga akar,
“… seseorang mungkin terlahir kembali di mana saja.” (CMA, V, §40, p.226)
Ini adalah kelebihan manusia. Seorang manusia dapat terlahir kembali di alam Arūpāvacara ke empat,
di alam tertinggi atau di neraka terendah, yaitu Avīci. Seorang manusia dengan kesadaran-kelahiran-
kembali berakar-tiga dapat terlahir kembali di mana saja dalam 31 alam kehidupan. Ia dapat naik ke
alam tertinggi atau turun ke alam terendah.
“Setelah meninggal dunia dari kehidupan berakar-tiga di alam indriawi, ia dapat terlahir kembali di
mana saja.” (CMA, V, §40, p.226)
“Selebihnya (yaitu mereka yang meninggal dunia dengan dua akar dan tanpa akar) terlahir kembali
hanya di alam-indriawi.” (CMA, V, §40, p.226)
Siapakah mereka yang meninggal dunia dengan dua akar? Mereka adalah beberapa manusia dan
beberapa Deva. Siapakah mereka yang meninggal dunia dengan tanpa akar? Mereka yang meninggal
dunia dari empat alam sengsara adalah tanpa akar. Mereka terlahir kembali hanya di alam-indriawi.
Mereka terlahir kembali hanya di alam Kāmāvacara. Mereka dapat terlahir kembali dengan Paṭisandhi
dari dua atau tiga akar hanya di alam Kāmāvacara saja.
Ini adalah pernyataan singkat dan tidak menyebutkan perbedaan atas Paṭisandhi bagi mereka yang
adalah para Puthujjana dan bagi para Ariya atau mereka yang tercerahkan. Kita harus mencari potensi
kelahiran kembali bagi para Puthujjana dan bagi mereka yang telah mencapai pencerahan.
“Dalam kasus para siswa mulia tidak mungkin ada kemunduran dari jenis kesadaran kematian yang
tinggi menjadi jenis kesadaran kelahiran kembali yang rendah.” (CMA, V, §40, p.227)
Bagi para siswa mulia tidak mungkin ada penurunan.
“… tidak mungkin ada kemunduran dari jenis kesadaran kematian yang tinggi menjadi jenis kesadaran
kelahiran kembali yang rendah.” (CMA, V, §40, p.227)
Jadi ketika mereka terlahir kembali, kesadaran-kelahiran-kembali mereka akan berupa Paṭisandhi
berakar-tiga.
“Semua siswa mulia meninggal dunia dengan kesadaran kematian berakar-tiga, karena tanpa tiga akar
adalah tidak mungkin mereka dapat mencapai sang jalan dan buahnya.” (CMA, V, §40, p.227)
Semua siswa mulia itu atau mereka yang telah mencapai pencerahan meninggal dunia dengan
kesadaran-kematian berakar-tiga.
“Para siswa mulia yang masih berlatih …” (CMA, V, §40, p.227)
Ini berarti Sotāpanna, Sakādāmī dan Anāgāmī.
“… muncul kembali apakah di alam yang sama atau di alam yang lebih tinggi;” (CMA, V, §40, p.227)
Bagaimana menurut anda? Apakah anda setuju? Ya? Bagaimana dengan Sakadāgāmī? Seorang
Sakādāmī meninggal dunia di sini kemudian terlahir kembali sebagai Deva dan kemudian ia kembali
lagi ke Manussa Loka, maksud saya ia kembali sebagai manusia. Itulah sebabnya mengapa ia disebut
Sakadāgāmī, seorang Yang-kembali-sekali. Tetapi jika anda menganggap kelahiran kembali sebagai
manusia dan kelahiran kembali sebagai Deva adalah sama, tidak apa-apa. Sebenarnya kalimat ini
berlaku hanya untuk paar Brahma. Para Brahma yang tercerahkan tidak terlahir kembali di alam yang
lebih rendah.
Kita harus berhati-hati. Ketika dikatakan alam, ini adalah satu hal. Ketika dikatakan kesadaran-
kelahiran-kembali, ini adalah hal lainnya. Mereka memperoleh jenis kesadaran-kelahiran-kembali
dari jenis yang sama atau yang lebih tinggi. Ini adalah untuk para siswa mulia. Mereka memperoleh
jenis kesadaran-kelahiran-kembali dari jenis yang sama atau yang lebih tinggi.
“Tentu saja, mereka yang telah mencapai sang jalan dan buah Kearahantaan tidak terlahir kembali di
alam manapun setelah kematian.” (CMA, V, Tuntunan §40, p.227)
Terdapat ungkapan dalam Komentar dan dalam naskah-naskah lainnya bahwa dalam skema 31 alam
kehidupan terdapat tiga alam yang disebut Seṭṭha Bhāva – alam terbaik. Ada tiga alam terbaik di antara
31 alam kehidupan. Yaitu Vehapphala, Akaniṭṭha dan Nevasaññānāsaññāyatana. Ketiga alam ini
disebut alam-alam terbaik. Dikatakan bahwa seorang Mulia yang terlahir di sana tidak akan terlahir
kembali di alam lainnya. Misalnya, seorang Mulia yang terlahir kembali di Vehapphala tidak akan
terlahir kembali di alam lain. Jika ia harus terlahir kembali, maka ia akan terlahir kembali di alam yang
sama itu. Ia pasti akan menjadi Arahant dan mencapai Parinibbāna. Juga seorang siswa Mulia, yang
terlahir kembali di alam tertinggi, tidak akan terlahir kembali. Maka alam-alam itu disebut tiga alam
terbaik atau tiga kehidupan terbaik.
Dalam lima alam makhluk-makhluk murni, Suddhāvāsa, para Anāgāmī tidak terlahir kembali di alam
mereka masing-masing. Mereka akan terlahir kembali di alam yang lebih tinggi.
Ada satu hal yang disebutkan dalam Sammohavinodanī dan itu adalah bahwa para Sotāpanna dan
Sakadāgāmī, ketika mereka terlahir kembali di alam Rūpāvacara, mereka tidak akan kembali ke alam
Kāmāvacara. Mereka akan mencapai Parinibbāna di sana di alam Rūpāvacara. Jadi walaupun para
Sotāpanna memiliki tujuh kelahiran kembali dan Sakadāgāmī, katakanlah, memikiki satu atau dua
kelahiran kembali, jika mereka terlahir kembali di alam Rūpāvacara, maka mereka tidak akan kembali
ke sini. Seorang Sotāpanna, yang terlahir kembali di alam Rūpāvacara, ia mungkin akan naik dan naik.
Ia tidak akan turun ke alam Kāmāvacara. Mereka disebut Jhāna Anāgāmī. Mereka tidak kembali ke sini
berkat kekuatan Jhāna. Mereka bukanlah Anagāmī sejati, tetapi disebut Jhāna Anāgāmī.
Sekarang lihat pada tabel (baca CMA, V, Tabel 5.7, p.230). Ini sangat terperinci. Tabel menunjukkan
Cuti dan Paṭisandhi apa yang mengikuti. Beberapa halaman pertama adalah untuk Puthujjana, kaum
duniawi. Seorang Puthujjana yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara ke empat dapat terlahir
kembali di alam Arūpāvacara ke empat itu juga dan juga ia dapat terlahir kembali di alam manusia dan
enam alam Deva. Jadi seseorang yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara ke empat tidak dapat
terlahir kembali sebagai Rūpāvacara Brahma. Ia akan terlahir kembali di alam Arūpāvacara ke empat
atau jika ia kehilangan Jhāna, maka ia akan terlahir kembali di alam Kāmāvacara, Kāma-sugati, alam
manusia hingga Parnimittavasavattī, nomor 5-11 (alam manusia dan Deva). Tabel menunjukkan
‘Bhūmi sekarang’ – ini berarti kehidupan sekarang, dan Paṭisandhi Citta dalam kehidupan baru atau
kehidupan berikutnya.
Sekarang Arūpāvacara ke tiga – seseorang yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara ke tiga
meninggal dunia dengan Cuti Citta Arūpāvacara ke tiga. Ia dapat terlahir kembali di alam Arūpāvacara
ke tiga dan ke empat. Juga jika ia kehilangan Jhāna, ia dapat terlahir kembali di Kāma-sugati, 5-11
(alam manusia dan para Deva). Paṭisandhi Citta akan berupa Vipāka Arūpāvacara ke tiga, Vipāka
Arūpāvacara ke empat atau Vipāka Kāmāvacara yang disertai dengan tiga akar.
Seseorang yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara ke dua meninggal dunia dengan Vipāka
Arūpāvacara ke dua sebagai Cuti Citta. Ia dapat terlahir kembali dengan Vipāka Arūpāvacara ke dua,
ke tiga dan ke empat sebagai Paṭisandhi Citta atau ia dapat terlahir kembali di alam Kāmāvacara Sugati
dengan Vipāka Kāmāvacara berakar-tiga sebagai Paṭisandhi.
Sekarang Arūpāvacara pertama – seseorang yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara pertama
meninggal dunia dengan Vipāka Arūpāvacara pertama. Ia dapat terlahir kembali dengan salah satu
dari seluruh empat Vipāka Arūpāvacara karena ia dapat terlahir kembali di alam yang sama atau di
alam yang lebih tinggi. Ia dapat terlahir kembali di seluruh empat alam Arūpāvacara atau ia dapat
terlahir kembali di Kāma-sugati. Paṭisandhi Citta-nya adalah Vipāka Arūpāvacara pertama hingga ke
empat dan Vipāka Kāmāvacara empat yang disertai dengan tiga akar.
Alam-alam 23-27 (Suddhāvāsa atau Alam Murni) tidak berlaku. Dalam buku ini alam-alam ini
ditiadakan. Saya ingin memasukkan seluruh 31 alam, tetapi alam-alam ini tidak berlaku di sini. Hanya
para Anāgāmī yang terlahir kembali di alam-alam ini. Tidak ada Puthujjana. Sekarang kita sedang
membahas tentang Puthujjana, maka alam-alam ini tidak berlaku di sini.
Nomor 22 Asañña-satta, makhluk-makhluk tanpa batin – mereka tidak memiliki Cuti Citta. Cuti mereka
adalah hanya materi. Mereka dapat terlahir di Kāma-sugati. Paṭisandhi Citta mereka dapat berupa
Vipāka Kāmāvacara berakar-dua atau berakar-tiga. Mereka tidak akan terlahir dengan Vipāka
Kāmāvacara tanpa akar karena kekuatan Jhāna mereka. Mereka tidak terlahir kembali di empat alam
sengsara dan mereka tidak terlahir sebagai manusai dengan Paṭisandhi tanpa akar.
Sekarang Vehapphala – ketika para Brahma meninggal dunia dari Vehapphala mereka meninggal
dunia dengan Vipāka Rūpāvacara ke lima sebagai Cuti Citta. Mereka dapat terlahir kembali di seluruh
alam kecuali empat alam sengsara. Jika mereka masih Puthujjana, maka mereka tidak dapat terlahir
kembali di lima Alam Murni, karena mereka harus menjadi Anāgāmī untuk dapat terlahir di alam-alam
itu. Sebagai Puthujjana mereka dapat mengembangkan Jhāna-Jhāna dan mencapai kelahiran kembali
sebagai Brahma Arūpāvacara atau mengembangkan Jhāna ke lima dengan cara tertentu dan mencapai
kelahiran kembali sebagai Asaññā-satta.
Makhluk-makhluk Subhakiṇha meninggal dunia dengan Vipāka Rūpāvacara ke empat. Hal serupa
berlaku di sini. Mereka tidak dapat terlahir kembali di 23-27 (Suddhāvāsa). Mereka dapat terlahir
kembali di alam 5-22 (alam manusia, Deva dan Brahma), dan alam 28-31 (Vehapphala, Akaniṭṭha,
Nevasaññānāsaññāyatana). Appamāṇasubha juga sama. Semua ini dimulai dari Brahmapārisajja
adalah sama. Makhluk-makhluk ini dapat terlahir di alam-alam 5-22 (alam manusia, Deva dan
Brahma), atau alam 28-31 (Vehapphala, Akaniṭṭha, Nevasaññānāsaññāyatana). Perbedaannya adalah
hanya pada kesadaran Cuti. Nomor 20 (Subhakiṇha), 19 (Appamāṇasubha), dan 18 (Parittasubha),
memiliki Vipāka Rūpāvacara ke empat sebagai kesadaran Cuti. Makhluk-makhluk pada nomor 17
(Ābhassara), 16 (Appamāṇābhā) dan 15 (Parittabhā) memiliki Vipāka Citta Rūpāvacara ke dua dan ke
tiga sebagai kesadaran Cuti. Nomor 12 (Brahma-pārisajja), 13 (Brahma-purohita), & 14 (Mahābrahmā)
memiliki Vipāka Rūpāvacara pertama sebagai kesadaran Cuti. Bhūmi baru seharusnya 5-22 (alam
manusia, Deva dan Brahma), dan 28-31 (Vehapphala, Akaniṭṭha, Nevasaññānāsaññāyatana).
Sekarang Paranimmitavāsavattī – ini adalah yang tertinggi di antara enam alam Deva. Mereka yang
meninggal dunia dengan Vipāka Kāmāvacara berakar-dua, mereka yang memiliki Cuti yang tidak
disertai dengan kebijakasnaan, dapat terlahir kembali di alam 1-11 (empat alam sengsara, alam
manusia dan alam Deva), seluruh alam Kāmāvacara. Paṭisandhi Citta-nya dapat berupa Upekkhā
Santīraṇa dua, atau kāmāvacara Vipāka delapan dengan dua atau tiga akar. Setelah Vipāka
Kāmāvacara berakar-tiga mereka dapat terlahir kembali di seluruh alam kecuali Suddhāvāsa karena
mereka memiliki Cuti Kāmāvacara berakar-tiga. Setelah Cuti Kāmāvacara berakar-tiga segala
kemungkinan dapat terjadi.
Selebihnya hingga Cātummahārājikā adalah serupa. Setelah Vipāka Kāmāvacara berakar-dua, Bhūmi
baru adalah seluruh Kāmāvacara Bhūmi. Dan Paṭisandhi-nya adalah Upekkhā Santīraṇa dua, atau
Kāmāvacara Vipāka empat berakar-dua, atau Kāmāvacara Vipāka empat berakar tiga. Bagi Puthujjana
setelah Kāmāvacara Vipāka empat dengan tiga akar segala kemungkinan kecuali kelahiran kembali di
alam Suddhāvāsa dapat terjadi.
Sehubungan dengan Cātummahārājikā dan manusia yang meninggal dunia dengan Kusala-vipāka
Santīraṇa, yaitu Cuti tanpa akar, mereka dapat terlahir kembali di 1-11 (seluruh alam Kāmāvacara).
Mereka dapat terlahir kembali degan Paṭisandhi yang adalah dua Upekkhā Santīrana dan delapan
Kāmāvacara Mahāvipāka. Setelah Kāmāvacara Vipāka berakar dua terdapat peluang yang sama seperti
Cuti tanpa akar. Bagi Puthujjana yang meninggal dunia dengan Kāmāvacara Vipāka Citta berakar-tiga,
maka Paṭisandhi di seluruh alam kecuali Suddhavasā adalah mungkin.
Pernyataan di atas secara umum adalah benar. Tabel yang dijelaskan adalah hanya untuk Puthujjana,
jadi alam 23-27 (Suddhāvāsa) harus dikeluarkan dalam kasus-kasus di mana disebutkan bahwa segala
kemungkinan dapat terjadi.
Sekarang Asurakāya adalah salah satu dari empat alam sengsara. Cuti Citta makhluk-makhluk ini
adalah Akusala-vipāka Santīraṇa yang disertai dengan Upekkhā. Mereka dapat terlahir kembali di 1-
11 (seluruh alam Kāmāvacara). Paṭisandhi mereka dapat berupa dua Upekkhā Santīraṇa dan delapan
Kāmāvacara Mahāvipāka. Hal yang sama berlaku untuk ketiga lainnya – Petti-visaya, Tiracchāna-yoni
dan Niraya.
Dengan mempelajari tabel ini kita dapat memahami Paṭisandhi apa yang mengikuti Cuti apa. Kita juga
dapat memahami di mana makhluk-makhluk dapat terlahir kembali. Seseorang yang terlahir di neraka
dapat terlahir kembali di neraka lagi atau di alam sengsara lainnya, atau di alam manusia atau di salah
satu dari enam alam Deva. Seseorang yang terlahir kembali di neraka bahkan dapat naik ke alam Deva.
Tabel ini adalah untuk Puthujjana.
Sekarang kita lihat tabel untuk kelompok Ariya (baca CMA, V, Tabel 5.7, p.232). Seorang tercerahkan
yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara ke empat dapat terlahir kembali di alam Arupāvacara ke
empat atau ia akan menjadi Arahant dan tidak terlahir kembali di alam manapun. Ia dapat terlahir
kembali hanya di alam Arūpāvacara ke empat jadi Paṭisandhi Citta-nya adalah hanya Vipāka
Arūpāvacara ke empat saja.
Seorang Ariya yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara ke tiga meninggal dunia dengan Cuti Citta
Vīpāka Arūpāvacara ke tiga. Ia dapat terlahir kembali di alam 30 (alam Arūpāvacara ke tiga) atau 31
(alam Arūpāvacara ke empat). Paṭisandhi di sana berturut-turut adalah Vipāka Citta Arūpāvacara ke
tiga dan ke empat.
Seorang Ariya yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara ke dua dengan Cuti Citta yang adalah
Vipāka Arūpāvacara ke dua dapat terlahir di alam 29-31 (alam ke dua, ke tiga dan ke empat). Paṭisandhi
Citta-nya berturut-turut adalah Vipāka Arūpāvacara ke dua, ke tiga dan ke empat.
Seorang Ariya yang meninggal dunia dari alam Arūpāvacara pertama memiliki Vipāka Citta
Arūpāvacara pertama sebagai Cuti. Ia dapat terlahir kembali di alam 28-31 (alam Arūpāvacara
pertama, ke dua, ke tiga, dan ke empat). Dan Paṭisandhi Citta-nya adalah Vipāka Arūpāvacara pertama
hingga ke empat.
Dari Akaniṭṭha tidak ada kelahiran kembali. Seseorang yang meninggal dunia dari Akaniṭṭha
meninggal dunia dengan Vipāka Rūpāvacara ke lima sebagai Cuti. Tidak ada kelahiran kembali
baginya. Ia menjadi seorang Arahant di alam itu.
Bagi seseorang dari Sudassī, Cuti Citta-nya adalah Citta Rūpāvacara ke lima. Ia dapat terlahir kembali
di alam yang lebih tinggi, jadi #27 (Akaniṭṭha). Paṭisandhi Citta-nya adalah Vipāka Rūpāvacara ke lima.
Bagi seseorang dari Sudassā, Cuti Citta-nya adalah Citta Rūpāvacara ke lima dan ia dapat terlahir
kembali di dua alam yang lebih tinggi, #26 dan #27 (Sudassī atau Akaniṭṭha). Paṭisandhi Citta-nya
adalah Vipāka Rūpāvacara ke lima.
Dan Atappā – seseorang yang meninggal dunia dari Atappā dapat terlahir kembali di alam-alam 25, 26
& 27 (Sudassā, Sudassī & Akaniṭṭha). Cuti Citta-nya dan Paṭisandhi Citta-nya adalah Vipāka Rūpāvacara
ke lima.
Seseorang yang meninggal dunia dari Aviha dapat terlahir kembali di 24-27 (Atappā, Sudassā,
Sudassī,Akaniṭṭha). Cuti Citta-nya dan Paṭisandhi Citta-nya adalah Vipāka Rūpāvacara ke lima.
Asañña-satta tidak berlaku karena tidak ada individu tercerahkan di alam itu.
Seorang Ariya yang meninggal dunia dari Vehapphala dapat terlahir kembali hanya di Vehapphala
karena itu adalah salah satu alam terbaik. Dikatakan bahwa seorang Ariya yang terlahir kembali di
Vehapphala, Akaniṭṭha dan alam Arūpāvacara ke empat tidak terlahir kembali di manapun. Ia dapat
terlahir kembali hanya di alam Vehapphala itu sendiri.
Seorang Ariya yang meninggal dunia dari Subhakiṇha memiliki Cuti Citta yang adalah Vipāka
Arūpāvacara ke empat. Ia dapat terlahir kembali di alam 20 (Subhakiṇha), 21 (Vehapphala), 23-31
(Alam-alam Murni dan seluruh alam Arūpāvacara). Paṭisandhi Citta-nya dapat berupa Vipāka Citta
Rūpāvacara ke empat atau ke lima, atau salah satu dari empat Vipāka Citta Arūpāvacara.
Appamāṇasubha – Seorang Ariya yang meninggal dunia dari Appamāṇasubha dapat terlahir kembali
di Appamāṇasubha lagi dan juga di alam-alam yang lebih tinggi, jadi 19-21 (Appamāṇasubha,
Subhakiṇha, Vehapphala), 23-31 (alam-alam Sudhhāvāsa dan alam-alam Arūpāvacara). Tidak ada
kelahiran kembali bagi makhluk-makhluk tercerahkan di Asañña-satta, 22. Paṭisandhi-nya akan
berupa Vipāka Citta Rūpāvacara, atau salah satu dari empat Vipāka Citta Arūpāvacara.
Seseorang yang meninggal dunia dari Parittasubha memiliki Vipāka Rūpāvacara ke empat sebagai
Cuti. Ia dapat terlahir kembali dalam Parittasubha itu lagi, dan juga 19-21 (Appamāṇasubha,
Subhakiṇha, Vehapphala), dan kemudian 23-31 (alam-alam Suddhāvāsa dan alam-alam Arūpāvacara).
Seorang Ariya yang meninggal dunia dari Ābhassara dapat memiliki Cuti Citta apakah dari Vipāka
Rūpāvacara ke dua atau ke tiga. Ia dapat terlahir kembali di alam 17-21 (Ābhassara, Parittasubha,
Appamāṇasubha, Subhakiṇha, Vehapphala), 23-31 (alam-alam Suddhāvāsa dan alam-alam
Arūpāvacara). Paṭisandhi Citta-nya adalah Vipāka Rūpāvacara ke dua hingga ke lima, atau dapat
berupa empat Vipāka Citta Arūpāvacara.
Appamāṇābhā – seorang Ariya yang meninggal dunia dari Appamāṇābhā meninggal dunia dengan
Vipāka Rūpāvacara ke dua atau ke tiga. Ia dapat terlahir kembali di 16-21 (Appamāṇābhā, Ābhassara,
Parittasubha, Appamāṇasubha, Subhakiṇha, Vehapphala), dan 23-31 (alam-alam Suddhāvāsa dan
alam-alam Arūpāvacara). Paṭisandhi Citta-nya adalah Vipāka Rūpāvacara ke dua hingga ke lima, dan
empat Vipāka Citta Arūpāvacara.
Seorang Ariya yang meninggal dunia dalam Parittābhā dapat memiliki Vipāka Rūpāvacara ke dua atau
ke tiga sebagai Cuti Citta. Ia dapat terlahir kembali dalam Parittābhā kembali atau di alam-alam yang
lebih tinggi kecuali Asañña-satta.
Dan Mahābrahmā – seorang Ariya yang meninggal dunia dari Mahābrahmā akan meninggal dunia
dengan Vipāka Rūpāvacara pertama sebagai kesadaran Cuti. Ia dapat terlahir kembali di alam $14
(alam Mahābrahmā) lagi dan kemudian alam-alam yang lebih tinggi kecuali Asañña-satta. Kesadaran
Patisandhi-nya adalah Vipāka Rūpāvacara pertama hingga ke lima, atau Vipāka Arūpāvacara empat.
Brahmapurohita – mereka yang meninggal dunia dari Brahmapurohita dapat terlahir kembali di alam
yang sama lagi, #13 (alam Brahma-purohita), atau di alam-alam yang lebih tinggi kecuali Asañña-satta.
Mereka yang meninggal dunia dari Brahmapārisajja juga dapat terlahir kembali di alam yang sama,
#12 (Brahma-pārisajja), atau di alam-alam yang lebih tinggi, kecuali Asañña-satta. Paṭisandhi Citta
adalah Vipāka Rūpāvacara pertama hingga ke lima, atau Arūpāvacara Vipāka empat.
Sekarang Paranimittavasavattī, alam Deva tertinggi – karena mereka adalah para Ariya, maka mereka
meninggal dunia hanya dengan Kāmāvacara Vipāka berakar-tiga; mereka tidak akan memiliki dua
akar. Mereka dapat terlahir kembali di alam manusia, #5 (alam manusia), dan di $6 hingga #21 (alam
Deva dan alam Rūpāvacara), dan juga 23-31 (alam Suddhāvāsa dan alam Arūpāvacara). Paṭisandhi
mereka dapat berupa Kāmāvacara Vipāka empat berakar-tiga, Rūpāvacara Vipāka lima, atau
Arūpāvacara Vipāka empat.
Hal yang sama berlaku untuk alam-alam Deva yang lebih rendah menurun hingga Cātummahārājika.
Dan kemudian manusia, manusia sebagai individu tercerahkan, jadi Kāmāvacara Vipāka empat
berakar-tiga adalah Cuti Citta mereka. Mereka dapat terlahir kembali sebagai manusia atau makhluk
lain di alam 15-21 (alam manusia, alam Deva dan alam Rūpāvacara), dan 23-31 (alam Suddhāvāsa dan
alam Arūpāvacara. Kesadaran Paṭisandhi mereka adalah Kāmāvacara Sahetuka Vipāka empat,
Rūpāvacara Vipāka lima dan Arūpāvacara Vipāka empat. Empat alam sengsara tidak berlaku di sini
karena mereka adalah hanya individu-individu tercerahkan saja.
Berikutnya adalah Cuti-Cuti dan Paṭisandhi apa yang mengikuti. Dari Tabel ini kita dapat mengetahui
di mana seseorang dapat terlahir kembali.
Buka CMA halaman 228, §41, “Kelangsungan kesadaran”. Paragraf ini menunjukkan bahwa aliran
kesadaran berlangsung terus-menerus, bagaikan roda kereta.
“Jadi, bagi mereka yang telah terlahir kembali, sejak momen segera setelah berhentinya (kesadaran)
penghubungan-kelahiran-kembali, jenis kesadaran yang sama itu yang menangkap objek yang sama
mengalir tanpa terputus …” (CMA, V, §41, p.228)
Ini berarti jika Paṭisandhi Citta-nya adalah Kāmāvacara Mahāvipāka pertama, maka Citta Kāmāvacara
Mahāvipāka pertama itu berulang mengambi objek yang sama sebagai Paṭisandhi.
“… (ini) mengalir trus-menerus tanpa terputus bagaikan arus sungai, …” (CMA, V, §41, p.228)
Bagaikan aliran sungai arus ini mengalir terus-menerus.
“… dan itu terus demikian hingga munculnya kesadaran kematian, …” (CMA, V, §41, p.228)
Jadi Bhavaṅga mengalir hingga kematian.
“… selama tidak ada kemunculan proses kognitif.” (CMA, V, §41, p.228)
Sebenarnya Bhavaṅga tidak mengalir tanpa terputus. Ketika Bhavaṅga mengalir, alirannya tidak
terputus, tetapi ada proses-proses pikiran aktif di antara aliran Bhavaṅga. Walaupun dikatakan,
“mengalir tanpa terputus, bagaikan aliran sungai”, sebenarnya ada terputus. Kapan saja proses
kognitif muncul, yaitu, kapanpun ada Vīthi Citta, aliran Bhavaṅga berhenti. Setelah Vīthi Citta berlalu,
Bhavaṅga berlanjut kembali. Dalam satu kehidupan kita memiliki Bhavaṅga dan kita memiliki Vīthi
Citta yang termasuk dalam proses pikiran – maka Bhavaṅga Citta, Vīthi Citta, Bhavaṅga Citta dan
seterusnya.
Citta yang, katakanlah, muncul tanpa terputus seumur hidup – ini berarti ketika tidak ada proses
kognitif – proses ini disebut rangkaian-kehidupan karena ini adalah faktor penting dari kehidupan.
Artinya jika ini tidak muncul, maka kehidupan berakhir. Itulah sebabnya mengapa disebut penyusun
kehidupan. Dalam Pāḷi disebut Bhavaṅga. ‘Bhava’ berarti kehidupan dan ‘Aṅga’ berarti jalan, jalan
penyusun. Jadi ini adalah penyusun kehidupan. Artinya jika ini tidak muncul maka kehidupan akan
berakhir segera setelah Paṭisandhi atau semacam itu. Maka ini disebut Bhavaṅga.
“Pada akhir kehidupan, setelah menjadi kesadaran kematian pada saat meninggal dunia, …” (CMA, V,
§41, p.228)
Ini berarti berfungsi sebagai kematian, melakukan fungsi kematian sebagai kesadaran-kematian.
Walaupun dikatakan, “setelah menjadi kesadaran kematian”, sebenarnya Paṭisandhi Citta tidak
menjadi kesadaran-kematian. Kesadaran-kematian adalah kesadaran lain tetapi dari jenis yang sama.
Dikatakan di sini “setelah menjadi kesadaran kematian.” Ini bukan berarti Paṭisandhi Citta menjadi
kesadaran-kematian. Paṭisandhi Citta muncul dan lenyap. Kemudian jenis kesadaran yang sama
muncul sebagai Bhavaṅga sepanjang kehidupan. Kemudian pada akhirnya ketika kematian tiba,
kesadaran ini muncul kembali. Pada saat itu tidak disebut Paṭisandhi atau Bhavaṅga, melainkan
disebut Cuti atau kematian. Jadi ini bukan Paṭisandhi yang telah berubah menjadi Citta kematian,
tetapi jenis kesadaran yang sama ini muncul melakukan fungsi kematian.
“… setelah menjadi kesadaran kematian pada saat meninggal dunia, maka kemudian berhenti.” (CMA,
V, §41, p.228)
Kesadaran ini muncul sebagai kesadaran-kematian dan kemudian berhenti.
“Setelah itu, kesadaran penghubungan-kelahiran-kembali dan yang lainnya muncul, …” (CMA, V, §41,
p.228)
Kemudian setelah kematian ada kelahiran kembali.
“… berputar menurut urutannya bagaikan roda kereta.” (CMA, V, §41, p.228)
Ini berlangsung terus-menerus. Dalam satu kehidupan terdapat Paṭisandhi Citta, kemudian Bhavaṅga,
Vīthi Citta dan Cuti. Segera setelah Cuti ada Paṭisandhi dalam kehidupan lain, Bhavaṅga dan Cuti, dan
kemudian kehidupan lainnya dan Paṭisandhi, Bhavaṅga dan Cuti. Dengan cara ini roda kehdiupan
berlanjut terus-menerus hingga seseorang menjadi Buddha atau Arahant.
“Proses kognitif ini, yang pertama dalam kehidupan baru, mengambil kesadaran penghubungan-
kelahiran-kembali sebagai objek; javana-javana dalam Citta-Citta alam-indriawi yang berakar dalam
keserakahan, …” (CMA, V, §41, p.228)
Segera setelah Paṭisandhi Citta terdapat Bhavaṅga-Bhavaṅga. Segera setelah 16 momen Bhavaṅga
terdapat satu proses pikiran. Dalam proses pikiran itu muncul tujuh javana. Ketujuh javana ini selalu
berakar pada keserakahan, Lobha.
“… (Citta-Citta itu) tidak bergabung dengan pandangan salah dan tanpa dorongan.” (CMA, V, §41,
p.228)
Jadi Citta-Citta ini adalah Diṭṭhigata-vippayutta Asaṅkhārika. Ini tidak disebutkan dalam naskah asli
Pāḷi, dalam Manual asli. Tetapi pasti demikian.
“Ketika proses ini berakhir, Bhavaṅga kembali muncul dan lenyap, dan berlanjut demikian jika tidak
ada intervensi dari proses kognitif. Dengan cara ini arus kesadaran mengalir dari konsepsi hingga
kematian, dan dari kematian hingga kelahiran baru ‘berputar bagaikan roda kereta.’” (CMA, V, §41,
p.228)
Ini berlangsung terus-menerus. Ini adalah Saṃsāra.
“Seperti halnya di sini, demikian pula dalam kehidupan berikutnya, di sana muncul kesadaran
penghubungan-kelahiran-kembali, rangkaian kehidupan, proses kognitif, dan kesadaran kematian.
Sekali lagi, dengan kelahiran kembali dan rangkaian kehidupan, arus kesadaran ini berputar.” (CMA,
V, §42, p.229)
Ini berarti berlangsung terus-menerus. In sama dengan paagraf di atasnya.
Berikutnya adalah terputusnya Saṃsāra.
“Para bijaksana, lama mendisiplinkan diri, memahami ketidakkekalan (kehidupan), …” (CMA, V, §42,
p.229)
Para bijaksana memahami ketidakkekalan kehidupan maka mereka dalam waktu lama mendisiplinkan
diri, yang berarti mereka berlatih meditasi untuk waktu yang lama.
“… (mereka) merealisasikan keadaan tanpa kematian, …” (CMA, V, §42, p.229)
Mereka merealisasikan Nibbāna.
“… dan sepenuhnya memotong belenggu-belenggu kemelekatan, …” (CMA, V, §42, p.229)
Ketika mereka merealisasikan Keadaan Tanpa-kematian, mereka sepenuhnya memotong belenggu-
belenggu kemelekatan. Ini berarti mereka sepenuhnya menghancurkan kekotoran batin.
Dan,
“… mencapai kedamaian.” (CMA, V, §42, p.229)
Sebenarnya dalam Pāḷi dikatakan “samamessanti”. Dikatakan akan mencapai kedamaian, yaitu,
memahami lingkaran kelahiran kembali atau memahami Nāma dan Rūpa yang terlibat dalam
kelahiran kembali sebagai tidak kekal, orang-orang akan berusaha dan mendisiplinkan diri untuk
waktu yang lama dan kemudian sebagai akibat dari praktik meditasi mereka akan merealisasikan
Keadaan Tanpa-kematian atau mereka akan merealisasikan Nibbāna.
“… dan sepenuhnya memotong belenggu-belenggu kemelekatan, …” (CMA, V, §42, p.229)
Pada momen pencerahan belenggu-belenggu kemelekatan, atau sebenarnya bukan hanya belenggu-
belenggu kemelekatan, melainkan semua kekotoran batin sepenuhnya terpotong atau dihapuskan.
Jadi bab ke empat dan ke lima membahas tentang proses pikiran, baik dalam kehidupan maupun pada
saat kematian. Bab lima juga memberikan penjelasan tentang Kamma dan akibat-akibat Kamma dan
juga sistem kosmis yang diajarkan dalam Buddhisme. Bab ini ditutup dengan penjelasan tentang
Saṃsāra atau lingkaran kelahiran kembali dan kemudian akhirnya memutuskan lingkaran kelahiran
kembali itu dan merealisasikan Keadaan Tanpa-kematian yang adalah Nibbāna.
Pada akhir bab selanjutnya kita akan lebih mengetahui tentang Nibbāna.
[Akhir dari Bab Lima]
BAB VI
ENUMERASI MATERI
Hari ini kita akan mulai dengan bab enam. Sampai titik ini penulis, Ācariya Anuruddha, telah
membahas dua realitas mutlak, Citta dan Cetasika dalam berbagai cara. Bab pertama membahas
tentang Citta; bab dua membahas tentang Cetasika dan kombinasi Citta dan Cetasika. Bab tiga
membahas pengelompokan berbeda atas Citta. Bab empat membahas proses-proses pikiran yang
berbeda-beda sepanjang kehidupan. Bab lima membahas tentang 31 alam kehidupan, Kamma dan
kemudian proses pikiran secara terperinci. Bab sekarang ini membahas tentang dua realitas mutlak
lainnya, Rūpa dan Nibbāna.
Bab ini berjudul “Rūpa-saṅgahavibhāga”. Artinya “Bab tentang Materi”. Nibbāna juga dibahas dalam
bab ini, tetapi hanya secara singat. Jadi bab ini membahas tentang Rūpa atau materi dan Nibbāna.
Bagian pertama membahas tentang enumerasi Rūpa atau berapa banyak Rūpa yang ada. Bagian ke dua
membahas tentang pengelompokannya. Bagian ke tiga tentang penyebab-penyebab Rūpa. Bagian ke
empat tentang pengaturan kemunculannya. Ini berarti kapan kemunculan pertama, kapan
kemunculan terakhir, bagaimana munculnya, dan sebagainya. Kemudian sebagai penutup bab ini
penulis membahas tentang realitas mutlak ke empat yaitu Nibbāna.

RŪPA DIDEFINISIKAN
Kata Pāḷi untuk materi seperti yang anda ketahui adalah Rūpa. Rūpa didefinisikan sebagai sesuatu yang
menjadi berubah, terganggu, terluka, tertekan atau pecah ketika terkena kondisi-kondisi fisik yang
berlawanan seperti dingin, lapar, haus, gigitan serangga, dan sebagainya. Makna sederhana dari Rūpa
adalah sesuatu yang berubah, berubah karena panas, dingin dan sebagainya.
Sang Buddha sendiri menjelaskan kata ini dalam salah satu khotbahNya. Di sana Beliau mengatakan,
“Mengapakah kalian menyebutnya bentuk materi atau mengapakah kalian menyebutnya Rūpa?
Disebut Rūpa karena berubah, oleh karena itu disebut bentuk materi dan seterusnya. Berubah karena
apakah? (Ini berubah) “Karena dingin, karena lapar, karena panas, karena haus, karena nyamuk,
angin, matahari, binatang-binatang melata.” Jadi sesuatu yang berubah disebut Rūpa.
Di sini anda mungkin bertanya mengapa kita tidak menyebut Citta dan Cetasika sebagai ‘Rūpa’ karena
perubahannya lebih cepat dari perubahan Rūpa. Tetapi di sini perubahan bermakna perubahan yang
nyata, perubahan yang terlihat. Perubahan properti batin, perubahan Citta dan Cetasika tidak mudah
diamati. Tetapi perubahan Rūpa adalah nyata, perubahan Rūpa mudah dilihat. Hanya materi yang
disebut Rūpa dan bukan Citta dan Cetasika.
Perubahan di sini sebenarnya bermakna munculnya kelangsungan berbeda atas properti materi
daripada yang sebelumnya. Perubahan di sini bukan bermakna bahwa satu Rūpa berubah menjadi
Rūpa yang lain. Sebenarnya perubahan di sini bermakna ada serangkaian properti materi pada satu
momen dan kemudian pada momen berikutnya ada serangkaian properti materi lainnya,
kelangsungan properti materi lainnya munculnya kelangsungan properti materi yang berbeda inilah
yang dimaksudkan sebagai perubahan di sini. Perubahan bukan berarti bahwa sesuatu berubah
menjadi sesuatu lainnya. Jika kita menganggapnya demikian, maka kita mendukung gagasan bahwa
sesuatu bertahan selama waktu tertentu atau bahwa sesuatu bertahan selamanya. Perubahan di sini
hanya bermakna munculnya properti materi yang berbeda.
Properti materi atau Rūpa dikatakan ada 28 Rūpa, 28 properti materi. Ini ada dalam CMA (baca CMA,
VI, Tabel 6.1, p.236).
Ada 28 properti materi. 28 properti materi ini dibagi menjadi kategori-kategori berbeda atau
kelompok-kelompok berbeda.

MAHĀBHŪTA
Pertama properti materi dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah Mahābhūta dan yang ke
dua adalah Upādārūpa. Silakan baca CMA, halaman 235, kira-kira di pertengahan halaman. Kalimat
Pāḷi di sana: “Cattāri Mahābhūtāni, Catunnañca mahābhūtānaṃ upādāyarūpanti …”. Dengan
bergantung pada itu, kita menyebutnya Upādā-rūpa. Ada 24 Upādā-rūpa. Ada empat Mahābhūta dan
24 Upādā-rūpa. Mahābhūta diterjemahkan sebagai esensi besar. Ini bukanlah terjemahan harfiah,
namun saya pikir ini adalah terjemahan yang baik. Mahābhūta berarti sesuatu yang menjadi besar. Ini
adalah dasar dari segala properti materi. Semua properti materi bergantung pada ini untuk dapat
muncul dan ada. Ini disebut Mahābhūta, esensi besar. Yaitu:
1. Pathavī-dhātu, elemen-tanah,
2. Āpo-dhātu, elemen-air,
3. Tejo-dhātu, elemen-api,
4. Vāyo-dhātu, elemen-udara.
ini adalah empat elemen atau empat esensi besar.

PATHAVĪ-DHĀTU
Pathavī-dhāṭu, elemen-tanah – di sini elemen tanah bukan berarti tanah fisik, melainkan suatu
kualitas yang melekat pada tanah. Kualitas apakah yang anda temui pada tanah? Ketika anda
menyentuh tanah, anda merasakan keras atau lunak. Keras atau lunak itu adalah apa yang kita sebut
sebagai Pathavī-dhātu atau elemen-tanah. Ini disebut Pathavī karena menyerupai tanah. Tanah adalah
landasan bagi pepohonan, gunung-gunung dan sebagainya untuk eksis. Dengan cara serupa, Pathavī-
dhāṭu adalah landasan bagi properti materi lain yang bergantung padanya. Itulah sebabnya mengapa
disebut Pathavī-dhāṭu. Pathavī-dhāṭu berfungsi sebagai penyokong atau landasan bagi fenomena-
fenomena materi yang ada. Ini berarti properti materi lainnya khususnya Upādā-rūpa bergantung
padanya untuk muncul. tanah ini luas. Oleh karena itu beberapa orang menganggap perluasan sebagai
karakteristik dari Pathāvī-dhāṭu. walaupun perluasan diterima sebagai terjemahan untuk Pathavī,
karakteristik sebenarnya adalah kerasnya. Jika kita memperoleh keras, maka kita juga memperoleh
lunak karena keras dan lunak adalah relatif. Dalam membandingkan sesuatu yang anda sebut keras.
Jika dibandingkan dengan benda lain, itu menjadi tidak begitu keras. Itu menjadi lunak. Jadi keras atau
lunak adalah karakteristik dari elemen-tanah.
Abhidhamma mengajarkan bahwa elemen-tanah ini dapat ditemukan di mana-mana. Dalam air
terdapat elemen-tanah. Dalam api juga terdapat elemen-tranah. Dalam angin juga terdapat elemen-
tanah. Dalam segala benda, dalam segala benda materi yang kita lihat ada elemen-tanah.
ĀPO-DHĀTU
Yang ke dua adalah Āpo-dhāṭu, elemen-air. Di sini juga Āpo-dhātu bukan berarti air, melainkan
kualitas yang melekat pada air yaitu keadaan cair atau kohesi. Karakteristiknya dikatakan sebagai
menetes atau mengalir. Adalah karena Āpo-dhātu maka benda-benda saling melekat. Jika tidak ada
Āpo-dhātu, maka kita tidak dapat memiliki benda-benda ini. Kita tidak dapat memiliki buku ini atau
pena ini atau apapun juga karena properti materi tidak akan saling melekati satu sama lain jika tidak
ada elemen-air. Elemen-air adalah sesuatu yang membuat properti-properti materi saling melekat
satu sama lain.
Sehubungan dengan Āpo-dhātu menurut Abhidhamma, ini tidak dapat disentuh. Dalam buku anda
membaca,
“Abhidhamma berpendapat bahwa tidak seperti tiga esensi besar lainnya, elemen-air tidak dapat
dicerap secara fisik13 melainkan dapat diketahui dengan menyimpulkan melalui kohesi dari materi
yang diamati.” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.238)
Anda melihat sesuatu dan patikel materi melekat satu sama lain. Dan dengan demikian kita
menyimpulkan bahwa pasti ada sejenis kohesi, sejenis Āpo-dhātu sehingga benda itu ada sebagai suatu
objek tertentu. Āpo-dhātu atau elemen-air tidak dapat disentuh. Ketika kita sampai pada Phoṭṭhabba-
rūpa nanti, kita akan melihat bahwa Āpo dikeluarkan di sana.
Kita harus memahami Āpo-dhātu atau elemen-air sebagai berbeda dari air. Anda dapat menyentuh air.
Walaupun kita dapat menyentuh air, tetapi kita tidak menyentuh elemen-air. Kita menyentuh air dan
mengatakan, “ini dingin; ini panas.” Dingin atau panas adalah yang ke tiga, Tejo-dhātu. Anda dapat
merasakan keras atau lunaknya air dan itu adalah elemen-tanah. Apa yang anda rasakan bukanlah
elemen-air melainkan elemen-tanah atau elemen-api. Anda merasakan kesejukan atau kehangatan,
atau keras atau lunak. Jadi Āpo-dhātu adalah tidak dapat disentuh.

TEJO-DHĀTU
Berikutnya adalah Tejo-dhātu, elemen-panas atau elemen-api. Di sini juga panas atau dingin adalah
relatif. Tejo-dhātu bukan berarti api, melainkan kulitas yang terdapat di dalam api. Ini berarti panas
atau temperatur. Sebenarnya temperatur adalah apa yang kita sebut sebagai Tejo-dhātu atau elemen-
api. Seperti halnya keras dan lunak keduanya disebut Pathavī-dhātu, demikian pula panas dan dingin
keduanya disebut Tejo-dhātu.
Kemarin saya berbicara kepada seorang perempuan di Arizona karena saya hendak pergi ke Arizona
pada hari Kamis. Saya memberitahunya bahwa saya telah mendengar bahwa temperatur di sana
adalah 120 derajat. Maka saya bertanya kepadanya bagaimana situasinya saat ini. Ia berkata, “Oh,
sudah lebih sejuk.” Saya bertanya berapa temperaturnya saat ini dan ia berkata, “106 derajat.” Jadi
bagi kita 106 derajat adalah sangat panas di sini di San Fransisco. Bagi mereka itu sejuk. Tejo-dhātu
adalah relatif. Panas atau dingin disebut Tejo-dhātu.

13
Artinya tidak dapat disentuh
VĀYO-DHĀTU
Yang terakhir adalah Vāyo-dhātu, elemen-udara. Elemen-udara bukan berarti udara, melainkan
sesuatu yang memiliki sifat seperti udara; itu dikatakan sebagai prinsip gerakan dan tekanan.
Karakteristiknya adalah mengembang. Ketika anda memasukkan udara ke dalam balon, maka balon
menjadi menggembung. Penggembungan atau pengembangan itu adalah apa yang kita sebut Vāyo-
dhātu. Vāyo-dhātu memiliki sifat pergerakan. Jadi ketika kita menggerakkan sesuatu, kita dapat
mengatakan bahwa ada Vāyo-dhātu yang berlimpah. Karena keberlimpahan Vāyo-dhātu itu maka kita
mengatakan ada gerakan. Sebenarnya tidak ada gerakan sama sekali. Tidak ada yang bergerak. Apa
yang kita sebut gerakan adalah properti materi yang muncul pada momen-momen terpisah. Satu set
properti materi lenyap dan set properti materi lainnya muncul. tetapi munculnya pada jarak yang
sangat dekat dari yang telah lenyap. Jadi kita tidak dapat melihat munculnya properti materi. Tetapi
ketika kita melihat properti materi yang muncul dan lenyap pada tempat-tempat berbeda yang saling
berdekatan satu sama lain, maka kita menyebutnya ada gerakan.
Anda dapat mengambil contoh film. Pada bingkainya terdapat gambar-gambar. Gambar-gambar itu
tidak bergerak. Gambar dalam satu bingkai hanya sedikit berbeda dari gambar pada bingkai lainnya.
Jika anda mengambil satu langkah, maka diperlukan tiga puluh bingkai gambar untuk merekam satu
langkah. Ada tiga puluh bingkai atau tiga puluh gambar pada film. Masing-masing bingkai hanya
sedikit berbeda. Ketika film itu dimasukkan ke dalam mesin untuk ditayangkan pada layar, kita
berpikir bahwa gambar itu bergerak. Sebenarnya gambar itu tidak bergerak.
Vāyo-dhātu atau elemen-udara memiliki sifat pergerakan. Karakteristiknya dikatakan sebagai
menggembung, meluas.
Empat esensi besar ini ditemukan pada elemen-tanah, dilekati oleh elemen-air, dipelihara oleh
elemen-api dan digembungkan oleh elemen-udara. Jadi keempat elemen ini kita temukan di mana-
mana – perluasan, kohesi, panas dan penggembungan.
Tejo-dhātu dijelaskan sebagai masak atau matang. Ketika ada panas, maka benda-benda menjadi
dimasak atau benda-benda menjadi matang. Ini dikatakan memasakkan poperti materi lainnya.

MATERI YANG BERGANTUNG


Keempat ini adalah landasan bagi semua properti materi lainnya yang mengikuti; semua properti
materi lainnya yang kemunculannya bergantung pada keempat ini disebut Upādā-rūpa. Upādā-rūpa
diterjemahkan sebagai materi turunan. Saya tidak suka terjemahan ini. Materi-materi ini bukan
turunan dari keempat esensi besar. Materi-materi ini bergantung pada esensi-esensi besar.
Misalnya, ini adalah sebuah rumah. Orang-orang hidup di dalamnya. Keberadaan orang-orang yang
hidup di sana disokong oleh rumah ini. Orang-orang bergantung pada rumah ini untuk hidup. Tetapi
orang-orang itu bukan akibat dari rumah ini. Orang-orang itu tidak diturunkan dari rumah ini. Tetapi
rumah ini adalah landasan mereka, penyokong mereka. Di sini juga properti materi berikut ini bukan
diturunkan dari keempat esensi besar, tetapi kemunculan properti materi itu bergantung pada
keempat esensi besar. Jika tidak ada empat esensi besar, maka properti materi tidak dapat muncul.
maka itu disebut Upādā-rūpa, dan saya menyebutnya materi yang bergantung.
Ada 24 properti materi yang dibagi dalam beberapa kelompok.
PASĀDA-RŪPA
Kelompok pertama disebut Pasāda-rūpa. Ini diterjemahkan sebagai fenomena sensitif. Pasāda
sebenarnya berarti jernih. Properti materi yang jernih disebut Pasāda. Jernih di sini bemakna sensitif
pada pemandangan, suara, bau-bauan, rasa kecapan, dan sentuhan. Ini disebut fenomena sensitif atau
materi sensitif atau sensitivitas. Ada lima. Anda sudah tahu kelima ini.

SENSITIVITAS-MATA
Cakkhu-pasāda, sensitivitas-mata – mata itu sendiri, bola mata bukanlah Cakkhu-pasāda. Cakkhu-
pasāda adalah suatu properti materi yang ada di dalam bola mata, yang ada pada retina. Partikel-
partikel materi kecil itu adalah apa yang kita sebut sensitivitas-mata. Bola mata disebut mata
majemuk. Jadi ada dua jenis mata, mata majemuk dan mata sensitif. Ketika objek terlihat memasuki
jalur mata, anda tahu itu mengenai mata. Mengenai mata berarti mengenai sensitivitas-mata, pada
materi yang disebut sensitivitas-mata. Kemudian kesadaran melihat muncul. ketika kita mengatakan
sensitivitas-mata, yang kita maksudkan adalah partikel sensitif di dalam mata atau sensitivitas di
dalam mata majemuk. Hal yang sama berlaku untuk sensitivitas lainnya. Ini disebut sensitivitas-mata
atau Cakkhu-pasāda.

SENSITIVITAS-TELINGA
Yang ke dua disebut Sota-pasāda, sensitivitas-telinga. Di sini sensitivitas-telinga bukanlah
keseluruhan telinga. Tetapi sebenarnya adalah partikel sensitif yang ada di bagian dalam telinga.
Dalam Komentar dijelaskan sebagai,
“… terdapat di dalam lubang telinga, ‘di tempat yang berbentuk seperti pembungkus jari dan
dikelilingi bulu halus;’ …” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.238)
Ini cukup akurat. Di dalam telinga terdapat sesuatu seperti cincin. Apakah pembungkus jari? Saya
mencari di kamus dan dikatakan bahwa ini adalah sesuatu seperti pembalut pada jari ketika jari anda
terluka. Tetapi sebenarnya kata ini di sini hanya bermakna cincin. Dikatakan hiasan jari, jadi seperti
cincin. Di dalam buku-buku medis anda akan melihat sesuatu seperti itu di bagian dalam telinga. Itu
adalah apa yang disebut Sota-pasāda. Saya akan mengatakan cincin jari daripada pembungkus jari.
Pembungkus jari adalah kata yang sulit. Saya terpaksa mencarinya dalam tiga kamus dan hanya
menemukannya di salah satunya. Itu adalah sensitivitas-telinga.

SENSITIVITAS-HIDUNG
Yang ke tiga adalah Ghāna-pasāda, sensitivitas-hidung.
“Sensitivitas-hidung terdapat di dalam lubang hidung, (di dalam hidung itu sendiri) sebagai substansi
yang mencatat bau-bauan.” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.238)
Bhikkhu Bodhi tidak menjelaskan seperti apa itu. Di dalam Komentar dijelaskan. Dikatakan itu seperti
kuku kambing, kaki kambing. Ada dua lubang dan mungkin diujungnya terdapat sesuatu seperti ini.
Ini adalah di mana bau-bauan diambil. Properti materi di tempat itu disebut Ghāna-pasāda,
sensitivitas-hidung.
SENSITIVITAS-LIDAH
Yang ke empat adalah Jivhā-pasāda, sensitivitas-lidah.
“Sensitivitas-lidah terdapat menyebar di lidah, berfungsi untuk mencatat rasa kecapan.” (CMA, VI,
Tuntunan §3, p.238)
Ketika anda mengetahui rasa kecapan, itu berarti properti materi rasa kecapan telah menyentuh
sensitivitas-lidah. Di sini juga Komentar memberikan contoh seperti ujung kelopak teratai. Terdapat
kelopak atau daun bunga dari teratai, ujungnya mungkin sedikit lancip. Tempat di lidah di sana-sini
di mana terdapat properti materi sensitif disebut sensitivitas-lidah atau Jivhā-pasāda. Ilmu medis
modern mengatakan terdapat tempat-tempat berbeda untuk mengalami rasa-rasa berbeda. Manis
dialami di satu tempat dan asam dialami di tempat lainnya. Tempat-tempat berbeda ini membedakan
banyak rasa. Itu disebut sensitivitas-lidah.

SENSITIVITAS-BADAN
Yang terakhir adalah Kāya-pasāda, sensitivitas-badan.
“Sensitivitas-badan merentang di seluruh tubuh organik …” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.238)
Sensitivitas-badan ada di seluruh tubuh, pada keseluruhan tubuh.
“… seperti cairan yang meresap pada lapisan kapas.” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.238)
Misalkan terdapat kapas dan anda menuangkan air pada kapas itu. Kemudian kapas itu menyerap air.
Itu berarti air meresap, meliputi seluruh kapas.
“… (sensitivitas-badan) berfungsi untuk mencatat sensasi-sensasi sentuhan.” (CMA, VI, Tuntunan §3,
p.239)
Ketika kita mengetahui sentuhan, kapanpun kita mengalami sentuhan, itu berarti objek sentuhan
telah menyentuh sensitivitas-badan dalam tubuh kita.
Sensitivitas-badan merentang di seluruh tubuh kecuali ujung kuku, ujung rambut, dan kulit kering.
Ketika kulit menjadi kering, anda tidak merasakan apapun di sana. Ketika kulit menjadi kering, anda
dapat memotongnya tanpa merasa sakit. Kecuali tempat-tempat itu, sensitivitas-badan merentang di
seluruh tubuh.
Kelima ini disebut fenomena sensitif atau Pasāda-rūpa. Kelima ini bersesuaian dengan lima jenis
kesadaran-indria – kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, dan
kesadaran-badan. Sensitivitas-sensitivitas ini berfungsi sebagai landasan bagi kesadaran-mata dan
seterusnya. Pada bab tiga, bagian terakhir membahas tentang Vatthu. Terdapat Cakkhu-vatthu, Sota-
vatthu, Ghāna-vatthu, Jivhā-vatthu, Kāya-vatthu dan Hadaya-vatthu. Cakkhu-vatthu dan Cakkhu-
pasāda adalah sama. Kita akan membahas Hadaya-vatthu nanti. Kelima ini disebut Pasāda-rūpa,
properti materi sensitif atau fenomena sensitif.
GOCARA-RŪPA
Kelompok berikutnya disebut Gocara-rūpa atau Visaya-rūpa. Gocara berarti wilayah, suatu tempat di
mana seseorang mengembara. Secara singkat ini berarti sebuah objek. Gocara-rūpa berarti fenomena
objektif, properti materi yang adalah objek-objek, yaitu objek sensitivitas-mata dan seterusnya.
Bersesuaian dengan lima fenomena sensitif ada lima fenomena objektif atau ada lima Gocara-rūpa.
Rūpa, Sadda, Gandha, rasa, Phoṭṭhabba
Yang pertama disebut Rūpa, objek terlihat. Apa yang terlihat disebut Rūpa. Apa yang kita lihat adalah
hanya Rūpa. Ketika saya mengatakan “Saya melihat seorang laki-laki,” saya tidak benar-benar melihat
seorang laki-laki. Tetapi pikiran saya menipu saya untuk mempercayai bahwa saya melihat seorang
laki-laki. Sebenarnya apa yang saya lihat hanyalah sebuah objek terkihat, partikel-partikel dari sebuah
objek terlihat di seluruh tubuh.
Sekarang kata ‘Rūpa’ harap dicatat bahwa kata ini sedikitnya memiliki dua arti bahkan di dalam
Abhidhamma. Umumnya Rūpa bermakna properti-properti materi yang berlawanan dengan Nāma.
Tetapi di sini ketika kata ini bermakna objek terlihat, artinya berbeda walaupun katanya sama. Adalah
sangat penting ketika anda membaca buku-buku Abhidhamma untuk memahami apakah Rūpa
bermakna properti-properti materi secara umum atau bermakna objek terlihat. Di sini Rūpa bermakna
objek terlihat, apa yang anda lihat.
Yang ke dua adalah Sadda, suara. Anda tahu apa suara itu. Ini adalah bunyi. Yang ke tiga adalah
Gandha, bau-bauan. Yang ke empat adalah Rasa, kecapan – kita selalu mengalami rasa kecapan.
Yang ke lima – sebuah nomor yang diberikan pada yang satu ini karena Phoṭṭhabba, sentuhan, adalah
kombinasi dari tiga esensi besar. Kombinasi Pathavī, Tejo dan Vāyo, kombinasi dari elemen-tanah,
elemen-api dan elemen–tanah disebut Phoṭṭhabba. Tidak ada Phoṭṭhabba terpisah, tidak ada materi
sentuhan terpisah. Ketika kita mengatakan materi sentuhan, yang dimaksudkan adalah kombinasi dari
ketiga esensi besar yaitu Pathavī, Tejo dan Vāyo. Āpo tidak dapat disentuh. Ini bukan sentuhan, maka
dikeluarkan di sini.
Ini dapat menimbulkan kebingungan ketika kita menguraikan properti materi atau ketika kita
mencari berapa banyak properti materi yang ada. Kita harus berhati-hati. Jika ada empat esensi besar
dan juga ada Phoṭṭhabba, kita tidak boleh mengaliduakan angka itu. Kita harus mengambil hanya
empat atau hanya tiga. Kelima properti materi ini disebut Gocara-rūpa, fenomena objek, yaitu objek
dari lima sensitivitas. Rūpa adalah objek bagi mata dan seterusnya. Sentuhan atau Poṭṭhabba adalah
objek bagi sensitivitas-badan. Sebenarnya hal-hal itu adalah objek bagi kesadaran; bukan objek bagi
sensitivitas melainkan objek bagi kesadaran.
Sekarang anda mengetahui lima Pasāda dan lima objek. Bersesuaian dengan kelima Pasāda dan kelima
objek ini ada Pañca-viññāṇa, katakanlah, Cakkhu-viññāṇa muncul, ketika kedua ini bertemu, ketika
kedua ini muncul bersama yaitu sensitivitas-mata dan objek terlihat, ketika keduanya bertemu, atau
ketika objek terlihat memasuki jalur sensitivitas-mata, maka ada melihat. Jadi kesadaran melihat
bergantung pada kedua ini, tetapi terdapat kondisi lainnya. Apakah kondisi lainnya itu? Kondisi
lainnya adalah cahaya dan perhatian.
Yang lainnya adalah serupa. Kesadaran-badan muncul melalui gabungan atau pertemuan sentuhan
dan sensitivitas-mata.
FEMINITAS
Kelompok berikutnya disebut Bhāva-Rūpa, fenomena seksual atau kita menyebutnya jenis kelamin,
yang pertama disebut Itthi-bhāva atau Itthatta. Ada dua kata ini. Keduanya bermakna sama – feminitas
atau menjadi perempuan, keadaan menjadi seorang perempuan.

MASKULINITAS
Kelompok berikutnya adalah Pumbhāva atau Purisatta, keadaan menjadi eorang laki-laki. Ini juga
disebut indria. Ketika kita mempelajari 22 indria pada bab tujuh, kita akan menemui kedua ini
termasuk di sana.
“Indria-indria ini secara berturut-turut memiliki karakteristik jenis kelamin perempuan dan laki-laki.
Fungsinya adalah untuk memperlihatkan feminitas dan maskulinitas.” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.239)
Sebenarnya maskulinitas dan feminitas tidak dapat dilihat. Apa yang kita lihat bukanlah maskulinitas
dan feminitas, melainkan sesuatu yang menunjukkan kepada kita bahwa itu adalah laki-laki atau
perempuan. Itu adalah sesuatu seperti ciri-ciri, tanda-tanda, gaya laki-laki dan perempuan. Ini berarti
bahwa struktur seksual tubuh laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Anda mengetahui bahwa
seseorang adalah laki-laki atau perempuan dengan melihat pada struktur tubuh, dengan meliht ciri-
ciri maskulinitas dan feminitas.
Anda melihat pada wajah dan anda tahu bahwa itu adalah wajah laki-laki atau perempuan. Laki-laki
memiliki kumis dan perempuan tidak memiliki kumis. Dan kemudian dalam pekerjaan khas – laki-laki
melakukan jenis pekerjaan tertentu dan perempuan melakukan jenis pekerjaan lainnya. Di dalam
buku-buku kita dikatakan bahwa kita dapat mengetahuinya melalui bagaimana mereka bermain
ketika mereka masih kanak-kanak. Anak perempuan bermain dengan panci dan wajan, masak-
memasak dan sebagainya. Anak laki-laki bermain dengan busur dan anak panah dan mainan lainnya.
Di negara kami anak laki-laki tidak pernah bermain dengan panci dan wajan. Tetapi di negara ini
segalanya dapat terjadi. Laki-laki harus memasak di negara ini.
Juga ada tingkah laku maskulin dan feminin – ini berarti bagaimana mereka berjalan, bagaimana
mereka melakukan segala sesuatu. Dengan melihat bagaimana mereka melakukan berbagai hal, anda
tahu apakah orang ini laki-laki atau perempuan. Bahkan dalam cahaya remang-remah, bahkan jika
anda tidak dapat melihat dengan jelas, anda tahu ini adalah laki-laki atau ini adalah perempuan. Jadi
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini dikenal melalui maskulinitas dan
feminitas mereka. Ini disebut maskulinitas atau feminitas. Itu sebenarnya tidak terlihat. Apa yang
terlihat adalah struktur mereka, ciri-ciri mereka, pekerjaan mereka, gaya bermain mereka dan juga
tingkah laku mereka.
Dikatakan bahwa Bhāva-rūpa merentang di seluruh tubuh. Tidak hanya di satu tempat. Ini seperti
sensitivitas-badan; ini ada di seluruh tubuh. Jadi jika anda melihat pada jari, anda tahu apakah itu laki-
laki atau perempuan.

LANDASAN-JANTUNG
Sekarang kita sampai pada yang berikutnya, Hadaya-vatthu, fenomena jantung atau landasan-jantung.
Kita telah bertemu landasan-jantung pada bab tiga, bagian tentang landasan-landasan.
“Landasan-jantung memiliki karakteristik menjadi penopang materi bagi elemen pikiran dan elemen
kesadaran-pikiran.” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.239)
Apakah anda ingat tentang elemen-pikiran dan elemen-kesadaran-pikiran? Elemen-pikiran berarti
Mano-dhātu. Berapa banyakkah Citta di sana? Ada tiga – Pañcadvārāvajjana dan dua Sampaṭicchana.
Ini disebut elemen-pikiran. Elemen-kesadaran-pikiran berarti Citta lainya kecuali sepuluh jenis
kesadaran-indria dan Mano-dhātu. Ini dalam Pāḷi disebut sebagai Mano-viññāṇa-dhātu. Landasan-
jantung bertindak sebagai penopang bagi Mano-dhātu dan Mano-viññāṇa-dhātu. Fungsinya adalah
untuk menopang atau bertindak sebagai wadah, sebagai landasan bagi Mano-dhātu dan Mano-
viññāṇa-dhātu. Ini ditemukan dengan bergantung pada darah di dalam jantung. Ini bergantung pada
darah. Jantung secara fisik tidak disebut Hadaya-vatthu di sini.
“Ini ditemukan dengan bergantung pada darah di dalam jantung, dan dibantu oleh empat esensi besar
dan dipelihara oleh indria kehidupan.” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.239)
Sehubungan dengan Hadaya-vatthu ini ada banyak yang dapat dikatakan atau diperdebatkan. Hadaya-
vatthu bukan berarti jantung itu sendiri melainkan sesuatu, suatu properti materi yang ada dengan
bergantung pada darah di dalam jantung. Hadaya-vatthu ini tidak disebutkan di dalam
Dhammasaṅgaṇī. Dhammasaṅgaṇī adalah buku di mana semua Citta, Cetasika dan Rūpa disebutkan.
Ini adalah buku pertama Abhidhamma. Sebagai buku pertama Abhidhamma, buku ini harus
menjelaskan semua Citta, Cetasika dan semua Rūpa. Tetapi dalam buku itu Hadaya-vatthu tidak
disebutkan. Hanya ada 27 properti materi yang disebutkan di sana.
Argumen untuk keberadaan Hadaya-vatthu dalam Komentar adalah sebagai berikut: “Mano-dhātu dan
Mano-viññāṇa-dhātu ketika muncul di alam Kāma dan alam Rūpa (munculnya di alam Kāmāvacara
dan alam Rūpavacara). Harus bergantung pada Rūpa (Rūpa di sini berarti materi). Rūpa itu tidak dapat
berupa empat Mahābhūta karena empat Mahābhūta adalah tempat kebergantungan Upādārūpa. Oleh
karena itu, Rūpa itu harus merupakan Upādā-rūpa.” Para guru memberikan alasan bagi anda untuk
menerima keberadaan Hadaya-vatthu. Ada Mano-dhātu dan Mano-viññāṇa-dhātu. Jika ini muncul di
alam Kāmāvacara dan Rūpāvacara, maka kemunculannya harus bergantung pada suatu Rūpa. Jika
tidak ada Rūpa sebagai tempat bergantungnya maka kemunculannya tidak dapat terjadi. Misalnya,
Cakkhu-viññāṇa bergantung pada objek terlihat dan Cakkhu-vatthu. Tetapi Rūpa itu yang menjadi
tempat bergantung tidak dapat berupa empat esensi besar karena empat esensi besar ini adalah
tempat bergantungnya Upādā-rūpa. Empat esensi besar telah dibergantungi oleh Upādā-rūpa. Empat
esensi besar harus bertindak sebagai landasan atau penopang bagi Upādā-rūpa. Mano-dhātu dan
Mano-viññāṇa-dhātu tidak dapat bergantung pada empat esensi. Ini seperti hukum eliminasi. Kita
mengeliminasi satu demi satu. Maka kita sampai pada yang terakhir dan kita sekedar mengambilnya.
Ketika dikatakan bahwa Mano-dhātu dan Mano-viññāṇa-dhātu harus bergantung pada suatu materi,
maka kita akan bertanya, “Apakah kedua itu bergantung pada empat esensi besar?” Jawabannya
adalah tidak. Mengapakah? Kedua itu dibergantungi oleh 24 Upādā-rūpa dan karena itu tidak dapat
bertindak sebagai dasar atau penopang bagi Mano-dhātu dan Mano-viññāṇa-dhātu.
Di antara 24 Upādā-rūpa dapatkah Upādā-rūpa itu bergantung pada sensitivitas-mata dan seterusnya?
Tidak. Karena sensitivitas-mata adalah penopang bagi kesadaran melihat dan seterusnya. Upāda-rūpa
itu tidak dapat bergantung pada kelima properti sensitif.
Dapatkah bergantung pada objek terlihat? Juga tidak dapat bergantung pada Rūpa, Sadda dan
seterusnya karena Rūpa, Sadda dan seterusnya itu tidak dapat ditemukan secara eksternal juga. Rūpa
ditemukan secara internal dan eksternal. Pena yang saya lihat di sini adalah Rūpa eksternal. Tangan
yang saya lihat di sini adalah Rūpa internal. Maka Rūpa-Rūpa itu dapat ditemukan secara eksternal.
Mano-dhātu dan Mano-viññāṇa-dhātu tidak dapat bergantung pada Rūpa, Sadda (suara), bau-bauan,
rasa kecapan, atau sentuhan.
Bagaimana dengan Bhāva? Apakah Mano-dhātu dan Mano-viññāṇa-dhātu bergantung pada Bhāva-
rūpa? Jawabannya tidak. Kedua itu tidak dapat bergantung pada kedua kualitas seksual karena Dhātu-
Dhātu ini juga muncul pada mereka yang tidak memiliki kualitas seksual. Ini berarti mereka yang
bukan laki-laki juga bukan perempuan. Ada beberapa orang yang tanpa jenis kelamin. Mano-dhātu
dan Mano-viññāṇa-dhātu juga muncul pada mereka. Jadi Mano-dhātu dan Mano-viññāṇa-dhāṭu tidak
bergantung pada kedua kualitas seksual.
Apa lagi? Apakah kedua itu bergantung pada Āhāra? Kedua itu tidak bergantung pada Āhāra untuk
alasan yang sama bahwa Āhāra juga ditemukan secara eksternal.
“Harus dipahami bahwa harus ada suatu Rūpa (materi) yang padanya Dhātu-Dhātu ini dapat
bergantung dan bahwa Rūpa itu harus merupakan sesuatu yang bergantung dan bukan Mahābhūta.”
Harus ada suatu Rūpa yang padanya Mano-dhātu dan Mano-viññāṇa-dhātu bergantung. Properti
materi itu harus adalah Upādā-rūpa dan bukan Mahābhūta.
“Yang bergantung itu yang merupakan tempat bersandarnya Dhātu-Dhātu ini bukan lain adalah Hada-
vatthu.” Ini terlalu dipaksakan. Argumen pertama cukup baik, tetapi yang terakhir, kesimpulannya
terlalu dipaksakan. Ini pasti adalah Hadaya-vatthu, maka ada Hadaya-vatthu.
Alasan mengapa ini tidak disebutkan dalam Dhammasaṅgaṇī, -- sekarang muncul pertanyaan. Jika
benar-benar ada Hadaya-vatthu atau jika Hadaya-vatthu benar-benar ada, mengapakah tidak
disebutkan dalam Dhammasaṅgaṇī yang mana semua properti materi disebutkan? Jawabannya adalah:
“Jika disebutkan di sana, maka keseragaman presentasi atas Vatthu-duka dan Ārammaṇa-duka, yang
begitu penting untuk memahami doktrin dan merealisasikan Realitas oleh para pendengar, akan cacat
dan dengan demikian mengalahkan tujuan dari doktrin – yaitu merealisasikan Realitas oleh
pendengar.”
Anda harus membaca Dhammasaṅgaṇī untuk memahami hal ini. Di dalam Dhammasaṅgaṇī khususnya
pada bagian itu, Vatthu disebutkan dalam dua cara. Dikatakan, “Ada Rūpa yang merupakan landasan
bagi kesadaran-mata; ada Rūpa yang bukan merupakan landasan bagi kesadaran-mata.” Ini adalah
satu pasangan. Berikutnya adalah: “Ada Rūpa yang merupakan landasan bagi kesadaran-telinga; ada
Rūpa yang bukan merupakan landasan bagi kesadaran-telinga.” Dengan cara ini, Rūpa dibahas dalam
bagian itu pada Dhammasaṅgaṇī. Jadi pasangan 1-5 sudah jelas. “Ada Rūpa yang merupakan landasan
bagi kesadaran-badan; ada Rūpa yang bukan merupakan landasan bagi kesadaran-badan.” – karena
anda dapat menunjukkan Rūpa yang merupakan landasan bagi kesadaran-badan dan yang bukan
merupakan landasan bagi kesadaran-badan, yaitu semua Rūpa lainnya. Maka anda dapat menemukan
Rūpa-Rūpa yang disebutkan dalam kalimat ini.
Kemudian kita sampai pada pasangan-Ārammaṇa – ini berarti objek. “Ada Rūpa yang merupakan objek
dari kesadaran-mata.” Dapatkah anda menunjukkannya? Apakah itu? Nomor 10, Rūpa (objek terlihat).
“Ada Rūpa (materi) yang bukan merupakan objek dari kesadaran-mata.” Ya, semua yang lainnya. “Ada
Rūpa yang merupakan objek dari kesadaran-badan.” Yang manakah itu? Phoṭṭhabba adalah objek dari
kesadaran-badan. “Ada Rūpa yang bukan merupakan objek dari kesadaran-badan.” Semua yang
lainnya adalah bukan merupakan objek dari kesadaran-badan.
Seandainya ditambahkan pasangan ke enam. Ada Rūpa yang merupakan landasan bagi kesadaran-
pikiran, Mano-viññāṇa. Ada Rūpa yang bukan merupakan landasan bagi kesadaran-pikiran. Dapatkah
anda menunjukkannya? Ada Rūpa yang merupakan landasan bagi kesadaran-pikiran, kita dapat
mengatakan itu adalah Hadaya. Apakah Rūpa yang bukan merupakan landasan bagi kesadaran-
pikiran? Itu adalah landasan-landasan lainnya.
Sekarang kita sampai pada pasangan Ārammaṇa. Ada Rūpa yang merupakan objek dari kesadaran-
pikiran. Ya, ada banyak. Ada Rūpa yang bukan merupakan objek dari kesadaran-pikiran. Tidak, tidak
ada di sini. Pasangan ini salah di sini.
Kedua ini sebenarnya tidak ada di dalam Dhammasaṅgaṇī. Itulah sebabnya mengapa judul yang
diberikan adalah Vatthu berpasangan. Jika kita menambahkan pasangan ke enam, maka akan tampak
seperti ini. Vatthu berpasangan adalah benar karena anda dapat menunjukkan Rūpa yang disebutkan
dalam kalimat-kalimat itu. Tetapi ketika kita sampai pada Ārammaṇa-duka, ini menjadi salah. Hanya
ada jawaban untuk yang pertama. Ada Rūpa yang merupakan objek dari kesadaran-pikiran – semua
Citta, Cetasika, Rūpa dan sebagainya. Ada Rūpa yang bukan merupakan objek dari kesadaran-pikiran
– tidak. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Kita tidak dapat menemukan apapun sebagai jawaban
atas pertanyaan itu. Pasangan itu menjadi salah. Jika pasangan itu salah maka pendengar akan
bergejolak. Mereka mungkin tidak akan mengikuti ajaran Sang Buddha dan mereka mungkin tidak
akan memperoleh realisasi pada realitas. Agar mereka tidak bergejolak, maka Sang Buddha
mngeluarkan Hadaya-vatthu dari daftar properti materi di dalam Dhammasaṅgaṇī. Itulah sebabnya
mengapa tidak disebutkan dalam Dhammasaṅgaṇī.
Bahkan jika kita mengatakan bahwa ajaran Abhidhamma adalah ajaran pasti dan tidak
mempertimbangkan apakah orang-orang menyukainya atau tidak, tetap saja tujuan dari ajaran Sang
Buddha bukanlah untuk memamerkan kebijaksanaan Beliau melainkan bertujuan agar orang-orang
merealisasikan realitas, agar orang-orang mencapai pencerahan. Jadi jika Sang Buddha menyebutkan
Hadaya-vatthu di dalam Dhammasaṅgaṇī, maka Beliau terpaksa harus menyatakan pasangan yang
mungkin ini. Pasangan ini tidak lengkap dan satunya salah. Aliran ajaran menjadi salah. Pemahaman
pendengar mungkin terpengaruh. Untuk menghindarkan mereka dari kebingungan atau apakah
Hadaya-vatthu tidak disebutkan di dalam Dhammasaṅgaṇī. Ini tidak disebutkan karena tidak ada. Jika
disebutkan di dalam Dhammasaṅgaṇī, maka itu tidak akan membantu pendengar memperoleh
realisasi pada realitas. Itulah sebabnya mengapa tidak disebutkan di dalam Dhammasaṅgaṇī. Ini
adalah satu pertanyaan.
Jika tidak disebutkan dalam Dhammasaṅgaṇī, dimanakah disebutkan? Jawabannya adalah ini
disebutkan di dalam Paṭṭhāna, buku ke tujuh Abhidhamma. Kita masih belum keluar dari kesulitan.
Walaupun dikatakan bahwa Hadaya-vatthu disebutkan dalam Paṭṭhāna, tetapi jika kita benar-benar
membaca Paṭṭhāna, kita tidak akan menemukan Hadaya di sana. Di sana Sang Buddha menggunakan
istilah umum untuk Hadaya-vatthu. “Dengan bergantung pada properti materi tertentu maka Mano-
dhātu dan Mano-viññāṇa-dhātu muncul.” hanya itu. “Dengan bergantung pada properti materi
tertentu” – Sang Buddha tidak mengatakan dengan bergantung pada Hadaya-vatthu. Para guru, para
Komentator, menganggapnya bermakna Hadaya-vatthu. Argumen mereka adalah bahwa Mano-dhātu
dan Mano-viññāṇa-dhātu harus bergantung pada suatu properti materi dan seterusnya. Seberapa
banyak pun kita menjelaskan, kita tidak akan sepenuhnya keluar dari kesulitan.
Mengapakah tidak disebutkan dalam Dhammasaṅgaṇī? Ini tidak disebutkan karena Sang Buddha ingin
mempertahankan aliran ajarannya tetap mulus. Di manakah disebutkan? Ini disebutkan di dalam
Paṭṭhāna. Tetapi kita tidak menemukannya di dalam Paṭṭhāna, kita hanya menemukan pernyataan
umum di sana. Bagaimanapun juga, penulis mengatakan bahwa itu bermakna Hadaya-vatthu. Ini
adalah terlalu dipaksakan.
Mengapakah para Komentator menafsirkan seperti itu walaupun kata Hadaya-vatthu tidak disebutkan
baik dalam Dhammasaṅgaṇī maupun dalam Paṭṭhāna? Saya pikir ini adalah karena ketika anda
bahagia atau bersedih, anda merasakan sesuatu di jantung, di dada. Ketika anda ketakutan, jantung
anda berdebar-debar. Jadi orang-orang menganggap bahwa kesadaran bergantung pada landasan-
jantung. Kata ‘Hadaya’, yang diterjemahkan sebagai ‘jantung’, adalah bersinonim dengan kata Citta.
Hadaya adalah bersinonim dengan Citta. Dalam Bahasa Inggris anda juga menggunakan kata ‘heart’
untuk pikiran. Anda mengatakan, “He has a good heart” atau semacam itu. Saya pikir di masa lalu
telah diterima secara umum bahwa pikiran bergantung pada jantung. Hanya sekarang ini, mungkin
sejak seratus tahun lalu, mereka mengatakan bahwa pikiran bergantung pada otak, bahwa otak adalah
tempat bersandarnya kesadaran. Kita tidak dapat mengatakan mana yang lebih logis. Bahkan sekarang
kita tidak dapat memastikan apakah kesadaran benar-benar bergantung pada otak. Ini masih pada
tahap eksperimen. Kita tidak dapat memihak atau kita dapat berpihak pada guru-guru kita di masa
lalu. Jadi kita menganggap jantung atau materi properti pada darah di dalam jantung sebagai tempat
bersandarnya Mano-dhātu.
Terdapat sebuah kalimat dalam Visuddhimagga sehubungan dengan landasan-jantung, tetapi terdapat
kekeliruan dalam terjemahannya.
“Landasan-jantung memiliki karakteristik menjadi penopang (materi) bagi elemen-pikiran dan bagi
elemen-kesadaran-pikiran. Fungsinya adalah untuk mengamatinya.” (Visuddhimagga, XIV, §60, p.447)
Saya pikir ini tidak benar. Fungsinya adalah sebagai landasan atau sebagai wadahnya. Kata ini dalam
Pāḷi adalah ‘Ādhāra’. Ini tidak dapat bermakna ‘mengamati’. Bhikkhu Bodhi tidak mengatakan,
mengamati” di dalam Tuntunan. Dikatakan di sana, “Fungsinya adalah untuk menopangnya.” (baca
CMA, VI, Tuntunan §, p.239) saya pikir ini adalah terjemahan yang benar.

INDRIA KEHIDUPAN
Apakah berikutnya? Jīvita-rūpa, fenomena kehidupan. Anda telah bertemu Jīvitindriya sebagai sebuah
Cetasika. Ini adalah pengimbang bagi Cetasika itu. Cetasika itu disebut indria kehidupan batin dan
yang ini disebut indria kehidupan jasmani, yang memellihara properti materi yang muncul
bersamanya. Indria kehidupan muncul bersama dengan properti materi lainnya dan memeliharanya.
Indria ini membantu properti-properti materi untuk ada selama keberlangsungannya.
“Indria kehidupan memiliki karakteristik memelihara jenis-jenis materi yang ada secara bersama pada
momen keberadaannya, fungsinya adalah untuk memunculkannya. Ini termanifestasi sebagai
ditegakkannya keberadaannya. Penyebab terdekatnya adalah empat esensi besar yang harus
dipelihara.” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.239)
Ada pertanyaan. Jika Jīvitindriya memelihara properti-properti materi lainnya, apakah yang
memelihatnya? Jīvitindriya memelihara yang lainnya, jadi apakah yang memelihara Jīvitindriya?
Perumpamaan tukang perahu diberikan dalam Komentar. Ketika seorang tukang perahu membawa
orang-orang lain ke pantai seberang atau mendayung perahu ke pantai seberang, ia juga membawa
dirinya sendiri ke pantai seberang karena ia terhubung dengan perahu itu. Dengan cara yang sama,
indria kehidupan terhubung dengan indria-indria lainnya yang dipelihara. Selama masih bersama
indria-indria yang dipelihara, Jīvitindriya juga memelihara dirinya sendiri.
ĀHĀRA
Kemudian Āhāra-rūpa, fenomena nutrisi – ini berarti suatu nutrisi dalam apa yang kita makan.
Sebenarnya ini ada di mana-mana. Nutrisi ini ditemukan secara eksternal maupun internal.

NIPPHANNA-RŪPA
Ini adalah 18 yang disebut materi yang dihasilkan secara konkret atau dalam Pāḷi Nipphanna-rūpa.
Ada 18 Nipphanna-rūpa atau materi yang dihasilkan secara konkret. ‘Materi yang dihasilkan secara
konkret’ berarti dihasilkan oleh empat penyebab materi. Pada bagian ke tiga empat penyebab materi
akan dibahas. Itu adalah hasil langsung dari keempat penyebab materi ini yang disebut Nipphanna-
rūpa. Ini berarti bahwa itu adalah Rūpa-Rūpa yang sesungguhnya. Itu adalah Rūpa sunstantif atau
semacam itu.

SABHĀVA-RŪPA
Ini juga disebut Sabhāva-rūpa, materi yang memiliki sifat hakiki. Materi-materi ini memiliki
karakteristiknya sendiri. ‘sifat hakiki’ berarti memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri.
“… masing-masing jenis memiliki sifat objektif yang jelas seperti kekerasan dalam kasus elemen tanah,
dan sebagainya.” (CMA, VI, Tuntunan §3, p.240)

SALAKKHAṆA-RŪPA
Ini juga disebut Salakkhaṇa-rūpa. ‘Lakkhaṇa’ bermakna tanda dan ‘Sa’ berarti bersama. Ini berarti
yang bersama dengan karkteristik. Di sini ‘karakteristik’ berarti tiga karakteristik umum
ketidakkekalan, penderitaan dan bukan-diri. Juga kita dapat mengatakan bahwa materi-materi itu
memiliki ketiga karakteristik kemunculan, keberlangsungan, dan kelenyapan atau kematian. Yang
lainnya dimulai dari fenomena pembatasan adalah tidak seperti itu. Jadi hanya 18 ini yang disebut
Salakkhaṇa-rūpa, yang memiliki karakteristik-karakteristiknya sendiri. Ini berarti ketidakkekalan
dan seterusnya dan kemunculan dan seterusnya.
Ini juga disebut Nipphanna-rūpa, materi yang dihasilkan secara konkret karena secara langsung
dihasilkan oleh kondisi-kondisi seperti Kamma, Citta, Utu dan Āhāra.

RŪPA-RŪPA
Ini disebut Rūpa-rūpa. Ini berarti Rūpa yang sesungguhnya. Jika anda mengulang sesuatu, maka anda
memberikan penekanan padanya. Rūpa-rūpa berarti Rūpa yang adalah Rūpa sesungguhnya. Ini adalah
Rūpa sesungguhnya. Sepuluh lainnya adalah bukan Rūpa sesungguhnya. Ini adalah Rūpa
sesungguhnya, Rūpa-ūpa,
“karena memiliki karakteristik penting materi yang mengalami perubahan.” (CMA, VI, Tuntunan §3,
p.240)
SAMMASANA-RŪPA
Ini juga disebut Sammasana-rūpa,
“karena dijadikan objek perenungan pandangan terang melalui ketiga karakteristik.” (CMA, VI,
Tuntunan §3, p.240)
Apakah anda mengerti ini? Anda adalah para meditator, jadi anda pasti memahaminya. Ini berarti
anda dapat mempraktikkan Vipassana hanya pada 18 ini saja dan bukan pada sepuluh lainnya. Ini
karena 18 ini memiliki karakteristik ketidakkekalan dan seterusnya. Ketika anda mempraktikkan
Vipassanā, anda berusaha untuk melihat ketiga karakteristik ini. Untuk dapat melihat ketiga
karakteristik ini anda harus melihat, anda harus mencatat 18 ini dan bukan sepuluh lainnya. Sepuluh
lainnya bukanlah objek meditasi Vipassanā. Ini disebut Sammasana-rūpa. ‘Sammasana’ berarti
perenungan. Jadi ini adalah objek perenungan. Perenungan di sini berarti praktik Vipassanā. Anda
dapat mempraktikkan Vipassanā pada hanya 18 ini saja dan bukan pada sepuluh Anipphana-rūpa.
Lihat pada tabel lagi (baca juga CMA, VI, Table 6.1, p.236). ada 28 Rūpa, yang dibagi menjadi empat
esensi besar dan 28 yang bergantung – dalam Pāḷi empat Mahābhūta dan 24 Upādā-rūpa. Kemudian
Upādā-rūpa dibagi menjadi Pasāda-rūpa – fenomena sensitif, Gocara-rūpa – fenomena objektif, Bhāva-
rūpa – fenomena seksual, Hadaya-rūpa – fenomena jantung, Jīvita-rūpa – fenomena kehidupan, dan
Āhāra-rūpa – fenomena nutrisi. Kita masih belum selesai. Masih ada kelompok-kelompok lainnya. 18
ini yang dimulai dengan Mahābhūta disebut Nipphanna-rūpa, materi yang dihasilkan secara konkret.
Ini berarti materi yang dihasilkan oleh empat penyebab – Kamma, Citta, Utu and Āhāra. Yang lainnya
akan kita bahas minggu depan.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

ANIPPHANNA-RŪPA & RŪPA-VIBHĀGA


Minggu lalu kita telah menyelesaikan 19 Nipphanna-rūpa, materi yang dihasilkan secara konkret. Hari
ini kita akan mempelajari yang lainnya, Anipphanna-rūpa, materi tidak konkret. 18 pertama adalah
Rūpa yang sesungguhnya, materi yang sebenarnya. Yang lainnya dimulai dari elemen-ruang bukanlah
Rūpa yang sesungguhnya. Ini dalam Pāḷi disebut Anipphanna-rūpa, yang diterjemahkan sebagai
‘materi yang dihasilkan tidak secara konkret’. Sebenarnya kata ‘tidak’ seharusnya digabungkan
dengan kata dihasilkan, dihasilkan tidak secara konkret atau tidak dihasilkan secara konkret. Ini
berarti sepuluh Rūpa ini tidak muncul dari empat penyebab materi. Kita akan mempelahari empat
penyebab materi pada bagian tiga. Sepuluh ini yang dimulai dari elemen-ruang ada sebagai atribut
atau modus dari materi yang dihasilkan secara konkret. Ini berarti hal-hal itu bukanlah materi
konkret, melainkan beberapa kualitas, atribut dari materi konkret. Itu sebenarnya tidak termasuk
dalam Paramattha Dhamma. Hal-hal itu tidak termasuk dalam objek-objek meditasi Vipassana. Jika
anda melihat pada awal dari bab tujuh, halaman 264, anda akan menemukan “Tuntunan §1”,
“72 jenis entitas: empat realitas mutlak yang telah dijelaskan dalam enam bab pertama dapat dianalisis
menjadi 72 entitas berbeda, …” (CMA, VII, Tuntunan §1, p.264)
Jadi ada 72 dan itu disebut Vatthu-dhamma, yaitu, fenomena-fenomena yang ada dengan sifat hakiki.
Jadi hal-hal itu memiliki keberadaan sendiri, sifat hakiki sendiri, Sabhāva-rūpa sendiri. Itu adalah
kesadaran yang dihitung sebagai satu, 52 Cetasika yang dihitung 52 dan kemudian 18 fenomena materi
yang dihasilkan secara konkret (yaitu 18 Nipphanna-rūpa) dan yang terakhir adalah Nibbāna. Jika kita
jumlahkan seluruhnya maka kita memperoleh 72 jenis fenomena.

ĀKĀSA-DHĀTU
Seluruhnya ada sepuluh Anipphanna-rūpa. Yang pertama disebut fenomena pembatasan. Ini berarti
properti materi ini atau Rūpa ini membatasi kelompok Rūpa. Rūpa akan dibahas sebagai kelompok-
kelompok pada bagian empat bab ini. Elemen-ruang ini membatasi atau memisahkan satu kelompok
dari kelompok lainnya. Sebenarnya ketika kelompok-kelompok materi bertemu, walaupun kelompok-
kelompok itu bersentuhan, ada sejenis ruang yang memisahkannya, batasan di antaranya. Batasan
antara kelompok-kelompok ini disebut Ākāsa-dhātu, elemen-ruang. Ini bukan sekedar ruang. Ini tidak
disebabkan oleh apapun. Ini tidak memiliki eksistensi sebenarnya. Kehampaan antara dua atau lebih
kelompok properti materi disebut Ākāsa-dhātu, elemen-ruang.
Sebenarnya ada empat jenis Ākāsa atau ruang:
1. ruang yang tidak kusut, Ajjhattākāsa;
2. ruang yang dibatasi, Paricchinnākāsa;
3. konsep ruang tanpa batas, Ākāsānañcayatana;
4. ruang yang membatasi, Ākāsa-dhātu.
Yang pertama adalah ruang terbuka. Kata Pāḷi untuk ini adalah Ajjhattākāsa, ruang yang tidak kusut.
Ini berarti ruang terbuka – seperti yang kita lihat sekarang ruang antara bumi dan langit. Ruang
terbuka ini disebut Ajjhattākāsa.
Kemudian yang berikutnya disebut ruang yang dibatasi. Ini adalah ruang antara jendela dan di antara
pintu atau di tiang-tiang dan wadah-wadah dan sebagainya. Ruang itu disebut ruang yang dibatasi,
Paricchinnākāsa dalam Pāḷi.
Ruang jenis ke tiga adalah konsep ruang yang merupakan objek dari kesadaran Arūpāvacara pertama,
dalam Pāli disebut Ākāsanañcāyatana. Objek dari kesadaran Arūpāvacara pertama adalah konsep
ruang tanpa batas. Ini disebut ruang yang diperoleh dengan melenyapkan objek Kasiṇa atau gambaran
Kasiṇa.
Yang terakhir adalah ruang yang membatasi, Ākāsa-dhātu. Yang ke dua dan ke empat adalah berbeda.
Yang ke dua adalah ruang yang dibatasi, ruang yang dibatasi oleh benda-benda lain – oleh pintu, oleh
jendela, oleh wadah, oleh kendi, oleh sebuah lubang. Ruang dalam sebuah lubang disebut dibatasi.
Yang ke empat adalah ruang yang membatasi. Ini berarti ruang ini membatasi atau memisahkan
kelompok-kelompok fenomena materi berbeda. Ini disebut elemen-ruang di sini, yang terakhir.

VIÑÑATTI-RŪPA
Dua Rūpa berikutnya disebut Viññatti-rūpa. ‘Viññatti’ berarti memperkenalkan. Ini diterjemahkan
sebagai fenomena materi yang mengisyaratkan. Melalui Kāya-viññatti dan Vacī-viññatti kita membuat
kehendak kita, keinginan kita diketahui oleh orang-orang lain. Itu disebut isyarat atau fenomena
materi yang mengisyaratkan. Kita berkomunikasi melalui fenomena materi yang mengisyaratkan ini.
Ini adalah modus atau mofifikasi tertentu dalam properti materi.

KĀYA-VIÑÑATTI
Yang pertama adalah Kāya-viññatti, isyarat tubuh. Ini berarti isyarat melalui tubuh. Ketika saya
membuat gerakan ini, khususnya di negara ini, (bukan di negara kami, kami melakukan gerakan
berbeda). Anda tahu bahwa saya ingin anda datang ke sini. Gerakan jari saya, gerakan tangan saya –
ada sejenis modus tertentu dalam gerakan ini. Tidak semua gerakan disebut Viññatti. Gerakan
pepohonan, misalnya tidak membuat kita mengetahui apapun. Itu hanya sekedar gerakan. Jika saya
menggerakkan tangan saya seperti ini, anda tahu bahwa saya ingin anda datang ke sini. Suatu modus
dalam gerakan ini adalah apa yang disebut Kāya-viññatti, isyarat tubuh. Gerakan ini muncul karena
pertama-tama saya berkehendak untuk menggerakkan tangan. Sebelum menggerakkan tangan, saya
memiliki keinginan atau niat untuk bergerak. Niat atau momen kesadaran berkehendak itu muncul
dan lenyap milyaran kali. Niat itu, atau kesadaran yang disertai dengan niat itu, menghasilkan properti
materi, Rūpa khususnya Vāyo (elemen-udara). Jadi kesadaran ini menghasilkan sejumlah besar Vāyo
(elemen-udara). Apa yang kita lihat sebagai gerakan sebenarnya adalah peningkatan Vāyo. Partikel
materi lama lenyap dan partikel materi baru menggantikan. Ketika partikel materi lama lenyap dan
materi partikel baru menggantikan, partikel baru ini muncul dalam jarak yang sangat dekat dengan
tempat di mana partikel lama lenyap. Munculnya partikel materi baru di tempat baru membuat kita
berpikir bahwa ada gerakan tangan. Jadi dalam buku-buku dinyatakan bahwa realitas mutlak tidak
bergerak. Tidak ada gerakan dalam realitas mutlak. Ini sulit dipahami. Mengapakah kita berpikir
bahwa ada gerakan? Ini karena peningkatan Vāyo-dhātu pada tangan. Ketika Vāyo-dhātu meningkat,
maka properti materi lainnya, khususnya ketiga esensi besar lainnya, juga meningkat. Dengan
peningkatan ini, kita berpikir ada gerakan pada tangan. Sebenarnya tidak ada yang bergerak dari satu
tempat ke tempat lainnya. Properti materi muncul di sini dan lenyap di sini, kemudian properti materi
baru muncul dan lenyap, dan kemudian yang berikutnya, seperti itu.
Ini seperti pertunjukan film. Pada bingkai-bingkai film terdapat gambar. Satu gambar hanya sedikit
berbeda dari gambar lainnya. Ini sebenarnya tidak teramati, tetapi ada perbedaan antara satu gambar
dengan gambar lainnya. Tetapi ketika gambar-gambar itu ditayangkan pada layar dan diputar,
katakanlah, tiga puluh bingkai per detik dan seterusnya, maka anda berpikir gambar itu bergerak.
Sebenarnya kita tidak melihat gambar bergerak. Kita melihat gambar berbeda pada tempat berbeda.
Kemudian pikiran kita menggabungkan gambar-gambar ini menjadi satu gambar bergerak. Apa yang
kita lihat bukanlah gambar bergerak, melainkan banyak gambar pada tempat-tempat berbeda. Ketika
saya membuat isyarat seperti ini dengan tangan saya, ada gerakan pada tangan. Gerakan itu yang saya
buat dengan niat untuk memanggil anda disebut Kāya-viññatti. Ada Kāya-viññatti dalam gerakan
ketika saya berniat memanggil seseorang atau ketika saya berusaha memberitahukan gagasan atau
niat saya kepada anda melalui gerakan. Tetapi tidak setiap gerakan adalah Kāya-viññatti. Ketika kita
tidur, tubuh kita bergerak. Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang kita maksudkan. Jadi tidak ada
Kāya-viññatti dalam gerakan-gerakan itu. Gerakan dengan kehendak untuk mengkomunikasikan
sesuatu adalah yang disebut Kāya-viññatti, isyarat tubuh.

VACĪ-VIÑÑATTI
Yang ke dua adalah Vacī-viññatti, isyarat vokal. Ini berarti ucapan. Saya mengungkapkan keinginan
atau kehendak saya kepada anda melalui ucapan, dengan berbicara kepada anda. Saya akan
mengatakan, “Ke sini”. Anda tahu bahwa saya ingin anda datang ke sini. Dengan kata-kata ini, melalui
suara (Sadda) ini, saya membuat anda mengerti bahwa saya ingin anda mendatangi saya. Ucapan saya
“ke sini” adalah apa yang disebut Vacī-viññatti. Di sini juga, suara “ke sini” bukanlah Vacī-viññatti,
tetapi sesuatu yang melekat dalam suara itu. Saya membuat suara dan itu membuat anda mengetahui
bahwa saya berniat agar anda datang ke sini. Modus tertentu dari suara dalam mulut saya, yang keluar
dari mulut saya, adalah apa yang disebut Vacī-viññatti. Ini sangat dekat dengan suara. Jika saya ingin
mngatakan sesuatu, sekali lagi saya berniat untuk membuat suara itu. Itu menghasilkan apa yang
disebut elemen-tanah, Pathavī-dhātu. Ini menghasilkan Pathavī-dhatu dalam tenggorokan saya.
Gesekan itu membuat suara keluar. Dalam kasus ini apa yang berlebih, apa yang menonjol adalah
Pathavī-dhātu, elemen-tanah. Dalam kasus Kāya-viññatti apa yang berlebih, apa yang menonjol,
adalah elemen-udara, Vāyo-dhātu. Dalam Vācī-viññatti terdapat Pathavī-dhātu yang berlebih. Suara
adalah hanya hasil dari gesekan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Ketika kita mengucapkan
sesuatu, kita memberitahu orang lain apa yang kita mau, apa yang kita inginkan, atau apa yang kita
kehendaki, atau apa yang kita maksudkan. Suara itu, ucapan itu adalah apa yang disebut Vacī-viññatti,
isyarat vokal.
Ini juga bukanlah properti materi terpisah. Sebenarnya itu adalah suatu modus, suatu modifikasi yang
terdeteksi pada tangan atau pada suara. Modus tertentu itu adalah apa yang kita sebut Viññatti.
Viññatti dikatakan sebagai tidak terlihat. Apa yang anda lihat bukanlah Viññatti melainkan materi
terlihat dari tangan. Tetapi dari ini anda menyimpulkan bahwa ia ingin saya datang. Sebenarnya
Viññatti tidak dapat terlihat. Anda tahu, ketika kita mengklasifikasikan kelompok-kelompok materi
berbeda hanya satu yang dapat dilihat. Yang lainnya hanya dapat dilihat melalui pikiran. Viññatti
adalah apa yang tidak terlihat oleh mata fisik. Kedua ini disebut Viññatti-Rūpa.

VIKĀRA-RŪPA
Kelompok berikutnya disebut Vikāra-rūpa, fenomena bermutasi. Ini berarti berubah, atau di sini suatu
kualitas khusus, atau modus khusus fenomena. Ada tiga.

RŪPASSA-LAHUTĀ, MUDUTĀ, KAMMAÑÑATĀ


Yaitu Rūpassa-lahutā, Rūpassa-mudutā dan Rūpassa-kammaññatā. Anda telah bertemu tiga kata ini
Lahutā, Mudutā dan Kammaññatā dalam 52 Cetasika. Ini sama.
- ‘Lahutā’ berarti keringanan.
- ‘Mudutā’ berarti kelunakan atau kelenturan.
- ‘Kammaññatā’ berarti kemudahan dibentuk.
ketiga kata ini sulit dipahami dalam bahasa terjemahan. Juga sulit dipahami dalam Pāḷi. Lahutā tidak
sulit dipahami. Lahutā adalah keringanan, ringannya Rūpa. Jika iklim bagus, jika cuaca baik, kita
merasakan tubuh kita menjadi ringan. Jika kita memakan makanan yang baik atau ketika kita sehat,
kita merasakan keringanan itu dalam tubuh kita. Ini adalah Rūpassa-lahutā.
Rūpassa-mudutā diumpamakan dengan kulit yang digiling. Saya rasa mereka harus menggiling atau
memukul-mukul kulit dengan keras agar menjadi lunak dan anda dapat membuatnya menjadi
berbagai benda. Itu juga adalah apa yang kita rasakan ketika cuaca baik, ketika kita sehat.
Rūpassa-kammaññatā diumpamakan dengan emas yang yang dimurnikan. Ketika emas benar-benar
murni, anda dapat membuatnya menjadi perhiasan apapun yang anda inginkan. Kammaññatā seperti
itu.
Ketiga ini selalu bersama-sama. Ketika ada Lahutā, maka Mudutā dan Kammaññatā juga ada. Ketiga
ini hanya terdapat di dalam makhluk-makhluk hidup dan bukan dalam benda-benda luar. Kedua
fenomena Viññatti dan ketiga fenomena bermutasi disebut Vikāra-rūpa. Jadi ada lima Vikāra-rūpa –
dua Viññatti dan tiga bermutasi. Ini disebut Vikāra-rūpa. Ini adalah beberapa modus, ini adalah
beberapa atribut dari materi yang dihasilkan secara konkret.

LAKKHAṆA-RŪPA
Kita sampai pada kelompok terakhir, yaitu Lakkhaṇa-rūpa, karaktersitik materi atau tanda-tanda
materi. Kita telah mengenal tiga tanda. Apakah ketiga tanda ini? Ketiga tanda ini adalah
ketidakkekalan, penderitaan dan tanpa jiwa. Di sini tanda-tandanya berbeda. Awal, pertengahan dan
akhir disebut karakteristik materi.

RŪPASSA-UPACAYA, SANTATI, JARATĀ, ANICCATĀ


Yang pertama disebut Rūpassa-upacaya. Ini diterjemahkan sebagai produksi. Yang ke dua adalah
Rūpassa-santati, kelangsungan, sebenarnya produksi materi, kelangsungan materi. Rūpassa-jaratā
adalah kelapukan materi, dan Rūpassa-aniccatā adalah ketidakkekalan materi. Ketidakkekalan di sini
berarti akhir atau kematian atau meleburnya materi.
Dua yang pertama, Upacaya dan Santati, keduanya adalah sebutan untuk kemunculan, asal-mula atau
lahirnya materi. Munculnya materi disebut dengan dua nama di sini – Upacaya dan Santati.
Komentator menjelaskan perbedaan antara Upacaya dan Santati. Dalam kata ‘Upacaya’ kata ‘Upa’
memiliki dua makna. Satu adalah pertama. Jadi Upacaya bermakna kemunculan pertama. Yang
lainnya, makna harfiah adalah di atas. Ini berarti belakangan. Jadi kemunculan pertama dan
kemunculan belakangan, ini disebut Upacaya. Satu kemunculan memiliki dua modus di sini,
kemunculan pertama dan kemunculan belakangan. Setelah itu terdapat kelangsungan munculnya
properti materi yang adalah Santati.
Pada saat penghubungan-kembali bagi manusia, katakanlah, tiga puluh properti materi muncul. pada
saat penghubungan kembali terdapat kemunculan tiga puluh properti materi yang disebut Upacaya.
Tiga puluh itu akan muncul sejak momen itu karena terlahir dari Kamma dan karena itu akan muncul
pada setiap momen. Jadi tiga puluh itu akan muncul berulang-ulang, itu adalah masih Upacaya hingga
tiba waktunya ketika semua materi dalam kehidupan seseorang muncul sepenuhnya. Itu berarti janin
dalam rahim ibu memperoleh mata, telinga dan seterusnya pada kurang-lebih sebelas minggu setelah
konsepsi, menurut Komentar. Hingga waktu itu, hingga minggu ke sebelas, katakanlah, properti-
properti materi ini muncul. kemunculan pertama properti materi pada momen penghubungan-
kembali, Paṭisandhi, adalah Upacaya dan kemunculannya hingga minggu ke sebelas disebut Upacaya.
Sejak minggu ke sebelas hingga seterusnya kemunculannya disebut Santati, selama seumur hidup
hingga 17 momen sebelum kesadaran-kematian. Dalam satu kehidupan Upacaya dapat dipahami
sebagai terjadi pada momen penghubungan kembali hingga kurang-lebih sebelas minggu jika itu
adalah manusia. Tetapi jika Deva, maka mereka memiliki semua properti materi yang diperlukan
persis pada momen penghubungan-kembali. Munculnya properti materi pada saat penghubungan-
kembali disebut Upacaya. Yang lainnya adalah Santati, kelangsungan. Jadi hanya satu kemunculan di
sini namun disebut dengan dua nama, Upacaya dan Santati.
Jaratā – anda mengetahui Jaratā, kelapukan, menjadi tua. Berapa lamakah umur kehidupan Rūpa,
properti materi? Berapa momen pikiran? Rūpa memiliki umur kehidupan selama 17 momen pikiran
atau 51 sub-momen.
- Yang pertama disebut Upacaya dan Santati.
- Kemudian 49 di antaranya disebut Jaratā, kelapukan.
- Ke-51 disebut Aniccatā, kematian.
Momen pertama adalah Upacaya dan Santati. 49 momen adalah Jaratā, kelapukan. Dan momen ke-51
adalah Aniccatā, kematian.
Ini bukanlah materi konkret. Ini adalah tanda-tanda dari materi konkret. Ini adalah ketika materi
konkret muncul. ini adalah ketika materi itu menjadi tua. Ini adalah ketika materi itu mati. Karena ini
adalah tanda-tanda dari materi konkret, maka disebut Lakkhaṇa-rūpa atau karakteristik materi. Ada
empat dari karakteristik ini – produksi, kelangsungan, kelapukan dan ketidakkekalan.
Sekarang kita sampai pada akhir dari 28 properti materi. 28 properti materi dikelompokkan menjadi
sebelas kelompok:
1. Kelompok pertama adalah empat fenomena esensi, Mahābhūta atau Bhūta-rūpa.
2. Yang ke dua adalah Pasāda-rūpa, fenomena sensitif.
3. Yang ke tiga adalah Gocara-rūpa, fenomena objektif.
4. Yang ke empat adalah Bhāva-rūpa, fenomena seksual.
5. Yang ke lima adalah Hadaya-rūpa, landasan-jantung.
6. Yang ke enam adalah Jīvita-rūpa, indria kehidupan.
7. Yang ke tujuh adalah Āhāra, makanan.
8. Yang ke delapan adalah Pariccheda-rūpa, fenomena yang membatasi.
9. Yang ke sembilan adalah Viññatti-rūpa, fenomena berkomunikasi.
10. Yang ke sepuluh adalah Vikāra-rūpa, fenomena bermutasi.
11. Yang ke sebelas adalah Lakkhaṇa-rūpa, karakteristik materi.
Menurut kelompok-kelompok terdapat sebelas dan dengan menghitung secara terpisah maka ada 28
properti materi. Di antaranya:
- 18 pertama disebut Nipphanna-rūpa, materi yang dihasilkan secara konkret.
- Sepuluh lainnya disebut Anipphanna-rūpa, materi tidak konkret.
28 properti ini dapat diumpamakan dengan tabel periodik dalam ilmu kimia. Juga ada beberapa
ilmuwan yang menyusun elemen-elemen dalam urutan tertentu. Seperti halnya elemen-elemen dalam
table periodik adalah komponen-komponen dari apa yang kita sebut materi, 28 properti materi ini
menurut Abhidhamma adalah komponen-komponen bangunan dari apa yang kita sebut benda-benda
materi termasuk makhluk-makhluk hidup.
Sekali lagi 28 benda materi dapat dibagi menjadi dua. Apakah dua ini?
- Empat esensi besar, dan
- 24 jenis materi yang bergantung.
materi yang bergantung berarti apa yang kemunculannya bergantung pada empat esensi. Hanya jika
ada empat esensi maka materi itu dapat muncul. jika tidak ada empat esensi, maka materi itu tidak
dapat muncul. maka materi-materi itu disebut fenomena yang bergantung. Ini sering diterjemahkan
sebagai fenomena turunan. Ini tidak begitu tepat. Kita akan menggunakan fenomena yang bergantung.
Anda harus membiasakan diri dengan istilah-istilah ini. Ketika anda mempelajari Paṭṭhāna, anda akan
banyak menemukan istilah-istilah ini. Jadi ada empat Bhūta-rūpa dan 24 Upādā-rūpa.
Di antara 24 Upādā-rūpa terdapat sensitivitas-mata dan seterusnya, Gocara-rūpa dan seterusnya, dan
kemudian feminitas, maskulinitas, jantung, prinsip kehidupan dan nutrisi. Kemudian di antara materi
tidak konkret terdapat fenomena yang membatasi, fenomena berkomunikasi, fenomena bermutasi
dan karakteristik materi.
Mari kembali ke awal. Berapa banyakkah Bhūta-rūpa? Ada empat.
Berapa banyakkah Pasāda-rūpa (senitivitas)? Ada lima.
Berapa banyakkah Rūpa objektif? Ada tujuh karena Phoṭṭhabba adalah Pathavī, Tejo dan Vāyo.
Kemudian Bhāva-rūpa, fenomena seksual ada berapa banyakkah? Ada dua.
Bagaimana dengan jantung? Hanya ada satu.
Prinsip kehidupan ada berapa banyak? Hanya ada satu.
Nutrisi ada berapa banyak? Hanya ada satu.
Isyarat atau komunikasi ada berapa banyak? Ada dua.
Bermutasi ada berapa banyak? Ada tiga atau lima – sebenarnya lima termasuk isyarat.
Karakteristik ada berapa banyak? Ada empat.
Jadi kita memperoleh 28 properti materi. Ini akan menjadi seperti 89 jenis kesadaran. Anda dapat
membuat tabel yang menunjukkan 28 ini jika anda menginginkan.

RŪPA-VIBHĀGA
Bagian berikutnya disebut “Rūpa-vibhāga”, “Klasifikasi Materi”. Materi akan diklasifikasikan menjadi
hal berbeda. Pertama-tama materi adalah hanya satu. Hanya satu menurut karakteristiknya. Apakah
karakteristik materi? Perubahan adalah karakteristik dari materi. Menurut karakteristik itu hanya ada
satu jenis Rūpa.

AHETUKA, SAPPACCAYA, SĀSAVA, SAṄKHATA, LOKIYA, KĀMĀVACARA,


ANĀRAMMAṆA, APPAHĀTABBA
Rūpa itu dikatakan sebagai Ahetuka, tanpa akar. Ini adalah Sappaccaya, dengan kondisi. Dengan
kondisi berarti ini disebabkan oleh kondisi-kondisi. Sāsava – Sāsava berarti Āsava. ‘Āsava’ berarti noda
atau luka. Anda akan mempelajari tentang Āsava pada bab tujuh. Ada empat Āsava (Kāmasava,
Bhavāsava, Diṭṭhāsava, Avijjāsava). Sāsava secara harfiah berarti dengan Āsava. Kemudian Saṅkhata
berarti dikondisikan oleh kondisi-kondisi – dikondisikan oleh empat penyebab. Lokiya berarti
termasuk keduniawian atau termasuk lima kelompok kemelekatan. Dan Kāmavacara – ini adalah objek
keinginan-indriawi. Dan kemudian Anāramaṇa – tanpa objek – ini tidak mengambil objek apapun; ini
tidak memiliki kemampuan untuk mengambil suatu objek. Mengambil objek adalah kemampuan batin
dan bukan kemampuan materi. Appahātabba – ini tidak dapat ditinggalkan. Ditinggalkan berarti
seperti meninggalkan kekotoran batin. Kita tidak dapat meninggalkan Rūpa apapun. Ini tidak dapat
ditinggalkan. Kita harus meninggalkan Rūpa itu yang memiliki kualitas-kualitas ini.

AHETUKA
Kualitas pertama adalah Ahetuka. Rūpa adalah tanpa akar.
“… ini tidak menyertai akar-akar apakah bermanfaat, tidak bermanfaat, atau (netral atau) tidak dapat
ditentukan, …” (CMA, VI, Tuntunan §6, p.243)
Hanya Citta dan Cetasika yang dapat dikatakan sebagai disertai dengan akar-akar. Kita boleh
mengatakan, “Citta ini dengan akar; Citta ini tanpa akar; Cetasika ini dengan akar; Cetasika ini tanpa
akar.” Tetapi ini tidak berlaku untuk Rūpa; Rūpa selalu adalah Ahetuka.

SAPPACCAYA
Kemudian Sappaccaya, dengan kondisi-kondisi – ini berarti bergantung pada kondisi-kondisi,
bergantung pada penyebab-penyebab, empat penyebab materi. Yaitu Kamma, Citta, Utu dan Āhāra.
Bagian berikutnya akan membahas hal ini.

SĀSAVA
Sāsava – ini bersama Āsava. Yang berarti bahwa ini adalah objek Āsava. Lobha, Diṭṭhi dn Moha adalah
Āsava. Ada empat Āsava, tetapi pada kenyataannya ada tiga – Lobha, Diṭṭhi dan Moha. Materi adalah
objek dari Lobha, Diṭṭhi dan Moha. Jadi ini disebut Sāsava.

SAṄKHATA
Saṅkhata – semua ini adalah terkondisi. Ini bermakna sama seperti sappaccaya. Ini memiliki penyebab-
penyebab. Ini adalah terkondisi. Rūpa tidak pernah merupakan Asaṅkhata. Rūpa adalah selalu
Saṅkhata. Ini selalu muncul dengan bergantung pada kondisi-kondisi.

LOKIYA
Lokiya – ini termasuk dunia kelima agregat. Rūpa tidak pernah Lokuttara tetapi beberapa Citta adalah
Lokiya dan beberapa Citta adalah Lokuttara. Rūpa adalah selalu duniawi, Lokiya.
KĀMĀVACARA
Kāmāvacara – Rūpa adalah objek ketagihan indria atau keinginan-indria. Sekarang apakah Rūpa
muncul di alam Brahma atau tidak, ini disebut Kāmāvacara karena ini adalah objek dari keinginan
indria. Anda mungkin mengingat klasifikasi objek-objek – objek Kāmāvacara, objek Mahaggata dan
objek Lokuttara. Di sana objek Kāmāvacara berarti Citta, Cetasika dan Rūpa. Jadi Rūpa termasuk objek
Kāmāvacara karena ini adalah objek keinginan-indria. Apakah Rūpa muncul di alam manusia atau di
alam Deva atau di alam Brahma, ini disebut Kāmāvacara.

ANĀRAMMAṆA
Anārammaṇa – ini tidak mengambil objek, jadi ini adalah tanpa objek. Ini tidak mengetahui objek. Ini
tidak mengenali objek. Ini adalah objeknya. Karena ini adalah objeknya, maka tidak memiliki kekuatan
kognisi, ini disebut Anārammaṇa. ini juga adalah perbedaan antara Rūpa dan Nāma. Nāma dapat
berupa objek dan juga katakanlah, subjek Nāma dapat mengambil Nāma lainnya sebagai objek. Jadi
Nāma kadang-kadang dapat berupa subjek dan kadang-kadang berupa objek. Tetapi Rūpa adalah selalu
objek. Ini tidak pernah menjadi subjek karena tidak pernah mengambil objek. Ini tidak pernah
mengetahui objek. Rūpa tidak pernah mengenali objek.

APPAHĀTABBA
Dan kemudian Appahātabba – ini tidak dapat ditinggalkan; ini tidak untuk ditinggalkan, seperti
kekotoran. Ketika seseorang mencapai pencerahan, ketika seseorang mencapai tingkat pertama
pencerahan, ia meninggalkan beberapa kekotoran batin – keragu-raguan dan pandangan salah. Ia
tidak meninggalkan properti materi apapun, Rūpa apapun karena Rūpa tidak dapat ditinggalkan.
Bahkan walaupun seseorang menjadi seorang Arahant, Rūpa masih ada di sana. Tidak ada Rūpa yang
ditinggalkan. Jadi Rūpa disebut Appahātabba; tidak pernah ditinggalkan.
Ada satu Rūpa menurut karakteristik dan satu Rūpa menurut kualitas-kualitas seperti Ahetuka,
Sappaccaya, dan sebagainya. Rūpa dapat berupa banyak jenis ketika dianggap sebagai internal dan
eksternal dan sebagainya. Mulai sekarang Rūpa akan dikelompokkan sebagai terdiri dari dua jenis, tiga
jenis, dan seterusnya.

AJJHATTIKA DAN BĀHIRA-RŪPA


Pasāda-rūpa – yaitu sensitivitas-mata, sensitivitas-telinga, sensitivitas-hidung, sensitivitas-lidah dan
sensitivitas-badan. Ini disebut internal, dalam Pāḷi adalah Ajjhattika. Kelima ini disebut Ajjhattika,
internal. Sekarang ini mungkin sedikit membingungkan. Semua properti materi yang kita miliki
adalah internal. Ini ada di dalam diri kita. Tetapi di sini hanya lima ini yang disebut Ajjhattika. Ini
karena kelima ini adalah sangat bermanfaat bagi kita. Jika kita tidak memiliki mata, telinga dan
seterusnya, maka kita tidak dapat berfungsi sebagai manusia. Kita akan menjadi seperti sepotong kayu.
Kelima ini begitu bermanfaat bagi kita sehingga hanya kelima itu yang kita sebut internal. Jika
seseorang begitu bermanfat bagi anda, maka anda akan menyebutnya seorang internal. Ia ada di
antara kita. Karena kelima ini begitu bermanfaat bagi hidup kita, maka kita menyebutnya Rūpa
internal atau Rūpa dalam. Yang lainnya disebut eksternal. Eksternal bukan berarti di luar tubuh. Itu
masih di dalam tubuh, tetapi tidak begitu bermanfaat seperti halnya kelima sensitivitas maka disebut
Rūpa eksternal.

VATTHU- DAN AVATTHU-RŪPA


Berikutnya adalah kelima organ sensitif dan jantung – lima Pasāda dan Hadaya, keenam ini disebut
Vatthu-rūpa, landasan-landasan. Anda sudah megetahui landasan-landasan. Berapa banyakkah
landasan-landasan? Ada enam landasan. Anda mempelajari landasan-landasan pada bab tiga. Ini
disebut landasan-Rūpa karena merupakan tempat bersandarnya kesadaran. Sensitivitas-mata adalah
tempat bersandarnya kesadaran-mata dan seterusnya. Ini disebut Vatthu-rūpa. Sementara enam ini
disebut Vatthu-rūpa, 22 lainnya disebut Avatthu-rūpa, materi tanpa-landasan.

DVĀRA- DAN ADVĀRA-RŪPA


Dan kemudian ada tujuh jenis yang terdiri dari organ-organ sensitif dan dua media informasi. Ini
berarti lima sensitivitas, isyarat tubuh dan isyarat verbal. Tujuh ini disebut Dvāra-rūpa, Rūpa-pintu,
properti-materi-pintu. Yang lainnya disebut Rūpa-tanpa-pintu. Anda mengetahui kelima indira
disebut pintu-pintu. Melaluinya batin, kesadaran melihat dan yang lainnya muncul. Dua lagi, isyarat
tubuh dan isyarat verbal, disebut Dvāra karena merupakan pintu-pintu bagi munculnya Kamma.
Melalui isyarat tubuh dan isyarat verbal maka kita memperoleh Kamma. Maka disebut Dvāra bahkan
walaupun bukan merupakan tempat bersandarnya kesadaran. Ketika kita melakukan sesuatu dengan
tubuh kita, kita memiliki Viññatti di sana. Ketika kita berbohong, ada suatu jenis Vacī-viññatti di sana.
Jadi itu adalah pintu-pintu Kamma; di sini disebut Dvāra, materi-pintu.

INDRIYA DAN ANIDRIYA-RŪPA


Dan kemudian ada delapan jenis yang terdiri dari organ-organ sensitif (ini selalu ada), maskulinitas,
feminitas dan kehiduan (Jīvita). Delapan ini diseut Indriya, Rūpa indria. Indriya apakah artinya?
Indriya berarti memiliki otoritas karena mengerahkan kekuatan pengendali dalam bidangnya masing-
masing. Ini berarti jika anda tidak memiliki mata, maka anda tidak melihat. Jadi mata memiliki
kekuatan pengendali atas melihat. Jika mata lemah, maka kesadaran melihat juga lemah. Jika mata
anda tidak baik, maka kesadaran melihat juga tidak baik. Jadi mata mengendalikan kesadaran melihat.
Mata memiliki kekuatan pengendali, otoritas atas melihat. Hal yang sama berlaku untuk mendengar
dan seterusnya.
Dua Bhāva-rūpa, fenomena seksual, mengendalikan ciri maskulinitas dan feminitas. Itu berarti ketika
orang itu adalah laki-laki, gerakannya, caranya bermain, caranya berbicara dan sebagainya adalah
berbeda dengan perempuan. Indria-indria ini mengendalikan ciri dan sifat laki-laki dan perempuan.
Indria kehidupan mengendalikan jenis-jenis materi yang ada bagaikan pilot mengendalikan kapal.
Indria kehidupan diumpamakan sebagai apa? Ini diumpamakan dengan air di tangkai teratai, yang
memeliharanya agar tetap segar. Prinsip kehidupan ini, Jīvita, mengendalikan jenis-jenis materi yang
ada. Materi tidak muncul secara sendiri. Materi muncul bersama Jīvita. Jīvita muncul bersama dengan
properti materi lainnya. Ketika Jīvita dan properti materi lainnya muncul, Jīvita memeliharanya. Jīvita
mengendalikannya dan menjaganya tetap ada hingga mati. Anda tahu properti materi bertahan
selama 51 sub-momen. Jadi Jīvita memeliharanya agar tetap segar hingga momen ke-50. Ini
diumpamakan dengan pilot yang mengendalikan kapal. Tetapi saya pikir bukan ini yang dimaksudkan
oleh Komentar. Saya rasa saya telah menjelaskannya kepada anda pada waktu yang lalu. Jika prinsip
kehidupan mengendalikan properti materi lainnya, apakah yang mengendalikannya? Jika Jīvita
mengendalikan yang lain, apakah yang melindungi Jīvita? Analogi perahu dan tukang perahu
diberikan di sana. Maknanya di sana adalah ketika tukang perahu membawa orang-orang lain yang
ada di atas perahu ke pantai seberang, ia juga membawa serta dirinya. Ketika ia membawa orang-orang
di atas perahu ke pantai seberang, ia juga membawa dirinya sendiri karena ia terhubung dengan
perahu itu. Walaupun ia tidak bermaksud untuk menyeberang ketika ia membawa perahu ke pantai
seberang, namun ia membawa dirinya juga. Demikian pula, Jīvita, indria kehidupan memelihara yang
lainnya, properi-properti materi dan memelihara dirinya sendiri karena indria kehidupan terhubung
dengan properti materi lainnya. Inilah maknanya di sini. Pilot yang mengendalikan kapal bukan
analogi yang tepat.

OḶĀRIKA, SUKHUMA, SANTIKE, DŪRE, SAPPAṬIGHA, APPAṬIGHA


Kelompok berikutnya adalah dua belas jenis yang terdiri dari lima organ sensitif dan tujuh objek-
indria. Sensitivitas-mata, sensitivitas-telinga dan seterusnya, ada lima. Tujuh objek-indria berarti
objek terlihat, suara, bau-bauan, rasa kecapan, tanah, api, udara. Seluruhnya ada lima dan tujuh,
menjadi dua belas. Ini disebut:
- Kasar, Oḷārika dalam Pāḷi
- Dekat, Santike, dan
- Sappaṭigha, dengan benturan, dengan fenomena materi berbenturan.
yang lainnya disebut:
- Halus, sukhuma,
- Jauh, Dūre, dan
- Tanpa-benturan, Appaṭigha.
Organ-organ indria dan objek-objek yang bersesuaian adalah subjek dan objek. Ini dikatakan sebagai
kasar. Di sini kasar bukan berarti besar. Kasar hanya bermakna mudah dilihat, mudah dicerap, tidak
sulit dicerap. Ketika anda melihat sesuatu, anda tahu ada sensitivitas-mata dan anda melihat objek
terlihat. Itu tidak sulit dilihat. Itu mudah dilihat, mudah dicerap. Itulah sebabnya mengapa disebut
kasar, bukan berarti lebih substantif atau lebih besar daripada materi halus. Tetapi di sini kasar hanya
bermakna mudah dilihat, mudah dicerap.
Dekat berarti jarak dekat. Apa yang dekat adalah mudah dilihat. Maka disebut dekat. Ini adalah dengan
benturan. Ini berarti mengalami kontak – mata dengan objek terlihat, sensitivitas-telinga dengan
suara – jadi ada sejenis benturan, sejenis kontak. Ini diebut Sappaṭigha-rūpa. Yang lainnya disebut
Sukhuma-rūpa, tidak mudah dlilihat, tidak mudah dicerap. Āpo, elemen-air, dikatakan sebagai
Sukhuma-rūpa, materi halus, tidak mudah dilihat. Kita dapat melihat air, tetapi tidaklah mudah untuk
mencerap elemen atau karakteristik menetes atau kohesi dari elemen-air. Tidak semudah melihat
elemen lainnya. Apa yang tidak mudah dilihat tampak jauh, maka disebut jauh. Di sini kita harus
memahami jauh bukan sebagai jarak sesungguhnya melainkan hanya sebagai tidak mudah dilihat
seperti yang lainnya. Oleh karena itu maka dikatakan jauh. Dan tanpa-benturan – tidak ada pertemuan.
UPĀDINNA DAN ANUPĀDINNA
Fenomena materi yang-lahir-dari-Kamma disebut Upādinna. Yang lainnya disebut Anupādinna. Istilah
ini harus dipahami dengan baik dan benar. Banyak orang yang keliru memahami istilah ini. Kata
‘Upādinna’ terdiri dari kata ‘Upa’ dan ‘Adinna’. ‘Upa’ di sini berarti Kamma yang merupakan objek dari
ketagihan dan pandangan salah. Sebenarnya ‘Upa’ berarti didekati, jadi di sini Kamma didekati oleh
ketagihan dan pandangan salah, Kamma yang menjadi objek bagi ketagihan dan pandangan salah, atau
Kamma yang bersama-sama dengan ketagihan dan pandangan salah. Sebenarnya ini adalah objek dari
ketagihan dan pandangan salah. Jika ini adalah Kusala Kamma, ini tidak muncul bersama, tetapi Kusala
Kamma tetap adalah objek dari ketagihan dan pandangan salah. ‘Upa’ di sini berarti didekati, didekati
oleh ketagihan dan pandangan salah’. ‘Adinna’ berarti diambil. Diambil di sini berarti sesuatu yang
direbut. Ini direbut oleh Kamma dan akibatnya. Ini disebut Upādinna, sesuatu yang direbut oleh
Kamma dan akibatnya. Ini seolah-olah Kamma datang dan berkata, “Ini adalah akibat aku, ini adalah
akibat yang kuhasilkan.” Ini seperti itu. Ini disebut Upādinna. Ini biasanya diterjemahkan sebagai
dilekati, tetapi sebenarnya Upādinna berarti apa yang-lahir-dari-Kamma.
Yang lainnya bukanlah Upādinna; ini disebut Anupādinna – apa yang bukan lahir dari Kamma. Jika
bukan dilahirkan dari Kamma, maka dilahirkan dari Citta, Utu dan Āhāra. Apa yang-lahir-dari-Kamma
disebut dilekati, Upādinna dan yang lainnya tidak dilekati, Anupādinna.
Di dalam buku, “harus diperhatikan bahwa, tidak seperti pasangan istilah lainnya yang digunakan
dengan tujuan untuk pengklasifikasian, pasangan ‘dilekati’ dan ‘tidak dilekati’ tidak menyatakan
dikotomi yang saling bertolak-belakang, …” (CMA, VI, Tuntunan §7, p.245)
Anda akan memahami lebih jelas pada bagian berikutnya.
“… untuk sembilan jenis fenomena materi yang-lahir-dari-Kamma juga dapat berasal-mula dari
penyebab-penyebab lain.” (CMA, VI, Tuntunan §7, p.245)
Ada 18 properti materi yang disebabkan oleh Kamma. sembilan14 disebabkan hanya oleh Kamma dan
sembilan15 lainnya disebabkan oleh Kamma dan yang lainnya juga. Ini tidak saling bertolak-belakang.
Ini adalah satu hal.
Ada hal lainnya yang harus dipahami.
“Akan tetapi, pada umumnya, dalam makna yang agak teknis, semua materi organik dalam tubuh
dirujuk sebagai “dilekati”, sementara materi non-organik disebut sebagai “tidak dilekati”.” (CMA, VI,
Tuntunan §7, p.245)
Ini penting. Kata ‘Upādinna’ dalam terminologi Adbhidhamma bermakna Rūpa yang-lahir-dari-
Kamma. ‘Anupādinna’ berarti Rūpa yang bukan lahir-dari-Kamma, Rūpa yang lahir dari ketiga
penyebab lainnya. Tetapi di tempat-tempat lain ‘Upādinna’ berarti materi organik, materi dalam
makhluk hidup. ‘Anupādinna’ berarti materi dalam benda-benda luar. Anda harus memahami ini.
Kalau tidak, maka anda akan membuat kesalahan. Khususnya dalam Vinaya kita sering menemukan
Upādinna dan Anupādinna ini. Di sana jika anda menerjemahkannya sebagai dilekati atau lahir dari

14
Yaitu sensitivitas-mata, sensitivitas-telinga, sensitivitas-hidung, sensitivitas-lidah, sensitivitas-badan,
feminitas, maskulinitas, landasan-jantung dan indria kehidupan.
15
Yang lainnya adalah elemen-tanah, elemen-air, elemen-api, elemen-udara, bentuk, bau-bauan, rasa kecapan,
nutrisi dan ruang.
Kamma, maka anda salah. Di sana Upādinna berarti Rūpa bernyawa dan Anupādinna berarti Rūpa tidak
bernyawa, benda-benda luar. Kita harus memahami bahwa Upādina dan Anupādinna masing-masing
memiliki dua makna.
- Dalam terminologi Abhidhamma Upādinna berarti lahir dari Kamma. Anupādinna berarti lahir
dari Citta, Utu atau Āhāra.
- Tetapi dalam penggunaan umum Upādina bermakna materi bernyawa. Anupādinna berarti
materi tidak bernyawa.
Para bhikkhu tidak boleh menyentuh kaum perempuan. Kaum perempuan adalah Upādinna. Mereka
bernyawa. Kami boleh menyentuh meja. Meja adalah Anupādinna. Tidak ada pelanggaran ketika kami
menyentuh Anupādinna. Sehubungan dengan Upādinna kami tidak boleh menyentuh kaum
perempuan. Kata-kata ini digunakan di sini. Anda harus memahami bahwa Upādinna bermakna materi
bernyawa dan seterusnya. Kalau tidak, jika anda menganggap Upādinna sebagai bermakna Rūpa yang-
lahir-dari-Kamma, maka anda akan salah di sana. Jadi harap pahami kedua kata ini, Upādinna dan
Anupādinna.

SANIDASSANA DAN ANIDASSANA


Bentuk telihat adalah terlihat dan yang lainnya adalah tidak terlihat. Di antara 28 properti materi
hanya satu yang dapat dilihat, ini adalah Rūpa, objek terlihat. Jadi hanya Rūpa yang dapat dilihat di
antara 28 properti materi. Yang lainnya anda tidak dapat melihatnya dengan mata anda. Anda
melihatnya dengan pikiran anda.

ASAMPATTA DAN SAMPATTA


Mata dan telinga disebut tidak menjangkau objeknya, Asampatta. Hidung, lidah dan badan adalah
Sampatta. Sampatta berarti menjangkau. Ini berarti mendatangi anda. Mata dan telinga mengambil
objek yang tidak menjangkaunya. Itu berarti mata dan telinga mengambil objek sebelum objek itu
menjangkaunya. Mata dan telinga tidak pergi dan mengambil objek luar. Kita juga dapat mengatakan
makna itu, tetapi makna yang benar adalah bahwa mata dan telinga mengambil objek-objek yang
belum menjangkau mata dan telinga.
Misalnya, katakanlah gelombang suara datang dan membentur telinga kita. Menurut Abhidhamma
kita mengambil suara itu sebelum membentur telinga. Itu mungkin dekat dengan telinga, tetapi belum
mencapai telinga. Mata dan telinga dikatakan sebagai Asampatta. Maka kita menambahkan kata
‘Gāhika’ setelahnya. Ini berarti mengambil objek yang belum mencapainya. Tetapi hidung, lidah dan
badan disebut yang mengambil objek-objek yang telah menjangkaunya. Ini tidak dapat dipahami. Bau-
bauan, selama belum menyentuh hidung anda, tidak menghasilkan aroma bagi anda. Sentuhan dan
rasa kecapan juga sama. Maka ketiga ini disebut Sampattagāhika.
Ada perbedaan pendapat di antara guru-guru sebelum masa Komentar. Terdapat apa yang disebut
sebagai Mahā Aṭṭhakathā. Ini berarti Komentar asli. Ketika Buddhaghosa menulis Komentar-Komentar
baru, ia banyak mengambil dari Mahā Aṭṭhakathā. Penulis Mahā Aṭṭhakatha berpendapat bahwa mata
dan telinga mengambil objek yang telah menjangkaunya. Ada perbedaan pendapat. Pendapat Yang
Mulia Buddhaghosa atau para sesepuh di Mahāvihāra di Sri Lanka adalah pendapat yang berlaku.
Belakangan para penulis dan para bhikkhu mengikuti mereka. Yang Mulia Anuruddha juga mengikuti
mereka. Jadi ia menyatakan bahwa mata dan telinga mengambil objek-objek yang belum
menjangkaunya. Yang lainnya mengambil objek-objek yang telah menjangkaunya. Kita boleh setuju
atau tidak setuju dengan itu.

GOCARAGGĀHIKA DAN AGOCARAGGĀHIKA


Kelima ini, sensitivitas-mata, sensitivitas-telinga, sensitivitas-hidung, sensitivitas-lidah dan
sensitivitas-badan, disebut Gocaraggāhika. ‘Gocara’ berarti objek dan ‘Gāhika’ disebut keadan. Kelima
ini disebut yang mengambil objek. Yang lainnya disebut Agocaraggāhika, yang tidak mengambil objek.
Pada awal bab ini dikatakan bahwa Rūpa tidak mengambil objek, Anārammaṇa. di sini dikatakan
bahwa Rūpa mengambil objek. Di sini kita harus memahami bahwa ketika dikatakan bahwa Rūpa
mengambil objek seperti, misalnya, mata dan telinga mengambil objek, ini bukan berarti mata dan
telinga itu sendiri, melainkan kesadaran-mata dan kesadaran-telinga yang muncul dengan bergantung
pada mata dan telinga yang mengambil objek. Itulah sebabnya memgapa dikatakan mengambil objek.
Sebenarnya Rūpa tidak dapat mengambil objek.

AVINIBBHOGA DAN VINIBBHOGA


Yang terakhir, yang tidak terpisahkan – yaitu Vaṇṇa (objek terlihat), Gandha (bau-bauan), Rasa (rasa
kecapan), Ojā (Ojā bermakna inti nutrisi) dan Bhūta-catukka (empat esensi besar). Delapan jenis
fenomena materi yang tidak terpisahkan – delapan ini dalam Pāḷi disebut Avinibbhoga, yang tidak
dapat dipisahkan. Yang lainnya disebut Vinibbhoga, yang dapat dipisahkan. Delapan ini ada di mana-
mana. Dalam setiap partikel materi, betapa pun kecilnya, ada delapan partikel ini. Kita dapat
mereduksi partikel materi ini hingga atom atau sub-atom terkecil. Partikel sub-atom itu menurut
Abhidhamma memiliki delapan partikel ini – warna, aroma dan seterusnya. Itu tidak dapat dipisahkan.
Akan tetapi, kita dapat memahaminya; kita dapat memisahkannya dengan pikiran kita. Kita
mengatakan bahwa ada warna, bau-bauan, rasa kecapan dan seterusnya, tetapi sebenarnya kita tidak
dapat memisahkannya. Empat esensi – elemen-tanah, elemen-air, elemen-api dan elemen-udara – ini
tidak dapat dipisahkan. Selalu ada delapan properti materi ini di mana-mana. Itulah sebabnya
mengapa disebut tidak terpisahkan. Yang lainnya ada secara terpisah dan dapat dipisahkan
sensitivitas-mata dan sensitivitsa-telinga tidak muncul secara bersama. Keduanya terpisah. Kita tahu
tidak ada sensitivitas-mata di dalam sensitivitas-telinga dan tidak ada sensitivitas-telinga di dalam
sensitivitas-mata. Tetapi dalam partikel materi kita mengatakan ada warna, ada bau-bauan, ada rasa
kecapan. Jadi ini disebut delapan yang tak terpisahkan. Yang lainnya adalah yang dapat dipisahkan.
Delapan ini akan menjadi landasan. Kemudian kita akan menambahkan satu partikel atau dua partikel
atau tiga partikel pada landasan itu. Kita akan mempelajarinya pada bagian tiga. Delapan elemen ini
secara kolektif dikenal sebagai oktet murni (baca CMA, VI, Tuntunan §7, p.246). ini berarti kelompok
murni dari delapan properti materi. Dalam Pāḷi disebut Suddhaṭṭhaka. ‘Suddha’ berarti murni. Murni
berarti tidak tercampur dengan yang lainnya. ‘Aṭṭhaka’ berarti kelompok delapan. Jadi di sini ini
adalah kelompok murni dari delapan properti materi.
Juga delapan ini secara kolektif disebut Ojaṭṭhamaka, kelompok dengan inti nutrisi sebagai yang ke
delapan. Ada inti nutrisi di antara delapan – warna, aroma, rasa kecapan dan inti nutrisi. Maka disebut
Ojaṭṭhamaka. Jika anda membaca Komentar dalam Pāḷi, anda akan menemukan istilah-istilah ini di
sana-sini. Suddhaṭṭhaka dan Ojaṭṭhamaka bermakna sama. Keduanya bermakna delapan properti
materi. Delapan properti materi ini tidak dapat dipisahkan. Delapan ini selalu ada dalam setiap
partikel materi.
28 properti materi ini dapat dibagi menjadi banyak klasifikasi internal dan eksternal, dengan landasan
dan tanpa-landasan, dengan pintu dan tanpa-pintu, dan sebagainya.
Landasan dari klasifikasi-klasifikasi ini adalah lima fenomena sensitif. Kelima fenomena sensitif ini
adalah internal dan yang lainnya eksternal.
Tambahkan satu, jantung, dan ini menjadi landasan, Vatthu dan yang lainnya adalah Avatthu.
Kemudian kita menambahkan dua, Viññatti. Tujuh ini adalah Dvāra (pintu) Rūpa dan yang lainnya
adalah Advāra (tanpa-pintu) Rūpa.
Kemudian kita menambahkan tiga. Apakah tiga ini? Dua Bhāva dan Jīvita. Dalam Pāḷi anda dapat
mengatakan Pasāda, Bhāva dan Jīvita. ‘Pasāda’ berarti lima sensitivitas. Jadi seluruhnya ada delapan.
Ini disebut indria-indria, Indriya-rūpa. Yang lainnya adalah Anindriya, tanpa-indria.
Kemudian ada dua belas. Apakah dua belas ini? Pasāda dan Visaya. Dua belas terdiri dari lima Pasāda
dan tujuh Gocara atau Visaya. Di sini digunakan kata Visaya. Ada dua belas. Ini kasar, dekat dan
membentur. Yang lainnya disebut halus, jauh dan tidak-membentur.
Dan kemudian ada yang-lahir-dari-Kamma. Ada 18. Kita akan melihatnya nanti. Ini disebut Upādinna
dan yang lainnya disebut Anupādinna. Anda juga harus memahami perbedaan makna dari Upādinna
dan Anupādinna – bernyawa dan tidak bernyawa, lahir dari Kamma dan bukan lahir dari Kamma.
Dan yang satu-satunya – Rūpa adalah satu-satunya objek terlihat; ini adalah satu-satunya yang dapat
dilihat. Yang lainnya tidak dapat dilihat. Di sini dikatakan bahwa itu adalah dengan melihat dan tanpa
melihat.
Kemudian ada yang mengambil objek yang belum menjangkaunya. Apakah itu? Yaitu mata dan telinga.
Dan kemudian ada yang mengambil objek yang telah menjangkaunya – hidung, lidah dan badan.
Kelima ini disebut objek yang mengambil Rūpa, Gocaraggāhika-rūpa.
Kemudian ada yang tidak dapat dipisahkan. Berapa banyakkah Avinibbhoga? Ada delapan. Yaitu
warna, bau-bauan, rasa kecapan, inti nutrisi dan empat esensi. Delapan ini disebut Avinibbhoga. Yang
lainnya disebut Vinibbhoga. Dapatkah anda menyebutkan nama lain untuk Avinibbhoga-rūpa? Nama
lainnya adalah Suddhaṭṭhaka atau Ojaṭṭhamaka. Jadi ada tiga untuk ini – Avinibbhoga, Sudhaṭṭhaka
dan Ojaṭṭhamaka. Kita akan bertemu kata Suddhaṭṭhaka pada bagian empat.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

ASAL-MULA MATERI
EMPAT PENYEBAB MATERI
Hari ini kit sampai pada bagian yang disebut “Asal-mula Materi” atau “Penyebab-penyebab Materi”,
“Rūpasamuṭṭhāna”. Buddhisme mengajarkan kondisionalitas dari segala sesuatu yang bernyawa dan
yang tidak bernyawa. Rūpa dapat berupa yang bernyawa ataupun tidak bernyawa. Rūpa pasti memiliki
kondisi atau penyebab. Ada empat jenis penyebab bagi munculnya materi. Yaitu Kamma, Citta, Utu
and Āhāra. Anda mengetahui Kamma dan Citta. Utu secara harfiah bermakna iklim atau cuaca. Dalam
Abhidhamma, Utu berarti panas atau dingin atau temperatur Āhāra biasanya berarti makanan. Nutrisi
yang melekat di dalam makanan disebut Āhāra. Ada empat jenis penyebab Rūpa kita akan
mempelajarinya dalam bab ini jenis penyebab apa berasal dari jenis Rūpa apa. Anda mengetahi ada 28
jenis properti materi.

KAMMA SEBAGAI MODUS ASAL-MULA


Pertama ada Kamma. Apakah Kamma dalam bagian ini? Manual mengatakan,
“Di sana, 25 jenis kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat …” (CMA, VI, §10, p.247)
Jadi Kamma di sini bermakna 25 jenis Kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat, tidak semua Kamma
karena kita membahas tentang Kamma yang menyebabkan Rūpa. Sekarang ada 25 jenis Kamma
bermanfaat dan tidak bermanfaat. Berapa banyakkah Kamma bermanfaat? Ada Kāmāvacara Kusala
delapan dan Rūpāvacara lima. Delapan dan lima menjadi tiga belas. Dan kemudian ada Akusala dua
belas atau Kamma tidak bermanfaat. Seluruhnya ada 25.
Kamma berarti Cetanā yang menyertai 25 jenis kesadaran ini. Kamma itu dilakukan di masa lalu, ini
adalah Kamma masa lalu. Kamma itu menghasilkan Rūpa pada momen apakah? dimulai dari
Paṭisandhi Citta. Ada tiga sub-momen di dalam Paṭisandhi Citta – kemunculan, keberlangsungan dan
lenyapnya. Di sini dikatakan dimulai dari Paṭisandhi, Kamma menghasilkan Rūpa pada momen demi
momen. Itu berarti Rūpa dihasilkan pada setiap momen. Ada tiga sub-momen dalam Paṭisandhi. Dan
ada tiga sub-momen dalam Bhavaṅga dan seterusnya. Pada momen kemunculan Kamma menghasilkan
Rūpa yang-lahir-dari-Kamma. Kemudian pada momen keberlangsungan Kamma menghasilkan Rūpa
lagi. Dan pada momen lenyapnya Kamma juga menghasilkan Rūpa lagi. Kamma menghasilkan Rūpa
yang-lahir-dari-Kamma pada setiap momen dalam kehidupan kita, pada setiap sub-momen. Di
manakah Kamma menghasilkan Rūpa yang-lahir-dari-Kamma? Kamma menghasilkan Rūpa yang-
lahir-dari-Kamma dalam rangkaian internal. Kamma saya di masa lalu akan menghasilkan Kammaja-
rūpa dalam diri saya, bukan dalam diri anda, bukan dalam diri orang lain. Kamma atau kehendak atau
Cetanā yang menyertai 25 ini, yaitu, Akusala, Kāmāvacara Kusala da Rūpāvacara Kusala, menghasilkan
materi yang-lahir-dari-Kamma dimulai dari sub-momen pertama Paṭisandhi dan seumur hidup hingga
momen ke-17 dihitung mundur dari kematian. Ini akan menjadi jelas ketika kita mempelajari bagian
tentang bagaimana materi muncul dan bagaimana materi lenyap dalam satu kehidupan. Materi yang-
lahir-dari-Kamma pasti lenyap bersama dengan Citta kematian, dengan Cuti Citta. Umur kehidupan
materi adalah berapa momen? Umur kehidupan materi adalah 17 momen pikiran. Momen terakhir
ketika materi yang-lahir-dari-Kamma muncul dalam satu kehidupan adalah momen pikiran ke-17
dihitung mundur dari Cuti Citta. Ini akan menjadi jelas nanti. Ini adalah bagaimana munculnya materi
yang-lahir-dari-Kamma.
Ketika kita mengatakan Kamma di sini, kita tidak bermaksud merujuk pada semua Kamma. Yang
dimaksudkan adalah Cetanā yang disertai dengan Akusala, Kāmāvacara Kusala dan Rūpāvacara Kusala
Arūpāvacara tidak termasuk karena tidak ada Rūpa di alam Arūpāvacara. Karena tidak ada Rūpa di
alam Arūpāvacara, maka Kamma Arūpāvacara tidak dapat menghasilkan Rūpa. Ini adalah Kamma dan
materi yang-lahir-dari-Kamma. Pada CMA “Tuntunan §10”,
“Kehendak-kehendak dari Citta alam tanpa materi bermanfaat menghasilkan kelahiran kembali di
alam tanpa materi dan dengan demikian tidak dapat menghasilkan fenomena materi yang berasal-
mula dari kamma.” (CMA, VI, Tuntunan §10, p.247)
Tidak ada materi, tidak ada Rūpa di alam Arūpāvacara.

CITTA SEBAGAI MODUS ASAL-MULA


Yang berikutnya adalah Citta. Ada 89 Citta, tetapi tidak seluruh 89 Citta menghasilkan Rūpa. Ada
beberapa jenis kesadaran yang harus dihilangkan. Lihat pada Manual,
“75 jenis kesadaran, tidak termasuk akibat-akibat alam tanpa materi (Arūpāvacara Vipāka) dan dua
kelompok lima kesadaran indria (Dvipañcaviññāṇa)16, menghasilkan fenomena materi yang berasal-
mula dari kesadran …” (CMA, VI, §11, p.247)
Citta di sini berarti 75 Citta. 75 Citta itu adalah semua Citta kecuali Arūpāvacara Vipāka empat dan dua
kelompok lima kesadaran-indria. Jadi 89 dikurang 14 menjadi 75. 75 Citta ini menghasilkan apa yang
disebut Rūpa yang-lahir-dari-Citta. Di mulai dari momen apakah? dimulai dari Bhavaṅga pertama
Citta-Citta ini menghasilkan Rūpa yang-lahir-dari-Citta. Setelah Paṭisandhi muncul Bhavaṅga. Dimulai
dari Bhavaṅga pertama itu, Citta menghasilkan materi yang-lahir-dari-Citta. Kapankah Citta
menghasilkan materi? Citta menghasilkan materi yang-lahir-dari-Citta hanya pada momen
munculnya. Ini berarti pada sub-momen pertama. Citta menghasilkan materi yang-lahir-dari-Citta
pada sub-momen pertama dari Bhavaṅga pertama. Setelah itu pada setiap momen munculnya, Citta
menghasilkan materi yang-lahir-dari Citta. Materi yang-lahir-dari-Citta dihasilkan bukan pada sub-
momen keberlangsungan juga bukan pada sub-momen lenyapnya. Ini adalah perbedaan antara materi
yang-lahir-dari-Kamma dan materi yang-lahir-dari-Citta. Rūpa yang-lahir-dari-Kamma dihasilkan
pada setiap sub-momen dalam satu kehidupan. Rūpa yang-lahir-dari-Citta hanya dihasilkan pada sub-
momen munculnya tiap-tiap Citta. Materi yang-lahir-dari-Citta dihasilkan bukan pada sub-momen
keberlangsungan juga bukan pada sub-momen lenyapnya Citta.
Ada beberapa hal yang harus kita pahami. Kesadaran-kelahiran-kembali dan kesadaran-kematian
apakah kedua ini menghasilkan materi atau tidak? Dikatakan bahwa kesadaran-kelahiran-kembali
tidak menghasilkan materi, tidak dapat menghasilkan materi karena kesadaran ini bergantung pada
landasan yang lemah. Ini seperti tamu. Kesadaran ini baru saja sampai pada kehidupan baru. Ini masih
baru, maka tidak dapat menghasilkan materi yang-lahir-dari-Citta pada momen Paṭisandhi.
Sebenarnya pada momen Paṭisandhi apa yang muncul adalah materi yang-lahir-dari-Kamma. Karena
materi yang-lahir-dari-Kamma muncul pada momen Paṭisandhi, maka Paṭisandhi Citta tidak dapat
menghasilkan materi yang-lahir-dari-Citta pada momen itu. Paṭisandhi Citta atau kesadaran-
kelahiran-kembali harus dikeluarkan.
Kemudian dikatakan di dalam buku-buku bahwa Citta kematian dari seorang Arahant tidak
menghasilkan Rūpa apapun. Tetapi Citta kematian dari makhluk-makhluk lainnya menghasilkan
Rūpa. Di sini kita harus mengeluarkan Citta kematian para Arahant juga. Walaupun kita
mengeluarkannya, jumlah Citta adalah sama. Walaupun kita mengeluarkan kesadaran-kelahiran-
kembali, masih ada kesadaran Bhavaṅga. Juga ada kesadaran-kematian makhluk-makhluk lainnya.
Jadi jumlah Citta adalah sama. Tetapi untuk pastinya atau jika ingin lebih terperinci, kita harus
menghilangkan kesadaran-kelahiran-kembali dan kesadaran-kematian para Arahant. Jenis-jenis
kesadaran ini tidak menghasilkan Rūpa apapun.

16
Ini berarti kesadaran melihat dan seterusnya, seluruhnya ada sepuluh.
Arūpāvacara Vipāka Citta tidak menghasilkan materi apapun. Ini mudah dipahami. Ini karena tidak
ada Rūpa di alam-alam itu.
Bagaimana dengan sepuluh Citta, kesadaran melihat dan seterusnya? Kesadaran-kesadaran ini tidak
menghasilkan Rūpa. Mengapakah? Dikatakan bahwa agar Citta dapat menjadi cukup kuat untuk
menghasilkan materi maka Citta itu harus bergabung degan apa yang disebut faktor-faktor Jhāna,
faktor-faktor Magga dan Hetu (akar). Jenis-jenis kesadaran ini (Dvipañcaviññāṇa) tidak disertai
dengan Vitakka dan Vicāra. Juga tidak disertai dengan faktor-faktor sang Jalan atau akar apapun.
Tanpa faktor-faktor itu maka Citta itu tidak memiliki kekuatan untuk menghasilkan materi. Itulah
sebabnya maka Citta-Citta itu dikeluarkan dari Citta-Citta di sini. Empat Arūpāvacara Vipāka tidak
menghasilkan materi karena tidak ada materi di alam Arūpāvacara. Sepuluh Citta, Dvipañcaviññāṇa,
tidak menghasilkan materi karena terlalu lemah. Mengapakah dikatakan lemah? Terlalu lemah karena
tidak disertai dengan faktor-faktor Jhāna, faktor-faktor Magga dan Hetu. Kesadaran-kelahiran-
kembali tidak menghasilkan Rūpa. Kesadaran kematian para Arahant juga tidak menghasilkan Rūpa.
Sekarang kita harus memahami pada momen apakah fenomena batin dan fenomena materi paling
kuat? Dikatakan bahwa fenomena batin paling kuat pada momen munculnya, di antara tiga sub-
momen. Citta dan Cetasika paling kuat pada momen munculnya. Itulah sebabnya maka Citta
menghasilkan Rūpa pada momen itu dan bukan pada momen keberlangsungan atau momen
lenyapnya. Tetapi fenomena materi paling kuat pada momen keberlangsungan. Anda tahu fenomena
materi bertahan selama 51 sub-momen. Keberlangsungannya adalah selama 49 sub-momen. Ketika ada
selama itu materi adalah kuat. Materi paling kuat pada momen keberlangsungan. Ini berarti materi
paling kuat selama 49 sub-momen keberlangsungan. Citta dan Cetasika paling kuat pada momen
munculnya.
Ada beberapa hal yang harus dipahami sehubungan dengan Citta yang menghasilkan materi. Yaitu,
kita perlu memahami Appanā Javana. Berapa banyakkah Appanā Javana? 26, ada 26 jika anda
memperhitungkan Lokuttara sebagai delapan. Appanā Javana ini juga menopang postur tubuh. Ini
berarti selain sebagai asal-mula materi Appanā Javana juga menopang dan memelihara postur tubuh.
Apakah Appanā Javana? Yaitu Mahaggata Kusala dan Kiriya Citta dan Lokuttara Citta. Citta-Citta ini
menghasilkan materi dan juga menopang serta memelihara postur. Ketika seseorang dalam keadaan
Jhāna, ia dapat duduk bersila selama tujuh hari. Jhāna Javana begitu kuat sehingga dapat memelihara
postur. Memelihara dan menopang postur tubuh dilakukan oleh 26 Appanā Javana.
Kesadaran keputusan (Voṭṭhabbana), Kāmāvacara Javana dan dua Abhiññā menghasilkan materi,
memelihara atau menopang postur, dan juga mengaktifkan isyarat tubuh dan isyarat vokal. Berapa
banyakkah Citta yang ada? Ada 32 Citta. 32 Citta ini menghasilkan materi, memelihara postur, dan
menghasilkan Viññatti (isyarat tubuh dan isyarat vokal).
Kemudian yang terakhir – 13 Javana yang disertai dengan Somanassa menghasilkan senyuman. Ada
empat dari Lobhamūla, satu dari Ahetuka, dan delapan dari Kāmāvacara (yaitu empat dari Kāmāvacara
Kusala dan empat dari Kāmāvacara Mahākiriya). 13 ini menghasilkan materi, memelihara postur,
menghasilkan isyarat tubuh dan isyarat vokal, dan juga menghasilkan senyuman.
Citta yang menghasilkan Rūpa hanya dua Sampaṭicchana, tiga Santīraṇa, Pañcadvārāvajjana, delapan
Kāmāvacara Sobhana Vipāka, dan lima Rūpāvacara Vipāka (baca juga CMA, VI, Tabel 6.2, p.249).
Sembilan Mahaggata Kusala, sembilan Mahaggata Kiriya dan delapan Lokuttara menghasilkan Rūpa
dan memelihara postur. Saya katakan Citta-Citta itu memelihara atau menopang postur. Sebenarnya
Citta-Citta itu tidak menghasilkan postur. Citta-Citta itu mempertahankan postur tetap tidak berubah.
Agar ada postur maka harus ada Viññatti. Citta-Citta itu tidak menghasilkan Viññatti, maka tidak
dapat menghasilkan atau menciptakan postur. Postur itu sudah ada di sana untuk dipelihara atau
ditopang. Yang menopang postur dan menghasilkan Rūpa hanyalah sembilan Mahaggata Kusala,
sembilan Mahaggata Kiriya dan delapan Lokuttara. Sekali lagi Citta-Citta yang hanya menghasilkan
Rūpa saja adalah dua Sampaṭicchana, tiga Santīraṇa, Pañcadvārāvajjana, delapan Kāmāvacara Sobhana
Vipāka, dan lima Rūpāvacara Vipāka.
Kemudian ada Citta-Citta yang menghasilkan materi, menopang postur dan juga menghasilkan hanya
isyarat saja. Citta-Citta yang menghasilkan materi, menopang postur dan juga menghasilkan hanya
isyarat saja adalah empat Lobhamūla Upekkhā, dua Dosamūla, dua Mohamūla, Manodvārāvajjana,
empat Kāmāvacara Kusala Upekkhā, empat Kāmāvacara MahākiRiya Upekkhā dan dua Abhiññā.
Dan kemudian ada Citta-Citta yang menghasilkan materi, menopang postur, menghasilkan Viññatti
dan menghasilkan senyuman. Citta-Citta itu adalah empat Lobhamūla Somanassa, Hasituppāda, empat
Kāmāvacara Kusala Somanassa dan empat Kāmāvacara Mahākiriya Somanassa.
Jhāna ke lima dapat berupa Jhāna ke lima biasa atau Jhāṅa ke lima Abhiññā. Jika Jhāna ke lima biasa,
maka tidak menghasilkan isyarat. Tetapi jika Abhiññā, maka menghasilkan isyarat juga. Ketika kita
mengatakan 26 Appanā Javana, yang dimaksudkan adalah Jhāna ke lima biasa. Kita tidak memasukkan
Abhiññā di sana. Ketika kita mengatakan 26 Appanā Javana menopang postur, yang dimaksudkan
adalah Jhāna ke lima biasa. Ketika kita mengatakan Voṭṭhabbana, Kāmāvacara Javana dan Abhiññā
menghasilkan materi, menopang postur dan menghasilkan isyarat, yang dimaksudkan adalah Jhāna
ke lima Abhiññā.
Berapa banyakkah Citta yang menghasilkan materi? 25 Citta menghasilkan materi, semua Citta
menghasilkan materi kecuali Dvipañcaviññāṇa Citta dan empat Arūpāvacara Vipāka Citta.
Berapa banyakkah Citta yang menopang postur? Citta-Citta yang menopang postur adalah sembilan
Mahaggata Kusala, sembilan Mahaggata Kiriya dan delapan Lokuttara.
Berapa banyakkah Citta yang menghasilkan materi dan menopang postur? Citta-Citta yang
menghasilkan materi dan menopang postur adalah sembilan Mahaggata Kusala, sembilan Mahaggata
Kiriya, delapan Lokuttara, empat Lobhamūla Upekkhā, dua Dosamūla, dua Mohamūla,
Manodvārāvajjana, empat Kāmāvacara Kusala Upekkhā, empat Kāmāvacara Mahākiriya Upekkhā, dua
Abhiññā, empat Lobhamūla Somanassa, Hasituppāda, empat Kāmāvacara Kusala Somanassa dan empat
Kāmāvacara Mahākiriya Somanassa.
Berapa banyakkah Citta yang menghasilkan isyarat, Viññatti? Citta-Citta yang menghasilkan Viññatti
adalah empat Lobhamūla Upekkhā, dua Dosamūla, dua Mohamūla, Manodvārāvajjana, empat
Kāmāvacara Kusala Upekkhā, empat Kāmāvacara Mahākiriya Upekkhā, dua Abhiññā, empat
Lobhamūla Somanassa, Hastippāda, empat Kāmāvacara Kusala Somanassa dan empat Kāmāvacara
Mahākiriya Somanassa.
Berapa banyakkah Citta yang juga menghasilkan senyuman? Citta-Citta yang menghasilkan senyuman
adalah empat Lobhamūla Somanassa, Hasituppāda, empat Kāmāvacara Kusala somanassa dan empat
Kāmāvacara Mahākiriya Somanassa.
Berapa banyakkah Citta yang tidak menghasilkan materi? Citta-Citta yang tidak menghasilkan materi
adalah Dvipañcaviññāṇa dan empat Arūpāvacara Vipāka Citta.
Sehubungan dengan Citta-Citta yang menghasilkan senyuman juga, ada 13. Dengan Citta-Citta ini
orang-orang tersenyum.
Kaum Puthujjana tersenyum dengan berapa banyak Citta? Mereka tersenyum dengan empat
Lobhamūla yang disertai dengan Somanassa dan empat Kāmāvacara Kusala yang disertai dengan
Somanassa. Dengan salah satu dari delapan Citta ini kaum Puthujjana tersenyum.
Bagaimana dengan kaum pelajar, Sekha,17 dengan berapa Citta mereka tersenyum? Mereka tersenyum
dengan dua dari Lobhamūla, yang tidak disertai dengan pandangan salah,18 dan kemudian empat
Kāmāvacara Kusala Citta yang disertai dengan Somanassa. Kaum pelajar trsenyum dengan salah satu
dari enam Citta ini.
Bagaimana dengan para Arahant, dengan Citta apakah mereka tersenyum? Mereka tersenyum dengan
lima Citta – Hasituppāda dan empat Kāmāvacara Mahākiriya yang disertai dengan Somanassa.
Jadi kaum Puthujjana tersenyum dengan delapan Citta. Kaum pelajar tersenyum dengan enam Citta.
Para Arahant tersenyum dengan lima Citta.
Bagaimana dengan para Buddha? ada beberapa guru yang mengajarkan bahwa seorang Buddha tidak
tersenyum dengan Hasituppāda. Pendapat umum para guru tidak menerima pendapat itu. Mereka
yang mengatakan bahwa Sang Buddha tidak tersenyum dengan Hasituppāda memberikan alasan ini:
“Dikatakan bahwa semua tindakan jasmani Sang Buddha mengikuti kebijaksanaan, mengikuti Ñāṇa.
Hatituppāda ini tidak memiliki Ñāṇa atau bahkan Hetu. Karena ini adalah Ahetuka Citta, maka tidak
mengikuti kebijaksanaan. Karena dikatakan bahwa seluruh tindakan jasmani Sang Buddha adalah
diikuti dengan kebijaksanaan, maka Sang Buddha tidak tersenyum dengan Hasituppāda.” Pendapat
umum adalah bahwa para Buddha tersenyum dengan Hasituppāda Citta.
Ketika Sang Buddha tersenyum, Beliau mungkin melihat pada – katakanlah, Sang Buddha melihat
seseorang dan Beliau tersenyum – Beliau mungkin melihat pada masa lampau orang itu melalui
pengetahuan masa lampau. Atau Beliau mungkin melihat ke masa depan orang itu melalui kekuatan
supernormalNya. Melihat masa lalu atau melihat masa depan selalu disertai dengan kebijaksanaan.
Para Buddha memang tersenyum dengan Hasituppāda Citta. Ini adalah pendapat umum para guru.
Menurut beberapa orang, para Buddha tidak tersenyum dengan Hasituppāda Citta karena Citta ini
tidak memiliki Ñāṇa; Citta ini tidak mengikuti Ñāṇa. Pendapat lainnya mengatakan bahwa ketika Sang
Buddha tersenyum, Beliau terlebih dulu melihat ke masa lalu makhluk tersebut atau Beliau melihat
ke masa depan makhluk tersebut. Tindakan-tindakan itu bergabung dengan Ñāṇa. Hanya setelah
observasi itu Sang Buddha tersenyum. Walaupun tidak disertai dengan Ñāṇa, namun itu mengikuti
Ñāṇa. Oleh karena itu, para Buddha tersenyum dengan Hasituppāda juga. Jadi para Buddha dan para
Arahant tersenyum dengan lima Citta. Ini adalah pendapat umum para guru.
Citta-Citta itu yang berakar pada keserakahan yang disertai dengan kegembiraan, yaitu, empat
Lobhamūla Somanassa Citta, menghasilkan materi, memelihara postur, menghasilkan isyarat dan
menghasilkan senyuman.
Berakar-keserakahan dalam keseimbangan, empat Lobhamūla Citta lainnya menghasilkan materi, ini
memelihara postur, dan menghasilkan isyarat tetapi tidak menghasilkan senyuman.

17
Ini berarti Sotāpanna, Sakadāgāmī dan Anāgāmī.
18
Ini berarti Lobhamūla Citta ke tiga dan ke empat.
Berakar-kebencian dua, Dosamūla dua apakah yang dihasilkan? Ini menghasilkan materi, postur dan
isyarat – hanya tiga.
Berakar-delusi dua menghasilkan apakah? sama, ini menghasilkan materi, postur dan isyarat, tidak
menghasilkan senyuman.
Sepuluh jenis kesadaran-indria tidak menghasilkan apapun.
Kemudian kesadaran-penerimaan dua – apakah dua kesadaran penerimaan? Yaitu dua Sampaṭicchana.
Apakah yang dihasilkan? Ini menghasilkan Rūpa saja – tidak menghasilkan postur, tidak menghasilkan
isyarat dan tidak menghasilkan senyuman.
Kemudian Citta penyelidikan tiga menghasilkan Rūpa saja. Tidak menghasilkan postur, isyarat atau
senyuman.
Pengalihan-lima-pintu-indria, Pañcadvārāvajjana menghasilkan Rūpa saja. Tidak menghasilkan
postur dan seterusnya.
Pengalihan-pintu-pikiran, Manodvārāvajjana menghasilkan apakah? ini menghasilkan materi, postur
dan isyarat.
Kemudian Hasituppāda, kesadaran yang menghasilkan senyuman menghasilkan apakah? ini
menghasilkan seluruh empat.
Kāmāvacara Kusala Citta yang disertai dengan Somanassa menghasilkan seluruh empat – materi,
postur, isyarat dan senyuman.
Kāmāvacara Kusala yang disertai dengan Upekkhā Citta tidak menghasilkan senyuman, ini hanya
menghasilkan tiga.
Kemudian Kāmāvacara Sahetuka Vipāka, seluruh delapan, apakah yang dihasilkan? Ini menghasilkan
Rūpa saja. Tidak menghasilkan postur dan seterusnya.
Dan kemudian Kāmāvacara Mahākiriya yang disertai dengan Somanassa apakah yang dihasilkan? Ini
menghasilkan materi, postur, isyarat dan senyuman.
Kemudian Kāmāvacara Mahākiriya yang disertai dengan keseimbangan menghasilkan apakah? ini
menghasilkan hanya tiga – materi, postur dan isyarat, tanpa senyuman.
Rūpāvacara Kusala lima menghasilkan apakah? ini menghasilkan materi dan postur, tidak
menghasilkan isyarat, tidak menghasilkan senyuman. Ketika anda berada dalam Jhāna, anda diam.
Anda tidak bergerak. Jadi tidak akan ada Kāya-viññatti atau Vacī-viññatti.
Kemudian Rūpāvacara Vipāka lima apakah yang dihasilkan? Ini menghasilkan Rūpa saja.
Apakah yang dihasilkan oleh Rūpāvacara Kiriya lima? Rūpa dan postur.
Arūpāvacara Kusala empat menghasilkan apakah? ini menghasilkan dua, materi dan Iriyāpatha
(postur).
Arūpāvacara Vipāka empat menghasilkan apakah? ini tidak menghasilkan apapun.
Arūpāvacara Kiriya empat menghasilkan apakah? ini menghasilkan Rūpa dan Iriyāpatha.
Apakah yang dihasilkan oleh Lokuttara delapan? Ini menghasilkan Rūpa dan postur, tanpa isyarat dan
tanpa senyuman.
Pengetahuan langsung dua (ini berarti Kusala dan Kiriya dari Rūpāvacara ke lima), ini menghasilkan
materi, postur dan isyarat.

UTU SEBAGAI MODUS ASAL-MULA


Sekarang kita sampai pada Rūpa yang disebabkan oleh temperatur. Apakah Utu atau apakah
temperatur di sini? Ini adalah Tejo-dhātu atau elemen-api. Di antara empat elemen Tejo-dhātu disebut
Utu di sini. Ini adalah panas atau dingin. Ini dinyatakan sebagai temperatur.
“Elemen api, yang terdiri dari dingin dan panas, ketika mencapai keadaan keberlangsungan (sub-
momen ke dua), menurut situasinya, akan menghasilkan fenomena materi internal ataupun eksternal
yang berasal-mula dari temperatur.” (CMA, VI, §12, p.250)
Tejo-dhātu adalah Rūpa. Jadi ini menjadi kuat hanya pada momen keberlangsungannya. Pada momen
munculnya Tejo-dhātu tidak menghasilkan materi. Pada momen keberlangsungannya, selama 49 sub-
momen, Tejo-dhāṭu menghasilkan materi yang-lahir-dari-Utu atau materi yang-lahir-dari-
temperatur. Di manakah? Ini menghasilkan materi yang-lahir-dari-Utu baik internal maupun
eksternal.
“Dimulai dari tahap keberlangsungan pada momen penghubungan-kelahiran-kembali, elemen api
internal yang terdapat dalam kelompok materi yang lahir dari kamma bergabung dengan elemen api
eksternal dan mulai menghasilkan fenomena materi organik yang berasal-mula dari temperatur.”
(CMA, VI, Tuntunan §12, p.250)
Pada saat Paṭisandhi Citta – ada tiga momen dalam Paṭisandhi Citta. Sub-momen pertama adalah
momen munculnya. Ini tidak dapat menghasilkan apapun. Pada sub-momen berikutnya atau momen
keberlangsungan dari Paṭisandhi Citta elemen-api internal bergabung dengan elemen-api eksternal.
Dikatakan bahwa elemen-api internal tidak dapat menghasilkan Rūpa jika tidak menerima dukungan
dari elemen-api eksternal. Ini berarti bahwa panas internal dapat menghasilkan Rūpa hanya ketika
memperoleh dukungan dari panas eksternal. Panas eksternal adalah selalu – kita selalu merasakan
panas eksternal itu. Selalu ada panas eksternal bahkan menembus tubuh kita bagaikan kaum ibu yang
melalui tubuh mereka panas eksternal masuk ke dalam tubuh dan mendukung temperatur internal.19
Temperatur internal itu yang didukung oleh temperatur eksternal menghasilkan Rūpa. Bagaimana
dengan benda-benda eksternal? Apapun yang terjadi di luar makhluk hidup disebut eksternal. Juga
ada elemen-api eksternal yang menghasilkan perubahan iklim atau transformasi geologi. Juga ada Utu,
yang lahir dari temperatur, dihasilkan. Utu atau temperatur menghasilkan materi hanya pada momen
keberlangsungan. Dimulai dari momen keberlangsungan Paṭisandhi Citta, temperatur menghasilkan
Rūpa. Ini akan berlanjut terus-menerus menghasilkan Rūpa. Temperatur dalam kelompok materi yang
lahir dari seluruh empat penyebab menghasilkan fenomena materi organik yang lahir dari temperatur
sepanjang perjalanan kehidupan. Seumur hidup temperatur akan menyebabkan Rūpa. Temperatur
dapat berada di antara kelompok-kelompok materi yang disebabkan oleh seluruh empat penyebab. Ini
termasuk di antara empat esensi. Dan empat esensi ada dalam setiap kelompok Rūpa. Kita akan
mempelajari kelompok-kelompok Rūpa nanti. Utu atau temperatur menghasilkan Rūpa ketika

19
Pendapat penyunting adalah bahwa Sayādaw mengatakan: Janin menerima panas eksternal dari tubuh ibu
yang mendukung temperatur internal janin.
mencapai tahap keberlangsungan. Rūpa yang dihasilkan pada tahap keberlangsungan Paṭisandhi Citta
mencapai tahap keberlangsungannya pada momen lenyapnya Paṭisandhi Citta. Kita dapat mengatakan
bahwa materi yang-lahir-dari-Utu dihasilkan pada hampir setiap momen. Satu Rūpa juga ketika
mencapai tahap keberlangsungannya akan menghasilkan Rūpa lainnya dan seterusnya. Sebenarnya
pada setiap momen materi yang-lahir-dari-Utu dihasilkan.

ĀHĀRA SEBAGAI MODUS ASAL-MULA


Yang terakhir adalah nutrisi
“Makanan, yang dikenal sebagai inti nutrisi, ketika mencapai tahap keberlangsungan, menghasilkan
fenomena materi yang berasal-mula dari makanan pada saat ditelan.” (CMA, VI, §13, p.250)
Nutrisi disebut Ojā atau Āhāra dalam Pāḷi. Āhāra disebut sebagai Ojā, inti nutrisi. Apa yang kita sebut
Āhāra dalam Abhidhamma bukanlah makanan itu sendiri. Inti nutrisi yang terdapat dalam makanan
yang disebut Āhāra. Inti nutrisi itu ketika mencapai tahap keberlangsungan menghasilkan fenomena
materi.
Ketika penulis mengatakan, “pada saat ditelan”, ia mengatakan dalam istilah umum dan menggunakan
bahasa biasa. Ini tidak benar-benar bermakna pada saat menelan. Bahkan sebelum itu, sebelum
mencapai bagian pengecap, ini bahkan mulai menghasilkan materi yang disebabkan oleh makanan.
“Pada saat ditelan” hanyalah ungkapan. Sebenarnya bahkan sebelum menelan Rūpa telah dihasilkan.
Di sini terdapat dua pendapat. Pendapat umum adalah Āhāra atau makanan eksternal menghasilkan
materi. Ketika anda memakan sesuatu, makanan adalah eksternal. Āhāra eksternal yang anda makan
bersentuhan dengan Āhāra internal. Ini memperoleh dukungan dari Āhāra internal dan menghasilkan
Rūpa. Apa yang menghasilkan materi adalah Āhāra atau makanan eksternal. Makanan eksternal
masuk ke dalam tubuh kita dan bersentuhan dengan Āhāra internl. Kemudian dengan didukung oleh
Āhāra internal maka Āhāra eksternal menghasilkan Rūpa. Jika anda ingat bagaimana temperatur
menghasilkan Rūpa, ini adalah kebalikannya. Sehubungan dengan Rūpa yang disebabkan oleh
temperatur, temperatur internal menyebabkan atau menghasilkan Rūpa ketika mendapat dukungan
dari temperatur eksternal. Sehubungan dengan Rūpa yang-lahir-dari-temperatur, adalah temperatur
internal yang menghasilkan Rūpa. Sehubungan dengan Rūpa yang-lahir-dari-makanan, adalah
makanan eksternal atau luar yang menghasilkan materi dengan dukungan materi internal. Ini adalah
perbedaannya.
Ada seorang guru dalam Sub-komentar atas Visuddhimagga yang berpendapat berbeda. Menurutnya,
adalah inti nutrisi internal yang menghasilkan materi, bukan eksternal. Eksternal hanyalah sekedar
pendukung.
Dalam CMA “Tuntunan §13”,
“Inti nutrisi internal, dengan didukung oleh eksternal, menghasilkan fenomena materi pada momen
keberlangsungan dimulai sejak saat ditelan.” (CMA, VI, Tuntunan §13, p.250)
Ini mengikuti Sub-komentar atas Visuddhimagga.
Yang lainnya diambil dari Visuddhimagga.
“Inti nutrisi yang telah mencapai keberlangsungan dalam kelompok materi yang berasal-mula dari
makanan menghasilkan oktet murni lebih jauh lagi, dan inti nutrisi dalam oktet itu memunculkan
sebuah oktet lebih jauh lagi; demikianlah terjadinya oktet-oktet yang berantai hingga sepuluh atau
dua belas kali.” (CMA, VI, Tuntunan §13, p.250)
Sebenarnya paragraf ini menjelaskan bukan hanya Rūpa yang dihasilkan oleh makanan; paragraf ini
menjelaskan Rūpa yang dihasilkan oleh makanan yang memiliki makanan sebagai kondisinya. Ini
sedikit rumit. Dalam Visuddhimagga kadang-kadang diberikan lima, kadang-kadang enam jenis Rūpa:
Rūpa yang lahir dari Citta, Rūpa yang lahir dari Utu, Rūpa yang lahir dari Āhāra dan sebagainya.
Pembagiannya adalah: Apakah Āhāra? Apakah yang disebabkan oleh Āhāra? Apakah itu yang memiliki
Āhāra sebagai kondisinya? Visuddhimagga melanjutkan presentasasi pembagian-pembagian ini
dengan cara demikian. Paragraf ini menjelaskan satu jenis Rūpa yang lahir dari Āhāra itu
menghasilkan jenis lain dari Rūpa yang lahir dari Āhāra. Ini berlanjut terus-menerus seperti itu. Ini
bukan hanya penjelasan atas Rūpa yang disebabkan oleh Āhāra. Penjelasan ini adalah untuk Rūpa yang
disebabkan oleh Āhāra yang memiliki Āhāra sebgai kondisinya, Rūpa yang lahir dari Āhāra
menghasilkan Rūpa yang lahir dari Āhāra.
“Makanan yang dimakan oleh seorang ibu hamil, melingkupi tubuh janin, memunculkan jasmani pada
anak.” (CMA, VI, Tuntunan §13, p.250)
Apa yang dimakan oleh sang ibu, dari itu sang anak memperoleh Āhāra.
“Inti nutrisi dalam kelompok internal yang lahir dari ketiga penyebab lainnya juga memunculkan
beberapa kemunculan oktet murni secara berturut-turut.” (CMA, VI, Tuntunan §13, p.250)
Jika kita tidak mempelajari hal ini secara terperinci, anda mungkin tidak dapat memahami.
“Makanan yang dimakan pada satu hari dapat menyokong tubuh selama tujuh hari.” .” (CMA, VI,
Tuntunan §13, p.251)
Itu adalah apa yang mereka yakini, yaitu, makanan yang dimakan satu kali dapat menyokong tubuh
selama tujuh hari. Setelah itu tubuh mungkin disokong oleh cara lain atau penyebab lain. Seseorang
dapat tanpa makan selama tidak lebih dari tujuh hari.
Ada seorang bhikkhu di Burma yang berdemonstrasi melawan Inggris. Ia dimasukkan ke dalam
penjara dan ia menolak memakan apapun. Ia tidak makan selama lebih dari 100 hari. Akhirnya ia mati
tubuhnya mungkin dipelihara oleh tekadnya atau dari air yang ia minum ia memperoleh sangat sedikit
nutrisi.
Anda ingat bahwa ketika orang-orang memasuki Nirodha-samāpatti yang mana manusia hanya dapat
memasukinya selama tujuh hari. Alasan yang diberikan adalah bahwa dengan makanan satu hari,
tubuh hanya dapat dipelihara selama tujuh hari. Ada binatang-binatang yang berhibernasi dan tidak
memakan apapun dalam waktu yang lama.
Sekarang mari kita menuju pada Rūpa apa disebabkan oleh penyebab apa. Landasan-jantung dan
kemudian delapan Indriya-rūpa disebabkan oleh Kamma. Apakah anda ingat indria Indriya? Apakah
Indriya-rūpa? Yaitu lima sensitivitas, dua Bhāva dan Jīvita. Ini disebut Indriya-rūpa. Delapan ini dan
landasan-jantung dihasilkan hanya oleh Kamma saja.
Dua isyarat disebabkan hanya oleh Citta saja. Ketika saya berbicara tentang umur kehidupan dari
Rūpa-indriya, saya selalu menggunakan kata ‘pada umumnya’. Umur kehidupan Rūpa adalah 51 sub-
momen. Ini berarti umur kehidupan Rūpa adalah 51 sub-momen kecuali untuk dua Viññatti dan empat
karakteristik. Saya tidak memberitahukan hal ini kepada anda sebelumnya karena saya tidak ingin
membuat anda bingung. Viññatti atau isyarat adalah lahir dari kesadaran ini berarti Viññatti
mengikuti kesadaran. Viññatti muncul dan lenyap bersama dengan kesadaran. Viññatti tidak
bertahan selama 51 sub-momen. Di dalam Dhammasaṅgaṇī Viññatti disebutkan sebagai
“Cittānuparivati”. Ini berarti apa yang mengikuti Citta. Ketika kita mengatakan bahwa umur
kehidupan Rūpa adalah 17 momen pikiran, yang dimaksudkan adalah Rūpa kecuali dua Viññatti dan
empat karakteristik. Ini benar untuk Lakkhaṇa-rūpa karena empat karakteristik hanyalah tanda-
tanda dari Rūpa-Rūpa berbeda. Jadi ini bukanlah Rūpa yang sesungguhnya. Viññatti selalu mengikuti
Rūpa. Ini berarti Viññatti muncul dan lenyap bersama dengan Citta. Viññatti tidak bertahan selama
17 momen pikiran. Viññatti disebabkan hanya oleh Citta saja.
Suara disebabkan oleh Citta dan Utu. Kadang-kadang suara disebabka oleh Citta. Kadang-kadang suara
disebabkan oleh Utu. Sekarang saya berbicara dan saya menghasilkan suara. Suara ini disebabkan oleh
Citta. Kemudian mungkin ada suatu suara di dalam tubuh saya – perut saya berbunyi and sebagainya
– itu bukan disebabkab oleh Citta. Itu disebabkan oleh Utu. Dan kemudian yang di luar, suara apapun
di luar adalah disebabkan oleh Utu. Suara disebabkan oleh Citta dan Utu. Ini berarti suara kadang-
kadang disebabkab oleh Citta dan kadang-kadang oleh Utu, bukan oleh Citta dan Utu bersama-sama.
Ketiga, keringanan (Lahutā), kelunakan (Mudutā) dan kemudahan dibentuk (Kammaññatā),
disebabkan oleh temperatur, kesadaran dan makanan. Ketiga ini hanya muncul kadang-kadang, tidak
selalu. Kadang-kadang anda tidak memiliki keringanan materi. Ketika anda tumpul, ketika anda
mengantuk, ketika anda sakit, tidak ada keringanan kelunakan atau kemudahan dibentuk.
Kemunculan atau keberadaan ketiga ini adalah tidak selalu. Ketiga ini muncul kadang-kadang. Ketiga
ini bukan produk Kamma. Jika ini adalah produk Kamma, maka pasti muncul pada setiap momen.
Ketiga ini akan selalu bersama kita. Kita ingin agar ketiga ini disebabkan oleh Kamma. Sungguh sayang
ketiga ini tidak muncul melalui Kamma. Ketiga ini disebabkan oleh Citta, Utu dan Āhāra. Ketika anda
memiliki pikiran bahagia, anda merasa ringan pada tubuh anda. Ketika cuaca baik, anda merasa
ringan. Ketika anda memakan makanan yang baik atau cocok, anda merasa ringan, dan sebagainya.
Ketiga ini disebabkan oleh Citta, Utu dan Āhāra.
Delapan Rūpa yang tak terpisahkan – ingatkah anda delapan Rūpa yang tak terpisahkan? Yaitu empat
esensi, objek terlihat, bau-bauan, rasa kecapan dan Āhāra. Delapan ini disebut tak terpisahkan.
Delapan ini dan ruang (Ākāsa-dhātu) disebabkan oleh seluruh empat penyebab. Sebenarnya Ākāsa
tidak disebabkan oleh apapun. Tetapi ketika kelompok-kelompok materi dihasilkan, di sana selalu ada
Ākāsa di antara kelompok-kelompok materi. Maka dikatakan dihasilkan oleh empat penyebab. Ākāsa-
dhātu muncul hanya ketika Rūpa yang disebabkan oleh empat penyebab muncul. Tanpa Rūpa ini tidak
akan ada Ākāsa. Maka dikatakan sebagai disebabkan oleh empat penyebab.
Empat karakterisik tidak disebabkan oleh sebab apapun. Sebenarnya ini bukan Rūpa sesungguhnya.
Ini tidak disebabkan oleh apapun. Mengapakah karakteristik muncul tanpa penyebab? Dalam Manual
dikatakan,
“Dijelaskan bahwa karakteristik-karakteristik (dari fenomena materi) tidak dihasilkan oleh (modus
asal-mula) apapun karena sifat hakikinya hanya terdapat dalam kualitas-kualitas yang dihasilkan, dan
sebagainya.” (CMA, VI, §15, p.252)
Yang berarti bahwa itu adalah sifat dari apa yang dihasilkan. Ketika sesuatu dihasilkan, ada empat
karakteristik ini. Ini tidak terpisah dari properti materi, tetapi ini adalah kualitas-kualitas dari
properti materi ini. Ini berarti kemunculannya, keberdiamannya selama beberapa waktu dan
kelenyapannya. Karena ini adalah sifat atau inti dari kualitas-kualitas materi, maka dikatakan sebagai
tidak disebabkan oleh penyebab apapun. Empat karakteristik ini adalah di luar dari materi yang
disebabkan oleh empat penyebab.
Dalam rangkuman jumlah-jumlah yang diberikan adalah 18, 15, 13 dan 12 (baca CMA, VI, Tuntnan §15,
p.252)
- 18 disebabkan oleh Kamma.
- 15 disebabkan oleh Citta.
- 13 disebabkan oleh Utu.
- Dan 12 disebabkan oleh Āhāra.
Kita harus mencari 18 ini.
Apakah 18 yang disebabkan oleh Kamma? Sembilan disebabkan hanya oleh Kamma saja dan 19
disebabkan oleh empat penyebab. Anda harus mencari 18 yang disebabkan oleh Kamma. Disebabkan
oleh Kamma bukan berarti hanya oleh Kamma saja. Jika Kamma ada di antara penyebab-penyebab,
maka kita mengatakan disebabkan oleh Kamma. 18 Rūpa disebabkan oleh Kamma. Apakah 18 itu?
Delapan belas yang disebabkan oleh Kamma adalah delapan Suddhaṭṭhaka (tak terpisahkan), delapan
Indriya (indria), Hadaya-vatthu (landasan-jantung), dan Ākāsa (ruang).
Oleh Citta dikatakan ada 15. Apakah 15 ini? Yaitu delapan tak terpisahkan, Viññatti dua, Lahutā,
Mudutā, Kammaññatā, suara dan ruang. Ada 15.
Tiga belas disebabkan oleh Utu. Yaitu delapan tak terpisahkan, Lahutā, Mudutā, Kammaññatā, suara
dan ruang.
Dua belas disebabkan oleh Āhāra. Yaitu delapan tak terpisahkan, Lahutā, Mudutā, Kammaññatā dan
ruang.
18, 15, 13 dan 12 – 18 disebabkan oleh Kamma; 15 disebabkan oleh Citta; 13 disebabkan oleh Utu; dan
12 disebabkan oleh Āhāra. Pada CMA halaman 252 anda dapat menemukan jawabannya.
“18 yang muncul dari Kamma adalah: delapan tak terpisahkan, delapan indria, landasan-jantung dan
ruang.” (CMA, VI, §15, p.252)
Ini hanyalah cara lain dalam menghitung.
“15 yang muncul dari kesadaran adalah: delapan tak terpisahkan, lima bermutasi (ini berarti isyarat
keringanan dan seterusnya, suara dan ruang.” (CMA, VI, §15, p.252)
“Tiga belas yang muncul dari temperatur adalah: delapan tak terpisahkan, kelompok tiga keringanan,
suara dan ruang.” (CMA, VI, §15, p.252)
28 fenomena materi dapat diklasifikasikan lebih jauh lagi menurut jumlah penyebabnya sebagai
berikut (baca juga (CMA, VI, Tuntunn §15, p.252):
Yang muncul melalui hanya satu penyebab ada berapa banyak? Ada sebelas yang muncul melalui
hanya satu penyebab. Delapan indria – apakah penyebab dari delapan indria? Penyebabnya adalah
Kamma. Apakah penyebab landasan-jantung? Adalah Kamma. Apakah penyebab isyarat? Penyebab
dari Viññatti adalah Citta. Semuanya disebabkan oleh satu penyebab, tetapi penyebabnya berbeda.
Apakah yang memiliki dua penyebab? Suara memiliki dua penyebab. Apakah dua penyebab ini? Dua
penyebab ini adalah Citta dan Utu.
Apakah yang memiliki tiga penyebab? Keringanan dan yang lainnya memiliki tiga penyebab. Ini
disebabkan oleh Citta, Utu dan Āhāra. Ini tidak disebabkan oleh Kamma karena ini tidak selalu ada.
Apakah yang memiliki empat penyebab? Delapan tak terpisahkan dan ruang memiliki empat
penyebab.
Apakah yang tanpa penyebab? Empat karakteristik tidak memiliki penyebab.
Apakah empat penyebab Rūpa? Empat penyebab Rūpa adalah Kamma, Citta, Utu dan Āhāra.
Apakah Kamma? Kamma adalah kehendak atau Cetanā. Di sini Cetanā bergabung dengan 25 Citta.
25 Citta apakah yang bergabung dengan Kamma? Kamma bergabung dengan Akusala Citta,
Kāmāvacara Kusala Citta dan Rūpāvacara Kusala Citta.
75 Citta menghasilkan Rūpa. Apakah yang dikeluarkan? Dvipañcaviññāṇa sepuluh dan empat
Arūpāvacara Vipāka Citta dikeluarkan.
Apakah Utu? Apakah temperatur? Di antara empat esensi ini adalah elemen-api.
Apakah Āhāra? Āhāra adalah makanan atau inti nutrisi. Āhāra terdapat pada segala sesuatu karena
makanan adalah salah satu yang tak terpisahkan. Bahkan di dalam batu terdapat Āhāra.
Berapa banyakkah yang disebabkan oleh Kamma? 18 jenis Rūpa disebabkan oleh Kamma.
Berapa banyakkah yang disebabkan oleh Citta? 15 jenis Rūpa disebabkan oleh Citta.
Berapa banyakkah yang disebabkan oleh Utu? 13 jenis Rūpa disebabkan oleh Utu.
Berapa banyakkah yang disebabkan oleh Āhāra? 12 jenis Rūpa disebabkan oleh Āhāra.
Berapa banyakkah yang tanpa penyebab? 4 adalah tanpa penyebab.
Yang disebabkan oleh hanya satu penyebab ada berapakah? Ada sebelas.
Berapa banyakkah yang muncul melalui dua penyebab? Hanya satu, suara muncul melalui dua
penyebab.
Berapa banyakkah yang muncul melalui tiga penyebab? Tiga muncul melalui tiga penyebab.
Berapa banyakkah yang muncul melalui empat penyebab? Ada sembilan.
Berapa banyakkah yang tanpa penyebab? Empat adalah tanpa penyebab.

Sādhu! Sādhu! Sādhu!

KELOMPOK-KELOMPOK MATERI
Hari ini kita sampai pada “Pengelompokan Fenomena-fenomena Materi”, dalam Pāḷi “Kalāpa-yojana”.
Kata Pāḷi ‘Kalāpa’ berarti sekelompok. Jadi ini sangat mendekati kata Bahasa Inggris ‘club’. Fenomena-
fenomena materi tidak muncul secara tunggal melainkan berkombinasi dalam kelompok-kelompok
yang disebut Rūpa-kalāpa. Ketika properti-properti materi muncul, kemunculannya adalah dalam satu
kelompok. Seluruhnya ada 21 kelompok, yang dibagi menjadi:
- Kelompok-kelompok yang disebabkan oleh Kamma,
- Kelompok-kelompok yang disebabkan oleh Citta,
- Kelompok-kelompok yang disebabkan oleh Utu, dan
- Kelompok-kelompok yang disebabkan oleh Āhāra.
Landasan dari kelompok-kelompok ini adalah delapan properti materi tak terpisahkan
Pertama-tama anda harus memahami delapan properti materi ini. Jika anda melihat tabel (baca CMA,
VI, Tabel 6.3, p.262), anda akan melihatnya dalam Rūpa-vibhāga, di sebelah kolom terakhir –
Avinibbhoga: empat elemen esensi, Rūpa (bentuk terlihat), Gandha (bau-bauan), Rasa (rasa kecapan),
dan Āhāra (makanan). Delapan ini disebut Avinibbhoga pada bagian “Rūpa-vibhāga”. Ini akan disebut
Suddhaṭṭhaka di antara kelompok-kelompok Cittaja, empat kelompok Utuja dan dua kelompok
Āhāraja. Delapan tak terpisahkan ini disebut Avinibbhoga atau Suddhaṭṭhaka atau juga disebut
Ojaṭṭhamaka, nama lainnya. Delapan ini adalah landasan yang membentuk kelompok-kelompok atau
Kalāpa-Kalāpa.

KALĀPA-KALĀPA YANG DISEBABKAN OLEH KAMMA


Sehubungan dengan sembilan Kalāpa yang disebabkan oleh Kamma, delapan ini ditambah satu Jīvita
– sembilan ini adalah landasan bagi sembilan kelompok yang disebabkan oleh Kamma. Pada sembilan
itu anda menambahkan satu yaitu sensitivitas-mata. Anda memperoleh Cakkhu-dasaka. ‘Dasaka’
berarti kelompok sepuluh. ‘Cakkhu’, seperti yang anda ketahui, bermakna sensitivitas-mata. Jadi
kelompok sepuluh properti materi yang ditandai sebagai sensitivitas-mata dalam Pāḷi disebut ‘Cakkhu-
dasaka’ dan dalam terjemahan sebagai ‘kelompok-sepuluh-mata’. Sepuluh properti ini sebagai satu
kelompok disebut Cakkhu-dasaka, kelompok-sepuluh-mata.
Kelompok-sepuluh berikutnya adalah Sota-dasaka. Di sini anda menggantikan Cakkhu menjadi Sota.
Ada delapan tak terpisahkan, Jīvita ditambah sensitivitas-telinga. Sepuluh ini disebut Sota-dasaka,
kelompok-sepuluh-telinga.
Berikutnya adalah delapan tak terpisahkan, Jīvita dan sensitivitas-hidung. Sepuluh ini disebut Ghāna-
dasaka, kelompok-sepuluh-hidung.
Berikutnya adalah delapan tak terpisahkan, Jīvita dan sensitivitas-lidah (Jivhā). Sepuluh ini disebut
Jivhā-dasaka, kelompok-sepuluh-lidah.
Kemudian ada delapan ditambah Jīvita ditambah sensitivitas-badan. Ini disebut Kāya-dasaka,
kelompok-sepuluh-badan.
Kemudian berikutnya ada Itthi-bhāva-dasaka. Ada delapan tak terpisahkan, Jīvita dan Itthi-bhāva
(feminitas). Sepuluh ini disebut Itthi-bhāva-dasaka, kelompok-sepuluh-perempuan.
Berikutnya adalah Pumbhāva-dasaka. Di sini ada delapan tak terpisahkan, Jīvita dan maskulinitas.
Sepuluh ini disebut Pumbhāva-dasaka, kelompok-sepuluh-laki-laki.
Kelompok berikutnya adalah delapan tak terpisahkan, Jīvita dan landasan-jantung. Sepuluh ini disebut
Vatthu-dasaka, kelompok-sepuluh-landasan.
Tetapi yang terakhir hanya sembilan. Yaitu delapan tak terpisahkan ditambah Jīvita. Sembilan ini
disebut Jīvita-navaka, kelompok-sembilan-kehidupan.
Sembilan kelompok atau Kalāpa ini disebabkan oleh Kamma. Ada sembilan Kammaja-kalāpa.
Sekali lagi apakah yang pertama? Kelompok pertama adalah Cakkhu-dasaka. Apakah sepuluh itu?
Delapan tak terpisahkan, Jīvita dan sensitivitas-mata.
Yang ke dua adalah Sota-dasaka, kelompok-sepuluh-telinga yang terdiri dari delapan tak terpisahkan,
Jīvita ditambah sensitivitas-telinga.
Yang berikutnya adalah Ghāna-dasaka, kelompok-sepuluh-hidung. Di sini terdapat delapan tak
terpisahkan, ditambah Jīvita, ditambah sensitivitas-hidung.
Berikutnya kelompok-sepuluh-lidah (Jivhā-dasaka), terdiri dari delapan tak terpisahkan, ditambah
Jīvita, ditambah sensitivitas-lidah.
Yang berikutnya adalah Kāya-dasaka – delapan ditambah Jīvita ditambah sensitivitas-badan.
Dan kemudian ada Itthi-bhāva-dasaka, kelompok-sepuluh-perempuan. Ada delapan ditambah Jīvita
ditambah feminitas (Itthi-bhāva).
Berikutnya adalah Pumbhāva-dasaka, kelompok-sepuluh maskulinitas. Sepuluh properti materi ini
adalah delapan tak terpisahkan, ditambah Jīvita, ditambah maskulinitas.
Kemudian yang berikutnya adalah Vatthu-dasaka – Vatthu di sini berarti Hadaya-vatthu. Dalam
kelompok ini terdapat delapan tak terpisahkan, ditambah Jīvita, ditambah Hadaya.
Yang terakhir hanya sembilan, jadi delapan ditambah Jīvita.
Seluruhnya terdapat sembilan kelompok yang disebabkan oleh Kamma.

KALĀPA-KALĀPA YANG DISEBABKAN OLEH CITTA


Lihat pada kolom Rūpa-samuṭṭhāna (baca CMA, VI, Tabel 6.3, p.263). Anda akan melihat seluruh
penyebab Cittaja, Kalāpa yang-lahir-dari-batin. Berapa banyakkah Cittaja-kalāpa, kelompok-kelompok
yang-lahir-dari-batin? Ada enam. Yang pertama adalah Suddhaṭṭhaka. ‘Suddha’ berarti murni.
‘Aṭṭhaka’ berarti kelompok delapan, oktet. Ini disebut oktet murni. Suddhaṭṭhaka bermakna tak
terpisahkan (empat esensi, Rūpa, Gandha, Rasa dan āhāra). Yang pertama adalah oktet murni; hanya
delapan ini yang terdapat dalam Kalāpa ini.
Yang ke dua adalah Kāya-viññatti-navaka, kelompok-sembilan-isyarat-tubuh. Dalam Kalāpa ini,
delapan tak terpisahkan ditambah Kāya-viññatti menjadikan Kāya-viññatti-navaka.
Berikutnya adalah Vacī-viññatti-dasaka, kelompok-sepuluh isyarat-vokal. Jika anda mengambil Vacī-
viññatti, maka anda juga mengambil Sadda (suara) karena tidak akan ada Vacī-viññatti tanpa suara.
Ketika kita mengatakan Vacī-viññatti (isyarat vokal), maka kita juga bermaksud mengatakan suara.
Jadi walaupun namanya adalah Vacī-viññatti-dasaka, namun harus dipahamai bahwa maknanya
adalah Vacī-viññatti-sadda-dasaka. Kita harus paham bahwa suara termasuk dalam istilah Vacī-
viññatti-dasaka. Vacī-viññatti-dasaka terdiri dari delapan tak terpisahkan, suara dan isyarat vokal.
Berikutnya apakah? kita memiliki nama yang panjang – Lahutādekādasaka, ini adalah kelompok-
sebelas dari kelompok-tiga keringanan. ‘Ekādasa’ berarti sebelas.. Lahutā berarti Lahutā dan yang
lainnya. Sebenarnya ini merujuk pada tiga – Lahutā, Mudutā dan Kammaññatā. Lahutādekādasaka
terdiri dari delapan tak terpisahkan, ditambah Lahutā, Mudutā, dan Kammaññatā, menjadi sebelas.
Yang berikutnya lebih panjang – Kāya-viññatti-lahutādidvādasaka, kelompok-dua-belas dari isyarat
tubuh dan kelompok-tiga keringanan. Kāya-viññatti ada satu. Lahutādi ada tiga. Jadi satu tambah tiga
menjadi empat. Dan empat tambah delapan menjadi dua belas. Dua belas dalam Pāḷi disebut ‘Dvādasa’.
Jadi kita memperoleh Kāya-viññatti-lahutādi-dvādasaka, sebuah kelompok dua belas properti materi
dengan Kāya-viññatti dan tiga Lahuta dan lainnya.
Yang terakhir juga nama yang panjang – Vacī-viññatti-sadda-lahutādi-terasaka, kelompok-tiga-belas
dari isyarat vokal, suara, dan kelompok-tiga keringanan. Di sini digunakan Sadda. Vacī-viññatti ada
satu. Sadda ada satu. Lahutādi ada tiga. Lima tambah delapan menjadi tiga belas. Tiga belas dalam Pāḷi
adalah ‘Terasa’. Jadi nama untuk kelompok ini adalah Vacī-viññatti-sadda-lahutādi-terasaka.
Terjemahannya sama sulitnya seperti kata Pāḷi – kelompok-sebelas, kelompok-dua-belas dan
seterusnya. Anda dapat mempelajari Pāḷi atau terjemahannya mana yang menurut anda lebih mudah.
Tidak ada yang mudah.
Ada enam kelompok yang disebabkan oleh Citta – sebenarnya semua ini adalah apa yang disebabkan
oleh Citta dalam Rūpa-samuṭṭhāna (penyebab-penyebab Rūpa). Mari kita mengulanginya sekali lagi.
- Yang pertama adalah Suddhaṭṭhaka, hanya delapan.
- Yang ke dua adalah Kāya-viññatti-navaka. Ini berarti delapan ditambah Kāya-viññatti.
- Yang ke tiga adalah Vacī-viññatti-dasaka. Ini berarti delapan ditambah Vacī-viññatti ditambah
Sadda (suara).
- Dan kemudian ada Lahutādekādasaka sebelas – delapan ditambah Lahutā, Mudutā dan
Kammaññatā.
- Yang ke lima adalah Kāya-viññatti-lahutādi-dvādasaka dua belas. Ada Kāya-viññatti dan
kemudian Lahutā, Mudutā dan Kammaññatā tiga, dan delapan jenis materi dalam oktet murni.
- Yang terakhir, kelompok ke enam adalah Vacī-viññatti-sadda-lahutādi-terasaka – delapan tak
terpisahkan, ditambah isyarat vokal, suara, ditambah Lahutā, Mudutā, dan Kammaññatā.
Seluruhnya ada 13.
Jika anda memiliki tabel, anda dapat menemukannya dengan sangat mudah (baca CMA, VI, Tabel 6.3,
p.263). Jika anda tidak memiliki tabel, maka anda harus menghafalkannya. Delapan ini adalah
landasan. Anda menambahkan sesuatu pada delapan ini. Sehubungan dengan Kalāpa-Kalāpa yang-
lahir-dari-Kamma anda menambahkan Jīvita dan landasannya menjadi sembilan. Tetapi di sini dengan
Cittaja anda menjadikan delapan sebagai landasan. Jadi anda menambahkan satu Kāya-viññatti, maka
anda memperoleh satu Navaka. Kemudian anda menambahkan Vacī-viññatti dan suara, maka anda
memperoleh Vacī-viññatti-dasaka. Anda menambahkan Lahutā dan yang lainnya dan anda
memperoleh Lahutādekādasaka. Dan kemudian anda menambahkan Kāya-viññatti dan Lahutādi dan
anda memperoleh Kāya-viññatti-lahutādi-dvādasaka.

KALĀPA-KALĀPA YANG DISEBABKAN OLEH UTU


Kelompok berikutnya adalah empat Kalāpa yang disebabkan oleh Utu, yang disebabkan oleh
temperatur.
- Yang pertama adalah oktet murni, Suddhaṭṭhaka.
- Yang ke dua adalah Sadda-navaka, kelompok-sembilan-suara. Ini berarti delapan ditambah
suara (Sadda).
- Yang ke tiga adalah Lahutādekādasaka, kelompok-sebelas dari kelompok-tiga keringanan. Ini
adalah delapan ditambah Lahutā, Mudutā, dan Kammaññatā.
- Yang ke empat adalah Sadda-lahutādi-dvādasaka, kelompok-dua-belas dari suara dan
kelompok-tiga keringan. Jadi ini adalah suara dan tiga Lahutā dan yang lainnya dan delapan
oktet murni.
Ini adalah yang disebabkan oleh temperatur atau iklim.

KALĀPA-KALĀPA YANG DISEBABKAN OLEH ĀHĀRA


Kelompok terakhir terdiri dari dua Kalāpa. Yaitu yang disebabkan oleh makanan, Āhāra.
- Yang pertama sekali lagi adalah Suddhaṭṭhaka, oktet murni.
- Yang ke dua adalah Lahutādekādasaka, kelompok-sebelas dari kelompok-tiga keringanan. Tiga
keringanan dan seterusnya ditambah delapan oktet tak terpisahkan, jadi kita memperoleh
sebelas yang membentuk Kalāpa ini.
seluruhnya ada 21 Kalāpa – sembilan, enam, empat dan dua.
Pada CMA,
“Di antaranya, dua kelompok materi dihasilkan oleh temperatur – oktet murni dan kelompok-
sembilan suara – juga terdapat secara eksternal. Selebihnya adalah hanya internal.” (CMA, VI, §21,
p.254)
Kita harus memahami hal ini, di antara 21 Kalāpa, hanya dua Kalāpa yang terdapat di luar makhluk
hidup. Secara eksternal berarti di luar makhluk-makhluk hidup. Yang lainnya adalah selalu internal.
Di sini oktet murni dan kelompok-sembilan-suara juga terdapat secara ekternal. Hanya dua ini saja
yang terdapat baik secara internal maupun secara eksternal. Yaitu oktet murni dan kelompok-
sembilan-suara. Sebutir batu, terdiri dari apakah ini? Ini terdiri dari delapan tak terpisahkan. Anda
menjatuhkan sebutir batu di tanah, dan dihasilkan suara. Ini adalah kelompok-sembilan-suara. Hanya
dua ini yang terdapat di luar makhluk-makhluk hidup. Yang lainnya adalah selalu internal.
Dalam Abhidhamma pepohonan, tanaman, gunung-gunung dan yang lainnya semuanya dianggap
sebagai eksternal, bukan internal. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan ada Jīvita di dalam
tanaman atau pepohonan. Jīvita, seperti yang anda lihat di sini, hanya muncul secara internal saja.
Jīvita-navaka dan semua kelompok Kammaja ini hanya muncul secara internal saja. Jadi Jīvita tidak
dapat ditemukan di luar makhluk-makhluk hidup menurut Abhidhamma. Abhidhamma menganggap
popohonan dan yang lainnya sebagai bukan makhluk hidup, bukan sebagai makhluk hidup. Adalah
keliru mengatakan bahwa ada Jīvita di dalam popohonan atau tanaman. Kita harus sangat berhati-hati
ketika membicarakan tentang hal-hal ini. Mungkin ada apa yang disebut kehidupan di dalam tanaman
atau pepohonan, tetapi ini bukan Jīvita. Ini mungkin adalah suatu hal lain yang disebut kehidupan.
Jadi seluruh 21 kelompok dapat ditemukan secara internal dan hanya dua yang dapat ditemukan
secara eksternal. Kapanpun kita mendengar gemuruh halilintar betapapun kerasnya, itu hanyalah
Sadda-navaka.
Ākāsa (ruang) dan empat tanda karakteristik (Upacaya, Santati, Jaratā & Aniccatā) bukanlah bagian
dari Kalāpa atau kelompok materi. Ketika kita membicarakan tentang Kalāpa-Kalāpa, kita tidak
membicarakan hal-hal ini. Ini tidak termasuk dalam Kalāpa-Kalāpa. Syair terakhir menjelaskan hal ini.
“Karena ruang membatasi, dan tanda-tanda karakteristik hanya menunjukkan, maka para bijaksana
menyatakan bahwa ini tidak termasuk kelompok-kelompok materi.” (CMA, VI, , §22, p.254)
Saya pikir ada satu kata yang hilang di sini. “Karena ruang membatasi, dan tanda-tanda karakteristik
hanya menunjukkan Kalāpa-Kalāpa.” Kita harus menambahkan kelompok-kelompok materi. “Karena
ruang membatasi, dan tanda-tanda karakteristik hanya menunjukkan kelompok-kelompok materi,
maka para bijaksana menyatakan bahwa ini tidak termasuk kelompok-kelompok materi.”
Mengapakah ruang dan tanda-tanda empat karakteristik tidak termasuk dalam Kalālapa-Kalāpa? Ini
tidak termasuk karena ruang hanyalah pemisah antara satu Kalāpa dengan Kalāpa lainnya. Ketika
Kalāpa-Kalāpa bertemu, ada ruang ini. Ruang yang saya maksudkan bukanlah ruang terbuka,
melainkan ruang antara dua Kalāpa. Ruang dapat ditemukan hanya di antara Kalāpa dan bukan di
dalam Kalāpa. Itulah sebabnya mengapa ruang tidak termasuk di dalam Kalāpa. Dalam satu Kalāpa
semua partikel materi dimampatkan menjadi satu tanpa adanya ruang di antaranya. Ruang hanya
terdapat di antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Kelompok-kelompok ini mungkin saling
bersentuhan satu sama lain, tetapi tetap ada sejenis ruang di antara ke dua kelompok. Dan kemudian
karakteristik-karakteristik hanyalah tanda atau tahapan-tahapan berbeda dari properti-properti
materi ini. Maka ini tidak termasuk dalam Kalāpa. Ruang tidak termasuk dalam kelompok materi
karena ini hanyalah pembatas Kalāpa-Kalāpa. Tanda-tanda karakteristik tidak termasuk dalam
kelompok-kelompok materi karena ini hanya menunjukkan tahapan-tahapan materi –
kemunculannya, keberlangsungan, penuaan dan ketidakkekalan. Jadi ini tidak termasuk Kalāpa-
Kalāpa.
Kolom pertama adalah Rūpa-samuddesa. Bab ini dimulai dengan enumerasi materi (Rūpa-samuddesa).
Mari kita melihat pada enumerasi materi ini. Ada 28 Rūpa. Anda dapat menemukan nama terjemahan
untuk 28 properti materi ini dalam CMA (baca CMA, VI, Tabel 6.3, p.262-263). Dalam Pāḷi properti-
properti materi ini adalah Pathavī, Āpo, Tejo, Vāyo. Kemudian ada Cakkhu, Sota, Ghāna, Jivhā, Kāya,
Rūpa, Sadda, Gandha, Rasa, Phoṭṭhabba. Phoṭṭhabba sebenarnya adalah kombinasi dari ketiga elemen
esensi. Phoṭṭhabba adalah kombinasi dari tiga properti materi apakah? Pathavī, Tejo dan Vāyo secara
kombinasi dianggap sebagai Phoṭṭhabba. Itulah sebabnya mengapa Phoṭṭhabba muncul dalam daftar
28 properti materi, tetapi tidak dianggap sebagai realitas mutlak terpisah karena bagian-bagian
pembentuknya adalah tiga esensi besar yang telah dienumerasi. Berikutnya adalah Itthi-bhāva
(feminitas), dan kemudian kita memiliki Pumbhāva (maskulinitas), Hadaya (landasan-jantung), Jīvita
(indria kehidupan), Āhāra (makanan), Ākāsa (ruang). Kemudian ada Kāya-viññatti (isyarat tubuh),
Vacī-viññatti (isyarat vokal) dan kemudian Lahutā (keringanan), Mudutā (kelunakan) dan
Kammaññatā (kemudahan dibentuk) dan Upacaya (kemunculan pertama), Santati (keberlangsungan),
Jaratā (penuaan), Aniccatā (ketidakkekalan). Aniccatā berarti peleburan atau kematian. Ada 28
properti materi yang dibabarkan di sini.
Kita harus berhati-hati sehubungan dengan Phoṭṭhabba. Walaupun Phoṭṭhabba termasuk dalam
beberapa enumerasi, tetapi jumlahnya tidak berubha karena Phoṭṭhabba dan tiga esensi adalah sama.
Karena kita telah mengambil empat esensi, walaupun kita mengambil Phoṭṭhabba, namun jumlahnya
tidak bertambah.
Kelompok pertama adalah Mahābhuta, empat esensi. Yang lainnya adalah Upāda-rūpa. Kita memiliki
empat esensi dan 24 properti materi yang bergantung.
Berikutnya adalah Ajjhattika dan Bāhira. Cakkhu, Sota, Ghāna, Jivhā dan Kāya adalah Ajjhattika. Yang
lainnya adalah Bāhira. Ajjhattika berarti internal. Bāhira berarti eksternal.
Kemudian ada Vatthu, landasan. Vatthu berarti Cakkhu (mata), Sota (telinga), Ghāna (hidung), Jivhā
(lidah), Kāya (tubuh), dan Hadaya (jantung). Yang lainnya adalah Avatthu (tanpa-landasan).
Kemudian ada Dvāra, pintu. Cakkhu (mata), Sota (telinga), Ghāna (hidung), Jivhā (lidah), Kāya (tubuh),
Kāya-viññatti (isyarat tubuh), dan Vacī-viññatti (isyarat verbal) disebut Dvāra karena merupakan
pintu perbuatan, perbuatan tubuh dan perbuatan ucapan. Ini tidak seperti Dvāra yang kita kenal pada
bab tiga. Itu disebut Kamma-dvāra. Karena itu adalah Dvāra, maka dimasukkan di sini. Terdapat tujuh
Dvāra dan yang lainnya adalah Advāra, tanpa-pintu.
Berikutnya adalah Indriya, indria. Indriya adalah Cakkhu (mata), Sota (telinga), Ghāna (hidung), Jivhā
(lidah), Kāya (tubuh), Itthi-bhāva (feminitas), Pumbhāva (maskulinitas), Jīvita (indria kehidupan).
Delapan ini disebut Indriya (indria). Yang lainnya disebut Anindriya, tanpa-indria.
Kemudian Oḷārika (kasar) dan seterusnya, ada dua belas. Āpo tidak termasuk. Properti materi yang
merupakan Oḷārika adalah Paṭhavī-dhātu (elemen-tanah), Tejo-dhātu (elemen-api), Vāyo-dhātu
(elemen-udara), Pasāda-rūpa (lima sensitivitas), dan Gocara-rūpa (fenomena objek). Properti-properti
materi ini disebut kasar, dekat dan membentur. Yang lainnya disebut Sukhuma. Yang berarti halus,
jauh dan tidak membentur. Āpo (elemen air) adalah Sukhuma.
Berikutnya adalah Upādinna. Apakah Upādinna? Apakah anda ingat? Kammaja-upādinna dan
Kammaja adalah sama. Ada 18 – Mahābhūta (empat esensi), Pasāda-rūpa (lima sensitivitas), Rūpa
(pemandangan), Gandha (bau-bauan), Rasa (rasa kecapan), Phoṭṭhabba (sentuhan)20, dan kemudian
Itthi-bhāva (feminitas), Pumbhāva (maskulinitas), Hadaya (jantung), Jīvita (indria kehidupan), Āhāra
(makanan) dan Ākāsa (ruang). Seluruhnya ada 18. Yang lainnya adalah Anupādinna.
Dan kemudian apakah berikutnya? Sanidassana (dengan melihat), hanya ada satu. Di antara 28
properti materi hanya ada satu yang dapat anda lihat. Yang lainnya tidak dapat anda lihat dengan
mata anda. Yang lainnya anda lihat dengan pikiran anda.
Kemudian ada Gocaraggāhika, apa yang mengambil objek-objek. Ada lima – Cakkhu (mata), Sota
(telinga), Ghāna (hidung), Jivhā (lidah), dan Kāya (tubuh). Yang lainnya adalah Agocaraggāhika, tidak
mengambil objek.
Kemudian Avinibbhoga, tak terpisahkan, ada delapan. Yang lainnya adalah Vinibbhoga.
Kemudian ada penyebab-penyebab Rūpa. Kammaja-rūpa ada 18, yaitu, ada 18 jenis materi yang
disebabkan oleh Kamma. Yaitu Mahābhūta (empat esensi), Pasāda-rūpa (lima sensitivitas), Rūpa
(pemandangan), Gandha (bau-bauan), Rasa (rasa kecapan), Phoṭṭhabba (sentuhan)21, dan kemudian
Itthi-bhāva (feminitas), Pumbhāva (maskulinitas), Hadaya (jantung), Jīvita (indria kehidupan), Āhāra
(makanan) dan Ākāsa (ruang).

20
Walaupun Phoṭṭhabba ada dalam daftar, namun ini tidak termasuk dalam enumerasi karena tiga dari empat
esensi besar adalah Phoṭṭhabba.
21
Walaupun Phoṭṭhabba ada dalam daftar, namun ini tidak termasuk dalam enumerasi karena tiga dari empat
esensi besar adalah Phoṭṭhabba.
Yang disebabkan oleh Citta adalah Mahābhūta (empat esensi), Rūpa (pemandangan), Gandha (bau-
bauan), Rasa (rasa kecapan), Āhāra (makanan), Phoṭṭhabba (sentuhan) dan kemudian Sadda (suara),
Ākāsa (ruang), ditambah Kāya-viññatti (isyarat tubuh), Vacī-viññatti (isyarat verbal), Lahutā
(keringanan), Mudutā (kelunakan), dan Kammaññatā (kemudahan dibentuk).
Dan Utuja, yang disebabkan oleh Utu (temperatur) adalah Mahābhūta (empat esensi), dan kemudian
Rūpa (pemandangan), Gandha (bau-bauan), Rasa (rasa kecapan), Phoṭṭhabba (sentuhan), Āhāra
(makanan), Sadda (suara), Ākāsa (ruang), Lahutā (keringanan), Mudutā (kelunakan), dan Kammaññatā
(kemudahan dibentuk).
Yang disebabkan oleh Āhāraja, disebabkan oleh makanan, adalah Mahābhūta (empat esensi), Rūpa
(pemandangan), Gandha (bau-bauan), Rasa (rasa kecapan), Phoṭṭhabba (sentuhan), Āhāra (makanan),
Ākāsa (ruang), dan kemudian Lahutā (keringanan), Mudutā (kelunakan), dan Kammaññatā
(kemudahan dibentuk).
Sekarang kita telah berkenalan dengan empat bagian pertama dari Abhidhammatthasaṅgaha tentang
Rūpa – Samuddesa, Vibhāga, Samuṭṭhāna dan Kalāpa.

MUNCULNYA MATERI
Kita akan melanjutkan pada bagian berikutnya. Bagian berikutnya adalah “Terjadinya atau munculnya
Fenomena Materi”. Kata Pāli untuk ini adalah “ūpa-pavattikkama”. Ini berarti urutan kemunculan
properti-properti materi – kapan munculnya, dan sebenarnya bukan hanya itu, tetapi kapan terakhir
muncul dan juga kapan terakhir lanyap.
Dalam “Rīpa-samuddesa” kita mengetahui sesuatu tentang kapan properti-properti materi muncul
dalam kehidupan seseorang. Ingatkah anda pada hal ini? Kapankah Kammaja-rūpa muncul, pada
momen apakah? kemunculannya adalah pada momen pertama Paṭisandhi Citta dan kemudian pada
setiap sub-momen seumur hidup.
Dan kemudian Rūpa yang-lahir-dari-batin kapankah munculnya? Ini muncul pada sub-momen
pertama Bhavaṅga. Ada Paṭisandhi Citta. Kemudian ada Bhavaṅga pertama, Bhavaṅga ke dua,
Bhavaṅga ke tiga dan seterusnya. Pada sub-momen pertama dari Bhavaṅga pertama, muncul materi
yang-lahir-dari-Citta. Dan kemudian setelah itu Cittaja-Rūpa dihasilkan pada setiap sub-momen
kemunculan, bukan pada sub-momen keberlangsungan juga bukan pada sub-momen kelenyapan,
tetapi dihasilkan hanya pada sub-momen kemunculan.
Apakah anda juga tahu kapan materi yang-lahir-dari-temperatur atau yang-lahir-dari –Utu muncul?
ini muncul pertama kali pada sub-momen keberlangsungan dari Paṭisandhi Citta. Anda harus
mengingat ini sebelum anda melanjutkan.
Kemunculan pertama dari Rūpa yang-lahir-dari-makanan tidak kita ketahui. Kita tidak dapat
memastikan kapan munculnya. Begitu konsepsi terjadi, kita tidak tahu kapan materi yang-lahir-dari-
makanan muncul di sana. Bagi mereka yang lahir dalam rahim ibu, mereka memperoleh Āhāraja, Rūpa
yang-lahir-dari-makanan, ketika mereka memperoleh makanan dari ibu melalui tali pusar. Kita tidak
mengetahui atau tidak dapat mengatakan dengan pasti kapan Rūpa yang-lahir-dari-makanan muncul
pertama kali dalam kehidupan.
DALAM KĀMĀVACARA LOKA

SELAMA PERJALANAN KEHIDUPAN


Sekarang kita akan melanjutkan.
“Semua fenomena materi ini diperoleh tanpa kurang, menurut situasi, selama perjalanan kehidupan
di alam indriawi (Kāmāvacara Loka).” (CMA, VI, §23, p.255)
Dalam Kāmāvacara Loka 28 properti ini dapat diperoleh. Dapat muncul seluruh 28 properti materi ini
di alam indriawi (Kāmāvacara Loka). Kita harus memahami “menurut situasi” dan “tanpa kurang”.
“Tanpa kurang” berarti seluruh 28 properti materi ini dapat diperoleh. Tetapi “menurut situasi”
berarti bahwa jika anda adalah laki-laki, maka anda hanya memiliki 27; jika anda perempuan, maka
anda hanya memiliki 27. Anda tidak dapat memiliki seluruh 28 properti materi. Itulah sebabnya maka
dikatakan “menurut situasi”. Secara umum, seluruh 28 properti materi dapat diperoleh di alam
manusia. Secara spesifik satu orang dapat memiliki paling banyak hanya 27 dan bukan 28.

PADA SAAT PENGHUBUNGAN-KELAHIRAN-KEMBALI


Pada saat penghubungan-kelahiran-kembali atau Paṭisandhi terdapat empat jenis kelahiran. Jika anda
membuka halaman berikutnya (CMA halaman 256), anda akan menemukannya di sana.
“Menurut Buddhisme terdapat empat jenis kelahiran, yaitu makhluk-makhluk yang terlahir dari telur
(aṇḍaja), …” (CMA, VI, Tuntunan §23, p.256)
Anda tahu makhluk-makhluk yang terlahir dari telur, bukan? Burung dan ikan adalah makhluk-
makhluk yang terlahir dari telur.
“… makhluk-makhluk yang terlahir dari rahim (jaḷābuja), …” (CMA, VI, Tuntunan §23, p.256)
Ini berarti manusia, binatang dan lainnya.
“… makhluk-makhluk yang terlahir dari kelembanan (saṃsedaja), …” (CMA, VI, Tuntunan §23, p.256)
Ini berarti serangga dan sebagainya.
Yang terakhir adalah,
“… makhluk-makhluk yang lahir secara spontan (opapātika).” (CMA, VI, Tuntunan §23, p.256)
Para Deva, Brahma, makhluk-makhluk neraka, Peta dan sebagainya mengambil bentuk kelahiran ini.
Ini disebut kelahiran spontan karena mereka tidak tumbuh dari janin. Ketika terlahir kembali, mereka
terlahir sebagai individu dewasa. Jika anda terlahir sebagai Deva, anda terlahir kembali dengan usia
kira-kira 16 tahun. Anda tidak menjadi kanak-kanak dan kemudian tumbuh dewasa. Itu disebut
kelahiran spontan. Ini adalah empat jenis kelahiran.
Sang penulis, Yang Mulia Ācariya Anuruddha, mengatakan di sini,
“Tetapi pada saat penghubungan-kelahiran-kembali, pada makhluk-makhluk yang terlahir dari
kelembaban dan pada mereka yang terlahir spontan, di sana muncul paling banyak tujuh kelompok-
sepuluh …” ).” (CMA, VI, §23, p.255)
Misalnya, pada Deva, Deva adalah individu yang terlahir spontan. Ketika ia terlahir kembali sebagai
Deva, pada momen penghubungan-kelahiran-kembali tujuh kelompok sepuluh akan muncul. yaitu
kelompok-sepuluh-mata, kelompok-sepuluh-telinga, kelompok-sepuluh-hidung, kelompok-sepuluh-
lidah, kelompok-sepuluh-badan, kelompok-sepuluh-jenis-kelamin dan kelompok-sepuluh-landasan-
jantung. Tujuh kelompok-sepuluh ini muncul pada momen Paṭisandhi. Ini berarti ketujuh jenis
kelompok-sepuluh, bukan hanya tujuh kelompok-sepuluh. Anda terlahir kembali di sana sebagai
individu berusia 16 tahun. Maka ada berjuta-juta properti materi. Tujuh kelompok-sepuluh berarti
tujuh jenis kelompok-sepuluh, tetapi ada jutaan kelompok-sepuluh-mata, jutaan kelompok-sepuluh-
telinga dan seterusnya. Dikatakan paling banyak ada tujuh.
“Sebagai minimum, kadang-kadang kelompok-sepuluh mata, telinga, hidung, dan jenis kelamin tidak
diperoleh.” (CMA, VI, §23, p.255)
Pada makhluk-makhluk ini, pada mereka yang terlahir dari kelembaban dan mereka yang terlahir
spontan kelompok-sepuluh-mata, kelompok-sepuluh-telinga, kelompok-sepuluh-hidung atau
kelompok-sepuluh-jenis-kelamin mungkin tidak ada. Beberapa mungkin terlahir tanpa mata, telinga,
hidung atau jenis kelamin.
Kita harus memahami melalui kelompok-kelompok sepuluh ini ketiadaan poperti-properti materi dan
ketiadaan kelompok-sepuluh. Kadang-kadang kelompok-sepuluh-telinga tidak ada. Dalam kasus
demikian maka hanya ada enam kelompok-sepuluh. Kadang-kadang kelompok-sepuluh-hidung tidak
ada. Dalam kasus demikian maka hanya ada enam kelompok-sepuluh dan seterusnya. Kelompok
sepuluh mata, telinga, hidung dan jenis kelamin dapat tidak muncul pada makhluk-makhluk ini,
makhluk-makhluk yang terlahir dari kelembaban dan yang terlahir spontan.
Manusia-manusia pada awal siklus dunia adalah terlahir spontan. Mereka tidak masuk ke rahim ibu
karena mereka adalah manusia-manusia pertama di sana. Ketika manusia muncul di dunia untuk
pertama kalinya, mereka terlahir spontan. Ini seperti mereka jatuh dari alam Brahma atau semacam
itu. Dikatakan bahwa pada awalnya mereka tidak memiliki perbedaan jenis kelamin. Mereka hanya
manusia. Kelompok-sepuluh-jenis-kelamin tidak ada pada manusia yang terlahir pada awal siklus
dunia melalui kelahiran spontan. Baru kemudian jenis kelamin dan perbedaan-perbedaan lainnya
muncul. Pada masa-masa awal siklus dunia tidak ada laki-laki atau perempuan, hanya manusia. Jika
anda ingin membaca tentang ini, anda harus membaca Visuddhimagga. Dalam Visuddhimagga
dijelaskan awal dunia dan akhir dunia. Pada makhluk-makhluk yang terlahir dari kelembaban dan
yang terlahir spontan dapat muncul paling banyak tujuh kelompok-sepuluh pada momen
penghubungan-kembali. Di antaranya kelompok-sepuluh-mata, -telinga, -hidung dan -jenis-kelamin
mungkin tidak ada. Jika satu tidak ada, maka akan ada enam kelompok-sepuluh. Jika dua tidak ada
maka akan ada lima dan seterusnya.

PADA MAKHLUK-MAKHLUK YANG TERLAHIR DARI RAHIM


Sekarang paragraf berikutnya,
“Pada makhluk-makhluk yang terlahir dari rahim (seperti manusia dan binatang) di sana muncul
(pada saat kelahiran kembali) tiga kelompok-sepuluh …” .” (CMA, VI, §23, p.255)
Hanya tiga kelompok-sepuluh yang muncul pada momen penghubungan kembali. Ini berarti pada
momen konsepsi dalam rahim ibu. Ketiga ini adalah kelompok-sepuluh badan, kelompok sepuluh jenis
kelamin dan kelompok sepuluh landasan-jantung.
“Akan tetapi, kadang-kadang, kelompok sepuluh jenis kelamin tidak diperoleh” .” (CMA, VI, §23, p.255)
Seseorang mungkin terlahir tanpa jenis kelamin. Dalam Pāḷi mereka disebut ‘Nipuṃsika’.
“Setelah itu, selama perjalanan kehidupan, …” .” (CMA, VI, §23, p.255)
Ini berarti setelah Paṭisandhi, dimulai dari momen setelah Paṭisandhi, di sini disebut perjalanan
kehidupan.
“… secara bertahap muncul kelompok-sepuluh mata dan seterusnya.” (CMA, VI, §23, p.255)
Ini adalah bagaimana makhluk-makhluk berkembang. Tetapi ini masih sangat mendasar. Jadi menurut
ini, pada momen Paṭisandhi ada tiga kelompok-sepuluh. Tiga kelompok-sepuluh berarti tiga puluh
properti materi. Kemudian setelah itu, secara bertahap, muncul kelompok-sepuluh-mata dan
seterusnya.
Sehubungan dengan ini kita harus mengetahui apa yang Sang Buddha ajarkan sehubungan dengan
perkembangan janin.
“Paṭhamaṃ kalalaṃ hoti, kalalā hoti abbudaṃ, abbudā jāyate pesi, pesi nibbattatī ghano; ghanā
pasākhā jāyanti, kesā lomā nakhāpi ca.” (Saṃyuttanikāya, Sagāthāvaggapāḷi, 10.Yakkhasaṃyuttaṃ, 1.
Indakasuttaṃ, 235)
Ini adalah teks Pāḷi dalam Saṃyutta Nikāya. Suatu ketika sesosok dewata mendatangi Sang Buddha
dan bertanya tentang makhluk-makhluk. Sang Buddha menjawab dengan syair ini. “Pertama ada
Kalala. (kita akan membahas maknanya nanti). Setelah Kalala ada Abbuda. Kemudian Abbudha menjadi
Pesi. (Ini berarti tumbuh menjadi Pesi). Pesi menjadi Ghana. Setelah Ghana, muncul Pasakha dan juga
rambut kepala, bulu badan dan kuku.” Ini adalah apa yang Sang Buddha katakan tentang pertumbuhan
janin.
Sang Buddha tidak mengatakan bahwa Kalala berkembang selama satu minggu dan kemudian setelah
itu Abuddha berkembang selama satu minggu. Satu minggu itu ditambahkan oleh Komentar. Dalam
Komentar dikatakan, “Bersama dengan kesadaran penghubungan-kembali pertama tidak ada nama
seperti Tissa atau Phussa.” Karena ini adalah sebutir kecil properti materi. Hanya ada tiga puluh
properti materi. “Tetapi ada Kalala yang sebesar tetesan minyak di ujung sehelai benang yang terbuat
dari tiga helai bulu anak yang baru lahir.” Di sini anak berarti kambing22 yang baru lahir. “Dengan
referensi ini dikatakan, ‘Bagaikan setetes minyak, (atau) setetes krim ghee yang jernih, demikianlah
penampakan Kalala.’”

22
Pernyataan dari Yang Mulia Ashin U Osadha: “kata untuk ‘kambing dan domba’ selalu membingungkan dalam
Nissaya (terjemahan Burma) ketika kita ingin mengetahui dengan pasti mana yang benar: kambing atau domba.
Dalam Komentar, (kata) Pāḷi aslinya adalah ‘Eḷaka’ yang secara harfiah berarti ‘kambing’. Tetapi saya pikir ini
bukanlah kambing biasa yang tanpa tanduk yang biasa kita lihat di peternakan. Dalam Sub-komentar dikatakan
bahwa ‘Eḷaka’ atau jenis kambing ini hidup di pegunungan Himalaya, yang memiliki dua tanduk, tetapi bulu
badannya panjang dan tebal bagaikan domba untuk melindungi tubuh mereka dari cuaca dingin pada musim
dingin. Dikatakan dalam Komentar bahwa ciri yang menonjol dari kambing ini adalah bulu badannya yang sangat
tipis dan halus daripada binatang lainnya. Ini adalah alasan utama perbandingan ini dalam Komentar. Karena
mereka hidup di Pegunungan Himalaya, kadang-kadang penerjemah Burma menerjemahkan (kata ‘Eḷaka’)
sebagai ‘kambing hutan’ dan kadang-kadang sebagai ‘domba hutan’ karena bulu badannya yang panjang dan
tebal. Keduanya adalah benar menurut pandangan mereka yang berbeda. Referensinya adalah Vibh A (Komentar
Vibhaṅga, Sub-komentar).
Yang pertama disebut Kalala. Makna dasar dari Kalala adalah lumpur.. ini mungkin sesuatu yang
menyerupai lumpur halus. Kalala dijelaskan sebagai jernih, jadi Rūpa yang menyerupai air. Berapa
besarkah ukuran Kalala ini? “Ini sebesar tetesan minyak di ujung sehelai benang yang terbuat dari tiga
helai bulu anak yang baru lahir.” Bulu dari anak yang baru lahir adalah sangat sangat halus, sangat
kecil, anda mengambil tega helai bulu ini dan memilinnya menjadi benang. Kemudian anda
mencelupkannya ke dalam minyak dan mengangkatnya. Minyak akan menetes. Dan tetesan terakhir,
yang sangat sangat kecil, adalah sebesar Kalala. Ini adalah apa yang dikatakan Komentar di sini. “Ada
Kalala yang sebesar tetesan minyak di ujung sehelai benang yang terbuat dari tiga helai bulu anak yang
baru lahir.” Dengan merujuk pada ini dikatakan, “Jadi Kalala adalah seperti tetesan minyak atau
seperti tetesan krim ghee jernih.” Ghee adalah jernih, ini adalah mentega jernih jadi ini murni. Ini
berarti Kalala adalah sangat kecil. Kita tidak dapat mengatakan sekecil apa. Ini adalah partikel materi
yang sangat kecil.
“Setelah Kalala ada Abbuda: setelah satu minggu berlalu dari (tahap) kalala,” – di sini Komentar
mengatakan bahwa diperlukan satu minggu bagi Kalala untuk berkembang dan kemudian selama
minggu ke dua Kalala berubah menjadi Abbuda, atau berkembang menjadi Abbuda. “Ini menjadi
Abbuda yang memiliki penampakan seperti air cucian daging.” Ibu-ibu mungkin lebih mengetahui ini
daripada bapak-bapak. Anda mungkin sudah sering mencuci daging. Saya tidak tahu seperti apa air
cucian daging. Mungkin ada sesuatu seperti buih atau warna kemerahan. Itu berkembang menjadi
Abbuda. Ketiika menjadi Abbuda, nama Kalala lenyap. Setelah menjadi Abbuda, anda tidak
menyebutnya Kalala. Anda menyebutnya Abbuda. Ini adalah tahap ke dua pengembangan.
Setelah itu Abbuda menjadi Pesi. “Setelah itu Abbuda menjadi Pesi. Juga dari (tahap) Abbuda itu,
setelah berlalu satu minggu,” – Komentar selalu memberikan satu minggu untuk tiap-tiap tahap
pertumbuhan. “itu menjadi Pesi yang menyerupai timah cair.” Pesi bermakna sepotong daging. Ini
menjadi sedikit lebih padat. Kalala hanyalah minyak atau air jernih. Abbuda mungkin agak berwarna
tetapi masih cair. Ketika menjadi Pesi, tidak ada lagi nama Abbuda.
“Pesi menjadi Ghana: dari Pesi itu, setelah satu minggu berlalu, itu menjadi Ghana, sebongkah daging
yang menyerupai sebutir telur ayam.” Ini tidak sebesar telur ayam, tetapi mungkin berbentuk telur
ayam atau semacam itu. Arti Ghana adalah padat. Janin menjadi agak padat sekarang.
Setelah Ghana, muncul Pasākha. Pasākha berarti cabang. Cabang berarti lima tonjolan pada janin
untuk lima hal. Lima tonjolan muncul untuk dua tangan, dua kaki dan kepala. Jadi ada lima tonjolan
pada bongkahan daging itu.
Dari sini, dengan melompati minggu ke enam, ke tujuh dan minggu-minggu lainnya dan
mempersingkat khotbah, Sang Buddha berkata, ‘Kesa, dan seterusnya’ – ini berarti Sang buddha
mengatakan rambut kepala, bulu badan, kuku. Jika anda membaca teks itu, syair itu, anda mungkin
berpikir bahwa setelah Pasākha, segera muncul rambut kepala, bulu badan, kuku, dan seterusnya. Di
sini Komentar menjelaskan bahwa Sang Buddha melompati minggu ke enam, ke tujuh dan minggu-
minggu lainnya karena Beliau ingin mempersingkat khotbah. Kemudian Beliau melompat pada
minggu ke-42. Pada saat itu Sang Buddha berkata rambut kepala, bulu badan dan kuku muncul.
Menurut interpretasi Komentar ini, rambut kepala, bulu badan dan kuku muncul pada minggu ke-42
setelah konsepsi. Ada berapa banyak bulan? Ada 52 minggu dalam setahun. Di sana rambut kepala,
bulu badan, dan kuku setelah 42 minggu. Ini adalah dari Komentar atas Saṃyutta Nikāya.
Dalam Komentar Kathāvatthu juga dikatakan, “Pada mereka yang lahir dari rahim ibu, di antara
landasan-landasan internal (Āyatana) hanya Manāyatana dan Kāyāyatana yang muncul pada momen
penghubungan-kembali.” Pada momen Paṭisandhi hanya muncul Manāyatana dan Kāyāyatana, hanya
dua di antara enam landasan yang muncul. Dan kemudian, “Yang lainnya, empat landasan (landasan-
landasan Cakkhu, Sota, Ghāna dan Jivhā muncul pada hari ke-77” – ini mungkin hari ke-70-77. Dalam
periode itu landasan Cakkhu, Sota, Ghāna dan Jivhā muncul menurut Komentar Kathāvatthu.
Komentar ini ditulis oleh Yang Mulia Buddhaghosa. Menurut Yang Mulia Buddhaghosa, sensitivitas-
mata, sensitivitas-telinga, muncul setelah kira-kira 70-77 hari sejak konsepsi.
Sekarang buka halaman lainnya.
Murid: Mengapakah dewata itu menanyakan hal ini kepada Sang Buddha?
Sayādaw: Karena dewata itu mempercayai Atman. Ini adalah bagaimana anda dapat menjelaskan
tanpa merujuk pada Atman atau sejenisnya. Maka Sang Buddha mengatakan ini.
Pada halaman berikutnya kita membaca perkembangan janin dalam rahim ibu menurut Yang Mulia
Buddhaghosa dan menurut Abhidhammatthavibhāvinī. Menurut Yang Mulia Buddhaghosa, minggu
pertama adalah periode Kalala, Rūpa yang menyerupai air jernih. Terdapat tiga kelompok-sepuluh
atau tiga puluh Rūpa. Anda mengetahui tiga puluh Rūpa atau tiga kelompok-sepuluh (Kāya, Bhāva &
Vatthu). Pada minggu ke dua ada Abbuda, Rūpa yang menyerupai buih. Pada minggu ke tiga ada Pesi,
bongkahan. Pada minggu ke empat ada Ghana, Rūpa padat. Dan pada minggu ke lima ada lima tonjolan
– satu untuk kepala, dua untuk tangan, dan dua untuk kaki. Kita tidak mengetahui minggu ke enam
dan ke tujuh dan seterusnya. Menurut Komentar pada minggu ke sebelas muncul sensitivitas mata,
telinga, hidung dan lidah. Kemudian pada minggu-minggu lainnya dilompati hingga minggu ke-42.
Selama minggu ini rambut kepala, bulu badan dan seterusnya muncul pada janin. Ini adalah menurut
Komentar atau menurut Yang Mulia Buddhaghosa.
Abhidhammatthavibhāvinī adalah Sub-komentar atas Abhidhammatthasaṅgaha, Manual ini. Guru itu
mengatakan berbeda. Menurutnya, minggu pertama hingga minggu ke lima adalah sama. Jadi ada
Rūpa yang menyerupai air jernih, Rūpa yang menyerupai buih, bongkahan dan lima tonjolan. Tetapi
ia mengatakan bahwa pada minggu ke tujuh muncul kelompok-sepuluh-mata. Pada minggu ke delapan
muncul sensitivitas-telinga. Pada minggu ke sembilan muncul sensitivitas-hidung. Dan pada minggu
ke sepuluh muncul sensitivitas-lidah. Terdapat perbedaan antara Yang Mulia Buddhaghosa dan
penulis Abhidhammatthavibhāvinī. Siapakah yang anda ikuti? Yang Mulia Buddhaghosa memiliki
otoritas lebih tinggi. Kita akan mengikuti Yang Mulia Buddhaghosa. Ada alasan mengapa
Abhidhammatthavibhāvinī berbeda dari Yang Mulia Buddhaghosa. Tetapi jika anda tidak mengerti
Pāḷi, maka sulit untuk menjelaskan. Guru-guru kami, guru-guru Burma, memiliki pemikiran atas
alasan mengapa Abhidhammatthavibhāvinī berbeda dari Yang Mulia Buddhaghosa. Menurut guru-
guru Burma ini, penulis Abhidhammatthavibhāvinī Ṭīkā membaca tulisan berbeda dalam salah satu
Komentar. Ia membaca tulisan berbeda atau kesalahan dalam tulisan, tetapi ia menganggapnya
sebagai tulisan yang benar. Berdasarkan atas tulisan tersebut, ia berkata bahwa pada tujuh minggu
muncul sensitivitas-mata, pada delapan minggu muncul sensitivitas-telinga, dan seterusnya.
Kekeliruan ini dapat dengan mudah terjadi dalam Pāḷi karena ‘Satta Sattati’ adalah 77. Tetapi jika
pencatat lupa menuliskan ‘ti’ terakhir maka itu menjadi ‘Satta Satta’, 7 x 7. Ini berarti 49, bukan 77. 49
berarti minggu ke tujuh. Kadang-kadang ini dapat terjadi. Pada masa-masa itu adalah sulit untuk
membandingkan dua catatan dari satu naskah. Bahkan satu naskah sangat sulit diperoleh. Guru-guru
Burma menjelaskan bahwa penulis Abhidhammatthavibhāvinī mungkin telah membaca tulisan yang
salah dari Komentar. Maka ia berpendapat demikian. Penulis Abhidhammatthavibhāvinī tidak diikuti
oleh guru-guru belakangan. Kita akan mengikuti apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Buddhaghosa.
Pada sebelas minggu muncul mata dan seterusnya. Pada minggu ke-42 rambut kepala dan lain-lainnya
muncul.
Ini adalah bagaimana pertumbuhan janin diajarkan dalam buku-buku Buddhis. Sang Buddha hanya
menyatakan tahap-tahapan berbeda dalam pertumbuhan. Tetapi Sang Buddha tidak mengatakan
berapa hari yang berlalu dari satu tahap berkembang menjadi tahap berikutnya. Komentar
mengatakan bahwa satu tahap berlangsung selama satu minggu. Kerangka waktu satu minggu tidak
diungkapkan oleh Sang Buddha. Komentar menjelaskannya bermakna satu minggu. Mereka
mengatakan Kalala adalah selama satu minggu, Abbuda adalah selama satu minggu dan seterusnya.
Ini mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan temuan ilmu medis modern. Ini mungkin tidak persis
benar dalam segala aspek. Tak seorangpun yang dapat masuk ke dalam rahim ibu dan melihat janin.
Sekarang terdapat peralatan yang dapat mengambil gambar janin. Ada gambar-gambar janin pada
satu minggu, dua minggu dan seterusnya. Ini mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan temuan ilmu
medis modern. Tetapi setidaknya kita mengetahui perkembangan janin seperti yang dijelaskan dalam
buku-buku Buddhis. Secara kasar ini mungkin sesuai dengan apa yang orang-orang ketahui
sehubungan dengan janin pada masa sekarang.
Ini adalah sehubungan dengan manusia. Walaupun binatang-binatang dilahirkan daalam rahim ibu,
namun mereka tidak memakan waktu selama manusia untuk terlahir. Sebagian besar binatang tidak
dilahirkan sepuluh bulan setelah konsepsi. Kalala selama satu minggu, Abbuda selama satu minggu
dan seterusnya adalah untuk manusia, bukan untuk binatang.
“Setelah itu, selama perjalanan kehidupan, secara bertahap muncul kelompok-sepuluh mata dan
seterusnya.” (CMA, VI, §23, p.255)
“Demikianlah kelangsungan kelompok-kelompok materi dihasilkan dalam empat cara – yaitu, terlahir
dari kamma sejak saat penghubungan-kelahiran-kembali, terlahir dari kesadaran sejak momen
kesadaran ke dua, terlahir dari temperatur sejak saat tahap keberlangsungan, terlahir dari makanan
sejak saat menyebarnya inti nutrisi – secara tanpa terputus di alam indriawi hingga akhir kehidupan
…” (CMA, VI, §24, p.256)
Aliran properti materi ini berlangsung terus-menerus hingga akhir kehidupan.
“… bagaikan api pelita atau arus sungai.” (CMA, VI, §24, p.256)
Anda menyalakan sebuah pelita dan melihat api di sana. Anda berpikir bahwa api itu menyala terus-
menerus. Sebenarnya ada api baru pada setiap momen. Hal yang sama berlaku untuk arus sungai.
Ketika anda melihat sungai, anda berpikir bahwa aliran itu selalu sama, tetapi pada setiap momen ada
air baru yang mengalir. Demikian pula, di alam indriawi hingga akhir kehidupan kelompok-kelompok
materi ini yang dihasilkan dalam empat cara mengalir terus-menerus.
Jadi di sini, “terlahir dari Kamma sejak saat penghubungan-kelahiran-kembali” – ini berarti materi
yang-lahir-dari-Kamma muncul sejak momen pertama penghubungan-kelahiran-kembali. Dan
terlahir dari kesadaran sejak momen kesadaran ke dua” berarti materi yang lahir-dari kesadaran
muncul pada momen pertama dari kesadaran ke dua dalam satu kehidupan. Ini berarti Bhavaṅga
pertama, sejak momen Bhavaṅga pertama muncul Cittaja-rūpa. Ini berarti materi yang-lahir-dari-
Citta muncul sejak sub-momen pertama dari Bhavaṅga pertama. Kemudian “terlahir dari makanan
sejak saat menyebarnya inti nutrisi” – jadi kita tidak mengetahui kapan Rūpa yang lahir dari Āhāra
pertama kali muncul. Pada mereka yang terlahir secara spontan ini mungkin dimulai ketika orang itu
menelan ludahnya sendiri. Sejak momen itu ia memperoleh Rūpa yang-lahir-dari-makanan. Tetapi
pada mereka yang hidup dalam rahim ibu mereka mungkin memperoleh Rūpa yang-lahir-dari-
makanan dari sang ibu. Sang ibu memakan sesuatu dan kemudian makanan itu diterima melalui tali
pusar oleh janin.
Apa yang harus kita pahami di sini adalah pada momen apakah setepatnya Rūpa yang-lahir-dari-
Kamma muncul, pada momen apakah setepatnya Rūpa yang-lahir-dari-batin muncul, dan pada
momen apakah setepatnya Rūpa yang-lahir-dari-temperatur muncul. sejak sub-momen ke dua
Paṭisandhi, Rūpa yang-lahir-dari-temperatur muncul. mulai saat itu, pada hampir setiap momen
materi yang-lahir-dari-temperatur muncul karena temperatur atau Utu yang muncul pada sub-
momen ke dua Paṭisandhi mencapai momen keberlangsungan pada sub-momen ke tiga Paṭisandhi
Citta. Visualisasikan tiga sub-momen Paṭisandhi, jadi pertama, ke dua dan ke tiga. Pada sub-momen
pertama Paṭisandhi, muncul Rūpa yang-lahir-dari-Kamma. Pada sub-momen ke dua Paṭisandhi,
muncul Rūpa yang-lahir-dari-temperatur. Pada sub-momen ke dua Paṭisandhi itu adalah sub-momen
pertama dari Rūpa yang-lahir-dari-temperatur. Sekarang ini mencapai sub-momen berikutnya dari
Rūpa yang-lahir-dari-temperatur. Sub-momen berikutnya itu adalah sub-momen ke tiga Paṭisandhi
tetapi sub-momen ke dua dari Rūpa yang-lahir-dari-temperatur. Dari sub-momen ke dua Paṭisandhi
dan seterusnya pada setiap momen muncul Rūpa yang-lahir-dari-temperatur. Di sini paragraf ini
menunjukkan kapan Rūpa-Rūpa itu muncul untuk pertama kalinya.
Kapan Rūpa-Rūpa itu muncul untuk terakhir kalinya dalam satu kehidupan dan kapan lenyapnya
seluruhnya, ini akan dibahas minggu depan.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

MUNCULNYA MATERI & NIBBĀNA


KEMUNCULAN TERAKHIR, DAN LENYAPNYA MATERI
Sampai saat ini kita telah mempelajari bagaimana materi muncul pada momen penghubungan-
kembali dan juga beberapa momen setelah penghubungan-kembali. Hari ini kita akan mempelajari
Rūpa pada saat kematian. “Pada saat kematian” berarti pada saat menjelang kematian dan juga
mungkin setelah kematian. Pada saat kematian fenomena materi yang-lahir-dari-Kamma tidak lagi
muncul dimulai dari tahap keberlangsungan dari kesadaran ke-17 sebelum kesadaran-kematian. Ada
tiga sub-momen dari Paṭisandhi – kemunculan, keberlangsungan dan kelenyapan atau kematian. Pada
sub-momen kemunculan Paṭisandhi apakah yang muncul? materi yang-lahir-dari-Kamma muncul. ini
adalah momen pertama munculnya materi yang-lahir-dari-Kamma. Pada momen keberlangsungan,
ini berarti sub-momen ke dua dari Paṭisandhi, materi yang-lahir-dari-temperatur atau Utuja-rūpa
muncul. ini adalah kemunculan pertama dari Utuja-rūpa. Dan kemudian pada sub-momen pertama
dari kemunculan pertama Bhavaṅga, di sana muncul materi yang-lahir-dari-batin. Jadi di sini kita
memiliki kemunculan pertama dari materi yang lahir dari Kamma, materi yang lahir dari temperatur
dan materi yang lahir dari batin. Ada ketiga momen ini. Selanjutnya materi yang-lahir-dari-Kamma
muncul pada setiap sub-momen seumur hidup. Materi yang-lahir-dari-temperatur muncul ketika
Rūpa mencapai tahap keberlangsungan. Sebenarnya sejak momen itu dan seterusnya materi yang-
lahir-dari-temperatur muncul pada setiap momen. Kemudian materi yang-lahir-dari-batin muncul
hanya pada sub-momen pertama dari tiap-tiap munculnya Citta. Materi yang-lahir-dari-batin muncul
pada sub-momen pertama dari Bhavaṅga pertama, dan kemudian pada sub-momen pertama dari
Bhavaṅga ke dua, dan kemudian pada sub-momen pertama dari Bhavaṅga ke tiga dan seterusnya.
Materi yang-lahir-dari-batin tidak muncul pada tahap keberlangsungan atau pada tahap peleburan.
Materi yang-lahir-dari-Kamma harus lenyap pada akhir satu kehidupan. Materi yang-lahir-dari-
Kamma tidak dapat terus eksis setelah kematian. Anda tahu bahwa umur kehidupan materi adalah 17
momen pikiran. Jadi anda dapat mencari tahu kapan momen terakhir kemunculan materi yang-lahir-
dari-Kamma terjadi. Ini pasti lenyap dengan momen terakhir Cuti. Ini berarti anda harus mundur
hingga momen ke-17. ‘17’ berarti bahwa anda harus mengambil Cuti sebagai satu momen. Ketika anda
mundur dalam proses pikiran satu ini, maka anda sampai pada Atīta Bhavaṅga. Pada sub-momen
pertama dari momen pikiran ke-17 sebelum Cuti, ada momen terakhir munculnya materi yang-lahir-
dari-Kamma. Materi yang-lahir-dari-Kamma muncul untuk terakhir kalinya pada sub-momen itu.
Materi yang-lahir-dari-Kamma yang muncul pada momen itu akan lenyap bersama momen ke tiga
Cuti. Sub-momen ke tiga Cuti adalah kelenyapan terakhir dari materi yang-lahir-dari-Kamma. Materi
yang-lahir-dari-Kamma muncul untuk terakhir kalinya pada momen pikiran ke-17 yang dihitung
mundur dari Cuti. Materi yang-lahir-dari-Kamma yang muncul pada momen itu terus eksis hingga
sub-momen ke tiga atau terakhir dari Cuti. Dengan berhentinya Cuti Citta, maka materi yang-lahir-
dari-Kamma juga berhemti. Tidak ada lagi materi yang-lahir-dari-Kamma setelah kematian. Dalam
Manual dikatakan,
“Tetapi pada saat kematian, fenomena materi yang-lahir-dari-kamma tidak lagi muncul dengan
dimulai dari tahap keberlangsungan dari kesadaran ke-17 sebelum kesadaran kematian.” (CMA, VI,
§25, p.256)
Dimulai dari sub-momen keberlangsungan dari momen pikiran ke-17, materi yang-lahir-dari-Kamma
tidak lagi muncul.
“Fenomena materi yang-lahir-dari-Kamma yang muncul sebelumnya …” (CMA, VI, §25, p.256)
Ini berarti bahwa fenomena materi itu muncul pada sub-momen pertama dari momen pikiran ke-17.
“… terjadi hingga momen-kematian …” (CMA, VI, §25, p.256)
Ini berarti ada.
“… dan kemudian berhenti.” (CMA, VI, §25, p.256)
Ini berarti ini akhirnya berhenti bersama Cuti Citta.
“Setelah itu, fenomena materi yang-lahir-dari-kesadaran dan yang-lahir-dari-makanan berhenti.”
(CMA, VI, §25, p.256)
Manual tidak mengatakan kapan. Kita harus mencari tahu kapan. Manual hanya mengatakan bahwa
fenomena materi yang-lahir-dari-kesadaran dan yang-lahir-dari-makanan berhenti setelah itu. Untuk
memahami ini, kita harus terlebih dulu memahami munculnya materi yang-lahir-dari-batin. Materi
yang-lahir-dari-batin muncul pada setiap sub-momen pertama dari setiap momen pikiran. Ini berarti
bahwa pada sub-momen pertama munculnya Cuti Citta, muncul materi yang-lahir-dari-batin. Karena
umur kehidupan Rūpa adalah 17 momen pikiran, maka ini harus berlangsung selama 17 momen
pikiran. Cuti adalah satu momen. Paṭisandhi adalah momen ke dua. Dan kemudian 15 Bhavaṅga ada
17 momen pikiran. Pada Bhavaṅga ke-15, 17 momen pikiran menjadi lengkap. Pada sub-momen ke tiga
dari Bhavaṅga ke-15, materi yang-lahir-dari-batin dari kehidupan sebelumnya berhenti. Ini berarti
berapa sub-momen? Berapa sub-momen setelah Cuti? 48. 48 Sub-momen setelah Cuti materi yang-
lahir-dari-batin dari kehidupan sebelumnya akhirnya berhenti.
Materi yang-lahir-dari-makanan – dikatakan bahwa materi yang-lahir-dari-makanan dapat muncul
bahkan pada sub-momen terakhir Cuti. Momen terakhir munculnya materi yang-lahir-dari-makanan
dalam satu kehidupan adalah pada sub-momen ke tiga Cuti. Kemudian ini pasti berlangsung selama 51
sub-momen. Kita hanya memperoleh satu momen bersama Cuti. Ketika kita mencapai tahap
keberlangsungan dari Bhavaṅga ke-16, 51 sub-momen menjadi lengkap. Dan dengan demikian pada
momen keberlangsungan dari Bhavaṅga ke-16, materi yang-lahir-dari-makanan dari kehidupan
sebelumnya akhirnya berhenti. Ini berarti Rūpa dari kehidupan sekarang tetap ada bahkan setelah
kematian. Tetapi anda tahu bahwa 17 momen pikiran adalah tidak berarti jika kita berbicara tentang
pengalaman. Ini bahkan tidak ada satu detik. Tetapi agar tepat dan pasti kita harus mengatakan bahwa
beberapa properti materi tetap ada bahkan setelah kematian. Apakah itu? Yaitu materi yang-lahir-
dari-Citta dan materi yang-lahir-dari-makanan tetapi bukan materi yang-lahir-dari-Kamma. Materi
yang-lahir-dari-Kamma pasti berhenti dengan berhentinya Cuti Citta atau dengan berhentinya
kehidupan ini.
“Selanjutnya, keberlanjutan kualitas-kualitas materi yang dihasilkan melalui temperatur bertahan
hingga menjadi mayat.”23 (CMA, VI, §25, p.257)
Di sini “hingga menjadi mayat” jangan dimaknai secara harfiah karena mayat dapat membusuk
bahkan ketika ada materi yang-lahir-dari-temperatur muncul dan lenyap. Sebenarnya ini akan
berlanjut terus-menerus hingga akhir dunia ini, bukan hanya selama waktu orang itu disebut mayat.
Misalkan ia dikubur. Maka tubuhnya membusuk sedikit demi sedikit. Pada waktu itu juga ada materi
yang-lahir-dari-temperatur yang muncul dan lenyap. Ini akan terus berlanjut hingga dunia ini
sepenuhnya hancur. Jika ia dikremasi dan menjadi abu, tetap masih ada materi yang-lahir-dari-
temperatur yang muncul dan lenyap. Di antara empat jenis properti materi, yaitu yang-lahir-dari-
Kamma, yang-lahir-dari-Citta, yang-lahir-dari-Utu dan yang-lahir-dari-Āhāra, tiga jenis properti
materi tetap ada bahkan setelah kematian. Materi yang-lahir-dari-Kamma berhenti bersama dengan
momen terakhir Cuti Citta. Itu adalah urutan muncul dan lenyapnya properti materi pada saat
kematian atau pada saat sekitar kematian. Anda harus memahami bahwa materi yang-lahir-dari-
Kamma muncul pada setiap sub-momen, bahwa materi yang-lahir-dari-Citta muncul hanya pada
momen kemunculan dan materi yang-lahir-dari-temperatur muncul hanya pada momen
keberlangsungan. Jika anda memahami hal ini, maka anda dapat mencari tahu kapan suatu properti
materi tertentu muncul untuk terakhir kalinya, kapan berhentinya.
Mari ulangi lagi. Kapankah kemunculan terakhir dari materi yang-lahir-dari-Kamma? Pada sub-
momen pertama dari momen pikiran ke-17 dihitung mundur dari Cuti Citta. Materi yang-lahir-dari-
Kamma yang muncul pada momen pikiran ke-17 berhenti pada sub-momen ke tiga dari Cuti Citta.
Bagaimana dengan materi yang-lahir-dari-Citta? Materi yang-lahir-dari-Citta dapat muncul bahkan
pada momen pertama Cuti Citta. Ini akan berlanjut terus-menerus hingga Bhavaṅga ke-15 setelah
Paṭisandhi. Pada momen ke tiga dari Bhavaṅga ke-15, materi yang-lahir-dari-Citta dari kehidupan
sebelumnya berhenti sepenuhnya.
Dan kemudian materi yang-lahir-dari-makanan – dikatakan bahwa ini dapat muncul bahkan pada
momen terakhir dari satu kehidupan. Kita menganggap bahwa materi yang-lahir-dari-makanan

23
CMA, edisi 2, 1999: “Selanjutnya, keberlanjutan kualitas-kualitas materi yang dihasilkan melalui temperatur
bertahan dalam bentuk mayat.”
muncul pada sub-momen ke tiga Cuti Citta. Ini pasti berlanjut selama 51 sub-momen. Ketika mencapai
momen keberlangsungan Bhavaṅga ke-16, ini akan berhenti sepenuhnya.
Untuk materi yang-lahir-dari-Utu atau –temperatur ini akan berlanjut terus-menerus hingga akhir
dunia.

KESIMPULAN
Pada akhir bab lima terdapat penjelasan tentang Paṭisandhi yang mengikuti Bhavaṅga dan kemudian
Cuti, Paṭisandhi, Bhavaṅga dan seterusnya, roda kehidupan. Itu adalah Nāma Saṃsāra, Citta dan
Cetasika yang muncul satu demi satu.
Di sini proses Rūpa ditunjukkan oleh syair pada CMA halaman 257.
“Demikianlah makhluk-makhluk meninggal dunia, sekali lagi dalam kehidupan berikutnya, fenomena
materi muncul, dimulai dari penghubungan-kelahiran-kembali, dengan cara yang sama.” (CMA, VI,
§26, p.257)
Segera setelah seseorang mengambil Paṭisandhi, ada Rūpa yang muncul. kemudian Rūpa muncul
dalam kehidupan pada setiap momen atau pada momen pertama, atau ketika Rūpa mencapai momen
keberlangsungan hingga kematian atau tidak lama setelah kematian. Ini adalah muncul dan lenyapnya
Rūpa bagi makhluk-makhluk Kāmāvacara.

DALAM RŪPĀVACARA LOKA


“Di alam bermateri halus, kelompok-sepuluh hidung, lidah,badan, jenis kelamin, dan kelompok materi
yang dihasilkan oleh makanan tidak ada.” (CMA, VI, §27, p.257)
Sekarang kita kembali pada Paṭisandhi lagi. Di Rūpāvacara Loka, kelompok-kelompok hidung, lidah,
badan dan jenis kelamin tidak ada karena mereka tidak menyukai hidung, lidah, badan dan jenis
kelamin. Jadi hal-hal ini tidak muncul pada mereka. Di alam Rūpāvacara kelompok-sepuluh hidung,
lidah, badan dan jenis kelamin tidak ada.
“Oleh karena itu, pada makhluk-makhluk itu, pada saat penghubungan-kelahiran-kembali muncul
empat kelompok materi yang dihasilkan oleh kamma …” (CMA, VI, §27, p.257)
Empat kelompok yang-lahir-dari-Kamma muncul pada momen Paṭisandhi – kelompok-sepuluh-mata
(Cakkhu-dasaka), kelompok-sepuluh-telinga (Sota-dasaka), kelompok-sepuluh-jantung (Vatthu-
dasaka) dan kelompok-sembilan-vital (Jīvita-navaka). Ada empat kelompok properti materi muncul
pada saat Paṭisandhi bagi makhluk-makhluk Rūpāvacara.
“Selama perjalanan kehidupan, …” (CMA, VI, §27, p.257)
Ini berarti setelah Paṭisandhi.
“… fenomena materi yang dihasilkan oleh kesadaran dan oleh temperatur juga ada.” (CMA, VI, §27,
p.257)
Anda harus menambahkan ‘juga’ di sini. Jika tanpa ‘juga’ ini artinya berbeda. Pada momen Paṭisandhi
hanya ada empat kelompok-sepuluh. Tetapi selama kehidupan, selama perjalanan kehidupan ada
empat kelompok-sepuluh ini ditambah yang dihasilkan oleh kesadaran dan yang dihasilkan oleh
temperatur. Berapa banyakkah kelompok yang dihasilkan oleh kesadaran? Enam kelompok dihasilkan
oleh kesadaran. Berapa banyakkah kelompok yang dihasilkan oleh temperatur? Empat kelompok
dihasilkan oleh temperatur. Selama perjalanan kehidupan enam ditambah empat, ditambah empat
(kelompok-sepuluh-mata, kelompok-sepuluh-telinga, kelompok-sepuluh-jantung, kelompok-
sembilan-vital) seluruhnya menjadi 14 yang dihasilkan. Ini adalah untuk makhluk-makhluk
Rūpāvacara. ‘Makhluk Rūpāvacara’ merujuk pada semua makhluk Rūpāvacara kecuali makhluk-
makhluk tanpa batin. Untuk makhluk-makhluk tanpa batin terdapat perbedaan. Untuk makhluk-
makhluk Rūpāvacara pada momen Paṭisandhi terdapat empat kelompok – kelompok-sepuluh-mata,
kelompok-sepuluh-telinga, kelompok-sepuluh-jantung dan kelompok-sembilan-vital. Ada tiga
kelompok sepuluh dan satu kelompok sembilan. Selama perjalanan kehidupan enam kelompok yang
lahir dari Citta dan empat kelompok yang lahir dari temperatur juga ada. Empat ditemukan pada saat
Paṭisandhi dan 14 selama perjalanan kehidupan. Nanti kita akan mencari tahu ada berapa banyak
Rūpa.

ASAÑÑA-SATTA
Sekarang kita sampai pada Asañña-satta, makhluk-makhluk tanpa batin.
“Di antara makhluk-makhluk tanpa persepsi, mata, telinga, landasan-jantung, dan suara juga tidak
ada.” (CMA, VI, §28, p.257)
Tidak ada suara.
“Demikian pula, fenomena materi yang-lahir-dari-kesadaran tidak ada.” (CMA, VI, §28, p.257)
Tidak ada Cittaja-rūpa.
“Oleh karena itu, pada momen penghubungan-kelahiran-kembali, hanya kelompok-sembilan vital
yang muncul.” (CMA, VI, §28, p.257)
Jadi hanya ada satu kelompok pada momen penghubungan-kembali untuk Asañña-satta.
“Selama perjalanan kehidupan, fenomena materi yang dihasilkan oleh temperatur, dengan
pengecualian suara, berlanjut.” (CMA, VI, §28, p.258)
Lihat pada kelompok-kelompok yang disebabkan oleh temperatur. Berapa banyakkah? Ada empat.
Dari empat ini anda mengeluarkan apakah? kita mengeluarkan dua kelompok. Kita mengeluarkan
suara. Kelompok ke dua (Sadda-navaka) tidak dapat kita ambil karena tidak ada suara. Juga kelompok
terakhir Sadda-lahutādi-dvādasaka tidak dapat diambil. Dari antara empat kelompok Utuja hanya
yang pertama dan ke tiga yang diambil alam makhluk-makhluk tanpa batin. Pada momen Paṭisandhi
terdapat satu kelompok. Selama kehidupan terdapat tiga kelompok – Jīvita-navaka, Suddhaṭṭhaka dan
Lahutādekādasaka. Tidak ada Rūpa yang-lahir-dari-Citta dan juga tidak ada Rūpa yang-lahir-dari-
Āhāra (makanan). Walaupun ada makanan dalam tubuh mereka, namun mereka tidak memperoleh
makanan dari luar. Tidak ada Rūpa yang-lahir-dari-makanan. Ini sama seperti Brahma Rūpāvacara.
Brahma Rūpāvacara lainnya juga tidak ada Rūpa yang lahir dari makanan. Dikatakan bahwa mereka
tidak memakan apapun. Mereka bertahan hidup dari Pīti. Pīti adalah makanan mereka. Karena mereka
tidak memakan apapun, maka mereka tidak memiliki Rūpa yang lahir dari Āhāra. Rūpa yang lahir dari
Āhāra memerlukan Āhāra eksternal. Ketika Āhāra internal dan Āhāra eksternal bertemu, maka Rūpa
yang lahir dari Āhāra muncul. Pada makhluk-makhluk Rūpāvacara baik yang memiliki batin ataupun
yang tanpa batin tidak ada properti materi yang lahir dari Āhāra.
Mari kite melompat ke bagian akhir dan nanti kembali lagi.
“Demikianlah dalam tiga kasus alam indriawi, alam bermateri halus, dan makhluk-makhluk tanpa
persepsi, terjadinya fenomena materi harus dipahami dalam dua jenis, melalui penghubungan-
kelahiran-kembali dan dalam perjalanan kehidupan.” (CMA, VI, §29, p.258)
Ada dua jenis munculnya materi bagi makhluk-makhluk ini – pada saat Paṭisandhi dan selama
kehidupan.
“ di alam indriawi, terdapat 28 fenomena materi; …” (CMA, VI, §29, p.258)
Di alam Kāmāvacara, terdapat seluruh 28.
“… di alam bermateri halus, (terdapat) 23; …” CMA, VI, §29, p.258)
Apakah yang tidak ada? Hidung, lidah, badan dan dua jenis kelamin tidak ada. 28 dikurang 5 menjadi
23. Di alam Rūpāvacara kecuali Asañña-satta hanya terdapat 23 properti materi. Walaupun tidak
memiliki sensitivitas-hidung, sensitivitas-lidah dan sensitivitas-badan, namun mereka memiliki
hidung, lidah dan badan. Hanya tidak memilik sensitivitasnya. Walaupun mereka tanpa jenis kelamin,
namun dikatakan mereka berpenampilan seperti laki-laki.
“… di antara makhluk-makhluk tanpa persepsi, (terdapat) 17 materi properti); …” (CMA, VI, §29, p.258)
Pada makhluk-makhluk tanpa-persepsi terdapat properti-properti materi sebagai berikut: empat
esensi, Rūpa, Gandha, Rasa, Jīvita, Āhāra, ākāsa, Lahutā, Mudutā, Kammaññatā, Upacaya, Santati,
Jaratā dan Aniccatā. Seluruhnya ada 17. Hanya 17 properti ini yang ada pada makhluk-makhluk tanpa
batin. Di alam makhluk-makhluk tanpa batin terdapat empat esensi. Ada Rūpa. Ada bau-bauan. Ada
rasa kecapan. Ada sentuhan. Walaupun tidak ada indria sentuhan, namun mereka memiliki
Phoṭṭhabba. Ada prinsip kehidupan, makanan, ruang, kelompok-kelompok materi keringanan dan
seterusnya, dan karakteristik-karakteristik.
“Pada saat konsepsi, suara, kemampuan berubah, kerusakan, dan kematian tidak ada.” (CMA, VI, §29,
p.258)
Pada momen Paṭisandhi tidak ada suara; tidak ada suara yang dapat muncul. tidak ada kemampuan
berubah, Vikāra. Ini berarti Kāya-viññatti, Vacī-viññatti, Lahutā, Mudutā dan Kammaññatā. Tidak ada
Jaratā. Di sini Paṭisandhi berarti pada sub-momen pertama Paṭisandhi karena pada sub-momen ke dua
adalah Jaratā. Paṭisandhi di sini berarti sub-momen pertama Paṭisandhi. Dan kematian tidak ada. Hal-
hal ini tidak ada pada momen konsepsi.
“Dalam perjalanan kehidupan (selama hidup) tidak ada yang tidak diperoleh.” (CMA, VI, §29, p.258)
Seluruh 28 properti materi dapat muncul.
Sekarang anda mengetahui bagaimana materi muncul dan bagaimana materi akhirnya lenyap dalam
satu kehidupan. Dan seperti yang ditunjukkan dalam syair pada CMA halaman 257, guru-guru Burma
masa lalu telah memformulasikan Rūpa-vīthi. Ini tidak terdapat dalam Komentar. Ini adalah produk
guru-guru Burma. Jika ada proses momen pikiran, maka akan ada hanya proses properti materi saja.
Mereka merancang ini. Ini sangat rumit dan juga tidak persis tepat. Ini hanya sekilas, hanya contoh
bagaimana properti materi muncul.
Saya tidak akan membahas semua ini. Ini terlalu rumit, tetapi mari kita lihat sejauh mana kita dapat
memahami. Walaupun ada banyak kelompok yang muncul pada momen Paṭisandhi, di sini kita hanya
mengambil satu kelompok, Suddhaṭṭhaka. Kelompok-kelompok lainnya mungkin muncul atau tidak
muncul pada momen Paṭisandhi. Kelompok yang mengandung Sadda (suara) mungkin tidak akan
pernah muncul pada momen Paṭisandhi. Yang dimaksudkan di sini adalah oktet murni, Suddhaṭṭhaka.
Pada saat Paṭisandhi ada tiga sub-momen – permulaan, statis dan mati. Sub-momen pertama adalah
kemunculan. Statis adalah keberlangsungan. Mati adalah lenyapnya. Pada momen pertama bagi
makhluk-makhuk yang terlahir dari rahim, seperti manusia, berapa banyakkah Kalāpa yang ada? Ada
tiga kelompok. Ingatkah anda ketiga kelompok ini? Yaitu Kāya, Bhāva dan Vatthu. Pada CMA halaman
255 paling bawah,
“Pada makhluk-makhluk yang terlahir dari rahim muncul (pada saat kelahiran kembali) tiga
kelompok-sepuluh – kelompok-sepuluh tubuh, jenis kelamin and landasan-jantung (Kāya, Bhāva &
Vatthu Dasaka).” (CMA, VI, §23, p.255)
Jadi pada momen permulaan atau momen kemunculan Paṭisandhi muncul tiga Kalāpa. Ketiga ini akan
bertahan hingga momen ke-17. Dikatakan bahwa materi yang-lahir-dari-Kamma muncul pada setiap
sub-momen. Pada tahap statis tiga muncul kembali, dan karena itu menjadi enam – tiga yang muncul
pada tahap permulaan tetap ada dan momen ke dua ditambahkan tiga lagi, dan pada momen ke tiga,
momen mati, tiga lagi ditambahkan. Ada tiga pada momen permulaan. Ada enam pada momen statis.
Dan ada sembilan pada momen matinya Paṭisandhi. Setelah Paṭisandhi muncul Bhavaṅga, banyak
Bhavaṅga. Pada momen permulaan dari Bhavaṅga pertama terdapat 12. Pada momen statis ada 12 + 3
= 15. Pada saat mati terdapat 15 + 3 = 18. Jadi anda menambahkan tiga berulang-ulang hingga anda
mencapai Manodvārāvajjana. Dimulai dari Manodvārāvajjana dan seterusnya jumlahnya selalu 153. Ini
karena tiga muncul dan tiga lenyap. tiga yang muncul pada momen permulaan Paṭisandhi lenyap pada
momen Bhavaṅga ke-16. Pada momen permulaan Manodvārāvajjana ditambahkan tiga. Walaupun
ditambahkan tiga, tetapi karena tiga lenyap, makanya jumlahnya tetap sama. Dimulai dari momen itu
jumlahnya selalu sama. Jumlah itu selalu sama karena tiga muncul dan tiga lenyap. Jumlah itu akan
berlanjut sama terus-menerus. Ini adalah untuk Kalāpa yang-lahir-dari-Kamma. Apakah anda sudah
mengerti sekarang? Untuk memahami hal ini, terlebih dulu anda harus memahami bahwa materi
yang-lahir-dari-Kamma muncul pada setiap sub-momen. Katakanlah, untuk manusia pada momen
Paṭisandhi tiga Kalāpa muncul – tubuh, jenis kelamin dan jantung. Tiga kelompok materi yang-lahir-
dari-Kamma muncul pada permulaan, tiga pada tahap statis, dan tiga pada tahap mati. Maka kita
menambahkan tiga, tiga dan tiga hingga kita sampai pada 153. Setelah itu jumlahnya akan tetap sama.
Momen setelah itu, tiga muncul dan tiga lenyap.
Berikutnya adalah yang lahir dari Citta. Rūpa yang-lahir-dari-batin muncul kapankah? Munculnya
pada momen pertama dari Bhavaṅga pertama. Ini muncul pada setiap momen pertama, bukan pada
setiap sub-momen, melainkan hanya pada sub-momen pertama. Pada sub-momen pertama dari
Bhavaṅga pertama ada satu Kalāpa yang lahir dari Citta. Ini tetap ada. Pada sub-momen statis dan mati
dari Bhavaṅga pertama tidak ada penambahan. Tetapi pada sub-momen pertama dari Bhavaṅga ke
dua muncul satu kelompok. Jadi ada dua kelompok. Dan pada sub-momen statis dan mati dari
Bhavaṅga ke dua tidak ada penambahan. Pada Bhavaṅga ke tiga pada sub-momen permulaan satu lagi
kelompok materi yang-lahir-dari Citta harus ditambahkan. Maka kita memperoleh satu, satu, satu,
dua, dua, dua, tiga, tiga, tiga dan seterusnya. Sampai kapankah kelompok tambahan dari materi yang-
lahir-dari-Citta muncul? Kelompok-kelompok tambahan dari materi yang-lahir-dari-Citta muncul
hingga Manodvārāvajjana. Setelah itu jumlahnya akan tetap sama – 17, 17, 17 karena satu lenyap dan
satu muncul. jadi satu lenyap dan satu muncul dan seterusnya dan seterusnya. Mulai saat itu
jumlahnya selalu sama.
Sekarang Utuja, materi yang-lahir-dari-temperatur dapat muncul kapankah? Ini mulai muncul
bersama dengan momen statis Paṭisandhi. Ini berarti tiga Kammaja-kalāpa yang muncul pada momen
permulaan Paṭisandhi mencapai momen statisnya dimulai dari momen statis Paṭisandhi. Ketika
mencapai momen itu, ketiganya menghasilkan Kalāpa yang-lahir-dari-Utu. Kemudian Kammaja-
kalāpa yang muncul pada momen statis Paṭisandhi mencapai tahap statisnya pada tahap matinya
Paṭisandhi. Karena telah mencapai tahap statisnya maka Kalāpa itu menghasilkan tiga lagi. Jadi ada
enam. Ini agak rumit. Tiga Kammaja-kalāpa yang muncul pada momen permulaan Paṭisandhi, ketiga
Kalāpa itu akan tetap ada hingga momen ke-17. Umur kehidupan Rūpa adalah 51 sub-momen. Momen
pertama adalah permulaannya. Momen ke-51 adalah matinya. 49 momen di antaranya adalah tahap
statisnya. Tahap permulaan dan matinya Citta dan Rūpa adalah sama. Tetapi tahap statis Rūpa dan
Citta adalah berbeda. Tiga Kalāpa yang muncul pada momen permulaan Paṭisandhi mencapai momen
statisnya pada momen statis Paṭisandhi. Ketika mencapai momen statisnya, Kalāpa-Kalāpa itu menjadi
kuat. Dan karena itu menghasilkan tiga Kalāpa. Kemudian ketiga Kalāpa yang muncul pada momen
statis Paṭisandhi mencapai momen statisnya pada momen matinya Paṭisandhi. Maka Kalāpa-Kalāpa
itu menjadi kuat dan menghasilkan tiga lagi. Dan ketiga Kalāpa yang muncul pada momen matinya
Paṭisandhi mencapai tahap statisnya pada momen permulaan Bhavaṅga pertama. Maka Kalāpa-Kalāpa
itu menghasilkan tiga lagi. Jadi anda menambahkan tiga dan memperoleh 3, 6, 9, dan seterusnya.
Kemudian ada 13, bukan 12. Ini tidak mudah. Mengapakah kita menambahkan empat? Cittaja-kalāpa
yang muncul pada momen permulaan Bhavaṅga pertama mencapai momen statisnya pada momen
statis Bhavaṅga pertama. Pada momen statis Bhavaṅga pertama kita menambahkan empat Kalāpa,
bukan tiga. Tiga adalah seperti biasa oleh Kammaja-kalāpa. Cittaja-kalāpa mencapai momen statis
pada momen statis Bhavaṅga Citta pertama. Ini menghasilkan satu. Jadi kita menambahkan empat dan
bukan tiga – tiga oleh Kammaja-kalāpa dan satu oleh Cittaja-kalāpa. Kita menambahkan empat Kalāpa
sehingga ada 13 dan bukan 12. Belakangan kita hanya menambahkan tiga. Dan pada setiap momen
statis kita menambahkan empat karena Cittaja-kalāpa yang muncul pada momen permulaan Bhavaṅga
ke dua mencapai statisnya pada momen statis Bhavaṅga ke dua. Jadi ini menghasilkan satu. Kemudian
kita menambahkan 4 pada 19 sehingga kita memperoleh 23. Ini berlanjut terus-menerus seperti ini.
Jadi pada momen statis anda menambahkan empat dan pada momen-momen lainnya anda
menambahkan tiga.
Dimulai dari tahap statis Manodvārāvajjana tidak ada penambahan dalam jumlah – semuanya 170, 170,
170. Mengapakah? Tiga yang disebabkan oleh Kammaja-rūpa lenyap pada momen itu. Ini berarti tiga
lenyap dan empat muncul, yang berarti hanya bertambah satu. Itulah sebabnya mengapa menjadi 170
dan bukan 173. Jadi hanya bertambah satu. Dan kemudian ada satu lagi dan seterusnya. Ini hanyalah
sekilas dari apa yang dapat kita telusuri sehubungan dengan munculnya materi dalam satu kehidupan.
Ketika kita mengatakan tiga Kalāpa, enam Kalāpa, maksudnya bukanlah tiga kelompok, melainkan tiga
jenis kelompok karena ada banyak kelompok. Sehubungan dengan jenis-jenis kelompok hanya ada tiga
jenis ini. Ketika kita mengatakan tiga Kalāpa, maksudnya bukanlah hanya tiga kelompok itu,
melainkan tiga jenis kelompok. Katakanlah, ada kelompok Kāya, Bhāva dan Vatthu. Mungkin ada
ribuan kelompok Kāya. Mungkin ada ribuan kelompok Bhāva. Mungkin ada ribuan kelompok Vatthu.
Tetapi kita menyebutnya tiga kelompok karena ada tiga jenis kelompok. Ini adalah proses Rūpa atau
dalam Pāḷi kita menyebutnya Rūpa-vīthi. Ini tidak disebutkan dalam Komentar manapun. Di Burma
khususnya di masa lalu para murid harus mempelajari ini juga. Sebenarnya ada banyak lagi.
NIBBĀNA
Sekarang kita sampai pada bagian terakhir dari bab enam dan ini adalah tentang Nibbāna. Ada empat
kebenaran mutlak. Citta, kebenaran mutlak pertama, dibahas pada bab satu. Cetasika dibahas pada
bab dua. Bab tiga, empat dan lima membahas Citta dan Cetasika. Bab enam membahas Rūpa. Hanya
tersisa satu lagi – Nibbāna. Hanya penjelasan singkat tentang Nibbāna yang terdapat dalam buku ini.
Nibbāna adalah istilah untuk Adi-duniawi, dalam Pāḷi, Lokuttara. Anda tahu Lokuttara – ‘Loka’ dan
‘Uttara’, melampaui Loka. Loka di sini berarti dunia kelima kelompok kemelekatan. Nibbāna disebut
Lokuttara karena melampaui lima kelompok kemelekatan, dunia lima agregat.
Ini harus direalisasikan melalui pengetahuan empat Jalan. Nibbāna bukanlah kekosongan. Nibbāna
adalah sesuatu. Ini dapat direalisasikan melalui pengetahuan empat Jalan. Ini berarti Nibbāna adalah
pengetahuan langsung bagi mereka yang telah mencapai pencerahan. Hanya ketika seseorang
mencapai pencerahan maka batinnya dapat mengambil Nibbāna sebagai objek. Pada momen
pencerahan muncul Magga Citta. Magga Citta itu mengambil Nibbāna sebagai objek. Jadi mereka yang
telah mengalami Magga dan Phala dapat mengalami Nibbāna atau mengambil Nibbāna sebagai objek
secara langsung. Tetapi bagi kaum Puthujjana (makhluk-makhluk yang tidak tercerahkan) ini
bukanlah pengetahuan langsung. Ini adalah pengetahuan kesimpulan. Ini harus direalisasikan melalui
pengetahuan empat Jalan. Ini berarti Nibbāna adalah pengetahuan langsung bagi siapapun yang telah
mencapai salah satu dari empat pengetahaun Jalan.
“ini menjadi objek dari jalan dan buah, …” (CMA, VI, §30, p.258)
Yang berarti ini adalah objek dari kesadaran Jalan dan Buah. Ini adalah objek dari Magga dan Phala
Citta. Kita telah mempelajari ini pada bab tiga. Pada bab tiga terdapat satu bagian yang membahas
objek-objek. Semua Lokuttara Citta mengambil Nibbāna sebagai objek. Nibbāna adalah objek dari
Magga dan Phala.
Komentar menjelaskan melalui kalimat ini bahwa Nibbāna adalah objek dari Magga dan Phala; penulis
ingin kita memahami bahwa bagi orang-orang yang tidak tercerahkan maka ini harus dipahami
dengan cara menyimpulkan. Apa yang kita pahami tentang Nibbāna bukanlah pengetahuan langsung
melainkan melalui kesimpulan. Ada yang disebut Magga dan Phala dan ada yang disebut kebebasan
dari kekotoran batin. Walaupun pada masa sekarang ini kita tidak menemukan para Arahant, namun
di masa lalu mereka mungkin bertemu para Arahant. Dan mereka benar-benar melihat orang-orang
yang sepenuhnya terbebaskan dari kekotoran batin, seperti Sang Buddha dan lain-lainnya. Ketika kita
melihat apa yang diebut penghapusan kekotoran batin, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ada
sesuatu yang bukan merupakan fenomena terkondisi, dan yang bukan merupakan konsep, dan itu
adalah objek dari Magga dan Phala. Objek itu adalah Nibbāna. Dengan cara menyimpulkan mereka
yang belum mencapai pencerahan dapat memahami melalui pemikiran seperti ini bahwa Nibbāna
adalah objek dari Magga dan Phala. Saya ulangi. Ketika kita melihat atau memahami penghapusan
kekotoran batin, maka kita dapat menyimpulkan pasti ada suatu pengetahuan yang dapat melakukan
peghapusan kekotoran batin. Citta apapun atau pengetahuan apapun yang mengambil hal-hal
terkonfisi atau konsep sebagai objek adalah tidak mampu mencapai penghapusaan kekotoran batin.
Hanya pengetahuan yang mengambil Nibbāna sebagai objek yang dapat menghapuskan kekotoran
batin. Karena ada penghapusan kekotoran batin, maka kita dapat menyimpulkan pasti ada sesuatu
yang menjadi objek Magga dan Phala, yang melakukan penghapusan kekotoran batin. Dengan
menyimpulkan demikian, orang-orang yang belum tercerahkan dapat memahami Nibbāna. Nibbāna
adalah pengetahuan langsung bagi mereka yang telah mencapai pencerahan. Bagi orang-orang
lainnya Nibbāna harus dipahami dengan cara menyimpulkan.
“… dan disebut Nibbāna karena ini berangkat dari ketagihan, yang adalah kekusutan.” (CMA, VI, §30,
p.258)
Sekarang kata ‘Nibbāṅa dijelaskan di sini sebagai tersusun dari ‘Ni’ dan ‘Vāna’. Anda harus memahami
tata bahasa Pāḷi untuk mengetahui mengapa ‘V’ berubah menjadi ‘B’. Ini adalah wilayah tata bahasa.
Kata Nibbāna tersusun dari kata ‘Ni’ dan ‘Vāna’. Vāna dijelaskan di sini sebagai bermakna kekusutan
atau saling menjalin. Yang saling menjalin di sini bukan lain adalah ketagihan. Selama ada ketagihan
maka akan ada kelahiran kembali. Ketagihan adalah bagaikan benang yang menggabungkan satu hal
dan hal lainnya. Jalinan atau benang itu disebut Vāna dalam Pāḷi. ‘Ni’ berarti keluar dari. ‘Nibbāna’
berarti keluar dari ketagihan. Keluar dari ketagihan berarti Nibbāna tidak dapat menjadi objek bagi
ketagihan. Ketagihan tidak dapat mengambil Nibbāna sebagai objek. Nibbāna adalah di luar cakupan
ketagihan. Juga karena tidak ada ketagihan di dalam Nibbāna. Nibbāna dikatakan sebagai di luar Vāna,
di luar ketagihan . itulah sebabnya maka disebut Nibbāna. ‘Ni dan ‘Vāna’ digabungkan dan ‘V’ berubah
menjadi ‘B’, maka menjadi Nibbāna. Ini adalah makna yang dijelaskan dalam CMA.
Penjelasan lain diberikan dalam tuntunan di sini.
“Secara etimologi, kata Nibbāna – bentuk Pāḷi dan Sanskrit ‘Nirvāṇa’ – diturunkan dari kata kerja
‘Nibbāti’ yang bermakna ‘ditiup’ atau ‘dipadamkan’. Ini merujuk pada dipadamkannya ‘api’ duniawi
keserakahan, kebencian dan delusi.” (CMA, VI, §30, p.259)
Ini adalah makna lainnya. Ini juga dijelaskan dalam Komentar, tetapi tidak di dalam Manual ini.
Nibbāna disebut demikian karena melalui Nibbāna maka api keserakahan, kebencian dan delusi
dipadamkan. Itulah sebabnya maka disbut Nibbāna. Dalam kasus ini Nibbāna diturunkan dari kata
kerja ‘Nibbāti’, ditiup atau dipadamkan.
Tetapi para komentator Pāḷi lebih suka memperlakukannya sebagai bentuk negatif dari, atau
‘berangkat dari’ (nikkhantatta), kekusutan (vāna) ketagihan, bentuk turunan yang diberikan di sini.”
(CMA, VI, §30, p.259)
Sebenarnya para Komentator Pāḷi memberikan kedua makna ini – dipadamkan, berangkat dari, keluar
dari ketagihan.
“Selama seseorang masih terjerat oleh ketagihan, maka ia masih terikat dalam saṃsāra, …” (CMA, VI,
§30, p.259)
Selama masih ada ketagihan, maka kita tidak dapat keluar dari Saṃsāra.
“… tetapi ketika semua ketagihan telah sepenuhnya dihancurkan, maka ia mencapai Nibbāna,
kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian.” (CMA, VI, Tuntunan §30, p.259)
Nibbāna diturunkan dalam dua cara. Turunan dalam CMA ini adalah ‘Ni’ dan ‘Vāna’, keluar dari atau
berangkat dari Vāna, yang merupakan kekusutan atau yang merupakan ketagihan. Makna lainnya
adalah: Nibbāna adalah sesuatu yang melaluinya api-api keserakahan, kebencian dan delusi
dipadamkan.
Nibbāna adalah hanya satu menurut esensinya sendiri dan itu adalah kedamaian.
“… dengan rujukan pada sebuah landasan (sebagai pembedaan), Nibbāna ada dua, yaitu, elemen
Nibbāna dengan sisa, dan elemen Nibbāna tanpa sisa.” (CMA, VI, §31, p.259)
Ada dua jenis Nibbāna. Pertama-tama kita harus memahami bahwa Nibbāna adalah hanya satu
menurut sifat hakikinya karena Nibbāna adalah kedamaian. Tetapi kita dapat mengatakan ada dua
jenis Nibbāna. Perbedaan itu adalah suatu landasan untuk rujukan. Perbedaannya adalah makhluk-
makhluk dengan sisa dan makhluk-mahkluk tanpa sisa. Jika kita melihat dengan cara ini - makhluk-
makhluk dengan sisa dan makhluk-mahkluk tanpa sisa – maka kita dapat mengatakan ada dua jenis
Nibbāna. Yang pertama disebut ‘Sa-upādisesa’. Saya ingin anda memahami kata-kata ini. Sa-upādisesa
– anda dapat melihat kata ini dalam bagian Pāli. “Tadetaṃ sabhāvato ekavidhampi
saupādisesanibbānadhāṭu” (Abhidhammatthasaṅgaha, 6.63). Yang ke dua adalah ‘Anupādisesa
Nibbānadhātu’. Sekarang ada Sa-upādisesa. ‘Sesa’ berarti sisa. ‘Upādi’ berarti agregat-agregat. ‘Sa’
berarti dengan. Jadi maknanya adalah dengan agregat-agregat tersisa. Elemen Nibbāna yang dengan
agregat-agregat tersisa disebut Sa-upādisesa. Anupādisesa berarti kebalikannya. Elemen Nibbāna yang
tanpa agregat-agregat tersisa adalah Anupādisesa. Dengan melihat demikian, maka ada dua jenis
Nibbāna.
1. Yang pertama adalah ‘Sa-upādisesa Nibbānadhātu’, elemen Nibbāna dengan agregat-agregat
yang tersisa, dan
2. Yang ke dua adalah ‘Anupādisesa Nibbānadhātu’, elemen Nibbāna tanpa agregat-agregat yang
tersisa.
Ketika seseorang mencapai Nibbāna, atau merealisasikan Nibbāna, atau katakanlah, menjadi seorang
Arahant, ia memadamkan semua kekotoran batin. Semua kekotoan batin sirna padanya. Apa yang
tersisa adalah tubuhnya dan Citta serta Cetasika lainnya. Seorang Arahant masih memililik tubuh fisik
dan beberapa Citta serta Cetasika yang tersisa. Disebut ‘tersisa’ karena ketika kekotoran-kekotoran
batin dihapuskan, hal-hal itu tertinggal. Batin dan jasmani seorang Arahant di sini disebut Upādi-sesa
agregat-agregat yang tersisa), tersisa setelah terhapusnya kekotoran-kekotoran batin. Nibbāna yang
direalisasikan seseorang selagi masih memiliki tubuh dan batin ini disebut Sa-upādisesa. Ada Nibbāna
yang menjadi nyata setelah kematian seorang Arahant. Ketika seorang Arahant meninggal dunia, batin
dan jasmaninya lenyap sepenuhnya. Tidak ada lagi kemunculan batin dan jasmani. Jenis Nibbāna itu
disebut Nibbāna tanpa agregat-agregat yang tersisa. Ini berarti Nibbāna setelah wafatnya Sang Buddha
atau seorang Arahant. Jadi ada dua jenis Nibbāna ini.
Jenis Nibbāna pertama juga disebut Kilesa Parinibbāna. Ini berarti padamnya Kilesa-Kilesa. Jenis
Nibbāna ke dua juga disebut Khandha Parinibbāna, padamnya agregat-agregat. Jadi ada:
1. Kilesa Parinibbāna, dan
2. Khandha Parinibbāna.
Kilesa Parinibbāna adalah sama dengan Sa-upādisesa Parinibbāna. Khandha Parinibbāna adalah sama
dengan Anupādisesa Parinibbāna. Ada atau tidak adanya agregat-agregat menjadi dasar untuk
mengatakan ada dua Nibbāna ini.
“Ada tiga jenis menurut aspek lainnya, yaitu, kehampaan, tanpa gambaran, dan tanpa keinginan.”
(CMA, VI, §31, p.259)
Nibbāna juga dapat dijelaskan sebagai tiga jenis Nibbāna menurut aspek lainnya. Ketiga aspek ini kita
sebut tiga jenis Nibbāna. Yang pertama adalah kehampaan, Suññā dalam Pāḷi atau Suññata. Di sini
‘Suñña’ berarti hampa dari keserakahan, kebencian dan delusi. Juga disebut Suñña karena hampa dari
segala yang terkondisi. Dua penjelasan diberikan untuk kehampaan atau Suñña. Suñña adalah hampa;
ini hampa dari keserakahan, kebencian dan delusi. Hampa dari segala yang terkondisi. Tidak ada
apapun yang terkondisi dalam Nibbāna dan Nibbāna itu sendiri adalah tak terkondisi.
Yang ke dua adalah tanpa gambaran. Keserakahan, kebencian dan delusi disebut gambaran. Menjadi
terkondisi disebut gambaran. Nibbāna disebut tanpa gambaran karena bebas dari gambaran
keserakahan, kebencian dan delusi, dan juga bebas dari gambaran segala yang terkondisi. Ini adalah
penjelasan yang sama.
Disebut tanpa keinginan karena bebas dari hasrat keserakahan, kebencian dan delusi dan juga karena
tidak diinginkan oleh ketagihan. Tidak diinginkan oleh ketagihan berarti bukan merupakan objek
ketagihan. Menurut aspek-aspek ini, kita dapat mengatakan ada tiga jenis Nibbāna. Sebenarnya hanya
ada satu Nibbāna, yang dikenal melalui sifat hakikinya yaitu kedamaian.
Pertama-tama ada satu Nibbāna. Kemudian ada dua jenis Nibbāna dengan bergantung pada ada atau
tidak adanya agregat-agregat yang tersisa. Juga ada tiga Nibbāna dengan bergantung pada aspek-
aspeknya. Apakah ketiga aspek ini? Yaitu Suñña (kehampaan), Animitta (tanpa gambaran), dan
Appaṇihita (tanpa keinginan).
Kita sampai pada akhir bab.
“Para petapa agung yang bebas dari ketagihan menyatakan bahwa Nibbāna adalah suatu keadaan
objektif …” (CMA, VI, §32, p.260)
Nibbāna adalah suatu keadaan nyata. Bukan kekosongan.
“… yang adalah tanpa-kematian, …” (CMA, VI, §32, p.260)
Ini adalah tanpa kematian karena tanpa awal. Jika ada awal, maka pasti ada akhir. Kita harus
memahami hal ini dengan sangat jelas. Sering kali kita bersikap tidak adil dalam aspirasi-aspirasi kita,
keinginan-keinginan kita. Kita tidak menginginkan akhir, tetapi kita menginginkan awal. Jika anda
tidak menginginkan akhir, maka anda harus tidak menginginkan awal. Jika anda tidak menginginkan
kematian, maka anda harus tidak menginginkan kelahiran. Jika ada kelahiran, pasti ada kematian. Ini
adalah hukum alam. Di sini Nibbāna adalah tanpa kematian karena tanpa awal. Kita tidak dapat
mengatakan kapan Nibbāna muncul atau kapan Nibbāna lenyap. ini sama sekali tanpa akhir. Tidak ada
akhir karena tidak ada awal. Ini adalah tak terkondisi. Nāma dan Rūpa adalah terkondisi oleh Nāma
dan Rūpa lainnya. Tetapi Nibbāna adalah tak terkondisi. Nibbāna tidak pernah menjadi akibat dari
apapun. Ini tidak terlampaui. Ini berarti tidak ada yang menyamai.
Dalam syair Pāḷi terdapat permainan kata. Para petapa agung yang bebas dari ketagihan dalam Pāḷi
disebut Vānamuttā – penulis mengambil kata ‘Vāna’ dari kata Nibbāna. Nibbāna berasal dari ‘Ni’ dan
‘Vāna’. Vāna digunakan di sini untuk menjelaskan mereka yang bebas dari ketagihan. Jadi mereka yang
bebas dari ketagihan adalah Vānamuttā. Ini adalah gaya dari para penulis. Mereka menggunakan kata-
kata yang serupa, kata-kata yang bunyinya mirip.
“Demikianlah para Tathāgata mengungkapkan realitas mutlak sebagai empat …” (CMA, VI, §32, p.260)
Para Buddha mengungkapkan realitas mutlak sebagai empat jenis. Yaitu kesadaran, faktor-faktor
batin, materi dan Nibbāna. Ini adalah akhir dari bagian tentang Nibbāna dan akhir dari bab enam. Dan
ini adalah akhir dari pembahasan atas seluruh empat realitas mutlak. Jadi kita dapat berhenti di sini
jika kita menginginkan karena kita telah sampai pada akhir dari seluruh empat realitas mutlak.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

KALĀPA-KALĀPA DAN JENIS-JENIS MAKHLUK BERBEDA


Saya ingin memberikan informasi tambahan tentang kapan dan pada jenis makhluk apakah Rūpa-
kalāpa muncul dan apa yang tidak ada. Yang pertama adalah Kāmāvacara Bhūmi, makhluk-makhluk
di alam indriawi. Ada tiga makhluk:
- Yang terlahir dari kelembaban,
- Yang terlahir secara spontan, dan
- Yang terlahir dari rahim.
Terlahir dari kelembaban berarti mereka yang terlahir dari kelembaban, seperti serangga. Mereka
disebut terlahir dari kelembaban. Pada momen Paṭisandhi di sana pada mereka muncul Cakkhu, Sota,
Ghāna, Jivhā, Kāya, Bhāva dan Vatthu, jadi tujuh kelompok-sepuluh. Cakkhu, Sota, Ghāna dan Bhāva
mungkin tidak ada. Kadang-kadang mereka mungkin tidak memiliki Cakkhu. Kadang-kadang mereka
mungkin tidak memiliki Sota dan seterusnya. Itu adalah pada momen penghubungan-kembali.
‘Pavatti’ berarti sepanjang kehidupan. Sepanjang kehidupan24 semua Rūpa kecuali yang tidak ada
dapat muncul.
Terlahir spontan berarti mereka yang terlahir sebagai makhluk-makhluk dewasa. Di sini disebutkan
tiga jenis makhluk yang terlahir spontan. Satu adalah para Deva. Pada saat penghubungan-kembali
terdapat seluruh tujuh kelompok-sepuluh. Ketujuh kelompok-sepuluh itu adalah Cakkhu, Sota, Ghāna,
Jivhā, Kāya, Bhāva dan Vatthu. Tidak ada yang tidak ada pada mereka karena mereka terlahir dari
Kamma yang sangat kuat. Sepanjang kehidupan semua Rūpa muncul pada mereka.
Kemudian ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan di Apāya, empat alam sengsara. Pada mereka
yang terlahir di empat alam sengsara pada momen Paṭisandhi muncul tujuh kelompok-sepuluh. Di
antaranya Cakkhu, Sota dan Bhāva mungkin tidak ada. Kadang-kadang mereka mungkin mengambil
konsepsi tanpa Cakkhu dan sebagainya. Pada saat Pavatti semua Rūpa muncul kecuali yang tidak ada.
Jenis terlahir spontan yang terakhir adalah manusia. Dikatakan bahwa manusia terlahir spontan pada
awal dunia ini. Karena tidak ada manusia pada waktu itu para Brahma meninggal dunia dari alam
Brahma dan terlahir sebagai manusia. Pada masa itu manusia terlahir secara spontan. Pada mereka
Cakkhu, Sota, Ghāna, Jivhā, Kāya dan Vatthu, enam kelompok-sepuluh muncul, tetapi tanpa Bhāva.
Dikatakan bahwa mereka tidak memiliki jenis kelamin pada saat itu. Setelah setelah beberapa waktu
jenis kelamin muncul. pada masa Pavatti, selama kehidupan, semua Rūpa kecuali kedua Bhāva dapat
muncul.
Makhluk-makhluk yang terlahir dari rahim termasuk manusia, burung-burung dan binatang lainnya.
Pada saat Paṭisandhi hanya ada tiga kelompok-sepuluh – Kāya, Bhāva dan Vatthu. Kadang-kadang
Bhāva tidak ada. Ada beberapa yang lahir tanpa jenis kelamin. Pada masa Pavatti semua Rūpa muncul.
tidak ada berarti tidak muncul ketika waktunya bagi kelompok-sepuluh Cakkhu untuk muncul. itu
disebut terlahir-buta, terlahir-tuli dan sebagainya. Ini adalah untuk makhluk-makhluk di alam
Kāmāvacara.

24
Ini berarti setelah Paṭisandhi.
Pada makhluk-makhluk di alam Rūpāvacara kecuali Asañña-satta (kecuali makhluk-makhluk tanpa
batin), pada saat Paṭisandhi (pada momen penghubungan-kembali), kelompok-sepuluh Cakkhu, Sota,
Vatthu dan kelompok-sembilan Jīvita muncul. keempat kelompok ini muncul pada masa Pavatti atau
selama kehidupan, empat kelompok-sepuluh ditambah enam kelompok yang lahir dari Utu juga
muncul. Jadi pada masa Pavatti (4+6+4) 14 kelompok materi muncul. ada 23 Rūpa.
Pada makhluk-makhluk tanpa batin di alam Rūpāvacara pada saat Paṭisandhi hanya Jīvita-navaka yang
muncul. pada saat Paṭisandhi hanya ada satu kelompok-sembilan – Jīvita-navaka. Pada masa Pavatti
ada Jīvita-navaka ditambah Suddhaṭthaka (oktet murni) dan Lahutādekādasaka dari Utuja-kalāpa.
Pada makhluk-makhluk tanpa batin pada saat Paṭisandhi hanya ada sembilan jenis properti materi.
Selama kehidupan ada 17 properti materi. Ini adalah kelompok-sepuluh yang muncul pada saat
Paṭisandhi dan selama kehidupan. Ada beberapa yang mungkin tidak ada.
Sādhu! Sādhu! Sādhu!

[Akhir dari Bab Enam]

Anda mungkin juga menyukai