Anda di halaman 1dari 2

Untuk pertama kalinya di Indonesia, didirikan Sekolah Tinggi Agama Buddha, serta satu-satunya di Jawa Timur yang di dalamnya

memberikan pelayanan pendidikan yang ditujukan khusus bagi para biarawan dan biarawati buddhis, selain juga mahasiswa umum. Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa didirikan pertama kali pada tahun 2000, dengan bangunan yang sangat sederhana dan murid yang hanya berjumlah tidak lebih dari lima puluh orang, hingga akhirnya pada tahun 2007, Kepala Padepokan Dhammadipa Arama, Bhante Khantidharo memutuskan untuk membuka suatu kelas dan menerima mahasiswa khusus yang disebut dengan istilah Samanera dan Atthasilani. Samanera adalah istilah biarawan buddhis yang menjalankan sepuluh aturan kemoralan dan tujuh puluh lima latihan tambahan, mereka juga disebut sebagai calon Bhikkhu (dalam istilah bahasa Pali) atau Biksu (dalam istilah bahasa Sansekerta). Meskipun seorang bhikkhu menjalankan aturan yang lebih banyak dibandingkan dengan seorang samanera namun, secara fisik mereka nampak sama dengan seorang bhikkhu, mereka adalah seorang laki-laki menggunakan jubah berwarna coklat dengan berkepala gundul, menjalani kehidupan secara sederhana, tidak menikah atau hidup selibat, bertekad meninggalkan bentuk-bentuk kehidupan keduniawian dan tinggal di vihara dengan bimbingan seorang guru. Seorang Bhikkhu dan Samanera bukanlah sosok yang asing bagi umat Buddha, namun berbeda halnya dengan sosok seorang Atthasilani. Bagi mereka yang belum pernah melihat sosok wanita gundul, adalah suatu yang unik jika seorang wanita rela mencukur rambutnya dan memutuskan untuk tinggal di Wihara. Rambut merupakan mahkota bagi seorang wanita, apalagi bagi perempuan yang masih tergolong remaja dan berusia belasan tahun bukanlah hal yang mudah untuk melepas kepemilikan tersebut. Hal inilah yang menimbulkan kekaguman bagi mereka yang melihat sosok atthasilani. Atthasilani bukanlah Bhikkhuni, dalam silsilah sejarah perkembangan agama Buddha di dunia Sangha Bhikkhuni adalah komunitas biarawati yang didirikan oleh Sang Buddha. Dengan memulai Sangha Bhikkhuni, Buddha membuka kesempatan unik bagi wanita untuk menjalani hidup tanpa berumah tangga dan melintasi adat kebiasaan umum dan rintangan budaya. Buddha merupakan salah satu tokoh dunia yang terkenal pada zamannya telah mampu memberikan tantangan revolusi terhadap harkat, martabat serta derajad wanita. Meninggalkan keberadaan sistem kasta dan menyetarakan kedudukan wanita dengan pria. Beliau juga mengakui bahwa wanita memiliki kemampuan yang setara dengan pria dalam hal mengerti ajaran Dhamma dan perkembangan kemampuan spiritual. Hal ini merupakan sebuah pernyataan yang cukup radikal pada jaman itu. Sangha bhikkhuni tetap merupakan Sangha yang berkembang selama lebih dari seribu tahun, bahkan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan raja Asoka Wardhana, beliau berhasil mengumpulkan komunitas wanita atas bantuan putrinya yang juga rela melepaskan tahta dan kerajaannya, meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi seorang Bhikkhuni yang bernama Sanghamita. Bhikkhuni Sanghamita dikirim ke Srilanka oleh raja Asoka dan menghasilakan perkembangan Agama Buddha yang cukup pesat di sana. Meskipun dalam perkembangan selanjutnya perlahan-lahan garis silsilah ini mati akibat bencana kelaparan dan perang. Sehingga, karena tidak ada mekanisme untuk bertahan yang disediakan oleh Sang Buddha, satu-satunya penahbisan yang terbuka bagi wanita di negara Theravada saat ini adalah penahbisan sebagai biarawati, yang menjalankan 8 sila atau 10 sila.

Theravada merupakan salah satu aliran besar Buddhis dunia yang berusaha menjaga dan mempertahankan keaslian dan kemurnian dari ajaran Sang Buddha. Aliran ini sering juga disebut sebagai aliran sesepuh. Di Indonesia yang memiliki kesamaan perkembangan sejarah agama Buddha Theravada dengan negara Thailand, norma biarawati yang dijalankan adalah 8 sila atau 8 kemoralan. Di Thailand mereka dikenal sebagai mae chee. Sedangkan di Indonesia wanita yang menjalankan 8 aturan tersebut disebut sebagai atthasilani atau silacarini. Sebagaimana Bhikkhu, para atthasilani juga mencukur rambutnya dan menjalankan latihan yang biasanya tidak dijalankan oleh umat awam. Mengenakan jubah putih yang mencerminkan pembagian yang tegas antara orang yang ditahbiskan dengan umat awam. Seorang atthasilani menjalankan aturan disiplin standar mencakup busana yang sesuai, perilaku dan tata cara di masyarakat. Sebuah wujud nyata, Indonesia merupakan sebuah negara yang heterogen dalam perkembangan kepercayaan dan keyakinan, dan dari sebagian kepercayaan dan keyakinan itu agama Buddha disadari telah memegang peranan meskipun sebagai agama minoritas, namun kini telah mampu mewujudkan perkembangan baru yang kelak akan menjadi sejarah munculnya para pejuang wanita dalam hal pengetahuan spiritual untuk pertamakalinya di Indonesia. Mereka bukanlah orang-orang asing yang muncul dari negara lain, namun mereka adalah para pejuang wanita berkebangsaan Indonesia, yang menempuh pendidikan dan pengajaran untuk mengembangkan kemampuan intelektual, emosional dan spritrual. Dibalik kehidupan sederhana dan jubah putih yang mereka kenakan, para pemudi itu sedang berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara demi mewujudkan cita-cita luhur yang kelak akan berguna melalui latihan yang mereka jalankan. Para Atthasilani berusaha menjalani hidup yang didasari atas kebajikan, kemoralan, aturan disiplin dan tanpa kekerasan. Mereka berlatih untuk tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan tindakan asusila, tidak berucap bohong, tidak minum dan makan sesuatu yang memabukkan dan melemahkan kesadaran, berpuasa dengan hanya makan sebelum tengah hari, tidak menikmati kesenangan dengan bermain musik, menyanyi, menari dan mempercantik tubuh serta hidup sederhana dengan menghindari penggunaan tempat tidur yang mewah. Latihan ini adalah wujud kesungguhan mereka untuk menjalani langkah perjalanan kehidupan mereka dalam mewujudkan cita-cita luhur, untuk memahami makna dan tujuan hidup sesungguhnya di luar batasan pencapaian yang bisa semua orang wujudkan. Kini Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa telah mampu membuat sejarah tersebut, kemunculan para pejuang wanita yang pertama kalinya di Indonesia memperoleh pendidikan melalui perkuliahan sekaligus menjalani kehidupan kewiharaan. Di usia mereka yang masih tergolong sangat muda, mereka telah membuktikan bahwa mereka (perempuan) juga mampu menjalani sesuatu yang di luar batasan pemikiran umum ini. Merekalah potret anak bangsa sebagai generasi penerus yang tidak seharusnya ditinggalkan dan diabaikan Semangat, kesederhanaan serta pengetahuan mereka adalah tumpuan dan harapan yang kelak akan menjadi pelaku sejarah dalam perkembangan bangsa ini selanjutnya. Itulah gambaran sosok seorang Atthasilani.

Anda mungkin juga menyukai