PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada tahap awal diyakini berasal dari
India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita
membandingkan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan
kemiripan itu. Sebelum kenal dengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki
masih sangat sederhana. Saat itu belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi
atau keraton. Tata kota di pusat kerajaan juga dipengaruhi kebudayaan hindu.
Demikian pula dalam hal kebudayaan yang lain seperti peribadatan dan kesastraan.
Candi Prambanan merupakan salah satu peninggalan agama hindu yang ada di
Jawa Tengah. Sedangkan Borobudur adalah merupakan candi peninggalan agama
budha. Agama hindu dan budha masuk di berbagai tempat di Indonesia melalui
berbagai jalur, antara lain pendidikan, perdagangan, dan lain-lain. Agama budha
berkembang lebih dahulu, bahkan untuk beberapa waktu, Indonesia (sriwijaya)
pernah menjad pusat pendidikan dan pengetahuan agama budha yang bertaraf
internasional.
B.
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
India tersebut tidak secara mentah disebarkan tetapi telah mengalami proses
penggolahan dan penyesuaian. Sehingga ajaran dan budaya Budha yang
berkembang di Indonesia berbeda dengan di India.
Agama Hindu
Para pendeta Hindu memiliki misi untuk menyebarkan agama Hindu dan melalui
jalur perdagangan akhirnya sampai di Indonesia. Selanjutnya mereka akan
menemui penguasa lokal (kepala suku). Jika penguasa lokal tersebut tertarik
dengan ajaran Hindu maka para pendeta bisa langsung mengajarkan dan
menyebarkannya. Dalam ajaran agama Hindu konsepnya adalah seseorang terlahir
sebagai Hindu bukan menjadi Hindu maka untuk menerima ajaran agama Hindu
orang Indonesia harus di-Hindu-kan melalui upacara Vratyastoma dengan
pertimbangan kedudukan sosial/ derajat yang bersangkutan (memberi kasta).
Hubungan India-Indonesia berlanjut dengan adanya upaya para kepala suku/ raja
lokal untuk menyekolahkan anaknya/ utusan khusus ke India guna belajar budaya
India lebih dalam lagi. Setelah kembali ke tanah air mereka kemudian
menyebarkan kebudayaan India yang sudah tinggi. Bahkan tak jarang mereka
mendatangkan para Brahmana India untuk melakukan upacara bagi para penguasa
di Indonesia, seperti upacara Abhiseka, merupakan upacara untuk mentahbiskan
seseorang menjadi raja. Jika di suatu wilayah rajanya beragama Hindu maka akan
memperkuat proses penyebaran agama Hindu bagi rakyat di daerah tersebut.
Berikut kerajaan-kerajaan hindu yang pernah berdiri di Indonesia.
seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo.
Itulah
sebabnya
daerah
ini
sangat
subur.
Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang
merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti)
yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa
Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu
beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra merupakan pengikut agama Budah,
Wangsa Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.
Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan
pendiri Wangsa Sanjya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya
digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha
beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik
agama Hindu dan Budha berkembang bersama di Kerajaan Mataram Kuno. Mereka
yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang
menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.
Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja
Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut
agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan
memulai kembali Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan
seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan
saudara Pramodawardhani. Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan
Sriwijaya
yang
kemduian
menjadi
Raja
disana.
Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya
Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang
mengatakan bahwa pada saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan
Mataram Hancur. Mpu Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa
sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan
membangun
wangsa
baru
bernama
Wangsa
Isana.
Pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah
Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai
Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah
Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada
zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok
kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang.
Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Kapan tepatnya berdirinya Kerajaan Mataram Kuno masih belum jelas, namun
menurut Prasasti Mantyasih (907) menyebutkan Raja pertama Kerajaan Mataram
Kuno adalah Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan Prasasti Canggal (732) tanpa
menyebut jelas apa nama kerajaannya. Dalam prasasti itu, Sanjaya menyebutkan
terdapat raja yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya. Raja tersebut
bernama Sanna atau yang dikenal dengan Bratasena yang merupakan raja dari
Kerajaan Galuh yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari Kerajaan
Tarumanegara).
Kekuasaan Sanna digulingkan dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora dan
kemudian melarikan diri ke Kerjaan Sunda untuk memperoleh perlindungan dari
Tarusbawa, Raja Sunda. Tarusbawa kemudian mengambil Sanjaya yang merupakan
keponakan dari Sanna sebagai menantunya. Setelah naik tahta, Sanjaya pun berniat
untuk menguasai Kerajaan Galuh kembali. Setelah berhasil menguasai Kerajaan
Sunda, Galuh dan Kalingga, Sanjaya memutuskan untuk membuat kerajaan baru
yaitu
Kerajaan
Mataram
Kuno.
Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal, bisa
dipastikan Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sejak abad ke-7
dengan rajanya yang pertama adalah Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang
Ratu
Sanjaya.
menguasai
lalu
lintas
perdagangan
di
Asia
Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika
Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur,
pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah
Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu
Sindok.
Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan
cicit Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan
Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno
tetapi pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa
juga pernah melayangkan serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau
1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya,
istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang
diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut,
Dharmawangsa tewas.
Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno
Selama berdiri, Kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja
dinataranya sebagai berikut:
1.
2.
Rakai
Panangkaran,
awal
berkuasanya
Wangsa
Sailendra
3.
4.
5.
6.
Rakai
Pikatan
suami
Pramodawardhani,
awal
8.
Rakai Watuhumalang
9.
10.
Mpu Daksa
11.
12.
13.
14.
15.
Makuthawangsawardhana
16.
Dharmawangsa
Teguh,
Kerajaan
Mataram
Kuno
Kebudayaan
Kerajaan
Mataram
Kuno
berakhir
Kehidupan
Sosial-Ekonomi
dan
dengan
pesat.
Bumi Mataram diperintah oleh dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara
dengan hasil budayanya berupa candi-candi seperti Gedong Songo dan Dieng.
Dinasti Syailendra beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan,
dan hasil budayanya dengan mendirikan candi-candi seperti candi Borobudur,
Mendut,
dan
Pawon.
Buddha
hidup
berdampingn
secara
damai.
B. Kerajaan Pajajaran
Merupakan kerajaan umat Hindu yang berdiri di wilayah Pakuan (sekarang adalah
Bogor), tepatnya di Jawa Barat. Oleh karena itu, Kerajaan Pajajaran sendiri juga
dikenal dengan nama Kerajaan Pakuan yang pada tahun 1030 Masehi sampai
dengan tahun 1579 Masehi pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda Galuh. Pada
saat itu orang-orang memiliki kebiasaan untuk menyebut suatu kerajaandengan
menggunakan nama Ibu Kota nya sehingga Kerajaan Sunda Galuh lebih dikenal
dengan sebutan Kerajaan Pakuan Pajajaran atau Pajajaran saja.
Asal Muasal Berdirinya Kerajaan Pajajaran
Sejarah menyebutkan bahwa awal berdirinya Kerajaan Pajajaran ini adalah pada
tahun 923 dan pendirinya adalah Sri Jayabhupati. Bukti-bukti ini didapat dari
Prasasti Sanghyang berumur 1030 Masehi yang ada di Suka Bumi. Lebih lanjut,
rupanya Kerajaan Pajajaran ini didirikan setelah perpecahan Kerajaan Galuh yang
dipimpin oleh Rahyang Wastu. Saat Rahyang Wastu meninggal maka Kerajaan
Galuh terpecah menjadi dua. Satu dipimpin oleh Dewa Niskala dan yang satunya
lagi dipimpin oleh Susuktunggal. Meskipun terpecah menjadi dua namun mereka
memiliki derajat kedudukan yang sama.
Asal muasal Kerajaan Pajajaran dimulai dari runtuhnya Kerajaan Majapahit sekitar
tahun 1400 masehi. Saat itu Majapahit semakin lemah apalagi ditandai dengan
keruntuhan masa pemerintahan Prabu Kertabumi atau Brawijaya ke lima, sehingga
ada beberapa anggota kerajaan serta rakyat mereka yang mengungsi ke ibu kota
Galuh di Kawali, wilayah Kuningan, di mana masuk provinsi Jawa Barat. Wilayah
ini merupakan daerah kekusaaan dari Raja Dewa Niskala.
Raja Dewa Niskala pun menyambut para pengungsi dengan baik, bahkan kerabat
dari Prabu Kertabumi yaitu Raden Baribin dijodohkan dengan salah seorang
putrinya. Tidak sampai di situ, Raja Dewa Niskala juga mengambil istri dari salah
seorang pengungsi anggota kerajaan. Sayangnya, pernikahan antara Raja Dewa
Niskala dengan anggota Kerajaan Majapahit tidak disetujui oleh Raja Susuktunggal
karena ada peraturan bahwa pernikahan antara keturunan Sunda-Galuh dengan
keturunan Kerajaan Majapahit tidak diperbolehkan. Peraturan ini ada sejak
peristiwa Bubat.
Karena ketidaksetujuan dari pihak Raja Susuktunggal terjadilah peperangan antara
Susuktunggal dengan Raja Dewa Niskala. Agar perang tidak terus menerus
berlanjut maka Dewan Penasehat ke dua kerajaan menyarankan jalan perdamaian.
Jalan perdamaian tersebut ditempuh dengan menunjuk penguasa baru sedangkan
Raja Dewa Niskala dan Raja Susuktunggal harus turun tahta. Kemudian
ditunjuklah Jayadewata atau dikenal juga dengan sebutan Prabu Siliwangi yang
merupakan putra dari Dewa Niskala sekaligus menantu dari Raja Susuktunggal.
Jayadewata yang telah menjadi penguasa bergelar Sri Baduga Maharaja
memutuskan untuk menyatukan kembali ke dua kerajaan. Dari persatuan ke dua
kerajaan tersebut maka lahirlah Kerajaan Pajajaran pada tahun 1482. Oleh sebab
itu, lahirnya Kerajaan Pajajaran ini dihitung saat Sri Baduga Maharaha berkuasa.
Sejarah Kerajaan Pajajaran saat Mengalami Masa Kejayaan
Masa-masa di mana Kerajaan Pajajaran mengalami kejayaan adalah pada saat
pemerintahan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaha. Bahkan sampai sekarang
masa keemasan Prabu Siliwangi masih teringat di hati rakyat Jawa Barat.
Sri Baduga Maharaha pada masa kejayaannya membangun sebuah telaga besar
yang dia beri nama Maharena Wijaya. Selain itu, dia juga berhasil membangun
sebuah jalan yang menghubungkan antara ibu kota dengan wilayah Wanagiri. Dari
sana Sri Baduga Maharaha membangun banyak aspek Spiritual seperti
menyarankan
agar
kegiatan-kegiatan
agama
dilakukan
di
tengah-tengah
masyarakat. Selain itu, dia juga membangun asrama para prajurit, kaputren, tempat
10
11
Budaya Pajajaran tentunya sangat dipengaruhi agama Hindu dan hal ini terbukti
dari banyaknya peninggalan prasasti-prasasti, kitab-kitab seperti Sangyang
Siksakanda dan kitab Cerita Parahyangan. Selain itu juga terdapat peninggalan
batik.
Kehidupan
Ekonomi
Pajajaran
Kehidupan
Sosial
Pajajaran
C. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit yang sempat menjadi salah satu kerajaan maritim terbesar di
Nusantara ini berdiri pada tahun 1293 hingga tahun 1500. Masa kejayaan
Majapahit ialah ketika Hayam Wuruk mengambil posisi raja dan berkuasa dari
tahun 1350 hingga tahun 1389 yang ditandai dengan pendudukan besar-besaran
hingga Asia Tenggara. Hasil pekerjaannya ini juga tidak lepas dari patih yang ada
di sampingnya pada masa itu, yaitu Gajah Mada. Menurut kitab Negarakertagama
yang ditulis pada tahun 1365, Majapahit merupakan sebuah kerajaan dengan 98
daerah jajahan yang membentang dari Sumatera hingga Nugini dan terdiri dari
yang sekarang menjadi Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand selatan,
Kepulauan Sulu, Timor Timur, dan Manila. Meski begitu, ruang lingkup kekuatan
Majapahit masih menjadi subjek perdebatan antar sejarawan.
12
kepada
tentara
Mongol
yang
mendarat
di
Tuban
untuk
menhancurkan kerajaan Singasari yang pada masa itu telah jatuh di tangan
Jayakatwang. Ketika penyerangan terjadi, Raden Wijaya bekerja sama dengan
pasukan Mongol dan menyerang mereka setelah Singosari runtuh dan akhirnya
pasukan Mongol yang sudah lemah karena banyak faktor terpaksa mundur dari
pulau Jawa. Pada saat inilah Raden Wijaya memulai perjalanan awal dari kerajaan
Majapahit dan mengemban nama Kertarajasa Jayawardhana.
Penerus dari Kertarajasa Jayawardhana adalah Jayanagara yang nama aslinya
adalah Kalagamet. Kisah tentang Jayanagara yang merupakan anak dari Raden
Wijaya dituliskan dalam beberapa catatan termasuk Paraton dan Negarakertagama.
Pada masa permerintahannya jugalah Gajah Mada mulai bangkit sebagai satu figur
yang penting. Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Jayanagara sangat
kacau dan sulit, dimulai dengan beberapa pemberontakan dari jendral-jendral dan
pangeran dari Raden Wijaya yang tidak puas. Pemberontakan yang paling terkenal
adalah pemberontakan Ra Kuti pada tahun 1319, dimana Ra Kuti berhasil
mengambil alih kontrol kerajaan dan ibu kota. Dengan bantuan Gajah Mada dan
pasukan Bhayangkara, Jayanegara berhasil kabur dari ibu kota dan bersembunyi di
desa
Badander.
Sementara
Gajah
Mada
kembali
dan
menghancurkan
Indonesia. Hayam Wuruk yang ketika menjadi raja berumur 16 tahun, awalnya
diharapkan menikah dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, seorang putri dari kerajaan
Sunda. Pernikahan ini merupakan sebuah pernikahan dengan latar belakang politik
demi memperbaik aliansi antara Majapahit dan Kerajaan Sunda. Meski begitu, tibatiba terjadi insiden Bubat dimana pihak penjaga Kerajaan Sunda terlibat pertikaian
dengan tentara Majapahit dan pernikahan berakhir dengan tewasnya Dyah Pitaloka.
Gajah Mada kemudian menjadi kambing hitam pada insiden ini karena ia ingin
membuat Kerajaan Sunda tunduk. Hayam Wuruk turun tahta pada tahun 1389
menyusul kematiannya. Setelah Hayam Wuruk tidak lagi memerintah, bisa dibilang
kerajaan Majapahit juga berakhir karena setelahnya, kerajaan Majapahit terus
menurun kekuatannya dan akhirnya terpaksa mundur menuju pulau Bali.
D. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu kemaharajaan
maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara
dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri
berarti bercahaya dan wijaya berarti kemenangan.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan
tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada
pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut
dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa
Teguh dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari
Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali
kerajaan Dharmasraya.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru
diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cds dari
cole franaise dExtrme-Orient.
15
Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing.
Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai
tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cds mempublikasikan
penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coeds menyatakan
bahwa referensi Tiongkok terhadap San-fo-tsi, sebelumnya dibaca Sribhoja,
dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar
Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan
tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya
Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali,
kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya
Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain
mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan
berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan
berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang
dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi
Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu
pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga
telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan
Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah
perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita
tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la
16
18
19
Nalanda
berangka
860
mencatat
bahwa
raja
Balaputradewa
kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai
dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada
tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara
terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-tsi dan Cho-po
(Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan
Hindu, sedangkan rakyat San-fo-tsi memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah
bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor,
selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-sikia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong
(Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-loting (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tsien-mai (Semawe, pantai
timur semenanjung malaya), Pa-ta (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung
Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi),
dan Sin-to (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi
identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar
15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan
Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai
kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton
telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari mengirim
sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca
Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di
Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu
juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit
juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang
sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik
Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting
tentang kadtuan, vanua, samaryyda, mandala dan bhmi.
22
Kadtuan dapat bermakna kawasan dtu, (tnah rumah) tempat tinggal bini
hji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti
dijaga. Kadtuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan
kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi
masyarakatnya. Kadtuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi
Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyda merupakan kawasan yang
berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyda-patha)
yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu
kawasan otonom dari bhmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadtuan
Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarja (putra mahkota), pratiyuvarja
(putra mahkota kedua) dan rjakumra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu
banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada
masa Sriwijaya.
Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan
terlupakan
dari
ingatan
masyarakat
pendukungnya,
penemuan
kembali
kemaharajaan bahari ini oleh Coeds pada tahun 1920-an telah membangkitkan
kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang
terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan
berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya
sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan.
Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni
budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga
berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian
Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
23
pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil (administrasi) dan 1.000
pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan mendapat gaji dari
kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu kulit, perhiasan emas, dan
rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan
dikawal oleh 500700 prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan keadaan
pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri dan perampok jika tertangkap
dihukum mati.
Setelah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kediri) bangkit lagi
sekitar tahun 1116. Raja yang memerintah, antara lain sebagai berikut.
1.Rakai Sirikan Sri Bameswara
Raja Bameswara pertama adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara
Sakalabhuwana Sarwwaniwaryya Wiryya Parakrama Digjayattunggadewa. Hal itu
disebutkan pada Prasasti Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116
Masehi).
Raja Sirikan masih mengeluarkan prasasti lain, yaitu
Pengganti Raja Bameswara adalah Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri
Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama
Jayabhayalancana. Ia memerintah pada tahun 1057 Saka (1135 M).
Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti Talan berangka tahun 1508
Saka (1136 M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka) menjadi
Prasasti Dinggopala oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan sebagai
penjelmaan Dewa Wisnu.
Lencana kerajaan yang dipakai adalah Narasingha, tetapi pada Prasasti Talan
disebutkan pemakaian lencana Garuda Mukha. Pada Prasasti Hantang (1057 Saka)
atau 1135 M dituliskan kata pangjalu jayati, artinya panjalu menang berperang atas
Jenggala dan sekaligus untuk menunjukkan bahwa Jayabaya adalah pewaris takhta
kerajaan yang sah dari Airlangga.
3. Raja Sarweswara
Pengganti Raja Jayabaya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara
Janardhanawatara
Wijayagrajasama
Singhanadaniwaryyawiryya
Parakrama
Madhusudanawatararijamukha.
Masa
pemerintahan
Raja
Sri
Aryyeswara hanya sampai tahun 1181 dan digantikan oleh Sri Maharaja Sri
Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayattunggaduwanama
Sri Gandra.
5. Sri Gandra
26
Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal jabatan senapati sarwajala (laksamana
laut). Dengan jabatan itu, diduga Kediri mempunyai armada laut yang kuat. Di
samping itu, juga dikenal pejabat yang menggunakan nama-nama binatang,
misalnya Kebo Salawah, Lembu Agra, Gajah Kuning, dan Macan Putih.
6. Kameswara
Kameswara memerintah Kerajaan Kediri tahun 11821185. Kameswara bergelar
Sri Maharaja Sri Kameswara Tri Wikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama
Digjayattunggadewanama. Pada masa pemerintahan Kameswara, seni sastra
berkembang pesat.
7. Kertajaya
Setelah Kameswara mangkat, raja yang memerintah Kediri adalah Kertajaya atau
Srengga. Gelar Kertajaya ialah Sri Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita
Srenggalancana Digjayattunggadewanama. Kertajaya adalah raja terakhir yang
memerintah Kediri. Kertajaya memerintah Kediri tahun 11851222.
Pada masa pemerintahannya, Kertajaya sering berselisih pendapat dengan para
brahmana. Para brahmana kemudian minta perlindungan kepada Ken Arok.
Kesempatan emas itu digunakan Ken Arok untuk memberontak raja. Oleh karena
itu, terjadilah pertempuran hebat di Ganter. Dalam pertempuran itu, Ken Arok
berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Dengan berakhirnya masa pemerintahan
Kertajaya, berakhir pula masa pemerintahan Kerajaan Kediri sebagai kelanjutan
Dinasti Isana yang didirikan oleh Empu Sindok.
Kehidupan Ekonomi
Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang hidup di daerah
pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah
27
pedalaman Kerajaan Kediri sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah
yang subur. Hasil pertanian yang melimpah memberikan kemakmuran bagi rakyat.
Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran.
Pada masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri
sudah melakukan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.
Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara perak,
timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan
daerah pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan
untuk lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir.
Kehidupan Sosial Budaya
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain
sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam
perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orangorang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab
Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi
rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya,
tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan
menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang
dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada
Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno.
Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab
itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab
itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama
28
(1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab
Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai
berikut.
1.
Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang
baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
2.
3.
Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka
sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang
istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman
Kediri, antara lain sebagai berikut.
1.
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai
anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna
akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
2.
1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Arca Perwujudan Airlangga
Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama
Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya
bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Airlangga
memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah
mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).
Ia disebutkan sebagai seorang yang memerintah Mpu Kanwa untuk menulis
Kakawin Arjunawiwaha. Ia dibesarkan di istana Watugaluh (Kerajaan Medang) di
bawah pemerintahan raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang menjadi kerajaan
yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di
Kalimantan
Barat,
serta
mengadakan
serangan
ke
Sriwijaya.
berhasil
melarikan
diri
ke
hutan.
Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di
Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan
Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota
kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan,
Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali
Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun
membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.
Nama kota ini tercatat
dalam prasasti Cane (1021).
Menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga
Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan
(1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha
(daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang
menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut
Airlangga
sebagai
raja
Panjalu
yang
berpusat
di
Daha.
Masa Peperangan
Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi
daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh,
banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan
Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan
Wangsa
Isyana
atas
pulau
Jawa.
Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana
dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat
Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Yang
pertama dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga
mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian
31
Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam
namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.
Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil
mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa
melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga
membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita dapat dikalahkannya. Dalam
tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari,
membalaskan
dendam
Wangsa
Isyana.
Pembelahan Kerajaan
32
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon
Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad
Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah
prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah
Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih
hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam
prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya
Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti
karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga
putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu.
Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut
namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan
putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian
digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi
menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini
tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II.
Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri
Samarawijaya.
kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan,
diperintah oleh Mapanji Garasakan. Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042,
Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24
November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian,
peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal
tersebut.
Akhir Pemerintahan Airlangga
Setelah membagi kerajaan menjadi 2 Airlangga Kemudian menjadi pertapa, dan
meninggal tahun 1049. Airlangga semasa hidupnya dianggap titisan Wisnu, dengan
lancana kerajaan Garudamukha. Sehingga sebuah arca indah yang disimpan di
musium Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu yang menaiki garuda. Prasasti
33
34
Tumapel pada waktu itu menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Kediri yang
diperintah oleh Raja Kertajaya atau Dandang Gendis. Ken Arok ingin
memberontak, tetapi menunggu saat yang tepat. Pada tahun 1222 datanglah
beberapa pendeta dari Kediri untuk meminta perlindungan kepada Ken Arok karena
tindakan yang sewenang-wenang dari Raja Kertajaya. Ken Arok menerima dengan
senang hati dan mulailah menyusun barisan, menggembleng para prajurit, dan
melakukan propaganda kepada rakyatnya untuk memberontak Kerajaan Kediri.
Setelah segala sesuatunya siap, berangkatlah sejumlah besar prajurit Tumapel
menuju Kediri. Di daerah Ganter terjadilah peperangan dahsyat. Semua prajurit
Kediri beserta rajanya dapat dibinasakan. Ken Arok disambut dengan gegap
gempita oleh rakyat Tumapel dan Kediri. Selanjutnya, Ken Arok dinobatkan
menjadi raja. Seluruh wilayah bekas Kerajaan Kediri disatukan dengan Tumapel
yang kemudian disebut Kerajaan Singasari. Pusat kerajaan dipindahkan ke bagian
timur, di sebelah Gunung Arjuna.
Kehidupan Politik
Kehidupan politik pada masa Kerajaan Singasari dapat kita lihat dari raja-raja yang
pernah memimipinya. Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan
Singasari.
1. Ken Arok (12221227).
Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok yang menjadi Raja Singasari dengan
gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja
pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa
(Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah
selama lima tahun (12221227). Pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh seorang
suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan
dalam bangunan Siwa Buddha.
2. Anusapati (12271248).
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan
Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak
35
37
Dengan gugurnya Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh
Jayakatwang. Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan
agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Buddha
(Bairawa) di Candi Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan
nama Joko Dolog, yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang dapat memberi
keterangan secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari. Akan tetapi,
berdasarkan analisis bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di sekitar Lembah
Sungai Brantas dapat diduga bahwa rakyat Singasari banyak menggantungkan
kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan itu juga didukung oleh hasil bumi yang
melimpah sehingga menyebabkan Raja Kertanegara memperluas wilayah terutama
tempat-tempat yang strategis untuk lalu lintas perdagangan.
Keberadaan Sungai Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu lintas
perdagangan dari wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian,
perdagangan juga menjadi andalan bagi pengembangan perekonomian Kerajaan
Singasari.
Kehidupan Sosial-Budaya
Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa prasasti, candi, dan
patung. Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Candi Jago, Candi
Kidal, dan Candi Singasari. Adapun patung-patung yang berhasil ditemukan
sebagai hasil kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain Patung Ken Dedes
sebagai Dewi Prajnaparamita lambang dewi kesuburan dan Patung Kertanegara
sebagai Amoghapasa.
Rakyat Singasari mengalami pasang surut kehidupan sejak zaman Ken Arok
sampai masa pemerintahan Wisnuwardhana. Pada masa-masa pemerintahan Ken
Arok, kehidupan sosial masyarakat sangat terjamin. Kemakmuran dan keteraturan
kehidupan sosial masyarakat Singasari kemungkinan yang menyebabkan para
brahmana meminta perlindungan kepada Ken Arok ataskekejaman rajanya.
38
rakyat
Singasari
mulai
berangsur-angsur
membaik
setelah
39
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha dari India
ke Indonesia terjadi karena adanya hubungan antara bangsa Indonesia, India,dan
bangsa-bangsa lainnya di kawasan Asia Selatan ,Timur,dan Tenggara.Hubungan
tersebut tidak hanya terjadi melalui perdagangan tetapi juga terjadi melalui
kegiatan politik dan diplomasi,pelayaran,pendidikan,dan kebudayaan.Melalui lalu
lintas tersebut,terjadi pertukaran barang,pengalaman,dan kebudayaan Hindu dan
Buddha.
Pendapat mengenai proses masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia, yaitu hipotesis Waisya, Hipotesis Ksatria, Hipotesis Brahmana dan teori
Arus Balik. Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha
membawa pengaruh besar di berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak
Hindu-Budha merupakan salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan HinduBudha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki
kekuasaan mutlak dan turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain : Kerajaan
Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Kerajaan
Singhasari, Kerajaan Majapahit. Masuknya kebudayaan India ke Indonesia telah
membawa pengaruh terhadap perkembangan kebudayaaan di Indonesia. Namun
kebudayaan asli Indonesia tidak begitu luntur. Kebudayaan yang datang dari India
mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan, maka terjadilah proses
akulturasi kebudayaan.
40
B.
Saran
Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada tahap awal diyakini berasal dari
India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita
membandingkan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan
kemiripan itu. Sebelum kenal dengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki
masih sangat sederhana. Saat itu belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi
atau
41
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/?
gws_rd=ssl#q=sejarah+masuknya+agama+hindu+budha+di+indonesia
http://fauziatripurnama.blogspot.com/2013/03/makalah-kronologi-masuk-dan.html
http://reeseppcerdas.blogspot.com/2014/02/makalah-sejarah-perkembanganhindu_23.html
42