Anda di halaman 1dari 8

LPM

LEMBAR PERSIAPAN MENYULUH


1 Nama  : Pajuri
2 Waktu Pertemuan : 60 Menit
3 Topik / Judul : Pengendalian Hama Tikus Terpadu
4 TIK : Setelah mengikuti pembelajran ini diharapkan patani mampu
memahami dan menerapkan pengendalian hama tikus
terpadu
5 Hari / Tanggal : Rabu , 2 Januari 2020
6 Metode            : Ceramah, Gerakan Masa (Gropyokan)
7 Alat dan Bahan :
a. Alat : Pemukul
b. Bahan : Sinopsis
8 Langkah Kerja :

No Waktu Uraian Materi Petunjuk


1 15 Menit Pendahuluan
a) Climat Setting  Pembukaan
 Perkenalan
b) Tujuan   Pembelajaran ini bertuan agar petani
mampu menerapkan pengendalian hama
tikus  terpadu
2 30 Menit Pelaksanaan
a) Menyampaikan hasil  Kondisi kelompok tani saat ini belum
pengkajian mengerti dan memahami bagaimana cara
mengatasi hama tikus secara terpadu
b) Penjelasan materi  Menjelaskan morfologi tikus
 Habitat dan Prilaku
 Perkembangan Tikus
 Pengendalian
 Kultur teknik Tanam serempak
c) Diskusi  Diskusi dan tanya jawab
3 15 Menit Pengakhiran
a) Kesimpulan  Pengendalian hama tikus terpadu dapat
mengurangi dengan baik tanpa merusak
keadaan lingkungan
b. Penugasan  Pelaksanaan pengendalian tikus terpadu

Lebong Tengah, 02 Januari 2021


Penyuluh Pertanian

PAJURI
SINOPSIS
Hama Tikus

Judul : Pengendalian Hama Tikus Terpadu

Tikus sawah (Rattus argentiventer) merupakan hama padi utama di


Indonesia, kerusakan yang ditimbulkan cukup luas dan hampir terjadi setiap
musim. Tikus menyerang semua stadium tanaman padi, baik vegetatif maupun
generatif, sehingga menyebabkan kerugian yang ekonomis. Secara umum, di
Indonesia tercatat tidak kurang dari 150 jenis tikus, sekitar 50 jenis di antaranya
termasuk genera Bandicota, Rattus, dan Mus. 
Enam jenis tikus lebih banyak dikenal karena merugikan manusia di luar
rumah, yaitu:
1. Tikus sawah (R. argentiventer),
2. Tikus wirok (B. indica),
3. Tikus hutan/belukar (R. tiomanicus),
4. Tikus semak/padang (R. exulans) ,
5. Mencit sawah (Mus caroli),
6. Tikus riul (R. norvegicus). 
Tiga jenis lainnya diketahui menjadi hama di dalam rumah, yaitu
1. Tikus rumah (R. rattus diardi),
2. Mencit rumah (M. musculus)
3. Mencit rumah (M. cervicolor).
Di Indonesia, kehilangan hasil akibat serangan tikus sawah diperkirakan
dapat mencapai 200.000 – 300.000 ton per tahun. Usaha pengendalian yang sering
terlambat, karena baru dilaksanakan setelah terjadi kerusakan yang luas dan
berat. Oleh karena itu, usaha pengendalian tikus perlu memperhatikan perilaku dan
habitatnya, sehingga dapat mencapai sasaran. Tingginya tingkat kerusakan
tergantung pada stadium tanaman dan tinggi rendahnya populasi tikus yang ada.

Morfologi
Tikus sawah mirip dengan tikus rumah, tetapi telinga dan ekornya lebih
pendek. Ekor biasanya lebih pendek dari pada panjang kepala-badan, dengan rasio
96,4 ± 1,3%, telinga lebih pendek dari pada telinga tikus rumah. Panjang kepala-
badan 170-208 mm dan tungkai belakang 34-43 mm. Tubuh bagian atas berwarna
coklat dengan bercak hitam pada rambut, sehingga berkesan berwarna abu-
abu. Daerah tenggorokan, perut berwarna putih dan sisa putih abu-abu. Tikus betina
memiliki 12 puting susu.

Habitat dan Perilaku


Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan lingkungan sekitar
sawah. Daya adaptasi tinggi, sehingga mudah tersebar di dataran rendah dan
dataran tinggi. Mereka suka menggali liang untuk berlindung dan berkembang biak,
membuat atau jalur sepanjang pematang dan tanggul irigasi.
Tikus sawah termasuk omnivora (pemakan segala jenis makanan). Ketika
makanan berlimpah mereka memilih memilih yang paling disukai, yaitu biji-
bijian/padi yang tersedia di sawah. Pada kondisi bera, tikus sering berada di
pemukiman, mereka menyerang semua stadium tanaman padi, sejak pesemaian
sampai panen. Tingkat kerusakan yang bervariasi tergantung pada stadium
tanaman.
Perkembangan
Jumlah anak tikus per induk beragam antara 6-18 ekor, dengan rata-rata
10,8 ekor pada musim kemarau dan 10,7 ekor pada musim hujan, untuk peranakan
pertama. Peranakan ke 2-6 adalah 6-8 ekor, dengan rata-rata 7 ekor. Peranakan ke
7 dan seterusnya, jumlah anak menurun mencapai 2-6 ekor, dengan rata-rata 4
ekor. Interval antar peranakan adalah 30-50 hari dalam kondisi normal.
Pada satu musim tanam, tikus betina dapat melahirkan 2-3 kali, sehingga
satu induk mampu menghasilkan sampai 100 ekor tikus, sehingga populasi akan
meningkat cepat. Tikus betina cepat dewasa, pada umur 28 hari sudah siap kawin
dan dapat bunting. Masa kehamilan mencapai 19-23 hari, dengan rata-rata 21
hari. Tikus jantan lebih lambat menjadi dewasa daripada betinanya, pada umur 60
hari siap kawin. Lama hidup tikus sekitar 8 bulan.
Sarang tikus pada pertanaman padi masa vegetatif cenderung pendek dan
dangkal, sedangkan pada masa generatif lebih dalam, bercabang, dan luas karena
mereka sudah mulai bunting dan melahirkan anak. Selama awal musim
perkembangbiakan, tikus hidup masih soliter, yaitu satu jantan dan satu betina,
tetapi pada musim kopulasi banyak dijumpai beberapa pasangan dalam satu
liang/sarang. Dengan menggunakan Radio Tracking System, pada fase vegetatif
dan awal generatif tanaman, tikus bergerak mencapai 100-200 m dari sarang,
sedangkan pada fase generatif tikus bergerak lebih pendek dan sempit, yaitu 50-125
m dari sarang.
Pengendalian
Tikus sawah sampai saat ini masih menjadi hama penting pada tanaman
padi di Indonesia. Sebaran populasinya cukup luas dari dataran rendah sampai
pegunungan, dari areal sawah sampai di gudang/perumahan. kerusakan padi akibat
serangan tikus yang mencapai hektar dilaporkan pertama kali pada tahun 1915 di
Cirebon, Jawa Barat, selanjutnya setiap tahun terjadi peningkatan kerusakan
tanaman padi dengan intensitas serangan sebesar 35%. Pengendalian yang sesuai
saat ini adalah pengendalian hama tikus terpadu, dengan komponen pengendalian
budaya, hayati, mekanis, dan kimiawi.

Kultur teknik Tanam serempak.


Penanaman serempak tidak harus tepat waktunya, jarak antara tanam awal
dan akhir 10 hari. Dengan demikian diharapkan pada pemandangan sawah yang
luas kondisi pertumbuhan tanaman relatif seragam. Jika varietas yang ditanam
petani berbeda, maka varietas padi yang berumur panjang sebaiknya ditanam lebih
dahulu, sehingga minimal dapat mencapai panen yang serempak.
Ketika penanaman serempak, maka puncak populasi tikus menjadi singkat,
yaitu ketika masa generatif dan pakan tersedia, pada saat itu tikus berada di areal
persawahan. Populasi populasi mulai turun pada 6-7 minggu setelah panen, tikus
mulai meninggalkan sawah dan kembali ke tempat persembunyiannya. Kondisi ini
tidak menguntungkan bagi perkembangan tikus, dan sangat berlainan apabila
penanaman padi tidak memberikan peluang tikus untuk lama tinggal di persawahan
karena pakan tersedia.
Meminimalkan tempat persembunyian/tempat tinggal. Ukuran pematang
sebaiknya memiliki ketinggian sekitar 15 cm dan lebar 20 cm, pematang seperti ini
tidak mendukung tikus dalam membuat sarang di sawah, karena kurang lebar dan
kurang tinggi bagi mereka, sehingga tidak nyaman.
 Mereka memerlukan paling tidak tinggi dan lebar pematang sekitar 30
cm. Lahan yang dibiarkan tidak diolah juga menjadi sarang yang nyaman bagi tikus
untuk bersembunyi. Oleh karena itu pengolahan tanah akan mempersempit peluang
menjadi tempat persembunyian mereka.
1. Sanitasi. Kebersihan sawah dan lingkungan sekitar sawah penting untuk
diperhatikan, agar tikus tidak bersarang disana. Menjelang panen, populasi tikus
meningkat dan mereka di sekitar sawah, maka tanah yang tidak akan ditanami
tidak akan disukai jika mereka berada di udara.
2. Hayati, Memanfaatkan musuh alami tikus diharapkan dapat mengurangi
populasi tikus. Ular sawah sebenarnya menjadi pemangsa tikus yang handal,
hanya sekarangnya di alam turun drastis karena mendekati dan mungkin
lingkungan tidak cocok lagi. Burung hantu (Tito alba) kini mulai diberdayakan di
beberapa daerah untuk ikut menanggulangi hama tikus. Musang sawah juga
memangsa tikus, namun sekarang sangat sedikit populasinya dan sulit ditemui
di sawah.
3. Mekanis, Pagar plastik dan perangkap sistem bubu. Pesemaian merupakan
awal tersedianya pakan tikus di lahan sawah, sehingga menarik tikus untuk
datang. Pemasangan pagar plastik yang dikombinasikan dengan perangkap
tikus dari bubu dianggap sebagai tindakan dini menanggulangi tikus sebelum
populasinya meningkat. Cara ini akan lebih efektif apabila para petani berada
dalam situasi tertentu dalam beberapa tempat saja, sehingga jumlah perangkap
dan plastik sedikit.
4. Pemasangan ditempatkan pada sudut pagar plastik, pada sudut tersebut
plastik dilubangi sebesar ukuran lubang pintu perangkap. Sekitar perangkap
diberi rumput untuk mengelabhi tikus, sehingga mereka tidak menyadari kalau
sudah masuk perangkap. Pagar plastik menggunakan plastik dengan lebar 50-
75 cm dan panjang secukupnya. Penggunaan pagar plastik tidak hanya untuk
pesemaian, tetapi dapat juga untuk lahan sawah dengan tujuan melokalisir
tempat masuknya tikus, yaitu mengarahkan ke lubang perangkap.
Gropyokan. Cara ini banyak dilaksanakan di pedesaan, dengan mengejar tikus
disawah. Kadang-kadang dilibatkan anjing pelacak tikus dan jarring
perangkap. Hasil gropyokan dapat dalam jumlah banyak tangkapan, apabila
menyertakan banyak petani secara serempak di areal yang luas.
5. Kimiawi, Umpan Selatan. Cara pengendalian kimiawi dilakukan dengan
menggunakan rodentisida, berbahan aktif broditakum, bio madiolon, belerang,
dan lainnya. Fumigasi lubang aktif pada umumnya pengendalian dengan
memberikan umpan kepada tikus. Namun sebelum dipasang umpan, perlu
memantau tikus apakah populasinya tinggi atau belum. Tiap petakan sawah
diberi sekitar 10 umpan, biasanya disediakan umpan yang tidak digunakan untuk
mengelabui tikus untuk tetap memakan umpan. Baru setelah beberapa lama,
umpan dipasang di sawah.
6. Fumigasi lubang aktif / liang. Tindakan ini manjur dilakukan saat padi pada
stadium awal keluar malai dan pemasakan, karena merupakan stadium
perkembangan tikus yang optimal, yaitu induk dan anaknya berada dalam
liang. Pengeposan perlu diperhatikan ukuran lubang dan diusahakan
semaksimal mungkin agar tidak terjadi kebocoran dan secepatnya mencapai
sasaran. Pengemposan dapat dilanjutkan dengan menurunkan sarang tikus,
untuk memaksimalkan hasil pengendalian.
7. Kegiatan gropyokan tikus Kegiatan gropyokan tikus selain memiliki tujuan
utama dalam membasmi hama tikus juga memiliki kebermanfaatan lain. Kearifan
lokal ini menumbuhkan sikap gotong royong antar para petani dan sebagai ajang
silaturahmi. Kegiatan ini memang tergolong tradisional dan kuno namun
seringkali lebih bersifat efektif, sederhana, murah serta ramah lingkungan.
Pelaksanaan kegiatan gropyokan oleh para petani dilakukan dengan
menggunakan alat-alat yang sederhana seperti kayu, cangkul, besi, ember, dan
lainnya tanpa menggunakan senyawa kimia seperti pestisida. Kegiatan ini
sangat mengandalkan kekompakan dari para petani. Menurut Azizah (2020),
kegiatan gropyokan tikus memiliki dimensi moral karena pelaksanannya tidak
dapat dilakukan secara individu sehingga gaya hidup gotongroyong dan tolong-
menolong tergambar dalam etika kearifan lokal petani dalam pemberantasan
tikus metode ini.
 Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa pengendalian tikus sawah dengan
kearifan lokal dapat dilakukan dengan kegiatan gropyokan tikus untuk
mengendalikan dampak serangan hama tikus sehingga produktivitas
tanaman padi dapat meningkat serta menghindarkan petani maupun
masyarakat sekitar persawahan dari tertular penyakit yang dibawa oleh
tikus. Melalui kegiatan ini, tercermin kearifan budaya lokal tradisional yang
murah, mudah, sederhana, ramah lingkungan dan mempererat silaturahim
antar para petani
Tikus yang telah meninggal/tertangkap hanya merupakan indikasi turunnya
populasi. Yang perlu diwaspadai adalah populasi tikus yang masih hidup, karena
akan terus berkembang biak dengan pesat selama musim tanam padi. 
Selain itu pemantauan keberadaan dan aktivitas tikus sangat penting
diketahui sejak dini agar usaha pengendalian dapat berhasil. Cara pemantauan
antara lain dengan melihat lubang aktif, jejak tikus, jalur jalan tikus, kotoran atau
gejala kerusakan tanaman. Dan tidak kalah pentingnya adalah mewaspadai
terhadap kemungkinan terjadinya migrasi secara tiba-tiba dari daerah lain dalam
jumlah yang besar.
Tikus memiliki karakter biologi yang berbeda dibanding hama padi yang lain
seperti serangga dan moluska (bangsa siput). Oleh karena itu, penanganan hama
tikus di lapangan harus dilakukan dengan strategi khusus dan relatif berbeda
dengan penanganan hama dari kelompok serangga.
Berbagai teknik pengendalian tikus sawah yang ada sebenarnya telah cukup
efektif untuk mengendalikan tikus di lapangan apabila penerapannya sesuai anjuran.
Pengendalian tikus sawah pada dasarnya adalah usaha untuk menekan populasi
tikusserendah mungkin dengan berbagai metode dan teknologi.
Teknis Pelaksanaan Pengendalian :
a) Kultur teknis ; Pelaksanaan pengendalian secara kultur teknis
diintegrasikan dengan budidaya padi. Pada dasarnya, metode ini
bertujuan mengkondisikan lingkungan sawah, yang merupakan “rumah”
bagi tikus sawah, agar kurang mendukung terhadap kelangsungan hidup
dan reproduksinya.
b) Sanitasi Habitat. 
c) Pengemposan Massal (Fumigasi) 
d) Penerapan TBS (Trap Barrier System/Sistem Bubu Perangkap)

Lebong Tengah, 02 Januari 2021


Mengetahui Penyuluh Pertanian
Koordinator PP BP3 Karang Anyar

JAIS, AMd PAJURI


NIP. 196406021987101002
Daftar Pustaka

 Azizah, S.N. 2015. Pemberantasan Hama Tikus di Desa Kebalanpelang


Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Skripsi. Universitas Airlangga.
 Bari I.N. 2017. Pengaruh Suara Predator Terhadap Metabolisme Dan
Aktivitas Harian Tikus Sawah (Rattus argentiventter) Di
Laboratorium. Jurnal Agrikultura. 28(3): 157-160.
 Isnani, T. 2016. Perilaku Masyarakat Pada Pengendalian Tikus Di Daerah
Beresiko Penularan Leptospirosis Di Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan 15 (2): 107 – 114.
 Manginsela, E.P., Porajouw, O, dan Sagay B.A.B. 2018. Ketahanan Pangan
Petani Padi Sawah: Sebuah Penelitian Terapan Untuk Menemukan Model
Garis
 Ketahanan Pangan Di Sulawesi Utara. Agri-SosioEkonomi 14(3): 193 – 202
 Siregar, H.M., Priyambodo, S., dan Hindayana, D. 2020. Preferensi Serangan
 Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Terhadap Tanaman Padi. Agrovigor,
13(1): 16 – 21.
 Sudarmaji, dan Herawati N.A. 2017. Perkembangan Populasi Tikus Sawah
Pada
 Lahan Sawah Irigasi Dalam Pola Indeks Pertanaman Padi 300. Jurnal
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 1(2):125-132
 2007. Tingkah Laku Tikus Dan Pengendaliannya. In Prosiding Seminar Ilmiah
dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda SulSel. 179–185.

Anda mungkin juga menyukai