Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Banyak peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita telah ditakdirkan, bahkan
sejak kelahiran kita dan keluarga dimana kita dilahirkan. Seseorang dilahirkan di
dalam suatu keluarga bila kondisinya kondusif bagi orang tersebut untuk menjalani
takdir dan orang tersebut memiliki akun memberi-dan-menerima (karma) yang
signifikan dengan setiap anggota keluarganya. Hukum Karma pada dasarnya
mengikuti prinsip sebab-akibat: setiap perbuatan positif menghasilkan ‘pahala’
sementara setiap perbuatan negatif menghasilkan ‘hukuman’ atau dosa. Selanjutnya,
seseorang harus menerima akibat dari setiap tindakan-tindakannya. Bila seseorang
melakukan perbuatan baik yang menjadi sebab kebahagiaan orang lain, ini akan
berakibat balasan yang positif (dalam bentuk kebahagiaan), bukan hanya sekedar
ucapan ‘Terima kasih’! Setiap kali seseorang menjadi sebab rasa sakit/penderitaan,
perbuatan tersebut juga pasti akan memberikan akibat negatif berupa kesedihan
dalam berbagai bentuk. Dan hal ini tidak dapat dihindarkan hanya dengan sekedar
kata ‘Maaf’! Hukum Karma tidak dapat dihindari. Hukum ini berfungsi seperti
hukum Newton ketiga, yang menyatakan, ‘Untuk setiap aksi, terdapat reaksi yang
sama dan berlawanan’. Sepanjang hidup, kita menyelesaikan baik akun karma yang
lalu atau membuat akun karma yang baru. Jika akun karma tersebut tidak dapat
diselesaikan dalam kehidupan ini, akun ini akan dibawa ke kehidupan berikutnya.
Dan kita tidak akan menyadari akun memberi-dan-menerima (karma) yang
dihasilkan di kehidupan kita yang lalu. Di samping itu, status hubungan dan jenis
kelamin dari seorang individu mungkin berubah-ubah dalam setiap kelahiran. Ayah
dari seseorang dalam kehidupan ini bisa saja dilahirkan sebagai anak perempuan
orang tersebut dalam kehidupan selanjutnya. Berikut ini adalah contoh bagaimana
prinsip sebab-akibat dalam hukum karma bekerja dan bagaimana akun memberi-
dan-menerima (karma) diciptakan atau diselesaikan dalam takdir seseorang.

1
Dengan hubungan antara hukum karma tersebut, penulis melihat kisah tragis
yang terjadi di dalam koran dan mengangkat kisah tersebut ke dalam materi agama
Buddha tentang karma karena penulis beropini bahwa orang itu telah menjalani
sebagian besar bagian dari hukum karmanya sendiri yang dibuatnya di masa lampau
di kehidupan sebelumnya karena agama Buddha mengajarkan kita bahwa sesuatu
yang telah perbuat di masa lampau baik perbuatan baik ataupun perbuatan buruk
kita akan menerima hasilnya masing-masing yaitu karma baik dan karma buruk.
Hukum karma seperti misalnya melakukan pembunuhan secara kejam kepada
makhluk hidup sehingga di kehidupannya sekarang ia sedang menjalani atau
membayar hutang karmanya yang di kehidupan lampau akhirnya ia memiliki hidup
yang tidak tenang dan menjadi korban pembunuhan. Tujuan kami menulis makalah
ini dengan contoh adalah untuk memberikan contoh konkretnya dalam kehidupan
nyata sehingga kita dapat terhindar dari perbuatan tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa itu hukum karma?
1.2.2. Apa saja isi dari hukum karma?
1.2.3. Bagaimana ajaran hukum karma menurut kitab suci tripitaka?
1.2.4. Apa makna karma dalam hubungan dengan akibat-akibatnya?
1.2.5. Apa dan bagaimana penggolongan hukum karma?
1.2.6. Apa contoh kasus dari hukum karma?
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui arti dari hukum karma.
1.3.2. Mengetahui isi dari hukum karma.
1.3.3. Mengerti ajaran hukum karma menurut kitab suci tripitaka.
1.3.4. Mengetahui makna karma dalam hubungan dengan akibat-akibatnya.
1.3.5. Mengetahuii dan mengerti penggolongan hukum karma.
1.3.6. Dapat menganalisis contoh kasus hukum karma.

2
1.4. Manfaat
1.4.1. Sebagai seorang umat Buddha kita menjadi lebih tahu mengerti tentang
hukum karma.
1.4.2. Dapat memahami isi hukum karma.
1.4.3. Dapat menjadi umat Buddha yang beriman mengerti ajaran tentang hukum
karma
1.4.4. Menjadi sadar terhadap yang terjadi didunia yang fana ini.
1.4.5. Dapat membuat banyak kebaikan dan kebajikan setelah mengetahui hukum
karma.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hukum Karma

Hukum Karma adalah salah satu ajaran yang penting dalam agama Buddha. Hukum karma
merupakan ajaran yang amat dalam dan rumit, maka untuk itu dibutuhkan suatu uraian
yang terperinci untuk memahaminya.

Secara umum, Karma berarti perbuatan. Umat Buddha memandang hukum karma sebagai
hukum kosmis tentang sebab dan akibat yang juga merupakan hukum moral yang
impersonal. Menurut hukum ini sesuatu (yang hidup maupun yang tidak hidup) yang
muncul pasti ada sebabnya. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketidakadaan. Dengan kata
lain, tidak ada sesuatu atau makhluk yang muncul tanpa ada sebab lebih dahulu. Kita
berbicara tentang akibat bila sesuatu itu terjadi tergantung pada kejadian yang
mendahuluinya dan kejadian mula yang menghasilkan kejadian berikutnya disebut ‘sebab’.

Rumusan agama Buddha tentang sebab akibat (Paticcasamuppada ) adalah :

“ Dengan adanya ini, terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, timbulah itu. Dengan tidak
adanya ini, maka tidak ada itu. Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu. “

(Khuddhaka Nikaya, Udana 40).

Pernyataan ini merupakan teori relativitas yang digunakan pula untuk menerangkan tentang
munculnya alam semesta. Ajaran agama Buddha menekankan keyakinan adanya Tuhan
Yang Maha Esa sebagai Yang Agung, Mulia, Suci, Mutlak dan Impersonal. Sedangkan
kemahakuasaan Tuhan dalam dhamma dijabarkan dalam hukum universal sebab akibat atau
hukum relativitas yang Impersonal. Hukum karma termasuk dalam hukum sebab akibat
universal ini. Tentang alam semesta terjadi karena adanya hukum relativitas. Hukum ini

4
meliputi seluruh semesta alam dan hukum ini bekerja dengan sendirinya. Menurut hukum
ini alam semesta adalah dinamis atau selalu berubah dan setiap perubahan selalu terjadi
secara relatif. Ada perubahan yang berlangsung dengan cepat tetapi ada juga perubahan
yang berlangsung dengan perlahan, sehingga perubahan yang perlahan ini tidak nampak
atau sulit dimengerti oleh orang yang kurang waspada dan cermat. Contoh cara kerja
hukum ini, adanya suatu keadaan disebabkan oleh suatu keadaan lain dan keadaan ini pun
disebabkan oleh keadaan lain pula, begitu seterusnya. Cara kerja hukum ini mirip dengan
hukum ilmu pengetahuan tentang aksi dan reaksi.

Hukum karma dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu aspek kosmis dan aspek moral. Hukum
karma adlam aspek kosmis meliputi alam fisik dan psikis. Dipandang dari sisi kosmis,
makhluk – makhluk hidup seperti manusia dan binatang adalah fenomena materi.
Keberadaan manusia dan binatang adalah fenomena relatif karena mereka ada disebabkan
adanya hal – hal lain seperti adanya makanan, minuman, matahari, dunia dan sebagainya.
Mereka mengalami perubahan, muncul dan lenyap, seperti semua hal di dunia. Dunia pun
akan mengalami proses perubahan, muncul dan lenyap. Demikian pula dengan alam
semesta yang berisi banyak galaksi serta tata surya yang tidak terhitung banyaknya selalu
berproses, muncul dan lenyap.

Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa walaupun aspek kosmis dari hukum karma Buddhis
berlangsug demikian, tetapi itu hanya merupakan implikasi dari konsepnya sebagai hukum
sebab dan akibat. Yang sangat penting dari hukum ini adalah aspek kedua yang merupakan
hukum moral. Dalam aspek ini hukum karma memegang peranan yang penting dalam
ajaran etika Buddhis. Ajaran etika Buddhis tercermin dengan jelas dalam semua ajaran
yang disampaikan oleh Sang Buddha selama hidup beliau.

Ajaran karma Buddhis sebagai hukum moral menitikberatkan pada perbuatan – perbuatan
manusia yang dilakukan melalui perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran. Perbuatan –
perbuatan itu diklasifikasikan sebagai karma bila suatu perbuatan dilakukan karena adanya
niat atau kehendak ( Cetana ). Suatu perbuatan tanpa niat atau kehendak tidak dapat disebut
karma karena perbuatan itu tidak akan menghasilkan akibat moral bagi pembuatnya. Niat

5
atau kehendak yang dimaksudkan dengan karma, seperti yang dikatakan Sang Buddha
dalam Angutara Nikaya III :

“O para bhikkhu, kehendak yang saya maksudkan dengan karma. Seseorang karena
memiliki kehendak dalam pikirannya maka ia melakukan perbuatan dengan jasmani,
ucapan dan pikiran”

Karma atau perbuatan dalam aspek moral mencakup nilai – nilai etika tentang baik dan
buruk. Hal ini merupakan konsep yang lebih luas daripada persoalan tentang benar dan
salah bila dilihat dari sisi pandangan sehari hari tentang makna dari kata itu. Apa yang
dianggap benar menurut pandangan umum

Mungkin tidak baik dalam pengertian moral, demikian pula dengan kata buruk. Misalnya
menurut pandangan umum adalah benar bila tentara membunuh musuh dalam pertempuran.
Tetapi pembunuhan ini tidak benar menurut hukum moral. Menurut pandangan moral
Buddhis suatu pembunuhan adalah pelanggaran hukum moral, pembunuhan ini dipandang
sebagai perbuatan karma buruk. Ajaran agama Buddha menganjurkan kita untuk
mengembangkan perasaan cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna) terhadap semua
makhluk. Anjuran ini meliputi perasaan memusuhi makhluk hidup harus dilenyapkan.

Prinsip dasar dari hukum karma adalah barang siapa yang menanam maka dia yang akan
memetik hasilnya apakah hasil itu baik atau buruk. Perbuatan baik atau buruk dinilai
berdasarkan pada akibat yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dialami oleh
pembuat. Seseorang yang telah melakukan karma buruk pasti menderita karena menerima
hasil perbuatannya sendiri. Kita tidak mungkin menghindarkan diri dari akibat yang tidak
menyenangkan yang dihasilkan oleh karma buruk yang telah kita lakukan. Sehubungan
dengan hal ini Sang Buddha berkata :

“ Tidak di angkasa, di tengah lautan ataupun di dalam gua – gua gunung, tidak dimanapun
seseorang dapat menyembunyikan dirinya dari akibat perbuatan – perbuatan jahatnya “

6
( Dhammapada 127 )

Dalam aspek moral karma merupakan ajaran kembar dengan kelahiran kembali. Menurut
hukum sebab akibat ini, seseorang adalah hasil perbuatannya sendiri. Ia sendiri yang
menyebabkan keberadaanya dan ia sendiri yang bertanggung jawab untuk masa depannya.
Pada kelahiran yang lampau pun seseorang telah menyatakan kehendak melalui perbuatan
jasmani, ucapan atau pikiran, maka berdasarkan pada perbuatan – perbuatannya itu
sekarang ia hidup. Kondisi dan lingkungan tempat kelahiran seseorang ditentukan oleh
karma dari kehidupannya yang lampau.

Pada kehidupan sekarang ini, seseorang menerima hasil sebagai akibat karmanya yang
lampau dan melakukan karma karma yang baru. Karma baru dan karma lampau yang belum
berbuah akan membentuk kondisi tempat kelahirannya pada masa kehidupan yang berikut.
Setiap oang memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Bila pada
kehidupan ini seseorang telah melakukan perbuatan buruk dan ia menyadari bahwa
perbuatannya itu adalah buruk serta akan menghasilkan akibat yang tidak menyenangkan,
maka agar akibat karma buruk itu tidak terlalu berat atau tidak efektif ia harus melakukan
banyak perbuatan baik.

Untuk memperjelas hal ini, misalnya disebuah desa ada seorang yang bernama A. A
mencuri Rp 1000 dari si B, tetapi sebelum B mengetahui A yang mencuri, A yang
menyadari bahwa perbuatannya adalah salah, merasa takut bila perbuatannya ketahuan
maka ia pindah ke kota. Di kota, A bekerja dengan rajin dan berusaha dengan sungguh –
sungguh sehingga setelah beberapa tahun ia menjadi kaya. Dengan kekayaan ini A
melakukan banyak perbuatan baik dengan berdana kepada orang orang yang membutuhkan
di sekitarnya maupun yang jauh. Tetapi tidak lama setelah A meninggalkan desanya, B
mengetahui bahwa A adalah orang yang mencuri uangnya. Beberapa tahun kemudian B
mengetahui dimana A berada. B mendatangi orang orang di sekitar tempat A dan
memberitahukan kepada orang – orang bahwa A adalah seorang maling, karena A telah
mencuri Rp 1000 darinya. Namun orang orang di kota itu tidak memperdulikan kata kata B,
malahan orang – orang itu membela A.

7
Dari contoh diatas kita lihat bahwa karma buruk tetap berbuah, tetapi akibatnya tidak berat
atau tidak efektif sama sekali karena perbuatan baik yang dilakukan manfaatnya besar
sekali. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan dan penderitaan tergantung pada
diri kita sendiri.

2.2 Fungsi Hukum Karma

Agama Buddha memandang hukum karma sebagai hukum sebab akibat yang bekerja
sendiri. Sebab yang baik menghasilkan akibat yang baik, sedangkan sebab yang buruk
menghasilkan akibat yang buruk atau tidak menyenangkan. Berdasarkan pada hukum ini
maka tidak ada manusia, dewa maupun kekuatan mistik yang mencampuri karma
seseorang. Hukum ini bekerja secara adil dengan caranya sendiri. Sebagai hukum yang
impersonal maka tidak ada seorang pun yang dapat merubah hukum ini sekehendak
hatinya.

Fungsi hukum karma adalah amat rumit dan dalam sekali. Hal ini yang menyebabkan orang
yang tak sabar, tak cermat dan kurang pengetahuan salah mengerti tentang cara kerja dari
hukum karma. Tetapi jika kita sabar dan berusaha mempelajari hukum ini dengan hati –
hati dan cermat, maka kita akan dapat memahami cara kerja hukum karma ini.

Perbedaan jenis jenis karma dapat dibandingkan dengan buah buahan yang bermacam
macam. Seperti jenis buah buahan yang bermacam macam membutuhkan waktu yang
berbeda beda untuk matang, demikian pula karma yang bermacam macam membutuhkan
waktu yang berbeda beda untuk menghasilkan akibatnya. Setiap jenis pohon memiliki
waktu tertentu untuk berbuah. Jika seseorang yang tak sabar ingin cepat cepat memuaskan
keinginannya dengan berusaha memeras sari buah dari buah mangga muda maka usahanya
akan sia – sia.

Demikian pula dengan akibat dari karma, setiap macam karma memiliki waktu tertentu
untuk matang sesuai dengan sifatnya. Ada karma yang matang dan menghasilkan buah
lebih cepat daripada karma yang lain. Jika kita mencampur adukan karma yang waktu
matangnya lambat dengan karma yang waktu matangnya cepat maka kita akan kecewa,

8
kekecewaan kita ini terjadi bukan karena kesalahan hukum karma tetapi disebabkan oleh
kebodohan kita sendiri. Bilamana kita berusaha mempelajari hukum karma secara hati hati
dan seksama, kita dapat melihat bahwa banyak perbuatan yang telah dilakukan sudah
menghasilkan buahnya pada kehidupan sekarang ini. Contoh : Seseorang yang menyerang
atau melukai orang lain kemungkinan besar ia akan segera diserang atau dilukai pula, atau
barangsiapa yang menghina atau mencaci maki orang lain, ia sendiri mungkin akan dihina
atau dimaki pada saat itu pula. Jenis perbuatan ini termasuk dalam karma yang waktu
matangnya cepat. Tetapi contoh ini tidak dapat menerangkan semua cara kerja hukum
karma sebab masih banyak macam karma yang menurut sifatnya adalah karma yang waktu
matangnya lambat.

Buddha Dhamma menekankan bahwa ada bermacam macam karma yang akibatnya akan
berhubungan dengan lebih dari satu atau banyak kehidupan dari pembuat. Karma seperti ini
akan di uraikan di bawah.

Berdasarkan pada hukum karma kita sebagai manusia yang masih diliputi kebodohan telah
memiliki sejumlah perbuatan baik dan buruk. Kehidupan kita sekarang merupakan ladang
tempat perbuatan – perbuatan yang lampau berbuah dan perbuatan – perbuatan baru
dilakukan. Dalam hal ini perbuatan yang lampau adalah perbuatan – perbuatan atau karma
karma yang lampau pada beberapa saat yang lalu hingga pada masa kehidupan – kehidupan
dalam kelahiran kelahiran yang lampau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum
karma selalu bekerja selama kita belum mencapai pembebasan, nibbana.

Dalam pelaksanaan hukum karma nampaknya menimbulkan pertanyaan yang sering


dipersoalkan. Kalau akibat akibat baik dan buruk selalu sesuai dengan perbuatan –
perbuatan baik atau buruk, lalu mengapa orang yang baik nampak melarat atau menderita
dalam kehidupan mereka, sedangkan orang – orang yang jahat nampak sukses dan bahagia
dalam hidup mereka ? Dalam hal ini nampaknya hukum karma tidak adil dalam
pelaksanaannya. Persoalan ini amat rumit, maka agar kita dapat mengerti cara kerja dari
hukum karma dengan baik, kita memerlukan suatu analisis yang seksama tentang persoalan
ini.

9
Karena karma berfungsi dengan cara yang rumit dan nampaknya misterius, maka selalu ada
kemungkinan bagi kita yang belum sempurna menjadi bingung untuk mengetahui atau
mengerti cara kerja dari hukum karma. Sekali pebuatan atau karma dilakukan, itu menjadi
suatu kekuatan yang tak terlihat yang cepat atau lambat akan menghasilkan akibatnya.
Bilamana setiap perbuatan yang dilakukan seseorang akan menghasilkan akibatnya, maka
hal ini terjadi hampir diluar batas kemampuan pengertian kita. Dalam beberapa kasus ada
akibat yang dipetik segera setelah suatu perbuatan dilakukan, tetapi masih banyak hal lain
dimana suatu perbuatan yang telah dilakukan tidak segera menghasilkan akibat. Hal ini
terjadi sebab ada beberapa faktor yang mencegah akibat dari suatu karma tertentu untuk
muncul.

Bagaimanapun rumitnya fungsi karma hal ini terjadi karena sifat dari karma itu sendiri dan
sebagian karena rumitnya perbuatan – perbuatan kita sehari hari. Dalam sehari seseorang
dapat melakukan bermacam macam perbuatan yang baik maupun yang buruk melalui
jasmani, ucapan atau pikiran, sehingga hampir tidak mungkin bagi pelakunya untuk
mengingat semua apa yang telah ia lakukan dalam sehari itu. Jadi adalah wajar bila ia
bingung sebab ia tak dapat menghubungkan satu kejadian lanjutan yang disebut akibat
dengan kejadian sebelumnya yang disebut sebab. Pada umumnya hal ini terjadi karena
ketika akibat itu muncul, sebabnya telah dilupakan. Beberapa macam karma yang telah
dilakukan dalam sehari dapat menghasilkan akibat dalam jangka waktu yang pendek dan
pada jangka waktu yang panjang. Hampir diluar batas kemampuan kita untuk mengetahui
perbuatan kita manakah yang berjangka waktu pendek dan yang berjangka waktu panjang.
Dikatakan bahwa kemampuan untuk mengetahui sifat dan fungsi dari hukum karma hanya
dimiliki oleh para Buddha. Namun, jika kita mencoba dengan seksama dan sabar
menyelidiki cara kerja hukum karma maka kita akan memahami sebagian dari cara
kerjanya.

Untuk mengerti dengan baik tentang potensi karma adalah perlu bagi kita untuk
mempelajari cara karma menghasilkan akibat akibatnya, baik dalam aspek luar atau
jasmaniah dan aspek dalam atau batiniah. Jika kita hanya melihat akibat karma pada satu
aspek saja maka hal ini akan menyebabkan kita salah mengerti akan hukum ini. Sebagai

10
contoh : jika seorang pegawai melakukan korupsi, ia akan mendapat lebih banyak uang
daripada gajinya untuk sebulan. Kalau ia sering berbuat korupsi dalam jangka waktu yang
pendek ia akan menjadi lebih kaya, karena ada uang hasil dari korupsi, ia nampaknya
memiliki tingkat kehidupan yang lebih baik daripada teman temannya di perusahaan. Orang
lain mungkin mengetahui bahwa ia koruptor, tetapi selama tidak ada orang memeriksanya
karena tidak ada bukti, maka ia akan tetap menikmati uang yang ia korupsi. Juga bilamana
ia orang yang berpengaruh dan kuat maka tidak ada orang yang berani memeriksanya,
sehingga ia akan menikmati kekayaannya itu sampai akhir hayatnya.

Contoh diatas tidak sulit untuk dilihat pada masa sekarang ini. Hal ini merupakan salah satu
kasus yang meragukan bagi mereka yang percaya pada hukum karma. Nampaknya orang
yang berbuat kejahatan itu tidak disentuh oleh hukum karma. Secara teoritis orang ini harus
mendapat ganjaran sebagai akibat perbuatan jahatnya, tetapi bahkan mendapatkan
kebahagiaan dan kemakmuran yang seperti ia nikmati sekarang.

Berkenaan dengan akibat – akibat karma, Sang Buddha berkata :

Pembuat kejahatan akan menganggap kejahatan sebagai kebaikan selama perbuatan itu
belum matang. Tetapi bila perbuatan itu menghasilkan akibat, maka ia menyadari bahwa
sesungguhnya kejahatan adalah berbahaya. Orang yang bajik pun akan menganggap
kebaikan sebagai kejahatan selama perbuatan itu belum matang, tetapi bilamana perbuatan
itu menghasilkan akibat, maka ia menyadari bahwa sesungguhnya kebaikan itu baik.

( Dhammapada 119 – 120 )

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa kesalahpahaman tentang fungsi hukum
karma telah ada pada masa Sang Buddha. Suatu hal yang wajar bila kita melihat hukum
karma dari sisi sifatnya kita yang tak sabar dan tak cermat maka persoalan ini nampaknya
rumit dan misterius dan akibatnya kepercayaan kita pada hukum karma berkurang.

Tetapi bila kita cukup sabar dengan tenang dan cermat memperhatikan contoh itu, kita akan
dapat menembus sesuatu dari kemisteriusan cara kerja hukum karma dan akhirnya
keyakinan kita akan bertambah karena keyakinan kita tidak salah.

11
Dalam contoh diatas, ketika orang tersebut melakukan korupsi untuk mendapt uang, ia
mendapat banyak uang. Jelas bahwa bila ia berusaha mendapat banyak uang, maka
akibatnya ia mendapat banyak uang, tidak perduli apakah cara itu baik atau buruk. Ini
adalah sifat luar atau aspek jasmaniah dari aspek akibat hukum karma. Tapi bila kita
melihat persoalan dari contoh diatas sisi aspek dalam atau aspek spiritual dari hukum
karma, maka kesalah pengertian tentang hukum karma dapat dilenyapkan. Menurut
pandangan agama Buddha, bila suatu karma sedang menghasilkan akibatnya, maka karma
lain yang potensinya sama atau lebih kurang daripada karma itu tidak mendapat
kesempatan untuk berbuah. Tetapi bila karma yang sedang berbuah itu menjadi lemah atau
telah selesai berbuah, barulah karma yang lain mendapat kesempatan untuk berproses. Jika
ada karma sekarang atau karma baru yang dikategorikan kuat muncul, maka karma yang
sedang berproses saat ini akan tertekan dan karma baru yang lebih kuat akan berfungsi.

Menurut hukum karma kehidupan kita sekarang adalah ekspresi dari karma karma kita yang
lampau. Dalam kasus dari orang yang korupsi yang sedang menikmati kebahagiaan dari
mata pencahariannya yang tidak jujur, satu satunya jawaban untuk ini adalah bahwa hasil
karma baiknya yang lampau sedang berbuah dan karma buruk yang diperbuatnya sekarang
sedang menunggu waktu yang tepat untuk berbuah. Bagaimanapun karma buruknya akan
selalu mengikuti dia kemana saja ia pergi atau terlahir kembali, bagaikan roda pedati yang
mengikuti jejak sapi yang menariknya. Sekali sebuah perbuatan dilakukan dengan sadar
( ada niat ). Maka perbuatan itu telah memiliki suatu kekuatan yang tak terlihat dan
kekuatan perbuatan ini tidak akan lenyap selama kekuatannya belum habis karena
menghasilkan akibatnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Sang Buddha bahwa mungkin
sekali pembuat kejahatan menganggap kejahatan sebagai kebaikan selama perbuatan itu
belum berbuah, tetapi bilamana perbuatan itu berbuah, maka ia akan menyadari dan
menderita sebagai akibat dari perbuatannya yang salah.

Pada kasus kasus yang lain terjadi bahwa orang yang korupsi dengan mendapatkan
keuntungan dan menyebabkan orang lain menderita, pada akhirnya ia jatuh dan menderita.

12
Tetapi kejatuhan dan penderitaan yang dialaminya itu mungkin hanya bersifat aspek luaran
atau aspek jasmaniah, karena masih ada pula akibat yang lebih halus yang langsung berlaku
dan lebih lama pada aspek dalam atau batinnya. Dipandang dari sisi pandangan pada aspek
dalam atau aspek batin dari akibat karma, walaupun ada orang tak jujur yang nampak
bahagia dengan kekayaan yang diperoleh dengan cara yang salah, namun hal ini bukan
berarti ia selalu bahagia dalam batinnya. Sebagai akibat dari ketidak jujurannya maka ia
selalu menderita karena merasa bersalah. Ia dapat menyembunyikan perbuatannya yang
salah pada orang lain, tetapi secara psikologis ia tak dapat menipu dirinya sendiri. Ia sendiri
yang melakukan karma, maka ia sendiri yang akan menerima akibatnya. Hal ini bagaikan
makan, bila ada seseorang yang lapar, ia sendiri harus mulai makan karena tidak ada orang
lain yang makan agar ia keyang. Jika makanan yang ia makan beracun, ia sendiri yang akan
menderita keracunan yang disebabkan oleh makanan.

Sebaliknya, orang bajik yang selalu melakukan karma baik, cepat atau lambat ia akan
menerima akibat dari perbuatannya. Menurut pandangan Buddhis bila seorang yang bajik
nampak menderita, hal ini terjadi karena akibat dari perbuatan salah yang ia lakukan pada
kehidupan yang lampau. Sedangkan akibat perbuatan baiknya belum berbuah karena
menunggu waktu matang. Orang bajik ini dapat beranggapan bahwa perbuatan baik itu
salah selama perbuatan baiknya belum menghasilkan akibat, tetapi ia akan menyadari
bahwa perbuatan bajik yang telah ia lakukan adalah baik dan bermanfaat bila waktunya
berbuah telah tiba, sehingga ia dapat menikmati akibat yang menyenangkan.

Bagaimanapun, hal ini bukan berarti suatu hal yang mudah untuk mengerti fungsi dari
hukum karma, karena cara kerja hukum karma agak tersembunyi. Tetapi hal ini masih
mungkin kita dapat mengerti sedikit cara kerjanya bila kita berusaha mempelajari kedua
aspeknya dengan hati hati, cermat dan sabar. Kita tidak akan pernah mengkambing
hitamkan orang lain bila kita gagal atau penderitaan terjadi ketika sedang dalam keadaan
damai dan menikmati kebahagiaan.

Seseorang yang memiliki keyakinan yang teguh pada hukum karma akan selalu melakukan
perubatan baik demi kebaikan tanpa memperdulikan akibat dari perbuatannya, karena ia

13
selalu yakin bahwa sebab baik akan selalu berakibat baik. Melakukan perbuatan baik demi
kebaikan merupakan cara ideal dari ajaran hukum karma Buddhis.

2.3 Ajaran Hukum Karma Menurut Kitab Suci Tipitaka

1. Empat Macam Karma

Bagi umat Buddha Kitab Suci Tipitaka dianggap sebagai sumber- sumber otoritas dari
ajaran – ajaran Sang Buddha, Disamping Kitab Suci Tipitaka terdapat :

a.       Atthakatha

b.      Tika

c.       Anutika

Tipitaka secara harfiah berarti Tiga Keranjang atau kitab suci yang berisikan ajaran ajaran
Sang Buddha dan beberapa siswa senior Beliau. Atthakatha merupakan komentar dari
Tipitaka; Tika merupakan komentar dari Atthakatha; dan Anutika merupakan komentar
atau keterangan dari Tika.

Ajaran ajaran yang diuraikan dalam Atthakatha dianggap nomor dua setelah otoritas
Tipitaka; sedangkan Tika dan Anutika tidak begitu penting.

Mengenai ajaran karma, uraian yang jelas dapat ditemukan dalam Tipitaka. Dalam
Kukkurovada Sutta dari Majjhima Nikaya, Sang Buddha telah menguraikan ajaran karma
kepada dua orang petapa yang datang bertanya kepada Beliau. Uraian yang sama dapat juga
ditemukan dalam Catukkanipata dari Angutara Nikaya. Menurut dua sumber tersebut
diatas, Sang Buddha secara tegas telah menggolongkan karma atau perbuatan menjadi
empat macam dalam hubungan dengan sifat dan akibat – akibatnya :

Para bhikkhu, empat macam karma yang telah Ku pahami dengan kebijaksanaan sendiri
dan selanjutnya kuajarkan kepada dunia. Apakah empat macam karma itu ? Empat macam
karma itu adalah :

14
Karma hitam yang berakibat hitam; karma putih yang berakibat putih; karma hitam dan
putih yang berakibat hitam dan putih; dan karma bukan hitam maupun putih yang berakibat
bukan hitam maupun putih serta membawa pengakhiran karma.

( Anguttara Nikaya, Catukkanipata 232 – 238 )

Penggolongan karma kedalam empat kategori seperti yang tersebut diatas, dibuat
berdasarkan atas sifat dan akibat akibatnya : baik, buruk, baik dan buruk; atau bukan baik
maupun buruk. Tetapi, bila dilihat dari sudut saluran yang digunakan, karma dapat
digolongkan menjadi tiga macam yaitu perbuatan badan jasmani (kaya kamma), ucapan
(vaci kamma) dan pikiran (mano kamma). Setiap tiga perbuatan ini mencakup semua empat
kategori tersebut diatas, yaitu karma yang dilakukan melalui salah satu dari tiga saluran itu
adalah baik, buruk, baik dan buruk, atau bukan baik maupun buruk.

Mengenai karma hitam dari kategori pertama, Sang Buddha menunjukkan pada setiap
bentuk perbuatan jahat yang dilakukan melalui badan jasmani, ucapan dan pikiran yang
bertujuan menimbulkan kesukaran, kesengsaraan atau kerugian pada makhluk lain.
Perbuatan – perbuatan buruk seperti membunuh atau menyiksa binatang – binatang,
mencuri harta orang lain, berzinah dan lain lain, adalah dianggap sebagai karma hitam atau
buruk.

Menurut agama Buddha, kehidupan seseorang semata mata ditentukan oleh karmanya
sendiri. Apapun yang telah dilakukan olehnya akan selalu tercermin dalam kehidupan
pribadinya. Bilamana buah dari perbuatan perbuatannya tidak datang kepadanya dalam
hidup sekarang, pasti akan mengunjunginya dalam kelahirannya yang akan datang.
Seseorang yang terlelap dalam karma hitam dengan melakukan perbuatan perbuatan
membunuh, mencuri, merugikan, atau memfitnah makhluk – makhluk lain pasti akan
menerima akibat – akibat gelap dari perbuatannya sendiri. Akibat hitam yang benar – benar
menyakitkan dari suatu perbuatan disebut akibat hitam, ini termasuk dalam kategori karma
yang pertama. Sang Buddha mengatakan bahwa orang itu setelah ia meninggal dunia, ia
akan terlahir dalam alam yang diliputi penderitaan bagaikan makhluk yang terlahir di
neraka.

15
Kategori karma yang kedua berlawanan dengan kategori karma yang pertama. Itu adalah
karma putih yang akan selalu menghasilkan akibat putih. Sebagaimana telah dikatakan oleh
Sang Buddha :

Ada orang di dunia ini melakukan karma melalui jasmani, ucapan dan pikiran tanpa
menyiksa makhluk – makhluk lain. Maka setelah ia meninggal dunia, ia akan terlahir
kembali ke alam tanpa mengalami siksaan. Disana ia akan mengalami perasaan – perasaan
(vedana) tanpa penyiksaan yang seluruhnya hanya terdiri dari kebahagiaan seperti dewa –
dewa Subhakinha. Inilah yang Ku sebut karma putih yang mempunyai akibat putih.

(Kukkurovada Sutta, Majjhima Nikaya)

Karena itu, karma putih berarti perbuatan – perbuatan baik (kusala kamma) yang dilakukan
oleh seseorang melalui saluran badan jasmani, ucapan dan pikiran. Menurut hukum karma,
akibat selalu ditentukan oleh sebabnya. Manifestasi karma terdiri dari kemiripan yang
mendasar antara perbuatan dan hasil sebab dan akibat : “ Seperti sebab, begitu pula dengan
akibat”. Bila seseorang menanam pohon mangga, maka pada suatu saat ia akan memetik
buah mangga sebagai hasilnya dan tak mungkin ia akan memetik buah kelapa. Demikian
pula perbuatan – perbuatan baik akan selalu menghasilkan buah yang sesuai.

Sekarang kita akan meneliti kategori karma ketiga : karma hitam dan putih. Karma jenis ini
merupakan campuran dari perbuatan – perbuatan baik dan buruk. Karma baik dapat
diumpamakan seperti minyak dan karma buruk seperti air, lalu bagaimana minyak dan air
dapat bercampur bersama. Bahwasanya dengan cara biasa minyak dan air tidak dapat
bercampur bersama namun, setiap orang pasti mengakui bahwa minyak dan air dapat
dimasukan ke dalam satu tempat yang sama. Disana mereka berada bersama sama,
walaupun minyak tetap mengambang diatas air. Dalam cara yang sama, karma hitam dan
putih dapat bersama sama, begitu pula dengan akibat – akibat hitam dan putih. Menurut
agama Buddha, bila perbuatan perbuatan baik dan buruk dilakukan bersama sama, maka
kebahagiaan dan penderitaan yang merupakan akibat dari perbuatan perbuatan demikian

16
juga akan muncul bersama. Disini kata “ bersama ” berarti dalam satu masa kehidupan
yang sama. Benar, bahwasanya penderitaan dan kebahagiaan tidak dapat timbul pada saat
yang sama sebagaimana tidak ada kemungkinan bagi dua macam karma baik dan buruk,
untuk menghasilkan akibat akibatnya pada saat yang sama.

Dalam kenyataan, kebahagiaan timbul menggantikan penderitaan dan penderitaan muncul


menggantikan kebahagiaan. Ini merupakan kenyataan dalam kehidupan manusia dimana
kebahagiaan dan penderitaan dialami secara silih berganti. Setiap orang melakukan
perbuatan perbuatan baik dan buruk melalui badan jasmani, ucapan dan pikiran dalam
kehidupannnya sehari hari dan dengan begitu setiap orang mengalami kebahagiaan dan
penderitaan. Seseorang yang telah melakukan karma campuran, pasti akan menerima akibat
– akibat campuran dalam hidup sekarang atau dalam kehidupan kehidupan berikutnya.
Inilah yang dikatakan oleh Sang Buddha sebagai karma hitam dan putih, yang memberikan
akibat hitam dan putih.

Penggolongan karma yang terakhir adalah karma bukan hitam maupun putih yang
memberikan akibat bukan hitam maupun putih. Penggolongan ini menandai suatu
perbedaan khusus antara ajaran karma dalam agama Buddha dengan ajaran karma dalam
sistem sistem pemikiran india lainnya.

Disini, karma bukan hitam maupun putih berarti perbuatan yang tak dapat dinyatakan
sebagai baik atau buruk pun keduanya. Dalam hubungan dengan akibat, penderitaan adalah
disebabkan oleh karma gelap atau buruk; kebahagiaan disebabkan oleh karma terang atau
baik. Dan campuran penderitaan dan kebahagiaan disebabkan oleh karma hitam dan putih
atau karma buruk dan baik. Karma bukan hitam maupun putih tidak mengacu pada akibat
akibat demikian, tetapi pada keadaan di luar penderitaan dan kebahagiaan, pada
pemusnahan semua karma, pada Nibbana. Namun demikian, karma macam ini janganlah
dicampur adukan dengan suatu perbuatan dari orang yang telah bebas atau orang yang telah
mencapai tingkat kesucian tertinggi ( Arahat ). Perbuatan seorang Arahat tidak lagi
digolongkan sebagai karma tetapi kiriya karena kekotoran – kekotoran batin ( kilesa ) yang
melandasi perbuatan kehendak dari orang demikian sudah dihancurkan secara total.

17
Dilihat dari sudut pandangan mutlak, hal itu tidak dapat dinyatakan sebagai hitam atau
putih ataupun kedua duanya, Tetapi bila karma macam ini dilihat dari sudut pandangan
relatif, dapatlah dianggap sebagai macam karma baik karena tidak menghasilkan akibat
akibat yang merugikan atau menyakitkan. Disini harus diadakan pembedaan penafsiran
secara jelas, bahwasanya suatu perbuatan baik yang umum mengarah pada serangkaian
kelahiran kembali yang tak terbatas. Sedang kategori karma yang terakhir ini langsung
mengarah pada pengakhiran kelahiran kembali. Inilah dasarnya mengapa Sang Buddha
tidak memasukkan karma macam ini ke dalam karma kategori putih.

Mengenai karma bukan hitam maupun putih ini, Sang Buddha menunjukan pada jalan
utama berfaktor delapan, yang merupakan asas asas praktek agama Buddha yang menuju ke
pengakhiran penderitaan, ke Nibbana. Kadang kadang Beliau menunjukkan Tujuh Faktor
Penerangan Sempurna (Satta Sambojjhanga) Yaitu Sati (penyadaran), Dhammavicaya
(penyelidikan terhadap Dhamma), Viriya (usaha, semangat), Piti (kegiuran), Passaddhi
(ketenangan), Samadhi (konsentrasi) dan Upekkha (keseimbangan batin).

Jalan utama berfaktor delapan atau Tujuh Faktor Penerangan Sempurna, bila dikembangkan
secara tepat dan sempurna, akan langsung membawa pada kebebasan atau Nibbana, suatu
keadaan di luar penderitaan dan kebahagiaan. Karma hitam dan putih atau perbuatan
perbuatan buruk dan baik selalu akan membawa pada pembentukan karma baru yang tak
terbatas. Apabila suatu perbuatan baik dilakukan maka sejenis akibat baik akan muncul.
Dengan menikmati akibat yang menyenangkan maka keinginan (tanha) baru atau
kemelekatan (upadana) muncul dalam pikiran pelakunya, Dan karena keinginan atau
kemelekatan, ia dipaksa untuk berbuat lagi; karena ia berbuat maka timbulah akibat dari
perbuatannya; sewaktu menikmati atau menderita akibat, keinginan baru muncul.

Menyatakannya dalam rumusan karma Buddhis : karma membawa pada akibat (vipaka),
akibat membawa pada keinginan (tanha), keinginan membawa pada karma; karma
membawa pada akibat. Rumusan ini akan terus berulang dalam cara ini , kecuali kalau dan
sampai rangkaian lingkaran belenggu reaksi ini dihancurkan dengan memahami kebenaran
mutlak, Empat Kebenaran Mulia.

18
Agama Buddha menyatakan bahwa pengembaraan dalam samsara tak akan pernah berakhir
selama keinginan yang merupakan akar sebab dari ikatan tidak dimusnahkan. Lingkaran ini
hanya dapat dihancurkan dengan mengikuti jalan utama berfaktor delapan atau
mengembangkan Tujuh Faktor Penerangan Sempurna yang dikatakan sebagai karma bukan
hitam maupun putih. Karma ini akan mengarah pada perenungan Pandangan Terang
(vipassana) yang sebagai gantinya akan menghancurkan nafsu keinginan.

Bilamana semua nafsu keinginan telah dihancurkan, maka kebebasan akan dicapai dan
lingkaran kelahiran dan kematian (samsara) dapat dipatahkan. Pemadaman penderitaan
batin dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini bila orang telah bebas, sedang
penderitaan jasmani akan berakhir setelah badan jasmani hancur. Namun, betapapun
hebatnya penderitaan jasmani tidak akan pernah mengalahkan batin orang yang telah
mencapai penerangan sempurna. Semua penderitaan akan berakhir setelah orang tersebut
mencapai kebebasan sempurna atau Parinibbana, suatu keadaan di luar kelahiran dan
kematian, diluar penderitaan dan kebahagiaan dalam pengertian duniawi, di luar
kemampuan akal dan cakupan bahasa, suatu keadaan berkah yang menjadikan setiap usaha
bagi pencapaian kebebasan mutlak menjadi berharga.

2. Karma Subur dan Karma Mandul

Dalam pengertian Buddhis tentang karma, seperti yang telah kita sebutkan diatas,
bahwasanya dalam dunia moral, tidak setiap perbuatan dapat disebut karma. Hanya
perbuatan yang berhubungan dengan kehendak batin (cetana) yang disebut karma; atau
kehendak batin itu sendiri yang disebut karma, sebagaimana telah dinyatakan oleh Sang
Buddha :

“O Bhikkhu, kehendak itulah yang Ku sebut karma. Setelah timbul kehendak dalam
batinnya, seseorang melakukan perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran….”

( Anguttara Nikaya, III, 415 )

Hal ini menyatakan bahwa suatu perbuatan tanpa kehendak atau kemauan, tidak dianggap
sebagai karma dan perbuatan demikian tidak akan memberikan pengaruh besar kepada

19
pelakunya. Karena itu, suatu perbuatan tanpa kehendak adalah karma mandul yang tidak
dapat menghasilkan buah.

Dalam kitab Anguttara Nikaya Sang Buddha menyatakan enam kondisi sebab karma. Enam
kondisi ini dapat dijadikan dua kelompok : kotor ( duccarita ) dan bersih ( sucarita ) Dalam
kelompok pertama : kotor ( duccarita ) terdapatlah tiga kondisi yaitu :

a.       Lobha ( keserakahan )

b.      Dosa ( kebencian )

c.       Moha ( kebodohan )

Mengenai karma yang mempunyai salah satu dari tiga kondisi ini sebagai sebab, Sang
Buddha menyatakan :

O para bhikkhu, bilamana perbuatan – perbuatan seseorang dilakukan karena


keserakahan…, dilakukan karena kebencian…, dilakukan karena kebodohan, timbul dari
kebodohan, didasari oleh kebodohan, berasal dari kebodohan, maka dimanapun ia akan
dilahirkan, disanalah perbuatan – perbuatannya menjadi masak; dan dimanapun mereka
masak; disanalah ia akan mengalami akibat dari perbuatan perbuatannya itu, apakah dalam
hidup sekarang, atau dalam beberapa kehidupan berikutnya.

(Anguttara Nikaya, Tikanipata 171)

Karma yang disebabkan oleh salah satu dari kondisi kondisi ini dapat kita bandingkan
dengan benih suatu tumbuhan yang tidak terluka; tidak rusak, tidak terganggu oleh angin
atau panas, subur dan tersimpan baik, ditanam pada lahan subur yang telah digarap dengan
baik; kemudian bila hujan turun tepat pada musimnya, maka benih itu pasti akan tumbuh
subur dan berkembang dengan segala kemungkinannya. Karenanya, perbuatan atau karma
yang didasari oleh Lobha, dosa dan moha merupakan karma subur yang akan memberikan
hasil yang sepadan dengan pelakunya dalam hidup sekarang ini atau dalam kehidupan
selanjutnya. Karma dalam hubungan ini dapat bersifat baik atau buruk.

20
Sebagai contoh, seseorang dapat mengorbankan uangnya untuk beramal dengan harapan
akan memperoleh pujian dari orang lain atau untuk memperoleh akibat akibat lain yang
diharapkan. Tak perlu diragukan lagi, perbuatan baiknya ini didasari oleh alobha (tanpa
keserakahan), namun keserakahan merupakan faktor pendorong dalam perbuatan amalnya.
Sebaliknya dengan lobha (keserakahan) sebagai sebab langsung ia dapat mencuri uang atau
harta orang lain. Sang Buddha menyatakan bahwa perbuatan yang didasari oleh kekotoran
kekotoran batin ini membawa pada suatu pembentukan karma subur baru yang tak terbatas,
bukan pada penghancuran karma. Atau dengan kata lain, karma tersebut membawa pada
pengembaraan dalam lingkaran kelahiran dan kematian (samsara) yang tak ada batasnya.

Kelompok kedua : bersih (sucarita) terdiri atas tiga kondisi :

a.       alobha (tanpa keserakahan)

b.      adosa (tanpa kebencian)

c.       amoha ( tanpa kebodohan )

Mengenai karma yang disebabkan oleh tiga kondisi ini, Sang Buddha bersabda :
O para bhikkhu, bilamana perbuatan perbuatan seseorang dilakukan tanpa keserakahan…
dilakukan tanpa kebencian… dilakukan tanpa kebodohan, tidak berasal dari kebodohan,
karena kebodohan telah lenyap, maka perbuatan perbuatan tersebut ditinggalkan, dijadikan
seperti tonggak pohon kelapa, dan menjadi mandul serta tidak dapat tumbuh lagi di masa
yang akan datang.

( Anguttara Nikaya, Tikanipata 172 )

Sang Buddha membandingkan perbuatan yang dilakukan keserakahan, kebencian dan


kebodohan seperti benih suatu tumbuhan diluar, dibakar dan abunya dilemparkan ke arah
pusaran angin kencang atau dimasukkan ke dalam arus sungai yan deras. Dengan cara ini
benih itu ditinggalkan, dihancurkan dan tidak subur serta tidak dapat tumbuh lagi di masa
yang akan datang. Begitu juga perbuatan perbuatan yang didasari oleh alobha, adosa dan
amoha, dan bila lobha, dosa, moha telah dicabut seluruhnya, maka perbuatan perbuatan

21
tersebut menjadi mandul serta tidak dapat memberikan suatu akibat pada pelakunya.
Perbuatan perbuatan macam ini merupakan milik Arahat, yang tidak lagi disebut karma,
melainkan disebut kiriya.

Berikut ini adalah gambaran yang lain dari keterangan Sang Buddha mengenai enam
kondisi sebagai sebab-sebab karma :

Para bhikkhu, ada tiga sebab perbuatan. Apakah tiga hal itu ? Tiga hal itu adalah : lobha
(keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (kebodohan). Para bhikkhu, bilamana perbuatan
seseorang dilakukan dibawah pengaruh keserakahan, dibawah pengaruh kebencian…
dibawah pengaruh kebodohan, berasal dari kebodohan, maka perbuatan itu tidak
bermanfaat (akusala), tidak menguntungkan, mengakibatkan penderitaan, mendorong
timbulnya perbuatan perbuatan baru dan bukan untuk mengakhiri perbuatan perbuatan.
Para bhikkhu, ada tiga sebab perbuatan. Apakah tiga hal itu ? Tiga hal itu adalah : alobha
(tanpa keserakahan), adosa (tanpa kebencian), dan amoha (tanpa kebodohan)

Para bhikkhu bilamana perbuatan perbuatan seseorang dilakukan dengan tanpa keserakahan
(alobha)… dengan tanpa kebencian (adosa) … dengan tanpa kebodohan (amoha), lahir dari
amoha, disebabkan oleh amoha, berasal dari amoha, maka perbuatan itu adalah bermanfaat
(kusala), mengakibatkan kebahagiaan, mengarah pada pengakhiran perbuatan selanjutnya
dan bukan mengarah pada timbulnya perbuatan perbuatan baru.

( Anguttara Nikaya, Tikanipata 388 – 339).

Karena itu, jelas bahwa masing masing kelompok dari enam kondisi tersebut sama sama
sebagai sebab karma, tetapi dalam cara yang berbeda. Kelompok yang pertama : kotor,
terdiri dari lobha, dosa dan moha merupakan sebab karma yang akan memberi akibat
(subur) dan mengarah pada pembentukan karma baru yang tak terbatas atau pada
pengembaraan dalam samsara yang tak ada batasnya.

Kelompok kedua : suci, terdiri dari alobha, adosa dan amoha merupakan kondisi karma
yang tak memberi akibat (mandul) dan mengarah pada pengakhiran karma atau pada
kebebasan dari penderitaan. Enam kondisi ini menunjukkan bahwa karma akan subur atau

22
mandul tergantung pada sifat batin pelaku perbuatan. Bila tiga kekotoran batin masih ada
dalam batin si pelaku, maka perbuatan perbuatannya akan selalu menghasilkan akibat
akibat yang sesuai dengan sebab sebabnya. Tetapi hal itu bukan sama sekali tak mungkin
bagi orang awam yang batinnya masih belum bebas sama sekali dari lobha, dosa dan moha
untuk melakukan perbuatan perbuatan yang mengarah pada pengakhiran semua karma,
pada pemahaman kebenaran mutlak. Perbuatan perbuatannya dapat juga didasari oleh
alobha, adosa dan amoha, namun karena ia masih belum bebas atau karena keinginan
keinginanya masih belum dihancurkan sama sekali, maka perbuatan perbuatannya masih
akan memberikan akibat – akibat tertentu kepadanya.

Agama Buddha menyatakan bahwasanya hanya perbuatan perbuatan seseorang yang telah
bebas atau yang telah mencapai penerangan sempurna (arahanta) saja yang benar benar
mandul. Perbuatan perbuatan orang demikian (yang telah bebas) tidak dapat digolongkan
dibawah kategori kategori baik atau buruk, karena kekotoran kekotoran batin (kilesa) telah
dihancurkan secara mutlak dari dalam batinnya. Perbuatan perbuatannya akan netral dalam
pengertian tidak akan memberikan akibat akibat padanya, karena ia telah berada diluar
keadaan yang dapat dipengaruhi oleh karma. Seseorang yang telah bebas selalu melakukan
perbuatan perbuatan dengan rasa tidak terikat, yaitu dengan kebebasan dari lobha, dosa dan
moha. Dan ketidakterikatan itulah yang sesungguhnya menjadikan suatu karma mandul.
Sedang kemelekatan selalu menjadi karma subur.

2.4 Karma dalam hubungan dengan akibat akibatnya

Karma dan akibat akibatnya berhubungan erat seperti api dengan panasnya atau nilai
membakarnya. Pengetahuan atau pengertian tentang hukum karma tidak akan lengkap
apabila tidak dipelajari dalam hubungan dengan akibat akibatnya.

Dalam kitab suci Tipitaka terdapat suatu pernyataan yang memperlihatkan keyakinan umat
Buddha terhadap hukum karma, pernyataan tersebut berbunyi :

“ Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Ia yang
berbuat baik akan menerima kebaikan ; dan ia yang berbuat jahat akan menerima

23
kejahatan”.
( Samyutta Nikaya I, 293 )

Ungkapan ini menyatakan bahwa apabila sebab sebabnya baik, maka akibatnya juga akan
baik. Sebaliknya apabila sebab sebabnya buruk maka akibatnya juga akan buruk. Hal itu
juga menunjukan sifat hubungan sebab akibat. Uraian mengenai macam macam karma
tertentu yang akan menghasilkan akibat akibat tertentu diberikan dalam
Culakammavibhanga Sutta dari kitab Majjhima Nikaya.

Menurut Sutta tersebut, sewaktu Sang Buddha sedang berdiam di vihara Anathapindika
dekat kota Savatthi, datanglah seorang pemuda Brahmana yang bernama Subha, yang
bertanya kepada Sang Buddha mengenai perbedaan kualitas manusia.

Yang Mulia Gotama, apakah yang menjadi alasan, apa sebabnya diantara umat manusia
yang terlahir sebagai manusia, ada yang hina dan mulia ?

Wahai Gotama, mengapa ada umat manusia yang berusia pendek dan ada yang berusia
panjang, berpenyakit dan sehat, buruk dan rupawan, tak berkuasa dan berkuasa, miskin dan
kaya, lahir dalam keluarga rendah dan lahir dalam keluarga bangsawan, bodoh dan pandai ;
wahai Gotama apakah alasannya, apa sebabnya maka diantara manusia ada yang terlahir
hina dan ada yang terlahir mulia ?

(Culakammavibhanga Sutta, Majjhima Nikaya)

Sang Buddha menjawab :

Wahai Brahmana muda, setiap makhluk adalah pemilik karmanya sendiri, pewaris
karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri dan
dilindungi oleh karmanya sendiri. Karma yang menentukan makhluk – makhluk,
menjadikan mereka hina dan mulia.

( Culakammavibhanga Sutta, Majjhima Nikaya )

Sang Buddha menerangkan lebih lanjut bahwa sebagian orang dalam dunia ini, apakah laki
laki atau wanita, selalu membunuh makhluk makhluk hidup, kejam dan haus darah,

24
memiliki kebiasaan membunuh dan suka membunuh, tak memiliki rasa kasih sayang
terhadap makhluk makhluk hidup. Orang tersebut dengan melakukan perbuatan perbuatan
demikian, maka setelah kematiannya, setelah tubuhnya hancur, ia akan terlahir kembali di
alam celaka, neraka. Atau apabila setelah kehancuran tubuhnya, setelah mati ia tidak
terlahir kembali di alam celaka, neraka, tetapi terlahir kembali sebagai manusia, maka ia
akan berumur pendek. Inilah alasan, sebab yang memberikan akibat umur pendek pada
manusia.

Sebaliknya Sang Buddha menunjukan bahwa sebagian orang di dunia ini menahan diri dari
pembunuhan, menahan diri secara total dari pembunuhan pembunuhan makhluk hidup,
penuh perasaan persahabatan dan belas kasihan, mengembangkan cinta kasih dan kasih
sayang terhadap semua makhluk hidup. Orang tersebut, dengan melakukan perbuatan
perbuatan demikian, setelah kehancuran tubuhnya, setelah mati, maka ia akan terlahir
kembali dalam alam bahagia, ke surga. Atau apabila setelah kehancuran tubuhnya, setelah
mati, ia tidak terlahir kembali dalam alam bahagia, ke surga, tetapi terlahir kembali sebagai
manusia, maka dimanapun ia dilahirkan kembali, dia akan berumur panjang. Inilah alasan
sebab yang memberikan akibat umur panjang pada manusia.

Selanjutnya Sang Buddha menerangkan bahwa perbuatannya kejam, seperti melukai atau
menyiksa makhluk makhluk hidup berakibat dengan hidup berpenyakitan, sedang
perbuatan perbuatan yang tidak kejam terhadap makhluk makhluk hidup berakibat dengan
hidup sehat. Kemarahan merupakan sebab bagi bentuk badan yang jelek dan kesabaran
merupakan sebab bagi bentuk badan yang indah. Iri hati mengakibatkan tidak memiliki
kekuasaan dan sifat simpati yang bergembira melihat keberhasilan orang lain
mengakibatkan memiliki kekuasaan .

Sifat kikir merupakan sebab bagi kemiskinan dan sifat murah hati merupakan sebab bagi
hidup kaya. Kesombongan merupakan sebab bagi kelahiran dalam keluarga rendah dan
miskin atau berada dalam kedudukan sosial yang rendah, sedang kerendahan hati berakibat
dengan kelahiran dalam keluarga berpangkat (bangsawan) dan kaya, atau berada dalam
kedudukan sosial yang tinggi.

25
Malas untuk memperoleh pengetahuan merupakan sebab kebodohan, sedang semangat
untuk memperoleh pengetahuan baru merupakan sebab bagi kebijaksanaan atau kecerdasan
intelek.

Culakammavibhanga Sutta memberikan pandangan yang jelas mengenai macam karma


tertentu yang menghasilkan akibat tertentu. Dalam beberapa hal tidaklah sukar untuk
menghubungkan antara satu sebab tertentu dengan akibat tertentu secara masuk akal.
Contohnya : mengenai kemarahan. Biasanya bilamana seseorang marah misalnya
kemarahannya akan terungkap pada wajahnya dan melalui matanya. Setiap orang yang
kebetulan berada di dekatnya dapat memperhatikan dengan mudah perubahan suasana
hatinya melalui ungkapan yang tak wajar pada wajahnya. Mungkin orang itu sendiri akan
merasa takut melihat wajahnya yang jelek bila ia kebetulan melihat ke dalam cermin dan
memperhatikannya sewaktu ia sedang marah.

Gambaran yang lain mengenai karma tertentu yang menghasilkan akibat tertentu dapat
ditemukan dalam kitab Anguttara Nikaya Catukkanipata 275 – 279. Dalam sumber tersebut
dikatakan bahwa pada suatu hari permaisuri raja Pasenadi Kosala yang bernama Mallika
Devi mengunjungi Sang Buddha dan bertanya mengenai kualitas kualitas wanita. Berikut
inilah pertanyaan pertanyaan yang diajukan olehnya :

1.      Apakah alasannya, apakah sebabnya, mengapa seorang wanita memiliki wajah buruk,
bentuk tubuh yang jelek, menakutkan untuk dilihat dan ia juga miskin, melarat, papa dan
memiliki kedudukan sosial yang rendah ?

2.      Apakah alasannya, apakah sebabnya, mengapa seorang wanita memiliki wajah buruk,
bentuk tubuh yang jelek dan menakutkan untuk dilihat, namun ia kaya, berharta,
berkelebihan dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi ?

3.      Apakah alasannya, apakah sebabnya, mengapa seorang wanita memiliki wajah cantik,
menarik, menyenangkan serta memiliki kecantikan yang luar biasa tetapi ia miskin,
melarat, papa dan memiliki kedudukan sosial yang rendah ?

26
4.      Apakah alasannya, apakah sebabnya, mengapa seorang wanita itu cantik, menarik,
menyenangkan dan memiliki kecantikan yang luar biasa, namun ia juga kaya, berharta,
berkecukupan dan memiliki kedudukan sosial yang tinggi ?

Menjawab pertanyaan yang pertama Sang Buddha menerangkan kepada Mallika bahwa
sebagian wanita memiliki sifat pemberang dan bengis, atas setiap hal yang sedikit
menentangnya ia merasa dendam, marah, berang dan mendongkol, serta memperhatikan
kemarahan dan kebencian; ia juga tak mau memberikan dana kepada para petapa dan
brahmana berupa makanan, minuman dan lain sebagainya, serta merasa iri atas
keberuntungan, kehormatan, penghargaan yang diperoleh orang lain. Wanita tersebut,
bilamana ia meninggal dunia dan lahir dalam kehidupan sekarang, dimanapun ia dilahirkan,
maka ia akan memiliki wajah buruk, bentuk tubuh jelek dan menakutkan untuk dilihat, dan
juga miskin, melarat, papa serta berada dalam kedudukan sosial yang rendah.

Menjawab pertanyaan yang kedua, secara singkat Sang Buddha menerangkan bahwa sifat
pemberang, kemarahan dan kebencian dari kehidupan yang lampau merupakan sebab bagi
wajah yang buruk, bentuk tubuh jelek dan perwujudan yang menakutkan dari seorang
wainta dalam kehidupan sekarang. Tetapi karena dalam kehidupannya yang lampau ia
memiliki sifat murah hati dan tidak merasa iri atas keberuntungan atau kebahagiaan orang
lain, maka dalam kehidupannya yang sekarang ia menjadi kaya, berharta, berkelebihan dan
berada dalam kedudukan sosial yang tinggi.

Menjawab pertanyaan yang ketiga, bila dalam kehidupannya yang lampau seorang wanita
tidak bersifat pemberang, dan sekalipun dihina ia tak merasa dendam, marah, berang serta
tidak memperlihatkan kemarahan ataupun kebencian, maka setelah meninggalkan
kehidupannya yang lampau, ia dalam kehidupannya yang sekarang akan memiliki wajah
yang cantik, menarik, menyenangkan serta memiliki kecantikan yang luar biasa. Tetapi
karena ia memiliki sifat kikir dan merasa iri melihat keuntungan dan kebahagiaan orang
lain, maka sekarang ia hidup dalam kemiskinan, kemelaratan, papa serta berada dalam
kedudukan sosial yang rendah.

27
Jawaban terhadap pertanyaan yang keempat, bilamana dalam kehidupan yang lampau
seorang wanita tidak bersifat pemberang, atau tidak pernah menunjukan kemarahan,
kebencian sekalipun ia dihina, juga bilamana ia memiliki sifat murah hati dan tidak merasa
iri hati atas keuntungan ataupun kebahagiaan orang lain maka setelah meninggalkan
kehidupannya yang lampau dan lahir kembali dalam kehidupan sekarang, dimanapun ia
dilahirkan, ia akan memiliki wajah cantik, menarik menyenangkan dan memiliki kecantikan
yang luar biasa, juga ia akan kaya, berharta dan berkelebihan serta berada dalam kedudukan
sosial yang tinggi.

Culakammavibhanga dan cerita tentang permaisuri Malikka seperti yang terdapat dalam
kitab Anguttara Nikaya, dalam satu hal, berfungsi sebagai suatu gambaran yang terbaik
mengenai ciri khas tentang ajaran karma Buddhis, dan dalam hal ini, berfungsi sebagai
suatu keterangan yang jelas mengenai hubungan karma dan akibat akibatnya yang tertentu.
Sumber sumber diatas menyingkap tabir kemisteriusan persoalan – persoalan yang
berkenaan dengan perbedaan perbedaan umat manusia. Sebab sebab dan akibat akibat
diatas dapatlah disederhanakan dalam bentuk sebagai berikut :

1.      Membunuh makhkuk makhluk hidup mengakibatkan umur pendek.

2.      Sifat cinta kasih terhadap makhluk makhluk hidup mengakibatkan umur panjang.

3.      Menyiksa makhluk makhluk hidup mengakibatkan hidup berpenyakitan.

4.      Sifat kasih sayang terhadap makhluk makhluk hidup mengakibatkan hidup sehat.

5.      Sifat pemberang, marah atau kebencian mengakibatkan wajah buruk dan bentuk tubuh
jelek.

6.      Sifat yang tidak pemberang, tidak pemarah dan tidak membenci mengakibatkan wajah
cantik, menarik dan menyenangkan.

7.      Iri hati mengakibatkan tidak memiliki kekuasaan.

28
8.      Kegembiraan yang bersimpati melihat keberuntungan makhluk lain mengakibatkan
memiliki kekuasaan.

9.      Sifat kikir atau mementingkan diri sendiri mengakibatkan kemisikinan.

10.  Sifat murah hati mengakibatkan kekayaan.

11.  Kesombongan mengakibatkan kelahiran dalam keluarga rendah atau memiliki


kedudukan sosial yang rendah.

12.  Kerendahan hati atau kelemah lembutan mengakibatkan kelahiran dalam keluarga


tinggi atau memiliki kedudukan sosial yang tinggi.

13.  Kemalasan untuk memperoleh pengetahuan baru mengakibatkan kebodohan.

14.  Semangat untuk memperoleh pengetahuan baru mengakibatkan kecerdasan atau


kebijaksanaan.

Uraian uraian diatas memberikan jawaban mengenai kemisteriusan persoalan perbedaan


perbedaan dalam dunia manusia sejauh kemampuan akal budi kita dapat memahaminya.
Tetapi seperti telah dikatakan diatas proses karma amat komplikasi dan misterius, sehingga
tak mungkin bagi kita untuk dapat memahami keseluruhan aspek prosesnya. Masih ada
beberapa hal yang memerlukan pertimbangan lebih jauh.

Agama Buddha menyatakan bahwa karma buruk yang sama dapat menghasilkan akibat
yang berbeda pada dua orang pelaku yang berbeda. Ini tergantung pada kualitas batin
masing masing yang mensyarati kekuatan dan kesuburan karma dalam memberikan
akibatnya. Pandangan ini telah diuraikan dengan jelas dalam kitab Anguttara Nikaya
Tikanipata 120 – 324.

Menurut sumber ini , Sang Buddha menerangkan kepada para siswanya bahwasanya adalah
mungkin bagi sebagian orang yang melakukan kejahatan ringan untuk dilahirkan kembali
di neraka, sedangkan sebagian orang lain yang melakukan perbuatan yang sama tidak akan
terlahir kembali di neraka, melainkan hanya akan memetik buahnya dalam kehidupan
sekarang.

29
Mengenai perbedaan ini, Sang Buddha menerangkan :

“Orang macam apakah O para bhikkhu, yang hanya dengan melakukan kejahatan ringan
akan berakibat menyeretnya ke neraka ? O para bhikkhu, bilamana seseorang tidak terlatih
silanya, tidak terlatih konsentrasinya, tidak terlatih kebijaksanaannya, rendah dan terbatas
kemampuannya dalam hal kebajikan, maka sekalipun ia hanya melakukan kejahatan ringan,
maka perbuatan tersebut akan dapat menyeretnya ke neraka”

( Anguttara Nikaya Tikanipata 321).

Selanjutnya Sang Buddha menyatakan bahwa, sebaliknya bilamana seseorang terlatih sila,
konsentrasi, dan kebijaksanaannya, tidak terbatas kemampuannya dalam hal kebajikan serta
memiliki cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua makhluk, dan ia telah melakukan
suatu kejahatan ringan yang serupa, maka perbuatan itu akan habis, itu akan habis dalam
hidup sekarang dan bilamana karmanya menghasilkan akibat, ia tidak akan begitu
terpengaruh olehnya.

Hal ini menunjukan bahwasanya kualitas kualitas kebajikan seseorang ikut menentukan
berbuahnya karma buruk. Jika Seseorang yang melakukan kejahatan ringan tidak memiliki
simpanan kebajikan dalam dirinya, maka karma buruknya akan mempunyai kekuatan yang
cukup untuk menyeretnya ke neraka. Tetapi jika orang lain yang memiliki banyak
simpanan kebajikan dalam dirinya melakukan kejahatan yang serupa, maka kekuatan dan
kesuburan suatu peruatan jahat demikian untuk menghasilkan akibatnya akan dilemahkan,
yaitu kekuatannya hanya cukup untuk menghasilkan akibat dalam hidup sekarang dan
kehabisan tenaganya, tidak cukup kuat untuk menyeret pelakunya terlahir kembali ke
neraka.

Mengenai perbedaan akibat karma macam ini, Sang Buddha telah mempergunakan
perumpamaan garam dan air untuk memperjelas uraiannya. Dalam kasus yang pertama
Sang Buddha membandingkan seseorang yang tidak atau hanya memiliki sedikit simpanan
kebajikan yang melakukan suatu kejahatan ringan dengan seseorang yang memasukan
segumpal garam kedalam satu cangkir kecil yang berisi air, dengan berbuat demikian air

30
dalam cangkir kecil itu pasti menjadi asin dan tak dapat diminum. Ini karena air dalam
cangkir itu hanya sedikit kasus yang kedua, seseorang yang memiliki banyak simpanan
kebajikan dalam dirinya yang juga melakukan suatu kejahatan ringan yang serupa,
dibandingkan dengan seseorang yang memasukan segumpal garam ke dalam sungai
gangga, yang tentu saja tidak akan menjadi asin dan airnya dapat diminum.

Seseorang yang tidak atau hanya memiliki sedikit simpanan kebajikan serupa dengan
seseorang yang memasukan garam ke dalam cangkir kecil berisi air, sekalipun ia hanya
melakukan suatu kejahatan ringan, namun perbuatan tersebut cukup kuat untuk
menyeretnya ke neraka. Seseorang yang memiliki banyak simpanan kebajikan adalah
serupa dengan seseorang yang memasukan garam ke dalam sungai, bila ia melakukan
kejahatan ringan yang serupa maka simpanan kebajikannya akan memperlemah kekuatan
karma buruknya, seperti banyaknya air sungai yang akan menetralkan rasa asin gumpalan
garam. Dalam contoh ini karma buruk adalah seperti garam dan simpanan kebajikan adalah
seperti air.

Walaupun akibat karma buruk tidak dapat dihilangkan sama sekali, itu tidak berarti bahwa
kita harus bersikap pasrah. Karma buruk dapat dilawan dengan memperbanyak berbuat
kebajikan. Intensitas dan kekuatan yang menghancurkan dari karma buruk hanya dapat
dilawan dengan karma baik seperti halnya air yang dapat mengurangi asinnya garam.
Karena itu seseorang tidak akan pernah terlambat untuk berbuat baik dalam hidupnya.

Pembagian Karma

Setelah kita mempelajari uraian diatas, kita melihat bahwa karma digolongkan menjadi tiga
dan empat macam menurut cara menelitinya. Dilihat dari saluran yang digunakan, karma di
golongkan menjadi tiga macam sedangkan dilihat dari sifat dan akibatnya karma dibagi
dalam empat kategori. Disamping itu ada pula pembagian karma yang disusun oleh
Buddhaghosa dalam Visuddhimagga. Pembagian karma oleh Buddhaghosa ini didasarkan
pada kata kata Sang Buddha yang tersebar dalam Kitab Suci Tipitaka.

31
2.5  Penggolongan Hukum Karma

Pembagian karma yang disusun oleh Buddhaghosa adalah sebagai berikut :

1. Karma menurut waktu

2. Karma menurut kekuatan

3. Karma menurut fungsi

Masing masing golongan ini terdiri dari empat macam, dan bila disatukan seluruhnya ada
dua belas macam. Kadang kadang semuanya disebut dua belas karma. Kedua belas karma
ini dapat bersifat baik ( kusala ) atau buruk ( akusala ).

1. Karma Menurut Waktu

Disini karma dihubungkan dengan unsur waktu dalam menghasilkan akibatnya yang terdiri
atas empat macam yaitu :

a.       Ditthadhammavedaniya

Kamma adalah karma yang memberikan akibatnya pada masa kehidupan sekarang ini juga,
apakah karena kekuatannya yang amat besar atau memang karena sudah sampai saatnya
untuk masak dalam kehidupan sekarang.

Menurut Visuddhimagga, apabila karma ini tidak menghasilkan akibatnya dalam kehidupan
sekarang, maka karma ini menjadi tak efektif ( ahosi , lihat Visuddhimagga halaman 697 )
Ven Vajirananavarorasa dalam bukunya Dhammavibhanga jilid II menerangkan : karma ini
tergolong amat kuat dan karena menghasilkan akibatnya dalam kehidupan sekarang.
Pelakunya akan mengalami akibatnya dalam kehidupan sekarang ini juga, tetapi apabila
pelakunya mati sebelum menghasilkan akibatnya maka karma ini menjadi tidak efektif
( Dhammavibhanga jilid II hal 129 )

b.      Uppajjavedaniya

32
Kamma adalah karma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan setelah hidup
sekarang ini, karma ini menggantikan karma “ sekarang “ sejak saat kematian seseorang
dan terus menghasilkan akibatnya dalam kehidupan yang baru selam tak ada intervensi dari
karma lain yang lebih kuat. Menurut Visuddimagga, bila dalam kehidupan berikutnya
setelah kehidupan sekarang karma ini tak memperoleh kesempatan untuk menghasilkan
akibatnya, maka karma itu akan menjadi mubazir ( Visuddimagga halaman 697 )

c.       Aparapara vedaniya

Kamma adalah karma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan kehidupan berikutnya.
Karma macam ini agak menyerupai karma macam kedua dan paling cepat hanya akan
menghasilkan akibat dalam masa kehidupan itu. Namun karma macam ini dikatakan tak
akan pernah berakhir dan terus mengejar pelakunya tanpa mengenal lelah, tak akan pernah
berhenti melakukan pengejarannya sampai sang korban menjadi lelah. Karma macam ini
dapat diumpamakan seperti srigala yang selalu membayangi rusa, dan menggigit korbannya
kapan dan dimanapun ada kesempatan.

d.      Ahosi

Kamma adalah karma yang tidak memberi akibat karena jangka waktunya untuk
memberikan akibat telah habis atau karena karma tersebut telah menghasilkan akibatnya
secara penuh sehingga kekuatannya habis sendiri. Karma macam ini dapat dibandingkan
dengan sebuah benih yang telah tersimpan sedemikian lama sehingga kemampuanya untuk
berbuah menjadi rusak.

2. Karma Menurut Kekuatan

Di sini karma dihubungkan dengan tingkat kekuatannya dalam menghasilkan akibat yang
terdiri atas empat macam yaitu :

a.       Garu

Kamma adalah karma yang paling berat diantara semua karma lainnya dan karena sifatnya
yang amat kuat, karma macam ini akan masak terlebih dahulu. Selama karma ini masih

33
menghasilkan akibatnya, tak ada karma lainnya yang berkesempatan untuk menghasilkan
akibatnya. Sebagai suatu perbandingan dapatlah kita umpamakan dengan seorang yang
menjatuhkan berbagai macam benda dari suatu tempat yang tinggi. Maka batu yang
dijatuhkan akan sampai ke tanah terlebih dahulu, baru kemudian diikuti dengan sepotong
kayu, karton dan akhirnya bulu ayam.

Pada seginya yang buruk ( akusala ), garu kammamenyatakan pada lima macam kejahatan
yang mematikan yaitu :

1)      membunuh ibu,

2)      membunuh ayah,

3)      membunuh orang yang telah mencapai kesucian sempurna,

4)      Melukai tubuh seorang Buddha,

5)      menyebabkan perpecahan dalam tubuh persaudaraan para bhikku ( sangha ).

Kelima macam perbuatan ini dianggap sebagai karma yang paling buruk diantara semua
karma lainnya. Seseorang yang telah melakukan salah satu diantara kelima macam
perbuatan diatas, maka dalam hidupnya yang sekarang ia tidak dapat memahami kebenaran
mutlak, karena ia sendirilah yang telah menciptakan rintangan bagi pencapaiannya. Setelah
tubuhnya hancur, setelah kematiannya maka ia akan terlahir kembali dalam alam neraka
yang paling mengerikan. Pada seginya yang baik ( kusala ), garu kamma menyatakan pada
delapan macam pencapaian tingkat samadhi : empat tingkat rupa jhana dan empat tingkat
arupa jhana.

b.      Bahula

Kamma adalah karma yang sering dan terulang ulang dilakukan oleh seseorang melalui
saluran badan jasmani, ucapan dan pikiran, sehingga tertimbun dalam wataknya.
Karma kebiasaan ini akan memberikan akibatnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak
melakukan garu – kamma.

34
c.       Asanna

Kamma adalah karma yang diperbuat oleh seseorang pada saat menjelang kematian atau
dapat pula berupa perbuatan perbuatan yang dahulu pernah dilakukan dalam masa hidupnya
yang ia ingat kembali dengan amat jelas pada saat ia berada di ambang pintu kematian.

Namun sesungguhnya karma macam ini amatlah ditentukan oleh sifat dari kebiasaan
seseorang. Bila seseorang telah terbiasa berbuat jahat untuk waktu yang lama, maka ia
hanya sedikit sekali kemungkinannya untuk mempunyai Assana – kamma yang baik.
Sebaliknya seseorang yang telah terbiasa berbuat bajik sepanjang masa hidupnya, maka
juga sedikit sekali kemungkinannya untuk memiliki Assana kamma yang jelek. Menurut
agama Buddha karma ini amat menentukan macam kelahiran mendatang dari orang yang
sedang berada diambang pintu kematian, yaitu apakah ia akan dilahirkan kembali dalam
alam sengsara atau alam bahagia tergantung pada karma ini.

Misalnya : suatu contoh yang sebenarnya jarang terjadi , seseorang yang biasa berbuat jahat
dan pada saat kematiannya ia teringat akan beberapa perbuatan baiknya yang pernah ia
lakukan, kemudian ia mati dengan pikiran yang berdiam pada ingatan akan perbuatan
baiknya, maka ia akan terlahir kembali dalam alam bahagia karena kekuatan assana
kammanya itu. Namun demikian ia tak dapat menikmatinya lama, dan segera akan disusul
dengan akibat akibat buruk dari perbuatan perbuatan jahatnya yang telah ia lakukan
sepanjang masa hidupnya yang lampau. Berkenaan dengan hukum karma macam ini, Sang
Buddha telah mengumpamakan dengan sekumpulan sapi yang berada di sebuah kandang
tertutup. Sapi yang berada diambang pintu yang akan keluar terlebih dahulu apabila
pintunya dibuka, betapapun tua dan lemahnya sapi itu. Namun tak lama kemudian sapi sapi
yang kuat akan dapat menyusul dan meninggalkannya di belakang.

d.      Kattata

Kamma adalah suatu perbuatan yang hampir tidak didorong oleh kehendak. Karma ini
sebenarnya lebih bersifat mekanis daripada bersifat kehendak. Karenanya karma macam ini

35
digolongkan sebagai karma yang paling lemah diantara semua karma yang lainnya dan
akan memberikan akibat apabila karma lainnya tak ada.

Sebagai contoh mengenai kattata kamma : Seorang petani misalnya melemparkan batu ke
arah sekumpulan burung yang memakan padinya, tujuannya hanyalah untuk mengusir
burung burung itu, dan bukan untuk membunuhnya. Namun secara kebetulan batu itu
mengenai kepala seekor ayam yang berada di sekitar tempat itu sehingga akibatnya ayam
tersebut mati. Dalam hal ini karma petani itu digolongkan sebagai kattata kamma. Dalam
kasus kasus semacam ini, karma tidak dapat dinilai semata mata hanya berdasarkan atas
ukuran akibat akibatnya saja, tetapi motif atau kehendak yang berada di belakang perbuatan
itu juga harus dipertimbangkan karenanya kattata kamma hanya memiliki kemampuan yang
amat kecil dalam menghasilkan akibatnya karena tidak adanya kehendak atau itikad sebagai
kekuatan pendorong.

3. Karma Menurut Fungsi

Disini karma dihubungkan dengan peranannya dalam menghasilkan akibat yang juga terdiri
atas empat macam yaitu :

a.       Janaka

Kamma ( karma penghasil ) adalah karma yang berfungsi menghasilkan. Tugas karma ini
adalah menyebabkan kelahiran sesuai dengan macam dan sifatnya. Karma macam ini dapat
dibandingkan dengan seorang ayah – ibu dalam fungsinya membawa seorang dalam
kelahiran baru.

Menurut agama Buddha, apabila Janaka kamma telah menyebabkan suatu kelahiran, maka
tugasnya sebagai karma penghasil berakhir. Dengan memahami janaka kamma berarti kita
juga dapat memahami adanya perbedaan perbedaan dalam dunia manusia yang tidak lain
disebabkan oleh janaka kamma.

b.      Upatthambhaka

36
Kamma ( karma Penguat ) adalah karma yang berfungsi membantu memperkuat apa yang
telah dihasilkan oleh janaka kamma sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadi apabila janaka
kammanya baik, kamma penguat ini membantu sehingga keadaannya lebih baik, demikian
pula sebaliknya.

Misalnya : Seseorang yang memiliki janaka kamma yang baik sehingga ia dilahirkan dalam
lingkungan keluarga yang baik, maka kamma penguat akan membantu kesempatan tersebut
menjadi lebih baik, dengan memberikan kesempatan pada orang tersebut memiliki kondisi
kondisinya yang lebih baik dan akibatnya ia akan berhasil dalam kehidupannya yang
sekarang. Sebaliknya seseorang yang memiliki janaka kamma buruk sehingga ia dilahirkan
di tengah tengah keluarga yang berantakan dan dalam lingkungan hidup yang tidak baik,
maka kamma penguat ini akan membantu menguatkan keadaan tersebut dan akibatnya ia
dapat berbuat kejahatan kejahatan yang lebih berat, atau ia tak mau belajar untuk
meningkatkan dirinya. Dan akhirnya ia harus menderita dalam kehidupan yang sekarang.

Dalam kedua kasus ini yang pertama disebut : “ Datang Terang Pergi Terang” ( Joti
Jotiparayano ) sedangkan yang kedua disebut “ Datang Gelap Pergi Gelap “ ( Tamo
Tamoparayano ).

c.       Uppapilika

Kamma ( Karma Pelemah ) adalah karma yang berfungsi menandingi pengaruh dari apa
yang telah dihasilkan oleh janaka kamma, memperlemah kekuatannya atau mempersingkat
waktunya dalam menghasilkan akibatnya. Apabila janaka kamma menjadikan seseorang
memiliki suatu kelahiran yang baik, karma pelemah ini akan mengurangi kesempatan yang
dimiliki dalam suatu kelahiran, demikian pula sebaliknya.

Dalam kedua kasus ini yang pertama disebut : “ Datang Terang Pergi Gelap” ( Joti
Tamaparayano ) sedangkan yang kedua disebut “ Datang Gelap Pergi Terang “ ( Tamo
Jotiparayano )

d.      Upaghataka

37
Kamma ( Karma Penghancur ) adalah karma yang mempunyai kategori sama dengan karma
pelemah diatas, karena fungsinya menentang atau menghancurkan kekuatan dari janaka
kamma. Akan tetapi karma ini mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada karma
pelemah.

Contohnya : Seorang gadis jelata yang menjadi istri seorang raja, atau seorang anak dari
keluarga miskin yang diangkat anak menjadi anak keluarga kaya atau juga seorang kaya
yang akhirnya menjadi pengemis dan lain sebagainya.

38
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Pengertian hukum karma adalah segala sesuatu sebab yang merupakan perbuatan
( karma ) atau menimbulkan buah atau akibat yang merupakan perbuatan ( karma )
pula.
2. Pembuat kejahatan akan menganggap kejahatan sebagai kebaikan selama perbuatan
itu belum matang. Tetapi bila perbuatan itu menghasilkan akibat, maka ia
menyadari bahwa sesungguhnya kejahatan adalah berbahaya. Orang yang bajik pun
akan menganggap kebaikan sebagai kejahatan selama perbuatan itu belum matang,
tetapi bilamana perbuatan itu menghasilkan akibat, maka ia menyadari bahwa
sesungguhnya kebaikan itu baik.
( Dhammapada 119 – 120 )
3. Karma hitam yang berakibat hitam; karma putih yang berakibat putih; karma hitam
dan putih yang berakibat hitam dan putih; dan karma bukan hitam maupun putih
yang berakibat bukan hitam maupun putih serta membawa pengakhiran karma.
( Anguttara Nikaya, Catukkanipata 232 – 238 )
4. Para bhikkhu, bilamana perbuatan – perbuatan seseorang dilakukan karena
keserakahan…, dilakukan karena kebencian…, dilakukan karena kebodohan, timbul
dari kebodohan, didasari oleh kebodohan, berasal dari kebodohan, maka dimanapun
ia akan dilahirkan, disanalah perbuatan – perbuatannya menjadi masak; dan
dimanapun mereka masak; disanalah ia akan mengalami akibat dari perbuatan
perbuatannya itu, apakah dalam hidup sekarang, atau dalam beberapa kehidupan
berikutnya.
(Anguttara Nikaya, Tikanipata 171)

39
5. Mengenai karma yang disebabkan oleh tiga kondisi ini, Sang Buddha bersabda :
O para bhikkhu, bilamana perbuatan perbuatan seseorang dilakukan tanpa
keserakahan… dilakukan tanpa kebencian… dilakukan tanpa kebodohan, tidak
berasal dari kebodohan, karena kebodohan telah lenyap, maka perbuatan perbuatan
tersebut ditinggalkan, dijadikan seperti tonggak pohon kelapa, dan menjadi mandul
serta tidak dapat tumbuh lagi di masa yang akan datang.
( Anguttara Nikaya, Tikanipata 172 )
6. Para bhikkhu bilamana perbuatan perbuatan seseorang dilakukan dengan tanpa
keserakahan (alobha)… dengan tanpa kebencian (adosa) … dengan tanpa
kebodohan (amoha), lahir dari amoha, disebabkan oleh amoha, berasal dari amoha,
maka perbuatan itu adalah bermanfaat (kusala), mengakibatkan kebahagiaan,
mengarah pada pengakhiran perbuatan selanjutnya dan bukan mengarah pada
timbulnya perbuatan perbuatan baru.
( Anguttara Nikaya, Tikanipata 388 – 339).
7. “ Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Ia
yang berbuat baik akan menerima kebaikan ; dan ia yang berbuat jahat akan
menerima kejahatan”.
( Samyutta Nikaya I, 293 )
8. Wahai Brahmana muda, setiap makhluk adalah pemilik karmanya sendiri, pewaris
karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya
sendiri dan dilindungi oleh karmanya sendiri. Karma yang menentukan makhluk –
makhluk, menjadikan mereka hina dan mulia.
( Culakammavibhanga Sutta, Majjhima Nikaya )

3.2 Kesimpulan pribadi

Hukum karma berlaku terhadap semua orang, pengaruh karma yang menentukan watak
yang corak serta nilai dari watak manusia. Karma yang baik menciptakan watak yang
baik, demikian pula sebaliknya, karma yang buruk memberikan watak yang buruk pula.
Segala macam karma yang dilakukan oleh mahluk terutama manusia akan tercatat
selalu dalam pikirannya yang kemudian menjadi watak dan berpengaruh pula. Hukum

40
karma yang mempengaruhi seseorang akan diterima olehnya sendiri tetapi juga di
warisi oleh keturunannya kelak.

3.3  Saran

Dengan adanya hukum Karma ini akan memberi keyakinan kepada umat manusia untuk
mengerahkan segala tindak lakunya selalu berdasarkan etika dan cara-cara yang baik untuk
mancapai cita-cita yang baik dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang baik.

41
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011.Hukum Karma.

http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html, diunduh pada 13 Oktober


2017 (15.00 WIB)

Biroe, Odie. 2013. Bagaimanakah Hukum Karma Phala Dizaman Moderen Ini.

http://odiebiroe.blogspot.co.id/2013/12/bagaimanakah-hukum-karma-phala-
dizaman.html?m=1, diunduh pada 12 Oktober 2017 (07.15 WIB)

Febrianto, Antonius. 2014. Hukum Karma.

http://ntoniusf1594.blogspot.co.id/2014/09/hukum-karma.html, diunduh pada 10


Oktober 2017 (09.13 WIB)

Koran Sripo. 9 September 2018. Udin Ditemukan Bersimbah Darah. Halaman 19-29.
Sekayu : Penerbit Sripo

Vidhurdhammaborn. 2004. Kitab Suci Dhammapada. Yayasan dhammadipa Arama

Yayasan Buddhakirti. 2006. Kumpulan Naskah Dharma. Edisi 3. Palembang: Vihara


Dharmakirti

42

Anda mungkin juga menyukai