Anda di halaman 1dari 12

STUDI KASUS KAWIN LARI DALAM MASYARAKAT BATAK

studi kasus Kawin Lari Dalam Masyarakat Batak


Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat

Dosen Pengampu :
Igneo Grandi Gloria, S.H.

Ketua :

Izzat Ryamizard G.T. (1710111023)

Wakil Ketua :

Riko Adi Setiawan (2010111065)

Notulen :

Dita Yulia Sri Wardhani (2010111054)

Moderator :

Maya Aprelia Utari (2010111053)

Anggota :

Achmad Fairuz Akbar (2010111061)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2020/2021
DIAJUKAN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM ADAT

STUDI KASUS KAWIN LARI DALAM MASYARAKAT BATAK

Oleh :

1. Izzat Ryamizard G.T. (1710111023)


2. Maya Aprelia Utari (2010111053)
3. Dita Yulia Sri Wardhani (2010111054)
4. Achmad Fairuz Akbar (2010111061)
5. Riko Adi Setiawan (2010111065)

Dosen Pengampu :

Igneo Grandi Gloria, S.H.


DAFTAR ISI

Cover ………………………………………………………………………………………..
Halaman pembimbingan …………………………………………………………………...
Daftar isi ……………………………………………………………………………….…..
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………….
1.1. Latar belakang ………………………………………………………………
1.2. Rumusan masalah ……………………………………………………………..
1.3. Tujuan ………………………………………………………………………….
1.4. Manfaat ………………………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………….
2.2. Terjadinya Sengketa Hak Ulayat di Indonesia ………………………………...
2.3. Penyelesaian Masalah Kasus Hak Ulayat di Indonesia ……………………….
BAB III ANALISIS ………………………………………………………………………
Daftar pustaka …………………………………………………………………………….
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan merupakan masalah yang esensial bagi kehidupan manusia,dalam pasal 1 Undang-
Undang perkawinan nomor 16 tahun 2019 sebagai perubahan atas Undang-Undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isti dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Kemudian pada pasal 2 Undang-Undang
perkawinan nomor 1 tahun 1974 sebagai mana telah dirubah menjadi Undang-Undang nomor 16 tahun
2019 tentang perkawinanan menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercata oleh lembaga yang berwenang
menurut Perundang-Undangan yang berlaku. 2 karena disamping perkawinan sebagai sarana untuk
membentuk keluarga, perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia
tetapi juga menyangkut hubungan keperdataan, perkawinan juga memuat unsur sakralitas yaitu
hubungan manusia dengan Tuhannya.3 Karena hubungan itulah untuk melakukan sebuah perkawinan
harus memenuhi syarat maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan harus di catat dan dilakukan di
hadapan di Pegawai Pencatat Perkawinan untuk mendapatkan kepastian hukum.Disamping itu juga
perkawinan

memiliki peranan yang penting dalam kebudayaan dan adat tiap tiap masyarakat
Indonesia.Adanya hubungan erat antara perkawinan dan kebudayaan dan juga adat menjadikan setiap
perkawinan tidak terlepas dari acara adat nya , sehingga menjadi secamam satu kesatuan yang sudah
menjadi keharusan yang terus dilakukan hingga menjadi suatu kebudayaan dalam tiap-tiap masyarakat
adat yang melaksanakannya.

Pernikahan merupakan kegiatan yang dilaksanakan sebagai perwujudan ideal hubungan cinta
antara dua individu, dimana kegiatan dalam pelaksanaannya tidak lepas dari pada urusan orang tua,
keluarga besar, maupun institusi agama sampai negara. Pernikahan merupakan bagian peristiwa yang

1
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974
2
Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974
3
Wasman dan Wardah Nuroniyah, 2011, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandungan Fiqh dan
Hukum Positif, Yogyakarta: CV. Citra Utama, hal. 29
sakral dalam masyarakat adat.Begitu juga dengan Masyarakat Adat Batak pernikahan atau perkawinan
adalah suatu peristiwa yang sakral, namun ketatnya aturan hukum adat terhadap perkawinan yang sulit
terpenuhi oleh stiap pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan menyebabkan banyak terjadi
penyimpangan prosesi adat dalam melaksanakan perkawinan,seperti Mangalua yang menjadi bahan
penelitian, dimana Mangalua adalah dianggap sebagai jalan pintas dalam melaksanakan perkawinan
yang terlalu sulit dilaksanakan jika harus mengikuti aturan hukum adat,selain itu juga terdapat sanksi
moral apa bila ada pelanggaran yang dilakukan. Mangalua (kawin lari) itu sendiri ada 2 bentuk , yang
pertama adalah Mangalua dengan meminang dan yang kedua adalah mangalua tanpa meminang.

Pada dasarnya pernikahan dalam Hukum Adat Batak Toba merupakan kegiatan yang sakral.
Sakral karena dalam pemahaman pernikahan adat batak, bermakana pengorbanan dari pihak
perempuan (parboru) karena pihak perempuan berkorban memberikan satu nyawa manusia yang hidup
yaitu anak perempuannya kepada orang lain yaitu pihak lelaki (paranak) yang menjadi besannya,
sehingga pihak pria juga harus mampu menghargai dengan mengorbankan atau mempersembahkan
satu nyawa juga yaitu menyembelih 6 seekor hewan (sapi atau kerbau), yang akan menjadi santapan
atau hidangan (makanan adat) dalam upacara atau ulaon pernikahan adat.

Pada Perkawinan yang dilaksanakan dengan cara 5Mangalua (Kawin Lari) tidak ada pesta
perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua mempelai dengan mengundang sanak saudara serta
masyarakat sekitar dikarenakan pada umumnya Mangalua adalah suatu perbuatan yang membuat malu
keluarga karena lari dari jalur adat yang sudah turun temurun dalam masyarakat Batak. 4

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengapa masih terjadi praktek kawin lari dalam masyarakat, khususnya masyarakat
Batak?.
2. Mengapa Kawin Lari dilarang dalam Agama Islam?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana kasus-kasus kawin lari dalam masyarakat adat
batak
2. Untuk mencari penyelesaian masalah kawin lari dalam masyarakat batak

4
Richard Sinaga , Perkawinan Adat Dalihan Natolu ,Dian Utama ,Jakarta 2012, hal.206
1.4 Manfaat
1. Manfaat bagi Mahasiswa :
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat
2. Manfaat bagi Universitas Muhammadiyah :
Untuk menambah referensi pengetahuan terhadap kasus-kasus kasus Kawin Lari
Dalam Masyarakat Batak

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sistem Perkawinan Adat

1. Pembagian Lingkungan Hukum Adat

Van Vollen Hoven membagi lingkungan hukum adat menjadi 19 lingkungan hukum adat
(Rechtskringen).Satu daerah dimana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat adalah
seragam oleh Van Vollen Hoven disebut “rechtskring”.Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut
dibagi lagi kepada beberapa bagian yang disebut dengan “Kuburan Hukum” atau “Rechtsgouw”
Pada saat ini lingkungan hukum adat sudah mulai pudar dengan adanya modernisasi atau
semakin berkembangnya pola masyarakat yang ada sehingga mereka lebih condong untuk
menggunakan hukum nasional. Tetapi lingkungan hukum adat yang ada tidak serta merta
dihapuskan karena di dalam UUD 1945 hukum adat tetap diakui sepanjang tidak bertentangan
dengan undangundang,kesusilaan dan ketertiban umum.Hukum adat sekarang lebih dianggap
sebagai budaya pluralis atau kekayaan budaya Indonesia yang terkenal dengan beragam suku
bangsa tetapi tetap satu berasaskan nasionalisme.
Sistem kekerabatan yang dianut dalam masyarakat adat di Indonesia didasari oleh faktor
genealogis, yakni suatu kesatuan hukum yang para anggotanya terikat sebagai satu kesatuan
karena persekutuan hukum tersebut merasa berasal dari moyang yang sama. Dapat disimpulkan
bahwa system kekerabatan dipengaruhi oleh garis keturunan yang menurunkan/ diikuti oleh
kesatuan hukum adat tersebut.5

5
sistem-kekerabatan-masyarakatadat-di indonesia/ https://adityoariwibowo.wordpress.com/ 2013/03/08/
Diakses pada hari jumat117 Mei 2021, pukul 22:11 Wib
2. Sistem kekeluargaan masyarakat adat
Secara umum sistem kekeluargaan ini dapat dibedakan dalam 3 corak, yaitu :
A. Sistem Patrilinial:
Adalah sistem kekeluargaan berdasarkan garis kebapaakan/ dari pihak ayah, yaitu suatu
masyarakat hukum yang menarik garis kekeluargaan ke atas melalui garis bapak, bapak
dari bapak terus keatas sehingga dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya . Contoh
masyarakat ini adalah Batak, Nias, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, dan Ambon. Pada asasnya dalam susunan masyarakat, yang mempertahankan
sistem ini yang berhak mewaris adalah anak laki-laki, kemungkinan bagi wanita menjadi
ahli waris sangatkecil.6
B. Sistem Matrilinial:
Adalah sistem dimana para anggotanya menarik garis keturunan keatas melalui garis ibu,
ibu dari ibu terus keatas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya,
contoh masyarakatnya adalah Minangkabau, Pesisir sumatera selatan bagian utara,
Enggana, Lampung Pesisir dan lain-lain. Yang menjadi ahli waris adalah anak
perempuan.Menurut Ter Haar kedudukan perempuan sebagai ahli waris dalam sistem
matrilineal berbeda dengan kedudukan anak laki laki sebagai ahli waris dalam sistem
patrilinial.
C. Sistem Parental atau Bilateral:
Adalah suatu sistem dimana para anggotanya menarik garis keturunan keatas baik
bapak/ibu terus keatas hingga dijumpai seorang laki-laki dan perempuan sebagai
moyangnya. Contoh, Mayarakat Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Aceh,
Riau, Sulawesi dan Kalimantan. Baik anak-anak pria maupun wanita berhak mendapat
warisan dari orang tuanya, baik terhadap harta peninggalan yang tergolong harta pusaka
keturunan, maupun yang berasal dari harta bawaan ibu atau ayah, ataupun harta
pencaharian selama hidup mereka.

3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Adat Batak


Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah yang disebut
dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba,
Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-
masing pula memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali
persaudaraan di antara mereka.Satu puak bisa memiliki banyak marga.
Menurut sejarah di kalangan suku Toba, tempat perkampungan leluhur suku bangsa
Batak yang pertama pada mulanya berada di tepi Danau Toba yang bernama Sianjur Mula-mula,
di kaki gunung Pusuk. Kemudian warganya mulai berpencar ke daerah lain sehingga
menimbulkan bahasa yang berbeda. Menurut logatnya bahasa Batak dibagi atas 5 (lima) macam
sesuai dengan daerah yang menggunakannya, yaitu bahasa :7

6
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat,,Fajar Agung,Jakarta 1997.Hal.20
1. Batak Toba yang mendiami daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, daerah Asahan,
Silidung, daerah antara Barus dan Sibolga dan daerah pegunungan Pahe danHabinsaran
2. Batak Pakpak yang mendiami daerah Dairi
3. Batak Karo yang mendiami daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu,
Serdang Hulu, dan sebagian dari Dairi
4. Batak Simalungun yang mendiami daerah Simalungun , dan
5. Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing, Ulu, Pakatan dan bagian sealatan
dari Padang Lawas.
Masyarakat Adat Batak Toba adalah menarik garis keturunan dari pihak laki–laki atau di kenal dengan
sistem kekerabatan Patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari
pihak ayah. Cara menarik garis keturunan yang diambil melalui laki–laki (pihak ayah) ini biasanya sangat
mempengaruhi pada masayarakat adat pada umumnya.Hubungan kekerabatan Masyarakat Adat Batak
Toba masih sangat kuat dan terus dipertahankan di mana pun berada.Untuk mengetahui hubungan
kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya, dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur
beberapa generasi di atas mereka yang dalam bahasa Batak disebut Martarombo atau
Martutur.Martarombo atau martutur adalah mencari atau menentukan titik pertalian darah yang
terdekat dalam rangka menentukan hubungan kekerabatan. 8 Dengan mengetahui hubungan
kekerabatan itu maka dengan sendirinya pula dapat ditentukan kata sapaan yang akan digunakan.
Sapaan yang dimaksud tentu sapaan di suasana kekerabatan Batak.

2.2. Proses Pelaksanaan Mangalua (Kawin Lari) Pada Masyarakat Adat Batak Toba

Proses Perkawinan adat batak pada Masyarakat Adat Batak Toba yang melakukan perkawinan
lari atau Mangalua terdapat banyak perbedaan dari perkawinan sah adat batak toba pada
umumnya.Mangalua dalam adat batak toba ialah perkawinan yang berlangsung oleh karena
keterpaksaan para pihak sebagai bentuk penghindaran dari prosesi adat perkawinan pada umumnya. 9

Mangalua pada jaman dahulu adalah suatu cara perkawinan yang tidak disukai ataupun dilarang
oleh masyarakat adat pada umumnya. Hal ini dilarang oleh karena Mangalua adalah suatu tindakan yang
tidak mengikuti tata cara prosesi perkawinan yang dianjurkan oleh orang batak pada umumnya.
Mangalua jika diartikan secara perkataan adalah perbuatan membawa lari gadis oleh karena
ketidaksanggupan pihak laki-laki dalam melaksanakan prosesi adat perkawinanBatak Toba yang
sebagaimana mestinya.Ketidaksanggupan inilah yang memaksa para pihak melakukan perkawinan lari
atau Mangalua.Pada umumnya Mangalua dalam masyarakat adat batak toba adalah perkawinan yang

7
Napitupulu, S.P., Rusmini, Nani., Hutabarat, Sinan P., Dharmansyah, Corry., Dampak Modernisasi
terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Sumatera Utara, Jakarta:Depdikbud, 1986, hlm.10-11.
8
Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Jakarta:Dian Utama, 2012, hlm. 22.
9
Richard Sinaga , Perkawinan Adat Dalihan Natolu,Jakarta:Dian Utama,2012,hlm.206
dilarang dan bagi mereka yang melakukannya mendapat kecaman dari masyarakat kampung yang
dianggap tidak menghargai tata cara peradatan yang hidup di tengah-tengah masyarakat .

Perempuan yang melakukan kawin lari ini biasanya meninggalkan informasi kepada orang tua
nya sebagai tanda bahwa ia telah lari bersama laki-laki yang dicintainya, yaitu dengan meninggalkan
uang yang biasanya diletakkan di bawah tikar atau di dalam tong beras. Hal ini dilakukan dikarenakan
orang tua siperempuan pasti dapat menemukan tanda tersebut karena tikar yang biasa akan selalu
dipakai lalu kemudian di bereskan, ketika hendak dibereskan disitulah orang tua siperempuan akan
menemukan tanda tersebut. Begitu juga dengan uang yang diletakkan di dalam tong beras, karena
setiap hari orang tua siperempuan akan membuka tong beras untuk memasak nasi dan dengan mudah
uang tanda tersebut ditemukan oleh orang tua siperempuan. 10

Mangalua yang terjadi sebenarnya mencederai hukum adat perkawinan itu sendiri, dimana tidak
lagi mengikuti hukum dalihan natolu (tungku yang tiga ).Biasanya pada perkawinan Mangalua tidak
mengikuti prosesi Adat Batak Toba sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat Adat Batak
Toba.Perkawinan lari ini hanya dilakukan secara agama saja yaitu dengan pasu pasu ( pemberkatan )
yang dilakukan di gereja saja.11

Perkawinan lari ini pun sudah masuk kedalam Adat Batak Toba kembali, yaitu walaupun bukan
perkawinan resmi seperti yang hidup dulu di masyarakat adat batak toba, namun perkawinan ini sudah
boleh dilaksanakan secara terang terangan, yang mana perkawinan lari ini sudah boleh dilaksanakan
disertai dengan prosesi adatnya, walaupun tidak menyeluruh acara adatnya dipenuhi, namun dihari
yang akan datang acara adat tersebut dapat dipenuhi yang disebut dengan membayar adat (manggalar
adat ) . Mangalua dalam Masyarakat Adat Batak Toba dapat dibedakan menjadi 2 bagian,yaitu :

1. Mangalua (Kawin Lari) yang diadati


Mangalua (Kawin Lari) yang diadati adalah kawin lari yang terjadi dalam Masyarakat
Adat Batak Toba, dimana perkawinan dilaksanakan dalam proses mangalua namun tetap
dilaksanakan proses adat yang disebut dengan mengadati , yang dilaksanakan diakhir
acara perkawinan.Proses Mangalua (kawin lari) ini hampir sama dengan proses
perkawinan pada umumnya , hanya saja langkah – langkah yang dilakukan lebih
sederhana dan siperempuan yang hendak kawin lari harus tetap di bawa kerumah

10
ibid.Hal.207
11
ibid.Hal.207
keluarga laki-laki dan dititipkan dirumah penatua agama sebelum pemberkatan.Kawin
Lari yang diadati seperti ini biasanya terjadi karena pengaruh ekonomi dimana pihak laki-
laki tidak dapat memenuhi biaya yang diminta oleh pihak perempuan,namun keluarga
dari kedua belah pihak telah sepakat untuk melaksanakan mangalua (kawin lari) dan tetap
dilaksanakan adat (mangadati), sehingga dikemudian hari tidak perlu lagi dilakukan acara
adatnya.Kedua belah pihak keluarga mengetahui dan memberi izin untuk melaksanakan
hal tersebut,karena memang cara itulah yang dianggap tepat pada saat itu agar
perkawinan tetap dilaksanakan.
2. Mangalua (Kawin lari) tidak diadati
Mangalua (Kawin lari) yang tidak diadati adalah Kawin lari yang terjadi didalam
Masyarakat Adat Batak Toba, dimana perkawinan dilaksanakan dengan proses mangalua
tanpa dilakukan acara adatnya atau tanpa mengadati . Kawin lari seperti ini terjadi karena
beberapa faktor seperti, ekonomi, tidak direstui, maupun karena perbedaan agama. Kawin
lari tidak diadati ini adalah perkawinan yang dianggap belum sah secara adat sehingga
pasangan yang melakukan perkawinan ini haruslah memenuhi kewajiban adatnya dengan
melakukan acara mangadati nantinya ketika mereka telah siap secara materi yang
didahului dengan pelaksanaan acara adat permintaan maaf kepada keluarga perempuan
dengan menyembah karena telah membawa anak perempuannya kawin lari atau disebut
dengan manuruk-nuruk.
2.3. Status Kawin Lari Dalam Perspektif Hukum Islam
Mangalua (Kawin lari) yang tidak diadati adalah Kawin lari yang terjadi didalam
Masyarakat Adat Batak Toba, dimana perkawinan dilaksanakan dengan proses mangalua tanpa
dilakukan acara adatnya atau tanpa mengadati . Kawin lari seperti ini terjadi karena beberapa
faktor seperti, ekonomi, tidak direstui, maupun karena perbedaan agama. Kawin lari tidak diadati
ini adalah perkawinan yang dianggap belum sah secara adat sehingga pasangan yang melakukan
perkawinan ini haruslah memenuhi kewajiban adatnya dengan melakukan acara mangadati
nantinya ketika mereka telah siap secara materi yang didahului dengan pelaksanaan acara adat
permintaan maaf kepada keluarga perempuan dengan menyembah karena telah membawa anak
perempuannya kawin lari atau disebut dengan manuruk-nuruk.
Mangalua (Kawin lari) yang tidak diadati adalah Kawin lari yang terjadi didalam
Masyarakat Adat Batak Toba, dimana perkawinan dilaksanakan dengan proses mangalua tanpa
dilakukan acara adatnya atau tanpa mengadati . Kawin lari seperti ini terjadi karena beberapa
faktor seperti, ekonomi, tidak direstui, maupun karena perbedaan agama. Kawin lari tidak diadati
ini adalah perkawinan yang dianggap belum sah secara adat sehingga pasangan yang melakukan
perkawinan ini haruslah memenuhi kewajiban adatnya dengan melakukan acara mangadati
nantinya ketika mereka telah siap secara materi yang didahului dengan pelaksanaan acara adat
permintaan maaf kepada keluarga perempuan dengan menyembah karena telah membawa anak
perempuannya kawin lari atau disebut dengan manuruk-nuruk.

BAB III

ANALISIS
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai