Anda di halaman 1dari 10

CATTARI ARIYA SACCANI (Empat Kesunyataan Mulia)

Empat Kebenaran Mulia (Pali : cattāri ariyasaccāni) adalah kebenaran yang berlaku

bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, maupun agama. Mengakui atau tidak

mengakui, suka atau tidak suka, setiap manusia mengalami dan diliputi oleh hukum kebenaran ini.

Empat Kebenaran Mulia ditemukan oleh Pertapa Siddhartha yang bermeditasi di bawah

Pohon Bodhi hingga memperoleh Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha. Empat Kebenaran

Mulia yang ditemukan itu diajarkan oleh Buddha Gotama kepada umat manusia di Bumi ini.

Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia ini, kebenaran itu akan tetap ada dan

berlaku secara universal.

Dalam khotbah-Nya yang pertama di Tamari Rusa Isipatana yang terkenal dengan nama

Dhamma Cakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma), Sang Buddha Gotama

telah mengajarkan secara singkat Empat Kesunyataan Suci (Cattari Ariya Saccani), yang menjadi

landasan pokok Buddha Dhamma.

Empat Kebenaran itu adalah:

1. Duka atau Penderitaan (DUKKHA)

2. Sebab Penderitaan (DUKKHA SAMUDAYA)

3. Berakhirnya Penderitaan (DUKKHA NIRODHA)

4. Cara Menghentikan Penderitaan (DUKKHA NIRODHA GAMINIPATIPADA)


Bagian Pertama dan Kedua merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, seperti halnya

sebuah penyakit dengan sebab penyakitnya. Demikianlah hubungan antara Penderitaan dan Sebab

Penderitaan.

Bagian Ketiga dan Keempat juga merupakan dua hal yang saling berhubungan,

sebagaimana sakit flu dapat disembuhkan dengan berobat ke dokter atau minum obat flu yang

dijual di toko-toko obat. Demikian pula Berakhirnya Penderitaan pasti ada Cara Menghentikan

Penderitaan itu.Salah satu pilar ajaran Buddha yang mendasari cara berpikir Buddha adalah seperti

yang tersirat di dalam Empat Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Di berbagai bagian Sutta

Pitaka (Sutta Pitaka adalah bagian dari Tipitaka, Kitab Suci Agama Buddha) dapat kita temukan

cara berpikir analisis seperti yang terdapat pada konsep Empat Kebenaran Mulia. Cara berpikir

tersebut adalah:

1. Memahami Suatu Masalah dan menganalisa masalah tersebut

2. Menyadari dan menemukan ada penyebab masalah tersebut

3. Mengetahui bahwa masalah dapat teratasi dan mencari cara penyelesaiannya

4. Menemukan cara mengatasi masalah tersebut dan Menjalankan caranya

Hal tersebut menunjukkan kecerdasan Sang Buddha dan cara berpikir yang logis. Empat

Kebenaran Mulia disadari oleh Buddha Gautama ketika beliau mencapai pencerahan :

“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak ternoda, bebas dari

ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan tak terganggu, aku

mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda (tiga akar kejahatan yaitu:

keserakahan/lobha, kebencian/dosa dan ketidaktahuan atau kebodohan-batin/moha). Secara


langsung aku mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’, ‘Inilah asal mula

penderitaan’, ‘Inilah berhentinya penderitaan’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan’;

Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah noda-noda’, ‘Inilah asal mula noda-

noda’, ‘Inilah berhentinya noda-noda’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda’”

(Dapat ditemukan di dalam Majjhima Nikaya (MN) 4.31 atau MN 36.42)

Empat Kesunyataan Suci tersebut adalah :

A. KESUNYATAAN SUCI TENTANG DUKKHA (Dukkha Ariyasacca)

Kata "dukkha" disini, yang menyatakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dan

dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang amat luas.

Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan

dukkha dengan istilah sebagai berikut :

"Kelahiran, usia tua dan kematian adalah dukkha; kesakitan, keluh kesah, ratap tangis,

kesedihan dan putus asa adalah dukkha; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan

yang tidak disenangi, dan tidak memperoleh apa yang diingini adalah dukkha. Dengan

ringkas, jasmani dan bathin (segala bentuk kehidupan) adalah dukkha".

Banyak orang salah mengerti terhadap Ajaran ini, dan beranggapan bahwa Buddha

Dhamma adalah ajaran pesimistis, yang memandang dunia ini dari sudut negatif. karena itu disini

perlu ditegaskan bahwa Buddha Dhamma bukanlah Ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis.
Sang Buddha adalah seorang realis dan obyektif; Beliau memandang segala sesuatu menurut

hakekat yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (Yathabhutamnanadassanam).

Sewaktu menerangkan dukkha, Beliau juga mengakui adanya berbagai bentuk

"kebahagiaan", material dan spiritual. Akan tetapi, kebahagiaan-kebahagiaan itu sendiri adalah

bersyarat, selalu berubah-ubah dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan dalam dukkha

(Anicca, Dukkha Viparinamadhamma); dukkha bukan merupakan "penderitaan" dari arti kata

umum, tetapi karena "segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha" (yad aniccam tamdukkham).

Karenanya, dukkha disini mempunyai tiga pengertian :

1. Dukkha yang nyata, yang benar-benar dirasakan sebagai derita tubuh atau derita bathin, seperti

lahir, menjadi tua, sakit, mati, berkumpul dengan yang tidak disukai, (dukkha-dukkha).

2. Semua perasaan senang dan bahagia berdasarkan sifat tidak kekal, yang di dalamnya terkandung

benih-benih dukkha (viparinama dukkha).

3. Sifat tertekan dari semua sankhara (bentuk/keadaan yang bersyarat) yang selalu muncul dan

lenyap, seperti pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) atau nama-rupa (Sankhara dukkha).

Lebih lanjut tentang Dukkha, dijelaskan di dalam Patticasamupada (Hukum sebab

musabab yang saling berkaitan)


B. KESUNYATAAN SUCI TENTANG ASAL MULA DUKKHA (Dukkhasamudaya

Ariyasacca)

Asal-mula dukkha ialah "keinginan rendah" (Tanha), yang menyebabkan kelahiran

berulang-ulang bersama dengan hawa napsu yang mencari kenikmatan ke sana ke mari

(ponobhavika nandiragasahagata tatratatrabhinandini), yang terdiri atas :

1. Keinginan akan nafsu indera (kama-tanha)

2. Keinginan akan penjelmaan (terlahir) (bhava-tanha)

3. Keinginan akan pemusnahan (vibhava-tanha)

Setiap orang mengakui bahwa semua kejahatan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan

yang egoistis. Hal ini tidak sulit untuk dimengerti. Tetapi bagaimana tanha ini dapat

mengakibatkan "kelahiran berulang-ulang" (ponobhavika) bukanlah dengan mudah dapat

dimengerti. Maka di sini kita akan membicarakan sudut falsafah yang lebih dalam dari

kesunyataan Suci kedua yang berhubungan dengan Kesunyataan Suci pertama.

Terdapat empat macam "makanan" (ahara) dalam pengertian sebab atau kondisi yang

diperlukan untuk kelangsungan makhluk-makhluk:

1. Makanan material (kabalikarahara)

2. Kontak dari enam indera kita dalam menyentuh obyek (phassahara)

3. Kesadaran yang menimbulkan nama dan rupa (vinnanahara)

4. Kehendak bathin yang menimbulkan perkataan dan perbuatan (manosancetanahara)


Ahara 4 macam ini merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk lahir kembali,

untuk berlangsung, untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar dari kelahiran dan

kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (kusala -

akusala kamma).

C. KESUNYATAAN SUCI TENTANG LENYAPNYA DUKKHA (Dukkhanirodha

Ariyasacca)

Lenyapnya dukkha, berarti bebas dari semua kekotoran batin dan terbebas dari keinginan

rendah (tanha) ini; atau dengan kata lain: tercapainya Nibbana.sehingga tidak terlahir lagi di

lingkaran kehidupan di 31 alam kehidupan

Sebagaimana kesakitan akan sembuh manakala sebabnya telah diketahui dan diberikan

obat yang tepat, demikian pula penderitaan seseorang juga dapat ditransformasikan dengan

mempraktikkan cara-cara yang benar dan berlaku secara universal. Kebahagiaan akan dicapai

manakala ia terbebas dari penderitaan itu. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan sejati, yang mana

tidak akan diketahui ke mana perginya seseorang yang telah bebas dari derita batin dan jasmani.

Inilah kebahagiaan Nirwana (Nibbana). Kebahagiaan yang dapat dicapai BUKAN setelah

meninggal dunia saja, tetapi juga ketika masih hidup di dunia ini.

Nirwana bukanlah suatu tempat, melainkan keadaan di mana seseorang mempunyai

pikiran yang sangat jernih yang telah terbebas dari sifat serakah, benci, dan gelap batin. Ia dapat

mencapainya ketika masih memiliki badan jasmani. Sebagaimana perjuangan Pangeran

Siddhartha untuk mencari jalan keluar dari fenomena usia tua, sakit dan kematian hingga
menjadi Buddha, maka seperti itulah seseorang dengan sekuat tenaganya sendiri berusaha

mengikis habis sifat-sifat jahat yang ada dalam dirinya, mengikis habis ego dalam dirinya,

mengikis habis nafsu-nafsu indra, dan memunculkan kebijaksanaan paling tinggi dalam

kehidupannya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai Orang Suci meskipun masih bergaul

dengan banyak orang dan berpenghidupan di masyarakat luas. Kelak ketika ia meninggal dunia,

maka tidak akan ada lagi orang yang mengetahui ke mana ia pergi, karena Nirwana bukanlah

suatu tempat. Sebagaimana api itu ada, namun tidak seorang pun yang dapat mengetahui ke

mana perginya api setelah padam.

Jika diibaratkan sebuah lilin yang menyala, apinya adalah kebencian, keserakahan, dan

kegelapan batin dan batang lilin adalah badan jasmani, maka ketika nyala lilin padam bersamaan

dengan habisnya batang lilin yang terbakar, saat itulah fenomena-fenomena selanjutnya dari lilin

tersebut tidak dapat diketahui oleh siapa pun.

Inilah gambaran Nirwana secara sederhana.

Jadi sangat mungkin Kebahagiaan Sejati dapat dicapai bukan setelah meninggal dunia,

tetapi juga ketika masih hidup.

Terdapat dua macam Nibbana, yaitu:

1. Sa-upadisesa-Nibbana adalah padamnya kilesa (kekotoran batin) secara total, tetapi

pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) masih ada

2. An-upadisesa-Nibbana adalah padamnya kilesa (kekotoran batin) secara total danjuga

pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) padam


D. KESUNYATAAN SUCI TENTANG JALAN MENUJU LENYAPNYA DUKKHA

(Dukkhanirodha-gamini-patipada Ariyasacca)

Jalan untuk menuju lenyapnya dukkha ialah "Jalan Mulia Berunsur Delapan" (Ariya

Atthangika Magga). Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dikenal juga sebagai "Jalan Tengah"

(Majjahima Patipada).

Oleh karena "Jalan" ini menghindari dan berbeda di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu :

pemuasan napsu indera yang berlebih-lebih dan penyiksaan diri; dan sekaligus mengajarkan suatu

cara berpikir di tengah-tengah yang menghindari kedua kutub pandang, yaitu pandangan tentang

"kekekalan" (sassataditthi) dan "kemusnahan" (ucchedda-ditthi).

Dengan ajaran ini kita dapat membedakan antara unsur-unsur berikut : suci dan tidak suci"

(ariya dan anariya), baik dan buruk (kusala dan akusala), berguna dan tidak berguna (attha dan

anattha), benar dan salah (dhamma dan adhamma), tercela dan tidak tercela (savajja dan anavajja),

jalan hidup yang terang dan jalan hidup yang gelap (tapaniya dan anatapaniya) dan sebagainya.

Perlu ditekankan bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan ini bukanlah terdiri atas delapan buah jalan,

yang harus diikuti satu demi satu atau dilaksanakan secara terpisah. Jalan Mulia Berunsur Delapan

ini sebenarnya adalah "satu jalan" yang mempunyai delapan faktor di dalamnya. Karenanya, sesuai

dengan kemampuan masing-masing individu.

Cara melenyapkan Dukkha adalah dengan mempraktikan Jalan Mulia Berunsur Delapan

yang terdiri dari :

 Kebijaksanaan (Pali:Pañña ; Sanskerta:prajñā)

1. Pengertian Benar (sammä-ditthi)

2. Pikiran Benar (sammä-sankappa)


 Kemoralan (Pali: Sīla)

3. Ucapan Benar (sammä-väcä)

4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta)

5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva)

 Konsentrasi (Pali: Samädhi)

6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)

7. Perhatian Benar (sammä-sati)

8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)


DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Empat_Kebenaran_Mulia

http://buddhissmansa.blogspot.com/2011/07/cattari-ariya-saccani-empat-kesunyataan.html

http://viharadhammasasana.blogspot.com/2009/04/empat-kesunyataan-mulia-cattari-ariya.html

http://siddhi-sby.com/2008/11/28/empat-kesunyataan-mulia/

Anda mungkin juga menyukai