Anda di halaman 1dari 14

PERAWATAN JENAZAH BERDASARKAN AGAMA BUDDHA

Dosen : Dr. Saat Syafaat Ali, M.Pd I

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Agama


Disusun Oleh :
1. Afifah Surya Damayanti (1032211002)
2. Aisyah Ayu Muthmainah (1032211003)
3. Almaas Fadhilah Ramadhani (1032211061)
4. Diva Pramulya (1032211014)
5. Deti Nuraeni (1032211060)
6. Dwi Septianingsih (1032211016)
7. Endhah Pujhi Astuti (1032211019)
8. Galuh Pratiwi (1032211020)
9. Hana Sajidah (1032211022)
10. Indri Rahmadiyah (1032211050)
11. Nurul Fathiyah Adilah (1032211023)
12. Nur Fitriyah (1032211046)
13. Sofia Liza Pratiwi (1032211040)

Program Studi Keperawatan Fakultas Kesehatan


Universitas MH Thamrin
TA.2021- 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “PERAWATAN JENAZAH
BERDASARKAN AGAMA BUDDHA” dapat kami selesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah
Agama yang telah memberikan tugas kepada kami sehingga kami dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan
makalah ini.

Kami jauh dari sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik
dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi kami khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Jakarta, 6 Desember 2021

Tertanda,

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sakaratul maut (Dying) merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi
kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal.
Sedangkan kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan
tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan
terhentinya aktivitas otak atau terhentinya fungsi kehidupan sehari-hari kita.
Kematian tidak pandang bulu, anak-anak, remaja maupun orang dewasa sekalipun
dapat mengalami hal ini. Kita tak tahu kapan kematian akan mejemput kita.
Kematian seakan menjadi ketakutan yang sangat besar di hati kita.
Proses terjadinya kematian diawali dengan munculnya tanda-tanda yaitu
sakaratul mut atau dalam istilah disebut dying. Oleh karena itu perlunya
pendampingan pada seseorang yang menghadapi sakaratul maut (Dying). Sangat
penting diketahui oleh kita, sebagai tenaga kesehatan tentang bagaimana cara
menangani pasien yang menghadapi sakaratul maut adalah dengan memberikan
perawatan yang tepat, seperti memberikan perhatian yang lebih kepada pasien
sehingga pasien merasa lebih sabra dan ikhlas dalam menghadapi kondisi sakaratul
maut.
Kehilangan adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat unik secara
individual. Hidup adalah serangkaian kehilangan dan pencapaian. Seorang anak
yang mulai belajar berjalan mencapai kemandiriannya dengan mobilisasi. Seorang
lansia dengan perubahan visual dan pendengaran mungkin kehilangan keterandalan-
dirinya. Penyakit dan perawatan di rumah sakit sering melibatkan berbagai
kehilangan.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam makalah perawatan jenazah ini kami membahas tentang bagaimana tata
laksana perawatan jenazah pada agama buddha.
1.3. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kompetensi Dasar Keperawatan
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan pentingnya mengetahui Abortus dalam Asuhan
Keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Kematian Menurut Agama Budha
Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kita suci agama Buddha
adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari
pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesdaran dan tubuh jasmani atau
materi. Keempat kelompok yang pertama adalah kelompok batin atau nama
yang membentuk suatu kesatuan kesadaran. Kelompok kelima rupa, yakni
kelompok fisik atau materi. Gabungan batin dan jasmani ini secara umum
dinamaka individu yang berwujud seperti itu. Namun dua unsur pembentuk
utama, yakni NAMA dan RUPA hanya merupakan fenomena belaka. Kita tidak
melihat bahwa kelima kelompok ini sebagai fenomena, namun menganggapnya
sebagai pribadi karena kebodohan pikiran kita, juga karena keinginan terpendam
untuk memperlakukannya sebagai pribadi serta untuk melayani kepentingan
kita.
Kita akan mampu melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bilamana
memiliki kesadaran dan keinginan untuk melakukannya, yakni bila kita ingin
melihat ke dalam pikiran sendiri dan mencatat dengan penuh perhatian (Sati).
Mencatat secara objektif tanpa memproyeksikan suatu ego ke dalam proses ini
dan kemudian mengembangkan latihan tersebut untuk waktu yang cukup lama,
sebagaimana telah diajarkan oleh Sang Buddha dalam SATIPATHANA
SUTTA. Maka kita akan melihat bahwa kelima kelompok ini bukan sebagai
sautau pribadi lagi , melainkan sebagai suatu serial dari proses fisik dan mental.
Dengan demikian kita tidak akan menyalah-artikan kepalsuan sebagai
kebenaran. Lalu kita akan dapat melihat bahwa kelompok-kelompok tersebut
muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam sekejap, tak pernah sama
untuk dua saat yang berbeda; tak pernah diam namun selalu dalam keadaan
mengalir; tak pernah dalam keadaan yang sedang berlangsung namun selalu
dalam keadaan terbentuk. Kelompok materi atau jasmani berlangsung sedikit
lebih lama, yakni kira-kira tujuh belas kali dari saat berpikir tersebut. Karena itu
setiap saat sepanjang kehidupan kita, bentuk-bentuk pikiran muncul dan lenyap.
Lenyapnya yang dalam waktu sekejap mata ini merupakan suatu bentuk dari
kematian.
Menurut Agama Buddha, kematian dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1. Kematian dapat disebabkan oleh habisnya masa hidup sesuatu makhluk
tertentu. Kematian semacam ini disebut AYU-KHAYA.
2. Kematian yang disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat
terjadinya kelahiran dari makhluk yang meninggal tersebut. Hal ini disebut
KAMMA-KHAYA.
3. Kematian yang disebabkan oleh berakhirnya kedua sebab tersebut diatas,
yang terjadi secara berturut-turut. Disebut UBHAYA-KHAYA.
4. Kematian yang disebabkan oleh keadaan luar, yaitu : kecelakaan, kejadian-
kejadian yang tidak pada waktunya, atau bekerja gejala alam dari suatu
karma akibat kelahiran terdahulu disebut UPACHEDAKKA.

Ada suatu perumpamaan yang tepat sekali untuk menjelaskan keempat


macam kematian ini yaitu, perumpamaan dari sebuah lampu minyak yang
cahayanya diibaratkan sebagai kehidupan. Cahaya dari lampu minyak dapat
padam akibat salah satu sebab berikut ini:

1. Sumbu dalam lampu telah habis terbakar. Hal ini serupa dengan kematian
akibat berakhirnya masa hidup suatu makhluk.
2. Habisnya minyak dalam lampu seperti halnya dengan kematian akibat
berakhirnya tenaga karma.
3. Habisnya minyak dalam lampu dan terbakar habisnya sumbu lampu pada
saat bersamaan, sama halnya seperti kematian akibat kombinasi dari sebab-
sebab yang diuraikan pada kedua hal di atas.
4. Pengaruh dari factor luar, misalnya ada angin yang meniup padam api
lampu. Sama halnya seperti yang disebabkan oleh factor-faktor dari luar.

Oleh karena itu karma bukan merupakan satu-satunya sebab kematian. Dalam
Angutara Nikaya dan Kitab-kitab lainnya. Sang Buddha memyatakan dengan
pasti bahwa karma bukan merupakan penyebab dari segala hal.

B. Proses Kematian Menurut Agama Buddha


Kematian dapat terjadi karena salah satu dari empat sebab sebagai berikut :
1. Kammakkhaya atau habisnya kekuatan janaka kamma
2. Ayukkhaya atau habisnya masa kehidupan
3. Ubhayakkhaya atau habisnya janaka kamma (masa kehidupan) secara
Bersama-sama
4. Upacchedaka Kamma yang muncul, kamma penghancur atau pemotong
yang kuat sehingga walaupun janaka kamma dan ayukkhaya belum selesai
orang tersebut meninggal dengan cepat.
C. Pelaksanaan Perawatan Jenazah Menurut Agama Buddha
a. Perlengkapan memandikan jenazah
Didalam memandikan jenazah menurut agama Buddha ada beberapa
perlengkapan yang harus disediakan terlebih dahulu, diantaranya adalah
meja atau dipan yang digunakan untuk tempat memandikan jenazah, air
basah, air kembang, air yang dicampur dengan minyak wangi, sabun mandi,
shampoo, sikat gigi dan handuk
b. Perlengkapan pakaian
a) Pakaian harus bersih dan rapi, dan yang paling penting adalah bahwa
baju yang dikenakan pada jenazah merupakan pakaian yang paling
disenanginya sewaktu masih hidup
b) Sarung tangan dan kaos kaki yang berwarna putih
c) Pakaian yang disesuaikan dengan adat masing-masing, misalnya dengan
menggunakan kain putih (kapan)
c. Perlengkapan jenazah
a) Peti jenazah
b) Kain putih, untuk alas dan untuk melapisi sisi bagian dalam peti
c) Bantal kecil 3 buah
d) Bunga yang terdiri dari : Bunga yang dirangkai untuk hiasan bagian
dalam peti, bunga untuk ditaburkan, tiga tangkai bunga, satu pasang lilin
merah, tiga batang dupa yang diikat dengan benang merah
e) Liang lahat (jika dikuburkan)
f) Usungan
d. Perlengkapan persembahyangan
a) Meja untuk altar
b) Lilin dua buah warna putih
c) Dupa wangi
d) Buah-buahan
e) Air untuk pemberkahan yang sudah diberi Bunga didalamnya
f) Dua vas bunga
g) Foto almarhum/almarhuman yang diletakkan di tengah altar
e. Perawatan jenazah
a) Sesaat setelah almarhumah/almarhum menghembuskan nafas yang
terakhir, badannya digosok dengan air kayu cendana, atau dengan
menaruh es balokan di bawahnya agar jenazah tidak kaku.
b) Setelah itu jenazah diletakkan di atas meja dan ditutupi kain setelah itu
baru dibacakan parita-parita atau doa-doa.
f. Pelaksanaan pemandian jenazah
a) Jenazah setelah disembahyangkan kemudian diusung ke tempat
pemandian yang telah disiapkan.
b) Jenazah dimandikan dengan air bersih terlebih dahulu, kemudian air
bunga, lalu dibilas dengan air yang sudah dicampur dengan minyak
wangi.
c) Jenazah dikeramasi rambutnya dengan shampoo, kemudian disabun
seluruh badannya dan giginya disikat dan kukunya dibersihkan, setelah
itu dibilas lagi dengan air bersih. Sehabis itu jenazah dilap dengan
handuk.
g. Pemakaian pakaian
a) Jenazah laki-laki
Pakaian jenazah laki-laki, baju lengan Panjang, celana Panjang, dan yang
paling disenangi paling disenangi oleh almarhum sewaktu masih hidup,
rambut disisir rapi, bila perlu diberi minyak rambut, lalu kedua
tangannya dikenakan sarung tangan, dan juga kedua kakinya diberi kaos
kaki berwarna putih.
b) Jenazah perempuan
Pakaian jenazah perempuan adalah pakaian nasional, misalnya kebaya
dan memakai kain (pakaian adat daerah) dan khususnya pakaian yang
disenangi olehnya sewakru masih hidup. Lalu jenazah dipakaikan bedak
ke muka jenazah secara merata. Selanjutnya memakaikan lipstick dan
sejenisnya secara rapi dan rata ke seluruh bibir jenazah. Dan
memakaikan pensil alis ke jenazah agar terlihat lebih rapi. Lalu menyisir
rambut jenazah ke belakang kepala menggunakan sisir, pastikan rambur
tidak berserakan di sekitar wajah dan merapihkan kembali pakaian
jenazah.
c) Jenazah khusus pandita
Pakaian khusus pandita adalah memakai jubah berwarna kuning dan
tangannya diberi sarung tangan, dan kedua kakinya diberi kaos kaki
berwarna putih.
h. Sikap tangan
Sikap tangan diletakkan di depan dada, tangan kanan di atas tangan kiri, dan
sambal memegang tiga tangkai bunga, satu pasang lilin berwarna merah, tiga
batang dupa wangi, yang sudah diikat dengan benang merah. Sikap kedua
kakinya biasa, dengan telapak kaki tetap ke depan.
i. Upacara pemakaman
Dari rumah duka menuju ke yayasan citra social di kelilingin oleh keluarga
dan jenazah dibawa menggunakan mobil yang cukup untuk membawa
jenzah tersebut , setlah itu sampai ke dalam yayasan citra sosial melakukan
pembacaan paritta atau upacara avamanggala secara bersama –sama agara
jenazah setelah meninggal ia merasa berbahagia di surga. proses upacara
penutupan peti lalu dilanjut dengan sesi acara persiapan kremasi yang
terlebih dulu dilakukan pembacaan doa doa yang dituntun oleh biksu sesuai
dengan kepercayaan ajaran buddha. Ritual khas yang unik upacara kematian
adalah persembahan kain kepada para biksu. Ini dikenal sebagai paṃsukūla
dalam bahasa Pali, yang berarti "jubah yang ditinggalkan". Ini
melambangkan kain bekas dan kain kafan yang digunakan para biksu untuk
jubah mereka pada masa Sang Buddha. Kemudian ketika kerabat
menuangkan air dari bejana ke cangkir yang penuh untuk melambangkan
pemberian jasa kepada almarhum, syair berikut dibacakan:
Hapus nama udakaṃ vaṭṭhaṃ yathā
ninnaṃ pavattati
evameva ito dinnaṃ
petānaṃ upakappati. Yathā vārivahā pūrā
paripūrenti sāgaraṃ
Evameva ito dinnaṃ
petānaṃ upakappati. Kemudian dilanjut dengan sambutan ketua umum
MBMI. Para keluarga dan masyarakat sekitar kita bersembah kepada tuhan
di pandu dengan gurunya masing-masing. Jenazah diantarkan menuju ke
Vihara untuk melakukan upacara kematian buddha. Sesudah sampai di
Vihara Jenazah di tempatkan di tempat yang akan dilakukan kremasi.
Keluarga kerabat orang yang mengantarkan sambil berdoa NAMO OH MEE
TOH FO 10x kemudian menganggukkan kepala 3x untuk penghormatan
terakhir kepada jenazah yang akan di kremasi. Para pelayat menaburkan
bunga diatas kayu yang sudah tersusun rapih dan memberikan belasungkawa
sebagai ucapan duka kepada keluarga yang sedang berduka . Lalu datang
seorang tokoh yang membawa geni atau api pensucian dan dibacakan doa,
lalu tokoh tersebut membakar kayu yang sudah ditaburi bunga oleh para
pelayat di setiap sudutnya agar api dapat menyebar secara merata.
j. Pemberangkatan dari rumah duka
a) Bagi anggota militer sebelum dibawa ke makam/crematorium dapat
diselenggarakan upacara kemiliteran.
b) Bagi orang-orang biasa dapat langsung dibawa ke makan/crematorium
c) Peti jenazah dibawa/diusung dengan bagian kaki didepan dan bagian
kepala.
k. Pemakaman jenazah
a) setelah jenazah dimasukkan kedalam tempat pembakaran, pintu di tutup.
selanjutnya keluarga dan biksu melakukan 'pattidana puja' yaitu
pelimpahan jasa yang diperuntukkan untuk para leluhur atau sanak
keluarga yang telah meninggal.
b) kemudian keluarga yang di tinggalkan menyanyikan lagu Buddhist
Anumodana, kehidupan Samana.
l. Pemakamana di laut
Untuk keluarga yang akan melakukan upacara pemakaman di dasar laut,
pada prinsipnya tata upacaranya atau doa dan parrita yang dibacakan adalah
sama saja dengan upacara dipermakaman atau crematorium. Hanya saja pada
upacara di laut ini semuanya yang hadir harus naik di perahu, sedangkan peti
jenazah yang akan ditanam harus diberi bandulan agar mudah tenggelam
m. Pemakaman di pertempuran
Apabila ada seseorang anggota militer yang meninggal di daerah
pertempuran atau dia medan perang, maka pemakamannya dilakukan secara
darurat, misalnya jenazah diamankan dan dimakamkan sesuai dengan
keadaan pada saat itu. Bila ada rekannya yang beragama Buddha dapat
dibacakan Paritta atau doa seperti di pemakaman atau crematorium,
tergantung situasi dan kondisi saat itu. Tetapi jika tidak ada rekannya yang
beragama Buddha, boleh juga didoakan menurut agama dan kepercayaan
rekan-rekannya yang ada .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sakaratul maut atau Dying merupakan saat-saat dimana
seseorang akan menghadapi kematian dan mereka memiliki beberapa hal
yang ingin disampaikan untuk dikabulkan. Kehilangan adalah suatu
keadaan dimana seseorang merasakn perasaan yang kosong atau hampa
ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya pernah hadir didalam
kehidupannya baik itu kehadirannya hanya untuk sementara ataupun
dalam waktu yang lama.
Kematian menurut agama Buddha adalah hancurnya Khanda.
Khanda sendiri dibedakan kedalam lima golongan yaitu pencerapan,
perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani atau
materi. Didalam perawatan jenazah menurut agama Buddha dilakukan
berbagai macam cara seperti yang telah dijelaskan dalam makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Kubler-Ross, E.,(1969), On Death and Dying, London :Tavistock
Publication
Budhiarta. Day to Day Buddhist Practices. Surabaya: Yayasan Dhamma
Jaya
Pemuda dan mahasiswa Buddhis.1999. petunjuk Teknis Perawatan
jenazah bagi umat beragama buddha di Indonesia.
https://youtu.be/5YH_8Y1Wzo4
https://youtu.be/rWvK3Y3SOas

Anda mungkin juga menyukai