Anda di halaman 1dari 12

SANGKAN PARANING DUMADI: SEBUAH FALSAFAH HIDUP JAWA UNTUK

MEMBINA KEHIDUPAN MENUJU KEMATIAN YANG SEMPURNA


Bondan Lesmana
3401414113/ Rombel 2
Mata Kuliah Religi dan Etika Jawa/ Dosen Pengampu: Dra Rini Iswari, M.Si.
Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
Universitas Negeri Semarang
PENDAHULUAN
Orang Jawa dengan segala kebudayaan yang dimilikinya selalu merefleksikan
bagaimana hakikat kehidupannya. Refleksi kehidupan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui sangkan paraning dumadi, yaitu asal mula dan kemana pula kehidupan
akan berakhir. Orientasi pikiran yang mengarah kepada manunggaling kawula Gusti
dengan harapan diperolehnya suasana tentram lahir batin juga kerap diulas dalam kitab
Jawa Klasik. Adapun kitab Negara Kertagama, Wedhatama, Wulangreh, dan Sabda Jati,
yang pemikiran kefilsafatan orang Jawa..
Melihat struktur tata kefilsafatan Jawa, kita akan mengenal istilah cipta, rasa,
dan karsa. Cipta merujuk kepada struktur logika yang berupaya untuk memperoleh nilai
kebenaran, rasa merujuk kepada struktur estetika yang berupaya untuk memperoleh
nilai keindahan, dan karsa merujuk kepada struktur etika yang berupaya untuk
memperoleh nilai kebaikan (Purwadi, 2007). Cipta, rasa, dan karsa tersebut adalah satu
kesatuan yang dapat membuat kehidupan menjadi selaras, serasi, dan seimbang.
Dokumentasi filsafat Jawa yang mengajarkan berbagai falsafah hidup penuh
makna akan memberikan kontribusi yang berharga bagi eksistensi budaya Jawa.
Dihiasai kehidupan selalu mengutamakan perilaku luhur dan agung, masa depan pun
dapat diraih secara lebih cemerlang. Sebagai bagian dari komunitas Jawa, menurut
penulis penggalian nilai filsafat Jawa dan kearifan tradisional lainnya memang perlu
sekali digalakkan sehingga kelak ada sistem pewarisan intelektual dan spiritual yang
lebih bermutu. Salah satunya adalah melalui kuliah Religi dan Etika Jawa yang
berusaha menggali, mengingatkan, mengajarkan, dan mewariskan berbagai pandangan
hidup dan budaya khas orang Jawa. Maka dari itu, dalam tulisan ini penulis akan
mengangkat salah sebuah pandangan hidup orang Jawa yakni Sangkan Paraning
Dumadi. Penulis mengangkat judul Sangkan Paraning Dumadi: Sebuah Falsafah
Hidup Jawa Untuk Membina Kehidupan Menuju Kematian Yang Sempurna.

PEMBAHASAN
Konsep Sangkan Paraning Dumadi
Masyarakat Jawa sangat lekat dengan pandangan hidupnya yang penuh makna.
Pandangan hidup orang Jawa secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni
pandangan lahir dan pandangan batin. Pandangan lahir terkait dengan kedudukan
seseorang sebagai makhluk individu dan sosial, sedangkan pandangan batin berkaitan
dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Pandangan lahir tersebut
memiliki kaidah-kaidah yang dipahami berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya yang
dilakukan oleh masyarakatnya. Sebaliknya, pandangan batin terkait dengan persoalanpersoalan yang bersifat supranatural dimana manusia dapat mempersiapkan dirinya
untuk kembali menghadap Tuhan-nya.
Dibalik berbagai pandangan hidup orang Jawa, orang Jawa memiliki orientasi
hidup yakni ingin selalu memperlakukan orang lain secara mulia. Sikap mulia tersebut
ditunjukkan dengan menghindari sikap: adigang, adigung, adiguna; sre dengki; panas
elen; wedi isin; dan lain sebagainya, serta menerapkan pedoman hidup eling lan
waspodo; becik ketithik ala kethara; sangkan paraning dumadi; dan lain sebagainya. Hal
itu selalu diterapkan guna menciptakan hubungan sosial yang harmoni. Mereka
melakukannya juga demi menjaga keselarasan dalam kehidupan serta untuk mencapai
tujuan hidup yang sempurna.
Sebenarnya, tujuan pandangan hidup orang Jawa itu sama, yaitu untuk
mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Kebahagiaan tersebut direpresentasikan dengan
hidup sejahtera, cukup sandang dan papannya, memiliki tempat tinggal yang aman dan
nyaman untuk keluarganya. Berkaitan dengan kehidupan orang Jawa yang pasti menuju
dewasa dan tua, dikenal sebuah pandangan hidup yang syarat akan makna yakni
sangkan paraning dumadi.
Pandangan hidup sangkan paraning dumadi mengajarkan kepada orang Jawa
untuk dapat membina dan menjalani kehidupan sampai saat kematian tiba. Bagaimana
memahami sangkan (asal muasal) dengan baik, untuk memperoleh paran (arah tujuan)
yang jelas, dan agar bisa dumadi yaitu untuk mencapai kesempurnaan. Kesempurnaan
hidup yang dimaksud disini berarti ganda yaitu kehidupan di dunia dan di akhirat.
Kehidupan sempurna di dunia adalah memayu wahyuning bawana (menjaga kelestarian
kehidupan dan kelestarian bumi agar dapat terus didiami oleh anak cucu kita di masa2

masa mendatang). Sedangkann kehidupan di akhirat atau setelah mati yaitu untuk
mencapai manunggaling kawulo gusti dimana ruh kembali kepada Allah (yang berarti
ke asalnya).
Pandangan hidup sangkan paraning dumadi mengajarkan bahwa manusia akan
mengalami tiga tahapan dalam kehidupan, yaitu MetuManten-Mati. Metu berarti lahir
(sangkan) yang dianggap sebagai takdir Tuhan, karena setiap anak yang lahir tidak
dapat menentukan oleh siapa dilahirkan dan bagaimana kondisi keluarga yang telah
melahirkannya.

Manten berarti menikah, yang dipandang sebagai masa dimana

seseorang harus mampu menahan beban tanggungjawab dan kewajiban dirinya sebagai
anggota keluarga. Kemudian mati, yang berarti akhir kehidupan manusia dan kembali
kepada Sang Pencipta.
Tahapan dan Konsekwensi:
Tahapan pertama yaitu Metu (sangkan atau asal kehidupan), manusia belum
mengemban tanggungjawab dan kewajiban untuk mengatasi beban kehidupan. Beban
tanggungjawab dan kewajiban manusia terlebih dahulu diawali dengan pengajaran
budaya yang berlaku, baik yang berlaku di keluarga, di lingkungan rumah, atau pun di
lingkungan masyarakat. Seiring dengan bertambah umur, pengetahuan, pengalaman,
serta hubungan sosialnya dengan orang lain, maka semakin bertambah pula
tanggungjawab dan kewajiban orang yang bersangkutan. Beban dan tanggungjawab
manusia dalam masa metu ini masih dipikul oleh kedua orang tuanya yang sudah
masuk dalam tahap manten dan sudah memahami bagaimana cara menanggung
kewajiban dan tanggungjawab sanak kadangnya. Manusia pun hanya nglakoni, yaitu
hanya menjalankan apa yang dipandangnya bisa atau boleh dilakukannya. Masa ini juga
dianggap sebagai saderma nglampahi atau sekedar menjalani. Tidak ada konsekwensi
beban tanggungjawab dan kewajiban, karena semuanya seolah-olah sudah merupakan
tanggungjawab orangtua.
Semakin dewasa seseorang, mereka akan menuju tahapan manten dimana
nglakoni akan diganti dengan laku, atau berjalan menuju masa depan sesuai dengan
paran yang dipandang dapat menuju kesempurnaan hidup. Laku atau sering juga
disebut sebagai lakon ini membutuhkan ilmu dan pengetahuan. Setiap manusia pun
harus belajar untuk memperoleh pengetahuannya, sehingga dapat berjalan menuju
paran atau tujuan hidupnya. Selaras dengan yang ada dalam tembang Pucung:
3

1. Ngelmu iku kelakone kanthi laku (Ilmu itu terjadinya disertai langkah atau
perjalanan),
2. Lekase lawan kas (bermula dari kesungguhan hati untuk tahu dan belajar),
3. Tegese kas nyantosani (kesungguhan bermakna menyentosakan, yakni untuk
memudahkan atau membahagiakan),
4. Setya budya pangekese dur angkara (setia atau berketetapan hati untuk
memperjuangkan kebaikan dan menghilangkan yang jahat).
Pada tahapan manten, beban tanggungjawab dan kewajiban seseorang akan
menjadi lebih besar karena ia sudah memasuki tahap hidup berkeluarga. Tahap
manten ini menandakan bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat
untuk menggabungkan, memadukan, serta menyerasikan tanggungjawab dan kewajiban
masing-masing menjadi sebuah kesatuan yang yang harus ditempuh bersama. Namun
demikian, tanggungjawab dan kewajiban suami tidak berarti menjadi lebur dengan
tanggungjawab dan kewajiban istri. Tanggungjawab dan kewajiban suami dari istri dan
bapak dari anak-anaknya tetap harus dipikul dengan baik,

demikian pula dengan

tanggungjawab dan kewajiban perempuan sebagai istri dari suami dan ibu dari anakanaknya yang harus tetap dilaksanakan dengan baik.
Memasuki tahapan manten, paran yang ingin dituju bersama pasangan
dalam upaya mewujudkan memayu wahyuning bawana dan mencapai kesempurnaan
hidup sudah mulai jelas. Usaha mewujudkan memayu wahyuning bawana
direpresentasikan dengan upaya memunculkan wiji dadi kang bleger, yaitu bibit
manusia atau melahirkan bayi yang sempurna lahiriah dan batiniah. Artinya, bapak ibu
diwajibkan untuk memberikan kecukupan lahir batin dalam meliputisandang, pangan,
dan papan untuk anaknya. Hal ini dimaksudkan agar wiji dadi dapat tumbuh dengan
baik dan sempurna yang pada waktunya nanti bisa menggantikan bapak ibunya untuk
bisa menghasilkan proses metu yang baik kembali sehingga paran atau tujuan
menuju kesempurnaan dalam memayu wahyuning bawana dan manunggaling
kawulo Gusti dapat tercapai dalam akar pandangan sangkan paraning dumadi.
Kesinambungan kehidupan manusia dan alam untuk menunjang kehidupan pun
akhirnya dapat terus dipertahankan hingga setiap generasi mengalami tahapan terakhir
yaitu mati, tentunya dengan kondisi sempurna sesuai yang diharapkan.

Lelaku Masyarakat Jawa secara Umum


Keseharian masyarakat Jawa yang banyak dipengaruhi oleh alam pikiran yang
bersifat spiritual, membuat mereka dikenal sebagai masyarakat yang religius. Mereka
mengenal berbagai pandangan hidup yang dipercaya dan dijalankan sebagai tuntunan
dalam kehidupan keseharian. Keseharian kehidupan masyarakat Jawa juga memiliki
relasi istimewa dengan alam, dimana alam di sekitar masyarakat sangat berpengaruh
dalam kehidupan sehari-hari. Alam sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat karena
alam dianggap sebagai sesuatu yang telah memberikan sinar kehidupan. Mungkin
karena kedekatan masyarakat terhadap alam pula yang menyebabkan berkembangnya
pemikiran mengenai fenomena kosmogoni dalam alam pemikiran masyarakat Jawa,
yang kemudian melahirkan beberapa tradisi atau ritual yang berkaitan dengan
penghormatan terhadap alam tempat hidup mereka (Magnis Suseno, 1986 dalam
Purwadi, 2007).
Masyarakat Jawa dalam perjalanan hidupnya juga mempercayai kekuatan di luar
alam. Kekuatan di luar alam tersebut adalah kekuatan yang menguasai mereka ketika di
dunia. Mereka percaya bahwa dibalik penampakan fisik yang mereka lihat, selalu ada
kuasa Tuhan didalamnya. Itulah sebabnya mengapa masyarakat Jawa percaya adanya
roh, makhluk halus, dunia (dimensi) lain, dan hal-hal spiritual lainnya. Mereka kagum
terhadap kejadian-kejadian yang menjadi pengalaman mereka yang dalam kasusnya
tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Rasa kagum inilah yang melahirkan berbagai
ritual tradisi sebagai bentuk penghormatan terhadap alam.
Ritual-ritual dalam kebudayaan Jawa adalah ritual yang digunakan untuk
mengiringi kehidupan manusia. Ritual yang mengiringi setiap tahap kehidupan manusia
tersebut merupakan wujud dari kehati-hatian orang Jawa dalam mewujudkan
keharmonisan hubungan manusia dengan alam dunia maupun alam akhirat menuju
kematian yang sempurna. Melalui ritual-ritual tersebut, manusia Jawa ingin mengetahui
serta ingin menyatakan sesuatu hal yang berarti di balik kenyataan fisik, bahkan suatu
hal yang transenden (Layungkuning, 2013: 8).
Dibalik segala ritual sebagai ekspresi religiusitas dan budaya masyarakat Jawa,
mereka sangat percaya bahwa Tuhan adalah dzat yang maha satu sebagai pusat alam
semesta dan kehidupan manusia.Tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya,
Tuhan juga bertindak sebagai pengatur dan penentu takdir karena segala sesuatu yang
5

ada di dunia akan bergerak sesuai izin dan kehendak-Nya. Tuhan juga lah yang
dipercaya merupakan dzat yang telah memberikan penghidupan, keseimbangan dan
keselarasan hidup, sebelum manusia mati dan kembali menghadap kepada-Nya.
Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula lan
Gusti, yaitu pandangan yang berhadapan bahwa kewajiban moral manusia adalah
mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia
menyerahkan dirinya selaku Kawula terhadap Gusti-nya (Layungkuning, 2013: 8).
Kemudian baru muncullah pandangan hidup Sangkan Paraning Dumadi yang artinya
manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Penerapan Pandangan Hidup Sangkan Paraning Dumadi Di Zaman Keraton
Orang Jawa zaman dahulu percaya bahwa keraton yang dipimpin oleh raja
merupakan pusat kebudayaan mereka. Konsepsi mereka menyatakan bahwa Tuhan
adalah pusat makrokosmos, sedangkan raja merupakan wakil Tuhan di dunia. Raja
dipandang sebagai pusat komunitas di dunia, dan keraton adalah tempat kediamannya.
Keraton pun menjadi pusat aktivitas kerajaan dimana raja memberikan pengaruhnya
serta mengalirkan kekuatan kosmisnya ke daerah-daerah kedaulatannya, sehingga
membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan wilayahnya.
Sebenarnya, keberadaan keraton sendiri mempresentasikan pandangan hidup
sangkan paraning dumadi yang masih sangat dipatuhi oleh orang Jawa pada waktu itu.
Pandangan hidup sangkan paraning dumadi diterapkan dalam pembangunan keraton
Yogyakarta, sehingga seluruh bagian bangunan keratonnya memiliki makna sesuai
konsep pandangan hidup ini. Berikut adalah bentuk bangunan Keraton Yogyakarta yang
mempresentasikan konsep pandangan hidup sangkan paraning dumadi sebagaimana
yang dikenal dan dipercayai kebenarannya oleh masyarakat Jawa pada umumnya:
. Rangkaian bangunan dan halaman Kraton yang terpencar dari pusat
melambangkan daratan dan lautan. Kedua pintu gerbang utama menghadap utara dan
selatan. Pintu gerbang utara menghadap gunung merapi, tempat kedudukan Kyai Sapu
jagad, sedang pintu gerbang selatan menghadap ke laut selatan, tempat tinggal Dewi
Laut Selatan, Nyai Rara Kidul, yang menurut legenda bertahta di kerajaan di dasar
Samudera selatan, yang sejak lama telah menjalin hubungan erat dengan kerajaan Jawa,
khususnya Kerajaan Mataram. Kedudukan sebagai raja secara tradisional dianugerahkan

oleh Nyai Rara Kidul, dan izin serta restunya menjadi prasyarat untuk membangun
sebuah Kraton (Daliman, 2001:15).
Rangkaian bangunan dan halaman Keraton Yogyakarta tertata secara simetris
dalam dua poros: satu sisi kearah utara-selatan, dan pada sisi yang lain mengarah dari
barat ke timur. Bangunan-bangunan keraton yang mengarah utara-selatan lebih bersifat
sebagai ruang umum, resmi, tempat upacara, dan tempat pertemuan dengan masyarakat
dan rakyat umum, sedang bangunan yang memanjang dari barat ke timur ditentukan
sebagai ruang pribadi, akrab dan keramat (Daliman, 2001:18).
Poros ytara-selatan adalah yang paling nyata dan menghubungkan alun-alun
utara dan alun-alun selatan melalui tujuh halaman berturut-turut yang saling
berhubungan lewat pintu gerbang (regol). Pintu gerbang itu dengan nama yang sepadan
berpasangan dua-dua dari luar, utara atau selatan, ke dalam, menuju halaman pusat atau
pelataran, tempat Kraton Hageng sebagai pusat keraton. Dengan masuk dari utara atau
selatan, haruslah melewati: (1) Sitinggil Lor atau Sitinggil Kidul; kemudian halamanhalaman: (2) Brajanala Lor atau Brajanala Kidul; (3) Kemandungan Lor atau
Kemandungan Kidul; (4) Sri Manganti Lor atau Sri Manganti Kidul; dan barulah tiba di
halaman pusat atau pelataran yang menjadi pusat keraton. Di Sitinggil Lor terdapat
sebuah serambi tinggi yang pada kesempatan tertentu menjadi tempat raja beraudensi,
duduk diatas tahta kebesaran, menghadap ke utara. Disitulah raja dihadap oleh pejabatpejabat terpenting yang duduk di atas tikar (gelaran) yang terbentang di Pagelaran dan
di belakang mereka duduk pula seluruh rakyat yang berkerumun di alun-alun. Di
halaman-halaman luar di samping terdapat gardu-gardu penjagaan dan beberapa
banguna kecil tempat meriam dan gamelan keramat, terutama terdapat bangsal-bangsal
untuk menampung tamu-tamu yang akan menghadap raja. (Daliman, 2001:18)
Di pelataran tampak poros yang satu lagi, dengan mengikuti arah barat ke timur
serta tegak lurus pada poros pertama, utara-selatan. Di pelataran inilah berdiri dua
bangsal kebesaran yang luas, ialah Gedhong Prabayaksa dan Bangsal Kencana.
Bangsal Prabayaksa adalah tempat penyimpanan pusaka-pusaka kebesaran kerajaan.
Bangsal Prabayaksa disebut pula Kraton Hageng dan berfungsi sebagai pusat keraton
yang di dalamnya terdapat sebuah lampu besar yang bernama Kyai Wiji, yang menyala
terus tidak pernah padam sebagai simbol keabadian. Di depan Bangsal Prabayaksa
berdiri Bangsal Kencana yang menghadap ke timur. Bangsal Kencana merupakan
7

bangsal yang terbesar dan berfungsi sebagai tempat upacara atau resepsi besar seperti
menerima tamu agung, upacara perkawinan dan sidang agung. Di belakang (Barat)
Gedhong Prabayaksa terbentang sebuah Keputren yang luas sebagai tempat tinggal
sejumlah besar puteri keraton di bawah pengawasan seorang wanita yang menjabat
sebagai wedana. Pada zaman dulu, raja adalah satu-satunya yang dapat masuk ke tempat
itu. Di situlah terletak kediaman para padmi dan selir, kamar tidur raja, taman, serta
sejumlah besar gedung seperti ruang-rung makan, dapur, dan gudang (Daliman,
2001:18),
Di sebelah barat Alun-alun utara terdapat Mesjid Agung. Mesjid ini terbuka
untuk umum. Seorang pengulu yang relatif mandiri dan dipilih dari antara keluarga
Abdi Dalem Pamethakan tinggal di daerah Kauman yang berada di sekeliling mesjid, di
luar Kraton. Di bagian dalam ruang bertembok terdapat beberapa tempat ibadah bagi
raja dan keluarganya. Menurut Adam sekurang-kurangnya ada tiga masjid, Masjid
Panepen dan Mesjid Kaputren. Di sebelah barat kaputren terdapat Mesjid Suranatan,
yang namanya diambil dari nama korps ulama bersenjata pengawal Sutan Demak
(Daliman, 2001:18).
Pola rangkaian keseluruhan bangunan keraton yang simetris serta dikelilingi
oleh kedua alun-alun dan kedua halaman yang luas mengingatkan T. Behrend akan
struktur lingkaran konsentris dalam konsep kosmologi Hindu-Jawa. Bentuk bangunan
keraton yang demikian, karenanya, ia sebut sebagi imago mundi, citra dunia. Homologi
tata letak keaton sebagai mandala juga menempatkan kedudukan raja sebagai pusat
kosmos (the hub of universe). Raja sebagai penghubung mikrokosmos (jagad cilik) dan
makrokosmos (jagad gedhe). Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai warananing
Allah. Raja dipandang sebagai penghubung atau perantara tunggal antara manusia
dengan Tuhan, sangkan paraning dumadi, asal dan tujuan makhluk. Tugas kosmis raja
adalah membangun tata tentreming jagad lahir dan batin sebagai perwujudan rahmat
Tuhan bagi manusia, sebaliknya juga raja berkewajiban membimbing serta
mengantarkan rakyat untuk menyatu dalam kawula lan Gusti sebagai sumber
kesejahteraan

sejati

makhluk

manusia.

(http://www2.kompas.com/kompas-

cetak/0609/22/jogja)
Perjalanan pulang ke Rahmatullah disimbolkan dengan poros dari utara ke
selatan, dari Sitinggil Lor menuju Kraton Hageng atau Kraton Gedhong Prabasuyasa.
8

Ketika perjalanan kita telah sampai di Kemandungan Lor terlihatlah pohon-pohon


Keben, yang mengingatkan bahwa saat tutup usia telah sampai (tangkeben: tutuplah). Di
Bangsal Sri Manganti, amal-baik kita ditimbang. Di Gedhong Purwaretna, kita
diingatkan akan asal-mula (sangkan) kita. Gedhong Purwaretna yang bertingkat tiga
menggambarkan ketiga Baitul Makmur, Baitul Mukaram dan Baitul Mukaddas.
Keempat jendelanya menjadi simbol keempat tahap ketuhidan, tingkat syariat, tarikat,
hakikat, dan marifat. Kalau telah mencapai ke Kraton Hageng atau Gedhong
Prabasuyasa, sampailah sudah kita kepada tujuan yang sejati (paran) ialah di keraton
surgawi. Di surga inilah kita memperoleh kebahagiaan abadi, dekat serta manunggal
dengan Allah sendiri, dan menikmati cahaya keindahan dan kemuliaan Allah sebagai
divisualisasikan

dengan

simbol

lampu

Kyai

(http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp),

Wiji

sehingga

tidak

pernah

lengkaplah

padam

penerapan

pandangan hidup sangkan paraning dumadi dalam bangunan Keraton Yogyakarta.

Penerapan Pandangan Hidup Sangkan Paraning Dumadi pada Masa Kini


Tidak seperti pada zaman kerajaan, pandangan hidup sangkan paraning dumadi
telah mengalami pemudaran pada saaa ini. Banyak orang Jawa yang justru telah lupa
bahkan tidak mengenal pandangan hidup ini karena menganggap pandangan hidup
modern lebih bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman daripada pedoman hidup Jawa
pada zaman dahulu. Seperti penuturan tiga informan yang saya wawancarai mengenai
pandangan hidup sangkan paraning dumadi ini, dua diantara tiga informan tersebut
menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui arti dan makna dibalik pandangan hidup
sangkan paraning dumadi. Mereka berkata demikian dengan dalih lebih suka
mendalami dan mematuhi ajaran agama Islam dibandingkan dengan ajaran Jawa yang
dianggap tradisional, sehingga berbagai pandangan hidup Jawa yang sangat penting
bagi masyarakat Jawa zaman dahulu ternyata tidak selalu berlaku pada masyarakat Jawa
pada masa kini.
Pada zaman kerajaan dulu, pedoman hidup sangkan paraning dumadi masih
pekat dalam pikiran masyarakat Jawa. Mereka pun masih banyak yang melakukan laku
prihatin seperti tapa, puasa, semedi, dan lain sebagainya demi menuju kematian yang
sempurna sebagaimana yang dikonsepkan dalam pandangan hidup sangkan paraning
9

dumadi. Laku prihatin tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan bekal
hidup di akhirat, dan dilancarkan segala urusan hidup didunianya.
Berbanding terbalik dengan pada masa dulu, masyarakat Jawa masa kini seolah
kehilangan identitasnya karena banyak yang sudah tidak mengetahui berbagai
pandangan hidup Jawa sebagai kebudayaannya. Masyarakat Jawa masa kini sudah
jarang yang mewarisi pengetahuan atau ajaran Jawa generasi sebelumnya, sehingga
sudah sangat jarang kita temui orang-orang Jawa yang melakukan budaya jawa
sebagaimana yang dianjurkan dalam pandangan hidup sangkan paraning dumadi.
Namun demikian, kita masih dapat menemui aktivitas orang Jawa yang secara tidak
langsung telah menerapkan pandangan hidup sangkan paraning dumadi. Aktivitas
tersebut antara lain yang dilakukan oleh orang Jawa ketika Hari Raya Idul Fitri tiba.
Ketika hendak merayakan Hari Raya Idul Fitri, terdapat tradisi khas yang
biasanya dilakukan oleh masyarakat Indonesia (dalam pembahasan ini adalah
masyarakat Jawa) yang melakukan mudik secara serentak. Mudik tersebut adalah
perjalanan pulang kampung dari tanah rantau dimana mereka bekerja dan mencari
penghidupan. Mudik tersebut dilakukan demi bertemu dengan kedua orangtua
mengingat mereka lah orang-orang yang telah merawat dan membesarkannya. Mudik
itulah yang menjadi pemahaman filosofi sangkan paraning dumadi dimana ketika
mudik, mereka ditutut untuk memahami dari mana dulu berasal, dan akan harus
kemanakah nantinya kita akan kembali.
PENUTUP
Sangkan paraning dumadi adalah salah satu pedoman hidup masyarakat Jawa
yang berusaha membing manusia agar tidak sak paran-paran dalam menjalani
hkeidupan. Pandangan hidup ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan, semua harus ada
tujuan yang jelas agar kehidupan kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan
alam dunia ini dengan sempurna pula. Pandangan hidup ini juga mengajarkan kiita agar
menjadi kacang yang tidak lupa dengan kulitnya, atau selalu ingat dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Walaupun pandangan hidup Jawa ini sudah tidak sepopuler waktu zaman
kerajaan dahulu, kita sebagai anggota sekaligus generasi penerus komunitas Jawa harus
senantiasa selalu mengingat dan melestarikan kebudayaan Jawa ini karena tidak ada
satu pun pandangan hidup Jawa yang mengajarkan kejelekan atau menjauhkan manusia
dari Tuhan dan keharmonisan kehidupan
10

Daftar Pustaka
Daliman, A.2001. Makna Simbolik Nilai-nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton
Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis dan etimologis . Jurnal Humaniora.
Vol 13, No 1
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0609/22/jogja (diakses pada 16 Desember
2016)
http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp (diakses pada 16 Desember 2016)
Layungkuning, Bendungan. 2013.Sangkan Paraning Dumadi. Yogyakarta: Narasi
Purwadi.2007.Filsafat Jawa.Yogyakarta: Pustaka Raja
Dokumentasi observasi

Foto bersama mbah Darso (Sesepuh desa penulis yang merupakan satu dari tiga informan yang
masih mengetahui pandangan hidup sangkan paraning dumadi)

11

Foto bersama ibu Sarniti (satu diantara tiga informan yang sudah tidak mengetahui pandangan
hidup sangkan paraning dumadi)

Foto bersama mas Bagus (satu diantara tiga informan yang sudah tidak mengetahui pandangan
hidup sangkan paraning dumadi).

12

Anda mungkin juga menyukai