Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia tak lepas dari suatu kesalahan yang menjadi dosa, dari
dosa kecil dan besar , dosa yang disengaja dan tidak di sengaja, dosa lahir
dan dosa batin, dan dosa yang tampak dan tidak nampak. Oleh karena itu, 
kita sebagai manusia yang diberi akal untuk berpikir dan kesadaran
menjadi suatu keingan kembali pada untuk dekat dengan Sang Maha
Pencipta. Dalam kehidupan di dunia yang tidak kekal ini, sering kita
melakukan hal-hal yang melanggar aturan Allah SWT dalam artian
larangan-larangannya. Yang mana semua larangan-larangan-Nya itu
merupakan suatu hal yang bersifat kenikmatan sementara yang pada
akhirnya menimbulkan kesengsaraan atau kecelakaan bagi pelakunya.
Masalah dalam penelitian ini adalah taubat dalam prespektif al-
ghazali dalam kitab minhajul abidin dan ihya ulumuddin, semoga dalam
penyusunan makalah yang saya susun ini dapat memberikan pemahaman
tentang taubat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dikmaksud dengan taubat?
2. Apa syarat dan tatacara taubat?
3. Apa saja tingkatan orang bertaubat?
4. Apa saja Keutamaan taubat?
C. TUJUAN PENULISAN
Setiap kegiatan pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, demikian juga
yang dilakukan oleh penyusun dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan
penulisan makalah ini ialah :

1. Untuk mengetahui Pengertian taubat


2. Untuk mengetahui syarat dan tatacara taubat
3. Untuk mengetahui tingkatan orang bertaubat
4. Untuk mengetahui Keutamaan taubat
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tobat
Secara etimologi, Kata tobat berasal dari Bahasa Arab yakni taubah:

taaba-yatuubu-taubatan yang berarti rujuk, kembali, atau kembali dari jalan

yang jauh ke jalan yang lebih deket kepada Allah subhanu wa ta`ala.

Menurut Imam Ghazali dalam kitab ihya ulumuddin pada bab tobat

beliau berkata: tobat artinya penyesalan atas atas sebuah dosa dengan berjanji

untuk tidak melakukan keburukan yang sama lagi dan kembali kepada Allah.

Dalam kitab minhajul abidin juga dijelaskan bahwa tobat ”menjauhkan

diri dari perbuatan dosa setelah mengetahui keagungan dan kemuliaan Tuhan

dan karena takut mendapat murka dan hukuman Allah S.W.T.

B. Syarat dan Tatacara Tobat

Menurut Imam al-Ghazali ada empat syarat bertobat yakni:

1. Berusaha untuk tidak melakukan dosa lagi. Ia mengikat hatinya yang kuat-

kuat dan menanggalkan keinginannya, bahwa ia tidak akan kembali

kepada dosa tersebut sama sekali. Adapun jika ia meninggalkan dosa itu,

tapi didalam hatinya masih ada sedikit keinginan, untuk mengerjakannya

lagi suatu hari, atau ia tidak berkeinginan keras untuk meninggalkannya,

maka berarti ia tidak bertobat dari dosa tersebut.

2. Ia bertobat dari dosa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Sebab jika ia

belum pernah melakukan dosa dosa tersebut, maka berarti ia menjaga diri
darinya, bukan bertobat. Sebagai contoh, adalah benar kalua yang

dikatakan bahwa Nabi senantiasa menjaga diri dari tindak kekufuran.

Sebaliknya, tidak benar jika dikatakan bahwa beliau bertobat dari

kekufuran dalam keadaan apapun. Sedangkan Umar bin al-Khattab dapat

disebut orang bertobat dari kekufuran, karena ia pernah mengalami hidup

dalam kekufuran.

3. Dosa yang yang disesali oleh seorang hamba sekarang adalah memiliki

kedudukan dan derajat yang sama dengan dosa yang pernah ia kerjakan

dimasa lalu dan ingin ia tinggalkan. Misalnya ada seorang tua bangka yang

dulunya pernah berbuat zina dan mencuri, ia pasti bisa berobat disaat kuat

dulu, jika ia memang menginginkannya. Namun sekarang, disaat sudah tua

renta, ia sudah tidak punya pilihan lagi untuk melakukan perbautan

maksiat tersebut atau bertobat darinya, karena memang ia sudah tidak

sanggup melakukan kedau perbuatan itu. Pintu tobat memang belum

tertutup baginya sekali hidup, hanya saja tobat baginya bukan lagi dengan

meninggalkan zina dan mencuri yang memang sudah tidak bisa

dilakukannya lagi, tapi dengan meninggalkan dosa yang sama kedudukan

dan derajatnya dengan zina dan mencuri, seperti berdusta, menuduh orang

lain berzina, melakukan gibah dan menebar fitnah. Semua itu adalah

tindak kemaksiatan, sekali pun bobotnya berbeda-beda. Orang tua itu

masih bisa untuk tidak memilih melakukan perbuatan maksiat itu sebagai

tobat kepad-Nya dari perbuatan zina dan mencuri dimasa mudanya dulu.
4. Bahwa tobat itu dilakukan semata-mata untuk mengagungkan Allah azza

wajalla dan menghindari kemurkaan serta siksaan-Nya yang pedih. Murni

demikian, bukan Karena keinginan duiawi dan rasa takut kepada manusia.

Juga bukan karena mencari nama, kedudukan atau karena kelelahan

nafsunya. Bila keempat syarat itu telah diamalkan maka tobatnya benar.1

Dari empat syarat tobat yang telah di kemukakan olah Imam Ghazali diatas,

maka tobat itu ada tiga macam:

1. Taubah, yaitu kembali dari kemaksiatan pada ketaatan.

2. Firar, yaitu lari dari kemaksiatan pada ketaatan dari yang baik kepada yang

lebih baik.

3. Inabah, yaitu bertobat berulang kali sekalipun tidak berdosa.

Tobat baru dianggap sah dan dapat menghapus dosa apabila telah

mencukupi syarat-syarat yang ditentukan. Oleh karena itu, Imam Ghazali

menerangkan bahwa syarat tobat yang sah itu ada tiga:

1. Menyadari betapa buruknya dampak dosa-dosa yang telah dilakukan

terhadap hatinya.

2. Ingat atas kerasnya siksa Allah az zawajalla, kepedihan yang akan ia

Alami akibat murka dan kemarahannya yang engkau tidak akan sanggup

untuk menghadapinya.

3. Seorang hamba mesti menyadari besarnya kelemahan dan kurangnya

tenaga untuk bisa menahan diri dari godaan dosa. Sebab, mana mungkin

orang yang tidak tahan panasnya matahari dan tamparan tangan polisi akan

1
Imam Ghazali, Minhajul Abidin terj Abu Hamas as-Sasaky ( Jakarta Selatan :
KHATULITIWA Press, ), hal 38-39.
sanggup menahan panasnya api neraka, pukulan pentungan berduri dari

malaikat Zabaniyah, gigilan ular yang besarnya seperti leher onta dan

kalajengking sebesar keledai yang diciptakan dari api di neraka Jahannam.

Semoga Allah melindungi kita dari kesemuanya itu dan semoga Allah

melindungi kita dari murka dan azab-Nya.2

Syarat-syarat ini apabila meyangkut dosa terhadap Allah subhanahu wa

ta’ala. Sedangkan dosa terhadap sesama manusia ditambah lagi dengan syarat

keempat. Kalau dosa itu menyangkut harta, hendaklah harta itu di kembalikan

kepada pemiliknya dan jika tidak ada pemiliknya, di kembalikan kepada ahli

warisnya. Kalau dosa itu menyangkut kehormatan, maka hendaklah meminta

maaf. Demikian juga jika menyangkut ajaran yang salah yang pernah

diberikan orang lain.

Hakikat taubat adalah menyesal dari perbuatan dosa yang telah dilakukan,

berhenti total dari perbuatan yang serupa, serta bertekad tidak mengulangi lagi

dimasa yang akan datang.

Terkait rasa sesal atas dosa yang dosa yang dilakukan, maka sesal

merupakan realisasi dari suatu perbuatan. Sebab, jika seseorang tidak menyesal

atas perbuatan buruk, artinya ia ridha dengan perbuatan buruk, disamping juga

menunjukan bahwa ia selalu melakukan nya. Dalam almusnad, dicantumkan :

penyesalan adalah taubat.

Adapun berhenti total dari perbuatan serupa, merupakan konsekuensi logis

dari suatu perbuatan. Adalah hal yang mustahil jika suatu pertaubatan sedang

berlangsung sementara ia terus melakukan dosa serupa.


2
Ibid hal 39
Adapun kata al-I’tidzar, sebenarnya menimbulkan kerancuan dalam

penggunaanya jika dituangkan dalam bertaubat ini. Hal ini didasarkan pada

perkataan orang banyak “Kesempurnaan dari suatu pertaubatan adalah

meninggalkan al-I’tidzar (berdalih/ membuat alasan ). Karena, makna al-I’tidzar

sendiri adalah mengetengahkan hujah (membela diri/ mencari alasan ) ketika

melakukan suatu pelanggaran. Sementara itu, makna meninggalkan al-I’tidzar

artinya tidak mencari alasan dari suatu pelanggaran yang dilakukan, atau dengan

kata lain seseorang mengakui pelanggaran yang dilakukannya, sedangkan tobat

tidaklah sah melainkan setelah mengakui dosa.

Adapun syarat-syarat taubat, yaitu:

1. Harus meninggalkan maksiat yang telah dilakukan.

2. Menyesali perbuatan dosa/maksiat yang telah dilakukan.

3. Bertekad tidak melakukannya kembali perbuatan itu selama-lamanya.

Jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka taubatnya tidak sah.

Jika manusia melakukan maksiat kepada sesama manusia, maka syaratnya

ada empat, yaitu tiga syarat yang telah disebutkan di atas, dan di tambah

membersihkan atau membebaskaan diri dari hak tersebut, dengan cara:

a) Apabila berupa harta benda, maka harus mengembalikan

b) Apabila berupa menuduh zina dan semisalnya, maka harus menyerahkan

diri kepada orang yang punya hak atau meminta maaaf kepadanya. Ahli

haq, mengatakan bahwa seseorang yang bertaubat hanya sebagaian

dosanya adalah sah, tetapi disa yang lain masih tetap.


Adapun dosa yang wajib dimohonkan ampunannya kepada Allah dan

bertobat darinya menurut Imam al-Ghazali terdiri dari tiga macam, yaitu:

1. Meninggalkan segala yang diwajibkan oleh Allah terhadap dirimu,

seperti salat, puasa, zakat atau membayar kafarat (tebusan, denda) dan

lainya. Maka hendaknya engkau membayar (meng-qhada’) apa yang

engkau tinggalkan itu sebisa mungkin, sesuai kemampuanmu.

2. Dosa antara engkau dan Allah, seperti dosa meminum minuman keras,

meniup seruling-seruling (terlena dalam belaian syahwat ), memkan

riba dan yang semacamnya. Untuk dosa seperti ini, hendaknya engkau

menyesali perbuatanmu itu dan menetapkan hatimu untuk tidak

mengulangi lagi perbautan yang sama selama-lamanya.

Dosa antara engkau dengan sesama hamba Allah. Ini lebih rumit dan lebih

sulit. Ada beberapa tingkatan dosa ini. Terkadang terjadi pada harta, pada jiwa,

harga diri, kehormatan, dan agama

C. Tingkatan Tobat

Tingkatan orang yang bertaubat menurut Imam Al-Ghazali yaitu

1. Orang yang bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya atau disebut

dengan taubat nasuha yaitu semua perbuatan dosa yang telah dilakukan

sebelumnya sudah tidak pernah dilakukan lagi selama hidupnya, atau berhenti

secara nyata melakukan perbuatan dosa tersebut. Kecuali kesalahan-kesalahan

kecil yang tidak sengaja dilakukan. Perbuatan dosa-dosa kecil yang tidak

disengaja tersebut sudah wajar, karena sesungguhnya manusia tak luput dari

kesalahan. Taubat tingkat pertama ini disebut dengan taubat nasuha. Orang


yang semacam ini mempunyai jiwa yang tenang sehingga disebut dengan

nafsul mutmainnah.

2. Orang yang betaubat dan meninggalkan semua dosa-dosa besar seperti minum

khamr, zina, fitnah, syirik dll dan tidak mengulanginya lagi, akan tetapi

terkadang masih juga melakukan perbuatan dosa. Untuk menghindari

perbuatan dosa tersebut ia selalu mawas diri dan berjaga-jaga agar tidak

berbuat dosa lagi. Jiwa yang selalu memperingatkan dirinya dinamakan nafsu

lawwamah. Alah swt berfirman dalam Qur'an Surat An-Najm surat yang ke 53

ayat 32 yang artinya :

53:32. (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang

selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas

ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia

menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu;

maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui

tentang orang yang bertakwa.

3. Orang yang bertaubat disertai dengan niat untuk tidak mengulagi perbuatan

dosa tersebut. Akan tetapi, dia tidak berdaya atau tidak dapat melawan hawa

nafsunya yang lebih besar untuk berbuat dosa. Sehingga ia berbuat dosa lagi.

Setiap kali ia berbuat dosa, maka ia akan langsung bertaubat, tapi suatu saat
karena ia tidak bisa menahan hawa nafsunya maka ia akan berbuat dosa lagi.

Orang yang seperti ini memiliki jiwa yang disebut dengan nafsu

musawalah. Allah swt berfirman dalam Q.S. At-Tauba ayat 102:

َّ‫سى هّٰللا ُ اَنْ يَّت ُْو َب َعلَ ْي ِه ۗ ْم اِن‬


َ ‫سيِّئ ًۗا َع‬
َ ‫صالِ ًحا َّو ٰا َخ َر‬
َ ‫َو ٰا َخ ُر ْونَ ا ْعت ََرفُ ْوا بِ ُذنُ ْوبِ ِه ْم َخلَطُ ْوا َع َماًل‬

‫هّٰللا َ َغفُ ْو ٌر َّر ِح ْي ٌم‬

Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka

mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.

Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha

Pengampun, Maha Penyayang.

4. Orang yang bertabuat, tetapi kemudian ia melakukan perbuatan dosa dan tidak

ada rasa bersalah atau penyesalan dalam hatinya. Orang yang semacam ini

mempunyai jiwa yang dikuasai oleh nafsu yang jahat, sehingga disebut

dengan nafsu amarah.

D. Keutamaan Taubat

Taubat mendapat perhatian yang sangat besar dalam Al-Quran, sebagaimana

yang tertuang di berbagai ayat dari surat Makkiyah maupun Madaniyah. Diantara

yang palin jelas adalah dalam surat At-Tahrim ayat 8:

‫سيِّ ٰاتِ ُك ْم َويُ ْد ِخلَ ُك ْم‬ ٰ ‫ص ْو ًح ۗا ع‬ ‫هّٰللا‬


َ ‫َسى َربُّ ُك ْم اَنْ يُّ َكفِّ َر َع ْن ُك ْم‬ ُ َّ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ت ُْوبُ ْٓوا اِلَى ِ ت َْوبَةً ن‬
‫هّٰللا‬
ْ َ‫ي ِمنْ ت َْحتِ َها ااْل َ ْن ٰه ۙ ُر يَ ْو َم اَل يُ ْخ ِزى ُ النَّبِ َّي َوالَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َم َع ٗۚه نُ ْو ُر ُه ْم ي‬
َ‫س ٰعى بَيْن‬ ٍ ّ‫َج ٰن‬
ْ ‫ت ت َْج ِر‬

ْ ‫اَ ْي ِد ْي ِه ْم َوبِا َ ْي َمانِ ِه ْم يَقُ ْولُ ْونَ َربَّنَٓا اَ ْت ِم ْم لَنَا نُ ْو َرنَا َوا ْغفِ ْر لَنَ ۚا اِنَّكَ ع َٰلى ُك ِّل ش‬
‫َي ٍء قَ ِد ْي ٌر‬

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan


nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan
nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan:
"Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami;
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Ayat diatas sekaligus merupakan seruan Ilahy terakhir dalam Al-Quran

yang ditujukan kepada orang-orang mukmin. Dia memrintahkan agar mereka

bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, tulus dan benar.

Dasar hukum perintah dari Allah yang termuat dalam Al-Quran menunjukkna

kepada wajib, selagi tidak ada hal lain yang mengalihkannya dari dasar ini.

Sementara dalam masalah ini tidak yang mengalihkannya. Yang demikian ini

diharapkan agar mereka mengharapkan dua tujuan yang fundamental, yang setiap

orang mukmin berusaha meraihnya, yaitu: pertama, penghapusan kesalahan-

kesalahan dan kedua, masuk ke surga.

Al-Ghazaly menjelaskan, bahwa taubat itu mendatangkan dua buah:

a) Pengahapusan kesalahan, sehingga pelakunya menjadi seperti orang yang

tidak mempunyai dosa.

b) Memperoleh derajat yang menjadikannya kekasih Allah.3

Ada beberapa tingakatan pengahapusan, ada yang menghapus akar dosa

secar keseluruhan dan ada yang hanya meringankan saja. Semua tergantung dari

bobot taubat. Istigfar harus dilakukan dengan sepenuh hati dan melakukan

berbagai macam kebaikan, sekalipun mungkin belum bisa lepas sama sekali dari

kesalahan. Yang demikian ini tetap kan memberikan manfaat, dan jangan

3
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj,Toha Putra,
(Semarang), juz IV
mempunyai anggapan bahwa keberadaan taubat semacam ini sama dengan tidak

ada taubat. Orang yang memeliki hati tentu tahu bahwa firman Allah, “ Barang

siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zahrah pun, niscaya dia akan melihat

(balasannya),” adalah benar. Walaupun hanya seberat biji zahrah pun, tentu ia

akan membawa pengaruh.sebagaimana sehelai rambut yang berpengaruh terhadap

timabangan. Taruhlah bahwa sehelai rambut belum berpengaruh apa-apa, tapi

helai rambut kedua tentu akan berpengaruh, jangan katakan bahwa timbangan

tidak bisa menjadi berat karena dibebani sekian banyak zahrah. Timbangan

kebaikan bisa menjadi berat karena dzahrah-dzahrah kebaikan, sehingga membuat

timbangan keburukan menjadi lebih ringan. Janganlah meremehkan dzahrah-

dzahrah ketaatan, lalu tidak mau mengerjakannya, sementara dzahrah-dzahrah

kedurhakaan tidak dijauhi, seperti wanita bodoh yang tidak mau menenun, karena

dia hanya bisa membuat satu helai benang. Dia berkata, “Apa yang bisa diperbuat

dengan sehelai benang? Mana mungkin ia dijadikan selembar kain?” Dia tidak

sadar bahwa selembar kain itu terbuat dari sehelai benang bahwa fisik alam yang

luas membentang ini terhimpun dari dzahrah-dzahrah.

Bahkan dapat dikatakan, bahwa Istigfar hanya dilisan merupakan

kebaikan, sebab gerakan lisan dengan Istigfar lebih baik dengan gerkan lisan

untuk ghibah atau omong kosong. Bahkan gerakan lisan itu lebih baik daripada

diam, sehingga dengan begitu terlihat kelebihannya daripada diam tidak untuk

istigfar. Memang bisa dikatan kekurangan jika dibandingkan dengan amal hati.

Diantara buah yang nyata dari taubat ialah efektifitasnya untuk

memeperbarui iman orang yang bertaubat dan memperbaikinya setelah dia


mengerjakan kesalahan dosa dan kedurhakaan-kedurhakaan yang dilakukan orang

muslim menodai imannya dan menciptakan luka besar maupun kecil, tergantung

dari besar kecilnya, banyak dan sedikitnya dosa yang dilakukann serta seberapa

jauh pengaruh yang diakibatkannya terhadap jiwa. Kedurhakaan yang selalu

diingat-ingat pelakunya dan yang manisnya masih menyisakan kenangan di dalam

hatinya dan bahkan dia berandai-andai untuk dapat menikmatinya lagi, berbeda

dengan kedurhakaan yang disesali palakunya dan menggugah rasa duka saat

mengingatnya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara garis besar pengertian tobat adalah proses menyadari kesalahan

yang telah di perbuat dan berupaya sekuat hati untuk tidak melakukannya kembali

atau permohonan ampun kepada Allah SWT atas kesalahan dam (kehilafan) dan

atas perbuatan dosa yang telah dilakukannya.

Adapun syarat-syarat taubat menurut imam Ghazali ada empat yaitu :

1. Berusaha untuk tidak melakukan dosa lagi

2. Ia bertobat dari dosa yang pernah ia lakukan sebelumnya

3. Dosa yang yang disesali oleh seorang hamba sekarang adalah memiliki

kedudukan dan derajat yang sama dengan dosa yang pernah ia

kerjakan dimasa lalu dan ingin ia tinggalkan

4. Bahwa tobat itu dilakukan semata-mata untuk mengagungkan Allah

azza wajalla dan menghindari kemurkaan serta siksaan-Nya yang

pedih.

Tingkatan orang bertobat secara garis besarnya

1. Orang yang bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya

2. Orang yang betaubat dan meninggalkan semua dosa-dosa besar

3. Orang yang bertaubat disertai dengan niat untuk tidak mengulagi

perbuatan dosa tersebut

4. Orang yang bertabuat, tetapi kemudian ia melakukan perbuatan dosa

dan tidak ada rasa bersalah atau penyesalan dalam hatinya

B. SARAN
Semoga Makalah ini dapat menambah sedikit ilmu kita tentang
apa-apa saja Hukum Syara’. Dan semoga kita dapat mengambil
mamfaatnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Imam Ghazali, Minhajul Abidin terj Abu Hamas as-Sasaky ( Jakarta Selatan :

KHATULITIWA Press, )

2. Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj,Toha

Putra, (Semarang), juz IV

Anda mungkin juga menyukai