Anda di halaman 1dari 13

Sebuah Pengakaran Sangkan Paraning Dumadi

Oleh:
Sri Begawan Mulyadi Witjaksono
Malang, 07 Januari 2011

Masyarakat Jawa merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang


kaya akan khasanah unen-unen hidup. Masyarakat Jawa mempunyai
nilai-nilai luhur yang akan menjadi dasar sikap hidup dalam
bermasyarakat. Nilai terbentuk melalui proses yang lama, melalui
berbagai pengalaman personal, sosial dan kultural dan telah
terinternalisasi dalam kepribadian akan dipegang kuat oleh individu
sebagai sesuatu yang baik, bermakna atau penting dalam
mempengaruhi pikiran, sikap ataupun perilakunya. Objek-objek nilai-
nilai inilah kemudian yang melahirkan adanya filsafat bagi orang Jawa.
Filsafat Jawa memiliki cakupan dan uraian atas berbagai objek seperti:
sangkan paraning dumadi, kasunyatan (ontologi); ngelmu
(epistimologi), laku, lakon (aksiologi). Objek ini merupakan suatu
sistem nilai yang melandasi pemikiran, sikap dan tindakan manusia
Jawa dalam menghadapi hidup.
Sangkan Paraning Dumadi
Sangkan paraning dumadi mengurai asal/sumber kehidupan manusia
dan alam semesta serta bagaimana dan kemana kehidupan manusia dan
alam semesta berakhir. Sangkan paraning dumadi terbingkai dalam tiga
alam: alam purwa (permulaan), alam madyo (yang sedang terjadi) dan
alam wusono (alam penghabisan). Alam purwa atau kawitan
menjabarkan asal mula kejadian semesta. Sebelum tercipta atau adanya
sesuatu, alam ini “suwung-wang-wung” kemudian Tuhan menitahkan
makhluknya berupa alam (tanah). Dari tanah kemudian diciptakan
tetumbuhan, disusul binatang baru kemudian manusia. Meskipun
manusia diciptakan pada siklus terakhir, namun jauh sebelum alam-
alam lain tercipta, Tuhan telah menciptakan Nur Muhammad atau

12
atman dalam konsep Hindhu sebagai hakekat manusia yang memiliki
hubungan primordial dengan Tuhan.
Dengan konsep Nur Muhammad (Cahaya yang Terpuji) dalam konsep
filsafat Jawa, manusia difahami sebagai berasal dari Tuhan yang
dititahkan sebagai utusan. Jadi hidupnya manusia di alam dunia ini
adalah “tugas” dari Tuhan. Dan karena berasal dari Tuhan kemudian
diutus oleh Tuhan maka pada akhirnya nanti manusia akan kembali
kepada Tuhan. Pemahaman hidup sebagai tugas yang harus dijalani
melahirkan pemahaman untuk menjalani hidup ini apa adanya (sak
dermo nglakoni). Kualitas hidup seperti kaya-miskin, bahagia-sengsara,
hina-terhormat merupakan atribut yang tak terelakkan dan tidak
bersifat pilihan bagi manusia. Dari pemahaman ini maka pola hidup
orang Jawa berkecenderungan deterministik.
Kasunyatan
Kasunyatan atau nyata-ada dipilahkan menjadi dua: jagat cilik
(manusia) dan jagad gede (semesta). Jagat cilik atau diri manusia
dengan jagat gede atau semesta memiliki keserasian dan keterpaduan.
Namun dalam keserasian hubungan ini mikrokosmos justru menjadi
sentral dari makrokosmos. Semesta ada adalah untuk memfasilitasi
manusia dalam menjalankan tugas hidup di dunia. Harmoni
makrokosmos bergantung dari harmonitas mikrokosmos, meskipun
pada kadar tertentu situasi dan kondisi makrokosmos juga berpengaruh
terhadap harmonitas internal mikrokosmos.
Dalam kaitannya dengan sangkan paraning dumadi makrokosmos juga
berasal dari kehendak Tuhan dan pada akhirnya nanti akan kembali
kepada-Nya. Namun dalam proses kembalinya mikrokosmos
mendahului makrokosmos. Manusia ketika mati untuk kembali ke
asalnya disebut ”ninggal-ndonyo”, yakni dunia (makrokosmos)
ditinggalkan oleh manusia (mikrokosmos). Antara sangkan dengan
paran prosesnya pararel berbalik.
Sangkan: Tuhan > alam (tanah) – tetumbuhan (flora) – hayawan
(fauna) – manusia. Paran: manusia – hayawan – tetumbuhan – alam
(tanah) > Tuhan.

13
Ngelmu

Ngelmu merupakan kata serapan dari bahasa Arab ‘ilmu. Dalam


kesusasteraan Jawa, kosa kata yang merujuk pada pengertian tersebut
adalah kaweruh, weruh yang berarti tahu atau mengerti. Namun kata
ngelmu lebih banyak digunakan dibandingkan dengan kata kaweruh.
Konsep filsafat Jawa tentang ngelmu diungkapkan dalam dua kalimat:
“ngelmu angele yen durung ketemu” dan “ngelmu angele yen wis
ketemu”.
Konsep pertama, “ngelmu angele yen durung ketemu” memberikan
gambaran pencarian ilmu pengetahuan itu tidak mudah. Diperlukan
usaha sungguh-sungguh (temen) dan berkelanjutan untuk memperoleh
suatu pengetahuan dengan melakukan (laku) tindakan-tindakan
tertentu. Pada jenis ngelmu tertentu seperti kesaktian atau kewaskitaan
bahkan harus dilakukan dengan ritual tertentu seperti berpuasa,
berpantang garam, berpantang daging atau berpantang seksual (topo
broto) dalam jangka waktu tertentu. Lelaku ini diperlukan untuk
memperoleh ngelmu dan kualitas ngelmu yang diperoleh sebanding
dengan lelaku yang dijalani. Kesaktian atau kewastikaan tingkat tinggi
memerlukan lelaku yang sangat berat.
Konsep kedua, “ngelmu angele yen wis ketemu” menjelaskan sulitnya
mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Ngelmu yang diperoleh
seseorang memiliki konsekwensi dan tanggung jawab orang yang
memilikinya. Tingkah laku seseorang harus mencerminkan ilmu yang
dimiliki. Semakin banyak dan semakin tinggi ilmu yang dimiliki, tingkah
lakunya semakin berat dalam mempertanggungjawabkannya. Baik
pertanggungjawaban kepada Tuhan sebagai sumber dan pemberi
semua jenis ilmu, dan kepada masyarakat maupun kepada dirinya
sendiri.
Di antara sekian banyak ngelmu (pengetahuan atau keterampilan
tentang suatu hal) yang paling tinggi tingkatannya ialah “Ngelmu
Kasampurnan” yaitu pengetahuan tentang kesempurnaan hidup.
Disebut pula “ngelmu sangkan paraning dumadi”. Ngelmu ini

14
berorientasi pada hakekat hidup dan kehidupan diri manusia waktu di
dunia maupun di alam sesudahnya. Orang yang telah memiliki ilmu ini
dianggap telah memahami kesempurnaan penciptaan yang berarti pula
telah benar-benar memahami kehendak penciptaan dan penciptanya.
Laku atau lakon
Manusia diciptakan dibekali dengan perangkat hidup baik yang
terdapat dalam diri manusia (hati, pikiran, perasaan, anggota badan)
maupun perangkat yang ada di luar diri manusia (alam semesta).
Manusia hidup itu dihidupkan Tuhan dan pada waktunya akan
dimatikan-Nya pula. Pada pemahaman ini manusia dipandang sekedar
menjalani hidup menurtt alur “skenario” Tuhan. Konsep usaha atau
ikhtiar tetap dipegangi namun setinggi dan sekuat ikhtiar manusia tidak
akan merubah takdir Tuhan sehingga pada setiap kualitas hidup
manusia (kaya-miskin, bahagia-sengsara, bejo-ciloko, dll.) dalam
pandangan hidup orang Jawa, manusia itu “sak dermo nglakoni”.
Konsep ini mengembalikan segala kuasa atas semua kejadian kepada
Tuhan.

Kehalusan, Ketenangan Sikap, dan Kebersamaan sebagai


Sikap Hidup Masyarakat Jawa

Filsafat Jawa lahir sebagai bagian dari kebudayaan Jawa yang


merupakan salah satu kebudayaan di Asia yang paling kuno dan identik
akan tradisi, perilaku dan peralatan kuno. Kekayaan budaya Jawa cukup
nyata dari sejarah kebudayaan Jawa yang berjalan terus-menerus
selama lebih dari seribu tahun di daerah-daerah tertentu di pulau Jawa.
Walaupun begitu, kebudayaan Jawa itu berasal dari beraneka ragam
tradisi, kepercayaan dan cara hidup orang-orang dan bagi orang Jawa
yang tinggal di pulau Jawa, ‘kebudayaan’ adalah sesuatu yang dianut
sesuai dengan kondisi dan situasi lokal, sejarah dan pengaruh-pengaruh
luar. Jadi, walaupun kebanyakan orang Jawa akan mengidentifikasi
dirinya sendiri dengan ‘kebudayaan Jawa’, aspek-aspek dari cara hidup
mereka akan bervariasi menurut dimana mereka tinggal.

15
Pengertian di atas memberikan pemahaman bahwa “Wong Jowo” akan
mengidentifikasi dirinya dengan ‘kebudayaan Jawa’, sikap dan perilaku
hidup akan bervariasi menurut dimana mereka tinggal. Namun begitu,
secara umum “Wong Jowo” akan mengedepankan sikap-sikap berikut
ini.

Halus

Masyarakat Jawa cenderung untuk menghindarkan diri atau cenderung


untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan
bersamaan dengan itu mereka juga cenderung selalu mudah
tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus)
dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan
civilized.
Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa
sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola “tindak-tanduk
yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan
pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung
orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar,
coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai
semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai
konsepsi tentang “diri” yang dualistis.
Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, dikenal dua konsep yang
bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Pertama, berkonotasi dari
perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri
karena merasa berbuat salah. Kedua, “segan”, mirip dengan yang
pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan) ini
merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan”
atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik.
Tema-tema kultural seperti tersebut di atas, memberikan pemahaman
bahwa “Mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus
terang”. Ini terjadi karena ia ingin selalu menyeimbangkan penampilan
lahiriah dengan suasana batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap

16
tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan (keterusterangan)
sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. Untuk itu
seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki sensitivitas tertentu
karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil
yang jauh dari yang dimaksudkan.
Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap

Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini
merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan
pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai
dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan
kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi
yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu
mulai melakukan manuver.
Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa
tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu
membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat
jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola
kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko
tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada
ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan
penuh emosi.
Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang
yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang
memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang
yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of
action. Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu
sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain.
Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu kecendrungan pada orang
Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi
dan menghargai status daripada fungsi seseorang.
Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik
dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta

17
merupakan sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber
status sepanjang kekuasaan itu dirasakan juga oleh orang lain. Bila
orang lain bisa menikmati kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan
akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada di sekelilingnya.
Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang lain,
misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis
membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-
bagikan, tidak dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat
destruktif, sebab dilandasi pamrih.
Kebersamaan

Kebersamaan secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam


aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non
materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi
yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung
jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka
dalam kerangka ini, orang lain akan cenderung berusaha menikmati hak
tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cenderung
membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang
memiliki kewajiban-tanggung jawab, maka orang tersebut cenderung
ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Dengan demikian, takkala
suatu pihak dituntut untuk mempertanggungjawabkan kewajibannya,
maka secara tidak begitu sadar ia seringkali bersikap agar pihak lain
juga bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh
anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban tanggung
jawab.
Implikasi selanjutnya ialah adanya kecenderungan bahwa takkala
diperingatkan (dikritik) agar bertanggung jawab, ia cenderung
mengabaikan peringatan (kritik) tersebut sebab orang lain atau anggota
masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai pertanggunjawaban,
padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh sifat
pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik “tidak ambil pusing”.
Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada

18
satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak
tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap “tidak ambil
pusing” (tebal muka) terhadap kritik yang langsung sekalipun serta
bersikap “menolak” secara terus terang.
Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, dapat
disimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial
masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat
suatu kecenderungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat Jawa
terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan
yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai
kewibawaan dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-
kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih
dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan
dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat
yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak orang,
disebabkan oleh warisan kultural masyarakat yang bersifat sentralistik.

Lahirnya Unen-unen
“Ngono yo Ngono ning Ojo Ngono”
Salah satu falsafah Jawa yang dilahirkan dalam bentuk karya sastra yang
dipergunakan sebagai tuntunan perilaku manusia adalah tembang
macapat. Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa, setiap
bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra. Setiap gatra
mempunyai sejumlah guru wilangan (suku kata) tertentu dan berakhir
pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu. Macapat diartikan
sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu cara
membaca yang terjalin tiap empat suku kata. Tembang-tembang yang
termasuk kategori Tembang Macapat ada 11 (sebelas), jika diurutkan
akan menggambarkan perjalanan hidup seorang manusia, yaitu:
Mijil, Maskumambang, Kinanthi, Sinom, Dhandhanggula, Asmarandhana,
Durma, Gambuh, Pangkur, Megatruh, dan Pucung.
Nama-nama Tembang Macapat berkaitan dengan wawasan hidup yakni
tentang tuntunan. Hal ini dapat ditelusuri dari arti kata tembang yaitu

19
seperti halnya karangan bunga. Di antara karakteristik bunga adalah
berbau harum. Oleh sebab itu para wali tanah Jawa menyarankan agar
tuntunan Islam dilakukan seperti menaburkan bunga yang harum, yang
menyenangkan, menggembirakan dan enak didengar. Sebaiknya
dihindarkan tuntunan secara polos, kasar, dan disertai caci-maki, dan
menyindir-nyindir sampai melukai hati.
Salah satu Tembang Macapat yang diharapkan memiliki substansi
makna tuntunan perilaku bagi manusia untuk menghidupi kehidupan,
diilustrasikan ke dalam rangkaian gatra tembang Dhandanggula berikut
ini.
Lumakua ing sak jroning urip
Marsudia laku kang utama
Aja sak karepe dhewe
Ing jaman kang wis sepuh
Aja melik kang ngendhong lali
Purwa madya wasana
Meper hawa nafsu
Den eling myang Gustinira
Ngono yo ngono ning ojo ngono kuwi
Mrih rahayuning gesang

------------------------------------- KOLEKSI PRIBADI ------------------------------------


Digubah oleh: Sri Begawan Mulyadi Witjaksono
dalam satu renungan panjang tak bertepi dan kesepian
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tembang Dhandanggula ini menggambarkan nasihat seorang tua
(pinisepuh) kepada mereka sebagai tuntunan perilaku yang ingin
mendapatkan keselamatan hidup.

Lumakua ing sak jroning urip


Marsudia laku kang utama
Aja sak karepe dhewe
Ketiga gatra (kalimat) di atas memberikan pemaknaan bahwa dalam
menjalani kehidupan ini setiap manusia, apapun profesi dan jabatannya
hendaknya selalu bersikap dan berperilaku yang baik serta mengikuti

20
aturan-ajaran hidup secara benar. Tidak diperbolehkan dalam hidup ini
seseorang bertindak atas kemauannya sendiri, memaksakan kehendak
demi kemenangannya sendiri tanpa mempedulikan pihak lain.

Ing jaman kang wis sepuh


Aja melik kang ngendhong lali
Purwa madya wasana
Meper hawa nafsu
Gatra di atas menyiratkan maksud bahwa dalam kondisi jaman dengan
tingkat persaingan dan godaan yang semakin tinggi sering menjadikan
seseorang lupa diri, menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuannya. Oleh karena itu hendaknya sebelum bertindak hendaknya
segala sesuatu direncanakan dengan matang, dipertimbangkan aspek-
aspek baik-buruk dan untung-rugi tidak saja bagi diri sendiri namun
juga bagi lingkungannya. Demikian juga dalam pelaksanaannya mawas
diri harus selalu menjadi pegangan bertindak dan selalu berupaya
untuk menahan nafsu sehingga akan setiap tindakan akan menghasilkan
hasil akhir yang baik bagi semuanya.

Den eling myang Gustinira


Gatra ini menyiratkan pemahaman bahwa tujuan hakiki dari hidup ini
adalah mendapatkan keselarasan hubungan antara manusia dan Tuhan
(Jumbuhing Kawula Gusti) berupa pendekatan kepada Yang Maha
Kuasa secara total sekaligus tercapainya harmonisasi dalam hubungan
sesama manusia. Hal ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya
kepada Tuhan, manusia harus mempunyai moral yang baik dan jujur,
dan menjalani hidup dengan kesadaran dan ketetapan hati. Manusia
diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang
melalui rasa hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus
baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati
suci jumbuhing Kawulo Gusti – hati suci itu adalah hubungan yang serasi
antara Kawulo dan Gusti.

Ngono yo ngono ning ojo ngono kuwi


Mrih rahayuning gesang

21
Gatra ini menegaskan bahwa untuk menuju rahayuning gesang
(keselamatan hidup) tindakan yang diambil hendaknya sewajarnya
saja. Ngono ya ngono (begitu ya begitu), ning aja ngono (tetapi, jangan
begitu) merupakan sebuah peringatan agar orang tidak berbuat
berlebihan, sehingga menimbulkan permasalahan baru yang tidak
diduga, serta mengganggu orang lain. Jadi, jangan suka berbuat semau
sendiri. Segala tindak perbuatan harus dipertimbangkan masak-masak.
Sebab, jika berlebihan, maka seseorang akan menanggung akibat yang
kurang baik.
Tembang Dhandanggula di atas menyiratkan pemahaman bahwa dalam
menjalani kehidupan ini setiap manusia seharusnya mencari jalan yang
terbaik dan tidak sekehendaknya sendiri. Dalam setiap perilakunya baik
permulaan, proses maupun tujuan akhir manusia tidak boleh memiliki
keinginan/kemauan sehingga lupa diri, berusaha menahan nafsu dan
selalu mengingat Tuhan. Apabila memiliki kesempatan untuk
melakukan tindakan yang salah hendaknya melakukan pertimbangan
secara matang dan tetap selalu mawas diri serta mengingat Tuhan agar
mendapatkan keselamatan dalam hidup.
Makna Tembang Dhandanggulo di atas menggambarkan wawasan
hidup epistemologi, yaitu bagaimana manusia mencari pengetahuan
tentang Tuhan. Proses ini yang dikenal dengan pendekatan diri kepada
Tuhan agar manusia menjadi sempurna. Hal demikian memang dapat
dipahami, karena pada awalnya wali sanga dalam menanamkan ajaran
justru dapat manjing ajur-ajer dengan masyarakatnya. Mereka
berusaha mendalami Tembang Macapat (seni). Kenyataan ini
merupakan gambaran pula bahwa Tembang Macapat berkaitan pula
dengan filsafat nilai, khususnya wawasan estetika.
Unen-unen “Ngono yo Ngono ning Ojo Ngono” mengarahkan hidup
orang Jawa agar bisa menyesuaikan diri. Orang Jawa dalam bergaul
harus berprinsip empan papan. Orang Jawa (yang njawani: giek)
hendaknya paham terhadap ajaran filosofi:

22
Sing bisa angon mangsa
Hendaknya dalam pergaulan bisa menempatkan ruang dan waktu.
Jangan asal nyeplos (sembarangan) dan bertidak sak karepe dhewe;
Séjé kulit séjé anggit
Setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda
Séjé uwong séjé omong
Setiap orang berbeda apa yang dikatakan, yang dipikirkan
Unen-unen hidup menghargai dan mengerti terhadap orang lain, adalah
sikap hidup yang bijaksana. Orang lain memiliki kejiwaan yang patut
dipertimbangkan, sehingga dalam bergaul bisa karyénak tyasing
sesama (mengenakkan hati sesama).
Unen-unen “Ngono yo Ngono, ning Ojo Ngono” juga merupakan “unen-
unen” yang mengandung filosofi dimana dalam menjalin hubungan
dengan sesama manusia diharapkan untuk saling mengerti dan
memahami satu sama lain, bersikap saling menghargai, dan saling
menjaga agar tidak bersikap semena-mena. Dalam hal ini kandungan
filosofi tersebut dapat dijabarkan dalam pedoman hidup “Wong Jowo”.
Urip Iku Urup
Hidup itu Nyala, hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain
di sekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu
akan lebih baik.
Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan,
kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara
murka, serakah dan tamak.
Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan
dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.
Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji,
Sugih Tanpa Bandha
Berjuang tanpa perlu membawa massa. Menang tanpa merendahkan
atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan,
kekuatan, kekayaan atau keturunan. Kaya tanpa didasari kebendaan.

23
Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri. Jangan
sedih manakala kehilangan sesuatu.
Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
Jangan mudah terheran-heran. Jangan mudah menyesal. Jangan mudah
terkejut-kejut. Jangan mudah ngambeg, jangan manja.
Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk
memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah. Jangan suka
berbuat curang agar tidak celaka.
Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan
berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.
Aja Adigang, Adigung, Adiguna
Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

Keberadaan unen-unen “Ngono yo ngono ning ojo ngono” apabila


dilakukan pemaknaan lebih mendalam dengan menyatukan kepekaan
“RASA” (walau kadang cenderung cengeng dengan “suka atau tidak
suka”) dan kinerja “OTAK” (yang cenderung objektif dan realistis) serta
ditopang kemurnian “HATI” (yang akan selalu jujur mengakui benar-
salah), maka hal ini terasa cukup untuk menjadi bekal diri dalam
“Menghidupi Kehidupan” dalam konteks “Hablum Minallah” dan
“Hablum Minannas”.

Karena konon, Gajah pun Berupaya Mewariskan Gading yang Tak Retak !!!

24

Anda mungkin juga menyukai