MEMAHAMI HAKIKAT PRIBADI (I) Menjadi manusia yang sesungguhnya ternyata bukan semata-mata menjadi makhluk yang wujudnya dikenal sebagai manusia. Wujud manusia ternyata diperleng- kapi dengan alat-alat ragawi yang dapat digunakan untuk berzikir, berfikir, dan bertafakur. Dengan mengaktualisasikan zikir, pikir dan tafakur, manusia mewujudkan hak hidupnya, kemandirian hidup dan kodratnya.
Bila untuk menjadi manusia yang sesungguhnya ia
menegaskan perbedaannya dengan makhluk lainnya, maka dengan memahami hakikat pribadinya manusia berusaha menyingkap siapa sebenarnya dirinya itu. Jadi, yang diperhatikan adalah struktur diri. Fokusnya adalah substansi yang ada pada diri manusia. Yang kita pelajari adalah “apanya” dan “siapanya” manusia. 2 Pribadi manusia bersifat abstrak. Tidak terjangkau oleh indra manusia. Oleh karena abstraknya itu, kita pun akan menemukan kesulitan dalam memahami atau mengenal diri kita sendiri. Ada sebuah Hadis atau ungkapan bijak: “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”, barangsiapa mengenal dirinya, pasti ia akan mengenal Tuhannya. Bahkan ungkapan ini sudah ada di masa kejayaan akademi Yunani. Ungkapan tersebut berbunyi: “Gnothi se auton!” “Kenalilah dirimu sendiri. Perintah ini ditulis pada kuil dewa-dewi Yunani di Delphi yang menjadi dasar filsafat Sokrates.
Mengenal diri diperlukan untuk mencapai pengetahuan
dan tingkah laku yang lebih baik. SSJ sangat menekan- kan pengetahuan tentang diri ini; sehingga bagi yang salah tangkap, ajaran ini dianggap ajaran atheisme. 3 Pribadi bersifat amat abstrak. Alquran tidak memuat istilah “pribadi” –tentu dalam bahasa Arabnya– meski kosa kata Arab untuk pribadi ada yaitu “syakhshy”. Pribadi merupakan wilayah batin manusia. Pribadi dapat berkembang pada masyarakat yang memiliki diferensiasi kehidupan atau memiliki pembagian kerja yang jelas untuk tegaknya suatu masyarakat.
Tampaknya masyarakat Arab pada waktu lahirnya
agama Islam belum memiliki wilayah privasi yang jelas. Sistem kesukuan masih sangat kental. Dalam sistem kesukuan hak milik perorangan minimal, dan yang kuat adalah hak milik kolektif. Oleh karena itu, wajar bila kosa kata “syakhshy” tidak ditemukan dalam Alquran. Pada masa awal turunnya agama-agama, wilayah priba- di belum dihargai dengan semestinya. 4 Kuatnya kekuasaan elite agama dan maraknya perbu- dakan menekan atau bahkan menghilangkan wilayah pribadi. Apakah pribadi itu? Kata “pribadi” berasal dari bahasa Kawi (bahasa hasil paduan kosa kata Jawa Kuno dan Sanskerta) yang ber-arti sendiri atau diri sendiri. Inilah wilayah hidup yang tidak boleh diganggu atau dihilangkan oleh pihak lain. Bila wilayah ini dihi- langkan, maka yang terjadi adalah sosok manusia yang isinya orang lain. Dengan kata lain, seseorang yang dihilangkan wilayah pribadinya, maka dia disebut “tidak memiliki kepribadian”.
Bila sebuah bangsa tidak memiliki kepribadian akan
terjadi dua kemungkinan: 1. Bangsa itu lenyap dari permukaan bumi, seperti Romawi, Viking, dan lain-lainnya. 5 2. Bangsa itu hanya menjadi pasar bagi bangsa/negara lain.
Kepribadian bersifat khas atau unik. Yang membe-
dakan satu orang dengan orang lain, satu komunitas dengan komunitas lainnya, dan satu negara dengan negara lainnya adalah kepribadian. Ini seperti sidik jari tangan. Tak ada dua orang di dunia ini yang memiliki sidik jari tangan yang sama. Kepribadian juga demi- kian! Sidik jari tangan sebagai tanda lahiriah, sedang- kan kepribadian ada di wilayah batiniah.
Pribadi bukan ego, sebab pribadi merupakan wujud
yang tidak menyandang pangkat, jabatan, posisi, gelar dan atribut lainnya. Pribadi benar-benar sebagai subs- tansi manusia yang tidak diperoleh dari luar dirinya. 6 Untuk memahami pribadi, kita harus menggunakan alat bantu, yaitu alam materi.
Bumi, rembulan, matahari, gunung, dan semua jenis
tumbuhan dan hewan, juga sosok lahiriah manusia adalah alam materi. Udara, air, api, bahkan atom atau molekul gas yang tidak terlihat pun merupakan materi. Pada prinsipnya, semua yang memiliki bentuk –ada ukuran– sekecil apapun adalah materi atau benda. Dan, benda yang terjangkau oleh indra disebut dalam Alquran sebagai alam syahadah. Inilah alam yang dapat disaksikan dan dapat pula diverifikasi kebenar- annya. Ada pula benda yang karena saking kecilnya, tidak terjangkau oleh indra seperti atom dan molekul, namun masih bisa diverifikasi kebenarannya. Di sinilah wilayah alam ghaib. 7 Baik benda yang berupa alam syahadah maupun ghaib, ternyata mengandung kodrat atau kuasa. Masing- masing jenis benda memiliki kodratnya sendiri. Dan, akhirnya kita tahu bahwa meskipun sama-sama benda cair; tetapi air, minyak tanah, dan minyak goreng memi-liki kodratnya sendiri-sendiri.
Kodratnya benda selain manusia dapat diidentifikasi
karena terikat oleh wujud lahiriahnya. Nah, manusia, selain memiliki kodrat fisik, juga ada kodrat batin. Yang kodrat batin yang menentukan kepribadiannya.
Kodrat atau sifat kuasa itu ada karena ada “kekuatan”
atau tenaga yang dalam pandangan saintifik disebut energi. Dan, ternyata aneka rupa wujud benda disebab- kan kandungan energi di dalamnya. 8 Adalah Albert Einstein (1879–1955) orang yang pertama kali memahami adanya hubungan antara materi dan energi. Hubungan ini dirumuskan E = mc2. Dengan bahasa mudahnya, materi adalah wujud sejumlah energi. Jumlah energi, yaitu energi yang men-jadi materi dan yang masih berupa energi senantiasa tetap, seperti air dalam bejana berhubungan. Bila dalam satu bejana tampak berisi banyak air, pasti pada bejana lainnya jumlah airnya berkurang.
Hasil kajian yang mendalam, ternyata menunjukkan
bahwa keberadaan segala hal berasal dari cahaya, yang dalam bahasa Arabnya disebut nûr. Dalam Alqur- an ada sebutan nûr ‘alâ nûr. Cahaya di atas cahaya. Dan, yang menjadi sumber nûr adalah Zat YME yang dalam Alquran disebut Allah. 9 Cahaya ternyata merupakan entitas yang tidak kita ketahui jumlahnya. Masing-masing entitas cahaya memiliki panjang gelombang tertentu, atau memiliki frekuensi getar tertentu. Cahaya yang tampak oleh mata manusia berada pada panjang gelombang ter- tentu, sedangkan yang panjang gelombangnya berada di atas atau di bawah cahaya tampak, justru tidak terlihat oleh mata manusia.
Cahaya Tuhan berlapis-lapis, yang dalam bahasa Hadis
disebutkan bahwa keberadaan Tuhan terselimuti oleh 70 ribu lapis cahaya. Satu lapis cahaya saja tersingkap akan terbakarlah alam semesta ini.
Dari sini kita tahu bahwa relasi manusia dengan Tuhan
harus melalui jalan tertentu sesuai dengan kodratnya. 10 Energi dan materi berasal dari cahaya. Dan, sumber segala cahaya adalah Pribadi atau Zat yang kita sebut Tuhan, atau Allah, atau berbagai nama lainnya. Energi dan materi tak akan tumbuh menjadi aneka rupa dan warna bila Tuhan tidak menempatkan kodrat di dalamnya. Kodrat pada benda disebut sifat asal, atau kita sebut ya seperti itulah sifatnya.
Jadi, secara fisik kodrat manusia pada mulanya sama,
artinya semua kelengkapan hidup yang diberikan Tuhan pada setiap orang yang dilahirkan sama. Inilah asal kodrat! Dalam perjalanannya manusia berinteraksi dan bersinggungan dengan makhluk lainnya, sehingga besarnya kodrat pada masing-masing orang berbeda- beda. Dengan kodrat yang ada, seolah-olah semua benda bisa bergerak dan tumbuh tanpa sentuhan-Nya. 11 Namun, kodrat ada takarannya. Setelah mencapai tahap kesempurnaan pertumbuhannya, makhluk akan mengalami penyusutan dan akhirnya mati. Benda hidup setelah mati akan mengalami peruraian dan kembali menjadi unsur-unsur penyusunnya. Nah, menurut SSJ kita sebagai manusia ini harus bisa kembali ke asal berdasarkan iradat kita, bukan oleh paksaan dari luar diri kita. Inilah upaya untuk mengem- balikan pada kodrat asalnya. Jadi, menurut SSJ, sebe- lum kita mati kita harus belajar dan akhirnya bisa melepaskan keinginan dan angan-angan kita. Oleh karena itu, kita harus menyadari jenis tenaga dan energi yang menumbuhkan kodrat kita.
Ada 3 jenis energi:
Pertama, energi yang diperoleh melalui makanan. 12 Dalam bahasa Tao, energi dari makanan disebut jing. Jawa menyebutnya daya, Arab hawl. Energi ini harus diperoleh dengan cara dan jenis yang halal, dan konsumsinya tidak berlebihan. Baca Q. 7:31, 2:168, 5:88.
Kedua, ada energi yang lebih halus yang kita peroleh
melalui cahaya, suara, lukisan, maupun pernapasan. Inilah yang disebut energi permana, di Cina disebut qi (chi), dan disebut quwwah di Arab. Ini untuk kodrat yang berkaitan dengan kerja batin. Q. 13:28.
Ketiga, energi yang diperoleh dengan cara hidup
penuh kesadaran, lewat zikir fana. Energi yang diperoleh adalah energi pranawa, shen, atau ruhiyah. Ini sumber kekuatan untuk hidup éling dan waspada. 13 Energi fisik (daya, Jing, hawl) dipancarkan dan diserap oleh semua benda fisik. Kalau kita makan, maka kita mendapatkan input energi dari benda yang kita makan. Energi ini ada yang berupa protein, vitamin, mineral, dan karbohidrat. Pada saat kita bergerak atau bekerja, maka energi fisik tadi kita gunakan sebagai tenaga. Agar kodrat tubuh kita bisa tumbuh baik dan sehat, maka kita harus selektif dalam mengonsumsi makanan dan minuman.
Kodrat yang dikandung dalam energi fisik bukan untuk
memberikan kehidupan. Yang membuat benda hidup tampak hidup adalah energi Qi, prana atau permana. Bila bagian tubuh yang menampung energi permana sudah rusak, maka energi permqnanya akan bocor alias mengalir keluar dan akhirnya makhluknya mati. 14 Energi permana berfungsi untuk menciptakan ketena- ngan batin, untuk menahan gejolak emosi, dan menghi- langkan berbagai kuasa negatif yang ada pada diri kita. Oleh karena itu, rasa marah, kebencian, kedengkian, dan keserakahan bisa disingkirkan atau dimusnakan dengan cara melakukan senam/meditasi/zikir perna- pasan serta dikombinasikan dengan penyerapan caha- ya pagi hari (dari jam 04.00 – 06.00).
Hasil dari olah napas ini digunakan untuk meditasi
hening, i’tikaf, atau zikir fana. Q. 7:43. Dalam kondisi bebas dari pengaruh luar inilah lubuk hati manusia akan terbuka dan siap menerima cahaya dari Tuhan semesta alam. Nah, seharusnya yang kita upayakan dalam hidup ini adalah meningkatnya kandungan ener- gi permana dan pranawa. 15