Anda di halaman 1dari 5

NGELMU URIP JAWA

Sistim Religi & Spiritualisme I Sistim religi Jawa merupakan hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual-nya. Olah cipta rasa karsa dan daya spiritual tersebut melahirkan pemahaman adanya maha kekuatan yang murba wasesa (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya realitas tertinggi yang disebut Kang Murbeng Dumadi (sebutan lain: Kang Maha Kuwasa, Hyang Wisesa, Hyang Tunggal, dll.). Karena dasarnya sebagai hasil olah cipta rasa karsa dan daya spiritual maka ada perjalanan menuju kesadaran adanya Realitas Tertinggi yang disebut Kang Murbeng Dumadi tersebut. Adalah keunikan Jawa yang kemudian mendiskripsikan Kang Murbeng Dumadi tersebut tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine (tidak bisa digambarkan wujudnya dan melingkupi-menguasai-mengatur-mengendalikan seluruh alam semesta dengan seluruh isinya). Diskripsi yang demikian merupakan puncak pengertian paripurna orang Jawa tentang ke-Maha Esa-an Tuhan yang bisa digapai cipta rasa karsa dan daya spiritual manusia. Kang Murbeng Dumadi juga disebut Guruning Ngadadi yang maknanya sumber awal semua yang ada. Dari Guruning Ngadadi mengada (tercipta) alam semesta yang terdiri dari 3 (tiga) unsur: bumi lan langit (materi), cahya lan teja (cahaya dan enerji), dan Sejatining Urip (Ruh Alam Semesta) yang diskripsinya: Berujud dzat mutlak suwung (kosong), abadi, tanpa arah dan tempat, tanpa kantha (wujud), tiada bau rasa dan suara, bersifat elok, bukan laki-laki bukan perempuan bukan banci, merasuki seluruh jagad seisinya. Menurut pandangan Jawa, manusia hidup sebagai salah satu ciptaan yang menjadi isi alam semesta, maka pada dirinya terdapat tajali (pancaran, emanasi, derivat) dari ketiga unsur semesta (materi, cahaya/enerji, dan urip/roh/suksma). Demikianlah, maka manusia hidup disebut jagad cilik (mikro kosmos) yang dinyatakan jumbuh (berhubungan secara kosmismagis) dengan jagad gedhe (makro kosmos, alam semesta). Ketika manusia mati, maka semua unsur mengurai dan kembali ke sumbernya masingmasing. Namun demikian bagi urip/roh/suksma tidak mudah untuk kembali manunggal dengan Sejatining Urip karena mengalami pemudaran kesucian dzatnya sebagai akibat menjalani hidup di dunia. Banyak suksma-suksma yang tersesat ke alam lain (alam binatang dan alam lelembut). Ada pula yang klambrangan (tersesat) ke kayu watu (pepohonan dan batu) serta menjadi danyang di tempat tersebut. Adapun yang berhasil melepaskan diri dari jebakan alam lain tersebut kebanyakan berada di tempat penantian yang disebut Swarga Pangrantunan atau Gendaga Suci untuk menunggu ketentuan perjalanannya lebih lanjut. Ada yang kemudian terlahir kembali menitis ke anak turunnya, ada yang kemudian menghuni Alam Alus menjadi Para Suci 1. Yang mulus bisa manunggal kembali dengan Sejatining Urip disebut nyawarga (berkumpul kembali dengan warganya). Istilah lain, muksa. Maka kemudian terlahir ajaran
1

Wacana ini terceriterakan pada kitab Centhini pada kisah Syech Amongraga dan Niken Tambangraras yang berhasil menjadi Para Suci di alam alus. Para Suci ini masih bisa berkomunikasi dengan para kerabatnya yang masih hidup melalui media spiritual dan masih memiliki kehendak-kehendak manusiawi. Diceriterakan bahwa Syech Amongraga masih berkeinginan menurunkan raja di tanah Jawa. Maka perlu sajiwa dengan Sultan Agung dengan cara menjilma menjadi gendon yang kemudian disantap oleh Sultan Agung dan jilmaan Niken Tambangraras disantap Pangeran Pekik.

laku kebatinan (spiritualisme) Jawa yang pada intinya mengajarkan upaya mensucikan diri untuk bisa mengantar suksmanya kembali manunggal dengan Sejatining Urip atau muksa. Berdasar konsep sistim religi (kepercayaan) Jawa sebagaimana diuraikan di atas, maka kemudian terajarkan banyak ritual panembah kepada Tuhan dan ritual sesaji untuk memule (memuliakan) arwah leluhur. Ritual memuliakan arwah leluhur ini banyak mengundang anggapan sebagai menyembah arwah leluhur dan dikonotasikan sebagai syirik. Padahal ritual dimaksud adalah upaya memuliakan dan berkomunikasi dengan para arwah leluhur yang dimungkinkan belum mencapai kasampurnan dan bersemayam di alam lain (pangrantunan, alam alus, dan pedanyangan). Dalam hal ini, pandangan Jawa menyatakan bahwa semua arwah yang belum mencapai kasampurnan masih bisa berhubungan (ada ikatan spiritual) dengan anak keturunannya. Berdasar paham tersebut dinyatakan bahwa pekerti anak keturunan yang baik akan mampu membantu nyuwargakake (mengantar ke sorga) para leluhurnya. Meski paham yang demikian dianggap tidak masuk akal, namun mengandung makna pendidikan tentang budi pekerti luhur yang harus diemban setiap insan demi kepentingan menyempurnakan arwah leluhurnya. Ritual panembah Jawa tidaklah sama dengan ritual agama. Wujud panembahnya berupa totalitas pelaksanaan menjalani hidup yang benar, baik dan pener. Yaitu menjalani hidup dengan konsep: 1) bersembah/berbakti kepada Tuhan penguasa alam dengan eling secara terus-menerus. 2) melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk melakukan berbagai ritual sesaji 3) melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban. Sistim religi Jawa juga berdasarkan panunggalan, bahwa semua yang ada dan tergelar di jagad raya merupakan Maha Kesatuan Tunggal yang di-purbawasesa (dikuasai, diatur, dikendalikan) oleh Yang Maha Kuwasa. Berdasar panunggalan ini terbangun struktur kawula-gusti sebagaimana hubungan pancer-mancapat atau inti-plasma. Maknanya, Roh Alam Semesta (Sejatining Urip, Suksma Sejati) posisinya sebagai gusti (pancer, inti), sedang seluruh ciptaan yang lain sebagai kawula (mancapat, plasma). Dalam struktur bangunan seperti ini, manusia terposisikan sebagai kawula (mancapat, plasma) yang sama kedudukannya dengan semua titah dumadi yang lain. Maka kewajiban sesama kawula adalah membangun hubungan yang rukun selaras (harmoni) demi menjaga eksistensi Panunggalan Semesta. Dalam piwulang Kejawen hubungan rukun selaras dinyatakan sebagai saudara, sesama warganya Pangeran Kang Murbeng Dumadi. Saudara-saudara tersebut dinyatakan dalam Wejangan Paseksen Wirid Wolung Pangkat: Yaiku wejangan jumenenge urip kita pribadi angakoni dadi warganing Pangeran Kang Sejati kinen aneksekake marang sanak sedulur kita, yaiku: bumi, langit, srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu, lan sakabehing dumadi kang gumelar ing jagad. (Yaitu wejangan akan eksistensi hidup sejati kita mengakui jadi warganya Pangeran Kang Sejati untuk dipersaksikan kepada sanak saudara kita, yaitu: bumi, langit, matahari, bulan, bintang, api, angin, air, dan seluruh ciptaan yang tergelar di jagad raya). Berdasar konsep panunggalan dalam sistim religi Jawa ini, maka ada kepercayaan bahwa semua yang ada di jagad memiliki kewajiban yang sama untuk menyangga panunggalan semesta. Juga ada kepercayaan bahwa ada titah dumadi yang bersifat gaib hidup bersama dengan manusia dengan sama-sama mengemban tugas kewajiban menjaga kehayuan semesta. Dari kepercayaan ini kemudian lahir mitologi Jawa tentang adanya dewa, bethara, hyang,

danyang, lelembut, dlsb. Kesemuanya terposisikan sebagai saudara bagi manusia. Meski berbeda alam, namun sama-sama menghuni jagad raya yang sama. Maka demi hubungan persaudaraan yang baik, diajarkan kepada manusia untuk menjalin komunikasi dengan para saudaranya yang berbeda alam tersebut. Dalam pelaksanaan menjalani hidupnya, manusia diwajibkan untuk tidak mengganggu kehidupan para saudaranya tersebut. Itulah sebabnya, terlahir banyak ritual untuk berhubungan dengan para saudara gaib tersebut. Diantaranya berupa ritual sesaji untuk urusan menanam dan memanen padi, bersih desa, membakar batu bata, menguras patirtan, dll. II Spiritualisme Jawa lahir dan tumbuh kembang pada aras sistim religi Jawa. Maka kemudian juga disebut sebagai Kawruh Kasampurnan yang mengajarkan tuntunan untuk menjalani hidup mencapai kesempurnaan. Sedemikian jangkep sistim religi Jawa, maka juga jangkep ranah spiritualisme Jawa. Namun demikian, landasan utama spiritualisme Jawa yang murni adalah untuk keselamatan hidup manusia maupun terselenggaranya kehayuan semesta. Spiritualisme atau laku kebatinan berkaitan dengan pemahaman manusia akan hakekat hidup-nya. Hal ini berkaitan langsung dengan sistim religi yang dipahami dan dianut. Pada sistim religi Jawa sebagaimana telah diuraikan pada (I), maka spiritualisme (laku kebatinan) Jawa sejalan dengan kepercayaan-kepercayaan dalam sistim religinya. Maka spiritualisme (laku kebatinan) Jawa bisa dibagi dalam 3 (tiga) golongan: 1. Spiritualisme sabagai bagian dari laku panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Spiritualisme yang berhubungan dengan menjaga panunggalan semesta 3. Spiritualisme yang berhubungan dengan tingkat keberadaban manusia. II.1 Spiritualisme sebagai bagian laku panembah disebut lakubrata. Landasannya dari ajaran: Durung wenang mumuja lamun durung tapabrata (belum bisa disebut menembah kalau tidak dilandasi tapabrata). Tapabrata atau lakubrata dalam rangkaian untuk manembah merupakan upaya menata batin manusia untuk menjalankan panembah sejati. Lakunya disebutkan sebagai upaya memiliki dasar pengertian dan mampu menjalani sikap: anarima, eling, tata, sabar, dan sumarah (berserah diri). Laku lahiriah untuk menata batin tersebut dengan: mengurangi makan minum (berpuasa) untuk sikap anarima, mengurangi tidur untuk menata sikap eling, mengurangi/mengatur/mencegah sanggama2 untuk sikap tata, mencegah marah untuk sikap sabar, dan membisu untuk memahami makna sumarah yang juga disebut nalangsa. Spiritualisme sebagai laku panembah disebut nawungkridha yang bisa disejajarkan dengan pengertian laku makrifat dalam tasawuf Islam. Adalah tingkatan sembah jiwa dan sembah suksma sebagaimana disebut dalam Wedhatama. Puncaknya disebut Manunggaling Kawula Gusti, yaitu suatu kesadaran hakiki tentang panunggalan dimana manusia merupakan warganing Pangeran Sejati sebagaimana disebut dalam Wejangan Paseksen dalam Wirid Wolung Pangkat.
2

Pada laku mengurangi/mencegah sanggama kemudian melahirkan pilihan untuk hidup wadat bagi para spiritualis (sesepuh, brahmana) Jawa dengan tujuan bisa mencapai muksa.

Puncak panembah sejati Jawa Manunggaling Kawula Gusti banyak disalahartikan sebagai pengakuan manusia sebagai Tuhan sebagaimana kisah Syech Siti jenar, Sunan Panggung dll. Padahal yang dimaksud adalah suatu pencerahan spirituil dalam memahami hakekat hidup manusia sebagai kawula (warga) dari Pangeran Kang Sejati. II.2 Spiritual Panunggalan Semesta, merupakan laku kebatinan yang menuju menyatu dengan alam semesta. Laku kebatinan ini merupakan laku untuk menjalin hubungan spiritual dengan alam semesta dan seluruh isinya. Adapun tujuannya merupakan upaya menjalin hubungan hidup bersama antar titah dumadi (ciptaan) dalam menggapai keselamatan dan kehayuan semesta. Para sesepuh dalam laku kebatinan ini mendapat kemampuan untuk berkomunikasi dengan para titah dumadi yang lain. Maka kemudian para sesepuh ini menjadi mediator komunikasi dengan para gaib. Manfaatnya, berupa informasi tentang akan adanya pergerakan alam yang bisa berakibat sebagai bencana dalam kehidupan manusia. (Contoh mBah Maridjan). Juga kemampuan untuk menyembuhkan orang kerasukan. Para sesepuh (paranpara) laku kebatinan jenis ini banyak digunakan jasanya dalam hal memulai proyek-proyek pembangunan agar proyek tersebut tidak mengganggu kehidupan titah dumadi yang lain. Pada jaman dulu, setiap desa (komunitas) Jawa selalu mempunyai paranpara spiritualis panunggalan semesta yang disebut kamituwa (buyut, dhari, dll.). Perannya memimpin komunitas (desa) dalam berbagai aktivitas kehidupan. Terutama dalam hal melaksanakan ritual (upacara) adat tradisi yang berkaitan mencapai kehidupan bersama yang tata tentrem kerta raharja. Namun seiring dengan gencarnya penyebaran agama pendatang, peran kamituwa digantikan oleh tokoh-tokoh agama seperti pendeta/brahmana/pedanda di jaman Hindu/Buda, dan kaum/modin ketika masuknya agama Islam. Para tokoh agama sebagaimana disebut bukan spiritualis sebagaimana kamituwa (buyut, dhari) Jawa. Maka sedikit demi sedikit memudar aktivitas spiritualis penunggalan semesta pada masyarakat Jawa. Justru kemudian berkembang penilaian negatif terhadap spiritualis panunggalan semesta tersebut yang dinyatakan sebagai dukun. II.3 Spiritualisme Keberadaban Manusia, merupakan ajaran untuk mencapai derajat manusia utama yang (barangkali) dalam kasanah lain disebut Insan Kamil. Laku kebatinan ini lebih mengutamakan kepada pendidikan moral yang disebut Piwulang Kautaman. Isi ajarannya tentang budi pekerti luhur yang harus dipenuhi setiap insan yang bercita-cita menjadi titah utama. Para pelaku spiritualisme jenis ini akan tercermin dalam perilaku hidupnya yang disebut mriyayi. Sebagian kecil ajaran laku spiritual ini sudah saya susun dan saya bagi sesuai kepentingan dan tujuannya. 3 Cukup luas cakupan laku spiritualisme Keberadaban Manusia, namun intinya adalah upaya menyelenggarakan hidup bersama yang tata tentrem kerta raharja. Termasuk dalam hal ini laku spiritual untuk mendapatkan wahyu kekuasaan dan kepemimpinan.
3

Kompilasi Piwulang Kautaman yang saya buat bisa dilihat pada situs ki-demang yang diampu Ki Demang Sokowaten atau situs alang-alang kumitir yang diampu Mas Nyoman Bayu Wiyono.

Penutup Kiranya cukup sekian wacana pemikiran saya tentang Sistim Religi & Spiritualisme Jawa untuk bahan rembukan (tukar gagas). Sudah barangtentu masih belum lengkap benar, namun kiranya bisa utntuk membuka pemikiran untuk lebih mengenal Jawa. Swuhn. Semarang, 28.02.2010 Ki Sondong Mandali

Anda mungkin juga menyukai