Anda di halaman 1dari 130

Misteri Di balik Bulan Sura

MISTERI BULAN SURA



Bulan Sura adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Tanggal 1 Sura akan jatuh pada hari Senin
tanggal 29 Desember 2008. Secara lugas maknanya adalah merupakan tahun baru menurut penanggalan
Jawa. Bagi pemegang tradisi Jawa hingga kini masih memiliki pandangan bahwa bulan Sura merupakan
bulan sakral. Berikut ini saya paparkan arti bulan Sura secara maknawi dan dimanakah letak
kesakralannya.

MELURUSKAN BERITA burung
Tradisi dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bagi yang memiliki talenta
sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan Sura aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi
bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat tidak bijaksana apabila kita buru-buru menganggapnya sebagai
bentuk paham syirik dan kemusrikan. Anggapan seperti itu timbul karena disebabkan kurangnya
pemahaman sebagian masyarakat akan makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik berkaitan
erat dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit menilai hanya dengan melihat manifestasi
perbuatannya saja. Jika musrik dan syirik diartikan sebagai bentuk penyekutuan Tuhan, maka
punishment terhadap tradisi bulan Sura itu jauh dari kebenaran, alias tuduhan tanpa didasari
pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan pemfitnahan. Biasanya anggapan musrik dan sirik muncul
karena mengikuti trend atau ikut-ikutan pada perkataan seseorang yang dinilai secara dangkal layak
menjadi panutan. Padahal tuduhan itu jelas merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan
mengandung stigma, dan sikap menghakimi secara sepihak.
Masyarakat Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos, bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam
semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik (wadag) maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni
masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun kekurangan. Interaksi antara dimensi alam fisik
dengan dimensi metafisik merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan
keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa sukur akan karunia
terindah dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya di hadapan Tuhan, dan dibanding
mahluk Tuhan lainnya. Manusia tidak seyogyanya mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai
mahluk paling sempurna dan mulia, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos,
sebaliknya di sisi lain kesadaran mikrokosmos Javanisme bahwa akal-budi ibarat pisau bermata dua, di
satu sisi dapat memuliakan manusia tetapi di sisi lain justru sebaliknya akan menghinakan manusia,
bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun.
Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya untuk
menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian alam tetap terjaga
sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam merupakan perwujudan syukur tertinggi umat manusia
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan bumi ini berikut seluruh isinya untuk
dimanfaatkan umat manusia.
Dalam tradisi Jawa sekalipun yang dianggap paling klenik sekalipun, prinsip dasar yang sesungguhnya
tetaplah PERCAYA KEPADA TUHAN YME. Di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu
diikuti kalimat; saka kersaning Gusti, saka kersaning Allah. Semua media dalam ritual, hanya sebatas
dipahami sebagai media dan kristalisasi dari simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya
kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip
religiusitas ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.
Cara pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik dibanding dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa kental akan penjelajahan wilayah gaib sebagai
konsekuensi adanya interaksi manusia terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya. Lingkungan alam
dilihat memiliki dua dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi gaib atau metafisik.
Lingkungan alam tidak sebatas apa yang tampak oleh mata, melainkan meliputi pula lingkungan yang
tidak tampak oleh mata (gaib). Boleh dikatakan pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan atau
dimensi gaib sebagai bentuk keimanan (percaya) kepada yang gaib. Bahkan oleh sebagian masyarakat
Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini atau diimani saja, tetapi lebih dari itu seseorang dapat
membuktikannya dengan bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib sebagai
bentuk pengalaman gaib. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa dimensi gaib merupakan sebuah
realitas konkrit. Hanya saja konkrit dalam arti tidak selalu dilihat oleh mata kasar, melainkan konkrit
dalam arti Jawa yakni termasuk hal-hal yang dapat dibuktikan melalui indera penglihatan maupun
indera batiniah. Meskipun demikian penjelasan ini mungkin masih sulit dipahami bagi pihak-pihak yang
belum pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga cerita-cerita maupun kisah-kisah
gaib dirasakan menjadi tidak masuk akal, sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong
belaka. Pendapat demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang tidak semua orang
dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum tentu tapat dengan realitas gaib yang
sesungguhnya. Sedangkan agama sebatas memaparkan yang bersifat universal, garis besar, dan tidak
secara rinci. Perincian mendetail tentang eksistensi alam gaib merupakan rahasia ilmu Tuhan Yang Maha
Luas, tetapi Tuhan Maha Adil tetap memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk
mengetahuinya walaupun sedikit namun dengan sarat-sarat yang berat dan tataran yang tidak mudah
dicapai.

MISTERI BULAN SURA
Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa. Di samping itu bagi
masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti
sistem penanggalan sedemikian rupa. Sehingga bulan Sura juga merupakan bulan baru yang berlaku di
jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan adalah; jagad makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa;
hantu), siluman, benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara jagad fana
manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya. Tetapi dalam
berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia di sisi lain,
selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jumat Kliwon (Jawa;
Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur turun ke bumi
untuk njangkung dan njampangai (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga
hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral
bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat dispensasi untuk melakukan seleksi alam. Bagi
siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.
Dalam siklus hitungan waktu tertentu yang merupakan rahasia besar Tuhan, terdapat suatu bulan Sura
yang bernama Sura Duraka. Disebut sebagai bulan Sura Duraka karena merupakan bulan di mana terjadi
tundan dhemit. Tundan dhemit maksudnya adalah suatu waktu di mana terjadi akumulasi para dedemit
yang mencari korban para manusia yang tidak eling dan waspadha. Karena pada bulan-bulan Sura
biasa para dedhemit yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan Sura Duraka. Sehingga pada bulan Sura
Duraka biasanya ditandai banyak sekali musibah dan bencana melanda jagad manusia. Bulan Sura
Duraka ini pernah terjadi sepanjang bulan Januari s/d Februari 2007. Musibah banyak terjadi di
seantero negeri ini. 1) Di awali tenggelamnya KM Senopati di laut Banda yang terkenal sebagai palung
laut terdalam di wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan ini memakan korban ratusan jiwa. 2)
Kecelakaan Pesawat Adam Air hilang tertelan di palung laut dekat teluk Mandar, posisi di 40 mil barat
laut Majene. 3) Kereta api mengalami anjlok dan terguling sampai 3 kali kasus selama sebulan. 4)
Tabrakan bus di pantura, bus menyeruduk rumah penduduk. 5) Kecelakaan pesawat garuda di
Yogyakarta. 6) Beberapa maskapai penerbangan mengalami gagal take off, gagal landing, mesin error
dsb. 7) Jakarta dilanda banjir terbesar sepanjang masa. 8) Kapal terbakar di Sulawesi dan maluku. 9)
Kapal laut di selat Karimun terbakar lalu tenggelam memakan ratusan korban berikut wartawan TV
peliput berita. 10) Banjir besar di Jawa Tengah, Angin puting beliung sepanjang Pulau Jawa-Sumatra.
Dan masih banyak lagi kecelakaan pribadi yang waktu itu Kapolri sempat menyatakan sebagai bulan
kecelakaan terbanyak meliputi darat, laut dan udara.
Atas beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan yang kemudian
mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura. Sedikitnya ada 5 macam ritual yang
dilakukan menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini;
1. Siraman malam 1 Sura; mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman.
Sebagai bentuk sembah raga (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial
pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan
mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman
diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari
segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan
keluarga, serta kerabat handai taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya,
mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam
bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Atau 11 kali
(11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau
17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan).
Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung beratap langit; maksudnya adalah
kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.
2. Tapa Mbisu (membisu); tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut
agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih
mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat numusi atau
terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
3. Lebih Menggiatkan Ziarah; pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam
para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk kita,
bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan
konkrit generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Cara menghormati
dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam beliau.
Sebab makam merupakan monumen sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para
leluhur; mengenang dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita akan
selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita ada di dunia ini adalah dari turunan beliau-
beliau. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan berpulang ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa.
Mengapa harus datang ke makam, tentunya atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik
berupa ilmu, kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga
sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah sebagai keturunannya kita masih
tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah ? Jika direnungkan secara mendalam menggunakan hati
nurani, sikap demikian tidak lebih dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif) saja. Anak
turun yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam para leluhurnya, apalagi
terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa mendoakan dan merawat seonggok makam yang sudah
tertimbun semak belukar. Betapa teganya hati kita, bahkan dengan mudahnya mencari-cari alasan
pembenar untuk kemalasannya sendiri, bisa saja menggunakan alasan supaya menjauhi kemusyrikan.
Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah berhubungan dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat
dengan hati. Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah sadar sebagian masyarakat kita, bahwa lebih
enak menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi orang winasis dan prayitna tetapi konsekuensinya tidak
ringan.
4. Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain
sebagai sikap menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini penuh
dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil,
kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di
dalamnya (silahkan dibaca dalam forum tanya jawab). Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para
leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan
kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-
merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.
5. Jamasan pusaka; tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau memetri warisan dan kenang-
kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka
merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam.
Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi. Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen
sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para
perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi
bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih
para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para
pahlawannya, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok
ukur atas apa yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus
bangsa tidak akan mudah tercerabut (disembeded) dari akarnya. Tumbuh berkembang menjadi
bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik
bangsa asing. Kita sadari atau tidak, tampaknya telah lahir megatrend terbaru abad ini, sekaligus paling
berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism melalui cara-cara politisasi agama.
6. Larung sesaji; larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke
laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musrik.
Betapa tidak, jikalau kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna
esensial dari ritual larung sesaji. Baiklah, berikut saya tulis tentang konsep pemahaman atau prinsip hati
maupun pola fikir mengenai tradisi ini. Pertama; dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada
keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi
satu-satunya penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa ritual larung sesaji merupakan simbol
kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari
bahwa alam semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan
kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan
alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus. Ketiga; selain kedua
hal di atas, larung sesaji merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur
alam semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat
kasat mata atau jagad fisik, maupun gaib atau jagad metafisik. Kedua dimensi jagad tersebut saling
bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan
seyogyanya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya, bilamana dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak
harmonis, akan mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Maka
seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap harus dijaga.

KEJAWEN ; Ajaran Luhur Yang Dicurigai & Dikambinghitamkan
KEJAWEN
Permata Asli Bumi Nusantara yang Selalu Dicurigai
Dan Dikambinghitamkan


Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai

Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari
adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS).
Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai
dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya,
bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya
sendiri, dan harus diganti dengan kepercayaan baru yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan
naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan
tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik
asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu pendatang baru selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal
(baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat),
penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh pendatang baru
sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk
dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat
berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.
Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara
memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan,
sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi
pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi
hanguskan oleh para pendatang baru tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-
istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya
menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan pendatang baru yang
tidak suka dengan local wisdom. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul
mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut di-sama-makna-kan
dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan,
menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru
mempunyai arti yang sangat religius sbb;

Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab
akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi
yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur klenik ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya
untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya
Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan
Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari
kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun
Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol.
Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam
berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa
sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika
doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan
diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia
Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan.
Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan
masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis
dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan
dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat
membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap
sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk
kemubadiran, dst.
Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan
penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit
runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan
budi pekerti yg luhur, pendatang baru menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan,
kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang
sudah kejawan ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini.
Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi
nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi
penerus tahta kerajaan.


Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati

Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya
penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya
sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa
tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya;
pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan
unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini
dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-
aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya.
Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di
dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan
perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas
pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat
diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa
jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan
masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa
dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat
diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.

Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen

Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling
lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih.
Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-
nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri
manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia
karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut,
menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia
yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak
dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan
konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan

NAFSU

Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni
apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main
perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku
tapa atau puasa. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima
indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi sepi dalam nafsu pamrih
yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk
dikubur dalam-dalam, termasuk mengubur amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain,
dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan
yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya.
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus aliran air sungai Dzat, yakni mengikuti kehendak
Gusti Maha Wisesa. Aliran air milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai,
mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa kebijaksanaan alam.
Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda
dengan aliran air bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang
wewaler kaidah tata krama, menghempas perahu nelayan, menerjang pepohonan, dan
menghancurkan daratan.

PAMRIH

Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya
mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan
masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan
keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana
pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih
akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih
yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih
mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri
dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri.
Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai
kemanunggalan kawula gusti.
Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah
mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari
kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting
Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif
KEJAWEN :
Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya
sendiri.
Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti
ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa
peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.

Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya,
dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah
merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-
an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni
Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan
sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah;
sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul
mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih marifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti.
Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling
tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat
kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.

Rahasia Kekuatan Doa

Kami tidak akan membahas mengenai etika berdoa, karena dalam setiap agama tentunya sudah
diajarkan mengenai tata cara dan etika berdoa, kami yakin para pembaca sudah lebih memahaminya.
Tujuan kami menulis jauh dari maksud menggurui, semata hanya ingin berbagi pengalaman. Dengan
kata lain, apa yang kami sampaikan juga pernah kami lakukan dan rasakan. Tujuan kami menulis adalah
untuk berbagi kepada sesama, barangkali dapat memberi sedikit manfaat untuk para pembaca yang
budiman. Dengan menggunakan akal budi dan hati nurani (nur/cahaya dalam hati) yang penuh
keterbatasan kami berusaha mencermati, mengevaluasi dan kemudian menarik benang merah, berupa
nilai-nilai (hikmah) dari setiap kejadian dan pengalaman dalam doa-doa kami.

Berkaitan dengan Waktu dan tempat yang dianggap mustajab untuk berdoa, kiranya setiap orang
memiliki kepercayaan dan keyakinan yang berbeda-beda. Kedua faktor itu berpengaruh pula terhadap
kemantapan hati dan tekad dalam mengajukan permemohonan kepada Tuhan YME. Namun bagi saya
pribadi semua tempat dan waktu adalah baik untuk melakukan doa. Pun banyak juga orang meyakini
bahw doanya akan dikabulkan Tuhan, walaupun doanya bersifat verbal atau sebatas ucapan lisan saja.
Hal ini sebagai konsekuensi, bahwa dalam berdoa hendaknya kita selalu berfikir positif (prasangka baik)
pada Tuhan. Kami tetap menghargai pendapat demikian.

SULITNYA MENILAI KESUKSESAN DOA

Banyak orang merasa doanya tidak/belum terkabulkan. Tetapi banyak pula yang merasa bahwa Tuhan
telah mengabulkan doa-doa tetapi dalam kadar yang masih minim, masih jauh dari target yang
diharapkan. Itu hanya kata perasaan, belum tentu akurat melihat kenyataan sesunggunya. Memang sulit
sekali mengukur prosentase antara doa yang dikabulkan dengan yang tidak dikabulkan. Hal itu
disebabkan oleh beberapa faktor berikut ;
Kita sering tidak mencermati, bahkan lupa, bahwa anugrah yang kita rasakan hari ini, minggu ini, bulan
ini, adalah merupakan jawaban Tuhan atas doa yang kita panjatkan sepuluh atau dua puluh Tahun
yang lalu. Apabila sempat terlintas fikiran atau kesadaran seperti itu, pun kita masih meragukan
kebenarannya. Karena keragu-raguan yang ada di hati kita, akan memunculah asumsi bahwa hanya
sedikit doa ku yang dikabulkan Tuhan.
Doa yang kita pinta pada Tuhan Yang Mahatunggal tentu menurut ukuran kita adalah baik dan ideal,
akan tetapi apa yang baik dan ideal menurut kita, belum tentu baik dalam perspektif Tuhan. Tanpa kita
sadari bisa saja Tuhan mengganti permohonan dan harapan kita dalam bentuk yang lainnya, tentu saja
yang paling baik untuk kita. Tuhan Sang Pengelola Waktu, mungkin akan mengabulkan doa kita pada
waktu yang tepat pula. Ketidaktahuan dan ketidaksadaran kita akan bahasa dan kehendak Tuhan
(rumus/kodrat alam), membuat kita menyimpulkan bahwa doa ku tidak dikabulkan Tuhan.
Prinsip kebaikan meliputi dua sifat atau dimensi, universal dan spesifik. Kebaikan universal, akan berlaku
untuk semua orang atau makhluk. Kebaikan misalnya keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, dan
ketentraman hidup. Sebaliknya, kebaikan yang bersifat spesifik artinya, baik bagi orang lain, belum tentu
baik untuk diri kita sendiri. Atau, baik untuk diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Kebaikan spesifik
meliputi pula dimensi waktu, misalnya tidak baik untuk saat ini, tetapi baik untuk masa yang akan
datang. Memang sulit sekali untuk memastikan semua itu. Tetapi paling tidak dalam berdoa,
kemungkinan-kemungkinan yang bersifat positif tersebut perlu kita sadari dan terapkan dalam benak.
Kita butuh kearifan sikap, kecermatan batin, kesabaran, dan ketabahan dalam berdoa. Jika tidak kita
sadari kemungkinan-kemungkinan itu, pada gilirannya akan memunculkan karakter buruk dalam berdoa,
yakni; sok tahu. Misalnya berdoa mohon berjodoh dengan si A, mohon diberi rejeki banyak, berdoa
supaya rumah yang ditaksirnya dapat jatuh ke tangannya. Jujur saja, kita belum tentu benar dalam
memilih doa dan berharap-harap akan sesuatu. Kebaikan spesifik yang kita harapkan belum tentu
menjadi berkah buat kita. Maka kehendak Tuhan untuk melindungi dan menyelamatkan kita, justru
dengan cara tidak mengabulkan doa kita. Akan tetapi, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, lantas
berburuk sangka, dan tergesa menyimpulkan bahwa doaku tidak dikabulkan Tuhan.
Tidak gampang memahami apa kehendak Tuhan. Diperlukan kearifan sikap dan ketajaman batin untuk
memahaminya. Jangan pesimis dulu, sebab siapapun yang mau mengasah ketajaman batin, ia akan
memahami apa dan bagaimana bahasa Tuhan. Dalam khasanah spiritual Jawa disebut bisa nggayuh
kawicaksanane Gusti.

HAKEKAT DIBALIK KEKUATAN DOA
Agar doa menjadi mustajab (tijab/makbul/kuat) dapat kita lakukan suatu kiat tertentu. Penting untuk
memahami bahwa doa sesungguhnya bukan saja sekedar permohonan (verbal). Lebih dari itu, doa
adalah usaha yang nyata netepi rumus/kodrat/hukum Tuhan sebagaimana tanda-tandanya tampak pula
pada gejala kosmos. Permohonan kepada Tuhan dapat ditempuh dengan lisan. Tetapi PALING PENTING
adalah doa butuh penggabungan antara dimensi batiniah dan lahiriah (laten dan manifesto) metafisik
dan fisik. Doa akan menjadi mustajab dan kuat bilamana doa kita berada pada aras hukum atau kodrat
Tuhan;

Dalam berdoa seyogyanya menggabungkan 4 unsur dalam diri kita; meliputi; hati, pikiran, ucapan,
tindakan. Dikatakan bahwa Tuhan berjanji akan mengabulkan setiap doa makhlukNya? tetapi mengapa
orang sering merasa ada saja doa yang tidak terkabul ? Kita tidak perlu berprasangka buruk kepada
Tuhan. Bila terjadi kegagalan dalam mewujudkan harapan, berarti ada yang salah dengan diri kita
sendiri. Misalnya kita berdoa mohon kesehatan. Hati kita berniat agar jasmani-rohani selalu sehat. Doa
juga diikrarkan terucap melalui lisan kita. Pikiran kita juga sudah memikirkan bagaimana caranya hidup
yang sehat. Tetapi tindakan kita tidak sinkron, justru makan jerohan, makanan berkolesterol, dan makan
secara berlebihan. Hal ini merupakan contoh doa yang tidak kompak dan tidak konsisten. Doa yang kuat
dan mustajab harus konsisten dan kompak melibatkan empat unsur di atas. Yakni antara hati (niat),
ucapan (statment), pikiran (planning), dan tindakan (action) jangan sampai terjadi kontradiktori. Sebab
kekuatan doa yang paling ideal adalah doa yang diikuti dengan PERBUATAN (usaha) secara konkrit.
Untuk hasil akhir, pasrahkan semuanya kepada kehendak Tuhan, tetapi ingat usaha mewujudkan doa
merupakan tugas manusia. Berdoa harus dilakukan dengan kesadaran yang penuh, bahwa manusia
bertugas mengoptimalkan prosedur dan usaha, soal hasil atau targetnya sesuai harapan atau tidak,
biarkan itu menjadi kebijaksanaan dan kewenangan Tuhan. Dengan kata lain, tugas kita adalah berusaha
maksimal, keputusan terakhir tetap ada di tangan Tuhan. Saat ini orang sering keliru mengkonsep doa.
Asal sudah berdoa, lalu semuanya dipasrahkan kepada Tuhan. Bahkan cenderung berdoa hanya sebatas
lisan saja. Selanjutnya doa dan harapan secara mutlak dipasrahkan pada Tuhan. Hal ini merupakan
kesalahan besar dalam memahami doa karena terjebak oleh sikap fatalistis. Sikap fatalis menyebabkan
kemalasan, perilaku tidak masuk akal dan mudah putus asa. Ujung-ujungnya Tuhan akan
dikambinghitamkan, dengan menganggap bahwa kegagalan doanya memang sudah menjadi NASIB yang
digariskan Tuhan. Lebih salah kaprah, bilamana dengan gegabah menganggap kegagalannya sebagai
bentuk cobaan dari Tuhan (bagi orang yang beriman). Sebab kepasrahan itu artinya pasrah akan
penentuan kualitas dan kuantitas hasil akhir. Yang namanya ikhtiar atau usaha tetap menjadi tugas dan
tanggungjawab manusia.
Berdoa jangan menuruti harapan dan keinginan diri sendiri, sebaliknya berdoa itu pada dasarnya
menetapkan perilaku dan perbuatan kita ke dalam rumus (kodrat) Tuhan. Kesulitannya adalah
mengetahui apakah doa atau harapan kita itu baik atau tidak untuk kita. Misalnya walaupun kita
menganggap doa yang kita pintakan adalah baik. Namun kenyataannya kita juga tidak tahu persis,
apakah kelak permintaan kita jika terlaksana akan membawa kebaikan atau sebaliknya membuat kita
celaka.
Berdoa secara spesifik dan detil dapat mengandung resiko. Misalnya doa agar supaya tender proyek
jatuh ke tangan kita, atau berdoa agar kita terpilih menjadi Bupati. Padahal jika kita bener-bener
menjadi Bupati tahun ini, di dalam struktur pemerintahan terdapat orang-orang berbahaya yang akan
menjebak kita melakukan korupsi. Apa jadinya jika permohonan kita terwujud. Maka dalam berdoa
sebaiknya menurut kehendak Tuhan, atau dalam terminologi Jawa berdoa sesuai kodrat alam atau
hukum alamiah. Caranya, di dalam doa hanya memohon yang terbaik untuk diri kita. Sebagai contoh; ya
Tuhan, andai saja proyek itu memberi kebaikan kepada diriku, keluargaku, dan orang-orang disekitarku,
maka perkenankan proyek itu kepadaku, namun apabila tidak membawa berkah untuk ku, jauhkanlah.
Dengan berdoa seperti itu, kita serahkan jalan cerita kehidupan ini kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha
Bijaksana.
Doa yang ideal dan etis adalah doa yang tidak menyetir/mendikte Tuhan, doa yang tidak menuruti
kemauan diri sendiri, doa yang pasrah kepada Sang Maha Pengatur. Niscaya Tuhan akan meletakkan diri
kita pada rumus dan kodrat yang terbaikuntuk masing-masing orang ! Sayangnya, kita sering lupa
bahwa doa kita adalah doa sok tahu, pasti baik buat kita, dan doa yang telah menyetir atau mendikte
kehendak Tuhan. Dengan pola berdoa seperti ini, doa hanya akan menjadi nafsu belaka, yakni nuruti
rahsaning karep.

DOA MERUPAKAN PROYEKSI PERBUATAN KITA,
AMAL KEBAIKAN KITA PADA SESAMA MENJADI DOA
TAK TERUCAP YANG MUSTAJAB.

Kalimat sederhana ini merupakan kata kunci memahami misteri kekuatan doa; doa adalah
seumpama cermin !! Doa kita akan terkabul atau tidak tergantung dari amal kebaikan yang pernah kita
lakukan terhadap sesama. Dengan kata lain terkabul atau gagalnya doa-doa kita merupakan cerminan
akan amal kebaikan yang pernah kita lakukan pada orang lain. Jika kita secara sadar atau tidak sering
mencelakai orang lain maka doa mohon keselamatan akan sia-sia. Sebaliknya, orang yang selalu
menolong dan membantu sesama, kebaikannya sudah menjadi doa sepanjang waktu, hidupnya selalu
mendapat kemudahan dan mendapat keselamatan. Kita gemar dan ikhlas mendermakan harta kita
untuk membantu orang-orang yang memang tepat untuk dibantu. Selanjutnya cermati apa yang akan
terjadi pada diri kita, rejeki seperti tidak ada habisnya! Semakin banyak beramal, akan semakin banyak
pula rejeki kita. Bahkan sebelum kita mengucap doa, Tuhan sudah memenuhi apa-apa yang kita
harapkan. Itulah pertanda, bahwa perbuatan dan amal kebaikan kita pada sesama, akan menjadi doa
yang tak terucap, tetapi sungguh yang mustajab. Ibarat sakti tanpa kesaktian. Kita berbuat baik pada
orang lain, sesungguhnya perbuatan itu seperti doa untuk kita sendiri.
Dalam tradisi spiritual Jawa terdapat suatu rumus misalnya :
1. Siapa gemar membantu dan menolong orang lain, maka ia akan selalu mendapatkan kemudahan.
2. Siapa yang memiliki sikap welas asih pada sesama, maka ia akan disayang sesama pula.
3. Siapa suka mencelakai sesama, maka hidupnya akan celaka.
4. Siapa suka meremehkan sesama maka ia akan diremehkan banyak orang.
5. Siapa gemar mencaci dan mengolok orang lain, maka ia akan menjadi orang hina.
6. Siapa yang gemar menyalahkan orang lain, sesungguhnya ialah orang lemah.
7. Siapa menanam pohon kebaikan maka ia akan menuai buah kebaikan itu.
Semua itu merupakan contoh kecil, bahwa perbuatan yang kita lakukan merupakan doa untuk kita
sendiri. Doa ibarat cermin, yang akan menampakkan gambaran asli atas apa yang kita lakukan. Sering
kita saksikan orang-orang yang memiliki kekuatan dalam berdoa, dan kekuatan itu terletak pada
konsistensi dalam perbuatannya. Selain itu, kekuatan doa ada pada ketulusan kita sendiri. Sekali lagi
ketulusan ini berkaitan erat dengan sikap netral dalam doa, artinya kita tidak menyetir atau mendikte
Tuhan.

Berikut ini merupakan rumus agar supaya kita lebih cermat dalam mengevaluasi diri kita sendiri;
Jangan pernah berharap-harap kita menerima (anugrah), apabila kita enggan dalam memberi.
Jangan pernah berharap-harap akan selamat, apabila kita sering membuat orang lain celaka.
Jangan pernah berharap-harap mendapat limpahan harta, apabila kita kurang peduli terhadap sesama.
Jangan pernah berharap-harap mendapat keuntungan besar, apabila kita selalu menghitung untung rugi
dalam bersedekah.
Jangan pernah berharap-harap meraih hidup mulia, apabila kita gemar menghina sesama.
Lima rumus di atas hanya sebagian contoh. Silahkan para pembaca yang budiman mengidentifikasi
sendiri rumus-rumus selanjutnya, yang tentunya tiada terbatas jumlahnya.

Resume
Doa akan memiliki kekuatan (mustajab), asalkan kita mampu memadukan empat unsur di atas yakni :
hati, ucapan, pikiran, dan perbuatan nyata. Dengan syarat perbuatan kita tidak bertentangan dengan isi
doa. Di lain sisi amal kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan menjadi doa mustajab sepanjang
waktu, hanya jika, kita melakukannya dengan ketulusan. Setingkat dengan ketulusan kita di pagi hari
saat membuang ampas makanan tak berarti.


JIKA INGIN DIBERI,
MEMBERILAH TERLEBIH DAHULU !

Dahulu saya pernah mengalami kebanyakan asa, lalu giat sekali berdoa bermacam-macam hal. Siang-
malam berdoa isinya permohonan apa saja yang diinginkan. Waktu berdoa pun hanya pada waktu
tertentu yang dianggap tijab. Tetapi saya masih merasakan kehampaan dalam hidup. Bahkan dirasakan
realitas yang terjadi justru semakin menjauh dari harapan seperti yang terucap dalam setiap doa. Lama-
kelamaan muncul kesadaran ada yang tidak beres dalam prinsip pemahaman saya ini.
Kesadaran diri muncul lagi manakala merasa sangat kurang dalam melakukan amal kebaikan terhadap
sesama. Kami berfikir, betapa buruknya tabiat ini, yang selalu banyak meminta-minta, tetapi sedikit
memberi. Coba mengingat apa saja kebaikan yang pernah kami lakukan pada sesama,
Parahsepertinya kok nggak ada atau kami yang sudah lupa. Namun yang teringat justru keburukan
dan kesalahan yang pernah kami lakukan pada teman, keluarga, orang tua, dan pada orang lain. Kami
menjadi resah sendiri, merasa dalam kehidupan ini kami tidak bermanfaat samasekali untuk orang
banyak, sementara kami nggak tahu malu dengan selalu meminta-minta terus Hyang Widhi. Egois,
maunya enaknya sendiri. Berharap-harap memperoleh pemenuhan hak-hak sebagai manusia ciptaan
Tuhan, tetapi enggan memenuhi kewajiban untuk beramal baik pada sesama.
Hingga pada suatu saat kami mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti, paling tidak menurut
diri kami sendiri. Sejak itu, terjadilah perubahan paradigma dalam memandang dan memahami rumus
Tuhan. Doa (harapan) adalah perbuatan konkrit. Sejak saat itu, dengan sekuat tenaga setiap saat ada
kesempatan kami melakukan sesuatu yang kira-kira ada manfaat untuk orang lain. Dimulai dari hal-hal
sepele, sampai yang tidak sepele. Dasar pemikiran kami adalah kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang
telah menerima sekian puluh atau ratus anugrah dalam setiap detiknya. Namun kenyataannya manusia
tiada rasa malu setiap saat selalu meminta pada Tuhan. Lantas kapan bersukurnya ? Jika berdoa
memohon sesuatu, kami lebih banyak melakukannya untuk mendoakan teman, kerabat, keluarga.
Sedangkan untuk diri sendiri, tiada yang pantas dilakukan selain lebih banyak mensyukuri nikmat dan
anugrah Tuhan.
Banyak mengucapkan syukur di bibir saja tidak cukup. Kami harus lebih pandai mensyukuri nikmat dan
anugrah Tuhan. Rasa bersyukur serta doa-doa melebur dan mewujud ke dalam satu perbuatan. Rasa
sukur termanifestasikan kedalam perbuatan yang bermanfaat untuk banyak orang. Demikian pula cara
berdoa tidak sekedar terucap melalui mulut, namun lebih penting adalah mewujud dalam perbuatan
nyata.
Cara kami berdoa seperti itu mungkin terasa aneh dan nyleneh bagi beliau-beliau yang telah berilmu
tinggi dan menguasai ajaran agama secara teksbook. Akan tetapi prinsip dan cara-cara itulah yang kami
pribadi rasa paling pas. Maklum saya ini orang bodoh yang masih belajar ke sana-kemari. Tetapi paling
tidak, kami secara pribadi telah membuktikan manfaat dan hasilnya. Mohon maaf apabila banyak kata
dan ucapan yang kurang berkenan, saya menyadari sebagai orang yang masih bodoh banyak
kekurangan, tetapi memaksa diri untuk menulis.

ATUR SABDO PAMBAGYO
ATUR SABDO PAMBAGYO





j sir wani-wani ngaku Pangran, snadyan kawrhira ws tumka Ngadg Sarir Tunggal utw bisa
mngrtni
Manunggaling Kawul Gusti
(Janganlah kamu coba berani mengaku Tuhan, walaupun ilmu pengetahuanmu sudah sampai pada
berdiri sebagai Pribadi Tunggal atau bisa memahami kemanunggalan makhluk dengan Sang Pencipta)

Pangran Kang Mh Kuws (Gusti Allah, Tuhan) iku siji, angliputi ing ngndi papan, langgng, sng
nganakak jagad iki saisin, dadi ssmbahan wng sa-alam dony kabh, panmbahan nganggo caran
dhw-dhw
(Tuhan Yang Maha Kuasa itu satu, meliputi seluruh penjuru dunia, yang abadi, yang mencipta bumi
seisinya,
disembah oleh manusia seluruh dunia,
(manusia) menyembah dengan caranya masing-masing)

Janma ingkang wus waspadeng semu
sinamun ing samudana, sesadon ingadu manis
(Ciri orang yang sudah cermat akan ilmu
justru selalu merendah diri dan selalu berprasangka baik)

Si pengung nora nglegawa, sangsayarda deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar angendhukur, Kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun. Kawruhe mung ana wuwus,
Wuwuse gumaib gaib,kasliring thithik tan kena.
Si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang si pingging.
(Si dungu tidak menyadari, bualannya semakin menjadi jadi,
ngelantur bicara yang tidak-tidak, bicaranya tidak masuk akal,
makin aneh, membual tak ada jedanya. Ilmunya sebatas mulut,
kata-katanya di gaib-gaibkan,
dibantah sedikit saja tidak mau, membelalak alisnya menjadi satu
Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah, tidak mau membuka aib si bodoh)

Nulada laku utama tumrape wong tanah jawi,
Wong agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati,
Kepati amarsudi sudane hawa lan nepsu,
Pinepsu tapa brata, tanapi ing siyang ratri,
Amamangun karyenak tyasing sesama.
(Contohlah perilaku utama, bagi kalangan orang Jawa (Nusantara),
orang besar dari Ngeksiganda (Mataram), Panembahan Senopati,
yang tekun, mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa),
serta siang malam selalu berkarya, menentramkan hati kepada sesama)

Ing dony iki n rng warn sng diarani bbnr, yakuwi bnr mungguhng Pangran lan bnr sk
kang lagi kuws
(Di dunia ini ada dua macam kebenaran, yakni kebenaran menurut Tuhan dan kebenaran yang datang
dari manusia sedang berkuasa)

Klabang iku wisan n ing capit.
Kljngkng wisan mng n puck buntt (ntp).
Yn ul mung dumunng n untun ul kang duw wis.
Nangng yn durjn wisan dumunng n ing sakujr badan
(Bisa Lipan terletak dicapitnya, bisa kalajengking hanya terdapat di ujung ekornya, bisa ular hanya
terdapat di gigi taringnya saja, tetapi manusia durjana seluruh badannya berbisa)

Ajinng dhiri iku dumunng n ing lathi lan budi
(Harga diri seseorang terletak di dalam ucapan dan budi pekertinya)

Wng iku kudu ngudi kabcikan, jalaran kabcikan iku sangunng urp. Wng kang ora glm ngudi
kabcikan iku prasasat stan
(Setiap orang harus berusaha melaksanakan kebajikan, sebab kebajikan itu sebagai bekal hidup. Orang
yang tidak mempedulikan kebajikan adalah sebangsa setan)

Nglmu iku klakn kanthi laku, snajan akh nglmun lamn ora ditangkarak lan ora digunakak,
nglmu iku tanp gun
(Ilmu diperoleh dengan usaha yang giat, walapun banyak ilmu jika tidak disebarluaskan dan tidak
dimanfaatkan, ilmu tersebut tak kan berguna apa-apa)

Wng linuwh iku kudu bis ngpk ati lan ngpnakak atin liyan. Yn kumpl karo mitr kudu bis
ngtrapak tmbng kang mans kang pdhs, spt, bisa gaw snngng ati. Yn kumpl pandhit
kudu bis ngmngak tmbng kang bck. Yn n sangarpng mungsh kudu bis ngatnak
kuws pangaribw kaluwihan
(Orang punya kelebihan harus bisa mengambil hati dan menentramkan hati orang lain, jika berkumpul
bersama kawan-kawan harus bisa menyesuaikan ucapan yang manis, yang pedas, yang sepet, bisa
membuat gembira hati orang lain. Bilamana berkumpul dengan pendhita harus bisa berucap secara
sopan dan baik. Bilamana berada di depan musuh harus bisa memperlihatkan wibawa dan
kelebihannya)

j snng yn dn alm, j sngit yn dn cacad
(Jangan senang jika dipuji, jangan sakit hati jika dicela)

Chakra : Fungsi dan Manfaatnya
OKT 24
Posted by SABD


Kemarahan, kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, rasa keinginan yang berlebihan,
banyaknya beban pikiran, semua itu menjadi faktor penghambat terbukanya cakra-cakra dalam fisik
Anda. Sebaliknya, kebahagiaan, kedamaian, ketentraman, semangat adalah unsur perasaan yang
mendukung terbukanya Cakra Anda. Cakra yang terbuka memiliki banyak kelebihan dan manfaat,
sebaliknya cakra yang masih tertutup atau belum sepenuhnya terbuka menyebabkan beberapa
kelemahan dalam setiap diri pribadi.

Root Chakra. Jika Chakra Akar Anda KUAT Anda berada di tempat mana Anda mencintai karir yang Anda
jalani dan mendapatkan imbalan karena prestasi yang dapat Anda raih. Semua orang merasa kagum
karena melihat kemampuan luar biasa Anda untuk memperoleh, menyimpan dan menginvestasikan
uang. Anda selalu memiliki lebih dari cukup uang untuk pergi berlibur dan membeli apa yang Anda
inginkan, tanpa merasa bersalah sesudahnya. Anda selalu merasa diinginkan dan dicintai oleh teman
dan keluarga Anda, dan Anda merasa percaya diri ketika Anda melihat di cermin, baik secara fisik
maupun emosional. Jika Chakra Akar Anda LEMAH atau TERTUTUP Anda cenderung untuk terjebak
dalam karir yang tidak memuaskan dan tidak menguntungkan, dan Anda sepertinya tidak pernah punya
cukup uang, yang membuat Anda cemas dan terlilit utang. Menghabiskan uang adalah pengalaman
mengerikan bagi Anda, karena Anda meragukan kemampuan Anda untuk anggaran secara efektif. Anda
menderita masalah berat badan atau tubuh, yang membuat Anda merasa tidak layak dan tidak nyaman
pada diri Anda sendiri.
Chakra Sakral. Jika Chakra sakral Anda KUAT, Anda melihat seks secara positif yakni sebagai kegiatan
mulia, menyenangkan dan sehat. Anda menikmati seks dengan penuh gairah, sering melakukan dan
tahan lama dengan pasangan Anda. Orgasme yang berkualitas, dan Anda dengan pasangan sering
mengalami orgasme pada saat yang sama. Anda menyediakan waktu untuk berhubungan seks
setidaknya beberapa kali seminggu, bahkan jika Anda telah menikah atau melekat pada orang yang
sama selama bertahun-tahun. Anda selalu dapat menarik mitra yang tepat, yakni orang yang mampu
memelihara kompatibel Anda, mengisi hari-hari Anda dengan rasa sukacita dan dapat membuat Anda
menjadi orang yang lebih baik dan berkualitas lagi. Jika Chakra sakralis Anda LEMAH atau TERTUTUP,
ketika Anda berpikir tentang seks selalu dihantui rasa bersalah dan perasaan tidak menyenangkan
muncul dalam pikiran Anda. Anda jarang memiliki waktu atau keinginan untuk berhubungan seks, dan
ketika Anda melakukannya, Anda tak mempunyai gairah. Anda dan pasangan jarang orgasme pada saat
yang sama, dan kemungkinan sering ada masalah berhubungan dengn ejakulasi dini atau gagal ejakulasi
(layu sebelum berkemban). Anda BERJUANG untuk melihat diri Anda sebagai seksi, dan kadang
bertanya-tanya bagaimana orang bisa tertarik kepada Anda. Saat memilih mitra atau pasangan, Anda
sering salah pilih, tidak sesuai untuk Anda. Anda akan bertanya-tanya pada diri sendiri apakah dapat
menemukan satu yang tepat.
Chakra Personal Power. Jika Chakra Personal Power Anda KUAT, Anda akan dikagumi banyak orang
karena rasa percaya diri dan harga diri yang positif dan ideal, baik dalam karir maupun kehidupan
pribadi Anda. Anda tidak pernah takut untuk berbicara mengenai apa yang Anda pikirkan, dan Anda
memberdayakan orang di sekitar Anda untuk melakukan hal yang sama. Keluarga, rekan dan masyarakat
melihat Anda sebagai individu yang kharismatik. Anda juga mempunyai tekad menggunakan kharisma
dan kekuatan untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik dan nyaman. Jika Chakra Personal
Power Anda LEMAH atau TERTUTUP Anda cenderung berjuang dengan masalah harga diri, dan perasaan
tidak layak. Anda cenderung untuk mempertanyakan diri sendiri ketika menghadapi keputusan penting
seperti apakah akan pindah ke kota lain, mengubah karir Anda, menikah dengan pasangan Anda atau
untuk memiliki anak. Anda merasa diri seperti menjadi korban di dunia ini, dan sering merasa tak
berdaya dengan keadaan dan keinginan orang lain. Anda juga sering menderita sakit perut.
Chakra Jantung. Jika Chakra Jantung Anda KUAT, Anda menikmati hubungan yang nyaman, penuh kasih
dan empati di rumah, di tempat kerja dan di komunitas Anda. Anda cocok dengan keluarga Anda.
Teman-teman Anda melihat Anda sebagai orang yang dapat diandalkan. Di tempat kerja, Anda dikenal
sebagai salah satu orang bisa diajak bicara. Anda merasakan ketulusan dan rasa syukur atas betapa
indahnya kehidupan yang Anda jalani dan memiliki sifat belas kasih untuk semua sekitar Anda. Jika
Chakra Jantung Anda LEMAH atau TERTUTUP, Anda cenderung untuk menyabot hubungan Anda dengan
ketidakpercayaan, kemarahan, dan perasaan bahwa Anda akan kehilangan kemerdekaan Anda jika Anda
terlalu mengandalkan orang lain. Anda mungkin berjuang dengan komitmen, sering mengalami
pertengkaran atau kesalahpahaman dengan orang yang Anda cintai, dan selalu merasa was-was atau
khawatir bila sampai orang lain melukai hati Anda.
Chakra Tenggorokan. Jika Chakra Tenggorokan Anda KUAT, Anda pandai menyuarakan pikiran-pikiran,
ide dan emosi untuk orang di sekitar Anda. Anda dikagumi karena kemauan dan keterampilan
komunikasi yang kuat, dan keyakinan Anda untuk berbicara kebenaran, bahkan saat Anda menyadari
apa yang Anda bicarakan mungkin tidak nyaman bagi beberapa orang. Sebagai hasilnya, karir dan
kehidupan pribadi Anda yang semakin dapat diandalkan dan meraih kekayaan. Jika Chakra Tenggorokan
Anda LEMAH atau TERTUTUP, Anda selalu merasa tak ada yang peduli tentang pendapat Anda, dan
bahwa Anda tidak ada nilai untuk mengatakan. Anda cenderung dikenal sebagai seorang pendiam di
kalangan profesional dan sosial. Dan Anda sering memilih, memutuskan, dan menyelesaikan pekerjaan
Anda sendiri dengan mengikuti pendapat orang lain. Anda sering menderita sakit dan tersumbat pada
seputar tenggorokan.
Chakra Intuitif. Jika Chakra intuitif Anda KUAT, Anda mampu membuat keputusan intuitif yang akurat
dan evaluasi tentang karir Anda, keluarga Anda dan niat orang lain. Anda sering tahu hal-hal tanpa harus
tahu persis bagaimana Anda mengenal mereka. Anda merupakan figur yang mempunyaj kepribadian
utuh, memiliki arah yang jelas, serta kejelasan dalam segala hal yang Anda lakukan. Anda memiliki
gambaran yang jelas pada saat hidup Anda di pimpinan oleh orang lain. Namun orang-orang di sekitar
Anda akan bergantung pada Anda untuk meminta bimbingan, saran dan nasehat. Jika Chakra intuitif
Anda LEMAH atau TERTUTUP, Anda memiliki kecenderungan untuk merasa tidak berdaya atau hilang
ketika menghadapi keputusan dan panggilan untuk pertanggungjawaban suatu permasalahan atau
pekerjaan. Anda ragu-ragu, tidak mengikat dan tidak percaya diri atas keputusan yang Anda buat sendiri,
karena Anda memiliki sejarah pernah membuat suatu keputusan yang salah. Anda merasa kehilangan
daya spiritual, dan tujuan sejati Anda tidak jelas bagi Anda. Anda sering mengalami sakit kepala,
merasakan ketegangan otot dan saraf di daerah alis mata Anda.
Chakra Mahkota. Jika Chakra Mahkota Anda KUAT, Anda terus-menerus merasa terhubung dengan
kekuatan yang lebih tinggi, baik itu Tuhan sebagai kekuatan transenden, Kesadaran Universal atau hanya
diri Anda lebih tinggi. Saat Anda melangkah menjalani kehidupan sehari-hari, selalu diingatkan bahwa
Anda sedang diawasi atau semua yang Anda lakukan mempunya efek sebab-akibat secara langsung
untuk kehidupan di waktu yang akan datang. Anda benar-benar merasa berterimakasih untuk cinta
universal pada diri Anda sendiri maupum orang lain. Sementara bagi orang lain akan menggambarkan
Anda sebagai pancaran sinar yang selalu menerangi orang-orang di sekitarnya. Jika Chakra Mahkota
Anda LEMAH atau TERTUTUP Anda cenderung merasakan lemahnya koneksi dengan yang transenden
atau tidak ada kekuatan yang lebih tinggi, dan selalu merasa sendirian. Anda merasa tidak layak
mendapat bantuan rohani, dan bahkan mungkin marah karena kekuatan yang lebih tinggi telah
meninggalkan Anda. Anda sering menderita migrain dan sakit kepala karena perasaan tegang, gelisah
dan terburu-buru.

Reinkarnasi Atau Hukuman Tuhan ?



Peristiwa ini kami alami pada bulan Februari tahun 2006 menjelang perayaan hari raya Iedul Adha. Kami
pulang kampung untuk menyembelih hewan korban. Kami putuskan membeli wedhus sebagai hewan
kurban. Dua hari menjelang hari raya aku berkeliling bersama istri mencari wedhus, pikir ku dapat
wedhus yg gedhe dgn duit pas-pasan. Aku berhenti di toko swalayan khusus menjajakan wedhus di
pinggir jalan. Ku tawar seekor kambing merk benggala warna putih yang amat besar. Tawar menawar
berlangsung alot akhirnya tidak putus karena waktu itu budgetku pas-pasan. Sewaktu aku pamit undur
dan meminta maaf karena tidak jadi beli. Aku putuskan cari kambing di tempat lain saja; tiba-tiba nggak
ada sebab apa-apa si kambing yang tadi ku tawar ngamuk. Nyeruduk sana sini ditundukkan oleh yang
jaga malah semakin ngamuk. Hingga akhirnya talinya putus. Kambingnya lari mengejarku, yg sedang
menghidupkan mobil pik up bosok kesayangan. Sampai dekat pintu mobil, kambing tiba-tiba berhenti,
lalu diam dan tenang. Kambing mengembik lirih, tapi kulihat matanya berkaca-kaca mengeluarkan air,
saat itu istriku berkata lirih;
maaf ya dhusduitku nggak cukup buat membelimu, mudah-mudahan kamu dibeli orang lain dan
hidupmu bermanfaat untuk manusia. Dengan cara itu, mudah-mudahan kamu dapat pengampunan
hukuman dari Tuhan. Dagingmu akan bermanfaat buat makan orang-orang yang hidupnya kekurangan.
Jangan ngamuk ya, pasti ada orang lain yang akan menyempurnakan hidupmu.
Aneh, kambing itu diam dan sepertinya memperhatikan ucapan istriku. Aku berfikir, mata kambing itu
sepertinya bukan mata binatang, tapi memancarkan aura mata manusia. Tanpa ditarik lagi oleh yang
punya kambing itu berbalik arah menuju kandang penampungan di tepi jalan.
Aku dan istri melanjutkan keliling, menuju ke desa-desa, ketemu seorang penggembala yang memiliki
banyak domba. Ku pilih salah satu yang paling besar, gemuk dan memenuhi syarat. Sesampai di rumah
desa, domba kuberi makan dedaunan, rumput dan kusediakan air mentah untuk minum. Sehari berlalu,
hingga tengah malam si domba kok tidak mau makan rumput, maupun dedaunan dan tidak mau minum
juga. Perutnya tampak sampai lengket. Aku khawatir kalau-kalau domba itu sakit. Padahal besok paginya
akan disembelih. Malam kian larut, waktu itu aku ketiduran sekitar jam 24.00. Kira-kira jam 02.00 aku
terbangun oleh suara sayup-sayup tangisan seseorang. Arahnya dari tempat domba yang kutaruh di
samping rumah. Istriku bilang coba cermati, sesungguhnya itu suara domba kita. Aku keluar rumah, lalu
duduk di teras sambil mengamati si domba. Domba itu menatapku tajam, diam. Karena sejak kemarin
domba itu tidak aku ikat dan kubiarkan saja bebas berkeliaran, lalu si domba melangkah menghampiriku
yang duduk mengamatinya di teras depan rumah. Si domba berhenti melangkah namun matanya
menatap mataku, penuh iba, lagi-lagi tampak keluar air mata hingga meleleh air mata si domba.
Wah..benar-benar menangis domba ini. Tapi apa maksudnya, aku coba mencerna. Aku cermati rumput,
dedaunan, air semuanya utuh tak ada yang berkurang. Berarti domba ini bener-bener mogok makan,
pikirku. Aku meninggalkan domba itu lalu kembali masuk ke rumah lalu tidur lagi. Jam 04.30 aku
terbangun, lagi-lagi mendengar suara tangisan yang asalnya mengarah pada domba di samping rumah.
Istriku menyuruh keponakan untuk memberi makan kambing dengan nasi putih. Kebetulan di rumah ada
sisa martabak, digunakan sebagai lauknya. Nasi dengan lauknya martabak menjadi secobek besar
penuh. Di tambah satu panci rantang teh hangat manis. Semua menu makanan diberikan ke si domba.
Ponakanku kaget, loh..ternyata si domba doyan makan nasi dengan lauk dua potong martabak. Nasi
segitu banyaknya dilalap sebentar langsung habis tak bersisa. Berikut teh manis serantang juga langsung
disruput sampai habis. Aku suruh ponakan membuatkan kopi pake panci rantang pula. Lalu diberikan
lagi ke si domba. Benar saja kopi manis itu diminum juga hingga tinggal sisa kurang dari 1/4 rantang.
Paginya setelah shalat ied, tukang jagal datang ke rumah untuk memotong hewan korban. Tepat jam
09.00 si domba sudah dipotong lalu daging dibagi-bagi ke tetangga kiri-kanan. Selesai.

SOSOK MISTERIUS

Malam harinya, ketika itu kami ada di kamar bersama istri sedang bersantai sambil nonton tv, kira-
kira jam 18.30 wib. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu jendela kamar. Tok..tok..tok..! Siapa ya ?
Heningnggak ada jawaban. Istriku minta supaya jendelanya dibuka saja, karena ada seseorang yang
datang. Aku langsung buka jendela kamar..kaget sekali ! Aku lihat sosok laki-laki misterius. Suasana agak
remang, dalam penglihatanku hanya wujud bayangan tubuh seorang lelaki seperti siluet. Kira-kira
tingginya 155 cm badannya agak kurus, mengenakan pakaian zaman dahulu. Ia mengenakan ikat kepala
warna hitam. Kamu siapa, ada apa datang kemari ? tanyaku kepada sosok misterius itu. Lho..ternyata
ia bisa menjawab dalam bahasa Jawa yang biasa digunakan kira-kira dua abad yang lalu,..saya
terimakasih sekali, akhirnya mendapat pengurangan siksa (Tuhan), saya mau melanjutkan perjalanan.
Kamu siapa ? sosok misterius itu menjawab,saya yang sudah disembelih tadi pagi, saya anaknya
.(sosok misterius itu menyebutkan nama laki-laki dan perempuan, mungkin orang tuanya). Aku agak
kaget, ia menyebutkan nama orang tuanya dengan nama-nama yang sudah tidak lazim dipakai untuk
orang zaman sekarang. Aku tanya sekali lagi, rumahmu dulu di mana ?, ia tak menjawab, hanya
menggelengkan kepala. Sosok misterius itu lalu menundukkan badan sebagai bahasa isyarat untuk
mohon pamit dan terimakasih. Plasshilang ! Ya Tuhan, ampunilah dosanya. Lepaso parane jembaro
kubure. Aja parang tumuleh terusna lampahmu !

REINKARNASI (Hukuman Tuhan) ?

Aku berfikir..apakah ini yang dinamakan reinkarnasi ? ataukah bukan termasuk reinkarnasi, melainkan
bentuk siksaan Tuhan atas dosa dan kesalahannya sewaktu hidup di dunia dulu ? Ataukah reinkarnasi itu
juga merupakan salah satu bentuk hukuman Tuhan ? Tapi ada satu hal yang saya ingat dengan apa yang
dulu diceritakan eyang-eyang ku, bahwa orang yang mengalami reinkarnasi, yang diingat hanya siapa
orang tuanya, dan apa saja dosa-dosanya dulu waktu masih hidup di dunia hingga sekarang mendapat
hukuman seperti itu. Ataukah ini juga yang disebut siksa kubur, atau kah ini maksudnya bangkit dari
kubur dengan rupa-rupa wajah atau wujud sesuai perbuatannya dulu.
Saya jadi teringat, tetangga saya 5 tahun yang lalu pernah memiliki seekor anjing yang tiap senin dan
kamis berpuasa. Mungkinkah anjing itu berpuasa senin-kamis sebagai bentuk permohonan ampunan
kepada Tuhan ? Eyang saya dulu punya burung perkutut yang berpuasa setiap hari kamis kliwon dan
sabtu pahing. Usia perkututnya sampai 60 tahun turun temurun 3 generasi. Waktu itu tahun 1992 eyang
dari Solo maringke perkutut kepada kami. Kami heran, karena eyang bilang kalau burung perkutut itu
tidak usah repot diambil ke Solo. Biar burungnya saja yang pergi sendiri ke Jogja. Aneh tenanmasak
manuk iso mabur dewe teka omahku ? Saya tertawa terpingkal karenaeyang bilang besok hari Jumat
Legi perkutut yang ku paringke kamu, mau berangkat ke Jogja sendiri. Kami hanya diminta menyiapkan
sangkarnya saja, dan pintu sangkarnya agar dibuka. Eh..tau-tau Jumat Legi malam hari si perkutut itu
sudah datang hinggap di ranting taman belakang rumah, lalu hinggap dan masuk sendiri ke dalam
sangkar. Nyai..nyai Beja !


KU SAKSIKAN DENGAN MATA KEPALA SENDIRI,
KEBESARAN TUHAN BEGITU DEKAT DI DEPAN MATA

Dari kisah di atas, kami berfikir dan bisa merasakan langsung BETAPA rahasia ilmu Tuhan itu benar-
benar Mahaluas. Kami mersa sebagai manusia amat kecil bak butiran debu yang tiada artinya. Jasad ku,
kemampuanku, kebisaanku, pengetahuanku, sungguh kerdil, bak pungguk yang berjalan ngesot.
Hanyalah amal kebaikan kita saja yang dapat memenuhi jagad bumi ini. Itupun masih belum ada setets
air laut dibanding Ilmu Tuhan Mahabesar ! Duh Gustiampunilah hamba Mu ini. Tiada kata-kata yang
pantas terucap, kecuali ucapan rasa syukur atas segala anugrah dan rahmatMu ya Tuhan. Tiada
perbuatan yang layak kulakukan lagi, kecuali harus beramal kebaikan pada sesama sebagai wujud
syukur ku yang paling nyata kepadaMu, Gusti Ingkang Akarya Jagad. Semakin ku kagumi Engkau,
semakin merasa kecil dan bodoh aku, lalu semakin kutakuti pula Engkau.

Kunci Merubah Kodrat
KASIH SAYANG DAN KETULUSAN
KUNCI MENDAPATKAN WIRADAT


Sekelumit kisah yang ingin saya share kepada semua rekan-rekan ku di sini. Tujuannya ujub, sombong,
dan takabur ? TIDAK samasekali ! Semata-mata pengalaman ini saya tulis sebagai wujud rasa syukur saya
kepada Tuhan YME, di mana kami bersama istri diberi kesempatan emas untuk menyaksikan dan
mengalami langsung betapa Tuhan itu benar-benar Maha Welas Asih, Maha Penyayang dan Mahakuasa.
Saya juga berharap, mudah-mudahan kisah ini bisa menggugah semangat bagi siapapun yang sedang
mengalami penderitaan, dan nompo ganjaran sakit berat dari Gusti Allah. Semangat hidup dan
semangat untuk sembuh harus tetap ditumbuhkan dari dalam diri, karena dengan bekal semangat itulah
menjadi obat paling mujarab, sedangkan obat-obat medis dan alternatif sebatas mensupport
kesembuhan. Dengan semangat itu pula, mukjizat Tuhan dapat kita raih. Mukjizat Tuhan hanya untuk
orang-orang yang percaya saja. Selain dari itu, saya mendapatkan pelajaran berharga sekaligus
membuktikan apa yang pernah diucapkan oleh leluhur saya sewaktu masih hidup, beliau mengatakan
bahwa kodrat kuwi isih bisa disuwunake wiradat nggercarane krana welas asih lan sakbener-benere
tulusing ati ! artinya kodrat itu masih bisa dimohonkan untuk wiradat, caranya dengan sarana kasih
sayang dan ketulusan hati ! Dalam konteks ini leluhur saya yang culun dan ndeso, memahami kodrat
dengan maksud menunjuk ketentuan Tuhan yang telah berlangsung, dan wiradat diartikan sebagai
dispensasi atau bahkan Tuhan berkenan mengubah apa yang telah menjadi kodrat tadi.

Bertahun-tahun lamanya saya berusaha mencerna nasehat itu, namun terasa bebal otak saya untuk
menelaahnya, karena bagi saya sangat sulit untuk memahami kalimat yang terlalu sederhana di atas.
Memang kalimatnya terpampang seculun itu namun menyisakan pertanyaan mendasar di benak ini,
lantas kasih sayang yang seperti apa yang mampu menjadi sarat agar mendapatkan wiradat dari Tuhan
Yang Mahakuasa ? Nah, kalau kodrat itu bisa dirubah jangan-jangan kodrat tersebut hanyalah
kehendak yang belum tuntas jalan ceritanya ? Entahlah, terus terang saya makin mumet dibuatnya. Dan
saya tidak akan membahas sistem bekerjanya kodrat Tuhan karena hal itu sama halnya memahami
jalan pikir Tuhan. Jika membayangkan jalan fikir Tuhan terus terang ciut nyaliku, karena sama halnya
memberhalakan Tuhan, menganggap Tuhan bagaikan manusia saja yang musti menggunakan jalan fikir.
Makin jauh dan mbulet lah !

Diagnosa Yang Mengejutkan
Peristiwa ini terjadi belum lama kira-kira sejak 1 tahun yll. Saat kami dikejutkan oleh hasil diagnosa
dokter yang sedang melakukan USG pada kandungan istri saya. Waktu itu saya antar isteri ke dokter RS
Pantirapih Jogja untuk melakukan cek up routin setahun sekali. Cek up jantung, paru-paru, hati,
pankreas, liver. Semua hasilnya baik, matur sembah nuwun duh Gusti! Lantas saya minta dokter
memeriksa bagian organ ginjal, dokter mulai mengarahkan ujung sensor USG ke bagian ginjal. Lalu
dokter bilang, ginjal kiri dan kanan semuanya baik tak ada masalah ! Loh..?? Saya seketika meminta
pak dokter mengulangi diagnosa ginjal, coba dokter, saya minta diulangi lagi, saya ingin melihat mana
dan seperti apa ginjal sebelah kiri, dan yang sebelah kanan !? Dokter menuruti kembali mengarahkan
alatnya untuk mengecek ginjal kanan, ya terlihat jelas dan bagus ! Sebentar kemudian istri saya meminta
dokter segera mengecek ginjal kirinya sembari layar USG diarahkan lebih jelas ke hadapan istri saya yang
saking penasarannya. Istri saya terperanjat, dokteritu benar ginjal kiri saya ? Dokter menyahut, ya
benar, memang kenapa bu? Saya dan istri hanya diam namun saling bertatapan mata beribu makna
karena terkesima. Saya menyahut, nggak apa-apa kok dokmakasih dok !

Satu Ginjal, Menjadi Utuh Kembali
Sepulang dari USG, saya dan istri masih tercengang atas apa yang tampak oleh hasil diagnosa USG tadi.
Ginjal kiri kanan utuh ??!! Mungkin bagi orang yang tak pernah menghibahkan satu ginjalnya ke orang
lain, bukanlah hal yang mengejutkan. Namun karena istri saya 20 tahun yll pernah menghibahkan ginjal
sebelah kirinya kepada Ibu angkatnya. Awal dari kisah ini, pada waktu istri saya duduk di bangku SLTA,
diangkat anak oleh keluarga petinggi AD di Jakarta. Beberapa tahun setelah diangkat anak, Ibu angkat
istri saya mengalami gagal ginjal kedua-duanya (kiri-kanan). Waktu itu satu persatu anak-anak kandung
diperiksa ginjalnya apakah cocok dan memenuhi syarat medikal untuk ditransplantasi ke Ibu
kandungnya. Aneh, tak satupun yang cocok dan memenuhi sarat medis. Sebaliknya hanya ginjal milik
anak angkatnya saja yang cocok dan memenuhi sarat medis, alias ginjal milik (calon) istri saya.
Transplantasi dilaksanakan di RSAD Gatot Subroto Jakarta, sejak itu sekian puluh tahun istri saya hidup
dengan satu ginjal saja. Efeknya hanyalah agak cepat merasa lelah.

Waktu itu Ibu angkatnya (calon) isteri saya sudah berumur sekitar 60 tahun sewaktu ginjalnya
ditransplantasi. Pada usia sekitar 75 tahun Ibu angkat meninggal dunia dengan tenang dan sakit karena
tua. Berarti ginjal istri saya dipakai selama kira-kira 15 tahun lamanya. Lalu, pada suatu siang hari (calon)
istri saya yang waktu itu sudah tinggal lagi di Jogja, tiba-tiba dipanggil Ibu angkat yang sedang opname di
RSAD Jakarta. Sesampainya di Jakarta langsung menuju RS membesuk Ibu angkat. Lantas beliau berkata
pada (calon) istri saya, Hyasaku matur nuwun banget yo wis mbok silihi ginjelmu seprana-seprene,
saiki aku wis ora butuh meneh.nyoh tampanen ginjelmu saiki tak balekke nyang nggonmu yo. (Hyas,
aku berterimakasih sekali ya, sudah kamu pinjemi ginjalmu selama ini, sekarang aku sudah tidak perlu
lagi, nih..terimalah ginjalmu sekarang aku kembalikan padamu ! Ibu angkat berucap demikian dengan
penuh ketulusan berterimakasih, sembari tangannya seolah-olah memungut ginjalnya di perutnya
sendiri lalu ditempelkan ke perut (calon) istriku. Malamnya Ibu angkat meninggal dunia dengan tenang,
pulang ke haribaan Tuhan YME.

Pada Tahun 2005 akhir, saya pernah bermimpi namun sulit membedakan apakah tadi itu mimpi atau
memang dalam keadaan setengah sadar saya melihat ada seorang berpakaian layaknya Raja, diiringi
beberapa orang berpakaian Jawa kuno membawa semacam bokor kencana (cupu besar terbuat dari
emas). Setelah dibuka, bokor kencana tersebut berisi ginjal dan dengan sekejap kurang dari 5 detik,
rombongan tadi seperti memasang ginjal yang dibawanya ke dalam perut istri saya. Sewaktu saya
sadar betul, dalam posisi sedang terduduk di atas amben, samping istri saya yang sedang tertidur seperti
orang dibius. Saya bangunkan istri dan saya tanya apa yang dirasakan, katanya tidak merasakan apa-apa.
Saya menceritakan apa yang barusaja terjadi di alam mimpi entah noumena gaib kali ini saya tak bisa
membedakannya. Setelah kejadian itu, kami tak pernah membahas lagi, namun istri saya merasakan
badannya tidak seperti dulu karena terasa lebih fit dan tak mudah lelah. Barulah pada awal 2008 ketika
kami pergi ke dokter melakukan cek up routin, semua misteri itu terkuak. Sampai-sampai kami berdua
ragu atas hasil diagnosa dokter, hingga akhirnya kami berkunjung ke tempat saudara yang buka RS di
Majenang, untuk bersilaturahmi dan sekalian melakukan USG lagi. Hasilnya sama, ginjal istri saya benar-
benar telah pulih, kembali menjadi dua lagi setelah sekian puluh tahun dihibahkan kepada Ibu
angkatnya.

Mukjizat Menakjubkan
Dari kisah di atas ada suatu pelajaran berharga untuk hidup kami berdua khususnya, bahwa segala
sesuatu yang mustahil hanyalah karena keterbatasan kekuasaan manusia semata, sementara itu tak ada
yang mustahil bagi Hyang Mahawisesa, Tuhan Yang Mahakuasa. Apapun bisa terjadi. Selain itu, segenap
pertanyaan yang ada dalam benak selama ini terjawab sudah. Benar apa yang dinasehatkan oleh leluhur
waktu itu, bahwa kodrat dapat diwiradat melalui kasih sayang dan ketulusan yang luar biasa. Tanpa ada
contoh atau pengalaman hidup yang dapat dijadikan sebagai indikator mengukur ketulusan dan kasih
sayang yang seperti apa sehingga dapat menjadi syarat terjadinya wiradat, tampaknya saya tak akan
mampu memahami kalimat tersebut. Di satu sisi Ibu angkat istri saya telah mencurahkan kasih sayang
yang tulus pada istri saya selayaknya anak kandung sendiri. Sementara itu istri saya memberikan
ginjalnya kepada ibu angkatnya dengan penuh ketulusan dan keikhlasan pula tanpa berharap imbalan
apapun. Masing-masing melakukannya secara tulus dan penuh kasih. Bahkan saat dibagikan warisan
berupa sebidang tanah dan bangunan di Cipayung Bogor, istri saya tetap menolak, alasannya justru
karena pernah memberikan sesuatu yang sangat berharga pada Ibu angkatnya. Takut bila akan
mencemari atau menggugurkan ketulusan yang pernah ia berikan pada sang Ibu (angkat). Dan selama
puluhan tahun hanya dengan satu ginjal harus bekerja berat agar dapat menanggung banyak kehidupan.
Selama itu tak pernah ia mengeluh dan merasa menyesal, bahkan pada suatu waktu saat kena marah
ibu angkat, tak pernah pula istri saya mengungkit-ungkit jasa baiknya. Yah, saya banyak belajar tentang
budi pekerti yang luhur (akhlakul karim), ketulusan, keikhlasan, dan ketabahan yang ada pada istri saya
tercinta. Dan saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa kekuasaan Tuhan sungguh sangat
dekat dengan diri manusia. TuhanGusti Allah, Gusti kang Akaryo Jagad, jauh tidak ada jarak, dekat tak
bersentuhan. Matur sembah nuwun duh Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, sebagai wujud terimakasihku,
aku harus selalu belajar tulus, ikhlas, sabar, dan tabah. Jangan enggan membantu sesama, berbuat
baiklah pada orang lain tanpa pamrih, tak perlu berharap-harap pahala, tak suka membangun
permusuhan, hanya kinarya karyenak ing tyas sesama. Kembali pada kodrating manungsa, duwe rasa,
ora duwe rasa duwe. Sebagai wujud netepi kodrat Ilahi Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Berbuat
baik pada orang lain itu sesungguhnya berbuat baik untuk diri kita sendiri. Dan satu lagi ; mukjizat
Tuhan hanya bagi orang yang percaya saja. sabdalangit

Rahasia Di Balik 40 Hari
RAHASIA DI BALIK 40 HARI

Dalam khasanah Kejawen angka 40 memiliki makna penting sekali (keramat). Karena di dalamnya
terkandung sebuah rahasia kehidupan sebagai mana dimaksud dalam ungkapan kakangne lembarep,
adine wuragil atau kakaknya sulung, adiknya bungsu (Lihat posting; Pintu Pembuka Rahasia Spiritual
Raja-Raja Mataram/Wirit Maklumat Jati/Wirit Saloka Jati). Ungkapan itu bermakna bahwa kelahiran kita
di dunia ini sebagai sebuah akhir proses triwikrama sekaligus awal kehidupan manusia di
mercapada. Selanjutnya kematian merupakan akhir dari kehidupan semu (duniawi), sekaligus
merupakan awal dari kehidupan yang sejati.

Angka 40 di awal dan 40 di akhir kehidupan.
Banyak terjadi kesimpang-siuran pemahaman kapan bayi dalam kandungan telah memiliki nyawa.
Banyak pula orang menyangka setelah usia kandungan menginjak bulan keempat barulah bayi ditiupkan
nyawa. Tapi tidak sedikit pula yang lebih percaya bilamana usia bayi dalam kandungan ibu akan
ditiupkan nyawa tepat pada hari ke 40. Mana yang benar ? Pemahaman yang berbeda-beda itu
disebabkan tidak terdapat keterangan secara tegas di dalam kitab suci kapan waktunya si jabang bayi
dalam rahim ibu mulai ditiupkan nyawa. Walaupun demikian, ada beberapa keterangan dalam bentuk
samar yang kemudian dijadikan dasar penafsiran masing-masing.

2.3 Juta Aborsi Per Tahun !!
Tulisan ini terpaksa saya paparkan di sini mengingat betapa di era modern ini semakin banyak kasus-
kasus pengguguran bayi yang dilakukan oleh orang tua si jabang bayi sendiri dengan alasan medis
maupun alasan klasik kehamilan yang tidak dikehendaki. Bayangkan saja dalam setiap tahun terjadi rata-
rata 2,3 juta kasus aborsi di negeri ini, dengan jumlah korban sebanyak 200 wanita meninggal dunia
dalam setiap harinya akibat kasus aborsi ini. Bahkan pelaksana aborsi tidak jarang dilakukan oleh
seorang dokter yang telah disumpah untuk mempertanggungjawabkan ilmunya di depan organisasi IDI
dan di hadapan Tuhan. Para pelaku pengguguran biasanya tidak merasa bersalah, karena menganggap
jika si jabang bayi yang malang belumlah memiliki nyawa. Dalam kasus tertentu, seseroang terkadang
asal meyakini saja bahwa si jabang bayi baru bernyawa setelah usia kandungan menginjak bulan ke 4.
Bisa saja asumsi ini dipilih sebagai alasan penghibur yang dicari-cari saja, untuk menghalalkan
pengguguran si jabang bayi, dan masih diperbolehkan karena usia kandungannya belumlah genap 4
bulan.

Nyawa di hari ke 40
Mungkin di antara pembaca ada yang lebih percaya jika di usia 4 bulan kandungan si jabang bayi baru
memiliki nyawa. Tapi sekali lagi, tak ada patokan yang jelas untuk memihak yang mana. Saya dulu
pernah mengalami keraguan mana yang dapat dipercayai, apakah usia 40 hari ataukah 4 bulan. Hingga
akhirnya pada bulan Maret tahun 2005 yang lalu terkuaklah satu misteri kehidupan ini, sehingga
membuat saya pribadi tiada keraguan lagi bahwa pada saat usia kandungan genap 40 hari jabang bayi
mulai bernyawa. Di samping suatu pengalaman gaib yang sangat berharga, bila dikaitkan dengan
kepercayaan bahwa setelah seseorang meninggal dunia hingga hari ke 40 setelah wafat rohnya tetap
tinggal di rumahnya sendiri. Rumus 40 hari pra kelahiran dan 40 hari pasca kematian menjadi sinkron.

Kisah Gaib Sebagai Pembuktian

Kisah ini terjadi tahun 2005 di saat kakak dari seorang teman saya, sebut saja Pak T yang barusan selesai
membangun rumah pondokan di wilayah Jaktim. Selama membangun sampai selesai tidak terjadi gejala
apapun. Nah giliran pada waktu kamar pondokan telah laku disewa seseorang, mulailah terjadi hal-hal
yang aneh. Beberapa alat rumah tangga sering berpindah tempat tanpa ada yang merasa memindah.
Beberapa kali si penghuni mengalami kesurupan hantu perempuan. Yang paling mengganggu adalah
munculnya bau bangkai yang sangat menyengat tanpa dapat diketahui dari mana sumber bau bangkai
itu. Pak T lantas minta tolong seorang Kyai untuk mengatasi bau bangkai tersebut. Beserta para
santrinya, Pak Kyai lantas mengadakan berbagai upacara, doa-doa, wirid pengusiran makhluk halus
pengganggu. Namun demikian langkah itu belum menampakkan hasil yang diharapkan. Kembali esok
malamnya, para santri menggali bagian lantai di bawah tangga yang diduga menjadi sumber bau
bangkai. Lantai keramik digali, selanjutnya ditanam bunga setaman dan para santri berdoa mengelilingi
lobang galian tersebut. Selesai upacara ritual itu para santri menutup kembali lantai yang berlubang. Al
hasil, esok harinya bau bangkai tetap menyengat. Malah terasa semakin kuat menyengat baunya.

Selang dua minggu kemudian teman saya menceritakan kejadian itu. Malamnya kami sempatkan datang
ke rumah Pak T. Begitu kami menginjak di halaman rumah pondokan itu, tampak sosok perempuan
sekitar usia 30 tahun menyambut kami bersama istri. Berikut ini saya catat komunikasi yang terjadi
waktu itu;

P = perempuan misterius

S : Anda siapa ?
P : saya tidak punya nama. Saya dulu digugurkan orang tuaku sewaktu umur 41 hari dalam perut
ibuku. Jasad saya dulu dikubur di pekarangan ini.
S : (hati kecil saya iba sekali mengetahui kronologi kisah arwah perempuan itu) Baiklah, kalau gitu
apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu ?
P : aku minta tolong disempurnakan, agar tidak ada lagi ganjalan dalam meneruskan
perjalananku.
S : rumahmu di mana ?
P : dia hanya menunjuk arah ke rumah pondokan Pak T.
S : ya, besok malam saya akan ke sini lagi. Oh ya apa agamamu ?
P : diam hanya menggelengkan kepala.
S : oh ya maaf, aku tahu kamu belum sempat lahir sehingga belum pernah mempunyai agama.
Dan di dalam dimensi mu sekarang, tentunya sudah tak diperlukan lagi agama.

Malam besoknya seperti sudah kami janjikan, sepulang dari ngurus pekerjaan kantor, saya langsung
mampir ke rumah pondokan Pak T. Sebelumnya saya suruh seseorang menyiapkan piranti upacara
penyempurnaan arwah a la tradisi Jawa berupa tumpeng pungkur komplit. Ubo rampe ku bawa masuk
ke rumah pondokan Pak T, dan arwah perempuan membimbing saya menunjukkan lokasi di mana dulu
ia dikuburkan. Arwah perempuan itu masuk salah satu kamar yang sudah laku di sewa orang. Saya
dipersilahkan masuk oleh orang yang menempati kamar itu. Ternyata arwah perempuan itu menunjuk
lantai tepat di bawah kolong tempat tidur. Itulah tempat di mana ia dikubur. Setelah upacara selesai
kami laksanakan, lalu saya minta tolong penghuni kamar yang kebetulan seorang muslim, untuk
membaca Surat Al Fatekah, dan Al Mulk (doa supaya ditempatkan di dalam kemuliaan alam luhur). Kami
sendiri sibuk melakukan prosesi penyempurnaan arwah. Setelah selesai prosesi, arwah itu tampak
mengucapkan terimakasih dan pamit akan melanjutkan perjalanan. Karena telah tidak ada ganjalan
lagi dengan masalah dunia. Ia hanya berpesan menyebut nama Pak H dan Bu N sebagai nama kedua
orang tuanya. Si arwah minta tolong supaya kami mendatangi orang tuanya untuk menyampaikan pesan
supaya membuatkan kuburan agar menjadi monumen bagi si arwah.. Serta berpesan agar ortunya
membuatkan nama untuk si arwah perempuan tadi. Singkat cerita, Pak H ternyata si pemilik tanah yang
kemudian dibeli oleh seseorang, lalu seseorang itu menjual lagi kepada Pak T. Setelah ketemu dengan
ortu si arwah, ternyata hanya pak H saja yang dapat saya temui karena Bu N sudah tinggalnya jauh dan
bersuami orang lain.

Saya sampaikan apa adanya amanat si arwah kepada Pak H. Ia terkejut kok bisa-bisanya anda tahu
kejadian yang sudah berlangsung sekitar 29 tahun lamanya. Saya geli, dalam hati bergumam, mana
saya bisa tahu, saya kan cuma diceritain anak bapak. Jadi wajarkan, anak Pak H itu kan tetap hidup,
hanya saja tidak punya jasad. Hanya saja sulit dilihat dengan mata wadag.

PELAJARAN

Dari kisah gaib di atas, dapat diambil hikmah:
Pada waktu kandungan berusia usia 40 hari, si jabang bayi telah memiliki ruh.
Ruh mengalami pertumbuhan. Bila di usia kanak-kanak atau belum sempat lahir seseorang telah
meninggal dunia, maka ruhnya tetap mengalami pertumbuhan menjadi dewasa.
Terkadang perjalanan ruh manusia ke dimensi alam ruh terganggu oleh urusan dunia yang tidak
terselesaikan. Sehingga ruh masih berada di dalam dimensi bumi. Ruh inilah yang sering merasuk ke
dalam tubuh orang lain, karena kebingungan untuk menyampaikan pesan kepada orang yang masih
hidup. Sadar akan jasadnya yang telah rusak, maka ruh meminjam jasad orang lain. Terjadilah apa yang
dinamakan sebagai peristiwa kesurupan. Oleh sebab itu seyogyanya kita lebih arif dan bijak, jangan
buru-buru bertindak ikut-ikutan (ela-elu) menganggap kesurupan itu hanyalah ulah setan penggoda
iman. Penyimpulan tergesa-gesa ini sungguh dangkal, jauh dari kearifan. Bisa dibayangkan bagaimana
perasaan kita bila mengetahui anggapan setan itu menimpa para almarhum saudara atau keluarga kita
sendiri.

40 Hari Setelah Kematian

Apa yang terjadi 40 hari setelah kematian seseorang ? Tak ada sumber otentik dalam kitab suci yang
menjelaskan secara tegas. Mungkin rahasia itu dibiarkan tetap menjadi rahasia. Dan menjadi tantangan
tersendiri bagi siapapun yang selalu haus akan dahaga spiritual. Namun bagi ajaran Kejawen, telah
dijelaskan dengan gamblang bila roh manusia akan melanjutkan perjalanannya ke alam baka bila telah
melewati hari ke 40 terhitung sejak hari kematiannya. Selama 40 hari itu roh akan tetap tinggal di
rumah-tinggalnya sendiri. Hanya bagi orang-orang tertentu saja yang pinilih dan terpilih tidak perlu
melewati masa tenggang 40 hari.

Kisah Gaib Sebagai Pembuktian

Saat itu saya menghadiri undangan acara selamatan patangpuluh dina (40 hari) setelah wafatnya
almarhum kerabat sebut saja namanya almarhum Pak W. Saat itu acara doa tahlilan diikuti sekitar 80
orang selesai jam 8 malam, kemudian acara dilanjutkan makan bersama dan membagi kenduri
selamatan. Pada saat acara makan bersama, munculah sosok badan halus perempuan tua kira-kira usia
75 tahun. Ternyata bayangan embah itu ibunya almarhum pak W yang sedang diselamati 40 harinya.
Saat saya melihat foto almarhum ibunya pak W yang terpampang di dinding ternyata wajahnya mirip
dengan sosok bayangan itu. Pastilah ini almarhum ibunya pak W yang telah meninggal dunia tahun
1986 lalu. Seketika saya mencoba mohon izin mengambil gambarnya agar saya mendapatkan bukti,
sebab seringkali apa yang saya lihat dianggap mengada-ada saja. Al hasil, karena menggunakan kamera
HP maka hasilnya langsung terlihat. Saya terkejut sendiri ternyata gambarnya bisa tertangkap kamera.
Entah kebetulan atau karena memang atas ijin almarhum embah itu. Yang paling penting saya sudah
berhasil mendapatkan gambar beliau.

Setalah acara usai, hasil tangkapan kamera HP saya tunjukkan ke keluarganya dan mereka terkejut serta
membenarkan bahwa itu memang gambar ibunya, termasuk pakaiannya itu juga yang dulu paling sering
dikenakan almarhum. Bahkan saya ditunjukkan sarung kesukaannya warna kotak-kotak yang mirip
dengan yang ada di dalam kamera. Selang tidak berapa lama, saya melihat lagi sosok bayangan
almarhum ibu itu tapi tidak sejelas tadi. Roh ibu itu tampak menggandeng anaknya almarhum Pak W
sambil tersenyum melambaikan tangannya, samar-samar terdengar suara pak W, saya melanjutkan
perjalanan ya nak sambil melambaikan tangannya. Saya berfikir pastilah ibu itu hadir di sini karena
ingin menjemput anaknya, tepat di hari ke 40 setelah wafatnya almarhum pak W.

Bencana Spiritual Nusantara
kontemplasi di awal tahun

POTRET NEGERI YANG MENYEDIHKAN
masyarakat yang bingung
di tengah negeri yang membingungkan


Negeri ini minimal memiliki 6 agama yang diakui pemerintah secara resmi. Banyak sekali khasanah
spiritual dalam berbagai media komunikasi langsung dengan ruang publik. Melalui kegiatan sosial,
ceramah, dialog, dan berbagai peringatan hari besar keagamaan. Kekayaan ilmu spiritual juga tampak
dengan begitu mudahnya kita menemukan bahan bacaan sebagai refensi bagi siapapun yang ingin
menggali spiritualitas secara lebih mendalam. Mulai dari tersedianya semua kitab suci agama dan kitab
pendampingnya, serta buku-buku religi, bacaan ringan, makalah, artikel di media masa, majalah, tabloid,
televisi, dan forum diskusi. Sangat banyak ! Tetapi mengapa negeri ini memiliki predikat yang sangat
fantastis bikin malu. Yakni negeri paling korup, negeri penuh musibah dan bencana, termasuk negeri
resiko besar penyakit AIDs, negeri pembalakan liar (illegal logging), negeri tempat berpestanya para
penyeludup dalam negeri-luar negeri, bahkan sebagai ngeri konsumen sekaligus produsen narkoba,
negeri generasi penerus budaya narkoba dengan 1,1 juta pelajarnya maem narkoba.
Tidak cukup itu saja, negeri ini masih mengkoleksi berbagai predikat sebagai negeri yang indah untuk
dunia perselingkuhan, pelecehan sexual, dan gudang segala bentuk permesuman. Malah akhir-akhir ini
mendapat stempel tambahan sebagai negeri yang kaya akan terorisme, bangsa yang gampang
terpancing emosi, gampang diadu domba dan disulut api provokator asing dan dalam negeri sendiri.
Negeri yang penuh dengan intrik dan skandal politik, tunggang menunggang, hingga negeri penuh suap,
kolusi, dan nepotisme. Membanggakan sekali ya ?
Mengapa bisa terjadi nasib sedemikian tragis menimpa negeri ini ? Benarkah negeri ini sudah menjadi
tanah harapan para pemuja setan (nafsu) ? Benarkah tuduhan bahwa negeri ini sarangnya para si kapir
si kopar seperti sering dituduhkan itu ?
Tapi, coba kita berfikir sederhana, sebelum mengambil kesimpulan tersebut. Kapir menurut
pengetahuan saya, adalah orang yang nggak punya agama atau nggak percaya jika Tuhan itu ada.
Masihkah ada orang yang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, sekalipun manusia yang sangat jahat. Kok
rasanya nggak ada ya ? Apa masih ada orang jahiliyah sekarang ini ? Karena negeri ini sudah terlanjur
kondang di seantero jagad dunia manusia sebagai negeri yang agamis dan punya toleransi serta
kerukunan beragama yang sangat ideal. Bangga sekali saya dengan mimpi ku ini. Biarpun kebanggaan
ini kurasakan saat aku lelap tertidur.
Ketika aku bangun, terusik lagi dengan pikiran dunguku, jangan-jangan yang membanggakanku tadi
hanyalah fenomena paradoksal bahwa masyarakat kita yang merasa ke-GR-an sudah berilmu
pengetahua luas dan spiritual tinggi. Jangan-jangan malah tingkat spiritualnya masih sebatas kulitnya
saja ? Jika memang begitu adanya, berarti negeri ini mengalami peristiwa spiritualis mati di lumbung
ilmu spiritual. Pak profesor semaput kekenyangan makan buku. Jangan-jangan tokoh dan masyarakat
kebanyakan berlomba mengaku-ngaku, mengklaim, dan merasa GR ilmunya sudah mumpuni,
spiritualnya sudah tinggi dapat melihat Tuhan sehingga omongannya harus dituruti, nasehatnya kudu
didengar, perintahnya mampu mengubah nilai kharam-khalal, kemurkaannya dapat membuat dan
menentukan dosa-pahala bagi orang lain, lalu merasa paling soleh, paling terpuji, paling baik, paling
bener. Karena itu orang yang tidak sejalan dengan nafsu pikirannya, serta merta disumpah menjadi
kapir.
Dugaanku prasangka buruk ini tidak terlalu suudhon (buruk), karena prasangka tersebut mirip sekali
dengan ciri khas orang bodoh, yang hanya menguasai KULITnya saja. Jika bener, pengetahuannya yang
sebatas KULIT itu bisa berbahaya sekali, karena potensial menimbulkan bentrokan dan perpecahan
bangsa. Kalau nggak salah, pengetahuan KULIT ini kayaknya sepadan dengan pelajaran SD ya ?.
Nahorang lupa atau nggak menyadari diri, jika tugasnya masih harus melanjutkan sekolah hingga
setinggi-tingginya! Bila hidup ini diumpamakan makan kelapa, orang harus menuntaskan hingga tak
bersisa. Makan Kupas kulitnya dulu, lalu tempurungnya, nah dibalik tempurung itu ada daging kelapanya
yang gurih. Tapi jangan keenakan makan daging kelapa saja..bisa cacingen lho, tugas kita adalah
menuntaskan hingga minum air kelapanya. Air yang bening, menyegarkan dahaga spiritual. Air yang
universal, enggak mengharuskan salah satu agama bahan pewarna dalam pencapaian spiritual, air
universe yang bening tapi memiliki rasa, yakni rasa kenikmatan dan anugrah Tuhan. Jangan-jangan air
itu yang namanya hakekat ya ? Mungkinkah..negeri ini penuh dengan orang yang mengalami semaput
akal-nuraninya karena kekenyangan makan kulit ? Kayaknya bisa jadi ya..

KIRA-KIRA SALAH SIAPA YA ?
Kalau dilihat dari gerak-geriknya kebanyakan orang sepertinya sedang mengalami kebingungan pula,
setiap mau menjelajah ke dalam ruang spiritual yag lebih tinggi lagi, selalu ditakut-takuti..misalnya;
Bahaya ! bisa tersesat, bidah, syirik, dan musyrik. Ada lagi alasan yang diharuskan; harus dituntun guru.
Padahal sudah sekian banyaknya ilmu spiritual yg dibukukan, ditulis dalam makalah, naskah, forum
diskusi, tayang di internet..semua itu kayaknya bisa mengganti peranan guru kan ? Mungkin, mungkin
lho ya, mungkin ketimbang mendapat resiko sesat, lalu orang lebih memilih tetap stagnan, mandeg
dalam kebodohan, bahkan konon katanya ada hewan orang hilang akal mengkritik negeri ini
dibilangnya lebih menikmati ke-jahiliah-an ketimbang harus mencoba dan berusaha menggapai
spiritualitas yang lebih baik. Nggak tahu lah saya juga salah satu di antara rakyat negeri bingung yang
sedang bingung. Tapi khayalanku, ada kesan bahwa orang lebih baik jahiliah ketimbang sesat. Lebih
menikmati kulitnya (sekalipun mengandung kolesterol), ketimbang dagingnya (yang banyak
mengandung gizi). Wahduh..kalo gitu siap-siap saja, jika kita semua tidak segera suntik vaksinasi, atau
berobat, atau minum jamu dan makan makanan bergizi tinggi, maka negeri ini bisa menemui azali ajal,
dengan siksaan sekarat terlebih dulu karena mengalami gizi (spiritual) yang buruk. Lalu apa kira-kira
solusinya..?


Hubungan Leluhur & Kembalinya Kejayaan Nusantara
HUBUNGAN KEJAYAAN NUSANTARA
DENGAN PARA LELUHUR BANGSA
Prakata
Kematian bukanlah the ending atau riwayat yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia
lahir kembali ke dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di dimensi bumi. Bila
perbuatannya baik berarti mendapatkan kehidupan sejati yang penuh kemuliaan, sebaliknya akan
mengalami kehidupan baru yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak
terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati. Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi
cahaya yang menyelimuti sukma. Bagi orang Jawa yang belum kajawan khususnya, hubungan dengan
leluhur atau orang-orang yang telah menurunkannya selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai
kapanpun. Bahkan masih bisa terjadi interaksi antara leluhur dengan anak turunnya. Interaksi tidak
dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang terbiasa mengolah rahsa sejati. Dalam tradisi Jawa
dipahami bahwa di satu sisi leluhur dapat njangkung dan njampangi (membimbing dan mengarahkan)
anak turunnya agar memperoleh kemuliaan hidup. Di sisi lain, anak-turunnya melakukan berbagai cara
untuk mewujudkan rasa berbakti sebagai wujud balas budinya kepada orang-orang yang telah
menyebabkan kelahirannya di muka bumi. Sadar atau tidak warisan para leluhur kita & leluhur
nusantara berupa tanah perdikan (kemerdekaan), ilmu, ketentraman, kebahagiaan bahkan harta benda
masih bisa kita rasakan hingga kini.
Ada Apa di Balik NUSANTARA
Bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang ada di muka bumi. Perbedaan
paling mencolok adalah jerih payahnya saat membangun dan merintis berdirinya bangsa sebesar
nusantara ini. Kita semua paham bila berdirinya bangsa dan negara Indonesia berkat perjuangan heroik
para leluhur kita. Dengan mengorbankan harta-benda, waktu, tenaga, pikiran, darah, bahkan
pengorbanan nyawa. Demi siapakah ? Bukan demi kepentingan diri mereka sendiri, lebih utama demi
kebahagiaan dan kesejahteraan anak turunnya, para generasi penerus bangsa termasuk kita semua yang
sedang membaca tulisan ini. Penderitaan para leluhur bangsa bukanlah sembarang keprihatinan hidup.
Jika dihitung sejak masa kolonialisme bangsa Baratdi bumi nusantara, para leluhur perintis bangsa
melakukan perjuangan kemerdekaan selama kurang-lebih dari 350 tahun lamanya. Belum lagi jika
dihitung dari era jatuhannya Kerajaan Majapahit yang begitu menyakitkan hati. Perjuangan bukan saja
menguras tenaga dan harta benda, bahkan telah menggilas kesempatan hidup, menyirnakan
kebahagiaan, memberangus ketentraman lahir dan batin, hati yang tersakiti, ketertindasan, harga diri
yang diinjak dan terhina. Segala perjuangan, penderitaan dan keprihatinan menjadi hal yang tak
terpisahkan karena, perjuangan dilakukan dalam suasana yang penuh kekurangan. Kurang sandang
pangan, kurang materi, dan kekurangan dana. Itulah puncak penderitaan hidup yang lengkap mencakup
multi dimensi. Penderitaan berada pada titik nadzir dalam kondisi sedih, nelangsa, perut lapar,
kekurangan senjata, tak cukup beaya namun kaki harus tetap tegap berdiri melakukan perlawanan
mengusir imperialism dan kolonialism tanpa kenal lelah dan pantang mengeluh. Jika kita resapi, para
leluhur perintis bangsa zaman dahulu telah melakukan beberapa laku prihatin yang teramat berat dan
sulit dicari tandingannya sbb ;
1. Tapa Ngrame; ramai dalam berjuang sepi dalam pamrih mengejar kepentingan pribadi.
2. Tapa Brata; menjalani perjuangan dengan penuh kekurangan materiil. Perjuangan melawan
kolonialism tidak hanya dilakukan dengan berperang melawan musuh, namun lebih berat melawan
nafsu pribadi dan nafsu jasad (biologis dan psikis).
3. Lara Wirang; harga diri dipermalukan, dihina, ditindas, diinjak, tak dihormati, dan nenek moyang
bangsa kita pernah diperlakukan sebagai budak di rumahnya sendiri.
4. Lara Lapa; segala macam penderitaan berat pernah dialami para leluhur perintis bangsa.
5. Tapa Mendhem; para leluhur banyak yang telah gugur sebelum merdeka, tidak menikmati buah yang
manis atas segala jerih payahnya. Berjuang secara tulus, dan segala kebaikannya dikubur sendiri dalam-
dalam tak pernah diungkit dan dibangkit-bangkit lagi.
6. Tapa Ngeli; para leluhur bangsa dalam melakukan perjuangan kepahlawanannya dilakukan siang
malam tak kenal menyerah. Penyerahan diri hanya dilakukan kepada Hyang Mahawisesa (Tuhan Yang
Mahakuasa).
Itulah kelebihan leluhur perintis bumi nusantara, suatu jasa baik yang mustahil kita balas. Kita sebagai
generasi penerus bangsa telah berhutang jasa (kepotangan budhi) tak terhingga besarnya kepada para
perintis nusantara. Tak ada yang dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :
Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah
perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem
kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya
sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi
kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi
kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.
Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis
pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai
budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai
kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan
tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-
ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil
karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan
lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer)
dengan karakter masyarakatnya pula.
Mencermati dan menghayati semua peringatan (wewaler) yang diwasiatkan para leluhur, menghindari
pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan
menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan
segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan
mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.
Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain.
Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan,
menggunting dalam lipatan.
Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau
pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam
leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam
mendoakannya agar mendapat tempat kamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan
merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada buruknya kita meluhurkan
leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan
kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai
dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini.
Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi
tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen
ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di
saat ini. Dengan kata lain ; kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.
Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau
jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris
dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu.
Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan
oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah
milik bersama seluruh warga negara Indonesia.
Generasi Durhaka
Kesadaran kita bahwa bangsa ini dulunya adalah bangsa yang besar dalam arti kejayaannya,
kemakmurannya, kesuburan alamnya, kekayaan dan keberagaman akan seni dan budayanya, ketinggian
akan filsafat kehidupannya, menumbuhkan sikap bangga kita hidup di negeri ini. Namun bila
mencermati dengan seksama apa yang di lakukan para generasi penerus bangsa saat ini terutama yang
sedang memegang tampuk kekuasaan kadang membuat perasaan kita terpuruk bahkan sampai merasa
tidak lagi mencintai negara Indonesia berikut produk-produknya. Di sisi lain beberapa kelompok
masyarakat seolah-olah menginginkan perubahan mendasar (asas) kenegaraan dengan memandaang
pesimis dasar negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa yang telah ada dan diretas melalui proses
yang teramat berat dan berabad-abad lamanya. Golongan mayoritas terkesan kurang menghargai
golongan minoritas. Keadilan dilihat dari kacamata subyektif, menurut penafsiran pribadi, sesuai
kepentingan kelompok dan golongannya sendiri. Kepentingan yang kuat meniadakan kepentingan yang
lemah. Kepentingan pribadi atau kelompok diklaim atas nama kepentingan rakyat. Untuk mencari
menangnya sendiri orang sudah berani lancang mengklaim tindakannya atas dasar dalil agama
(kehendak Tuhan). Ayat dan simbol-simbol agama dimanipulasi untuk mendongkrak dukungan politik.
Watak inilah yang mendominasi potret generasi yang durhaka pada para leluhur perintis bangsa di
samping pula menghianati amanat penderitaan rakyat. Celakanya banyak pecundang negeri justru
mendapat dukungan mayoritas. Nah, siapa yang sudah keblinger, apakah pemimpinnya, ataukah
rakyatnya, atau mungkin pemikiran saya pribadi ini yang tak paham realitas obyektif. Kenyataan betapa
sulit menilai suatu ralitas obyektif, apalagi di negeri ini banyak sekali terjadi manipulasi data-data
sejarah dan gemar mempoles kosmetik sebagai pemanis kulit sebagai penutup kebusukan.
Dosa Anak Kepada Ibu (Pertiwi)
Leluhur bumi nusantara bagaikan seorang ibu yang telah berjasa terlampau besar kepada anak-anaknya.
Sekalipun dikalkulasi secara materi tetap terasa kita tak akan mampu melunasi hutang budi-baik orang
tua kita dengan cara apapun. Orang tua kita telah mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan
kita hari demi hari hingga dewasa. Sedangkan kita tak pernah bisa melakukan hal yang sama kepada
orang tua kita. Demikian halnya dengan para leluhur perintis bangsa. Bahkan kita tak pernah bisa
melakukan sebagaimana para leluhur lakukan untuk kita. Apalagi beliau-beliau telah lebih dulu pergi
meninggalkan kita menghadap Hyang Widhi (Tuhan YME). Diakui atau tidak, banyak sekali kita
berhutang jasa kepada beliau-beliau para leluhur perintis bangsa. Sebagai konsekuensinya atas tindakan
pengingkaran dan penghianatan kepada leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu (pertiwi) kita
sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu dahsyat. Itulah pentingnya kita
tetap nguri-uri atau memelihara dan melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang telah
menurunkan kita khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada umumnya. Penghianatan generasi
penerus terhadap leluhur bangsa, sama halnya kita menabur perbuatan durhaka yang akan berakibat
menuai malapetaka untuk diri kita sendiri.
Sudah menjadi kodrat alam (baca; kodrat ilahi) sikap generasi penerus bangsa yang telah mendurhakai
para leluhur perintis bumi pertiwi dapat mendatangkan azab, malapetaka besar yang menimpa seantero
negeri. Sikap yang melacurkan bangsa, menjual aset negara secara ilegal, merusak lingkungan alam,
lingkungan hidup, hutan, sungai, pantai. Tidak sedikit para penanggungjawab negeri melakukan
penyalahgunaan wewenangnya dengan cara ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut
wuri nyilakani. Tatkala berkuasa menggunakan aji mumpung, sebagai kelas menengah selalu
menyulitkan orang, jika menjadi rakyat gemar mencelakai. Seharusnya ing ngarsa asung tulada, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani. Walaupun tidak semua orang melakukan perbuatan durhaka
namun implikasinya dirasakan oleh semua orang. Sekilas tampak tidak adil, namun ada satu peringatan
penting yang perlu diketahui bahwa, hanya orang-orang yang selalu eling dan waspada yang akan
selamat dari malapetaka negeri ini.
Rumus Yang Tergelar
Saya tergerak untuk membuat tulisan ini setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan sbb; apakah
kembalinya kejayaan nusantara tergantung dengan peran leluhur ? jawabnya, TIDAK ! melainkan
tergantung pada diri kita sendiri sebagai generasi penerus bangsa. Meskipun demikian bukan berarti
menganulir peran leluhur terhadap nasib bangsa saat ini. Peran leluhur tetap besar hanya saja tidak
secara langsung. Keprihatinan luar biasa leluhur nusantara di masa lampau dalam membangun bumi
nusantara, telah menghasilkan sebuah rumus besar yang boleh dikatakan sebagai hukum atau kodrat
alam. Setelah keprihatinan dan perjuangan usai secara tuntas, rumus baru segera tergelar sedemikian
rupa. Rumus berlaku bagi seluruh generasi penerus bangsa yang hidup sebagai warga negara Indonesia
dan siapapun yang mengais rejeki di tanah perdikan nusantara. Kendatipun demikian generasi penerus
memiliki dua pilihan yakni, apakah akan menjalani roda kehidupan yang sesuai dalam koridor rumus
besar atau sebaliknya, berada di luar rumus tersebut. Kedua pilihan itu masing-masing memiliki
konsekuensi logis. Filsafat hidup Kejawen selalu wanti-wanti ; aja duwe watak kere, jangan gemar
menengadahkan tangan. Sebisanya jangan sampai berwatak ingin selalu berharap jasa (budi) baik atau
pertolongan dan bantuan dari orang lain, sebab yang seperti itu abot sanggane, berat konsekuensi dan
tanggungjawab kita di kemudian hari. Bila kita sampai lupa diri apalagi menyia-nyiakan orang yang
pernah memberi jasa (budi) baik kepada kita, akan menjadikan sukerta dan sengkala. Artinya membuat
kita sendiri celaka akibat ulah kita sendiri. Leluhur melanjutkan wanti-wantinya pada generasi penerus,
agar supaya ; tansah eling sangkan paraning dumadi. Mengingat jasa baik orang-orang yang telah
menghantarkan kita hingga meraih kesuksesan pada saat ini. Mengingat dari siapa kita dilahirkan,
bagaimana jalan kisah, siapa saja yang terlibat mendukung, menjadi perantara, yang memberi nasehat
dan saran, hingga kita merasakan kemerdekaan dan ketenangan lahir batin di saat sekarang. Sementara
itu, generasi durhaka adalah generasi yang sudah tidak eling sangkan paraning dumadi.
Tugas dan Tanggungjawab Generasi Bangsa
Sebagai generasi penerus bangsa yang telah menanggung banyak sekali hutang jasa dan budi baik para
leluhur masa lalu, tak ada pilihan yang lebih tepat selain harus mengikuti rumus-rumus yang telah
tergelar. Sebagaimana ditegaskan dalam serat Jangka Jaya Baya serta berbagai pralampita, kelak negeri
ini akan mengalami masa kejayaan kembali yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, bilamana semua
suku bangsa kembali nguri-uri kebudayaan, menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan
lokal (local wisdom), masing-masing suku kembali melestarikan tradisi peninggalan para leluhur
nusantara. Khususnya bagi orang Jawa yang sudah hilang kejawaannya (kajawan) dan berlagak sok asing,
bersedia kembali menghayati nilai luhur kearifan lokal. Demikian pula suku Melayu, Dayak, Papua,
Minang, Makasar, Sunda, Betawi, Madura, Tana Toraja, Dayak dst, kembali menghayati tradisi dan
budaya lokal yang kaya akan nilai-nilai luhur. Bagaimanapun kearifan lokal memiliki kunggulan yakni
lebih menyatu dan menjiwai (manjing ajur ajer) serta lebih mengenal secara cermat karakter alam dan
masyarakat setempat. Desa mawa cara, negara mawa tata. Masing-masing wilayah atau daerah memiliki
aturan hidup dengan menyesuaikan situasi dan kondisi alamnya. Tradisi dan budaya setempat adalah
bahasa tak tertulis sebagai buah karya karsa, cipta, dan karsa manusia dalam berinteraksi dengan alam
semesta. Orang yang hidup di wilayah subur makmur akan memiliki karakter yang lembut, santun,
toleran, cinta damai namun agak pemalas. Sebaliknya orang terbiasa hidup di daerah gersang, sangat
panas, sulit pangan, akan memiliki karakter watak yang keras, temperamental, terbiasa konflik dan tidak
mudah toleran. Indonesia secara keseluruhan dinilai oleh manca sebagai masyarakat yang berkarakter
toleran, penyabar, ramah, bersikap terbuka. Namun apa jadinya jika serbuan budaya asing bertubi-tubi
menyerbu nusantara dengan penuh keangkuhan (tinggi hati) merasa paling baik dan benar sedunia.
Apalagi budaya yang dikemas dalam moralitas agama, atau sebaliknya moralitas agama yang
mengkristal menjadi kebiasaan dan tradisi. Akibat terjadinya imperialisme budaya asing, generasi bangsa
ini sering keliru dalam mengenali siapa jati dirinya. Menjadi bangsa yang kehilangan arah, dengan
falsafah hidup yang tumpang-tindih dan simpang-siur menjadikan doktrin agama berbenturan dengan
nilai-nilai kearifan lokal yang lebih membumi. Ditambah berbagai pelecehan konstitusi oleh pemegang
tampuk kekuasaan semakin membuat keadaan carut-marut dan membingungkan. Tidak sekedar
mengalami kehancuran ekonomi, lebih dari itu bangsa sedang menuju di ambang kehancuran moral,
identitas budaya, dan spiritual. Kini, saatnya generasi penerus bangsa kembali mencari identitas jati
dirinya, sebelum malapetaka datang semakin besar. Mulai sekarang juga, mari kita semua berhenti
menjadi generasi durhaka kepada orang tua (leluhur perintis bangsa). Kembali ke pangkuan ibu
pertiwi, niscaya anugrah kemuliaan dan kejayaan bumi nusantara akan segera datang kembali.
TRAH MAJAPAHIT
Dalam pola hubungan kekerabatan atau silsilah di dalam Kraton di Jawa di kenal istilah trah. Menurut
arti harfiahnya trah adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas darah dalem atau kusuma trahing
narendra, yakni orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga besar secara
genealogis dalam hubungan tali darah (tedhaking andana warih). Banyak sekali orang merasa bangga
menjadi anggota suatu trah tertentu namun kebingungan saat menceritakan runtutan silsilah atau trah
leluhur yang mana yang menurunkannya. Seyogyanya kita masih bisa menyebut dari mana asal-usul
mata rantai leluhur yang menurunkan agar supaya dapat memberikan pengabdian kepada leluhur
secara tepat. Dengan demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya tidak dilakukan dengan asal-
asalan tanpa mengetahui siapa persisnya nenek-moyang yang telah menurunkan kita, dan kepada
leluhur yang mana harus menghaturkan sembah bakti. Jika kita terputus mengetahui mata rantai
tersebut sama halnya dengan mengakui atau meyakini saja sebagai keturunan Adam, namun alur mata
rantainya tidak mungkin diuraikan lagi. Mengetahui tedhaking andana warih membuat kita lebih tepat
munjuk sembah pangabekti atau menghaturkan rasa berbakti dan memuliakan leluhur kita sendiri.
Jangan sampai seperti generasi durhaka yakni orang-orang kajawan rib-iriban yang tidak memahami
hakekat, kekenyangan makan kulit, menjunjung setinggi langit leluhur bangsa asing sekalipun harus
mengeluarkan beaya puluhan bahkan ratusan juta rupiah tapi tidak mengerti makna sesungguhnya.
Sungguh ironis, sementara leluhurnya sendiri terlupakan dan makamnya dibiarkan merana hanya karena
takut dituduh musrik atau khurafat. Cerita ironis dan menyedihkan itu seketika raib tatkala sadar telah
mendapatkan label sebagai orang suci dan saleh hanya karena sudah meluhurkan leluhur bangsa
asing. Ya, itulah kebiasaan sebagian masyarakat yang suka menilai simbol-simbolnya saja, bukan
memahami esensinya. Apakah seperti itu cara kita berterimakasih kepada leluhur yang menurunkan kita
sendiri, dan kepada leluhur perintis bangsa? Rupanya mata hati telah tertutup rapat, tiada lagi
menyadari bahwa teramat besar jasa para leluhur bangsa kita. Tanpa beliau-beliau pendahulu kita
semua yang telah menumpahkan segala perjuangannya demi kehidupan dan kemuliaan anak turun yang
mengisi generasi penerus bangsa rasanya kita tak kan pernah hidup saat ini.
Tolok ukur kejayaan nusantara masa lalu adalah kejayaan kerajaan Pajajaran, Sriwijaya dan Majapahit,
terutama yang terakhir. Trah atau garis keturunan kerajaan Majapahit yang masih eksis hingga
sekarang, yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan
dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi Mangkubumen yakni Kasultanan dan Pakualaman di
Yogyakarta. Semuanya adalah generasi penerus Majapahit terutama raja terakhir Prabu Brawijaya V.
Berikut ini silsilah yang saya ambil secara garis besarnya saja ;
Prabu Brawijaya V mempunyai 3 putra di antaranya adalah :
1. Ratu Pembayun (Lajer Putri)
2. Raden Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub (Lajer Putra)
3. Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I (Lajer Putra; tetapi ibu kandung dari bangsa asing
yakni; Putri Cempo dari Kamboja ; beragama Islam)
http://sabdalangit.wordpress.com
Trah Ratu Pembayun menurunkan 2 Putra :
1. Ki Ageng Kebo Kanigoro
2. Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging
Ki Ageng Kebo Kenongo menurunkan 1 Putra: (Lajer Putri)
1. Mas Karebet / Joko Tingkir / Sultan Hadiwijoyo/ Sultan Pajang I (Lajer Putri)
Sementara itu Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I, menurunkan 2 Putera yakni :
(1) Pangeran Hadipati Pati Unus / Sultan Demak II
(2) Pangeran Hadipati Trenggono / Sultan Demak III
Keduanya penerus Demak tetapi akhirnya putus alias demak runtuh karena pemimpinnya tidak kuat.
Kerajaan Demak hanya berlangsung selama 3 periode. Entah ada kaitannya atau tidak namun
kejadiannya sebagaimana dahulu pernah diisaratkan oleh Prabu Brawijaya V saat menjelang puput
yuswa. Prabu Brawijaya V merasa putranda Raden Patah menjadi anak yang berani melawan orang tua
sendiri, Sang Prabu Brawijaya V (Kertabhumi), apapun alasannya. Maka Prabu Brawijaya V bersumpah
bila pemerintahan Kerajaan Demak hanya akan berlangsung selama 3 dinasti saja (Raden Patah, Adipati
Unus, Sultan Trenggono). Setelah itu kekuasaa Kerajaan Demak Bintoro akan redup dengan sendirinya.
Hal senada disampaikan pula oleh Nyai Ampel Gading kepada cucunda Raden Patah, setiap anak yang
durhaka kepada orang tuanya pasti akan mendapat bebendu dari Hyang Mahawisesa. Dikatakan oleh
Nyai Ampel Gading, bahwa Baginda Brawijaya V telah memberikan 3 macam anugrah kepada Raden
Patah yakni; 1) daerah kekuasaan yang luas, 2) diberikan Tahta Kerajaan, 3) dan dipersilahkan
menyebarkan agama baru yakni agama sang ibundanya (Putri Cempa) dengan leluasa. Namun Raden
Patah tetap menginginkan tahta Majapahit, sehingga berani melawan orang tuanya sendiri. Sementara
ayahandanya merasa serba salah, bila dilawan ia juga putera sendiri dan pasti kalah, jika tidak dilawan
akan menghancurkan Majapahit dan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti kehendak
Raden Patah. Akhirnya Brawijaya V memilih mengirimkan sekitar 3000 pasukan saja agar tidak
mencelakai putranda Raden Patah. Sementara pemberontakan Raden Patah ke Kerajaan Majapahit
membawa bala tentara sekitar 30 ribu orang, dihadang pasukan Brawijaya V yang hanya mengirimkan
3000 orang. Akibat jumlah prajurit tidak seimbang maka terjadi banjir darah dan korban berjatuhan di
pihak Majapahit. Sejak itulah pustaka-pustaka Jawa dibumihanguskan, sementara itu orang-orang yang
membangkang dibunuh dan rumahnya dibakar. Sebaliknya yang memilih mengikuti kehendak Raden
Patah dibebaskan dari upeti atau pajak. Senada dengan Syeh Siti Jenar yang enggan mendukung
pemberontakan Raden Patah ke Majapahit, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga yang sempat memberikan
nasehat kepada Raden Patah, agar tidak melakukan pemberontakan karena dengan memohon saja
kepada ayahandanya untuk menyerahkan tahta, pasti permintaan Raden Patah akan dikabulkannya.
Hingga akhirnya nasehat tak dihiraukan Raden patah, dan terjadilah perang besar yang membawa
banyak korban. Hal ini sangat disesali oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga akhirnya memutuskan untuk
berpakaian serba berwarna wulung atau hitam sebagai pertanda kesedihan dan penyesalan atas
peristiwa tersebut.
http://sabdalangit.wordpress.com
Penerus Majapahit
Lain halnya nasib Raden Bondan Kejawan yang dahulu sebelum Sri Narpati Prabu Brawijaya V meninggal
ia masih kecil dititipkan kepada putranda Betara Katong, dikatakan jika Betara katong harus menjaga
keselamatan Raden Bondan Kejawan karena ialah yang akan menjadi penerus kerajaan Majapahit di
kelak kemudian hari. Berikut ini alur silsilah Raden Bondan Kejawan hingga regenerasinya di masa
Kerajaan Mataram.
Raden Bondhan Kejawan/Lembu Peteng Tarub-Dewi Nawang Sih (Dewi Nawang Sih adalah seorang putri
dari Dewi Nawang Wulan-Jaka Tarub) (Lajer Putra)
menurunkan Putera :
1. Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo (Lajer Putra)
2. Dewi Nawang Sari (Kelak adl calon ibu Ratu Adil/SP/Herucakra)
Raden Depok / Ki Ageng Getas Pandowo mempunyai 1 Putera:
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo (Lajer Putra)
Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo mempunyai 1 Putera bernama:
Ki Ageng Anis (Ngenis) (Lajer Putra)
Ki Ageng Anis (Ngenis) mempunyai 2 Putera :
1. Ki Ageng Pemanahan / Ki Ageng Mataram
2. Ki Ageng Karotangan / Pagergunung I
tp://sabdalangit.wordpress.com
Ki Ageng Pemanahan / Mataram mempunyai 1 Putera:
Raden Danang Sutowijoyo / Panembahan Senopati/ Sultan Mataram I
Panembahan Senopati akhirnya menjadi generasi Mataram Islam (kasultanan) pertama yang
meneruskan kekuasaan Majapahit hingga kini. Pada masa itu spiritualitas diwarnai nilai sinkretisme
antara filsafat hidup Kejawen, Hindu, Budha dan nilai-nilai Islam hakekat sebagaimana terkandung
dalam ajaran Syeh Siti Jenar, terutama mazabnya Ibnu Al Hallaj. Pada saat itu, hubungan kedua jalur
spiritual masih terasa begitu romantis saling melengkapi dan belum diwarnai intrik-intrik politik yang
membuyarkan sebagaimana terjadi sekarang ini.
Begitulah silsilah lajer putra dari Brawijaya V. Menurut tradisi Jawa wahyu keprabon akan turun kepada
anak laki-laki atau lajer putra. Sedangkan Raden patah walaupun lajer putra tetapi dari Putri bangsa
asing. Dan Raden Patah dianggap anak durhaka oleh ayahandanya Prabu Brawijaya Kertabhumi dan
neneknya Nyai Ampel Gading. Namun demikian, bagi penasehat spiritualnya yakni Ki Sabdapalon dan
Nayagenggong yang begitu legendaris kisahnya, pun Prabu Brawijaya walaupun secara terpaksa atau
tidak sengaja telah menghianati para pendahulunya pula.
Dari pemaparan kisah di atas ada suatu pelajaran berharga untuk generasi penerus agar tidak
mengulang kesalahan yang sama. Artinya jangan sampai kita berani melawan orang tua, apalgi sampai
terjadi pertumpahan darah. Karena dapat tergelincir pada perberbuatan durhaka kepada orang tua kita
terutama pada seorang ibu, yakni ibu pertiwi. Dengan kata lain durhaka kepada para leluhur yang telah
merintis bangsa dengan susah payah. Karena Tuhan pasti akan memberikan hukuman yang setimpal,
dan siapapun tak ada yang bisa luput dari bebendu Tuhan.
Pralampita Leluhur Bangsa
Saya ingin mengambil beberapa bait dari serat Darmagandul yang unik dan menarik untuk dianalisa,
sekalipun kontroversial namun paling tidak ada beberapa nasehat dan warning yang mungkin dapat
menjadi pepeling bagi kita semua, khususnya bagi yang percaya. Bagi yang tidak mempercayai, hal itu
tidak menjadi masalah karena masing-masing memiliki hak untuk menentukan sikap dan mencari jalan
hidup secara cermat, tepat dan sesuai dengan pribadi masing-masing.
Paduka yktos, manawi sampun santun gami selam,
nilar gamabudi, turun paduka tamtu aps,
Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rmn nunut bangsa sanes.
Benjing tamtu dipun prentah dening tiyang Jawi ingkang mangrti.
Paduka pahami, bila sudah memeluk gama selam, meninggalkan gamabudi,
Keturunan Paduka pasti mendapatkan sial, Jawa tinggal seolah-olah jawa,
nilai ke-Jawa-annya telah hilang, gemar nebeng bangsa lain
Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang memahami (Kejawa-an)
Cobi paduka-yktosi, benjing: sasi murub botn tanggal,
wiji bungkr botn thukul, dipun tampik dening Dewa,
tinanma thukul mriyi, namung kangge tdha pksi,
mriyi punika pantun kados ktos,
amargi Paduka ingkang lpat, rmn nmbah sela
Cobalah Paduka pahami, besok; sasi murub boten tanggal
Biji-bijian tidak tumbuh, ditolak oleh Tuhan
Walaupun ditanam yang tumbuh berupa padi jelek
Hanya jadi makanan burung
Karena Paduka lah yang bersalah, suka menyembah batu
Paduka-yktosi, benjing tanah Jawa ewah hawanipun,
wwah bnter awis jawah, suda asilipun siti,
kathah tiyang rmn dora,
kndl tindak nistha tuwin rmn supata,
jawah salah mangsa, daml bingungipun kanca tani.
Paduka pahami, kelak tanah Jawa berubah hawanya,
Berubah menjadi panas dan jarang hujan, berkurang hasil bumi
Banyak orang suka berbuat angkara
Berani berbuat nista dan gemar bertengkar,
Hujan salah musim, membuat bingung para petani
Wiwit dintn punika jawahipun sampun suda,
amargi kukuminipun manusa anggenipun sami gantos agami.
Benjing yen sampun mrtobat, sami engt dhatng gamabudi malih,
lan sami purun ndha woh kawruh, Dewa lajng paring pangapura,
sagd wangsul kados jaman Budhi jawahipun.
Mulai hari ini hujan sudah mulai berkurang,
Sebagai hukumannya manusia karena telah berganti agama
Besok bila sudah bertobat, orang-orang baru ingat kepada gamabudi lagi
Dan bersedia makan buahnya ilmu, maka Tuhan akan memberi ampunan
Kesuburan tanah dapat kembali seperti zaman gamabudi
http://sabdalangit.wordpress.com
Memahami Leluhur dan Kemusyrikan
Belajar dari pengalaman pribadi dan sebagaimana terdapat dalam tradisi Jawa, saya pribadi percaya
bahwa leluhur masih dapat memberikan bimbingan dan arahan (njangkung dan njampangi) memberikan
doa dan restu kepada anak turunnya. Komunikasi dapat berlangsung melalui berbagai media, ambil
contoh misalnya melalui mimpi (puspa tajem), melalui keketeg ing angga, suara hati nurani, bisikan gaib,
atau dapat berkomunikasi langsung dengan para leluhur. Barangkali di antara pembaca ada yang
menganggap hal ini sebagai bualan kosong saja, bahkan menganggap bisikan gaib dipastikan dari suara
setan yang akan menggoda iman. Boleh dan sah-sah saja ada pendapat seperti itu. Hanya saja tidak
perlu ngotot mempertahankan tingkat pemahaman sendiri. Sebab jika belum pernah menyaksikan
sendiri noumena atau eksistensi di alam gaib sebagai being yang ada, kesadaran kita masih dikuasai oleh
kesadaran akal-budi, kesadarannya hanyalah dalam batas kesadaran jasad/lahiriah semata. Sebaliknya
kesadaran batinnya justru menjadi mampet tak bisa berkembang. Padahal untuk memahami tentang
kesejatian hidup diperlukan sarana kesadaran batiniah atau rohani.
Bagi pemahaman saya pribadi, adalah sangat tidak relevan suatu anggapan bahwa interaksi dengan
leluhur itu dianggap musyrik. Apalagi dianggap non-sense, bagi saya anggapan itu merupakan
kemunduran dalam kesadaran batin sekalipun jika di banding zaman animisme dan dinamisme. Menurut
pemahaman saya musyrik adalah persoalan dalam hati dan cara berfikir, bukan dalam manifestasi
tindakan. Saya tetap percaya bahwa tanpa adanya kuasa dan kehendak Tuhan apalah artinya leluhur.
Leluhur sekedar sebagai perantara. Seperti halnya anda mendapatkan rejeki melalui perantara
perusahaan tempat anda bekerja. Jika Anda menuhankan perusahaan tempat anda bekerja sama halnya
berfikir musrik. Dan orang dungu sekalipun tak akan pernah menuhankan leluhur karena leluhur itu roh
(manusia) yang jasadnya telah lebur kembali menjadi tanah. Hubungan dengan leluhur seperti halnya
hubungan dengan orang tua, saudara, tetangga, atau kakek-nenek yang masih hidup yang sering kita
mintai tolong. Perbedaannya hanyalah sekedar yang satu masih memiliki jasad kotor, sedangkan leluhur
sudah meninggalkan jasad kotornya. Bila kita mohon doa restu pada orang hidup yang masih dibungkus
jasad kotor mengapa tak dituduh musrik, sedangkan kepada leluhur dianggap musrik. Padahal untuk
menjadi musrik itu pun sangat mudah, anda tinggal berfikir saja jika seorang dokter dengan resep obat
yang anda minum adalah mutlak menjadi penyembuh penyakit di luar kuasa Tuhan. Atau anda meminta
tolong kepada tetangga untuk mbetulin genting bocor, dan orang itu dapat bekerja sendiri tanpa kuasa
Tuhan. Saya fikir konsep musyrik adalah cara berfikir orang-orang yang hidup di zaman jahiliah saja. Atau
mungkin manusia purba jutaan tahun lalu. Namun apapun alasannya tuduhan musrik menurut saya,
merupakan tindakan penjahiliahan manusia.
Kendatipun demikian, jika tidak ada jalinan komunikasi dengan leluhur, para leluhur tak akan
mencampuri urusan duniawi anak turunnya. Oleh sebab itu dalam tradisi Jawa begitu kental upaya-
upaya menjalin hubungan dengan para leluhurnya sendiri. Misalnya dilakukan ziarah, nyekar,
mendoakan, merawat makam, selamatan, kenduri, melestarikan warisan, dan menghayati segenap
ajaran-ajarannya yang mengandung nilai luhur filsafat kehidupan.

Jiwa Kesatria Tanah Jawa
JUL 22
Posted by SABD
image

Jiwa kesatria Jawa menurut Sinuhun Sri Sultan HB VIII ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

1. Swiji : menyatukan kebulatan tekad dan segenap potensi diri untuk satu tujuan.
2. Grgt : dinamika jiwa yg disalurkan dalam gerak, usaha, perjuangan meraih tujuan.
3. Sngguh : percaya pada kekuatan diri sendiri, dilandasi jatidiri yang kokoh, mampu mengendalikan
dan memenej kekuatan dan potensi diri dengan baik.
4. Ora mingkuh (mingkuh : tinggal glanggang glanggang colong playu). Artinya, tidak meninggalkan
tanggungjawab dan tugas dalam meraih tujuan. Teguh hati dan kuat dalam menjaga prinsip. Sekalipun
menghadapi tantangan berat.


Selagi hangat-hangatnya banyak orang berbicara soal kesatria pinilih. Mudah-mudahan tulisan singkat
dan sederhana ini dapat membantu kita semua untuk memahami konsep kesatria. Dan tidak setiap
pemimpin, penguasa, raja, presiden adalah seorang kesatria. Kesatria pinilih dan atau kesatria piningit.
Tetapi siapapun yang hari ini diumumkan oleh KPU sebagai pemenang dalam gelanggang pilpres, dia
adalah seorang satria TERPILIH.

NB
Sedulur-Sedulur para pembaca yang budiman di manapun berada. Jangan lengah membaca situasi dan
pertanda alam. Panca agni atau hawa nafsu dari panca indera manusia semakin
berkobar. Sapta tirta dan panca agni akan saling susul-menyusul terjadi. Kalau sudah begitu, ekstra hati-
hati ing dina Rebo Pahing surya kaping 23 murih pinaringan wilujng. Den ling lan waspadakna ing
sajroning Tirta Emas ana boyo gd kang sawktu-wktu bisa gawe ggr nusa lan bangsa.
Mugya kabh titah Gusti tansah karahayon. Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Jaya-jaya
wijayanti.

Selamat Datang Sura Pinunjul
SEP 19
Posted by SABD
Rembulan malamSebentar lagi tahun Jawa 1947 Alip gunung dengan sinengkalan sapta tirta nembus
bumi, panca agni nyuceni jagad akan segera berlalu. Sebelum meninggalkan tahun 1947 saya coba
sampaikan sedikit ulasan sebagai evaluasi. Semoga ada manfaat yang dapat kita ambil dari berbagai
peristiwa dan fenomena alam yang telah terjadi selama tahun 1947 Alip atau 5 Nopember 2013 sampai
dengan 25 Oktober 2014.
Sebelum mengulas Sura Pinunjul yang akan datang saya perlu flashback karena di antara kedua fase
yang sedang berlangsung dan yang akan datang saling berkaitan erat secara runtut. Sinengkalan sapta
tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad mempunyai makna ganda yang meliputi dimensi
makrokosmos dan mikrokosmos. Yakni makna yang menunjukkan fenomena yang terjadi pada alam
semesta dan pada individu manusia. Panca agni dalam dimensi mikrokosmos atau diri manusia
mempunyai makna bahwa selama rentang waktu tersebut terjadi kobaran api atau hawa nafsu
angkara dari dalam diri manusia. Bergolaknya kobaran api itu telah membakar emosi dan hawa nafsu
manusia. Kobaran itu lebih dirasakan dalam kancah politik makro. Di mana dinamika politik diwarnai
dengan gejolak manusia untuk berkuasa dan saling memukul lawan, maupun kawan. Dalam scope
yang lebih luas, api hawa nafsu telah menembus bumi, menyeruak sendi-sendi kehidupan sosial dan
politik masyarakat. Hilangnya rasa malu dan takut dosa atau karma menjadi gambaran (sebagian)
manusia masa kini. Bahkan sangat ironis lambaian tangan dan senyum manis seolah menjadi ikon para
pejabat koruptor yang sedang ditangkap KPK. Seolah mereka ingin membuat kesan dan pencitraan
bahwa dirinya tetap pede karena menganggap penangkapan KPK sebagai hal yang lucu karena telah
salah menangkap orang.
Sangat ironis, sepertinya orang sudah tidak ada lagi yang merasa telah melakukan kesalahan besar atas
bangsa dan negara ini. Dalih yang lazim dilakukan oleh para tersangka kejahatan penyalahgunaan
wewenang adalah kata-kata bernada menyalahkan orang lain, misalnya akibat difitnah, dijebak atau
terjebak. Tapi rakyat yang tak berdaya secara politik, tetap semakin pandai menilai keadaan
sesungguhnya.
Bulan Sura tahun 1947 Alip atau 2014 masehi yang masih berjalan, masuk dalam siklus Sura Moncer,
akan tetapi hari pertamanya jatuh pada weton tiba pati. Itu yang menjadi terasa berat sekali dalam
meraih kehidupan moncer (sukses atau mukti). Bahkan bagi yang lengah, bukannya kamukten dan
moncer yang didapat sebaliknya mendapatkan pati. Pati nasibnya, atau pati kesehatannya.
Itu menandakan, sesungguhnya selama tahun 1947 Alip, Nusantara dan setiap pribadi sedang berproses
meraih kehidupan yang moncer atau sukses. Akan tetapi untuk mencapai tataran moncer orang
harus melewati rintangan berat dan mematikan. Mati artinya bisa mati fisiknya atau mati non-fisiknya.
Mati fisiknya adalah kematian raga. Mati non fisik di antaranya kematian nasib, kematian pola pikir,
kematian jiwanya. Sebagaimana telah saya posting setahun yang lalu dengan judul Sura Moncer 2014:
Mukti Opo Mati. Kiprah manusia dalam kancah sosial, ekonomi, dan politik, didominasi oleh unsur api
dari dalam diri atau hawa nafsu dan angkara murka. Dan api dari alam semesta, berupa sinar matahari
yang terasa sangat panas, gunung berapi, semburan api dari dalam tanah, kebakaran hutan, hawa
panas, terjadi silih berganti dengan banjir besar dan hujan salah musim. Selama fase sinengkalan tahun
sapta tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad pada kenyataannya telah makan banyak korban. Sing
sapa lena bakal kena, siapa yang kendor untuk bersikap eling dan waspada akan menerima akibatnya.
Banyak politisi dan pejabat tumbang oleh kasus dan karena tidak mampu meredam sikap
temperamennya sendiri. Bahkan dalam menjalankan kehidupan politik bernegara, Indonesia boleh
dikatakan kurang sukses melaksanakan suksesi dengan menuai berbagai sikap pro-kontra yang cukup
tajam.
Fase saat ini adalah fase jagad sedang bersih-bersih diri. Banyak tokoh-tokoh hitam yang dominan
muncul meramaikan panggung politik Nasional. Kualitas legislatif dan eksekutif yang baru terpilih sangat
beresiko lebih buruk dari sebelumnya. Hal itu wajar karena memang fase sinengkalan tahun sapta tirta
nembus bumi, panca agni nyuceni jagad ini merupakan fase untuk bersih-bersih dari yang kotor-kotor.
Barulah kemudian akan tampil sang SP sejati. Apapun yang terjadi nanti, sebentar lagi siklus tahun Jawa
akan berganti. Yakni warsa 1948 Ehe yang akan dimulai pada Sabtu Pahing 25 Oktober 2014. Diawali
dengan bulan Sura Pinunjul yang jatuh pada hari Sabtu Pahing (18) atau tiba gedhong (kesinungan sugih
dan kuat nyunggi drajat) merupakan momentum perubahan lebih baik lagi untuk kita semua.
Bethara Antaga jadi Ratu
Pada jeda waktu sebelum sang SP sejati muncul, terlebih dahulu kehidupan politik Nasional diwarnai
lakon Togog dadi ratu. Keadaan ini lebih parah dibandingkan dengan lakon Petruk dadi ratu. Garis
besar lakonnya yakni Tejomantri atau Togog menjadi raja , sedangkan jabatan patih dipegang oleh
Saraita alias Mbilung. Togog dan mBilung merupakan punakawan atau pamomong bagi para satria dari
kelompok Kurawa. Namun pada saat menjelang suksesi raja kedua tokoh Togog dan Mbilung terkesan
sebagai kawula alit sehingga mampu menarik simpati rakyat. Di saat rakyat sedang mengalami krisis
kepercayaan kepada raja atau pemimpinnya seperti yang sudah-sudah, penampilan Togog dan mBilung
cukup memukau rakyat. Terutama kesan kawula alit itu yang kemudian membuat rakyat kecil banyak
yang jatuh hati untuk memilihnya sebagai raja. Dalam benak rakyat, pokoke asal beda taste. Togog
dan mBilung bukanlah tokoh penjahat, tetapi keduanya juga bukanlah tipikal pemimpin, melainkan profl
mentalitas wong-cilik yang anut grubyuk dan waton manut. Rakyat pun rupanya lupa bahwa di antara
keduanya mempunyai karakter dan sifat kontradiktif, sehingga pada saat menjadi Raja & Patih pun
keduanya sering berselisih paham menentukan arah dan kebijakan politik, sulit menemukan
kekompakan di antara keduanya. Seumpama mBilung mengajak jalan ke utara, sebaliknya Togog
mengajak jalan ke selatan. Togog berkata ya, mBilung mengatakan tidak. Meskipun sifat keduanya
sangat kontradiktif tetapi oleh situasi dan kondisi yang mem-vait a compli keduanya menjadi pasangan
untuk sesaat menjadi ratu. Ya, pasangan yang dapat membahayakan nasib bangsa.
Togog dan mBilung tidak berani berperang untuk menghentikan kejahatan yang dilakukan kelompok
Kurawa, justru keduanya malah melawan kelompok yang baik-baik yakni punakawannya para kesatria
Pandawa ; Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Ngamarta Keadaan negara semakin tidak menentu, rakyat
semakin menderita. Setelah fase itu berlalu, barulah kemudian tampil sang ksatria piningit sejati sebagai
penyelamat kerajaan.
Biarlah ontran-ontran sekuel lelakon Togog-mBilung dadi ratu, menjadi proses yang harus dilalui dan
semoga menjadi pelajaran berharga agar semuanya segera berubah menjadi lebih baik. Semua fakta
lelakon, kok ya mirip dengan apa yang pernah leluhur sampaikan semasa hiruk pikuk kampanye. Wong-
wong kuwi arep nemoni apa, wus pada khianat lan nglaleake poro leluhure, wus ora gelem sowan
marang para ngaluhur kang sumare ing Kotagede lan Imogiri.
Sura Pinunjul Tiba Gedhong
Sebentar lagi akan tiba waktunya, 1 Sura 1948 Ehe Jugrug 18 jatuh pada hari Sabtu Pahing tanggal 25
Oktober 2014. Merupakan Sura Pinunjul dan tanggal 1 Sura jatuh pada neptu Sabtu Pahing (18) jatuhnya
gedhong ; kesinungan sugih dan kuat nyunggi drajat. Pinunjul artinya mendapat atau punya kelebihan.
Segala kelebihan akan diperoleh semua orang yang berhasil lolos seleksi melewati Sura Moncer tiba pati
pada fase sebelumnya. Pinunjul dalam hubungannya dengan ilmu, rejeki, pekerjaan, nasib baik,
keselamatan, dan kemuliaan lahir dan batinnya.
Sulit menakar seperti apa orang yang mampu lolos seleksi alam dan berhak atas anugrah mendapatkan
berbagai kelebihan yang dilimpahkan oleh Sang Hyang Jagadnata pada 1948 Ehe nanti. Setidaknya
kategori berikut dapat membantu untuk menakar diri kita masing-masing. Apakah menjadi pribadi yang
layak dan pantas sebagai orang yang akan menadapatkan anugrah agung di tahun 1948 Ehe yang akan
datang. Paling tidak terdapat beberapa syarat berikut ini :
1. Dudu wong kang dahwen lan openan. Bukan seseorang yang suka menyerobot hak orang lain, atau
mengintervensi yang bukan urusan dan tanggugjawabnya.
2. Dudu kalebu dur angkara. Bukan orang yang selalu mengumbar amarah, dendam, benci, dan hawa
nafsunya. Bukan orang yang suka merusak privasi, properti dan hak orang lain. bukan orang yang suka
mencelakai dan merugikan orang lain.
3. Tapa ngrame. Orang yang terbiasa dengan tulus berbuat kebaikan, menolong dan membantu orang
lain, serta hidupnya berguna untuk banyak orang.
4. Bekti marang kang linuhur. Berbakti kepada kedua orang tua yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal, serta berbakti kepada para leluhurnya yang menurunkannya maupun yang menjadi sesepuh
suatu wilayah tempat tingggal kita.
5. Tansah kinarya karyenak tyas ing sesami. Orang yang selalu membuat bahagia dan nyaman suasana
hatinya pada sesama. Ucapan dan kata-katanya menentramkan dan mendinginkan suasana. Saran dan
nasehatnya berguna untuk sesama, pikirannya konstruktif dan postitif. Hatinya bersih dari rasa iri,
dengki, dendam. Tidak suka menghina dan meremehkan orang lain sekalipun pada orang hina.
6. Uripe wus murup. Hidupnya berguna untuk seluruh makhluk.
Setiap orang tentu berbeda-beda kuantitas dan kualitasnya dalam meraih berkah pinunjul. Besar
kecilnya berkah pinunjul yang akan diraih tergantung pula pada besar-kecilnya kadar masing-masing
orang dalam memenuhi syarat-syarat seperti di atas.
Keistimewaan Sura Pinunjul
Para dulur pembaca yang budiman, tanpa adanya Sura Moncer Tiba Pati pun, semua kebaikan besar dan
kecil pasti ada konsekuensi logis yang maha adil berupa dharma (pahala) secara proporsional. Akan
tetapi dengan adanya Sura Moncer tiba pati, dapat dianalogikan sebagai kawah candradimuka. Atau
fase berat untuk dilalui. Tetapi sepadan dengan dharma yang diterima di kemudian hari. Maka layak
bulan Sura Pinunjul mempunyai keistimewaan yang lebih dibandingkan dengan Sura Moncer. Jika Sura
Moncer merupakan permulaan (starting point) dibukanya gerbang kesejahteraan dan kejayaan untuk
Nusantara dengan seleksi yang sangat ketat (mukti opo mati), maka Sura Pinunjul merupakan
kompensasi berupa dharma atas segala kebaikan yang kita lakukan selama fase Sura Moncer. Demikian
pula sebaliknya, karena mekanisme tata hukum keseimbangan alam bekerja seperti neraca keadilan.
Siapa yang menanam pohon kebaikan akan berbuah kebaikan, yang menanam pohon keburukan
akan menuai keburukan pula. Sura moncer tiba pati sangat berat dilalui, tetapi sebagai konsekuensinya,
anugrah bagi yang lolos seleksi juga bersifat pinunjul, sepadan dengan prihatin dan perjuangan yang
dilakukan sebelumnya. Dilihat dari perspektif tata hukum keseimbangan alam, faktanya dapat kita lihat
setelah fase Sura Moncer tiba pati, kemudian disusul oleh fase Sura Pinunjul tiba gedhong. Peristiwa itu
mirip hukum pantulan, setelah meluncur deras ke bawah sampai menyentuh dasar, kemudian melesat
ke atas, dengan besaran energi yang seimbang, mirip cara kerja ayunan pendulum.
Jangan tergesa membayangkan, pada fase sura pinunjul nanti, keadaan ekonomi dan politik Nasional
akan menjadi serba enak dan baik sesuai harapan rakyat. Tetap, sabar, tenang, eling dan waspada serta
bukalah pikiran dan hati yang seluas samudra. Karena mau tidak mau seluruh rakyat Indonesia akan
melewati fase ketidakpastian pada saat Tejomantri & Saraita menjadi ratu, walau mungkin akan
berlangsung dalam waktu yang tidak lama. Tetapi bagi yang lolos seleksi seburuk apapun keadaannya
hanya sedikit berpengaruh pada kehidupannya. Sebaliknya bagi yang tidak lolos, tentu akan mengalami
kondisi yang berat. Celakanya orang yang tidak lolos seleksi tentu ada juga orang-orang yang sedang
menjadi pemimpin atau pejabat. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung rakyat ikut
merasakan implikasinya. Orang-orang yang lolos seleksi alam akan punya kisah yang berbeda, mereka
akan semakin tebal ilmu-kabegjan-nya (ilmu keberuntungan). Kabegjan itulah yang akan meminimalisir
implikasi negative. Sak beja-bejane wong yoiku kang eling lan waspada. Amarga sak tiba-tibane tansah
nemu begja.
Para pembaca yang budiman, semoga tulisan di atas dapat menambah khasanah ilmu, dan dapat
menjadi bahan pemikiran. Dengan harapan kita selalu dapat mengambil pelajaran dari setiap kejadian
dalam kehidupan ini agar menjadi manusia yang wicaksana, adil paramarta, br budi bw lksana.
Orang dengan sifat seperti itulah yang mudah meraih kehidupan yang sukses, tenteram, bahagia,
sejahtera, beruntung dan selamat. Suradira jayaningrat, lebur dening pangastuti. Jaya-jaya wijayanti.

(Satria Piningit) Pambukaning Gapura
MEI 29
Posted by SABD
Kisah Perjalanan Wahyu Keprabon Mencari Satria Piningit Sejati
Lampah : (SATRIO PININGIT) PAMBUKANING GAPURA
Dhalang : KI SENO NUGROHO
Waktu : Minggu, 18 Mei 2014 (Malam Senin Pon)
Tempat : Halaman Makam Raja-raja Mataram di Kotagedhe Yogyakarta
Pasewakan Agung
Jika TIDAK, Nusantara akan kalah !!
Sesuai pralampita yang diberikan oleh Ki Dalang Panjangmas, seorang dalang yang mempunyai kekuatan
idu geni (apa yang diucap akan terjadi) hidup pada masa kerajaan Mataram, pada masa kepemimpinan
Gusti Hamangku Rat Agung lokasi di seputar wilayah Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Untuk
menuntaskan lakon terdahulu Satria Piningit yang telah digelar pada Minggu Pon 4 Mei 2014 di Galur,
Kulonprogo, DIY. Jika lakon tidak dilanjutkan, bukan SP maupun kamu yang akan kalah, tetapi
Nusantara. Kalah dari kekuatan jahat yang akan merusak dan merampok kekayaan alam Indonesia.
Kekuatan jahat yang akan menjajah pola pikir generasi bangsa Indonesia. Mirip seperti pepeling Bung
Karno, kelak penjajahan yang kamu hadapi jauh lebih berat, karena yang menjajah adalah bangsamu
sendiri. Apa yang dikatakan BK saat ini telah menjadi kenyataan, sebagian warga bangsa kita sendiri,
yang menjadi antek (kepanjangan tangan) kepentingan asing, dan agen-agen konspirasi yang
melibatkan kekuatan transnasional. Kekejaman yang dilakukan oleh sebagian warga bangsa sendiri
terhadap WNI yang lain tidak kalah kejam dibanding kolonialisme yang dilakukan oleh Negara asing
terhadap bangsa Indonesia. Nasionalisme, atau sikap kecintaan terhadap tanah air kadang sengaja
dirusak dengan dalih nilai-nilai ketuhanan. Padahal nasionalisme itu sendiri merupakan wujud manusia
menghormati Tuhannya, seperti yang termaktub dalam ungkapan hamemayu hayuning Rat, hamemayu
hayuning bawana, hamemayu hayuning diri. Sebuah nilai spiritual yang meliputi dimensi triloka.
Sebagian warga bangsa Indonesia jatuh cinta secara buta kepada bangsa lain, sampai-sampai terhadap
bangsanya sendiri pun bersikap setengah hati. Sungguh luar biasa kekuatan yang merusak Nusantara ini.
Karena Nusantara bagaikan gadis cantik idaman, setiap pria ingin meminangnya. Nusantara adalah
syurga yang nyata, sumber berkah alam bagi kehidupan seluruh mahluk. Itulah sebabnya Nusantara
menjadi incaran kepentingan ekonomi dan politik internasional. Jika sulit dikuasai melalui siasat
kolonialisasi, maka penjajahan dilakukan memalui siasat imperialisme ekonomi, budaya dan spiritual.
Yang pertama-tama dilakukan adalah merusak pola pikir (mind set) generasi penerus bangsa agar hilang
rasa cinta tanah air dan tidak kenal akan jati diri bangsanya. Sebab keduanya merupakan nyawa,
sumber kekuatan dan energy hidup yang menghidupkan setiap bangsa-bangsa di dunia ini tak terkecuali
bangsa Indonesia. Jika keduanya hilang, Nusantara ini bagaikan bangsa ayam sayur, bangsa krupuk
mlempem. Tinggal kentutnya doang yang bau. NKRI dijadikan bancakan oleh negara-negara asing,
bagaikan tubuh seekor rusa yang gemuk dikoyak oleh gerombolan serigala yang rakus. Jika kita tidak
peduli semua persoalan kebangsaan itu, apalagi turut merusak nilai-nilai kebangsaan, sebagai generasi
penerus bangsa mengambil peran sebagai babagian dari gerombolan serigala. Jika kita tidak menyadari,
peranan kita ibarat menjadi rusanya. Marilah kawan, bangkit dan bangunlah, jangan asik masyuk
mendem lan mabok donga, jangan sampai hidup kita tak berguna, sia-sia dan membuat celaka anak
turun kita kelak. Jangan sampai keberadaan kita di permukaan bumi Nusantara ini sekedar menyisakan
ampas beracun kepada anak cucu kita yang akan hidup di masa yang akan datang. Itu dosa besar yang
tiada ampun.
Kekuatan spirit pagelaran wayang kulit sudah saya singgung pada tulisan terdahulu dalam review
pagelaran wayang dengan lakon Satria Piningit. Ending lakon SP berakhir dengan kalimat yang keluar
dari sebdaning Ki Dalang Panjangmas,Pujadewa, pekenira mung sawijining satria kang pantes
kesinungan wahyu keprabon, sanajan pakenira wus kesinungan WK, nanging pekenira isih timur, kudu
nunggu ing titiwancine dewasa kanggo jumeneng nata. (Pujadewa, kamu seseorang yang paling pantas
menerima wahyu keprabon, walaupun kamu sudah terpilih oleh alam menerima Wahyu Keprabon,
tetapi kamu masih muda, tunggu hingga saat dewasa nanti untuk menjadi ratu di kerajaan Hastina). Dan
ternyata teka-teki siapa SP masih berlanjut, pada lakon lanjutan ternyata bukan Pujadewa (Raden
Abimanyu), melainkan putranda Raden Abimanyu dengan Dewi Utari, yakni Raden Parikesit yang
akhirnya kesinungan WK dari ayahandanya, dan bisa duduk di tahta kerajaan Hastinapura. Karena Raden
Abimanyu gugur di medan laga, setelah melindungi pakdenya Prabu Puntadewa dari jebakan dan
kepungan ribuan tentara Kurawa. Dan pada saat itu Raden Parikesit masih di dalam kandungan ibunda
Dewi Utari.
Lakon terdahulu ternyata belum tuntas menceritakan siapa yang berhak pemegang WK hingga duduk di
tahta kerajaan. Sesuai wangsit, lakon SP harus dituntaskan, jika tidak, maka yang kalah bukan SP tapi
Nusantara. Lakon lanjutan mendapat titel dari Ki Dalang Panjangmas Pambukaning Gapura. Jika
disambung dengan lakon terdahulu menjadi satu kalimat penuh makna yakni, Satria Piningit
Pambukaning Gapura. Masih dengan dalang yang sama, Ki Seno Nugroho. Kata Ki Dalang Panjangmas,
Dalang- sing kae wingi waesing wis bisa manjing. Tak ada kata lain selain, injih sendika dawuh !!.
Berapapun banyaknya beaya tidak masalah, ini untuk kepentingan orang banyak, kepentingan bangsa,
ya Nusantara ini, bukan sekedar untuk kepuasan dan kepentingan pribadi. Maka seperti biasanya,
uangnya yang akan menyesuaikan kebutuhan. Ada saja jalannya. Terimakasih kepada semua pihak yang
membantu, dan khususnya sedulur-sedulur KKS senusantara atas kepedulian terhadap nasib bangsa ini.
Begitu dadakan menelpon Ki Seno Nugroho, tapi masih beruntung karena Ki Dalang Seno juga langsung
menjawab, sendika dawuh Ki..! Padahal kalau mau nanggap Ki Seno biasanya harus jauh-jauh hari
sebelumnya karena padatnya jadwal pentas pagelaran. Siangnya, setelah pagelaran wayang Satria
Piningit Pambukaning Gapura, Ki Seno dan tim langsung berangkat ke Polandia karena kedubes RI
Polandia ditanggap wayang oleh orang bule sana. Entah lakonnya apa lupa menanyakan. Mungkin juga
lakone jumenengan Andrew Sletzianowzkyhehe.
Perjalanan WK mencari sang Negarawan Sejati
Atas saran gurunya Prabu Kresna, Raden Pujadewa yang sudah kesinungan WK, masih harus menunggu
dewasa dan matang untuk menduduki dampar keprabon di kerajaan Hastinapura. Dan hukum tata
keseimbangan alam masih berlanjut untuk menata keadaan mercapadha yang sudah terlampau mosak-
masik akibat kekacauan dan kerusakan yang dibuat oleh trah Kurawa. Perjalanan WK untuk mencari
siapa yang paling pantas dan berhak menyandang WK masih berlanjut. Hingga tiba saatnya, di mana
terjadi suatu kisah yang terjadi kurang lebih 15 tahun setelah usainya Perang Bharatayudha, perang
besar-besaran selama 18 hari antara pihak Pandawa dan Kurawa yang pada akhirnya dimenangkan oleh
Pandawa. Tak berapa lama setelah itu, Prabu Yudhistira yang mempunyai nama lain Puntadewa, sebagai
putra sulung dari Pandawa Lima bersaudara kemudian dinobatkan sebagai Raja di Hastinapura bergelar
Prabu Kalimataya. Hingga pada suatu ketika Sang Prabu merasa usianya sudah tua, kemudian
memutuskan untuk lengser keprabon bukan karena terpaksa apalagi kudeta, melainkan mengikuti
panggilan hati hendak madeg pandita.
Pralampita gaib maupun kabarsecara cepat tersebar luas, dan nama Raden Parikesit sebagai calon
pengganti yang akan meneruskan tahta Hastinapura juga sudah ditetapkan. Karena dialah yang telah
dipilih oleh alam menyandang wahyu keprabon. Seperti biasanya, setiap kali ada peristiwa suksesi atau
pergantian pimpinan di sebuah kerajaan/negara manapun akan selalu menjadi berita yang sangat
menarik perhatian bagi siapapun, lebih-lebih bagi pihak yang berkepentingan. Sekalipun Raden Parikesit
telah dipilih oleh alam sebagai seorang yang berhak duduk di tahta kerajaan Hastinapura, suksesi tidak
berjalan dengan mudah karena mendapatkan gangguan dan upaya menggagalkan dari pihak anak turun
Kurawa yang masih mewarisi sifat licik dan tamak kekuasaan. Di sinilah pasang surut perjalanan dan
perjuangan sang SP pemegang WK sesungguhnya baru dimulai. Raden Parikesit akan mengalami
berbagai upaya pembunuhan, dan penjegalan untuk menghalangi proses diwisudanya Raden Parikesit.
Pralampita gaib dan kabar yang tersiar hingga menyentuh pihak-pihak yang tidak menghendaki Raden
Parikesit jumeneng nata. Kekuatan-kekuatan jahat yang menjadi lawan sang SP pun melakukan
konsolidasi, saling bahu-membahu disatukan oleh kesamaan kepentingan dan niat jahat untuk menjegal
Raden Parikesit diwisuda sebagai Raja di kerajaan Hastina. Walaupun Prabu Duryudana sebagai raja di
trah Kurawa, sudah tewas di tangan Raden Werkudara. Sengkuni, Dorna juga telah tewas, dalam perang
Baratayudha tetapi sisa-sisa kekuatan jahat itu masih ada dan diteruskan oleh anak-turun trah Korawa
itu yang memiliki tabiat licik, julig, curang, dan serakah. Anak turun Kurawa tidak bekerja sendiri, mereka
dibantu oleh kerajaan-kerajaan luar (negeri) yang memiliki kepentingan untuk menguasai asset-aset
kerajaan Hastinapura. Itulah gambaran musuh-musuh kerajaan Hastinapura (Nusantara).
Refleksi Politik Makro
Dalam konstelasi politik nasional. Nusantara mengalami kerusakan akibat ulah para durjana yang
merasuk ke dalam sendi-sendi kehiduan berbangsa dan bernegara. Seperti lakon terdahulu, di mana
tahta kerajaan Hastinapura sedang diduduki prabu Duryudana (Duryudayana?) yang dianggap sebagai
raja palsu karena tidak kesinungan WK maka tebusan korban jiwa dan harta yang dialami rakyat
Hastinapura selama kepemimpinannya pun sangat besar. Hingga pada akhirnya, para kesatria Pandawa
dalam penyamarannya dipimpin oleh Prabu Rengganisura, yang aslinya adalah Bimasena atau
Wrekudara, demi menyudahi gonjang-ganjing di kerajaan Hastinapura, bermaksud untuk mencari di
mana gerangan WK berada dan siapa sejatinya yang paling berhak menduduki tahta kerajaan
Hastinapura. Nusantara mirip sebagai kerajaan Hastinapura. Rajanya raja palsu, tidak memiliki WK
namun memaksa diri menduduki tahta kerajaan Hastinapura dengan kekuasaan uang dan politik tidak
bersih. Maka di masa kepemimpinannya itulah hukum alam memberikan pengadilan. Kerajaan Hastina
mengalami masa goro-goro, wolak-waliking zaman. Negara dirusak para durjana. Banyak musibah dan
bencana di kerajaan Hastinapura selama dipimpin oleh sang Raja palsu trah Kurawa Duryudana.
Dalam lakon Satria Piningit Pambukaning Gapura, dikisahkan Prabu Duryudana telah tewas dalam
perang Baratayudha. Partainya kalah, kemudian terkucil karena gagal menjalin koalisi dengan parpol
manapun. Rengganisura dalam perjuangannya menegakkan hukum dan keadilan di negara Hastinapura,
sudah tahu siapa kesatria bangsa yang kesinungan WK. Dan cerita perjuangan pun masih berlanjut. Kali
ini bukan fokus pada perjuangan Prabu Rengganisura (Bima/Werkudara) tetapi alur kisah lebih fokus
pada perjuangan sang SP sejati yakni Raden Parikesit. Raden Parikesit sebagai Satria Piningit sejati
karena telah kesinungan WK masih saja mendapat serangan bertubi dari pihak anak tutun trah Kurawa,
anak turunnya Sengkuni, Duryudana, Dorna, Aswatama, Dursasana. Serangan itu berupa fitnah,
pengucilan, merusak kendaraannya, dan melucuti senjatanya, serta berbagai upaya meredam gerakan
bawah tanah sang SP sejati. Dan saat ini perang yang sesungguhnya sedang dimulai antara anak turun
Kurawa dengan sang SP sejati.
Para sesepuh Pandawa, para Begawan Junggring Saloka, Ki Lurah Semar Badranaya, para Bathara dan
Sang Hyang Wenang telah memberikan restu kepada sang SP sejati. Sambil menunggu kematangan sang
SP, hukum alam saat ini sedang menuntaskan tugasnya membersihkan segala yang kotor. Inilah saat
penghabisan dari yang kotor-kotor sebelum orde Pambukaning Gapura dimulai. Sementara itu
dipanggung politik Nasional, yang hebat, yang tampil gemilang, tetapi ingatlah, itu hanya di permukaan
saja, hanya di atas panggung sandiwara politik. Dan adegan-adegan politik saat ini bukanlah diperankan
oleh sang SP sejati. Kita musti eling dan waspada bahwa Nusantara sedang melakukan detoksifikasi,
menguras racun dari dalam tubuh makhluk besar bernama Nusantara. Biarlah semua yang kotor
dikeluarkan dari kolong tempat tidur agar mudah dibersihkan oleh hukum tata keseimbangan alam.
Sekalipun rakyat Hastinapura sedikit kecewa tetapi kekecewaaan itu tidak akan berlangsung lama,
hingga tiba saat yang tepat tampilnya sang SP sejati menyelamatkan Nusantara dari jurang kehancuran.
Bahkan sepertinya para sesepuh Hastina, Prabu Baladewa, Bima dll sengaja memingit sang SP dari
panggung sandiwara politik untuk sementara waktu saja, agar tidak ikut tersapu oleh alam yang sedang
bersih-bersih diri. Biarkan saat ini semua orang berpaling dari keberadaan sang SP sejati, dan semua
orang asik mengarahkan andangannya pada hingar-bingar panggung politik untuk menikmati
pertunjukan yang digelar saat ini. Tapi hanya sedikit orang yang sadar jika di atas panggung politik itulah
kekuatan alam akan melakukan pembersihan untuk memungkasi kerusakan Nusantara. Setelah
panggung politik benar-benar bersih dari manuver-manuver anak keturunan Kurawa, para sesepuh
kerajaan Hastina akan mengeluarkan sang Satria Piningit sejati, dari tempat pingitannya untuk kemudian
jumeneng nata di kerajaan Nuswantara.
Munculnya gerakan bawah tanah dari keturunan Kurawa
Melanjutkan sinopsis pagelaran wayang Satria Piningit Pambukaning Gapura. Siang hari itu, jauh di
sebuah tempat di perbatasan kerajaan Hastinapura telah terjadi pembicaraan yang sangat serius
diantara tiga manusia. Meskipun tidak semua ketiganya mempunyai hubungan sebagai saudara tetapi
mereka disatukan oleh warisan dendam dan niat busuk yang samadari orangtua mereka masing-
masing yang telah kalah dalam perang Baratayudha beberapa waktu sebelumnya. Mereka bertiga
adalah generasi penerus wangsa Kurawa yang masih tersisa setelah perang Bharatayuda selesai, yaitu :
Kertiwindu, Danyang Suwela dan Dursasubala.
Kertiwindu adalah anak dari Patih Sengkuni , pada saat perang Bharatayudha ayahnya Sengkuni mati di
tangan Bima Sena nama lain dari Werkudara. Sementara ituDanyang Suwela adalah anak
Aswatamayang tewas tertancap keris Pulanggeni yang tidak sengaja ditendang seorang bayi bernama
Raden Parikesit sewaktu Aswatama mengendap-endap pada waktu dini hari hendak menghabisi
Pandawa.Danyang Suwela adalah cucu dari Pendeta Durna. Dalam perang Bharatayudha, kakeknya
Durna tewas di tangan Drestajumna dalam keadaan lengah dan kalut karena terkecoh oleh siasat
Pandawa atas ide Prabu Kresna bahwa anak satu-satunya dengan Dewi Wilutama yang bernama
Aswatama mati di medan laga.Padahal sebenarnya anak itu masih segar bugar sedangkan yang
sebenarnya mati adalah Hestitama, nama seekor gajah perang yang terbunuh pada saat itu. Orang
tuanya sendiri, Aswatama tewas oleh keris Pulanggeni yang tertendang kaki mungil bayi Raden
Parikesit setelah sebelumnya ia sudahberhasil menyusup ke Hastinapura dan membunuh banyak
keluarga Pandawa, yaitu : Pancawala, Drestajumna, Srikandi, Sembadra, Niken Larasati, Sulasti juga
Banowati. Sial baginya sewaktu hendak membunuh Drupadi, tiba-tiba bayi Parikesit menangis dan ia
membelokkan pikirannya bermaksud menyelesaikan bayi Parikesit dulu. Tapi siapa nyana, di bawah
kaki Parikesit terdapat keris Pulanggeni dan entah siapa yang menggerakkannya, keris itu seperti di
tendang kaki mungil Parikesit, melesat menancap tepat di jantung Aswatama, hingga tewaslah
dirinya.SedangkanDursasubala adalah anak dari Raden Dursasana, seperti halnya dengan Sengkuni,
Raden Dursasana dalam perang Bharatayudha tewassetelah dikalahkan oleh Raden Werkudara (Bima
Sena).
Demikianlah, dalam perjumpaan itu akhirnya diputuskan karena menyadari bahwa mereka pasti akan
kalah jika berhadapan langsung dengan para Pandawa, maka akan digunakan strategi adu domba, hasut
sana sini, agar terjadi pertumpahan darah, perang dan perebutan tahta Hastinapura di antara keturunan
para Pandawa sendiri.
Yang paling mudah untuk dihasut terlebih dahulu adalah Raja kerajaan Trajutrisna yang bernama Prabu
Sawarka, ia anak dari Boma Narakasura atau nama lainnya Suteja, dan merupakan cucu dari Kresna.
Selanjutnya adalah Prabu Pancakusuma, ia anak dari Prabu Pancawala yang berarti adalah cucu dari
Puntadewa atau Yudistira atau Prabu Kalimataya itu sendiri. Untuk lebih mengacaukan suasana
menjelang jumenengan Raden Parikesit, Kertiwindu juga akan gawe urup-urup kepada kedua cucu
Arjuna yang bernama Raden Wiratmaka (putera Raden Bambang Irawan dengan Dewi Titisari) yang
berdiam di Pertapaan Yasaratadan Raden Wisantara (putera Raden Wisanggeni dengan Dewi
Kencanaresmi) yang tinggal di pertapaan Cakrawala.
Rencana membuat kekacauan dan menggagalkan wisuda jumenengan Raden Parikesit menjadi Raja di
Hastinapura sudah disusun rencana licik dan jahat,dipersiapkan dengan matang dan segera mereka
berangkat untuk melaksanakan semua rencana gerakan bawah tanah itu.
Pasewakan Agung Kerajaan Hastinapura
Rembug Persiapan Wisuda Jumenengan Nata Raden Parikesit
Hadir di Pasewakan Agung Hastinapura pada waktu itu : Prabu Kalimataya (Puntadewa), Prabu
Baladewa, Prabu Kresna, Raden Werkudara, Raden Arjuna, Raden Nakula dan Sadewa juga hadir Jaya
Sanga atau Sanga-Sanga (anak Setyaki), Sasikirana (anak Gatotkaca), Danurwendo (anak Antareja) dan
Jayasena (anak Antasena).
Mereka semua diundang oleh Prabu Kalimataya (Puntadewa) yang sudah menyatakan diri lengser
kepabron dan akan hidup mandita. Estafet tahta kerajaan Hastinapura selanjutnya sudah ditetapkan
akan diserahkan kepada Raden Parikesit, anak dari Raden Abimanyu dan cucu dari Raden
Janaka/Arjuna. Mereka diundang untuk keperluan persiapan acara Pahargyan Jumenengan Nata Raden
Parikesit menjadi Raja di Kerjaaan Hastinapura yang akan segera diselenggarakan dalam waktu tidak
lama lagi.
Undangan sudah disebarkan, waktu Wisuda Jumenengan Nata juga sudah ditentukan. Tapi sampai saat
ini masih menyisakan beberapa hal yang perlu dipikirkan bersama. Pertama, Raden Parikesit sendiri
sampai dengan saat ini belum mengetahui bahwa ia, oleh Prabu Kalimataya setelah berkonsultasi
dengan para sesepuhdi Hastinapura telah ditetapkan sebagai penggantinya,maka kepada Sri Kresna di
utus untuk menjemput Raden Parikesit di Pertapaan Sapta Argo. Kedua, masih perlu di bahas bersama
siapa yang nantinya akan menjadi warangka (pendamping/patih) dari Raden Parikesit setelah
jumeneng nata di Hastinapura. Ketiga, menjelang acara Wisuda Jumenengan Nata Raden Parikesit
sebagai Raja Hastinapura diharapkan dan diminta semua saling bahu-membahu mempersiapkan acara
tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga pada hari yang sudah ditentukan dapat dilaksanakan dengan
selamat, lancar dan tiada aral sesuatu apapun. Lebih-lebih karena disadari bahwa kesepakatan atau
pengambilan keputusan terhadap Raden Parikesit sebagaiRaja Hastinapura pasti juga belum tentu dapat
diterima semua pihak atau menimbulkan pendapat yang pro maupun kontra. Tapi bahwa keputusan
tersebut telah disepakati tentu karena alasan yang jelas dan masuk akal.
Prabu Kresna menjelaskan : Mengapa estafet Hastinapura setelah Prabu Kalimatayamenghendaki
lengser keprabon tidak jatuh ke cucu Puntadewa sendiri?
Jawabannya adalah karena latar belakang sejarah yang terkait masalah penetapan calon Raja
Hastinapura di masa depan. Yaitu pada saat sebelum perang Bharatayudha ada penetapan dari para
Dewa di kahyangan yang menurunkan Wahyu Keprabon ke bumi. Siapa saja yang dapat menerima
wahyu itu di kemudian hari akan berhak atas tahta bumikerajaan Hastinapura.
Kebetulan Wahyu Keprabon jatuh kepada Raden Abimanyu putra Arjuna. Namun kemudian Abimanyu
gugur dalam perang Bharatayudha karena harus melindungi Puntadewa yang diserang oleh pasukan
Kurawa, maka hak akan tahta untuknya itu beralih ke puteranya, yang kebetulan lahir tepat pada saat
usainya perang Bharatayudha. Karena Raden Parikesit masih bayi, maka untuk sementara tampuk
pimpinan kerajaan Hastinapura dipegang oleh Anak tertua Pandawa, yaitu Puntadewa, hingga nanti
pada saatnya akan diserahkan kepada putra mahkota Raden Parikesit sesudah ia dewasa dan dinilai
sudah siap menjadi Raja di Hastinapura.
Bagi yang sudah mengetahui latarbelakang dan alasan penetapan Raden Parikesit menjadi Raja
Hastinapura menggantikan Prabu Kalimataya, pasti akan maklum dan dengan mudah menyetujui
keputusan tersebut.Persoalan pertama, di serahkan kepada Sri Kresna untuk menuntaskannya. Masalah
kedua, akan dibicarakan di antara para sesepuh saja. Untuk persoalan ketiga, agar jalannya acara
jumenengan nantinya dapat terlaksana sesuai rencana, maka kepada : Jaya Sanga atau Sanga-Sanga
(anak Setyaki), Sasikirana (anak Gatotkaca), Danurwendo (anak Antareja) dan Jayasena (anak Antasena),
mereka ditugasi untuk menjadi telik sandi mengamankan situasi dan kondisi dari segala gangguan dan
bahaya yang dapat menyebabkan gangguan terhadap acara besar dan agung yang akan berlangsung.
Segera mereka keluar dari Pasewakan Agung, melaksanakan dhawuh sebagai tim pengaman dan
penyapu segala gangguan menjelang akan diwisudanya Raden Parikesit penerus WK, sebagai Raja
Hastinapura.
Pasewakan Ageng di Kerajaan Trajutrisno
Prabu Sawarka malik tingal dan membawa pasukan segelar papan untuk menyerang Hastinapura
karena kena kompor/hasutan Kertiwindu
Hari itu diadakan pasewakan agung di bangsal Kerajaan Trajutrisno, telah menghadap Sang Patih
Dirgobahu dan Senopati Tumenggung Surosekti serta para pembesar kerajaan lainnya ke hadapan Raja
Trajutrisno yang bernama Prabu Sawarka, beliau adalah anak dari Raden Sutejo atau Bomanarakasura
dan cucu dari Sri Kresna.Di Pasewakan itu, Prabu Sawarka menyampaikan bahwa beliau mendapat
undangan untuk menghadiri acara Jumenengan/Penobatan Raden Parikesit menjadi Raja di
Hastinapura. Sebagai saudara, maka Sang Raja dengan senang hati akan menghadiri undangan tersebut
dan kepada Patih juga para punggawa kerajaan lainnya, diperintahkan untuk segera mempersiapkan
segala sesuatunya termasuk membawa beraneka ragam ulu bekti (kado, oleh-oleh/buah tangan) untuk
mahargya acara penobatan itu.
Setelah semuanya disiapkan dan rombongan panyengkuyung pahargyan dari Kerajaan Trajutrisno itu
hendak berangkat ke kerajaan Hastinapura, tiba-tiba di depan pintu gerbang istanamereka dihadang
oleh tiga orang yang mengaku warga dari kerajaan Trajutrisno. Mereka bertiga adalah: Kertiwindu,
Danyang Suwela dan Dursasubala. Mereka menanyakan maksud dan tujuan rombongan itu hendak pergi
kemana. Raja Sarwaka sempat marah karena ada tiga orang yang dianggap kurang ajar yang telah
berani menghadang/menghentikan jalannya rombongan itu. Tapi sebelum kemarahan Raja Sawarka
semakin memuncak, Kertiwindu dengan kelicikan dan kepandaiannya bersilat lidah, berhasil meredam
kemarahan Sang Raja.
Kesempatan yang baik itu lantas dimanfaatkan oleh Kertiwindu untuk menebar beberapa fitnah keji
dengan tujuan untuk menyulut emosi Raja Sawarka. Kertiwindu mengatakan bahwa kematian dari ayah
Prabu Sawarka sebenarnya adalah karena dibunuh oleh Prabu Kresna. Semula Prabu Sawarka tidak
percaya karena Prabu Kresna adalah kakek yang selalu dipujanya. Namun Kertiwindu kemudian
membeber cerita masa lalu (flashback), ketika suatu kali ada peristiwa di mana Dewi Hagnyanawati (istri
Prabu Bomanarakasura) serong dengan adik tirinya yang bernama Raden Samba Wisnubrata. Tapi Raden
Samba yang salah malah dibela oleh pamannya Raden Arjuna. Peristiwa itu menyebabkan Raden Suteja
marah lalu menyerang Mandura dan dalam suatu kesempatan berhasil membunuh Raden Samba
dengan cara dicincang atau dijuwing-juwing. Rupanya kematian Raden Samba itu menyebabkan
kemarahan Prabu Kresna, kemudian Raden Suteja pun akhirnya juga dibunuh oleh Prabu Kresna dengan
bantuan Gatutkaca. Maka, jika Prabu Sawarka tidak dapat menuntut balas atas kematian ayahnya
kepada keturunan Kresna, Janaka dan Gatutkaca, ia dikatakan sebagai anak yang tidak tahu diri, bodoh,
pengecut, dan tidak berbakti. Demikian hasutan Kertiwindu yang merupakan anak dari Sengkuni.
Mendengar cerita yang disampaikan Kertiwindu itu, lalu segera berkobarlah amarah dan timbul dendam
yang membara dalam diri Prabu Sawarka. Kepergian mereka yang sedianya akan turut mahargya
penobatan Raden Parikesit menjadi Raja kerajaan Hastinapura berubah arah dan berbalik tujuan
menjadi keinginan utuk menyerang, menggempur dan menghancurkan Hastinapura guna menuntut
balas atas kematian ayahandanya Prabu Bomanarakasura (Suteja), yang mati karena dibunuh oleh
kakeknya sendiri Prabu Kresna di bantu oleh para Pandawa. Seluruh kekuatan pasukan kerajaan
Trajutrisno segera disiap-siagakan dan diberangkatkan untuk menghancurleburkan kerajaan Hastinapura
yang dianggap harus bertanggungjawab atas kematian ayahandanya. Turut dalam rombongan ini dua
orang punakawan, Togog dan Mbilung yang sebenarnya sudah mengetahui kelicikan Kertiwindu yang
sudah mengadu domba antara Trajutrisna dengan Hastinapura dengan cerita karangannya. Berulangkali
mereka berdua memberi nasehat dan memperingatkan kepada Sang Prabu Sarwaka maupun Sang Patih
Dirgobahu bahwa tindakan mereka ini salah. Tapi apa boleh dikata, mereka berdua hanyalah punakawan
dan kawula alit yang tanpa daya.Pergerakan pasukan Trajutrisna yang tanpa tedheng aling-aling
dengan puluhan ribu wadyabalanya, dengan mudah dipantau dan diketahui oleh para telik sandhi
Hastinapura yang bertugas untuk mengamankan Hastinapura dari segala macam ancaman maupun
gangguan yang dapat menghancurkan rencana penobatan/diwisudanya Raden parikesit sebagai Raja
Hastinapura.
Adalah Raden Jayasanga atau Sangasanga, mengetahui ada pasukan segelarpapan yangbergerak hendak
memasuki wilayah kerajaan Hastinapura dan sangat mencurigakan itu, segera menghadang dan
menghentikanmereka semua. Senopati Agung Trajutrisno, Tumenggung Surosekti pun langsung
menghadapi Raden Jayasanga, terjadi pertempuran yang sengit, namun akhirnya Tumenggung Surasekti
dapat dikalahkan oleh Raden Sanga-sanga.Lalu bersama dengan Raden Jayaseno, mereka berua
menghadapi Patih Dirgobahu.Dalam pertempuran inipun Patih Dirgobahu sangat kuwalahan
menghadapi duet maut Jayasanga & Jayaseno dan berhasil ditaklukkan oleh anak dari Raden Setyaki dan
anak Raden Antasena ini.
Di sisi yang lain, akibat firnah dari anak turun Kurawa pula, terjadilah perang tanding yang seimbang dan
sengit antara Prabu Sawarka dengan Raden Danurwendo anak dari Raden Antareja. Ketika meraka
masing saling mengadu kesaktian, segera pergilah Raden Jayasanga ke Istana Hastinapura, melaporkan
semua kejadian itu kepada Prabu Baladewa, bahwa ada musuh yang menyerang kerajaan Hastinapura di
bawah pimpinan Prabu Sarwaka dari kerajaan Trajutrisna. Demi mendengar nama itu, sebagai
uwa/pakdhe dari Prabu Sarwaka, ia pun segera menuju ke medan peperangan dan mencari Prabu
Sawarka.Singkat cerita, lalu terjadi pertempuran antara Prabu Mandura (Baladewa) denga Prabu
Sawarka keponakannya. Karena kesaktian dari Prabu Baladewa walaupun sudah tua renta namun masih
tak tertandingi, maka Prabu Sawarka berhasil dikalahkan, namun tidak dibunuh. Kemudian Prabu
Sawarka dirangket untuk diadili dan dibawake Hastinapura. Pada saat itulah Prabu Kresna juga datang
di tempat itu, namun semuanya sudah terlanjur terjadi. Tahulah Prabu Kresna bahwa kejadian ini adalah
akibat Prabu Sawarka sudah dapat diperdaya oleh cerita fitnah Kertiwindu, Danyang Suwela dan
Dursasubala. Sehingga Prabu Sawarka menjadi marah dan dendam kepada dirinya serta berusaha
menuntut balas kematian ayahandanya Prabu Bomanarakasura kepadanya dan seluruh keturunan
Pandawa. Bersama-sama dengan Prabu Baladewa mereka segera membawa (menawan) Prabu Sawarka
ke Hastinapura.
Di Pertapaan Sapta Argo
Raden Parikesit di jemput Prabu Kresna untuk di nobatkan menjadi Raja Hastinapura.
Siang itu di Pertapaan Sapto Argo, Raden Parikesit sedang sambat dengan ibunya Dewi Utari dan
Kakeknya Panembahan Matswapati. Hadir di situ pula para punakawan : Semar, Gareng, Petruk dan
Bagong. Panembahan Matswapati adalah mantan raja negara Wirata yang dulu bergelar Prabu
Matswapati/Durgandana, beliau adalah ayahanda dari Dewi Utari istri Raden Abimanyu, dengan
demikian beliau adalah besan dari Raden Janaka atau Arjuna.
Raden Parikesit tampak sedih hatinya karena ia banyak dicemooh dan disindir-sindir oleh kawan-
kawannya sepermainannya bahkan ia merasa disingkirkan dari mereka. Malu sekali rasanya saya
ibunda, karena kawan-kawan sepermainan saya juga warga yang tinggal sekitar padepokan ini sering
mengolok-olok saya. Ojo kumpul karo Parikesit amarga deweke iku bocah sukerto. Ora cetho sopo
bapakne ! Sebetulnya siapakah ramandaku, duh ibu? Bukankah aku saat ini sudah cukup dewasa untuk
boleh mengetahui siapakah ayahku karena semenjak kecil sampai dengan saat ini aku belum pernah
bertemu dengan beliau? Apakah aku memang bocah lembu peteng seperti kata banyak orang di sekitar
sini, yang tidak jelas siapa bapaknya?
Sebagai ibu yang amat sangat mengasihi anak satu-satunya, Dewi Utari juga menjadi sangat berduka
mendengar sambat sebut Raden Parikesit yang begitu memelas. Ditahan semampunya agar air mata
yang sudah mengumpul dipelupuk matanya tidak jatuh berderai membasahi pipinya.
Namun sekuat apapun ia adalah wanita yang sangat peka dalam hal rasa, ia juga ibunya, yang
mengandung, melahirkan dan membesarkannya. Dalam segala keterbatasan dan ketidakberdayaannya
sebagai ibu dan seorang wanita, ia mampukan untuk berkata meski dengan terbata-bata : Duh cah
bagus, anakku wong sigit Parikesit. Demikian nelangsanya lelakon hidupmu, anakku. Tidak seperti
kawan-kawanmu yang masih ditunggui dan didampingi oleh bapak dan ibunya, memang engkau sudah
tak punya bapak sejak usiamu masih sembilan bulan dalam kandungan ibumu ini, sehingga sewaktu
engkau lahirpun tiada ayahandamu di sampingmu, nak.
Anakku, cah bagus Parikesit. Kamu bukan anak lembu peteng. Cobalah kau tanyakan kepada
kakekmu dan para punakawan yang mengetahui secara pasti sejarah dan latar belakang hidupmu.
Ayahandamu itu seorang Ksatria anakku. Beliau wafat di medan perang Bharatayudha ketika engkau
masih berusia sembilan bulan dalam kandungan ibumu ini. Nama ayahandamu adalah Raden Abimayu
ya Raden Angkawijaya.
Suasana menjadi hening (flashback)
Yah, di hari ke-13 perang Bharatayudha itulah bisikan takdir untuk Abimanyu datang. Meski sudah
dihalang-halangi sang ibu (Dewi Subadra) dan isterinya Dewi Utari yang tengah hamil tua, namun
sebagai ksatria sejati, Abimanyu tidak goyah untuk menjalani mimpinya. Namun sebenarnya, Abimanyu
juga sudah termakan dusta yang ia lakukan terhadap Dewi Utari bahwa ia belum punya istri dan
bersedia mati tercabik-cabik senjata musuh di perang Bharatayudha jika berbohong.
Sudahlah, semua itu adalah kesalahanku. Aku masih mengingatnya namun aku sengaja untuk
melupakannya karena aku tidak mau langkahku terputus. Semua akan aku lalui dengan langkah pasti
karena memang demikian hakekat kehidupan, begitu kata Abimanyu kepada Dewi Utari.
Di saat adegan yang sangat menyentuh kalbu, antara Abimanyu, Dewi Subadra dan Dewi Utari itu,
datanglah Raden Sumitra memberi tahu Abimanyu bahwa pasukan Pandawa kehilangan senopati
perang mereka, Werkudara dan Arjuna telah berhasil dijebak dua senopati perang Kurawa, Jayadentha
dan Kartamarma untuk berperang di pinggir selatan dan utara padang Kurusetra. Abimanyu mengerti
jika dia harus berhadapan dengan Durna, Karna, Duryudana, Adipati Sindu dan para senopati besar
Kurawa lainnya. Tekadnya sudah bulat menyelamatkan Prabu Puntadewa dari kepungan musuh dan itu
harus dibayar mahal dengan keberaniannya. Gelar papan pasukan Kurawa dengan formasi Cakra Byuha
telah mengepung Abimanyu yang terlepas dari pengawalan prajurit Pandawa dan sendirian menghadapi
kepungan para Prajurit Kurawa. Abimanyu akhirnya gugur dalam formasi Cakra Byuha yang dibuat
pasukan Kurawa.
Ketika mereka yang berada di situ sedang ngungun (suasana haru)dan hening memasuki suasana
pikiran dan hati mereka masing-masing. Tiba-tiba datanglah Prabu Kresna di pertapaan Sapta Argo.
Setelah menghaturkan sembah kepada Panembahan Matswapati dan menyapa Dewi Utari, Raden
Parikesit serta para punakawan. Prabu Kresna menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya ke
pertapaan itu.
Perkenankanlah saya menyampaikan kabar berita ini. Beberapa waktu lalu, Prabu Kalimataya telah
menyatakan diri untuk lengser keprabon sebagai Raja di Hastinapura karena sudah sepuh dan akan
madeg pandita. Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, bahwa sebenarnya yang berhak atas tahta
Hastinapura adalah Raden Abimanyu. Nah, karena Raden Abimanyu telah tiada, kita semua sudah
sepakat bahwa sebagai yang menjadi Raja Hastinapura adalah Raden Parikesit anak dari Raden
Abimanyu. Hanya karena waktu itu ia masih kecil maka untuk sementara putra tertua Pandawa, Raden
Puntadewa yang sementara mengisi tahta yang kosong menjadi raja di Hastinapura lalu bergelar Prabu
Kalimataya. Mengingat bahwa Parikesit dinilai sudah cukup dewasa. Maka, ijinkanlah saya saat ini
mboyong Raden Parikesit untuk saya ajak ke Hastinapura, untuk sinengkakaken jumeneng nata/raja di
kerajaan Hastinapura!
Mendengar kabar gembira itu, semua yang hadir, terutama Dewi Utari merasa sangat bersyukur bahwa
anaknya satu-satunya memperoleh anugerah dari dewata dipercaya untuk menjadi raja di Hastinapura.
Cucuku Parkesit, segeralah minta pangestu dari ibundamu Utari dan kakekmu Panembahan
Matswapati, ajaklah para punakawan bersamamu. Ayo, waktunya sudah cukup mendesak, segeralah
ikut aku ke Hastinapura, kata Prabu Kresna.
Demikianlah, setelah mendapat pangestu dari ibunda dan kakeknya. Prabu Kresna, Raden Parikesit dan
para punakawan segera pamit dari pertapaan Saptoargo berangkat menuju kerajaan Hastinapura.
Cara Kotor Untuk Menghentikan Langkah SP
Di Kadipaten Ngamarta
Prabu Pancakusuma (cucu Puntadewa), berhasil dihasut oleh Kertiwindu untuk minta hak tahta
Hastinapura setelah Kakeknya Prabu Kalimataya lengser kepabron
Sesuai dengan yang sudah direncanakan semenjak awal, aksi obong-obong atau gawe urup-urup oleh
Kertiwindu, Danyang Suwela dan Dursasubala ditujukan ke Kadipaten (kerajaan kecil) Ngamarta yang
dipimpin oleh Raja Prabu Pancakusuma, beliau adalah anak dari Prabu Pancawala. Prabu Pancawala
adalah anak dari Puntadewa atau Yudistira atau Prabu Kalimataya dengan Dewi Drupadi. Prabu
Pancawala lalu menikah dengan sepupunya, puteri dari Arjuna yang bernama Dewi Pregiwati dan
mempunyai anak bernama Pancakusuma. Sedang Dewi Pregiwati itu sendiri adalah adaik dari Dewi
Pregiwa, istri dari Raden Gatotkaca, anak Werkudara.
Setelah berhasil bertemu dengan Prabu Pancakusuma, maka segera Kertiwindu melancarkan
hasutannya, dimulai dari hak waris negeri Hastina yang menurut sejarah dan latar belakang darah/waris
keluarga maka yang paling berhak adalah Prabu Pancakusuma sebagai pewaris tahta Prabu Kalimataya.
Karena ia adalah cucu dari Prabu Kalimataya dan sekaligus cucu dari Raden Janaka. Kalau sampai Raden
Janaka memaksakan kehendaknya agar Raden Parikesit yang menggantikan Prabu Kalimataya itu
menyalahi sejarah dan paugeran kerajaan. Apalagi Raden Parikesit itu nggak ada apa-apanya
dibandingkan dengan Prabu Pancakusuma sehingga tidak kompeten untuk memimpin negara.
Dasar kloning Sengkuni yang sangat licik dan pandai bersilat lidah, singkat cerita, hati cucu Prabu
Yudistira itu terbakar. Dengan pasukan segelar sepapan, dia nglurug ke Hastinapura hendak protes
karena ia merasa lebih berhak dan pantas daripada Raden Parikesit untuk menjadi raja menggantikan
kakeknya Prabu Kalimataya. Melihat mangsanya sudah terbakar hatinya dan segera akan menyerang
Hastinapura, dengan tertawa riang Kertiwindu cs pergi melanjutkan rencananya yang lain.
Di tengah perjalan menuju Hastinapura, pasukan dibawah pimpinan Prabu Pancakusuma itu berjumpa
dengan Raden Arjuna/Janaka. kebetulan sekali aku bertemu denganmu Eyang Arjuna, aku tidak terima
jika saudaraku Raden Parikesit yang akan jumeneng nata di Hastinapura. Meskipun aku dan Parikesit
sama-sama adalah cucumu, namun aku merasa lebih berhak atas tahta Hastinapura, karena aku juga
cucu dari Prabu Kalimataya sedangkan Parikesit bukan cucu Prabu Kalimataya. Eyang Arjuna telah pilih
kasih dan salah jika ikut menyetujui acara penobatan Parikesit menjadi raja Hastinapura.
Dengarlah dengan baik-baik cucuku Pancakusuma. Bukannya kakekmu ini pilih kasih atau mau merebut
hak pewaris Hastinapura dan memberikan kepada Raden Parikesit, adikmu. Namun memang sudah
menjadi ketetapan para dewata maupun alam semesta raya, bahwa yang berhak atas tahta Hastinapura
adalah ia yang kasinungan Wahyu Keprabon. Wahyu Keprabon itu dimiliki oleh pamanmu Abimanyu
dan setelah ia gugur di medan perang Bharatayudha, WK itu lalu dimiliki oleh Raden Parikesit. Namun
karena waktu itu Parikesit masih kecil maka tahta Hastinapura untuk sementara dijalankan oleh Putera
tertua Pandawa, kakekmu Prabu Yudistira. Karena Kakanda Prabu Kalimataya sudah merasa tua dan
dipandang Parikesit sudah cukup dewasa maka tahta Hastinapura dilimpahkan kepada yang berhak yaitu
Raden Parikesit. Atas dasar hal itulah maka Raden Parikesit ditetapkan sebagai pengganti Prabu
Kalimataya untuk menjadi raja di Hastinapura, cucuku Pancakusuma.
Aku tidak percaya dan tidak sependapat dengan apa yang disampaikan kakek Arjuna. Bagaimanpun dari
silsilah dan menurut garis keturunan, aku merasa lebih berhak tinimbang Parikesit. Siapapun yang
menghalangi kemauanku menutut hak atas tahta Hastinapura akan kulawan, tak peduli siapapun dia,
termasuk jika Eyang Arjuna juga akan menghalangiku maka akan aku lawan
Merah padam muka Raden Harjuna mendengar kata-kata cucunya Prabu Pancakusuma yang sangat
tidak sopan dan mau melawan kehendak Sang Hyang Wenang. Singkat cerita, terjadi pertempuran yang
sengit antara Prabu Pancakusuma dengan Prabu Arjuna. Tapi kesaktian dan kemampuan Prabu
Pancakusuma masih sangat jauh dibandingkan dengan kesaktian dari kakeknya Raden Janaka. Dengan
mudah Prabu Pancakusuma dapat ditaklukkan dan pada suatu kesempatan Prabu Pancakusuma mau
dibunuh oleh Raden Arjuna, tiba-tiba muncul Kyai Semar yang mencegah maksud Raden Arjuna itu.
Kakang Semar, mengapa engkau mencegahku menghabisi Pancakusuma, cucuku? Luwih becik aku
kelangan endog siji, putuku Pancakusuma iki tinimbang hamung gawe wirang !
Byiuuuung .. lhadalah, sabar nggih den. Itu semua bukan salah dari Prabu Pancakusuma. Ia hanya
menjadi korban obong-obong yang dilakukan oleh anaknya Sengkuni, si Kertiwindu. Maafkanlah dia
dan ajaklah dia ke Hastinapura dengan baik-baik untuk ikut hadir dalam acara penobatan Raden
Parikesit besok. Saya nanti yang akan menuturkan cerita yang sebenar-benarnya kepada Prabu
Pancakusuma dan meluruskan cerita yang telah dibelokkan oleh Kertiwindu, karena saya adalah
pamomong para Pandawa dan keturunannya sehingga saya lebih akan dipercaya menyampaikannya
kepada Prabu Pancakusuma.
Di Pertapaan Cakrawala & Pertapaan Yasarata
Kertiwindu mengaku dirinya adalah Raden Arjuna di hadapan Raden Wiratmaka dan Raden Wisantara
yang belum pernah berjumpa dengan kakeknya Raden Arjuna
Kertiwindu cs juga melaksanakan apa yang sudah direncanakan mereka yaitu menghasut kedua cucu
Arjuna yang bernama Raden Wiratmaka (putera Raden Bambang Irawan dengan Dewi Titisari) yang
berdiam di Pertapaan Yasarata dan Raden Wisantara (putera Raden Wisanggeni dengan Dewi
Kencanaresmi) yang tinggal di pertapaan Cakrawala.
Pada suatu saat, Raden Wiratmaka menyampaikan maksudnya kepada kedua orangtuanya hendak
melihat acara penobatan Raden Parikesit menjadi Raja di Hastinapura menggantikan Prabu Kalimataya,
ngiras pantes dia ingin mencari kakeknya Raden Arjuna yang belum pernah dijumpainya semenjak lahir
sampai dengan sekarang. Hal serupa juga disampaikan kepada sahabatnya Raden Wisantara bahwa ia
hendak ke Hastinapura melihat acara penobatan sekaligus ingin mencari dan menjumpai kakeknya
Raden Arjuna. Betapa terkejutnya Raden Wisantara ketika Raden Wiratmaka mengatakan bahwa Raden
Arjuna adalah kakeknya, karena berdasarkan cerita kedua orangtuanya, ia juga mempunyai kakek yang
bernama Raden Arjuna. Mengetahui bahwa sebenarnya mereka berdua bukan hanya sekedar sahabat
melainkan juga saudara, maka berpelukanlah mereka berdua dan bersama-sama pergi menuju
Hastinapura.
Di tengah jalan mereka dihadang Kertiwindu. Setelah terjadi pembicaraan di antara mereka bertiga dan
diketahui bahwa mereka hendak ke Hastinapura mencari kakeknya Raden Arjuna, maka dengan cepat
dipeluknya kedua anak itu dan mengatakan bahwa Raden Arjuna yang mereka cari itu sudah berada di
depan mata. Tidak perlu di cari kemana-mana, demikian Kertiwindu mengaku dirinya sebagai Raden
Arjuna. Meski sebenarnya kedua anak itu agak ragu tapi karena memang belum pernah berjumpa
dengan kakeknya dan ada orang yang mengaku-aku kakeknya dan juga mengenal seluruh keluarganya,
maka mereka pun menjadi percaya juga. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Kertiwindu yang mengaku
sebagai Raden Janaka, bahwa ia sampai terlunta-lunta seperti ini karena di usir oleh Raden Parikesit dari
Hastinapura. Maka mereka berdua dimintai tolong untuk membalaskan sakit hatinya kepada Raden
Parikesit.
Segera mereka berdua berangkat menuju ke Hastinapura. Ketika mereka sampai di Hastinapura,
mereka bertemu dengan Raden Janaka. Terjadi perbincangan di antara mereka, ketika di tanya maksud
kedatangannya ke Hastinapura, mereka menjawab akan mencari Prabu Parikesit dan akan membalaskan
sakit hati kakeknya Raden Arjuna yang telah diusir Parikesit dari Hastinapura. Oleh Raden Arjuna mereka
ditanya latarbelakangnya. Setelah tahu bahwa mereka berdua adalah anak dari Bambang Irawan dan
Wisanggeni, maka segera dipeluklah mereka berdua oleh Raden Janaka. Dalam situasi bingung karena
tadi juga berjumpa dengan orang yang mengaku Raden Arjuna, mereka bertanya siapakah yang
sebenarnya kakeknya itu. Tetapi akhirnya mereka mengetahui bahwa kakeknya yang asli adalah orang
yang mereka temui terakhir, sedang yang pertama ditemui tadi adalah gadungan. Sebenarnya kami
sudah ragu dengan orang pertama yang mengaku sebagai kakek tadi, karena menurut cerita kakek itu
tampan, tetapi orang tadi itu tampangnya jelek dan sama sekali tidak tampan . Demikianlah akhirnya
mereka berjumpa dengan kakek aslinya.
Menjelang jumenengan Raden Prikesit, Punakawan Petruk melaporkan bahwa di lereng bukit sana ada
anak turun Sengkuni, Dursasana, Duryudana, Durna bersama Kertiwindu tengah asik jejogetan,
bersukacita melihat negara Hastina dikacau oleh orang-orang yang berhasil dihasutnya. Maka sang
Kakek Baladewa segera menghampirinya. Ditumpaslah anak turun Kurawa yang selalu menjadi biang
kerok kekacauan dan kerusuhan politik.
Setelah para telik sandi dan Tim Pangaman yang bertugas melenyapkan segala gangguan menjelang
akan diwisudanya Raden parikesit sebagai Raja Hastinapura mengetahui siapa biang keladi semua
kekacauan itu, maka segera dicarilah para tokoh penyebab keonaran itu. Tanpa banyak kesulitan maka
Kertiwindu, Danyang suwela dan Dursasubala dapat di temukan. Tanpa ampun segera di tangkap dan
dibinasakanlah mereka bertiga. Kertiwindu mati di tangan Prabu Baladewa, Danyang Suwela berhasi
dibunuh oleh Raden Arjuna dan Dursasubala akhirnya meninggal diinjak-injak oleh Raden Harya
Werkudara.
Semua para pengacau dan biang keladi yang sudah menghasut, obong-obong dan ngompori Prabu
Sarwaka, Prabu Pancakusuma, Raden Wiratmaka dan Raden Wisantara untuk menjegal dan
mengacaukan jumenengan nata Raden Parikesit menjadi raja Hastinapura sudah binasa.
Di Pasewakan Hastinapura
Penobatan Raden Parikesit menjadi Raja Hastinapura dan bergelar PRABU PARIKESIT PARIPURNA
PUNTADEWA
Hari itu di kerajaan Hastinapura telah hadir dan berkumpul para sesepuh dari Pandawa maupun para
tamu undangan dari kerajaan-kerajaan bawahan Hastinapura maupun kerajaan sahabat. Para sesepuh
yang hadir di antaranya : Prabu Baladewa, Prabu Kresna dan seluruh Pandawa lima. Suasana acara
Wisudan Jumeneng Nata (Penobatan) Raden Parikesit menjadi Raja di Hastinapura menggantikan
Eyang Agengnya Prabu Kalimataya digambarkan sangat sakral dan agung. Sesepuh yang ditunjuk untuk
memimpin dan me-legitimasi acara penobatan itu adalah Prabu Baladewa dan Prabu Kresna.
Demikianlah, setelah Prabu Kalimataya/Puntadewa menyatakan lengser keprabon karena sudah sepuh,
Prabu Kalimataya dan adik-adiknya : Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa telah mengambil
keputusan bersama untuk madeg pandito yaitu pergi mengembara untuk mendalami hidup spiritual
sebagai pendeta. Bagi seorang pimpinan tertinggi menyerahkan kekuasaan kepada seseorang dengan
damai dan ikhlas kepada penggantinya diperlukan kualitas sifat kepemimpinan Prabu
kalimataya/Puntadewa yang mempunyai sifat introspeksi yang sangat mendalam terhadap kemampuan
dirinya sendiri dan kepercayaan yang besar pada pihak yang akan menggantikan. Dan Raden Parikesit
sebenarnya telah terpilih untuk menerima tanggung jawab estafet kepemimpinan di Hastinapura itu
semenjak ia belum dilahirkan serta masih dalam kandungan ibunya Dewi Utari.
Semestinya peristiwa suksesi itu berjalan dengan mulus karena jauh sebelumnya sudah terpilih dengan
pasti siapa yang berhak atas kepemimpinan di kerajaan Hastinapura itu selanjutnya, apalagi proses
suksesi itu ditempuh dengan cara damai dan ikhlas. Gangguan-gangguan yang terjadi menjelang suksesi
dapat dilihat sebagai bentuk kewajaran wujud atau ungkapan dari ketidakpuasan atau ketidaksetujuan
seseorang atau kelompok tertentu terhadap sebuah keputusan kenegaraan yang telah ditetapkan pada
waktu itu. Hal itu dapat terjadi manakala mereka kurang atau belum dapat memahami dan mengerti apa
yang yang menjadi landasan, dasar dan pijakan pembuatan keputusan kenegaraan itu. Celah-celah itulah
yang dimanfaatkan oleh segelintir orang dengan sengaja membuat kekacauan, gangguan bahkan kalau
bisa menggagalkan peristiwa suksesi yang semestinya dapat berlangsung dengan damai dan mudah itu.
Namun, tak ada manusia yang bisa melawan takdir. Sudah menjadi kehendak alam semesta dan para
dewata bahwa hukum karma dan hukum tata keseimbangan alam selalu berlangsung tanpa menyisakan
sedikitpun ketidakadilan. Yang harus terjadi musti terjadi.
Hari itu, Raden Parikesit dinobatkan menjadi raja dan pemimpin yang baru di kerajaan Hastinapura.
Disaksikan dan direstui oleh semua yang hadir Raden Parikesit secara resmi dan sah menjadi raja baru di
kerajaan Hastinapura dan bergelar PRABU PARIKESIT PARIPURNA PUNTADEWA. Ditetapkan pula oleh
Prabu Kresna pada saat itu yang akan menjadi warangka/pendamping/patih sang raja adalah : Raden
Danurwendo (anak Antareja) sebagai Patih Luar dan Harya Dwara, cucu dari Prabu Kresna, putera
pasangan Samba dan Dewi Hagnyanawati sebagai Patih Dalam. (THE END)
*Catatan :
Dalam beberapa versi pewayangan gelar Raden Parikesit setelah menjadi Raja Hastinapura adalah
PRABU KRESNADIPAYANA.
Jagad Hastinapura (Nusantara)
Dua penggal lakon wayang Satria Piningit & Pambukaning Gapura menggambarkan dinamika politik
kerajaan Hastinapura (sebut saja Nusantara) dengan fokus cerita pada siapa yang paling berhak duduk
di singgasana kerajaan Hastinapura. Sequel cerita dimulai dari lakon Satria Piningit yang digelar pada
4 Mei 2014, merupakan peristiwa perjalanan WK pada masa sebelum terjadi perang Baratayudha,
kemudian dilanjutkan dengan sequel pasca perang Baratayudha dengan lakon Pambukaning Gapura.
Konflik atas dasar perebutan kekuasaan dan diperankan oleh dua kubu kontrapolitik, yakni antara pihak
antagonis Kurawa Seratus dan protagonis Pandawa Lima. Keduanya masih satu garis keturunan dari
Begawan Abyasa dengan Dewi Ambalika. Namun perang Baratayudha merupakan perang pembersihan,
perang untuk membela hak dan kebenaran sesuai hukum alam, tanpa pandang bulu dan pilih-pilih mana
saudara mana bukan. Nyali dan perasaan dalam kapasitas sebagai saudara dan dalam
tanggungjawabnya sebagai kesatria benar-benar diuji. Masing-masing tokoh diuji komitmennya, diuji
sikap kesatrianya, dites perasaan sebagai saudara dan dari peristiwa itu lahirlah nilai-nilai kebijaksanaan
hidup bagaimana harus bersikap, bertidnak dan menentukan pilihan yang sulit. Kesatria sejati tidak pilih
tanding dan tidak pilih kasih. Karena ia bertindak dengan dasar membela hak dan kebenaran. Sekalipun
saudara jika yang dihadapinya adalah orang yang melanggar hukum alam, keadilan harus ditegakkan.
Perang bukan dengan emosi, tetap dengan nalar sehat, dan dengan segenap peraturan (etika) perang
yang tidak boleh dilanggar.
Dalam lakon perang Baratayudha versi yang orisinil atau belum dicampuri kreatifitas dan improvisasi
masing-masing orang yang men-dalang, di dalamnya mengandung nilai kebijaksanaan hidup yang
adiluhung namun untuk memahami makna tersirat butuh kecermatan batin dan skal pikiran. Bila
dimaknai secara mentah-mentah setiap peristiwa yang terjadi justru akan menimbulkan prasangka
negatif. Perang baratayudha menceritakan bagaimana seseorang harus bersikap bijaksana dan adil,
tegas dan penuh kasih. Di sinilah kita bisa belajar tentang suatu nilai yang sakral, bagaimana sikap welas
asih dan bijaksana benar-benar diuji dalan situasi yang sangat sulit. Dalam perang Baratayudha terdapat
dua nilai yang saling bergesekan, yakni antara tanggungjawab sebagai sesama saudara, dan di sisi lain
adalah tanggungjawab sebagai kesatria. Sekali lagi, lakon perang Baratayudha kaya akan nilai-nilai
kebijaksanaan, kemanusiaan, dan kehidupan manusia secara apa adanya, asalkan kita secara teliti
memahami alur cerita dan cermat mengambil kesimpulan dari alur cerita.
Alur cerita di jagad pakeliran, similar dengan yang terjadi pada jagad politik Nusantara satu decade ini.
Perjalanan Wahyu Keprabon mencari siapa SP sejati, benar-benar wingit namun seru, melalui lika-liku
lakon kehidupan. Sayangnya tidak mudah dicermati dengan mata wadag oleh setiap orang. Semenjak
WK berada di tangan Ibu Tien Soeharto, WK tidak pernah turun kepada siapapun termasuk Habibi,
Gusdur, Mega dan SBY. Dalam perjalanannya WK melewati fase goro-goro dan jaman edan. Yang
ditandai dengan berbagai fenomena alam. Bumi gonjang-ganjing. Jalanidi warih lir kinebur-kebur
kinoclak-koclak. Langit kelap-kelip, cleret taun, udan barat, kilat thathit, bledek mangampar-ampar. Fase
jaman-edan, dikombinasi dengan wolak-waliking jaman (zaman serba terbalik). Keadaan ini yang
memotifasi Pandawa Lima yang menyamar dengan merubah ujud dan penampilannya untuk mencari
jawaban di manakah gerangan WK berada. Dipimpin oleh Prabu Rengganisura (Raden Werkudara)
takon ing ngendi dununge wahyu keprabon, lan sapa sejatine satria piningit kang kesinungan wahyu
keprabon?. Sebab raja yang duduk di tahta kerajaan saat ini raja tanpa WK adalah raja palsu, raja yang
tidak direstui oleh sang Jagadnata dan para leluhur agung bumiputra Nusantara. Raja yang tidak akan
menciptakan kemakmuran, ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebaliknya
negara akan mengalami kebangkrutan, karena begitu banyak bromocorah yang menjadi pejabat dan
mentarget merampok aset negara. Bencana, musibah, wabah penyakit, pagebluk, terjadi silih berganti
melanda seluruh wilayah negeri. Paceklik, mahal papan, sandang dan pangan, pelanggaran hukum
berupa tindak criminal, terror, melanda seantero jagad pakeliran Nusantara. Nasib rakyat kadya gabah
den interi. Tatanan lan paugeran rusak, margo akeh setan riwa-riwa pindha manungsa anggowo
agama.
Usaha Prabu Rengganisuradan bala tentaranya tidaklah sia-sia. Saat itu mulai menampakkan hasilnya.
Akhirnya dapat diketahuilah siapa sesungguhnya yang kesinungan WK, ialah orang yang telah banyak
berjasa dan berkarya untuk Nusantara, jujur, adil, lilo-legowo, tegas, berwibawa, serta selalu berbakti
kepada para leluhur bumiputra bangsa, sehingga ia mendapatkan restu para leluhur dan Roh Jagad
Agung untuk menyelamatkan Nusantara.
Sang Satria Piningit
Dalam jagad pakeliran, menggambarkan jalan berliku Raden Parikesit yang kesinungan WK, hingga
jumeneng ratu di Hastinapura. Raden Parikesit paling tidak mengalami 3 kali kendala besar, tantangan
dan hambatan yang berat, bahkan sampai bertaruh nyawa hingga pada saatnya jumeneng nata di
kerajaan Hastinapura. Hubungannya denga realitas politik tanah air saat ini benar-benar klop. Di mana
sang Satria Piningit sejati putra Nusantara hanya fokus giat bekerja dan berkarya dalam scope besar,
mengabdikan sisa hidupnya untuk nusa dan bangsa. Meskipun sudah sedemikian besar jasanya untuk
NKRI, ia seringkali difitnah, ditipu, diperdaya oleh kelompok Kurawa dan keturunannya. Walaupun
sadar SP jika dirinya ditipu tetapi ia menerapkan ngelmu sebagai satria utama (satriatama) Tanah Jawa
(nusantara), yang harus memiliki hati seluas samudra, sugih ati, sugih ngelmu, sugih bandha, sugih
kuwasa. Baginya, ditipu para durjana tidak akan membuatnya sengsara dan melarat. Sebaliknya, para
durjana itu akan menjadi batu loncatan menuju tataran kemuliaan yang lebih tinggi. SP sejati Tidak
sakit hati bila dihina, tidak sedih jika kehilangan, dan tetap tersenyum dalam keadaan duka-lara. Itulah
alasan kenapa SP sejati dikatakan bagaikan manusia setengah dewa.
Hiruk-pikuk eskalasi makro politik menjelang suksesi kepemimpinan Nasional diwarnai dengan
persaingan memperebutkan kekuasaan. Meskipun demikian justru situasi dan kondisi ini, membuat sang
SP sejati harus menghentikan langkahnya sendiri untuk sementara waktu. SP sejati tidak ikut campur di
dalam hiruk-pikuk politik itu. SP sejati menunda langkahnya dari panggung politik Nasional hanya untuk
sementara waktu saja. Karena SP sejati sadar saat ini bukan timing untuk tampil di hadapan rakyat
Nusantara. Saat ini alam masih akan melangsungkan pembersihan bumi Nusantara dari segala yang
kotor. Sinengkalan Sapta tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad siklusnya masih berlanjut.
Semua kotoran yang tersembunyi di dalam kolong akan keluar dengan sendirinya, dan sebagian yang
lain akan dikeluarkan secara paksa oleh kekuatan alam. Suksesi bagaikan umpan agar sasaran
pembersihan alam keluar dari sarangnya. Sementara bagi yang tidak merasa kotor tidak perlu khawatir
karena hukum alam tidak pernah menyisakan sedikitpun ketidakadilan. Panggung politik nasional akan
menjadi arena akrobat maut para politisi, sebelum kekuatan hukum alam melakukan pembersihan.
Setelah itu SP akan tampil pada timing yang tepat untuk memimpin tindakan penyelamatan Nusantara
bersama sebagian besar rakyat Indonesia. SP sejati tidak akan menggunakan kekuatannya sekedar untuk
segera tampil di kancah politik pada saat ini. Sebaliknya SP sejati tetap melakukan tapa ngeli,
menyerahkan dinamika politik kepada hukum tata keseimbangan alam yang saat ini akan segera
menuntaskan segala yang kotor, terutama ulah anak-keturunan tokoh-tokoh kurawa yang sedang
mengguncang panggung sandiwara politik Nasional saat ini.
Siapa SP Sejati ?
Siapa SP sejati, ia akan tampil di depan publik pada waktu yang tepat. Sembari menunggu kekuatan alam
usai melakukan pembersihan. Setelah itu SP sejati keluar dari tempat pengasingannya. Perlu saya
garisbawahi, bahwa SP sejati tidak berada di dalam komposisi capres-cawapres saat ini. Namun
demikian tidak ada larangan bagi siapapun, boleh-boleh saja orang menganggap, menilai, mengira
dengan penuh yakin, di antara capres-cawapres yang ada saat ini adalah SP. Monggo, tetapi fakta
noumena-nya tidak lah demikian !
Seperti yang disampaikan oleh Ki Juru Martani, ahli strategi dan penasehat politik Kanjeng Panembahan
Senopati Mataram. Bahwa Satria Piningit saat ini walau belum tampil di panggung politik, tetapi bukan
berarti SP kalah. Jika SP kalah bukanlah ia pribadi yang kalah, itu artinya Nusantara yang kalah melawan
para durjana perusak bangsa. SP sejati tidak hanya merupakan figur seseorang, namun ia
merepresentasikan sistem, atau tatanan di Nusantara yang sedang dan akan terjadi di waktu yang akan
datang. Sampai saat ini WK yang berujud sinar kuning keemasan tetap berada menyelimuti wajah dan
cakra mahkota sang SP sejati, yakni Raden Parikesit dari timur. Bagi para ancesters sebagai kekuatan
supernatural power, bukanlah pekerjaan sulit membuang para durjana di Nusantara ini. Tetapi leluhur
sebagai kekuatan supernatural power sudah mengetahui sebagian besar rahasia kehidupan ini. Tetapi
mereka tidak akan menuruti kehendak sendiri dan tergesa-gesa, sebaliknya tindakan para super natural
power sangat bijaksana dan patuh dengan hukum tata keseimbangan alam. Karena pemaksaan
kehendak akan membawa konsekuensi minus juga, atau tebusan. Dan akan mepengaruhi kualitas
berkah yang akan diperoleh rakyat Nusantara.
Para keturunan / sisa-sisa generasi penerus Kurawa boleh-boleh saja merasa sudah berhasil
memenangkan pertarungan. Biarkan para keturunan Kurawa memuaskan hatinya dengan jejogetan
menari di atas lereng bukit sana. Tapi jika berlebihan bisa-bisa nanti mati konyol dihajar Eyang Baladewa
atau hidup sulit karena digilas nasib buruk. Anak turun kurawa yang kelakuannya antagonis, atau
bertentangan, tidak selaras dan tidak harmonis dengan hukum tata keseimbangan alam, musti
menyadari bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang pribadi SP melainkan kekuatan alam yang sedang
menjalankan pembersihan Nusantara dari segala yang kotor dan merusak bangsa. Secara akal sehat dan
logika mungkinkah pihak kurawa akan berhasil menggulung kerajaan Hastina Nusantara di dalam
fase Tinarbukaning Gerbang untuk Kejayaan Nusantara ini ?
Dengan alasan apapun, kekuatan supernatural power tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dinamika
hukum tata keseimbangan alam yang begitu dahsyat juga tidak bisa dilawan. Apa yang terjadi saat ini
hanyalah masa di mana kekuatan alam hendak menghabiskan yang kotor. Sebab Nusantara harus relatif
bersih pada saat SP sejati tiba saatnya menjalankan tugas untuk membuka gerbang bagi kejayaan
Nusantara. SP sejati juga tidak boleh dicampur dengan SP palsu dan orang-orang yang dinilai tidak
selaras dengan hukum alam. SP tidak kalah! Hanya menunggu waktu saja.
Sasmita Gaib
Di pasarean Agung Imogiri terdapat dua gentong (tempayan air) pusaka dengan ukuran besar, namanya
Kyai Megamendung dan Kyai Ngerum. Dua gentong itu menjadi kaca-benggala, terutama saat menjelang
suksesi kepemimpinan Nasional. Kedua gentong itu bisa untuk mengetahui siapa sosok yang bakal
menjadi presiden dan wakilnya. Sosok yang akan tampil sebagai pemenang pilpres, wajahnya akan
muncul di permukaan air gentong pusaka itu. Sudah 5 tahun terakhir ini Kyai Megamendung
memunculkan wajah SP sejati. Tetapi selama itu pula wajah pasangannya tidak kunjung muncul juga.
Dahulu PS diharapkan dapat menggenapi laku untuk menebus segala dosa politik agar kuat lahir
batinnya menjadi tandem bagi sang SP sejati pemegang WK. Tetapi rupanya hal itu tidak bisa
dimanfaatkan dengan baik sampai detik-detik terakhir. Maka kesempatan itu telah tertutup. Berhasil
nyapres bukanlah indicator derajat kamulyan dan kesuksesan hidup. Apalagi tolok ukur dirinya sebagai
SP. Tidak kawan!
Serba Kuwalik
Dalam gentong pusaka, wajah yang muncul tetap SP sejati. Tetapi sejak 1 bulan sebelum pendaftaran
capres-cawapres ditutup di dalam gentong pusaka satunya malah muncul gambar PS membawa cangkul
sementara Jkw membawa bedil. Para pembaca yang budiman pun, bebas untuk mengartikannya. Jika
diwedar gambar itu menjadi perlambang masing-masing pihak telah salah pilih dan salah langkah. Bisa
jadi salah pilih pasangan cawapres, atau salah langkah dalam mengambil tindakan politik. Realitas politik
saat ini potensial membuat bingung rakyat. Di satu sisi, pasangan PS-H dan Jkw-JK keduanya memiliki
nilai plus. Tapi masing-masing memiliki beberapa kartu mati. Pasangannya bukan memperkuat
integritas sebagai capres-cawapres, sebaliknya malah melemahkan dan membuat ganjalan di hati
rakyat yang akan memilihnya. Belum lagi jika bicara soal kekurangannya. Dalam perebutan kekuasan
pun semakin hari diwarnai kompetisi tidak sehat. Saya melihat ada kecenderungan, pasangan capres-
cawapres bukan berfokus pada upaya meraih dukungan rakyat untuk mengalahkan rivalnya. Tetapi
membongkar kartu mati yang dimiliki oleh rival politik. Kecenderungan itu tidak terlepas dari masalah
pribadi yang ada di antara kedua rival pasangan itu.
Kawin Paksa
Wajah SP sejati yang muncul di gentong pusaka Kyai Megamendung, bukanlah salah satu atau dua, di
antara ke empat figur capres-cawapres saat ini yang sudah mendaftar resmi di KPU. Sementara itu
gambar PS membawa cangkul dan Jkw membawa senapan memang tidak lazim. Lazimnya PS
membawa senapan, dan Jkw membawa cangkul. Jkw memiliki kekuatan yakni pada sisi innocent-nya.
Beliau mirip bayi lahir belum punya dosa politik. Tetapi bayi yang baru lahir tanpa dosa juga belum
berprestasi untuk nusa dan bangsanya. Sementara itu, Nusantara tidak cukup dipimpin oleh orang yang
jujur dan bersih. Lebih dari itu butuh Negarawan sejati yang sudah membuktikan diri mampu berdiri di
atas semua golongan dan kelompok kepentingan. Negarawan sejati memiliki sikap nasionalisme dan
patriotisme yang sudah teruji. Mandiri, cakap, tegas, berwibawa, dan memiliki integritas yang tinggi,
teguh memegang prinsip visi misi kebangsaan, dan sukses dalam menjalankan tugasnya menegakkan
keadilan, keamanan dan ketentraman bagi rakyatnya. Dahulu mungkin rakyat memandang syarat-syarat
itu ada dalam diri PS. Tetapi semua gejala itu sekarang rasanya telah pudar. Gaya bicara PS berupa kata-
kata keras dan lantang namun tindakannya belum selaras dengan gaya bicaranya. Hal ini tampak pada
saat para mempelai capres-cawapres yang ada selalu berubah-ubah sikap menjelang ditutupnya
pendaftaran oleh KPU, bahkan dalam sehari bisa 3 kali berubah sikap politik secara kontradiktif. Itu
terjadi pula di kubu Jkw, Arb, Hatta dll sungguh mengesankan sikap plin-plan, mengesankan tidak ada
rencana matang yang jauh-jauh hari sudah disusun. Isuk kedelai, sore tempe. Malam ke utara, pagi ke
selatan, siang ke timur. Mbingungi mencari-cari posisi dan biyayakan mencari jodoh. Bagaikan perawan
tua yang belum punya calon pasangan, tapi dipaksa harus segera menikah, karena hari resepsi
pernikahan sudah dijadwalkan, dan undangan juga sudah terlanjur disebar. Tetapi celakanya, calon
mempelai yang akan mengawini belum ketemu juga. Karena orang yang mau kawin berarti harus ada
pasangan, dan dalam waktu singkat semua harus menemukan pasangan hidup. Akhir cerita, pasangan
dapat ditemukan dengan mudah tetapi dengan menanggalkan segala kriteria yang esensial yang penting
segera punya pasangan untuk dikawini pada hari H. Asal ketemu jodoh karena mereka diburu deadline
hari H perkawinan. Sementara dalam mencari jodoh mereka melakukan persaingan tidak sehat, jegal
menjegal dan banyak yang kecewa. Kemarin dilamar, paginya dibatalkan. Kemarin malam loyang pada
sore harinya besi. Dulu ditolak dan dibenci sekarang dicintai. Besoknya menghianati. Lantas balik lagi
ke pacar lama, ternyata sudah menjanda, akhirnya cari saja di pasar bubrah yang penting banyak
kerumunan hantu. Pihak yang kecewa memilih melakukan tindakan pengecut. Sampai-sampai rela hati
gantian membela orang yang sebelumnya dimusuhinya. Mirip dengan siasat yang dipake para
pecundang pribumi dengan memihak kepada penjajah Belanda di masa lalu. Al hasil, sobat karib jadi
musuh, musuh jadi sobat karib. Begitulah faktanya, dalam politik tidak ada yang namanya musuh
maupun kawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati.
Drama sebabak ini ditutup dengan kisah tragis, pada akhirnya walau para mempelai capres-cawapres itu
menemukan pasangannya, tapi pasangan itu bukan lah jodoh. Hanya sekedar pasangan yang didapat
saat perasaan terburu-buru yang penting bisa kawin di hari yang sudah ditentukan. Begitulah akibatnya
jika para politisi asik bermimpi mendadak jadi negarawan sejati. Apakah rakyat Indonesia layak berharap
angin kebahagiaan dari mempelai macam itu? Terlebih lagi syarat-syarat mendasar untuk menikah
sudah tidak dihiraukan lagi. Semoga saja masih ada secercah harapan mentari akan bersinar, walau
mendung tebal tampak menggelayut di depan sana, di langit Nusantara. Kita sementara menjadi
penonton kedua pasang mempelai saat ini semakin sengit bersaing, semoga tidak didasari rasa dendam
pribadi kedua kubu. Agar rakyat Indonesia yang tak berdosa tidak ikut terkena dampak pembersihan
alam. Kita rakyat Indonesia masih harus lebih bersikap eling dan waspada.
Fenomena pembersihan yang dilakukan oleh kekuatan alam bukanlah bencana melainkan dinamika
alam yang wajar. Semua terjadi demi memperbaiki sistem tata keseimbangan alam yang telah goyah.
Manfaatnya demi kehidupan seluruh makhluk yang lebih baik di hari esok. Tetapi fenomena alam itu
bisa berubah menjadi malapetaka bagi siapapun yang melawannya, dan bagi yang tidak waspada.
Mencangkul bukanlah bencana, tetapi berguna untuk menyuburkan tanah. Sebaliknya mencangkul bisa
berubah menjadi malapetaka jika kita tidak waspada dan berada dekat-dekat orang yang mencangkul.
Bangunlah rakyat Indonesia..!
Cermat dan Cerdas Melihat Permainan
Saya pribadi memandang, saat ini bukanlah saat perang Baratayudha. Karena perang itu sudah usai dan
saat ini merupakan fase pasca perang Baratayudha. Al kisah, sang Duryudana sudah gugur di medan
perang. Partainya sudah kalah dan gagal berkoalisi dengan parpol manapun. Gegap gempita konvensi
capres yang digadang-gadang bakal melahirkan capres hebat pun hasilnya nihil. Para punggawanya
banyak yang diringkus karena terjerat kasus besar. Tetapi segala upaya tetap dilakukan untuk
menggagalkan Raden Parikesit jumeneng ratu di Hastinapura. Apalagi jika Raden Parikesit
berpasangan dengan PS. Pasangan itu sangat ditakuti pihak Duryudana dan penerusnya. Segala upaya
dilakukan untuk menceraikan PS dengan Raden Parikesit yang sempat hampir berjodoh. Tetapi
gagalnya PS menggenapi laku, hal itu sudah merupakan keuntungan tersendiri bagi penerus
Duryudana dan kerugian besar di pihak PS.
Bila Nusantara berada di bawah kepemimpinan Raden Parikesit yang merupakan tokoh bersih, jujur
dan tegas apalagi urat-syaraf takutnya sudah tidak difungsikan lagi. Maka jumenengan Raden
Parikesit menjadi raja di Nusantara sangat menciutkan nyali para generasi penerus Kurawa, karena
kasus-kasus besar akan diungkap dan diadilinya. Termasuk akan membongkar habis PT Freeport dengan
antek-antek pejabat Indonesia. Tidak main-main karena persiapan amunisinya benar-benar matang.
Sebagai kesatria utama, tak ada yang ditakutinya demi menegakkan keadilan Hastinapura. Karakter
Raden Parikesit yang sangat mencintai negara dan rakyatnya, sangat sulit ditaklukkan oleh kekuatan
asing, ia tidak mau dijadikan boneka permainan oleh negara-negara asing yang akan memperdaya NKRI.
Sehingga pantas digambarkan pada saat itu kegigihan Duryudana dan penerusnya untuk mencerai-
beraikan PS dengan Raden Parikesit bagaikan api dendam yang keluar dari kawah kejahatan, maka
kedekatan PS dengan Raden Parikesit harus dihancurkan, dan PS harus direbut. Mirip pula dengan
lakon Hanoman Obong, yang menceritakan Dewi Shinta direnggut oleh Rahwana. Seperti yang sering
disampaikan para leluhur agung, jika tidak bersama SP sejati, maka PS akan mati-kutu dan tidak akan
menjadi baik. Dan pada saat ini dengan melihat pasukan ekstrim yang berada di belakang PS memang
membuat harapan semakin tipis. Keblate kuwalik, wus kakeyan madhep ngulon. Padahal dinamika
hukum alam sedang mengarahkan wajahnya ke timur. Itu artinya tanpa disadarinya ia sedang melawan
dinamika kekuatan alam yang sedang berlangsung. Monggo jika merasa kuat.
Tinarbukaning Gerbang Kejayaan Nusantara Adalah Kepastian
Begitu SP sejati Raden Parikesit usai dinobatkan sebagai raja di kerajaan Hastinapura, Ki Dalang
Panjangmas paring sabda-pandita ratu, mengucapkan kalimat,wiwit esuk iki, Nuswantara bakal ayom
ayem tentrem, gemah ripah loh jinawi sak teruse !.
DSC_1822
Sedikit flashback. Meskipun Kurawa telah kalah, tetapi dengan sisa-sisa kekuatannya masih berusaha
dengan segala cara untuk menggagalkan Raden Parikesit menjadi raja di kerajaan Hastinapura.
Disodorkanlah tokoh-tokoh yang masih berpihak kepada trah Kurawa agar menjadi raja di kerajaan
Hastinapura, dengan harapan kasus-kasus besar yang melanda pemerintah RI bisa terbang kebawa
angin seiring pergantian musim kepemimpinan nasional. Tetapi babak pertarungan baru saat ini sedang
dimulai antara keturunan Pendawa yang berada di belakang Raden Parikesit dengan keturunan
Kurawa yang dikomando oleh Kertiwindu. Antara kesatria-kesatria utama generasi bangsa yang
benar-benar paham dan sadar duduk persoalan kebangsaan saat ini, vis a vis semua pihak yang sengaja
maupun tidak sadar tindakan politiknya membawa Nusantara pada keadaan semakin terpuruk.
Melihat ending lakon SPPG, setelah kerajaan Hastinapura mengalami sedikit kekacauan di tingkat elit
politik karena sudah kehendak Sang Hyang Jagadnata pada akhirnya sang Satria Piningit sejati yang
tidak lain Raden Parikesit berhasil jumeneng raja di kerajaan Hastinapura. Setelah upaya Kertiwindu
dan kroninya digilas oleh kekuatan alam dan para sesepuh kerajaan Hastinapura turun tangan
membantu menyelamatkan kerajaan Hastinapura. Raden Parikesit menjadi raja, melalui cara yang
bersih, dan direstui oleh para sesepuh Hastinapura, serta didukung oleh kekuatan alam. Kertiwindu dan
para keturunan Kurawa telah kalah, tak berkutik dan tampilnya Raden Parikesit , ia diterima oleh semua
pihak. Pihak Kurawa yang tidak terkontaminasi hasutan Kertiwindu pun menerimanya. Pandawa dan
Kurawa bersatu lagi sebagai saudara. Kurawa sadar akan kekeliruannya selama ini dan selanjutnya
mereka menjadi orang baik dan bijaksana sebagai bentuk laku karmayoga atau penebus kesalahan yang
dilakukan oleh para pendahulunya.
Sekali lagi, sang SP Raden Parikesit bukanlah yang saat ini tiap hari kita tonton di media televisi. SP
sejati justru dalam masa tenang, untuk menghormati sekaligus menyelaraskan diri dan berharmonisasi
dengan hukum tata keseimbangan alam sebelum datang hari H untuk menjalankan tugasnya. SP
memahami kapan ia harus turun tangan tampil sebagai pusering adil, menciptakan ketentraman dan
diterima oleh pihak yang bertikai. Tampilnya SP membuka gerbang untuk kejayaan Nusantara
sekaligus merupakan sebuah momentum sumingkir-nya angkara-murka dari Nusantara. Dan pada
akhirnya kekuatan alam lah yang menjalankan tugas untuk membersihkannya. Tinarbukaning gerbang
kejayaan nusantara, bukan utopia, dan bukan latah. Itu ada dan nyata.
Kita tunggu saja datangnya momentum yang dinanti rakyat Indonesia itu. Walau datangnya momentum
bahagia itu Nusantara masih harus melewati saat-saat kelam dalam bayang-bayang raja palsu. Namun
gangguan keturunan Kurawa itu tidak akan berlangsung lama sebab jika diuthak-athik dengan sudut
pandang manapun tidak akan gathuk. Segenap fakta dan tanda-tanda alam, menjadi data penguat
bahwa saat ini memasuki fase tinarbukaning gerbang kejayaan nuswantara, bertepatan pula dengan
siklus tahun moncer. Fase ini bukanlah suro duroko, bukan pula fase kolobendu, melainkan fase moncer
dan turunnya wahyu dyatmika atau anugrah agung kehidupan untuk Nusantara. Jadi bukan merupakan
momentum kemenangan keturunan maupun kepanjangan tangan Kurawa, namun justru sebaliknya
masa penghabisan generasi Kurawa. Dalam fase ini kekuatan alam tidak akan mengijinkan kerajaan
Hastinapura dipimpin oleh orang yang tidak kesinungan WK. idak akan Tetapi realitas di lapangan saat
ini seolah negara akan dipimpin Nusantara sedang dijadikan bancakan kekuatan asing, dan diporak-
porandakan oleh londo iket-iketan, WNI yang menjadi penjajah bagi bangsanya sendiri. Meskipun
demikian suram situasi dan kondisi Nusantara, bukan berarti rakyat hanya diam berpangku tangan. Lihat
saja, akan ada kekuatan besar yang akan membersihkan semua yang mengotori Nusantara. Awake dewe
trimo, sing momong ora trimo. Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Jaya-jaya wijayanti ing
sakabehing titah gesang.


Memahami Seputar Harta Karun
FEB 4
Posted by SABD
Pertama-tama, penting Saya tegaskan bahwa tulisan berikut bukan bermaksud memancing apalagi
menganjurkan para pembaca untuk mencari dan berburu harta karun. Tujuan tulisan ini untuk sekedar
berbagi kawruh sekaligus mengkritisi berbagai kejadian dan kecenderungan beberapa orang selalu
berburu harta karun. Sebaliknya, agar sedulur-sedulur jangan sampai menjadi salah satu korban mafia
harta karun yang targetnya menguras harta benda si korban dengan modus operandi berlagak
membantu mencari, mengaku-aku mampu melakukan ritual pengangkatan harta karun. Padahal target
sesungguhnya adalah memperoleh proyek ongkos. Habis manis sepah dibuang. Setelah terkuras harta
bendanya, kemudian si korban akan ditelantarkan.


Sebagian orang seringkali mudah diperdaya oleh mafia harta karun karena pelaku kejahatan
memanfaatkan situasi dan kondisi perekonomian yang cenderung semakin sulit, semakin kompleksnya
ragam tuntutan hidup di zaman sekarang ini, ditambah semakin mahalnya beaya hidup. Sementara itu
daya beli dan kesejahteraan masyarakat justru semakin lemah. Wajar saja jika banyak orang ingin
memenuhi segala kebutuhan melalui cara yang praktis dan disangkanya tidak beresiko besar. Tulisan ini
saya buat sekaligus sebagai jawaban atas banyaknya email masuk menanyakan seputar harta karun,
penggandaan uang, penarikan emas dan sejenisnya. Saya tidak memvonis orang-perorang, justru timbul
rasa welas. Kalau kondisinya tidak kepepet pastilah orang akan menempuh jalur yang lebih mudah dan
sudah lazim ditempuh. Mudah-mudahan dulur-dulur bisa mengambil manfaat dari tulisan ini, semakin
jeli, mampu berfikir kritis dengan penalaran yang sehat untuk melihat peluang ekonomi.

PENGERTIAN HARTA KARUN

Benda-benda yang mempunyai nilai atau harga dan dapat ditukar dengan mata uang resmi. Dapat
berupa berbagai macam benda misalnya ; uang serta benda-benda seni dan budaya, peralatan rumah
tangga, alat perang, alat bercocok tanam, yang terbuat dari bahan baku emas, tembaga, perunggu,
perak, gerabah, keramik dan porselin, jenis bahan bebatuan, atau bahan baku kuningan jika diuangkan
memiliki nilai tinggi. Harta tersebut besar kecil nilainya ditentukan dari jenis bahan bakunya atau bisa
juga nilai sejarah dan usianya yang kemudian disebut barang antik. Bahkan bisa juga dinilai dari
perspektif kesakralan dan tuahnya. Walaupun barang atau benda-benda di atas dapat dikategorikan
sebaga harta karun yang tidak jelas pemiliknya, bukan berarti harta karun menjadi tak bertuan atau tak
ada lagi si pemiliknya. Jika kita mengambil harta karun yang si pemilik sah sudah tidak jelas juntrungnya,
ada kemungkinan hal itu hanya membebaskan kita dari hukum positif pencurian dan perampasan saja.
Tetapi secara metafisis belum tentu demikian.

JENIS HARTA KARUN

Saya membedakan harta karun menjadi dua jenis berdasarkan eksistensinya. Yakni harta karun wnth
atau fisik dan harta karun my atau non fisik.

A. Harta Karun Wnth

Harta karun wnth atau wantahan adalah harta benda berharga yang berujud nyata (fisik) dan tidak
bertabir misteri kekuatan gaib. Harta karun jenis ini biasanya mudah ditemukan oleh siapapun yang
sedang beruntung menemukannya. Bisa ditemukan oleh orang yang secara sengaja mencari atau
memang kebetulan saja. Saya katakan jenis harta karun wnth karena tidak ada selubung misteri.
Sebaliknya mudah dilihat secara visual dengan mata wadag. Untuk mengambil jenis harta karun fisik
tidak perlu menggunakan cara khusus, tetapi bisa memanfaatkan peralatan canggih semacam sonar
logam untuk melacak posisinya dan dibutuhkan peralatan moderen maupun tradisional untuk
mengambilnya. Yang tergolong jenis harta karun fisik biasanya harta yang dulunya pernah dimiliki oleh
bukan orang sakti, bisa milik sebuah dinasti, pemerintahan, penjajah di masa lalu, atau bahkan milik
pribadi yang pernah hidup di masa lalu. Harta karun biasana disimpan di dalam gua-gua, atau ditimbun
di suatu tempat misalnya di bukit, gunung, dasar sungai, pemakaman dsb. Ada pula harta karun
rampasan perang, juga harta karun yang hilang akibat terjadi suatu peristiwa. Termasuk pula harta
karun yang ditinggalkan oleh seluruh pemiliknya yang tewas karena suatu kecelakaan misalnya
tenggelamnya kapal laut yang sedang membawa berbagai macam harta benda.

B. Harta Karun My (Gaib)

Yang saya maksud harta karun my yakni harta karun non fisik atau gaib. Ada secara fisik tapi
terselubungi oleh tabir gaib sehingga menjadi tidak tampak jika dilihat dengan mata wadag atau mata
telanjang. Harta karun my biasanya dulunya dimiliki oleh orang-orang sakti atau orang yang memiliki
kemampuan supernatural pada saat masih hidup hingga setelah pindah dimensi metafisik. Harta karun
ini benar-benar ada dan bisa berwujud fisik. Harta karun my atau non fisik akan selalu tersembunyi
dan terselubung oleh tabir misteri yang tidak mudah dilihat dengan mata wadag. Hanya orang-orang
tertentu yang mampu atau malah orang polos yang secara tidak sengaja melihatnya. Namun ada juga
seseorang yang memang dikehendaki oleh si pemilik atau penjaga harta karun untuk bisa menyaksikan
dengan mata kepala sendiri. Selain sulit dilihat secara fisik, harta karun my atau non-fisik tidak hanya
sulit dilihat namun juga tidak bisa disentuh secara fisik sebelum dilakukan suatu upaya untuk membuka
tabir gaib yang menyelimutinya.

BENTENG GAIB

Tabir gaib yang menyelimuti harta karun my bukanlah kebetulan. Tetapi memang disengaja agar tidak
bisa dilihat oleh sembarang orang. Sengaja dibuat my oleh pemilik harta karun dengan tujuan untuk
menyimpan, menyembunyikan dan melindungi agar supaya harta karun tidak dijarah orang. Sejauh ini
yang saya ketahui ada beberapa sumber yang dapat menjadikan harta karun menjadi bertabir gaib.

1. Dilakukan oleh pemiliknya sendiri

Biasanya pemilik adalah orang-orang sakti, mulia, luhur dan dulunya sewaktu hidup adalah seorang
pemimpin atau raja. Ada banyak cara atau teknik untuk menyembunyikan harta karun dengan tabir gaib.
Di antaranya menggunakan ubo rampe seperti : daun kluwih, klaras, daun singkong dan lain-lainnya.
Tentu saja tidak asal menutup begitu saja dengan menggunakan sarana tersebut. Melainkan dengan
kemampuan lebih atau kekuatan supernatural power. Bahkan harta karun umumnya mempunyai pagar
yang berlapis-lapis. Diantaranya ditutup dengan lapisan password gaib yang hanya diketahui oleh
pemilik harta karun.

2. Penjagaan Berlapis

Setelah ditutup dengan tabir gaib oleh pemiliknya, terkadang masih ada lagi penjaga harta karun my
yang terdiri berbagai jenis mahluk halus dengan kemampuan atau kesaktian yang paling rendah hingga
paling tinggi. Mereka seperti membentuk lapisan-lapisan pagar. Mereka ditugaskan sebagai penjaga
harian, berada di garda paling depan atau sekelas prajurit saja. Ada pula penjaga harta karun my
berujud naga, ular besar, atau genderuwo, raksasa, dan beragam mahluk halus lainnya. Tetapi jangan
salah dan asal menuduh, mereka sesungguhnya bukanlah mahluk jahat. Mereka hanya ditugaskan untuk
menjaga harta karun, atas perintah pemiliknya atau karena atas suka rela mereka sendiri. Tetapi mahluk
halus memiliki kesetiaan luar biasa, bukan seperti bangsa manusia yang terkadang berkhianat. Di dalam
diri mahluk halus tidak ada watak pengkhianat. Jika berkata ya atau sanggup, artinya sebuah harga mati
untuk setia melaksanakan tugas. Jika sudah berkata tidak, tidak ada lagi bujuk rayu yang mempan
meruntuhkan keteguhan hatinya.

Pertanyaannya sekarang, kenapa pemilik harta karun masih berkenan menjaga harta karunnya, padahal
mereka sudah hidup di dimensi yang abadi ? Penjagaan menjadi penting jika menyangkut harta benda
bernilai tinggi. Dijaga agar tidak diambil oleh sembarang orang, apalagi digunakan untuk kepentingan
pribadi dan merusak tatanan dan ketertiban hukum, maupun ketertiban sosial. Penjagaan bertujuan
agar harta karun tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Pemilik harta karun yang sudah menjadi leluhur
sangat tahu akan dipergunakan untuk apa assetnya suatu saat nanti. Suatu ketika, jika sudah tiba
saatnya untuk dikeluarkan, penerima yang dikehendaki akan diberikan wisik atau petunjuk langsung
oleh pemiliknya sendiri. Biasanya akan jatuh kepada anak turunnya sendiri, atau ke tangan orang yang
bisa dipercaya membawa tugas mulia. Dan tak akan jatuh ke tangan orang asing yang tidak dikenalnya.

3. Penguasaan oleh Bangsa Halus

Harta karun my atau non-fisik bisa pula berasal dari harta karun fisik yang sudah ditinggalkan oleh
pemiliknya namun kemudian dikuasai dan dijaga oleh bangsa halus jenis siluman, gendruwo, jim
periprayangan. Bangsa halus tersebut biasanya hanya menguasai dari jenis benda fisik yang terbuat dari
bahan baku emas. Benda yang sudah berada di bawah penguasaan makhluk halus dengan sendirinya
akan sirna dari pandangan mata wadag.

Ragam Wujud Harta Karun & Letaknya

Wujud harta karun jenis emas sangat beragam bentuknya. Ada yang berupa uang ori Wilhelmina,
lempengan dengan berbagai ukuran, perhiasan maupun berupa perabotan rumah tangga terbuat dari
emas. Ada yang masih utuh ada pula yang sudah remuk. Soal jumlahnya juga sangatlah bervariatif.
Sedangkan letak harta karun my biasanya terkubur di bawah permukaan tanah. Bisa di dalam rumah,
di dasar sungai, di tempat-tempat wingit, atau di sekitar pemakaman. Harta karun my walau digali
tetap saja tidak akan tampak jika dilihat dengan mata wadag. Sementara itu harta karun wnth
terdapat di berbagai lokasi yang beragam pula misalnya dasar laut, sungai, telaga, kolam, di dalam
bangunan, bisa juga posisinya terkubur. Tetapi jika digali langsung akan terlihat oleh mata wadag.

PROSES MEMPEROLEH HARTA KARUN

Saya ingin berbagi sedikit pengetahuan yang sejauh ini saya ketahui soal paugeran dan seluk-beluk harta
karun agar dapat dijadikan pedoman atau rambu-rambu bagi para pembaca yang budiman, sedulur-
sedulur di manapun berada, semoga berguna untuk menghindari aksi tipu daya yang dilakukan oleh
mafia harta karun.

Petunjuk. Sebelum harta karun my diketahui di mana posisinya berada, biasanya terlebih dahulu ada
seseorang yang mendapatkan petunjuk secara gaib. Bisa melalui mimpi maupun secara tidak sengaja
melihat dengan mata wadag penampakan harta karun di atas permukaan tanah di lokasi harta karun itu
berada atau di suatu tempat tertentu. Sebaliknya bagi seseorang yang memang sengaja bernafsu
memburu harta karun malah akan kesulitan mendapatkan petunjuk. Penting untuk dicatat, walaupun
sudah ada petunjuk bukan berarti seseorang pasti akan kesinungan atau terpilih untuk
mendapatkannya.
Perintah. Selain melalui mimpi dan melihat secara tidak sengaja, keberadaan harta karun terkadang
didapat melalui sebuah pralampita yang disampaikan oleh leluhur. Informasi keberadaan harta karun
yang disampaikan oleh leluhur biasanya ada suatu tujuan khusus. Leluhur memberikan perintah atau
dhawuh untuk memprosesi harta karun agar bisa diangkat dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Penting dicatat, walaupun ada perintah untuk memprosesi, bukan berarti pasti berhasil mendapatkan
harta karun, karena seseorang bisa mendapatkan atau tidak tergantung bagaimana menata perilakunya
dan syarat yang harus disiapkan.
Secara Tidak Sengaja (Keparingan). Cara mendapatkan harta karun ini yang paling sering terjadi dan
paling wajar, lumrah dan masuk akal. Misalnya kita sedang berkunjung ke suatu tempat misalnya candi
atau tempat sakral, kemudian di lokasi tersebut kita mendapatkan sesuatu harta karun misalnya
lempengan emas atau perhiasan emas, atau cuilan perhiasan dan alat-alat rumah tangga. Jenis harta
karun yang didapat secara tidak sengaja itu ada dua kemungkinan, harta karun my atau bisa jadi harta
karun wnth. Tetapi hal itu tidaklah penting. Yang jelas kita menjadi orang yang terpilih, atau
kesinungan, untuk keparingan harta berharga dari pemilik atau penguasa harta karun yang ada di lokasi
tersebut. Karena memang sudah kesinungan untuk keparingan, kita menjadi tidak perlu repot-repot
menjalankan suatu rangkaian prosesi ritual. Apa adanya dan seadanya saja kita menerima harta
pemberian tersebut. Memperoleh harta karun my secara tidak sengaja ini yang lebih sering dialami
orang.
PENTINGNYA MEMAHAMI PAUGERAN

Banyak sekali informasi soal harta karun secara sepenggal-sepenggal, lebih celaka lagi sudah sepenggal-
sepenggal dan tidak proporsional. Hal itu menjadikan pemahaman yang simpang siur. Untuk itu saya
berharap tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih proporsional dan tepat. Sehingga kita
semua menjadi lebih bijaksana dalam bersikap.

Apa Yang Terjadi Di Balik Harta Karun ?

Ini yang harus dipahami oleh siapapun yang sedang atau ingin memperoleh harta karun, khususnya
harta karun my. Harta karun biasanya ada pemiliknya dan ada yang menjaganya. Terlebih harta karun
my pemiliknya pun sudah berada di dimensi lain. Yang menjaganya pun bukan lagi mahluk fisik tetapi
ada di dimensi halus. Banyak sekali paugeran yang harus dipatuhi. Jika paugeran dilanggar, resikonya
minimal seseorang tidak akan berhasil mendapatkannya, habis uangnya, dan resiko paling berat adalah
berujung kematian. Untuk itu selangkah demi selangkah harus kita pahami apa yang terjadi di balik
misteri harta karun my.

1. Memohon Ijin. Bagi siapapun yang berniat mengangkat harta karun my jangan pernah merasa
percaya diri karena alasan merasa cukup ilmu, kesaktian dan kemampuan. Bersikaplah rendah hati dan
pasrah. Sebelum memprosesi pengangkatan harta karun pertama-tama yang harus dilakukan adalah
minta ijin kepada pemilik dan penjaga harta karun my. Anda harus punya kemampuan untuk men-
tayuh terlebih dahulu dengan harapan dapat mengetahui siapa pemilik dan penjaganya. Jika ada respon,
artinya bisa berkomunikasi dengan Pemilik atau penjaganya barulah menyampaikan maksud dan tujuan
misalnya meminta harta karun my seikhlasnya, dan peminta tidak bisa mendikte menentukan jumlah
yang akan diperoleh. Respon itu barulah merupakan langkah awal. Jawaban yang diberikan oleh
pemilik maupun penjaganya di antara dua : bisa ya, bisa tidak ! Jika permohonan ditolak, berarti
sudah lah, urungkan saja keinginan Anda memperoleh atau menguasai harta karun. Siapapun tidak akan
bisa memaksa untuk memiliki harta karun my jika tanpa seijin pemilik dan penjaganya. Bila Anda
berani memaksa mengambil karena merasa memiliki kekuatan dan kemampuan yang besar, pasti akan
ada kejadian fatal menimpa diri Anda. Meskipun demikian, terkadang orang nekat saja melakukan
penggalian suatu tempat yang diduga terdapat harta karun. Perbuatan itu tidak akan berguna, bahkan
sebaliknya akan mencelakai dirinya sendiri.

2. Kekuasaan Penuh ada pada Pemilik & Penguasa Harta Karun. Tidak ada orang sesakti apapun yang
bisa memaksa memiliki atau merebut harta karun my tanpa adanya ijin dari pemilik dan penjaganya.
Jikalaupun Anda sangat sakti dan bisa mengalahkan Pemilik dan penjaga harta karun my, tentu saja
pemilik dan penjaga akan melakukan antisipasi untuk memindahkan harta karun di suatu tempat yang
tidak akan Anda ketahui. Pemindahan dilakukan dalam waktu sekejap pun bisa saja terjadi.

3. Dilindungi Password Khusus. Menyimpan, menyembunyikan, mengamankan harta karun my akan
dilakukan oleh pemilik dan penjaga harta karun tersebut. Dengan berbagai lapisan pagar seperti yang
sudah saya singgung sepintas di awal. Pagar yang paling sulit ditembus berupa password khusus yang
hanya diketahui oleh Pemilik. Password biasanya berupa suatu mantera. Dan mantera ini tidak bisa
dibongkar atau dibandrek dengan password apapun lainnya, apalagi dengan password berupa doa-
doa impor. Bagaikan gembok dengan anak kuncinya. Gembok tidak bisa dibuka menggunakan anak
kunci palsu. Namun anak kunci gembok gaib ini tak bisa digandakan atau dibandrek.

4. Meminta Sesuai Palilah. Sekalipun Anda telah diijinkan oleh Pemilik harta karun. Anda tidak akan bisa
mengatur seberapa banyak harta karun my yang anda inginkan. Berapa banyaknya tergantung palilah
atau kehendak ikhlas si Pemilik untuk memberikan harta karun kepada Anda.

5. Petunjuk & Dibimbing Langsung. Bagaimana tata cara menggunakan uborampe atau syarat-syarat
ritual akan dibimbing langsung oleh Pemiliknya. Jika Anda diijinkan, Anda akan dibimbing langsung oleh
Pemiliknya sendiri, berisi petunjuk bagaimana prosesi atau ritual yang harus dijalani agar harta karun
my bisa diangkat atau diwujudkan. Anda akan dibimbing kapan waktu yang tepat untuk melakukan
prosesi ritual. Berapa lama waktu yang dijalani sampai harta bisa benar-benar berhasil diangkat, dan
kapan waktunya untuk melakukan ritual atau prosesi, kita juga tidak bisa menentukan sendiri. Pemilik
akan membimbing dan menuntun kita secara langsung melalui pralampita dan dawuh. Anda tak bisa
merekayasa sendiri, atau mengunakan uborampe dan persyaratan yang Anda bikin sendiri. Itu akan sia-
sia saja. Anda hanya bisa menentukan sendiri kapan waktunya pada saat pertama kali melakukan
maneges atau men-tayuh-nya, untuk memperoleh jawaban siapakah pemilik dan apakah diijinkan untuk
meminta harta karun.

5. Berbagai Syarat. Selain password gaib yang merupakan produk lokal. Harta karun my masih
dilindungi oleh berbagai lapisan pagar gaib (selain penjaga), di antaranya berupa bermacam syarat dan
uborampe. Misalnya daun kluwih, daun singkong, klaras, kunyit, bunga-bunga dan lain sebagainya. Apa
saja uborampe dan syarat-syarat yang harus disiapkan akan diberi tahu langsung oleh Pemilik harta
karun my.

6. Tak Ada Tumbal Nyawa. Pada dasarnya mengangkat atau usaha untuk memperoleh harta karun tidak
memerlukan tumbal nyawa manusia. Jika sampai ada kejadian korban nyawa manusia bukan berarti
penjaga harta karun minta tumbal. Tetapi itu disebabkan oleh something its wrong, misalnya ada
paugeran-paugeran yang dilanggar oleh peminta harta karun my itu sendiri.

7. Sudah Dikehendaki Pemilik. Inilah cara mendapatkan harta karun my yang paling aman dan
mungkin ada harapan untuk berhasil mendapatkannya. Yakni melalui jalan petunjuk gaib, yang dialami
oleh seseorang. Namun tetap harus hati-hati dan waspada terhadap klaim para mafia sebagai pembawa
amanat untuk Anda. Karena petunjuk gaib tidak pernah dilewatkan melalui orang lain. Kita sendiri akan
mendapatkan petunjuk langsung entah lewat mimpi atau interaksi langsung dengan gaib. Apabila
leluhur berkehendak menuntun kita, alangkah beruntungnya diri kita. Sebab leluhur tak pernah
mempersulit orang-orang yang dijangkung dan dijampanginya. Kalaupun ada uborampe atau syarat-
syarat perlengkapan yang dibutuhkan, asalkan tulus, syarat atau uborampe untuk prosesi pun akan
mudah kita dapatkan, walaupun sesuatu yang sangat langka.

PAUGERAN PENTING

Setidaknya enam poin di atas menjadi paugeran utama yang harus kita pahami tentang harta karun
my. Selanjutnya masih ada lagi beberapa persyaratan penting lainnya yang sangat menentukan
berhasil atau tidaknya bagi orang yang sudah diijinkan Pemilik untuk berusaha mengangkat harta karun
my. Beberapa persyaratan itu adalah :

Asas Kepantasan. Memperoleh harta karun tidaklah mudah. Sebab harta karun termasuk berkah besar.
Artinya akan berat pula asas kepantasan yang harus dimiliki oleh seseorang calon penerima. Asas
kepantasan berhubungan dengan layak tidaknya seseorang menerima harta karun. Kita termasuk
sebagai orang yang pantas mendapatkan harta karun my apabila diri kita sudah dinilai oleh hukum
alam sebagai seseorang yang cukup amalnya. Sering menolong, dan membantu sesama dan seluruh
mahluk, sering memberikan kemudahan dan jalan hidup kepada sesama manusia.
Peruntukan. Untuk apa harta karun yang akan didapat, akan menentukan seseorang berhasil atau tidak
dalam melaksanakan prosesi mengangkat harta karun. Tergantung pula pada siapa pemilik harta karun
itu. Jika harta karun adalah milik seorang Raja atau pemimpin di zaman dulu, biasanya akan bisa
diangkat jika akan digunakan untuk kemakmuran orang banyak atau untuk suatu bangsa. Bisa juga
diberikan kepada seseorang untuk pribadi, jika orang tersebut masih keturunan langsung si Pemilik harta
karun my. Sementara itu harta karun milik Raja, pemimpin besar, maupun pribadi, jika digunakan
untuk suatu tujuan merusak bangsa, rencana jahat, dan ketamakan jelas tidak akan diperolehnya.
Sebaliknya harta karun yang akan digunakan untuk mengembalikan hutang, atau untuk melanjutkan
hidup justru lebih bisa diterima oleh gaib pemilik dan penjaga harta karun my. Mengembalikan hutang
pun tidak sembarang hutang. Alasan hutang yang disebabkan oleh perilaku hidup boros, judi, atau
dampak resiko suatu perbuatan jahatnya sendiri, tentu tidak akan diterima. Sebaliknya hutang yang
disebabkan akibat tanggungan beaya pengobatan, menolong orang, atau untuk membeayai sekolah dan
tanggungan keluarga dan sejenisnya malah cukup beralasan dan bisa diterima gaib. Namun demikian,
harta yang diperuntukkan untuk kemakmuran banyak banyak orang, masyarakat atau suatu bangsa
biasanya akan lebih mudah dikabulkan oleh si pemilik harta karun.
Kemampuan Menata Hati. Jika dalam diri kita masih ada sifat serakah, tamak, jahat, dengki, iri hati,
adigang adigung adiguna. Masih pula tertanam sifat 3 G : golk mnang dhw, golk butuh dhw,
golk bnr dhw. Tidak adil dan selalu pilih kasih. Bahkan termasuk karakter sombong, ria, semua itu
akan menjadi batu sandungan dalam melaksanakan petunjuk dan bimbingan gaib. Dan resikonya cukup
besar, seseorang bisa menjadi terganggu jiwanya, minimal kesurupan yang mengakibatkannya jatuh
sakit. Untuk itu seseorang yang sedang memprosesi ritual demi ritual mengangkat harta karun
hendaklah menata hati, jagalah selalu suasana hati agar selalu tertanam rasa tulus, legowo dan
endapkan segala nafsu serakah, bersihkan segala penyakit hati dengan rasa punya rasa, tidak punya
rasa punya. Nah, untuk syarat hati ini, sederhana tetapi sulit dilakukan. Biasanya jika sudah semakin
mendekati akhir proses atau ritual, orang akan semakin tergiur. Apalagi jika dilakukan secara kelompok
atau tim yang terdiri dari banyak orang. Jika yang melakukan prosesi mengangkat harta melibatkan
banyak orang akan lebih sulit. Menata hati dan pikiran satu orang saja sulit, apalagi hati dan pikiran
banyak orang. Kemampuan dan mental lahir batin setiap orang juga berbeda-beda. Satu orang saja tidak
teguh hati atau tidak kuat, misalnya dengan tidak mematuhi satu dua paugran atau melanggar wwalr
akubatnya bisa sangat fatal. Dapat mengakibatkan usahanya gagal total. Minimal orang yang tidak kuat
tersebut mengalami suatu resiko yang cukup berat. Prinsipnya, harus mampu membersihkan segala
penyakit hati, meluruskan pemahaman dan pola pikir, kuat mental lahir dan batinnya. Karena merubah
nasib dan menjadi kaya itu harus orang yang kesinungan begja. Bagi seseorang yang mampu mengelola
hati hingga mencapai tataran manembah keluhuran budi,duw rasa, ora duw rasa duw, rendah hati,
ora kagtan lan ora gumunan, tidak silau harta, serta tertanam sifat dan sikap sugih ati, justru akan lebih
besar kemungkinan untuk ksinungan sugih bndh. Bila kita mampu menerapkan sifat-sifat bumi (yang
maha memberi berkah untuk seluruh mahluk) ke dalam diri kita, maka alam semesta akan selalu
berpihak kepada diri kita. Semakin banyak memberi, akan semakin banyak menerima.
TIPU DAYA MAFIA HARTA KARUN

Pada tulisan ini saya akan mengulas sedikit soal kasus-kasus penipuan yang berkaitan dengan perburuan
harta karun my. Seperti kita ketahui, banyak sekali berita, kabar dan dongeng tentang upaya orang
mencari harta karun my atau gaib. Begitu banyak orang mengaku mampu mengentaskan atau
mengangkat harta karun my atau gaib. Tetapi kebanyakan hanyalah sekedar aksi tipu daya, dengan
target korban akan mengeluarkan beaya operasional. Begitu banyak dan seringnya orang-orang yang
merasa yakin akan mendapat harta karun sehingga sampai teledor dan lengah mengeluarkan beaya
seberapapun besarnya sampai menjual aset-aset penting demi mengejar harta karun yang dibayangkan
sangat menjanjikan dan mampu merubah nasib secara drastis. Mereka barulah sadar setelah harta
bendanya habis dijual dan uangnya ludes untuk beaya operasional. Yang beruntung adalah orang yang
mengaku-aku mampu mengangkat harta karun. Dan semuanya pada akhirnya gagal. Tetapi selalu saja si
penipu tidak mau disalahkan. Bahkan sudah dibuat skenario jika nantinya berujung kegagagalan yang
disebabkan oleh korban penipuan yang melanggar pantangan atau karena kurang memenuhi sarat.
Seribu alasan dibuat-buat yang pada intinya memposisikan si korban tidak punya alasan untuk
menyalahkan si penipu yang berlagak dewa penolong. Maka tulisan ini sekaligus sebagai perngatan
untuk sedulur dan pembaca yang budiman agar tidak terperangkap dalam jaringan mafia harta karun
yang sesungguhnya hanya mengincar harta benda dan uang si calon korbannya.

Para mafia memang hebat berakting menjalankan modus tipu-dayanya. Biasanya mereka melengkapi
diri kemampuan bermain mejik atau sulap. Di hadapan calon korbannya, biasanya mereka melakukan
atraksi-atraksi yang dapat membuat calon korban terbius dan terkesima dengan kehebatan palsu si
penipu. Misalnya dengan kemampuan merubah suatu benda menjadi emas, tisu dan daun menjadi
lembaran uang. Bahkan pada beberapa kasus ada juga yang berani keluarkan modal untuk beratraksi
palsu seolah benar-benar ia mengangkat emas perhiasan atau lempengan dalam jumlah kecil di suatu
lokasi. Emas yang digunakan untuk atraksi juga emas asli, sehingga jika ditest ke toko emas akan
menunjukkan keasliannya. Tapi dalihnya pasti mereka bilang, emas itu belum boleh dipergunakan atau
dijual, karena si korban harus melengkapi persyaratan lagi agar tidak celaka. Singkatnya, rombongan
penipu berani memasang umpan ikan teri untuk memperoleh ikan kakap. Penipu juga tak kurang akal,
mereka pandai membuat surat-surat aspal untuk memperkuat bukti otentik. Termasuk bicaranya yang
serba digaib-gaibkan, mengklaim diri sebagai pembawa amanat dan seterusnya. Penipuan biasanya
tidak hanya dilakukan oleh satu orang melainkan banyak orang rombongan mafia. Mereka saling kenal
tetapi berlagak tidak saling mengenal, sehingga calon korban merasa semua serba kebetulan dan
menimbulkan kesan sangat istimewa dan menakjubkan. Rombongan mafia tidak hanya ada di satu
wilayah, mereka berada di berbagai wilayah yang berjauhan tetapi mereka saling berkomunikasi untuk
membangun modus operandi penipuan terhadap calon korban. Korban dibuat tak berdaya, selain juga
bisa karena pengaruh gendam dan penyalahgunaan terhadap ketrampilan hipnotis. Si korban barulah
akan sadar saat harta bendanya sudah habis ludes dijarah rombongan mafia, dan menelantarkan si
korban dalam kondisi kebingungan, kesendirian, dan kesedihan yang sangat dalam. Bahkan anggota
penipu seringkali menggunakan simbol-simbol kesucian, kesalehan, dan sifat agamis sebagai kedok.
Selain semua modus diatas, calon korban biasanya diasingkan atau dieliminasi agar tidak berhubungan
dengan orang lain selain rombongan mafia. Selain untuk merahasiakan aksi kejahatan jaringan mafia
agar tidak tercium aparat keamanan, hal itu juga untuk mencegah agar calon korban tidak bisa
meloloskan diri atau sadar diri setelah menerima masukan dari orang lain yang memahami tipu daya
mafia. Maka waspadalah para pembaca yang budiman.

STUDI KASUS

Beberapa tahun lalu Menag berinisial SA tanpa mematuhi paugeran-paugeran dan langkah-langkah awal
seperti di atas, pernah mencoba menggali harta karun yang tersimpan di Batu Tulis. Berbagai cara
ditempuh, dengan wiridan, menggali, dan melacaknya dengan bantuan sonar logam. Akibatnya pertama,
ada tim penggali yang tewas menjadi korban. Akibat selanjutnya, beberapa waktu kemudian, Menag
terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan dana haji. Dalam masa menjalani proses hukum Menag
meninggal dunia. Saya enggan mengkaitkan peristiwa kematian itu dengan harta karun. Mau disebut
peristiwa kebetulan juga monggo. Tapi saya tetap mengambil pelajaran berharga dari peristiwa itu.
Sebagai pedoman supaya dalam menjalani hidup ini selalu bersikap hati-hati, waspada, dan tidak
serampangan. Masih ada lagi kasus lainnya yang dapat menjadi contoh.

Warning

Di akhir tulisan ini saya ingin sekali lagi menegaskan bahwa adalah dua prinsip paling penting harus
diketahui sedulur-sedulur semua berkaitan dengan harta karun my. PERTAMA, orang yang
memungkinkan memperoleh harta karun my adalah yang sungguh-sungguh memenuhi asas
kepantasan, terpilih dan pinilih. Siapapun yang hatinya tidak bersih, tamak, serakah, tidak tulus, mudah
iri-dengki, tidak bisa bersikap adil, batinnya ruwet, pikirannya aneh-aneh pasti tidak akan memenuhi
asas kepantasan sebagai orang yang layak mendapatkan harta karun my. Termasuk pula orang yang
gemar berburu, dan bernafsu untuk mencari atau menguasai harta karun my, pastilah akan ditolak
oleh titah gaib. Sekalipun seseorang itu masih memiliki garis keturunan pemilik harta karun itu. KEDUA,
begitu banyaknya orang mengaku-aku mampu mengangkat harta karun my atau gaib. Banyak pula
orang yang ngotot meyakinkan orang lain, jika dirinya telah mengenal orang yang bisa mengangkat harta
karun my. Akan tetapi sikap saya teguh, tidak akan percaya samasekali. Saya bukannya over-
confident, tetapi saya melihat ciri orang yang benar-benar mampu mengangkat harta karun my. Saya
juga mengerti betapa berat syarat-syarat (yang ditetapkan hukum alam) yang berlaku bagi orang yang
mendapatkan anugrah mampu mengangkat harta karun my.

Bila kita lebih memahami berbagai hal yang berhubungan dengan harta karun. Harapan saya setidaknya
dapat menambah referensi dan dapat dijadikan sebagai rambu-rambu bila di antara para pembaca yang
budiman sedang menghadapi tawaran-tawaran yang menggiurkan soal pengangkatan harta karun. Jaya
jaya wijayanti.

Satu Suro 1947 : Mukti opo Mati !?
NOV 5
Posted by SABD
MONCER ATAU MATI

Setelah kita dihantarkan oleh Suro Pambuka, pada 15 Nopember 2012 sampai dengan 4 Nopember
2013, tahun baru Jawa kali ini atau lebih populer 1 Suro, 1947 Taun Alip, Sengara Langkir, di tahun 2013
ini jatuh pada hari Selasa Pon tanggal 5 Nopember 2013. Tahun baru Jawa kali ini merupakan Suro
Moncer. Moncer artinya bersinar terang, bisa diartikan pula makmur. Semoga tahun 2013-2014
menjadikan pondasi (starting point) untuk kemakmuran Nusantara diwaktu mendatang. Bulan Sura
Moncer tahun 1947 mempunyai condrosengkolo Sapta tirta nembus bumi, panca geni nyuceni jagad.
Namun demikian Tanggal 1 Sura Moncer ini jatuh pada hari Selasa Pon yang memiliki angka 10 atau tibo
pati, jatuhnya mati. Mukti opo mati?! Artinya, untuk meraih kemakmuran masih terdapat satu rintangan
pengapesan (sial) yang gawat. Yakni tepat pada tanggal 1 Sura hari Selasa Pon tibo pati. Siapa yang
melakukan tindakan bertentangan dengan hukum alam, misalnya mencelakai orang, menyakiti hati, dan
seterusnya, atau resikonya bisa gugur dalam meraih kemakmuran dalam tahun moncer alias mendapati
mati (sengsara). Sebaliknya siapa yang selalu eling dan waspada, hingga selalu menjaga keselarasan
dan harmonisasi dengan hukum alam tentu akan menjadi manusia yang bakal kebagian moncer-nya
tahun Jawa 1947, alias mukti (urip mulya). Prinsip hukum keseimbangan alam yang serba balance,
semakin besar anugrah yang akan diperoleh seseorang tentu tebusannya semakin berat pula.


SAPTA TIRTA MENEMBUS BUMI

Condrosengkolo yang termaktub dalam kalimat sapta tirta nembus bumi artinya pada tahun baru Jawa
1947 yang dimulai pada 5 Nopember 2013 ini, menggambarkan fenomena 7 sumber mata air yang
menembus bumi. Bisa pula bermakna kiasan untuk menggambarkan, di tahun moncer ini tujuh asal
sumber air di permukaan bumi dapat amblas meresap ke dalam bumi dengan cepat. Hal itu untuk
menggambarkan pula ground washing, atau penyucian bumi dari segala macam wabah, hama,
penyakit bahkan marabahaya yang ditimbulkan oleh bencana alam. Layaknya sebuah kolam, terlebih
dahulu dikuras untuk membersihkan kotoran sebelum diisi dengan air baru yang bersih. Setelah bumi
Nusantara disucikan, berarti Nusantara akan siap menerima sesuatu anugrah yang baru pula. Setelah
berbagai macam bencana dan musibah yang merundung negeri Indonesia dalam satu dasawarsa
terakhir ini, kini saatnya Indonesia mulai bangkit dan beranjak dari keterpurukan. Ditandai dengan
kemenangan dan prestasi TimNas sepakbola U19 (generasi muda bangsa) secara beruntun. Bangkitnya
kesadaran Nasionalisme, dan semangat generasi muda untuk kembali kepada jati diri bangsanya
merupakan sebagian tanda-tanda kebangkitan Nusantara. Dan semoga di tahun moncer 1947 (2013-
2014) ini akan lahir aset bangsa yang telah dinanti-nanti kedatangannya oleh mayoritas rakyat
Indonesia sebagaimana telah tersirat dalam prediksi yang ditorehkan pada lembaran serat kuno Jawa
dan Sunda. Bukan hanya sekedar terpilihnya Presiden RI yang ideal, lebih dari itu lahirlah calon
pemimpin besar Nusantara bahkan dunia ingkang badhe kalairaken ing satengahe bumi Mataram.

PANCA GENI MENYUCIKAN JAGAD

Secara lugas condrosengkolo di atas berarti mengisaratkan 5 api yang membersihkan jagad. Secara
kias sepertinya bahwa bumi ini akan disucikan dengan unsur api. Api dapat menggambarkan kejadian
panas bumi atau panas matahari yang terasa semakin menyengat dan pengap. Api bisa juga diartikan
sebagai gunung berapi yang akan meletus. Di awal bulan Suro moncer ini saja memang sudah terjadi
satu peristiwa meletusnya Gunung Sinabung di wilayah Sumatera Utara. Akankah beberapa gunung
berapi menyusul meletus ? Saya tidak akan membahas gunung api yang bakal meletus. Yang jelas api
dan sumber air tersebut menjadi mekanisme alam untuk menyucikan diri segala macam kotoran dan
polusi yang menimpa jagad Nusantara ini oleh akibat ulah manusia maupun siklus alamiah. Bumi sedang
diruwat oleh Sang Hyang Wenang. Maka siapapun orangnya jika dirinya termasuk yang eling dan
waspada pasti akan selamat. Sebaliknya yang merusak tatanan kehidupan akan hancur pada tahun ini
juga. Biarkan sang api dan sang air yang akan membersihkan segala macam kotoran di bumi Nusantara
ini. Semua kejadian penyucian diri jagad agung itu merupakan peristiwa alamiah. Jagad semesta akan
menata sistem keseimbanganya yang telah rusak (self healing). Sehingga pada akhirnya jagad semesta
ini berganti kulit kembali menjadi remaja.

SENGARA LANGKIR

Sengara langkir merupakan salah satu siklus di antara lebih dari sepuluh siklus yang ada dalam sistem
kalender Jawa. Sengara artinya kesengsaraan. Semoga di tahun alip 1947 ini kesengsaraan rakyat
Indonesia sudah berakhir, setidaknya berangsur selesai.

Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti Wilujeng Rahayu Kang Tinemu, Bondo Lan Begja Kang
Teka Saking Kersaning Gusti

Kirab agung kadangkadeyan sabdalangit pada malam 1 Suro 1947 :

Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan Kegunaan & Keunikan
OKT 26
Posted by SABD
Sapta Tirta : Berbagai Kekuatan, Kegunaan, & Keunikan

SEJARAH PERJUANGAN LELUHUR BANGSA

Sapta Tirta Desa PablenganObyk wisata spiritual Sapta Tirta (7 macam air sendang) terdapat di desa
Pablengan Kecamatan Matsih Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, merupakan satu-satunya sendang
paling unik di dunia. Dari keseluruhan 7 air sendang itu masing-masing dalam jarak 5 meter, dan yang
paling jauh berjarak hanya 15 meter antara satu sendang dengan sendang lainnya. Akan tetapi uniknya
masing-masing sendang mempunyai aroma dan rasa serta khasiat yang berbeda-beda. Areal seluas 2
hektar ini pun menjadi salah satu tempat yang cocok untuk relaksasi dengan mandi sekaligus untuk
mengusir berbagai macam penyakit. Hawa yang sejuk pun kental terasa di sini karena Pemandian Sapta
Tirta berada di kaki Gunung Lawu serta dikelilingi oleh hutan pinus Argotiloso.

Menurut catatan sejarah Sapta Tirta merupakan salah satu petilasan raja-raja Mangkunegaran
Surakarta. Sapta Tirta tidak terlepas dari sejarah perjuangan Raden Mas Said atau lebih dikenal sebagai
Pangeran Samber Nyowo alias KGPAA Mangkunegoro I atau Kanjeng Adipati Mangkunegoro Senopati
Ing Ayuda Lelono Joyo Wiseso yang hidup di antara tahun 1725-1795 M. Beliau juga sangat terkenal
akan kesaktiannya yang terbukti saat melawan kolonial Belanda pada waktu itu.

Separoh usia Beliau, dijalani sebagai pejuang yang berusaha mempersatukan Bumi Mataram, perjalanan
dilakukan dengan siasat Gerilya dengan sebuah semboyan terkenal Tiji Tibeh singkatan dari mati siji mati
kabeh (mati satu, matilah semuanya). Beliau adalah pejuang dari trah keturunan Kerajaan Mataram
yang menghendaki Bumi Mataram bebas dari cengkeraman kompeni Belanda. Selama 16 tahun beliau
berjuang dengan sangat gigihnya.

Alkisah, Perjuangan Eyang Pangeran Sambernyawa telah sampailah di desa Pablengan, di sinilah beliau
mendapat petunjuk (wisik) dari leluhur Beliau untuk melaksanakan ritual menggunakan Air Sapta Tirta di
desa Pablengan. Untuk pertama kalinya beliau mandi di sumber Air Bleng, dengan tujuan ngeblengake
tekad (menyatukan cipta rasa karsa) atau golong gilik (bertekad bulad) menyatukan hati, ucapan, pikiran
dan cita-cita agar dapat mengusir kompeni Hindia Belanda dari bumi Mataram atau tanah Jawa.

Yang kedua, selanjutnya Beliau mandi di air Urus-urus dengan maksud agar segala tujuannya dapat
terurus, terkelola, dimanajemen dengan sebaik-baiknya. Beliau melakukan mandi di sumber Air Urus-
Urus.

Selanjutnya yang ketiga Beliau mandi di air londo, atau air yang berasa soda dan sedikit asam mirip
minuman pocari sweet, dengan tujuan agar mendapatkan kesegaran jasmani dan rohani. Beliau dengan
cara meminum air sendang berasa soda dan sedikit asam tersebut.

Yang ke empat dan ke lima beliau mandi di air hidup dan air mati secara bergantian dengan tujuan agar
segala cita-cita perjuangannya, hidup dan matinya berguna untuk kehidupan, dan Beliau pasrahake
kepada Sang Jagadnata.

Yang ke enam, kemudian beliau memandikan seluruh pasukan tentaranya di air sendang Kasekten
dengan maksud agar memperoleh kekuatan, kewibawaan, keberanian, dan jiwa patriotisme agar dapat
mengusir penjajah Belanda dari bumi Mataram.

Yang ke tujuh beliau mandi di sumber air Kamulyan /air hangat agar segala cita-cita mengusir penjajah
Belanda mendapat ketentraman dan kamulyan bagi kawula/rakyat bumi Mataram.

Nah, di dalam kompleks Sapta Tirta juga terdapat sendang atau Pemandian Keputren. Sendang keputren
merupakan peninggalan dari RM Surono atau KGPAA Mangkunegoro ke VI yang terdiri dari bilik kamar
mandi dan merupakan peninggalan satu-satunya yang tersisa dari peninggalan Mangkunegoro di Sapta
Tirta yang masih asli (tanpa renovasi).

Sapta Tirta di desa Pablengan menjadi salah satu tempat untuk panyuwunan /permohonan kepada
tuhan dengan berbagai tujuan agar terkabul dengan melakukan prosesi ritual sesuai dengan
kepercayaan masing-masing. Kita sebagai generasi penerus bangsa dapat turut nguri-uri, melestarikan
Sapta Tirta desa Pablengan yang mempunyai nilai sejarah perjuangan ini. Semoga dapat memayu
hayuning bawana lan memayu hayuning sesami, gemah ripah loh jinawi, tentrem kerta raharja.

URUTAN SENDANG & MAKNA KEHIDUPAN

Menikmati sumber mata air dengan kandungan mineral yang berbeda-beda dapat anda rasakan saat
mengunjungi tempat pemandian ini, Pemandian Sapta Tirta. Tempat ini menjadi tempat favorit yang
didatangi oleh pengunjung yang ingin mencoba khasiat air yang ada disana untuk mengobati berbagai
penyakit. Beberapa orang yang pernah berkunjung ke pemandian ini berujar bahwa air yang ada disana
dapat digunakan untuk mengusir berbagai macam penyakit, misalnya penyakit ginjal, diabetes, liver,
TBC, serta baik untuk mereka yang ingin terlihat awet muda. Maka kami pun perlu membuktikan
kebenarannya. Satu persatu kami coba untuk mengambil air, sekedar cuci muka, dan meminumnya,
bahkan sendang air mati sekalipun tapi cukup sedikit saja.

Ditempat ini juga terdapat bangunan yang dulu digunakan Pangeran Sambernyawa untuk olah batin
dengan cara mesu budi dan manekung. Tempat tersebut tampak terawat dengan bersih. Penjaga
kompleks ini pun mengingatkan kalau tempat ini dulunya adalah tempat bangsawan sakti untuk
berjuang dan sekarang para pengunjung pun disarankan untuk menghormati keberadaan Pemandian
Sapta Tirta sebagai peninggalan nyata dari Pangeran Sambernyawa. Di pemandian Sapta Tirta, terdapat
larangan yang harus diperhatikan oleh pengunjung. Anda harus menjaga perilaku dan bersikap sopan
ditempat dan tentu saja dilarang untuk buang air kecil sembarangan. Bagi yang sedang menstruasi tidak
diperkenankan mandi, cukup cuci muka dan membasuh tangan, serta meminum air sendnag
secukupnya.

Untuk merasakan dan diharapkan mendapatkan hasil maksimal, para pengunjung hendaknya
memperhatikan urutan sendang sebagai berikut.

1. Banyu Bleng

Sumber air Bleng artinya air garam. Sumber mata air ini tidak hangat, tetapi mempunyai rasa asin dan
sebagian orang dapat memanfaatkan mata air ini untuk membuat karak, atau sejenis kerupuk yang
dibuat dari nasi. Sampai sekarang, sumber mata air ini tidak pernah kering dan anda pun tidak dipungut
biaya bila ingin membawa sumber air Bleng ini.

Selain manfaat di atas. Dalam laku spiritual, Bleng berasal dari kata ngebleng atau puasa tidak makan
dan tidak minum dalam beberapa hari, biasanya antara 3 sampai 40 hari. Bleng juga berarti gem-bleng.
Atau tempat penggemblengan, yakni menempa diri. Kehidupan dirasakan pahit getir asin. Kata pepatah,
agar mudah mencapai kesuksesan dan kemuliaan hidup, setiap orang haruslah banyak makan asam
dan garam kehidupan di jagad ini. Arti secara general adalah laku prihatin dijadikan dasar
panggemblengan diri agar kita lahir kembali sebagai pribadi yang berkualitas.

2. Banyu Urus-urus

Mata air ini mempunyai suhu yang hangat dan pengunjung biasanya memanfaatkan airnya untuk mandi
dengan harapan dapat mengusir penyakit kulit seperti gatal dan juga rematik. Air urus-urus bermanfaat
juga seperti fungsi pil B Kompleks, untuk cuci perut. Jika anda meminum segelas atau lebih ar urus-urus,
biasanya tidak sampai 1 jam perut Anda akan membuang seluruh kotorannya. Urus-urus adalah istilah
Jawa yang berarti menguras. Dalam hal ini, menguras atau membersihkan diri pribadi dari segala macam
nafsu angkara dan keserakahan. Setelah seseorang melakoni topo ngebleng, diharapkan dapat meraih
kebeningan hati dan kejernihan fikiran. Bersih atau suci lahir dan batin guna melandasi langkah
berikutnya dalam meraih cita-cita luhur.

3. Banyu Panguripan

Sumber air hidup. Air yang keluar dari kaki gunung Lawu ini selalu bergolak dapat diibaratkan
bergolaknya kehidupan. Namun air hidup tidak terasa hangat. Dapat digunakan untuk mencuci muka
atau mandi. Sumber air hidup dipercaya bahwa dapat membuat wajah akan terlihat awet muda. Selain
itu, sumber mata air ini juga sering digunakan untuk ritual pernikahan yang ada di sekitar lokasi
Pemandian Sapta Tirta. Makna spiritual air kehidupan bahwa setelah seseorang mampu mensucikan
lahir batinnya, barulah dapat disebut sudah hidup dan siap melakoni perjalanan hidup agar berguna bagi
seluruh kehidupan di planet bumi ini.

4. Banyu Mati

Nah, hanya berjarak sekitar 3 meter, persis di samping sumber air hidup, terdapat sumber air mati.
Disebut air mati karena terdapat kandungan mengandung mineral berbahaya jika terlalu banyak masuk
ke dalam tubuh dapat membahayakan kesehatan dan jiwa. Namun jika dimanfaatkan sedikit saja atau
sekedar untuk mandi, justru akan memberikan manfaat besar untuk kesehatan dan kekuatan fisik.
Makna yang terkandung di dalam air mati ini, bahwa dalam kehidupan di dunia ini ada hidup dan ada
mati. Di dalam kehidupan ada kematian, namun begitu juga di dalam kematian ada kehidupan.
Keduanya menjadi pepeling kita dalam menjalani kehidupan ini. Dalam spiritual Jawa dikenal laku mati
sajroning urip atau mati di dalam hidup. Agar kelak dapat nggayuh urip sajroning pati, atau meraih
kemuliaan hidup di alam kematian raga. Untuk meraih kemuliaan hidup di dimensi wadag maupun
dimensi keabadian, seseorang harus mampu dan mau mematikan atau lebih tepatnya mengendalikan
segala sifat buruk, nafsu angkara dan keserakahan yang ada di dalam diri.

5. Banyu Soda

Sumber air soda. Air yang dihasilkan dari mata air ini memiliki rasa mirip soda atau lebih tepatnya
minuman pocari sweet. Air Soda dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit
seperti diabetes, paru-paru seperti TBC, bronchitis, dan penyakit lever serta ginjal. Makna yang tersirat
di dalam mata air Soda ini adalah, di dalam kehidupan ini pasti ada pahit getir, ada sakit, ada pula
kekalahan. Air soda adalah obat untuk menawarkan segala macam aral kehidupan seperti kesialan dan
sebagainya. Berguna untuk membangkitkan kesadaran, memulihkan semangat perjuangan dan meraih
kembali kebugaran lahir dan batin.

6. Banyu Kasekten

Sumber air kasekten tidak berasa asin maupun asam. Namun berasa ada kandungan seperti besi baja
atau metal. Warnanya juga sedikit kekuningan seperti larutan baja. Di lokasi ini terasa sekali energinya
begitu kuat, bahkan walau sekedar membasuh wajah dan ubun-ubun terasa ada kekuatan yang sungguh
menakjubkan. Sendang kasekten, bermakna bahwa berbagai rintangan, keprihatinan, yang tergambar di
beberapa sendang sebelumnya, semuanya kita jadikan sebagai arena untuk menguji diri. Jika lolos,
berarti seseorang akan meraih ngelmu sejati. Yakni kesaktian yang diperoleh bukan lewat cara mahar,
mejik, instan dan sejenisnya, melainkan konsekuensi logis (baca : berkah alam) dari perjalanan laku
prihatin yang tidak ringan. Jika alam semesta menilai perjalanan atau laku prihatin Anda telah layak,
maka alam semesta ini akan selalu berpihak kepada Anda. Di sendang ini Anda akan mudah
mendapatkan kekuatan lahir dan batin, dan kemampuan lebih di atas rata-rata orang.

7. Banyu Kamulyan

Pada akhirnya, setelah perjalanan melalui 6 tahap tersebut, seseorang akan sampai pada tahap meraih
kamulyaning gesang. Kemuliaan hidup adalah buah atau konsekuensi logis atas apa yang Anda tanam
sebelumnya. Banyak orang merasa tlah melakukan prihatin tetapi motivasinya kadang sudang
melenceng atau malah terlampau jauh dari kemampuan diri. Gegayuhan yang menjadi ilusi karena tidak
lain hanyalah seonggok utopia. Maka dalam berusaha meraih cita-cita hendaknya kita benar-benar
pandai memantaskan diri, kita harus pandai mengukur diri, harus pandai bercermin. Sudahkah pantas
diri kita menerima anugrah dan berkah yang kita cita-citakan itu ? Untuk dapat mengukur dan
mencermati diri sendiri, maka tanyakan pada diri kita sendiri, apa yang sudah kita lakukan untuk
keluarga, untuk orang-orang terdekat, untuk masyarakat, untuk bangsa dan Negara ini ? Jangan terbalik
melulu bertanya dan menuntut apa yang seharusnya anda miliki dan terima. Jika Anda belum meberi
maka alam semesta ini akan pelit kepada diri Anda. Berikan yang paling berharga kepada seluruh mahluk
dengan rasa welas asih, tulus dan tanpa pilih kasih. Lalu lihatlah, saksikan, dan rasakan buktinya.

SASANA PAMELENGAN

Di dalam areal sumber air Sapta Tirta terdapat Sasana Pamelengan, merupakan tempat pasamaden,
mesu budi, atau pamelengan. Di tempat inilah dahulu kala Pangeran Sambernyawa melakukan olah
pasamaden untuk maneges agar segala cita-cita dan harapan luhurnya mengusir penjajah Belanda dan
menyatukan bumi Mataram dapat terwujud.

Pada saat melakukan olah Pasamaden, ada bait mantra berupa tembang yang terdapat di dalam Serat
Wedhatama Pupuh Pangkur Podo kaping 13 liriknya sebagai berikut :

Tan samar pamoring suksma
Sinuksmaya winahya ing asepi
Sinimpen telenging kalbu
Pambukaning warana
Tarlen saking liyep layaping aluyup
Pindha pesating sumpena
Sumusuping rasa jati

Artinya :

Tidaklah samar-samar saat sukma menyatu, meresap terpatri dalam keheningan samadi, diendapkan di
kedalaman lubuk hati, itu menjadi sarana pembuka tabir rahasia hidup, tanda-tandanya berawal dari
keadaan antara sadar dan tiada, serasa bagaikan mimpi, tetapi di situlah rahsa yang sejati.

Lihat lokasi :

73754S 111326E

Semoga bermanfaat. Salam asah asih asuh, rahayu sagung dumadi.

(Satria Piningit) Pambukaning Gapura
MEI 29
Posted by SABD
Kisah Perjalanan Wahyu Keprabon Mencari Satria Piningit Sejati
Lampah : (SATRIO PININGIT) PAMBUKANING GAPURA
Dhalang : KI SENO NUGROHO
Waktu : Minggu, 18 Mei 2014 (Malam Senin Pon)
Tempat : Halaman Makam Raja-raja Mataram di Kotagedhe Yogyakarta
Pasewakan Agung
Jika TIDAK, Nusantara akan kalah !!
Sesuai pralampita yang diberikan oleh Ki Dalang Panjangmas, seorang dalang yang mempunyai kekuatan
idu geni (apa yang diucap akan terjadi) hidup pada masa kerajaan Mataram, pada masa kepemimpinan
Gusti Hamangku Rat Agung lokasi di seputar wilayah Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Untuk
menuntaskan lakon terdahulu Satria Piningit yang telah digelar pada Minggu Pon 4 Mei 2014 di Galur,
Kulonprogo, DIY. Jika lakon tidak dilanjutkan, bukan SP maupun kamu yang akan kalah, tetapi
Nusantara. Kalah dari kekuatan jahat yang akan merusak dan merampok kekayaan alam Indonesia.
Kekuatan jahat yang akan menjajah pola pikir generasi bangsa Indonesia. Mirip seperti pepeling Bung
Karno, kelak penjajahan yang kamu hadapi jauh lebih berat, karena yang menjajah adalah bangsamu
sendiri. Apa yang dikatakan BK saat ini telah menjadi kenyataan, sebagian warga bangsa kita sendiri,
yang menjadi antek (kepanjangan tangan) kepentingan asing, dan agen-agen konspirasi yang
melibatkan kekuatan transnasional. Kekejaman yang dilakukan oleh sebagian warga bangsa sendiri
terhadap WNI yang lain tidak kalah kejam dibanding kolonialisme yang dilakukan oleh Negara asing
terhadap bangsa Indonesia. Nasionalisme, atau sikap kecintaan terhadap tanah air kadang sengaja
dirusak dengan dalih nilai-nilai ketuhanan. Padahal nasionalisme itu sendiri merupakan wujud manusia
menghormati Tuhannya, seperti yang termaktub dalam ungkapan hamemayu hayuning Rat, hamemayu
hayuning bawana, hamemayu hayuning diri. Sebuah nilai spiritual yang meliputi dimensi triloka.
Sebagian warga bangsa Indonesia jatuh cinta secara buta kepada bangsa lain, sampai-sampai terhadap
bangsanya sendiri pun bersikap setengah hati. Sungguh luar biasa kekuatan yang merusak Nusantara ini.
Karena Nusantara bagaikan gadis cantik idaman, setiap pria ingin meminangnya. Nusantara adalah
syurga yang nyata, sumber berkah alam bagi kehidupan seluruh mahluk. Itulah sebabnya Nusantara
menjadi incaran kepentingan ekonomi dan politik internasional. Jika sulit dikuasai melalui siasat
kolonialisasi, maka penjajahan dilakukan memalui siasat imperialisme ekonomi, budaya dan spiritual.
Yang pertama-tama dilakukan adalah merusak pola pikir (mind set) generasi penerus bangsa agar hilang
rasa cinta tanah air dan tidak kenal akan jati diri bangsanya. Sebab keduanya merupakan nyawa,
sumber kekuatan dan energy hidup yang menghidupkan setiap bangsa-bangsa di dunia ini tak terkecuali
bangsa Indonesia. Jika keduanya hilang, Nusantara ini bagaikan bangsa ayam sayur, bangsa krupuk
mlempem. Tinggal kentutnya doang yang bau. NKRI dijadikan bancakan oleh negara-negara asing,
bagaikan tubuh seekor rusa yang gemuk dikoyak oleh gerombolan serigala yang rakus. Jika kita tidak
peduli semua persoalan kebangsaan itu, apalagi turut merusak nilai-nilai kebangsaan, sebagai generasi
penerus bangsa mengambil peran sebagai babagian dari gerombolan serigala. Jika kita tidak menyadari,
peranan kita ibarat menjadi rusanya. Marilah kawan, bangkit dan bangunlah, jangan asik masyuk
mendem lan mabok donga, jangan sampai hidup kita tak berguna, sia-sia dan membuat celaka anak
turun kita kelak. Jangan sampai keberadaan kita di permukaan bumi Nusantara ini sekedar menyisakan
ampas beracun kepada anak cucu kita yang akan hidup di masa yang akan datang. Itu dosa besar yang
tiada ampun.
Kekuatan spirit pagelaran wayang kulit sudah saya singgung pada tulisan terdahulu dalam review
pagelaran wayang dengan lakon Satria Piningit. Ending lakon SP berakhir dengan kalimat yang keluar
dari sebdaning Ki Dalang Panjangmas,Pujadewa, pekenira mung sawijining satria kang pantes
kesinungan wahyu keprabon, sanajan pakenira wus kesinungan WK, nanging pekenira isih timur, kudu
nunggu ing titiwancine dewasa kanggo jumeneng nata. (Pujadewa, kamu seseorang yang paling pantas
menerima wahyu keprabon, walaupun kamu sudah terpilih oleh alam menerima Wahyu Keprabon,
tetapi kamu masih muda, tunggu hingga saat dewasa nanti untuk menjadi ratu di kerajaan Hastina). Dan
ternyata teka-teki siapa SP masih berlanjut, pada lakon lanjutan ternyata bukan Pujadewa (Raden
Abimanyu), melainkan putranda Raden Abimanyu dengan Dewi Utari, yakni Raden Parikesit yang
akhirnya kesinungan WK dari ayahandanya, dan bisa duduk di tahta kerajaan Hastinapura. Karena Raden
Abimanyu gugur di medan laga, setelah melindungi pakdenya Prabu Puntadewa dari jebakan dan
kepungan ribuan tentara Kurawa. Dan pada saat itu Raden Parikesit masih di dalam kandungan ibunda
Dewi Utari.
Lakon terdahulu ternyata belum tuntas menceritakan siapa yang berhak pemegang WK hingga duduk di
tahta kerajaan. Sesuai wangsit, lakon SP harus dituntaskan, jika tidak, maka yang kalah bukan SP tapi
Nusantara. Lakon lanjutan mendapat titel dari Ki Dalang Panjangmas Pambukaning Gapura. Jika
disambung dengan lakon terdahulu menjadi satu kalimat penuh makna yakni, Satria Piningit
Pambukaning Gapura. Masih dengan dalang yang sama, Ki Seno Nugroho. Kata Ki Dalang Panjangmas,
Dalang- sing kae wingi waesing wis bisa manjing. Tak ada kata lain selain, injih sendika dawuh !!.
Berapapun banyaknya beaya tidak masalah, ini untuk kepentingan orang banyak, kepentingan bangsa,
ya Nusantara ini, bukan sekedar untuk kepuasan dan kepentingan pribadi. Maka seperti biasanya,
uangnya yang akan menyesuaikan kebutuhan. Ada saja jalannya. Terimakasih kepada semua pihak yang
membantu, dan khususnya sedulur-sedulur KKS senusantara atas kepedulian terhadap nasib bangsa ini.
Begitu dadakan menelpon Ki Seno Nugroho, tapi masih beruntung karena Ki Dalang Seno juga langsung
menjawab, sendika dawuh Ki..! Padahal kalau mau nanggap Ki Seno biasanya harus jauh-jauh hari
sebelumnya karena padatnya jadwal pentas pagelaran. Siangnya, setelah pagelaran wayang Satria
Piningit Pambukaning Gapura, Ki Seno dan tim langsung berangkat ke Polandia karena kedubes RI
Polandia ditanggap wayang oleh orang bule sana. Entah lakonnya apa lupa menanyakan. Mungkin juga
lakone jumenengan Andrew Sletzianowzkyhehe.
Perjalanan WK mencari sang Negarawan Sejati
Atas saran gurunya Prabu Kresna, Raden Pujadewa yang sudah kesinungan WK, masih harus menunggu
dewasa dan matang untuk menduduki dampar keprabon di kerajaan Hastinapura. Dan hukum tata
keseimbangan alam masih berlanjut untuk menata keadaan mercapadha yang sudah terlampau mosak-
masik akibat kekacauan dan kerusakan yang dibuat oleh trah Kurawa. Perjalanan WK untuk mencari
siapa yang paling pantas dan berhak menyandang WK masih berlanjut. Hingga tiba saatnya, di mana
terjadi suatu kisah yang terjadi kurang lebih 15 tahun setelah usainya Perang Bharatayudha, perang
besar-besaran selama 18 hari antara pihak Pandawa dan Kurawa yang pada akhirnya dimenangkan oleh
Pandawa. Tak berapa lama setelah itu, Prabu Yudhistira yang mempunyai nama lain Puntadewa, sebagai
putra sulung dari Pandawa Lima bersaudara kemudian dinobatkan sebagai Raja di Hastinapura bergelar
Prabu Kalimataya. Hingga pada suatu ketika Sang Prabu merasa usianya sudah tua, kemudian
memutuskan untuk lengser keprabon bukan karena terpaksa apalagi kudeta, melainkan mengikuti
panggilan hati hendak madeg pandita.
Pralampita gaib maupun kabarsecara cepat tersebar luas, dan nama Raden Parikesit sebagai calon
pengganti yang akan meneruskan tahta Hastinapura juga sudah ditetapkan. Karena dialah yang telah
dipilih oleh alam menyandang wahyu keprabon. Seperti biasanya, setiap kali ada peristiwa suksesi atau
pergantian pimpinan di sebuah kerajaan/negara manapun akan selalu menjadi berita yang sangat
menarik perhatian bagi siapapun, lebih-lebih bagi pihak yang berkepentingan. Sekalipun Raden Parikesit
telah dipilih oleh alam sebagai seorang yang berhak duduk di tahta kerajaan Hastinapura, suksesi tidak
berjalan dengan mudah karena mendapatkan gangguan dan upaya menggagalkan dari pihak anak turun
Kurawa yang masih mewarisi sifat licik dan tamak kekuasaan. Di sinilah pasang surut perjalanan dan
perjuangan sang SP pemegang WK sesungguhnya baru dimulai. Raden Parikesit akan mengalami
berbagai upaya pembunuhan, dan penjegalan untuk menghalangi proses diwisudanya Raden Parikesit.
Pralampita gaib dan kabar yang tersiar hingga menyentuh pihak-pihak yang tidak menghendaki Raden
Parikesit jumeneng nata. Kekuatan-kekuatan jahat yang menjadi lawan sang SP pun melakukan
konsolidasi, saling bahu-membahu disatukan oleh kesamaan kepentingan dan niat jahat untuk menjegal
Raden Parikesit diwisuda sebagai Raja di kerajaan Hastina. Walaupun Prabu Duryudana sebagai raja di
trah Kurawa, sudah tewas di tangan Raden Werkudara. Sengkuni, Dorna juga telah tewas, dalam perang
Baratayudha tetapi sisa-sisa kekuatan jahat itu masih ada dan diteruskan oleh anak-turun trah Korawa
itu yang memiliki tabiat licik, julig, curang, dan serakah. Anak turun Kurawa tidak bekerja sendiri, mereka
dibantu oleh kerajaan-kerajaan luar (negeri) yang memiliki kepentingan untuk menguasai asset-aset
kerajaan Hastinapura. Itulah gambaran musuh-musuh kerajaan Hastinapura (Nusantara).
Refleksi Politik Makro
Dalam konstelasi politik nasional. Nusantara mengalami kerusakan akibat ulah para durjana yang
merasuk ke dalam sendi-sendi kehiduan berbangsa dan bernegara. Seperti lakon terdahulu, di mana
tahta kerajaan Hastinapura sedang diduduki prabu Duryudana (Duryudayana?) yang dianggap sebagai
raja palsu karena tidak kesinungan WK maka tebusan korban jiwa dan harta yang dialami rakyat
Hastinapura selama kepemimpinannya pun sangat besar. Hingga pada akhirnya, para kesatria Pandawa
dalam penyamarannya dipimpin oleh Prabu Rengganisura, yang aslinya adalah Bimasena atau
Wrekudara, demi menyudahi gonjang-ganjing di kerajaan Hastinapura, bermaksud untuk mencari di
mana gerangan WK berada dan siapa sejatinya yang paling berhak menduduki tahta kerajaan
Hastinapura. Nusantara mirip sebagai kerajaan Hastinapura. Rajanya raja palsu, tidak memiliki WK
namun memaksa diri menduduki tahta kerajaan Hastinapura dengan kekuasaan uang dan politik tidak
bersih. Maka di masa kepemimpinannya itulah hukum alam memberikan pengadilan. Kerajaan Hastina
mengalami masa goro-goro, wolak-waliking zaman. Negara dirusak para durjana. Banyak musibah dan
bencana di kerajaan Hastinapura selama dipimpin oleh sang Raja palsu trah Kurawa Duryudana.
Dalam lakon Satria Piningit Pambukaning Gapura, dikisahkan Prabu Duryudana telah tewas dalam
perang Baratayudha. Partainya kalah, kemudian terkucil karena gagal menjalin koalisi dengan parpol
manapun. Rengganisura dalam perjuangannya menegakkan hukum dan keadilan di negara Hastinapura,
sudah tahu siapa kesatria bangsa yang kesinungan WK. Dan cerita perjuangan pun masih berlanjut. Kali
ini bukan fokus pada perjuangan Prabu Rengganisura (Bima/Werkudara) tetapi alur kisah lebih fokus
pada perjuangan sang SP sejati yakni Raden Parikesit. Raden Parikesit sebagai Satria Piningit sejati
karena telah kesinungan WK masih saja mendapat serangan bertubi dari pihak anak tutun trah Kurawa,
anak turunnya Sengkuni, Duryudana, Dorna, Aswatama, Dursasana. Serangan itu berupa fitnah,
pengucilan, merusak kendaraannya, dan melucuti senjatanya, serta berbagai upaya meredam gerakan
bawah tanah sang SP sejati. Dan saat ini perang yang sesungguhnya sedang dimulai antara anak turun
Kurawa dengan sang SP sejati.
Para sesepuh Pandawa, para Begawan Junggring Saloka, Ki Lurah Semar Badranaya, para Bathara dan
Sang Hyang Wenang telah memberikan restu kepada sang SP sejati. Sambil menunggu kematangan sang
SP, hukum alam saat ini sedang menuntaskan tugasnya membersihkan segala yang kotor. Inilah saat
penghabisan dari yang kotor-kotor sebelum orde Pambukaning Gapura dimulai. Sementara itu
dipanggung politik Nasional, yang hebat, yang tampil gemilang, tetapi ingatlah, itu hanya di permukaan
saja, hanya di atas panggung sandiwara politik. Dan adegan-adegan politik saat ini bukanlah diperankan
oleh sang SP sejati. Kita musti eling dan waspada bahwa Nusantara sedang melakukan detoksifikasi,
menguras racun dari dalam tubuh makhluk besar bernama Nusantara. Biarlah semua yang kotor
dikeluarkan dari kolong tempat tidur agar mudah dibersihkan oleh hukum tata keseimbangan alam.
Sekalipun rakyat Hastinapura sedikit kecewa tetapi kekecewaaan itu tidak akan berlangsung lama,
hingga tiba saat yang tepat tampilnya sang SP sejati menyelamatkan Nusantara dari jurang kehancuran.
Bahkan sepertinya para sesepuh Hastina, Prabu Baladewa, Bima dll sengaja memingit sang SP dari
panggung sandiwara politik untuk sementara waktu saja, agar tidak ikut tersapu oleh alam yang sedang
bersih-bersih diri. Biarkan saat ini semua orang berpaling dari keberadaan sang SP sejati, dan semua
orang asik mengarahkan andangannya pada hingar-bingar panggung politik untuk menikmati
pertunjukan yang digelar saat ini. Tapi hanya sedikit orang yang sadar jika di atas panggung politik itulah
kekuatan alam akan melakukan pembersihan untuk memungkasi kerusakan Nusantara. Setelah
panggung politik benar-benar bersih dari manuver-manuver anak keturunan Kurawa, para sesepuh
kerajaan Hastina akan mengeluarkan sang Satria Piningit sejati, dari tempat pingitannya untuk kemudian
jumeneng nata di kerajaan Nuswantara.
Munculnya gerakan bawah tanah dari keturunan Kurawa
Melanjutkan sinopsis pagelaran wayang Satria Piningit Pambukaning Gapura. Siang hari itu, jauh di
sebuah tempat di perbatasan kerajaan Hastinapura telah terjadi pembicaraan yang sangat serius
diantara tiga manusia. Meskipun tidak semua ketiganya mempunyai hubungan sebagai saudara tetapi
mereka disatukan oleh warisan dendam dan niat busuk yang samadari orangtua mereka masing-
masing yang telah kalah dalam perang Baratayudha beberapa waktu sebelumnya. Mereka bertiga
adalah generasi penerus wangsa Kurawa yang masih tersisa setelah perang Bharatayuda selesai, yaitu :
Kertiwindu, Danyang Suwela dan Dursasubala.
Kertiwindu adalah anak dari Patih Sengkuni , pada saat perang Bharatayudha ayahnya Sengkuni mati di
tangan Bima Sena nama lain dari Werkudara. Sementara ituDanyang Suwela adalah anak
Aswatamayang tewas tertancap keris Pulanggeni yang tidak sengaja ditendang seorang bayi bernama
Raden Parikesit sewaktu Aswatama mengendap-endap pada waktu dini hari hendak menghabisi
Pandawa.Danyang Suwela adalah cucu dari Pendeta Durna. Dalam perang Bharatayudha, kakeknya
Durna tewas di tangan Drestajumna dalam keadaan lengah dan kalut karena terkecoh oleh siasat
Pandawa atas ide Prabu Kresna bahwa anak satu-satunya dengan Dewi Wilutama yang bernama
Aswatama mati di medan laga.Padahal sebenarnya anak itu masih segar bugar sedangkan yang
sebenarnya mati adalah Hestitama, nama seekor gajah perang yang terbunuh pada saat itu. Orang
tuanya sendiri, Aswatama tewas oleh keris Pulanggeni yang tertendang kaki mungil bayi Raden
Parikesit setelah sebelumnya ia sudahberhasil menyusup ke Hastinapura dan membunuh banyak
keluarga Pandawa, yaitu : Pancawala, Drestajumna, Srikandi, Sembadra, Niken Larasati, Sulasti juga
Banowati. Sial baginya sewaktu hendak membunuh Drupadi, tiba-tiba bayi Parikesit menangis dan ia
membelokkan pikirannya bermaksud menyelesaikan bayi Parikesit dulu. Tapi siapa nyana, di bawah
kaki Parikesit terdapat keris Pulanggeni dan entah siapa yang menggerakkannya, keris itu seperti di
tendang kaki mungil Parikesit, melesat menancap tepat di jantung Aswatama, hingga tewaslah
dirinya.SedangkanDursasubala adalah anak dari Raden Dursasana, seperti halnya dengan Sengkuni,
Raden Dursasana dalam perang Bharatayudha tewassetelah dikalahkan oleh Raden Werkudara (Bima
Sena).
Demikianlah, dalam perjumpaan itu akhirnya diputuskan karena menyadari bahwa mereka pasti akan
kalah jika berhadapan langsung dengan para Pandawa, maka akan digunakan strategi adu domba, hasut
sana sini, agar terjadi pertumpahan darah, perang dan perebutan tahta Hastinapura di antara keturunan
para Pandawa sendiri.
Yang paling mudah untuk dihasut terlebih dahulu adalah Raja kerajaan Trajutrisna yang bernama Prabu
Sawarka, ia anak dari Boma Narakasura atau nama lainnya Suteja, dan merupakan cucu dari Kresna.
Selanjutnya adalah Prabu Pancakusuma, ia anak dari Prabu Pancawala yang berarti adalah cucu dari
Puntadewa atau Yudistira atau Prabu Kalimataya itu sendiri. Untuk lebih mengacaukan suasana
menjelang jumenengan Raden Parikesit, Kertiwindu juga akan gawe urup-urup kepada kedua cucu
Arjuna yang bernama Raden Wiratmaka (putera Raden Bambang Irawan dengan Dewi Titisari) yang
berdiam di Pertapaan Yasaratadan Raden Wisantara (putera Raden Wisanggeni dengan Dewi
Kencanaresmi) yang tinggal di pertapaan Cakrawala.
Rencana membuat kekacauan dan menggagalkan wisuda jumenengan Raden Parikesit menjadi Raja di
Hastinapura sudah disusun rencana licik dan jahat,dipersiapkan dengan matang dan segera mereka
berangkat untuk melaksanakan semua rencana gerakan bawah tanah itu.
Pasewakan Agung Kerajaan Hastinapura
Rembug Persiapan Wisuda Jumenengan Nata Raden Parikesit
Hadir di Pasewakan Agung Hastinapura pada waktu itu : Prabu Kalimataya (Puntadewa), Prabu
Baladewa, Prabu Kresna, Raden Werkudara, Raden Arjuna, Raden Nakula dan Sadewa juga hadir Jaya
Sanga atau Sanga-Sanga (anak Setyaki), Sasikirana (anak Gatotkaca), Danurwendo (anak Antareja) dan
Jayasena (anak Antasena).
Mereka semua diundang oleh Prabu Kalimataya (Puntadewa) yang sudah menyatakan diri lengser
kepabron dan akan hidup mandita. Estafet tahta kerajaan Hastinapura selanjutnya sudah ditetapkan
akan diserahkan kepada Raden Parikesit, anak dari Raden Abimanyu dan cucu dari Raden
Janaka/Arjuna. Mereka diundang untuk keperluan persiapan acara Pahargyan Jumenengan Nata Raden
Parikesit menjadi Raja di Kerjaaan Hastinapura yang akan segera diselenggarakan dalam waktu tidak
lama lagi.
Undangan sudah disebarkan, waktu Wisuda Jumenengan Nata juga sudah ditentukan. Tapi sampai saat
ini masih menyisakan beberapa hal yang perlu dipikirkan bersama. Pertama, Raden Parikesit sendiri
sampai dengan saat ini belum mengetahui bahwa ia, oleh Prabu Kalimataya setelah berkonsultasi
dengan para sesepuhdi Hastinapura telah ditetapkan sebagai penggantinya,maka kepada Sri Kresna di
utus untuk menjemput Raden Parikesit di Pertapaan Sapta Argo. Kedua, masih perlu di bahas bersama
siapa yang nantinya akan menjadi warangka (pendamping/patih) dari Raden Parikesit setelah
jumeneng nata di Hastinapura. Ketiga, menjelang acara Wisuda Jumenengan Nata Raden Parikesit
sebagai Raja Hastinapura diharapkan dan diminta semua saling bahu-membahu mempersiapkan acara
tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga pada hari yang sudah ditentukan dapat dilaksanakan dengan
selamat, lancar dan tiada aral sesuatu apapun. Lebih-lebih karena disadari bahwa kesepakatan atau
pengambilan keputusan terhadap Raden Parikesit sebagaiRaja Hastinapura pasti juga belum tentu dapat
diterima semua pihak atau menimbulkan pendapat yang pro maupun kontra. Tapi bahwa keputusan
tersebut telah disepakati tentu karena alasan yang jelas dan masuk akal.
Prabu Kresna menjelaskan : Mengapa estafet Hastinapura setelah Prabu Kalimatayamenghendaki
lengser keprabon tidak jatuh ke cucu Puntadewa sendiri?
Jawabannya adalah karena latar belakang sejarah yang terkait masalah penetapan calon Raja
Hastinapura di masa depan. Yaitu pada saat sebelum perang Bharatayudha ada penetapan dari para
Dewa di kahyangan yang menurunkan Wahyu Keprabon ke bumi. Siapa saja yang dapat menerima
wahyu itu di kemudian hari akan berhak atas tahta bumikerajaan Hastinapura.
Kebetulan Wahyu Keprabon jatuh kepada Raden Abimanyu putra Arjuna. Namun kemudian Abimanyu
gugur dalam perang Bharatayudha karena harus melindungi Puntadewa yang diserang oleh pasukan
Kurawa, maka hak akan tahta untuknya itu beralih ke puteranya, yang kebetulan lahir tepat pada saat
usainya perang Bharatayudha. Karena Raden Parikesit masih bayi, maka untuk sementara tampuk
pimpinan kerajaan Hastinapura dipegang oleh Anak tertua Pandawa, yaitu Puntadewa, hingga nanti
pada saatnya akan diserahkan kepada putra mahkota Raden Parikesit sesudah ia dewasa dan dinilai
sudah siap menjadi Raja di Hastinapura.
Bagi yang sudah mengetahui latarbelakang dan alasan penetapan Raden Parikesit menjadi Raja
Hastinapura menggantikan Prabu Kalimataya, pasti akan maklum dan dengan mudah menyetujui
keputusan tersebut.Persoalan pertama, di serahkan kepada Sri Kresna untuk menuntaskannya. Masalah
kedua, akan dibicarakan di antara para sesepuh saja. Untuk persoalan ketiga, agar jalannya acara
jumenengan nantinya dapat terlaksana sesuai rencana, maka kepada : Jaya Sanga atau Sanga-Sanga
(anak Setyaki), Sasikirana (anak Gatotkaca), Danurwendo (anak Antareja) dan Jayasena (anak Antasena),
mereka ditugasi untuk menjadi telik sandi mengamankan situasi dan kondisi dari segala gangguan dan
bahaya yang dapat menyebabkan gangguan terhadap acara besar dan agung yang akan berlangsung.
Segera mereka keluar dari Pasewakan Agung, melaksanakan dhawuh sebagai tim pengaman dan
penyapu segala gangguan menjelang akan diwisudanya Raden Parikesit penerus WK, sebagai Raja
Hastinapura.
Pasewakan Ageng di Kerajaan Trajutrisno
Prabu Sawarka malik tingal dan membawa pasukan segelar papan untuk menyerang Hastinapura
karena kena kompor/hasutan Kertiwindu
Hari itu diadakan pasewakan agung di bangsal Kerajaan Trajutrisno, telah menghadap Sang Patih
Dirgobahu dan Senopati Tumenggung Surosekti serta para pembesar kerajaan lainnya ke hadapan Raja
Trajutrisno yang bernama Prabu Sawarka, beliau adalah anak dari Raden Sutejo atau Bomanarakasura
dan cucu dari Sri Kresna.Di Pasewakan itu, Prabu Sawarka menyampaikan bahwa beliau mendapat
undangan untuk menghadiri acara Jumenengan/Penobatan Raden Parikesit menjadi Raja di
Hastinapura. Sebagai saudara, maka Sang Raja dengan senang hati akan menghadiri undangan tersebut
dan kepada Patih juga para punggawa kerajaan lainnya, diperintahkan untuk segera mempersiapkan
segala sesuatunya termasuk membawa beraneka ragam ulu bekti (kado, oleh-oleh/buah tangan) untuk
mahargya acara penobatan itu.
Setelah semuanya disiapkan dan rombongan panyengkuyung pahargyan dari Kerajaan Trajutrisno itu
hendak berangkat ke kerajaan Hastinapura, tiba-tiba di depan pintu gerbang istanamereka dihadang
oleh tiga orang yang mengaku warga dari kerajaan Trajutrisno. Mereka bertiga adalah: Kertiwindu,
Danyang Suwela dan Dursasubala. Mereka menanyakan maksud dan tujuan rombongan itu hendak pergi
kemana. Raja Sarwaka sempat marah karena ada tiga orang yang dianggap kurang ajar yang telah
berani menghadang/menghentikan jalannya rombongan itu. Tapi sebelum kemarahan Raja Sawarka
semakin memuncak, Kertiwindu dengan kelicikan dan kepandaiannya bersilat lidah, berhasil meredam
kemarahan Sang Raja.
Kesempatan yang baik itu lantas dimanfaatkan oleh Kertiwindu untuk menebar beberapa fitnah keji
dengan tujuan untuk menyulut emosi Raja Sawarka. Kertiwindu mengatakan bahwa kematian dari ayah
Prabu Sawarka sebenarnya adalah karena dibunuh oleh Prabu Kresna. Semula Prabu Sawarka tidak
percaya karena Prabu Kresna adalah kakek yang selalu dipujanya. Namun Kertiwindu kemudian
membeber cerita masa lalu (flashback), ketika suatu kali ada peristiwa di mana Dewi Hagnyanawati (istri
Prabu Bomanarakasura) serong dengan adik tirinya yang bernama Raden Samba Wisnubrata. Tapi Raden
Samba yang salah malah dibela oleh pamannya Raden Arjuna. Peristiwa itu menyebabkan Raden Suteja
marah lalu menyerang Mandura dan dalam suatu kesempatan berhasil membunuh Raden Samba
dengan cara dicincang atau dijuwing-juwing. Rupanya kematian Raden Samba itu menyebabkan
kemarahan Prabu Kresna, kemudian Raden Suteja pun akhirnya juga dibunuh oleh Prabu Kresna dengan
bantuan Gatutkaca. Maka, jika Prabu Sawarka tidak dapat menuntut balas atas kematian ayahnya
kepada keturunan Kresna, Janaka dan Gatutkaca, ia dikatakan sebagai anak yang tidak tahu diri, bodoh,
pengecut, dan tidak berbakti. Demikian hasutan Kertiwindu yang merupakan anak dari Sengkuni.
Mendengar cerita yang disampaikan Kertiwindu itu, lalu segera berkobarlah amarah dan timbul dendam
yang membara dalam diri Prabu Sawarka. Kepergian mereka yang sedianya akan turut mahargya
penobatan Raden Parikesit menjadi Raja kerajaan Hastinapura berubah arah dan berbalik tujuan
menjadi keinginan utuk menyerang, menggempur dan menghancurkan Hastinapura guna menuntut
balas atas kematian ayahandanya Prabu Bomanarakasura (Suteja), yang mati karena dibunuh oleh
kakeknya sendiri Prabu Kresna di bantu oleh para Pandawa. Seluruh kekuatan pasukan kerajaan
Trajutrisno segera disiap-siagakan dan diberangkatkan untuk menghancurleburkan kerajaan Hastinapura
yang dianggap harus bertanggungjawab atas kematian ayahandanya. Turut dalam rombongan ini dua
orang punakawan, Togog dan Mbilung yang sebenarnya sudah mengetahui kelicikan Kertiwindu yang
sudah mengadu domba antara Trajutrisna dengan Hastinapura dengan cerita karangannya. Berulangkali
mereka berdua memberi nasehat dan memperingatkan kepada Sang Prabu Sarwaka maupun Sang Patih
Dirgobahu bahwa tindakan mereka ini salah. Tapi apa boleh dikata, mereka berdua hanyalah punakawan
dan kawula alit yang tanpa daya.Pergerakan pasukan Trajutrisna yang tanpa tedheng aling-aling
dengan puluhan ribu wadyabalanya, dengan mudah dipantau dan diketahui oleh para telik sandhi
Hastinapura yang bertugas untuk mengamankan Hastinapura dari segala macam ancaman maupun
gangguan yang dapat menghancurkan rencana penobatan/diwisudanya Raden parikesit sebagai Raja
Hastinapura.
Adalah Raden Jayasanga atau Sangasanga, mengetahui ada pasukan segelarpapan yangbergerak hendak
memasuki wilayah kerajaan Hastinapura dan sangat mencurigakan itu, segera menghadang dan
menghentikanmereka semua. Senopati Agung Trajutrisno, Tumenggung Surosekti pun langsung
menghadapi Raden Jayasanga, terjadi pertempuran yang sengit, namun akhirnya Tumenggung Surasekti
dapat dikalahkan oleh Raden Sanga-sanga.Lalu bersama dengan Raden Jayaseno, mereka berua
menghadapi Patih Dirgobahu.Dalam pertempuran inipun Patih Dirgobahu sangat kuwalahan
menghadapi duet maut Jayasanga & Jayaseno dan berhasil ditaklukkan oleh anak dari Raden Setyaki dan
anak Raden Antasena ini.
Di sisi yang lain, akibat firnah dari anak turun Kurawa pula, terjadilah perang tanding yang seimbang dan
sengit antara Prabu Sawarka dengan Raden Danurwendo anak dari Raden Antareja. Ketika meraka
masing saling mengadu kesaktian, segera pergilah Raden Jayasanga ke Istana Hastinapura, melaporkan
semua kejadian itu kepada Prabu Baladewa, bahwa ada musuh yang menyerang kerajaan Hastinapura di
bawah pimpinan Prabu Sarwaka dari kerajaan Trajutrisna. Demi mendengar nama itu, sebagai
uwa/pakdhe dari Prabu Sarwaka, ia pun segera menuju ke medan peperangan dan mencari Prabu
Sawarka.Singkat cerita, lalu terjadi pertempuran antara Prabu Mandura (Baladewa) denga Prabu
Sawarka keponakannya. Karena kesaktian dari Prabu Baladewa walaupun sudah tua renta namun masih
tak tertandingi, maka Prabu Sawarka berhasil dikalahkan, namun tidak dibunuh. Kemudian Prabu
Sawarka dirangket untuk diadili dan dibawake Hastinapura. Pada saat itulah Prabu Kresna juga datang
di tempat itu, namun semuanya sudah terlanjur terjadi. Tahulah Prabu Kresna bahwa kejadian ini adalah
akibat Prabu Sawarka sudah dapat diperdaya oleh cerita fitnah Kertiwindu, Danyang Suwela dan
Dursasubala. Sehingga Prabu Sawarka menjadi marah dan dendam kepada dirinya serta berusaha
menuntut balas kematian ayahandanya Prabu Bomanarakasura kepadanya dan seluruh keturunan
Pandawa. Bersama-sama dengan Prabu Baladewa mereka segera membawa (menawan) Prabu Sawarka
ke Hastinapura.
Di Pertapaan Sapta Argo
Raden Parikesit di jemput Prabu Kresna untuk di nobatkan menjadi Raja Hastinapura.
Siang itu di Pertapaan Sapto Argo, Raden Parikesit sedang sambat dengan ibunya Dewi Utari dan
Kakeknya Panembahan Matswapati. Hadir di situ pula para punakawan : Semar, Gareng, Petruk dan
Bagong. Panembahan Matswapati adalah mantan raja negara Wirata yang dulu bergelar Prabu
Matswapati/Durgandana, beliau adalah ayahanda dari Dewi Utari istri Raden Abimanyu, dengan
demikian beliau adalah besan dari Raden Janaka atau Arjuna.
Raden Parikesit tampak sedih hatinya karena ia banyak dicemooh dan disindir-sindir oleh kawan-
kawannya sepermainannya bahkan ia merasa disingkirkan dari mereka. Malu sekali rasanya saya
ibunda, karena kawan-kawan sepermainan saya juga warga yang tinggal sekitar padepokan ini sering
mengolok-olok saya. Ojo kumpul karo Parikesit amarga deweke iku bocah sukerto. Ora cetho sopo
bapakne ! Sebetulnya siapakah ramandaku, duh ibu? Bukankah aku saat ini sudah cukup dewasa untuk
boleh mengetahui siapakah ayahku karena semenjak kecil sampai dengan saat ini aku belum pernah
bertemu dengan beliau? Apakah aku memang bocah lembu peteng seperti kata banyak orang di sekitar
sini, yang tidak jelas siapa bapaknya?
Sebagai ibu yang amat sangat mengasihi anak satu-satunya, Dewi Utari juga menjadi sangat berduka
mendengar sambat sebut Raden Parikesit yang begitu memelas. Ditahan semampunya agar air mata
yang sudah mengumpul dipelupuk matanya tidak jatuh berderai membasahi pipinya.
Namun sekuat apapun ia adalah wanita yang sangat peka dalam hal rasa, ia juga ibunya, yang
mengandung, melahirkan dan membesarkannya. Dalam segala keterbatasan dan ketidakberdayaannya
sebagai ibu dan seorang wanita, ia mampukan untuk berkata meski dengan terbata-bata : Duh cah
bagus, anakku wong sigit Parikesit. Demikian nelangsanya lelakon hidupmu, anakku. Tidak seperti
kawan-kawanmu yang masih ditunggui dan didampingi oleh bapak dan ibunya, memang engkau sudah
tak punya bapak sejak usiamu masih sembilan bulan dalam kandungan ibumu ini, sehingga sewaktu
engkau lahirpun tiada ayahandamu di sampingmu, nak.
Anakku, cah bagus Parikesit. Kamu bukan anak lembu peteng. Cobalah kau tanyakan kepada
kakekmu dan para punakawan yang mengetahui secara pasti sejarah dan latar belakang hidupmu.
Ayahandamu itu seorang Ksatria anakku. Beliau wafat di medan perang Bharatayudha ketika engkau
masih berusia sembilan bulan dalam kandungan ibumu ini. Nama ayahandamu adalah Raden Abimayu
ya Raden Angkawijaya.
Suasana menjadi hening (flashback)
Yah, di hari ke-13 perang Bharatayudha itulah bisikan takdir untuk Abimanyu datang. Meski sudah
dihalang-halangi sang ibu (Dewi Subadra) dan isterinya Dewi Utari yang tengah hamil tua, namun
sebagai ksatria sejati, Abimanyu tidak goyah untuk menjalani mimpinya. Namun sebenarnya, Abimanyu
juga sudah termakan dusta yang ia lakukan terhadap Dewi Utari bahwa ia belum punya istri dan
bersedia mati tercabik-cabik senjata musuh di perang Bharatayudha jika berbohong.
Sudahlah, semua itu adalah kesalahanku. Aku masih mengingatnya namun aku sengaja untuk
melupakannya karena aku tidak mau langkahku terputus. Semua akan aku lalui dengan langkah pasti
karena memang demikian hakekat kehidupan, begitu kata Abimanyu kepada Dewi Utari.
Di saat adegan yang sangat menyentuh kalbu, antara Abimanyu, Dewi Subadra dan Dewi Utari itu,
datanglah Raden Sumitra memberi tahu Abimanyu bahwa pasukan Pandawa kehilangan senopati
perang mereka, Werkudara dan Arjuna telah berhasil dijebak dua senopati perang Kurawa, Jayadentha
dan Kartamarma untuk berperang di pinggir selatan dan utara padang Kurusetra. Abimanyu mengerti
jika dia harus berhadapan dengan Durna, Karna, Duryudana, Adipati Sindu dan para senopati besar
Kurawa lainnya. Tekadnya sudah bulat menyelamatkan Prabu Puntadewa dari kepungan musuh dan itu
harus dibayar mahal dengan keberaniannya. Gelar papan pasukan Kurawa dengan formasi Cakra Byuha
telah mengepung Abimanyu yang terlepas dari pengawalan prajurit Pandawa dan sendirian menghadapi
kepungan para Prajurit Kurawa. Abimanyu akhirnya gugur dalam formasi Cakra Byuha yang dibuat
pasukan Kurawa.
Ketika mereka yang berada di situ sedang ngungun (suasana haru)dan hening memasuki suasana
pikiran dan hati mereka masing-masing. Tiba-tiba datanglah Prabu Kresna di pertapaan Sapta Argo.
Setelah menghaturkan sembah kepada Panembahan Matswapati dan menyapa Dewi Utari, Raden
Parikesit serta para punakawan. Prabu Kresna menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya ke
pertapaan itu.
Perkenankanlah saya menyampaikan kabar berita ini. Beberapa waktu lalu, Prabu Kalimataya telah
menyatakan diri untuk lengser keprabon sebagai Raja di Hastinapura karena sudah sepuh dan akan
madeg pandita. Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, bahwa sebenarnya yang berhak atas tahta
Hastinapura adalah Raden Abimanyu. Nah, karena Raden Abimanyu telah tiada, kita semua sudah
sepakat bahwa sebagai yang menjadi Raja Hastinapura adalah Raden Parikesit anak dari Raden
Abimanyu. Hanya karena waktu itu ia masih kecil maka untuk sementara putra tertua Pandawa, Raden
Puntadewa yang sementara mengisi tahta yang kosong menjadi raja di Hastinapura lalu bergelar Prabu
Kalimataya. Mengingat bahwa Parikesit dinilai sudah cukup dewasa. Maka, ijinkanlah saya saat ini
mboyong Raden Parikesit untuk saya ajak ke Hastinapura, untuk sinengkakaken jumeneng nata/raja di
kerajaan Hastinapura!
Mendengar kabar gembira itu, semua yang hadir, terutama Dewi Utari merasa sangat bersyukur bahwa
anaknya satu-satunya memperoleh anugerah dari dewata dipercaya untuk menjadi raja di Hastinapura.
Cucuku Parkesit, segeralah minta pangestu dari ibundamu Utari dan kakekmu Panembahan
Matswapati, ajaklah para punakawan bersamamu. Ayo, waktunya sudah cukup mendesak, segeralah
ikut aku ke Hastinapura, kata Prabu Kresna.
Demikianlah, setelah mendapat pangestu dari ibunda dan kakeknya. Prabu Kresna, Raden Parikesit dan
para punakawan segera pamit dari pertapaan Saptoargo berangkat menuju kerajaan Hastinapura.
Cara Kotor Untuk Menghentikan Langkah SP
Di Kadipaten Ngamarta
Prabu Pancakusuma (cucu Puntadewa), berhasil dihasut oleh Kertiwindu untuk minta hak tahta
Hastinapura setelah Kakeknya Prabu Kalimataya lengser kepabron
Sesuai dengan yang sudah direncanakan semenjak awal, aksi obong-obong atau gawe urup-urup oleh
Kertiwindu, Danyang Suwela dan Dursasubala ditujukan ke Kadipaten (kerajaan kecil) Ngamarta yang
dipimpin oleh Raja Prabu Pancakusuma, beliau adalah anak dari Prabu Pancawala. Prabu Pancawala
adalah anak dari Puntadewa atau Yudistira atau Prabu Kalimataya dengan Dewi Drupadi. Prabu
Pancawala lalu menikah dengan sepupunya, puteri dari Arjuna yang bernama Dewi Pregiwati dan
mempunyai anak bernama Pancakusuma. Sedang Dewi Pregiwati itu sendiri adalah adaik dari Dewi
Pregiwa, istri dari Raden Gatotkaca, anak Werkudara.
Setelah berhasil bertemu dengan Prabu Pancakusuma, maka segera Kertiwindu melancarkan
hasutannya, dimulai dari hak waris negeri Hastina yang menurut sejarah dan latar belakang darah/waris
keluarga maka yang paling berhak adalah Prabu Pancakusuma sebagai pewaris tahta Prabu Kalimataya.
Karena ia adalah cucu dari Prabu Kalimataya dan sekaligus cucu dari Raden Janaka. Kalau sampai Raden
Janaka memaksakan kehendaknya agar Raden Parikesit yang menggantikan Prabu Kalimataya itu
menyalahi sejarah dan paugeran kerajaan. Apalagi Raden Parikesit itu nggak ada apa-apanya
dibandingkan dengan Prabu Pancakusuma sehingga tidak kompeten untuk memimpin negara.
Dasar kloning Sengkuni yang sangat licik dan pandai bersilat lidah, singkat cerita, hati cucu Prabu
Yudistira itu terbakar. Dengan pasukan segelar sepapan, dia nglurug ke Hastinapura hendak protes
karena ia merasa lebih berhak dan pantas daripada Raden Parikesit untuk menjadi raja menggantikan
kakeknya Prabu Kalimataya. Melihat mangsanya sudah terbakar hatinya dan segera akan menyerang
Hastinapura, dengan tertawa riang Kertiwindu cs pergi melanjutkan rencananya yang lain.
Di tengah perjalan menuju Hastinapura, pasukan dibawah pimpinan Prabu Pancakusuma itu berjumpa
dengan Raden Arjuna/Janaka. kebetulan sekali aku bertemu denganmu Eyang Arjuna, aku tidak terima
jika saudaraku Raden Parikesit yang akan jumeneng nata di Hastinapura. Meskipun aku dan Parikesit
sama-sama adalah cucumu, namun aku merasa lebih berhak atas tahta Hastinapura, karena aku juga
cucu dari Prabu Kalimataya sedangkan Parikesit bukan cucu Prabu Kalimataya. Eyang Arjuna telah pilih
kasih dan salah jika ikut menyetujui acara penobatan Parikesit menjadi raja Hastinapura.
Dengarlah dengan baik-baik cucuku Pancakusuma. Bukannya kakekmu ini pilih kasih atau mau merebut
hak pewaris Hastinapura dan memberikan kepada Raden Parikesit, adikmu. Namun memang sudah
menjadi ketetapan para dewata maupun alam semesta raya, bahwa yang berhak atas tahta Hastinapura
adalah ia yang kasinungan Wahyu Keprabon. Wahyu Keprabon itu dimiliki oleh pamanmu Abimanyu
dan setelah ia gugur di medan perang Bharatayudha, WK itu lalu dimiliki oleh Raden Parikesit. Namun
karena waktu itu Parikesit masih kecil maka tahta Hastinapura untuk sementara dijalankan oleh Putera
tertua Pandawa, kakekmu Prabu Yudistira. Karena Kakanda Prabu Kalimataya sudah merasa tua dan
dipandang Parikesit sudah cukup dewasa maka tahta Hastinapura dilimpahkan kepada yang berhak yaitu
Raden Parikesit. Atas dasar hal itulah maka Raden Parikesit ditetapkan sebagai pengganti Prabu
Kalimataya untuk menjadi raja di Hastinapura, cucuku Pancakusuma.
Aku tidak percaya dan tidak sependapat dengan apa yang disampaikan kakek Arjuna. Bagaimanpun dari
silsilah dan menurut garis keturunan, aku merasa lebih berhak tinimbang Parikesit. Siapapun yang
menghalangi kemauanku menutut hak atas tahta Hastinapura akan kulawan, tak peduli siapapun dia,
termasuk jika Eyang Arjuna juga akan menghalangiku maka akan aku lawan
Merah padam muka Raden Harjuna mendengar kata-kata cucunya Prabu Pancakusuma yang sangat
tidak sopan dan mau melawan kehendak Sang Hyang Wenang. Singkat cerita, terjadi pertempuran yang
sengit antara Prabu Pancakusuma dengan Prabu Arjuna. Tapi kesaktian dan kemampuan Prabu
Pancakusuma masih sangat jauh dibandingkan dengan kesaktian dari kakeknya Raden Janaka. Dengan
mudah Prabu Pancakusuma dapat ditaklukkan dan pada suatu kesempatan Prabu Pancakusuma mau
dibunuh oleh Raden Arjuna, tiba-tiba muncul Kyai Semar yang mencegah maksud Raden Arjuna itu.
Kakang Semar, mengapa engkau mencegahku menghabisi Pancakusuma, cucuku? Luwih becik aku
kelangan endog siji, putuku Pancakusuma iki tinimbang hamung gawe wirang !
Byiuuuung .. lhadalah, sabar nggih den. Itu semua bukan salah dari Prabu Pancakusuma. Ia hanya
menjadi korban obong-obong yang dilakukan oleh anaknya Sengkuni, si Kertiwindu. Maafkanlah dia
dan ajaklah dia ke Hastinapura dengan baik-baik untuk ikut hadir dalam acara penobatan Raden
Parikesit besok. Saya nanti yang akan menuturkan cerita yang sebenar-benarnya kepada Prabu
Pancakusuma dan meluruskan cerita yang telah dibelokkan oleh Kertiwindu, karena saya adalah
pamomong para Pandawa dan keturunannya sehingga saya lebih akan dipercaya menyampaikannya
kepada Prabu Pancakusuma.
Di Pertapaan Cakrawala & Pertapaan Yasarata
Kertiwindu mengaku dirinya adalah Raden Arjuna di hadapan Raden Wiratmaka dan Raden Wisantara
yang belum pernah berjumpa dengan kakeknya Raden Arjuna
Kertiwindu cs juga melaksanakan apa yang sudah direncanakan mereka yaitu menghasut kedua cucu
Arjuna yang bernama Raden Wiratmaka (putera Raden Bambang Irawan dengan Dewi Titisari) yang
berdiam di Pertapaan Yasarata dan Raden Wisantara (putera Raden Wisanggeni dengan Dewi
Kencanaresmi) yang tinggal di pertapaan Cakrawala.
Pada suatu saat, Raden Wiratmaka menyampaikan maksudnya kepada kedua orangtuanya hendak
melihat acara penobatan Raden Parikesit menjadi Raja di Hastinapura menggantikan Prabu Kalimataya,
ngiras pantes dia ingin mencari kakeknya Raden Arjuna yang belum pernah dijumpainya semenjak lahir
sampai dengan sekarang. Hal serupa juga disampaikan kepada sahabatnya Raden Wisantara bahwa ia
hendak ke Hastinapura melihat acara penobatan sekaligus ingin mencari dan menjumpai kakeknya
Raden Arjuna. Betapa terkejutnya Raden Wisantara ketika Raden Wiratmaka mengatakan bahwa Raden
Arjuna adalah kakeknya, karena berdasarkan cerita kedua orangtuanya, ia juga mempunyai kakek yang
bernama Raden Arjuna. Mengetahui bahwa sebenarnya mereka berdua bukan hanya sekedar sahabat
melainkan juga saudara, maka berpelukanlah mereka berdua dan bersama-sama pergi menuju
Hastinapura.
Di tengah jalan mereka dihadang Kertiwindu. Setelah terjadi pembicaraan di antara mereka bertiga dan
diketahui bahwa mereka hendak ke Hastinapura mencari kakeknya Raden Arjuna, maka dengan cepat
dipeluknya kedua anak itu dan mengatakan bahwa Raden Arjuna yang mereka cari itu sudah berada di
depan mata. Tidak perlu di cari kemana-mana, demikian Kertiwindu mengaku dirinya sebagai Raden
Arjuna. Meski sebenarnya kedua anak itu agak ragu tapi karena memang belum pernah berjumpa
dengan kakeknya dan ada orang yang mengaku-aku kakeknya dan juga mengenal seluruh keluarganya,
maka mereka pun menjadi percaya juga. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Kertiwindu yang mengaku
sebagai Raden Janaka, bahwa ia sampai terlunta-lunta seperti ini karena di usir oleh Raden Parikesit dari
Hastinapura. Maka mereka berdua dimintai tolong untuk membalaskan sakit hatinya kepada Raden
Parikesit.
Segera mereka berdua berangkat menuju ke Hastinapura. Ketika mereka sampai di Hastinapura,
mereka bertemu dengan Raden Janaka. Terjadi perbincangan di antara mereka, ketika di tanya maksud
kedatangannya ke Hastinapura, mereka menjawab akan mencari Prabu Parikesit dan akan membalaskan
sakit hati kakeknya Raden Arjuna yang telah diusir Parikesit dari Hastinapura. Oleh Raden Arjuna mereka
ditanya latarbelakangnya. Setelah tahu bahwa mereka berdua adalah anak dari Bambang Irawan dan
Wisanggeni, maka segera dipeluklah mereka berdua oleh Raden Janaka. Dalam situasi bingung karena
tadi juga berjumpa dengan orang yang mengaku Raden Arjuna, mereka bertanya siapakah yang
sebenarnya kakeknya itu. Tetapi akhirnya mereka mengetahui bahwa kakeknya yang asli adalah orang
yang mereka temui terakhir, sedang yang pertama ditemui tadi adalah gadungan. Sebenarnya kami
sudah ragu dengan orang pertama yang mengaku sebagai kakek tadi, karena menurut cerita kakek itu
tampan, tetapi orang tadi itu tampangnya jelek dan sama sekali tidak tampan . Demikianlah akhirnya
mereka berjumpa dengan kakek aslinya.
Menjelang jumenengan Raden Prikesit, Punakawan Petruk melaporkan bahwa di lereng bukit sana ada
anak turun Sengkuni, Dursasana, Duryudana, Durna bersama Kertiwindu tengah asik jejogetan,
bersukacita melihat negara Hastina dikacau oleh orang-orang yang berhasil dihasutnya. Maka sang
Kakek Baladewa segera menghampirinya. Ditumpaslah anak turun Kurawa yang selalu menjadi biang
kerok kekacauan dan kerusuhan politik.
Setelah para telik sandi dan Tim Pangaman yang bertugas melenyapkan segala gangguan menjelang
akan diwisudanya Raden parikesit sebagai Raja Hastinapura mengetahui siapa biang keladi semua
kekacauan itu, maka segera dicarilah para tokoh penyebab keonaran itu. Tanpa banyak kesulitan maka
Kertiwindu, Danyang suwela dan Dursasubala dapat di temukan. Tanpa ampun segera di tangkap dan
dibinasakanlah mereka bertiga. Kertiwindu mati di tangan Prabu Baladewa, Danyang Suwela berhasi
dibunuh oleh Raden Arjuna dan Dursasubala akhirnya meninggal diinjak-injak oleh Raden Harya
Werkudara.
Semua para pengacau dan biang keladi yang sudah menghasut, obong-obong dan ngompori Prabu
Sarwaka, Prabu Pancakusuma, Raden Wiratmaka dan Raden Wisantara untuk menjegal dan
mengacaukan jumenengan nata Raden Parikesit menjadi raja Hastinapura sudah binasa.
Di Pasewakan Hastinapura
Penobatan Raden Parikesit menjadi Raja Hastinapura dan bergelar PRABU PARIKESIT PARIPURNA
PUNTADEWA
Hari itu di kerajaan Hastinapura telah hadir dan berkumpul para sesepuh dari Pandawa maupun para
tamu undangan dari kerajaan-kerajaan bawahan Hastinapura maupun kerajaan sahabat. Para sesepuh
yang hadir di antaranya : Prabu Baladewa, Prabu Kresna dan seluruh Pandawa lima. Suasana acara
Wisudan Jumeneng Nata (Penobatan) Raden Parikesit menjadi Raja di Hastinapura menggantikan
Eyang Agengnya Prabu Kalimataya digambarkan sangat sakral dan agung. Sesepuh yang ditunjuk untuk
memimpin dan me-legitimasi acara penobatan itu adalah Prabu Baladewa dan Prabu Kresna.
Demikianlah, setelah Prabu Kalimataya/Puntadewa menyatakan lengser keprabon karena sudah sepuh,
Prabu Kalimataya dan adik-adiknya : Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa telah mengambil
keputusan bersama untuk madeg pandito yaitu pergi mengembara untuk mendalami hidup spiritual
sebagai pendeta. Bagi seorang pimpinan tertinggi menyerahkan kekuasaan kepada seseorang dengan
damai dan ikhlas kepada penggantinya diperlukan kualitas sifat kepemimpinan Prabu
kalimataya/Puntadewa yang mempunyai sifat introspeksi yang sangat mendalam terhadap kemampuan
dirinya sendiri dan kepercayaan yang besar pada pihak yang akan menggantikan. Dan Raden Parikesit
sebenarnya telah terpilih untuk menerima tanggung jawab estafet kepemimpinan di Hastinapura itu
semenjak ia belum dilahirkan serta masih dalam kandungan ibunya Dewi Utari.
Semestinya peristiwa suksesi itu berjalan dengan mulus karena jauh sebelumnya sudah terpilih dengan
pasti siapa yang berhak atas kepemimpinan di kerajaan Hastinapura itu selanjutnya, apalagi proses
suksesi itu ditempuh dengan cara damai dan ikhlas. Gangguan-gangguan yang terjadi menjelang suksesi
dapat dilihat sebagai bentuk kewajaran wujud atau ungkapan dari ketidakpuasan atau ketidaksetujuan
seseorang atau kelompok tertentu terhadap sebuah keputusan kenegaraan yang telah ditetapkan pada
waktu itu. Hal itu dapat terjadi manakala mereka kurang atau belum dapat memahami dan mengerti apa
yang yang menjadi landasan, dasar dan pijakan pembuatan keputusan kenegaraan itu. Celah-celah itulah
yang dimanfaatkan oleh segelintir orang dengan sengaja membuat kekacauan, gangguan bahkan kalau
bisa menggagalkan peristiwa suksesi yang semestinya dapat berlangsung dengan damai dan mudah itu.
Namun, tak ada manusia yang bisa melawan takdir. Sudah menjadi kehendak alam semesta dan para
dewata bahwa hukum karma dan hukum tata keseimbangan alam selalu berlangsung tanpa menyisakan
sedikitpun ketidakadilan. Yang harus terjadi musti terjadi.
Hari itu, Raden Parikesit dinobatkan menjadi raja dan pemimpin yang baru di kerajaan Hastinapura.
Disaksikan dan direstui oleh semua yang hadir Raden Parikesit secara resmi dan sah menjadi raja baru di
kerajaan Hastinapura dan bergelar PRABU PARIKESIT PARIPURNA PUNTADEWA. Ditetapkan pula oleh
Prabu Kresna pada saat itu yang akan menjadi warangka/pendamping/patih sang raja adalah : Raden
Danurwendo (anak Antareja) sebagai Patih Luar dan Harya Dwara, cucu dari Prabu Kresna, putera
pasangan Samba dan Dewi Hagnyanawati sebagai Patih Dalam. (THE END)
*Catatan :
Dalam beberapa versi pewayangan gelar Raden Parikesit setelah menjadi Raja Hastinapura adalah
PRABU KRESNADIPAYANA.
Jagad Hastinapura (Nusantara)
Dua penggal lakon wayang Satria Piningit & Pambukaning Gapura menggambarkan dinamika politik
kerajaan Hastinapura (sebut saja Nusantara) dengan fokus cerita pada siapa yang paling berhak duduk
di singgasana kerajaan Hastinapura. Sequel cerita dimulai dari lakon Satria Piningit yang digelar pada
4 Mei 2014, merupakan peristiwa perjalanan WK pada masa sebelum terjadi perang Baratayudha,
kemudian dilanjutkan dengan sequel pasca perang Baratayudha dengan lakon Pambukaning Gapura.
Konflik atas dasar perebutan kekuasaan dan diperankan oleh dua kubu kontrapolitik, yakni antara pihak
antagonis Kurawa Seratus dan protagonis Pandawa Lima. Keduanya masih satu garis keturunan dari
Begawan Abyasa dengan Dewi Ambalika. Namun perang Baratayudha merupakan perang pembersihan,
perang untuk membela hak dan kebenaran sesuai hukum alam, tanpa pandang bulu dan pilih-pilih mana
saudara mana bukan. Nyali dan perasaan dalam kapasitas sebagai saudara dan dalam
tanggungjawabnya sebagai kesatria benar-benar diuji. Masing-masing tokoh diuji komitmennya, diuji
sikap kesatrianya, dites perasaan sebagai saudara dan dari peristiwa itu lahirlah nilai-nilai kebijaksanaan
hidup bagaimana harus bersikap, bertidnak dan menentukan pilihan yang sulit. Kesatria sejati tidak pilih
tanding dan tidak pilih kasih. Karena ia bertindak dengan dasar membela hak dan kebenaran. Sekalipun
saudara jika yang dihadapinya adalah orang yang melanggar hukum alam, keadilan harus ditegakkan.
Perang bukan dengan emosi, tetap dengan nalar sehat, dan dengan segenap peraturan (etika) perang
yang tidak boleh dilanggar.
Dalam lakon perang Baratayudha versi yang orisinil atau belum dicampuri kreatifitas dan improvisasi
masing-masing orang yang men-dalang, di dalamnya mengandung nilai kebijaksanaan hidup yang
adiluhung namun untuk memahami makna tersirat butuh kecermatan batin dan skal pikiran. Bila
dimaknai secara mentah-mentah setiap peristiwa yang terjadi justru akan menimbulkan prasangka
negatif. Perang baratayudha menceritakan bagaimana seseorang harus bersikap bijaksana dan adil,
tegas dan penuh kasih. Di sinilah kita bisa belajar tentang suatu nilai yang sakral, bagaimana sikap welas
asih dan bijaksana benar-benar diuji dalan situasi yang sangat sulit. Dalam perang Baratayudha terdapat
dua nilai yang saling bergesekan, yakni antara tanggungjawab sebagai sesama saudara, dan di sisi lain
adalah tanggungjawab sebagai kesatria. Sekali lagi, lakon perang Baratayudha kaya akan nilai-nilai
kebijaksanaan, kemanusiaan, dan kehidupan manusia secara apa adanya, asalkan kita secara teliti
memahami alur cerita dan cermat mengambil kesimpulan dari alur cerita.
Alur cerita di jagad pakeliran, similar dengan yang terjadi pada jagad politik Nusantara satu decade ini.
Perjalanan Wahyu Keprabon mencari siapa SP sejati, benar-benar wingit namun seru, melalui lika-liku
lakon kehidupan. Sayangnya tidak mudah dicermati dengan mata wadag oleh setiap orang. Semenjak
WK berada di tangan Ibu Tien Soeharto, WK tidak pernah turun kepada siapapun termasuk Habibi,
Gusdur, Mega dan SBY. Dalam perjalanannya WK melewati fase goro-goro dan jaman edan. Yang
ditandai dengan berbagai fenomena alam. Bumi gonjang-ganjing. Jalanidi warih lir kinebur-kebur
kinoclak-koclak. Langit kelap-kelip, cleret taun, udan barat, kilat thathit, bledek mangampar-ampar. Fase
jaman-edan, dikombinasi dengan wolak-waliking jaman (zaman serba terbalik). Keadaan ini yang
memotifasi Pandawa Lima yang menyamar dengan merubah ujud dan penampilannya untuk mencari
jawaban di manakah gerangan WK berada. Dipimpin oleh Prabu Rengganisura (Raden Werkudara)
takon ing ngendi dununge wahyu keprabon, lan sapa sejatine satria piningit kang kesinungan wahyu
keprabon?. Sebab raja yang duduk di tahta kerajaan saat ini raja tanpa WK adalah raja palsu, raja yang
tidak direstui oleh sang Jagadnata dan para leluhur agung bumiputra Nusantara. Raja yang tidak akan
menciptakan kemakmuran, ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebaliknya
negara akan mengalami kebangkrutan, karena begitu banyak bromocorah yang menjadi pejabat dan
mentarget merampok aset negara. Bencana, musibah, wabah penyakit, pagebluk, terjadi silih berganti
melanda seluruh wilayah negeri. Paceklik, mahal papan, sandang dan pangan, pelanggaran hukum
berupa tindak criminal, terror, melanda seantero jagad pakeliran Nusantara. Nasib rakyat kadya gabah
den interi. Tatanan lan paugeran rusak, margo akeh setan riwa-riwa pindha manungsa anggowo
agama.
Usaha Prabu Rengganisuradan bala tentaranya tidaklah sia-sia. Saat itu mulai menampakkan hasilnya.
Akhirnya dapat diketahuilah siapa sesungguhnya yang kesinungan WK, ialah orang yang telah banyak
berjasa dan berkarya untuk Nusantara, jujur, adil, lilo-legowo, tegas, berwibawa, serta selalu berbakti
kepada para leluhur bumiputra bangsa, sehingga ia mendapatkan restu para leluhur dan Roh Jagad
Agung untuk menyelamatkan Nusantara.
Sang Satria Piningit
Dalam jagad pakeliran, menggambarkan jalan berliku Raden Parikesit yang kesinungan WK, hingga
jumeneng ratu di Hastinapura. Raden Parikesit paling tidak mengalami 3 kali kendala besar, tantangan
dan hambatan yang berat, bahkan sampai bertaruh nyawa hingga pada saatnya jumeneng nata di
kerajaan Hastinapura. Hubungannya denga realitas politik tanah air saat ini benar-benar klop. Di mana
sang Satria Piningit sejati putra Nusantara hanya fokus giat bekerja dan berkarya dalam scope besar,
mengabdikan sisa hidupnya untuk nusa dan bangsa. Meskipun sudah sedemikian besar jasanya untuk
NKRI, ia seringkali difitnah, ditipu, diperdaya oleh kelompok Kurawa dan keturunannya. Walaupun
sadar SP jika dirinya ditipu tetapi ia menerapkan ngelmu sebagai satria utama (satriatama) Tanah Jawa
(nusantara), yang harus memiliki hati seluas samudra, sugih ati, sugih ngelmu, sugih bandha, sugih
kuwasa. Baginya, ditipu para durjana tidak akan membuatnya sengsara dan melarat. Sebaliknya, para
durjana itu akan menjadi batu loncatan menuju tataran kemuliaan yang lebih tinggi. SP sejati Tidak
sakit hati bila dihina, tidak sedih jika kehilangan, dan tetap tersenyum dalam keadaan duka-lara. Itulah
alasan kenapa SP sejati dikatakan bagaikan manusia setengah dewa.
Hiruk-pikuk eskalasi makro politik menjelang suksesi kepemimpinan Nasional diwarnai dengan
persaingan memperebutkan kekuasaan. Meskipun demikian justru situasi dan kondisi ini, membuat sang
SP sejati harus menghentikan langkahnya sendiri untuk sementara waktu. SP sejati tidak ikut campur di
dalam hiruk-pikuk politik itu. SP sejati menunda langkahnya dari panggung politik Nasional hanya untuk
sementara waktu saja. Karena SP sejati sadar saat ini bukan timing untuk tampil di hadapan rakyat
Nusantara. Saat ini alam masih akan melangsungkan pembersihan bumi Nusantara dari segala yang
kotor. Sinengkalan Sapta tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad siklusnya masih berlanjut.
Semua kotoran yang tersembunyi di dalam kolong akan keluar dengan sendirinya, dan sebagian yang
lain akan dikeluarkan secara paksa oleh kekuatan alam. Suksesi bagaikan umpan agar sasaran
pembersihan alam keluar dari sarangnya. Sementara bagi yang tidak merasa kotor tidak perlu khawatir
karena hukum alam tidak pernah menyisakan sedikitpun ketidakadilan. Panggung politik nasional akan
menjadi arena akrobat maut para politisi, sebelum kekuatan hukum alam melakukan pembersihan.
Setelah itu SP akan tampil pada timing yang tepat untuk memimpin tindakan penyelamatan Nusantara
bersama sebagian besar rakyat Indonesia. SP sejati tidak akan menggunakan kekuatannya sekedar untuk
segera tampil di kancah politik pada saat ini. Sebaliknya SP sejati tetap melakukan tapa ngeli,
menyerahkan dinamika politik kepada hukum tata keseimbangan alam yang saat ini akan segera
menuntaskan segala yang kotor, terutama ulah anak-keturunan tokoh-tokoh kurawa yang sedang
mengguncang panggung sandiwara politik Nasional saat ini.
Siapa SP Sejati ?
Siapa SP sejati, ia akan tampil di depan publik pada waktu yang tepat. Sembari menunggu kekuatan alam
usai melakukan pembersihan. Setelah itu SP sejati keluar dari tempat pengasingannya. Perlu saya
garisbawahi, bahwa SP sejati tidak berada di dalam komposisi capres-cawapres saat ini. Namun
demikian tidak ada larangan bagi siapapun, boleh-boleh saja orang menganggap, menilai, mengira
dengan penuh yakin, di antara capres-cawapres yang ada saat ini adalah SP. Monggo, tetapi fakta
noumena-nya tidak lah demikian !
Seperti yang disampaikan oleh Ki Juru Martani, ahli strategi dan penasehat politik Kanjeng Panembahan
Senopati Mataram. Bahwa Satria Piningit saat ini walau belum tampil di panggung politik, tetapi bukan
berarti SP kalah. Jika SP kalah bukanlah ia pribadi yang kalah, itu artinya Nusantara yang kalah melawan
para durjana perusak bangsa. SP sejati tidak hanya merupakan figur seseorang, namun ia
merepresentasikan sistem, atau tatanan di Nusantara yang sedang dan akan terjadi di waktu yang akan
datang. Sampai saat ini WK yang berujud sinar kuning keemasan tetap berada menyelimuti wajah dan
cakra mahkota sang SP sejati, yakni Raden Parikesit dari timur. Bagi para ancesters sebagai kekuatan
supernatural power, bukanlah pekerjaan sulit membuang para durjana di Nusantara ini. Tetapi leluhur
sebagai kekuatan supernatural power sudah mengetahui sebagian besar rahasia kehidupan ini. Tetapi
mereka tidak akan menuruti kehendak sendiri dan tergesa-gesa, sebaliknya tindakan para super natural
power sangat bijaksana dan patuh dengan hukum tata keseimbangan alam. Karena pemaksaan
kehendak akan membawa konsekuensi minus juga, atau tebusan. Dan akan mepengaruhi kualitas
berkah yang akan diperoleh rakyat Nusantara.
Para keturunan / sisa-sisa generasi penerus Kurawa boleh-boleh saja merasa sudah berhasil
memenangkan pertarungan. Biarkan para keturunan Kurawa memuaskan hatinya dengan jejogetan
menari di atas lereng bukit sana. Tapi jika berlebihan bisa-bisa nanti mati konyol dihajar Eyang Baladewa
atau hidup sulit karena digilas nasib buruk. Anak turun kurawa yang kelakuannya antagonis, atau
bertentangan, tidak selaras dan tidak harmonis dengan hukum tata keseimbangan alam, musti
menyadari bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang pribadi SP melainkan kekuatan alam yang sedang
menjalankan pembersihan Nusantara dari segala yang kotor dan merusak bangsa. Secara akal sehat dan
logika mungkinkah pihak kurawa akan berhasil menggulung kerajaan Hastina Nusantara di dalam
fase Tinarbukaning Gerbang untuk Kejayaan Nusantara ini ?
Dengan alasan apapun, kekuatan supernatural power tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dinamika
hukum tata keseimbangan alam yang begitu dahsyat juga tidak bisa dilawan. Apa yang terjadi saat ini
hanyalah masa di mana kekuatan alam hendak menghabiskan yang kotor. Sebab Nusantara harus relatif
bersih pada saat SP sejati tiba saatnya menjalankan tugas untuk membuka gerbang bagi kejayaan
Nusantara. SP sejati juga tidak boleh dicampur dengan SP palsu dan orang-orang yang dinilai tidak
selaras dengan hukum alam. SP tidak kalah! Hanya menunggu waktu saja.
Sasmita Gaib
Di pasarean Agung Imogiri terdapat dua gentong (tempayan air) pusaka dengan ukuran besar, namanya
Kyai Megamendung dan Kyai Ngerum. Dua gentong itu menjadi kaca-benggala, terutama saat menjelang
suksesi kepemimpinan Nasional. Kedua gentong itu bisa untuk mengetahui siapa sosok yang bakal
menjadi presiden dan wakilnya. Sosok yang akan tampil sebagai pemenang pilpres, wajahnya akan
muncul di permukaan air gentong pusaka itu. Sudah 5 tahun terakhir ini Kyai Megamendung
memunculkan wajah SP sejati. Tetapi selama itu pula wajah pasangannya tidak kunjung muncul juga.
Dahulu PS diharapkan dapat menggenapi laku untuk menebus segala dosa politik agar kuat lahir
batinnya menjadi tandem bagi sang SP sejati pemegang WK. Tetapi rupanya hal itu tidak bisa
dimanfaatkan dengan baik sampai detik-detik terakhir. Maka kesempatan itu telah tertutup. Berhasil
nyapres bukanlah indicator derajat kamulyan dan kesuksesan hidup. Apalagi tolok ukur dirinya sebagai
SP. Tidak kawan!
Serba Kuwalik
Dalam gentong pusaka, wajah yang muncul tetap SP sejati. Tetapi sejak 1 bulan sebelum pendaftaran
capres-cawapres ditutup di dalam gentong pusaka satunya malah muncul gambar PS membawa cangkul
sementara Jkw membawa bedil. Para pembaca yang budiman pun, bebas untuk mengartikannya. Jika
diwedar gambar itu menjadi perlambang masing-masing pihak telah salah pilih dan salah langkah. Bisa
jadi salah pilih pasangan cawapres, atau salah langkah dalam mengambil tindakan politik. Realitas politik
saat ini potensial membuat bingung rakyat. Di satu sisi, pasangan PS-H dan Jkw-JK keduanya memiliki
nilai plus. Tapi masing-masing memiliki beberapa kartu mati. Pasangannya bukan memperkuat
integritas sebagai capres-cawapres, sebaliknya malah melemahkan dan membuat ganjalan di hati
rakyat yang akan memilihnya. Belum lagi jika bicara soal kekurangannya. Dalam perebutan kekuasan
pun semakin hari diwarnai kompetisi tidak sehat. Saya melihat ada kecenderungan, pasangan capres-
cawapres bukan berfokus pada upaya meraih dukungan rakyat untuk mengalahkan rivalnya. Tetapi
membongkar kartu mati yang dimiliki oleh rival politik. Kecenderungan itu tidak terlepas dari masalah
pribadi yang ada di antara kedua rival pasangan itu.
Kawin Paksa
Wajah SP sejati yang muncul di gentong pusaka Kyai Megamendung, bukanlah salah satu atau dua, di
antara ke empat figur capres-cawapres saat ini yang sudah mendaftar resmi di KPU. Sementara itu
gambar PS membawa cangkul dan Jkw membawa senapan memang tidak lazim. Lazimnya PS
membawa senapan, dan Jkw membawa cangkul. Jkw memiliki kekuatan yakni pada sisi innocent-nya.
Beliau mirip bayi lahir belum punya dosa politik. Tetapi bayi yang baru lahir tanpa dosa juga belum
berprestasi untuk nusa dan bangsanya. Sementara itu, Nusantara tidak cukup dipimpin oleh orang yang
jujur dan bersih. Lebih dari itu butuh Negarawan sejati yang sudah membuktikan diri mampu berdiri di
atas semua golongan dan kelompok kepentingan. Negarawan sejati memiliki sikap nasionalisme dan
patriotisme yang sudah teruji. Mandiri, cakap, tegas, berwibawa, dan memiliki integritas yang tinggi,
teguh memegang prinsip visi misi kebangsaan, dan sukses dalam menjalankan tugasnya menegakkan
keadilan, keamanan dan ketentraman bagi rakyatnya. Dahulu mungkin rakyat memandang syarat-syarat
itu ada dalam diri PS. Tetapi semua gejala itu sekarang rasanya telah pudar. Gaya bicara PS berupa kata-
kata keras dan lantang namun tindakannya belum selaras dengan gaya bicaranya. Hal ini tampak pada
saat para mempelai capres-cawapres yang ada selalu berubah-ubah sikap menjelang ditutupnya
pendaftaran oleh KPU, bahkan dalam sehari bisa 3 kali berubah sikap politik secara kontradiktif. Itu
terjadi pula di kubu Jkw, Arb, Hatta dll sungguh mengesankan sikap plin-plan, mengesankan tidak ada
rencana matang yang jauh-jauh hari sudah disusun. Isuk kedelai, sore tempe. Malam ke utara, pagi ke
selatan, siang ke timur. Mbingungi mencari-cari posisi dan biyayakan mencari jodoh. Bagaikan perawan
tua yang belum punya calon pasangan, tapi dipaksa harus segera menikah, karena hari resepsi
pernikahan sudah dijadwalkan, dan undangan juga sudah terlanjur disebar. Tetapi celakanya, calon
mempelai yang akan mengawini belum ketemu juga. Karena orang yang mau kawin berarti harus ada
pasangan, dan dalam waktu singkat semua harus menemukan pasangan hidup. Akhir cerita, pasangan
dapat ditemukan dengan mudah tetapi dengan menanggalkan segala kriteria yang esensial yang penting
segera punya pasangan untuk dikawini pada hari H. Asal ketemu jodoh karena mereka diburu deadline
hari H perkawinan. Sementara dalam mencari jodoh mereka melakukan persaingan tidak sehat, jegal
menjegal dan banyak yang kecewa. Kemarin dilamar, paginya dibatalkan. Kemarin malam loyang pada
sore harinya besi. Dulu ditolak dan dibenci sekarang dicintai. Besoknya menghianati. Lantas balik lagi
ke pacar lama, ternyata sudah menjanda, akhirnya cari saja di pasar bubrah yang penting banyak
kerumunan hantu. Pihak yang kecewa memilih melakukan tindakan pengecut. Sampai-sampai rela hati
gantian membela orang yang sebelumnya dimusuhinya. Mirip dengan siasat yang dipake para
pecundang pribumi dengan memihak kepada penjajah Belanda di masa lalu. Al hasil, sobat karib jadi
musuh, musuh jadi sobat karib. Begitulah faktanya, dalam politik tidak ada yang namanya musuh
maupun kawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati.
Drama sebabak ini ditutup dengan kisah tragis, pada akhirnya walau para mempelai capres-cawapres itu
menemukan pasangannya, tapi pasangan itu bukan lah jodoh. Hanya sekedar pasangan yang didapat
saat perasaan terburu-buru yang penting bisa kawin di hari yang sudah ditentukan. Begitulah akibatnya
jika para politisi asik bermimpi mendadak jadi negarawan sejati. Apakah rakyat Indonesia layak berharap
angin kebahagiaan dari mempelai macam itu? Terlebih lagi syarat-syarat mendasar untuk menikah
sudah tidak dihiraukan lagi. Semoga saja masih ada secercah harapan mentari akan bersinar, walau
mendung tebal tampak menggelayut di depan sana, di langit Nusantara. Kita sementara menjadi
penonton kedua pasang mempelai saat ini semakin sengit bersaing, semoga tidak didasari rasa dendam
pribadi kedua kubu. Agar rakyat Indonesia yang tak berdosa tidak ikut terkena dampak pembersihan
alam. Kita rakyat Indonesia masih harus lebih bersikap eling dan waspada.
Fenomena pembersihan yang dilakukan oleh kekuatan alam bukanlah bencana melainkan dinamika
alam yang wajar. Semua terjadi demi memperbaiki sistem tata keseimbangan alam yang telah goyah.
Manfaatnya demi kehidupan seluruh makhluk yang lebih baik di hari esok. Tetapi fenomena alam itu
bisa berubah menjadi malapetaka bagi siapapun yang melawannya, dan bagi yang tidak waspada.
Mencangkul bukanlah bencana, tetapi berguna untuk menyuburkan tanah. Sebaliknya mencangkul bisa
berubah menjadi malapetaka jika kita tidak waspada dan berada dekat-dekat orang yang mencangkul.
Bangunlah rakyat Indonesia..!
Cermat dan Cerdas Melihat Permainan
Saya pribadi memandang, saat ini bukanlah saat perang Baratayudha. Karena perang itu sudah usai dan
saat ini merupakan fase pasca perang Baratayudha. Al kisah, sang Duryudana sudah gugur di medan
perang. Partainya sudah kalah dan gagal berkoalisi dengan parpol manapun. Gegap gempita konvensi
capres yang digadang-gadang bakal melahirkan capres hebat pun hasilnya nihil. Para punggawanya
banyak yang diringkus karena terjerat kasus besar. Tetapi segala upaya tetap dilakukan untuk
menggagalkan Raden Parikesit jumeneng ratu di Hastinapura. Apalagi jika Raden Parikesit
berpasangan dengan PS. Pasangan itu sangat ditakuti pihak Duryudana dan penerusnya. Segala upaya
dilakukan untuk menceraikan PS dengan Raden Parikesit yang sempat hampir berjodoh. Tetapi
gagalnya PS menggenapi laku, hal itu sudah merupakan keuntungan tersendiri bagi penerus
Duryudana dan kerugian besar di pihak PS.
Bila Nusantara berada di bawah kepemimpinan Raden Parikesit yang merupakan tokoh bersih, jujur
dan tegas apalagi urat-syaraf takutnya sudah tidak difungsikan lagi. Maka jumenengan Raden
Parikesit menjadi raja di Nusantara sangat menciutkan nyali para generasi penerus Kurawa, karena
kasus-kasus besar akan diungkap dan diadilinya. Termasuk akan membongkar habis PT Freeport dengan
antek-antek pejabat Indonesia. Tidak main-main karena persiapan amunisinya benar-benar matang.
Sebagai kesatria utama, tak ada yang ditakutinya demi menegakkan keadilan Hastinapura. Karakter
Raden Parikesit yang sangat mencintai negara dan rakyatnya, sangat sulit ditaklukkan oleh kekuatan
asing, ia tidak mau dijadikan boneka permainan oleh negara-negara asing yang akan memperdaya NKRI.
Sehingga pantas digambarkan pada saat itu kegigihan Duryudana dan penerusnya untuk mencerai-
beraikan PS dengan Raden Parikesit bagaikan api dendam yang keluar dari kawah kejahatan, maka
kedekatan PS dengan Raden Parikesit harus dihancurkan, dan PS harus direbut. Mirip pula dengan
lakon Hanoman Obong, yang menceritakan Dewi Shinta direnggut oleh Rahwana. Seperti yang sering
disampaikan para leluhur agung, jika tidak bersama SP sejati, maka PS akan mati-kutu dan tidak akan
menjadi baik. Dan pada saat ini dengan melihat pasukan ekstrim yang berada di belakang PS memang
membuat harapan semakin tipis. Keblate kuwalik, wus kakeyan madhep ngulon. Padahal dinamika
hukum alam sedang mengarahkan wajahnya ke timur. Itu artinya tanpa disadarinya ia sedang melawan
dinamika kekuatan alam yang sedang berlangsung. Monggo jika merasa kuat.
Tinarbukaning Gerbang Kejayaan Nusantara Adalah Kepastian
Begitu SP sejati Raden Parikesit usai dinobatkan sebagai raja di kerajaan Hastinapura, Ki Dalang
Panjangmas paring sabda-pandita ratu, mengucapkan kalimat,wiwit esuk iki, Nuswantara bakal ayom
ayem tentrem, gemah ripah loh jinawi sak teruse !.
DSC_1822
Sedikit flashback. Meskipun Kurawa telah kalah, tetapi dengan sisa-sisa kekuatannya masih berusaha
dengan segala cara untuk menggagalkan Raden Parikesit menjadi raja di kerajaan Hastinapura.
Disodorkanlah tokoh-tokoh yang masih berpihak kepada trah Kurawa agar menjadi raja di kerajaan
Hastinapura, dengan harapan kasus-kasus besar yang melanda pemerintah RI bisa terbang kebawa
angin seiring pergantian musim kepemimpinan nasional. Tetapi babak pertarungan baru saat ini sedang
dimulai antara keturunan Pendawa yang berada di belakang Raden Parikesit dengan keturunan
Kurawa yang dikomando oleh Kertiwindu. Antara kesatria-kesatria utama generasi bangsa yang
benar-benar paham dan sadar duduk persoalan kebangsaan saat ini, vis a vis semua pihak yang sengaja
maupun tidak sadar tindakan politiknya membawa Nusantara pada keadaan semakin terpuruk.
Melihat ending lakon SPPG, setelah kerajaan Hastinapura mengalami sedikit kekacauan di tingkat elit
politik karena sudah kehendak Sang Hyang Jagadnata pada akhirnya sang Satria Piningit sejati yang
tidak lain Raden Parikesit berhasil jumeneng raja di kerajaan Hastinapura. Setelah upaya Kertiwindu
dan kroninya digilas oleh kekuatan alam dan para sesepuh kerajaan Hastinapura turun tangan
membantu menyelamatkan kerajaan Hastinapura. Raden Parikesit menjadi raja, melalui cara yang
bersih, dan direstui oleh para sesepuh Hastinapura, serta didukung oleh kekuatan alam. Kertiwindu dan
para keturunan Kurawa telah kalah, tak berkutik dan tampilnya Raden Parikesit , ia diterima oleh semua
pihak. Pihak Kurawa yang tidak terkontaminasi hasutan Kertiwindu pun menerimanya. Pandawa dan
Kurawa bersatu lagi sebagai saudara. Kurawa sadar akan kekeliruannya selama ini dan selanjutnya
mereka menjadi orang baik dan bijaksana sebagai bentuk laku karmayoga atau penebus kesalahan yang
dilakukan oleh para pendahulunya.
Sekali lagi, sang SP Raden Parikesit bukanlah yang saat ini tiap hari kita tonton di media televisi. SP
sejati justru dalam masa tenang, untuk menghormati sekaligus menyelaraskan diri dan berharmonisasi
dengan hukum tata keseimbangan alam sebelum datang hari H untuk menjalankan tugasnya. SP
memahami kapan ia harus turun tangan tampil sebagai pusering adil, menciptakan ketentraman dan
diterima oleh pihak yang bertikai. Tampilnya SP membuka gerbang untuk kejayaan Nusantara
sekaligus merupakan sebuah momentum sumingkir-nya angkara-murka dari Nusantara. Dan pada
akhirnya kekuatan alam lah yang menjalankan tugas untuk membersihkannya. Tinarbukaning gerbang
kejayaan nusantara, bukan utopia, dan bukan latah. Itu ada dan nyata.
Kita tunggu saja datangnya momentum yang dinanti rakyat Indonesia itu. Walau datangnya momentum
bahagia itu Nusantara masih harus melewati saat-saat kelam dalam bayang-bayang raja palsu. Namun
gangguan keturunan Kurawa itu tidak akan berlangsung lama sebab jika diuthak-athik dengan sudut
pandang manapun tidak akan gathuk. Segenap fakta dan tanda-tanda alam, menjadi data penguat
bahwa saat ini memasuki fase tinarbukaning gerbang kejayaan nuswantara, bertepatan pula dengan
siklus tahun moncer. Fase ini bukanlah suro duroko, bukan pula fase kolobendu, melainkan fase moncer
dan turunnya wahyu dyatmika atau anugrah agung kehidupan untuk Nusantara. Jadi bukan merupakan
momentum kemenangan keturunan maupun kepanjangan tangan Kurawa, namun justru sebaliknya
masa penghabisan generasi Kurawa. Dalam fase ini kekuatan alam tidak akan mengijinkan kerajaan
Hastinapura dipimpin oleh orang yang tidak kesinungan WK. idak akan Tetapi realitas di lapangan saat
ini seolah negara akan dipimpin Nusantara sedang dijadikan bancakan kekuatan asing, dan diporak-
porandakan oleh londo iket-iketan, WNI yang menjadi penjajah bagi bangsanya sendiri. Meskipun
demikian suram situasi dan kondisi Nusantara, bukan berarti rakyat hanya diam berpangku tangan. Lihat
saja, akan ada kekuatan besar yang akan membersihkan semua yang mengotori Nusantara. Awake dewe
trimo, sing momong ora trimo. Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti. Jaya-jaya wijayanti ing
sakabehing titah gesang.

Berguru Kepada Alam Semesta
JAN 31
Posted by SABD
LAUNCHING BUKU EPISODE 1

Angkringan For The Soul
Tentang pengalaman spiritual, dan penjelajahan sukma sejati mengarungi luasnya samudra ilmu yang
meliputi jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos). Dikemas dalam obrolan inspiratif a
la kedai angkringan Jogjakarta
Prakata

Berguru Kepada Alam Semesta

cover buku ki sabdalangitPara pembaca yang budiman, sedulur semua di manapun berada, apapun
suku, bangsa, ras, golongan, kepentingan politik, dan agamanya. Bukan maksud hendak menggurui
karena saya tak pernah bercita-cita menjadi guru. Justru karena saya merasa selalu ingin menjadi murid
dan kenyataannya sampai sekarang saya tetaplah murid yang selalu berguru kepada alam semesta dan
segala isinya. Saya merasa mendapat keuntungan luarbiasa ketika sedang menjadi murid, namun
bukannya saya pribadi mau golek butuhe dewe lantas enggan berbagi pengalaman. Biarpun begitu kalau
saya dipaksa oleh keadaan untuk menjadi guru ya enggak apalah. Maksud penerbitan buku ini sekedar
untuk berbagi pengalaman hidup dan saya gunakan sebagai sarana mensukuri berkah dan anugrah alam
semesta, Tuhan, God, Gusti, Sang Hyang Widhi, Allah, Alloh, Brahman, Dei, Sang Jagadnata yang telah
saya alami, saksikan, dan dapatkan selama diberi kesempatan untuk singgah di planet bumi ini.
Terutama kepada para pembaca yang tidak dapat menjangkau internet. Saya sadari bersukur hanya
menggunakan lisan saja tak ubahnya lips service, sekedar ngomong doang sangat tidak cukup dan tidak
sebanding dengan berkah dan anugrah Tuhan yang telah saya dapatkan selama ini.

Jika Anda bertanya siapa gerangan guru saya ?


Nah, guru saya sesungguhnya bukanlah mahluk yang teristimewa, bukan pula mursyid, bukan pula ahli
dakwah, ahli politik, ahli hukum, ahli ekonomi, dan ahli-ahli yang lain. Saya tidak membatasi kepada
mereka semua, bahkan saya menyatakan diri sebagai murid dari ragam bangsa binatang yang ada di
planet bumi ini. Saya juga murid dari ragam tetumbuhan yang ada di sekitar kita maupun di hutan
belantara sana. Penulis menilai bangsa-bangsa itu sebagai guru yang polos apa adanya, tak pernah
berpamrih, dan mereka bangsa paling jujur di planet bumi. Tak luput pula, saya banyak belajar dari
kehidupan bangsa lelembut, ragam titah gaib sama-sama mahluk hidup penghuni jagad raya. Namun
saya juga tak akan sungkan untuk berguru kepada para pembaca di sini, kepada kawan, sahabat, handai
taulan, keluarga, orang-orang terdekat, bahkan berguru kepada orang yang sekiranya membenci saya.

Saya menyadari, sikap gengsi menjadi murid, dan bangga menjadi guru, hanya membuat
perkembangan ilmu pengetahuan mengalami stagnasi, karena tanpa disadari sudah merasa nyaman
berada di dalam penjara kebodohan. Lebih baik sibuk menjadi murid di sana-sini daripada sibuk
menggurui siapa saja di mana-mana. Seorang murid wajar bila dianggap bodoh, lain halnya jika seorang
guru. Saya tetap enjoy berguru kepada seseorang sekalipun oleh orang lain dinilai bodoh. Bukankah
setiap diri kita memiliki pengalaman hidup yang berbeda dan beragam..?! Perbedaan dan keragaman
pengalaman hidup masing-masing orang justru dapat menjadi guru yang baik bagi orang lain. Apakah
sesungguhnya arti belajar ? Bagi saya pribadi, belajar pada prinsipnya merupakan transformasi informasi
mengenai fakta kehidupan yang berbeda dari apa yang telah kita ketahui sebelumnya. Jika mau belajar,
belajarlah kepada heterogentitas fakta kehidupan supaya kita menyadari segala sesuatu yang ada di luar
diri. Belajar pada homogentitas dan informasi yang telah kita peroleh sebelumnya sama halnya sekedar
kegiatan menghafal. Belajar hidup bukanlah sekedar menghapal lalu mengucap secara repetitif
hapalannya, melainkan setiap saat mencari informasi kehidupan yang belum kita ketahui untuk
kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Itu baru disebut manusia Jawa : jiwa kang
kajawa atau Jawi : jiwa kang kajawi. Yakni mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari apa yang
telah dipahami.

Alam semesta ini menjadi indah manakala kita saksikan adanya kebersamaan di atas keberagaman di
antara mahluk penghuninya. Homogentitas hanyalah merupakan bagian yang melengkapi heterogenitas
jagad semesta. Dengan kata lain homogenitas adalah unsur dasar yang membentuk keberagaman atau
heterogenitas. Dan di atas keberagaman terdapatlah nilai yang bersifat universal. Jadi siapapun yang
mengingkari dan menolak keberagaman serta perbedaan, sungguh ia telah melawan kodrat atau hukum
alam. Kesadaran seperti ini haruslah kita tanamkan jauh di dalam mindset kita. Dengan adanya
kesadaran akan prinsip-prinsip hidup di atas dapat membawa kita untuk menghindari sikap 3G yakni
sikap golek menange dewe, golek butuhe dewe, dan golek benere dewe. Konotasi 3G sebagai gambaran
nyata pola pikir dan pola perilaku hidup yang jahiliah, menolak kebenaran faktual. Perlu digarisbawahi,
bahwa sikap tidak soleha lebih tepatnya adalah sikap yang tak selaras dan harmonis dengan hukum
keseimbangan alam.

Suradira Jayaningrat, lebur dening pangastuti
Rahayu Sagung Dumadi
Sabdalangit

Telah terbit buku Angkingan for the soul buku episode pertama Ki Sabdalangit dengan judul
Menjemput Keajaiban. Episode pertama ini merupakan kumpulan beberapa tulisan Ki Sabdalangit yang
diambil dari blog yang dikelolanya kemudian beberapa tulisan yang senada dikelompokkan ke dalam
satu tema. Jika dibandingkan dengan posting yang terdapat di blog tentu saja isi buku banyak perbedaan
karena terdapat banyak tambahan pada artikel dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sedulur
pembaca blog. Selain itu banyak pula tambahan-tambahan berupa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang selama ini belum sempat dijawab oleh penulis. Di dalam setiap karyanya, penulis berusaha
membumikan bahasa agar lebih mudah dipahami oleh berbagai lapisan sosial masyarakat. Pembaca
dapat menikmati tulisan yang terasa mengalir menuntun suatu kesadaran pada level yang lebih tinggi
lagi. Sayang sekali jika melewatkan buku Menjemput Keajaiban, karena di dalamnya terdapat hal-hal
baru yang mengungkap misteri hidup dan kehidupan, yang mungkin sangat berbeda dengan mindset
orang pada umumnya.

Lakon Lanjutan : Pambukaning Gapura
MEI 15
Posted by SABD
Lakon Lanjutan : Pambukaning Gapura
Satria Piningit

Sebelum kami memaparkan sedikit sinopsis tentang pagelaran kulit dengan lakon Pambukaning Gapura
pada 18 Mei nanti, tulisan ini kami awali dengan review pagelaran wayang kulit dengan lakon Satria
Piningit, yang telah berlangsung pada 4 Mei lalu.

Lakon : PAMBUKANING GAPURA
Dhalang : Ki Seno Nugroho
Waktu : Minggu Pahing 18 Mei Jam 21.00 WIB sampai selesai
Tempat : Halaman Parkir Pasarean Agung Kotagede Mataram


Review lakon Satrio Piningi
Hukum Keadilan Alam

Di dunia pewayangan, raja bukan dipilih langsung oleh rakyat.Seorang calon raja akan menjadi raja pada
waktunya jika sudah ada tanda-tanda wahyu yang turun kepada calon raja tersebut. Di kalangan
masyarakat Jawa kebanyakan, turunnya wahyu ditandai dengan meluncurnya ndaru (meteor) di langit
pada waktu yang diharapkan. Sesaat kemudian biasanya calon raja yang telah menerima wahyu berupa
ndaru akan menduduki tahta kerajaan, sampai pada suatu saat ada calon raja baru yang juga
menerima wahyu untuk menduduki tahta kerajaan.

WAHYU KEPRABON (WK), dipercaya sebagai restu dari Tuhan atau anugrah alam semesta untuk
menjadi raja. WK tidak dapat dibeli dengan money politic dan tidak dapat dirampas dengan kekuatan
dan kekuasaan. Karena WK adalah bentuk legitimasi kekuatan hukum alam semesta, di mana WK akan
jatuh kepada seseorang yang memenuhi syarat laku. Ia adalah figure yang selaras dan harmonis dengan
hukum alam. Jika alam semesta dalam hal ini Sang Jagadnata, atau Roh Jagad Agung (Spirit Of The
Universe), menilai tidak ada figure seseorang yang memenuhi syarat, maka WK tidak akan muncul.
Pemimpin yang ada adalah pemimpin (Presiden) palsu yang tidak memiliki legitimasi dari kekuatan
hukum alam. Sebagai akibatnya, selama pemimpin tersebut berkuasa akan terjadi banyak bencana, dan
malapetaka. Keadaan Negara akan jauh dari kemakmuran dan ketentraman.

Cerita tentang WK terbawa ke zaman kemerdekaan hingga sekarang. Pada zaman Orde Baru, mantan
presiden Soeharto dalam wawancara dengan radio Belanda, secara jujur mengakui bahwa yang
mendapat wahyu adalah ibu Tien Soeharto. Begitu Ibu Tien mendahului meninggal, ia sadar sepenuhnya
bahwa tak lama lagi ia akan turun. Dan benar juga, tak lama kemudian presiden Soeharto turun dari
tahta kepresidenan.

Wayang tidak saja hadir dalam dunia atau realitas politik. Akan tetapi, wayang juga hadir dalam karya
sastra untuk mengungkapkan masalah politik. Wayang menampilkan problematika kekuasaan yang
kental, yang relevan dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. Dalam dunia pewayangan, kepala negara
adalah raja, yang mengepalai sebuah Kerajaan.

WK, sangat melekat dengan konstelasi politik Nasional. Eksistensi WK sekaligus menunjukkan adanya
peran Supernatural Power dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Nusantara adalah Negeri yang
istimewa dengan segenap nilai plus-minus yang saat ini terjadi. Segala permasalahan yang terjadi di
Indonesia terutama disebabkan oleh sistem pengelolaan Negara yang tidak pas dan pener dengan
karakter jatidiri Nusantara.

Kekuatan Pentas Wayang Kulit

Wayang Kulit bagi masyarakat Jawa merupakan seni budaya yang terdapat nilai sakral. Sang Dalang
biasanya memiliki kekuatan spirit yang mumpuni. Sang Dalang yang tergolong istimewa ia memiliki
kekuatan idu geni, apa yang diucap merupakan sesuatu yang bakal terjadi. Dan sang Dalang sejati juga
memiliki kawaskitan atau ketajaman batin, yang mampu membaca suatu realitas tersembunyi mengenai
apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Walaupun pada saat ini tidak semua dalang memiliki kekuatan
tersebut.

Dalam pagelaran wayang kulit, adalah sebuah lakon atau judul cerita yang akan digelar. Lakon bisa
bersifat biasa-biasa saja. Artinya lakon sengaja dipilih sesuai keinginan orang yang menanggap wayang.
Lain halnya, untuk pagelaran wayang kulit yang tergolong istimewa, lakon diperoleh dengan cara tidak
sembarangan. Karena lakon didapat melalui wangsit atau wisik, yakni petunjuk gaib. Pagelaran wayang
kulit dengan lakon khusus, merupakan media informasi dan komunikasi yang sangat penting untuk
diketahui masyarakat umum. Tak jarang, dalam pagelaran dengan lakon yang tergolong wangsit, sang
Dalang menjadi media bagi ancient spirits untuk membabar apa yang sedang terjadi di tengah
kehidupan politik, bahkan bersifat prediktif dengan membabar apa yang akan terjadi di waktu yang akan
datang. Situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat
disiratkan dalam perjalanan cerita lakon wayang kulit. Begitu pula apa yang akan terjadi dapat terbaca
melalui lakon dan alur cerita pagelaran wayang kulit.

Lakon Satrio Piningit

Satrio Piningit merupakan lakon yang tergolong istimewa karena sangat jarang terjadi, bahkan
rasanya belum pernah ada sebelumnya. Lakon itu atas dawuh yang diberikan oleh Ki Juru Martani, Ki
Ageng Mangir Wonoboyo, dan Kanjeng Ratu Batang. Lakon itu muncul bertepatan dengan konstelasi
politik Nasional menjelang suksesi 2014 ini di tengah menggantungnya kasus-kasus besar melanda
negeri tercinta, yang terasa semakin tidak jelas juntrungnya. Lakon harus segera digelar pada Minggu
Pon tanggal 4 Mei 2014. Dan dawuh tersebut sudah terlaksana dengan sukses dengan disaksikan sekitar
5000 orang yang menonton dengan hikmat semalam suntuk dan tidak beranjak dari tempat duduk
lesehan hingga selesai.

Sumber Bencana Karena Pemimpin Yang Tidak Sah

Gelar Ringggit dengan lampah Satrio Piningit ini diawali dengan adanya pertemuan di Paseban Agung
kerajaan Hastinapura. Di Paseban itu telah hadir Prabu Duryudana, Patih Harya Sengkuni, Resi Dorna,
Adipati Karna, Dursasana dan sejumlah petinggi di kerajaan Hastinapura yang bersama-sama sedang
membahas mengenai banyaknya kekacauan, bencana, pagebluk maupun malapetaka yang terus
menerus terjadi di Negeri Hastinapura.

Tetapi memang sudah menjadi watak dasarnya Sengkuni dan para Kurawa, selalu berusaha
menyenangkan hati rajanya dan mengatakan bahwa semua kekacauan pun malapetaka di negeri itu
semata-mata hanyalah cobaan dari para dewata.

Meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa keadaan negara yang jauh dari tata titi tentrem, gemah loh
jinawi itu disebabkan oleh ulah dari pribadi raja Duryudana yang lebih mementingkan kepentingannya
sendiri atau keluarganya daripada memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

Meskipun sebenarnya di dalam hati, mereka menyadari bahwa semua kekacauan, bencana, pagebluk
maupun malapetaka yang terus menerus terjadi di Negeri Hastinapura itu terjadi karena dipimpin oleh
Raja yang tidak sah karena tidak kasinungan Wahyu Keprabon yang cara memperoleh kekuasaannya
dengan cara kotor merebut hak tahta para Pandawa saudaranya.

Selagi Raja Duryudana dan para Kurawa masih di Paseban Agung itu, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan
hadirnya seorang pekatik (pemelihara kuda dan tukang cari rumput untuk makan kuda) yang
melaporkan bahwa diperbatasan kerajaan Hastinapura telah datang puluhan ribu wadyabala buta yang
kemudian diketahui dari kerajaan Pagerulun siap memasuki dan menyerang wilayah kerajaan
Hastinapura di bawah pimpinan rajanya yang bernama Prabu Rengganisura.

Mendengar laporan itu, segera Prabu Duryudana memerintahkan semua yang hadir di PasebanAgung
untuk menghadang dan memukul mundur lawan yang datang, kalau bisa dinego disuruh pulang kembali
ke negaranya kalau tetap melawan agar dihancurkan. Komandan atau Senopati dari Hastinapura adalah
Adipati Karna.

Singkat cerita terjadilah peperangan di perbatasan, tetapi karena kuat dan tangguhnya musuh yang
datang, mereka juga merasa kewalahan. Di antara kedua belah pihak banyak jatuh korban. Berkat
kesaktian para Kurawa di bawah pimpinan Karna, wadyabala buta yang jumlahnya tak terbilang dapat di
libas dengan gampang. Tetapi ketika harus menghadapi Prabu Rengganisura, semua bala Kurawa kocar-
kacir, tidak ada satupun dari wadyabala Kurawa termasuk Adipati Karna, Pendeta Dorna maupun
Sengkuni yang mampu melawannya. Dalam keadaan terdesak seperti itu Prabu Duryudana lari
meninggalkan Istana entah kemana untuk menyelamatkan diri.

Setelah Prabu Rengganisura berhasil menaklukkan Kurawa, ia kemudian mencari Sengkuni dan kepada
Sengkuni dikatakan bahwa maksud kedatangannya ke Hastinapura bukannya untuk merebut tahta
ataupun menjajah, tetapi untuk mencari tahu apakah Raja Hastina yang saat ini bertahta adalah Raja
yang Sah atau bukan? Apakah Raja Hastinapura yang sekarang berkuasa adalah raja yang kasinungan
Wahyu Keprabon atau bukan?

Sengkuni tidak mampu menjawab pertanyaan itu, tetapi ia dapat menunjukkan kepada siapa pertanyaan
itu akan memperoleh jawabannya. Tak lain dan tak bukan hanya kepada seekor gajah yang saat ini ada
di Hastinapura dalam keadaan dirantai kaki-kakinya. Gajah itu bernama Gajah Antisura. Ketika mereka
sudah sampai di hadapan Gajah Antisura dan menanyakan tentang keabsahan raja Hastinapura yang
saat ini berkuasa, tiba-tiba gajah tersebut mematahkan rantai-rantai yang mengikat kaki-kakinya,
kemudian lari tunggang langgang meninggalkan Hastinapura masuk ke dalam hutan entah kemana

Memang, sudah menjadi suatu tradisi jumenengan nata di Kerajaan Hastinapura bahwa dalam
pengangkatan calon raja dilakukan oleh Gajah Antisura. Sang pewaris tahta dikatakan sah jika ia
didudukkan di atas dampar pusaka oleh Gajah Antisura. Karena hanya orang yang diangkat dan
didudukkan oleh Gajah Antisura yang kuat duduk di atas dampar pusaka. Para pengganti Palasara secara
berurutan, yaitu Prabu Sentanu, Abiyasa dan Pandudewanata juga di dudukan oleh gajah Antisura. Hasti
berarti gajah. Hastinapura dapat dimaknai dengan hadirnya kembali keratonnya Prabu Hasti, yang besar
kuat laksana gajah. Demikianlah Gajah Antisura mempunyai peranan yang sangat sakral dan penting
dalam pengangkatan setiap raja di Hastinapura dan tak bisa dilepaskan dari Hastinapura.

Wangsit Wahyu Keprabon

Beralih cerita ke suatu kerajaan kecil yang nun jauh yang bernama kerajaan Argapeni. Arga artinya
gunung, peni berarti indah, baik. Sesuai dengan namanya digambarkan bahwa suasana di kerajaan
Argapeni ini begitu tenang, adem, ayem dan asri. Raja yang berkuasa di kerajaan ini masih muda dan
belum beristri bernama Prabu Minangkuda. Ia mepunyai seorang adik yang elok dan cantik paras
mukanya bernama Dewi Penatas. Diceritakan bahwa dalam suatu kesempatan Prabu Minangkuda
sedang ngudar-rasa(curhat) dengan Dewi Penatas. Bahwasanya semalam, sesudah sekian lama
waktunya dalam usahanya mencari tahu di mana keberadaan Wahyu Keprabon, ia mendapat petunjuk
atau wangsit bahwa Wahyu Kepabron itu terdapat di dalam diri seekor burung yang bernama Peksi
Antakulan. Kalau sudah menemukan burung itu, segera burung itu di masak yang enak lalu di makan
kepala-nya karena barangsiapa yang memakan kepala burung Antakulan tersebut akankasinungan
Wahyu Keprabon dan sebelum makan diharuskan melakukan jamas dewasraya atau mandi sesuci
dari 7 (tujuh) sumber mata air. Demikianlah Raja Minangkuda menceritakanmengenai wangsit yang
diterimanya melalui mimpinya.

Ternyata sang adiknya Dewi Penatas juga bermimpi yang mirip. Dia pun juga mendapatkan petunjuk
gaib yang diterimanya melalui mimpinya semalam. Dewi Penatas akan dapat menjadi babon ratu atau
yang menurunkan ratu-ratu yang akan menguasai tanah Jawi hanya jika setelah dia mampu menemukan
seekor burung yang bernama Peksi Antakulan. Kalau sudah menemukan burung itu, segera burung itu
di masak yang enak lalu di makan jeroan-nya karena barangsiapa yang memakan jeroan burung
Antakulan tersebut akankasinungan Wahyu yang membuat dirinya dapat menjadi babon ratu atau
induk yang menurunkan ratu-ratu yang akan menguasai tanah Jawi.

Tanpa banyak pembicaraan lagi, keduanya lalu sepakat untuk mencari kemana saja sampai menemukan
burung yang bernama Peksi Antakulan itu. Siapa yang menemukan terlebih dahulu akan segera
membagikan bagian dari burung itu, sesuai dengan petunjuk gaib/wangsit yang telah mereka peroleh
melalui mimpi. Keduanya kemudian berpisah, pergi mencari keberadaan Peksi Antakulan .

Berebut Peksi Antakulan

Berlatarbelakang suasana suatu pedusunan yang bernama Dukuh nDadapan. Di situ tinggal seorang
janda dengan dua saudara perempuannya yang juga belum berumahtangga. Nama mbok randa itu
adalan Emban Sambego. Janda ini mempunyai dua orang anak laki-laki bernama Pujadewa dan
Pujangkara. Emban Sambego sangat menyayangi dan mengasihi kedua anaknya tersebut. Demikian juga
kedua anak itu sangat hormat dan berbakti kepada ibunya.

Diceritakan siang hari itu, Pujadewa dan Pujangkara menyampaikan rencananya akan menengok dan
sowan gurunya yang bernama Begawan Padmana Murti karena sudah cukup lama tidak menghadap
beliau sehingga menumbuhkan kerinduan yang sangat kuat dalam batin keduanya untuk segera bisa
berjumpa dengan gurunya yang tinggal di pertapaan Argamanik. Tetapi sebelum mereka berdua
berangkat ke pertapaan tersebut, Pujadewa meminta tolong kepada ibundanya agar selama mereka
berdua pergi, ibunya berkenan merawat, memberi makan dan memelihara burung kesayangan mereka
yang bernama Peksi Antakulan dengan penuh kasih.

Peksi Antakulan ini merupakan pemberian dari Sang Begawan Padmana Murti kepada mereka berdua
sebagai murid-murid yang kinasih. Dan kepada mereka juga telah dipesan agar selalu merawat,
memelihara dan menjaga burung peliharaan itu dengan penuh kasih sayang karena suatu saat akan
mendatangkan anugerah bagi mereka berdua.Demikianlah, setelah ibundanya menyatakan
kesediaannya untuk merawat, memelihara dan menjaga burung Peksi Antakulan tersebut, maka
berpamitanlah mereka berdua kepada ibunya.

Waktu terus berlalu, hari berganti hari, sewaktu kedua anaknya Pujadewa dan Pujangkara tidak ada di
rumah karena menghadap gurunya, Emban Sambego kedatangan tamu yang kemudian mengaku
bernama Prabu Minangkuda. Perkenalan pun terjadi di antara kedua manusia beda kelamin ini. Pandang
bertemu pandang, akhirnya Prabu Minangkuda tak dapat memungkiri bahwa ia jatuh cinta pada
pandangan pertama terhadap Emban Sambego. Ia berkata terus terang menginginkan Emban Sambego
agar mau menjadi istrinya. Ia tak peduli dengan status janda dan status orang kebanyakan (rakyat biasa)
yang di sandang Emban Sambego. Rayuan maut terus diumbar, bahkan Sang Prabu juga bersedia akan
menyayangi dan memperlakukan kedua anak Emban Sambego seperti anak-anaknya sendiri. Asal Emban
sambego mau diperistri olenya.

Karena rayuan maut dan janji manis yang diucapkan Prabu Minangkuda, akhirnya luluh lantak pula
hatinya dan ia mau dipinang menjadi istri Sang Prabu. Demikianlah, sewaktu Emban Sambego menuju
ke dapur untuk membuatkan minum Sang Prabu, ia melihat di belakang rumah dekat dapur ada seekor
burung yang elok di dalam sebuah kurungan. Ia menanyakan kepada EmbanSambego, burung apa itu
gerangan? Oleh Emban Sambego dikatakan bahwa itu adalah burung kesayangan kedua anaknya
Pujadewa dan Pujangkara, burung itu bernama Peksi Antakulan. Mendengar jawaban itu bahwa
burung itu benama Peksi Antakulan menjadi sangat terkejutlah sang Prabu sekaligus sangat gembira,
karena tanpa dinyana dan dikira ia telah dengan mudah menemukan burung yang selama ini dicarinya
kemana-mana sesuai petunjuk gaib/wangsit yang diperoleh melalui mimpinya.Sambego, apakah
engkau memang sungguh-sungguh mau menjadi istriku? Dengan segenap hatimu, dengan seluruh
dirimu, dengan segala ketulusan dan keikhlasanmu? Apakah engkau mau berbuat apapun yang
kuperintahkan padamu? Apakah engkau merelakan segala sesuatu yang kuminta dan kuinginkan
daripadamu? Sambego, jawab pertanyaanku, jika engkau memang mencintaiku !!!. Mengapa
kakanda menanyakan hal itu kepadaku. Apakah harus kuanggukkan kepalaku sekali lagi agar kakanda tak
jadi ragu, haruskah kuulangi lagi semua kata dan janji yang pernah kuucapkan di hadapan sang Prabu.
Sudah sekian lama, aku hidup sendiri, tanpa kehangatan dan belaian seorang laki-laki di sampingku, hari-
hariku terasa sunyi, malam-malamku terasa sepi, tiada kerinduan yang lebih tinggi selain tidur dalam
pelukan belahan kalbu. Sudah sekian lama, hatiku meronta dan memendam rasa, ingin terhanyut
merenangi lautan asmara bersamamu. O, kakanda engkau datang penaka embun yang memberi
kesejukan bagi hatiku. Kehadiranmu di sampingku melenyapkan semua haus dan dahaga asmara yang
begitu menyiksaku. Pasti akan kulakukan apapun yang kubisa agar kakanda menjadi bahagia !!!.
Duh, wong ayu, pujaan hatiku. Kalau begitu tolonglah kau penuhi permintaanku yang satu ini. Ijinkan
kuminta Antakulan untuk kujadikan lauk makan malamku hari ini. Masaklah dagingnya dengan seenak-
enaknya agar menjadi lezat untuk dinikmati. Tapi sebelum aku santap malam nanti, aku akan akan pergi
dulu melakukan jamas dewasraya, aku akan membersihkan diri mandi di tujuh sumber mata air untuk
sesuci . Duh, Sang Prabu, burung itu bukan kepunyaanku. Burung ini adalah milik anakku Pujadewa
dan Pujangkara. Mereka amat menyayangi burung ini. Aku telah sanggup untuk dititipi merawat dan
menjaganya. Bagaimana jawabku nanti, jika mereka bertanya burung,kesayangannya telah tiada? Duh,
kakanda,mengapa demikian berat permintaanmu kepadaku. Duh, Gusti,lelakon apa lagi yang harus
kuhadapi kali ini ?

Sambego, buktikan padaku bahwa engkau mau menjadi sisihanku. Ingatlah akan segala keinginan dan
kerinduan yang kau pendam selama ini. Aku hanya akan bersedia menjadi kekasihmu pabila kau luluskan
permintaanku yang satu itu. Bukankah jika kamu telah menjadi istriku, mereka juga sebagai anak-
anakku? Biarlah nanti akan kukatakan kepada mereka, bahwa aku yang kini telah menjadi bapak
mereka, yang meminta dan memaksa melakukannya. Duh, Kakanda gayutan cintaku. Kerinduanku
untuk menikmati lautan asmara bersamamu, terasa lebih kuat tinimbang rasa sesalku yang tak mampu
menolak semua keinginanmu. Biarlah nanti, aku saja yang menjelaskan semuanya ini kepada anak-
anakku. Akan kupersiapkan hidangan burung goreng Antakulan yang lezat dan nikmat untuk santap
malammu, o kekasihku.

Sambego, dewi cintaku. Terima kasih atas pengertianmu kepadaku. Kini aku mesti sesuci dulu, mandi
jinabat di sumber air tuk pitu. Aku pergi dulu wong ayu, tunggu aku dipembaringanmu malam nanti ..!!!

Demikianlah, kekuatan asmara dan cinta telah merasuk dan berkobar liar di dalam diri Emban Sambego.
Sampai iapun tak mampu mengendalikan apalgi memadamkannya. Gejolak asmaranya kepada Prabu
Mingkuda, mampu mengalahkan segala yang ia punya. Termasuk cinta kepada kedua anaknya Pujadewa
dan Pujangkara. Demi memenuhi permintaanPrabu Mingangkuda, diambilnya Peksi Antakulan dari
sangkarnya. Lalu dimasaknya burung itu, digoreng dan dibumbui agar dapat menjadi lauk yang lezat
buat santapan malam Minangkuda.

Sementara itu di pertapaan Argomanik. Pujadewa dan Pujangkara telah beberapa waktu bertemu Sang
Guru Begawan Padmana Murti, guna melepaskan rindu. Waktu itu kira-kira masih pagi menjelang siang.
Di halaman pertapaan, telah berkumpul dan saling berkelakar antara guru dan murid. Menjadi lebih
gayengkarena kehadiran para punakawan : Semar, Gareng, petruk dan Bagong di antara mereka.Entah
kenapa, tiba-tiba ada perasaan yang mengganjal dan tak nyaman di hati Sang Begawan. Beliau
menanyakan kepada kedua muridnya, bagaimana keadaan burung Peksi Antakulan yang pernah
beliau berikan kepada Pujangdewa dan Pujangkara itu. Meskipun sudah dijawab bahwa keadaannya
baik-baik saja dan selama pergi sudah dititipkan kepeda ibunya untuk menjaga dan merawatnya, namun
sang begawan yang bening dan suci hatinya menangkap adanya firasat buruk telah terjadi sesuatu yang
buruk terhadap Peksi Antakulan. Tak berlama-lama, kemudian ia meminta kepada kedua muridnya
agar segera pulang. Setelah berpamitan, pulanglan mereka ke Dukuh Dadapan dengan ditemani oleh
para punakawan. Sesampainya di rumah, bertemulah mereka dengan ibunya. Sejenak kemudian
bertanyalah mereka kepada ibunya Emban Sambego mengenai keadaan burung Peksi Antakulan yang
dititipkan kepada ibunya untuk dijaga, dirawat dan diberinya makan selama kepergian merekake
pertapaan.

Duh, anakku Pujadewa dan Pujangkara. Ketiwasan nak, maafkanlah ibumu ini. Sewaktu ibu akan
memberinya makan dan membuka sangkar, burung Antakulan itu terlepas dan terbang masuk ke
hutan. Maafkan, ibumu anak-anakku, karena ibu tak mampu melaksanakan permintaanmu dengan baik
untuk menjaga dan merawat Antakulan . Duh, ibu. Burung itu sangat berharga dan berarti bagi
kami. Kenapa ibu kurang hati-hati? Burung itu adalah pemberian dan hadiah guru kami. Burung itu
adalah burung anugerah. Bagaimana kami harus menyampaikan kejadian ini kepada Sang Panembahan.
Karena kami telah bersedia memelihara dan merawatnya dengan baik, akan kami lindungi dan jaga
sepenuh hati. Alasan apa yang kami utarakan kepada Sang Begawan? Ibu, ijinkan kami pergi mencari
Antakulan sampai kami temukan !!!

Demikian Pujadewa dan Pujangkara, lalu keluar rumah pergi mencari Sang Antakulan. Karena rasa
bersalah yang begitu mendalam dan tidak sampai hati mengingat kedua anaknya pergi tanpa bekal,
maka kepada para punakawan yang tertinggal diminta untuk membawa bekal makanan.

Sudah menjadi kehendak dewata, sewaktu Petruk dan Gareng mempersiapkan bekal, mereka hanya
menjumpai nasi saja. Karena tidak lengkap kalau tidak ada lauknya, mereka bermaksud mencarinya di
almari makan. Tapi apa daya almari terkunci. Dasar punakawan, meski dikunci masih juga mencoba
mengintip melalui sela-sela kayu yang tidak rapat. Di dalam almari dilihatlah oleh mereka ada seekor
burung yang telah digoreng. Tanpa banyak buang waktu, dirusaklah gembok almari itu dan diambillah
burung goreng itu untuk dijadikan lauk bekal makanan bagi Pujadewa dan Pujangkara sesembahannya.
Dan mereka pergi meyusul kedua bendoronya masuk ke hutan

Tak berapa lama setelah itu,Prabu Minangkuda yang telah menyelesaikan jamas dewasraya pulang ke
rumah Emban Sambego. Ia kemudian bertanya apakah pesanya sudah dilaksanakan. Kalau sudah ia akan
segeramelakukan santap malam dengan lauk burung goreng Peksi Antakulan. Tapi begitu Emban
Sambego mau mempersiapkan santap malam buat Sang Prabu, betapa terkejutlah ia karena almari
makansudah terbuka dan dirusak kuncinya. Lebih terkejut lagi karena burung goreng Peksi Antakulan
yang telah disimpannya di almari ternyata juga hilang. Segera ia lari menghadap Prabu Minangkuda dan
menyampaikan kejadian itu. Emban Sambego sangat yakin yang mengambil adalah para punakawan dan
akan diberikan sebagai bekal untuk anaknya Pujadewa dan Pujangkara yang saat ini sedang mencari
burungPeksi Antakulan yang dikatakannya terbang ke hutan sewaktu diberi makan

Betapa marah hati Sang Prabu, segera ia hendak mencari Pujadewa dan Pujangkara. Namun karena ia
belum pernah berjumpa dengan mereka berdua, pasti ia akan kesulitan mengenali keduanya. Dengan
kesaktiannya Prabu Minangkuda pun memasuki ke raga Emban Sambego, meminjam wadag dan
matanya, pergi terbang mencari Pujadewa dan Pujangkara untuk merebut burung goreng Peksi
Antakulan sebelum terlanjur di makan mareka berdua.

Wahyu Keprabon Tidak Bisa Dirampas Yang Tidak Berhak

Diceritakan, begitu mendapatkan penjelasan dari ibunya Emban Sambego bahwa Peksi Antakulan lepas
dari sangkarnya sewaktu mau diberi makan dan terbang menuju ke hutan, maka tanpa berpikir panjang,
mengingat rasa tanggung jawabnya yang sedemikian besar terhadap gurunya Resi Padmana Murti dan
kesanggupannya untuk merawat, memelihara dan menjaganya, kalau perlu dengan toh nyawa
sekalipun. Pergilah Pujadewa diikuti adiknya Pujangkara masuk ke hutan mencari dan berusaha
menemukan burung kesayangan mereka Peksi Antakulan. Tindakan itu dilakukan secara spontan,
sehingga tak terpikirkan lagi oleh mereka harus mempersiapkan bekal makanan dan lain-lain karena bisa
jadi waktu yang dibutuhkan dalam pencarian tersebut bisa cepat atau lama tergantung dari
keberuntungan mereka melacak kemana terbangnya sang burung.

Para punakawan yang mendapat tugas dari Sang Begawan untuk selalu mendampingi kemanapun
Pujadewa dan Pujangkara pergi telah dapat menyusul mereka berdua. Seperti yang telah disarankan
oleh Emban Sambego, merekapun kemudian memberikan bekal makanan beserta lauknya yang diambil
dari rumah di Dadapan kepada kedua bendoronya. Sambil memberikanbekal makanan tersebut,
Petruk menceritakan kejadian ini :Ndoro, silakan istirahat dulu. Kami membawakan bekal makanan
dan lauknya atas perintah ibunda untuk ndoro berdua. Tatkala kami menyiapkan bekal makanan yang
kami jumpai di dapur hanya nasi saja. Lantas kami mencari adakah lauk yang bisa kami bawa serta. Di
meja makanan tidak ada apa-apa, lantas kami menuju ke almari makan, tetapi almari tersebut terkunci
dan digembok dari luar. Kami penasaran ada apakah sebenarnya yang tersimpan di almari makanan.
Lalu, kami pun mengintip dari celah-celah kayu yang tidak rapat. Ternyata di dalam almari makanan ada
seekor burung goreng yang diletakkan di atas piring. Setelah kami perhatikan dengan lebih seksama,
melihat bentuk dan ukurannya, kami tidak merasa asing lagi, bahwa burung goreng itu adalah burung
goreng dari Peksi Antakulan pemberian Sang Begawan kepada ndoro berdua. Tanpa pikir panjang lagi,
segera kami rusak gembok yang ada di almari makanan tersebut, lalu kami bawa pergi burung goreng itu
untuk kami tunjukkan kepada ndoro berdua. Lihatlah ndoro, bukankah ini adalah burung goreng dari
Peksi Antakulan yang sedang ndoro cari itu ???

Seperti disambar geledeg, begitu terkejutnya Pujadewa dan Pujangkara, setelah melihat burung goreng
yang diberikan oleh Petruk kepada mereka.Tidak disangsikan lagi, melihat bentuk, wujud dan
ukurannya ini adalah burung goreng Peksi Antakulan. Merataplah Pujadewa dan Pujangkara,Duh, ibu
Sambego, mengapa engkau berkata tidak jujur kepada kami anak-anakmu. Mengapa engkau tega sekali
membunuh burung kesayangan kami berdua dan menggorengnya untuk dijadikan lauk? Duh, ibu
Sambego, mengapa engkau tega mendustai anak-anakmu?

Kehendak dewata sudah terucap dan tak ada titah yang sanggup merubahnya. Telah menjadi suratan
takdir. Sak tiba-tibane tansah nemu begja. Pada saat Pujadewa ngungun memikirkan hal itu, teringatlah
ia akan pesan Sang Begawan Padmana Murti bahwa Peksi Antakulan tersebut adalah burung anugerah
dari dewata. Anugerah dewata itu dapat mereka peroleh jika sudah pada waktu yang tepat mereka
harus tega membunuh Peksi Antakulan lalu memasak dan menggorengnya setelah diberi bumbu-
bumbu agar sedap dan nikmat saat menyantapnya. Pujadewa diberi hak untuk memakan bagian
kepala dari burung tersebut, lalu adiknya Pujangkara mendapatkan hak untuk memakan bagian
jeroan dari burung Peksi Antakulan itu.

Demikianlah, maka demi teringat pesan gurunya itu, segera Pujadewa menyantap bagian kepala dari
burung itu dan terjadilah sesuatu yang amat sangat menakjubkan bagi yang melihatnya. Begitu selesai
Pujangdewa memakan kepala burung tersebut, seketika itu pula muncullah sinar yang menyilaukan
dan gemerlapan mengitari kepala dari Pujangdewa. Pada sat itulah sebenarnya WAHYU KEPRABON
telah manjir ajur ajer, menyatu dalam diri Pujangdewa. Sedangkan bagian jeroan yang diterima
Pujangkara tidak langsung disantap. Tetapi bahwa jeroan dari burung Peksi Antakulan itu sendiripun
juga memancarkan cahaya yang sangat kemilau dan menyilaukan mata bagi yang melihatnya. Belum lagi
jeroan itu disantap oleh Pujangkara, kakaknya Pujadewa berkata :Rasanya akau menjadi sangat haus,
setelah menyantap kepala Peksi Antakulan ini, kerongkongankuterasa menjadi kering, tolong carikan
aku air untuk ku minum, aku haus. Mendengar ucapan kakaknya yang meminta tolong untuk
dicarikan air minum, maka dengan segera Pujangkara pergi mencari sumber air yang terdekat untuk
mencarikan minum kakaknya. Demikian sayang dan berbaktinya Pujangkara kepada Pujadewa kakaknya.
Ditinggalkannya Pujadewa sendirian di tengah hutan itu. Ia bersama para punakawan pergi mencari
sumber mata air. Pada saat Pujangkara mencari sumber mata air, dari angkasa Dewi Penatas melihat
sinar cahaya kemilauan yang berada dalam genggaman seorang pemuda di dalam hutan itu. Tak asing
lagi bagi penglihatan Dewi Penatas bahwa yang berada dalam genggaman sang pemuda tersebut tak lain
tak bukan adalah sinar dan cahaya yang berasal dari jeroan Peksi Antakulan yang selama ini dia cari.
Jeroan yang jika ia berhasil memakannya maka akan membuat dirinya kasinungan WAHYU BABON
RATU yakni wahyu yang dapat membuat keturunan-keturunannya kelak menjadi Ratu-ratu yang akan
menguasai Tanah Jawi. Maka dengan kesaktiannya, disambitlah pemuda itu dan tanpa disadari
olehpemuda itu, jeroan Peksi Antakulan itu telah berhasil direbutnya.

Sebenarnya Pujangkara juga merasakan ada sesuatu yang mengenai dan sedikit menyakiti dirinya
belum sadra secara penuh akan apa yang terjadi, tahu-tahu jeroan Peksi Antakulan yang
digenggamnya sudah raib dan hilang dari tangannya. Demikian cepatnya ibarat secepat kilat. Jeroan itu
sudah tidak berada dalam genggamannya lagi.

Apa ini tadi yang menyentuhku dan menyebabkan rasa agak sakit ditubuhku? Lalu kenapa tiba-tiba
benda yang kubawa juga hilang dari genggamanku? Ya, sudah. Kalau memang harus hilang, biarlah
hilang. Yang kupikirkan adalah segera menemukan mata air agar bisa kuambil airnya untuk pengobat
dahaga yang dirasakan oleh kakakku Pujang dewa

Pada saat yang hampir bersamaan dengan kejadian di atas, di tempat mana Pujadewa yang sedang
kehausan ditinggal sendirian. Tiba-tiba dari dalam hutan datanglah seekor gajah besar, Gajah Antisura.
Dengan belalainya, dililit tubuh Pujadewa dan diculik dibawa masuk ke dalam hutan entah kemana.
Diceritakan bahwa Pujangkara akhirnya dapat menemukan sumber mata air. Lalu diambillah air
secukupnya unutk diberikan kepada kakaknya Pujadewa yang sangat kehausan setelah menelan bagian
kepala dari Peksi Antakulan tadi. Segera ia menuju ke tempat di mana kakaknya ditinggalkan
sendirian, sampai di tempat itu betapa terkejutnya Pujangkara karena di tempat itu tiada didapati
kakaknya si Pujadewa. Tapi di tempat itu terdapat bekas kaki gajah dan ada benda-benda terjatuh milik
kakaknya. Rupanya Pujadewa meninggalkan barang yang dipakainya agar adapat dipakai oleh adiknya
sebagai jejak untuk menemukannya. Maka segera diikutilah jejak-jejak yang ditinggalkan kakaknya itu
masuk terus ke kedalamaan hutan belantara

Di sisi lain, Dewi Penatas juga sudah bertemu dengan Prabu Minangkuda yang merasuk dalam diri
Emban Sambego. Lalu mereka berdua pergi bersama-sama mengejar mengikuti Pujangkara yang juga
sedang berlarian mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkannya sebagai penunjuk jalan oleh Pujadewa yang
dibawa lari dalam lilitan belalai Gajah Antisura.

Siapa Sang Satria Piningit ?

Gajah Antisura yang berlari tunggang langgang membawa dan membelit Pujadewa yang sudah
kasinungan WAHYU KEPRABON dengan belalainya itu ternyata membawanya ke negeri Hastinapura.
Demikian sampai di Hastinapura, segera Gajah Antisura ini menuju ke tempat di mana Dhampar
Hastinapura berada. Segera diangkat tingi-tinggi tubuh Pujadewa lalu diletakkan dan didudukkannya
Pujadewa di Dhampar Hastinapura tersebut. Sesudah itu Gajah Antisura lalu membungkuk, bersujud
dan memberi hormat kepada Pujadewa yang duduk di Dhampar Hastinapura itu. Dan setelah
didudukkan di Dhampar Hastinapura itu nama Pujadewa yang kasinungan WAHYU KEPRABON
tersebut, kini telah berubah menjadi PUJADEWA NEGARA

Tak lama kemudian, sampailah ke tempat itu Pujangkara yang sejak dari hutan mengikuti jejak-jejak
yang ditinggalkan oleh Pujadewa sewaktu dibawa lari Gajah Antisura. Disusul kemudian kedatangan
Dewi Penatas dan Prabu Minangkuda yang masih memasuki raga Emban Sambego. Demi melihat
Wahyu Keprabon yang telah manbjir dalam diri Pujangdewa Negara, keluarlah Prabu Minangkuda dari
raga Emban Sambego dan bermaksud merebut Wahyu Keprabon dari Pujangdewa Negara.

Pada saat Prabu Minangkuda hendak merebut Wahyu Keprabon dari Pujangdewa Negara, tiba-tiba
datanglah Prabu Rengganisura menghadang dan menghalangi maksud buruk Prabu Minangkuda
tersebut. Terjadilah pertempuran yang seru di antara keduanya. Tapi pada akhirnya Prabu Minangkuda
berhasil memanah tubug Prabu Rengganisura. Jatuh dan tumbanglah Prabu Rengganisura, namun
seketika wujudnya berubah menjadi Raden Harya Werkudara . Tal berapa lama kemudian hadirlah di
Hastinapura itu Sang Begawan Padmaranamurti. Tanpa banyak bicara, ia segera meminta Prabu
Minangkuda agar salin salira kembali ke wujud aslinya. Seketika itu pula Prabu Minangkuda lalu
berubah ke wujud aslinya menjadi Raden Harjuna. Begawan Padmaranamurti pun malik salira
menjadi Prabu Kresna lalu Emban Sembogo juga diminta berubah wujud aslinya menjadi Dewi
Sembadra. Di susul berubah wujud ke aslinya dari Pujangdewa menjadi Raden Abimanyu dan
Pujangkara menjadi Raden Bambang Irawan. Terakhir adalah berubahnya Dewi Penatas yang belum
sempat memakan Jeroan dari Peksi Antakulan berubah menjadi Dewi Srikandi.

Misteri Masih Berlanjut

Prabu Bathara Kresna kemudian mengingatkan kepada Pujadewa Nagara dan kepada semua pihak,
bahwa sekarang belum saatnya Satrio Piningit itu jumeneng nata di Hastinapura. Karena masih
menunggu Pujadewa dinilai cukup dewasa. Akan tiba saatnya yang tepat sesudah selesainya Perang
Baratayudha.Kisah ini di tutup dengan adegan peperangan Baratayudha yang terjadi di padang
Kurusetra antara Raden Werkudara dengan Prabu Duryudana. Kapan waktunya sang Satria Piningit
duduk di dampar keprabon atau tahta kerajaan Hastinapura ? Cerita masih akan berlanjut hingga titi-
wancinya tiba sang Pujadewa sebagai Satria Piningit menduduki tahta kerajaan secara absah dan
legitimet. Perang sesungguhnya baru akan dimulai.

Lakon Lanjutan SPPG

Lakon SP ternyata masih berlanjut sekali lagi. Tiga hari setelah pagelaran wayang kulit usai, Ki Dalang
Panjang Mas yang ada di Gunung Sentono (abad 16) memerintahkan untuk sekali lagi menggelar wayang
kulit dengan lakon Pambukaning Gapura. Jika disambung dengan lakon terdahulu, bunyinya menjadi
Satria Piningit Pambukaning Gapura (SPPG). Dawuh pagelaran lakon tersebut harus dilaksanakan pada
malam Senin Pon tanggal 18 Mei 2014. Kebetulan siang sebelumnya berlangsung acara Kirab Agung
Budaya Mataram serta Nawu Jagang dan Sendang Seliran, yang diprakarsai oleh para Abdidalem
Pasarean Agung Kotagede Mataram. Sontak, pagelaran wayang kulit dijadwalkan sebagai penutup acara
Kirab Agung Budaya Mataram tersebut. Ki Dalang Panjang Mas paring pangandikan,tinggal selangkah
lagi untuk meraih kemenangan. Laksanakan sekali lagi pagelaran wayang kulit dengan lakon
Pambukaning Gapura. Sebab bila kalah, kekalahan bukanlah sekedar kekalahanmu, bukan pula
kekalahan SP, melainkan kekalahan Nusantara dari para durjana dan perusak bangsa.

Hanya satu kata yang dapat terucap,Sendika dawuh..!!. Kami sadari, ini bukan untuk kepentingan dan
kepuasan pribadi, melainkan untuk kepentingan khalayak, persembahan yang bisa kita lakukan untuk
bangsa besar ini. Demi masa depan NKRI, demi nasib generasi penerus Nusantara yang lebih baik.
Asalkan tulus ikhlas, seberapapun beaya pasti ada, uang pasti menyesuaikan kebutuhan. Suket godong
dadya rewang.

Kita lanjutkan pagelaran Pambukaning Gapura di panggung wayang. Di alam realitas, berlanjut pula
pagelaran persaingan keras di panggung politik Nasional. Pertempuran Pandawa melawan Kurawa
yang sesungguhnya segera dimulai. Permainan politik baru pun segera ditampilkan. Nnantikan saja di
hari ke 18 saat gugurnya Prabu Duryudana pemimpin Kurawa yang melambangkan kekuatan jahat.
Dalam perang Baratayuda, hari ke 11 merupakan saat gugurnya Pandita Durna sang senopati perang
pasukan Kurawa. Dan tanggal 18 nanti merupakan angka yang selaras dengan hari ke 18 perang
Baratayuda, di mana merupakan hari tali wangke bagi sang Prabu Duryudana.

Dalam dunia realitas, tanggal 11-12 ditandai dengan pengunduran diri salah seorang pejabat Negara
karena akan menjadi cawapres. Sekalipun sang Durna telah meminta restu kepada Prabu Dur-
Yudana. Tapi langkah itu bukanlah suatu keberuntungan, sebaliknya merupakan langkah mati bagi
sang cawapres maupun capresnya. Karena restu itu berasal dari pemimpin yang tidak absah di mata
hukum alam, atau tidak memiliki WK.

Alur cerita selanjutnya harus berlangsung untuk menuntaskan lakon. Apakah kali ini pertarungan politik
akan dimenangi oleh kelompok Kurawa di bawah pimpinan Prabu Dur-Yudana ataukah pihak Pandawa
yang akan mampu memenangi pertarungan dan menumpas durangkara? Silahkan simak alur ceritanya
nanti. Yang jelas, saat ini sedang berlangsung pertarungan sengit antara Prabu Rengganisura melawan
Duryudana.

Anda mungkin juga menyukai