Anda di halaman 1dari 6

2 - KEAGAMAAN

MODULMODUL
1 1

MENJAGA KESIMBANGAN ALAM


MELALUI IMPLEMENTARI TRI HITA
KARANA
Oleh: I Ketut Wiardana, SH dan Drs. Nengah Dharma, SH

Om Awignham Asthu Namo Siddham,

Om Sidhirastu Tad Astu Swaha

(Ya Tuhan, semoga atas berkenanmu, tiada suatu halangan


bagi hamba melalui pekerjaan ini dan semoga berhasil)

Om Swastyastu.

Menjadi bagian dari masyarakat khususnya Umat


Hindu, seyogyanya memiliki kontribusi yang positif
dalam memecahkan permasalahan yang timbul akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberadaan
teknologi selain memberikan dampak positif khususnya
terhadap perkembangan komunikasi - medsos yang semakin
pesat, juga memberikan dampak negatif yaitu menurunnya
kesadaran manusia akan pentingnya menjaga keseimbangan
alam sebagai sumber kehidupan. Saat ini, sering kita saksikan
kejadian dan perilaku destruktif dalam skala lokal maupun
global, seperti; bentrokan antar warga, tawuran, radikalisme
dan eksploitasi alam yang memengaruhi stabilitas lingkungan.

Hindu adalah Sanatana Dharma yang mengajarkan umat


manusia melalui konsep-konsep yang memiliki nilai universal
dan relevan dengan permasalahan saat ini. Salah satu ajarannya
adalah Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan,

BUKU SAKU DHARMAWACANA (SIRAMAN ROHANI) UNTUK UMAT HINDU 1


47
antar manusia dan alam lingkungan. Nilai harmonisasi ini tidak
cukup dipelajari secara verbalis tetapi nilai-nilai tersebut harus
menginternalisasi di dalam diri dan diimplementasikan dalam
perilaku sehari-hari. Dalam penerapannya, disesuaikan dengan
kearifan lokal yang menjadi ciri khas masing-masing daerah.
Misalnya; penerapan Tri Hita Karana oleh Umat Hindu etnis
Bali berbeda dengan Umat Hindu etnis Kaharingan maupun
Umat Hindu etnis Jawa. Berkaitan dengan hal tersebut, pada
kesempatan hari ini saya akan menyampaikan pesan dharma
yaitu: Upaya Menjaga Keseimbangan Alam Semesta Melalui
Implementasi Tri Hita Karana.

Adapun yang akan saya sampaikan adalah: Apa yang dimaksud


dengan konsep Tri Hita Karana? Bagaimana menerapkan konsep
Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari?

Umat se-dharma yang penuh karunia,

APA YANG DIMAKSUD DENGAN KONSEP TRI HITA


KARANA?

Eksistensi Tri Hita Karana sesungguhnya telah ada sejak zaman


pemerintahan Majapahit dan digunakan oleh Patih Gajahmada
sebagai salah satu rahasia sukses dalam memersatukan
nusantara. Pada 11 November 1966, muncullah istilah Tri Hita

48
2 PEMPROV DKI JAKARTA, ICLEI-LOCAL GOVERNMENTS FOR SUSTAINABILITY & PHDI
Karana melalui konferensi daerah I Badan Perjuangan Umat
Hindu Bali (Perguruan Dwijendra). Konferensi ini diadakan atas
dasar kesadaran Umat Hindu akan dharmanya dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan yang berdasarkan Pancasila. Tri
Hita Karana secara etimologi, berasal dari kata “Tri” yang artinya
tiga, “Hita” adalah kebahagian, dan “Karana” artinya sebab. Jadi,
Tri Hita Karana adalah tiga unsur penyebab kebahagiaan dalam
mewujudkan kehidupan harmonis.

Adapun bagiannya meliputi Parahyangan: keharmonisan


manusia dengan Tuhan. Pawongan: keharmonisan manusia
dengan manusia dan Palemahan: keharmonisan dengan alam
lingkungan.

Ketiga sumber tersebut terinspirasi dari Bhagawadgita (III.10),


yaitu:

Sahayajnah prajah sristwa, Pura waca prajahpatih


Anena prasawisya dhiwam, Esa wo’stiwista kamadhuk.

Artinya:

Pada zaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan


yajna dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan
menjadi kamadhuk (yang dapat memenuhi segala keinginan)
dari keinginanmu.

Bagaimana umat Hindu menerapkan bagian-bagian Tri Hita


Karana dalam kehidupan sehari-hari?

PARAHYANGAN (MANUSIA DENGAN TUHAN)

Tuhan merupakan sumber kebahagiaan utama bagi manusia


karena kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika
kesadaran sang atman mampu setara dengan Brahman,

BUKU SAKU DHARMAWACANA (SIRAMAN ROHANI) UNTUK UMAT HINDU 49


3
sehingga muncul konsep parahyangan yang diaktualisasikan
dalam bentuk tempat suci sebagai sarana pemujaan kepada
Beliau.

Sebagai masyarakat agraris, umat Hindu etnis Jawa


mempercayai kemahakuasaan Dewi Sri sebagai Ista Dewata
pemberi kemakmuran. Kepercayaan tersebut mereka
wujudkan dalam letak tata ruang sebuah rumah yang
memuliakan senthong tengah sebagai tempat pemujaan
terhadap Dewi Sri. Selain itu, senthong tengah juga digunakan
untuk memuja leluhur yang disimbolkan dalam bentuk dua
boneka (loro blonyo) sebagai lambang purusa dan pradana.
Eksistensinya sama dengan pemaknaan sanggah. Jika di Bali,
Ista Dewata dan leluhur disthanakan pada pelinggih maka di
Jawa Ista Dewata dan leluhur disthanakan di senthong tengah.
Kegiatan spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu etnis Jawa
dalam memuliakan senthong tengah, dengan melakukan
meditasi untuk memperkuat potensi batin mereka. Sementara
itu, umat juga menghaturkan sesaji kepada Ista Dewata dan
para leluhur sebagai ungkapan terima kasih atas anugrah
yang diberikan.

50
4 PEMPROV DKI JAKARTA, ICLEI-LOCAL GOVERNMENTS FOR SUSTAINABILITY & PHDI
PAWONGAN (MANUSIA DENGAN MANUSIA)

Berlandaskan ajaran Hitopadesa Upanisad “vaisudhaiva


katumbakam” yang artinya kita semua bersaudara. Kesadaran
inilah yang mendorong umat manusia untuk senantiasa
mengembangkan kerukunan agar terjalin rasa kekeluargaan
antar sesama. Sebagaimana yang dilakukan oleh Umat Hindu
dalam pawongan melalui kegiatan sarasehan yang dikenal
dengan Tradisi Kliwonan, menurut kepercayaan umat Hindu
etnis Jawa yang mayoritas penganut Siwaistik.

Malam kliwon adalah malam melinggihnya Dewa Siwa. Setiap


lima hari sekali, Umat Hindu (khusus laki-laki) berkumpul di
Pura untuk melaksanakan persembahyangan bersama serta
pembinaan umat terhadap ajaran Agama Hindu oleh pemangku
setempat. Tradisi yang sudah relatif lama dilaksanakan yang
merupakan salah satu cara umat untuk menjaga keberadaan
Hindu di Jawa, karena pada waktu itu banyak upaya yang
mencoba menghilangkan identitas ke-Hinduan. Melalui tradisi
inilah umat berusaha untuk mempertahankan identitas ke-
Hinduan. Selain itu, Tradisi Kliwonan juga menjadi wahana
dalam membina kebersamaan, sehingga menginspirasi kaum
perempuan untuk melaksanakan kegiatan yang sama, seperti:
kemisan, legian, dan mingguan sebagai sebuah rutinitas guna
mempererat rasa kebersamaan.

PALEMAHAN (MANUSIA DENGAN ALAM)

Alam adalah manifestasi dari badan Tuhan yang secara


langsung menopang kehidupan manusia dan makhluk
lainnya. Hubungan manusia dengan alam bersifat kekal
abadi, karena mereka selalu hidup di alam semesta ini. Di
dalam Lontar Purana Bali dijelaskan mengenai keharmonisan

BUKU SAKU DHARMAWACANA (SIRAMAN ROHANI) UNTUK UMAT HINDU 51


5
manusia dengan alam yang disebut dengan Sad Kertih di
antaranya ada Samudra Kertih. Samudra Kertih yaitu upaya
menjaga kelestarian dan kesucian samudera sebagai sumber
kehidupan manusia. Secara sekala (fisik) upaya pelestarian
laut dapat dilakukan, misalnya; tidak mencemari lautan dan
membudidayakan terumbu karang. Sedangkan secara niskala
(metafisika), seperti Upacara Petik Laut di Pantai. Upacara ini
dilaksanakan secara turun-temurun oleh penduduk di pesisir
pantai yang notabe bermata pencaharian sebagai nelayan.
Upacara ini dilaksanakan dengan melarung sesaji sebagai
ungkapan terima kasih kepada penguasa lautan (Sang Hyang
Baruna) atas hasil yang diberikan selama ini.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keharmonisan


sebagai penyebab kebahagiaan dapat terwujud apabila
kita dapat berinteraksi dengan ketiga unsur Tri Hita Karana
secara seimbang, tentunya berdasarkan pada lingkungan,
waktu, dan kondisi (desa, kala, patra). Oleh karena itu, melalui
implementasi Tri Hita Karana mari kita bersama-sama
menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dengan ketiga
unsurnya, diawali dari hal yang mudah dan bisa dilakukan
dimana saja baik di perkotaan maupun di pedesaan.

5DUL 2 - MEMAHAMI TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN


Om Santih, Santih, Santih Om.

52
6 PEMPROV DKI JAKARTA, ICLEI-LOCAL GOVERNMENTS FOR SUSTAINABILITY & PHDI

Anda mungkin juga menyukai