Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KEBIJAKAN

PEMBIMBINGAN DAN PENGAWASAN BALAI


PEMASYARAKATAN TERHADAP KLIEN ASIMILASI DAN
INTEGRASI RUMAH SECARA DARING DALAM RANGKA
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYEBARAN
COVID - 19

PAPER
Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik

DOSEN :
Dr. Inosentius Samsul, SH, MH.
Ni Ketut Wiratny, SH, MH.

Oleh:
AGATHA DEWAN AYU BUDAYA
NIM : 26.02.012305.1960

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


UNIVERSITAS MAHENDRADATA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Kebijakan pembebasan narapidana dalam upaya menekan laju penyebaran virus
Corona di dalam Lapas atau Rutan adalah wewenang Pemerintah Republik Indonesia melalui
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Overcrowded atau kelebihan kapasitas
penghuni Lapas dan Rutan menjadi pertimbangan dikeluarkannya kebijakan pembebasan
narapidana serta anak oleh Menteri Hukum dan HAM beberapa waktu lalu. Jumlah lapas dan
rutan yang terdapat di seluruh Indonesia kini mencapai 525 unit dengan kapasitas sebanyak
131.931 orang, sedangkan pada kenyataannya dihuni oleh 270.231 orang, sehingga
menunjukkan presentase overcrowded hingga lebih dari 106 %.1 Kondisi tersebut
meningkatkan kerentanan penyebaran virus Corona antar warga binaan pemasyarakatan
karena social distancing menjadi sulit dilakukan dalam kondisi Lapas atau Rutan yang penuh
sesak. Selain itu, pandemi Covid-19 juga dapat menimbulkan kepanikan bagi WBP yang
berpotensi pada terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di dalam Lapas atau Rutan.
Kebijakan pembebasan narapidana terkait dengan wabah Corona ditetapkan
pemerintah melalui pelaksanaan program asimilasi dan hak integrasi. Kebijakan ini
diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang
Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam
Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Kebijakan ini kemudian
menimbulkan keresahan dalam masyarakat karena sebanyak 0,27 % atau 106 narapidana dari
39.273 narapidana yang telah bebas melalui program asimilasi dan hak integrasi kembali
melakukan tindak pidana.2 Narapidana yang kembali berulah memang relatif kecil secara
kuantitas dibandingkan jumlah keseluruhan narapidana yang telah bebas, meskipun demikian,
hal tersebut telah berdampak pada tumbuhnya rasa takut pada kejahatan di masyarakat.
Namun, ketakutan masyarakat ini dapat dimaklumi karena pandemi virus Corona telah

1
Sistem Database Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Data Kapasitas Hunian Lapas dan Rutan, diakses
pada 31 Maret 2020
2
CNN Indonesia, 106 Napi Asimilasi Kembali Berulah, Mencuri Hingga Pencabulan, 2020,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200512150324-12-502544/106-napi-asimilasi-kembali-berulah-mencuri-
hingga-pencabulan
memicu memburuknya kondisi ekomoni serta meningkatnya paparan informasi dari media
sosial yang tidak sepenuhnya benar.
Pengulangan tindak pidana oleh narapidana yang sedang menjalani asimilasi
maupun integrasi di rumah menjadi tanda bahwa penilaian perilaku serta resiko sebelum
mereka dibebaskan kembali dan dibiarkan berbaur ke masyarakat kuranglah efektif. Apabila
pemerintah tidak dapat menjamin bahwa seorang narapidana tidak akan melakukan tindakan
kriminal lagi, maka hal yang dapat dijamin oleh pemerintah adalah pengawasan setelah para
narapidana ini dikembalikan ke dalam masyarakat.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memiliki tanggung jawab
untuk melakukan pengawasan terhadap para narapidana dan anak yang bebas melalui
program asimilasi dan hak integrasi. Pembimbingan dan pengawasan dilakukan oleh satuan
kerja Balai Pemasyarakatan dengan tujuan agar narapidana yang sudah berada di luar Lapas
atau Rutan tidak lagi melakukan tindak pidana. Makalah ini secara khusus ingin menganalisis
eksistensi serta implementasi kebijakan pembimbingan dan pengawasan yang dilakukan
petugas Balai Kemasyarakatan secara daring terhadap narapidana dan anak yang telah
memperoleh program asimilasi dan hak integrasi dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan penyebaran Covid-19.

I. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka permasalahan yang dikemukakan dalam
makalah ini yaitu:
1. Bagaimana eksistensi kebijakan pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan
integrasi rumah secara daring dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19?
2. Bagaimana implementasi kegiatan pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan
integrasi rumah secara daring dalam rangka pencegahan dan penaggulangan Covid -19?
3. Apa solusi untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembimbingan dan pengawasan
klien asimilasi dan integrasi rumah secara daring dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan Covid – 19 ?

I. 3 Tujuan Penulisan

Tujuan makalah ini adalah untuk:


1. Menjelaskan eksistensi kebijakan pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi
dan integrasi rumah secara daring dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
Covid-19
2. Menjelaskan implementasi kegiatan pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi
dan integrasi rumah secara daring dalam rangka pencegahan dan penaggulangan
Covid – 19
3. Memberikan solusi dalam meningkatkan efektivitas kegiatan pembimbingan dan
pengawasan klien asimilasi dan integrasi rumah secara daring dalam rangka
pencegahan dan penaggulangan Covid – 19

I. 4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat praktis yang diharapkan melalui penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan masukan bagi Kementerian Hukum dan HAM serta Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan dalam mengambil kebijakan pengurangan over kapasitas Lapas/Rutan serta
bagaimana meningkatkan efektivitas kegiatan pembimbingan dan pengawasan yang
dilakukan oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan.

I .5 Landasan Teori

1.5.1 Teori Hukum dan Kebijakan Publik


1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau
tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan
tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. 3 Ditegaskan bahwa kebijakan publik dibuat
benar-benar atas nama kepentingan publik untuk mengatasi masalah dan memenuhi
keinginan serta tuntutan seluruh anggota masyarakat.
Makna kebijakan publik menurut James Anderson menyatakan bahwa kebijakan publik
itu adalah suatu langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. 4
Konsep ini membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai
alternatif yang ada.
Pendapat lain diungkapkan oleh Thomas R Dye, mendefinisikannya sebagai “ is
whatever government choose to do or not to do ” (apapun yang dipilih pemerintah untuk

3
Islamy, M. Irfan. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara: PT. Bumi Aksara

4
Nugroho, Riant. 2014. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
dilakukan atau untuk tidak dilakukan).5 Definisi ini menekankan bahwa kebijakan publik
adalah mengenai perwujudan tindakan dan bukan merupakan pernyataan keinginan
pemerintah atau pejabat publik semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh atau
dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu.
Dari berbagai pendapat mengenai kebijakan publik, secara sederhana dapat dikatakan
bahwa kebijakan publik adalah setiap keputusan yang dibuat oleh negara/ pemerintah/
instansi di luar pemerintah sebagai strategi untuk mengatasi sebuah masalah yang
direalisasikan untuk sebuah tujuan secara terstruktur dan dibuat berdasarkan hukum.
Adapaun karakteristik atau ciri-ciri kebijakan publik adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan publik yaitu suatu arahan dalam tindakan dari seseorang, kelompok ataupun
pemerintah
2. Kebijakan publik muncul jika adanya suatu masalah yang berdampak luas
3. Kebijakan publik yaitu sebuah bentuk konkrit negara dengan rakyatnya
4. Keijakan publik yaitu suatu rangkaian sebuah instruksi atau perintah

1.5.1.2 Hubungan antara Hukum dan Kebijakan Publik


Keterkaitan secara mendasar adalah nampak pada atau dalam kenyataan bahwa pada
dasarnya penerapan hukum itu sangat memerlukan kebijakan publik untuk
mengaktualisasikan hukum tersebut di masyarakat, sebab umumnya produk- produk hukum
yang ada itu pada umumnya hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan tidak jarang
produk-produk hukum atau undang-undang yang ada itu tidak mampu mengatur seluruh
dinamika masyarakat yang amat beragam.
Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat dilihat dari pemahaman bahwa pada
dasarnya kebijakan publik umumnya harus dilegalisasikan dalam bentuk hukum, disini
berlaku suatu pendapat bahwa sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Hukum dan
kebijakan publik dalam tataran praktek tidak dapat dipisahkan. Keduanya berjalan masing-
masing dengan prinsip-prinsip saling mengisi, sebab logikanya sebuah produk hukum tanpa
ada proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu kehilangan makna
substansi. Dengan demikian sebaliknya sebuah proses kebijakan publik tanpa ada legalisasi
dari hukum tertentu akan sangat lemah dimensi operasionalnya.6
1.5.2 Teori Negara Hukum

5
Ibid
6
Konsepsi Negara Hukum atau “Rechtstaat” secara Konstitusional tercantum dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dirumuskan dengan tegas
dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Untuk
dapat disebut sebagai negara hukum maka harus memiliki dua unsur pokok yakni adanya
perlindungan Hak Asasi Manusia serta adanya pemisahan dalam negara.7
Sejarah mencatat bahwa konsep negara hukum dapat dibedakan menurut konsep Eropa
Kontinental yang biasa dikenal dengan Rechtsstaat dan dalam konsep Anglo Saxon dikenal
dengan Rule of Law. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rechtsstaat tersebut direduksi
dalam sistem hukum yang dinamakan Civil Law atau yang biasa kita sebut dengan Modern
Roman Law. Konsep Rechtsstaat ini ditelaah secara historis merupakan penentangan secara
tajam atas pemikiran kaum Hegelianisme yang mengembangkan absolutisme, jadi dapat
dikatakan sebagai revolusioner. Berbeda dengan Rule of Law yang berkembang dengan
metode evolusioner, yang direduksi dalam sistem hukum Common Law.8
Terdapat tiga belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman
sekarang. Tiga belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga
berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The
Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti sebenarnya, meliputi : 9
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law);
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law);
3. Asas Legalitas (Due Process of Law);
4. Pembatasan Kekuasaan;
5. Organ-Organ Eksekutif Independen;
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak;
7. Peradilan Tata Usaha Negara;
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court);
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia;
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat);
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat);
12. Transparansi dan Kontrol Sosial

7
Kusnardi dan Bintang R. Saranggih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet 4, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 132
8
Muchsin, 2002, Hukum Dan Kebijakan Publik, Malang: Aneroes Press, Hlm. 57-58.
9
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Papper. Disampaikan dalam Wisuda Sarjana Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004 dalam Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN
No. 14110-0614
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa

1.5.3 Teori Jenjang Norma Hukum


Teori jenjang norma hukum (stufentheorie) dikemukakan oleh Hans Kelsen. Hans
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif
yaitu apa yang disebut norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma,
akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan
semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, disebut oleh Kelsen dengan
Grundnorm (norma dasar).10
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans
Kelsen.11 Hal tersebut bisa dilihat dalam rumusan hierarki peraturan perundang-undangan
Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Dalam Pasal 7 undang-
undang tersebut dinyatakan bahwa, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
a. .Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Ketetapan MPR RI
c. . Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang.
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presdien.
f. Peraturan Daerah Provinsi.
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan berlaku menurut hierarki yang
disebutkan di atas. Jenis peraturan perundang-undangan lain dari yang disebutkan di atas
diakui keberadaannya kekuatan hukum mengikat sejauh diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

10
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 115
11
Ibid
BAB II.

PEMBAHASAN

II.1. Eksistensi kebijakan pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan integrasi
rumah secara daring dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid – 19
Sehari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan status Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Kementerian Hukum dan
HAM mengeluarkan Peraturan Menkumham Nomor 10 tahun 2010 tentang Syarat
Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka
Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 dan Keputusan Kemenkumham
No.19/PK/01/04/2020 pada tanggal 30 Maret 2020 tentang Pengeluaran dan
PembebasanNarapidana Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Aturan hukum mengenai pengeluaran narapidana
tersebut merupakan sebuah kebijakan publik karena menunjukkan sikap dari pemerintah
yang berorientasi pada tindakan untuk melindungi para narapidana dari ancaman paparan
virus Corona akibat kondisi hunian Lapas dan Rutan yang melebihi kapasitas.
Permenkumham Nomor 10 tahun 2010 tersebut juga mengatur Balai
Pemasyarakatan sebagai satuan kerja Pemasyarakatan di sektor hilir untuk melakukan
kegiatan pembimbingan dan pengawasan terhadap narapidana dan anak yang menjalani
program asimilasi serta menerima hak integrasi. Secara lebih spesifik, Kepmenkumham
No.19/PK/01/04/2020 menyatakan bahwa pembimbingan dan pengawasan terhadap
narapidana dan anak yang menjalani program asimilasi serta menerima hak integrasi
dilakukan secara daring. Meskipun demikian, kedua aturan tersebut belum secara rinci
mengatur operasional pelaksanaan pembimbingan dan pengawasan narapidana dan anak
yang sedang menjalani asimilasi dan integrasi secara daring.
Aturan yang lebih konkret mengenai pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi
dan integrasi secara daring baru terbit pada tanggal 2 April 2020 dengan dikeluarkannya
Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-516.PK.01.04.06 Tahun
2020 tentang Mekanisme Pelaksanaan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020. Surat
edaran ini kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Pedoman Pelaksanaan kegiatan
Penelitian Kemasyarakatan, Pendampingan, Pembimbingan dan Pengawasan Klien
Asimilasi dan Integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19 oleh
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pedoman tersebut yang kemudian menjadi acuan
prosedur dan mekanisme bagi petugas Balai Pemasyarakatan dalam melaksanakan
kegiatan pembimbingan dan pengawasan bagi klien asimilasi dan integrasi rumah secara
daring.

II.2. Implementasi kebijakan pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan integrasi
secara daring dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid – 19
Implementasi kebijakan pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang
mungkin dapat dipahami sebagai suatu konteks keluaran yaitu sejauh mana tujuan-tujuan
yang telah direncanakan mendapat sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pelaksanaan
suatu program, seperti personil, peralatan dan juga dukungan anggaran; suatu proses, yaitu
serangkaian tindakan atau kegiatan yang diambil agar keputusan yang telah diambil bisa
dijalankan serta pada akhirnya merujuk pada dampak implementasi dimana telah ada
perubahan yang dapat diukur dalam lingkup yang luas terkait dengan program kebijakan.12
Terkait implementasi sebagai konteks keluaran, kebijakan pengeluaran narapidana
memalui program asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
penyebaran Covid-19 dalam skala nasional telah mendapat dukungan anggaran dari
pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Menteri Keuangan Nomor SE-
6/MK.02/2020 tentang Refocusing Kegiatan dan Realokasi Anggaran
Kementerian/Lembaga dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Namun demikian, dalam lingkup lebih khusus yaitu pada tataran kebijakan
pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan integrasi secara daring sebagai bagian
dari kebijakan pengeluaran narapidana memalui program asimilasi dan integrasi dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19, sumber-sumber yang
dibutuhkan dalam pelaksanannya baik berupa personil, peralaatan maupun anggaran masih
dirasa kurang maksimal. Kuantitas dan kualitas petugas PK/APK yang terbatas serta
kecilnya alokasi anggaran operasional pada Balai Pemasyarakatan menjadi penyebab kurang
optimalnya pembimbingan dan dan pengawasan secara daring kepada klien asimilasi dan
integrasi yang jumlahnya cukup banyak.
Jika dilihat dari sisi proses, Ripley dan Franklin mengungkapkan tiga elemen penting
dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menjalankan keputusan, yaitu :13
1. Badan pelaksana kebiajakan mengembangkan sumber daya yang ada untuk mentaati
12
Budi Winarno,2014, Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus), Centre of Academic Publishing Service,
Yogyakarta, hlm 147-148
13
Ibid
arahan-arahan konkret, regulasi serta rencana-rencana desain program. Balai
Pemasyaraktan sebagai badan pelaksana kebijakan pembimbingan dan pengawasan klien
asimilasi dan integrasi secara daring dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
Covid – 19 telah melaksanakan Pedoman Pelaksanaan kegiatan Penelitian
Kemasyarakatan, Pendampingan, Pembimbingan dan Pengawasan Klien Asimilasi dan
Integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19 yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Prosedur dan mekanisme bagi petugas Balai
Pemasyarakatan dalam melaksanakan kegiatan pembimbingan dan pengawasan bagi
klien asimilasi dan integrasi rumah secara daring adalah sebagai berikut :
a. PK /APK menyusun Laporan Penelitian Kemasyarakatan untuk pembimbingan yang
pengambilan datanya dilakukan melalui wawancara secara daring;
b. PK /APK menyusun rencana program bimbingan yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan klien berdasarkan hasil Laporan Litmas dan koordinasi dengan berbagai
pihak seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, P2TP2A, instansi penyelenggara
pendidikan serta Kelompok Masyarakat secara daring. Pembimbingan setidaknya
dijadwalkan paling sedikit 1 minggu sekali untuk asimilasi dan 1 bulan sekali untuk
integrasi;
c. PK /APK menghubungi klien menggunakan media telepon/sms/whatsapp/video call
sesuai jadwal untuk menyampaikan materi bimbingan;
d. PK /APK bekerjasama dan berkoordinasi secara daring dengan pemerintah setempat
di lingkungan tempat tinggal klien
e. PK /APK meminta klien mengirimkan foto dan atau video aktivitas sebagai data
dukung pelaksanaan bimbingan secara daring;
f. Dalam hal klien tidak memiliki sarana untuk mengirimkan foto dan atau video secara
daring, maka PK/APK dapat berkoordinasi secara daring dengan pemerintah setempat
di lingkungan tempat tinggal klien (Klian banjar/kepala lingkungan, RT/RW, dll)
untuk meminta bantuan mengambil dan mengirimkan foto/video aktivitas klien
g. PK /APK menyusun rencana program pengawasan yang sesuai dengan program
bimbingan yang telah ditetapkan melalui koordinasi secara daring dengan berbagai
pihak terkait seperti keluarga, pamong / kelompok masyarakat serta APH terkait
maupun aparat desa setempat;
h. PK /APK menghubungi klien menggunakan media telepon/sms/whatsapp/video call
sesuai jadwal pelaksanaan pengawasan yang telah disepakati dengan klien untuk
melakukan observasi, wawancara serta koordinasi dengan klien maupun pihak-pihak
yang terlibat dalam kegiatan pengawasan secara daring dalam rangka mendapatkan
informasi tentang keberadaan, kesehatan, aktivitas sehari-hari dan terlaksananya
program pembimbingan klien serta memastikan bahwa pihak-pihak terkait melakukan
peran sesuai dengan program pembimbingan
2. Badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan dengan menciptakan
rutinitas untuk mengatasi beban kerja. Dalam rangka melaksanakan kebijakan
pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan integrasi secara daring, petugas Balai
Pemasyarakatan telah membentuk Whatsapp Group bagi para klien asimilasi dan
integrasi dan meminta para klien untuk lapor diri setiap hari dan mengirimkan foto
kegiatan mereka setiap satu minggu sekali untuk memudahkan pengawasan terhadap
klien. PK/APK juga secara rutin melakukan pencatatan kegiatan
pembimbingan/pengawasan secara daring kedalam kartu pembimbingan/pengawasan,
catatan hasil bimbingan/pengawasan, daftar hadir bimbingan/pengawasan klien serta
menyusun laporan perkembangan mingguan untuk klien asimilasi serta laporan
perkembangan bulanan untuk klien integrasi yang disampaikan kepada Kepala Bapas
dengan tembusan kepada Kanwil Kemenkumham pada setiap wilayah hingga Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan.
3. Badan pelaksana kebijakan memberikan keuntungan / kemudahan kepada kelompok
target sebagai wujud nyata dari suatu program. Kebijakan pembimbingan dan
pengawasan secara daring yang dilaksanakan oleh PK/APK pada Balai Pemasyarakatan
telah memberikan kemudahan kepada klien untuk lebih leluasa mengatur waktu dalam
menerima materi pembimbingan. Klien juga dapat melaporkan keberadaan, kesehatan,
serta pelaksanaan program pembimbingan secara real time kapanpun dan dimanapun
melalui telepon selular tanpa harus pergi ke kantor Balai Pemasyarakatan. Pertukaran
informasi serta koordinasi antara PK/APK dengan klien demi kepentingan terbaik klien
berlangsung pula dengan lebih cepat.
Kebijakan pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan integrasi secara daring
dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid – 19 dikatakan telah memberikan
kontribusi positif maupun negatif bila dikaji dari sisi dampak implementasi. Perubahan
positif terukur yang dicapai dengan adanya kebijakan tersebut antara lain adalah dengan
adanya beberapa klien yang berhasil bekerja secara mandiri dari rumah selama menjalani
program asimilasi. Mukti Zaini asal Lapas Narkotika Bangli dan Anak Agung Satria
Wibawa mantan WBP Rutan Ginyar mampu tetap produktif diabawah bimbingan dan
pengawasan secara daring oleh petugas Balai Pemasyarakatan dengan membuat kerajinan
dari koran bekas meliputi miniatur alat transportasi, mainan anak hingga sarana
persembahyangan agama Hindu seperti bokor dan sokasi. 14 Kedua klien tersebut mampu
berdikari secara ekonomi saat masih menjalani program asimilasi di rumah. Penyusunan
program pembimbingan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien serta koordinasi
dengan berbagai pihak terkait

Penerapan kebijakan publik terkait pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan
integrasi secara daring dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid – 19 yang
tertuang dalam Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 beserta peraturan-peraturan
pelaksana dibawahnya oleh para petugas Balai Pemasyarakatan secara umum telah berjalan
dengan cukup baik meskipun masih menemui beberapa kendala.
Permasalahan kurang implementatifnya Permenkumham No. 10 Tahun 2020 ini antara
lain bahwa aturan tersebut tidak diikuti dengan penyebutan sanksi secara tegas jika klien
asimilasi maupun integrasi melakukan pelanggaran ketentuan ketentuan asimilasi dan
integrasi. Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh segelintir narapidana asimilasi yang
kembali mengulangi tindak pidana beberapa saat setelah bebas pada awal April 2020.
Peraturan pelaksana yang secara eksplisit memuat tentang sanksi yang diberikan
kepada para pelanggar ketentuan asimilasi dan integrasi baru terbit tanggal 9 April 2020
melalui Surat Perintah Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-KP 04.01-69.
Dalam surat perintah itu disebutkan bahwa Klien yang melakukan pelanggaran ketentuan
asimilasi dan integrasi baik syarat umum dan atau syarat khusus akan dikenai tindakan
berupa peningkatan program bimbingan; pencabutan program asimilasi dan pencabutan hak
integrasi Terhadap Klien yang dicabut program asimilasi dan integrasinya maka akan
diberikan sanksi berupa:
1) Pengembalian ke Lapas/LPKA/Rutan terdekat, dan berkoordinasi dengan pihak
kepolisian;
2) Menjalani hukuman tutupan sunyi (strafsel), kecuali untuk Anak;
3) Penempatan terhadap Narapidana dan Anak tersebut pada sel khusus untuk menghindari
penyebaran Covid-19 dari luar sesuai dengan Pedoman Penanganan Covid-19;
4) Masa menjalani asimilasi atau integrasi tidak dihitung sebagai menjalani masa pidana
kecuali Anak;

14
Surna, Nyoman, “Tunggu Pembebasan, Napi Asimilasi Asal Denpasar Buat Kerajinan Koran”, 2020,
https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/05/08/193235/tunggu-pembebasan-napi-asimilasi-asal-denpasar-buat-
kerajinan-koran (02 Juni 2020)
5) Pembatasan pemberian hak-hak remisi, asimilasi dan integrasi.

Meskipun demikian, kebijakan pembimbingan dan pengawasan klien asimilasi dan


integrasi secara daring dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid – 19 dalam
pelaksanannya memiliki beberapa kekurangan, antara lain :
a. Verifikasi data nomor telepon dan alamat klien yang kurang teliti oleh pihak Lapas /
Rutan. Hal ini menyebabkan PK/APK kesulitan dalam menghubungi dan melacak
keberadaan klien secara daring ketika mereka sudah berada di luar.
b. Adanya penyederhaan syarat dokumen pengusulan asimilasi dan integrasi rumah sesuai
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-497.PK.01.04.04
Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui
Asimilasi dan Integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid – 19.
Penyederhanaan syarat dokumen sesuai instruksi surat edaran tersebut adalah
mengganti Penelitian Kemasyarakatan Usul Asimilasi/Integrasi dengan Laporan
Perkembangan Pembinaan dari Lapas/Rutan serta mengganti surat jaminan dengan
surat pernyataan tempat tinggal. Akibat dari penyerdahanaan dokumen ini adalah :
1. PK/APK tidak memperoleh informasi yang utuh mengenai siapa yang menjadi
penjamin klien, dimana tempat klien akan menjalani asimilasi/integrasi serta
kelayakannya. PK/APK juga tidak bisa menggali informasi mengenai bagaimana
kesanggupan warga masyarakat tempat klien menjalani asimilasi/integrasi untuk ikut
mengawasi klien apabila sudah bebas. Hal ini berimbas pada tidak adanya back up
data terkait klien apabila data yang diberikan Lapas/Rutan tidak valid, sehingga
PK/APK akan kehilangan jejak klien dan tidak dapat melakukan pembimbingan
maupun pengawasan secara daring.
2. PK/APK tidak dapat melakukan Asesmen Resiko kepada klien yang diusulkan
menerima similasi/integrasi, sehingga PK/APK tidak bisa memberikan rekomendasi
kelayakan klien untuk mendapatkan asimilasi/integrasi berdasarkan tingkat resiko
pengulangan tindak pidananya kepada Lapas/Rutan. Hal ini meningkatkan resiko
klien kembali melakukan tindak pidana meskipun berada dalam pembimbingan dan
pengawasan PK/APK secara daring.
BAB III. PENUTUP

III.1. Kesimpulan

III.2. Saran

Anda mungkin juga menyukai