: Bondan Lesmana : 3401414113 : 03 REVIEW BUKU RELIGI ORANG BUKIT
Orang bukit merupakan kelompok masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan
Meratus di Kalimantan Selatan. Mereka termasuk pecahan suku Maayan yang menyerap sebagian besar unsur-unsur kebudayaan Melayu. Sebutan Orang Bukit pada awalnya dipakai oleh W. Grabowski dalam tulisan singkat yang berjudul Die Orang Bukit oder Bergmenschen von Mindai (1885: 782-786). Meskipun sering disebut dengan sebutan Orang Bukit, namun mereka justru lebih senang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang yang berasal dari perkampungan tertentu, misalnya Orang Alai, Orang Hamadit, Bubuhan Paramasan, dan Bubuhan Kiyu. Mereka yang tergolong Orang Bukit sangat kental dengan adat istiadatnya. Pandangan mereka mengatakan bahwa apabila adat istiadat dilanggar maka akan ada musibah yang menimpa semua anggota komunitasnya. Kehidupan sehari-hari Orang Bukit diisi dengan bertani dan berladang di lerenglereng bukit dimana semua anggota keluarga mempunyai peran tersendiri didalamnya. Adapun pekerjaan lain seperti meramu hasil hutan, berkebun, dan menyadap karet yang digunakan sebagai pekerjaan sambilan. Kedekatan Orang Bukit dengan alam mengantarkan mereka sangat lekat dengan religi Balian yang menjunjung tinggi alam sebagai sebuah penghormatan. Pekerjaan utama Orang Bukit yakni berladang, selalu dihiasi dengan upacaraupacara kegiatan dengan harapan-harapan baik di masa mendatang. Orang Bukit mengenal upacara di setiap tahap kehidupan. Mulai dari masa kehamilan, melahirkan, perkawinan, hingga kematian yang selalu diiringi upacara adat yang religius. Orang Bukit pun tidak pernah sepi dari aktivitas upacara berkaitan dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Upacara-upacara tersebut bagi Orang Bukit dijadikan sebagai wadah bagi orang-orang yang belajar menjadi balian dan ingin meningkatkan kebaliannya, menguasai mantra, meningkatkan keterampilan membuat peralatan dan sesajen (Haloei Radam.1887: 228). Berbagai upacara yang dilakukan oleh Orang Bukit merupakan bagian dari religi yang mereka anut. Religi yang mereka anut tersebut pun tidaklah berdiri sendiri. Religi yang mereka percayai juga dikaitkan kepada hal-hal duniawi sepanjang lingkaran hidup. Rangkaian upacara Orang Bukit akan diakhiri dengan upacara Mamisit Padi atau upacara kematian yang disimbolkan dengan memasukkan dan mempersatukan gabah padi ringan dan padi berat yang telah wanang ke lumbung. Upacara-upacara yang dilakukan oleh Orang Bukit sudah menjadi budaya tradisional yang terus dijaga kearifannya secara turuntemurun. Kelestarian budaya tradisional Orang Bukit tidak dapat terlepas dari campur tangan banyak pihak. Mulai Guru Jaya, Balian, Kepala adat, Pangiwa dan Panganan, serta konsep bubuhan dalam kekerabatan mempunyai peran tersendiri dalam menjaga budaya yang mereka miliki sejak nenek moyang. Orang Bukit juga selalu menjaga pantangan dan aturan di bumi sebagai komunitas yang kelestarian adat, budaya, dan kepercayaannya ingin tetap terjaga seiring perkembangan zaman. Sumber: Haloei Radam N.1987.Religi Orang Bukit.Jakarta: Semesta.