Santri Milenial
Oleh
Muhammad Khozin
ISBN: 978-602-455
Penyunting: Marina
Desain: Aditya Ramadita
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Muhammad Khozin
TESTIMONI
Santri Milenial v
PRAKATA
Santri Milenial ix
pengabdian, terutama pada tanah dimana kita dilahirkan
dan dibesarkan.
Tentu ucapan terima kasih saya sampaikan kepada tim
Bhuana Ilmu Populer (Gramedia Group) selaku penerbit
yang memproses naskah ini secara cepat. Juga peran Anang
YB yang membantu memoles gagasan di dalam buku ini
sehingga semakin mudah dipahami.
Selamat membaca, semoga inspirasi di dalam buku ini
bermanfaat untuk kita semua.
Penulis
Muhammad Khozin
x Santri Milenial
DAFTAR ISI
Testimoni
Prakata
Kata Pengantar
Santri Milenial xi
Generasi Strawberry
Si Kutu Loncat
Pilihan Politik
Mendidik Generasi di Tengah Perang Kata-Kata
BAB IV SANTRIPRENEUR
Ide Dasar Santripreneur
Pilar Utama Memulai Usaha
Analisis Usaha
Cara Santri Menemukan Peluang
Niat dan Motivasi Santripreneur
Manajemen Operasional
Manajemen Waktu
Kekuatan Rutinitas
Organisasi dan Modal Santripreneur
Santripreneur atau Staffpreneur
Manajemen Keuangan
Komunitas Para Santri
PROFIL PENULIS
Santri Milenial 3
Celana jins bahkan tidak jelas bisa dipakai kapan pas acara
apa. Hanya punya satu sarung itu kurang. Lebih-lebih saat
musim hujan. Baju lengan panjang dengan kerah tegak
adalah ciri lainnya. Ada yang menyebutnya baju koko, ada
juga baju muslim.
Tambahan lain adalah peci atau kopiah, biasanya ber-
warna hitam seperti pet veteran bedanya peci lebih kaku.
Lain daerah beda penutup kepalanya. Di Majalengka, peci
bentuknya lebih tinggi, bisa dua kali lipat dibandingkan peci
di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Lain halnya dengan santri perempuan. Nyaris di semua
daerah sama, mereka berpakaian panjang sampai menut-
up mata kaki dengan penutup kepala yang tidak pernah
lepas. Dalam gambaran film-film, santri perempuan itu
selalu cantik memeluk Al-Qur’an sambil berjalan santai.
Dalam kehidupan pesantren yang nyata, santri perempuan
tak cuma kita temukan sedang berjalan beriringan santai
seperti itu. Mereka menyapu, mencuci pakaian, menjemur
kasur, meracik sayuran, dan berkeringat. Tak beda dengan
santri laki-laki.
Ada juga yang bilang, santri itu identik dengan lapar.
Santri yang lapar juga tidak bisa langsung makan seperti
selama ini kita terbiasa melakukan itu di rumah. Begitu
orkes perut berbunyi, tinggal buka tutup saji di atas meja
makan dan mengisi piring dengan nasi dan lauk lengkap.
Santri mana bisa begitu. Makan pakai jadwal. Kalaupun pas
jadwalnya mau makan tetap harus masak sendiri-sendiri
4 Santri Milenial
atau berkelompok, meski saat ini banyak juga pesantren
menyiapkan fasilitas makan dengan sistem kos bulanan.
Hidup sebagai santri membawa kita untuk belajar ten-
tang Sin: Satrul al aurah. Ada aturan tentang pakaian di
rumah baru yang berisi ribuan orang ini. “Kita harus belajar
tentang menutup aurat,” kata ustaz.
Aurat kita bukan cuma dengkul. Tidak ada gunanya
dengkul kita ditutup rapat tapi otak pembentuk pikiran liar
menjalar seperti tidak pernah diajar.
Santri Milenial 5
status baru sebagai santri, sang pembelajar untuk menerima
ajaran-ajaran Islam dari para kiai.
Para kiai itu, jika dirunut, mereka pun belajar Islam
dari guru-gurunya yang terhubung sampai Rasulullah SAW.
Saya sudah menyerahkan sepotong hidup saya untuk ikut
dalam estafet meneruskan ajaran-ajaran Sang Nabi.
Saat nyantri, saya makin dekat dengan teman-teman
dan paham karakter orang per orang. Tidak semua langsung
cocok, maklum laki semua. Tapi justru di hari itu saya
belajar soal nun, naha anil munkar. Artinya jauhi kemung-
karan.
Apa lagi itu? Munkar adalah ingkar, menutup mata ter-
hadap ajaran agama. Mungkar juga tak lain dari perbuatan
yang diingkari oleh akal. Di situ bercokol rasa marah yang
akut, ringan tangan—dalam arti suka main tangan—dan
bersikap tinggi hati di hadapan orang lain. Perbuatan ini
sudah barang tentu semuanya ditolak oleh akal sehat dan
tidak dibenarkan oleh agama. Apalagi di pesantren yang
isinya laki-laki semua. Berani bikin ulah? Tunggu saatnya
seret koper keluar dari gerbang pesantren.
6 Santri Milenial
mengangguk mantap. Siapa yang tidak ingin jadi pemimpin?
Ada jabatan, kerjaan tetap, gaji rutin, dan terpandang.
Tapi Kiai yang seperti punya indera keenam itu bu-
ru-buru menggedor kesadaran saya dan teman-teman
sesama santri. “Indonesia itu butuh, pemimpin yang bisa
dipercaya,” kata Kiai tanpa maksud nyinyir pada pemimpin
negara yang sekarang atau yang sebelumnya. Membaca bu-
ku-buku yang berisi pemikiran eks presiden RI, yakni Gus
Dur, kita jadi paham filosofi pemimpin bangsa
Menurut kiai yang presiden itu, pemimpin yang bisa
dipercaya adalah pemimpin yang mampu membawa ke-
maslahatan bagi warga negara Indonesia. Ketika manusia di-
tugaskan sebagai khalifah Allah SWT, jelas dia harus mam-
pu mewujudkan solidaritas sosial yang kokoh yang tidak
terbatas pada manusia belaka, tapi juga seluruh makhluk
di semesta ini. Ingin rasanya saya mencoretkan stabilo itu
dan menambahkan kalimat panjang itu bisa diringkas dalam
rumus: Rahmatan Lil ‘Alamin.
Kini kita sudah dapat merangkai dan menjawab te-
ka-teki mengapa saya bersyukur jadi santri. Saya telah
temukan hal-hal baik ini
Sin : Satrul al aurah (menutup aurat)
Nun : Naibul ulama’ (wakil dari ulama’)
Ta’ : Tarku al ma’ashi (meninggalkan kemaksiatan)
Ra’ : Ra’isul ummah (pemimpin ummat)
Santri Milenial 7
Saya jadi yakin dengan ungkapan bijak yang berbunyi:
ketinggian derajat pemuda, tergantung pada keyakinannya.
Setiap orang yang tidak mempunyai keyakinan, maka ia
tidak ada gunanya.
8 Santri Milenial
pesantren. Pesantren memang tempat para santri mengaji
kitab, namun santri adalah orang-orang yang dengan
kesadaran sendiri untuk mengikuti kiai, dan setuju dengan
pemikiran dan perjuangan beliau.
Menurutlah dan patuh pada kiai, pesan orangtua sebe-
lum anaknya berangkat ke pesantren. Pesan penting yang
pasti dan wajib dituruti, tidak hanya selama di pondok
pesantren tapi juga setelah santri tak lagi berdiam di sana.
Santri itu orang-orang yang ikut kata dan perjuangan
kiai, entah ketika kita belajar di pesantren atau tidak lagi
di sana. Sebab, sepanjang menurut pada kiai ya kita tetap
santri. Walaupun kita tidak lancar baca kitab tapi kalau
mendukung dan terlibat dalam perjuangan kiai, maka kita
tetap santri. Apalagi ketika kita pernah ada di dalam pe
santren, maka resmilah kita sebagai anak pesantren.
Pesantren itu seperti tempat mondok para cantrik.
Istilah ini mungkin tidak terlalu populer di daerah Jawa
Timur dan Jawa Barat. Lain halnya di dalam trandisi Jawa,
julukan cantrik diberikan orang-orang yang patuh pada
gurunya.
Bukan patuh pasrah tetapi tumbuh dari kesadaran
bahwa dia ingin hidup lebih baik dengan cara mengikuti
laku dari sosok yang dia ukur layak untuk diikuti. Dalam
cerita pewayangan, cantrik digambarkan hidup satu halaman
rumah dengan guru, begawan, atau resinya. Mereka belajar
dan menuntut ilmu di tempat itu.
Dalam keseharian, cantrik melibatkan diri sebagai
tangan kanan gurunya. Termasuk menjadi bagian dari
Santri Milenial 9
rumah tangga tempat dia tinggal. Entah itu ikut bercocok
tanam, mengelola pondokan, dan aktivitas lainnya.
Dalam dunia kesenian, cantrik juga dipakai untuk se
butan orang-orang yang “ngangsu kawruh” menimba ilmu
dari seniman senior. Misalnya, seseorang yang nyantrik
(menjadi cantrik) dari seorang sinden atau dalang. Di situ
si cantrik ikut ke mana pun gurunya naik pentas. Dia
akan membantu mengangkat gamelan, menyiapkan apa pun
keperluan gurunya sambil memimba ilmu darinya. Santri
dan cantrik seperti dua kata yang kembar dilihat dari moti
vasinya untuk menangguk pengetahuan.
Pesantren bukan hanya tempat belajar para santri yang
mondok. Ada kalong juga yang ikut belajar. Sebutannya
memang santri kalong, mereka tinggal di sekitar pesantren
dan akan datang sesekali untuk bertemu santri dan kiai un-
tuk menimba ilmu tanpa mondok. Sedangkan orang-orang
seperti saya yang memang niat dari awal untuk fulltime
belajar di pesantren disebut santri mukim.
10 Santri Milenial
1. Asal Muasal Pesantren Indonesia
Pertanyaan yang tidak memiliki ujung kesimpulan adalah
apakah sistem pendidikan pesantren adalah model yang
memang ada dalam tradisi Islam universal? Jawaban yang
muncul tentu persimpangan antara ya dan tidak.
Mereka yang punya keyakinan bahwa pesantren ada-
lah bagian dari tradisi Islam menyodorkan fakta tentang
laku tarekat. Pendapat ini berargumen bahwa ada wak-
tunya peyebaran agama Islam memang dilakukan dalam
kegiatan tarekat. Yang dimaksud di sini adalah laku ta-
sawuf atau ajaran (cara dan sebagainya) untuk mengenal
dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh
hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.
Kelompok tarekat ini dalam praktiknya berkelompok
untuk melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid terten-
tu. Di dalam kelompok itu ada sosok panutan yang dikenal
sebagai kiai dan mewajibkan anggota tarekat untuk melak-
sanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun.
Caranya adalah dengan hidup berkoloni dalam pemondokan
di dalam lingkungan masjid untuk melaksanakan ibadah
dalam bimbingan sang kiai.
Inilah cikal bakal pengajian yang kita kenal selama ini.
Pengajian yang menetapkan cara hidup dengan mondok
akhirnya dijadikan penguat argumen bahwa jauh sebelum
Islam masuk ke Nusantara, pengajaran ala pesantren ini
telah ada lebih dulu.
Kemiripan pesantren yang kita kenal sekarang ini juga
mudah kita temukan di negara-negara Hindu dan Buddha
Santri Milenial 11
seperti di India dan Thailand. Dalam tradisi pendidikan
agama Hindu, para guru mengajar karena pengabdian, me
reka tidak dibayar dan memilih mendirikan tempat-tempat
pemondokan jauh dari keramaian untuk mengajar. Pola ini
memperlihatkan kemiripan dengan pesantren nusantara.
2. Walisongo
Bicara asal muasal pesantren di tanah air tak bisa lari
dari keharusan menyebut peran Walisongo. Kesembilan
kiai itu menggunakan model pondokan untuk mengawali
penyebaran agama Islam di tanah air. Hidup bersama dalam
satu lingkungan dan keseharian yang sama membuat proses
pengajaran menjadi lebih mudah diterima. Para wali juga
tidak serta merta menjaga jarak terhadap kearifan dan
budaya lokal. Justru budaya dan kesenian digunakan sebagai
pintu masuk yang lebar untuk menunjukkan wajah Islam
yang ramah dan luhur.
12 Santri Milenial
(dari kata emoh lima atau tidak untuk lima hal) yang di
ajarkan oleh Sunan Ampel.
Menariknya, mo-limo asal mulanya adalah ritual
sekte Siwa-Buddha Bhairawa Tantra yang berisi: matsiya
(memakan ikan gembung yang beracun), manuya (minum
darah dan memakan daging korban ritual), madya (minum
minimal beralkohol), muthra (menari), dan maithuna (pesta
seks). Kelimanya kemudian dianggap sebagai hal yang tabu
sehingga perlahan ditinggalkan.
Kehadiran Walisongo kemudian membawa makna baru
bagi larangan mo-limo ini sehingga lebih cocok dengan kon-
disi riil masyarakat saat itu, yakni larangan madat (mengon-
sumsi candu), madon (seks bebas), minum (mengonsumsi
minuman berarkohol), main (berjudi), dan maling (men-
curi). Mungkin kini saatnya kita memberikan penafsiran
baru bagi mo-limo yang juga cocok bagi era milenial, yakni
larangan menganggur, malas, maling (korupsi), memalukan,
muslihat (licik).
Bercerminlah dari perjuangan para wali, pesan ini se
ring digaungkan. Perilaku santri harus baik, ucapan harus
benar, dan pikiran harus lurus. Berdakwah dengan berperi
laku baik, berbudaya, dan santun jelas menjadi cara dakwah
yang ampuh dan efektif. Itulah style perjuangan para wali.
Para wali pelan namun pasti telah mengislamkan nu
santara dengan cara halus, tanpa pemaksaan kehendak
apalagi tumpah-tumpahan darah. Sejarah mencatat betapa
banyak kerajaan-kerajaan pada akhirnya dicatat sebagai ke
rajaan baru yang bernafaskan Islam.
Santri Milenial 13
3. Modern dan Tradisional
Meski sama-sama mengajarkan ilmu agama, namun kini
orang mengelompokkan pesantren ke dalam dua kelompok
besar berdasarkan metodenya. Ada pesantren tradisional
dan ada pesantren modern. Menuntut ilmu memang ke-
wajiban manusia, namun ada realitas bahwa orang punya
keinginan dan pilihan yang berbeda di mana mereka akan
mengayunkan gayungnya menimba ilmu.
Pesantren tradisional didefiniskan sebagai sistem
pendidikan islami yang menerapkan pesantren salafiyah.
Gambarannya mirip dengan sistem cantrik, para santri
tinggal di dekat kiai dan membantu kegiatan kiai sehari-hari
seperti mengelola sawah, kebun, empang, dan kebersihan
lingkungan. Kiai menyediakan pondokan untuk para santri
mereka dengan cuma-cuma atau sedikit imbalan sepantas
nya.
Kehidupan di pesantren ini bisa dominan waktunya,
sejak subuh hingga larut malam. Para santri saat siang hari
bisa bekerja di sawah atau mengikuti pendidikan formal di
sekolah-sekolah umum. Setelah itu, mereka akan mengaji
ilmu agama dan baca kitab dari kiainya.
Proses pembelajaran bersama kiai dalam pesantren tra-
disional bisa berlangsung lama sebab si kiai tidak menerap-
kan metode dan silabus pembelajaran yang baku. Pengajaran
mengalir sesuai kemampuan si santri menyerap dan mem-
praktikan tiap ajaran yang diberikan oleh kiainya. Makin
rajin dan makin tajam kemampuan si santri menyerap ilmu,
maka makin cepat proses pembelajarannya.
14 Santri Milenial
Lain halnya dengan pesantren modern. Di tempat pen-
didikan agama yang berkonotasi lebih maju ini, proses pem-
belajaran sudah memadukan materi agama dan pendidik
an formal. Namun demikian, tetap saja porsi pengajaran
agama dan Al-Qur'an mendapat prioritas dan porsi lebih
besar. Nilai-nilai kesederhanaan, kesantunan, rendah hati,
kemandirian, berpadu dengan gemblengan leadership, ke-
wirausahaan, IT, mekanik, jurnalistik, dan penguasaan ilmu
lainnya yang relevan.
Dua model pesantren yang terus mewarnai dunia pen-
didikan islami di nusantara, tak ada yang lebih baik satu
dengan lainnya. Keduanya punya misi yang serupa, men-
jadikan anak didiknya sebagai rahmat untuk seluruh alam.
Santri Milenial 15
Para santri mengangguk-angguk. “Jadi, salah ya Kiai kalau
saya nyebutnya Pondok Pesantren?” Celetuk seorang bocah.
“Soal salah atau benar, biarlah Allah SWT yang nanti
memeriksa,” canda Kiai sambil mengibaskan sorban ko-
tak-kotaknya. Para santri tergelak keras.
Orang Jawa dan Madura paling suka memakai dua
sebutan itu. Lain soal dengan orang Aceh. Di sana tempat
pendidikan agama dengan sistem pondok disebut sebagai
dayah, rangkang, atau menuasa. Beda lagi dengan sau-
dara-saudara di Minangkau. Mereka menyebutnya surau.
Kali ini saya mau merangkai satu deret nilai unggul santri.
Perilaku, cara berpikir, cara hidup, dan cara bermasyarakat
para santri memang terlihat unik. Mereka seperti merajut
satu budaya yang amat khas terutama dalam kehidupan
mereka.
Sejatinya pesantren memang sekolah kehidupan, tem-
pat sekian banyak orang digembleng dan ditempa seperti
16 Santri Milenial
sebilah besi yang akhirnya menjadi tajam setelah dibentuk
dengan keuletan dan kesabaran. Inilah nilai unggul santri
sependek yang saya rasakan dan lihat dengan kelima indera
saya.
1. Mandiri
Meski saya mengalami masa-masa masih disuapi dan di-
mandikan ketika jadi santri pertama kali di pesantren anak-
anak Denok Lumajang Jawa Timur, tapi itu pengecualian.
Orangtua saya memasukkan saya ke pesantren dalam usia
yang kecil.
Santri itu mencuci sendiri. Semuanya, mulai dari men-
cuci beras hingga sarung. Mulai dari menguras kamar man-
di, menggosok toilet, hingga menyapu kamar dan halaman.
Pesantren juga banyak tempat untuk berkebun, jadi tani,
mengurusi kolam ikan, kandang kambing, dan ayam. Santri
itu memasak nasi sendiri, bikin tumis kangkung sendiri,
nyeplok telor sendiri kalau punya duit untuk beli telor.
Beda dengan kondisi di rumah keluarga sendiri, di sana
bisa jadi ada meja besar dan penuh nasi lauk. Ini akan jadi
kenangan yang membuat kita menelan ludah karena sangat
membuat rindu nantinya. Sekali makan boleh pakai tiga
lauk sekaligus. Nambah nasi sebanyak piring pertama.
Lain pemandangan di pesantren. Meja penuh makanan
adalah hal langka. Kalau kita mendadak lapar sebelum wak-
tunya, santri belum tentu bisa mengisi perut. Di pesantren
Santri Milenial 17
kalau santri masih lapar setelah makan sepiring nasi goreng,
mereka harus mengulek bumbu lagi untuk mendapatkan
sepiring nasi goreng kedua.
Di pesantren, kalau santri mau teh manis berarti
dia harus membeli gula sendiri, masak air sendiri, bah-
kan cari kayu sendiri untuk masak air. Untuk bisa minum
seteguk teh manis mungkin hanya sekian detik tapi untuk
menikmati itu mereka harus berjuang sebelum tehnya siap
diminum. Kalau punya duit, tentu bisa beli teh kotak di
warung atau koperasi pesantren.
Santri laki-laki dan perempuan akan menghadapi satu
dunia baru sendirian. Tidak ada Ibu yang bangun subuh
pukul empat untuk meracik bumbu melengkapi sayur dan
lauk setiap pagi. Santri akan menjadi ibu bahkan bapak bagi
dirinya sendiri.
Kata “sendiri” bermakna “tidak ada yang melayani” tapi
bisa saja dilakukan ramai-ramai. Daripada masak nasi satu
dandang dan baru habis seminggu, maka biasanya sekali
masak nasi dimakan untuk beberapa orang. Demikian pula
untuk semangkup sup dan sepiring tempe goreng, makann-
ya ramai-ramai, hasil memasak di dapur pondokan.
Santri sudah pasti mandiri. Tidak ada ceritanya bangun
harus dibangunkan, belajar harus diingatkan, sikat gigi
harus dipaksa-paksa, pulang sekolah tinggal melempar baju
kotor ke keranjang atau ke mesin cuci. Tak ada pembantu
tak ada laundry. Semua self- service. Sukur-sukur juga
melayani teman lainnya. Itu sudah menjadi etos pergaulan
di dalam pesantren.
18 Santri Milenial
Termasuk mengatur waktu seperti pendekar, mesti
lincah kalau tidak mau pusing karena jadwal sangat padat
dan tabrak-tabrakan. Satu kamar mandi bisa dipakai antre
lima sampai sepuluh orang. Padahal semua harus masuk
sekolah dalam waktu bersamaan. Sekali lelet, maka efeknya
bisa merembet. Menyusahkan teman dan pastinya susah
sendiri.
Sakit juga bukan alasan untuk cengeng. Ada teman
sekamar sebagai dokter darurat, tempat kita minta dipijat,
dikeroki, dan minta dibagi obat gosok dan koyok.
Santri Milenial 19
2. Solidaritas
Santri itu bukan sepotong hidup di dalam pondok saja.
Santri adalah keseharian kita bahkan ketika tidak lagi ada
di dalam bilik-bilik kayu rapuh pondok pesantren. Ketika
para santri sudah “turun gunung” kembali ke masyarakat,
solidaritas itu tidak memudar. Pertemanan masih dieman-
eman agar tidak menguap. Persahabatan masih dijaga agar
tetap erat.
Mana ada santri yang tidak pernah pinjam uang? Apa
iya. Pasti. Karena sekaya apa si santri selalu ada masalah
dengan uangnya. Entah itu kiriman uang datang telat atau
kadang uang habis sebelum kiriman datang di kamar santri.
Saya paling sering mengalami kasus yang kedua itu. Duit
habis sebelum waktunya. Bukan karena kurang tapi saya
memang royal dan boros. Dikirim berapa pun, dijatah be-
rapa pun lebih sering habis sebelum bulannya habis.
Apalagi waktu itu orangtua saya sudah pisah, jadi
mereka gantian kirim kebutuhan uang untuk saya hidup
di pesantren. Kadang dari Abah dan kadang dari Ummi.
Kalau soal telat, itu sudah hal biasa. Kadang sampai berbu-
lan-bulan. Untuk makan, saya patungan dengan beberapa
teman yang sama sialnya. Terus buat lauk dan sayurnya dari
mana? Nah pengasuh pesantren punya kebun yang sudah
dihalalkannya untuk santri yang mau masak.
“Tapi jangan ambil yang matang, petik saja yang
mentah,” begitu pesannya. Maksudnya yang matang semisal
pepaya, kami boleh petik pepaya yang masih hijau untuk
20 Santri Milenial
dibuat oseng-oseng atau tumisan. Jadi sebagai santri laki-
laki, bisa mendapat pepaya mentah itu serasa nikmatnya
seperti dapat secuil surga. Cukup dengan menambahkan
cabe, garam, kecap, dan secangkir air jadilah sayur oseng
yang enak. Masak tak perlu beli minyak tanah sebab di
sekitar pesantren gampang untuk mendapat kayu bakar.
Tinggal nyalakan api tungku. Saya masih mengalami masa-
manis itu sewaktu ada di kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah di
Pesantren Miftahul Ulum Suren-Jember.
Santri Milenial 21
Hari ini mau masak dengan siapa dan besok dengan
orang berbeda ya tidak masalah. Minta beras sama siapa
dan lauknya sama siapa yang lain juga sah-sah saja. Semua
satu penanggungan dan rata-rata berstatus perantau juga.
Tidak banyak santri yang asalnya dari kampung tempat
pesantren berada.
22 Santri Milenial
Bersyukur saya mengenal pesantren dengan solidari-
tasnya yang unik. Sesuatu pengalaman berharga yang bisa
jadi tidak ada di dalam kehidupan di luar pesantren.
Pesantren zaman now boleh sedikit berubah. Bisa jadi
ini adalah gagasan para pengelola pesantren yang berasal
dari generasi milenial. Mereka berpikir lebih praktis agar
waktu yang dimiliki para santri dapat digunakan untuk le
bih banyak belajar. Dibukalah kantin-kantin semacam tem-
pat makan di pesantren. Urusan mengisi perut dapat dilaku-
kan lebih simpel, cukup buka dompet dan bayar makanan
yang ditunjuk. Tak perlu lagi ritual cari kayu bakar atau
nyodok pepaya mentah dengan bambu.
Ada alumni yang memutuskan untuk mengabdikan di-
rinya di dalam pesantren yang dulu membentuk dirinya.
Entah menjadi pengurus pesantren, guru, atau ustaz di sana.
Ada juga yang meniti karier sebagai pegawai pemerintah,
kerja di kantor swasta. Tidak sedikit yang jadi jurnalis
berbekal ilmu menulis yang diperoleh di pesantren. Tidak
terbilang teman sesama santri yang malah masuk jajaran
pemerintah sebagai abdi negara atau birokrat, penasihat
menteri bahkan jadi menteri.
Di luar itu, ilmu entrepreneur hasil gemblengan sis
tem pendidikan pondok juga menciptakan ribuan santri
penguasaha. Apakah solidaritas menjadi muntur karena
sudah memiliki ladang garapan yang berbeda? Sama sekali
tidak. Solidaritas itu tetap terjaga.
Adalah satu sahabat saya sesama santri. Dia santri asal
Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Saya memanggilnya
Santri Milenial 23
Zaki, lengkapnya Zaki Alyamani. Sebutan paling pas untuk
sosok dia adalah BFS alias best friend santri. Tidur sebantal,
urusan kekurangan duit ya numpang di dompet dia. Pen-
galaman seru, pahit, asem, dan manis di Pesantren Nurul
Jadid sedikit banyak terkait dengan Si Zaki ini.
Problem anak santri seringkali tidak jauh dari urusan
kantong kempes dan itu sering jadi keluhan saya ke Zaki.
Tanpa diminta pun Zaki mengulurkan tangan. Juga santri-
santri yang rata-rata memang sudah tahu sama tahu ke
sulitan anak-anak perantau jauh dari orangtua.
3. Kedisiplinan
Disiplin tak lain dari ketaatan atau kepatuhan kepada
peraturan dan tata tertib. Masuk pesantren pun demikian.
Santri tunduk pada aturan yang ada. Wajib mau ditata dan
ditertibkan. Berapa lama? Bisa jadi 24 jam selama kita ada
di pesantren. Sebab tidur pun ditata waktunya. Jangan harap
bisa tidur siang bila antara lohor dan ashar ada jadwal
kegiatan.
Santri kena tempeleng bukan cerita isapan jempol.
Buktinya saya pernah mendapat cap tangan guru di pipi
sewaktu jadi nyantri dan jadi siswa di Madrasah Aliyah
Keagamaan (MAK) Nurul Jadid. Plak! Sakit di kulit,
panas di hati. Malunya ampun-ampunan karena dilihat
teman-teman sesama santri. Harga diri merosot serendah-
rendahnya. Nyali langsung ciut seperti kerupuk tersiram
satu gelas air.
24 Santri Milenial
Entah karena telat masuk kelas atau alasan rambut
dianggap gondrong oleh guru, pak ustaz, atau kiai. Hukum
an ringan sampai fisik digunakan untuk membentuk ke-
disiplinan para santri.
Kadang, keberanian untuk melanggar aturan muncul
sekadar untuk menunjukkan bahwa kita bukan anak cemen.
Kadang juga karena dipanas-panasin teman di pesantren
meski ujung-ujungnya yang kena hukuman ya sendirian.
Ada masa-masanya saya sedemikian bandel, bahkan bolos
sekolah selama setahun. Pernah juga tidak naik kelas saat
masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul
Ulum.
4. Kemampuan Bahasa
Jangan minder saat tidak bisa berbahasa Inggris di pesan
tren, jangan rendah diri juga ketika kita belum bisa ber-
cakap-cakap menggunakan bahasa Arab, karena di situlah
tempat santri memperlancar kemampuan berbahasa asing.
Bahasa itu jendela dunia, persisnya “kendaraan” untuk
keliling dunia. Makanya santri diwajibkan paham banyak
bahasa selain bahasa ibu, bahasa persatuan, dan bahasa
kalbu. Belajar bahasa itu perlu disiplin, contohnya belajar
bahasa Inggris dan bahasa Arab yang memang jadi unggul
an di hampir semua pesantren.
Santri Milenial 25
Santri di banyak tempat diwajibkan berkomunikasi
menggunakan dua bahasa itu. Ada yang full setiap hari. Ka-
lau saya dulu sewaktu nyantri dikenai kewajiban itu selama
enam hari dalam seminggu. Hari jumat adalah hari bebas
mengobrol menggunakan bahasa Indonesia. Apa jadinya
jika tidak disiplin dengan tata aturan itu? Bersiaplah untuk
menghadapi petugas bahasa, semacam departemen bahasa
di asrama putra MAK Nurul Jadid.
Pernah saya tertangkap melanggar aturan berbahasa.
Petugas bahasa memanggil saya di suatu siang dengan lan-
tang. Celaka, saya tertangkap basah bicara pakai bahasa In-
donesia di hari Selasa. Alamat saya bakal kena ta’zir—istilah
untuk denda atas kecerobohan saya dalam bercakap-cakap
di lingkup asrama. Dengan langkah lemas, saya menuju
depan asrama sambil dilihat sesama santri.
Sambil berdiri, saya patuh untuk menghafalkan sepuluh
sampai duapuluh mufrodat alias kosakata bahasa Arab.
Kalau belum hafal, jangan harap saya terbebas dari denda
hukuman itu. Meski merasa dipermalukan dan kesal, tapi
disiplin itu saya terima sebagai konsekuensi melanggar tata
tertib berbahasa di lingkup asrama. Tahun-tahun pertama
terutama saat masih duduk di kelas 1 itulah saya paling
sering mendapat hukuman karena keceplosan bicara
menggunakan bahasa Indoensia atau Madura di luar hari
Jumat. Maklum, penyesuaian belum terbentuk di dalam
diri saya.
26 Santri Milenial
Pesantren pada akhirnya menjadi “inkubator” saya untuk
menguasai bahasa Inggris dan Arab dengan sangat intensif.
Saya merasa mendapat bekal cukup dalam penguasaan
percakapan bahasa Arab dan Inggris.
5. Nasionalisme
Nasionalisme itu rasa cinta yang mendalam terhadap tanah
air, kesungguhan untuk menempatkan tanah tumpah darah
sebagai prioritas untuk dicintai melebihi cinta pada negara
lain.
Kisah kepahlawanan kaum sarungan dalam masa-ma-
sa melawan kolonialisme Belanda dan Jepang mudah kita
temukan. Perjuangan kaum Islam masa itu bukan un-
tuk memerangi bangsa lain, tapi usaha mempertahankan
kedaulatan bangsa dan negara.
Sejarah juga mencatat ketika kaum santri berorganisasi
pada masa itu untuk membangun satu komunitas yang
solid. Tujuannya konkret, untuk mencerdaskan anak-anak
Santri Milenial 27
pribumi agar setara dengan anak-anak penjajah yang me
miliki akses pendidikan lebih terbuka.
28 Santri Milenial
Kembali ke khittah tak lain adalah metode ijtihad poli-
tik baru para ulama yang lebih elegan sehingga tak menodai
kesakralan ajaran NU itu sendiri dan tanpa mengurangi
semangat nasionalisme kaum pesantren.
Nasionalisme juga terlihat di dalam kehidupan se-
hari-hari di pesantren. Upacara bendera secara berkala dan
pada hari nasional, kegiatan pramuka, kegiatan mengem-
bangkan wirausaha. Semua itu berguna untuk membentuk
watak santri yang unggul, kompetitif, dan mandiri.
Santri Milenial 29
itu seperti di dalam penjara,” kata mereka. Ada lagi yang
menyesal masuk pesantren karena, “Kuno, aturannya nggak
masuk akal. Nggak bebas. Apa-apa nggak boleh, gimana kita
bisa berkembang?”
Namun, dari sekian banyak santri yang memilih ber-
tahan di pesantren toh bisa menangkap ilmu kehidupan di
sana. Salah satu hal penting dari ilmu kehidupan adalah
adaptasi. Siapa pun yang mampu beradaptasi maka dia akan
hidup lebih lama.
Beradaptasilah dengan sistem kehidupan pesantren
yang ketat, disiplin, penuh aturan sejak pagi hingga malam.
Nikmati cara hidup yang baru dan pandanglah itu sebagai
sesuatu yang lebih baik. Sebab, ketika kita masih merindu
kan cara hidup yang lama, lantas buat apa si santri mon-
dok? Balik saja ke rumah, di sana kita akan temukan ke-
hidupan persis seperti yang kita bayangkan. Itu berarti kita
gagal beradaptasi.
30 Santri Milenial
7. Lebih Paham Ilmu Agama
Di mana lagi bisa mendalami ilmu agama secara jangka
panjang, intensif, bersama guru agama yang sudah banyak
makan asam garam kehidupan dan sekaligus hidup 24 jam
sehari di dalam lingkungan yang agamis?
B. Belajar Tajwid
Inilah pelajaran intensif yang akan di pelajari para santri,
yakni pengajaran baca Al-Qur’an. Para santri akan diajak
untuk mengenali dan membedakan huruf-huruf Al-Qur’an
(huruf hijaiyyah) secara benar. Selain itu, tajwid juga mem-
buat santri dapat melafalkan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an
dengan fasih sesuai dengan makhraj atau tempat keluarnya
huruf-huruf hijaiyyah dari rongga mulut.
Santri Milenial 31
C. Berbahasa Arab
Bahasa Arab adalah pintu untuk dapat memahami Al-
Qur’an dan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab dengan
benar. Karena itu wajarlah bila pesantren memberi porsi
besar untuk mata pelajaran ini. bahkan, banyak pesantren
yang merapikan hari-hari wajib berbahasa Arab di dalam
lingkungan pesantren. Habit para santri untuk memakai
bahasa ini juga terbentuk karenanya.
D. Akhlak
Hampir semua orangtua merelakan diri untuk berjauhan
dengan anaknya yang masuk pesantren agar anak-anak itu
mempunya akhlak yang lebih baik. Kepribadian muslim
yang berakhlak mulia, tidak mudah untuk terbentuk di
dalam lingkungan masyarakat umum. Pesantren adalah se-
kolah kehidupan untuk membentuk itu lebih intensif.
Akhlak tidak sekadar bicara relasi si santri dengan Al-
lah-nya—hablun min Allah, tetap juga relasi mereka dengan
manusia lainnya atau hablun min al-nas. Tak kalah penting,
untuk turut serta menjaga hubungan si santri dengan alam
dan makhluk Allah yang lain.
E. Fiqh
Fiqh alias syari’at Islam adalah ilmu wajib yang dipelajari
di pesantren. Materi pembelajaran ini cukup banyak dan
butuh pemahanan yang mendalam. Untuk itu di pesantren,
ilmu fiqh seringkali dipelajari dalam berbagai jenjang sesuai
dengan tingkap kemampuan si santri untuk memahaminya.
32 Santri Milenial
Satu ilmu baru terkadang mensyaratkan si santri harus su-
dah mempelajari ilmu fiqh lainnya.
F. Sejarah Islam
Ilmu sejarah Islam sering disebut juga ilmu tarikh. Para
santri akan diajak untuk masuk ke masa-masa silam, mem-
pelajari pertumbuhan dan sejarah persebaran Islam semen-
jak masa Rasulullah SAW hingga masa kehidupan Turki
‘Utsmani bahkan masa kontemporer. Banyak pesantren juga
memasukkan pelajaran ilmu sejarah Islam di tanah air.
Selain ilmu-ilmu tadi, diajarkan pula ilmu agama se
perti hadits, termasuk ilmu tafsir Al-Qur’an. Beda pesantren
beda kurikulum, tapi semua memiliki misi yang lebih ku
rang sama dalam hal pembelajaran ilmu agama.
8. Mengikuti Tren IT
Santri zaman now tak bisa dijauhkan dari perkembangan
ilmu Teknologi Informasi (IT). Bahkan, santri tetaplah
bagian dari kaum milenial yang hidup di era cyber culture.
Tak perlu dan tak bisa santri menjauhkan diri dari
perkembangan ilmu IT yang berlari semakin kencang dalam
jeda 10 tahun terakhir.
IT memang tak perlu dijauhi. Bahkan teknologi itu
dapat dipakai sebagai kendaraan untuk menciptakan ke-
maslahatan umat.
Santri Milenial 33
Zaman boleh berubah, tunggangan boleh berganti,
media syiar boleh timbul dan tenggelam, tetapi misi dan visi
mengembangkan Islam tak boleh surut.
34 Santri Milenial
9. Hormat Kiai dan Senior
“Ciumlah tangan kiaimu.” Awalnya, aturan itu seolah tam-
pak sebagai kewajiban belaka. Namun, seiring berjalannya
waktu, tradisi mencium tangan kiai menjadi penciri perilaku
baik dari kehidupan para santri.
Di mana ada kiai, di situ ada santri yang berkerumun
mengantre untuk mencium tangan para kiai. Bahkan bukan
hanya pada kiai gurunya, tetapi juga rasa hormat itu diper-
lihatkan kepada keturunan para kiai itu.
Apakah mencium tangan kiai itu ada dasarnya? Ada.
Banyak riwayat hadis yang menceritakan bahwa sahabat
Nabi mencium tangan beliau. Banyak juga cerita para ulama
salaf yang mencium tangan para sahabat Nabi. Bahkan ada
ulama yang secara khusus menulis kitab yang membahas
bolehnya mencium tangan Kyai atau guru yang diberi judul
I’lam al-Nabil bi Jawazi al-Taqbil.
Ketika ada kiai lewat di depannya, santri bisa menun-
duk membentuk sudut sembilan puluh derajat, ketika kiai
mau masuk ruangan, santri berebut membukakan pintu.
Bahkan masih terjadi di daerah-daerah pelosok, ketika para
santri melihat kiai atau gurunya masuk pekarangan pe-
santren dengan menuntun sepeda, ramai-ramai para santri
membantu mengambil alih sepeda dan menuntunnya den-
gan riang gembira.
Santri akan menghormati para gurunya, para seniornya,
dan tentu saja para kiainya sampai kapan pun. Bahkan keti-
ka mereka sudah meninggalkan pesantren tempat belajarnya.
Bahkan ketika dia sudah mempunyai pesantren sendiri,
Santri Milenial 35
para santri akan tetap memposisikan dirinya sebagai murid
ketika bertemu para kiai pendidiknya.
36 Santri Milenial
ponsel bisa berisi belasan grup semacam itu—adalah wujud
dari silaturahmi.
Saling menyapa selepas salat subuh, berbagi poster atau
meme inspiratif berisi ayat-ayat suci yang meneguhkan, atau
sekadar mengucapkan selamat berbahagia atas hari kelahiran
atau kelahiran baby yang dinanti sekian lama.
Pada akhirnya, era digital memungkinkan silaturahmi
terjadi dengan lebih intensif, tidak lagi terbentur oleh jarak,
waktu, dan biaya yang mahal.
Santri itu dikenal karena silaturahminya yang selengket
ketan. Sekali kenal, sekali berinteraksi, maka kedekatannya
bisa berlangsung amat lama. Entah relasi antar santri mau-
pun santri dengan institusi pesantrennya.
Santri Milenial 37
Ads. Bukan juga biaya iklan yang besar atau konsep-konsep
personal branding yang dahsyat. Kunci saya sederhana saja:
silaturahmi.”
Dia bertutur, klien dia tidak banyak. Namun, dia
memiliki key clients yang senantiasa repeat order. Dan mere-
ka adalah penyumbang terbesar dari omzet tahunan. Klien
yang puas dan dia rawat relasinya dengan silaturahmi pada
akhirnya juga menjadi corong dan pemberi rekomendasi
pada klien-klien baru yang datang belakangan.
Jadi benar sekali apa yang disabdakan oleh Nabi, “Ba-
rangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluas-
kan rizkinya, hendaklah dia menyambung tali silaturrahmi.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Nah, Sudahkah aset bernama “silaturahmi” itu kita
manfaatkan untuk berbagai hal positif?
38 Santri Milenial
BAB II
GENERASI MILENIAL
A. Generasi Zaman Now
Santri Milenial 41
dah bisa ikut pemilu, bermain di kancah politik, berbisnis,
bekerja di kantor, mendapatkan kredit bank, atau aktivitas
lainnya yang dianggap legal oleh negara dan wajar oleh
masyarakat. Bahkan, Generasi Milenial sudah banyak yang
menikah dan memiliki keturunan. Anak-anak keturunan
Generasi Milenial selanjutnya akan disebut Generasi Z.
Generasi Milenial lahir dan tumbuh ketika komputer
mulai berevolusi dari teknologi yang semula besar, sulit,
dan mahal menjadi perangkat rumahan yang mudah digu-
nakan, bisa melakukan apa pun (multimedia), dan berhar-
ga semakin murah, serta merakyat. Ketika internet mulai
populer, sekitar tahun 90-an hingga 2000, Generasi Mile-
nial telah beranjak dewasa, sehingga nilai-nilai hidup yang
ditanamkan orangtuanya masih berciri sosial. Sebagai con-
toh, menurut generasi ini bekerja yang baik adalah secara
kolaboratif dalam sebuah tim.
42 Santri Milenial
memberi perhatian lebih pada kemudahan teknologi selama
proses mengajar. Sebagai contoh, guru Generasi Milenial
memberi tugas kelompok (kolaboratif, yang merupakan ciri
generasi tersebut) kepada murid-muridnya yang berasal dari
Generasi Z untuk membuat video klip tentang perjuangan
pahlawan. Nanti, hasil olah video itu harus di-upload di
situs Youtube agar mudah dilihat dan dinilai secara mobile.
Cara kerja Generasi Milenial ini agak berbeda dengan
Generasi berikutnya, yaitu Generasi Z. Umumnya, Generasi
Z adalah anak-anak keturunan dari Generasi Milenial (Ge
nerasi Y). Mereka lahir dan tumbuh besar ketika internet
sudah mulai menjamur dan media sosial bertumbuh pesat.
Karena smartphone adalah gadget pribadi (berbeda de
ngan komputer yang bisa digunakan bersama-sama), Gene
rasi Z cenderung bekerja sendirian (individualistis) dan
senang mengomentari apa pun yang mereka temukan di
media sosial, bahkan tanpa berpikir panjang (kompulsif).
Generasi Z juga tertarik untuk memiliki pengaruh (influenc-
er). Oleh karena itu tak heran, media sosial yang memiliki
sistem follower sangat digandrungi, seperti Instagram mau-
pun Twitter.
Lantas, siapa itu Santri Milenial? Pada saat di pesan
tren, Santri Milenial belajar nilai-nilai hidup yang masih fit
dengan ciri Generasi Milenial pada umumnya seperti kerja
sama tim (kolaborasi). Misalnya, saat mereka harus patung
an mengerjakan tugas atau kerja kelompok, dan mereka
tidak buta dengan masalah-masalah di luar pesantren, ter-
utama yang masuk ke dalam pesantren modern.
Santri Milenial 43
Santri Milenial menggunakan internet dan media sosial
untuk mendukung pekerjaan. Karena media sosial baru
diperkenalkan pada saat sebagian besar generasi ini sudah
bekerja, maka santri dan Generasi Milenial memanfaatkan
sarana itu bukan untuk kebutuhan eksistensi, tetapi untuk
mendukung pekerjaan.
Misalnya, Santri Milenial menggunakan Youtube untuk
berdakwah karena pekerjaan mereka adalah guru dakwah.
Atau, santri yang memanfaatkan Twitter untuk memposting
pikiran dan gagasannya karena mereka adalah penulis buku.
Dulu, kita mengenal guru-guru dakwah dalam jumlah
terbatas, seperti Zainuddin MZ, Gus Miek, Gus Dur, atau
AA Gym. Sekarang, berkat media sosial, kita mengenal le
bih banyak guru dakwah seperti KH Anwar Zahid, Ustadz
Abdul Somad, Ustadz Idrus Romli, KH Abdullah Syamsul
Arifin (Gus Aab), dan seterusnya. Umat pun akan lebih
leluasa memilih guru dakwah.
Jadi Santri Milenial adalah santri yang memanfaatkan
media sosial untuk mendukung pekerjaan, dan bukan meng
ubahnya sebagai profesi seperti yang kerap dipraktikkan
orang-orang Generasi Z.
44 Santri Milenial
B. Mengenal Generasi Z
Santri Milenial 45
berbasis kertas atau barang bekas, guru itu dapat meminta
siswa untuk merekam video pendek yang harus diunggah
di Youtube. Jadi, teknologi informasi sudah masuk dalam
aspek pendidikan formal dan Generasi Z memandang hal
ini sebagai sesuatu yang lazim.
Ketika Generasi Z gelombang usia terakhir beranjak
dewasa, yaitu sekitar 10-15 tahun yang akan datang, segala
aspek kehidupan sudah terkomputerisasi dan berbasis robot.
Sekarang pun sudah dikembangkan robot yang menyerupai
ciri-ciri manusia. Bahkan, asisten rumah tangga dan kantor
an yang mewujud dalam bentuk robot sudah mulai banyak
dijual dan laris dibeli. Misalnya, perangkat yang disebut
Alexa dan dibuat oleh Amazon ini. Bentuknya memang
tidak menyerupai robot manusia, tapi memiliki kecerdasan
buatan yang mendekati makhluk berakal. Ia dapat menerima
perintah suara dan kemampuannya bertambah terus setiap
hari berkat teknologi yang disebut deep learning.
Jadi, level atau tingkatannya masih di taraf ketergan-
tungan, bukan kecanduan. Ketergantungan terhadap IT
itu semakin mengakar bagi generasi Z dibanding Genera-
si Milenial. Sebagai contoh, kalau orangtua menggunakan
handphone untuk sarana komunikasi (berbicara) dan Gene
rasi Milenial memanfaatkannya untuk sarana komunikasi,
transaksi, serta kreativitas, maka untuk Generasi Z, hand-
phone digunakan untuk kebutuhan dan penopang hidup.
Jadi tingkat ketergantungan terhadap modernitas tek
nologi itu sudah mengakar. Hidup dan karier orang yang
masuk dalam Generasi Z sangat ditentukan oleh teknolo-
46 Santri Milenial
gi. Oleh karena itu tak heran, cita-cita anak Generasi Z
tidak jauh-jauh dari teknologi, seperti ingin menjadi You-
tuber, membangun startup, jual knalpot racing online, dan
menekuni bidang-bidang usaha yang tak dapat ditemukan
istilah dalam rentang waktu 20 tahun ke belakang, yang
didominasi pekerjaan konvensional seperti dokter, guru,
polisi, perawat, pilot, dan seterusnya.
Coba lihat contoh Yuma Soerianto. Pada usia dini,
Yuma yang lahir pada 2007 ini, sudah bisa mengembang-
kan aplikasi sendiri sampai-sampai Tim Cook, CEO Apple,
dibuat kagum pada saat bertemu dengan anak ini di acara
Worldwide Developers Conference (WWDC) di San Jose,
Amerika Serikat.
Aplikasi racikan Yuma ini dapat membantu orangtua
mendeteksi harga sebuah barang. Dengan demikian, saat
orangtua pergi berbelanja, mereka dapat mengintip harga
sebuah barang secara cepat. “Wow. Kamu bisa membuat
aplikasi dalam hitungan jam. Saya terkesan.” Begitu Tim
Cook memuji.
Santri Milenial 47
sil pekerjaan yang telanjur tersimpan di dalam perangkat
tersebut.
Inspirasi mereka bukan lagi majalah, tabloid, atau koran
beraroma kertas, tapi sudah bergeser ke media sosial. Insta-
gram merupakan salah satu sumber inspirasi paling favorit
bagi Generasi Z. Mereka suka bergaya, mengekspresikan
diri, dan kadang-kadang pamer, serta rajin mengedit foto
sehingga tampak cantik, bebas jerawat, dan tampan, serta
ingin menjadi influencer.
Oleh karena itu, menjadi selebgram atau Youtuber men-
jadi salah satu cita-cita ideal meskipun masih ada simpang
siur terhadap besaran jumlah uang untuk profesi ini. Bah-
kan di Amerika Serikat sendiri dimana situs Youtube ber
ada, mayoritas orang yang memilih Youtube sebagai salah
satu ladang pekerjaan belum sanggup makmur.
48 Santri Milenial
Namun, Generasi Z yang memilih jalur konvensional
seperti gamer, fotografer, videographer, seniman, program-
mer, akan cenderung lebih eksis lebih lama karena tidak
terikat platform. Sebagai contoh, andaikan Youtube harus
gulung tikar, seorang fotografer atau viodegrapher tetap bisa
mendapat uang dengan membuka layanan photo studio atau
merancang video klip musik. Jadi kata kuncinya, cerdik-cer-
diklah untuk menjadi seorang Generasi Z yang sukses.
C. Generasi Strawberry
Selain diberi cap kutu loncat, yang akan kita bahas di bab
selanjutnya, Generasi Milenial juga sering dijuluki dengan
terminologi lain, yaitu Generasi Strawberry. Istilah Generasi
Strawberry atau Strawberry Generation dipopulerkan oleh
salah satu pakar manajemen dan dosen Universitas Indo-
nesia, yaitu Rhenald Kasali.
Siapa yang belum pernah melihat dan mengecap straw-
berry? Buah merah kecil dari pegunungan ini memang
indah bentuknya, bagus warnanya, romantis kesannya, na-
mun di dalamnya keropos dan rapuh. Tidak cocok dengan
bentuk luar fisiknya yang indah.
Orang yang belum pernah menggigit strawberry secara
langsung mungkin menduga kalau buah ini manis dan legit
rasanya. Wajar saja jika punya anggapan seperti itu, sebab
Santri Milenial 49
varian produk olahan buah ini selalu bercita rasa lezat dan
digemari anak-anak, seperti selai, susu, dan vitamin. Pa-
dahal kenyataannya, buah strawberry yang asli bercita rasa
masam, kecut, mirip dengan buah belimbing wuluh yang
banyak tumbuh di kebun itu.
50 Santri Milenial
Jadi kalau kita melihat saat ini, hampir semua lini
tersentuh oleh teknologi informasi dan digitalisasi. Semua
nya sudah era digital, yang jika tidak diimbangi dengan
mengakarnya nilai-nilai moral, maka akhirnya akan tumbuh
tunas-tunas kriminalitas berbasis digital, cyber crime,
pornografi, beragam LGBT, judi online, dan lain sebagainya.
Itu artinya, Generasi Strawberry memanfaatkan pesat
nya teknologi dan digitalisasi tapi tidak untuk hal-hal yang
bernilai negatif.
Pernah dengar cerita tentang Sultan Haikal? Orang
ini sebenarnya ganteng meskipun bukan raja betulan. Tapi
sayangnya, ia harus mendekam di penjara setelah berhasil
menjahili situs Tiket.com sehingga situs jualan tiket online
itu mengalami kerugian hingga empat miliar. Haikal sendiri,
yang dijuluki hacker tampan, mendapat uang sampai satu
miliar karena kegiatan peretasan yang dilakukan bersama
ketiga temannya itu.
Modus operandi Haikal yang ternyata hanya tamatan
SMP itu sebenarnya sederhana. Ia mengambil jatah deposi-
to tiket pesawat dari server maskapai penerbangan Citilink
Indonesia dan menjualnya ke orang lain.
Uniknya sebelum memutuskan untuk meretas, Haikal
pernah memberi warning ke pihak Tiket.com bahwa situs
mereka mengandung bug yang dapat memuluskan aktivitas
hacking. Tapi sepertinya ia tidak mendapat jawaban apa pun
dari admin Tiket.com sehingga bug itu ia manfaatkan sendiri
untuk mengambil jatah deposito tiket pesawat dari situs
Tiket.com tersebut. Pengelola situs Tiket.com sendiri juga
Santri Milenial 51
tidak sadar jika sistem mereka telah diretas. Baru satu bulan
berikutnya, mereka menyadari ada keanehan yang terjadi di
situs mereka setelah mengalami kerugian yang parah.
Singkat cerita, Haikal pun diburu dan berhasil di-
tangkap di daerah Banten. Tapi polisi angkat topi dengan
kecerdasan hacker yang ganteng dan juga dicap dermawan
oleh pacarnya ini. Alih-alih dihukum berat, polisi merang-
kulnya untuk menjadi salah satu anggota tim Direktorat
Cyber Bareskrim Polri.
Haikal memang cerdas. Ia pun sebenarnya baik karena
sudah memberi early warning kepada pengelola Tiket.com.
Namun, karena ia juga mencuri data tiket pesawat sehingga
menimbulkan kerugian maka dia tetaplah seorang kriminal.
Kepintaran namun dipraktikkan untuk kriminalitas
merupakan salah satu penyakit masa kini. Kebetulan, si
pelaku masih berusia 19 tahun saat itu, maka Generasi
Milenial ini tepat jika diberi label Generasi Strawberry.
Keren kemasannya (pintar dan ganteng), tapi rapuh jiwanya
(melakukan pencurian).
Kasus Haikal ini sebenarnya tidak istimewa karena dulu
pada saat internet masih belum begitu merakyat, peristiwa
kejahatan berbasis online (cyber crime) juga telah menja-
mur. Misalnya, tindakan carder (belanja menggunakan kartu
kredit orang lain), distribusi pornografi, penipuan menang
undian (scam), dan lain sebagainya.
Generasi Strawberry juga disematkan untuk mereka
yang gampang emosi, marah, dan sakit hati. Orang-orang
seperti melimpah di Indonesia. Coba sekali-kali menulis
52 Santri Milenial
kata pencarian “berkelahi gara-gara status Facebook” di
Google. Nanti akan muncul banyak kasus yang cocok den-
gan kata kunci itu, mulai dari emak-emak yang berkelahi
karena saling sindir di media sosial, sampai anak berusia
tanggung yang tawuran karena postingan seorang anggota
gank yang menghina martabat gank kampung lain.
Inilah beberapa ciri Generasi Strawberry seperti yang
pernah ditulis oleh Rhenald Kasali. Generasi yang mudah
tersinggung, emosian, dan berpikir pendek. Tidak jarang,
generasi ini lantas dipelesetkan dengan istilah Generasi
Micin (kata micin diambil dari sebutan lain dari penyedap
rasa yang mengandung monosodium glutamat).
Santri Milenial 53
D. Si Kutu Loncat
54 Santri Milenial
saya lakoni untuk menjadi pedagang bakso, mulai dari dini
hari meluncur ke pasar untuk memilih daging sapi, terus
balik ke rumah lanjut meracik bumbu, dan akhirnya dijual.
Semua itu saya lakoni sendiri baik tenaga maupun sumber
modalnya.
Tapi kok rasanya kurang "klik". Alhasil, baru seumur
dua bulan lapak baksonya saya tutup. Mandeg untuk se-
lama-lamanya. Kemudian, saya cari batu loncatan kedua
yang menurut saya lebih menggiurkan. Akhirnya, kaki saya
menapak di batu kedua, bisnis jual beli alat-alat kesehatan
seperti stetoskop, alat pengukur tekanan darah, infus, jarum
suntik, dan lain sebagainya. Namun sayang, cuma bertahan
satu minggu.
Pindah lagi ke lapangan kerja berikutnya. Kali ini le
bih lama waktu kerjanya dibanding pekerjaan pertama dan
kedua karena saya bisa bertahan sampai 8 bulan. Jadi apa?
Saya kerja di sebuah media dan punya tanggung jawab
sebagai kontributor. Dari segi performa kerja, saya cukup
sukses di perusahaan ini karena sampai dipercaya menjadi
asisten direktur.
Tapi akhirnya saya resign karena ingin melanjutkan stu-
di Master. Jadilah saya terbang ke Malaysia untuk mengam-
bil studi S–2. Meskipun di negeri orang, saya tidak cuma
ongkang-ongkang kaki dan menunggu transferan orangtua.
Di sana, agar bisa survive saya bekerja serabutan. Lumayan,
hitung-hitung tambah uang saku. Pekerjaan apapun saya
jalani dengan ikhlas seperti menjadi cleaning service, wait-
ers di restoran, kuli di proyek bangunan, serta mengajar
Santri Milenial 55
di waktu senggang. Semua ini saya jalani karena selama di
Malaysia tak mendapat beasiswa.
Pernah juga selama di Malaysia, saya jualan tiket trans-
portasi, antar TKI ke airport, dan puncaknya punya cucian
mobil. Alhamdulilah, cucian mobil ini bisa menghidup lima
orang karyawan. Sebagian uang dan waktu yang tersisa saya
investasikan di bisnis konstruksi.
Tapi karena satu dan lain hal, bisnis-bisnis saya di Ma-
laysia itu bubar. Bangkrut istilahnya. Uang saya banyak yang
tak berbekas saat itu. Habis dan tak bersisa. Akhirnya, saya
memutuskan pulang ke tanah air.
Setiba di tanah air, saya hanya menginjakkan kaki se
minggu di Jember. Karena ingin tambah pengalaman kerja,
saya terbang ke Jakarta. Di sana sama saja, saya lakoni
banyak pekerjaan dengan ikhlas. Mulai dari duduk di
kursi empuk, ruangan ber-AC, di belakang stir mobil taksi,
menjadi petugas laundry, melamar jadi tukang pijat, bekerja
sebagai marketer, dan lain sebagainya. Uniknya, saya dapat
lagi pekerjaan yang kali ini cocok. Jadi ceritanya waktu di
Bogor, saya melamar menjadi pemimpin redaksi setelah
membaca lowongan di sebuah srat kabar. Alhamdulillah,
saya diberi kepercayaan untuk membawahi 25 karyawan di
perusahaan koran skala lokal saat itu.
Itulah panjang dan lebar kisah hidup saya melompat
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Saya juga bagian
dari Generasi Milenial sehingga ada proses melompat dari
satu tempat ke tempat lain.
56 Santri Milenial
Yang paling saya syukuri selama bisnis dan cari kerja
itu adalah, saya tidak punya sejarah kerja di tempat orang
kemudian dipecat. Semua pekerjaan dan tanggung jawab
saya selesaikan dengan baik.
Balik ke pertanyaan begini, mengapa fenomena kutu lo-
cant atau pindah-pindah kerja melekat pada Generasi Mile-
nial? Jawabannya sederhana. Kalau kita lihat dari kacamata
positif, saya sebenarnya tidak setuju dengan pelabelan kutu
loncat. Alasannya, karena jiwa (spirit) dan panggilan hidup
Generasi Milenial itu adalah penyuka tantangan. Gandrung
terhadap hal-hal baru. Passion-nya selalu mendorongnya
ingin berprestasi lebih jauh dan lebih tinggi. Adrenalinnya
di-push untuk tidak cepat puas dan selalu ingin mencoba
sampai batas-batas baru yang sanggup mereka capai.
Sering tidak puas itu bisa dimaknai dalam dua sudut pandang
yang berbeda, positif dan negatif. Tapi bagi saya positif
karena selama kita pindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain,
kita bisa memiliki kontribusi besar dan memberi nilai lebih
di pekerjaan.
Santri Milenial 57
Generasi Milenial aktif mencari pengalaman agar punya
warna hidup yang bergairah.
Label kutu loncat bagi Generasi Milenial akan mem-
buruk dan membusuk kalau spirit hardworking dan rasa
tanggung jawab tidak mereka ekspresikan di ruang ker-
ja. Misalnya, jika mereka datang dan pergi tanpa pu nya
tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tun-
tas. Kalau yang seperti ini memang akan menjadi beban
bagi siapa pun, persis seperti kutu yang hanya menghisap
darah dan meninggalkan warisan penyakit. Tetapi jika setiap
ia bekerja selalu menuntaskan pekerjaan sebelum pindah
ke tempat lain, maka tidak ada masalah dengan Generasi
Milenial si kutu loncat ini.
Coba baca lagi sejarah singkat hidup saya terkait peker-
jaan di atas. Pernah tidak saya melamar untuk menjadi PNS
atau minimal punya cita-cita menjadi pegawai negeri sipil?
Tidak, kan? Saya dari dulu memang tidak pernah
punya cita-cita apalagi impian untuk duduk manis di kantor
pemerintahan, alias menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil).
Tidak betah rasanya kalau saya terikat ritme hidup monoton
datang pagi dan pulang sore. Walaupun, katakanlah, iming-
iming gaji dan tunjangannya menggoda jiwa.
Bagi saya, dan bagi Generasi Milenial pada umumnya,
pekerjaan itu bukan cuma masalah gaji atau tunjangan
tok! Bukan sekadar akhir bulan mengantongi berapa juta.
Yang saya cari di pekerjaan itu adalah kenyamanan dan
kenikmatan. Sejauh mana saya dan Generasi Milenial
bisa menikmati kenyamanan kerja, itulah yang menjadi
58 Santri Milenial
kunci. Misalnya, saya kerja di bidang media pun karena
berangkat dari passion, hasrat, dan cinta dengan bidang
jurnalistik serta tulis menulis meskipun kemapanannya
masih menggiurkan PNS. Aroma kertas, reportase lapangan,
menulis tajuk rencana, mengedarkan koran-koran ke lapak
dan agen, dan menerima uang hasil penjualan slot iklan.
Itu semua aktivitas dari media yang lebih men-cyduk hati.
Bagi Generasi Milenial yang punya passion, termasuk
saya, berapa pun gemuk gaji bulanan yang dia terima, pada
akhirnya akan tersisih menjadi prioritas kedua. Ini beda se-
kali dengan generasi sebelumnya (Gen X) yang lebih gemah
ripah loh jinawi secara batin ketika berada di dalam tembok
kokoh bernama comfort zone. Apa yang ditawarkan di ba-
lik tembok itu? Rutinitas hidup dan pekerjaan yang ritmis
dimana pagi hari berangkat kerja, sore hari pulang ngantor,
dan akhir bulan dompet menebal. Setelah itu, mereka akan
atur spend money-nya setiap bulan; untuk keluarga berapa;
untuk pribadi berapa.
Inovasi tidak terlalu ditonjolkan oleh Gen X karena
bagi mereka, inovasi bisa mendobrak tembok zona nyaman.
Sedangkan bagi Generasi Milenial, inovasi itu segala-gala
nya, apalagi saat ini sudah didukung teknologi seperti
smartphone dan gadget.
Untuk apa Generasi Milenial menggunakan smartphone
dan gadget? Untuk apapun. Beda sekali dengan Gen X yang
memakai smartphone untuk komunikasi, bertanya kabar,
dan mengirim pesan. Bagi Generasi Milenial, mau mengi-
si perut tinggal buka gadget dan bisa order sekeranjang
Santri Milenial 59
makanan dari resto ternama. Mau makan siang ramen, bisa!
Mau order klepon, boleh juga. Minta diantar ke suatu tem-
pat? Bisa menggunakan bantuan gadget sebab ada startup
antar jemput seperti Grab, Uber, dan Gojek. Bahkan sam-
pai urusan dompet pun sudah diambil alih gadget. Untuk
mengecek saldo tidak lagi butuh usaha datang ke ATM.
Cukup cek pakai aplikasi dalam gadget. Mau memimpin
rapat juga tidak perlu bawa buku notulensi sebab seluruh
isi rapat bisa di-breakdown menggunakan gadget.
E. Pilihan Politik
60 Santri Milenial
Islam tidak bisa dilepaskan dari masalah politik.
Kenapa? Karena jauh sebelum Nabi Muhammad diutus ke
dunia, manusia sudah berpolitik, meskipun untuk hal yang
paling sepele sekalipun. Sebagai contoh di dalam keyakinan
Islam, jika ada tiga orang berjalan bersama maka tunjuk
satu orang untuk menjadi pemimpin. Ia akan mengarahkan
dirinya sendiri dan dua orang lainnya agar tidak tersesat,
terperosok, dan dapat pergi ke arah tujuan yang benar.
Pemilihan pemimpin, misalnya ketika ada tiga orang
berjalan kaki bersama tersebut, mengandung rumusan atur-
an dan rumusan suatu kebijakan. Sebagai contoh, siapa yang
bertugas mengatur bekal, sebesar apa pengeluaran uang
yang boleh dilakukan per hari, dan sebagainya. Aturan dan
kebijakan merupakan salah satu instrumen politik. Dan,
tak bisa dilupakan bahwa selain menjadi pemimpin agama,
Nabi Muhammad juga menjadi pemimpin sebuah bangsa
di sebuah negara kota bernama Madinah yang kemudian
berkembang menjadi negara adidaya baru di tangan para
khalifah yang meneruskan perjuangannya. Semua itu adalah
kegiatan politik, tetapi politik yang didasari semangat dan
kesadaran beragama yang kuat.
62 Santri Milenial
Cara termudah bagi para Generasi Milenial ikut terlibat
dalam politik adalah dengan menggunakan hak suara dalam
setiap pemilihan. Karena one man one vote itu dalam sistem
demokrasi kita sangat mendasar sifatnya.
Santri Milenial 63
takan, ketika santri anti dan tidak mau terlibat dalam ak-
tivitas politik, maka jangan salahkan siapapun apabila kelak
politisi juga acuh tak acuh pada golongan santri.
Statement atau nasihat Gus Dur itu akan saya coba
buatkan ilustrasinya. Jadi, ketika pemuda itu tidak tertarik
politik (apolitik), antipati, cuek terhadap sistem politik, dan
merem politik maka jangan salahkan siapapun jika kelak
banyak politisi tidak peduli terhadap kaum muda. Lha wong
orang mudanya juga ngantuk kalau mau diajak ngomong
politik.
Politik bisa membantu pemuda melihat kehidupan
secara positif, minimal bagi dirinya sendiri. Ada sebuah
nasihat, “Seseorang yang tak bisa menilai positif dirinya
sendiri, tak dapat menilai apa pun atau siapa pun.” Jadi se-
tiap pemuda, baik santri maupun non santri, perlu terlibat
politik sejak dini untuk masa depan bangsa yang lebih baik.
64 Santri Milenial
seperti gambaran dan ciri-ciri Generasi Strawberry yang
pernah diulas di bab lain buku ini.
Pernah dengar istilah twitwor? Istilah ini mengacu pada
aktivitas saling sahut menyahut, bahkan dengan skala emosi
yang tinggi, antara satu pengguna Twitter dengan pengguna
lainnya. Dalam dunia Facebook, fenomena ini disebut de
ngan istilah “perang status”.
Kadang-kadang, twitwor (plesetan dari tweet war) meli
batkan banyak orang yang terbagi dalam tiga kubu, yaitu
kubu pro, kubu kontra, dan kubu penggembira yang ikut
meramaikan suasana hanya sekadar ingin eksis dan meman-
faatkan situasi. Yang di-twitwor-kan bisa berupa masalah
serius seperti ajaran agama, politik, hukum, hingga masalah
remeh temeh seperti pro kontra polah tingkah seorang artis
yang berfoto genit di tepi jalan tol.
Nah, yang pertama kalau dibilang anak muda zaman
dulu berperang dengan mengangkat senjata kemudian era
sekarang berperang dengan bersenjata kata-kata, maka rasa
nya kurang tepat.
Santri Milenial 65
manifestasi dari perang kata-kata. Hanya saja agar tidak
sampai rusuh, perlu adanya moderator atau juri di tengah-
tengah perdebatan antara dua kubu agar tidak berubah
menjadi debat kusir atau bentrok fisik yang menyakitkan.
Topik apa pun bisa dijadikan materi debat. Di sebuah
pesantren, misalnya, pernah diselenggarakan lomba debat
fikih. Para santri disuruh mempelajari buku tentang fikih
dan kemudian memperdebatkan isi buku itu satu sama lain.
Seorang ustaz ditunjuk untuk menjadi juri tunggal dalam
debat fikih tersebut agar debat berjalan lancar.
Kalau sudah begini, perang kata-kata yang dikemas
dalam debat bisa membawa perubahan. Pertama, para santri
dituntut untuk dapat berpikir kritis dan logis. Kedua, para
santri belajar strategi mempertahankan pendapatnya. Keti
ga, hasil debat bisa membantu para santri mencari dan
menemukan fakta, kebenaran, atau ilmu baru yang selama
ini belum pernah dijamah. Jadi melalui debat, rasa ingin
tahu manusia itu tersalurkan, persis seperti nasihat dari
Ralph Waldo Emerson, “Rasa ingin tahu itu terbaring dan
menunggu di dalam setiap rahasia.”
Namun dunia pendidikan akhir-akhir ini juga kerap
menjadi berita tidak enak di masyarakat. Sebagai contoh,
banyak kasus di dunia pendidikan dimana guru dianiaya
oleh orangtua murid dan sebaliknya, murid juga ada yang
merasa dilecehkan guru.
Kasus seperti ini akan menjadi lebih ramai setelah
salah satu pihak, atau orang ketiga, memposting peristiwa
penganiayaan tersebut di media sosial sehingga memantik
66 Santri Milenial
perang kata-kata yang memprihatinkan. Seperti api yang
tersiram minyak, masyarakat yang tak ada sangkut pautnya
pun memberikan pendapat, yang kadang-kadang di luar
akal sehat, hanya demi ingin eksis.
Fenomena ini lebih tepatnya bukan terkait dengan
masalah dimensi kepemudaannya, bukan salah generasi
milenialnya, tapi lebih kepada moral yang ditopang oleh
sistem pendidikan.
Masalah seperti ini menjadi pekerjaan rumah bersa-
ma. Karena kenapa? Alasannya karena pondasi pendidikan
kurang kokoh, belum teruji, dan senantiasa bergonta-ganti
isi peraturannya setiap kali ada pejabat baru. Ganti mente
ri, berubah sudut pandangnya terhadap suatu persoalan,
dan muaranya ganti pula isi kebijakannya. Masalahnya lagi,
jabatan itu diemban dalam jangka waktu pendek, mungkin
hanya lima tahun, sehingga sebelum berhasil terakselerasi,
sudah telanjur terbit peraturan yang baru.
Alasan lainnya karena faktor personal. Jarang terjadi
ada kejadian dimana ada guru dilaporkan oleh seorang
siswa yang tidak terima dicubit dan guru melaporkan siswa
yang bermain gadget. Jadi sifatnya case by case saja, tidak
terorganisasi, dan tidak pula masif serta sistematis. Kasusnya
satu banding seratus ribu atau sejuta kejadian dan sifatnya
spontan. Kalau sudah begini, maka kita tak bisa menuding
sistem pendidikan sebagai biang kerok tumbuhnya kasus-
kasus human error seperti itu.
Yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki sistem pen-
didikan. Disempurnakan, dievaluasi, dan disuburkan dengan
Santri Milenial 67
nilai-nilai moral yang lebih baik lagi untuk para siswa.
Kelak, bagaimana pun pesat dan dahsyatnya perkembangan
zaman yang berlaku, jika moralitas siswa sudah mengakar
maka kita punya keyakinan bahwa yang murid lakukan
tidak akan offside dari garis yang sudah ada.
68 Santri Milenial
BAB III
SANTRI ERA
MILENIAL
A. Santri dan Kecanggihan TIK
Santri Milenial 71
mendorong para santri agar aktif di dunia maya. “Untuk
itu, para pemuda santri mesti kreatif dan aktif. Tidak hanya
di dunia nyata, tapi juga terlibat dalam perang pemikiran
di dunia maya”, begitu sambutan Ketua PCNU Pamekasan
KHR Taufiq Hasyim saat pembukaan Kopdar Netizen di
Pesantren Sabilul Ihsan, Teja Barat, dikutip dari NU Online
(www.nu.or.id).
72 Santri Milenial
bahwa orang yang berilmu memiliki tingkat ketaqwaan yang
lebih tinggi.
Jadi meskipun para santri sudah keluar dari tembok
pondok pesantren, wajiblah ia menyerap ilmu setiap hari
dari siapa pun. Sebab pada dasarnya, ilmu itu berkembang
dan inspirasi baru bermekaran setiap hari.
Prinsip dasar yang harus dipegang para santri ketika
menjadi influencer (pemberi pengaruh dan pembawa siar
agama) sebenarnya sederhana. Islam mengajarkan bahwa
setiap umatnya harus menjadi rahmat. Ada banyak penger
tian rahmat, salah satunya menurut Ahmad Musthafa Al-
Maraghi yang memahami rahmat sebagai perasaan jiwa
yang mendorong pemiliknya untuk berbuat baik kepada
orang lain.
Santri Milenial 73
Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai
tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai
rahmat” (H.R. Muslim).
Jadi kalau boleh jujur, santri masa kini harusnya lebih
maju dibanding orang tua-orang tua zaman dulu. BJ Ha-
bibie itu pernah bilang, “Sekarang kalian pake iPad Pro aja
bukan main. Eyang juga pakai sekarang. Tapi dulu waktu
eyang muda gak ada. Nah berdasarkan itu semua harusnya
kamu lebih baik.”
BJ Habibie, yang pernah menjadi Wakil Presiden dan
Presiden Indonesia sebelum Gus Dur, dikenal sebagai orang
yang sangat cerdas. Kuliah di Jerman untuk belajar ilmu
konstruksi pesawat. Setelah kembali ke Indonesia bahkan
bisa membuat pesawat terbang. Beliau sudah pintar di era
yang serba tidak ada apa-apanya dibanding sekarang. Kom-
puter belum ada, internet apa lagi. Maka BJ Habibie opti-
mis, generasi sekarang mestinya lebih baik dibanding era
dulu.
74 Santri Milenial
dern sekalipun membatasi akses terhadap televisi dan
informasi dengan ketat. Bahkan ustaz atau pengurus pon
dok pesantren bisa menghadiahi hukuman berat bagi si
penyelundup handphone.
Pernah ada cerita seorang santri memiliki handphone
diam-diam. Suatu ketika, ustaz memergoki santri tersebut
ketika sedang menelepon sembunyi-sembunyi. Nah, saat
itu juga semua santri digiring dan dikumpulkan dalam satu
ruangan, dan diinterogasi satu per satu,
“Siapa di antara kalian yang mengetahui si A punya
handphone ..!?” Hening. Tak ada jawaban kecuali beberapa
saat kemudian terdengar suara keras, suara dari handphone
yang hancur lebur dibanting sang ustaz.
Hukuman berikutnya menyusul, semua santri mendapat
getah pahit di tangan akibat sabetan rotan satu demi satu.
Gara-gara satu orang melanggar peraturan, orang lain
mendapat getahnya.
Kalau sudah demikian, akses informasi yang bersum-
ber dari handphone dan televisi menjadi sangat terbatas di
pesantren. Setiap santri yang ingin menelepon keluarganya,
baru bisa menggunakan smartphone setelah mendapat lam-
pu hijau dari PIC (person in charge) yang diberi wewenang
memegang telepon pesantren.
Meskipun begitu, pembatasan informasi itu tidak sam-
pai menutup ruang-ruang diskusi para santri, guru, serta
para ustaz terhadap dinamika di luar tembok pesantren.
Sebab apa? Pesantren modern umumnya membangun
laboratorium komputer yang terkoneksi internet. Jadi para
Santri Milenial 75
santri tetap bisa mengakses internet meskipun dibatasi
waktu. Selain laboratorium komputer, pesantren juga rutin
membeli buku-buku terbaru agar ilmu pengetahuan para
santri tidak mandeg di satu tempat, tapi tetap berkembang
dan menjulang tinggi.
Pesantren juga banyak melahirkan ahli-ahli di bidang
fisika, kimia matematika, bahkan robotics. Beberapa waktu
yang lalu ada perwakilan dari salah satu pesantren di Mo-
jokerto, Ponpes Darul Ulum, yang menang kontes robot di
Jepang (Robotic Training and Competitions). Robot Sumo
namanya karena dirancang untuk memenangkan kompetisi
“adu otot” melawan robot dari negara lain.
76 Santri Milenial
yang digunakan untuk mengikuti lomba fotografi ini didapat
dari hasil meminjam ke kantor Tebuireng Media Group.
Bahkan, untuk ikut aktivitas hunting foto, ia juga meminjam
motor. Jadi apa-apa serba meminjam tapi justru malah
memenangkan lomba.
Ini membuktikan bahwa untuk memenangkan sebuah
kompetisi, santri tidak perlu memiliki sesuatu terlebih dulu.
Yang penting ada niat, semangat, dan kemauan belajar yang
tinggi. Nanti, kesempatan akan datang sendiri.
Contoh lain, di Probolinggo ada santri yang bisa
mengembangkan sumber energi alternatif, membuat alat un-
tuk mendeteksi gempa, mengembangkan magic cleaner, dan
lain sebagainya. Ada juga karya santri PP. Nurul Jadid yang
berhasil membuat alat pengendali lampu berbasis android
yang dapat diperintah secara verbal maupun non verbal.
Pendek kata, santri pun bisa menjadi inventor (penemu)
dan berprestasi seperti murid dari sekolah umum.
Terkait dengan masalah pengaruh dari luar akibat ada
nya banjir informasi, efek buruknya lebih menyasar personal
tiap-tiap santri. Yang jelas di pesantren itu ditanamkan
nilai-nilai keagamaan, kedisplinan, dan moralitas selain ilmu
lain semisal eksakta seperti di pendidikan formal non pe-
santren.
Ketiga nilai itu digunakan sebagai pondasi ketika mere-
ka terjun ke masyarakat yang tidak sekadar hanya dibekali
kreativitas dan intelektualitas an sich (secara harafiah). Jadi
apa pun profesinya, spirit karakter santrinya tetap kokoh
dan berkelanjutan.
Santri Milenial 77
C. Ceramah Zaman Now
78 Santri Milenial
informasi masih dikuasai satu-dua stasiun televisi. Selain
jangkauannya lokal, shooting di stasiun televisi sangat tidak
praktis karena melibatkan banyak orang dan peralatan berat
serta mahal. Sekarang, smartphone berkamera video sudah
bisa dipakai untuk sarana berdakwah.
Yang kedua, pola bahasa ceramah zaman now yang
disampaikan guru dakwah mudah dicerna oleh umat lintas
kalangan. Bukan gaya bahasa yang terlalu berat karena akan
sulit dipahami yang muda, dan juga tidak terlalu gaul dan
kekinian karena nanti akan sulit diamini yang tua. Jadi ba-
hasa itu bisa diolah seorang da’i dan seorang penceramah
agar bisa dicerna umat lintas generasi serta lintas usia,
baik yang anak-anak, remaja, pemuda, maupun yang telah
dewasa.
Namun jika setiap orang bisa berdakwah, maka ka-
dang-kadang ada efek sampingnya juga. Akhir-akhir ini,
kasus kriminalisasi ulama memang sedang hangat terkait
dengan isi ceramah. Kasus seperti ini muncul karena salah
satunya berangkat dari ceramah yang dianggap mengganggu
ketertiban umum. Bagaimana mencegah hal ini terjadi?
Pada prinsipnya, kita tinggal di negara hukum dan
sudah ada payung hukum, undang-undang, serta ada pula
KUHP berisi pasal-pasal yang memang menjadi koridor
dalam aktivitas keseharian kita. Semuanya teratur dalam
sistem hukum, termasuk dalam penggunaan media sosial.
Kita mengenal Undang-Undang ITE yang mengatur aktivi
tas berinternet, termasuk menulis status di Facebook atau
menayangkan video di Youtube.
Santri Milenial 79
Di dalam supremasi hukum tidak mengenal istilah
kiai, murid atau santri, dan menutup mata terhadap istilah
politisi, bupati, serta presiden sekalipun. Semua orang sama
di depan hukum, equality before the law. Jadi kesamarataan
di depan hukum itu berlaku di negara Indonesia sehingga
tidak perlu dipersempit dengan adanya kriminalisasi
ulama, sebab nanti akan muncul bentuk dan variasi lain di
masyarakat, seperti kriminalisasi guru, kriminalisasi murid,
kriminalisasi dokter, dan seterusnya.
Istilah kriminalisasi ini pada akhirnya juga cukup kon-
troversial karena kerap jadi alibi untuk berlindung dari
jeratan hukum ketika suatu person, apapun jabatannya,
tersandung masalah pidana. Sebagai contoh, ada tokoh be-
sar terjerat hate speech dan kebetulan ia seorang ulama.
Agar bisa melenggang bebas, ia dan pengikutnya memakai
tameng kriminalisasi ulama. Tentu, istilah kriminalisasi ini
menyebabkan kepastian hukum menjadi tidak sehat dan
tidak fair.
Agar tetap seimbang, maka sekarang dan kapan pun
juga, kita perlu membuat garis lurus yang tegas: kalau
memang salah ya salah, dan jika benar ya benar. Tanpa
perlu memandang apakah ia seorang kyai, penguasa, bupati,
pengusaha kondang, dan seterusnya.
Jadi istilah kriminalisasi itu diskriminatif. Lebih afdol
jika kita punya prinsip berpikir positifistik, maju ke depan,
dan konstruktif.
Tujuannya agar jeratan hukum berlaku adil untuk sia-
papun meskipun yang terbidik adalah penegak hukum itu
80 Santri Milenial
sendiri, mulai dari polisi hingga hakim. Kalau sudah begini,
kacamata siapa yang bisa menentukan seseorang bebas dari
jeratan hukum atau terhukum di jeruji besi sebagai pesa
kitan? Jawabannya menurut saya adalah, perangkat hukum
yang sudah ada.
Kalau ada perkara, tinggal polisi membuat gelar perka-
ra. Untuk penyidikan, ada kejaksaan yang melakukan tugas
tersebut. Kalau untuk perkara korupsi, sogok menyogok,
dan gratifikasi maka serahkan pada KPK. Lantas kalau
ada yang bertanya, bagaimana masyarakat mendapat perlin
dungan hukum? Walaupun sudah duduk di kursi pesakitan,
masyarakat tetap dapat payung dan perlindungan hukum.
Misalnya kita kenal ada pengacara, lembaga bantuan hu-
kum, lembaga perlindungan saksi, dan sebagainya.
Ke depan, santri juga tetap mawas diri. Ceramah zaman
now perlu kehati-hatian. Salah satu caranya adalah dengan
mengisi materi ceramah dengan tetap mengedepankan Islam
sebagai rahmat bagi alam semesta.
D. Santri Anti-Hoax
Santri Milenial 81
Kalimat ini diposting melalui akun Twitter Prof. Dr.
Mohammad Mahfud MD., S.H., .S.U (@mohmahfudmd)
pada 8 Maret 2018. Kalimat lain dengan nada sentilan ditu
lis seperti ini, “Akun anonim merasa bebas memaki, melin-
tir fakta, menggoreng isu & menebar hoax. Atas nama
Nya pula. Mereka berani melakukan itu karena merasa tak
bakal ketahuan. Mereka lupa, di mata Tuhan, tak ada yang
anonim. Semua tak luput dari catatannya.” Penulis kalimat
ini adalah Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), dosen ilmu hu-
kum di Monash University, dan pemilik akun Twitter @
na_dirs.
Ada banyak kesamaan antara Mahfud MD dan Gus Na-
dir ini. Pertama, beliau-beliau ini adalah dosen ilmu hukum.
Kedua, sama-sama anti-hoax (berita bohong). Yang ketiga,
keduanya pernah atau aktif di dunia pesantren. Atau dengan
kata lain, mereka adalah santri peka zaman yang melek
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mahfud MD pernah mencicipi bangku sekolah di Pon-
dok Pesantren Al Mardhiyyah, Waru, Pamekasan, Madura.
Sedangkan Nadirsyah Hosen dikenal sebagai Rais Syuriah
Nahdlatul Ulama Cabang Istimewa Australia dan aktif me
ngelola Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin
di Bogor.
Ini bukti nyata bahwa santri pun bisa menduduki jabat-
an mentereng dan diapresiasi dunia. Mahfud MD bah-
kan pernah mengabdi sebagai menteri pertahanan di era
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000.
Setahun kemudian, jabatan ini diletakkan karena presiden
82 Santri Milenial
menginginkan beliau mengisi posisi sebagai Menteri Hu-
kum dan Hak Asasi Manusia. Selain kedua tokoh NU di
atas, sebenarnya masih melimpah aktivis Islam yang pernah
sekolah maupun aktif di pondok pesantren yang sangat nya
ring mengampanyekan bahaya hoax di masyarakat.
Menggunakan akun centang-biru Twitter yang mereka
miliki, santri-santri yang kini sudah menjadi tokoh masya
rakat itu menyuarakan kebenaran dan nilai-nilai Islam yang
sejuk, anti kebohongan, dan pembodohan secara teratur.
Kata-kata manis serta kalimat yang tegas kerap diposting di
akun Twitter untuk menjawab menjamurnya hoax di dunia
online.
Santri Milenial 83
menggunakan pikiran. Oleh karena itu, hoax dapat dibe
rantas menggunakan senjata akal sehat.
Selain itu, pedoman dasar bagi santri dan umat Islam
agar tidak mudah dijerumuskan orang lain telah tertulis di
dalam QS Al-Hujurat: 6.
Hanya dengan pedoman dan prinsip dasar di atas, san
tri dari pondok pesantren manapun pasti bisa menjadi agen
perubahan yang sekaligus anti terhadap bahaya laten hoax
yang memecah belah.
Namun apakah praktik menangkal hoax sesederhana
itu? Mungkin jawabannya, tidak. Sebab, santri anti-hoax
seperti Mahfud MD sekalipun juga kerap menjadi sasaran
hoax. Dengan kata lain, menjadi pioner dan aktivis an-
ti-hoax juga berisiko menjadi korban hoax itu sendiri. Bikin
geleng-geleng kepala risikonya, sebab korban hoax sama
menderitanya dengan korban fitnah.
Tapi bagi santri zaman now, yang penting ikhlas
mengamalkan ajaran Islam dengan benar, hati-hati, dan
menjaga kelemahlembutan, maka yang utama dan di atas
segala bahaya risiko adalah perintah Allah SWT, sehingga
fitnah apa pun itu namanya, akan lebih mudah diatasi.
84 Santri Milenial
E. Teman-teman Baru di Media
Sosial
Santri Milenial 85
Namun, ceritanya akan menjadi ruwet jika ternyata si
penjudi itu dulu adalah sahabat bermain si santri waktu
kecil. Dalam hal menemui kejadian seperti ini, maka justru
santri milenial bisa mendapat kesempatan eksklusif untuk
memperbaiki akhlak si penjudi itu. Sebab, seperti yang
dikatakan Syaikh Abdul Muhsin Al-Qasim, “Sifat manusia
adalah cepat terpengaruh dengan teman pergaulannya. Ma-
nusia saja bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang
ternak.”
Santri punya kesempatan mempengaruhi penjudi dan
orang-orang menyimpang lainnya, dan bukan malah seba-
liknya, menggunakan media sosial. Inilah hebatnya dakwah
lewat media sosial. Tanpa harus bersua langsung face to face,
santri milenial bisa menyebarkan pesan-pesan kebaikan.
86 Santri Milenial
F. Santri Sadar Follower
Santri Milenial 87
annya adalah, dengan mengemas agar twit yang santri
ciutkan memikat. Salah satu resepnya adalah dengan menge
mas dalam bentuk kultwit. Istilah ini merupakan gabungan
dari dua kata yang dijadikan satu, yaitu kata “kuliah” dan
“twit”. Itu artinya, twit dikemas seperti materi pelajaran atau
kuliah.
Ciri-ciri kultwit sebagai berikut. Pertama, ditulis ber
seri dan diberi nomor urut yang jelas. Kedua, membahas
permasalahan secara mendalam. Ketiga, twit-twit itu diurut
secara sistematis sehingga enak dibaca dan dipelajari. Jadi
pada dasarnya, kultwit itu hanya aktivitas memecah tulisan
panjang ke dalam tulisan-tulisan pendek ala Twitter dan
diurutkan secara sistematis.
Ada penelitian kecil-kecilan dari seorang mahasiswa
bernama Ahmad Fathan Hidayatullah yang mengambil
Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri,
Universitas Islam Indonesia. Dalam penelitian yang diberi
judul “Twitter sebagai Media Dakwah”, ia mendapat hasil
penelitian yang selaras dengan penjabaran di atas tentang
kultwit. Penelitian itu melibatkan 102 responden. Menurut
hasil penelitian tersebut, sebanyak 69,8% responden menga-
takan bahwa kultwit yang rutin ditulis oleh para ustadz di
media sosial seperti Twitter dianggap menarik. Selanjutnya,
72,6% mengatakan bahwa kultwit efektif digunakan sebagai
sarana dakwah.
Ada berbagai metode membuat kultwit yang efisien.
Pertama, dengan mengambil contoh kasus yang sedang nge-
hits di masyarakat kemudian mengupasnya dalam perspektif
88 Santri Milenial
agama. Pembahasan itu bisa diramu dalam bentuk tulisan
panjang. Selanjutnya, pecah tulisan panjang itu menjadi
twit-twit pendek yang diberi nomor urut. Atau, bisa juga
dengan mengambil materi dari ceramah ustaz di pondok
pesantren dan merangkumnya menjadi tulisan.
Jadi, tidak ada yang sia-sia dan mubazir jika kita berusaha
menebar kebaikan (ilmu yang bermanfaat) melalui media
sosial karena tulisan tersebut akan bertahan dalam jangka
waktu lama di internet dan tetap meninggalkan jejak
meskipun santri tersebut sudah meninggal dunia.
Santri Milenial 89
G. Seribu Kemungkinan Usaha
Santri
Bisnis apa yang cocok bagi para santri? Jawaban ini sulit di-
jawab karena cabang bisnis sangat banyak. Mau jualan bak-
so, soto, lotek, gado-gado? Atau, mau bisnis multi-level mar-
keting? Bagaimana dengan trader, seperti jual beli saham,
transaksi kurs, dan seterusnya? Santri lain mungkin memilih
untuk membangun usaha event organizer dan bisnis MC
(master of ceremony) lengkap dengan video shooting acara
mantenan.
Jadi, bidang usaha apa yang cocok ditekuni? Apabila se-
tiap bidang usaha yang ada di dunia ini disebut dan dirinci
satu demi satu, maka tidaklah akan muat semuanya dalam
selembar kertas ini. Oleh karena itu, santri hanya perlu
mengenal kelompok pekerjaan menurut karakter-karakter
manusia.
Untungnya, bidang-bidang kerja menurut karakter
dapat dikelompokkan dengan jelas oleh para ahli. Kelom-
pok-kelompok karakter itu adalah: creator, star, supporter,
deal maker, trader, mechanic, dan accumulator. Agar pem-
bahasannya komprehensif, masing-masing minat itu dibahas
dalam subbab-subbab terpisah.
90 Santri Milenial
Creator
Jika diterjemahkan secara bebas, creator adalah si pembuat.
Santri yang memiliki minat untuk berandai-andai, meran-
cang, dan menciptakan sesuatu, termasuk kelompok creator.
Santri Milenial 91
dah keburu hengkang ke proyek berikutnya. Itu kira-kira
ilustrasi sisi gelap seorang creator.
Karena lebih suka menggali ide-ide baru, maka bi-
asanya creator adalah orang yang introvert. Dalam diam,
ia berpikir detail. Dengan penuh konsentrasi, ia mampu
memutuskan secara jernih mana yang baik dan yang tidak.
Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkan untuk mengubah
ide menjadi sebuah keputusan bisnis, akan cukup banyak.
Steve Jobs sendiri pernah mengatakan, “Kalau kau per-
hatikan dengan seksama, kebanyakan sukses yang terjadi
semalam sebenarnya dimulai dari waktu yang sangat lama.”
Namun, sifat ekstrovert pun juga bisa menjadi creator
yang baik. Jika si introvert lebih banyak berpikir, maka si
ekstrovert punya kemampuan untuk berkomunikasi dengan
banyak orang. Dengan begitu, si ekstrovert ini mampu men-
jadi barisan terdepan dalam hal realisasi ide.
Apakah pribadi ekstrovert akan lebih berhasil ketim-
bang yang introvert? Tidak selalu begitu. Creator dengan
kepribadian introvert yang sukses juga ada, misalnya Walt
Disney.
Contoh lain seorang creator yang introvert adalah Bill
Gates. Yang membawa Bill Gates menjadi miliarder bu-
kan karena keberuntungan. Namun, apa yang diciptakan
dalam kepalanya itulah yang membawa Bill Gates hingga
sejauh ini. Pengamatannya betul-betul tajam. Setelah meli-
hat bagaimana MS-DOS berhasil mendapatkan kesepakatan
dengan IBM, Bill Gates mencari celah untuk mengedepan-
kan Microsoft. Software asuhannya itu semula hanya dibuat
92 Santri Milenial
dari perusahaan kecil dengan hanya 40 staf saja. Tetapi apa
yang dipikirkan oleh Bill Gates tak sia-sia hingga akhirnya
ia mendapat keuntungan dengan menjual software Microsoft
hingga 40 miliar dollar. Ada banyak pencipta (creator) bi-
dang software, tetapi yang paling terkenal Bill Gates.
Bidang usaha yang cocok untuk creator antara lain
pembuat aplikasi, perancang busana, desain grafis, arsitek
dan perancang interior, pengusaha rumah makan, penulis
buku, dan lain sebagainya.
Star
Apakah dalam pondok pesantren ada santri yang selalu
ingin terlihat menonjol, suka cari perhatian, dan pandai
menghibur banyak orang? Siapa tahu ia punya minat untuk
menjadi bintang.
Star atau bintang memang identik dengan ciri-ciri yang
bisa dilihat dari luar, seperti cantik, tampan, pintar melucu,
suka mencari perhatian, dan ingin selalu menonjol diban
ding lainnya. Bahkan di dalam tembok pondok pesantren
yang kaku dan konservatif, santri-santri model seperti ini
selalu ada.
Sudah dari sananya seorang bintang berkepribadian
ekstrovert, seperti ciri khas seorang bintang sejati yang akan
berusaha semaksimal mungkin agar tetap terlihat bercahaya.
Ia akan merasa semakin nyaman di tengah banyak orang.
Semakin ramai orang mengerumuni dan memuji aksinya,
semakin nyaman juga dirinya itu.
Santri Milenial 93
Santri yang punya karakter bintang cocok bekerja
di dunia marketing dan promosi.
94 Santri Milenial
Supporter
Istilah supporter memang identik dengan olahraga seperti
sepak bola, bulu tangkis, basket, dan lain sebagainya. Maka
tak heran jika istilah ini melekat pada sebuah tim, seperti
Persija, Arema, Manchester United, dan lain sebagainya.
Supporter punya kebiasaan tertentu, misalnya heboh, suka
teriak-teriak sendiri dengan penuh semangat, dan menduku-
ng sebuah tim dengan komitmen tinggi.
Jika diberi tanggung jawab untuk membangun sebuah
bisnis, maka supporter akan membangun tim yang kuat
terlebih dulu. Orang-orang dengan karakter supporter belum
berpikir untuk membangun jenis bisnis yang profitable atau
menjadi bintang seorang diri. Sebaliknya, ia akan mencari
orang-orang dengan visi, misi, dan idealisme yang sama dan
dikumpulkan jadi satu menjadi sebuah tim. Dalam pikiran-
nya, dengan banyak kepala menjalankan visi dan misi yang
sama, maka tujuan pun akan segera tercapai.
Tidak sulit mencari santripreneur seperti ini, karena
sejak di balik dinding pondok pesantren, mereka terbentuk
solidaritas dan tanggung jawab yang sama. Hal paling baik
dari supporter adalah, ia jenis pemimpin yang menjunjung
tinggi kebersamaan. Pada setiap kesuksesan yang dicapai
nya, supporter tak pernah menunjuk diri sendiri sebagai
satu-satunya orang yang berjasa. Ia selalu merujuk timnya
yang bekerja sama untuk sukses, bukan dirinya sendiri.
Perjuangan menuju sukses setiap anggota tim mungkin
tak sama, tapi tanpa satu sama lain, kesuksesan itu tidak
mungkin terwujud.
Santri Milenial 95
Supporter membangun kesejahteraannya dengan cara
membangun networking. Reputasinya pun dapat dibangun
dari situ. Keuntungan dan kesejahteraan dapat diraih de
ngan bekerja sama. Pilihan orang lain yang bisa diajak be
kerja sama adalah santri-santri dengan karakter deal maker,
yang akan dijelaskan nanti, dan star (bintang).
Deal Maker
Menjadi jembatan penghubung adalah fungsi utama deal
maker. Para santri yang suka menjadi mediator antara satu
pihak dengan pihak lainnya bisa jadi memiliki karakter deal
maker. Melihat begitu besar dampak sebuah kesepakatan
terhadap suatu usaha, maka jelas betul pentingnya posisi
deal maker.
Deal maker patut memiliki kemampuan komunikasi,
negosiasi, dan sosialisasi yang tinggi ini. Alasannya, ka-
rena negosiasi terjadi secara alamiah dalam setiap bisnis
yang dijalani deal maker dan tahu persis kapan waktu yang
tepat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Hal tersebut
membuat deal maker memiliki insting yang tajam akan ke-
sempatan yang datang.
Tanpa posisi yang tepat, deal maker tak akan berguna
karena mereka tidak membuat produk seperti creator, tidak
96 Santri Milenial
bisa tampil layaknya bintang, dan bukan penyemangat tim
seperti supporter. Deal maker adalah penghubung antara
dua belah pihak untuk melakukan negosiasi, mediasi, dan
koneksi lainnya.
Deal maker yang ideal adalah orang yang mampu me-
lihat sudut pandang kedua belah pihak. Ia tidak hanya
memperjuangkan kepentingan timnya secara membabi buta
tanpa melihat kepentingan orang lain. Sebaliknya, orang
dengan karakter ini justru bisa memanfaatkan kepentingan
lawan untuk dirinya sendiri.
Santri Milenial 97
Bidang usaha yang cocok bagi seorang deal maker ada-
lah broker properti dan perantara jual beli mobil, kendaraan,
dan produk lainnya. Selain itu, profesi kurator serta ne-
gosiator independen juga bisa menjadi ladang bisnis yang
menjanjikan.
Trader
Trader atau pedagang ser ing diidentikkan dengan pengu
saha meskipun tidak semua pengusaha punya karakter pe
dagang. Prinsip utama trader adalah cari untung sebesar-be-
sarnya dari modal sekecil-kecilnya.
98 Santri Milenial
Ia menjalankan hari ini dengan sebaik-baiknya tanpa me-
mikirkan apa yang bakalan terjadi esok hari. Dalam bisnis,
prinsipnya adalah menjual barang yang cepat laku sehingga
perputaran modalnya juga cepat bergerak pula.
Sama seperti deal maker, seorang trader juga selalu
mengendus kesempatan. Hanya bedanya, kalau deal maker
menajamkan intuisi dengan bernegosiasi, maka trader me-
lihat pasar sebagai kesempatan terbuka. Trader melihat tren
pasar sebagai suatu kesempatan baginya untuk mengumpul-
kan sebanyak mungkin uang.
Trader yang hebat dapat mengambil banyak keuntun-
gan dalam waktu singkat. Tetapi sebenarnya yang membuat
seorang trader disebut hebat bukan karena banyaknya uang
yang dikumpulkan, melainkan lebih kepada rekor dan his-
tori yang bisa dibuat dalam suatu pasar. Kalau deal maker
dalam setahun bisa membuat satu kesepakatan besar yang
hebat, trader lebih daripada itu, mereka bisa sering mem-
buat banyak keuntungan lantaran bekerja jangka pendek.
Prinsip trader hanya satu, yaitu membeli barang murah dan
menjualnya dengan harga setinggi langit.
Bidang pekerjaan yang cocok untuk santri dengan kar-
akter trader antara lain pemain saham, pedagang valuta
asing, penjual sembako, pedagang smartphone dan pulsa,
penjual hewan kurban, dan seterusnya.
Santri Milenial 99
Accumulator
Accumulator adalah pekerjaan yang menuntut kesabaran.
Mereka pandai menanti momen yang tepat dan terlatih me
nunggu sampai ada kesempatan yang baik. Segala sesuatu
yang dimilikinya saat ini dikumpulkan dan disimpannya
baik-baik sampai waktu yang tepat untuk dikeluarkan atau
dijual.
Sifat sabar menunggu membawa keuntungan tersendiri
bagi santri dengan karakter accumulator karena merupakan
kunci dalam meraih keuntungan. Properti, misalnya, se-
makin “disimpan” dan ditahan, maka akan semakin tinggi
harganya. Begitu pula emas, saham, atau koleksi benda-ben-
da antik.
Pada akhirnya accumulator akan mengkonversi waktu
yang telah mereka habiskan untuk menunggu dengan se-
jumlah uang dalam jumlah besar.
Selain sabar, accumulator juga orang yang setia dalam
konteks bisnis. Kesetiaannya ini berguna untuk mengem-
bangkan investasinya. Ia tidak mengikuti tren, tidak juga
berpikir jauh mengawang-awang, dan tidak mengkhayal.
Sifat ini baik karena sampai waktunya nanti, apa yang telah
diperjuangkannya akan membuahkan keuntungan.
Kesetiaan accumulator membuat pengusaha tipe ini
fokus. Ia tidak mudah diganggu oleh hal lain yang dapat
mengacaukan apa yang sedang dibangunnya. Selain itu,
orang ini senang mengakumulasi. Sebagai contoh, setelah
mendapatkan keuntungan, maka ia akan menyimpan hasil
Mechanic
Mechanic adalah karakter orang yang suka memperbaiki
sesuatu. Berbeda dengan creator yang menciptakan produk
baru, seorang mechanic memperbaiki atau menyempurnakan
yang sudah ada.
Membangun dan menyempurnakan memang benar-be-
nar khas Mechanic. Kemampuannya menyempurnakan sesu
atu inilah yang bakalan melengkapi tipe-tipe karakter yang
telah disebutkan sebelumnya.
C. Analisis Usaha
G. Manajemen Waktu
H. Kekuatan Rutinitas
K. Manajemen Keuangan
Apa perlu santri ikut komunitas? Ya, jika santri tahu apa
pentingnya sebuah komunitas. Jadi bergabungnya santri
dalam sebuah komunitas didasari oleh daya ungkit ekono-
mis yang bisa didapatnya, dan bukan hanya sekadar ajang
B. Berjiwa Nasionalisme
C. Spirit Anti-Korupsi
D. Meneladani Kepimpinan
Rasulullah SAW
Facebook : @muhammadkhozin88
Instagram : @muhammadkhozin88
Twitter : @muhammadkhozin_
Website : MuhammadKhozin.com
Email : khozin88@gmail.com
HP : 0811336818