Anda di halaman 1dari 202

Passion for Knowledge

Santri Milenial
Oleh
Muhammad Khozin

ISBN: 978-602-455

Penyunting: Marina
Desain: Aditya Ramadita

©2018, Penerbit Bhuana Ilmu Populer


Jln. Palmerah Barat 29-37, Unit 1 - Lantai 2, Jakarta 10270

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia
No. Anggota IKAPI: 246/DKI/04

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014


tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

© Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.


Diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer
Kelompok Gramedia
Jakarta, 2018
SANTRI MILENIAL

Cerita Santri Memaknai Era Digital, Entrepreneur,


dan Nasionalisme

Muhammad Khozin
TESTIMONI

Santri milenial menjadi topik yang menarik belakangan


ini karena memadukan dua kultur yang berbeda. Santri
merepresentasikan Islam-budaya nusantara, milenial lebih
merujuk pada era baru yang memiliki style dan budaya
berbeda dari era sebelumnya. Buku ini menjadi istimewa
karena ditulis oleh seorang santri yang hidup di era
milenial.

M. Romahurmuziy (Ketua Umum PPP)

Santri Milenial v
PRAKATA

Tanpa didesain, saya lahir sebagai generasi milenial. Para


ahli dan peneliti menggunakan awal 1980-an sebagai awal
kelahiran kelompok ini hingga awal 2000-an sebagai akhir
kelahiran. Generasi milenial pada umumnya adalah anak-
anak dari Generasi X yang lebih dulu eksis.
Tak ada kesamaan yang 100% universal sebagai penciri
dari generasi milenial ini. Karakteristik mereka memang
berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-
ekonomi. Namun, seperti diringkas di situs Wikipedia, ge­
nerasi ini umumnya ditandai peningkatan penggunaan dan
keakraban komunikasi, media, dan teknologi digital. Di
sebagian besar belahan dunia, pengaruh mereka ditandai
dengan peningkatan liberalisasi politik dan ekonomi, mes­
kipun pengaruhnya masih diperdebatkan.
Nyatanya, generasi milenial tak bisa dinafikan ke-
beradaannya di dalam lingkungan pesantren. Mereka men-
jadi satu generasi unik di sana. Berpeci dan bersarung
tapi suka gonta-ganti sarung hape. Rajin shalawat sekaligus
menjadi generasi online chat.
Saya ada di lingkaran itu, entah sebagai pelajar maupun
menjadi pengajar. Santri milenial, saya menyebutnya. Sebuah
generasi yang satu kaki masih mempertahankan budaya pe-

Santri Milenial vii


santren yang dipegang teguh, sementara satu kakinya sudah
terjulur dan menapak di era digital.
Apakah nilai-nilai keutamaan pesantren akhirnya
tersingkir dengan masuknya budaya digital? Apakah ko­
munikasi digital juga telah mengubah cara tegur sapa an­
tar-santri itu sendiri? Apakah pengajaran-pengajaran, ke­
disiplinan, keteladanan, juga kepatuhan santri pada kiai juga
masih menjadi sesuatu yang kokoh dijaga?
Buku ini mencoba menjalin kisah, gagasan, dan
harapan-harapan, dari saya untuk para santri di manapun
berada. Bukan sekadar mereka yang masih menetap dan
belajar di pondok pesantren, tetapi untuk semua. Sebab
santri zaman now bukan lagi mereka yang ada di pesantren,
tetapi juga yang berkiprah bersama masyarakat.
Topik mengenai era digital, entrepreneur, juga na­
sionalisme akan selalu dan semakin relevan dengan zaman
sekarang. Santri akan terseret dalam perdebatan itu jika
nilai kesantrian mereka masih belum kokoh menancap.
Buku ini merupakan kristalisasi mengenai konsep itu de­
ngan dilandasi pengalaman saya langsung sekian lama hidup
dan menjadi bagian dari pesantren.
Saya coba rumuskan siasat santri milenial untuk men-
jadi pemain aktif anti-hoax dan anti-korupsi dipadu dan
dikembalikan kepada konsep leadership ala Rasullulah SAW.
Semoga sumbangsih kecil ini dapat berarti untuk Indonesia
yang lebih baik.
Untuk sukses kecil terbitnya buku ini, saya dengan se-
gala kerendahan hati mengucapkan terima kasih atas peran

viii Santri Milenial


banyak pihak. Kepada almarhumah ummi Hj. Nur Arifah
Syamsul Arifin dan abah H. Munief Syafi’i, terima kasih
telah mengenalkan dunia pesantren sejak dini dan membiar-
kan saya mengalami hidup luar biasa dalam proses sebagai
santri dengan doa dan ketulusan kasih orangtua.
Juga terima kasih untuk istri saya tercinta Hj. Nur
Wakhidah, S.Th.I—pasangan hidup sekaligus teman diskusi,
dan pemberi energi yang tak ada habis-habisnya bagi saya.
Inspirasi buku ini banyak lahir dari refleksi kehidupan yang
kami jalani bersama, dan diskusi kami berdua. Dalam masa
penyembuhan sakit yang dideritanya saat berobat di Kuala
Lumpur dan China, istri saya terus menyemangati saya agar
buku ini lekas terbit.
Tentu peran sebagai editor yang disumbangkan kakak
saya Abdul Wahab Ahmad dan Abdullah Dardum—kedu-
anya dosen IAIN Jember—makin menyempurnakan kualitas
isi buku ini.
Terima kasih setulus hati saya terucap untuk semua
pendidik di Pondok Pesantren Darul Falah Denok Luma-
jang, Bustanul Ulum Curahkalong Bangsalsari, Miftahul
Ulum Suren Ledokombo, Nurul Jadid Paiton Probolinggo,
dan Nurul Islam II Mangli. Buku ini saya dedikasikan untuk
kehidupan yang luar biasa selama nyantri di kelima pesant-
ren tersebut.
Kepada Walikota Bogor Bima Arya—sahabat dan pem-
beri nasehat yang baik, terima kasih selama ini memberikan
inspirasi untuk senantiasa menghiasi hidup dengan narasi

Santri Milenial ix
pengabdian, terutama pada tanah dimana kita dilahirkan
dan dibesarkan.
Tentu ucapan terima kasih saya sampaikan kepada tim
Bhuana Ilmu Populer (Gramedia Group) selaku penerbit
yang memproses naskah ini secara cepat. Juga peran Anang
YB yang membantu memoles gagasan di dalam buku ini
sehingga semakin mudah dipahami.
Selamat membaca, semoga inspirasi di dalam buku ini
bermanfaat untuk kita semua.

Penulis
Muhammad Khozin

x Santri Milenial
DAFTAR ISI

Testimoni
Prakata
Kata Pengantar

BAB I KEHIDUPAN ALA SANTRI


Santri Bukan Sekadar Sarungan
Kenali Isi Pesantren
Nilai Unggul Santri
Mandiri
Solidaritas
Kedisiplinan
Kemampuan Bahasa
Nasionalisme
Memaknai Nilai Kehidupan
Lebih Paham Ilmu Agama
Mengikuti Tren IT
Hormat Kiai dan Senior
Spirit of Silaturahmi

BAB II GENERASI MILENIAL


Generasi Zaman Now
Mengenal Generasi Z

Santri Milenial xi
Generasi Strawberry
Si Kutu Loncat
Pilihan Politik
Mendidik Generasi di Tengah Perang Kata-Kata

BAB III SANTRI ERA MILENIAL


Santri dan Kecanggihan TIK
Santri di Tengah Banjir Informas
Ceramah Zaman Now
Santri Anti-Hoax
Teman-Teman Baru di Media Sosia
Santri Sadar Follower
Seribu Kemungkinan Usaha Santri

BAB IV SANTRIPRENEUR
Ide Dasar Santripreneur
Pilar Utama Memulai Usaha
Analisis Usaha
Cara Santri Menemukan Peluang
Niat dan Motivasi Santripreneur
Manajemen Operasional
Manajemen Waktu
Kekuatan Rutinitas
Organisasi dan Modal Santripreneur
Santripreneur atau Staffpreneur
Manajemen Keuangan
Komunitas Para Santri

xii Santri Milenial


Ngalap Berkah dan Tanggung Jawab Sosial Santri
Silaturahmi Jangka Panjang

BAB V NASIONALISME SANTRI


Merawat Kebhinekaan
Berjiwa Nasionalis
Spirit Anti Korupsi
Meneladani Kepemimpinan Rasulullah SAW

Permadani; Katalisator Spirit Pemberdayaan

PROFIL PENULIS

Santri Milenial xiii


BAB I
KEHIDUPAN ALA
SANTRI
A. Santri Bukan Sekadar
Sarungan

Nyantri alias jadi santri adalah impian sebagian anak.


Mungkin juga rencana lama dari sebagian orangtua teruta-
ma di Jawa. Lebih khusus lagi di tengah kultur masyarakat
Madura, kultur yang mempengaruhi saya sejak lahir hingga
dewasa.
Tunggu dulu, sebenarnya santri itu apa?
Kalau menurut kamus, santri itu siswa dalam arti
harfiah. Tapi, di dalam masyarakat yang didominasi orang-
orang dengan bahasa ibu Bahasa Jawa, punya arti sendiri
mengenai kata santri, yaitu sanggup nerusaken tuntunan
rasul Illahi. Kita harus sanggup meneruskan tuntunan rasul
Ilahi, itu lebih kurang artinya.
Santri itu prihatin. Makan seperlunya. Ingat teman dan
ingat waktu. Makan untuk hidup, bukan sebaliknya. Perlu
istirahat tapi perbanyak juga tirakat. Gambaran itu masih
terlihat di banyak pesantren sampai saat ini. Itu juga jadi
wejangan para orangtua yang melepas anaknya sebagai se-
orang santri.
Santri itu sarungan, itu rumus pertama yang dipelajari
dan direkam mata saya di hari pertama tinggal di pesantren.

Santri Milenial 3
Celana jins bahkan tidak jelas bisa dipakai kapan pas acara
apa. Hanya punya satu sarung itu kurang. Lebih-lebih saat
musim hujan. Baju lengan panjang dengan kerah tegak
adalah ciri lainnya. Ada yang menyebutnya baju koko, ada
juga baju muslim.
Tambahan lain adalah peci atau kopiah, biasanya ber-
warna hitam seperti pet veteran bedanya peci lebih kaku.
Lain daerah beda penutup kepalanya. Di Majalengka, peci
bentuknya lebih tinggi, bisa dua kali lipat dibandingkan peci
di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Lain halnya dengan santri perempuan. Nyaris di semua
daerah sama, mereka berpakaian panjang sampai menut-
up mata kaki dengan penutup kepala yang tidak pernah
lepas. Dalam gambaran film-film, santri perempuan itu
selalu cantik memeluk Al-Qur’an sambil berjalan santai.
Dalam kehidupan pesantren yang nyata, santri perempuan
tak cuma kita temukan sedang berjalan beriringan santai
seperti itu. Mereka menyapu, mencuci pakaian, menjemur
kasur, meracik sayuran, dan berkeringat. Tak beda dengan
santri laki-laki.
Ada juga yang bilang, santri itu identik dengan lapar.
Santri yang lapar juga tidak bisa langsung makan seperti
selama ini kita terbiasa melakukan itu di rumah. Begitu
orkes perut berbunyi, tinggal buka tutup saji di atas meja
makan dan mengisi piring dengan nasi dan lauk lengkap.
Santri mana bisa begitu. Makan pakai jadwal. Kalaupun pas
jadwalnya mau makan tetap harus masak sendiri-sendiri

4 Santri Milenial
atau berkelompok, meski saat ini banyak juga pesantren
menyiapkan fasilitas makan dengan sistem kos bulanan.
Hidup sebagai santri membawa kita untuk belajar ten-
tang Sin: Satrul al aurah. Ada aturan tentang pakaian di
rumah baru yang berisi ribuan orang ini. “Kita harus belajar
tentang menutup aurat,” kata ustaz.
Aurat kita bukan cuma dengkul. Tidak ada gunanya
dengkul kita ditutup rapat tapi otak pembentuk pikiran liar
menjalar seperti tidak pernah diajar.

Tutup rapat jasmani kita seperti tuntunan Rasulullah.


Tapi tidak kalah penting lagi adalah pesan ini: tutup dan
jagai selalu rohanimu.

Jangan plirak-plirik yang tidak perlu. Kunci lidahmu


kalau mulai liar dengan sumpah serapah. Plester mulutmu
ketika susah dikontrol, juga bersihkan pikiranmu dari ke-
inginan buruk dan niat-niat jahat. Seolah terdengar vulgar,
tapi nasihat itu sudah menjadi aturan hampir di semua
pesantren.
Santri juga pada akhirnya akan mengerti soal Nun:
Naibul ulama’. Santri adalah wakil ulama. Kita adalah
representasi dari ulama-ulama itu sendiri.
Saya yakinkan diri bahwa saya ke sini karena mau ber-
guru pada kiai. Saya niatkan mau mengosongkan pikiran,
dan siap menampung ajaran-ajaran mereka. Saya adalah
umat yang secara sadar masuk pesantren dan mengambil

Santri Milenial 5
status baru sebagai santri, sang pembelajar untuk menerima
ajaran-ajaran Islam dari para kiai.
Para kiai itu, jika dirunut, mereka pun belajar Islam
dari guru-gurunya yang terhubung sampai Rasulullah SAW.
Saya sudah menyerahkan sepotong hidup saya untuk ikut
dalam estafet meneruskan ajaran-ajaran Sang Nabi.
Saat nyantri, saya makin dekat dengan teman-teman
dan paham karakter orang per orang. Tidak semua langsung
cocok, maklum laki semua. Tapi justru di hari itu saya
bel­ajar soal nun, naha anil munkar. Artinya jauhi kemung-
karan.
Apa lagi itu? Munkar adalah ingkar, menutup mata ter-
hadap ajaran agama. Mungkar juga tak lain dari perbuatan
yang diingkari oleh akal. Di situ bercokol rasa marah yang
akut, ringan tangan—dalam arti suka main tangan—dan
bersikap tinggi hati di hadapan orang lain. Perbuatan ini
sudah barang tentu semuanya ditolak oleh akal sehat dan
tidak dibenarkan oleh agama. Apalagi di pesantren yang
isinya laki-laki semua. Berani bikin ulah? Tunggu saatnya
seret koper keluar dari gerbang pesantren.

Dan hari-hari berikutnya saya makin tahu,


bahwa santri seperti saya ini (diam-diam) disiapkan
untuk jadi pemimpin bangsa.

“Ra’isul ummah. Ke depan, kamu semua adalah calon-


calon pemimpin bangsa,” pesan Kiai mengingatkan kami.
Dengan takzim kami semua yang duduk menekuk kaki

6 Santri Milenial
mengangguk mantap. Siapa yang tidak ingin jadi pemimpin?
Ada jabatan, kerjaan tetap, gaji rutin, dan terpandang.
Tapi Kiai yang seperti punya indera keenam itu bu-
ru-buru menggedor kesadaran saya dan teman-teman
sesama santri. “Indonesia itu butuh, pemimpin yang bisa
dipercaya,” kata Kiai tanpa maksud nyinyir pada pemimpin
negara yang sekarang atau yang sebelumnya. Membaca bu-
ku-buku yang berisi pemikiran eks presiden RI, yakni Gus
Dur, kita jadi paham filosofi pemimpin bangsa
Menurut kiai yang presiden itu, pemimpin yang bisa
dipercaya adalah pemimpin yang mampu membawa ke-
maslahatan bagi warga negara Indonesia. Ketika manusia di-
tugaskan sebagai khalifah Allah SWT, jelas dia harus mam-
pu mewujudkan solidaritas sosial yang kokoh yang tidak
terbatas pada manusia belaka, tapi juga seluruh makhluk
di semesta ini. Ingin rasanya saya mencoretkan stabilo itu
dan menambahkan kalimat panjang itu bisa diringkas dalam
rumus: Rahmatan Lil ‘Alamin.
Kini kita sudah dapat merangkai dan menjawab te-
ka-teki mengapa saya bersyukur jadi santri. Saya telah
temukan hal-hal baik ini
Sin : Satrul al aurah (menutup aurat)
Nun : Naibul ulama’ (wakil dari ulama’)
Ta’ : Tarku al ma’ashi (meninggalkan kemaksiatan)
Ra’ : Ra’isul ummah (pemimpin ummat)

Saya rasa saya seperti naik level, punya derajat manfaat


yang lebih tinggi bagi umat dan semesta.

Santri Milenial 7
Saya jadi yakin dengan ungkapan bijak yang berbunyi:
ketinggian derajat pemuda, tergantung pada keyakinannya.
Setiap orang yang tidak mempunyai keyakinan, maka ia
tidak ada gunanya.

Moga-moga Allah SWT merestui saya dan Anda untuk


menjadi insan yang penuh manfaat. Semua itu dimulai den-
gan menjadi santri yang taat pada kiai di pesantren.

B. Kenali Isi Pesantren

Pondokan di pesantren adalah rumah saya dan santri lain-


nya. Benar-benar rumah, bahkan melebihi rumah tinggal
kami sesungguhnya. Menyapu dan mengepel, menguras
kamar mandi dan menggosok WC. Malah ada sebagian
santri yang harus menimba air sebelum mandi. Pesantren
memang tempat tinggalnya para santri. Secara harafiah, kata
pesantren dibentuk dari kata santri yang mendapat awalan
dan akhiran pe-an yang bermakna tempat, pe-santri-an.
Pesantren tak ubahnya seperti rumah tangga dengan
banyak anak. Di situ juga memiliki panutan, seperti halnya
seorang ayah di rumah kia masing-masing. Ada kiai
yang kita hormati sebagai sosok panutan dan ada ustadz
sebagai perpanjangan tangan kiai dalam mengurus aktivitas

8 Santri Milenial
pesantren. Pesantren memang tempat para santri mengaji
kitab, namun santri adalah orang-orang yang dengan
kesadaran sendiri untuk mengikuti kiai, dan setuju dengan
pemikiran dan perjuangan beliau.
Menurutlah dan patuh pada kiai, pesan orangtua sebe-
lum anaknya berangkat ke pesantren. Pesan penting yang
pasti dan wajib dituruti, tidak hanya selama di pondok
pesantren tapi juga setelah santri tak lagi berdiam di sana.
Santri itu orang-orang yang ikut kata dan perjuangan
kiai, entah ketika kita belajar di pesantren atau tidak lagi
di sana. Sebab, sepanjang menurut pada kiai ya kita tetap
santri. Walaupun kita tidak lancar baca kitab tapi kalau
mendukung dan terlibat dalam perjuangan kiai, maka kita
tetap santri. Apalagi ketika kita pernah ada di dalam pe­
santren, maka resmilah kita sebagai anak pesantren.
Pesantren itu seperti tempat mondok para cantrik.
Istilah ini mungkin tidak terlalu populer di daerah Jawa
Timur dan Jawa Barat. Lain halnya di dalam trandisi Jawa,
julukan cantrik diberikan orang-orang yang patuh pada
gurunya.
Bukan patuh pasrah tetapi tumbuh dari kesadaran
bahwa dia ingin hidup lebih baik dengan cara mengikuti
laku dari sosok yang dia ukur layak untuk diikuti. Dalam
cerita pewayangan, cantrik digambarkan hidup satu halaman
rumah dengan guru, begawan, atau resinya. Mereka belajar
dan menuntut ilmu di tempat itu.
Dalam keseharian, cantrik melibatkan diri sebagai
tangan kanan gurunya. Termasuk menjadi bagian dari

Santri Milenial 9
rumah tangga tempat dia tinggal. Entah itu ikut bercocok
tanam, mengelola pondokan, dan aktivitas lainnya.
Dalam dunia kesenian, cantrik juga dipakai untuk se­
butan orang-orang yang “ngangsu kawruh” menimba ilmu
dari seniman senior. Misalnya, seseorang yang nyantrik
(menjadi cantrik) dari seorang sinden atau dalang. Di situ
si cantrik ikut ke mana pun gurunya naik pentas. Dia
akan membantu mengangkat gamelan, menyiapkan apa pun
keperluan gurunya sambil memimba ilmu darinya. Santri
dan cantrik seperti dua kata yang kembar dilihat dari moti­
vasinya untuk menangguk pengetahuan.
Pesantren bukan hanya tempat belajar para santri yang
mondok. Ada kalong juga yang ikut belajar. Sebutannya
memang santri kalong, mereka tinggal di sekitar pesantren
dan akan datang sesekali untuk bertemu santri dan kiai un-
tuk menimba ilmu tanpa mondok. Sedangkan orang-orang
seperti saya yang memang niat dari awal untuk fulltime
belajar di pesantren disebut santri mukim.

Pesantren modern memungkinkan tumbuhnya rumah kos


di sekitar pesantren. Tempat menginap sementara itu
dihuni banyak santri kalong yang akan datang ke pesantren
untuk belajar pada jam-jam tertentu. Pada siang hari,
santri kalong mempunyai aktivitas lain seperti menuntut
ilmu atau kerja biasa.

10 Santri Milenial
1. Asal Muasal Pesantren Indonesia
Pertanyaan yang tidak memiliki ujung kesimpulan adalah
apakah sistem pendidikan pesantren adalah model yang
memang ada dalam tradisi Islam universal? Jawaban yang
muncul tentu persimpangan antara ya dan tidak.
Mereka yang punya keyakinan bahwa pesantren ada-
lah bagian dari tradisi Islam menyodorkan fakta tentang
laku tarekat. Pendapat ini berargumen bahwa ada wak-
tunya peyebaran agama Islam memang dilakukan dalam
kegiatan tarekat. Yang dimaksud di sini adalah laku ta-
sawuf atau ajaran (cara dan sebagainya) untuk mengenal
dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh
hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.
Kelompok tarekat ini dalam praktiknya berkelompok
untuk melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid terten-
tu. Di dalam kelompok itu ada sosok panutan yang dikenal
sebagai kiai dan mewajibkan anggota tarekat untuk melak-
sanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun.
Caranya adalah dengan hidup berkoloni dalam pemondokan
di dalam lingkungan masjid untuk melaksanakan ibadah
dalam bimbingan sang kiai.
Inilah cikal bakal pengajian yang kita kenal selama ini.
Pengajian yang menetapkan cara hidup dengan mondok
akhirnya dijadikan penguat argumen bahwa jauh sebelum
Islam masuk ke Nusantara, pengajaran ala pesantren ini
telah ada lebih dulu.
Kemiripan pesantren yang kita kenal sekarang ini juga
mudah kita temukan di negara-negara Hindu dan Buddha
Santri Milenial 11
seperti di India dan Thailand. Dalam tradisi pendidikan
agama Hindu, para guru mengajar karena pengabdian, me­
reka tidak dibayar dan memilih mendirikan tempat-tem­pat
pemondokan jauh dari keramaian untuk mengajar. Pola ini
memperlihatkan kemiripan dengan pesantren nusantara.

2. Walisongo
Bicara asal muasal pesantren di tanah air tak bisa lari
dari keharusan menyebut peran Walisongo. Kesembilan
kiai itu menggunakan model pondokan untuk mengawali
penyebaran agama Islam di tanah air. Hidup bersama dalam
satu lingkungan dan keseharian yang sama membuat proses
pengajaran menjadi lebih mudah diterima. Para wali juga
tidak serta merta menjaga jarak terhadap kearifan dan
budaya lokal. Justru budaya dan kesenian digunakan sebagai
pintu masuk yang lebar untuk menunjukkan wajah Islam
yang ramah dan luhur.

Budaya yang berakhlakul karimah dikedepankan sembari


bergaul dengan masyarakat lokal secara baik. Budi pekerti
para wali ini menjadi role model para santri.

Mereka pun menjadi duta-duta pesantren dengan mem-


perlihatkan perilaku yang menghormati budaya, bahkan
menjadikannya sebagai infrastruktur agama, kecuali budaya
yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti mo-limo

12 Santri Milenial
(dari kata emoh lima atau tidak untuk lima hal) yang di­
ajarkan oleh Sunan Ampel.
Menariknya, mo-limo asal mulanya adalah ritual
sekte Siwa-Buddha Bhairawa Tantra yang berisi: matsiya
(memakan ikan gembung yang beracun), manuya (minum
darah dan memakan daging korban ritual), madya (minum
minimal beralkohol), muthra (menari), dan maithuna (pesta
seks). Kelimanya kemudian dianggap sebagai hal yang tabu
sehingga perlahan ditinggalkan.
Kehadiran Walisongo kemudian membawa makna baru
bagi larangan mo-limo ini sehingga lebih cocok dengan kon-
disi riil masyarakat saat itu, yakni larangan madat (mengon-
sumsi candu), madon (seks bebas), minum (mengonsumsi
minuman berarkohol), main (berjudi), dan maling (men-
curi). Mungkin kini saatnya kita memberikan penafsiran
baru bagi mo-limo yang juga cocok bagi era milenial, yakni
larangan menganggur, malas, maling (korupsi), memalukan,
muslihat (licik).
Bercerminlah dari perjuangan para wali, pesan ini se­
ring digaungkan. Perilaku santri harus baik, ucapan ha­rus
benar, dan pikiran harus lurus. Berdakwah dengan berperi­
laku baik, berbudaya, dan santun jelas menjadi cara dakwah
yang ampuh dan efektif. Itulah style perjuangan para wali.
Para wali pelan namun pasti telah mengislamkan nu­
santara dengan cara halus, tanpa pemaksaan kehendak
apalagi tumpah-tumpahan darah. Sejarah mencatat betapa
banyak kerajaan-kerajaan pada akhirnya dicatat sebagai ke­
rajaan baru yang bernafaskan Islam.

Santri Milenial 13
3. Modern dan Tradisional
Meski sama-sama mengajarkan ilmu agama, namun kini
orang mengelompokkan pesantren ke dalam dua kelompok
besar berdasarkan metodenya. Ada pesantren tradisional
dan ada pesantren modern. Menuntut ilmu memang ke-
wajiban manusia, namun ada realitas bahwa orang punya
keinginan dan pilihan yang berbeda di mana mereka akan
mengayunkan gayungnya menimba ilmu.
Pesantren tradisional didefiniskan sebagai sistem
pendidikan islami yang menerapkan pesantren salafiyah.
Gambarannya mirip dengan sistem cantrik, para santri
tinggal di dekat kiai dan membantu kegiatan kiai sehari-hari
seperti mengelola sawah, kebun, empang, dan kebersihan
lingkungan. Kiai menyediakan pondokan untuk para santri
mereka dengan cuma-cuma atau sedikit imbalan sepantas­
nya.
Kehidupan di pesantren ini bisa dominan waktunya,
sejak subuh hingga larut malam. Para santri saat siang hari
bisa bekerja di sawah atau mengikuti pendidikan formal di
sekolah-sekolah umum. Setelah itu, mereka akan mengaji
ilmu agama dan baca kitab dari kiainya.
Proses pembelajaran bersama kiai dalam pesantren tra-
disional bisa berlangsung lama sebab si kiai tidak menerap-
kan metode dan silabus pembelajaran yang baku. Pengajaran
mengalir sesuai kemampuan si santri menyerap dan mem-
praktikan tiap ajaran yang diberikan oleh kiainya. Makin
rajin dan makin tajam kemampuan si santri menyerap ilmu,
maka makin cepat proses pembelajarannya.

14 Santri Milenial
Lain halnya dengan pesantren modern. Di tempat pen-
didikan agama yang berkonotasi lebih maju ini, proses pem-
belajaran sudah memadukan materi agama dan pendidik­
an formal. Namun demikian, tetap saja porsi pengajaran
agama dan Al-Qur'an mendapat prioritas dan porsi lebih
besar. Nilai-nilai kesederhanaan, kesantunan, rendah hati,
kemandirian, berpadu dengan gemblengan leadership, ke-
wirausahaan, IT, mekanik, jurnalistik, dan penguasaan ilmu
lainnya yang relevan.
Dua model pesantren yang terus mewarnai dunia pen-
didikan islami di nusantara, tak ada yang lebih baik satu
dengan lainnya. Keduanya punya misi yang serupa, men-
jadikan anak didiknya sebagai rahmat untuk seluruh alam.

4. Pesantren Apakah Hanya di Jawa?


“Kiai, pesantren itu apakah ada di luar Jawa juga?” tanya
seorang santri di suatu malam. Si kiai berdehem sebentar.
Pertanyaan itu tiap tahun diajukan oleh santri-santri yang
baru pertama kali mondok.
“Menurut kamu, pesantren dan pondok itu sama atau
tidak?” Kiai balik bertanya, Semua santri menatap kiai tanpa
berkedip. Mereka tak perlu menjawab sebab memang seperti
itulah cara kiai mengawali penjelasannya.
“Pesantren itu ya pondok. Kalau pesantren, itu penger-
tian untuk tempat belajar para santri. Sedangkan pondok
adalah tempat tinggal para santri selama belajar agama.”

Santri Milenial 15
Para santri mengangguk-angguk. “Jadi, salah ya Kiai kalau
saya nyebutnya Pondok Pesantren?” Celetuk seorang bocah.
“Soal salah atau benar, biarlah Allah SWT yang nanti
memeriksa,” canda Kiai sambil mengibaskan sorban ko-
tak-kotaknya. Para santri tergelak keras.
Orang Jawa dan Madura paling suka memakai dua
sebutan itu. Lain soal dengan orang Aceh. Di sana tempat
pendidikan agama dengan sistem pondok disebut sebagai
dayah, rangkang, atau menuasa. Beda lagi dengan sau-
dara-saudara di Minangkau. Mereka menyebutnya surau.

Pesantren memang ada di banyak tempat di nusantara.


Itulah keragaman dan kebaikan Islam yang mudah masuk
ke banyak belahan bumi nusantara.

C. Nilai Unggul Santri

Kali ini saya mau merangkai satu deret nilai unggul santri.
Perilaku, cara berpikir, cara hidup, dan cara bermasyarakat
para santri memang terlihat unik. Mereka seperti merajut
satu budaya yang amat khas terutama dalam kehidupan
mereka.
Sejatinya pesantren memang sekolah kehidupan, tem-
pat sekian banyak orang digembleng dan ditempa seperti

16 Santri Milenial
sebilah besi yang akhirnya menjadi tajam setelah dibentuk
dengan keuletan dan kesabaran. Inilah nilai unggul santri
sependek yang saya rasakan dan lihat dengan kelima indera
saya.

1. Mandiri
Meski saya mengalami masa-masa masih disuapi dan di-
mandikan ketika jadi santri pertama kali di pesantren anak-
anak Denok Lumajang Jawa Timur, tapi itu pengecualian.
Orangtua saya memasukkan saya ke pesantren dalam usia
yang kecil.
Santri itu mencuci sendiri. Semuanya, mulai dari men-
cuci beras hingga sarung. Mulai dari menguras kamar man-
di, menggosok toilet, hingga menyapu kamar dan halaman.
Pesantren juga banyak tempat untuk berkebun, jadi tani,
mengurusi kolam ikan, kandang kambing, dan ayam. Santri
itu memasak nasi sendiri, bikin tumis kangkung sendiri,
nyeplok telor sendiri kalau punya duit untuk beli telor.
Beda dengan kondisi di rumah keluarga sendiri, di sana
bisa jadi ada meja besar dan penuh nasi lauk. Ini akan jadi
kenangan yang membuat kita menelan ludah karena sangat
membuat rindu nantinya. Sekali makan boleh pakai tiga
lauk sekaligus. Nambah nasi sebanyak piring pertama.
Lain pemandangan di pesantren. Meja penuh makanan
adalah hal langka. Kalau kita mendadak lapar sebelum wak-
tunya, santri belum tentu bisa mengisi perut. Di pesantren

Santri Milenial 17
kalau santri masih lapar setelah makan sepiring nasi goreng,
mereka harus mengulek bumbu lagi untuk mendapatkan
sepiring nasi goreng kedua.
Di pesantren, kalau santri mau teh manis berarti
dia harus membeli gula sendiri, masak air sendiri, bah-
kan cari kayu sendiri untuk masak air. Untuk bisa minum
seteguk teh manis mungkin hanya sekian detik tapi untuk
menikmati itu mereka harus berjuang sebelum tehnya siap
diminum. Kalau punya duit, tentu bisa beli teh kotak di
warung atau koperasi pesantren.
Santri laki-laki dan perempuan akan menghadapi satu
dunia baru sendirian. Tidak ada Ibu yang bangun subuh
pukul empat untuk meracik bumbu melengkapi sayur dan
lauk setiap pagi. Santri akan menjadi ibu bahkan bapak bagi
dirinya sendiri.
Kata “sendiri” bermakna “tidak ada yang melayani” tapi
bisa saja dilakukan ramai-ramai. Daripada masak nasi satu
dandang dan baru habis seminggu, maka biasanya sekali
masak nasi dimakan untuk beberapa orang. Demikian pula
untuk semangkup sup dan sepiring tempe goreng, makann-
ya ramai-ramai, hasil memasak di dapur pondokan.
Santri sudah pasti mandiri. Tidak ada ceritanya bangun
harus dibangunkan, belajar harus diingatkan, sikat gigi
harus dipaksa-paksa, pulang sekolah tinggal melempar baju
kotor ke keranjang atau ke mesin cuci. Tak ada pembantu
tak ada laundry. Semua self- service. Sukur-sukur juga
melayani teman lainnya. Itu sudah menjadi etos pergaulan
di dalam pesantren.

18 Santri Milenial
Termasuk mengatur waktu seperti pendekar, mesti
lincah kalau tidak mau pusing karena jadwal sangat padat
dan tabrak-tabrakan. Satu kamar mandi bisa dipakai antre
lima sampai sepuluh orang. Padahal semua harus masuk
sekolah dalam waktu bersamaan. Sekali lelet, maka efeknya
bisa merembet. Menyusahkan teman dan pastinya susah
sendiri.
Sakit juga bukan alasan untuk cengeng. Ada teman
sekamar sebagai dokter darurat, tempat kita minta dipijat,
dikeroki, dan minta dibagi obat gosok dan koyok.

Maka, celakalah santri yang susah gaul dan


pilih-pilih teman. Dia bakal repot dan kagok karena mandiri
baru terasa ringan ketika kita bergaul dengan sebanyak
mungkin teman sesama santri.

Ibarat kita kehabisan beras, kalau teman kita hanya dua


orang santri sekampung dan keduanya juga tak punya sisa
beras, kemana lagi kita cari sepiring nasi pengganjal perut.
Kalau punya 100 teman maka ada 100 peluang juga untuk
mendapat makanan setidaknya di hari itu. Santri itu Punya
Solidaritas
Ada anekdot, jangan ngaku santri kalau kamu belum
pernah ngutang temanmu di pesantren. Jadi, boleh ngutang?
Pinjam ini dan itu dari teman, begitu bahasa halusnya.
Santri awalnya masih sebatas pinjam atau minta beras dari
teman satu kamar. Banyak santri yang memang membawa
beras dari rumah masing-masing. Seringkali beras habis
sebelum waktunya.

Santri Milenial 19
2. Solidaritas
Santri itu bukan sepotong hidup di dalam pondok saja.
Santri adalah keseharian kita bahkan ketika tidak lagi ada
di dalam bilik-bilik kayu rapuh pondok pesantren. Ketika
para santri sudah “turun gunung” kembali ke masyarakat,
solidaritas itu tidak memudar. Pertemanan masih dieman-
eman agar tidak menguap. Persahabatan masih dijaga agar
tetap erat.
Mana ada santri yang tidak pernah pinjam uang? Apa
iya. Pasti. Karena sekaya apa si santri selalu ada masalah
dengan uangnya. Entah itu kiriman uang datang telat atau
kadang uang habis sebelum kiriman datang di kamar santri.
Saya paling sering mengalami kasus yang kedua itu. Duit
habis sebelum waktunya. Bukan karena kurang tapi saya
memang royal dan boros. Dikirim berapa pun, dijatah be-
rapa pun lebih sering habis sebelum bulannya habis.
Apalagi waktu itu orangtua saya sudah pisah, jadi
mereka gantian kirim kebutuhan uang untuk saya hidup
di pesantren. Kadang dari Abah dan kadang dari Ummi.
Kalau soal telat, itu sudah hal biasa. Kadang sampai berbu-
lan-bulan. Untuk makan, saya patungan dengan beberapa
teman yang sama sialnya. Terus buat lauk dan sayurnya dari
mana? Nah pengasuh pesantren punya kebun yang sudah
dihalalkannya untuk santri yang mau masak.
“Tapi jangan ambil yang matang, petik saja yang
mentah,” begitu pesannya. Maksudnya yang matang semisal
pepaya, kami boleh petik pepaya yang masih hijau untuk

20 Santri Milenial
dibuat oseng-oseng atau tumisan. Jadi sebagai santri laki-
laki, bisa mendapat pepaya mentah itu serasa nikmatnya
seperti dapat secuil surga. Cukup dengan menambahkan
cabe, garam, kecap, dan secangkir air jadilah sayur oseng
yang enak. Masak tak perlu beli minyak tanah sebab di
sekitar pesantren gampang untuk mendapat kayu bakar.
Tinggal nyalakan api tungku. Saya masih mengalami masa-
manis itu sewaktu ada di kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah di
Pesantren Miftahul Ulum Suren-Jember.

Solidaritas terbentuk secara alami di pondok.


Lewat perut dan lewat masalah-masalah ala anak santri.

Kekompakan itu akhirnya membentuk saya untuk me-


nemukan teman-teman dekat. Sebutlah semacam kelompok.
Bersama mereka, saya masak bareng, nyuci baju bareng,
saling berbagi sabun cuci bahkan odol, dan shampo.
Kadang kelompok-kelompok kecil yang solid itu ter-
bentuk karena sama-sama datang dari kampung yang sama.
Sering mudik bareng naik bus atau kereta api. Tapi bisa
juga karena satu hobi misalnya suka voli, atau suka man­
cing, atau suka kucing. Kadang karena ketemu sepanjang
hari—misalnya berasal dari satu rumah pondokan—maka
kelompok itu terbentuk dengan sendirinya. Semua tergan-
tung kedekatan. Pengasuh pondok tidak mengatur penge-
lompokan-pengelompokan itu. Biarlah semua terjadi seperti
kehidupan masyarakat di luar pesantren, yang cocok silakan
berkelompok asalkan kompak. Tidak diformalisasi.

Santri Milenial 21
Hari ini mau masak dengan siapa dan besok dengan
orang berbeda ya tidak masalah. Minta beras sama siapa
dan lauknya sama siapa yang lain juga sah-sah saja. Semua
satu penanggungan dan rata-rata berstatus perantau juga.
Tidak banyak santri yang asalnya dari kampung tempat
pesantren berada.

Pengalaman Masak Kerreh

“Pernah nyoba masak kerreh?” tanya santri yang dua tahun


lebih dulu tinggal di Pesantren Miftahul Ulum dibandingkan
saya. Saya menggeleng. Bahkan masak nasi pun baru saya
tahu setelah ada di dalam pesantren.
“Kere itu enak. Sama enaknya dengan nasi karena
sama-sama dari beras,” kata dia menjelaskan. Saya diajaknya
melongok panci bekas memasak nasi, cuma ada kerak yang
nempel di pantat panci bagian dalam. Saya tidak mengerti
maksud dia.
“Ini kerreh namanya,” kata dia buru-buru setelah sadar
kalau saya terlalu lugu untuk sekadar paham apa kerreh.
Tangannya menunjuk kerak nasi itu. Aku mengangguk dua kali
seperti entok menelan cacing.
“Kamu kalau nggak ada beras, bisa pesen ke santri-santri
yang lagi masak nasi. Bilang kerenya buat kamu. Nanti dia
ambil nasinya dan jatahmu dapat kere. Ini masih bisa kamu
masak lagi jadi bubur. Rendam di air sampai lembek dan me-
kar. Tambahin garam dan air yang banyak. Kamu sudah bisa
mengisi perut dengan makan bubur.”

22 Santri Milenial
Bersyukur saya mengenal pesantren dengan solidari-
tasnya yang unik. Sesuatu pengalaman berharga yang bisa
jadi tidak ada di dalam kehidupan di luar pesantren.
Pesantren zaman now boleh sedikit berubah. Bisa jadi
ini adalah gagasan para pengelola pesantren yang berasal
dari generasi milenial. Mereka berpikir lebih praktis agar
waktu yang dimiliki para santri dapat digunakan untuk le­
bih banyak belajar. Dibukalah kantin-kantin semacam tem-
pat makan di pesantren. Urusan mengisi perut dapat dilaku-
kan lebih simpel, cukup buka dompet dan bayar makanan
yang ditunjuk. Tak perlu lagi ritual cari kayu bakar atau
nyodok pepaya mentah dengan bambu.
Ada alumni yang memutuskan untuk mengabdikan di-
rinya di dalam pesantren yang dulu membentuk dirinya.
Entah menjadi pengurus pesantren, guru, atau ustaz di sana.
Ada juga yang meniti karier sebagai pegawai pemerintah,
kerja di kantor swasta. Tidak sedikit yang jadi jurnalis
berbekal ilmu menulis yang diperoleh di pesantren. Tidak
terbilang teman sesama santri yang malah masuk jajaran
pemerintah sebagai abdi negara atau birokrat, penasihat
menteri bahkan jadi menteri.
Di luar itu, ilmu entrepreneur hasil gemblengan sis­
tem pendidikan pondok juga menciptakan ribuan santri
penguasaha. Apakah solidaritas menjadi muntur karena
sudah memiliki ladang garapan yang berbeda? Sama sekali
tidak. Solidaritas itu tetap terjaga.
Adalah satu sahabat saya sesama santri. Dia santri asal
Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Saya memanggilnya

Santri Milenial 23
Zaki, lengkapnya Zaki Alyamani. Sebutan paling pas untuk
sosok dia adalah BFS alias best friend santri. Tidur sebantal,
urusan kekurangan duit ya numpang di dompet dia. Pen-
galaman seru, pahit, asem, dan manis di Pesantren Nurul
Jadid sedikit banyak terkait dengan Si Zaki ini.
Problem anak santri seringkali tidak jauh dari urusan
kantong kempes dan itu sering jadi keluhan saya ke Zaki.
Tanpa diminta pun Zaki mengulurkan tangan. Juga santri-
santri yang rata-rata memang sudah tahu sama tahu ke­
sulitan anak-anak perantau jauh dari orangtua.

3. Kedisiplinan
Disiplin tak lain dari ketaatan atau kepatuhan kepada
peraturan dan tata tertib. Masuk pesantren pun demikian.
Santri tunduk pada aturan yang ada. Wajib mau ditata dan
ditertibkan. Berapa lama? Bisa jadi 24 jam selama kita ada
di pesantren. Sebab tidur pun ditata waktunya. Jangan harap
bisa tidur siang bila antara lohor dan ashar ada jadwal
kegiatan.
Santri kena tempeleng bukan cerita isapan jempol.
Buktinya saya pernah mendapat cap tangan guru di pipi
sewaktu jadi nyantri dan jadi siswa di Madrasah Aliyah
Keagamaan (MAK) Nurul Jadid. Plak! Sakit di kulit,
panas di hati. Malunya ampun-ampunan karena dilihat
teman-teman sesama santri. Harga diri merosot serendah-
rendahnya. Nyali langsung ciut seperti kerupuk tersiram
satu gelas air.

24 Santri Milenial
Entah karena telat masuk kelas atau alasan rambut
dianggap gondrong oleh guru, pak ustaz, atau kiai. Hukum­
an ringan sampai fisik digunakan untuk membentuk ke-
disiplinan para santri.
Kadang, keberanian untuk melanggar aturan muncul
sekadar untuk menunjukkan bahwa kita bukan anak cemen.
Kadang juga karena dipanas-panasin teman di pesantren
meski ujung-ujungnya yang kena hukuman ya sendirian.
Ada masa-masanya saya sedemikian bandel, bahkan bolos
sekolah selama setahun. Pernah juga tidak naik kelas saat
masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul
Ulum.

Saya belajar dari pengalaman emas itu. Bahwa didikan


dan bahkan tempelengan guru di pesantren telah membentuk
diri dan karakter saya sedemikian rupa.

4. Kemampuan Bahasa
Jangan minder saat tidak bisa berbahasa Inggris di pesan­
tren, jangan rendah diri juga ketika kita belum bisa ber-
cakap-cakap menggunakan bahasa Arab, karena di situlah
tempat santri memperlancar kemampuan berbahasa asing.
Bahasa itu jendela dunia, persisnya “kendaraan” untuk
keliling dunia. Makanya santri diwajibkan paham banyak
bahasa selain bahasa ibu, bahasa persatuan, dan bahasa
kalbu. Belajar bahasa itu perlu disiplin, contohnya belajar
bahasa Inggris dan bahasa Arab yang memang jadi unggul­
an di hampir semua pesantren.

Santri Milenial 25
Santri di banyak tempat diwajibkan berkomunikasi
menggunakan dua bahasa itu. Ada yang full setiap hari. Ka-
lau saya dulu sewaktu nyantri dikenai kewajiban itu selama
enam hari dalam seminggu. Hari jumat adalah hari bebas
mengobrol menggunakan bahasa Indonesia. Apa jadinya
jika tidak disiplin dengan tata aturan itu? Bersiaplah untuk
menghadapi petugas bahasa, semacam departemen bahasa
di asrama putra MAK Nurul Jadid.
Pernah saya tertangkap melanggar aturan berbahasa.
Petugas bahasa memanggil saya di suatu siang dengan lan-
tang. Celaka, saya tertangkap basah bicara pakai bahasa In-
donesia di hari Selasa. Alamat saya bakal kena ta’zir—istilah
untuk denda atas kecerobohan saya dalam bercakap-cakap
di lingkup asrama. Dengan langkah lemas, saya menuju
depan asrama sambil dilihat sesama santri.
Sambil berdiri, saya patuh untuk menghafalkan sepuluh
sampai duapuluh mufrodat alias kosakata bahasa Arab.
Kalau belum hafal, jangan harap saya terbebas dari denda
hukuman itu. Meski merasa dipermalukan dan kesal, tapi
disiplin itu saya terima sebagai konsekuensi melanggar tata
tertib berbahasa di lingkup asrama. Tahun-tahun pertama
terutama saat masih duduk di kelas 1 itulah saya paling
sering mendapat hukuman karena keceplosan bicara
menggunakan bahasa Indoensia atau Madura di luar hari
Jumat. Maklum, penyesuaian belum terbentuk di dalam
diri saya.

26 Santri Milenial
Pesantren pada akhirnya menjadi “inkubator” saya untuk
menguasai bahasa Inggris dan Arab dengan sangat intensif.
Saya merasa mendapat bekal cukup dalam penguasaan
percakapan bahasa Arab dan Inggris.

Ya, minimal cukuplah untuk percaya diri bicara di


depan bule.
Telinga dan lidah saya sudah lincah untuk mendengar
dan mengucapkan bahasa bule dan bahasa Arab. Disiplin
berbahasa di asrama pesantren menguatkan kemampuan
santri untuk menyerap ilmu agama dan ilmu pengetahuan
dunia.

5. Nasionalisme
Nasionalisme itu rasa cinta yang mendalam terhadap tanah
air, kesungguhan untuk menempatkan tanah tumpah darah
sebagai prioritas untuk dicintai melebihi cinta pada negara
lain.
Kisah kepahlawanan kaum sarungan dalam masa-ma-
sa melawan kolonialisme Belanda dan Jepang mudah kita
temukan. Perjuangan kaum Islam masa itu bukan un-
tuk memerangi bangsa lain, tapi usaha mempertahankan
kedaulatan bangsa dan negara.
Sejarah juga mencatat ketika kaum santri berorganisasi
pada masa itu untuk membangun satu komunitas yang
solid. Tujuannya konkret, untuk mencerdaskan anak-anak

Santri Milenial 27
pribumi agar setara dengan anak-anak penjajah yang me­
miliki akses pendidikan lebih terbuka.

Bela negara adala wujud cinta negara yang terlihat secara


kasat mata. Dari situ terukur betapa besar pengorbanan
kaum santri mempertaruhkan nyawa bila perlu.

Santri era kemerdekaan juga tidak menjaga jarak


terhadap pemerintahan dan bahkan politik. Secara orang
per orang, para santri menceburkan diri dalam dunia
politik praktis, termasuk menjadi anggota legislatif dan
eksekutif. Apa hubungannya hal itu dengan nasionalisme?
Sangat erat, peduli tanah air bisa diwujudkan dengan cara
menceburkan diri sebagai pengelola negara, masuk di dalam
pemerintahan, maupun di dewan perwakilan rakyat.
Sejarah bangsa kita mencatat, pada pemilihan umum
1955, Nahdatul Ulama (NU) dicatat sebagai partai politik
keempat terbesar. Hal ini telah menyadarkan banyak orang
tentang pengaruh para kiai dan ulama dalam kehidupan
politik memang nyata. Kaum agama tidak sekadar meng-
habiskan waktu di dalam pagar pesantren, tapi juga sadar
untuk keluar dan berbuat untuk bangsa dan negara.
Pada perkembangan selanjutnya, tercatat pula bahwa
NU kembali ke Khittah-nya dan menarik diri dari politik
praktis, tetapi bukan berarti para ulamanya kemudian an-
tipati atau dipaksa selalu netral dari unsur politik sebab
pemaknaan seperti ini berlawanan dengan jiwa demokrasi.

28 Santri Milenial
Kembali ke khittah tak lain adalah metode ijtihad poli-
tik baru para ulama yang lebih elegan sehingga tak menodai
kesakralan ajaran NU itu sendiri dan tanpa mengurangi
semangat nasionalisme kaum pesantren.
Nasionalisme juga terlihat di dalam kehidupan se-
hari-hari di pesantren. Upacara bendera secara berkala dan
pada hari nasional, kegiatan pramuka, kegiatan mengem-
bangkan wirausaha. Semua itu berguna untuk membentuk
watak santri yang unggul, kompetitif, dan mandiri.

6. Memaknai Nilai Kehidupan


Banyak alasan dipakai orangtua untuk memasukkan anak ke
dalam kehidupan ala pesantren. Pertimbangan paling umum
adalah agar anak dapat mempelajari ilmu agama lebih ba­
nyak lagi, agar anak memiliki tempat belajar yang kondusif,
untuk memperoleh lingkungan pergaulan yang lebih sehat,
dan masih banyak lagi.
Uniknya, ada juga orangtua memilih pesantren untuk
anaknya karena mereka “menyerah” setelah tidak tahu lagi
bagaimana harus mengenalkan hidup yang baik pada anak­
nya. Mereka berharap, anaknya akan menjadi lebih baik,
tahu kehidupan yang tertata, disiplin, dan pada akhirnya
lulus dari sekolah kehidupan itu.
Ketika anak sudah ada di dalam pesantren, apakah
otomatis para santri itu menjadi baik semua? Pengalaman
saya bergaul dengan sesama santri memperlihatkan, ada
santri yang akhirnya tidak kuat menjadi santri. “Pesantren

Santri Milenial 29
itu seperti di dalam penjara,” kata mereka. Ada lagi yang
menyesal masuk pesantren karena, “Kuno, aturannya nggak
masuk akal. Nggak bebas. Apa-apa nggak boleh, gimana kita
bisa berkembang?”
Namun, dari sekian banyak santri yang memilih ber-
tahan di pesantren toh bisa menangkap ilmu kehidupan di
sana. Salah satu hal penting dari ilmu kehidupan adalah
adaptasi. Siapa pun yang mampu beradaptasi maka dia akan
hidup lebih lama.
Beradaptasilah dengan sistem kehidupan pesantren
yang ketat, disiplin, penuh aturan sejak pagi hingga malam.
Nikmati cara hidup yang baru dan pandanglah itu sebagai
sesuatu yang lebih baik. Sebab, ketika kita masih merindu­
kan cara hidup yang lama, lantas buat apa si santri mon-
dok? Balik saja ke rumah, di sana kita akan temukan ke-
hidupan persis seperti yang kita bayangkan. Itu berarti kita
gagal beradaptasi.

Survive adalah nilai kehidupan lainnya yang akan dipelajari


si santri. Kehidupan menuntut semua makhluk untuk survive.
Itu bukan sekadar bisa makan dan bisa bertahan saja, tapi
juga bisa makan bersama orang lain dan bisa bertahan
bersama orang lain. Fungsi kita sebagai makhluk sosial dalam
kehidupan lebih terbentuk di dalam pesantren.

Nah, ketika nilai-nilai kehidupan ala santri sudah


mendarah daging maka dimana pun kita berada, enjoy saja.
Kita pasti survive karena pendidikan ala pesantren sudah
menggodok kita dengan caranya yang unik.

30 Santri Milenial
7. Lebih Paham Ilmu Agama
Di mana lagi bisa mendalami ilmu agama secara jangka
panjang, intensif, bersama guru agama yang sudah banyak
makan asam garam kehidupan dan sekaligus hidup 24 jam
sehari di dalam lingkungan yang agamis?

Pilihannya adalah masuk pondok. Jadilah santri.


Dan, temukan semua harapan akan ilmu agama di dalamnya.

A. Aqidah atau tauhid.


Pesantren akan menanamkan pembelajaran mengenai aqidah
dan ketauhidan pada Allah SWT kepada setiap santri.
Termasuk di dalamnya adalah mengenai rukun iman. Santri
harus benar-benar faham ilmu tauhid. Sebab persoalan
aqidah merupakan pondasi bagi keberagamaan seorang
muslim. Sekaligus sebagai benteng dari setiap paham yang
menyimpang.

B. Belajar Tajwid
Inilah pelajaran intensif yang akan di pelajari para santri,
yakni pengajaran baca Al-Qur’an. Para santri akan diajak
untuk mengenali dan membedakan huruf-huruf Al-Qur’an
(huruf hijaiyyah) secara benar. Selain itu, tajwid juga mem-
buat santri dapat melafalkan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an
dengan fasih sesuai dengan makhraj atau tempat keluarnya
huruf-huruf hijaiyyah dari rongga mulut.

Santri Milenial 31
C. Berbahasa Arab
Bahasa Arab adalah pintu untuk dapat memahami Al-
Qur’an dan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab dengan
benar. Karena itu wajarlah bila pesantren memberi porsi
besar untuk mata pelajaran ini. bahkan, banyak pesantren
yang merapikan hari-hari wajib berbahasa Arab di dalam
lingkungan pesantren. Habit para santri untuk memakai
bahasa ini juga terbentuk karenanya.

D. Akhlak
Hampir semua orangtua merelakan diri untuk berjauhan
dengan anaknya yang masuk pesantren agar anak-anak itu
mempunya akhlak yang lebih baik. Kepribadian muslim
yang berakhlak mulia, tidak mudah untuk terbentuk di
dalam lingkungan masyarakat umum. Pesantren adalah se-
kolah kehidupan untuk membentuk itu lebih intensif.
Akhlak tidak sekadar bicara relasi si santri dengan Al-
lah-nya—hablun min Allah, tetap juga relasi mereka dengan
manusia lainnya atau hablun min al-nas. Tak kalah penting,
untuk turut serta menjaga hubungan si santri dengan alam
dan makhluk Allah yang lain.

E. Fiqh
Fiqh alias syari’at Islam adalah ilmu wajib yang dipelajari
di pesantren. Materi pembelajaran ini cukup banyak dan
butuh pemahanan yang mendalam. Untuk itu di pesantren,
ilmu fiqh seringkali dipelajari dalam berbagai jenjang sesuai
dengan tingkap kemampuan si santri untuk memahaminya.

32 Santri Milenial
Satu ilmu baru terkadang mensyaratkan si santri harus su-
dah mempelajari ilmu fiqh lainnya.

F. Sejarah Islam
Ilmu sejarah Islam sering disebut juga ilmu tarikh. Para
santri akan diajak untuk masuk ke masa-masa silam, mem-
pelajari pertumbuhan dan sejarah persebaran Islam semen-
jak masa Rasulullah SAW hingga masa kehidupan Turki
‘Utsmani bahkan masa kontemporer. Banyak pesantren juga
memasukkan pelajaran ilmu sejarah Islam di tanah air.
Selain ilmu-ilmu tadi, diajarkan pula ilmu agama se­
perti hadits, termasuk ilmu tafsir Al-Qur’an. Beda pesantren
beda kurikulum, tapi semua memiliki misi yang lebih ku­
rang sama dalam hal pembelajaran ilmu agama.

8. Mengikuti Tren IT
Santri zaman now tak bisa dijauhkan dari perkembangan
ilmu Teknologi Informasi (IT). Bahkan, santri tetaplah
bagian dari kaum milenial yang hidup di era cyber culture.
Tak perlu dan tak bisa santri menjauhkan diri dari
perkembangan ilmu IT yang berlari semakin kencang dalam
jeda 10 tahun terakhir.
IT memang tak perlu dijauhi. Bahkan teknologi itu
dapat dipakai sebagai kendaraan untuk menciptakan ke-
maslahatan umat.

Santri Milenial 33
Zaman boleh berubah, tunggangan boleh berganti,
media syiar boleh timbul dan tenggelam, tetapi misi dan visi
mengembangkan Islam tak boleh surut.

Kini, pesantren dengan free hotspot bukan barang aneh


lagi. Larangan santri untuk membawa dan menyimpan
ponsel juga telah dimodifikasi dan makin melunak. Para
pengasuh pondok telah menyadari bahwa banyak ilmu bisa
ditimba para santri ketika mereka diberi kekebasan untuk
mengakses informasi di dunia maya.
Demikian pula dengan akses terhadap media sosial
termasuk blog dan website yang mulai banyak dikenalkan di
dalam kehidupan para santri. Blog bahkan telah dijadikan
corong untuk menyebarkan kebaikan agama dalam bentuk
cerita dan opini.
Kesadaran untuk menampilkan Islam dalam wujud yang
ramah juga telah tumbuh di kalangan para santri. Posting
yang positif, inspiratif, dan menjauhi ujaran kebencian atau
provokasi yang tidak perlu sudah menjadi agenda tersendiri
di kalangan pesantren. Bila perlu, mereka membuat aneka
posting untuk meng-counter hoax yang semakin marak.
Instagram, Facebook, Line, Telegram, dan bahkan chan-
nel video di Youtute juga menjadi kanal para santri untuk
mengekspresikan dirinya lebih terbuka terhadap dunia luar.
Bila sudah demikian, biarlah para santri terus berdekat­
an dengan dunia IT. Di situlah tempat kaum milenial itu
menyempurnakan dunia.

34 Santri Milenial
9. Hormat Kiai dan Senior
“Ciumlah tangan kiaimu.” Awalnya, aturan itu seolah tam-
pak sebagai kewajiban belaka. Namun, seiring berjalannya
waktu, tradisi mencium tangan kiai menjadi penciri perilaku
baik dari kehidupan para santri.
Di mana ada kiai, di situ ada santri yang berkerumun
mengantre untuk mencium tangan para kiai. Bahkan bukan
hanya pada kiai gurunya, tetapi juga rasa hormat itu diper-
lihatkan kepada keturunan para kiai itu.
Apakah mencium tangan kiai itu ada dasarnya? Ada.
Banyak riwayat hadis yang menceritakan bahwa sahabat
Nabi mencium tangan beliau. Banyak juga cerita para ulama
salaf yang mencium tangan para sahabat Nabi. Bahkan ada
ulama yang secara khusus menulis kitab yang membahas
bolehnya mencium tangan Kyai atau guru yang diberi judul
I’lam al-Nabil bi Jawazi al-Taqbil.
Ketika ada kiai lewat di depannya, santri bisa menun-
duk membentuk sudut sembilan puluh derajat, ketika kiai
mau masuk ruangan, santri berebut membukakan pintu.
Bahkan masih terjadi di daerah-daerah pelosok, ketika para
santri melihat kiai atau gurunya masuk pekarangan pe-
santren dengan menuntun sepeda, ramai-ramai para santri
membantu mengambil alih sepeda dan menuntunnya den-
gan riang gembira.
Santri akan menghormati para gurunya, para seniornya,
dan tentu saja para kiainya sampai kapan pun. Bahkan keti-
ka mereka sudah meninggalkan pesantren tempat belajarnya.
Bahkan ketika dia sudah mempunyai pesantren sendiri,
Santri Milenial 35
para santri akan tetap memposisikan dirinya sebagai murid
ketika bertemu para kiai pendidiknya.

Kiai dihormati bukan karena meminta tapi karena


mereka pemilik ilmu. Sedangkan para santri adalah
orang-orang yang haus ilmu dan memang secara sengaja
menyerahkan hidupnya sementara waktu untuk
menuntut ilmu pada kiai.

Kerendahan hati mendorong para santri berlaku hormat


pada kiainya. Dengan terus menghormati kiai, para santri
mengharapkan keridhaan para gurunya dalam berbagi ilmu.
Dari mana para santri memperoleh dan belajar santun
seperti itu? Dari seniornya. Dan, para senior juga belajar
dari senior pendahulunya yakni para kiai itu sendiri saat
masih muda. Jadi, Islam menurunkan perilaku-perilaku pe-
nuh kebajikan itu dalam kehidupan pesantren. Terus di-
wariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah
pesantren dan keunikan di dalamnya.

10. Spirit of Silaturahmi


Grup WhatsApp yang paling mudah dibuat adalah grup
alumni, alumni apa pun. Entah alumni lulusan suatu Se-
kolah Dasar, alumni peserta kontes ratu kecantikan, bahkan
alumni pelatihan yang hanya digelar dua jam.
Alumni adalah bentuk silaturahmi. Bahkan sebagian
besar grup WhatsApp yang saat ini sangat menjemur—satu

36 Santri Milenial
ponsel bisa berisi belasan grup semacam itu—adalah wujud
dari silaturahmi.
Saling menyapa selepas salat subuh, berbagi poster atau
meme inspiratif berisi ayat-ayat suci yang meneguhkan, atau
sekadar mengucapkan selamat berbahagia atas hari kelahiran
atau kelahiran baby yang dinanti sekian lama.
Pada akhirnya, era digital memungkinkan silaturahmi
terjadi dengan lebih intensif, tidak lagi terbentur oleh jarak,
waktu, dan biaya yang mahal.
Santri itu dikenal karena silaturahminya yang selengket
ketan. Sekali kenal, sekali berinteraksi, maka kedekatannya
bisa berlangsung amat lama. Entah relasi antar santri mau-
pun santri dengan institusi pesantrennya.

Ketika santri bicara soal santriprenenur, maka sudah


ada modal kuat yang menjadi perekat, yakni silaturahmi.
Berbisnis tak lagi dari nol banget.

Mitra bisnis bisa dilacak dari daftar alumni, mentor


atau coach tempat bertanya juga bisa dilacak dari daftar
teman lama di pesantren. Dan, sst … pasar barang dan
jasa pun bisa digarap dari sesama alumni. Modalnya adalah
silaturahmi.
Dalam konteks yang lebih luas—tidak sekadar di dalam
lingkaran santri—kebiasaan bersilaturahmi juga membuat
proses bisnis dengan siapa pun menjadi lebih lancar.
Seorang penulis profesional dengan omzet 1,5 miliar
per tahun bertutur tentang kunci suksesnya. Apa itu?
“Kunci sukses saya bukan dari Google Ads atau Facebook

Santri Milenial 37
Ads. Bukan juga biaya iklan yang besar atau konsep-konsep
personal branding yang dahsyat. Kunci saya sederhana saja:
silaturahmi.”
Dia bertutur, klien dia tidak banyak. Namun, dia
memiliki key clients yang senantiasa repeat order. Dan mere-
ka adalah penyumbang terbesar dari omzet tahunan. Klien
yang puas dan dia rawat relasinya dengan silaturahmi pada
akhirnya juga menjadi corong dan pemberi rekomendasi
pada klien-klien baru yang datang belakangan.
Jadi benar sekali apa yang disabdakan oleh Nabi, “Ba-
rangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluas-
kan rizkinya, hendaklah dia menyambung tali silaturrahmi.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Nah, Sudahkah aset bernama “silaturahmi” itu kita
manfaatkan untuk berbagai hal positif?

38 Santri Milenial
BAB II
GENERASI MILENIAL
A. Generasi Zaman Now

Syahrul Gunawan, dalam salah satu episode sinetron, per-


nah mengejek lawan antagonisnya dengan sebutan “ABG”.
Tapi bukanlah singkatan dari “anak baru gede” yang di-
maksud tokoh yang terkenal berkat perannya di sinetron
Jin & Jun itu, melainkan julukan “angkatan babe gue”. Ke­
betulan lawan antagonisnya dalam sinetron itu mengenakan
fashion dan potongan rambut yang dianggap out of date
(kuno atau basi) untuk ukuran generasi angkatan Syahrul
Gunawan saat itu.
Bicara tentang generasi, ada kata pepatah berbunyi,
“Setiap generasi ada waktunya dan setiap waktu ada gene­
rasinya”. Saat ini, kita berinteraksi dengan generasi yang
bernama Generasi Milenial dan Generasi Z sekaligus, atau
biasa disebut generasi peralihan.
Menurut teori pembagian generasi yang dicetuskan oleh
Karl Mannheim, Generasi Milenial adalah mereka yang lahir
di atas tahun 1980 sampai 1997. Nama lain dari generasi ini
adalah Generasi Y. Setelah tahun 1997 berakhir, generasi
yang muncul adalah Generasi Z.
Jadi ketika buku ini saya tulis, Generasi Milenial termu-
da adalah orang menjelang dewasa berusia 21 tahun. Tidak
ada lagi Generasi Milenial yang masih kanak-kanak saat
ini. Dengan usia tersebut, siapa pun (termasuk santri) su-

Santri Milenial 41
dah bisa ikut pemilu, bermain di kancah politik, berbisnis,
bekerja di kantor, mendapatkan kredit bank, atau aktivitas
lainnya yang dianggap legal oleh negara dan wajar oleh
masyarakat. Bahkan, Generasi Milenial sudah banyak yang
menikah dan memiliki keturunan. Anak-anak keturunan
Generasi Milenial selanjutnya akan disebut Generasi Z.
Generasi Milenial lahir dan tumbuh ketika komputer
mulai berevolusi dari teknologi yang semula besar, sulit,
dan mahal menjadi perangkat rumahan yang mudah digu-
nakan, bisa melakukan apa pun (multimedia), dan berhar-
ga sema­kin murah, serta merakyat. Ketika internet mulai
populer, sekitar tahun 90-an hingga 2000, Generasi Mile-
nial telah beranjak dewasa, sehingga nilai-nilai hidup yang
ditanam­kan orangtuanya masih berciri sosial. Sebagai con-
toh, menurut generasi ini bekerja yang baik adalah secara
kolaboratif dalam sebuah tim.

Jadi, Generasi Milenial tidak buta teknologi, namun masih


mengutamakan ciri kolaboratif. Santri yang masuk golongan
Generasi Milenial sudah berusia 21 tahun saat ini.

Itu artinya, lebih cocok disebut kelompok santri dewasa.


Mereka sudah lulus pendidikan setara SMA dan bahkan
menjelang lulus S-1.
Rata-rata, guru-guru di sekolah formal berasal dari
Generasi Milenial dan mendidik anak-anak dari Generasi
Z. Karena Generasi Milenial sudah melek teknologi, maka
tak heran jika banyak di antara guru tersebut yang telah

42 Santri Milenial
memberi perhatian lebih pada kemudahan teknologi selama
proses mengajar. Sebagai contoh, guru Generasi Milenial
memberi tugas kelompok (kolaboratif, yang merupakan ciri
generasi tersebut) kepada murid-muridnya yang berasal dari
Generasi Z untuk membuat video klip tentang perjuangan
pahlawan. Nanti, hasil olah video itu harus di-upload di
situs Youtube agar mudah dilihat dan dinilai secara mobile.
Cara kerja Generasi Milenial ini agak berbeda dengan
Generasi berikutnya, yaitu Generasi Z. Umumnya, Generasi
Z adalah anak-anak keturunan dari Generasi Milenial (Ge­
nerasi Y). Mereka lahir dan tumbuh besar ketika internet
sudah mulai menjamur dan media sosial bertumbuh pesat.
Karena smartphone adalah gadget pribadi (berbeda de­
ngan komputer yang bisa digunakan bersama-sama), Gene­
rasi Z cenderung bekerja sendirian (individualistis) dan
senang mengomentari apa pun yang mereka temukan di
media sosial, bahkan tanpa berpikir panjang (kompulsif).
Generasi Z juga tertarik untuk memiliki pengaruh (influenc-
er). Oleh karena itu tak heran, media sosial yang memiliki
sistem follower sangat digandrungi, seperti Instagram mau-
pun Twitter.
Lantas, siapa itu Santri Milenial? Pada saat di pesan­
tren, Santri Milenial belajar nilai-nilai hidup yang masih fit
dengan ciri Generasi Milenial pada umumnya seperti kerja
sama tim (kolaborasi). Misalnya, saat mereka harus patung­
an mengerjakan tugas atau kerja kelompok, dan mereka
tidak buta dengan masalah-masalah di luar pesantren, ter-
utama yang masuk ke dalam pesantren modern.

Santri Milenial 43
Santri Milenial menggunakan internet dan media sosial
untuk mendukung pekerjaan. Karena media sosial baru
diperkenalkan pada saat sebagian besar generasi ini sudah
bekerja, maka santri dan Generasi Milenial memanfaatkan
sarana itu bukan untuk kebutuhan eksistensi, tetapi untuk
mendukung pekerjaan.
Misalnya, Santri Milenial menggunakan Youtube untuk
berdakwah karena pekerjaan mereka adalah guru dakwah.
Atau, santri yang memanfaatkan Twitter untuk memposting
pikiran dan gagasannya karena mereka adalah penulis buku.
Dulu, kita mengenal guru-guru dakwah dalam jumlah
terbatas, seperti Zainuddin MZ, Gus Miek, Gus Dur, atau
AA Gym. Sekarang, berkat media sosial, kita mengenal le­
bih banyak guru dakwah seperti KH Anwar Zahid, Ustadz
Abdul Somad, Ustadz Idrus Romli, KH Abdullah Syamsul
Arifin (Gus Aab), dan seterusnya. Umat pun akan lebih
leluasa memilih guru dakwah.
Jadi Santri Milenial adalah santri yang memanfaatkan
media sosial untuk mendukung pekerjaan, dan bukan meng­
ubahnya sebagai profesi seperti yang kerap dipraktikkan
orang-orang Generasi Z.

44 Santri Milenial
B. Mengenal Generasi Z

Generasi Z itu dalam fase usia merupakan kelompok orang


pasca Generasi Milenial. Generasi ini dianggap memanfaat-
kan teknologi dengan lebih intens dan terikat. Dilihat dari
pembagian generasi, kelompok Generasi Z adalah mereka
yang lahir dari tahun 1995 hingga 2010. Oleh karena itu,
pada saat buku ini ditulis, Generasi Z paling tua telah
mencapai usia 21 tahun, sedangkan termuda masih duduk
di bangku Sekolah Dasar.
Keterikatan Generasi Z itu lebih kuat dan erat terhadap
perkembangan teknologi. Jadi mereka memandang hampir
semua profesi dan tugas harian di sekolah bisa dikendalikan
dan dituntaskan teknologi. Handphone, bagi Generasi Z, bisa
dialihfungsikan menjadi asisten pribadi sebagai reminder ke-
tika ada jadwal sekolah, menjadi alarm penggugah bangun
pagi, alat notulensi ketika ada rapat, memesan ojek online
jika ingin pulang ke rumah, dan seterusnya.
Bahkan di sekolah tingkat menengah pertama, guru-gu-
ru yang berasal dari Generasi Milenial ikut memanfaatkan
teknologi informasi untuk memberi tugas bagi siswa-siswa­
nya yang berasal dari Generasi Z. Mereka kerap mengung-
gah materi pelajaran dan soal-soal ujian ke server Dropbox
dan meminta para siswa mengunduhnya di rumah.
Beberapa guru lain yang mengampu mata pelajaran
seni memilih inisiatif lain. Alih-alih membuat prakarya

Santri Milenial 45
berbasis kertas atau barang bekas, guru itu dapat meminta
siswa untuk merekam video pendek yang harus diunggah
di Youtube. Jadi, teknologi informasi sudah masuk dalam
aspek pendidikan formal dan Generasi Z memandang hal
ini sebagai sesuatu yang lazim.
Ketika Generasi Z gelombang usia terakhir beranjak
dewasa, yaitu sekitar 10-15 tahun yang akan datang, segala
aspek kehidupan sudah terkomputerisasi dan berbasis robot.
Sekarang pun sudah dikembangkan robot yang menyerupai
ciri-ciri manusia. Bahkan, asisten rumah tangga dan kantor­
an yang mewujud dalam bentuk robot sudah mulai banyak
dijual dan laris dibeli. Misalnya, perangkat yang disebut
Alexa dan dibuat oleh Amazon ini. Bentuknya memang
tidak menyerupai robot manusia, tapi memiliki kecerdasan
buatan yang mendekati makhluk berakal. Ia dapat menerima
perintah suara dan kemampuannya bertambah terus setiap
hari berkat teknologi yang disebut deep learning.
Jadi, level atau tingkatannya masih di taraf ketergan-
tungan, bukan kecanduan. Ketergantungan terhadap IT
itu semakin mengakar bagi generasi Z dibanding Genera-
si Milenial. Sebagai contoh, kalau orangtua menggunakan
handphone untuk sarana komunikasi (berbicara) dan Gene­
rasi Milenial memanfaatkannya untuk sarana komunikasi,
transaksi, serta kreativitas, maka untuk Generasi Z, hand-
phone digunakan untuk kebutuhan dan penopang hidup.
Jadi tingkat ketergantungan terhadap modernitas tek­
nologi itu sudah mengakar. Hidup dan karier orang yang
masuk dalam Generasi Z sangat ditentukan oleh teknolo-

46 Santri Milenial
gi. Oleh karena itu tak heran, cita-cita anak Generasi Z
tidak jauh-jauh dari teknologi, seperti ingin menjadi You-
tuber, membangun startup, jual knalpot racing online, dan
menekuni bidang-bidang usaha yang tak dapat ditemukan
istilah dalam rentang waktu 20 tahun ke belakang, yang
didominasi pekerjaan konvensional seperti dokter, guru,
polisi, perawat, pilot, dan seterusnya.
Coba lihat contoh Yuma Soerianto. Pada usia dini,
Yuma yang lahir pada 2007 ini, sudah bisa mengembang-
kan aplikasi sendiri sampai-sampai Tim Cook, CEO Apple,
dibuat kagum pada saat bertemu dengan anak ini di acara
Worldwide Developers Conference (WWDC) di San Jose,
Amerika Serikat.
Aplikasi racikan Yuma ini dapat membantu orangtua
mendeteksi harga sebuah barang. Dengan demikian, saat
orangtua pergi berbelanja, mereka dapat mengintip harga
sebuah barang secara cepat. “Wow. Kamu bisa membuat
aplikasi dalam hitungan jam. Saya terkesan.” Begitu Tim
Cook memuji.

Generasi Z cenderung lebih toleran pada isu-isu sosial


masyarakat, dan piawai menggunakan perangkat teknologi.
Bahkan, mereka mengandalkan teknologi sebagai salah satu
instrumen penentu sukses karier mereka di masa datang.

Kehilangan gadget bagi mereka sama seperti kehilangan


masa depan. Sebab, bukan nilai uang yang diperhitungkan,
melainkan musnahnya seluruh data, foto, video, dan ha­

Santri Milenial 47
sil pekerjaan yang telanjur tersimpan di dalam perangkat
tersebut.
Inspirasi mereka bukan lagi majalah, tabloid, atau koran
beraroma kertas, tapi sudah bergeser ke media sosial. Insta-
gram merupakan salah satu sumber inspirasi paling favorit
bagi Generasi Z. Mereka suka bergaya, mengekspresikan
diri, dan kadang-kadang pamer, serta rajin mengedit foto
sehingga tampak cantik, bebas jerawat, dan tampan, serta
ingin menjadi influencer.
Oleh karena itu, menjadi selebgram atau Youtuber men-
jadi salah satu cita-cita ideal meskipun masih ada simpang
siur terhadap besaran jumlah uang untuk profesi ini. Bah-
kan di Amerika Serikat sendiri dimana situs Youtube ber­
ada, mayoritas orang yang memilih Youtube sebagai salah
satu ladang pekerjaan belum sanggup makmur.

Di balik asyiknya menjadi Generasi Z, orang-orang ini


sebenarnya sangat ringkih dan rentan terhadap masa depan.

Karena terlalu bergantung pada teknologi dan media


sosial, penghasilan mereka bisa tersapu bersih hanya dalam
hitungan hari akibat hal-hal yang tak diduga dan sulit dian-
tisipasi. Sebagai contoh, seorang Youtuber bisa kehilangan
pekerjaan jika tiba-tiba situs tersebut bangkrut. Seorang sel-
ebgram bisa kehilangan pundi-pundi uang dan ketenarannya
jika pemerintah punya kebijakan untuk memblokir situs dan
layanan Instagram. Jadi bisa dikata, tidak ada job security
sama sekali.

48 Santri Milenial
Namun, Generasi Z yang memilih jalur konvensional
seperti gamer, fotografer, videographer, seniman, program-
mer, akan cenderung lebih eksis lebih lama karena tidak
terikat platform. Sebagai contoh, andaikan Youtube harus
gulung tikar, seorang fotografer atau viodegrapher tetap bisa
mendapat uang dengan membuka layanan photo studio atau
merancang video klip musik. Jadi kata kuncinya, cerdik-cer-
diklah untuk menjadi seorang Generasi Z yang sukses.

C. Generasi Strawberry

Selain diberi cap kutu loncat, yang akan kita bahas di bab
selanjutnya, Generasi Milenial juga sering dijuluki dengan
terminologi lain, yaitu Generasi Strawberry. Istilah Generasi
Strawberry atau Strawberry Generation dipopulerkan oleh
salah satu pakar manajemen dan dosen Universitas Indo-
nesia, yaitu Rhenald Kasali.
Siapa yang belum pernah melihat dan mengecap straw-
berry? Buah merah kecil dari pegunungan ini memang
indah bentuknya, bagus warnanya, romantis kesannya, na-
mun di dalamnya keropos dan rapuh. Tidak cocok dengan
bentuk luar fisiknya yang indah.
Orang yang belum pernah menggigit strawberry secara
langsung mungkin menduga kalau buah ini manis dan legit
rasanya. Wajar saja jika punya anggapan seperti itu, sebab

Santri Milenial 49
varian produk olahan buah ini selalu bercita rasa lezat dan
digemari anak-anak, seperti selai, susu, dan vitamin. Pa-
dahal kenyataannya, buah strawberry yang asli bercita rasa
masam, kecut, mirip dengan buah belimbing wuluh yang
banyak tumbuh di kebun itu.

Seingat yang pernah saya baca, Rhenald Kasali sendiri


menyebut bahwa Generasi Strawberry adalah generasi yang
penuh gagasan kreatif tetapi sekaligus mudah sakit hati
dan gampang menyerah.

Itu semua artinya apa? Ketika Generasi Milenial itu


larut dalam kecanggihan teknologi untuk mendukung
gaya hidup (lifestyle) tapi tidak diimbangi kekuatan nilai-
nilai spiritualitas dan moral, maka akhirnya akan terjadi
fenomena yang dinamakan dekadensi moral. Dekadensi
moral itu artinya, runtuhnya nilai-nilai moral digerus
pesatnya arus perkembangan zaman. Tampilan luarnya
keren, tapi sejatinya hati dan karakternya keropos.
Inilah yang kemudian melahirkan label Generasi
Strawberry bagi kelompok Generasi Milenial yang memiliki
karakter rapuh, mudah terombang-ambing, tidak produktif,
dan cenderung destruktif.
Sebenarnya, yang negatif lebih kepada penyalahgunaan
akses dan pengetahuan terhadap fenomena digitalisasi yang
sudah hampir merasuk ke seluruh lini kehidupan, dan
bukan pada Generasi Milenial itu sendiri. Sebab, Generasi
Milenial yang tangguh, kuat iman, dan punya kontribusi
positif di masyarakat juga sebanyak pasir di pantai.

50 Santri Milenial
Jadi kalau kita melihat saat ini, hampir semua lini
tersentuh oleh teknologi informasi dan digitalisasi. Semua­
nya sudah era digital, yang jika tidak diimbangi dengan
mengakarnya nilai-nilai moral, maka akhirnya akan tumbuh
tunas-tunas kriminalitas berbasis digital, cyber crime,
pornografi, beragam LGBT, judi online, dan lain sebagainya.
Itu artinya, Generasi Strawberry memanfaatkan pesat­
nya teknologi dan digitalisasi tapi tidak untuk hal-hal yang
bernilai negatif.
Pernah dengar cerita tentang Sultan Haikal? Orang
ini sebenarnya ganteng meskipun bukan raja betulan. Tapi
sayangnya, ia harus mendekam di penjara setelah berhasil
menjahili situs Tiket.com sehingga situs jualan tiket online
itu mengalami kerugian hingga empat miliar. Haikal sendiri,
yang dijuluki hacker tampan, mendapat uang sampai satu
miliar karena kegiatan peretasan yang dilakukan bersama
ketiga temannya itu.
Modus operandi Haikal yang ternyata hanya tamatan
SMP itu sebenarnya sederhana. Ia mengambil jatah deposi-
to tiket pesawat dari server maskapai penerbangan Citilink
Indonesia dan menjualnya ke orang lain.
Uniknya sebelum memutuskan untuk meretas, Haikal
pernah memberi warning ke pihak Tiket.com bahwa situs
mereka mengandung bug yang dapat memuluskan aktivitas
hacking. Tapi sepertinya ia tidak mendapat jawaban apa pun
dari admin Tiket.com sehingga bug itu ia manfaatkan sendiri
untuk mengambil jatah deposito tiket pesawat dari situs
Tiket.com tersebut. Pengelola situs Tiket.com sendiri juga

Santri Milenial 51
tidak sadar jika sistem mereka telah diretas. Baru satu bulan
berikutnya, mereka menyadari ada keanehan yang terjadi di
situs mereka setelah mengalami kerugian yang parah.
Singkat cerita, Haikal pun diburu dan berhasil di-
tangkap di daerah Banten. Tapi polisi angkat topi dengan
kecerdasan hacker yang ganteng dan juga dicap dermawan
oleh pacarnya ini. Alih-alih dihukum berat, polisi merang-
kulnya untuk menjadi salah satu anggota tim Direktorat
Cyber Bareskrim Polri.
Haikal memang cerdas. Ia pun sebenarnya baik karena
sudah memberi early warning kepada pengelola Tiket.com.
Namun, karena ia juga mencuri data tiket pesawat sehingga
menimbulkan kerugian maka dia tetaplah seorang kriminal.
Kepintaran namun dipraktikkan untuk kriminalitas
merupakan salah satu penyakit masa kini. Kebetulan, si
pelaku masih berusia 19 tahun saat itu, maka Generasi
Milenial ini tepat jika diberi label Generasi Strawberry.
Keren kemasannya (pintar dan ganteng), tapi rapuh jiwanya
(melakukan pencurian).
Kasus Haikal ini sebenarnya tidak istimewa karena dulu
pada saat internet masih belum begitu merakyat, peristiwa
kejahatan berbasis online (cyber crime) juga telah menja-
mur. Misalnya, tindakan carder (belanja menggunakan kartu
kredit orang lain), distribusi pornografi, penipuan menang
undian (scam), dan lain sebagainya.
Generasi Strawberry juga disematkan untuk mereka
yang gampang emosi, marah, dan sakit hati. Orang-orang
seperti melimpah di Indonesia. Coba sekali-kali menulis

52 Santri Milenial
kata pencarian “berkelahi gara-gara status Facebook” di
Google. Nanti akan muncul banyak kasus yang cocok den-
gan kata kunci itu, mulai dari emak-emak yang berkelahi
karena saling sindir di media sosial, sampai anak berusia
tanggung yang tawuran karena postingan seorang anggota
gank yang menghina martabat gank kampung lain.
Inilah beberapa ciri Generasi Strawberry seperti yang
pernah ditulis oleh Rhenald Kasali. Generasi yang mudah
tersinggung, emosian, dan berpikir pendek. Tidak jarang,
generasi ini lantas dipelesetkan dengan istilah Generasi
Micin (kata micin diambil dari sebutan lain dari penyedap
rasa yang mengandung monosodium glutamat).

Walaupun kita tidak bisa pukul rata, namun banyak dari


kalangan pesantren, seperti santri atau alumni pondok
pesantren yang masih menjaga, melestarikan, dan yang
masih istiqomah dengan nilai-nilai keislaman serta nilai-nilai
kepesantrenan yang luhur.

Dengan demikian diharapkan, para santri tidak ikut-


ikutan menjadi Generasi Strawberry melainkan generasi
penerus bangsa.

Santri Milenial 53
D. Si Kutu Loncat

Kutu loncat punya banyak sebutan di Indonesia, mulai dari


tungau, pinjau, kutu busuk, dan nama-nama menggelikan
lainnya. Tapi, kutu busuk, entah diberi sebutan apa, punya
karakteristik yang mirip, yaitu sering berpindah-pindah tem-
pat, loncat dari satu sumber makanan ke sumber makanan
lainnya, dan dimana mereka hinggap, di situlah mereka
makan.
Kutu loncat itu punya definisi negatif karena menyebab-
kan masalah bagi orang lain, seperti menyebabkan gatal dan
menimbulkan penyakit. Intinya, tidak ada yang positif dari
seekor kutu loncat kecuali jika Anda selalu rutin menerima
uang pensiun dari pabrik obat pembasmi serangga.

Sifat dan karakteristik kutu loncat ini sering diidentikkan


dengan Generasi Milenial yang tidak mudah betah
di satu tempat, tidak tekun terhadap satu bidang pekerjaan,
dan lebih tertarik dengan petualangan daripada
kemapanan hidup.

Saya kasih contoh kisah hidup saya sendiri. Saya itu


bisa dibilang adalah katalog hidup untuk urusan pin-
dah-pindah kerja. Mulanya, setelah saya mengantongi ijazah
S–1, saya memutuskan untuk menjadi pedagang. Kebetulan,
bakso saya pilih sebagai batu loncatan pertama. Apapun

54 Santri Milenial
saya lakoni untuk menjadi pedagang bakso, mulai dari dini
hari meluncur ke pasar untuk memilih daging sapi, terus
balik ke rumah lanjut meracik bumbu, dan akhirnya dijual.
Semua itu saya lakoni sendiri baik tenaga maupun sumber
modalnya.
Tapi kok rasanya kurang "klik". Alhasil, baru seumur
dua bulan lapak baksonya saya tutup. Mandeg untuk se-
lama-lamanya. Kemudian, saya cari batu loncatan kedua
yang menurut saya lebih menggiurkan. Akhirnya, kaki saya
menapak di batu kedua, bisnis jual beli alat-alat kesehatan
seperti stetoskop, alat pengukur tekanan darah, infus, jarum
suntik, dan lain sebagainya. Namun sayang, cuma bertahan
satu minggu.
Pindah lagi ke lapangan kerja berikutnya. Kali ini le­
bih lama waktu kerjanya dibanding pekerjaan pertama dan
kedua karena saya bisa bertahan sampai 8 bulan. Jadi apa?
Saya kerja di sebuah media dan punya tanggung jawab
sebagai kontributor. Dari segi performa kerja, saya cukup
sukses di perusahaan ini karena sampai dipercaya menjadi
asisten direktur.
Tapi akhirnya saya resign karena ingin melanjutkan stu-
di Master. Jadilah saya terbang ke Malaysia untuk mengam-
bil studi S–2. Meskipun di negeri orang, saya tidak cuma
ongkang-ongkang kaki dan menunggu transferan orangtua.
Di sana, agar bisa survive saya bekerja serabutan. Lumayan,
hitung-hitung tambah uang saku. Pekerjaan apapun saya
jalani dengan ikhlas seperti menjadi cleaning service, wait-
ers di restoran, kuli di proyek bangunan, serta mengajar

Santri Milenial 55
di waktu senggang. Semua ini saya jalani karena selama di
Malaysia tak mendapat beasiswa.
Pernah juga selama di Malaysia, saya jualan tiket trans-
portasi, antar TKI ke airport, dan puncaknya punya cucian
mobil. Alhamdulilah, cucian mobil ini bisa menghidup lima
orang karyawan. Sebagian uang dan waktu yang tersisa saya
investasikan di bisnis konstruksi.
Tapi karena satu dan lain hal, bisnis-bisnis saya di Ma-
laysia itu bubar. Bangkrut istilahnya. Uang saya banyak yang
tak berbekas saat itu. Habis dan tak bersisa. Akhirnya, saya
memutuskan pulang ke tanah air.
Setiba di tanah air, saya hanya menginjakkan kaki se­
minggu di Jember. Karena ingin tambah pengalaman kerja,
saya terbang ke Jakarta. Di sana sama saja, saya lakoni
banyak pekerjaan dengan ikhlas. Mulai dari duduk di
kursi empuk, ruangan ber-AC, di belakang stir mobil taksi,
menjadi petugas laundry, melamar jadi tukang pijat, bekerja
sebagai marketer, dan lain sebagainya. Uniknya, saya dapat
lagi pekerjaan yang kali ini cocok. Jadi ceritanya waktu di
Bogor, saya melamar menjadi pemimpin redaksi setelah
membaca lowongan di sebuah srat kabar. Alhamdulillah,
saya diberi kepercayaan untuk membawahi 25 karyawan di
perusahaan koran skala lokal saat itu.
Itulah panjang dan lebar kisah hidup saya melompat
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Saya juga bagian
dari Generasi Milenial sehingga ada proses melompat dari
satu tempat ke tempat lain.

56 Santri Milenial
Yang paling saya syukuri selama bisnis dan cari kerja
itu adalah, saya tidak punya sejarah kerja di tempat orang
kemudian dipecat. Semua pekerjaan dan tanggung jawab
saya selesaikan dengan baik.
Balik ke pertanyaan begini, mengapa fenomena kutu lo-
cant atau pindah-pindah kerja melekat pada Generasi Mile-
nial? Jawabannya sederhana. Kalau kita lihat dari kacamata
positif, saya sebenarnya tidak setuju dengan pelabelan kutu
loncat. Alasannya, karena jiwa (spirit) dan panggilan hidup
Generasi Milenial itu adalah penyuka tantangan. Gandrung
terhadap hal-hal baru. Passion-nya selalu mendorongnya
ingin berprestasi lebih jauh dan lebih tinggi. Adrenalinnya
di-push untuk tidak cepat puas dan selalu ingin mencoba
sampai batas-batas baru yang sanggup mereka capai.

Sering tidak puas itu bisa dimaknai dalam dua sudut pandang
yang berbeda, positif dan negatif. Tapi bagi saya positif
karena selama kita pindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain,
kita bisa memiliki kontribusi besar dan memberi nilai lebih
di pekerjaan.

Istilahnya, bekerja tetap bekerja, berkeringat tetap ber­


keringat, spirit hardworking tetap terjaga, tapi tidak dalam
rangka dibatasi ruang dan waktu. Seperti pepatah, “Kau
bakalan tak bisa mengenai sasaran sebesar 100% pada tem-
bakan-tembakan yang tak pernah kau lakukan.” Kalimat
bijak ini diucapkan oleh Wayne Gretzky, pemain ice hockey
profesional. Daripada mematung di satu tempat atau merasa
puas pada satu pengalaman hidup, lebih baik selagi bisa,

Santri Milenial 57
Generasi Milenial aktif mencari pengalaman agar punya
warna hidup yang bergairah.
Label kutu loncat bagi Generasi Milenial akan mem-
buruk dan membusuk kalau spirit hardworking dan rasa
tanggung jawab tidak mereka ekspresikan di ruang ker-
ja. Misalnya, jika mereka datang dan pergi tanpa pu­ nya
tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tun-
tas. Kalau yang seperti ini memang akan menjadi beban
bagi siapa pun, persis seperti kutu yang hanya menghisap
darah dan meninggalkan warisan penyakit. Tetapi jika setiap
ia bekerja selalu menuntaskan pekerjaan sebelum pindah
ke tempat lain, maka tidak ada masalah dengan Generasi
Milenial si kutu loncat ini.
Coba baca lagi sejarah singkat hidup saya terkait peker-
jaan di atas. Pernah tidak saya melamar untuk menjadi PNS
atau minimal punya cita-cita menjadi pegawai negeri sipil?
Tidak, kan? Saya dari dulu memang tidak pernah
punya cita-cita apalagi impian untuk duduk manis di kantor
pemerintahan, alias menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil).
Tidak betah rasanya kalau saya terikat ritme hidup monoton
datang pagi dan pulang sore. Walaupun, katakanlah, iming-
iming gaji dan tunjangannya menggoda jiwa.
Bagi saya, dan bagi Generasi Milenial pada umumnya,
pekerjaan itu bukan cuma masalah gaji atau tunjangan
tok! Bukan sekadar akhir bulan mengantongi berapa juta.
Yang saya cari di pekerjaan itu adalah kenyamanan dan
kenikmatan. Sejauh mana saya dan Generasi Milenial
bisa menikmati kenyamanan kerja, itulah yang menjadi

58 Santri Milenial
kunci. Misalnya, saya kerja di bidang media pun karena
berangkat dari passion, hasrat, dan cinta dengan bidang
jurnalistik serta tulis menulis meskipun kemapanannya
masih menggiurkan PNS. Aroma kertas, reportase lapangan,
menulis tajuk rencana, mengedarkan koran-koran ke lapak
dan agen, dan menerima uang hasil penjualan slot iklan.
Itu semua aktivitas dari media yang lebih men-cyduk hati.
Bagi Generasi Milenial yang punya passion, termasuk
saya, berapa pun gemuk gaji bulanan yang dia terima, pada
akhirnya akan tersisih menjadi prioritas kedua. Ini beda se-
kali dengan generasi sebelumnya (Gen X) yang lebih gemah
ripah loh jinawi secara batin ketika berada di dalam tembok
kokoh bernama comfort zone. Apa yang ditawarkan di ba-
lik tembok itu? Rutinitas hidup dan pekerjaan yang ritmis
dimana pagi hari berangkat kerja, sore hari pulang ngantor,
dan akhir bulan dompet menebal. Setelah itu, mereka akan
atur spend money-nya setiap bulan; untuk keluarga berapa;
untuk pribadi berapa.
Inovasi tidak terlalu ditonjolkan oleh Gen X karena
bagi mereka, inovasi bisa mendobrak tembok zona nyaman.
Sedangkan bagi Generasi Milenial, inovasi itu segala-gala­
nya, apalagi saat ini sudah didukung teknologi seperti
smartphone dan gadget.
Untuk apa Generasi Milenial menggunakan smartphone
dan gadget? Untuk apapun. Beda sekali dengan Gen X yang
memakai smartphone untuk komunikasi, bertanya kabar,
dan mengirim pesan. Bagi Generasi Milenial, mau mengi-
si perut tinggal buka gadget dan bisa order sekeranjang

Santri Milenial 59
makanan dari resto ternama. Mau makan siang ramen, bisa!
Mau order klepon, boleh juga. Minta diantar ke suatu tem-
pat? Bisa menggunakan bantuan gadget sebab ada startup
antar jemput seperti Grab, Uber, dan Gojek. Bahkan sam-
pai urusan dompet pun sudah diambil alih gadget. Untuk
mengecek saldo tidak lagi butuh usaha datang ke ATM.
Cukup cek pakai aplikasi dalam gadget. Mau memimpin
rapat juga tidak perlu bawa buku notulensi sebab seluruh
isi rapat bisa di-breakdown menggunakan gadget.

Jadi Generasi Milenial disebut kutu loncat karena pada


dasarnya, generasi ini ingin meloncat ke hal-hal besar yang
ingin mereka taklukkan. Jika diimbangi prinsip hardworking
dan tanggung jawab yang kuat, maka tidak ada masalah
dengan Generasi Milenial.

E. Pilihan Politik

Di Indonesia, kaum milenial mulai banyak berpolitik.


Bahkan, salah satu partai peserta Pemilu 2019 menargetkan
kaum muda sebagai salah satu kelompok pemilihnya. Jangan
lupa juga bahwa Indonesia, di masa pra kemerdekaan,
juga dibangun pemuda sehingga muncul gagasan Sumpah
Pemuda.

60 Santri Milenial
Islam tidak bisa dilepaskan dari masalah politik.
Kenapa? Karena jauh sebelum Nabi Muhammad diutus ke
dunia, manusia sudah berpolitik, meskipun untuk hal yang
paling sepele sekalipun. Sebagai contoh di dalam keyakinan
Islam, jika ada tiga orang berjalan bersama maka tunjuk
satu orang untuk menjadi pemimpin. Ia akan mengarahkan
dirinya sendiri dan dua orang lainnya agar tidak tersesat,
terperosok, dan dapat pergi ke arah tujuan yang benar.
Pemilihan pemimpin, misalnya ketika ada tiga orang
berjalan kaki bersama tersebut, mengandung rumusan atur-
an dan rumusan suatu kebijakan. Sebagai contoh, siapa yang
bertugas mengatur bekal, sebesar apa pengeluaran uang
yang boleh dilakukan per hari, dan sebagainya. Aturan dan
kebijakan merupakan salah satu instrumen politik. Dan,
tak bisa dilupakan bahwa selain menjadi pemimpin agama,
Nabi Muhammad juga menjadi pemimpin sebuah bangsa
di sebuah negara kota bernama Madinah yang kemudian
berkembang menjadi negara adidaya baru di tangan para
khalifah yang meneruskan perjuangannya. Semua itu adalah
kegiatan politik, tetapi politik yang didasari semangat dan
kesadaran beragama yang kuat.

Ada mindset di kalangan anak muda bahwa politik itu


domain generasi tua. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Generasi Milenial (saat ini yang termuda berusia 21 ta-


hun) punya kewajiban untuk mengenal politik, sama seperti
siapa pun di negeri ini yang peduli terhadap masa depan
bangsa.
Santri Milenial 61
Menurut Max Weber, manusia itu pada dasarnya zoon
politicon, individu yang berpolitik. Jadi manusia itu makhluk
yang berpolitik dan makhluk yang bersosial. Politik itu apa
sebetulnya? Banyaklah para pakar dan para ahli mendefi­
nisikan arti kata politik.
Tetapi secara sederhana, politik itu artinya bagaimana
mendapatkan, mempertahankan, atau memperoleh suatu
jabatan atau kekuasaan. Makhluk berpolitik itu kecenderun-
gannya adalah juga makhluk yang bersosial, atau makhluk
yang membutuhkan orang lain.
Realita saat ini, banyak anak muda terutama dari Ge­
nerasi Milenial, yang anti atau alergi terhadap dunia politik.
Salah satu alasannya karena mereka belum mendapat pema-
haman yang utuh terhadap pentingnya keterlibatan dalam
setiap dinamika politik. Bukan semata-mata untuk terlibat
sebagai partisan politik, pemuda kekinian harus melek dan
paham politik walaupun tidak mau terlibat secara langsung
dalam aktivitas partai politik (politik praktis).
Selain itu, pemuda takut menyentuh bidang politik
karena khawatir salah langkah dan berujung mendapat
hukum­ an sosial seperti caci maki, dan bahkan masalah
hukum. Padahal ada ungkapan, “Kau tak bisa membuat ke­
putusan berdasarkan rasa takut dan was-was terhadap apa
yang mungkin akan terjadi.”
Jika sudah was-was sejak semula, maka tak seorang
pun bisa membuat keputusan yang adil. Padahal keputusan
politik akan mempengaruhi banyak orang dalam jangka
waktu yang panjang.

62 Santri Milenial
Cara termudah bagi para Generasi Milenial ikut terlibat
dalam politik adalah dengan menggunakan hak suara dalam
setiap pemilihan. Karena one man one vote itu dalam sistem
demokrasi kita sangat mendasar sifatnya.

Satu suara yang diberikan oleh seorang pemuda dari Generasi


Milenial dapat menentukan arah akan dibawa kemana negara
kita dan akan mengarah kemana sistem pemerintahan kita.

Bayangkan kalau ada orang hanya ambil paku dan asal


mencoblos surat suara, atau sebaliknya, tidak mau datang
ke bilik suara. Siapa yang rugi? Ya, kalangan muda juga
yang rugi. Sebab di politik berlaku nasihat bijak berikut, “Di
mana tak ada keputusan, maka tak ada kehidupan.”
Setiap hari kita nyaris selalu mengambil keputusan yang
sudah hampir pasti menguntungkan, sementara yang tidak
jelas bakal kita buang jauh-jauh. Tetapi rupanya, semakin
besar ketidaktahuan pemuda terhadap risiko politik, justru
bisa menguntungkan. Coba saja para santri atau pemuda
bertemu dengan orang-orang yang belum pernah mere-
ka bayangkan sebelumnya dan menjalin hubungan dengan
orang yang belum dikenal sama sekali. Dalam kondisi se­
perti ini, pemuda bakalan bisa keluar dari comfort zone
yang selama ini ada dan menemukan peluang-peluang baru.
Dengan terlibat politik, semua pemuda dan santri akan
memilih politisi. Jika dekat dengan politisi, maka akan ada
yang peduli terhadap kehidupan orang muda dan santri.
Misalnya, Gus Dur itu suatu ketika pernah menyampaikan
suatu statement yang cukup terkenal. Beliau pernah menga-

Santri Milenial 63
takan, ketika santri anti dan tidak mau terlibat dalam ak-
tivitas politik, maka jangan salahkan siapapun apabila kelak
politisi juga acuh tak acuh pada golongan santri.
Statement atau nasihat Gus Dur itu akan saya coba
buatkan ilustrasinya. Jadi, ketika pemuda itu tidak tertarik
politik (apolitik), antipati, cuek terhadap sistem politik, dan
merem politik maka jangan salahkan siapapun jika kelak
banyak politisi tidak peduli terhadap kaum muda. Lha wong
orang mudanya juga ngantuk kalau mau diajak ngomong
politik.
Politik bisa membantu pemuda melihat kehidupan
secara positif, minimal bagi dirinya sendiri. Ada sebuah
nasihat, “Seseorang yang tak bisa menilai positif dirinya
sendiri, tak dapat menilai apa pun atau siapa pun.” Jadi se-
tiap pemuda, baik santri maupun non santri, perlu terlibat
politik sejak dini untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

F. Mendidik Generasi di Tengah


Perang Kata-kata

Ada pendapat bahwa anak muda zaman dulu perang­ nya


mengangkat senjata, sedangkan anak muda zaman now
perangnya bersenjatakan kata-kata. Jadi ketika anak muda
masa kini saling bersenggolan kalimat yang menurut mereka
menyinggung perasaan, mereka gampang bereaksi, persis

64 Santri Milenial
seperti gambaran dan ciri-ciri Generasi Strawberry yang
pernah diulas di bab lain buku ini.
Pernah dengar istilah twitwor? Istilah ini mengacu pada
aktivitas saling sahut menyahut, bahkan dengan skala emosi
yang tinggi, antara satu pengguna Twitter dengan pengguna
lainnya. Dalam dunia Facebook, fenomena ini disebut de­
ngan istilah “perang status”.
Kadang-kadang, twitwor (plesetan dari tweet war) meli­
batkan banyak orang yang terbagi dalam tiga kubu, yaitu
kubu pro, kubu kontra, dan kubu penggembira yang ikut
meramaikan suasana hanya sekadar ingin eksis dan meman-
faatkan situasi. Yang di-twitwor-kan bisa berupa masalah
serius seperti ajaran agama, politik, hukum, hingga masalah
remeh temeh seperti pro kontra polah tingkah seorang artis
yang berfoto genit di tepi jalan tol.
Nah, yang pertama kalau dibilang anak muda zaman
dulu berperang dengan mengangkat senjata kemudian era
sekarang berperang dengan bersenjata kata-kata, maka rasa­
nya kurang tepat.

Generasi muda itu seharusnya berperang dengan karya,


bukan hanya kata-kata. Jadi karya itu manifestasi pikiran
yang diolah dari kata-kata.

Tetapi terlepas dari kontroversi yang terjadi di


masyarakat, perang kata-kata juga bisa dikemas dengan baik
agar membawa manfaat positif. Misalnya di pesantren, para
santri diajak untuk berkompetisi gagasan dalam kemasan
debat. Nah, debat itu sebenarnya merupakan salah satu

Santri Milenial 65
manifestasi dari perang kata-kata. Hanya saja agar tidak
sampai rusuh, perlu adanya moderator atau juri di tengah-
tengah perdebatan antara dua kubu agar tidak berubah
menjadi debat kusir atau bentrok fisik yang menyakitkan.
Topik apa pun bisa dijadikan materi debat. Di sebuah
pesantren, misalnya, pernah diselenggarakan lomba debat
fikih. Para santri disuruh mempelajari buku tentang fikih
dan kemudian memperdebatkan isi buku itu satu sama lain.
Seorang ustaz ditunjuk untuk menjadi juri tunggal dalam
debat fikih tersebut agar debat berjalan lancar.
Kalau sudah begini, perang kata-kata yang dikemas
dalam debat bisa membawa perubahan. Pertama, para santri
dituntut untuk dapat berpikir kritis dan logis. Kedua, para
santri belajar strategi mempertahankan pendapatnya. Keti­
ga, hasil debat bisa membantu para santri mencari dan
menemukan fakta, kebenaran, atau ilmu baru yang selama
ini belum pernah dijamah. Jadi melalui debat, rasa ingin
tahu manusia itu tersalurkan, persis seperti nasihat dari
Ralph Waldo Emerson, “Rasa ingin tahu itu terbaring dan
menunggu di dalam setiap rahasia.”
Namun dunia pendidikan akhir-akhir ini juga kerap
menjadi berita tidak enak di masyarakat. Sebagai contoh,
banyak kasus di dunia pendidikan dimana guru dianiaya
oleh orangtua murid dan sebaliknya, murid juga ada yang
merasa dilecehkan guru.
Kasus seperti ini akan menjadi lebih ramai setelah
salah satu pihak, atau orang ketiga, memposting peristiwa
penganiayaan tersebut di media sosial sehingga memantik

66 Santri Milenial
perang kata-kata yang memprihatinkan. Seperti api yang
tersiram minyak, masyarakat yang tak ada sangkut pautnya
pun memberikan pendapat, yang kadang-kadang di luar
akal sehat, hanya demi ingin eksis.
Fenomena ini lebih tepatnya bukan terkait dengan
masalah dimensi kepemudaannya, bukan salah generasi
milenialnya, tapi lebih kepada moral yang ditopang oleh
sistem pendidikan.
Masalah seperti ini menjadi pekerjaan rumah bersa-
ma. Karena kenapa? Alasannya karena pondasi pendidikan
kurang kokoh, belum teruji, dan senantiasa bergonta-ganti
isi peraturannya setiap kali ada pejabat baru. Ganti mente­
ri, berubah sudut pandangnya terhadap suatu persoalan,
dan muaranya ganti pula isi kebijakannya. Masalahnya lagi,
jabatan itu diemban dalam jangka waktu pendek, mungkin
hanya lima tahun, sehingga sebelum berhasil terakselerasi,
sudah telanjur terbit peraturan yang baru.
Alasan lainnya karena faktor personal. Jarang terjadi
ada kejadian dimana ada guru dilaporkan oleh seorang
siswa yang tidak terima dicubit dan guru melaporkan siswa
yang bermain gadget. Jadi sifatnya case by case saja, tidak
terorganisasi, dan tidak pula masif serta sistematis. Kasusnya
satu banding seratus ribu atau sejuta kejadian dan sifatnya
spontan. Kalau sudah begini, maka kita tak bisa menuding
sistem pendidikan sebagai biang kerok tumbuhnya kasus-
kasus human error seperti itu.
Yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki sistem pen-
didikan. Disempurnakan, dievaluasi, dan disuburkan dengan

Santri Milenial 67
nilai-nilai moral yang lebih baik lagi untuk para siswa.
Kelak, bagaimana pun pesat dan dahsyatnya perkembangan
zaman yang berlaku, jika moralitas siswa sudah mengakar
maka kita punya keyakinan bahwa yang murid lakukan
tidak akan offside dari garis yang sudah ada.

68 Santri Milenial
BAB III
SANTRI ERA
MILENIAL
A. Santri dan Kecanggihan TIK

Pesantren manapun sangat rigid (kaku) terhadap aturan


pemakaian smartphone dan gadget. Teknologi super cang-
gih ini peredarannya sangat ketat diawasi selama seseorang
berada di dalam tembok pesantren meskipun para santri
mampu membelinya. Saking kakunya, hukuman bagi siapa
pun yang melanggar ketentuan penggunaan gadget bisa
sangat keras, mulai dari penyitaan hingga hukuman fisik.
Barulah setelah santri lulus dari pondok pesantren dan
membaur di masyarakat, semua kecanggihan yang ditawar-
kan dunia boleh dikuasai penuh. Namun penting untuk
diingat, selepas dari gerbang pesantren, para santri tetaplah
“bergelar” santri. Mereka memikul spirit santri. Nama baik
santri ada di pundak mereka. Oleh karena itu, tugas sebagai
santri perlu dilanjutkan dan dioptimalkan melalui gadget.
Gadget bisa dipakai untuk keperluan apa pun, termasuk
membuat akun media sosial yang akhir-akhir ini begitu
banyak dimanfaatkan oleh para santri. Siapa santri pemilik
akun Twitter? Ada banyak contohnya. Sebut saja, Prof. Mah-
fud MD, Gus Nadir, Gus Sholah, dan sebagainya. Itu baru
Twitter dan belum mencakup Facebook, Youtube, Instagram,
dan layanan media sosial lainnya.
Intinya, santri tidak haram memiliki Twitter dan sega-
la buah-buah kecanggihan IT. Bahkan, PCNU Pamekasan

Santri Milenial 71
mendorong para santri agar aktif di dunia maya. “Untuk
itu, para pemuda santri mesti kreatif dan aktif. Tidak hanya
di dunia nyata, tapi juga terlibat dalam perang pemikiran
di dunia maya”, begitu sambutan Ketua PCNU Pamekasan
KHR Taufiq Hasyim saat pembukaan Kopdar Netizen di
Pesantren Sabilul Ihsan, Teja Barat, dikutip dari NU Online
(www.nu.or.id).

Dorongan pemakaian gadget di kalangan santri


dimaksudkan agar santri tak segan-segan menggunakan
kecanggihan teknologi untuk program siar agama.

Bicara tentang Twitter, santri juga banyak yang menjadi


follower akun-akun yang dikelola oleh tokoh-tokoh Islam.
Ada banyak tokoh Islam yang sudah sejak lama memanfaat-
kan Twitter. Sebut saja, Ustadz Yusuf Mansur yang memiliki
2,7 juta follower; Prof. Mahfud MD dengan 2 juta follower;
Gus Mus (A Mustofa Bisri) 1,7 juta follower; Gus Sholah
(Salahuddin Wahid) 445 ribu follower; dan banyak lagi.
Jadi dengan aktif di media sosial, seorang santri bisa
memilih apakah ingin menjadi influencer (pemberi penga­
ruh) atau follower (penerima informasi). Sebagai influencer
artinya, setiap santri punya tanggung jawab menyebarkan
Islam sebagai agama Rahmatan Lil’Alamin (Islam merupa-
kan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi
semua alam semesta).
Sedangkan menjadi follower artinya, setiap santri pu­
nya tanggung jawab untuk selalu belajar dari siapa pun. Ini
sesuai dengan Q.S. Fathir/35:28 dimana Allah menegaskan

72 Santri Milenial
bahwa orang yang berilmu memiliki tingkat ketaqwaan yang
lebih tinggi.
Jadi meskipun para santri sudah keluar dari tembok
pondok pesantren, wajiblah ia menyerap ilmu setiap hari
dari siapa pun. Sebab pada dasarnya, ilmu itu berkembang
dan inspirasi baru bermekaran setiap hari.
Prinsip dasar yang harus dipegang para santri ketika
menjadi influencer (pemberi pengaruh dan pembawa siar
agama) sebenarnya sederhana. Islam mengajarkan bahwa
setiap umatnya harus menjadi rahmat. Ada banyak penger­
tian rahmat, salah satunya menurut Ahmad Musthafa Al-
Maraghi yang memahami rahmat sebagai perasaan jiwa
yang mendorong pemiliknya untuk berbuat baik kepada
orang lain.

Kalau sudah begini, maka kata kuncinya adalah: berbuat


baik kepada orang lain, dan di zaman now ini berbuat baik
dimudahkan melalui bantuan teknologi informasi.

Praktik sehari-harinya mudah. Tweet atau status yang


santri tulis di media sosial harus mendorong pembacanya
berbuat baik, bertambah akhlak-nya, dan meningkat il-
munya. Jadi, santri yang baik tidak justru menyebarkan ka-
bar bohong (hoax), materi pornografi, penipuan berhadiah
(scam), atau materi-materi lainnya yang mempromosikan
kebencian dan keresahan (hate speech) di masyarakat. Persis
seperti riwayat Imam Muslim yang berbunyi, “Ketika Ra-
sulallah Shallallahu Alaihi Wasallam diminta oleh sebagian
sahabat untuk mendoakan tidak baik kepada orang musyrik.

Santri Milenial 73
Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai
tukang melaknat, sesungguhnya aku diutus hanya sebagai
rahmat” (H.R. Muslim).
Jadi kalau boleh jujur, santri masa kini harusnya lebih
maju dibanding orang tua-orang tua zaman dulu. BJ Ha-
bibie itu pernah bilang, “Sekarang kalian pake iPad Pro aja
bukan main. Eyang juga pakai sekarang. Tapi dulu waktu
eyang muda gak ada. Nah berdasarkan itu semua harusnya
kamu lebih baik.”
BJ Habibie, yang pernah menjadi Wakil Presiden dan
Presiden Indonesia sebelum Gus Dur, dikenal sebagai orang
yang sangat cerdas. Kuliah di Jerman untuk belajar ilmu
konstruksi pesawat. Setelah kembali ke Indonesia bahkan
bisa membuat pesawat terbang. Beliau sudah pintar di era
yang serba tidak ada apa-apanya dibanding sekarang. Kom-
puter belum ada, internet apa lagi. Maka BJ Habibie opti-
mis, generasi sekarang mestinya lebih baik dibanding era
dulu.

B. Santri di Tengah Banjir


Informasi

Bagaimana perkembangan spiritualisme para santri di


tengah pusaran banjir informasi? Ini pertanyaan yang se­
rius dan tidak mudah menjawabnya. Pesantren yang mo­

74 Santri Milenial
dern sekalipun membatasi akses terhadap televisi dan
informasi dengan ketat. Bahkan ustaz atau pengurus pon­
dok pesantren bisa menghadiahi hukuman berat bagi si
penyelundup handphone.
Pernah ada cerita seorang santri memiliki handphone
diam-diam. Suatu ketika, ustaz memergoki santri tersebut
ketika sedang menelepon sembunyi-sembunyi. Nah, saat
itu juga semua santri digiring dan dikumpulkan dalam satu
ruangan, dan diinterogasi satu per satu,
“Siapa di antara kalian yang mengetahui si A punya
handphone ..!?” Hening. Tak ada jawaban kecuali beberapa
saat kemudian terdengar suara keras, suara dari handphone
yang hancur lebur dibanting sang ustaz.
Hukuman berikutnya menyusul, semua santri mendapat
getah pahit di tangan akibat sabetan rotan satu demi satu.
Gara-gara satu orang melanggar peraturan, orang lain
mendapat getahnya.
Kalau sudah demikian, akses informasi yang bersum-
ber dari handphone dan televisi menjadi sangat terbatas di
pesantren. Setiap santri yang ingin menelepon keluarganya,
baru bisa menggunakan smartphone setelah mendapat lam-
pu hijau dari PIC (person in charge) yang diberi wewenang
memegang telepon pesantren.
Meskipun begitu, pembatasan informasi itu tidak sam-
pai menutup ruang-ruang diskusi para santri, guru, serta
para ustaz terhadap dinamika di luar tembok pesantren.
Sebab apa? Pesantren modern umumnya membangun
laboratorium komputer yang terkoneksi internet. Jadi para

Santri Milenial 75
santri tetap bisa mengakses internet meskipun dibatasi
waktu. Selain laboratorium komputer, pesantren juga rutin
membeli buku-buku terbaru agar ilmu pengetahuan para
santri tidak mandeg di satu tempat, tapi tetap berkembang
dan menjulang tinggi.
Pesantren juga banyak melahirkan ahli-ahli di bidang
fisika, kimia matematika, bahkan robotics. Beberapa waktu
yang lalu ada perwakilan dari salah satu pesantren di Mo-
jokerto, Ponpes Darul Ulum, yang menang kontes robot di
Jepang (Robotic Training and Competitions). Robot Sumo
namanya karena dirancang untuk memenangkan kompetisi
“adu otot” melawan robot dari negara lain.

Artinya, keterbatasan mereka ketika mengakses televisi dan


menggunakan handphone tidak membatasi ruang kreativitas
dan intelektualitas seorang santri.

Buktinya, santri berprestasi bernama Nur Amalina itu


berhasil memenangkan pertandingan robot, menundukkan
peserta dari negara lain seperti Malaysia. Yang mengagum-
kan lagi adalah cerita santri dari Madrasah Muallimin Hasy-
im As’yari Pesantren Tebuireng. Santri bernama M. Farid
Mubarok itu memenangi lomba fotografi yang diselengga-
rakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di daerah
Jombang.
Mengagumkan karena beberapa faktor. Pertama, ia baru
belajar fotografi belum genap satu semester dan kedua,
santri asal Mojokerto ini juga tidak punya kamera. Kamera

76 Santri Milenial
yang digunakan untuk mengikuti lomba fotografi ini didapat
dari hasil meminjam ke kantor Tebuireng Media Group.
Bahkan, untuk ikut aktivitas hunting foto, ia juga meminjam
motor. Jadi apa-apa serba meminjam tapi justru malah
memenangkan lomba.
Ini membuktikan bahwa untuk memenangkan sebuah
kompetisi, santri tidak perlu memiliki sesuatu terlebih dulu.
Yang penting ada niat, semangat, dan kemauan belajar yang
tinggi. Nanti, kesempatan akan datang sendiri.
Contoh lain, di Probolinggo ada santri yang bisa
mengembangkan sumber energi alternatif, membuat alat un-
tuk mendeteksi gempa, mengembangkan magic cleaner, dan
lain sebagainya. Ada juga karya santri PP. Nurul Jadid yang
berhasil membuat alat pengendali lampu berbasis android
yang dapat diperintah secara verbal maupun non verbal.
Pendek kata, santri pun bisa menjadi inventor (penemu)
dan berprestasi seperti murid dari sekolah umum.
Terkait dengan masalah pengaruh dari luar akibat ada­
nya banjir informasi, efek buruknya lebih menyasar personal
tiap-tiap santri. Yang jelas di pesantren itu ditanamkan
nilai-nilai keagamaan, kedisplinan, dan moralitas selain ilmu
lain semisal eksakta seperti di pendidikan formal non pe-
santren.
Ketiga nilai itu digunakan sebagai pondasi ketika mere-
ka terjun ke masyarakat yang tidak sekadar hanya dibekali
kreativitas dan intelektualitas an sich (secara harafiah). Jadi
apa pun profesinya, spirit karakter santrinya tetap kokoh
dan berkelanjutan.

Santri Milenial 77
C. Ceramah Zaman Now

Dakwah atau ceramah agama zaman now itu dimaknai de­


ngan aktivitas dakwah yang kekinian. Yang kekinian dakwah
yang bisa mengakses umat lintas generasi, baik generasi
muda, remaja, tua, ataupun anak-anak. Itu artinya, itu
apa? Bisa berwujud dalam banyak bentuk. Misalnya, nilai
kreativitas dalam dakwah disatukan dengan kecanggihan
teknologi.
Dulu, para guru agama atau ustaz berdakwah door to
door, dari mushola ke mushola, majelis ke majelis, atau dari
forum ke forum. Tapi sekarang ini seorang ustaz atau seo-
rang da’i hanya tinggal duduk di kursi, stand by di depan
kamera video atau kamera handphone, dan dalam sekejap
bisa langsung siaran live di Facebook atau menjadi trending
di Youtube.

Jadi media sosial sudah menjadi sarana dakwah yang efisien.


Ketika cara ini dilakukan, dakwah siaran langsung itu
bisa diakses dan ditonton bukan hanya seribu atau dua ribu
orang, tapi jutaan orang. Ini yang dikatakan dakwah
zaman now.

Dengan media sosial, satu kali usaha yang sederhana


bisa memberi manfaat seluas-luasnya bagi banyak orang.
Bandingkan dakwah beberapa dekade lalu saat channel

78 Santri Milenial
informasi masih dikuasai satu-dua stasiun televisi. Selain
jangkauannya lokal, shooting di stasiun televisi sangat tidak
praktis karena melibatkan banyak orang dan peralatan berat
serta mahal. Sekarang, smartphone berkamera video sudah
bisa dipakai untuk sarana berdakwah.
Yang kedua, pola bahasa ceramah zaman now yang
disampaikan guru dakwah mudah dicerna oleh umat lintas
kalangan. Bukan gaya bahasa yang terlalu berat karena akan
sulit dipahami yang muda, dan juga tidak terlalu gaul dan
kekinian karena nanti akan sulit diamini yang tua. Jadi ba-
hasa itu bisa diolah seorang da’i dan seorang penceramah
agar bisa dicerna umat lintas generasi serta lintas usia,
baik yang anak-anak, remaja, pemuda, maupun yang telah
dewasa.
Namun jika setiap orang bisa berdakwah, maka ka-
dang-kadang ada efek sampingnya juga. Akhir-akhir ini,
kasus kriminalisasi ulama memang sedang hangat terkait
dengan isi ceramah. Kasus seperti ini muncul karena salah
satunya berangkat dari ceramah yang dianggap mengganggu
ketertiban umum. Bagaimana mencegah hal ini terjadi?
Pada prinsipnya, kita tinggal di negara hukum dan
sudah ada payung hukum, undang-undang, serta ada pula
KUHP berisi pasal-pasal yang memang menjadi koridor
dalam aktivitas keseharian kita. Semuanya teratur dalam
sistem hukum, termasuk dalam penggunaan media sosial.
Kita mengenal Undang-Undang ITE yang mengatur aktivi­
tas berinternet, termasuk menulis status di Facebook atau
menayangkan video di Youtube.

Santri Milenial 79
Di dalam supremasi hukum tidak mengenal istilah
kiai, murid atau santri, dan menutup mata terhadap istilah
politisi, bupati, serta presiden sekalipun. Semua orang sama
di depan hukum, equality before the law. Jadi kesamarataan
di depan hukum itu berlaku di negara Indonesia sehingga
tidak perlu dipersempit dengan adanya kriminalisasi
ulama, sebab nanti akan muncul bentuk dan variasi lain di
masyarakat, seperti kriminalisasi guru, kriminalisasi murid,
kriminalisasi dokter, dan seterusnya.
Istilah kriminalisasi ini pada akhirnya juga cukup kon-
troversial karena kerap jadi alibi untuk berlindung dari
jeratan hukum ketika suatu person, apapun jabatannya,
tersandung masalah pidana. Sebagai contoh, ada tokoh be-
sar terjerat hate speech dan kebetulan ia seorang ulama.
Agar bisa melenggang bebas, ia dan pengikutnya memakai
tameng kriminalisasi ulama. Tentu, istilah kriminalisasi ini
menyebabkan kepastian hukum menjadi tidak sehat dan
tidak fair.
Agar tetap seimbang, maka sekarang dan kapan pun
juga, kita perlu membuat garis lurus yang tegas: kalau
memang salah ya salah, dan jika benar ya benar. Tanpa
perlu memandang apakah ia seorang kyai, penguasa, bupati,
pengusaha kondang, dan seterusnya.
Jadi istilah kriminalisasi itu diskriminatif. Lebih afdol
jika kita punya prinsip berpikir positifistik, maju ke depan,
dan konstruktif.
Tujuannya agar jeratan hukum berlaku adil untuk sia-
papun meskipun yang terbidik adalah penegak hukum itu

80 Santri Milenial
sendiri, mulai dari polisi hingga hakim. Kalau sudah begini,
kacamata siapa yang bisa menentukan seseorang bebas dari
jeratan hukum atau terhukum di jeruji besi sebagai pesa­
kitan? Jawabannya menurut saya adalah, perangkat hukum
yang sudah ada.
Kalau ada perkara, tinggal polisi membuat gelar perka-
ra. Untuk penyidikan, ada kejaksaan yang melakukan tugas
tersebut. Kalau untuk perkara korupsi, sogok menyogok,
dan gratifikasi maka serahkan pada KPK. Lantas kalau
ada yang bertanya, bagaimana masyarakat mendapat perlin­
dungan hukum? Walaupun sudah duduk di kursi pesakitan,
masyarakat tetap dapat payung dan perlindungan hukum.
Misalnya kita kenal ada pengacara, lembaga bantuan hu-
kum, lembaga perlindungan saksi, dan sebagainya.
Ke depan, santri juga tetap mawas diri. Ceramah zaman
now perlu kehati-hatian. Salah satu caranya adalah dengan
mengisi materi ceramah dengan tetap mengedepankan Islam
sebagai rahmat bagi alam semesta.

D. Santri Anti-Hoax

“Apa pun alasannya, apa pun agamanya, siapa pun orang-


nya, itu harus ditindak (Pelaku Hoax), karena itu merusak
demokrasi yang mau kita bangun. Kita ini semuanya an-
ti-hoax, oleh sebab itu polisi jalan.”

Santri Milenial 81
Kalimat ini diposting melalui akun Twitter Prof. Dr.
Mohammad Mahfud MD., S.H., .S.U (@mohmahfudmd)
pada 8 Maret 2018. Kalimat lain dengan nada sentilan ditu­
lis seperti ini, “Akun anonim merasa bebas memaki, melin-
tir fakta, menggoreng isu & menebar hoax. Atas nama­
Nya pula. Mereka berani melakukan itu karena merasa tak
bakal ketahuan. Mereka lupa, di mata Tuhan, tak ada yang
anonim. Semua tak luput dari catatannya.” Penulis kalimat
ini adalah Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), dosen ilmu hu-
kum di Monash University, dan pemilik akun Twitter @
na_dirs.
Ada banyak kesamaan antara Mahfud MD dan Gus Na-
dir ini. Pertama, beliau-beliau ini adalah dosen ilmu hukum.
Kedua, sama-sama anti-hoax (berita bohong). Yang ketiga,
keduanya pernah atau aktif di dunia pesantren. Atau de­ngan
kata lain, mereka adalah santri peka zaman yang melek
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mahfud MD pernah mencicipi bangku sekolah di Pon-
dok Pesantren Al Mardhiyyah, Waru, Pamekasan, Madura.
Sedangkan Nadirsyah Hosen dikenal sebagai Rais Syuriah
Nahdlatul Ulama Cabang Istimewa Australia dan aktif me­
ngelola Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin
di Bogor.
Ini bukti nyata bahwa santri pun bisa menduduki jabat-
an mentereng dan diapresiasi dunia. Mahfud MD bah-
kan pernah mengabdi sebagai menteri pertahanan di era
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000.
Setahun kemudian, jabatan ini diletakkan karena presiden

82 Santri Milenial
menginginkan beliau mengisi posisi sebagai Menteri Hu-
kum dan Hak Asasi Manusia. Selain kedua tokoh NU di
atas, sebenarnya masih melimpah aktivis Islam yang pernah
sekolah maupun aktif di pondok pesantren yang sangat nya­
ring mengampanyekan bahaya hoax di masyarakat.
Menggunakan akun centang-biru Twitter yang mereka
miliki, santri-santri yang kini sudah menjadi tokoh masya­
rakat itu menyuarakan kebenaran dan nilai-nilai Islam yang
sejuk, anti kebohongan, dan pembodohan secara teratur.
Kata-kata manis serta kalimat yang tegas kerap diposting di
akun Twitter untuk menjawab menjamurnya hoax di dunia
online.

Santri, siapa pun itu, bisa menjadi pioner atau aktivis


anti-hoax karena secara sadar maupun tidak, bekal ilmu
yang mereka butuhkan untuk menjadi aktivis sudah
didapat di pesantren.

Selama belajar di pondok pesantren, para santri mem-


pelajari lima prinsip dasar tentang tuntunan syariat. Salah
satu tuntunan syariat yang pas untuk membentengi diri
terhadap informasi palsu dan sesat adalah hifd al-aql, atau
menjaga akal sehat.
Dalam ajaran Islam, akal termasuk salah satu keutama-
an atau hal primer yang harus dijaga selain agama, jiwa,
keturunan, dan harta. Bahkan, tingkatannya sudah taklif
(kewajiban dalam syariat). Sejauh ini, hoax adalah informasi
menyimpang dari fakta yang masih dapat diteliti dengan

Santri Milenial 83
menggunakan pikiran. Oleh karena itu, hoax dapat dibe­
rantas menggunakan senjata akal sehat.
Selain itu, pedoman dasar bagi santri dan umat Islam
agar tidak mudah dijerumuskan orang lain telah tertulis di
dalam QS Al-Hujurat: 6.
Hanya dengan pedoman dan prinsip dasar di atas, san­
tri dari pondok pesantren manapun pasti bisa menjadi agen
perubahan yang sekaligus anti terhadap bahaya laten hoax
yang memecah belah.
Namun apakah praktik menangkal hoax sesederhana
itu? Mungkin jawabannya, tidak. Sebab, santri anti-hoax
seperti Mahfud MD sekalipun juga kerap menjadi sasaran
hoax. Dengan kata lain, menjadi pioner dan aktivis an-
ti-hoax juga berisiko menjadi korban hoax itu sendiri. Bikin
geleng-geleng kepala risikonya, sebab korban hoax sama
menderitanya dengan korban fitnah.
Tapi bagi santri zaman now, yang penting ikhlas
mengamalkan ajaran Islam dengan benar, hati-hati, dan
menjaga kelemahlembutan, maka yang utama dan di atas
segala bahaya risiko adalah perintah Allah SWT, sehingga
fitnah apa pun itu namanya, akan lebih mudah diatasi.

84 Santri Milenial
E. Teman-teman Baru di Media
Sosial

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat


seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi.
Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak
wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya,
dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum
darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya)
mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap
mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari
5534 dan Muslim 2628).
Follower dan jaringan pertemanan adalah dua istilah
biasa di dalam media sosial. Jadi selain digunakan untuk
sarana dakwah, media sosial bisa dipakai untuk memburu
teman-teman baru. Ini sesuai dengan hakikat media sosial,
yaitu media yang dipakai untuk bersosialisasi. Mengapa
media sosial begitu populer? Karena pada dasarnya, manusia
adalah makhluk sosial.
Jika santri milenial memiliki akun Facebook dan ada
request pertemanan dari orang asing, bagaimanakah ia ha-
rus bersikap? Apakah permintaan pertemanan itu diterima
atau ditolak? Islam mengajarkan bahwa seorang mukmin
cerminan dari saudaranya yang mukmin. Jadi, apakah santri
akan menyambut calon teman yang ternyata penjudi, tukang
sebar hoax, atau penikmat konten ilegal? Seharusnya tidak.

Santri Milenial 85
Namun, ceritanya akan menjadi ruwet jika ternyata si
penjudi itu dulu adalah sahabat bermain si santri waktu
kecil. Dalam hal menemui kejadian seperti ini, maka justru
santri milenial bisa mendapat kesempatan eksklusif untuk
memperbaiki akhlak si penjudi itu. Sebab, seperti yang
dikatakan Syaikh Abdul Muhsin Al-Qasim, “Sifat manusia
adalah cepat terpengaruh dengan teman pergaulannya. Ma-
nusia saja bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang
ternak.”
Santri punya kesempatan mempengaruhi penjudi dan
orang-orang menyimpang lainnya, dan bukan malah seba-
liknya, menggunakan media sosial. Inilah hebatnya dakwah
lewat media sosial. Tanpa harus bersua langsung face to face,
santri milenial bisa menyebarkan pesan-pesan kebaikan.

Intinya hanya itu, santri milenial harus bisa menjadi teman


yang suka menasihati dalam kebaikan.

Untungnya, santri milenial hidup di zaman media sosial


sehingga punya kesempatan seluas samudra untuk melaku-
kan reuni dengan teman-teman masa lalu yang hidupnya
masih belum lurus.

86 Santri Milenial
F. Santri Sadar Follower

Setiap santri yang nge-tweet harus bisa menjadi influencer


yang tugasnya memberi pengaruh seluas-luasnya kepada
para follower. Sampai hari ini, ustadz yang paling banyak
memiliki follower di Twitter adalah Ustaz Yusuf Mansur
dengan jumlah sebanyak 3,03 juta orang. Dengan follower
sebanyak itu, maka Ustaz Yusuf Mansur bisa mempengaruhi
banyak orang hanya dengan menulis satu kalimat pendek.
Inilah salah satu kelebihan media sosial yang harus
di­sambut positif oleh setiap santri. Tanpa media sosial, se­
orang santri akan sulit berdakwah secara masif dengan
biaya tipis. Paling luas, seorang santri bisa mengajar satu
pondok pesantren atau satu lingkungan masjid yang terba­
tas. Tapi dengan kecanggihan teknologi saat ini, satu kalimat
seorang santri bisa dibaca dan difavoritkan jutaan orang di
seluruh penjuru dunia.
Nah pertanyaannya sekarang, bagaimana mendapat fol-
lower melimpah? Sebelum menjawab pertanyaan itu, setiap
santri harus memegang prinsip dasar menggunakan media
sosial, yaitu harus dimanfaatkan sebagai sarana dakwah.
Oleh karena itu, isi status atau twit harus mengajak follower
untuk berbuat kebaikan dan menjauhi segala yang dilarang
agama.
Setelah prinsip dasar itu meresap dalam alam bawah
sadar, maka kita bisa menjawab pertanyaan di atas. Jawab­

Santri Milenial 87
annya adalah, dengan mengemas agar twit yang santri
ciutkan memikat. Salah satu resepnya adalah dengan menge­
mas dalam bentuk kultwit. Istilah ini merupakan gabungan
dari dua kata yang dijadikan satu, yaitu kata “kuliah” dan
“twit”. Itu artinya, twit dikemas seperti materi pelajaran atau
kuliah.
Ciri-ciri kultwit sebagai berikut. Pertama, ditulis ber­
seri dan diberi nomor urut yang jelas. Kedua, membahas
permasalahan secara mendalam. Ketiga, twit-twit itu diurut
secara sistematis sehingga enak dibaca dan dipelajari. Jadi
pada dasarnya, kultwit itu hanya aktivitas memecah tulisan
panjang ke dalam tulisan-tulisan pendek ala Twitter dan
diurutkan secara sistematis.
Ada penelitian kecil-kecilan dari seorang mahasiswa
bernama Ahmad Fathan Hidayatullah yang mengambil
Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri,
Universitas Islam Indonesia. Dalam penelitian yang diberi
judul “Twitter sebagai Media Dakwah”, ia mendapat hasil
penelitian yang selaras dengan penjabaran di atas tentang
kultwit. Penelitian itu melibatkan 102 responden. Menurut
hasil penelitian tersebut, sebanyak 69,8% responden menga-
takan bahwa kultwit yang rutin ditulis oleh para ustadz di
media sosial seperti Twitter dianggap menarik. Selanjutnya,
72,6% mengatakan bahwa kultwit efektif digunakan sebagai
sarana dakwah.
Ada berbagai metode membuat kultwit yang efisien.
Pertama, dengan mengambil contoh kasus yang sedang nge-
hits di masyarakat kemudian mengupasnya dalam perspektif

88 Santri Milenial
agama. Pembahasan itu bisa diramu dalam bentuk tulisan
panjang. Selanjutnya, pecah tulisan panjang itu menjadi
twit-twit pendek yang diberi nomor urut. Atau, bisa juga
dengan mengambil materi dari ceramah ustaz di pondok
pesantren dan merangkumnya menjadi tulisan.

Intinya, sumber inspirasi dakwah bisa berasal dari berbagai


sumber. Dari dakwah guru agama, ustadz, membaca referensi
dari buku, menonton berita di televisi, serta sumber-sumber
lainnya, termasuk internet.

Semua twit yang kita tulis akan meninggalkan jejak


digital. Inilah kelebihan Twitter dan media sosial lainnya.
Nabi Muhammad pernah bersabda, “Jika seorang manu­sia
meninggal, terputuslah semua amalnya kecuali tiga, shada­
qah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendoakan.” (HR. Al-Tirmidzi).

Jadi, tidak ada yang sia-sia dan mubazir jika kita berusaha
menebar kebaikan (ilmu yang bermanfaat) melalui media
sosial karena tulisan tersebut akan bertahan dalam jangka
waktu lama di internet dan tetap meninggalkan jejak
meskipun santri tersebut sudah meninggal dunia.

Jadi, mengapa tidak menebar kebaikan melalui media


sosial?

Santri Milenial 89
G. Seribu Kemungkinan Usaha
Santri

Bisnis apa yang cocok bagi para santri? Jawaban ini sulit di-
jawab karena cabang bisnis sangat banyak. Mau jualan bak-
so, soto, lotek, gado-gado? Atau, mau bisnis multi-level mar-
keting? Bagaimana dengan trader, seperti jual beli saham,
transaksi kurs, dan seterusnya? Santri lain mungkin memilih
untuk membangun usaha event organizer dan bisnis MC
(master of ceremony) lengkap dengan video shooting acara
mantenan.
Jadi, bidang usaha apa yang cocok ditekuni? Apabila se-
tiap bidang usaha yang ada di dunia ini disebut dan dirinci
satu demi satu, maka tidaklah akan muat semuanya dalam
selembar kertas ini. Oleh karena itu, santri hanya perlu
mengenal kelompok pekerjaan menurut karakter-karakter
manusia.
Untungnya, bidang-bidang kerja menurut karakter
dapat dikelompokkan dengan jelas oleh para ahli. Kelom-
pok-kelompok karakter itu adalah: creator, star, supporter,
deal maker, trader, mechanic, dan accumulator. Agar pem-
bahasannya komprehensif, masing-masing minat itu dibahas
dalam subbab-subbab terpisah.

90 Santri Milenial
Creator
Jika diterjemahkan secara bebas, creator adalah si pembuat.
Santri yang memiliki minat untuk berandai-andai, meran-
cang, dan menciptakan sesuatu, termasuk kelompok creator.

Santri yang masuk kelompok creator memiliki kegemaran


berandai-andai dan punya kecenderungan bermimpi besar
untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru serta
mempunyai visi yang luas dan ide-ide yang dirancang
untuk jangka panjang.

Salah satu sisi negatif creator adalah, punya ide hebat


namun kadang-kadang mandeg di tengah jalan, atau tak
dapat mengeksekusi ide itu dengan baik sesuai rencana.
Kadang-kadang, mereka sering sibuk memikirkan hal besar
apa yang bisa dilakukan namun sebelum dieksekusi, sudah
keburu melompat ke ide baru berikutnya.
Begitu melihat peluang lain yang lebih mumpuni, crea-
tor pun tak sungkan-sungkan melompat ke peluang tersebut,
dan ide yang sedang direalisasikan dalam waktu singkat
segera ditinggalkannya begitu saja.
Akibat ada banyak ide cemerlang yang dilontarkan oleh
creator, maka ada banyak juga proyek yang dikerjakan pada
saat yang bersamaan. Semakin banyak proyek yang tak bisa
berjalan dengan mulus, maka akan ada semakin banyak
proyek baru yang separuh berjalan. Tak heran kalau ada
banyak proyek yang terlunta-lunta gara-gara si creator su-

Santri Milenial 91
dah keburu hengkang ke proyek berikutnya. Itu kira-kira
ilustrasi sisi gelap seorang creator.
Karena lebih suka menggali ide-ide baru, maka bi-
asanya creator adalah orang yang introvert. Dalam diam,
ia berpikir detail. Dengan penuh konsentrasi, ia mampu
memutuskan secara jernih mana yang baik dan yang tidak.
Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkan untuk mengubah
ide menjadi sebuah keputusan bisnis, akan cukup banyak.
Steve Jobs sendiri pernah mengatakan, “Kalau kau per-
hatikan dengan seksama, kebanyakan sukses yang terjadi
semalam sebenarnya dimulai dari waktu yang sangat lama.”
Namun, sifat ekstrovert pun juga bisa menjadi creator
yang baik. Jika si introvert lebih banyak berpikir, maka si
ekstrovert punya kemampuan untuk berkomunikasi dengan
banyak orang. Dengan begitu, si ekstrovert ini mampu men-
jadi barisan terdepan dalam hal realisasi ide.
Apakah pribadi ekstrovert akan lebih berhasil ketim-
bang yang introvert? Tidak selalu begitu. Creator dengan
kepribadian introvert yang sukses juga ada, misalnya Walt
Disney.
Contoh lain seorang creator yang introvert adalah Bill
Gates. Yang membawa Bill Gates menjadi miliarder bu-
kan karena keberuntungan. Namun, apa yang diciptakan
dalam kepalanya itulah yang membawa Bill Gates hingga
sejauh ini. Pengamatannya betul-betul tajam. Setelah meli-
hat bagaimana MS-DOS berhasil mendapatkan kesepakatan
dengan IBM, Bill Gates mencari celah untuk mengedepan-
kan Microsoft. Software asuhannya itu semula hanya dibuat

92 Santri Milenial
dari perusahaan kecil dengan hanya 40 staf saja. Tetapi apa
yang dipikirkan oleh Bill Gates tak sia-sia hingga akhirnya
ia mendapat keuntungan dengan menjual software Microsoft
hingga 40 miliar dollar. Ada banyak pencipta (creator) bi-
dang software, tetapi yang paling terkenal Bill Gates.
Bidang usaha yang cocok untuk creator antara lain
pembuat aplikasi, perancang busana, desain grafis, arsitek
dan perancang interior, pengusaha rumah makan, penulis
buku, dan lain sebagainya.

Star
Apakah dalam pondok pesantren ada santri yang selalu
ingin terlihat menonjol, suka cari perhatian, dan pandai
menghibur banyak orang? Siapa tahu ia punya minat untuk
menjadi bintang.
Star atau bintang memang identik dengan ciri-ciri yang
bisa dilihat dari luar, seperti cantik, tampan, pintar melucu,
suka mencari perhatian, dan ingin selalu menonjol diban­
ding lainnya. Bahkan di dalam tembok pondok pesantren
yang kaku dan konservatif, santri-santri model seperti ini
selalu ada.
Sudah dari sananya seorang bintang berkepribadian
ekstrovert, seperti ciri khas seorang bintang sejati yang akan
berusaha semaksimal mungkin agar tetap terlihat bercahaya.
Ia akan merasa semakin nyaman di tengah banyak orang.
Semakin ramai orang mengerumuni dan memuji aksinya,
semakin nyaman juga dirinya itu.

Santri Milenial 93
Santri yang punya karakter bintang cocok bekerja
di dunia marketing dan promosi.

Mengapa? Karena sejak awal dan alamiah, ia bisa


mempromosikan dirinya sendiri di kelas, misalnya pada
saat melawak, memainkan sandiwara, dan kegiatan yang
memancing perhatian banyak orang. Bagaimana ia menge­
depankan keunikannya dan mampu membuat orang lain
tertarik kepadanya itulah yang patut sekali dicontoh. Se­
orang bintang mampu mengubah suasana atau apa pun
yang ia miliki dari yang biasa-biasa saja menjadi menarik.
Promotor acara, sales dan marketer, entertainer dan
master of ceremony, dan pekerjaan yang sejenis itu, cocok
untuk santri dengan karakter bintang.
Namun di balik semua kelebihan seorang santri dengan
karakter bintang, bukan berarti mereka tak ada kelemahan-
nya. Sebagai contoh, seorang santri yang over acting mung-
kin terlihat lucu namun sekaligus mengganggu. Tak jarang
seorang santri tampil kontroversial agar tetap bisa menjadi
pembicaraan orang banyak. Bisa juga mereka menjadi ba-
han gunjingan orang atau gosip di pondok pesantren akibat
terlalu suka menarik perhatian.
Bidang usaha yang cocok untuk seorang bintang adalah
entertainer, musisi, artis, guru dakwah, motivator, master of
ceremony, politikus, dan banyak lagi.

94 Santri Milenial
Supporter
Istilah supporter memang identik dengan olahraga seperti
sepak bola, bulu tangkis, basket, dan lain sebagainya. Maka
tak heran jika istilah ini melekat pada sebuah tim, seperti
Persija, Arema, Manchester United, dan lain sebagainya.
Supporter punya kebiasaan tertentu, misalnya heboh, suka
teriak-teriak sendiri dengan penuh semangat, dan menduku-
ng sebuah tim dengan komitmen tinggi.
Jika diberi tanggung jawab untuk membangun sebuah
bisnis, maka supporter akan membangun tim yang kuat
terlebih dulu. Orang-orang dengan karakter supporter belum
berpikir untuk membangun jenis bisnis yang profitable atau
menjadi bintang seorang diri. Sebaliknya, ia akan mencari
orang-orang dengan visi, misi, dan idealisme yang sama dan
dikumpulkan jadi satu menjadi sebuah tim. Dalam pikiran-
nya, dengan banyak kepala menjalankan visi dan misi yang
sama, maka tujuan pun akan segera tercapai.
Tidak sulit mencari santripreneur seperti ini, karena
sejak di balik dinding pondok pesantren, mereka terbentuk
solidaritas dan tanggung jawab yang sama. Hal paling baik
dari supporter adalah, ia jenis pemimpin yang menjunjung
tinggi kebersamaan. Pada setiap kesuksesan yang dicapai­
nya, supporter tak pernah menunjuk diri sendiri sebagai
satu-satunya orang yang berjasa. Ia selalu merujuk timnya
yang bekerja sama untuk sukses, bukan dirinya sendiri.
Perjuangan menuju sukses setiap anggota tim mungkin
tak sama, tapi tanpa satu sama lain, kesuksesan itu tidak
mungkin terwujud.
Santri Milenial 95
Supporter membangun kesejahteraannya dengan cara
membangun networking. Reputasinya pun dapat dibangun
dari situ. Keuntungan dan kesejahteraan dapat diraih de­
ngan bekerja sama. Pilihan orang lain yang bisa diajak be­
kerja sama adalah santri-santri dengan karakter deal maker,
yang akan dijelaskan nanti, dan star (bintang).

Bidang usaha santri yang memiliki karakter supporter


antara lain pemimpin tim, pelatih olahraga (coach), project
manager, koordinator event atau acara, pemilik organisasi
sosial, dan lain sebagainya.

Deal Maker
Menjadi jembatan penghubung adalah fungsi utama deal
maker. Para santri yang suka menjadi mediator antara satu
pihak dengan pihak lainnya bisa jadi memiliki karakter deal
maker. Melihat begitu besar dampak sebuah kesepakatan
terhadap suatu usaha, maka jelas betul pentingnya posisi
deal maker.
Deal maker patut memiliki kemampuan komunikasi,
negosiasi, dan sosialisasi yang tinggi ini. Alasannya, ka-
rena negosiasi terjadi secara alamiah dalam setiap bisnis
yang dijalani deal maker dan tahu persis kapan waktu yang
tepat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Hal tersebut
membuat deal maker memiliki insting yang tajam akan ke-
sempatan yang datang.
Tanpa posisi yang tepat, deal maker tak akan berguna
karena mereka tidak membuat produk seperti creator, tidak

96 Santri Milenial
bisa tampil layaknya bintang, dan bukan penyemangat tim
seperti supporter. Deal maker adalah penghubung antara
dua belah pihak untuk melakukan negosiasi, mediasi, dan
koneksi lainnya.
Deal maker yang ideal adalah orang yang mampu me-
lihat sudut pandang kedua belah pihak. Ia tidak hanya
memperjuangkan kepentingan timnya secara membabi buta
tanpa melihat kepentingan orang lain. Sebaliknya, orang
dengan karakter ini justru bisa memanfaatkan kepentingan
lawan untuk dirinya sendiri.

Perlu seni tersendiri untuk menjadi santri yang punya


kemampuan seperti seorang deal maker, misalnya
fleksibel, mampu menggabungkan, mencocokkan, dan
mengombinasikan segala sisi kepentingan per kelompok.
Dengan begitu, kesepakatan dapat tercapai tanpa merugikan
pihak lain (win-win solution).

Sumber kekayaan utama deal maker adalah hubungan


dengan orang lain, silaturahmi, atau bahasa kerennya, rela-
tionship. Memang, menjalin hubungan dengan banyak orang
itu tidak mudah. Ditambah lagi ragam karakter yang harus
dihadapi juga bermacam-macam. Tetapi kita tidak akan
pernah tahu keuntungan yang didapat dari relasi dengan
orang lain. Bisa saja orang yang kita sapa dengan senyum
sekarang ini tak memberi keuntungan jangka pendek. Tetapi
siapa yang tahu akan berubah menjadi keuntungan jangka
panjang sepuluh tahun mendatang.

Santri Milenial 97
Bidang usaha yang cocok bagi seorang deal maker ada-
lah broker properti dan perantara jual beli mobil, kendaraan,
dan produk lainnya. Selain itu, profesi kurator serta ne-
gosiator independen juga bisa menjadi ladang bisnis yang
menjanjikan.

Trader
Trader atau pedagang ser ing diidentikkan dengan pengu­
saha meskipun tidak semua pengusaha punya karakter pe­
dagang. Prinsip utama trader adalah cari untung sebesar-be-
sarnya dari modal sekecil-kecilnya.

Santri dengan karakter trader cenderung menjadikan segala


sesuatunya sebagai barang atau jasa yang bisa dijual.

Jiwa sales-nya dominan sehingga bisa tahu produk


mana yang bisa dijual. Bukan hanya sekadar dijual, tapi
produk yang dijual itu harus menghasilkan keuntungan
berlipat ganda. Tak heran kalau pengusaha dengan karakter
trader setiap saat dan setiap waktu mencoba semua produk
hingga akhirnya menemukan produk atau jasa yang be-
nar-benar menguntungkan.
Mungkin, kelemahan yang melekat pada diri seorang
trader terletak pada cara pandangnya yang tertuju pada
apa yang ada di sekelilingnya sehingga tak heran kalau
orang jenis ini cenderung memiliki rencana jangka pendek.

98 Santri Milenial
Ia menjalankan hari ini dengan sebaik-baiknya tanpa me-
mikirkan apa yang bakalan terjadi esok hari. Dalam bisnis,
prinsipnya adalah menjual barang yang cepat laku sehingga
perputaran modalnya juga cepat bergerak pula.
Sama seperti deal maker, seorang trader juga selalu
mengendus kesempatan. Hanya bedanya, kalau deal maker
menajamkan intuisi dengan bernegosiasi, maka trader me-
lihat pasar sebagai kesempatan terbuka. Trader melihat tren
pasar sebagai suatu kesempatan baginya untuk mengumpul-
kan sebanyak mungkin uang.
Trader yang hebat dapat mengambil banyak keuntun-
gan dalam waktu singkat. Tetapi sebenarnya yang membuat
seorang trader disebut hebat bukan karena banyaknya uang
yang dikumpulkan, melainkan lebih kepada rekor dan his-
tori yang bisa dibuat dalam suatu pasar. Kalau deal maker
dalam setahun bisa membuat satu kesepakatan besar yang
hebat, trader lebih daripada itu, mereka bisa sering mem-
buat banyak keuntungan lantaran bekerja jangka pendek.
Prinsip trader hanya satu, yaitu membeli barang murah dan
menjualnya dengan harga setinggi langit.
Bidang pekerjaan yang cocok untuk santri dengan kar-
akter trader antara lain pemain saham, pedagang valuta
asing, penjual sembako, pedagang smartphone dan pulsa,
penjual hewan kurban, dan seterusnya.

Santri Milenial 99
Accumulator
Accumulator adalah pekerjaan yang menuntut kesabaran.
Mereka pandai menanti momen yang tepat dan terlatih me­
nunggu sampai ada kesempatan yang baik. Segala sesuatu
yang dimilikinya saat ini dikumpulkan dan disimpannya
baik-baik sampai waktu yang tepat untuk dikeluarkan atau
dijual.
Sifat sabar menunggu membawa keuntungan tersendiri
bagi santri dengan karakter accumulator karena merupakan
kunci dalam meraih keuntungan. Properti, misalnya, se-
makin “disimpan” dan ditahan, maka akan semakin tinggi
harganya. Begitu pula emas, saham, atau koleksi benda-ben-
da antik.
Pada akhirnya accumulator akan mengkonversi waktu
yang telah mereka habiskan untuk menunggu dengan se-
jumlah uang dalam jumlah besar.
Selain sabar, accumulator juga orang yang setia dalam
konteks bisnis. Kesetiaannya ini berguna untuk mengem-
bangkan investasinya. Ia tidak mengikuti tren, tidak juga
berpikir jauh mengawang-awang, dan tidak mengkhayal.
Sifat ini baik karena sampai waktunya nanti, apa yang telah
diperjuangkannya akan membuahkan keuntungan.
Kesetiaan accumulator membuat pengusaha tipe ini
fokus. Ia tidak mudah diganggu oleh hal lain yang dapat
mengacaukan apa yang sedang dibangunnya. Selain itu,
orang ini senang mengakumulasi. Sebagai contoh, setelah
mendapatkan keuntungan, maka ia akan menyimpan hasil

100 Santri Milenial


keuntungan itu untuk melipatgandakan keuntungan-keun-
tungan berikutnya.
Seumur hidupnya accumulator senang mengumpulkan
koleksi, seperti benda seni, barang bernilai tinggi, surat
berharga, dan sebagainya.
Di Indonesia ada juga pengusaha dengan ciri semacam
itu. Namanya adalah Chairul Tanjung. Orang ini sukses ka-
rena membeli banyak perusahaan dan diletakkan dalam satu
payung. Namanya CT Corp. Tokoh yang pernah menjadi
Menko Perekonomian ini mulai ngetop sejak mendirikan
Trans TV. Lalu dari bisnis acara televisi ini, gurita bisnisnya
mulai bekerja.
Pertama, dia mengakuisisi TV7 yang semula dimiliki
oleh Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Setelah diakuisi-
si, stasiun televisi tersebut berubah nama menjadi Trans 7.
Tidak puas hanya memiliki stasiun televisi, Chairul Tanjung
juga membuka bank. Diberilah nama Bank Mega.
Sekarang, Chairui Tanjung memiliki banyak bidang usa­
ha yang bidangnya banyak sekali. Sebut saja kantor berita
Detik.com dan CNN, taman bermain Trans Studio, hotel
mewah Trans Luxury, gerai belanja Trans Mart, dan banyak
lagi.
Padahal, masa kecilnya susah. Ayahnya hanya wartawan
beroplah minim dan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa.
Ekonomi menengah ke bawahlah ibaratnya. Namun, meski-
pun keluarganya hidup susah, pendidikan Chairul Tanjung
tetap diperhatikan dengan baik. Masa kecilnya sekolah di
SD dan SMP Van Lith Jakarta. Lalu lanjut di SMA Negeri

Santri Milenial 101


1 Boedi Oetomo dan terakhir mendapat gelar MBA di
Executive Institute Pendidikan dan Pembinaan Manajemen
(IPPM).
Jiwa bisnisnya itu muncul selama ia masih remaja.
Karena orangtuanya hidup susah, maka ia sekolah sambil
berdagang. Buku-buku pernah ia jual, usaha fotokopi per-
nah dilakoni, dan jasa pembuatan sablon kaos pun dijalani.
Karena terbiasa bekerja di banyak bidang, kelak setelah ia
dewasa, model bisnisnya pun mirip dengan seorang accu-
mulator. Apa itu? Membeli bisnis-bisnis lain dan dijadikan
satu. Atau bahasa lainnya, akuisisi.

Pekerjaan yang cocok bagi santri berjiwa accumulator


antara lain kolektor benda-benda seni, penanam modal bagi
perusahaan-perusahaan lain, pemilik saham perusahaan
maupun organisasi, dan lain sebagainya.

Mechanic
Mechanic adalah karakter orang yang suka memperbaiki
sesuatu. Berbeda dengan creator yang menciptakan produk
baru, seorang mechanic memperbaiki atau menyempurnakan
yang sudah ada.
Membangun dan menyempurnakan memang benar-be-
nar khas Mechanic. Kemampuannya menyempurnakan sesu­
atu inilah yang bakalan melengkapi tipe-tipe karakter yang
telah disebutkan sebelumnya.

102 Santri Milenial


Ia bisa mengelola suatu sistem usaha yang sudah ma-
pan sebelumnya dengan pendekatan dan ide-ide yang baru.
Sebagai contoh, ia bisa mengubah bisnis konvensional
menjadi bisnis franchise. Selain itu, mechanic juga dapat
menyempurnakan produk yang hendak dijual ke masyarakat
sehingga menjadi produk yang benar-benar inovatif.
Mechanic tak cocok berada di dalam struktur kepe­
mimpinan manajerial. Ia lebih cocok berada di bidang pro-
duksi. Mechanic senang terlibat dalam setiap detail usaha
produksi karena memang minatnya terutama pada menyem-
purnakan produk. Ia juga bisa membuat sistem produksi
menjadi lebih efektif dan efisien, serta mampu menemukan
celah untuk menutupi kebocoran-kebocoran hal yang tidak
perlu.

Anda santri dengan ciri mechanic? Bidang-bidang usaha yang


cocok dengan mechanic antara lain: pemiliki bisnis yang
tertarik untuk mengembangkannya dalam bentuk franchise,
jasa modifikasi mobil dan motor, pembuat asesoris, konsultan
bisnis maupun hukum, dan lain sebagainya.

Santri Milenial 103


BAB IV
SANTRIPRENEUR
A. Ide Dasar Santripreneur

Santripreneur merupakan gabungan dari kata santri dan


entrepreneur yang bisa diartikan sebagai seorang santri yang
memiliki jiwa pengusaha. Santri ini ketika lulus dari ger-
bang pesantren tidak punya cita-cita menjadi pegawai, tetapi
membuka ladang usaha bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Namun, prinsip santripreneur tidak terbatas hanya pada
seorang santri. Siswa di sekolah umum, baik negeri maupun
swasta, pun juga bisa menjadi siswa sekaligus pengusaha
dalam banyak kesempatan.
Lalu muncul pertanyaan, apakah masih relevan bicara
tentang kewirausahaan di masa sekarang? Tentu saja, karena
entrepreneurship atau kewirausahaan itu menjadi suatu ke-
niscayaan. Semakin ke sini, tuntutan zaman lebih condong
ke dunia pengusaha.
Bagi santri yang belum lulus, pilihan ingin menjadi
pegawai kantoran, PNS, maupun pengusaha masih terbuka
luas. Baik itu ingin menjadi akuntan di sebuah perusahaan,
pegawai pajak di kementerian, maupun pengusaha baso
giling, memiliki risiko.
Tetapi santri bisa membuktikan sendiri bahwa saat ini
ada disparitas (jurang) yang cukup luas antara output lulus­
an sekolah menengah atas dengan sempitnya lapangan kerja.
Apa pun program yang dibuat oleh pemerintah, seolah tak
mempan untuk mempersempit jarak disparitas itu. Yang

Santri Milenial 107


ada, jurang disparitas semakin menganga. Buktinya, mencari
kerja tetap menjadi persoalan bagi siapapun yang baru lulus
dari sekolah maupun pesantren.
Pak kyai, ustaz, ataupun pengajar di pesantren harus
berpikir keras, memutar otak untuk mencari gagasan krea-
tif. Minimal menanamkan cara pikir (mindset) baru bahwa
sukses itu tidak hanya mendapat nilai bagus untuk modal
cari kerja. Sebaliknya, para pengajar di pesantren perlu
duduk bersama santri, mengajak diskusi, meneliti bakat atau
keahlian yang mereka kuasai, dan minat apa yang digemari
para santri. Kemudian dari bakat, keahlian, serta minat itu
kira-kira bisa dikemas untuk menjadi aktivitas bisnis apa.
Pesantren sangat cocok digunakan untuk penggem­
blengan santripreneur ini karena sudah punya tradisi yang
mengakar kuat. Nilai-nilai entrepreneurship sudah diajar-
kan dan melebur ke dalam nilai-nilai pesantren, seperti
kemandirian, kreativitas, solidaritas, dan lain sebagainya.
Sebelum sekolah modern tumbuh di Indonesia, mengajar-
kan nilai-nilai yang sama, pesantren sudah lebih dulu ada,
bahkan sebelum Indonesia merdeka. Dilihat dari sejarahnya,
lembaga pendidikan tertua di Indonesia itu adalah pesan­
tren.
Contohnya, Pondok Pesantren Al Kahfi Solamangu,
Kebumen, Jawa Tengah sudah didirikan sejak 4 Januari 1475
M oleh Syekh As Sayid Abdul Kahfi Al Hasani yang berasal
dari Yaman. Bahkan tidak hanya tertua di Indonesia saja,
pesantren ini juga tertua se-Asia Tenggara.

108 Santri Milenial


Sebelum mulai dari zamannya Walisongo, sebelum ada
perguruan tinggi yang megah, dan sebelum ada konsep se-
kolahan modern, pesantren telah mengakar di masyarakat.

Santri dianggap memiliki potensi dan resource yang cukup


produktif untuk dikembangkan dalam dunia kewirausahaan.
Santri dididik tentang kemandirian.

Jadi sebelum Indonesia merdeka, para santri sudah


tahu nilai-nilai hidup yang bagi masyarakat modern masih
praktikkan hingga kini seperti kemandirian, tanggung jawab,
dan solidaritas.
Di pesantren itu kemandirian adalah urusan survival.
Mau makan, mencuci baju, bangun tidur dan merapikan
kamar, semuanya dilakoni sendiri. Tidak mungkin ditolong
orangtua karena sistem komunitasnya tertutup dari dunia
luar. Orangtua saja tidak boleh masuk, apalagi pembantu.
Nilai-nilai kedua itu adalah tanggung jawab yang ting­gi.
Hormat pada kyai, ustadz, dan pengajar. Taat pada atur­
an pesantren dengan ikhlas. Saya beri cntoh begini Di
pesantren itu punya aturan sederhana tapi penting. Setiap
hari, para santri harus salat berjamaah. Sebenarnya, salat
berjamaah itu sifatnya sunnah di luar pesantren, yang arti­
nya bisa berjamaah ataupun seorang diri. Tapi karena aturan
pesantren itu mewajibkan salat berjamaah, maka akhirnya
para santri harus menaati peraturan itu. Dari sini tumbuh
tunas tanggung jawab.
Tidak hanya itu saja contoh konkritnya. Santri mengaji
pun harus setiap hari sebab salat itu diwajibkan. Beda sekali

Santri Milenial 109


kalau mereka ada di luar tembok pesantren. Mau mengaji
seminggu, sebulan, atau bahkan setahun sekali pas Rama-
dhan saja, tidak ada yang bisa ganggu gugat.
Nah, karena terbiasa salat berjamaah dan berinteraksi
dengan santri lain yang bernasib sama, maka muncul nilai-
nilai ketiga dalam pesantren, yaitu solidaritas. Tingginya
solidaritas para santri itu sudah tidak perlu diragukan lagi
karena semua santri itu senasib dan sepenanggungan.
Sama-sama dibatasi dari lingkungan luar, sedikit-sedikit
serba peraturan, dan jauh dari orangtua, sehingga solidaritas
itu kelasnya sudah menyerupai ketahanan hidup. Kalau ada
santri yang nggak solider, maka aktivitas hariannya akan
berat.
Solidaritas ini bisa bertahan dalam jangka waktu lama.
Santri yang sudah lama berpisah mungkin akan reuni mela­
lui media sosial dan dari situ, gagasan-gagasan baru mung-
kin akan dicetuskan. Tidak menutup kemungkinan, para
santri itu berkumpul kembali untuk membangun bisnis
baru.
Berdasarkan pengalaman, bisnis yang sukses dimulai
oleh lebih dari satu orang, persis seperti pepatah berikut,
“Kalau kita bermimpi sendirian, maka itu hanyalah sekadar
mimpi belaka. Ketika kita bermimpi bersama orang lain,
maka dari sinilah dimulainya sebuah realita.”
Contohnya, Indonesia lahir karena perjuangan banyak
orang, dua di antaranya Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta.
Bisnis pun begitu, dibangun oleh lebih satu orang. Sebagai

110 Santri Milenial


contoh, Microsoft dibangun oleh Bill Gates dan Paul Allen.
Apple didirikan oleh Steve Jobs dan Steve Woz.
Itu semua cerita tentang tanggung jawab, solidaritas,
dan kemandirian. Ada lagi pendidikan di pondok pesantren
yang sudah sejak lama diajarkan, yaitu kreativitas. Mungkin
tidak diajarkan secara formal, namun karena di dalam pon-
dok pesantren terkondisi hidup serba terbatas, maka para
santri perlu memanfaatkan apa yang ada untuk memenuhi
semua kebutuhan. Entah itu anak pejabat atau anak rakyat
jelata, semua menghadapi kondisi yang sama.
Nah, keempat hal itu akhirnya menjadi dimensi yang
paling mendasar dan punya efek dominan untuk menum-
buhkan spirit kewirausahaan.

Pondasi dasar untuk berwirausaha itu sudah dimiliki oleh


santri. Mulai dari kemandirian, rasa tanggung jawab, jiwa
solidaritas, terus kemudian kreativitas. Itu yang dibutuhkan.
Terutama dimensi yang paling terakhir, yaitu kreativitas.
Kreativitas ini sudah menjadi segala hal bagi pemuda
sekarang ini, di era milenial saat ini.

Jadi seperti dunia pewayangan, pesantren itu seperti


kawah candradimuka. Para santri itu seperti jabang bayi
Tutuka yang digembleng dalam sebuah kawah oleh para
kiai, ustaz, serta penguruh pondok lainnya sehingga jika lu-
lus kelak akan menjadi santri yang punya mindset lurus ke
depan. Penggemblengannya bukan hanya secara ilmu agama,
tapi juga mental. Untuk apa? Agar santri siap berkontribusi
di masyarakat.

Santri Milenial 111


Kontribusi di masyarakat ini punya benang merah den-
gan kalimat khoirunnisa anfa’uhum linnas, yang artinya
sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang
lain. Ini yang menjadi ukuran sukses santri, yaitu sebanyak
apa manfaat yang bisa ia sumbangkan sehingga atributnya
tidak hanya sekadar kekayaan materi atau kedudukan bela-
ka, melainkan kontribusi positif. Di sinilah poinnya.
Mewujudkan hal ini bukanlah suatu hal yang utopis
atau impian semata bagi para santri sebab mental interpre­
neur memang sudah dipahat sejak mereka di pesantren.
Lihat saja beberapa hal berikut;.
• Keharusan tepat waktu dalam menjalankan setiap
hal yang dijadwalkan berikut sanksi bagi yang
melanggar akan membentuk mental yang disiplin.
Mental ini diperlukan oleh semua entrepreneur.
Al-waqtu kas saif in lam taqtha’ tuqtha’, waktu itu
seperti pedang, kalau tak gunakan menebas secepat
mungkin maka engkaulah yang akan ditebas.
Begitulah adagium kaum santri.
• Gemblengan untuk hidup prihatin dalam berbagai
keterbatasan akan membentuk jiwa kuat yang pan-
tang menyerah. Sesulit apapun tantangannya, pan-
tang bagi santri untuk mengeluh dan jatuh tetapi
terus bangkit dan mencoba lagi.
• Ajaran pesantren agar para santri selalu tawakkal
kepada Allah semata akan membentuk jiwa yang
tak tergantung pada makhluk. Para santri tak
pernah diajarkan untuk bermental pegawai yang

112 Santri Milenial


berada dalam kekuasaan orang lain, tapi bebas dan
lepas hanya berada di bawah kekuasaan tuhan­
nya. Kemandirian ini adalah modal utama para
entrepreneur menemukan jalannya.
• Para santri mempunyai kawan-kawan yang sudah
seperti saudara sendiri. Mereka melewati susah
senang bersama, bahkan makan pun bersama.
Dengan ini, para santri sebenarnya mempunyai
jaringan dan solidaritas yang luar biasa luas dan
erat. Jaringan ini akan memudahkannya untuk
menjadi seorang entrepreneur sukses.
• Seluruh bab mu’amalah yang dipelajari para santri
di pesantren tak satu pun yang mengarahkan untuk
menjadi bawahan tetapi sebagai mitra usaha orang
lain. Jual-beli (bai’), menawarkan jasa (ijarah),
berserikat (syirkah), berinvestasi (qiradl) dan lain
sebagainya adalah bentuk-bentuk transaksi mandiri
yang dijalankan para entrepreneur.

Dengan modal-modal tersebut di atas, santri dapat menatap


masa depan yang cerah di era milenial ini. Beberapa
kegagalan dan keminderan para santri di era persaingan
seperti saat ini sebenarnya karena mereka melupakan spirit
kesantriannya. Spirit inilah yang harus digelorakan kembali
sehingga para santri menjadi komunitas yang bukan hanya
sukses di akhirat tetapi juga di dunia.

Santri Milenial 113


B. Pilar Utama Memulai Usaha
Kemandirian, tanggung jawab, solidaritas, dan kreativitas.
Entrepreneurship dibangun di atas empat pilar tersebut. Ka-
rena memiliki empat kaki (pilar) maka pondasi entrepre-
neurship akan menjadi lebih kokoh.
Menariknya, para santri sudah membangun keempat
pilar itu selama menjalani masa hidup sebagai seorang sant-
ri di dalam pondok pesantren. Mari kita tengok satu demi
satu.
Pertama adalah tentang kemandirian. Semua santri me­
miliki derajat yang sama di pesantren. Baik ia berasal dari
keluarga tajir melintir, anak pejabat, dan anggota dewan
perwakilan rakyat, maupun anak miskin nestapa. Begitu
masuk ke dalam kehidupan pesantren, semua diperlaku-
kan sama oleh pengurus dan pengasuhnya. Kaya dan mi-
skin. Tidak ada bedanya strata sosial tersebut. Sama-sama
jauh dari orangtua, tidak dikawal pembantu, dan mendapat
jatah uang jajan yang tidak sebanyak jika dibandingkan saat
mereka ada di rumah sendiri. Di lingkungan yang serba
dibatasi ini, para santri harus mandiri.
Bentuk kemandiriannya diwujudkan dalam berbagai ak-
tivitas, mulai dari mencuci baju sendiri, memasak makanan
dan menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, membersih-
kan tempat tidur, dan aktivitas-aktivitas rutin lainnya yang
tidak mungkin diserahkan ke santri lain karena mereka pun
wajib melakukan hal yang sama.

114 Santri Milenial


Kedua adalah tentang tanggung jawab. Semua yang
bisa dipilih di luar lingkungan pesantren menjadi sebuah
kewajiban ketika sudah berada di dalam tembok pesantren.
Taruhlah salat berjamaah sebagai contoh konkret. Di luar,
seorang santri punya dua pilihan ketika ingin salat, sendi-
rian atau berjamaah. Di pesantren, tertutup kemungkinan
untuk memilih opsi pertama. Yang ada hanya opsi kedua:
salat berjamaah. Kalau salat wajib berjamaah, maka kewa-
jiban lain yang lebih fundamental, seperti mengaji, pun
harus dilakukan. Kewajiban yang harus dipenuhi ini akan
membentuk rasa tanggung jawab di antara para santri.
Ketiga adalah tentang solidaritas. Semua keterbatasan
yang ada di balik pesantren menimbulkan solidaritas. Keti-
ka kiriman uang atau makanan dari orangtuanya terlambat
datang, seorang santri harus meminjam temannya. Ketika
ada pakaian basah dan tak mungkin dikenakan, seorang
santri tergerak untuk menawari baju kering yang bersih
kepada yang membutuhkan. Ini tentang keterbatasan yang
membidani solidaritas.
Pilar keempat adalah tentang kreativitas. Keterbatasan,
sekali lagi, melahirkan satu pilar penting dalam kewirau-
sahaan, yaitu kreativitas. Bagaimana mengubah apa pun
yang ada menjadi sesuatu dengan nilai lebih tinggi. Con-
toh konkretnya sederhana. Besi akan memiliki nilai lebih
mahal jika diolah menjadi paku daripada hanya sekadar
besi batangan. Nah, untuk mengubah besi menjadi paku
di­butuhkan kreativitas.

Santri Milenial 115


Walaupun keempat pilar santripreneurship di atas harus
sama tinggi dan sama kokoh, namun kreativitas dianggap
punya porsi istimewa. Era saat ini, pemodal besar tidak
lagi memonopoli kesuksesan. Era dimana teknologi infor-
masi dan media sosial sangat berpengaruh seperti sekarang
ini, pemuda yang kreatif bisa menjadi salah satu pelopor
kesuksesan.
Lantas dari mana seorang santri mulai berbisnis? Ada
salah satu aturan dalam Islam yang disebut tartil, yaitu
bentuk aturan dalam membaca Al-Qur’an secara perlahan
dengan tajwid dan makhraj yang jelas dan benar. Proses ini
melibatkan cara membaca setahap demi setahap dan perla-
han sambil mengikuti prosesnya dengan benar.

Berbisnis, terutama bagi santri yang belum pernah


membuka usaha, juga harus tartil. Perlahan-lahan, tekun,
dan dijalankan dengan benar.

Lawan dari cara ini adalah tergesa-gesa, tanpa analisis,


dan tidak berpikir jangka panjang. Jika cara ini dipraktik-
kan, maka bisnis tidak akan bertahan lama dan cenderung
merugikan banyak pihak karena sama saja menyalahgu-
nakan modal untuk aktivitas yang tidak jelas.
Berbisnis secara tartil misalnya, jika bisnis baru
berkembang maka jangan tergesa-gesa untuk membuka
cabang di tempat lain. Bisnis yang masih rintisan (startup)
juga tidak perlu membeli aset-aset mahal yang nilai penyu­
sutannya sangat tajam seperti kendaraan bermotor. Begitu
seterusnya. Setiap proses berbisnis dimulai dari dasar dan

116 Santri Milenial


berkembang perlahan-lahan, persis seperti ketika seorang
santri menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dengan tartil.

C. Analisis Usaha

Meskipun niat merupakan prasyarat berbisnis, namun han-


ya modal niat saja belum cukup. Niat itu membangkitkan
rencana, mengobarkan semangat, dan mencetuskan harapan.
Nah, setelah niat dan keyakinan itu berhasil dibangkitkan,
maka tahap berikutnya yang perlu dihadapi setiap santri
adalah menyusun rencana dan analisis bisnis.
Ada satu analisis yang perlu dipecahkan setiap santri-
preneur, yaitu SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, dan
Threat). Di mana pun santripreneur bekerja atau berbisnis,
analisis SWOT akan terus ditemukan.
Pertama adalah Strength. Santri perlu melihat ke dalam
dirinya, kekuatan apa yang bisa ia gunakan untuk me-
menangkan persaingan bisnis. Kekhasan apa yang bisa ia
jual untuk mendapatkan modal atau uang.
Ada banyak bentuk kekuatan. Santri yang memiliki
rumah warisan di tepi jalan besar sudah mengantongi satu
kekuatan, yaitu lokasi strategis. Atau kekuatan bisa juga
melekat pada seorang santri yang pintar berdakwah dengan
gaya yang lucu dan atraktif, misalnya. Dengan kelucuan dan
atraksi yang mereka tampilkan, santri seperti ini bisa mem-
buat ceramah zaman now yang digemari lintas generasi.

Santri Milenial 117


Ada contoh menarik dari dunia literasi. Ahmad Fuadi
lebih dikenal karena karyanya yang berjudul “Negeri 5 Me-
nara”. Penulis ini juga seorang santri karena pernah belajar
di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponogoro,
yang lulus pada tahun 1992. Novel “Negeri 5 Menara” yang
diterbitkan PT Gramedia tersebut merupakan debut novel-
nya dan terjual sebanyak 170.000 eksemplar. Jumlah yang
sangat fantastis mengingat Ahmad Fuadi bukanlah selebritis
seperti Raditya Dika.
Novel ini menceritakan kisah hidup enam orang sant-
ri yang berasal dari enam tempat berbeda, dan belajar di
Pondok Madani Ponorogo, Jawa Timur. Keenam tokoh fiksi
tersebut adalah Alif Fikri dari Maninjau, Raja Lubis dari
Medan, Said Jufri dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep,
Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin dari Gowa. Ka-
rena selama enam tahun mereka belajar di tempat yang
sama, maka keenam orang ini lantas menjadi sahabat dan
memberi identitas khusus bagi kelompok kecilnya itu, yaitu
Sahibul Menara. Inti ceritanya adalah tentang mimpi dan
perjuangan hidup masing-masing tokoh. Namun, yang is-
timewa dari novel ini terletak pada “mantra” sakti yang ber-
bunyi man jadda wajada, yang secara harafiah terjemahan-
nya adalah, “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses”.
Ahmad Fuadi memang pintar dalam bidang literasi, dan
di dalam konteks bisnis kepandaian personal bisa dimasuk-
kan ke dalam elemen Strength (kekuatan). Dari ide krea­
tifnya, ia bisa menulis buku. Untuk membuat buku, penulis
tidak perlu dibebani modal banyak. Cukup ide kreatif dan

118 Santri Milenial


seperangkat komputer untuk menuangkan ide itu. Selan-
jutnya, naskah yang telah tersusun itu diterbitkan penerbit.
Merekalah yang akan mengeluarkan modal untuk mence-
tak, mencari kertas, mendesain sampul, hingga mendistri-
busikannya ke seluruh toko buku. Ketika buku itu sukses, si
penulis seperti Ahmad Fuadi, akan kebanjiran banyak uang.
Bayangkan kalau ia membuka bisnis. Saat ini, pasti ia tak
akan kesulitan dalam hal permodalan.
Ide kreatif adalah bagian dari Strength meskipun juga
bisa masuk ke dalam elemen Opportunity. Ide di bidang
kuliner juga bisa menjadi elemen strength karena dengan
menu yang unik dan enak, seorang tukang masak bisa
sukses membuka rumah makan. Intinya, apa pun yang bisa
diberikan oleh seorang santri yang tidak ada atau belum ada
di tempat lain, bisa menjadi sumber kekuatan.
Elemen kedua dalam analisis SWOT adalah Weakness.
Ini menyangkut kelemahan apa saja yang saat ini masih
ada di dalam rencana bisnis dan bagaimana meredam kele-
mahan itu dengan berbagai strategi. Weakness bisa berasal
dari hal-hal yang mendasar, seperti kekurangan modal atau
tidak punya tenaga pemasaran. Contoh lainnya, ingat santri
yang memenangkan lomba fotografi meskipun tak punya
kamera? Ia bisa memetakan kelemahannya itu (tidak punya
kamera) sehingga bisa cepat memilih solusi (meminjam ke
pihak lain). Kalau masalah atau kelemahan sudah dipetakan
sejak dini, maka para santri bisa menyusun rencana jitu
untuk menutup kelemahannya, misalnya dengan memburu
pemodal atau membuka lowongan kerja.

Santri Milenial 119


Weakness lain yang kerap menghambat bisnis adalah
mindset untuk menjadi perfeksionis (serba sempurna). Ban-
yak orang tak bisa beranjak ke ladang bisnis karena mera-
sa belum menemukan produk atau jasa yang benar-benar
sempurna dan tanpa cacat. Padahal, prinsip “tak ada gading
yang tak retak” juga berlaku dalam semua lini kehidupan,
termasuk bisnis.
Kalau boleh jujur, di balik kesempurnaan dan kebaikan
orang perfeksionis, ada lebih banyak kelemahan yang akh-
irnya malah menjadi hambatan. Orang-orang perfeksionis
ini suka bermimpi tinggi namun kurang membumi. Saking
ingin menghasilkan yang terbaik, sering ada kalanya impian
itu malah tak maju-maju terwujud.

Perfeksionis baik untuk terus menantang diri agar


menghasilkan yang terbaik. Tetapi seringkali, prinsip ini justru
berujung buntu, alias tak mengarah ke progress yang baik.

Pada titik inilah sifat perfeksionis perlu dikikis. Jangan


terlalu lama stuck pada satu tahapan pekerjaan, melainkan
tetap maju ke tahap selanjutnya meskipun dirasa belum
perfect. Setelah tuntas satu tahap, lanjutkan lagi, dan begitu
seterusnya.
Ada dua hal sederhana yang bisa dilakukan orang yang
terbebani prinsip perfeksionis ini. Yang pertama, mengacu
pada pepatah zaman old yang berbunyi, “Sedikit-sedikit la-
ma-lama menjadi bukit.” Itu berarti, hal besar selalu terdiri
dari berbagai hal kecil yang dibangun terus menerus. Untuk
membuat suatu langkah yang besar dan sempurna, pecahlah

120 Santri Milenial


menjadi beberapa tahapan kecil yang berkesinambungan.
Semakin mini langkah yang harus ditempuh, akan semakin
mudah dibuat sempurna.
Ketiga adalah Opportunity. Bisnis yang baik perlu di­
mulai dari adanya kesempatan terlebih dulu. Jadi urutan
yang benar dalam berbisnis adalah, melihat ada kesempatan
di depan mata dan kemudian menyusun rencana untuk
merebut kesempatan itu. Banyak para pemuda memiliki
semangat juang untuk berbisnis dengan cara membuka pe-
rusahaan dan kemudian baru mencari peluang. Cara pikir
terbalik seperti ini sangat berisiko sebab mencari peluang
lebih sulit dipraktikkan daripada menjemput peluang yang
sudah ada.
Terakhir adalah Threat. Bisnis itu kadang-kadang diha­
dapkan pada persaingan dan ancaman. Siapa yang meng­
ancam dan apa bentuk ancamannya? Banyak. Pesaing yang
menawarkan produk dan jasa sejenis dengan kualitas lebih
baik namun harga lebih murah adalah pesaing langsung
(direct competitor) yang wajib diwaspadai. Pemerintah yang
setiap saat bisa mengubah regulasi (peraturan) juga bisa
menjadi ancaman. Sebagai contoh, jika Anda mendapat
uang dari memposting video di Youtube, maka dapur rezeki
Anda akan habis seketika jika pemerintah membuat regulasi
dengan memblokir layanan video sharing tersebut.
Gangguan kamtibmas di masyarakat juga dapat menjadi
ancaman, dan banyak lagi. Masih banyak lagi bentuk-ben-
tuk ancaman lainnya mulai dari yang langsung maupun tak
langsung. Inilah sebabnya santripreneur yang menduduki

Santri Milenial 121


jabatan tertinggi dalam perusahaan perlu mengenal isti-
lah-istilah yang lazim dikenal di dunia militer, seperti strate-
gi, taktik, dan pangkat, misalnya, pangkat general manager,
chief, dan sebagainya.

Kesimpulannya sederhana. Niat saja kurang cukup


karena hanya membangkitkan semangat. Setelah punya niat,
maka santripreneur harus tahu dan bisa membuat
analisis bisnis.

Ketika melakukan analisis, para santri menggunakan


bagian otaknya yang dipakai untuk berpikir urut, logis, dan
realistis. Dengan begitu para santri didorong untuk meng-
gunakan akal sehat sesuai ajaran Islam.

D. Cara Santri Menemukan


Peluang

Makna dari entrepreneur itu lebih terletak di mindset, pola


pikir, atau keyakinan bahwa solusi dalam kehidupan kita
dalam aspek “duniawi” itu adalah melalui jiwa kewiraswas­
taan. Apa pun bentuknya, apakah itu berdagang, memacul
di sawah, dan bertani, atau berprofesi macam-macam.
Nah masalahnya, menumbuhkan mindset kewiraswas­
taan itu tidak langsung sekali jadi. Butuh tahapan-tahapan.
Yang paling utama adalah membantu santri melihat po-
122 Santri Milenial
tensinya dengan teliti. Tentu tidak semuanya, tapi hanya
khusus potensi yang bisa dijual ke masyarakat. Pak kyai
mungkin akan melihat santri tertentu pandai memasak, atau
fasih bicara saat presentasi, atau telaten bekerja di kebun.
Nah, potensi yang sudah ada ini tinggal didorong di dalam
pesantren agar bisa menjadi bahan bakar penyemangat ke-
wirausahaan.
Misalnya begini. Ada banyak pesantren yang punya
lahan kosong. Dari kacamata dan spirit kewiraswas­ taan,
pengurus pondok bisa mendorong santri untuk mengubah
lahan itu menjadi ladang cocok tanam, bisa untuk budidaya
cabai atau singkong. Bisa juga pengurus menggali lahan itu
agar bisa menjadi kolam ternak ikan lele, gurami, atau nila,
dan diserahkan kelompok santri yang berbeda untuk diolah.
Jadi dalam satu pesantren ada kelompok-kelompok
yang membudidayakan tanaman dan ada juga yang mem-
beri makan dan mengurus ikan-ikan di kolam. Kalau masih
ada sisa lahan nganggur, maka bisa dirancang untuk pe-
ternakan ayam. Nanti, kelompok santri lainnya mengurus
ayam-ayam agar gemuk dan produktif bertelur.
Nanti ada saatnya, orang-orang yang terlibat, baik san­
tri maupun pengurus, membuat evaluasi bersama. Duduk
bareng sambil mengudap pisang goreng, saling bertukar
pikiran yang intinya saling bertanya apakah mereka nyaman
melaksanakan tugas tersebut. Kalau tidak nyaman, bagaima-
na solusinya, apa sumber masalahnya, dan seperti apa kebi-
jakan berikutnya. Mungkin ada yang tidak cocok memeliha-
ra hewan ternak karena takut digigit, bau, dan seterusnya.

Santri Milenial 123


Nanti masalah-masalah ini di-breakdown sehingga bisa ke-
temu solusinya, misalnya bertukar tugas antar kelompok
atau lainnya.
Tapi kalau para santri sudah enjoy, bisa menikmati
proses berwiraswasta, maka begitu keluar dari pesantren,
mereka bisa membuat bisnis yang sama di tempat lain
tanpa perlu diasuh lagi. Passion (hasrat) itulah yang nanti
akan “mengasuh” si santri itu, mencari jalan keluar jika ada
masalah dan menemukan peluang-peluang baru apabila usa­
hanya ingin berkembang.
Hasrat itu melahirkan kenyamanan kerja. Ini persis se­
perti pengalaman saya dulu. Setelah mendapat ijazah SMA,
saya punya satu kerjaan yang membuat saya nyaman, yaitu
menulis. Merangkai kata menjadi kalimat, menulis para-
graf yang pendek dan panjang, dan membuat tulisan yang
menginspirasi, itulah passion saya waktu itu. Akhirnya, dari
aktivitas menulis itu saya punya penghasilan sendiri. Peng-
hasilan ini untuk apa? Banyak. Untuk menikah, bayar kon-
trakan, makan sehari-hari, dan keperluan lainnya.
Ini artinya apa? Artinya, yang pertama dicari itu adalah
kenyamanan kerja. Cocok kerjanya di mana atau di bidang
apa. Kalau sudah ketemu, maka pekerjaan itu akan lancar
mengalirkan insentif atau penghasilan.

Ketika aktivitas profesi kita jalani dengan kenikmatan dan


dengan kenyamanan, maka quality time-nya itu akan terjaga.

124 Santri Milenial


Tidak hanya insentif atau uang yang dicari kalau kita
nyaman bekerja, tapi juga tanggung jawab. Kerja tidak ha-
nya sebatas cari absen, namun juga dapat bekerja dengan
baik, tuntas, dan tepat waktu sehingga memiliki quality time
dengan keluarga.
Bagaimana dengan ilmu agamanya? Nah balik lagi ke
ilustrasi di atas. Ketika jiwa entrepreneur itu sudah terbentuk
di dalam pesantren melalui penggodokan, pengalaman, dan
terjun langsung dengan mengelola kebun atau peternakan,
maka pengayaan ilmu agama dan ilmu umum di pesantren
akan berproses secara alamiah karena nilai-nilai Islam yang
cocok dengan kewiraswas­taan juga banyak, misalnya ber-
perilaku jujur, prinsip bermanfaat bagi orang lain, menjaga
kepercayaan, dan seterusnya.
Kalau nanti sudah lulus dari pesantren, punya bekal
ilmu wirausaha dan agama, mereka tidak akan berdiam
diri sebelum ketemu jodohnya. Siapa? Ya profesi yang nanti
akan ia geluti. Orang yang pernah dilatih kewiraswas­taan
punya otak dan mindset berbeda dengan kebanyakan orang
yang tidak pernah digodog spirit entrepreneurship sebelum­
nya. Misalnya, santri dengan jiwa entrepreneurship akan
lebih jeli dan peka ketika melihat situasi. Nanti, apa-apa
akan dilihat dan ditemui akan dipandang sebagai sebuah
peluang. Misalnya jika suatu saat mengadu nasib ke kota
besar, dan duduk sambil jajan bakso di pinggir jalan. Waktu
ketemu dengan orang asing, misalnya si abang bakso atau
sama-sama pembeli yang duduk di situ, maka ia tidak ha-

Santri Milenial 125


nya sekadar diam atau berbasa-basi dengan say hello atau
menggosip. Sebaliknya, ia akan menggali sebanyak mungkin
informasi, meng-explore apapun, yang akan membantunya
menemukan potensi. Apa yang bisa dikerjakan di kota itu,
siapa pengusaha yang punya pengaruh, pekerjaan apa yang
bisa dijadikan batu loncatan, dan seterusnya. Persis dengan
apa yang pernah saya lakukan dulu.
Sering saya sharing ke teman-teman santri. Saya cerita-
kan pengalaman ketika datang ke Jakarta. Benar-benar nol
kondisinya waktu itu. Tanpa info relasi, nggak punya dana
yang cukup, hanya menenteng tas berisi bekal secukupnya.
Waktu itu naluri bisnis saya hanya satu, mencari kenalan
terlebih dulu. Nah, mencari kenalan itu jika dikaitkan den-
gan bisnis artinya membangun networking. Segera setelah
dapat kenalan, saya tidak cukup hanya basa-basi atau tan-
ya-tanya umum seperti kamu dari mana, apa kabarnya,
serta pertanyaan ngambang lainnya. Sebaliknya, orang ini
saya explore dengan proses komunikasi yang lebih intens,
misalnya ada info lowongan dimana, kerjanya apa, siapa
PIC (person in charge), dan sebagainya.
Memang pekerjaan itu membutuhkan proses, perlu
modal, butuh jaringan. Kita butuh pemahaman yang men-
dalam tentang bidang apa yang ingin kita geluti, dan proses
itu tidak semalam jadi. Dalam kehidupan ini, yang instan
hanya mie.
Jadi nanti kalau kita sudah mantab bekerja di tempat
orang, maknai sebagai batu loncatan. Saya juga menggu-
nakan cara ini. Kerja kantoran, makan gaji, naik jabatan.

126 Santri Milenial


Tapi bekerja di tempat orang tidak saya maknai sebagai
fase akhir dalam karier saya tapi hanya sebagai anak tangga
untuk membangun networking, mengumpulkan modal, dan
menambah pengalaman agar bisa kerja jadi wiraswasta.
Kalau rencana ini berhasil, maka jabatan di kantor orang
itu akan saya lepas.
Saya yakin betul dengan feeling saya sendiri bahwa the
one and only solution untuk memecahkan problem sosial
dan ekonomi masyarakat di Indonesia itu, khususnya bagi
generasi muda, adalah dengan jiwa entrepreneurship.
Nggak bisa setiap pemuda berbondong-bondong ambil
formulir untuk menjadi PNS atau TNI. Logikanya nggak
jalan sebab kalau begitu pertanyaan berikutnya adalah, be-
rapa banyak kuota posisi untuk pegawai yang baru? Apakah
bisa menampung seluruh lulusan dari pesantren, perguruan
tinggi, atau SMA? Dari sini saja kita melihat jurang yang
cukup lebar antara tenaga kerja dan lowongan kerja.

Jadi, santripreneurship bisa dimaknai sebagai jalan keluar


untuk membantu para santri menemukan ladang pekerjaan
baru, yaitu dengan menjadi pengusaha.

Santri Milenial 127


E. Niat dan Motivasi
Santripreneur

Innamal a’mal binniyat, “Semua perbuatan tergantung pada


niatnya.” (HR. Bukhari). Jadi yang dimulai pertama itu
sebelum membangun bisnis, sebelum menjadi santripreneur,
adalah memiliki keyakinan, niat, dan motivasi.
Seorang entrepreneur biasanya mulai melangkah dari
niat baik dan motivasi sederhana, yaitu memecahkan masa­
lahnya sendiri dan kelak, sanggup memecahkan masalah
orang lain juga. Ia punya keyakinan bahwa masalahnya
bisa dipecahkan. Maka dunia selalu membutuhkan banyak
pengusaha agar muncul inovasi-inovasi baru, penemuan-
penemuan yang menggebrak, dan cara hidup yang belum
pernah ada sebelumnya. Ini semua demi membuat du­
nia menjadi a better place dan ujung-ujungnya untuk
memuliakan nama Allah.
Facebook diciptakan karena Mark punya masalah.
Ia ingin membuat jaringan pertemanan di Harvard agar
bisa bertukar tugas dengan mudah dan mendistribusikan
(broadcast) pengumuman secara efektif. Steve Jobs mem-
buat iPod karena ia punya masalah; hubungan dengan putri
kan­dungnya renggang dan ia ingin menebusnya dengan
sebuah hadiah istimewa, pemutar MP3 yang bisa menam-
pung ribuan musik.

128 Santri Milenial


Elon Musk ingin pergi ke Mars dan membangun kolo-
ni manusia. Tapi ia punya masalah besar; biayanya sangat
mahal untuk menerbangkan roket (booster) sekali pakai.
Jadi, ia mencoba memecahkan masalah ini dengan mencari
solusi ekstrim, membuat pendorong roket yang bisa digu-
nakan kembali. Langkah pertama yang ia lakukan adalah
mendirikan perusahaan roket sendiri yang diberi nama
SpaceX. Setelah melewati berbagai usaha yang melelahkan,
pada Desember 2015 SpaceX meluncurkan roket yang diberi
nama Falcon 9. Peluncuran roket ini menjadi sejarah du­
nia sebab ketika itu, SpaceX berhasil menurunkan kembali
roket tersebut ke darat dengan posisi tegak lurus ke atas.
Belum pernah ada satu perusahaan pun di dunia ini, bah-
kan NASA sekalipun, yang dapat mendaratkan roket tanpa
sayap dalam posisi berdiri.
Kesuksesan ini kemudian disusul dengan prestasi beri-
kutnya. Pada April 2016, atau empat bulan sejak Falcon
9 mendarat dengan gemilang, SpaceX berhasil mendarat-
kan roket lagi. Namun, roket itu mendarat tidak di darat
melain­kan di tengah-tengah landasan kecil yang mengapung
di laut. Keberhasilan ini akhirnya apa? Artinya, SpaceX bisa
mendaratkan roket dengan tingkat presisi yang tinggi.
Akhirnya, ambisi Elon Musk untuk menaklukkan anta­
riksa dan membangun koloni di Mars akan segera menjadi
kenyataan. Pada 6 Februari 2018 SpaceX meluncurkan roket
terbesar yang diberi nama Falcon Heavy. Roket yang dapat
mengangkut beban hingga 63.800 kilogram ini membawa
satu unit mobil Tesla yang akan dikirim ke orbit Mars

Santri Milenial 129


dan di masa mendatang bisa digunakan untuk mengangkut
satelit, kargo, astronot, dan wisatawan luar angkasa seka-
ligus. Peluncuran roket yang murah, yang menjadi solusi
untuk penjelajahan luar angkasa, akan menjadi kenyataan.
Manusia hidup di dunia dimana ada berbagai macam
masalah dan ribuan jalan keluar. Namun, ada satu kesamaan
yang bisa menjadi titik simpul dari sebuah bisnis, yaitu para
pengusaha sukses itu yakin bahwa kelak masalah mereka
bisa dipecahkan. Jika berhasil untuk mereka, maka solusi
yang mereka temukan itu juga pasti bisa juga digunakan
untuk orang lain.

Dalam Islam, ada ajaran In tanshurullah yansurkum.


Allah akan kasih keuntungan orang yang memudahkan urusan
orang lain dan membantu hamba-Nya. Semakin banyak
orang terbantu, maka motivasi seorang pengusaha sudah
di track yang benar.

Jadi, seorang santripreneur harus punya analisis, harus


mengantongi parameter, dan membuang jauh-jauh mental,
“Saya ingin usaha ini-itu …” namun, ketika ditanya apa
alasannya dan bagaimana analisisnya, jawabnya hanya se-
kadar, “… ya pengen aja”. Dari analisis di atas, baru nanti
akan kelihatan turunannya (output-nya) dimana kita bisa
menyiapkan modal, infrastruktur, pasar, dan lain sebagainya.
Jika itu semua sudah terkumpul, maka santri bisa lebih
mudah mencari teknologi atau metode baru agar bisa me-
mecahkan banyak masalah dan memudahkan hidup banyak
orang.

130 Santri Milenial


F. Manajemen Operasional

Gimana sih supaya bisnis itu nggak selamanya harus terus


dipantau sama owner-nya? Dengan kata lain, tanpa harus 24
jam berada di kantor?
Memang ketika awal merintis usaha baru, pemilik
(owner) seperti saya harus full support, turun langsung
mengurus perusahaannya itu dari hulu ke hilir. Tapi lambat
laun, bisnis yang saya kelola itu sukses. Tanda bahwa suatu
usaha atau bisnis itu sukses salah satunya diukur dengan
mengamati seberapa jauh “jarak” owner dan perusahaan
tersebut. Jika bisnis atau usaha itu tetap bisa beroperasi
meskipun owner tidak selalu hadir di tempat, maka tan-
da-tandanya sudah sukses. Artinya, owner sudah bisa men-
gelola perusahaan dengan sistem remote control, mengontrol
(memanajemen) dari jarak jauh.
Mengapa sistem kerja remote control ini penting? Ka-
rena perusahaan yang bisa dikendalikan jarak jauh itu
menandakan bahwa si owner bukan lagi satu-satunya fak-
tor utama untuk menggerakkan bisnis, melainkan sebuah
sistem bisnis yang baku dan solid. Makanya sejak awal
ketika mendirikan perusahaan, aktivitas yang perlu dilaku-
kan adalah merinci kalkulasi modal, menyusun analisis bi-
dang usaha, menyusun KPI untuk manajemen pegawai, dan
menyiapkan SOP untuk berbagai operasi bisnis.

Santri Milenial 131


Output-nya, perusahaan bisa berjalan sendiri dengan
didukung peralatan canggih seperti CCTV, mesin absensi
dengan fitur finger print, penilaian KPI terkait dengan tar-
get kerja, cara memproduksi barang sesuai SOP, dan lain
sebagainya.
Dengan kata lain, faktor-faktor itu semua sudah sistem
yang jalan. Si owner pada akhirnya hanya datang untuk
melakukan kontrol dan evaluasi yang cukup dilakukan satu
minggu atau sebulan sekali.
Cara kerja seperti ini merupakan ciri dari perusahaan
modern yang profitable. Ada contoh menarik dari dunia
kuliner. Jody Brotosuseno dan istrinya, Siti Haryani, adalah
pemilik dan pendiri usaha rumah makan bernama Waroeng
Steak & Shake. Awalnya, mereka membuka rumah makan
ini di teras rumah kontrakan Jody di Yogyakarta. Karena
ayahnya sudah terlebih dulu berbisnis rumah makan dengan
nama Obonk Steak, maka tak heran jika menu yang dipilih
oleh Jody juga tak jauh-jauh dari steak (daging sapi yang
dibakar). Mungkin, ia mendapat lebih banyak benefit jika
menyediakan menu steak daripada menu lainnya, misalnya
mudah pengolahannya dan gampang mempelajari resepnya
karena bisa diajarkan langsung dari ayahnya.
Ternyata, usaha Waroeng Steak ini sukses besar. Salah
satu terobosannya, menu yang diberi nama steak tepung
berharga murah, diterima pasar dengan antusias. Mak-
lum, di Yogyakarta berkumpul para mahasiswa yang ingin
menikmati kuliner kelas atas seperti steak namun den-
gan harga murah meriah. Di Waroeng Steak ini, Jody bisa

132 Santri Milenial


menjual steak dari bahan baku daging ayam yang diberi
tepung dan disajikan dengan bumbu steak pada umumnya,
lengkap dengan makanan pendukung seperti kentang dan
kacang polong. Didirikan pada 2000, Waroeng Steak sudah
berkembang menjadi 48 cabang di berbagai kota. Kalau
begitu, apakah Jody Brotosuseno juga berkembang menjadi
48 wujud untuk mengurus cabang itu satu demi satu? Tentu
tidak. Lantas?

Inilah pentingnya sistem bisnis. Perusahaan yang maju


dan memiliki banyak cabang di berbagai tempat tidak
mungkin bisa diurus satu demi satu tanpa sistem yang
baik dan teruji.

Sistem itu mencakup prosedur memasak, pemilihan


bahan baku, sistem kepegawaian, dan lain sebagainya. Ada
sistem yang bisa dipelajari di sekolah formal seperti manaje-
men, tapi ada juga sistem yang dibangun dari nol, misalnya
resep masakan.
Namun ide dasarnya sama, manajemen operasional bisa
dibuat baku, dapat didokumentasikan, dan bisa pula diajar-
kan kepada orang lain. Siapa orang lain itu? Bisa pegawai,
bisa pula anak sendiri. Memilih mengajarkan sistem bisnis
kepada anak-anak itu juga bisa ditempuh kalau ingin me­
langgengkan perusahaan keluarga. Contohnya perusahaan
Mustika Ratu. Setelah Mooryati Soedibyo ingin pensiun, ia
limpahkan tanggung jawab perusahaan ke salah satu anak-
nya. Dipilihlah Putri Kuswinu. Tapi penting untuk dicatat,
meskipun anak sendiri tetap harus berproses dengan benar.

Santri Milenial 133


Putri sendiri berkarier dari bawah di PT Mustika Ratu
sampai 25 tahun lamanya. Dia digembleng ibunya sendiri
sampai akhirnya dipercaya menjadi CEO.
Jadi apabila santri ingin mengembangkan bisnis sampai
skala yang besar, maka mereka juga harus berpikir tentang
sistem bisnis, kepercayaan, dan suksesi.
Kembali ke Jody Brotosuseno di atas. Ia dikenal sebagai
sosok yang dermawan. Setelah sukses berbisnis, ia tak lupa
bersedekah. Sebagian keuntungan dari usaha itu dipakai
untuk mendanai Rumah Tahfidz, yaitu pondok pesantren
penghafal Al-Qur'an yang memiliki santri mencapai 2.000
orang.

G. Manajemen Waktu

Pukul 3:00 pagi, denyut kehidupan santri dimulai. Saat itu,


setiap santri wajib bangun untuk melakukan rutinitas harian
di dini hari yang dingin; salat malam atau Tahajud. Kemu-
dian, menunggu beberapa saat untuk kembali melakukan
ritual berikutnya: salat subuh. Begitu seterusnya sampai
malam hari ketika santri diwajibkan tidur malam. Semua
aktivitas itu dijalani oleh setiap santri dalam keteraturan
waktu.
Setiap santri bersahabat dengan sang waktu. Seorang
pakar pengembangan diri yang sukses dan penulis buku

134 Santri Milenial


bestseller pernah mengatakan, time management is really
personal management, life management, and management of
yourself (Brian Tracy).
Jelaslah, mengelola waktu sama artinya dengan menge­
lola hidup untuk saat ini dan masa depan.
Islam sangat ketat dalam prinsip on time (tepat waktu).
Sebagai contoh, salat lima waktu memiliki aturan waktu
yang ketat. Atau lihat saja pada waktu bulan puasa. Meski-
pun kerongkongan telah mengering, seluruh organ perut
telah menuntut, dan tubuh telah melayu, namun sebelum
bedug bertalu-talu, siapa pun tak boleh mendahului berbuka
puasa. Semua santri harus berbuka tepat waktu, dan tidak
boleh mendahului waktu yang telah ditentukan meski hanya
beda satu menit sekalipun. Inilah latihan pengendalian diri
yang diajarkan Islam kepada para santri, dan sang waktu
menjaga agar pengendalian diri tersebut tetap berada di
jalur yang benar.

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang menghargai


waktu dan memanfaatkan waktu dengan (maaf) kaku.
Karena sistem pesantren percaya bahwa karakter seorang
santri mulai dibentuk dari sikapnya terhadap waktu.

Ada ungkapan bijak yang populer di kalangan santri,


“waktu ibarat pedang. Jika engkau tidak menggunakannya
(dengan baik), maka dia yang malah akan menebasmu.”
Dalam bisnis, waktu itu memiliki banyak dimensi. Mi­
salnya saja, waktu itu berkaitan dengan pengendalian diri,
kepercayaan (trust), dan peluang (opportunity). Karena aspek

Santri Milenial 135


waktu itu sangat penting, maka perlu "ditaklukkan" dengan
ilmu yang disebut manajemen waktu. Secara alamiah, para
pengusaha akan mempelajari ilmu manajemen waktu secara
otodidak. Namun yang lebih penting dari itu adalah pema-
haman bahwa dimensi waktu di atas sangatlah mendasar
bagi pebisnis.
Pertama, waktu itu memiliki dimensi pengendalian diri.
Ingat pada saat bulan puasa? Pengendalian diri digembleng
habis-habisan selama 30 hari di bulan penuh berkah itu.
Para santri harus menahan lapar, amarah, haus, dan nafsu
lainnya selama sebulan penuh.
Dalam lingkup bisnis, pengendalian diri bisa mewujud
dalam banyak hal seperti mengetahui kapan waktu yang
tepat untuk mengambil keputusan penting. Jika terburu-bu-
ru, maka hasilnya mungkin tidak sebagus jika dibandingkan
harus menunggu. Misalnya, seorang santri mungkin akan
terlibat negosiasi dengan pihak pembeli. Tawar menawar
mungkin berlangsung lama. Apabila santri tidak bisa men-
gendalikan diri (misal, tidak sabaran), bisa jadi harga yang
disepakati menjadi sangat rendah. Di sini, pengendalian diri
sangat penting agar bisa mendapat hasil yang maksimal.
Kedua, waktu itu memiliki dimensi kepercayaan (trust).
Di pesantren, para santri diminta untuk mengumpulkan
tugas tepat waktu. Jika tidak tepat waktu, maka hukuman
menanti. Di dunia bisnis, pola kerja seperti ini sangat
penting dan mendasar. Ilustrasinya seperti ini, ada seorang
keluarga yang memesan seratus kotak nasi untuk keperluan
aqiqah kelahiran anak. Keluarga itu minta agar aqiqah

136 Santri Milenial


diantar ke rumah mereka satu minggu kemudian. Di sini,
santripreneur yang menerima order harus bisa menyerahkan
seratus kotak nasi itu pada tanggal yang disepakati. Jika
tidak, maka akan mendapat banyak "hukuman", seperti
komplain, potongan uang jasa, hingga yang terberat akan
kehilangan kepercayaan. Bukan hanya keluarga itu saja
yang hilang kepercayaannya, tapi juga tetangga, relasi, dan
teman anggota keluarga itu sebab pengalaman buruk akan
lebih cepat viral. Di sini, delivery time (waktu menyerahkan
pesanan) memiliki dimensi trust (kepercayaan).
Terakhir, waktu itu memiliki dimensi peluang (oppor-
tunity). Ini sangat terkait dengan ungkapan time is money,
atau waktu adalah uang. Peluang bisnis itu adalah kombina-
si antara adanya kesempatan (opportunity) dan kemampuan.
Sebagai contoh, ada seorang santri yang pintar menggambar
desain grafis. Ia bisa memperoleh penghasilan jika mendapat
kesempatan, misalnya pada saat tertentu ia bertemu teman
lamanya yang baru saja membuat perusahaan dan mem-
butuhkan logo. Kemampuan (skill) jika bertemu dengan
pe­luang, akan menghasilkan deal bisnis. Sementara itu, pe-
luang sangat ditentukan oleh waktu.
Itu semua merupakan ilustrasi tentang arti pentingnya
sang waktu dalam setiap aspek kehidupan, terutama bagi
santri. Salah satu kunci untuk sukses dalam bisnis adalah
menepati waktu.
Pengarang novel Mark Twain pernah memberi nasi-
hat, “Dua puluh tahun sejak sekarang, kau akan merasa
lebih kecewa akibat sesuatu yang tak kau tuntaskan. Jadi,

Santri Milenial 137


beranjaklah dari pelabuhan yang nyaman. Tangkap angin
keberuntungan selama pelayaranmu. Kejar Impianmu. Dan
berpetualanglah!”

Waktu itu terus bergerak sehingga perlu ditanggapi dengan


memulai bisnis sejak sekarang. Apabila tidak memulainya dari
sekarang, maka penyesalan akan baru dirasakan sepuluh atau
dua puluh tahun dari sekarang.

H. Kekuatan Rutinitas

Leo Babauta, penulis buku Zen Habits, mengatakan bahwa


entrepreneur sejati dilahirkan dari rahim rutinitas. Bangun
pagi pukul 4:30, menulis checklist aktivitas harian, menyi­
apkan sarapan, berolahraga, belajar, dan seterusnya. Setiap
orang mungkin tidak memiliki aktivitas yang sama persis.
Hanya saja, setiap orang sukses pasti punya rutinitas yang
ketat.
Persis seorang santri. Rutinitas dipraktikkan seperti
bernafas. Para santri, sejak ayam berkokok hingga men-
jelang tengah malam, diberi tanggung jawab harian untuk
memenangkan rutinitas hidup. Kalau seorang santri tidak
sanggup hidup rutin, ia akan tertinggal banyak kesempatan.
Namun, bila seorang santri berhasil memenangi ruti-
nitas hidup dan dapat memelihara ritme ini dengan baik,
maka akan tumbuh tunas-tunas kemandirian. Bangun sendi-

138 Santri Milenial


ri, masak sendiri, melahap hasil masakannya sendiri, men-
cuci sendiri, dan bentuk-bentuk kemandirian lainnya.

Rutinitas dan kemandirian. Dua modal intangible yang


tak berupa uang namun mahal harganya karena harus
disepuh selama bertahun-tahun.

Gunakanlah the power of daily routines, atau kekuatan


dari hidup rutin harian.
Seorang penulis bisa memakai rutinitas pagi—bangun
pukul 03.00 dini hari—dan bekerja membuat karya tu-
lis sampai adzan subuh berkumandang. Dengan rutinitas
semacam itu, dia bisa membuat satu bab tulisan setiap hari.
Tak ada alasan sibuk atau tidak sempat.
Ada juga motivator yang bangun bagi dan memakai
waktu 10 menit untuk melakukan afirmasi diri. Dia akan
membua jendela lebar-lebar, menatap ke arah luar dan men-
gucapkan kata-kata penguat. Karena sudah menjadi kebi-
asaan, ia tidak pernah mengandalkan alarm dari jam.
Demikian pula berlaku untuk banyak orang dengan
profesi berbeda-beda. Kebiasaan rutinitas pagi bisa ber-
beda-beda. Selepas bangun tidur, lakukan aktivitas biasa
namun memberi imbas yang baik untuk karya-karya Anda.
Sering kali imajinasi dan konsep karya baru akan muncul
saat subuh. Kalau sudah begitu, andai Anda adalah penyair
atau pengubah lagu, Anda dapat menuliskan konsep lagu
atau karya seninya sesegera mungkin.
Kadang, aktivitas pagi tidak selalu terkait dengan peker-
jaan. Santri dapat menerapkannya untuk banyak disesuaikan

Santri Milenial 139


kehidupan di dalam pesantren. Membaca satu dua bab buku
saat pangun tidur pukul empat pagi dan sembari menunggu
adzan subuh adalah kebiasaan banyak orang sukses. Ada
juga orang melakukan kebiasaan itu menjelang tidur malam.
Semua kembali pada kenyamanan, kebiasaan, dan rutinitas.
Namun ide dasarnya sama, yaitu rutinitas hidup, yang
sudah dan selalu diajarkan di pesantren. Rutinitas inilah
yang dapat membantu para santri untuk masuk ke dalam
dunia entrepreneurship.

1. Organisasi dan Modal


Santripreneur

Santripreneur adalah santri yang sekaligus wiraswasta. Lan-


tas, modalnya dari mana? Kalau santri sudah lulus dari
pesantren, maka modal bisa didapat dari tabungan pribadi,
patungan dengan santri lain, uang sumbangan orangtua,
pinjaman bank atau koperasi, atau dari uang investor. Tapi
kalau masih ada di balik tembok pesantren, maka pengurus
bisa menyediakan modal.
Contohnya begini, hampir setiap pesantren mengelo-
la unit usaha, bisa dalam bentuk kantin, koperasi, toko
kelontong, atau warung kecil-kecilan. Ada kegiatan bisnis
di dalam pesantren meskipun tidak selalu profit oriented.

140 Santri Milenial


Artinya, unit-unit usaha itu bisa dijadikan sentral (pusat)
atau hub (simpul-simpul kegiatan) untuk mengoordinasi
seluruh kegiatan bisnis para santri.
Siapa koordinatornya? Jawabannya, para pengurus pe-
santren, bisa Pak Kiai, ustaz, atau lainnya yang sanggup
menjadi koordinator. Nanti struktur komandonya tinggal
disusun dalam bentuk struktur pengurus yang jelas. Mi­
salnya, di atas para pengurus unit usaha, ada pengasuh
yang bertanggung jawab melakukan supervisi. Nanti, para
pengasuh ini bertanggung jawab kepada ketua pesantren.
Miniatur keorganisasian seperti ini juga ada di pesantren
salaf maupun pesantren modern.
Kemudian struktur itu dirinci dalam bentuk job descrip-
tion yang jelas. Misalnya, ada bagian penanggung jawab,
keamanan, networking dengan pihak eksternal, ubudiyah,
dan lain sebagainya.
Kalau unit usaha ini sudah terbentuk dalam struktur
organisasi yang jelas, maka proses berikutnya adalah me-
mikirkan cara untuk mentransformasi (mengubah bentuk)
dari unit usaha di pesantren menjadi lembaga kewiras-
wastaan yang lebih profesional, sustainable (berkelanjutan),
dan profitable. Transformasi ini penting sebab ada pesantren
yang punya unit usaha namun tidak berkembang, hanya
sekadar ada kegiatan saja, dan tidak mengakar menjadi
lembaga gerakan kewiraswastaan yang serius.
Nah, inilah yang saya lihat sebagai sebuah kesempatan.
Gerakan santripreneur yang ingin saya galakan ini tujuannya
adalah membantu pesantren mengoptimalkan unit usaha

Santri Milenial 141


agar para santri tumbuh menjadi pengusaha tangguh di
masa depan.
Kalau pesantren mau serius, tidak ada santri yang tak
punya daya saing. Sebagai contoh, kemandirian dan kreativi­
tas santri tidak kalah dengan orang-orang yang mengenyam
pendidikan di luar pesantren. Banyak orang yang tidak
tahu kalau di pesantren itu juga ada perguruan tingginya
yang mengajarkan ilmu di luar agama Islam, seperti ilmu
teknologi, komputer, fisika, kimia, teknik sipil, dan lain
sebagainya.
Jadi dari sudut pandang konten, para santri itu sanggup
berkompetisi dengan pelajar lain. Pernah ada santri yang
ikut kontes robot dan merakit mobil, dan menyabet juara.
Nanti akan saya ceritakan kisah santri yang memenangkan
kontes robot ini.
Itu artinya apa, santri itu sudah punya modal untuk
menjadi pengusaha yang berani bertarung secara sehat. Saya
optimis dengan gerakan santripreneur ini. Jika gerakan ini
mendapat sambutan positif maka tujuan jangka pendek dan
panjangnya adalah untuk menyiapkan santri agar kelak bisa
menjadi insinyur-insinyur berjiwa santri, pejabat-pejabat
berjiwa santri, pengusaha-pengusaha bernafaskan santri, dan
lain sebagainya.

Jadi nilai dakwah itu bukan hanya di mimbar khutbah


dan bukan hanya di majlis semata. Namun, nilai dakwah
itu masuk di setiap sendi kehidupan, di setiap lini
masyarakat kita.

142 Santri Milenial


Banyak orang luar menganggap pesantren itu adalah
sekolahnya guru agama Islam. Padahal, pesantren itu bukan
mencetak seluruh santri untuk menjadi kiai atau ustaz, dan
berprofesi pengajar agama. Sebab jika para santri hanya
menjadi kiai atau guru agama, terus siapa yang mau me-
warnai sendi-sendi hidup di masyarakat kita? Siapa yang
jadi politikus, pengusaha, peneliti luar angkasa, sastrawan,
dan profesi lainnya?
Siapa yang mengurus masalah hukum? Siapa yang
menjadi dokter? Siapa yang membangun rumah? Apa iya
kita hanya menyalahkan jika kondisi masyarakat tidak
seimbang. Apa bisa kita menyalahkan politisi yang ko-
rup, pengusaha yang kongkalikong dengan pejabat yang
curang, menyalahkan dokter yang profesinya dijadikan
bisnis, atau aparat yang jabatannya untuk meminta uang
dari masyarakat, jika santri hanya hadir sebagai guru
agama saja?
Tentu tidak bisa seperti itu. Untuk mengatasi masa-
lah di atas, caranya dengan menyiapkan santri harus
masuk di segala lini kehidupan masyarakat. Untuk apa?
Untuk mewarnai dan berkontribusi dalam kehidupan.

Santri Milenial 143


J. Santripreneur atau
Staffpreneur

Pilih mana, jadi santripreneur atau staffpreneur? Kalau


memilih opsi pertama, maka seorang santri harus bisa
membuka usaha sendiri. Atau berbisnis, istilahnya. Sedang­
kan opsi terakhir mensyaratkan seorang santri bekerja kan-
toran dan menerima gaji setiap bulan.
Keduanya bagus sepanjang pekerjaannya halal. Jadi,
sekarang bicara plus dan minusnya menjadi santripreneur
dan staffpreneur. Kalau kerja ikut orang, kerja kantoran,
jadi karyawan, maka itu termasuk pekerjaan yang low-risk,
risikonya rendah.
Risiko rendah itu akan berbanding lurus dengan nilai
income (gaji, bonus, tunjangan) yang dia dapat, relasi de­
ngan pihak lain yang dia punya, dan pengembangan diri
yang dia pupuk selama bekerja di situ.
Masalahnya ada di mana? Selama orang bekerja sebagai
karyawan, ia akan terikat dengan kontrak kerja yang kaku.
Jadi ia juga terikat dengan iklim kantor yang prosedural,
monoton, dan membatasi ruang gerak dan ekspresinya.
Jangan lupa juga, sebagai pegawai dia terikat dengan sistem
evaluasi kerja berbasis KPI (key performance indicator).
Iklim dan sistem kantor seperti itu mengatur pegawai
harus datang sebelum jam berapa serta pulang sesudah
jam berapa. Dia juga harus mengerjakan tugas yang telah

144 Santri Milenial


ditentukan oleh atasan. Batasan yang boleh dan tidak boleh
dikerjakan apa saja, dan begitu seterusnya. Pada akhir­
nya, pengembangan dirinya itu sangat rigid (kaku). Karena
penghasilannya flat, pekerjaannya sangat tergantung dengan
kinerja dan kadang-kadang oleh kemurahhatian atasannya
juga. Itu semua nilai-nilai minus kerja menjadi staff kantor.
Tetapi nilai plusnya juga ada. Misalnya, staffpreneur
(pegawai kantoran) itu tidak terbebani risiko besar, tidak
harus keluar modal sendiri, dan oleh karena itu tidak punya
urusan dengan hitung-hitungan rugi pula.
Karena ada plus minusnya, maka masalah ingin men-
jadi santripreneur atau staffpreneur akan menjadi sebuah
pilihan hidup yang harus diputuskan.
Hidup kita itu penuh dengan pilihan dan dilanjutkan
dengan keputusan-keputusan. Misalnya apa? Seperti saat
kita ingin melahirkan seorang bayi. Kita bisa memilih mau
melahirkan dengan metode operasi caesar atau persalinan
biasa. Mau memilih operasi caesar boleh dan sah-sah saja,
asal dokter mengizinkan. Tapi kalau memilih melahirkan
normal dengan bantuan dukun atau dokter serta bidan di
rumah sakit, itupun juga hasil dari pilihan hidup.
Jadi pegawai atau pengusaha itu ada plus dan minus­
nya seperti pemaparan di atas. Selanjutnya, yakinilah bahwa
pilihan itu bisa dilihat dari dua sudut pandang, yaitu positif
dan negatif, plus dan minus, seperti sunatullah. Ada malam
dan ada siang, ada hitam dan putih, ada laki-laki dan ada
pula perempuan, ada Adam dan ada Hawa (bukan ada
Adam dan ada Asep).

Santri Milenial 145


Namun menurut pengalaman saya, kita bisa lebih luwes
menjalani hidup jika bekerja sebagai pengusaha daripada
menjadi pegawai.
Selain santripreneur dan staffpreneur, ada satu bidang
lagi yang bisa ditekuni, yaitu self-employment (bekerja secara
profesional). Contoh self-employment antara lain, penulis,
dokter, pekerja freelance, musisi, artis, dan lain sebagainya.
Mirip dengan pengusaha namun tidak memiliki badan usa­
ha serta lebih banyak bekerja sendirian.
Baik santripreneur maupun self-employment punya nilai
plus-minus sekaligus, yaitu semacam adanya character chal-
lenge, atau tantangan untuk diri sendiri. Contohnya macam-
macam, misalnya ketika kita punya ekspektasi besar, ingin
meng-explore pikiran agar semakin luas, maka risiko yang
ada di depan mata juga semakin menganga. Jika tak ha-
ti-hati dan waspada, hidup kita akan diterkam oleh kerugian
bisnis yang bakal terjadi. Konkretnya, dia (santripreneur)
memulai wirausaha pasti harus menyiapkan modal. Ketika
modal disiapkan, dia sudah masuk ke dalam dimensi gam-
bling (judi). Gambling dalam artian, kalau dia tidak dibekali
dengan pengetahuan yang cukup tinggi maka berarti risiko
gambling-nya besar.

Tapi kalau dia sudah punya kalkulasi, peta, dan rencana


bisnis, memiliki passion di bidang bisnis, sudah punya
hitung-hitungan (kalkulasi) untung rugi, maka risiko tetap
ada tapi bisa ditekan seminim mungkin.

146 Santri Milenial


Apakah setiap santripreneur harus punya modal? Ten-
tu, tapi tidak selalu uang. Ada juga yang disebut intangible
asset (aset yang tidak dapat dilihat dan disentuh), seperti
pengalaman, technical skill, dan relasi. Nanti, intangible asset
dipadukan dengan pemilik modal lainnya yang memiliki
dana segar.
Contoh konkretnya, Anda bisa jual kemampuan (keah­
lian tertentu) melalui proposal. Anda bikin konsepnya lalu
ditawarkan ke orang lain yang punya modal. Karena memi-
liki konsep, maka Anda bisa duduk di posisi pimpinan,
punya saham tanpa harus menyetor uang.
Keuntungan lainnya, kita tidak terikat oleh waktu dan
tidak ada bos. Kitalah yang jadi bos, atau everyone is a boss.
Jadi santripreneur itu artinya memberi kesempatan bagi se­
tiap pemuda untuk bisa jadi bos, meskipun dia hanya jualan
pulsa. Dia bisa ngopi, rokokan dimana pun dia mau, tinggal
pencet tombol kamera dan lanjut berjualan di situs online.
Intinya, risiko atau minus di dalam dunia kewiras-
wastaan itu tidak perlu dilihat dari kacamata negatif, tetapi
juga positif. Dalam teori SWOT sudah dijelaskan, ketika
kita bisa menganalisis dan sanggup mendobrak tembok itu.
maka tantangan bisa jadi peluang.
Risikonya, selain menderita kerugian, seorang santripre-
neur harus banyak belajar, meng-explore hal-hal baru yang
belum tentu mendatangkan sukses, tidak bisa tidur nyenyak,
serta membangun jaringan.
Risiko ini sayangnya tidak dinikmati oleh orang kan-
toran (pegawai). Dia tinggal duduk manis, bekerja sesuai

Santri Milenial 147


kewajibannya, sore hari pulang rumah, dan akhir bulan atau
awal bulan dia dapat gaji.

K. Manajemen Keuangan

Di pesantren, para santri mendapatkan uang saku yang um-


umnya dikelola sistem yang dibuat pengasuh. Salah satunya
dengan menyerahkan uang kepada musyrif kamar. Selanjut-
nya, musyrif kamar mendistribusikan uang itu kepada para
santri dengan jumlah tertentu. Tujuannya, agar para santri
tidak jajan berlebihan.
Di satu sisi, para santri dan pengurus pesantren me-
naruh kepercayaan kepada para musyrif kamar yang bertu-
gas mendistribusikan uang jajan secara adil.

Uang memiliki banyak aspek. Misalnya, kepercayaan dan


pemuas kebutuhan. Tidak ada manusia pun di dunia ini yang
tak bisa lepas dari pengaruh uang. Oleh karena itu, uang
perlu digunakan dengan baik.

Skill apa yang perlu diadakan dalam setiap bisnis? Pem-


bukuan, akuntansi, atau lebih tepatnya manajemen keuan-
gan. Secara umum, manajemen keuangan itu ada di semua
perusahaan. Ada banyak bentuk aktivitas manajemen ke-
uangan seperti pembukuan keuangan, pencatatan cashflow
(aliran kas masuk dan kas keluar), hitungan BEP (Break

148 Santri Milenial


Event Point), pelaporan pajak, penyusutan aset, dan aspek
keuangan lainnya. Semua itu wajib ada di perusahaan kare-
na telah menjadi kaidah umum.
Seorang entrepreneur mungkin tidak paham akuntansi
atau perpajakan secara teknis. Tapi ia bisa mengadakannya
dengan cara meng-hire seorang akuntan yang berpengalam­
an. Namun idealnya, seorang entrepreneur, termasuk santri,
perlu memahami pembukuan, akuntansi, atau manajemen
keuangan meskipun dalam bentuk lajur-lajur sederhana.
Alasannya, karena ada banyak manfaatnya.
Pertama, santripreneur bisa mengetahui secara objektif
apakah perusahaannya mendapat untung atau menderita
kerugian, asetnya berkembang positif atau menyusut hingga
tak bernilai, dan berapa jumlah layak yang perlu dibagikan
kepada para pemilik modal.
Kedua, santripreneur bisa merancang business forecasting
(peramalan bisnis) dengan melihat kecukupan modal saat
ini agar bisa membuat rencana-rencana masa depan yang
strategis, seperti menyewa pegawai, membeli alat produksi,
membuka kantor cabang, dan seterusnya. Dengan mengelola
keuangan dengan rapi, para santripreneur bisa terbantu un-
tuk memutuskan apakah perlu membeli atau menunda pem-
belian peralatan, perlengkapan, atau aset kantor menurut
prioritas kebutuhan dan kondisi keuangannya. Dengan kata
lain, santri akan terbiasa hidup hemat sebab menurut Islam,
pemborosan itu tidak baik (QS Al Isra ayat 27).
Alasan lainnya, begitu pengusaha melegalkan unit usa­
hanya, maka mereka wajib melaporkan omzet atau penda­

Santri Milenial 149


patannya kepada kantor pajak. Agar hitungannya akurat,
dapat dipercaya, dan tidak melanggar peraturan perpajakan,
maka dibutuhkan pembukuan yang rapi.
Banyak pengusaha yang tertarik dengan pengembangan
produk, tawar menawar, dan aktivitas bisnis lainnya sam-
pai melupakan pentingnya pembukuan. Dilihat dari man-
faat-manfaat, maka manajemen keuangan termasuk ilmu
yang penting dipahami.
Ilmu pembukuan dan akuntansi tidak sulit untuk dipe-
lajari. Bahkan, ilmu ini sudah diajarkan mulai dari SMP
untuk pembukuan dan SMA untuk akuntansi. Bahkan jika
para santri belum mendapatkan ilmu pembukuan secara
formal, para pengurus bisa membantunya dengan membi-
asakan para santri untuk mencatat uang yang masuk dan
keluar dalam buku khusus. Lama-lama, kebiasaan ini akan
membantu para santri menjadi lebih tertib administrasi,
jujur dalam memanfaatkan uang, dan bisa dipercaya untuk
mengelola bisnis yang lebih besar.

L. Komunitas Para Santri

Apa perlu santri ikut komunitas? Ya, jika santri tahu apa
pentingnya sebuah komunitas. Jadi bergabungnya santri
dalam sebuah komunitas didasari oleh daya ungkit ekono-
mis yang bisa didapatnya, dan bukan hanya sekadar ajang

150 Santri Milenial


reunian atau kumpul-kumpul tanpa arah dengan sekelom-
pok orang.
Pesantren sebenarnya adalah komunitas yang bersifat
formal. Setiap pesantren memiliki PIC (person in charge)
atau orang yang bertanggung jawab di sektor tertentu, atau
biasa disebut sector leader. Ia bertanggung jawab untuk
menjadi pengasuh yang merupakan perpanjangan tangan
pengurus pesantren.
Dalam praktiknya, terserah pengurus untuk memfor-
mulasikan konsep kewirausahaannya itu di masing-masin­g
sektor. Misalnya, sektor A mengurus peternakan ayam, ikan,
atau budidaya tanaman. Sektor B berdagang pakaian, ATK
(alat tulis kantor), atau mengelola koperasi, dan lain se-
bagainya.
Karena dibentuk oleh kesamaan aktivitas dalam sebuah
sektor, maka secara otomatis telah terbentuk komunitas
sehing­ga mungkin saja tidak perlu membentuk komunitas
baru.
Ada banyak aktivitas yang bisa dihidupi di dalam ko-
munitas pesantren. Misalnya, komunitas itu bisa membuka
konektivitas dengan lembaga eksternal, termasuk dengan
ormas Permadani. Sebagai informasi saja, ormas yang saya
dirikan itu memiliki program santripreneur mulai dari per-
siapan modal, pelatihan, sampai ke pemasaran, manajemen
branding, dan packaging.
Kita siapkan konsep tersebut dari hulu ke hilir agar
santri mendapat pemahaman bisnis yang komprehensif dan
tidak setengah-setengah.

Santri Milenial 151


Lantas kita duduk bersama dan mulai berbagi tugas.
Saya harap, pengasuh dan pengurus di pondok pesantren
menyiapkan SDM dan komitmen yang kuat untuk mem-
berdayakan pesantrennya itu. Sebab jika tidak disertai
komitmen, maka gerakan santripreneur ini akan mudah
layu sebelum berkembang. Jadi gerakan seperti ini perlu
didukung kedua belah pihak dan dipupuk terus menerus
menggunakan komitmen yang jelas.

Manfaat dari suatu komunitas yang paling vital itu terkait


dengan akses networking atau jaringan bisnis.

Bagaimana kita membangun komunitas kalau pada


akhirnya tidak ingin memiliki jaringan dengan pihak lain,
bersifat eksklusif, dan hanya bergerak untuk kebutuhan in-
ternal? Maka komunitas akan kontraproduktif jika bersifat
tertutup.
Selain itu, sudah menjadi hakikat alami kalau kewirau-
sahaan itu perlu membangun relasi dengan orang lain ka-
rena entrepreneurship itu bagian dari kegiatan sosial. Kita,
manusia, adalah makhluk sosial dan makhluk politik, zoon
politicon. Jadi tidak bisa merdeka dari pertolongan orang
lain.
Bukti kalau kita makhluk sosial sangat banyak. Misal-
nya, kita dilahirkan dengan dibantu orang lain (bidan atau
dokter), kita meninggal dibantu oleh orang, sakit pun juga
ditolong oleh perawat. Bahkan, perasaan senang sekali pun,
juga perlu berbagi dengan orang lain, minimal keluarga,
teman, atau tetangga.
152 Santri Milenial
Punya banyak duit? Percuma kalau tidak bisa disimpan
karena uang kertas rawan disantap rayap. Jadi kita butuh
bank. Di sana ada petugas bank, ada yang memroses slip
setoran. Nah, itu semua contoh-contoh kehidupan yang
tidak bisa kita lakoni seorang diri. Tarzan sekalipun, yang
tinggal terkucil di hutan, tidak hidup sendiri. Ia ditemani
hewan-hewan lain seperti gorila dan macan kumbang. In-
tinya, tidak ada orang yang bisa hidup sendiri. Makanya itu,
Nabi Adam tidak hidup seorang diri sehingga diciptakanlah
Siti Hawa.
Lebih jauh lagi, terkait dengan komunitas, keberadaan
komunitas tidak hanya dalam konteks kewiraswastaan saja.
Dalam dimensi yang lain pun penting adanya komunitas
atau organisasi karena networking itu terbangun atau mun-
cul dari adanya perkumpulan.
Sebagai contoh Kadin atau Kamar Dagang Indonesia.
Organisasi ini bisa juga disebut dengan komunitas para
pengusaha yang tinggal di Indonesia. Karena relasi Kadin
sangat banyak dan berpengaruh, termasuk memiliki relasi
dengan pemerintah, maka ada banyak manfaat bergabung
di komunitas ini. Misalnya, santri bisa mendapatkan infor-
masi proyek-proyek pemerintah yang bisa digarap. Jadi, ko-
munitas itu punya daya ungkit ekonomis seperti mendapat
proyek, bagian dari proyek, kenalan baru yang berpengaruh,
dan lain sebagainya. Jika komunitas hanya dimaknai sebagai
acara kumpul-kumpul tanpa arah, maka sebaiknya dihindari.

Santri Milenial 153


M. Ngalap Berkah dan
Tanggung Jawab Sosial
Santri

Saya mau cerita sistem unik di dalam pesantren. Jadi di


pesantren itu ada sistem yang lain daripada yang lain. Na-
manya sistem kebuleh. Dalam sistem ini, santri senior yang
mungkin sudah puluhan tahun berada di dalam tembok
pesantren, pada saat waktu yang telah ditentukan, akan
datang dan menemui salah satu pengasuhnya. Bisa Pak
kiai atau ustaz. Ia punya satu misi, yaitu mengabdi kepada
pengasuhnya itu selama jangka waktu tertentu, bisa enam
bulan, setahun, atau beberapa tahun ke depan.
Bagaimana bentuk pengabdiannya? Bentuk dan wujud
pengabdiannya bisa beraneka rupa. Ada Pak kiai yang pu­
nya lahan pertanian luas. Nah, selama menjalani kebuleh ini
si santri bisa menjadi buruh tani, menggarap sawah, sam-
pai mengelola panen. Mungkin juga jika yang ada adalah
kolam ikan, maka si santri tinggal lanjut membudidayakan
ikan, atau menjalankan usaha lain yang dimiliki oleh sang
pengasuh tersebut.
Kompensasinya apa? Sebagai kompensasinya, sang
pengasuh bertanggung jawab menyediakan makan serta
ke­butuhan lainnya bagi santri tersebut. Mungkin juga Pak

154 Santri Milenial


Kiai memberikan uang saku atau bentuk insentif lainnya.
Intinya, terserah Pak Kiai atau pengasuhnya untuk memberi
kompensasi.
Sistem kebuleh ini akan sangat membantu para santri,
terlebih jika mereka itu yatim piatu, atau orangtuanya su-
dah angkat tangan, tak sanggup lagi mengurus kebutuhan
santri itu. Uang, makan, dan kebutuhan sandang papan
akan terjamin.
Tapi kebuleh ini, sekali lagi, hanyalah bentuk pengabdi-
an. Bukan semata-mata berorientasi bisnis. Jadi mindset-nya
lebih ke arah cara pikir ngalap berkah (minta berkah) dari
para kyai. Jadi selama menjalankan sistem kebulah, para
santri tetap leluasa untuk belajar dan mengaji.
Perlahan-lahan, sistem hidup ngalap berkah ini bisa
di-combine dengan tren kewirausahaan saat ini. Misalkan
sekarang ada kalimat budidaya ikan, bikin tanaman hidro-
ponik, membuat budidaya ternak ayam, atau bikin pertanian
organik, dan lain sebagainya.
Ngalap berkah ini mirip dengan model apprenticeship,
atau dalam bahasa kita diistilahkan sistem kerja magang,
dalam dunia bisnis modern. Orang yang magang di sebuah
perusahaan akan mendapatkan training yang dapat menjadi
modal pengalaman di masa datang. Selama proses magang
itu dijalani, orang tersebut juga mendapatkan kompensasi
dalam berbagai bentuk, biasanya berbentuk uang.

Santri Milenial 155


Entrepreneurship adalah tentang mindset. Santri dengan
pola pikir wiraswasta tidak lantas didorong-dorong,
dipaksa, bahkan didesak untuk membuka toko kelontong,
menggelar lapak kaki lima, melanggengkan bisnis multi-level
marketing, atau mendirikan startup yang akhir-akhir
ini sedang trendi itu.

Benang merahnya tidak di situ. Jiwa wiraswasta harus


dilihat dengan angle lebih luas. Penanaman jiwa entrepre-
neurship bagi para santri dimaksudkan untuk memenuhi
prinsip khoirunnisa anfa’uhum linnas. Artinya, sebaik-baik­
nya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Kalau sudah begini, karakter seorang santri bukan lagi
diukur dari seberapa menggebunya ia membuka bisnis atau
seberapa tinggi gunung materi yang berhasil ia tumpuk.
Lebih dalam dari sekadar uang, rumah besar, mobil mewah,
dan kekayaan materi lainnya, karakter santripreneur yang
berhasil diukur dari seberapa besar nilai manfaat yang bisa
dia berikan ke masyarakat. Inilah poin pentingnya.
Nah, nilai moral ngalap berkah adalah memberi sesuatu
atau timbal balik kepada orang atau pihak yang dianggap
berjasa terhadap sukses seseorang. Dalam bahasa korpora-
si, ngalap berkah ini menyerupai program corporate social
responsibility, atau biasa disingkat CSR. Saat ini, setiap pe-
rusahaan dituntut untuk menjalankan CSR. Bentuknya bisa
bermacam-macam, seperti memberikan sumbangan, mem-
bangun infrastruktur, menyediakan akses ilmu pengetahuan
dan riset, menawarkan beasiswa ke murid berprestasi, dan
lain sebagainya.

156 Santri Milenial


CSR diselenggarakan dengan anggapan bahwa masya­
rakat memiliki kontribusi terhadap suksesnya perusahaan
tersebut. Sebagai bentuk balas budi, perusahaan tersebut
memberi sumbangan ke masyarakat dalam berbagai bentuk.
Bisa dibilang, perusahaan itu sedang ngalap berkah dari
masyarakat.
Oleh karena itu, santri yang sukses juga perlu me­
nyedekahkan uang hasil kerja kerasnya ke masyarakat seba­
gai bentuk tanggung jawab sosial.

N. Silaturahmi Jangka Panjang

Yang paling penting dalam bisnis itu adalah brand quality.


Banyak pengusaha menempuh prinsip “untung besar di
muka” tanpa berpikir bagaimana pelanggan itu menjadi
raja. Jadi seakan-akan pengusaha seperti ini memosisikan
pelanggan seperti aktivitas hit and run, alias berhubungan
dengan dia hanya sekali saja.
Di masa sekarang, yang harus ditanamkan itu bagaima-
na cara kita men-service pelanggan seakan-akan tiap hari
dia akan beli di tempat kita. Diharapkan, pelanggan itu
merasa homy, merasa nyaman, dan mau bertransaksi jang-
ka panjang. Jadi kuncinya, brand quality dan trust (ke-
percayaan) itu harus terjaga apa pun bentuk usahanya.
Mau jasa, pertanian, perdagangan, atau variasi bentuk bisnis
lainnya.
Santri Milenial 157
Bahwa demi relasi jangka panjang itu kita sebagai
peng­ usaha hanya dapat untung tipis, ya tidak masalah.
Tapi sebagai gantinya, kita bisa mencari cara untuk mening­
katkan kuantitas volume barang atau mengatur term kerja
sama. Jadi relasi atau silaturahmi jangka panjang perlu di-
jaga baik-baik oleh para santri. Tidak hanya sekadar dijaga,
tapi juga dibina dan dipupuk agar membentuk jaringan
bisnis yang lebih luas sebab satu orang konsumen yang puas
akan menceritakan pengalamannya ke teman-teman lainnya.
Rumus umum teori ekonomi kira-kira berbunyi bah-
wa bagaimana modal sekecil-kecilnya mendapatkan untung
sebesar-besarnya. Dalam era saat ini dimana semua transak-
si bisnis sudah digital, rumus ekonomi seperti di atas tidak
serta merta mudah dipraktikkan. Saat ini, semua orang bisa
mengakses berapa harga barang, kualitas barangnya seperti
apa, bagaimana pendapat masyarakat tentang kualitas barang
itu melalui review dan sistem rating, dan seterusnya.
Informasi yang serba terbuka ini mengubah masyarakat
awam masa sekarang menjadi calon pembeli yang sudah
tidak benar-benar awam. Di era keterbukaan seperti saat
ini, tidak mudah untuk memainkan margin. Sebagai jalan
keluarnya, kita bisa beri perhatian lebih kepada service,
kualitas, kepercayaan kepada pelanggan, dan lain sebagainya.
Tujuan jangka panjangnya adalah membangun relasi jangka
panjang, atau sering diistilahkan dengan kata silaturahmi.

Jika silaturahmi jangka panjang terbentuk, maka konsumen


atau klien cenderung mudah melakukan repeat order dan
loyal dengan brand yang kita kelola.

158 Santri Milenial


Bahkan silaturahmi jangka panjang tidak hanya ditu-
jukan bagi para pembeli, konsumen, atau klien, tapi juga
bagi para kompetitor. Bisnis yang sehat itu membutuh-
kan kompetitor. Atau bisa pula dibalik, kompetisi yang
sengi­t menandakan bahwa industri atau sebuah bisnis ada
pasarnya. Bahkan, majalah Forbes mengenalkan istilah yang
disebut Frenemies (gabungan dari kata friend dan enemy),
yaitu musuh sekaligus partner dalam bisnis. Contohnya
banyak. Samsung dan Apple saling menghajar di teknologi
smartphone. Namun di satu sisi, Samsung dan Apple saling
membutuhkan karena iPhone menggunakan kaca display
AMOLED dari perusahaan asal Korea Selatan itu.
Toyota dan Daihatsu berkompetisi dalam bidang oto-
motif. Tapi mereka juga bekerja sama mengembangkan de-
sain mobil yang kita kenal dengan brand Avanza dan Xenia.
Microsoft dan Apple berkompetisi tapi MS Office ada untuk
versi komputer Macintosh dan iTunes dapat di-install di PC.
Dunia pesantren pun juga seperti itu. Di satu sisi,
beberapa pesantren saling berkompetisi. Tapi di sisi lain,
para pengelola pesantren tersebut bekerja sama. Misalnya,
Ustadz Yusuf Mansyur juga mengajar di Pondok Al-Amien
meskipun beliau mengelola pondok sendiri yang bernama
Pondok Tahfidz Daarul Qur’an.

Dalam Islam, kompetisi dimaknai sebagai fastabiqul Khairat,


atau berlomba-lomba dalam kebaikan. Jadi tidak ada
masalah dalam kompetisi karena hasil akhirnya adalah
mendatangkan kebaikan.

Santri Milenial 159


BAB V
NASIONALISME
SANTRI
A. Merawat Kebhinekaan

Menurut Sensus BPS tahun 2010, jumlah suku bangsa di


Indonesia sebanyak 1.340 buah. Jumlah yang sangat melim-
pah untuk sebuah negara. Sedangkan jumlah bahasa yang
ada di Indonesia di luar bahasa Indonesia adalah sebanyak
742 bahasa. Dengan data seperti ini, keragaman adalah ciri
khas bangsa.
Islam menilai keberagaman suku bangsa, dan ragam
budaya, ras, serta bahasa, ini merupakan sebuah anugerah
sebab perbedaan itu pada dasarnya Sunnatullah. Allah men-
ciptakan dunia dengan perbedaan yang dapat dilihat oleh
mata manusia. Meskipun seluruh umat manusia hanya bisa
dibedakan empat ras saja, yaitu caucasian, mongoloid atau
asia, negroid atau kulit hitam, dan Australoid, namun dari
manusia-manusia ini muncul keragaman yang luar biasa
luas, mulai dari bentuk tubuh, selera makan, warna mata,
rutinitas hariannya, dan lain sebagainya. Bahkan, makhluk
hidup terkecil pun dibuat banyak sekali variasi. Sebagai
contoh, jamur yang ada di dunia ini memiliki banyak sekali
keanekaragaman sehingga menyentuh angka 5,1 juta spesies.

Maka, umat Islam pondok pesantren sudah sewajarnya


merangkul siapa pun tanpa perlu melihat asal-usul dan
warna kulit calon santri. Sudah sewajarnya pula manusia
merangkul perbedaan.

Santri Milenial 163


Pondok pesantren yang berciri heterogen cukup banyak.
Selain itu, pondok pesantren yang menampung santri da­ri
luar negeri juga ada banyak di Indonesia. Sebut saja Pe­
santren Amanatul Ummah pimpinan KH Asep Saefuddin
Chalim dan Al-Khoirot yang ada di Malang, Jawa Timur.
Programnya juga disesuaikan dengan kebutuhan santri dari
luar negeri seperti program santri kilat yang hanya belajar
satu hingga tiga bulan.
Kebhinekaan itu merupakan rahmat dari Allah sehing-
ga mewujudkan agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam semesta baru bisa diwujudkan jika pondok pesantren
bersikap terbuka, baik terhadap suku bangsa, warna kulit,
bahasa, maupun asal-usul santri.
Tidak hanya perbedaan biologis yang mesti dirangkul
oleh pesantren, tapi juga perbedaan cara pikir, pendapat,
dan sudut pandang. Imam Syafi’i pernah berujar, “Penda­
patku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Se-
dangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemung-
kinan untuk benar.”
Ingat kisah para tokoh dalam novel “Negeri 5 Menara”?
Para santri yang menjadi tokoh utama cerita tersebut ber­
asal dari warna-warni suku bangsa dan daerah yang berbe-
da, yaitu Maninjau, Medan, Sumenep, Surabaya, Bandung,
dan Gowa. Mereka tinggal, tidur, mandi, belajar, dan ber-
nafas di bawah satu atap yang sama, di Pondok Pesantren
Madani.
Karena berasal dari daerah yang beragam, maka kul-
tur setiap karakter juga berwarna-warni. Sebagai contoh,

164 Santri Milenial


Alif lahir di pinggir Danau Maninjau, Minangkabau. Sejak
kecil, ia terbiasa berburu durian runtuh, suatu peristiwa
yang tidak mungkin didapat di kota besar seperti Jakarta.
Sesampainya di Jawa, ia heran mendengar komentator sepak
bola berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris,
dan terkesan melihat pondok pesantrennya yang setiap pagi
seperti melayang di udara.
Ia merasa berbeda dengan sebagian besar santri yang
berasal dari suku Jawa. Oleh karena itu, di tengah semangat
solidaritas pendatang, ia bergaul dengan santri-santri yang
senasib (sama-sama perantau) seperti Raja dari Medan, Dul-
majid dari Sumenep, Atang dari Bandung, Baso dari Gowa,
dan Said dari Surabaya.
Untungnya, Indonesia diberi anugerah kenikmatan dari
Allah yang belum tentu diberikan kepada negara-negara
lain, yaitu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dengan
menggunakan bahasa ini, pondok pesantren yang ada di
daerah, seperti Nurul Jadid, bisa menyatukan banyak santri
yang berasal dari sudut-sudut negeri yang berbeda-beda.
Bagaimana efek perbedaan ini terhadap kehidupan para
santri? Selain kelucuan-kelucuan yang muncul dipicu dari
keunikan bahasa daerah masing-masing, perbedaan juga
menumbuhkan solidaritas. Saling merasa senasib sepenang-
gungan, para santri rantau lebih mudah bekerja sama. Pada
akhirnya, perbedaan di antara para santri bersifat komple-
menter, atau saling melengkapi satu dengan lainnya.
Di bab lain, Anda membaca karakter-karakter unik
dalam bisnis seperti creator, star, deal maker, accumulator,

Santri Milenial 165


mechanic, dan lain-lain. Dalam praktik bisnis, karakter-ka­
rakter itu saling melengkapi (komplementer) sehingga tidak
mungkin seorang pencipta (creator) bisa menjual produk
tanpa dibantu deal maker. Atau seorang bintang (star) yang
dapat menemukan inovasi-inovasi tanpa didukung mechanic.
Begitu seterusnya. Bahkan, perusahaan yang full functional
dibangun oleh seluruh karakter secara utuh.

Santri yang bersikap eksklusif, tertutup, dan hanya mau


meladeni kelompoknya sendiri, akan kelimpungan berbisnis.
Mengapa? Karena bisnis tidak mungkin disukseskan sendiri.

Bisnis butuh super team dan bukan superman. Memba-


ngun super team artinya, memilih orang-orang yang memi-
liki kualifikasi sesuai kebutuhan bisnis dan kemungkinan
besar, mereka berasal dari latar belakang beragam.
Ingat Apple? Meskipun berseteru dengan Samsung,
tetap saja mereka saling membutuhkan. Kalau dengan
musuh saja harus dirangkul, apalagi dengan orang lain
yang belum pernah punya sejarah sengketa atau permusu-
han dengan kita.
Sebanyak 40% pegawai Google berasal dari beragam
etnis dimana 30% di antaranya adalah orang Asia (Tiong-
kok, India, dan lain sebagainya) dan sisanya orang Hispanic
(Amerika Latin), Afro American, dan ras-ras lainnya. Ka-
rena hampir setengah dari seluruh pegawai Google bukan
kulit putih, maka tak heran jika perusahaan ini sangat lan-
tang menentang kebijakan anti imigran yang dicanangkan
Trump. Selain karena jumlah pegawai non kulit putih sangat

166 Santri Milenial


banyak, kerasnya Google menentang kebijakan anti imigran
Trump karena dilatarbelakangi oleh asal-usul CEO Google,
Sundar Pichai, yang adalah seorang imigran dari India.
Sebelum Pichai, Google dibangun oleh imigran dari
Rusia bernama Sergey Brin. Sama seperti Google, Microsoft
pun saat ini dipimpin oleh imigran India bernama Sat-
ya Nadella. Jadi perusahaan-perusahaan kelas dunia sudah
merangkul perbedaan dan aneka rupa latar belakang para
pegawainya.
Apa yang akan terjadi jika santri dan orang Indonesia
pada umumnya tak sanggup merawat kebhinekaan? Skena­
rio terburuk apapun bisa terjadi dan pasti harganya sangat
mahal. Kita bisa belajar dari pengalaman buruk politik
apartheid di Afrika. Gagasan ini lahir pada 1930 di Jer-
man. Pada masa penjajahan Nazi, pria bernama Hendrik
Ver­woerd ternyata menganut paham nasionalime dengan
ideologi rasisme milik organisasi Adolf Hitler tersebut.
Verwoerd seorang pria berkulit putih, dan ia bersama
orang-orang kulit putih lainnya menganggap diri mereka
sebagai anggota kaum elit di Afrika. Ia menganggap diri
lebih berkuasa dibanding rakyat Afrika yang mayoritas
berkulit hitam. Dari paham apartheid ini, Dr. Verwoerd,
begitu ia dijuluki, membuat sebuah benteng perbedaan
yang sangat tinggi antara mereka yang berkulit putih dan
penduduk Afrika yang rata-rata berkulit hitam. Terjadilah
diskriminasi peran mulai saat itu.
Berkat gagasan Verwoerd tadi, ia diangkat menjadi
Perdana Menteri Afrika Selatan sejak 1958 dan ia menjadi

Santri Milenial 167


pemimpin para penduduk asli yang berkulit hitam. Mulai
dari sini, ras dan warna kulit jadi pertaruhannya.
Mereka yang berkulit hitam akan diatur kehidupannya
oleh mereka yang berkulit putih. Seperti peraturan pendi­
dikan, pernikahan beda ras, pekerjaan, sampai wilayahpun,
akan dibedakan dengan tegas. Kebijakan ini sangat keras
karena, di daerah mereka sendiri penduduk berkulit hitam
diwajibkan untuk selalu membawa paspor pribadi kemana-
pun pergi.
Mandela pernah mengambil studi di bidang hukum.
Karena perbedaan ras itu, ia menjadi penduduk pribumi
Afrika yang unik dan istimewa karena bersekolah di univer-
sitas bersama mahasiswa-mahasiswa Eropa lainnya.
Bersama Anton Lembede mereka memberanikan diri
untuk menentang penindasan ras kulit putih terhadap kulit
hitam. Bagi mereka Afrika mampu mandiri dalam penga-
turan kehidupan negaranya secara politik.
Mandela akhirnya ikut bergabung menjadi aktivis
penting di African National Congress Youth League (ANC)
tahun 1944 yang bergerak secara massal menentang politik
apartheid. Aksi-aksi berani seperti demonstrasi, mogok
kerja, sampai pembakaran massal paspor-paspor milik
pribumi dijalani sebagai bentuk protes.
Mereka menyerbu beberapa kantor pemerintahan dan
pos-pos polisi di Johannesburg. Ribuan warga kulit hitam
saling bentrok dengan masyarakat kulit putih tanpa mem-
bawa paspor. Akibat perlawanan tadi, banyak anggota kulit
hitam yang meninggal dan sebagian lagi ditangkap. Salah
satunya adalah Nelson Mandela.
168 Santri Milenial
Meski dihukum, Mandela tidak sedikit pun takut kare-
na keyakinannya dalam membela ras kulit hitam ia anggap
sudah sangat tepat.
Sementara itu, perlahan-lahan Pemerintahan Afrika Se-
latan dengan sistem apartheid-nya semakin dikecam oleh
masyarakat internasional. Banyak yang melakukan demo
penolakan di jalan-jalan. Negara-negara lain pun akhirnya
ikut bersuara menolak semua tindakan diskriminasi peme­
rintahan. Tidak hanya dari segi politik dan perdagangan
saja, sistem keuangan di Afrika pun ikut terpuruk.
Menerima tekanan dari berbagai pihak, pemerintahan
Frederik Willem de Klerk berakhir dengan melakukan pe-
rundingan besar-besaran bersama ANC dengan tujuan uta-
ma mengakhiri semua perpecahan antara ras di Afrika.
Berakhirnya apartheid di Afrika Selatan membuat para
aktivis yang diasingkan segera dibebaskan. Pada tanggal 11
Februari 1990, Nelson Mandela akhirnya bebas setelah 27
tahun berada di dalam tahanan. Mandela tetap bertahan
dalam keyakinannya untuk memerdekakan kaumnya dari
ras kulit putih.
Setelah sistem pemerintahan di Afrika Selatan kembali
normal, diselenggarakanlah pemilu untuk pertama kalinya.
Terpilihlah Nelson Mandela dengan memulai pemerintahan
yang lebih baik. Namun semakin lanjut usianya, kesehatan
Mandela pun semakin menurun. Banyak penyakit seper-
ti infeksi pernapasan sampai infeksi paru-paru perlahan
menyerang dirinya.

Santri Milenial 169


Hingga pada tanggal 5 Desember 2013, Mandela meng-
hembuskan nafas terakhirnya di Johannesburg. Sepanjang
hidupnya ia telah ikut dalam melawan dan memperjuangkan
kesetaraan ras kulit hitam dengan berbagai penghargaan
seperti hadiah Nobel Perdamaian.

Ini membuktikan bahwa sekat-sekat yang menghalangi


kebhinekaan perlu diruntuhkan sebelum menjadi kanker
sosial di masa depan.

Di Indonesia, keberagaman adalah ciri khas yang mele­


kat. Dengan jumlah suku yang sangat banyak dan bahasa
yang beraneka rupa, Indonesia adalah dunia mini yang se-
dang menatap masa depan. Jadi kebhinekaan, keberagaman,
dan warna-warni kehidupan perlu untuk disyukuri sebagai
Sunatullah, sebagai faktor Strength menurut analisis SWOT
yang telah dipelajari di bab sebelumnya, dan bukannya
Weakness atau Threat.

B. Berjiwa Nasionalisme

Pada Oktober 1945, Belanda melakukan provokasi mela­lui


siaran radio bahwa pada 25 Oktober, Inggris akan datang
ke Surabaya menangkap kolaborator dan tentara didikan
Jepang. Ir Soekarno dan Bung Hatta termasuk salah satu
target Inggris ketika itu. Lalu menanggapi provokasi Be-

170 Santri Milenial


landa, utusan Bung Karno datang menemui KH Hasyim
Asy’ari, pendiri PBNU, untuk mengeluarkan fatwa ten-
tang bela negara. Lalu, tak lama berselang, KH Hasyim
Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad kepada semua muslim.
Setelah fatwa itu keluar, PBNU pun pada 22 Oktober 1945
mendeklarasikan resolusi jihad.
Ada beberapa poin penting dalam resolusi jihad. Perta-
ma, hukum membela negara dan melawan penjajah adalah
fardlu ‘ain bagi setiap mukalaf yang berada dalam radius
masafat al-safar. Kedua, perang melawan penjajah adalah
jihad fi sabilillah. Sedangkan ketiga, mereka yang mengkhia­
nati perjuangan umat Islam dengan memecah belah per-
satuan dan menjadi kaki tangan penjajah, wajib hukumnya
dibunuh.
Lalu sejarah mencatat, perang 10 November 1945 di
Surabaya menjadi salah satu momen penting kekalahan se-
kutu di Indonesia. Meskipun korban jiwa di pihak pejuang
sangat banyak dibanding sekutu, tetapi semangat perjuang­
annya berkumandang sampai ke seluruh dunia.
Peristiwa di atas merupakan salah satu gebrakan santri
yang paling fenomenal di Indonesia tapi jarang diketahui
oleh masyarakat, yaitu ketika mendorong pejuang untuk
memberi perlawanan sengit terhadap penjajah pada peristi-
wa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi para santri untuk


mempertahankan keutuhan NKRI sesuai dengan isi resolusi
jihad poin ketiga.

Santri Milenial 171


Bahasa lainnya, seorang santri harus bernafaskan nasi-
onalisme dan bercorak warna merah putih karena leluhur
mereka sudah memperjuangkan kemerdekaan. Namun, per-
juangan santri di zaman now berbeda bentuk dengan para
pejuang kemerdekaan. Indonesia tidak sedang bentrok fisik
dengan penjajah atau orang asing sehingga bisa dikatakan,
saat ini merupakan fase damai. Karena tidak ada perang
fisik, jihad para santri juga bukan mengangkat senjata ber-
peluru. Sebaliknya, perjuangan santri saat ini menciptakan
kedamaian dan kesejahteraan bersama. Musuh santri bukan
lagi Belanda atau sekutu, namun kemiskinan, terorisme,
intoleransi, dan perpecahan SARA.
Banyak contoh untuk mewujudkan kedamaian dan
kesejahteraan bersama, seperti setia pada Pancasila, tidak
tergiur korupsi, toleran terhadap pihak lain, terbuka dan
bekerja sama dengan siapapun yang punya kehendak baik,
serta menjunjung perbedaan dan menganggap kebhinekaan
adalah anugerah serta Sunatullah.
Gerakan Permadani bisa berjalan lancar jika masya­
rakat bersatu padu. Tidak hanya santri atau eks santri yang
menjadi energi penggerak organisasi tersebut, tapi segenap
elemen bangsa yang sama-sama punya cita-cita masyarakat
madani. Dalam bahasa Inggris, masyarakat madani diartikan
civil society, atau masyarakat beradab. Masyarakat beradab
bisa diciptakan jika masyarakatnya punya nilai-nilai kebi-
jakan bersama. Itu semua bisa disatukan jika masyarakat
commit terhadap bahasa persatuan dan dasar negara yang
sama, yaitu bahasa Indonesia dan Pancasila.

172 Santri Milenial


Jika isi kepala dan ideologi sudah sama maka mudah
untuk merencanakan masa depan. Ibarat rumah selesai di­
bangun, sekarang saatnya anggota keluarga berpikir tentang
rencana jangka panjang. Inilah yang divisikan oleh gerakan
Permadani. Ketika para anggota sudah sepakat tentang ide-
ologi bangsa, maka mudah bagi gerakan ini untuk merang-
kul semua kalangan untuk maju bersama.

C. Spirit Anti-Korupsi

Saya percaya bahwa salah satu penyakit di Indonesia itu


adalah korupsi. Pejabatnya korupsi dana proyek, rakyat je-
latanya korupsi waktu (sering molor dan ngaret kerjanya),
pengendara motornya korupsi nalar—mau belok kiri, sein
kanan nyala—dan yang parah kalau ada umat Islam korupsi
iman. Pakai ayat untuk kepentingan pribadi.
Tidak ada negara yang kebal korupsi. Bahkan Arab
Saudi, di bawah Raja Salman, membuat gebrakan besar-be-
saran dan salah satu pusat perhatiannya terfokus pada
masalah korupsi. Jadi, korupsi bukan hanya masalah satu
atau dua negara saja, tapi seluruh negara di muka bumi
apapun ideologi dan dasar negara tersebut.
Mengapa santri harus mendapat pemahaman dini ten-
tang bahaya korupsi? Ya karena secara khusus, masalah
korupsi itu sudah dibahas dalam ajaran Islam. Misalnya,
Islam itu membagi korupsi dalam beberapa dimensi, yaitu

Santri Milenial 173


rasywah (suap), saraqah (pencurian), al gasysy (penipuan),
dan khianat (pengkhianatan).
Ujung-ujungnya, pelaku korupsi itu tidak meneladani
salah satu model kepemimpinan Rasulullah, yaitu amanah
(dapat dipercaya).
Saya optimis gerakan santripreneur itu tidak hanya
membantu santri memiliki mindset bisnis, tapi juga sistem
kerja agar korupsi tak merajalela. Misalnya, santri dibiasa-
kan mengumpulkan nota pembelian dan disatukan dalam
sistem pembukuan. Tidak perlu akuntansi yang rumit sebab
mungkin butuh ilmu dan waktu khusus. Cukup pembuku-
an saja. Yang penting, penerimaan dan pengeluaran uang
tercatat rapi. Nah kalau begini, setiap rupiah bisa diper-
tanggungjawabkan.
“Tidak korupsi itu gampang atau nggak sih?” Mungkin
ada santri yang punya pertanyaan seperti ini. Menurut saya
enggak sulit. Saya setuju dengan salah satu pernyataan Bu
Susi Pujiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia
saat ini. Caranya agar tidak korupsi itu hanya “happy doing
good”, atau jika diterjemahkan, “senang berbuat baik”.
Jadi kembali lagi pada enjoy dalam bekerja. Kalau da-
lam bekerja sudah enjoy, senang, hatinya klop di tempat
usaha maka hasil dan proses kerjanya juga baik. Tidak
masalah kalau di tempat kerja dimusuhi atau dibenci. Bu
Susi pun termasuk salah satu menteri paling dibenci karena
dianggap gila. Tapi karena beliau enjoy bekerja, maka hasil
kerjanya nyata dan korupsinya terberantas dengan sendiri­
nya. Sekali lagi, kenyamanan kerja itu bisa jadi segala-gala­

174 Santri Milenial


nya. Gaji, insentif, bonus dan lain-lainnya itu bisa nomor
sekian, sedangkan kenyamanan itu yang utama.

D. Meneladani Kepimpinan
Rasulullah SAW

Indonesia pernah berada pada fase yang memprihatinkan


akibat berbagai peristiwa politik. Pertama, ada sekelompok
orang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan pa-
ham lain yang asing. Kedua, ada polarisasi di tengah umat
Islam yang seolah-olah sengaja dibenturkan satu sama lain
selama dan pasca PILKADA di DKI era Gubernur Basuki
“Ahok” Cahaya Purnama.
Mempertahankan persatuan dan mensyukuri kebhineka-
an merupakan tantangan santri dan masyarakat umum saat
ini di tengah gempuran SARA, kabar bohong, dan ancaman
intoleransi di Indonesia. Bahwa di Indonesia terdapat ban-
yak suku, agama, dan bahasa, merupakan sebuah fakta yang
tidak bisa dibantah. Sekarang tugas setiap santri adalah,
bagaimana agar persatuan nasional itu tetap erat dan kuat
di tengah bahaya ideologi, SARA, dan konflik masyarakat?

Jawabannya adalah dengan mempelajari dan memiliki


leadership yang kuat. Kepemimpinan itu ibarat lem perekat.
Islam memiliki banyak ajaran tentang good leadership.

Santri Milenial 175


Di dalam ajaran Islam, kita bisa meneladani empat sifat
kepemimpinan Rasulullah untuk menghadapi masalah-masa-
lah pelik di masyarakat. Keempat sifat Rasulullah itu adalah
Shiddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh.
Sifat pertama adalah Shiddiq, yang artinya benar. Bu-
kan perkataan dan ucapannya saja yang benar, tapi juga
perbuatannya. Sifat yang bisa dicontohkan oleh Rasulullah
bagi para umat Islam adalah keteladanan yang selaras antara
ucapan dan perbuatan. Pemimpin yang baik perlu konsisten
antara ucapan dan perbuatannya. Hindari berkata manis
namun nihil aksi nyata. Jauhi keinginan untuk berbohong,
dusta, dan lain sebagainya sementara wujudkan iman de­
ngan kerja nyata. Sekali berdusta, pondasi kepercayaan yang
telah merangkak ke atas dari nol, akan merosot ke nol lagi.
Sifat kedua adalah Amanah yang artinya, bisa dipercaya.
Sifat ini masih berkaitan dengan sifat yang pertama sebab
orang yang tak benar maka tidak pula akan diberi keper-
cayaan. Dipercaya artinya, segala urusan yang telah diberi-
kan kepadanya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Trust adalah intangible asset, atau modal yang tak da­
pat disentuh. Namun, nilainya lebih tinggi daripada modal
uang atau aset properti. Bahkan dalam bisnis, trust atau
kepercayaan diakui dan dijunjung tinggi. Tidak heran bahwa
beberapa bisnis menempatkan kepercayaan sebagai ujung
tombak, seperti perbankan, finance, dan bidang pekerjaan
lainnya.
Karena memiliki sifat Amanah, Nabi Muhammad SAW
sendiri diberi gelar Al Amin oleh para penduduk Mekkah

176 Santri Milenial


sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Apapun yang beliau
ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena mere-
ka tahu, Nabi Muhammad bukanlah pembohong. Karena
Amanah pula, Nabi Muhammad SAW mudah mendapatkan
pengikut.
Amanah itu juga berarti tidak khianat, setia, dan com-
mit. Ada kisah inspiratif seperti ini. Ketika Nabi Muham-
mad SAW ditawari kenikmatan duniawi oleh kaum Quraisy
agar beliau meninggalkan tugas ilahinya menyiarkan agama
Islam, beliau menjawab, “Demi Allah … wahai paman,
seandainya mereka dapat meletakkan matahari di tangan
kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan
tugas suciku, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai
Allah memenangkan (Islam) atau aku hancur karena-Nya.”
Sifat ketiga adalah Fathonah, yang berarti cerdas. Si-
fat ini sudah diteladankan oleh Nabi Muhammad sema-
sa hidupnya dengan kecerdasannya mengatur umat Islam
sehingga bangsa Arab yang terpecah-belah dalam konflik
antar suku, bisa menjadi satu bangsa besar yang memiliki
pengaruh luas.
Dalam bisnis, tidak mudah memimpin orang lain, se­
perti pegawai. Semakin banyak pegawai, pemimpin semakin
membutuhkan kecerdasan.
Sifat terakhir adalah Tabligh, yang artinya menyampai-
kan. Tak ada firman yang tak disampaikan oleh Nabi Mu-
hammad kepada manusia. Itu artinya, tak ada firman yang
disembunyikan demi kepentingan atau misi pribadi.

Santri Milenial 177


Sifat-sifat Rasulullah itu merupakan pedoman bagi para
pemimpin dari dulu hingga zaman now. Era politik modern
mengenal istilah-istilah baru seperti integritas, trust, trans-
paransi, dan cakap. Nah, pengertian istilah-istilah itu sama
seperti sifat-sifat Nabi Muhammad di atas. Misalnya, Shiddiq
memiliki arti punya integritas, Amanah memiliki arti punya
trust, Fathonah artinya mempunyai kecakapan, dan Tabligh
yang mengandung arti transparan.
Arab Saudi, di bawah kepemimpinan Raja Salman,
mengadopsi gaya kepemimpinan tersebut dalam pemerin-
tahannya. Seperti dikutip dari situs berita Al Arabiya, Men-
teri Kebudayaan dan Informasi Dr. Awad bin Saleh al-Awad
mengatakan bahwa demi mempromosikan integritas dan
memajukan reformasi di bawah kepemimpinan Raja Salman,
kerajaan memutuskan untuk memerangi korupsi.
Di balik pemberantasan korupsi terdapat banyak nilai-
nilai leadership seperti integritas, kejujuran, dan transparan-
si. Jika nilai-nilai ini penting bagi negara lain, maka penting
juga artinya bagi negara Indonesia yang lebih heterogen
sebab apapun suku bangsanya, integritas dan kejujuran me­
rupakan common sense.
Dengan demikian, sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah
itu masih relevan hingga sekarang dan amat dibutuhkan
dalam kepemimpinan. Para santri dan siapapun yang ingin
bergerak bersama dalam gerakan Permadani perlu meng-
adopsi sifat-sifat itu agar bisa memberi kontribusi positif
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

178 Santri Milenial


Lalu bagaimana bergabung dengan ormas Permadani
ini? Pada dasarnya, setiap orang yang punya keberanian un-
tuk berubah dan punya cita-cita yang baik, bisa bergabung
dan dapat pula dibantu.
Apakah perlu modal untuk bergabung? Tidak, sebab
jika punya semangat bisnis yang tinggi, ormas Permadani
bahkan bisa memberi bantuan modal. Modal ini mencakup
modal bimbingan entrepreneurship, modal jaringan dan
modal materi.
Sudah banyak biografi orang-orang sukses yang dijadi-
kan sebuah buku dan film. Bukan hanya tokohnya yang
dikenal banyak orang, namun kisah hidup yang pernah
dialami itulah yang nantinya bisa diambil sebagai pelajaran
bagi siapapun yang menyaksikannya.
Jadi tidak ada alasan untuk takut sukses karena meski-
pun perlu perjuangan, sukses itu menjanjikan masa depan
yang lebih baik. Yang penting, santripreneur dan masyarakat
punya semangat dan memiliki spirit kebersamaan, seperti
yang digaungkan ormas Permadani.

Santri Milenial 179


Permadani: Katalisator Spirit
Pemberdayaan

Ormas Permadani ini merupakan singkatan dari Perkum­


pulan Masyarakat Madani. Visi awal ormas ini sudah ter-
cermin dalam tagline-nya yang berbunyi, “Kita Itu Bersama,
Berkarya, Berdaya.” Visi besar kita itu ingin menjadikan
semua individu, khususnya bagi generasi muda, memiliki
keyakinan kuat bahwa dia memiliki potensi, dan dengan
potensinya itu bisa dimanfaatkan tidak hanya untuk dirinya
sendiri tapi untuk masyarakat melalui gerakan pember-
dayaan.
Ini adalah gerakan yang dibangun sebagai bentuk ke­
prihatinan pendirinya akan rendahnya minat para pemuda
untuk menjadi entrepreneur atau pengusaha. Padahal, entre-
preneurship (kewiraswastaan) adalah solusi untuk menyem-
pitkan jurang antara jumlah lulusan dan ketersediaan la­
pangan pekerjaan. Mengapa para pemuda tidak memilih
jalan sebagai pengusaha? Mungkin karena belum memiliki
keberanian.
Padahal, Presiden Republik Indonesia pertama, Ir.
Soekarno pernah mengatakan, “Barangsiapa ingin mutiara,
harus berani terjun di lautan yang dalam.” Nyatanya, orang
sukses yang kita kenal itu sebenarnya tumbuh dari pribadi
yang pemberani. Presiden Ir. Soekarno, presiden Indonesia
pertama, pernah mengatakan kalimat seperti di atas. Ia

Santri Milenial 181


mengibaratkan sebuah kesuksesan dengan mutiara yang
harus dicari di dalamnya lautan yang gelap dan berombak.
Mutiara adalah salah satu perhiasan yang harganya
se­
langit. Siapa pun yang memiliki seuntai mutiara, bisa
dengan mudah dipandang sebagai manusia yang berasal
dari high class society, berkilau mewah seperti mutiara itu
sendiri. Bagaimana cara kita memilikinya?
Mudah saja, kita bisa membelinya di toko perhiasan
selama punya uang yang sangat banyak. Tapi karena harga-
nya mahal, mutiara pasti didapat dengan effort yang keras.
Banyak entrepreneur yang sukses dan kaya secara materi.
Namun, resep untuk mendapatkan itu semua adalah dimulai
dari keberanian.
Jadi Permadani itu sebagai katalisator, laboratorium,
dan hub (penghubung) bertemunya pemuda-pemuda pem-
berani atau masyarakat yang memiliki keyakinan dan spirit
yang sama bahwa pemberdayaan itu bisa direngkuh hanya
dengan satu kata kunci, yaitu kebersamaan.
Kebersamaan itu penting karena sukses itu tidak mung-
kin bisa diupayakan sendiri. Hakikat manusia itu adalah
makhluk sosial, artinya harus selalu bersama dan bersinergi.

Dengan kebersamaan itu kita bisa wujudkan visi, misi, dan


cita-cita menjadi aksi nyata melalui karya. Selanjutnya, karya
dapat menjadi pondasi awal kita untuk berdaya bersama-
sama dalam berbagai aspek, mulai dari networking, usaha,
permodalan, dan lain sebagainya.

182 Santri Milenial


Oleh karena itu, Permadani itu punya program yang
secara garis besar di-split menjadi dua, yaitu pemberdayaan
ekonomi masyarakat dan pemberdayaan pemuda. Mengapa
pemuda menjadi program penting? Karena ujung tombak
gerakan ini ada di pemuda, era Generasi Milenial lebih
spesifiknya.
Program pertama pemberdayaan ekonomi yang akan
kita usahakan adalah dengan membantu akses permodalan,
tentunya dengan kriteria-kriteria yang prudent (asas ha-
ti-hati), dan kita dampingi usaha yang sudah berjalan, serta
dibantu digitalisasi produknya, serta kita branding-kan usah-
anya. Konkritnya, gerakan tersebut bisa diwujudkan dengan
cara kita buatkan akun media sosial dan kita promosikan
secara online.
Sebenarnya, Indonesia ini kaya dengan potensi-potensi
baru yang digerakkan oleh masyarakat umum. Hanya saja,
karena kurangnya pengetahuan dan akses terhadap pasar,
para pengusaha bermodal tipis itu perlu untuk didampingi
sampai mandiri.
Terus yang kedua pemberdayaan pemuda melalui ke-
giatan santripreneur dan gerakan literasi.
Kenapa gerakan literasi? Karena salah satu pondasi da-
lam iklim milenial ini adalah kreativitas di era digital.
Salah satunya melalui akses internet untuk informasi,
menulis, membaca, dan berdiskusi. Itu merupakan contoh
gerakan literasi yang akan kita kembangkan melalui Per-
madani.

Santri Milenial 183


Ada pula gerakan santripreneur yang masuk ke dalam
pesantren-pesantren. Kegiatan-kegiatan tersebut didukung
dengan pengembangan seni dan budaya. Jadi di tengah
hiruk-pikuknya peradaban kita terkait dengan dinamika
politik dan pendidikan, ada seni (art) yang bisa menjadi
oase, penyiram, dan penyegar di tengah kemarau.
Jadi selain mendatangi unit usaha-unit usaha yang
sudah berkembang, para Sahabat Permadani juga melakukan
workshop dan pelatihan bagi para pemuda yang baru
ingin membuka usaha. Dengan demikian, gerakan ini me­
ngandung unsur edukasi dan pendampingan bagi para
pengusaha. Edukasi dilakukan melalui workshop, seminar,
dan training, sementara pendampingan diwujudkan dengan
kerja sama bisnis, seperti mencarikan pasar, memberi per­
modalan, pengembangan produk, dan lain sebagainya.

184 Santri Milenial


PROFIL PENULIS

Muhammad Khozin, lahir dari keluarga santri. Baginya, pe-


santren bukan sekadar tempat bersekolah, tapi sebuah dunia
yang menyatu dengan dirinya, pembentuk pola pikir, cara
pandang, dan orientasi hidup.
Pria yang lahir di Jember, 07 Juli 1988 silam ini mulai
merasakan sistem pendidikan pesantren di Pondok Pesan­
tren Darul Falah Denok, Lumajang; berlanjut di MI Mifta-
hul Ulum Suren Ledokombo, Jember; berlanjut di MTs
Syamsul Arifin Curah Kalong Bangsalsari, Jember; dan
MAK Nurul Jadid Paiton, Probolinggo.
Khozin berkisah, ”Saya masuk pesantren ketika masih
makan disuapi, buang air masih diceboki.” Dari situ kita
bisa menangkap betapa dunia pesantren itu sudah dia kenal
semenjak masih prasekolah saat ia di PP Darul Falah Denok
Lumajang.
Boleh dibilang, Khozin punya trah santri. Keluarga dari
garis kakek, dari orangtua, semuanya keluaran pesantren.
Artinya, dia seketurunan memang lekat dengan dinamika
keilmuan, dan dinamika kegiatan yang kental dengan pe-
santren.
Khozin remaja adalah sosok anak milenial yang susah
diam. Dirinya selalu gelisah ketika tidak ada hal penting
yang bisa dia lakukan. Kompetisi dan adu prestasi memang
menjadi tradisi di pesantren. Khozin terpacu oleh hal itu.

Santri Milenial 185


Mengejar dan mengumpulkan prestasi seolah sudah
menjadi nama tengah dari bapak dengan empat putra-pu-
tri ini. Saat menempuh pendidikan di MAK Nurul Jadid
Paiton, Probolinggo, dia tercatat sebagai siswa dengan hasil
Tugas Akhir (TA) terbaik, demikian pula saat mengikuti
Ospek STAIN Jember mendapat predikat peserta terbaik
di 2006.
Prestasi lainnya adalah menjadi Juara I Lomba Karya
Tulis Ilmiah (LKTI) STAIN Jember 2008; Peserta Terbaik
PKD PMII Cabang Jember; Komisariat STAIN Jember 2008
dan juara I Lomba Debat Mahasiswa; serta Perpustakaan
STAIN Jember, 2009.
Kecintaan berburu ilmu terlihat ketika Khozin berburu
ilmu dari berbagai kampus perguruan tinggi yang berbeda.
Dia telah masuki banyak jurusan untuk mengambil bebera­
pa bidang studi yang berbeda. Diawali dengan mengikuti
kuliah di STAIN Jember, Jurusan Tarbiyah Program Studi
Pendidikan Agama Islam (pada 2010), berlanjut dengan
niat besar mengambil Master in Islamic Education di Uni-
versity of Malaya Malaysia. Itu saja belum cukup. Khozin
lantas memperdalam ilmu Komunikasi Politik di Universitas
Mercu Buana Jakarta, dengan fokus mengambil Master in
Political Communications sejak 2016 hingga buku ini terbit.
Kegemaran berorganisasi dan menulis terasah ber-
kat aktivitas berorganisasi sejak masa sekolah. Dia pernah
dipercaya memegang Divisi Jurnalistik OSIS MA Nurul Ja-
did (2005), juga diangkat sebagai Ketua Lingkar Studi Pena
(LSP) PMII Komisariat STAIN Jember (2008). Kegemaran

186 Santri Milenial


menulis semakin mendapat tempat ketika dia mulai masuk
ke dunia pers. Khozin tercatat pernah menjadi reporter
Koran Rakyat (Malang Jatim) pada 2010. Kariernya semakin
meningkat ketika Khozin dipercaya menjadi koordinator Li-
putan Koran Rakyat (Malang Jatim) pada 2010, juga redak­
tur pelaksana Arema News (Malang Jatim) di 2011.
Pada akhirnya, Khozin menjadi orang nomor satu di
redaksi media ketika diangkat sebagai Pemimpin Redaksi
Surat Kabar Trans Bogor (2012‒2013), juga menjadi Redak­
tur Olahraga Portal Online Indosport.com (2013), dan Pem-
impin Redaksi Portal Heibogor.com (2013‒2015).
Sebagai anak santri yang sudah digembleng dengan
ilmu agama dan leadership, Khozin juga aktif di organisasi
keagamaan hingga diangkat menjadi A’wan Syuriah PCNU
Kota Bogor (2015 - Sekarang), Bendahara MUI Kota Bogor
(2017‒Sekarang), dan mendirikan organisasi kemasyarakatan
yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi dan pemu-
da, sekaligus menjadi Ketua Umum di Ormas Perkumpulan
Masyarakat Madani (2017‒Sekarang).
Insting dan pengalaman wirausaha dia amalkan dengan
mengelola bisnis media dan IT menjadi Komisaris PT. Mata
Media Pratama (2013‒Sekarang) dan Direktur Utama/Owner
PT. Khoida Berkah Jaya (2015‒Sekarang).
Selepas studi S1 di STAIN Jember, ia merantau ke Ma-
lang Jawa Timur. Sempat ia menekuni bisnis kuliner sebagai
pedagang baso di seputaran kampus UIN Malang. Namun
usaha ini tidak berlanjut mengingat kendala modal.

Santri Milenial 187


Khozin saat ini sering bolak-balik antara Jember tempat
tinggal keluarganya dan Bogor tempat dia banyak berak-
tivitas. Dari kedua tempat itu, Jember adalah tempat yang
selalu dirindukannya untuk selalu pulang. Tempat terbaik
untuk berkumpul dengan putra-putri dan istrinya, sekaligus
tempat dia tetap mengamalkan ilmu nya di Ma’had Putri
Al-Khozini, Pesantren khusus mahasiswi yang didirikannya.
Buku ini adalah karya pertama Muhammad Khozin
dan akan disusul dengan buku-buku lainnya yang tidak
kalah inspiratifnya. Penulis dapat dihubungi di;

Facebook : @muhammadkhozin88
Instagram : @muhammadkhozin88
Twitter : @muhammadkhozin_
Website : MuhammadKhozin.com
Email : khozin88@gmail.com
HP : 0811336818

188 Santri Milenial

Anda mungkin juga menyukai