Anda di halaman 1dari 4

Dakwah Islam Melalui

Teknologi Milenial

Oleh: Riri Hanifah Wildani, Lc


Selama ini kita merasa bahwa kegiatan kesantrian hanya berpusat pada belajar ilmu-ilmu alat dan ilmu
syar’i atau dalam arti kata ilmu agama. Ilmu alat mencakup berbagai disiplin ilmu yang digunakan untuk
memudahkan seorang santri dalam memahami berbagai ilmu agama (seperti ilmu bahasa dan sastra
Arab). Ibarat untuk sampai ke sebuah pulau kita harus memiliki perahu untuk dikendarai. Semakin bagus
kualitas perahu dan menggunakan mesin yang canggih, maka kita akan lebih cepat sampai di tujuan tanpa
ada halangan yang berarti, in syaa Allah.

Namun apabila kita menggunakan perahu yang bobrok, sudah rusak di sana sini, dan sudah mulai lapuk,
bisa jadi kita akan lambat sampai di pulau tersebut. Atau bahkan mungkin gagal mencapai pulau tersebut
disebabkan banyaknya masalah yang timbul di pertengahan jalan. Misalkan kita harus mengeluarkan air
yang masuk akibat perahu yang bocor atau perahu yang mudah karam diterjang ombak.

Namun setelah memiliki ilmu alat yang cukup memadai, langkah selanjutnya adalah seorang santri
mengambil sebanyak-banyaknya ilmu syar’i dan mendalaminya. Namun mendalami ilmu syar’i mungkin
harus diwakilkan kepada sebagian penuntut ilmu saja. Banyak juga yang kemudian tidak melanjutkan
untuk mendalami ilmu syar-i, dan beralih menuntut ilmu yang berkaitan dengan keduniaan demi
membekali diri untuk kelangsungan hidup di dunia.

Namun bukan berarti yang dilakukan oleh santri tersebut adalah salah. Dalam surat At-Taubah ayat 122
disebutkan:

“Tidaklah seharusnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang. Mengapa tidak
sebagian dari setiap golongan pergi untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama mereka dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga diri
(waspada).”

Jadi sudah menjadi sunnatullah, bahwa yang mendalami agama itu hanya sebagian. Namun mempelajari
agama, sudah pasti menjadi rutinitas para santri. Santri sendiri memiliki arti: “Orang yang mendalami
agama Islam. Atau orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh atau orang saleh.” Para santri
digembleng dan dibekali ilmu agama, agar tidak lupa dengan orientasi sesungguhnya dari kehidupan
dunia, adalah kehidupan yang kekal, yaitu kampung akhirat. Maka tak sedikit pondok pesantren yang
menyediakan berbagai macam ekstrakurikuler yang mengajarkan skill di masyarakat.

Ada kegiatan yang mengasah kemampuan organisasi, masing-masing pesantren memiliki namanya
sendiri. Ada kegiatan mengasah kemampuan menghadapi tantangan, yang kita kenal dengan pramuka.
Bahkan di sebagia pesantren khusus perempuan ada pelatihan skill memasak, menjahit, menata dan lain
sebagainya bahkan skill untuk berbicara di depan umum (public speaking). Di sebagian pesantren bahkan
sangat menjunjung skill olahraga seperti memanah dan berkuda. Jadi bila tidak dapat diambil semua
manfaat, maka tidaklah manfaat itu ditinggalkan semuanya. Begitu pula dengan keterampilan yang
diajarakan di pesantren.

Pesantren mungkin belum cukup memberikan semua ilmu syar’i, namun dengan ilmu yang ada,
setidaknya dia telah memiliki bekal bagaimana menjadi seorang muslim yang baik. Maka sudah
sepatutnya di pesantren mengajarkan santrinya ilmu alat, Aqidah dan akhlak. Meskipun terkadang
terdapat kekurangan karena sistem pendidikannya menekankan ilmu alat. Namun sebagian akhlak dan
cara bermuamalah dengan lawan jenis tidak terlalu banyak disentuh dalam pembelajaran formal. Padahal
ini adalah perihal urgen dan penting apalagi setelah seorang santri keluar dari lingkungan
pesantrennya.Namun secara umum inilah tujuan dari pesantren: yaitu menjadi jembatan seorang santri
menjadi manusia yang baik dan saleh dan men-salehkan.

Maka peran santri sangatlah penting dalam menghadapi kemajuan teknologi yang tidak terbendung.
Dimana proyek kebaikan dan kemaksiatan saling bertubrukan tanpa henti dan tanpa istirahat. Dalam
beberapa tahun terakhir saja sudah sangat marak sosial media dipenuhi oleh para Influencer. Influencer,
seperti yang kita ketahui adalah orang yang memiliki banyak follower di sosial media. Hal ini menjadi
target para pebisnis dalam memasarkan produknya.

Maka tak sedikit orang yang mulai coba-coba menjadi influencer. Mulai dari anak usia Sekolah Dasar
sampai orang dewasa. Bila secara umum influencer berarti orang yang bisa memiliki pengaruh pada
banyak orang dengan postingannya. Maka kita sebagai kaum muslimin harus bisa bahu membahu
membendung arus informasi negatif yang tersebar di media sosial.

Media social ini seperti menjadi buah simalakama bagi kita sebagai umat Islam. Di satu sisi memberikan
fitur yang menjanjikan untuk kegiatan-kegiatan dakwah, namun di sisi lain malah banyak hal-hal yang
kurang sesuai dengan cara hidup pribadi Muslim. Seperti memamerkan harta, aktifitas dan kebahagiaan
agar dilihat banyak orang. Yang dikhawatirkan akan berimbas kepada kondisi riya’ dan suka berbangga-
bangga.

Contohnya Setiap makan ke sebuah restoran seakan kita wajib mem-post makanan yang kita makan dan
kebahagiaan yang kita rasakan. Atau pakaian yang kita pakai. Ini sangat jauh dari sikap hidup yang Nabi
Muhammad Saw ajarkan. Maka disinilah peran para santri yang sudah memiliki tujuan dan orientasi
untuk menuju Allah, mengembangkan teknologi untuk hal-hal yang bermanfaat dan dakwah kepada
Islam.

Betapa saat ini sangat dibutuhkan konten creator yang benar-benar bertujuan untuk dakwah yang
menyeluruh dan dapat diterima orang. Saat ini sudah mulai bermunculan konten creator dakwah dengan
visualisasi gambar dan video yang bagus. Namun belum seberapa dibandingkan yang menciptakan konten
komersial.

Contohnya untuk film kartun saja baru sedikit yang memiliki kualitas gambar yang bagus dengan isi yang
berbobot. Misalkan untuk Negara Qatar ada film kartun anak berjudul Kartun Siraj yang membahas
tentang huruf hijaiyyah dengan narasi yang sangat menarik dan menyenangkan. Kemudian di Negara
Arab Saudi ada kartun berjudul: “Su’ud dan Sarah fi raudhatil Quran” (Su’ud dan Sarah di taman Al-
Quran) berkisah tentang dua anak yaitu Su’ud dan Sarah yang mempelajari satu surat dari Juz 30 setiap
harinya. Dan di Malaysia juga telah hadir Kartun Anak Omar dan Hana yang tak kalah menarik. Baru-
baru ini di Indonesia telah launcing Kartun Nussa dan Rara yang telah booming di antara orang tua yang
ingin mendidik anak-anak dengan metode parenting Islami.

Namun jika dibandingkan dengan pilihan tontonan kartun anak di TV dan youtube sangat banyak sampai
tak terhingga. Namun yang benar-benar fokus kepada konten yang bagus dan kualitas gambar yang bagus
sangat sedikit. Belum mencapai viralnya film-film kartun Disney. Maka disinilah peran santri
membumikan dakwah Islamiyah sangat diperlukan. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada dan
mengembangkannya menjadi alat perjuangan dakwah Islam.

Karena untuk mengembangkan dunia perfilman anak-anak diperlukan yang ahli di bidangnya, namun
juga memiliki keinginan untuk menghadirkan edukasi yang baik dan islami untuk anak-anak. Saat ini
pembuat film anak-anak masih terpisah-pisah dan belum bersatu. Namun bila para awak media muslim
bersatu dalam sebuah organisasi. Maka akan mudah mencari wadah berjuang bersama meski berbeda
chanel, berbeda program, untuk kemajuan teknologi dan penyiaran dakwah Islam.

Kita bukan berniat membuat anak-anak menjadi pecantu tontonan atau kartun. Tapi kita membandingkan
bagaimana tontonan Islami untuk anak-anak belum bisa membuat kesan yang dalam serta menyeluruh
untuk semua anak di dunia. Tontonan islami selama ini hanya fokus ditujukan untuk anak-anak muslim.
Maka akan lebih baik jika ada usaha pula untuk menebarkan dakwah islam lewat film anak-anak dengan
pendekatan yang dapat diterima masyarakat dunia umumnya, disamping penguatan aqidah dan akhlak
Islam secara internal.

Begitu juga dengan chanel Televisi yang lebih menfokuskan kepada dakwah internal umat Islam dan
kurang memperhatikan dakwah kepada umat manusia secara umum. Maka ini diperlukan kreatifitas dan
skill yang mumpuni untuk menciptakan konten-konten yang dapat diterima dengan kualitas program yang
baik. Seperti kualitas animasi, gambar bahkan slide-slide yang ditampilkan dalam siaran dan chanel islam.

Maka di era Milenial dan Revolusi Industri 4.0 yang semakin mengikis jati diri manusia maka hendaknya
peran santri dalam menghadapi tantangan zaman dan kemajuan teknologi tidak dapat diremehkan.
Akankah kita harus menjadi para Muslim yang kolot dan tidak paham teknologi, itu adalah pilihan kita.
Bisa saja orang Muslim semua mennggalkan teknologi dan hidup terasingkan dari dunia. Namun apakah
ini yang terbaik. Bukankah Allah mengatakan:

“Sungguh telah berlalu sunnah-sunnah Allah sebelum kamu, karena itu berjalanlah kamu ke (segenap
penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan Rasul-rasul.”

(Surat Ali-Imran ayat 137)

Maka Allah sendiri memerintahkan untuk berjalan di muka bumi untuk mencari ibrah dan menyebarkan
dakwah Islam, dan melihat bagaimana perjalanan-perjalanan orang-orang kafir yang tidak beriman. Jika
tidak bisa berjalan untuk langsung melihat dunia, maka teknologi adalah perantara yang kita gunakan
untuk mengetahui kehidupan mereka, dengan tujuan mengambil pelajaran (yang baik) dan meninggalkan
keburukan yang mereka lakukan.

Wallahu a’lam bis shawab.


Biodata Penulis
Nama: Riri Hanifah Wildani, Lc

Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 28 Maret 1994

Kekeluargaan: KMM (Kesepakatan Mahasiswa Minangkabau) Sumatera Barat.

Alamat di Mesir : Darrasah, Cairo.

Pendidikan: 1. TK Jihad Padang Panjang, Sumatera Barat.

2. Madrasah Ibtidaiyyah Diniyyah Puteri, Padang Panjang.

3. Madrasah Tsanawiyyah Diniyyah Puteri Padang Panjang.

4. Madrasah Aliyah Negeri 02 Kotobaru Padang Panjang.

5. S1 Universitas Al-Azhar Jurusan Ushuluddin-Tafsir (2011-2015)

6. Tamhidi 1 Universitas Al-Azhar Jurusan Pasca Sarjana Jurusan Tafsir (2015-2019)

7. Tamhidi 2 Universitas Al-Azhar Jurusan Pasca Sarjana Tafsir (2019)

No HP Mesir : +201123388189

No HP Indonesia dan whatsapp: +6287862182749

Email: ririhanifahh@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai