Anda di halaman 1dari 13

DAUR HIDUP ORANG BUKIT

(Deskripsi Siklus Upacara-upacara Ritual Kehidupan)

Oleh: Rusdi Effendi (Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Unlam Banjarmasin)

Abstrak: Orang Bukit adalah salah satu etnik yang memiliki tradisi adat-istiadat tersendiri di samping
etnik asli dan pendatang lainnya mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Orang Bukit memilih lingkungan
tempat tinggal di daerah pegunungan berhutan, terikat dengan lading dan pertanian berikut religi asli
“Balian” atau religi “Huma”. Dengan tempat tinggal yang jauh dari pusat perkotaan Orang Bukit hidup
secara turun-temurun mewarisi tradisi lama dan mempertahankan upacara-upacara ritual – serimonial –
magis sejak masa kehamilan, melahirkan, dewasa, kawin-mawin, hingga masa kematian. Semua siklus
lingkaran upacara kehidupan tersebut dinamakan dengan “Daur Hidup”. Upacara Daur Hidup Orang
Bukit berakar pada religi Balian dan dipimpin oleh tokoh religius dan tokoh adat.

Kata kunci: Orang Bukit, upacara, Daur Hidup, Kalsel.

PENDAHULUAN

Kalimantan Selatan dengan luas wilayah lebih kurang 36.985.50 Km2, merupakan wilayah yang terkecil,
jika dibandingkan dengan propinsi lainnya di Kalimantan. Dari segi etnis ternyata di kawasan ini terdapat
berbagai etnis asli (penduduk asli) maupun etnis pendatang hidup berdampingan secara damai. Salah
satu etnik asli adalah orang Bukit, merupakan kelompok masyarakat bersahaja yang mendiami wilayah
pegunungan Meratus dengan adat istiadat tersendiri sebagai masyarakat pedalaman.

Kelompok orang Bukit umumnya bertempat tinggal di daerah bergunung-gunung, berhutan dan tidak
bias dipisahkan dari kegiatan Huma (menanam padi), air sebagai sumber kehidupan (pancur, anak
sungai dan sungai pegunungan). Dalam adat-istiadat secara tradisional hampir seluruh aspek kehidupan
mereka terikat pada upacara-upacara ritual, mulai dari masa kelahiran, dewasa hingga kematian sebagai
bagian dari (manusia) dengan aspek religi yang dinamakan upacara Daur Hidup dalam lingkup Religi
Balian.

Sampai saat ini Orang Bukit dengan regenerasinya masih tinggi aktivitasnya di Daerah Aliran Sungai
(DAS) (1) Sungai Tabalong; (2) Sungai Balangan; (3) Sungai Alai; (4) Sungai Hamandit (Amandit); (5)
Sungai Sampanahan; (6) Sungai Riam Kiwa dan survei terakhir masih agak orisinil di kawasan Pitab
bagian hulu dari sungaiu Ajung (Ajung Hulu, Tengah dan Hilir) Kecamatan Awayan Hulu Sungai Utara.

PENGERTIAN DAUR HIDUP


Daur Hidup, mengandung pengertian yang ditujukan kepada siklus dalam lingkaran perjalanan hidup-
kehidupan manusia secara berputar (berproses) baik sebagai individu atau masyarakat pendukung
Budaya kelompok etnik tertentu.

Pengertian Daur Hidup adalah dikaitkan dengan upacara-upacara ritual kehidupan manusia secara
individual maupun kelompok masyarakat telah diikat oleh religi dan menjadi tradisi-budaya, sehingga
tidak bias dipisahkan dari aspek kehidupan manusia dan menjadi kepribadian suku etnik tertentu.

Untuk melihat apakah upacara Daur Hidup masih berlangsung pada kehidupan Orang Bukit di daerah
kebudayaannya perlu dilakukan secara cermat dan observasi lapangan. Daur Hidup sesuatu Etnik dapat
dilihat dari upacara-upacara sejak lahir, dewasa, kawin-mawin, bermasyarakat hingga kembali kepada
kematian individual dapat diukur pada kegiatan-upacara etnik tersebut. Dengan demikian untuk melihat
Daur Hidup Orang Bukit tidak bias dipisahkan dari upacara-upacara ritual.

Suatu pertanyaan mendasar siapakah Orang Bukit itu? Berdasarkan pengelompokkan suku, misalnya H,J,
Malinnkrodt (1928) dalam disertasi beliau Het Adatrecht van Borneo masih belum mengelompokkan
nama Orang Bukit, beliau hanyalah membagi rumpun suku Kenya-Kayan-Bahau-Ot Danum- dan Iban di
Kapuas, serta Orang Bukit Murut di Sabah. August Harderland (Worterbuch – 1895) menanamakan
kelompok suku yang dikelompokkan di atas dengan nama “Dayak”. Malinnkrodt menganggap dengan
tidak ada kepastian, bahwa Orang Bukit adalah pecahan dari Orang Maanyan.

Istilah Orang Bukit mula-mula dipakai berdasarkan catatan Missionaris Grabowski (1885:782-786) dalam
“Die Orang Bukit order Bergmenchen von Mindai” di mana ia memberikan pengertian, bahwa Orang
Bukit itu sebagai Orang Gunung (Bergmenchen) atau orang yang tinggal di daerah pegunungan.
Pengertian tersebut dibahas oleh Noer’id Haloe Radam (1987:97-101) dalam Disertasi beliau
menyanggah atas pendapat Grabowski tentang Orang Bukit sama dengan orang gunung di daerah
Mindai (desa Pembakulan). Dalam mitos mereka, Orang Bukit tidak pernah menyatakan mereka sebagai
orang gunung (Pegunungan), karena mereka pernah tinggal sebagai Orang Dagang yang tidak lain adalah
Orang Banjar yang telah beragama Islam (lihat uraian berikut Mitos Dayuhan dan Intingan).

Kepindahan orang Bukit dari daerah asalnya yang berada di tepian sungai dataran rendah ke daerah
baru pegunungan diduga kuat terjadi dengan latar belakang mempertahankan diri dan menjaga
keyakinan, serta motif mata pencaharian. Walaupun diakui secara jujur Orang Bukit jarang mengaku
dirinya sebagai orang Bukit. Mereka lebih cenderung menyebut asal dari keluarga luas (bubuhan) dan
daerah tinggalnmya atau “Orang”, misalnya Bubuhan Lok Sado, Bubuhan Kiyu, Bubuhan Papagaran,
Bubuhan Paramasan atau Orang Ajung, Orang Batu Balah dan lain-lain.
Tjilik Riwut (1979) dalam buku beliau “Kalimantan Membangun” memasukkan kelompok Orang Bukit ke
dalam kelompok Dayak Ngaju, sehingga beliau menyebutnya sebagai orang “Dayak-Bukit”, dengan
daerah aktivitasnya Pleihari, hulu Riam Kiwa dan pegunungan Meratus.

Pada pendapat beliau di atas, bahwa orang Bukit dimasukkan dengan kelompok Ngaju dengan sebutan
Dayak-Bukit masih diragukan, mengingat segi bahasa Orang Bukit sama sekali jauh dari berbeda dengan
bahasa Orang Ngaju. Bahasa Orang Bukit hampir sama dengan bahasa Banjar Pahuluan yang dibedakan
hanyalah dialek dan intonasi pengucapan kata saja.

Untuk mencari siapa orang Bukit tersebut, perlu dilacak proses Evolusi Urang Banjar. Mendiang M. Idwar
Saleh (1984) mengemukakan hipotesa beliau, bahwa Urang Banjar terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar
Orang Banjar:

1. Kelompok Banjar Kuala, yang mendiami daerah Kota Banjarmasin – Kabupaten Banjar berasal
dari kesatuan Etnik Ngaju;

2. Kelompok Banjar Batang Banyu, yang mendiami daerah aliran Sungai Barito hingga Sungai
Negara terus ke Sungai Tabalong di daerah Kelua, kelompok ini berasal dari Etnik Maanyan; dan

3. Kelompok Banjar Pahuluan, yang mendiami di sepanjang kaki pegunungan Meratus dari Tanjung
sampai ke Pelaihari, berasal dari kesatuan Etnik Dayak-Bukit.

Dengan demikian agak jelas, bahwa untuk mencari siapa orang Bukit mulai terang, mereka adalah
pembangun generasi orang Banjar Pahuluan yang mempunyai kesamaan watak, bahasa dan budaya
dengan Orang Bukit, sekalipun sejak abad ke-16 telah beragama Islam disatukan dalam Kerajaan Banjar.

Cerita rakyat di daerah Tapin tentang dua bersaudara Dayuhan (Palui Tuha) dan Intingan (Palui Anum)
merupakan tokoh legendaries Orang Bukit dan Urang Banjar.

Dayuhan dan Intingan semula tinggal di daerah dataran rendah, keduanya belajar agama Islam dan dan
sama-sama mendapatkan kitab Al-Qur’an, Intingan tekun belajar, Dayuhan sebagai saudara tua kurang
rajin dan Kitab dibakar, dibuat kopi kemudian diminum, dalam keyakinannya semua isi kitab telah masuk
dijiwa dan raganya.
Antara Dayuhan terjadilah perbedaan pendapat dengan adik kandungnya Intingan, sehingga kedua
bersaudara ini berpisah dengan keyakinan masing-masing. Intingan tetap dengan agama Islam,
sedangkan kakaknya Dayuhan tetap dengan keyakinan religi Balian pergi ke gunung (Pedalaman).
Intingan membangun Mesjid dan kampung-kampung Banua Halat, Parigi, Gadang dan Lok Paikat,
sedangkan Dayuhan mendirikan kampung orang Bukit di daerah Mancabug, Harakit, Balayawan dan
Danau darah di pegunungan Tapin. Apabila keduanya ingin bertemu mereka mengunjungi kawasan
Banua Halat yang menjadi batas kedua wilayah mereka. Orang Bukit dan Urang Banjar adalah
bersaudara (Badangsanak).

Berdasarkan paparan di atas diperoleh dugaan kuat, bahwa Orang Bukit bukanlah orang Gunung, tetapi
berasal dari daerah dataran rendah atau orang Bawah, di mana nenek moyang mereka telah mendiami
wilayah-wilayah aliran sungai atau tepian sungai Tabalong, sungai Balangan, sungai Batang Alai, sungai
Amandit, sungai Tapin dan Sungai Martapura bagian hilir, tetapi karena alasan mempertahankan religi
(Balian), mata pencaharian dan adat istiadat mereka pindah menjauh ke pedalaman sebagai orang yang
bersahaja tinggal di pegunungan.

RELIGI ORANG BUKIT

Sebagian orang mengelompokkan Orang Bukit menganut religi Kaharingan, disamakan dengan religi
orang Dayak Maanyan, Ngaju, Lawangan, dan lain-lain. Istilah Kaharingan diberikan semula pada zaman
pendudukan Jepang saat itu Damang Yohanes Salilah (1945) menyampaikan kepada penguasa Jepang,
bahwa pemberian nama Kaharingan bagi religi orang Dayak. (Hermogenes Ugang, 1983:10).

Kalau dinyatakan kepada orang Bukit apakah mereka memeluik agama Kaharingan, mereka jadi bingung
dan tidak banyak mengetahuinya, jika ditanyakan tentang religi “Balian” mereka akan mudah
menjelaskannya. Orang Bukit lebih mudah dikenal sebagai “Religi Balian”.

Religi Balian orang Bukit bersifat lisan (oral), hampir tidak ditemui berupa buku (kitab) tertentu yang
mengatur umat menjalankan ajaran-Nya. Religi Orang Bukit dapat dikatakan sebagai religi masyarakat
“Huma” terkait dengan penghormatan terhadap “Padi” secara sacral yang terwujud dalam upacara-
upacara ritual.

Tuhan bagi orang Bukit pantang disebut-sebut merupakan hal yang tabu. Mereka mempercayai adanya
Tuhan nama “Ilah” (sang pencipta) berikut kekuatan supranatural-Nya. Di samping berkeyakinan adanya
Tuhan mereka tidak meninggalkan adanya sejumlah nama Ilahiyat yang harus dipuja-puji dan dihormati
misalnya (1) Arwah nenek moyang (Datu-Nini); (2) Arwah yang masih gentayangan di sekitar tempat
tinggal (Pidara); dan (3) Roh para penguasa yang berjasa (Kariau), serta roh-roh alam (Penguasa dan
pemelihara hutan, lading, pohon-pohon, sungai, hewan dan sebagainya).

Bumi dipercayai sebagai Ibu (Indung-Pangasihan), Langit disebut Bapak Penguasa (Bapak Kuwasa), Diri
manusia (Limbagan) mempunyai saudara empat (Dangsanak empat) ada yang baik, ada yang buruk
sehingga mempengaruhi diri manusia. Padi diagungkan sebagai buah Langit (sebut = rezeki, buah tahun,
buah pohon, kembang musim) diberi gelar “Diyang”.

Orang Bukit secara umum mempercayai adanya 3 (tiga) Ilah Utama, adalah sebagai berikut:

(1) Suwara, adalah Ilah pencipta alam raya, Manusia pertama, serta tujuh tumbuhan pelindung;

(2) Nining Bahatara, adalah Ilah Pengatur (Pencatu) rezeki,


nasib manusia berikut dan

(3) Sangkawanang, adalah Ilah yang memberi dan


menentukan kewenangan terhadap Padi.

Ilah-Ilah lainnya adalah Hiyang (roh Datu-nini) dan Nabi-


nabi hanyalah pembantu Ilah utama. Kedudukan Ilah dalam
religi Balian sama sejajare secara horizontal. Religi Balian
para nabi yang hampir mirip dengan nama-nama Nabi yang
wajib dipercayai oleh orang Muslim, mereka mempercayai adanya 40 (empat puluh) orang Nabi.
(misalnya Nabi Yakub, Nuh, Haidir, dan Nabi Muhammad).
Religi orang Bukit dinamakan “religi Balian”, namun harus dipisahkan dengan pimpinan keagamaan
mereka juga diberi nama “Balian”, ialah orang yang memimpin seluruh aspek upacara ritual kehidupan
orang Bukit. Balian bertingkat-tingkat. Pertama, Guru Jaya; yakni orang yang berwenang penuh
memimpin semua upacara, membuka upacara, seorang guru keagamaan tradisional dan merangkap
sebagai dukun (ahli pengobatan penyakit) dan dipandang sebagai symbol pemersatu bubuhan.

Kedua, urutan Balian adalah Balian Tuha; orang yang berwenang penuh memimpin upacara religius adat
bubuhan tertentu, lebih rendah dari guru Jaya, tetapi berpengaruh kuat dalam adat, ia cikal bakal guru
Jaya. Ketiga Balian Tengah dan Balian Anum, orang yang sementara waktu bisa menggantikan peran
Guru Jaya dan Balian Tuha, apabila diperlukan, iapun masih dalam tahap yang belum tinggi dan masih
belajar.

Semua aspek upacara tidak bias dipisahkan dari tarian “Tandik” atau “Batandik” dan kerasukan (in-
trance), dibantu Juru Patati (orang yang menjawab pertanyaan, menjelaskan dan menterjemahkan
kemauan Balian) saat kesurupan.

Di samping itu peran tukang tabuh gendang sangat berperan dalam upacara yang dimainkan oleh laki-
laki ataupun perempuan, di mana pukulan gendang harus sesuai dengan gerak Ilah yang dijadikan
komunikasi untuk dipanggil.

UPACARA-UPACARA DAUR HIDUP ORANG BUKIT

a. Upacara Kehamilan dan Bapalas Bidan

Kehamilan muda bagi orang Bukit adalah sebuah kegembiraan anugrah Ilah, mereka melakukan upacara
kehamilan di Umbun (rumah keluarga) dengan mengumpulkan sanak-famili dari umbun lainnya dalam
satu bubuhan. Umumnya dilakukan di bilik umbun dan bias dipimpin oleh Balian Tuha, maupun Balian
Tangah. Upacara ini cukup mereka sebut dengan “Bamandi-mandi”, biasanya pada kehamilan (tian) 3
(tiga) sampai 7 (tujuh) bulan.

Setelah anak (bayi) lahir, juga dikenal upacara Bapalas Bidan, yakni memberi hadiah (piduduk) berupa
lamang ketan, sumur-sumuran (aing terak), beras, gula dan sedikit uang kepada Bidan atau Balian yang
menolong. Biasanya sekaligus pemberian nama kepada sang bayi. Termasuk nantinya saat anak sudah
mulai berjalan (turun) ke tanah dari rumah (umbun) juga dengan upacara Mainjak tanah, tetap dipimpin
oleh Balian.
b. Upacara Perkawinan

Saar memasuki usia dewasa, anak jejaka dan dara perawan dianggap siap berumah tangga, maka
dilakukanlah proses tata cara perkawinan orang Bukit dengan urutan adat-istiadat antara lain (1)
Bagurisik, orang tua si jejaka melalui perantaraan Pangulu menyerahkan Logam perak 25 Sen (F.O.25
Hindia Belanda) sebagai Patalian diserahkan oleh penghulu ke orang tua si Gadis, selama 3 (tiga) hari
memasuki tahap, (2) Paminangan, di mana orang tua si Gadis ternyata tidak mengembalikan logam
tersebut, berarti pinangan diterima.

Setelah diterima, maka orang tua Jejaka segera menemui calon besan (Pawarangan) membicarakan
tahap berikutnya, yakni (3) Babiasa, di mana Jejaka diizinkan tinggal di Umbun si dara dalam
pengawasan keluarga si gadis selama 7 – 10 hari.

Masa Babiasa tersebut menentukan cocok atau tidaknya kedua pasangan, berikut hubungan dengan
sanak-keluarga si gadis, apabila cocok dilanjutkan ke upacara perkawinan di Balai Adat.

Acara perkawinan puncak dimulai dengan (4) Bagurau, yakni penentuan jumlah mas kawin, jujuran,
uang, dan perangkat adat melalui asbah atau juru runding kedua mempelai. Baru memasuki tahap (5)
Baruji, adalah menentukan uang tertentu secara simbolis dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Baru dinikahkan oleh Balian atau Panghulu dengan tahap (6) Basangga, yakni kedua mempelai resmi
suami-isteri dan diperkenalkan ke seluruh bubuhan, berikut Balian/Panghulu memberi restu dengan
mamang (pemberian restu dengan mantra) kepada Bapang (Langit) dan Indung (bumi). Kedua mempelai
ditutupi dengan mas kawin Kain Bubut Huwan tetap dinasihati dengan mantra, tabuhan gendang dan
tandik Balian, inilah tahap akhir dengan nama (7) Bajanji di hadapan Penghulu, Tetuha bubuhan, Kepala
Adat, Balian dan pihak keluarga.

c. Upacara-upacara Umum dalam Kehidupan

Keluarga orang Bukit yang tinggal dalam umbun (rumah atau bilik keluarga dalam satu kepala keluarga)
baik yang berada di putaran Balai, maupun terpisah dari Balai induk tidak bias lepas dari upacara-
upacara umum dalam kehidupan yang terkait dengan kegiatan pertanian (Huma). Upacara-upacara
dimaksud antara lain:

c.1 Upacara Mamuja Tampa, yakni setiap umbun sebelum memulai pekerjaan membuka lading atau
mencari lading melakukan upacara pemujaan terhadap peralatan yang terbuat dari besi (Puja-puji Ilah
Jajanang wasi dan Jajanang Nar).
c.2 Upacara Manyangga Banua, sebagian umbun bubuhan yang mampu secara patungan keuangan dan
bahan makanan, mereka melakukan upacara manyangga banua, agar wilayah ladang, sungai, pancur
selamat dari gangguan apa saja. Umumnya dilakukan di tempat umbun.

c.3 Upacara mencari Ladang Hanyar; yakni upacara yang dilakukan setiap umbun bersama kepala
padang, tetuha bubuhan (Balian) menjelajah lahan tertentu dan mengadakan upacara puja-puji
terhadap ilah-ilah tertentu seperti Pujud, Tanjung, Lampung, dan roh pepohonan (Diyang Sanyawa).

c.4 Upcara Batilah; yakni upacara saat penebangan pohon bambu di lokasi lahan yang baru digarap dan
lahan bekas yang akan digarap kembali, karena pohon bambu dianggap pohon yang patut dihormati
oleh segenap manusia. Upacara ini bertujuan agar penebangan pohon bamboo tidak membawa
musibah bagi umbun yang melakukannya.

c.5 Upacara Katuan atau Marandahakan Balai Diyang Sanyawa; yakni upacara yang dilakukan pada saat
membuka lahan terdapat pohon besar dan tinggi di lahan tersebut, Katuan (sebut = Ketuhaan) dari
pohon tersebut dan diyakini pohon didiami oleh roh penguasa kawasan tersebut (Diyang Sanyawa) dan
tempatnya (pohon) disebut Balai. Upacara tersebut dilakukan oleh beberapa umbun yang yang
ladangnya saling berdekatan dengan phon besar tersebut. Mereka sama-sama menebang pohon tadi
berikut sesajin dan menanam tanaman tertentu dipimpin oleh Balian Tuha.

c.6 Upacara Bamula; yakni memulai penanaman padi di lahan yang baru dibuka tersebut. Menjelang
naiknya matahari siang hari para umbun dan kerabat-bubuhan dengan pakaian agak bagus menuju
lading, mereka menyebutnya pula “Mengantar Diyang Balayar” tidak sembarang hari untuk menanam
padi, hari baik adalah pilihan jitu memulai menanam padi. Kepala Umbun mulai melakukan pendirian
peralatan Pamataan (bangunan terbuka berbentuk kubus terbuat dari tebu hutan (Tabu salah) dan kain
bubut huwan sebagai penutup, diberikanlah sesajen (ketan, beras, bubur, kue-kue dan telaga darah)
berikut tihang layar warna-warni dibuat paumangan (lubang) menanam padi. Mulailah upacara Bamula
dipimpin oleh Balian Tuha dengan dimulai dari Bapidara. Pahundangan arwah nenek moyang hingga
puja-puji Ilahiyat. Semua padi (banih) harus habis tertanam pada saat itu.

c.7 Upacara Basambu Umang; yakni upacara merawat atau memelihara padi. Kata Umang berarti uma
atau ibu, padi dianggap sebagai bagian dari umang kepunyaan Datu Bini Badangsanak Walu, sehingga
Induk padi itulah yang melahirkan padi-padian sekarang ini. Karena itulah padi induk perlu dirawat,
dipelihara (diharagui), terutama dari bahaya penyakit dan hama. Basambu Umang ditujukan untuk
menolak bala penyakit dan hama. Upacara dilangsungkan pagi hari di setiap umbun dan berlanjut pada
malam hari di pondok atau balai secara bersama-sama.

Basambu Umang disebut juga dengan “Bawanang Kecil”, ada juga yang hanya melaksanakannya di
lading Pamataan masing-masing umbun, ada juga yang hanya aruh di lawang di kincing (Kenduri di pintu
di kuali sendiri), kalau yang dilaksanakan bersama-sama di balai adat disebut aruh balambang di balai.
Umumnya dilakukan apabila padi mulai berbuah (tian bini = bunting).

c.8 Upacara Manyindat Banih atau Manatapakan Tihang Babuah; upacara ini dilakukan dilihat jangka
waktu lamanya panen padi, kalau pendek masa katam (Panen) empat hingga lima bulan disebut padi
ringan (Panambai atau Diyang Panjulak) kalau lama masa tuai (panen) disebut :Padi Berat” atau
dinamakan dengan Diyang Kabungasan dan Diyang Halin.

Kalau upacara untuk padi yang pendek masa panennya disebut upacara Manyindat Diyang Panabai,
sedangkan padi yang agak lama masa panennya disebut upacara Manatapakan Tihang Babuah atau
Manjumput Diyang Kabungasan.

c.9 Upacara Bawanang; yakni upacara yang bebas dari berpantang (Lapas Pamali), Bawanang merupakan
impian dan kebahagiaan bagi orang Bukit. Mereka bebas mendayagunakan lading dan padi apabila
dilalui oleh upacara Bawanang. Upacara semakin diperbesar, balai dihias Baputir (Langgatan,
patundakan, tihang pabahataraan dan tihang panguasa), Bariwah harus lengkap peralatan lalaya, pucuk
badiri, balai atau maligai rumbuan amass dan tihang panggalung. Badewa; adanya tihang sajuduh (laki-
bini), tihang bahatara, langgatan raden dan sebagainya, termasuk sesajen untuk tiga jalan komunikasi
harus disediakan lengkap. Ciri khas Bawanang secara sacral dilangsungkan selama 15 (lima belas)
hari/malam. Bawanang adalah upacara puncak bagi orang Bukit setiap tahunnya. Tandik Balian, Tabuhan
gendang, mantra-mantra bahasa Banjar Lama keluar, kerasukan (in-trance) selalu mewarnai upacara
sacral. Peran Balian Tuha dan tokoh Guru Jaya muncul kepermukaan, Balian Tangah dan Balian Anum
penggiring setia, berikut Juru Patati dan Patati Biasa. Upacara aruh Ganal ini dihadiri Kepala Adat,
Panganan, Pangiwa, kepala Padang, tetuha umbun dan bubuhan berkumpul.

Secara idealis Bawanang tersebut tergantung hasil panen padi, kalau melimpah ada kemungkinan 4
(empat) tingkatan Wanang dilakukan (1) Bawanang Baampah – duduk basila; (2) Bawanang Batuju
Kambang; (3) Bawanang Batangkalak atau Bawanang Batihang Galung dan (4) Bawanang Baiyut atau
Bawanang Bamaligai Rimbunan Amas.

c.10 Upacara Mamisit Padi. Upacara ini adalah untuk memasukkan padi ringan dan padi berat (gabah)
atau padi yang hasil panennya pendek dan panjang ke dalam lumbung atau dalam umum orang Bukit
dinamakan dengan “Manaikakan Diyang ka Balai paristirahatan”. Dipimpin Balian upacara dilakukan
pada lumbung setiap umbun, atau sama-sama di depan lumbung.

Upacara Mamisit Banih (padi) diurutkan dengan rangkaian acara (1) upacara di umbun masing-masing
pada malam harinya; (2) acara di dalam balai pada siang harinya dan (3) acara di halaman balai pada
sore harinya hingga malam hari. Upacara Mamisit Banih (padi) merupakan rangkaian terakhir semua
upacara pertanian di setiap tahun kerja orang Bukit dalam perladangan.

d. Upacara Kematian

Ketika seorang individu dari masyarakat Bukit meninggal dunia dilakukanlah upacara-upacara sebagai
berikut:
d.1 Upacara Pemakaman; yakni sebelum mayat dimakamkan ia harus dimandikan oleh sanak keluarga
dalam umbun, dihadiri kerabat dan pakaian kesukaan selagi hidup, sarung, berikut peralatan pertanian
yang dipakai si mati saat hidup (Parang, pisau, pacul, dan lain-lain) disiapkan untuk ikut dimakamkan.
Penguburan dilakukan oleh kelarga umbun dihadiri semua bubuhan. Pemakaman dipimpin oleh Balian.

d.2 Salamatan Babarasih; sesudah pemakaman Balian memimpin upacara Babarasih, tujuannya agar
yang ditinggalkan si mati jangan kena Pidara, kena mangsa roh pengganggu. Dalam acara babarasih
tersebut semua pelayat mandi bersih, berikut peralatan yang dipakai saat pemakaman. Balian dengan
Mamang dan mantra melakukan penolakan Bala.

d.3 Upacara Aruah Mamitung Hari; atau selamatan arwah hari ke tujuh dilakukan di rumah atau umbun
keluarga kematian dipimpin oleh Balian pada siang hari, dihadiri bubuhan terdekat dilakukanlah puja-
puji Ilah dan do’a-do’a keselamatan si mati.

d.4 Upacara Manyalawi Hari; aruh yang dilakukan di rumah atau umbun keluarga yang meninggal
dilakukan setelah dua puluh lima hari penguburan si mati. Tetap dipimpin oleh Balian berikut sesajen
yang disediakan melakukan puja-puji dan do’a-do’a untuk meninggal, maupun yang masih hidup, agar
semuanya selamat.

d.5 Upacara manyaratus Hari; yakni aruh ke seratus hari masa penguburan si mati, dipimpin oleh Balian
berikut kerabat dan bubuhan yang diundang, dilakukanlah upacara manyaratus tetap di rumah atau bilik
umbun. Biasanya Manyaratus sama saja sederhananya dengan aruh Mamitung Hari, maupun
Manyalawi.

d.6 Upacara Manimbuk atau Mambatur; biasanya dilakukan genap satu tahun meninggalnya keluarga
tersebut. Upacara ini agak besar, bias dihimpun beberapa umbun yang ingin Membatur, di samping
sesajen yang bersyarat, juga bias dilakukan penyembelihan babi atau kerbau. Manimbuk atau membatur
adalah memperbaiki kuburan, pemasangan tiang ulin di atas kuburan. Upacara Mambatur ini dihadiri
oleh undangan (Pahundangan) hampir semua Balai tetangga, bahkan setiap bubuhan diundang, apalagi
kalau upacara dipimpin seorang guru gaya berikut Balian Tuha upacara semakin sakral.

e. Upacara Lainnya

c.1 Upacara Mahanyari Balai, kalau orang Bukit akan membangun Balai, berikut menempatinya
dilakukanlah upacara (1) Mandirikan Balai Hanyar dan (2) Mahanyari Balai, maka Balian ataupun Guru
Jaya memimpin secara sacral kedua acara tersebut, karena membangun Balai berikut bilik umbun adalah
menentukan kehidupan manusia dan kelestariannya. Mulai pemilihan lokasi, keadaan tumbuhan,
sumber air, pepohonan sebagai kayu bahan bangunan dipilih dengan cermat, berikut bentuk
bangunannya.

Upacara Mahanyari Balai dilakukan penuh suka-cita oleh segenap warga, mengingat disanalah mereka
tinggal dan secara turun temurun mempertahankan adat-istiadat.
c.2 Upacara Aruh Balakang Tahun, biasanya digabung setelah upacara Bawanang atau disebut Aruh
Ganal (Selamatan Akbar), biasanya memakan waktu 10-15 hari/malam, bias digabung dengan Upacara
mahanyari Balai atau saat upacara perkawinan yang waktunya bertepatan atau bersamaan. Dengan
pimpinan Guru Jaya atau Balian Tuha dilakukanlah Sumbahyang Tandik kepada Ilah tertentu. Berikut
sesajen yang disediakan menentukan tantangan dan harapan hasil pertanian mereka di tahun
mendatang.

c.3 Upacara Bahayaga, adalah upacara kecil yang ditujukan untuk pengobatan terhadap orang yang sakit
dan diusahakan kesembuhan melalui permohonan Balian atau Guru Jaya kepada Maha Kuwasa dan Ilah
tertentu, berikut pengganggu atau pemberi penyakit segera mengembalikan atau mengusir penyakit
dari si sakit. Dengan posisi dibaringkan si sakit (laki-laki-wanita) di hadapan kerabat dan handai tulan
Balian melakukan tandik, membacakan mantra (mamang) diiringi dengan Tabuhan gendang
dilakukanlah penghisapan di tubuh si sakit untuk dibuang penyakitnya.

SIMPULAN

Orang Bukit merupakan sebuah kelompok masyarakat yang bersahaja tinggal dan menempati wilayah
kaki dan lereng pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan ternyata memiliki budaya tersendiri, religi
Balian dan daerah kebudayaan. Orang Bukit diguga berasal dari penduduk dataran rendah alur sungai-
sungai bagian hilir dari Sungai Tabalong, Balangan hingga sungai Martapura yang bermuara ke sungai
Barito telah dilakukan perpindahan ke daerah pedalaman guna mempertahankan mata pencaharian
berikut keyakinan dan kepercayaan Balian.

Dalam kehidupan keseharian orang Bukit tidak bias dipisahkan dari pola mata pencaharian masyarakat
berladang-pertanian di lereng-lereng bukit (Pegunungan), mereka akrab dengan alam, sehingga religi
Balian cocok dengan penghormatan secara radikal terhadap alam (hewan dan tumbuhan) berikut
“Padi”, sehingga religius orang Bukit identik dengan religi “Huma”.

Sepanjang kehidupan orang Bukit mulai dari masa kehamilan, melahirkan, dewasa, perkawinan, hingga
masa kematian selalu dilingkupi dengan upacara-upacara ritual-serimonial religius. Upacara-upacara
tertinggi bagi orang Bukit adalah terkait dengan Pertanian “Padi”. Peran Guru Jaya, Balian (Tuha, Tangan
dan Anum), kepala adat, Panganan dan Pangiwa, serta konsep Bubuhan dalam kekerabatan membantu
kelestarian budaya tradisional.

Dari semua rangkain upacara kehidupan orang Bukit yang merupakan Daur Hidup berakar dari
kepercayaan dan keyakinan terhadap religi Balian yang tidak bias dipisahkan dari Tokoh Balian,
pendukungnya dan keinginan hidup abadi yang menyatu dengan Ilah tertinggi di alam atas. Untuk itu
orang Bukit perlu menjaga pantangan (Pamali) dan aturan di bumi bagi manusia dalam rangka
Kelestarian Budaya dan Kehormatan Adat-Istiadat, baik budaya pedalaman upacara ritual “Daur Hidup”
diyakini menentukan kesejahteraan di dunia dan kehidupan kelak sesudah kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Rusdi, 27 Oktober 1993. Asal Mula Orang Banjar. Dinamika Berita, hlm. 4.

___________, 4 Desember 1993. Antara Tanjungpura & Kalimantan. Dinamika Berita, hlm. 4.

Ihroni, T.O. 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta, PT. Gramedia.

Kartodipoero, Sarwoto. 1963. KAHARINGAN (Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan). Bandung,
Sumur Bandung.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru.

Riwut, Tjilik. 1979. Kalimantan Membangun. Jakarta, PT. Jayakarta Agung Offset.

Radam, Noerid Haloei. 1984. Perubahan Sosial dalam Komuniti Orang Bukit pada Berbagai Pemukiman
PKMT di Kalimantan Selatan. Banjarmasin.. FKIP Unlam.

__________________. 1987. Religi Orang Bukit. Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan
Sosial-Ekonomi. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Saleh, M. Idwar. 1986. Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya sampai dengan Akhir
Abad – 19. Banjarbaru. Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan.

Ugang, Hermogenes. 1983. Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. Jakarta. BPK. Gunung Mulia.
Ukur, Fridolin. 1971. Tantang Jawab Suku Dayak. Jakarta. BPK. Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai