Anda di halaman 1dari 19

BERBAGAI MACAM

BUDAYA BANJAR DALAM


SEGALA ASPEK

Mata Kuliah ; Islam dan Budaya Banjar Dosen Pengampu ; Syarifah Salmah, M. Pd
Kelompok 2
1. Muhammad Ilyas
2. Zenab
Kebudayaan Suku Banjar

Umumnya, adat kebudayaan masyarakat Banjar berakar dari suku Dayak Kaharingan. Namun, setelah pengislaman massal, adat
Dayak Kaharingan tadi disesuaikan dengan keyakinan baru mereka yaitu Islam.
Ada beberapa ciri khas yang bisa ditemukan dari orang Banjar. Pertama, mereka memiliki keterampilan mengolah area pasang
surut. Pasalnya kehidupan suku banjar terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu sangat dekat dengan sungai.
Sebagai sarana transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam Jukung atau perahu sesuai fungsinya. Mereka memanfaatkan
kondisi geografis Kalimantan Selatan yang memiliki banyak sungai dengan sebaik mungkin.
Sehingga, rata-rata menjadi ahli dalam mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan permukiman dan budi daya pertanian.
Lalu, suku Banjar memiliki rumah tradisional mereka sendiri yaitu Rumah Banjar. Ciri-ciri arsitekturnya yaitu memiliki
perlambang, penekanan pada atap, ornamen, serta dekoratif dan simetris. Diantara semua jenis rumah Banjar, tipe Bubungan
Tinggi adalah yang paling dikenal sebagai identitas suku ini.
Suku banjar juga memiliki tradisi lisan yang dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar yang menjadi
kesenian ini berkembang pada abad ke-18, diantaranya seperti Madihin dan Lamut.
Madihin adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan
mental tertentu, yang disesuaikan dengan khasanah folklor Banjar.
Sedangkan Lamut merupakan tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial, serta budaya
Banjar.
Kebudayaan lainnya adalah seni teater tradisional yang disebut Mamanda. Mamanda hampir mirip dengan Lenong, namun tokoh-
tokoh yang dimainkan lebih baku seperti raja, perdana menteri, panglima, permaisuri, dan sebagainya.
KEPERCAYAAN YANG BERSUMBER
DARI AJARAN ISLAM.
 isi kepercayaan ini disandarkan pada “rukun Iman” yang enam, namun
beberapa kepercayaan mendapatkan pendalaman tersendiri. Kepercayaan
terhadap malaikat sebagai makhluk Allah memiliki peran dan fungsi masing-
masing, selain itu juga dikenal beberapa malaikat di luar 10 nama yang sudah
familiar dalam ajaran Islam, seperti Malaikat Hafazah.
 Kelompok Jin dipercaya memiliki dua kelompok karena turut menjadi objek
dalam dakwah Islam, sehingga dalam kepercayaan masyarakat Banjar ada
pembagian antara Jin Islam dan Jin Kafir. Selain itu juga, konsep “alam gaib”
di masyarakat Banjar juga memiliki pandangan tersendiri, yaitu alam yang
tidak kelihatan dengan mata.
KEPERCAYAAN YANG TERKAIT DENGAN STRUKTUR
MASYARAKAT BANJAR DI MASA LALU, ATAU
SETIDAKNYA PADA MASA SULTAN-SULTAN DAN
SEBELUMNYA.

 Hal ini terkait dengan kehidupan orang Banjar pada waktu itu hidup dalam
lingkungan keluarga luas, yang sering pula hidup dalam lingkungan yang terbatas,
atau lebih populer dalam bahasa Banjar disebut Bubuhan.
 Namun, di masa kolonial kelompok bubuhan ini tidak lagi hidup dalam sebuah
komunal besar, melainkan tersebar ke berbagai daerah yang relatif jauh. Hal ini tidak
menyurutkan model bubuhan­yang bertransformasi menjadi berbagai ikatan
kekerabatan lain, seperti asal daerah atau kesamaan tempat tinggal.
 Walau fondasi kekeluargaan masih mendominasi sebagai format bubuhan ini karena
masyarakat Banjar masih cukup rajin menelusuri jaringan keluarga, tertutama mereka
yang memiliki ikatan darah dengan tokoh-tokoh penting. Arkian, dikenal beberapa
sebutan penanda seperti Antung, Andin atau Gusti sebagai identifikasi relasi
kekerabatan.
KEPERCAYAAN YANG BERPAUTAN DENGAN
“TAFSIRAN” MASYARAKAT BANJAR ATAS
ALAM LINGKUNGAN SEKITARNYA.
 Dalam kepercayaan mereka, hutan konon juga tidak saja dihuni oleh binatang liar belaka, melainkan juga
didiami juga orang gaib, macan gaib, datu dan lain sebagainya. Dari sini, dalam kehidupan masyarakat
Banjar terdapat berbagai upacara yang beberapa diantaranya masih dilaksanakan hingga sekarang, dengan
beberapa perubahan, pengurangan, dan penambahan.
 Upacara memang unsur penting lain yang terpaut dengan unsur pokok dalam sebuah system religi, yaitu
kepercayaan. Tak mengherankan kemudian masyarakat Banjar mengembangkan berbagai kegiatan upacara
dalam semua bidang kehidupannya. Upacara atau ritual tumbuh subur, dari upacara daur hidup, kelahiran
sampai kematian, hingga beragam upacara lainnya yang terkait dalam peralihan tahap.
 Titik menariknya adalah upacara dalam kehidupan masyarakat Banjar selalu saja berkelindan tiga atau dua
kategori dari kepercayaan di atas. Contohnya, dalam upacara daur hidup Batasmiyah tidak saja ditujukan
sebagai tanda ketaatan melaksanakan kewajiban agama Islam, namun di dalamnya atau mengiringinya
terdapat beberapa tradisi yang terkait dengan kepercayaan atas relasi bubuhan atau kepercayaan atas alam.
 Kelindan dalam upacara-upacara tersebut memang tidak selalu mulus, ada tarik menarik, negosiasi hingga
perubahan ekstrim dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat Banjar. Lebih-lebih terhambatnya
transmisi pengetahuan lokal ini dipengaruhi banyak hal, beberapa diantaranya seperti pendidikan, ekonomi,
kedatangan Islam transnasional, hingga mulai terlupakan oleh generasi penerus.
TRADISI BAUSUNG PENGANTIN
 Bausung adalah tradisi perkawinan yang masih banyak masyarakat Banjar
melakukannya sampai sekarang.
 Umumnya, pelaku tradisi ini adalah keluarga yang memang menjaga upacara adat serta
senantiasa diwariskan kepada generasi-generasi setelahnya.
 Artinya, jika ada pernikahan menerapkan ritual Bausung, berarti pernikahan
keluarganya terdahulu juga melakukannya.
 Pada tradisi Bausung, kedua pengantin tidak bisa memasuki pelaminan secara
sembarangan melainkan diusung oleh dua orang penari yang disebut Hanoman Hadrah.
 Penari tersebut mengusung kedua mempelai di pundaknya dengan terus melakukan
rudat diiringi musik hadrah atau rebana sampai tiba ke pelaminan. Sedangkan si
mempelai tidak berhenti melantunkan sholawat dan doa-doa.
RITUAL TANGLONG, UPACARA ADAT
SUKU BANJAR
 Setiap suku di Indonesia pasti punya ritual khusus ketika menyambut bulan suci ramadlan.
 Begitu juga dengan suku Banjar yang juga memiliki budaya penyambutan yang sama yang
disebut Tanglon.
 Biasanya, masyarakat melangsungkan ritual ini di malam pertama ramadlan dan malam
takbiran menyambut Idul Fitri.
 Ritual Tanglon adalah kebiasaan masyarakat mengarak lampu lampion di malam pertama
bulan ramadlan.
 Kegiatan ini mereka lakukan sembari bersholawat keliling kampung sampai tengah malam
bahkan menjelang sahur.
 Biasanya, warga yang mengikuti arak-arakan didominasi oleh remaja dan anak-anak yang
terus berjalan dengan penuh suka cita.
RITUAL BATIMUNG, UPACARA ADAT
SUKU BANJAR
 Batimung merupakan ritual adat suku Banjar khusus calon mempelai yang akan segera
menikah.
 Ini juga tradisi yang sangat populer karena masih banyak laki-laki dan perempuan
yang melakukannya serta menjadi kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
 Kabarnya, tradisi ini untuk membuang naas yang bisa menyerang kedua empelai saat
duduk di pelaminan.
 Ritual Batimung adalah penguapan bagi calon mempelai yang dilakukan 1-2 hari
sebelum menikah.
 Jika keringat telah keluar pasca penguapan, maka keluarga akan mengasapi calon
mempelai dengan aroma wewangian dengan cara memutarkan bejana tempat
wewangian ke sekujur tubuh sambil melantunkan doa.
TIAN MANDARING
 Upacara Tian Mandaring adalah tradisi tujuh bulanan untuk perempuan suku Banjar yang hamil
anak pertama.
 Pada upacara ini, si ibu berdandan sebagus mungkin lalu duduk di tempat khusus yang
dikelilingi pagar dari daun mayang.
 Si perempuan tidak beranjak dari tempat duduknya sebelum keluarga berkumpul untuk
melakukan prosesi mandi Tian Mandaring.
 Pada saat proses Mandi Tian Mandaring, si ibu akan berganti pakaian dengan memakai baju
serba kuning.
 Setelah itu kembali ke tempat duduknya semula dan keluarganya mulai memandikannya satu
persatu.
 Jika prosesi sudah selesai, si perempuan ini kembali masuk kamar untuk berdandan lalu kembali
ke tempat keluarga berkumpul untuk mengaminkan doa yang dipanjatkan oleh ulama atau kyai.
TRADISI BAHILAH PADA
MASYARAKAT BANJAR PAHULUAN

 Di daerah Banjar Bagian Hulu Sungai, atau lazim disebut Banjar Pahuluan, praktek bahilah menjadi
bagian yang tidak dipisahkan dari ritual kematian yang dilakukan umat Islam. Dalam ritual kematian
tersebut, praktek bahilah dilakukan dalam konteks pembayaran fidyah agar orang yang meninggal
terbebas dari beban-bena dosa akibat pelanggaran yang mungkin dilakukannya ketika masih hidup
di dunia. Tradisi bahilah sebagai bagian dari ritual kematian yang harus dilaksanakan pada
masyarakat Banjar pahuluan tidak dapat diidentifikasi secara jelas kapan pertama kali dilakukan.
Bukti tertulis yang dapat dilacak hanya berupa buku atau risalah karya ulama setempat yang menjadi
pegangan bagi masyarakat dalam melaksanakan praktek bahilah. Di antara risalah dimaksud yaitu
risalah yang disusun oleh K.H. Abdul Aziz Syarbaini dari Kandangan (Hulu Sungai Selatan), K.H.
Muhammad Khalid dari Amuntai (Hulu Sungai Utara), K.H. As'ad dari Barabai (Hulu Sungai
Tengah), dan K.H. Abu Daudi dari (Banjar).
Dari risalah-risalah tersebut yang paling tua adalah risalah yang dikarang oleh K.H. Muhammad Khalid dari Amuntai.
Risalah yang ditulis dengan tulisan Arab-Melayu dan diberi nama “al-Faidhah al-Ilahiyah bagi Isqath ash-Shalah”
pertama kali dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah, Jln. Sultan, no. 82, Singapura pada tahun 1353 H bertepatan dengan
tahun 1935 M. Ini berarti bahwa praktik bahilah di Kalimantan Selatan sudah ada sejak sebelum tahun 1935 M.7 Praktik
bahilah ini biasanya dilaksanakan di rumah si mayyit sendiri atau di rumah tetangganya. Pada umumnya dilaksanakan
sebelum penguburan, dengan harapan bahwa sebelum si mayyit berada dalam kubur, maka segala kewajiban-
kewajibannya telah lunas terbayar. Namun, kadang-kadang ada juga yang melaksanakannya sesudah penguburan, bahkan
beberapa hari kemudian dengan pertimbangan situasi dan kondisi. Secara umum, praktek bahilah dilksanakan dengan
dengan bertaqlid kepada mazhab Hanafi. Dalam hal ini, ahli waris menyiapkan sejumlah barang berharga atau perhiasan
seperti emas. Barang berharga ini pada umumnya disebut “ungkal” dan biasanya dibungkus menjadi satu dengan kain
atau dimasukkan ke dalam dompet. Ungkal ini berfungsi sebagai pengganti sejumlah beras yang harus dibayarkan. Jika
ahli waris tidak mempunyai ungkal, ia dapat meminjam atau berutang kepada orang lain atau kepada pihak yang
diamanahi oleh ahli waris untuk melakukan hilah. Yang terakhir ini biasanya memiliki ungkal yang khusus disediakan
untuk keperluan hilah. Ungkal pinjaman itu ada serah terimanya sehingga sepertinya memang milik ahli waris al-
marhum. Selain ungkal, ahli waris juga menyediakan sejumlah amplop berisi uang lelah dan biaya transport bagi para
pelaksana hilah.
 Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum yang terbentuk dan mengikat bagi
masyarakat adat, keberadaannya tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh kembang
masyarakat adat tersebut, oleh karena itu hakikinya hukum adat merupakan hukum yang
tidak tertulis. Dengan kata lain untuk memahami norma-nomra yang berlaku dalam
masyarakat Adat, maka harus dimulai dengan melihat bagaimana norma-norma itu tumbuh
dan berkembang dari “pergulatan” antara hukum adat dengan hukum agama. melihat
bagaimana kedudukan perempuan dalam hukum adat Banjar maka akan dilihat bagaimana
norma yang ditetapkan oleh “Tuan Guru” dalam lembaga pembagian warisan yang disebut
Lembaga “bedamai” tersebut. Dari norma yang ditetapkan pada lembaga “bedamai”
tersebut, kemudian dilihat bagaimana dalam proses pelaksanaan pada cara “islah” saat
pembagian dilakukan. Kedudukan perempuan dari norma yang ditetapkan dalam lembaga
“bedamai” atau “damai” tersebut, terlihat jelas norma yang dipakai adalah norma hukum
agama Islam dengan mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an.
 Norma tersebut mengakui kedudukan perempuan dalam warisan, artinya
perempuan diakui kedudukannya sebagai ahli waris.Pengakuan kedudukan
perempuan sebagai ahli waris, oleh norma pembagiannya diatur berapa hak
perempuan tersebut. Untuk ini sesuai dengan ketentuan hukum agama (Al-
Qur’an), masyarakat Banjar mengakui bahwa bagian perempuan adalah lebih
sedikit dari pada bagian laki-laki. Hal ini sebagaimana yang dijelskan
terdahulu didasarkan kepada objketivitas masyarakat yang menempatkan laki-
laki dalam tanggungjawab yang besar dalam kehidupan di masyarakat.
ADAT BADAMAI MENURUT UNDANG-UNDANG
SULTAN ADAM

 Adat badamai adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar.
Adat badamai bermakna pula sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama
dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah. Adat badamai dilakukan
dalam rangka menghindarkan persengketaan yang dapat membahayakan tatanan sosial. Putusan Badamai yang
dihasilkan melalui mekanisme musyawarah merupakan upaya alternatif dalam mencari jalan keluar guna
memecahkan persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Pada masyarakat Banjar jika terjadi persengketaan
diantara warga atau terjadi tindak penganiayaan atau pelanggaran norma (adat) atau terjadi perkelahian ataupun
pelanggaran lalu lintas, maka warga masyarakat berkecenderungan menyelesaikan secara badamai. Warga
masyarakat enggan menyelesaikan sengketa itu melalui lembaga ligitasi (jalur lembaga peradilan). Adat
badamai ini diakui efektif dalam menyelesaikan pertikaian atau persengketaan. Sekaligusmampu
menghilangkan perasaan dendam berperan menciptakan keamanan ketertiban dan perdamaian. Adat badamai ini
lazim pula disebut dengan, babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut, baakuran dan penyelesaian dengan cara
suluh sekarang masih menjadi suatu tradisi mamatut.Tradisi penyelesaian sengketa yang sudah melembaga
untuk merukunkan kembali setiap pertikaian, sehingga tidak terjadi perasaan dendam antara kedua belah pihak.
Dalam masyarakat Banjar adat badamai terdapat beberapa peristilahan dan penggunaan. Dalam kasus atau perkara keperdataan,
lazim disebut dengan istilah basuluh atau ishlah. Namun dalam perkara pelanggaran susila atau pelanggaran lalu lintas dan
peristiwa tindak kekerasan, perkelahian, penganiayaan dan masalah yang menyangkut pidana, lazim dikenal dengan istilah
badamai, baparbaik (babaikan), baakuran, bapatut atau mamatut dan sebagainya. Namun secara umum istilah yang digunakan
adalah mengacu kepada adat badamai.

dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Adat Badamai pada masyarakat Banjar adalah keseluruhan hukum yang tidak
tertulis yang berlaku di kalangan orang-orang Banjar yang untuk sebagian dipengaruhi oleh Hukum Islam. Persoalannya
kemudian adalah dimana posisi UUSA dalam konsep hukum adat, apakah UUSA termasuk hukum adat, sedangkan UUSA
tersebut terdokumentasikan dalam bentuk tertulis. Dalam mengomentari persoalan ini Soeryono Soekanto mengatakan: Hukum
yang tidak tertulis dinamakan hukum adat, yang merupakan sinonim dari pengertian hukum kebiasaan. Apabila dijumpai hal-hal
yang ditulis, hal itu merupakan hukum adat yang tercatat (beschreven adatrecht) dan hukum adat yang didokumentasikan
(gedocumenteerd adatrecht). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada umumnya hukum adat yang tercatat merupakan hasil-hasil
penelitian para ahli yang kemudian dibukukan dalam bentuk monografi. Hukum adat yang didokumentasikan merupakan
pencatatan hukum adat yang dilakukan oleh fungsionaris-fungsionaris atau pejabat-pejabat. Contohnya adalah antara lain, awig-
awig di kalangan masyarakat adat di Bali, termasuk juga dalam hal ini UUSA.
Berdasarkan acuan tersebut maka dapat dibuat kerangka bahwa Hukum Adat Badamai pada masyarakat Banjar terdiri atas 3
unsur, yaitu:
(1) unsur-unsur yang tidak tertulis, berupa kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam praktek pergaulan hidup
dalam masyarakat. Ini mencakup segala apa saja yang sudah terbiasa dianggap baik oleh masyarakat dan akan menimbulkan
reaksi dari berbagai lapisan masyarakat kalau hal tersebut dilanggar. Tegasnya pelanggarannya akan mendapatkan sanksi
minimal berupa celaan dari masyarakat. Kebiasaan demikian dalam masyarakat Banjar berbeda antara satu tempat dengan
tempat lainnya terutama dilihat dari besar kecilnya pengaruh pendidikan dan modernisasi serta kegiatan pembangunan lainnya
yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) unsur-unsur yang berasal dari hukum Islam, yaitu mencakup segala ketentuan syariat islam dan hukum-hukum fiqh yang
dipertahankan dan dianut oleh masyarakat sebagai bagian besar dari ajaran agamanya. Berkenaan dengan ini penentuan apa
yang merupakan ajaran agama adalah tergantung pada persepsi warga masyarakat sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
para ulama di daerah ini sejak zaman dahulu. Penentuan sesuatu adalah wajib, sunat, mubah, makruh dan haram pada dasarnya
ditentukan dari para ulama dan tetap dipegang terus sebagai criteria penilaian ketika seseorang menghadapi fakta tertentu yang
memerlukan penilaian.
(3) unsur-unsur yang berasal dari zaman kerajaan Banjar, untuk hal ini tidak ditentukan suatu ketentuanpun selain dari apa
yang dinamakan Undang-undang Sultan Adam (1835) seorang Sultan yang terkenal alim dan dihormati oleh rakyatnya.
Undangundang yang terdiri dari atas beberapa pasal ini kelihatannya pelaksanaannya sangat tergantung pada Sultan, sehingga
sepeninggal Sultan Adam lebih-lebih lagi setelah meninggalnya Sultan Adam kurang banyak mendapat perhatian kecuali
dalam bidang hukum pertanahan yang masih ditaati oleh masyarakat.
SEKIAN PRESENTASI DARI KELOMPOK KAMI. JIKA ADA YANG
INGIN BERTANYA, JANGAN NGALIH NGALIH LAH , KARENA
KAMI SUDAH LAPAH MENJELASKAN SEMUANYA. TERIMA
KASIH.
JALAN KE LEMBAH TIDAKLAH RATA
DI UJUNG KALI TUMBUH MELATI
KU MOHON MAAF SEGALA KATA
PRESENTASI INI MOGA MENGENA DI HATI.

KATAK MELOMPAT MELIHAT KERA


KERBAU MELONGO MASUK KE GOA
MOHON MAAF BILA SALAH BICARA
KU TUTUP PRESENTASI DENGAN DOA.

BIRU LAUT SEPERTI KOLAM


IKAN PAUS PANDAI MENYELAM
DARI LUBUK HATI YANG PALING DALAM
SAYA TUTUP PRESENTASI DENGAN SALAM.
(WASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI
WABARAKATUH)

Anda mungkin juga menyukai