Anda di halaman 1dari 8

Asal Usul Suku Banjar

Suku bangsa Banjar diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang
membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu.

  Setelah berlalu masa yang lama sekali, akhirnya bercampur dengan penduduk yang lebih asli, biasa
dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan terbentuklah
setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).

 Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai
Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai
Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami sekitar Banjarmasin (dan Martapura). 

Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa
Melayu-sama halnya ketika berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya. Di dalamnya
terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan asal Jawa. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu-
sebelum dihapuskan pada tahun 1860-, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar,
sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya.

 Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya
sudah baku atau tidak berubah lagi.

- Banjar Pahuluan 

 Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di
Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang
kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu
bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk
yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai
yang sama. 

Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul
dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi
mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga
tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. 

 Jadi meskipun kelompok suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang
mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan
kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan, dan atau karena memang ada ikatan
kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri.

 Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek
pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai
kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang
bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di
kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah
lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman
pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak jaman
kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan
terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur
Dayak Bukit ikut membentuk nya. 

 
- Banjar Batang Banyu

 Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbetuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat
kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu
sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong.

 Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi
kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal
tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta
membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke
sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani
(subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai
pedagang dan pengrajin.

 - Banjar Kuala

 Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin),


sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini dan, bersama-sama
dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. 

 Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju , yang seperti halnya dengan dengan
masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan. Banyak di antara mereka yang akhirnya
melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. 

 Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan
atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang
Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu.
Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar

Asal Usul Suku Banjar

Suku Banjar (bahasa Banjar: Urang Banjar) adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan


Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Populasi Suku Banjar
dengan jumlah besar juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara dan Semenanjung
Malaysia karena migrasi Orang Banjar pada abad ke-19 ke Kepulauan Melayu.

Berdasarkan sensus penduduk 2010 orang Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang
Banjar tinggal di Kalimantan Selatan dan 1 juta orang Banjar tinggal di wilayah Kalimantan lainnya
serta 500 ribu orang Banjar lainnya tinggal di luar Kalimantan.

Suku bangsa Banjar berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran masyarakat


beberapa daerah aliran sungai yaitu DAS Bahan, DAS Barito, DAS Martapura dan DAS Tabanio. Dari
daerah pusat budayanya ini suku Banjar sejak berabad-abad yang lalu bergerak melakukan migrasi
secara sentrifugal atau secara lompat katak. Secara genetika suku Banjar kuno sudah terbentuk
ribuan tahun yang lalu dan telah melakukan migrasi keluar pulau Kalimantan sekitar 1.200 tahun
yang lalu menuju Madagasikara alias Madagaskar dan ke wilayah lainnya.

Sekitar tahun 1526, ketika raja Banjar menerima dan memeluk Islam maka diikuti seluruh kalangan
suku Banjar untuk melakukan konversi massal ke agama Islam, sehingga kemunculan suku Banjar
dengan ciri keislamannya ini bukan hanya sebagai konsep etnis tetapi juga konsep politis, sosiologis,
dan agamis. Kelompok masyarakat yang telah menganut Islam ini disebut Oloh Masih dalam bahasa
Dayak Ngaju atau Ulun Hakey dalam bahasa Dayak Maanyan.
Pada jaman dahulu, suku Banjar termasuk masyarakat bahari atau berjiwa kemaritiman. Perjanjian
tanggal 18 Mei 1747 antara Sultan Banjar Tamjidillah I dengan VOC-Belanda tentang monopoli
perdagangan oleh VOC-Belanda di Kesultanan Banjar diantaranya mengatur bahwa orang Banjar
tidak boleh berlayar ke sebelah timur sampai ke Bali, Sumbawa, Lombok, batas ke
sebelah barat tidak boleh melewati Palembang, Johor, Malaka dan Belitung.

Sejak itu wilayah pelayaran orang Banjar mulai menyempit, namun sisa-sisa jiwa kebaharian orang
Banjar masih terlihat jejaknya pada kehidupan masyarakat Banjar di daerah perairan Kalimantan
Selatan.Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina.
Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18
yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (‫)ﻤﺪﺡ‬
yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau
dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan
konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel.
Sedangkan Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai
keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari negeri Cina dan mulanya
menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang
Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.

Sistem Mata Pencaharian Suku Banjar

Orang Banjar dikenal dengan julukan masyarakat air (`the water people') karena adanya pasar
terapung, tempat perdagangan hasil bumi dan kebutuhan hidup sehari-hari di sungai-sungai kota
Banjarmasin, ibukota Propinsi Kalimantan Selatan.

Sebagian besar mereka hidup bertani dan menangkap ikan. Sekarang banyak pula yang bergerak
dalam bidang perdagangan, transportasi, pertambangan, pembangunan, pendidikan, perbankan,
atau menjadi pegawai negeri. Selain itu, mereka mempunyai keahlian menganyam dan membuat
kerajinan permata yang diwariskan secara turun temurun. Upacara-upacara adat masih
dipertahankan. Sistem kekerabatan suku Banjar adalah bilateral.

Kekayaan alam dan kesuburan tanah tempat orang Banjar ternyata tidak otomatis meningkatkan
taraf hidup mereka. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana transportasi (kondisi jalan dan
angkutan) yang terbatas menyebabkan produk pertanian dan non pertanian mereka sulit untuk
dipasarkan. Selain itu, kesulitan mendapat modal juga mengurangi ruang gerak mereka.

Suku Banjar merupakan penduduk asli sebagian wilayah propinsi Kalimantan Selatan.Mayoritas
masyarakatnya menganut agama Islam.Pengkategorian atas berbagai sistem kepercayaan yang ada
ini dalam masyarakat Banjar sebagian berdasarkan atas kesatuan-kesatuan sosial yang
menganutnya.Dalam ungkapan lain, istilah Islam Banjar setara dengan istilah-istilah berikut: Islam di
Tanah Banjar, Islam menurut pemahaman dan pengalaman masyarakat Banjar, Islam yang berperan
dalam masyarakat dan budaya Banjar, atau istilah-istilah lain yang sejenis, tentunya dengan
penekanan-penekanan tertentu yang bervariasi antara istilah yang satu dengan lainnya.

Kepercayaan yang berasal dari ajaran Islam bukanlah satu-satunya kepercayaan religius yang dianut
masyarakat Banjar, sistem ritual dan sistem upacara yang diajarkan Islam bukanlah satu-satunya
sistem upacara yang dilakukan.Keseluruhan kepercayaan yang dianut orang Banjar menurut
beberapa Sejarawan Banjar telah dibedakan menjadi tiga kategori.Yang pertama ialah kepercayaan
yang bersumber dari ajaran Islam.Isi kepercayaan ini tergambar dari rukun iman yang ke
enam.Kedua, kepercayaan yang berkaitan dengan struktur masyarakat Banjar pada zaman dahulu,
yaitu pada masa sultan-sultan dan sebelumnya.Orang-orang Banjar pada waktu itu hidup dalam
lingkungan keluarga luas, yang dinamakan bubuhan dan juga bertempat tinggal dalam lingkungan,
bubuhan pula.Kepercayaan demikian ini selalu disertai dengan keharusan bubuhan melakukan
upacara tahunan, yang biasa dinamakan sebagai aruh tahunan.Ketiga, kepercayaan yang
berhubungan dengan beragam tafsiran dari masyarakat atas alam lingkungan sekitarnya, yang
mungkin adakalanya berkaitan pula dengan kategori kedua.kepercayaan.Untuk kategori pertama
mungkin lebih baik dinamakan kepercayaan Islam, kategori kedua kepercayaan bubuhan dan
kategori ketiga kepercayaan lingkungan.

Ø Sistem kekerabatan suku banjar

Sistem kekerabatan suku Banjar pada umumnya adalah sama, untuk daerah seluruh Kalimantan
Selatan. Suku Banjar mendasarkan kekerabatan mereka menurut garis dari keturunan ayah dan garis
keturunan ibu atau bilateral.Tetapi di akui bahwa dalam hal-hal tertentu terutama yang menyangkut
masalah kematian, perkawinan yang menjadi wali asbah adalah garis dari pihak ayah. Dalam hal
masalah keluarga besar dan pengertian keluarga besar, maka berlaku garis keturunan ayah dan garis
keturunan ibu, keduanya diberlakukan sama.

Masyarakat suku Banjar mengenal istilah Bubuhan, yang dimaksud dengan istilah bubuhan  dalam
masyarakat Banjar adalah kelompok kekerabatan yang merupakan kumpulan dari keluarga batih
yang merupakan satu kesatuan. Bubuhan ini yang menurut pengertian Sosiologi adalah keluarga
besar, yaitu yang terdiri dari dua keluarga batih atau lebih yang masih mempunyai hubungan
keturunan satu sama lain, baik menurut garis keturunan ayah atau ibu. Keluarga bubuhan, yang
disebut keluarga besar, tetapi disebut pula keluarga luas.Dari perkawinan terbentuklah suatu
kelompok kekerabatan yang sering disebut keluarga inti atau keluarga batih.Satu keluarga batih
terdiri dari satu suami dan satu istri (atau lebih).Selama satu tahun tersebut, keluarga batih baru ini
diberi kesempatan untuk mengerjakan sawah atau ladang sendiri dan orang tua istri, mereka selalu
membantu kehidupan keluarga baru ini.Tetapi kalau keluarga baru ini belum mempunyai
kemampuan hidup berpisah dari rumah keluarga istrinya, kecendrungan menetap dalam keluarga
istri ini disebut matrilokal atau uksorilokal.Kalau ikut di keluarga pihak suami disebut patrilokal.Kalau
mereka telah mempunyai kemampuan untuk hidup sendiri dan berpisah dari orang tua (dari istri
atau suami) disebut neolokal.sistem kekerabatan umumnya, masyarakat Banjar mengenal istilah-
istilah tertentu sebagai panggilan dalam keluarga. Skema di atas berpusat dari ULUN sebagai
penyebutnya.

Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak,
saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah dan ibu
disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman) dan Makacil (bibi), sedangkan
termuda disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk
saudara datu.

Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:


• minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
• pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
• mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
• mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
• sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
• mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
• kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
• sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
• maruai (isteri sama isteri bersaudara)
• ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
• panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
• pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
• badangsanak (saudara kandung)

Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk
menunjuk diri sendiri.Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan kata
pian atau andika, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri

Seni Budaya Banjarmasin

Kultur budaya yang berkembang di Banjarmasin sangat banyak hubungannya dengan sungai, rawa
dan danau, disamping pegunungan. Tumbuhan dan binatang yang menghuni daerah ini sangat
banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan mereka. Kebutuhan hidup mereka yang
mendiami wilayah ini dengan memanfaatkan alam lingkungan dengan hasil benda-benda budaya
yang disesuaikan. hampir segenap kehidupan mereka serba relegius. Disamping itu, masyarakatnya
juga agraris, pedagang dengan dukungan teknologi yang sebagian besar masih tradisional.

Ikatan kekerabatanmulai longgar dibanding dengan masa yang lalu, orientasi kehidupan kekerabatan
lebih mengarah kepada intelektual dan keagamaan. Emosi keagamaan masih jelas nampak pada
kehidupan seluruh suku bangsa yang berada di Kalimantan Selatan.

Orang Banjar mengembangkan sistem budaya, sistem sosial dan material budaya yang berkaitan
dengan relegi, melalui berbagai proses adaptasi, akulturasi dan assimilasi. Sehingga nampak
terjadinya pembauran dalam aspek-aspek budaya. Meskipun demikian pandangan atau pengaruh
Islam lebih dominan dalam kehidupan budaya Banjar, hampir identik dengan Islam, terutama sekali
dengan pandangan yang berkaitan dengan ke Tuhanan (Tauhid), meskipun dalam kehidupan sehari-
hari masih ada unsur budaya asal, Hindu dan Budha.

Seni ukir dan arsitektur tradisional Banjar nampak sekali pembauran budaya, demikian pula alat
rumah tangga, transport, Tari, Nyayian dsb.

Masyarakat Banjar telah mengenal berbagai jenis dan bentuk kesenian, baik Seni Klasik, Seni Rakyat,
maupun Seni Religius Kesenian yang menjadi milik masyarakat Banjar seperti :

Teater Tradisi / Teater Rakyat

Antara lain Mamanda, Madihin, Wayang Gung, Abdul Mulk Loba, Kuda Gepang, Cerita Damarwulan,
Tantayungan, Wayang Kulit, Teater Tutur.

Seni Musik

Antara lain Kuriding, Karung-karung Panting, Kintunglit, Bumbung, Suling Bambu, Musik Tiup, Salung
Ulin, Kateng Kupak.

Sinoman Hadrah dan Rudat

Sinoman Hadrah dan Rudat bersumber daripada budaya yang dibawa oleh pedagang dan penda'wah
Islam dari Arab dan Parsi dan berkembang campur menjadi kebudayaan pada masyarakat pantai
pesisir Kalimantan Selatan hingga Timur.

Seni Tari

a. Tari Tradisi : Balian, Gantar, Bakanjar, Babangai


b. Tari Klasik : Baksa Kambang, Topeng, Radap Rahayu
c. Tari Rakyat : Japin Sisit, Tirik Lalan, Gambut, Kuda Gepang, Rudat dll

Seni Sastra
Antara lain Kuriding, Karung-karung Panting, Kintunglit, Bumbung, Suling Bambu, Musik Tiup, Salung
Ulin, Kateng Kupak.

a. Syair : Hikayat, Sejarah, Keagamaan


b. Pantun : Biasa, Kilat, Bakait

Seni Rupa

Antara lain Ornamen, Topeng dan Patung.

Keterampilan

Maayam dinding palupuh, maulah atap, wantilan, maulah gula habang, maulah dodol kandangan,
maulah apam barabai, maulah sasapu ijuk, manggangan, maulah wadai, maulah urung katupat,
maaym janur banjar, dll.

Sebagian ahli bahasa berpendapat Bahasa Banjar termasuk kelompok Bahasa Melayu Borneo Timur.
Kelompok Borneo Timur pula menurunkan dua kelompok, yaitu Borneo Utara dan Borneo Tenggara.
Borneo Tenggara menurunkan satu cabang yang akhirnya menurunkan bahasa Berau dan Kutai, satu
cabang lagi disebut sebagai kelompok Borneo Selatan yang menurunkan bahasa Banjar dan Bukit.
Beberapa dialek Melayu di Borneo tersebut ada yang hanya menurunkan 3 vokal saja yaitu: /i/;
/u/ ; /a/. Collin (1991) menemukan gejala penyatuan vokal e dan a menjadi /a/ di Berau dan juga
dialek lain di timur pulau Borneo yakni dalam dialek Banjar dan Kutai (Kota Bangun). [8] [9] [10]

Di tanah asalnya di Kalimantan Selatan, bahasa Banjar yang merupakan bahasa sastra lisan terbagi
menjadi dua dialek besar yaitu Banjar Kuala dan Banjar Hulu. Sebelum dikenal bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, pada zaman dahulu apabila berpidato, menulis atau mengarang orang
Banjar menggunakan bahasa Melayu Banjar dengan menggunakan aksara Arab. Tulisan atau huruf
yang digunakan umumnya huruf atau tulisan Arab gundul dengan bahasa tulis bahasa Melayu (versi
Banjar). Semua naskah kuno yang ditulis dengan tangan seperti puisi, Syair Siti Zubaidah, syair Tajul
Muluk, syair Burung Karuang, dan bahkan Hikayat Banjar dan Tutur Candi menggunakan huruf Arab
berbahasa Melayu (versi Banjar).

Bahasa Banjar dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya bahasa Minangkabau, bahasa


Betawi, bahasa Iban, dan lain-lain.[11][12]

Karena kedudukannya sebagai lingua franca, pemakai bahasa Banjar lebih banyak daripada jumlah
suku Banjar itu sendiri. Selain di Kalimantan Selatan, Bahasa Banjar yang semula sebagai bahasa suku
bangsa juga menjadi lingua franca di daerah lainnya, yakni Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Timur serta di daerah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, sebagai bahasa penghubung antar suku. [13] Di
Kalimantan Tengah, tingkat pemertahanan bahasa Banjar cukup tinggi tidak sekadar bertahan di
komunitasnya sendiri, bahkan menggeser (shifting) bahasa-bahasa orang Dayak.[14] Penyebaran
bahasa Banjar sebagai lingua franca ke luar dari tanah asalnya memunculkan varian Bahasa Banjar
versi lokal yang merupakan interaksi bahasa Banjar dengan bahasa yang ada di sekitarnya misalnya
bahasa Samarinda[15][16], bahasa Kumai dan lain-lain. Di sepanjang daerah hulu sungai Barito atau
sering disebut kawasan Barito Raya (Tanah Dusun) dapat dijumpai bahasa Banjar versi logat Barito
misalnya di kota Tamiang Layang digunakan bahasa Banjar dengan logat Dayak Maanyan.
Pemakaian bahasa Banjar dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari di Kalimantan Selatan dan
sekitarnya lebih dominan dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Berbagai suku di Kalimantan
Selatan dan sekitarnya berusaha menguasai bahasa Banjar, sehingga dapat pula kita jumpai bahasa
Banjar yang diucapkan dengan logat Jawa atau Madura yang masih terasa kental seperti yang kita
jumpai di kota Banjarmasin.

Bahasa Banjar juga masih digunakan pada sebagian permukiman suku Banjar di Malaysia seperti di
Kampung (Desa) Parit Abas, Mukim (Kecamatan) Kuala Kurau, Daerah (Kabupaten) Kerian, Negeri
Perak Darul Ridzuan.

Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa dan bahasa-bahasa Dayak.[17][18][19][20]

Dalam perkembangannya, bahasa Banjar ditengarai mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa
Indonesia dan bahasa asing.[21] Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan
karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh
pendatang.[22]. Walaupun terjadi penurunan penggunaan bahasa Banjar namun laju penurunan
tersebut tidak sangat kentara.[23] Saat ini, Bahasa Banjar sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah
di Kalimantan Selatan sebagai muatan lokal.[24] Bahasa Banjar juga memiliki sejumlah peribahasa.

Anda mungkin juga menyukai