Anda di halaman 1dari 3

Pengantar Antropologi

Upacara Kematian di Desa Pakraman Sudaji dan Upacara Kematian


di Desa Trunyan

Nama : Fadlurrahman Fiqi Salman


NIM : D0316027

Universitas Negeri Sebelas Maret


2016
UPACARA KEMATIAN DI DESA PAKRAMAN SUDAJI (NGABEN)
Menurut ajaran Agama Hindu, melaksanakan Upacara Ngaben untuk para leluhur adalah
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali. Dalam praktiknya
tidak semua masyarakat bisa menjalankan kewajiban tersebut karena berbagai faktor. Salah
satu dari faktor tersebut adalah mahalnya biaya Upacara Ngaben, seperti yang terjadi di Desa
Pakraman Sudaji. Mahalnya biaya Upacara Ngaben tidak terlepas dari adanya hegemoni yang
dilakukan oleh golongan masyarakat kaya, melalui tradisi Ngaben secara besar-besaran.

Di tengah masyarakat terdapat pemahaman yang kurang sesuai dengan agama, mengenai
hakikat dan tujuan dari Upacara Ngaben tersebut. Sering pelaksanaan Ngaben di maknai
secara keliru, yaitu untuk mencarikan tempat roh para leluhurnya di Sorga. Dalam perjalanan
roh leluhur menuju sorga, memerlukan bekal atau beya yang banyak dalam bentuk banten
yang besar. Dengan adanya pemaknaan masyarakat seperti ini, maka terutama masyarakat
yang kaya akan berusaha untuk melakukan Upacara Ngaben dengan sarana banten yang besar
(ngabehin) agar roh para leluhurnya dapat mencapai Sorga. Jika dikembalikan kepada hakikat
Ngaben secara filosofisnya, seperti diuraikan di atas, maka sebenarnya Upacara Ngaben tidak
bisa dikaitkan dengan pencapaian sorga ataupun neraka. Masalah sorga dan neraka adalah
persoalan lain dari Upacara Ngaben, sebab itu ditentukan oleh sisa hasil perbuatan di waktu
hidupnya (karma wasana) seseorang. Hukum Karmaphala salah satu kepercayaan Agama
Hindu menggariskan bahwa karma baik maupun karma buruk tidak bisa dikurangi, dan harus
diterima seutuhnya (Cudamani,1998 dalam Atmadja, 2001:142).

Inilah yang terjadi di Desa Pakraman Sudaji, mereka melaksanakan upacara ngaben secara
besar-besaran dan menonjolkan aspek yang megah dan meriah. Disebabkan karena adanya
kekhawatiran terhadap gunjingan atau penilaian masyarakat melalui “cap-cap sosial” seperti
kikir, pelit, dan ungkapan-ungkapan lainnya yang menganggu citra atau nilai sosial terhadap
pelaksanaan Upacara Ngaben tersebut seperti kata mereka yaitu “semakin besar, megah, dan
meriah upacara ngaben di laksanakan, itu menentukan dan mencarikan tempat roh dan
leluhurnya di sorga, serta menembus dosa para leluhurnya.

Kondisi masyarakatnya saat ini, masyarakat desa tersebut dalam melaksanakan upacara
kematiannya atau ngaben, mereka lebih kepada upacara yang menonjolkan secara mewah dan
megah karena saat ini, masyarakat mempunyai akses yang luas ke pusat pertumbuhan yang
disebabkan oleh semakin lancarnya sarana perhubungan dan komunikasi dengan lingkungan
luar yang menyebabkan modernisasi.
UPACARA KEMATIAN DI DESA TRUNYAN (MEPASAH)
Salah satu Desa Tradisional di Bali yaitu Desa Trunyan , yang memiliki tradisi penguburan.
Tradisi penguburan yang terdapat di Desa Trunyan ini berbeda dengan tradisi penguburan
pada masyarakat Bali pada umumnya. Tradisi tersebut yaitu tradisi mepasah dengan
meletakkan jenazah di atas tanah tanpa dikuburkan. Umumnya, di daerah Bali, orang yang
meninggal dikubur atau dibakar (ngaben). Namun, sangat berbeda halnya dengan penerus
darah keturunan Bali Aga di Desa Trunyan. Orang yang meninggal bukan dimakamkan atau
dibakar, melainkan dibiarkan sampai membusuk di permukaan tanah dangkal berbentuk
cekungan panjang. Tradisi unik di Desa Trunyan ini dilakukan masyarakat setempat sejak
dulu sampai sekarang.

Tradisi mepasah merupakan peruwujudan rasa syukur. Tradisi Mepasah yang dilaksanakan di
Desa Trunyan, Kintamani Bangli merupakan upacara yang didasari oleh rasa bakti umat
Hindu di Trunyan untuk memohon anugrah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Pelaksanaan
upacara ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh rasa bakti dan cinta kasih masyarakat Desa
Trunyan kepada leluhurnya yang telah meninggalkan bermacam-macam kebudayaan
terutama pelestarian lingkungan hidup serta menjaga keharmonisan kehidupan manusia
melalui upacara Mepasah.

Tradisi mepasah yang dilaksanakan merupakan wujud nyata dari aktivitas-aktivitas


keagamaan yang terealisasi lewat pelaksanaan yadnya atau korban suci yang dilakukan
dengan tulus ikhlas yang didalamnya terdiri dari sarana upakara/banten/sesajen yang lebih
banyak berbentuk material. Secara historis masyarakat Desa Trunyan memaknai suatu
upacara sebagai bentuk sebuahYadnya, dimana Yadnya merupakan wujud dari rasa
terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dengan bentuk
persembahan dan pengorbanan yang tulus ikhlas yang timbul dari hati yang suci dengan
maksud yang mulia dan luhur. Begitu halnya masyarakat Desa Trunyan dengan
melaksanakan ritual Mepasah dan juga merupakan bentuk penghormatan kepada nenek
moyang.

Di tengah-tengah besarnya gempuran modernisasi dan globalisasi sebagai penyebab


pergeseran maupun pengikisan nilai dan sikap budaya masyarakat, tradisi ini ternyata mampu
bertahan sampai sekarang. Hal tersebut terjadi karena kehidupan masyarakat di Desa Trunyan
masih berpegang teguh pada tradisi kuno yang berciri sosial religius.

Kondisi masyarakatnya saat ini, di tengah besarnya pengaruh globalisasi masyarakat desa
Trunyan saat ini tetap memegang teguh kepercayaannya mereka sendiri dan tetap melakukan
ritual religi kepercayaan warga di desa Trunyan tersebut dan mempertahankan budaya yang
telah di turunkan. Tanpa ada pencampuran dari luar akibat globalisasi.

Perbandingan kedua daerah tersebut, di desa pakraman sudaji masyarakatnya dalam


melaksanakan upacara kematian (ngaben) menonjolkan upacara yang megah dan mewah
karena menurut mereka semakin besar dan mewah upacara ngaben tersebut maka para
leluhurnya akan mencapai sorga, padahal itu pemaknaan yang salah dalam agama mereka.
Sedangkan di desa trunyan mereka memiliki upacara tersendiri yang berbeda (mepasah) yaitu
membiarkan jenazahnya di atas tanah dan dilakukan secara sederhana. Mereka juga memiliki
ritual yang sama dalam mempersembahkan banten/sesajen. Tetapi dalam hal pemaknaan
yang baik yaitu sebagai rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Anda mungkin juga menyukai