Anda di halaman 1dari 8

A.

KODRAT MANUSIA

Lebih dari dua ribu tahun lalu, para ahli pikir Yunani beranggapan bahwa manusia itu adalah
hewan yang berakal (animale rationale). Dengan demikian, hakikat jiwa adalah kesadaran
atau rasio yang terperangkap badan (jasmani). Keadaan ini mendorong filosof Barat, Arthur
Schopenhauer (1788-1868) memunculkan gagasannya tentang esensi atau hakikat manusia.
Menurutnya, manusia lahir dari kehendak buta.

Dengan pandangan tersebut, manusia sama dengan menerima nasib secara pasif total.
Seakan-akan manusia hadir karena paksaan dari luar dirinya. Maksudnya, bahagia atau
menderita, enak atau tidak enak bukan karena usaha manusia melainkan takdir yang
menimpa.

Dalam Syekh Siti Jenar (Serambi, 2001), membahas kodrat dari sisi kuasanya dalam
pembentukan jasmani. Bukan kodrat manusia yang mencakup nasib hidupnya. Jika kodrat
dalam sisi jasmani untuk menyempurnakan kehidupan jasmani, dari sisi kejiwaan juga untuk
penyempurnaan jiwa agar Sang Diri bisa kembali lagi kepada-Nya. Ajaran Syekh Siti Jenar
yaitu: "Sapa weruh kembang tepos kaki, sasat weruh reke artadaya, tunggal pancer sesantine, sapa
weruh ing panuju, sasat weruh pager wesi, rineksa wong sejagad, kang angidung iku, lamun dipun
apaleno, kidung iku den tutug padha sawengi, adoh penggawe ala. Lawan rineksa dening hyang widi,
sakarsaning rineksa dening hyang, rineksa ing jalma kabeh." (Siapa tahu bunga tepus, niscaya tahu
makna Artadaya. Yang satu asal dengan hidupnya. Siapa tahu tujuannya, niscaya tahu pagar
besi, yang dijaga manusia sedunia. Yang melantunkan kidung dihapalkan, jauhlah perbuatan
jahat. Dan dijaga oleh Tuhan. Semua kehendak dikabulkan-Nya, juga dijaga oleh banyak
orang).

Bunga tepus merupakan kalimat metafor (perumpamaan), yaitu perumpamaan bagi asal-usul
manusia. Diri manusia mula-mula hadir di alam ngare, artinya alam ghaib, berupa lembah
atau tanah yang datar (tempat atau keadaan yang penuh ketenteraman). Ngare ini juga
disebut Betal Mukaram (Batul Muharram), rumah suci, tempat larangan. Maksudnya, bangunan
rumah bagi Sang Diri di alam ngare itu bebas dari segala macam gangguan, godaan dan
gejolak nafsu. Inilah yang juga dinamakan Daru al-Salam, suatu tempat yang adanya di sisi
Tuhan. Di situ Sang Diri ditemani oleh Allah Sang Pelindung.

Kemudian Sang Diri menerima panggilan dari Allah Yang Maha Pemurah, untuk menerima
amanat di Betal Makmur (Baitul Ma'mur), rumah sebagai tempat keinginan. Di alam itu, para
malaikat setiap hari berdatangan sambil memancarkan cahaya yang dilengkapi perhiasannya.
Mereka menebar bau harum dengan menyebut dan memuji Tuhan dengan diiringi musik
surgawi. Di rumah inilah Nabi menerima perintah shalat lima kali sehari ketika mi'raj. Jadi di
rumah ini diri manusia bersumpah dan bersaksi sebagaimana dalam QS. Al-A'raf: 172 yang
artinya "Bukankah Aku ini Tuhanmu? Benar, dan kami bersaksi."

Di Betal Makmur, Sang Diri sudah menyukma, berkendaraan sukma, berubah astral atau
disebut juga wahana jiwa. Wahana ink digunakan untuk dapat membuat kesepakatan tentang
kehidupan yang akan dialami di dunia ini. Mereka semua mampu menyadari apa yang akan
diembannya, karena diri mereka belum tertutup hawa nafsu. Ada yang membuat kesepakatan
untuk menjalani hidup bahagia maupun sengsara.

Pada dasarnya, pembuatan kesepakatan itu untuk melanjutkan proyek kehidupan kita yang
belum selesai, yaitu kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita inj asal-usulnya dari Tuhan
dan akan kembali kepada-Nya. Dalam perjalanan kembali, kita mampir di bumi dengan
berpakaian raga (jasmani). Istilahnya "di bumi ini kita hanya mampir ngombe", yakni singgah
sebentar untuk mengambil bekal bagi kehidupan selanjutnya.

Menurut Achmad Chozin (2013: 95), bila pakaian telah rusak, tidak bisa dipakai lagi, yakni
ganti pakaian yang baru. Proyek kita jalan terus sesuai dengan kesepakatan. kita buat
rancangannya, cetak birunya (cita-cita), kemudian kita kerjakan. Karena kita sendiri yang
membuat kesepakatan berdasarkan cetak biru yang kita buat, maka kita diingatkan oleh
Tuhan dalam Al-Qur'an untuk tidak bersedih bila tidak berhasil dalam mengejar cita-cita. Kita
juga diingatkan untuk tidak terlalu bergembira bila berhasil.

Dari Baitul Makmur, Sang Diri menuju Betal Mukaddas (Baitul Muqaddas), yaitu rumah bagi jiwa
yang telah disucikan. Di tempat ini Sang Diri hendak menggunakan pakaian baru yang kelak
disebut sebagai raga jasmani atau Hartati. Ia memilih pakaian yang ciri-cirinya sesuai dengan
yang tercantum dalam kesepakatan.

Di dalam Betal Mukaddas sang jiwa atau jiwa (nafs) dilengkapi oleh Tuhan dengan dua macam
kendaraan. Pertama, preyoshakti atau Ki Samurta merupakan wujud (keberadaan) yang berasal
dari air, api, udara, tanah dan angkasa. Ki Samurta mendorong manusia untuk mencintai
kehidupan materi (duniawi). Ki Samurta mewujud dalam bentuk fisik manusia. Kedua,
sreyoshakti atau Ki Samurti adalah wujud yang berasal dari cahaya matahari, rembulan dan
bintang. Ki Samurti lebih tertarik pada hal yang bersifat rohani, yang menuju kehidupan
samawi. Ki Samurti merupakan kekuatan batin atau daya rohani.

Manusia yang semula disebut Hartati oleh Sunan Kalijaga, setelah keluar dari rahim ibu
menjadi bayi yang dinamakan artadaya. Kata Hartati berasal dari har, ta dan ti. Har artinya air,
ta artinya kamu dan ti menunjukkan suatu kejadian dalam kurun waktu. Jadi, manusai pada
mulanya hanyalah wujud dari cairan. Setelah diberi daya dan kekuatan yang berasal dari
preyo dan sreyo, lahir menjadi manusia yang membawa potensi atau kodrat dirinya, yang
disebut Artadaya. Jadi, Artadaya yaitu suatu kuasa dan daya untuk mempertahankan hidupnya
di bumi ini, sekaligus merupakan tabir bagi manusia untuk menggapai kebahagiaan batin.

Dalam Makrifat Jawa untuk Semua (Serambi, 2011), Ki Ageng Suryomentaram


mengklasifikasikan benda-benda yang ada di alam semesta ini menjadi empat macam.
Pertama, benda yang berdimensi tunggal, yaitu sebagaimana garis saja. Kedua, benda dua
dimensi yang memiliki ukuran panjang dan lebar. Ketiga, benda tiga dimensi, yaitu benda
yang memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi. Keempat, benda empat dimensi, yaitu benda
yang selain memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi, yaitu juga memiliki rasa. Keempat
jenis wujud benda itu tercakup dalam diri setiap manusia.

Empat jenis maujud itu juga bisa digunakan untuk menerapkan tahapan-tahapan hidup
manusia. Tahapan-tahapan hidup manusia yaitu:

1. Seorang bayi yang baru lahir bisa dipersepsikan sebagai manusia yang masih berdimensi
tunggal, yaitu sebuah garis lurus yang belum bisa membentuk bidang. Kemana garis itu
mengarah atau diarahkan, ia tetap hanya sebatas garis yang lurus. Bayi yang baru
dilahirkan, langsung merasakan sesuatu, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar
dirinya. Akan tetapi, organ tubuhnya belum dapat diberdayakan untuk merespon
sesuatu yang dirasakannya. Misalnya, ketika ia digigit nyamuk, ia merasakan adanya rasa
sakit pada tubuhnya, tetapi tangannya belum dapat ia gunakan untuk sekedar menghalau
nyamuk tersebut. Manusia satu dimensi ini dalam menjalani hidupnya adalah bagai
perekam yang belum sepenuhnya menyadari apa-apa yang telah direkam oleh rasanya.
Jadi, hidup manusia dalam fase ini adalah sebagaimana hidupnya tumbuh-tumbuhan;

2. Anak-anak kecil yang mempunyai organ-organ tubuh yang sudah biasa diberdayakan
mengikuti kemauan rasanya, tapi akal dan hatinya belum berfungsi. Manusia yang sudah
lebih maju satu langkah dibandingkan yang pertama, selain bisa merasakan sesuatu, ia
juga sudah bisa bereaksi terhadap apa yang dirasakannya. Akan tetapi, dalam merespon
segala sesuatu yang datang dari luar dirinya itu belum bisa memberdayakan akal dan
hatinya. Karena itu, berbagai reaksi terhadap sesuatu seringkali tidak tepat. Misalnya,
ketika melihat api, karena menyukai pijar cahayanya, ia ingin memegangnya. Maka
reaksi si anak itu menyebabkan tangannya terbakar. Jadi, sudah jelas bahwa anak-anak
kecil sudah bisa merasakan sesuatu, misalnya rasa senang. Organ-organ tubuhnya juga
sudah dapat digunakannya untuk merespon. Sebab, manusia dua dimensi adalah seperti
benda yang mulai menjadi sebuah bidang, sudah mempunyai ukuran panjang dan lebar,
tetapi belum memiliki ketebalan atau ketinggian dalam dimensi ruang;

3. Fase ketiga ini, manusia sudah bisa merasakan dan bereaksi atas apa yang dirasakannya,
serta sudah bisa memberdayakan akalnya untuk berpikir, sehingga mampu memahami
hukum-hukum alam. Meski demikian, ia belum bisa memfungsikan hatinya. Karena itu,
hidupnya hanya berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pribadi. Jadi,
hidup manusia pada fase ini adalah hidup yang didominasi oleh apa yang diistilahkan
sebagai rasa kramadangsa atau ego, yang selalu memiliki kecenderungan untuk besar
sendiri, menang sendiri dan sejenisnya. Sebab, manusia tiga dimensi adalah seperti benda
yang sudah memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi dalam dimensi ruang dan waktu;

4. Fase terakhir ini, manusia sudah bisa merasakan dan bereaksi atas apa yang
dirasakannya, serta mampu memberdayakan akalnya untuk berpikir, sehingga dapat
memahami hukum-hukum alam. Manusia dalam dimensi ini juga memiliki kebijaksanaan
yang bersumber dari “rasa” dalam hati. Rasa inilah yang disebut sebagai rasa yang dapat
berkembang, yaitu rasa yang tidak mungkin dirasakan oleh hewan maupun tumbuhan.
Maka, manusia tidak lagi hanya mementingkan dirinya sendiri, melainkan telah
berkemampuan memotret rasa orang lain dengan tepat. Sebab manusia empat dimensi
adalah seperti benda yang tidak hanya memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi dalam
dimensi ruang dan waktu, tapi juga memiliki rasa yang bisa melintasi ruang dan waktu.

Namun, karena suasana hati setiap manusia itu cenderung berubah-ubah (moody), jika tidak
mampu menjaga kesadaran (eleng) dan waspada atas penguasaan rasa kramadangsa (egonya), ia
akan kembali tergelincir pada ukuran hidup ketiga atau kedua, atau lebih rendah lagi. Karena
itu, dalam mengilustrasikan manusia pada maqam keempat yang tertinggi ini, Ki Ageng
mengingatkan “siapa yang mencari enak tanpa mengenakkan tetangganya, sama halnya dengan
membuat tali untuk menjerat lehernya sendiri.”

B. KONSEP TENTANG MANUSIA


Konsep manusia dalam kejawen tidak dapat dipisahkan dengan konsep ke-Tuhan-an.
Manusia sebagai pancara Tuhan disebut sebagai jagad cilik (micro cosmos), sedangkan alam
semesta ini disebut jagad gedhe (macro cosmos). Manusia merupakan makhluk Tuhan yang
paling sempurna, karena memiliki unsur-unsur ketuhanan. Oleh sebab itu, manusia berupaya
untuk menemukan jalan untuk kembali kepada asal muasalnya, menemukan jati dirinya dan
akan kemana ia setelah mati (sangkan paraning dumadi). Konsep inilah yang melandasi orang
kejawen untuk melakukan olah rasa, berusaha menemukan keselamatan dan kebahagiaan
hidup yang abadi.
Manusia dalam pandangan kejawen dianggap sebagai carangan Tuhan, penjelmaan Tuhan
secara mistis. Proses penciptaan manusia dalam konsep Islam Kejawen melalui 7 (tujuh)
tahapan, sebagaimana diuraikan dalam Kitab Primbon Atassadhur Adammakna (Noeradya
2008;15) sebagai berikut:
1. Alam awang-uwung, artinya ruang kosong yang belum ada apa-apa, ruang yang tanpa
permulaan dan tanpa penghabisan, yaitu alam Ilahiah yang sangat rahasia;
2. Cahaya, “Ingsun anganakake cahya minangka panuksmaningsun dhumateng ana ing alam
pasenedaningsun”. Cahaya merupakan tempat singgahnya suksma dari Tuhan;
3. Wawayangan (gambaran), “Ingsun anganakake wawayangan, minangka panuksma lan dadi
rahsaningsun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji”. Wawayangan merupakan design
atau bentuk abstrak tempat bersemayamnya suksma dan rasa yang berada di alam
pambabaring wiji (penanaman biji);
4. Suksma, “Ingsun anganakake suksma, minangka dadi pratandha kauripaningsun, dumunung ana
alaming getih”. Suksma merupakan tanda-tanda kehidupan yang terletak pada dalam
darah;
5. Angen-angen, “Ingsun anganakake angen-angen kang uga dadi warnaningsun, ana ing dalem
alam kang lagi kena kaumpamaake bae”. Angen-angen merupakan tanda-tanda keberadaan
Tuhan yang berada di alam yang sudah dapat dijangkau manusia;
6. Budi, “Ingsun anganakake budi, kang minangka kanyatahan pancaring angen-angen kang
dumunung ana ing dalem alaming badan alus”. Budi merupakan menyebarnya wujud angen-
angen yang berada di alam badan halus;
7. Sajatining manungsa, “Ingsun anggelar warana kang minangka kakandhangan sakabehing
paserenaningsun. Kasebut nem perkara ing dhuwur mau tumitah ana ing donya iya iku sajatining
manungsa”. Tuhan menunjukkan eksistensi-Nya dalam warana (media) yang berwujud
manusia sejati yang berada di alam dunia ini, yang terbentuk melalui enam proses
tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, menurut Shihab (2009; 237) terlihat proses penciptaan manusia
melalui pancaran (tajalli) dzat Tuhan sebanyak tujuh tingkatan sampai menjadi wujud
manusia. Tingkatan tersebut yaitu: Alam Awang-Uwung, Cahaya, Wawayangan, Suksma, Angen-
Angen, Budi dan Manusia Sejati. Ajaran tajalliat tersebut merupakan paham wahdat al-wujud
yang lebih sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa.
Ajaran tentang kesatuan antara manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti) berkaitan erat dengan
ajaran sangkan paran, yaitu ajaran tentang asal-usul kejadian manusia dan arah tujuan
hidupnya. Sangkan paran menurut ajaran aliran kepercayaan mengandung pengertian bahwa
manusia berasal dari Tuhan dan nanti akan kembali menyatu dengan-Nya. Menurut istilah
induk Wargo Kawruh Utomo, disebut “manunggaling kawula Gusti”. Menurut istilah Pangestu
disebut “pamoring kawula Gusti”, menurut Sumarah disebut “jumbuhing kawula Gusti”.

Orang yang pertama kali menyebarkan ajaran manunggaling kawula Gusti adalah Syekh Siti
Jenar. Ia menganggap sebagai ajaran yang sah dari ajaran Islam. Menurutnya, semua makhluk
dan alam semesta ini tersusun dalam satu susunan yang hierarki atau bangunan yang
bertingkat-tingkat. Sedangkan puncak dari bangunan itu adalah Allah Yang Satu.

Demikian juga Ranggawarsito, dalam kitabnya Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham
kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari
Tuhan, oleh karena itu harus berusaha untuk dapat kembali dengan Tuhan. Keterangannya
dalam Suluk Saloka Jiwa adalah sebagai berikut:

Dene manungsa punika, asal saking cahya gaib, praptaning jaman kukutan, gaib wangsul marang gaib,
makaten kang sayekti, mantuk maring asalipun, nunggil Gusti kawula, punapa rinebag malih, kendel
atutira sang Jali Pramana. (Adapun manusia itu berasal dari cahaya gaib, apabila meninggal
atau sesudah hari kiamat, manusia bakal kembali kepada Dzat Yang Gaib, yakni pulang ke
tempat asalnya, Manunggaling Kawula Gusti. Kiranya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,
kata Pramana Jali).

Kesatuan kembali dengan Tuhan di dunia bisa dicapai melalui penghayatan mistik dengan
jalan laku samadi yang disebut manekung. Di samping itu juga dapat dicapai dengan membaca
suatu rumusan kata-kata untuk mengumpulkan Kawula Gusti. Yaitu sejenis rumusan kata-kata
yang dipandang punya daya magis. Akan tetapi, kesatuan yang sempurna antara manusia
dengan Tuhan menurut Ranggawarsita sesudah datangnya ajal atau maut.

Seseorang yang mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan, maka ia akan menjadi
manusia yang sempurna. Yaitu menjadi orang sakti, apa yang dikehendaki dan dikatakan
terjadi seketika. Karena dalam keadaan seperti itu Tuhan berkehendak, bersabda, berbuat
serta merasakan segala rasa dengan mempergunakan tubuh manusia. Dalam keadaan
manunggal dengan Tuhan seperti itu timbul ungkapan yang saling mendaku antara manusia
dengan Tuhan. Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati selain menerangkan tata cara
mencapai penghayatan manunggaling kawula Gusti, juga menguraikan masalah ontologi,
khususnya tentang Tuhan dan manusia. Di antara perwujudannya sebagai berikut:
“Ingkang angandika sajatining dzat kang Amaha Suci punika, inggih gesang kita pribadi, sayekti
katitipan rahsaning Dzat kang Agung. Anglimputi ing sipat punika inggih rupa pribadi, sayekti
kawimbuhan warnaning Dzat kang elok. Anartani nama-nama punika inggih nama kita pribadi, sayekti
kaaken sesebutaning Dzat kang wisesa. Amrantandhani apngal punika, inggih solah bawa kita pribadi,
sayekti anelaken pakartaning Dzat kang Sampurna. Mila babasanipun wahananing Dzat punika
anyamadi sipat, sipate punika anartani anama-nama, nama-nama punika amrantandhani apngal,
apngal punika dados warananing (wahananing) Dzat”. (Yang berkata Akulah sebenarnya Zat
Yang Maha Suci, adalah hidup kita sendiri, sungguh dititipi rahasia yang agung, meliputi sifat
yaitu rupa kita sendiri, sungguh ketambahan bagian dari nama, yaitu nama kita sendiri.
Sungguh dianggap sebagai Zat Yang Maha Kuasa. Menandai af’al (perbuatan) itu juga tingkah
laku sendiri, ibaratnya adalah penjelmaan Zat itu mempengaruhi sifat-sifat menunjukkan
nama dan nama menandakan perbuatan-perbuatan itu adalah perwujudan Zat).

Maksud dari ajaran di atas, bahwa hidup manusia katitipan atau mengandung rahasia Zat
Yang Agung. Berarti Zat Tuhan telah bersemayam dalam hidup manusia. Rupa manusia
kawimbuhan atau mengandung warna Zat Tuhan yang bersifat elok. Nama manusia diakui
sebagai sebutan Tuhan, dan tingkah laku manusia mencerminkan perbuatan Tuhan. Atau
dengan kata lain, Tuhan itu menempati dalam diri manusia. Jadi, Tuhan immanent of essence
dalam diri manusia.

Konsep Manunggaling Kawula Gusti memang sulit dipahami. Karena kalau manusia dikatakan
Tuhan, bukan Tuhan. Dikatakan bukan Tuhan kelihatannya sama dengan Tuhan. Hal sebagai
terlihat dalam penjelasan Ranggawarsita dalam Serat Centini sebagai berikut:

“Wujud mokal jatineko basa mokal iku yayi patemon kawula Gusti niku mokal namanira satan Gusti
tan kawula ya Gusti ya Kawula Gusti kang sipat kawula kawula kang sipat Gusti. Yayi iya iku mokal
gaibing roroning tunggal nora tunggal nora pisah tan kekalih tan sajuga nora ewuh nora gampang
ananing hyang wujud kita”. (Hal itu merupakan wujud mokal. Kata mokal itu yayi, yakni
pertemuan kawula Gusti. Dinamakan mokal, tiada Gusti tiada kawula, ya Gusti juga kawula,
Gusti yang bersifat kawula, dan kawula yang bersifat Gusti. Adikku, itulah mokal, roroning
tunggal yang gaib, tiada tunggal tiada pisah, tiada dua tiada satu, tidak sulit juga tidak
mudah dimengerti, loro-loroning atunggal (dua menjadi satu) bisa sulit bisa mudah dimengerti,
wujud Tuhan juga wujud kita).

Dari beberapa uraian tentang kemanunggalan manusia dengan Tuhan, dalam tradisi Kejawen,
demikian juga dalam Paramayoga, masih tetap membedakan antara Tuhan yang wajib
disembah, dengan manusia yang wajib menyembah. Bahkan kepercayaan akan takdir Tuhan
merupakan satu sendi dalam ajaran Kejawen. Bahwa segala kejadian di dunia itu telah
ditentukan Tuhan dalam azali. Dalam Paramayoga diterangkan: “Amarga jenenge kawula iku
mung kudu sumarah kersaning Gusti”. (Bahwa manusia harus berserah diri atas kodrat iradat
Tuhan). Dan ini menunjukkan akan kepercayaan kepada Tuhan yang theis.

Anda mungkin juga menyukai