Anda di halaman 1dari 5

Catatan Budaya Adiluhung : KP Norman Hadinegoro,SE.MM.

KP Norman Hadinegoro pemerhati budaya adiluhung juga pernah dikenal sebagai Ketua
harian Forum Silahturahmi Karaton Nusantara { FSKN}, Mantan Sekjend Peguyuban Sastra
Jendra dibawah Pimpinan KPH Darudriyo.

Ajaran Ilmu Sedulur Papat Lima Pancar melalui ilmu kuno Jawa ialah Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu mengenal dan memahami sastra kuno ialah:

HaNaCaRaKaDaTaSaWaLaPaDhaPaDaJaNyaMaGaBanga :
Ha – Huripku Cahyaning Allah
Na – Nur Hurip cahya wewayangan
Ca – Cipta rasa karsa kwasa
Ra – Rasa kwasa tetunggaling pangreh
Ka – Karsa kwasa kang tanpa larsa lan niat
Da – Dumadi kang kinarti
Ta – Tetep jumeneng ing dat kang tanpa niat
Sa – Sipat hana kang tanpa wiwit
Wa – Wujud hana tan kena kinira
La – Lali eling wewatesane
Pa – Papan kang tanpa kiblat
Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane
Ja – Jumbuhing kawula lan gusti
Ya – Yen rumngsa tanpa karsa
Nya – Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki
Ma – Mati bisa bali
Ga – Guru sejati kang muruki
Ba – Bayu sejati kang andalani
Nga – Ngracut busananing manusngsa
Mengenal Ilmu klasik Jawa Sedulur Papat Lima Pancar adalah ilmu Rasa Sejati pendekatan
diri dengan Tuhannya, Alam dan lingkungannya.

Sastra Jendra adalah sastra/ilmu yang bersifat tahasia/gaib, rahasia karena pada mulanya
amung diwedarke kepada orang-orang yang terpilih dan kalangan terbetas dikalangan
bangsawan jawa yang diberikan secara lisan swekarang dapat dipelajari secara umum .

Gaib karena ilmu ini diajarkan oleh Guru sejati melalui rasa sejati (tasawuf)
Hayuningrat/yuningrat berasal dari kata hayu/rahayu – selamat dan ing rat yang berarti di
dunia.

Pangruwating Diyu, artinya meruwat, meluluhkan, merubah, memperbaiki sifat-sifat Diyu,


raksasa, angkara, durjana.

Maka Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu maknanya adalah ilmu rahasia
keselamatan untuk meruwat sifat-sifat angkara didunia ini, baik mikro maupun makro.

Sastra Jendra Hayuningrat pangruwating Diyu merupakan Ilmu yang berasal dari Allah untuk
menyelemat-kan segala sesuatu, maka tiada pengetahuan (hakekat) lain lagi yang dapat
digapai manusia (di tanah Jawa) yang lebih dalam dan lebih luas melebihi Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu, karena ini merupakan sastra adi luhung atau ilmu luhur
yang merupakan ujung akhir dari segala pengetahuan/kawruh kasampurnaan ilmu Tasawuf
Jawa sampai saat ini.

Makna/kawruh yang terkandung Dalam sandi sastra Kalau diurut dari atas ke bawah, dari Ha
sampai Nga, mengandung makna yang sangat dalam dan luas tentang rahasia gumelaring
dumadi, atau pambabaring titah, atau rahasia jati diri, asal usul/ terjadinya manusia menurut
persepsi orang jawa.

Yaitu terciptanya manusia dari Nur, Cahaya Allah yang bersifat Tri Tunggal Maha Suci, yang
merasuk busana anasir-anasir sebagai wadah, yaitu badan jasmani halusan dan badan jasmani
kasar.
Apabila diurut terbalik dari Nga naik sampai Ha, inilah yang merupakan “rahasia” jalan
rahayu, ya pangruwating Diyu, untuk menuju kesempurnaan hidup kembali kepada sangkan
paraning dumadi. Kembali ke asal mula, kea alam Sejati yaitu menghadap Allah yang Maha
Agung. Jadi dari Nga sampai ha, juga merupakan urut-urutan panembah, dimulai dari badan
jasmani kasar (alam syariat), dimana titik berat kesadaran kemudian harus dialihkan satu
tahap demi tahap kea rah asal mula, ke Alam Sejati.
Syarat mutlak agar kita dapat menyadari/ memahami sesuatu hal, adalah membawa kesadaran
kita bergerak masuk berada disitu. Fokus.titik berat kesadaran dapat berpindah.

Dalam keseharian hidup, kesadaran kita banyak terfokus dalam badan kasar, alam anasir,
diluar alam Sejati. Tahapan pertama yang harus dilalui yaitu Nga, sedemikian rumit dan
sulitnya, maka dapat dibayangkan tidak begitu mudah untuk dapat memindahkan titik
berat/fokus kesadaran ke Alam Sejati, namun itulah intinya perjalanan spiritual yang harus
kita tempuh.

Uraian secara “garis besar” Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba


Tha Nga kalau diuraikan adalah sebagai berikut (garis besar saja, karena detailnya begitu
luas/multi dimensi tak terkira penuh dengan pengetahuan kasunyatan sejati yang tak habis
diuraikan dalam bahasa kewadagan apalagi tulisan). Dan ini adalah garis besar uraian dari sisi
spiritualnya untuk dipakai sebagai “mile stones” dalam menempuh jalan rahayu untuk dapat
kembali ke sangkan paraning dumadi.

1. Ha, Huripku Cahyaning Allah (Hidupku adalah Cahaya Allah). Sebelum ada apa-apa,
sebelum ada alam semesta beserta isinya ini tercipta, adalah Sang Hidup (Al Hayyu) ya Allah
ya Ingsung yang ada dialam awang-uwung yang tiada awal dan Akhir, yaitu alam/keadaan
Allah yang masih rahasia/Alam Sejati. Itulah Kerajaan Allah ya Ingsung. Sebelum alam
semesta tercipta, Allah berkehendak menurunkan Roh Suci, ya Cahaya Allah. Ya Cahaya
Allah itulah hidupku, hidup kita yang Maha Suci. Alam sejati adalah alam yang tidak
menfandung anasir-anasir (unsure-unsur hawa, api, air dan bumi/tanah) yang berada di dalam
badan manusia, dimana Cahaya Allah bersemayam. Alam Sejati diselubungi/menyelubungi
dua alam beranasir yaitu halus dan kasar. Dapat pula diartikan, badan manusia berada dialam
sejati.

2. Na, Nur Hurip Cahya Wewayangan (Nur Hidup Cahaya Yang Membayang). Hidup
merupakan kandang Nur yang memancarkan Cahaya Kehidupan yang membayang yang
merupakan rahasia Allah. Kehidupan yang Maha Mulia. Tri Tunggal Mahsuci berada dipusat
hidup, Ya itulah kerajaan Allah.
Sang Tritunggal adalah Allah Ta,ala/Gusti Allah/Pangeran/Suksma Kawekas, Ingsung/Guru
Sejati/Suksma Sejati dan Roh Suci/Nur Pepanjer/Nur Muhammad. Diuraikan diatas, bahwa
ketiga alam yaitu badan kasar, badan hasul dan alam sejati, mengambiln ruang dalam badan
jasmani kasae secara bersamaan. Namun kebanyakan kita manusia tidak atau belum
menyadari akan Alam Sejati, atau samara-samar. Nur Hidup bagaikan Cahaya yang samara
mebayang.

3. Ca, Cipta rasa karsa kwasa (Cipta rasa karsa kuasa). Nur Hidup memberi daya kepada
Rasa/Rahsa Jati/Sir, artinya Cahaya/Nur/Roh Suci menghidupkan Rasa/Rahsa Jati/Sir yang
merupakan sumber kuasa. Maka bersifat Maha Wisesa. Rasa/Rahsa Jati/Sir menghidupkan
roh/Suksma yang mewujudkan adanya cipta, Maka bersifat Maha Kuasa.

4. Ra, Rasa kwasa tetunggaling pangreh (Rasa kuasa akan adanya satu-satunya wujud
kendali/yang memerintah) Rasa Sejati yang memberi daya hidup roh/suksma sehingga
roh/suksma dapat menguasai nafsu (sedulur lima), sehingga terjadilah sifat Maha Tinggi.
5. Ka, Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat (Karsa kuasa tanpa didasari oleh kehendak dan
niat). Yang mendasari adanya kuasa agung adalah kasih yang tulus, tanpa kehendak, tanpa
niat. Pamrihnya hanyalah terciptanya kasih yang berkuasa memayu hayuning jagad kecil dan
jagad agung.
6. Da, Dumadi kang kinarti (Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana
dan makna). Ini berkaitan dengan Karsa Allah menciptakan manusia, makhluk lain dan alam
semesta beserta isinya yang sesuai dengan rencana Allah.

7. Ta, Tetep jumeneng ing dat kang tanpa niat (Tetap berada dalam Zat yang tanpa niat). Dat
atau Zat tenpa bertempat tinggal, yang merupakan awal mula adalah dat Yang Maja Suci
yang bersifat Esa, langgeng dan eneng. Hidup sejati kita menyatu dengan dat, ada di dalam
dat. Maka didalam kehidupan saat ini agar selalu selaras dengan dat Yang Maha Suci, situasi
tanpa niat atau mati sajroning urip (mati didalam hidup) dengan kata lain hidup di dalam
kematian, seyogyanya selalu diupayakan.

8. Sa, Sipat hana kang tanpa wiwit (Sifat ada tanpa awal). Ini adalah sifat Sang Hidup, Allah,
di Alam Sejati, tiada awal dan tiada akhir, “AKUlah alpha dan Onega”. Demikian pula
“hidup” Sejati nya manusia sudah ada sebelumnya, tiada awal mula, bersatu di Alam Sejati
yang langgeng, yang merupakan Kerajaan Allah, ya Sangkan Paraning Dumadi.

9. Wa, Wujud hana tan keno kinira (Wujud ada tiada dapat diuraikan/dijelaskan). ADA nya
wujud namun tiada dapat diuraikan dan dijelaskan. Ini menerangkan keadaan Allah, yang
serba samara, tiada rupa, tiada bersuara, bukan lelaki bukan perempuan, bukan waria, tiada
terlihat, tiada bertempat, dijamah disentuh tiada dapat, sebelum adanya dunia dan akhirat
yang ada adalah hidup kita
.
10. La, Lali eling wewatesane (Lupa dan ingat adalah batasannya). Untuk dapat selalu berada
di dalam jalan hayu/ rahayu maka haruslah selalu eling/ingat akan sangkan paraning dumadi
dan eling/ingat akan Yang Menitahkan/ Sumber Hidup (Allah SWT). Selalu ingat akan tata
laku setiap tindak tanduk yang dijalankan agar selaras dengan Karsa Allah ). Lali/lupa akan
menjauhkan dari sangkan paraning dumadi dan menjerumuskan kedalam kegelapan (contoh
lupa adalah bagaikan Begawan Wisrawa dalam menguraikan Sastra Jendra Hayuningrat
kepada Dewi Sukesi. Tak tahan akan goda/tak kuasa ngracut, mengendalikan nafsu-nafsu
keempat saudara maka sang Begawan birahi kepada Dewi Sukesi yang harusnya menjadi
menantunya.
11. Pa, Papan kang tanpa kiblat (papan tak berkiblat). Ini menerangkan Alam Sejati, Ya
Kerajaan Allah yang tiada dapat diterangkan bagaimana dan dimana orientasinya, bagaikan
papan yang tiada utara-selatan-barat-timur-atas-bawah.

12. Dha, Dhuwur wekasane endhek wiwitane (tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada
awalnya). Untuk memperoleh tingkatan luhuring batin menjadi insane sempurna memang
tidak dapat seketika, mesti diperoleh setapak demi setapak dari bawah (Iman, Islam dan
Ikhsan). Demikian pula dala, hal ilmu kasampurnan, dalam mencapai tataran ma’rifat
tidaklah dapat langsung meloncat. Untuk bias mengetahui dan memahami makna Ha, maka
haruslah dicari dari Nga. Sebelum mencapai sembah rasa, haruslah dilalui sembah raga dan
sembah kalbu/ sembah jiwa (Shalat dengan aturannya). Pertama adalah panembah raga/
kawula terhadap Roh Suci kepada Guru Sejati, dan terakhir adalah panembah Guru
Sejati/Ingsun jepada Allah subhanahu Wata’ala.

13. Ja, Jumbuhing kawulo lan Gusti (Bersatunya antara hamba dan Tuan nya) Bersatunya
titah dan Yang Menitahkannya. Untuk mencapainya maka kesempurnaan hiduplah yang
diupayakan yaitu sesuai apa yang dimaksud dalam Sahadat (Bersaksi adanya Allah dan
Muhammad UtusanNya). Maka semasa hidup di mayapada/ dunia, sinkronisasi antara Roh
Sejati, Ingsung yang Jumeneng pribadi dan busana-busana haruslah terjaga. Bagaikan keris
manjing dalam wrangkanya . Untuk dapat mencapai kesatuan antara kawula dan Gusti maka
tuntunan seorang guru yaitu Guru Sejati menjadi dominant. Untuk memperolehnya tidaklah
mudah, harus disiplin dan bekerja keras bagaikan kerasnya usaha seorang Bima menemukan
Dewa Ruci, yaitu wujud Bima dalam ujud yang kecil (nabusia telah menemukan AKU nya
sendiri) dalam mencari tirta pawitra.

14. Ya, Yen rumangsa tanpa karsa (kalau merasa tanpa kehendak) Hanya dengan rila/rela,
narima, sumarag/pasrah kepada Allah tabpa pamrih lain-lain, namun dorongan kasih sajalah
yang akhirnya dapat menjadi perekat yang kuat antara asal dan tujuan, sini dan sana.

15. Nya, Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diwuruki (melihat tanpa matam mengerti tanpa
diajari), kalau anugerah Allah telah diterima, maka dapat melihat hal-hal yang kasat mata,
karena mata batin telah terbuka. Selain itu, kuasa-kuasa agung akan diberikan oleh Allah
melalui Guru Sejatinya sendiri ya Suksma Sejatinya, sehingga kegaiban-kegaiban yang
merupakan misteri kehidupan dapat dimengertinya dan diselaminya. Mendapatkan ikmu
kasampurnan dari dalam sanubarinya sendiri tanpa melalui perantaraan otak/akal.

16. Ma. Mati bisa bali (mati bisa kembali). Kasih Allah yang luar biasa selalu memberikan
ampunan kepada setiap manusia yang “mati” terjatuh dalam dosa dan salah. Matinya raga
atau badan wadag hanyalah matinya keempat anasir yang tadinya tiada, kembali tiada.
Namun roh yang sifatnya kekal tidak mati namun kembali kepada Allah SWTm ya kerajaan
Allah yang tiada awal dan akhir.Namun apabila selama hidupnya di mayapada tidak sesuai
dengan Karsa Allah, melupakan Allah dan Ajaran Guru Sejati, maka tidak dapat Ngracut
busana kamanungsan nya untuk tindakan-tindakan budi luhur, maka tidaklah langsung
kembali ke Alam Sejati, maka harus mendapatkan balasan sesuai bobot kesalahanya, untuk
mempertanggungjawabkan semua tindakannya.

17. Ga, Guru Sejati Kang Muruki (Guru Sejati yang mengajari). Sumber segala sesuatu
adalah Allah yang dipancarkan melalui Sang Guru Sejati/Ingsung, maka hanya kepadaNyalah
tuntunan harusnya diperoleh. Petunjuk Guru Sejati hanya dapat didengar dam diterima
apabila sudah dapat berhasil meracut busana kamanungsan nya. Disini akan tercapai guruku
ya AKU, muridKU yang aki.

18. Ba, Bayu Sejati kang andalani (Dengan bantuan Bayu Sejati). Daya kekuatan sejati yang
merupakan bayangan daya kekuatan Allah lah yang mendorong “pencapaian” tingkat-tingkat
yang lenbih tinggi atau maksud-maksid spiritual yang berarti.

19. Tha, Thukul saka niat (Tumbuh/muncul dari nuat). Niat menuju kearah sangkan paraning
dumadi yang didasari kesucian, tanpa kehenak (selain ridloNya) dari keinginan ataupun
pamrih keduniawian. Timbulnya niat suci hanya didasari cinta/kasih illahi.

20. Nga, Ngracut busananing manungsa (nerajut/menjalin pakaian-pakaian kemanusian-nya).


Busana kemanungsan adalah empat anasirm yang dimanifestasikan dalam wujud-wujud
sedulur papat, serta lima sedulur lainnya. Kesembilan Saudara tersebut harus dikuasai,
diracut/dijalin dengan memahami kelebihan dan kekuranannya, agar tercapai “iklim”
harmoni/ balance dalam perjalanan manusia hidup di maya pada ini, yang pada akhirnya
tercapailah kesempurnaan hidup.(dohand)

Anda mungkin juga menyukai