Anda di halaman 1dari 7

Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak Ilmu Nusantara.

“Sastra Jendra
hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya; wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-
unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib
“Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang
yang mendapat wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai
raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa
atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang
manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu
menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra
Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah
keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah Jnana Yoga tingkat Tinggi

HANACARAKA

Keempat jurus Hanacaraka sebenarnya menyiratkan 4 tingkat alam kehidupan alam semesta yang tidak
terbatas hanya kepada insan manusia diatas bumi ini.

Secara ringkas / garis besarnya:

1. Hanacaraka – menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta pada tingkat yang tertinggi (mendasar).
“ADA’-nya Cipta, Rasa dan Karsa sebagai sumber Kekuasaan yang tertinggi. Alam Tritunggal (Ca, Ra, Ka)
yang Maha Kuasa.

2. Datasawala – menyiratkan alam kehidupan pada tingkat Monad, Logos. (Atma?) yang berada diluar
dimensi ruang dan waktu. Ke-Maha-Kuasa-an yang didasari oleh Cipta, Rasa dan Karsa yang ada pada
setiap Logos / Monad mulai dilengkapi dengan ‘kehendak’ / ‘niat’ yang melahirkan “Ingsun”. Aku

3. Padhajayanya – menyiratkan alam kehidupan yang merupakan ‘manifestasi’ dari ‘kehendak’ / ‘niat’
dari jajaran Ingsun/ Aku (Higher Selves) kedalam alam yang multi dimensi melalui proses evolusi alam
semesta beserta seluruh penghuninya. Disini terciptalah dimensi ruang dan waktu serta timbulnya
‘perbedaan’ (dualisme) antara ingsun/Aku / dan Ingsun/ AKU (kawula lan Gusti)

4. Magabathanga – menyiratkan alam kehidupan dimana ingsun dengan bimbingan Ingsun (Guru Sejati)
dan bantuan Bayu Sejati (bayangan kuasa Prana Suci) melaksanakan ‘misi’nya (karsa) yang timbul dari
‘niat’ untuk ‘meracut’ busana manusia dialam fisik (alam kematian / tidak kekal). Alam jiwa dan raga.

Dengan meng-kaji keempat jurus diatas secara bolak balik dan berulang ulang, saya ‘mendapatkan’
pengertian tentang apa ‘misi’ kita sebenarnya dengan ‘turun’-nya kita ke dunia ini. Pengertian ini belum
pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, dan juga belum pernah saya dapatkan dari ‘ajaran ajaran’ lain
yang pernah saya ketahui.

(Lihat MISI – Karsa manusia didunia ini.)

1. HANACARAKA – Dasar kesunyataan Ha-na-ca-ra-ka: Hana (ada) Ca, Ra, Ka (Cipta, Rasa, Karsa).
Ha – Huripku Cahyaning Hyang Widhi.

Hidup(ku) adalah cahaya Tuhan dimana Tuhan adalah sumber dari cahaya / kehidupan alam semesta.
Lain dari definisi ‘hidup’ yang kita kenal selama ini, seluruh alam semesta sebenarnya penuh dengan
kehidupan, mulai dari particle atom yang terkecil sampai kepada seluruh planet, bintang dan Galaxi
beserta seluruh penghuninya, baik yang berada dalam dimensi kita, maupun dimensi dimensi lainnya
yang tidak kita kenal/ketahui.

Na – Nur hurip cahya wewayangan.

Nur hidup adalah cahaya yang membayang.

Terpengaruh oleh perlambang dalam permainan wayang, semula saya berkesan bahwa Hyang Widhi
adalah sumber cahaya kehidupan, Nur adalah cahaya yang membayang dan Caraka adalah wayangnya.
Dalam konteks tersebut kita akan segera menganggap Caraka (utusan) sebagai Ingsun /aku serta
bayangan dilayar adalah ingsun/AKU (bayangan dari Ingsun).

Namun setelah saya renungkan kembali, ternyata jurus Hanacaraka ini menyiratkan dasar kesunyataan
alam semesta yang berada dua tingkat diatas alam Ingsun/aku. IngsunAku baru muncul pada alam ketiga
– Padhajayanya. (Maaf kalau pengertian saya tentang kata “Ingsun”/Aku mungkin kurang tepat.)

Baik dalam pengertian pertama maupun kedua, sebenarnya bisa kita simak rahasia penciptaan alam
semesta yang mempunyai tiga aspek yang manunggal (Tritunggal). Dalam pengertian yang pertama, Ha,
Na dan Caraka adalah ketiga aspek tersebut, sedangkan dalam pengertian kedua Caraka sendiri juga
mengandung ketiga aspek yang sama yakni Cipta, Rasa dan Karsa.

Ca – Cipta rasa karsa kwasa.

Tritunggal Cipta, Rasa dan Karsa adalah aspek aspek yang mendasari kwasa / kekuasaan yang tertinggi
(Maha Kuasa) diseluruh alam semesta.

Ra – Rasa kwasa tetunggaling pangreh.

Aspek Rasa (Rahsa sejati) yang terkandung didalam Tritunggal diatas merupakan aspek kendali dalam
kekuasaan yang Maha Tinggi tersebut.

Ka – Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat.

Karsa, hasil ataupun ‘wujud’ dari Tritunggal diatas adalah kwasa / ke-Maha-Kuasa-an yang masih murni,
yang belum diwarnai oleh keinginan ataupun kehendak.

Manifestasi dari Tritunggal (Caraka, utusan Hyang Widhi) yang Maha Kuasa tersebut diatas terjelma /
terjadi didalam alam Datasawala yang penuh dengan jajaran Monads, Logos dll. yang berkuasa penuh
dalam alam manifestasinya masing masing.

2. DATASAWALA – Alam Monad / Logos (Atma?)


Da-ta-sa-wa-la menyiratkan alam kehidupan pada tingkatan Logos, (Solar / Planetary Logos) dan
Monad / Atman. Pengalaman pribadi yang saya alami di bulan 12 Agustus 1980 meditasi di Hutan Pura
Pucak Payogan yang lalu memberikan gambaran tentang alam ini, dimana kesadaran saya terlebur
dalam sebuah ‘bola cahaya’, atau lebih tepatnya (karena tak ingat bentuk, pinggiran/batasannya),
semacam awan yang mula mula berwarna kelabu dan semakin lama semakin cemerlang.

Juga dialami adanya Rasa kebahagiaan dan kebebasan yang tiada taranya (sempurna / perfect bliss)
serta semacam ‘kesadaran’ tanpa menyadari siapa yang sadar, atas hubungan (inter-connected-ness)
diantara ‘segalanya’, termasuk batuan, tumbuhan, hewan serta raga raga manusia walaupun tanpa
‘bentuk’ yang nyata maupun tenggang masa (diluar dimensi ruang dan waktu)

Semula saya mengira bahwa awan cemerlang tersebut adalah segalanya dalam alam semesta ini , saya
menganggap bahwa apa yang saya alami mungkin baru mencapai tingkat Monadic atau Atman dan
belum sampai kepada kemanunggalan yang tertinggi.

Ternyat awan cemerlang tersebut merupakan kesatuan dari berjuta-juta Ingsun/aku yang ber-evolusi
bersama-sama.

Ternyata hal hal diatas sudah tersirat dalam rumusan Datasawala secara jelas:

Da – Dumadi kang kinarti

Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna sebagai Karsa
(‘hasil’/’wujud’) dari Tritunggal (Caraka) diatas.

Ta – Tetep jumeneng ing ingsun tanpa niat.

Tetap berada dalam aku (Nur hidup cahaya yang membayang) diluar dimensi ruang dan waktu serta
masih murni, belum diwarnai oleh kehendak atau niat, walaupun sudah membawa maksud, rencana dan
maknanya masing masing.

Sa – Sifat hana kang tanpa wiwit.

Sifatnya ‘ada’ namun tanpa asal usul. Kekal, berada diluar dimensi waktu dimana tidak ada perbedaan
antara waktu lalu, sekarang maupun yang akan datang.
Wa – Wujud hana tan kena kinira.

Wujudnya ‘ada’ namun tak berbentuk. Manunggal, berada diluar dimensi ruang dimana tak ada
perbedaan antara sini atau sana, dekat atau jauh, atas atau bawah, depan atau belakang.

La – Lali eling wewatesane.

Lupa ingat adalah batasannya. Tersirat dalam kalimat tiga kata diatas adalah terjelmanya niat, kehendak
yang bebas, hanya dengan batasan ‘ingat’ ataupun ‘lupa’ akan maksud, rencana dan makna yang sudah
digariskan semula sesuai Karsa Tritunggal diatas.

Dengan timbulnya ‘kehendak bebas’ maka ‘adalah’ / terjadilah Ingsun /aku (Higher Self / Guru Sejati)
yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Atman. Setiap Ingsun/aku dilengkapi oleh
‘kehendak’ / niat sesuai dengan karsa, maksud, rencana dan maknanya masing masing.

Manifestasi dari kehendak yang sesuai dengan karsa menciptakan alam ketiga, alam Ingsun yang tersirat
dalam rumusan Padhajayanya.

3. PADHAJAYANYA – Alam Ingsun dan ingsun

Pa-dha-ja-ya-nya menyiratkan terciptanya dimensi ruang dan waktu. Dengan adanya dimensi ruang
terjadi pula ‘perbedaan’ antara Ingsun dan ingsun. Dan dengan adanya waktu terjadi pula proses
evolusi.

Disini tersirat pula hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Adanya ‘Rasa’ membuat
semuanya ‘nyata’ tanpa melihatnya dengan mata, dan semuanya bisa dimengerti walaupun tanpa
diajari. Namun demikian dalam alam ini ‘rasa’ yang ada belum dapat diwujudkan.

Per‘wujud’an (karsa) dari rasa tersebut baru ter-manifestasi-kan dalam alam berikutnya.

Pa – Papan kang tanpa kiblat. Papan tak berkiblat.

Kata kata “papan” dan “kiblat” menyiratkan adanya dimensi ruang yang baru pertama kali disebutkan
dalam tingkat Padhajayanya. Dihubungkan dengan teori ilmu fisika alam, dalam kalimat ini tersirat
terjadinya “Big Bang”. Perlu ditambahkan bahwa masih banyak dimensi dimensi lain diluar ketiga
dimensi ruang yang kita kenal.

Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane. Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya.

Terciptanya dimensi ruang segera disusul dengan terciptanya dimensi waktu. Dan dalam kalimat
sederhana diatas tersirat pula adanya proses ‘evolusi’ dalam ‘waktu’ yang bermula dari kesederhanaan.

Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti. Bersatunya antara hamba dan Tuannya.

Dengan terjadinya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara kawula/atman dan Gusti /Brahman
walaupun masih berada dalam kesatuan.

Ya – Yen rumangsa tanpa karsa.

Adanya Rasa namun masih belum dilengkapi dengan karsa. (belum dapat di’wujud’kan).

Nya – Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki.

Dengan adanya Rasa semuanya di-’rasa’-kan nyata walaupun tanpa melihat dengan mata, dan
semuanya bisa mengerti walaupun tanpa diajari.

Kedua kalimat terakhir diatas menggambarkan hakikat ingsun/aku yang masih bersatu dengan sang
Ingsun/AKU. Dalam alam Padhajayanya yang berdimensi waktu, baik Ingsun maupun ingsun mengalami
proses evolusi.

Ingsun sebagai bagian tak terpisahkan dari Monad-nya di alam Datasawala, ber-evolusi di alam
Padhajayanya dalam rangka manifestasi dari ‘kehendak’ (niat) yang ada padanya sesuai Karsa yang telah
digariskan. Tergantung dari tahapan evolusi yang dicapai, Ingsun dapat merupakan ‘kumpulan’ dari
ingsun ingsun yang tak terbilang banyaknya, dimana jajaran ingsun tersebut juga ber-evolusi dari hasil
pengalamannya ber-karsa di alam Magabathanga.

4. MAGABATHANGA – Alam jiwa dan raga


Ma-ga-ba-tha-nga menyiratkan alam jiwa dan raga, dimana ingsun ber’karsa’ dengan cara ber- re-
inkarnasi berulang kali, untuk ‘hidup’ di alam ‘kematian’.

Dalam rangka me’wujud’kan rasa dengan ber’karsa’ dialam kematian, ingsun dibimbing oleh sang Ingsun
(Guru Sejati) dan dibantu oleh Bayu Sejati yang merupakan bayangan dari kekuasaan yang tertinggi.

Karsa yang dilaksanakan dengan hidup di alam kematian adalah memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur
yang ada (tanah, air, udara dan api) serta meracutnya sedemikian rupa sesuai dengan rasa yang hendak
di-karsa-kan (diwujudkan).

Ma – Mati bisa bali. Mati bisa kembali.

Dalam hal ini, ingsun yang memasuki alam kematian memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada,
akan kembali kealam kehidupan.

Ga – Guru Sejati kang muruki

Dalam rangka ber-‘karsa’, ingsun dibimbing oleh Ingsun (Guru Sejati)

Ba – Bayu Sejati kang andalani

Bayu Sejati yang merupakan bayangan kekuasaan yang maha tinggi merupakan bantuan yang dapat
diandalkan dalam ber-karsa.

Tha – Thukul saka niat.

Karsa yang dilakukan dengan masuknya ingsun ke alam kematian timbul dari niat / kehendak yang luhur,
yang timbul pada saat ‘lahirnya’ Ingsun sebagai bagian dari Monad di alam Datasawala.

Nga – Ngracut busananing manugsa

Meracut busana manusia ternyata adalah ‘misi’ utama dari ingsun yang menjelma sebagai manusia.
MISI – Karsa manusia di dunia ini.

Dari meng-kaji keempat jurus Hanacaraka secara bolak balik secara berulang kali selama dua minggu,
pada akhirnya saya mendapatkan suatu gambaran tentang apa yang terjadi di alam semesta ini, dan apa
sebenarnya ‘misi’ kita menjelma menjadi manusia secara berulang kali. Hal mana terjadi ketika saya
mencoba menelusuri Hanacaraka dari bawah keatas, dari Nga sampai kepada Da dan secara tiba tiba
teringat akan ajaran agama Hindu tentang Trimurti (Brahma, Wishnu dan Shiva) serta istilah

Hanacaraka di jurus Datasawala, secara tiba tiba membuka suatu wawasan yang sama sekali baru bagi
saya.

Jurus Datasawala diatas menyiratkan alam pada tingkat Logos dan Monad yang memanifestasikan
kehendaknya di alam Padhajayanya melewati proses evolusi.

Kembali ke Hanacaraka dari atas ke bawah, dari Ha sampai ke Nga, terlihat jelas bahwa “Ngracut
busananing manugsa” adalah misi ingsun dan Ingsun untuk berpartisipasi dalam proses evolusi di bumi
ini sebagai bagian dari evolusi semesta. misi untuk meracut busana manusia ini adalah sama dengan
mengajak dan mendorong saudara saudara kita yang 9 untuk ber-evolusi. Saudara saudara kita tersebut
sebenarnya merupakan bagian dari planetary logos bumi ini (Gaia) yang merupakan sub-logos dari Solar
Logos yang mempunyai ‘acara’nya sendiri dalam memanifestasikan Cipta, Rasa, Karsa yang ada padanya.

Kita adalah ‘tamu’ yang datang untuk membantu.

Cerita tentang benua Atlantis yang tenggelam (hancur) menimbulkan pemikiran bahwa mungkin
perkembangan evolusi yang terjadi pada saat itu telah menyimpang dari jalur evolusi yang sudah
digariskan sebelumnya oleh Solar Logos dan kehendaki oleh Gaia.

Apakah perjalanan misi kita, manusia saat ini, masih sesuai dengan jalur evolusi Gaia yang telah
digariskan????

Silahkan melanjutkan Meditasi Atman ini.

Anda mungkin juga menyukai