Prarabda karma yaitu perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup sekarang
dan diterima dalam hidup sekarang juga.
Kriyamana karma yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang di dunia ini tetapi
hasilnya akan diterima setelah mati di alam baka.
Hukum karma itu bersifat abadi : Maksudnya sudah ada sejak mulai
penciptaan alam semesta ini dan tetap berlaku sampai alam semesta ini
mengalami pralaya (kiamat).
Hukum karma bersifat universal : Artinya berlaku bukan untuk manusia tetapi
juga untuk mahluk mahluk seisi alam semesta.
Hukum karma itu sangat sempurna, adil, tidak, ada yang dapat
menghindarinya.
Hukum karma tidak ada pengecualuan terhadap suapapun, bahkan bagi Sri
Rama yang sebagai titisan Wisnu tidak mau merubah adanya keberadaan hokum
karma itu
Ajaran agama Hindu
Hindu ditandai dengan sifat rasional yang sangat kuat. Melalui jalan
berliku dari harapan samar dan renunsiasi praktis, dogma-dogma ketat
dan petualangan jiwa yang tidak mengenal takut, melalui empat atau lima
melinium upaya-upaya tanpa henti dalam bidang menthapisik dan teologi
para Maharesi Hindu telah mencoba untuk menangkap masalah-masalah
terakhir dalam suatu kesetiaan kepada kebenaran dan perasaan atas
kenyataan. Peradaban brahmanikal, terlatih menilai masalah-masalah
tanpa emosi dan mendasarkan kesimpulan mereka atas pengalamanpengalaman fundamental.
Hal yang menuntun para Maharesi Hindu untuk mengangkat pernyataan
mengenai Tuhan (Hakikat kenyataan) adalah kefanaan. Dunia terbuka bagi
pandangan kita yang obyektif tampak bagi mereka melampaui dirinya
tanpa akhir (endless Surpassing of it self). Mereka bertanya: Apakah
semua ini akan lenyap, atau apakah kutuk yang menelan hal-hal ini
menemukan kendalinya di suatu tempat entah di mana? Dan mereka
menjawab: Ada sesuatu di dunia ini tak digantikan, suatu yang mutlak
yang tak dapat dihancurkan, yaitu Tuhan. Pengalaman mengenai yang tak
terbatas ini (Tuhan) diberikan kepada kita semua pada beberapa
kesempatan ketika kita menangkap kilatan rahasia yang amat kuat, dan
merasakan kehadiran dari jiwa yang lebih besar dan menyelimuti kita
dalam kejayaan. Bahkan pada saat tragis dalam kehidupan, ketika kita
merasa diri kita miskin dan yatim-piatu keagungan Tuhan dalam diri kita
membuat kita merasa bahwa kesalahan dan kesedihan dunia hanyalah
kecelakaan kecil (incident) dalam sebuah drama yang lebih besar yang
akan berakhir dalam kekuasaan, kemegahan dan kasih. Upanisadupanisad mengatakan: "Bila tak ada semangat kebahagian di alam
semesta ini, siapa yang dapat hidup dan bernafas dalam dunia kehidupan
ini?" Secara filsafah Tuhan adalah Brahman yang memiliki identitas sendiri
yang mengungkapkan (mewahyukan) dirinya dalam segalanya, menjadi
landasan permanen dari proses dunia. Secara agama ia diihat sebagai
kesadaran jiwa yang suci, hamil dengan seluruh gerak dunia, dengan
evolusi dan involusinya.
Melalui perjalanan karirnya yang panjang, keesaan Tuhan telah menjadi
cita-cita yang menuntun (governing ideal) dari agama Hindu. Reg Weda
memberitahu kita mengenai Tuhan, Satu Hakekat Kenyataan Terakhir,
Ekam Sat, mengenai Dia para terpelajar menyebutnya dengan berbagai
nama. Upanisad-Upanisad juga mengatakan bahwa Tuhan yang satu itu
disebut dengan berbagai nama sesuai dengan tingkat kenyataan dimana
Dia dilihat berfungsi.
Konsepsi mengenai Tri Murti muncul dari periode epik, dan dimantapkan
dalam
zaman Purana-Purana. Analogi dari kesadaran manusia, dengan tiga lapis
kegiatan, yaitu mengetahui (cognition), merasa (emotion), dan kehendak
(will), menyarankan pandangan mengenai Tuhan sebagai Sat, Cit dan
ananta Kenyataan (reality), kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagian (joy).
Triguna yaitu sattwa atau ketenangan, lahir dan kebijaksanaan, rajas atau
energi lahir dari rasa yang penuh semangat, dan tamas, kelambanan, lahir
sebagai akibatnya kurangnya kendali dan pencerahan, adalah merupakan
unsur-unsur dari semua eksistensi. Bahkan Tuhan juga dianggap tidak
kecualikan dari hukum serba Tiga ini (trilicity), dari keseluruhan mahluk
hidup.
Tiga fungsi dari utpeti (shristi) atau penciptaan stiti atau pemeliharaan
dan pamralaya (pralina) atau penghancuran (peleburan) juga berasal dari
Tri Guna ini. Wisnu Sang Pemelihara alam semesta adalah Jiwa Tertinggi
yang didominasi oleh sifat sattwa, Brahman Sang Pencipta alam semesta
adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat rajas dan Siwa Sang
Pemrelina alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat
tamas. Tiga Sifat dari Tuhan Yang Tunggal dikembangkan menjadi tiga
pribadi yang berbeda. Dan masing-masing pribadi itu dianggap berfungsi
melalui sakti atau energinya masing-masing: Uma, Saraswati dan Laksmi.
Secara harfiah ketiga sifa-sifat dan fungsi-fungsi ini seimbang di dalam
Tuhan Yang Tunggal sehingga Dia dikatakan tidak memiliki sifat-sifat sama
sekali. Satu Tuhan yang tidak dapat dipahami yang Maha Mengetahui,
Maha Kuasa dan ada di mana-mana, tempat berbeda bagi pikiran yang
berbeda dalam cara yang berbeda. Satu teks kuno mengatakan bahwa
bentuk diberikan kepada yang tak berbentuk bagi kepentingan manusia.
Dengan keterbukaan pikiran yang merupakan sifat dan filsafat, orang
Hindu percaya akan relativitas dari keyakinan mayarakat umum yang
memeluk keyakinan itu. Agama bukanlah sekedar teori mengenai yang
supernatural yang dapat kita pakai atau kita tinggalkan semau kita.
Agama merupakan pernyataan dari pengalaman spiritual dari bangsa
yang bersangkutan, catatan dari evolusi sosialnya, bagian tak terpisahkan
dari suatu mayarakat di atas di mana ia didirikan. Bahwa orang yang
berbeda akan memeluk keyakinan yang berbeda, bukanlah sesuatu yang
tidak alamiah. Ini adalah semua masalah cita rasa dan temperamen.
Ruchinan vaichitriyat. Ketika bangsa Arya bertemu dengan penduduk asli
yang menyembah berbagai macam dewa-dewa, meraka merasa tidak
terpanggil untuk menggantikannya seketika itu dengan keyakinan
mereka. Pada akhirnya semua manusia mencari Tuhan yang satu. Menurut
Bagawad Gita Tuhan tidak akan menolak keinginan pemuja-Nya sematamata karena mereka tidak merasakan kekacauan dan kebingungan. Guruguru besar dunia yang memiliki cukup penghormatan terhadap sejarah
tidak akan mencoba menyelamatkan dunia dalam generasi mereka
dengan memaksakan pertimbangan-pertimbangan mereka yang maju
terhadap mareka yang tidak mengerti atau menghargainya.
Para Maharesi Hindu, sementara mempraktekan ideal yang tinggi,
memahami ketidak siapan rakyat untuk itu, dan karena itu melakukan
pelayanan dengan lemah lembut dari pada pemaksaan yang liar. Mereka
mengakui dewa-dewa yang lebih rendah dan di puja oleh orang banyak
dan memberitahu mereka bahwa dewa-dewa itu semua berkedudukan
lebih rendah dari Brahman atau Tuhan Yang Tunggal: sementara beberapa
menemukan dewa-dewa di air, yang lain di surga, yang lain dalam bendabenda dunia, orang bijaksana menemukan Tuhan yang benar, yang
keagunganNya hadir di mana-mana, di dalam Atman. Sloka yang lain
Tujuan dari hidup adalah pengungkapan secara perlahan dari yang abadi
dalam diri kita, dari eksistensi kemanusiaan kita. Kemajuan umum diatur
oleh karma atau hukum sebab akibat moral. Agama Hindu tidak percaya
akan satu Tuhan yang dari kursi-pengadilannya menimbang tiap kasus
secara terpisah dan menetapkan balasannya. Dia tidak melalukan
keadilan dari luar, menambah atau mengurangi hukuman berdasarkan
kehendakNya sediri. Tuhan ada "dalam" manusia, dan demikian juga
karma hukum adalah merupakan bagian organik dari kakekat manusia.
Setiap saat ada pada pengadilannya sendiri, dalam setiap usaha yang
jujur akan memberikan dia kebaikan dalam upaya internalnya. Karakter
yang kita bangun akan berlanjut ke masa depan sampai kita menyadari
kesatuan kita dengan Tuhan. Anak-anak Tuhan, yang dalam
pandangannya satu tahun adalah seperti satu hari, tidaklah merasa perlu
kecil hati bila tujuan kesempurnaan itu tidak tercapai dalam suatu
kehidupan. Kelahiran kembali diterima oleh semua penganut Hindu. Dunia
ini dipelihara oleh kesalahan-kesalahan kita. Kekuatan-kekuatan yang
menyatukan ciptaan adalah hidup kita yang terpatah-patah yang perlu
diperbaharui. Alam semesta telah muncul dan lenyap berulang-kali tak
terhitung di masa lampau yang panjang, dan akan terus berlanjut dilebur
dan dibentuk kembali melalui keadilan yang tak dapat dibayangkan di
masa yang akan datang.
ditandai dengan sifat rasional yang sangat kuat. Melalui jalan berliku dari
harapan samar dan renunsiasi praktis, dogma-dogma ketat dan
petualangan jiwa yang tidak mengenal takut, melalui empat atau lima
melinium upaya-upaya tanpa henti dalam bidang menthapisik dan teologi
para Maharesi Hindu telah mencoba untuk menangkap masalah-masalah
terakhir dalam suatu kesetiaan kepada kebenaran dan perasaan atas
Konsepsi mengenai Tri Murti muncul dari periode epik, dan dimantapkan
dalam
zaman Purana-Purana. Analogi dari kesadaran manusia, dengan tiga lapis
kegiatan, yaitu mengetahui (cognition), merasa (emotion), dan kehendak
(will), menyarankan pandangan mengenai Tuhan sebagai Sat, Cit dan
ananta Kenyataan (reality), kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagian (joy).
Triguna yaitu sattwa atau ketenangan, lahir dan kebijaksanaan, rajas atau
energi lahir dari rasa yang penuh semangat, dan tamas, kelambanan, lahir
Tujuan dari hidup adalah pengungkapan secara perlahan dari yang abadi
dalam diri kita, dari eksistensi kemanusiaan kita. Kemajuan umum diatur
oleh karma atau hukum sebab akibat moral. Agama Hindu tidak percaya
akan satu Tuhan yang dari kursi-pengadilannya menimbang tiap kasus
secara terpisah dan menetapkan balasannya. Dia tidak melalukan
keadilan dari luar, menambah atau mengurangi hukuman berdasarkan
kehendakNya sediri. Tuhan ada "dalam" manusia, dan demikian juga
karma hukum adalah merupakan bagian organik dari kakekat manusia.
Setiap saat ada pada pengadilannya sendiri, dalam setiap usaha yang
jujur akan memberikan dia kebaikan dalam upaya internalnya. Karakter
yang kita bangun akan berlanjut ke masa depan sampai kita menyadari
kesatuan kita dengan Tuhan. Anak-anak Tuhan, yang dalam
pandangannya satu tahun adalah seperti satu hari, tidaklah merasa perlu
kecil hati bila tujuan kesempurnaan itu tidak tercapai dalam suatu
kehidupan. Kelahiran kembali diterima oleh semua penganut Hindu. Dunia
ini dipelihara oleh kesalahan-kesalahan kita. Kekuatan-kekuatan yang
menyatukan ciptaan adalah hidup kita yang terpatah-patah yang perlu
diperbaharui. Alam semesta telah muncul dan lenyap berulang-kali tak
terhitung di masa lampau yang panjang, dan akan terus berlanjut dilebur
dan dibentuk kembali melalui keadilan yang tak dapat dibayangkan di
masa yang akan datang.
TAMemperhatikan akan arti dan kesucian serta fungsi pura sebagai
tempat ibadah umat Hindu, maka berkenaan dengan tata cara masuk
pura, seminar mengambil kesimpulan dan keputusan sebagai berikut:
Larangan masuk pura bagi:
Wanita dalam keadaan datang bulan, habis melahirkan dan habis gugur
kandungan.
Dalam keadaan sedang tertimpa halangan kematian (sebel)
Tidak mentaati tata krama masuk pura.
Menderita noda- noda lain yang karena sifatnya dapat dianggap menodai
kesucian pura.
Menodai kesucian pura (berpakaian tidak sopan, berhajat besar/ kecil,
bercumbu, berkelahi, mencoret- coret bangunan/ pelinggih).
Rg Veda
Sama Veda
Yajur Veda dan ...
Atharva Veda.
Keempat-empatnya itu disebut Catur Veda Samhita, yaitu empat
himpunan Veda. Dari keempat-empatnya ini Rg Vedalah yang tertua yang
berisi nyanyian-nyanyian pujaan. Sama Veda tidak mempunyai nilai
tersendiri, sebab sebagian besar nyanyian- nyanyiannya diambil dari Rg
Veda yang dinyanyikan dengan melodi yang telah ditetapkan. Yayur Veda
juga mengandung mantram-mantram Rg Veda yang ditambah dengan
prosa- prosa yang tidak berasal dari Rg Veda. Bila mantram-mantram Rg
Veda biasanya dikelompokkan persesuaian dengan dewa-dewa yang
dipuja, maka mantram-mantram Sama Veda dikelompokkan sesuai
dengan tempat dan penggunaannya dalam persembahan Soma dan Yajur
Wayan
Made
Nyoman
Ketut
Ida Bagus
Agung
dll
Semua nama itu ternyata memiliki arti dan status
Kita mulai dulu dengan sebutan I dan Ni pada nama-nama orang Bali.
Huruf I di depan nama Wayan misalnya, adalah kata sandang yang
bermakna laki-laki. Sementara kata sandang penanda kelamin perempuan
adalah Ni. I dan Ni juga bermakna seorang lelaki dan wanita dari keluarga
masyarakat kebanyakan, tidak berkasta atau biasa disebut orang jaba.
Jika ia terlahir di keluarga penempa besi, maka orang Bali ini bernama
Pande. Bila di depan gelarnya Ida Bagus, ia tentu terlahir di keluarga
Brahmana. Ida Bagus berarti yang Tampan atau Terhormat. Jika saja ia
digelari Anak Agung, maka ia lahir di keluarga bangsawan.
Nama Wayan berasal dari kata wayahan yang artinya yang paling
matang. Titel anak kedua adalah Made yang berakar dari kata Madia
yang artinya tengah. Anak ketiga dipanggil Nyoman yang secara
etimologis berasal dari kata uman yang bermakna sisa atau akhir.
Jadi menurut pandangan hidup orang Bali, sebaiknya sebuah keluarga
memiliki tiga anak saja. Setelah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih
bijaksana. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif
untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan
aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin
saja memiliki lebih dari tiga anak.
Anak keempat gelarnya Ketut. Ia berasal dari kata kuno Kitut yang
berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah
anak bonus yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan
pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bernama Ketut. Itu sebabnya
ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan
kesayangan ini .
Bila keluarga berencana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari
empat anak, maka mulai dari anak kelima, orang Bali mengulang siklus
titel di atas. Anak kelima bergelar Wayan, keenam Made, dan seterusnya.
Namun jika bicara lebih rinci, ketiga titel hirarki kelahiran orang Bali
memiliki sinonim;
untuk nama Bali anak pertama Wayan: Putu, Kompiang, atau Gede;
untuk nama Bali anak ke 2 Made: Kadek atau Nengah;
untuk nama Bali anak ke 3 Nyoman atau Komang
untuk nama Bali anak ke 4 Ketut yang istimewa tak bersinonim.
Seperti orang Jawa, orang Bali tidak memiliki nama marga atau nama
keluarga (family name). Jadi kalau dilihat dari kaca mata orang barat,
orang Bali hanya memiliki first name tanpa family name. Konon ini
memudahkan orang untuk menyamar di waktu perang. Bahkan bila
terpaksa, setelah kekalahan militer, seorang bangsawan bisa mengaku
sebagai orang kebanyakan. Dan seluruh keturunannya pun terpaksa
memakai titel I atau Ni.