Anda di halaman 1dari 8

PUNCAK ILMU 

KEJAWEN
Puncak Ilmu Kejawen
Ilmu “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah puncak
Ilmu Kejawen. “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” artinya;
wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur
kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk
membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya
saudara “Pancer” atau sukma sejati, sehingga orang yang mendapat
wejangan itu akan mendapat kesempurnaan. Secara harfiah arti dari “Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat =
ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian.
Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa
atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang
harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan
pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau
merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat
Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang
harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia
akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat
amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau
berkorban demi kepentingan rakyat.
 
Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
          Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah
terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno.  Tetapi baru terdapat pada abad ke
19 atau tepatnya 1820. Naskah dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai
Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala.
Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26;
        Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan
anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan
menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia
(esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana
tidak boleh seorangpun mengucapkannya karena mendapat laknat dari
Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di
gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus
terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka.
Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pangruwat segala
segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang
tiada duanya, sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra).
Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan.
Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada dihutan belantara
sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Batara,
matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan
manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui
arti dari Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang
mulia…
        Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” mengandung isi
yang mistik, angker gaib, kalau salah menggunakan ajaran ini bisa
mendapat malapetaka yang besar. Seperti pernah diungkap oleh Ki Dalang
Narto Sabdo dalam lakon wayang Lahirnya Dasamuka. Kisah ceritanya
sebagai berikut;
Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Donorejo, yang
ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat
berat, yakni;
1. Bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang
raksasa yang sangat sakti.
2. Bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu”

Prabu Donorejo tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan


ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat
tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk
diserahkan kepada anaknya Prabu Donorejo.
        Selama perjalanan membawa pulang Dewi Sukesi, Begawan Wisrawa
jatuh hati kepada Dewi Sukesi demikian juga Dewi Sukesi hatinya terpikat
kepada Begawan Wisrawa.
“Jroning peteng kang ono mung lali, jroning lali gampang nindakake
kridaning priyo wanito,” kisah Ki Dalang.
        Begawan Wisrawa telah melanggar ngelmu “Sastra Jendra”, beliau
tidak kuat menahan nafsu seks dengan Dewi Sukesi. Akibat dari dosa-
dosanya maka lahirlah anak yang bukan manusia tetapi berupa raksasa
yang menakutkan, yakni;
1. Dosomuko
2. Kumbokarno

3. Sarpokenoko

4. Gunawan Wibisono

Setelah anak pertama lahir, Begawan Wisrawa mengakui akan


kesalahannya, sebagai penebus dosanya beliau bertapa atau tirakat tidak
henti-hentinya siang malam. Berkat gentur tapanya, maka lahir anak kedua,
ketiga dan keempat yang semakin sempurna.Laku Begawan Wisrawa yang
banyak tirakat serta doa yang tiada hentinya, akhirnya Begawan Wisrawa
punya anak-anak yang semakin sempurna ini menjadi simbol bahwa untuk
mencapai Tuhan harus melalui empat tahapan yakni; Syariat, Tarikat,
Hakekat, Makrifat.
Lakon ini mengingatkan kita bahwa untuk mengenal diri pribadinya,
manusia harus melalui tahap atau tataran-tataran yakni;
1.            Syariat; dalam falsafah Jawa syariat memiliki makna sepadan
dengan Sembah Rogo.
2.            Tarikat; dalam falsafah Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
3.            Hakikat; dimaknai sebagai Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4.            Makrifat; merupakan tataran tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir
(sirullah).
 
Pun diceritakan dalam kisah Dewa Ruci, di mana diceritakan perjalanan
Bima (mahluk Tuhan) mencari “air kehidupan” yakni sejatinya hidup. Air
kehidupan atau tirta maya, dalam bahasa Arab disebut sajaratul makrifat.
Bima harus melalui berbagai rintangan baru kemudia bertemu dengan Dewa
Ruci (Dzat Tuhan) untuk mendapatkan “ngelmu”.
Bima yang tidak lain adalah Wrekudara/AryaBima, masuk tubuh
Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari
Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil
tertawa Bima bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh
besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin
masuk”. Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu
dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera
dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Bima masuk ke dalam tubuhnya melalui
telinga kiri.
Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara
dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan
belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan
sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu hitam,
merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:”Yang pertama
kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu,
sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu,
maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat
lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan
berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata
hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna
merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati. 
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang
menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah
menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ,
panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang
kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata,
hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam
kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang
pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Bima melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi
melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut
Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang
tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang
menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak
berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat
pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini,
dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri
tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal
di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit
dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal,
badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya,
dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui
rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai
segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang,
kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan
suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya
kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala
tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara
sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan
memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi
kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak
lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya
enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan
dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan
sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat
dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu,
menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang
benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia
bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan
berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan
panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan
panggungnya.
Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan
haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (hidup), sejatining
Panembah (pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa), sampurnaning pati
(kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga
innalillahi wainna illaihi rojiuun, kembali ke sisi Tuhan YME dengan tata cara
hidup layak untuk mencapai budi suci dan menguasai panca indera serta
hawa nafsu untuk mendapatkan tuntunan Sang Guru Sejati.
Uraian tersebut dapat menjelaskan bahwa sasaran utama mengetahui
“Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah untuk mencapai
Kasampurnaning Pati, dalam istilah RNg Ronggowarsito disebut Kasidaning
Parasadya atau pati prasida, bukan sekedar pati patitis atau pati pitaka.
“Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” seolah menjadi jalan tol
menuju pati prasida.
Bagi mereka yang mengamalkan “Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu” dapat memetik manfaatnya berupa Pralampita atau
ilham atau wangsit (wahyu) atau berupa “senjata” yang berupa rapal.
Dengan rapal atau mantra orang akan memahami isi Endra Loka, yakni pintu
gerbang rasa sejati, yang nilainya sama dengan sejatinya Dzat YME dan
bersifat gaib. Manusia mempunyai tugas berat dalam mencari Tuhannya
kemudian menyatukan diri ke dalam gelombang Dzat Yang Maha Kuasa. Ini
diistilahkan sebagai wujud jumbuhing/manunggaling kawula lan Gusti, atau
warangka manjing curiga. Tampak dalam kisah Dewa Ruci, pada saat
bertemunya Bima dengan Dewa Ruci sebagai lambang Tuhan YME. Saat itu
pula Bima menemukan segala sesuatu di dalam dirinya sendiri.
Itulah inti sari dari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”
sebagai Pungkas-pungkasaning Kawruh. Artinya, ujung dari segala ilmu
pengetahuan atau tingkat setinggi-tingginya ilmu yang dapat dicapai oleh
manusia atau seorang sufi. Karena ilmu yang diperoleh dari makrifat ini
lebih tinggi mutunya dari pada ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan
akal.
Dalam dunia pewayangan lakon “Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu” dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan
sedulur papat lima pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam
lakon ini adalah sbb;
Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu
Sastrajendra kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu 
(Kayun; Yang Hidup), yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan
Wibisono (nafsul mutmainah), Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa
dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh
Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua
orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada
anak-anaknya.
 
1. Dasamuka (raksasa) yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara
murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.
2. Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni
bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter
kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju
dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari
nafsu lauwamah.

3. Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada


segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi
ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.

4. Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya); sebagai anak bungsu yang


mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia
meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan
mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi
perlambang dari nafsul mutmainah.

 
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia.
Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak
sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki
ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama
Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi
Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar
Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi
raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan
dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari
Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan
nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan
Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan
dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “
Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang
memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang
masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia
yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal
budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab
suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan
ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya.
Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan
kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud.
Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat
yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat
sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).
Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa
seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti
mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat
Sastrajendrahayuningrat  Diyu.
Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian
dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran
tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna
di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg
pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan
tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku
gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah
menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya.
Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga
para dewata.
Sifat Manusia Terpilih
Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah
Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang
Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami
mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita
Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak
mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak
mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa
menjadi pelajaran bagi kita semua”
Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita
saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para
dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan
Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada
manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat
mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah
padahal mereka ini suka menumpahkan darah“. Serentak para dewata
menunduk malu “ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui”.
Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada
memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.
“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata
memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk
diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara
agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima
anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2
(dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki
sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat
baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk
dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan
ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong
bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk
minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi
pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat
sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena
tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu
menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa
hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.
        Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang
adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi
seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti
Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah
terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini.
Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe
dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.
 
Semoga para pembaca yang budiman diantara orang-orang yang terpilih
dan pinilih untuk meraih ilmu sejatinya hidup.
 
Salam
Sabdalangit

Anda mungkin juga menyukai