Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Manusia Hindu adalah manusia yang percaya akan adanya kelahiran kembali. Ajaran Punarbhawa yang pasti merupakan akibat dari hukum Karma Phala. Oleh karena itu, harus ada kelahiran lain untuk menikmati perbuatan yang tersisa. Kelahiran dan kematian terus berlanjut, sampai mencapai pengetahuan yang kekal. Karma-karma yang baik membawa kepada kelahiran dalam suasana yang lebih tinggi, sedangkan karma yang buruk ke dalam suasana yang lebih rendah. Dengan kebajikan akan diperoleh kenaikan status yang lebih tinggi dan dengan kejahatan, akan turun ke tingkatan yang lebih rendah. Selama karma-karma yang baik atau yang buruk tidak dilepaskan, manusia tidak akan mencapai Moksa atau pembebasan akhir. baik karma buruk maupun karma baik, akan membelenggu erat sang jiwa dalam rantai besi, atau rantai emas. Moksa tidak dapat dicapai selama pengetahuan yang abadi tidak dicapai.

1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, dapat saya buat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Dapatkah manusia meningkatkan kepercayaan terhadap benarnya hukum Karma Phala itu untuk nilai hidup yang lebih baik?

1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimana peran dan fungsi Karma Phala agar dapat membantu manusia dalam memperbaiki hidupnya kearah yang lebih baik. 2. Mencari tahu upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hidup setelah mengetahui pengertian Karma Phala itu sendiri.

1.4 Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan karya ilmiah ini yaitu: 1. Memberikan informasi umum kepada umat Hindu mengenai peran dan fungsi Karma Phala dan Punarbhawa pada kehidupan individu sebagai umat manusia; 2. Membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dengan memberikan informasi kepada umat Hindu tentang perlunya menyadari bahwa Karma Phala dan Punarbhawa sangat berpengaruh pada lancarnya hidup dan kehidupan manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karma Phala Terkadang kita melihat ada orang-orang yang tidak pernah berbuat curang, dusta, korup, amoral atau jahat selama hidupnya, ternyata mengalami nasib sial, hidup sengsara dan ditimpa bermacam-macam kesusahan, sedangkan banyak orang yang nyanyata-nyata hidup berdosa malahan hidup makmur, enak, nyaman dan senang. Inilah yang sering disebut problem of evil. Ada 2 (dua) teori yang dikemukakan untuk menjawab fakta paradok atau problem of evil ini yaitu: 1. Teori dosa turunan a) Manusia menderita karena mewarisi dosa dari leluhur pertama b) Hidup susah atau senang karena kebajikan dari Tuhan yang mempunyai wewenang mutlak dalam mengatur semua kehidupan di dunia fana. 2. Teori ujian Tuhan a) Manusia lahir tanpa dosa, jadi baik atau jahat karena lingkungan.

b) Dualitas kehidupan (sakit-sehat, sedih-senang, hinaan-pujian) adalah ujian atau cobaan yang diberikan oleh Tuhan.

c)

Hidup susah atau senang karena kebijakan Tuhan yang punya wewenang

mutlak dalam mengatur segala kehidupan di dunia fana. Kata Karma Phala berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya berbuat atau bekerja. kegiatan atau perbuatan tersebut ada yang baik dan ada yang buruk, semua itulah yang disebut dengan karma. Sumber kegiatan karma itu muncul dari Manah (pikiran), Wacika (ucapan), dan Kayika (perbuatan). Bentuk-bentuk karma itu sesuai dengan sumbernya, yaitu: 1. Karma dalam bentuk pikiran. 2. Karma dalam bentuk ucapan. 3. Karma dalam bentuk perbuatan atau tingkah laku. Perbuatan yang dilakukan manusia pasti akan menimbulkankan hasil, buah atau akibat. hasil dari perbuatan itulah yang disebut dengan Karma Phala. Kata Phala berarti buah atau hasil. Teori dosa turunan tidak rasional, sebab kalau ayah saya yang melakukan kejahatan, lalu mengapa saya yang tidak ikut berbuat jahat dan tidak tahu permasalahannya, harus kena hukuman dan menderita? Teori bahwa hidup di dunia fana adalah ujian/cobaan Tuhan dan bahwa setiap orang lahir suci tanpa dosa, tidak mencerminkan aturan dan tindakan Tuhan yang maha arif, maha bijaksana, maha benar dan maha adil. Sebab, bagaimanapun juga Tuhan yang maha bijak, maha benar dan maha adil, tidak mungkin membuat hidup seseorang sengsara tanpa sebab dan alasan jelas masuk akal. Dalam kehidupan sehari-hari secara material atau pisik nampak jelas bahwa orang di-hukum dan menderita karena ada sebab dan alasannya. Begitu pula, secara spiritual atau metapisik, seseorang lahir cacat/abnormal, hidup 4

dalam kemiskinan dan menderita, pasti ada sebab-musababnya dan tidak mungkin terjadi secara kebetulan. Dan Tuhan tidak mungkin menetapkan kehidupan seseorang sengsara atau bahagia secara sewenang-wenang tanpa sebab dan alasan yang pasti dan benar. Oleh karena ilmu pengetahuan material (maya-tattva) dan ajaran-ajaran rohani mutakhir yang muncul pada masa Kali-Yuga tidak mampu menjelaskan secara logis, rasional dan pilosofis tentang nasib buruk atau derita yang menimpa begitu banyak manusia dalam keadaan yang berbeda-benda, maka banyak sekali orang jadi bingung dan tidak mengerti apa itu takdir, nasib dan ikhtiar. Oleh karena tidak bisa mengerti takdir, nasib dan ikhtiar secara benar, maka orang-orang berkesadaran materialistik menimpakan kesalahan kepada Tuhan atas takdir, nasib buruk dan kegagalan hidupnya, seraya menyatakan bahwa Tuhan tidak maha kuasa karena tidak mampu meniadakan derita yang menimpa begitu banyak makhluk manusia. Selama sang manusia meng-anggap bahwa kehidupannya di dunia fana ini hanya sekali ini saja, dan bahwa sebelum kehidupan material sekarang tidak ada kehidupan material yang telah pernah di jalani, dan setelah kehidupan material sekarang berakhir tidak akan ada lagi kehidupan material yang harus dijalani, maka sang manusia tidak akan pernah bisa mengerti dengan benar tentang takdir, nasib dan ikhtiar gagal dalam kehidupan yang sedang dijalaninya. Keinginan (iccha) untuk menikmati secara terpisah dari Sri Krishna dan keengganan (dvesa) untuk melayani Beliau di dunia rohani adalah awal dari asubha-karma (perbuatan buruk) sang makhluk hidup (jiva). Sri Krishna berkata, Iccha dvesa samutthena dvandva mohena bharata sarge yanti parantapa, O keturunan Bharata, dibuai oleh keinginan menikmati secara terpisah dariKu dan keengganan melayaniKu, wahai Penakluk musuh,

maka ia (sang jiva) jatuh ke alam material (Bhagavad Gita 7.27). Dengan kata lain, sang makhluk hidup (jiva) menyalahgunakan kebebasan/kemerdekaan sedikit yang dimilikinya dengan menyimpang dari kedudukan dasarnya sebagai abdi/pelayan kekal Tuhan di dunia rohani. Karena itu, Sukadeva Gosvami memberitahu Raja Pariksit, Oleh karena na bhajante, tidak mau meng-abdi kepada Tuhan Krishna dan avajananti, tidak senang kepada Beliau, maka sthanad brastah patanti adhah, jatuhlah sang jiva ke alam material (Bhagavata Purana 11.5.3). Sri Krishna maha pemurah, sehingga atas karunianya, sang jiva diberi kesempatan dan tempat untuk merealisir keinginan (iccha) dan keengganan (dvesa) nya itu dengan tinggal di dunia fana atau alam material. Tidak disadari oleh sang jiva bahwa iccha dan dvesa demikian adalah kesesatan yang menyebabkan dirinya jatuh dan hanyut dalam samudra derita kehidupan material dunia fana. Veda menyatakan, Guna bhavyena karmanah, kegiatan timbul karena terjadi interaksi tiga sifat alam material dalam badan jasmani (Bhagavata Purana 11.11.10). Gunaih karmani sarvasah, segala macam kegiatan timbul karena interaksi sifat-sifat alam material (Bhagavad Gita 3.27). Hubungan antara Tri-Guna (tiga sifat alam material yaitu: sattvam, rajas dan tamas) dengan perbuatan/kegiatan (karma), dharma dan adharma, watak Sura (daivi sampad) dan Asura (asuri-sampad) dan tujuan yang dicapai, secara umum dapat diringkas sebagai berikut. 2.2 Punarbhawa Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang 6

berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan diikuti oleh kelahiran". Demikian pula disebutkan: Sribhagavan uvacha, bahuni me vyatitani, janmani tava cha rjuna, rani aham veda sarvani, na tvam paramtapa (Bh. G. IV.5) Sri Bhagawan (tuhan) bersabda, banyak kelahiran-Ku di masa lalu, demikian pula kelahiranmu arjuna semuanya ini Aku tahu, tetapi engkau sendiri tidak,. Parantapa.

Atman yang masih diselubungi oleh suksma sarira dan masih terikat oleh adanya kenikmatan duniawi, menyebabkan Atman itu awidya, sehingga Ia belum bisa kembali bersatu dengan sumbernya yaitu Brahman (Hyang Widhi). Hal ini menyebabkan atman itu selalu mengalami kelahiran secara berulang-ulang. Segala bentuk prilaku atau perbuatan yang dilakukan pada masa kehidupan yang lampau menyebabkan adanya bekas (wasana) dalam jiwatman. Dan wasana (bekas-bekas perbuatan) ini ada bermacam-macam. Jika wasana itu hanya bekas-bekas keduniawian, maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh hal-hal keduniawian sehingga atman itu lahir kembali. Karma dan Punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin erat satu sama lain. Secara singkat

dapat dikatakan bahwa karma adalah perbuatan yang meliputi segala gerak, baik pikiran, perkataan maupun tingkah laku. Sedangkan punarbhawa adalah kesimpulan dari semua karma itu yang terwujud dalam penjelmaan tersebut. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan acubha karma akan menimbulkan dosa dan Atman akan mengalami neraka serta dalam Punarbhawa yang akan datang akan mengalami penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara, atau menderita dan bahkan dapat menjadi mahluk yang lebih rendah tingkatannya. Sebaliknya, setiap karma yang dilakukan berdasarkan cubhakarma akan mengakibatkan Atman (roh) menuju sorga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna atau lebih tinggi. Oleh karena itu kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi. dengan keyakinan dengan adanya Punarbhawa ini maka orang harus sadar, bahwa bagaimana kelahirannya tergantung dari karma wasananya. Kalau ia membawa karma yang baik, lahirlah ia menjadi orang berbahagia, berbadan sehat dan berhasil cita-citanya. Sebaliknya bila orang membawa karma yang buruk, ia akan lahir menjadi orang yang menderita. Oleh karena itu kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi. Pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga; segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan. Diantara semua mahluk hidup yang ada didunia ini, manusia adalah mahluk yang utama. Ia dapat berbuat baik maupun buruk, serta dapat melebur perbuatannya yang buruk dengan perbuatan yang baik. Oleh karena itu seseorang sepatutnya bersyukur dan berbesar hati lahir sebagai manusia. Karena sungguh tidaklah mudah untuk dapat dilahirkan menjadi manusia sekalipun manusia hina. Itulah sebabnya, maka seorang hendaknya dapat

menghargai dan menggunakan kesempatan yang amat berharga ini untuk membebaskan diri dari kesengsaraan dan menuju pada kebahagiaan yang abadi yang sisebut Moksa atau kelepasan. Memang sungguh disayangkan, apabila kesempatan yang baik ini berlalu tanpa makna. Kelahiran manusia dikatakan berada ditengah-tengah antara sorga dan neraka. Jika kebajikan yang diperbuat maka tentulah hidupnya akan meningkat, tetapi jika dosa yang dilakukan, sudah pastilah akan jatuh ke neraka. Jadi setiap kali kelahiran sebagai manusia patutlah digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan hidup ke jenjang yang lebih mulia dan luhur. Sebagaimana tujuan agama Hindu yang tersurat di dalam Weda: "Moksartham Jagadhitaya ca itu dharma", maka Moksa merupakan tujuan yang tertinggi. Moksa ialah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan terlepasnya Atman danri pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumber-Nya, yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut Sat Cit Ananda. Orang yang telah mencapai moksa, tidak lahir lagi kedunia, karena tidak ada apapun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan Paramatman. Bila air sungai telah menyatu dengan air laut, maka air ungai yang ada di laut itu akan kehilangan identitasnya. Tidak ada perbedaan lagi antara air sungai dengan air laut. Demikianlah juga halnya, Atman yang mencapai Moksa. Ia akan kembali dan menyatu dengan sumbernya yaitu Brahman. Bahunam janmanam ante, jnanavan mam prapadyate, vasudevah sarvam iti,

sa mahatma sadurlabhah. (Bh. G. VII. 19) Pada banyak akhir kelahiran manusia, orang yang berbudi (orang yang tidak lagi terikat oleh keduniawian) datang kepada-Ku, karena tahu Tuhan adalah sealanya; sungguh sukar dijumpai jiwa agung serupa itu. Mam upetya punarjanma duhkhata yam asasvatam, na pnuvanti mahatmanah, samsiddhim paramam gatah. (Bh. G. VIII.15) Setelah sampai kepada-Ku, mereka yang berjiwa agung ini tidak lagi menjelma ke dunia yang penuh duka dan tak kekal ini dan mereka tiba pada kesempurnaan tertinggi. Di samping setelah di dunia akhirat, Moksa juga dapat dicapai semasa hidup didunia ini, namun terbatas kepada orang-orang yang sudah bebas dari keterikatan duniawian dan pasang surut serta duka-dukanya gelombang hidup. Sebagaimana halnya Maharsi yang telah bebas dari keinginan-keinginan menikmati keduniawian dan bekerja tanpa pamerih untuk kesejahteraan dunia. Moksa semasa hidup disebut dengan "Jiwan Mukti". 2.3 Hukum Karma Phala adalah Pengatur Kehidupan Segala Makhluk di Alam Semesta Material Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau diluar kesadaran, kesemuanya itu disebut Karma. Ditinjau dari segi ethimologinya, kata karma berasal dari kata Kr (bahasa Sansekerta), yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut Hukum Sebab Akibat, maka segala sebab pasti akan

10

membuat akibat. Demikianlah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau pahala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut dengan Hukum Karma Phala. Di dalam Weda disebutkan Karma phala ika palaing gawe hala ayu, artinya karma phala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma (Clokantra 68). Hukum karma ini sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya yang dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat menentukan seseorang itu hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Jadi setiap orang berbuat baik (subha karma), pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya itu. Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka keburukan itu sendiri tidak bisa terelakkan dan pasti akan diterima. Phala atau hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan atau dinikmati. Tangan yang menyentuh es akan seketika dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas, ada bekas yang nyata, ada bekas dalam angan dan ada yang abstrak. Oleh karena itu hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan sekarang maka akan ia terima setelah di akherat kelak dan ada kalanya pula akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang. Dengan demikian karma phala dapat digolongkan menjadi 3 macam sesuai dengan saat dan kesempatan dalam menerima hasilnya, yaitu: 1.Sancita Karma Phala:

11

Hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang sekarang. 2.Prarabda Karma Phala: Hasil perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi. 3.Kriyamana Karma Phala: Hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Jadi adanya penderitaan dalam kehidupan ini walaupun seseorang selalu berbuat baik, hal itu disebabkan oleh karmanya yang lalu (sancita karma), terutama yang buruk yang harus ia nikmati hasilnya sekarang, karena pada kelahirannya terdahulu belum habis diterimanya. Sebaliknya seseorang yang berbuat buruk pada kehidupannya sekarang dan nampaknya ia hidup bahagia, hal itu disebabkan karena sancita karmanya yang dahulu baik, namun nantinya ia juga harus menerima hasil perbuatannya yang buruk yang ia lakukan pada masa kehidupannya sekarang ini. Tegasnya, bahwa cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan. Di dalam Weda (Wrhaspati Tatwa 3), dinyatakan sebagai berikut: Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukan didunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam lain, pada kelahiran nanti; apakah akibat itu akibat yang baik atau yang buruk. Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya itu akan menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih namun 12

tetap saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma wasana. Ia ada pada Atman. Ia melekat pada-Nya. Ia mewarnai Atman. Ada penyakit tentu ada penyebabnya, demikian pula penderitaan itu, pasti ada sebab musababnya. Tetapi kita harus yakin bahwa penyakit atau penderita tersebut pasti dapat diatasi. Seseorang tidak bisa menghindari hasil perbuatannya, apakah baik ataupun buruk, sehingga seseorang tidak boleh iri jika melihat orang lain hidupnya bahagia atau lebih baik. Demikian pula sebaliknya, seseorang tidak perlu menyesali nasibnya, karena apa yang ia terima merupakan tanggungjawabnya. Ini harus disadari, bahwa penderitaan disaat ini adalah akibat dari perbuatan kita sendiri, baik yang sekarang maupun yang telah lampau. Namun kita harus sadar pula bahwa suatu saat penderitaan itu akan berakhir asal kita selalu berusaha untuk berbuat baik. Perbuatan baik yang dilakukan saat ini akan memberikan kebahagiaan baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Jelasnya dengan itu seseorang tidak perlu sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong karena mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu hal yang perlu diingat, bahwa hukum karma phala itu tidak terlepas dari kekuasaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Hyang Widhilah yang menentukan phala dari karma seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan Hukum Karma. Asing sagawenya dadi manusa, ya ta mingetaken de Bhetara Widhi, apan sira pinaka paracaya Bhatara

13

ring cubhacubha karmaning janma. (Wrhaspati Tattwa 22) Segala (apa) yang diperbuat di dalam penjelmaan menjadi manusia, (semua) itulah yang dicatat oleh Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), karena Dia sebagai saksi (dari) baik buruk (amal-dosa) perbuatan manusia. Bhatara Dharma ngaran ira Bhatara Yama sang kumayatnaken cubhacubha prawrti sekala janma. (Agastya Parwa 355.15) Bhatara Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama (sebagai Dewa Keadilan), adalah pelindung keadilan yang mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan manusia. Baik buruk dari (karma) itu akan memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia. Jadi segala baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga setelah di akhirat kelak, yakni setelah Atma dengan suksma sarira (alam pikiran) terpisah dari badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang, yaitu setelah atman dengan suksma sarira memasuki badan atau wadah yang baru. Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) akan menghukum atman (roh) yang berbuat dosa dan merahmati atman (roh) seseorang yang berbuat kebajikan. Hukuman dan rahmat yang dijatuhkan oleh Hyang Widhi ini bersendikan pada keadilan. Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai dari pada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. Terlebih-lebih

14

hukuman kepada Atman (roh) yang selalu melakukan dosa semasa penelmaannya, maka derajatnya akan semakin bertambah merosot. Demikianlah kenerakaan yang dialami oleh Atman (roh) yang selalu berbuat jahat (dosa) semasa penjelmaannya di dunia. Jika penjelmaan itu telah sampai pada limit yang terhina akibat dosanya, maka ia tetap akan menjadi dasar terbawah dari kawah neraka. 2.4 Hutang Karma Buruk yang Semakin Menumpuk Pada Jaman modern yang materialistik sekarang, kebanyakan orang sibuk dalam beraneka macam kegiatan pamerih mengejar kesenangan duniawi semu dan sementara (maya-sukha). Begitulah hidup sesaat memuaskan indriya jasmani hanyalah menambah hutang karma buruk (Asubha Karma) belaka. Reaksi (phala) hutang karma buruk yang semakin menumpuk dan meluas di masyarakat ditunjukkan oleh fakta-fakta berikut: 1. Kehidupan di kota-kota besar semakim tidak tenang, tidak aman, tidak nyaman dan tidak damai. 2. Perang, teror bom bunuh diri dan beraneka-macam tindak kekerasan lain semakim meluas. 3. Bencana alam (banjir, gempa, kebakaran hutan, angin topan, tsunami, musim kering panjang, dsb) terjadi silih berganti. 4. Bermacam-macam penyakit kembali mewabah tanpa bisa dicegah. 5. Beraneka-macam perbuatan curang, korup, dusta, jahat dan amoral semakim meluas. 6. Kerusakan alam dan lingkungan hidup semakim parah.

15

Mereka yang disebut kaum intelektual modern dengan beraneka-macam gelar akademik, tidak perduli pada hukum universal Tuhan KARMA-PHALA dan PUNARBHAVAini. Mereka tidak mau mengerti bahwa kehidupan manusia yang semakim menderita di muka Bumi adalah karena akibat (phala) hutang karma buruk yang semakim menumpuk dan meluas di masyarakat. Oleh karena buta dan tuli rohani, mereka yang disebut para sarjana duniawi bertabiat materialistik, tidak sadar bahwa teori-teori hidup bahagia di dunia fana melalui pemuasan indriya badan jasmani yang mereka ciptakan dan di praktekkan oleh rakyat, hanya semakim menambah dan memperbanyak hutang karma buruk di masyarakat modern.

16

BAB III METODE PENULISAN

3.1 Jenis Penulisan Jenis penulisan yang saya gunakan dalam karya tulis ini adalah jenis penulisan deskriptif.

3.2 Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan teknik studi pustaka dengan membandingkan berbagai sumber yang relevan dengan tema yang dibahas.

3.3 Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif dengan mencari hubungan dan pola sebab-akibat berdasarkan literatur yang relevan.

17

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Dapatkah Manusia Meningkatkan Kepercayaan Terhadap Benarnya Hukum Karma Phala untuk Nilai Hidup yang Lebih Baik?

Di era globalisasi seperti sekarang ini, manusia kerap kali lupa atau bahkan sengaja berpurapura tidak tau akan hukum timbal balik sehingga menyebabkan manusia berbuat seenak diri mereka sendiri tanpa memikirkan hasilnya dikemudian hari bagi kehidupan mereka. Inilah yang menyebabkan manusia tidak memiliki batas-batas diri untuk dapat mengendalikan diri dari perbuatan yang dilarang-Nya. Jika pemahaman akan hukum Karma Phala itu diresapi dengan baik maknanya, maka manusia akan lebih berhati-hati dalam berbuat sesuatu dalam hidupnya. Dengan kata lain, manusia akan takut melakukan hal-hal yang buruk karena kita sebagai manusia akan lebih berpikir lagi dampak kedepannya karena pemahaman manusia akan hukum Karma Phala sudah melekat dalam diri. Tentu saja dengan pemahaman mendalam akan hukum Karma Phala, manusia akan mampu meningkatkan nilai hidupnya dengan berbuat kebaikan daripada kejahatan dengan kesadaran kehidupan yang lebih baik sekarang atau dikelahiran selanjutnya. dengan keyakinan dengan adanya Punarbhawa ini maka orang harus sadar, bahwa bagaimana kelahirannya tergantung dari karma wasananya. Kalau ia membawa karma yang baik, lahirlah ia menjadi orang berbahagia, berbadan sehat dan berhasil cita-citanya. Sebaliknya bila orang membawa karma yang buruk, ia akan lahir menjadi orang yang menderita. Oleh karena itu,

18

dalam hal ini manusia dituntut untuk dapat menyerapi makna atau pengertian Karma Phala dan Punarbhawa sebagai pengingat manusia akan batasan-batasan perilaku dalam hidup. BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan Dari pembahasan tersebut, dapat saya buat kesimpulan sebagai berikut: 1. Manusia di era sekarang ini tidak begitu memperhatikan hukum Karma Phala. Padahal jika disadari penuh, hukum ini lebih besar pengaruhnya dari hukum apa pun untuk mengadili perbuatan manusia selama berada di dunia fana. 2. Kita sebagai manusia dapat memperbaiki nilai hidup dengan memahami makna Karma Phala itu. Maka sangatlah penting bagi kita sebagai umat Hindu untuk meresapi ajaran hukum Karma Phala.

5.2 Saran-saran Adapun saran-saran yang dapat saya berikan adalah: 1. Pahami lebih mendalam mengenai hukum Karma Phala. 2. Tingkatkan kepercayaan tentang adanya Punarbhawa untuk memperbaiki kesalahan masa lalu kita.

19

20

Anda mungkin juga menyukai