Anda di halaman 1dari 5

Ngunduh Wohing Pakarti

Agama Hindu dan Budha menyebutnya Hukum Karma.


Secara umum orang mengartikan kata karma dengan demikian seram. Saking seramnya, sering
muncul nasehat untuk tidak melakukan suatu kesalahan atau dosa, agar tak kena karma. Kesan
yang muncul pun seakan-akan karma itu negatif, hanya ganjaran bagi perbuatan salah. Pokoknya
ganjaran yang sifatnya menyeramkan. Karma senantiasa dibicarakan sebagai yang tidak baik.
Sejatinya pengertian karma
itu tidaklah demikian. Karma arti sebenarnya adalah perbuatan. Karma dapat juga diartikan
sebagai hasil dari perbuatan itu. Karena sesungguhnya antara perbuatan dan hasilnya tak pernah
bisa dipisahkan. Suatu perbuatan itu sudah satu paket dengan hasilnya, bagaikan dua sisi mata
uang.
Selanjutnya, yang dikatakan perbuatan itu adalah pikiran, perkataan, dan tindakan. Mana saja
yang dilakukan di antara ketiganya akan berbuah atau membuahkan hasil. Demikianlah karma
itu, sehingga karma dianggap sebagai sebuah hukum, yang memiliki kepastian, yang pasti
berlaku. Hukum karma demikian ia disebut. Atau lengkapnya disebut dengan hukum karma
phala.
Hukum karma phala adalah hukum aksi reaksi, hukum sebab akibat. Oleh karena ada suatu sebab
maka akan ada suatu akibat. Oleh karena ada satu aksi, akan ada suatu reaksi, dan seterusnya.
Hukum inilah yang mengatur kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos, kehidupan di alam
semesta dan kehidupan semua mahluk hidup.
Kadangkala keberadaan hukum karma disamakan dengan nasib, bahkan suratan takdir. Di balik
itu perlu dipahami bahwa suratan itu ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, sama sekali bukan
oleh orang atau pihak lain. Kalau perbuatan yang dilakukan baik, ya pasti hasilnya akan baik
juga. Kalau yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak baik, ya hasilnya juga demikian.
Kitalah yang mendesain nasib kita, bukan orang lain, bukan juga ditentukan sedemikian adanya
oleh Pencipta. Tuhan memang diyakini sebagai causa prima, penyebab utama, tetapi dalam hal
ini Beliau sebenarnya hanya sebagai saksi abadi. Beliau hanya mencerminkan, memantulkan,
dan bereaksi. Apa yang diperbuat demikianlah terpantulkan kembali kepada yang berbuat. Beliau
telah membekali manusia dengan akal/pikiran, budi, ketidakterikatan, perasaan kagum serta
hormat. Semua itu sebagai alat timbang untuk melakukan mana yang baik atau buruk, mana yang
benar atau yang salah. Semua alat itu, yang merupakan anugrah dan kelebihan manusia di
antara mahluk lain, yang hendaknya digunakan secara benar untuk mencapai cita-cita rohani dan
tujuan jasmaniah.
Sifat Hukum Karmaphala
1.Abadi: keberadaan hukum ini dimulai pada saat alam semesta ini ada dan akan berakhir pada
saat pralaya (kiamat). Walaupun demikian, tidak ada seorang pun yang tahu kapan penciptaan
dan berakhirnya alam semesta ini. Inilah yang menjadi rahasia Pencipta. Penciptaan alam

semesta bersamaan dengan penciptaan hukum-hukum yang bekerja secara amat sangat canggiiiih
sekali dan memiliki ketepatan yang tiada tara. Hukum grafitasi diciptakan bersamaan dengan
diciptakan-Nya alam semesta. Kebetulan saja ada mahluk Tuhan yang bernama Isaac Newton
yang menggunakan akal/pikiran dan budinya dengan baik, sehingga berhasil mengungkap
keberadaan dan cara kerja hukum ini, walaupun sebelumnya pun kalau ada benda yang
dilemparkan ke atas, pasti akan jatuh lagi ke bumi. Lalu manusia lain mengakuinya dan
menamakan hukum ini dengan hukum Newton.
2.Universal: hukum ini berlaku pada setiap ciptaan Tuhan,. Di mana pun berada, bagaimanapun
wujud ciptaan itu, hukum ini berlaku baginya. Mempercayai atau tidak mempercayai keberadaan
hukum ini, jika masih berada di alam semesta ini, hukum ini tetap bekerja baginya. Kalau ia
berbuat baik, hasilnya pasti baik juga, dan hasilnya dia juga yang akan menikmatinya. Kalau
sebaliknya, ya demikian juga. Kalau ada anggapan bahwa hanya kalau berbuat dosa saja kena
hukum karma, ya inilah salah kaprah yang luar biasa.
3.Berlaku sepanjang zaman: pada zaman apa pun hukum ini tetap berlaku dan tidak mengalami
perubahan. Baik pada zaman satya (kerta) yuga, treta yuga, dwapara yuga, kali yuga hukum ini
tetap berlaku. Kalau di zaman sekarang (yang diidentifikasi sebagai zaman kali, zaman terakhir)
sepertinya hukum karmaphala ini tidak lagi efektif bekerja, ya anggapan itu keliru lagi. Kalau
kelihatan bertentangan, itu hanya penglihatan dan analisis manusia yang sangat terbatas, yang
tidak mampu melintasi dan menggabungkan berbagai fakta dari zaman lainnya dengan lengkap.
Demikian singkatnya pengetahuan dan pemahaman manusia tak mampu mengungkap lintas
zaman tadi, karena rentang waktunya demikian lamaaaaa sekali, yang ribuan bahkan jutaan kali
rentang umur manusia. Sedangkan pengetahuan tentang diri dan perbuatannya semasa bayi atau
anak-anak saja tak tersimpan lagi di memorinya, bagaimana mau menyimpan peristiwa lintas
zaman?
4.Sempurna: karena kesempurnaannya, kerja hukum ini tak dapat diganggu-gugat, diubah atau
dipaksa berubah. Sifatnya konstan dan tidak berubah dari zaman ke zaman. Hukum ini hanya
dapat ditaklukkandengan cara mengikuti alur kerjanya, diiringi dengan keihklasan yang dalam.
Kalau menurut penglihatan dan analisis manusia, dia menerima hasil yang tidak sesuai dengan
perbuatannya, bisa dipastikan penglihatan dan analisisnya itu tidaklah lengkap. Kalau rasarasanya telah dan selalu berbuat baik, lalu hidupnya begitu-begitu saja atau malah menderita
sepanjang hayat, mesti ada yang belum terungkap. Ada mata rantai kausalitas yang menyebabkan
demikian. Itulah yang tak mampu dijangkau nalar, pikir, dan budi manusia. Karena bak iklan
sebuah produk, hukum ini mengikuti yang berbuat atau yang berkarma kapan dan di manapun
berada.
Jenis Hukum Karmaphala
Hukum karmaphala diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Bisa berdasarkan masa kehidupan,
berdasarkan unsur triguna, berdasarkan kesucian, kebenaran, tri sarira, dan berdasarkan hasilnya.
Lebih jauh jenis-jenis atau pembagian hukum karmaphala itu dapat dijelaskan di bawah ini.
1. Berdasarkan waktu atau masa kehidupan, karmaphala dibagi atas sancita, prarabda, dan
kriyamana atau agami.

a. sancita karmaphala: sancita bisa diumpamakan sebagai tabungan masa lalu. Masa lalu dalam
pengertian ini bukan hanya berkisar kehidupan ini saja. Masa lalu yang dimaksudkan adalah
masa yang telah lewat dan melintasi berbagai kelahiran. Tabungan itu bisa berupa hasil
perbuatan baik atau sebaliknya. Tabungan itu masih ada sampai kini, dan tetap bekerja
mempengaruhi jalan hidup seseorang. Inilah terjemahan nasib atau suratan. Sancita karma bisa
menjawab dan menjelaskan berbagai perbedaan nasib seseorang saat ini.
b. prarabda karmaphala: adalah karma pada kehidupan saat ini. Apa yang dialami dalam hidup
ini adalah buah atau hasil perbuatan masa lalu dan usaha yang dilakukan saat ini. Buah perbuatan
masa lalu, kalau masih ada sisa, saat inilah waktunya dipetik. Hal inilah yang menjelaskan
fenomena bahwa ada orang yang selalu berbuat baik dalam hidupnya kini, tapi hidupnya tidak
ada peningkatan atau malah menderita. Ada yang kelihatannya tidak banyak berbuat baik atau
malah melakukan dosa, tetapi kehidupannya tetap baik-baik saja, harta melimpah, dst. Dengan
senyum-senyum saja (bintang iklan, misalnya), beberapa orang bisa memperoleh uang jutaan.
Sebaliknya, ada yang seharian membanting tulang, hasilnya hanya pas buat makan hari itu.
Semua itu adalah pengaruh dari sancita, tabungan masa lalu, yang saat ini sedang dinikmati
hasilnya. Sancita karma dan prarabda tak bisa dipisahkan. Sancita menjelaskan berbagai
perbedaan dan ketimpangan nasib hidup manusia di masa yang sedang dialaminya kini.
Sancita pula yang bisa menjawab mengapa ada yang lahir dengan wajah gagah, atau cantik, lalu
memiliki bekal hidup material yang lebih dari cukup. Lalu, ada yang lahir dengan
kekurangberuntungan, baik fisiknya maupun bekal hidup.
Lalu, di mana pengaruh prarabda? Apa tidak ada gunanya? Mari dilihat perumpamaan berikut.
Kita andaikan perbuatan masa lalu adalah garam yang terlanjur banyak dimasukkan ke dalam
sayur. Sayurnya jadi asin. Karena sudah terlanjur, perbuatan itu tak bisa dibatalkan. Garam itu
tidak bisa lagi dipungut. Kita hanya bisa menikmati asinnya. Nah, rasa asin ini bisa dikurangi
dengan menambahkan air ke dalam sayur tersebut. Perbuatan menambahkan air inilah yang bisa
diandaikan dengan prarabda karma. Bukankah tetap ada gunanya? Demikian pula usaha yang
dilakukan dalam kehidupan sekarang bisa mengurangi penderitaan sebagai akibat perbuatan
masa lalu. Kalau kita menderita sebenarnya kita sedang melunasi hutang sisa perbuatan itu.
c. kriyamana karmaphala: adalah karma yang sedang dibuat untuk masa depan. Dapat
diumpamakan sebagai kegiatan menabung. Hasilnya bisa dinikmati saat kehidupan ini atau pada
hidup sesudah kehidupan ini. Inilah yang memberikan optimisme bagi manusia. Kriyamana
adalah harapan masa depan, yang saat ini sedang dirangkai. Dengan bekal manah (akal, pikiran)
dan budi, manusia diberi kebebasan menentukan masa depannya. Manusia bisa menyusun sendiri
bagaimana bentuk kehidupan yang diinginkan. Inilah kelebihan manusia yang dianugerahkan
oleh Sang Pencipta.
2.Berdasarkan unsur triguna; triguna terdiri atas unsur satwah, rajah, dan tamah. Ketiganya
masing-masing membentuk wikarma, sahaja karma, dan akarma.
a. wikarma: adalah karma yang dihasilkan dari guna satwah, yang sifatnya satwik. Satwah adalah
sifat-sifat dalam diri manusia yang dipengaruhi secara kuat oleh Dharma. Yang dapat
digolongkan dalam karma yang wikarma antara lain: berkata yang benar dan lemah lembut,
bekerja dengan teliti, tenang; berpikir yang benar dan jernih, dan sebagainya.

b.sahaja karma: karma ini dihasilkan dengan guna rajah, sifatnya disebut rajasik. Sifat ini
mengarahkan dan mempengaruhi manusia sehingga penuh gairah keinginan, terburu-buru,
kurang sabar, dan sebagainya. Bila manusia melakukan berbagai kegiatan dengan sifat-sifat
rajasik ini, itulah yang dinamakan sahaja karma. Hasilnya sudah bisa diduga.
c.akarma: sifat tamasik yang mempengaruhi manusia untuk menghasilkan akarma. Tamasik bisa
disejajarkan dengan kemalasan. Kadang-kadang akarma dikatakan sebagai tidak berbuat. Arti ini
tidak sepenuhnya benar. Tidak ada manusia yang benar-benar tidak berbuat sama sekali. Manusia
dibuat tak berdaya oleh hukum karma ini untuk berbuat dan berbuat, walau dalam bentuk yang
sangat pasif. Dalam diam pun manusia berbuat, paling tidak manah atau pikirannya yang
berkelana.
3. Berdasarkan kesucian: atas dasar kesucian perbuatan, karma dibagi menjadi subha karma dan
asubha karma.
a. Subha karma: subha artinya suci, jadi subha karma adalah perbuatan yang suci, perbuatan
baik. Pikiran yang penuh kedamaian, hati yang penuh rasa kasih sayang, akan menghasilkan
ucapan, perkataan, dan tindakan yang similar, sejajar, dan searah dengan itu. Konsep karma
memang menyangkut ketiganya (pikir, ucapan, dan tindakan).
b. Asubha karma: huruf a didepan kata subha membuat makna penyangkalan. Dengan
penyangkalan, muncul makna sebaliknya dari yang di atas. Perbuatan-perbuatan yang didasari
kegelisahan, kebencian, kekerasan, amarah, dan sebagainya, dikategorikan sebagai asubha
karma.
Dalam kaitannya dengan kedua karma berdasarkan kesucian ini, mucul anekdot bahwa bila kita
tidak banyak memiliki tabungan perbuatan baik, maka bila ajal menjemput, kita akan dijemput
asu. Yang dimaksudkan bukanlah anjing (asu dalam bahasa Jawa dan Bali berarti anjing),
melainkan asubha karma ini.
4. Berdasarkan kebenaran: dengan faktor ini, karma dibagi menjadi sat karma, dush karma, dan
mirsa karma
a. Sat karma: adalah karma yang dilaksanakan dengan dasar Dharma (kebenaran). Semua
perbuatan yang berlandaskan Dharma dianggap sebagai sat karma.
b. Dush karma: kebalikan dari sat karma disebut dush karma. Dasar perbuatan dush karma adalah
yang bertentangan dengan Dharma, seperti yang berdasarkan kroda, moha, matsarya, kama, dan
sebagainya.
c. Misra karma: campuran antara sat karma dan dush karma disebut mirsa karma. Manusia pada
saat ini, pada zaman kali yuga ini, umumnya melakukan atau menerima hasil karma ini. Karena
umumnya manusia kini melakukan keduanya. Tidak ada yang 100 % jahat, atau 100 % baik.
Sejahat-jahatnya perampok, selama hidupnya ia pasti pernah berbuat baik.
Semua hasil perbuatan ini akan kembali ke padanya. Hasil perbuatan baik atau hasil perbuatan
buruknya, hanya dial ah yang akan menerimanya, bukan orang lain. Kalau yang lebih banyak
adalah perbuatan buruknya, maka setelah meninggal ia akan menerima hasil perbuatan baiknya

terlebih dahulu, kemudian baru menerima hasil perbuatan buruknya. Kalau sebaliknya, lebih
banyak perbuatan baiknya; justru ia akan menerima hasil perbuatan buruknya terlebih dahulu,
baru kemudian hasil perbuatan baiknya yang dinikmatinya. Jadi tidak ada perbuatan yang sia-sia
atau yang tidak dipetik hasilnya menurut hukum karma ini. Tidak ada neraka abadi bagi manusia,
bagi manusia jahat sekalipun. Sebaliknya, tidak ada juga surga abadi. Karena surga dan neraka
hanya persinggahan sang atman, untuk menentukan baju atau badan lain yang cocok dengan
hasil karmanya tadi (BG.II.22, Swargarohana Parwa).
5. Berdasarkan tri sarira: tri sarira adalah tiga jenis badan manusia, yakni stula sarira/badan kasar
atau fisik (tangan, kaki, kepala, dsb), suksma sarira atau badan mental, dan badan penyebab
(karana sarira).
a. Karma fisik: jenis karma ini berakibat pada badan fisik manusia, misalnya saja makan yang
kurang teratur akan menyebabkan tubuh sakit.
b. Karma astral: karma astral adalah karma yang berasal atau berakibat pada perasaan, misalnya
saja ucapan yang lemah lembut akan berakibat pada perasaan yang akan menjadi senang. Atau
berbicara tentang makanan enak pada siang hari akan berakibat pada timbulnya rasa lapar, dan
sebagainya.
c. Karma mental: badan mental manusia akab kena pengaruh karma ini. Senantiasa berpikir baik
dan positif akan berakibat pada ketenangan diri, kebahagiaan, kedamaian, kegembiraan, rasa
optimis dan seterusnya. Perlu dicatat ini juga adalah karma.
6. Berdasarkan hasilnya, phala atau buah atau hasil suatu karma dibedakan atas dua jenis, yaitu:
Vishaya (Wishaya) karma, dan sreyo karma.
a. Wishaya karma, disebut juga karma yang mengikat. Keterikatan akan hasil perbuatan adalah
wishaya karma. Melakukan suatu perbuatan karena ingin memperoleh imbalan, atau ada pamrih
di balik perbuatannya. Jika diperkirakan tidak ada hail baginya, maka tidaklah ia melakukannya.
Ketergantungan kepada hasil perbuatan inilah yang dikatakan wishaya.
b. Sreyo karma, adalah membebaskan diri dari ikatan terhadap hasil perbuatan. Kegiatan yang
dilakukan dengan tanpa berharap akan hasilnya bukan berarti kerja dengan asal-asalan.
Prosesnya tetap diletakkan pada pelaksanaan penuh kompetensi. Bila dilaksanakan dengan
kompetensi penuh, lalu ditambah lagi dengan keikhlasan dan tanpa berharap hasil bagi diri
sendiri, niscayalah pada pelaksanaannya saja sudah mendatangkan kebahagiaan. Bila
mendatangkan kebahagiaan, apalagi saat pelaksanaannya sudah dirasakan, maka karma itu
dikatakan atmananda. Seperti pada awal tulisan ini dikatakan bahwa antara perbuatan dan
hasilnya tidak dapat dipisahkan, bagai dua sisi mata uang. Tanpa diharapkan pun hasil itu akan
datang. Cepat atau lambat, hal itu pasti adanya.

Anda mungkin juga menyukai