Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Namo Buddhaya

Puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, Triratna
(Buddha, Dharma dan Sangha) karena berkat limpahan RahmatNya dan berkat
kekuatan karma baik sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Mahayana II
dengan tepat waktu. Maksud dan tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Mahayana II (Semester tiga). Pada Kesempatan ini,
penulis mengucapkan Anumodana kepada Y.M Bhikkhu Uggaseno selaku dosen
pengampu dalam mata kuliah Mahayana II.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca, terutama Mahasiswa – Mahasiswi STAB Kertarajasa Batu, beserta para
pengembang dan yang sedang mendalami ajaran dan Aliran dalam Agama Buddha
pada umumnya. Semoga apa yang tertulis dalam makalah ini dapat memberikan kita
wawasan dan dapat dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga berkah Tri
ratna (Buddha, Dharma dan Sangha) selalu melimpah kepada kita semua dan semoga
pula kita selalu maju dalam Dharma

Mettacittena

Batu, Agustus 2019

Penulis

1
Latar Belakang

Menurut kaum Mahayana, kedudukan Sang Buddha sebagai guru para dewa
dan manusia memang benar adanya dan tak dapat diganggu gugat. Bisa dikatakan
bahwa kaum Mahayana memiliki pendapat yang sama dengan kaum Sthaviravada
(Theravada). Sang Buddha sebagai manifestasi dari Nirmanakaya Buddha sangatlah
dihormati, tetapi Mahayana beranggapan bahwa Kebuddhaan (Samyak Sambodhi/
Samma Sambodhi) adalah suatu yang bersifat Nitya (Awet, Abadi, Langgeng).
Sebelum Sakyamuni Buddha mencapai Kebuddhaan telah ada yang mencapai
Kebuddhaan setelah beliau juga ada yang mencapai Kebuddhaan. Oleh karena itu,
kaum Mahayana berpendapat secara filosofis mereka juga bercita-cita mencapai
Kebuddhaan dengan sebutan Bodhisattva (Pali: Bodhisatta) yang secara harfiah
berarti Calon Buddha yang mengembangkan benih Kebuddhaan (Buddhabijja).
Kaum Mahayana berpendapat bahwa setiap insan memiliki benih
Kebuddhaan dan semua insan juga bisa menjadi seorang Buddha. Akan tetapi, yang
menjadi persoalan ialah “kapan dan bagaimana seseorang dapat menjadi seorang
Buddha?”. Kaum Mahayana beranggapan setiap insan merupakan Bodhisattva; baik
yang terlatih ataupun masih dalam taraf rendah (Piastana 1994: 14).
Di dalam perkembangan Mahayana selanjutnya, banyak figur Bodhisattva
yang dipersonifikasikan oleh kaum Mahayana. Karena para Bodhisattva secara
filosofis dan theistik memiliki Sambhogakaya yaitu tubuh bercahaya atau kekuatan
manifestasi Dharmakaya. Oleh karena itu, secara perwujudan (Nirmanakaya) mereka
dipersonifikasikan1. Atas dasar pembahasan di atas, pada pembahasan kali ini saya
akan menjabarkan materi MAHAYANA II yang berkaitan dengan Bodhisattva.
Seorang Boddhistva harus melatih enam atau sepuluh paramitas
(kesempurnaan). Bagi umat Buddha Mahayana haruslah melatih Sad-Paramita agar
dapat mencapai Arya Boddhisattva dengan demikian terbukalah jalan menuju
Samyak-Sambodhi. Sad Paramita merupakan inti pokok ajaran bagi semua sekte,
agama Buddha Mahayana. Kunci kata ini Paramita juga telah diterjemahkan sebagai:

1
Chau Ming dan Dhammasukha Priastana:1994. Materi Pokok Mahayana II hlm 14

2
“Kebaikan yang luar biasa”, “Kebajikan sempurna”, “Kesempurnaan Tertinggi”, dan
“Perolehan Lengkap”.

Jalan melenyapkan dukkha yang terdiri dari jalan beruas delapan, dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian: Sila, Samadhi, dan Prajna. Dalam Mahayana
ketiga bagian tersebut dikembangkan menjadi Sad-Paramita (enam perbuatan luhur)
yang dipraktikkan oleh segenap Boddhisatva.

Pembahasan

Definisi Bodhisattva
Kata “Bodhisattva” adalah kata majemuk yang dibentuk dari bodhi
(kebangkitan spiritual, pencerahan) dan sattva (makhluk, esensi, roh). Kata itu
kemudian dapat diterjemahkan sebagai "yang ditetapkan pada pencerahan,"
"Seseorang yang esensinya adalah pengetahuan yang sempurna," atau "Seorang
makhluk yang esensialnya adalah pencerahan2. Ada kemungkinan bahwa kata Pali
"satta" sebenarnya adalah formasi belakang dari kata Saktudi sakta, yang berarti
"berkomitmen untuk, tetap atau berniat, diarahkan." Istilah Pali "Bodhisatta" akan,
dari titik Sanskrit dari lihat, telah ambigu, dan mungkin itu diterjemahkan kembali ke
Sanskrit salah sebagai "pencerahan" ketika seharusnya diterjemahkan ulang sebagai
"satu berkomitmen untuk pencerahan."
Para Bodhisattva adalah makhluk-makhluk agung dari kesadaran agung
kosmik sehingga tidak dapat diilustrasikan kehidupan dan riwayat mereka. Yang ada
hanyalah tokoh dalam legenda dari cerita rakyat yang dipautkan dengan Bodhisattva,
misalnya riwayat dari Putri Miau San yang menjadi figur Avalokitesvara Bodhisattva
yang penuh welas asih terhadap umat manusia. Akan tetapi secara filosofis,
Avalokitesvara Bodhisattva tidak dapat dikatakan harus berbentuk seperti Putri Miau
San3.

2
Bodhipaksa. http://www.wildmind.org/mantras/Bodhisattva
3
Chau Ming. 1994. Materi Pokok Mahayana II hlm 15

3
Tujuan Bodhisattva
Umumnya dikatakan tujuan Bodhisattva bukanlah semata-mata untuk dirinya
pribadi, melainkan juga untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk di
dunia. Bagaimana seorang Bodhisattva menyelematakan makhluk lain sedangkan diri
sendiri belum terjamin?
Secara dialektika dikatakan bahwa keluar terhadap makhluk-makhluk lain
mengembangkan Maitri Karuna (Welas asih dan kasih sayang), tetapi ke dalam diri
sendiri mengembangkan Vipasyana (Insight meditation) sehingga metode tersebut
menjadi suatu kesatuan.
Bodhisattva tidak bercita-cita mencapai Arhat maupun Pratyeka Buddha,
melainkan menjadi calon Buddha yang kebuddhaannya disempurnakan dengan
bercita-cita dan berkarya dalam memberi kebahagiaan atau membebaskan bagi
segenap makhluk yang menderita.
Bodhicitta
Menurut pandangan Mahayana, setiap insan mengandung benih kebuddhaan
(Bija-Buddha) atau kesadaran kebuddhaan (Bodhicitta). Semua insan dapat menjadi
Buddha, tetapi masalahnya adalah soal kapan dan bagaimana.
Bodhicitta adalah kesadaran Buddha yang dimiliki setiap makhluk. Bodhicitta
merupakan fondasi, sumber dari segala macam munculnya kebaikan, sumber dari
segala usaha dan kebahagiaan serta sumber dari kesucian.
Bodhicitta terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Bodhi-pranidhi-citta: tingkat persiapan pencapaian kebuddhaan. Maksudnya
adalah mereka harus bernadar dan berkeinginan memperoleh Bodhi dan
akhirnya menjadi Buddha.
2. Bodhi-prasthana-citta: tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam perjalanan
menuju cita-cita. Maksudnya adalah Bodhisattva harus memulai mencoba
untuk mencapai kesempurnaan melalui Sad-Paramita dan Dasa-Bhumi.

4
Empat Janji Bodhisattva dan Sad Paramita

Terdapat tiga kualitas yang menjadi ciri-ciri Bodhisattva, yaitu:

a. Cita-citanya yang teguh untuk membebaskan makhluk dari kesengsaraan dan


penderitaan.
b. Pikiran yang tak tergoyahkan.
c. Usahanya tak mengenal menyerah.

Seorang Bodhisattva, mereka yang telah mencapai tingkat kematangan


spiritual yang tinggi pasti memiliki janji untuk menyelamatkan makhluk yang
menderita lalu membawanya ke “Pantai Seberang” (kondisi kebahagiaan dan
mencapai pencerahan). Niat itu tertuang dalam “Empat Janji Bodhisattva” yang
merupakan praktik sehari-hari penganut Nichiren Shu.4

“Makhluk hidup jumlahnya tiada batas, Saya berjanji untuk


menyelamatkannya”.
Hal ini menekankan pada usaha untuk bekerja demi kebahagiakan makhluk
lain dan berlatih ajaran Buddha tanpa memikirkan konsekuensinya. Jadi bisa
dikatakan seorang Bodhisattva melayani dan menuntun makhluk lain untuk mencapai
kebahagiaan.
“Kekotoran batin kita tiada batas, Saya berjanji untuk memadamkan
semuanya”.
Hal ini menekankan pada niat untuk melanjutkan praktik kita sendiri. Ini
adalah proses berkesinambungan dari mawas diri dan reformasi diri yang kita lalui
dengan tujuan untuk membebaskan diri kita dari penderitaan. Dengan melakukan hal
ini, kita akan menjadi lebih kuat, lebih yakin akan diri kita sendiri, dan menjadi lebih
mampu untuk benar-benar membantu yang lainnya melalui teladan diri yang baik.
“Ajaran Buddha sungguh tiada batas, Saya berjanji untuk mempelajari
semuannya”

4
Perhimpunan Buddhis Nichiren Shu Indonesia. 2018. Lotus Seeds: Intisari Buddhisme Nichiren Shu

5
Hal ini menegaskan kebutuhan untuk terus menerus mempelajari ajaran
Buddha sehingga kita akan lebih mengenal ajaran dan metode untuk diaplikasikan
dalam setiap situasi.
“Jalan Buddha adalah tiada tara, Saya berjanji untuk mencapai Jalan Agung”
Hal ini menunjukkan bahwa tiada jalan lain yang lebih mulia bagi
Bodhisattva selain mencapai pencerahan. Dengan janji ini, kita berusaha untuk
mewujudkan kualitas kebijaksanaan dan welas-asih Buddha dengan tujuan agar kita
dapat menjadi Buddha bagi diri sendiri.
Selain dengan empat janji tersebut, Bodhisattva juga mempraktekan Sad-
paramita (Enam kebajikan luhur). Kebajikan luhur (Paramita) tersebut adalah:
1. Dana (Kemurahan hati): Berkaitan dengan pengembangan hati yang terbuka
terhadap orang lain
2. Sila: Kemoralan yang berkaitan perbuatan baik yang dilakukan oleh Tindakan
Jasmani, Ucapan maupun pikiran.
3. Khsanti: Pikiran yang tenang dalam menghadapi celaan (Tidak tersinggung,
tidak berkeinginan untuk membalas)
4. Viriya: Suatu usaha untuk selalu semangat dan pantang menyerah dalam
berbuat kebajikan kepada semua makhluk.
5. Dhyana: Meditasi untuk menuntun pada kesucian, bersih dari kekotoran
bathin.
6. Prajna: Kebijaksanaan.

Para Bodhisattva

Di dalam Kitab Sadharma Pundarika Sutra disebutkan bahwa ada 28


Bodhisattva yang merupakan siswa Sakyamuni Buddha. Namun dari ke 28
Bodhisattva tersebut, ada lima Bodhisattva yang menjadi objek pemujaan bagi kaum
Mahayana.
1. Koan Im Po Sat / Avalokitesvara.

6
Koan Im Po Sat dalam bahasa Sansekerta disebut juga Avalokitesvara
Bodhisattva. Dikenal pula dengan sebutan dewi welas asih. Avalokitesvara
merupakan Bodhisattva yang paling dimuliakan oleh kaum Mahayana.Ada mitos juga
kalau Dalai Lama, Karma-pa dan para Lama yang terkemuka lainnya merupakan
Reikarnasi dari Avalokitesvara yang welas asih.

Avalokitesvara asalnya digambarkan dengan wujud laki-laki, begitu pula pada


masa menjelang dan selama Dinasti Tang (tahun 618-907). Namun pada awal Dinasti
Song (960-1279), berkisar pada abad ke 11, beberapa dari pengikut melihatnya
sebagai sosok wanita yang kemudian digambarkan dalam para seniman. Perwujudan
Kwan Im sebagai sosok wanita lebih jelas pada masa Dinasti Yuan (1206-1368).
Sejak masa Dinasti Ming, atau berkisar pada abad ke 15, Kwan Im secara menyeluruh
dikenal sebagai wanita.

2. Samantabhadra.

Samantabhadra, adalah Raja Kebenaran yang melambangkan praktek dan


meditasi semua Buddha. Di dalam Avatamsaka Sutra, dijelaskan bahwa Beliau
membuat sepuluh ikrar yang menjadi dasar praktek Bodhisattva.

3. Ksitigarbha.

Ksitigarbha, dapat diterjemahkan sebagai “Bumi tempat menyimpan ke-


sepuluh sutra). Ksitigarbha sering digambarkan dengan mahkota yang terdapat
Dhyani Buddha dan memgang tongkat. Bodhisattva ini memiliki ikrar, sebagai
berikut: “Jika neraka tidak kosong, maka tidak akan menjadi Buddha.”

4. Manjusri.

Manjusri, adalah dikenal sebagai Pangeran Dharma. Beliau mewakili


kebijaksanaan, intelejensi, dan realisasi. Beliau juga disebut Manjughosa. Beliau
digambarkan memegang pedang di tangan kanan yang melambangkan realisasi
kebijaksanaan dan menolak pandangan salah. Mantranya: Om Ah Ra Pa Tsa Na

7
Dhih, dipercaya memperkuat kebijaksanaan dan meningkatkan keahlian mengingat,
berdebat, menulis, dan menjelaskan.

5. Mahasthamaprapta
Mahasthamaprapta, adalah Bodhisattva yang melambangkan kekuatan
kebijaksanaan dan sering digambarkan bersama Avalokitesvara dan Amitabha. Tidak
seperti Bodhisattva lainnya, nama Bodhisattva ini umumnya kurang dikenal. Dalam
Shurangama Sutra, Mahasthamaprapta menceritakan bagaimana Beliau mendapatkan
pencerahan melalui pelafalan Buddha, atau kesadaran murni terhadap Buddha secara
berlanjut, untuk mencapai Samadhi.

8
PENUTUP
KESIMPULAN
Bodhisattva merupakan cita-cita umat Buddha kaum Mahayana. Mereka
beranggapan bahwa setiap makhluk berhak untuk diselamatkan dari penderitaan di
dunia dan untuk menyelamatkan semua makhluk mereka harus menjadi Bodhisattva.
Mereka juga beranggapan bahwa cita-cita menjadi Bodhisattva lebih mulia
dibandingkan menjadi Arhat, karena Arhat dipandang egois dan hanya mementingkan
dirinya mencapai kesucian dan lain halnya dengan menjadi Bodhisattva, ia yang
bertekat untuk menyelamatkan makhluk dari derita dan menunda untuk mencapai
kebuddhaan. Akan tetapi sebelum bisa menyelamatkan setiap makhluk, mereka yang
bercita-cita menjadi Bodhisattva harus menyempurnakan Paramita (Kebajikan nan
Luhur) yang terdiri dari Dana, Sila, Ksanti, Viriya, Dhyana dan Prajna agar
menunjang untuk pencapaian keBodhisattvaan dan bisa “menyeberangkan” makhluk
di dunia ke “Pantai Kebahagiaan”.

Terdapat sejumlah Bodhisattva yang menjadi puja bakti dari kaum Mahayana
seperti Avalokitesvara, Samantabhadra, Ksitigarbha, Manjusri dan
Mahasthamaprata Bodhisattva. Hampir keseluruhan Bodhisattva tersebut memiliki
sifat yang sama yaitu welas asih dan suka menolong makhluk lain yang menderita.

9
DAFTAR PUSTAKA

Bodhipaksa. Tanpa Tahun. “What is Bodhisattva?”


Http://www.wilmind.org/mantras/Bodhisattvas diakses pada 29 Agustus 2019
pukul 18:30 WIB

Chau Ming dan Dhammasukha Jo Priastana. 1994. “Materi Pokok Mahayana II”.
Jakarta. Dirjen Bimas Hindu Buddha dan UNTER

Harrington, Laura. 2002. “A View of Manjushri: Wisdom and Its Crown Prince in
Pala Period India”. Doctoral Thesis, Columbia University.

Keown, Damien (editor) with Hodge, Stephen; Jones, Charles; Tinti, Paola (2003). A
Dictionary of Buddhism. Oxford, UK: Oxford University Press. ISBN 0-
19- 860560-9.

Lopez Jr., Donald S. 2001. “The Story of Buddhism: A Concise Guide to its History
and Teachings”. New York, NY, USA: Harper San Francisco. ISBN 0-06-
069976-0

Priastana, Dhammasukha Jo. 1999. “Pokok-Pokok Dasar Mahayana”. Jakarta.


Yayasan Yasodhara Puteri.

Suwarto. 1995. “Buddha Dharma Mahayana”. Jakarta. Majelis Agama Buddha


Mahayana Indonesia

10

Anda mungkin juga menyukai