Anda di halaman 1dari 3

Mata Kuliah: Ritual Buddhis I

Dosen: Putu Aryatama S.Pd


Nama: Nanik Suminarni
Semester: 2 (dua)
NIM: 2019.20.0680

YANG SAKRAL dan YANG PROFAN

Pandangan para peneliti dalam mendefinisikan agama berbeda-beda. Hal ini


dikarenakan pengaruh dari latar belakang kehidupan dan apa yang mereka pelajari.
Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa definisi-definisi mengenai agama mengarah
pada dua hal yaitu, Yang Sakral dan Yang Profan. Yang Sakral, biasanya
berhubungan dengan berhubungan dengan kekuatan supernatural, kekuatan yang
berada di luar manusia, nir-duniawi. Selain itu, juga memiliki pengaruh luas dan
besar sehubungan dengan kesejahteraan masyarakat agar tidak terjadi kekacauan yang
mengakibatkan kesengsaraan.
Di sisi lain, Yang Profan berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan masyarakat cenderung pada perilaku individu yang tidak ada hubungannya
dengan religiusitas, serta pengaruhnya tidak seluas dan sebesar Yang Sakral. Yang
Profan hanya terbatas pada kebutuhan individu saja. Keduanya bisa berdampingan,
hanya jalan dan tujuannya yang berbeda. Ketika manusia berhubungan dengan Yang
Sakral maupun Yang Profan, secara otomatis akan menyesuaikan sikap dan
moralnya. Namun, manusia mengetahui bahwa Yang Sakral maupun Yang Profan
harus terhubung demi kepentingan masing-masing.
Dalam pandangan agama Buddha, konsep Yang Sakral dan Yang Profan
sangat berbeda dari yang telah diinterpretasikan sebelumnya oleh para penulis
modern. Menurut Durkheim, dia mengakui bahwa agama Buddha adalah salah satu
agama yang menolak konsepsi tentang adanya satu kekuatan supernatural, Tuhan, dan
dewa-dewi.
Menurut masyarakat primitif, seluruh kejadian alam sama saja. Tidak ada
yang ajaib dan tidak ajaib, bahkan konsep tentang Tuhan dan dewa-dewi agak sedikit
bermasalah karena tidak setiap agama mempercayai Tuhan, walaupun mereka
mengakui adanya satu kekuatan supernatural. Contohnya agama Buddha menolak
keberadaan Tuhan atau dewa-dewa. Selain itu, beberapa ritual kelompok masyarakat
lain tidak ada kaitannya sama sekali dengan roh atau Tuhan.
Pals (2018) dalam Durkheim (TT) mengatakan hal-hal sakral selalu dikaitkan
sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal, dia tidak tersentuh
dan selalu dihormati. Sebaliknya hal-hal yang profan adalah bagian keseharian dari
hidup dan bersifat biasa-biasa saja, konsentrasi utama agama terletak pada Yang
Sakral. Tujuan Yang Sakral menurut Durkheim adalah perilaku-perilaku religius
disatukan ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja tempat masyarakat
memberikan kesetiaannya. Yang Sakral memiliki pengaruh luas, menentukan
kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang Profan memiliki
pengaruh tidak terlalu besar, hanya merefleksikan keseharian tiap individu,
menyangkut aktivitas pribadi, ataupun kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan
setiap individu dan keluarga.
Titik tolak pembagian antara Yang Sakral dan Yang Profan sebagai sebuah
pembagian moral, dengan menganggap bahwa Yang Sakral sebagai kebaikan, dan
Yang Profan sebagai keburukan. Akan tetapi, kedua-duanya memiliki sisi baik dan
sisi buruk, dan keduanya tidak bisa menggantikan satu sama lain. Yang Sakral
muncul terutama berkaitan apa yang menjadi konsentrasi masyarakat sedangkan
Yang Profan adalah menjadi perhatian pribadi dari individu.
Menurut Durkheim, agama tidak datang untuk menggantikan magis yang
gagal, menjelaskan cara kerja alam, sebab agama dan magis memiliki konsentrasi
yang berbeda. Magis dan agama dapat hidup berdampingan. Perjumpaan Yang
Sakral, adalah ketika seseorang merasa ‘disentuh’ oleh sesuatu yang nir duniawi,
sebuah dimensi dari eksistensi dari yang maha kuat. Sangat berbeda dan merupakan
realitas abadi yang tiada bandingannya. Menurut Eliade, Yang Sakral tidak sekedar
milik umum, tetapi dianggap absolut dan amat penting bagi kelangsungan eksistensi
alam dan akan selalu mempengaruhi jalan hidup.
Pandangan tentang Yang Sakral dan Yang Profan menurut agama Buddha
dapat ditemukan dalam buku Essence of Buddha Abhidhamma karya Mehm Tin Mon
(2011: 24). Dalam buku ini dijelaskan bahwa realitas dibagi menjadi dua yaitu
realitas konvensional (pannati) dan realitas hakiki (paramatha). Realitas
konvensional adalah semua makhluk hidup, benda-benda mati dan nama yang
diberikan kepada mereka hanyalah konsep-konsep, kita memberikan nama kepada
mereka, sehingga dapat menyebut mereka dan berinteraksi dalam percakapan sehari-
hari. Sebenarnya mereka hanya kelihatan eksis tetapi tidak eksis dalam kehakikian.
Realitas hakiki (paramatha dhamma) adalah segala sesuatu benar-benar ada
atas dasar sifat hakiki mereka sendiri. Realitas ini tidak dapat diciptakan atau
dihancurkan oleh manusia, ia benar-benar ada dalam alam semesta dan membawa
sifatnya sendiri dan ia berakhir dengan sendirinya. Ia juga tahan ujian dengan
investigasi melalui metode apapun mengenai realita dan eksistensi sesungguhnya.
Empat realitas hakiki yaitu citta (kesadaran), cetasika (faktor-faktor mental), rupa
(materi), dan nibbana (padam). Sifatnya yaitu anicca (selalu berubah), dukkha
(penderitaan), dan anatta (tanpa inti yang kekal).
Agama Buddha menolak konsepsi tentang satu kekuatan absolut, tuhan
personal, dan dewa-dewi yang menciptakan dan mengatur alam semesta, atau
menghukum, atau mengampuni makhluk-makhluk. Agama Buddha lebih bertumpu
pada hukum-hukum alam yang berfungsi dalam prosesnya membentuk alam semesta
dan munculnya makhluk hidup (Panca Niyama/Lima Hukum Fenomena). Terdiri dari
Bija Niyama (fenomena tumbuhan), Utu Niyama (fenomena cuaca), Citta Niyama
(fenomena pikiran), Kamma Niyama (fenomena moral), dan Dhamma Niyama
(fenomena Dhamma) (AN. 3.134).
Meskipun demikian, bukan berarti Sang Buddha menolak secara penuh. Sang
Buddha menolak adanya pandangan satu kekuatan sebagai pencipta, konsep tentang
keabadian atau jiwa yang kekal karena menurut beliau merupakan kekeliruan. Sang
Buddha mengakui eksistensi setan, hantu, raksasa, naga, dewa-dewi, dan
Mahabrahma tetapi tidak mengatakan bahwa mereka makhluk abadi/kekal. Makhluk-
makhluk tersebut masih mengalami anicca, dukkha, dan anatta. Mereka adalah
makhluk spirit tetapi mereka masih mengalami punarbhava (kelahiran kembali)
menjelma menjadi makhluk tertentu.
Dalam ajaran Buddha terdapat perbedaan antara Yang Sakral dan Yang
Profan dengan berdasarkan moral seperti pernyataan Durkheim. Akan tetapi tidak
sepenuhnya benar. Ajaran Buddha setuju jika Yang Profan dan Yang Sakral kedua-
duanya ada yang baik dan ada yang buruk. Ada dewa yang baik seperti Dewa Sakka,
dan ada dewa-dewa yang jahat penghuni surga Paranimitta Vassavatti. Contoh Yang
Profan jika praktek bersedekah dilakukan dengan ketulusan dan kerelaan maka
nilainya menjadi tinggi. Yang Sakral bentuk negatif contohnya terlalu melekat kepada
agama Buddha, seharusnya menjadi orang intoleran padahal seharusnya menjadi
orang toleran dan sebagainya. Sang Buddha juga menyetujui bahwa Yang Sakral dan
Yang Profan seolah-olah ada batas diantara keduanya, dan memiliki wilayah masing-
masing serta mereka bisa berdampingan dan terhubung dengan dilandasi kebutuhan.
Namun, jika Yang Sakral dalam arti absolut maka dalam agama Buddha berbicara
tentang Nibbana atau keadaan tanpa syarat.

Anda mungkin juga menyukai