Pandangan para peneliti dalam mendefinisikan agama berbeda-beda. Hal ini
dikarenakan pengaruh dari latar belakang kehidupan dan apa yang mereka pelajari. Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa definisi-definisi mengenai agama mengarah pada dua hal yaitu, Yang Sakral dan Yang Profan. Yang Sakral, biasanya berhubungan dengan berhubungan dengan kekuatan supernatural, kekuatan yang berada di luar manusia, nir-duniawi. Selain itu, juga memiliki pengaruh luas dan besar sehubungan dengan kesejahteraan masyarakat agar tidak terjadi kekacauan yang mengakibatkan kesengsaraan. Di sisi lain, Yang Profan berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat cenderung pada perilaku individu yang tidak ada hubungannya dengan religiusitas, serta pengaruhnya tidak seluas dan sebesar Yang Sakral. Yang Profan hanya terbatas pada kebutuhan individu saja. Keduanya bisa berdampingan, hanya jalan dan tujuannya yang berbeda. Ketika manusia berhubungan dengan Yang Sakral maupun Yang Profan, secara otomatis akan menyesuaikan sikap dan moralnya. Namun, manusia mengetahui bahwa Yang Sakral maupun Yang Profan harus terhubung demi kepentingan masing-masing. Dalam pandangan agama Buddha, konsep Yang Sakral dan Yang Profan sangat berbeda dari yang telah diinterpretasikan sebelumnya oleh para penulis modern. Menurut Durkheim, dia mengakui bahwa agama Buddha adalah salah satu agama yang menolak konsepsi tentang adanya satu kekuatan supernatural, Tuhan, dan dewa-dewi. Menurut masyarakat primitif, seluruh kejadian alam sama saja. Tidak ada yang ajaib dan tidak ajaib, bahkan konsep tentang Tuhan dan dewa-dewi agak sedikit bermasalah karena tidak setiap agama mempercayai Tuhan, walaupun mereka mengakui adanya satu kekuatan supernatural. Contohnya agama Buddha menolak keberadaan Tuhan atau dewa-dewa. Selain itu, beberapa ritual kelompok masyarakat lain tidak ada kaitannya sama sekali dengan roh atau Tuhan. Pals (2018) dalam Durkheim (TT) mengatakan hal-hal sakral selalu dikaitkan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal, dia tidak tersentuh dan selalu dihormati. Sebaliknya hal-hal yang profan adalah bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja, konsentrasi utama agama terletak pada Yang Sakral. Tujuan Yang Sakral menurut Durkheim adalah perilaku-perilaku religius disatukan ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja tempat masyarakat memberikan kesetiaannya. Yang Sakral memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang Profan memiliki pengaruh tidak terlalu besar, hanya merefleksikan keseharian tiap individu, menyangkut aktivitas pribadi, ataupun kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan setiap individu dan keluarga. Titik tolak pembagian antara Yang Sakral dan Yang Profan sebagai sebuah pembagian moral, dengan menganggap bahwa Yang Sakral sebagai kebaikan, dan Yang Profan sebagai keburukan. Akan tetapi, kedua-duanya memiliki sisi baik dan sisi buruk, dan keduanya tidak bisa menggantikan satu sama lain. Yang Sakral muncul terutama berkaitan apa yang menjadi konsentrasi masyarakat sedangkan Yang Profan adalah menjadi perhatian pribadi dari individu. Menurut Durkheim, agama tidak datang untuk menggantikan magis yang gagal, menjelaskan cara kerja alam, sebab agama dan magis memiliki konsentrasi yang berbeda. Magis dan agama dapat hidup berdampingan. Perjumpaan Yang Sakral, adalah ketika seseorang merasa ‘disentuh’ oleh sesuatu yang nir duniawi, sebuah dimensi dari eksistensi dari yang maha kuat. Sangat berbeda dan merupakan realitas abadi yang tiada bandingannya. Menurut Eliade, Yang Sakral tidak sekedar milik umum, tetapi dianggap absolut dan amat penting bagi kelangsungan eksistensi alam dan akan selalu mempengaruhi jalan hidup. Pandangan tentang Yang Sakral dan Yang Profan menurut agama Buddha dapat ditemukan dalam buku Essence of Buddha Abhidhamma karya Mehm Tin Mon (2011: 24). Dalam buku ini dijelaskan bahwa realitas dibagi menjadi dua yaitu realitas konvensional (pannati) dan realitas hakiki (paramatha). Realitas konvensional adalah semua makhluk hidup, benda-benda mati dan nama yang diberikan kepada mereka hanyalah konsep-konsep, kita memberikan nama kepada mereka, sehingga dapat menyebut mereka dan berinteraksi dalam percakapan sehari- hari. Sebenarnya mereka hanya kelihatan eksis tetapi tidak eksis dalam kehakikian. Realitas hakiki (paramatha dhamma) adalah segala sesuatu benar-benar ada atas dasar sifat hakiki mereka sendiri. Realitas ini tidak dapat diciptakan atau dihancurkan oleh manusia, ia benar-benar ada dalam alam semesta dan membawa sifatnya sendiri dan ia berakhir dengan sendirinya. Ia juga tahan ujian dengan investigasi melalui metode apapun mengenai realita dan eksistensi sesungguhnya. Empat realitas hakiki yaitu citta (kesadaran), cetasika (faktor-faktor mental), rupa (materi), dan nibbana (padam). Sifatnya yaitu anicca (selalu berubah), dukkha (penderitaan), dan anatta (tanpa inti yang kekal). Agama Buddha menolak konsepsi tentang satu kekuatan absolut, tuhan personal, dan dewa-dewi yang menciptakan dan mengatur alam semesta, atau menghukum, atau mengampuni makhluk-makhluk. Agama Buddha lebih bertumpu pada hukum-hukum alam yang berfungsi dalam prosesnya membentuk alam semesta dan munculnya makhluk hidup (Panca Niyama/Lima Hukum Fenomena). Terdiri dari Bija Niyama (fenomena tumbuhan), Utu Niyama (fenomena cuaca), Citta Niyama (fenomena pikiran), Kamma Niyama (fenomena moral), dan Dhamma Niyama (fenomena Dhamma) (AN. 3.134). Meskipun demikian, bukan berarti Sang Buddha menolak secara penuh. Sang Buddha menolak adanya pandangan satu kekuatan sebagai pencipta, konsep tentang keabadian atau jiwa yang kekal karena menurut beliau merupakan kekeliruan. Sang Buddha mengakui eksistensi setan, hantu, raksasa, naga, dewa-dewi, dan Mahabrahma tetapi tidak mengatakan bahwa mereka makhluk abadi/kekal. Makhluk- makhluk tersebut masih mengalami anicca, dukkha, dan anatta. Mereka adalah makhluk spirit tetapi mereka masih mengalami punarbhava (kelahiran kembali) menjelma menjadi makhluk tertentu. Dalam ajaran Buddha terdapat perbedaan antara Yang Sakral dan Yang Profan dengan berdasarkan moral seperti pernyataan Durkheim. Akan tetapi tidak sepenuhnya benar. Ajaran Buddha setuju jika Yang Profan dan Yang Sakral kedua- duanya ada yang baik dan ada yang buruk. Ada dewa yang baik seperti Dewa Sakka, dan ada dewa-dewa yang jahat penghuni surga Paranimitta Vassavatti. Contoh Yang Profan jika praktek bersedekah dilakukan dengan ketulusan dan kerelaan maka nilainya menjadi tinggi. Yang Sakral bentuk negatif contohnya terlalu melekat kepada agama Buddha, seharusnya menjadi orang intoleran padahal seharusnya menjadi orang toleran dan sebagainya. Sang Buddha juga menyetujui bahwa Yang Sakral dan Yang Profan seolah-olah ada batas diantara keduanya, dan memiliki wilayah masing- masing serta mereka bisa berdampingan dan terhubung dengan dilandasi kebutuhan. Namun, jika Yang Sakral dalam arti absolut maka dalam agama Buddha berbicara tentang Nibbana atau keadaan tanpa syarat.