Anda di halaman 1dari 10

YANG KUDUS DAN YANG PROFAN DALAM AGAMA

A. Pendahuluan
Sejarah mencatat kehidupan manusia yang religius, dimana erat kaitannya
dengan Sang Pencipta Alam Semesta yang dianggap mempunyai kekuatan untuk
menguasai segalanya. Sesuatu yang mempunyai kekuatan besar inilah yang
kemudian disakralkan atau di kuduskan, karena membawa pengaruh dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk religius. Sesuatu yang kudus tersebut
ditempatkan pada tempat yang penting agar manusia dapat memujanya. Tidak
hanya tempat, bahkan waktupun memiliki andil dalam pemujaan yang kudus dan
karena kekudusanya itulah maka tidak boleh dilakukan sembarangan dalam waktu
pemujaannya. Biasanya pemujaan pada yang sakral atau kudus terjadi pada
masyarakat primitif. Lain halnya dengan masyarakan modern yang lebih
mengedepankan sesuatu yang tidak dianggap sakral, dan sesuatu itu lebih sering
disebut dengan yang profan, yang umumnya terjadi pada masyarakat non-religius.
Mereka mengingkari terhadap adanya sesuatu yang sakral, sesuatu yang
transenden adalah kebohongan belaka, tidak adanya komunikasi dengan Ilahi
membuat mereka terasingkan dalam dunianya dan mengalami kehampaan dalam
hatinya. Baginya ruang dan waktu itu sama saja (profan) tidak ada pembedaan.
Mereka tidak mengakui adanya kekuatan diluar dirinya. Sekat yang membagi
kedua model pengalaman kudus dan profan akan jelas kelihatan ketika kita sampai
pada deskripsi atau pembahasan mengenai yang kudus dan yang profan.

B. Pengertian
Dalam pengertian luas, yang kudus adalah sesuatu yang terlindung dari
pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang
dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai.1 Dalam pengertian sempit, yang
kudus adalah sesuatu yang dilindungi, khususnya oleh agama, terhadap
pelanggaran, pengacauan, atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci,
keramat. Hal ini kebalikan dengan yang profan. Yang profan adalah sesuatu yang
biasa, umum, tidak dikuduskan, bersifat sementara, pendek kata yang profan
adalah sesuatu yang ada diluar yang religius.
Dalam buku Fenomenologi Agama karangan Dhavamony, Emile
Durkheim berpendapat bahwa hal-hal yang kudus adalah hal-hal yang dilindungi
dan disendirikan oleh larangan-larangan; hal-hal profan adalah hal-hal yang
dikenai larangan-larangan itu dan harus berada jauh dari yang pertama.
Kepercayaan religius adalah yang menyatakan kodrat dari hal-hal yang kudus dan
hubungan-hubungan yang mereka dukung, baik antar mereka sendiri maupun
dengan hal-hal yang profan.2
Dalam buku Sakral dan Profan karya Mircea Eliade, Yang kudus dapat
juga dikatakan sebagai sesuatu yang sakral. Manusia menjadi sadar akan
keberadaan yang sakral karena sakral memanifestasikan atau menunjukkan
dirinya sebagai suatu yang berbeda dari yang profan. Dalam buku tersebut, sakral
1Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta : Kanisius, 1995),
hal 87.
2 Ibid.

ditunjukkan dalam kata hierophany yakni tidak menunjukkan sesuatu yang lain.
Dari hierophany yang paling dasar, misalnya manifestasi sakral dalam beberapa
objek keseharian, sebuah batu atau pohon hingga hierophany yang tertinggi
misalnya, bagi orang kristen adalah penjelmaan Tuhan dalam Yesus Kristus.
Dalam kasus ini, kita dihadapkan pada misteri yang secara keseluruhan berbeda
tingkatannya, sebuah realitas yang tidak dipunyai dunia kita, dalam obyek yang
merupakan bagian integral dunia profan alami kita.3 Hierophany dapat diartikan
sebagai suatu perwujudan atau penampakan diri dari yang sakral. Yang sakral,
sebagai realitas dari tata tertib yang senantiasa berbeda dari realitas alam nyata ini,
selalu menampakkan dirinya.4
Orang Barat modern mengalami kesulitan dalam menghadapi manifestasi
yang sakral, bagi orang primitif yang sakral dapat diwujudkan dalam bebatuan
atau pepohonan. Pohon sakral, batu sakral tidak disembah sebagai pohon atau
batu melainkan mereka disembah karena mereka hierophany, karena mereka
menunjukkan sesuatu yang tidak lagi batu atau pohon tetapi sakral. 5 Dan
merupakan penampakan dari yang suci. Bagi orang yang mempunyai pengalaman
religius, setiap benda memiliki kemampuan untuk menjadi perwujudan kesakralan
kosmik. Bahkan kosmos ini, dalam keseluruhannya, dapat menjadi hierophany.

3Mircea Eliade, Sakral dan Profan, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2002), hal
3-4.
4Zakiyah Daradjat, Perbandingan Agama, (Jakarta : Bumi Asia, 1996), hal 160.
5 Mircea Eliade, Sakral...hal. 4

Bagi manusia religius, ruang tidaklah homogen tetapi mengalami interupsi


(perubahan di dalamnya), ada beberapa bagian ruang yang berbeda secara
kualitatif dari yang lainnya, dan ini dinamakan ruang yang sakral. Sedangkan
dalam pengalaman profan, ruang adalah homogen dan netral; tidak ada perbedaan
kualitatif yang membedakan antara satu bagian dengan yang lain.6
Yang sakral identik dengan Ada (being). Kekuatan sakral berarti realitas
dan pada saat yang sama keabadian dan efektivitas tindakan (efficacity). Oposisi
profan sakral sering ditunjukkan sebagai oposisi antara yang nyata dan tidak nyata
atau palsu. (tentu saja kita tidak bisa berharap menemukan dalam bahasa-bahasa
kuno adanya istilah yang merujuk pada konsep filosofis ini, nyata-tidak nyata, dan
sebagainya; tapi kita menemukan halnya). Sehingga tidak sulit memahami, adanya
keinginan mendalam manusia religius untuk menjadi (to be), untuk berpartisipasi
dalam realitas, untuk memiliki kekuatan.7

C. Konsep yang Kudus dan yang Profan Dari Berbagai Sudut Pandang
Dari penjelasan pengertian diatas, konsep yang kudus dan yang profan
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, diantaranya sebagai berikut:8
1. Yang Kudus Pada Bangsa Primitif
Manusia yang hidup dalam masyarakat arkais (archaic) cenderung untuk
hidup sebisa mungkin dalam kesakralan atau dekat dengan objek suci. Bagi orang
6 Ibid. Hal 13-15
7 Mircea Eliade, Sakral...hal. 6
8 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi... hal. 88

primitif atau pra-modern, kesakralan sama artinya dengan kekuasaan atau


kekuatan.9 Mengamati suatu ritus yang sedang berlangsung, untuk melihat ciri-ciri
Yang Kudus menyatakan diri dan kita dapat menangkap arti Yang Kudus. Dalam
upacara-upacara ritual Tipokia, perempuan-perempuan Tipokia harus menganyam
tikar-tikar suci yang menjadi persembahan dan menghiasi kuil. Dan dalam proses
penganyaman tersebut haruslah memenuhi syarat sebagai berikut: Para perempuan
harus mengarahkan punggungnya ke pantai, bukan ke danau; para perempuan
tidak boleh berbicara satu dengan yang lain bahkan laki-laki juga tidak boleh
berbicara dengan mereka; para pekerja juga tidak boleh didekati siapapun.
Sebenarnya kegiatan menganyam adalah hal biasa dan ini disebut dengan
profan, tidak membutuhkan perhatian istimewa dan dikerjakan tanpa adanya
larangan khusus. Namun jika dilihat dari segi ini, kegiatan ini bukanlah sesuatu
yang kebetulan akan tetapi merupakan bagian dari sebuah upacara ritual. Tikartikar itu dimaksudkan sebagai perlengkapan kuil untuk menghormati dewa-dewa.
Ciri-ciri Yang Kudus dapat ditemukan pada larangan-larangan yang berhubungan
dengan proses kegiatan tersebut.
Robert H. Lowis menyatakan struktur umum dari pengertian Yang Kudus
pada suku-suku primitif yaitu dicirikan oleh suatu rasa luar biasa, misterius, atau
adikodrati; dan jawaban religiusnya adalah rasa kagum dan terpesona; dan
sumbernya ada dalam yang adikodrati, luar biasa, mengerikan, kudus, suci, Ilahi.
2. Konsep Yang Kudus dalam Hindu

9 Mircea Eliade, Sakral...hal. 5-6

Bagi orang Hindu, Yang Kudus ada dalam veda (pengetahuan suci,
kebijakan suci yang terutama terkandung dalam kumpulan teks yang merupakan
wahyu), brahman (formula suci, realitas suci) dipakai untuk menandai yang abadi
sebab dia mengatasi ruang dan waktu namun menampakkan diri dalam dunia yang
fenomenal atau profan, dharma (hukum suci, kewajiban suci), dan moksha
(keadaan pembebasan dimana semua ketidaktahuan dengan ikatan-ikatannya
dihancurkan, dan kebenaran kekal bersinar tanpa terhalangi).
Singkatnya, bagi Hinduisme, yang kudus mencirikan pencarian manusia
terhadap yang nyata, terang, dan yang imortal, baik dalam dirinya sendiri maupun
dunia sekitarnya. Misalnya, orang Hindu menghormati dan menyucikan lembu.
Lembu yang disucikan oleh orang Hindu, sama saja dengan lembu yang lain. Dan
anggapan itu hanya terletak pada pemeluknya saja yang menyebabkan munculnya
perbedaan pendapat.
3. Konsep tentang Yang Kudus pada Buddha
Cita-cita religius Buddha adalah pembebasan dari perbudakan dan
kelahiran kembali, dari kematian dan derita, untuk memperoleh kedamaian dan
kesadaran dalam nirvana. Kehidupan di bumi hanyalah suatu ketertiban untuk
mengatur sikap seseorang terhadap kondisi-kondisi sekarang.
Menurut Buddhisme, keberadaan fenomenal (profan) mempunyai tiga ciri:
tidak kekal, sementara atau tidak menetap (anicca); penuh penderitaan dan
kesedihan (dukkha); dan tidak substansial (anatta). Sedangkan yang kudus adalah
sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dibuat, tidak dijadikan atau tidak disusun, bisa
dicapai melalui meditasi pada tingkat paling akhir dan lewat ketenangan batin.
4. Konsep tentang Yang Kudus pada Agama Cina

Pengalaman tentang yang kudus dalam agama Cina Kuno adalah tentang
dewa tertinggi Tien yang merupakan Tuhan personal yang ada dipuncak
pimpinan dari struktur hirarkis dunia supernatural dan suci. Dulu raja-raja
menerima dan memegang perintah dari Tien melalui Te. Te berarti kekuatan
yang perlu dimiliki oleh dewa-dewa dan beberapa orang yang sudah memperoleh
dengan cara yang istimewa. Sedangkan Tao adalah jalan yang harus ditempuh
seseorang untuk mencapai tujuan yang diatur oleh surga.
5. Konsep tentang Yang Kudus dari Israel
Kata pokok dalam Perjanjian Baru untuk sifat yang kudus secara khusus
atau yang ilahi dari Yahweh adalah kesucian. Dalam kitab sucinya menjelaskan
tentang kedekatan yang menakutkan dan imanensi kesucian Yahweh Yang
Transenden. Yahweh sangat memperhatikan Israel dan kesucian-Nya yakni dalam
sumber kekuatan keberanian dan kepercayaan Israel.
6. Konsep tentang Yang Kudus pada Islam
Yang kudus dalam pengalaman religius orang Islam digambarkan sebagai
Yang Paling Berkuasa dari antara ilah, Allah Yang Maha Kuasa dari mana
manusia menerima seluruh keberadaannya dan kepada siapa manusia tergantung
sepenuhnya.10
7. Waktu Suci
Manusia religius sadar akan adanya perbedaan antara waktu suci, waktu
perayaan (yang biasanya terjadi secara periodik), dan jangka waktu biasa di mana
berlangsungnya peristiwa tanpa ada arti religius yang khusus. Sebagaimana
dinyatakan Godfrey, bahwa kegiatan orang tidak diatur oleh jam waktu atau suatu
tanggalan khusus dalam kalender, semua itu tidak ada artinya bagi mereka yang

10 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi... hal. 98

menanti hujan untuk memulai pengolahan tanah. Yang penting adalah peristiwa
itu sendiri, misalnya turunnya hujan, pertambahan panenan, periode panenan.
8. Kosmos Suci
Pandangan-pandangan kosmologis manusia religius tidaklah sembarangan
atau dangkal. Mereka memperlihatkan orientasi kehidupan, pengandaianpengandaian dan cara-cara untuk menafsirkan eksistensi, suatu pandangan dunia
yang membentuk pandangan manusiatentang dirinya dan tentang tempatnya
dalam kosmos.11
Menurut kosmologi Ashanti, ada hubungan erat antara dunia orang-orang
yang hidup dengan dunia roh. Dalam dunia roh (asaman) semua leluhur dipercaya
menjalani kehidupan kehidupan mirip dengan yang diatas bumi. Ritus-ritus
pemakaman menunjukkan kepercayaan ini, sebab bagi yang mati diberikan
makanan, minuman, dan emas urai untuk membantu mereka di jalan menuju
dunia roh.12

D. Kesimpulan
Walaupun dilihat dari berbagai konsep yang berbeda, yang kudus dan yang
profan tetap dapat dikatakan bahwa Yang profan adalah wilayah urusan setiap
hari (hal-hal yang biasa, tidak disengaja, dan pada umumnya tidak penting). Yang
sakral adalah sebaliknya. Ia adalah wilayah super-natural, hal-hal yang luar biasa,
mengesankan, dan penting. Sementara yang profan adalah yang menghilang dan
mudah pecah, penuh bayang-bayang, maka yang sakral adalah yang abadi penuh
11 Ibid. 114.
12 Ibid. 115.

dengan substansi dan realitas. Yang profan adalah arena urusan manusia, yang
dapat berubah-ubah dan sering kacau; yang sakral adalah wilayah keteraturan dan
kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan, dan dewa. Dimanapun kita
memandang suku-suku purba, agama dimulai dari pemisahan yang fundamental
ini.13
Mengenai waktu kapan yang profan dan yang kudus digunakan itu tidak
dapat dipatokkan pada jam ataupun kalender, karena waktu tersebut ditentukan
dengan adanya peristiwa-peristiwa yang profan dan yang kudus itu terjadi.

13 Daniel L.Pals, Seven Theories of Religion, (Yogyakarta : Qalam, 1996), hal


275.

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah. Perbandingan Agama. Jakarta : Bumi Aksara. 1996.


Dhafamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius. 1995.
Eliade, Mercea. Sakral dan Profan. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru. 2002.
Pals, Daniel L.. Seven Theories of Religion. Yogyakarta : Qalam. 1996.

10

Anda mungkin juga menyukai