Anda di halaman 1dari 7

Nama : Wahyu Widhianto A Pengampu : Wawaysadhya, M.

Phil

NIM : 1804016054 Mata Kuliah : Filsafat Modern

JACQUES DERRIDA

Saya memilih tokoh Jacques Derrida, karena dialah filsuf Post-Struktualis yang dalam
hal teori sya sangat sulit tuk memahami teori dekostruksi, difference, dan metafisika-nya
Derrida sera yang paling menakjubkan dari sosok Derrida menurutku adalah dalam hal
Hermeneutikanya, bagaimana ia sangat ajaib dalam memahami dan memaknai sebuah teks,
maka dari itu pemikirannya disebut-sebut merujuk pada Post-Struktualis Linguistik. Maka
dari itu, saya akan menuliskan apa yang saya ketahui tentang Derrida dalam Paper ini yang
semoga untuk selanjutnya dapat dijelaskan lebih lanjut oleh Dosen pengajar.

Pemikiran Derrida sangat menarik untuk di ulas, tulisan-tulisan Derrida seringkali


berupa pembacaan ulang terhadap salah satu teks yang cukup berpengaruh di dalam sejarah
filsafat. Pemikirannya bisa mengubah pemahaman kita tentang teks-teks yang ia baca. Di
tangan Derrida teks-teks kuno diubahnya menjadi suatu teks yang menyegarkan dan penuh
pemahaman baru yang sebelumnya tak terpikirkan. Dengan mempelajari pemikiran Derrida
terutama dekontruksinya, kita dapat membongkar teks, dan membuka kemungkinan –
kemungkinan baru yang belum terfikirkan, yang bisa menciptakan gempa di dalam teks.
Dekontruksinya yang hingga detik ini masih memicu kontraversi dan perdebatan hangat di
kalangan akademisi dan teoretisi. Dekontruksi bukanlah teori biasa yang dengan mudah di
petakan ke dalam sebuah definisi bahkan dekontruksi sendiri cenderung menghindari definisi
apapun sehingga ia sama sekali tak bisa di definisikan dan terbuka terhadap berbagai
penafsiran1. Bagi Derrida teks adalah sesuatu yang tak terbandingkan yang unik,
memancarkan bayang-bayang yang menghantui totalitas makna yang berhasrat
menakhlukkan, menguasai, dan menundukkan berbagai ikhwal.

Derrida ingin menunjukkan bahwa tak ada makna yang stabil dalam teks,sebuah teks
selalu di tandai oleh dinamika terus-menerus yang tidak mungkin di stabilkan ke dalam satu
tafsiran tunggal. Metodenya yang juga “anti metode” adalah dengan mendekontruksi

1
Muhammad Al Fayald, Derrida, (Yogyakarta : LKiS, 2005), hlm 1
pengandaian-pengandaian yang paten dalam teks dan memperlihatkan kompleksitas
penafsiran yang mungkin di amati dari teks. Mungkin karena itu pembacaan Derrida tidak
pernah mengenal kata akhir, filsafatnya di mulai dengan pertanyaan dan di akhiri dengan
pertanyaan. Derrida juga memulai filsafatnya dengan sebuah kecurigaan akan makna dan
asumsi-asumsi metafisik dalam teks.ia mencurigai hal-hal yang tersembunyi dari teks dan
mencari logika permainan yang dikangkangi oleh kuasa penafsiran. Pemikiran Derrida lebih
menekankan pada detil-detil kecil yang sebelumnya tidak di perhatikan bahkan satu kalimat
kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa mengubah makna keseluruhan teks. Misalkan teks
atau tulisan tentang percakapan dua sahabat lawan jenis yang berbunyi “pakai motor itu ya”
bisa bermakna lain jika di taruh satu huruf di dalam teks itu jadi “pakai motor itu yah”
maknanya menjadi berubah seolah-olah berdialog dengan sang pasangan.

Biografi

Ketika saya membaca biografinya, disini saya sudah dikejutkan oleh tulisan dari guru
filsafat Indonesia yakni Muhammad al-Fayyadl, dalam bukunya ”Derrida” ia menuliskan
perkataan Derrida ketika dalam wawancara di LA Weekly, Haruskah seorang filsuf menulis
biografi? Sepertiitulah pertanyaan yang membuatku terkejut yang memang Derrida memiliki
pemikiran yang mana orang lain belum memikirkan sebelumnya. Derrida memang menolak
untuk menulis sebuah autobiografi utuh tentang dirinya. Dia beralasan bahwa seorang filsuf
harus lebih mementingkan karya dan pemikirannya ketimbang kisah hidupnya.meskipun
begitu kita bias melihat penggalan kisah hidupnya dari beberapa memori yang pernah
ditulisnya seperti “the postcart : from Socrates to freud and beyond”.

Jacques Derrida, adalah maitre-assistant bidang filsafat di Ecole Normale Superieure,


Paris. Dia lahir pada tahun 1930, dari keluarga Yahudi Sephardic di Aljazair. Pada usia 19
tahun dia kuliah ke Prancis, dan pada tahun 1956-1957 dia memperoleh beasiswa untuk
belajar di Hardvard.2

Sejak 1952 pada umur 22 tahun, Derrida resmi belajar di Ecole Normal
Superiuere (ENS), sekolah yang dikelola oleh filsuf terkenal dari Prancis seperti Michel
Foucault, Louis Althusser, dan sejumlah filsuf lainnya. Setelah lulus, Derrida sempat belajar

2
Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pemikiran Jacques Derrida : Sebuah Pengantar, terj. Inyiak
Ridwan Muzir. (Yogyakarta : Penerbit Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia, 2003), hlm.9
di Husserl Archive, salah satu pusat studi fenomenologi di Louvian, Prancis. Selepas itu pada
tahun 1960, Derrida mengajar di Universitas Sorbonne. Empat tahun selanjutnya sejak 1964
sampai 1984 dia mengajar di ENS. Beliau mengajar Bahasa Prancis dan Inggris kepada anak-
anak tentara di Aljazair. Pada 1960 Derrida dipanggil untuk mengajar filsafat di universitas
sarbonne. Empat tahun berikutnya sejak 1964-1984 derrida mengajar di ENS.

Sejak 1974 Derrida aktif dalam kegiatan himpunan dosen filasafat yang
memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah 3 yang
dimana saat ini organisasi Lingkar Mahasiswa Filsafat Indonesia (LIMFISA) yang diketuai
oleh Muhammad Afif al Ayuubi juga memiliki program mewujudkan impian Derrida
tersebut.

Di tahun 1986 derrida secara resmi di angkat sebagai Guru Besar humaniora di
Universitas California. Universitas ini hingga kini tercatat sebagai satu-satunya perguruan
tinggi yang memiliki koleksi lengkap tulisa-tulisan Derrida. Di tahun itu juga Derrida
berturut-turut menerima gelar doctor kehormatan dari Universitas Louvan dan William
Collage Pada tahun 2001 Derrida menerima anugrah adorno di Jerman.sayangnya di tahun
2003 Derrida harus mengurangi acaranya yang padat kerena beliau menderita kanker hati.
Dan pada tanggal 9 Oktober 2004, dunia kehilangan sosok Derrida karena sakit yang
dideritanya.

Pemikiran

Derrida dan Postmodernisme

Derrida hidup di zaman post-modern dimana adalah suatu fase setelah modern yang
secara garis besar kritik terhadap teori modern (kritik modernitas). Istilah postmodernisme
muncul untuk pertama kalinya di wilayah seni, kemudian Ihab Hassan muncul menerapkan
postmodernisme dalam ranah arsitektur, Frederick Jameson dalam wilayah kebudayaan, dan
sampai pada bidang filsafat yang diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya
The Postmodern Condition : A Report an Knowledge, yang dalam bahasa Inggris terbit pada
tahun 1984 dan sejak itu menjadi local classius untuk diskusi-diskusi tentang
postmodernisme di bidang filsafat kini.4

3
Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm.121
4
Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta : Kalimedia, 2015), hlm.152
Pemikiran Lyotard di situ umum tentang pengetahuan di abad ilmiah ini, khususnya
tentang cara ilmu dibenarkan yang disebutnya sebagai “narasi besar” yang katanya dapat
menjadikan suatu kebenaran namun kini nasibnya sudah sama dengan narasi-narasi besar
sebelumnya seperti Religi, kenegaraan, kebenaran, struktur, dan sebagainya yang akhirnya
mengakibatkan permainan bahasa merajalela.

Postmodernisme pertama-tama di tandai oleh hilangnya kepercayaan terhadap proyek-


proyek modernisasi karena modernism yang ditandai oleh kepercayaan penuh pada sains-
teknologi dan pola hidup sekuler ternyata tidak cukup kokoh untuk menopang era
industrialisasi yang dikampanyekan dapat membawa kesejahteraan dalam kehidupan
masyarakat.5

Di kalangan ilmuwan sendiri sebetulnya masih menjadi perdebatan mengenai


pengertian postmodernisme dan batas-batasnya, namun secara umum bisa dikemukakan
bahwa postmodernisme merupakan reaksi dan kritik terhadap keseluruhan proyek modernism
di barat. Maka, postmodernisme dirumuskan sebagai periode apapun itu didelegitimasikan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa postmodern adalah kritik modernitas (narasi besar) dengan
merajuk kembali pola-pola berfikir pra modern meskipun tidak dalam artian primitive, segala
bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan metafisika pada umumnya namun tanpa
menolaknya secara total, serta teori dekonstruksi yang diperkenalkan Heideger. Mereka
merelatifkan dan bahkan menihilkan segala unsur penting yang membentuk pandangan dunia
seperti diri,Tuhan, tujuan, makna,dunia nyata, metafisika dan lain seterusnya.

Dekonstruksi

Dekonstruksi Derrida adalah bentuk upaya untuk memberdayakan pemaknaan tersirat


– logika yang cenderung dilupakan dari sebuah teks. Tulisan-tulisan Derrida selalu
menyuntikkan rangsangan tersendiri untuk mempermainkan teks. Dissemination menyajikan
sebuah strategi unik yang memperlihatkan betapa kita nyaris tidak mungkin menangkap
makna kecuali jika kita benar-benar memanfaatkan teks sebagai arena permainan yang terus
menerus ditransformasi dengan mensubtitusi penanda-penanda lama dengan penanda-
penanda baru. Dengan mempermainkan tanda maka tanda atau referensi yang hendak
disimpulkan dari sebuah teks dengan sendirinya tertunda. Operasi teks dan diseminasi tanda
adalah konsekuensi langsung dari pembacaan dekonstruktif.

5
Emanuel Subangun, Syurga Derrida, (Yogyakarta : CRI Alocita, 1994), hlm. 27-28
Apa itu dekonstruksi? Menurut Barbara Johnson dekonstruksi adalah strategi
mengenai teks. Istilah dekonstruksi sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian
etimologis dari kata “analisis” yang berarti mengurai, melepaskan, membuka. Kedekatan
etimologis ini menunjukkan bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai strategi
mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks ketimbang operasi yang merusak teks
itu sendiri. Karena itu jika sebuah teks didekonstruksi,yang dihancurkan bukanlah makna
tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar ketimbang pemaknaan
lain yang berbeda.

Dekonstruksi bisa dikatakan salah satu bentuk strategi linear terhadap teks-teks
filsafat, selama ini ada kesenjangan antara teks filsafat dan teks sastra, teks filsafat
merepresentasikan kebenaran dengan Bahasa rigoris yang di sajikan dengan bentuk logis,
sistematis, dan komprehensif. Dekonstruksi merupakan istilah yang sangat kuat untuk
menjelaskan gagasan post-struktualisme.6 Derrida menunjukkan bahasa dan symbol lain
dalam teks tidaklah stabil, maka dari itu menurut Derrida teks selalu mengalami perubahan
makna tergantung pada koneks dan pembacanya (Hermeneutika Subjektif).

Sementara itu potensi akan kebenaran yang absolut hampir sulit ditemukan dalam teks
sastra karena disini makna tekstual diproduksi dalam berbagai tingkat hubungan yang kerap
kali ambigu dan tidak berpusat pada satu kutub penafsiran saja.

Emansipasi teks

Dekonstruksi sebagai sebuah proyek emansipasi teks dan tanda. Menandai lahirnya
dua hal yang bagi Derrida merupakan karakteristik penting dari lahirnya modernistas. Sebuah
buku yang dirangkai secara sistematis dan disajikan sebagai sebuah kesatupaduan yang
komprehensif tetaplah terdiri atas huruf-huruf, aksara-aksara, dan juga angka-angka.

Di dalam huruf yang tampak bisu dan diam itu tersembunyi kekuatan yang tak
mungkin selamanya dirangkum ke dalam totalitas. Sebuah huruf yang merapat diantara
barisan kata-kata terkadang menyuarakan sesuatu yang lain semacam enigma yang tak
terselam tapi memikat dan barangkali juga tak terlalu mudah untuk dijinakkan.

Dekonstruksi bermula dari huruf. Kita telah melihat bagaimana Derrida memanipulasi
huruf A pada differance untuk memperlibatkan betapa ambigunya sebuah kata yang tampak

6
Fauzan Adhim, Filsafat Islam : Sebuah Wacana Kefilsafatan Klasik Hingga Kontemporer, (Malang :
Literasi Nusantara, 2018), hlm.156.
tunggal dan sederhana. Sebuah huruf yang tampak tersisih ternyata dapat dijadikan strategi
tekstual untuk merombak bangunan metafisika yang dari jauh kelihatan megah dan tegak
menjulang. Dekonstruksi adalah sesuatu upaya untuk memahami teks, baik teks literatur
ataupun realitas itu sendiri lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru.
Dekonstruksi bisa mengubah dan menggoyang kepastian makna teks. Yang terpenting di
dalam teks adalah menemukan apa yang tak terkatakan dan kemudian mengolahnya menjadi
suatu pemaknaan yang baru.

Ringkasan pemikiran Derrida dalam buku “Kamus Filsuf Barat” karya Ali Mudhofir
adalah :

1. Metafisika : Ada Sebagai Kehadiran


2. Tanda sebagai bekas (Trace)
3. Jaringan tanda disebut teks
4. Filsafat adalah Ilmu tentang tulisan (Grammatologi)
5. Pemikiran tentang Difference (pemikirannya yang paling luar biasa)

Yang saya tangkap dari pemikiran Derrida adalah bahwa makna dalam tiap teks adalah
dinamis dan cenderung subjektif. Dinamis karena menurut Derrida dalam memahami teks
harus dapat disesuaikan dengan konteks saat teks itu dimaknai. Bersifat subjektif karena
menurut Derridateks-teks dipahami berdasar apa yang dimiliki, apa yang dilihat dan apa yang
diperoleh.

Tanda lebih dahulu daripada kehadiran. Adanya kehadiran karena adanya tanda. Adanya
dinosaurus karena ditemukannya tanda yang menandai adanya dinosaurus. Adanya seseorang
yang berjalan menuju sungai karena ada tanda yang menjadi bukti adanya orang yang menuju
ke sungai. Jadi, menurut Derrida antara bekas dan kehadiran lebih dahulu bekas. Masa lalu
dan Masa sekarang lebih dahulu masa sekarang. Karena kita tidak akan tahu masa lalu karena
adanya masa sekarang.

Aplikasi Teori

Pemikiran Derrida dapat diaplikasikan dalam hal penafsiran teks secara kontekstual.
Contoh dalam islam ialah Tafsir bil Ra’yi. Dan juga dapat diaplikasikan ketika kita akan
mencari solusi dari suatu masalah melalui teks secara subjektif karena dibutuhkan segera dan
darurat.
Daftar Pustaka

Asyhadie, Nuruddin. 2004. Hamparan Hamparan Grammatologi Derrida. Yogyakarta :


LKiS Yogyakarta.
Muzairi, 2015. Filsafat Umum. Yogyakarta : Kalimedia.
Spivak, Gayatri Chakravorty. 2003. Membaca Pemikiran Jacques Derrida : Sebuah
Pengantar. Yogyakarta : Penerbit Ar-Ruzz Khazanah Pustaka Indonesia.
Mudhofir, Ali. 2001. Kamus Filsuf Barat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Al-fayyald, Muhammad.2005. Derrida. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.

Norris, Christopper. 2008. Membongkar Teori Decontruksi Jacques Derrida. Yogyakarta :


Ar-ruzz Khazanah Pustaka Indonesia.

Subangun, Emanuel. 1994. Syuga Derrida. Yogyakarta : CRI alocita.

Anda mungkin juga menyukai