Anda di halaman 1dari 98

book

Penulis
Chuang

Penyunting
Handaka Vijjānanda

Penggambar Sampul
Alvina Swarnadhītā
Andreas Dīpaloka

Penata
Vidi Dayasati

Penerbit
Ehipassiko Foundation

Copyright ©2012 Chuang


Cetakan 1, Okt 2012
Cetakan 2, Feb 2013

Pusat Pelayanan
Ehipassiko Foundation
085888503388 | BB 29DFC495
ehipassikofoundation@gmail.com
www.ehipassiko.or.id
_____________________________________________

Dengan mendanai buku ini, Anda membantu


kelangsungan perjuangan penerbit dalam
menyediakan buku Dharma di Indonesia.
Derma dapat disalurkan melalui:
BCA 4900333833 Yayasan Ehipassiko
Aku tahu seseorang yang suatu kali berkata,
“Kematian tersenyum kepada kita semua;
yang bisa kita lakukan hanyalah balas tersenyum kepadanya.”
~ Maximus, dari film Gladiator

I knew a man who once said,


“Death smiles at us all;
all a man can do is smile back.”
~ Maximus, from the movie Gladiator

Untuk semua
yang sudah dan pasti akan “pindah alamat”
ke alam atau kehidupan berikutnya.
Dan terutama,
untuk Almarhumah Mamaku,
semoga senantiasa bahagia
di mana pun kini berada.
4 Mati Itu Pasti

Syahdan pada masa kehidupan Buddha, terdapatlah seorang


perempuan muda bernama Kisa Gotami. Setelah beberapa
lama menikah dia akhirnya hamil, dan pada waktunya lahirlah
seorang bayi lelaki yang sehat. Tapi mendadak pada suatu hari,
begitu anak itu mulai akan belajar berjalan, anak itu terserang
penyakit yang menyebabkan kematiannya.

Kisa Gotami amat sedih. Dia menolak menerima kenyataan


bahwa anak yang sangat dikasihinya itu telah mati. Dengan
mendekap mayat bayinya, Kisa Gotami pergi berkeliling kota
untuk mencari obat agar anaknya bisa “sembuh” kembali. Setiap
orang di kota menganggap Kisa Gotami telah gila. Namun
ada seorang baik hati yang bersimpati padanya. Orang itu
menyarankan Kisa Gotami pergi menghadap Buddha karena
hanya Buddha satu-satunya orang yang bisa memberikan obat
bagi anaknya.

Tanpa membuang waktu, Kisa Gotami bergegas pergi


menghadap Buddha. Sesampainya di hadapan Buddha,
dengan bercucuran air mata Kisa Gotami memohon Buddha
untuk menyembuhkan anaknya. Buddha mengetahui bahwa
keadaan batin Kisa Gotami tak siap menerima penjelasan apa
pun mengenai hakikat kehidupan dan kematian. Karena itu,
Buddha menyanggupi permohonan dengan meminta Kisa
Gotami mencari segenggam biji sesawi dengan syarat biji-biji
itu berasal dari rumah tangga yang belum pernah mengalami
kematian anggota keluarganya.

Dengan harapan yang membubung tinggi, Kisa Gotami pergi


dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu untuk memperoleh
sengenggam biji sesawi yang diminta Buddha. Tapi setiap
kalinya, meskipun orang-orang dengan senang hati bersedia
memberikan segenggam biji sesawi, Kisa Gotami tak dapat
5 Mati Itu Pasti

menerima pemberian itu sebab biji-biji itu selalu berasal dari


rumah tangga yang pernah mengalami kematian satu atau
lebih anggota keluarganya.

Pada akhirnya, seiring makin lanjutnya proses pencarian


segenggam biji sesawi itu, perlahan-lahan Kisa Gotami mulai
menyadari bahwa kematian bukan hanya milik satu orang.
Kematian adalah kenyataan tak terelakkan bagi semua yang
hidup, bahwa kehidupan selalu berdampingan dengan
kematian. Dan dengan pemahaman itu dia pun terbebas dari
dukacita atas kematian anak satu-satunya.
Senarai Isi

Apakah Kematian Itu? 8


Mengapa Kita Harus Mati? 13
Kehidupan Setelah Kematian 18
Mitos Seputar Kematian 20
Mati Itu Pasti 23
Mempersiapkan Diri Menghadapi kematian 34
Persiapan Spiritual 38
Perenungan Kerap 39
Melatih Diri Dalam Moralitas, Meditasi, 45
dan Kebijaksanaan
Mengembangkan Cinta Kasih 56
Menemukan Makna Hidup 61
Persiapan Duniawi 63
Surat Wasiat 63
Asuransi Jiwa 65
Membantu yang Lain Siap 75
Serbaneka 80
Eutanasia 80
Bunuh Diri 82
Donor Jenazah dan Organ 84
Fakta Unik Tentang Kematian 86
Humor Kematian 87
Ungkapan Ungkapan Bijak Tentang Kematian 92
Bacaan 94
Profil Penulis 96
Apakah Kematian Itu?

P ada sebagian besar kebudayaan di dunia, kematian dianggap


sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, yang diratapi
dengan tangisan dan kesedihan. Beberapa kebudayaan
yang dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan tertentu juga
menganggap bila suatu keluarga sedang mengalami kematian
salah satu anggotanya, maka keluarga itu dianggap berada
dalam status “tidak suci” atau “sial” dan harus dijauhkan dari
segala upacara yang menyangkut agama sampai batas waktu
tertentu atau ketika suatu ritual“pembersihan”telah dilaksanakan
untuk mengembalikan keadaan kembali “normal”. Jadi, selain
menakutkan, kematian pun dianggap sebagai sesuatu yang
“sial” atau “kotor”.

Sikap dan cara pandang seperti ini membuat kematian menjadi


sesuatu yang harus dijauhi sebisa-bisanya dari kehidupan,
dibenci, tidak menguntungkan. Orang-orang menyembunyikan
pekuburan di pinggiran kota dengan harapan tidak akan sering
melintasinya, dan jenazah mendiang dirias sedemikian rupa
hingga bisa jadi kita mengira itu bukanlah orang mati, melainkan
hanya sedang tertidur pulas. Pembicaraan tentang kematian pun
sering dianggap sama tabunya dengan membicarakan tentang
seks atau pornografi.

Sesungguhnya jika saja kita bersedia merenung, kematian


tidaklah pantas dipandang sedemikian buruknya. Kematian pun
memiliki segi-segi positif yang dapat kita hargai bahkan syukuri.
Misalnya, dengan adanya kematian kita menjadi memiliki suatu
perasaan kemendesakan untuk tidak menyia-nyiakan kehidupan
9 Apakah Kematian Itu?

ini. Dan menyadari bahwa cepat atau lambat semua dari kita
pasti mati menyebabkan kita sadar tak ada gunanya menyimpan
dendam, amarah, iri, dengki, dan emosi-emosi negatif lainnya.
Kematian juga sebuah penyeimbang hebat yang membuat kita
semua setara di hadapannya. Tak peduli siapa pun kita dalam
kehidupan ini, apa pun pencapaian kita, pada akhirnya kita
semua sama saja tak terelakkan menghadapi kematian. Lagi
pula, karena adanya kematianlah dimungkinkan terjadinya
pergantian generasi yang pada gilirannya membuat kehidupan
terus berputar dan kemajuan pun dapat dicapai.

Tapi bagaimanapun, pertama-tama penting untuk mencari tahu


apakah sebenarnya kematian itu yang secara awam dianggap
menakutkan dan tabu, sesuatu yang tak menguntungkan
siapa pun kecuali mungkin mereka yang bergerak di bidang
jasa pelayanan kematian?  Dengan kata lain, apakah definisi
kematian?

Itu adalah suatu pertanyaan sederhana yang kedengarannya


sangat mudah untuk dijawab. Jika seseorang tahu apa definisi
“kehidupan”, secara otomatis ia dapat mendefinisikan kematian.
Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi
kehidupan itu sendiri. Tapi dalam kenyataannya, definisi
kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh
kebanyakan orang.

Secara umum orang percaya bahwa seseorang disebut telah


meninggal dunia ketika dia berhenti bernapas. Ungkapan
lazim seperti “mengembuskan napas terakhir” untuk orang
yang meninggal dunia secara tidak langsung menggambarkan
betapa kita memandang napas sebagai sumber kehidupan.
Keyakinan seperti ini dapat dipahami mengingat bahwa bila kita
merunut ke belakang, kita akan temukan keyakinan seperti ini
10 Mati Itu Pasti

bermula dari suatu kepercayaan bahwa sang pencipta dunia dan


seisinya, ketika menciptakan manusia, mengembuskan napas
kehidupan ke apa yang sebelumnya adalah patung-patung
tanah liat berbentuk manusia.

Namun ternyata keberadaan napas sebagai penentu mati atau


hidupnya seseorang, yang sekian lama diyakini oleh banyak
orang, pada akhirnya tidak lagi mencukupi.

Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang,


manakala orang mulai bisa menciptakan alat pernapasan mekanis
(respirator), saat itu pula napas sebagai penentu mati atau hidup
mulai dipertanyakan. Karena terbukti napas berhenti bukanlah
akhir segalanya, ada respirator yang bisa menggantikannya, dan
sosok yang berabad-abad lalu pasti sudah dianggap telah mati
kini tak lagi begitu saja bisa “diwisuda” menjadi mendiang.

Karena itu, orang-orang mulai mencari rumusan kematian yang


lebih bisa diterima. Dan untuk sementara ini, secara hukum dan
medis kita menganggap seseorang telah meninggal dunia jika
dia mengalami apa yang disebut sebagai “kematian batang
otak” yang dapat dideteksi oleh suatu alat yang bernama
electroencephalograph (EEG).

Masalahnya adalah, jika pernapasan dan detak jantung


dipertahankan dengan memakai mesin atau obat-obatan,
seseorang yang mengalami mati batang otak akan tampak
hidup. Kulit orang itu mungkin terasa hangat, dadanya naik dan
turun dalam gerakan pernapasan dan denyut jantung terlihat di
monitor. Tetapi, jika tidak ada aktivitas otak yang terekam oleh
EEG, orang tersebut mati otak dan oleh karenanya secara medis
dan hukum dianggap telah meninggal dunia.
11 Apakah Kematian Itu?

Lalu, akankah pada kasus seperti itu melepas mesin penunjang


kehidupan seperti ventilator berarti sama dengan menyebabkan
kematian pada anggota keluarga kita atau dianggap tidak
memberikan seluruh harapan yang memungkinkan kepada
mereka?

Begitu seseorang mati batang otak, maka orang itu telah


meninggal dunia. Otak tidak akan pernah dapat dipulihkan
kembali. Karena si pasien telah meninggal, kita tidak dapat
membunuhnya dengan melepas mesin pernapasan. Mesin
pernapasan hanyalah menjaga paru-paru tetap bergerak dan
jantung berdenyut, yang memberi penampakan seolah-olah
orang tersebut masih hidup.

Dalam kejadian seperti itu, kita tidak semestinya mengatakan


bahwa kita akan mematikan sistem pendukung kehidupan,
karena hal itu seharusnya dikatakan sebagai kita akan mematikan
sistem pendukung kematian.

Jika uraian tersebut di atas adalah definisi kematian menurut


medis dan hukum, lalu bagaimana definisi kematian menurut
Buddhisme?

Buddhisme secara tegas menolak definisi kematian yang


merujuk pada pernapasan. Apakah ini berarti agama Buddha
mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja
otak? Jawabannya juga tidak. Definisi kematian dalam ajaran
Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari unsur-unsur
jasmaniah—entah paru-paru, jantung ataupun otak.

Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan


“gejala”, “akibat” atau “pertanda” yang tampak dari kematian, tapi
bukan kematian itu sendiri. Faktor terpenting yang menentukan
12 Mati Itu Pasti

kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup.


Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi
sebagaimana layaknya—secara alamiah ataupun melalui
bantuan peralatan medis, seseorang dapat dikatakan mati
apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya.
Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam.

Kepadaman kesadaran ajal merupakan “point of no return”


bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini. Pada unsur-unsur
jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan
hidup (jivitindriya). Inilah definisi kematian menurut pandangan
Buddhisme.

Kematian adalah cara kehidupan memberitahu


Anda bahwa Anda dipecat.
~ Penulis tak dikenal

Death is life’s way of telling you: you’re fired.


~ Unknown author
Mengapa Kita Harus Mati?

D alam keseharian hidup, kita akan menemukan orang-orang


meninggal pada semua besaran umur. Beberapa orang
meninggal persis setelah mereka dilahirkan, atau bahkan malah
sebelum dilahirkan (akibat suatu tindakan aborsi atau karena
keguguran alami). Beberapa yang lainnya masih sempat muncul
ke dunia dan membuka matanya, namun lantas “layu sebelum
berkembang”. Beberapa lainnya panjang umur sampai sukses
menjadi orang-orang T.O.P. (Tua, Ompong, Peot)  sebelum
akhirnya berangkat untuk “pindah alamat” ke alam lain. Mereka
semua meninggal karena pelbagai macam sebab yang, secara
umum, dapat diringkas menjadi tiga kelompok: penyakit,
kecelakaan atau bencana, dan usia lanjut.

Ketika kita ditanyai mengapa seseorang meninggal dunia, kita


bisa menjawab ada banyak penyebab seseorang meninggal
dunia. Pernyataan-pernyataan seperti, “Kakekku telah meninggal
dunia setahun lalu karena serangan jantung”, atau “Sepupu saya
tewas dalam kecelakaan pesawat terbang”, atau “Orang tua itu
meninggal dunia dengan tenang di tempat tidurnya karena usia
yang sudah amat lanjut”, dapat diterima sebagai pernyataan-
pernyataan yang terang jelasnya dalam pengertian kebenaran
sehari-hari di dunia kita.

Tetapi jika kita bertanya mengapa manusia HARUS mati, maka


jawabannya akan tergantung dari latar belakang keyakinan kita.

Ajaran tertentu yang meyakini adanya makhluk adikodrati


sebagai sang pencipta dan penguasa semesta mengajarkan
bahwa manusia harus mati karena sang pencipta itu menyadari
14 Mati Itu Pasti

dunia akan penuh sesak bila semua manusia tak mati-mati, dan
bahwa dunia ini bukanlah rumah sejati manusia, melainkan
hanyalah persinggahan sementara sehingga kematian itu akan
menjadi suatu perjalanan pulang menuju rumah sejati di sisi
pencipta itu. Ajaran lainnya menyatakan bahwa pada mulanya
manusia pertama ciptaan makhluk adikodrati itu hidup abadi
di surga. Tapi karena dosa yang dilakukannya, manusia itu
kemudian diusir dari surga dan jatuh ke bumi menjadi makhluk
yang fana, yang masa kehidupannya dibatasi oleh kematian.

Bagi Buddhisme, jawaban untuk pertanyaan mengapa manusia


HARUS mati amatlah sederhana namun sekaligus menohok
langsung ke ulu hati kesadaran:

KITA MATI karena KITA LAHIR!

Orang tidak mati lantaran cinta atau sakit hatinya


atau bahkan usia lanjutnya; dia mati karena dia
itu orang. ~ Percival Arland Ussher

A man does not die of love or his liver or even of old


age; he dies of being a man. ~ Percival Arland Ussher

Menurut Buddhisme, kelahiran menyebabkan kita “memiliki” lima


gugus ini yang secara ringkas disebut badan dan batin. Badan
adalah perpaduan dari unsur-unsur seperti tanah, air, api dan
angin yang membentuk pancaindra dan seluruh bagian lainnya.
Batin terdiri dari kesadaran, pencerapan, bentukan pikiran, dan
perasaan. Apa yang secara umum kita sepakati sebagai “manusia”
atau “makhluk” adalah perpaduan semua hal ini. Dan karena apa
pun yang merupakan perpaduan adalah tidak konstan, maka
15 Mengapa Kita Harus Mati?

cepat atau lambat perpaduan ini pasti akan berpisah, dan itulah
yang disebut kematian. Tanpa adanya perpaduan lima gugus ini
(lahir), maka tak ada pula perpisahan lima gugus (mati). Tanpa
kelahiran tak ada kematian. Dan keadaan tanpa kematian inilah
yang dalam Buddhisme disebut Nibbana, tujuan tertinggi umat
Buddha.

Lalu, jika kelahiran menyebabkan kematian, maka apa yang


menyebabkan kita lahir?

Menurut keyakinan ajaran lain, kelahiran manusia disebabkan


karena adanya satu sosok makhluk adikodrati yang maha
pencipta. Makhluk inilah yang dipercaya menciptakan alam
semesta berikut semua isinya, yakni: manusia, hewan, tumbuhan,
batu, air, udara, tanah, pelangi, bahkan es krim juga! 

Di sisi lain, Buddhisme tidak memercayai konsep ketuhanan


seperti itu. Sebagai umat Buddha, kita tidak diajarkan tentang
adanya satu makhluk adikodrati yang memiliki segala sifat
maha, bahwa makhluk inilah yang merupakan kausa prima
atau sebab pertama dari segala yang ada sekarang ini. Umat
Buddha diajarkan bahwa terbentuknya alam semesta beserta
keberadaan manusia adalah buah dari hukum sebab-akibat
serta hukum-hukum alam lainnya.

Tentang kelahiran manusia, jika Buddhisme ditanya, maka


sebabnya adalah kekelirutahuan atau kegelapan batin. Tapi ini
bukanlah sebab pertama. Buddhisme tidak memercayai adanya
sebab pertama karena dalam lingkaran sangsara ini amat
mustahil mencari satu awal untuk lingkaran lahir-mati yang
sinambung ini. Kekelirutahuan berada dalam satu rangkaian
lingkaran musabab yang saling bergantung: sebab yang ini
menghasilkan akibat yang itu, dan akibat yang itu pada gilirannya
16 Mati Itu Pasti

menjadi sebab bagi akibat lainnya lagi. Rumusan terkenal untuk


proses ini kaprah dikenal dengan:

Ini ada, itu ada.


Ini muncul, itu muncul.
Ini tiada, itu tiada.
Ini berhenti, itu berhenti.

Pengertian yang didasarkan pada keyakinan yang berbeda


membawa konsekuensi berupa sikap yang berlainan pula dalam
menghadapi kematian.

Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada suatu pengalaman kematian


yang menyangkut keluarga atau orang-orang terkasihnya, sebagian
orang dari keyakinan lain sering terjebak dalam sikap mengutuki atau
menyumpahi makhluk adikodrati itu. Mereka tak bisa memahami
bagaimana suatu makhluk adikodrati yang diyakininya mahakuasa
dan maha pengasih, begitu “tega” mencabut nyawa dari seorang
bayi atau anak manis yang—menurut standar keyakinan mereka—
tak berdosa, atau memisahkan seorang ibu amat pengasih dari anak-
anak yang amat memerlukan curahan kasih sayangnya.

Tentu saja, di sebagian kalangan umat Buddha pun kita bisa


menemukan kemarahan seperti itu. Karena dilandasi oleh
kekelirutahuan dan pekatnya kelekatan, sebagai orang awam
kita mungkin saja tidak bisa menahan diri. Kita begitu geram dan
meradang atas kematian seorang anak yang amat kita sayangi,
yang padanya kita curahkan segala kasih dan pengharapan. Tapi
bedanya di Buddhisme, lantaran kita tak memercayai adanya
makhluk adikodrati seperti itu, kita tak memiliki “oknum sial”
yang terpaksa harus rela menjadi kambing hitam untuk kita
sumpah serapahi atau kutuki sebagai pelampiasan rasa derita
kita gara-gara kehilangan orang-orang yang kita kasihi.
17 Mengapa Kita Harus Mati?

Namun, justru hal itu membuat umat Buddha lebih bisa


bersikap tenang dan rasional dalam menghadapi kematian,
tidak seemosional para penganut keyakinan lain. Tiadanya
kepercayaan bahwa ada satu makhluk adikodrati mahakuasa +
maha pengasih + mahatahu + maha pencipta yang mengatur
kehidupan kita membuat umat Buddha tidak terserang oleh
kompleksitas rasa penasaran dan rasa tak habis mengerti yang
menyangkut kontradiksi-kontradiksi yang terkandung dalam
kepercayaan itu sendiri. Dengan begitu, derita yang kita rasakan
akibat masih pekatnya kelekatan kita terhadap orang-orang
terkasih yang meninggalkan kita tak dilipatgandakan dengan
beban-beban rasa penasaran itu.

Ditambah dengan kenyataan bahwa dalam Buddhisme kita


diajarkan kematian itu adalah sesuatu yang amat alami, bagian
dari lingkaran kehidupan yang tak terelakkan, maka sebagai
Buddhis kita lebih bisa menerima kenyataan “pahit” tersebut,
lebih bisa bersikap rasional dan tenang ketimbang mereka
yang “terpaksa” diberati oleh rasa penasaran dan ketidakpuasan
karena pandangan seperti itu.

Kita tidak akan sampai bertanya dan menuntut mengapa Tuhan


yang (konon) maha pengasih dan penyayang begitu tega
mencabut nyawa anak kita, seorang anak yang kemarin masih
sehat-sehat dan ceria tapi dalam semalam berubah menjadi
sebujur jenazah? Mengapa kemalangan seperti ini menimpa kita
yang rajin beribadah dan selalu berusaha untuk menjadi orang
baik? Dan itu menciptakan suatu perbedaan besar antara kita
dengan mereka.
Kehidupan Setelah Kematian

S ebagian besar ajaran di dunia sepakat bahwa kematian


bukanlah akhir dari segala-galanya. Kematian hanyalah
awal bagi kehidupan berikutnya. Beberapa agama mengajarkan
para pengikutnya tentang alam surga dan neraka, tempat di
mana kehidupan setelah kematian itu berlanjut. Bagi yang
baik dan patuh kepada perintah atau larangan Tuhan—sosok
makhluk adikodrati yang diyakini sebagai pencipta dunia—
akan diberikan tempat di surga yang kekal. Untuk anak nakal,
orang jahat, apalagi koruptor, neraka siap menerima mereka
untuk tinggal selama-lamanya. Agama-agama seperti ini tidak
mengenal konsep kelahiran ulang dalam pengertian bahwa
manusia bisa terlahir ulang menjadi manusia kembali atau
bahkan menjadi binatang di kehidupan mendatang. Kelahiran
kembali setelah kematian, menurut ajaran-ajaran ini, hanyalah
di alam surga atau di neraka, dan kedua alam itu diyakini kekal
abadi selama-lamanya: sekali seseorang menjadi penghuni di
salah satu alam itu, dia akan terus ada di sana selamanya.

Seperti ajaran-ajaran tersebut, kosmologi Buddhis pun mengenal


alam surga dan neraka. Bedanya, Buddhisme tidak hanya
mengenal surga dan neraka, tapi bahkan ada 29 alam kehidupan
setelah kematian lainnya yang juga dikenal oleh Buddhisme,
tempat di mana para makhluk dapat terlahir ulang. Alam-alam
itu secara garis besarnya digolongkan menjadi 6 jenis alam: alam
surga, alam manusia, alam binatang, alam hantu kelaparan, alam
asura/siluman, dan alam neraka.

Dalam Buddhisme, alam surga memiliki banyak tingkatan,


mulai dari yang rendah sampai tertinggi sesuai dengan bobot
19 Kehidupan Setelah Kematian

kebajikan dan kebijaksanaan yang telah dikembangkan semasih


hidup oleh para penghuninya. Alam neraka pun ada banyak
tingkat seperti alam surga. Hanya saja di sini para pesakitan
ini dibedakan berdasarkan tingkat kebengisan atau kejahatan
mereka. Seperti di dunia manusia, penjahat kelas kakap tentu
tidak berada di penjara yang sama dengan penjahat kelas teri,
bukan?

Di luar 31 alam tersebut, Buddhisme terpecah menjadi 2


kelompok: kaum Theravada menolak adanya alam-alam lain
seperti alam antara yang merupakan alam persinggahan
sementara “roh” orang yang telah mati sebelum nantinya masuk
ke surga atau neraka atau turun ke bumi sebagai manusia.
Karena dalam ajaran Theravada tumimbal lahir atau kelahiran
ulang itu terjadi secara seketika, tidak ada jeda waktu, tidak ada
alam antara apa pun. Begitu seseorang meninggal di sini, maka
dia langsung terlahir di salah satu dari 31 alam itu sesuai dengan
karma yang telah dia kumpulkan semasih hidup. Sedangkan
kelompok Mahayana menganggap ada yang disebut alam
persinggahan atau alam transisi, dan bahwa kelahiran ulang
tidak terjadi seketika melainkan ada waktu jeda/transisi antara 1
minggu sampai 49 hari semenjak kematian.
Mitos Seputar Kematian

M itos adalah suatu kisah atau legenda yang biasanya berisi


penjelasan tentang sebab-musabab dari terjadinya
suatu peristiwa atau hal. Mitos muncul karena kurangnya
pengetahuan dan penalaran kita tentang suatu hal sehingga
untuk menjelaskannya kita pun menciptakan mitos.

Bagi kebanyakan orang, kematian adalah sebuah misteri. Hanya


sedikit di antara kita yang sungguh-sungguh telah memahami
dan menaklukkannya. Karena itu, tak heran dari sejak dahulu
kala hingga kini mitos-mitos seputar kematian terus lestari.

Ada mitos tentang orang-orang yang meninggal tak wajar—


misalnya, gantung diri, dibunuh, kecelakaan—akan menjadi
hantu atau roh yang bergentayangan. Mitos seperti ini diperkuat
dan dimanfaatkan oleh produser film untuk menghasilkan film-
film horor yang penuh dengan cerita balas dendam dari mantan
manusia yang sudah menjadi arwah gentayangan itu.

Menurut Buddhisme, disebabkan oleh karma buruk dan


kurangnya kebajikan dan kebijaksanaannya, manusia memang
bisa terlahir ulang sebagai hantu atau siluman di alam hantu
atau siluman. Mereka yang meninggal karena bunuh diri pergi ke
alam lain didorong oleh rasa benci pada kehidupannya. Mereka
amat mungkin terlahir ulang sebagai hantu yang menderita
oleh rasa bencinya, atau bahkan langsung ke alam neraka. Tapi
untuk jenis kematian lain seperti kecelakaan atau dibunuh, sulit
dipastikan korban yang tewas terlahir ulang sebagai hantu yang
bergentayangan. Karena hal itu tergantung sepenuhnya pada
karma-karma yang telah dikumpulkannya semasih hidup dan
21 Mitos Seputar Kematian

keadaan batin sesaat sebelum meninggal dunia. Bila dalam


kasus ini yang meninggal telah banyak mengumpulkan jasa baik
dan keadaan batinnya cukup hening saat meninggal dunia, dia
akan terlahir di alam-alam yang baik meskipun cara kematiannya
tidaklah indah.

Ada pula mitos—atau mungkin lebih tepatnya kepercayaan—


yang sering disalahartikan sebagai ajaran Buddha tapi
sebenarnya hanyalah kepercayaan lokal bangsa Tiongkok
yang “bercampur” dengan ajaran Buddha. Dikatakan bahwa
kita bisa mengirimkan uang dan perbekalan lainnya serta
membangunkan rumah di alam sana untuk keluarga kita yang
telah meninggal dengan cara membakar kertas tertentu yang
dianggap sebagai “uang” dan rumah-rumahan yang terbuat dari
kertas lengkap dengan mobil-mobilan, pesawat-pesawatan atau
bahkan antena parabola di atas atap rumah-rumahan tersebut.

Tentu saja, bagi umat Buddha yang paham Dharma, hal-


hal tersebut bertentangan dengan apa yang telah diajarkan
oleh Buddha. Karena menurut Buddhisme, seseorang yang
meninggal dunia akan langsung lahir ulang di salah satu dari
31 alam kehidupan sesuai dengan karmanya: seseorang bisa
memiliki bekal dan rumah di alam sana bukanlah dengan cara
sanak saudaranya membakar “uang” kertas dan rumah-rumahan
kertas, tapi dengan usahanya sendiri mengumpulkan jasa-
jasa kebajikan serta dengan pelimpahan jasa yang dilakukan
oleh sanak saudaranya yang telah melakukan kebajikan atas
namanya.

Namun demikian, ada satu mitos tentang kematian yang amat


berbahaya karena banyak dipercayai sebagai fakta oleh orang.
Mitos inilah yang menyebabkan kita lalai mengembangkan diri
dalam jalan sila+samadhi+panna. Apakah mitos itu? Yaitu, kita
22 Mati Itu Pasti

percaya bahwa, meskipun kematian itu pasti, tapi kematian tidak


akan datang menimpa kita hingga kita menjadi tua bangka!

Itulah mitos kematian paling berbahaya yang menyebabkan


kita, selagi muda dan sehat, merasa dunia ada di tangan kita.
Kesenangan-kesenangan indrawi memabukkan kita, membuat
kita terlena, lupa daratan dan lautan, dan abai bahwa raja
kematian bisa datang sewaktu-waktu. Dalam kenyataannya,
kehidupan memaparkan pada kita: tak perlu harus tua dulu untuk
mati. Karena, bahkan yang amat belia pun pergi meninggalkan
dunia ini ditengah-tengah kebeliaannya.

Bagi orang muda, kematian adalah kabar angin.


~ Andrew A. Rooney

Death is a distant rumor to the young. ~ Andrew A.


Rooney
Mati Itu Pasti

D alam kehidupan, kita sering mendambakan suatu kepastian.


Para pedagang dan investor, jika bisa, dengan senang
hati bersedia membayar harga berapa pun asalkan mereka
mendapatkan suatu kepastian bisnis atau investasi mereka
tidak akan merugi. Para pelajar akan berusaha sekuat tenaga,
belajar mati-matian siang malam untuk mendapatkan kepastian
bisa diterima di universitas terkemuka yang amat diidamkan.
Pasangan kekasih atau mereka yang sedang mencari jodoh,
mendatangi para penasihat perjodohan atau peramal demi
memastikan jodoh yang tepat untuk mereka. Dalam banyak
aspek kehidupan, semua orang sangat menyukai kepastian.

Mengapa?

Karena hidup itu tak pasti, maka kita membuat pelbagai rencana
untuk memastikan apa yang kita inginkan atau harapkan bisa
tercapai, dan untuk memastikan kita terhindar dari hal-hal yang
tak kita inginkan. Kecuali satu: begitu menyangkut kematian,
kepastian menjadi sesuatu yang secara umum dianggap
menakutkan, ditolak, dijauhi, dan dianggap seolah tak ada.

Sebenarnya, layakkah kita takut terhadap kematian? Layakkah


kematian itu dijauhi, ditolak, dan kita pura-pura tidak tahu
bahwa kematian itu nyata adanya, bisa datang sewaktu-waktu
tanpa perlu diundang?

Kematian memang sesuatu yang pasti, tapi pada saat yang


sama juga tidak pasti karena kita tak pernah tahu kapan ia akan
datang menghampiri. Bila dilihat dari sifatnya yang pasti, yang
24 Mati Itu Pasti

tak terelakkan, ketakutan seperti itu terasa konyol: apa ada


gunanya kita takut pada sesuatu yang tak terelakkan, yang tak
dapat kita hindari dengan cara apa pun?

Dan bila dilihat dari keyakinan Buddhis yang mengakui adanya


kelahiran ulang, bahwa kehidupan ini bukanlah yang pertama
kali dan bukan yang terakhir kecuali kita telah mencapai kesucian
tertinggi, maka peristiwa yang disebut kematian pada dasarnya
tidak pernah ada. Kematian sesungguhnya dapat dipandang
hanya sebagai suatu peristiwa “pindah alamat”: seseorang yang
meninggal dalam kehidupan ini pergi “pindah alamat” menuju
alam lain atau kehidupan berikutnya di dunia ini (bila terlahir
sebagai manusia lagi). Dan andai yang terakhir ini yang terjadi,
seperti yang pernah dikatakan oleh Ajahn Chah dalam salah
satu ceramahnya, mendiang yang kita sayangi itu biasanya akan
terlahir kembali dalam lingkungan keluarga kita sendiri. Dengan
begitu kita kemungkinan besar akan bisa bertemu lagi dengan
mereka, jadi tak ada alasan untuk takut atau sedih.

Mati? Ah, cuma pindah alamat saja, kok!

Dalam keseharian secara umum, kematian


dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan untuk
dibicarakan. Kebudayaan kita kini didominasi oleh
keyakinan bahwa kematian harus disambut dengan
dukacita, ratap tangis dan kesedihan. Padahal, sedari
manusia ada di dunia, tak terelakkan bagi kita untuk
menghadapi pengalaman kematian. Kematian dari
anggota keluarga inti, sanak saudara yang cukup jauh,
teman, kerabat, dan nantinya—cepat atau lambat—
kematian kita sendiri.
25 Mati Itu Pasti

Saya pun juga, seperti semua orang, punya


pengalaman kematian. Mulai dari kematian nenek,
bibi, paman, dan terakhir yang amat dekat, mama
saya sendiri.

Dari pengalaman terakhir ini, saya baru benar-benar


melihat bagaimana seseorang berjuang untuk tetap
hidup, tapi yang pada akhirnya karena waktunya telah
tiba tetap harus berangkat pergi meninggalkan segala
yang ia kasihi. Saya pun menyadari satu pelajaran amat
penting, yang meski sebelum ini telah mendapatkan
perhatian saya, namun melalui kematian mama arti
penting pelajaran itu semakin ditekankan: sedari awal
kehidupan, kita semestinya membiasakan diri untuk
melepas, membiarkan berlalu. Karena di sepanjang
keseharian hidup dan lebih-lebih lagi kelak ketika
kita menghadapi kematian, kemampuan melepas itu
sungguh amat berguna sekali.

Seperti yang telah saya sebutkan di awal, ada suatu


anggapan kaprah bahwa kematian itu seharusnya
menyedihkan. Karena itulah, ketika kematian mama,
beberapa kerabat mungkin merasa heran mengapa
saya tidak menangis atau menampakkan wajah
sedih. Mengapa saya bisa bersikap tenang, bahkan
meminjam kata seorang kerabat: “santai sekali”?
Apakah saya tidak menyayangi mama saya? Ha-ha-
ha, apakah kasih harus berarti kesedihan ketika kita
ditinggal pergi oleh yang terkasih? 
26 Mati Itu Pasti

Tentu saja, saya belumlah suciwan, bahkan masih


amat jauh dari itu. Tapi ada beberapa hal yang bisa
menjelaskan mengapa saya tidak menangis seperti
peran yang dituntut oleh anggapan umum bagi
orang yang mengalami kematian keluarganya.

Pertama, mama meninggal pada waktu yang tepat.


Maksud saya, beliau meninggal ketika saya telah
memiliki suatu tingkat pemahaman terhadap apa
sesungguhnya hakikat kehidupan ini. Pemahaman
yang saya peroleh melalui pembacaan, perenungan,
dan meditasi. Saya membayangkan, andai mama
meninggal 10 tahun lalu, saat mana saya masih
amat “cengeng” (sekarang pun masih, tapi sudah
tidak amat-amat sih, he-he-he….), saya pasti sudah
menangis dan bahkan mungkin mengalami depresi.

Kedua, mama meninggal tidak secara mendadak.


Beliau mengalami sakit yang cukup lama sehingga
sedari awalnya beliau masuk rumah sakit saya sudah
mempersiapkan batin saya untuk bersedia menerima
apa pun yang terjadi. Saya selalu mengingat-ingat
satu pelajaran penting tapi mungkin terasa terlalu
“kasar” bagi sebagian orang yang tak siap dengan
keterusterangan seperti ini: nasihat Ajahn Chah
bahwa, “Hanya ada dua kemungkinan bagi seseorang
yang sakit, dan kedua kemungkinan itu sama-sama
baik: sembuh, atau mati!”
27 Mati Itu Pasti

Itulah mengapa saya bisa bersikap tenang. Termasuk


juga ketika seorang kenalan mama saya yang tak tahu
menahu bahwa mama saya telah meninggal, bertanya
tentang kabar beliau. Ketika saya bertahukan mama
saya sudah meninggal, kenalan itu, seperti adegan
klise di film-film Hollywood, meminta maaf. Saya
bilang, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kematian itu
wajar, amat alami, karena bagian dari kelahiran.

Sesungguhnya dari perspektif kelahiran ulang,


kematian itu tidak ada. Kematian hanyalah satu
proses pindah alamat ke alam lain. Dan dari keyakinan
Buddhis, orang-orang yang kita kasihi yang telah
berangkat pergi tak akan pergi jauh-jauh dari lingkaran
keluarga kita sendiri. Mereka bisa jadi, jika karmanya
memungkinkan, terlahir ulang sebagai kerabat dekat
atau jauh kita, dan kita pun bisa bertemu kembali
dengan mereka jika jalinan karma kita dan mereka
masih belum usai.

Jadi, gak perlu sedih lah…. 


28 Mati Itu Pasti

Tapi bila kita mempertimbangkan sifatnya yang tak pasti,


bahwa tak seorang pun tahu kapankah kematian tiba dan apa
yang terjadi setelah kematian, bahwa ada suatu tabir gelap
yang tak seorang pun bisa pastikan karena hal ini berada di luar
pengetahuan awam kita, kita bisa memahami mengapa orang-
orang secara umum takut terhadap kematian.

Selain itu, ada ketakutan setelah kematian keberadaan diri kita


akan dilupakan oleh mereka yang masih hidup. Karena bagi
manusia awam, eksistensi, suatu keberadaan, hasrat untuk
dumadi, pengakuan bahwa seseorang itu ada, amatlah penting.
Ketika dilupakan, saat itu pula kita merasa seperti mengalami
kematian yang kedua.

Karena itulah kita menghindari membicarakannya. Kita cenderung


menipu diri kita sendiri bahwa kematian itu memang tak terelakkan
tapi kematian tidak akan datang sebelum kita benar-benar tua.
Dan itu pun, pada saat kita telah sungguh tua, sebagian dari kita
masih bersikeras tak bersedia menerima kepastian kematian.

Karenanya, tak heran untuk sesuatu yang amat pasti seperti


kematian, kita cenderung abai mempersiapkan diri untuk
menyambut kedatangannya yang cepat atau lambat tapi pasti.
Dan sikap abai ini, yang pada dasarnya sudah buruk, dalam
derajat tertentu bisa menjadi amat gawat konsekuensinya:
sebagian dari kita yang abai, berat menjalani kehidupan seolah-
olah kita tak akan pernah mati, dan karena itu kita terus mengejar
kesenangan duniawi dengan menghalalkan segala cara. Kita tak
peduli pada hal-hal baik dan mulia, hal-hal yang melampaui
dan lebih berharga daripada kesenangan duniawi yang terus
membuat kita selalu haus, haus, haus, tak terpuaskan. Tentu
kita tak ingin menjadi seperti para rusa bodoh yang menjadi
santapan empuk para serigala dalam kisah berikut ini, bukan?
29 Mati Itu Pasti

Serigala, Rusa, dan Kematian

Barangkali selama ini sebagian besar dari kita hanya


tahu bahwa serigala adalah binatang yang kejam,
licik, dan jahat. Seperti ular, serigala diperlakukan
sebagai binatang dari neraka, bahkan mungkin malah
serigala itulah setan yang menyamar jadi binatang.
Anggapan seperti itu bisa dipahami mengingat sedari
kecil kita telah disuguhi oleh cerita-cerita tentang
serigala sebagai tokoh antagonis. Hanya dalam sedikit
kebudayaan saja serigala dihormati sebagai binatang
yang sesungguhnya amat cerdas, penyayang keluarga,
setia kawan, dan pemburu yang luar biasa. Seperti
misalnya dalam kebudayaan Mongolia. Percayakah
Anda jika disebutkan bahwa Genghis Khan dahulu
mampu menaklukkan dunia karena dia dan rakyatnya
banyak belajar dari para serigala?

Dari sebuah novel, Wolf Totem, yang ditulis


berdasarkan kisah nyata pengalaman penulisnya
sendiri, saya mengetahui sedikit banyak fakta
kehebatan serigala. Dan satu hal dari novel itu yang
amat mengesankan saya adalah tentang bagaimana
cara serigala berburu rusa.

Ketika segerombolan serigala memutuskan untuk


memburu kawanan rusa, pemimpin mereka akan
memandu kawanannya ke sebuah padang rumput
tempat di mana para rusa berkumpul untuk makan.
Mereka tidak langsung menyerbu begitu saja karena
30 Mati Itu Pasti

mereka sadar dalam hal kecepatan lari mereka akan


kalah oleh para rusa itu. Jadi, dengan sabar mereka
mengintai dari balik rerumputan yang tinggi dan dari
jarak yang cukup jauh, menunggu para rusa itu makan
sepuas-puasnya, diam hening nyaris tanpa bergerak
selama berjam-jam agar buruan mereka tak menyadari
bahaya yang sedang mengintipnya. Dan sementara
para serigala mengintai, beberapa rusa dengan
bodohnya makan sampai perut mereka kenyang
kembung seperti balon, tapi beberapa yang lain cukup
cerdas dan eling untuk hanya makan secukupnya.

Ketika para rusa bodoh telah makan sekenyang-


kenyangnya, saat itulah dengan serentak para serigala
menyerbu. Dan karena perutnya terisi penuh, rusa-rusa
itu tak mampu berlari. Sebagian dari mereka langsung
jatuh lemas, sebagian lagi berusaha lari tapi sia-sia
saja. Tanpa kesulitan berarti para serigala bisa berpesta
daging rusa gemuk yang masih segar dengan rumput
belum tercerna sempurna dalam perutnya.

Sangat luar biasa, bukan, cara para serigala berburu?


Amat cerdas, taktis, terorganisir dengan baik, dan
sabar menunggu momentum yang tepat.

Dalam renungan saya, para serigala bisa diumpamakan


sebagai dewa kematian. Dan rusa-rusa itu adalah kita,
padang rumput adalah dunia ini. Sebagian dari kita
begitu bodohnya, terlena, mabuk oleh kesenangan-
kesenangan duniawi sampai tak waspada pada
dewa kematian yang sedang mengintai, menunggu
31 Mati Itu Pasti

kita “makan” sekenyang-kenyangnya dan setelah itu


menyerbu masuk untuk “membantai” kita. Sebagian
lagi, dan biasanya minoritas, cukup eling untuk selalu
ingat bahwa kematian dapat datang kapan pun, dan
karena itu mereka menggunakan kesempatan terlahir
sebagai manusia dengan sebaik-baiknya untuk
mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan.
Dan dengan bekal kebajikan dan kebijaksanaan
itu, meskipun dalam kehidupan ini belum mampu
melarikan diri dari raja kematian, pada akhirnya
kematian tak dapat lagi menangkap mereka.

Sesungguhnya, andai saja kita tak abai terhadap kematian, andai


kita senantiasa ingat padanya dan menjalani kehidupan dengan
sepenuh-penuhnya, kita tak akan begitu saja menjadi santapan
empuk raja kematian. Meskipun pada akhirnya toh kita harus mati
juga, paling tidak saat itu tiba kita telah sungguh siap dengan
bekal yang memadai. Karenanya, kita tak perlu merasa takut
terhadap kematian. Apa pun yang terjadi pada saat dan setelah
kematian tak lagi mencemaskan kita. Dengan selalu mengingat
bahwa kematian itu pasti, dengan selalu mengingat bahwa setiap
momen kehidupan kita bisa saja berakhir, kita mempersiapkan diri
kita dengan bekal kekayaan kebajikan dan kebijaksanaan, melatih
diri dalam meditasi yang mengajari kita untuk mampu melepas,
membiarkan berlalu segalanya.

Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati,


kita belajar bagaimana seharusnya kita hidup.
~ Morrie dalam “Selasa Bersama Morrie”
32 Mati Itu Pasti

Iklan “Pindah Alamat” yang Unik

Di harian KOMPAS terbitan 14 Mei 2012 pada rubrik


Kilasan Kawat Sedunia tersua berita unik tentang
seorang pria di Berlin, Jerman, yang iklan pindah
rumahnya di sebuah harian menarik perhatian
pembaca. Berikut ini saya tulis ulang beritanya.

Seorang pria yang mengumumkan perubahan


alamatnya di surat kabar lokal menarik perhatian
media nasional karena alamat “rumah baru”-nya
tidak biasa: 6 kaki (1.8 meter) di bawah tanah. Karl
Albrecht, yang meninggal dunia sebulan lalu pada
usia 88 tahun, memasang iklan obituari dengan
gaya seperti baru pindah rumah. Dia mengundang
rekan-rekannya untuk perayaan yang “meriah” di
pemondokan barunya di sebuah pemakaman di
Hamburg, Jerman. “Saya pindah rumah. Alamat
baru saya: Pemakaman Olhsdorf-Ruhewald,
Kavling Bx 65/28C. Saya sangat mengharapkan
kehadiran Anda,” demikian pengumuman yang
dimuat harian Hamburger Abendblatt itu. Surat
kabar Bild mengabarkan, Albrecht berpesan kepada
keluarganya untuk memasang iklan itu di surat
kabar. Mantan pemasar asuransi itu dikenal sangat
humoris dan gemar tertawa. “Di makamnya tersedia
sahnapps (minumam beralkohol populer di Jerman)
untuk semua tamu. Dia pasti menginginkan itu,” kata
Anastasia, istri Albrecht. Anastasia menambahkan,
33 Mati Itu Pasti

almarhum suaminya menginginkan tamu perempuan


mengenakan gaun bermotif bunga. “Jangan sampai
ada yang mengenakan pakaian hitam. Karl tak tahan
dengan suasana suram,” ujarnya.

Ide yang cemerlang, bukan, dan rasanya bisa kita


tiru. Kecuali tentu saja kita tidak akan menyajikan
minuman beralkohol untuk para tamu yang
mengunjungi “alamat baru” kita. 
Mempersiapkan Diri
Menghadapi Kematian

A pakah penting mempersiapkan diri menghadapi kematian?


Semua pemeluk agama yang benar akan menjawab
dengan pasti: jelas amat penting! Karena dalam agama mana
pun kematian selalu menjadi salah satu peristiwa dalam
kehidupan yang amat penting, jadi mempersiapkan diri untuk
menghadapinya juga amatlah penting. Lebih-lebih dalam
Buddhisme.

Menurut Buddhisme, momen-momen menjelang ajal berperan


amat dominan dalam menentukan ke alam mana pertama-
tama kita akan menuju. Meskipun sepanjang hayat kita adalah
seorang yang selalu berusaha mengembangkan kebajikan
dan kebijaksanaan, tapi karena suatu kejahatan yang pernah
kita lakukan dan amat mendalam membekas dalam batin kita
menyebabkan saat jelang ajal kita mengalami suatu batin yang
gelisah, yang negatif, maka bila kita meninggal dunia dengan
batin yang seperti itu kita akan pertama-tama menuju alam
yang sesuai dengan keadaan batin itu: alam rendah, alam
sengsara. Baru setelah masa hidup di alam rendah itu habis,
akibat habisnya kekuatan buah karma yang menyebabkannya,
kita bisa terlahir di alam yang lebih baik sesuai dengan timbunan
jasa-jasa baik yang telah kita kumpulkan.

Pentingnya memiliki batin yang tenang dan damai saat


menjelang mati dapat ditunjukkan oleh beberapa kisah yang
terjadi pada masa kehidupan Buddha. Misalnya kisah yang
menyangkut Ratu Mallika, permaisuri Raja Pasenadi Kosala.
35 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

Ratu Mallika adalah salah satu pengikut Buddha yang amat


berbakti. Sepanjang hidupnya dia banyak melakukan perbuatan
berjasa. Tapi ada satu kejahatan yang pernah dilakukannya dan
amat membekas dalam bentuk penyesalan di dalam dirinya
hingga terbawa ke momen jelang ajalnya. Karena terkuasai batin
tak sehat seperti itu, Ratu Mallika langsung terlahir kembali di
alam rendah, dan baru setelah lewat seminggu dia meninggal
di alam itu dan pindah ke alam surga sesuai timbunan jasa
kebajikan yang telah dikumpulkannya.

Untuk kisah pada masa modern, kita bisa membaca pengalaman


Bhante Rastrapal Mahathera, guru meditasi di International
Meditation Centre di Bodh Gaya, dalam bukunya “Five Visions
of A Dying Man”. Buku itu bercerita tentang pengalaman beliau
menangani seorang pria yang menjelang ajalnya melihat lima
penampakan, dan setiap penampakan itu adalah perlambang
ke alam mana pria itu akan terlahirkan kembali apabila pada
saat itu—ketika penampakan itu terlihat—dia meninggal.
Penampakan itu berasal dari keadaan batin orang yang sedang
sekarat itu. Ketika keadaan batinnya tenang dan damai, dia
melihat penampakan dewa-dewi surgawi, atau pohon Bodhi dan
kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Saat keadaan
batinnya berubah gelisah atau penuh kelekatan, dia pun melihat
penampakan burung gagak yang menakutkan.

Selain itu, amat penting mempersiapkan diri menghadapi


kematian karena, sebagaimana dengan kehidupan, kematian
pun sering diumpamakan sebagai suatu perjalanan. Hanya saja,
kehidupan adalah perjalanan menuju kematian, dan kematian
adalah perjalanan menuju kehidupan berikutnya. Sebuah
perjalanan tentu memerlukan suatu persiapan agar berhasil
sampai di tujuan yang direncanakan, bukan? Demikian pula
dengan kematian. Agar kematian dapat kita hadapi dengan
36 Mati Itu Pasti

tenang dan berhasil sampai di kehidupan berikutnya yang


lebih baik, kita harus mempersiapkan diri kita dengan sebaik-
baiknya. Kita perlu membawa perbekalan yang memadai
dan mempersiapkan batin kita untuk menerima kematian
sebagaimana adanya.

Semua itu pada akhirnya hanya demi satu tujuan: mencapai


kebahagiaan. Karena jika kita, misalnya, ditanyai tujuan menjalani
kehidupan, kita semua akan sepakat bahwa kita menjalani
kehidupan demi meraih suatu kebahagiaan; dan demi tujuan
itu mempersiapkan diri menghadapi kematian semestinya
menjadi bagian dari cara menjalani kehidupan. Memanglah
definisi kebahagiaan dan macamnya ada beraneka ragam, tapi
kita bisa menarik satu benang merah yang sama: kita semua
menginginkan kehidupan yang damai, tenteram, dan harmonis.

Orang-orang bajik pasti mati, tapi kematian


tidak bisa membunuh nama mereka. ~ Pepatah

Good men must die, but death can not kill their names.
~ Proverb

Jadi, seseorang yang mengisi kehidupan dengan persiapan untuk


menghadapi kematian berarti dia menjalani kehidupan dengan
semestinya. Dan kehidupan yang dijalani dengan semestinya
akan membuat kita memperoleh kebahagiaan di sini (semasa
hidup) dan di sana (setelah mati), sebab buah dari kebajikan
yang telah dilakukan selama hidup akan menjadi bekal dalam
perjalanan menuju kehidupan berikutnya, memungkinkan si
pembuat memetik hasilnya dalam bentuk kelahiran ulang di salah
37 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian
38 Mati Itu Pasti

satu alam yang membahagiakan. Seperti yang tertulis dalam ayat


Dhammapada 18:

Di dunia ini ia bahagia, setelah mati ia bahagia.


Pelaku kebajikan bahagia di kedua alam.
Ia bahagia “aku telah berbuat bajik”.
Ia kian bahagia setelah pergi ke alam menyenangkan.

Dalam hal ini, persiapan menghadapi kematian dapat kita bagi


menjadi 2 jenis:
1) persiapan secara spiritual, dan
2) persiapan secara duniawi.

Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan tidak hanya


mempersiapkan diri kita sendiri, tetapi juga orang-orang
terdekat kita supaya mereka pun siap menghadapi kematian
bila sudah tiba waktunya, baik untuk kematian mereka sendiri
maupun kematian kita dan keluarga lainnya.

Uraian berikut ini tidak dimaksudkan memberi paparan yang


terperinci mengenai setiap tahap persiapan yang disarankan.
Untuk penjelasan lebih rinci yang disertai dengan tip-tip dalam
melakukan kebajikan (dan juga mengembangkan kebijaksanaan),
pembaca bisa membaca buku “Berbuat Baik Itu Mudah” dari penulis
dan penerbit yang sama dengan buku ini.

Persiapan Spiritual

Persiapan spiritual bertujuan untuk mentransformasi diri kita


secara spiritual agar siap menghadapi kematian. Bagi pemeluk
agama, persiapan ini amat berkaitan erat dengan doktrin-doktrin
agama yang kita anut. Dan setiap ajaran di dunia memiliki
metodenya sendiri untuk mempersiapkan para pengikutnya
39 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

menghadapi kematian. Secara garis besar tiap metode itu


tidak terlalu berbeda satu dengan lainnya karena selalu ada
penekanan pada mengumpulkan suatu jasa kebajikan (yang
disebut dengan pelbagai istilah) dan mengembangkan suatu
sikap berserah atau melepas.

Perenungan Kerap

Ketika ditanyakan bagaimana cara kita bersiap diri rmenghadapi


kematian, Morrie sang profesor dalam buku “Selasa Bersama
Morrie”, berkata, “Bertindaklah seperti yang diperbuat oleh
umat Buddha. Setiap hari, bayangkan di pundak kita ada seekor
burung yang bertanya, ‘Sekarangkah hari ajalku? Siapkah aku?
Sudahkah aku mengerjakan semua yang perlu kuperbuat?
Apakah aku telah menjadi seperti yang kukehendaki?’”

Apa yang disarankan Morrie adalah suatu cara yang berguna untuk
mengingatkan diri kita akan kematian. Karena seringkali dalam
keseharian hidup, mata kita begitu butanya akan kebenaran tak
terbantahkan bahwa kematian itu bisa datang sewaktu-waktunya,
dan bahwa betapa kehidupan ini amatlah getas, sangat rentan.

Kita dapat temukan setiap hari televisi, koran, dan dunia maya
dipenuhi oleh berita-berita mengenai bencana, kecelakaan,
perang, wabah penyakit, bunuh diri, dan segala macam hal
menakutkan lainnya yang menyebabkan tiada hari tanpa berita
kematian. Dan sebagian dari kita pun, seperti mereka yang
bekerja di rumah sakit sebagai perawat atau dokter, akan sering
menjumpai dan melihat peristiwa kematian. Tapi semua hal itu
tidak menjamin mampu menggugah kesadaran kita seperti
tergugahnya kesadaran Pangeran Siddhartha ketika melihat
Empat Penampakan. Maka, tak heran kita sering “lupa” bahwa
kita tak bisa hidup selamanya.
40 Mati Itu Pasti

Selain cara yang disarankan Morrie, ada satu cara lagi cara untuk
membuat kita selalu ingat akan kematian. Dalam sebuah buku
kumpulan ceramah Ajahn Chah yang amat berkesan bagi saya,
ada sebuah nasihat dari beliau yang amat beliau tekankan
untuk dipraktikkan berulang kali. Nasihat itu berkaitan dengan
perenungan kerap terhadap kematian, yang dalam naskah
Buddhis disebut maranasati. Ajahn Chah amat menekankan hal
ini, dan menganjurkan siapa pun yang membaca buku itu untuk
sering-sering merenunginya. Menurut Ajahn Chah, perenungan
seperti ini akan membuat kita selalu waspada, eling akan hakikat
ketidaktetapan kehidupan kita. Dan kewaspadaan ini pada
gilirannya akan mencegah kita hidup secara sembrono yang
kelak, ketika kematian tiba, hanya akan membawa sesal dan
sengsara.

Jadi, apakah isi perenungan itu? Berikut saya tulis ulang sesuai
dengan ingatan dan kata-kata saya sendiri yang mungkin
agak berbeda dengan versi tertulis pada buku tersebut. Inilah
perenungan yang kerap saya renungi menjelang tidur:

Aku akan menderita usia tua;


Aku belum mengatasi usia tua.

Aku akan menderita penyakit;


Aku belum mengatasi penyakit.

Aku akan menderita kematian;


Aku belum mengatasi kematian.

Segala yang kumiliki, yang kucintai;


Akan berubah, terpisah dariku.

Aku adalah pemilik karmaku sendiri;


41 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

Pewaris kamaku sendiri;


Lahir dari karmaku sendiri;
Berhubungan dengan karmaku sendiri;
Terlindung oleh karmaku sendiri;
Apa pun karma yang kuperbuat;
Baik ataupun buruk;
Itulah yang akan kuwarisi.

Seperti yang dianjurkan Ajahn Chah, lakukanlah perenungan ini


dengan kerap. Setidaknya dalam sehari 1 kali, akan lebih baik
seperti nasihat lazim para dokter: 3 kali sehari; pagi saat baru
bangun, siang setelah selesai makan, dan malam menjelang
tidur. Jika tak sanggup, sekali sehari menjelang tidur adalah
waktu yang terbaik.

Mengapa?

Karena ketika menjelang tidur pikiran kita biasanya berada dalam


keadaan rileks dan tenang, sehingga apa pun yang kita renungi pada
saat itu akan lebih mungkin tercamkan dengan baik dalam batin
kita. Dan ketika maknanya tercamkan dengan baik dalam batin,
kita akan menjadi lebih mudah waspada, eling dalam menjalani
keseharian hidup kita. Kelekatan menjadi kurang pekat, kesadaran
akan ketidaktetapan bertambah tinggi, dan kemampuan untuk
melakukan kebajikan menjadi lebih spontan. Dan terutamanya,
ketika kita sudah amat terbiasa merenungi kematian, sedikit demi
sedikit kita sadari bahwa ada perubahan dalam cara kita memandang
kematian. Dari yang semula memandang dengan ngeri dan
takut, menjadi pandangan yang tenang dan tabah. Kita mengerti
sepenuhnya bahwa kematian tidak layak ditangisi, karena kematian
adalah konsekuensi tak terelakkan dari kelahiran.

Hal-hal itu, kualitas-kualitas positif yang kita peroleh itu akan


42 Mati Itu Pasti

amat memengaruhi keseharian hidup kita. Kita akan menjadi


pribadi yang lebih mudah bahagia daripada sebelumnya, karena
kemampuan untuk melepas atau membiarkan berlalu yang
meningkat membuat kita tak terlalu diberati oleh beban-beban
tak perlu—sesal, hasrat tak sampai, dendam, kecewa—yang
amat sering menjadi penyebab duka kita. Bukankah seringkali
hidup ini sesungguhnya sudah cukup memberikan kita masalah,
tapi entah mengapa kita sering mencari-cari masalah lain
dengan bermuram durja, terus melekati rasa sesal dan amarah
kita, dan seterusnya?

Hadiah Liang Lahat

Ada sebuah kisah menarik yang pernah saya baca dari


koran KOMPAS, tepatnya di rubrik Kilasan Peristiwa
pada terbitan KOMPAS hari Minggu yang sayangnya
saya lupa tanggalnya. Kisah ini adalah tentang
sebuah yayasan pengelola pekuburan bukan umum
yang memberi hadiah liang lahat 1 m x 2 m kepara
para karyawannya yang berprestasi. Apa? Liang lahat
sebagai hadiah? Yang benar saja?! Kaget, ya?

Berikut ini saya ceritakan kembali secara ringkas isi


berita itu.

Yayasan Wredatama yang bergerak di bidang properti


dengan membangun kota mandiri Giri Katon serta
mengelola pemakaman bukan umum Giri Tama di
Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat, memberikan hadiah berupa
43 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

liang lahat 1 m x 2 m untuk para karyawannya yang


berprestasi.

Menurut Profesor Djokomoelyo yang menjabat


sebagai ketua umum pengurus yayasan tersebut,
hadiah berupa liang lahat itu telah diberikan
kepada sekurang-kurangnya tujuh orang karyawan
berprestasi. Hadiah tersebut tidak boleh diuangkan
dan harus digunakan sendiri manakala nanti sudah
“pindah alamat” ke alam atau kehidupan lain.

Hadiah berupa liang lahat mungkin terkesan aneh


atau bahkan edan, seakan-akan mengharapkan si
karyawan yang berprestasi agar cepat-cepat pergi
dari dunia ini. Tentu bukan itu maksudnya, dan
sesungguhnya hadiah itu cukup pantas diberikan
mengingat harga untuk 1 lubang makam di Giri Tama
adalah Rp5 juta sampai Rp7,5 juta, tergantung lokasi.

Para penerima hadiah tambah senang karena apabila


kelak memanfaatkan hadiah tersebut, pihak keluarga
masih menerima fasilitas berupa dua tenda untuk
para pelayat, 20 kursi lipat, air mineral dua karton,
pengeras suara, buku tamu, dokumentasi video acara
pemakaman, dan lampu penerangan seandainya
upacara pemakaman dilaksanakan malam hari. Selain
itu di Giri Tama sudah bersemayam untuk selama-
lamanya para tokoh terkemuka Tanah Air seperti Alm.
Kapolri Hoegeng yang terkenal akan integritasnya,
Profesor Miriam Budiardjo, Mayjen Soeprapto dan
beberapa tokoh yang pernah menjadi pejabat tinggi
44 Mati Itu Pasti

negara lainnya. Karena itu tak mengherankan jika ada


yang menyebutkan TPBU Giri Tama sebagai taman
makam pahlawan sipil. Hal ini memacu para karyawan
yayasan untuk memacu prestasi setinggi-tingginya
demi memperoleh hadiah sebuah liang lahat.

Hmm… ide yang bagus dan patut ditiru oleh


perusahaan lainnya terlepas dari ladang bisnisnya
yang tak ada bau-bau kematian sekali pun. Karena
dengan hadiah berupa liang lahat atau paket
kremasi, dapat diharapkan setiap orang akan selalu
ingat bahwa mati itu pasti dan untuk bersiap-siap
menghadapinya dengan menjalani kehidupan
dengan semestinya. Dengan begitu kematian dapat
menjadi semacam guru yang menuntun kita untuk
menjauhi segala keburukan, meningkatkan kebaikan,
dan menyucikan batin.
45 Mati Itu Pasti

Melatih Diri Dalam Moralitas, Meditasi, dan Kebijaksanaan

Jangan mencari kematian. Kematian akan


menemukanmu. Namun carilah jalan yang
membuat kematian menjadi memuaskan.
~ Dag Hammarskjöld

Do not seek death. Death will find you. But seek the road
which makes death a fulfillment. ~ Dag Hammarskjöld

Dalam Buddhisme, kita mengenal Jalan Mulia Berfaktor Delapan.


Disebut demikian karena jalan ini adalah satu jalan yang
memiliki 8 faktor yang jika dijalani akan membawa seseorang
mencapai suatu keadaan yang mulia. Faktor-faktor itu adalah
Pandangan Benar, Perniatan Benar, Perkataan Benar, Perbuatan
Benar, Penghidupan Benar, Pengupayaan Benar, Penyadaran
Benar, Pengheningan Benar, yang dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok, yaitu: moralitas (Perkataan, Perbuatan,
dan Penghidupan Benar), meditasi (Pengupayaan, Penyadaran,
Pengheningan Benar) dan kebijaksanaan (Pandangan dan
Perniatan Benar). Di sini, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak
akan dibahas secara terperinci untuk setiap faktornya. Fokus
diletakkan pada pembahasan mengenai 3 kelompok moralitas,
meditasi dan kebijaksanaan yang dikaitkan dengan manfaatnya
untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Tentang bagaimana sebaiknya kita mempraktikkan jalan ini, ada


suatu pengertian kurang tepat pada sebagian umat Buddha
bahwa faktor-faktor dari jalan ini haruslah dilaksanakan secara
berurutan. Jadi disebutkan kita harus mula-mula melatih
moralitas dulu sampai sempurna, baru setelah itu bisa dilanjutkan
46 Mati Itu Pasti

dengan melatih meditasi, dan akhirnya kebijaksanaan. Jika cara


ini sungguh diterapkan, latihan kita tidak akan pernah berhasil.
Mengapa?

Karena menunggu moralitas sempurna tak akan bisa bila


hanya dengan melatih moralitas. Moralitas menjadi sempurna
memerlukan dukungan meditasi, meditasi menjadi sempurna
memerlukan dukungan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan
menjadi sempurna memerlukan dukungan moralitas. Ketiga
hal ini saling dukung mendukung, membentuk satu lingkaran
yang, jika dilatih secara simultan, akan terus menggelinding
mengantarkan kita makin dekat, makin dekat, dan makin dekat
lagi ke pencerahan sejati.

Selain dengan cara simultan, ada pendapat yang agak berbeda


tentang bagaimana seharusnya kita menjalani Jalan Mulia
Berfaktor Delapan.

Menurut Ajahn Chah seperti yang tercatat dalam buku “Being


Dharma”, mempraktikkan Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah
seperti ketika kita memungut sebatang kayu. Kita bisa saja
memungut kayu itu dengan pertama-tama memegang ujung
yang satu, atau ujung lainnya, atau bahkan langsung memegang
bagian tengahnya. Cara mana pun yang kita tempuh, begitu
kita memungut kayu itu, keseluruhan bagian kayu akan ikut
terangkat pula.

Begitu pun dengan praktik Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Kita


bisa mulai dari mempraktikkan moralitas, atau mengembangkan
kebijaksanaan, atau langsung saja menekuni meditasi. Ketika,
misalnya, kita memilih untuk menekuni meditasi, jika meditasi
kita benar, maka secara otomatis seiring perkembangan latihan,
kita akan mulai merasakan adanya suatu keperluan untuk
47 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

juga mempraktikkan dan meneguhkan moralitas. Selanjutnya


dari sana muncul pula suatu rasa kemendesakan untuk
mengembangkan kebijaksanaan. Begitulah seterusnya hingga
akhirnya kita pun menuntaskan jalan ini dengan berhasil.

Moralitas

Ada sebuah kisah di majalah anak-anak Bobo edisi lama


yang pernah saya baca. Cerita ini adalah tentang dua orang
perempuan bertetangga.

Perempuan pertama memiliki sebuah rumah yang kumuh,


dengan kehidupan rumah tangga dan perekonomian yang
“menyedihkan”. Penampilan fisiknya sendiri juga tidak rapi dan
bersih. Sedangkan perempuan kedua sebaliknya: rumahnya
bersih, rapi, dirinya, suami, dan anaknya bahagia berkecukupan
meski tetap sederhana juga. Tiap hari perempuan pertama
selalu merasa iri dan penasaran mengapa tetangganya itu bisa
begitu bahagia kehidupannya. Dia berusaha mencari tahu apa
rahasianya, dan dia sangat ingin tahu.

Suatu hari akhirnya dia menemukan juga seseorang yang bisa


memberitahu dia apa rahasia si tetangga. Orang itu adalah
anak perempuan penjaja makanan. Tetapi sebelum anak ini
bersedia memberitahukan rahasia si tetangga, si anak meminta
perempuan ini membeli semua kue dagangannya (anak pintar!).
Tanpa pikir 2x24 jam dia setuju dan membeli semua kue
dagangan si anak yang masih tersisa.

Tahukah Anda, apa sesungguhnya rahasia mengapa si tetangga


bisa memiliki rumah yang bersih, rapi, dan kehidupan yang
bahagia lahir-batin?
48 Mati Itu Pasti

Bukan, bukan karena si tetangga dapat warisan dari orangtua


atau mertuanya, bukan pula dia punya tuyul yang dipakai untuk
mencari uang secara tidak halal, he-he-he…. Tapi ternyata, si
tetangga itu punya banyak pembantu yang membantu dia
bekerja setiap hari mengelola rumah tangganya sehingga
dia bisa memiliki rumah yang rapi dan bersih, dan suami dan
anaknya pun terurus baik. Tapi si perempuan pertama heran,
karena selama ini tak pernah sekali pun dia melihat batang
hidung para pembantu yang disebutkan oleh si anak penjaja
kue. Apakah para pembantu itu makhluk-makhluk halus? Tentu
saja tidak! Kalau benar begitu, ini akan menjadi kisah horor yang
tak layak terbit di sebuah majalah anak-anak, he-he-he….

Jadi, siapa sih para pembantu yang hebat-hebat itu sampai


seperti tak terlihat orangnya tapi hasil kerjanya amat menyolok?
Anda penasaran?

Saya juga, makanya ketika membaca kisah itu saya terus


membaca sampai akhir. Dan jawabannya sungguh tak terduga,
membuat saya manggut-manggut sekaligus merenung: para
pembantu itu adalah semua anggota badan kita yang bisa kita
gunakan untuk bekerja. Mereka adalah kedua tangan dan kaki
kita, dan jari jemari kita. Mereka adalah badan kita yang sehat
yang memungkinkan kita bekerja keras untuk memperoleh
hidup layak.

Si perempuan pertama sebenarnya juga memiliki para


pembantu seperti tetangganya itu. Hanya saja, dia tak pernah
menyadarinya dan tak memanfaatkan para pembantu itu. Dia
lebih suka duduk-duduk saja, membiarkan rumahnya kotor dan
berantakan, anak-anaknya tak terurus, dan suaminya jadi tak
betah di rumah. Akibatnya, kehidupannya pun tak bahagia, dan
rejeki ogah mampir. Karena, bahkan manusia sendiri tak betah
49 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

mampir di rumah yang kotor, apalagi dewa rejeki yang standar


tuntutannya pasti lebih tinggi lagi, ya kan?
Umat Buddha diajarkan tentang hukum karma dan kelahiran
ulang. Apa yang kita peroleh dan alami dalam kehidupan
ini sebagian adalah karena apa yang telah kita tanam dalam
kehidupan lampau yang dekat maupun jauh. Seperti misalnya
badan dan batin ini.

Dari perspektif hukum karma dan kelahiran ulang, badan dan


batin “sempurna” yang kita miliki kini adalah harta kekayaan
yang kita warisi dari benih-benih yang telah kita tanam pada
kehidupan lampau. Dengan kata lain, kita memiliki harta
kekayaan dari masa lampau berupa badan dan batin yang
“sempurna” dalam kehidupan ini karena pada masa lampau kita
telah cukup banyak melakukan kebajikan dan mengembangkan
kebijaksanaan.

Seperti halnya kekayaan materi, harta kekayaan badan dan batin


ini pun juga bisa disia-siakan, bahkan disalahgunakan. Sebagian
orang sadar dan menggunakan harta ini sebagai kendaraan
untuk mencapai kehidupan yang lebih mulia. Mereka giat dan
tekun dalam mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan
melalui setiap pikiran, ucapan, dan tindakan. Sebagian lagi
terlena, mabuk, menyia-nyiakan harta yang mereka warisi
dari kehidupan lampau. Mereka menyiksa dan meracuni
badan dan batin dengan mengonsumsi zat-zat adiktif. Mereka
menyalahgunakan badan dan batin untuk melakukan perbuatan
kriminal yang hanya merugikan diri sendiri dan membawa
kesengsaraan bagi makhluk lainnya.

Dalam Buddhisme, kita mengenal adanya sila sebagai suatu


standar moral. Pelaksanaan sila adalah salah satu jalan untuk
mengembangkan kebajikan dan merupakan bagian penting
50 Mati Itu Pasti

dalam upaya kita meraih kemuliaan. Sila-lah yang menentukan


apakah kita berhak menyebut diri kita manusia atau tidak. Dan
sebagai umat perumah tangga, kita memiliki 5 sila, dan 8 sila
untuk saat-saat tertentu atau dalam kondisi menjadi anagarika/
anagarini. Untuk kalangan monastik Theravada, ada 10 sila yang
dijalani oleh bakal bhikkhu (samanera) atau bakal bhikkhuni
(samaneri), 227 sila untuk bhikkhu, dan 311 sila untuk bhikkhuni.

Pelaksanaan sila dapat dibagi menjadi 2 aspek: pasif dan aktif.


Dalam kehidupan rumah tangga, sila yang dijalani secara pasif
adalah bila kita sekadar bertekad untuk tidak membunuh
makhluk hidup, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan
seksual yang salah, tidak berdusta, dan tidak mengonsumsi zat-
zat yang dapat melemahkan kesadaran. Pada aspek aktifnya,
menjalani sila berarti kita secara aktif melindungi suatu
kehidupan (termasuk juga melestarikan lingkungan), bermurah
hati, menghargai dan menjaga kehormatan diri dan pihak
lain, menjunjung dan menghargai kebenaran, menghargai
kesejahteraan batin dan badan.

Kelompok moralitas dalam formulasi Jalan Mulia Berfaktor


Delapan juga menyebutkan Penghidupan Benar dan Perkataan
Benar. Mata pencaharian adalah salah satu bagian paling
dominan dalam keseharian hidup kita, sesuatu yang selalu kita
lakukan terus menerus dari hari ke hari hampir sepanjang hidup
kita. Karena itu, mata pencaharian memiliki pengaruh dalam
membentuk kebiasaan dan karakter kita. Dan pada momen
menjelang kematian, apa pun yang telah mengeras sebagai
kebiasaan dan karakter akan mudah sekali muncul sebagai
“tanda kematian” yang amat vital dalam menentukan ke mana
kita pertama-tama akan menuju setelah meninggal. Dengan
begitu, memiliki mata pencaharian yang benar amatlah penting.
Mata pencaharian yang benar adalah mata pencaharian apa
51 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

pun yang tidak melanggar sila dan hukum negara, yang tidak
merugikan makhluk lain dan diri sendiri. Contohnya tidak
berdagang: senjata, manusia (termasuk prostitusi, perbudakan),
hewan untuk disembelih, minuman keras dan narkoba, serta
racun pembunuh.

Begitu pun dengan Perkataan Benar. Kehidupan kita dipenuhi


oleh perkataan-perkataan yang terucap, tak terucap, maupun
yang berupa celutukan atau gema-gema dalam batin. Perilaku
ucapan memiliki pengaruh menentukan apakah kita akan
menjalani sebuah kehidupan yang tenang dan harmonis
atau sebaliknya. Perilaku ucapan yang terbiasa benar, santun,
ramah, jujur dan tidak menyakitkan tidak menciptakan beban
penyesalan yang dapat memberati diri kita saat melangkah
pergi dari kehidupan ini menuju kehidupan berikutnya. Sebagai
akibatnya, kita dapat melangkah dengan ringan dan lega
menuju kehidupan berikutnya.

Begitulah. Dengan melaksanakan moralitas sebaik-baiknya,


berarti kita membiasakan diri dalam kebajikan sekaligus
mengumpulkan bekal kekayaan kebajikan. Kedua hal ini sangat
membantu kita bersikap tenang dalam menghadapi kematian
kita.

Meditasi

Dalam bahasa Indonesia, kata “semadi” kadang dipakai untuk


menyebut meditasi. Kata “semadi” ini diturunkan dari kata
bahasa Pali ”samadhi”. Samadhi berarti kestabilan konsentrasi
atau keheningan. Samadhi bisa dicapai melalui latihan meditasi.
Dalam hal meditasi Buddhis, secara umum orang mengenalnya
dalam 2 kategori: meditasi samatha atau meditasi keheningan,
dan meditasi vipassana atau meditasi pandangan cerah.
52 Mati Itu Pasti

Guru meditasi seperti Ajahn Chah berpendapat, samatha dan


vipassana itu tak dapat dipisahkan ibarat dua sisi telapak tangan
dari satu tangan yang sama, atau dua sisi dari sekeping koin. Jadi
menurut Ajahn Chah, tidak ada meditasi samatha dan tidak ada
meditasi vipassana, meditasi itu hanya satu saja.

Mengenai meditasi, saya ingat bahwa sekitar 10 atau 20 tahun


lalu, jika kita ingin mencari informasi mengenai meditasi, kita
akan mengalami betapa sulitnya menemukan petunjuk tentang
apa dan bagaimana bermeditasi. Sekarang? Wow… silakan
googling dan nikmati luapan informasi tentang meditasi yang
disediakan dalam pelbagai ragam nama, bentuk, dan rasa!

Saya sendiri mulai mengenal kata meditasi dari buku-buku


Dhamma yang saya baca ketika saya masih duduk di bangku SMK
(d/h STM) dulu. Karena masih asing, meditasi terasa begitu jauh
dan tak terjangkau, dan ada prasangka buruk yang melingkupinya.

Sebagai contoh, ketika tahu saya tertarik untuk mencari


tahu lebih banyak tentang meditasi, salah seorang kerabat
memperingatkan saya bahwa meditasi itu bisa membuat orang
jadi gila. Untuk menegaskan keyakinannya, dia menunjukkan
bukti seorang adik iparnya yang menjadi gila karena, menurutnya,
bermeditasi. Ternyata, anggapan salah seperti itu tidak hanya
milik kerabat saya seorang.

Dalam bukunya, ”Don’t Worry Be Healthy”, Dr. Phang Cheng


Kar menceritakan tentang adanya anggapan keliru di kalangan
Buddhis bahwa meditasi itu bisa membuat orang menjadi gila.
Lebih jauh, beliau menjelaskan mengapa bisa terjadi anggapan
seperti itu dan mengapa anggapan itu sangat keliru. Jelas saja
keliru, karena ternyata kasus-kasus yang disangka kegilaan
akibat meditasi sesungguhnya disebabkan oleh praktisi itu
53 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

sendiri sudah mengalami gangguan mental sebelum dia


berlatih meditasi. Jadi bukan meditasi yang menyebabkan
kegilaan itu. Dalam kata-kata Ajahn Brahm: justru kalau kita
tidak bermeditasilah kita bisa jadi gila, he-he-he….

Ngomong-ngomong soal Ajahn Brahm, memang sudah menjadi


ciri khasnya dalam setiap lontaran humor selalu terkandung
suatu pesan moral yang tidak main-main. Tidak terkecuali yang
tersebut di atas tadi. Sudah banyak bukti yang menyatakan bahwa
orang-orang yang berlatih meditasi menjadi lebih bahagia, lebih
waras, lebih sukses, lebih peka, lebih penuh pengertian dan lebih
bisa berempati. Meditasi juga membuat kita menjadi lebih bisa
melepas atau membiarkan berlalu, dan kemampuan inilah yang
amat penting artinya tatkala kita menghadapi kematian. Pada
tradisi Buddhisme seperti Tibetan Buddhis bahkan ada metode
meditasi yang mengajarkan praktisinya untuk mengakrabi
tahapan-tahapan kematian, sehingga dengan begitu dapat
diharapkan praktisinya akan bisa bersikap tenang dan damai
saat kematian tiba. Mengapa? Karena secara alamiah kita akan
merasa lebih takut pada sesuatu yang tak kita kenal.

Tetapi tentu saja, seperti halnya segala sesuatu di dunia, manfaat


meditasi pun memerlukan proses. Untuk meraih dan menikmati
manfaat-manfaat tersebut kita tidak bisa berharap secara sim
salabim dengan satu kali sesi meditasi duduk 5 menit kita sudah
bisa menjadi pribadi yang tercerahkan, bahagia, sehat, waras.
Meditasi memerlukan latihan yang sinambung, tekun dan
pantang menyerah. Sama seperti seseorang yang melatih otot-
ototnya dengan secara rutin melakukan olah otot, meditasi pun
juga begitu: semakin kita rajin berlatih dan terus berlatih, semakin
hari “otot-otot” penyadaran kita akan semakin terbentuk. Dan
semakin terbentuk “otot-otot” penyadaran kita, semakin kita
merasakan manfaat nyata meditasi.
54 Mati Itu Pasti

Berkaitan dengan persiapan diri menghadapi kematian, seperti


telah disebutkan di atas, menjadi penting sekali memiliki salah
satu manfaat latihan meditasi. Yaitu, meditasi membuat kita
lebih bisa melepas.

Mengapa begitu penting untuk mampu melepas?

Karena ketika kita sedang sekarat, jika pada saat yang amat genting
itu kita masih terus menggenggam dunia, kita tidak akan bisa
meninggal dengan tenang. Akibatnya, seperti yang kita yakini
dalam Buddhisme, ada kemungkinan kita akan terjatuh ke alam-
alam rendah meskipun kita sebenarnya punya banyak timbunan
jasa kebajikan yang membuat kita pantas mendapat satu unit
apartemen di surga. Tatkala kita telah terbiasa untuk melepas,
kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan kita. Dan
karena kita melepas, kita tak membawa beban-beban penyesalan
atau kelekatan bersama kita. Itu membuat langkah menjadi ringan,
memungkinkan kita terbang membubung tinggi menuju alam atau
kehidupan yang lebih luhur, dan dari sana kita menjadi semakin
dekat dengan keterbebasan sejati.

Jadi, latihan meditasi membuat kita lebih mampu melepas atau


membiarkan berlalu, dan lebih mengenal tahapan-tahapan
kematian sehingga kita tak lagi takut atau cemas menghadapinya
ketika waktu kita tiba, cepat atau lambat, tapi pasti.

Kebijaksanaan

Kebijaksanaan berarti mengetahui segala sesuatu sebagaimana


adanya, bukan sebagaimana tampaknya. Kebijaksanaanlah
yang mencegah kita tertipu oleh khayalan, oleh suatu citra yang
seolah langgeng padahal tidak, membahagiakan padahal tidak,
berinti-diri padahal tidak.
55Setelah lama bermeditasi... Mati Itu Pasti
Kiriman untuk
Nona Maymay.

Terima
kasih...

Bom kentut dapat dibeli Betapa damainya!!! Aku merasa


di toko sulap online. Bisa sangat kuat. Bahkan Empat Pasang
menyebarkan bau kentut Angin Duniawi* pun takkan mampu
yang busuk. menggoyahkanku kini!!!
Peringatan:
Jangan gunakan pada orang
yang berselera humor rendah!

*suka-duka, untung-rugi, terpuji-tercela, terkenal-tak terkenal

Ugh...
Bau busuk
apa ini?
Ueekk...!

Cerita dan gambar oleh Chuang


56 Mati Itu Pasti

Berlatih meditasi semestinya bukan untuk gagah-


gagahan atau menyombongkan diri. Meditasi
adalah latihan untuk melepas, untuk membiarkan
berlalu. Kita harus senantiasa waspada agar tidak
terjebak pada sikap memegahkan diri. ~ Chuang

Dalam keseharian hidup, kita bisa mengembangkan kebijaksanaan


dengan tak pernah bosan untuk belajar dari buku-buku dan
bahkan dari mereka yang secara akademis diragukan, namun
memiliki segudang kebijaksanaan yang lahir dari pergulatan
hidup. Kita juga harus bergaul dengan mereka yang bijak, banyak
berdiskusi tentang Dhamma dan hal-hal yang berguna untuk
kemajuan spiritual, dan melatih diri dalam keheningan meditatif.
Meskipun kebijaksanaan bisa dipelajari melalui buku-buku dan
diskusi, kebijaksanaan sejati itu sendiri hanya dapat kita raih
melalui pengalaman langsung kita karena buku-buku dan diskusi
hanyalah teori, kebijaksanaan yang berasal dari pengalaman
orang lain. Dalam Buddhisme, kita diajarkan bahwa untuk
mencapai kebahagiaan dan kebebasan sejati, menjadi bajik saja
tidaklah cukup. Kebajikan tanpa disertai dengan kebijaksanaan
akan menjadikan kita orang baik hati yang bodoh. Demikian juga
kebijaksanaan sendiri tak dapat membawa kita ke pantai seberang,
karena kebijaksanaan tanpa kebajikan akan menjadikan kita orang
bijak yang tidak berbelas kasih. Dengan demikian, kebajikan dan
kebijaksanaan dapat diumpamakan sebagai sepasang sayap, dan
kita terbang membubung ke pantai seberang dengannya.

Mengembangkan Cinta Kasih

Empat sifat luhur yang dalam bahasa Pali disebut Cattāri


Brahmavihārā adalah empat kualitas luhur yang Buddha ingin
57 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

kita latih dan kembangkan. Mengapa Buddha ingin kita begitu?


Karena Beliau maha pengasih dan mahatahu. Beliau mengasihi
kita, ingin kita murid-murid-Nya ini bebas dari duka, dan Beliau
tahu jika kita melatih dan mengembangkan empat kualitas ini
maka kita akan hidup bahagia di dunia ini maupun berikutnya.

Dari keempat kualitas luhur ini—cinta kasih (mettā), welas asih


(karunā), belasuka (mudita), dan ketenangseimbangan (upekkhā)—
yang paling dekat kaitannya berkenaan dengan mempersiapkan diri
menghadapi kematian adalah cinta kasih. Karena salah satu manfaat
dari mengembangkan cinta kasih menyebabkan pelakunya tidak
mengalami kesulitan ketika ajal tiba.

Dalam naskah-naskah suci kita bisa temukan petunjuk yang telah


diberikan untuk melatih dan mengembangkan empat kualitas
luhur ini. Khususnya untuk mengembangkan cinta kasih, salah
satu cara kita dapat melatihnya adalah melalui meditasi cinta
kasih.

Meskipun pada intinya sama, dalam praktiknya ada banyak


cara mempraktikkan meditasi cinta kasih. Petunjuk dari guru
tertentu, misalnya, tak mengharuskan kita untuk pertama-
tama memancarkan cinta kasih kepada diri kita dulu. Guru
lain menyarankan sebaiknya diri kita terlebih dahulu yang kita
pancari cinta kasih sebelum ke orang-orang di sekitar kita dengan
alasan bahwa kita tak mungkin bisa memancarkan cinta kasih
kepada orang lain apabila kita sendiri belum kita cintai terlebih
dahulu. Menurut petunjuk ini, kita melakukan pemancaran cinta
kasih yang pertama-tama ke diri sendiri, lalu ke orang-orang
terdekat kita seperti kepada orangtua kita, kemudian kepada
saudara dekat, teman dan kerabat jauh, dan terakhir kepada
semua makhluk. Pemancaraan ini dipandu dengan suatu
rumusan tertentu yang diucapkan berulang-ulang dalam hati.
58 Mati Itu Pasti

Jika dipancarkan pertama-tama kepada diri sendiri, contohnya


adalah seperti berikut:

Semoga aku bebas dari marabahaya.


Semoga aku bebas dari penderitaan batin.
Semoga aku bebas dari penderitaan jasmani.
Semoga aku bahagia.

Selanjutnya, ketika dipancarkan kepada orangtua, kata “aku”


diganti dengan sebutan kita untuk mereka, dan seterusnya.
Jika memungkinkan, akan lebih baik disertai dengan visualisasi
atau membayangkan wajah orang yang kepada siapa kita
pancari cinta kasih kita. Dan seperti pada metodenya, rumusan
itu pun bisa berbeda-beda, tidak harus baku seperti itu. Untuk
keterangan lebih jauh tentang meditasi cinta kasih, buku yang
bagus dan perlu dibaca adalah “Meredam Marah Menebar Metta”
karya Bhikkhu Visuddhacara dan “Superpower Mindfulness”
karya Ajahn Brahm.
59 Mati Itu Pasti

Semoga aku bahagia... Semoga paman dan bibiku bahagia...


Semoga papa dan mamaku bahagia... Semoga para sepupuku bahagia...
Semoga adikku bahagia... Semoga semua makhluk bahagia...

Kak...

Semoga teman-temanku bahagia...


Semoga Gembul, anjingku, bahagia... JANGAN GANGGU AKU!!!
Semoga ?!@#$!@#$%...???
AKU SEDANG LATIHAN
MEMANCARKAN
CINTA KASIH!!!

Kakak...
60 Mati Itu Pasti

Memancarkan cinta kasih?


Mana bisa?!
Kakak sedang memarahi aku
sekarang...

“Kadang atau
malah sering
dalam keseharian
antara teori dan
praktik spiritual
tidak nyambung.
Kehidupan spiritual
sejati seharusnya
berlandasan pada
keseimbangan teori
dan praktik.”
~ Chuang

Gambar dan cerita oleh Chuang.


Terinspirasi dari buku “Cerah Setiap Hari”, Shen Shian,
terbitan Ehipassiko Foundation, 2006.
61 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

Menemukan Makna Hidup

Sebagian dari kita menjalani kehidupan dengan tanpa suatu gagasan


yang jelas mengenai tujuan dan makna keberadaan kita. Kurangnya
kejelasan ini bisa menjadi sebuah masalah seiring kita bertambah
tua dan dekat dengan ajal. Karena pada saat-saat seperti itu, tatkala
banyak dari kemampuan jasmani kita melemah, kita menjadi semakin
bergantung kepada orang lain. Ketergantungan itu, jika tak disertai
dengan suatu pengertian yang benar dan jelas mengenai apakah
tujuan keberadaan kita, berpotensi menimbulkan banyak masalah
seperti rasa frustrasi, depresi, dan rasa ketakbergunaan.

Jadi, sementara umur masih muda dan jasmani masih segar, penting
untuk mencari tahu dan merenungi tujuan kehidupan. Apa makna
menjalani kehidupan ini? Mengapa saya ada di sini? Apakah yang
penting dan apa yang tidak penting? Ke manakah seharusnya
kehidupan ini saya fokuskan sehingga dapat memberi kebahagiaan
di sini (pada kehidupan ini) dan di sana (pada kehidupan mendatang)?

Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut amat bergantung


dari latar belakang keyakinan agama, pendidikan, dan budaya apa
kita dibesarkan.

Menurut agama tertentu, tujuan kehidupan adalah untuk menjalani


perintah dan menjauhi larangan yang telah ditetapkan oleh sang
pencipta. Imbalan dari kepatuhan ini berupa kebahagiaan dalam
surga yang abadi. Ajaran lain menekankan pada mengisi kehidupan
untuk berkarya di jalan yang direstui oleh sang pencipta itu, untuk
menjalani kewajiban sebagai manusia sehingga kehadirannya di
dunia dapat bermanfaat bagi diri dan orang lain.

Bagi seorang umat Buddha, tujuan kehidupan amat jelas: untuk


meraih keterbebasan sejati, suatu kebahagiaan ”tanpa tapi”. Tak
62 Mati Itu Pasti

seperti ajaran-ajaran lainnya, Buddhisme dengan terus terang


menganggap hidup adalah duka karena dalam kehidupan tidak
ada sesuatu pun yang memuaskan. Tentu tidak berarti Buddhisme
menganggap tak ada kebahagiaan yang dapat kita peroleh dalam
kehidupan ini, tetapi bahwa kebahagiaan itu pun sendiri tidaklah
memuaskan karena tidak kekal dan bersyarat. Kebahagiaan duniawi
apa pun yang kita rasakan pada akhirnya pasti akan memudar,
menghambar, dan manakala rasanya sudah tidak manis lagi, kita
memerlukan “suntikan” kebahagiaan yang lebih besar lagi “dosis”-nya
agar kita tetap bisa merasakan efek kesenangannya.

Sebagai contoh, ketika kita belum pernah menikmati enaknya


makan nasi goreng, nasi goreng menjadi suatu tujuan kebahagiaan
kita. Lalu, ketika pada suatu hari kita berhasil menikmatinya, kita
merasakan kebahagiaan yang besar. Berikutnya, saat nasi goreng
sudah menjadi menu sehari-hari kita, kesenangan yang awalnya
mampu diberikannya tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa: rasa
nikmatnya mulai menghambar karena efek dari adaptasi kesenangan,
dan kita mulai menuntut menu lain yang lebih lezat. Ini mirip seperti
keadaan seorang pencandu: demi meraih efek dari zat-zat yang
mencandui itu, setiap kalinya kita harus terus menambah dosisnya.

Jadi tujuan keberadaan seorang umat Buddha di dunia ini bukanlah


untuk meraih sebanyak mungkin kebahagiaan duniawi: kebahagiaan
duniawi hanyalah bonus dan sarana untuk mencapai kebahagiaan
yang lebih halus, suatu jenis kebahagiaan yang tak bersyarat
dan karenanya tak akan pernah memudar. Kehidupan seorang
umat Buddha sejati dipusatkan pada segala upaya untuk meraih
kebahagiaan ini.

Untuk itu, bagi umat Buddha, kesempatan terlahir sebagai seorang


manusia amatlah sangat berharga sekali. Keberhargaan itu dinilai
berdasarkan dua kenyataan:
63 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

1) Terlahir menjadi manusia itu amatlah sulit. Buddha


mengumpamakannya seperti seekor penyu buta yang muncul 100
tahun sekali ke permukaan laut dan begitu muncul, kepalanya tepat
masuk ke sebuah gelang yang mengapung terombang-ambing.
Seberapa besar kemungkinan si penyu berhasil?

2) Alam manusia adalah kondisi paling pas untuk melatih diri. Alam-
alam surga memiliki terlalu banyak kesenangan yang sangat mungkin
membuat para penghuninya terlena dan mabuk akan rasa bahagia.
Sedangkan alam neraka dan alam-alam bawah lainnya memiliki
terlalu banyak penderitaan yang membuat kita selalu menderita
sehingga kita merasa putus asa, tak ada kesempatan yang cukup
untuk melatih diri dalam kebajikan dan kebijaksanaan. Sebagai
manusia, kadar duka dan suka yang kita alami dapat dikatakan
berimbang dibandingkan dengan kesenjangan yang ekstrem di
alam-alam lainnya.

Persiapan Duniawi

Selain secara spiritual, kita perlu juga mempersiapkan hal-hal yang


bersifat duniawi untuk dapat menghadapi kematian dengan tenang
dan bahagia. Persiapan duniawi ini lebih menyangkut hal-hal yang
melibatkan keluarga kita atau orang-orang yang berada dalam
lingkaran kehidupan keseharian kita.

Surat Wasiat

Surat wasiat adalah suatu pernyataan tertulis yang dibuat oleh


seseorang yang berisikan petunjuk-petunjuk mengenai apakah yang
diinginkan oleh yang bersangkutan apabila dia meninggal dunia.
Petunjuk-petunjuk ini biasanya berkaitan dengan harta benda yang
ditinggalkan, cara atau ritual kematian yang dimauinya, dan pesan-
pesan terakhir untuk keluarga atau lingkaran terdekatnya.
64 Mati Itu Pasti

Menulis surat wasiat sangatlah bermanfaat mengingat bahwa ketika


seseorang meninggal dunia ada potensi masalah yang mungkin
ditinggalkannya untuk keluarga atau orang-orang terdekatnya.
Seperti misalnya tentang siapa yang berhak mendapatkan harta waris
yang mana dan bagaimana, atau apakah mendiang ingin diadakan
ritual kematian sesuai tradisi setempat atau menurut agama yang
dianutnya, apakah dikubur atau dikremasi, dan sebagainya. Andai
ada surat wasiat, maka kemungkinan masalah tak akan timbul karena
semua orang bisa mengetahui apakah yang menjadi keinginan atau
pesan mendiang. Ditambah dengan kenyataan bahwa secara umum
semua ajaran menekankan penganutnya untuk menghormati apa
pun yang menjadi keinginan terakhir dari orang yang meninggal
sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran itu dan hukum
yang berlaku, maka perlunya membuat sebuah surat wasiat demi
mencegah konflik yang mungkin muncul karena kematian seseorang.

Meskipun demikian, tetap saja ada pandangan yang menganggap


membuat surat wasiat itu tabu karena seolah-olah dengan membuat
surat wasiat atau meminta seseorang membuat surat wasiat, kita
mengharapkan kematiannya. Sebenarnya tidaklah demikian. Kita
semua tentu sepakat bahwa kematian itu tidak dapat dipastikan
datangnya. Kasus-kasus di mana seseorang meninggal dunia dengan
mendadak bukanlah kasus yang langka. Seperti kasus yang menimpa
Michael Jackson dan Whitney Houston, artis penyanyi terkenal dari
Amerika Serikat yang meninggal secara mendadak. Keluarga mereka
tidak sampai bertikai karena harta warisan karena adanya kepastian
berupa surat wasiat yang telah mereka buat jauh-jauh hari. Dengan
begitu, surat wasiat sesungguhnya amatlah penting dibuat jika kita
ingin keluarga yang kita tinggalkan memiliki kepastian tentang hal-
hal yang kita inginkan demi mereka.

Tentang metodenya, surat wasiat dapat dibuat dalam 2 cara, yakni


dinotariskan atau bawah-tangan. Surat wasiat yang dibuat dalam
65 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

bentuk akta (akta wasiat/akta waris) menggunakan jasa notaris akan


didaftarkan di Balai Harta Peninggalan di bawah Departemen Hukum
dan HAM. Kekuatan hukum akta wasiat ini tidak dapat dibatalkan
secara sepihak, melainkan harus melalui putusan pengadilan.
Singkatnya, wasiat yang melalui akta wasiat lebih menjamin secara
hukum, baik bagi yang mengeluarkan wasiat maupun bagi yang
menerima wasiat.

Surat wasiat yang dibuat bawah-tangan tentunya cukup


ditandatangani oleh pembuat wasiat dan dilengkapi tanda tangan
para saksi minimal 2 orang. Secara hukum, surat wasiat bawah-tangan
ini tidak memberikan jaminan hukum karena dapat dibatalkan secara
sepihak. Lagi pula, cara itu sudah banyak ditinggalkan mengingat
rawan terhadap konflik hukum yang timbul pada kemudian hari.

Dalam surat wasiat, baik yang dibuat di notaris maupun bawah-tangan


harus menunjuk seseorang atau lebih sebagai pelaksana dari wasiat
tersebut. Kepada para pelaksana wasiat, pewaris dapat memberikan
penguasaan atas semua barang dari harta peninggalan, atau bagian
tertentu daripadanya. Penguasaan itu meliputi barang-barang
tetap maupun barang-barang bergerak. Berdasarkan Pasal 1007
KUHPerdata, penguasaan itu menurut hukum tidak akan berlangsung
lebih lama daripada 1 tahun, terhitung dari hari ketika para pelaksana
dapat menguasai barang-barang itu.

Asuransi Jiwa

Asuransi adalah sebuah perjanjian hukum antara perusahaan


asuransi dengan pihak yang menggunakan asuransi. Pihak pengguna
asuransi ini adalah orang-orang yang memiliki risiko yang sama dan
sepakat menunjuk sebuah perusahaan asuransi untuk menanggung
risiko yang sewaktu-waktu bisa terjadi dalam kehidupan mereka.
Perjanjian dengan perusahaan asuransi ini disebut kontrak asuransi,
66 Mati Itu Pasti

dan bentuk tercetaknya (bentuk fisiknya) yang berfungsi sebagai


bukti perjanjian antara pihak Penanggung (perusahaan asuransi)
dan pihak Tertanggung (pengguna asuransi) disebut polis asuransi.
Melalui perjanjian ini Tertanggung wajib membayar sejumlah
dana secara berkala yang disebut premi kepada Penanggung yang
besarnya sesuai dengan yang telah ditentukan dalam kontrak
asuransi.

Dalam keseharian, asuransi ada banyak macam menurut jenis


pertanggungannya. Ada asuransi jiwa, kesehatan, pendidikan,
kecelakaan kerja, kebakaran, kehilangan, dan juga asuransi mobil.
Bahkan ada pula asuransi khusus yang hanya menanggung bagian-
bagian tertentu dari tubuh seseorang yang dianggap sebagai aset
berharga. Misalnya asuransi pita suara untuk para penyanyi, asuransi
jemari tangan untuk para pelukis dan ahli bedah.

Selain jenis pertanggungannya, asuransi juga dibedakan dengan


asuransi murni dan asuransi plus investasi atau biasa disebut unit-
link. Asuransi murni semata-mata hanyalah asuransi, tidak ada nilai
investasi atau imbal hasil yang diberikan selain manfaat berupa uang
pertanggungan. Untuk unit-link atau asuransi yang juga investasi,
pemegang polis mendapat kesempatan menikmati hasil investasi
yang dipilihnya. Jadi, dari uang premi berkala yang dibayarkan, sekian
bagian dari dana itu oleh perusahaan asuransi akan diinvestasikan ke
pasar modal berupa saham, atau deposito atau lainnya tergantung
kesepakatan.

Memiliki asuransi jiwa dengan memegang minimal 1 polis jelas


merupakan sebuah tindakan bijak dalam mempersiapkan diri
menghadapi kematian. Mengapa?

Bukan, bukan karena dengan memiliki asuransi jiwa kita terlindung


dari kematian dalam arti Raja Kematian tidak akan bisa mencabut
67 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

nyawa kita! Tetapi dengan memiliki asuransi jiwa berarti kita telah
menunjukkan suatu kepedulian atau rasa tanggung jawab terhadap
keluarga atau orang-orang terdekat yang kita tinggalkan ketika
kita harus “pindah alamat” ke alam lain. Dengan memiliki asuransi
jiwa berarti pihak perusahaan asuransi wajib membayarkan uang
pertanggungan sejumlah tertentu, sesuai kesepakatan yang tertera
dalam kontrak antara kita dengan mereka, kepada para ahli waris
yang telah kita tentukan. Dengan demikian, misalnya jika kita adalah
tulang punggung keluarga, pencari nafkah satu-satunya atau yang
utama, maka keluaga kita tetap dapat menjalani kehidupan tanpa
harus cemas akan biaya-biaya hidup karena uang pertanggungan
yang kita wariskan kepada mereka itu akan cukup untuk itu.

Kini, setelah mengetahui manfaat memiliki asuransi, karena kontrak


asuransi adalah kontrak yang berdurasi panjang dan melibatkan
dana yang kadang tidak sedikit, kita perlu cermat memilih
perusahaan asuransi yang dapat dipercaya. Untuk membantu
memilih perusahaan asuransi yang dapat dipercaya, berikut ini tip-tip
dari Eko Endarto, seorang Perencana Keuangan, seperti yang dikutip
dari Tabloid Kontan edisi April 2008, sebagai berikut:

1. Reasuransi
Reasuransi secara gampang bisa diartikan sebagai perusahaan
asuransinya perusahaan asuransi. Artinya perusahaan asuransi
dalam kegiatan operasionalnya, untuk mengurangi risiko yang juga
bisa terjadi padanya, mengasuransikan juga risiko tersebut kepada
perusahaan asuransi lainnya yang biasanya perusahaannya lebih
besar. Jadi perhatikan hal ini, tanyakan apakah perusahaan asuransi
yang akan Anda ambil memiliki perusahaan reasuransi. Ini penting
bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap perusahaan
asuransi pilihan Anda, ada perusahaan lain yaitu perusahaan
reasuransi tadi yang menjamin kelangsungan hak Anda atas proteksi
maupun kewajiban pembayaran premi Anda. Penting juga Anda
68 Mati Itu Pasti

harus mengenal pihak manajemen perusahaan agar jika terjadi


sesuatu, informasinya tetap bisa Anda dapatkan.

2. Usia
“Makin tua usia, seharusnya akan makin matang seseorang”.
Walaupun sepertinya terlalu klise, tapi harus diakui usia cukup
berpengaruh. Sebuah perusahaan asuransi yang berusia lebih tua
daripada perusahaan lainnya bisa diartikan bahwa perusahaan
tersebut memiliki modal yang cukup kuat sehingga sampai usia yang
cukup tinggi tetap eksis. Selain itu juga menggambarkan bagaimana
cara manajemen mengelola dana nasabahnya. Dengan makin tua
usianya, dapat diartikan bahwa perusahaan mampu mengelola
dana tersebut dengan optimal, baik itu untuk mendapatkan hasil
bagi pengembangan perusahaan maupun manajemen risiko yang
terukur untuk menjamin hak-hak nasabahnya. Secara logika saja,
mana mungkin dia bisa bertahan lama bila tidak bisa mengatur
keuangannya dengan baik.

3. Keuangan
Kalau bicara tentang perusahaan keuangan, tidak lengkap kalau
tidak berbicara tentang keuangannya. Dalam perbankan kita cukup
paham dengan pengukuran kesehatan bank yang namanya CAR. Di
asuransi, tingkat kesehatan keuangannya biasa diukur dengan RBC
atau Risk Based Capital. Tingkat RBC yang bisa dibilang sehat adalah
jika RBC-nya lebih besar dari 120%. Tapi tentu saja, makin besar pasti
makin baik. Bandingkan hal ini dalam memilih perusahaan asuransi
karena RBC ini menggambarkan bagaimana perusahaan mengelola
keuangannya sebaik dan seaman mungkin. Harus diingat, bila kita
mengambil asuransi, berarti kita akan berbicara mengenai kontrak
jangka panjang.

4. Nasabah
Hal keempat yang bisa dijadikan acuan adalah nasabah. Barapa
69 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

besar sih basis nasabah yang mereka miliki? Ukurannya adalah


makin banyak nasabah maka makin baik-lah perusahaan asuransi
itu. Kenapa demikian? Karena makin banyaknya nasabah akan
memperlihatkan tingkat pelayanan yang telah dilakukan
perusahaan. Hal ini dapat berarti bagaimana perhatiannya
terhadap nasabah, kemudahan klaim, dan tentu saja keamanan
dana yang dipercayakan. Kalau Anda akan memilih perusahaan
asuransi asing yang beroperasi di Indonesia, tanyakan juga
berapa banyak nasabah lokal yang dimiliki dan tersebar di
berapa kota. Hal ini penting karena bisa saja terjadi walaupun
di luar negeri mereka menjadi kepercayaan, namun di Indonesia
mereka kurang. Tingkat penyebaran juga menunjukkan
bagaimana luasnya tingkat pelayanan yang mereka berikan.
Tingkat penyebaran ini penting khususnya untuk Anda yang
memilih asuransi kesehatan. Sebab tidak lucu kan kalau dalam
perjalanan ke suatu kota dan Anda sakit, ternyata harus kembali
ke kota asal untuk rawat inap.

5. Keluhan
Sebagai tambahan, mungkin hal ini bisa Anda lakukan, lakukan
selalu cross check kepada pihak luar terhadap rencana pilihan
Anda. Pihak yang utama harus Anda hubungi adalah nasabah
kalau memungkinkan, pihak ketiga yang menjadi penghubung
misalnya bank atau rumah sakit jika itu asuransi kesehatan, dan tidak
menutup kemungkinan ada bagusnya Anda bertanya kepada para
independent financial planner Anda. Lebih bagus menerima masukan
dari banyak sisi dibandingkan dari satu sisi; apalagi bila satu sisi itu
hanya dari sisi perusahaan. Atau kalau mau mudah, cermati saja
berapa banyak keluhan yang dilakukan nasabah mereka di media
massa dalam 6 bulan terakhir. Sebab biasanya dari banyaknya orang
yang mengeluh, sekitar 20% biasanya mengungkapkannya di media
massa koran atau internet. Ketika saya mengetik keyword ”asuransi
+ keluhan”, yang saya peroleh adalah lebih dari 5.000 artikel yang
70 Mati Itu Pasti

berisikan kata ”asuransi” dan ”keluhan” dari konsumen terhadap


perusahaan asuransinya. Jadi jangan malas untuk membandingkan.

Akhirnya, sama seperti pemilihan barang ataupun jasa lainnya, Anda


semua sebaiknya memiliki dasar yang kuat dalam melakukan pilihan.
Yang utama memang adalah selalu pilih produk yang sesuai dengan
kebutuhan Anda. Namun itu saja tidak cukup. Pilih juga dengan benar
perusahaan yang menyediakan barang atau jasa tersebut. Walaupun
barangnya bagus, tapi si penyedia tidak bagus, percuma juga. Jadi
mulai saat ini jangan lagi memilih perusahaan asuransi hanya karena
kenal kepada si penjual, apa lagi karena merasa tidak enak karena
tidak beli. Minimal bandingkan 5 hal di atas sebagai alasan dalam
memilih atau menolaknya.

Lalu, setelah menentukan perusahaan asuransi yang sesuai, kita tidak


bisa langsung membeli asuransi. Kita harus mencari agen asuransi,
orang yang kepada siapa kita akan berurusan dalam hal pembelian
asuransi dan hal-hal lainnya yang merupakan ikutannya. Jadi, di
sini agen asuransi adalah perantara antara kita dengan perusahaan
asuransi. Untuk memilih agen asuransi yang terpercaya dan dapat
diandalkan, berikut tip-tip yang dikutip dari solusiasuransi.com,
sebagai berikut:

1. Pilihlah agen yang berintegritas


Integritas seorang agen asuransi jauh lebih penting daripada
semua hal lain. Banyak fitur dalam polis asuransi yang cukup
kompleks dan tidak semuanya sama pentingnya. Beberapa agen
merekomendasikan produk tertentu tanpa alasan lain kecuali ingin
mendapatkan komisi yang lebih tinggi. Tidak sedikit pula agen
asuransi yang “hit and run”, hanya bagus ketika menjual, namun
tidak begitu peduli dengan layanan purnajual. Carilah orang
yang akan bertindak sebagai mitra Anda, memberikan informasi
tambahan, mengusulkan alternatif, dan tidak memaksa Anda
71 Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

untuk  membeli  produk. Jika Anda mendapatkan terlalu banyak


tekanan untuk cepat membeli, beralihlah ke orang lain. Salah satu
cara terbaik untuk mendapatkan agen yang bagus adalah meminta
referensi dari teman-teman, anggota keluarga, rekan kerja, atau
profesional lain yang pernah bekerja sama dengan Anda (konsultan
pajak, bankir, notaris, dll). Jika agen asuransi yang mendatangi Anda,
mintalah referensi para nasabah yang telah dilayaninya. Anda bisa
mengecek rekam jejak sang agen dari nasabah-nasabahnya.

2. Pilihlah agen yang profesional


Anda perlu memastikan bahwa agen yang Anda pilih memiliki
keahlian untuk memenuhi kebutuhan Anda:
· Periksa lisensi agen
Agen asuransi jiwa harus memiliki lisensi dari AAJI (Asosiasi Asuransi
Jiwa Indonesia) untuk bisa menjual produk asuransi. Agen yang
menjual produk asuransi unit-link harus memiliki tambahan lisensi
khusus. Untuk mendapatkan lisensi-lisensi ini, seorang agen harus
lulus dalam sejumlah ujian kompetensi di bidangnya. Agen yang
tidak berlisensi dapat menyampaikan informasi produk yang tidak
akurat atau menyesatkan kepada nasabahnya.

· Ketahui spesialisasi agen


Beberapa agen mengkhususkan diri dalam asuransi jiwa tradisional,
sedangkan yang lain mungkin lebih mendalami bidang  asuransi
jiwa unit-link, asuransi kumpulan, atau asuransi kesehatan.

· Ketahui kualifikasi agen


Gelar profesional seperti  Chartered Life Underwriter (CLU), Chartered
Financial Consultant (ChFC), Certified Financial Planner (CFP) dan  Life
Underwriter Training Council Fellow (LUTCF) menunjukkan bahwa agen
tersebut telah menyelesaikan pelatihan lanjutan, lulus ujian yang
ketat dan serius dengan pengembangan profesinya. Seorang agen
yang menjadi anggota Million Dollar Round Table (MDRT) berarti telah
72 Mati Itu Pasti

memasuki jajaran elit agen papan atas. Mereka pasti telah memiliki
daftar nasabah yang panjang, pengalaman yang lama dan mengikuti
kode etik profesi yang ketat.

3. Pilihlah dari beberapa agen


Bila perlu, temuilah secara langsung setidaknya dua agen asuransi agar
dapat melakukan perbandingan dalam hal kualifikasi dan karakter
agen serta kesesuaian produk yang ditawarkan. Tidak ada yang dapat
menggantikan kontak langsung dalam menilai seseorang. Agen
yang baik akan tekun mendengarkan dan mengajukan pertanyaan
tentang situasi Anda dan membantu menyusun solusi asuransi
yang tepat untuk kebutuhan spesifik Anda. Jika Anda tidak nyaman
dengan agen Anda setelah bertatap muka, atau Anda tidak yakin dia
menyediakan layanan yang Anda inginkan, carilah agen lain.
73 Mati Itu Pasti

SURAT WASIAT
Dengan ini saya, Jomblo,
menyatakan bahwa,
apabila saya meninggal,
saya ingin:

Jenazah saya untuk


bedah kedokteran. Setelah
selesai, silakan dikremasi.

Papa mendapat laptop


saya. Mama boleh ambil
tabungan saya. Maymay
saya berikan koleksi
buku-buku saya. Boleh
menangis tapi maksimal
15 menit saja. Gembul
dapat sepatu saya (silakan
digigit sampai puas).

Tertanda,
Jomblo

Serius Ngoepil
Serius donk!
ya? Mode: ON
Saya hanya
sedang praktik
saran dari buku
“Mati Itu Pasti”.

Katanya hidup itu


tidak pasti tapi
mati itu pasti.

Bisa saja setelah


ini saya mati. Gawat
nih!
Siapa yang tahu?

Makanya kita
perlu siap-siap!
74 Mati Itu Pasti

Jomblo anak kami!!! Huhuhu...


Jangan tinggalkan kami! Hiks...

Hiks...
Kakak!

“Untuk kehidupan yang tak


pasti, kita telah mempunyai
segudang rencana dan
persiapan.

Tapi untuk kematian yang


pasti, kita sering tidak siap,
menganggapnya sebagai tabu
dan bertindak seolah-olah
kematian itu sesuatu yang
jauh, yang nanti. Padahal
dalam kenyataannya,
kematian bisa datang
kapan pun.”

~ Chuang
Gambar dan cerita oleh Chuang.
Membantu yang Lain Siap

K ematian adalah salah satu bagian kehidupan yang amat


memberikan tekanan kepada kita. Itulah mengapa amat
penting untuk belajar menghadapinya sedari awal sehingga kita
bisa menjalani pengalaman ini dengan tenang dan tenteram. Sama
halnya dengan diri kita, orang lain pun perlu bisa menghadapi
kematian dengan tenang. Dan bila kita bisa membantu orang lain
untuk siap menghadapi kematian, itu akan menjadi suatu wujud
kewelasan yang besar yang bisa kita lakukan. Itu karena faktanya
dalam Buddhisme momen-momen menjelang ajal adalah
momen-momen yang amat krusial dalam menentukan ke mana
seseorang akan menuju setelah kematian.

Bagaimanapun, menolong seseorang yang sedang sekarat


untuk bisa bersikap tenang dan tenteram bukanlah pekerjaan
yang mudah. Banyak hal harus kita pertimbangkan dengan
saksama agar niat baik yang didasari welas asih dapat berhasil
mengantarkan mereka menuju kematian yang indah.

Ketika seseorang sedang sekarat, mereka akan mengalami


pelbagai macam kesulitan dan perubahan, dan hal ini secara
alamiah menyebabkan munculnya kebingungan dan juga
emosi-emosi yang menyakitkan. Mereka memiliki kebutuhan
fisik—untuk diringankan rasa sakit dan ketaknyamanannya,
untuk dibantu dalam melakukan sebagian besar aktivitas rutin
seperti minum, makan, mandi, dan sebagainya. Mereka pun
memiliki kebutuhan emosional—untuk diperlakukan dengan
penuh hormat, cinta, dan kelembutan hati; untuk bicara dan
didengarkan; atau, pada waktu-waktu tertentu, untuk dibiarkan
dalam kesendiriannya. Dan tentu saja, mereka punya kebutuhan
76 Mati Itu Pasti

spiritual—untuk memahami kehidupan, penderitaan, dan


kematian yang akan mereka alami; untuk merasa bahwa mereka
akan diperhatikan dan dibimbing oleh seseorang atau sesuatu
yang jauh lebih bijaksana dan berdaya mampu ketimbang diri
mereka.

Jadi, salah satu keterampilan paling penting dalam membantu


orang yang sedang sekarat adalah untuk berusaha memahami
kebutuhan mereka dan melakukan semampu-mampunya kita
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kita akan paling berhasil
melakukan hal itu apabila kita mengesampingkan kebutuhan
dan harapan kita sendiri kapan pun kita mengunjungi mereka,
dan membangkitkan batin kita agar semata-mata berada di sana
hanya untuk mereka, siap sedia melakukan apa pun yang perlu
dilakukan, apa pun yang akan membuat mereka merasa lebih
nyaman, bahagia, dan damai.

Untuk buku ini, kita akan memusatkan diri pada kebutuhan


spiritual bagi orang yang sedang sekarat. Berikut ini beberapa
halnya.

1. Mengelola emosi kita sendiri


Ketika seseorang sedang sekarat, secara umum dia
akan mengalami emosi-emosi negatif seperti rasa takut,
penyesalan, kesedihan, kelekatan terhadap orang-orang
atau benda-benda dalam kehidupan, dan bahkan kadang
kemarahan. Mereka bisa jadi mengalami kesulitan mengatasi
emosi-emosi negatif ini. Kita bisa membantu mereka dengan
duduk di sisinya, mendengarkan dengan penuh kewelasan
apa pun yang mereka katakan dan menghibur mereka
dengan kata-kata yang menenangkan.

Tapi untuk berhasil melakukan hal ini pertama-tama kita


77 Membantu yang Lain Siap

haruslah perlu tahu bagaimana berurusan dengan emosi


kita sendiri. Menyaksikan seseorang yang sedang menjelang
ajal sangat mungkin juga menimbulkan emosi-emosi negatif
dalam diri kita sendiri. Dan bisa jadi beberapa dari emosi itu
tidak biasa atau bahkan belum pernah kita alami sehingga
membuat kita terkejut bahkan bingung. Jadi kita perlu tahu
bagaimana berurusan dengan emosi-emosi dalam diri kita
sendiri itu sebelum kita benar-benar bisa membantu orang
yang sedang sekarat.

Salah satu metodenya adalah dengan meditasi penyadaran.


Metode lain adalah dengan mengingat mengenai
ketidaktetapan: fakta bahwa diri kita, orang lain, badan dan
batin kita, segala hal di dunia ini adalah tidak tetap, tidak
kekal, selalu berubah, fana. Kesadaran dan penerimaan
terhadap ketidaktetapan adalah salah satu antiracun
paling ampuh bagi kelekatan, seperti juga penawar untuk
rasa takut yang seringkali dirasakan sebagai penolakan
terhadap perubahan. Melatih pernaungan pada Triratana
(Tiga Permata) Buddha, Dhamma, dan Sanggha juga bisa
memberikan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi
dan berurusan dengan tubrukan emosi.

Jika orang yang sedang sekarat itu adalah salah satu anggota
keluarga atau sahabat kita, kesulitan kita bertambah. Secara
alamiah kita akan jauh lebih melekat pada mereka ketimbang
orang-orang yang tidak kita kenal. Meskipun sulit, kita harus
belajar untuk melepaskan mereka, merelakan kepindahan
mereka ke alam atau kehidupan lainnya. Jika tidak begitu,
kita hanya akan menambah masalah yang sudah cukup
banyak bagi mereka. Camkan bahwa senantiasa mengingat
ketidaktetapan adalah obat paling mujarab bagi kelekatan.
78 Mati Itu Pasti

2. Memberi pengharapan dan pemaafan


Saat sekarat, banyak orang mengalami rasa bersalah,
penyesalan, depresi, dan keputusasaan. Kita bisa membantu
mereka dengan membolehkan mereka mengungkapkan apa
yang mereka rasakan dan menyimak penuturan itu dengan
penuh kewelasan tanpa penghakiman. Dorong dan semangatilah
mereka untuk mengingat hal-hal baik yang telah mereka lakukan
dalam kehidupan mereka, dan untuk memandang secara positif
kehidupan mereka, untuk memusatkan diri pada keberhasilan-
keberhasilan atau kebajikan yang telah mereka kembangkan,
bukannya kegagalan atau kesalahan yang telah mereka perbuat.
Jika mereka berpikiran terbuka, katakanlah bahwa pada dasarnya
kesejatian kita adalah baik dan murni dan bahwa kesalahan dan
kekeliruan kita itu hanyalah sementara dan dapat dihapuskan
seperti debu atau noda pada kaca jendela.

Beberapa orang bisa jadi melulu mengingat kesalahan-


kesalahan mereka hingga mereka merasa tak termaafkan.
Pandangan seperti ini amat keliru, karena dalam Buddhisme tak
ada sesuatu pun yang tak termaafkan. Selalu ada kesempatan
kedua untuk memperbaiki diri. Jika dalam kehidupan ini
kita belum berkesempatan untuk itu, selama ada tekad dan
kemauan yang tulus, Buddhisme percaya bahwa selalu ada
kehidupan lain di mana kita bisa memperbaiki diri. Bahkan
sesungguhnya kenyataan bahwa kita masih terus terlahir ulang
membuktikan ada sesuatu yang harus kita selesaikan namun
belum selesai: dari sudut pandang ini, kelahiran ulang adalah
kesempatan untuk memperbaiki diri hingga pada titik tertentu
kita sungguh menjadi makhluk paripurna seutuhnya, saat
mana tak ada lagi perlunya terlahir kembali. Selain itu, kita bisa
juga menekankan bahwa pemaafan selalu amat melegakan,
baik itu dilakukan terhadap diri maupun orang lain. Jadi,
amatlah tak berguna terus membebani diri dengan penyesalan
79 Membantu yang Lain Siap

atas kesalahan masa lalu, lebih-lebih saat kita seharusnya


meringankan langkah demi menjalani satu perjalanan yang
amat penting dalam kehidupan: perjalanan menuju alam lain.

Jika kesalahan yang dilakukan itu berkaitan dengan orang lain,


dan jika orang itu masih hidup, kita bisa mendorong si sekarat
untuk mengungkapkan penyesalan dan meminta maaf kepada
orang itu. Karena, sekali lagi, pemaafan selalu memberi kelegaan
baik kepada yang meminta maupun kepada yang memberikan.

3. Mencari pernaungan spiritual


Jika si sekarat adalah seorang umat Buddha yang “serius” (umat
Buddha yang mempelajari Dharma dan menjalaninya sebagai
cara hidup), kita bisa mengingatkan mereka untuk bernaung
pada Tiga Permata. Obyek-obyek yang mengingatkan kepada
Tiga Permata bisa kita letakkan di sekitar mereka, seperti arca
atau citra Buddha. Jika dimungkinkan, kita juga bisa mengajak
mereka untuk mendaras paritta-paritta tertentu dan membahas
Dharma atau bahkan bermeditasi bersama mereka.

Jika mereka bukan umat Buddha “serius”, kita mungkin bisa


menawarkan untuk mengenalkan Dharma kepada mereka.
Jika tawaran ini bersambut, pertama-tama kita ajarkan hal-hal
kaprah yang mudah diterima pemula, seperti jangan berbuat
jahat, perbanyak kebajikan, dan sucikan batin sendiri. Lalu dari
sana kita bisa fokuskan ke ajaran mengenai ketidaktetapan
hingga berlanjut terus dengan mengajarkan teknik meditasi
untuk membantu mereka mampu membiarkan berlalu. Namun
jika tawaran ini tak bersambut, kita tak perlu memaksakan diri.
Serbaneka

Eutanasia

M enurut Wikipedia, eutanasia berasal dari bahasa Yunani


yang tersusun dari kata eu yang artinya ”baik” dan thanatos
yang berarti ”kematian”. Jadi eutanasia dapat diartikan sebagai
”kematian yang baik”, suatu praktik pencabutan kehidupan
dari manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak
menimbulkan rasa sakit atau hanya menimbulkan kesakitan yang
minimal. Eutanasia biasanya dilakukan dengan memberikan suatu
suntikan yang mematikan. Eutanasia biasanya dilakukan terhadap
orang-orang yang menderita sakit parah yang tak tersembuhkan
dan sangat menderita karena penyakitnya itu, baik atas permintaan
yang bersangkutan maupun atas permintaan keluarganya (jika
yang bersangkutan dalam keadaan koma/tak sadarkan diri).
Untuk binatang pun begitu. Misalnya dalam perang bila seekor
kuda dari pasukan kavaleri terluka parah tapi tidak mati, prajurit
penunggang atau yang lainnya akan menembak mati kuda itu
supaya penderitaannya tidak berlangsung lama.

Ditinjau dari pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi


tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non-agresif, dan
eutanasia pasif.

1. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu


tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan
pemberian suatu senyawa yang mematikan (misalnya tablet
sianida) secara oral atau suntikan.
81 Serbaneka

2. Eutanasia non-agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis


(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu
kondisi di mana pasien menolak secara tegas dan dengan sadar
untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa
penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat
sebuah codicil (pernyataan tertulis). Eutanasia non-agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan
pasien yang bersangkutan.

3. Eutanasia pasif, dapat juga dikategorikan sebagai tindakan


eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat atau langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan pasien. Eutanasia pasif dilakukan
dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjanghiduppasiensecarasengaja.Beberapacontohnya
adalah dengan tidak memberikan bantuan  oksigen  bagi
pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita  pneumonia  berat,
meniadakan tindakan  operasi  yang seharusnya dilakukan
guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti  morfin  yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali
dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga


medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian
seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada
beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar
biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit
untuk membuat “pernyataan pulang paksa”. Meskipun akhirnya
meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai
upaya defensif medis.
82 Mati Itu Pasti

Dalam menyikapi praktik eutanasia, setiap negara memiliki


aturan yang berbeda. Di negara seperti Belanda dan Belgia,
eutanasia termasuk legal, tapi tetap dengan pelaksanaan dan
persyaratan yang ketat. Di Indonesia praktik eutanasia ini
dianggap ilegal.

Bagaimana dengan agama? Secara umum semua agama besar


yang dikenal dunia tidak membenarkan praktik eutanasia karena
menganggapnya sebagai bentuk lain dari bunuh diri. Tapi untuk
kasus-kasus tertentu seperti eutanasia negatif/pasif agaknya
ada perbedaan pendapat. Agama Yahudi tidak membenarkan
eutanasia dalam bentuk apa pun. Sedangkan Buddhisme akan
mempertimbangkan dengan saksama dan menyeluruh secara
kasus per kasus jika eutanasia negatif terpaksa dilakukan,
misalnya dalam kasus kehamilan ibu yang membahayakan
nyawa ibu dan/atau anaknya dan jika tidak dilakukan suatu
tindakan eutanasia akan menyebabkan bahaya yang lebih besar.

Bunuh Diri

Berbeda dengan eutanasia, dalam hal bunuh diri jelas-jelas semua


agama dan sistem hukum di negara mana pun menentangnya
meskipun dalam budaya tertentu seperti di Jepang dikenal suatu
bentuk bunuh diri (harakiri) sebagai pertanggungjawaban atas
suatu kegagalan. Menurut Wikipedia, bunuh diri adalah suatu
tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif orang
lain. Motif seseorang melakukan bunuh diri bermacam-macam,
namun biasanya adalah karena suatu kegagalan mencapai atau
meraih suatu hal, depresi, atau karena urusan asmara.

Orang-orang yang melakukan aksi bunuh diri beranggapan


bahwa dengan mengakhiri hidupnya maka segala persoalan yang
menghimpitnya menjadi selesai. Dalam kenyataan seperti yang
83 Serbaneka

diajarkan dalam Buddhisme, kehidupan ini bukanlah yang pertama


dan terakhir (kecuali jika seseorang telah mencapai kesucian
tertinggi, Arahatta). Jadi bila kita mengakhiri hidup dalam kehidupan
ini dengan bunuh diri dan percaya bahwa itu adalah jalan keluar
yang terbaik, kita akan menemukan kenyataan bahwa kita pasti
terlahir kembali dan menjalani kehidupan yang lainnya lagi dengan
persoalan-persoalannya sendiri. Bahkan sangat mungkin kehidupan
itu akan lebih buruk dari kehidupan yang sekarang ini karena siapa
pun yang mengakhiri kehidupan dengan bunuh diri, berarrti dia
pergi dari kehidupan ini dengan penuh rasa benci. Dan kita tahu,
pikiran jelang ajal sangatlah berperan dalam menentukan ke alam
mana kita pertama-tama menuju.

Jadi, bagaimana mencegah supaya kita tidak sampai putus asa,


depresi, dan lantas mengambil jalan pintas bunuh diri yang tak
akan menyelesaikan persoalan apa pun alih-alih menambah
ruwet kehidupan kita selanjutnya? Mungkin nasihat praktis
paling ringkas yang bisa diberikan di sini adalah seperti yang
pernah diceritakan oleh Ajahn Brahm. Nasihat ini adalah tentang
meletakkan segelas air.

Pada salah satu ceramahnya, Ajahn Brahm menceritakan sebuah


kisah yang beliau peroleh dari gurunya, Ajahn Chah. Ajahn Brahm
berkata, “Jika saya mengangkat segelas air, menurut kalian, apakah
akan terasa berat bagi saya?” Sambil bertanya begitu Ajahn Brahm
memperagakan mengangkat segelas air. Para hadirin menjawab,
“Tidak.” Lalu Ajahn Brahm berkata, “Jika saya terus memegang gelas
seperti ini selama 5 menit, saya masih belum merasa berat. Tapi setelah
10 menit, akan mulai terasa berat, lalu 30 menit, tambah berat, dan
1 jam maka tangan saya bisa mati rasa dan saya menjadi bhikkhu
yang tolol. Lalu, apa yang harus saya lakukan?” Hadirin menjawab,
”Letakkan gelasnya!” “Ya, betul,” kata Ajahn Brahm. Jadi persoalannya
bukan di berat gelas itu, tapi seberapa lama kita memegangnya. Gelas
84 Mati Itu Pasti

berisi air ibaratnya adalah beban atau persoalan dalam kehidupan ini.
Bukan di sana letak beratnya, tapi saat kita terus memikirkan beban
atau persoalan tersebut tanpa memberikan waktu istirahat bagi diri
kita, maka beban atau persoalan tersebut menjadi benar-benar berat.
Begitu kita melepasnya, meletakkan barang sejenak, memberikan diri
kita sedikit waktu untuk beristirahat, maka energi kita akan pulih lagi
dan persoalan yang semula terasa berat bisa jadi akan mudah saja kita
selesaikan.

Donor Jenazah dan Organ

Sebagai manusia, banyak jenis perbuatan baik yang bisa kita lakukan.
Kebajikan itu tidak hanya bisa kita lakukan ketika kita masih hidup,
bahkan saat tubuh ini sudah terbujur kaku sebagai sosok mayat pun
kita masih punya kesempatan untuk berbuat baik. Misalnya dengan
menjadi donor organ atau jenazah.

Donor organ adalah kita mendonorkan sebagian atau seluruh


dari suatu organ kita kepada orang yang memerlukan untuk
dicangkokkan atau menggantikan organ tubuh orang itu yang
telah rusak atau tidak berfungsi. Organ yang bisa didonorkan
ketika pendonornya masih hidup adalah ginjal (karena kita
punya 2 ginjal dan manusia bisa hidup dengan 1 ginjal), sumsum
tulang, hati (maksimal separuh dari hati bisa didonorkan,
sedangkan pendonor tetap bisa hidup hanya dengan separuh
hati yang tersisa), dan kulit (untuk kasus-kasus pendonor
yang menderita obesitas—kelebihan berat badan—yang lalu
melakukan program diet atau operasi sedot lemak, maka dia
akan memiliki kulit yang “kebesaran” untuk tubuhnya yang kini
sudah mengurus, kulit itu bisa didanakan ke bank jaringan untuk
dicangkokkan ke penderita luka bakar parah). Sedangkan organ
yang bisa kita donorkan ketika kita telah meninggal adalah
kornea mata dan jantung.
85 Serbaneka

Donor jenazah adalah kita menyumbangkan jenazah utuh kita


kepada rumah sakit yang menjadi tempat praktik para mahasiswa/
mahasiswi kedokteran. Gunanya adalah sebagai sarana praktik
bedah agar para pelajar itu mahir dalam ilmu bedah dan anatomi
tubuh. Jadi, sebelum nantinya mereka diizinkan berpraktik sebagai
dokter bedah, mereka berlatih membedah dengan memakai mayat
atau jenazah dari orang-orang yang menjadi donor jenazah. Karena
itu, para pendonor ini dikenal sebagai silent mentor atau “guru bisu”,
sebab mereka menyediakan tubuh kaku mereka demi memberikan
pelatihan ilmu bedah kepada para bakal dokter.

Di Indonesia, praktik mendonorkan organ tubuh atau jenazah


kurang populer karena, mungkin, ada sedikit halangan dari
keyakinan yang dianut kebanyakan orang Indonesia, dan
juga karena kurangnya pengetahuan tentang manfaat dan
caranya. Tapi dari sekian banyak rumah sakit, salah satu yang
menyediakan layanan ini adalah Bank Jaringan Rumah Sakit Dr.
Sutomo Surabaya. Bagi siapa pun yang berminat mendaftarkan
diri sebagai donor organ atau jenazah bisa menghubungi:

Pusat Biomaterial, Bank Jaringan Dr. Sutomo


RSUD Dr. Sutomo / Fakultas Kedokteran Unair
Jl. Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya
Telp: 031-5501329, 5020406, 5929658-9

Dalam Buddhisme, perbuatan baik seperti mendanakan organ


tubuh atau mayat adalah salah satu bentuk derma yang amat
dipuji, yakni: derma kehidupan, yang hanya setingkat di bawah
derma Dharma. Jadi, umat Buddha, mari kita beramai-ramai
menjadi donor organ atau jenazah!
Fakta Unik Tentang Kematian

1. Kepala manusia masih tetap sadar selama 15-20 detik setelah


dipenggal. Seekor kecoak mampu hidup selama lebih dari 9 hari
tanpa kepalanya.
2. Mayoritas orang-orang yang tewas dalam kebakaran bukan mati
karena terbakar. Mereka tewas akibat kekurangan oksigen dan
keracunan gas-gas berbahaya seperti karbondioksida, hidrogen
klorida, dan lain-lain.
3. Dalam waktu 3 hari setelah kematian, enzim-enzim yang telah
dikonsumsi melalui makanan akan mulai ”memakan” jaringan
kulit mayat.
4. DI Kota New York, lebih banyak orang yang tewas karena bunuh
diri daripada dibunuh; berita-berita dipenuhi oleh laporan
tentang orang-orang yang tewas dibunuh.
5. Kremasi tidaklah begitu baik bagi lingkungan ketika kremasi
menimbulkan polusi bagi lingkungan. Proses kremasi
membuang gas-gas berbahaya seperti dioksin, merkuri,
karbondioksida, dan sulfurdioksida.
6. Di China, keluarga Anda dianggap lebih beruntung jika makin
banyak orang yang mendatangi upacara kematian Anda. Jadi, ada
sebuah tradisi untuk mengumpulkan sebanyak mungkin orang
yang sekalipun mereka tidak mengenal Anda. Salah satu cara
untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menyewa para penari
untuk memeriahkan acara penguburan. Dengan cara ini banyak
orang akan datang menghadiri upacara pemakaman Anda.
7. Dalam bahasa Inggris, ada lebih dari 200 eufemisme (kata
pemerhalus) untuk kematian. Hal ini membuktikan kematian
menjadi sesuatu yang amat tabu untuk dibicarakan, karenanya
perlu diciptakan kata-kata penghalus untuk menyebutkannya.
8. Diperkirakan ada 100 miliar orang telah tewas sejak
manusia ada.
Humor Kematian

Sekarang Barulah Ajalmu Tiba!

Seorang penjelajah yang sedang memasuki pedalaman Amazon


tiba-tiba saja telah dikepung oleh suku asli yang kanibal.

“Ooo..., Tuhan, matilah aku...,” rintihnya.

Tiba-tiba dari langit muncul cahaya dan terdengar suara


menggelegar: “Tidak, ajalmu belum tiba! Ambillah batu yang
ada di dekat kakimu dan pukul kepala pemimpin mereka yang
persis ada di depanmu!”

Si penjelajah pun mengambil batu itu, menyerang ke arah


gerombolan itu, dan memukulkan batu itu dengan sekuat
tenaga ke kepala pemimpin mereka. Seketika 100 orang suku
primitif itu mengepungnya dengan muka sangar, amat marah
melihat pemimpin mereka terbunuh. Lalu kilatan cahaya dari
langit itu muncul lagi dengan suara menggema: “Nah, sekarang
barulah ajalmu tiba!”

Berdoa Dulu

Seorang pemburu sedang pergi berburu ke tengah hutan nan


rimba. Sialnya, dia bertemu seekor singa besar yang tampak
ganas dan lapar. Si pemburu, amat ketakutan, tapi dia tak
tahu bagaimana cara melarikan diri. Karena itu dia hanya bisa
berlutut, memejamkan mata, dan mulai berdoa untuk meminta
pertolongan kepada Tuhannya.
88 Mati Itu Pasti

Setelah cukup lama berdoa, dia merasa heran tak terjadi apa
pun. Karena penasaran dia lalu perlahan-lahan membuka
matanya, mengintip. Dengan amat terkejut dia melihat singa itu
juga sedang berdoa.

“Astaga! Ternyata kamu singa yang baik dan religius,” katanya


dengan takjub.

Jawab si singa, “Ah, biasa aja, kaleee.... Aku memang punya


kebiasaan berdoa dulu sebelum makan.”

Golf Minggu Depan

Ketika Peter bermain golf bersama pendeta Brian, ia melontarkan


sebuah pertanyaan teologis yang sangat penting: “Pak Pendeta,
apakah ada lapangan golf di surga?”

“Wah, sampai sekarang saya tidak tahu. Nanti kalau ada


kesempatan saya akan menanyakan soal itu kepada Tuhan dan
jawabannya pasti akan saya beritahukan kepada kamu.”

Minggu berikutnya mereka berdua bermain golf kembali dan


Peter masih mengajukan pertanyaan yang sama: “Pak Pendeta,
apakah Anda sudah menemukan lapangan golf di surga?”

“Sudah, sudah. Lapangan golf di sana bagus sekali. Saya dengar


kamu diundang untuk main di sana minggu depan.”
89 Humor Kematian

Tak Ada yang Bisa Mati di Kursi Listrik

Tiga wanita di Meksiko yang sedang mabuk berat tertidur di


pinggir jalan dan begitu bangun mereka sudah berada di dalam
penjara. Mereka tidak ingat sama sekali apa yang sudah mereka
lakukan tadi malam.

Wanita pertama, yang berambut cokelat, diikat di kursi listrik,


dipersilakan menyampaikan kata-kata terakhirnya. Dia berkata,
“Aku berasal dari Sekolah Teologi Baylor dan aku percaya pada
Tuhan yang mahakuasa bahwa Ia akan membela orang yang
tidak bersalah.”

Petugas eksekusi menekan tombol di kursi listrik tersebut,


namun tidak terjadi apa-apa, sehingga mereka menganggap
bahwa Tuhan tidak menghendaki orang ini mati, jadi mereka
pun membebaskan dia.

Giliran wanita kedua yang berambut merah, diikat di kursi listrik


dan menyampaikan kata-kata yang terakhir, “Aku berasal dari
Sekolah Hukum Texas dan aku percaya pada kekuatan keadilan
yang akan membela orang yang tidak bersalah.”

Petugas lalu menekan tombol kursi listrik itu, lagi-lagi tidak


terjadi apa-apa. Mereka menganggap bahwa kuasa hukum
berpihak pada wanita ini, jadi mereka membebaskan dia.

Wanita yang terakhir, berambut pirang, diikat di kursi listrik


dan berkata, “Aku seorang sarjana teknik listrik dari Texas, dan
sekarang juga aku memberitahu Anda bahwa tidak seorang pun
yang bisa mati di kursi listrik ini jika kabel yang di ujung sana itu
tidak ditancapkan di stop-kontak!”
90 Mati Itu Pasti

Iklan Dukacita

Suatu hari seorang yang kaya tapi pelit meninggal dunia dan
meninggalkan istrinya sebagai janda. Janda ini juga terkenal
sangat pelit, sangat ketat menjaga pengeluaran uang.

Berdasarkan perhitungan untung dan rugi, ia bermaksud


menyebarkan kabar dukacita di sebuah koran harian nasional
dan saking pelitnya dia memasang hanya berupa iklan baris
mini. Daripada harus mengeluarkan biaya untuk telepon lokal
dan interlokal atau mengirim surat ke seluruh keluarga dan
kenalan, ia lebih suka dengan cara ini.

Janda pelit ini datang ke bagian periklanan surat kabar yang


telah terkenal luas di seluruh negeri ini dan bertanyalah dia,
“Berapa ongkos pasang iklan untuk berita dukacita? Suamiku
meninggal dunia....”

Sekretaris yang mungil menjawab, “Seratus ribu rupiah sebaris.”

Janda pelit mengeluh, “Wah... mahal amat! Saya cuma ingin


menuliskan TOTO MENINGGAL.”

“Memang itu tarif minimalnya, Bu.... Ibu boleh menuliskan lima


kata, tidak hanya dua kata. Ibu mau tambah 3 kata lagi?” tanya
sang sekretaris.

“Tunggu sebentar... saya akan memikirkannya...,” ujar janda pelit


tersebut.

Akhirnya, setelah beberapa menit berpikir, ia menjawab,


“Sudahlah... tulis saja begini... TOTO MENINGGAL, DIJUAL MOBIL
JEEP.”
91 Humor Kematian

Tiga Jenis Neraka

Seorang pria jahat mati dan disambut oleh Dewa Yama. Dewa
Yama memberitahunya bahwa ia harus memilih salah satu dari
tiga jenis neraka.

Neraka pertama sangat panas dan ia melihat banyak orang


terbakar dalam api. Neraka berikutnya sangat dingin dan ia
melihat orang menggigil dan meratap. Di neraka ketiga, ia
melihat orang-orang berdiri di kubangan kotoran setinggi
pinggang tapi mereka tampak senang. Mereka minum segelas
kopi dan saling mengobrol. Karena itu, pria jahat tadi berkata
kepada Dewa Yama, “Saya pilih neraka ketiga.”

Dewa Yama memasukkan pria itu ke neraka ketiga. Ia mendapat


segelas kopi dan cukup menikmatinya. Sedang asyik-asyiknya
ngobrol sambil ngopi, tiba-tiba ia mendengar suara dari
pengeras suara yang berkata, “Perhatian! Perhatian! Waktu
minum kopi sudah selesai! Kini waktunya kalian berdiri dengan
kepala kalian!”
Ungkapan Bijak Tentang Kematian

Rasa takut akan kematian berasal dari ketakutan


terhadap kehidupan. Seorang manusia yang hidup
sepenuh hati siap mati kapan pun. ~ Mark Twain

The fear of death follows from the fear of life. A


man who lives fully is prepared to die at any time.
~ Mark Twain

Dia yang tak takut pada kematian, hanya mati


satu kali. ~ Giovanni Falcone

He who doesn’t fear death dies only once. ~


Giovanni Falcone

Kematian kita bukanlah suatu akhir jika kita


bisa hidup pada anak-anak dan generasi
penerus kita. Karena mereka adalah kita,
tubuh-tubuh kita hanyalah dedaunan layu di
pohon kehidupan. ~ Albert Einstein

Our death is not an end if we can live on in our


children and the younger generation. For they
are us, our bodies are only wilted leaves on the
tree of life. ~ Albert Einstein
93 Ungkapan Bijak Tentang Kematian

Kematian tidak pernah mengejutkan orang


bijak; dia selalu siap pergi. ~ Jean de La Fontaine

Death never takes the wise man by surprise; he is


always ready to go. ~ Jean de La Fontaine

Kelahiran kita tak lain adalah mulainya


kematian kita. ~ Edward Young

Our birth is nothing but our death begun.


~ Edward Young

Bagaimanapun, bagi yang batinnya terkelola


baik, kematian hanyalah petualangan seru
berikutnya. ~ J.K. Rowling

After all, to the well-organized mind, death is but


the next great adventure. ~ J.K. Rowling
Bacaan

Buku-C (Buku Cetak)


1. Si Lilin, Ehipassiko.
2. “Selasa Bersama Morrie”, Mitch Albom, Gramedia.
3. Kitab Suci Dhammapada, Yayasan Dhammadipa Arama.
4. Menguak Misteri Kematian, Jan Sanjivaputta.
5. Don’t Worry Be Healthy, Dr. Phang Cheng Kar MD,
Karaniya.
6. Tesaurus Bahasa Indonesia, Eko Endarmoko, Gramedia.

Buku-E (Buku Elektronik)


1. Preparing for Death and Helping for Dying, Sangye
Khadro, Buddha Dharma Education Association Inc.
2. Five Visions of A Dying Man, Rastrapal Mahatheraen,
Rastrapal Mahathera
3. Being Dharma, Ajahn Chah.
4. Sumber-sumber lainnya dari daring (dalam
jaringan/online) antara lain forum diskusi Buddhis
seperti di: http://tamandharma.com/forum/index.
php?topic=3567.0;wap2, http://www.wihara.com/forum/
help-forum/7284-49-hari-setelah-kematian.html, dan
grup Dhammacitta di Facebook serta beberapa sumber
yang menyajikan konsultasi hukum dan informasi
mengenai asuransi yang bisa dicari dengan Google.
Profil Penulis

Chuang lahir pada tahun 1976 di Denpasar,


Bali. Menamatkan pendidikan mulai TK
hingga SMK (dulunya STM) di Denpasar,
Bali, pada tahun 1994 Chuang melanjutkan
pendidikan D3 di STIKI (Sekolah Tinggi
Informatika dan Komputer Indonesia)
Malang, Jatim. Setamat dari sana Chuang
kembali ke Bali dan kini mengelola toko
milik orangtuanya di Sanur. Pekerjaan
sampingannya adalah menjadi penerjemah buku-buku Dharma
dan penulis. Beberapa karya terjemahannya sudah diterbitkan,
antara lain Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya (Ajahn Brahm,
Awareness Publications), Lingkaran Keindahan (Master Cheng
Yen, PT Elex Media Komputindo), Ilustrasi Sutra Hati (Tsai Chih
Chung, PT Elex Media Komputindo). Beberapa karya tulisnya
adalah Trio RaTaNa—bidadari (novel, Karaniya), Senyum, Dong!
Dunia Belum Kiamat Lho (kumpulan esai, DPI 2, Ehipassiko),
Berbuat Baik Itu Mudah (panduan, DPI 5, Ehipassiko), dan
Bajik+Bijak=Bahagia (kumpulan esai+puisi, DPI 11, Ehipassiko),
serta hasil karya bukan tulisan yang berupa mainan pendidikan
Buddhis “Jalan Dharma” pemenang pertama dalam lomba
Cipta Mainan Anak Buddhis yang diadakan oleh SIDDHI pada
tahun 2009. Chuang melewatkan waktu luangnya dengan aktif
di jejaring sosial Facebook, selain menggemari nonton film,
berolahraga, mendengarkan musik, membaca, dan tentu saja
menulis. Chuang bisa dihubungi melalui www.facebook.com/
chuang.bali atau chuang.bali@gmail.com.
Buku ini dipersembahkan dengan penuh kasih
sebagai pelimpahan jasa untuk mengenang:

– Ibu Auw Kiok Nio —


Lahir: Baturiti, 1909
Wafat: Baturiti, 3 Februari 2013


Sebagai tanda bakti dan kasih kami kepada Mama
atas jasanya yang tak terbalaskan,
kami juga melakukan dana pelimpahan jasa berikut ini.

Dari Bapak Putu Adiguna, untuk:


Yayasan Ehipassiko, Jakarta: Rp100.000.000
Dari Ibu Erlina Kang Adiguna, untuk:
Yayasan Ehipassiko, Jakarta: Rp100.000.000
Vihāra Jala Giri Pura, Kebumen: Rp52.000.000
Vihāra Dhamma Vinaya, Lombok: Rp50.000.000
Vihāra Buddha Loka, Blitar: Rp25.000.000
Vihāra Kertajaya Loka, Blitar: Rp25.000.000
STAB Kertarajasa, Batu: Rp10.000.000
Vihāra Dhammadana, Baturiti: Rp3.000.000
Vihāra Buddha Sakyamuni, Denpasar: Rp3.000.000
Vihāra Dharma Giri, Pupuan: Rp3.000.000
PD FIB, Baturiti: Rp2.000.000
PAC Magabudhi, Baturiti: Rp2.000.000

Semoga dengan kekuatan Dhammadāna ini beliau mencapai


kehidupan yang lebih baik hingga Pembebasan Akhir.
Semoga Dhammadāna ini bermanfaat dan
membawa kebahagiaan bagi semua makhluk.
Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā
Sādhu, Sādhu, Sādhu.

Keluarga Besar Mama&Leon

Anda mungkin juga menyukai