Anda di halaman 1dari 16

SPIRITUALITAS PEMBEBASAN

B E L A J A R D A R I B E ATA T E R E S A D A R I
K A L K U TA

Trisno S. Sutanto
THE LETTERS

Film The Letters (2014) besutan William Riead


bertolak dari catatan-catatan personal, baik surat
menyurat sampai catatan retret yang ditinggalkan Bunda
Teresa. Berulang kali, semasa masih hidup, ia mendesak
agar catatan-catatan itu dilenyapkan. Untunglah pihak
Gereja tidak memenuhi permintaan itu, sehingga kini
kita dapat belajar warisan spiritualitasnya.
Selama proses kanonisasi (penetapan seseorang untuk
digelari Santa, yakni orang kudus dalam tradisi Gereja
Katolik), catatan-catatan itu dikumpulkan dan
diterbitkan menjadi buku. Konon dokumen
kanonisasinya mencapai 80 jilid.
Buku itu, berjudul
Mother Teresa: Come Be
My Light The Private
Writings of the Saint of
Calcutta, yang diedit
dan dikomentari oleh
Brian Kolodiejchuk,
M.C., pertamakali terbit
2007 dan langsung
menjadi bestseller
international yang
menggemparkan. Edisi
Indonesia diterbitkan
oleh Gramedia setahun
kemudian, lalu edisi
revisinya terbit 2009.
Film The Letters (2014)
berangkat dari buku ini.
Memang tidak utuh, hanya
potongan-potongan saja,
namun dapat
menggambarkan apa yang
pernah saya sebut sebagai
mistik gelap figur yang
memesona dunia itu
(Kompas, 23 Maret 2008).
Gereja sendiri mengakui
kesucian hidup Bunda
Teresa. Rencananya
penetapan Beata (yang
terberkati) Teresa
menjadi Santa akan
berlangsung di Vatikan, 4
September nanti.
Saya tidak akan membahas baik buku tersebut, maupun
filmnya. Apa yang ingin saya lakukan adalah mengajak
kita semua belajar dari Beata Teresa dari Kalkuta,
dengan mengajukan pertanyaan pokok ini:

Apakah mistik gelap yang sangat


mewarnai pelayanan dan pengabdian
Bunda Teresa dapat juga menjadi spirit bagi
kerja-kerja pembebasan, seperti misalnya
advokasi HAM, termasuk kebebasan
beragama?

Untuk itu kita harus sejenak melihat dimensi-dimensi


panggilan, sebelum masuk ke dalam mistik gelap yang
dijalani Bunda Teresa, dan melihat implikasinya bagi
kerja-kerja pembebasan.
PANGGILAN KRISTIANI

Jika kita ingin memahami pusat dinamika pelayanan


Bunda Teresa, maka kita harus memasuki panggilan
dalam panggilan yang diterimanya sejak 10 September
1946. Apa maknanya?
Di dalam tradisi Gereja Katolik, lumrah dikenal dua
jenis panggilan:
Panggilan Umum: Setiap orang kristiani, yakni mereka yang
dibaptis dan menjadi anggota gereja, memiliki panggilan untuk
memperjuangkan kerajaan Allah.
Panggilan Khusus: Dalam Gereja Katolik dikenal tiga bentuk
panggilan khusus, yakni menjadi Imam, Biarawan/wati, atau
Teolog/Magisterium.
Mari kita lihat satu per satu.
Tentu saja ada evolusi pemaknaan panggilan umum
untuk memperjuangkan Kerajaan Allah dalam sejarah
kekristenan yang panjang. Ringkasnya begini:
Mula-mula, panggilan itu dimaknai sebagai misi
(perutusan) untuk mengabarkan Injil apa yang sering
diejek sebagai kristenisasi.
Semangat misi ini berjumpa dengan semangat eksplorasi
Eropa ke seluruh penjuru dunia. Kita lalu mengenal 3G:
God, Glory and Gold. Di sini kekristenan berkelindan
dengan proses kolonisasi: mengabarkan Injil (God)
sekaligus mencari kekayaan (Gold) dan kekuasaan
(Glory).
Pada the golden age of missionary (abad 18 19),
aktivitas misi lebih banyak dijalankan oleh lembaga-
lembaga misi yang di luar pemerintah. Kadang mereka
bentrok dengan kekuasaan kolonial.
Baru di abad 20 terjadi perubahan paradigmatis tentang
misi. Timbul kesadaran baru, bahwa misi sebenarnya
merupakan misi Allah (missio Dei), bukan aktivitas
manusia. Karena itu, gereja harus tunduk pada apa yang
menjadi rencana keselamatan Allah.

Dua perumusan ulang:


Dalam lingkup Gereja Katolik, Konsili Vatikan II (1965
1968) mengubah sama sekali pemahaman baik misi,
makna agama lain, sampai makna gereja. Mengikuti
Kristus berarti menghidupi semangat preferential option
of the poor.
Di Protestan, lewat DGD (Dewan Gereja se-Dunia) sejak
1970-an dirumuskan apa yang menjadi panggilan utama
setiap orang Kristen untuk memperjuangkan Kerajaan
Allah: memperjuangkan JPIC (Justice, Peace and Integrity
of Creation).
Sementara itu, bentuk-bentuk panggilan khusus (hanya
ada di Katolik), tidak mengalami perubahan berarti.
Seseorang dapat merasa terpanggil untuk mengabdikan
diri dalam pelayanan Gereja lewat tiga bentuk:
Menjadi imam (hanya lelaki) yang bertugas
menggembalakan umat, melayangkan misa,
mendampingi pergulatan hidup umat, dstnya.
Menjadi biarawan/wati yang tinggal dalam biara,
memusatkan diri pada kehidupan doa, kerap membantu
pelayanan pendidikan/kesehatan, dstnya.
Menjadi teolog/magisterium, yakni mereka yang
bertugas mengajar teologi dan dogma-dogma gereja.
Ketiganya diikat oleh kaul yang mencakup kemurnian
(hidup selibat), kemiskinan dan ketaatan pada pimpinan.
PANGGILAN DALAM PANGGILAN

Ketika Gonxha Agnes Bojaxhiu, gadis 18 tahun dari


Skopje, Albania, meninggalkan rumahnya untuk menjadi
misionaris 26 September 1928, ia masih berpikir dalam
konteks panggilan khusus: menjadi biarawati dan
bekerja bagi masyarakat miskin.
Tetapi peristiwa di kereta api menuju Darjeeling 10
September 1946 mengubah total hidupnya. Ia merasa
mendapat panggilan dalam panggilan: bukan sekadar
menjadi biarawati seperti umumnya, melainkan
sepenuhnya bekerja bagi kaum termiskin dari yang
miskin (the poorest of the poor) di Kalkuta demi
memuaskan dahaga Yesus. Ia menjadi Bunda Teresa.
Jika kita membaca surat-surat dan catatan-catatan personal
Bunda Teresa, maka setidaknya ada tiga unsur penting
panggilan dalam panggilan itu yang saling berkaitan:

Pemahaman baru tentang dahaga Allah. Pengalaman


mistiknya hari itu merujuk pada ungkapan Yesus yang
tergantung di salib: Aku haus (Yoh. 19:28). Ia memahami
ungkapan tersebut panggilan untuk memenuhi dahaga tak
terbatas yang dialami Allah yang menjadi manusia, yakni
dahaga-Nya akan kasih dan pengorbanan manusia.
Menjadi cahaya Allah bagi kaum yang paling miskin, terbuang,
dan tidak dikehendaki oleh masyarakat. Ia juga mulai menerima
bisikan batin yang diyakini dari Allah yang mengundangnya:
Datanglah, datanglah, bawalah Aku ke tengah-tengah kaum
miskin. Datang dan jadilah Cahaya-Ku.
Proses pengosongan diri (kenosis) agar mampu menjadi orang
India, hidup bersama mereka, hidup seperti mereka, sehingga
mampu menyentuh hati mereka.
Tetapi yang tak pernah diduga oleh Bunda Teresa
sebelumnya, proses menjalani panggilan dalam panggilan
tersebut merupakan proses pergulatan batin yang sangat
berat dengan kegelapan. Hampir di setiap halaman buku
kumpulan surat dan catatan personalnya bercerita tentang
kegelapan yang menyertainya.

Proses memasuki malam gelap jiwa (dark night of the


soul) yang didendangkan St. Yohanes dari Salib, merupakan
proses purifikasi: pemurnian jiwa di mana segenap
kekuatan indera, perasaan, pikiran, dan bahkan keyakinan
dogmatis tak lagi berguna. Mereka yang mengalaminya akan
merasa segala sesuatu yang pernah dipercayai, diimani, dan
diyakini selama ini jadi sia-sia. Tak ada lagi pegangan
apapun, kecuali memasrahkan diri sepenuhnya pada
tuntunan kegelapan itu sendiri!
Bunda Teresa mengalaminya. Bahkan pada puncaknya,
seperti tercermin dalam surat panjang pada Pastor Lawrence
Trevor Picachy tanggal 3 Juli 1959, yang berbentuk doa
pengakuan begini:
Tuhan, Allahku, siapakah aku sehingga Kau
menolakku? Sendirian. Kegelapan begitu pekat, dan
aku sendirian. Tidak dimaui, ditolak. Kesepian hati
yang mendambakan cinta ini sungguh tak
tertanggungkan. Di mana imanku? Bahkan pada
lubuk terdalam batinku, yang ada hanyalah
kekosongan dan kegelapan. Allahku, betapa
menyakitkan derita yang tak kuketahui ini.
Itulah puncak pengalaman malam gelap jiwa Bunda Teresa.
Melalui jalan kegelapan itu, ia mengalami penyatuan mistik
dengan Yesus yang tergantung di salib dan merasa
ditinggalkan Allah.
KENOSIS DAN PEMBEBASAN
Pengalaman kenosis (pengosongan diri) melalui malam
gelap jiwa, memungkinkan Bunda Teresa menyatu utuh
dengan kaum termiskin dari yang miskin. Kini mereka
bukan lagi obyek yang dilayani, melainkan menjadi
subyek dan bahkan menyatu dengan dirinya, menjadi
kemiskinanku (my poor) dan sekaligus gambar nyata
hidup rohaniku sendiri.
Menurut saya, pengalaman kenosis itu sangat penting
juga bagi kerja-kerja pembebasan. Sering karya Bunda
Teresa diejek hanya sebagai karya karitatif, belum
transformatif, apalagi produktif: hanya melayani
korban, bukan membongkar struktur-struktur
penindasan yang melahirkan korban-korban itu.
Kritik itu ada benarnya. Namun, sebaliknya, kerja-kerja
pembebasan juga sering terjebak menciptakan bentuk-
bentuk ketergantungan baru yang, sesungguhnya,
merupakan penindasan baru! Korban-korban tetap
diperlakukan sebagai obyek pelayanan (advokasi),
sehingga tidak mengalami transformasi dan
pemberdayaan untuk menjadi subyek yang, bersama-
sama kita, melakukan kerja pembebasan yang lebih
holistik.

Di situlah spiritualitas kenosis Bunda Teresa sangat


penting: Dibutuhkan pengosongan diri agar kita
dapat masuk dan menyatu dengan korban,
sehingga melalui itu mengalami transformasi
timbal balik (mutual transformation) dan
membangun struktur-struktur alternatif bersama.
Menurut saya, sekalipun Bunda Teresa tidak merumuskan
karyanya di dalam paradigma pembebasan, karya nyatanya
telah melahirkan gerakan transformasi timbal balik yang
sangat luas. Tarekat Misionaris Cinta Kasih (Missionary of
Charity, MC) yang didirikannya sampai sekarang menjadi
Ordo Gereja Katolik yang terus berkembang pesat,
sementara Ordo-ordo lain justru mengalami krisis. Setiap
tahun ribuan anak muda dari berbagai pelosok dunia dan
dari berbagai latar belakang agama pergi ke Kalkuta untuk
menjadi sukarelawan/wati di Tarekat itu. Pengalaman
konkret itulah yang akan menjadi bekal bagi transformasi
diri mereka.

Sesungguhnya Bunda Teresa telah menjadi cahaya Allah.


Dan awal September nanti, kita akan merayakannya
sebagai Santa Teresa dari Kalkuta: Santa Kaum Miskin!

Anda mungkin juga menyukai