Anda di halaman 1dari 11

Pemahaman Iman GPIB dan Budaya Lokal

Emanuel Gerrit Singgih

Pendahuluan

Saya bisa salah, tetapi setelah membolak-balik buku I Persidangan Sinode XX dan
buku Bina Materi, saya tidak menemukan uraian mengenai iman dan budaya,
bahkan kata “budaya” pun tidak ada dalam kedua buku pegangan GPIB tersebut.
Maka saya bisa mengerti mengapa kali ini saya diminta memberi bahan mengenai
hubungan Iman dan Budaya, bersama dengan pakar teologi kontekstual dari Timor,
yaitu Pdt. Dr. Eben Nuban Timo. Selama karir saya sebagai dosen, saya telah
menulis banyak mengenai berteologi kontekstual, termasuk bagaimana kita
menghayati iman dalam budaya lokal kita masing-masing. Anda bisa mengecek
misalnya buku saya Dari Israel ke Asia edisi revisi dan Berteologi dalam
Konteks.Tetapi dari pengalaman saya tahu bahwa menerangkan buku dalam sebuah
lokakarya merupakan hal yang amat membosankan, jadi saya membatasi diri
dengan sedikit menjelaskan kira-kira apa yang menyebabkan kita di GPIB tidak
berbicara mengenai budaya, satu uraian teoretis dari Richard Niebuhr dan akhirnya
satu contoh bagaimana kita di GPIB bisa menghayati iman dalam budaya lokal.
Hal-hal lain yang bersifat lebih umum, biarlah menjadi bagian dari bahan pak Eben
(hehehe).

Mengapa kita di GPIB tidak berbicara mengenai budaya?

Wesley Ariarajah, seorang missiolog Srilangka yang lama bekerja di WCC menulis
sebuah buku kecil berjudul Gospel and Culture mengenai sejarah pemahaman
hubungan iman dan budaya dalam pertemuan-pertemuan internasional dari para
misionaris Barat sebelum perang dunia II . Dia memeriksa dokumen-dokumen
pertemuan-pertemuan tersebut dan mendapati bahwa kata “culture” jarang sekali
disebut, padahal persoalannya waktu itu adalah bagaimana mengabarkan Injil di
daerah-daerah bukan Kristen, terutama di Asia dan Afrika. Kemudian dia
menyadari bahwa hal itu disebabkan oleh karena bagi para misionaris, budaya
lokal dianggapnya agama, dan sebaliknya, budaya Barat, yaitu budaya mereka
1
sendiri, dianggapnya agama. Dalam kerangka pandangan seperti itu, maka
penginjilan berarti konflik atau benturan antar agama, yaitu agama lokal dan
agama impor, yaitu agama yang dibawa oleh para misionaris. Kalau agama para
misionaris sudah berhasil ditanamkan di wilayah Asia atau Afrika, maka agama
lokal tidak bisa ditolerir, harus dibasmi, dan sekaligus itu berarti budaya lokal
harus dibasmi oleh karena merupakan budaya kafir. Sebagai gantinya penduduk
lokal yang sudah menjadi Kristen harus mengambil alih budaya para misionaris,
yang tidak dianggap budaya melainkan iman, atau dianggap “budaya Kristen”.

Kalau saya boleh menambahkan satu hal lagi dari perspektif poskolonial, bagi
banyak orang Kristen Barat di abad 19 dan awal abad 20 (yang biasanya dilihat
sebagai sejarah kolonialisme-imperalisme Barat modern), agama dan budaya orang
Barat yang menjajah dianggap lebih tinggi daripada agama dan budaya yang
dijajah. Dalam kerangka pemikiran yang menggabungkan pemikiran bahwa
budaya lokal adalah kafir (dalam pemikiran misionaris) dan lebih rendah (dalam
pemikiran kolonial), maka lengkaplah sudah gambaran budaya lokal sebagai
bagian dari dunia gelap yang perlu diterangi dengan “Injil” (baca: budaya Barat)
dan peradaban Barat (istilahnya “mission civilatrice”).

Dari penjelasan Ariarajah dan tambahan dari saya berupa tinjauan poskolonial,
barangkali sudah bisa kita bayangkan bahwa kita di GPIB masih meneruskan cara
berpikir para missionaris ini, yang biasanya disebut “paradigma missionaris”.
Memang dalam banyak hal, GPIB sudah meninggalkan unsur-unsur yang
diwarisinya dari masa penjajahan yang lalu, yaitu ciri-ciri sebagai gereja negara
(Belanda), dalam rangka menghayati keberadaannya dalam konteks negara dan
bangsa Indonesia. Bahkan dibandingkan dengan banyak gereja-gereja di Indonesia,
yang sampai sekarang masih tergantung pada bantuan dana dari badan-badan
penginjilan di luar negeri, GPIB bisa berbangga bahwa segala sesuatu kita biayai
dari sumber-sumber kita sendiri. Itu sebuah bentuk kemandirian gereja yang patut
dicontoh oleh gereja-gereja lain.

Tetapi dalam soal wawasan berteologi kontekstual, berdasarkan hasil-hasil


pemikiran yang saya lihat dalam literatur GPIB, nampaknya kita ketinggalan jauh
dari gereja-gereja yang lain, misalnya GKJ (Gereja Kristen Jawa) dan GKPB
(Gereja Kristen Protestan Bali). Pada 11 Februari 2018 yang lalu, dalam acara
Mupel di GPIB Magelang, ibu pendeta menceritakan bahwa GPIB Magelang yang

2
berlokasi di dekat alun-alun kota, berpartisipasi dalam HUT kota Magelang dalam
rangka menggalakkan kerukunan beragama di kota tersebut. Selain gereja GPIB, di
sekitar alun-alun ada kelenteng Konghucu dan Mesjid besar. Ketiga lembaga ini
bekerjasama dalam membuat acara-acara bersama. Maka pada waktunya, sebuah
kelompok kasidahan tampil bernyanyi di halaman gereja GPIB. Masyarakat
menyambut gembira, namun kata ibu pendeta, di kalangan jemaat ada yang tidak
senang dan protes: masak di lingkup gereja kita membiarkan orang mengucapkan
ayat-ayat Al Qur’an? Itu baru di halaman gereja lho, bukan di dalam gedung gereja

Iman dan adat-istiadat menurut Richard Niebuhr

Biasanya yang bereaksi negatif seperti itu malah yang bukan Kristen. Pada hari
raya Paskah 1 April 2018, paduan suara mahasiswa IAIN Salatiga bernyanyi di
kebaktian Paskah GKJ Sidomukti Salatiga. Mereka menyanyikan lagu “Day by
Day” dengan sangat bagus. Tayangannya viral kemana-mana, dan menuai protes
dari banyak umat Islam, katanya tidak pantas orang Muslim bernyanyi di ibadah
orang Nasrani. Untung petinggi-petinggi IAIN Salatiga membela mahasiswa
mereka, sehingga tidak dipecat dari kampus. Kiranya kedua contoh di atas
mewakili pandangan yang menganggap budaya sebagai agama dan agama sebagai
budaya. Kita masuk ke pandangan Niebuhr mengenai lima sikap yang biasanya
diperlihatkan orang Kristen dalam menghubungkan iman dan budaya, atau lebih
sempit lagi, adat-istiadat (saya meringkaskannya dari EGS, “Membangun sebuah
teologi budaya pasca Niebuhr dalam era Reformasi, dalam Iman dan Politik, 61-
66).

Sikap yang pertama adalah sikap radikal. Sikap ini bersifat anti dan menolak adat-
istiadat. Iman bertentangan dengan budaya. Budaya berasal dari bawah, dari Setan,
iman berasal dari atas, dari Tuhan. Di atas tadi saya telah memperlihatkan
paradigma misionaris, yang dapat dimasukkan ke dalam sikap ini. Kalau kita
melihat sekarang di kalangan umat Islam, sikap radikal ini nampak dalam
penolakan adat-istiadat di beberapa kalangan Muhammadiyah, dan secara ekstrim
di kalangan HTI dan FPI yang sama sekali menolak budaya Nusantara. Di atas
telah disebutkan bahwa para misionaris menolak budaya lokal, dan menawarkan

3
“budaya Kristen”, tetapi sudah jelas yang ditawarkan ini adalah budaya Barat,
tetapi bukan yang berlaku di sebagian besar dunia Barat, melainkan budaya Barat
yang telah sirna dan digantikan oleh budaya Barat yang sekular-kontemporer.
Malah ada pakar yang mengatakan bahwa di abad 19-20 budaya Barat yang telah
sirna itu justru disebarkan di Asia dan Afrika, supaya bisa tetap sintas, dan
memang nampaknya sintas di kalangan Kristen di Asia dan Afrika. Hal serupa
dapat kita lihat di kalangan HTI dan FPI, yang menawarkan “budaya Islami”,
tetapi segera jelas bahwa itu adalah budaya Timur Tengah.

Sikap yang kedua persis bertentangan dengan yang pertama, maka disebut sikap
akomodatif. Sikap ini bersifat amat positif terhadap budaya dan adat-istiadat. Tidak
ada pertentangan di antara iman dan budaya. Nilai-nilai yang menjadi dambaan
masyarakat dianggap sebagai nilai-nilai yang sama dalam penghayatan iman, atau
paling sedikit, nilai-nilai yang sejajar dengan nilai-nilai iman. Contohnya banyak
orang yang dengan tenang berkata bahwa nilai-nilai Pancasila sejajar dengan nilai-
nilai Kristiani, atau dengan nilai-nilai Islami. Mereka yang menyambut baik
budaya yang berlaku dalam masyarakat bisa sekaligus menganut sikap radikal
terhadap budaya lain yang berada di pinggiran dan sudah sirna. Orang yang
berbudaya modern seringkali mengejek orang yang berbudaya tradisional, kalau
yang dominan adalah budaya modern, dan sebaliknya, kalau budaya tradisional
yang dominan, maka yang diejek adalah budaya modern. Para misionaris yang
menganut sikap radikal anti budaya atau adat-istiadat yang berlaku, bisa
mengambil sikap akomodatif terhadap budaya yang (hampir) tenggelam.

Kadang-kadang terhadap budaya dan adat-istiadat terdapat reaksi yang bercampur-


campur. Generasi tua di GKI sering bersikap radikal terhadap budaya religius
populer Tionghoa, misalnya adat kematian dan penghormatan terhadap nenek
moyang, yang oleh mereka disamakan dengan penyembahan berhala. Di pihak lain
mereka sangat akomodatif terhadap budaya “Hao”, yaitu kepatuhan tanpa reserve
kepada orang tua, yang dengan tenangnya diidentikkan dengan penghormatan
terhadap ibu-bapak dalam Dasa Titah (10 hukum). Di Indonesia nampaknya sikap
radikal dan akomodatif bisa berkelindan dalam satu orang atau satu kelompok.

Sikap yang ketiga adalah sikap sintetik. Dalam sikap ini baik iman maupun budaya
diterima sebagai atau dalam kesatuan yang saling isi mengisi. Teman-teman
Katolik kita yang tradisional, biasanya mengambil sikap ketiga ini. Manusia

4
mempunyai kodratnya sebagai manusia. Dalam rangka menghayati kodratnya,
manusia membangun dan mengembangkan budaya. Namun, di samping itu
manusia juga mengenal yang adi kodrati. Iman membawa yang adi kodrati ini
untuk melengkapi dan menyempurnakan yang kodrati. Dalam arti tertentu, yang
kodrati juga melengkapi yang adi kodrati, dalam arti iman tidak mungkin tanpa
wujud yang konkret, baik berupa lembaga gereja yang kuat. Bagi teman-teman
Katolik, gereja adalah yang adi kodrati (“tubuh mistik Kristus”) yang memiliki
makna sakramental, meskipun bukan sakramen (catatan: pemahaman mengenai
gereja yang seperti ini ternyata menjadi dasar teologis wacana mengenai
eklesiologi di Buku I Persidangan XX, h. 83).

Masalahnya adalah sekali yang kodrati sudah disintesakan dengan yang adi
kodrati, sudah amat sulit diubah lagi, tidak bisa dikontekstualkan. Bagi teman-
teman Katolik yang tradisional, tata ibadah yang ada, lengkap dengan pernik-
perniknya (casula, stola) yang jelas berasal dari budaya Romawi, sudah menjadi
adi kodrati, harus begitu terus. Untung konsili Vatican II mengijinkan apa yang
mereka sebut sebagai “inkulturasi”, sehingga sedikitnya di Indonesia, kita
menyaksikan kontekstualisasi budaya di gereja Katolik, yang memberi kesan lebih
terbuka kepada budaya, daripada gereja-gereja Protestan.

Sikap keempat adalah sikap dualistik. Sikap ini merupakan variasi dari sikap
kedua, namun kebalikan dari sikap ketiga. Di sini orang mengakui hidup dalam
dua dunia, seperti binatang amfibi yang bisa hidup di darat maupun di air. Dunia
yang pertama adalah Kerajaan Allah, dunia yang kedua adalah masyarakat. Orang
Kristen adalah sekaligus warga Kerajaan Allah dan warga masyarakat. Di antara
Kerajaan Allah dan masyarakat tidak ada hubungan atau korelasi apapun. Nilai-
nilai yag berhubungan dengan wilayah-wilayah ini masing-masing tidak pernah
dibayangkan bisa berhubungan satu dengan yang lain. Biasanya yang mengambil
sikap ini adalah teman-teman Lutheran yang ortodoks (sebab saya pernah
membaca sebuah buku dari Ulrich Duchrow bahwa Luther sendiri tidak menganut
dualisme) ini. Di Indonesia teman-teman yang tradisional dari gereja-gereja
Lutheran di Sumut biasanya mengambil sikap ini, misalnya banyak sintua (majelis
gereja) pada hari Minggu mengamini semua yang diikrarkan serta berkelakuan
seperti yang diharapkan kepadanya di saat hari Minggu, namun dari hari Senin
sampai Sabtu (kecuali Jumat sore, yang adalah waktu untuk mendengar “sermon”)
memenuhi semua tuntutan adat-istiadat maupun masyarakat.
5
Sebenarnya hampir semua dari gereja-gereja di Indonesia, tetapi terutama yang
mengambil sikap pertama yaitu radikal, bisa sekaligus mengambil sikap dualis.
Sikap pertama yang anti budaya dapat menimbulkan gejala spiritualisasi yang
berlebihan dari kehidupan beriman sehingga kehidupan ini pecah menjadi dua,
yaitu hidup spiritual dalam bidang ibadah dan hidup material di bidang-bidang di
luar ibadah. Hidup spiritual tidak menjadi pedoman bagi hidup material dan hidup
material tidak menghasilkan hidup spiritual, tetapi keduanya berjalan secara
otonom dan paralel dalam kehidupan sehari-hari orang Kristen. Contohnya banyak
seniman Kristen yang merupakan orang-orang yang sangat menghayati seni
budaya. Tetapi mereka bisa mempunyai konsep iman yang sebenarnya sangat anti
budaya, tetapi dijalankan saja, karena antara hidup beriman dan hidup berbudaya
ada jarak yang jauh, tetapi dianggap memiliki hak hidupnya masing-masing.

Sikap kelima dan terakhir disebut sikap transformatif. Dalam sikap transformative
rang mengakui bahwa budaya telah dicemari oleh dosa. Tidak ada hal-hal di dunia
ini yang 100% baik, bahkan yang terbaik sekalipun dari manusia, tetap penuh
dengan dosa. Karena itu orang tidak perlu mengagung-agungkan ideologi atau
peradabannya, sebab banyak praktik gelap bekerja secara terselubung di dalam
ideologi dan peradaban. Namun berbeda dari sikap radikal, sikap transformative
juga mengakui bahwa tidak semua hal-hal di dunia ini 100% jahat, bahkan yang
terjahat dari manusia sekalipun, pasti masih ada seginya yang baik (Bapak mana
yang kalau anaknya minta roti, akan memberinya batu?). Tetapi sikap teologisnya
adalah bahwa Yesus Kristus telah menang atas dosa, dan bahwa Roh Kudus
bekerja membarui dan mentransformasi dunia, termasuk mentransformasi budaya.
Oleh karena itu kita bisa terbuka dan menerima budaya dan adat-istiadat, sekaligus
kita menyoroti, mengevaluasi, bahkan kalau perlu, menghakiminya!

Sikap transformatif biasanya dianggap menjadi sikap khas tradisional dari orang
Calvinis. Meskipun warga gereja dari tradisi Calvinis di Indonesia (misalnya GPI,
tetap juga dari aliran neo-Calvinisme, misalnya GKJ) biasanya mengambil sikap
radikal, kita perlu menyadari bahwa sikap radikal ini diterima dari para misionaris
yang kebanyakan lebih Pietistik daripada Calvinistik (yaitu sikap spiritual yang
berlebihan di atas). Kalau kita mau menghayati warisan Calvinis kita, maka
menurut saya kita tidak perlu meneruskan sikap radikal, atau lebih baik, sikap
radikal tidak perlu menjadi satu-satunya sikap khas kita dalam berhadapan dengan
budaya dan adat-istiadat. Kalau kita mengambil sikap kelima, itu tidak berarti kita
6
mengkhianati iman Calvinis, melainkan justru baru menjadi orang yang beriman
secara Calvinis! Sikap kelima ini, menurut Niebuhr merupakan sikap yang yang
paling baik dan paling dia anjurkan. Maklumlah, Niebuhr adalah orang Calvinis.
Saya juga menganjurkan sikap ini (saya ‘kan Calvinis juga hehehe).

Tetapi sembari menganjurkan sikap kelima ini, saya (dan Niebuhr!) terbuka bahwa
sikap-sikap yang lain bisa juga merupakan sikap yang tepat dalam berhadapan
dengan dunia, dan hal ini tergantung dari kesesuaian sikap yang diambil terhadap
konteks yang dihadapi. Saya ambil contoh orang Calvinis di Afrika Selatan pada
jaman apartheid (diskriminasi warna kulit). Yang merumuskan sikap apartheid ini
adalah warga gereja Gereformeerd (Calvinis). Sudah jelas sikap ini bukan sikap
transformatif melainkan radikal, yaitu merendahkan budaya dan orang kulit hitam
dibandingkan dengan budaya dan orang kulit putih. Tetapi mereka yang
berhadapan dengan politik apartheid ini, oleh karena berpendapat bahwa tidak ada
hal-hal yang 100% jahat, pasti ada baiknya, ya menerima politik ini dan tidak
melawannya. Begitu pula yang terjadi pada jaman Orde Baru, banyak gereja
Calvinis menerima saja rejim Orba, sedangkan yang melawannya adalah mereka
yang radikal, misalnya Prof Sahetapy yang termasuk kalangan Injili.

Mungkin hal ini dapat dianggap sebagai kekurangan sikap kelima. Tetapi menurut
saya, sikap transformatif bukannya harus dalam segala hal menerima status quo
yang buruk atau menindas. Kalaupun tidak ada hal yang 100% jahat, itu tidak
berarti bahwa yang jahat tidak dilawan. Kalau kita menerima masyarakat Indonesia
yang Pancasilais sekarang ini, itu tidak berarti kita menutup mata dan tidak
melawan terhadap korupsi dan politik uang. Seperti dikatakan di atas, kalau perlu,
sikap transformatif bisa sampai menghakimi masyarakat!

Menghayati iman dengan budaya lokal: contoh mengenai Perjamuan Kudus

Semoga dengan uraian deskriptif mengenai kelima sikap terhadap budaya ini, kita
bisa mengatasi kekosongan dalam wacana kita di GPIB mengenai budaya. Saya
ingin menutup uraian saya dengan memperlihatkan bagaimana kita bisa
menghayati iman dengan budaya lokal kita, dan sebagai contoh saya langsung
menggunakan Perjamuan Kudus. Dengan demikian ada hubungannya juga di
antara uraian saya hari ini dengan uraian saya mengenai teologi ibadah pada hari

7
Jumat tanggal 27 April 2018. Saya sudah pernah menulis hal ini, dan sekarang saya
mengembangkannya lagi (lihat EGS, “Spiritualitas Reformasi”, dalam buku
Banawiratma-Sendjaja, Spiritualitas Dari

Berbagai Tradisi, hh. 200-203).

Seperti diketahui, dalam Perjamuan Kudus (selanjutnya disingkat “PK”), orang


menggunakan roti dan anggur, yang bukan merupakan makanan dalam konteks
Indonesia, dan sumbernya pun bukan tanaman dalam konteks Indonesia. Meskipun
sudah dicoba, tanaman gandum tidak bisa tumbuh di negeri kita. Pohon anggur
bisa, seperti di Bali dan di Probolinggo, namun rasanya tidak seenak seperti anggur
di negara-negara sub-tropis seperti Australia. Padahal PK menggunakan symbol
makanan sehari-hari, yang pada dirinya sendiri mengandung makna mendalam
bagi yang memakannya. Orang yang biasa makan nasi, pasti tidak akan merasa
kenyang makan roti dan orang yang biasa makan roti, pasti tidak akan merasa
kenyang makan nasi. Kenyang atau tidak kenyang adalah soal perasaan, dan soal
perasaan adalah soal rohani. Makan bukan hanya soal jasmani tetapi juga soal
rohani. Di budaya Jawa dan beberapa budaya daerah lain, beras mewakili dewi Sri,
yang merestui proses produksi makanan mulai pesemaian padi sampai pada
panenan dan akhirnya menjadi beras untuk ditanak. Nasi adalah hal yang amat
penting bagi sebagian besar orang Indonesia. Tidak atau belum makan nasi, berarti
tidak atau belum makan.

Akan halnya minuman, menurut saya, ada beberapa macam minuman yang
biasanya menemani orang makan nasi. Yang paling sering adalah air matang, yang
biasanya disebut “air putih”. Mengapa disebut “air putih”? Karena ada juga air
yang tidak putih, yang paling umum adalah teh, namun sekarang teh mulai menjadi
umum juga. Di rumah-rumah makan, kita bisa memesan nasi dan air putih, namun
dalam pertemuan di rumah-rumah keluarga atau RT, biasanya orang menyuguhkan
teh atau kopi. Memberi suguhan air putih dianggap tidak menghargai tamu.
Apakah ada minuman Indonesia yang mengandung alkohol dan biasa disuguhkan
kepada tamu? Di Jawa yang dipengaruhi agama Islam jelas tidak, tetapi di luar
Jawa ada, yaitu di Minahasa dan Maluku yang dipengaruhi agama Kristen. Di sana
orang minum saguer atau sopi. Namun kesan saya minuman beralkohol tidak
menjadi pendamping nasi.

8
Namun, dalam lingkup peribadahan Kristen di Indonesia, nasi dan teh “hilang”.
Mengapa? Oleh karena orang biasanya mengajukan alasan bahwa di Perjanjian
Baru (selanjutnya disingkat “PB”), Gusti Yesus menggunakan roti dan anggur.
Karena ada hubungan korelasional di antara Gusti Yesus dan roti beserta anggur,
maka ada identifikasi di antara Gusti Yesus dan roti beserta anggur. Memang
secara tradisional hanya teologi Katolik saja yang mengidentikkan roti dan anggur
dengan tubuh dan darah Kristus. Seperti telah kita lihat di atas, dalam sikap ketiga
yaitu sikap sintetik, sekali sudah membuat hubungan korelasional di antara iman
dan budaya, antara yang adikodrati dan kodrati, antara tubuh Kristus dengan roti
dan darah Kristus dengan anggur, maka hubungan itu menjadi tetap tidak bisa
diubah lagi. Tetapi bukan hanya saudara/i Katolik, yang Calvinis juga seringkali
berpikir seperti itu. Jadi tidak transformatif melainkan sintetik.

Padahal sudah jelas dari PB sendiri, bahwa perjamuan yang diadakan oleh Gusti
Yesus dengan murid-muridnya adalah bagian dari perayaan perjamuan tradisional
Paskah Yahudi atau Pesakh, dan jamuannya sendiri disebut seder. Unsur-unsur
dari seder ini diambil alih oleh Gusti Yesus dan diberi makna baru, yaitu DiriNya
sendiri dan Karya PenyelamatanNya. Perayaan tradisional Yahudi itu sendiri
menggunakan roti dan anggur yang adalah makanan dan minuman sehari-hari
dalam budaya Yahudi di Palestina maupun dalam budaya bangsa-bangsa yang
hidup di sekitar laut Tengah (Mediterania). Anggur yang diminum adalah yang
beralkohol, bukan juice anggur. Dalam perkembangan kemudian di Eropa Barat,
oleh karena pengaruh aliran Puritanisme, ada kelompok Kristen yang menganut
paham anti alkohol, jadi mereka mengganti anggur beralkohol dengan juice
anggur. Di beberapa gereja GKI, bahkan di GPIB pun, kadang-kadang saya
menyaksikan beberapa sloki diisi teh atau air dan bukan anggur (cap Orang Tua)
bagi mereka yang memiliki gangguan kesehatan (darah tinggi).

Apabila penggunaan roti dan anggur oleh Gusti Yesus dalam konteks Palestina dan
penggunaan roti dan anggur oleh gereja-gereja di daerah Mediterania diambil dari
konteks makanan dan minuman sehari-hari, maka jelaslah bahwa soal apa yang
digunakan dalam perayaan PK merupakan soal budaya dan bukan soal iman. Atau
seperti saya rumuskan dalam judul tulisan ini: soal menghayati iman dengan
budaya lokal. Tetapi saya maklum betapa hebat pengaruh dari paradigma
misionaris di atas, yaitu menghayati budaya sebagai iman. Dalam kontekstualisasi,
kita belajar memisahkan yang mana iman yang mana budaya. Iman ya iman,
9
budaya ya budaya! Makanan sehari-hari berupa roti dan anggur di Palestina adalah
budaya, maka dalam penghayatan kontekstual mengenai makanan sehari-hari, saya
pikir roti dan anggur bisa digantikan dengan makanan sehari-hari orang Indonesia,
yaitu nasi dan teh.

Ketika saya memasukkan ke Facebook awal November 2016 usul saya mengenai
penambahan frekwensi PK (lihat materi saya untuk tanggal 27 April 2018), maka
Pdt. Dr. A. Yewangoe, teman Facebook menanggapi bahwa usul ini baik, namun
akan meningkatkan biaya ibadah. Saya balik menanggapi dengan mengatakan
bahwa kalau kita menggunakan roti dan anggur memang biaya akan meningkat.
Tetapi kalau kita menggunakan nasi dan teh atau semacamnya, maka pasti
biayanya tidak mahal. Kita bisa mengadakan PK secara sederhana namun khidmat.
Dalam soal kontekstualisasi PK, prinsip kesederhanaan (“frugality”, “simplicity”)
dari Calvin hendaknya diperhatikan. PK dengan makanan sehari-hari yang
sederhana akan membangkitkan solidaritas dengan sesama bangsa Indonesia,
terutama mereka yang harus berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi.

Juga pada tahun 2016, dalam postingan Facebook, Pdt. Dr. Eben Nuban Timo
mengisahkan mengenai dua perayaan PK yang diadakan di pulau Rote, Timor.
Perayaan tersebut diadakan secara kontekstual, dengan menggunakan bahan
makanan khas Rote dan minuman air nira segar dari daun lontar. Perayaan yang
pertama dilakukan di dalam gedung gereja, tetapi perayaan yang kedua diadakan di
padang di pinggir hutan, pada 31 Oktober 2016, yang merupakan Hari Perjamuan
Kudus sedunia, Hari Reformasi, HUT GMIT serta hari doa untuk bibit yang akan
ditanam. Orang duduk di tanah, beralaskan tikar. Mirip kenduren dan slametan di
tanah Jawa. Sambutan jemaat sangat antusias. Selebihnya silakan ditanyakan
sendiri kepada pak Eben, mudah-mudahan beliau ingin berbagi dengan kita
mengenai pengalaman jemaat di GMIT.

Penutup

Demikianlah penyampaian saya mengenai masalah menghubungkan Pemahaman


Iman GPIB dengan budaya lokal. Kiranya dapat menolong memperluas wawasan
kita mengenai sikap-sikap yang dapat diambil oleh Gereja dalam menghadapi
budaya. Tuhan memberkati.

10
Wisma “Labuang Baji”, Tegalrejo, 23 April 2018.

11

Anda mungkin juga menyukai