0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
245 tayangan56 halaman
Dokumen tersebut membahas konsep keselamatan dalam agama Hindu dan Budha. Terdapat beberapa pendekatan untuk mencapai keselamatan menurut ajaran Upanishad, Vedanta, Samkhya, Yoga, Tantrisme, dan Hatha Yoga. Metode yang digunakan antara lain pengetahuan intuitif, meditasi, dan praktik fisik seperti yogay."
Dokumen tersebut membahas konsep keselamatan dalam agama Hindu dan Budha. Terdapat beberapa pendekatan untuk mencapai keselamatan menurut ajaran Upanishad, Vedanta, Samkhya, Yoga, Tantrisme, dan Hatha Yoga. Metode yang digunakan antara lain pengetahuan intuitif, meditasi, dan praktik fisik seperti yogay."
Dokumen tersebut membahas konsep keselamatan dalam agama Hindu dan Budha. Terdapat beberapa pendekatan untuk mencapai keselamatan menurut ajaran Upanishad, Vedanta, Samkhya, Yoga, Tantrisme, dan Hatha Yoga. Metode yang digunakan antara lain pengetahuan intuitif, meditasi, dan praktik fisik seperti yogay."
Fery Pasang Pengantar Konsep Keselamatan Keselamatan dan Hidup Abadi
Dalam menelaah makna keselamatan di dalam ber-
bagai agama dunia, ada tiga aspek yang penting: 1. Sumber daya untuk mencapai keselamatan, 2. Jalan untuk mencapai keselamatan; dan 3. Makna keselamatan. Tentang kedua aspek pertama, ada agama-agama yang mengklaim bahwa keselamatan dapat dicapai dengan sumber daya manusia sendiri melalui meditasi, khazanah hikmat, laku tapa, ritual, perbuatan baik, dst. Keselamatan dan Hidup Abadi
Sedang agama-agama lainnya menegaskan bahwa
manusia hanya dapat diselamatkan melalui rahmat yang diberikan oleh pihak lain. Pemberi keselamatan ini bisa: 1) Allah, 2) seorang bodhisattva, 3) seorang avatar, dst. Manusia harus menyadari saja ketidakmampuannya untuk menyelamatkan diri dengan usahanya sendiri, dan menerima karunia itu tanpa syarat. Juga ada kombinasi dari dua cara tersebut. Keselamatan dan Hidup Abadi
Perihal makna keselamatan dari perspektif ke-
abadian, ada pembedaan yang perlu dikemukakan: 1. Agama monoteis mengajarkan bahwa halangan antara manusia dan Allah adalah dosa. Keselamatan berarti penyingkiran halangan moral itu dan pemulihan hubungan pribadi dengan Allah, yang akan berlangsung selamanya. Keselamatan dan Hidup Abadi
2. Panteisme memandang diri manusia satu
dengan Realitas Tertinggi yang impersonal. Jadi, masalah manusia adalah masalah epistemologis. Keselamatan berarti pembebasan dari ketidak- tahuan dan fusi diri yang impersonal dengan Yang Mutlak, dari si pengenal dan yang dikenal. Keselamatan dan Hidup Abadi
Agama Timur lainnya, seperti Budha dan Tao,
memaknai keselamatan sebagai iluminasi, yaitu penyadaran dan pembentukan konformitas diri dengan suatu hukum abadi yang mengatur eksistensi. Keselamatan dan Hidup Abadi
3. Agama dualistik, yang menyatakan bahwa
dunia dikuasai oleh dua kekuatan yang bertolak belakang, yaitu kekuatan baik dan kekuatan jahat. Keselamatan sebagai pemulihan kepada kodrat awal sebagai makhluk malaikat, karena manuisia manusia telah jatuh dari situasi itu ke dalam tubuh fisik. Konsep Keselamatan di dalam Agama Hindu Keselamatan dan Hidup Abadi dlm Hindu
1. Dalam Rig Veda, manusia digambarkan sebagai
makhluk berpribadi yang tergantung pada dewa, dan tujuan hidupnya ialah hidup abadi di surga. Yama, dewa maut, berdaulat atas jiwa orang mati dan menerima persembahan dari keluarga untuk kesejahteraan yang wafat. Orang jahat ia sekap di penjara abadi yang gelap. Tulisan Upanishad mengubah pandangan perdana tentang keselamatan dan hidup abadi itu dengan suatu wawasan panteistik. 2.Upanishad dan filsafat Vedanta
2. Dalam tulisan Upanishad, diri manusia (atman)
itu satu dengan Brahman, tetapi ilusi menghalangi manusia untuk memahaminya. Pembebasan atman dari belenggu reinkarnasi dapat dicapai selama manusia bereksistensi, sehingga manusia menduduki status istimewa dalam evolusi rohani. Devosi kepada dewa tidak dianggap sebagai cara yang sah untuk pembebasan. Bukan hanya tidak bermanfaat,tetapi menguatkan ketidaktahuan. Upanishad dan filsafat Vedanta
Pembebasan atman dari samsara disebut moksha
dan mewujudkan kembalinya atman ke Brahman. Pembebasan inu adalah fusi impersonal atman dengan Brahman, seperti leburnya titik air hujan dengan samudera, dan menjadi satu dengannya. Dengan fusi itu semua unsur kepribadian lebur dan proses reinkarnasi berhenti. Dan jalan sejati untuk mencapainya adalah pengetahuan intuitif (jnana, vidya). Upanishad dan filsafat Vedanta
Lingkaran avidya-karma-samsara dapat dipatahkan
hanya dengan mengetahui dan menghancurkan sebabnya yang utama, yaitu keinginan. Manusia harus melewati tiga tahap kesadaran, yakni tahap jaga, tahap tidur dengan mimpi, dan tahap tidur tanpa mimpi (Brihadaranyaka Up. 4,3,9-19). Upanishad dan filsafat Vedanta
Tahap pertama kesadaran, tahap jaga (jagrat),
adalah tahap kesadaran manusiawi biasa, di mana dunia fisik sangat menguasai kegiatan psiko-mental. Dalam tahap tidur dengan mimpi (svapna) kegiatan psiko-mental terlepas dari dunia obyek dan terserap dalam dunia virtual, suatu proyeksi dari dunia nyata. Upanishad dan filsafat Vedanta
Keterlibatan dengan dunia fenomen berhenti hanya
pada tahap tidur tanpa mimpi (susupti): saat itu ilusi dunia berhenti mewujud (Brihadaranyaka Up. 4,3,32). Dalam perkembangan selanjutnya, dikatakan bahwa pada tahap ketiga itu atman bersatu hanya sementara dengan Brahman, dan perlu mencapai tahap keempat (turiya), saat kesatuan atman- Brahman tercapai secara sempurna. Upanishad dan filsafat Vedanta
Cara untuk mencapai kebebasan belum dikem-
bangkan secara penuh dalam Upanishad. Ada dua mantra meditasi penting yang digunakan: Aham Brahma asmi (“Aku adalah Brahman"-dalam Brihadaranyaka Up. 1,4,10) dan Tat tvam asi (“Itulah engkau" - dalam Chandogya Up. 6,8-15). Juga terdapat satuan kata suci yang penting OM (AUM), yang dikatakan dapat sangat mempengaruhi orang yang tahu menggunakannya dan memahami makna metafisisnya. Upanishad dan filsafat Vedanta
Dalam Vedanta Shankara dikemukakan juga tujuan
yang sama. Pembebasan atman dicapai melalui pengetahuan intuitif. Ada 4 syarat bagi orang yang mengikuti jalan ini: 1) membedakan yang kekal dan yang tidak-kekal; 2) melepaskan kelekatan pada hal-hal dunia ini; 3) menguasai 6 keutamaan: ketenangan, kestabil- an, menjauhi obyek indra, kesabaran, konsentrasi dan kepercayaan kepada doktrin; dan 4) mendambakan pembebasan. 3.Samkhya dan Yoga
Dalam Samkhya dan Yoga pembebasan berarti pemi-
sahan purusha dari segala manifestasi prakriti. Cara mencapainya dalam Samkhya ialah pengetahuan metafisik, dengan menganalisis dan memahami struktur ekstern dan intern alam dan kegiatan psiko-mental. Pembebasan dicapai bukan melalui korban (Samkhya Sutra 1,84), bukan dengan perbuatan baik (1,56) atau bantuan Veda (3,25-26), tetapi hanya dengan meraih pengetahuan rohani. Samkhya dan Yoga
Itu berarti meninggalkan nilai-nilai yang diciptakan
oleh pikiran dan termasuk dalam prakriti. Dengan mengetahui kemutlakan purusha, kekacauan yang ditimbulkan oleh dunia fisik dan dunia mental berhenti, dan diri manusia mendapatkan pembebasan (Samkhya Sutra 3,69). Karena pikiran adalah bagian prakriti, Samkhya menyatakan bahwa pembebasan adalah sekadar pengenalan akan kebebasan abadi purusha, yang tak dapat ditangkap akibat ketidaktahuan. Samkhya dan Yoga
Ketika pembedaan (viveka) antara kedua kategori
telah disadari, prakriti beserta semua manifestasi-nya lepas dari purusha. Diri manusia lepas dari hubungan ilusi dengan prakriti dan tidak berhubungan lagi dengannya. Sejak saat itu purusha yang telah bebas hanya me-mandang dirinya sendiri dan tidak mengurusi hubungan purusha lain-lain dengan prakriti. Tujuan akhir adalah dunia purusha yang bebas dan terisolasi, tanpa kemungkinan adanya hubungan. Samkhya dan Yoga
Aliran Yoga Patanjali menambah 2 unsur:
1) Ishvara, yang sering salah disebut Allah; 2) ajaran bahwa pembebasan tidak dapat dicapai hanya dengan pengetahuan rohani, tetapi perlu suatu teknik matiraga khusus. Ishvara bukan dewa personal, tetapi suatu makro- purusha yang tak pernah terlibat dalam kegiatan psiko-mental atau dengan karma. Karena tidak memiliki status personal, Ishvara tidak dapat memiliki hubungan personal dengan manusia. Samkhya dan Yoga
Ishvara adalah kompatibilitas metafisik, serupa
dengan hubungan antara sebuah kompas dan medan magnet bumi. Ishvara dapat membantu Yogi menuju pembebasan hanya jika ia dipilih sebagai obyek meditasi. Hubungan naluri antara purusha dan Ishvara hanya mungkin berdasarkan kemiripan struktur mereka, maka dalam aliran Yoga Patanjali, Ishvara dianggap sebagai dewa fungsional, yang dapat diakses oleh para Yogi saja. 4.Tantrisme dan Hatha Yoga
Tantrisme dan Hatha Yoga bersifat panteistik, dan
memandang pembebasan sebagai perjalanan kembali diri manusia kepada Realitas Tertinggi impersonal yang diwujudkan dalam Shiva. Ini adalah suatu proses yang serupa dengan fusi atman dengan Brahman, seperti dalam ajaran Upanishad dan Vedanta. Tantrisme dan Hatha Yoga
Diri manusia yang terwujud dalam energi kundalini
harus dibangunkan dengan latihan fisik yang rumit (dalam Hatha Yoga) dan juga praktek seksual (dalam Tantrisme), beserta teknik pernapasan. Diri itu kemudian lewat melalui suatu saluran spiritual dari badan halus, yang berpadu secara fisik dengan tulang punggung. Ketika mencapai puncak kepala diri manusia bersatu dengan Shiva, yakni Realitas Tertinggi alam semesta. Tantrisme dan Hatha Yoga
Tujuan ini tidak dapat dicapai hanya dengan
pengetahuan rohani, seperti dalam Vedanta atau Samkhya. Murid memerlukan bantuan guru, karena penyadaran dan pembangunan kundalini itu mengandung risiko bahaya bagi sang Yogi. Tantrisme dan Hatha Yoga
Tantrisme dan Hata Yoga mempunyai pandangan
yang menarik perihal tubuh manusia. Upanishad dan Vedanta memandang tubuh sebagai sumber utama ilusi yang menyekap atman dalam siklus reinkarnasi. Tantrisme dan Hatha Yoga memandang tubuh se- bagai instrumen utama untuk mencapai pembe- basan. Tetapi perhatian kepada tubuh adalah semata-mata agar dapat mengendalikan pikiran dan membebaskan diri manusia. Tantrisme dan Hatha Yoga
Hatha Yoga sering dianggap sejenis latihan fisik yang
tidak merugikan. Tetapi dalam karya terpenting aliran ini, Hatha Yoga Pradipika, ditegaskan bahwa Hatha Yoga harus diajarkan guna mencapai tingkat Raja Yoga (1,2), yaitu “integrasi pikiran di mana dualitas subyek-obyek tidak ada" (4,77), artinya, lebur dengan Realitas Tertinggi yang impersonal. 5.Teisme Hindu
Pembebasan diri (atman atau purusha) melalui
pengetahuan metafisik (jnana, vidya) atau laku tapa (tapas) bukan hal yang terjangkau bagi orang Hindu kebanyakan. Maka, kebanyak orang memilih suatu kegiatan devosi (bhakti) tertentu untuk mengatasi alam penderitaan. Dewa-dewa yang paling penting dewasa ini adalah Vishnu dan avatarnya (khusus- nya Rama dan Krishna), Shiva dan dewi Shakti (juga dalam bentuk Kali atau Durga). Teisme Hindu
Karena itu, teisme Hindu memiliki tiga cabang:
Vaishnavisme, Shaivisme dan Shaktisme. Ketiganya memiliki tiga ciri hakiki berikut: 1) pengakuan akan dewa personal sebagai Realitas Tertinggi, 2) peribadatan kepada dewa dengan ritual tertentu, 3) permohonan pertolongan kepada untuk mencapai keselamatan, dan 4) pemaknaan keselamatan sebagai persatuan dengan dewa atau tercapainya suatu hubungan yang sempurna dan kekal dengan dewa. Teisme Hindu
Dewasa ini terdapat banyak aliran teistik Hindu. Dua
akan dijelaskan lebih lanjut, yaitu aliran Vaishnava yang dikembangkan oleh pemikir besar Ramanuja dan Madhva dengan menjelaskan beberapa unsur pemahaman mereka tentang keselamatan dan kehidupan kekal. Mereka mencanangkan bentuk teisme Hindu yang dikenal paling koheren dewasa ini, dibandingkan dengan aliran panteistik tradisional, khususnya Advaita Vedanta dari Shankara. Teisme Hindu
Menurut Madhva (1238 -1317), pembebasan hanya
dapat dicapai dengan rahmat Vishnu. Dengan reinkarnasi ia menghukum perbuatan jahat orang dan membantu jiwa itu untuk menemukan kodrat spiritualnya yang sebenarnya. Untuk mencapai pembebasan diperlukan devosi, kesempurnaan moral dan pengetahuan akan Vishnu. Semakin ia dikenal, semakin ia dikasihi, semakin ia dikasihi, semakin ia dikenal, sehingga keduanya merupakan dua aspek yang tak terpisah. Teisme Hindu
Jiwa yang mencapai pembebasan tidak kehilangan
individualitas untuk bersatu dengan Vishnu (seper- ti dalam Vedanta), tetapi menjadi sempurna dan menjadi satu dalam keselarasan dengan dia. Teisme Madhva mengakui karma. Di satu pihak, dikatakan bahwa tiada sesuatu pun yang terjadi di luar kehendak dan inisiatif Vishnu. Di pihak lain, jiwa tunduk kepada karma, dan Vishnu menyata- kan diri hanya kepada orang-orang yang layak menerimanya. Teisme Hindu
Untuk mengatasi dilemma karma dan kekuasaan
Vishnu, menurut Madhva jiwa memiliki kecende- rungan spiritual tertentu, atas dasar kodratnya. Berdasarkan kecenderungan itu dibedakan tiga jenis jiwa: jiwa dengan kecenderungan mulia (sattvika), kecenderungan campur (rajasa) dan kecenderungan rendah (tamasa). Hanya kelompok pertama saja yang akan mencapai pembebasan berkat rahmat Vishnu, sedang lainnya ditinggalkan sendiri. Teisme Hindu
Untuk menghindari takdir (predestinasi), Madhva
menyatakan bahwa jiwa diberi sedikit kehendak bebas (dattasvatantrya) dan dapat melakukan sedikit perbaikan atas kodrat mereka dari satu eksistensi ke eksistensi lainnya. Dengan demikian, Vishnu tidak lagi menjadi penentu satu-satunya atas tindakan jiwa, dan tidak mengendalikan jiwa secara penuh. Teisme Hindu
Menurut Ramanuja (1017-1137), manusia ber-
tanggungjawab atas perbuatannya dan dapat memilih antara yang baik dan yang jahat. Hal jahat yang kini kita alami di dunia adalah akibat dari tindakan bodoh melawan Vishnu pada masa lampau. Pembebasan dari kungkungan keti- daktahuan dapat dicapai hanya dengan devosi. Begitu terbebas, jiwa tidak lebur ke dalam Realitas Tertinggi, tetapi menjadi sempurna melalui integrasi ke dalam fungsionalitas Vishnu. Teisme Hindu
Pembebasan bukanlah ibarat menyatunya tetes air
hujan dengan samudera (seperti dalam Vedanta), tetapi penambahan suatu sel baru pada tubuh yang hidup, tanpa kehilangan individualitas dan kesadaran. Dengan pembebasan ini baik keunggulan transendental Vishnu maupun identitas jiwa tetap berlaku. Ada dua pandangan klasik tentang rahmat dalam agama Hindu teistik, yang diumpamakan sebagai perilaku kera dan perilaku kucing. Teisme Hindu
Dalam pandangan aliran Markata, manusia harus
melekat kepada Vishnu seperti kera menempel pada induknya, dan mempunyai kontribusi berarti dalam mencapai pembebasan. Syarat-syaratnya: pilihan makanan, mencegah nafsu, mendambakan Vishnu dan meditasi tentang dia tan- pa putus, ber-buat baik kepada orang lain, menjaga niat baik dan ketulusan, integritas, keriangan dan harapan. Tidak hanya membangkitkan perasaan positif, tetapi menggunakan intelek dan kehendak untuk mengasihi Vishnu dengan pikiran dan hati. Teisme Hindu
Menurut pandangan kedua, aliran Marjara, seorang
yang berdevosi harus berperilaku seperti anak kucing, yang bergantung sepenuhnya kepada kemauan induknya, dan membiarkan diri dipungut oleh induknya dan dibawa ke manapun jua. Demikianlah, manusia harus melepaskan kendali atas hidupnya kepada Vishnu dan membiarkan dia mengambil inisiatif dan tanggungjawab untuk keselamatan dirinya. Teisme Hindu
Ia meminta kepada Vishnu untuk mengambil kendali
atas hidupnya dan menggunakannya sebagai instrumen di dunia, sehingga pembebasan seutuhnya merupakan jasa Vishnu. Tentu saja dalam banyak aliran Hindu yang dengan bersungguh-sungguh mengembangkan berbagai teknik, yang menekankan pembebasan atas dasar usaha sendiri, atau konsep prapatti, di mana seseorang sedemikian hina dan lemah di hadapan Vishnu, spiritualitas Hindu telah mengalami trans- formasi yang radikal. Teisme Hindu
Seluruh falsafah prapatti dapat dirangkum dalam
satu bait, yang ditulis oleh Vedanta Deshika, seorang pengikut Ramanuja pada abad ke-14: Tuhan, aku, yang bukan apa-apa ini, mengarahkan diriku kepada kehendakmu dan tidak ingin menentangnya; dan dengan iman dan doa, aku menyerahkan kepadamu tugas penyelamatan jiwaku (Nyasadashaka 2). Konsep Keselamatan dan Hidup Abadai di dalam Agama Budha Budha Theravada
Menurut Buddha, pembebasan dari penderitaan
mungkin bagi orang yang menerima dan mengikuti keempat kebenaran mulia: 1) Kodrat eksistensi adalah penderitaan. 2) Penderitaan disebabkan oleh keinginan, atau kehausan (tanha) untuk menikmati eksistensi. 3) penghentian keinginan mengakibatkan penghen- tian penderitaan. 4) Untuk lepas dari penderitaan dan mencapai pencerahan harus mengikuti Delapan Jalan Mulia. Budha Theravada
Delapan Jalan Mulia adalah delapan latihan diri.
Delapan Jalan itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: 1. moralitas (sila), 2. meditasi (samadhi) dan 3. kebijaksanaan (panna). Budha Theravada
Moralitas meliputi bicara yang benar, berbuat yang
benar dan nafkah yang benar. Kategori ini dituju- kan untuk menciptakan tingkat pengendalian diri dan kepuasan yang sempurna. Meditasi menuntut kesempurnaan usaha (sikap pikiran yang benar), kewaspadaan (kesadaran proses mental dan fisik), dan konsentrasi (introversi dan penghentian kesadaran empiris). Budha Theravada
Kebijaksanaan menuntut kesempurnaan pandangan
(melalui pemahaman akan kodrat dunia yang tidak tetap) dan niat (pengembangan pelepasan keinginan, keraamahan dan belas kasihan). Budha Theravada
Ada dua jenis meditasi Budha yang sifatnya
komplementer: 1) meditasi tenang (samatha) dan 2) meditasi wawasan (vipassana). Meditasi tenang bertujuan menghasilkan konsentrasi mendalam (samadhi) dengan meng-embangkan kemampuan pikiran untuk tak terusik dan berpusat pada satu obyek persepsi. Meditasi wawasan bertujuan memahami kodrat hal- hal yang sebenarnya, yang cirinya tidak tetap, penderitaan dan nir-diri. Budha Theravada
Meditasi tenang adalah upaya pengendalian pikiran,
sedangkan meditasi wawasan adalah membiarkan pikiran bebas karena telah memahami kodrat dunia. Seseorang yang mengambil jalan ini harus meng- andalkan kekuatan batinnya sendiri. Tidak ada pertolongan atau kemurahan yang dapat diterima dari seorang dewa personal, karena esksistensi personal termasuk dalam dunia ilusi. Budha Theravada
Setelah mencapai nirvana, seseorang menjadi arhat
(“yang hidup dengan pencerahan"). Karma terlebur dan pada saat kematian eksistensi personal sirna. Nirvana adalah peniadaan ilusi tentang keberadaan diri, ibarat nyala api yang dihembus dan mati. Sengsara berakhir, tetapi sekaligus segala aspek yang menjadi bagian dari eksistensi pribadi. Budha Mahayana: Jalan devosional
Perbedaan signifikan antara Budha Mahayana dan
Budha Theravada ialah seputar tujuan hidup. Dalam Budha Mahayana tujuan hidup bukan meraih nirvana untuk diri sendiri dengan menjadi arhat, melainkan menjadi bodhisattva. Bodhisattva yaitu suatu eksistensi surgawi yang menunda untuk masuk ke dalam parinirvana (peleburan final) untuk menolong orang lain mencapai nirvana. Budha Mahayana
Karena mengejar tujuan nirvana untuk diri sendiri
saja, aliran Theravada sering dianggap sebagai jalan rohani yang lebih rendah oleh aliran Mahayana, yang berlaku bagi mereka yang tidak dapat menerima gagasan menjadi bodhisattva. Itulah asal usul sebutan dua aliran Budha: Mahayana berarti “jalan besar/tinggi" (dengan menjadi bodhisattva), dan Hinayana (Theravada) berarti “jalan sempit/rendah", dengan tujuan sekadar menjadi arhat. Budha Mahayana
Pandangan Theravada tentang nirvana hanya
dianggap sebagai tahap pencapaian antara, menuju pencerahan sejati, yakni menjadi bodhisattva (Saddharmapundarika, 3). Berkat pertolongan yang diberikan oleh para bodhisattva, dipercayai bahwa semua makhluk akan mencapai kesempurnaan. Budha Mahayana
Kepercayaan akan bodhisattva yang menolong orang
lain untuk mencapai pembebasan ini dianggap sebagai penetrasi tradisi bhakti agama Hindu ke dalam agama Budha. Pola devosi yang diterapkan di sini serupa dengan pola devosi dalam agama Hindu. Tren ini kemudian menjadi jalan keagamaan bagi kaum awam Budhis, yang barangkali agak sulit memilih jalan pembebasan melalui pengetahuan intuitif. Budha Mahayana. Jalan pengetahuan intuitif.
Perkembangan doktrinal seputar tema anatta atau
ketiadaan-diri menjadi dasar pengembangan doktrin baru, yang disebut doktrin kekosongan (shunyata). Doktrin ini pertama kali mengemuka di dalam Prajnaparamita Sutra (abad ke-1 SM) dan kemudian dikembangkan oleh Nagarjuna (abad ke-2 M). Budha Mahayana
Tradisi Abhidharma mengajarkan bahwa kelima
skanda (agregat) dapat dirinci lebih jauh menjadi unit-unit kecil yang disebut dharma. Aliran Theravada mengajarkan bahwa segala peristiwa fisik dan mental memiliki unsur dasar serupa itu sebanyak 82 dharma. Aliran Madhyamaka (Nagarjuna) menekankan bahwa dharma itu sendiri harus dianggap impermanen dan tak memiliki kedirian, kalau tidak maka prinsip impermanensi dilanggar. Budha Mahayana
Karena itu, segala unsur fenomena fisik dan mental
harus dipandang sebagai serupa mimpi saja atau ilusi magis. Kodratnya adalah kekosongan. Karena itu seluruh dunia tidak lebih dari suatu jaringan fenomena tak berdasar yang saling bergantung satu sama lain. Kekosongan bukan suatu substansi yang memben- tuk dharma, melainkan hanya suatu ajektif (sifat) kualifikatif untuk dharma. Budha Mahayana
• Kekosongan bukanlah suatu hal, atau suatu
ketiadaan-hal, melainkan hanyalah suatu cara mengacu kepada suatu kenyataan sebagai sesuatu yang tidak dapat dikristalisasikan ke dalam konsep. • Nirvana berarti menyadari bahwa kekosongan (shunya) adalah kodrat sejati realitas (kodrat Budha, atau dharmakaya).