Anda di halaman 1dari 56

AGAMA-AGAMA DUNIA

KESELAMATAN
DALAM AGAMA HINDU & BUDHA

Fery Pasang
Pengantar Konsep Keselamatan
Keselamatan dan Hidup Abadi

Dalam menelaah makna keselamatan di dalam ber-


bagai agama dunia, ada tiga aspek yang penting:
1. Sumber daya untuk mencapai keselamatan,
2. Jalan untuk mencapai keselamatan; dan
3. Makna keselamatan.
Tentang kedua aspek pertama, ada agama-agama
yang mengklaim bahwa keselamatan dapat dicapai
dengan sumber daya manusia sendiri melalui
meditasi, khazanah hikmat, laku tapa, ritual,
perbuatan baik, dst.
Keselamatan dan Hidup Abadi

Sedang agama-agama lainnya menegaskan bahwa


manusia hanya dapat diselamatkan melalui
rahmat yang diberikan oleh pihak lain. Pemberi
keselamatan ini bisa: 1) Allah, 2) seorang
bodhisattva, 3) seorang avatar, dst.
Manusia harus menyadari saja ketidakmampuannya
untuk menyelamatkan diri dengan usahanya
sendiri, dan menerima karunia itu tanpa syarat.
Juga ada kombinasi dari dua cara tersebut.
Keselamatan dan Hidup Abadi

Perihal makna keselamatan dari perspektif ke-


abadian, ada pembedaan yang perlu dikemukakan:
1. Agama monoteis mengajarkan bahwa halangan
antara manusia dan Allah adalah dosa.
Keselamatan berarti penyingkiran halangan
moral itu dan pemulihan hubungan pribadi
dengan Allah, yang akan berlangsung
selamanya.
Keselamatan dan Hidup Abadi

2. Panteisme memandang diri manusia satu


dengan Realitas Tertinggi yang impersonal.
Jadi, masalah manusia adalah masalah
epistemologis.
Keselamatan berarti pembebasan dari ketidak-
tahuan dan fusi diri yang impersonal dengan
Yang Mutlak, dari si pengenal dan yang dikenal.
Keselamatan dan Hidup Abadi

Agama Timur lainnya, seperti Budha dan Tao,


memaknai keselamatan sebagai iluminasi,
yaitu penyadaran dan pembentukan
konformitas diri dengan suatu hukum abadi
yang mengatur eksistensi.
Keselamatan dan Hidup Abadi

3. Agama dualistik, yang menyatakan bahwa


dunia dikuasai oleh dua kekuatan yang
bertolak belakang, yaitu kekuatan baik dan
kekuatan jahat.
Keselamatan sebagai pemulihan kepada
kodrat awal sebagai makhluk malaikat,
karena manuisia manusia telah jatuh dari
situasi itu ke dalam tubuh fisik.
Konsep Keselamatan di dalam
Agama Hindu
Keselamatan dan Hidup Abadi dlm Hindu

1. Dalam Rig Veda, manusia digambarkan sebagai


makhluk berpribadi yang tergantung pada dewa,
dan tujuan hidupnya ialah hidup abadi di surga.
Yama, dewa maut, berdaulat atas jiwa orang mati
dan menerima persembahan dari keluarga untuk
kesejahteraan yang wafat. Orang jahat ia sekap di
penjara abadi yang gelap.
Tulisan Upanishad mengubah pandangan perdana
tentang keselamatan dan hidup abadi itu dengan
suatu wawasan panteistik.
2.Upanishad dan filsafat Vedanta

2. Dalam tulisan Upanishad, diri manusia (atman)


itu satu dengan Brahman, tetapi ilusi
menghalangi manusia untuk memahaminya.
Pembebasan atman dari belenggu reinkarnasi dapat
dicapai selama manusia bereksistensi, sehingga
manusia menduduki status istimewa dalam evolusi
rohani.
Devosi kepada dewa tidak dianggap sebagai cara
yang sah untuk pembebasan. Bukan hanya tidak
bermanfaat,tetapi menguatkan ketidaktahuan.
Upanishad dan filsafat Vedanta

Pembebasan atman dari samsara disebut moksha


dan mewujudkan kembalinya atman ke Brahman.
Pembebasan inu adalah fusi impersonal atman
dengan Brahman, seperti leburnya titik air hujan
dengan samudera, dan menjadi satu dengannya.
Dengan fusi itu semua unsur kepribadian lebur dan
proses reinkarnasi berhenti. Dan jalan sejati
untuk mencapainya adalah pengetahuan intuitif
(jnana, vidya).
Upanishad dan filsafat Vedanta

Lingkaran avidya-karma-samsara dapat dipatahkan


hanya dengan mengetahui dan menghancurkan
sebabnya yang utama, yaitu keinginan.
Manusia harus melewati tiga tahap kesadaran, yakni
tahap jaga, tahap tidur dengan mimpi, dan tahap
tidur tanpa mimpi (Brihadaranyaka Up. 4,3,9-19).
Upanishad dan filsafat Vedanta

Tahap pertama kesadaran, tahap jaga (jagrat),


adalah tahap kesadaran manusiawi biasa, di
mana dunia fisik sangat menguasai kegiatan
psiko-mental.
Dalam tahap tidur dengan mimpi (svapna) kegiatan
psiko-mental terlepas dari dunia obyek dan
terserap dalam dunia virtual, suatu proyeksi dari
dunia nyata.
Upanishad dan filsafat Vedanta

Keterlibatan dengan dunia fenomen berhenti hanya


pada tahap tidur tanpa mimpi (susupti): saat itu
ilusi dunia berhenti mewujud (Brihadaranyaka
Up. 4,3,32).
Dalam perkembangan selanjutnya, dikatakan bahwa
pada tahap ketiga itu atman bersatu hanya
sementara dengan Brahman, dan perlu mencapai
tahap keempat (turiya), saat kesatuan atman-
Brahman tercapai secara sempurna.
Upanishad dan filsafat Vedanta

Cara untuk mencapai kebebasan belum dikem-


bangkan secara penuh dalam Upanishad.
Ada dua mantra meditasi penting yang digunakan:
Aham Brahma asmi (“Aku adalah Brahman"-dalam
Brihadaranyaka Up. 1,4,10) dan Tat tvam asi
(“Itulah engkau" - dalam Chandogya Up. 6,8-15).
Juga terdapat satuan kata suci yang penting OM
(AUM), yang dikatakan dapat sangat
mempengaruhi orang yang tahu menggunakannya
dan memahami makna metafisisnya.
Upanishad dan filsafat Vedanta

Dalam Vedanta Shankara dikemukakan juga tujuan


yang sama. Pembebasan atman dicapai melalui
pengetahuan intuitif.
Ada 4 syarat bagi orang yang mengikuti jalan ini:
1) membedakan yang kekal dan yang tidak-kekal;
2) melepaskan kelekatan pada hal-hal dunia ini;
3) menguasai 6 keutamaan: ketenangan, kestabil-
an, menjauhi obyek indra, kesabaran,
konsentrasi dan kepercayaan kepada doktrin; dan
4) mendambakan pembebasan.
3.Samkhya dan Yoga

Dalam Samkhya dan Yoga pembebasan berarti pemi-


sahan purusha dari segala manifestasi prakriti.
Cara mencapainya dalam Samkhya ialah pengetahuan
metafisik, dengan menganalisis dan memahami
struktur ekstern dan intern alam dan kegiatan
psiko-mental.
Pembebasan dicapai bukan melalui korban (Samkhya
Sutra 1,84), bukan dengan perbuatan baik (1,56)
atau bantuan Veda (3,25-26), tetapi hanya dengan
meraih pengetahuan rohani.
Samkhya dan Yoga

Itu berarti meninggalkan nilai-nilai yang diciptakan


oleh pikiran dan termasuk dalam prakriti.
Dengan mengetahui kemutlakan purusha, kekacauan
yang ditimbulkan oleh dunia fisik dan dunia
mental berhenti, dan diri manusia mendapatkan
pembebasan (Samkhya Sutra 3,69).
Karena pikiran adalah bagian prakriti, Samkhya
menyatakan bahwa pembebasan adalah sekadar
pengenalan akan kebebasan abadi purusha, yang
tak dapat ditangkap akibat ketidaktahuan.
Samkhya dan Yoga

Ketika pembedaan (viveka) antara kedua kategori


telah disadari, prakriti beserta semua
manifestasi-nya lepas dari purusha.
Diri manusia lepas dari hubungan ilusi dengan
prakriti dan tidak berhubungan lagi dengannya.
Sejak saat itu purusha yang telah bebas hanya
me-mandang dirinya sendiri dan tidak mengurusi
hubungan purusha lain-lain dengan prakriti.
Tujuan akhir adalah dunia purusha yang bebas dan
terisolasi, tanpa kemungkinan adanya hubungan.
Samkhya dan Yoga

Aliran Yoga Patanjali menambah 2 unsur:


1) Ishvara, yang sering salah disebut Allah;
2) ajaran bahwa pembebasan tidak dapat dicapai
hanya dengan pengetahuan rohani, tetapi perlu
suatu teknik matiraga khusus.
Ishvara bukan dewa personal, tetapi suatu makro-
purusha yang tak pernah terlibat dalam kegiatan
psiko-mental atau dengan karma. Karena tidak
memiliki status personal, Ishvara tidak dapat
memiliki hubungan personal dengan manusia.
Samkhya dan Yoga

Ishvara adalah kompatibilitas metafisik, serupa


dengan hubungan antara sebuah kompas dan
medan magnet bumi. Ishvara dapat membantu
Yogi menuju pembebasan hanya jika ia dipilih
sebagai obyek meditasi.
Hubungan naluri antara purusha dan Ishvara hanya
mungkin berdasarkan kemiripan struktur mereka,
maka dalam aliran Yoga Patanjali, Ishvara
dianggap sebagai dewa fungsional, yang dapat
diakses oleh para Yogi saja.
4.Tantrisme dan Hatha Yoga

Tantrisme dan Hatha Yoga bersifat panteistik, dan


memandang pembebasan sebagai perjalanan
kembali diri manusia kepada Realitas Tertinggi
impersonal yang diwujudkan dalam Shiva.
Ini adalah suatu proses yang serupa dengan fusi
atman dengan Brahman, seperti dalam ajaran
Upanishad dan Vedanta.
Tantrisme dan Hatha Yoga

Diri manusia yang terwujud dalam energi kundalini


harus dibangunkan dengan latihan fisik yang
rumit (dalam Hatha Yoga) dan juga praktek
seksual (dalam Tantrisme), beserta teknik
pernapasan.
Diri itu kemudian lewat melalui suatu saluran
spiritual dari badan halus, yang berpadu secara
fisik dengan tulang punggung. Ketika mencapai
puncak kepala diri manusia bersatu dengan
Shiva, yakni Realitas Tertinggi alam semesta.
Tantrisme dan Hatha Yoga

Tujuan ini tidak dapat dicapai hanya dengan


pengetahuan rohani, seperti dalam Vedanta atau
Samkhya. Murid memerlukan bantuan guru,
karena penyadaran dan pembangunan kundalini
itu mengandung risiko bahaya bagi sang Yogi.
Tantrisme dan Hatha Yoga

Tantrisme dan Hata Yoga mempunyai pandangan


yang menarik perihal tubuh manusia.
Upanishad dan Vedanta memandang tubuh sebagai
sumber utama ilusi yang menyekap atman dalam
siklus reinkarnasi.
Tantrisme dan Hatha Yoga memandang tubuh se-
bagai instrumen utama untuk mencapai pembe-
basan. Tetapi perhatian kepada tubuh adalah
semata-mata agar dapat mengendalikan pikiran
dan membebaskan diri manusia.
Tantrisme dan Hatha Yoga

Hatha Yoga sering dianggap sejenis latihan fisik yang


tidak merugikan. Tetapi dalam karya terpenting
aliran ini, Hatha Yoga Pradipika, ditegaskan
bahwa Hatha Yoga harus diajarkan guna mencapai
tingkat Raja Yoga (1,2), yaitu “integrasi pikiran di
mana dualitas subyek-obyek tidak ada" (4,77),
artinya, lebur dengan Realitas Tertinggi yang
impersonal.
5.Teisme Hindu

Pembebasan diri (atman atau purusha) melalui


pengetahuan metafisik (jnana, vidya) atau laku
tapa (tapas) bukan hal yang terjangkau bagi orang
Hindu kebanyakan.
Maka, kebanyak orang memilih suatu kegiatan devosi
(bhakti) tertentu untuk mengatasi alam
penderitaan. Dewa-dewa yang paling penting
dewasa ini adalah Vishnu dan avatarnya (khusus-
nya Rama dan Krishna), Shiva dan dewi Shakti
(juga dalam bentuk Kali atau Durga).
Teisme Hindu

Karena itu, teisme Hindu memiliki tiga cabang:


Vaishnavisme, Shaivisme dan Shaktisme.
Ketiganya memiliki tiga ciri hakiki berikut:
1) pengakuan akan dewa personal sebagai Realitas
Tertinggi,
2) peribadatan kepada dewa dengan ritual tertentu,
3) permohonan pertolongan kepada untuk mencapai
keselamatan, dan
4) pemaknaan keselamatan sebagai persatuan dengan
dewa atau tercapainya suatu hubungan yang
sempurna dan kekal dengan dewa.
Teisme Hindu

Dewasa ini terdapat banyak aliran teistik Hindu. Dua


akan dijelaskan lebih lanjut, yaitu aliran
Vaishnava yang dikembangkan oleh pemikir
besar Ramanuja dan Madhva dengan
menjelaskan beberapa unsur pemahaman mereka
tentang keselamatan dan kehidupan kekal.
Mereka mencanangkan bentuk teisme Hindu yang
dikenal paling koheren dewasa ini, dibandingkan
dengan aliran panteistik tradisional, khususnya
Advaita Vedanta dari Shankara.
Teisme Hindu

Menurut Madhva (1238 -1317), pembebasan hanya


dapat dicapai dengan rahmat Vishnu. Dengan
reinkarnasi ia menghukum perbuatan jahat orang
dan membantu jiwa itu untuk menemukan kodrat
spiritualnya yang sebenarnya.
Untuk mencapai pembebasan diperlukan devosi,
kesempurnaan moral dan pengetahuan akan
Vishnu. Semakin ia dikenal, semakin ia dikasihi,
semakin ia dikasihi, semakin ia dikenal, sehingga
keduanya merupakan dua aspek yang tak terpisah.
Teisme Hindu

Jiwa yang mencapai pembebasan tidak kehilangan


individualitas untuk bersatu dengan Vishnu (seper-
ti dalam Vedanta), tetapi menjadi sempurna dan
menjadi satu dalam keselarasan dengan dia.
Teisme Madhva mengakui karma. Di satu pihak,
dikatakan bahwa tiada sesuatu pun yang terjadi di
luar kehendak dan inisiatif Vishnu. Di pihak lain,
jiwa tunduk kepada karma, dan Vishnu menyata-
kan diri hanya kepada orang-orang yang layak
menerimanya.
Teisme Hindu

Untuk mengatasi dilemma karma dan kekuasaan


Vishnu, menurut Madhva jiwa memiliki kecende-
rungan spiritual tertentu, atas dasar kodratnya.
Berdasarkan kecenderungan itu dibedakan tiga jenis
jiwa: jiwa dengan kecenderungan mulia
(sattvika), kecenderungan campur (rajasa) dan
kecenderungan rendah (tamasa).
Hanya kelompok pertama saja yang akan mencapai
pembebasan berkat rahmat Vishnu, sedang
lainnya ditinggalkan sendiri.
Teisme Hindu

Untuk menghindari takdir (predestinasi), Madhva


menyatakan bahwa jiwa diberi sedikit kehendak
bebas (dattasvatantrya) dan dapat melakukan
sedikit perbaikan atas kodrat mereka dari satu
eksistensi ke eksistensi lainnya.
Dengan demikian, Vishnu tidak lagi menjadi penentu
satu-satunya atas tindakan jiwa, dan tidak
mengendalikan jiwa secara penuh.
Teisme Hindu

Menurut Ramanuja (1017-1137), manusia ber-


tanggungjawab atas perbuatannya dan dapat
memilih antara yang baik dan yang jahat.
Hal jahat yang kini kita alami di dunia adalah akibat
dari tindakan bodoh melawan Vishnu pada masa
lampau. Pembebasan dari kungkungan keti-
daktahuan dapat dicapai hanya dengan devosi.
Begitu terbebas, jiwa tidak lebur ke dalam Realitas
Tertinggi, tetapi menjadi sempurna melalui
integrasi ke dalam fungsionalitas Vishnu.
Teisme Hindu

Pembebasan bukanlah ibarat menyatunya tetes air


hujan dengan samudera (seperti dalam Vedanta),
tetapi penambahan suatu sel baru pada tubuh
yang hidup, tanpa kehilangan individualitas dan
kesadaran. Dengan pembebasan ini baik
keunggulan transendental Vishnu maupun
identitas jiwa tetap berlaku.
Ada dua pandangan klasik tentang rahmat dalam
agama Hindu teistik, yang diumpamakan sebagai
perilaku kera dan perilaku kucing.
Teisme Hindu

Dalam pandangan aliran Markata, manusia harus


melekat kepada Vishnu seperti kera menempel
pada induknya, dan mempunyai kontribusi berarti
dalam mencapai pembebasan.
Syarat-syaratnya: pilihan makanan, mencegah nafsu,
mendambakan Vishnu dan meditasi tentang dia tan-
pa putus, ber-buat baik kepada orang lain, menjaga
niat baik dan ketulusan, integritas, keriangan dan
harapan. Tidak hanya membangkitkan perasaan
positif, tetapi menggunakan intelek dan kehendak
untuk mengasihi Vishnu dengan pikiran dan hati.
Teisme Hindu

Menurut pandangan kedua, aliran Marjara, seorang


yang berdevosi harus berperilaku seperti anak
kucing, yang bergantung sepenuhnya kepada
kemauan induknya, dan membiarkan diri
dipungut oleh induknya dan dibawa ke manapun
jua.
Demikianlah, manusia harus melepaskan kendali
atas hidupnya kepada Vishnu dan membiarkan dia
mengambil inisiatif dan tanggungjawab untuk
keselamatan dirinya.
Teisme Hindu

Ia meminta kepada Vishnu untuk mengambil kendali


atas hidupnya dan menggunakannya sebagai
instrumen di dunia, sehingga pembebasan
seutuhnya merupakan jasa Vishnu.
Tentu saja dalam banyak aliran Hindu yang dengan
bersungguh-sungguh mengembangkan berbagai
teknik, yang menekankan pembebasan atas dasar
usaha sendiri, atau konsep prapatti, di mana
seseorang sedemikian hina dan lemah di hadapan
Vishnu, spiritualitas Hindu telah mengalami trans-
formasi yang radikal.
Teisme Hindu

Seluruh falsafah prapatti dapat dirangkum dalam


satu bait, yang ditulis oleh Vedanta Deshika,
seorang pengikut Ramanuja pada abad ke-14:
Tuhan, aku, yang bukan apa-apa ini, mengarahkan
diriku kepada kehendakmu dan tidak ingin
menentangnya; dan dengan iman dan doa, aku
menyerahkan kepadamu tugas penyelamatan
jiwaku (Nyasadashaka 2).
Konsep Keselamatan dan Hidup
Abadai di dalam Agama Budha
Budha Theravada

Menurut Buddha, pembebasan dari penderitaan


mungkin bagi orang yang menerima dan mengikuti
keempat kebenaran mulia:
1) Kodrat eksistensi adalah penderitaan.
2) Penderitaan disebabkan oleh keinginan, atau
kehausan (tanha) untuk menikmati eksistensi.
3) penghentian keinginan mengakibatkan penghen-
tian penderitaan.
4) Untuk lepas dari penderitaan dan mencapai
pencerahan harus mengikuti Delapan Jalan Mulia.
Budha Theravada

Delapan Jalan Mulia adalah delapan latihan diri.


Delapan Jalan itu dapat dikelompokkan ke dalam
tiga kategori:
1. moralitas (sila),
2. meditasi (samadhi) dan
3. kebijaksanaan (panna).
Budha Theravada

Moralitas meliputi bicara yang benar, berbuat yang


benar dan nafkah yang benar. Kategori ini dituju-
kan untuk menciptakan tingkat pengendalian diri
dan kepuasan yang sempurna.
Meditasi menuntut kesempurnaan usaha (sikap
pikiran yang benar), kewaspadaan (kesadaran
proses mental dan fisik), dan konsentrasi
(introversi dan penghentian kesadaran empiris).
Budha Theravada

Kebijaksanaan menuntut kesempurnaan pandangan


(melalui pemahaman akan kodrat dunia yang
tidak tetap) dan niat (pengembangan pelepasan
keinginan, keraamahan dan belas kasihan).
Budha Theravada

Ada dua jenis meditasi Budha yang sifatnya


komplementer: 1) meditasi tenang (samatha) dan
2) meditasi wawasan (vipassana).
Meditasi tenang bertujuan menghasilkan konsentrasi
mendalam (samadhi) dengan meng-embangkan
kemampuan pikiran untuk tak terusik dan
berpusat pada satu obyek persepsi.
Meditasi wawasan bertujuan memahami kodrat hal-
hal yang sebenarnya, yang cirinya tidak tetap,
penderitaan dan nir-diri.
Budha Theravada

Meditasi tenang adalah upaya pengendalian pikiran,


sedangkan meditasi wawasan adalah membiarkan
pikiran bebas karena telah memahami kodrat
dunia.
Seseorang yang mengambil jalan ini harus meng-
andalkan kekuatan batinnya sendiri.
Tidak ada pertolongan atau kemurahan yang dapat
diterima dari seorang dewa personal, karena
esksistensi personal termasuk dalam dunia ilusi.
Budha Theravada

Setelah mencapai nirvana, seseorang menjadi arhat


(“yang hidup dengan pencerahan"). Karma
terlebur dan pada saat kematian eksistensi
personal sirna.
Nirvana adalah peniadaan ilusi tentang keberadaan
diri, ibarat nyala api yang dihembus dan mati.
Sengsara berakhir, tetapi sekaligus segala aspek
yang menjadi bagian dari eksistensi pribadi.
Budha Mahayana: Jalan devosional

Perbedaan signifikan antara Budha Mahayana dan


Budha Theravada ialah seputar tujuan hidup.
Dalam Budha Mahayana tujuan hidup bukan meraih
nirvana untuk diri sendiri dengan menjadi arhat,
melainkan menjadi bodhisattva.
Bodhisattva yaitu suatu eksistensi surgawi yang
menunda untuk masuk ke dalam parinirvana
(peleburan final) untuk menolong orang lain
mencapai nirvana.
Budha Mahayana

Karena mengejar tujuan nirvana untuk diri sendiri


saja, aliran Theravada sering dianggap sebagai
jalan rohani yang lebih rendah oleh aliran
Mahayana, yang berlaku bagi mereka yang tidak
dapat menerima gagasan menjadi bodhisattva.
Itulah asal usul sebutan dua aliran Budha: Mahayana
berarti “jalan besar/tinggi" (dengan menjadi
bodhisattva), dan Hinayana (Theravada) berarti
“jalan sempit/rendah", dengan tujuan sekadar
menjadi arhat.
Budha Mahayana

Pandangan Theravada tentang nirvana hanya


dianggap sebagai tahap pencapaian antara,
menuju pencerahan sejati, yakni menjadi
bodhisattva (Saddharmapundarika, 3).
Berkat pertolongan yang diberikan oleh para
bodhisattva, dipercayai bahwa semua makhluk
akan mencapai kesempurnaan.
Budha Mahayana

Kepercayaan akan bodhisattva yang menolong orang


lain untuk mencapai pembebasan ini dianggap
sebagai penetrasi tradisi bhakti agama Hindu ke
dalam agama Budha.
Pola devosi yang diterapkan di sini serupa dengan
pola devosi dalam agama Hindu. Tren ini
kemudian menjadi jalan keagamaan bagi kaum
awam Budhis, yang barangkali agak sulit memilih
jalan pembebasan melalui pengetahuan intuitif.
Budha Mahayana. Jalan pengetahuan intuitif.

Perkembangan doktrinal seputar tema anatta atau


ketiadaan-diri menjadi dasar pengembangan
doktrin baru, yang disebut doktrin kekosongan
(shunyata).
Doktrin ini pertama kali mengemuka di dalam
Prajnaparamita Sutra (abad ke-1 SM) dan
kemudian dikembangkan oleh Nagarjuna (abad
ke-2 M).
Budha Mahayana

Tradisi Abhidharma mengajarkan bahwa kelima


skanda (agregat) dapat dirinci lebih jauh menjadi
unit-unit kecil yang disebut dharma.
Aliran Theravada mengajarkan bahwa segala
peristiwa fisik dan mental memiliki unsur dasar
serupa itu sebanyak 82 dharma.
Aliran Madhyamaka (Nagarjuna) menekankan bahwa
dharma itu sendiri harus dianggap impermanen
dan tak memiliki kedirian, kalau tidak maka
prinsip impermanensi dilanggar.
Budha Mahayana

Karena itu, segala unsur fenomena fisik dan mental


harus dipandang sebagai serupa mimpi saja atau
ilusi magis. Kodratnya adalah kekosongan.
Karena itu seluruh dunia tidak lebih dari suatu
jaringan fenomena tak berdasar yang saling
bergantung satu sama lain.
Kekosongan bukan suatu substansi yang memben-
tuk dharma, melainkan hanya suatu ajektif
(sifat) kualifikatif untuk dharma.
Budha Mahayana

• Kekosongan bukanlah suatu hal, atau suatu


ketiadaan-hal, melainkan hanyalah suatu cara
mengacu kepada suatu kenyataan sebagai sesuatu
yang tidak dapat dikristalisasikan ke dalam
konsep.
• Nirvana berarti menyadari bahwa kekosongan
(shunya) adalah kodrat sejati realitas (kodrat
Budha, atau dharmakaya).

Anda mungkin juga menyukai