Anda di halaman 1dari 73

EDISI Jl.

Kwitang 22-23, Jakarta 10420, Indonesia


Telp. 021-3901208, Fax. 021-3901633

#dirumahaja
www.bpkgunungmulia.com
JOAS ADIPRASETYA

Labirin
Kehidupan
Spiritualitas Sehari-hari
bagi Peziarah Iman

Jl. Kwitang 22-23, Jakarta 10420, Indonesia


Telp. 021-3901208, Fax. 021-3901633
www.bpkgunungmulia.com
LABIRIN KEHIDUPAN
Spiritualitas Sehari-hari bagi Peziarah Iman
Copyright © 2016 oleh Joas Adiprasetya
All rights reserved

Diterbitkan oleh
PT BPK Gunung Mulia
Jl. Kwitang 22-23, Jakarta 10420
E-mail: publishing@bpkgm.com
Website: www.bpkgunungmulia.com
Anggota IKAPI

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang


Cetakan ke-1: 2016
Cetakan ke-2: 2016
Cetakan ke-3: 2018
Edisi #dirumahaja: 2020

Editor: Samuel Septino Saragih


Korektor Naskah: Rika Uli Napitupulu-Simarangkir
Setter: Wahyu Dwi Hantoro
Desain Sampul: Hendry Kusumawijaya

Katalog dalam Terbitan (KDT)

Adiprasetya, Joas
Labirin kehidupan : spiritualitas sehari-hari bagi peziarah iman / oleh Joas Adiprasetya.
– Edisi #dirumahaja – Jakarta : Gunung Mulia, 2020.
x , 211 hlm. ; 19 cm.

1. Spiritualitas (Kristen). 2. Renungan (Kristen) - Kumpulan.


I. Judul.
242

ISBN 978-602-231-308-3
BPK GUNUNG MULIA
BPKGUNUNGMULIA
E-COMMERCE : 0878 8005 7922
Daftar Isi

Sahabat di Tengah Krisis — vii

1 Bayang-Bayang Kematian — 1
2 Sakramen Sehari-hari — 7
3 Seperti Biasa, Baik! — 13
4 Pada Hari Ini dan Setiap Hari — 19
5 Mencintai Dunia — 25
6 Satu Peristiwa, Dua Dimensi — 32
7 Spiritualitas Maraton Bernama Ketabahan — 38
8 Kini dan Sampai Kematian Memisahkan — 47
9 Keseharian dan Derita — 55
10 Labirin — 60

vi
Sahabat
di Tengah Krisis

I
zinkan saya menyapa Saudara yang mungkin tengah
berada di rumah untuk melakukan jaga jarak sosial (social
distancing), demi membantu usaha memutus rantai pe­
nyebaran Covid-19. Saya mengapresiasi kesediaan Saudara
untuk berpartisipasi ke dalam usaha penyelesaian masalah
nasional dan global ini. Bagi Saudara yang terpaksa masih ha­
rus keluar rumah karena tugas yang tak terhindarkan, saya
berdoa agar Allah selalu menyertai dan menjaga Saudara.
Atau, mungkin, sebagian dari pembaca tengah terbaring sa­k it
karena terinfeksi virus Covid-19 atau penyakit lain, perca­
yalah, Kristus Sang Imanuel selalu mendampingi Saudara.
Saya bersama BPK Gunung Mulia bersepakat untuk
mem­­bagikan sepuluh bab (sepertiga) buku Labirin Kehi­dup­an:
Spiritualitas Sehari-hari bagi Peziarah Iman. Fragmen ini kami
bagikan secara cuma-cuma dan boleh diteruskan ke siapa pun
yang Saudara kenal. Tujuannya untuk menemani Saudara
pada masa menahan diri di dalam rumah dengan bacaan

vii
viii L A b ir in Kehidupa n

yang, semoga, dapat memberi inspirasi di tengah masa sulit


dan murung ini.
Saudara tentu dapat memesan buku ini secara utuh ke
BPK Gunung Mulia (alamat kontak di halaman lain buku ini).
Tersedia juga Labirin Kehidupan 2: Berjumpa dengan Allah dalam
Peziarahan Sehari-hari. Saya mendorong Saudara sekalian
untuk membeli buku-buku bermutu terbitan BPK Gunung
Mulia, baik di saat seperti ini atau kelak, tatkala badai ini su­dah
berlalu.
Kristus kiranya memberikan kegembiraan dan pengha­
rapan kepada kita semua.

Jakarta, 20 Maret 2020


Doa saya,

Joas Adiprasetya
1 Bayang-Bayang
Kematian

Bayang-Bayang Kematian

A
pa yang menggelisahkan manusia sepanjang za­
man dan tempat adalah bahwa ia tak pernah da­
pat hidup terlepas dari bayang-bayang ”yang lain”.
Kita tidak pernah dapat menangkap sebuah bayang-bayang,
entah bayang-bayang tubuh kita sendiri atau tubuh orang
lain, sebab memang bayang-bayang sebenarnya tak pernah
memiliki eksistensi pada dirinya sendiri. Namun, pada saat
bersamaan, bayang-bayang yang kita lihat menjadi tanda
bahwa ada sebuah sosok yang begitu dekat dengan kita.
Pengalaman berurusan dengan bayang-bayang meru­
pakan pengalaman kita sehari-hari. Mulai dari anak-anak
yang kepanasan mencari bayang-bayang ayahnya agar da­
pat berteduh barang sejenak, hingga seorang ibu yang

1
2 L A b ir in Kehidupa n

melamun di malam sepi di ruang tamu tiba-tiba merinding


dan berdiri bulu kuduknya setelah merasa telah melihat
ba­yang-bayang tertentu di dinding teras. Bayang-bayang
kadang dicari, namun tak jarang ia dihindari. Yang pasti, ia
akrab dengan keseharian kita.
Dari pengalaman sehari-hari itulah orang berusaha
menghayati imannya dengan memakai bayang-bayang seba­
gai ilustrasi kehidupan dan kematian. Sementara para pe­nu­
lis Alkitab tak pernah menyebutkan bayang-bayang kehi­dupan,
mereka kerap berbicara mengenai bayang-bayang kematian.
Mungkin sebabnya adalah mereka memahami kematian
sebagai sebuah realitas yang sangat nyata, bahkan ketika
mereka masih menjalani kehidupan. Namun, sekalipun ke­
matian sungguh nyata, dan tak seorang pun dapat mengelak
darinya, ia terus mengintai kita setiap saat. Bayang-bayang
kematian sudah mengenai kita pada hari kita memulai ke­
hidupan di dalam dunia ini. Bayang-bayang kematian ma­
kin membesar—tanda bahwa kematian itu makin mende­
kat—seiring dengan waktu hidup kita yang makin ber­tambah
(atau berkurang).
Salah satu teks favorit banyak orang Kristen, yaitu
Mazmur 23, menginspirasi kita bahwa setiap saat kita me­
mang berada di bawah bayang-bayang maut. Pada ayat 4,
pemazmur mengungkapkan bahwa sekalipun ia berjalan
dalam ”lembah kekelaman”, ia tidak takut sebab Allah me­
Baya ng - Baya ng K e m at i an 3

nyertainya. Kata lembah kekelaman memakai kata Ibrani


tsalmaveth yang berarti ’bayang-bayang kematian’.1 Kema­
tian di dalam Alkitab memang kerap dipandang seperti ke­
gelapan terkelam yang sungguh menakutkan.
Bukankah setiap manusia, bahkan sejak ia lahir, sudah
terkena bayang-bayang kematian itu? Setiap kali kita ber­
cermin, kita menyaksikan wajah yang menua, rambut yang
memutih, dan banyak tanda kematian lain yang makin men­
dekat. Tak ada cara untuk mengatasi kematian kecuali ber­
damai dengan kenyataan bahwa memang kematian tidak
pernah berhenti mengintai dan mengepung kita. Bayang-
bayangnya telah mengenai kehidupan kita sejak detik
pertama kita memasuki kehidupan di dunia ini.
Saya harus mengakui bahwa saya belum sepenuhnya
berdamai dengan kematian sekalipun saya sering meng­
khotbahkan pentingnya keberanian untuk menghadapi
kematian. Setiap kali berada di dalam pesawat terbang,
misalnya, selalu saja terbersit pertanyaan, ”Apakah ini hari
terakhir hidupku?”, sekalipun secara rasional saya tahu per­
sis bahwa pesawat terbang adalah alat transportasi paling
aman di dunia, bahkan berkali-kali lipat lebih aman diban­
ding­kan berjalan kaki di atas trotoar. Atau, setiap kali men­

1
Kata ini muncul 18 kali dalam 17 ayat di dalam Perjanjian Lama, yang terba­
nyak adalah Kitab Ayub (9 kali) disusul oleh Kitab Mazmur (4 kali).
4 L A b ir in Kehidupa n

jelang tidur, di keheningan malam, saya mendengar denyut


jantung saya sendiri. Selalu ada godaan untuk berkata,
”Mungkin jantung ini akan berhenti ketika saya sudah
terlelap.” Kita selalu hidup di bawah bayang-bayang maut
… setiap hari!
Spiritualitas sehari-hari barulah memberikan kemer­
dekaan batin ketika ia terus-menerus memberi kesadaran
akan keterbatasan manusiawi kita. Salah satu keterbatasan
tersebut adalah kematian. Mereka yang telah mampu me­
nemukan keindahan hidup di dalam keseharian, yang tam­
pak biasa saja, akan mampu pula menghadapi ketakutannya
sendiri, bahkan untuk menghadapi kematian yang tak da­
pat ditolaknya. Bukankah kita hanya dapat mengalami
ketakutan ketika kita hidup?

Ars Moriendi
Di dalam literatur Kristen, dikenal sebuah jenis sastra yang
disebut ars moriendi atau seni mati. Karya ars moriendi per­
tama muncul pada awal abad ke-15 sebagai sebuah jawaban
imani atas peristiwa wabah serempak di Eropa pada tahun
1346-1353, yang kerap dijuluki ”Kematian Hitam” (Black
Death). Pandemi tersebut menelan korban hingga 200 juta
jiwa. Pada kemudian hari, bermunculanlah karya-karya ars
moriendi lain. Bahkan, para penulis Protestan juga meman­
Baya ng - Baya ng K e m at i an 5

faatkan jenis sastra ini, namun sekaligus menolak beberapa


pokok pemikiran Katolik yang muncul di karya-karya se­
belumnya. Penolakan tersebut ditujukan khususnya pada
pemahaman bahwa nasib abadi manusia ditentukan pada
akhir hidupnya. Mereka juga menolak gagasan mengenai
api penyucian (purgatorium) yang muncul di dalam jenis
sas­tra ini. Beberapa penulis Calvinis, misalnya, memperdam­
pingkan ars moriendi (seni mati) dengan ars vivendi (seni hi­
dup) sebab menurut mereka, cara terbaik untuk mem­per­
siapkan kematian adalah dengan menjalani hidup sehari-hari
sebaik mungkin.2
Saya tidak akan membahas panjang lebar isi ars moriendi,
kecuali ingin menyatakan bahwa tampaknya ars moriendi
telah menjadi seni yang makin raib di dalam percakapan
kita pada masa kini. Mungkin kelangkaan ini disebabkan
oleh naluri ketakutan manusia pada kematian. Mereka
sadar bahwa kematian sebenarnya tak terelakkan, namun
mereka tetap berusaha menyangkalnya. Mungkin orang-
orang Kristen masa kini harus mulai menghidupkan kem­
bali seni mati yang mulai terhilang ini.

2
Jika Anda tertarik untuk meneliti jenis sastra Ars Moriendi ini di dalam beragam
tradisi keagamaan, sumber yang terbaik ada dalam buku karangan Kenneth
Kramer, The Sacred Art of Dying: How World Religions Understand Death (New
York & Mahwah: Paulist Press, 1988).
6 L A b ir in Kehidupa n

O, ya, saya pernah mendengar seorang bapak yang, sam­


pai saat buku ini diterbitkan, memiliki sebuah cara yang luar
biasa untuk mempersiapkan diri dalam menyambut kemati­
an­nya sendiri. Setiap malam, selama bertahun-tahun, ia tidur
di dalam sebuah peti mati yang terbuka, sementara sang
istri tidur di sampingnya di tempat tidur biasa. Dalam hati,
saya mengagumi bapak tersebut, yang berani mem­persiap­
kan diri dan menghadapi kematian; namun, terus terang saya
lebih kagum pada kelapangan hati istrinya.
2 Sakramen
Sehari-hari

Tiga Tahap
Kehidupan Spiritualitas

S
aya sangat tercerahkan setelah membaca sebuah
artikel pendek yang ditulis oleh salah seorang penulis
kegemaran saya, Barbara Brown Taylor, seorang pe­
rempuan teolog dari gereja Episkopal.1 Artikel bertajuk
”Everyday Sacraments”2 itu berisi autobiografi spiritual
singkat penulisnya yang terbagi menjadi tiga tahap. Pada

1
Nama ”episkopal” (yang berarti terkait dengan ”uskup”) lebih sering dipergu­
na­kan di Amerika Serikat ketimbang nama ”Anglikan” (yang berarti ”Inggris”).
Kita mengingat pertikaian antara pemerintah Kerajaan Inggris dan para pe­la­ri­an
yang akhirnya migrasi ke benua Amerika. Maka, pemakaian nama ”episkopal”
juga menunjukkan keengganan untuk mengaitkan diri dengan Gereja Anglikan
atau Gereja Inggris.
2
Barbara Brown Taylor, ”Everyday Sacraments”, dalam Living Pulpit 12, no. 3
( Jul-Sept 2003).

7
8 L A b ir in Kehidupa n

tahap pertama, ia memahami semesta sebagai sumber pe­


ra­saan takjub, bahkan sebelum ia percaya kepada Allah.
Taylor kemudian memasuki tahap kedua kehidupan spi­
ritualnya ketika ia akhirnya bergabung dengan sebuah je­
maat kecil yang sangat mementingkan sakramen ritual.
Gereja baginya adalah rumah bagi sakramen ilahi. Inkarnasi
Kristus, yang hadir baginya secara sangat nyata lewat sa­kra­
men ritual itu, membuatnya percaya pada ”gereja sebagai
rumah Allah yang sesungguhnya dan sakramen-sakramen
sebagai hal-hal yang hanya dapat dikerjakan oleh imam”.
Ia melanjutkan, ”Saya mulai memahami kekudusan sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan gereja (church thing) dan
bukan berhubungan dengan dunia (world thing).”
Tahap ketiga dialaminya justru karena jemaat yang
mengasuhnya juga percaya bahwa sakramen sesungguhnya
tidak terbatas pada dua atau tujuh sakramen ritual.3 Ia mu­
lai berani memercayai bahwa Allah dijumpai dengan ba­nyak
cara; semuanya bermakna sakramental. Ia menulis dengan
indahnya:

3
Gereja Protestan mengakui dua sakramen, sementara Gereja Katolik Roma
mengakui tujuh sakramen. Kedua sakramen Protestan adalah baptisan kudus
dan Perjamuan Kudus. Ketujuh sakramen Katolik adalah baptis, ekaristi, tobat
(pengakuan dosa), krisma (penguatan), perkawinan, perminyakan (pengurapan
orang sakit), dan imamat.
Sa k ra m e n S eh ar i -h ar i 9

Pola kelahiran kembali yang sama yang saya pelajari di


dalam baptisan tampil di dalam segala sesuatu, mulai
dari mandi hingga menyirami tanaman. Pola relasi yang
sama yang saya pelajari di dalam Perjamuan Kudus ter­
sedia di setiap santapan yang dimakan dengan penuh
perhatian. Penumpangan tangan terjadi sementara saya
menggendong seorang bayi yang menangis atau meng­
usap punggung seorang sahabat yang bersedih. Dengan
sedikit minyak, saya bahkan dapat melayankan sebuah
sakramen pemijatan yang cukup enak. Ketika saya ber­
jalan keluar dan melihat asap mengepul dari tumpukan
sampah yang dibakar, saya menyaksikan sebuah sakra­
men kematian yang tengah beralih ke kehidupan. Ketika
saya memakai botol kecil penghapus untuk memperbaiki
sebuah kesalahan tulis, saya mengingat bahwa kesalahan-
kesalahan saya tidaklah permanen.

Indah sekali bukan? Dan akhirnya, Taylor menyim­pul­


kan:
Ke mana pun saya memandang, hal-hal yang paling
tidak berarti di dalam dunia tengah menyampaikan
khotbah-khotbah kecil kepadaku. Ke mana pun saya
berpaling, dunia tengah memancarkan terang.
10 L A b ir in Kehidupa n

Sakramen dan Sakramentali


Tradisi Gereja Katolik membuat pembedaan antara sakra­
men dan sakramentali. Sementara sakramen sungguh-sungguh
menjadi pusat kehidupan gereja dan menghadirkan secara
penuh keselamatan dari Allah yang diterima melalui Kristus
oleh kuasa Roh Kudus, sakramentali merupakan ”tanda-tanda
suci, yang memiliki kemiripan dengan sakra­men-sakramen
… Melalui sakramentali, hati manusia disiapkan untuk me­
nerima buah utama dari sakramen-sakramen, dan pelbagai
situasi hidup disucikan.”4 Apa yang termasuk ke dalam sa­
kramentali adalah doa, penumpangan tangan, tanda salib,
pemberian berkat, dan sebagainya. Mereka bukan sakra­men,
namun menuntun umat untuk percaya pada sakramen.
Sementara itu, gereja-gereja Protestan terbagi ke da­lam
beberapa sikap yang berbeda terhadap sakramentali ini.
Sementara gereja-gereja yang mewarisi tradisi Calvin cen­
derung menolak sakramentali, sebab dikhawatirkan semua
itu menggiring manusia pada praktik magis, gereja-gereja
yang berlatar belakang Lutheran dan Anglikan cenderung
menghargainya. Namun, bahkan bagi mereka yang meno­
lak sakramentali, pengakuan bahwa beberapa praktik kris­
tiani berwatak sakramental tetap muncul. Contoh yang

4
Demikian dijelaskan di dalam Katekismus Gereja Katolik § 1667. Sakramentali
dibahas secara khusus di dalam poin § 1667-1679.
Sa k ra m e n S eh ar i -h ar i 11

paling jelas adalah perkawinan kudus. Perkawinan bukanlah


sakramen, namun ia jelas berwatak sakramental.
Mengapa saya berjalan memutar dengan membahas
perbedaan antara sakramen dan sakramentali ini? Sebabnya
tak lain adalah, menurut pengamatan saya, apa yang disebut
sebagai sakramentali ini tetap saja berwatak ”gerejawi”.
Atau, dengan bahasa yang dipergunakan oleh Barbara Brown
Taylor: church thing, bukan world thing.
Agaknya, kegemaran memisahkan yang gerejawi dan
yang duniawi, yang rohaniah dan yang jasmaniah, sangat
kental di dalam benak banyak orang Kristen. Tahap berikut
dari pemisahan itu, tentu saja, adalah penetapan bahwa
hal-hal yang gerejawi dan rohaniah adalah domain atau
wilayah Allah; sedang hal-hal yang duniawi dan jasmaniah
berada di luar wewenang ilahi.
Pemahaman semacam ini tampaknya yang hendak
ditolak oleh Taylor. Ia melangkah melampaui pemisahan
antara sakramen dan sakramentali, dengan menegaskan
bahwa segala sesuatu di dalam dunia milik Allah ini sungguh
berwatak sakramental, bahkan semuanya adalah sakramen.
Tak ada lagi pernak-pernik dunia yang tak dapat kita dekati
dengan mata iman, yang gagal menjadi wahana kehadiran
Allah yang menyelamatkan (baca: sakramen). Gereja bukan
12 L A b ir in Kehidupa n

lagi tempat khusus yang sakral, sementara dunia adalah


”rawa paya” mengerikan yang jauh dari Allah.5
Penegasan semacam ini sungguh bukan sekadar se­buah
kegenitan teologis. Pengakuan semacam ini, sebaliknya,
adalah sebuah penegasan iman yang sangat mendalam,
yang mengakar kuat pada pengakuan pada Kristus, Sang
Firman yang menjadi daging (Yoh. 1:14). Tentang ini, izin­
kan saya merefleksikannya di bagian lain. Namun, cukuplah
sekarang untuk menutup pasal ini dengan kalimat terakhir
artikel Barbara Brown Taylor:
Seluruh ibadah merupakan praktik pengagungan pada
Ia yang lebih besar daripada diri saya. Saya telah beralih
dari dunia melalui gereja dan kembali keluar ke dalam
du­nia lagi. Allah adalah nama yang saya pakai untuk rea­
li­tas tung­gal yang telah menjumpai saya di setiap tahap
kehidupan: Di dalam tornado-tornado dan kecebong-
kecebong, di da­lam persekutuan orang percaya. Di atas
semuanya, Ia men­jumpai saya di dalam Sabda yang men­
jadi Daging, yang telah mengundang saya untuk berga­
bung dengan-Nya di dalam perayaan sakramen-sakra­men
sehari-hari di dalam dunia ini.

5
Banyak orang Kristen Protestan yang gemar menyanyikan ”Dunia dalam Rawa
Paya” (Kidung Jemaat Nomor 343) dengan mentalitas pemisahan antara gereja
dan dunia, antara yang rohani dan yang jasmani.
3 Seperti Biasa,
Baik!

Hidup yang Biasa,


Hidup yang Tertata

E
ntah sejak kapan para motivator itu berhasil meme­
ngaruhi warga gereja kita. Orang-orang berpe­nam­
pilan menawan itu berhasil dengan sangat meya­
kinkan memotivasi warga jemaat kita untuk berteriak, ”Luar
biasa!” setiap kali kepada mereka diajukan pertanyaan, ”Apa
kabar?” Tentu saja, dengan sedikit penambahan religius,
ungkapan ini kedengarannya benar. Bukankah Allah kita
memang luar biasa dan Ia mengerjakan banyak hal yang luar
biasa dalam hidup kita dan membuat hidup kita luar biasa?
Tentu saya tak yakin dapat mengubah cara pandang
warga jemaat kita itu. Ekspresi yang sangat menyakinkan
itu tampaknya begitu cocok dengan naluri iman kita kepada
Allah yang memang luar biasa itu. Namun, mungkin kita

13
14 L A b ir in Kehidupa n

perlu meneliti lebih dalam lagi sahutan ”Luar biasa!” terse­


but dengan cara pandang yang lebih matang dan mendalam.
Izinkan saya menawarkan cara pandang tersebut.
Hidup yang biasa (ordinary) sesungguhnya adalah hidup
yang sudah tertata sebagaimana mestinya, sudah sesuai
dengan tatanan (order) yang teratur. Bukankah hidup sema­
cam itu baik dan indah? Bukankah setelah Allah menciptakan
semesta dalam enam hari secara teratur, Ia berseru, ”… sung­
guh amat baik” (Kej. 1:31)?1 Singkatnya, keteraturan hidup
adalah pantulan dari cara Allah menata dan memelihara
semesta ini.
Apa jadinya jika orbit seluruh planet yang tertata rapi
itu tiba-tiba berubah tidak seperti biasanya? Ada satu sebut­
an untuk itu, ”Luar biasa!” Apa jadinya jika jantung yang ber­
detak ajek, dengan pola yang sama, tiba-tiba berdetak tak
beraturan? ”Luar biasa!” Bicara soal jantung manusia, tahu­
kah Anda serangkaian fakta berikut ini?2

1
Evaluasi Allah, ”sungguh amat baik”, diungkapkan di akhir penciptaan se­lama
enam hari itu. Di peristiwa penciptaan setiap harinya, Allah mengungkapkan
bahwa apa yang diciptakan-Nya ”baik” (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). Seolah-olah,
memang, seluruh ciptaan yang baik itu secara bersama-sama bersifat harmonis
dan secara keseluruhan menjadi ”amat baik”. Inilah sisi estetis dari ajaran Kristen
mengenai penciptaan, yang sekaligus memberi undangan yang sangat kuat
bagi kita untuk mencintai semesta.
2
Lihat http://facts.randomhistory.com/human-heart-facts.html.
S epert i Bi as a, Bai k ! 15

• Jantung manusia rata-rata berdenyut 72 kali per menit,


atau 103.680 kali per hari atau 37.843.200 per tahun.
Jantung seseorang yang berusia 50 tahun, misalnya,
berdenyut sekitar 1,9 miliar kali.
• Sekalipun hanya memiliki berat 300-400 gram, jantung
manusia mampu memompa sekitar 7.500 liter darah
per hari, melewati 96.560 km pembuluh darah.
• Setiap hari jantung kita menciptakan energi yang cu­
kup untuk menggerakkan sebuah truk sejauh 32 km.
Dengan angka ini, jantung seseorang yang berusia 66
tahun menghasilkan energi yang dapat menggerakkan
truk sejauh perjalanan dari bumi ke bulan pulang-pergi.
Semua fakta itu berlangsung secara teratur, konstan,
dan ”biasa”. Jika jantung semacam itu berdetak ”luar biasa”,
justru kita harus cemas, sebab tentulah ada yang tak beres
dengan jantung dan kesehatan kita. Dunia medis menye­
butnya sebagai gejala aritmia (arrhytmia), yaitu denyut jan­
tung yang tak beraturan.

Hidup yang Biasa, Hidup yang Rutin


Keengganan sebagian orang untuk menjalani hidup yang
rutin tampaknya muncul dari anggapan keliru bahwa yang
rutin itu tidak bermakna. Membosankan dan menjemukan.
16 L A b ir in Kehidupa n

Padahal, tahukah Anda bahwa rutinitas adalah cara kita


menghargai keteraturan hidup yang merupakan anugerah
dengan penuh ketekunan dan kesetiaan?
Kata rutin berasal dari kata rute (route), yang menunjuk
pada ’jalan yang harus ditempuh’. Hidup adalah sebuah
perjalanan yang harus dilakoni setiap saat. Renungkan con­
toh berikut ini. Anda harus pergi dari Jakarta ke Yogyakarta,
yang berjarak 560 km itu, dengan mengendarai sebuah
mobil. Rute antara kedua kota itu baru bisa dijalani jika
kita dengan penuh ketekunan melewati menit demi menit,
kilometer demi kilometer. Dengan mudah kita menjadi
bosan dan jemu. Tanpa kesabaran tak mungkin jarak sepan­
jang itu dilewati. Atau, pikirkan contoh ini. Jika Anda se­orang
pekerja pada sebuah pabrik, Anda harus melewati rute
yang sama setiap hari untuk sampai ke pabrik; kemudian,
Anda harus melakukan pekerjaan secara rutin sesuai de­ngan
yang ditugaskan kepada Anda. Hanya dengan cara itu Anda
mencari nafkah, menghidupi keluarga, dan bertanggung
jawab atas kehidupan yang dipercayakan kepada Anda.
Ternyata rutinitas adalah cara terbaik untuk dengan
setia dan tekun melakoni kehidupan kita … sampai akhir.
Apa yang rutin ternyata memberikan kepastian kepada kita
untuk merespons pemeliharaan Allah sehari-hari, bukan
hanya sekali-sekali. Ia adalah wahana bagi manusia, yang
S epert i Bi as a, Bai k ! 17

diciptakan oleh Allah sebagai bagian dari tata semesta yang


tertib dan teratur, untuk memaknai kehidupannya.

Allah yang Luar Biasa


dalam Hidup Manusia yang Biasa
Jika hidup yang biasa dan rutin itu baik, maka kita perlu
me­rayakannya sebagai bagian dari identitas kita sebagai
manusia. Itu juga dapat berarti bahwa keinginan berlebihan
untuk menjadi luar biasa, seperti yang dianjurkan oleh para
motivator itu, dapat menyiratkan beberapa hal. Pertama,
jangan-jangan kita tengah menolak kenyataan bahwa Allah
memelihara seluruh semesta dalam tatanan yang tertib dan
teratur, demi merawat kehidupan bersama seluruh semesta
ini. Kedua, jangan-jangan kita tengah menunjukkan ke­
ingin­an menjadi ”lebih dari manusia”, atau menjadi manu­
sia super, yang lebih unggul daripada ciptaan lainnya.
Jika demikian, apakah memang tak ada sama sekali yang
luar biasa? Ada, tentu saja ada! Yang luar biasa adalah Allah
itu sendiri, bukan manusia. Mengatakan bahwa Allah luar
biasa berarti mengakui bahwa Allah memang melampaui
semua ciptaan yang biasa (ordinary) dan alami (natural). Itu­
lah pesan kristiani yang selalu membuat hati saya tertawan,
yaitu bahwa yang luar biasa (extra-ordinary) dan supernatural
itu ternyata memasuki kehidupan manusia yang biasa dan
18 L A b ir in Kehidupa n

alami, bahkan mengambil hakikat kemanusiaan itu ke da­


lam diri-Nya sendiri. Kita menyebutnya inkarnasi (menjadi
manusia), sebagaimana yang dituturkan oleh penulis Injil
Yohanes, ”Firman itu menjadi manusia dan diam di antara
kita” (Yoh. 1:14). Mengagumkan, bukan?
Jadi, jika sekarang Anda ditanya orang, ”Apa kabar?”
saran saya sederhana saja. Jawablah, ”Seperti biasa, baik!”
Dan jalani hidup Anda setekun, sesabar, dan setabah mung­
kin. Hayatilah kehidupan Anda seperti biasanya, yaitu ber­
sama Allah yang luar biasa itu.
4 Pada Hari Ini
dan Setiap Hari

Satu Doa, Dua Sudut Pandang

S
alah satu cara terbaik untuk membahas teologi dan
spiritualitas sehari-hari adalah dengan memahami
Doa Bapa Kami. Doa indah ini kita jumpai dalam dua
versi, yaitu Matius 6:9-13 dan Lukas 11:2-4. Sudah sa­ngat
banyak penulis berusaha membandingkan kedua versi ini,
tetapi apa yang menarik perhatian saya adalah bagai­mana
kedua versi mengungkapkan permohonan agar Sang Bapa
memberi kita makanan yang secukupnya.
Yesus, di dalam versi Matius, mengajar para murid-Nya
untuk meminta makanan secukupnya pada hari ini, sedang­
kan di dalam versi Lukas, makanan secukupnya di­minta
untuk setiap hari

19
20 L A b ir in Kehidupa n

Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang se­cu­


kupnya. (Mat. 6:11)
Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secu­
kupnya. (Luk. 11:3)

Perbedaan kata yang tampak kecil ini—pada hari ini (Ing.:


this day; Yun.: sēmeron) dan setiap hari (Ing.: everyday; Yun.:
kath’ hēmeron)—sesungguhnya menunjukkan perbedaan
spiritual dan teologis yang tak sederhana.
Di dalam versi Matius, Yesus tampil sebagai seorang
guru Yahudi yang sangat tegas mewartakan kedaulatan Allah,
yang kini oleh-Nya disapa sebagai ”Bapa”, bahkan ”Bapa
kami”. Kedaulatan tersebut dimiliki oleh Allah yang me­ngu­
­asai seluruh semesta, namun yang sekaligus begitu akrab
dengan manusia, berkat kehadiran Kristus. Dampak dari
pengakuan atas kedaulatan Allah yang agung-namun-akrab
itu adalah kesediaan dari pihak manusia untuk per­caya bah­
wa Ia berkuasa penuh atas kehidupan kita. Seluruh sejarah
hidup kita benar-benar berada di dalam tangan-Nya.
Dalam semangat itu, salah satu potongan Khotbah di
Bukit memberi inspirasi yang sangat mendalam. Baik di
dalam versi Matius maupun Lukas muncul khotbah Yesus
tentang kekhawatiran (Mat. 6:25-34 // Luk. 12:22-31). Ke­
cuali ada beberapa perbedaan kecil, kedua versi nyaris sama.
Namun, yang menarik, versi Matius menaruh satu kalimat
terakhir yang tidak kita temukan di dalam versi Lukas:
Pa da Ha ri Ini da n S e t i ap H ar i 21

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena


hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan
sehari cukuplah untuk sehari. (Mat. 6:34)

Tampaknya, ketidakkhawatiran pada hari besok adalah


sebuah wujud pengakuan pada kedaulatan Allah yang meng­
akrabkan diri-Nya bagi kita. Sebaliknya, sikap khawatir akan
hari besok sesungguhnya dapat menjadi tanda kurang­nya
iman kepada Allah yang berdaulat itu. Nah, salah satu wujud
spiritualitas yang mengakui kedaulatan Allah yang penuh
rahmat itu adalah dengan menikmati rahmat itu hari ini dan
tidak mengkhawatirkan hari besok. Dengan se­mangat sema­
cam itulah, Doa Bapa Kami di dalam versi Matius berujar,
”Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secu­
kupnya.”
Bagaimana dengan versi Lukas? Penulis Injil Lukas, yang
juga merupakan penulis Kisah Para Rasul, memiliki sudut
pandang spiritual dan teologis yang berbeda. Jika kita mem­
pergunakan lensa Matius untuk menilai permo­honan setiap
hari di dalam Injil Lukas, maka dengan mudah kita dapat
tergoda untuk mempertanyakan penulis Lukas yang seolah-
olah tidak percaya pada pemeliharaan Allah setiap hari.
Sebab, bukankah setiap hari berarti hari ini, hari besok, hari
lusa, dan hari-hari sesudahnya? Bukankah kita dianjurkan
untuk tidak mengkhawatirkan hari besok?
22 L A b ir in Kehidupa n

Penulis Injil Lukas sesungguhnya sangat menyadari


bahwa penyerahan diri kepada Allah yang berdaulat itu ha­
rus terjelma ke dalam ketidakkhawatiran akan hari esok. Ia
juga memasukkan ucapan Yesus tentang kekhawatiran (Luk.
12:22-31). Akan tetapi, perhatian utama Lukas sesungguhnya
ada di tempat lain, yaitu pada kehadiran Allah di dalam se­ja­
rah hidup manusia, yaitu setiap hari, bahkan hari demi hari.
Jika Allah setia kepada manusia, bukan hari ini saja, melain­
kan setiap hari, maka kehadiran Imanuel (artinya: ’Allah be­
serta kita’) itu mengundang umat beriman untuk juga meng­
akui imannya setiap hari.
Tidaklah mengherankan jika Lukas memang sangat
menyukai tema setiap hari untuk mengekspresikan penting­
nya sikap hidup para murid Kristus. Itulah sebabnya, de­ngan
sangat sengaja penulis Injil Lukas memberi penekanan lebih
pada panggilan mengikut Kristus, dibandingkan de­ngan
versi Matius. Demikian versi Matius:
Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: ”Setiap
orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal diri­
­nya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat. 16:24)

Sementara itu, versi Lukas berbunyi:


Kata-Nya kepada mereka semua: ”Setiap orang yang mau
mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, me­mi­kul
salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Luk. 9:23)
Pa da Ha ri Ini da n S e t i ap H ar i 23

Pentingnya setiap hari bagi penulis Injil Lukas sesung­


guhnya mencerminkan keyakinannya bahwa sebagaimana
Allah menyatakan kesetiaan-Nya dari hari ke hari, demikian
pun orang percaya diundang untuk menyatakan imannya
dengan penuh kesetiaan pula, dari hari ke hari (bnd. Luk.
16:19; 19:47; 22:53; Kis. 2:47; 16:5; 17:11; 19:9).
Maka, jelaslah perbedaan penekanan antara versi Matius
dan versi Lukas. Yang satu menekankan kedaulatan, yang lain
menekankan kesetiaan. Yang pertama memusatkan per­
hatian pada hari ini, yang kedua mengajak pembacanya un­
tuk percaya pada keterlibatan Allah di dalam sejarah hidup
setiap hari.

Makanan Secukupnya
Perbedaan sudut pandang antara Matius dan Lukas agaknya
tidak serta-merta menggiring kita pada situasi harus me­
nentukan satu di antara kedua pilihan tersebut. Sebaliknya,
terlepas dari perbedaan tersebut, keduanya berujung pada
sebuah spiritualitas yang sama, yang sekaligus berwajah
ganda. Pada satu sisi, keduanya mengundang kita untuk
bergantung pada Allah yang penuh rahmat, sedemikian rupa
hingga kita selalu bermohon, ”Berikanlah kami ….” Arti­nya,
hanya Allahlah yang memberikan kita makanan dan kehi­
dupan. Bukan yang lain. Pada sisi lain, doa ini meng­ajar
24 L A b ir in Kehidupa n

kita untuk sungguh-sungguh merasa cukup pada apa yang


diberikan oleh Allah—”makanan kami yang secukupnya”.
Singkatnya, doa Yesus ini mengajarkan sebuah spiritualitas
ketergantungan dan spiritualitas kecukupan pada saat ber­
samaan.
Dengan mempertautkan diri pada dua dimensi spiritual
itu, hidup kita lantas terbuka lebar pada cakrawala iman
yang sungguh percaya bahwa kedaulatan Allah membuat
kita tak lagi khawatir pada hari besok dan mampu berkata,
”Cukuplah hari ini saja,” sekaligus percaya pada kesetiaan
Allah yang selalu memberi kita ruang untuk menanggapinya
dengan penuh kesetiaan setiap hari.
5 Mencintai
Dunia

Dunia, Dunia, dan Dunia

O
rang Kristen pada masa kini tampaknya sangat
fasih dengan ungkapan-ungkapan yang mence­
mooh dunia, seperti, ”Jangan serupa dengan
dunia”, ”Kita tak boleh cinta dunia”, atau sekadar berkata,
”Duniawi!” Dunia seolah harus dijauhi sebab ia berpotensi
mencemari kemurnian iman kita. Tentu saja ungkapan-
ungkapan tersebut bukan tanpa dasar. Dengan mudah kita
bisa menemukan teks-teks Alkitab yang memang mendo­
rong kita untuk bercuriga pada dunia. Ungkapan pertama
di atas, misalnya, adalah tulisan Paulus dalam Roma 12:2,
yang lengkapnya berbunyi, ”Janganlah kamu menjadi se­
rupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan
budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah ke­

25
26 L A b ir in Kehidupa n

hendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah


dan yang sempurna.” Juga, berkali-kali kita diminta untuk
tidak mengasihi dunia (1Yoh. 2:15; 2Tim. 4:10; dsb.).
Tetapi, benarkah demikian? Benarkah kita tak boleh
mencintai dunia? Bukankah Allah kita sendiri sungguh-
sungguh mencintai dunia, bahkan cinta-Nya kepada dunia
ini begitu besar sampai-sampai Ia rela menyerahkan Anak-
Nya sendiri (Yoh. 3:16)? Apa yang keliru di sini? Jangan-
jangan persoalannya adalah karena kita memahami kata
dunia secara keliru atau terlalu sempit. Untuk itu, mari kita
melihat bagaimana kata dunia (Yun.: kosmos) dipahami di
dalam Alkitab Perjanjian Baru.
Yohanes 1:10 tampaknya menjadi teks yang pertama-
tama harus kita tengok, ”Ia telah ada di dalam dunia dan dunia
dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.” Se­
banyak tiga kali kata dunia (kosmos) dipakai di sana dan ter­
nyata ketiganya memiliki makna yang sangat berbeda.1
Pada anak kalimat pertama, ”Ia telah ada di dalam dunia”,
kata dunia dipahami secara fisik sebagaimana adanya dunia
ini kita alami, lengkap dengan segala isinya. Singkatnya, ia
berwatak netral.

1
Di dalam seluruh Perjanjian Baru, kata dunia (Yun.: kosmos) muncul sebanyak
156 kali. Dari jumlah itu, 58 kali (38%) ia muncul di dalam Injil Yohanes, belum
termasuk tulisan-tulisan Yohanes lain (1-3Yoh. dan Why.), yaitu sebanyak 21 kali.
M e ncintai D u n i a 27

Di dalam anak kalimat yang kedua, ”dunia dijadikan


oleh-Nya”, dunia dipahami sebagai ciptaan Allah yang mem­
peroleh jati dirinya karena dibuat dan dibentuk oleh Sang
Pencipta. Tradisi Yahudi dan Kristen secara konstan menya­
ta­kan kebaikan dunia yang diciptakan Allah ini. Allah men­
cipta dengan cinta, lewat kreativitas ilahi yang menakjubkan.
Dalam hal ini dunia punya makna yang sangat positif.
Makna ketiga muncul secara negatif di dalam anak kali­
mat terakhir, ”dunia tidak mengenal-Nya”. Dunia di sini
muncul sebagai sebuah perlawanan dan penolakan terhadap
cinta Allah. Makna ketiga ini dilanjutkan di dalam ayat ber­
ikutnya, ”Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi
orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh.
1:11). Dunia yang seharusnya bermakna positif ka­rena men­
jadi kepunyaan Allah itu justru, karena dosa, kini tidak me­
ngenal dan menerima Allah yang hadir di dalam Kristus.
Nah, tahulah kita kini bahwa semua klaim yang nega­
tif di atas sesungguhnya sedang diarahkan pada makna ke­tiga
dari kata dunia. Maka, nasihat untuk membenci dunia se­
sungguhnya harus dipahami sebagai sebuah nasihat untuk
tidak hidup seperti mereka, yaitu orang-orang dunia yang
menolak Allah. Akan tetapi, nasihat ini tidak menyarankan
orang-orang Kristen untuk membenci manusia-manusia
yang hidup di dunia, melepaskan diri dari semua persoalan
dunia, atau bahkan melarikan diri dari dunia.
28 L A b ir in Kehidupa n

Membenci yang Dicintai Allah?


Sikap membenci dunia secara spiritual sangat bermasalah
sebab sikap ini berlawanan dengan sikap dan tindakan
Allah yang teramat mencintai dunia. Bagaimana mungkin
kita membenci apa yang dicintai Allah; sama seperti bagai­
mana kita dapat mengasihi apa yang dibenci Allah (baca:
dosa)? Yohanes 3:16 dengan sangat gamblang memaparkan
betapa besarnya kasih Allah akan dunia ini.
Kata dunia di dalam ayat ini tidak perlu dipahami se­cara
positif, seolah-olah dunia dicintai karena dunia menerima
Allah: Kasih Allah pada dunia sangatlah besar, karena dunia
menerima-Nya. Sebaliknya, dunia pada ayat ini bermakna ne­
gatif. Namun, justru karena itu, pesan Yohanes 3:16 menjadi
lebih kuat lagi, ”Kasih Allah pada dunia sangatlah besar,
sekalipun dunia menolak-Nya.” Singkatnya, cinta ilahi pada
ayat favorit banyak orang Kristen ini adalah cinta tanpa
syarat. Karena cinta Allah lebih besar daripada penolakan
dunia, maka Allah justru mendekati dunia dengan menyerah­
kan diri-Nya melalui Kristus. Cinta Allah pada dunia ber­
hadap-hadapan secara frontal dengan penolakan dunia
kepada Allah, namun tidak secara simetris, sebab cinta
Allah jauh lebih kuat daripada penolakan dunia tersebut.
Jika inilah logika cinta ilahi—entah apakah cinta me­mang
memiliki logika?—maka sikap membenci dunia sungguh
M e ncintai D u n i a 29

berseberangan dengan apa yang Allah lakukan. Menolak


dunia, dengan demikian, sama halnya dengan menolak
cinta Allah itu sendiri.

Ketegangan Kreatif
Keterarahan Allah yang penuh kasih pada dunia ini menjadi
tema yang sangat mendasar di dalam seluruh tulisan
Yohanes, mulai dari Injil Yohanes hingga Kitab Wahyu.
Pesan cinta pada dunia ini begitu konsisten di tengah teks-
teks yang memahami dunia secara negatif, yang celakanya
lebih kerap disukai orang Kristen.
Gagasan mengenai cinta pada dunia ini tentulah tidak
serta-merta membuat kita lupa bahwa tetap saja ada pe­ma­
haman di dalam teks-teks Yohanes bahwa dunia di sisi lain
memang bermakna negatif dan harus disikapi secara berhati-
hati. Hanya saja sikap ini tidak boleh diartikan sebagai se­
buah pembenaran bagi kehidupan yang menghindar dan
lari dari urusan dunia.
Doa Yesus versi Injil Yohanes dengan sangat jelas me­
nunjukkan betapa pentingnya menjaga kedua sikap ini
bersama-sama, yaitu sikap mencintai dan terlibat di dalam
dunia dan sikap berhati-hati pada dunia yang menolak Allah.
Kedua sikap ini diterjemahkan ke dalam dua ungkapan yang
sangat terkenal: ”bukan dari dunia” (ouk eisìn ek toû kósmou;
30 L A b ir in Kehidupa n

Yoh. 17:14, 16) dan ”di dalam dunia” (en tōi kósmōi; Yoh.
14:11).2
Kedua ungkapan ini lantas bukan sekadar berbicara
tentang sikap kristiani terhadap dunia, namun juga tentang
identitas kristiani dalam relasi dengan dunia. Murid-murid
Kristus adalah orang-orang yang bukan dari dunia, namun
berada di dalam dunia. Identitas ganda ini harus dipertahan­
kan bersama-sama. Memang menegangkan, namun jika
diolah secara kreatif, keduanya akan mampu menampilkan
model hidup kristiani yang tepat.
Menekankan identitas ”bukan dari dunia” dan meng­
abaik­an identitas ”di dalam dunia” hanya akan menciptakan
orang-orang yang membenci dunia dan melarikan diri dari
persoalan dunia. Sebaliknya, tetap ”di dalam dunia”, namun
mengabaikan identitas ”bukan dari dunia” dapat dengan

2
Bagi mereka yang ingin mendalami ketegangan identitas ini, sila membaca
buku apik James Davison Hunter, To Change the World: The Irony, Tragedy, and
Possibility of Christianity in the Late Modern World (New York: Oxford University
Press, 2010). Di dalam buku ini, Hunter memaparkan empat model relasi Ke­
kris­tenan dengan dunia. Yang pertama adalah defensive-against (bertahan-me­
lawan), yang melihat dunia sebagai ajang dosa yang harus ditransformasi dan
ditobatkan. Yang kedua adalah relevance-to (relevansi bagi), yang sangat meng­
hargai dunia dan sangat ingin relevan bagi dunia, namun kerap justru tergelincir
ke dalam keserupaan dengan dunia. Yang ketiga adalah purity-from (kemurnian-
dari), yaitu sebuah sikap yang menolak dunia sepenuhnya dan lari dari dunia.
Akhirnya, Hunter mengusulkan model yang keempat, yaitu faithful-presence
(kehadiran-setia). Model ini dianggap paling dekat dengan doa Yesus di dalam
Yohanes 17.
M e ncintai D u n i a 31

mudah membuat orang-orang Kristen kehilangan identitas


dan keunikannya.
Lebih dari itu, murid-murid Kristus diundang untuk
tetap berada ”di dalam dunia” bukan saja karena memang
dunia ini adalah satu-satunya tempat tinggal kita, melainkan
juga karena dunia ini sangat dicintai Allah. Karena itu, doa
Yesus di dalam Yohanes 17 ini juga memberikan dimensi
identitas kristiani yang ketiga, yaitu bahwa mereka diutus
oleh Allah ”ke dalam dunia” (eis tòn kósmon; ay. 18). Misi peng­
utusan ini tak lain adalah wahana orang-orang Kristen untuk
mengambil bagian ke dalam misi Sang Bapa yang mengutus
Anak-Nya ke dalam dunia (Yoh. 3:16)—misi cinta ilahi!
6 Satu Peristiwa,
Dua Dimensi

Pencobaan dan Ujian

S
ecara populer, orang-orang Kristen kerap membuat
pembedaan antara mencobai (tempting) dan menguji
(testing). Sementara pencobaan dilakukan oleh si jahat
dengan tujuan agar orang yang dicobai jatuh, ujian dilaku­
kan oleh Allah agar iman orang tersebut dapat bertumbuh.
Pembedaan tersebut tampaknya berangkat dari keyakinan
bahwa Allah tidak pernah mencobai manusia. Artinya,
Allah tidak pernah menghendaki manusia jatuh ke dalam
dosa. Salah satu ayat yang kerap dipakai untuk melandasi
keyakinan ini adalah Yakobus 1:13, ”Apabila seorang di­co­
bai, janganlah ia berkata: ’Pencobaan ini datang dari Allah!’”
Tentu saja saya sepakat dengan pendapat ini. Akan te­
tapi, pada saat bersamaan saya ingin menegaskan bahwa

32
Sat u Perist iwa , D ua Di m e n s i 33

Allah juga tidak menjauhkan kita dari pencobaan. Bukankah


di dalam 1 Korintus 10:31 dikatakan bahwa Allah ”tidak akan
membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu?”
Kalimat ini sebenarnya dapat ditulis ulang demikian, ”Allah
akan membiarkan kamu dicobai, hanya saja pencobaan itu
tidak akan melampaui kekuatanmu.” Allah memang akan
membiarkan kita dicobai oleh si jahat, namun pencobaan
tersebut pastilah masih berada pada kadar yang mampu
kita tanggung.
Lalu, bagaimana dengan salah satu kalimat di dalam Doa
Bapa Kami yang berbunyi, ”Janganlah membawa kami ke
dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat”
(Mat. 6:13a)? Mengapa saya justru berkata bahwa Allah
mem­biarkan kita masuk ke dalam pencobaan yang masih
dapat kita tanggung? Jawabannya sederhana saja. Sebab,
Allah bahkan melakukannya terhadap Yesus, Anak Tunggal-
Nya. Di dalam kuasa Roh, Allah membawa Yesus ke padang
gurun untuk dicobai oleh iblis (Mat. 4:1; bnd. Mrk. 1:12; Luk.
4:1). Bahkan, di dalam versi Markus ditandaskan, ”Segera
sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun.” Kata me­
mimpin yang dipergunakan di dalam ayat ini dalam Bahasa
Yunani memakai kata ekballei yang berarti ’melem­par’,
’memaksa’, atau ’mencampakkan’.
Kita tampaknya perlu membaca kisah ini secara Trini­
taris. Versi Lukas memberi kita sebuah petunjuk untuk me­
34 L A b ir in Kehidupa n

lakukannya, ”Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kem­


bali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke
padang gurun” (Luk. 4:1). Dengan kata lain, kalimat ”Roh
memimpin Dia ke padang gurun” itu sama artinya dengan
”Yesus Kristus yang penuh dengan Roh Kudus itu memaksa
diri-Nya sendiri untuk masuk ke dalam padang gurun”.
Artinya, Yesus dituntun oleh Roh Kudus memasuki penco­
baan di padang gurun bukan di luar kehendak-Nya, me­
lainkan justru atas kehendak-Nya. Sebab, bukankah Roh
Kudus adalah Roh Kristus sendiri?
Lantas, jika demikian, bagaimana kita memahami Doa
Bapa Kami? Saya mengajak Anda untuk membaca apa yang
tersirat di balik kata-kata tersurat doa ini. Dengan merang­
kai seluruh teks yang berbicara mengenai pencobaan, kita
akan sampai pada sebuah pemahaman yang mengizinkan
kita untuk menghayati Doa Bapa Kami yang indah tersebut,
khususnya saat berbicara mengenai pencobaan, dengan
memaknainya demikian.
Doa tersebut sesungguhnya ingin berkata, ”Jangan
mem­bawa kami ke dalam pencobaan, tanpa Engkau ber­sama
kami, agar kami tidak jatuh ke dalam dosa, tetapi le­­pas­kan­
lah kami dari yang jahat.” Singkatnya, Allah membawa kita
ke dalam peristiwa yang dapat dipergunakan oleh Iblis un­
tuk mencobai kita. Namun, ketika itu terjadi, Allah tidak
pernah meninggalkan kita, sama seperti Roh Kudus tetap
Sat u Perist iwa , D ua Di m e n s i 35

bersama dengan Kristus. Juga, Allah tidak akan membawa


kita ke dalam pencobaan yang melampaui kemampuan
kita, hingga kita jatuh ke dalam dosa.

Satu Peristiwa, Dua Dimensi


Saya ingin mengajak Anda memasuki masalah pencobaan
ini lebih dalam lagi. Ketika saya berkata, ”Allah membawa
kita ke dalam pencobaan,” maka yang saya maksudkan bu­
kanlah bahwa Allah mencobai kita. Sekali lagi, Iblis yang
mencobai kita. Namun, bersamaan dengan pencobaan ter­
sebut, Allah dapat menguji iman kita, agar kita berhasil
mengatasinya dan bertumbuh. Keduanya, pencobaan dan
ujian tersebut, muncul dalam sebuah peristiwa tunggal. Di
dalam peristiwa tunggal tersebut, pencobaan Iblis dan ujian
Allah berlangsung bersamaan. Setidaknya, itu yang mampu
menolong saya memahami peristiwa ”percakapan” Allah
dan Iblis di dalam Ayub 1:6-12. Allah mengizinkan Iblis men­
cobai Ayub sebab pada saat yang bersamaan Allah menguji
iman Ayub. Setelah itu, muncul peristiwa yang sama.
Pemahaman semacam ini dapat membebaskan kita
dari sikap naif untuk mengelompokkan peristiwa-peristiwa
tertentu sebagai pencobaan dari Iblis dan peristiwa-peris­
tiwa lain sebagai ujian dari Allah. Peristiwa apa pun yang
kita alami setiap hari dapat melibatkan secara bersamaan
36 L A b ir in Kehidupa n

pencobaan dan ujian. Bahkan, sebuah peristiwa yang tam­


paknya menampilkan berkat Allah yang luar biasa segera
da­pat berubah menjadi sebuah pencobaan yang dipergu­
nakan oleh Iblis untuk menjatuhkan iman kita. Betapa ba­
nyaknya peristiwa baik berubah menjadi begitu buruk ka­
rena kegagalan kita untuk mengolahnya menjadi kebaikan
sejati dan kesembronoan untuk menjaga iman kita. Ambil
contoh, ketika seorang pendeta berkhotbah, peristiwa ter­
sebut sudah barang tentu merupakan sebuah peristiwa
baik. Namun, dengan sangat mudah, Iblis dapat mencobai
pendeta tersebut, dan pendeta tersebut tergelincir ke dalam
dosa kesombongan. Sebaliknya, sebuah peristiwa pahit, mi­
salnya kematian kekasih kita, dapat dengan mudah diper­
gunakan oleh Iblis untuk menjauhkan kita dari Allah. Na­mun,
pada saat bersamaan, peristiwa pahit itu dapat menjadi
kesempatan kita untuk belajar berserah kepada kasih-sayang
Allah.

Peristiwa Sehari-hari
Sekali lagi, betapa penting menghayati spiritualitas sehari-
hari. Sebab, peristiwa apa pun yang berlangsung setiap de­
tik adalah peristiwa yang berpotensi untuk menjatuhkan
sekaligus menumbuhkan iman kita. Itu sebabnya, dalam
setiap peristiwa apa pun yang terjadi setiap hari, kita perlu
Sat u Perist iwa , D ua Di m e n s i 37

sungguh-sungguh berdoa, ”Bersamalah dengan kami, ya


Allah, agar kami tak jatuh saat dicobai.”
Di dalam peristiwa tunggal tersebut, senantiasa tersim­
pan dua dimensi—pencobaan dan ujian. Sekaligus, di dalam­
nya terdapat dua aktor, yaitu Allah yang menguji dan Iblis
yang mencobai. Bahkan, jangan lupakan aktor yang ketiga,
yaitu manusia. Dengan cinta, iman, dan pengharapan yang
diolah dalam kebebasan, kita diundang untuk peka pada
kehadiran ilahi di dalam setiap peristiwa, namun sekaligus
waspada pada kehadiran kuasa-kuasa yang ingin menjauh­
kan kita dari Allah.
Allah tentu saja lebih berkuasa dari Iblis. Allah tentu
saja mampu mengatasi pencobaan yang kita hadapi. Allah
tentu saja mampu menjauhkan kita dari pencobaan. Na­
mun, Allah yang mampu tersebut tidak serta-merta meng­
izinkan kita untuk mengandaikan bahwa Allah juga mau
melakukannya. Kerap Allah menahan diri dan memutuskan
untuk tidak mau menolong kita dengan mudahnya. Sebab,
Ia memercayai kita dan menghargai kebebasan kita. Allah
mengharapkan munculnya iman, harap, dan cinta yang
bersemi di dalam peristiwa-peristiwa hidup tersebut. Har­
gai­lah penghargaan Allah atas diri Anda yang berharga itu.
7 Spiritualitas
Maraton
Bernama
Ketabahan

GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia

Y
asmin dan Filadelfia adalah nama dari dua komu­
nitas yang masing-masing melekat pada dua deno­
minasi gerejawi besar di Indonesia, yaitu GKI dan
HKBP; namun, keduanya kini dipertemukan oleh nasib
pedih yang sama. Keduanya dilarang beribadah di gedung
gereja yang secara sah mereka miliki dan dirikan. Akibatnya,
secara rutin dua minggu sekali mereka beribadah di depan
istana kepresidenan di wilayah Monas, untuk mengeks­
presikan iman, pengharapan, dan kasih mereka. Mereka
tidak menjadikan ibadah sebagai alat protes, namun mereka

38
Spiritualitas Maraton Bernama Ketabahan 39

menyatupadukan ibadah dan protes sebagai dua dimensi


dari satu hal yang sama, yaitu Injil. Injil adalah proklamasi
warta kehidupan dari Allah kepada dunia, yang kemudian
dihidupi oleh gereja, dan proklamasi warta keadilan yang
disuarakan gereja kepada dunia.
Pada 25 Desember 2014, saya memiliki kesempatan
untuk ikut melayani Perjamuan Kudus di ”gereja terbuka”
di depan istana kepresidenan itu, bersama dengan beberapa
pendeta lain. Siang itu sinar matahari sangat terik dan me­
nyengat. Selama sekitar dua jam, warga dari kedua gereja
itu setia mengikuti ibadah Natal tersebut. Sempat seorang
perempuan muda terjengkang ke belakang dan pingsan
akibat panas yang memang menggigit sekali. Dalam hati
saya berdecak kagum melihat ketabahan warga jemaat yang
telah bertahan beribadah di depan istana kepresidenan ini
sejak tahun 2012.

Ketabahan
Ketabahan atau ketekunan adalah sebuah kebajikan kristiani
yang sangat luhur. Alkitab memakai kata hupomone seba­nyak
31 kali untuk ketabahan. Ia bukan saja berarti ’bertahan’, na­
mun terlebih ’bertahan untuk bertahan’ (to keep on keeping on).
Namun, sikap bertahan ini bukanlah sekadar sebuah ke­sa­baran
yang pasif sembari menanti persoalan akan usai de­ngan
40 L A b ir in Kehidupa n

sendirinya, seiring dengan berjalannya waktu. Keta­bah­an


adalah sebuah sikap aktif yang bersedia berjalan maju dan
mem­perjuangkan apa yang kita yakini sebagai kebe­naran.
Hupomone atau ketabahan bukanlah keputusan untuk
membelakangi badai dan berlindung di balik punggung
orang lain, melainkan keputusan untuk berjalan di dalam
dan melawan badai. Ketabahan juga bukan iman pelari sprint
jarak 100 meter, yang begitu bertenaga, namun cepat pula
kehabisan tenaga. Ia adalah iman pelari maraton, yang mung­
kin tak cepat lajunya, namun konstan, lama, dan tak sudi
berhenti jika belum sampai pada tujuan.
Bicara soal maraton tampaknya kita bicara dan belajar
soal ketabahan bukan dari orang-orang yang memenangi
lomba maraton dengan memasuki garis akhir untuk per­
tama kalinya, melainkan justru dari orang-orang yang me­
masuki garis akhir terakhir kalinya. Salah satunya adalah
seorang veteran perang Vietnam yang bernama Bob Wieland.
Ia mengikuti New York City Marathon pada tahun 1986
dan membutuhkan waktu 4 hari, 2 jam, 47 menit, dan 17
detik untuk menyelesaikan perlombaan itu—tentu sebagai
orang terakhir yang mencapai garis akhir. Sungguh maraton
terlama di sepanjang sejarah. Apa yang membuat Bob mem­
butuhkan waktu begitu panjang tak lain adalah karena ia
berjalan dengan kedua tangannya. Kedua kakinya harus di­
amputasi karena hancur oleh ranjau saat ia menjadi tentara
Spiritualitas Maraton Bernama Ketabahan 41

Amerika Serikat di Perang Vietnam pada 1969. ”Kedua


kakiku menuju satu tempat dan saya ke tempat lainnya,”
canda Bob tentang kondisi tubuhnya. Bahkan, Bob pernah
melintasi Amerika Serikat dari pesisir Barat ke pesisir
Timur dengan menempuh waktu 3 tahun, 8 bulan, dan 6
hari, untuk mengumpulkan uang bagi para veteran perang
Amerika Serikat. Bob Wieland adalah contoh nyata tentang
apa artinya ketabahan.
Ada tiga catatan penting mengenai ketabahan atau
ketekunan di dalam Alkitab. Pertama, ketabahan atau ke­
tekunan bukan hanya dipandang sebagai sebuah kebajikan
yang patut diperjuangkan oleh orang Kristen, melainkan
juga merupakan respons iman terhadap ketabahan Kristus
sendiri. Di dalam 2 Tesalonika 3:5, misalnya, Paulus me­
man­jatkan sebuah doa, ”Kiranya Tuhan tetap menujukan
hatimu kepada kasih Allah dan kepada ketabahan Kristus.”
Kita dapat hidup dalam ketabahan dan ketekunan tak lain
karena ketabahan Kristus menjadi model dan modal per­
juangan kita. Sebagai model, ketabahan Kristus dapat kita
teladani; sebagai modal, Kristus yang tabah akan memberi
kekuatan kepada kita.
Kedua, dalam banyak ayat Alkitab, ketabahan kerap
muncul dalam kaitannya dengan iman (1Tes. 1:3; 2Tes. 1:4;
1Tim. 6:11; 2Tim. 3:10; Tit. 2:2; Yak. 1:3-4; Why. 13:10; Why.
14:12). Yakobus 1:3, misalnya, secara eksplisit mene­gas­kan
42 L A b ir in Kehidupa n

bahwa ketabahan adalah hasil dari ujian atas iman. Dalam


tradisi Protestan, iman kerap dibedakan menjadi tiga dimensi,
yaitu notitia (pemahaman), assensus (pengaku­an), dan fiducia
(penyerahan diri). Tampaknya, ketabahan adalah produk
dari iman sebagai fiducia sebab hanya orang yang bersedia
menyerahkan dan memercayakan diri pada Allahlah yang
memperoleh kekuatan untuk tabah dan tekun. Kristus yang
telah tekun menjalani penderitaan itu menjadi pengharapan
kristiani yang membuahkan ketekunan dan ketabahan.
Ketiga, ketabahan bukanlah sebuah laku batin yang di­
nikmati di dalam kenyamanan hidup atau justru yang dija­
lani sebagai sebuah cara menghindari kerumitan dunia. Ia
bukan sebuah kesabaran ala Stoikisme yang, menurut G.W.
Leibniz, merupakan sebuah ”kesabaran tanpa pengharapan”
(patience without hope). Ketabahan sungguh bermakna se­
baliknya, sebab ia barulah bertumbuh subur di dalam pen­de­
ritaan dan tekanan hidup. Dengan jitu Paulus menegaskan:
Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga
da­lam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa keseng­
saraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan me­
nimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan peng­
harapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan,
ka­rena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita
oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.
(Rm. 5:3-5)
Spiritualitas Maraton Bernama Ketabahan 43

Jadi, justru di dalam penderitaanlah ketabahan iman


berkembang dan berbuah. Atau, dalam kalimat Albert
Camus dalam L’Eté, ”Au milieu de l’hiver, j’apprenais enfin
qu’il y avait en moi un été invincible,” yang kurang lebih
berarti, ”Di tengah musim dingin, aku akhirnya menyadari
bahwa ada di dalamku sebuah musim panas yang tak ter­
kalahkan.”
Ketiga dimensi ketabahan ini, akhirnya, menjadi watak
penting dari spiritualitas sehari-hari. Ketabahan membuat
hidup sehari-hari dilakoni dengan penuh makna, kesetiaan,
dan pengharapan. Ketabahan, singkatnya, adalah nama
lain dari spiritualitas sehari-hari dalam badai!

Sisi yang Terlupakan (1):


Komunitas
Ada dua sisi lain dari ketabahan yang kerap terlupakan. Yang
pertama adalah pentingnya komunitas. Ketabahan bukan
soal kebajikan batin yang sifatnya individual sekali­pun tak
jarang seseorang harus menjalani penderitaan de­ngan pe­
nuh ketabahan seorang diri. Namun, ketabahan sesungguh­
nya adalah sebuah kebajikan komunal. Itu sebabnya, setelah
menggambarkan penderitaan yang akan dialami oleh orang
percaya, penulis Wahyu menegaskan sebanyak dua kali pen­
tingnya ketabahan atau ketekunan (keduanya berasal dari
44 L A b ir in Kehidupa n

kata hupomone yang sama) orang-orang kudus. Ia berkata,


”Yang penting di sini ialah ketabahan dan iman orang-orang
kudus” (Why. 13:10). Juga, di pasal berikutnya, ”Yang pen­
ting di sini ialah ketekunan orang-orang kudus” (Why.
14:12).
Dimensi komunal dari ketabahan ini mengingatkan
saya pada ketabahan komunitas GKI Yasmin dan HKBP
Filadelfia. Mereka mampu bertahan bukan karena individu-
individu keras-kepala tertentu, melainkan karena komunitas
yang berisi orang-orang yang ringkih, namun yang saling
menguatkan dan mengokohkan satu terhadap yang lain.
Benarlah yang dikatakan oleh Tabitha Suzuma, penulis no­
vel Forbidden (2010), ”Di ujung hari itu, ini semua soal sebe­
rapa banyak engkau dapat menanggungnya, seberapa ba­
nyak engkau dapat tabah. Bersama-sama, kita tidak melukai
siapa pun; terpisah, kita memusnahkan diri kita sendiri.”

Sisi yang Terlupakan (2):


Perlawanan
Sisi lain dari ketabahan yang kerap terlupakan adalah bah­
wa ia kerap juga dipakai untuk menjustifikasi ketidakadilan.
Korban ketidakadilan kerap dinasihati untuk bertahan da­
lam penderitaan, tanpa sungguh-sungguh diberi ruang un­
tuk melawan ketidakadilan tersebut. Ketika ini terjadi, maka
Spiritualitas Maraton Bernama Ketabahan 45

ketabahan menyeleweng maknanya menjadi kepasrahan


pada takdir. Bell Hooks, seorang feminis dan penulis, ber­
kata dalam bukunya, All about Love (2000), tentang ketabahan
perempuan yang menjadi korban kekerasan:
Terlalu sering perempuan memercayainya sebagai se­
buah tanda komitmen, sebuah ekspresi cinta, untuk tabah
menjalani ketidakbaikan atau kekejaman, untuk meng­
ampuni dan melupakan. Pada kenyataannya, ketika kita
mengasihi secara benar kita tahu bahwa tanggapan
yang sehat dan penuh kasih pada kekejaman dan penye­
lewengan adalah dengan menolak kejahatan itu.1

Jadi, ketabahan tak boleh dipakai sebagai pembenaran


atas kejahatan atau ketidakadilan. Semangat inilah, menu­
rut hemat saya, yang juga memberi kekuatan bagi jemaat
GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia untuk tabah. Mereka me­
maknai ketabahan sebagai sebentuk protes dan perlawanan
atas ketidakadilan yang mereka alami.
Ketika berhadapan dengan ketidakbenaran dan ketidak­
adilan, umat Kristen selalu diperhadapkan pula pada bebe­
rapa alternatif sikap antara perlawanan dan tanpa perlawan­
an (resistance or non-resistance), serta sikap antara kekerasan
dan tanpa kekerasan (violence or non-violence). Saya percaya,

1
Bell Hooks, All about Love: New Visions (New York: William Morrow, 2001),
hlm. 137.
46 L A b ir in Kehidupa n

ketabahan kristiani harus mengambil sikap perlawanan


tanpa kekerasan (non-violent resistance) sebagai wujud pro­
tesnya pada ketidakadilan yang berlangsung. Kita harus
melawan, namun kita melakukannya tanpa kekerasan. Dan
kita melakukannya dengan penuh ketabahan.
8 Kini dan
Sampai Kematian
Memisahkan

Khotbah tentang Kematian


di Ibadah Pernikahan

S
udah cukup lama saya ingin berkhotbah tentang ke­
matian di dalam ibadah peneguhan dan pember­katan
nikah, namun barulah setelah menjadi pendeta se­
lama delapan belas tahun saya berani melakukannya. Ber­
khotbah tentang kematian saat orang bergembira me­ma­
suki pernikahan? Ya, benar. Alasan saya sederhana saja. Kata
kematian atau maut adalah kata yang paling dihindari semua
orang yang melangsungkan pernikahan, namun yang tidak
pernah absen di dalam semua liturgi pernikahan, setidaknya
di GKI. Bukankah semua mempelai harus meng­ucapkan
janji­nya untuk mengambil pasangannya sebagai suami atau

47
48 L A b ir in Kehidupa n

istri, ”... sampai kematian memisahkan kita.” Kata kematian


ini seperti begitu bandel mengekor kebahagiaan mempelai
tanpa bisa diusir. Tidak diingini, namun tak bisa dihindari.
Pesan yang saya sampaikan sesungguhnya sederhana
saja, namun mungkin karena begitu sederhananya, banyak
pa­sang­an suami istri yang juga mengabaikannya. Pesannya
begini. Kematian adalah realitas yang tak terhindari oleh siapa
pun. Ia bisa terjadi kapan pun, tak terduga, dan mengejutkan.
Realitas kematian, dengan demikian, adalah konsekuensi
dari kemanusiaan kita yang fana. Karena itu, pada hari sepa­
sang sejoli mengikat janji menjadi suami dan istri, masing-
masing sesungguhnya juga harus menyadari bahwa salah
satu dari mereka suatu saat—entah kapan—akan menjadi
duda atau janda.
Saya terinspirasi oleh seorang filsuf bernama Jacques
Derrida yang berbicara mengenai ”hukum persahabatan”,
namun tampaknya relevan bagi relasi pernikahan juga. Ia
berkata bahwa setiap persahabatan yang dimulai sudah de­
ngan sendirinya diperhadapkan pada sebuah kepastian bah­
wa salah satu dari mereka akan mati terlebih dahulu dan yang
lain akan meratap. Ia berkata, ”Memiliki seorang sahabat,
memandangnya, mengikutinya dengan matamu, menga­
gumi­nya berarti memahami ... bahwa salah satu dari kalian
berdua akan melihat yang lain mati ... Inilah ratapan yang
dipersiapkan dan yang kita hadapi sejak semula.” Bukankah
Kini dan Sa m pa i K e m at ia n M e m i s ah k an 49

hal yang sama berlaku bagi perkawinan juga. Pada detik


sebuah perkawinan dimulai, saat itu pula pasangan tersebut
harus menyadari bahwa salah satu dari mereka akan me­
nyaksikan pasangannya mati.
Mengapa khotbah tentang kematian menjadi sangat
penting bagi setiap pasangan yang memulai perjalanan hi­
dup bersama mereka? Sebab, hanya dengan kesadaran ter­
sebutlah mereka dapat sungguh-sungguh menghargai setiap
detik dan setiap hari dari kebersamaan mereka. Kita diun­
dang untuk tidak bersikap taken for granted atas kehadiran
kekasih kita. Setiap detik sungguh berarti, setiap hari sung­
guh berharga, sebab mungkin saja itu menjadi saat terakhir
kita berjumpa dengannya. Jeremy Schwartz pernah berujar
bijak, ”Hiduplah setiap hari seolah-olah itulah hari terakhir­
mu ... Sebab, suatu hari, hari itu sungguh-sungguh menjadi
hari terakhirmu.” Kita dapat mengubahnya sedikit, ”Cintai­
lah kekasihmu setiap hari seolah-olah itulah hari terakhir
kalian ... Sebab, suatu hari, hari itu sungguh-sungguh men­
jadi hari ter­akhir kalian.”
Saya lantas teringat pada sebuah nyanyian anak-anak
yang berjudul ”Hari Ini Harinya Tuhan”. Nyanyian yang
liriknya diambil dari Mazmur 118:24 ini berbunyi:
Hari ini, hari ini harinya Tuhan, harinya Tuhan.
Mari kita, mari kita bersukaria, bersukaria.
Hari ini harinya Tuhan, mari kita bersukaria.
Hari ini, hari ini harinya Tuhan.
50 L A b ir in Kehidupa n

Lantas, banyak guru Sekolah Minggu memodifikasi


liriknya:
Hari Senin, hari Selasa harinya Tuhan, harinya Tuhan.
Hari Rabu, hari Kamis harinya Tuhan, harinya Tuhan.
Hari Jumat harinya Tuhan, hari Sabtu harinya Tuhan.
Hari Minggu, semua hari, harinya Tuhan.

Mazmur 118:24 kerap menjadi mazmur yang dipergu­


na­kan untuk Hari Paska. Tepatnya ayat ini berbunyi, ”Inilah
hari yang dijadikan Tuhan, marilah kita bersorak-sorak dan
bersukacita karenanya!” Melaluinya, umat Tuhan diundang
untuk menegaskan bahwa itulah sebuah hari yang menjadi
tonggak atau bahkan monumen iman yang teramat pen­
ting. Cara berpikir monumentalis ini penting agar pada
masa-masa sesudahnya kita memiliki satu tanggal yang meng­
izinkan kita mengenang dan mensyukuri karya Allah. Tetapi,
modifikasi nyanyian ini kemudian menggeser cara mema­
hami ayat tersebut. Kini iman tak lagi difokuskan pada satu
tonggak waktu, namun disebarkan pada setiap hari. Kita
lantas tak hanya diajak untuk mengenang sebuah momen
atau monumen sejarah masa silam, namun menemukan
karya Allah di dalam keseharian hidup kita.
Kedua cara pandang itu mungkin memperkaya setiap
pasangan yang menikah untuk memahami bahwa baik hari
perkawinan mereka maupun keseharian mereka adalah
karya cinta kasih Allah. Karena itu, mereka pun diingatkan
Kini dan Sa m pa i K e m at ia n M e m i s ah k an 51

untuk menghargai keseharian itu, apalagi jika disertai kesa­


daran bahwa mungkin inilah hari terakhir perjalanan me­
reka berdua.

Present dan Presence


Saya percaya bahwa di dalam setiap relasi, masa kini meru­
pakan wahana terbaik untuk memaknai relasi tersebut. Ke­
mungkinan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagi setiap
relasi memberi kita kesadaran bahwa setiap saat—artinya:
setiap masa kini—sungguhlah berharga. Ucapan yang sa­ngat
terkenal dari Bil Keane mengingatkan kita tentang hari ini.
Ia berkata, ”Yesterday is history, tomorrow is a mystery, today
is a gift of God, which is why we call it the present.” Selain Bil
Keane, ada tiga orang lain yang berucap kurang-lebih sama.
Yesterday is gone. Tomorrow has not yet come. We
have only today. Let us begin. (Mother Teresa)
It’s being here now that’s important. There’s no past
and there’s no future. Time is a very misleading thing.
All there is ever, is the now. We can gain experience
from the past, but we can’t relive it; and we can hope for
the future, but we don’t know if there is one. (George
Harrison)
The past is a ghost, the future a dream and all we ever
have is now. (Bill Cosby)
52 L A b ir in Kehidupa n

Saya sengaja tidak menerjemahkan kalimat Bil Keane


dan tiga penulis lainnya, sebab terdapat makna ganda dari
kata present yang dipakainya. Di dalam bahasa Inggris, present
berarti ’masa kini’ dan ’hadiah’. Bagi Keane, masa lalu dan
masa depan tak dapat kita hadiahkan kepada siapa pun
sebab ia telah menjadi sejarah atau masih berupa misteri.
Namun, masa kini (present) sungguh-sungguh nyata dan
karenanya ia adalah hadiah (present) dari Allah.
Ketika merenungi kalimat Keane ini, saya lantas juga
disadarkan bahwa masa kini bukan hanya hadiah Allah
bagi kita. Ia juga harus menjadi hadiah kita bagi Allah dan
sesama kita. Itu sebabnya, setiap relasi yang sehat tentulah
diwarnai oleh komitmen orang-orang di dalamnya untuk
menghadiahkan hidup mereka pada orang lain pada masa
kini mereka.
Lantas, bagaimana menjadikan masa kini kita sebagai
hadiah bagi orang lain, atau dalam percakapan di atas, pa­
sangan hidup kita? Yaitu dengan memberikan diri kita
sepenuh-penuhnya; dengan hadir sepenuh-penuhnya bagi
mereka. Singkatnya, kehadiran (presence) sebagai pemberian
(present) kita pada masa kini (present) membuat relasi ber­
bunga indah dan berbuah lebat.
Kini dan Sa m pa i K e m at ia n M e m i s ah k an 53

Eternal Now
Semoga pesan yang disampaikan di sini cukup jelas dan
saya pun tidak ingin memperumitnya. Namun, izinkan saya
ingin mengimbuhi sedikit dengan membagikan pandangan
seorang teolog yang bernama Paul Tillich, yang rasanya
sayang jika tidak dihadirkan di sini.
Di dalam buku yang berjudul Eternal Now (1963), yang
sebenarnya merupakan kompilasi khotbah-khotbahnya,
Paul Tillich membahas persoalan waktu secara apik. Pada
akhir pasal 11 buku tersebut, Tillich menunjukkan bahwa
misteri masa lalu dan masa depan dipersatukan di dalam
misteri masa kini. Ia berkata tentang ketiga dimensi waktu
itu begini, ”Kita memiliki masa depan karena kita mengan­
tisipasinya di dalam masa kini dan kita memiliki masa lalu
juga karena kita mengenangnya pada masa kini.”
Di masa kini itulah kita memiliki kehadiran (presence).
Namun, tentu persoalan makin rumit ketika kita menyadari
bahwa masa kini selalu saja hilang sementara kita memi­
kirkannya. Ia selalu menjadi garis batas yang bergerak terus
antara masa lalu dan masa kini dan karena itu terlalu sukar
untuk mengatakan bahwa kita memiliki masa kini.
Lantas, Tillich mengusulkan sebuah solusi atas kega­
mangan tersebut. Solusi tersebut ditemukan pada diri Allah
yang kekal. Ia berkata:
54 L A b ir in Kehidupa n

Tidak ada jawaban kecuali dari apa yang merangkum


semua waktu dan yang berada melampaui waktu—Sang
Kekal. Setiap kali kita berkata ”kini” atau ”hari ini”, kita
menghentikan aliran waktu bagi kita. Kita menerima
masa kini dan tak peduli bahwa ia telah pergi pada saat
kita menerimanya. Kita hidup di dalamnya dan ia diper­
barui bagi kita di dalam setiap masa kini yang baru. Hal
ini mungkin sebab setiap momen waktu menggapai Sang
Kekal itu. Sang Kekallah yang menghentikan aliran waktu
bagi kita. Ialah Sang Kini-Kekal yang menyediakan bagi
kita sebuah masa kini yang temporal.

Indah sekali, bukan? Akhirnya, memang, kemampuan


kita untuk hadir dan menjadikan kehadiran kita sebagai
pemberian pada masa kini kepada kekasih kita tak lain ada­
lah respons iman kita pada Allah Sang Kini-Kekal yang me­
mungkinkan kita untuk terus merayakan kehidupan dalam
aliran masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan nada
pastoral yang kuat, Tillich menutup ulasannya dengan ber­
kata, ”Ada satu kekuatan yang mengatasi kekuatan waktu
yang menyedot itu—Sang Kekal: Ia yang telah, sedang, dan
akan datang, yang awal dan yang akhir. Ia memberi kita peng­
ampunan untuk apa yang telah lewat. Ia memberi kita
keberanian untuk apa yang akan datang. Ia memberi kita
keteduhan di dalam Kehadiran Kekal-Nya.”
9 Keseharian
dan Derita

S
ampai titik ini, tampaknya usulan saya tentang pen­
tingnya spiritualitas sehari-hari mengandaikan
bahwa keseharian itu adalah kehidupan yang baik-
baik saja. Saya nyaris tidak menyadari bahwa ternyata bagi
begitu banyak rakyat Indonesia, keseharian adalah kata lain
bagi penderitaan. Saya diinsafkan oleh sebuah puisi Wiji
Thukul, yang ditulisnya di Solo pada bulan Juli 1988,
sepuluh tahun sebelum ia hilang secara tiba-tiba. Saya akan
kutip puisi Wiji Thukul yang berjudul ”Kampung”.

55
56 L A b ir in Kehidupa n

Kampung1

bila pagi pecah


mulailah sumpah serapah
anak dipisuhi ibunya
suami istri ribut-ribut

bila pagi pecah


mulailah sumpah serapah
kiri kanan ribut
anak-anak menangis
suami istri bertengkar
silih berganti dengan radio
orang-orang bergegas
rebutan sumur umum

lalu gadis-gadis umur belasan


keluar kampung menuju pabrik
pulang petang bermata kusut
keletihan menjalani hidup
tanpa pilihan

dan anak-anak terus lahir berdesakan


tak mengerti rumahnya di pinggir selokan
bermain di muka genangan sampah

1
Wiji Thukul, ”Kampung”, dalam Aku Ingin Jadi Peluru (Magelang: IndonesiaTera,
2000), hlm. 44.
K e seha ria n dan Der i ta 57

di belakang tembok-tembok
menyumpal gang-gang
berputar dalam bayang-bayang
mencari tanah lapang

solo, sorogenen, juli 1988

Puisi ini sangat mengganggu, setidaknya bagi saya. Ke­


seharian yang ditandai oleh saat ”pagi pecah” itu dijalani oleh
banyak rakyat Indonesia dengan penderitaan dan kekis­­
ruhan hidup yang sungguh ruwet. Orang-orang yang men­
derita itu menjalani hidup dari hari ke hari, bahkan tak ja­
rang sebuah hari lebih nahas daripada biasanya. Seperti yang
terekam dalam cuplikan ”Balada Pak Bejo” ini ( Juli 1988):
aku sudah keliling kota
aku sudah kerja keras
tapi kalah dengan bis kota
hari ini aku cuma dapat uang setoran

Wiji Thukul merekam semua derita sehari-hari itu de­


ngan saksama sekaligus akurat, pilu, namun tak mau lupa.
Kesadaran pada derita itu makin menjadi sebab pada hari
yang sama dua kehidupan yang bertolak belakang bisa ha­dir
di kota yang sama. Yang satu sangat glamor, yang lain sangat
kusam. Hal ini dituangkannya dalam Puisi ”Nonton Harga”
(18 November 1996):
58 L A b ir in Kehidupa n

ayo ...
kita keliling kota
hari ini ada peresmian hotel baru
berbintang lima
dibuka pejabat tinggi
dihadiri artis-artis ternama ibu kota
lihat
mobil para tamu berderet-deret
satu kilometer panjangnya 

kota kita memang makin megah dan kaya 

tapi hari sudah malam


ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
sebelum kehabisan kendaraan 
ayo kita pulang
ke rumah kontrakan
tidur berderet-deret
seperti ikan tangkapan
siap dijual di pelelangan 

besok pagi
kita ke pabrik
kembali bekerja
sarapan nasi bungkus
ngutang
seperti biasa 
K e seha ria n dan Der i ta 59

Dalam kegilaan hidup semacam itu, spiritualitas se­hari-


hari akan gagap dan tak berdaya jika ia tidak sekaligus men­
jadi sebuah spiritualitas perlawanan dan pembebasan. Ia
tetap bisa dan harus menjadi sebuah spiritualitas kecukupan
dan keugaharian, justru karena ia menolak gaya hidup ber­
kelimpahan dan berlebihan. Ia adalah sebuah kesediaan un­
tuk merayakan kehidupan hari ini, demi masa depan, sebab
yang dilawannya adalah sebuah ekonomi kematian, yang
serba rakus dan tamak. Wiji Thukul memang—sejauh saya
tahu—tak pernah menulis sebuah puisi tersendiri yang se­
cara eksplisit bernada religius. Namun, semua puisinya sa­
ngat spiritual. Sebab, yang ditulisnya tak lain adalah cinta,
pengharapan, keteguhan hati ... dan perlawanan. Seperti
kalimat Wiji Thukul yang selalu kita ingat setiap kali kita
mengenangnya, ”... maka hanya ada satu kata: lawan!” (”Per­
­ingatan”, 1986).
10 Labirin

Pohon Mangga dan Labirin


di Halaman Tengah STT Jakarta

B
ertahun-tahun lamanya halaman tengah kampus
STT Jakarta dihiasi oleh sebatang pohon mangga,
tepat di tengah-tengahnya. Para mahasiswa biasa
duduk santai di bawah pohon tersebut sebab memang ada
lingkaran semen yang mengurung pohon itu. Sampai akhir­
nya, diputuskan bahwa pohon mangga itu harus dipangkas
untuk kemudian dipindahkan ke halaman belakang. Pasal­
nya, di bawah pohon itu sesungguhnya terdapat sebuah
septic tank yang membuat pohon mangga itu tak dapat ber­
tumbuh baik dan terancam tumbang jika ia terus membesar.
Bersamaan dengan itu, para alumni STT Jakarta tengah
mengumpulkan dana untuk memperbarui paving blocks
seluruh halaman kampus tua ini sebab memang keadaannya
sudah sangat parah. Akhirnya, terlaksanalah rencana itu.

60
Lab i r i n 61

Sebagai gantinya, di halaman tengah itu diciptakanlah


sebuah labirin yang terbuat dari paving blocks juga, hanya
saja berwarna lain. Desain labirin ini dikerjakan oleh Erwin
Reißmann, dari Jerman, seorang pecinta labirin yang ke­mu­
dian bersedia membuatkan desain CAD untuk STT Jakarta.
Labirin tersebut mempergunakan model yang terdapat di
Chartres Cathedral, Prancis, hanya saja berdiameter 12 me­
ter dengan 9 sirkuit. Sejak itu, labirin tersebut menjadi wa­
hana doa bagi para mahasiswa. Kami menyebutnya ”Doa
62 L A b ir in Kehidupa n

Labirin”. Tak jarang pengunjung STT Jakarta pun meman­


faatkan labirin tersebut, entah sekadar untuk berfoto-ria
atau memang berdoa di sana.

Hidup sebagai Embara


Tak seorang pun dapat memastikan kapankah asal mula
labirin dipergunakan di dalam peradaban manusia. Tidak
juga kita dapat memastikan bahwa labirin berawal dari da­
lam tradisi Kristen. Hampir bisa dipastikan bahwa Kekris­
tenan mengambil alih tradisi ini dari kebudayaan tertentu
atau tradisi religius lain dan memanfaatkannya untuk meng­
ilustrasikan kekayaan iman Kristen.
Catatan pertama mengenai pemakaian labirin di dalam
tradisi Kristen adalah tahun 324, yaitu labirin dipakai se­bagai
pola lantai di sebuah bangunan Gereja Al-Asnam di Algeria,
Afrika Utara. Beberapa Bapa Gereja juga meman­faatkan
labirin di dalam tulisan mereka. Makin lama makin banyak
gereja yang memanfaatkannya juga. Salah satu yang paling
terkenal, yang menjadi model dari labirin di STT Jakarta,
adalah labirin dari Chartres Cathedral di Prancis yang
berdiri sejak abad ke-13.
Kekuatan labirin tampaknya terletak pada keterbuka­
annya untuk dimaknai secara berbeda-beda, bergantung
pada nilai spiritual yang ingin dihayati. Ia kerap dipakai un­tuk
Lab i r i n 63

menggambarkan kematian dan kebangkitan Kristus, komit­


men iman untuk melepaskan diri dari kekuatan si jahat,
penyertaan Allah dalam hidup kita, dan sebagainya. Yang
pasti, dari banyak pemaknaan tersebut, yang paling kerap
dikedepankan adalah pemakaian labirin sebagai ilus­trasi bagi
hidup iman sebagai sebuah embara spiritual (pilgrimage).
Misalnya, pada masa silam, kebiasaan untuk melakukan
ziarah iman ke Yerusalem di kalangan orang-orang Kristen
di Eropa kerap terhalang karena hambatan kesehatan, ke­
uangan, atau cuaca buruk. Untuk itu, mereka memanfaatkan
labirin sebagai ”miniatur” bagi ziarah atau embara iman
tersebut.
Dengan menempatkan labirin di tengah-tengah halam­
an kampus STT Jakarta, komunitas pembelajar teologi ini
ingin menegaskan bahwa hidup sehari-hari merupakan em­
bara iman tanpa henti. Itu berarti makna spiritual tidak di­
temukan di tempat dan waktu yang khusus, namun justru
di dalam peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari. Maka, ber­
beda dengan praktik ziarah ke Yerusalem yang oleh bebe­rapa
orang diyakini sebagai pengalaman ”super” yang terpisah
dari keseharian, labirin justru perlu dipahami sebagai kela­
ziman hidup, di mana spiritualitas dan keseharian jalin-men­
jalin.
Dalam doa labirin berbagai metode dapat dipergunakan.
Setiap orang menentukan kecepatannya dalam berjalan.
64 L A b ir in Kehidupa n

Setiap orang dapat berjalan sembari mengaku dosa, meng­


ucap syukur, mendoakan sesama, dan sebagainya. Singkat­
nya, kehidupan iman setiap orang sungguhlah unik. Tak
ada ukuran umum yang berlaku bagi semua orang. Setiap
orang memiliki relasi yang unik dengan Tuhannya dan
sesamanya.
Apakah Anda tertarik untuk mencoba berjalan di labi­rin?
Datanglah ke STT Jakarta. Dengan gembira kami menyam­
but Anda untuk berjalan di labirin kami. Atau, jika Anda
suka, di dalam beberapa latihan rohani, ”berjalan” di labirin
juga dapat dilakukan secara imajinatif melalui gambar
labirin dan Anda dapat mempergunakan jari untuk melaku­
kan doa pribadi.
Lab i r i n 65

Anda mungkin juga menyukai