Anda di halaman 1dari 5

Hari Suci Kathina

Hari Suci Kathina atau Khathina Puja merupakan hari bakti umat
Buddha kepada Sangha. Sangha merupakan persaudaraan para bhikkhu /
bhikkhuni. Sangha merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tiada
taranya di alam semesta ini. Sangha merupakan pewaris dan pengamal
Buddha Dhamma yang patut dihormati. Dengan adanya Sangha, yang
anggotanya menjalankan peraturan-peraturan kebhikkhuan (vinaya) dengan
baik. Buddha Dhamma akan berkembang terus di dunia ini. Sangha
merupakan pemeliharaan kitab Suci Tipitaka / Tripitaka
Umat Buddha berterima kasih kepada Sangha dengan
menyelenggarakan perayaan Kathina Puja. Umat Buddha berterima kasih
kepada para bhikkhu / bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa di
daerah mereka, dengan mempersembahkan Kain Kathina (Kathinadussam)
yang berwana putih sebagai bahan pembuatan jubah Kathina. Dalam
Kitab Mahavagga berbahasa Pali, bagian dari Vinaya Pitaka, Sang Buddha
mengatakan kepada para bhikkhu, ketika Beliau berada di Jetavana Arama
milik Anathapindhika, dikota Savantthi, sebagai berikut :

“Aku memperolehkan Anda sekalian, oh para bhikkhu,


untuk menerima Kain Kathina
sebagai bahan pembuatan jubah Kathina
jika telah menyelesaikan masa vassa.”

Kain Kathina ini biasanya dipersembahkan oleh umat Buddha kepada


lima orang Bhikkhu atau lebih yang bervassa bersama-sama di satu vihara.
Jika jumlah bhikkhu yang ber-vasa di vihara itu kurang dari lima orang, maka
upacara pemberian Kain Kathina tidak bisa diadakan. Dengan demikian, yang
dapat dipersembahkah oleh umat Buddha pada hari suci Kathina itu adalah
Dana Kathina (bukan Kain Kathina).
Dana Kathina dapat berupa jubah atau civara (bukan kain putih) dan
barang-barang keperluan bhikkhu / bhikkhuni sehari-hari, seperti handuk,
sabun, odol, sikat gigi, piasu cukur, obat-obatan, makanan serta
perlengkapan vihara. Umat Buddha juga dapat memberikan dana berupa
uang yang akan dipergunakan untuk biaya perjalanan bhikkhu / bhikkhuni dan
lain-lain dalam mengembangkan Buddha Dhamma. Berdana kepada Sangha
ibarat menanam benih di ladang yang subur.
Kathina Puja diselenggarakan selama satu bulan, mulai dari sehari
sesudah para bhikkhu / bhikkhuni selesai menjalankan masa vassa.
Masa vassa adalah masa musim hujan di daerah kelahiran Sang Buddha.
Lamanya masa vassaadalah tiga bulan, yaitu sehari sesudah bulan purnama
penuh dibulan Asadha (Juli) sampai dengan sehari sebelum hari Kathina
(Oktober). Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni harus berdiam di
suatu tempat (vihara) yang telah ditentukan.
Dalam buku “Ordination Procedure“ Somdet Phra Vajirananavarorasa
mengatakan bahwa beberapa hari sebelum memasuki masa vassa, para
bhikkhu dianjurkan untuk membersihkan tempat tinggalnya (vihara). Para
bhikkhu yang akan tinggal menetap di satu vihara selama masa vassa harus
berkumpul diruang Uposathagara untuk membuat suatu pernyataan bahwa
mereka berada dalam batas pekarangan vihara setiap malam selama masa
vasa. Adapun kalimat yang harus diucapkan adalah “Imasmim avase imam
Temasam vassam upema,” yang berati kita akan tinggal dalam perbatasan
vihara ini selama tiga bulan masa musim hujan.
Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni tidak diperkenankan
untuk berjalan-jalan keluar jauh dari vihara, kecuali dengan alasan sangat
penting dan mendesak. Seorang Bhikkhu hanya diperkenankan meninggalkan
vihara, tempat ia ber-vassa dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu
tujuh malam harus sudah kembali lagi. Masa vassa seorang bhikkhu
dinyatakan sah apabila tidak melanggar batas waktu yang telah ditetapkan itu.
Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni mempunyai tugas untuk
membina diri dengan baik. Melalui meditasi dan mempelajari Buddha
Dhamma untuk diketahui dan dikhotbahkan kepada orang banyak di dalam
kehidupan masyarakat Buddhis. Denagn adanya masa vassa, para bhikkhu /
bhikkhuni mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengisi dirinya
dengan Buddha Dhamma dan untuk meningkatkan batinnya ke arah
kesucian. Banyaknya masa vassa yang dijalankan oleh para bhikkhu /
bhikkhuni ini menentukan senioritas mereka. Para bhikkhu / bhikkhuni yang
telah menjalankan masa vassa sebanyak sepuluh kali sampai dengan
sembilan belas kali akan mendapat gelar “Thera”. Para bhikkhu / bhikkhuni
yang telah menjalankan masa vassa sebanyak dua puluh kali atau lebih akan
mendapat gelar “ Mahathera”.
Para bhikkhu / bhikkhuni berusaha meninggalkan kesenangan-
kesenangan duniawi untuk menjalankan kehidupan suci. Mereka berusaha
mengikis kilesaatau kekotoran batin sampai keakar-akarnya, agar mereka
dapat mencapai kebebasan sekarang juga. Mereka berusaha mentaati vinaya
atau peraturan kebhikkhuan dengan sebaik-baiknya, agar mereka dapat
mencapai akhir dari dukkha atau Nibbana secepatnya.
Para bhikkhu / bhikkhuni hidup amat sederhana. Mereka hanya mempunyai
empat kebutuhan pokok, yaitu :
1. Civara atau jubah ; cukup dengan satu model dan satu warna
sederhana.
2. Pindapata atau makanan; cukup dua kali atau sekali sehari.
3. Senasana atau tempat tinggal; cukup satu ruangan sederhana, baik
diikuti, di gubuk, di gedung, di gua-gua, atau di tempat-tempat lain.
4. Gilanapaccayabhesajja atau obat-obatan.

Perjuangan seorang bhikkhu adalah perjuangan untuk menaklukkan


dirinya sendiri. Dengan perjuangan batin itulah, seorang bhikkhu sekaligus
menjadi contoh moral bagi kehidupan umat awam. Karenanya, seorang
bhiikhu bukan semata-mata pengabdi sosial. Menjadi pengabdi sosial dapat
dilaksanakan dengan tidak harus menjadi bhikkhu. Seorang bhikkhu adalah
pejuang batin dan contoh moral bagi masyarakat.
Hari Suci Magha Puja

Hari suci Magha Puja memperingati empat peristiwa penting, yaitu :

1. Seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu datang berkumpul tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu.
2. Mereka semuanya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
3. Mereka semuanya memiliki enam abhinna.
4. Mereka semua ditasbihkan oleh Sang Buddha dengan ucapan “Ehi Bhikkhu”.

Peristiwa penting ini dinamakan Caturangga-sannipata, yang berarti pertemuan


besar para arahat yang diberkahi dengan empat faktor, yaitu seperti tersebut di
atas. Peristiwa penting ini terjadi hanya satu kali dalam kehidupan Sang Buddha
Gotama, yaitu pada saat purnama penuh di bulan Magha (Februari), tahun 587
Sebelum Masehi ( sembilan bulan setelah Sang Buddha mencapai Bodhi). Pada
waktu itu, seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu datang secara serempak pada
waktu yang bersamaan, tanpa adanya undangan dan perjanjian sebelumnya ke
tempat kediaman Sang Buddha di vihara Veluvana (Veluvanarama, yang berarti
hutan pohon bambu) di kota Rajagaha. Mereka datang dengan tujuan untuk
memberi hormat kepada Sang Buddha sekembalinya mereka dari tugas
menyebarkan Dhamma dan melaporkan hasil penyebaran Dhamma yang telah
mereka lakukan tersebut.

Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu telah mencapai tingkat
kesucian yang tertinggi, yaitu arahat. Mereka telah berhasil membasmi
semua kilesa atau kekotoran batinnya sampai keakar-akarnya, sehingga mereka
dikatakan telah khinasava atau bersih dari kekotoran batin. Mereka tidak mungkin
lagi berbuat salah. Mereka telah sempurna.

Mereka memiliki abhinna atau kemampuan batin yang lengkap yang berjumlah
enam jenis, yaitu :

1. Pubbenivasanussatinana, yang berarti kemampuan untuk mengingat tumimbal


lahir yang dahulu..

2. Dibbacakkhunana, yang berarti kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan


kesanggupan melihat muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal
lahir sesuai dengan karmanya masing-masing (mata dewa).

3. Asavakkhayanana, yang berarti kemampuan untuk memusnahkan asava atau


kekotoran batin.
4. Cetoporiyanana, yang berarti kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-
makhluk lain.

5. Dibbasotanana, yang berarti kemampuan untuk mendengar suara-suara dari


alam apaya, alam manusia, alam dewa, dan alam brahma yang dekat maupun
yang jauh.

6. Iddhividhanana, yang berarti kekuatan magis, yang terdiri dari :

1. Adhittana-iddhi, yang berarti kemampuan mengubah tubuh sendiri dari satu


menjadi banyak dan dari banyak menjadi satu.

2. Vikubbana-iddhi, yang berarti kemampuan untuk “menyalin rupa “, umpamanya


menyalin rupa menjadi anak kecil, raksasa membuat diri menjadi tidak
tertampak.

3. Manomaya-iddhi, yang berarti kemampuan mencipta dengan menggunakan


pikiran, umpamanya menciptakan harimau, pohon, dewi.

4. Nanavipphara-iddhi, yang berarti pengetahuan menembus ajaran.

5. Samadhivipphara-iddhi, yang berati kemampuan konsentrasi, seperti :

• Kemampuan menembus dinding, tanah, dan gunung.

• Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam kedalam air.

• Kemampuan berjalan diatas air.

• Kemampuan melawan air.

• Kemampuan terbang di angkasa.

Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu semuanya ditahbiskan
oleh Sang Buddha dengan cara “Ehi Bhikkhu Upasampada”. Pada saat
pentahbiskan itu, Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai berikut :

“ Mari (Ehi) Bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas.


Laksanakan penghidupan suci dan singkirkan penderitaan.”

JanganlahPada kesempatan agung itu, Sang Buddha menerangkan prinsip-prinsip


ajaran yang disebut Ovada Patimokkha. Isi dari Ovada Patimokkha itu sama dengan
syair yang tercantum dalam kitab suci Dhammapada bab XIV ayat 183, 184, dan
185 yaitu sebagai berikut :
1. berbuat kejahatan,
Perbanyaklah perbuatan baik,
Sucikan hati dan pikiran,
Inilah ajaran para Buddha.

2. Kesabaran adalah praktik bertapa yang paling tinggi.


“ Nibbana adalah yang tertinggi,” begitulah sabda para Buddha.
Dia yang masih menyakiti orang lain,
Sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

1. Tidak menghina, tidak menyakiti,


Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan,
Makanlah secukupnya,
Hidup di tempat yang sunyi,
Dan giat mengembangkan batin nan luhur,
Inilah ajaran para Buddha.

Pada peristiwa Suci Magha Puja itu, Sang Buddha juga memberitahukan
pengangkatan Arahat Sariputta dan Arahat Moggallana sebagai siswa Utama Beliau
(Aggasavaka) dalam Sangha Bhikkhu.

Anda mungkin juga menyukai