Anda di halaman 1dari 7

Tugas Bahasa Kawi

Kisah Bhagawan Domya

Dibuat Oleh:
Nama : Kadek Suastika
Nim : 2213071001
Prodi : Hukum
Kelas : B1

Fakultas Dharma Duta


Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar
2023
Kisah Bhagawan Domya Dikisahkan seorang brahmana yang bernama Bhagawan
Dhomya. Beliau memiliki tiga orang murid yang bernama sang Utamanyu, sang Arunika, dan
sang Wedha. Mereka bertiga akan diuji ketaatan dan baktinya kepada sang guru. Yang pertama
diuji adalah sang Arunika, ia disuruh untuk bersawah sebelum diberikan ajaran dharma oleh
Bhagawan Dhomya. Dengan hati-hati dan penuh kesabaran sang Arunika mengerjakan
tanggungjawab sawah yang diberikan kepadanya. ketika benih yang ditanamnya mulai tumbuh
dengan subur, hujan turun dengan lebat yang mengakibatkan air sungai meluap hingga
menenggelamkan sawahnya.

Dengan rasa tanggungjawabnya, ia berusaha membuat penghalang untuk menghalangi


air sungai tersebut, berulangkali ia menghentikan laju air namun tetap tidak kuat menahan air
bah tersebut. Dan pada akhirnya dirinya sendiri digunakan sebagai penghambat laju air bah
untuk menahan pematang sawah yang sudah mulai jebol. Siang malam ia tetap kokoh menjadi
penghambat laju air untuk satu tujuan yakni mempertahankan sawah yang digarapnya sebagai
bentuk ketaatan dan bakti kepada sang guru. Hingga akhirnya Bhagawan Dhomya
menyaksikan perjuangan sang Arunika, kemudian beliau menyuruh sang Arunika untuk
bangun.

Bhagawan Dhomya bersabda ‘bangunlah engkau sang Arunika, mulai saat ini namamu
adalah sang Uddalaka, karena menelentangkan tubuhmu didalam air sebagai tanda bhakti
kepada gurumu. Setelah menguji sang Arunika, kemudian Bhagawan Dhomya menguji sang
Utamanyu dengan menyuruhnya menggembalakan lembu. Berhari-hari sang Utamanyu
menggembalakan lembu tanpa berbekal makanan, hingga akhirnya ia kelaparan tidak mampu
menahan rasa laparnya. Sang Utamanyu kemudian meminta-minta makanan kepada penduduk,
hasil meminta-minta tersebut ia makan sendiri tanpa diserahkan kepada gurunya. Akhirnya
diketahuilah tingkah laku sang Utamanyu oleh Bhagawan Dhomya, beliau bersabda “Anakku
sang Utamanyu!! Tingkah laku seorang murid yang berbakti kepada gurunya adalah
menyerahkan apa yang didapatnya kepada gurunya terlebih dulu, semua hasil dari
memintaminta tidak pantas menjadi makananmu”. Sang Utamanyu kemudian meminta maaf
atas segala kesalahan dan memberi hormat kepada gurunya.

Keesokan harinya ia mulai menggembalakan lembu kembali dan ia meminta-minta


makanan lagi kemudian hasil meminta-minta tersebut diserahkan kepada gurunya terlebih
dahulu, namun selama menggembalakan lembu, sang Utamanyu kembali meminta-minta untuk
dimakannya sendiri. Prilaku sang Utamanyu kemudian dilarang oleh gurunya, karena dianggap
loba dengan meminta-minta kedua kalinya. Dengan penuh keputusasaan sang Utamanyu yang
menahan lapar akhirnhya melanjutkan menggembala lembu tersebut, untuk mengatasi rasa
laparnya, ia meminum susu sisa dari anak lembu yang menyusu kepada induknya. Hal inipun
diketahui oleh Bhagawan Dhomya, beliaupun akhirnya berkata kepada muridnya “Aduh
anakku sang Utamanyu, tidak pantas tingkah lakumu, tidak sepantasnya seorang murid
mengambil sesuatu yang menjadi milik gurunya”. Sang Utamanyu kembali melanjutkan
tugasnya, mulai saat ini ia memutuskan untuk tidak lagi meminum susu sisa dari anak lembu
yang menyusu kepada induknya, namun ia menjilati busa yang keluar dari mulut anak lembu
yang habis menyusu, dengan cara itulah ia mencoba menghilangkan rasa laparnya. Ketika
pulang dari menggembalakan lembu, Bhagawan Dhomya bertanya kepada Utamanyu, apa
yang menjadi makanannya ketika menggembalakan lembu, Utamanyu menjawab bahwa yang
menjadi makanannya adalah busa yang telah jatuh ketanah.

Bhagawan Dhomya kemudian berkata “tidak sepantasnya itu menjadi makananmu,


karena anak lembu tahu akan rasa laparmu, maka ia berbelas kasihan terhadapmu dengan
memuntahkan air susu yang menjadi makanannya, walaupun itu berupa busa tidak sepantasnya
engkau turut menikmati makanan orang lain. Yang tidak patut menjadi penghidupanmu tidak
sepantasnya engkau nikmati, karena akan membuat anak lembu menjadi kurus”. Sang
Utamanyu kemudian menyembah, keesokan harinya ia melanjutkan tugas untuk
menggembalakan lembu, karena rasa lapar ia memakan getah daun waduri yang rasanya panas,
hal ini mengakibatkan matanya menjadi buta sehingga tidak mengetahui arah lembu-lembunya.
Sang Utamanyu berusaha terus berjalan hingga akhirnya ia terperosok dan jatuh kedalam
sumur tua yang mati. Sore harinya kawanan lembu itu pulang kekandangnya tanpa didampingi
Utamanyu, hal ini diketahui Bhagawan Dhomya dan kemudian bergegas mencari muridnya.
Ditemukanlah sang Utamanyu di sumur yang kering, Bhagawan Dhomya bertanya kenapa
hingga bisa terjadi seperti ini, Utamanyupun menceritakan semua yang dialaminya. Akhirnya
Bhagawan Dhomya menganugrahkan mantra Dewa Aswino untuk diucapkan, akhirnya Sang
Utamanyu sembuh dan diberikan anugrah ilmu yang sempurna oleh sang Guru. Kemudian
ujian dilanjutkan lagi oleh Bhagawan Dhomya dengan menguji sang Weda. Ia disuruh tinggal
didapur untuk menyediakan segala hidangan kepada sang Guru.Sang Weda melakukan seluruh
tugas-tugasnya dengan kepatuhan, dan kesungguhan sebagai wujud bakti pada sang Guru. Ia
selalu mampu melaksanakan segala tugas yang diberikan, hingga gurunya benar-benar merasa
puas atas bhaktinya, kemudian ia diberi anugrah ilmu yang sempurna. Kisah Sang jaratkaru
Ada seorang brahmana yang bernama Jaratkaru, sebabnya oleh raja disebut Jaratkaru, (karena)
jarat berarti suka mengalah (har. kemunduran), ikasya tad bhayam$kârun, suka berbelas kasih,
tempat berlindung bagi yang sedang dalam ketakutan, oleh karena itu (dia) benar-benar luar
biasa, seyogyanyalah (dia) disegani, karena sifatnya yang suka mengalah. Teringatlah dia akan
penjelmaan badan, karena itu namanya Jaratkaru, (yang mana) takut kepada kesengsaraan
penjelmaan. dia adalah putera seorang Bikhu (= pendeta) yang mempunyai tapa yang luar
biasa, seorang Bikhu yang gembira memungut padi yang tersebar dan telah terbuang di jalan,
yang dicari (dan) dibersihkannya.

Akhirnya menjadi banyaklah (padi yang dikumpulkannya itu), kemudian ditanaknya


(padi-padi itu), (yang mana) ketika itu disajikannya kepada Bhatara (= dewa-dewa) serta
memberikannya kepada para tamu. Begitulah tapa orang tuanya, tahan akan penderitaan, tidak
bergaul dengan perempuan, hanya tapa yang dibesarkannya, diajarinya, menderita membuat
tapa. Ketika itu Maharaja Parikesit berburu, lalu dikutuk oleh Bhagawan Sranggi dimakan oleh
ular Taksaka. Oleh karena itulah Jaratkaru membuat tapa. Setelah dia manjur mantranya, dia
(dapat) pergi ke segala alam, (dapat) mengunjungi ke segala tempat asing hendak dia datangi
dan (dapat) berjalan di atas air. Makin lama makin jauh perjalanannya, sampai dia terbawa ke
Ayatanasthana, yaitu suatu tempat yang mengantarai surga dan neraka, tempatnya arwah
menunggu (untuk) mendapatkan surga-neraka. Tempat itu terkunjungi oleh Jaratkaru, dia
berada di Ayatanasthana. Ada satu arwah yang digantung di sebatang bambu, yang digantung
sungsang dan diikat kakinya.

Di bawahnya adalah jurang yang dalam yang menuju ke alam neraka. Jika bambu itu
patah, maka yang digantung itu akan menuju ke tempat itu (/alam neraka). Ada seekor tikus
tinggal di lobang bambu yang dipinggir jurang itu. Setiap hari dia menggigit bambu itu. Hal
itu terlihat oleh Jaratkaru, sehingga mengalirlah air matanya, maka dari itu berbelas kasihlah
dia, hancur luluh hatinya kepada arwah yang digantung terbalik di ujung bambu itu serta diikat
kakinya. Jaratkaru terpengaruh hatinya oleh arwah yang menyerupai seorang Bikhu yang
berambut terjalin serta berpakaian dari kulit pohon. Tidak sepantasnyalah dia menghadapi
kesengsaraan yang dideritanya. Dia menderita tidak makan seperti daun yang tergantung, yang
kekeringan karena kemarau, yang berayun-ayun oleh karena angin deras, dia tidak makan
selalu. Demikianlah keadaan arwah itu. Kata Jaratkaru: "Siapakah tuanku yang digantung di
sebatang bambu yang hampir patah oleh gigitan tikus, (yang hampir jatuh ke dalam) jurang
yang tidak diketahui dalamnya.
Keadaan yang demikian itu membuat sangat sedih hati hamba, sehingga hamba
menaruh belas kasih hendak menolong engkau. Hamba membuat tapa sejak masih kanak-kanak
serta menimbun beratnya tapa hamba, lalu sampai ke sini (dan melihat tuanku yang menderita),
sehingga berbelas kasihlah hamba melihat kesengsaraanmu. Seberapa besar pahala dari tapa
hamba yang harus hamba berikan, supaya engkau dapat pulang ke surga sehingga dapat
berhenti menghadapi sengsara? Seperempatkah atau setengahkah yang (dapat) aku berikan
sesuai dengan jalanmu untuk mendapatkan surga". Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh
arwah itu. Menjawablah dia dengan sangat dingin seperti disiram oleh air hidup hatinya:
"Tapawrata karma wayam. Hamba ditanya oleh tuanku, dan akan kuberitahukan semua
keadaanku,ayetrato$umarambham krtam karma santânam preks, (Itu semua terjadi) karena
(akan) putus keturunanku. Karena itulah aku terputus dari Pitraloka (= alam arwah para leluhur)
dan bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah (hampir) jatuh ke alam neraka.
(Sebenarnya) aku mempunyai satu keturunan. Namanya Jaratkaru. Tetapi dia moksa juga,
hendak meluputkan segala sesuatu yang membelenggu manusia, tidak beristri, menjadi murid
brahmana yang suci.

Jika seandainya keturunanku terputus, maka akibatnya adalah binasa. Semula aku
senang terutama oleh pekerjaan tapa yang istimewa. (Tetapi) hal yang demikianlah yang terjadi
sekarang ini, yaitu dengan tidak adanya keturunanku, tino yathâ$kr$ dus$narah, tidak ada
perbedaan antara aku dengan (orang) yang melakukan perbuatan dosa, yang (sama-sama)
menghadapi kesengsaraan. Hal inilah yang dapat engkau lakukan jika engkau berbelas kasih
"Bikhu itu bernama Jaratkaru, mita belas kasihlah kepadanya. Suruh supaya dia beranak, agar
supaya aku dapat pulang ke Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku menghadapi
sengsara, agar supaya hatinya dapat berbelas kasih". Dengan arwah itu berbicara, maka
semakin mengalir air mata Jaratkaru. Seperti diiris hatinya melihat bapaknya menghadapi
keadaan susah: "Hamba ini bernama Jaratkaru, keturunanmu yang tamak akan tapa, yang
mengingini kedudukan sebagai murid brahmana. Aku kira sekarang ini engkau belum selesai,
padahal telah sempurna tapa yang telah dibuat.

Adapun sekarang, mengenai jalanmu pulang ke surga, janganlah tuanku khawatirkan.


Biarlah hamba berhenti sebagai murid brahmana, dengan mencari istri sehingga hamba dapat
mendapatkan anak. Adapun yang hamba kehendaki sebagai istri adalah yang senama dengan
nama hamba, agar tidak ada halangan bagi perkawinan hamba. Jikalau hamba telah mempunyai
anak, biarlah hamba dapat menjadi murid brahmana lagi. Tenangkanlah hati tuanku."
Demikianlah kata Jaratkaru. Berjalanlah dia mencari istri yang senama dengan dirinya. Ketika
dia mengembara mencari istri, ketika itu maharaja Janamejaya baru beristrikan Bhamustiman.
Pada waktu itulah Jaratkaru mengembara. Telah sepuluh daerah (= desa) yang dijelajahinya,
tetapi dia tidak mendapatkan istri yang senama dengannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus
diperbuatnya untuk memikirkan upaya agar bapaknya keluar dari sengsara. Kemudian
menyusuplah dia ke hutan yang sunyi, menangis dan memanggil segala dewa, segala butha (=
makhluk raksasa), katanya: Hai semua butha, para makhluk hidup yang menjadi
penjelmaanmu, hamba bernama Jaratkaru, seorang brahmana yang hendak beristri. Berilah
hamba istri yang senama dengan hamba, yaitu yang bernama Jaratkaru, supaya hamba
mendapat anak, sehingga orang tuaku dapat memperoleh surga.

Demikianlah tangis Jaratkaru. Ketika keributan itu terjadi (tangis Jaratkaru) itu
terdengar oleh semua naga (= ular) yang disuruh oleh Basuki untuk mencari seorang brahmana
yang bernama Jaratkaru supaya brahmana itu mempunyai anak dari adiknya yang akan
diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama Jaratkaru, supaya anak yang
dilahirkan itu akan membebaskan mereka (= ular-ular tadi) dari korban ular. Itulah maksud
Basuki (menyuruh ular-ular itu pergi mencari seorang brahmana bernama Jaratkaru). Dan
ketika terdengar oleh mereka tangis Jaratkaru, gembiralah mereka dan memberitahukan kepada
Basuki supaya mengundang Jaratkaru dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya
kepada Jaratkaru.

Dibawa pulanglah dia (= Jaratkaru) oleh Basuki, dan dikawinkannyalah dia serta
dinikahkanlah dia dengan upacara yang telah semestinya. Selama dia (= Jaratkaru) duduk di
tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya: "Saya berjanji dengan engkau, jika engkau
mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang
tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau".
Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Hidup bersamalah mereka. Setelah beberapa lama
mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru. Terlihatlah tanda
kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya ditunggui ketika tidur, ketika dia
bermaksud mau meninggalkan istrinya. Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh
istrinya, katanya: Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur". Dengan hati-hati si istri
memangku kepada si suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang.
Teringatlah si naga perempuan Jaratkaru, katanya: "Sekarang adalah waktu sorenya para dewa.
Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu
sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau terlambat
sembahyang karena itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa." Lalu
dibangunnyalah si suami: "Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku! Sekarang waktu
telah senja tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-
bauan dan padi."

Demikianlah katanya sambil mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah


Jaratkaru. Cahaya kemarahan memancar pada matanya dan memerah mukanya karena marah
besarnya. Katanya: "Cih! Engkau naga perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri
menghinaku. sengkau sampai hati menggagu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai
istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau sekarang ini." Demikianlah sudah dia
kemudian meninggalkan si istri. Ikutlah si naga perempuan, dan lari memeluk si suami: "Hai
tuanku, maafkan hamba tuanku! Bukan maksud hati menghina, jika hamba membangunkan
tuanku. Hamba hanya mengingatkan sembahyangmu tiap senja. Salahkah itu, sehingga aku
menyembah tuanku. Seyogyanyalah engkau kembali ... tuan yang terhormat. Jika hamba telah
beranak, di mana anak itu akan menghapuskan korban ular bagi saudarasaudaraku, maka
tuanku dapat membuat tapa lagi."

Demikianlah kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab:


"Alangkah pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk memuja dewa
ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk meninggalkan engkau. Aku
tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau kuatir. Asti, itulah (nama) anak itu.
Anak itu akan menolong engkau kelak dari korban ular. Tenangkanlah hatimu". Kemudian
pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat ditahan. Si naga perempuan memberitahukan kepada Basuki
akan kepergian si suami. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan
bahwa perutnya ada isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. Setelah beberapa
lama, lahirlah anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak itu Astika, karena si
bapak mengucapkan "asti". Dipeliharalah dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala
apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya
Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu melesat pulang pe Pitraloka,
menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga dapat
membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu.
Demikianlah cerita tentang Astika. Dia adalah orang yang membuat naga Taksaka terhindar
dari korban ular maharaja Janamejaya.

Anda mungkin juga menyukai