Dibuat Oleh:
Nama : Kadek Suastika
Nim : 2213071001
Prodi : Hukum
Kelas : B1
Bhagawan Dhomya bersabda ‘bangunlah engkau sang Arunika, mulai saat ini namamu
adalah sang Uddalaka, karena menelentangkan tubuhmu didalam air sebagai tanda bhakti
kepada gurumu. Setelah menguji sang Arunika, kemudian Bhagawan Dhomya menguji sang
Utamanyu dengan menyuruhnya menggembalakan lembu. Berhari-hari sang Utamanyu
menggembalakan lembu tanpa berbekal makanan, hingga akhirnya ia kelaparan tidak mampu
menahan rasa laparnya. Sang Utamanyu kemudian meminta-minta makanan kepada penduduk,
hasil meminta-minta tersebut ia makan sendiri tanpa diserahkan kepada gurunya. Akhirnya
diketahuilah tingkah laku sang Utamanyu oleh Bhagawan Dhomya, beliau bersabda “Anakku
sang Utamanyu!! Tingkah laku seorang murid yang berbakti kepada gurunya adalah
menyerahkan apa yang didapatnya kepada gurunya terlebih dulu, semua hasil dari
memintaminta tidak pantas menjadi makananmu”. Sang Utamanyu kemudian meminta maaf
atas segala kesalahan dan memberi hormat kepada gurunya.
Di bawahnya adalah jurang yang dalam yang menuju ke alam neraka. Jika bambu itu
patah, maka yang digantung itu akan menuju ke tempat itu (/alam neraka). Ada seekor tikus
tinggal di lobang bambu yang dipinggir jurang itu. Setiap hari dia menggigit bambu itu. Hal
itu terlihat oleh Jaratkaru, sehingga mengalirlah air matanya, maka dari itu berbelas kasihlah
dia, hancur luluh hatinya kepada arwah yang digantung terbalik di ujung bambu itu serta diikat
kakinya. Jaratkaru terpengaruh hatinya oleh arwah yang menyerupai seorang Bikhu yang
berambut terjalin serta berpakaian dari kulit pohon. Tidak sepantasnyalah dia menghadapi
kesengsaraan yang dideritanya. Dia menderita tidak makan seperti daun yang tergantung, yang
kekeringan karena kemarau, yang berayun-ayun oleh karena angin deras, dia tidak makan
selalu. Demikianlah keadaan arwah itu. Kata Jaratkaru: "Siapakah tuanku yang digantung di
sebatang bambu yang hampir patah oleh gigitan tikus, (yang hampir jatuh ke dalam) jurang
yang tidak diketahui dalamnya.
Keadaan yang demikian itu membuat sangat sedih hati hamba, sehingga hamba
menaruh belas kasih hendak menolong engkau. Hamba membuat tapa sejak masih kanak-kanak
serta menimbun beratnya tapa hamba, lalu sampai ke sini (dan melihat tuanku yang menderita),
sehingga berbelas kasihlah hamba melihat kesengsaraanmu. Seberapa besar pahala dari tapa
hamba yang harus hamba berikan, supaya engkau dapat pulang ke surga sehingga dapat
berhenti menghadapi sengsara? Seperempatkah atau setengahkah yang (dapat) aku berikan
sesuai dengan jalanmu untuk mendapatkan surga". Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh
arwah itu. Menjawablah dia dengan sangat dingin seperti disiram oleh air hidup hatinya:
"Tapawrata karma wayam. Hamba ditanya oleh tuanku, dan akan kuberitahukan semua
keadaanku,ayetrato$umarambham krtam karma santânam preks, (Itu semua terjadi) karena
(akan) putus keturunanku. Karena itulah aku terputus dari Pitraloka (= alam arwah para leluhur)
dan bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah (hampir) jatuh ke alam neraka.
(Sebenarnya) aku mempunyai satu keturunan. Namanya Jaratkaru. Tetapi dia moksa juga,
hendak meluputkan segala sesuatu yang membelenggu manusia, tidak beristri, menjadi murid
brahmana yang suci.
Jika seandainya keturunanku terputus, maka akibatnya adalah binasa. Semula aku
senang terutama oleh pekerjaan tapa yang istimewa. (Tetapi) hal yang demikianlah yang terjadi
sekarang ini, yaitu dengan tidak adanya keturunanku, tino yathâ$kr$ dus$narah, tidak ada
perbedaan antara aku dengan (orang) yang melakukan perbuatan dosa, yang (sama-sama)
menghadapi kesengsaraan. Hal inilah yang dapat engkau lakukan jika engkau berbelas kasih
"Bikhu itu bernama Jaratkaru, mita belas kasihlah kepadanya. Suruh supaya dia beranak, agar
supaya aku dapat pulang ke Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku menghadapi
sengsara, agar supaya hatinya dapat berbelas kasih". Dengan arwah itu berbicara, maka
semakin mengalir air mata Jaratkaru. Seperti diiris hatinya melihat bapaknya menghadapi
keadaan susah: "Hamba ini bernama Jaratkaru, keturunanmu yang tamak akan tapa, yang
mengingini kedudukan sebagai murid brahmana. Aku kira sekarang ini engkau belum selesai,
padahal telah sempurna tapa yang telah dibuat.
Demikianlah tangis Jaratkaru. Ketika keributan itu terjadi (tangis Jaratkaru) itu
terdengar oleh semua naga (= ular) yang disuruh oleh Basuki untuk mencari seorang brahmana
yang bernama Jaratkaru supaya brahmana itu mempunyai anak dari adiknya yang akan
diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama Jaratkaru, supaya anak yang
dilahirkan itu akan membebaskan mereka (= ular-ular tadi) dari korban ular. Itulah maksud
Basuki (menyuruh ular-ular itu pergi mencari seorang brahmana bernama Jaratkaru). Dan
ketika terdengar oleh mereka tangis Jaratkaru, gembiralah mereka dan memberitahukan kepada
Basuki supaya mengundang Jaratkaru dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya
kepada Jaratkaru.
Dibawa pulanglah dia (= Jaratkaru) oleh Basuki, dan dikawinkannyalah dia serta
dinikahkanlah dia dengan upacara yang telah semestinya. Selama dia (= Jaratkaru) duduk di
tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya: "Saya berjanji dengan engkau, jika engkau
mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang
tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau".
Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Hidup bersamalah mereka. Setelah beberapa lama
mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru. Terlihatlah tanda
kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya ditunggui ketika tidur, ketika dia
bermaksud mau meninggalkan istrinya. Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh
istrinya, katanya: Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur". Dengan hati-hati si istri
memangku kepada si suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang.
Teringatlah si naga perempuan Jaratkaru, katanya: "Sekarang adalah waktu sorenya para dewa.
Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu
sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau terlambat
sembahyang karena itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa." Lalu
dibangunnyalah si suami: "Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku! Sekarang waktu
telah senja tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-
bauan dan padi."